laporan penelitian hibah bersaing - widyagama.ac.id filehukum pidana ? guna mendapat data evaluasi...

83
1 LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING STUDI DESKRIPTIF TERHADAP PEMIDANAAN RECIDIVE ANAK BERBASIS PERLINDUNGAN ANAK DALAM UPAYA MEMBANGUN MODEL PENANGGULANGAN Oleh IBNU SUBARKAH, SH.MH (KETUA) AGUS SUDARYANTO, SH (ANGGOTA) LUKMAN HAKIM SH.MH(ANGGOTA Ir. Wahyu Anny W. MS (ANGGOTA) Universitas Widyagama NOPEMBER, 2007 ILMU HUKUM

Upload: phamkiet

Post on 30-May-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

1

LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING

STUDI DESKRIPTIF TERHADAP PEMIDANAAN

RECIDIVE ANAK BERBASIS PERLINDUNGAN ANAK DALAM UPAYA MEMBANGUN MODEL

PENANGGULANGAN

Oleh

IBNU SUBARKAH, SH.MH (KETUA) AGUS SUDARYANTO, SH (ANGGOTA) LUKMAN HAKIM SH.MH(ANGGOTA

Ir. Wahyu Anny W. MS (ANGGOTA)

Universitas Widyagama NOPEMBER, 2007

ILMU HUKUM

Page 2: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

2

BAB I. PENDAHULUAN

Hakim dalam pelaksanaan pemidanaan dipengaruhi internasilisasi dalam

bekerjanya sistem paradilan yaitu pada aspek Kekuasaan dan Birokrasi, dan

kedudukan hakim tersebut dalam pengadilan yang dinamakan dengan organisasi.

Bekerjanya sistem peradilan pidana berpengaruh pada ketika hakim melakukan

pemidanaan. Ketentuan khusus tentang recidive anak dalam perundang-undangan

sangat perlu. Bahwa masalah pemberatan pidana bagi anak itu terjadi karena KUHP

itu sendiri menentukan ditambah 1/3 dari ancaman hukuman pokok, dimana

pengaturannya telah tercermin dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP yang merupakan

peraturan kolonial Belanda. Kiranya kerangka penegakan hukum pidana di Indonesia

perlu ditinjau ulang dimana suatu sistem yang tidak efektif itu akan menimbulkan

kondisi-kondisi seperti adanya disparitas pidana, Legislated Environment, korban

kejahatan, stigma sosial, dan prisonisasi yang merupakan permasalahan-permasalahan

yang berkaitan dengan sistem peradilan pidana, dan untuk permasalahan yang

berkaitan dengan legislated environment, akibat warisan klasik yang menciptakan

fragmentaris penerapan hukum pidana.1). Perlu diketahui bahwa bahwa masa dimana

anak dikatakan remaja merupakan fase perkembangan yang sangat mencolok baik

secara fisik, psikologis, sosial dan moralitas, dimana masa adolelsen, umur 13-21

tahun, anak-anak sedang mengalami kegoncangan jiwa.2) Menyikapi hal tersebut

maka prinsip-prinsip individualisasi pidana perlu untuk diperhatikan, hakim dalam

memutus suatu perkara harus mempertimbangkan kemampuan bertanggungjawab

terdakwa. Makin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku seseorang memberikan

ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, makin sering pula orang lain itu mengulang

tingkah lakunya itu. Atas dasar itu diangkatlah persoalan tersebut dalam penelitian

sebagai berikut :

1. Bagaimana diskriptif pemidanaan pada recidive anak guna pembaharuan

hukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi.

1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil, yakni akibat warisan aliran klasik yang menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana. Yang berpandangan pembalasan merasa mendapat legimitasi dari undang-undang yang sudah ketinggalan jaman. Pandangan yang semata-mata pembalasan ini akan menghasilkan pemidanaan yang tidak bermanfaat dan menjadikan seseorang sebagai residevist. Dampaknya dapat berupa pilihan pidana yang sangat sedikit, untuk memudahkan penerapannya. (Lihat Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cetakan I, Universitas Diponegoro, Semarang,1995, h. 24-25 ) 2) Sudarsono, Kenakalan Remaja, edisi ke dua, Rineka Cipta, Jakarta, 1991, hal. 155

Page 3: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

3

2. Bagaimana diskriptif pemidanaan pada recidive anak yang berbasis

perlindungan anak itu ? Guna mendapatkan data evaluasi dan reorientasi

dengan menerapkan basis Perlindungan anak.

3. Bagaimana upaya penanggulangan pada recidive anak yang berbasis

perlindungan anak itu ? Guna menentukan perumusan model penanggulangan.

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Perlindungan hak-hak asasi manusia terdakwa pada tingkat pengadilan dapat

direfleksikan melalui tindakan seorang hakim sebagai penegak hukum tentang

tugasnya untuk menjatuhkan pidana melalui upayanya untuk melakukan pemidanaan

yang bernafaskan keadilan dan kebenaran. Sampai saat ini meskipun telah disusun

suatu produk legeslatif berupa Undang-undang Pengadilan Anak yaitu Undang-

undang No.3 Tahun 1997, serta Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak, permasalahan-permasalahan diperkirakan akan muncul

berkenaan dengan pemidanaan,3) khususnya pada perlindungan anak sebagai pelaku

kejahatan ulang. Perlu untuk disimak meskipun perangkat undang-undang mengatur

pemidanaan terhadap pelaku di kategorikan dewasa dan anak-anak adalah berbeda,

akan tetapi suatu kondisi aparat penegak hukumnya dalam hal ini hakim merupakan

pintu penutup yanng nantinya akan menjembatani perlindungan terhadap hak-hak

terdakwa dengan keadilan dan kebenaran itu sendiri. Dikemukakan oleh Barda

Nawawi Arief sebagaimana di sunting oleh Romli Atmasasmita bahwa prinsip

umum pemidanaan dengan melihat pertanggung jawaban individual terhadap orang

dewasa merupakan hal yang wajar, karena orang dewasa memang sudah selayaknya

dipandang sebagai individu yang bebas dan mandiri (independent) dan

bertanggungjawab penuh atas perbuatan yang dilakukannya. Namun penerapan

prinsip umum ini kepada anak patut dikaji karena anak belum dapat dikatakan sebagai

individu yang mandiri secara penuh. Oleh karena itu penerapan prinsip ini dilakukan

sangat hati-hati dan selektif, dengan mengingat tingkat kematangan /kedewasaan

setiap anak. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ada baiknya dikembangkan gagasan

yang mengimbangi sistem pemidanaan/pertanggungjawaban individual itu dengan

3) Pemidanaan, menurut Soedarto adalah merupakan penyempitan arti dari istilah penghukuman yakni penghukuman dalam perkara pidana (lihat Muladi dan Barda Nawawi Arief, teori-teori dan kebijakan pidana, edisi revisi, Alumni, Bandung, 1992, h. 1).

Page 4: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

4

sistem pertanggungjawaban struktural/fungsional.4) Beliau mengemukakan bahwa

diperlukan adanya prinsip-prinsip yang seharusnya diperhatikan oleh hakim dalam

menjatuhkan sanksi (pidana/tindakan) kepada hakim, khususnya dalam hal

menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. Hal ini dipandang sangat penting,

karena masalah ini yang menjadi pusat perhatian dari dokumen-dokumen

internasional, yaitu pasal 17.1 SMR-JJ (The Beijing Rules), dan Resolusi PBB 45/113

tentang UN Rules the Protection of juvenile Deprived of Their Liberty.5)

Perlu diketahui juga bahwa negara melalui hakim dalam menjatuhkan pidana

tentunya memperhatikan pembenaran-pembenaran yang ada. Suatu sasaran yang

diharapkan akan dipengaruhi oleh kedudukannya sebagai aparat birokrasi dan

dominasinya aspek individu. Oleh karena itu seperti yang dikemukakan oleh Roeslan

Saleh, bahwa seorang hakim akan mudah mengambil kesimpulan apabila seorang

hakim mengerti tujuan-tujuan apakah yang akan dicapai dengan membebankan

pidana. Dengan ini baik kekuasaan kehakiman maupun publik dan orang yang di

hukum, begitu pula pelaksana pidana akan mempunyai pegangan. Sebab merekalah

yang harus melaksanakan keputusan hakim dan oleh karenanya pula seharusnnya

berbuat sesuai dengan tujuan yang akan dicapai oleh hakim itu.6) Tidak semua

putusan hakim itu memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan ataupun bagi si

terdakwa itu sendiri. Stigma yuridis sebagaimana yang ditentukan dalam KUHP

sebagai pedoman kolonial bagi hakim dirasakan telah melekat tidak saja pada hakim

saja, penegak hukum lainnya pun dalam mengatasi permasalahan anak ini masih

terpolarisasi peraturan peninggalan tersebut, suatu misal mereka yang melakukan

kejahatan ulang atau recidive, hakim menjatuhkan baginya pemberatan pidana tanpa

mengerti sebab-sebab secara kriminologis. Menurut penulis, dalam hasil penelitian

tentang Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan ulang (recidive) anak bahwa

salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya kejahatan ulang pada pelaku anak

adalah karena ketidakmampuan keluarga dalam hal ini orang tua melakukan

pemberian kasih sayangnya pada pelaku kejahatan ulang anak. Tercatat juga disini

bahwa faktor lain adalah berkenaan dengan bekerjanya sistem peradilan, yakni

subjektivitas pemeriksaan masih kuat berpengaruh ketika memeriksa perkara pidana

4) Romli Atmasasmita, d. k. k, Peradilan Anak di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 1997, h.80, menyunting dari Barda Nawawi Arief, Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak, makalah dalam Seminar Nasional Peradilan Anak, Unpad, Hotel Panghegar, Bandung, 5 Oktober 1996. 5) ibid, halaman 76-77 6) Roeslan Saleh, Segi Lain Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984,h. 28-29

Page 5: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

5

dengan pelaku anak.7) Oleh karena itu dalam kerangka penegakan hukum pidana di

Indonesia diharapkan sistem yang ada dapat berjalan seefektif mungkin, karena sistem

yang tidak efektif itu akan menimbulkan kondisi-kondisi seperti adanya disparitas

pidana, Legislated Environment, korban kejahatan, stigma sosial, dan prisonisasi yang

merupakan permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan sistem peradilan

pidana.8) Selanjutnya dikemukakan oleh penulis, bahwa selama ini hakim dalam

menjatuhkan putusan masih mengikuti pola-pola tradisional, dari sudut pandang

pembalasan semata. Terhadap pemidanaan recidive anak berlaku ketentuan

pemberatan pidana. Hakim diharapkan tidak menutup mata sebelah tentang mengapa

mereka melakukan kejahatan ulang.

Berdasar paparan di atas, kajian terhadap permasalahan ini masih relevan

untuk ditindak lanjuti dengan mengingat manusianya dalam suatu birokrasi ini

menentukan efektivitas bekerjanya suatu Sistem yang ada yaitu Sistem Peradilan

Pidana, khususnya seberapa jauh bekerjanya hukum pidana dan pemidanaan di

Indonesia mengandung aspek tujuan pemidanaan.

1. Teori-teori dan Aliran Pemidanaan.

Hak memidana bagaimanapun selalu dihadapkan pada suatu paradoxialitas,

yang artinya pada satu sisi pemerintah atau negara harus menjamin kemerdekaan

individu dan menjaga supaya pribadi manusia tidak disinggung dan tetap dihormati,

tetapi di lain pihak kadang-kadang sebaliknya, yaitu negara atau pemerintah

menjatuhkan hukuman dan karena menjatuhkan hukuman itu maka pribadi manusia

tersebut oleh pemerintah atau negara sendiri diserang. Mengapa hal demikian terjadi,

suatu kecenderungan negara akan mengadakan pembalasan adalah bukan pada

mereka yang melakukan kejahatan pertama kali yaitu sebagai pemula, tetapi ada pada

mereka yang melakukan kejahatan ulangan atau lebih dikenal dengan recidive.

Oleh karena itu terhadap persoalan pemidanaan ini perlu dipecahkan dengan

mengingat pada teori-teori tentang pemidanaan yang berlaku serta aliran-aliran yang

mendasari. Sampai seberapa jauh pengaruh teori-teori tersebut bagi pemidanaan.

a. Teori absolut atau teori pembalasan (retributive/vergeldings theorieen).

7) ibid, 8) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil, yakni akibat warisan aliran klasik yang menciptakan fragmentasi penerapan hukum pidana. Yang berpandangan pembalasan merasa mendapat legimitasi dari undang-undang yang sudah ketinggalan jaman. Pandangan yang semata-mata pembalasan ini akan menghasilkan pemidanaan yang tidak bermanfaat dan menjadikan seseorang sebagai residevist. Dampaknya dapat berupa pilihan pidana yang sangat sedikit, untuk memudahkan penerapannya. (Lihat Muladi, loc.cit )

Page 6: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

6

Teori ini termasuk teori yang tertua, dan pidana dipandang sebagai

pembalasan terhadap orang yang telah melakukan tindak pidana. Nigel Welker,

sebagaimana dikutip oleh Sahetapy memberikan tiga pengertian mengenai

pembalasan, yaitu :retaliatory retribution, yang berarti dengan sengaja membebankan

suatu penderitaan yang pantas diderita oleh seseorang penjahat dan yang mampu

menyadari bahwa beban penderitaan itu akibat kejahatan yang dilakukannya;

distributive retribution, yang berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang

dibebankan dengan sengaja terhadap mereka yang telah melakukan kejahatan;

quantitative retribution, yang berarti pembatasan terhadap bentuk-bentuk pidana yang

mempunyai tujuan lain dari pembalasan, sehingga bentuk-bentuk pidana itu tidak

melampaui tingkat kekejaman yang dianggap pantas untuk kejahatan yang

dilakukan.9) Teori ini mempunyai dasar pembenaran, yang menyatakan bahwa pidana

merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang

yang melakukan kejahatan.

Menurut Johannes Andenaes yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa

tujuan utama (primair) dari pidana menurut teori absolut ialah untuk memuaskan

tuntutan keadilan (to satisfy the claims of justice), sedangkan pengaruh-pengaruhnya

yang menguntungkan adalah sekunder.10)

KUHP menetapkan the limiting retributivist dengan menetapkan pidana

maksimum sebagai batas atas, tanpa mewajibkan pengadilan untuk mengenakan batas

maksimum tersebut.

Charles W. Thomas dan Donna M. Bishop, mengemukakan, bahwa retributive

mempunyai kemampuan dalam memilih rasionalitas asli dengan dasarnya baik dan

buruk, pidana dan bukan pidana sebagai pilihan-pilihannya, the amount or type of

punishment which may be justified is limited by what is referred to as the principle of

just deserts or the principle of proportionality .11)

Jadi apabila seseorang mengadakan suatu penderitaan istimewa terhadap

seorang anggota masyarakat lain, maka sudah seimbanglah bahwa orang itu diberi

9) Masruchin Ruba’I, Pidana dan pemidanaan, cet-1,Ikip, Malang, 1994, h. 6 10) Muladi, & Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, edisi revisi, Alumni, Bandung, 1992, h. 11 11) Charles W. Thomas, Donna M. Bishop, Criminal Law : Understanding Basic Principle, Vol. 8 Law and Criminal Justice Series, Clifornia : Sage Publication, Inc. Newbury Park, 1987, p. 76

Page 7: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

7

suatu penderitaan yang sama besarnya dengan penderitaan yang telah dilakukannya

terhadap orang lain anggota masyarakatnya tersebut.12)

Meskipun telah dikemukakan karakteristik dari teori pembalasan pada

kenyataannya, pembalasan adalah realisasi daripada emosi, memberikan pemuasan

emosionil kepada pemegang kekuasaan dan merangsang kearah sifat-sifat sadistis,

sentimental. Sehingga pembicaraan terhadap teori ini dirasakan kepentingan tujuan

untuk penghukuman sebenarnya lebih diutamakan.

b. Teori Relatif atau Tujuan

Pandangan dari teori ini mengisyaratkan bahwa hukuman merupakan suatu

cara untuk mencapai suatu tujuan yang lain daripada penghukuman itu sendiri. Tujuan

penghukuman itu sendiri adalah untuk melindungi ketertiban, untuk mencegah

terjadinya pelanggaran hukum dan ditujukan pula kepada pelanggar agar tidak

mengulangi pelanggarannya. Maka dari sini dapat dikatakan bahwa hukuman

disamping mempunyai suatu prevensi umum juga mengandung prevensi khusus.

Leonard Orland, berpendapat bahwa hukum pidana bertujuan untuk mencegah dan

mengurangi kejahatan, pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku

penjahat dan orang lain yang cenderung melakukan kejahatan.13)

Charles W. Thomas dan Donna M.Bishop, mengemukakan bahwa teori tujuan

(utilitarian) dari hukuman merupakan pandangan ke depan (forward looking)

daripada ke belakang (backward looking). Hukuman dilukiskan sebagai sesuatu tanpa

dasar moral. Menurutnya ruang lingkup pencegahan kejahatan ada tiga, yaitu :

general deterrence (pencegahan umum), berhubungan dengan bagaimana ancaman

specific deterrence, and incapacition. 14)

Berkenaan dengan pemidanaan recidive anak, terjadinya pengulangan dapat

didekati berdasarkan teori ini, yang lebih mengarahkan pada pengaruh pidana itu.

c. Teori Campuran atau Konvergensi

Toeri ke tiga dipelopori oleh Pellegrino Rossi (1787-1848), yang menurutnya

tujuan pidana disamping pembalasan dalam aspek lain bertujuan perbaikan sesuatu

yang rusak dalam masyarakat dan prevensi umum. Penulis-penulis lain yang

12) Gerson Bawengan, Pengantar Psikologi Kriminil, Pradsnya Paramita, Jakarta, 1997, h. 58 13) Leonard Orland, Justice, Punishment, Treatment The Correctional process, New York, 1973. h. 184 14) op.cit. p. 79

Page 8: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

8

berpendirian seperti ini adalah Binding, Merkel, Kohler, Richard Schimid, dan

Beling. 15)

Tujuan pidana menurut teori ini, beberapa sarjana berpendapat. Richard D.

Schawrt dan Jerome H. Skolnick mengemukakan bahwa sanksi pidana dimaksudkan

untuk mencegah terjadinya pengulangan tindak pidana (to prevent recidivism);

mencegah orang lain melakukan perbuatan yang sama seperti yang dilakukan si

terpidana (to deter other from the performance of similar acts); menyediakan saluran

untuk mewujudkan motif-motif balas dendam (to provide a channel for the expression

of retaliatory motive);.16)

Hingga dewasa ini ada tiga konsep pemikiran yang mendominasi hukum

pidana, sebagaimana dikemukakan oleh Antonio A.G. Peters, yaitu pertama aliran

klasik (the Classical School), yang menitikberatkan pada permasalahan undang-

undang dalam usaha untuk memberantas kejahatan; kedua, aliran modern/kriminologi

(modern of criminology), yang menitikberatkan pada pencegahan kejahatan serta

perlakuan terhadap pelaku kejahatan; ketiga, aliran pengawasan sosial (school of

social control), yang menitikberatkan kepada pembahasan politik perencanaan dan

organisasi.17) Disamping ada yang menyebutkan dua aliran saja dalam hukum pidana

yaitu aliran klasik dan aliran modern.

KUHP sebagai produk kolonial hukum pidana materiil, ketika diaplikasikan

oleh penegak hukum sangat kental akan kajian-kajian dimaksud di atas, teori

campuran kiranya yang dapat memberikan jawaban pada pemidanaan recidive anak.

Lembaga dimana hakim tersebut bekerja yaitu pengadilan merupakan

organisasi yang unik dan pranata penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu

masyarakat. Chamblis, yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo18)memberikan kriteria

penentu yang disebut dengan faktor penentu, dalam mencermati pengadilan, yaitu

Tujuan yang hendaknya dicapai dengan penyelesaian sengketa itu.; Tingkat perlapisan

yang terdapat di dalam masyarakat.

Perkembangan hukum menuju hukum modern dewasa ini, membawa

karakteristik perubahan pada aspek sosiologi pengadilan. Dikemukakan oleh Satjipto

15) op.cit. h. 19 16) ibid. h. 19-24 17) Antoni A. G. Peter, Aliran-aliran Utama dalam Teori-teori Hukum Pidana, terj. S2 Ilmu Hukum Undip, Semarang, 1996 18) Satjipto Rahardjo, Hukum dan Masyarakat, Angkasa, Bandung, 1986, h. 52.

Page 9: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

9

Rahardjo 19), bahwa sejak munculnya hukum modern, maka segalanya berubah dan

pengadilan menjadi struktur yang formal rasional, prosedural, dan birokratis. Ini

adalah bagian dari perkembangan hukum yang makin menjadi institusi otonom dalam

administrasi, metodologi, dan seterusnya.

Selanjutnya dengan munculnya hukum modern ini, mengakibatkan makin

meluas pula pembicaraan tentang pengadilan, terutama hakim sebagai wujud

personalitas pengadilan dituntut cakap dan professional dalam menghadapi setiap

realitas permasalahan. Dalil-dalil yang diterapkan oleh hakim semuanya merujuk pada

peraturan-peraturan yang berlaku. Untuk pelaksanaan proses verbal pada pelaku

kejahatan anak, yang tidak secara substansial pada recidive anak, hakim disamping

merujuk pada hukum pidana formil, juga merujuk pada hukum pidana materil, yatiu

Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang

Pengadilan Anak. Selama pengambilan keputusan masih belum dilakukan dengan

peralatan mekanik, selama itu pula faktor manusia, yaitu hakim masih perlu dipelajari

dalam berbagai seluk beluk. John P. Dawson, mengemukakan bahwa, hakim itu

adalah manusia dan dengan begitu tidak selalu memenuhi harapan. Di Amerika

Serikat, menurutnya pemakaian Pemilihan Umum dan pemilihan dengan cara

penunjukkan bagi seseorang hakim tidak diharapkan untuk mendapatkan hakim yang

terbaik dan teradil.20) Apabila dicermati di sidang pengadilan, muncul konflik dan itu

nyata, yaitu ada dalam pikiran yang bertentangan satu dengan yang lain. 21) Alam

pikiran dari terdakwa, yang bersifat subjektif dan secara vital terlibat dengan suatu

kejadian yang penting sekali baginya sendiri, disamping itu adalah alam pikiran dari

hakim, yang mengejar objektivitas, dan tidak vital terlibat pada kejadian dalam sidang

pengadilan itu serta penyelesaian perkara pidana yang dipandang sebagai pekerjaan

biasa. Dengan keadaan ini dua alam pikiran itu bertabrakan keras, tetapi kadang-

kadang pula keduanya ini sama sekali tidak saling menyinggung..

Lebih lanjut dikemukakan Satjipto Rahardjo22), mengadili itu bukanlah melakukan

sesuatu terhadap hal-hal yang berada di luar diri terdakwa. Mengadili adalah suatu

proses yang dengan susah payah telah terjadi di antara manusia dan manusia.

Mengadili adalah suatu pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum. Oleh 19) ibid, h.alaman 2. 20) Jhon P. Dawson, dikutip dari Berman, Harold J. Ceramah-ceramah tentang Hukum Amerika Serikat, terj. Gregory Churchil, Jakarta, PT Tata Nusa, 1996, h. 23 21) Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakartas, 1984., h. 22 22) op.cit., 23

Page 10: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

10

karenanya mengadili tanpa suatu hubungan yang bersifat sesama manusia antara

hakim dengan terdakwa kerapkali dirasakan sebagai memperlakukan ketidakadilan.

Mengingat persoalan hakim sebagai pribadi dan interaksi sosialnya

berpngaruh pada pemberian pidana, maka Djoko Prakoso23) mengemukakan bahwa

berkenaan dengan pemberian pidana faktor perkembangan masyarakat sudah

semestinya menjadi pertimbangan pula dari hakim, karena hakim dalam menjatuhkan

pidana wajib mempertimbangkan segala sesuatu yang dapat memberatkan atau

meringankan pidana. Faktor-faktor ini tidak hanya dicari pada diri si pembuat, akan

tetapi juga pada hal-hal yang objektif yang terletak di luar motif dan sifat si pembuat.

Atas persoalan tersebut sebelum hakim memutus suatu perkara bersalah atau

tidak bersalah, seorang hakim itu harus dapat mengemban nilai-nilai cultural

masyarakat, pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah seberapa jauh pindah tugas

dari hakim atau masa kerja di Pengadilan tertentu, untuk dapat memahami kondisi

sosio-kultual di daerah-daerah Indonesia. Pemahaman terhadap masalah ini, sungguh

besar pengaruhnya yang dimungkinkan pada objektivitas keputusan yang

mencerminkan keadilan substansial. Menurut Nicholas Henry, dikutip oleh Alo

Liliweri24)), ketertutupan organisasi pengadilan menurut perkembangan hukum dan

masyarakat, pada sisi-sisi tertentu mempunyai kendala. Kendala tersebut tercermin

apabila pengadilan sebagai organisasi, kurang memperhatikan pola-pola

perkembangan masyarakat dimana institusi itu berada. Ketertutupan organisasi

mengakibatkan pembicaraan tentang pengadilan dan keadilan tiada putus-putusnya.

2. Penanggulangan Sebagai Suatu Model

Pada pemerintahan Susilo Bambang Yudoyono ini, space untuk

mencanangkan pola dan sasaran pembangunan cukup besar. Strategi politik telah

berimbang, bahwa kekuatan rakyat dapat mengimbangi kekuatan pemerintah baik

eksekutif, legislative dan yudikatif. Dalam Pembangunan di bidang hukum

khususnya, hukum yang bersifat responsive, yang menanggalkan hukum represif dan

otonom, secara pragmatis terimplementasikan dalam tahapan formulasi peraturan,

baik pusat maupun di daerah. Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan25)

more specifically, responsive law fosters civility in two basic ways : overcoming the

23) op.cit. 21 24) ) Alo Liliweri, Sosiologi Organisasi, PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, h. 33 25) Philippe Nonet, Philip Selznick, Law and Society in Transition, Toward Responsive Law, Harper & Row Publishers, New York, Hagerstone, San Fransisco, page 91.

Page 11: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

11

parochialism of communal morality; and encouraging a problem-centered and

socially integrative approach to crises of public order.

Responsivitas tersebut dapat dilakukan dengan merumuskan suatu model

sebagai langkah pembangunan bidang hukum yaitu dari aspek penanggulangannya.

Menurut Willis,26) (1964,1965), menyebut suatu teori dengan istilah model, model itu

hanya menggambarkan suatu keadaan, tidak mencari hubungan sebab-akibat, yang

juga memperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang nyata (possibilities) yang

benar-benar terjadi, sedangkan teori membahas juga kebolehjadian (probability) yang

secara teoritis bisa terjadi, tetapi dalam kenyataannya belim tentu akan terjadi. Sampai

saat ini upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan sanksi (hukum)

pidana merupakan cara yang paling tua, setua peradaban manusia itu sendiri. Hukum

pidana masih digunakan dan diandalkan sebagai salah satu sarana politik kriminal.

Bahkan akhir-akhir ini pada bagian akhir kebanyakan perundang-undangan hampir

selalu dicantumkan sub bab tentang “ketentuan pidana”. Pada hampir setiap produk

legislatif hukum pidana selalu dipanggil/digunakan untuk menakut-nakuti atau

mengamankan bermacam-macam kejahatan yang mungkin timbul diberbagai bidang.

Fenomena legislatif tersebut demikian menarik untuk dikaji dari sudut kebijakan

hukum pidana (penal policy) sebagai sarana penanggulangan kejahatan.27)

a. Penanggulangan Penal

Hukum pidana sebagai sarana penanggulangan penal mempunyai banyak keterbatasan

yang selama ini dijadikan sandaran hukum bagi penegak hukum. Sudarto

mengemukakan bahwa penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan

sesuatu gejala (Kurieren am Sympton) dan bukan suatu penyelesaian dengan

menghilangkan sebab-sebabnya.28) Lebih lanjut Johannes Andenaes mengemukakan

bahwa bekerjanya hukum pidana selamanya harus dilihat dari keseluruhan konteks

kulturalnya. Ada saling pengaruh antara hukum dengan faktor-faktor lain yang

membentuk sikap dan tindakan kita.29) Rubin menyatakan bahwa pemidanaan (apapun

hakikatnya, apakah dimaksudkan untuk menghukum atau untuk memperbaiki) sedikit

26) Willis, RH, Descriptive Models of Social Respons, Technical Report, Norn Contract, 816 (12), Washington University, 1964 27) Barda Nawawi Arief, Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Kejahatan, Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Aspehupiki bekerja sama dengan Fak. Hukum Univ. Surabaya, Prigen, 2002, halaman 1-2 28) Sudarto, Hukum pidana dan Perkembangan Masyarakat, 1983, halaman 35 29) J. Andenaes, Does Punishment Deter Crime ? dalam Philosopical Perspektive on Punishment, Gertrude Ezorsky (Ed), New York, 1972, 346.

Page 12: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

12

atau tidak mempunyai pengaruh terhadap masalah kejahatan.30) Sangatlah sulit untuk

melakukan evaluasi terhadap efektivitas dari “general deterrence” karena mekanisme

pencegahan (deterrence) itu tidak diketahui. Orang mungkin melakukan kejahatan

atau mungkin mengulanginya lagi tanpa hubungan dengan ada tidaknya undang-

undang atau pidana yang dijatuhkan. Sarana-sarana kontrol sosial lainnya, seperti

“kekuasaan orang tua, kebiasaan-kebiasaan atau agama mungkin dapat mencegah

perbuatan yang sama kuatnya dengan ketakutan orang pada pidana.31) Efektivitas

hukum pidana tidak dapat diukur secara akurat. Hukum hanya merupakan salah satu

kontrol sosial. Kebiasaan, keyakinan agama, dukungan dan pencelaan kelompok-

kelompok interest dan pengaruh dari pendapat umum merupakan sarana-sarana yang

lebih effisien dalam mengatur tingkah laku manusia daripada sanksi hukum.32) Karl

O. Christiansen mengemukakan pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sangat

sulit diukur. Pengaruh itu terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda

dan saling berkaitan erat, yang disebut dengan berbagai macam nama, misalnya

pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat

kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran

kolektif (strenghening the collective solidarity), menegaskan kembali/memperkuat

rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of public feeling of security), mengurangi

atau meredakan ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketegangan-ketegangan

agresif (release of aggressive tensions) dan sebagainya.

Sanksi hukum pidana selama ini terhadap pelaku kejahatan bukanlah obat

(remidium) untuk mengatasi sebab-sebab (sumber) penyakit, tetapi sekadar untuk

mengatasi gejala/akibat dari penyakit, atau dengan kata lain sanksi pidana bukanlah

merupakan pengobatan kausatif tetapi hanya sekadar pengobatan simptomatik.

Disamping itu pendekatan pengobatan yang ditempuh oleh hukum pidana selama ini

sangat terbatas dan fragmentair yaitu terfokus pada dipidananya si pembuat

(sipenderita penyakit), dengan demikian efek preventif dan upaya

perawatan/penyembuhan (treatment atau kurieren) lewat sanksi pidana lebih

diarahkan pada tujuan mencegah agar orang tidak melakukan tindak

pidana/kejahatan” (efek prevensi spesial maupun prevensi general) dan bukan untuk

mencegah agar kejahatan itu (secara struktural) tidak terjadi. Dengan kata lain

30) H.D Hart (ed), Punishment : For and Agains, New York, 1971, hal 21 31) H.D Hart. Ibid, hal 15 32) Donald R. Taft and Ralp W. England. Criminology, 1964. h. 315

Page 13: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

13

keterbatasan kemampuan hukum pidana antara lain dapat dilihat juga dari sifat/fungsi

pemidanaan selama ini, yaitu pemidanaan individual/personal dan bukan

pemidanaan yang bersifat struktural/funsional.

Herbert L. Packer mengemukakan bahwa penggunaan sanksi pidana secara

sembarangan/tidak pandang bulu/menyamaratakan (indiscriminately) dan digunakan

secara paksa (coercively) akan menyebabkan sarana pidana itu menjadi suatu

“pengancaman yang utama”.33)

b. Penanggulangan Non Penal

Penanggulangan Non Penal ini menitikberatkan pada upaya pembinaan atau

penyembuhan terpidana/pelanggar hukum (treatment of offenders) maupun dengan

pembinaan/penyembuhan masyarakat (treatment of society).Habib-Ur-Rahman Khan

mengatakan apabila kejahatan dipandang sebagai produk masyarakat, maka

masyarakatlah yang membutuhkan perawatan/pembinaan dan bukan si penjahat, I

suggest that, just as in the 19th century attention was diverted from to its author- the

criminal, we should go a step further and focus our attention, not on the criminal, but

on to its author-society. We will have to change our socio-political and economic

system that breeds criminals.34))Pengertian treatment of society mempunyai arti

upaya pembinaan/penyembuhan masyarakat dari kondisi-kondisi yang menyebabkan

timbulnya kejahatan (antara lain faktor kesenjangan sosial-ekonomi, pengangguran,

kebodohan, rendahnya standar hidup yang layak, kemiskinan, diskriminasi rasial dan

sosial). Bertolak dari konsep “treatment of society”patut pula kiranya dikembangkan

kebijakan struktural/fungsional. Dalam sistem pemidanaan yang struktural/fungsional

pertanggungjawaban dan pembinaan tidak hanya tertuju secara sepihak dan

fragmentair pada pelaku kejahatan, tetapi lebih ditekankan pada fungsi pemidanaan

yang bersifat totalitas dan struktural, yang artinya pemidanaan tidak hanya berfungsi

untuk mempertanggungjawabkan dan membina si pelaku kejahatan, tetapi berfungsi

pula untuk mempertanggungjawabkan dan membina/mencegah pihak-pihak lain yang

secara struktural/fungsional mempunyai potensi besar untuk terjadinya kejahatan serta

berfungsi pula memulihkan atau mengganti akibat-akibat/kerugian yang timbul pada

diri korban.

33) Herbert L. Packer, The Limits of Criminal Sanction, 1968. h. 366 34) ) Habib-Ur-Rahman Khan. Prevention of Crime-It is society which needs “The Treatment, Not The Criminal, dalam Resource Material Series No. 6, 1973, halaman 132-133

Page 14: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

14

Pembaharuan hukum pidana (penal reform) merupakan bagian dari kebijakan/politik

hokum pidana (penal policy). Urgensi diadakannya pembaharuan hokum pidana dapat

ditinjau dari berbagai aspek kebijakan (khususnya kebijakan social, kebijakan

criminal, dan kebijakan penegakan hokum). Dengan demikian pembaharuan hokum

pidana pada hakikatnya mengandung makna, suatu upaya untuk melakukan

reorientasi dan reformasi hokum pidana yang sesuai nilai-nilai sentral sosio-politik,

sosio-filosofik dan sosio-kultural masyarakat Indonesia yang melandasi kebijakan

social, kebijakan criminal dan kebijakan penegakan hokum di Indonesia.

Pembaharuan hokum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena

memang pada hakikatnya ia hanya merupakan bagian dari suatu langkah kebijakan

atau policy. Didalam setiap kebijakan terkandung pula peritimbangan nilai, oleh

karena itu pembaharuan hokum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai.

Pembaharuan hokum pidana dilihat dari sudut pendekatan kebijakan adalah a. sebagai

bagian dari kebijakan social, artinya bagian dari upaya untuk mengatasi masalah-

masalah social (termasuk didalamnya masalah kemanusiaan) dalam rangka

mencapai/menunjang tujuan nasional yaitu kesejahteraan masyarakat, b. sebagai

bagian dari kebijakan criminal, artinya bagian dari upaya perlindungan masyarakat

(khususnya upaya penanggulangan kejahatan), c. sebagai bagian dari kebijakan

penegakan hokum, artinya bagian dari upaya memperbaharui substansi hokum (legal

substance) dalam rangka lebih mengefektifkan penegakan hukum.35) Dilihat dari

sudut pendekatan nilai, pembaharuan hukum pidana merupakan upaya melakukan

peninjauan dan penilaian kembali (re-orientasi dan re-evaluasi) nilai-nilai sosio-

politik, sosio-filosofik, dan sosio-kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap

muatan normative dan substantive hokum yang dicita-citakan.

BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

Tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Untuk mendiskriptifkan pemidanaan pada recidive anak guna pembaharuan

hukum pidana , guna mendapatkan data evaluasi dan reorientasi.

2. Untuk mendiskriptifkan pemidanaan pada recidive anak yang berbasis

perlindungan anak itu, guna mendapatkan data evaluasi dan reorientasi dengan

menerapkan basis Perlindungan anak. 35) Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Adtya Bakti, Bandung, 1996, halaman 31-32

Page 15: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

15

3. Untuk mengetahui diskriptif upaya penanggulangan pada recidive anak yang

berbasis perlindungan anak itu, guna menentukan perumusan model

penanggulangan.

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi :

a. Penegak hukum dalam hal ini hakim pada Pengadilan Negeri Kab. Malang,

Blitar dan Tulungagung dalam memeriksa, mengadili dan memidana recidive

anak melalui diskriptif hasil penelitian ;

b. Komisi Perlindungan Anak daerah sebagai bahan pelengkap penelitian untuk

membahas Raperda Anak;

c. Pemerintah Daerah khususnya bahan masukan untuk mewujudkan, sesuai

dengan permasalahan anak yang ada di daerahnya;

d. Bagi LPAN Jawa Timur di Blitar dimana wilayah hukumnya meliputi Jawa

Timur, sebagai bahan masukan untuk merencanakan langkah-langkah

pembinaan.

BAB IV. METODE PENELITIAN

Dalam upaya pelaksanaan penelitian multitahun ini, penelitian yang sudah

dilaksanakan dapat didiskripsikan sebagai berikut :

Untuk penelitian multitahun tahap I ini menggunakan metode yang didukung dengan

tahap-tahap pembuatan kebijakan dari William N. Dunn36) sebagai berikut,

Penelitian tahap I ini bertujuan reevaluasi dan reorientasi kebijakan penanggulangan

penal, dengan melalui studi diskriptif ini menggunakan pendekatan yuridis sosiologis

merupakan penelitian hukum empiris atau penelitian hukum sosiologis, diartikan

sebagai penelitian yang datanya diperoleh dari sumber hukum data primer maksudnya

data diperoleh dengan jalan terjun ke lapangan atau data secara langsung diperoleh

dari masyarakat.37), yang didasarkan penentuan sampel secara purposive sampling

atau sampel bertujuan, secara sengaja yang memperhatikan maksud dan tujuan

penelitian. Dengan kata lain, penentuan responden dilakukan dengan cara mengambil

subjek bukan didasarkan atas strata, random atau daerah, melainkan didasarkan pada

tujuan tertentu. Adapun yang menjadi informan adalah Hakim Anak Pengadilan

36) Tahap-tahap pembuatan kebijakan meliputi perumusan masalah-penyusunan agenda, peramalan-formulasi kebijakan, rekomendasi-adopsi kebijakan, pemantauan-implentasi kebijakan, penilaian-penilai kebijakan.(Lihat William N. Dun, op.cit, halaman 25) 37) P. Joko Subagyo, Metode Penelitian : dalam Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta, 1997, hal. 91

Page 16: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

16

Negeri Kab. Malang, Blitar dan Tulungagung; Komisi Perlindungan Anak pada

daerah tersebut ; Recidive Anak; Kepala LPAN Jawa Timur di Blitar. Dari sampel

awal itu bergulir menggelinding laksana bola salju dan berhenti bilamana telah

mencapai titik tertentu, yaitu setelah terdapat indikasi tidak munculnya variasi atau

informasi baru. Lokasi penelitian di Jawa Timur, yaitu Pengadilan Negeri Kab.

Malang, Blitar, Tulungagung, Komisi Perlindungan Anak di daerah setempat, LPAN

Jawa Timur di Blitar. Sumber datanya adalah data Primer, sebagai data utama dalam

penelitian ini, yang diperoleh langsung dari informan-informan di atas., dan data

Sekunder, sebagai data penunjang yang bersifat dokumentatif, melalui studi pustaka

terhadap literature-literatur yang sesuai dengan informan dan permasalahan di atas,

dan hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan informan dalam penelitian di atas

sedangkan teknik pengambilan data dilakukan dengan wawancara (interview) baik

terstruktur maupun tidak terstruktur. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro38) ,

wawancara terstruktur disebut wawancara terarah (directive interview) yang

menggunakan daftar pertanyaan yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, sedangkan

wawancara tidak terstruktur yang disebut juga wawancara tidak terarah adalah seluruh

wawancara tidak didasarkan pada suatu sistem atau daftar pertanyaan yang telah

disusun, kuesioner, yaitu pengumpulan data dari informan diperoleh melalui

pertanyaan-pertanyaan yang tertulis yang telah dipersiapkan terlebih dahulu,

observasi, dalam pengumpulan data lebih lanjut digunakan teknik observasi atau

pengamatan. Observasi yang digunakan adalah observasi tidak terlibat (non

participant observation) yang sesuai dengan karakteristik peneltian kualitatif. Analisis

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara diskriptif kualitatif yang

mengikuti prosedur reduksi data, pengumpulan data, penyajian data, dan menarik

kesimpulan, dimana penganalisaan masalah yang diteliti dengan menggambarkan atau

melukiskan keberadaan subjek dan objek penelitian berdasarkan fakta yang ada tanpa

menggunakan angka-angka, akan tetapi mengutamakan mutu dari data yang ada,

sehingga diperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang pokok permasalahan

yang diteliti. Menurut Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi39) penelitian diskriptif

merupakan penelitian untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena sosial dan

budaya tertentu dengan mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak

38) Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, halaman 61. 39) Masri Singarimbun dan Sofyan Effendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta, 1989, h.4-5

Page 17: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

17

melakukan pengujian hipotesa. Tahap I ini terintegrasi 2 tipe pembuatan kebijakan

yakni tipe perumusan masalah, dari masalah-masalah yang muncul dalam penelitian

sebelumnya sekaligus di ramalkan dengan memformulasikan model penanggulangan

penal dan non penal sebagai alternative kebijakan.

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sesuai dengan yang dimaksud pada analisis kualitatif, penelitian ini mendapatkan

data primer maupun sekunder, melalui wawancara, yang dipandu oleh daftar

pertanyaan, serta studi dokumentasi di pengadilan Negeri Kab. Malang, Blitar dan

Tulungagung, dan data dari Lembaga Pemasyarakatan Anak Negara Blitar (sub

Perlindungan Anak Blitar, Badan Pemberdayaan Masyarakat sub Perlndungan Anak

Kabupaten Malang, Tulungagung, dan Lembaga Perlindungan Anak (LPA)

Tulungagung dengan hasil dan pembahasan sebagai berikut.

A. Hasil diskriptif pemidanaan pada recidive anak guna pembaharuan hukum

pidana.

Data yang diperoleh dari Pengadilan-pengadilan khususnya sesuai dengan lokasi

penelitian yang ditunjuk yaitu Blitar, Kab.Malang, dan Tulungagung, sebagai

berikut

a. Tentang system penjatuhan Pidana (daftar pertanyaan no. 4); bagi

pelaku recidivist anak lebih berat dari pada pelaku anak bukan

recidivist, dengan alasan telah mengulangi, yang sebelumnya telah

dijatuhi pidana. Hal ini dipertegas pula, bahwa prosentase besar

terhadap pelaku anak dan recidivist dijatuhi pidana pokok penjara,

meskipun ada sebagian yang dikenai tindakan. (daftar pertanyan no. 2,

dalam Penanggulangan Yang berbasis Perlindungan Anak)

b. Tentang pemeriksaan recidivist anak (daftar pertanyaan no. 5); selama

ini system menurut UU Pengadilan Anak cukup mendukung, hanya

saja sarana dan prasarana untuk pengadilan anak kurang memadai

seperti ruang sidang untuk Pengadilan Anak seharusnya dibuat

tersendiri dan terpisah dari ruang sidang untuk orang dewasa, dan

khusus untuk ruang sidang anak lebih bagus didekorasi seperti ruangan

untuk anak-anak supaya terdakwa anak tidak takut ketika diperiksa di

ruang sidang.

Page 18: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

18

B.Hasil diskriptif pemidanaan pada recidive anak yang berbasis perlindungan

anak itu.

Data yang diperoleh dari Pengadilan-pengadilan sebagai berikut :

Tentang Implementasi pemidanaan yang berbasis Perlindungan Anak; (daftar

pertanyaan no. baik no. 4 , Pemidanaan, recidive, anak, dan No. 2 dalam

Penanggulangan Yang berbasis Perlindungan Anak), diketahui bahwa pada pelaku

recidivist tetap hukumannya diperberat karena pengulangan kejahatan. Beberapa

faktor yang seyogyanya diperhatikan guna perlindungan anak ketika pemeriksaan

berlangsung yaitu :

a. Tentang aspek ruang sidang, sarana dan prasarana untuk pengadilan anak

kurang memadai seperti ruang sidang untuk Pengadilan Anak seharusnya

dibuat tersendiri dan terpisah dari ruang sidang untuk orang dewasa, dan

khusus untuk ruang sidang anak lebih bagus didekorasi seperti ruangan untuk

anak-anak supaya terdakwa anak tidak takut ketika diperiksa di ruang sidang;

(dp. No. 5)

b. Tentang latar belakang pelaku anak dan residivist anak, rata-rata latar belakang

dari keluarga broken home dan tidak mampu secara ekonomi, serta terdakwa

anak dikarenakan tidak punya orang tua serta keberadaan orang tuanya tidak

diketahui (dp. No. 3), dimana peran orang tua kurang berfungsi dalam

mendidik dan merawat anak, sehingga anak tersebut tumbuh dan berkembang

di luar rumah tanpa sepengetahuan dan tanpa pengawasan dari orang tuanya.

(dp. No. 1)

c. Tentang perhatian orang tua terhadap pemeriksaan anaknya di sidang

Pengadilan. Kadang-kadang orang tua/walinya tidak mau mendampingi

meskipun sudah

dipanggil oleh jaksa; berikut rata-rata orang tua/wali dari terdakwa menyatakan

tidak sanggup mendidik anaknya, karena anaknya terlalu nakal. (dp no. 3 dan 4)

C. Upaya penanggulangan pada recidive anak yang berbasis perlindungan

anak itu.

1. Data yang diperoleh dari pengadilan-pengadilan sebagai berikut :

a. Tentang rata-rata penanggulangan terhadap recidive anak, yaitu dengan cara

menerapkan pidana pokok penjara, dengan alasan orang tua/wali rata-rata

tidak sanggup mendidik, karena anaknya terlalu nakal. (dp. No. 3)

Page 19: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

19

Melalui sarana penal diketahui data di bawah ini :

Tabel 1

Tentang Pemidanaan Recidive Anak di Pengadilan Negeri Kab. Malang

Tahun 2003-2007

No. Tahun Jumlah Keterangan Tindak Pidana

1. 2007 0 Nihil

2. 2006 1 Pencurian karena terpengaruh lingkungan pergaulan

3. 2005 1 Pencurian di masjid, di dalam LP berkenalan dengan napi lain,

kemudian setelah bebas mencuri kendaraan bermotor (TKP

Gondang Legi Kab. Malang)

4. 2004 0 Nihil

5. 2003 2 1. bapak dan ibu cerai, ibu menjadi pembantu di Jakarta,

bapak ke Kalimantan, terpengaruh pergaulan diajak

mencuri emas oleh teman yang sudah dewasa (TKP

Sumber Manjin Wetan, Kab. Malang)

2. Pertama kali melakukan kejahatan perkelahian antar

pelajar, kemudia bebas dan melakukan pencurian (TKP

Kepanjen, Kab. Malang), ibu menjadi Tenaga Kerja

Wanita (TKW)

Jumlah 4

Sumber : Panitera Muda Pidana Pengadilan Negeri Kepanjen Kab. Malang,

2007, data diolah.

Sedangkan rata-rata penanggulangan terhadap pelaku anak dan recidivist anak,

tahun 2003 – 2007 diterangkan tabel dibawah ini

Data Sekunder berupa Kasus Pencurian yang diputus Pengadilan Negeri

Kepanjen, sebagai berikut :

1. Putusan No. 83/Pid.B/2002/PN Kepanjen. Memutuskan terdakwa Yahya

Fitahur Rohman, Umur 13 Tahun melanggar Pasal 363 ayat (1) ke 5 KUHP,

yakni pencurian dengan pemberatan;

2. BAP, tersangka pencurian biasa Pasal 362 sub Pasal 363 KUHP, Laporan

Polisi No. Pol. LP/04/II/2006/Sek. Bantur, 13 Februari 2006, sebelumnya

pernah dihukum tahun 2005;

Page 20: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

20

Tabel 2

Tentang Pemidanaan Recidive Anak di Pengadilan Negeri Blitar Tahun

2003-2007

No. Tahun Jumlah Keterangan Tindak Pidana

1. 2007 1 Mencuri karena orang tua tidak mampu, cerai, cari makan

sendiri/SJRN.

2. 2006 2 1. Pencurian karena pengaruh lingkungan pergaulan, 2. Ortu cerai,

cari makan sendiri.

3. 2005 2 1. Mencuri karena orang tua TKI (H.A), 2. Ortu cerai, cari makan

sendiri.

4. 2004 1 Mencuri karena bujukan teman, keluarga tidak mampu.

5. 2003 1 Mencuri karena keluarga tidak mampu.

Jumlah 7

Sumber : Panitera Pidana Pengadilan Negeri Blitar, 2007, data diolah.

Tabel 3

Tentang Pemidanaan Recidive Anak di Pengadilan Negeri Tulungagung

Tahun 2003-2007

No. Tahun Jumlah Keterangan Tindak Pidana

1. 2007 2 1. Keluarga Broken, 2. Kesulitan Ekonomi.

2. 2006 2 1. Keluarga tidak mampu, orang tua TKI, 2. Cari makan diluar.

3. 2005 1 Mencuri untuk foya-foya

4. 2004 1 Mencuri karena untuk keperluan keluarga.

5. 2003 1 Ibu TKW, bapak menjadi tenaga kasar bangunan

Jumlah 7

Sumber : Panitera Pidana Pengadilan Negeri Tulungagung, 2007, data diolah.

Tabel 4

Tentang Rata-rata Penanggulangan Terhadap Pelaku Anak dan Recidivist

Anak Tahun 2003-2007

No. Tahun Jumlah Keterangan

1. 2007 7 Angka perkiraan (kurang lebih)

2. 2006 10 Sda

Page 21: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

21

3. 2005 9 Sda

4. 2004 5 Sda

5. 2003 6 Sda

Jumlah 37

Sumber : Wawancara, LPAN, Data diolah, 2007

b. Dari tabel 2 di atas, penanggulangan yang dilakukan untuk mengatasi

recidivist anak ini dilakukan rata-rata melalui sarana hukuman/penal,

sedangkan sarana non penal berupa pencegahan secara khusus setelah mereka

bebas tidak pernah dilakukan, dan diserahkan tanggungjawabnya kepada

Dinas Sosial. (Wawancara, Sri Rahayu, Kasubsi Binpas, LPAN Blitar, 24

September 2007)

Dari data di atas dapat dianalisis melalui 2 pendekatan yakni kekuasaan dan

hubungannya dengan birokrasi. Sebagai indicator analisis pada kedudukan hakim,

penerapan pidana penjara dengan pemberatan pada recidivist, keadaan latar belakang

tidak mampu (pada aspek-aspek sebab-sebabnya, penanggulangan yang berbasis

perlindungan anak.

Pengaruh kekuasaan terhadap birokrasi baik pemerintahan maupun swasta,

terlebih lagi dalam birokrasi pengadilan penting sekali, artinya kajian terhadap

birokrasi merupakan karakteristik yang ada apabila hukum modern imgin terwujud

sebagaimana yang diharapkan.

Beranjak dari pengertian dan kajian terhadap kekuasaan, kekuasaan merupakan

kemampuan orang untuk mengontrol lapangan tingkah laku yang sedang terjadi

diantara dua orang yang sedang berinteraksi. Sehingga orang yang mempunyai

kekuasaan adalah yang mampu mendorong tingkah orang lain ke arah yang

dikehendaki. Kekuasaan juga merupakan hasil dari kemampuan untuk memberi

ganjaran dan hukuman, hubungan saling menyukai, keahlian/kepakaran salah satu

pihak terhadap pihak yang lain dalam bidang/masalah tertentu dan faktor legitimasi

(seperti status, struktur sosial yang mendasari hubungan otoritas )

Kekuasaan merupakan sumber dari konflik. Orang yang memiliki kekuasaan akan

cenderung menyalahgunakan kekuasaan itu. Hal tersebut dipertegas oleh pendapat

Weber dan Dahrendrof.

Weber mengemukakan, kekuasaan sebagai suatu peluang dimana seseorang

berperan di dalam suatu hubungan sosial akan berada dalam suatu posisi yang

Page 22: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

22

membawa dirinya pada perlawanan, tak terkecuali basis mana peluang itu berada.

Dalam pandangan ini esensi dari kekuasaan adalah kontrol terhadap suatu

persetujuan, dimana mereka yang memiliki kekuasaan membuat aturan-aturan dan

memperoleh apa yang mereka inginkan dari mereka yang tak memiliki kekuasaan.

Sedangkan oleh Dahrendorf, dikemukakan, perbedaan-perbedaan kepentingan dan

adanya dorongan bagi yang tak memiliki kekuasaan untuk mengadakan konflik

dengan yang memiliki kekuasaan, yang pertama dalam usaha memperjuangkan

kekuasaan, dan yang kedua dalam usaha mempertahankannya adalah sesuatu yang

tidak mungkin terhindarkan, kekuasaan adalah suatu sumber pertentangan yang

abadi.(Zamroni, 1992: 35)

Kekuasaan dan wewenang senantiasa menempatkan individu dalam posisi atas

dan bawah di setiap struktur. Karena wewenang ini adalah sah, maka setiap individu

yang tidak tunduk pada wewenang akan memperoleh sanksi. Oleh karena itu

Dahrendorf, mengemukakan masyarakat disebut sebagai persekutuan yang

terkoordinasi secara paksa ( imperatively coordinated associations ).(Alimanda, 1992:

31)

Lebih lanjut dijelaskan oleh Weber bahwa didalam masyarakat terbentuk apa yang

dinamakan dengan masyarakat yang terstratifikasi. Dapat diketahui bahwa suatu

posisi dan pekerjaan menurutnya adalah dua hal yang berbeda dan menuntut

ketrampilan yang berbeda-beda, pekerjaan yang berbeda-beda itu diperlakukan

sebagai satu yang lebih tinggi daripada yang lain.(op.cit. : 38-39) Beliau juga

membedakan golongan kelompok yang terlibat suatu konflik, yang didasari karena

kekuasaan selalu memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai.

Golongan tersebut adalah : kelompok semu (quasi group ), yang merupakan kumpulan

dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang sama yang

terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan ; kelompok kepentingan ( interest

group ), yang mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang

jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik

dalam masyarakay.(ibid, : 32)

Didalam suatu organisasi, kekuasaan itu diakumulasikan dan dimanifestasikan

melalui perilaku pribadi pemimpin, misalnya melakukan pengawasan manajerial

terhadap semua unit yang berada dibawahnya. Besarnya tingkat pengawasan kerapkali

menentukan besarnya kekuasaan. Berarti bahwa besarnya kekuasaan pengawasan

bergantung atas rentang kendali antara seorang peminpin terhadap pengikutnya.

Page 23: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

23

Oleh French dan Raven (1959) ditetapkan lima jenis kekuasaan yang

mempengaruhi hubungan antar pribadi. Kekuasan-kekuasan itu adalah : pertama,

kekuasan memberi ganjaran, yang mempunyai penjelasan bahwa orang yang

mempunyai wewenang (atasan) terhadap orang lain (bawahan), selalu mempunyai

posisi untuk memberikan ganjaran atau mengharapkan ganjaran balik dari para

bawahan, kedua, kekuasaan menekan atau memaksa, yakni kemampuan orang untuk

memaksa atau menekan orang lain merupakan sikap negatif, atau sama dengan

mengurangi muatan positif lalu mengancam bawahan dengan pelbagai cara. Ketiga,

kekuasaan karena keahlian, yang menjelaskan bahwa orang yang mempunyai keahlian

berupa pengetahuan akan mempunyai kekuasaan lebih besar dibandingkan orang yang

tidak/kurang mempunyai keahlian, keempat, kekuasaan karena referensi/jaminan,

yang menjelaskan, bahwa kekuasaan ini didasarkan pada derajat kepatuhan atau

loyalitas bawahan terhadap atasan, dan yang kelima, kekuasaan karena legitimasi,

yang mernjelaskan, bahwa kekuasaan ini didasarkan pada kepercayaan para bawahan

kepada atasannya.(Alo Liliweri, 1997: 138)

Lebih lanjut oleh Max Weber, disebutkan tiga tipe legitimasi kewenangan,

sebagai berikut : pertama, tipe kekuasaan kharismatik, tipe ini menunjuk pada

seseorang yang mempunyai kharisma khusus untuk menarik perhatian para

pengikutnya, kedua, tipe kekuasaan tradisional , yang merujuk pada suatu kekuasaan

yang diperoleh secara turun temurun atau kekuasaan yang diwarisi, dan yang ketiga,

tipe kekuasaan hukum rasional, yang didasarkan pada suatu peraturan yang bersistem.

Tipe kekuasaan ini berkembang luas dan diterima oleh organisasi modern, termasuk

organisasi birokrasi.(ibid, : 249) Organisasi modern ini, menurut Weber, yang dikutip

oleh Peter M. Blau dan Marshal W. Meyer, yaitu organisasi birokrasi, bercirikan

(tipe-ideal), antara lain : pertama, kegiatan sehari-hari yang dibutuhkan untuk

mencapai tujuan-tujuan organisasi didistribusikan melalui cara yang telah ditentukan,

dan dianggap sebagai tugas-tugas resmi. Pembagai tugas secara tegas memungkinkan

untuk mempekerjakan hanya ahli-ahli dengan kekhususan tertentu pada jabatan-

jabatan tertentu dan membuat mereka bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas

masing-masing secara efektif, kedua, pengorganisasian kantor mengikuti prinsip

hierarkis, yaitu unit yang lebih rendah dalam sebuah kantor berada dibawah

pengawasan dan pembinaan unit yang lebih tinggi. Setiap pejabat yang berada dalam

hierarki administrasi ini dipercaya oleh atasan-atasannya untuk bertanggung jawab

atas semua keputusan dan tindakan yang dilakukan oleh bawahannya maupun dirinya

Page 24: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

24

sendiri, ketiga, pelaksanaan tugas diatur ol;eh suatu system peraturan-peraturan

abstrak yang konsisten…(dan) mencakup juga penerapan aturan-aturan ini di dalam

kasus-kasus tertentu, keempat, seorang pejabat yang ideal melaksanakan tugas-

tugasnya… (dengan) semangat Sine ira et studio (formal dan tidak bersifat pribadi ),

tanpa perasaan-perasaan dendam atau nafsu dan oleh karena itu tanpaperasaan kasih

saying atau antusiaisme, kelima, pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis

didasarkan pada kualifikasi teknik dan dilindingi dari kemungkinan pemecatan oleh

sepihak. Pekerjaan dalam suatu organisasi birokratis mencakup suatu jenjang karier

serta terdapat suatu system kenaikan pangkat yang didasarkan atas senioritas atau

prestasi maupun gabungan antara keduanya, dan yang keenam , adalah pengalaman,

secara universal cenderung mengungkapkan bahwa tipe organisasi administrasi yang

murni berciri birokratis… dilihat dari sudut pandangan yang semata-mata bersifat

teknis, mampu mencapai tinglat efisiensi yang tertinggi.(Gary R. Jusuf, : 1987)

Model birokrasi yang tipe ideal diatas bukan semata-mata merupakan suatu

kerangka konseptual. Kritik-kritik yang terlontar terhadapnya tidak membantu

memahami struktur-struktur birokrasi yang kongkret. Akan tetapi kritik-kritik ini

mengabaikan fakta bahwa bentuk tipe ideal sebenanya dimaksudkan sebagai suatu

pedoman bagi penelitian empris, yang bukan sebagai substansinya.(ibid, : 35)

Apabila dilihak dari kondisi-kondisi yang menumbuhkan birokrasi diketahui

adanya kecenderungan-kecenderungan menurut Peter M. Blau dan Meyer.(Ibid, : 38-

39) Kecenderungan histories, sebagai kondisi awal erat kaitannya dengan

perkembangan histories, yaitu system ekonomi uang, meskipun bukan prasyarat

utama. Menurutnya, system ekonomi uang memungkinkan dilakukannya pembayaran

gaji secara teratur yang pada gilirannya menciptakan suatu kombinasi antara

ketergantungan dan kebebasan yang sangat menentukan kesetiaan dalam

melaksanakan tugas-tugas birokratis. Orang-orang yang bekerja secara sukarela tanpa

bayaran sangat tidak bergantung kepada organisasi (independent), sebaliknya seorang

budak sangat bergantung kepada majikannya. Sistem yang lain yaitu kapitalitik juga

mendorong perkembangan birokrasi. Tindakan campur tangan tiran-tiran politik akan

mengganggu perhitungan rasional untung dan rugi. Demi kepentingan kapirtalisme

dituntut tidak saja digulingkannya pemimpin yang sewenang-wenang tetapi juga

terciptanya pemerintah yang cukup kuat menciptakan ketertiban dan stabilitas.

Kondisi-kondisi structural juga dapat mempengaruhi perkembangan suatu birokrasi

yang artinya struktur kekuasaan dalam organisasi. Diakibatkan oleh system yang tidak

Page 25: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

25

resmi muncul dalam mengatur pembagian tugas. Hak ini daoatmerubah system

organisasi formal menjadi organisasi yang bercorak informal. Menurut Gouldner,

sebagaimana dikutip oleh Peter M. Blau dan Meyer, mengatakan bahwa betapa

pentingnya hubungan-hubungannya informal dan kebiasaan-kebiasaan tidak resmi

dalam struktur-struktur birokrasi.(Ibid, : 47)

Menyimak pendapat-pendapat di atas dan legitimasi kewenangan yang ada,

birokrasi pengadilan di Indonesia sebagai kekuasaan yang mempunyai system yang

dapat dikatakan tertutup, dimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan

yang ada. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diperbarui dengan UU no. 4 Tahun 2004

dalam pasal 10 ayat (1) disebutkan keluasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan

dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan

tata usaha negara. Secara organisatoris, administrative, dan finansial peradilan-

peradilan tersebut dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan

menurut pasal 11 ayat (1).

Oleh karena itu sistem birokrasi pengadilan, merupakan wujud dari kekuasaan

dengan aktor-aktor yang ahli pada bidangnya dan inipin bilamana dalam bekerjanya

kurang atau tidak memperhatikan aspek keadilan bukan pada birokratisnya akan tetapi

keadilan substansial maka wajah pengadilan yang berkeadilan normative

kemungkinan akan terkikis sesuai dengan tuntutan perkembangan hukum dan

masyarakatnya.

Lembaga dimana hakim tersebut bekerja yaitu pengadilan merupakan organisasi

yang unik dan pranata penyelesaian sengketa yang dipakai oleh suatu masyarakat.

Chamlis, yang dikutip oleh Satjipto Rahardjo (Satjipto Rahardjo, 1986: 52-53) ,

memberikan kriteria penentu yang disebut dengan faktor penentu, dalam mencermati

pengadilan, yaitu :

1. Tujuan yang hendaknya dicapai dengan penyelesaian sengketa ittu.

Menurutnya, apabila tujuan dari pranata itu adalah untuk merukunkan para

pihak sehingga mereka selanjutnya dapat hidup bersama kembali setelah

sengketa itu, maka orang dapat mengharapkan, bahwa tekanan di situ akan

lebih diletakkan kepada cara-cara mediasi dan kompromi, dan sebaliknya

apabila tujuan dari pranata itu adalah untuk penerapan peraturan-peraturan,

maka cara-cara penyellesaian yang bersifat birokratis mungkin akan lebih

banyak dipakai, dimana sasarannya yang utama adalah untuk menetapkan

Page 26: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

26

secara tegas apa yang sesungguhnya menjadi isi dari suatu peraturan itu serta

selanjutnya menentukan apakah peraturan itu telah dilanggar;

2. Tingkat perlapisan yang terdapat di dalam masyarakat. Semakin tinggi tingkat

perlapisan yang terapat di dalam masyarakat, semakin besar pula perbedaan

kepentingan dan nilai-nilai yang terdapat di situ. Dalam keadaan yang

demikian, maka lapisan atau golongan yang dominan akan mencoba untuk

mempertahankan kelebihannya dengan cara memaksakan berlakunya

peraturan-peraturan di situ yang menjamin kedudukannya. (Satjipto Rahardjo,

1995: 3) Berbeda dengan keadaannya pada masyarakat sederhana, dimana

tingkat pemakaian teknologi dan pembagian kerja di dalamnya masih rendah,

kesepakatan nilai-nilai masih muda dicapai, dimana perukunan merupakan

pola penyelesaian sengketa, maka di dalam masyarakat yang mempunyai

tingkat perlapisan yang tinggi dengan susunan masyarakatnya yang

mendorong timbulnya ketidaksamaan (inquality), penerapan peraturan-

peraturan dengan pembebanan sanksi merupakan pola kerja yang cocok untuk

masyarakatnya.

Perkembangan hukum menuju hukum modern dewasa ini, membawa

karakteristik perubahan pada aspek sosiologi pengadilan. Dikemukakan oleh Satjipto

Rahardjo(op.cit. : 2) , bahwa sejak munculnya hukum modern, maka segalanya

berubah dan pengadilan menjadi struktur yang formal rasional, prosedural, dan

birokratis. Ini adalah bagian dari perkembangan hukum yang makin menjadi institusi

otonom dalam administrasi, metodologi, dan seterusnya.

Selanjutnya dengan munculnya hukum modern ini, mengakibatkan makin

meluas pula pembicaraan tentang pengadilan, terutama hakim sebagai wujud

personalitas pengadilan dituntut cakap dan professional dalam menghadapi setiap

realitas permasalahan. Apabila hal ini terabaikan maka wujud bangunan hukum hanya

akan terapai pada tataran kepastian ketimbang pada tataran keadilan. Selain itu

kesesatan karena keadilan tidak diterapkan maka bergulir sepangjang waktu tanpa ada

batas-batas moral. Hermann Mostar, mengatakan rasa hormat kepada pengadilan yang

tak syak lagi mutlak diperlukan, tak dirugikan karena fakta dijatuhkannya putusan

hukuman yang tepat. Justru berkurangnya rasa hormat itu karena kekhilafan-

kekhilafan itu dilihat dengan sedemikian ogah-ogahan, dan diperbaiki dengan

sedemikian susah-payahnya. Apabila pengadilanpun bersedia mengakui kekhilafan-

kekhilafan, penderitaan yang ditimbulkannya tidaklah terhapus.(Herman Mostar, :

Page 27: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

27

1983: 12) Suatu penderitaan yang dialami terdakwa, ditentukan oleh bekerjanya

birokrasi peradilan pidana yang ada. Secara yuridis dan dikaitkan dengan pendapat

Chamblis di atas, birokrasi akan lebih menonjol dilaksanakan, dan terbawa pada

pribadi-pribadi hakimnya, dan hal ini akibat dari karakteristik hukum modern itu.

Dalil-dalil yang diterapkan oleh hakim semuanya merujuk pada peraturan-peraturan

yang aberlaku. Untuk residive anak, hakim disamping merujuk pada hukum pidana

formil, juga merujuk pada hukum pidana materil, yatiu Kitab Undang-undang Hukum

Pidana dan Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak.

Lebih lanjut Satjipto Rahardjo mengemukakan, dengan mengutip pendapat

Chamblis (ibid, : 55-57), bahwa unsur-unsur yang perlu mendapat perhatian adalah

yang mempunyai andil di dalam proses pengolahan sehingga menghasilkan suatu

keputusan. Unsur-unsur itu diperinci sebagai berikut : pertama, cara-cara bagaimana

persoalan itu sampai ke pengadilan. Masuknya persoalan sampai ke pengadilan

bukanlah suatu kegiatan sang hakim, melainkan para pihak yang mengajukannya ke

depan meja hijau sendiri. Ada dua sayarat dasar untuk mengajukan suatu persoalan ke

pengadilan, yaitu pengetahuan tentang hukum; dan kemampuan keuangan.

Ketidaktahuan masyarakat tentang hukum dapat mengakibatkan suatu yang disebut

dark number ataupun hidden criminal. Perkembangan moneter negara mempunyai

pengaruh kepada kemampuan keuangan masyarakat pencari keadilan untuk

membayar pengacara. Meskipun mereka (pencari keadilan) dalam kondisi keuangan

lebih apabila pengetahuan tentang hukum kurang, berakibat persoalannya tidak/ akan

sampai ke pengadilan, dapat terjadi juga sebaliknya, kedua, atribut-atribut pribadi

hakim. Di Indonesia masalah pribadi karakteristik hakim ini kurang mendapat

perhatian, seperti latar belakang perorangannya, pendidikannya, serta keadaan-

keadaan konkret yang dihadapinya pada waktu akan membuat suatu keputusan.

Selama pengambilan keputusan masih belum dilakukan dengan peralatan mekanik,

selama itu pula faktor manusia, yaitu hakim masih perlu dipelajari dalam berbagai

seluk beluk. John P. Dawson, mengemukakan bahwa, hakim itu adalah manusia dan

dengan begitu tidak selalu memenuhi harapan. Di Amerika Serikat, menurutnya

pemakaian Pemilihan Umum dan pemilihan dengan cara penunjukkan bagi seseorang

hakim tidak diharapkan untuk mendapatkan hakim yang terbaik dan teradil.(John P.

Dawson, 1996: 23)

Persoalan sekitar manusia ini, juga menjadi bahan pertimbangan Hermann

Mostar(Herman Mostar, op.cit : 12) yang mengemukakan bahwa bukan hanya ilmu

Page 28: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

28

pengetahuan yang khilaf, melainkan juga manusia dan setiap pranata (institusi)

manusia, bisa alpa. Ilmu Pengetahuan telah membuktikan bagaimana pandangan-

pandangan, dalil-dalil terpaksa ditinjau kembali kebenarannya.

Hakim sebagai manusia dalam pembicaraan di atas, kemungkinan adanya

sinyal disparitas pemidanaan merupakan kendala untuk tujuan keadilan yang

mengarah pada keadilan substansial. Makna keadilan ini merupakan persoalan

manusia dan kemanusiaan, menjadi terbatas yang dipenuhi oleh sikap-sikap dari aktor

pengadilan yang formalistic, padahal semenjak hukum dilihat sebagai suatu system

terbuka akan selalu terkait dengan system dan segi-segi kehidupan sosial, ekonomi,

maupun politik. Parsons (J. Haryartmoko, 1986 : 51) melihat manusia yang memiliki

tujuan sebagai hasil dari interaksi sosialnya.

Menyimak hal itu, berkaitan dengan interaksi sosial, keberadaan hukum dan

hakim diliputi oleh seperangkat aneka ragam konflik. Apabila manusia terkungkung

oleh suatu konflik yang didasarkan pada suatu kepentingan yang menjadi kekuatan

imperalistik, maka batasan-batasan akan dibuat sendiri untuk menentukan yang adil

dan tidak adil.

Apabila dicermati di sidang pengadilan, konflik tersebut ada dan nyata, yaitu

ada dalam pikiran yang bertentangan satu dengan yang lain (Djoko Prakoso, 1984:

22). Alam pikiran dari terdakwa, yang bersifat subjektif dan secara vital terlibat

dengan suatu kejadian yang penting sekali baginya sendiri, disamping itu adalah alam

pikiran dari hakim, yang mengejar objektivitas, dan tidak vital terlibat pada kejadian

dalam sidang pengadilan itu serta penyelesaian perkara pidana yang dipandang

sebagai pekerjaan biasa. Dengan keadaan ini dua alam pikiran itu bertabrakan keras,

tetapi kadang-kadang pula keduanya ini sama sekali tidak saling menyinggung.

Kemudian apabila pengadilan itu kita pelajari dengan displin sosiologi hukum,

menurut Satjipto Rahardjo (op.cit : 2-3) , gambar yang akan muncul menjadi lebih

kompleks dan luas, yaitu adanya aturan-aturan yang diharuskan untuk diikuti

(hukum), fasilitas kelembagaan dimana aturan tersebut diterapkan (pengadilan),

orang-orang dengan ketrampilan melakukan hal-hal di atas (para advokat), orang-

orang yang datang dengan tuntutan-tuntutan yang minta untuk diselesaikan (para

pihak), sekalian hal tersebut berlangsung di dalam masyarakat dan dengan potensi dan

sekalian karakteristik yang ada didalamnya.

Lebih lanjut dikemukakan beliau (ibid : 23), mengadili itu bukanlah

melakukan sesuatu terhadap hal-hal yang berada di luar diri terdakwa. Mengadili

Page 29: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

29

adalah suatu proses yang dengan susah payah telah terjadi di antara manusia dan

manusia. Mengadili adalah suatu pergulatan kemanusiaan untuk mewujudkan hukum.

Oleh karenanya mengadili tanpa suatu hubungan yang bersifat sesama manusia antara

hakim dengan terdakwa kerapkali dirasakan sebagai memperlakukan ketidakadilan.

Hakim sebagai manusia adalah seorang ahli hukum, karena telah mempelajari hukum

selengkapnya mungkin. Pendidikan Universitas mengenai hukum pada pokoknya

adalah suatu pendidikan mengenai system hukum. Mahasiswa hukum berkenalan

dengan hukum sebagai suatu yang telah ditetapkan. Dia juga telah mempelajari dan

mengetahui bahwa system hukum perdata, hukum tata negara, dan hukum pidana itu

yang telah dan harus diketahuinya, lebih jauh dapat ditambah di sana-sini, tetapi

perubahan-perubahan dan tambahan-tambahan itu tidak akan merusak sifat sistematis

atas peristiwa-peristiwa. Peristiwa-peristiwa ini dikemukakan oleh penuntut umum,

terdakwa dan pembela kepada hakim untuk kemudian diberikan keputusan. Aatau

hakim sendiripun semata-mata dikarenakan oleh pelaksanaan tugasnya mencari

sendiri hal-hal yang dimaksud.

Ahli hukum dan hakim yang dengan kesungguhannya serta kecakapannya

telah melaksanakan tugasnya yang sibuk itu biasanya jarang sekali berkesempatan

mendalami lebih jauh mengenai pertanyaan apakah sebenarnya hukum dan apakah

sebenarnya mengadili itu. Erik Wolf mengatakan yang dikutip oleh Djoko Prakoso

bahwa mengenai kenapakah ahli-ahli hukum dapat dikatakan enggan untuk

merenungkan tentang hakekat dari hukum ataupun mengenai keadilan itu. Seorang

ahli hukum tidak akan menyelidiki lebih jauh mengenai dasar keahliannya itu.

Seorang ahli hukum bilamana mereka ingin melakukan pekerjaan yang telah

dilimpahkan kepadanya itu, akan sulit sekali untuk tidak berpangkal tolak dari

anggapan-anggapan tertentu mengenai hukum. Ditambahkannya bahwa justru sikap

demikian inilah yang akan menghalangi ahli-ahli hukum dari jalan menuju hakekat

keadilan itu sendiri.(Djoko Prakoso, loc.cit) Bentuk dan wujud keadilan dalam

penegakan hukum tidak senyata dan sesederhana lambing timbangan (dacing).

Keolengan dan kemiringan sukar diraba, dilihat dan diperbincangkan. Tetapi lebih

dekat melekat dalam nurani sanubari dan perasaan. Ia berada dalam kedalam

kesadaran dan keinginan bahkan kerinduan, keinginan dan harapan akan keadilan jauh

lebih menonjol daripada wujud keadilan itu sendiri. (M. Yahya Harahap, 1989 : 309)

Hakim merupakan bagian kelanjutan atau yang mewakili pikiran-pikiran dan nilai-

nilai yang ada di masyarakat. Hakim dalam menjalankan perannya merupakan

Page 30: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

30

pengemban nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat, hasil pembinaan masyarakat,

sasaran pengaruh lingkungannya pada waktu itu.(Satjipto Rahardjo, op.cit. : 58)

Mengingat persoalan hakim sebagai pribadi dan interaksi sosialnya

berpngaruh pada pemberian pidana, maka Djoko Prakoso (op.cit.: 21) mengemukakan

bahwa berkenaan dengan pemberian pidana faktor perkembangan masyarakat sudah

semestinya menjadi pertimbangan pula dari hakim, karena hakim dalam menjatuhkan

pidana wajib mempertimbangkan segala sesuatu yang dapat memberatkan atau

meringankan pidana. Faktor-faktor ini tidak hanya dicari pada diri si pembuat, akan

tetapi juga pada hal-hal yang objektif yang terletak di luar motif dan sifat si pembuat.

Atas persoalan tersebut sebelum hakim memutus suatu perkara bersalah atau

tidak bersalah, seorang hakim itu harus dapat mengemban nilai-nilai cultural

masyarakat, pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah seberapa jauh pindah tugas

dari hakim atau masa kerja di Pengadilan tertentu, untuk dapat memahami kondisi

sosio-kultual di daerah-daerah Indonesia. Pemahaman terhadap masalah ini, sungguh

besar pengaruhnya yang dimungkinkan pada objektivitas keputusan yang

mencerminkan keadilan substansial. Pada sisi lain pula, hal ini mencerminkan bahwa

pada diri hakim akhirnya hanyalah dapat dipandang sebagai manusia robot dengan

remote control ada pada Departemen Kehakiman dan Ham.

Pemahaman berikutnya dicermati pada karakteristik pola pendidikan dapat

diperhatikan pada penggunaan terhadap dinas, terhadap kewajiban; penggunaan

terhadap tata, terhadap pola susunan atasan dan bawahan; terhadap otoritas yang sah,

didukung oleh pengagungan terhadap yang bersifat dinas dan kewajiban; dan yang

terakhir penghormatan terhadap semua tata dan kepastian.(Satjipto Rahardjo, op.cit:

58)

Seperti yang pernah dikemukakan oleh Dahrendorf bahwa mimbar

pengadilan merupakan suatu panggung di mana lapisan masyarakat yang satu

mengadili lapisan yang lain.(Ibid, : 59) Ketiga, sosialisasi para hakim. Pada kondisi

ini sosialisasi hakim dikaitkan dengan proses pendidikan untuk memperoleh

keahliannya. Pendidikan sebagai suatu unsure dalam proses sosialisasi seorang hakim

akan menentukan kerangka berpikir dan mengambil keputusan. Konsep-konsep

tentang hukum, asas-asas dalam hukum, metode berpikir, dan sebagainya merupakan

kekayaan yang tersimpan di dalam diri seorang hakim dan merupakan kerangka

berpikirnya. Keempat, tekanan-tekanan keadaan. Tekanan keadaan ini merupakan

keadaan pada suatu saat yang harus dihadapi oleh seorang hakim di dalam

Page 31: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

31

menjalankan pekerjaannya. Kelima, tekanan-tekanan keorganisasian. Lembaga-

lembaga hukum mengemban tugas untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum. Tujuan

tersebut sering dirumuskan sebagai menciptakan tata tertib di dalam masyarakat.

Sebagai suatu organisasi yang disusun secara rasional, maka pengadilan juga tidak

luput dari melakukan tindakan-tindakan yang didasarkan pada pertimbangan-

pertimbangan yang lazim dilakukan oleh organisasi. Pertimbangan-pertimbangan

rasional ekonomis itu adalah :

1. berusaha untuk memperoleh hal-hal yang menguntungkan

organsasinya sendiri sebanyak mungkin;

2. berusaha untuk menekan sampai kepada batas-batas minimal, beban-

beban yang menekan pada organisasi.(ibid, : 65)

Dalam beberapa lingkungan birokrasi modern, organisasi tampak ada untuk

melayani kebutuhan personilnya ketimbang langganannya. Langganan menjadi tokoh

sekunder di dalam system pengadilan seperti dalam lingkungan organisasi besar

lainnya. Ia adalah sebuah alat bagi hasil lainnya yang lebih besar dari yang sedang

memegang jabatan organisasi. Ia mungkin menimbulkan keraguan, peristiwa yang

mungkin terjadi dan tekanan-tekanan yang menentang atau menghancurkan jaringan

informal yang ada, tetapi mereka biasanya diselesaikan atas nama organisasi. Bahkan

pengacara tertuduh mempunyai ikatan profesi, ekonomi, intelektual dan lainnya jauh

lebih besar dengan bermacam-macam system pengadilan daripada langganannya

sendiri. Namun pengacara adalah satu-satunya anggota dari system itu yang secara

resmi diakui senagai mempunyai status dan kewajiban istimewa. Ia adalah seorang

pejabat pengadilan dan ia memelihara pedoman pelaksanaan etis dan tugas bagi

langganannya, serta bagi pengadilan, yang jauh lebih tinggi daripada yang diharapkan

dari orang-orang biasa yang menduduki bermacam status pekerjaan dalam lingkungan

pengadilan. Satu aspek lainnya dari struktur organisasi harus diperhitungkan dalam

mencoba mengukur suatu realitas sosial misalnya lingkungan tertutup suatu

pengadilan.

Pengadilan di atas dimana aktor-aktornya hanya mengandalkan pendekatan-

pendekatan formalistic, lebih mengesankan sebagai mesin hukum yang bekerja amat

teknis dan kaku, pada tataran demikian keadilan menjadi hasil dari keputusan-

keputusan yang birokratis. Yang seharusnya menerima pertimbangan-pertimbangan

berperspektif sosial, politik dan ekonomi. Suatu corak keadilan substansial inilah yang

diimpikan dengan mengingat pertimbangan-pertimbangan itu. Hari Purwadi dkk

Page 32: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

32

(Surabaya Pos, 1994 : 6) mengatakan fenomena actual yang kian menguat belakangan

ini mengisyaratkan, komunitas hukum kita lebih mendambakan keadilan substansial

ketimbang sekadar kepastian hukum.

Ketertutupan organisasi pengadilan menurut perkembangan hukum dan

masyarakat, pada sisi-sisi tertentu mempunyai kendala. Kendala tersebut tercermin

apabila pengadilan sebagai organisasi, kurang memperhatikan pola-pola

perkembangan masyarakat dimana institusi itu berada. Ketertutupan organisasi

mengakibatkan pembicaraan tentang pengadilan dan keadilan tiada putus-putusnya.

Seperti yang dikemukakan oleh Nicholas Henry, yang dikutip oleh Alo Liliweri,

bahwa lingkungan tertutup dari suatu organisasi dapat dicirikan sebagai berikut :

(1998 : tanpa halaman)

1. Tentang persepsi terhadap lingkungan organisasi, bahwa lingkungan tertutup atau model system tertutup menurut teori organisasi, bersifat statis dan rutin, serta tidak bervariasi, dibandingkan pula olehnya bahwa model terbuka, lingkungan organisasinya bersifat dinamis, penuh dengan perubahan-perubahan;

2. Tentang persepsi terhadap kondisi alamiah manusia, bahwa model system tertutup menganggap, sifat manusia akan statis dalam pekerjaan rutin, tidak kreatif, motivasi kerja berkurang, tidak suka bekerja, dan tertutup, sedang model terbuka menurutnya, manusia akan mengaktualisasikan diri, meningkatkan motovasi intrinsic, suka bekerja, kreatif, terbuka, kalau organisasi memberi peluang untuk itu;

3. Tentang persepsi terhadap konsep manipulasi, bahwa dalam rangka pengembangan organisasi model tertutup menerima cara-cara apapun untuk memanipulasi cara kerja manusia untuk meningkatkan produktivitas, sedangkan dengan model terbuka, model ini menolak manipulasi untuk meningkatkan hasil, alasannya karena manipulasi mengurangi harkat dan martabat manusia;

4. Tentang persepsi terhadap konsep peranan sosial organisasi, bahwa model tertutup membedakan secara tegas organisasi dengan masyarakat. Birokrasi yang rasional dibutuhkan untuk meraih tujuan masyarakat. Tanpa birokrasi masyarakat tidak bisa meraih tujuan atau tidak akan maju. Jadi kalau ada tindakan dehumanisasi, tekanan birokrasi harus diterima demi tercapainya tujuan masyarakat, sedang model terbuka memandang peranan organisasi/birokrasi dalam masyarakat sebagai hal yang kompleks, organisasi dan masyarakat saling berinteraksi, apalagi masyarakatpun sebenarnya sebuah system organisasi besar yang melingkupi organisasi. Peranan organisasi menyumbang peran masyarakat. Organisasi tidak bisa dipisahkan dari masyarakat.

Melalui keadaan organisasi sebagaimana bercirikan di atas, berakibat

munculnya batas-batas antara pengadilan dengan masyarakat yaitu pengadilan penuh

dengan pandangan pemikiran-pemikiran normative yang mengagungkan kepastian

Page 33: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

33

hukum, dalam hal ini aktor seorang hakim berkecenderungan besar mengandalkan

hukum positip, aspek-aspek di luar hukum positip itu yaitu aspek ekonomi, politik,

sosial dan budaya mendapatkan posisinya tersendiri yaitu dikesampingkan. Maka

putusan-putusan yang tidak manusiawi tersebut merupakan kerja birokrasi-birokrasi

pengadilan yang kaku. Untuk itu kiranya perlu dicermati bahwa makin banyak

didehumanisasi, makin sukses ia dalam menghalangi dari usaha resmi cinta,

kebencian, dan semua unsure pribadi, tak rasional yang murni yang lepas dari

perhitungan. Hal ini adalah sifat khas dari birokrasi dan ia dinilai sebagai sifat

istimewanya. Karena itu, seorang terdakwa dikatakan tergilas antara batu giling dari

jaksa daerah dan dari pengadilan. Keduanya mempunyai syarat-syarat organisasi

masing-masing untuk produksi maksimum.

2. Data yang diperoleh di LPAN Blitar Jawa Timur, Kasubsi Binpas, dan

Sjrn (Pelaku Recidivist Anak )

1). Data dari Kasubsi Binpas yaitu Sri Rahayu BA

a. Data tentang Jumlah pelaku recidivist anak tahun 2002-2007.

Jumlah pelaku recidivist anak Tahun 2002-2007 seperti ditunjukkan di bawah ini.

Tabel 5

Tentang Jumlah Pelaku Recidivist Anak

No. Tahun Jumlah Keterangan

1. 2007 7 -

2. 2006 3 -

3. 2005 Nihil -

4. 2004 Nihil -

5. 2003 Nihil -

6. 2002 Nihil -

Jumlah 10 -

Sumber : Daftar Pertanyaan (DP), No. II/1, Kasubsi Binpas, LPAN Blitar,

2007

Sedangkan khusus untuk pelaku recidivist anak karena tindak pidana pencurian

sebagaimana sejumlah 7 orang (DP, No. II/3), dimana rata-rata mereka mencari

nafkah sendiri, sedangkan 1 orang disebabkan orang tuanya sebagai TKI/tenaga

Page 34: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

34

kerja Indonesia. Berikut nama-nama (dalam bentuk singkatan) pelaku recidivist

anak, baik khusus maupun umum.

Tabel 6

Nama-nama Recidivist Anak Tindak Pidana Pencurian

Sampai tahun Tahun 2007

No. Nama-nama (Singkatan) Jumlah Keterangan

1. Sjrn Pencurian (Recidivist Khusus)

2. A.Sub. Sda

3. A.Set. Sda

4. Ags Pj. Sda

5. Frs Prib. Sda

6. Purnm Sda

7. A. P. Sda

8. Wss Recidivist Umum

9. Syt

9

Sda

Sumber : Wawancara, Kasubsi Binpas, LPAN, Blitar, 26 September 2007

Dari tabel di atas, rata-rata penyebab mereka melakukan tindak pidana pencurian

karena orang tua tidak mampu atau latar belakang keluarga tidak mampu. (DP, III)

b. Upaya penanggulangan yang dilakukan, bentuk-bentuk penanggulangan.

Adapun penanggulangan yang dilakukan dengan melakukan upaya pembinaan di

LPAN seperti ditunjukkan di bawah ini :

Tabel 7

Jenis-jenis Pembinaan di LPAN Blitar Tahun 2007

No. Jenis-jenis Pembinaan Bentuk Pembinaan Keterangan

1. Kepribadian a. Fisik : olah raga, pendidikan

formal, rekreasi, kesenian,

perpustakaan,pramuka,kesehatan.

b. Sosial : menerima kunjungan

keluarga.

c. Mental & spiritual : agama,

ceramah-ceramah, pesantren

Pembinaan tersebut hasil

kerjasama dengan

Aparat Penegak hukum,

Depatemen Sosial,

Agama, Dik Nas,

Page 35: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

35

kilat.

2. Kemandirian

(ketrampilan/life skil)

Penjahitan, montir, pertukangan

kayu, pertanian, peternakan, las

besi, keset, handycraf, atomotif,

salon, sablon, computer.

Tenaga kerja, dan

Perindustrian.

Sumber : Wawancara, Kasubsi Binpas, LPAN Blitar, 2007, data diolah.

2). Data dari Recidive Anak yaitu SJRN (nama singkatan)

a. Tentang Pemidanaan. (wawancara dengan SJRN, umur 20 tahun, belum kawin,

Blitar)

Pelaku ini residivist sejumlah 4 kali, dengan rincian pada waktu melakukan

kejahatan pertama kali (first offenders) berumur 17 tahun, yakni mencuri beras

ditetangganya, dimana pemidanaan oleh hakim 4,5 bulan. Yang kedua, mencuri uang

Rp. 40.000,00 dengan pemidanaan 7 bulan, yang ketiga mencuri sepeda dengan

pemidanaan 10 bulan, dan sekarang ketika diwawancarai peneliti mencuri uang Rp.

30.000,00 dengan pemidanaan 9 bulan. Adapun latar belakang recidivist tersebut

menurut Kasubsi Binpas sangat parah, yakni orang tuanya cerai, cari makan sendiri,

dan kondisi ibunya memprihatinkan yakni stres.

b.Tentang Penanggulangan

Ketika ditanya tentang penanggulangan, dengan keputusan hakim, merasa

puas serta menerima, dimana didalam LP kegiatan yang dilakukan adalah

membersihkan kamar, buat keset, kerja diluar/ membuang sampah, dan merasa senang

dengan pembinaan di dalam LP. Hambatan dikatakan tidak ada.(DP No. III).

3.Data dari Badan Pemberdayaan Masyarakat dalam hal ini yang berkaitan

dengan Perlindungan Anak dan Lembaga Perlindungan Anak. BPM Kabupaten

Malang, Blitar dan Tulungangung (Lembaga Perlindungan Anak).

Untuk masalah anak yang terlibat kasus hukum BPM tersebut menyerahkan

kewenangannya kepada Kepolisian seperti penerapan UU No. 23 tahun 2004 tentang

PKDRT (Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga), apabila terjadi keadaan

dimana anak sebagai korban dalam lingkungan rumah tangga. Orientasi perhatian

bekerjanya peradilan bagi anak untuk sementara belum mendapat perhatian, hanya

sementara fokus perhatiannya adalah tentang Perlindungan Anak diluar sidang

Pengadilan, yakni adanya traffiking, pembinaan anjal dimana bekerjasama dengan

Page 36: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

36

Dinas Sosial. Aspek pembinaan di luar LP setelah mereka bebas dan sebagian di

dalam LP dengan memberikan ketrampilan-ketrampilan. (Wawancara dengan Bapak

Hawiyono BPM, dan Kasubsi. Binpas).

Berkaitan dengan masalah anak tersebut khususnya yang berkaitan dengan

pemidanaannya, perhatian pada mereka karena sifat-sifat khusus yang dimilikinya,

maka penerapan atas pemidanaannya juga penerapan atas perlindungan terhadap hak-

hak mereka. Di era orde baru dengan Trilogi pembangunannya yang dicanangkan

sejak tahun 1969, pembangunan di bidang ekonomi merupakan prioritas utama.

Kepentingan pertumbuhan ekonomi merupakan target utama daripada pemerataan

ekonomi. Dampak yang terjadi apabila kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagai

sasaran utama, adalah kesenjangan ekonomi. Anggito Abimayu (1995 : 7)

mengemukakan bahwa pertumbuhan dan pemerataan adalah komponen utama tujuan

pembangunan di Indonesia. Terutama daerah-daerah yang dekat dengan pusat

kekuasaan, dan bidang ekonomi sebagai panglima, maka sumber konflik yang

dikatakan dengan kekuasaan itu mengarahkan pada kekuasaan ekonomi. Adanya

kolusi penguasa dan pengusaha, menunjukkan bahwa pembangunan bidang ekonomi

merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Padahal

sebaliknya, banyak daerah-daerah miskin yang memang kurang mendapat perhatian

pusat, berarti pemerataan kurang mendapatkan tempat apabila dibandingkan dengan

pertumbuhan. Bidang hukum yang menopang pembangunan bidang ekonomi tersebut

dalam bekerjanya, realitas bias-bias merupakan akibatnya. Negara hukum (rechtstaat)

hanyalah sebuah impian karena lebih dominannya negara kekuasaan (machtstaat) .

Hukum merupakan sumber kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya seperti

kekuatan (fisik dan ekonomi ), kewibawaan (rohaniah, intelegensia, dan moral ).

Apabila dicermati dari sudut kriminologi, masalah pengulangan

kejahatan, dalam tulisan ini disebut dengan recidive, dapat disebabkan oleh masalah

ekonomi, broken home, ataupun lainnya.

Keadaan ekonomi tersebut berpengaruh besar terhadap terjadinya

pengulangan kejahatan. Suatu kajian untuk mencari sebab-sebab terjadinya kejahatan

telah lama dikembangkan. Mulai dari aliran-aliran positivisme sampai aliran baru dan

mutakhir yaitu secara kritis mencari faktor penyebab terjadinya kejahatan atau

kriminologi kritis. Yang terakhir ini menjelaskan bahwa sebab-sebab terjadinya

kejahatan adalah suatu proses. Maka dapat dikatakan pelaku kejahatan adalah produk

dari proses itu sendiri. Dalam Sistem Peradilan Pidana, produk itu merupakan hasil

Page 37: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

37

akhir apabila sistem tersebut tidak/dilaksanakan dengan keterpaduan (Integrated

Criminal Justice System).

Kendala-kendala itu dapat diminimalkan apabila pembangunan dilaksanakan

melalui perencanaan yang matang. Era Orde Baru, pembangunan diwujudkan melalui

Trilogi Pembangunan, dimana faktor pertumbuhan lebih menonjol daripada faktor

pemerataan. Untuk menciptakan pertumbuhan maka bidang ekonomi turut

diprioritaskan ketimbang pembangunan bidang lainnya terutama pembangunan

bidang hukum. Pembangunan itu sendiri pada hakikatnya tidak bersifat kriminogen,

khususnya apabila hasil-hasil itu didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua

rakyat serta menunjang seluruh kondisi sosial. Hal ini terkandung maksud

pembangunan itu sendiri lebih mengutamakan aspek pemerataan ketimbang aspek

pertumbuhan. Pembangunan yang tidak direncanakan secara rasional, timpang atau

tidak seimbang, mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral serta tidak mencakup

strategi perlindungan masyarakat yang integral dapat meningkatkan kriminalitas. Oleh

karena itu dapat ditegaskan bahwa masalah strategis yang harus ditanggulangi ialah

masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial secara langsung atau tidak langsung

dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan kejahatan.

Masalah strategis sesuai dengan penelitian ini adalah masalah ekonomi.

Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Richard Wahjoedi, dan Didik

Endro Purwoleksono (1994: 34-35) disebutkan bahwa alasan atau latar belakang

dilakukannya kejahatan dalam hal ini pencurian adalah pertama, faktor ekonomi;

kedua , broken home (orang tuanya cerai ); ketiga, kurangnya pengawasan dari orang

tua; keempat, faktor lingkungan. Dijelaskan bahwa faktor ekonomi yang dimaksud

yaitu keadaan ekonomi keluarga si anak pelaku tindak pidana tersebut. Dari beberapa

alasan tersebut faktor ekonomi merupakan penyebab paling tinggi untuk menjadi

alasan seseorang anak melaksanakan tindak pidana pencurian.

Mengacu pada paradigma yang ada, yaitu paradigma interaksionis, yang

menyebutkan seseorang diberi cap jahat/diperlakukan sebagai penjahat melalui proses

interaksi maka terdapat kecenderungan dimana seseorang yang dicap sebagai penjahat

akan bertingkah laku sebagaimana perlakuan/cap itu diberikan. Hal ini dapat

dimengerti sebagaimana penjelasan teori exchange dari Homan bahwa dalam

memberikan arti atau nilai kepada tingkah laku yang diarahkan oleh orang lain

terhadap aktor (dalam hal ini narapidana anak), mengandung arti makin bernilai bagi

seseorang sesuatu tingkah laku orang lain yang ditujukan kepadanya makin besar

Page 38: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

38

kemungkinan atau makin sering ia akan mengulangi tingkah lakunya itu ataupun

makin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku seseorang memberikan ganjaran

terhadap tingkah laku orang lain, makin sering orang lain itu mengulangi tingkah

lakunya itu. Akibatnya narapidana tersebut, akan lebih memilih kehidupan di dalam

Lembaga Pemasyarakatan atau melakukan kejahatan ulangan. Karena dipandang

bahwa baik menurut usia, apalagi diusia muda hidup dalam lingkungan keluarga tidak

mampu, mengakibatkan seorang anak merespon bahwa kehidupan di Lembaga

Pemasyarakatan jauh lebih baik, yang berarti secara psikologis mereka ingin

memperoleh perhatian dari aparat Lembaga Pemasyarakatan. Sudarsono,

mengemukakan sebagian besar sarjana psikologi sependapat bahwa masa remaja

merupakan fase perkembangan yang sangat mencolok baik secara fisik, psikologis,

sosial dan moralitas. Pada masa adolesen yaitu umur 13-21 tahun anak-anak sedang

mengalami kegoncangan jiwa.(Sudarsono, 1991: 155)

Aspek psikologis pada masa adolesen tersebut mempunyai ciri bahwa seorang

anak pada masa itu dimungkinkan menemukan jalan hidupnya yaitu jalan yang dilalui

dalam perjuangan hidupnya mencapai cita-citanya. Kesetiaan untuk melewati jalan

yang yang lurus yang ditentukan sendiri itu akan merupakan jaminan keselamatan

seseorang di dalam perjuangan untuk mencapai cita-cita yang telah ditentukan sendiri

tadi.(Agus Sujanto, 1982: 289) Unsur perhatian ini sebagai unsure yang dominan,

didalam upaya pembinaan dan pendidikan, adalah tidak hanya tanggung jawab dari

aparat lembaga pemasyarakatan saja, akan tetapi bagian integral dengan Pengadilan,

Kepolisian, Kejaksaan, masyarakat, dan keluarga anak.. Mardjono Reksodiputro

mengemukakan,(1997: 72) yang teramat penting adalah jabatan hakim wasmat karena

dengan tugasnya yang mengawasi dan mengamati itu yang hasil dapat untuk

menyempurnakan kebijakan pemidanan (sentecing policy) yang ada, dan menghindari

terjadinya pelanggaran atas hak-hak narapidana.

Pengkajian teoritis terhadap pengulangan kejahatan ini, bertolak pada

pertanyaan mengapa terjadi pengulangan kejahatan. Dengan pertanyaan ini berarti

suatu bangunan sebab-sebab banyak dilontarkan beberapa orang dengan berpendapat

sesuai dengan perbuatan pidana yang telah terjadi dalam masa tertentu. Sehingga

pemikiran untuk menganalisis sebab-sebab terjadinya kejahatanpun dapat

diklasifikasikan berdasarkan pemikian-pemikiran pada waktu itu. Pemikiran-

pemikiran tersebut dapat dikenal sejak dikembangkannya aliran kriminologi klasik,

positivis sampai dapat dikembangkannya pemikiran baru yaitu kriminologi kritis.

Page 39: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

39

Oleh sebab itu dalam relevansinya dengan perkembangan pemidanaan residivist pada

anak, pemikiran-pemikiran kriminologi kritis dapat diterapkan dan dikaji melalui

teori-teori.

Seorang tokoh teori Exchange, yaitu George Ritzer yang mengutip pendapat

dari George Homan, tokoh paradigma perilaku sosial, menguraikan bahwa apa yang

dijelaskan oleh Homan merupakan serangan terhadap pendapat dari Durkheim.

Kajian secara sosiologi, dikatakannya, bahwa objek studi sosiologi adalah barang

sesuatu dan sesuatu yang dianggap sebagai barang sesuatu. Barang sesuatu yang

menjadi objek studi sosiologi dapat diterangkan bila dapat diketemukan fakta-fakta

penyebabnya. Lebih khusus lagi suatu fakta sosial lain yang menjadi penyebabnya.

Penemuan demikian itu belum merupakan suatu penjelasan menurut Homan.

Menurutnya yang perlu dijelaskan adalah hubungan antara penyebab dan akibat dari

hubungannya itu selalu diterangkan oleh proposisi psikologi. Perlu diterangkan

mengapa fakta sosial satu menjadi penyebab fakta sosial yang lain. Variabel-variabel

psikologi di sini merupakan variable perantara (intervening variables ) diantara dua

fakta sosial. Diakuinya bahwa fakta sosial berperan penting terhadap perubahan

tingkah laku yang bersifat psikologi yang menentukan bagi munculnya fakta sosial

baru yang berikutnya. Adapun secara garis besar George Homan mengajukan lima

proposisi keseluruhan muatan teori Exchange, yaitu :(Alimandan, op.cit.: 92-94)

1. Jika tingkah laku atau kejadian yang sudah lewat dalam konteks stimulus dan

situasi tertentu memperoleh ganjaran, maka besar kemungkinan tingkah laku

atau kejadian yang mempunyai hubungan stimulus dan situasi yang sama akan

terjadi atau dilakukan. Proposisi ini menyangkut hubungan antara apa yang

terjadi pada waktu silam dengan yang terjadi pada waktu sekarang;

2. Menyangkut frekuensi ganjaran yang diterima atas tanggapan atau tingkah

laku tertentu dan kemungkinan terjadinya peristiwa yang sama pada waktu

sekarang. Makin sering dalam peristiwa tertentu tingkah laku seseorang

memberikan ganjaran terhadap tingkah laku orang lain, makin sering pula

orang lain itu mengulang tingkah lakunya itu;

3. Memberikan arti atau nilai kepada tingkahlaku yang diarahkan oleh orang lain

terhadap aktor. Makin bernilai bagi seseorang sesuatu tingkah laku orang lain

yang ditujukan kepadanya makin besar kemungkinan atau makin sering ia

akan mengulangi tingkah lakunya itu. Dalam proposisi yang ketiga Homan

meletakkan tekanan dari teori exchange-nya. Pertukaran kembali itu berlaku

Page 40: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

40

terhadap kedua belah pihak. Ganjaran yang diberikan terhadap orang lain

adalah yang mempunyai nilai yang lebih rendah menurut penilaian aktor,

tetapi mempunyai nilai yang lebih berarti bagi orang lain. Sebab ganjaran yang

akan diterimanya seimbang dengan cost yang dibayarkannya, maka sesuatu

tingkah laku masih akan bersifat problematis bagi orang tersebut;

4. Makin sering orang menerima ganjaran atas tindakan dari orang lain, makin

berkurang nilai dari setiap tindakan yang dilakukan berikutnya. Ide proposisi

ni berasal dari hukum Gossen dalam ilmu ekonomi;

5. Makin dirugikan seseorang dalam hubungannya dengan orang lain, makin

besar kemungkinan orang tersebut akan mengembangkan emosi. Proposisi ini

berhubungan dengan konsep keadilan relatif (relative justice ) dalam proses

tukar menukar.

Sebab sebagai kausalitas yang mendahului daripada akibat, dipengaruhi oleh

faktor-faktor psikologis. Pembahasan tentang ini menurut teori-teori dengan tanpa

mencari teori mana yang benar adalah relatif, karena bersangkutan dengan jiwa

manusia. Pandangan katakanlah terhadap remaja, dapat dikaji melalui orientasi-

orientasi dari alamiah dan naluriah, orientasi lingkungan sosial, sampai pada orientasi

konvergensi. Meskipun orientasi lingkungan sosial bila dipadukan dengan sebab-

sebab kejahatan ditemukan keklasikan dan bersifat konvensional maka hal tersebut

cukup dapat digunakan mungkin bersifat abadi yang sebenarnya tergantung pada

masa tertentu. Sehingga proporsional apabila pendapat John Lock, yang dinyatakan

anak secara kualitatif maupun kuantitatif tidak sama dengan orang dewasa, seorang

anak akan menjadi baik atau jahat tergantung dari pengalaman.(R.E. Muss, 1968 : 25-

26) Pandangan John Lock ini diikuti oleh beberapa sajana dan berlangsung hingga

abad 20.

Pada masa dimana pemerataan tidak rata, terjadinya kejahatan dinyatakan

bahwa kejahatan merupakan respons-respons rasional terhadap bekerjanya sistem

ekonomi dominan yang ditandai oleh persaingan serta pelbagai bentuk

ketidakmerataan.(Charles E. Reasons, : 1974: 37) Yang berakibat apabila kebutuhan

ekonomi kurang terpenuhi yang tidak dibarengi dengan keinginan-keinginan,

tuntutan-tuntutan maka suatu kejahatan dimungkinkan akan terjadi. Pencurian dapat

dilakukan karena kebutuhan ekonomi yang mendesak serta ketidakadilan pembagian

pemerataan masyarakat. Salah satu teori yang tertua dan paling banyak diketahui

orang ialah bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan. Ekonomi dalam arti yang

Page 41: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

41

seluas-luasnya memang merupakan potensi kejahatan yang tradisional, lebih-lebih

larcerny (pencurian). Hasil penelitian secara umum, dikemukakan bahwa sebab-sebab

mereka melakukan pengulangan kejahatan, adalah karena dilatarbelakangi dari

keluarga yang tidak mampu. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di negara

berkembang saja akan tetapi di negara majupun demikian. Kesepakatan negara-negara

untuk mencegah tidak terjadinya faktor kondusif, penyebab terjadinya kejahatan.

Dalam rangka mencegah kejahatan diadakan usaha memperbaiki keadaan sosial,

ekonomi masyarakat. Sebenarnya hal ini sudah diformulakan dalam kebijakan

penanggulangan kejahatan yang merupakan bagian dari strategi kebijakan

kesejahteraan sosial (social welfare policy), sekaligus strategi pembangunan yang

dicanangkan dalam landasan operasional di Indonesia. Standard ekonomi itu sendiri

dapat dikategorikan pada destitution, proverty, normal, confort, dan luxury . Dalam

mengulas masalah delinquency, didasari oleh para penganut teori Marx, para sosial

workers dan kaum humanitarian yang dianggap sebagai teori tertua yang

mempersepsikan bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan.

Pemikiran lebih lanjut sebenarnya dalam tataran pemidanaan, terdapat metode

dalam mengurangi jumlah pengulangan kejahatan (repeated crime ) dikenal dengan

metode reformation, selain tindakan preventif sering pula dilakukan tindakan represif

yaitu teknik rehabilitasi, dengan menciptakan sistem dan program yang bertujuan

untuk menghukum penjahat, antara lain hukuma bersyarat, hukumam kurungan dan

lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa.

Memang apabila disimak, pengulangan kejahatan merupakan akibat dari beberapa

sebab, dan untuk menentukan penyebabnya masih merupakan teka-teki yang tidak

terselesaikan. Layaknya sebuah air sungai yang dibendung, suatu saat bendungan itu

bisa jebol apabila tidak bisa menahan volume air yang begitu banyak. Yang menjadi

persoalannya bukan pada efektifitas dari pemidanaan terutama pidana penjara

sebagaimana dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa yang penelitian-penelitian

selama ini dilakukan belum dapat membuktikan secara pasti apakah pidana penjara itu

merupakan suatu sarana yang efektif atau tidak efektif.(Barda Nawawi Arief, 1994:

116) Oleh karena itu terjadinya pengulangan kejahatan bukan disebabkan apakah

sistem pemidanaan yang ada efektif atau tidak efektif dalam menekan jumlah

pengulangan kejahaan.

Dalam mencari jalan pemecahanya seperti yang dikemukakan Barda Nawawi

Arief, yang mengutip M. Cherif Bassiouni bahwa kita tidak tahu dan tidak pernah

Page 42: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

42

tahu secara pasti metode-metode tindakan perlakuan (treatment ) apa yang paling

efektif untuk mencegah atau memperbaiki atau kitapun tidak mengetahui seberapa

jauh efektivitas setiap metode tindakan perlakuan itu. Untuk menjawab masalah-

masalah ini secara pasti, menurut Bassiouni, kita harus mengetahui sebab-sebab

kejahatan; dan untuk mengetahui hal ini kita memerlukan pengetahuan yang lengkap

mengenai etiologi tingkah laku manusia.(Barda Nawawi Arief, op.cit.: 117) B.

Simandjuntak, berpendapat bahwa suatu penelitian etiologi kriminal mempunyai

kesimpulan yang dapat dikelompokkan dalam dua usaha, yaitu pertama usaha

meneliti faktor individu yang kriminogen biologis kriminal, dan kedua usaha

meneliti faktor sosiologis yang kriminogen sosiologis kriminal.(Simanjuntak, 1981:

289)

Beberapa pengertian untuk mencari faktor individu yang kriminogen biologis

tersebut ditentukan oleh usia si anak. Anak di sini sama artinya dengan remaja,

karena batasan usia remaja menurut WHO ( World Health Organization ) ditetapkan

usia 10-20 tahun. Undang-undang Pengadilan anak sendiri menetapkan pengertian

anak yang berusia antara 12-18 tahun. Sehingga mereka yang berusia antara 12-18

tahun dapat dipandang sebagai remaja. Karena itu pula mencari sebab-sebab

kenakalan anak dapat dipandang juga mencari sebab-sebab kenakalan remaja. Istilah

kenakalan itu sendiri merupakan istilah yang diterapkan bagi anak yang melakukan

kejahatan. Mengutip pendapat dari B. Simandjuntak , Sudarsono menyatakan bahwa

pembatasan yang dilakukan para ahli hukum Anglo Saxon dapat diterima, dengan

alasan : (Sudarsono, op.cit.: 16)

1. Juvenile delinquency berarti perbuatan dan tingkah laku yang merupakan perbuatan

perkosaan terhadap norma hukum pidana dan pelanggaran-pelanggaran terhadap

kesusilaan yang dilakukan oleh anak-anak remaja;

2. Juvenile delinquency itu adalah offenders ( pelaku pelanggaran) yang terdiri dari

anak ( berumur dibawah 21 tahun = pubertas), yang termasuk yurisdiksi

pengadilan anak (juvenile cour).

Pendapat yang lebih komprehensif, dalam usaha untuk mengungkapkan

sebab-sebab terjadinya kejahatan khususnya yang diterapkan sebagai bahan kajian

ilmiah begitu besar manfaatnya. Akan tetapi suatu teori mana yang cocok tergantung

pada situasi dan kondisi tertentu. Faktor-faktor yang menciptakan suatu kejahatan

adalah multifaktors, sebagai berikut :

1. Faktor intern :

Page 43: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

43

a. cacat keturunan yang bersiat biologis-psikis; b. pembawaan yang negatif yang mengarah ke perbuatan nakal; c. ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan pokok dengan keinginan. Hal ini

menimbulkan frustasi dan ketegangan; d. lemahya kontrol diri serta persepsi sosial; e. ketidakmampuan penyesuaian diri tehadap perbahan lingkungan yang baik dan

kreatif; f. tidak ada kegemaran, tidak memiliki hobby yang sehat.

1. Faktor ekstern : a. rasa cinta dari oang tua dan lingkugan; b. pendidikan yang kurang menanamkan bertingkah laku sesuai dengan alam

sekitar yang diharapkan orang tua, sekolah, masyarakat; c. menurunnya wibawa orangtua, guru, dan pemimpin masyarakat. Hal ini erat

hubungannya dengan ketiadaan tokoh identifikasi; d. pengawasan yang kurang efektif dalam pembinaan yang berpengaruh dalam

domain efektif, konasi, konisi dari orangtua, masyarakat, guru; e. kurangnya penghargaan terhadap remaja dari lingkungan keluarga, sekolah,

masyarakat. Hal ini erat hubungannya dengan ketiadaan dialog antara ketiga lingkugan pendidikan;

f. kurangnya sarana penyaluran waktu senggang. Hal ini berhubungan dengan ketidakpahaman pejabat yang berwenang mendirikan taman rekreasi. Sering pejabat mendirikan gedung di tempat rekreasi sehingga tempat rekreasi tidak lagi ada;

g. ketidaktahuan keluarga dalam menangani masalah remaja, baik dalam segi pendekatan sosiologik, psikologik, maupun pedagogik. Hal ini menuntut lembaga yang berhak menangani mendalami psikologi remaja khususnya dan ilmu lain umumnya.(Simandjuntak, op.cit. : 290-291)

Faktor-faktor lainnya yang dinamakan faktor negatif adalah situasi politik yang

tidak begitu menguntungkan dimana sering partai politik saling tuding-menuding dan

curiga-mencurigai. Pemimpin yang baik tidak perlu mengekspose pertikaian politik

malahan harus meminta peranan mass media membantu mencipakan kondisi positip;

dan keadaan ekonomi yang semakin menurun, krisis ekonomi, dan sebagainya.(Ibid)

Karena sebab-sebab terjadinya kejahatan ditentukan pada faktor individu, tidak

hanya dari segi mereka-mereka yang residivist yang melakukan hubungan baik dan

berkelakuan baik kepada Lembaga Pemasyarakatan akan tetapi juga penggunaan

sosiologi yang bertolak pada alasan-alasan lingkungan,

Masalah recidivist ini dalam tujuan pidana yang dilakukan hakim, hakim

menerapkan tujuan pencegahan khusus, yang artinya pemidanaannya harus

memperhatikan pribadi pelaku tindak pidana. Hakim Pengadilan Negeri Malang,

Blitar dan Tulungagung mengatakan bahwa penjatuhan untuk recidivist anak lebih

berat dari pada pelaku anak, pelaksanaannya dengan prosentase terbesar pidana pokok

penjara. Perlu untuk disimak meskipun perangkat undang-undang mengatur

Page 44: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

44

pemidanaan terhadap pelaku di kategorikan dewasa dan anak-anak adalah berbeda,

akan tetapi suatu kondisi aparat penegak hukumnya dalam hal ini hakim merupakan

pintu penutup yanng nantinya akan menjembatani perlindungan terhadap hak-hak

terdakwa dengan keadilan dan kebenaran itu sendiri. Dikemukakan oleh Barda

Nawawi Arief yang di sunting oleh Romli Atmasasmita bahwa prinsip umum

pemidanaan dengan melihat pertanggung jawaban individual terhadap orang dewasa

merupakan hal yang wajar, karena orang dewasa memang sudah selayaknya

dipandang sebagai individu yang bebas dan mandiri (independent) dan

bertanggungjawab penuh atas perbuatan yang dilakukannya. Namun penerapan

prinsip umum ini kepada anak patut dikaji karena anak belum dapat dikatakan sebagai

individu yang mandiri secara penuh. Oleh karena itu penerapan prinsip ini dilakukan

sangat hati-hati dan selektif, dengan mengingat tingkat kematangan /kedewasaan

setiap anak. Lebih lanjut dikemukakan bahwa ada baiknya dikembangkan gagasan

yang mengimbangi sistem pemidanaan/pertanggungjawaban individual itu dengan

sistem pertanggung jawaban struktural/fungsional.(Romli Atmasasmita, 1996 : 80)

Beliau mengemukakan bahwa diperlukan adanya prinsip-prinsip yang seharusnya

diperhatikan oleh hakim dalam menjatuhkan sanksi (pidana/tindakan) kepada hakim,

khususnya dalam hal menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan. Hal ini

dipandang sangat penting, karena masalah ini yang menjadi pusat perhatian dari

dokumen-dokumen internasional, yaitu pasal 17.1 SMR-JJ (The Beijing Rules), dan

Resolusi PBB 45/113 tentang UN Rules the Protection of juvenile Deprived of Their

Liberty.(ibid, h.76-77).

Jumlah Penghuni LPAN per 2007 mengalami peningkatan sebagaimana data

sebelumnya yakni 180 penghuni.dengan rincian :

Anak Negara Pria = 20, wanita = 1 jumlah = 21

Anak Pidana BI Pria = 63, wanita = 1, jumlah = 64

BIIa, Pria = 64, wanita = nihil, jumlah= 64

Pemidanaan bagi anak diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan

Anak. Pasal 23 undang-undang itu mengatakan bahwa pidana bagi anak nakal

meliputi :

(1) Pidana yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah pidana pokok dan pidana tambahan.

(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada anak nakal ialah : a. Pidana Penjara; b. Pidana Kurungan;

Page 45: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

45

c. Pidana denda; d. Pidana pengawasan. (3) Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) terhadap

Anak Nakal dapat juga dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu dan atau pembayaran ganti rugi.

Pasal 24 undang-undang itu menyebutkan : (1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : a. mengembalikan kepada orang tua, wali atau orang tua asuh; b. menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan

dan latihan kerja; atau c. menyerahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial

Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan dan latihan kerja.

(2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh hakim.

Dalam bidang hukum atau keterlibatannya di bidang hukum, dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 18 UU No. 23 Tahun 2002, dijelaskan hak-haknya sebagai berikut : Pasal 16 disebutkan : (1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,

penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; (2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum; (3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan

apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17 disebutkan : (1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk : a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan

dari orang dewasa; b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam

setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang

objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. (2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang

berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Lebih lanjut ditegaskan dalam Pasal 18, bahwa setiap anak yang menjadi

korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan

bantuan lainnya.

Sebagaimana yang tertera di atas merupakan kewajiban dan tanggung jawab

Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua, disebutkan dalam

Pasal 20, bahwa Negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua

berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan

anak.

Page 46: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

46

Kecenderungan hakim menjatuhkan sanksi pidana, proporsi penjatuhan

pidana penjara masil lebih besar disbanding pidana lainnya atau tindakan.

(Paulus Hadisuprapto, 2002), dikatakan bahwa menyangkut aspek kegunaan

atau manfaat dari pidana penjara yang relative singkat itu, khususnya bila hal

itu dikaitkan dengan proses pembinaan yang harus dilaksanakan terhadap

anak-anak itu di dalam lembaga, sampai seberapa jauh proses pembinaan itu

berhasil guna. Apabila hal itu menjadi suatu keraguan apakah tidak berarti

sebagai ganjaran belaka (just desert), sementara aspek negative dalam penjara

tidak dipertimbangkan, seperti yang pernah dikemukakan oleh Made Sadhi

Astuti (1997)), anak-anak pelaku delinkuen dalam proses pemindanaan lebih

baik dijatuhi sanksi yang berupa tindakan bukannya pidana.

Pada perilaku delinkuensi anak upaya penanggulangannya dapat

dilakukan melalui kebijakan penal dan non penal. Kebijakan penal memiliki

keterbatasan, yang dikarenakan :

a. memperhatikan sifat dan hakikat perilaku delinkuensi anak, yang artinya bahwa sifat dan hakikatnya lebih tinggi kompleksitasnya disbandingkan dengan kejahatan orang dewasa;

b. memperhatikan jangkauan hukum pidana anak, penggunaan hukum pidana merupakan penanggulangan suatu gejala (kurien am symptom) dan bukan suatu penyelesaian dengan menghilangkan sebab-sebabnya.

c. sifat dan hakikat sanksi pidana terhadap anak, pengalaman anak selama diobati simptomnya lewat proses pemidanaan, obat nya akan lebih bersifat paradoksal dan negative membekas pada diri anak secara kejiwaan bila dibandingkan dengan pelaku orang dewasa.

d. kondisi objektif penegakan hukum pidana anak. Menurut Barda Nawawi Arif (1998) bekerjanya hukum pidana memerlukan sarana pendukung yang lebih banyak dan bervariasi baik yang berupa perundang-undangan organiknya, instansi, dan aparat pelaksananya, sarana dan prasarana maupun operasionalisasinya di lapangan.

Sedangkan kebijakan non penal berupa adanya diversi dan diskresi, dan konsep

pemberian malu serta menurut “The Riyadh Guidelines”

Recidive Anak Dalam Perspektif Hak Anak Dari Sudut Hukum Pidana

Apabila dicermati hak-hak tersebut berkaitan erat keadaan pribadi pelaku

kejahatan yang dilakukan oleh anak. Tidak boleh seorang anak dilakukan sewenang-

wenang oleh aparat keradilan pidana. Peradilan pidana harus mewujudkan suatu

professional yang handal, agar tidak terjadi ketakutan pada diri anak. Maka

Page 47: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

47

pengetahuan tentang aanak palagi terhadap anak yang telah melakukan kejahatan

harus dipunyai oleh tiap-tiap aparat penegak hukum untuk tujuan agar terjadi system

peradilan pidana yang berkeadilan, dan agar tidak terjadi pengulangan tindak pidana.

Mungkin dapat terjadi suatu tindakan sewenang-wenang apabila perhatian

pembenaran hanya dijutukan pada perbuatan pidana (criminal act) bilamana tidak

mengindahkan masalah pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility),

sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.3 Tahun 1997 tentang pengadilan

Anak dan Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Nampaknya masalah anak tersebut perlu mendapat perlindungan hukum.

Perhatian perlunya perlindungan hukum ini diawali dari Deklarasi Jenewa tentang

Hak-hak Anak tahun 1924 yang diakui dalam Universitas Declaration of Human

Rights tahun 1948. Kemudian pada tanggal 20 November 1958, Majelis Umum PBB

mengesahkan Declaration of the Rights of the Child (Deklarasi Hak-Hak Anak).

Selanjutnya masalah anak ini dibicarakan dalam Konggres-konggres PBB mengenai

The Prevention of Crime and the treatment of Offender. Konggres Ke-I di Genewa

tahun 1955 dibicarakan topik Prevention of Juvenile Delinquency, konggres ke-II

tahun 1960 dibicarakan masalah New Forms of Juvenile Delinquency dan Special

Police Services for the Preention of Juvenile Delinquency dan sampai dengan

konggres ke-II tahun 1965 di Stockholm.

Pembicaraan kemudian dipusatkan perhatiannya pada Juvenile Justice

(Peradilan Anak) . Perhatian untuk perlunya perlindungan khusus bagi anak berkaitan

erat dengan prinsip dari Declaration of the Rights of the Child. Selanjutnya terhadap

masalah juvenile justice ini dibicarakan dalam kongres PBB ke-VI di Caracas,

Venezuela pada tahun 1980 dengan topik juvenile justice : before and after the onset

of delinquency. Kongres ini kemudian menghasilkan suatu resolusi No. 4 mengenai

Development of Minimum Standards of Juvenile Justice.

Resolusi tersebut meletakkan prinsip-prinsip dasar untuk penyelenggaraan

peradilan anak (The Admintration of Juvenile Justice) dalam rangka melindungi hak-

hak asasi dari Juvenile yang terlibat dalam persoalan hukum. Rekomendasinya agar

Kongres PBB mengenai pencegahan dan Pengendalian Kejahatan (The Committee on

Crime Prevention and Control) mengembangkan Standard Minimum Rules for the

Administration of Juvenile Justice (selanjutnya disingkat SMR-JJ). Pada tanggal 6

September 1985 Kongres Ke VII di Milan menyetujui United Nations Standard

Minimum Rules for the Administration of the Juvenile Justice yang kemudian dikenal

Page 48: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

48

dengan istilah Beijing Rules, dan dikukuhkan oleh Majelis Umum (General

Assembly) PBB pada tanggal 29 Nopember 1985 dalam resolusinya No. 40/33.

Setidak-tidaknya perhatian perlindungan hukum terhadap masalah anak di

atas dipertegas lebih lanjut dan commentary yang terdapat di bawah Rule %.1 yang

menyebutkan bahwa ada 2 (dua) tujuan atau sasaran yang ditunjuknya, yaitu pertama

memajukan kesejahteraan anak (the promotion of the well being of the juvenile),

prinsip ini mempunyai arti untuk menghindari penggunaan sanksi yang semata-mata

bersifat pidana atau semata-mata bersifat menghukum (the avoidance of merely

punitive sanctions) dan kedua, prinsip proporsionalitas (the principle of

proporsionalitas), yang mempunyai arti bahwa prinsip ini digunakan sebagai alat

untuk mengekang penggunaan sanksi yang bersifat menghukum dalam arti membalas

semata-mata (Just desort).(Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1992 : 107)

Untuk itu sesuai dengan implementasi SMR-JJ, pada hukum positip di

Indonesia, pada khususnya berkenaan dengan tugas hakim, maka SMR-JJ, Rule 16.1,

menegaskan perlunya diteliti secara tepat laporan penelitian sosial (social inquiry

reports) mengenai latar belakang kehidupan dan keadaan-keadaan di mana anak itu

tinggal atau keadaan-keadaan yang menyebabkan tindak pidana itu dilakukan.

Dikemukakan pula dalam Rule 17 SMR-JJ mengenai bebarapa prinsip sebagai

pedoman dalam mengambil keputusan oleh hakim, yaitu bentuk-bentuk reaksi/sanksi

yang diambil selamanya harus diseimbangkan tidak hanya pada keadaan-keadaan dan

keseriusan/berat-ringannya tindak pidana, tetapi juga pada keadaan-keadaan dan

kebutuhan-kebutuhan si anak, serta pada kebutiuhan-kebutuhan masyarakat;

pembatasan-pembatasan terhadap kebebasan pribadi anak hanya dikenakan setalah

perimbangan yang hati-hati dan dibatasi seminimal mungkin; perampasan

kemerdekaan pribadi jangan dikenakan kecuali anak melakukan tindakan kekerasan

yang serius terhadap orang lain atau terus-menerus melakukan tindak pidana serius

dan kecuali tidak ada bentuk sanksi lain yang lebih tepat; kesejahteraan anak harus

menjadi faktor pedoman dalam mempertimbangkan kasus anak.

Memang berat tugas hakim untuk memecahkan suatu kasus denganpelaku

kejahatannya seorang anak, mengingat tujuan pidana bagi anak harus mempunyai

kekhususan sesuai dengan sifat-sifat khusus untuk memeriksa kasus anak. Hal ini

belum lagi dihdapkan pada upaya memcahkan persoalan recidive anak.

Perlindungan hukum pidana terhadap anak ini, selanjutnya telah disahkan

Hak-hak Anak 1989 (Resolusi Majelis Umum PBB 44/25). Atas dasar itu Indonesia

Page 49: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

49

telah mensahkan melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun 1990 dengan prinsi-

prinsipnya dituangkan dalam artikel 37 dan 40 sebagai berikut :

Artikel 37, memuat prinsip-prinsip :

a. Seorang anak tidak ahany dikenai penyiksaan atau pidana dan tindakan lainnya yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat;

b. Pidana mati maupun pidana penjara seumur hidup tanpa kemungkinan memperoleh pelepasan/pembebasan (without possibility of release) tidak akan dikenakan kepada anak yang berusia dibawah 18 tahun;

c. Tidak seorang anakpun dapat dirampas kemerdekaannya secara melawan hukum atau sewenang-wenang;

d. Penangkapan, penahan dan pidana penjara hanya akan digunakan sebagai tindakan dalam upaya terakhir dan untuk jangka waktu yang sangat singkat/pendek;

e. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya akan diperlakukan secara manusiawi dan dengan menghormati martabatnta sebagai manusia;

f. Anak yang dirampas kemerdekaannya akan dipisah dari orang dewasa dan berhak melakukan hubungan/kontrak dengan jeluarganya;

g. Setiap anak yang dirampas kemerdekaannya berhak memperoleh bantuan hukum, berhak melawan/menentang dasar hukum perampasan kemerdekaan atas dirinya di muka pengadilan atau pejabat alain yang aberweang dan tidak memihak serta berhak untuk mendapat keputusan yang cepat/tetapt atas tindakan terhadap dirinya itu.

Kemudian artikel 40, menyebutkan prinsip-prinsip : a. Tiap anak yang dituduh, dituntut dan dinyatakan telah melanggar hukum

pidanan berhak diperlakukan dengan cara-cara: - yang sesuai dengan kemajuan pemahaman anak tentang harkat dan

martabanya; - yang memperkuat penghargaan/penghormatan anak pada hak-hak

asasi dan kebebasan orang lain; - mempertimbangkan usia anak dan keinginan untuk

memajukan/mengembangkan pengintegrasian kembali anak serta mengembangkan harapan anak akan perannya yang konstruktif di masyarakat.

b. Tidak seorang nanakpun dapat dituduh, dituntut atau dinyatakan melanggar hukum pidana berdasarkan perbuatan (atau tidak berbuat sesuatu) yang tidak dilarang oleh hukum nasional maupun internasional pada saat perbuatan itu dilakukan.

c. Tiap anak yang dituduh, atau dituntut telah melanggar hukum pidana, sekurang-kurangnnya memperoleh jaminan-jaminan (hak-hak) sebagai berikut :

(i) untuk dianggap tidak bersalah sampai terbukti kesalahannya menurut hukum;

(ii) untuk dibertahu tuduhan-tuduhan atas dirinya secara cepat dan langsung (promptly and directly) atau melalui orang tua, wali atau kuasa hukumnya;

(iii) untuk perkaranya diputus/diadili tanpa penundaan (tidak berlarut-larut) oleh badan/kekuasaan yang berwenang, mandiri dan tidak memihak;

Page 50: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

50

(iv) untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian atau pengakuan bersalah;

(v) apabila dinyatakan telah melanggar hukum pidana, keputusan dan tindakan yang dikenakan kepadanya berhak ditinjau kembali oleh badan/kekuasaan yang lebih tinggi menurut hukum yang berlaku;

(vi) apabila anak tidak memahami bahasa yang digunakan, ia berhak memperoleh bantuan penterjemah secara Cuma-Cuma (gratis);

(vii) kerahasiaan pribadi (privacy)-nya dihormati/dihargai secara penuh pada semua tingkatan pemerikasaan.

d. Negara harus berusaha membentuk hukum. Prosedur, pekajat yang berweang dan lembaga-lembaga yang secara khusus diperuntukkan/diterapkan kepada anak yang dituduh, dituntut atau dinyatakan telah melanggar hukum pidana, khususnya

(1) menetapkan batas usia minimal anak yang dipandang tidak mampu melakukan pelanggaran hukum pidana;

(2) apabila perlu diambil/ditempuh tindakan-tindakan terhadap anak tanpa melalui proses peradilan, harus ditetapkan bahwa hak-hak asasi dan jaminan-jaminan hukum bagi anak harus sepenuhnya dihormati.

e. Bermacam-macam putusan terhadap anak (a.l. perintah/tindakan untuk melakukan perawatan/pembinaan, bimbingan, pengawasan, program-program pendidikan dan latihan serta pembinaan institusional lainnya) harus dapat menjamin, bahwa anak diperlakukan dengan cara-cara yang sesuai dengan kesejahteraannya dan seimbang dengan keadaan lingkungan mereka serta pelanggaran yang dilakukan.

Mengingat hak asasi yang dikembangkan di Indonesia bersifat particular

relatif maka dari instrumen-instrumen internasional di atas, mengilhami pemerintah

bersama-sama DPR untuk mensahkan format hukum berupa peraturan yang mengatur

masalah anak, yaitu disahkannya Undang-undang Pengadilan Anak No. 3 Tahun 1997

pada tanggal 3 Januari 1997. Undang-undang ini terdiri dari 8 bab, 68 pasal, dengan

asas-asasnya antara lain :

a. Tentang pembatasan umur, diatur dalam pasal 1 butir 1 jo. Pasal 14 ayat 1, yang dapat disidangkan dalam acara Pengadilan Anak ditentukan secara limitative, yaitu minimum berumur berumur 8 tahun dan maksimum berumur 18 tahun dan belum pernah kawin;

b. Tentang Ruang Lingkup masalah dibatasi, diatur dalam Pasal 1 ayat 2, yang dapat diperiksa dalam sidang Pengadilan Anak adalah perkara anak nakal;

c. Tentang pejabat khusus, diatur dalam Pasal 1 ayat 5, 6 dan 7, pejabat-pejabat khusus itu adalah ditingkat penyidikan adalah penyidik anak; ditingkat penuntutan adalah penuntut umu; ditingkat pengadilan oleh hakim anak, hakim banding anak, dan hakim kasasi anak;

d. Tentang Pembimbing Kemasyarakatan diatur dalam Pasal 1 ayat 11, yang mengakui peranan dari pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial dan pekerja sosial sukarela;

Page 51: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

51

e. Suasana pemeriksaan kekeluargaan yang diatur dalam Pasal 42 ayat 1, pemeriksaan perkara di Pengadilan dilakukan dalam suasan kekeluargaan., Oleh karena itu hakim, penuntut umum, dan penasihat hukum tidak memakai toga;

f. Tentang Keharusan splitsing, diatur dalam Pasal 7, anak tidak boleh diadili bersama dengan orang dewasa baik yang bersatatus sipil maupun militer. Kalau terjadi anak melakukan tindak pidana bersama dengan orang dewasa, maka si anak diadili dalam sidang pengadilan anak, sementara orang dewasa diadili dalam sidang biasa, atau apabila ia berstatus militer di peradilan militer;

g. Acara pemeriksaan bersifat tertutup, diatur dalam Pasal 8 ayat 1, demi kepentingan si anak sendiri, akan tetapi putusan harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;

h. Pemeriksaan dilakukan oleh hakim tunggal, diatur dalam Pasal 11, 14 dan 18, hakim yang memeriksa perkara anak, baik di tingkat Pengadilan Negeri, banding atau kasasi dilakukan hakim tunggal;

i. Masa penahanan lebih singkat, diatur dalam Pasal 44 sampai dengan Pasal 49, masa penahanan terhadap anak lebih singkat dibanding masa penahanan menurut KUHAP;

j. Hukuman lebih ringan, diatur dalam Pasal 22 sampai dengan 32, hukuman yang dijatuhkan terhadap anak nakal, lebih ringan dari ketentuan yang diatur dalam KUHP. Hukuman maksimal untuk anak nakal adalah 10 tahun.

Adalah hal baru bagi pengadilan, untuk menindaklanjuti asas-asas di atas.

Kekuarangan persiapan untuk melaksanakan memang dirasakan ada ibarat tiada

gading yang tak retak akan tetapi bagaimana usaha untuk meminimalisasi

kekuarangan tersebut sesuai dengan tujuan dari hukum pidana itu sendiri yaitu untuk

mencari kebenaran materiil yaitu kebenaran hakiki yang sebenar-benarnya.

Bila diperhatikan secara yuridis, dan juga memperhatikan penitensiari bagi

proses pemidanaan mengenai tujuan pemidanaan itu sendiri, maka kejanggalan yang

dianggap tidak sahnya keputusan hakim merupakan hal utama apabila selama

pemeriksaan ataupun persidangan terhadap residivist anak ini dilakukan seperti

persidangan untuk bukan anak residivist.

Dalam menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya itu hakim harus

mempertimbangkan juga keadaan pribadi dari terdakwa. Pentingnya keadaan pribadi

ini berhubungan dengan seberapa jauh putusan hakim tesebut sesuai harapan tujuan

pemidanaan. Terhadap masalah ini Roeslan Saleh pernah mengemukakan bahwa kita

akan membatasi penggunaan pidana dalam batas-batasnya, dan juga harus diusahakan

untuk terlebih dahulu menerapkan sanksi-sanksi lain yang tidak bersifat pidana.

Pemidanaan seyogyanya diadakan hanya bilaman norma bersangkutan begitu penting

bagi kehidupan dan kemerdekaan anggota masyarakat lainnya. Atau bagi

berfungsinya secara wajar lkehidupan masyarakayt itu sendiri. Dan yang lebih penting

lagi adalah bahwa pelanggaran terhadap norma itu tidak dapat dilawan secara lain

Page 52: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

52

daripada dengan pemidanaan. Jelaslah bahwa dengan demikian hakim harus

memperhitungkan semua tujuan pemidanaan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa hakim

tidak bisa hanya memperhatikan kepentingan-kepentingan pembuat saja, atau juga

hanya memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. Dia juga tidak perlu

memuaskan sekaligus semua tujuan pemidanaan itu. Dan memang juga tidak mungkin

ia berbuat demikian. Dalam kejadian-kejadian konkrit hakim memang dapat memberi

tekanan-tekanan pada hal tertentu. Dan justru disinilah letak pokok

persoalannya.(Saleh, Roeslan, 1987 : 4-5)

Lebih lanjut dijelaskan beliau bahwa ada beberapa hal yang dapat ditekankan

hakim dalam putusannya, artinya ada beberapa tujuan yang harus diperhatikannya

dalam menjatuhkan pidana, yaitu pertama, yang disebut dengan koreksi, yang

dimaksud bahwa terhadap orang yang melanggar suatu norma, pidana yang

dijatuhkan berlaku sebagai suatu peringatan bahwa hal seperti itu tidak boleh terulang

lagi, yang kedua adalah resosialisasi, yang dimaksud bahwa usaha dengan tujuan agar

terpidana akan kembali ke dalam masyarakat dengan daya tahan, dalam arti bahwa dia

dapat hidup dalam masyarakat tanpa melakukan lagi kejahatan-kejahatan, dan yang

ketiga adalah pengayoman kehidupan masyarakat. Tujuan ini dapat terjadi bilamana

masalahnya adalah untuk menusia yang telah melakukan kejahatan berat dan haru

dukuatirkan bahkan ditakuti, bahwa diwaktu yang akan dating masih besar sekali

kemungkinannya dia akan melakukan delik-delik berat, walaupun terhadapnya telah

diadakan usaha-usaha resosialisasi.(Ibid, : 5-6)

Pemikiran mengenai tujuan dari pemidanaan yang dianut orang dewasa ini,

sebenarnya bukan merupakan suatu pemikiran yang baru, melainkan sedikit atau

banyak telah mendapat pengaruh dari pemikiran-pemikiran para pemikir atau para

penulis beberapa abad yang lalu, yang pernah mengeluarkan pendapat mereka tentang

daar pembenaran dari suatu pemidanaan, baik yang melihat pemidanaan itu semata-

mata sebagai pemidanaan saja, maupun yang telah mengaitkan pemidanaan itu

dengan tujuan atau dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dengan pemidanaannya

itu sendiri. Mengenai tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan itu ternyata

tidak terdapat suatu kesamaan pendapat. Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran

tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu pertama, untuk

memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri, kedua untuk membuat orang

menjadi jera untuk melakukakan jklejahatan-kejahatan dan ketiga, untuk membuat

penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-

Page 53: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

53

kejahatan lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat

diperbaiki lagi.(Lamintang, P.A.F, 1984: 10-11)

Selanjutnya dikemukakan oleh Soedarto (1981: 83) bahwa ukuran penderitaan

pidana yang patut diterima oleh seseorang tetap merupakan problema yang tidak

terpecahkan, karena yang mendapat pengaruh langsung dari penjatuhan pidana ialah

orang yang dikenai pidana. Pidana baru dirasakan secara nyata oleh terpidana apabila

sudah dilaksanakan secara efektif. Mengani tujuan dari pemidanaan ini, beliau

mengemukakan bahwa tujuan pemidanaan mengandung dua unsure pokok, yaitu

pertama, pembalasan, pengimbalan atau retribusi dan yang kedua, mempengaruhi

tingkah laku orang demi perlindungan masyarakat. (Sudarto, 1981: 88-89)

Khususnya untuk tujuan yang kedua di atas, sebagaimana dikemukakan,

merupakan pemikiran bagi system peradilan pidana, bahwa suatu bukti usaha yang

efektif dari para petugas pemasyarakatan maupun penegak hukum dalam melakukan

pembinaan. Penting untuk dikaji kembali sebab-sebab melakukan kejahatan lagi

khususnya dari dalam (intern), dengan cara mendalami aspek tujuan pemidanaan pada

prevensi spesialnya, yaitu mempengaruhi tingkah laku si terpidana untuk tidak

melakukan tindak pidana lagi.

Mengingat undang-undang Pengadilan Anak ini, maka dapat dikuatirkan

penjatuhan pidana oleh seorang hakim masih terpolarisasi pemikiran penjatuhan

pidana pada orang dewasa apabila tanpa melalui pendidikan khusus, sebagaimana

disarnakan oleh laporan komisi sebuah peradilan anak di Netherland, bahwa

diusulkan pendidikan dasar untuk hakim anak.(Sudarto, op.cit.: 148) Terhadap

masalah ini dikarenakan belum ada kesamaan pemahaman tentang telah

bepengalaman dalam Pasal 10 hurufa. Dari Undang-undang No. 3 Tahun 1997,

tentang Pengadilan Anak tersebut. Usulan untuk adanya keseragaman pemahaman

dinyatakan oleh Made Sadhi Astuti, bahwa kesragaman pemahaman tersebut penting

agar diperoleh hasil kerja yang maksimal. Keseragaman pemahaman tidak hanya

dilakukan di lingkungan Pengadilan, namun dilakukan juga di lingkungan Kejaksaan

dan Kepolisian sebagai peranglkat penegak hukum yang menjadi bagian dari system

peradilan pidana.(Made Sadhi Astuti, 1998: 14-15)

Di dalam melaksanakan penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan yang

dikualifikasikan sebagai terpidana dalam kategori prevensi spesial itu atau penulis

sebut dengan residivist, Hakim selalu berpedoman pada KUHP. Untuk itu dapatlah

dimengerti bahwa pasal-pasal dalam KUHP tidak saja mengatur pelaku kejahatan dan

Page 54: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

54

pelanggaran usia dewasa tetapi juga digunakan pasal-pasal itu bagi setiap pelaku

kejahatan dari segala usia. Oleh karena itu betapa pentingnya peran dan

pertangungjawaban pribadi seorang hakim dalam memeriksa dan memutus perkara

anak agar dapat tercapainya tujuan peradilan pidana. Apabila peradilan pidana tidak

sampai mencapai tujuannya, maka akan dapat menimbulkan kerugian pada

masyarakat, pada delinquen, dan pada keluarganya.(Saleh, Roeslan, 1983: 34)

Adapun ketentuan-ketentuan tentang residivis tersebut, menurut KUHP

dikategorikan sebagai recidive kejahatan dan pelanggaran, dan ada pula recidive di

luar KUHP. Recidive atau pengulangan tindak pidana dalam KUHP tidak diatuir

secara umum dalam Aturan Umum buku I, tetapi diatur secara khusus untuk

seklompok tindak pidana tertentu baik berupa kejahatan di dalam buku II maupun

yang berupa pelanggaran di dalam buku III.

KUHP menganut system recidive khusus artinya pemberatan pidana hanya

dikenakan pada pengulangan jenis-jenis tindak pidana (kejahatan/pelanggaran)

tertentu saja dan yang dilakukan dalam tenggang waktu tertentu. Dengan dianutnya

system recidive khusus, maka recidive kejahatan menurut KUHP adalah recidive

kejahatan-kejahatan tertentu.

Recidive kejahatan-kejahatan tertntu ini, KUHP membedakan dalam dua hal,

yaitu :

1. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang sejenis. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang sejenis diatur secara tersebar dalam sebelas pasal-pasal tertentu Buku II KUHP yaitu Pasal 137 ayat (2), 144 ayat (2), 155 ayat (2), 161 ayat (2), 163 ayat (2), 208 ayat (2), 216 ayat (3), 321 ayat (2), 393 ayat (2), dan 303 bis ayat (2). Dalam masing-masing pasal-pasal di atas mensyaratkan sebagai berikut :

1. Kejahatan yang diulangi harus sama atau sejenis dengan kejahatan terdahulu;

2. Antara kejahatan yang terdahulu dan kejahatan yang diulangi harus sudah ada keputusan hakim yang berupa pemidanaan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap;

3. Si pelaku melakukan kejahatan yang bersangkutan pada waktu menjalankan pencahatiannya (khusus untuk pasal 216, 303 bis dan 393 syarat ini tidak ada);

4. Pengulangannya dilakukan dalam tenggang waktu tertntu yang disebut dalam pasal-pasal yang bersangkutan, yaitu :

a. 2 (dua) tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 137, 144, 208, 216, 303 bis dan 321), atau

b. 5 (lima) tahun sejak adanya keputusan hakim yang tetap (untuk delik-delik dalam pasal 154, 157, 161, dan 393 KUHP).

Page 55: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

55

2. Recidive terhadap kejahatan-kejahatan tertentu yang masuk dalam satu kelompok jenis diatur dalam Pasal 486, 487, dan 488 KUHP dengan persyaratan-persyaratannya sebagai berikut :

1. Kejahatan yang diulangi harus termasuk dalam satu kelompok jenis dengan kejahatan yang pertama atau yang terdahulu;

2. Antara kejahatan yang kemudian (yang diulangi) dengan kejahatan yang pertama atau terdahulu, harus sudah ada putusan hakim berupa pemidanaan yang berkekuatan hukum tetap;

3. Pidana yang pernah dijatuhkan hakim terdahulu harus berupa pidana penjara;

4. Ketika melakukan pengulangan, tenggang waktunya sebagai berikut :

a. belum lewat 5 (lima) tahun; b. belum lewat tenggang waktu daluwarsa kewenangan

menjalankan pidana (penjara) yang terdahulu.

Kaitannya dengan pembaharuan hukum pidana di Indonesia, KUHP lama telah

disempurnakan, melalui Rancangan Konsep KUHP Baru. Untuk masalah recidive ini,

menurut Rancangan Konsep KUHP Baru, merupakan alas an pemeratan pidana yang

bersifat umum yang diatur dalam Aturan Umum Buku I, yaitu Pasal 54 ke-8. Hal ini

didasarkan pada pemikiran bahwa bentuk pengulanganmemang pada dasarnya dapat

dilihat sebagai alas an pemberatan pidana yang bersifat umum (objektif). Rancangan

Konsep KUHP Baru, Konsep 1987/1988, yang dilanjutkan melalui Lokakarya tanggal

18-19 Februari 1988, dan rapat Tim Pengkajian bulan November dan Februari 1989,

menghasilkan tambahan satu pasal, yaitu pasal 55a, yang berbunyi :

1). Jika dalam suatu perkara terdapat hal-hal yang memperingan, dan hal-hal yang memperberat pidana secara bersama-sama, maka maksimum ancaman pidana diperberat sepertiga lebih dahulu, kemudian hasil pemberatan tersebut dikurangi sepertiga.

2). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, pengadilan tidak dapat menerapkan ketentuan peringanan pidana maupun pemberatan pidana dalam hal terjadi perkara seperti tersebut dalam ayat (1).

3). Ketentuan pemberatan pidana tidak berlaku terhadap anak dibawah delapan belas tahun yang melakukan pengulangan tindak pidana.

Apabila dikaitkan pelaksanaan pemidanaan bagi recidive anak dalam praktek,

peranan hakim dalam memutus perkara seharusnya lebih mempertajam pemeriksaan,

sepertinya hakim tergiring pada siapa yang melakukan kejahatan itu, bukan mengapa

mereka melakukan kejahatan lagi. Maka akibat dari keputusan yang telah diambil,

keterlibatan sikap batin (mens rea) hakim untuk membuat jera dimungkinkan

membuka peluang bagi diri terpidana untuk melakukan kejahatan. Oleh karena itu

Page 56: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

56

upaya pembalasan sebagai peninggalan aliran hukum klasik harus dirubah dan

pemberatan pidana yang mengacu pada KUHP kolonial tidak diberlakukan dengan

mengingat samapi sejauh ini upaya untuk memperbaiki system peradilan pidana

semakin tertunda-tunda.

Perspektif Kriminologi

Apabila dicermati dari sudut kriminologi, masalah pengulangan kejahatan,

dalam tulisan ini disebut dengan recidive, dapat disebabkan oleh masalah ekonomi,

broken home, ataupun lainnya. Dalam prakteknya pengulangan kejahatan,

disebabkan oleh beberapa hal.

Masalah strategis sesuai dengan penelitian ini adalah masalah ekonomi.

Merujuk pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Richard Wahjoedi, dan Didik

Endro Purwoleksono (1994: 34-35) disebutkan bahwa alasan atau latar belakang

dilakukannya kejahatan dalam hal ini pencurian adalah pertama, faktor ekonomi;

kedua , broken home (orang tuanya cerai ); ketiga, kurangnya pengawasan dari orang

tua; keempat, faktor lingkungan. Dijelaskan bahwa faktor ekonomi yang dimaksud

yaitu keadaan ekonomi keluarga si anak pelaku tindak pidana tersebut. Dari beberapa

alasan tersebut faktor ekonomi merupakan penyebab paling tinggi untuk menjadi

alasan seseorang anak melaksanakan tindak pidana pencurian.

Akibatnya narapidana tersebut, akan lebih memilih kehidupan di dalam

Lembaga Pemasyarakatan atau melakukan kejahatan ulangan. Karena dipandang

bahwa baik menurut usia, apalagi diusia muda hidup dalam lingkungan keluarga tidak

mampu, mengakibatkan seorang anak merespon bahwa kehidupan di Lembaga

Pemasyarakatan jauh lebih baik, yang berarti secara psikologis mereka ingin

memperoleh perhatian dari aparat Lembaga Pemasyarakatan. Sudarsono,

mengemukakan sebagian besar sarjana psikologi sependapat bahwa masa remaja

merupakan fase perkembangan yang sangat mencolok baik secara fisik, psikologis,

sosial dan moralitas. Pada masa adolesen yaitu umur 13-21 tahun anak-anak sedang

mengalami kegoncangan jiwa.(Sudarsono, 1991: 155)

Pada masa dimana pemerataan tidak rata, terjadinya kejahatan dinyatakan

bahwa kejahatan merupakan respons-respons rasional terhadap bekerjanya sistem

ekonomi dominan yang ditandai oleh persaingan serta pelbagai bentuk

ketidakmerataan.(Charles E. Reasons, : 1974: 37) Yang berakibat apabila kebutuhan

ekonomi kurang terpenuhi yang tidak dibarengi dengan keinginan-keinginan,

tuntutan-tuntutan maka suatu kejahatan dimungkinkan akan terjadi. Pencurian dapat

Page 57: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

57

dilakukan karena kebutuhan ekonomi yang mendesak serta ketidakadilan pembagian

pemerataan masyarakat. Salah satu teori yang tertua dan paling banyak diketahui

orang ialah bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan. Ekonomi dalam arti yang

seluas-luasnya memang merupakan potensi kejahatan yang tradisional, lebih-lebih

larcerny (pencurian). Hasil penelitian secara umum, dikemukakan bahwa sebab-sebab

mereka melakukan pengulangan kejahatan, adalah karena dilatarbelakangi dari

keluarga yang tidak mampu. Keadaan seperti ini tidak hanya terjadi di negara

berkembang saja akan tetapi di negara majupun demikian. Kesepakatan negara-negara

untuk mencegah tidak terjadinya faktor kondusif, penyebab terjadinya kejahatan.

Dalam rangka mencegah kejahatan diadakan usaha memperbaiki keadaan sosial,

ekonomi masyarakat. Sebenarnya hal ini sudah diformulakan dalam kebijakan

penanggulangan kejahatan yang merupakan bagian dari strategi kebijakan

kesejahteraan sosial (social welfare policy), sekaligus strategi pembangunan yang

dicanangkan dalam landasan operasional di Indonesia. Standard ekonomi itu sendiri

dapat dikategorikan pada destitution, proverty, normal, confort, dan luxury . Dalam

mengulas masalah delinquency, didasari oleh para penganut teori Marx, para sosial

workers dan kaum humanitarian yang dianggap sebagai teori tertua yang

mempersepsikan bahwa kejahatan timbul karena kemiskinan.

Pemikiran lebih lanjut sebenarnya dalam tataran pemidanaan, terdapat metode

dalam mengurangi jumlah pengulangan kejahatan (repeated crime ) dikenal dengan

metode reformation, selain tindakan preventif sering pula dilakukan tindakan represif

yaitu teknik rehabilitasi, dengan menciptakan sistem dan program yang bertujuan

untuk menghukum penjahat, antara lain hukuma bersyarat, hukumam kurungan dan

lebih ditekankan pada usaha agar penjahat dapat berubah menjadi orang biasa.

Memang apabila disimak, pengulangan kejahatan merupakan akibat dari beberapa

sebab, dan untuk menentukan penyebabnya masih merupakan teka-teki yang tidak

terselesaikan. Layaknya sebuah air sungai yang dibendung, suatu saat bendungan itu

bisa jebol apabila tidak bisa menahan volume air yang begitu banyak. Yang menjadi

persoalannya bukan pada efektifitas dari pemidanaan terutama pidana penjara

sebagaimana dijelaskan oleh Barda Nawawi Arief, bahwa yang penelitian-penelitian

selama ini dilakukan belum dapat membuktikan secara pasti apakah pidana penjara itu

merupakan suatu sarana yang efektif atau tidak efektif.(Barda Nawawi Arief, 1994:

116) Oleh karena itu terjadinya pengulangan kejahatan bukan disebabkan apakah

Page 58: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

58

sistem pemidanaan yang ada efektif atau tidak efektif dalam menekan jumlah

pengulangan kejahaan.

Perspektif Penjatuhan Pidana Terhadap Recidive Anak oleh Hakim

1. Jenis Pidana

Soedarti,(1993 : tanpa tahun) mengemukakan, yang dikutip oleh Richard

Wahjoedi, dan Didik Endro Purwoleksono, bahwa tindakan yang cenderung

dilakukan oleh hakim adalah penjatuhan pidana.

2.Berat-ringannya Pemidanaan.

Terhadap pemidanaan residivist pada umumnya, dan khususnya juga bagi

residivist dengan pelaku anak, berlaku ketentuan pemberatan pidana. Kitab Undang-

undang Hukum Pidana telah mengatur dalam pasal-pasal yang memperberat ancaman

pidana yang bersifat khusus karena recidive, yaitu Pasal 486, 487, dan 488. Pasal 486

khusus bagi recidive atas tindak pidana terhadap harta kekayaan, Pasal 487 khusus

bagi recidive atas tindak pidana terhadap nyawa dan tubuh manusia, dan Pasal 488

khusus bagi recidive atas tindak pidana terhadap kehormatan orang. Menurut

wawancara dengan Hakim yang ditemui bahwa sanksi hukuman bagi residivist anak

malah diperberat. Ditegaskan pula bahwa atas pertanyaan mengapa pemidanaan untuk

residivist anak diperberat, padahal dalam UU No. 3 tahun 1997 tidak mengatur

tentang itu, dijawab oleh responden bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh

seseorang secara berulang-ulang digunakan sebagai dasar beratnya pidana yang

dijatuhkan terhadap diri pelaku ( alasan memberatkan ). Jadi alasan ini tetap berlaku

bagi residivist anak walaupun tidak diatur dalam Undang-undang No.3 tahun 1997

tentang Pengadilan Anak.

Perspektif Kondisi-kondisi yang berpengaruh terhadap Pemidanaan Recidive

Anak.

a.Orientas pada tujuan Organisasi dan persepsinya Terhadap Pemidanaan

recidive Anak.

Dari beberapa hasil wawancara, nampaknya tujuan organisasi pengadilan ini

bersifat instrumental yang dimaksud dapat mencegah terjadinya pengulangan oleh

seseorang yang pernah dihukum. Tujuan ini adalah yang paling kontroversialnya dan

yang paling banyak dikemukakan orang bilamana dipersoalkan mengenai tujuan

pemidanaan.

Page 59: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

59

Hal inilah dapat dikemukakan bahwa tujuan organisasi pengadilan berkenaan

dengan pemidanaan recidive anak merupakan usaha prevensi khusus, yang dapat

dilakukan orang dengan berbagai cara, antara lain dengan membatasi kemungkinan-

kemungkinan atau kesempatan-esempatan malakukan delik; dengan jalan

menakutkan; dengan apa yang oleh buku-buku Anglosaxon disebut correction (yaitu

mengubah tendensi-tendensi yang bersifat kriminal).

b. Pengalaman dalam kelompok dan interpretasi terhadap Pemidanaan

Recidive Anak

Pengadilan terdiri dari kelompok-kelompok kerja, yaitu kelompok hakim,

panitera, dan karyawan.

Untuk itu kajian hubungan antar pribadi dalam kelompok kerja didasarkan

pada kepribadian kelompok, yaitu keseluruhan atau rata-rata kepribadian masing-

masing anggota organisasi. Dalam khasanah sosiologi organisasi dikenal beberapa

konsep dasar, antara lain erratic (konsep yang menjelaskan penyimpangan hubungan

antarpribadi dalam kelompok); apathetic (konsep yang menjelaskan kelompok yang

kurang bermotivasi, kurang bergairah); strategic (yang menjelaskan kelompok yang

memegang tugas/fungsi utama dan yang strategis/penentu organisasi); konservatif

(yang menjelaskan kelompok kerja yang tetap memegang tatanan organisasi secara

kaku-tidak luwes). Konsep-konsep ini berguna untuk memahami kedudukan individu

dan hubungan kerja yang mereka bentuk dalam organisasi.(Alo Liliweri, op.cit: 9)

Motivasi, kepribadian dan pengalaman adalah faktor personal. Seorang hakim

dalam suatu organisasi formal yaitu Pengadilan Negeri diliputi oleh faktor personal

yang berupa pengalaman. Baik buruknya Pengadilan adalah dipundak hakim

Pengadilan. Karena apabila dilihat dari, Undang-undang tentang Peradilan Umum

menyatakan bahwa hakim pengadilan negeri merupakan jabatan yang melaksanakan

tugas kekuasaan kehakiman. Maka seperti yang dikemukakan oleh Emile Durkhein,

suatu komunitas professional merupakan faktor yang bertanggung jawab atas

peningkatan dan kemunduran kohesivitas dan solidaritas kelompok.(Ibid, : 175)

Istilah kohesi dan kohesivitas mengacu pada kecenderungan para anggota kelompok

agar tetap bersatu. Hal ini dapat diukur dengan ada atau tidaknya semangat kita kerja

sama dalam satuan waktu tertentu. Untuk mengukur rasa kita maka dalam sosiologi

digunakan metode pengukuran sosiometri yang menghasilkan perasaan in group dan

out group terhadap kelompok. Sebagai bahan perbandingan terhadap penelitian ini

adalah penelitian yang dilakukan Deutcher memberikan terhadap Komite Kolombia

Page 60: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

60

untuk Keseimbangan Rasial terdapat kesimpulan yang menarik, yaitu bahwa ukuran

kelompok yang semakin kecil, frekuensi pertemuan, kejelasan perumusan tujuan,

dapat dikatakan sebagai instrumen yang bermanfaan untuk menciptakan kohesi

kelompok. Seorang responden Hakim Wanita Pengadilan Negeri Malang(wawancara

pribadi, 2005), ketika ditanya tentang pertanyaan mengapa Bapak/Ibu dipercaya

menjabat sebagai hakim anak, menyatakan bahwa sesuai kriteria hakim anak maka

Ketua Pengadilan Negeri atas pertimbangan dan penilaiannya menunjuk beberapa

orang hakim sebagai hakim anak. Selanjutna dikatakan bahwa beliau minat terhadap

masalah anak karena anak sebagai generasi penerus perlu dibentuk menjadi manusia

yang iman dan taqwa serta mematuhi peraturan UU yang berlaku dan tidak merugikan

masyarakat. Terhadap pertanyaan apakah ada pendidikan khusus sebagai hakim anak,

dijawab oleh beliau tadak ada pendidikan khusus untuk itu.

Pemahaman aspek-aspek ilmu sosial dalam hubungan dengan tindak pidana

anak disamping sangat relevan, juga menjadi penting bagi seorang hakim ketika

menangani perkara pidana anak, sehingga putusannya akan menjadi lebih adil dan

tepat karena kenakalan yang dilakukan oleh anak adalah khas dan sangat berbeda

dengan tindak pidana yang dilakukan oleh orang dewasa. Sebagaimana dikutip oleh

Sudarto, dalam laporan komisi peradilan anak di Netherland, diusulkan bahwa adanya

pendidikan lanjutan disamping pendidikan dasar untuk hakim anak. Turut untuk

dipertimbangkan juga aspek-aspek sosiologis, psikologis dan aspek kejiwaan anak,

sebagaimana yang diusulkan oleh Made Sadhi Astuti, bahwa karena tidak berlebihan

apabila Departemen Kehakiman secara khusus menyelenggarakan pendidikan bagi

Hakim Anak dengan muatan materi selain aspek yuridisnya juga pemahaman

mengenai ilmu-ilmu sosial seperti psikologi anak, sosiologi, kriminologi, antropologi

dan lain-lain.(Made Sadhi Astuti, op.cit.: 17)

Kiat-kiat yang diusulkan di atas menunjukkan bahwa persoalan perkara anak

bukan suatu persoalan yang hanya membuka-buka halaman buku, akan tetapi harus

diperhatikan tentang pentingnya profesionalisme di kalangan/kelompok hakim,

khususnya untuk mewujudkan hakim yang menguasai ilmu-ilmu di atas dalam

menangani perkara anak.

Barda Nawawi Arif menyatakan bahwa merupakan prinsip umum yang wajar,

pertanggungjawaban pidana bersifat pribadi, yaitu hanya dikenakan kepada orang/si

pelaku itu sendiri (asas personal) dan hanya dikenakan kepada orang yang bersalah

(asas kesalahan/asas culpabilitas), penerapan prinsip umum yang demikian (yaitu

Page 61: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

61

pertanggungjawaban individual) terhadap orang dewasa merupakan hal yang wajar,

karena orang dewasa memang selayaknya dipandang sebagai individu yang bebas dan

mandiri (independent) dan betanggung jawab penuh atas perbuatan yang

dilakukannya. Namun penerapan prinsip umum ini lkepada anak patut dikaji.(Romli

Atmasasmita, loc.cit) kalau dinyatakan oleh beberapa orang responden bahwa

pemidanaan terhadap masalah anak ini bukanlah sasarannya sebagai pembalasan dan

hukuman diperberat, menurut mereka bahwa dengan ancaman diperberat tersebut

ditujukan agar tidak ada maksud untuk mengulangi kejahatannya lagi.

Di lain sisi dalam instrumentalia total administrasi peradilan pidana,

rasionalias hukum telah kehilangan banyak otonominya dan ciri khasnya. Hukum

tidak lagi menjadi sumber utama untuk menentukan batas-batas pertanggungjawaban

kejahatan, rasionalitas organisasi. Organisasi Pengadilan ini terbentuk karena masing-

masing anggotanya mempunyai kekuasaan. Sehingga kepentingan kelompok

kekuasaan keahlian diharapkan untuk untuk meninggalkan aliran hukum klasik.

Kekuasaan karena keahlian ini merupakan kristalisasi dua pihak yang berhadapan

yaitu antara hakim dan terdakwa yang memungkinkan pengetahuan mempunyai

kekuasaan lebih besar dibandingkan orang yang tidak/kuang karena keahlian. Hakim

yang memeriksa perkara anak ataupun residivist anak, idealnya diharapkan bukan

karena indikator pengalaman sebagai hakim, akan tetapi dibutuhkan hakim yang

khusus karena keahlian dan pengalaman, pernah memeriksa perkara residivist anak.

Hanya saja keahlian ini terabaikan apabila mengingat antara jumlah hakim dan

terdakwa di pengadilan tidak seimbang.

Oleh karena itu, apabila hakim-hakim masih tetap dalam memutus perkara

dangan KUHP sebagai landasannya terutama perkara residivist anak, maka tujuan

pemidanaan dengan konsep hukum klasik turut dipertahankan dengan sebab keahlian

untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara itu kurang mendapat prioritas

utama.

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari paparan di atas dapat disimpulkan:

1.Diskriptif pemidanaan pada recidive anak guna pembaharuan hukum pidana.

a. Pidana penjara bagi recidivist anak merupakan sarana yang efektif untuk hakim.

Page 62: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

62

b. Aspek efektifitas persidangan pada recidivist anak diperngaruhi oleh subsistem

yang nyaman.

2..Diskriptif pemidanaan pada recidive anak yang berbasis perlindungan anak itu.

Dalam kaitan dengan perlindungan anak, pidana alternatif dapat dijatuhkan oleh

hakim bila orangtua/walinya memperhatikan persidangan/hadir dalam persidangan.

3.Upaya penanggulangan pada recidive anak yang berbasis perlindungan anak itu.

Penanggulangan yang dilakukan terhadap recidivist anak dilakukan melalui sarana

Penal maupun non penal. Penanggulangan sarana penal melalui pidana penjara

prosentase besar dilakukan oleh Hakim, oleh karena itu sarana non penal berupa

pembinaan yang integratif dari LPA/Lembaga Perlindungan Anak/BPM,

Pemerintah dalam hal ini Dinas sosial, Penagak Hukum, Orang tua/Wali, yang

dikarenakan penanggulangannya/non penal masih bersifat parsial.

B. SARAN

Diharapkan pemidanaan oleh hakim memperhatikan latarbelakang pelaku residivist

anak, yang dewasa ini prosentase besar memberikan sanksi pidana penjara. Aspek

penal yang memperhatikan kebijakan integratif pemeriksaan dipersidangan untuk

keluarnya keputusan. Aspek non penal upaya parsial diminimalisasi dengan

maksimalisasi integratif pembinaan.

DAFTAR PUSTAKA

Andenaes, J. 1972. Does Punishment Deter Crime ? dalam Philosopical Perspektive on Punishment, Gertrude Ezorsky (Ed), New York.

Arief, Barda Nawawi Arief. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana,

Bandung: PT Citra Adtya Bakti Arief, Barda Nawawi 2002. Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Kejahatan, Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Aspehupiki bekerja sama dengan Fak. Hukum Univ. Surabaya, Prigen : Ubaya

Atmosasmito, Romli , d. k. k. 1997 Peradilan Anak di Indonesia, Bandung :Mandar Maju Bawengan, Gerson.1997. Pengantar Psikologi Kriminil, Jakarta : Pradnya Paramita Dawson, Jhon P. Dawson, dikutip dari Berman, Harold J. 1996. Ceramah-ceramah

tentang Hukum Amerika Serikat, terj. Gregory Churchil, Jakarta : PT Tata Nusa

Page 63: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

63

Donald R. Taft and Ralp W. England.1964. Criminology Habib-Ur-Rahman Khan. 1973. Prevention of Crime-It is society which needs “The

Treatment, Not The Criminal, dalam Source Material Series No. 6 H.D Hart (ed). 1971. Punishment : For and Agains, New York Herbert L. Packer,1968. The Limits of Criminal Sanction. Liliweri, Alo . 1997. Sosiologi Organisasi, Bandung : PT Citra Aditya Bakti Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1992. Teori-teori dan kebijakan pidana, edisi

revisi, Alumni, Bandung : Alumni Muladi.1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, cetakan I, Semarang : Undip Nonet, Philippe, Philip Selznick, Law and Society in Transition, Toward Responsive

Law, Harper & Row Publishers, New York, Hagerstone, San Fransisco Orland, Leonard . 1973. Justice, Punishment, Treatment The Correctional

process, New York Peter, Antoni A. G. Peter. 1996. Aliran-aliran Utama dalam Teori-teori Hukum

Pidana, terj. S2 Ilmu Hukum Undip, Semarang : Undip Prakoso, Djoko. 1984. Masalah Pemberian Pidana dalam Teori dan Praktek,

Jakarta : Ghalia Indonesia Rahardjo, Satjipto. 1986. Hukum dan Masyarakat, Bandung : Angkasa Ruba’i, Masruchin .1994. Pidana dan pemidanaan, cet-1,Malang :Ikip, Malang

Saleh, Roeslan. 1984. Segi Lain Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia Indonesia

Singarimbun, Masri dan Sofyan Effendi. 1989. Metode Penelitian Survey, Jakarta :

LP3ES

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1988. Metode Penelitian Hukum dan Yurimetri,

Jakarta : Ghalia Indonesia

Subagyo, P. Joko . 1997. Metode Penelitian : dalam Teori dan Praktek, Jakarta : Rineka Cipta

Sudarsono.1991. Kenakalan Remaja, edisi ke dua, Rineka Cipta, Jakarta, 1991 Sudarto 1983. Hukum pidana dan Perkembangan Masyarakat

Page 64: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

64

Thomas, Charles W. , Donna M. Bishop. 1987. Criminal Law : Understanding Basic Principle, Vol. 8 Law and Criminal Justice Series, Clifornia : Sage Publication, Inc. Newbury Park

Willis, RH. 1964. Descriptive Models of Social Respons, Technical Report, Norn

Contract.

Zamroni.1992. Pengantar Pengembangan Teori Sosial, cetakan-I, Yogyakarta : PT. Tiara Wacana

Undang-undang :

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, IKAHI: Varia Peradilan UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Makalah-makalah :

Arief, Barda Nawawi. 1996. Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak, makalah dalam Seminar Nasional Peradilan Anak, Unpad, Hotel Panghegar, Bandung, 5 Oktober 1996.

Arief, Barda Nawawi . 2002. Batas-batas Kemampuan Hukum Pidana Dalam

Penanggulangan Kejahatan, Penataran Hukum Pidana dan Kriminologi, Aspehupiki bekerja sama dengan Fak. Hukum Univ. Surabaya, Prigen

Sahetapy, J.E.2002. Viktimologi : Sebuah Catatan Pengantar, makalah dalam Penataran Nasional Hukum Pidana dan Kriminologi, FH Ubaya

Jurnal Ilmiah :

Susanto, I.S. 1992. Pemahaman Kritis Terhadap Realitas Sosial, dalam Majalah Masalah-masalah Hukum No. 9 tahun 1992, Semarang : FH Undip

Tongat.2004. Reorientasi dan Reformulasi Sistem Perumusan Ancaman Pidana

Penjara Dalam KUHP, FH Unmuh, Legality, Jurnal ilmiah Hukum, Akreditasi 23a/Dikti/2004, Volume 12, No. 2, September 2004-Februari 2005, ISSN : 0854-6509, Malang : Unmuh

Wahjoedi, Richard dan Didik Endro purwoleksono, 1994. Kecenderungan dan

Latar Belakang Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak-anak di LPAN Blitar, dalam Yuridika, No. 1 Tahun VIII, Surabaya: FH Unair

Penelitian :

Page 65: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

65

Hafrida. 1995. Proses Peradilan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Anak di Kotamadya Bandar Lampung, Thesis pada Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Semarang : Undip

Subarkah, Ibnu.2000. Persepsi Hakim Terhadap Pemidanaan Recidive Anak,

Thesis, Pascasarjana Program Studi Ilmu Hukum, Semarang :Undip ____________ , dkk. 2005. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kejahatan Ulang

(Recidive) Anak (studi di wilayah hukum Pengadilan Negeri Kota Malang) Laporan Hasil Penelitian Dosen Muda Dikti, Jakarta: Dikti

LAMPIRAN

BAGI PERLINDUNGAN ANAK/PEMERINTAH SETEMPAT DAFTAR PERTANYAAN

a. Nama Lengkap : …………………………………………………………… b. Umur :……………………………………………………………. b. Pekerjaan :……………………………………………………………. c. Jabatan :……………………………………………………………. d. Masa Kerja :……………………………………………………………. e. Alamat Kantor :…………………………………………………………….

Penelitian yang berjudul “ Study Diskriptif terhadap Pemidanaan Recidive Anak Berbasis Perlindungan Anak dalam Upaya Membangun Model Penanggulangan Anak “ ini bertujuan untuk mengetahui diskriptif pemidanaan recidive anak, diskriptif pemidanaan anak yang berbasis perlindungan anak dan diskriptif dalam upaya penanggulangan recidive anak dengan basis perlindungan anak, guna menentukan perumusan model penanggulangannya. Permasalahan ini berangkat dari persoalan TKW dengan mengutip “ sanksi bagi orang tua yang menelantarkan anak “ sebagaimana secara normatif tertera dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Impact yang terjadi adalah timbulnya komunitas “anak bermasalah” dalam bidang hukum, khusus yang disoroti dalam penelitian ini “recidive anak”. Oleh karena itu, guna memecahkan permasalahan yang kita hadapi bersama di atas, kami mohon dari informan (rersponden) untuk menginformasikan seobyektif-obyektifnya atas beberapa pertanyaan di bawah ini. Demikian kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan, dan mohon maaf bilamana terdapat kekurangan-kekurangan kami. Mudah-mudahan bermanfaat.

I.Identitas Informan

II. Pemidanaan, recidive, anak

Page 66: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

66

1. Bagaimana pemidanaan terhadap anak yang selama ini terjadi di tingkat peradilan, menurut Bpk/Ibu ? (Tahun 2007,2006,2005,2004,2003)

2. Dari item (1), berapa jumlah perkara bagi pelaku anak pidana dan recidivist (anak) yang pernah/sedang bpk/ibu advokasi? (Tahun 2007,2006,2005,2004,2003)

3. Apakah pemidanaan bagi anak telah memenuhi /berbasis perlindungan

anak menurut bpk/ibu? Bila ya, sebut alasannya,

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Page 67: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

67

Bila tidak, sebut alasannya

4. Bagaimanakah pendapat Bpk/Ibu, dalam pemeriksaan perkara anak

dan recidivist (anak), apakah sistem yang dikembangkan selama ini mendukung ? Bila ya, sebut alasannya

Bila tidak, sebut alasannya

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Page 68: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

68

1. Bagaimana rata-rata latar belakang pelaku anak dan recidivist (anak) yang ditangani/disidang/pernah disidang/ditangani?-berikut faktor-faktor penyebabnya. (Tahun 2007, 2006, 2005, 2004, 2003)

2. Bagaimanakah implementasi pemeriksaan yang “berbasis perlindungan

anak itu” terhadap pelaku recidivist (anak)?

3. Apakah dengan adanya UU perlindungan anak ini berpengaruh

terhadap penanganan masalah anak khususnya anak yang bermasalah hukum (sebut recidive anak)? Bila Ya, sebut alasannya

III. Pemidanaan yang berbasis perlindungan anak

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Page 69: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

69

Bila tidak, sebut alasannya

4. Harapan apa yang mendesak seyogyanya disampaikan untuk model

penanganan terhadap anak (recidive anak) yang bermasalah terhadap hukum dengan basis perlindungan terhadap anak ?

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Page 70: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

70

1. Bagaimana rata-rata penanggulangan terhadap pelaku anak dan recidivist (anak) ? (Tahun 2007, 2006, 2005, 2004, 2003)

2. Dari item 1 tentang faktor-faktor penyebab, prosentase terbesar faktor penyebab apa anak melakukan tindak pidana dan mengulangi tindak pidana (sebagai recidivist)?

3. Apakah ada pengaruh yang signifikan penyebab terjadi tindak pidana

yang dilakukan oleh anak dan pengulangan tindak pidana (recidive) karena orang tua sebagai TKI (TKW)

Bila ada, sebut alasannya

IV. Penanggulangan Yang berbasis perlindungan anak

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban

Informasi/Jawaban

Page 71: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

71

Bila tidak ada, sebut alasannya

4. Bentuk penanggulangan apa yang prosentase besar diterapkan pada

pelaku anak dan recidivist (anak)?

5. Dari item 2, mengapa ?

6. Apakah ada pengaruh UU perlindungan anak dengan sistem

penanggulangan yang selama ini diimplementasikan ?

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban

Page 72: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

72

Bila Ya-Ada, alasannya

Bila tidak ada, alasannya

7. Bagaimana harapan yang mendesak seyogyanya disampaikan untuk

model penanggulangan terjadinya pelaku anak dan residivist (anak) yang berbasis perlindungan anak itu ?

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Page 73: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

73

………………., ………………………………2007 Informan/responden ( …………………………………………………..)

Page 74: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

74

BAGI HAKIM ANAK

a. Nama Lengkap : …………………………………………………………… b. Umur :……………………………………………………………. b. Pekerjaan :……………………………………………………………. c. Jabatan :……………………………………………………………. d. Masa Kerja :……………………………………………………………. e. Alamat Kantor :…………………………………………………………….

1. Bagaimana jumlah perkara dan jenis kejahatan tentang pelaku anak dan recidivist anak nakal/pidana yang disidang/pernah disidang ?(Tahun 2007,2006,2005,2004,2003)

DAFTAR PERTANYAAN

Penelitian yang berjudul “ Study Diskriptif terhadap Pemidanaan Recidive Anak Berbasis Perlindungan Anak dalam Upaya Membangun Model Penanggulangan Anak “ ini bertujuan untuk mengetahui diskriptif pemidanaan recidive anak, diskriptif pemidanaan anak yang berbasis perlindungan anak dan diskriptif dalam upaya penanggulangan recidive anak dengan basis perlindungan anak, guna menentukan perumusan model penanggulangannya. Permasalahan ini berangkat dari persoalan TKW dengan mengutip “ sanksi bagi orang tua yang menelantarkan anak “ sebagaimana secara normatif tertera dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Impact yang terjadi adalah timbulnya komunitas “anak bermasalah” dalam bidang hukum, khusus yang disoroti dalam penelitian ini “recidive anak”. Oleh karena itu, guna memecahkan permasalahan yang kita hadapi bersama di atas, kami mohon dari informan (rersponden) untuk menginformasikan seobyektif-obyektifnya atas beberapa pertanyaan di bawah ini. Demikian kami ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya atas bantuan yang diberikan, dan mohon maaf bilamana terdapat kekurangan-kekurangan kami. Mudah-mudahan bermanfaat.

I.Identitas Informan

II. Pemidanaan, recidive, anak

Page 75: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

75

2. Dari item (1), berapa jumlah perkara bagi pelaku anak dan recidivist (anak)?

3. Apakah terdapat perbedaan cara pemeriksaan bagi

pelaku anak dan recidivist (anak)? Bila ya, sebut alasannya,

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Page 76: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

76

Bila tidak, sebut alasannya

4. Bagaimanakah pendapat Bpk/Ibu, dalam

pemeriksaan perkara anak dan recidivist (anak), apakah sistem yang dikembangkan selama ini mendukung ?

Bila ya, sebut alasannya

Bila tidak, sebut alasannya

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Page 77: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

77

1. Bagaimana rata-rata latar belakang pelaku anak dan recidivist (anak) yang ditangani/disidang/pernah disidang/ditangani?-berikut faktor-faktor penyebabnya. (Tahun 2007, 2006, 2005, 2004, 2003)

2. Bagaimanakah implementasi

pemeriksaan yang “berbasis perlindungan anak itu” terhadap pelaku recidivist (anak)?

3. Apakah dengan adanya UU perlindungan

anak ini berpengaruh terhadap implementasi pemeriksaan dan keluarnya putusan?

III. Pemidanaan yang berbasis perlindungan anak

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Page 78: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

78

Bila Ya, sebut alasannya

Bila tidak, sebut alasannya

4. Harapan apa yang mendesak seyogyanya disampaikan untuk model

pemeriksaan pelaku anak dan recidivist (anak) dengan basis perlindungan anak ?

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Page 79: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

79

1. Bagaimana rata-rata penanggulangan terhadap pelaku anak dan recidivist (anak) ? (Tahun 2007, 2006, 2005, 2004, 2003)

2.Bentuk penanggulangan apa yang prosentase besar diterapkan pada pelaku

anak dan recidivist (anak)?

f. Dari item 2, mengapa ?

IV. Penanggulangan Yang berbasis perlindungan anak

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Page 80: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

80

3. Apakah ada pengaruh UU perlindungan anak dengan sistem

penanggulangan yang selama ini diimplementasikan ? Bila Ya-Ada, alasannya

Bila tidak ada, alasannya

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Informasi/Jawaban :

Page 81: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

81

4. Bagaimana harapan yang mendesak seyogyanya disampaikan untuk model penanggulangan terjadinya pelaku anak dan residivist (anak) yang berbasis perlindungan anak itu ?

………………., ………………………………2007 Informan/responden ( …………………………………………………..)

Personalia Tenaga peneliti Ketua Peneliti

Nama Lengkap dan Gelar Tempat dan Tanggal Lahir Ibnu Subarkah, SH.MH Madiun, 14 Desember 1965

Pendidikan

Universitas dan lokasi Gelar Tahun Selesai Bidang Studi

Unibraw Malang Sarjana Hukum 1990 Ilmu Hukum-Hukum Pidana Undip Semarang Magister Hukum 2000 Ilmu Hukum-Sistem Peradilan

Pidana Pengalaman Kerja dan Pengalaman dalam Penelitian serta Kedudukan Saat Ini

Institusi Jabatan Periode Bekerja Aspehupiki (Asosiasi Pengajar Hukum Pidana dan

Kriminologi) Cabang Malang Pengurus Bidang 1993-hingga

sekarang Lemabga Swadaya Masyarakat Granat Malang Raya Ketua Bidana

Analisis 2003 hingga

sekarang Pusat Studi Wanita Univ. Widyagama Malang Pengurus Bidang 1999 hingga

sekarang Pelaksana jurnal Ilmiah Widya Yuridika FH Univ. Ketua 2000-hingga

Informasi/Jawaban :

Page 82: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

82

Widyagama Malang sekarang Kedudukan saat ini: Fakultas Hukum Universitas Widyagama

Malang Dosen tetap 1991 hingga

sekarang

Pengalaman Penelitian Masalah Pelarian Narapidana (Studi di LP Klas I Lowokwaru Malang 1991 Persepsi Mahasiswa Terhadap Berita-berita kriminal 1997 Faktor-faktor Penyebab terjadinya Recidive Anak, PDM, DIKTI 2005 Persepsi Hakim Terhadap Pemidanaan Recidive Anak (Studi Pada PN Malang, Blitar, dan LPAN Blitar, 2000 Persepsi masyarakat terhadap Pemidanaan Pekerja Seksual Jalanan dan Pengaruhnya Terhadao Kebijakan

Pemkot, PDM, 2006

Daftar Publikasi o Ibnu Subarkah, 1999, Marsina, Malang Pos Ibnu Subarkah, 2000. Ham Yang Dipaksanaka, Malang Pos. Ibnu Suabrkah, dkk 2003 Refleksi Fredom Of Pers dihadapan Hukum, Jurnal Widya Yuridika, Vol. 11 No. 3

Desember 2003 Ibnu Suabrkah, dkk, 2004. Pelaksanaan Asas Praduga Tak Bersalah dan Hak Jawab dalam Bidang Pers, Jurnal

Ilmiah Widya Yuridika, Vo. 12. No. 1 April 2004 Ibnu Subarkah, 2003, Kecenderungan Perilaku BirokraSI Pengadilan Terhada Recidive aAnak, Jurnal Widya

yuridika, Vol. 11 No. 2 Agustus 2003 Ibnu Subarkah, dkk. Demokrasi dan Negara Hukum Indonesia, Jurnal Widya Yuridika, Volume 12, No. 2

Agustus 2004

Malang, 2007 Peneliti,

Ibnu Subarkah, SH.MH

Page 83: LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING - widyagama.ac.id filehukum pidana ? Guna mendapat data evaluasi dan reorientasi. 1) Pada tujuan pemidanaan yang tidak jelas dalam hukum materiil,

83

4.1. Anggota Peneliti

Nama Lengkap dan Gelar Tempat dan Tanggal Lahir Agus Sudaryanto, SH Ciilacap, 13 Desember 1967

4.2. Pendidikan

Universitas dan lokasi Gelar Tahun Selesai Bidang Studi

Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto

Sarjana Hukum 1990 Ilmu Hukum-Hukum Pidana

4.3. Pengalaman Kerja dalam Penelitian dan Pengalaman Profesional serta Kedudukan Saat Ini Institusi Jabatan Periode Bekerja Lembaga Konsultas Dan Bantuan Hukum Fakultas

Hukum Univ. Widyagama Malang Legal defender 2001 hingga

sekarang Jurnal Widya Yuridika Fakultas Hukum Univ.

Widyagama Malang Wakil Ketua 2000 hingga

sekarang Kedudukan saat ini: Fakultas Hukum Universitas

Widyagama Malang Dosen tetap 1992 hingga

sekarang 4.4. Pengalaman Penelitian Pola Pembinaan Terhadap Anak Pelaku Tindak Pidana (Studi di LPAN Blitar sebagai uji verifikasi thd

UU No. 12 Tahun 1995 dan UU No. 3 Tahun 1997), Penelitian Dosen Muda, DP2 M, Dikti Kekuatan Hukum Pembuktian Keterangan Ahli Psikiater dalam Perkara Pembunuhan (Studi di

Pengadilan Negeri Cilacap), 1991 Publikasi ilmiah :

1. Indikator Perda Bermasalah yang menghambat investasi ke Daerah, Jurnal Ilmiah Widya Yuridika, Vo. 12, No. 2 Agustus 2004

2. Studi terhadap Tindak pidana Penganiayaan antar Narapidana dan Upaya Penaggulangannya, Jurnal Ilmiah Widya Yuridika, Vo. 12, Nomor 1, Aprol 2004

3. Efektivitas pidana penjara dalam Pembinaan Narapidana : Suatu studi di LP Wanita, Kelas II A Kebonsari Malang, Jurnal Ilmiah Widya Yuridika, Vo. 12, No. 3 , Desember 2004

Malang, 2007 Peneliti, Agus Sudaryanto, SH