khoirunnisa m-epistemologi ekonomi islam terhadap

Upload: jaharuddinhannover

Post on 11-Jul-2015

239 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

EPISTEMOLOGI EKONOMI ISLAM TERHADAP SUBSIDI BBM DI INDONESIA

Oleh: Khairunnisa Musari

ABSTRAKSI Krisis keuangan Indonesia terjadi salah satunya diakibatkan oleh kekhilafan perencanaan tujuan pembangunan yang terlalu mementingkan pembangunan ekonomi, bukan pada pembangunan manusia. Untuk itu, dibutuhkan aspek etikreligius yang membawa pesan-pesan moral yang mengedepankan penghormatan atas nama kemanusiaan. Indonesia yang kini berada dalam cengkeraman debt-trap dan culture-trap sulit melepaskan diri dari hegemoni liberalisasi, globalisasi, dan pasar-bebas yang merupakan wujud baru dari imperialisme baru. Disempowerment dan

impoverishment terjadi di negeri ini. Pembangunan di Indonesia secara nyata bukan menggusur kemiskinan, tetapi justru menggusur orang miskin. Epistemologi Islam menyempurnakan pengetahuan yang dicapai oleh indra dan akal manusia dengan wahyu yang merupakan kalamullah. Di tengah-tengah hegemoni pemikiran-pemikiran liberal dan konvensional lain yang banyak dianut pengambil kebijakan negeri, terdapat sejumlah kebijakan yang sesungguhnya membawa maslahat namun justru dipandang secara konseptual sebagai sebuah distorsi. Kesalahan kebanyakan dari kita adalah membela paradigma pemikiranpemikiran tersebut. Paradigma yang lahir dari pikiran-pikiran manusia kerap dijadikan parameter kebenaran. Inilah pentingnya epistemologi ekonomi Islam untuk mentransformasi kalamullah sebagai pijakan berpikir dan berperilaku untuk merekonstruksi paradigma ekonomi yang berbenturan dengan nurani.. Ekonomi Islam berpegang teguh bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warganya. Oleh karena itu, subsidi menjadi kewajiban jika terdapat warga yang membutuhkan. Dalam

1

konteks ini, pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan subsidi. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih membutuhkan intervensi pemerintah. Terkait dengan subsidi BBM, jelas pemerintah memiliki kewajiban moral lebih kepada warga negara. Hal ini mengingat bahwa BBM merupakan wujud lain dari api yang dalam epistemologi ekonomi Islam merupakan kebutuhan dasar masyarakat di mana masyarakat berserikat di dalamnya. Ke depan, tentu semua sepakat bahwa subsidi harus dihilangkan. Dihilangkannya subsidi tentu harus dikarenakan sudah tidak adanya lagi warga yang membutuhkan subsidi. Itu artinya, rakyat Indonesia sudah mandiri dan mampu berdaya dalam ekonominya. Untuk saat ini, jelas hal tersebut belum bisa terwujud. Sebab, ekonomi rakyat yang berada di sekitar garis kemiskinan masih cukup besar. Jika penyelamatan APBN adalah sebuah kebenaran, maka penyelamatan APBN harus dinomorduakan karena potensi terciptanya kerusakan di masyarakat akibat kenaikan harga BBM tetap lebih besar. Untuk itu, pemerintah harus membuat perencanaan dan kebijakan yang komprehensif agar masyarakat ke depan tidak bergantung dengan subsidi BBM dan tidak terancam kehidupannya jika terjadi pengurangan atau penghapusan subsidi. Jelas, dibutuhkan cetak biru dan strategi agar masyarakat berdaya dan berangsur melepaskan diri dari subsidi BBM. Untuk itu, pembangunan haruslah menempatkan manusia sebagai substansial dan bukan residual. Pembangunan manusia haruslah menjadi target utama pembangunan.

Kata Kunci: Subsidi BBM, Energi, Epistemologi Ekonomi Islam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG 1.1.1. Gambaran Umum APBN di Indonesia Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki peran strategis terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Idealnya, APBN harus mampu menjadi stimulus pertumbuhan. Sayang, APBN di negara kita cenderung

2

menjadikan Gross Domestic Product (GDP) sebagai target pertumbuhan. 1 Padahal, GDP memiliki kelemahan, tidak mampu menjelaskan adanya pemerataan dan keadilan. Ditambah lagi dengan pola pikir pengambil kebijakan yang propasar, ketimpangan kesejahteraan di Indonesia pun tak terelakkan dan bermanifestasi dalam berbagai rupa. Tahun 2008, persoalan APBN masih mewarnai kebijakan fiskal di Indonesia. Selama ini, tata kelola APBN di Indonesia memang didera sejumlah permasalahan klasik yang selalu terjadi berulang kali. Permasalahan tersebut, misalnya, meliputi: defisit anggaran, rendahnya penyerapan anggaran, lamanya realisasi pencairan, dan pola lonjakan belanja di setiap akhir tahun. Namun, yang pokok dari seluruh permasalahan tersebut adalah defisit anggaran. 2 Untuk mengatasi permasalahan tersebut, pemerintah umumnya melakukan upaya-upaya seperti: menaikkan pajak, privatisasi badan usaha milik negara (BUMN), penjualan aset, mengurangi subsidi, menerbitkan surat berharga negara (SBN), dan mencari pinjaman luar negeri (LN). Tahun ini, pemerintah kembali mencari pinjaman LN untuk menutup defisit. Alasannya, karena kesulitan menyerap dana berbiaya murah dari pasar modal melalui penerbitan SBN. Selain itu, pemerintah juga berencana memprivatisasi sejumlah BUMN strategis untuk menambal defisit anggaran. Terkait dengan kenaikan harga minyak dunia yang menembus USD 120 per barrel, pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM) dengan menaikkan harga 28,7 persen pada Mei lalu.

GDP adalah alat yang mudah untuk mengukur pertumbuhan ekonomi, tetapi bukan merupakan segalanya bagi sebuah pembangunan. Pertumbuhan harus berkesinambungan dan berkelanjutan. Namun, karena GDP/PDB mudah diukur, hal tersebut menjadi fiksasi bagi para ekonom. Dan yang terjadi adalah, apa yang kita ukur, itulah yang kita perjuangkan. Lihat Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju Dunia yang Lebih Adil (Bandung: Mizan, 2006), hlm. 101-102. Kebijakan defisit anggaran memang kerap dilakukan pemerintah Indonesia. Pilihan kebijakan ini diambil dengan argumen untuk menjaga kebijakan fiskal agar sesuai dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Pemerintah mendesain kebijakan defisit anggaran untuk menstimulus pertumbuhan ekonomi. Dapat dipahami bahwa defisit anggaran maupun utang LN yang terjadi dalam kebijakan fiskal Indonesia merupakan pilihan lazim pemerintah. Hal ini bukan terjadi tanpa disengaja, melainkan memang disusun sedemikian rupa guna mencapai tujuan- tujuan yang ingin dicapai negara. Lihat Khairunnisa Musari, Defisit Anggaran dan Utang Luar Negeri, Harian Seputar Indonesia (SINDO) Sore, 10 Maret 2008. Lihat juga Tempo Interaktif, Boediono: Peningkatan Defisit untuk Menstimulus Ekonomi, 30 Maret 2007.2

1

3

Jika direnungkan, upaya pemerintah sesungguhnya bersifat reaktif dan tidak menyelesaikan akar permasalahan. Penyelesaian persoalan justru

menimbulkan persoalan baru yang kian kompleks. Akibatnya, utang LN terus menumpuk, aset-aset negara habis terjual, BUMN strategis didominasi kepemilikan asing 3 , dan pengurangan subsidi yang berwujud dengan kenaikan harga BBM justru kian memukul rakyat kecil.

1.1.2. Subsidi dan Defisit Anggaran Dalam Nota Keuangan dan Rancangan Undang-Undang (UU) Republik Indonesia tentang Perubahan Atas UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN Tahun Anggaran 2008, Rancangan APBN Perubahan (RAPBN-P) 2008, belanja subsidi sekitar 22,5 persen dari keseluruhan total belanja negara. Dari total subsidi tersebut, subsidi energi mencapai sekitar 77,2 persen. Sedangkan subsidi BBM berkisar 65,8 persen dari total belanja subsidi energi. 4 Porsi yang demikian inilah yang kerap dituding sebagai beban negara. Jika belanja subsidi dikatakan terlampau besar dan menjadi beban negara, mungkin dalam konteks inilah akan banyak perbedaan pandangan maupun sikap. 5 Hingga Semester I-2008, realisasi total belanja subsidi telah mencapai Rp 91,7 triliun. Untuk subsidi BBM dan listrik, masing-masing telah mencapai Rp 60,5 triliun dan Rp 26,4 triliun. Pada semester II-2008, diperkirakan belanja akan melonjak tajam menjadi Rp 236,1 triliun. Subsidi BBM diperkirakan akan melonjak sebesar Rp 119,8 triliun dan subsidi listrik melonjak menjadi Rp 62,1 triliun. Sedangkan subsidi nonenergi yang realisasi di semester I sebesar Rp 4,8 triliun, diperkirakan akan melonjak mencapai Rp 54,2 triliun pada semester II.Dijelaskan Susan George dalam Republik Pasar Bebas: Menjual Kekuasaan Negara, Demokrasi, dan Civil Society kepada Kapitalisme Global (Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2002), privatisasi, melalui penjualan aset-aset negara, adalah kemenangan sistem ekonomi neoliberal mengingat terbukanya kran kesempatan investasi untuk investor asing. Privatisasi sesungguhmya tidaklah merupakan efisiensi ekonomi atau perbaikan pelayanan bagi para konsumen, tetapi hanya pemindahan kekayaan uang rakyat dan penyaluran ketidaksetaraan sosial ke tangan swasta. Belanja negara tahun 2008 pada RAPBN-P sebesar Rp 926.228,6 miliar. Dari total belanja terebut, alokasi subsidi sebesar Rp 208.619,2 miliar. Dari total alokasi subsidi tersebut, subsidi energi sebesar Rp 161.192,3 miliar yang terdiri dari subsidi BBM sebesar Rp 106.194,8 miliar dan subsidi listrik sebesar Rp 54.997,5 miliar. Lihat Khairunnisa Musari, Tidak Ada yang Salah dengan Subsidi BBM, Harian Duta Masyarakat, 28 Mei 2008.5 4 3

4

Sampai akhir tahun, besaran belanja subsidi dialokasikan sebesar Rp 327,8 triliun (www.detikfinance.com, 16 Juli 2008). Persoalan subsidi selalu menjadi polemik dalam kebijakan fiskal di Indonesia lantaran adanya perbedaan paradigma berpikir dalam menyikapi keberadaan subsidi. Dalam paradigma ekonomi di dunia, subsidi memiliki berbagai macam bentuk. Subsidi lazim dikaitkan dengan peran negara dalam membijaki ekonominya. Sikap atau pandangan terhadap subsidi sangat bergantung pada paham apa yang dianut oleh negara. Bagi kaum neoliberal, subsidi dipandang sebagai bentuk intervensi pemerintah. Menurut paham ini, pelayanan publik harus mengikuti mekanisme pasar dan subsidi dianggap sebagai inefisiensi. Hegemoni neoliberalisme yang banyak dianut pengambil kebijakan negeri inilah yang dapat menjelaskan mengapa pemerintah cenderung mengurangi atau mencabut subsidi. Argumennya, subsidi membebani negara dan subsidi membuat rakyat tidak mandiri. Hingga saat ini, kurikulum ekonomi yang dianut kebanyakan perguruan tinggi pun sebenarnya menggunakan paham mainstream tersebut. Makanya, banyak ekonom akademisi yang menyatakan bahwa subsidi secara konseptual adalah sebuah distorsi yang akan mendistorsi mekanisme pasar. 6

1.1.3. Kegagalan Mekanisme Pasar Fundamentalisme pasar yang merupakan pengusung neoliberalisme telah memperlihatkan berbagai ketidakmampuan untuk mendukung kepentingan ekonomi masyarakat, cita-cita pemerataan, dan keadilan. Mekanisme pasar banyak membuktikan kegagalan-kegagalannya, terutama dalam menjaga

kepentingan mereka yang lemah daya belinya. Ini semua terjadi karena paham tersebut mengabaikan ilmu ekonomi sebagai ilmu moral. 7

6

Ibid.

Ilmu ekonomi sebagai ilmu moral, menyentuh pula nilai-nilai agama. Neoklasikal adalah ilmu ekonomi konvensional yang berlandaskan pada maksimisasi kepuasan kebendaan dan kepentingan pribadi, kurang memperhatikan kesejahteraan dan kepentingan sosial. Dalam ekonomi Islam, segala usaha harus diarahkan pada realisasi dan tujuan-tujuan kemanusiaan. Paradigma inilah yang harus digunakan dalam mendefinisikan efficiency dan equity yang ada dalam ilmu ekonomi. Lihat M. Umer Chapra, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Islamic Economics Series: 21 (United Kingdom: The Islamic Foundation, 2000), hlm. 50.

7

5

Sementara itu, teori pasar yang masih diajarkan di perguruan tinggi masih mengambil dasar pemikiran klasik, bahwa perkonomian akan efisien bila ada persaingan-bebas, selanjutnya persaingan-bebas akan menuntut pasar-bebas sebagai wadahnya. Lalu dari dasar ini hiduplah suatu pola-pikir akademik (academic mindset), bahwa persaingan haruslah bebas dan pasar yang ideal adalah pasar-bebas, keduanya adalah dua sejoli yang akan menjamin optimasi manfaat, yakni efisiensi ekonomi. 8 Dengan demikian, jelas bahwa pasar tidak omniscient dan tidak omnipotent, penuh kelemahan dan kesalahan, tidak self-correcting dan tidak selfregulating, maka the invisible hand menjadi nonsense. Hal senada disampaikan pula oleh Robert Heilbroner dan Lester C. Thurow (1994) yang mengatakan, ... mekanisme pasar adalah suatu instrumen yang tidak efektif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, bahkan untuk masyarakat yang telah makmur ... mekanisme pasar merupakan pelayan yang rajin bagi yang kaya, tetapi tak perduli pada yang miskin mekanisme pasar mendorong perbuatan yang tidak bermoral, hal mana tidak hanya merupakan suatu kegagalan ekonomi tetapi juga merupakan suatu kegagalan moral . 9

1.1.4. Subsidi BBM dan Kemiskinan Badan Pusat Statistik (BPS) melansir angka kemiskinan per Maret 2008 mencapai 34,96 juta jiwa atau 15,42 persen dari total penduduk Indonesia. Ini berarti telah terjadi penurunan penduduk miskin sebesar 2,21 juta jiwa sepanjang 2007-2008, mengingat angka kemiskinan per Maret 2007 tercatat sebesar 37,17 juta jiwa atau 16,58 persen dari total penduduk Indonesia.

Dalam pengertian ini, efisiensi ekonomi pada tataran mikro dan dalam konteks pelaku ekonomi individual, yaitu efisiensi yang terkait dengan upaya individual mencapai kepuasan maksimal (ekuilibrium pada fungsi preferensi) atau upaya badan usaha komersial mencapai laba maksimal (ekuilibrium pada kongruensi fungsi biaya dan fungsi penerimaan). Lihat Sri-Edi Swasono, Ekspose Ekonomika Mewaspadai Globalisme dan Pasar Bebas, Edisi Baru (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM, 2005), hlm 17-19. Pendapat Heilbroner dan Thurow secara nyata dapat kita lihat. Pasar sarat dengan berbagai kegagalan dalam mendukung kepentingan ekonomi masyarakat, cita-cita pemerataan, dan keadilan. Oleh karena itu, paham fundamentalisme pasar mendapat banyak kecaman karena mengemban berbagai ketidakmampuan untuk melakukan restrukturisasi ketimpanganketimpangan struktural.9

8

6

Sejumlah kalangan mempertanyakan penurunan angka kemiskinan tersebut. Hal ini mengingat angka itu diumumkan tidak lama setelah pemerintah menaikkan harga BBM 28,7 persen pada 24 Mei lalu. Namuin demikian, pemerintah tampaknya berkeyakinan bahwa kenaikan harga BBM tidak akan menaikkan angka kemiskinan. Bahkan memperkirakan jumlah penduduk miskin bisa ditekan dari 16,6 persen pada 2007 menjadi 14,2-16 persen dari total penduduk pada 2008, dan mencapai 12,5 persen pada 2009. Dibalik berbagai keraguan yang ada, penghapusan subsidi yang diwujudkan dengan kenaikan harga BBM adalah langkah yang tidak populer di tengah kondisi perekonomian masyarakat yang cukup berat seperti sekarang ini. Titik perdebatan dari kenaikan harga BBM adalah dampaknya pada kemiskinan. Kebijakan bantuan langsung tunai (BLT) yang diharapkan dapat menahan kejatuhan daya beli penduduk miskin, agaknya sulit untuk efektif mengingat cakupannya yang tidak menyeluruh serta besarannya yang tidak signifikan. Penurunan angka kemiskinan sebagai akibat BLT juga sangat diragukan ditinjau dari aspek metodologi. Angka garis kemiskinan di Indonesia pada 2008 dan 2009 diperkirakan akan meningkat 18-19 persen ketimbang garis kemiskinan 2007. Untuk itu, perbaikan kondisi kemiskinan minimal membutuhkan kenaikan konsumsi 20 persen dari orang termiskin. Hal ini mengingat angka kemiskinan di Indonesia diukur menggunakan arus konsumsi, bukannya pendapatan. Fakta empiris di Indonesia menunjukkan bahwa BLT tidak mampu menurunkan jumlah orang miskin. Sebaliknya, kenaikan harga BBM telah terbukti menaikkan angka kemiskinan dari 16,0 persen pada 2005 menjadi 17,7 persen pada 2006. Sementara, penurunan angka kemiskinan dari 17,7 persen pada 2006 menjadi 16,6 persen pada 2007, yang digembar-gemborkan sebagai akibat BLT, sesungguhnya tidak signifikan dan berada dalam margin kesalahan. 10

Lihat M. Ikhsan Modjo, BLT dan Provokasi Angka Kemiskinan, Harian Kompas, 9 Juni 2008. Lihat juga M. Ikhsan Modjo, Menyikapi Penurunan Angka Kemiskinan, Koran Investor Daily, 7 Juli 2008.

10

7

1.1.5. Kontroversi Subsidi BBM Penghapusan subsidi BBM selalu diwarnai oleh kontroversi. Secara garis besar, kontroversi terkait penghapusan subsidi BBM meliputi, pertama, slogan subsidi BBM tidak tepat sasaran dan lebih banyak dinikmati oleh golongan mampu dan orang kaya merupakan bagian dari edukasi untuk memperbesar peran mekanisme pasar dalam penyelenggaraan perekonomian Indonesia. 11 Kedua, penghapusan subsidi BBM tidak berkeadilan karena anggaran subsidi untuk rakyat semakin dikurangi sementara anggaran untuk sektor keuangan dan perbankan yang menguntungkan konglomerat diistimewakan. Sesungguhnya, APBN sudah tidak suistanable lagi. Cara-cara menutup defisit APBN dengan membuat utang baru dan melikuidasi kekayaan nasional mencerminkan anggaran negara sudah habis-habisan. Dari rekam jejak yang ada, total pengeluaran APBN yang dialokasikan untuk pembayaran cicilan pokok serta bunga utang luar negeri dan utang dalam negeri, termasuk pembelian kembali obligasi pemerintah, dapat mencapai 35-40 persen anggaran belanja pemerintah. Sementara anggaran yang berhubungan dengan rakyat, seperti pendidikan, hanya dianggarkan kurang dari 5 persen pengeluaran APBN. Begitu pula dengan anggaran kesejahteraan sosial, kesehatan dan pemberdayaan perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa alokasi belanja anggaran banyak diserap oleh pembayaran utang daripada untuk membayar subsidi rakyat.12 Ketiga, benarkah ada subsidi? Di sejumlah literatur, Kwik Kian Gie menyampaikan pertanyaan ini. Selain ilustrasi sederhana tentang mekanisme pembentukan harga BBM domestik dan nilai impor, Kwik secara tegas menyatakan bahwa yang dikatakan subsidi selama ini oleh pemerintah adalah pengertian abstrak yang sama sekali tidak berimplikasi pada keluarnya uang.Jika benar terjadi mekanisme yang salah alamat, tentu ini bukan kesalahan dari subsidi BBM, melainkan memang struktur perekonomian Indonesia yang timpang dan tiadanya kecermatan dari pengambil kebijakan negeri ini. Pandangan ini jelas kontra dengan pernyataan bahwa 70 persen BBM bersubsidi dinikmati oleh 40 persen orang kaya. Sedangkan kelas menengah menikmati 10 persen dan warga miskin hanya menikmati 7 persennya. Pendapat ini secara tegas menyatakan bahwa subsidi energi sesungguhnya tidak dapat dijadikan kambing hitam atas membengkaknya defisit APBN. Beban berat anggaran negara lebih disebabkan oleh sangat besarnya subsidi terselubung yang diberikan pemerintah terhadap sektor perbankan dan besarnya beban angsuran pokok dan bunga utang dalam negeri setiap tahun.12 11

8

Ditinjau dari sudut keluar masuknya uang, sesungguhnya pemerintah masih kelebihan uang tunai ketika harga minyak dunia melonjak. Dinyatakan Kwik, subsidi yang selama ini disampaikan pemerintah sesungguhnya adalah selisih jika BBM itu dijual ke luar negeri dengan harga yang dijual ke dalam negeri. Dengan demikian, tidak benar jika subsidi dipersepsikan sebagai dana APBN yang dikeluarkan pemerintah kepada rakyat. Kenyataannya, pemerintah mendapatkan kelebihan uang. Hanya, kelebihannya tidak dunia. 13 1.2. PERUMUSAN MASALAH Kajian ini akan mendiskusikan salah satu aspek kritis dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi yang berlandaskan Islam, yaitu aspek kebijakan publik, utamanya terkait dengan pemberian subsidi BBM. Tidak banyak kajian yang menuliskan masalah ini. Oleh karena itu, untuk mengisi kekosongan tersebut, sekaligus untuk menyumbangkan pemikiran guna mencari solusi bagi bangsa ini, sebesar seandainya

rakyat Indonesia diharuskan membeli BBM produksi dalam negeri dengan harga

Bagi pihak yang kontra dengan pandangan ini, pos subsidi BBM terus meningkat karena biaya pokok BBM terus meningkat sejalan dengan meningkatnya harga minyak dunia. Pasalnya, sebagian besar (86 persen) dari komponen biaya pokok BBM terdiri dari biaya pengadaan minyak yang sangat bergantung pada harga minyak dunia, kurs dolar AS (USD), dan volume. Adapun sisanya (14 persen) merupakan biaya operasi yang terdiri atas biaya pengilangan, transportasi laut (tanker), penimbunan (storage), transportasi darat, biaya bunga, dan depresiasi. Dengan demikian, seandainya ada pihak yang menganggap minyak mentah yang keluar dari perut bumi Indonesia tidak perlu dinilai dan cukup hanya diperhatikan biaya produksinya saja, jelas bahwa pandangan ini perlu diluruskan. Sebab, kalau minyak mentah dalam negeri yang diolah untuk keperluan BBM dianggap tidak ada nilainya, ini sama saja bertentangan dengan sistem yang sudah berjalan lebih dari 30 tahun dalam penghitungan APBN. Selain itu, pandangan ini tidak sesuai dengan prinsip opportunity price bagi barang-barang yang dapat diperdagangkan (tradeable goods). Dengan demikian, pandangan ini berpendapata bahwa secara obyektif harga BBM memang perlu dinaikkan. Tetapi, senada dengan Kwik, Sri-Edi Swasono pernah menyatakan bahwa pada hakikatnya bila dikatakan bahwa kenaikan harga internasional BBM telah mengakibatkan peningkatan subsidi, maka sebenarnya yang terjadi bukanlah the real subsidy (real cost of subsidy) tetapi adalah the opportunity lost saja. Selisih ini bila dihitung dengan harga internasional BBM hanya akan berupa suatu opportunity lost, sedangkan biaya produksi dalam-negeri seyogyanya hanya diperhitungkan biaya lifting (pengeboran), prosesing dan biaya transpor (pendistribusian) saja, maka biaya produksi BBM dalam-negeri akan sama dengan kalkulasi Kwik. Tentu hal ini diasumsikan sesuai dengan kenyataan bahwa harga minyak mentah dalam negeri dianggap nol rupiah sebagai berkah dari Ibu Pertiwi (keunggulan komparatif Indonesia terhadap negara lain akan kekayaan minyaknya bukanlah identik dengan subsidi). Dengan demikian, sebenarnya tidak ada alasan yang mengatakan bahwa negara mengalami defisit/pembengkakan subsidi karena kenaikan harga internasional BBM. Dalam keadaan darurat BBM seperti sekarang ini, maka hendaknya perlu benar-benar dibedakan antara opportunity lost dengan the real lost (dan real lost ini tidak terjadi). Diperkirakan krisis BBM yang terjadi bersumber pada krisis manajemen keuangan/cash flow/flow of fund keuangan negara.

13

9

maka disusunlah kajian yang menggunakan pendekatan epistemologi ekonomi Islam. Ketika persoalan tak tertuntaskan oleh pemikiran manusia, tentu kita harus mengembalikan persoalan tersebut kepada Sang Pencipta. Untuk itulah, epistemologi ekonomi Islam mencoba menjembatani berbagai teori dan empirik dari kebijakan fiskal Indonesia dengan kalamullah untuk merekontruksi dan mentransformasi nilai-nilai Islam ke dalam sebuah paradigma kebijakan publik yang objektif, rasional, berwawasan, dan bernurani.

1.3. TUJUAN DAN MANFAAT Tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk memperoleh gambaran dan informasi secara umum mengenai penyelenggaraan kebijakan fiskal dan pemberian subsidi BBM di Indonesia dalam kacamata epistemologi ekonomi Islam. Kajian ini diharapkan dapat menghasilkan sejumlah tentative solution yang dapat memberi rekomendasi strategis dalam penyelesaian persoalan APBN dan polemik subsidi BBM di Indonesia. Adapun manfaat yang diharapkan dari kajian ini adalah dapat berpartisipasi mengembangkan pemikiran-pemikiran baru dalam upaya membangun kebijakan publik di Indonesia dengan mentransformasi nilai-nilai Islam melalui pendekatan yang objektif, rasional, berwawasan, dan bernurani.

1.4. SUMBER DATA Kajian ini menggunakan sumber-sumber data dari: 1. Sumber Ilmu Ekonomi Islam: Al-Quran, As-Sunnah, hukum Islam dan yurisprudensinya (ijtihad), sejarah peradaban umat Islam, dan berbagai data yang berkaitan dengan minyak dan gas (migas) dan subsidi BBM. 2. Sumber Ilmu Ekonomi Konvensional dan lainnya: dokumen dan bahan-bahan yang diterbitkan (material published) dalam bentuk cetak maupun elektronik, seperti jurnal, buku, karya ilmiah, artikel, dan materi seminar.

10

1.5. AKSIOMA DAN METODE PENELITIAN Ada 4 aksioma etika yang menjadi dasar dalam studi literatur ini, yaitu: tauhid, keadilan, kebebasan, dan tanggung jawab. Terkait dengan metodologi kajian, proses pembahasan dan analisis kajian ini dilakukan melalui studi literatur. Pembahasan, analisis, dan berpikir ilmiah dalam kajian ini menggunakan aspek epistemologi yang fokus pada proses penalaran 14 dengan cara logik dan menggabungkan aliran rasionalisme dan empirisme. Namun, karena kajian ini merupakan kajian ekonomi Islam, maka proses penalaran ini tidak luput pula untuk menggunakan proses non-penalaran (Lihat Gambar 1). 15

W AHYU N O N -P E N A L A R A N NON W AHYU: IN T U IS I, D L L

KEBENARANR A T IOR A S IO N A L IS M E

D E D U K T IF

PENALA RAN

PEN GALAM AN

E M P IR IS M E

IN D U K T IF

Penalaran di sini berarti usaha aktif untuk memperoleh kebenaran; berusaha menghubungkan fakta-fakta atau evidensi yang diketahui menuju pada suatu kesimpulan. Sebagai catatan, setiap penalaran merupakan suatu proses menemukan kebenaran dan setiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing dalam menemukan pengetahuan yang benar. Benar itu relatif, maka kegiatan proses berpikir untuk menghasilkan pengetahuan yang benar itu juga berbeda-beda. Setiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai kriteria. Lihat Mudzakkir, Metodologi Penelitian dan Metode Penelitian, dalam Silabi Metode Analisis Kualitatif Dan Kuantitatif, Program Doktor Ilmu Ekonomi Bidang Kajian Utama Ekonomi Islam Universitas Airlangga (Yogyakarta, 2008). Ibid. Untuk memperoleh kebenaran, dapat dilakukan melalui proses non-penalaran (wahyu, intuisi, dan kontemplasi) dan penalaran (logik dan analitik). Penalaran logik artinya mengikuti pola pikir tertentu. Penalaran analitik artinya kegiatan berpikir yang berdasarkan langkah-langkah tertentu dengan menggunakan logika ilmiah. Dalam penalaran, ada 2 aliran, yaitu rasionalisme dan empirisme.15

14

11

Gambar 1. Skema Metodologi Kajian dengan Aspek Epistemologi

(Sumber: Mudzakkir, Metodologi Penelitian dan Metode Penelitian, dalam Silabi Metode Analisis Kualitatif Dan Kuantitatif, Program Doktor Ilmu Ekonomi Bidang Kajian Utama Ekonomi Islam Universitas Airlangga (Yogyakarta, 2008))

Dalam kajian ini, digunakan pula metode deduksi dan induksi. Dengan metode deduksi, kajian ini menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai dasar berpijak dan sumber hukum utama. Dengan metode induksi, diharapkan kesimpulan yang dihasilkan akan lebih operasional, sebab ijtihad ini didasarkan pada kenyataan empiris. Selanjutnya, dari hasil kombinasi dan elaborasi kebenaran wahyu Allah dan As-Sunnah dengan pemikiran-pemikiran manusia yang dihasilkan dalam ijtihad, akan dihasilkan sejumlah tentative solution yang diharapkan dapat menjadi rekomendasi strategis dalam penyelesaian persoalan APBN dan polemik subsidi BBM di Indonesia.

BAB II STUDI LITERATUR 2.1. EPISTEMOLOGI EKONOMI ISLAM

Hampir semua pemikiran manusia didominasi oleh pendekatan filsafat. Sifat filsafat adalah nalar atau pemikiran. Landasan ilmu adalah juga nalar, namun titik beratnya adalah empirik: nalar untuk mengungkap alam empirik. 16 Pengetahuan manusia yang dihasilkan melalui proses berpikir merupakan dasar pijakan pencarian solusi masalah kehidupan. Namun, sebelum sampai pada

Soewardi, Herman, Roda Berputar Dunia Bergulir: Kognisi Baru tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi (Bandung: Penerbit Bakti Mandiri, 2001), hlm. 245.

16

12

pencapaian pengetahuan, hal penting yang perlu dicermati adalah bagaimana proses berpikir manusia sehingga dapat menghasilkan pengetahuan. Salah satu syarat dalam kajian filsafat adalah epistemologi. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang mengkaji secara mendalam seluruh proses untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah makna dari ilmu yang membentangkan apa dasar-dasar nalar yang digunakan, apa yang diraihnya, dan apa keterbatasannya. 17 Dalam Islam, epistemologi tidak berpusat kepada manusia yang menganggap manusia sendiri sebagai makhluk mandiri dan menentukan segalagalanya, melainkan berpusat kepada Allah, sehingga berhasil atau tidaknya setiap usaha manusia tergantung kepada iradat Allah. 18 Epistemologi di dalam Islam terdiri dari beberapa macam, antara lain: (1) perenungan (contemplation) tentang sunnatullah sebagaimana dianjurkan didalam Al-Quran, (2) penginderaan (sensation), (3) tafaqquh (concept), dan (4) penalaran (reasoning). 19 Dengan demikian, hal paling prinsip yang membedakan epistemologi Islam dengan epistemologi pada umumnya terletak pada sumber pengetahuan. Epistemologi Islam menjadikan wahyu sebagai sebuah kebenaran. Manusia dipandang semata sebagai khalifah Allah. Manusia adalah makhluk pencari kebenaran dan Allah adalah pemberi kebenaran. Sementara, epistemologi pada umumnya menganggap kebenaran hanya berpusat pada manusia sebagai makhluk mandiri yang menentukan kebenaran. Oleh karena itu, ilmu ekonomi Islam berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional, baik ekonomi Neo-Klasik, Marxis, Institusional dan lain-lain. Yang membedakan adalah keberpihakannya pada nilai etik-religius. Islam menegaskan pentingnya refleksi etika pada motivasi ekonomi manusia. 2017

Loc. Cit. Ekonomi Islam, atau

Dikutip dari Agustianto, Epistemologi http://www.pelita.or.id/baca.php?id=36517 http://agustianto.niriah.com/2008/03/11/epistemologi-ekonomi-islam/19 20

18

Ibid. Syed Nawab Haider Naqvi, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam (Terjemahan dari Islam, Economics, and Society), Cetakan Ke-1 (Jakarta: Pustaka Belajar, 2003), hlm. xii.

13

Selain itu, ilmu ekonomi Islam juga menjadikan epistemologi Islam sebagai landasan ilmu. Ada empat aksioma etika yang mempengaruhi seluruh proses pengembangannya, yaitu tauhid, keseimbangan, kehendak bebas, dan tanggung jawab. 21 Untuk itu, ekonomi Islam dituntut untuk mampu mengintegrasikan ekonomi normatif dan positif. Seperti halnya ilmu ekonomi konvensional, ilmu ekonomi Islam juga memiliki hard-core yang tidak bisa diganggu gugat. Hal ini berhubungan erat dengan nilai dan pedoman hidup Islam itu sendiri yang berhulu pada kalamullah. Jadi, selain sumber panca indera dan akal, sumber wahyu juga juga diberikan kedudukan yang vital dalam ilmu ekonomi. 22 Sementara itu, Masudul Alam Choudhury merumuskan metodologi ekonomi Islam dengan istilah shuratic process. Metodologi ini merupakan upaya untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang bersifat transenden, sekaligus didukung oleh kebenaran empiris dan rasional yang merupakan tolok ukur utama kebenaran ilmiah saat ini. 23 Menurut Choudhury, sumber utama dan permulaan dari segala ilmu pengetahuan adalah Al-Quran. Pengetahuan yang ada dalam Al-Quran memiliki kebenaran mutlak dan telah mencakup segala kehidupan secara komprehensif. Akan tetapi, Al-Quran pada dasarnya tidak menyampaikan pengetahuan yang praktis, tetapi lebih pada prinsip-prinsip umum. Ayat-ayat AlQuran diimplementasikan dalam perilaku nyata oleh Rasulullah, karena itu AsSunnah juga adalah sumber ilmu pengetahuan berikutnya.

21

Ibid., hlm. 37-49.

Dikutip dari Ichsanmufti, Islamic Economic Epistemology, http.www.ichsanmufti.wordpress.com /2006/11/20/islamic-economic-epistemology/ Agustianto, op.cit. Shuratic process ini bersifat konsultatif dan dinamis. Seorang muslim harus meyakini bahwa kebenaran utama dan mutlak berasal dari Allah, sedangkan kebenaran dari manusia bersifat tidak sempurna. Manusia dikaruniai akal dan berbagai fakta empiris di sekitarnya sebagai wahana untuk memahami kebenaran dari Allah. Perpaduan kebenaran wahyu dan kebenaran ilmiah akan menghasilkan suatu kebenaran yang memiliki tingkat keyakinan yang tinggi.23

22

14

2.2. MINYAK DUNIA DAN DAMPAKNYA 24

Saat ini, badai minyak tengah melanda dunia. Badai yang berawal dari krisis harga minyak global menjelma menjadi krisis ekonomi global. Kenaikan harga minyak dunia dipicu oleh persoalan struktural. Peningkatan permintaan tidak diimbangi dengan peningkatan kemampuan pasok. Permintaan dunia dari tahun ke tahun meningkat rata-rata 1,5 persen atau sekitar 85 juta barrel per hari. Pada 2008, permintaan meningkat 2 persen sehingga menjadi sekitar 87,7 juta barrel per hari. Saat ini, China dan India menjadi motor pertumbuhan ekonomi dunia. Dalam 10 tahun terakhir, konsumsi China tumbuh rata-rata 6,5 persen per tahun dan India rata-rata 5 persen. Impor China meningkat hampir 2 kali lipat dari sekitar 4 juta barrel per hari pada 2002 menjadi sekitar 7,5 juta barrel per hari pada 2007. Dewasa ini, kemampuan pasok minyak dunia kian dihadapkan pada berbagai persoalan dan ketidakpastian. Menipisnya cadangan minyak bumi, tingginya resiko ketidakberhasilan eksplorasi ladang minyak baru, dan ketidakmenentuan situasi politik di Timur Tengah yang kerap terjadi konflik menimbulkan kerentanan dalam jumlah pasokan.Sub-bab ini dirangkum dari M. Ikhsan Modjo dan Khairunnisa Musari, Badai Minyak Dunia, Harian Seputar Indonesia (SINDO), 25 April 2008. Melonjaknya harga minyak dunia pada saatnya diyakini akan mendesak pemerintah sehingga sulit mengelak opsi menaikkan harga BBM. Tingginya harga minyak akan mengerek tingkat inflasi ke atas. Pada gilirannya, inflasi akan menggerus pendapatan rumah tangga dan profit margin dunia usaha. Dari sisi fiskal, kenaikan harga minyak di atas asumsi pada saat bersamaan akan meningkatkan pendapatan maupun belanja negara. Pada sisi pendapatan, kenaikan ini akan meningkatkan pendapatan production sharing minyak, pendapatan nasional bukan pajak (PNBP) gas serta pendapatan pajak penghasilan (PPh) minyak dan gas bumi (migas). Dari sisi belanja, peningkatan harga minyak akan meningkatkan belanja subsidi BBM dan dana bagi hasil ke pemerintah daerah (pemda). Bagi industri nasional, kenaikan harga minyak dunia dipastikan akan memukul langsung. Biaya produksi perusahaan yang bergerak di sektor industri otomatis meningkat. Pada gilirannya ini akan meningkatkan biaya komponen lain. Ringkasnya, pengikutsertaan kenaikan biaya ikutan mengakibatkan dampak yang lebih besar pada tingkat harga dan output industri nasional. Bila benar terjadi, ini akan mempercepat proses deindustrialisasi. Kenaikan harga minyak juga berdampak pada tergerusnya pendapatan riil rumah tangga. Dampak ini belum terlalu dirasakan mengingat masih adanya subsidi BBM dan adanya lag antara kenaikan ongkos produksi dengan harga di tingkat eceran. Namun, seiring dengan merangkaknya harga ke depan, hal ini akan sepenuhnya dirasakan oleh rumah tangga Indonesia. Akibat lonjakan harga di tingkat industri dan rumah tangga, suku bunga akan tertekan ke atas. Hal ini akan mengakibatkan perlambatan pertumbuhan kredit, tertekannya tingkat investasi, dan melonjaknya non-performing loan (NPL) perbankan. Peningkatan bunga juga semakin mengikis pendapatan riil rumah tangga akibat besarnya biaya bunga kredit. Beban fiskal pemerintah pun akan meningkat akibat membengkaknya biaya cicilan hutang.24

15

Organization of The Petroleum Exporting Countries (OPEC) saat ini

memproduksi minyak 31,2 juta barrel per hari atau sekitar 36 persen dari total produksi minyak dunia. Meskipun sudah terjadi peningkatan, namun peningkatan yang ada lebih disebabkan oleh penurunan stok dari negara-negara OPEC dan bukan karena peningkatan produksi dari sumur-sumur minyak yang ada. Hanya Irak, Angola, dan Arab Saudi yang mampu meningkatkan sedikit produksinya. Untuk negara-negara pemasok minyak nonOPEC, perlambatan peningkatan produksi juga terjadi, terutama dari negara-negara Organization for Economic Cooperation and Development (OECD). Pada 2008, diperkirakan produksi negara-

negara tersebut menurun dari sebesar rata-rata 19,83 juta barrel per hari pada 2007 menjadi 19,51 juta barrel pada 2008. Bagi Indonesia, kenaikan harga minyak akan memiliki dampak yang saling terkait di berbagai sektor. Bila terdapat penurunan lifting minyak domestik, maka peningkatan defisit bersih akan menjadi lebih tinggi dan tidak terkendali. Dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, penurunan asumsi hampir selalu terjadi. Prospek penurunan ini ke depan akan meningkat drastis bila harga minyak tetap tinggi. Hal ini mengingat akan terdapat insentif lebih bagi para penggelap, baik lokal maupun internasional, untuk memanipulasi jumlah minyak yang didapatkan. Ke depan, keharusan menjaga tingkat lifting sesuai dengan asumsi yang ditetapkan merupakan satu pertaruhan yang harus dimenangkan oleh pemerintah untuk mengamankan sisi fiskal perekonomian nasional.

2.3. SUBSIDI

Subsidi adalah pembayaran yang dilakukan pemerintah kepada perusahaan atau rumah tangga untuk mencapai tujuan tertentu yang membuat mereka dapat memproduksi atau mengkonsumsi suatu produk dalam kuantitas yang lebih besar atau pada harga yang lebih murah. Secara ekonomi, tujuan subsidi adalah untuk mengurangi harga atau menambah keluaran. 25

Dikutip dari Rudi Handoko dan Pandu Patriadi, Evaluasi Kebijakan Subsidi NonBBM, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor 4, Desember 2005, yang mengacu pada Milton H. Spencer & Orley M. Amos, Jr., Contemporary Economics, Edisi ke-8 (New York: Worth Publishers, 1993), hlm. 464.

25

16

Sementara itu, subsidi sebagai salah satu bentuk pengeluaran pemerintah juga dapat diartikan sebagai pajak negatif yang akan menambah pendapatan mereka yang menerima subsidi atau mengalami peningkatan pendapatan riil apabila mereka mengkonsumsi atau membeli barang-barang yang disubsidi oleh pemerintah dengan harga jual yang rendah. Dalam hal ini, subsidi dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu subsidi dalam bentuk uang (cash transfer) dan subsidi dalam bentuk barang atau subsidi innatura (in kind subsidy) 26 Secara teoretis, subsidi dapat memberi pengaruh positif. Dalam konteks ini, kebijakan pemberian subsidi biasanya dikaitkan kepada barang dan jasa yang memiliki positif eksternalitas dengan tujuan agar untuk menambah output dan lebih banyak sumber daya yang dialokasikan ke barang dan jasa tersebut. 27 Namun demikian, subsidi secara teoretis juga berpeluang untuk memberi dampak negatif 28 , diantaranya seperti: (1) subsidi menciptakan alokasi sumber daya yang tidak efisien karena konsumen membayar barang dan jasa pada harga yang lebih rendah daripada harga pasar. Kondisi ini menyebabkan adanya kecenderungan konsumen tidak berperilaku hemat dalam mengkonsumsi barang yang disubsidi karena harga yang disubsidi lebih rendah daripada biaya kesempatan (opportunity cost) sehingga terjadi pemborosan dalam penggunaan sumber daya. (2) Subsidi dipandang dapat menyebabkan distorsi harga. Jika subsidi dilakukan secara tidak transparan dan tidak well-targeted akan mengakibatkan 29 : (a) subsidi besar yang digunakan untuk program populis cenderung menciptakan distorsi baru dalam perekonomian, (b) subsidi menciptakan suatu inefisiensi, (c) subsidi tidak dinikmati oleh mereka yang berhak.

Ibid,. yang mengacu pada M. Suparmoko, Keuangan Negara dalam Teori dan Praktik, Edisi ke-5 (Yogyakarta: BPFE, 2003), hlm. 34.27

26

Ibid., yang mengacu pada Milton H. Spencer & Orley M. Amos, Jr., op. cit., 92-93. Ibid., yang mengacu pada Milton H. Spencer & Orley M. Amos, Jr., op. cit., 741.

28

Ibid., yang mengacu pada Faisal Basri, Perekonomian Indonesia: Tantangan dan Harapan Bagi Kebangkitan Ekonomi Indonesia (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 249.

29

17

BAB III PEMBAHASAN DAN ANALISIS 3.1. KERANGKA EPISTEMOLOGI EKONOMI ISLAM TERHADAP SUBSIDI BBM

Subsidi BBM

Epistemologi Ekonomi Islam

Pendekatan Ekonomi Konvensional

Pendekatan Ekonomi Islam

Pemikiran Manusia yang menghasilkan Teori, Paradigma, Hukum, dll

Al-Quran dan As-Sunnah

Non-Penalaran dan Penalaran

Wahyu, Intuisi, Rasio, Empirik

Kebijakan Pemerintah Indonesia

Fiqih Ekonomi Islam

Sejarah Ekonomi Islam

Ekonomi Islam Kontemporer

Hal: Paradigma, sumber penerimaan, alokasi belanja, sistem anggaran, prinsip-prinsip

Hal: Paradigma, sumber penerimaan, alokasi belanja, sistem anggaran, prinsip-prinsip

Kontemplasi Metode deduksiinduksi yang di elaborasi

Hipotesa Epistemologi ekonomi Islam mendorong pentingnya keberpihakan negara terhadap rakyat kecil, menjamin pemenuhan kebutuhan dasar, mengurangi ketimpangan, dan berkeadilan.

Non-Penalaran an Penalaran

Wahyu, Intuisi, Rasio, Empirik

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.

Membuat mekanisme subsidi berkeadilan Rekonstruksi paradigma Nasionalisasi aset-aset publik yang menghasilan energi Negara berkewajiban untuk mengimplementasikan kebijakan energi dan menjamin ketersediaannya Perlunya pelaksanaan Islamic good governance dalam tata kelola kebijakan publik Memotong/menghindari segala bentuk utang, terlebih yang menggunakan sistem bunga Dll.

Tentative Solution

Membangun konsep, teori, pemikiran untuk menghasilkan rekomendasi strategis

Tafaqquh

Gambar 2. Kerangka Epistemologi Ekonomi Islam terhadap Subsidi BBM di Indonesia

18

Dapat disarikan bahwa kerangka epistemologi ekonomi Islam terhadap kebijakan subsidi BBM sebagaimana Gambar 1. Pada kolom kirim baris kedua menunjukkan bagaimana ekonomi konvensional dan ekonomi Islam

berepistemologi. Jika ekonomi konvensional sepenuhnya menggunakan hasil pemikiran manusia yang berwujud teori, paradigma atau hukum sebagai dasar membuat kebijakan, maka ekonomi Islam menjadi Al-Quran dan As-Sunnah sebagai pijakan awal bagi manusia untuk berijtihad dan bermanifestasi dalam bentuk fiqih ekonomi Islam, sejarah ekonomi Islam, dan pendekatan ekonomi Islam kontemporer. Seluruh elemen epistemologi ekonomi Islam inilah yang kemudian ingin ditransformasikan ke dalam kebijakan publik pemerintah Indonesia, utamanya yang menyangkut subsidi BBM. Metodologi kajian yang menggunakan metode deduksi dan induksi ini tidak akan membahas secara detil elemen-elemen yang ada dalam seluruh tahapan epistemologi ekonomi konvensional maupun ekonomi Islam. Namun, metodologi ini mencoba menunjukkan bagaimana komparasi proses bernalar ekonomi konvensional yang banyak dianut pengambil kebijakan dengan ekonomi Islam. Metodologi kajian ini ingin mengambil sari dan benang merah dari proses epistemologi yang ada dan menunjukkan bagaimana ouput dari proses komparasi maupun elaborasi epistemologi tersebut dalam sebuah hipotesa. Hipotesa inilah yang menjadi pijakan dalam merangkum sejumlah tentative solution yang layak untuk direkomendasikan oleh ekonomi Islam terhadap kebijakan subsidi BBM pemerintah Indonesia.

3.1.1. Al-Quran dan As-Sunnah

Dalam Al-Quran dinyatakan,

Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah,

19

untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orangorang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orangorang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya. (QS

Al-Hasyr: 7). Ayat ini menunjukkan pentingnya distribusi kekayaan. Islam mewajibkan beredarnya harta di antara seluruh individu dan mencegah beredarnya harta hanya pada golongan tertentu. Dikisahkan, Rasulullah pernah membagikan fai Bani Nadhir (harta milik negara) hanya kepada kaum Muhajirin, tidak kepada kaum Anshar. Hal ini disebabkan Nabi melihat adanya ketimpangan ekonomi antara kaum Muhajirin dan Anshar. 30 Oleh karena itu, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia sekarang, subsidi BBM tidak sekadar boleh, tetapi sudah wajib hukumnya, agar ketimpangan di masyarakat antara kaya dan miskin tidak semakin lebar. Untuk itu, perlu diatur sebuah mekanisme yang dapat mengurangi ketimpangan. Pola produksi yang dibenarkan dan realisasi yang berkeadilan dalam distribusinya inilah yang dalam setiap implementasi kerap terjadi penyimpangan. Sebuah studi empirik menunjukkan bahwa penerima manfaat dari subsidi BBM justru adalah kalangan masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi. Itulah sebabnya, penerima manfaat atas subsidi BBM kerap dikatakan salah alamat. Jika demikian, tentu yang salah bukan subsidi BBM-nya, melainkan mekanisme yang ada yang tidak mampu mengelola subsidi secara berkeadilan. Selain itu, Al-Quran juga menyatakan,

Lihat Khairunnisa Musari, Tidak Ada yang Salah dengan Subsidi BBM, Harian Duta Masyarakat, 28 Mei 2008.

30

20

Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah 31 . Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa 32

(QS Al-Baqarah: 276).

Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya (QS Al-Baqarah: 279)

Dua ayat di atas menyerukan kepada umat Islam untuk menjauhi riba. Allah sudah tegas mengatakan bahwa Allah memusnahkan dan memerangi riba. Masih terdapat sejumlah ayat lain yang menegaskan hal ini. Dengan demikian, jelas dalam tata kelola keuangan negara dari perspektif ekonomi Islam haruslah menghindari riba. Pinjaman LN dan DN yang berbasis bunga telah secara nyata menggerogoti APBN Indonesia. Hal ini pada gilirannya menjadi virus yang menyebabkan penyakit pada seluruh sendi-sendi APBN. Jika dikaitkan dengan subsidi BBM, pengamatan empirik telah menjelaskan bagaimana defisit anggaran kerap terjadi dan alokasi belanja yang banyak terserap oleh pembayaran bunga justru mengkambinghitamkan subsidi BBM yang merupakan hak rakyat sebagai biang keladi beban anggaran.

3.1.2 Fiqih Ekonomi Islam Terhadap Negara

Salah satu awal dari epistemologi ini, perlu kita mengetahui dan memahami fiqih ekonomi Islam terhadap negara. Secara keseluruhan, ekonomi Islam memposisikan negara sebagai pemelihara rakyatnya, tanpa terkecuali, baik yang muslim juga nonmuslim. Semua harus dipelihara. Jelas, negara memiliki peran

Yang dimaksud dengan memusnahkan riba ialah memusnahkan harta itu atau meniadakan berkahnya. Dan yang dimaksud dengan menyuburkan sedekah ialah memperkembangkan harta yang telah dikeluarkan sedekahnya atau melipat gandakan berkahnya.32

31

Maksudnya ialah orang-orang yang menghalalkan riba dan tetap melakukannya

21

sentral karena berfungsi sebagai riayatu asy syuni al ummah, yaitu pengatur kehidupan umat. Diriwayatkan dari Abdullah r.a bahwa Rasululah bersabda: Setiap kalianadalah penggembala (pemimpin). Maka ia bertanggungjawab terhadap penggembalaannya (kepemimpinannya). Karena itu, seorang amir (penguasa) yang memimpin masyarakat adalah penggembala. Ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang pria (suami) adalah penggembala atas keluarganya dan ia bertanggungjawab atas mereka. Seorang wanita (istri) adalah penggembala atas rumah, suami dan anak-anaknya, dan ia bertanggung jawab atas mereka. Seorang hamba sahaya adalah penggembala atas harta benda tuannya, dan ia bertanggung jawab atasnya. Ketahuilah, bahwa setiap kalian adalah

penggembala dan setiap kalian bertanggung jawab atas penggembalaannya.

3.1.3. Fiqih Ekonomi Islam Terhadap Subsidi BBM

Jika subsidi diartikan sebagai bantuan keuangan yang dibayar oleh negara, maka Islam mengakui adanya subsidi dalam pengertian ini. Subsidi dapat dianggap sebagai salah satu cara yang boleh dilakukan negara. Atas dasar itu, negara boleh memberikan subsidi kepada rakyat seperti yang selama ini dilakukan pemerintah Indonesia. Dari hukum asal boleh ini, pemberian subsidi bisa menjadi wajib hukumnya jika masih banyak ketimpangan terjadi. Dalam ekonomi Islam, persoalan subsidi BBM terkait erat dengan kepemilikan aset. Kepemilikan merupakan topik yang bercabang-cabang dan panjang. Hal ini menjadi penting dibicarakan mengingat hubungan-hubungan kepemilikan pada umumnya menentukan garis-garis besar sebuah sistem ekonomi. 33 Dalam Islam, segala sesuatu di jagad raya ini adalah kepunyaan Allah SWT. Allah adalah pemilik sesungguhnya dan manusia adalah khalifah-Nya yang diberi tanggung jawab untuk mengelola seluruh milik-Nya. Untuk itu, Islam mengakui adanya kepemilikan pribadi maupun kepemilikan umum. Dengan adanya kepemilikan itu, manusia diberi amanah untuk memanfaatkannya guna memenuhiLihat Khairunnisa Musari, Privatisasi dalam Perspektif Islam, Harian Duta Masyarakat, 11 Juni 2008.33

22

falah di dunia dan akherat. Untuk kepemilikan umum, hal tersebut tidak berarti

mutlak menjadi milik negara. Negara hanya berkewajiban untuk mengelola dan mendistribusikannya secara adil pada seluruh warga. Terkait dengan kebijakan subsidi BBM, fiqih ekonomi Islam yang dapat dipetik korelasinya adalah sabda Rasulullah terkait dengan tiga hal yang menjadi kepemilikan umum, yaitu Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu air,padang gembalaan, dan api. (HR Abu Dawud, Ahmad dan Ibnu Majah). 34

Air, padang gembalaan, dan api dimasukkan dalam kepemilikan umum karena merupakan kebutuhan dasar orang banyak, yang jika tidak ada maka masyarakat akan berpencar-pencar mencarinya. Dari sejumlah hadits, di-istimbath bahwa segala sesuatu yang menjadi kebutuhan orang banyak, yakni yang jika tidak ada maka orang-orang akan berpencar-pencar mencarinya, dipandang sebagai kepemilikan umum, baik itu termasuk dalam tiga jenis barang di atas maupun yang tidak termasuk di atas. Selain itu, fiqih ekonomi Islam menunjukkan bahwa tambang yang berkapasitas produksi besar juga merupakan kepemilikan umum. Telah diriwayatkan dari Abyadl bin Jamal yang pernah datang kepada Rasulullah SAW untuk meminta diberi tambang garam. Rasulullah pun memberinya. Ketika Abyadl pergi, seorang sahabat berkata kepada Rasulullah, Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan kepadanya sesuatu (yang bagaikan) air mengalir. Mengetahui itu, Rasulullah kemudian menarik kembali pemberian tersebut. 35 Dalam fiqih ekonomi Umar bin Khatab, tidak dibenarkan bila memberikan kekayaan tambang kepada individu. Sebab, hal itu diyakini akan membawa kemudharatan. Jika dikaitkan dengan kekinian, kebutuhan akan sumber daya tambang sangat tinggi dan menjadi kebutuhan primer bagi manusia. Untuk sumber daya yang tak bisa diperbaharui dan berpotensi akan terjadi kelangkaan pada suatu saat nanti, maka dituntut pemanfaatan kekayaan yang memperhatikan hak-hak generasi berikutnya. Oleh karena itu, penting bagi negara untukSejumlah literatur ada yang menyatakan hadist Kaum Muslim bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: air, padang rumput dan api di riwayatkan pula oleh Bukhari dan Muslim. 35 Ada literatur yang menuliskan bahwa kisah ini diriwayatkan oleh Abu Dawud.34

23

menangani pengeksplorasian barang tambang dan mendistribusikannya secara adil pada seluruh rakyat. Hal ini tidak berarti bahwa negara harus melakukan eksplorasi sendiri, pemerintah dimungkinkan untuk melakukan kontrak kerja

dengan pihak tertentu sesuai dengan pola produksi yang dibenarkan dan merealisasikan keadilan dalam pendistribusian. 36

3.1.4. Fiqih Ekonomi Islam terhadap Rasionalitas Penggunaan Kekayaan Negara

Diriwayatkan dari Abu Al-Walid yang mengatakan: Aku mendengar Khulah binti Qais, istri Hamzah bin Abdul Muthalib, mengatakan Aku mendengar Rasulullah bersabda: Harta ini sungguh hijau dan manis. Siapa yangmendapatkannya dengan cara yang sah, ia mendapat keberkahan di dalamnya. Tapi banyak orang yang menghambur-hamburkan harta Allah dan Rasul-Nya dengan sesuka hati mereka. Orang-orang ini tidak akan mendapat apapun pada hari kiamat selain api neraka.

Riwayat di atas menyuruh kita untuk mencari harta dengan cara yang halal agar harta tersebut menjadi berkah. Seseorang yang memiliki harta kekayaan harus menggunakan sesuai kebutuhan, tidak boros, dan sewajarnya. Sikap berlebih-lebihan akan membawa manusia ke dalam ketidakbaikan. Diriwayatkan dari Abdullah bin Zarir yang mengatakan bahwa ia mengunjungi Ali bin Abi Thalib r.a. Hasan mengatakan: Hari itu adalah hari Idul Adha. Lalu ia (Ali) menjamu kami dengan hazirah (semacam makanan). Aku mengatakan: Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepada anda, sekiranya anda menghidangkan bebek atau angsa kepada kami, karena Allah Azza Wa Jalla telah memperbanyak kebaikan. Lalu ia mengatakan: Wahai Ibnu Zarir, aku sesungguhnya mendengar Rasulullah bersabda: Tidak halal bagi seorangkhalifah dari harta Allah kecuali dua mangkuk. Satu mangkuk untuk ia makan bersama keluarganya dan satu mangkuk lagi untuk dihidangkan pada masyarakat (tamu).

Riwayat ini juga menyuruh kita untuk tidak berlebih-lebihan dalam memanfaatkan harta kekayaan. Seorang pemimpin tidak boleh lupa diri danLihat Jaribah bin Ahmad Al Haritsi, Fikih Ekonomi Umar bin Al Khatab (Jakarta: KHALIFA, 2006), hlm. 233-235.36

24

menguasai sepenuhnya harta kekayaan dan kekuasaan yang dimilikinya. Seorang pemimpin harus adil terhadap rakyatnya. Apa yang dimilikinya, sesungguhnya terdapat hak rakyatnya.

3.2. PERAN DAN KEWAJIBAN INDONESIA TERHADAP SUBSIDI BBM

Indonesia saat ini sedang melakukan konsolidasi fiskal dalam rangka mencapai fiscal sustainability dan pertumbuhan ekonomi yang stabil. Akan tetapi konsolidasi fiskal ini menghadapi beban berat berupa utang publik yang cukup tinggi, subsidi yang semakin meningkat, terutama subsidi BBM dan penerimaan pajak yang kurang optimal. Kebijakan subsidi yang dilakukan pemerintah selalu menimbulkan prokontra. Ada kalangan yang berpendapat bahwa subsidi itu tidak sehat sehingga berapapun besarnya, subsidi harus dihapuskan dari APBN. Sementara pihak lain berpendapat bahwa subsidi masih diperlukan untuk mengatasi masalah kegagalan pasar.

3.2.1. Peta Masalah

Jika ditilik lebih jauh akar permasalahan keuangan Indonesia, itu semua berasal dari ketimpangan belanja dan pendapatan. Sistem defisit anggaran menjadi sebuah paradigma. Pemerintah memiliki alasan mengapa masih mempertahankan sistem ini. Pemerintah berpendapat, fiskal bukanlah tujuan akhir. Fiskal adalahtool untuk mencapai tujuan pembangunan. Orientasinya adalah pertumbuhan

ekonomi, perluasan lapangan kerja, dan penurunan kemiskinan. Selain itu, pemerintah selama ini mengandalkan pinjaman LN berbasis bunga. Akibat kesalahan kebijakan di masa lalu, pemerintah pun kini harus membayar rutin utang dalam negeri (DN) setiap tahun yang ternyata dapat mencapai tiga kali lipat utang LN. 37 Inilah sesungguhnya yang juga menjadi biang defisit anggaran Indonesia. Dalam perspektif ekonomi Islam, sistem defisit anggaran diperbolehkan. Namun, kebijakan tersebut hanya berlaku sementara dan sebisa mungkinLihat Nota Keuangan dan Rancangan UU Republik Indonesia tentang Perubahan Atas UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN Tahun Anggaran 2008, RAPBN-P 2008.37

25

dihindari. Dalam sejarah ekonomi Islam, hanya tercatat sekali saja defisit anggaran terjadi, yaitu dimasa pemerintahan Rasulullah SAW. Kebijakan tersebut diambil Rasulullah ketika jatuhnya kota Mekkah. Utang pemerintah kemudian dibayar sebelum satu tahun, yaitu segera setelah usainya Perang Hunain. 38 Lebih jauh, kenaikan harga minyak dunia dan opsi menaikkan BBM merupakan persoalan yang kompleks, multidimensi, dan mampu memberi efek luar biasa pada masyarakat. Hal inilah yang perlu dipahami bersama agar tidak begitu mudah menyalahkan dan menggampangkan persoalan yang tengah dihadapi. 39 Jika kita menyimak polemik sekaligus argumen seputar kebijakan subsidi BBM, dapat dipetakan sejumlah persoalan yang sesungguhnya menjadi pokokpokok perdebatan.Pertama, problem BBM sebenarnya diakibatkan oleh rusaknya sistem yang

diberlakukan pemerintah, yang membuka peluang privatisasi 40 pengelolaan migas serta memberikan kewenangan kepada perusahaan asing dan domestik untuk

38

Lihat Jusmaliani et al., Kebijakan Ekonomi dalam Islam (Yogyakarta: Kreasi Wacana,

2005). Lihat Khairunnisa Musari, Dilema Sebuah Kebijakan, Harian Seputar Indonesia (SINDO) dan Kolom Ekonomi www.news.okezone.com, 5 Mei 2008. Bagi Indonesia, kenaikan harga BBM berpengaruh langsung pada sisi fiskal, industri nasional, inflasi yang tinggi, tergerusnya pendapatan riil rumah tangga, dan tertekannya suku bunga ke atas. Masing-masing ini memiliki dampak ikutan yang lain yang pada akhirnya berinteraksi dan menjadi lingkaran setan. Inilah efek domino bagi perekonomian Indonesia. Hal terpenting dalam memilih opsi kebijakan adalah pemerintah dapat menjamin terselamatkannya masyarakat menengah ke bawah, utamanya masyarakat miskin. Jika pemerintah tidak siap untuk itu, maka jangan memilih opsi tersebut. Bagaimana pun, pemerintahlah penanggung jawab terbesar seluruh nasib rakyat. Lihat Khairunnisa Musari, Privatisasi dalam Perspektif Islam, Harian Duta Masyarakat, 11 Juni 2008. Melalui telaah ekonomi konvensional, privatisasi sebenarnya dipayungi legitimasi sebagai metode untuk mengembangkan kinerja organisasi. Privatisasi diharapkan mampu menjadi motor pertumbuhan industri nasional dan dapat mendongkrak kontribusi pendapatan bagi negara. Melalui teori property rights, masalah insentif, hubungan principal-agent, dan kegagalan pemerintah dalam mengelola perekonomian (government failure), lahirlah teori privatisasi. Lihat M. Ikhsan Modjo dan Khairunnisa Musari, Krakatau Steel: Antara IPO vs Stategic Sales, Investor Daily, 26 Mei 2008. Secara teoretis, privatisasi memang bisa dibenarkan. Melalui privatisasi akan terdapat perbaikan struktur insentif pada pengelola, yang diharapkan mampu meningkatkan efektifitas dan efisiensi kinerja manajemen perusahaan. Peningkatan kinerja ini pada akhirnya diharapkan berujung pada peningkatan pertumbuhan industri nasional dan dapat mendongkrak kontribusi pendapatan bagi negara. Namun, kenyataan menunjukkan privatisasi di Indonesia kerap tidak signifikan berkontribusi terhadap peningkatan kinerja badan usaha milik negara (BUMN). Privatisasi justru tidak menuntaskan harapan untuk tercapainya peningkatan kompetensi manajemen, kemampuan mencipta, daya saing produk, optimalisasi utilitas aset negara, dan kesejahteraan masyarakat.40 39

26

melakukan eksplorasi dan eksploitasi migas. Bahkan dibiarkan juga untuk menetapkan harga.Kedua,

dibandingkan

dengan

penggunaan

rata-rata

dunia,

tingkat

penggunaan energi Indonesia perkapita masih tergolong rendah. Hanya saja, Indonesia dipandang boros energi dalam ukuran intensitas energi (jumlah konsumsi energi perkapita dibagi pendapatan nasional kotor).Ketiga, pengelolaan minyak di Indonesia menggunakan konsep contract production sharing, dengan modal ditanggung investor. Konsep ini didasarkan

pada keterbatasan dana negara untuk melakukan investasi pada sektor pertambangan minyak dalam aspek permodalan serta tanggungan risiko. Dengan konsep ini, keuangan negara cenderung aman dari risiko kegagalan penambangan. Namun, konsekuensi langsungnya adalah pemerintah hanya mendapat sebagian dari keuntungan penambangan, bukan mendapat penghasilan dari penambangan. Di samping itu, pemerintah tidak menguasai produk penambangan selama kontrak berlangsung. Dengan kata lain, negara tidak lagi memiliki produk migas.Keempat, perdagangan minyak internasional tidak dilakukan langsung oleh

produsen kepada konsumen. Perdagangan minyak internasional berlangsung melalui perantara. Dalam kenyataannya, harga pasar minyak internasional (yang sering disebut harga spot) lebih banyak ditentukan dengan mekanisme ini, bukan berdasarkan mekanisme permintaan dan penawaran antara produsen dan konsumen semata.Kelima, adanya ketidakpercayaan sejumlah pihak kepada pemerintah atas

alasan dibalik kenaikan harga BBM yang sesungguhnya dilatari oleh rencana liberalisasi migas Sebagaimana pernah dikemukakan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro sejak beberapa tahun lalu, selama harga jual BBM di dalam negeri masih tetap disubsidi, pemain asing enggan masuk. Dengan demikian, kenaikan harga minyak, defisit anggaran, subsidi BBM yang mendistorsi pasar dan menjadi beban APBN, sebenarnya tidak lebih dari upaya sengaja pihak-pihak tertentu untuk mencari legitimasi dalam menuntaskan pelaksanaan agenda liberalisasi sektor migas.41

Lihat Khairunnisa Musari, Tendensi Liberalisasi, Harian Seputar Indonesia (SINDO) dan Kolom Ekonomi www.okezone.com, 19 Juni 2008.

41

27

3.2.2. Rekonstruksi Paradigma

Kenaikan harga BBM sesungguhnya bukanlah kebijakan spontan, responsif, ataupun insidental. Semua terencana dan terjadwal dengan rapi. Sebab, agenda nasional memanglah menempatkan liberalisasi migas sebagai sasaran utama. Tidak bisa dimungkiri, industri migas merupakan sarana strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar di mana rakyat berserikat di dalamnya. Pemerintah seharusnya menjadi pengelola yang baik agar seluruh warga dapat terpenuhi kebutuhannya. Pemberian subsidi sesungguhnya bukanlah suatu belas kasih(altruisme) ataupun beban bagi pemerintah. Sebab, pemberian subsidi merupakan

wujud pemenuhan tanggung jawab sosial pemerintah terhadap warganya. Jika industri migas dikuasai oleh pihak asing, maka capitalism-lah yang akan berkuasa. Rakyat tidak akan pernah menjadi substansial. Dengan demikian, patutlah kita semua berupaya keras merekonstruksi paradigma baru bagi pemerintah, termasuk juga kepada seluruh internal parlemen. Paradigma baru itu dimaksudkan untuk merekonstruksi paham liberalisasi migas yang sudah begitu inheren dalam pikiran maupun perilaku pengambil kebijakan. Ini bukan sekedar persoalan memenangkan nasionalisme, tetapi juga sosionasionalisme. Sudah banyak literatur ilmiah yang mengungkap bagaimana sisi buruk wajah liberalisasi, pasar-bebas, dan globalisasi. Di Indonesia, ketimpangan ini pun secara nyata terlihat. Disempowerment dan impoverishment tak terelakkan seiring meluasnya pemahaman yang keliru tentang paradigma globalisasi, liberalisasi, dan pasar-bebas sebagai simbol peradaban. Jelas, globalisasi hegemonik adalah suatu keniscayaan yang tidak mungkin ditolak. Namun, globalisasi bukan untuk disambut dengan euforia, melainkan dengan kewaspadaan dan ketahanan untuk menjaga kedaulatan rakyat dan negara. Terpenting lagi jika wujud yang hadir justru menimbulkan ketimpangan kesejahteraan yang semakin dalam, tidak ada keberpihakan pada rakyat kecil, tidak terjaminnya pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, distribusi kekayaan yang berputar hanya pada kelompok tertentu serta menggusur orang miskin dan bukan menggusur kemiskinan.

28

3.2.3. Menyusun Mekanisme Berkeadilan

Tidak perlu teori ekonomi yang rumit atau model ekonometrika untuk menghubungkan realitas ketimpangan kesejahteraan dengan implikasinya pada sendi-sendi kehidupan yang lain. Meningkatnya angka kejahatan, rendahnya angka kesehatan, tingkat pendidikan dan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah, merupakan sebagian kecil dari dampak ketimpangan kesejahteraan. Bagi penganut ekonomi mainstream, berbicara tanpa data dan metode penghitungan kuantitatif sering divonis sebagai sebuah retorika belaka. Padahal, pengamatan kualitatif atau empirik sama pentingnya dengan pemahaman kuantitatif. Terkait dengan persoalan subsidi, ketimpangan kesejahteraan jelas memberikan hukum wajib bagi pemerintah Indonesia untuk mengulurkan bantuan melalui subsidi. Pemerintah harus membuat perencanaan dan mekanisme agar masyarakat ke depan tidak bergantung dengan subsidi. Untuk itu, pemerintah harus mampu memandirikan masyarakat. Selama masih ada rakyat yang tak mampu dan membutuhkan uluran, maka pemerintah masih berkewajiban untuk menyantuninya. Agar subsidi menjadi berkeadilan, banyak cara yang bisa dilakukan. Misalnya, melalui mekanisme harga BBM progresif. Dalam volume yang kecil, pemerintah dapat mensubsidi agar harga menjadi relatif rendah. Dalam volume yang besar, pemerintah barulah menggunakan harga progresif atau harga pasar. Hal ini mengingat, kecenderungan pemakai BBM dalam volume yang besar adalah masyarakat menengah ke atas. Sementara, masyarakat menengah ke bawah relatif hanya mampu membeli dalam volume kecil. Jika masyarakat menengah ke atas merasa berat, tentu mereka akan menghemat atau membeli BBM sesuai kebutuhan. Jelas, tidak bisa digugat bahwa prioritas pembiayaan pada anggaran adalah menjamin pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara. Penggunaan energi merupakan kebutuhan dasar kita. Dengan demikian, negara berkewajiban untuk membantu warga negara yang tidak mampu memenuhi dengan kemampuannya sendiri.

29

3.3. TENTATIVE SOLUTION

Dari seluruh rangkaian metodologi kajian ini, dihasilkan sejumlahtentative solution. Tentative solution sesungguhnya masih merupakan sebuah

hipotesa yang perlu diuji lebih lanjut kebenarannya. Tentative solution adalah hasil sementara dari seluruh proses (non-penalaran, penalaran, kontemplasi, dantafaqquh). Dengan dasar Al-Quran dan As-Sunnah yang dielaborasi dengan

berbagai teori dan fakta empiris, maka tentative solution dari seluruh rangkaian espitemologi ekonomi Islam dalam persoalan APBN dan subsidi BBM adalah:Pertama, kesalahan dari kebanyakan kita adalah membela paradigma.

Paradigma yang merupakan ciptaan manusia kerap dijadikan parameter kebenaran. Padahal, jika kita renungkan, paradigma ekonomi ada yang berbenturan dengan nurani. Jika ini yang terjadi, seharusnya nuranilah yang dibela dan paradigma itu diperbaiki. Terkait dengan tudingan bahwa subsidi merupakan beban negara, seharusnya hal tersebut dibijaki secara cermat. Sesungguhnya, subsidi merupakan wujud tanggung jawab sosial negara pada warga negara. Jelas, negara memiliki tanggung jawab terbesar dalam menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warganya.Kedua, dalam ekonomi Islam, hukum asal subsidi adalah boleh. Namun,

hukum tersebut bisa menjadi wajib jika masih ada warga negara yang membutuhkan. Dalam konteks ke-Indonesia-an, pemerintah kita sebenar berkewajiban untuk memberikan subsidi. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih membutuhkan uluran. Jika dinyatakan bahwa penerima manfaat dari subsidi BBM adalah orang kaya, maka seharusnya pemerintah membuat mekanisme tertentu agar orang kaya tidak menikmati yang bukan haknya dan orang miskin menikmati yang menjadi haknya. Dengan demikian, di tengah naiknya harga minyak mentah dunia saat ini, subsidi BBM tidak sekadar boleh, tetapi sudah wajib hukumnya, agar ketimpangan di masyarakat tidak semakin lebar.Ketiga, air, padang rumput, dan api merupakan kebutuhan dasar manusia

yang paling substansial, terlebih dalam kehidupan modern saat ini. Manusia berserikat dalam ketiganya. Pengamatan empirik menunjukkan, ketiganya menjadi pemicu konflik dan memiliki contagion effect paling signifikan dalam

30

mempengaruhi ekonomi masyarakat. Demi menjamin ketersediaan energi dalam jangka panjang, diharapkan pemerintah segera mempunyai kebijakan energi nasional yang terpadu yang mengikat semua pihak. Kegagalan sejumlah upaya diversifikasi energi di waktu lampau disebabkan tidak adanya konsistensi kebijakan energi dan tidak jelasnya format kebijakan harga BBM. Padahal, kalau program diversifikasi ini gagal, hal itu akan sangat membahayakan ketahanan ekonomi masyarakat dan ketahanan keamanan nasional dalam jangka panjang karena ketergantungan pada minyak impor akan terus meningkat.Keempat, disparitas yang terlalu tinggi telah mendorong terjadinya

penyelundupan BBM yang tidak hanya dilakukan oknum pejabat, tetapi juga petugas keamanan dan pengusaha. Untuk itu, yang dibutuhkan dalam hal ini adalah penegakan hukum dan bukan menyalahkan disparitas harga domestik dengan internasional. 42Kelima, penerapan pajak progresif untuk sektor yang sedang booming. Pajak windfall profit dapat dikenai pada industri migas yang sekarang sedang menuai

keuntungan melimpah untuk dialihkan sebagai subsidi masyarakat berpenghasilan rendah. Usulan radikal itu terbukti sukses dilaksanakan di Argentina. Untuk Indonesia, windfall profit dari hasil migas tidak perlu dibagi ke daerah, tetapi dapat digunakan untuk menutupi subsidi BBM.Keenam, melakukan moratorium pembayaran utang LN atau memotong

bunga obligor rekap atau memotong bunga utang. Dalam Islam, permasalahan utang memang perkara yang mubah. Tetapi jika utang tersebut mengandung unsur riba (bunga) dan membahayakan kemaslahatan negara dan masyarakat, maka Islam mengharamkan kebijakan untuk melakukan pinjaman.Ketujuh, menasionalisasi aset-aset migas. 43 Kesalahan utama pengelolaan

migas kita adalah terjadinya penyimpangan dari State Business Management keCorporate Business Management. Negara kini menjadi korporatokrasi. Oleh

karena itu, perlu diupayakan agar entitas negara dapat kembali menjadi pilar utama pengelola migas nasional. Perlu pula didesain mekanisme yang mengubah

42

Lihat catatan kaki 13.

Hal ini penting dilakukan karena begitu banyak pengambil kebijakan negeri ini yang mengira bahwa privatisasi menjadi kunci keberhasilan BUMN. Lihat catatan kaki 40.

43

31

sistem pengelolaan BBM, gas, batu bara, dan sumber energi lainnya kepada negara sebagai pemegang amanah dan kewajiban dari rakyat.Kedelapan, masih banyak upaya lain yang bisa menjadi tentative solution

dalam mengatasi persoalan defisit anggaran dan subsidi BBM. Misalnya saja, memasukkan rekening non-budgeter ke dalam APBN secara resmi, memanfaatkan dana yang parkir dalam Sertifikat Bank Indonesia (SBI), mengurangi subsidi listrik pada kelompok residensial dengan daya tertentu, mengenakan harga progresif kepada konsumen yang membeli dalam volume tertentu, mewajibkan kendaraan dinas untuk menggunakan mesin maksimum 2.000 cc, memberi insentif bagi industri untuk penggunaan energi alternatif, dan masih banyak lagi.

BAB IV PENUTUP

Krisis keuangan negara terjadi salah satunya diakibatkan oleh kekhilafan perencanaan tujuan pembangunan yang terlalu mementingkan pembangunan ekonomi, bukan pada pembangunan manusia secara keseluruhan. Tujuan pembangunan ekonomi seharusnya tidak hanya ditumpukan pada pertumbuhan ekonomi saja, tetapi juga harus merespon asas pemerataan, kebersamaan, kekeluargaan, dan keadilan. Untuk itu, dibutuhkan aspek etik-religius yang membawa pesan-pesan moral yang mengedepankan penghormatan atas nama kemanusiaan. Kini, Indonesia yang sudah berada dalam cengkeraman debt-trap danculture-trap sulit melepaskan diri dari hegemoni neoliberal. Liberalisasi,

globalisasi, dan pasar-bebas yang merupakan wujud baru dari imperialisme baru telah menciptakan disempowerment dan impoverishment terhadap bangsa dan negara Indonesia. Yang terjadi saat ini adalah pembangunan di Indonesia dan bukan pembangunan Indonesia. Pembangunan di Indonesia secara nyata bukan menggusur kemiskinan, tetapi justru menggusur orang miskin. Epistemologi Islam menyempurnakan pengetahuan yang dicapai oleh indra dan akal manusia dengan wahyu yang merupakan kalamullah. Di tengah-tengah hegemoni pemikiran-pemikiran liberal dan konvensional lainnya yang banyak dianut pengambil kebijakan negeri, terdapat sejumlah kebijakan yang

32

sesungguhnya membawa maslahat namun justru dipandang secara konseptual sebagai sebuah distorsi. Kesalahan kebanyakan dari kita adalah membela paradigma pemikiran-pemikiran tersebut. Paradigma yang merupakan ciptaan manusia kerap dijadikan parameter kebenaran. Padahal, jika kita renungkan, paradigma tersebut ada yang berbenturan dengan nurani. Jika ini yang terjadi, seharusnya nuranilah yang dibela dan paradigma itu diperbaiki. Inilah esensi dari epistemologi ekonomi Islam yang menyertakan kalamullah sebagai pijakan berpikir dan berperilaku ekonomi. Ekonomi Islam berpegang teguh bahwa negara memiliki tanggung jawab untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar seluruh warganya. Oleh karena itu, subsidi menjadi kewajiban jika terdapat warga yang membutuhkan. Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia sebenarnya memiliki tanggung jawab sosial untuk memberikan subsidi. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar rakyat Indonesia masih membutuhkan intervensi pemerintah. Terkait dengan subsidi BBM, jelas pemerintah memiliki kewajiban moral lebih kepada warga negara. Hal ini mengingat bahwa BBM merupakan wujud lain dari api yang dalam epistemologi ekonomi Islam merupakan kebutuhan dasar masyarakat di mana masyarakat berserikat di dalamnya. Jika dinyatakan bahwa penerima manfaat dari subsidi BBM adalah orang kaya, maka seharusnya pemerintah membuat mekanisme tertentu agar penerima manfaat adalah yang berhak. Kalaupun akhirnya terpaksa harus memilih opsi menaikkan BBM, maka pemerintah harus menjamin terselamatkannya masyarakat menengah ke bawah, utamanya masyarakat miskin, dari berbagai potensi dampak buruk. Jika pemerintah tidak siap untuk itu, maka jangan memilih opsi tersebut. Ke depan, tentu semua sepakat bahwa subsidi harus dihilangkan. Dihilangkannya subsidi tentu harus dikarenakan sudah tidak adanya lagi warga yang membutuhkan subsidi. Itu artinya, rakyat Indonesia sudah mandiri dan mampu berdaya dalam ekonominya. Untuk saat ini, jelas hal tersebut belum bisa terwujud. Sebab, ekonomi rakyat yang berada di sekitar garis kemiskinan masih cukup besar. Dalam Islam dikenal kaidah fiqih mencegah kerusakan lebih diutamakan daripada menegakkan kebenaran. Jika penyelamatan APBN adalah sebuah kebenaran,

33

maka penyelamatan APBN harus dinomorduakan karena potensi terciptanya kerusakan di masyarakat akibat kenaikan harga BBM tetap lebih besar. Ongkos sosial dan ekonomi yang harus ditanggung masyarakat jauh lebih besar dari uang yang bisa dihemat dalam APBN. Hal ini perlu ditekankan dalam memilih opsi subsidi BBM karena contagion effect dari kenaikan harga BBM, yang merupakan wujud pengurangan subsidi, memperpuruk ekonomi mereka. Disparitas ini memberi hukum wajib bagi pemerintah Indonesia untuk intervensi melalui subsidi ataupun mekanisme lain yang bisa menjamin terselamatkannya kehidupan mereka. Untuk itu, pemerintah harus membuat perencanaan dan kebijakan yang komprehensif agar masyarakat ke depan tidak bergantung dengan subsidi BBM dan tidak terancam kehidupannya jika terjadi pengurangan atau penghapusan subsidi. Jelas, dibutuhkan cetak biru dan strategi agar masyarakat berdaya dan berangsur melepaskan diri dari subsidi BBM. Untuk itu, pembangunan haruslah menempatkan manusia sebagai substansial dan bukan residual. Pembangunan manusia haruslah menjadi target utama pembangunan.

DAFTAR PUSTAKA

BUKU:

Al Haritsi, Jaribah bin Ahmad, Fikih Ekonomi Umar bin Al Khatab (Jakarta: KHALIFA, 2006).

Chapra, M. Umer et al., Etika Ekonomi Politik: Elemen-elemen StrategisPembangunan Masyarakat Islam (Surabaya: Risalah Gusti, 1997).

34

Chapra, M. Umer, The Future of Economics: An Islamic Perspective, Islamic Economics Series: 21 (United Kingdom: The Islamic Foundation, 2000).

George, Susan, Republik Pasar Bebas: Menjual Kekuasaan Negara, Demokrasi,dan Civil Society kepada Kapitalisme Global (Jakarta: Bina Rena Pariwara,

2002).

Hakim, Abdul, Ekonomi Pembangunan, Cetakan Kedua (Yogyakarta: Penerbit Ekonisia, 2004).

Huda, Nurul et al., Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoretis (Jakarta: Kencana, 2008).

Jusmaliani et al., Kebijakan Ekonomi dalam Islam (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005).

Karim, Adiwarman Azwar, Ekonomi Makro Islami, Edisi Kedua (Jakarta: PT Rajagrafindo Perkasa, 2007).

Karim, Adiwarman Azwar, Ekonomi Mikro Islam, Edisi Ketiga (Jakarta: PT Rajagrafindo Perkasa, 2007)

Karim, Adiwarman Azwar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Edisi Ketiga (Jakarta: PT Rajagrafindo Perkasa, 2006)

Khan, M. Akram, Ajaran Nabi Muhammad SAW tentang Ekonomi (KumpulanHadits-Hadits Pilihan tentang Ekonomi (Islamabad: Bank Muamalat-Institute of

Policy Studies, 1997).

Mahzar, Armahedi, Merumuskan Paradigma Sains dan Teknologi Islami:Revolusi Integralisme Islam, Seri Filsafat Islam (Bandung: Mizan, 2004).

35

Nasution, Mustafa Edwin, et al., Pengenalan Eksklusif Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006).

Naqvi, Syed Nawab Haider, Menggagas Ilmu Ekonomi Islam (Terjemahan dariIslam, Economics, and Society), Cetakan Ke-1 (Jakarta: Pustaka Belajar, 2003).

Siddiqi, Muhammad Nejatullah, Kegiatan Ekonomi dalam Islam (Terjemahan dariThe Economic Enterprise in Islam), Cetakan Ketiga (Jakarta: Bumi Aksara,

2004). Siddiqi, Muhammad Nejatullah, Peran Kebijakan Fiskal dalam MengontrolInflasi dalam Perspektif Islam (Role of Fiscal Policy in Controlling Inflation in Islamic Framework). Critical Review by Dahnil Anzar Simanjuntak. (2007).

Soewardi, Herman, Mempersiapkan Kelahiran Sains Tauhidullah (Bandung: Penerbit Bakti Mandiri, 2000)

Soewardi, Herman, Roda Berputar, Dunia Bergulir: Kognis Baru tentang TimbulTenggelamnya Sivilisasi (Bandung: Penerbit Bakti Mandiri, 2001).

Swasono, Sri-Edi, Ekspose Ekonomika Mewaspadai Globalisme dan PasarBebas, Edisi Baru (Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Pancasila-UGM, 2005).

Stiglitz, Joseph E., Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi MenujuDunia yang Lebih Adil (Bandung: Mizan, 2006).

MAKALAH

Handoko, Rudi dan Pandu Patriadi, Evaluasi Kebijakan Subsidi NonBBM, Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor 4, Desember 2005.

36

Mudzakkir, Metodologi Penelitian dan Metode Penelitian, dalam Silabi Metode Analisis Kualitatif Dan Kuantitatif, Program Doktor Ilmu Ekonomi Bidang Kajian Utama Ekonomi Islam Universitas Airlangga (Yogyakarta, 2008).

WEBSITE

http://www.agustianto.niriah.com/2008/03/11/epistemologi-ekonomi-islam/ http://www.ayok.wordpress.com http://www.gaulislam.com http://www.hayatulislam.multiply.com http://hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=5312&It emid=6 http.www.ichsanmufti.wordpress.com/2006/11/20/islamic-economicepistemology/ http://www.khilafah1924.org http://www.nu.or.id http://www.pelita.or.id/baca.php?id=36517 http://www.wikipedia.org

ARTIKEL

Khairunnisa Musari, Tendensi Liberalisasi, Harian Seputar Indonesia (SINDO) dan Kolom Ekonomi www.okezone.com, 19 Juni 2008.

Khairunnisa Musari, Privatisasi dalam Perspektif Islam, Harian Duta Masyarakat, 11 Juni 2008.

Khairunnisa Musari, Tidak Ada yang Salah dengan Subsidi BBM, Harian Duta Masyarakat, 28 Mei 2008.

Khairunnisa Musari, Defisit Anggaran dan Utang Luar Negeri, Harian Seputar Indonesia (SINDO) Sore, 10 Maret 2008.

37

Modjo, M. Ikhsan dan Khairunnisa Musari, Krakatau Steel: Antara IPO vsStategic Sales, Investor Daily, 26 Mei 2008.

Modjo, M. Ikhsan dan Khairunnisa Musari, Badai Minyak Dunia, Seputar Indonesia (SINDO), 25 April 2008.

Modjo, M. Ikhsan, BLT dan Provokasi Angka Kemiskinan, Kompas, 9 Juni 2008.

Modjo, M. Ikhsan, Menyikapi Penurunan Angka Kemiskinan, Koran Investor Daily, 7 Juli 2008

38