laporan penelitian hibah bersaing - widyagama.ac.id filehukum pidana ? guna mendapat data evaluasi...
TRANSCRIPT
1
LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING
STUDI DESKRIPTIF TERHADAP PEMIDANAAN
RECIDIVE ANAK BERBASIS PERLINDUNGAN ANAK DALAM UPAYA MEMBANGUN MODEL
PENANGGULANGAN
Oleh
IBNU SUBARKAH, SH.MH (KETUA) AGUS SUDARYANTO, SH (ANGGOTA) LUKMAN HAKIM SH.MH(ANGGOTA
Ir. Wahyu Anny W. MS (ANGGOTA)
Universitas Widyagama NOPEMBER, 2007
ILMU HUKUM
2
BAB I. PENDAHULUAN
Hakim dalam pelaksanaan pemidanaan dipengaruhi internasilisasi dalam
bekerjanya sistem paradilan yaitu pada aspek Kekuasaan dan Birokrasi, dan
kedudukan hakim tersebut dalam pengadilan yang dinamakan dengan organisasi.
Bekerjanya sistem peradilan pidana berpengaruh pada ketika hakim melakukan
pemidanaan. Ketentuan khusus tentang recidive anak dalam perundang-undangan
sangat perlu. Bahwa masalah pemberatan pidana bagi anak itu terjadi karena KUHP
itu sendiri menentukan ditambah 1/3 dari ancaman hukuman pokok, dimana
pengaturannya telah tercermin dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP yang merupakan
peraturan kolonial Belanda. Kiranya kerangka penegakan hukum pidana di Indonesia
perlu ditinjau ulang dimana suatu sistem yang tidak efektif itu akan menimbulkan
kondisi-kondisi seperti adanya disparitas pidana, Legislated Environment, korban
kejahatan, stigma sosial, dan prisonisasi yang merupakan permasalahan-permasalahan
yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana, dan untuk permasalahan yang
berkaitan dengan legislated environment, akibat warisan klasik yang menciptakan
fragmentaris penerapan hukum pidana.1). Perlu diketahui bahwa bahwa masa dimana
anak dikatakan remaja merupakan fase perkembangan yang sangat mencolok baik
secara fisik, psikologis, sosial dan moralitas, dimana masa adolelsen, umur 13-21
tahun, anak-anak sedang mengalami kegoncangan jiwa.2) Menyikapi hal tersebut
maka prinsip-prinsip individualisasi pidana perlu untuk diperhatikan, hakim dalam
memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kemampuan bertanggungjawab
terdakwa. Makin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku seseorang memberikan
ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, makin sering pula orang lain itu mengulang
tingkah lakunya itu. Atas dasar itu diangkatlah persoalan tersebut dalam penelitian
sebagai berikut :
1. Bagaimana diskriptif pemidanaan pada recidive anak guna pembaharuan
hukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi.
1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil, yakni akibat warisan aliran klasik yang menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana. Yang berpandangan pembalasan merasa mendapat legimitasi dari undang-undang yang sudah ketinggalan jaman. Pandangan yang semata-mata pembalasan ini akan menghasilkan pemidanaan yang tidak bermanfaat dan menjadikan seseorang sebagai residevist. Dampaknya dapat berupa pilihan pidana yang sangat sedikit, untuk memudahkan penerapannya. (Lihat Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cetakan I, Universitas Diponegoro, Semarang,1995, h. 24-25 ) 2) Sudarsono, Kenakalan Remaja, edisi ke dua, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 155
3
2. Bagaimana diskriptif pemidanaan pada recidive anak yang berbasis
perlindungan anak itu ? Guna mendapatkan data evaluasi dan reorientasi
dengan menerapkan basis Perlindungan anak.
3. Bagaimana upaya penanggulangan pada recidive anak yang berbasis
perlindungan anak itu ? Guna menentukan perumusan model penanggulangan.
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
Perlindungan hak-hak asasi manusia terdakwa pada tingkat pengadilan dapat
direfleksikan melalui tindakan seorang hakim sebagai penegak hukum tentang
tugasnya untuk menjatuhkan pidana melalui upayanya untuk melakukan pemidanaan
yang bernafaskan keadilan dan kebenaran. Sampai saat ini meskipun telah disusun
suatu produk legeslatif berupa Undang-undang Pengadilan Anak yaitu Undang-
undang No.3 Tahun 1997, serta Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak, permasalahan-permasalahan diperkirakan akan muncul
berkenaan dengan pemidanaan,3) khususnya pada perlindungan anak sebagai pelaku
kejahatan ulang. Perlu untuk disimak meskipun perangkat undang-undang mengatur
pemidanaan terhadap pelaku di kategorikan dewasa dan anak-anak adalah berbeda,
akan tetapi suatu kondisi aparat penegak hukumnya dalam hal ini hakim merupakan
pintu penutup yanng nantinya akan menjembatani perlindungan terhadap hak-hak
terdakwa dengan keadilan dan kebenaran itu sendiri. Dikemukakan oleh Barda
Nawawi Arief sebagaimana di sunting oleh Romli Atmasasmita bahwa prinsip
umum pemidanaan dengan melihat pertanggung jawaban individual terhadap orang
dewasa merupakan hal yang wajar, karena orang dewasa memang sudah selayaknya
dipandang sebagai individu yang bebas dan mandiri (independent) dan
bertanggungjawab penuh atas perbuatan yang dilakukannya. Namun penerapan
prinsip umum ini kepada anak patut dikaji karena anak belum dapat dikatakan sebagai
individu yang mandiri secara penuh. Oleh karena itu penerapan prinsip ini dilakukan
sangat hati-hati dan selektif, dengan mengingat tingkat kematangan /kedewasaan
setiap anak. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ada baiknya dikembangkan gagasan
yang mengimbangi sistem pemidanaan/pertanggungjawaban individual itu dengan
3) Pemidanaan, menurut Soedarto adalah merupakan penyempitan arti dari istilah penghukuman yakni penghukuman dalam perkara pidana (lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, teori-teori dan kebijakan pidana, edisi revisi, Alumni, Bandung, 1992, h. 1).
4
sistem pertanggungjawaban struktural/fungsional.4) Beliau mengemukakan bahwa
diperlukan adanya prinsip-prinsip yang seharusnya diperhatikan oleh hakim dalam
menjatuhkan sanksi (pidana/tindakan) kepada hakim, khususnya dalam hal
menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. Hal ini dipandang sangat penting,
karena masalah ini yang menjadi pusat perhatian dari dokumen-dokumen
internasional, yaitu pasal 17.1 SMR-JJ (The Beijing Rules), dan Resolusi PBB 45/113
tentang UN Rules the Protection of juvenile Deprived of Their Liberty.5)
Perlu diketahui juga bahwa negara melalui hakim dalam menjatuhkan pidana
tentunya memperhatikan pembenaran-pembenaran yang ada. Suatu sasaran yang
diharapkan akan dipengaruhi oleh kedudukannya sebagai aparat birokrasi dan
dominasinya aspek individu. Oleh karena itu seperti yang dikemukakan oleh Roeslan
Saleh, bahwa seorang hakim akan mudah mengambil kesimpulan apabila seorang
hakim mengerti tujuan-tujuan apakah yang akan dicapai dengan membebankan
pidana. Dengan ini baik kekuasaan kehakiman maupun publik dan orang yang di
hukum, begitu pula pelaksana pidana akan mempunyai pegangan. Sebab merekalah
yang harus melaksanakan keputusan hakim dan oleh karenanya pula seharusnnya
berbuat sesuai dengan tujuan yang akan dicapai oleh hakim itu.6) Tidak semua
putusan hakim itu memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan ataupun bagi si
terdakwa itu sendiri. Stigma yuridis sebagaimana yang ditentukan dalam KUHP
sebagai pedoman kolonial bagi hakim dirasakan telah melekat tidak saja pada hakim
saja, penegak hukum lainnya pun dalam mengatasi permasalahan anak ini masih
terpolarisasi peraturan peninggalan tersebut, suatu misal mereka yang melakukan
kejahatan ulang atau recidive, hakim menjatuhkan baginya pemberatan pidana tanpa
mengerti sebab-sebab secara kriminologis. Menurut penulis, dalam hasil penelitian
tentang Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan ulang (recidive) anak bahwa
salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan ulang pada pelaku anak
adalah karena ketidakmampuan keluarga dalam hal ini orang tua melakukan
pemberian kasih sayangnya pada pelaku kejahatan ulang anak. Tercatat juga disini
bahwa faktor lain adalah berkenaan dengan bekerjanya sistem peradilan, yakni
subjektivitas pemeriksaan masih kuat berpengaruh ketika memeriksa perkara pidana
4) Romli Atmasasmita, d. k. k, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, h.80, menyunting dari Barda Nawawi Arief, Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak, makalah dalam Seminar Nasional Peradilan Anak, Unpad, Hotel Panghegar, Bandung, 5 Oktober 1996. 5) ibid, halaman 76-77 6) Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984,h. 28-29
5
dengan pelaku anak.7) Oleh karena itu dalam kerangka penegakan hukum pidana di
Indonesia diharapkan sistem yang ada dapat berjalan seefektif mungkin, karena sistem
yang tidak efektif itu akan menimbulkan kondisi-kondisi seperti adanya disparitas
pidana, Legislated Environment, korban kejahatan, stigma sosial, dan prisonisasi yang
merupakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sistem peradilan
pidana.8) Selanjutnya dikemukakan oleh penulis, bahwa selama ini hakim dalam
menjatuhkan putusan masih mengikuti pola-pola tradisional, dari sudut pandang
pembalasan semata. Terhadap pemidanaan recidive anak berlaku ketentuan
pemberatan pidana. Hakim diharapkan tidak menutup mata sebelah tentang mengapa
mereka melakukan kejahatan ulang.
Berdasar paparan di atas, kajian terhadap permasalahan ini masih relevan
untuk ditindak lanjuti dengan mengingat manusianya dalam suatu birokrasi ini
menentukan efektivitas bekerjanya suatu Sistem yang ada yaitu Sistem Peradilan
Pidana, khususnya seberapa jauh bekerjanya hukum pidana dan pemidanaan di
Indonesia mengandung aspek tujuan pemidanaan.
1. Teori-teori dan Aliran Pemidanaan.
Hak memidana bagaimanapun selalu dihadapkan pada suatu paradoxialitas,
yang artinya pada satu sisi pemerintah atau negara harus menjamin kemerdekaan
individu dan menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati,
tetapi di lain pihak kadang-kadang sebaliknya, yaitu negara atau pemerintah
menjatuhkan hukuman dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia
tersebut oleh pemerintah atau negara sendiri diserang. Mengapa hal demikian terjadi,
suatu kecenderungan negara akan mengadakan pembalasan adalah bukan pada
mereka yang melakukan kejahatan pertama kali yaitu sebagai pemula, tetapi ada pada
mereka yang melakukan kejahatan ulangan atau lebih dikenal dengan recidive.
Oleh karena itu terhadap persoalan pemidanaan ini perlu dipecahkan dengan
mengingat pada teori-teori tentang pemidanaan yang berlaku serta aliran-aliran yang
mendasari. Sampai seberapa jauh pengaruh teori-teori tersebut bagi pemidanaan.
a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen).
7) ibid, 8) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil, yakni akibat warisan aliran klasik yang menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana. Yang berpandangan pembalasan merasa mendapat legimitasi dari undang-undang yang sudah ketinggalan jaman. Pandangan yang semata-mata pembalasan ini akan menghasilkan pemidanaan yang tidak bermanfaat dan menjadikan seseorang sebagai residevist. Dampaknya dapat berupa pilihan pidana yang sangat sedikit, untuk memudahkan penerapannya. (Lihat Muladi, loc.cit )
6
Teori ini termasuk teori yang tertua, dan pidana dipandang sebagai
pembalasan terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana. Nigel Welker,
sebagaimana dikutip oleh Sahetapy memberikan tiga pengertian mengenai
pembalasan, yaitu :retaliatory retribution, yang berarti dengan sengaja membebankan
suatu penderitaan yang pantas diderita oleh seseorang penjahat dan yang mampu
menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukannya;
distributive retribution, yang berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang
dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan;
quantitative retribution, yang berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang
mempunyai tujuan lain dari pembalasan, sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak
melampaui tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang
dilakukan.9) Teori ini mempunyai dasar pembenaran, yang menyatakan bahwa pidana
merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang
yang melakukan kejahatan.
Menurut Johannes Andenaes yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa
tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan
tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya
yang menguntungkan adalah sekunder.10)
KUHP menetapkan the limiting retributivist dengan menetapkan pidana
maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batas
maksimum tersebut.
Charles W. Thomas dan Donna M. Bishop, mengemukakan, bahwa retributive
mempunyai kemampuan dalam memilih rasionalitas asli dengan dasarnya baik dan
buruk, pidana dan bukan pidana sebagai pilihan-pilihannya, the amount or type of
punishment which may be justified is limited by what is referred to as the principle of
just deserts or the principle of proportionality .11)
Jadi apabila seseorang mengadakan suatu penderitaan istimewa terhadap
seorang anggota masyarakat lain, maka sudah seimbanglah bahwa orang itu diberi
9) Masruchin Ruba’I, Pidana dan pemidanaan, cet-1,Ikip, Malang, 1994, h. 6 10) Muladi, & Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, edisi revisi, Alumni, Bandung, 1992, h. 11 11) Charles W. Thomas, Donna M. Bishop, Criminal Law : Understanding Basic Principle, Vol. 8 Law and Criminal Justice Series, Clifornia : Sage Publication, Inc. Newbury Park, 1987, p. 76
7
suatu penderitaan yang sama besarnya dengan penderitaan yang telah dilakukannya
terhadap orang lain anggota masyarakatnya tersebut.12)
Meskipun telah dikemukakan karakteristik dari teori pembalasan pada
kenyataannya, pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan
emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang kearah sifat-sifat sadistis,
sentimental. Sehingga pembicaraan terhadap teori ini dirasakan kepentingan tujuan
untuk penghukuman sebenarnya lebih diutamakan.
b. Teori Relatif atau Tujuan
Pandangan dari teori ini mengisyaratkan bahwa hukuman merupakan suatu
cara untuk mencapai suatu tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Tujuan
penghukuman itu sendiri adalah untuk melindungi ketertiban, untuk mencegah
terjadinya pelanggaran hukum dan ditujukan pula kepada pelanggar agar tidak
mengulangi pelanggarannya. Maka dari sini dapat dikatakan bahwa hukuman
disamping mempunyai suatu prevensi umum juga mengandung prevensi khusus.
Leonard Orland, berpendapat bahwa hukum pidana bertujuan untuk mencegah dan
mengurangi kejahatan, pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku
penjahat dan orang lain yang cenderung melakukan kejahatan.13)
Charles W. Thomas dan Donna M.Bishop, mengemukakan bahwa teori tujuan
(utilitarian) dari hukuman merupakan pandangan ke depan (forward looking)
daripada ke belakang (backward looking). Hukuman dilukiskan sebagai sesuatu tanpa
dasar moral. Menurutnya ruang lingkup pencegahan kejahatan ada tiga, yaitu :
general deterrence (pencegahan umum), berhubungan dengan bagaimana ancaman
specific deterrence, and incapacition. 14)
Berkenaan dengan pemidanaan recidive anak, terjadinya pengulangan dapat
didekati berdasarkan teori ini, yang lebih mengarahkan pada pengaruh pidana itu.
c. Teori Campuran atau Konvergensi
Toeri ke tiga dipelopori oleh Pellegrino Rossi (1787-1848), yang menurutnya
tujuan pidana disamping pembalasan dalam aspek lain bertujuan perbaikan sesuatu
yang rusak dalam masyarakat dan prevensi umum. Penulis-penulis lain yang
12) Gerson Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, Pradsnya Paramita, Jakarta, 1997, h. 58 13) Leonard Orland, Justice, Punishment, Treatment The Correctional process, New York, 1973. h. 184 14) op.cit. p. 79
8
berpendirian seperti ini adalah Binding, Merkel, Kohler, Richard Schimid, dan
Beling. 15)
Tujuan pidana menurut teori ini, beberapa sarjana berpendapat. Richard D.
Schawrt dan Jerome H. Skolnick mengemukakan bahwa sanksi pidana dimaksudkan
untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism);
mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si
terpidana (to deter other from the performance of similar acts); menyediakan saluran
untuk mewujudkan motif-motif balas dendam (to provide a channel for the expression
of retaliatory motive);.16)
Hingga dewasa ini ada tiga konsep pemikiran yang mendominasi hukum
pidana, sebagaimana dikemukakan oleh Antonio A.G. Peters, yaitu pertama aliran
klasik (the Classical School), yang menitikberatkan pada permasalahan undang-
undang dalam usaha untuk memberantas kejahatan; kedua, aliran modern/kriminologi
(modern of criminology), yang menitikberatkan pada pencegahan kejahatan serta
perlakuan terhadap pelaku kejahatan; ketiga, aliran pengawasan sosial (school of
social control), yang menitikberatkan kepada pembahasan politik perencanaan dan
organisasi.17) Disamping ada yang menyebutkan dua aliran saja dalam hukum pidana
yaitu aliran klasik dan aliran modern.
KUHP sebagai produk kolonial hukum pidana materiil, ketika diaplikasikan
oleh penegak hukum sangat kental akan kajian-kajian dimaksud di atas, teori
campuran kiranya yang dapat memberikan jawaban pada pemidanaan recidive anak.
Lembaga dimana hakim tersebut bekerja yaitu pengadilan merupakan
organisasi yang unik dan pranata penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu
masyarakat. Chamblis, yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo18)memberikan kriteria
penentu yang disebut dengan faktor penentu, dalam mencermati pengadilan, yaitu
Tujuan yang hendaknya dicapai dengan penyelesaian sengketa itu.; Tingkat perlapisan
yang terdapat di dalam masyarakat.
Perkembangan hukum menuju hukum modern dewasa ini, membawa
karakteristik perubahan pada aspek sosiologi pengadilan. Dikemukakan oleh Satjipto
15) op.cit. h. 19 16) ibid. h. 19-24 17) Antoni A. G. Peter, Aliran-aliran Utama dalam Teori-teori Hukum Pidana, terj. S2 Ilmu Hukum Undip, Semarang, 1996 18) Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1986, h. 52.
9
Rahardjo 19), bahwa sejak munculnya hukum modern, maka segalanya berubah dan
pengadilan menjadi struktur yang formal rasional, prosedural, dan birokratis. Ini
adalah bagian dari perkembangan hukum yang makin menjadi institusi otonom dalam
administrasi, metodologi, dan seterusnya.
Selanjutnya dengan munculnya hukum modern ini, mengakibatkan makin
meluas pula pembicaraan tentang pengadilan, terutama hakim sebagai wujud
personalitas pengadilan dituntut cakap dan professional dalam menghadapi setiap
realitas permasalahan. Dalil-dalil yang diterapkan oleh hakim semuanya merujuk pada
peraturan-peraturan yang berlaku. Untuk pelaksanaan proses verbal pada pelaku
kejahatan anak, yang tidak secara substansial pada recidive anak, hakim disamping
merujuk pada hukum pidana formil, juga merujuk pada hukum pidana materil, yatiu
Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang
Pengadilan Anak. Selama pengambilan keputusan masih belum dilakukan dengan
peralatan mekanik, selama itu pula faktor manusia, yaitu hakim masih perlu dipelajari
dalam berbagai seluk beluk. John P. Dawson, mengemukakan bahwa, hakim itu
adalah manusia dan dengan begitu tidak selalu memenuhi harapan. Di Amerika
Serikat, menurutnya pemakaian Pemilihan Umum dan pemilihan dengan cara
penunjukkan bagi seseorang hakim tidak diharapkan untuk mendapatkan hakim yang
terbaik dan teradil.20) Apabila dicermati di sidang pengadilan, muncul konflik dan itu
nyata, yaitu ada dalam pikiran yang bertentangan satu dengan yang lain. 21) Alam
pikiran dari terdakwa, yang bersifat subjektif dan secara vital terlibat dengan suatu
kejadian yang penting sekali baginya sendiri, disamping itu adalah alam pikiran dari
hakim, yang mengejar objektivitas, dan tidak vital terlibat pada kejadian dalam sidang
pengadilan itu serta penyelesaian perkara pidana yang dipandang sebagai pekerjaan
biasa. Dengan keadaan ini dua alam pikiran itu bertabrakan keras, tetapi kadang-
kadang pula keduanya ini sama sekali tidak saling menyinggung..
Lebih lanjut dikemukakan Satjipto Rahardjo22), mengadili itu bukanlah melakukan
sesuatu terhadap hal-hal yang berada di luar diri terdakwa. Mengadili adalah suatu
proses yang dengan susah payah telah terjadi di antara manusia dan manusia.
Mengadili adalah suatu pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum. Oleh 19) ibid, h.alaman 2. 20) Jhon P. Dawson, dikutip dari Berman, Harold J. Ceramah-ceramah tentang Hukum Amerika Serikat, terj. Gregory Churchil, Jakarta, PT Tata Nusa, 1996, h. 23 21) Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakartas, 1984., h. 22 22) op.cit., 23
10
karenanya mengadili tanpa suatu hubungan yang bersifat sesama manusia antara
hakim dengan terdakwa kerapkali dirasakan sebagai memperlakukan ketidakadilan.
Mengingat persoalan hakim sebagai pribadi dan interaksi sosialnya
berpngaruh pada pemberian pidana, maka Djoko Prakoso23) mengemukakan bahwa
berkenaan dengan pemberian pidana faktor perkembangan masyarakat sudah
semestinya menjadi pertimbangan pula dari hakim, karena hakim dalam menjatuhkan
pidana wajib mempertimbangkan segala sesuatu yang dapat memberatkan atau
meringankan pidana. Faktor-faktor ini tidak hanya dicari pada diri si pembuat, akan
tetapi juga pada hal-hal yang objektif yang terletak di luar motif dan sifat si pembuat.
Atas persoalan tersebut sebelum hakim memutus suatu perkara bersalah atau
tidak bersalah, seorang hakim itu harus dapat mengemban nilai-nilai cultural
masyarakat, pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah seberapa jauh pindah tugas
dari hakim atau masa kerja di Pengadilan tertentu, untuk dapat memahami kondisi
sosio-kultual di daerah-daerah Indonesia. Pemahaman terhadap masalah ini, sungguh
besar pengaruhnya yang dimungkinkan pada objektivitas keputusan yang
mencerminkan keadilan substansial. Menurut Nicholas Henry, dikutip oleh Alo
Liliweri24)), ketertutupan organisasi pengadilan menurut perkembangan hukum dan
masyarakat, pada sisi-sisi tertentu mempunyai kendala. Kendala tersebut tercermin
apabila pengadilan sebagai organisasi, kurang memperhatikan pola-pola
perkembangan masyarakat dimana institusi itu berada. Ketertutupan organisasi
mengakibatkan pembicaraan tentang pengadilan dan keadilan tiada putus-putusnya.
2. Penanggulangan Sebagai Suatu Model
Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono ini, space untuk
mencanangkan pola dan sasaran pembangunan cukup besar. Strategi politik telah
berimbang, bahwa kekuatan rakyat dapat mengimbangi kekuatan pemerintah baik
eksekutif, legislative dan yudikatif. Dalam Pembangunan di bidang hukum
khususnya, hukum yang bersifat responsive, yang menanggalkan hukum represif dan
otonom, secara pragmatis terimplementasikan dalam tahapan formulasi peraturan,
baik pusat maupun di daerah. Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan25)
more specifically, responsive law fosters civility in two basic ways : overcoming the
23) op.cit. 21 24) ) Alo Liliweri, Sosiologi Organisasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 33 25) Philippe Nonet, Philip Selznick, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, Harper & Row Publishers, New York, Hagerstone, San Fransisco, page 91.
11
parochialism of communal morality; and encouraging a problem-centered and
socially integrative approach to crises of public order.
Responsivitas tersebut dapat dilakukan dengan merumuskan suatu model
sebagai langkah pembangunan bidang hukum yaitu dari aspek penanggulangannya.
Menurut Willis,26) (1964,1965), menyebut suatu teori dengan istilah model, model itu
hanya menggambarkan suatu keadaan, tidak mencari hubungan sebab-akibat, yang
juga memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang nyata (possibilities) yang
benar-benar terjadi, sedangkan teori membahas juga kebolehjadian (probability) yang
secara teoritis bisa terjadi, tetapi dalam kenyataannya belim tentu akan terjadi. Sampai
saat ini upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum)
pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Hukum
pidana masih digunakan dan diandalkan sebagai salah satu sarana politik kriminal.
Bahkan akhir-akhir ini pada bagian akhir kebanyakan perundang-undangan hampir
selalu dicantumkan sub bab tentang “ketentuan pidana”. Pada hampir setiap produk
legislatif hukum pidana selalu dipanggil/digunakan untuk menakut-nakuti atau
mengamankan bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul diberbagai bidang.
Fenomena legislatif tersebut demikian menarik untuk dikaji dari sudut kebijakan
hukum pidana (penal policy) sebagai sarana penanggulangan kejahatan.27)
a. Penanggulangan Penal
Hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penal mempunyai banyak keterbatasan
yang selama ini dijadikan sandaran hukum bagi penegak hukum. Sudarto
mengemukakan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan
sesuatu gejala (Kurieren am Sympton) dan bukan suatu penyelesaian dengan
menghilangkan sebab-sebabnya.28) Lebih lanjut Johannes Andenaes mengemukakan
bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks
kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang
membentuk sikap dan tindakan kita.29) Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun
hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit
26) Willis, RH, Descriptive Models of Social Respons, Technical Report, Norn Contract, 816 (12), Washington University, 1964 27) Barda Nawawi Arief, Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Aspehupiki bekerja sama dengan Fak. Hukum Univ. Surabaya, Prigen, 2002, halaman 1-2 28) Sudarto, Hukum pidana dan Perkembangan Masyarakat, 1983, halaman 35 29) J. Andenaes, Does Punishment Deter Crime ? dalam Philosopical Perspektive on Punishment, Gertrude Ezorsky (Ed), New York, 1972, 346.
12
atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.30) Sangatlah sulit untuk
melakukan evaluasi terhadap efektivitas dari “general deterrence” karena mekanisme
pencegahan (deterrence) itu tidak diketahui. Orang mungkin melakukan kejahatan
atau mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya undang-
undang atau pidana yang dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti
“kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah
perbuatan yang sama kuatnya dengan ketakutan orang pada pidana.31) Efektivitas
hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu
kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok-
kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang
lebih effisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum.32) Karl
O. Christiansen mengemukakan pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sangat
sulit diukur. Pengaruh itu terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda
dan saling berkaitan erat, yang disebut dengan berbagai macam nama, misalnya
pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat
kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran
kolektif (strenghening the collective solidarity), menegaskan kembali/memperkuat
rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of public feeling of security), mengurangi
atau meredakan ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketegangan-ketegangan
agresif (release of aggressive tensions) dan sebagainya.
Sanksi hukum pidana selama ini terhadap pelaku kejahatan bukanlah obat
(remidium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit, tetapi sekadar untuk
mengatasi gejala/akibat dari penyakit, atau dengan kata lain sanksi pidana bukanlah
merupakan pengobatan kausatif tetapi hanya sekadar pengobatan simptomatik.
Disamping itu pendekatan pengobatan yang ditempuh oleh hukum pidana selama ini
sangat terbatas dan fragmentair yaitu terfokus pada dipidananya si pembuat
(sipenderita penyakit), dengan demikian efek preventif dan upaya
perawatan/penyembuhan (treatment atau kurieren) lewat sanksi pidana lebih
diarahkan pada tujuan mencegah agar orang tidak melakukan tindak
pidana/kejahatan” (efek prevensi spesial maupun prevensi general) dan bukan untuk
mencegah agar kejahatan itu (secara struktural) tidak terjadi. Dengan kata lain
30) H.D Hart (ed), Punishment : For and Agains, New York, 1971, hal 21 31) H.D Hart. Ibid, hal 15 32) Donald R. Taft and Ralp W. England. Criminology, 1964. h. 315
13
keterbatasan kemampuan hukum pidana antara lain dapat dilihat juga dari sifat/fungsi
pemidanaan selama ini, yaitu pemidanaan individual/personal dan bukan
pemidanaan yang bersifat struktural/funsional.
Herbert L. Packer mengemukakan bahwa penggunaan sanksi pidana secara
sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan (indiscriminately) dan digunakan
secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu
“pengancaman yang utama”.33)
b. Penanggulangan Non Penal
Penanggulangan Non Penal ini menitikberatkan pada upaya pembinaan atau
penyembuhan terpidana/pelanggar hukum (treatment of offenders) maupun dengan
pembinaan/penyembuhan masyarakat (treatment of society).Habib-Ur-Rahman Khan
mengatakan apabila kejahatan dipandang sebagai produk masyarakat, maka
masyarakatlah yang membutuhkan perawatan/pembinaan dan bukan si penjahat, I
suggest that, just as in the 19th century attention was diverted from to its author- the
criminal, we should go a step further and focus our attention, not on the criminal, but
on to its author-society. We will have to change our socio-political and economic
system that breeds criminals.34))Pengertian treatment of society mempunyai arti
upaya pembinaan/penyembuhan masyarakat dari kondisi-kondisi yang menyebabkan
timbulnya kejahatan (antara lain faktor kesenjangan sosial-ekonomi, pengangguran,
kebodohan, rendahnya standar hidup yang layak, kemiskinan, diskriminasi rasial dan
sosial). Bertolak dari konsep “treatment of society”patut pula kiranya dikembangkan
kebijakan struktural/fungsional. Dalam sistem pemidanaan yang struktural/fungsional
pertanggungjawaban dan pembinaan tidak hanya tertuju secara sepihak dan
fragmentair pada pelaku kejahatan, tetapi lebih ditekankan pada fungsi pemidanaan
yang bersifat totalitas dan struktural, yang artinya pemidanaan tidak hanya berfungsi
untuk mempertanggungjawabkan dan membina si pelaku kejahatan, tetapi berfungsi
pula untuk mempertanggungjawabkan dan membina/mencegah pihak-pihak lain yang
secara struktural/fungsional mempunyai potensi besar untuk terjadinya kejahatan serta
berfungsi pula memulihkan atau mengganti akibat-akibat/kerugian yang timbul pada
diri korban.
33) Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, 1968. h. 366 34) ) Habib-Ur-Rahman Khan. Prevention of Crime-It is society which needs “The Treatment, Not The Criminal, dalam Resource Material Series No. 6, 1973, halaman 132-133
14
Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik
hokum pidana (penal policy). Urgensi diadakannya pembaharuan hokum pidana dapat
ditinjau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan social, kebijakan
criminal, dan kebijakan penegakan hokum). Dengan demikian pembaharuan hokum
pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan
reorientasi dan reformasi hokum pidana yang sesuai nilai-nilai sentral sosio-politik,
sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan
social, kebijakan criminal dan kebijakan penegakan hokum di Indonesia.
Pembaharuan hokum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena
memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan
atau policy. Didalam setiap kebijakan terkandung pula peritimbangan nilai, oleh
karena itu pembaharuan hokum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.
Pembaharuan hokum pidana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan adalah a. sebagai
bagian dari kebijakan social, artinya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-
masalah social (termasuk didalamnya masalah kemanusiaan) dalam rangka
mencapai/menunjang tujuan nasional yaitu kesejahteraan masyarakat, b. sebagai
bagian dari kebijakan criminal, artinya bagian dari upaya perlindungan masyarakat
(khususnya upaya penanggulangan kejahatan), c. sebagai bagian dari kebijakan
penegakan hokum, artinya bagian dari upaya memperbaharui substansi hokum (legal
substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.35) Dilihat dari
sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana merupakan upaya melakukan
peninjauan dan penilaian kembali (re-orientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-
politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap
muatan normative dan substantive hokum yang dicita-citakan.
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
Tujuan khusus penelitian ini adalah :
1. Untuk mendiskriptifkan pemidanaan pada recidive anak guna pembaharuan
hukum pidana , guna mendapatkan data evaluasi dan reorientasi.
2. Untuk mendiskriptifkan pemidanaan pada recidive anak yang berbasis
perlindungan anak itu, guna mendapatkan data evaluasi dan reorientasi dengan
menerapkan basis Perlindungan anak. 35) Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 1996, halaman 31-32
15
3. Untuk mengetahui diskriptif upaya penanggulangan pada recidive anak yang
berbasis perlindungan anak itu, guna menentukan perumusan model
penanggulangan.
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi :
a. Penegak hukum dalam hal ini hakim pada Pengadilan Negeri Kab. Malang,
Blitar dan Tulungagung dalam memeriksa, mengadili dan memidana recidive
anak melalui diskriptif hasil penelitian ;
b. Komisi Perlindungan Anak daerah sebagai bahan pelengkap penelitian untuk
membahas Raperda Anak;
c. Pemerintah Daerah khususnya bahan masukan untuk mewujudkan, sesuai
dengan permasalahan anak yang ada di daerahnya;
d. Bagi LPAN Jawa Timur di Blitar dimana wilayah hukumnya meliputi Jawa
Timur, sebagai bahan masukan untuk merencanakan langkah-langkah
pembinaan.
BAB IV. METODE PENELITIAN
Dalam upaya pelaksanaan penelitian multitahun ini, penelitian yang sudah
dilaksanakan dapat didiskripsikan sebagai berikut :
Untuk penelitian multitahun tahap I ini menggunakan metode yang didukung dengan
tahap-tahap pembuatan kebijakan dari William N. Dunn36) sebagai berikut,
Penelitian tahap I ini bertujuan reevaluasi dan reorientasi kebijakan penanggulangan
penal, dengan melalui studi diskriptif ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis
merupakan penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, diartikan
sebagai penelitian yang datanya diperoleh dari sumber hukum data primer maksudnya
data diperoleh dengan jalan terjun ke lapangan atau data secara langsung diperoleh
dari masyarakat.37), yang didasarkan penentuan sampel secara purposive sampling
atau sampel bertujuan, secara sengaja yang memperhatikan maksud dan tujuan
penelitian. Dengan kata lain, penentuan responden dilakukan dengan cara mengambil
subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah, melainkan didasarkan pada
tujuan tertentu. Adapun yang menjadi informan adalah Hakim Anak Pengadilan
36) Tahap-tahap pembuatan kebijakan meliputi perumusan masalah-penyusunan agenda, peramalan-formulasi kebijakan, rekomendasi-adopsi kebijakan, pemantauan-implentasi kebijakan, penilaian-penilai kebijakan.(Lihat William N. Dun, op.cit, halaman 25) 37) P. Joko Subagyo, Metode Penelitian : dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 91
16
Negeri Kab. Malang, Blitar dan Tulungagung; Komisi Perlindungan Anak pada
daerah tersebut ; Recidive Anak; Kepala LPAN Jawa Timur di Blitar. Dari sampel
awal itu bergulir menggelinding laksana bola salju dan berhenti bilamana telah
mencapai titik tertentu, yaitu setelah terdapat indikasi tidak munculnya variasi atau
informasi baru. Lokasi penelitian di Jawa Timur, yaitu Pengadilan Negeri Kab.
Malang, Blitar, Tulungagung, Komisi Perlindungan Anak di daerah setempat, LPAN
Jawa Timur di Blitar. Sumber datanya adalah data Primer, sebagai data utama dalam
penelitian ini, yang diperoleh langsung dari informan-informan di atas., dan data
Sekunder, sebagai data penunjang yang bersifat dokumentatif, melalui studi pustaka
terhadap literature-literatur yang sesuai dengan informan dan permasalahan di atas,
dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan informan dalam penelitian di atas
sedangkan teknik pengambilan data dilakukan dengan wawancara (interview) baik
terstruktur maupun tidak terstruktur. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro38) ,
wawancara terstruktur disebut wawancara terarah (directive interview) yang
menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, sedangkan
wawancara tidak terstruktur yang disebut juga wawancara tidak terarah adalah seluruh
wawancara tidak didasarkan pada suatu sistem atau daftar pertanyaan yang telah
disusun, kuesioner, yaitu pengumpulan data dari informan diperoleh melalui
pertanyaan-pertanyaan yang tertulis yang telah dipersiapkan terlebih dahulu,
observasi, dalam pengumpulan data lebih lanjut digunakan teknik observasi atau
pengamatan. Observasi yang digunakan adalah observasi tidak terlibat (non
participant observation) yang sesuai dengan karakteristik peneltian kualitatif. Analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara diskriptif kualitatif yang
mengikuti prosedur reduksi data, pengumpulan data, penyajian data, dan menarik
kesimpulan, dimana penganalisaan masalah yang diteliti dengan menggambarkan atau
melukiskan keberadaan subjek dan objek penelitian berdasarkan fakta yang ada tanpa
menggunakan angka-angka, akan tetapi mengutamakan mutu dari data yang ada,
sehingga diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang pokok permasalahan
yang diteliti. Menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi39) penelitian diskriptif
merupakan penelitian untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial dan
budaya tertentu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak
38) Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, halaman 61. 39) Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989, h.4-5
17
melakukan pengujian hipotesa. Tahap I ini terintegrasi 2 tipe pembuatan kebijakan
yakni tipe perumusan masalah, dari masalah-masalah yang muncul dalam penelitian
sebelumnya sekaligus di ramalkan dengan memformulasikan model penanggulangan
penal dan non penal sebagai alternative kebijakan.
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan yang dimaksud pada analisis kualitatif, penelitian ini mendapatkan
data primer maupun sekunder, melalui wawancara, yang dipandu oleh daftar
pertanyaan, serta studi dokumentasi di pengadilan Negeri Kab. Malang, Blitar dan
Tulungagung, dan data dari Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara Blitar (sub
Perlindungan Anak Blitar, Badan Pemberdayaan Masyarakat sub Perlndungan Anak
Kabupaten Malang, Tulungagung, dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA)
Tulungagung dengan hasil dan pembahasan sebagai berikut.
A. Hasil diskriptif pemidanaan pada recidive anak guna pembaharuan hukum
pidana.
Data yang diperoleh dari Pengadilan-pengadilan khususnya sesuai dengan lokasi
penelitian yang ditunjuk yaitu Blitar, Kab.Malang, dan Tulungagung, sebagai
berikut
a. Tentang system penjatuhan Pidana (daftar pertanyaan no. 4); bagi
pelaku recidivist anak lebih berat dari pada pelaku anak bukan
recidivist, dengan alasan telah mengulangi, yang sebelumnya telah
dijatuhi pidana. Hal ini dipertegas pula, bahwa prosentase besar
terhadap pelaku anak dan recidivist dijatuhi pidana pokok penjara,
meskipun ada sebagian yang dikenai tindakan. (daftar pertanyan no. 2,
dalam Penanggulangan Yang berbasis Perlindungan Anak)
b. Tentang pemeriksaan recidivist anak (daftar pertanyaan no. 5); selama
ini system menurut UU Pengadilan Anak cukup mendukung, hanya
saja sarana dan prasarana untuk pengadilan anak kurang memadai
seperti ruang sidang untuk Pengadilan Anak seharusnya dibuat
tersendiri dan terpisah dari ruang sidang untuk orang dewasa, dan
khusus untuk ruang sidang anak lebih bagus didekorasi seperti ruangan
untuk anak-anak supaya terdakwa anak tidak takut ketika diperiksa di
ruang sidang.
18
B.Hasil diskriptif pemidanaan pada recidive anak yang berbasis perlindungan
anak itu.
Data yang diperoleh dari Pengadilan-pengadilan sebagai berikut :
Tentang Implementasi pemidanaan yang berbasis Perlindungan Anak; (daftar
pertanyaan no. baik no. 4 , Pemidanaan, recidive, anak, dan No. 2 dalam
Penanggulangan Yang berbasis Perlindungan Anak), diketahui bahwa pada pelaku
recidivist tetap hukumannya diperberat karena pengulangan kejahatan. Beberapa
faktor yang seyogyanya diperhatikan guna perlindungan anak ketika pemeriksaan
berlangsung yaitu :
a. Tentang aspek ruang sidang, sarana dan prasarana untuk pengadilan anak
kurang memadai seperti ruang sidang untuk Pengadilan Anak seharusnya
dibuat tersendiri dan terpisah dari ruang sidang untuk orang dewasa, dan
khusus untuk ruang sidang anak lebih bagus didekorasi seperti ruangan untuk
anak-anak supaya terdakwa anak tidak takut ketika diperiksa di ruang sidang;
(dp. No. 5)
b. Tentang latar belakang pelaku anak dan residivist anak, rata-rata latar belakang
dari keluarga broken home dan tidak mampu secara ekonomi, serta terdakwa
anak dikarenakan tidak punya orang tua serta keberadaan orang tuanya tidak
diketahui (dp. No. 3), dimana peran orang tua kurang berfungsi dalam
mendidik dan merawat anak, sehingga anak tersebut tumbuh dan berkembang
di luar rumah tanpa sepengetahuan dan tanpa pengawasan dari orang tuanya.
(dp. No. 1)
c. Tentang perhatian orang tua terhadap pemeriksaan anaknya di sidang
Pengadilan. Kadang-kadang orang tua/walinya tidak mau mendampingi
meskipun sudah
dipanggil oleh jaksa; berikut rata-rata orang tua/wali dari terdakwa menyatakan
tidak sanggup mendidik anaknya, karena anaknya terlalu nakal. (dp no. 3 dan 4)
C. Upaya penanggulangan pada recidive anak yang berbasis perlindungan
anak itu.
1. Data yang diperoleh dari pengadilan-pengadilan sebagai berikut :
a. Tentang rata-rata penanggulangan terhadap recidive anak, yaitu dengan cara
menerapkan pidana pokok penjara, dengan alasan orang tua/wali rata-rata
tidak sanggup mendidik, karena anaknya terlalu nakal. (dp. No. 3)
19
Melalui sarana penal diketahui data di bawah ini :
Tabel 1
Tentang Pemidanaan Recidive Anak di Pengadilan Negeri Kab. Malang
Tahun 2003-2007
No. Tahun Jumlah Keterangan Tindak Pidana
1. 2007 0 Nihil
2. 2006 1 Pencurian karena terpengaruh lingkungan pergaulan
3. 2005 1 Pencurian di masjid, di dalam LP berkenalan dengan napi lain,
kemudian setelah bebas mencuri kendaraan bermotor (TKP
Gondang Legi Kab. Malang)
4. 2004 0 Nihil
5. 2003 2 1. bapak dan ibu cerai, ibu menjadi pembantu di Jakarta,
bapak ke Kalimantan, terpengaruh pergaulan diajak
mencuri emas oleh teman yang sudah dewasa (TKP
Sumber Manjin Wetan, Kab. Malang)
2. Pertama kali melakukan kejahatan perkelahian antar
pelajar, kemudia bebas dan melakukan pencurian (TKP
Kepanjen, Kab. Malang), ibu menjadi Tenaga Kerja
Wanita (TKW)
Jumlah 4
Sumber : Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Kepanjen Kab. Malang,
2007, data diolah.
Sedangkan rata-rata penanggulangan terhadap pelaku anak dan recidivist anak,
tahun 2003 – 2007 diterangkan tabel dibawah ini
Data Sekunder berupa Kasus Pencurian yang diputus Pengadilan Negeri
Kepanjen, sebagai berikut :
1. Putusan No. 83/Pid.B/2002/PN Kepanjen. Memutuskan terdakwa Yahya
Fitahur Rohman, Umur 13 Tahun melanggar Pasal 363 ayat (1) ke 5 KUHP,
yakni pencurian dengan pemberatan;
2. BAP, tersangka pencurian biasa Pasal 362 sub Pasal 363 KUHP, Laporan
Polisi No. Pol. LP/04/II/2006/Sek. Bantur, 13 Februari 2006, sebelumnya
pernah dihukum tahun 2005;
20
Tabel 2
Tentang Pemidanaan Recidive Anak di Pengadilan Negeri Blitar Tahun
2003-2007
No. Tahun Jumlah Keterangan Tindak Pidana
1. 2007 1 Mencuri karena orang tua tidak mampu, cerai, cari makan
sendiri/SJRN.
2. 2006 2 1. Pencurian karena pengaruh lingkungan pergaulan, 2. Ortu cerai,
cari makan sendiri.
3. 2005 2 1. Mencuri karena orang tua TKI (H.A), 2. Ortu cerai, cari makan
sendiri.
4. 2004 1 Mencuri karena bujukan teman, keluarga tidak mampu.
5. 2003 1 Mencuri karena keluarga tidak mampu.
Jumlah 7
Sumber : Panitera Pidana Pengadilan Negeri Blitar, 2007, data diolah.
Tabel 3
Tentang Pemidanaan Recidive Anak di Pengadilan Negeri Tulungagung
Tahun 2003-2007
No. Tahun Jumlah Keterangan Tindak Pidana
1. 2007 2 1. Keluarga Broken, 2. Kesulitan Ekonomi.
2. 2006 2 1. Keluarga tidak mampu, orang tua TKI, 2. Cari makan diluar.
3. 2005 1 Mencuri untuk foya-foya
4. 2004 1 Mencuri karena untuk keperluan keluarga.
5. 2003 1 Ibu TKW, bapak menjadi tenaga kasar bangunan
Jumlah 7
Sumber : Panitera Pidana Pengadilan Negeri Tulungagung, 2007, data diolah.
Tabel 4
Tentang Rata-rata Penanggulangan Terhadap Pelaku Anak dan Recidivist
Anak Tahun 2003-2007
No. Tahun Jumlah Keterangan
1. 2007 7 Angka perkiraan (kurang lebih)
2. 2006 10 Sda
21
3. 2005 9 Sda
4. 2004 5 Sda
5. 2003 6 Sda
Jumlah 37
Sumber : Wawancara, LPAN, Data diolah, 2007
b. Dari tabel 2 di atas, penanggulangan yang dilakukan untuk mengatasi
recidivist anak ini dilakukan rata-rata melalui sarana hukuman/penal,
sedangkan sarana non penal berupa pencegahan secara khusus setelah mereka
bebas tidak pernah dilakukan, dan diserahkan tanggungjawabnya kepada
Dinas Sosial. (Wawancara, Sri Rahayu, Kasubsi Binpas, LPAN Blitar, 24
September 2007)
Dari data di atas dapat dianalisis melalui 2 pendekatan yakni kekuasaan dan
hubungannya dengan birokrasi. Sebagai indicator analisis pada kedudukan hakim,
penerapan pidana penjara dengan pemberatan pada recidivist, keadaan latar belakang
tidak mampu (pada aspek-aspek sebab-sebabnya, penanggulangan yang berbasis
perlindungan anak.
Pengaruh kekuasaan terhadap birokrasi baik pemerintahan maupun swasta,
terlebih lagi dalam birokrasi pengadilan penting sekali, artinya kajian terhadap
birokrasi merupakan karakteristik yang ada apabila hukum modern imgin terwujud
sebagaimana yang diharapkan.
Beranjak dari pengertian dan kajian terhadap kekuasaan, kekuasaan merupakan
kemampuan orang untuk mengontrol lapangan tingkah laku yang sedang terjadi
diantara dua orang yang sedang berinteraksi. Sehingga orang yang mempunyai
kekuasaan adalah yang mampu mendorong tingkah orang lain ke arah yang
dikehendaki. Kekuasaan juga merupakan hasil dari kemampuan untuk memberi
ganjaran dan hukuman, hubungan saling menyukai, keahlian/kepakaran salah satu
pihak terhadap pihak yang lain dalam bidang/masalah tertentu dan faktor legitimasi
(seperti status, struktur sosial yang mendasari hubungan otoritas )
Kekuasaan merupakan sumber dari konflik. Orang yang memiliki kekuasaan akan
cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat
Weber dan Dahrendrof.
Weber mengemukakan, kekuasaan sebagai suatu peluang dimana seseorang
berperan di dalam suatu hubungan sosial akan berada dalam suatu posisi yang
22
membawa dirinya pada perlawanan, tak terkecuali basis mana peluang itu berada.
Dalam pandangan ini esensi dari kekuasaan adalah kontrol terhadap suatu
persetujuan, dimana mereka yang memiliki kekuasaan membuat aturan-aturan dan
memperoleh apa yang mereka inginkan dari mereka yang tak memiliki kekuasaan.
Sedangkan oleh Dahrendorf, dikemukakan, perbedaan-perbedaan kepentingan dan
adanya dorongan bagi yang tak memiliki kekuasaan untuk mengadakan konflik
dengan yang memiliki kekuasaan, yang pertama dalam usaha memperjuangkan
kekuasaan, dan yang kedua dalam usaha mempertahankannya adalah sesuatu yang
tidak mungkin terhindarkan, kekuasaan adalah suatu sumber pertentangan yang
abadi.(Zamroni, 1992: 35)
Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu dalam posisi atas
dan bawah di setiap struktur. Karena wewenang ini adalah sah, maka setiap individu
yang tidak tunduk pada wewenang akan memperoleh sanksi. Oleh karena itu
Dahrendorf, mengemukakan masyarakat disebut sebagai persekutuan yang
terkoordinasi secara paksa ( imperatively coordinated associations ).(Alimanda, 1992:
31)
Lebih lanjut dijelaskan oleh Weber bahwa didalam masyarakat terbentuk apa yang
dinamakan dengan masyarakat yang terstratifikasi. Dapat diketahui bahwa suatu
posisi dan pekerjaan menurutnya adalah dua hal yang berbeda dan menuntut
ketrampilan yang berbeda-beda, pekerjaan yang berbeda-beda itu diperlakukan
sebagai satu yang lebih tinggi daripada yang lain.(op.cit. : 38-39) Beliau juga
membedakan golongan kelompok yang terlibat suatu konflik, yang didasari karena
kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai.
Golongan tersebut adalah : kelompok semu (quasi group ), yang merupakan kumpulan
dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang
terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan ; kelompok kepentingan ( interest
group ), yang mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang
jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik
dalam masyarakay.(ibid, : 32)
Didalam suatu organisasi, kekuasaan itu diakumulasikan dan dimanifestasikan
melalui perilaku pribadi pemimpin, misalnya melakukan pengawasan manajerial
terhadap semua unit yang berada dibawahnya. Besarnya tingkat pengawasan kerapkali
menentukan besarnya kekuasaan. Berarti bahwa besarnya kekuasaan pengawasan
bergantung atas rentang kendali antara seorang peminpin terhadap pengikutnya.
23
Oleh French dan Raven (1959) ditetapkan lima jenis kekuasaan yang
mempengaruhi hubungan antar pribadi. Kekuasan-kekuasan itu adalah : pertama,
kekuasan memberi ganjaran, yang mempunyai penjelasan bahwa orang yang
mempunyai wewenang (atasan) terhadap orang lain (bawahan), selalu mempunyai
posisi untuk memberikan ganjaran atau mengharapkan ganjaran balik dari para
bawahan, kedua, kekuasaan menekan atau memaksa, yakni kemampuan orang untuk
memaksa atau menekan orang lain merupakan sikap negatif, atau sama dengan
mengurangi muatan positif lalu mengancam bawahan dengan pelbagai cara. Ketiga,
kekuasaan karena keahlian, yang menjelaskan bahwa orang yang mempunyai keahlian
berupa pengetahuan akan mempunyai kekuasaan lebih besar dibandingkan orang yang
tidak/kurang mempunyai keahlian, keempat, kekuasaan karena referensi/jaminan,
yang menjelaskan, bahwa kekuasaan ini didasarkan pada derajat kepatuhan atau
loyalitas bawahan terhadap atasan, dan yang kelima, kekuasaan karena legitimasi,
yang mernjelaskan, bahwa kekuasaan ini didasarkan pada kepercayaan para bawahan
kepada atasannya.(Alo Liliweri, 1997: 138)
Lebih lanjut oleh Max Weber, disebutkan tiga tipe legitimasi kewenangan,
sebagai berikut : pertama, tipe kekuasaan kharismatik, tipe ini menunjuk pada
seseorang yang mempunyai kharisma khusus untuk menarik perhatian para
pengikutnya, kedua, tipe kekuasaan tradisional , yang merujuk pada suatu kekuasaan
yang diperoleh secara turun temurun atau kekuasaan yang diwarisi, dan yang ketiga,
tipe kekuasaan hukum rasional, yang didasarkan pada suatu peraturan yang bersistem.
Tipe kekuasaan ini berkembang luas dan diterima oleh organisasi modern, termasuk
organisasi birokrasi.(ibid, : 249) Organisasi modern ini, menurut Weber, yang dikutip
oleh Peter M. Blau dan Marshal W. Meyer, yaitu organisasi birokrasi, bercirikan
(tipe-ideal), antara lain : pertama, kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk
mencapai tujuan-tujuan organisasi didistribusikan melalui cara yang telah ditentukan,
dan dianggap sebagai tugas-tugas resmi. Pembagai tugas secara tegas memungkinkan
untuk mempekerjakan hanya ahli-ahli dengan kekhususan tertentu pada jabatan-
jabatan tertentu dan membuat mereka bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas
masing-masing secara efektif, kedua, pengorganisasian kantor mengikuti prinsip
hierarkis, yaitu unit yang lebih rendah dalam sebuah kantor berada dibawah
pengawasan dan pembinaan unit yang lebih tinggi. Setiap pejabat yang berada dalam
hierarki administrasi ini dipercaya oleh atasan-atasannya untuk bertanggung jawab
atas semua keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya maupun dirinya
24
sendiri, ketiga, pelaksanaan tugas diatur ol;eh suatu system peraturan-peraturan
abstrak yang konsisten…(dan) mencakup juga penerapan aturan-aturan ini di dalam
kasus-kasus tertentu, keempat, seorang pejabat yang ideal melaksanakan tugas-
tugasnya… (dengan) semangat Sine ira et studio (formal dan tidak bersifat pribadi ),
tanpa perasaan-perasaan dendam atau nafsu dan oleh karena itu tanpaperasaan kasih
saying atau antusiaisme, kelima, pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis
didasarkan pada kualifikasi teknik dan dilindingi dari kemungkinan pemecatan oleh
sepihak. Pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis mencakup suatu jenjang karier
serta terdapat suatu system kenaikan pangkat yang didasarkan atas senioritas atau
prestasi maupun gabungan antara keduanya, dan yang keenam , adalah pengalaman,
secara universal cenderung mengungkapkan bahwa tipe organisasi administrasi yang
murni berciri birokratis… dilihat dari sudut pandangan yang semata-mata bersifat
teknis, mampu mencapai tinglat efisiensi yang tertinggi.(Gary R. Jusuf, : 1987)
Model birokrasi yang tipe ideal diatas bukan semata-mata merupakan suatu
kerangka konseptual. Kritik-kritik yang terlontar terhadapnya tidak membantu
memahami struktur-struktur birokrasi yang kongkret. Akan tetapi kritik-kritik ini
mengabaikan fakta bahwa bentuk tipe ideal sebenanya dimaksudkan sebagai suatu
pedoman bagi penelitian empris, yang bukan sebagai substansinya.(ibid, : 35)
Apabila dilihak dari kondisi-kondisi yang menumbuhkan birokrasi diketahui
adanya kecenderungan-kecenderungan menurut Peter M. Blau dan Meyer.(Ibid, : 38-
39) Kecenderungan histories, sebagai kondisi awal erat kaitannya dengan
perkembangan histories, yaitu system ekonomi uang, meskipun bukan prasyarat
utama. Menurutnya, system ekonomi uang memungkinkan dilakukannya pembayaran
gaji secara teratur yang pada gilirannya menciptakan suatu kombinasi antara
ketergantungan dan kebebasan yang sangat menentukan kesetiaan dalam
melaksanakan tugas-tugas birokratis. Orang-orang yang bekerja secara sukarela tanpa
bayaran sangat tidak bergantung kepada organisasi (independent), sebaliknya seorang
budak sangat bergantung kepada majikannya. Sistem yang lain yaitu kapitalitik juga
mendorong perkembangan birokrasi. Tindakan campur tangan tiran-tiran politik akan
mengganggu perhitungan rasional untung dan rugi. Demi kepentingan kapirtalisme
dituntut tidak saja digulingkannya pemimpin yang sewenang-wenang tetapi juga
terciptanya pemerintah yang cukup kuat menciptakan ketertiban dan stabilitas.
Kondisi-kondisi structural juga dapat mempengaruhi perkembangan suatu birokrasi
yang artinya struktur kekuasaan dalam organisasi. Diakibatkan oleh system yang tidak
25
resmi muncul dalam mengatur pembagian tugas. Hak ini daoatmerubah system
organisasi formal menjadi organisasi yang bercorak informal. Menurut Gouldner,
sebagaimana dikutip oleh Peter M. Blau dan Meyer, mengatakan bahwa betapa
pentingnya hubungan-hubungannya informal dan kebiasaan-kebiasaan tidak resmi
dalam struktur-struktur birokrasi.(Ibid, : 47)
Menyimak pendapat-pendapat di atas dan legitimasi kewenangan yang ada,
birokrasi pengadilan di Indonesia sebagai kekuasaan yang mempunyai system yang
dapat dikatakan tertutup, dimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang ada. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diperbarui dengan UU no. 4 Tahun 2004
dalam pasal 10 ayat (1) disebutkan keluasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan
dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan
tata usaha negara. Secara organisatoris, administrative, dan finansial peradilan-
peradilan tersebut dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan
menurut pasal 11 ayat (1).
Oleh karena itu sistem birokrasi pengadilan, merupakan wujud dari kekuasaan
dengan aktor-aktor yang ahli pada bidangnya dan inipin bilamana dalam bekerjanya
kurang atau tidak memperhatikan aspek keadilan bukan pada birokratisnya akan tetapi
keadilan substansial maka wajah pengadilan yang berkeadilan normative
kemungkinan akan terkikis sesuai dengan tuntutan perkembangan hukum dan
masyarakatnya.
Lembaga dimana hakim tersebut bekerja yaitu pengadilan merupakan organisasi
yang unik dan pranata penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu masyarakat.
Chamlis, yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo (Satjipto Rahardjo, 1986: 52-53) ,
memberikan kriteria penentu yang disebut dengan faktor penentu, dalam mencermati
pengadilan, yaitu :
1. Tujuan yang hendaknya dicapai dengan penyelesaian sengketa ittu.
Menurutnya, apabila tujuan dari pranata itu adalah untuk merukunkan para
pihak sehingga mereka selanjutnya dapat hidup bersama kembali setelah
sengketa itu, maka orang dapat mengharapkan, bahwa tekanan di situ akan
lebih diletakkan kepada cara-cara mediasi dan kompromi, dan sebaliknya
apabila tujuan dari pranata itu adalah untuk penerapan peraturan-peraturan,
maka cara-cara penyellesaian yang bersifat birokratis mungkin akan lebih
banyak dipakai, dimana sasarannya yang utama adalah untuk menetapkan
26
secara tegas apa yang sesungguhnya menjadi isi dari suatu peraturan itu serta
selanjutnya menentukan apakah peraturan itu telah dilanggar;
2. Tingkat perlapisan yang terdapat di dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat
perlapisan yang terapat di dalam masyarakat, semakin besar pula perbedaan
kepentingan dan nilai-nilai yang terdapat di situ. Dalam keadaan yang
demikian, maka lapisan atau golongan yang dominan akan mencoba untuk
mempertahankan kelebihannya dengan cara memaksakan berlakunya
peraturan-peraturan di situ yang menjamin kedudukannya. (Satjipto Rahardjo,
1995: 3) Berbeda dengan keadaannya pada masyarakat sederhana, dimana
tingkat pemakaian teknologi dan pembagian kerja di dalamnya masih rendah,
kesepakatan nilai-nilai masih muda dicapai, dimana perukunan merupakan
pola penyelesaian sengketa, maka di dalam masyarakat yang mempunyai
tingkat perlapisan yang tinggi dengan susunan masyarakatnya yang
mendorong timbulnya ketidaksamaan (inquality), penerapan peraturan-
peraturan dengan pembebanan sanksi merupakan pola kerja yang cocok untuk
masyarakatnya.
Perkembangan hukum menuju hukum modern dewasa ini, membawa
karakteristik perubahan pada aspek sosiologi pengadilan. Dikemukakan oleh Satjipto
Rahardjo(op.cit. : 2) , bahwa sejak munculnya hukum modern, maka segalanya
berubah dan pengadilan menjadi struktur yang formal rasional, prosedural, dan
birokratis. Ini adalah bagian dari perkembangan hukum yang makin menjadi institusi
otonom dalam administrasi, metodologi, dan seterusnya.
Selanjutnya dengan munculnya hukum modern ini, mengakibatkan makin
meluas pula pembicaraan tentang pengadilan, terutama hakim sebagai wujud
personalitas pengadilan dituntut cakap dan professional dalam menghadapi setiap
realitas permasalahan. Apabila hal ini terabaikan maka wujud bangunan hukum hanya
akan terapai pada tataran kepastian ketimbang pada tataran keadilan. Selain itu
kesesatan karena keadilan tidak diterapkan maka bergulir sepangjang waktu tanpa ada
batas-batas moral. Hermann Mostar, mengatakan rasa hormat kepada pengadilan yang
tak syak lagi mutlak diperlukan, tak dirugikan karena fakta dijatuhkannya putusan
hukuman yang tepat. Justru berkurangnya rasa hormat itu karena kekhilafan-
kekhilafan itu dilihat dengan sedemikian ogah-ogahan, dan diperbaiki dengan
sedemikian susah-payahnya. Apabila pengadilanpun bersedia mengakui kekhilafan-
kekhilafan, penderitaan yang ditimbulkannya tidaklah terhapus.(Herman Mostar, :
27
1983: 12) Suatu penderitaan yang dialami terdakwa, ditentukan oleh bekerjanya
birokrasi peradilan pidana yang ada. Secara yuridis dan dikaitkan dengan pendapat
Chamblis di atas, birokrasi akan lebih menonjol dilaksanakan, dan terbawa pada
pribadi-pribadi hakimnya, dan hal ini akibat dari karakteristik hukum modern itu.
Dalil-dalil yang diterapkan oleh hakim semuanya merujuk pada peraturan-peraturan
yang aberlaku. Untuk residive anak, hakim disamping merujuk pada hukum pidana
formil, juga merujuk pada hukum pidana materil, yatiu Kitab Undang-undang Hukum
Pidana dan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.
Lebih lanjut Satjipto Rahardjo mengemukakan, dengan mengutip pendapat
Chamblis (ibid, : 55-57), bahwa unsur-unsur yang perlu mendapat perhatian adalah
yang mempunyai andil di dalam proses pengolahan sehingga menghasilkan suatu
keputusan. Unsur-unsur itu diperinci sebagai berikut : pertama, cara-cara bagaimana
persoalan itu sampai ke pengadilan. Masuknya persoalan sampai ke pengadilan
bukanlah suatu kegiatan sang hakim, melainkan para pihak yang mengajukannya ke
depan meja hijau sendiri. Ada dua sayarat dasar untuk mengajukan suatu persoalan ke
pengadilan, yaitu pengetahuan tentang hukum; dan kemampuan keuangan.
Ketidaktahuan masyarakat tentang hukum dapat mengakibatkan suatu yang disebut
dark number ataupun hidden criminal. Perkembangan moneter negara mempunyai
pengaruh kepada kemampuan keuangan masyarakat pencari keadilan untuk
membayar pengacara. Meskipun mereka (pencari keadilan) dalam kondisi keuangan
lebih apabila pengetahuan tentang hukum kurang, berakibat persoalannya tidak/ akan
sampai ke pengadilan, dapat terjadi juga sebaliknya, kedua, atribut-atribut pribadi
hakim. Di Indonesia masalah pribadi karakteristik hakim ini kurang mendapat
perhatian, seperti latar belakang perorangannya, pendidikannya, serta keadaan-
keadaan konkret yang dihadapinya pada waktu akan membuat suatu keputusan.
Selama pengambilan keputusan masih belum dilakukan dengan peralatan mekanik,
selama itu pula faktor manusia, yaitu hakim masih perlu dipelajari dalam berbagai
seluk beluk. John P. Dawson, mengemukakan bahwa, hakim itu adalah manusia dan
dengan begitu tidak selalu memenuhi harapan. Di Amerika Serikat, menurutnya
pemakaian Pemilihan Umum dan pemilihan dengan cara penunjukkan bagi seseorang
hakim tidak diharapkan untuk mendapatkan hakim yang terbaik dan teradil.(John P.
Dawson, 1996: 23)
Persoalan sekitar manusia ini, juga menjadi bahan pertimbangan Hermann
Mostar(Herman Mostar, op.cit : 12) yang mengemukakan bahwa bukan hanya ilmu
28
pengetahuan yang khilaf, melainkan juga manusia dan setiap pranata (institusi)
manusia, bisa alpa. Ilmu Pengetahuan telah membuktikan bagaimana pandangan-
pandangan, dalil-dalil terpaksa ditinjau kembali kebenarannya.
Hakim sebagai manusia dalam pembicaraan di atas, kemungkinan adanya
sinyal disparitas pemidanaan merupakan kendala untuk tujuan keadilan yang
mengarah pada keadilan substansial. Makna keadilan ini merupakan persoalan
manusia dan kemanusiaan, menjadi terbatas yang dipenuhi oleh sikap-sikap dari aktor
pengadilan yang formalistic, padahal semenjak hukum dilihat sebagai suatu system
terbuka akan selalu terkait dengan system dan segi-segi kehidupan sosial, ekonomi,
maupun politik. Parsons (J. Haryartmoko, 1986 : 51) melihat manusia yang memiliki
tujuan sebagai hasil dari interaksi sosialnya.
Menyimak hal itu, berkaitan dengan interaksi sosial, keberadaan hukum dan
hakim diliputi oleh seperangkat aneka ragam konflik. Apabila manusia terkungkung
oleh suatu konflik yang didasarkan pada suatu kepentingan yang menjadi kekuatan
imperalistik, maka batasan-batasan akan dibuat sendiri untuk menentukan yang adil
dan tidak adil.
Apabila dicermati di sidang pengadilan, konflik tersebut ada dan nyata, yaitu
ada dalam pikiran yang bertentangan satu dengan yang lain (Djoko Prakoso, 1984:
22). Alam pikiran dari terdakwa, yang bersifat subjektif dan secara vital terlibat
dengan suatu kejadian yang penting sekali baginya sendiri, disamping itu adalah alam
pikiran dari hakim, yang mengejar objektivitas, dan tidak vital terlibat pada kejadian
dalam sidang pengadilan itu serta penyelesaian perkara pidana yang dipandang
sebagai pekerjaan biasa. Dengan keadaan ini dua alam pikiran itu bertabrakan keras,
tetapi kadang-kadang pula keduanya ini sama sekali tidak saling menyinggung.
Kemudian apabila pengadilan itu kita pelajari dengan displin sosiologi hukum,
menurut Satjipto Rahardjo (op.cit : 2-3) , gambar yang akan muncul menjadi lebih
kompleks dan luas, yaitu adanya aturan-aturan yang diharuskan untuk diikuti
(hukum), fasilitas kelembagaan dimana aturan tersebut diterapkan (pengadilan),
orang-orang dengan ketrampilan melakukan hal-hal di atas (para advokat), orang-
orang yang datang dengan tuntutan-tuntutan yang minta untuk diselesaikan (para
pihak), sekalian hal tersebut berlangsung di dalam masyarakat dan dengan potensi dan
sekalian karakteristik yang ada didalamnya.
Lebih lanjut dikemukakan beliau (ibid : 23), mengadili itu bukanlah
melakukan sesuatu terhadap hal-hal yang berada di luar diri terdakwa. Mengadili
29
adalah suatu proses yang dengan susah payah telah terjadi di antara manusia dan
manusia. Mengadili adalah suatu pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum.
Oleh karenanya mengadili tanpa suatu hubungan yang bersifat sesama manusia antara
hakim dengan terdakwa kerapkali dirasakan sebagai memperlakukan ketidakadilan.
Hakim sebagai manusia adalah seorang ahli hukum, karena telah mempelajari hukum
selengkapnya mungkin. Pendidikan Universitas mengenai hukum pada pokoknya
adalah suatu pendidikan mengenai system hukum. Mahasiswa hukum berkenalan
dengan hukum sebagai suatu yang telah ditetapkan. Dia juga telah mempelajari dan
mengetahui bahwa system hukum perdata, hukum tata negara, dan hukum pidana itu
yang telah dan harus diketahuinya, lebih jauh dapat ditambah di sana-sini, tetapi
perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan itu tidak akan merusak sifat sistematis
atas peristiwa-peristiwa. Peristiwa-peristiwa ini dikemukakan oleh penuntut umum,
terdakwa dan pembela kepada hakim untuk kemudian diberikan keputusan. Aatau
hakim sendiripun semata-mata dikarenakan oleh pelaksanaan tugasnya mencari
sendiri hal-hal yang dimaksud.
Ahli hukum dan hakim yang dengan kesungguhannya serta kecakapannya
telah melaksanakan tugasnya yang sibuk itu biasanya jarang sekali berkesempatan
mendalami lebih jauh mengenai pertanyaan apakah sebenarnya hukum dan apakah
sebenarnya mengadili itu. Erik Wolf mengatakan yang dikutip oleh Djoko Prakoso
bahwa mengenai kenapakah ahli-ahli hukum dapat dikatakan enggan untuk
merenungkan tentang hakekat dari hukum ataupun mengenai keadilan itu. Seorang
ahli hukum tidak akan menyelidiki lebih jauh mengenai dasar keahliannya itu.
Seorang ahli hukum bilamana mereka ingin melakukan pekerjaan yang telah
dilimpahkan kepadanya itu, akan sulit sekali untuk tidak berpangkal tolak dari
anggapan-anggapan tertentu mengenai hukum. Ditambahkannya bahwa justru sikap
demikian inilah yang akan menghalangi ahli-ahli hukum dari jalan menuju hakekat
keadilan itu sendiri.(Djoko Prakoso, loc.cit) Bentuk dan wujud keadilan dalam
penegakan hukum tidak senyata dan sesederhana lambing timbangan (dacing).
Keolengan dan kemiringan sukar diraba, dilihat dan diperbincangkan. Tetapi lebih
dekat melekat dalam nurani sanubari dan perasaan. Ia berada dalam kedalam
kesadaran dan keinginan bahkan kerinduan, keinginan dan harapan akan keadilan jauh
lebih menonjol daripada wujud keadilan itu sendiri. (M. Yahya Harahap, 1989 : 309)
Hakim merupakan bagian kelanjutan atau yang mewakili pikiran-pikiran dan nilai-
nilai yang ada di masyarakat. Hakim dalam menjalankan perannya merupakan
30
pengemban nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat, hasil pembinaan masyarakat,
sasaran pengaruh lingkungannya pada waktu itu.(Satjipto Rahardjo, op.cit. : 58)
Mengingat persoalan hakim sebagai pribadi dan interaksi sosialnya
berpngaruh pada pemberian pidana, maka Djoko Prakoso (op.cit.: 21) mengemukakan
bahwa berkenaan dengan pemberian pidana faktor perkembangan masyarakat sudah
semestinya menjadi pertimbangan pula dari hakim, karena hakim dalam menjatuhkan
pidana wajib mempertimbangkan segala sesuatu yang dapat memberatkan atau
meringankan pidana. Faktor-faktor ini tidak hanya dicari pada diri si pembuat, akan
tetapi juga pada hal-hal yang objektif yang terletak di luar motif dan sifat si pembuat.
Atas persoalan tersebut sebelum hakim memutus suatu perkara bersalah atau
tidak bersalah, seorang hakim itu harus dapat mengemban nilai-nilai cultural
masyarakat, pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah seberapa jauh pindah tugas
dari hakim atau masa kerja di Pengadilan tertentu, untuk dapat memahami kondisi
sosio-kultual di daerah-daerah Indonesia. Pemahaman terhadap masalah ini, sungguh
besar pengaruhnya yang dimungkinkan pada objektivitas keputusan yang
mencerminkan keadilan substansial. Pada sisi lain pula, hal ini mencerminkan bahwa
pada diri hakim akhirnya hanyalah dapat dipandang sebagai manusia robot dengan
remote control ada pada Departemen Kehakiman dan Ham.
Pemahaman berikutnya dicermati pada karakteristik pola pendidikan dapat
diperhatikan pada penggunaan terhadap dinas, terhadap kewajiban; penggunaan
terhadap tata, terhadap pola susunan atasan dan bawahan; terhadap otoritas yang sah,
didukung oleh pengagungan terhadap yang bersifat dinas dan kewajiban; dan yang
terakhir penghormatan terhadap semua tata dan kepastian.(Satjipto Rahardjo, op.cit:
58)
Seperti yang pernah dikemukakan oleh Dahrendorf bahwa mimbar
pengadilan merupakan suatu panggung di mana lapisan masyarakat yang satu
mengadili lapisan yang lain.(Ibid, : 59) Ketiga, sosialisasi para hakim. Pada kondisi
ini sosialisasi hakim dikaitkan dengan proses pendidikan untuk memperoleh
keahliannya. Pendidikan sebagai suatu unsure dalam proses sosialisasi seorang hakim
akan menentukan kerangka berpikir dan mengambil keputusan. Konsep-konsep
tentang hukum, asas-asas dalam hukum, metode berpikir, dan sebagainya merupakan
kekayaan yang tersimpan di dalam diri seorang hakim dan merupakan kerangka
berpikirnya. Keempat, tekanan-tekanan keadaan. Tekanan keadaan ini merupakan
keadaan pada suatu saat yang harus dihadapi oleh seorang hakim di dalam
31
menjalankan pekerjaannya. Kelima, tekanan-tekanan keorganisasian. Lembaga-
lembaga hukum mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum. Tujuan
tersebut sering dirumuskan sebagai menciptakan tata tertib di dalam masyarakat.
Sebagai suatu organisasi yang disusun secara rasional, maka pengadilan juga tidak
luput dari melakukan tindakan-tindakan yang didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan yang lazim dilakukan oleh organisasi. Pertimbangan-pertimbangan
rasional ekonomis itu adalah :
1. berusaha untuk memperoleh hal-hal yang menguntungkan
organsasinya sendiri sebanyak mungkin;
2. berusaha untuk menekan sampai kepada batas-batas minimal, beban-
beban yang menekan pada organisasi.(ibid, : 65)
Dalam beberapa lingkungan birokrasi modern, organisasi tampak ada untuk
melayani kebutuhan personilnya ketimbang langganannya. Langganan menjadi tokoh
sekunder di dalam system pengadilan seperti dalam lingkungan organisasi besar
lainnya. Ia adalah sebuah alat bagi hasil lainnya yang lebih besar dari yang sedang
memegang jabatan organisasi. Ia mungkin menimbulkan keraguan, peristiwa yang
mungkin terjadi dan tekanan-tekanan yang menentang atau menghancurkan jaringan
informal yang ada, tetapi mereka biasanya diselesaikan atas nama organisasi. Bahkan
pengacara tertuduh mempunyai ikatan profesi, ekonomi, intelektual dan lainnya jauh
lebih besar dengan bermacam-macam system pengadilan daripada langganannya
sendiri. Namun pengacara adalah satu-satunya anggota dari system itu yang secara
resmi diakui senagai mempunyai status dan kewajiban istimewa. Ia adalah seorang
pejabat pengadilan dan ia memelihara pedoman pelaksanaan etis dan tugas bagi
langganannya, serta bagi pengadilan, yang jauh lebih tinggi daripada yang diharapkan
dari orang-orang biasa yang menduduki bermacam status pekerjaan dalam lingkungan
pengadilan. Satu aspek lainnya dari struktur organisasi harus diperhitungkan dalam
mencoba mengukur suatu realitas sosial misalnya lingkungan tertutup suatu
pengadilan.
Pengadilan di atas dimana aktor-aktornya hanya mengandalkan pendekatan-
pendekatan formalistic, lebih mengesankan sebagai mesin hukum yang bekerja amat
teknis dan kaku, pada tataran demikian keadilan menjadi hasil dari keputusan-
keputusan yang birokratis. Yang seharusnya menerima pertimbangan-pertimbangan
berperspektif sosial, politik dan ekonomi. Suatu corak keadilan substansial inilah yang
diimpikan dengan mengingat pertimbangan-pertimbangan itu. Hari Purwadi dkk
32
(Surabaya Pos, 1994 : 6) mengatakan fenomena actual yang kian menguat belakangan
ini mengisyaratkan, komunitas hukum kita lebih mendambakan keadilan substansial
ketimbang sekadar kepastian hukum.
Ketertutupan organisasi pengadilan menurut perkembangan hukum dan
masyarakat, pada sisi-sisi tertentu mempunyai kendala. Kendala tersebut tercermin
apabila pengadilan sebagai organisasi, kurang memperhatikan pola-pola
perkembangan masyarakat dimana institusi itu berada. Ketertutupan organisasi
mengakibatkan pembicaraan tentang pengadilan dan keadilan tiada putus-putusnya.
Seperti yang dikemukakan oleh Nicholas Henry, yang dikutip oleh Alo Liliweri,
bahwa lingkungan tertutup dari suatu organisasi dapat dicirikan sebagai berikut :
(1998 : tanpa halaman)
1. Tentang persepsi terhadap lingkungan organisasi, bahwa lingkungan tertutup atau model system tertutup menurut teori organisasi, bersifat statis dan rutin, serta tidak bervariasi, dibandingkan pula olehnya bahwa model terbuka, lingkungan organisasinya bersifat dinamis, penuh dengan perubahan-perubahan;
2. Tentang persepsi terhadap kondisi alamiah manusia, bahwa model system tertutup menganggap, sifat manusia akan statis dalam pekerjaan rutin, tidak kreatif, motivasi kerja berkurang, tidak suka bekerja, dan tertutup, sedang model terbuka menurutnya, manusia akan mengaktualisasikan diri, meningkatkan motovasi intrinsic, suka bekerja, kreatif, terbuka, kalau organisasi memberi peluang untuk itu;
3. Tentang persepsi terhadap konsep manipulasi, bahwa dalam rangka pengembangan organisasi model tertutup menerima cara-cara apapun untuk memanipulasi cara kerja manusia untuk meningkatkan produktivitas, sedangkan dengan model terbuka, model ini menolak manipulasi untuk meningkatkan hasil, alasannya karena manipulasi mengurangi harkat dan martabat manusia;
4. Tentang persepsi terhadap konsep peranan sosial organisasi, bahwa model tertutup membedakan secara tegas organisasi dengan masyarakat. Birokrasi yang rasional dibutuhkan untuk meraih tujuan masyarakat. Tanpa birokrasi masyarakat tidak bisa meraih tujuan atau tidak akan maju. Jadi kalau ada tindakan dehumanisasi, tekanan birokrasi harus diterima demi tercapainya tujuan masyarakat, sedang model terbuka memandang peranan organisasi/birokrasi dalam masyarakat sebagai hal yang kompleks, organisasi dan masyarakat saling berinteraksi, apalagi masyarakatpun sebenarnya sebuah system organisasi besar yang melingkupi organisasi. Peranan organisasi menyumbang peran masyarakat. Organisasi tidak bisa dipisahkan dari masyarakat.
Melalui keadaan organisasi sebagaimana bercirikan di atas, berakibat
munculnya batas-batas antara pengadilan dengan masyarakat yaitu pengadilan penuh
dengan pandangan pemikiran-pemikiran normative yang mengagungkan kepastian
33
hukum, dalam hal ini aktor seorang hakim berkecenderungan besar mengandalkan
hukum positip, aspek-aspek di luar hukum positip itu yaitu aspek ekonomi, politik,
sosial dan budaya mendapatkan posisinya tersendiri yaitu dikesampingkan. Maka
putusan-putusan yang tidak manusiawi tersebut merupakan kerja birokrasi-birokrasi
pengadilan yang kaku. Untuk itu kiranya perlu dicermati bahwa makin banyak
didehumanisasi, makin sukses ia dalam menghalangi dari usaha resmi cinta,
kebencian, dan semua unsure pribadi, tak rasional yang murni yang lepas dari
perhitungan. Hal ini adalah sifat khas dari birokrasi dan ia dinilai sebagai sifat
istimewanya. Karena itu, seorang terdakwa dikatakan tergilas antara batu giling dari
jaksa daerah dan dari pengadilan. Keduanya mempunyai syarat-syarat organisasi
masing-masing untuk produksi maksimum.
2. Data yang diperoleh di LPAN Blitar Jawa Timur, Kasubsi Binpas, dan
Sjrn (Pelaku Recidivist Anak )
1). Data dari Kasubsi Binpas yaitu Sri Rahayu BA
a. Data tentang Jumlah pelaku recidivist anak tahun 2002-2007.
Jumlah pelaku recidivist anak Tahun 2002-2007 seperti ditunjukkan di bawah ini.
Tabel 5
Tentang Jumlah Pelaku Recidivist Anak
No. Tahun Jumlah Keterangan
1. 2007 7 -
2. 2006 3 -
3. 2005 Nihil -
4. 2004 Nihil -
5. 2003 Nihil -
6. 2002 Nihil -
Jumlah 10 -
Sumber : Daftar Pertanyaan (DP), No. II/1, Kasubsi Binpas, LPAN Blitar,
2007
Sedangkan khusus untuk pelaku recidivist anak karena tindak pidana pencurian
sebagaimana sejumlah 7 orang (DP, No. II/3), dimana rata-rata mereka mencari
nafkah sendiri, sedangkan 1 orang disebabkan orang tuanya sebagai TKI/tenaga
34
kerja Indonesia. Berikut nama-nama (dalam bentuk singkatan) pelaku recidivist
anak, baik khusus maupun umum.
Tabel 6
Nama-nama Recidivist Anak Tindak Pidana Pencurian
Sampai tahun Tahun 2007
No. Nama-nama (Singkatan) Jumlah Keterangan
1. Sjrn Pencurian (Recidivist Khusus)
2. A.Sub. Sda
3. A.Set. Sda
4. Ags Pj. Sda
5. Frs Prib. Sda
6. Purnm Sda
7. A. P. Sda
8. Wss Recidivist Umum
9. Syt
9
Sda
Sumber : Wawancara, Kasubsi Binpas, LPAN, Blitar, 26 September 2007
Dari tabel di atas, rata-rata penyebab mereka melakukan tindak pidana pencurian
karena orang tua tidak mampu atau latar belakang keluarga tidak mampu. (DP, III)
b. Upaya penanggulangan yang dilakukan, bentuk-bentuk penanggulangan.
Adapun penanggulangan yang dilakukan dengan melakukan upaya pembinaan di
LPAN seperti ditunjukkan di bawah ini :
Tabel 7
Jenis-jenis Pembinaan di LPAN Blitar Tahun 2007
No. Jenis-jenis Pembinaan Bentuk Pembinaan Keterangan
1. Kepribadian a. Fisik : olah raga, pendidikan
formal, rekreasi, kesenian,
perpustakaan,pramuka,kesehatan.
b. Sosial : menerima kunjungan
keluarga.
c. Mental & spiritual : agama,
ceramah-ceramah, pesantren
Pembinaan tersebut hasil
kerjasama dengan
Aparat Penegak hukum,
Depatemen Sosial,
Agama, Dik Nas,
35
kilat.
2. Kemandirian
(ketrampilan/life skil)
Penjahitan, montir, pertukangan
kayu, pertanian, peternakan, las
besi, keset, handycraf, atomotif,
salon, sablon, computer.
Tenaga kerja, dan
Perindustrian.
Sumber : Wawancara, Kasubsi Binpas, LPAN Blitar, 2007, data diolah.
2). Data dari Recidive Anak yaitu SJRN (nama singkatan)
a. Tentang Pemidanaan. (wawancara dengan SJRN, umur 20 tahun, belum kawin,
Blitar)
Pelaku ini residivist sejumlah 4 kali, dengan rincian pada waktu melakukan
kejahatan pertama kali (first offenders) berumur 17 tahun, yakni mencuri beras
ditetangganya, dimana pemidanaan oleh hakim 4,5 bulan. Yang kedua, mencuri uang
Rp. 40.000,00 dengan pemidanaan 7 bulan, yang ketiga mencuri sepeda dengan
pemidanaan 10 bulan, dan sekarang ketika diwawancarai peneliti mencuri uang Rp.
30.000,00 dengan pemidanaan 9 bulan. Adapun latar belakang recidivist tersebut
menurut Kasubsi Binpas sangat parah, yakni orang tuanya cerai, cari makan sendiri,
dan kondisi ibunya memprihatinkan yakni stres.
b.Tentang Penanggulangan
Ketika ditanya tentang penanggulangan, dengan keputusan hakim, merasa
puas serta menerima, dimana didalam LP kegiatan yang dilakukan adalah
membersihkan kamar, buat keset, kerja diluar/ membuang sampah, dan merasa senang
dengan pembinaan di dalam LP. Hambatan dikatakan tidak ada.(DP No. III).
3.Data dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dalam hal ini yang berkaitan
dengan Perlindungan Anak dan Lembaga Perlindungan Anak. BPM Kabupaten
Malang, Blitar dan Tulungangung (Lembaga Perlindungan Anak).
Untuk masalah anak yang terlibat kasus hukum BPM tersebut menyerahkan
kewenangannya kepada Kepolisian seperti penerapan UU No. 23 tahun 2004 tentang
PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), apabila terjadi keadaan
dimana anak sebagai korban dalam lingkungan rumah tangga. Orientasi perhatian
bekerjanya peradilan bagi anak untuk sementara belum mendapat perhatian, hanya
sementara fokus perhatiannya adalah tentang Perlindungan Anak diluar sidang
Pengadilan, yakni adanya traffiking, pembinaan anjal dimana bekerjasama dengan
36
Dinas Sosial. Aspek pembinaan di luar LP setelah mereka bebas dan sebagian di
dalam LP dengan memberikan ketrampilan-ketrampilan. (Wawancara dengan Bapak
Hawiyono BPM, dan Kasubsi. Binpas).
Berkaitan dengan masalah anak tersebut khususnya yang berkaitan dengan
pemidanaannya, perhatian pada mereka karena sifat-sifat khusus yang dimilikinya,
maka penerapan atas pemidanaannya juga penerapan atas perlindungan terhadap hak-
hak mereka. Di era orde baru dengan Trilogi pembangunannya yang dicanangkan
sejak tahun 1969, pembangunan di bidang ekonomi merupakan prioritas utama.
Kepentingan pertumbuhan ekonomi merupakan target utama daripada pemerataan
ekonomi. Dampak yang terjadi apabila kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagai
sasaran utama, adalah kesenjangan ekonomi. Anggito Abimayu (1995 : 7)
mengemukakan bahwa pertumbuhan dan pemerataan adalah komponen utama tujuan
pembangunan di Indonesia. Terutama daerah-daerah yang dekat dengan pusat
kekuasaan, dan bidang ekonomi sebagai panglima, maka sumber konflik yang
dikatakan dengan kekuasaan itu mengarahkan pada kekuasaan ekonomi. Adanya
kolusi penguasa dan pengusaha, menunjukkan bahwa pembangunan bidang ekonomi
merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal
sebaliknya, banyak daerah-daerah miskin yang memang kurang mendapat perhatian
pusat, berarti pemerataan kurang mendapatkan tempat apabila dibandingkan dengan
pertumbuhan. Bidang hukum yang menopang pembangunan bidang ekonomi tersebut
dalam bekerjanya, realitas bias-bias merupakan akibatnya. Negara hukum (rechtstaat)
hanyalah sebuah impian karena lebih dominannya negara kekuasaan (machtstaat) .
Hukum merupakan sumber kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya seperti
kekuatan (fisik dan ekonomi ), kewibawaan (rohaniah, intelegensia, dan moral ).
Apabila dicermati dari sudut kriminologi, masalah pengulangan
kejahatan, dalam tulisan ini disebut dengan recidive, dapat disebabkan oleh masalah
ekonomi, broken home, ataupun lainnya.
Keadaan ekonomi tersebut berpengaruh besar terhadap terjadinya
pengulangan kejahatan. Suatu kajian untuk mencari sebab-sebab terjadinya kejahatan
telah lama dikembangkan. Mulai dari aliran-aliran positivisme sampai aliran baru dan
mutakhir yaitu secara kritis mencari faktor penyebab terjadinya kejahatan atau
kriminologi kritis. Yang terakhir ini menjelaskan bahwa sebab-sebab terjadinya
kejahatan adalah suatu proses. Maka dapat dikatakan pelaku kejahatan adalah produk
dari proses itu sendiri. Dalam Sistem Peradilan Pidana, produk itu merupakan hasil
37
akhir apabila sistem tersebut tidak/dilaksanakan dengan keterpaduan (Integrated
Criminal Justice System).
Kendala-kendala itu dapat diminimalkan apabila pembangunan dilaksanakan
melalui perencanaan yang matang. Era Orde Baru, pembangunan diwujudkan melalui
Trilogi Pembangunan, dimana faktor pertumbuhan lebih menonjol daripada faktor
pemerataan. Untuk menciptakan pertumbuhan maka bidang ekonomi turut
diprioritaskan ketimbang pembangunan bidang lainnya terutama pembangunan
bidang hukum. Pembangunan itu sendiri pada hakikatnya tidak bersifat kriminogen,
khususnya apabila hasil-hasil itu didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua
rakyat serta menunjang seluruh kondisi sosial. Hal ini terkandung maksud
pembangunan itu sendiri lebih mengutamakan aspek pemerataan ketimbang aspek
pertumbuhan. Pembangunan yang tidak direncanakan secara rasional, timpang atau
tidak seimbang, mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral serta tidak mencakup
strategi perlindungan masyarakat yang integral dapat meningkatkan kriminalitas. Oleh
karena itu dapat ditegaskan bahwa masalah strategis yang harus ditanggulangi ialah
masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung
dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.
Masalah strategis sesuai dengan penelitian ini adalah masalah ekonomi.
Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Richard Wahjoedi, dan Didik
Endro Purwoleksono (1994: 34-35) disebutkan bahwa alasan atau latar belakang
dilakukannya kejahatan dalam hal ini pencurian adalah pertama, faktor ekonomi;
kedua , broken home (orang tuanya cerai ); ketiga, kurangnya pengawasan dari orang
tua; keempat, faktor lingkungan. Dijelaskan bahwa faktor ekonomi yang dimaksud
yaitu keadaan ekonomi keluarga si anak pelaku tindak pidana tersebut. Dari beberapa
alasan tersebut faktor ekonomi merupakan penyebab paling tinggi untuk menjadi
alasan seseorang anak melaksanakan tindak pidana pencurian.
Mengacu pada paradigma yang ada, yaitu paradigma interaksionis, yang
menyebutkan seseorang diberi cap jahat/diperlakukan sebagai penjahat melalui proses
interaksi maka terdapat kecenderungan dimana seseorang yang dicap sebagai penjahat
akan bertingkah laku sebagaimana perlakuan/cap itu diberikan. Hal ini dapat
dimengerti sebagaimana penjelasan teori exchange dari Homan bahwa dalam
memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku yang diarahkan oleh orang lain
terhadap aktor (dalam hal ini narapidana anak), mengandung arti makin bernilai bagi
seseorang sesuatu tingkah laku orang lain yang ditujukan kepadanya makin besar
38
kemungkinan atau makin sering ia akan mengulangi tingkah lakunya itu ataupun
makin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku seseorang memberikan ganjaran
terhadap tingkah laku orang lain, makin sering orang lain itu mengulangi tingkah
lakunya itu. Akibatnya narapidana tersebut, akan lebih memilih kehidupan di dalam
Lembaga Pemasyarakatan atau melakukan kejahatan ulangan. Karena dipandang
bahwa baik menurut usia, apalagi diusia muda hidup dalam lingkungan keluarga tidak
mampu, mengakibatkan seorang anak merespon bahwa kehidupan di Lembaga
Pemasyarakatan jauh lebih baik, yang berarti secara psikologis mereka ingin
memperoleh perhatian dari aparat Lembaga Pemasyarakatan. Sudarsono,
mengemukakan sebagian besar sarjana psikologi sependapat bahwa masa remaja
merupakan fase perkembangan yang sangat mencolok baik secara fisik, psikologis,
sosial dan moralitas. Pada masa adolesen yaitu umur 13-21 tahun anak-anak sedang
mengalami kegoncangan jiwa.(Sudarsono, 1991: 155)
Aspek psikologis pada masa adolesen tersebut mempunyai ciri bahwa seorang
anak pada masa itu dimungkinkan menemukan jalan hidupnya yaitu jalan yang dilalui
dalam perjuangan hidupnya mencapai cita-citanya. Kesetiaan untuk melewati jalan
yang yang lurus yang ditentukan sendiri itu akan merupakan jaminan keselamatan
seseorang di dalam perjuangan untuk mencapai cita-cita yang telah ditentukan sendiri
tadi.(Agus Sujanto, 1982: 289) Unsur perhatian ini sebagai unsure yang dominan,
didalam upaya pembinaan dan pendidikan, adalah tidak hanya tanggung jawab dari
aparat lembaga pemasyarakatan saja, akan tetapi bagian integral dengan Pengadilan,
Kepolisian, Kejaksaan, masyarakat, dan keluarga anak.. Mardjono Reksodiputro
mengemukakan,(1997: 72) yang teramat penting adalah jabatan hakim wasmat karena
dengan tugasnya yang mengawasi dan mengamati itu yang hasil dapat untuk
menyempurnakan kebijakan pemidanan (sentecing policy) yang ada, dan menghindari
terjadinya pelanggaran atas hak-hak narapidana.
Pengkajian teoritis terhadap pengulangan kejahatan ini, bertolak pada
pertanyaan mengapa terjadi pengulangan kejahatan. Dengan pertanyaan ini berarti
suatu bangunan sebab-sebab banyak dilontarkan beberapa orang dengan berpendapat
sesuai dengan perbuatan pidana yang telah terjadi dalam masa tertentu. Sehingga
pemikiran untuk menganalisis sebab-sebab terjadinya kejahatanpun dapat
diklasifikasikan berdasarkan pemikian-pemikiran pada waktu itu. Pemikiran-
pemikiran tersebut dapat dikenal sejak dikembangkannya aliran kriminologi klasik,
positivis sampai dapat dikembangkannya pemikiran baru yaitu kriminologi kritis.
39
Oleh sebab itu dalam relevansinya dengan perkembangan pemidanaan residivist pada
anak, pemikiran-pemikiran kriminologi kritis dapat diterapkan dan dikaji melalui
teori-teori.
Seorang tokoh teori Exchange, yaitu George Ritzer yang mengutip pendapat
dari George Homan, tokoh paradigma perilaku sosial, menguraikan bahwa apa yang
dijelaskan oleh Homan merupakan serangan terhadap pendapat dari Durkheim.
Kajian secara sosiologi, dikatakannya, bahwa objek studi sosiologi adalah barang
sesuatu dan sesuatu yang dianggap sebagai barang sesuatu. Barang sesuatu yang
menjadi objek studi sosiologi dapat diterangkan bila dapat diketemukan fakta-fakta
penyebabnya. Lebih khusus lagi suatu fakta sosial lain yang menjadi penyebabnya.
Penemuan demikian itu belum merupakan suatu penjelasan menurut Homan.
Menurutnya yang perlu dijelaskan adalah hubungan antara penyebab dan akibat dari
hubungannya itu selalu diterangkan oleh proposisi psikologi. Perlu diterangkan
mengapa fakta sosial satu menjadi penyebab fakta sosial yang lain. Variabel-variabel
psikologi di sini merupakan variable perantara (intervening variables ) diantara dua
fakta sosial. Diakuinya bahwa fakta sosial berperan penting terhadap perubahan
tingkah laku yang bersifat psikologi yang menentukan bagi munculnya fakta sosial
baru yang berikutnya. Adapun secara garis besar George Homan mengajukan lima
proposisi keseluruhan muatan teori Exchange, yaitu :(Alimandan, op.cit.: 92-94)
1. Jika tingkah laku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan
situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkah laku
atau kejadian yang mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan
terjadi atau dilakukan. Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang
terjadi pada waktu silam dengan yang terjadi pada waktu sekarang;
2. Menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau tingkah
laku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada waktu
sekarang. Makin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku seseorang
memberikan ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, makin sering pula
orang lain itu mengulang tingkah lakunya itu;
3. Memberikan arti atau nilai kepada tingkahlaku yang diarahkan oleh orang lain
terhadap aktor. Makin bernilai bagi seseorang sesuatu tingkah laku orang lain
yang ditujukan kepadanya makin besar kemungkinan atau makin sering ia
akan mengulangi tingkah lakunya itu. Dalam proposisi yang ketiga Homan
meletakkan tekanan dari teori exchange-nya. Pertukaran kembali itu berlaku
40
terhadap kedua belah pihak. Ganjaran yang diberikan terhadap orang lain
adalah yang mempunyai nilai yang lebih rendah menurut penilaian aktor,
tetapi mempunyai nilai yang lebih berarti bagi orang lain. Sebab ganjaran yang
akan diterimanya seimbang dengan cost yang dibayarkannya, maka sesuatu
tingkah laku masih akan bersifat problematis bagi orang tersebut;
4. Makin sering orang menerima ganjaran atas tindakan dari orang lain, makin
berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya. Ide proposisi
ni berasal dari hukum Gossen dalam ilmu ekonomi;
5. Makin dirugikan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, makin
besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi. Proposisi ini
berhubungan dengan konsep keadilan relatif (relative justice ) dalam proses
tukar menukar.
Sebab sebagai kausalitas yang mendahului daripada akibat, dipengaruhi oleh
faktor-faktor psikologis. Pembahasan tentang ini menurut teori-teori dengan tanpa
mencari teori mana yang benar adalah relatif, karena bersangkutan dengan jiwa
manusia. Pandangan katakanlah terhadap remaja, dapat dikaji melalui orientasi-
orientasi dari alamiah dan naluriah, orientasi lingkungan sosial, sampai pada orientasi
konvergensi. Meskipun orientasi lingkungan sosial bila dipadukan dengan sebab-
sebab kejahatan ditemukan keklasikan dan bersifat konvensional maka hal tersebut
cukup dapat digunakan mungkin bersifat abadi yang sebenarnya tergantung pada
masa tertentu. Sehingga proporsional apabila pendapat John Lock, yang dinyatakan
anak secara kualitatif maupun kuantitatif tidak sama dengan orang dewasa, seorang
anak akan menjadi baik atau jahat tergantung dari pengalaman.(R.E. Muss, 1968 : 25-
26) Pandangan John Lock ini diikuti oleh beberapa sajana dan berlangsung hingga
abad 20.
Pada masa dimana pemerataan tidak rata, terjadinya kejahatan dinyatakan
bahwa kejahatan merupakan respons-respons rasional terhadap bekerjanya sistem
ekonomi dominan yang ditandai oleh persaingan serta pelbagai bentuk
ketidakmerataan.(Charles E. Reasons, : 1974: 37) Yang berakibat apabila kebutuhan
ekonomi kurang terpenuhi yang tidak dibarengi dengan keinginan-keinginan,
tuntutan-tuntutan maka suatu kejahatan dimungkinkan akan terjadi. Pencurian dapat
dilakukan karena kebutuhan ekonomi yang mendesak serta ketidakadilan pembagian
pemerataan masyarakat. Salah satu teori yang tertua dan paling banyak diketahui
orang ialah bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan. Ekonomi dalam arti yang
41
seluas-luasnya memang merupakan potensi kejahatan yang tradisional, lebih-lebih
larcerny (pencurian). Hasil penelitian secara umum, dikemukakan bahwa sebab-sebab
mereka melakukan pengulangan kejahatan, adalah karena dilatarbelakangi dari
keluarga yang tidak mampu. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di negara
berkembang saja akan tetapi di negara majupun demikian. Kesepakatan negara-negara
untuk mencegah tidak terjadinya faktor kondusif, penyebab terjadinya kejahatan.
Dalam rangka mencegah kejahatan diadakan usaha memperbaiki keadaan sosial,
ekonomi masyarakat. Sebenarnya hal ini sudah diformulakan dalam kebijakan
penanggulangan kejahatan yang merupakan bagian dari strategi kebijakan
kesejahteraan sosial (social welfare policy), sekaligus strategi pembangunan yang
dicanangkan dalam landasan operasional di Indonesia. Standard ekonomi itu sendiri
dapat dikategorikan pada destitution, proverty, normal, confort, dan luxury . Dalam
mengulas masalah delinquency, didasari oleh para penganut teori Marx, para sosial
workers dan kaum humanitarian yang dianggap sebagai teori tertua yang
mempersepsikan bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan.
Pemikiran lebih lanjut sebenarnya dalam tataran pemidanaan, terdapat metode
dalam mengurangi jumlah pengulangan kejahatan (repeated crime ) dikenal dengan
metode reformation, selain tindakan preventif sering pula dilakukan tindakan represif
yaitu teknik rehabilitasi, dengan menciptakan sistem dan program yang bertujuan
untuk menghukum penjahat, antara lain hukuma bersyarat, hukumam kurungan dan
lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa.
Memang apabila disimak, pengulangan kejahatan merupakan akibat dari beberapa
sebab, dan untuk menentukan penyebabnya masih merupakan teka-teki yang tidak
terselesaikan. Layaknya sebuah air sungai yang dibendung, suatu saat bendungan itu
bisa jebol apabila tidak bisa menahan volume air yang begitu banyak. Yang menjadi
persoalannya bukan pada efektifitas dari pemidanaan terutama pidana penjara
sebagaimana dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa yang penelitian-penelitian
selama ini dilakukan belum dapat membuktikan secara pasti apakah pidana penjara itu
merupakan suatu sarana yang efektif atau tidak efektif.(Barda Nawawi Arief, 1994:
116) Oleh karena itu terjadinya pengulangan kejahatan bukan disebabkan apakah
sistem pemidanaan yang ada efektif atau tidak efektif dalam menekan jumlah
pengulangan kejahaan.
Dalam mencari jalan pemecahanya seperti yang dikemukakan Barda Nawawi
Arief, yang mengutip M. Cherif Bassiouni bahwa kita tidak tahu dan tidak pernah
42
tahu secara pasti metode-metode tindakan perlakuan (treatment ) apa yang paling
efektif untuk mencegah atau memperbaiki atau kitapun tidak mengetahui seberapa
jauh efektivitas setiap metode tindakan perlakuan itu. Untuk menjawab masalah-
masalah ini secara pasti, menurut Bassiouni, kita harus mengetahui sebab-sebab
kejahatan; dan untuk mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan yang lengkap
mengenai etiologi tingkah laku manusia.(Barda Nawawi Arief, op.cit.: 117) B.
Simandjuntak, berpendapat bahwa suatu penelitian etiologi kriminal mempunyai
kesimpulan yang dapat dikelompokkan dalam dua usaha, yaitu pertama usaha
meneliti faktor individu yang kriminogen biologis kriminal, dan kedua usaha
meneliti faktor sosiologis yang kriminogen sosiologis kriminal.(Simanjuntak, 1981:
289)
Beberapa pengertian untuk mencari faktor individu yang kriminogen biologis
tersebut ditentukan oleh usia si anak. Anak di sini sama artinya dengan remaja,
karena batasan usia remaja menurut WHO ( World Health Organization ) ditetapkan
usia 10-20 tahun. Undang-undang Pengadilan anak sendiri menetapkan pengertian
anak yang berusia antara 12-18 tahun. Sehingga mereka yang berusia antara 12-18
tahun dapat dipandang sebagai remaja. Karena itu pula mencari sebab-sebab
kenakalan anak dapat dipandang juga mencari sebab-sebab kenakalan remaja. Istilah
kenakalan itu sendiri merupakan istilah yang diterapkan bagi anak yang melakukan
kejahatan. Mengutip pendapat dari B. Simandjuntak , Sudarsono menyatakan bahwa
pembatasan yang dilakukan para ahli hukum Anglo Saxon dapat diterima, dengan
alasan : (Sudarsono, op.cit.: 16)
1. Juvenile delinquency berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perbuatan
perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-pelanggaran terhadap
kesusilaan yang dilakukan oleh anak-anak remaja;
2. Juvenile delinquency itu adalah offenders ( pelaku pelanggaran) yang terdiri dari
anak ( berumur dibawah 21 tahun = pubertas), yang termasuk yurisdiksi
pengadilan anak (juvenile cour).
Pendapat yang lebih komprehensif, dalam usaha untuk mengungkapkan
sebab-sebab terjadinya kejahatan khususnya yang diterapkan sebagai bahan kajian
ilmiah begitu besar manfaatnya. Akan tetapi suatu teori mana yang cocok tergantung
pada situasi dan kondisi tertentu. Faktor-faktor yang menciptakan suatu kejahatan
adalah multifaktors, sebagai berikut :
1. Faktor intern :
43
a. cacat keturunan yang bersiat biologis-psikis; b. pembawaan yang negatif yang mengarah ke perbuatan nakal; c. ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan pokok dengan keinginan. Hal ini
menimbulkan frustasi dan ketegangan; d. lemahya kontrol diri serta persepsi sosial; e. ketidakmampuan penyesuaian diri tehadap perbahan lingkungan yang baik dan
kreatif; f. tidak ada kegemaran, tidak memiliki hobby yang sehat.
1. Faktor ekstern : a. rasa cinta dari oang tua dan lingkugan; b. pendidikan yang kurang menanamkan bertingkah laku sesuai dengan alam
sekitar yang diharapkan orang tua, sekolah, masyarakat; c. menurunnya wibawa orangtua, guru, dan pemimpin masyarakat. Hal ini erat
hubungannya dengan ketiadaan tokoh identifikasi; d. pengawasan yang kurang efektif dalam pembinaan yang berpengaruh dalam
domain efektif, konasi, konisi dari orangtua, masyarakat, guru; e. kurangnya penghargaan terhadap remaja dari lingkungan keluarga, sekolah,
masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan ketiadaan dialog antara ketiga lingkugan pendidikan;
f. kurangnya sarana penyaluran waktu senggang. Hal ini berhubungan dengan ketidakpahaman pejabat yang berwenang mendirikan taman rekreasi. Sering pejabat mendirikan gedung di tempat rekreasi sehingga tempat rekreasi tidak lagi ada;
g. ketidaktahuan keluarga dalam menangani masalah remaja, baik dalam segi pendekatan sosiologik, psikologik, maupun pedagogik. Hal ini menuntut lembaga yang berhak menangani mendalami psikologi remaja khususnya dan ilmu lain umumnya.(Simandjuntak, op.cit. : 290-291)
Faktor-faktor lainnya yang dinamakan faktor negatif adalah situasi politik yang
tidak begitu menguntungkan dimana sering partai politik saling tuding-menuding dan
curiga-mencurigai. Pemimpin yang baik tidak perlu mengekspose pertikaian politik
malahan harus meminta peranan mass media membantu mencipakan kondisi positip;
dan keadaan ekonomi yang semakin menurun, krisis ekonomi, dan sebagainya.(Ibid)
Karena sebab-sebab terjadinya kejahatan ditentukan pada faktor individu, tidak
hanya dari segi mereka-mereka yang residivist yang melakukan hubungan baik dan
berkelakuan baik kepada Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi juga penggunaan
sosiologi yang bertolak pada alasan-alasan lingkungan,
Masalah recidivist ini dalam tujuan pidana yang dilakukan hakim, hakim
menerapkan tujuan pencegahan khusus, yang artinya pemidanaannya harus
memperhatikan pribadi pelaku tindak pidana. Hakim Pengadilan Negeri Malang,
Blitar dan Tulungagung mengatakan bahwa penjatuhan untuk recidivist anak lebih
berat dari pada pelaku anak, pelaksanaannya dengan prosentase terbesar pidana pokok
penjara. Perlu untuk disimak meskipun perangkat undang-undang mengatur
44
pemidanaan terhadap pelaku di kategorikan dewasa dan anak-anak adalah berbeda,
akan tetapi suatu kondisi aparat penegak hukumnya dalam hal ini hakim merupakan
pintu penutup yanng nantinya akan menjembatani perlindungan terhadap hak-hak
terdakwa dengan keadilan dan kebenaran itu sendiri. Dikemukakan oleh Barda
Nawawi Arief yang di sunting oleh Romli Atmasasmita bahwa prinsip umum
pemidanaan dengan melihat pertanggung jawaban individual terhadap orang dewasa
merupakan hal yang wajar, karena orang dewasa memang sudah selayaknya
dipandang sebagai individu yang bebas dan mandiri (independent) dan
bertanggungjawab penuh atas perbuatan yang dilakukannya. Namun penerapan
prinsip umum ini kepada anak patut dikaji karena anak belum dapat dikatakan sebagai
individu yang mandiri secara penuh. Oleh karena itu penerapan prinsip ini dilakukan
sangat hati-hati dan selektif, dengan mengingat tingkat kematangan /kedewasaan
setiap anak. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ada baiknya dikembangkan gagasan
yang mengimbangi sistem pemidanaan/pertanggungjawaban individual itu dengan
sistem pertanggung jawaban struktural/fungsional.(Romli Atmasasmita, 1996 : 80)
Beliau mengemukakan bahwa diperlukan adanya prinsip-prinsip yang seharusnya
diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi (pidana/tindakan) kepada hakim,
khususnya dalam hal menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. Hal ini
dipandang sangat penting, karena masalah ini yang menjadi pusat perhatian dari
dokumen-dokumen internasional, yaitu pasal 17.1 SMR-JJ (The Beijing Rules), dan
Resolusi PBB 45/113 tentang UN Rules the Protection of juvenile Deprived of Their
Liberty.(ibid, h.76-77).
Jumlah Penghuni LPAN per 2007 mengalami peningkatan sebagaimana data
sebelumnya yakni 180 penghuni.dengan rincian :
Anak Negara Pria = 20, wanita = 1 jumlah = 21
Anak Pidana BI Pria = 63, wanita = 1, jumlah = 64
BIIa, Pria = 64, wanita = nihil, jumlah= 64
Pemidanaan bagi anak diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan
Anak. Pasal 23 undang-undang itu mengatakan bahwa pidana bagi anak nakal
meliputi :
(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah : a. Pidana Penjara; b. Pidana Kurungan;
45
c. Pidana denda; d. Pidana pengawasan. (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap
Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.
Pasal 24 undang-undang itu menyebutkan : (1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan
dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial
Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.
(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim.
Dalam bidang hukum atau keterlibatannya di bidang hukum, dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002, dijelaskan hak-haknya sebagai berikut : Pasal 16 disebutkan : (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum; (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.
Pasal 17 disebutkan : (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan
dari orang dewasa; b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam
setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang
objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 18, bahwa setiap anak yang menjadi
korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan
bantuan lainnya.
Sebagaimana yang tertera di atas merupakan kewajiban dan tanggung jawab
Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua, disebutkan dalam
Pasal 20, bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua
berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan
anak.
46
Kecenderungan hakim menjatuhkan sanksi pidana, proporsi penjatuhan
pidana penjara masil lebih besar disbanding pidana lainnya atau tindakan.
(Paulus Hadisuprapto, 2002), dikatakan bahwa menyangkut aspek kegunaan
atau manfaat dari pidana penjara yang relative singkat itu, khususnya bila hal
itu dikaitkan dengan proses pembinaan yang harus dilaksanakan terhadap
anak-anak itu di dalam lembaga, sampai seberapa jauh proses pembinaan itu
berhasil guna. Apabila hal itu menjadi suatu keraguan apakah tidak berarti
sebagai ganjaran belaka (just desert), sementara aspek negative dalam penjara
tidak dipertimbangkan, seperti yang pernah dikemukakan oleh Made Sadhi
Astuti (1997)), anak-anak pelaku delinkuen dalam proses pemindanaan lebih
baik dijatuhi sanksi yang berupa tindakan bukannya pidana.
Pada perilaku delinkuensi anak upaya penanggulangannya dapat
dilakukan melalui kebijakan penal dan non penal. Kebijakan penal memiliki
keterbatasan, yang dikarenakan :
a. memperhatikan sifat dan hakikat perilaku delinkuensi anak, yang artinya bahwa sifat dan hakikatnya lebih tinggi kompleksitasnya disbandingkan dengan kejahatan orang dewasa;
b. memperhatikan jangkauan hukum pidana anak, penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan suatu gejala (kurien am symptom) dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya.
c. sifat dan hakikat sanksi pidana terhadap anak, pengalaman anak selama diobati simptomnya lewat proses pemidanaan, obat nya akan lebih bersifat paradoksal dan negative membekas pada diri anak secara kejiwaan bila dibandingkan dengan pelaku orang dewasa.
d. kondisi objektif penegakan hukum pidana anak. Menurut Barda Nawawi Arif (1998) bekerjanya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih banyak dan bervariasi baik yang berupa perundang-undangan organiknya, instansi, dan aparat pelaksananya, sarana dan prasarana maupun operasionalisasinya di lapangan.
Sedangkan kebijakan non penal berupa adanya diversi dan diskresi, dan konsep
pemberian malu serta menurut “The Riyadh Guidelines”
Recidive Anak Dalam Perspektif Hak Anak Dari Sudut Hukum Pidana
Apabila dicermati hak-hak tersebut berkaitan erat keadaan pribadi pelaku
kejahatan yang dilakukan oleh anak. Tidak boleh seorang anak dilakukan sewenang-
wenang oleh aparat keradilan pidana. Peradilan pidana harus mewujudkan suatu
professional yang handal, agar tidak terjadi ketakutan pada diri anak. Maka
47
pengetahuan tentang aanak palagi terhadap anak yang telah melakukan kejahatan
harus dipunyai oleh tiap-tiap aparat penegak hukum untuk tujuan agar terjadi system
peradilan pidana yang berkeadilan, dan agar tidak terjadi pengulangan tindak pidana.
Mungkin dapat terjadi suatu tindakan sewenang-wenang apabila perhatian
pembenaran hanya dijutukan pada perbuatan pidana (criminal act) bilamana tidak
mengindahkan masalah pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility),
sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan
Anak dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Nampaknya masalah anak tersebut perlu mendapat perlindungan hukum.
Perhatian perlunya perlindungan hukum ini diawali dari Deklarasi Jenewa tentang
Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universitas Declaration of Human
Rights tahun 1948. Kemudian pada tanggal 20 November 1958, Majelis Umum PBB
mengesahkan Declaration of the Rights of the Child (Deklarasi Hak-Hak Anak).
Selanjutnya masalah anak ini dibicarakan dalam Konggres-konggres PBB mengenai
The Prevention of Crime and the treatment of Offender. Konggres Ke-I di Genewa
tahun 1955 dibicarakan topik Prevention of Juvenile Delinquency, konggres ke-II
tahun 1960 dibicarakan masalah New Forms of Juvenile Delinquency dan Special
Police Services for the Preention of Juvenile Delinquency dan sampai dengan
konggres ke-II tahun 1965 di Stockholm.
Pembicaraan kemudian dipusatkan perhatiannya pada Juvenile Justice
(Peradilan Anak) . Perhatian untuk perlunya perlindungan khusus bagi anak berkaitan
erat dengan prinsip dari Declaration of the Rights of the Child. Selanjutnya terhadap
masalah juvenile justice ini dibicarakan dalam kongres PBB ke-VI di Caracas,
Venezuela pada tahun 1980 dengan topik juvenile justice : before and after the onset
of delinquency. Kongres ini kemudian menghasilkan suatu resolusi No. 4 mengenai
Development of Minimum Standards of Juvenile Justice.
Resolusi tersebut meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk penyelenggaraan
peradilan anak (The Admintration of Juvenile Justice) dalam rangka melindungi hak-
hak asasi dari Juvenile yang terlibat dalam persoalan hukum. Rekomendasinya agar
Kongres PBB mengenai pencegahan dan Pengendalian Kejahatan (The Committee on
Crime Prevention and Control) mengembangkan Standard Minimum Rules for the
Administration of Juvenile Justice (selanjutnya disingkat SMR-JJ). Pada tanggal 6
September 1985 Kongres Ke VII di Milan menyetujui United Nations Standard
Minimum Rules for the Administration of the Juvenile Justice yang kemudian dikenal
48
dengan istilah Beijing Rules, dan dikukuhkan oleh Majelis Umum (General
Assembly) PBB pada tanggal 29 Nopember 1985 dalam resolusinya No. 40/33.
Setidak-tidaknya perhatian perlindungan hukum terhadap masalah anak di
atas dipertegas lebih lanjut dan commentary yang terdapat di bawah Rule %.1 yang
menyebutkan bahwa ada 2 (dua) tujuan atau sasaran yang ditunjuknya, yaitu pertama
memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile),
prinsip ini mempunyai arti untuk menghindari penggunaan sanksi yang semata-mata
bersifat pidana atau semata-mata bersifat menghukum (the avoidance of merely
punitive sanctions) dan kedua, prinsip proporsionalitas (the principle of
proporsionalitas), yang mempunyai arti bahwa prinsip ini digunakan sebagai alat
untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas
semata-mata (Just desort).(Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992 : 107)
Untuk itu sesuai dengan implementasi SMR-JJ, pada hukum positip di
Indonesia, pada khususnya berkenaan dengan tugas hakim, maka SMR-JJ, Rule 16.1,
menegaskan perlunya diteliti secara tepat laporan penelitian sosial (social inquiry
reports) mengenai latar belakang kehidupan dan keadaan-keadaan di mana anak itu
tinggal atau keadaan-keadaan yang menyebabkan tindak pidana itu dilakukan.
Dikemukakan pula dalam Rule 17 SMR-JJ mengenai bebarapa prinsip sebagai
pedoman dalam mengambil keputusan oleh hakim, yaitu bentuk-bentuk reaksi/sanksi
yang diambil selamanya harus diseimbangkan tidak hanya pada keadaan-keadaan dan
keseriusan/berat-ringannya tindak pidana, tetapi juga pada keadaan-keadaan dan
kebutuhan-kebutuhan si anak, serta pada kebutiuhan-kebutuhan masyarakat;
pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pribadi anak hanya dikenakan setalah
perimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin; perampasan
kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan tindakan kekerasan
yang serius terhadap orang lain atau terus-menerus melakukan tindak pidana serius
dan kecuali tidak ada bentuk sanksi lain yang lebih tepat; kesejahteraan anak harus
menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan kasus anak.
Memang berat tugas hakim untuk memecahkan suatu kasus denganpelaku
kejahatannya seorang anak, mengingat tujuan pidana bagi anak harus mempunyai
kekhususan sesuai dengan sifat-sifat khusus untuk memeriksa kasus anak. Hal ini
belum lagi dihdapkan pada upaya memcahkan persoalan recidive anak.
Perlindungan hukum pidana terhadap anak ini, selanjutnya telah disahkan
Hak-hak Anak 1989 (Resolusi Majelis Umum PBB 44/25). Atas dasar itu Indonesia
49
telah mensahkan melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 dengan prinsi-
prinsipnya dituangkan dalam artikel 37 dan 40 sebagai berikut :
Artikel 37, memuat prinsip-prinsip :
a. Seorang anak tidak ahany dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat;
b. Pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh pelepasan/pembebasan (without possibility of release) tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia dibawah 18 tahun;
c. Tidak seorang anakpun dapat dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum atau sewenang-wenang;
d. Penangkapan, penahan dan pidana penjara hanya akan digunakan sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat/pendek;
e. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabatnta sebagai manusia;
f. Anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisah dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan/kontrak dengan jeluarganya;
g. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum, berhak melawan/menentang dasar hukum perampasan kemerdekaan atas dirinya di muka pengadilan atau pejabat alain yang aberweang dan tidak memihak serta berhak untuk mendapat keputusan yang cepat/tetapt atas tindakan terhadap dirinya itu.
Kemudian artikel 40, menyebutkan prinsip-prinsip : a. Tiap anak yang dituduh, dituntut dan dinyatakan telah melanggar hukum
pidanan berhak diperlakukan dengan cara-cara: - yang sesuai dengan kemajuan pemahaman anak tentang harkat dan
martabanya; - yang memperkuat penghargaan/penghormatan anak pada hak-hak
asasi dan kebebasan orang lain; - mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk
memajukan/mengembangkan pengintegrasian kembali anak serta mengembangkan harapan anak akan perannya yang konstruktif di masyarakat.
b. Tidak seorang nanakpun dapat dituduh, dituntut atau dinyatakan melanggar hukum pidana berdasarkan perbuatan (atau tidak berbuat sesuatu) yang tidak dilarang oleh hukum nasional maupun internasional pada saat perbuatan itu dilakukan.
c. Tiap anak yang dituduh, atau dituntut telah melanggar hukum pidana, sekurang-kurangnnya memperoleh jaminan-jaminan (hak-hak) sebagai berikut :
(i) untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti kesalahannya menurut hukum;
(ii) untuk dibertahu tuduhan-tuduhan atas dirinya secara cepat dan langsung (promptly and directly) atau melalui orang tua, wali atau kuasa hukumnya;
(iii) untuk perkaranya diputus/diadili tanpa penundaan (tidak berlarut-larut) oleh badan/kekuasaan yang berwenang, mandiri dan tidak memihak;
50
(iv) untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau pengakuan bersalah;
(v) apabila dinyatakan telah melanggar hukum pidana, keputusan dan tindakan yang dikenakan kepadanya berhak ditinjau kembali oleh badan/kekuasaan yang lebih tinggi menurut hukum yang berlaku;
(vi) apabila anak tidak memahami bahasa yang digunakan, ia berhak memperoleh bantuan penterjemah secara Cuma-Cuma (gratis);
(vii) kerahasiaan pribadi (privacy)-nya dihormati/dihargai secara penuh pada semua tingkatan pemerikasaan.
d. Negara harus berusaha membentuk hukum. Prosedur, pekajat yang berweang dan lembaga-lembaga yang secara khusus diperuntukkan/diterapkan kepada anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan telah melanggar hukum pidana, khususnya
(1) menetapkan batas usia minimal anak yang dipandang tidak mampu melakukan pelanggaran hukum pidana;
(2) apabila perlu diambil/ditempuh tindakan-tindakan terhadap anak tanpa melalui proses peradilan, harus ditetapkan bahwa hak-hak asasi dan jaminan-jaminan hukum bagi anak harus sepenuhnya dihormati.
e. Bermacam-macam putusan terhadap anak (a.l. perintah/tindakan untuk melakukan perawatan/pembinaan, bimbingan, pengawasan, program-program pendidikan dan latihan serta pembinaan institusional lainnya) harus dapat menjamin, bahwa anak diperlakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan kesejahteraannya dan seimbang dengan keadaan lingkungan mereka serta pelanggaran yang dilakukan.
Mengingat hak asasi yang dikembangkan di Indonesia bersifat particular
relatif maka dari instrumen-instrumen internasional di atas, mengilhami pemerintah
bersama-sama DPR untuk mensahkan format hukum berupa peraturan yang mengatur
masalah anak, yaitu disahkannya Undang-undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997
pada tanggal 3 Januari 1997. Undang-undang ini terdiri dari 8 bab, 68 pasal, dengan
asas-asasnya antara lain :
a. Tentang pembatasan umur, diatur dalam pasal 1 butir 1 jo. Pasal 14 ayat 1, yang dapat disidangkan dalam acara Pengadilan Anak ditentukan secara limitative, yaitu minimum berumur berumur 8 tahun dan maksimum berumur 18 tahun dan belum pernah kawin;
b. Tentang Ruang Lingkup masalah dibatasi, diatur dalam Pasal 1 ayat 2, yang dapat diperiksa dalam sidang Pengadilan Anak adalah perkara anak nakal;
c. Tentang pejabat khusus, diatur dalam Pasal 1 ayat 5, 6 dan 7, pejabat-pejabat khusus itu adalah ditingkat penyidikan adalah penyidik anak; ditingkat penuntutan adalah penuntut umu; ditingkat pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak, dan hakim kasasi anak;
d. Tentang Pembimbing Kemasyarakatan diatur dalam Pasal 1 ayat 11, yang mengakui peranan dari pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial dan pekerja sosial sukarela;
51
e. Suasana pemeriksaan kekeluargaan yang diatur dalam Pasal 42 ayat 1, pemeriksaan perkara di Pengadilan dilakukan dalam suasan kekeluargaan., Oleh karena itu hakim, penuntut umum, dan penasihat hukum tidak memakai toga;
f. Tentang Keharusan splitsing, diatur dalam Pasal 7, anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang bersatatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan tindak pidana bersama dengan orang dewasa, maka si anak diadili dalam sidang pengadilan anak, sementara orang dewasa diadili dalam sidang biasa, atau apabila ia berstatus militer di peradilan militer;
g. Acara pemeriksaan bersifat tertutup, diatur dalam Pasal 8 ayat 1, demi kepentingan si anak sendiri, akan tetapi putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;
h. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal, diatur dalam Pasal 11, 14 dan 18, hakim yang memeriksa perkara anak, baik di tingkat Pengadilan Negeri, banding atau kasasi dilakukan hakim tunggal;
i. Masa penahanan lebih singkat, diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49, masa penahanan terhadap anak lebih singkat dibanding masa penahanan menurut KUHAP;
j. Hukuman lebih ringan, diatur dalam Pasal 22 sampai dengan 32, hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal, lebih ringan dari ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal adalah 10 tahun.
Adalah hal baru bagi pengadilan, untuk menindaklanjuti asas-asas di atas.
Kekuarangan persiapan untuk melaksanakan memang dirasakan ada ibarat tiada
gading yang tak retak akan tetapi bagaimana usaha untuk meminimalisasi
kekuarangan tersebut sesuai dengan tujuan dari hukum pidana itu sendiri yaitu untuk
mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran hakiki yang sebenar-benarnya.
Bila diperhatikan secara yuridis, dan juga memperhatikan penitensiari bagi
proses pemidanaan mengenai tujuan pemidanaan itu sendiri, maka kejanggalan yang
dianggap tidak sahnya keputusan hakim merupakan hal utama apabila selama
pemeriksaan ataupun persidangan terhadap residivist anak ini dilakukan seperti
persidangan untuk bukan anak residivist.
Dalam menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya itu hakim harus
mempertimbangkan juga keadaan pribadi dari terdakwa. Pentingnya keadaan pribadi
ini berhubungan dengan seberapa jauh putusan hakim tesebut sesuai harapan tujuan
pemidanaan. Terhadap masalah ini Roeslan Saleh pernah mengemukakan bahwa kita
akan membatasi penggunaan pidana dalam batas-batasnya, dan juga harus diusahakan
untuk terlebih dahulu menerapkan sanksi-sanksi lain yang tidak bersifat pidana.
Pemidanaan seyogyanya diadakan hanya bilaman norma bersangkutan begitu penting
bagi kehidupan dan kemerdekaan anggota masyarakat lainnya. Atau bagi
berfungsinya secara wajar lkehidupan masyarakayt itu sendiri. Dan yang lebih penting
lagi adalah bahwa pelanggaran terhadap norma itu tidak dapat dilawan secara lain
52
daripada dengan pemidanaan. Jelaslah bahwa dengan demikian hakim harus
memperhitungkan semua tujuan pemidanaan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa hakim
tidak bisa hanya memperhatikan kepentingan-kepentingan pembuat saja, atau juga
hanya memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. Dia juga tidak perlu
memuaskan sekaligus semua tujuan pemidanaan itu. Dan memang juga tidak mungkin
ia berbuat demikian. Dalam kejadian-kejadian konkrit hakim memang dapat memberi
tekanan-tekanan pada hal tertentu. Dan justru disinilah letak pokok
persoalannya.(Saleh, Roeslan, 1987 : 4-5)
Lebih lanjut dijelaskan beliau bahwa ada beberapa hal yang dapat ditekankan
hakim dalam putusannya, artinya ada beberapa tujuan yang harus diperhatikannya
dalam menjatuhkan pidana, yaitu pertama, yang disebut dengan koreksi, yang
dimaksud bahwa terhadap orang yang melanggar suatu norma, pidana yang
dijatuhkan berlaku sebagai suatu peringatan bahwa hal seperti itu tidak boleh terulang
lagi, yang kedua adalah resosialisasi, yang dimaksud bahwa usaha dengan tujuan agar
terpidana akan kembali ke dalam masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa dia
dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan lagi kejahatan-kejahatan, dan yang
ketiga adalah pengayoman kehidupan masyarakat. Tujuan ini dapat terjadi bilamana
masalahnya adalah untuk menusia yang telah melakukan kejahatan berat dan haru
dukuatirkan bahkan ditakuti, bahwa diwaktu yang akan dating masih besar sekali
kemungkinannya dia akan melakukan delik-delik berat, walaupun terhadapnya telah
diadakan usaha-usaha resosialisasi.(Ibid, : 5-6)
Pemikiran mengenai tujuan dari pemidanaan yang dianut orang dewasa ini,
sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru, melainkan sedikit atau
banyak telah mendapat pengaruh dari pemikiran-pemikiran para pemikir atau para
penulis beberapa abad yang lalu, yang pernah mengeluarkan pendapat mereka tentang
daar pembenaran dari suatu pemidanaan, baik yang melihat pemidanaan itu semata-
mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang telah mengaitkan pemidanaan itu
dengan tujuan atau dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaannya
itu sendiri. Mengenai tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan itu ternyata
tidak terdapat suatu kesamaan pendapat. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran
tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu pertama, untuk
memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, kedua untuk membuat orang
menjadi jera untuk melakukakan jklejahatan-kejahatan dan ketiga, untuk membuat
penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-
53
kejahatan lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat
diperbaiki lagi.(Lamintang, P.A.F, 1984: 10-11)
Selanjutnya dikemukakan oleh Soedarto (1981: 83) bahwa ukuran penderitaan
pidana yang patut diterima oleh seseorang tetap merupakan problema yang tidak
terpecahkan, karena yang mendapat pengaruh langsung dari penjatuhan pidana ialah
orang yang dikenai pidana. Pidana baru dirasakan secara nyata oleh terpidana apabila
sudah dilaksanakan secara efektif. Mengani tujuan dari pemidanaan ini, beliau
mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan mengandung dua unsure pokok, yaitu
pertama, pembalasan, pengimbalan atau retribusi dan yang kedua, mempengaruhi
tingkah laku orang demi perlindungan masyarakat. (Sudarto, 1981: 88-89)
Khususnya untuk tujuan yang kedua di atas, sebagaimana dikemukakan,
merupakan pemikiran bagi system peradilan pidana, bahwa suatu bukti usaha yang
efektif dari para petugas pemasyarakatan maupun penegak hukum dalam melakukan
pembinaan. Penting untuk dikaji kembali sebab-sebab melakukan kejahatan lagi
khususnya dari dalam (intern), dengan cara mendalami aspek tujuan pemidanaan pada
prevensi spesialnya, yaitu mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak
melakukan tindak pidana lagi.
Mengingat undang-undang Pengadilan Anak ini, maka dapat dikuatirkan
penjatuhan pidana oleh seorang hakim masih terpolarisasi pemikiran penjatuhan
pidana pada orang dewasa apabila tanpa melalui pendidikan khusus, sebagaimana
disarnakan oleh laporan komisi sebuah peradilan anak di Netherland, bahwa
diusulkan pendidikan dasar untuk hakim anak.(Sudarto, op.cit.: 148) Terhadap
masalah ini dikarenakan belum ada kesamaan pemahaman tentang telah
bepengalaman dalam Pasal 10 hurufa. Dari Undang-undang No. 3 Tahun 1997,
tentang Pengadilan Anak tersebut. Usulan untuk adanya keseragaman pemahaman
dinyatakan oleh Made Sadhi Astuti, bahwa kesragaman pemahaman tersebut penting
agar diperoleh hasil kerja yang maksimal. Keseragaman pemahaman tidak hanya
dilakukan di lingkungan Pengadilan, namun dilakukan juga di lingkungan Kejaksaan
dan Kepolisian sebagai peranglkat penegak hukum yang menjadi bagian dari system
peradilan pidana.(Made Sadhi Astuti, 1998: 14-15)
Di dalam melaksanakan penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan yang
dikualifikasikan sebagai terpidana dalam kategori prevensi spesial itu atau penulis
sebut dengan residivist, Hakim selalu berpedoman pada KUHP. Untuk itu dapatlah
dimengerti bahwa pasal-pasal dalam KUHP tidak saja mengatur pelaku kejahatan dan
54
pelanggaran usia dewasa tetapi juga digunakan pasal-pasal itu bagi setiap pelaku
kejahatan dari segala usia. Oleh karena itu betapa pentingnya peran dan
pertangungjawaban pribadi seorang hakim dalam memeriksa dan memutus perkara
anak agar dapat tercapainya tujuan peradilan pidana. Apabila peradilan pidana tidak
sampai mencapai tujuannya, maka akan dapat menimbulkan kerugian pada
masyarakat, pada delinquen, dan pada keluarganya.(Saleh, Roeslan, 1983: 34)
Adapun ketentuan-ketentuan tentang residivis tersebut, menurut KUHP
dikategorikan sebagai recidive kejahatan dan pelanggaran, dan ada pula recidive di
luar KUHP. Recidive atau pengulangan tindak pidana dalam KUHP tidak diatuir
secara umum dalam Aturan Umum buku I, tetapi diatur secara khusus untuk
seklompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan di dalam buku II maupun
yang berupa pelanggaran di dalam buku III.
KUHP menganut system recidive khusus artinya pemberatan pidana hanya
dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran)
tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. Dengan dianutnya
system recidive khusus, maka recidive kejahatan menurut KUHP adalah recidive
kejahatan-kejahatan tertentu.
Recidive kejahatan-kejahatan tertntu ini, KUHP membedakan dalam dua hal,
yaitu :
1. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang sejenis. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang sejenis diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu Buku II KUHP yaitu Pasal 137 ayat (2), 144 ayat (2), 155 ayat (2), 161 ayat (2), 163 ayat (2), 208 ayat (2), 216 ayat (3), 321 ayat (2), 393 ayat (2), dan 303 bis ayat (2). Dalam masing-masing pasal-pasal di atas mensyaratkan sebagai berikut :
1. Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan terdahulu;
2. Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan hakim yang berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
3. Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencahatiannya (khusus untuk pasal 216, 303 bis dan 393 syarat ini tidak ada);
4. Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertntu yang disebut dalam pasal-pasal yang bersangkutan, yaitu :
a. 2 (dua) tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321), atau
b. 5 (lima) tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 154, 157, 161, dan 393 KUHP).
55
2. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam satu kelompok jenis diatur dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP dengan persyaratan-persyaratannya sebagai berikut :
1. Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu;
2. Antara kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap;
3. Pidana yang pernah dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara;
4. Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya sebagai berikut :
a. belum lewat 5 (lima) tahun; b. belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan
menjalankan pidana (penjara) yang terdahulu.
Kaitannya dengan pembaharuan hukum pidana di Indonesia, KUHP lama telah
disempurnakan, melalui Rancangan Konsep KUHP Baru. Untuk masalah recidive ini,
menurut Rancangan Konsep KUHP Baru, merupakan alas an pemeratan pidana yang
bersifat umum yang diatur dalam Aturan Umum Buku I, yaitu Pasal 54 ke-8. Hal ini
didasarkan pada pemikiran bahwa bentuk pengulanganmemang pada dasarnya dapat
dilihat sebagai alas an pemberatan pidana yang bersifat umum (objektif). Rancangan
Konsep KUHP Baru, Konsep 1987/1988, yang dilanjutkan melalui Lokakarya tanggal
18-19 Februari 1988, dan rapat Tim Pengkajian bulan November dan Februari 1989,
menghasilkan tambahan satu pasal, yaitu pasal 55a, yang berbunyi :
1). Jika dalam suatu perkara terdapat hal-hal yang memperingan, dan hal-hal yang memperberat pidana secara bersama-sama, maka maksimum ancaman pidana diperberat sepertiga lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi sepertiga.
2). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, pengadilan tidak dapat menerapkan ketentuan peringanan pidana maupun pemberatan pidana dalam hal terjadi perkara seperti tersebut dalam ayat (1).
3). Ketentuan pemberatan pidana tidak berlaku terhadap anak dibawah delapan belas tahun yang melakukan pengulangan tindak pidana.
Apabila dikaitkan pelaksanaan pemidanaan bagi recidive anak dalam praktek,
peranan hakim dalam memutus perkara seharusnya lebih mempertajam pemeriksaan,
sepertinya hakim tergiring pada siapa yang melakukan kejahatan itu, bukan mengapa
mereka melakukan kejahatan lagi. Maka akibat dari keputusan yang telah diambil,
keterlibatan sikap batin (mens rea) hakim untuk membuat jera dimungkinkan
membuka peluang bagi diri terpidana untuk melakukan kejahatan. Oleh karena itu
56
upaya pembalasan sebagai peninggalan aliran hukum klasik harus dirubah dan
pemberatan pidana yang mengacu pada KUHP kolonial tidak diberlakukan dengan
mengingat samapi sejauh ini upaya untuk memperbaiki system peradilan pidana
semakin tertunda-tunda.
Perspektif Kriminologi
Apabila dicermati dari sudut kriminologi, masalah pengulangan kejahatan,
dalam tulisan ini disebut dengan recidive, dapat disebabkan oleh masalah ekonomi,
broken home, ataupun lainnya. Dalam prakteknya pengulangan kejahatan,
disebabkan oleh beberapa hal.
Masalah strategis sesuai dengan penelitian ini adalah masalah ekonomi.
Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Richard Wahjoedi, dan Didik
Endro Purwoleksono (1994: 34-35) disebutkan bahwa alasan atau latar belakang
dilakukannya kejahatan dalam hal ini pencurian adalah pertama, faktor ekonomi;
kedua , broken home (orang tuanya cerai ); ketiga, kurangnya pengawasan dari orang
tua; keempat, faktor lingkungan. Dijelaskan bahwa faktor ekonomi yang dimaksud
yaitu keadaan ekonomi keluarga si anak pelaku tindak pidana tersebut. Dari beberapa
alasan tersebut faktor ekonomi merupakan penyebab paling tinggi untuk menjadi
alasan seseorang anak melaksanakan tindak pidana pencurian.
Akibatnya narapidana tersebut, akan lebih memilih kehidupan di dalam
Lembaga Pemasyarakatan atau melakukan kejahatan ulangan. Karena dipandang
bahwa baik menurut usia, apalagi diusia muda hidup dalam lingkungan keluarga tidak
mampu, mengakibatkan seorang anak merespon bahwa kehidupan di Lembaga
Pemasyarakatan jauh lebih baik, yang berarti secara psikologis mereka ingin
memperoleh perhatian dari aparat Lembaga Pemasyarakatan. Sudarsono,
mengemukakan sebagian besar sarjana psikologi sependapat bahwa masa remaja
merupakan fase perkembangan yang sangat mencolok baik secara fisik, psikologis,
sosial dan moralitas. Pada masa adolesen yaitu umur 13-21 tahun anak-anak sedang
mengalami kegoncangan jiwa.(Sudarsono, 1991: 155)
Pada masa dimana pemerataan tidak rata, terjadinya kejahatan dinyatakan
bahwa kejahatan merupakan respons-respons rasional terhadap bekerjanya sistem
ekonomi dominan yang ditandai oleh persaingan serta pelbagai bentuk
ketidakmerataan.(Charles E. Reasons, : 1974: 37) Yang berakibat apabila kebutuhan
ekonomi kurang terpenuhi yang tidak dibarengi dengan keinginan-keinginan,
tuntutan-tuntutan maka suatu kejahatan dimungkinkan akan terjadi. Pencurian dapat
57
dilakukan karena kebutuhan ekonomi yang mendesak serta ketidakadilan pembagian
pemerataan masyarakat. Salah satu teori yang tertua dan paling banyak diketahui
orang ialah bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan. Ekonomi dalam arti yang
seluas-luasnya memang merupakan potensi kejahatan yang tradisional, lebih-lebih
larcerny (pencurian). Hasil penelitian secara umum, dikemukakan bahwa sebab-sebab
mereka melakukan pengulangan kejahatan, adalah karena dilatarbelakangi dari
keluarga yang tidak mampu. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di negara
berkembang saja akan tetapi di negara majupun demikian. Kesepakatan negara-negara
untuk mencegah tidak terjadinya faktor kondusif, penyebab terjadinya kejahatan.
Dalam rangka mencegah kejahatan diadakan usaha memperbaiki keadaan sosial,
ekonomi masyarakat. Sebenarnya hal ini sudah diformulakan dalam kebijakan
penanggulangan kejahatan yang merupakan bagian dari strategi kebijakan
kesejahteraan sosial (social welfare policy), sekaligus strategi pembangunan yang
dicanangkan dalam landasan operasional di Indonesia. Standard ekonomi itu sendiri
dapat dikategorikan pada destitution, proverty, normal, confort, dan luxury . Dalam
mengulas masalah delinquency, didasari oleh para penganut teori Marx, para sosial
workers dan kaum humanitarian yang dianggap sebagai teori tertua yang
mempersepsikan bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan.
Pemikiran lebih lanjut sebenarnya dalam tataran pemidanaan, terdapat metode
dalam mengurangi jumlah pengulangan kejahatan (repeated crime ) dikenal dengan
metode reformation, selain tindakan preventif sering pula dilakukan tindakan represif
yaitu teknik rehabilitasi, dengan menciptakan sistem dan program yang bertujuan
untuk menghukum penjahat, antara lain hukuma bersyarat, hukumam kurungan dan
lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa.
Memang apabila disimak, pengulangan kejahatan merupakan akibat dari beberapa
sebab, dan untuk menentukan penyebabnya masih merupakan teka-teki yang tidak
terselesaikan. Layaknya sebuah air sungai yang dibendung, suatu saat bendungan itu
bisa jebol apabila tidak bisa menahan volume air yang begitu banyak. Yang menjadi
persoalannya bukan pada efektifitas dari pemidanaan terutama pidana penjara
sebagaimana dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa yang penelitian-penelitian
selama ini dilakukan belum dapat membuktikan secara pasti apakah pidana penjara itu
merupakan suatu sarana yang efektif atau tidak efektif.(Barda Nawawi Arief, 1994:
116) Oleh karena itu terjadinya pengulangan kejahatan bukan disebabkan apakah
58
sistem pemidanaan yang ada efektif atau tidak efektif dalam menekan jumlah
pengulangan kejahaan.
Perspektif Penjatuhan Pidana Terhadap Recidive Anak oleh Hakim
1. Jenis Pidana
Soedarti,(1993 : tanpa tahun) mengemukakan, yang dikutip oleh Richard
Wahjoedi, dan Didik Endro Purwoleksono, bahwa tindakan yang cenderung
dilakukan oleh hakim adalah penjatuhan pidana.
2.Berat-ringannya Pemidanaan.
Terhadap pemidanaan residivist pada umumnya, dan khususnya juga bagi
residivist dengan pelaku anak, berlaku ketentuan pemberatan pidana. Kitab Undang-
undang Hukum Pidana telah mengatur dalam pasal-pasal yang memperberat ancaman
pidana yang bersifat khusus karena recidive, yaitu Pasal 486, 487, dan 488. Pasal 486
khusus bagi recidive atas tindak pidana terhadap harta kekayaan, Pasal 487 khusus
bagi recidive atas tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh manusia, dan Pasal 488
khusus bagi recidive atas tindak pidana terhadap kehormatan orang. Menurut
wawancara dengan Hakim yang ditemui bahwa sanksi hukuman bagi residivist anak
malah diperberat. Ditegaskan pula bahwa atas pertanyaan mengapa pemidanaan untuk
residivist anak diperberat, padahal dalam UU No. 3 tahun 1997 tidak mengatur
tentang itu, dijawab oleh responden bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang secara berulang-ulang digunakan sebagai dasar beratnya pidana yang
dijatuhkan terhadap diri pelaku ( alasan memberatkan ). Jadi alasan ini tetap berlaku
bagi residivist anak walaupun tidak diatur dalam Undang-undang No.3 tahun 1997
tentang Pengadilan Anak.
Perspektif Kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap Pemidanaan Recidive
Anak.
a.Orientas pada tujuan Organisasi dan persepsinya Terhadap Pemidanaan
recidive Anak.
Dari beberapa hasil wawancara, nampaknya tujuan organisasi pengadilan ini
bersifat instrumental yang dimaksud dapat mencegah terjadinya pengulangan oleh
seseorang yang pernah dihukum. Tujuan ini adalah yang paling kontroversialnya dan
yang paling banyak dikemukakan orang bilamana dipersoalkan mengenai tujuan
pemidanaan.
59
Hal inilah dapat dikemukakan bahwa tujuan organisasi pengadilan berkenaan
dengan pemidanaan recidive anak merupakan usaha prevensi khusus, yang dapat
dilakukan orang dengan berbagai cara, antara lain dengan membatasi kemungkinan-
kemungkinan atau kesempatan-esempatan malakukan delik; dengan jalan
menakutkan; dengan apa yang oleh buku-buku Anglosaxon disebut correction (yaitu
mengubah tendensi-tendensi yang bersifat kriminal).
b. Pengalaman dalam kelompok dan interpretasi terhadap Pemidanaan
Recidive Anak
Pengadilan terdiri dari kelompok-kelompok kerja, yaitu kelompok hakim,
panitera, dan karyawan.
Untuk itu kajian hubungan antar pribadi dalam kelompok kerja didasarkan
pada kepribadian kelompok, yaitu keseluruhan atau rata-rata kepribadian masing-
masing anggota organisasi. Dalam khasanah sosiologi organisasi dikenal beberapa
konsep dasar, antara lain erratic (konsep yang menjelaskan penyimpangan hubungan
antarpribadi dalam kelompok); apathetic (konsep yang menjelaskan kelompok yang
kurang bermotivasi, kurang bergairah); strategic (yang menjelaskan kelompok yang
memegang tugas/fungsi utama dan yang strategis/penentu organisasi); konservatif
(yang menjelaskan kelompok kerja yang tetap memegang tatanan organisasi secara
kaku-tidak luwes). Konsep-konsep ini berguna untuk memahami kedudukan individu
dan hubungan kerja yang mereka bentuk dalam organisasi.(Alo Liliweri, op.cit: 9)
Motivasi, kepribadian dan pengalaman adalah faktor personal. Seorang hakim
dalam suatu organisasi formal yaitu Pengadilan Negeri diliputi oleh faktor personal
yang berupa pengalaman. Baik buruknya Pengadilan adalah dipundak hakim
Pengadilan. Karena apabila dilihat dari, Undang-undang tentang Peradilan Umum
menyatakan bahwa hakim pengadilan negeri merupakan jabatan yang melaksanakan
tugas kekuasaan kehakiman. Maka seperti yang dikemukakan oleh Emile Durkhein,
suatu komunitas professional merupakan faktor yang bertanggung jawab atas
peningkatan dan kemunduran kohesivitas dan solidaritas kelompok.(Ibid, : 175)
Istilah kohesi dan kohesivitas mengacu pada kecenderungan para anggota kelompok
agar tetap bersatu. Hal ini dapat diukur dengan ada atau tidaknya semangat kita kerja
sama dalam satuan waktu tertentu. Untuk mengukur rasa kita maka dalam sosiologi
digunakan metode pengukuran sosiometri yang menghasilkan perasaan in group dan
out group terhadap kelompok. Sebagai bahan perbandingan terhadap penelitian ini
adalah penelitian yang dilakukan Deutcher memberikan terhadap Komite Kolombia
60
untuk Keseimbangan Rasial terdapat kesimpulan yang menarik, yaitu bahwa ukuran
kelompok yang semakin kecil, frekuensi pertemuan, kejelasan perumusan tujuan,
dapat dikatakan sebagai instrumen yang bermanfaan untuk menciptakan kohesi
kelompok. Seorang responden Hakim Wanita Pengadilan Negeri Malang(wawancara
pribadi, 2005), ketika ditanya tentang pertanyaan mengapa Bapak/Ibu dipercaya
menjabat sebagai hakim anak, menyatakan bahwa sesuai kriteria hakim anak maka
Ketua Pengadilan Negeri atas pertimbangan dan penilaiannya menunjuk beberapa
orang hakim sebagai hakim anak. Selanjutna dikatakan bahwa beliau minat terhadap
masalah anak karena anak sebagai generasi penerus perlu dibentuk menjadi manusia
yang iman dan taqwa serta mematuhi peraturan UU yang berlaku dan tidak merugikan
masyarakat. Terhadap pertanyaan apakah ada pendidikan khusus sebagai hakim anak,
dijawab oleh beliau tadak ada pendidikan khusus untuk itu.
Pemahaman aspek-aspek ilmu sosial dalam hubungan dengan tindak pidana
anak disamping sangat relevan, juga menjadi penting bagi seorang hakim ketika
menangani perkara pidana anak, sehingga putusannya akan menjadi lebih adil dan
tepat karena kenakalan yang dilakukan oleh anak adalah khas dan sangat berbeda
dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Sebagaimana dikutip oleh
Sudarto, dalam laporan komisi peradilan anak di Netherland, diusulkan bahwa adanya
pendidikan lanjutan disamping pendidikan dasar untuk hakim anak. Turut untuk
dipertimbangkan juga aspek-aspek sosiologis, psikologis dan aspek kejiwaan anak,
sebagaimana yang diusulkan oleh Made Sadhi Astuti, bahwa karena tidak berlebihan
apabila Departemen Kehakiman secara khusus menyelenggarakan pendidikan bagi
Hakim Anak dengan muatan materi selain aspek yuridisnya juga pemahaman
mengenai ilmu-ilmu sosial seperti psikologi anak, sosiologi, kriminologi, antropologi
dan lain-lain.(Made Sadhi Astuti, op.cit.: 17)
Kiat-kiat yang diusulkan di atas menunjukkan bahwa persoalan perkara anak
bukan suatu persoalan yang hanya membuka-buka halaman buku, akan tetapi harus
diperhatikan tentang pentingnya profesionalisme di kalangan/kelompok hakim,
khususnya untuk mewujudkan hakim yang menguasai ilmu-ilmu di atas dalam
menangani perkara anak.
Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa merupakan prinsip umum yang wajar,
pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi, yaitu hanya dikenakan kepada orang/si
pelaku itu sendiri (asas personal) dan hanya dikenakan kepada orang yang bersalah
(asas kesalahan/asas culpabilitas), penerapan prinsip umum yang demikian (yaitu
61
pertanggungjawaban individual) terhadap orang dewasa merupakan hal yang wajar,
karena orang dewasa memang selayaknya dipandang sebagai individu yang bebas dan
mandiri (independent) dan betanggung jawab penuh atas perbuatan yang
dilakukannya. Namun penerapan prinsip umum ini lkepada anak patut dikaji.(Romli
Atmasasmita, loc.cit) kalau dinyatakan oleh beberapa orang responden bahwa
pemidanaan terhadap masalah anak ini bukanlah sasarannya sebagai pembalasan dan
hukuman diperberat, menurut mereka bahwa dengan ancaman diperberat tersebut
ditujukan agar tidak ada maksud untuk mengulangi kejahatannya lagi.
Di lain sisi dalam instrumentalia total administrasi peradilan pidana,
rasionalias hukum telah kehilangan banyak otonominya dan ciri khasnya. Hukum
tidak lagi menjadi sumber utama untuk menentukan batas-batas pertanggungjawaban
kejahatan, rasionalitas organisasi. Organisasi Pengadilan ini terbentuk karena masing-
masing anggotanya mempunyai kekuasaan. Sehingga kepentingan kelompok
kekuasaan keahlian diharapkan untuk untuk meninggalkan aliran hukum klasik.
Kekuasaan karena keahlian ini merupakan kristalisasi dua pihak yang berhadapan
yaitu antara hakim dan terdakwa yang memungkinkan pengetahuan mempunyai
kekuasaan lebih besar dibandingkan orang yang tidak/kuang karena keahlian. Hakim
yang memeriksa perkara anak ataupun residivist anak, idealnya diharapkan bukan
karena indikator pengalaman sebagai hakim, akan tetapi dibutuhkan hakim yang
khusus karena keahlian dan pengalaman, pernah memeriksa perkara residivist anak.
Hanya saja keahlian ini terabaikan apabila mengingat antara jumlah hakim dan
terdakwa di pengadilan tidak seimbang.
Oleh karena itu, apabila hakim-hakim masih tetap dalam memutus perkara
dangan KUHP sebagai landasannya terutama perkara residivist anak, maka tujuan
pemidanaan dengan konsep hukum klasik turut dipertahankan dengan sebab keahlian
untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara itu kurang mendapat prioritas
utama.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Dari paparan di atas dapat disimpulkan:
1.Diskriptif pemidanaan pada recidive anak guna pembaharuan hukum pidana.
a. Pidana penjara bagi recidivist anak merupakan sarana yang efektif untuk hakim.
62
b. Aspek efektifitas persidangan pada recidivist anak diperngaruhi oleh subsistem
yang nyaman.
2..Diskriptif pemidanaan pada recidive anak yang berbasis perlindungan anak itu.
Dalam kaitan dengan perlindungan anak, pidana alternatif dapat dijatuhkan oleh
hakim bila orangtua/walinya memperhatikan persidangan/hadir dalam persidangan.
3.Upaya penanggulangan pada recidive anak yang berbasis perlindungan anak itu.
Penanggulangan yang dilakukan terhadap recidivist anak dilakukan melalui sarana
Penal maupun non penal. Penanggulangan sarana penal melalui pidana penjara
prosentase besar dilakukan oleh Hakim, oleh karena itu sarana non penal berupa
pembinaan yang integratif dari LPA/Lembaga Perlindungan Anak/BPM,
Pemerintah dalam hal ini Dinas sosial, Penagak Hukum, Orang tua/Wali, yang
dikarenakan penanggulangannya/non penal masih bersifat parsial.
B. SARAN
Diharapkan pemidanaan oleh hakim memperhatikan latarbelakang pelaku residivist
anak, yang dewasa ini prosentase besar memberikan sanksi pidana penjara. Aspek
penal yang memperhatikan kebijakan integratif pemeriksaan dipersidangan untuk
keluarnya keputusan. Aspek non penal upaya parsial diminimalisasi dengan
maksimalisasi integratif pembinaan.
DAFTAR PUSTAKA
Andenaes, J. 1972. Does Punishment Deter Crime ? dalam Philosopical Perspektive on Punishment, Gertrude Ezorsky (Ed), New York.
Arief, Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,
Bandung: PT Citra Adtya Bakti Arief, Barda Nawawi 2002. Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Aspehupiki bekerja sama dengan Fak. Hukum Univ. Surabaya, Prigen : Ubaya
Atmosasmito, Romli , d. k. k. 1997 Peradilan Anak di Indonesia, Bandung :Mandar Maju Bawengan, Gerson.1997. Pengantar Psikologi Kriminil, Jakarta : Pradnya Paramita Dawson, Jhon P. Dawson, dikutip dari Berman, Harold J. 1996. Ceramah-ceramah
tentang Hukum Amerika Serikat, terj. Gregory Churchil, Jakarta : PT Tata Nusa
63
Donald R. Taft and Ralp W. England.1964. Criminology Habib-Ur-Rahman Khan. 1973. Prevention of Crime-It is society which needs “The
Treatment, Not The Criminal, dalam Source Material Series No. 6 H.D Hart (ed). 1971. Punishment : For and Agains, New York Herbert L. Packer,1968. The Limits of Criminal Sanction. Liliweri, Alo . 1997. Sosiologi Organisasi, Bandung : PT Citra Aditya Bakti Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan kebijakan pidana, edisi
revisi, Alumni, Bandung : Alumni Muladi.1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cetakan I, Semarang : Undip Nonet, Philippe, Philip Selznick, Law and Society in Transition, Toward Responsive
Law, Harper & Row Publishers, New York, Hagerstone, San Fransisco Orland, Leonard . 1973. Justice, Punishment, Treatment The Correctional
process, New York Peter, Antoni A. G. Peter. 1996. Aliran-aliran Utama dalam Teori-teori Hukum
Pidana, terj. S2 Ilmu Hukum Undip, Semarang : Undip Prakoso, Djoko. 1984. Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek,
Jakarta : Ghalia Indonesia Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat, Bandung : Angkasa Ruba’i, Masruchin .1994. Pidana dan pemidanaan, cet-1,Malang :Ikip, Malang
Saleh, Roeslan. 1984. Segi Lain Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia
Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survey, Jakarta :
LP3ES
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri,
Jakarta : Ghalia Indonesia
Subagyo, P. Joko . 1997. Metode Penelitian : dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta
Sudarsono.1991. Kenakalan Remaja, edisi ke dua, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 Sudarto 1983. Hukum pidana dan Perkembangan Masyarakat
64
Thomas, Charles W. , Donna M. Bishop. 1987. Criminal Law : Understanding Basic Principle, Vol. 8 Law and Criminal Justice Series, Clifornia : Sage Publication, Inc. Newbury Park
Willis, RH. 1964. Descriptive Models of Social Respons, Technical Report, Norn
Contract.
Zamroni.1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial, cetakan-I, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana
Undang-undang :
UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, IKAHI: Varia Peradilan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak
Makalah-makalah :
Arief, Barda Nawawi. 1996. Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak, makalah dalam Seminar Nasional Peradilan Anak, Unpad, Hotel Panghegar, Bandung, 5 Oktober 1996.
Arief, Barda Nawawi . 2002. Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam
Penanggulangan Kejahatan, Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Aspehupiki bekerja sama dengan Fak. Hukum Univ. Surabaya, Prigen
Sahetapy, J.E.2002. Viktimologi : Sebuah Catatan Pengantar, makalah dalam Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, FH Ubaya
Jurnal Ilmiah :
Susanto, I.S. 1992. Pemahaman Kritis Terhadap Realitas Sosial, dalam Majalah Masalah-masalah Hukum No. 9 tahun 1992, Semarang : FH Undip
Tongat.2004. Reorientasi dan Reformulasi Sistem Perumusan Ancaman Pidana
Penjara Dalam KUHP, FH Unmuh, Legality, Jurnal ilmiah Hukum, Akreditasi 23a/Dikti/2004, Volume 12, No. 2, September 2004-Februari 2005, ISSN : 0854-6509, Malang : Unmuh
Wahjoedi, Richard dan Didik Endro purwoleksono, 1994. Kecenderungan dan
Latar Belakang Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak-anak di LPAN Blitar, dalam Yuridika, No. 1 Tahun VIII, Surabaya: FH Unair
Penelitian :
65
Hafrida. 1995. Proses Peradilan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak di Kotamadya Bandar Lampung, Thesis pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Semarang : Undip
Subarkah, Ibnu.2000. Persepsi Hakim Terhadap Pemidanaan Recidive Anak,
Thesis, Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Semarang :Undip ____________ , dkk. 2005. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Ulang
(Recidive) Anak (studi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kota Malang) Laporan Hasil Penelitian Dosen Muda Dikti, Jakarta: Dikti
LAMPIRAN
BAGI PERLINDUNGAN ANAK/PEMERINTAH SETEMPAT DAFTAR PERTANYAAN
a. Nama Lengkap : …………………………………………………………… b. Umur :……………………………………………………………. b. Pekerjaan :……………………………………………………………. c. Jabatan :……………………………………………………………. d. Masa Kerja :……………………………………………………………. e. Alamat Kantor :…………………………………………………………….
Penelitian yang berjudul “ Study Diskriptif terhadap Pemidanaan Recidive Anak Berbasis Perlindungan Anak dalam Upaya Membangun Model Penanggulangan Anak “ ini bertujuan untuk mengetahui diskriptif pemidanaan recidive anak, diskriptif pemidanaan anak yang berbasis perlindungan anak dan diskriptif dalam upaya penanggulangan recidive anak dengan basis perlindungan anak, guna menentukan perumusan model penanggulangannya. Permasalahan ini berangkat dari persoalan TKW dengan mengutip “ sanksi bagi orang tua yang menelantarkan anak “ sebagaimana secara normatif tertera dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Impact yang terjadi adalah timbulnya komunitas “anak bermasalah” dalam bidang hukum, khusus yang disoroti dalam penelitian ini “recidive anak”. Oleh karena itu, guna memecahkan permasalahan yang kita hadapi bersama di atas, kami mohon dari informan (rersponden) untuk menginformasikan seobyektif-obyektifnya atas beberapa pertanyaan di bawah ini. Demikian kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan, dan mohon maaf bilamana terdapat kekurangan-kekurangan kami. Mudah-mudahan bermanfaat.
I.Identitas Informan
II. Pemidanaan, recidive, anak
66
1. Bagaimana pemidanaan terhadap anak yang selama ini terjadi di tingkat peradilan, menurut Bpk/Ibu ? (Tahun 2007,2006,2005,2004,2003)
2. Dari item (1), berapa jumlah perkara bagi pelaku anak pidana dan recidivist (anak) yang pernah/sedang bpk/ibu advokasi? (Tahun 2007,2006,2005,2004,2003)
3. Apakah pemidanaan bagi anak telah memenuhi /berbasis perlindungan
anak menurut bpk/ibu? Bila ya, sebut alasannya,
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
67
Bila tidak, sebut alasannya
4. Bagaimanakah pendapat Bpk/Ibu, dalam pemeriksaan perkara anak
dan recidivist (anak), apakah sistem yang dikembangkan selama ini mendukung ? Bila ya, sebut alasannya
Bila tidak, sebut alasannya
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
68
1. Bagaimana rata-rata latar belakang pelaku anak dan recidivist (anak) yang ditangani/disidang/pernah disidang/ditangani?-berikut faktor-faktor penyebabnya. (Tahun 2007, 2006, 2005, 2004, 2003)
2. Bagaimanakah implementasi pemeriksaan yang “berbasis perlindungan
anak itu” terhadap pelaku recidivist (anak)?
3. Apakah dengan adanya UU perlindungan anak ini berpengaruh
terhadap penanganan masalah anak khususnya anak yang bermasalah hukum (sebut recidive anak)? Bila Ya, sebut alasannya
III. Pemidanaan yang berbasis perlindungan anak
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
69
Bila tidak, sebut alasannya
4. Harapan apa yang mendesak seyogyanya disampaikan untuk model
penanganan terhadap anak (recidive anak) yang bermasalah terhadap hukum dengan basis perlindungan terhadap anak ?
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
70
1. Bagaimana rata-rata penanggulangan terhadap pelaku anak dan recidivist (anak) ? (Tahun 2007, 2006, 2005, 2004, 2003)
2. Dari item 1 tentang faktor-faktor penyebab, prosentase terbesar faktor penyebab apa anak melakukan tindak pidana dan mengulangi tindak pidana (sebagai recidivist)?
3. Apakah ada pengaruh yang signifikan penyebab terjadi tindak pidana
yang dilakukan oleh anak dan pengulangan tindak pidana (recidive) karena orang tua sebagai TKI (TKW)
Bila ada, sebut alasannya
IV. Penanggulangan Yang berbasis perlindungan anak
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban
Informasi/Jawaban
71
Bila tidak ada, sebut alasannya
4. Bentuk penanggulangan apa yang prosentase besar diterapkan pada
pelaku anak dan recidivist (anak)?
5. Dari item 2, mengapa ?
6. Apakah ada pengaruh UU perlindungan anak dengan sistem
penanggulangan yang selama ini diimplementasikan ?
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban
72
Bila Ya-Ada, alasannya
Bila tidak ada, alasannya
7. Bagaimana harapan yang mendesak seyogyanya disampaikan untuk
model penanggulangan terjadinya pelaku anak dan residivist (anak) yang berbasis perlindungan anak itu ?
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
73
………………., ………………………………2007 Informan/responden ( …………………………………………………..)
74
BAGI HAKIM ANAK
a. Nama Lengkap : …………………………………………………………… b. Umur :……………………………………………………………. b. Pekerjaan :……………………………………………………………. c. Jabatan :……………………………………………………………. d. Masa Kerja :……………………………………………………………. e. Alamat Kantor :…………………………………………………………….
1. Bagaimana jumlah perkara dan jenis kejahatan tentang pelaku anak dan recidivist anak nakal/pidana yang disidang/pernah disidang ?(Tahun 2007,2006,2005,2004,2003)
DAFTAR PERTANYAAN
Penelitian yang berjudul “ Study Diskriptif terhadap Pemidanaan Recidive Anak Berbasis Perlindungan Anak dalam Upaya Membangun Model Penanggulangan Anak “ ini bertujuan untuk mengetahui diskriptif pemidanaan recidive anak, diskriptif pemidanaan anak yang berbasis perlindungan anak dan diskriptif dalam upaya penanggulangan recidive anak dengan basis perlindungan anak, guna menentukan perumusan model penanggulangannya. Permasalahan ini berangkat dari persoalan TKW dengan mengutip “ sanksi bagi orang tua yang menelantarkan anak “ sebagaimana secara normatif tertera dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Impact yang terjadi adalah timbulnya komunitas “anak bermasalah” dalam bidang hukum, khusus yang disoroti dalam penelitian ini “recidive anak”. Oleh karena itu, guna memecahkan permasalahan yang kita hadapi bersama di atas, kami mohon dari informan (rersponden) untuk menginformasikan seobyektif-obyektifnya atas beberapa pertanyaan di bawah ini. Demikian kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan, dan mohon maaf bilamana terdapat kekurangan-kekurangan kami. Mudah-mudahan bermanfaat.
I.Identitas Informan
II. Pemidanaan, recidive, anak
75
2. Dari item (1), berapa jumlah perkara bagi pelaku anak dan recidivist (anak)?
3. Apakah terdapat perbedaan cara pemeriksaan bagi
pelaku anak dan recidivist (anak)? Bila ya, sebut alasannya,
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
76
Bila tidak, sebut alasannya
4. Bagaimanakah pendapat Bpk/Ibu, dalam
pemeriksaan perkara anak dan recidivist (anak), apakah sistem yang dikembangkan selama ini mendukung ?
Bila ya, sebut alasannya
Bila tidak, sebut alasannya
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
77
1. Bagaimana rata-rata latar belakang pelaku anak dan recidivist (anak) yang ditangani/disidang/pernah disidang/ditangani?-berikut faktor-faktor penyebabnya. (Tahun 2007, 2006, 2005, 2004, 2003)
2. Bagaimanakah implementasi
pemeriksaan yang “berbasis perlindungan anak itu” terhadap pelaku recidivist (anak)?
3. Apakah dengan adanya UU perlindungan
anak ini berpengaruh terhadap implementasi pemeriksaan dan keluarnya putusan?
III. Pemidanaan yang berbasis perlindungan anak
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
78
Bila Ya, sebut alasannya
Bila tidak, sebut alasannya
4. Harapan apa yang mendesak seyogyanya disampaikan untuk model
pemeriksaan pelaku anak dan recidivist (anak) dengan basis perlindungan anak ?
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
79
1. Bagaimana rata-rata penanggulangan terhadap pelaku anak dan recidivist (anak) ? (Tahun 2007, 2006, 2005, 2004, 2003)
2.Bentuk penanggulangan apa yang prosentase besar diterapkan pada pelaku
anak dan recidivist (anak)?
f. Dari item 2, mengapa ?
IV. Penanggulangan Yang berbasis perlindungan anak
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
80
3. Apakah ada pengaruh UU perlindungan anak dengan sistem
penanggulangan yang selama ini diimplementasikan ? Bila Ya-Ada, alasannya
Bila tidak ada, alasannya
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
Informasi/Jawaban :
81
4. Bagaimana harapan yang mendesak seyogyanya disampaikan untuk model penanggulangan terjadinya pelaku anak dan residivist (anak) yang berbasis perlindungan anak itu ?
………………., ………………………………2007 Informan/responden ( …………………………………………………..)
Personalia Tenaga peneliti Ketua Peneliti
Nama Lengkap dan Gelar Tempat dan Tanggal Lahir Ibnu Subarkah, SH.MH Madiun, 14 Desember 1965
Pendidikan
Universitas dan lokasi Gelar Tahun Selesai Bidang Studi
Unibraw Malang Sarjana Hukum 1990 Ilmu Hukum-Hukum Pidana Undip Semarang Magister Hukum 2000 Ilmu Hukum-Sistem Peradilan
Pidana Pengalaman Kerja dan Pengalaman dalam Penelitian serta Kedudukan Saat Ini
Institusi Jabatan Periode Bekerja Aspehupiki (Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan
Kriminologi) Cabang Malang Pengurus Bidang 1993-hingga
sekarang Lemabga Swadaya Masyarakat Granat Malang Raya Ketua Bidana
Analisis 2003 hingga
sekarang Pusat Studi Wanita Univ. Widyagama Malang Pengurus Bidang 1999 hingga
sekarang Pelaksana jurnal Ilmiah Widya Yuridika FH Univ. Ketua 2000-hingga
Informasi/Jawaban :
82
Widyagama Malang sekarang Kedudukan saat ini: Fakultas Hukum Universitas Widyagama
Malang Dosen tetap 1991 hingga
sekarang
Pengalaman Penelitian Masalah Pelarian Narapidana (Studi di LP Klas I Lowokwaru Malang 1991 Persepsi Mahasiswa Terhadap Berita-berita kriminal 1997 Faktor-faktor Penyebab terjadinya Recidive Anak, PDM, DIKTI 2005 Persepsi Hakim Terhadap Pemidanaan Recidive Anak (Studi Pada PN Malang, Blitar, dan LPAN Blitar, 2000 Persepsi masyarakat terhadap Pemidanaan Pekerja Seksual Jalanan dan Pengaruhnya Terhadao Kebijakan
Pemkot, PDM, 2006
Daftar Publikasi o Ibnu Subarkah, 1999, Marsina, Malang Pos Ibnu Subarkah, 2000. Ham Yang Dipaksanaka, Malang Pos. Ibnu Suabrkah, dkk 2003 Refleksi Fredom Of Pers dihadapan Hukum, Jurnal Widya Yuridika, Vol. 11 No. 3
Desember 2003 Ibnu Suabrkah, dkk, 2004. Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah dan Hak Jawab dalam Bidang Pers, Jurnal
Ilmiah Widya Yuridika, Vo. 12. No. 1 April 2004 Ibnu Subarkah, 2003, Kecenderungan Perilaku BirokraSI Pengadilan Terhada Recidive aAnak, Jurnal Widya
yuridika, Vol. 11 No. 2 Agustus 2003 Ibnu Subarkah, dkk. Demokrasi dan Negara Hukum Indonesia, Jurnal Widya Yuridika, Volume 12, No. 2
Agustus 2004
Malang, 2007 Peneliti,
Ibnu Subarkah, SH.MH
83
4.1. Anggota Peneliti
Nama Lengkap dan Gelar Tempat dan Tanggal Lahir Agus Sudaryanto, SH Ciilacap, 13 Desember 1967
4.2. Pendidikan
Universitas dan lokasi Gelar Tahun Selesai Bidang Studi
Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Sarjana Hukum 1990 Ilmu Hukum-Hukum Pidana
4.3. Pengalaman Kerja dalam Penelitian dan Pengalaman Profesional serta Kedudukan Saat Ini Institusi Jabatan Periode Bekerja Lembaga Konsultas Dan Bantuan Hukum Fakultas
Hukum Univ. Widyagama Malang Legal defender 2001 hingga
sekarang Jurnal Widya Yuridika Fakultas Hukum Univ.
Widyagama Malang Wakil Ketua 2000 hingga
sekarang Kedudukan saat ini: Fakultas Hukum Universitas
Widyagama Malang Dosen tetap 1992 hingga
sekarang 4.4. Pengalaman Penelitian Pola Pembinaan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi di LPAN Blitar sebagai uji verifikasi thd
UU No. 12 Tahun 1995 dan UU No. 3 Tahun 1997), Penelitian Dosen Muda, DP2 M, Dikti Kekuatan Hukum Pembuktian Keterangan Ahli Psikiater dalam Perkara Pembunuhan (Studi di
Pengadilan Negeri Cilacap), 1991 Publikasi ilmiah :
1. Indikator Perda Bermasalah yang menghambat investasi ke Daerah, Jurnal Ilmiah Widya Yuridika, Vo. 12, No. 2 Agustus 2004
2. Studi terhadap Tindak pidana Penganiayaan antar Narapidana dan Upaya Penaggulangannya, Jurnal Ilmiah Widya Yuridika, Vo. 12, Nomor 1, Aprol 2004
3. Efektivitas pidana penjara dalam Pembinaan Narapidana : Suatu studi di LP Wanita, Kelas II A Kebonsari Malang, Jurnal Ilmiah Widya Yuridika, Vo. 12, No. 3 , Desember 2004
Malang, 2007 Peneliti, Agus Sudaryanto, SH