ketersediaan air minum dan penyehatan lingkungan pada kawasan kumuh. desk study
Post on 21-Oct-2014
1.596 views
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Studi literatur:
Penanganan Air Minum dan Penyehatan Lingkungan di Kawasan Kumuh Perkotaan
Dipersiapkan untuk: Oxfam
Diperiapkan oleh: Tim Sekretariat Pokja AMPL
15 Maret, 2009Nomor Proposal: 002-03-2009
Sekretariat Pokja AMPL
Daftar IsiDAFTAR ISI 2
1 PENDAHULUAN 4
1.1 LATAR BELAKANG STUDI: KAWASAN KUMUH PERKOTAAN DI INDONESIA 4
1.2 TUJUAN STUDI 6
1.3 SASARAN STUDI 6
1.4 LINGKUP STUDI 7
1.5 KERANGKA KERJA LOGIS STUDI 7
1.6 METODOLOGI STUDI 9
1.7 SISTEMATIKA PEMBAHASAN STUDI 9
2 PENGERTIAN KAWASAN KUMUH, TIPOLOGI DAN PERMASALAHAN 11
2.1 PENGERTIAN KAWASAN KUMUH 11
2.2 TIPOLOGI KAWASAN KUMUH BERDASARKAN LOKASI DAN PERMASALAHANNYA 12
3 PERMASALAHAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR BERDASARKAN TIPOLOGI
KAWASAN KUMUH 22
3.1 KEMBALI KE DASAR: MENGAPA AIR MINUM DAN SANITASI DASAR? 22
3.2 PERMASALAHAN UMUM AMPL DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN DI INDONESIA 23
3.2.1 AKSES TERHADAP AIR MINUM 23
3.2.2 AKSES TERHADAP SANITASI DASAR 24
3.2.3 PERILAKU HYGIENE 26
3.3 DAMPAK BURUKNYA AKSES TERHADAP AIR MINUM DAN SANITASI DASAR SECARA
UMUM BAGI WARGA DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN 26
3.4 KENDALA DALAM PENYEDIAAN AKSES AIR MINUM DAN SANITASI DASAR BAGI
KAWASAN KUMUH PERKOTAAN 28
3.5 PERMASALAHAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR KAWASAN KUMUH PERKOTAAN
BERDASARKAN TIPOLOGINYA 30
3.5.1 LINGKUP KONDISI DAN PERMASALAHAN 30
3.5.2 KONDISI DAN PERMASALAHAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR PER TIPOLOGI 31
4 UPAYA PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI KAWASAN KUMUH
PERKOTAAN 36
4.1 UPAYA PENANGANAN KAWASAN KUMUH PERKOTAAN 36
4.1.1 MENEKAN ARUS URBANISASI 36
4.1.2 PENEGAKAN IMPLEMENTASI TATA RUANG 38
4.1.3 URBAN RENEWAL 40
4.2 UPAYA PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI KAWASAN KUMUH
PERKOTAAN (PROYEK DAN PROGRAM) 42
4.2.1 SMALL SCALE WATER PROVIDER (PENYEDIAAN AIR MINUM SKALA KECIL) 42
4.2.2 KAMPUNG IMPROVEMENT PROGRAM (KIP) 45
4.2.3 NUSSP 51
4.2.4 SANITASI BERBASIS MASYARAKAT (SANIMAS) 54
4.2.5 SULAWESI WATER, SANITATION, AND HYGIENE (SWASH) CARE 59
4.2.6 ESP USAID : SAMBUNGAN RUMAH KOMUNAL 63
4.2.7 MAKASSAR : SANITATION IMPROVEMENT PROJECT 66
4.2.8 PETOJO : USAID DAN MERCY CORPS 69
4.2.9 JEMPIRING : SANIMAS – BALI FOKUS 71
4.2.10 SURABAYA “GREEN AND CLEAN” 73
4.2.11 PONTIANAK : PEMBANGUNAN TOREN DARI NUSSP 76
4.3 KESIMPULAN 77
5 ALTERNATIF PENDEKATAN PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR
DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN 82
5.1 MENGKAJI KEMBALI UPAYA TERDAHULU 82
5.1.1 KRITIK TERHADAP UPAYA PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI
KAWASAN KUMUH PERKOTAAN SAAT INI 82
5.1.2 ISU KRITIS TERKAIT PENDEKATAN PENANGANAN KAWASAN KUMUH PERKOTAAN 85
5.2 ALTERNATIF PENDEKATAN PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI
KAWASAN KUMUH PERKOTAAN 86
5.2.1 BEBERAPA ASPEK YANG PERLU DIPERTIMBANGKAN 86
5.2.2 PENDEKATAN PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR KAWASAN KUMUH:
MODEL ALTERNATIF 87
5.3 Simpulan 95
3
1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Studi: Kawasan Kumuh Perkotaan di Indonesia
Perserikatan Bangsa-Bangsa menyajikan potret yang cukup mengejutkan mengenai
kehidupan kota di Asia pada tahun 2010 dimana sebanyak 30 kota Asia akan memiliki
penduduk lebih besar dari 5 juta (sementara di Amerika Serikat hanya 2 dan 6 di
Eropa). Shanghai dan Bombay masing-masing akan dihuni oleh 20 juta penduduk.
Beijing, Dhaka, Jakarta, Manila, Tianjin, Calcutta dan Delhi akan dihuni oleh lebih
dari 15 juta. Tujuh dari 13 kota yang penduduknya lebih dari 10 juta berada di Asia.
Beberapa kota di Asia penduduknya berlipat dua setiap 10 sampai 15 tahun. Pada
tahun 2010, separuh atau 50 persen dari penduduk Cina akan hidup di kawasan
perkotaan. Hal ini berarti naik dari 28 persen pada tahun 1994.
Hingga tahun 2008 , jumlah warga tinggal di kota-kota besar mencapai lebih dari
separuh populasi dunia. Menurut UNFPA sekitar 3,3 milyar orang akan tinggal di
daerah perkotaan pada 2008. Angka tersebut diperkirakan akan tumbuh pesat, dengan
populasi urban dipastikan naik jadi 4,9 milyar orang dalam tahun 2030. Laporan
UNDP tahun 2004 menyebutkan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2002 sebesar
217,1 juta jiwa dan diperkirakan akan meningkat menjadi 250,4 juta jiwa pada tahun
2015. Tingkat pertumbuhan penduduk tahunan di era 1975 hingga 2002 sebesar 1,8
juta jiwa per tahun dan diperkirakan menjadi 1,1 juta jiwa per tahun dalam kurun
waktu 2002-2015. Populasi yang hidup diperkotaan sebesar 44,5 persen pada 2002
dan diperkirakan meningkat menjadi 57,8 persen pada 2015.
Ruang perkotaan yang semakin sempit seiring meningkatnya jumlah penduduk
merupakan fenomena yang umum kita temui di kota-kota di Indonesia. Jumlah
penduduk Indonesia saat ini telah mencapai lebih dari 200 juta jiwa, yang sebagian
besar terkonsentrasi dan tinggal di kota besar terutama di pulau Jawa. Kesenjangan
pembangunan yang terjadi antara kota dan desa, telah menjadi rahasia publik sebagai
pemicu laju tingkat urbanisasi yang sangat cepat terutama ke kota besar sebagai pusat
kegiatan perekonomian, industri, jasa dan perdagangan.
4
Angka urbanisasi yang cukup tinggi ini secara signifikan telah menyebabkan
tumbuhnya kawasan permukiman miskin dan kumuh baru di berbagai bagian wilayah
di perkotaan. Kecepatan laju urbanisasi yang tidak disertai dengan ketersediaan ruang,
prasarana dan sarana serta utilitas yang memadai, menyebabkan suatu kawasan
permukiman menerima beban yang melebihi kemampuan daya dukung lingkungannya
dan cenderung menjadi kumuh. Pada umumnya, kondisi permukiman kumuh ini
antara lain: (i) luas dan ukuran bangunan yang sangat sempit dengan kondisi rata-rata
yang tidak memenuhi kesehatan maupun standar kehidupan sosial yang layak; (ii)
kondisi bangunan rumah yang saling berhimpitan, sehingga rentan dan rawan
terhadap bahaya kebakaran; (iii) kurangnya suplai terhadap kebutuhan air bersih dan
sanitasi dasar; (iv) jaringan listrik yang tidak tertata dan terpasang secara baik, aman
dan memadai; (v) kondisi drainase yang sangat buruk; (vi) jalan lingkungan yang
tidak memadai; serta (vii) status lahan yang illegal.
Bermunculannya kawasan kumuh perkotaan kemudian memicu serangkaian
permasalahan baik secara fisik kawasan, lingkungan dan sosio-ekonomi penghuninya.
Hal ini menyebabkan perbaikan kondisi di kawasan kumuh perkotaan dari tahun ke
tahun seakan tidak kunjung tertangani. Bertemunya berbagai faktor sosial, ekonomi,
kesehatan, fisik, dan lain sebagainya, menjadikan dimensi permasalahan pada
kawasan kumuh perkotaan sedemikian kompleksnya sehingga diperlukan suatu
pendekatan yang terpadu oleh berbagai pihak terkait.
Dicanangkannya peningkatan kualitas kehidupan 100 juta masyarakat di permukiman
kumuh pada tahun 2020 sebagai salah satu target MDGs menjadi momentum untuk
kembali mengkaji berbagai pendekatan penanganan kawasan kumuh perkotaan
selama ini dan mencoba untuk merumuskan opsi pendekatan yang lebih efektif,
efisien dan terpadu. Berbagai opsi pendekatan tersebut ini sangat diperlukan untuk
manata ulang dan mensinergikan berbagai program yang telah dan akan dilaksanakan
oleh pemerintah untuk mencapai target MDGs sebagai milestone awal dari
pembangunan kawasan perkotaan yang terpadu. Pada tahun 2007, Direktur Jenderal
Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum menyatakan bahwa pihaknya bekerja sama
dengan 32 kabupaten kota melakukan pembenahan terhadap kawasan kumuh yang
terdapat di 397 kelurahan dengan luas cakupan 3.960 hektare. Dana yang dialokasikan
untuk membenahi kawasan kumuh di 32 kabupaten dan kota mencapai Rp 165,9
5
miliar. Ditargetkan, kawasan kumuh di lingkungan perkotaan yang dapat ditangani
sampai pada tahun 2010 mencapai 100 kota, untuk tahun 2015 mencapai 350 kota,
dan tahun 2030 seluruh kawasan kumuh perkotaan di Indonesia diperkirakan sudah
tertangani semuanya. Untuk melaksanakan program ini dana yang dialokasikan secara
keseluruhan besarnya mencapai Rp 1,2 triliun atau US$ 126 juta.
Alokasi dana yang sedemikian besar di satu sisi tentunya merupakan bentuk
komitmen pemerintah yang sudah sangat tinggi. Namun demikian, di sisi lain
merupakan beban terkait dengan penggunaan dana yang efektif. Seperti yang telah
disampaikan pada uraian sebelumnya, dengan alokasi dana yang demikian besar,
belum termasuk bantuan dari pihak luar, apakah pendekatan penanganan yang kita
miliki sudah cukup efektif dan efisien? Ataukah justru akan menjadi sia-sia?
Terkait dengan efektivitas dan efisiensi pendekatan penanganan kawasan kumuh
perkotaan di Indonesia, maka dirasakan perlunya studi yang dapat memberikan
tinjauan terhadap alternatif opsi pendekatan penanganan yang terpadu. Studi ini
merupakan salah satu studi yang mencoba menjawab kebutuhan tersebut. Mengingat
kompleksnya dimensi permasalahan di kawasan kumuh perkotaan, maka studi ini
akan dititikberatkan pada sektor air minum dan sanitasi.
1.2 Tujuan Studi
Tujuan studi ini adalah untuk mengkaji dan merumuskan opsi alternatif pendekatan
penanganan air minum dan sanitasi dasar kawasan kumuh permukiman di perkotaan
yang efektif dan efisien.
1.3 Sasaran Studi
Untuk mencapai tujuan studi, maka terdapat beberapa sasaran di dalam studi ini:
1. Identifikasi kondisi, isu dan permasalahan kawasan kumuh permukiman di
perkotaan;
2. Identifikasi kondisi, isu dan permasalahan air minum dan sanitasi kawasan kumuh
permukiman di perkotaan;
6
3. Identifikasi ragam pendekatan penanganan air minum dan sanitasi kawasan
kumuh permukiman di perkotaan;
4. Perumusan opsi alternatif pendekatan penanganan air minum dan sanitasi kawasan
kumuh permukiman perkotaan.
1.4 Lingkup Studi
Sebagai batasan dari studi, maka lingkup studi akan difokuskan pada pendekatan
penanganan kawasan kumuh permukiman perkotaan untuk sektor air minum dan
sanitasi dasar (jamban) di Indonesia. Namun demikian, studi ini juga akan
menekankan keterkaitannya dengan sektor lainnya, untuk memperlihatkan pentingnya
keterpaduan penanganan di kawasan kumuh perkotaan.
1.5 Kerangka Kerja Logis Studi
Tujuan IndikatorMetode
PengukuranAsumsi
Tujuan
Mengkaji dan merumuskan opsi alternatif pendekatan penanganan air minum dan sanitasi kawasan kumuh permukiman di perkotaan yang efektif dan efisien
Jumlah opsi alternatif pendekatan penanganan air minum dan sanitasi kawasan kumuh permukiman di perkotaan berdasarkan tipologi karakteristik permukiman kumuh
Studi literatur
Kawasan kumuh permukiman di Indonesia terdiri dari beberapa karakteristik dan pemerintah serta pelaku lainnya telah melakukan penanganan melalui beberapa pendekatan berbeda
Keluaran
7
Tujuan IndikatorMetode
PengukuranAsumsi
1. Tipologi karakteristik dan isu/permasalahan kawasan kumuh permukiman di perkotaan di Indonesia
Jumlah kawasan kumuh permukiman di perkotaan yang teridentifikasi
Ciri/karakteristik kawasan kumuh permukiman di perkotaan
Kategori isu/permasalahan pada setiap jenis kawasan kumuh permukiman di perkotaan
Studi literatur
Isu berbagai karakteristik kawasan kumuh terdokumentasi dengan baik dan dapat diakses
2. Kondisi air minum dan penyehatan lingkungan (AMPL) di kawasan kumuh permukiman di perkotaan berdasarkan tipologi karakteristiknya
Pemetaan isu dan permasalahan AMPL berdasarkan tipologi karakteristik kawasan kumuh
Studi Literatur
Terdapat permasalahan terkait dengan kondisi AMPL di kawasan kumuh permukiman di perkotaan
3. Upaya eksisting penanganan kawasan kumuh permukiman di perkotaan berdasarkan tipologi karakteristik
Pemetaan pelaku penanganan kawasan kumuh perkotaan
Pemetaan pendekatan penanganan kawasan kumuh
Pemetaan lokasi kawasan kumuh yang sedang atau sudah ditangani
Studi literatur
Berbagai upaya penanganan kawasan kumuh perkotaan terdokumentasi dan dapat diakses
4. Kajian dan rumusan opsi alternatif pendekatan penanganan kawasan kumuh permukiman di perkotaan berdasarkan tipologi karakteristik
Usulan opsi alternatif pendekatan penanganan kawasan kumuh permukiman di perkotaan
Studi literatur
Prinsip dasar penanganan kawasan kumuh oleh pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya tersedia
8
1.6 Metodologi Studi
Metodologi studi yang digunakan untuk menyusun studi ini adalah studi literatur yang
akan didukung dengan data sekunder dan analisis deskriptif.
1.7 Sistematika Pembahasan Studi
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini menjelaskan latar belakang, tujuan, sasaran, ruang lingkup,
metodologi dan sistematika pembahasan studi air minum dan sanitasi
dasar di kawasan kumuh permukiman di perkotaan. Bab ini ditujukan
untuk memberikan pemahaman atas kerangka kerja logis yang akan
menjadi acuan bab-bab berikutnya dii dalam studi ini.
Bab 2 Pengertian Kawasan Kumuh, Tipologi dan Permasalahan
Bab ini menyajikan pengertian dan kondisi kawasan kumuh perkotaan
di Indonesia secara umum dan tipologinya berdasarkan karakteristik
lokasinya. Bab ini ditujukan untuk memberikan pemahaman mengenai
permasalahan kawasan kumuh permukiman berdasarkan karakteristik
lokasi.
Bab 3 Kondisi Air Minum Dan Sanitasi Dasar Kawasan Kumuh
Permukiman Perkotaan Berdasarkan Tipologi Karakteristik
Lokasi
Bab ini menjelaskan secara spesifik kondisi, isu dan permasalahan air
minum dan penyehatan lingkungan berdasarkan tipologi karakteristik
lokasinya. Bab ini ditujukan untuk memberikan gambaran mengenai
dimensi persoalan air minum dan sanitasi dalam penanganan kawasan
kumuh permukiman perkotaan.
Bab 4 Upaya Pembangunan Air Minum dan Sanitasi Dasar di Kawasan
Kumuh Permukiman Perkotaan
Bab ini menjelaskan mengenai berbagai upaya yang telah dilakukan
oleh berbagai pemangku kepentingan terkait pembangunan air minum
dan sanitasi dasar di kawasan kumuh permukiman perkotaan. Bab ini
ditujukan untuk memberikan pemahaman mengenai model pendekatan
pembangunan air minum dan penyehatan lingkungan berdasarkan
9
beberapa aspek penting yang merupakan prinsip dasar penanganan air
minum dan penyehatan sanitasi dasar di kawasan kumuh permukiman
perkotaan.
Bab 5 Opsi Alternatif Pendekatan Pembangunan Air Minum dan
Sanitasi Dasar di Kawasan Kumuh Permukiman Perkotaan
Bab ini ditujukan untuk menganalisa berbagai pendekatan yang telah
dilakukan serta merumuskan opsi alternatif pendekatan pembangunan
air minum dan sanitasi dasar kawasan kumuh permukiman perkotaan
berdasarkan tipologi karakteristik lokasinya.
Bab 6 Penutup
10
2 PENGERTIAN KAWASAN KUMUH, TIPOLOGI DAN PERMASALAHAN
Kawasan kumuh pada umumnya merupakan sebuah kawasan dengan tingkat kepadatan
populasi tinggi di sebuah kota yang umumnya dihuni oleh masyarakat miskin. Kawasan
kumuh dapat ditemui di berbagai kota besar di dunia. Kawasan kumuh umumnya identik
dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi, sarana dan prasarana yang tidak
memadai, rentan akan permasalahan sosial dan lain-lain. Namun demikian, kondisi kumuh
tidak dapat disamaratakan antara satu kawasan dengan kawasan lain, karena kumuh bersifat
spesifik dan sangat bergantung pada penyebab terjadinya kekumuhan. Dalam bab ini akan
dikemukakan tentang pengertian kawasan kumuh, kriteria kawasan kumuh, tipologi kawasan
kumuh serta permasalahannya.
2.1 Pengertian Kawasan Kumuh
Kawasan kumuh1 adalah sekelompok orang yang terdiri dari beberapa individu yang
sekurang-kurangnya mengalami satu atau lebih dari kondisi berikut ini : (i) kekurangan akses
kepada air bersih;(ii) kekurangan akes kepada sanitasi;(iii) minim luasan tempat tinggal
menyebabkan kawasan terlihat sangat padat (lebih dari tiga orang tinggal dalam satu
ruangan); (iv) struktur bangunan rumah yang tidak baik.
Selanjutnya definisi tersebut kemudian berkembang menjadi kriteria untuk mengetahu
apakah suatu kawasan dapat tergolong kumuh atau tidak, yaitu :
1. Kawasan dengan tingkat kepadatan penduduk yang sangat tinggi yaitu melebihi 150 jiwa
per hektar
2. Kepadatan bangunan rumah yang sangat tinggi
3. Tata letak bangunan yang tidak teratur
4. Peruntukan lahan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang
5. Kondisi bangunan rumah yang tidak sesuai dengan standar teknis dan kesehatan
6. Kondisi sarana umum dan sosial yang sangat minim atau tidak tersedia sama sekali
7. Tingkat kesehatan lingkungan yang sangat rendah
8. Tingkat kerawanan sosial yang sangat tinggi
1 UN HABITAT Global Urban Observatory, 2008
11
Dari kedelapan kriteria tersebut di atas, ternyata kawasan kumuh juga mempunyai
karakteristik yang berbeda terkait dengan permasalahannya pada saat dikaitkan dengan lokasi
dari kawasan kumuh tersebut. Kawasan kumuh di sekitar bantaran sungai akan mempunyai
karakteristik yang berbeda dengan kawasan kumuh di bantaran rel kereta api. Dengan
demikian pola penanganannya akan mempunyai pola yang berbeda juga. Berdasarkan hal
tersebut, maka perlu identifikasi tipologi kawasan kumuh. berdasarkan lokasinya. Sub bab
berikut akan menguraikan tipologi kawasan kumuh berdasarkan lokasinya.
2.2 Tipologi Kawasan Kumuh Berdasarkan Lokasi dan Permasalahannya
Berdasarkan berbagai studi literatur yang telah dihimpun, tipologi kawasan kumuh
berdasarkan lokasinya dapat dibagi menjadi empat tipologi, yaitu: kawasan kumuh bantaran
sungai, kawasan kumuh pinggir pantai, kawasan kumuh pusat komersial dan kawasan kumuh
pingir rel kereta api. Walaupun secara umum kawasan kumuh tersebut mempunyai
permasalahan yang sama, namun dalam penanganannya, masing-masing kawasan kumuh
tersebut memerlukan pendekatan yang cukup spesifik. Beberapa hal yang berlaku umum di
semua tipologi kawasan kumuh adalah tingkat kepadatan, tata letak bangunan, jumlah
penduduk miskin, kerentanan terhadap kesehatan lingkungan dan kerawanan sosial. Namun
secara spesifik, beberapa hal/aspek yang membedakan permasalahan di kawasan kumuh
adalah kesesuaian peruntukan lahan, status kepemilikan lahan, mobilitas penduduk, mata
pencaharian, dan kondisi sarana/fasilitas umum dan sosial. Tabel berikut mencoba untuk
menguraikan beberapa perbedaan permasalahan yang spesifik antar kawasan kumuh yang
telah disebutkan di atas dengan berdasarkan hasil kajian yang sudah pernah dilakukan
dimasing-masing tipologi.
12
Matrik Tipologi Kawasan Kumuh Berdasarkan Lokasi
KRITERIA BANTARAN SUNGAIPINGGIR PANTAI/
NELAYANPUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
Batas wilayah dan luas Kawasan Permukiman Kumuh
Linear di sepanjang sungai tetapi dengan tingkat kepadatan yang berbeda, biasanya kawasan pinngiran sungai yang paling luas dan padat adalah yang paling dekat dengan jalan utama, kawasan strategis, dll.
(Hasil Kajian Kawasan Kumuh di Pinggiran Sungai Deli, 2001)
Biasanya merupakan perkampungan nelayan yang terletak di pinggir pantai. Dalam penentuan batas wilayah di peta terlihat membentuk linear. (Usaha Perbaikan Permukiman Kumuh di Petukangan Utara-Jakarta Selatan oleh Sri Kurniasih, 2006)
Memusat pada satu titik yang berdekatan langsung dengan pusat komersial
(Kajian pertumbuhan permukiman ilegal kawasan komersial, KK Perencanaan Kota ITB 2005)
Luas wilayah tidak teridentifikasi dengan jelas dalam bentuk pemetaan khusus
Kesesuaian peruntukan lokasi kawasan permukiman kumuh dengan RDTRK/RUTRK
Tidak sesuai dengan peruntukan fungsi kawasan.
(Sesuai dengan Inmendagri No. 14 Tahun 1988 : Lokasi Ruang Terbuka Hijau bisa berada pada kawasan jalur sungai)
Mengacu pada UU No. 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan kawasan pesisir. Peruntukan kawasan pesisir dengan guna lahan perumahan masih dimungkinkan sepanjang dipenuhi oleh aturan zonasi dengan prinsip kegiatan pada zonasi yang sama saling
Menempati tanah ilegal atau tidak sesuai dengan peruntukan
(Kajian pertumbuhan permukiman ilegal kawasan komersial, KK Perencanaan Kota ITB 2005)
Tidak sesuai dengan peruntukan fungsi kawasan
13
KRITERIA BANTARAN SUNGAIPINGGIR PANTAI/
NELAYANPUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
bersinergis.
Status kepemilikan lahan
Menempati tanah dengan status ilegal ( Peraturan Menteri PU tentang kawasan sempadan sungai : Sungai yang mempunyai kedalaman tidak lebih 3 (tiga) meter sampai dengan 20 (duapuluh) meter, garis sempadan ditetapkan sekurang-kurangnya 15 (lima belas) meter dihitung dari tepi sungai pada waktu ditetapkan).
Tidak memiliki surat kepemilikan tanah
Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati, Jurusan T. Arsitektur Universitas Merdeka Surabaya, 2001
Tidak memiliki surat kepemilikan tanah Tidak memiliki surat kepemilikan
tanah
Letak/kedudukan lokasi kawasan kumuh
Biasanya permukiman kumuh di pinngiran sungai ada karena letak sungai tersebut yang cukup strategis misalnya melintasi pusat kota, jalan utama, dan dekat dengan permukiman penduduk.
(hasil pengamatan awal)
Letak startegis biasanya mendekati fasilitas-fasilitas umum.
Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati, Jurusan T. Arsitektur Universitas Merdeka
1. Letak startegis biasanya berdekatan dengan fasilitas-fasilitas komersial.
2. Harga tanah mahal
Letak tidak strategis karena dipinggiran rel kereta api rentan dengan bahaya kecelakaan kereta api dan suara bising.
14
KRITERIA BANTARAN SUNGAIPINGGIR PANTAI/
NELAYANPUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
Surabaya, 2001
Tingkat kepadatan penduduk
Konsentrasi penduduk tinggi terutama untuk sungai-sungai di perkotaan besar.
(Hasil Kajian Kawasan Kumuh di Pinggiran Sungai Deli, 2001)
Tingkat kepadatan penduduk tinggi
Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati, Jurusan T. Arsitektur Universitas Merdeka Surabaya, 2001
Tingkat kepadatan penduduk tinggi
Tingkat kepadatan penduduk tinggi
Jumlah penduduk miskin
Hampir setiap kawasan kumuh pinggir sunagi dihuni oleh 70% penduduk miskin dan 30% penduduk miskin sekali (hasil kajian BKKBN : Badan Koordinasi Kelarga Berencana Nasional)
Tingkat ekonomi dan pendidikan penduduk bervariasi, tetapi didominasi penduduk miskin
Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati, Jurusan T. Arsitektur Universitas Merdeka Surabaya, 2001
Tingkat ekonomi dan pendidikan penduduk berfariasi, tetapi didominasi penduduk miskin
Tingkat ekonomi dan pendidikan penduduk rendah
15
KRITERIA BANTARAN SUNGAIPINGGIR PANTAI/
NELAYANPUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
Kegiatan usaha ekonomi penduduk di sektor informal
Penduduk bekerja secara serabutan mulai dari tukang parkir, buruh bangunan atau bahkan pemalak. Kalau pun ada yang bekerja tetap, biasanya penarik becak atau bekerja sebagai penjahit di perusahaan konveksi.
(Hasil Kajian Kawasan Kumuh di Pinggiran Sungai Deli, 2001)
Didominasi pekerjaan disektor informal
Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati, Jurusan T. Arsitektur Universitas Merdeka Surabaya, 2001
Didominasi pekerjaan disektor informal
Didominasi pekerjaan disektor informal
Kepadatan rumah / bangunan
Bangunan terlihat sangat padat hampir tanpa pembatas antar satu rumah dan bangunan lainnya.
(Hasil Kajian Kawasan Kumuh di Pinggiran Sungai Deli, 2001)
Kepadatan tinggi dan tidak teratur, dengan sebagian besar tidak dilengkapi IMB
(Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati, Jurusan T. Arsitektur Universitas Merdeka Surabaya, 2001)
Kepadatan tinggi sebagian tidak dilengkapi IMB sebagian dilengkapi
Kepada tantinggi dengan tidak dilengkapi IMB
16
KRITERIA BANTARAN SUNGAIPINGGIR PANTAI/
NELAYANPUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
Kondisi rumah tidak layak huni
Sebagian bentuknya seperti rumah panggung berkolong, menggunakan kayu atau beton penyangga yang dicor dengan semen setinggi dua sampai tiga meter. Luas bangunannya bervariasi. Ada berukuran 3 x 5 meter, 2,5 x 6 meter dan lainnya.
Kajian kawasan permukiman kumuh di pinngiran Sungai Deli, 2001
Biasanya di bangun bertingkat 2-4 lantai karena sering nya terjadi banjir dengan konstruksi yang kurang memperhitungkan keselamatan.
Material bangunan terbuat dari bahan papan dan padahal sering terendam air sehingga bisa dikategorikan berbahaya.
Sarana aksesibilitas yang ada berupa jalan tanah selebar 6 meter sebagai jalan utama
Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati, Jurusan T. Arsitektur
Sebagian besar rumah berbentuk permanen.
Sebagian besar kondisir umah layak huni tetapi minim tingkat kesehatan
Sebagian besar kondisi rumah tidak layak huni, konstruksi bangunan terbuat dari kayu dan triplek.
17
KRITERIA BANTARAN SUNGAIPINGGIR PANTAI/
NELAYANPUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
Universitas Merdeka Surabaya, 2001)
Kondisi tata letak rumah/bangunan
Jarak antara satu rumah ke rumah lain seperti tak ada pembatasnya. Umumnya berhimpitan. Kalau pun berjarak hanyalah jalan setapak menghubungkan antara rumah ke rumah.
Kajian Kawasan Permukiman Kumuh di Kawasan Pinggiran Sungai Cikapundung, 2008
Tata letak bangunan tidak teratur dikarenakan permukiman tumbuh secara incremental (nataural tanpa adanya pengendalian secara spatial)
Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati, Jurusan T. Arsitektur Universitas Merdeka Surabaya, 2001)
Tata letak bangunan tidak teratur
Tata letak bangunan tidak teratur
Kondisi prasarana dan sarana lingkungan
Terdapat jalan lingkungan yang sudah diperkeras.
Kondisi drainase buruk dantidak terawat
Masyarakat sering menggunakan sungai
Beberapa sarana dan prasarana belum tersedia seperti saluran air bersih, saluran pembuangan air, pengelolaan sampah.
Terdapat jalan lingkungan yang sudah diperkeras.
Kondisi drainase buruk dan tidak terawat
Tingginya
Tidak terdapat jalan lingkungan
Tidak terdapat saluran drainase
Tidak memiliki sarana pengelolaan sampah
Tidak memiliki akses
18
KRITERIA BANTARAN SUNGAIPINGGIR PANTAI/
NELAYANPUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
sebagai saluran drainase
Sungai yang sudah terkontaminasi dengan limbah domestik menjadi sumber air bersih utama.
Akses air minum kurang.
Sungai sebagai tempat pembuangan sampah.
Sungai sebagai saluran limbah cair dan padat domestik
(Hasil Pengamatan awal dan Kajian Kawasan Permukiman Kumuh di Kawasan Pinggiran Sungai Cikapundung, 2008)
Saluran drainase tidak berfungsi akibat sampah
Sistem pembuangan sampah yang ada adalah dengan menimbun lahan-lahan kosong sehingga tampak kotor terutama bila tergenang air pada musim hujan
Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati, Jurusan T. Arsitektur Universitas Merdeka Surabaya, 2001)
kepadatan penduduk menyebabkan tingginya timbulan sampah, kemungkinan tidak tertanganinya juga tinggi.
Akses air minum/bersih kurang, dengan kualitas air yang tidak bagus.
Tidak memiliki saluran limbah cair, saluran drainase digunakan juga sebagai saluran limbah cair.
Memiliki saluran limbah padat, septic tank sendiri
terhadap air bersih dan air minum, konsumsi air didapatkan dari fasilitas umum disekitarnya atau membeli.
Tidak memiliki saluran limbah apapun.
19
KRITERIA BANTARAN SUNGAIPINGGIR PANTAI/
NELAYANPUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
Kerawanan kesehatan & lingkungan
Rentan terhadap penyebaran penyakit menular akibat kondisi lingkungan yang buruk
Rawan terhadap bahaya longsor dan banjir
(Hasil Kajian Perencanaan Kawasan Pinggiran Sungai Deli, 2001)
Rentan terhadap penyebaran penyakit menular akibat kondisi lingkungan yang buruk
Rawan terhadap bahaya abrasi laut
Rawan terhadap bahaya gelombang dan angin laut
Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati, Jurusan T. Arsitektur Universitas Merdeka Surabaya, 2001)
Rentan terhadap penyebaran penyakit menular akibat kondisi lingkungan yang buruk
Rawan terhadap bahaya kebakaran
Kualitas udara yang kurang baik
Rentan penggusuran
Rentan terhadap penyebaran penyakit menular akibat kondisi lingkungan yang buruk
Rawan kebakaran Rawan penggusuran
Kerawanan sosial (patologi sosial)
Tergolong tinggi terkait dengan tingginya jumlah penduduk yang berada pada usia (20 – 40 tahun) akan tetapi dengan keadaan sosial tanpa pekerjaan.
Tingkat kriminalitas tidak terlalu tinggi karena biasanya mereka yang tinggal adalah keluarga sendiri yang sudah turun temurun
Tingkat kriminalitas tinggi, karena himpitan dan persaingan ekonomi
Kurangnya kontrol sosial antara sesama masyarakat.
Tingkat kriminalitas tinggi,karena himpitan dan persaingan ekonomi
Kurangnya kontrol sosial antara sesama masyarakat.
20
KRITERIA BANTARAN SUNGAIPINGGIR PANTAI/
NELAYANPUSAT KOMERSIAL PINGGIR REL KA
(Hasil Kajian Perencanaan Kawasan Pinggiran Sungai Deli, 2001)
(jumlah pendatang baru sangat sedikit)
Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati, Jurusan T. Arsitektur Universitas Merdeka Surabaya, 2001)
21
3 PERMASALAHAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR BERDASARKAN TIPOLOGI KAWASAN KUMUH
Salah satu permasalahan pelik yang timbul di kawasan kumuh perkotaan adalah
minimnya akses terhadap layanan air minum dan sanitasi dasar. Permasalahan air
minum dan sanitasi tidak hanya terbatas pada aspek fisik pelayanan saja, namun
permasalahan juga menyentuh berbagai aspek lainnya. Akibatnya, upaya untuk
menyediakan akses air minum dan sanitasi dasar pun tidak jarang menjadi terhambat.
Permasalahan air minum dan sanitasi dasar dapat berbeda berdasarkan karakteristik
lokasinya. Untuk itu, bab ini akan memaparkan permasalahan air minum dan sanitasi
dasar di masing-masing tipologi kawasan yang sudah dijabarkan pada bab
sebelumnya. Permasalahan-permasalahan AMPL tersebut akan ditinjau dari 5 aspek,
yaitu aspek kelembagaan, finansial, sosial, teknis dan lingkungan.
3.1 Kembali ke Dasar: Mengapa Air Minum dan Sanitasi Dasar?
Sebagaimana telah diketahui, permasalahan kawasan kumuh perkotaan adalah multi-
dimensi dan sangat kompleks. Namun demikian, dalam proses penanganan kawasan
kumuh, perlu disusun prioritas agar penanganannya sistematis. Terkait dengan hal ini,
maka prioritas penanganan harus melihat tingkat kerentanan penghuni kawasan
kumuh terhadap permasalahan yang ada, khususnya yang mempunyai dampak pada
adanya kemungkinan korban jiwa.
Salah satu permasalahan yang sangat terkait dengan tingkat kerentanan (vulnerability)
penghuni kawasan kumuh adalah permasalahan air minum dan sanitasi dasar. Air
minum dan sanitasi dasar merupakan kebutuhan dasar bagi setiap orang, tanpa
membedakan status sosial, suku, agama dan lain sebagainya. Ketersediaan akses
terhadap sarana AMPL bersifat mutlak dalam menunjang kehidupan semua orang.
Namun demikian seringkali permasalahan air minum dan sanitasi dasar ini menjadi
prioritas yang kesekian dibandingkan dengan sektor lainnya, seperti jalan, listrik,
telekomunikasi dan sebagainya. Oleh karena itu, isu terkait air minum dan sanitasi
dasar di kawasan kumuh perlu diangkat sebagai fokus utama dalam studi ini.
22
3.2 Permasalahan Umum AMPL di Kawasan Kumuh Perkotaan di Indonesia
3.2.1 Akses Terhadap Air Minum
Air merupakan kebutuhan utama bagi manusia. Pentingnya air dalam meningkatkan
kesehatan dan penanggulangan kemiskinan telah diketahui sejak 100 tahun lalu
namun masih banyak penduduk dunia yang tidak terlayani (Mungkasa, 2005). Di
perkotaan, umumnya air bersih disediakan melalui suatu sistem penyediaan air
perpipaan yang terpusat. Namun cakupan pelayanan sistem tersebut pada umumnya
tidak menjangkau warga yang tinggal di kawasan kumuh. Penelitian oleh USAEP
(2002) mengenai akses air di kawasan kumuh perkotaan memberikan hasil sebagai
berikut:
a. Akibat tidak terkoneksi dengan penyedia air bersih, maka untuk memperoleh air
bersih, warga di kawasan kumuh perkotaan terpaksa harus membeli air dari para
penjaja air. Calaguas dan Roaf (2001) menyatakan bahwa biaya yang dikeluarkan
untuk membeli air dari biasanya berkisar 5 – 2.500% lebih besar dibandingkan
dengan biaya yang dikeluarkan oleh warga yang yang memperoleh air dari sistem
perpipaan kota. Selain itu, kontinuitas air pun tidak dapat dijamin. Terkadang para
penjaja air baru datang setelah warga menunggu berjam-jam, tidak menentu.
Warga pun harus mengantri untuk bisa membeli air. Selain itu, para penjaja air
biasanya menetap di satu lokasi tertentu yang letaknya jauh dari rumah, sehingga
warga yang membeli air harus menggotong jerigen atau tempat penampungan air
dari lokasi penjual ke rumahnya.
b. Tingkat konsumsi air dari warga yang tidak terkoneksi dengan sistem perpipaan
pada umumnya lebih kecil dibandingkan standar minimum kesehatan yang
berlaku, baik nasional maupun internasional. Konsumsi air minimum yang
memenuhi standar kesehatan nasional adalah 60 l/o/h, sementara standar
internasional adalah 100 l/o/h. Tabel 3.1 berikut ini menunjukkan besar konsumsi
air rata-rata dari kelompok masyarakat miskin di beberapa kota di Indonesia.
23
Tabel 3.1 Konsumsi Air Rata-rata Kelompok Masyarakat Miskin Perkotaan
di 3 Kota di Indonesia
No Kota Konsumsi air (l/o/h)
1 Semarang 16.92
2 Tangerang 8.07
3 Indramayu 10.16
Sumber: Final Report UPDATE Project, 2002
Studi yang dilakukan oleh ESP-USAID di beberapa kota di 8 provinsi di Indonesia
telah berhasil mengidentifikasi 4 sumber air bagi masyarakat berpenghasilan rendah
di perkotaan. Selain dari PDAM dan penjaja air, sumber air lain yang digunakan oleh
warga adalah sumur gali dan air permukaan seperti sungai. Satu contoh penggunaan
air sungai sebagai sumber air bagi keutuhan sehari-hari warga di daerah kumuh
perkotaan adalah seperti yang terjadi di kawasan kumuh di Gang Nibung, Kota
Samarinda yang lokasinya dekat dengan Sungai Karang Mumus. Warga masih
menggunakan air dari sungai Karang Mumus tersebut untuk kebutuhan sehari-hari,
meskipun kualitas air yang tersedia tidak memenuhi persyaratan kesehatan seperti
yang telah ditetapkan melalui Kepmenkes No 907 Tahun 2002.
Jaringan pipa sistem penyediaan air bersih kota terkadang melewati daerah kumuh
perkotaan. Namun, ironisnya, warga yang tinggal di daerah yang dilalui jaringan pipa
tersebut tidak dapat mengakses air perpipaan. Hal ini memicu kecemburuan warga
yang berujung pada penyambungan secara ilegal.
3.2.2 Akses Terhadap Sanitasi Dasar
Tidak hanya permasalahan dalam pelayanan air bersih, warga di kawasan kumuh
perkotaan pun memiliki masalah terkait akses terhadap fasilitas sanitasi yang
memadai. Beberapa permasalahan yang ditemukan tersebut antara lain:
a. Terbatasnya sarana jamban keluarga
Pada umumnya, sarana sanitasi berupa jamban keluarga tidak tersedia. Sarana
sanitasi yang tersedia biasanya berupa jamban komunal, yang jumlahnya pun
terbatas. Irie (2004) dalam penelitiannya di daerah Kiara Condong, Bandung,
24
menemukan bahwa 87% penduduk menggunakan sarana jamban komunal. Dalam
penelitian lain (Kurniawan, 2007) mengungkapkan bahwa di kawasan Sentiong, di
Kota bengkulu, hanya 25% penduduk yang memiliki WC.
b. Tidak adanya sistem penyaluran dan pengolahan air limbah yang memadai
Meskipun beberapa rumah tangga telah memiliki jamban, namun terkadang
kondisinya masih belum dapat dikatakan sebagai jamban yang sehat. Ada tiga
kriteria sebuah bangunan sarana sanitasi, yaitu: (i) bangunan dinding untuk
kenyamanan, psikologis dan keindahan; (ii) bangunan permukaan tanah
(landasan) untuk keamanan saaat buang air besar; dan (iii) bangunan bawah
sebagai tempat pembuangan tinja dan melokalisir serta mengubahnya menjadi
lumpur yang stabil.
Kondisi yang ditemukan di beberapa kawasan kumuh masih menunjukkan ketiga
kriteria jamban tersebut masih belum terpenuhi. Di Kiara Condong, Bandung,
hanya 47% yang mengolah limbah dari jamban dengan septic tank. Sisanya yaitu
sebesar 53% membuang limbahnya langsung ke badan air atau ke saluran (got)
yang ada (Irie, 2004). Selain itu, septic tank yang ada pun tidak dibangun dengan
benar. Upaya memutus alur kontaminasi tidak berfungsi dengan baik, karena
septic tank yang ada tidak ada penutup di bagian bawahnya, sehingga berpotensi
mencemari air tanah. Selain itu, lumpur dari septic tank juga dibuang langsung ke
sungai. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengolahan limbah domestik di daerah
kiara condong tidak berfungsi dengan baik.
Menurut Kurniawan (2007), di Kawasan Sentiong, Kota Bengkulu, dari jamban
yang ada, hanya 16% yang sudah memiliki septic tank, sisanya langsung
membuang limbahnya ke saluran drainase. Sementara di kawasan lain, yaitu di
Kota samarinda, di kawasan bantaran sungai Karang Mumus, tepatnya di gang
Nibung, hasil studi yang dilakukan Kertayasa menunjukkan bahwa limbah dari
jamban/WC masih dibuang langsung ke Sungai Karang Mumus.
25
3.2.3 Perilaku Hygiene
Kurangnya akses terhadap air minum dan sarana sanitasi bagi warga di kawasan
kumuh perkotaan berimplikasi pada perilaku hidup yang tidak sehat. Masih banyak
warga yang buang air besar secara terbuka. Sebagai contoh adalah pada dua lokasi
penelitian yang dilakukan oleh Pusat Manajemen Pelayanan Kesehatan (PMPK)
Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Udayana, yaitu Br. Belong Menak dan Gang
Angsa di Kota Denpasar. 80% dari responden menyatakan bahwa akibat tidak adanya
jamban keluarga, mereka memilih untuk buang air besar di sungai (Balipost online,
2007). Sementara 95% warga Kawasan Malabero, Kota Bengkulu, menyatakan bahwa
mereka membuang air limbah (termasuk tinja) langsung ke saluran drainase atau ke
laut (Kurniawan, 2007).
Sebuah studi mengenai praktek hygiene pernah dilakukan oleh ESP-USAID pada
tahun 2006 di beberapa lokasi, termasuk lokasi masyarakat berpenghasilan rendah di
kawasan urban. Ada dua macam praktek hygiene yang diteliti, yaitu cuci tangan pakai
sabun dan mencuci bahan makanan sebelum diolah. Hasil studi menunjukkan bahwa
cuci tangan merupakan aktivitas yang umum dilakukan oleh penduduk, terutama
setelah buang air besar dan membersihkan kotoran anak. Namun, pemakaian sabun
pada saat cuci tangan masih jarang dilakukan. Sementara itu, terkait dengan praktek
membersihkan bahan makanan sebelum diolah, hasil penelitian menunjukkan bahwa
masyarakat pada umumnya mencuci bahan-bahan makanan sebelum diolah, terutama
untuk jenis sayur-sayuran. Meskipun begitu, cara mencuci bahan makanan tersebut
masih memungkinkan bahan makanan untuk terkontaminasi, karena masyarakat tidak
mencuci dengan air yang mengalir, melainkan dengan menggunakan air yang
ditampung dalam wadah dan digunakan untuk beberapa bahan makanan.
3.3 Dampak Buruknya Akses terhadap Air Minum dan Sanitasi Dasar Secara
Umum Bagi Warga di Kawasan Kumuh Perkotaan
Ketidaktersediaan air bersih dan layanan sanitasi lingkungan akan membawa dampak
ke seluruh kelompok masyarakat, terutama bagi masyarakat yang tinggal di kawasan
kumuh perkotaan. Tanpa adanya tindakan untuk penanggulangan permasalahan
tersebut, maka akan sangat berpotensi menimbulkan dampak buruk bagi penataan
26
kawasan kota dan timbulnya masalah kesehatan. Dengan demikian, masalah air
minum dan sanitasi dasar di kawasan kumuh pada akhirnya juga akan menjadi
masalah bersama.
Beberapa temuan yang diperoleh dari beberapa penelitian mengenai dampak dari
minimnya akses terhadap air bersih di kawasan kumuh perkotaan, yaitu:
a. Masyarakat di kawasan kumuh perkotaan harus mengeluarkan dana lebih besar
untuk memperoleh air bersih dibandingkan dengan warga yang memperoleh air
bersih dari penyedia air bersih. Sehingga kemudian, dalam satu bulan, warga
kawasan kumuh membelanjakan dana yang lebih besar untuk air dibandingkan
dengan warga yang terkoneksi dengan penyedia air bersih perpipaan. Bahkan,
pengeluaran untuk air mengambil porsi yang besar dibandingkan dengan total
pengeluaran sehari-harinya (USAEP, 2002).
b. Akibat dari tidak tersedianya air dengan kualitas yang memadai, maka warga di
kawasan kumuh perkotaan memiliki potensi besar untuk terjangkit penyakit
bawaan air, seperti diare, kolera dan penyakit kulit, yang mengharuskan mereka
mengeluarkan dana untuk obat dan perawatan medis, mengakibatkan anak-anak
tidak dapat sekolah, atau mengakibatkan orang dewasa kehilangan penghasilan
karena tidak dapat bekerja.
c. Jika lokasi kawasan dekat dengan sumber air, misalnya mata air, sumur, atau pipa
penyedia air bersih yang bocor, maka pengeluaran rumah tangga untuk air bisa
berkurang. Namun, bisa jadi pengeluaran tersebut teralokasikan kepada kebutuhan
lain seperti biaya pengobatan untuk penyakit kulit karena mandi dari air yang
sumbernya tercemar, atau untuk membayar denda (untuk sambungan ilegal), atau
biaya untuk membayar preman lokal sebagai jaminan untuk tetap bisa
menggunakan sambungan ilegal tersebut (Calaguas dan Roaf, 2001).
d. Sementara itu, akibat tidak tersedianya sarana sanitasi berupa jamban keluarga,
warga di kawasan kumuh perkotaan harus mengeluarkan dana lebih untuk
menggunakan jamban komunal atau lebih memilih untuk buang air besar secara
sembarangan yang pada akhirnya akan meningkatkan resiko penyakit bagi diri
pribadi dan kelompok masyarakat. Perilaku seperti ini pun menambah tingkat
27
kesulitan bagi warga daerah kumuh untuk memperoleh air bersih, karena potensi
pencemaran sumber air yang ditimbulkan. Tidak tersedianya layanan sanitasi yang
baik pun mengakibatkan kawasan kumuh berpotensi menjadi sarang bagi vektor
penyakit seperti lalat, nyamuk dan tikus.
e. Layanan sanitasi yang buruk juga berdampak signifikan bagi perempuan.
Keluarga yang dikepalai oleh seorang perempuan juga lebih dirugikan dengan
minimnya layanan sanitasi jika dibandingkan dengan keluarga yang dikepalai oleh
seorang laki-laki. Jika layanan sanitasi dan air bersih yang ada jauh dari jangkauan
dan mahal, maka waktu dan uang merekalah yang harus digunakan untuk bisa
memperoleh layanan tersebut.
3.4 Kendala Dalam Penyediaan Akses Air Minum dan Sanitasi Dasar Bagi
Kawasan Kumuh Perkotaan
Beberapa kendala dalam penyediaan layanan AMPL pada kelompok masyarakat
miskin perkotaan antara lain2:
a. Tidak adanya dukungan suara bagi warga miskin perkotaan.
Terdapat banyak persepsi yang salah mengenai kondisi masyarakat miskin
perkotaan.
b. Kendala administratif dan hukum (terutama masalah kepemilikan lahan)
Menurut Rolf dan Calaguas (2001), pada umumnya, penyedia air bersih tidak
melayani warga di lokasi yang tidak jelas kepemilikan lahannya. Beberapa alasan
yang muncul antara lain karena lahan tersebut tidak dialokasikan sebagai kawasan
permukiman, tidak dapat dijangkau, terlalu padat, serta berkembangnya
pandangan bahwa warga yang mendiami kawasan tersebut tidak mampu
membayar tarif layanan. Selain itu, jika penyedia memberikan layanan kepada
warga di kawasan tersebut, hal ini akan dilihat sebagai pemberian legitimasi
kepada warga untuk mendiami kawasan tersebut. Sehingga meskipun kebijakan
menyatakan bahwa pemerintah wajib untuk menyediakan air bagi seluruh warga,
pada prakteknya warga di kawasan permukiman kumuh yang umumnya tidak
2 Diambil dari Guidance Notes on Services for The urban Poor: A Practical guide for Improving Water Supply and Sanitation Services, WSP 2008
28
memiliki hak legal atas tanah tidak dapat menjangkau pelayanan air bersih atau
sanitasi.
c. Ada beragam kepentingan pribadi/kelompok (penjaja air, kriminal, pemerintah
daerah yang korupsi, dan pengelola sarana memiliki kepentingan masing-masing
yang mungkin dapat menghalangi upaya penyediaan akses terhadap air bersih)
Warga di kawasan kumuh pada umumnya dianggap sebagai kelompok miskin
yang tidak mau dan tidak mampu membayar untuk pelayanan air bersih dan
sanitasi. Selain itu, kawasan permukiman kumuh dipandang sebagai kawasan
yang tidak aman, identik dengan tindakan kriminal. Pandangan-pangdangan
tersebut menjadikan kelompok masyarakat di kawasan permukiman kumuh sangat
jarang dilibatkan dalam proyek pembangunan. Meskipun demikian, pada saat
tertentu, misalnya menjelang pemilihan umum, warga di kawasan kumuh
dimanfaatkan untuk mendukung politikus maupun partai politik melalui janji-janji
penyediaan layanan dasar seperti penyediaan air secara gratis dan perbaikan
lingkungan.
d. Kendala keuangan
Biaya yang harus dikeluarkan untuk bisa mengakses layanan air bersih dan
sanitasi bergantung pada legalitas dan kondisi lokal. Meskipun begitu, melalui
beberapa studi, sudah dapat dibuktikan bahwa masyarakat di kawasan
permukiman kumuh mengeluarkan dana lebih besar untuk bisa memperolah air
bersih dan mengakses sarana sanitasi dibandingkan dengan warga dengan
penghasilan lebih tinggi. Upaya subsidi yang diberikan berupa rendahnya harga
air, bagi sebagian penduduk miskin tidak bermanfaat karena mereka tidak
berlangganan air tetapi membeli dari penjaja keliling. Akibatnya manfaat subsidi
hanya dirasakan oleh pelanggan kelas menengah ke atas
e. Kendala infrastruktur dan teknis
Calagus dan Rolf (2001) menyebutkan faktor ini sebagai kondisi lokal (lokalitas).
Kondisi lokal ini seperti lokasi kawasan permukiman kumuh yang umumnya jauh
dari penyedia layanan atau berada di perbatasan kota mengakibatkan terbatasnya
layanan yang tersedia. Selain itu, faktor seperti kondisi jalan, kepadatan penduduk
dan ketersediaan lahan juga menjadi kendala dalam upaya penyediaan layanan
dasar, terutama dalam pilihan teknologi
29
3.5 Permasalahan Air Minum dan Sanitasi Dasar Kawasan Kumuh Perkotaan
Berdasarkan Tipologinya
Walaupun secara umum permasalahan, dampak dan kendala air minum dan sanitasi
dasar dapat dijelaskan seperti pada bagian sebelumnya, namun jika kita mencoba
untuk melihat berdasarkan tipologi yang berhasil dipetakan pada bab sebelumnya,
maka isu dan permasalahan air minum dan sanitasi dasar akan sangat bervariasi sesuai
dengan spesifik lokasinya. Dalam menggali permasalahan air minum dan sanitasi
dasar, konteks lokasi akan sangat berpengaruh pada jenis permasalahan yang
mengemuka, dampaknya dan kendala yang menyebabkan lambatnya proses
penanganan kawasan kumuh perkotaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi
permasalahan air minum dan sanitasi dasar untuk setiap tipologinya.
3.5.1 Lingkup Kondisi dan Permasalahan
Sesuai dengan ruang lingkup dari studi ini, identifikasi isu dan masalah dibagi
menurut 2 komponen besar air minum dan sanitasi dasar, yaitu (i) air minum dan ii)
air limbah, khususnya tinja. Dari setiap komponen, penggalian kondisi dan
permasalahan akan di bagi ke dalam beberapa aspek, yaitu (i) kelembagaan; (ii)
sosial; (iii) finansial; (iv) teknologi; (v) lingkungan. Kelima aspek tersebut akan
menjadi kerangka dalam mengidentifikasi kondisi dan permaslahan air minum dan
sanitasi. Terkait dengan hal tersebut, maka masing-masing aspek harus secara jelas
dipahami lingkupnya. Berikut ini lingkup dari masing-masing aspek tersebut:
a. Kelembagaan;
Lingkup aspek kelembagaan meliputi potensi kelembagaan di tingkat masyarakat
dan pemerintah, kapasitas kelembagaan pemerintah dan masyarakat, serta
kebijakan dan regulasi yang mengatur pelayanan air minum dan sanitasi dasar.
b. Sosial
Lingkup aspek sosial meliputi kesadaran masyarakat terkait pentingnya
pelayanan air minum dan sanitasi dasar, perilaku kesehatan masyarakat, tingkat
insiden penyakit yang terkait dengan minimnya akses terhadap air minum dan
sanitasi dasar,
c. Finansial;
30
Lingkup aspek finansial meliputi prinsip cost recovery, dan kapasitas pembiayaan
air minum dan sanitasi dasar pemerintah.
d. Teknologi
Lingkup aspek teknologi meliputi ketersediaan sarana/teknologi yang sesuai
dengan kondisi wilayah (kriteria teknis) dan sesuai dengan kondisi sosial (kriteria
sosial/berbasis masyarakat)
e. PHBS dan Kesehatan
Lingkup aspek Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) dan kesehatan meliputi
perilaku masyarakat terkait dengan air minum dan sanitasi, serta permasalahan
kesehatany ang mungkin timbul pada masing-masing tipologi kawasan.
f. Lingkungan.
Lingkup aspek lingkungan meliputi daya dukung lingkungan
3.5.2 Kondisi dan Permasalahan Air Minum dan Sanitasi Dasar per Tipologi
Berdasarkan studi yang telah dilakukan di beberapa lokasi kawasan permukiman
kumuh, dapat disimpulkan bahwa umumnya permasalahan air minum dan sanitasi
dasar di kawasan kumuh perkotaan relatif serupa. Sarana air minum dan sanitasi dasar
yang memadai masih belum bisa dinikmati oleh warga masyarakat di kawasan
permukiman kumuh perkotaan. Kesadaran untuk berperilaku hidup bersih dan sehat
juga masih rendah, terutama di daerah yang memang sarana air minum dan
sanitasinya sangat sulit. Walupun kesadaran tersebut sudah mulai tumbuh, masyarakat
masih perlu dibina untuk bisa menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat yang
benar.
Namun, secara spesifik, kondisi dan permasalahan air minum dan sanitasi dasar
sebenarnya akan sangat berlainan antara satu dengan yang lainnya jika dilihat pada
masing-masing aspek seperti yang telah disebutkan pada sub bab sebelumnya.
Sebagai contoh, struktur masyarakat dan mata pencaharian masyarakat (aspek sosial)
akan sangat mempengaruhi masalah kesiapan masyarakat dalam membentuk lembaga
untuk mengelola sarana air minum dan sanitasi yang mungkin sudah pernah dibangun.
Contoh lain adalah kondisi lingkungan yang (aspek lingkungan) yang menyebabkan
sulitnya memutuskan opsi teknologi yang dapat digunakan untuk menjamin pelayanan
air minum dan sanitasi dasar. Terkait dengan hal ini, maka perlu diidentifikasi kondisi
31
dan permaslahan air minum dan sanitasi dasar yang secara spesifik membedakan
antara tipologi sat dengan tipologi lainnya. Tabel berikut ini menjelaskan perbedaan
spefisik berdasarkan tipologinya.
32
Tabel 3.2.
Kondisi dan Permasalahan Komponen Air Minum dan Sanitasi Dasar Berdasarkan Tipologi Lokasinya
NoTipologi Kawasan
Kondisi dan permasalahan AMPL
Kelembagaan Sosial Finansial TeknisPHBS dan Kesehatan
Lingkungan
1 Kawasan pinggir pantai
Kebijakan pemerintah tersedia namun implementasinya sering terhambat terkait dengan kondisi eksisting kawasan (kondisi fisik, pembebasan lahan, dsb)
Umumnya terdapat kelompok masyarakat, namun belum menangani penggunaan sarana air bersih
Masyarakat umumnya homogen, misalnya kelompok penduduk yang berprofesi sebagai nelayan
Butuh biaya investasi yang besar untuk penyediaan sarana air minum dan sanitasi
Pemberlakuan retribusi untuk SABS berjalan cukup baik
Pendapatan masyarakat pesisir ± Rp 300.000,-/bulan
SAB yang tersedia berupa komunal / hidran umum
Minimnya jamban keluarga
Opsi teknologi air limbah komunal sangat terbatas dan mahal
Laut sebagai tempat pembuangan air limbah domestik (pencemaran air laut)
Banyak timbul berbagai penyakit akibat rendahnya akses terhadap air bersih penyakit kulit dan diare
Potensi intrusi air laut pada air tanah tinggi
Muka air tanah relatif dangkal
Adanya sungai-sungai bawah tanah di beberapa lingkungan pesisir sebagai sumber air minum
2 Kawasan komersial
Merupakan daerah dengan kelompok masyarakat homogen (berprofesi sebagai pedagang)
Umumnya penduduk sebagian besar tidak menetap
Partisipasi masyarakat dalam
Biasanya sudah ada retribusi yang diberlakukan untuk penggunaan SABS, namun penerimaannya masih belum mencukupi untuk biaya investasi SABS yang layak
SAB yang ada berupa PDAM, kran umum dan sumur gali
Hanya sebagian kecil memiliki sarana jamban dengan septic tank, akibat keterbatasan lahan
Timbulnya pencemaran air tanah akibat limbah domestik (khususnya tinja) masih belum terkelola dengan baik
pengelolaan lingkungan umumnya cukup baik
3 Kawasan terminal
Sebagian besar penduduk merupakan pendatang sehingga penduduk umumnya berasal etnis dan daerah
Berprofesi sebagai pekerja di sektor informal
Kesadaran masyarakat yang rendah dalam partisipasinya untuk merawat dan menjaga kebersihan fasilitas yang dimiliki secara pribadi maupun secara umum
Ada sistem retribusi untuk SABS komunal
Layanan perpipaan (PDAM) dan sumur gali
Sarana sanitasi berupa jamban komunal (belum tentu dilengkapi dengan septic tank)
Sumber air terbatas
4 Kawasan bantaran sungai
Masyarakatnya lebih heterogen (bekerja sebagai pedagang keliling, kuli bangunan, buruh, dll) dan
Merupakan masyarakat berpenghasilan rendah
Pada musim kemarau, harus
Sarana sanitasi layak belum ada, umumnya masih berupa bilik di atas sungai yang jauh dari tempat
Kesadaran mengenai kebersihan diri masih rendah
Sungai sebagai
air sungai yang tercemar juga dijadikan sumber air untuk kebutuhan sehari-
biasanya pekerjaan musiman.
mengeluarkan dana lebih besar untuk membeli air
tinggal SAB komunal,
beberapa lokasi menunjukkan adanya SAB individu seperti pompa tangan, bahkan PDAM
tempat pembuangan air limbah domestik (pencemaran air sungai)
hari
5 Kawasan bantaran rel kereta api
Masyarakatnya lebih heterogen (bekerja sebagai pemulung, lapak jual-beli barang bekas, buruh pasar, pedagang kaki lima dan penarik becak)
Pendapatan warga Rp 10.000-15.000/hari/KK. Sementara pengeluaran Rp 4.000-9.000/hari/KK hanya untuk air bersih, MCK dan listrik
SAB terbatas Sarana sanitasi
(MCK) belum memadai
Kesadaran mengenai kebersihan diri masih rendah
4 UPAYA PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN
Seperti yang telah diuraikan pada bab sebelumnya, permasalahan air minum dan sanitasi
dasar merupakan salah satu bagian dari berbagai permasalahan yang terjadi pada kawasan
kumuh perkotaan. Seperti halnya seluruh permasalahan yang ada pada kawasan kumuh
perkotaan, permasalahan air minum dan sanitasi dasar juga dapat diselesaikan dengan
pendekatan-pendekatan yang bersifat makro dalam konteks pencegahan munculnya kawasan-
kawasan kumuh diperkotaan besar di Indonesia dan pendekatan spesifik yang secara
langsung terkait dengan permasalahan air minum dan sanitasi dasar. Bab ini mencoba
memaparkan berbagai upaya baik dalam skala makro atau ketataruangan maupun upaya yang
terkait langsung dengan sektor air minum dan sanitasi dasar.
4.1 Upaya Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan
4.1.1 Menekan Arus Urbanisasi
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, kawasan kumuh yang ada diperkotaan khususnya
kota-kota besar di Indonesia pada umumnya dihuni oleh orang-orang yang berasal dari luar
daerah kota itu sendiri. Hal ini terjadi karena adanya proses urbanisasi. Urbanisasi sendiri
adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi saat ini menjadi masalah yang
cukup serius bagi kita semua. Jumlah peningkatan penduduk kota yang signifikan tanpa
didukung dan diimbangi dengan jumlah lapangan pekerjaan, fasilitas umum, aparat penegak
hukum, perumahan, penyediaan pangan, dan lain sebagainya tentu adalah sumber
permasalahan yang ada di perkotaan, termasuk munculnya kawasan kumuh (Sutjipto,2008).
Pertumbuhan jumlah penduduk yang sangat pesat akibat urbanisasi tidak diimbangi dengan
bertambahnya luas permukiman mendorong munculnya berbagai permukiman kumuh yang
ditempati oleh sebagian besar kaum urban. Sebagian besar lahan permukiman kumuh ini
ilegal dan biasanya terletak di daerah aliran sungai (DAS) sehingga sangat mengganggu
aliran sungai dan memicu banjir ketika musim hujan tiba. Namun tidak tertutup kemungkinan
juga kawasan kumuh kerap muncul di daerah-daerah pusat perkotaan, daerah konservasi non-
bantaran sungai, dan lokasi-lokasi lainnya (World Bank, 2004).
Laju pertumbuhan urbanisasi cenderung melambat tapi tetap meningkat pada beberapa negara
diantaranya Indonesia. Diperkirakan pada tahun 2010, proporsi penduduk perkotaan akan
mencapai 55 persen, meningkat dari sekitar 45 persen (2000). Sementara itu, pada tahun 2010
penduduk miskin perkotaan mencapai sekitar 47 persen dari total penduduk miskin Indonesia,
meningkat dari sekitar 38 persen pada tahun 2000 (Dasgupta, 2002 dalam Mungkasa, 2005).
Jakarta (tanpa Bodetabek) merupakan salah satu kota besar dunia yang penduduknya
diperkirakan akan mencapai di atas 10 juta jiwa pada tahun 2015 (World Bank, 2003 dalam
Mungkasa, 2005).
Sebagai gambaran lain, jumlah urbanisasi yang terjadi di Kota Bandung adalah sebesar
150.000 orang selama tahun 2007 dari total jumlah penduduk sebesar 2,9 juta orang. Jumlah
ini sama dengan 65% dari besarnya pertambahan penduduk kota Bandung selama tahun
2007.3 Untuk DKI Jakarta sendiri, jumlah pendatang ilegal memang tidak bisa dihitung
secara presisi, namun berdasarkan data dari BPS tahun 2006, jumlah penduduk musiman
yang terdapat di DKI Jakarta mencapai 2 juta orang, atau mencapai 22% dari total penduduk.
Penduduk musiman ini disinyalir sebagai penduduk pendatang dari luar daerah yang
mendiami kawasan-kawasan kumuh di Jakarta, terutama Jakarta Utara.4
Sebagai akibat urbanisasi dan menurunnya kinerja perekonomian, banyak kota di negara
berkembang mengalami penambahan signifikan penduduk miskin. Sebagian besar dari
penduduk miskin berlokasi di permukiman liar dengan akses terbatas pada air minum dan
sanitasi yang terjangkau. Kondisi ini mengakibatkan tingginya insiden penyakit terkait air,
kehilangan pekerjaan dan kebanggaan, yang kesemuanya mengarah pada penurunan kinerja
perekonomian kota dan nasional. Terdapat bukti bahwa perbaikan akses air minum dan
sanitasi dapat mempunyai dampak positif pada kesehatan, efisiensi dan produktifitas
(Mungkasa, 2005).
3 Diambil dari www.mimbaropini.com “Lebaran dan Arus Urbanisasi”4 Situs resmi Walikota Jakarta Pusat, www.jakartapusat.go.id. “Arus Urbanisasi Lebih Tinggi dari Angka Kelahiran Penduduk”
Ada dua faktor warga melakukan migrasi. Pertama, faktor penarik migrasi, yaitu prospek
lapangan kerja di perkotaan yang cukup terbuka. Selain itu, mereka tergiur oleh sukses yang
diraih warga daerah asalnya yang migrasi ke kota meskipun tidak sedikit yang pulang
kampung gagal menaklukkan kehidupan kota.
Kedua, faktor pendorong migrasi di mana desa atau daerah asal orang-orang yang bermigrasi
ke kota sama sekali tidak memberikan jaminan perbaikan masa depan. Desa tetap terbelakang
dan taraf kehidupan masyarakatnya masih terkategori miskin (Firman, 2004).
Terkait dengan permasalahan urbanisasi ini, pemerintah perlu memperhatikan 2 (dua) faktor
di atas yang menjadi penyebab dalam terjadinya arus migrasi penduduk dari desa ke kota.
Selama ini urbanisasi sudah menjadi isu yang sangat dipahami sebagai “biang keladi” dari
berbagai permasalahan yang muncul di perkotaan. Namun sebaliknya, permasalahan
urbanisasi ini juga masih menjadi permasalahan yang tak kunjung dapat diselesaikan. Jika
dilihat lebih jauh, apabila urbanisasi dapat ditekan pada angka yang lebih kecil tentunya
permasalahan-permasalahan yang timbul di perkotaan tidak menjadi rumit seperti yang
terjadi saat ini (Firman, 2004). Salah satu permasalahan yang juga dapat diredam melalui
penekanan arus urbanisasi adalah munculnya kawasan kumuh di perkotaan yang berarti juga
mengurangi munculnya lingkungan-lingkungan permukiman dengan kualitas sarana AMPL
yang mengkhawatirkan seperti yang ada saat ini.
4.1.2 Penegakan Implementasi Tata Ruang
Munculnya permukiman kumuh di kawasan perkotaan utamanya tersebar pada kawasan yang
pada dasarnya bukan sebagai peruntukannya, atau dengan kata lain ilegal berdasarkan tata
ruang. Permukiman kumuh ini pada umumnya terdapat pada kawasan non-budidaya yang
diperuntukkan sebagai kawasan konservasi, seperti Daerah Aliran Sungai (DAS), daerah
sempadan rel kereta api, daerah sempadan pesisir pantai, Ruang Terbuka Hijau (RTH),
maupun daerah pusat komersial (Purboyo, 2000).
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Kota telah diatur tata pemanfaatan ruang
yang bertujuan untuk optimalisasi ruang yang ada dan menciptakan keterkaitan antar kegiatan
yang ada di kota. RTRW disusun dengan pertimbangan kegiatan yang perlu berkembang
pada suatu kota disesuaikan dengan daya dukung kota itu sendiri (Sudrajat, 2004).
Seluruh kota besar di Indonesia telah memiliki RTRW Kota masing-masing yang di
dalamnya menjelasakan rencana peruntukan ruang di masing-masing zona ruang kota
tersebut. Seluruh RTRW Kota tidak ada yang mengakomodir kawasannya direncanakan
sebagai kawasan kumuh sehingga kawasan kumuh yang timbul saat ini mayoritas merupakan
kawasan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, atau dengan kata lain ilegal berdasarkan
rencana tata ruang yang ada. Hal ini antara lain dikarenakan pemerintah daerah belum tegas
dalam mematuhi pemanfaatan ruang sesuai dengan yang telah direncanakan dalam RTRW
Kota yang ada.
Legislatif saat ini telah melahirkan Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Tata Ruang.
Salah satu pembaruan yang dilakukan pada aturan tentang tata ruang tersebut adalah pasal
tentang sanksi. Bila pada aturan lama sanksi bagi pelanggaran tata ruang hanya berupa sanksi
administratif, sementara pada aturan yang baru pelanggar tata ruang dikenai sanksi pidana.
Bahkan sanksi bisa dijatuhkan bagi pembuat kebijakan seperti pemerintah daerah dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan kebijakan yang dibuat terbukti merugikan masyarakat.
Dalam hal ini, seluruh rencana tata ruang yang ada pada RTRW harus dipatuhi oleh seluruh
stakeholder yang ada pada tingkat kota (Anas, 2008).
Melihat permasalahan yang ada diperkotaan ini, salah satu kesimpulan yang dapat diketahui
adalah bahwa hampir seluruh kota-kota di Indonesia masih belum mempunyai kemauan yang
kuat dalam melakukan law enforcement atau penegakan hukum terkait dengan implementasi
tata ruang yang ada. Pemerintah kota cenderung mengabaikan pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana yang ada, karena unsur pengawasan dan pengendalian dalam
penerapan tata ruang masih belum menjadi perhatian pemerintah kota (Daryoni, 2008).
Apabila seluruh Pemerintah Kota khususnya dinas terkait telah memiliki kesadaran dan
kemauan untuk melakukan penegakan hukum dalam hal implementasi tata ruang, tentunya
permasalahan munculnya permukiman-permukiman kumuh di perkotaan dapat ditanggulangi.
Beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Palembang, Malang dan Makassar
merupakan beberapa contoh kota yang sudah memulai penegakan hukum untuk
menyesuaikan pembangunan dengan tata ruang yang ada. Penggusuran Pedagang Kaki Lima
(PKL) dan pembongkaran permukiman-permukiman kumuh merupakan salah satu bentuk
nyata dari keberanian pemerintah kota dalam penegakan hukum tata ruang. Meskipun terlihat
sangat bertentangan dengan keberadaan masyarakat miskin, penggusuran ini merupakan
sebuah fenomena growing pain dari sebuah kota yang pada gilirannya akan memberikan
dampak positif pada pembangunan yang berkelanjutan (Danisworo, 2007).
Apabila pemerintah kota di Indonesia telah benar-benar memiliki RTRW yang mengacu pada
pembangunan berkelanjutan, serta memiliki kemauan untuk menerapkan pembangunan
berdasarkan rencana tata ruang yang ada, permasalahan munculnya permukiman-
permukiman kumuh diperkotaan dapat diredam semaksimal mungkin. Dengan berkurangnya
keberadaan kawasan kumuh diperkotaan berarti juga pengurangan masyarakat yang tinggal di
permukiman dengan kualitas lingkungan yang buruk, serta sarana AMPL yang jauh dari
memadai.
4.1.3 Urban Renewal
Urban Renewal sering dikaitkan dengan penataan kembali suatu kawasan untuk mencapai
optimalisasi pemanfaatan setiap petak tanah perkotaan yang ada sesuai dengan fungsi yang
telah digariskan. Terkait dengan penataan kembali suatu kawasan, apabila diperlukan relokasi
penduduk (resettlement) maka harus dipersiapkan pula kawasan pengembangan permukiman
baru yang harus menganut prinsip ’berkeadilan’ bagi warga yang dipindahkan (Sudarpo,
2006).
Salah satu konsep penataan kembali suatu kawasan yang belakangan ini dilakukan
Pemerintah Kota adalah dengan melakukan pembangunan rumah susun atau lebih dikenal
dengan Rumah Susun Sederhana Sewa atau Rusunawa. Berdasalkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Departemen PU, sebagian besar rumah tangga pada lingkungan permukiman
kumuh di Kelapa Gading, Jakarta mengeluarkan uang sebesar Rp. 600.000 setiap bulannya
untuk membayar pungutan liar permukiman, membeli air, dan membayar listrik. Sedangkan
warga permukiman kumuh di Penjaringan Sari, Surabaya mengeluarkan Rp. 500.000 untuk
keperluan yang sama.
Hal di atas menujukkan bahwa pada dasarnya masyarakat permukiman kumuh memiliki
kemampuan untuk mengeluarkan uang untuk mendapatkan permukiman yang lebih layak.
Salah satunya adalah permukiman yang berupa Rusunawa yang pembangunannya
menggunakan subsidi dari pemerintah dan secara prinsip juga memang diperuntukkan bagi
masyarakat yang tidak mampu. Di Jakarta, tarif rata-rata Rusunawa per bulan sebesar Rp.
400.000 hingga Rp. 500.000 dan ini berarti dapat dijangkau bagi masyarakat yang selama ini
membayar lebih hanya untuk tinggal di kawasan kumuh perkotaan.
Upaya pemerintah untuk menyediakan Rumah Susun Sederhana Sewa dan Milik, atau yang
biasa dikenal dengan Rusunawa bagi rakyatnya, tidaklah main-main. Pemerintah sangat
berharap pembangunan hunian vertikal bersubsidi ini dapat mengubah kebiasaan masyarakat
urban untuk tinggal di rumah susun. Adapun upaya pemerintah yaitu:
a. Dalam 2 tahun terkahir ini, industri properti di Indonesia memang terus mengalami
perkembangan tiada henti. Tetapi dari sekian banyak sub-sektor properti yang tumbuh,
hampir semua pihak sepakat bila program pemerintah membangun 1.000 Tower Rumah
Susun Sederhana adalah yang paling mencuri perhatian (Ningtyas, 2008).
b. Pembangunan superblok yang digawangi oleh para pengembang raksasa, sepertinya kalah
populer dan tenggelam oleh mega proyek yang digagas pemerintah itu. Selain
mengemban misi tersebut, dengan adanya 1.000 Tower Rumah Susun Sederhana juga
diharapkan menjadi trend setter atau membiasakan masyarakat kelas menengah ke bawah
perkotaan untuk tinggal di hunian vertikal. Untuk membangun mega proyek ini memang
tidak mudah. Selain menyiapkan seperangkat peraturan yang memudahkan keterlibatan
para pengembang swasta, pemerintah juga sudah menyiapkan insentif bertingkat dalam
bentuk subsidi uang muka dan subsidi selisih bunga (Ningtyas, 2008).
(Beberapa pembangunan Rusunawa di Jakarta Utara, Surabaya, dan Makassar)
Beberapa persyaratan yang perlu dipenuhi pemerintah jika ingin menjadikan Rumah Susun
sebagai solusi bagi masyarakat golongan bawah adalah sebagai berikut:
1. Harga jual rumah susun dapat dijangkau oleh masyarakat golongan ekonomi menegah ke
bawah;
2. Apabila rumah susun yang dijual secara kredit kepada masyarakat mempuinyai bunga
yang kecil;
3. Rumah susun harus menyertakan ketersedian sarana-prasarana dasar bagi penghuninya;
4. Karena rumah susun diperuntukkan bagi masyarakat golongan ekonomi menengah ke
bawah maka pemerintah harus memberikan subsidi bagi pembangunan rumah susun
(Indriana, 2006).
Dengan adanya pembangunan Rusunawa, maka masyarakat yang tinggal di permukiman
kumuh akan memiliki alternatif untuk mendapatkan lingkungan permukiman yang lebih baik,
termasuk ketersediaan sarana dan prasarana AMPL. Dengan begitu masyarakat yang pada
awalnya “terpaksa” untuk tinggal di kawasan kumuh dapat beralih ke kepemilikan Rusunawa.
4.2 Upaya Penanganan Air Minum dan Sanitasi Dasar di Kawasan Kumuh Perkotaan
(Proyek dan Program)
4.2.1 Small Scale Water Provider (Penyediaan Air Minum Skala Kecil)
Salah satu upaya penyediaan air minum pada kawasan perkotaan, termasuk kawasan kumuh
perkotaan, di beberapa kota di Indonesia adalah dengan penyediaan air minum skala kecil.
Sebagian besar penyediaan air minum skala kecil ini muncul dari masyarakat setempat
ataupun dari para pengusaha setempat.
Secara umum disepakati bahwa kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai penyedia air
minum skala kecil ketika (i) melaksanakan kegiatan dengan menggunakan pegawai dalam
jumlah kecil; (ii) melaksanakan kegiatan berdasar prinsip pemulihan biaya dan orientasi
keuntungan; (iii) menggunakan modal sendiri tanpa bantuan dari pemerintah dan LSM; (iv)
menyediakan air minum merupakan kegiatan utamanya (Conan, 2002 dalam Mungkasa,
2005).
Beberapa alasan maraknya penyedia air minum skala kecil khususnya kios air diantaranya
adalah (i) memungkinkan pengguna membeli dalam jumlah dan waktu yang sesuai
kemampuan mereka; (ii) memungkinkan biaya modal rendah per rumah tangga yang
terlayani; (iii) memungkinkan tingkat pemulihan biaya (cost recovery) perusahaan air minum
lebih baik karena penyedia air minum skala kecil membayar sesuai dengan yang
dipergunakannya. Dengan kata lain, kios air memberikan layanan fleksibel, sesuai kebutuhan
bagi penduduk miskin dengan memungkinkan mereka membeli dalam jumlah kecil sesuai
kemampuan. Penduduk miskin mendapat air dan perusahaan mendapat pengembalian biaya
(Gulyani dkk, 2005 dalam Mungkasa, 2005).
Beberapa tipe penyediaan air minum yang masuk dalam kategori penyediaan air minum skala
kecil dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.1
Tipe Penyediaan Air Minum Skala Kecil
No Tipe Tingkat Investasi Tingkat Layanan
1Kongsi dengan Perusahaan Air Minum
Sangat rendah Rendah (air di luar rumah)
2 Penjual kembali Sangat rendah -
3 Penjaja keliling RendahRata-rata (air diantar ke rumah)
4 Truk Tangki AirMenengah sampai Tinggi
Rata-rata (air diantar ke rumah)
5Penyedia Air Minum Skala Komunitas
Menengah
Rata-rata sampai tinggi (air minum didistribusi ke rumah dengan selang atau sambungan rumah)
(Sumber: McIntosch, 2003 dalam Penelitian SSWP–WSP, 2006)
Berdasarkan biaya yang harus dikeluarkan per satuan volume, maka penyedia air minum
dapat dikategorikan sebagai berikut (i) harga termahal. Termasuk dalam kategori ini adalah
truk tangki air, gerobak air. Kelompok ini dapat menjual air dengan harga tertinggi karena
menjangkau pembeli dan dapat memenuhi kebutuhan setiap saat; (ii) harga menengah.
Temasuk dalam kategori ini adalah hidran umum dan kios air. Kedua fasilitas ini dapat
melayani daerah dengan kualitas air yang rendah atau mahal; (iii) harga murah. Sambungan
rumah merupakan sumber air minum yang murah jika biaya investasi tidak terhitung dalam
tarif dan biaya sambungan dapat dicicil; (iv) paling murah atau hampir gratis. Termasuk
kategori ini adalah air sungai, danau dan sejenisnya. Biasanya digunakan untuk mandi dan
cuci (Mungkasa, 2005).
Sebagai contoh, Jakarta dan Bandung merupakan perkotaan yang paling banyak berkembang
kegiatan penyediaan air minum skala kecil. Beberapa yang paling banyak muncul di
perkotaan ini adalah berupa penjaja keliling dengan menggunakan gerobak dan membeli air
dari landlord atau pemilik lahan. Sebagian besar air yang diperoleh masyarakat Jakarta dan
Bandung dengan membayar harga yang rata-rata lebih mahal dari harga air yang dijual oleh
PDAM. Namun PDAM sendiri belum menjangkau kawasan permukiman masyarakat
tersebut, sehingga masyarakat mau tidak mau harus membeli dari penyedia air minum skala
kecil tersebut.
Keterangan:
1. Penjual air skala komunitas di lingkungan kumuh Cilincing, Jakarta
2. Penjual air keliling menggunakan gerobak di Taman Sari, Bandung
3. Truk penjual air keliling
1 2
3
Kotak 4.15
4.2.2 Kampung Improvement Program (KIP)
Pertumbuhan daerah pemukiman yang diakibatkan oleh tingkat pertumbuhan penduduk yang
cukup pesat menyebabkan lingkungan perumahan sangat membutuhkan peningkatan dan
perbaikan fasilitas-fasilitas yang ada, khususnya lingkungan kampung. Agar masyarakat
dapat tinggal dalam lingkungan perumahan yang sehat dan nyaman, maka salah satu usaha
yang harus dilakukan adalah dengan mengadakan perbaikan terhadap lingkungan rumah itu.
Hal ini bisa dilakukan dengan biaya swadaya dari masyarakat sendiri atau mendapat bantuan
dari pemerintah. Salah satu program pemerintah untuk membantu penyediaan fasilitas
perumahan di kampung adalah Kampung Improvement Programme yang dikenal dengan
KIP. Program perbaikan kampung yang dikenal dengan nama Kampung Improvement
5 Diambil dari “Penyediaan Air Minum dan Pembangunan Pro Poor” ; Mungkasa, 2005
Masa Depan Pelayanan Air Minum Skala Kecil
Pasar pelayanan air minum skala kecil sangat tergantung pada kondisi pelayanan air
minum skala besar. Semakin baik dan terjangkau pelayanan air minum skala besar
maka semakin kecil pasar pelayanan air minum skala kecil. Walaupun pada beberapa
pengalaman (Filipina, Vietnam), pelayanan air minum skala kecil kemudian
berkembang menjadi pelayanan berskala besar, tetapi secara keseluruhan sebagian
besar pelayanan air minum skala kecil bersifat sebagai pelengkap (komplementer)
terhadap pelayanan skala besar.
Perkembangan pelayanan air minum skala kecil dalam 10 tahun ke depan akan tetap
marak dengan mempertimbangkan bahwa pencapaian pelayanan 100 persen oleh
perusahaan penyedia air minum masih belum akan tercapai. Kekosongan ini akan diisi
oleh pelayanan skala kecil, yang kemudian ketika terdapat kemungkinan berkembang
menjadi besar maka di masa depan terdapat kemungkinan pelayanan skala kecil
menjadi mitra dari perusahaan penyedia air minum.
Kondisi ini memungkinkan untuk mendorong pelayanan air minum skala kecil sebagai
alternatif pencapaian Millenium Development Goals pada tahun 2015. Memasukkan
penyedia air minum skala kecil dalam strategi investasi air minum akan dapat
mempercepat peningkatan cakupan layanan, dengan memberi perhatian khusus pada
beberapa kendala seperti tarif yang relatif mahal, dan kurang tersedianya dana
investasi (Conan, 2002 dalam Mungkasa, 2005).
Programme yang disingkat KIP pada kenyataannya bukan suatu program baru di Indonesia.
Kegiatan tersebut telah ada pada waktu penjajahan Belanda dengan nama Kampoeng
Verbetermg.
Pada dasamya perbaikan kampung merupakan perbaikan fasilitas umum lingkungan
kampung karena keterbatasan fasilitas-fasilitas yang ada dan pemeliharaan yang tak memadai
sehingga mempercepat proses kerusakan yang menjadi suatu problem tersendiri yang harus
ditanggulangi demi peningkatan suatu kualitas lingkungan permukiman kampung. Hal-hal
tersebut adalah peningkatan kualitas jalan-jalan kampung, pengadaan air minum dan
pelayanan sosial yang lebih baik, misalnya : adanya pelayanan kesehatan (Puskesmas atau
Posyandu), MCK ( Mandi, Cuci, Kakus), dan lain-lain.
A. Konsep Perbaikan Kampung
Kampung adalah suatu daerah perumahan yang keadaan fisiknya tidak memenuhi syarat
kebutuhan dan kehidupan yang layak, dimana penduduk kurang memelihara daerahnya yang
miskin serta kemampuan materinya rendah. Program perbaikan kampung yang dikenal
dengan nama Kampung Improvement Programme yang disingkat KIP pada kenyataannya
bukan suatu program baru di Indonesia. Kegiatan tersebut telah ada pada waktu penjajahan
Belanda dengan nama Kampoeng Verbetermg.
Tujuan program ini pada awalnya adalah untuk memperbaiki kondisi lingkungan perumahan
kampung di dalam kota yang kumuh dan tidak sehat, agar masyarakat dapat tinggal dalam
lingkungan perumahan yang lebih sehat dan lebih nyaman. Dengan adanya perbaikan kondisi
rumah mereka masing-masing dan prasarana fisik lingkungan kampung. Di Surabaya KIP
telah dilaksanakan sejak 1923 (Silas, 1996) dan sampai saat ini sudah mencapai 70% dari
kampung yang ada di kota Surabaya, tetapi ada beda yang yang mendasar antara KIP pada
waktu itu dengan yang sekarang kita lihat. Dahulu KIP lebih diarahkan untuk menanggapi
politik etis yang dilancarkan kaum oposisi di Parlemen Belanda, dan sekaligus untuk
melindungi warga Eropa yang tinggal di dekat kampung dari bahaya epidemi. Orientasi KIP
pada waktu itu hanya pada aspek sanitasi saja, amat sederhana.
Selama tahun 1984-1990 KIP di Surabaya telah mengembangkan 70 km jalan masuk, 150 km
jalan setapak, 93 km saluran, 56 km saluran pembuangan dari pipa, 86 MCK umum telah
dibuat. Konsep pelaksanaan program perbaikan kampung pada awalnya sangat sederhana.
Untuk meningkatkan kondisi fisik lingkungan perumahan kampung sasarannya adalah :
1. Mengurangi genangan air diwaktu hujan, dengam cara memperbaiki sistem saluran
drainase dan pengerasan jalan-jalan dalam kampung.
2. Meningkatkan pengadaan air bersih, dengan cara pemasangan kran-kran umum di
beberapa tempat.
3. Mengurangi gangguan sampah, dengan cara memperbaiki sistem pembuangan
sampah melalui pengadaan gerobak-gerobak sampah, tong, dan bak sampah.
4. Meningkatkan kondisi sanitasi lingkungan, dengan cara pembangunan fasilitas
mandi, cuci, kakus atau MCK.
Selain sasaran diatas, ada beberapa hal juga yang mendapatkan bantuan dalam pembangunan
fasilitas-fasilitas umum bagi masyarakat kampung seperti fasilitas kesehatan, pendidikan
seperti Puskesmas, Pos Pelayanan Kesehatan, perbaikan Sekolah Dasar, dan lain-lain.
Evaluasi di Jakarta pada tahun 1983 (Kantor Menteri Negara Perumahan Rakyat, 1990)
menunjukkan bahwa investasi dan kondisi rumah pada kampung yang menerima KIP lebih
baik daripada kampung yang tidak menerima KIP, sehingga baik kampung yang menerima
KIP dan tidak, untuk memperbaiki rumah mereka menggunakan bahan dengan kualitas yang
baik dan permanen sebagai ganti dari bambu dan kayu. Kebanyakan rumah memiliki dinding
dari semen, tile/terasso dan lantai dari semen, dan atap seng. Kemajuan pada kampung yang
menerima KIP bagaimanapun juga lebih cepat.
B. Komponen KIP
Fasilitas yang disediakan oleh KIP merupakan bantuan yang sangat dibutuhkan oleh
masyarakat ekonomi lemah. Oleh karena itu dalam merealisasi Program Perbaikan Kampung
(KIP), penduduk yang mendapat bantuan perbaikan diikutsertakan dari tahap perencanaan
dan menentukan prioritas perbaikan sehingga komponen perbaikan yang ditentukan tersebut
merupakan pencerminan kebutuhan fasilitas bagi penduduk kampung yang ada. Setelah
implementasi KIP, masyarakat diharapkan dapat meningkatkan sendiri baik secara kualitas
maupun kuantitas sesuai kebutuhan dan prioritas mereka terutama komponen-komponen
yang masih belum dapat disediakan oleh KIP.
Secara umum, setiap proyek mencakup dua komponen. Pertama, komponen dalam skala kota
yang bakal mendukung aksesibilitas masyarakat. Bagaimanapun, apabila dalam
pelaksanaannya tidak terpikirkan dalam skala kota, apabila dimisalkan dalam satu kampung
sering terjadi banjir, membangun saluran air hujan hanya berpikir skala kampung tidak akan
berarti tanpa pemecahan pematusannya dalam skala kota. Kedua, komponen yang dibangun
merupakan kebutuhan didalam kampung itu sendiri.
Menurut Johan Silas (Silas, 1987: p.28), komponen standar KIP yang lebih umum
dilaksanakan di kampung Surabaya adalah :
1. Jalan kendaraan (sampai dengan 300 meter)
2. Jalan setapak (sesuai kebutuhan setempat)
3. Pengadaan air bersih (melayani lebih-kurang 30 KK)
4. Saluran air hujan (dengan gorong-gorongrtya)
5. MCK (Mandi, Cuci, Kakus) umumnya berupa komponen tambahan, karena untuk
daerah perkotaan hampir semua rumah sudah memiliki secara perorangan).
Dengan demikian diharapkan program perbaikan kampung yang mengikutsertakan
masyarakat kampung dapat menimbulkan kesadaran rasa tanggung jawab untuk memelihara
dan menjaga kelestarian lingkungan kampung itu sendiri.
C. Sumber Pembiayaan
Program perbaikan kampung yang dilaksanakan oleh pemerintah memiliki tujuan
meningkatkan martabat dan mutu kehidupan masyarakat di perkampungan serta mewujudkan
secara lebih baik tata kehidupan lingkungan permukiman kampung yang baik, sehat, dan
teratur.
Pembiayaan yang dipergunakan bagi perbaikan kampung di Surabaya dapat diperoleh dari
swadaya masyarakat sendiri, dana subsidi pemerintah daerah atau pemerintah atasan, dana
Inpres, maupun dana penggunaan bantuan kredit yang kesemuanya dipergunakan untuk
program perbaikan kampung. Sumber-Sumber pembiayaannya terdiri dari:
1. Swadaya murni masyarakat.
2. Dana bersama yang berasal dari masyarakat dan Pemerintah Daerah.
3. Dana lnpres.
4. Dana Bantuan kredit Bank Dunia.
5. DanaAPBN.
6. Dana-dana Intemasional lainnya
Kotak 4.2
Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi di Kawasan Kumuh Perkotaan Haipong,
Vietnam
Haipong adalah kota terbesar ketiga di Vietnam yang juga merupakan kota pelabuhan,
industri, komersial, dan sekaligus sebagai kota objek wisata yang terletak di pesisir
selatan Vietnam. Haipong juga merupakan pelabuhan laut terbesar dari seluruh
pelabuhan di provinsi yang berada di selatan Vietnam bahkan untuk Vietnam secara
keseluruhan. Haipong adalah satu dari titik pertumbuhan pada daerah segi tiga
perekonomian Hanoi-Haipong-Quangninh.
Pembangunan di Haipong telah menghadapi berbagai kesulitan. Salah satu yang
paling besar adalah sangat kurangnya penyediaan air bersih bagi penduduknya.
Penduduk miskin sangat kekurangan ketersediaan air bersih dan harus membeli dari
penjual keliling dengan harga yang sangat mahal, sedangkan beberapa warga
memperolehnya dari tanki umum yang sumber airya berasal dari air hujan. Kualitas
air pada umumnya di Haipong sangat buruk secara fisik dan higienitas, terutama pada
saat musim kemarau. Tekanan air di beberapa sambungan perpipaan sangan kecil dan
bahkan tidak mengalir sama sekali. Beberapa rumah tangga memiliki sambungan
perpipaan rumah tangga namun tidak menggunakan meteran air, hal ini menyebabkan
tingginya tingkat kerugian bagi operator (sampai 70% pada tahun 1993).
Pada tahun 1992, dibentuk perusahaan publik bernama Haipong Water Supply
Company (HPWSCo) yang beroperasi dibawah sistem pemerintahan dan disupervisi
oleh pemerintah provinsi. Pada tahun berikutnya dilakukan reformasi atas perusahaan
tersebut dan juga dilakukan proses korporatisasi yang menciptakan HPWSCo menjadi
entitas ekonomi yang lebih baik. Setelah 7 (tujuh) tahun menerapkan “phuong model”
dalam program peningkatan penyediaan air bersih, dan 2 (dua) tahun menerapkan
Proyek Dana Bergulir untuk program pembangunan jamban, melalui bantuan dari
Pemerintah Finlandia, HPWSCo telah berhasil melakukan peningkatan signifikan
dalam hal pengentasan kemiskinan.
Masyarakat miskin kini bisa mendapatkan air bersih yang lebih terjangkau dari
sebelumnya yang harganya mencapai sebesar 5 hingga 20 kali lipat dari harga
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
M.
N.
O.
P.
Q.
sekarang. Peningkatan penggunaan air bersih yang berupa pemanfaatan untuk
mencuci pakaian dan perlengkapan makan, mandi, serta untuk konsumsi air minum,
telah meningkatkan kesehatan dan mengurangi resiko tercemarnya sumber air seperti
sumur dan mata air melalui :
Penyediaan air bersih bagi masyarakat selama 24 jam dengan tekanan dan
kualitas yang baik sesuai dengan standar yang berlaku di Vietnam
Pemasangan meteran air sesuai dengan konsep “phuong model” bagi 37
kawasan kumuh
Pemasangan 130.000 sambungan rumah lengkap dengan meteran air (hingga
tahun 2004 jumlah pelanggan mencapai 132.000 orang)
Peningkatan pendapatan lebih dari 300% dibandingkan dengan sebelum
adanya instalasi air
Sejak mulai dilaksanakannya, Proyek Dana Bergulir untuk pembangunan jamban telah
mencapai hasil yang sangat memuaskan hanya dalam 2 (dua) tahun. Lebih dari 4000
rumah tangga miskin telah mendapatkan pinjaman untuk pengembangan dan
pembangunan fasilitas sanitasi yang berkontribusi dalam mitigasi untuk pencemaran
lingkungan. Kegiatan berbasis partisipasi masyarakat dan kampanye perubahan
perilaku, yang dilakukan melalui Proyek Dana Bergulir, telah menghasilkan dampak
yang positif bagi kondisi lingkungan di Haiphong. Beberapa pertemuan, kampanye
kesehatan, konsultasi publik, dan demonstrasi PHBS telah dilaksanakan untuk
menyambut acara perayaan minggu air bersih dan penyehatan lingkungan berskala
nasional yang diselenggarakan di 22 area kawasan kumuh perkotaan. Berbagai
kegiatan yang dilakukan yang telah merubah perilaku masyarakat dan juga berbagai
pencapaian lainnya berupa:
Jumlah pelanggan yang membayar tagihan air mencapai hingga 100%
Tidak adanya lgi tunggakan pembayaran lebih dari 30 hari
Peningkatan pengecekan dan pengelolaan dari jaringan perpipaan air minum
Perbaikan kebocoran dalam 3 (tiga) jam setelah pemberitahuan, dan perbaikan
kerusakan pipa dalam 24 jam
Pencurian air atau sambungan yang tidak tercatatkan berkurang hingga
mencapai 15% (sebelumnya tingkat pencurian air mencapai 70%)
Munculnya dukungan dan kontribusi dari masyarakat dalam pelaksanaan
“phuong model”
Peningkatan status keuangan bagi HPWSCo.
Melalui penerapan dari “phuong model”, HPWSCo kini dapat memenuhi
kewajibannya dan mencapai hasil yang baik. Kegiatan operasionalnya kini menjadi
lebih stabil dan saat ini tidak ada lagi kekurangan air pada wilayah yang telah
terjangkau oleh jaringan air bersih perpipaan. Meskipun hingga saat ini kapasitas
instalasi pengelolaan air minum masih belum bertambah, penyediaan air pada
kawasan perkotaan Haiphong masih mencukupi, termasuk di kawasan kumuh
perkotaan. Sejak tahun 1995, pendapatan HPWSCo telah mencukupi untuk
operasionalisasi kegiatannya.
4.2.3 NUSSP
Neighborhood Upgrading and Shelter Sector Project atau NUSSP merupakan proyek
pemerintah yang terkait dengan upaya pembangunan air minum dan sanitasi pada kawasan
kumuh. Pendekatan proyek ini adalah upgrading bagi kawasan kumuh di perkotaan di
Indonesia, dimana salah satunya adalah dengan peningkatan penyediaan sarana air minum
dan sanitasi bagi masyarakat yang tidak memiliki akses memadai terhadap air minum dan
sanitasi. Secara umum pelaksanaan NUSSP ini terdiri dari 5 (lima) tujuan, yaitu:
Mewujudkan perumahan dan pemukiman layak dan merata bagi seluruh penduduk
(kota). Membangun kemampuan pemerintah daerah yang lebih baik dalam
merencanakan dan mengelola pemukiman yang ada;
Mewujudkan kemandirian warga yang dibangun tangguh dan ditingkatkan maju
secara berkelanjutan, agar mutu pemukiman makin baik;
Mengantisipasi pembangunan rumah baru, untuk menampung mobilitas warga, baik
secara kuantitatif maupun kualitatif, utamanya warga di daerah pinggiran;
Menjamin mutu lingkungan hidup perumahan dan pemukiman yang baik dan
berkelanjutan sebagai prasarat untuk dapat menghasilkan masyarakat yang sejahtera.
Kegiatan NUSSP bertujuan untuk merespons komitmen pemerintah dalam
mengimplementasikan "Kota Tanpa Kekumuhan" pada tahun 2010 dan "Program Satu Juta
Rumah" sekaligus merupakan salah satu sasaran pembangunan milenium (millenium
development goals) di lebih dari 150 wilayah pemerintah daerah.
Proyek NUSSP ini dilaksanakan sejak tahun 2005 dan akan berakhir pada tahun 2010.
Hingga saat ini NUSSP telah berjalan di 56 kota di Indonesia dan lebih dari 438 kawasan
perkotaan - mayoritas adalah kawasan kumuh - telah melakukan upgrading terhadap kondisi
permukimannya.
Pendanaan Proyek NUSSP berasal dari ADB dan dilaksanakan oleh Pemerintah Indonesia
dengan Departemen Pekerjaan Umum sebagai executing agency dan juga dengan keterlibatan
Departemen Dalam Negeri, Bappenas, serta Departemen Keuangan. NUSSP merupakan
kelanjutan dari Proyek P2KP yang juga dilaksanakan oleh Departemen Pekerjaan Umum dan
diindikasikan sebagai proyek yang cukup berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan
penduduk di kawasan kumuh perkotaan.
1. Pembangunan sumur bor di Kota Palembang. Sumur Bor ini dimanfaatkan sebagai
sumber air bersih bagi penduduk sekitar;
2. MCK dan tong sampah yang dibangun oleh masyarakatdari kegiatan NUSSP yang
berlokasi di Kelurahan Negeri Olok Gading, Kota Bandar Lampung;
3. Bak penampungan air bersih dan rumah pompa pendorong air untuk distribusi ke
rumah-rumah warga melalui jaringan perpipaan yang merupakan hasil dari kegiatan
pelaksanaan NUSSP di Kelurahan Binjai, Kota Medan.
1
3
2
Selain pembangunan fisik, proyek NUSSP ini juga melakukan pembentukan
pengorganisasian masyarakat sebagai pihak yang kemudian bertanggung jawab untuk
mengkoordinir pemeliharaan dan perawatan sarana umum yang telah dibangun melalui
proyek NUSSP. Organisasi masyarakat yang ada disebut Badan Koordinasi Masyarakat atau
BKM yang beranggotakan masyarakat penduduk kawasan penerima program.
Selain pembangunan fisik, pelaksanaan NUSSP telah menghasilkan berbagai catatan penting
terkait dengan pendekatan menyeluruh dalam pembangunan Air Minum dan Penyehatan
Lingkungan (AMPL) di Indonesia, yaitu antara lain:
NUSSP melakukan pemberdayaan yang difokuskan pada semua pelaku dan stakeholder
mulai dari anggota DPRD, Pemda, masyarakat luas dan lokal, serta pendamping seperti
LSM, sivitas perguruan tinggi, dsb;
NUSSP mengadopsi pendekatan Kampung Improvement Program (KIP) dalam
melaksanakan pembangunan kota. Perbaikan rumah merupakan bagian terbesar. Sebab,
rumah yang ada (kampung) menampung 60% penduduk, dan sebagian besar dihuni oleh
masyarakat berpenghasilan rendah. Kawasan perumahan swadaya ini, merupakan awal
dari proses pembangunan kota;
Perbaikan rumah melalui NUSSP secara simultan juga dilakukan dengan penyediaan
sarana dan prasarana dasar lingkungan permukiman termasuk sarana AMPL. Hal ini
merupakan pendekatan dari pelaksanaan urban renewal.
Salah satu pendekatan yang dijalankan dalam NUSSP adalah memberikan insentif tunai bagi
masyarakat yang ikut serta dalam proses pembangunan fisik, termasuk infrastruktur jalan dan
sarana AMPL. Untuk pembangunan rumah sehat beserta sambungan air dan sarana sanitasi,
diterapkan mekanisme pinjaman bergulir mikrokredit dengan sumber dana dari PT.
Permodalan Nasional Madani (PNM). Dalam pembangunan rumah ini diharapkan masyarakat
secara kolektif dapat berkontribusi sebesar 10% dari kebutuhan pembangunan lingkungan
permukiman ini. Namun, di beberapa daerah masyarakat ada yang menolak untuk ikut serta
dalam program ini. Dari hasil mengikuti kunjungan tim evaluasi NUSSP di Kota Pontianak,
ada kesan masih rendahnya minat warga terhadap mikrokredit perumahan. Ketidaktertarikan
keluarga miskin mengambil kredit perumahan dikarenakan tingkat bunga yang dinilai sangat
tinggi, yakni mencapai 18 persen.
4.2.4 Sanitasi Berbasis Masyarakat (SANIMAS)
Program Sanimas merupakan suatu program yang tujuannya untuk meningkatkan kualitas
lingkungan pada kawasan padat perkotaan, termasuk kawasan kumuh. Kegiatan dari program
Sanimas ini adalah pembangunan sarana dan prasarana air limbah permukiman secara
berkelompok. Oleh karena penggunaannya berkelompok, maka perlu suatu kelembagaan
untuk pengelolaannya. Program ini dicetuskan dan didanai oleh AusAID yang bekerja sama
dengan World Bank.
Salah satu pendekatan yang dilakukan Sanimas adalah penyadaran dan sosialisasi.
Penyadaran dan sosialisasi dilakukan di Kelurahan setempat sebagai calon penerima program
Sanimas, karena adanya rasa ketertarikan dari mayarakat terhadap program yang ditawarkan,
maka diadakan pertemuan antara masyarakat/perwakilan masyarakat dengan para pelaku baik
di pusat maupun daerah yang di fasilitasi oleh kelurahan setempat. Agenda yang dibahas
meliputi sosialisasi maksud dan tujuan pihak lembaga membangun sarana Sanimas di lokasi
tersebut, prosedur perencanaan, kerugian yang ditimbulkan jika tidak terdapat/kurangnya
sarana Sanimas, dan segala aspek teknis dan non teknis yang nantinya akan menunjang
berjalannya proyek Sanimas. Dalam pertemuan ini, masyarakat diharapkan ikut berpartisipasi
dalam menjaga sarana dan prasarana Sanimas, baik itu dari sebelum, saat, dan setelah
bangunan Sanimas dibangun dan terciptanya lingkungan yang sehat.
1. Pembangunan septic tank komunal pada kawasan perkotaan padat di Ngampilan, Yogyakarta
2. MCK umum yang dibangun melalui program SANIMAS pada perumahan karyawan pabrik di Alam Jaya, Tanggerang
Tahap selanjutnya adalah dengan membentuk komite/panita pembangunan Sanimas, dimana
seluruh anggotanya adalah masyarakat sendiri. Tugas pokok dari panitia masyarakat ini
adalah untuk mengumpulkan dana kontribusi masyarakat, pengerahan tenaga kerja pada saat
proses konstruksi, pengadaan dan pengamanan material. Kelompok inilah yang akan
mengkoordinir jalannya proyek dan juga membahas bentuk pengolahan seperti apa yang
diinginkan, dengan didampingi tim pendamping dari pihak LSM, sebagai fasilitator yang
membantu masyarakat dalam memilih teknologi pengolahan, fasilitas, dan sarana sanitasi
yang diinginkan.
Setelah masyarakat siap menentukan bentuk pengolahan yang akan dibangun, maka
selanjutnya dilakukan tahap pembangunan dan pemeliharaan. Dimana tahap ini peran serta
masyarakat sangat dibutuhkan baik berupa dukungan in-cash maupun in-kind. Segala aspek
tentang waktu hingga siapa yang menjadi pekerjanya adalah tanggung jawab panitia.
Sedangkan LSM memberikan desain perencanaan bangunan yang telah disepakati,
mengawasi dan mengontrol perkembangan pembangunan dilapangan setiap hari
Pelaksanaan program Sanimas dilakukan di Bali, NTT, dan NTB melalui mitra kerja Bali
Fokus, di Jawa Timur dan Tanggerang melalui mitra kerja Best, serta Jawa Tengah dan DIY
melalui mitra kerja LPTP. Salah satu catatan penting dalam pelaksanaan Sanimas pada
program ini adalah penggunaan pendekatan teknologi DEWATS. Pendekatan DEWATS
bertujuan untuk mendukung masyarakat dan sektor UKM dalam merencanakan, mendesain,
dan membangun sistem pengolahan air limbah yang berfungsi dan memenuhi standar baku
mutu lingkungan dengan pendekatan yang terdesentralisasi.
1 2
Teknologi DEWATS menggunakan sistem modular, dengan teknik baku yang efektif, dapat
diandalkan, dan biaya terjangkau. Penggunaan teknologi ini sangat tepat digunakan untuk
mengatasi ketersediaan fasilitas sanitasi di perkotaan dengan syarat utama yaitu masyarakat
dapat dengan baik menggunakan dan merawat fasilitas tersebut. Terlebih lagi jika masyarakat
benar-benar merasa membutuhkan ketersediaan fasilitas tersebut. Beberapa teknologi
DEWATS yang digunakan dalam Sanimas antara lain adalah:
Bio Digester:
Desain kubah kedap udara
Digunakan untuk menguraikan air limbah dengan kandungan organik tinggi
Sumber energi dengan dihasilkannya biogas
Tangki Septik:
Sistem sederhana dua bak Mengendapkan dan
menstabilkan lumpur
Baffled Up-Flow Reactor
Air limbah dialirkan melalui lumpur aktif di setiap bak – polutan terurai dengan adanya kontak dengan destruents
Tidak memakan lahan karena di kontruksi di bawah tanah
Anaerobic Filter
Air limbah dialirkan melalui lapisan filter organisme yang menguraikan polutan air limbah
Tidak memakan lahan karena di kontruksi di bawah tanah
Kotak 4.3
Penyediaan Sarana AMPL Bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah di Pune,
Maharasthra, India
Pune adalah kota besar yang merupakan pusat perkembangan kebudayaan dan juga
merupakan wilayah industri terbesar di negara bagian Maharashtra, yang berlokasi
160 km dari ibukota, Mumbai. Kota Pune sendiri dikelilingi oleh banyak industri.
Sekitar 21% dari penduduk Kota Pune tinggal di daerah kumuh perkotaan tanpa
ketersediaan fasilitas sanitasi. Kota Pune berlokasi di wilayah pertemuan antara
Sungai Mula dan Sungai Mutha, dan oleh karena itu wilayah ini sangat kaya akan
sumber air yang berasal dari air permukaan. Tanggung jawab untuk pemenuhan jasa
penyediaan air bersih dan fasilitas sanitasi ada pada Pune Municipal Corporation
(PMC).
Pune merupakan salah satu kota di India yang masyarakatnya dapat menikmati air
setiap hari, meskipun di beberapa area supply air bersih bersifat intermittent berkisar
antara 16 – 20 jam per hari. Penduduk Pune mendapatkan sedikitnya 200 liter per
orang per hari dan pada tahun 1997 PMC telah mengembangkan cakupan
pelayanannya hingga ke desa-desa di pinggiran kota yang sebelumnya tidak terlayani.
Pada kantung-kantung permukiman informal, sebagian besar permukiman memiliki
sarana sanitasi yang buruk. Ribuan dari masyarakat kawasan kumuh tersebut
mengalami ketidakcukupan akses terhadap sarana sanitasi. Rasio perbandingan antara
toilet dengan penduduk yang dilayani adalah sebesar 1:2.500.
Untuk membangun sambungan air bersih pada desa-desa yang berlokasi di pinggiran
Untuk membangun sambungan air bersih pada desa-desa yang berlokasi di pinggiran
perkotaan akan membutuhkan investasi modal yang sangat besar. Oleh karena itu,
sambungan air minum dan jaringan distribusi ke rumah-rumah akan sulit dilakukan
dalam waktu dekat. Sebagai alternatif untuk distribusi melalui jaringan perpipaan,
PMC mengadopsi sistem distribusi air menggunakan layanan mobil tangki air.
Meskipun pendekatan ini tidak efektif untuk jangka panjang secara pembiayaan,
pendekatan ini merupakan alternatif yang paling murah dan tepat untuk digunakan
dalan jangka waktu menengah. Keunikan dari program ini adalah ketersediaan air
yang bersifat reguler dalam skala besar tanpa adanya pembebanan biaya bagi
masyarakat namun pendekatan ini bisa terus berkelanjutan dan sistematis. Pendekatan
ini merupakan salah satu bentuk dari “public private people partnership” dalam
penyediaan air bersih bagi masyarakat. PMC membangun kesepakatan dan perjanjian
dengan pihak swasta pemilik tangki air untuk menyediakan air bersih. Bagi PMC
sendiri, ini merupakan fungsi dasar dan kewajiban menurut hukum, sedangkan bagi
masyarakat hal ini merupakan pemenuhan kebutuhan dasar dimana mereka harus
membayar air yang mereka dapatkan dalam bentuk pajak properti atau biaya
pembangunan. Untuk pihak swasta, mereka mendapatkan keuntungan dengan
menyediakan jasa tangki air.
Skema millenium community toilet telah dimulai oleh PMC pada tahun 2000. Melalui
skema ini, jamban keluarga disediakan bagi seluruh penduduk kawasan kumuh di
Kota Pune dengan cara yang bertahap. Keunikan dari skema sanitasi ini adalah selain
merupakan yang pertama di India, pada skema ini juga dikemabangkan konsep
kerjasama antara kelompok masyarakat, institusi nirlaba, dan perusahaan swasta
dalam membangun infrastruktur berbasiskan masyarakat. Kesepakatan telah dibangun
antara PMC dengan pihak swasta untuk membangun dan kemudian mengelola jamban
di bawah kontrak selama 30 tahun. Masyarakat sendiri terlibat dalah hal konstruksi
jamban dan mereka berhak melakukan penyesuaian sesuai dengan keinginan mereka
masing-masing. Biaya bulanan yang dikumpulkan sebesar 20 rupe untuk tiap-tiap
rumah tangga dan kemudian dimanfaatkan untuk perawatan septic tank.
Masyarakat Kota Pune mengapresiasi pendekatan yang digunakan dalam penyediaan
air menggunakan tangki air dan masyarakat juga terlibat dalam menentukan jadwal
air menggunakan tangki air dan masyarakat juga terlibat dalam menentukan jadwal
pengumpulan dan pengambilan air. Untuk masyarakat di kawasan kumuh, mereka
sangat puas dengan skema pembangunan jamban yang diterapkan dan hingga kini
mereka merasakan berbagai keuntungan seperti peningkatan kualitas lingkungan,
peningkatan jumlah tabungan, dan menurunnya pengeluaran untuk berobat. Dari
semua itu, masyarakat dapat menilai hal yang paling penting diterapkan adalah
keberlanjutan dalam pengelolaan dan perawatan jamban. Apresiasi masyarakat
terhadap PMC juga semakin besar karena secara bersamaan dapat mengadipsi
pendekatan pembangunan sarana air minum dan sanitasi yang tepat memenuhi
kebutuhan masyarakat perkotaan.
4.2.5 Sulawesi Water, Sanitation, and Hygiene (SWASH) CARE
Proyek SWASH merupakan suatu intervensi berjangka waktu lima tahun yang merupakan
lanjutan dari pekerjaan CARE sebelumnya di Sulawesi. Tujuan proyek ini adalah
memperkuat kapasitas untuk mencapai tingkat kesehatan yang lebih baik melalui pengelolaan
dan penggunaan air bersih yang merata dan berkelanjutan, penggunaan sarana sanitasi yang
aman, dan peningkatan pemahaman tentang praktik kesehatan yang bermanfaat bagi
masyarakat di perkotaan. Proyek SWASH dilaksanakan dengan dukungan finansial dari
Pemerintah Kanada melalui Badan Pembangunan Internasional Kanada (Canadian
International Development Agency-CIDA).
SWASH bermitra dengan masyarakat setempat, masyarakat sipil dan pemerintah lokal untuk
membangun sistem persediaan air dan sarana sanitasi serta menjalankan program intensif
tentang pendidikan kesehatan untuk menjamin bahwa sarana yang lebih baik akan
menciptakan kesehatan yang lebih baik. Program ini didukung oleh Tim Teknis Propinsi, Tim
Teknis Kota, dan Forum Kota. Program SWASH saat ini dilaksanakan di Kota Gorontalo dan
Makassar, serta dilakukan juga di Kota Sukabumi.
Terdapat empat komponen yang saling terkait dalam pelaksanaan SWASH, yaitu:
a. Pembangunan sarana air dan sanitasi yang didesain, dibangun dan didanai oleh masyarakat
SWASH memfasilitasi pembangunan sarana pasokan air bersih dan jamban pribadi dan, jika
perlu, fasilitas MCK umum. Masyarakat sasaran dan pemerintah lokal memberikan kontribusi
hingga 40% dari biaya pembangunan, baik tunai maupun bahan baku.
b. Pembentukan, Pelatihan dan Pengembangan kapasitas Komite Desa
CARE membantu dan memberi motivasi kepada masyarakat untuk terlibat dalam semua
tahap pembangunan melalui komite berbasis masyarakat. Komite Sanitasi Desa
mengkoordinasi pemilihan lokasi dan desain jamban yang layak dengan biaya terjangkau.
Masyarakat dilatih dalam semua hal tentang pengelolaan dan pemeliharaan jamban. Kaum
perempuan didorong untuk memimpin komite tersebut karena mereka adalah pengguna air
yang utama dalam rumah tangga. Komite tersebut bekerjasama erat dengan Tim Teknis, yang
beranggotakan pegawai pemerintah setidaknya dari Departemen Kesehatan, Pekerjaan Umum
dan Layanan Pengembangan Pedesaan.
c. Pendidikan tentang Kesehatan
Kampanye Perubahan Perilaku Higienis, yang difokuskan kepada perempuan,
menitikberatkan pentingnya mencuci tangan, perlindungan makanan, dan berbagai praktik
kesehatan dan kebersihan domestik lainnya. CARE medorong dan mendukung pendidikan
dengan teman atau rekan seprofesi.
d. Pembentukan dan pelatihan Forum Kota
Forum Kota terdiri dari para pemuka masyarakat baik formal dan nonformal, sejumlah badan
swadaya masyarakat lokal, para pemimpin keagamaan yang nonformal, himpunan
profesional, Kamar Dagang & Industri Daerah, bisnis swasta dan lembaga akademis. Mereka
menilai dan mendiskusikan berbagai masalah pengembangan kota, masalah lingkungan yang
memprioritaskan layanan dan kebijaksanaan air dan sanitasi yang terkait dengan penyediaan
air bersih, serta membangun hubungan yang erat dengan para pejabat pemerintah tingkat kota
dan kabupaten.
Semua komponen program bekerja sama untuk menyediakan dan memperkuat sarana air dan
sanitasi, serta praktik-praktik kesehatan yang baik, yang pada akhirnya akan membantu
Indonesia mencapai Millennium Development Goals (sasaran pembangunan milenium) yaitu
meningkatkan akses terhadap air dan sanitasi, serta mengurangi penyakit yang ditularkan
melalui air.
Pelaksanaan program SWASH ini salah satunya menggunakan pendekatan Protocol for
Assessing Community Excellence in Environmental Health (PACE-EH). PACE-EH
merupakan suatu alat yg di ajukan kepada pemerintah lokal (Dinas Kesehatan) sebagai acuan
dalam melakukan penilaian/penelitian/penelusuran kesehatan lingkungan yg berbasis
masyarakat dan mengembangkan profil status kesehatan lingkungan masyarakat yang akurat.
Pelaksanaan PACE-EH ini pada umumnya berupa kegiatan kemitraan antara pemerintah,
masyarakat, dan organisasi lokal dalam melihat kondisi lingkungan permukiman, lalu
bersama-sama mendokumentasikan keadaan tersebut untuk selanjutnya bersama-sama
menyusun rencana pengambangan kualitas kawasan lingkungan permukiman. Beberapa
keuntungan dari pelaksanaan PACE-EH ini antara lain:
• Meningkatkan Kesehatan lingkungan;
• Meningkatkan peran pemerintah/kepemimpinan di dalam masyarakat terhadap isu
kesehatan lingkungan;
• Mendorong pengembangan kemitraan yang professional;
• Hubungan yang sangat erat antara pemerintah (pembuat kebijakan) dengan
masyarakat, dari pengguna menjadi mitra;
• Mendorong pengembangan database lokal yang spesifik;
• Meningkatkan rasa kepemilikan dari masyarakat terhadap kesehatan lingkungan
mereka sendiri;
Selain melaksanakan pendekatan PACE-EH, pada proyek SWASH juga dilaksanakan
penyusunan Rencana Strategis (Renstra) Forum Kota yang salah satu inputnya berasal dari
keluaran yang dihasilkan oleh PACE-EH. Renstra Forum Kota ini merupakan rencana kerja
Forum Kota yang telah dibentuk melalui proyek SWASH, yang berisikan tentang rencana
kerja Forum Kota dalam rangka pembangunan AMPL di kawasan kota. Kota Makassar dan
Kota Gorontalo merupakan kota yang telah melakukan penyusunan Renstra Forum Kota
melalui proyek SWASH.
Lokakarya Penyusunan Renstra Forum Kota melalui proyek SWASH. Forum Kota yang terdiri dari sejumlah badan swadaya masyarakat lokal, para pemimpin keagamaan, himpunan profesional, Kamar Dagang & Industri Daerah, pelaku bisnis swasta dan lembaga akademis bersama-sama menentukan rencana pembangunan AMPL pada kawasan perkotaan
Selain melakukan pembangunan fisik dan penguatan kapasitas bagi pemerintah daerah,
masyarakat, dan berbagai pihak lainnya, dalam Proyek SWASH juga dilakukan kegiatan
kampanye perubahan perilaku hidup bersih dan sehat bagi penduduk yang tinggal di
lingkungan permukiman perkotaan. Dengan kata lain proyek SWASH ini merupakan proyek
yang menggunakan pendekatan yang cukup komperehensif dalam melaksanakan
pembangunan di perkotaan, terutama kawasan kumuh.
(Contoh leaflet yang dikembangkan bersama masyarakat melalui proyek SWASH)
Keterlibatan perempuan dalam pelaksanaan PACE-EH. Salah satu keluaran dari metode ini adalah database kondisi AMPL di kawasan perkotaan dan pemetaan kondisi AMPL kawasan kota. Dalam pelaksanaan PACE-EH seluruh elemen masyarakat dilibatkan yang bertujuan agar seluruh masyarakat dapat benar-benar memahami kondisi AMPL di lingkungan permukimannya
Beberapa catatan penting dalam pelaksanaan proyek SWASH ini adalah proyek tersebut
merupakan proyek yang memliliki pendekatan yang cukup komperehensif dalam
pembangunan AMPL, khususnya pada kawasan kumuh di perkotaan. Proyek ini melakukan
pendekatan dengan peningkatan kapasitas, pembangunan fisik, serta kampanye perubahan
perilaku bagi masyarakat. Saat ini proyek tersebut telah dilanjutkan pada Kota Sukabumi dan
Kawasan Perkotaan di Kabupaten Sinjai. Belajar dari pendekatan dan pengalaman yang telah
dilakukan pada lokasi sebelumnya, proyek ini seharusnya sudah dapat mendulang
keberhasilan dalam pembangunan AMPL di kawasan kumuh perkotaan.
4.2.6 ESP USAID : Sambungan Rumah Komunal
Dalam menghadapi permasalahan akses air bersih bagi daerah kumuh, PDAM mengalami
dilema. Di satu sisi, PDAM memiliki kewajiban untuk menyediakan pelayanan bagi seluruh
masyarakat di daerah pelayanan/wilayah administratif kota/kabupaten, baik bagi warga
golongan kaya, menengah, maupun miskin. Namun berbagai kendala-kendala yang ada
kemudian membatasi PDAM untuk memberikan pelayanan bagi warga daerah kumuh.
Sementara itu, kebutuhan air bagi warga daerah kumuh pun terus meningkat. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, ESP-USAID bersama dengan Jaringan
Kesejahteraan/Kesehatan Masyarakat (JKM) Medan membantu memfasilitasi pembangunan
Master Meter System atau sistem sambungan rumah komunal. Pilot Project sistem
sambungan rumah komunal ini dilaksanakan di tiga kelurahan di Kota Medan, yaitu
Kelurahan Sunggal, Kelurahan Kampung Baru dan Kelurahan Sei Mati.
Perkotaan Pada dasarnya, sistem sambungan rumah komunal ini adalah perpanjangan dari
layanan keran umum dari PDAM. Dengan adanya sambungan rumah komunal, masyarakat
tidak lagi perlu berjalan kaki bolak-balik menggotong ember atau jerigen untuk memperoleh
air dari keran umum. Namun masyarakat tetap memperoleh air dengan harga sosial (tarif
keran umum PDAM).
Dalam pembangunan sistem sambungan air komunal ini, terdapat 4 tahapan yang dilalui.
Tahapan pertama adalah penyiapan masyarakat. Langkah pertama yang dilakukan adalah
memilih lokasi/ daerah yang akan memperoleh sambungan induk. Setelah itu, dengan
keterlibatan fasilitator (LSM), dilakukan diskusi dan perencanaan di tingkat masyarakat
untuk mengembangkan konsep. Selain itu, masyarakat juga menerima program penguatan
kapasitas dan peningkatan kesadaran. Kegiatan ini penting untuk membentuk persepsi
masyarakat akan pentingnya keberadaaan sambungan air komunal ini, sehingga ke depannya
nanti, sambungan air ini dapat direalisasikan dan terjaga keberlanjutannya.
Setelah itu, dibentuklah kelompok pengguna (Community-based Organization/CBO) yang
nantinya akan mengelola sistem. Tahap kedua yang dilewati adalah pembuatan kesepakatan
antara pihak PDAM dan CBO yang telah terbentuk. Kesepakatan yang dibentuk ini meliputi
perencanaan sistem serta biaya pembangunan. Pengadaan barang-barang juga menjadi bagian
dari kesepakatan ini. Setelah itu, dibuatlah kontrak antara pihak PDAM dengan pihak CBO.
Setelah kesepakatan terjadi, pembangunan masuk ke dalam tahap ketiga, yaitu tahap
konstruksi. Dalam pembangunan ini, PDAM bertanggung jawab untuk memberikan
sambungan melalui meter induk di dalam atau tepat di luar area komunitas yang akan
dilayani. Kemudian, dengan bantuan fasilitator (LSM) dan/atau PDAM, CBO bertanggung
jawab untuk membangun jaringan pipa sederhana setelah meter induk.
Setelah tahap konstruksi, maka kegiatan pun masuk ke dalam tahap yang keempat, yaitu
penguatan CBO. Penguatan ini berupa pemberian pelatihan-pelatihan dalam hal teknis,
pemeliharaan sarana,serta pengelolaannya.Penguatan ini penting karena CBO nantinya
bertanggung jawab terhadap operasi dan pemeliharaan jaringan perpipaan setelah meter
induk. PDAM dapat membantu jika terdapat permasalahan diluar kemampuan
masyarakat/CBO. Selain itu, pada fase awal implementasi sistem sambungan rumah komunal
ini, dilakukan pendampingan terhadap CBO oleh LSM, yang salah satu fungsinya adalah
mengatur bantuan dari luar (outsourcing) jika diperlukan.
Pembayaran rekening air ke PDAM merupakan tanggung jawab CBO. Dengan demikian
CBO juga bertanggung jawab untuk mengumpulkan pembayaran dari masing-masing rumah
tangga yang mendapatkan sambungan rumah. Tarif pada meteran induk merupakan tarif
sosial yang ditetapkan PDAM, sementara jumlah yang dibayarkan masing-masing Kepala
Keluarga (KK) adalah merupakan kesepakatan bersama warga, tergantung dari sistem
distribusi airnya juga, sehingga bisa saja ada perbedaan pada setiap daerah. Misalnya pada
Kelurahan Sunggal. Di daerah ini, air dari meter induk kemudian didistribusikan langsung
pada tiap rumah tangga tanpa adanya tambahan meter di tiap KK, sehingga tarif yang
dibebankan kepada masyarakat adalah sebesar tarif total dari meter induk dibagi rata dengan
jumlah KK.
Gambar 4
(Sistem sambungan rumah komunal yang dikembangkan oleh ESP-USAID)
Kotak 4.4
Manfaat Dari Sambungan Rumah Komunal
Dengan sambungan rumah komunal ini, kedua belah pihak, yaitu PDAM dan warga
daerah kumuh, sama-sama memperoleh manfaat. Bagi PDAM, kekhawatiran mengenai
pembayaran rekening air bisa ditiadakan. Karena dengan sistem sambungan rumah
komunal ini, urusan administrasi dan tagihan air akan menjadi lebih mudah, karena
PDAM hanya berurusan dengan 1 konsumen. Kemudian, permasalahan kebocoran dan
sambungan ilegal setelah meter induk pun bukan lagi menjadi kekhawatiran PDAM,
karena masyarakat ikut berpartisipasi aktif dalam memelihara jaringan perpipaan,
misalnya melaporkan adanya kebocoran, sambungan ilegal, penggunaan pompa dan
lain-lain. Keuntungan lain yang bisa diperoleh dari sambungan rumah komunal ini
lain-lain. Keuntungan lain yang bisa diperoleh dari sambungan rumah komunal ini
adalah bahwa sistem ini memungkinkan PDAM untuk membangun sistem jaringan
perpipaan sederhana/teknologi berbiaya rendah. Selain itu rumah tangga dengan status
tidak jelas/ilegal tidak menjadi pelanggan langsung PDAM, sehingga PDAM tidak akan
mengalami permasalahan dengan Pemda mengenai status pelanggan.
Masyarakat juga memperoleh keuntungan dengan sistem sambungan rumah komunal
ini. Per tama, masyarakat memperoleh kemudahan administrasi untuk mendapatkan
sambungan rumah, sehingga masyarakat memperoleh akses terhadap air perpipaan dan
dengan harga terjangkau. Keuntungan yang kedua, masyarakat juga memperoleh
kemudahan dalam pembayaran. Karena melalui CBO, sistem pembayaran pun bisa
disesuai kan dengan kemampuan masyarakat. Tarif bisa dibayar secara
harian/mingguan/bulanan secara tunai (tidak perlu ATM). Selain itu, besarnya tarif pun
dibebani berdasarkan meter individu atau tarif rata-rata (tarif yang disepakati oleh
masyarakat dan CBO).
4.2.7 Makassar : Sanitation Improvement Project
Makassar termasuk salah satu kota dengan jumlah kejadian diare yang cukup tinggi. Hal ini
salah satunya diakibatkan oleh kesadaran penduduk perkotaan terhadap resiko kesehatan
lingkungan yang buruk sangat rendah dan juga rendahnya kemampuan ekonomi masyarakat
setempat untuk dapat mengembangkan kondisi lingkungannya yang buruk. Melalui
kerjasama segitiga antara Pemerintah Kota Makassar, PT. Unilever, dan CARE, dilaksanakan
sebuah proyek yang bernama Sanitation Improvement Project atau SIP.
SIP bertujuan untuk meningkatkan sarana sanitasi jamban dan yang hygiene, aman, dan
berkelanjutan di daerah kumuh perkotaan di Kota Makassar, dimana dana tersebut merupakan
dana sosial yang diperoleh dari Rp. 10,- untuk setiap batang sabun Lifebuoy yang terjual di
Indonesia. SIP sendiri dilaksanakan selama 1 tahun (Januari – Desember 2005)
Hasil yang ingin dicapai dari proyek ini ini adalah :
Terbangun sarana sanitasi jamban yang memadai untuk paling sedikit 200 kepala
keluarga yang dapat diterima masyarakat serta dikelola oleh organisasi berbasis
masyarakat terkait;
Memperkuat kapasitas masyarakat untuk merencanakan, merancang, membangun, dan
mengelola sarana sanitasi jamban yang aman;
Meningkatnya kesadaran masyarakat akan praktek higiene yang aman untuk
melengkapi sarana sanitasi jamban yang lebih baik;
Penyuluhan higiene dan sanitasi jamban di sekolah-sekolah di daerah proyek
percontohan.
Kegiatan SIP ini pada umumnya berupa kegiatan pembangunan jamban dan juga disertai
dengan kampanye perilaku hidup bersih dan sehat bagi warga di kawasan kumuh Kota
Makassar. Kota Makassar sendiri memiliki cukup banyak kantung-kantung permukiman
kumuh. Ada beberapa kriteria lokasi yang digunakan untuk memilih kawasan kumuh pada
proyek ini, yaitu:
Ditetapkan sebagai daerah kumuh oleh Pemerintah Kota Makassar;
Ketersediaan dan/atau akses terhadap sistem penyediaan air bersih perpipaan yang
dikelola oleh PDAM;
Ketersediaan lahan yang cukup untuk fasilitas sanitasi yang diusulkan atau adanya
keinginan dari Pemerintah setempat dan/atau masyarakat untuk menyediakan lahan
yang cukup;
Fasilitas sanitasi yang tidak memadai;
Masyarakat tertarik dan bersedia untuk meningkatkan fasilitas air bersih dan
sanitasi mereka;
Kemauan masyarakat untuk membentuk lembaga swadaya, bersedia meluangkan
waktu untuk secara aktif berpartisipasi dalam semua tahapan proyek;
Bersedia memelihara fasilitas yang dibuat dan menggalang dana swadaya untuk
memelihara fasilitas tersebut;
Belum ada yang menangani program yang sama dari lembaga/donor lain.
SIP diawali dengabn kegiatan sosialisasi program bersama antara PT. Unilever, CARE, dan
Pemerintah Kota Makassar melalui konsultasi pertama yang dihadiri oleh seluruh Camat,
LPM, BPM, Dinas terkait (PDAM, DINKES, Dinas Keindahan, PU, dll) dan DPRD untuk
menyepakati aturan dan syarat dari Program SIP. Dari hasil sosialisasi tersebut terdapat 20
kelurahan dari 12 kecamatan yang berminat dengan mengajukan permohonan tertulis yang
kemudian dilanjutkan dengan survei lokasi peminat tersebut. Hasil sementara dari survei
lokasi yang dilakukan pada bulan Maret 2005 terpilih 2 kelurahan yaitu Kelurahan Kampung
Buyang & Kelurahan Layang sebagai calon lokasi program SIP.
Setelah kedua lokasi tersebut resmi terpilih sebagai lokasi program, pelaksanaan
pembangunan sarana sanitasi pun segera dilaksanakan. Pihak PT. Unilever menyediakan
subsidi penuh bagi masyarakat yang mau membangun jamban baik secara individual dan
komunal. Pada tahap awal, jumlah masyarakat yang berminat untuk membangun jamban
masih sangat sedikit. Hal ini dikarenakan masyarakat merasa tidak memperoleh keuntungan
dengan membangun jamban, terlebih lagi mereka tidak memperoleh bayaran dari
pelaksanaan pembangunan jamban.
Secara bertahap CARE dan Pemerintah Kota Makassar melakukan penyuluhan kepada
kelompok-kelompok masyarakat yang dinilai cukup berpengaruh bagi kelompok masyarakat
yang lebih luas. Penyuluhan yang dilakukan adalah mengenai pentingnya kepemilikan
jamban serta pentingnya pelaksanaan pola hidup yang sehat bagi masyarakat yang tinggal
pada kawasan kumuh perkotaan. Kemudian kelompok masyarakat ini yang melakukan
kampanye pola hidup sehat bagi masyarakat yang lebih luas, tentunya dengan bantuan dan
dukungan dari tenaga lapangan CARE. Penyebarluasan ini dilakukan dengan berbagai
pendekatan, salah satunya yang dilakukan adalah dengan menggunakan media kampanye
tentang hidup sehat yang dimiliki oleh CARE, dan juga melakukan pertemuan rutin tingkat
RW.
Dari beberapa pertemuan tersebut, seringkali dilakukan pembahasan mengenai pentingnya
pembangunan jamban, termasuk dengan mengaitkan isu kesehatan dan kebersihan
lingkungan. Pendekatan tersebut mengalami kemajuan. Sedikit demi sedikit, jumlah warga
yang mengajukan minat untuk memperoleh subsidi pembangunan jamban meningkat. Pihak
PT. Unilever juga memberikan insentif bagi warga yang telah selesai melakukan
pembangunan jambannya, yaitu berupa 1 dus mie instant, sabun mandi, dan shampoo.
Satu catatan yang penting dari pelaksanaan proyek ini adalah, saat Kota Makassar akan
melakukan program serupa pada tahun 2008, muncul evaluasi dari pihak Pemerintah Kota
Makassar bahwa lokasi kawasan kumuh yang dulu merupakan lokasi SIP saat ini sudah tidak
lagi menggunakan jamban yang telah mereka bangun. Kini sebagian besar jamban tersebut
tidak mereka gunakan lagi dikarenakan beberapa hal. Diantaranya adalah masyarakat
memang belum sepenuhnya sadar akan pentingnya melakukan BAB pada jamban, sehingga
mereka lebih memilih untuk kembali ke perilaku yang sebelumnya. Selain itu, mengingat
pembangunan jamban ini dilakukan oleh masyarakat secara mandiri, saat ini banyak jamban
yang tidak berfungsi dan juga ada beberapa rumah tangga yang mengalami pemutusan
sambungan air bagi rumah mereka masing-masing. Beberapa kondisi ini sangat perlu untuk
menjadi pembelajaran bagi pelaksana program serupa agar dapat mengevaluasi pendekatan
yang telah dilakukan melalui SIP.
4.2.8 Petojo : USAID dan Mercy Corps
Warga RW 8 Petojo Utara, Kelurahan Petojo Utara, Kecamatan Gambir, Jakarta Pusat tak
pernah membayangkan lingkungan mereka menjadi bersih dan sehat seperti sekarang.
Padahal dulunya kawasan di pinggir Kali Krukut ini kumuh dan jorok.
Tak ada lagi anak-anak dan orang dewasa yang buang air di got-got atau di Kali Krukut.
Sampah yang biasa menumpuk di pinggir kali pun bersih. Kini pot-pot bunga menghiasi
rumah-rumah warga. Tampak kaleng bekas untuk cuci tangan yang dilengkapi dengan air
bersih dan sabun. Suasana asri terlihat di berbagai sudut. Pantas kemudian Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memilih RW 8 menjadi potret keberhasilan
pengelolaan sanitasi perkotaan tahun 2007.
Kesuksesan itu tidak muncul tiba-tiba. Kawasan yang terdiri atas 14 RT, dengan penduduk
735 kepala keluarga atau total 2.966 orang tergolong rendah kesadarannya. Maklum, hanya
60 persen warganya yang tamat sekolah menengah atas. Sisanya bahkan ada yang tidak
sekolah. Sebagian besar warga RW 08 juga tergolong masyarakat ekonomi menengah ke
bawah. Kondisi ini yang menyebabkan warga berkubang dengan sanitasi buruk bertahun-
tahun.
Situasi mulai berubah ketika ada intervensi. Lembaga bantuan Amerika (USAID) masuk
bersama empat LSM yakni Mercy Corps, Environmental Services Program, Health Services
Program, dan Safe Water System. Warga pun menyambut gembira program yang akan
mengubah kondisi kawasan mereka.
Berbagai program dilaksanakan di kawasan ini mulai program kampung hijau, pembangunan
MCK ++ pertama di DKI Jakarta, cuci tangan pakai sabun (CTPS), kali bersih, Posyandu,
Posyandu lansia, Jumat bersih, senam jantung sehat, pengasapan, RW siaga, dan lainnya.
Program itu tidak menjadikan masyarakat hanya sebagai obyek, tapi sekaligus sebagai subyek
pembangunan. Mereka pun diberi peran yang signifikan sehingga ada keberlangsungan
sarana dan prasarana.
Program tersebut dimulai pada Mei 2006. Pelaksana utama program adalah masyarakat. LSM
hanya sebagai pendamping/fasilitator. Serangkaian penyadaran dilakukan secara
berkesinambungan oleh tokoh-tokoh masyarakat, para ketua RT, ketua RW, dan warga
penggerak lainnya. Mereka pun memberi contoh langsung kepada masyarakat. Tak heran
bila kemudian warga RW 08 di Kelurahan Petojo Utara ini melakukan ikrar bersama untuk
hidup bersih dan sehat.
Program rutin yang dilakukan adalah membersihkan Kali Krukut dari sampah dan endapan
lumpur dua-tiga bulan sekali. MCK dipindahkan dari pinggir kali ke dalam rumah dengan
sumber air bersih dari sumur bor atau sumur pompa. Bersama empat LSM tersebut, warga
membangun sedikitnya lima lokasi MCK umum, meliputi WC dan kamar mandi, termasuk
kamar mandi ibu dan anak yang lebih lapang sehingga bisa untuk mencuci pakaian. Maklum,
tidak mungkin setiap rumah memiliki MCK sendiri mengingat kawasan itu sangat padat.
Salah satu MCK yang dibangun di RW 08 Petojo Utara adalah MCK ++, yaitu MCK yang
dilengkapi unit pengolahan limbah. MCK++ ini dilengkapi dengan teknologi Decentralized
Wastewater Treatment System (DEWATS). Dengan teknologi ini, 90 persen air limbah dapat
dimurnikan kembali sehingga tidak mencemari sungai. Selain itu, tinja bisa diolah
menghasilkan biogas yang bisa digunakan sebagai bahan bakar.
Fasilitas MCK modern ini pun tak lepas dari partisipasi warga. Dari total Rp 360 juta dana
pembangunan tersebut, sebanyak 30 persen dana pembangunannya dikumpulkan secara
sukarela dari warga. Sisanya bantuan dari USAID. Harapannya dengan adanya partisipasi ini,
warga merasa memiliki dan menjaga keberadaan MCK tersebut.
Rupanya pembangunan kawasan kumuh yang melibatkan partisipasi warga kota ini telah
memicu daerah di sekitarnya untuk mencontoh kesuksesan yang ada. Tanpa adanya seruan
atau suruhan dari pihak manapun, RW 02 Petojo Utara mulai berbenah secara swadaya tanpa
bantuan pihak mana pun untuk membangun kawasannya.
Kawasan RW 8 Petojo Utara bisa menjadi contoh pembangunan kawasan berbasis
masyarakat. Warga kota bisa mengambil peran penting dalam penanganan sanitasi kota asal
ada penyadaran kepada mereka akan pentingnya sanitasi bagi kesehatan mereka. Maka,
bukan hal yang tidak mungkin, sukses Petojo Utara ini pun ditiru oleh kawasan kumuh di
kota lainnya.
4.2.9 Jempiring : Sanimas – Bali Fokus
Beberapa kantong kumuh di Kota Denpasar yang dengan mata telanjang dapat kita lihat
adalah Banjar Sari dan Banjar Batur di Kelurahan Ubung, Kecamatan Denpasar Barat. Gang
Jempiring yang terletak di wilayah Banjar Sari menempati urutan pertama kampung kumuh
di Kota Denpasar. Banjar Sari yang terletak di belakang Terminal Ubung, merupakan
terminal antar kota/propinsi terbesar di Bali yang merupakan daerah transit. Hal inilah yang
menyebabkan Ubung khususnya Gang Jempiring berkembang menjadi pemukiman padat
yang dihuni oleh berbagai etnis dan daerah.
Populasi di sekitar gang Jempiring dihuni oleh sekitar 300 Kepala Keluarga. Kebanyakan dari
mereka datang dari Jawa, Lombok dan daerah lain di Bali, seperti Karangasem, Klungkung
dan Buleleng. Rata-rata penghuni Gang Jempiring bermata pencaharian sebagai pedagang
kaki lima, buruh bangunan dan pekerjaan disektor informal lainnya. Rendahnya kesadaran
masyarakat dan tidak tersedianya fasilitas sanitasi yang memadai menyebabkan Banjar Sari
berkembang menjadi salah satu kawasan padat perkotaan (kampung kumuh) dengan
permasalahan sanitasi terutama akibat buangan tinja manusia.
Sebenarnya pemerintah sempat menaruh perhatian atas kondisi fasilitas sanitasi yang minim
di Gang Jempiring. Masyarakat di sekitar Gang Jempiring sebelumnya pernah mendapatkan
bantuan dari pemerintah Orde Baru. Tepatnya pada tahun 1980, pemerintah Orde Baru
membangun 4 unit MCK. Masyarakat Banjar Sari mengenalnya dengan sebutan “MCK
Moerdiono”. Namun hingga tahun 2002, MCK tersebut sudah sangat tidak layak digunakan
karena tidak pernah terawat dan menyebabkan septic tank penuh dan tidak bisa disedot.
Kesadaran masyarakat yang masih rendah disinyalir sebagai penyebab cepatnya kerusakan
MCK tersebut.
Permasalahan yang berkaitan dengan sanitasi diatas terungkap pada waktu pertemuan
sosialisasi program Community Based Sanitation yang diselenggarakan oleh Bali Fokus
bersama BORDA pada bulan Juli tahun 2002 yang lalu. Dari proses identifikasi, perumusan
masalah sampai dengan rekomendasi solusi yang pernah dilakukan oleh Bali Fokus, BORDA
(Bremen Overseas Research Development Association) dan bersama-sama masyarkat Banjar
Sari selama kurun waktu bulan Agustus sampai dengan Desember 2002 terungkap bahwa
kondisi MCK Moerdiono sudah sangat memprihatinkan, seperti kamar mandi dan WC-nya
kotor, bau tak sedap dan tidak terawat. Lebih parah lagi, hampir semua septic tank MCK
jebol sehingga kotoran (tinja) langsung dibuang ke saluran drainase terdekat.
Beberapa hal lain yang terungkap dalam perumusan masalah sanitasi di Gang Jempiring,
Banjar Sari adalah bahwa tingkat kesadaran masyarakat untuk turut merawat dan menjaga
kebersihan fasilitas umum sangat rendah. Hal ini disebabkan antara lain absennya “rasa
kepemilikan” masyarakat terhadap fasilitas umum tersebut.
Bali Fokus sebagai organisasi swadaya masyarakat yang bergerak dibidang lingkungan hidup
dan pengembangan masyarakat bekerja sama dengan BORDA, sebuah lembaga non-profit
yang berpusat di Bremen, Jerman, menggagas sebuah proyek demonstrasi. Proyek
demonstrasi ini ditawarkan kepada masyarakat Gang Jempiring sebagai salah satu solusi dari
permasalahan sanitasi yang mereka alami. Sebuah proyek yang sarat dengan inovasi dan juga
teknologi tepat guna yang diyakini dapat menjaga kondisi MCK Jempiring hingga bertahan
lama dan berkelanjutan.
Proyek ini dikatakan inovatif karena MCK Jempiring lahir dari kebutuhan dan partisipasi
masyarakat, yang mana proses pendekatan non-teknis/partisipatif dimulai sejak Juli Agustus
tahun 2002 yang lalu sampai dengan operasional MCK Jempiring yang diresmikan pada hari
Rabu tanggal 6 Agustus 2003. Dalam proses pendekatan partisipatif ini, masyarakat diajak
mengidentifikasi permasalahan yang ada dan menentukan solusi yang dapat mereka lakukan
bersama. Masyarakat kemudian merumuskan beberapa alternatif solusi permasalahan sanitasi
di lingkungan mereka. Melalui beberapa kali pertemuan intensif, akhirnya pada akhir Bulan
Januari 2003 yang lalu masyarakat Banjar Sari sepakat untuk membangun MCK baru di
Gang Jempiring.
Bali Fokus sering melakukan pertemuan dengan masyarakat Banjar Sari, khususnya warga di
Gang Jempiring. Ada sekitar 10 kali pertemuan dengan masyarakat sebelum muncul solusi
pembangunan MCK Jempiring ini.
Akhirnya setelah melalui beberapa kali pertemuan, pada tanggal 31 Januari 2003 yang lalu
ditanda tangani nota kesepakatan antara warga Banjar Sari dengan Bali Fokus yang pada
intinya terdiri atas tiga hal. Pertama, warga Gang Jempiring, Banjar Sari membutuhkan
fasilitas sanitasi. Kedua, warga di sekitar Gang Jempiring bersedia untuk berkontribusi dalam
perawatan dan pemeliharaan MCK dan terakhir, warga mendukung dibangunnya MCK baru
bersedia untuk memelihara dan turut menjaga kebersihan MCK itu.
Pembangunan MCK Jempiring melalui pendekatan berbasis masyarakat hanyalah salah satu
keunggulan MCK ini. Karena selain itu, MCK Jempiring yang diresmikan oleh Walikota
Denpasar pada hari Rabu tanggal 6 Agustus 2003 ini, juga dilengkapi dengan teknologi
pengolahan limbah tepat guna (appropriate technology) yang dapat menghasilkan gas methan
dan air buangan yang sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah. Gas methan
yang dihasilkan oleh bangunan pengolah limbah Bio-digester yang berada tepat dibawah
MCK ini dapat mencukupi kebutuhan memasak 3 keluarga.
4.2.10 Surabaya “Green and Clean”
Permasalahan kota saat ini semakin meningkat seiiring dengan akibat dari dampak mobilitas
penduduk dan urbanisasi yang meningkat. Akibat dari situasi tersebut, kondisi lingkungan
perkotaan dan perilaku masyarakatnya kurang memenuhi ketentuan kesehatan, seperti
munculnya daerah kumuh, keterbatasan ketersediaan air bersih dan air tanah, pencemaran
lingkungan, penataan sanitasi kota yang buruk, daerah rawan banjir, meningkatnya populasi
vektor penyakit, masalah penanganan sampah, kemacetan lalu lintas, kriminalitas dan
kekerasan, penggunaan narkoba hingga gaya hidup yang kurang memenuhi syarat keseahtan.
Data yang di himpun oleh Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia (HAKLI) tahun
2006, menyebutkan bahwa sebagian masyarakat kota (71,9%) masih memanfaatkan sumber
air minum yang tidak terlindungi. Hanya 58,9% penduduk diperkotaan yang telah
mempunyai sarana pembuangan kotoran yang memenuhi syarat. Pencemaran udara di kota
besar pada tahun 2005 diperkirakan meningkat 2 kali dari tahun 1995 dengan sumber utama
emisi kendaraan bermotor dan kegiatan industri. Sekitar 57% penduduk kota tinggal di
perumahan yang kurang memenuhi syarat kesehatan.
Dari sekilas gambaran data diatas, tentunya bukan menjadi tugas ringan untuk mewujudkan
kota sehat. Namun bukan berarti tidak bisa diwujudkan. Saat ini, kita tengah memasuki era
reformasi yang merupakan masa transisi menuju Indonesia Baru. Tentunya kondisi ini
sebagai peluang untuk memulai proses dan cita-cita luhur ini.
Semarak kampanye Surabaya Green and Clean hasil kerjasama lintas bidang (Pemerintah
Kota Surabaya, Swasta dan media Jawa Pos dan Radar Surabaya) beberapa waktu lalu
memang pantas mendapat apresiasi yang tinggi. Bukan saja karena program ini mendapat
pujian dari pemerintah pusat. Tapi lebih dari itu, kegiatan ini memberi gambaran bahwa
masih ada warga masyarakat yang peduli tentang kebersihan dan kesehatan dalam kondisi
seperti sekarang ini.
Kampanye Surabaya Green and Clean memelopori peran masyarakat agar kampung mereka
bersih dan sehat. Meski sebenarnya sudah ada program sejenis, seperti penghargaan Adipura,
namun konsep program tersebut masih terlalu sentralistik karena kriteria penilaian masih
banyak didominasi pusat dan kurang mengakomodasi masukan di daerah.
Dengan kampanye Surabaya Green and Clean, diharapkan program ini dapat dilaksanakan
secara berkesinambungan. Mungin awalnya sekarang dititikberatkan pada aspek pengelolaan
sampah dan kebersihan kampung (Penyehatan lingkungan fisik). Selanjutnya bisa
berkembang terus ke arah penyehatan lingkungan sosial, seperti pelembagaan perilaku hidup
sehat, pembudayaan olahraga, peningkatan disiplin masyarakat, penurunan angka
kriminialitas dan seterusnya. Dimulai dari kampung sehat (RT/RW sehat), berlanjut ke
kelurahan sehat, meningkat lagi kecamatan sehat, begitu seterusnya.
Meskipun program Surabaya Green and Clean ini tidak secara spesifik melakukan
pembangunan sarana fisik air minum dan sanitasi, satu hal penting yang perlu dicontoh dalam
kegiatan ini adalah pola kerjasama antara pemerintah daerah dengan perusahaan yang peduli
dengan kondisi lingkungan. Dalam hal ini Pemerintah Kota Surabaya telah bekerja sama
dengan PT. Unilever dalam melakukan kampanye perilaku hidup bersih dan sehat, khususnya
bagi masyarakat uang tinggal pada lokasi-lokasi perkampungan kumuh. Pembelajaran terbaik
dari kampanye yang dilakukan adalah dengan melaksanakan kampanye yang bersifat gradual
serta willingness yang besar dari pemerintah setempat dalam melaksanakan kampanye.
(Contoh lingkungan permukiman di perkotaan Surabaya yang telah melakukan pembenahan
melalui kampanye Surabaya Green and Clean)
Kegiatan kampanye yang dilakukan dimulai dari tingkat yang terkecil yaitu RT. Kemudian
setelah terlihat perubahan, beberapa warga RT diikutsertakan untuk melakukan kampanye
Green and Clean pada tingat RW. Begitu juga halnya, warga RW yang sudah menunjukkan
kemajuan dan perubahan sebagai hasil dari kampanye kemudian diikutsertakan untuk
pelaksanaan kampanye di tingkat kelurahan. Hal ini dilakukan seterusnya hingga tinggkat
kecamatan. Selain diikutsertakan dalam kegiatan kampanye, beberapa warga masyarakat
yang telah menunjukkan perubahan diberikan insentif oleh PT. Unilever dengan pembagi-
bagian keranjang sampah, sabun, dan shampo yang merupakan produk PT. Unilever. Namun
pada tahap-tahap berikutnya insentif ini tidak diberlakukan lagi dan itu sama sekali tidak
mengurangi animo masyarakat untuk ikut serta dalam kegiatan kampanye.
Saat ini PT. Unilever telah membentuk Yayasan Unilever Peduli yang secara langsung aktif
berperan serta dalam memperluas kegiatan kampanye Green and Clean di beberapa kawasan
kumuh di Surabaya. Setiap 3 (tiga) bulan sekali selama tahun 2006 dan 2007 dilakukan
kumpul akbar bagi masyarakat kota surabaya untuk melakukan kampanye serempak Green
and Clean. Momen ini sangat dimanfaatkan oleh Pemerintah Kota karena dinilai dapat secara
massal dan luas menyebarkan informasi-informasi mengenai pentingnya perilaku hidup
bersih dan sehat kepada masyarakat Kota Surabaya. Untuk lebih meningkatkan antusiasme
masyarakat, Yayasan Unilever Peduli melakukan undian bagi warga dengan hadiah puluhan
juta rupiah untuk pengelolaan lingkungan.
4.2.11 Pontianak : Pembangunan Toren dari NUSSP
Air bersih memang masih jadi masalah utama dihampair setiap permukiman, tidak terkecuali
di Kota Pontianak, Kalimantan Barat. Di daerah ini hampir semua wilayah lingkungan
permukiman tidak tersedia air bersih. Karena kesulitan air bersih, tak heran semua warga
memanfaatkan air hujan untuk kebutuhan memasak dan minum. Mereka mengandalkan air
hujan yang di tampung dalam drum-drum atau bak beton dan toren-toren. Sementara untuk
kebutuhan mandi dan mencuci, warga menggunakan sisa-sisa air di saluran atau selokan
dekat rumah dengan air yang berwarna cokelat, keruh dan sangat kotor.
Frekuensi curah hujan di Pontianak itu sendiri cukup karena berdasarkan data dari Observasi
dan Informasi Meteorologi Kelas II Pontianak, curah hujan di kota garis khatulistiwa ini
dalam batas normal, mencapai 200-250 mm (Juli-Agustus). Atas dasar pertimbangan ini,
melalui program NUSSP, warga terbantu dengan adanya toren-toren yang disediakan di
masing-masing lingkungan permukiman seperti di Tanjung Hulu salah satunya. Toren ini
cukup meringankan warga karena daya tampungnya lebih besar dibanding drum-drum dan
kualitas airnya lebih bersih.
Pembangunan toren ini dilakukan oleh masyarakat Tanjung Hulu sendiri dengan bantuan
tukan yang khusus direkrut melalui proyek NUSSP. Masyarakat sebelumnya membentuk
kelompok kerja dan diberi pelatihan oleh tim teknis NUSSP mengenai mekanisme teknis
pembangunan toren serta cara-cara pemanfaatan dan perawatan toren. Masyarakat Tanjung
Hulu sendiri tidak dipungut kontribusi atau sumbangan untuk melaksanakan pembangunan
toren, bahkan masyarakat yang bersedia untuk ikut bekerja dalam pembangunan toren akan
mendapatkan upah sebesar Rp. 50.000,00- per hari kerjanya. Pekerjaan pembangunan toren
sendiri memakan waktu 1 (satu) bulan hingga toren benar-benar dapat difungsikan.
Toren yang dibangun oleh masyarakat dan tukang terdiri dari 6 (enam) unit yang tersebar
secara komunal di tiap-tiap RT di Kelurahan Tanjung Hulu. Masing-masing toren memiliki
kapasitas 8.000 liter dan memiliki 3 (tiga) unit keran untuk masyarakat memperoleh air.
Secara umum, toren-toren ini telah membantu masyarakat Tanjung Hulu, terutama dalam hal
pemenuhan kebutuhan air bersih bagi masyarakat yang dapat digunakan sebagai sumber air
minum. Namun meskipun demikian, keberadaan toren ini belum mampu untuk mangatasi
permasalahan kekumuhan yang ada pada masyarakat Tanjung Hulu. Keberadaan toren ini
tidak serta merta mengubah kondisi perilaku hidup bersih dan sehat masyarakat kota, karena
mereka masih melakukan buang air besar sembarangan dan juga mencemari lingkungan
permukiman mereka.
4.3 Kesimpulan
Dari seluruh program pembangunan AMPL yang pernah dilakukan di Indonesia seperti yang
telah dipaparkan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa masing-masing program dan proyek
memiliki pendekatannya masing-masing. Setiap program dan proyek memiliki fokus yang
berbeda-beda dalam pelaksanaan kegiatannya. Beberapa proyek lebih fokus kepada
pembangunan atau penyediaan sarana, sementara proyek yang lain ada yang lebih fokus pada
pemberdayaan pemerintah ataupun pada perubahan perilaku masyarakat.
Selain itu, dapat juga disimpulkan bahwa setiap program pembangunan AMPL memiliki
pendekatan yang disesuaikan dengan tipologi kawasan kumuh yang ada, mengingat setiap
tipologi kawasan kumuh memiliki permasalahan yang berbeda-beda seperti yang talah
dipaparkan pada bab 2 dan 3. Untuk menyimpulkan keterkaitan antara program pembangunan
AMPL dengan tipologi dan permasalahan umum dan spesifik air minum dan sanitasi dasar
yang ada, maka berikut ini tabel ringkasan yang mencoba memetakan upaya penanganan
berdasarkan tipologi kawasan kumuh:
Tabel 4.1
Upaya Penanganan Air minum dan Sanitasi Dasar di Kawasan Kumuh Perkotaan Berdasarkan Tipologinya
NoProgram /
Proyek
Tipologi Kawasan Kumuh yang Ditangani
Aspek Permasalahan yang Ditangani
Kelembagaan Sosial Finansial Teknologi Lingkungan
1 KIP Seluruh Tipologi
Peningkatan kapasitas institusi Pemda dalam aspek perencanaan dan implementasi kegiatan
Tidak ada upaya untuk perubahan perilaku atau PHBS bagi masyarakat
Tidak ada bentuk bantuan finansial bagi masyarakat, kecuali bagi tukan yang dibayar secara profesional
Pembangunan fisik dengan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah
Program ini sudah secara khusus melakukan peningkatan kesadaran masyarakat akan peningkatan daya dukung lingkungan
2 NUSSP Seluruh tipologi
Peningkatan kapasitas institusi Pemda dan masyarakat dalam aspek perencanaan dan implementasi kegiatan
Tidak ada upaya untuk perubahan perilaku atau PHBS bagi masyarakat
Bantuan finansial kepada masyarakat dalam bentuk upah terkait partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan proyek
Pembangunan fisik dengan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah
Program ini sudah secara khusus melakukan peningkatan kesadaran masyarakat akan peningkatan daya dukung lingkungan
3 Sanimas Seluruh tipologi
Peningkatan kapasitas institusi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi kegiatan
Tidak ada upaya untuk perubahan perilaku atau PHBS bagi masyarakat
Sudah ada upaya untuk mempertimbangkan kemampuan dan kemauan masyarakat melalui skenario in-kind dan in-cash
Pembangunan fisik dengan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah
Program ini sudah secara khusus melakukan peningkatan kesadaran masyarakat akan peningkatan daya dukung lingkungan
NoProgram /
Proyek
Tipologi Kawasan Kumuh yang Ditangani
Aspek Permasalahan yang Ditangani
Kelembagaan Sosial Finansial Teknologi Lingkungan
4 Swash CARE
Tipologi Kawasan Komersial
Tipologi Bantaran Sungai
Peningkatan kapasitas institusi Pemda dan masyarakat dalam aspek perencanaan dan implementasi kegiatan
Kampanye PHBS bagi masyarakat di lokasi program dengan mempertimbangkan tingkat pendidikan, struktur masyarakat
Sudah ada upaya untuk mempertimbangkan kemampuan dan kemauan masyarakat melalui skenario in-kind dan in-cash
Pembangunan fisik dengan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah
Program ini sudah secara khusus melakukan peningkatan kesadaran masyarakat akan peningkatan daya dukung lingkungan
5 ESP USAID
Tipologi Bantaran Sungai
Tipologi Pinggiran Pantai
Tipologi Kawasan Komersial
Peningkatan kapasitas institusi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi kegiatan
Tidak ada upaya untuk perubahan perilaku atau PHBS bagi masyarakat karena adanya asumsi masyarakat kota sudah paham mengani PHBS
Sudah ada upaya untuk mempertimbangkan kemampuan dan kemauan masyarakat melalui bantuan pinjaman uang atau micro-credit
Pembangunan fisik dengan teknologi yang disesuaikan dengan kondisi wilayah
Program ini sudah secara khusus melakukan peningkatan kesadaran masyarakat akan peningkatan daya dukung lingkungan
6Sanitation Improvement Project (SIP)
Tipologi Pinggiran Pantai
Tidak ada kegiatan pelatihan atau peningkatan kapasitas, baik bagi Pemda maupun masyarakat
Kampanye PHBS dilaksanakan bagi masyarakat di lokasi program, namun top-down sifatnya
Belum mempertimbangkan kemampuan dan kemauan masyarakat untuk berkontribusi terhadap proyek
Pembangunan jamban dengan subsidi penuh kepada masyarakat tanpa mempertimbangkan willingness dari masyarakat untuk menggunakan jamban secara efektif
Program ini belum secara khusus melakukan peningkatan kesadaran masyarakat akan peningkatan daya dukung lingkungan
NoProgram /
Proyek
Tipologi Kawasan Kumuh yang Ditangani
Aspek Permasalahan yang Ditangani
Kelembagaan Sosial Finansial Teknologi Lingkungan
7Surabaya Green and Clean
Tipologi Kawasan Komersial
Tipologi Bantaran Sungai
Pemda merupakan pihak pelaksana dari program ini bersama-sama dengan kelompok ibu-ibu
Ya, melalui kampanye PHBS bagi masyarakat di lokasi program, khususnya menjaga kebersihan lingkungan
Program ini mengandalkan kemampuan dan kemauan pemerintah kota, masyarakat dan pihak swasta dalam hal pendanaannya
Program ini bukan bersifat pembangunan fisik sarana AMPL melainkan program kesehatan lingkungan
Ya, kekuatan program ini adalah dengan melakukan peningkatan kesadaran bagi masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan dan meningkatkan daya dukung lingkungan
5 ALTERNATIF PENDEKATAN PENANGANAN AIR MINUM DAN SANITASI DASAR DI KAWASAN KUMUH PERKOTAAN
Dari paparan tiga bab terdahulu, telah berhasil diidentifikasi permasalahan umum
kawasan kumuh perkotaan berdasarkan tipologinya, kondisi dan permasalahan air
minum dan sanitasi dasar kawasan kumuh perkotaan, dan berbagai upaya penanganan
yang telah dilaksanakan terkait pelayanan air minum dan sanitasi dasar di kawasan
kumuh perkotaan. Dari ketiga hasil identifikasi tersebut, dapat ditarik benang merah
pendekatan penanganan air minum dan sanitasi dasar di kawasan kumuh perkotaan.
Bab ini mencoba memaparkan benang merah pendekatan yang telah dilakukan dan
mengkritisinya. Berdasarkan hasil kritisi tersebut, bab ini akan mencoba untuk
memberikan alternatif pendekatan penanganan air minum dan sanitasi dasar di
kawasan kumuh perkotaan berdasarkan tipologi lokasinya.
5.1 Mengkaji Kembali Upaya Terdahulu
Melihat beberapa pendekatan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan pemangku
kepentingan lainnya, pada dasarnya penanganan air minum dan sanitasi dasar
kawasan kumuh perkotaan sudah mengakomodir beberapa isu kunci untuk menjamin
keberhasilan dan keberlanjutan program. Isu kunci tersebut antara lain seperti
penguatan kapasitas kelembagaan baik pada tingkat pemerintah maupun masyarakat,
promosi kesehatan, dan peningkatan akses terhadap sarana air minum dan sanitasi
dasar. Namun demikian, pendekatan penanganan yang ada saat ini masih belum
secara optimal mengakomodir berbagai kepentingan yang terkait dengan
penyelenggaraan air minum dan sanitasi dasar bagi kawasan kumuh perkotaan.
Berbagai kendala di lapangan ternyata masih butuh untuk diakomodir ke dalam
pendekatan penanganan yang ada saat ini.
5.1.1 Kritik Terhadap Upaya Penanganan Air Minum dan Sanitasi Dasar di
Kawasan Kumuh Perkotaan Saat Ini
Terkait dengan berbagai upaya penanganan air minum dan sanitasi dasar kawasan
kumuh perkotaan, terdapat beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, sebagai
berikut:
a. Kesepahaman dan kesepakatan mengenai pendekatan penanganan air
minum dan sanitasi dasar kawasan kumuh perkotaan
Terlepas dari semua upaya yang telah dilaksanakan, harus diakui bahwa sampai
saat ini belum ada kesepahaman dan kesepakatan mengenai pendekatan
penanganan kawasan kumuh perkotaan. sampi saat ini penanganan masih
bersifat parsial. Sebagai contoh, program SANIMAS yang saat ini telah menjadi
program Departemen Pekerjaan Umum, baru mulai mengadopsi komponen
perubahan perilaku ke dalam desain proyeknya setelah sekian tahun
dilaksanakan di berbagai kawasan kumuh. Hal ini mengindikasikan bahwa
pemerintah, baik pada tingkat nasional, provinsi maupun kota, masih belum
mempunyai pendekatan yang utuh dan disepakati bersama. Namun demikian,
disisi lain, proyek SWASH yang dilaksanakan CARE bekerja sama dengan
pemerintah kota Makassar sudah menerapkan pendekatan penanganan yang
cukup komprehensif. Oleh karena itu, pemerintah selaku pihak yang
bertanggung jawab terhadap pembangunan AMPL secara umum harus memiliki
pendekatan yang utuh yang tentunya membantu pencapaian target pemerintah
baik dalam jangka menengah maupun jangka panjang.
b. Penyediaan sarana air minum dan sanitasi dasar vs rencana tata ruang
kota
Seringkali yang terjadi pada penyelenggaraan air minum dan sanitasi dasar
melalui berbagai program, baik oleh pemerintah maupun oleh pihak lain,
keberadaan rencana tata ruang diabaikan. Kekuatiran yang terjadi kemudian
adalah anggapan mengenai upaya melegalkan sesuatu yang ilegal, yaitu
pemenuhan kebutuhan masyarakat akan air minum dan sanitasi atas dasar hak
asasi namun di atas lahan/lokasi yang tidak legal, baik secara kepemilikannya
maupun peruntukkannya sebagai kawasan permukiman. Hal ini selanjutnya
menyebabkan pelanggaran undang-undang yang dapat dikenakan sanksi pidana.
Berdasarkan pengalaman semacam ini, maka hal ini mengindikasikan tidak
adanya koordinasi antar lembaga pemerintah dalam pelaksanaan suatu program.
c. Penanganan jangka pendek vs jangka panjang
Mengacu pada aturan tata ruang yang berlaku, maka penyelenggaraan air
minum dan sanitasi dasar di kawasan kumuh perkotaan pada dasarnya
merupakan solusi jangka pendekt (intermediate solution). Namun yang terjadi
saat ini adalah berbagai upaya yang telah dilaksanakan saat ini merupakan
solusi jangka panjang. Hal ini terjadi karena penyelenggaraan air minum dan
sanitasi dasar tidak melihat arah pembangunan kota sesuai dengan rencana tata
ruang dan fakta bahwa kawasan kumuh harus hilang sesuai dengan target
pembangunan secara nasional.
d. Kapasitas pemerintah dan masyarakat: pengamat vs pelaku
Terdapat dua permasalahan terkait dengan penguatan kapasitas, terutama pada
tingkat pemerintah, yaitu (i) penguatan kapasitas hanya dipandang sebatas untuk
penyelesaian suatu proyek, bukan sebagai penguatan kapasitas secara
kelembagaan; dan (ii) pemerintah hanya dilatih untuk kemudian menjadi
pengamat bukan pelaku, sesuai dengan tupoksinya. Dua permasalahan tersebut
ternyata terjadi di berbagai proyek dan dan program, dan hal tersebut
menyebabkan rendahnya keberlanjutan program. Berbeda dengan penguatan
kapasitas di tingklat masyarakat, kapasitas yang sudah ditingkatkan kemudian
diaplikasikan secara langsung oleh masyarakat. Walaupun demikian, tidak
jarang terjadi aplikasi dari penguatan kapasitas yang telah dilaksanakan tidak
terjadi karena keberadaan konsultan fasilitator masyarakat yang mengerjakan
semuanya. Hal ini seringkali terjadi akibat adanya tuntutan dari proyek untuk
penyerapan dana, atau pencapaian target yang kemudian mengorbankan prinsip
berbasis masyarakat.
e. Manajemen aset: aset masyarakat vs aset pemerintah
Terbangunnya sarana ar minum dan sanitasi dasa komunal di suatu kawasan
kumuh harus dilandasi pengertian bahwa sarana tersebut dimaksudkan untuk
solusi jangka pendek. Dengan demikian, manajemen aset harus
diimplementasikan dengan pendekatan yang berbeda. Seringkali yang terjadi
dalam pelaksanaan proyek air minum dan sanitasi dasar berbasis masyarakat
adalah pada saat sarana telah terbangun maka sarana tersebut diserahkan kepada
masyarakat. Di satu sisi, hal ini dapat menyebabkan timbulnya persepsi yang
berbeda di tingkat masyarakat, dimana masyarakat akan menganggap bahwa
penyerahan aset/sarana fisik tersebut merupakan legitimasi akan status mereka
sebagai penghuni yang sah menurut hukum. Di sisi lain, pemerintah kota tidak
menyadari konsekuensi dibangunnya suatu sarana, sehingga seringkali yang
terjadi pemerintah tidak mengalokasikan dana untuk pendampingan terhadap
masyarakat maupun untuk operasi dan pemeliharaan sarana terbangun. Hal ini
menjelaskan adanya kesan dimana pemerintah ingin sesegera mungkin
menyerahkan aset kepada masyarakat sehingga pemerintah tidak bertanggung
jawab atas keberadaan dan keberfungsian sarana.
f. Monitoring dan evaluasi
Terkait dengan monitoring dan evaluasi, dari berbagai pengalaman yang ada,
terlihat secara jelas bahwa pemerintah tidak melakukan monitoring secara
optimal. Tidak jarang pemerintah dan masyarakat tidak melakukan monitoring
dan evaluasi sama sekali dikarenakan tidak tersedianya kapasitas dan alat/tools
untuk melakukan monitoring dan evaluasi.
5.1.2 Isu Kritis Terkait Pendekatan Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan
Berdasarkan kritik yang telah diuraikan di atas, maka terdapat beberapa isu kritis yang
perlu segera ditindaklanjuti, yaitu:
a. Pendekatan penanganan air minum dan sanitasi
dasar
Perlunya kesepakatan mengenai pendekatan penanganan air minum dan sanitasi
dasar kawasan kumuh oleh seluruh pemangku kepentingan yang mengacu pada
rencana tata ruang kota, khususnya pemerintah kota dan masyarakat sebagai
pelaku utama.
b. Pemetaan masalah
Pemetaan permasalahan air minum dan sanitasi dasar pada kawasan kumuh
perkotaan untuk mengetahui daya upaya yang diperlukan baik secara finansial
maupun kebijakan.
c. Rencana strategis
Keberadaan rencana strategis air minum dan sanitasi dasar dalam mendukung
pemenuhan target “Indonesia bebas dari kekumuhan”.
d. Kapasitas pemerintah dan masyarakat
Kapasitas pemerintah dan masyarakat dalam melaksanakan pendekatan
penanganan air minum dan sanitasi dasar di kawsan kumuh perkotaan
5.2 Alternatif Pendekatan Penanganan Air Minum dan Sanitasi Dasar di
Kawasan Kumuh Perkotaan
Mengacu pada beberapa kritik dan isu kritis yang telah dipaparkan di atas, pada
dasarnya sampai saat ini dapat dikatakan belum ada kesepakatan, bahkan mungkin
sekali, belum terdapat pendekatan yang menjadi koridor bagi semua upaya yang
dilakukan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, perlu dikembangkan sebuah
pendekatan penanganan air minum dan sanitasi dasar kawasan kumuh. Namun
demikian, dalam mengembangkan suatu pendekatan, maka terdapat beberapa
beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk kemudian diakomodir dalam
pendekatan yang akan dikembangkan.
5.2.1 Beberapa Aspek yang perlu dipertimbangkan
Hal pertama yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan suatu pendekatan
penanganan adalah tujuan akhir yang ingin dicapai berdasarkan peraturan
perundangan yang berlaku. Tujuan akhir dari suatu pendekatan penanganan
merupakan hal yang sangat penting, karena hal tersebut akan menjadi landasan atau
dasar utama dalam mendesain seluruh pendekatan. Dalam hal tujuan akhir, maka
sangat jelas dipaparkan dalam arah pembangunan nasional, yaitu Indonesia bebas dari
kekumuhan tahun 2020. Hal ini berarti keberadaan kawasan kumuh tidak dapat lagi
ditolerir pada tahun 2020.
Kedua, pelaku yang terkait dalam hal penanganan air minum dan sanitais dasar
kawasan kumuh. Kawasan kumuh merupakan kawasan dengan permasalahan multi
dimensi, oleh karena itu terdapat banyak kepentingan, baik yang sejalan dan yang
bersebrangan. Berbagai kepentingan tersebut perlu dicermati dalam mengembangkan
pendekatan yang dimaksud. Terkait dengan berbagai kepentingan tersebut, maka
perlu diidentifikasi pelaku yang berkepentingan, khususnya pelaku yang akan
menggunakan atau bahkan yang akan terpengaruh oleh pendekatan penanganan air
minum dan sanitasi dasar. Hal ini menunjukkan pengembangan pendekatan harus
memperhatikan siapa melakukan apa, kapan, dan siapa mendapat apa.
Ketiga, sumber daya yang diperlukan. Dalam pengembangan pendekatan penanganan
yang dimaksud, maka perlu diperhatikan sumber daya apa saja yang perlu ada,
sehingga pendekatan yang dikembangkan merupakan pendekatan yang terukur, dan
memungkinkan untuk dilaksanakan.
Keempat, kebutuhan peningkatan kapasitas. Peningkatan kapasitas merupakan salah
satu komponen utama dalam pendekatan penanganan air minum dan sanitasi dasar.
Oleh karena itu harus diketahui kebutuhan peningkatan kapasitas. Peningkatan
kapasitas ini dapat dikategorikan dalam aspek perencanaan, implementasi, manajemen
aset, dan monitoring & evaluasi. Kebutuhan peningkatan kapasitas ini berlaku untuk
pemerintah dan masyarakat.
5.2.2 Pendekatan Penanganan Air Minum dan Sanitasi Dasar Kawasan
Kumuh: model alternatif
Pendekatan yang dikembangkan pada dasarnya merupakan integrasi dari berbagai
upaya yang sudah dan dapat lebih dikatakan sebagai sistematisasi dari berbagai upaya
yang telah dilakukan. Seperti yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, terdapat
4 (empat) hal yang perlu dipertimbangkan dalam mensistematiskan berbagai upaya
yang ada. Untuk itu, perlu dilihat kembali kepentingan dari perlunya dikembangkan
suatu pendekatan penanganan air minum dan sanitasi dasar kawasan kumuh, yaitu
kebutuhan pemerintah akan suatu pendekatan yang sederhana, terukur, efektif, dan
time-bound (memperhatikan target waktu tertentu) untuk secara sistematis menangani
masalah air minum dan sanitasi dasar kawasan kumuh yang tetap sejalan dengan
kebijakan dan tujuan nasional dalam membebaskan kota dari keberadaan kawasan
kumuh.
Rencana Strategis dan Forum koordinasi Lintas Sektor
Dikatakan suatu pendekatan yang efektif dan sistematis memberikan arti bahwa
adanya kemauan untuk menangani permasalahan air minum dan sanitasi dasar secara
terpadu, yaitu dibawah suatu rencana payung yang jelas. Hal ini menunjukkan
diperlukannya suatu rencana strategis penanganan air minum dan sanitasi dasar di
kawasan kumuh.
Terkait dengan kebutuhan untuk menyusun rencana strategis tersebut, dikarenakan
penanganan air minum dan sanitasi dasar merupakan kegiatan lintas sektor, maka
diperlukan suatu forum yang dapat memfasilitasi kegiatan koordinasi lintas sektor
yang terkait. Forum tersebut harus terdiri dari anggota sektor terkait dan fungsi dari
forum tersebut hanya sebatas untuk berkoordinasi. Hasil kesepakatan dari koordinasi
yang dilakukan melalui forum tersebut harus ditindaklanjuti oleh masing-masing
anggota forum sesuai dengan tupoksinya. Forum seperti ini seringkali disebut dengan
kelompok kerja. Contoh forum dengan fungsi seperti yang dimaksudkan di atas
adalah Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) dan
Kelompok Kerja Sanitasi.
Keberadaan forum atau kelompok kerja (Pokja) seringkali didukung dengan
pembentukan beberapa tim teknis untuk mendukung berbagai hal sesuai dengan
kebutuhannya. Salah satu contoh terkait dengan pembentukan tim teknis untuk
perencanaan dalam sebuah Pokja adalah seperti yang dilakukan oleh Pokja AMPL
kota Medan. Kebutuhan Pokja AMPL kota Medan dalam menyusun rencana strategis
mengharuskan Pokja AMPL kota Medan untuk membentuk tim teknis perencanaan
untuk menjamin tersusunnya rencana strategis AMPL.
Penguatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintah dan Masyarakat
Selain adanya kebutuhan rencana strategis, pokja dan tim teknis sebagai pendukung
pokja AMPL, keberadaan pokja itu sendiri dan rencana strategis yang akan disusun
mengindikasikan kebutuhan untuk memastikan apakah setiap anggota dari pokja telah
memiliki kapasitas dalam mengimplementasikan rencana strategis. Terkait dengan hal
ini, berbagai bantuan teknis melalui program-program air minum dan sanitasi dasar
dari berbagai donor dan pemerintah pusat telah berupaya untuk memberikan berbagai
penguatan kapasitas dan pilot project. Namun demikian, penguatan kapasitas yang
diiberikan dan pelaksanaan pilot projet yang sudah diberikan sebagian besar tidak
sesuai dengan hasil yang diharapkan. Berbagai penguatan kapasitas dan pilot project
seringkali berakhir dengan sia-sia karena pemerintah daerah tidak melakukan
internalisasi terhadap pendekatan yang sudah diberikan.
Hal ini terjadi karena beberapa hal, yaitu (i) pemerintah daerah belum dapat melihat
kerangka besar dan tujuan dari pendekatan yang coba untuk disampaikan; dan (ii)
pemerintah daerah hanya melihat suatu upaya penanganan kawasan kumuh
berdasarkan pendekatan proyek sehingga peningkatan kapasitas semata-mata hanya
dilakukan untuk pelaksanaan pilot project; dan (iii) peningkatan kapasitas pemerintah
seringkali tidak diaplikasikan oleh pemerintah secara langsung melalui pilot project
yang ada, namun seringkali pihak konsultanlah yang mengaplikasikan di lapangan.
Hal ni mengakibatkan pemerintah hanya menjadi pengamat dibandingkan sebuah
institusi yang seharusnya mengaplikasikannya secara langsung.
Belajar dari pengalaman program WES UNICEF, untuk mengatasi beberapa
permasalahan tersebut, maka seluruh dinas yang terkait yang telah mendapatkan
pelatihan diharuskan untuk mengaplikasikannya melalui pilot project dengan bantuan
fasilitasi dari konsultan. Dalam hal ini terjadi perubahan konsep yang mendasar
terkait dengan peningkatan kapasitas. Model ini merupakan model yang bagus, namun
diperlukan waktu dan dana peningkatan kapasitas yang tidak sedikit. Penguatan
kapasitas harus dilaksanakan dengan memperhatikan kualitas dari fasilitator masing-
masing dinas yang sudah berhasil dilatih. Model pengaplikasian secara langsung oleh
pemerintah ini dikenal dengan model on-the-job-training, dimana apa yang dipelajari
langsung dipraktekan secara langsung. Terkait dengan pelatihan teknis, hal ini sangat
efektif dan efisien.
Kesiapan Masyarakat dalam Implementasi Program Penyediaan Air Minum
dan Sanitasi Dasar
Dalam pengembangan pendekatan penanganan air minum dan sanitasi dasar kawasan
kumuh, hal lain yang perlu diperhatikan adalah karakter masyarakat di masing-masing
tipologi kawsan kumuh. Karakteristik masyarakat yang berbeda-beda akan sangat
mempengaruhi proses persiapan dam implementasi pada tingkat masyarakat. Pada
proses persiapan contohnya, dikarenakan pendekatan yang dilakukan harus mengacu
pada prinsip berbasis masyarakat, maka keterlibatan masyarakat adalah mutlak.
Namun realita di lapangan seringkali tidak mendukung keterlibatan masyarakat.
Masyarakat di kawasan kumuh pinggir pantai mempunyai mata pencaharian sebagai
nelayan yang menyulitkan masyarakat untuk terlibat secara penuh. Dengan demikian
perlu dilakukan pendekatan lain seperti melibatkan lembaga yang sudah ada
dimasyarakat atau secara resmi sudah ada dibawah pemerintah kelurahan.
Contoh lain keterlibatan masyarakat dalam penanganan kawasan kumuh adalah
kontribusi masyarakat dalam bentuk tunai dan material. Kedua bentuk kontribusi akan
menjadi permasalahan jika karakteristik masyarakat tidak dipahami dengan baik.
Kontribusi material biasanya mengalami kendala terkait dengan kemauan masyarakat
untuk meninggalkan pekerjaannya untuk mengkontribusikan tenaganya dalam
membangun sarana air minum ataupu sanitasi dasar. Selain itu terkait dengan
kontribusi material lainnya, seperti kerikil, pasir dan lain sebagainya sengat terbatas
karena kondisi kawasan kumuh yang tidak memungkinkan masyarakat untuk
memanfaatkan sumber daya dilingkungannya. Kontribusi dalam bentuk tunai
biasanya cenderung dipilih oleh masyarakat sebagai tanda keterlibatannya. Namun hal
ini juga seringkali terkendala dengan tingkat pendapatan yang sangat rendah,
sehingga akan mempengaruhi masyarakat dalam mengoperasikan dan memelihara
sarana yang terbangun.
Selain itu, kondisi sosial masyarakat dalam hal tingkat kriminal, kerentanan sosial
(tingkat kesehatan, pendidikan, pendapatan, dan lain sebagainya) juga akan
mempengaruhi keterlibatan masyarakat. Seringkali dikarenakan tingkat kriminalitas
yang cukup tinggi, suatu upaya penanganan air minum dan sanitasi dasar gagal untuk
dilaksanakan karena adanya ancaman, pungli dan lain sebagainya.
Alternatif Opsi Teknologi Air Minum dan Sanitasi Dasar Berbasis Masyarakat
Aspek penting lain dalam pengembangan pendekatan penanganan air minum dan
sanitasi dasar adalah opsi teknologi yang akan diterapkan. Penerapan suatu opsi
teknologi harus memperhatikan beberapa hal, yaitu: (i) opsi teknologi yang diterapkan
harus dimengerti sebagai suatu opsi teknologi untuk jangka pendek (intermediary
technical options) terkait dengan tujuan untuk membebaskan Indonesia dari kawsaan
kumuh; dan (ii) kondisi lingkungan akan sangat menetukan opsi yang dapat
diterapkan (tinggi permukaan air tanah, sumber air, keterbatasan lahan, dan lain
sebagainya).
Berbagai aspek penting yang telah disebutkan di atas dalam mengembangkan
pendekatan penanganan yang sederhana, terukur, efektif, dan sistematis dapat
dirangkum ke dalam kerangka pikir sebagai berikut:
Gambar 5.1Pendekatan Penanganan Air Minum dan Sanitasi Dasar
Kawasan Kumuh
Kelompok Kerja Penanganan air
minum dan sanitasi dasar
Tim teknis perencanaan
Tim teknis Monitoring &
Evaluasi
Tim teknis manajemen
aset
Tim teknis fasilitasi
masyarakat
Kapasitas perencanaan
Kapasitas Monitoring &
Evaluasi
Kapasitas manajemen
aset
Kapsitas fasilitasi
masyarakat
Penguatan Kapasitas
Rencana Strategis penanganan air
minum dan sanitasi dasar kawasan
kumuh
Pilot Project
Implementasi rencana strategis
Replikasi (Scaling up)
Internalisasi
Aktualisasi
Aplikasi (on-the job-training method)
Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka pada tingkat pemerintahan, dapat
diidentifikasi berbagai hal yang harus dipersiapkan dalam mengimplementasikan
pendekatan penanganan air minum dan sanitasi dasar kawasan kumuh perkotaan.
Sedangkan untuk pendekatan penanganan pada tingkat masyarakat dapat diuraikan
melalui penjabaran pilot project sebagai berikut:
Gambar 5.2Proses Pendekatan Penanganan Air Minum dan Sanitasi Dasar
Kawasan Kumuh Pada Tingkat Masyarakat
Terkait dengan pendekatan penanganan pada tingkat pemerintah dan masyarakat,
maka jika dilihat dari 5 aspek keberlanjutan (kelembagaan, finansial, sosial,
lingkungan, dan teknologi), maka pendekatan penanganan air minum dan sanitasi
dasar pada masing-masing tipologi akan sangat berbeda, khususnya pada tingkat
masyarakat. Hal ini dikarenakan berbedanya karakteristik masyarakat dan lokasi
kawasan kumuh. Matriks berikut ini mencoba merangkum pendekatan penanganan
pada air minum dan sanitasi dasar pada kawasan kumuh berdasarkan tipologinya.
Kelompok Kerja Penanganan air
minum dan sanitasi dasar
Sosialisasi program & pembentukan/
pemanfaat kelompok
masyarakat
Pemicuan Masyarakat
melalui metode STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat)
Identifikasi opsi teknis dan
pelatihan yang dibutuhkan
Identifikasi promosi
kesehatan dan pelatihan yang
dibutuhkan
Pelatihan teknis dan penyusunan
DED (Detail Engineering
Design)
Pelatihan promosi kesehatan dan
penyusunan rencana promosi
kesehatan
Rencana Kerja Masyarakat
(RKM)
Pelaksanaan RKM
Internalisasi
Aktualisasi
Pemahaman
Tabel 5.1Matriks Pendekatan Penanganan Air Minum dan Sanitasi Dasar Kawasan Kumuh
TipologiAspek
Bantaran SungaiBantaran Rel Kereta Api Pusat Komersial Pinggiran Pantai/Rawa
Kelembagaan • Pembentukan forum koordinasi lintas sektor (beranggotakan SKPD terkait, pemerintah kelurahan, masyarakat, Perguruan tinggi, pihak swasta, dan LSM)• Pemberdayaan LPM
sebagai focal point ditingkat masyarakat (sebagai fasilitator dan pengelola)• Peningkatan Kapasitas
kelembagaan dan masyarakat dalam perencanaan, implementasi dan monev
• Pembentukan forum koordinasi lintas sektor (beranggotakan SKPD terkait, pemerintah kelurahan, masyarakat, Perguruan tinggi, pihak swasta, dan LSM)• Pemberdayaan LPM
sebagai focal point ditingkat masyarakat (sebagai fasilitator dan pengelola)• Peningkatan Kapasitas
kelembagaan dan masyarakat dalam perencanaan, implementasi dan monev
• Pembentukan forum koordinasi lintas sektor (beranggotakan SKPD terkait, pemerintah kelurahan, masyarakat, Perguruan tinggi, pihak swasta, dan LSM)• Pemberdayaan LPM
sebagai focal point ditingkat masyarakat (sebagai fasilitator dan pengelola)• Peningkatan Kapasitas
kelembagaan dan masyarakat dalam perencanaan, implementasi dan monev
• Pembentukan forum koordinasi lintas sektor (beranggotakan SKPD terkait, pemerintah kelurahan, masyarakat, Perguruan tinggi, pihak swasta, dan LSM)• Pemberdayaan LPM
sebagai focal point ditingkat masyarakat (sebagai fasilitator dan pengelola)• Peningkatan Kapasitas
kelembagaan dan masyarakat dalam perencanaan, implementasi dan monev
TipologiAspek
Bantaran SungaiBantaran Rel Kereta Api Pusat Komersial Pinggiran Pantai/Rawa
Sosial • Perubahan perilaku hidup• Peningkatan ekonomi•Relokasi bertahap
•Perubahan perilaku hidup•Peningkatan ekonomi•Relokasi bertahap
•Perubahan perilaku hidup•Peningkatan ekonomi
• Perubahan perilaku hidup• Peningkatan ekonomi• Relokasi bertahap
Teknologi Penerapan opsi teknologi utk jangka pendek (5 tahun)
Penerapan opsi teknologi utk jangka pendek (5 tahun)
Opsi teknologi jangka panjang (terkait dengan rencana induk kota)
Penerapan opsi teknologi utk jangka pendek (5 tahun)
Lingkungan Revitalisasi dan peningkatan daya dukung lingkungan secara bertahap
Revitalisasi dan peningkatan daya dukung lingkungan secara bertahap
Revitalisasi dan peningkatan daya dukung lingkungan secara bertahap
Revitalisasi dan peningkatan daya dukung lingkungan secara bertahap
Finansial Sinergi pendanaan melalui APBD dan sumber pendanaan lainnya (NGO, Donor, dsb)
Sinergi pendanaan melalui APBD dan sumber pendanaan lainnya (NGO, Donor, dsb)
Sinergi pendanaan melalui APBD dan sumber pendanaan lainnya (NGO, Donor, dsb)
Sinergi pendanaan melalui APBD dan sumber pendanaan lainnya (NGO, Donor, dsb)
5.3 Simpulan
Pendekatan komprehensif penanganan AMPL kawasan kumuh perkotaan harus
mengakomodir berbagai aspek penting mulai dari aspek kebijakan, kelembagaan,
sosial, teknologi, lingkungan dan finansial. Secara keseluruhan, pendekatan
komprehensif penanganan AMPL kawasan kumuh perkotaan harus dibagi ke dalam
dua model, yaitu pendekatan yang ditujukan untuk menangani kawasan kumuh yang
sesuai dengan peruntukkannya, dan model pendekatan yang ditujukan untuk
menangani kawasan kumuh yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Daftar Pustaka
Ningtyas, Suhendro.Solusi Vertikal Untuk Pembangunan Kawasan Kumuh Perkotaan.
Tiga Serangkai. Jakarta, 2008.
Purboyo, Heru. Quo Vadis Implementasi Kebijakan Penataan Ruang, Makalah.
Bandung, 2006.
Sutjipto, Harry. Urbanisasi di Negara Bekembang. Sinar Grafika. Jakarta, 2001.
Mungkasa, Oswar. Penyediaan Air Minum yang Pro Poor. Jakarta, 2007.
Mungkasa, Oswar. Beberapa Fakta tentang Penyediaan Air Minum Bagi Penduduk
Miskin Perkotaan : Fokus Jakarta Utara, Makalah. Jakarta, 2005.
WASPOLA. Small-Scale Water Providers in Indonesia, Research. Jakarta, 2006.
World Bank. World Bank Report: Making Services Work for Poor People.
Washington DC, 2003.
Rukmana, Deden. Pembelajaran Kampung Improvement Program, Makalah. Jakarta,
2006
Lopez Follegati, J.L. A City in Transformation, Environment and Urbanization. ILO.
Washington DC, 1999.
Kelompok Kerja AMPL. Pembangunan AMPL di Indonesia : Pembelajaran Dari
Berbagai Pengalaman. Jakarta, 2008.
Dep. PU, Dirjen. Cipta Karya. Pedoman Umum NUSSP Edisi Mei 2006. Jakarta,
2006.
Tim Teknis Pembangunan Sanitasi. Kiat Kerja Sanitasi di Kawasan Kumuh. Jakarta,
2007.
Kurniawan, Iwan dan Happy Ratna S. Penyusunan Strategi Pengelolaan Sanitasi
Permukiman Kumuh. Dalam Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi
V. Program Studi Magister Manajemen Teknis ITS. Surabaya. 2007
Kurniasih, Sri. Usaha Perbaikan Pemukiman Kumuh di Petukangan Utara-Jakarta
Selatan, Penelitian. Universitas Budi Luhur. Jakarta. 2007
USAEP (United States Asia Environmental Partnership). UPDATE Project Final
Report. 2002
UN HABITAT Global Urban Observatory, 2008
Hasil Kajian Kawasan Kumuh di Pinggiran Sungai Deli, 2001
Inmendagri No. 14 Tahun 1988 : Lokasi Ruang Terbuka Hijau bisa berada pada
kawasan jalur sungai)
Peraturan Menteri PU tentang kawasan sempadan sungai
Hasil Kajian Kawasan Kumuh di Pinggiran Sungai Deli, 2001
Hasil kajian BKKBN : Badan Koordinasi Kelarga Berencana Nasional,2004
Hasil Pengamatan awal dan Kajian Kawasan Permukiman Kumuh di Kawasan
Pinggiran Sungai Cikapundung, 2008
Usaha Perbaikan Permukiman Kumuh di Petukangan Utara-Jakarta Selatan oleh Sri
Kurniasih, 2006
Perencanaan Permukiman Nelayan di Pantai Timur Surabaya oleh Ratna Darmiwati,
Jurusan T. Arsitektur Universitas Merdeka Surabaya, 2001
Kajian pertumbuhan permukiman ilegal kawasan komersial, KK Perencanaan Kota
ITB 2005
Naskah Internet:
Mujiyanto. “Petojo Utara, Potret Sukses Pengelolaan Sanitasi Kota”,
www.sanitasi.or.id (Diakses 24 Januari 2009)
“Surabaya Green and Clean”, www.tunashijau.org (Diakses 24 Januari 2009)
“Sulawesi Water, Sanitation, and Hygiene”, www.careindonesia.or.id (Diakses 24
Januari 2009)
“Pembangunan Sanitasi Berbasis Masyarakat”, www.dimsum.its.ac.id (Diakses 24
Januari 2009)
Romli, Rafiq. “MCK Jempiring : Sebuah Langkah Awal Sanitasi Berbasis Partisipasi
Masyarakat di Bali”, www.terranet.or.id (Diakses 24 Januari 2009)
Kertayasa, I Made. “Sketsa Perumahan Kumuh di Kota Samarinda”.
http://kertha.blogspot.com (Diakses 9 Februari 2009)
“Blok Asin, Kampung Kami yang kebanjiran”. www.urbanpoor.or.id (Diakses 3
Maret 2009)
“Kisah Bantaran rel Karang Anyar”. www.urban poor.or.id (Diakses 3 Maret 2009)
“Pendapatan Masyarakat Pesisir Rp 300.000,-“. www2.kompas.com (Diakses 3 Maret
2009)
“Pesisir Marjinal, Rentan Terserang Penyakit”. http://padang-today.com (Diakses 3
Maret 2009)