keterangan ahli dalam proses pembuktian … filehukum acara pidana yang merupakan dasar...
TRANSCRIPT
1
Kode 596 / Ilmu Hukum
LAPORAN AKHIR
PENELITIAN DOSEN MUDA
KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN
PERADILAN PIDANA
TIM PENGUSUL
1. A.A NGURAH WIRASILA, SH., MH / 0014055804
2. SAGUNG PUTRI M.E PURWANI, SH, MH./ 0013037106
3. A.A NGURAH YUSA DARMADI, SH.,MH / 0021035807
4. I.B PUTRA ATMADJA, SH.,MH / 0031125433
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
OKTOBER 2015
2
HALAMAN PENGESAHAN
3
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN …….….. 2
DAFTAR ISI …….….. 3
RINGKASAN …….….. 4
PRAKATA ............... 5
BAB I PENDAHULUAN …….…… 7
1. Pendahuluan …….…… 7
2. Perumusan Masalah ….……... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………… 14
BAB III TUJUAN, MANFAAT dan URGENSI .............. ...27
BAB IV METODELOGI PENELITIAN ………… 28
BAB V HASIL dan PEMBAHASAN ………... 31
BAB VI PENUTUP ................ 66
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
4
RINGKASAN
Penelitian ini disusun dalam garis besar dapat dikemukakan sebagai berikut : Adapun permasalahan yang diangkat adalah mengenai Keterangan Ahli Dalam
Proses Pembuktian Peradilan Pidana terutama mengenai peran dan fungsi dari keterangan ahli dalam melakukan proses pembuktian dan penggunaan keterangan ahli kedepannya. Tujuan dari penelitian ini melakukan analisis terhadap pengaturan mengenai keterangan ahli dalam proses persidangan guna membuktikan benar atau tidak seseorang tersebut melakukan tindak pidana seperti yang di tuduhkan kepadanya.
Metode penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian normatif karena ketentuan mengenai keterangan ahli secara jelas dan tegas masih terlihat kabur, serta, dalam menganalisis nantinya mempergunakan tehnis interpretative, karena adanya norma yang kabur dalam pengaturannya. Metode interpretatif yang digunakan diantaranya adalah grammatical interpretatie yaitu penafsiran menurut arti kata dan sistematische interpretatie yaitu penafsiran dengan mencari penjelasan pasal-pasal dalam undang-undang.
Penelitian ini nantinya menguraikan mengenai keterangan ahli dalam hubungannya dengan pembuktian. Uraian yang di paparkan dalam hal ini merupakan analisis terhadap peran dan fungsi keterangan ahli dalam proses pembuktian; syarat-syarat keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah; serta nilai pembuktian dan sifat dualisme keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah.
Adapun luaran hasil penelitian ini akan dijadikan jurnal sehingga diharapkan mendapatkan gambaran yang jelas mengenai peran dan fungsi dari keterangan ahli dalam proses pembuktian peradilan, serta dapat dipakai sebagai bahan buku ajar dalam pemberian kuliah sehingga mahasiswa pun mengetahui akan pentingnya peranan dan fungsi dari keterangan ahli.
5
PRAKATA
Puji syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nyalah
laporan kemajuan penelitian desentralisasi dengan skim Penelitian Hibah Bersaing yang
berjudul ” KETERANGAN AHLI DALAM PROSES PEMBUKTIAN PERADILAN
PIDANA ” dapat kami selesaikan. Kami menyadari sepanjang pelaksanaan penelitian ini
banyak pihak yang membantu pelaksanaannya. Untuk itu dalam kesempatan ini kami
menyampaikan rasa terima kasih kepada:
1. Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana beserta staff
2. Para Informan yang telah banyak membantu memberikan informasi terkait
dengan materi penelitian ini
3. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini.
Kami menyadari dalam penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu saran dan kritik bagi penyempurnaan penelitian ini sangat kami harapkan.
Akhir kata dengan segala kerendahan hati, kami berharap semoga hasil penelitian ini
dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu hukum
terutama terkait dengan bidang hukum.
Denpasar, 12 Oktober 2015
Tim Peneliti
6
BAB : I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Hukum Acara Pidana yang merupakan dasar terselenggaranya peradilan pidana
yang adil dan manusiawi dalam negara hukum, untuk itu diperlukan seperangkat
perundang-undangan yang menjamin pelaksanaan penegakan hukum khususnya
pidana yang sesuai dengan fungsi dan wewenang masing-masing aparatur penegak
hukum kearah tegaknya hukum, keadilan, ketertiban, kepastian hukum serta
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia.
Berlakunya UU No.8 Tahun 1981 Tentang KUHAP telah menimbulkan
perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap
cara penyelesaian perkara pidana di Indonesia.1
Perubahan sikap dan cara bertindak aparat penegak hukum secara keseluruhan.
Diantaranya adalah perubahan Sistem Peradilan Pidana (SPP) dari sistem inkuisitor
(inquisitoir) yang dianut oleh HIR ke sistem akusatur (accusatoir) yang dianut oleh
KUHAP. Dari sistem akusatur tersangka ditempatkan sebagai subyek dalam
pemeriksaan, yang menurut M. Yahya Harahap bahwa:
Tersangka harus ditempatkan pada kedudukan manusia yang memiliki harkat
dan martabat. Dia harus dinilai sebagai subyek, bukan sebagai obyek.2
Ansori Sabuan Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad mengatakan bahwa :
sejak dikeluarkannya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di Indonesia tampaknya ada gejala pertumbuhan ide kearah keterpaduan tersebut. Hal ini tampak misalnya dari adanya kerjasama atau koordinasi masing-masing lembaga (Polisi, Jaksa, Hakim, Pengacara dan Petugas Lembaga Pemasyarakatan) dalam rangka penyelenggaraan peradilan pidana.3
1 Romli Atmasasmita, 1966, Sistem Peradilan Pidana, (Criminal Justice System), Perspektif
Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Jakarta, h. 47 2 M. Yahya Harahap, 2007, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan
dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, h. 134 3 Ansori Sabuan Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, 1990, Hukum Acara Pidana,
Angkasa Bandung, Bandung, h. 15
7
Jadi dalam Sistem Peradilan Pidana beberapa institusi penegak hukum
mengambil peran masing-masing dalam menegakkan hukum dan sub sistem tersebut
telah mempunyai kewenangan fungsi dan peran masing-masing yang telah diatur dalam
undang-undang tersendiri. Sub sistem yang satu dengan yang lainnya mempunyai
hubungan yang sangat erat, bahkan dapat dikatakan saling menentukan dan bergantung
untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam penegakan hukum maupun bertujuan
menanggulangi kejahatan baik dalam bentuk pencegahan maupun penanganan kejahatan
Salah satu bagian terpenting dari hukum acara pidana adalah pemeriksaan
pendahuluan, yang dalam prakteknya berkaitan dengan tersangka atau terdakwa yang
dilakukan oleh penyidik menurut cara yang diatur dalam undang-undang hukum acara
pidana untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti dan dengan bukti-bukti itu akan
membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Serta pada gilirannya pengadilan benar-benar mampu menetapkan pidana atau
menghukum orang yang bersalah dan membebaskan orang yang tidak bersalah.
Menurut La Patra, masyarakat mempunyai pengaruh terhadap sistem peradilan
pidana. La Patra menyebutkan bahwa :
Applaying systems analysis faces the same problem in Criminal Justice System (CJS) as it does in other social systems. The systems approach frequently bites the hand that feeds it. Whenever a social process is being investigated, that resulting recommendations usually threaten the status quo, including the source of the financial support, which initiated the investigation. It is ridiculous for researcher to believe that results are acceptable if the will substantially change on going organizational procedure.4 Dalam terjemahan bebasnya:
Menerapkan analisis sistem menghadapi masalah yang sama dalam Sistem
Peradilan Pidana (SPP) seperti dalam sistem sosial lainnya. Pendekatan sistem sering
mengena kepada penggunanya. Setiap kali sebuah proses sosial sedang diselidiki,
bahwa rekomendasi yang dihasilkan biasanya mengancam status quo, termasuk sumber
dukungan keuangan, yang dimulai penyelidikan. Hal ini konyol bagi peneliti untuk
percaya bahwa hasil yang dapat diterima jika secara substansial akan mengubah
prosedur organisasi berjalan.
4 J.W. LaPatra, Analyzing the Criminal Justice System, Lexington Books, D.C. Heath and
Company Lexington, Massachusetts Toronto, USA, h. 98
8
Kekurang telitian dalam pemeriksaan pendahuluan dapat memperoleh ganti rugi,
serta rehabilitasi nama baiknya. Konsekuensinya adalah perlunya kesadaran para
penegak hukum untuk memandang tersangka atau terdakwa sebagai subyek dan bukan
sebagai obyek penyidikan dengan berlandaskan asas atau pandangan “praduga tidak
bersalah” pada tiap tingkat pemeriksaan termasuk pada pemeriksaan pendahuluan.
Kenyataan menunjukkan seringnya terjadi kekeliruan dalam proses penyidikan
seperti salah tangkap ataupun sering terjadi yang melakukan tindak pidana dapat lolos
sedangkan, yang tidak terlibat ditangkap dan kemudian menjadi terdakwa dan terpidana.
Peran dan fungsi pembuktian dalam suatu proses hukum menjadi sangat penting,
baik bagi si tersangka maupun Jaksa dalam proses peradilan pidana dan untuk
menentukan apakah si tersangka dapat di hukum atau tidak. Disamping itu hukum
pembuktian akan terkait pula secara langsung dengan masalah keadilan yang memang
merupakan tujuan utama dari setiap kaidah hukum di bidang apapun.
Mewujudkan tujuan seperti yang telah dikemukakan di atas maka segala hal
yang berkaitan dengan pembuktian pun mengalami perubahan antara lain pengakuan
tersangka pada masa ini tidak lagi menjadi hal yang terpenting sebagai alat bukti, tetapi
masih diperlukan alat bukti lainnya seperti keterangan ahli, dimunculkan sebagai alat
bukti seperti yang dikemukakan oleh Romli Atmasasmita :
Undang-undang No.8 Tahun 1981 dapat juga dikatakan merupakan landasan
bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik
dan berwibawa serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan
martabat tersangka, tertuduh atau terdakwa sebagai seorang manusia.5
Seperti telah diuraikan di atas bahwa telah berlakunya UU No.8 Tahun 1981
Tentang KUHAP maka ada beberapa perubahan yang terjadi dalam KUHAP yang baru
antara lain tentang : SPP, Pembuktian terutama tentang jenis-jenis alat bukti dan lain
sebagainya. Khusus mengenai alat-alat bukti Pasal 184 KUHAP telah menentukan
bahwa yang dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut KUHAP yaitu :
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
5 Romli Atmasasmita, Op-cit, h. 35
9
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa
Mempergunakan keterangan ahli sebagai alat bukti dalam KUHAP, menurut
Wiryono Prodjodikoro, mengatakan bahwa : Keterangan tentang penghargaan dan
kesimpulan dari para ahli seringkali mengenai sebab dan akibat dalam suatu perbuatan
terdakwa, maka dapat membuktikan pula adanya suatu peristiwa pidana.6
Pasal 184 KUHAP terdapat lima (5) alat bukti sah yang dipakai di persidangan,
dimana salah satunya menyebutkan ”keterangan ahli”. Mengenai makna dari pasal
tersebut, ada kekaburan dalam pasal ini, dimana tidak diaturnya mengenai ”siapa yang
disebut ahli”, ”kriteria seorang ahli” ataupun ”persyaratan” untuk menjadi seorang ahli
di dalam pasal tersebut.
Pasal 1 butir 28 KUHAP menyebutkan bahwa :
Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang ada sekarang ini
sangat membantu dalam memecahkan sebuah kasus. Keberadaan ataupun eksistensi
keterangan ahli sangatlah diperlukan, karena dengan adanya keterangan ahli maka
diharapkan sebuah kasus akan menjadi terang.
Begitu pentingnya manfaat dan peranan keterangan ahli yang dilandasi oleh
keahlian khusus yang di milikinya, tetapi apabila dihubungkan dengan Pasal 120 ayat
(1) KUHAP, bahwa dalam hal penyidik menganggap perlu, dapat meminta pendapat
seorang ahli.
Hal ini menunujukkan bahwa keterangan ahli itu diperlukan atau tidak adalah
tergantung dari keinginan hakim, dan sebelumnya harus mengangkat sumpah atau janji
di hadapan hakim, sebelum memberikan keterangan.
6 Wiryono Prodjodikoro, 1977, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung,
h. 107
10
Merujuk pada Pasal 186 KUHAP yang menyatakan bahwa :
“Keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang
pengadilan”.
Makna dari keterangan ahli sebagai keterangan ahli adalah apabila seorang ahli
tersebut hadir dan memberikan pernyataan di depan sidang pengadilan. Namun apabila
seorang ahli yang dimintai keterangan oleh Hakim tidak hadir dalam persidangan maka
keterangan ahli tersebut disebut dengan keterangan surat.
Manfaat dan peranan keterangan ahli dalam mengungkap suatu peristiwa pidana,
berikut ini dikemukakan beberapa kasus agar tidak terjadi salah tangkap, salah
penahanan, menghindari kerugian matriil maupun immatrril serta penyimpangan dan
juga agar bisa mendapatkan bayangan betapa hal-hal yang kadang-kadang mustahil bisa
terjadi sehingga perlu kehati-hatian dalam pelaksanaan penyidikan perkara pidana.
Adapun kasus-kasus tersebut adalah sebagai berikut :
Pengadilan Negeri Jakarta pernah menyidangkan kasus pembunuhan yang dalam
proses persidangan sebetulnya telah ditunjukkan keterangan ahli yang disebut dengan
“visum et repertum” sebagai pengganti barang bukti serta keterangan terdakwa, tetapi
Hakim masih ada keragu-raguan maka memerlukan lagi kehadiran saksi ahli di sidang
pengadilan. Hakim belum mendapatkan keyakinannya sehingga belum menganggap
cukup terang kasus tersebut.7
Kasus di atas dapat di lihat bahwa walaupun visum et repertum yang berfungsi
sebagai pengganti barang bukti sudah di ajukan di persidangan karena mayat sebagai
obyek pemeriksaan tidak mungkin sewaktu-waktu di hadirkan di sidang pengadilan,
Hakim belum dapat menambah keyakinannya terhadap visum et repertum tersebut untuk
membuat putusan sehingga memerlukan lagi kehadiran seorang ahli yang lain di sidang
pengadilan untuk menjelaskan kembali secara lisan hasil pemeriksaan ahli tersebut.
Pada kasus berikutnya pun terbukti bahwa Hakim tidak terikat akan adanya
visum et repertum atau keterangan ahli sebagai dasar putusan untuk menentukan ada
tidaknya tindak pidana, tetapi hanya sebagai bahan pertimbangan bagi Hakim apakah
7 Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT.
Bina Aksara, Jakarta, h. 127
11
akan menambah atau tidak keyakinannya, semua itu adalah tergantung dari penilaiaan
Hakim itu sendiri. Hal itu terjadi antara lain karena disebabkan oleh wewenang Hakim
yang bebas, Hakim adalah bagian dari kekuasaan kehakiman yang dilindungi oleh
undang-undang baik menurut Pasal 24, 25 UUD NRI Tahun 1945 maupun Undang-
undang Kekuasaan Kehakiman yaitu Undang–undang Nomor 14 Tahun 1970, Bagian
ketentuan Umum Pasal 1.
Untuk kasus yang terjadi di Amerika Serikat yang dikutip dari Soedjono D, yang
diceritakan oleh seorang Guru Besar dalam ilmu kedokteran kehakiman yaitu Prof. DR.
Hausmann, menangani kasus kebakaran besar yang terjadi di tahun 1959 di sebuah
rumah dekat San Antonio. Diantara reruntuhan diketemukan 3 mayat yang hampir tidak
dapat dikenali sebagai badan manusia, karena sapi-sapi yang ada di pekarangan rumah
telah ditembak mati. Para penegak hukum setempat menyangka peristiwa itu adalah
kejahatan.8
Pada kasus diatas awalnya diduga bahwa itu adalah hasil dari kejahatan. Namun
setelah dilakukan autopsi ulang di rumah sakit ditemukan bahwa di dalam kepala 3
mayat tersebut, ditemukan masing-masing 1 butir peluru, maka diketahaui bahwa itu
adalah penyebab kematian dari mayat tersebut. Oleh Prof. DR. Hausmann disimpulkan
bahwa peristiwa itu terjadi karena pembunuhan yang dilakukan oleh ayah dengan cara
menembak kepala masing-masing korban sebelum membakar rumah, kemudian
menembak sapi-sapinya, lalu membakar rumahnya dan baru ayah tersebut menembak
dirinya sendiri.
Keterangan ahli dapat memperlancar jalannya sidang dan dengan keterangan
ahli diharapkan dapat menambah keyakinan Hakim tentang benar atau tidaknya tuduhan
dari pihak kejaksaan. Dari keterangan ahli dapat diketahui sebab dari kematian
seseorang dan dapat membuktikan adanya suatu tindak pidana pembunuhan, apakah
pembunuhan itu masuk kedalam lingkungan tindakan terdakwa atau tidak.
Walaupun pendapat dari seorang ahli tersebut disetujui atau tidak oleh Hakim,
maka apabila disetujui Hakim menganggap terbukti pembunuhan antara lain dengan
mempergunakan pendapat seorang ahli tentang sebab itu. Di lihat dari penjelasan ini
dapatlah kiranya diketahui bahwa keterangan ahli di masukkan juga sebagai alat bukti
8 Ibid, h. 76-77
12
karena seorang ahli akan menerangkan sesuatu hal sesuai dengan keahliannya
berdasarkan pengalaman dan ilmu pengetahuan yang dapat dipercaya.
Berdasarkan atas pemaparan dari latar belakang tersebut, bahwa keterangan ahli
sangatlah diperlukan dalam sidang peradilan, namun pengaturan mengenai hal tersebut
belumlah ada mengingat pentingnya keterangan ahli dalam membantu mengungkap
suatu tindak pidana dari yang samar-samar sebagai tindak pidana menjadi terang,
apakah itu tindak pidana atau bukan. Untuk mengetahui hal tersebutlah perlu diadakan
penelitian.
2. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang telah dipaparkan di atas maka
terdapat dua permasalahan pokok yang akan dibahas, yaitu :
a. Bagaimanakah peran dan fungsi keterangan ahli dalam proses pembuktian
peradilan pidana.
b. Syarat-syarat Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti yang sah.
c. Bagaimanakah prospek keterangan ahli dimasa yang akan datang?.
13
BAB : II
TINJAUAN PUSTAKA
Proses peradilan pidana di Indonesia dilaksanakan berdasarkan asas-asas yang
terdapat dalam KUHAP. Hukum acara pidana ruang lingkupnya lebih sempit karena
hanya mulai pada mencari kebenaran penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada
pelaksanaan pidana (eksekusi) oleh Jaksa, sedangkan pembinaan narapidana tidak
termasuk dalam hukum acara pidana, apalagi yang menyangkut perencanaan undang-
undang pidana.
Penegakan hukum pidana dalam kerangka peradilan pidana tidak dapat
diharapkan sebagai satu-satunya sarana penanggulangan kejahatan yang efektif
mengingat kemungkinan besar adanya pelaku-pelaku tindak pidana yang berada di luar
kerangka proses peradilan.
Masalah pembuktian adalah masalah yang sangat sulit, bersifat prosedural dan
tidak ada aturan hukum tertulis yang dengan tegas dan jelas mengaturnya. Apalagi
pelaksanaan dalam proses peradilan pidana yang baru harus menghormati dan
menjunjung tinggi HAM yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Berdasarkan pada asas Equal before the law maupun asas praduga tak bersalah,
maka sistem hukum acara pidana yang diterapkan dalam proses peradilan pidana saat ini
adalah sistem akusitor yaitu sistem yang memandang si tersangka/ terdakwa sejak pada
pemeriksaan ditingkat penyidikan sudah dianggap subyek yang mempunyai hak penuh
untuk membela diri.9
Disimak dari ruang lingkup hukum acara pidana, sangat erat kaitannya dengan
proses peradilan pidana yang dibagi menjadi empat (4) tahapan yaitu, penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan disidang pengadilan, dan pelaksanaan putusan (eksekusi) yang
diuraikan selanjutnya adalah tahapan yang berkaitan dengan penyidikan. Penyidikan
dalam perkara pidana adalah :
Merupakan tahapan pertama dalam pemeriksaan perkara pidana yang dilakukan
oleh penyidik, dalam hal ini adalah polisi, yang sejak adanya sangkaan bahwa
seseorang telah melakukan suatu perbuatan pidana. Penyidikan yang dilakukan
9 I Wayan Tangun Susila, I Dewa Made Suartha, 1989, Sari Kuliah Hukum Acara Pidana,
Jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum UNUD, Denpasar, h. 5-6
14
oleh penyidik sudah tentu berdasarkan atas cara-cara yang diatur dalam
KUHAP.10
Sedangkan dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP juga menentukan arti penyidikan
adalah
Serangkaian tindakan penyidik dalam hal ini menurut cara yang diatur dalam
undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti-bukti yang dengan
bukti-bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menentukan tersangkanya.
Menurut R. Soesilo yang dikutip dari I Wayan Tangun Susila dan I Dewa Made
Suartha, bahwa untuk melakukan penyidikan tersebut agar tujuan penyidikan tercapai
seperti menentukan tindak pidana apa yang terjadi dan siapa pelakunya, maka penyidik
memerlukan bantuan dari ilmu kriminalistik (penyidikan kejahatan) yaitu berupa
petunjuk atau sistem yang telah umum dipakai adalah sistem 7-kah yaitu berusaha
mencari jawaban atas 7 (tujuh) macam pertanyaan seperti :
1. Apakah yang terjadi (persoalan, macam peristiwanya)? 2. Dimanakah perbuatan itu dilakukan (tempatnya)? 3. Bilamanakah perbuatan itu dilakukan (waktunya)? 4. Dengan apakah perbuatan itu dilakukan (alatnya)? 5. Bagaimanakah perbuatan itu dilakukan (caranya)? 6. Mengapakah perbuatan itu dilakukan (alasannya)? 7. Siapakah yang melakukannya?11 Ketujuh pertanyaan seperti di atas tidak dapat semuanya terjawab, tetapi
kenyataan tetap dapat diungkap asal pertanyaan yang paling penting harus mendapatkan
jawaban adalah mengenai peristiwa apakah yang terjadi dan siapakah pelakunya?. Jadi
ketujuh pertanyaan tersebut di atas adalah bertujuan untuk mendapatkan bukti karena
dengan bukti yang diperoleh dalam penyidikan akan dapat membuat terang suatu tindak
pidana dan akhirnya akan menentukan pula siapa pelakunya dan bila diperhatikan atas
dasar wewenangannya dapat mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam
pemeriksaan.
Bukti dalam Hukum Acara Pidana dalam proses peradilan pidana dapat
dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu :
10 Ibid, h. 17 11 Ibid, h. 37
15
1. Bukti dalam arti barang bukti. a. Bukti dalam arti barang bukti yaitu benda-benda yang dapat
disita, baik berupa benda atau tagihan tersangka (terdakwa) yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagaimana hasil dari tindak pidana.
b. Bukti dalam arti alat bukti yaitu berupa benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkan tindak pidana.
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalangi penyidikan tindak pidana.
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukan melakukan tindak pidana.
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana (Pasal 35 KUHAP).
2. Bukti dalam arti alat bukti.
Sedangkan mengenai bukti dalam arti alat bukti, jenis-jenisnya dapat diketahui dari Pasal 184 KUHAP yaitu : a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa12
Jenis-jenis alat bukti yang dinyatakan sebagai alat bukti yang sah menurut
KUHAP yang baru dan selanjutnya alat-alat bukti itulah yang berlaku. Bagaimanapun
dirubah-rubah mengenai alat-alat bukti dan kekuatan pembuktiannya seperti yang pada
awalnya tercantum pada HIR dan kemudian diubah dan ditentukan seperti dalam
KUHAP maka mengenai bagian-bagian dari pembuktian teori maupun sistem
pembuktiannya masih tetap sama pada Hukum Acara Pidana yang baru yaitu mengenai :
1. Menyebutkan alat-alat bukti yang dipakai oleh hakim untuk mendapatkan
gambaran dari peristiwa pidana yang sudah lampau.
2. Penguraian cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan.
3. Kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti itu.13
Bagian yang lebih banyak mendapatkan perhatian adalah bagian ke 1 (satu)
yaitu tentang alat-alat bukti dan bagian ke 3 (tiga) tentang kekuatan pembuktian dari
masing-masing alat bukti tersebut, sedangkan tentang cara mempergunakannya kurang
mendapat perhatian sehingga sulit menemukan alasannya dan tidak pernah diketahui
12 Ibid, h. 37-38 13 Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 89-90
16
cara menguraikannya. Dimasukannya keterangan ahli sebagai alat bukti dalam KUHAP,
menurut Wiryono Prodjodikoro menyatakan bahwa :
Keterangan tentang penghargaan dan kesimpulan dari para ahli sering kali
mengenai sebab dan akibat dalam suatu perbuatan terdakwa, maka dapat pula
membuktikan adanya suatu peristiwa pidana.14
Melalui keterangan ahli tersebut dapat diketahui sebab dari kematian seseorang
dan dapat membuktikan adanya suatu tindak pidana pembunuhan, apakah pembunuhan
itu masuk kedalam lingkungan tindak terdakwa atau tidak. Andi Hamzah menyatakan
bahwa tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang di dakwakan
kepadanya adalah merupakan bagian yang terpenting dalam acara pidana, karena
mencari kebenaran matriil itu tidaklah mudah dan alat-alat bukti yang tersedia menurut
undang-undang sangat relatif, sehingga untuk menilai kekuatan pembuktian dari alat-
alat bukti yang ada dikenal beberapa sistem atau teori pembuktian, yaitu :
1. Pembuktian yang melulu didasarkan pada alat-alat pembuktian yang disebut
undang-undang, yang disebut dengan sistem atau teori pembuktian berdasar
undang-undang secara positif. Artinya, jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan alat-alat bukti yang disebut oleh undang-undang maka keyakinan Hakim
tidak diperlukan lagi. Positif artinya hanya didasarkan pada undang-undang saja
atau disebut juga dengan teori pembuktian formal.
2. Sistem atau teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim melulu. Sistem atau
teori pembuktian ini adalah bertolak belakang atau berlawanan dengan sistem
atau teori pembuktian menurut undang-undang secara positif karena teori
pembuktian ini hanya berdasarkan pada keyakinan Hakim saja sehingga teori ini
disebut juga istilah confiction intime. Sistem ini memberi kebebasan terlalu
besar kepada Hakim sehingga sulit diawasi, disamping itu baik terdakwa
maupun penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini
Hakim dapat memidana terdakwa hanya berdasarkan atas keyakinannya saja
bahwa terdakwa telah melakukan apa yang telah didakwakan kepadanya.
3. Sistem/ teori pembuktian berdasarkan keyakinan Hakim atas alasan yang logis.
Sistem ini disebut juga dengan sistem atau teori pembuktian yang berdasar atas
14 Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 107
17
keyakinan Hakim sampai batas tertentu. Menurut teori ini Hakim dapat
memutuskan seseorang bersalah atau tidak berdasar keyakinannya dan
keyakinan itu didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu
kesimpulan (Conclusione) yang berdasarkan kepada peraturan-peraturan
pembuktian tertentu. Jadi putusan Hakim dijatuhkan dengan suatu inovasi sistem
atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena Hakim bebas
untuk menyebut alasan-alasan keyakinannya.
4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif. Sistem atau teori
pembuktian ini adalah merupakan perpecahan dari teori pembuktian berdasarkan
keyakinan Hakim sampai batas tertentu atau teori pembuktian jalan tengah yaitu:
a) Teori pembuktian berdasar keyakinan Hakim atas alasan yang logis
(Convection Raesonee).
b) Teori pembuktian berdasar Undang-undang secara negatif (Negatief
Wettelijk Bewijs Theory)15
Persamaan antara kedua sistem atau teori tersebut adalah sama-sama berdasar
atas keyakinan Hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya
keyakinan Hakim bahwa ia bersalah, sedangkan perbedaannya bahwa yang disebut
pertama adalah berpangkal tolak pada keyakinan Hakim, tetapi keyakinan itu harus
didasarkan kepada suatu kesimpulan (Conclusive) yang logis, yang tidak didasarkan
kepada undang-undang tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan Hakim
sendiri, menurut pilihannya sendiri tentang pelaksanaan pembuktian mana yang
dipergunakan. Sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian
yang ditetapkan secara limitatif oleh Undang-undang, tetapi hal itu harus diikuti dengan
keyakinan Hakim16
Teori pembuktian berdasarkan undang-undang negatif dapat dilihat dalam Pasal
183 KUHAP yang berbunyi sebagai berikut :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinannya
15 Jur Andi Hamzah I, Op-cit, h. 254 16 Jur Andi Hamzah I, Op-cit, h. 256
18
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang
bersalah melakukannya.
Walaupun sistem pembuktian atau ajaran pembuktian yang dianut oleh KUHAP
adalah sistem pembuktian yang bersifat ”Negatief Wettelijk”, yaitu walaupun telah
diajukan dua atau lebih alat bukti dalam persidangan tetapi kalau Hakim tidak yakin
bahwa terdakwa bersalah, maka terdakwa akan dibebaskan. Jadi jelaslah bahwa
kedudukan hukum terdakwa atau tersangka sama dengan kedudukan hukum pejabat
yang berwenang memeriksanya.17
Jadi dari kalimat tersebut dapat diketahui bahwa pembuktian selain harus
didasarkan pada UU Pasal 184 KUHAP yang disebut sebagai alat bukti yang sah juga
harus disertai dengan keyakinan Hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.
Menurut M.Yahya Harahap ada beberapa ajaran sistem pembuktian yang
berguna sebagai perbandingan dalam memahami sistem pembuktian yang diatur dalam
KUHAP yaitu :
a. Conviction in time
b. Conviction raisonee
c. Menurut Undang-undang secara positif
d. Menurut Undang-undang secara negatif
Ad. a. Conviction in time
Adalah sistem pembuktian yang menentukan salah tidaknya seorang terdakwa
semata-mata ditentukan oleh penilaian keyakinan Hakim. Hakim dapat saja
menjatuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas dasar keyakinan belaka
tanpa didukung alat-alat bukti yang cukup. Sebaliknya Hakim dapat leluasa
membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukan walaupun kesalahan
terdakwa telah cukup terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama Hakim tidak
yakin atas kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib
terdakwa kepada keyakinan Hakim semata-mata sehingga Hakimlah yang menentukan
wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian
17 Martinus Prodjohamidjojo, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Gratia Indonesia,
Jakarta, h.11
19
Ad. b. Conviction raisonee
Adalah sitem pembuktian yang ”berdasarkan keyakinan Hakim yang dibatasi”
yaitu keyakinan Hakim yang harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan yang logis
dan dapat diterima akal.
Ad. c. Sitem pembuktian menurut undang-undang secara positif
Adalah sitem pembuktian yang berpedoman pada prinsip pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Sistem pembuktian ini benar-benar
menuntut Hakim wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidak terdakwa
sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan oleh
undang-undang.
Ad. d. Sitem pembuktian menurut undang-undang secara negatif
Adalah sistem pembuktian yang merupakan keseimbangan antara kedua sistem
pembuktian yaitu sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif dan sistem
pembuktian menurut keyakinan atau conviction in time.18
Berbeda halnya dengan pendapat dari Djoko Prakoso, bahwa sistem pembuktian
yang dianut KUHAP adalah merupakan perpaduan antara sistem conviction in time
dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (positief wettelijk
stelsel). Dan prinsip pembuktian yang dianut oleh KUHAP ini dapat dikaji dari Pasal
183 KUHAP bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seseorang terdakwa dan
untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa harus :
1. Kesalahannya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang
sah
2. Atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
Hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi
dan bahwa terdakwa yang bersalah melakukannya.19
Seperti telah dikemukakan dalam Pasal 184 KUHP bahwa alat-alat bukti terdiri
dari :
18 M.Yahya Harahap, Op-cit, h. 255. 19 Djoko Prakoso, 1988, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana, Liberty,
Jogyakarta, h. 41
20
1. Keterangan saksi
2. Keterangan ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan terdakwa
Sehubungan dengan penjelasan di atas, maka pertama-tama kewajiban yang
harus dilakukan dalam pengusutan perkara pidana atau perkara kriminil adalah
mengumpulkan dan mencatat sebanyak mungkin keterangan-keterangan, hal ikwal data-
data atau fakta-fakta dan kemudian dicoba dibuat kembali gambaran apa yang telah
terjadi. Fakta-fakta yang masih kurang, dicari untuk melengkapinya, sehingga gambaran
peristiwa yang terjadi itu menjadi lengkap dan ketentuan atas persoalan-persoalan inilah
yang merupakan dasar yang amat penting bagi pengusutan selanjutnya.20
Dikaji dari Pasal 184 KUHAP yang telah menyebutkan secara terperinci jenis-
jenis alat bukti yang telah dianggap cukup sebagai sarana untuk menangkap seseorang
sebagai tersangka atau terdakwa. Termasuk masih dipertahankannya petunjuk sebagai
alat pembuktian dan sekarang di introdusir pula keterangan ahli yang juga dipandang
sebagai alat pembuktian yang sah.21 Tetapi apabila disimak lebih lanjut ternyata
KUHAP tidak menentukan secara lebih jelas apa persyaratan ataupun kriteria dari
seorang yang diajukan kepersidangan sebagai seorang ahli yang akan membuat terang
suatu perkara pidana, ataupun juga demi kepentingan pemeriksaan.
Curt R. Bartol dan Anne M. Bartol mengatakan bahwa :
In order for an individual to qualify as an expert, courts require that he or she
possess specialized knowledge which is” beyond the ken” of the average lay
person amd which will assist the trier of fact (judge or jury) in understanding
technical evidence.22
Terjemahan bebasnya menyebutkan:
Agar seorang individu untuk memenuhi syarat sebagai seorang ahli, pengadilan
mensyaratkan bahwa ia memiliki pengetahuan khusus yang "diatas rata-rata"
20 Ibid. h. 39 21 Oemar Seno Adji, 1985, KUHAP Sekarang, Erlangga, Surabaya, h. 69 22 Curt R. Bartol, Anne M. Bartol, 2004, Psycology and Law, Thomson Wodsworth Australia,
Canada, Mexico, Singapore, Spain, UK, USA, 3rd Edition, h.95
21
dari rata-rata orang awam yang akan membantu Trier fakta (hakim atau juri)
dalam memahami bukti teknis.
Diangkatnya keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah/lengkap di KUHAP
merupakan suatu realisasi dari dari keinginan yang sudah diajukan tahun 1978, yang
menyebutkankan bahwa :
1. Perundang-undangan yang berlaku sekarang yaitu HIR mengandung kekurangan-kekurangan tentang kerangan ahli ini sehingga karenanya perlu disesuiakan dengan perkembangan ilmu dan teknologi modern yang dapat mengangkat keterangan ahli ini menjadi alat bukti yang sah (kecuali visum et repertum) yang oleh undang-undang memang sudah diterima sebagai alat bukti yang sah.
2. Didalam perundang-undangan yang baru nanti, supaya ketentuan-ketentuan tentang keterangan ahli itu dirumuskan secara lengkap meliputi pemeriksaan pendahuluan maupun persidangan.23
Menurut Wirjono Prodjodikaro yang dikutip dari Joko Prakoso dan I Ketut
Murtika, bahwa keterangan ahli dapat dinamakan alat bukti karena keterangan tentang
penghargaan dan kesimpulan dari para ahli seringkali mengenai dan akibat dalam suatu
perbuatan terdakwa, maka dapat menimbulkan bukti atau dapat membuktikan pula
adanya peristiwa pidana.24
Pemeriksaan ahli tidak semutlak pemeriksaan saksi. Mereka dipanggil dan
diperiksa apabila penyidik”menganggap perlu” untuk memeriksanya. Sedangkan Pasal
120 ayat (1) KUHAP) jika penyidik menganggap perlu, maka penyidik dapat meminta
pendapat orang lain yang memiliki keahlian khusus. Maksud dan tujuan pemeriksaan
ahli agar peristiwa pidana yang terjadi bisa terungkap lebih terang.25
Lirieka Meintjes-Van Der Waalt menyebutkan bahwa :
”in essence the function of an expert is to assist the court to read a conclusion on matters on which the court itself does not have the necessary to decide. It is not the mere opinion of the witness which is decisive but his ability to satisfy the court that, because of his special skill, training or experience, the reasons for the opinion which he expresses are acceptable”26
23 Oemar Seno Adji, Op-cit, h. 69-70 24 Joko Prakoso dan I Ketut Mustika, 1987, Op-cit, h. 38 25 M.Yahya Harahap, Op-cit. h.146 26 Lirieka Meintjes-Van Der Waalt,2001, Expert Evidence in the Criminal Justice Process,
Grahamstown, Zuid Afrika, h. 4
22
Terjemahan bebasnya, bahwa :
"Pada dasarnya fungsi seorang ahli untuk membantu pengadilan untuk membaca kesimpulan mengenai hal-hal di mana pengadilan itu sendiri tidak memiliki diperlukan untuk memutuskan. Ini bukan semata-mata pendapat saksi yang menentukan, tetapi kemampuannya untuk memenuhi pengadilan itu, karena pelatihan keterampilan, khusus atau pengalaman, alasan pendapat yang menyatakan diterima".
Walaupun keterangan ahli dimasa yang akan datang diperkirakan akan berperan
semakin menonjol dan semakin diperlukan dalam pemeriksaan tindak pidana sesuai
denga perkembangan ilmu dan teknologi sekaligus telah melibatkan hasil ilmu dan
teknologi dalam kejahatan tetapi pada saat sekarang ini sudah mendapat tempat sebagai
alat bukti sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) butir b KUHAP, lebih
lanjut dalam Pasal 186 KUHAP ditentukan bahwa keterangan ahli ialah apa yang
seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.27
Pada prinsipnya keterangan ahli yang dipakai sebagai alat bukti tidak
mempunyai nilai kekuatan yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian nilai
kekuatan pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan kekuatan pembuktian yang
melekat pada keterangan saksi. Oleh karena itu nilai kekuatan pembuktian yang melekat
pada alat bukti keterangan ahli harus lah :
a. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (Vry bewyskracht).
b. Haruslah sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam
Pasal 183 KUHAP.28
Upaya atau kebijakan untuk melakukan Pencegahan dan Penanggulangan
Kejahatan termasuk bidang “kebijakan criminal” (“criminal policy”). Kebijakan
kriminal inipun tidak terlepas dari kebijakan yang lebih luas, yaitu “kebijakan sosial”
(“social policy”) yang terdiri dari “kebijakan/upaya-upaya untuk kesejahteraan social”
(“social walfare policy”) dan kebijakan/upaya-upaya untuk melindungi masyarakat”
(“social-defence policy”). Dengan demikian sekiranya kebijakan penanggulangan
27 Alfred C. Satryo, 2002, Kumpulan Peraturan PerUndang-undangan dan Profesi Dokter, USU
Press, Jakarta, h. 153 28 Henny Zaida Flora, Fakultas Hukum Unika Santo Thomas, Medan Sumatra Utara, 2008,
Peranan Dokter Forensik dlam Pembuktian Perkara Pidana, Jurnal Hukum, Kertha Patrika, vol.33 No. 2, Juli 2008, 1.SSN. 0215-899x
23
kejahatan (politik kriminal ) dilakukan dengan menggunakan sarana penal (hukum
pidana), maka kebijakan hukum pidana (penal policy), khususnya pada tahap kebijakan
yudikatif/aplikatif (penegakan hukum inconcreto) harus memperhatikan dan mengarah
pada tercapainya tujuan dari kebijakan sosial itu, berupa “social welfare” dan “social
defence”29
Kebijakan sosial dengan tujuan hendak mencapai kesejahteraan masyarakat
(social welfare) dan perlindungan masyarakat (social defence) adalah sejalan dengan
konsep yang dianut oleh Marc Ancel (penganut aliran defense sosial yang lebih
moderat). Menurut Marc Ancel sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief dan
Muladi menyatakan bahwa : “Tiap masyarakat mensyaratkan adanya tertib sosial, yaitu
seperangkat peraturanperaturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk
kehidupan bersama tetapi juga sesuai dengan aspirasi-aspirasi warga masyarakat pada
umumnya. Oleh karena itu peranan yang besar dari hukum pidana merupakan
kebutuhan yang tak dapat dielakkan bagi suatu sistem hukum.30
Menurut Soedarto, kebijakan kriminal mempunyai tiga arti
1. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggar hukum yang berupa pidana ;
2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;
3. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat. 31
Semakin kompeksnya permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan aparat
penegak hukum dalam menanggulangi kejahatan, maka perlu diimbangi dengan
pembenahan dan pembangunan sistem hukum pidana secara menyeluruh, yang meliputi
pembangunan kultur, struktur dan substansi hukum pidana. Jelaslah bahwa kebijakan
hukum pidana (Penal Policy) menduduki posisi yang sangat strategis dalam
pengembangan hukum pidana modern.32
29 Ibid 30 Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
h.149 31 Soedarto, 1986, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, h. 113-114 32 Muladi, 2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, The
Habibie Center, Jakarta, h. 256 (selanjutnya disebut Muladi II)
24
Kebijakan hukum pidana dapat diartikan dengan cara bertindak atau kebijakan
dari negara (pemerintah) untuk menggunakan hukum pidana dalam mencapai tujuan
tertentu, terutama dalam menanggulangi kejahatan, memang perlu diakui bahwa banyak
cara maupun usaha yang dapat dilakukan oleh setiap negara (pemerintah) dalam
menanggulangi kejahatan. Salah satu upaya untuk dapat menanggulangi kejahatan,
diantaranya melalui suatu kebijakan hukum pidana atau politik hukum pidana
Selanjutnya menurut Sudarto "politik hukum" adalah
1. Usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu saat;
2. Kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan33
Dengan demikian kebijakan pidana (penal policy/criminal law
policy/strafrechtspolitiek) dapat didefinisikan sebagai "usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu
dan untuk masa yang akan datang. Kata "sesuai" dalam pengertian tersebut mengandung
makna "baik" dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.34
Kebijakan hukum pidana tidak dapat dipisahkan dari sistem hukum pidana.
Dalam hal ini Marc Ancel menyatakan bahwa setiap masyarakat yang terorganisir
memiliki sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan hukum pidana beserta
sanksinya, suatu prosedur hukum pidana dan suatu mekanisme pelaksanaan pidana.35
Kebijakan hukum pidana identik dengan "pembaharuan perundang-undangan
hukum pidana", namun sebenarnya pengertian kebijakan hukum pidana dalam arti
sempit. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut : Hukum pidana sebagai suatu sistem
hukum yang terdiri dari budaya (culture), struktur dan substansi hukum, sedangkan
undang-undang merupakan bagian dari substansi hukum.
33 Soedarto, Loc-cit 34Al Wisnubroto, 1999, Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Penyalahgunaan
Komputer, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, h. 11
35 Barda Nawawi, Arief, Op-cit, h.32
25
Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat diketahui bahwa keterangan ahli akan
lebih menjelaskan tentang sebab-sebab dari kematian atau luka seseorang sebagai akibat
dari suatu tindak pidana. Keterangan ahli ini baru akan menjadi alat bukti apabila
diperlukan dan telah mendapatkan persetujuan Hakim. Serta pada umumnya keterangan
ahli sebagai alat bukti ini tidak menyangkut pokok perkara pidana yang sedang
diperiksa, tetapi sifatnya hanya lebih menjelaskan dan lebih menjadi terang sesuatu hal
yang terjadi sebagai akibat adanya suatu tindak pidana.
26
BAB : III
TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 TUJUAN PENELITIAN
Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memahami akan peran serta fungsi
dari keterangan ahli dalam memutuskan suatu perkara di persidangan.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
a. Memahami mengenai peran serta fungsi dari keterangan ahli dalam proses
pembuktian peradilan pidana.
b. Menganalisis prospek keterangan ahli dimasa yang akan datang.
3.2 MANFAAT PENELITIAN
Ada beberapa manfaat yang didapat dalam penelitian ini oleh kalangan dari : a. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini nantinya akan dapat dijadikan suatu
rujukan akademik di bidang hukum, mengingat saat ini penelitian di bidang ini
masih sedikit dilakukan di Indonesia.
b. Bagi praktisi hukum, penelitian ini dapat memberikan deskripsi dan analisis
ilmiah mengenai konsep ideal bagi penerapan keterangan ahli dalam proses
peradilan di Indonesia.
c. Bagi para pengambil kebijakan, penelitian ini akan bermanfaat bagi perumusan
kebijakan nasional berkaitan dengan peran dan fungsi keterangan ahli dalam
proses pembuktian peradilan pidana.
3.2 URGENSI PENELITIAN
Penelitian ini sangat penting dilakukan, mengingat banyak kasus-kasus yang
dalam proses pembuktiannya memerlukan keterangan ahli, namun dalam hal ini sering
kali keterangan ahli tersebut diabaikan, sehingga putusan yang diambil sering tidak
sesuai dengan aturan yang ada.
27
BAB : IV
METODE PENELITIAN
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif, yang berarti bahwa semua permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini
selalu mengacu pada tinjauan secara hukum, baik secara normatif maupun
berdasarkan pandangan-pandangan dari pakar hukum dan juga termasuk dalam
lingkup dogmatik hukum yang mengkaji atau meneliti aturan-aturan hukum tentang
ketidak jelasan pengaturan mengenai alat-alat bukti dan pembuktian menurut KUHAP
Pasal 184 ayat (1) khususnya tentang keterangan ahli dalam proses peradilan pidana.
2. Metode pendekatan
Terhadap permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini dilakukan melalui
pendekatan perundang-undangan (statute approach) dengan mengadakan inventarisasi
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penahanan dan penangguhan
penahanan serta perlindungan hukum terhadap anak dalam proses peradilan pidana.
Selain itu juga dilakukan dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (policy
oriented approach). Pendekatan kebijakan mencakup pengertian yang saling tali
menali antara pendekatan yang berorientasi pada tujuan, pendekatan yang rasional,
pendekatan ekonomis dan pragmatis serta pendekatan yang berorientasi pada nilai.36
Sebagai pelengkap, digunakan juga pendekatan perbandingan hukum atau pendekatan
komparatif (comparative approach) Berdasarkan cara tersebut diharapkan akan dapat
saling melengkapi sehingga akan dapat memperoleh bahan-bahan hukum yang dapat
dijadikan bahan analisis dalam penelitian ini.
3. Sumber bahan hukum
Sesuai dengan jenisnya yang normatif maka penelitian ini menggunakan
bahan-bahan hukum primer maupun hukum sekunder. Bahan hukum primer, yaitu
36Arief, Barda Nawawi, 1994, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Badan Penerbit Universitas Diponogoro, Semarang, hal. 61
28
bahan-bahan hukum yang mengikat37 dalam bentuk peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan hukum primer merupakan bahan
hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.38 Perundang-undangan
yang dikaji dalam penelitian ini antara lain adalah Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP)., Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009, (Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman). Dan putusan-putusan Hakim
tentang penggunaan keterangan ahli dalam proses peradilan pidana.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil
karya dari kalangan hukum, dan seterusnya.39 Bahan-bahan hukum sekunder berupa
semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokmen resmi.
Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal
hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan.40 Bahan hukum sekunder
dalam penelitian ini diambil atau diperoleh dari buku-buku (text book), artikel, hasil-
hasil penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini.
4. Tehnis pengumpulan bahan hukum
Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan adalah metode
sistematis dimana menggunakan kartu sebagai alat pencatat secara rinci dan sistematis
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penelitian.
Dengan pengklasifikasian tersebut diharapkan dapat memudahkan melakukan analisis
terhadap permasalahan yang menjadi obyek penelitian.
37 Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 118. 38 Marzuki, Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 141. 39 Soekamto, Soerjono dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, hal. 13. 40 Marzuki, Peter Mahmud, Loc.cit.
29
5. Tehnis Analisis
Bahan-bahan yang telah disusun secara sistematis, selanjutnya dianalisis
dengan tehnis-tehnis sebagai berikut :
a. Deskriptif, yaitu uraian-uraian ditulis dengan apa adanya terhadap suatu
kondisi atau posisi dari proposisi hukum atau non hukum.
b. Interpretatif, yaitu dengan cara menjelaskan penggunaan penafsiran dalam
ilmu hukum terhadap norma yang ada baik sekarang maupun diberlakukan
dimasa mendatang. Tehnis interpretatif digunakan karena adanya norma yang
kabur dalam pengaturan penangguhan penahanan baik yang menyangkut
penggunaan jaminan, jumlah jaminan, dan tanggung jawab penjamin, serta
adanya konflik norma secara horizontal dalam syarat jaminan. Metode
interpretatif yang digunakan diantaranya adalah grammatical interpretatie
yaitu penafsiran menurut arti kata dan sistematische interpretatie yaitu
penafsiran dengan mencari penjelasan pasal-pasal dalam undang-undang.
c. Evaluatif, yaitu melakukan penilaian terhadap suatu pandangan, pernyataan
rumusan norma dalam bahan hukum primer maupun sekunder.
d. Argumentatif, yaitu penilaian yang didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat
penalaran hukum, hal ini tidak dapat dilepaskan dari tehnis evaluatif. Dalam
permasalahan-permasalahan hukum makin dalam argumennya berarti makin
dalam penataran hukumnya
30
BAB : V
HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
Pengertian Keterangan Ahli, Pembuktian dan Peradilan Pidana
Pengertian keterangan ahli
Wiryono Prodjodikoro menyebutkan bahwa keterangan seorang ahli ialah
mengenai suatu penghargaan dari hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan
kesimpulan dari hal-hal itu.41
Undang-undang Mahkamah Agung Indonesia tanggal 6 Mei 1950 yang mulai
berlaku tanggal 9 Mei 1950 yang dikutip dari Wiryono Prodjodikoro, pernah
memberikan pengertian tentang keterangan ahli dalam Pasal 82, bahwa : “keterangan
orang ahli berarti pendapat orang itu diberitahukan dalam sidang tentang yang diketahui
menurut ilmu pengetahuannya terhadap soal yang dimintakan pendapatnya”.42
Kamus Hukum menyatakan bahwa saksi ahli / keterangan ahli adalah :
”keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus
tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan.”43
Disimak dari Pasal 1 ayat (28) KUHAP menyebutkan bahwa :
“keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”.
41
Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 107
42
Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 110
43
NN, 2008, Kamus Hukum, Penerbit Citra Umbara, Bandung, h. 428
31
Berbeda dengan Pasal 133 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan bahwa :
”keterangan yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan
ahli, sedangkan yang diberikan oleh bukan ahli kedokteran kehakiman disebut
keterangan”.
Sedangkan Pasal 179 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa : setiap orang yang
diminta pendapatnya sebagai kedokteran kehakiman atau ahli lainnya wajib
memberikan keterangan demi keadilan.
Pasal 186 KUHAP menentukan bahwa :
”keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.
Dalam penjelasan Pasal 186 KUHAP tersebut juga menjelaskan bahwa :
keterangan ahli ini dapat pula sudah diberikan pada tahap pemeriksaan oleh penyidik
atau penuntut umum yang dituangkan dalam surat berbentuk keterangan dan dibuat
dengan mengingat sumpah pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan.
Senada dengan pengertian surat keterangan ahli seperti tersebut diatas, Pasal 187
ayat (2) KUHAP menyatakan bahwa :
“surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara
resmi dari padanya“.
Poerwadarminta dalam bukunya, Kamus Umum Bahasa Indonesia, menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan keterangan antara lain :
“uraian dan sebagainya untuk menerangkan sesuatu, penjelasan atau sesuatu
yang menjadi petunjuk seperti bukti-bukti, tanda-tanda atau segala sesuatu yang
sudah diketahui atau yang menyebabkan tahu.44
32
Berdasarkan atas beberapa pendapat seperti tersebut diatas dapat dikatakan
bahwa, dalam pengertian keterangan ahli itu meliputi keterangan dari seseorang yang
mengandung unsur-unsur :
1. Seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang sesuatu hal atau sesuatu
keadaan.
2. Keterangan yang dinyatakan oleh seorang ahli baik pada tahap penyidikan atau di
sidang pengadilan.
3. Bentuknya bisa dalam bentuk laporan atau keterangan tertulis dalam bentuk surat.
4. Diminta secara resmi oleh pihak yang berwenang.
5. Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara pidana demi keadilan.
6. Keterangan yang diberikan diatas sumpah baik sumpah pada waktu menerima
jabatan atau pekerjaan.
Pengertian Pembuktian
Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan.Oleh karena itu peran
dan fungsi dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting.
Banyak cerita, banyak peristiwa ataupun sejarah hukum yang menunjukkan bahwa
apabila salah dalam menilai pembuktian seperti saksi berbohong atau saksi memberikan
kesaksian yang palsu akan mengakibatkan orang yang sebenarnya tidak bersalah
dipenjara oleh hakim atau sebaliknya orang yang sebenarnya bersalah bebas berkeliaran
diluar.
44
Poerwadarminta, 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta, h. 1058
33
Pengertian membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau
dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.45 Pembuktian dalam arti
yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada Hakim yang memeriksa perkara
yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang
diajukan.46
Selain itu, pembuktian juga dapat diartikan sebagai suatu cara untuk meyakinkan
Hakim akan kebenaran dari dalil-dalil yang menjadi dasar gugatan, atau dalil-dalil yang
dipergunakan untuk menyangkal tentang kebenaran dalil-dalil yang telah dikemukakan
oleh pihak lawan.47
Pembuktian sebagai mana dinyatakan oleh Teguh Samudera berarti menjelaskan
(menyatakan) kedudukan hukum yang sebenarnya berdasarkan keyakinan Hakim
kepada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak yang bersengketa.48
Berkaitan dengan ini, yang dimaksud dengan pembuktian adalah proses untuk
membuktikan suatu kasus yang disertai dengan fakta-fakta yang dapat dianalisis dari
segi hukum untuk memberikan keyakinan Hakim dalam mengambil keputusan.49 Selain
itu, pembuktian sebagaimana dikatakan oleh Pitlo juga dapat diartikan sebagai suatu
cara yang dilakukan oleh suatu pihak atas fakta dan hak yang berhubungan dengan
kepentingannya.50
45
R Subekti, 1983, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, h.1
46
Sudikno Mertokusumo, 1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogjakarta, h.109
47
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oerip Kartawinata, 2005, Hukum Acara Perdata Dalam
Toeri dan Praktek, Mandar Maju, Bandung, h.59
48
Teguh Samudera, 2004, Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata, Alumni, Bandung, h. 12
49
Abdul Halim Barkatullah dan Teguh Prasetyo, 2005, Bisnis E-Commerce Studi Sistem
Keamanan dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 111
34
Pengertian pembuktian, secara etimologi, berarti sesuatu yang menyatakan
kebenaran suatu peristiwa, dengan proses perbuatan dan cara membuktikan.51
Pembuktian adalah suatu cara untuk menentukan kebenaran dari suatu hal.52 R
Subekti juga mengemukakan bahwa pembuktian ialah upaya untuk meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di pengadilan.53
Pembuktian adalah merupakan bagian yang terpenting dari acara pidana, yang
akan membuktikan tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya.54
Munir Fuady dalam bukunya Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata)
menjelaskan bahwa :
“pembuktian dalam ilmu hukum adalah cara atau suatu proses baik dalam acara
pidana, acara perdata atau acara-acara lainnya untuk mencari kebenaran melalui
pengadilan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan dengan
prosedur khusus karena masalah hukum adalah masalah pembuktian di
pengadilan”.55
Pembuktian dalam pengertian hukum acara pidana adalah ketentuan yang
membatasi sidang pengadilan dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran
baik oleh hakim, penuntut umum, terdakwa maupun penasehat hukum.56
50
Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatirs Gultom, 2005, Cyber Law- Aspek Hukum Teknologi
Informasi, Refika Aditama, Bandung, h. 97
51
Dep.Dik.Bud, 1995, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka , Jakarta, h. 151
52
Wiryono Prodjodikoro, Op-cit, h. 89
53
R Subekti, Op-cit, h. 7
54
Andi Hamzah, Op-cit, h. 249
55
Munir Fuady, Op-cit,h. 1
35
Secara umum dapat diketahui, bahwa pembuktian yang berarti bukti yang cukup
untuk memperlihatkan kebenaran suatu peristiwa, sehingga pembuktian bermakna suatu
perbuatan untuk membuktikan sesuatu kebenaran, melaksanakan, menandakan,
menyaksikan serta meyakinkan.57
Sedangkan hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur
tentang pembuktian, yakni segala proses dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah
dilakukan tindakan dengan prosedur khusus guna mengetahui fakta di persidangan.58
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat diketahui bahwa pembuktian dilihat
dari perspektif hukum acara pidana yakni ketentuan yang membatasi sidang pengadilan
dalam usaha mencari dan mempertahankan kebenaran baik oleh hakim, penuntut umum,
terdakwa dan penasehat hukum, yang kesemuanya terikat pada ketentuan dan tata cara
serta penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang, dan tidak dibenarkan
menilai alat bukti secara leluasa berdasarkan kehendak sendiri.
Salah satu karakter dari hukum pembuktian, bahwa hukum pembuktian
merupakan cabang ilmu hukum yang sangat “technology oriented”, artinya bahwa
perkembangan teknologi memberikan dampak langsung pada perkembangan
pembuktian di pengadilan. Seperti contoh, saat ini perkembangan teknologi yang
hasilnya sangat meyakinkan yaitu kejahatan dengan mudah dapat diungkapkan hanya
dengan memakai tes “DNA”, yang sebelumnya belum dikenal. Hanya saja yang perlu
dicermati adalah penggunaannya di pengadilan, seberapa jauhkah ilmu dan teknologi
modern tersebut dapat digunakan, sampai dimana reliabelitasnya dapat diakui, agar
56
H Syaiful Bakhri, 2009,Op-cit,h. 2
57
Soedirjo, 1985, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, CV Akademika Pressindo, Jakarta, h.
47
58
Munir Fuady, Op-cit, h. 1-2
36
tidak disalah gunakan penggunaannya sehingga tidak menimbulkan praduga yang tidak
perlu terjadi.
Jadi pembuktian atau hukum pembuktian adalah suatu cara atau suatu proses
untuk mencari kebenaran terutama kebenaran yang matriil dalam hukum acara pidana
berdasarkan alat-alat bukti yang sah demi keadilan di pengadilan.
Pengertian peradilan pidana
Peradilan pidana adalah proses atau tata cara pemeriksaan perkara pidana pada
peradilan pidana yang menuntut diterapkannya secara lengkap ketentuan-ketentuan
dalam hukum acara pidana di persidangan.59
Erat kaitannya dengan proses pemeriksaan perkara pidana, dalam KUHAP
sekarang ini dibagi menjadi 4 (empat) tahapan yaitu : penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan dan pelaksanaan putusan (eksekusi).
Sehubungan dengan pemeriksaan perkara pidana di persidangan ini dikenal
macam-macam pengajuan perkara pidana yaitu :
1. Perkara pidana yang diajukan dalam acara pemeriksaan biasa, yaitu pemeriksaan perkara pidana tentang kejahatan berat dengan proses pembuktian maupun penerapan hukumnya yang sulit.
2. Perkarta pidana yang diajukan dalam acara pemeriksaan sumir yaitu perkara pidana tentang kejahatan yang tidak begitu berat yan proses pembuktiannya serta penerapan hukumnya tidak begitu sulit.
3. Perkara pidana yang diajukan dalam acara pemeriksaan roll yaitu perkara ringan atau lebih mengkhusus lagi mengenai perkara pelanggaran yang ancaman hukumannya tidak lebih dari 3(tiga) bulan kurungan atau denda Rp.500,- (lima ratus rupiah), termasuk juga penghinaan ringan seperti diatur dalam Pasal 315 KUHP.60
59
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op-cit, h. 48
60
Djoko Prakoso, Ibid, h. 49-50
37
R Soesilo maupun Moelyatno yang dikutip dari W Tangun Susila dan Dewa
Suartha, menyatakan bahwa : ”proses peradilan pidana adalah prosedur penyelesaian
perkara pidana menurut KUHAP bagi penegak hukum yang memberi dasar-dasar dan
aturan-aturan yang menentukan dengan cara dan prosedur apa, ancaman pidana apa,
yang ada pada sesuatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan
bahwa orang telah melakukan delik tersebut”.61
Sejarah Hukum Pembuktian dan Teori Pembuktian di Indonesia
Hukum pembuktian merupakan salah satu bagian dari bidang hukum yang sudah
cukup tua, boleh dikatakan seumur dengan adanya manusia dan masyarakat, baik
masyarakat itu masyarakat sederhana, masyarakat modern ataupun yang sudah maju
pada hakekatnya akan memiliki rasa keadilan. Rasa keadilan ini akan muncul apabila
ada putusan hakim yang menghukum orang yang tidak bersalah dan membebaskan
orang yang nyata-nyata bersalah. Agar tidak terjadi hal seperti itu maka dalam suatu
proses peradilan diperlukan pembuktian-pembuktian setidak-tidaknya sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku saat itu.
Dengan demikian dalam sejarah hukum pembuktian berkembanglah satu set
hukum dan kaidah di bidang pembuktian dari sistem pembuktian yang irasional dan
sederhana ke arah sistem pembuktian yang lebih rasional dan rumit. Oleh karena
sepanjang sejarah umat manusia, para penegak hukum dan pencari keadilan sangat sadar
akan adanya manipulasi alat bukti di pengadilan, baik itu kesaksian yang palsu, saksi
yang berbohong atau tidak benar sehingga dari sejak dahulu pula penyumpahan saksi
mempunyai peranan penting agar saksi tidak berbohong.
61
I Wayan Tangun Susila, I Dewa Made Suartha, Op-cit, h. 3-4
38
Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. Oleh karena itu,
peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan sangatlah penting.
Banyak riwayat, cerita, ataupun sejarah hukum yang menunjukkan kepada kita betapa
karena salah dalam menilai pembuktian, seperti karena saksi berbohong, maka pihak
yang sebenarnya tidak bersalah harus meringkuk di dalam penjara karena dinyatakan
bersalah oleh hakim.
Begitu sentralnya peranan hukum pembuktian dalam mencari keadilan di dunia
ini, maka dalam cerita–cerita kuno baik itu cerita sejarah, mitos maupun cerita agama
terdapat cara-cara pembuktian unik yang hanya untuk membuktikan bahwa manusia
tidak perlu pesimis karena masih ada jalan untuk mendapatkan suatu kebenaran. Seperti
salah satu contoh kasus yang ditangani oleh Raja Sulaiman yang terkenal arif dan
bijaksana, telah menyelesaikan masalah perebutan seorang bayi antara dua orang ibu
yang masing-masing mengaku bahwa itu adalah bayinya.
Dengan cara menghunus pedangnya, beliau berkata bahwa beliau akan
membelah bayi tersebut menjadi dua sehingga masing-masing akan mendapat setengah
dari badan bayi tersebut. Dengan cara itulah Raja Sulaiman dapat mengetahui dari sikap
dan prilaku ibu-ibu tersebut yang manakah ibu asli dari bayi tersebut.62
Sebelum dunia ilmu hukum mengenal sistem atau teori pembuktian modern,
dalam sejarah hukum dikenal sistem atau teori pembuktian sebagai berikut :
1. Sistem atau teori pembuktian bebas. Cara pembuktian seperti ini tidak diadakan pembatasan baik terhadap metoda pembuktian maupun jenis alat buktinya,tetapi dibebaskan kepada para pihak untuk membuktikannya dan selanjutnya diserahkan kepada hakim untuk menilainya. Cara pembuktian seperti ini dahulu dikenal diberbagai suku bangsa di Eropa, Afrika dan India.
62
Munir Fuady, Op-cit, h. 10
39
2. Sistem atau teori pembuktian dengan memakai Tangan Tuhan. Dan model pembuktian seperti ini muncul dalam bentuk siksaan, seperti memakai api, besi panas, air panas yang mendidih,air dingin, termasuk juga sumpah. Dengan model pembuktian seperti ini apabila mereka berbohong maka Tuhan atau Nenek Moyangnyalah yang akan menghukumnya.63
Perkembangan hukum pembuktian sebagaimana telah diuraikan diatas sangat
bersifat evaluatif apalagi setelah adanya kesadaran bahwa sistem atau teori pembuktian
tertentu sudah tidak sesuai lagi dengan jamannya, tidak efektif dan efisien lagi untuk
dipakai mencari kebenaran, baik karena terlalu banyak dimanipulasi atau karena adanya
pembuktian modern seperti pembuktian dengan penggunaan alat elektronik, ilmu
pengetahuan modern,teknologi canggih antara lain tes DNA, sidik jari, rontgen,
fotokopi dan lain sebagainya. Berdasarkan atas perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi inilah yang menyebabkan pula adanya perubahan sistem atau teori
pembuktian yang sekarang dianut dalam KUHAP, sebagai pengganti dari HIR.
Sejarah perkembangan hukum pembuktian dan teori pembuktian di Indonesia
adalah mengikuti sejarah perkembangan hukum acara pidana, karena ada beberapa
sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan.
Akibat keterbatasan manusia, seringlah terjadi proses pembuktian yang tidak
benar seperti adanya manipulasi alat bukti di pengadilan yang berupa saksi memberikan
keterangan yang tidak benar, palsu atau berbohong. Dan cara- cara yang dari dahulu
sudah ditempuh agar saksi tidak berbohong, maka kesaksiannya dikuatkan dengan
sumpah, karena jika saksi berbohong, disamping akan mendapat kutukan dari Tuhan
atau Dewa, juga akan dihukum oleh negara sebagai akibat telah memberikan sumpah
palsu. Demikian pula cara-cara pembuktian yang unik lainnya dapat ditemukan dalam
63
Munir Fuady, Op-cit, h. 13-14
40
cerita-cerita kuno baik itu cerita sejarah, cerita agama maupun mitos-mitos lainnya
seperti telah dijelaskan diatas.
Model pembuktian dengan menggunakan Tangan Tuhan ini juga muncul dalam
wujud penggunaan alat bukti “sumpah” dengan dan atas nama Tuhan dan bercampur
aduk dengan kepercayaan atau mistik. Model seperti ini sampai sekarang masih berlaku
di banyak sistem hukum, termasuk di Indonesia yang disebut dengan “sumpah
pocong”.64
Walaupun keterangan atau kesaksian nya itu tidak benar dan bahkan hal seperti
itu digunakan pada zaman orang sudah mengenal hukum yang rasional. Ini berarti
merupakan suatu bukti bahwa teori dan praktek hukum tidak selamanya berjalan seiring
dengan perkembangan rasio manusia.
Sehubungan dengan sistem atau teori pembuktian ini, Indonesia sama dengan
Belanda dan negara-negara Eropa Kontinental lainnya yang menganut sistem atau teori
pembuktian yang negatif. Seperti telah diuraikan di depan dalam tinjauan teoritis, yang
mengenal 3 (tiga) macam bentuk sistem atau teori pembuktian dan salah satunya adalah
sistem atau teori pembuktian negatif, yaitu bahwa : “Hakimlah yang menilai alat bukti
yang diajukan dengan keyakinannya sendiri” dan bukan “Juri” seperti di
AmerikaSerikat dan negara-negara Anglo Saxon.
Mengenai sistem atau teori pembuktian negatif ini dianut baik oleh HIR
(Herzienne Inlandsch Reglement ) maupun KUHAP yang merupakan pengganti dari
HIR, yang merupakan dasar acara pidana sipil di Indonesia. HIR diganti dengan
KUHAP karena HIR adalah hasil produk kolonial dan belum menjamin atau belum
mewujudkan hak-hak asasi manusia. Tetapi mengenai sistem atau teori pembuktian
64
Munir Fuady, Op-cit, h. 13-14
41
negatif yang dianut oleh HIR dan KUHAP adalah sama. Hal ini dapat diketahui dari
Pasal 294 ayat (1) HIR yang berbunyi sebagai berikut :
“tidak seorangpun boleh dikenakan pidana, selain jika Hakim mendapat
keyakinan dengan alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi perbuatan yang
dapat dipidana dan bahwa orang–orang yang didakwa itulah yang bersalah
melakukan perbuatan itu”.
Sedangkan Pasal 183 KUHAP berbunyi sebagai berikut :
”Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa
suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
Berdasarkan kedua pasal tersebut di atas terlihatlah ketentuannya yang sama,
hanya ada sedikit perbedaan yaitu : dalam Pasal 294 HIR disebutkan dengan “kata alat
bukti“ sedangkan dalam Pasal183 KUHAP disebutkan dengan dengan kata “dua alat
bukti“.
Walaupun demikian dari pernyataan seperti tersebut di atas dapat dikatakan
bahwa : “telah ada pengakuan kepada kekuatan pembuktian yang sah (yang disebut oleh
undang-undang), disamping keyakinan Hakim untuk memidana seseorang yang benar-
benar bersalah sehingga ketentuan tersebut adalah untuik menjamin tegaknya
kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang.
Seperti telah dikemukakan oleh Wiryono Prodjodikoro, bahwa : sistem
pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif sebaiknya dipertahankan dengan
alasan :
1. Memang sudah selayaknya harus ada keyakinan Hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan hukuman pidana,
42
janganlah Hakim terpaksa memidana orang sedangkan Hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
2. Adalah berfaedah jika aturan yang mengikat Hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh Hakim dalam melakukan peradilan.65
Jenis-Jenis Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktiannya
Oleh karena tujuan yang hendak dicapai acara pidana adalah untuk menentukan
suatu kebenaran maka berdasarkan atas kebenaran itulah akan ditetapkan putusan
hakim. Tetapi hal yang amat penting dan juga amat sulit dalam menetapkan kebenaran
tersebut adalah mengenai pembuktian dari sesuatu hal yang menyangkut kebenaran
itu.Terwujudnya kebenaran agar mencapai kepastian, sesuai dengan kebenaran hukum
acara pidana adalah berdasar atas usaha mendekati sebanyak mungkin persesuaian
antara keyakinan Hakim dan kebenaran yang sejati.
Untuk mendapatkan keyakinan itu Hakim membutuhkan alat-alat bukti guna
menggambarkan lagi keadaan-keadaan yang sudah lampau itu, karena kebenaran
biasanya hanya mengenai keadaan-keadaan tertentu yang sudah lampau dan roda
pengalaman di dunia tidak mungkin diputar balikkan kembali.
Oleh karena itu tanda-tanda yang ditinggalkan oleh keadaan-keadaan itu baik
berupa barang-barang atau benda yang masih dapat dilihat oleh Hakim atau berupa
ingatan dari orang-orang yang mengalami keadaan itu yang akan membantu Hakim
dalam membentuk keyakinannya agar suatu pidana dapat dijatuhkan oleh Hakim sesuai
dengan sistem pembuktian yang berlaku dalam hukum acara pidana yaitu harus
memenuhi dua (2) syarat mutlak yaitu :
1. Alat bukti yang cukup dan
65
Wiryono Prodjodikoro, Op- Cit, h. 77
43
2. Keyakinan Hakim.66
Berkaitan dengan alat–alat bukti dan kekuatan pembuktiannya, bagaimanapun di
ubah-ubah, dalam KUHAP masih tetap sama dengan dalam HIR yang pada dasarnya
sama dengan ketentuan dalam Nederlansch strafvordering yang mirip pula dengan alat-
alat bukti di negara–negara Eropa Kontinental, seperti Belanda. Sedangkan dalam
penyusunan alat-alat bukti negara-negara common law seperti Amerika Serikat ada
perbedaan , bahwa yang disebut dengan “forms of evidence” terdiri dari :
1. Real evidence (bukti sungguhan).
2. Documentary evidence (bukti dokumenter).
3. Testimonial evidence (bukti kesaksian).
4. Judicial evidence (pengamatan hakim).67
Tetapi Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika menyebutkan alat-alat bukti dalam
Pasal 295 HIR yaitu :
1. Keterangan saksi.
2. Surat-surat.
3. Pengakuan.
4. Tanda-tanda (petunjuk-petunjuk).68
Teori hukum pembuktian mengajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat dipakai
sebagai alat bukti di pengadilan, diperlukan beberapa syarat-syarat sebagai berikut :
1. Diperkenankan oleh undang-undang untuk dipakai sebagai alat bukti. 2. Reability, yakni alat bukti tersebut dapat dipercaya keabsahannya
(misalnya, tidak palsu).
66
Munir Fuady, Op-cit , h. 2
67
Jur.Andi Hamzah, Op-cit, h. 258
68
Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Op- Cit, h. 65
44
3. Necessity, yakni alat bukti tersebut memang diperlukan untuk membuktikan suatu fakta.
4. Relevance, yakni alat bukti tersebut mempunyai relevansi dengan fakta yang akan dibuktikan.69
Diubahnya hukum acara pidana dari HIR ,menjadi KUHAP yang merupakan
hasil produk nasional yang lebih sesuai dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang berlandaskan Pancasila dan Undang–undang Dasar 1945, yang lebih mengarah
kepada unifikasi hukum acara pidana dan lebih menjamin hak asasi manusia, maka
penyebutan alat-alat bukti dan hukum pembuktian pun berubah seperti dapat diketahui
dari Pasal 184 ayat (1) KUHAP bahwa alat-alat bukti dalam hukum acara pidana yang
bartu adalah :
1. Keterangan saksi.
2. Keterangan ahli.
3. Surat.
4. Petunjuk.
5. Keterangan terdakwa.
Penilaian sebagai alat bukti dan yang dibenarkan mempunyai “kekuatan
pembuktian” hanya terbatas kepada alat-alat bukti yang sah. Seperti telah tercantum
dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Sedangkan pembuktian di luar jenis alat bukti
sebagaimana Pasal 184 aya(1) KUHAP, tidak mempunyai nilai serta tidak mempunyai
kekuatan pembuktian yang mengikat.70
Dibandingkan dengan alat bukti dalam HIR, maka ada penambahan alat bukti
baru seperti “keterangan ahli” dan ada perubahan nama alat bukti yang dengan
sendirinya mempunyai makna menjadi lain yaitu dari “pengakuan terdakwa” menjadi
69
Munir Fuady, Op-cit, h. 4
70
H Syaiful Bakhri, Op-cit, h. 46-47
45
“keterangan terdakwa” dan tentang “pengamatan sendiri” oleh Hakim (pengetahuan
Hakim)” seperti yang terdapat dalam Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 1950 L.N. 1950 Nomor 30, tidak diambil oleh KUHAP.
Tujuan dan fungsi hukum acara pidana seperti yang telah disebutkan diatas
dapat diketahui bahwa yang paling penting adalah mencari kebenaran yang matriil dan
untuk menemukan kebenaran yang matriil itu hanya dapat diperoleh melalui bukti-bukti
baik berupa alat bukti, sistem pembuktian maupun barang bukti. Karena dengan bantuan
bukti-bukti tersebut Hakim akan memberikan putusan yang seharusnya adil dan tepat,
yang kemudian dilaksanakan oleh Jaksa.
Andi Hamzah berpendapat bahwa, tujuan hukum acara pidana untuk mencari
kebenaran itu hanyalah merupakan tujuan antara. Tujuan akhir sebenarnya adalah untuk
mencapai suatu ketertiban, ketentraman, kedamaian, keadilan dan kesejahteraan dalam
masyarakat.71
Sehubungan dengan pentingnya bukti-bukti dalam mencari kebenaran matriil
menurut hukum acara pidana, maka perlu pula dijelaskan lebih jauh tentang bukti–bukti
tersebut. I Wayan Tangun Susila dan I Dewa Made Suartha menyatakan bahwa : bukti
dalam hukum acara pidana dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Bukti dalam arti barang bukti, yaitu benda-benda yang dapat disita seperti : a. Benda atau tagihan tersangka/ terdakwa yang seluruh atau
sebagian diduga diperoleh dari tindak pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana.
b. Benda yang dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya.
c. Benda yang dipergunakan untuk menghalangi penyidikan tindak pidana.
71
Andi Hamzah, Op-cit, h. 9
46
d. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana.
e. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana.
2. Bukti dalam arti alat bukti yang dapat dilihat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP antara lain : a. Keterangan saksi. b. Keterangan ahli. c. Surat. d. Petunjuk. e. Keterangan terdakwa.72
Alat bukti dan barang bukti seperti tersebut diatas akan dipakai oleh penyidik
untuk dapat membuat terangnya suatu tindak pidana dan untuk menemukan pelaku
(tersangka atau terdakwanya). Alat bukti dan barang bukti ini juga dipergunakan oleh
penyidik untuk menjawab pertanyaan yang dalam sistem atau petunjuk yang telah
umum dipakai dalam penyidikan perkara pidana adalah sistem 7-kah (7 pertanyaan)
seperti berikut ini :
1. Apakah yang terjadi (persoalan, macam peristiwanya).
2. Dimanakah perbuatan itu dilakukan (tempatnya).
3. Bilamanakah perbuatan itu dilakukan (waktunya).
4. Dengan apakah perbuatan itu dilakukan (alatnya).
5. Bagaimanakah perbuatan itu dilakukan (caranya).
6. Mengapakah perbuatan itu dilakukan (alasannya).
7. Siapakah yang melakukan (pelakunya).
Menurut Munir Fuady, apabila dilihat dari kedekatan antara alat bukti dan fakta
yang akan dibuktikan, terdapat dua (2) macam alat bukti, yaiyu sebagai berikut :
1. Alat bukti langsung, dan
2. Alat bukti tidak langsung.73
72
I Wayan Tangun Susila, I Dewa Made Suartha, Op-cit, h. 37-38
47
Adapun yang dimaksud dengan alat bukti langsung (direct evidence) adalah alat
bukti di mana saksi melihat langsung fakta yang akan dibuktikan sehingga fakta tersebut
terbukti langsung (dalam satu tahap saja) dengan adanya alat bukti tersebut.74
Mengenai bukti tidak langsung (indirect evidence) atau sering disebut juga
dengan alat bukti sirkumstansial, maka pengertiannya adalah suatu alat bukti di mana
antara fakta yang terjadi dan alat bukti tersebut hanya dapat dilihat hubungannya setelah
ditarik kesimpulan-kesimpulan tertentu.75
Selanjutnya, jika dilihat dari segi fisik dari alat bukti, alat bukti tersebut dapat
dibagi ke dalam tiga (3) kategori, yaitu :
1. Alat bukti testimonial,
2. Alat bukti yang berwujud, dan
3. Alat bukti berwujud, tetapi bersifat testimonial.76
Pengertian dari alat bukti testimonial adalah pembuktian yang diucapkan (oral
testimony) yang diberikan oleh saksi di depan pengadilan. Sedangkan pengertian dari
alat bukti yang berwujud (tangible evidence) adalah model-model alat bukti yang dapat
dilihat wujudnya/bentuknya, yang pada prinsipnya terdiri atas dua (2) macam, yaitu :
1. Alat bukti riil.
Dalam hal ini, yang dimaksud dengan alat bukti riil adalah sejenis alat bukti
yang merupakan benda yang nyata ada di tempat kejadian, misalnya pistol atau
73
Munir Fuady, Op-cit, h. 5
74
Munir Fuady, Op-cit, h. 5
75
Munir Fuady, Loc.Cit
76
Munir Fuady, Op.Cit,h. 10
48
pisau yang telah digunakan untuk membunuh, atau mesin yang tidak berfungsi
sehingga menyebabkan kecelakaan.
2. Alat bukti demonstratif.
Alat bukti demonstratif dalam hal ini yang dimaksud adalah alat bukti yang
merupakan benda yang nyata tetapi bukan benda yang ada di tempat kejadian,
misalnya, alat bantu visual atau audio visual, foto, gambar, grafik, model
anatomi tubuh, dan sebagainya.
Alat bukti berwujud tetapi bersifat testimonial memiliki pengertian yaitu, adalah
bentuk campuran antara alat bukti testimonial dan alat bukti berwujud. Dalam hal ini,
sebenarnya alat bukti tersebut fisiknya berwujud, tetapi memiliki sifat yang testimonial,
misalnya transkrip dari keterangan saksi (deposisi) atau transkrip dari kesaksian dalam
sidang sebelumnya di kasus yang lain.77
Sedangkan Pasal 296 HIR menentukan bahwa : ”alat-alat bukti tersebut baik
masing-masing maupun bersama-sama dapat dipergunakan oleh Hakim menambah
keyakinannya untuk mengambil putusan”. Menurut Pasal 298 HIR, menyebutkan pula
bahwa : “tidak satupun dari alat–alat bukti itu bersifat mengikat Hakim dalam
mengambil suatu putusan apabila Hakim tidak berkeyakinan betul pada alat-alat bukti
tersebut untuk menyatakan tersangka atau terdakwa bersalah”.
Disamping itu dalam HIR alat bukti “keterangan ahli” digabungkan dengan
bukti kesaksian, sedangkan dalam KUHAP “keterangan ahli” merupakan jenis alat bukti
tersendiri.
77
Munir Fuady, Loc.Cit
49
Sangat diperlukan mengenal jenis-jenis alat bukti yang dipergunakan dalam
hukum acara pidana untuk menemukan pelakunya, disamping itu perlu pula diketahui
kekuatan pembuktian dari masing-masing alat bukti.
Tentang alat bukti dan kekuatan pembuktiannya dapat diketahui melalui
ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara “limitatif” alat-alat
buktu yang sah menurut undang-undang. Di luar alat bukti itu, tidak dibenarkan
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.
Hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, terikat dan terbatas
hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja, dan tidak leluasa
mempergunakan alat-alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan
Pasal 184 ayat (1) KUHAP.
Penilaian sebagai alat bukti, dan dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian
hanya terbatas kepada alat-alat bukti yang sah.
Alat-alat bukti seperti yang tersebut diatas telah diatur di dalam Pasal 184 ayat
(1) KUHAP baik mengenai isi, maupun nilainya, dan juga kekuatan pembuktiannya,
antara lain :
1. Mengenai keterangan saksi.
Pasal 185 KUHAP ayat (5) KUHAP sudah menentukan bahwa baik pendapat
maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran saja bukan merupakan
keterangan saksi. Dan dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dinyatakan
bahwa keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang
lain.
Jadi keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti
sah. Keterangan saksi haruslah mengenai hal-hal atau keadaan-keadaan yang
50
dialami, dilihat atau didengar langsung oleh saksi sendiri.Hal ini adalah sesuai
dengan tujuan dari hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran matriil dan
untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, karena keterangan saksi
sebagai hasil dari mendengar dari orang lain tidak terjamin kebenarannya.
Tetapi sebenarnya kesaksian yang didengar dari orang lain perlu pula
didengar oleh Hakim dengan tujuan untuk memperkuat keyakinannya, tetapi
tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian sehingga kekuatan hukum dari
pembuktian seperti itu juga tidak terjamin. Hal yang demikian juga berkaitan
dengan tidak dicantumkannya “pengamatan Hakim“ sebagai alat bukti tetapi
dapat dimasukkan melalui alat bukti petunjuk, yang kemudian penilaian dan
pertimbangannya diserahkan kepada Hakim.
Kesaksian saksi haruslah di sampaikan di hadapan Hakim dan dibawah
sumpah dengan maksud agar Hakim dapat menilai dan melihat langsung pribadi,
sikap prilaku ataupun gerak-geriknya pada waktu memberikan kesaksian,
sehingga Hakim dapat meyakininya apakah kesaksiannya itu palsu, bohong,
ngarang atau yang lain-lain.
Howard Abadinsky mengatakan bahwa :
The basic role of trial judge is that of referee. He/she ensures that the
rules of law and proper judicial process are adhered to by defense and
prosecution. In cases where there is a jury is to determine “facts”. When
a defendant waives the right to ajury trial and requests a “bench trial”
instead, the judge will determine facts as well as guilt or innocence.78
78
Howard Abadinsky, 1984, Discretionary Justice, Charles C Thomas Publisher, Springfield
Illinois, USA, h. 63
51
Dalam terjemahan bebasnya bahwa :
Peran dasar Hakim adalah bahwa dari wasit. Ia memastikan bahwa
aturan hukum dan proses peradilan yang benar yang dianut oleh
pertahanan dan penuntutan. Dalam kasus di mana ada juri adalah untuk
menentukan “fakta”. Ketika terdakwa menghapuskan hak untuk jury
pengadilan dan permintaan ”coba bangku” sebagai gantinya, Hakim akan
menentukan fakta serta bersalah atau tidak bersalah.
Selanjutnya dapat dikemukakan adanya batas nilai dari suatu kesaksian
seperti yang tercantum dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP bahwa : “keterangan
seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya”.
Jadi kesaksian yang hanya diberikan oleh seorang saksi tidaklah cukup
untuk mendakwa seseorang bersalah, apabila tidak ada alat bukti lain sebagai
pendukungnya (unus testis nullus testis/ satu saksi bukanlah saksi). D Simons
yang dikutip dari Andi Hamzah menyatakan bahwa :
“satu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan
seluruh dakwaan, tetapi satu keterangan saksi dapat membuktikan suatu
keadaan tersendiri, suatu petunjuk dasar pembuktian”.79
Apa yang dikemukakan oleh D Simons seperti tersebut diatas dianut juga
oleh KUHAP, dalam Pasal 185 ayat (2), demikian pula dalam Pasal 185 ayat (4).
Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyebutkan bahwa : Jika satu keterangan saksi
berdiri sendiri dipakai sebagai bukti untuk suatu keadaan atau suatu unsur delik.
Pasal 185 ayat (4) KUHAP menentukan bahwa :
79
Andi Hamzah, Op-cit, h. 269
52
”keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang sesuatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah
apabila keterangan saksi itu ada hubunganya satu dengan yang lain
sedemikian rupa sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian
atau keadaan tertentu”.
2. Mengenai keterangan ahli.
Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan dalam urutan yang kedua
bahwa “keterangan ahli” disebut sebagai alat bukti. Tetapi KUHAP tidak
menyebutkan secara jelas tentang siapa yang disebut sebagai ahli dan apakah
“keterangan ahli” itu alat bukti atau tidak ? Sedangkan Pasal 186 KUHAP hanya
menyebutkan bahwa :
“keterangan seorang ahli” ialah apa yang seorang ahli nyatakan di dalam
sidang pengadilan“.
KUHAP dalam Pasal 160 ayat (3) menentukan bahwa saksi wajib
mengucapkan sumpah. Pasal ini tidak menyebutkan ahli. Sedangkan Pasal 161
ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa : dalam hal saksi atau ahli, tanpa
menyebutkan alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji.
Dari kedua Pasal tersebut dapat diketahui adanya ketidak jelasan
kedudukan dari seorang ahli, karena pada Pasal 160 ayat (3) , sumpah hanya
diwajibkan pada saksi tanpa menyebutkan “ahli” sedangkan dalam Pasal 161
ayat (1) disebutkan dengan jelas tentang “saksi” dan “ahli”, yang dapat menolak
untuk bersumpah atau berjanji apabila ada alasan yang sah .
53
Artinya, baik saksi maupun ahli yang dimintai keterangannya harus
mengucapkan sumpah atau janji. Dilihat dari keterangannya pun antara
keterangan ahli dengan keterangan saksi berbeda, walaupun kadang-kadang sulit
memisahkan dengan tegas, karena seorang ahli dapat pula merangkap sebagai
saksi.
Sedangkan dalam penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP menyatakan
bahwa : “keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan
janji tidak dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah, tetapi hanyalah
merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan Hakim”.
Apabila dikaji dari Pasal 179 ayat (1) KUHAP yang menyatakan bahwa :
“setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan
ahli demi keadilan”.
Sedangkan Pasal 179 ayat (2) KUHAP menentukan bahwa :
“semua keterangan tersebut diatas untuk saksi, berlaku juga bagi mereka
yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan sebaik-
baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya”.
Berdasarkan kedua pasal di atas dapat disebutkan bahwa baik keterangan
saksi maupun keterangan ahli agar disebut sebagai alat bukti yang sah maka
keterangan yang diberikannya tersebut haruslah diucapkan dengan sumpah atau
janji, apalagi keterangan itu disampaikan dalam sidang pengadilan.
54
Jadi sesuai dengan Pasal 186 jo Pasal 1 butir 28, yaitu apa yang
dinyatakan seorang ahli di sidang pengadilan tentang keahlian khusus yang
dimilikinya untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan. Karena keterangan ahli merupakan alat bukti yang sah maka
konsekwensinya hakim tidak dapat mengenyampingkan begitu saja keterangan
ahli, walaupun bertentangan dengan keyakinannya.
3. Mengenai Alat Bukti Surat.
Selain Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yang menyebut alat-alat bukti, maka
dalam Pasal 187 KUHAP bahwa: Surat yang dibuat dengan sumpah, dapat
dianggap sebagi bentuk surat yang bernilai sebagai alat bukti yakni, suatu berita
acara yang membuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar,
dilihat, atau dialaminya, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang
keterangannya. Surat yang berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
dibuat oleh pejabat yang berwenang. Surat keterangan ahli, dan atau surat
lainnya yang bersifat resmi.
Surat yang dibuat secara formal mempunyai nilai kekuatan pembuktian
yang sempurna sebagai alat bukti. Dari aspek matriil surat mempunyai kekuatan
yang mengikat dan Hakim bebas untuk menilai substansi surat tersebut
berdasarkan atas asas keyakinan Hakim dan asas batas minimum pembuktian.
Alat bukti surat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 187 KUHAP tersebut
bukanlah alat bukti yang mengikat tetapi bernilai sebagai pembuktian yang
bersifat bebas.80
55
Sebagai bagian dari alat bukti, maka surat berkembang sesuai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, karena telah diterimanya beberapa
alat bukti surat elektronik, email, short message system (sms) dan sebagainya.
Hal yang penting dalam tindak pidana korupsi adalah surat resmi dari instansi
atau lembaga tinggi Negara seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), maupun
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK), dan lain sebagainya.
4. Mengenai Alat Bukti Petunjuk.
Apabila diperhatikan bunyi Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang menyatakan
bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia
mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan
berdasarkan hati nuraninya.
Pada akhirnya disini tercermin persoalan diserahkan kepada Hakim
untuk menilai alat bukti petunjuk tersebut. Atas dasar hal tersebut Hakim
sedapat mungkin menghindari penggunaan alat bukti petunjuk dalam penilaian
pembuktian kesalahan terdakwa, karena sangat dekat dengan sifat kesewenang-
wenangan yang didominasi oleh penilaian subyektif, kecuali dianggap sangat
penting dan mendesak alat bukti petunjuk dipergunakan. Karena dalam praktek
selalu terdapat kelemahan pembuktian di peradilan disebabkan aparat penyidik
80
H Syaiful Bakhri Op-cit, h. 63-64
56
kurang sempurna mengumpulkan pembuktian, bahkan dalam berita acara
pemeriksaanpun sulit untuk dipahami.81
5. Mengenai Alat Bukti Keterangan terdakwa.
KUHAP dengan jelas dan sengaja mencantumkan “keterangan terdakwa”
sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir e, berbeda dengan peraturan lama yaitu
HIR yang menyebut dengan istilah “pengakuan terdakwa” sebagai alat bukti
menurut Pasal 295. Tetapi sangat disayangkan bahwa KUHAP tidak
menjelaskan apa perbedaan antara “keterangan terdakwa” dengan “pengakuan
terdakwa“ sebagai alat bukti. Keterangan terdakwa tidak perlu sama dengan
pengakuan terdakwa karena pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-
syarat sebagai berikut :
a. Mengaku ia yang melakukan delik yang di dakwakan.
b. Mengaku ia bersalah.
Sedangkan keterangan terdakwa sebagai alat bukti baik itu berupa
penyangkalan, pengakuan ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan atau
keadaan haruslah didengar dan Hakim tidak perlu mempergunakan seluruh
keterangan seorang terdakwa ataupun saksi.82
Keterangan terdakwa adalah apa yang dinyatakan di sidang pengadilan
tentang perbuatan yang dilakukan, diketahui, dan dialami sendiri. Jadi
keterangan terdakwa maupun keterangan saksi tidak boleh dalam bentuk
pendapat, kesimpulan, rekaan atau yang diketahui dari orang lain.
81
H. Syaiful Bakhri, Op-cit, h. 64-65
82
Jur. Andi Hamzah, Op-cit, h. 278
57
Keterangan terdakwa dipakai sebagai alat bukti di pengadilan juga
memiliki asas-asas sebagai landasan berpijak, antara alain :
1. Keterangan itu dinyatakan di sidang pengadilan.
2. Tentang perbuatan yang dilakukan, diketahui sendiri atau dialami
sendiri.83
Dalam asas kedua, supaya keteranga terdakwa dapat dinilai sebagai alat
bukti, keterangan itu adalah merupakan pernyataan atau penjelasan dari :
a. Tentang perbuatan yang “dilakukan terdakwa”.
b. Tentang apa yang diketahui sendiri oleh terdakwa.
c. Apa yang dialami sendiri oleh terdakwa.
d. Keterangan terdakwa hanya merupakan alat bukti terhadap dirinya
sendiri.84
Kekuatan pembuktian alat bukti keterangan terdakwa, sekalipun
diberikan dengan pernyataan pengakuan sebagai pelaku dan yang bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, pengakuan ini tidak
boleh dianggap dan dinilai sebagai alat bukti yang sempurna, menentukan dan
mengikat.
Apabila pembuat undang-undang menetapkan pengakuan sebagai alat
bukti yang sempurna, menentukan dan mengikat, maka ketentuan seperti itu
akan memaksa Hakim tidak boleh beranjak dari alat bukti pengakuan tersebut,
karena Hakim akan secara mutlak harus memutuskan perkara berdasarkan
pengakuan tersebut dan ketentuan seperti ini akan sangat berbahaya.
83
H. Syaiful Bakhri, Op-cit, h. 68
84
H. Syaiful Bakhri, Loc.Cit
58
Oleh karena didalam perkara pidana tersangkut baik kepentingan
individu disatu pihak maupun kepentingan masyarakat dipihak lain dan
kebenaran yang harus ditegakkan adalah kebenaran “sejati”, maka undang-
undang tidak dapat menilai keterangan atau pengakuan terdakwa sebagai alat
bukti yang memiliki nilai pembuktian yang sempurna, mengikat dan
menentukan. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti keterangan atau pengakuan
terdakwa adalah:
a. Sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas.
Hakim tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat dalam alat bukti
keterangan terdakwa. Dia bebas untuk menilai kebenaran yang terkandung
didalamnya. Hakim dapat menerima atau menyingkirkannya sebagai alat bukti
dengan jalan mengemukakan alasan-alasannya. Jangan hendaknya penolakan
akan kebenaran keterangan terdakwa tanpa alasan yang didukung argumentasi
yang tidak proporsional dan akomodatif.
Demikian pula sebaliknya, seandainya hakim hendak menggantikan alat
bukti keterangan terdakwa sebagai salah satu landasan pembuktian kesalahan
terdakwa, harus dilengkapi dengan alasan yang argumentative dengan
menghubungkannya dengan alat bukti yang lain.
b. Harus memenuhi batas minimum pembuktian.
Salah satu asas penilaian yang harus diperhatikan oleh hakim yakni
ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 189 ayat (4), yang menentukan :
”keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti lain”.
59
Dari ketentuan ini jelas dapat disimak keharusan mencukupkan alat bukti
keterangan terdakwa dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain, baru
mempunyai nilai pembuktian yang cukup.
Penegasan Pasal 189 ayat (4), sejalan dan mempertegas asas batas
minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183. Seperti yang sudah
berulang-ulang dijelaskan, asas batas minimum pembuktian telah menegaskan,
tidak seorang terdakwa pun dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua
(2) alat bukti yang sah.
c. Harus memenuhi asas keyakinan Hakim.
Sekalipun kesalahan terdakwa telah terbukti sesuai dengan asas batas
minimum pembuktian, masih harus lagi dibarengi dengan ”keyakinan hakim”,
bahwa memang terdakwa yang bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya.
Asas keyakinan hakim harus melekat pada putusan yang diambilnya
sesuai dengan sistem pembuktian yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP adalah
”pembuktian menurut undang-undang secara negatif”. Artinya, disamping
dipenuhi batas minimum pembuktian dengan alat bukti yang sah, maka dalam
pembuktian yang cukup tersebut harus dibarengi dengan keyakinan hakim
bahwa terdakwalah yang bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya.
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
Sistem Peradilan Pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang
menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil,
60
hukum pidana formil, maupun hukum pelaksanaan pidana. Sifatnya yang terlalu formal
apabila hanya dilandasi untuk kepentingan kepastian hukum saja, akan membawa
bencana ketidak adilan.
Sistem Peradilan Pidana (SPP) di Indonesia menganut asas bahwa kasus pidana
adalah sengketa antara individu dengan masyarakat (publik) dan sengketa tersebut akan
diselesaikan oleh pemerintah sebagai wakil dari publik.
SPP haru dilihat sebagai the work of courts and tribunals which deal with
criminal law and its enforcement.85 Pemahaman pengertian system dalam hal ini harus
diliat dalam konteks baik sebagai Physical system dalam arti seperangkat elemen yang
secara padu bekerja untuk mencapai suatu tujuan, maupun sebagai abstract system
dalam arti gagasan-gagasan yang merupakan susunan yang teratur yang satu lain berada
dalam ketergantungan.
SPP dalam hal ini tidak dapat dilihat pula sebagai Deterministic System yang
bekerjanya dapat ditentukan secara pasti, namun harus dilihat sebagai probabilistic
system yang hasilnya secara pasti tidak dapat diduga. Hulsman sebagaiman dikutip oleh
Muladi mengatakan bahwa, tujuan system peradilan yang positif berupa rasinalisasi
terpidana sering justru berakibat pada condition of powerfare berupa penderitaan.86
Berdasarkan sifat hukum acara pidana yang berbasis pada pembuktian dengan
mengacu pada aspek kepentingan umum, maka hukum acara pidana dibuat antara lain :
1. Ketentuan-ketentuannya bersifat memaksa karena melindungi kepentingan bersama guna menjaga keamanan, ketentraman hidup masyarakat.
2. Mempunyai dimensi perlindungan HAM, dengan perlindungan terhadap hak-hak dasar yakni kewajiban untuk didampingi oleh penasehat hukum,hak untuk diadili secara terbuka untuk umum,mengajukan saksi-
85
Muladi, Op-cit, h. 15
86
Ibid
61
saksi dan melakukan upaya hukum sehingga terdapat keadilan ,menghindari error in persona dan menerapkan asas praduga tidak bersalah.87
Jur. Andi Hamzah juga menyebutkan bahwa : Anjuran hukum acara pidana
adalah untuk mencari dan mendapatkan kebenaran matriil yakni kebenaran yang
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan tepat dengan tujuan mencari
siapakah pelaku yang dapat dijadikan terdakwa dalam suatu pelanggaran hukum.
Selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan pengadilan guna menemukan terbukti
dan tidaknya dakwaan yang dapat dipersalahkan.88
Sistem Peradilan Pidana (SPP) merupakan proses penegakan hukum yang saling
berkaitan dan ketergantungan antara sub sistem Polisi selaku penyidik, sub sistem Jaksa,
selaku penuntut umum, Hakim pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan Advokat
(penasehat hukum).
Dalam upaya mencari dan menemukan kebenaran matriil untuk membuktikan
terjadinya tindak pidana kejahatan dan siapa tersangka atau terdakwanya. Dengan
demikian SPP di Indonesia dapat dilihat dari bekerjanya sub sistem-sub sistem diatas.
Sue Titus Reid menyebutkan bahwa a second importen characteristic of the
criminal justice sistem is that many authorities with the sistem have been given wide
discretion.89
Terjemahan bebasnya bahwa :
“karakterisik penting berikutnya dari sistem peradilan pidana adalah banyaknya
kewenangan dengan sistem yang memberikan diskresi yang luas”.
87
Lilik Mulyadi, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktis, Alumni,
Bandung, h. 91-93
88
Jur Andi Hamzah, Op-cit, h. 7-8
89
Sue Titus Reid, Loc-cit
62
Karakter sistem peradilan yang bersifat khusus akan tetap mengikuti karakter
sistem yang bersifat umum, yaitu kerjasama secara terpadu antara pelbagai subsistem
untuk mencapai tujuan yang sama.jadi bagi pemegang kekuasaan peradilan seluas-
luasnya.
Dalam kerangka itu secara internal sistem peradilan harus berorientasi pada
tujuan yang sama (purposive behavior), pendekatannya harus bersifat menyeluruh dan
jauh dari sifat fragmentaris, selalu berinteraksi dengan sistem yang lebih besar,
operasionalisasi bagian-bagiannya akan menciptakan nilai tertentu (value
transformation), keterkaitan dan ketergantungan antar subsistem, dan adanya
mekanisme kontrol dalam rangka pengendalian secara terpadu.
Keterpaduan mengandung makna fixed control arrangements dan sekaligus
koordinasi yang seringkali diartikan sebagai suatu proses pencapaian tujuan melalui
kebersamaan norma dan nilai (shared norms and values).
Sebagai contoh, adalah kenyataan bahwa sistem peradilan pidana selalu bekerja
atas dasar sistem informasi yang berjenjang. Karena itu apabila muncul informasi yang
menyesatkan akan dengan sendirinya berdampak luas terhadap kinerja pengadilan,
misalnya berupa kegagalan dalam menciptakan keadilan.
Untuk dapat mengevaluasi atau mengaudit sampai seberapa jauh sistem
peradilan pidana sudah bekerja dengan baik, perlu dirumuskan indeks sistem peradilan
pidana yang pada hakekatnya merupakan indikator kinerja sistem peradilan pidana, baik
dalam tataran idiil, tataran asas maupun tataran operasional dan tataran penunjang. Pada
tataran ideal paling tidak ada 3 (tiga) indeks yaitu:
1. Keberhasilan sistem peradilan pidana menciptakan rehabilitasi dan resosialisasi
bagi terpidana.
63
2. Keberhasilan sistem peradilan pidana untuk mencegah terjadinya kejahatan.
3. Keberhasilan sistem peradilan pidana untuk menciptakan kesejahteraan sosial.
Indeks pada tataran asas berkaitan dengan prinsip-prinsip kekuasaan kehakiman
yang merdeka, promosi dan perlindungan HAM, berorientasi tidak hanya kepada model
rehabilitatif tetapi juga kepada model restoratif. Pada level operasional, pelbagai indeks
yang semakin konkrit mencakup antara lain, keberadaan “UU payung” (umbrella act)
yang dapat menciptakan sinergi positif antar subsistem (semacam Wet RO, 1928 di
masa lalu), berorientasi baik kepada tindak pidana, keterukunan dari clearance rate,
conviction rate, rate of recall to prison.
Selanjutnya juga tingkat terjadinya disparitas pidana, tersedianya pelbagai
sistem sanksi pidana alternatif dan tingkat kecepatan penanganan perkara baik di
lingkungan subsistem maupun sistem secara keseluruhan.
Pada tataran penunjang indeks terpenting nampak pada kualitas sumber daya
manusia yang dimiliki, seperti SDM yang terlatih dan terorganisasi dengan baik,
kepemimpinan yang bertanggungjawab, partisipasi masyarakat terhadap sistem
peradilan pidana, dan sistem pelatihan terhadap antar penegak hukum
Disimak dari tujuan dan manfaat SPP yang merupakan salah satu
penanggulangan kejahatan antara lain : mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan, menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat menjadi
puas bahwa keadilan telah ditegakkan, mendidik mereka yang pernah melakukan
kejahatan tidak lagi melakukannya.
Apabila SPP ini diterapkan secara konsisten, konsekwen dan terpadu dengan
sub-sub sistem penegak hukum maka SPP akan bermanfaat, menghasilkan data statistik
mengenai kejahatan, mengetahui berhasil dan tidaknya kinerja sub sistem-susb sistem
64
penegak hukum yang akan dipakai sebagai bahan masukan untuk rencana pemerintah
dalam kebijakan sosialnya baik jangka pendek,jangka menengah ataupun jangkan
panjang dan memberi jaminan kepastian hukum baik kepada individu maupun
masyarakat.90
Sidik Sunaryo mengatakan bahwa, KUHAP (Undang-undang Nomor 8 Tahun
1981) masih kurang dianggap mampu untuk mengawal penegakan hukum pidana matriil
karena masih nampak kelemahan-kelemahan mendasar.91
Kelemahan-kelemahan mendasar tersebut antara lain adalah :
1. Tentang masih terabaikannya hak-hak maupun perlindungan
tersangka/terdakwa, korban, saksi dan akibat-akibatnya yang harus ditanggung
oleh para pihak seperti kekerasan pisik maupun psikis dalam proses penyidikan,
2. Biaya yang harus ditanggung sendiri oleh saksi karena dipanggil sebagai saksi,
ganti rugi maupun rehabilitasi nama baik apabila tidak bersalah.
3. Masalah-masalah pembuktian maupun alat-alat bukti sebagai pengaruh ilmu
pengetahuan dan teknologi serta pengaruh globalisasi.
Hal tersebut diatas sesuai dengan yang dikemukakan oleh Muladi, bahwa Sistem
Peradilan Pidana (SPP), adalah suatu sistem yang berupaya menjaga keseimbangan
perlindungan kepentingan baik kepentingan negara, masyarakat maupun individu,
termasuk kepentingan pelaku tindak pidana dan korban kejahatan. Hal ini erat kaitannya
dengan semakin maraknya isu Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.92
90 Mardjono Reksodiputro, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,
Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta, h. 84-85 91 Sidik Sunaryo, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, h. 1-2 92 H. Muladi, Op-cit, h. 9
65
BAB : VI
PENUTUP
Simpulan
1. Keterangan ahli dalam proses pembuktian perkara pidana sudah diakui
keberadaannya, hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 184 ayat (1) bagian kedua
KUHAP. Namun dalam pasal–pasal yang lain maupun penjelasannya tidak
terdapat aturan yang jelas dan tegas secara eksplisit, dengan kata lain bahwa
batasan-batasan apa yang dimaksudkan dengan keterangan ahli tidak diatur
dalam perundang-undangan.
2. Prospek pengaturan terhadap keterangan ahli dalam proses pembuktian perkara
pidana di masa yang akan datang sangatlah penting. Penegak hukum dimasa
yang akan datang tidak hanya melihat sistem pembuktian dari sudut pandang
hukum saja, namun lebih luas, seperti teknologi, ilmu pengetahuan, ekonomi,
dan politik. Sehingga dalam hal ini keterangan ahli menjadi sangat penting untuk
dijadikan dasar guna memperoleh keyakinan bagi Hakim dan penegak hukum
lainnya dalam proses pembuktian.
Saran
Hendaknya Hakim dan para penegak hukum lainnya melakukan suatu
pembaharuan hukum (law reform) khususnya mengenai keterangan ahli sebagai salah
satu alat bukti dalam proses pembuktian perkara pidana. Pembaharuan hukum ini
digunakan dengan maksud untuk memberikan suatu ketegasan dan kejelasan mengenai
keterangan ahli serta batasan-batasannya.
66
Mengingat dalam Pasal 184 KUHAP khususnya mengenai alat bukti keterangan
ahli yang dalam pengaturannya belum jelas dan tegas tertuang dalam peraturan
perundang-undangan, sehingga perlu adanya penegasan terhadap alat bukti khususnya
keterangan ahli dan kedepannya perlu pedoman serta aturan yang jelas dan tegas
mengenai keterangan ahli tersebut.
67
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Arief Barda Nawawi, , 2002, Masalah Penegakan Hukum dan
KebijakanPenanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung Abadinsky Howard, 1984, Discretionary Justice, Charles C Thomas Publisher,
Springfield Illinois, USA. Adji Oemar Seno, 1985, KUHAP Sekarang, Erlangga, Surabaya. Afandi Wahyu, 1982, Ganti Rugi dan Rehabilitasi dalam KUHAP, Kolom Hakim dan
Keadilan, Sinar Harapan, Senin 4 Januari 1982. Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta. Atmasasmita Romli, 1966, Sistem Peradilan Pidana, (Criminal Justice System),
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Putra Abardin, Jakarta. Bakri Syaiful, 2009, Hukum Pembuktian Dalam Praktek Peradilan Pidana, Total Media
FH UMJ. Barkatullah Abdul Halim dan Teguh Prasetyo, 2005, Bisnis E-Commerce Studi Sistem
Keamanan dan Hukum di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Bartol Curt R., Anne M. Bartol, 2004, Psycology and Law, Thomson Wodsworth
Australia, Canada, Mexico, Singapore, Spain, UK, USA, 3rd Edition. Budianto Arif, Wibisono Widiatmika, Suwandi Sudiono, et.al, 1997, Ilmu Kedokteran
Forensik, Bagian Ilmu Kedokteran Forensik, Fakultas Kedokteran UI, Jakarta. Dep.Dik.Bud, 1995, Kamus Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta. Flora Henny Zaida, Fakultas Hukum Unika Santo Thomas, Medan Sumatra Utara,
2008, Peranan Dokter Forensik dlam Pembuktian Perkara Pidana, Jurnal Hukum, Kertha Patrika, vol.33 No. 2, Juli 2008, 1.SSN. 0215-899x
Hamdani Njowito, 1992, Ilmu Kedokteran Kehakiman, PT. Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta. Hamzah Jur Andi, 2009, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi kedua, Sinar Grafika,
Jakarta. Hamzah Jur Andi, 2008, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
68
Harahap M. Yahya, 2007, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta.
Mansur Dikdik M. Arief dan Elisatirs Gultom, 2005, Cyber Law- Aspek Hukum
Teknologi Informasi, Refika Aditama, Bandung. Marzuki Peter Mahmud, 2006, Penelitian Hukum, Kencana Pranada Media Group,
Jakarta. Mertokusumo Sudikno, 1999, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogjakarta. Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, Semarang. Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung, h.149 Mulyadi Lilik, 2008, Bunga Rampai Hukum Pidana Perspektif Teoritis dan Praktis,
Alumni, Bandung. Nasution Bahder Johan, 2008, Metode Penelitian Hukum, Mandar Maju, Bandung. NN, 2008, Kamus Hukum, Penerbit Citra Umbara, Bandung. Notodiprodjo KRMT.Roy Suryo, 2 Juli 2002, Analisis, Video Confrence, SKH.
Kedaulatan Rakyat. Packer Herbert L., The Limits of the Criminals Sanctions, Stanford University Press,
California. Patra J.W. La, Analyzing the Criminal Justice System, Lexington Books, D.C. Heath
and Company Lexington, Massachusetts Toronto, USA. Poerwadarminta, 1984, Kamus Umum Bahasa Indonesia, PN Balai Pustaka, Jakarta. Prakoso Djoko, 1988, Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Dalam Proses Pidana,
Liberty, Jogyakarta. Prakoso Djoko dan I Ketut Murtika, 1987, Dasar-Dasar Ilmu Kedokteran Kehakiman,
PT. Bina Aksara, Jakarta. Prodjodikoro Wiryono, 1977, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur Bandung,
Bandung. Prodjohamidjojo Martinus, 1983, Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti, Gratia
Indonesia, Jakarta. R Subekti, 1983, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta.
69
Reid Sue Titus, 1987, Criminal Justice Procedures and Issues, West Publishing
Company St. Paul New York, Los Angeles, San Fransisco. Reksodiputro Mardjono, 1994, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana,
Kumpulan Karangan, Buku Ketiga, Lembaga Kriminologi UI, Jakarta. Sabuan Ansori, Syarifuddin Pettanasse dan Ruben Achmad, 1990, Hukum Acara
Pidana, Angkasa Bandung, Bandung. Satryo Alfred C., 2002, Kumpulan Peraturan PerUndang-undangan dan Profesi
Dokter, USU Press, Jakarta. Soedirjo, 1985, Jaksa dan Hakim Dalam Proses Pidana, CV Akademika Pressindo,
Jakarta. Soedjono D, 1982, Pemeriksaan Pendahuluan Menurut KUHAP, Alumni Bandung. Soedjono D, 1976, Kriminalitas dan Ilmu Forensik,Pengantar Sederhana Tentang
Tehnik Dalam Penyidikan Kejahatan, PT. Tribisono Karya, Bandung. Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta. Sudarto, 1976, Perkembangan Masyarakat , Modernisasi Terhadap Hukum Pidana,
Prasaran Simposium, Pengaruh Agama Terhadap Hukum Pidana, Binacipta, Jakarta.
Sukardi, 2009, Penyidikan Tindak Pidana Tertentu, (Beberapa Ketentuan Pidana
Diluar KUHP), Restu Agung, Jakarta. Sumardjono Maria S. W., 1989, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Fakultas
Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sunaryo Sidik, 2004, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press. Susila I Wayan Tangun, I Dewa Made Suartha, 1989, Sari Kuliah Hukum Acara Pidana,
Jurusan Hukum Pidana, Fakultas Hukum UNUD, Denpasar. Wisnubroto Al., G. Widiartono, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung. Wisnubroto Al., 1999, Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penyalah gunaan Komputer,
Universitas Atma Jaya, Jogyakarta. Wisnubroto Al., G. Widiartono, 2005, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung.
70
MAKALAH Wisnubroto Al, 6 Juli 2000, Cyber Crime Permasdalahan dan Penanggulangan dari
Aspek Hukum Pidana, Makalah ceramah di FH Univ.Muhammadyah ,Yogyakarta
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Rancangan KUHAP Tahun 2013
71