kesehatan spiritual dan kesiapan lansia dalam menghadapi ......kesehatan spiritual dan kesiapan...
TRANSCRIPT
Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia dalam Menghadapi
Kematian
Tugas Akhir
Disusun Oleh :
Ananda Ruth Naftali
462013066
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia dalam Menghadapi
Kematian
Tugas Akhir
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam
memperoleh gelar sarjana keperawatan
Disusun Oleh :
Ananda Ruth Naftali
462013066
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2017
i
ii
iii
iv
v
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ............................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI ILMIAH ........................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................. iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv
DAFTAR ISI ........................................................................................................ v
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ vi
ABSTRAK ........................................................................................................... vii
Pendahuluan ......................................................................................................... 1
Latar belakang ........................................................................................... 1
Rumusan Masalah.......................................................................................4
Tujuan ......................................................................................................... 4
Metode.................................................................................................................. 4
Jenis penelitian............................................................................................ 4
Partisipan .................................................................................................... 4
Teknik Pengambilan Data........................................................................... 4
Analisa Data................................................................................................ 4
Hasil ..................................................................................................................... 5
Pembahasan... ....................................................................................................... 13
Kesimpulan ................................................................................................. 22
Daftar Pustaka ...................................................................................................... 23
vi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Panduan Wawancara.............. ..........................................................28
Lampiran 2. Informed Consent ............................................................................. 33
Lampiran 3. Surat Ijin Penelitian .......................................................................... 34
Lampiran 4. Surat Ijin Penelitian.. ........................................................................ 35
Lampiran 5. Surat Keterangan Dari Lokasi Penelitian.. ....................................... 36
Lampiran 6. Surat Keterangan Dari Lokasi Penelitian.. ....................................... 37
Lampiran 7. Keterangan Submmit Jurnal .............................................................. 38
vii
Kesehatan Spiritual dan Kesiapan Lansia dalam Menghadapi Kematian
Ananda Ruth Naftali1, Yulius Yusak Ranimpi
1, M. Aziz Anwar
2
1Program Studi Ilmu Keperawatan, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas Kristen Satya Wacana 2Rumah Sakit Paru Dr. Ario Wirawan, Salatiga
Email korespondensi: [email protected]
Abstrak
Spiritualitas merupakan suatu hubungan multidimensi yang harmonis antara manusia, alam,
dan Tuhannya yang dapat memberi kekuatan kepada seseorang ketika menghadapi stres
emosional, penyakit fisik dan kematian. Kesehatan spiritual yang adalah bagian dari kondisi
spiritual, merupakan hal penting yang mempengaruhi setiap tahap perkembangan dan
kehidupan manusia, termasuk lanjut usia. Salah satu isu yang dihadapi lansia adalah
persiapan mereka dalam menghadapi kematian. Salah satu faktor yang mempengaruhi
kesiapan lansia dalam menghadapi kematian adalah kesehatan spiritualitas. Tujuan penelitian
ini adalah mendeskripsikan kesehatan spiritual dan kesiapan lansia dalam menghadapi
kematian, baik lansia yang berada di Panti Wredha Salib Putih Salatiga, maupun lansia yang
tinggal bersama keluarganya di Dusun Dukuh, Getasan. Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan tipe fenomenologi deskriptif serta desain studi komparasi. Partisipan
berjumlah 6 orang, 3 partisipan yang tinggal di panti dan 3 partisipan yang tinggal di rumah
bersama keluarganya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kesehatan spiritual dipengaruhi
oleh makna hidup, konsep agama dan ketuhanan, interaksi sosial, konsep sehat sakit,
kesejahteraan dan spiritualitas, serta kesiapan menghadapi kematian. Lansia yang tinggal di
rumah dan lansia yang tinggal di panti memiliki perbedaan dalam hal interaksi sosial,
konsep agama dan ketuhanan. Kesiapan lansia dalam menghadapi kematian dipengaruhi oleh
faktor pengertian mengenai kematian, pengalaman kehilangan, tempat yang diinginkan
ketika menghadapi kematian, orang yang akan mendampingi ketika kematian dan tempat
yang dituju setelah kematian, sedangkan ketidaksiapan dalam menghadapi kematian
dipengaruhi oleh perbuatan yang dilakukan semasa hidup maupun keinginan untuk hidup
lebih lama bersama keluarga.
Kata kunci : kesehatan spiritual, lansia, kematian.
Abstract
Spiritual Health and Elderly Preparedness in Facing Death
Spirituality is a harmonious relationship between man, nature and God. Spirituality has
dimensions that provide power when facing emotional stress, physical illness and death.
Spiritual health is an important aspect that affects human life in every stage of its
development, including the elderly. One of the issue often faced by the elderly is associated
with their preparation in the face of death. One of the factors that affect the readiness of the
elderly in the face of death is spirituality. The purpose of this research is to describe the
spiritual health and readiness of the elderly to face of death, both the elderly who are in
Panti Wredha Salib Putih Salatiga and the elderly who lived with her family in Getasan.
This study uses qualitative research methods with descriptive phenomenology approach and
viii
comparative study design. Research participants in this study amounted to 6 participants, 3
participants who stay at home and 3 participants who stay at home with their family. The
results showed that spiritual health is affected by the meaning of life, the concept of religion
and divinity, social interaction, the concept of healthy and illness, well-being and
spirituality, as well as readiness to face death. Elderly who live at home and the elderly
living in nursing have differences in terms of social interaction, the concept of religion and
divinity. Readiness of the elderly in the face of death was influenced by an understanding of
death, the experience of loss, the desired spot when faced with death, who will accompany
when death and the destination after death, while the unpreparedness in the face of death is
influenced by the deeds done during life and the desire to live longer with the family.
Key words : spiritual health, elderly, death.
1
PENDAHULUAN
Masa lanjut usia (lansia) atau menua merupakan tahap paling akhir dari siklus
kehidupan seseorang. World Health Organization (WHO) membagi masa lanjut usia
menjadi empat golongan, yaitu usia pertengahan (middle age) 45-59 tahun, lanjut
usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) 75–90 tahun dan usia sangat tua (very
old) diatas 90 tahun (1). Menurut Prof. Dr. Koesoemato Setyonegoro lanjut usia
(getriatric age) berkisar antara usia > 65 tahun atau 70 tahun (2). Masa lanjut usia
(getriatric age) itu sendiri dibagi menjadi 3 batasan umur, yaitu young old (usia 70-
75 tahun), old (usia 75-80 tahun), dan very old (usia > 80 tahun). Sedangkan menurut
Depkes RI lanjut usia digolongkan menjadi 2 yaitu, masa lansia awal (46-55 tahun)
dan masa lansia akhir (56-65 tahun) (1). Berdasarkan berbagai pendapat di atas,
dapat disimpulkan lansia merupakan seseorang yang berusia diatas 60 tahun.
Menurut WHO, proporsi populasi penduduk berusia lebih dari 60 tahun
adalah 11,7% dari total populasi dunia dan diperkirakan jumlah tersebut akan terus
meningkat sejalan dengan peningkatan usia harapan hidup (3). Jumlah lansia tahun
2009 telah mencapai 737 juta jiwa dan sekitar dua pertiga dari jumlah lansia tersebut
tinggal di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Diperkirakan pada tahun
2020 populasi lansia meningkat 7,2% yang hampir sepadan dengan proporsi lansia di
negara-negara maju saat ini (4).
Dalam perspektif perkembangan, lansia akan mengalami kemunduran dalam
berbagai kemampuan yang pernah mereka miliki dan mengalami beberapa perubahan
fisik seperti memutihnya rambut, munculnya kerutan di wajah, berkurangnya
ketajaman penglihatan dan daya ingat yang menurun, serta beberapa masalah
kesehatan fisik lainnya (5). Lansia juga kerap mengalami masalah sosial, berupa
keterasingan dari masyarakat karena penurunan fungsi fisik yang dialami, misalnya
berkurangnya kepekaan pendengaran, maupun cara bicara yang kadang sudah tidak
dapat dimengerti. Para lansia juga menghadapi masalah psikologis, yaitu munculnya
kecemasan dalam menghadapi kematian pada lanjut usia (6).
Kehilangan kehidupan atau kematian merupakan penghentian secara
permanen semua fungsi tubuh yang vital atau akhir dari kehidupan manusia (7).
Kematian merupakan sesuatu yang selalu menjadi hal wajar di dalam kehidupan.
Peningkatan kesadaran mengenai kematian timbul saat individu beranjak tua, yang
biasanya meningkat pada masa dewasa menengah, yang menandakan bahwa usia
2
paruh baya merupakan saat orang dewasa mulai berpikir lebih jauh mengenai berapa
waktu yang tersisa dalam hidup mereka (8).
Rasa cemas terhadap kematian dapat disebabkan oleh kematian itu sendiri
dan apa yang akan terjadi sesudah kematian, bagaimana dengan sanak dan keluarga
yang ditinggalkan, atau seseorang merasa bahwa tempat yang akan dikunjungi
setelah kematian sangat buruk (9). Kecemasan dalam menghadapi kematian akan
semakin membuat para lansia tidak siap dalam menghadapi kematian. Kesiapan
merupakan keseluruhan kondisi yang membuat seseorang siap untuk memberi respon
terhadap suatu situasi (10). Kesiapan adalah suatu kondisi yang dimiliki seseorang
dalam mempersiapkan diri secara mental dan fisik untuk mencapai tujuan yang
dikehendaki. Keadaan lansia yang telah siap untuk menghadapi dan menerima
kematian tidak menimbulkan penyesalan maupun ketakutan apapun ketika kematian
terjadi, itu berarti lansia telah matang dalam menghadapi kematian. Namun, lansia
memiliki persepsi yang berbeda-beda ketika menghadapi kematian (11). Kesiapan
lansia saat menjelang kematian dipengaruhi oleh beberapa aspek, yaitu aspek
psikologis, sosial, fisik dan spiritual (12).
Spiritual merupakan aspek yang didalamnya mencakup aspek-aspek yang
lain, yaitu fisik, psikologi dan sosial. Spiritualitas juga bisa tentang perasaan akan
tujuan hidup, makna hidup dan perasaan yang berhubungan dengan orang lain.
Spiritualitas merupakan hubungan yang memiliki dua dimensi, yaitu antara dirinya,
orang lain dan lingkungannya, serta dirinya dengan Tuhannya (13). Spiritualitas
merupakan hubungan yang memiliki dimensi-dimensi yang berupaya menjaga
keharmonisan dan keselarasan dengan dunia luar, menghadapi stres emosional,
penyakit fisik dan kematian (14). Spiritualitas lansia yang sehat dapat membantu
lansia dalam menjalani kehidupan dan mempersiapkan dirinya dalam menghadapi
kematian.
Istilah lain yang terkait erat dengan fenomena di atas adalah kondisi sehat.
Definisi sehat adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental atau psikis, spiritual
maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial
dan ekonomi (15). Secara khusus, kesehatan spiritualitas adalah kemampuan
seseorang dalam menjaga keharmonisannya dalam hubungannya dengan diri sendiri,
orang lain, alam dan Tuhannya.
Lansia dengan spiritual yang sehat tidak merasa cemas dan siap dalam
menghadapi kematian (16). Berbeda halnya dengan lansia yang tidak memilik3i
3
kesehatan spiritual atau yang tidak konsisten dalam menjalankan ajaran agamanya
tidak akan siap menghadapi kematian karena takut akan pembalasan dari dosa-dosa
yang telah mereka buat (17). Kesehatan spiritual yang terbangun dengan baik
membantu lansia menghadapi kenyataan, berpartisipasi dalam hidup, merasa
memiliki harga diri dan menerima kematian sebagai sesuatu yang tidak dapat
dihindari (18). Faktor yang mempengaruhi kesehatan spiritual seseorang adalah
pertimbangan tahap perkembangan, keluarga, latar belakang etnik dan budaya,
agama dan pengalaman hidup sebelumnya (19).
Peran keluarga, secara khusus sangat penting dalam mendukung dan
memenuhi kebutuhan spiritualitas lansia. Keluarga sebagai orang terdekat untuk
mencurahkan segala perhatiannya untuk memenuhi kebutuhan spiritualitas lansia.
Lanjut usia yang tinggal bersama keluarga di rumah tidak hanya mendapatkan
perawatan fisik, namun juga mendapatkan kasih sayang, kebersamaan, interaksi atau
komunikasi yang baik, dan menerima bantuan (20). Berbeda dengan situasi didalam
keluarga, spiritualitas yang dialami lansia di dalam panti cenderung rendah, karena
dalam berhubungan dengan orang lain lansia memiliki konflik atau tidak mau
berinteraksi dengan orang lain yang berada di dalam panti.
Berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan di Panti Wredha Salib
Putih Salatiga, para lansia di panti tersebut memiliki kegiatan kerohanian, berupa
ibadah sebanyak empat kali dalam seminggu, meskipun demikian beberapa lansia
menyatakan perasaan takutnya jika meninggal kepada pengurus panti dan terlihat
menyendiri dan ada yang jarang mau berkumpul bersama para lansia yang lain. Di
samping itu, peneliti juga melakukan pengamatan pendahuluan di Dusun Dukuh,
Getasan, Kabupaten Semarang. Dusun tersebut sudah memiliki satu mushola dan
satu gereja sehingga lansia di Dusun Dukuh pun memiliki kegiatan kerohanian. Para
lansia yang beragama muslim biasanya ikut dalam kegiatan ibadah Jumat serta
pengajian atau yasinan yang ada di dusun tersebut. Sekalipun demikian, terdapat
lansia yang menyatakan belum siap jika “dipanggil” Tuhan, karena perasaan takut
jika meninggalkan keluarganya. Berdasarkan fenomena tersebut maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Kesehatan spiritualitas lansia dan
kesiapan lansia dalam menghadapi kematian. Suatu kasus di Panti Wredha Salib
Putih Salatiga dan di Dusun Dukuh Getasan, Kabupaten Semarang”.
4
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana kesehatan spiritualitas lansia dan kesiapan lansia dalam
menghadapi kematian, suatu kasus di Panti Wredha Salib Putih Salatiga dan di
Dusun Dukuh Getasan, Kabupaten Semarang.
TUJUAN PENELITIAN
Tujuan umum dari penelitian ini adalah mendeskripsikan kesehatan spiritual
dan kesiapan lansia dalam menghadapi kematian, baik lansia yang berada di Panti
Wredha Salib Putih Salatiga, maupun lansia yang tinggal bersama keluarganya di
Dusun Dukuh, Getasan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan tipe
pendekatan fenomenologi deskriptif. Penelitian ini menelusuri dan menggali data
mengenai arti dan makna pengalaman seseorang secara individu (21). Penelitian ini
menggunakan desain studi komparasi, yaitu mendeskripsikan perbedaan dan
persamaan antara dua atau lebih fakta atau sifat objek yang diteliti (22). Jumlah
partisipan dalam penelitian ini adalah enam orang, yaitu tiga orang yang tinggal di
panti dan tiga orang yang tinggal di rumah bersama dengan keluarganya. Partisipan
dipilih menggunakan teknik purposive sampling yaitu dipilih sesuai kebutuhan dan
tujuan penelitian (23). Karakteristik partisipan adalah individu lanjut usia yang
berusia 60 tahun ke atas dan dapat berkomunikasi dengan baik.
Data dikumpulkan dengan menggunakan wawancara mendalam (in depth
interview), yaitu suatu cara mengumpulkan data dengan maksud untuk menetapkan
gambaran lengkap tentang topik yang diteliti dan mendalam (24). Dalam
pelaksanaannya proses wawancara menggunakan pedoman wawancara yang
terstruktur, artinya pedoman wawancara sudah disusun dan dipersiapkan sesuai
dengan tujuan, sehingga mempermudah jalannya wawancara. Setelah melalui tahap
pengumpulan data, data kualitatif yang diperoleh diolah dengan melakukan reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan (25). Reduksi data adalah kegiatan
peneliti melakukan pengolahan data dengan merangkum dan memilih hal pokok dan
penting sehingga dapat ditarik sebuah kesimpulan (26). Dalam hal ini, peneliti
membuat transkrip verbatim dengan mendengarkan kembali hasil rekaman dan
melengkapinya dengan field note yang dibuat saat wawancara. Transkrip verbatim
5
dibaca kembali berulang-ulang sambil mendengarkan hasil rekaman untuk
menentukan tingkat saturasi data. Selain itu, peneliti menggunakan teknik triangulasi
sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data, yaitu membandingkan hasil
wawancara terhadap partisipan sebagai teknik pemeriksaan keabsahan data (24).
HASIL
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat bebetapa kategori yang menjawab tujuan
penelitian yaitu bagaimana kesehatan spiritual lansia dan kesiapannya dalam
menghadapi kematian, baik mereka yang tinggal bersama keluarga di rumah maupun
yang tinggal di panti. Berikut adalah kategori-kategori tersebut :
A. Makna Hidup
Masing-masing partisipan memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam
memaknai hidup mereka, ada yang memaknai hidup mereka adalah untuk
keluarga, seperti untuk hidup bersama keluarga, mendoakan anak cucu mereka
ataupun kecukupan untuk keluarga. Ada pula yang mensyukuri hidup,
menomorsatukan Tuhan dalam hidup dan mengartikan hidup mereka sebagai
manusia utusan Tuhan. Namun, ada pula partisipan yang mengartikan tujuan
hidupnya untuk menikmati hidup di dunia, misalnya bisa makan enak.
Menurut data yang di peroleh, terdapat perbedaan yang signifikan antara
makna hidup lansia yang tinggal di panti dan partisipan yang tinggal di rumah.
Dapat disimpulkan bahwa partisipan yang tinggal di rumah lebih memaknai
hidupnya untuk keluarga mereka, sedangkan partisipan yang berada di panti
memaknai hidup mereka dengan berbeda-beda, baik itu untuk keluarga maupun
untuk Tuhan.
B. Konsep Agama dan Ketuhanan
Semua partisipan dalam penelitian ini baik mereka yang tinggal di panti
ataupun di rumah menyatakan dirinya percaya akan adanya Tuhan, malah
beberapa menyatakan tidak hanya percaya tapi juga yakin mengenai keberadaan
Tuhan. Kepercayaan lansia kepada Tuhan menimbulkan sikap hati yang bersyukur
atas semua pemberian Tuhan disepanjang hidup mereka. Mereka selalu
menyatakan bersyukur, baik dalam keadaan susah maupun senang.
Selain itu, terdapat juga pernyataan partisipan mengenai perasaannya setelah
bersyukur. Ada beberapa partisipan menyatakan hatinya menjadi tenang dan ada
pula yang menyatakan hatinya menjadi senang.
6
Dalam menjalankan agamanya, berdoa dan beribadah menjadi bagian
didalamnya. Dalam penelitian ini partisipan juga menyatakan kapan saja mereka
berdoa, alasan mereka berdoa dan apa saja yang menjadi doa mereka. Peneliti
juga mendapatkan bagaimana mereka beribadah dan apa saja kendala dalam
mereka menjalankan ibadahnya.
1. Berdoa
Berdoa merupakan sarama berkomunikasi dengan Sang Pencipta. Semua lansia
yang tinggal di panti dan dua dari tiga partisipan yang tinggal di rumah
menyatakan mereka berdoa setiap waktu, baik itu mau makan, mau tidur.
Namun, satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan dirinya
tidak pernah bersembahyang. Dalam doa, mereka pun menyatakan segala
keinginan dan permohonan mereka, baik untuk dirinya sendiri, keluarga
maupun untuk orang lain.
2. Beribadah
Selain berdoa, partisipan dalam penelitian ini juga menjalankan kegiatan
ibadah. Berdasarkan penelitian, dua dari tiga partisipan yang tinggal di rumah
menjalankan kegiatan ibadah mereka masing-masing, baik di gereja, di masjid
maupun di rumah. Namun, satu partisipan yang tinggal di rumah menyatakan
dirinya tidak mempunyai ibadah khusus seperti sholat atau kebaktian di gereja.
C. Interaksi Sosial
Di dalam hidup, seseorang tentu memiliki keluarga maupun orang lain yang
berada disekitarnya. Dalam penelitian ini, dibahas hubungan partisipan yang
tinggal di panti dengan orang-orang di dalam panti, tetangga sekitar maupun
dengan keluarga di rumah, dan terdapat pula pernyataan dari partisipan yang
tinggal di rumah mengenai hubungannya dengan tetangga dan keluarga yang
tinggal bersama dengan mereka.
1. Hubungan dengan tetangga
Semua partisipan yang tinggal di panti memiliki tetangga yang berada disekitar
panti, begitu juga dengan partisipan yang tinggal rumah memiliki tetangga.
Semua partisipan yang tinggal di rumah menyatakan memiliki hubungan yang
baik dengan tetangganya. Mereka menyatakan mengenal seluruh tetangganya
yang dekat maupun yang jauh dengan sangat baik. Mereka pun menyatakan
masih memiliki budaya gotong royong yang sangat erat. Sedangkan, satu dari
tiga partisipan yang tinggal di panti menyatakan memiliki hubungan yang baik
7
dengan tetangganya, ia menyatakan sering mengikuti kegiatan arisan bersama
teman-temannya di luar panti. Dua partisipan yang tinggal di panti menyatakan
tidak pernah berhubungan dengan orang di luar panti, salah satunya
mengatakan karena tidak mengetahui lingkungan baru panti. Berdasarkan data
tersebut, dapat disimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan mengenai
hubungan partisipan yang tinggal di panti dan yang tinggal di rumah.
Hubungan dengan tetangga pada partisipan yang tinggal di rumah lebih baik
dari pada hubungan tetangga pada partisipan yang tinggal di panti.
2. Hubungan dengan keluarga
Semua partisipan dalam penelitian ini baik yang tinggal di panti maupun yang
tinggal di rumah menyatakan memiliki hubungan yang baik dengan keluarga
mereka, walaupun dua dari tiga partisipan yang tinggal di panti menyatakan di
jenguk anaknya saat awal masuk panti saja dan sisanya hanya berhubungan
melalui telepon, sedangkan satu dari tiga partisipan yang tinggal di panti
menyatakan tidak pernah di kunjungi anaknya. Dapat disimpulkan, hubungan
dengan keluarga partisipan yang tinggal di rumah lebih baik dari pada
hubungan partisipan yang tinggal di panti.
3. Hubungan dengan orang-orang di dalam panti
Dalam penelitian ini, terdapat pernyataan hubungan partisipan yang tinggal di
panti dengan orang-orang didalam panti, satu partisipan menyatakan senang
dengan orang-orang yang ada di panti karena merasa memiliki banyak teman,
satu partisipan yang lain mengatakan hubungan dengan orang di panti tidak
terlalu akrab, sedangkan satu partisipan terakhir mengatakan merasa jengkel
dengan teman-temannya di dalam panti, ia merasa selalu di musuhi. Dengan
demikian dapat di simpulkan bahwa hubungan partisipan dengan orang-orang
di dalam panti tidak begitu baik.
D. Konsep Sehat Sakit
1. Pengertian sehat dan sakit
Pengertian sehat dan sakit lansia berdasarkan penelitian ini adalah
sehat secara jasmani atau fisik. Mereka menyatakan sehat itu jika badan
terasa ringan, enak dan tidak terasa sakit. Namun, ada pula yang menyatakan
sehat itu jika mereka bisa bekerja dan makan enak. Dalam penelitian ini, satu
dari tiga partisipan yang tinggal di panti dan satu dari tiga partisipan yang
tinggal di rumah menyatakan bahwa sehat itu jika fisiknya ringan saat
8
beraktivitas. Sedangkan, dua dari tiga partisipan yang tinggal di panti dan
satu partisipan yang tinggal di rumah menyatakan sehat itu jika badan terasa
enak dan tidak merasa sakit. Sama halnya dengan sehat, sakit juga memiliki
pengertian secara fisik. Mereka menyatakan sakit sebagai keadaan badan
yang terasa tidak enak, seperti tidak nafsu makan, tidur terus dan kepala yang
pusing, sehingga ada juga yang menyatakan tidak bisa bekerja jika mereka
dalam keadaan sakit. Ada juga yang menyatakan sakit itu jika di dalam tubuh
merasa sakit atau mereka sakit jika sakit kepala. Berdasarkan data yang
diperoleh, peneliti mendapatkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
mengenai pengertian sehat dan sakit baik dari partisipan yang tinggal di panti
maupun di rumah. Mereka sama-sama menyatakan keadaan sehat dan sakit
secara fisik atau jasmani.
2. Penurunan fisik dan sikap menghadapi penurunan fungsi fisik
Beberapa lansia dalam penelitian ini mengalami penurunan fungsi
fisik pada mata, seperti pernyataan dua dari tiga partisipan yang tinggal di
panti dan dua dari tiga partisipan yang tinggal di rumah. Sedangkan, dua dari
tiga partisipan yang tinggal di panti dan semua partisipan yang tinggal di
rumah mengalami sakit atau pegal pada kaki.
Berdasarkan data di atas, peneliti menyimpulkan bahwa penurunan
fungsi fisik yang dialami oleh partisipan yang tinggal di panti maupun yang
tinggal di rumah adalah sama. Sehubungan dengan penurunan fungsi fisik
pada lansia, juga diperoleh data mengenai tanggapan lansia mengenai
penurunan fungsi fisik yang dialami. Beberapa lansia menyatakan
mensyukuri dan menerima kondisi fisik mereka yang menurun, karena
menyadari usia mereka yang menua. Mereka juga menyatakan tidak pusing
terhadap kondisi fisik mereka, walaupun ada pula yang menyatakan
perasaannya sangat berkurang saat matanya sudah tidak bisa membaca,
namun ia menyatakan tetap menerima keadaannya. Sesuai dengan data
tersebut, peneliti menemukan kesamaan mengenai tanggapan semua
partisipan yang tinggal di panti maupun di rumah, yaitu semua menerima
keadaan fisiknya yang menurun.
9
E. Kesejahteraan dan Spiritualitas
1. Kasih
Kasih kepada orang lain menjadi salah satu bagian dari bagaimana
seseorang bisa merasa sejahtera, seperti dalam penelitian ini partisipan
bagaimana kasih terhadap orang lain. Sesuai dengan data yang diperoleh,
semua partisipan baik yang tinggal di rumah maupun di panti memiliki kasih
kepada sesama mereka yang diungkapkan berupa wujud yang berbeda beda,
seperti menegur ketika temannya sedang cemberut, menolong orang lain,
ataupun dengan memancarkan cinta kasih kepada semua makhluk.
2. Harapan di masa tua
Berdasarkan penelitian ini, peneliti juga menemukan harapan partisipan
di masa tuanya, lansia yang tinggal di panti ada yang menyatakan ingin pulang
dijemput anak-anaknya, sedangkan satu dari tiga partisipan yang tinggal di
panti dan satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah menyatakan sudah
tidak memiliki harapan apa-apa, hanya ingin cepat meninggal untuk segera
menyelesaikan hidup mereka. Sedangkan, satu dari tiga parisipan yang yang
tinggal di rumah menyatakan ingin hidup sejahtera dan tidak kekurangan.
F. Pandangan Mengenai Kematian
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan bagaimana pengertian lansia
mengenai kematian, pengalaman mengenai kehilangan, kesiapannya dalam
menghadapi kematian, serta keadaan yang diinginkan ketika menghadapi
kematian.
1. Pengertian kematian
Dalam penelitian ini, masing-masing lansia memiliki pengertian yang
berbeda-beda mengenai kematian. Beberapa lansia mengartikan bahwa
kematian itu merupakan sesuatu yang tidak bisa di tolak, namun ada pula yang
berpendapat kematian merupakan sesuatu yang terjadi karena manusia yang
sudah tua kehilangan energi atau tenaga. Dua dari tiga partisipan yang tinggal
di rumah mengatakan kematian sebagai sesuatu yang terjadi karena manusia
kehilangan energi sehingga mengalami kematian. Sedangkan, satu dari tiga
partisipan yang tinggal di panti dan satu dari tiga partisipan yang tinggal di
rumah memiliki pemahaman yang sama yaitu kematian sebagai sesuatu yang
tidak bisa ditolak, karena semua yang hidup pasti akan mengalami kematian.
Satu partisipan yang tinggal di rumah juga memahami mati merupakan proses
10
terpisahnya raga dari jiwanya, ia percaya bahwa raga akan mati, tetapi tidak
dengan jiwanya yang ia sebut badan pikiran. Walaupun demikian, tidak
terdapat perbedaan yang signifikan mengenai pemahaman lansia mengenai
kematian baik lansia yang tinggal di panti maupun lansia yang tinggal di
rumah.
2. Pengalaman mengenai kehilangan
Setiap orang pasti memiliki pengalaman dalam hidup, baik itu
pengalaman menyenangkan maupun menyedihkan. Dua dari tiga partisipan
yang tinggal di panti dan semua partisipan yang tinggal di rumah dalam
penelitian ini menyatakan pernah merasa kehilangan orang yang mereka cintai,
diantaranya merupakan anak, kakak, suami ataupun istri. Namun, satu dari tiga
partisipan yang tinggal di panti menyatakan tidak merasa kehilangan,
dikarenakan ia merasa sudah memiliki foto keluarganya untuk dikenang.
Penelitian ini juga mendapatkan cara bagaimana partisipan mengalihkan
pikirannya saat mengalami rasa kehilangan yang muncul. Diantaranya, dengan
tidak mengingat-ingat kembali kenangan kehilangan yang terkadang muncul
dalam pikiran mereka.
Berdasarkan pemaparan di atas, dua dari tiga partisipan yang tinggal di
panti dan semua partisipan yang tinggal di rumah pernah mengalami
kehilangan. Namun, satu dari tiga partisipan yang tinggal di panti tidak pernah
merasa kehilangan. Semua partisipan dalam penelitian ini memiliki cara yang
sama untuk mengalihkan rasa kehilangan mereka yaitu dengan cara tidak
mengingat-ingat kembali.
3. Kesiapan menghadapi kematian
Tiga dari enam partisipan menyatakan siap dalam menghadapi kematian.
Ada yang menyatakan dirinya siap karena menganggap kematian merupakan
sesuatu yang tidak bisa ditolak dan ada juga yang menyatakan kesiapannya
karena usianya yang sudah tua.
Partisipan mengemukakan bahwa perbuatan semasa hidup juga
mempengaruhi ketidaksiapan mereka dalam menghadapi kematian. Partisipan
merasa dirinya masih sering membenci orang lain. Namun, ada juga yang
menyatakan ketidaksiapannya karena masih ingin hidup bersama keluarganya,
memelihara anak dan cucunya. Pada penelitian ini, terdapat dua partisipan yang
menyatakan ketidaksiapannya dalam menghadapi kematian. Secara umum, dua
11
dari tiga partisipan yang tinggal di panti menyatakan kesiapannya dalam
menghadapi kematian. Sedangkan, terdapat dua partisipan yang tinggal di
rumah yang menyatakan kesiapannya. Adapun alasan yang melatarbelakangi
kesiapan lansia adalah usia yang sudah menua dan kematian yang tidak bisa
ditolak lagi, sedangkan ketidaksiapan disebabkan oleh perbuatan mereka di
masa lalu dan keinginan untuk terus hidup bersama keluarga.
4. Keadaan yang diharapkan ketika menghadapi kematian.
Dalam konteks ini juga dibahas seperti apa kematian yang diinginkan
oleh lansia. Kematian yang diharapkan oleh lansia meliputi harapan tentang
bagaimana keadaan atau kondisi dalam menghadapi kematian, di mana tempat
mereka akan meninggal, siapa yang akan mendampingi mereka dalam
menghadapi kematian sampai dengan pendapat mereka mengenai tempat
setelah kematian.
a. Keadaan yang diinginkan dalam menghadapi kematian.
Partisipan yang tinggal di panti menyatakan ingin meninggal dalam
keadaan yang tidak mengalami sakit dan mendadak. Ada pula yang
menyatakan tidak ingin meninggal dalam keadaan yang merepotkan orang
lain. Sedangkan, partisipan yang tinggal di rumah, menginginkan kematian
yang tidak mendadak. Berdasarkan data di atas, peneliti menemukan
perbedaan keadaan yang diharapkan lansia yang tinggal di rumah dan yang
tinggal di panti. Semua partisipan yang tinggal di panti menyatakan ingin
meninggal secara tiba-tiba serta tidak mengalami rasa sakit. Partisipan
menyatakan ingin mengalami kematian yang mendadak, seperti meninggal
saat sedang makan atau saat sedang tidur. Sedangkan, dua dari tiga
partisipan yang tinggal di rumah menyatakan tidak mau meninggal tiba-tiba
ataupun secara mendadak, karena merasa khawatir keluarga akan kaget
dengan kepergiannya. Satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah
menyatakan ingin meninggal secara Husnul Khotimah yang artinya
meninggal dengan keadaan yang terbaik.
b. Tempat yang diinginkan dalam menghadapi kematian.
Dalam memutuskan tempat untuk meninggal, ada beberapa lansia
belum tahu tempat dimana mereka akan menghadapi kematian. Ada juga
yang menyatakan meninggal di rumah atau di rumah sakit sama saja.
Lansia yang tinggal di panti pun ada yang menyatakan ingin meninggal di
12
panti saja dan tidak mau di bawa kemana-mana, karena merasa jika
anaknya membawanya pulang akan membebani biaya yang banyak pada
anaknya. Sedangkan lansia yang tinggal di rumah ada yang menyatakan
ingin meninggal di rumah karena merasa dirinya dari kecil memang sudah
di tinggal rumah.
c. Keinginan yang akan menemani dalam menghadapi kematian.
Dalam penelitian ini, semua partisipan menyatakan ingin meninggal
didampingi oleh orang-orang terkasih seperti anak maupun keluarga.
Dengan demikian, dalam hal ini tidak ada perbedaan mengenai keinginan
lansia mengenai orang yang akan mendampingi dalam menghadapi
kematian baik lansia yang tinggal di panti maupun tinggal di rumah.
d. Pengertian tempat terakhir setelah kematian.
Beberapa lansia menyatakan tempat akhir setelah kematian adalah
surga dan neraka, namun ada juga yang menyatakan bahwa ia tidak percaya
dengan adanya surga dan neraka, tempat yang dituju setelah kematian
bukan surga atau neraka melainkan tempat yang tidak terdapat kesenangan
maupun kesusahan, tempat yang disebut tenang.
Semua partisipan yang tinggal di panti dan satu dari tiga partisipan
yang tinggal dirumah menyatakan tempat setelah kematian adalah surga
dan neraka, namun terdapat satu dari tiga partisipan yang tinggal di rumah
menyatakan tidak pergi ke surga atau pun neraka, melainkan ke tempat
tenang. Sehingga diperoleh kesimpulan, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan antara pengertian mengenai tempat akhir setelah kematian pada
lansia yang tinggal di panti maupun yang tinggal di rumah.
e. Keinginan tempat yang dituju setelah kematian.
Setelah mengalami kematian beberapa lansia menyatakan
keinginannya untuk masuk surga atau pun neraka. Dalam penelitian ini,
semua partisipan yang ada di panti dan dua dari tiga partisipan yang tinggal
di rumah menyatakan ingin masuk surga dan ada pula yang menyatakan
tidak siap masuk ke neraka. Sedangkan satu dari tiga partisipan yang
tinggal di rumah menyatakan setelah meninggal tidak ingin masuk ke surga
atau pun neraka, melainkan ingin mencari tempat yang tenang.
13
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian berikut adalah enam kategori yang mendeskripsikan
kesehatan spiritualitas lansia, baik yang tinggal di rumah maupun yang tinggal di
panti, serta kesiapannya dalam menghadapi kematian.
1. Makna Hidup
Dalam penelitian ini, baik partisipan yang tinggal di rumah maupun di panti,
ada yang menyatakan bahwa tujuan hidupnya adalah untuk keluarga, seperti
mendoakan anak cucunya, mengharapkan hidup yang rukun bersama anak dan
cucunya, serta mengharapkan hidup yang berkecukupan bagi keluarganya. Di
samping itu, ada yang memaknai hidup mereka sebagai utusan Sang Pencipta.
Kondisi ini menunjukkan bahwa lansia memiliki tujuan hidup yang
bermakna, seperti memaknai hidup sebagai utusan Tuhan untuk menjalankan
perintahNya, serta keinginnya untuk bisa mewujudkan hidup yang sejahtera bagi
keluarganya. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Bastaman bahwa
seseorang yang mencapai kebermaknaan hidup akan merasakan hidupnya penuh
makna, berharga dan memiliki tujuan mulia (27).
Kondisi ini sesuai dengan pendapat Rahmat (dalam Setiyono) yang
menyatakan bahwa makna hidup seseorang dapat ditemukan salah satunya di
dalam tanggung jawab dan mampu menentukan apa yang akan dilakukannya dan
apa yang paling baik bagi dirinya dan orang lain (28). Bastaman juga
menambahkan bahwa makna hidup adalah sesuatu yang dianggap paling benar,
penting, berharga dan didambakan karena mampu memberikan nilai tersendiri
bagi seseorang dan dapat dijadikan sebagai tujuan hidup (27).
Artista Permatasari mengingatkan bahwa keluarga merupakan tempat
pemenuhan kebutuhan sosial, yaitu sumber kasih sayang serta rasa mencintai dan
dicintai (29). Hal tersebut merupakan salah satu nilai hidup yang menjadikan
hidup bermakna, sehingga keluarga mampu menimbulkan makna hidup terhadap
seseorang. Namun, bagi semua umat beragama, Tuhan juga merupakan sumber
makna dalam hidup. Menurut hasil kajian Musa As’ari (dalam Asyafah) manusia
memiliki amanat dari Tuhan, hal ini kemudian ditanggapi oleh lansia dan
kemudian dijadikan makna dalam hidupnya (30).
Hidup yang memiliki tujuan yang jelas akan menjadikan seseorang terarah
dan mengetahui apa yang akan hendak ia lakukan. Bila tujuan hidup terpenuhi
maka kehidupan akan dirasa berguna dan bermakna, serta menimbulkan perasaan
14
bahagia dan berharga. Tujuan hidup dapat menjadi sebuah semangat dan motivasi
utama yang bisa mendorong seseorang dalam menjalankan kehidupannya.
Bastaman menyatakan bahwa seseorang yang memiliki hidup yang bermakna
dapat membuatnya menghayati hidupnya dengan menunjukkan semangat dan
gairah hidup, serta menjauhkan mereka dari perasaan hampa dan tidak berguna
(27). Dengan demikian, hidup yang dimaknai oleh lansia dalam penelitian ini,
baik yang tinggal di rumah dan di panti memiliki keterarahan yang jelas karena
menempatkan Tuhan, keluarga dan dirinya sebagai tujuan hidup, sehingga dapat
dikatakan bahwa mereka telah memiliki hidup yang bermakna.
2. Konsep Agama dan Ketuhanan
Semua partisipan yang tinggal di panti maupun yang tinggal di rumah
menyatakan percaya kepada Tuhan. Kepercayaan ini tidak hanya tergantung pada
sistem keagamaan formal saja, karena ada partisipan yang sekalipun tidak
memeluk agama apapun (secara formal), tetap meyakini keberadaan Tuhan.
Partisipan menanggapi keberadaan Tuhan dengan sikap bersyukur terhadap segala
sesuatu yang sudah Tuhan berikan, baik dalam susah dan senang, sehingga syukur
yang di panjatkan menimbulkan rasa tenang dan senang dalam diri mereka.
Kepercayaan dan keyakinan yang dinyatakan partisipan didukung oleh
Fowler (dalam Kozier) yang menjelaskan bahwa keimanan dapat dimiliki pada
orang yang beragama maupun yang tidak beragama (31). Dengan selalu
mengingat Tuhan dalam hidup akan membuat seseorang merasa damai dan
tentram (32). Menurut hasil penelitian yang dilakukan Isnaeni lansia merasa
bahagia walaupun hidup di panti dikarenakan adanya aktifitas sehari-hari dan
berdoa serta melakukan kegiatan keagamaan, sehingga rasa syukur muncul dan
membawa ketenangan pada mereka (33).
Berdoa dan beribadah merupakan ritual dan praktek yang dilakukan
seseorang yang beragama. Semua partisipan yang tinggal di panti menyatakan
dirinya rutin melaksanakan ibadah. Semua lansia diwajibkan mengikuti ibadah
tersebut, salah satu lansia mengatakan mereka akan ditegur atau dimarahi jika
tidak mengikuti ibadah tersebut.
Partisipan yang tinggal di rumah menyatakan dirinya rutin beribadah di
masjid dan di gereja, serta rutin mengikuti perkumpulan keagamaan. Sedangkan
15
satu partisipan yang lain menyatakan tidak memiliki ritual ibadah seperti yang
umum dilakukan oleh orang yang beragama.
Lansia yang tinggal di panti maupun di rumah memiliki ritual berdoa yang
mereka bisa lakukan kapan saja dan di mana saja. Dalam doa, partisipan
menyatakan segala keinginan dan harapan mereka kepada Tuhan, serta
mendoakan keluarga dan orang-orang yang mereka kasihi. Mereka yakin dengan
berdoa Tuhan akan menjaga mereka dan melancarkan segala yang mereka
kerjakan. Mereka juga mengatakan merasakan adanya rasa damai setelah mereka
berdoa.
Hal ini sama dengan yang diungkapkan oleh Benson salah seorang pelopor
penelitian doa bahwa doa yang dilakukan berulang-ulang (repetitive prayer) akan
membawa berbagai perubahan fisiologis, seperti berkurangnya kecepatan detak
jantung, menurunnya kecepatan nafas, menurunnya tekanan darah, melambatnya
gelombang otak dan pengurangan menyeluruh kecepatan metabolisme. Kondisi
ini disebut sebagai respon relaksasi (relaxation response) (34).
3. Interaksi Sosial
a. Hubungan dengan keluarga
Semua partisipan, baik yang tinggal di rumah maupun di panti
menyatakan memiliki hubungan yang baik dengan keluarganya. Mereka yang
tinggal di rumah merasa senang tinggal satu rumah bersama dengan
keluarganya, sedangkan mereka yang di panti mengaku memiliki hubungan
yang baik dengan keluarga mereka walaupun keluarganya jarang datang
menjenguk ke panti.
Hubungan yang baik tersebut menimbulkan perasaan senang pada lansia
serta membuat mereka merasa ada yang mengurus dan memenuhi kebutuhan
dimasa tua mereka. Konteks ini sejalan dengan yang disebutkan oleh Bandiyah
bahwa peran keluarga bagi lansia adalah menjaga dan merawat lansia,
memberikan motivasi, mengantisipasi perubahan ekonomi, serta
mempertahankan status mental dan memfasilitasi kebutuhan spiritualitas lansia
(35). Pemenuhan dukungan keluarga (family support) tersebut secara
emosional menimbulkan perasaan yang bahagia pada lansia (36).
Bagi lansia yang tinggal di panti, mereka tidak tinggal bersama
keluarganya. Keadaan ini mengakibatkan kurangnya perhatian keluarga pada
lansia. Kesibukan adalah alasan utama bagi keluarga sehingga kurangnya
16
perhatian mereka kepada anggota keluarganya yang lansia. Namun,
sebagaimana menurut Sarafino dukungan atau bantuan yang dibutuhkan lansia
bisa diperoleh dari berbagai sumber, sehingga lansia yang tinggal di panti
mendapatkan dukungan dari sesama teman di panti, pengurus panti, dokter
maupun perawat yang ada di panti (37).
b. Hubungan dengan tetangga
Selain menjalin hubungan yang baik dengan keluarga, semua
partisipan yang tinggal di rumah menyatakan memiliki hubungan yang baik
dengan tetangga mereka. Sedangkan, bagi lansia yang tinggal di panti tidak
semua mengatakan memiliki relasi dengan tetangga di sekitar panti. Hal ini
terjadi karena berbagai keterbatasan lansia, seperti tidak tahu jalan keluar panti
karena lingkungan yang baru ataupun karena keterbatasan fisik yang susah
untuk berjalan.
Bagi lansia yang tinggal di rumah, memiliki relasi yang baik dengan
tetangga merupakan kekhasan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan.
Mereka menyatakan mengenal semua tetangganya dari yang dekat sampai yang
jauh. Mereka juga menyatakan bahwa kebersamaan dalam gotong royong pun
masih sangat terasa, tetangga saling tolong-menolong satu sama lain. Hal ini
sama dengan yang dikemukakan Darmojo bahwa di daerah pedesaan pergaulan
antara lansia dilakukan secara teratur, mereka lebih sering mengunjungi atau
dikunjungi, sedangkan di daerah perkotaan kegiatan ini jarang dilakukan (38).
Kebutuhan lansia yang telah disediakan di panti membuat lansia tidak
perlu keluar panti untuk mencari kebutuhan mereka. Keseharian lansia yang
dilakukan di dalam panti pun membuat mereka tidak mengenal lingkungan di
luar panti. Selain itu, keterbatasan fisik mereka juga menghambat mereka untuk
berinteraksi dengan lingkungan luar. Menurut Fitria (39) derajat kesehatan dan
kemampuan fisik yang menurun akan mengakibatkan lansia secara perlahan
menarik diri dari hubungan dengan masyarakat sekitar. Hal ini dapat
menyebabkan interaksi sosial menurun.
c. Hubungan dengan sesama teman di panti
Dalam berhubungan dengan sesama teman di panti, ada partisipan
yang menyatakan memiliki hubungan yang baik, ada juga yang mengatakan
tidak, bahkan ada yang menyatakan dirinya selalu merasa jengkel dengan
orang-orang di panti.
17
Konteks ini sangat terkait dengan proses penyesuaian diri. Dalam
proses penyesuaian diri sebagai akibat perpindahan tempat tinggal dari rumah
ke panti memanglah tidak mudah. Tidak jarang situasi seperti itu akan
menyebabkan munculnya masalah dalam hubungan interpersonal, seperti
konflik. Subekti menyatakan bahwa masalah yang dirasakan lansia dapat
berupa konflik dengan orang lain, tidak menyukai perilaku lansia lain, atau
merasa dimusuhi orang (40). Konflik tersebut dapat menyebabkan tidak
terjalinnya hubungan yang baik antar sesama lansia di panti. Hal ini didukung
oleh hasil penelitian yang telah dilakukan Marwanti mengenai kondisi
kehidupan lanjut usia di Panti Wredha Karitas dan Nazaret Bandung, bahwa
hubungan sosial yang terjalin di panti kurang baik. Salah satu faktor yang
mempengaruhi adalah latar belakang lansia yang beragam, sehingga dalam
konteks ini dibutuhkan juga dukungan keluarga atau orang terdekat untuk
menyelesaikan masalah tersebut (41). Meskipun demikian, secara ideal,
menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Setiti kebutuhan sosial
merupakan kebutuhan lansia yang dapat mempengaruhi emosional lansia
(42). Setiti menjelaskan bahwa lansia membutuhkan orang-orang dalam
berinteraksi secara sosial. Mereka membutuhkan teman bicara, sering
dikunjungi dan disapa serta silaturahmi dari keluarga dekat.
Dengan demikian, terdapat perbedaan interaksi sosial antara partisipan
yang tinggal di panti maupun yang tinggal di rumah. Partisipan yang tinggal
di rumah, memiliki hubungan dan emosional yang lebih baik dari pada
partisipan yang tinggal di panti.
4. Konsep sehat sakit
a. Pengertian sehat sakit
Semua partisipan, baik yang tinggal di panti maupun di rumah
mengartikan bahwa sehat adalah keadaan dimana badan atau fisik mereka tidak
merasakan sakit atau tidak merasakan adanya gangguan. Demikian juga dengan
sakit, mereka mengartikan sakit adalah keadaan dimana tubuh mengalami
perubahan, seperti tidak nafsu makan, tidur terus dan tidak bisa melakukan
aktivitas atau bekerja.
Pemahaman mengenai sehat dan sakit yang dimiliki lansia masih
sangat terbatas. Sehat dipandang sebagai keadaan tubuh yang kuat dan tidak
lemah, sedangkan sakit dipandang sebagai keadaan yang tidak enak yang
18
dirasakan tubuh. Hal ini sama dengan yang dinyatakan Solita bahwa sakit
adalah konsep psikologis yang menunjuk pada persaan, persepsi, atau
pengalaman subyektif seseorang tentang ketidaksehatannya atau keadaan tubuh
yang dirasa tidak enak (43).
b. Penurunan fungsi fisik
Semua lansia yang tinggal di panti maupun di rumah menyatakan
mengalami kemunduran fisik, misalnya dalam hal kualitas penglihatan. Namun
demikian partisipan tetap bersyukur dan menerima keadaan fisik yang seperti
itu.
Hal ini sama dengan yang dinyatakan Nugroho bahwa seseorang yang
memasuki usia tua akan mengalami kemunduran, misalnya kemunduran fisik
seperti kulit yang mengendur, rambut yang memutih, gigi mulai ompong,
pendengaran dan penglihatan yang kurang jelas, gerakan lambat dan postur
tubuh yang tidak proporsional (44). Respon yang di alami lansia juga berbeda-
beda. Beberapa menerima kenyataan penuaan namun, ada juga yang
mengalami perasaan fungsi yang menurun pada dirinya. Hal serupa juga
dikemukakan oleh Hurlock bahwa kemunduran fisik terjadi secara bertahap,
dimana kondisi tersebut dapat menimbulkan stres pada sebagian lansia (45).
5. Kesejahteraan dan Spiritualitas
Semua partisipan dalam penelitian ini, baik yang tinggal di panti maupun di
rumah menyatakan mereka mengetahui arti mengasihi. Mereka memahami kasih
sebagai tindakan yang dilakukan walaupun orang lain tidak berbalik mengasihi
mereka.
Sikap lansia tersebut, menunjukkan adanya spiritualitas yang baik. Hal ini
sama dengan yang diungkapkan oleh Tischler yaitu spiritualitas sebagai suatu hal
yang berhubungan dengan perilaku atau sikap tertentu dari seorang individu,
menjadi seorang yang spiritual berarti menjadi seorang yang terbuka, memberi,
dan penuh kasih (46).
Partisipan dalam penelitian ini, baik yang tinggal di rumah maupun di panti
memiliki harapan yang berbeda-beda di masa tuanya. Lansia yang tinggal di panti
menginginkan anaknya datang menjemputnya pulang, sedangkan lansia yang
tingal di rumah mengharapkan memiliki hidup sejahtera bersama keluarganya,
namun ada pula yang menyatakan ingin segera menyelesaikan hidup atau
meninggal.
19
Berdasarkan kondisi di atas, dapat dikatakan bahwa lansia memiliki harapan
untuk bisa hidup bersama keluarganya, mendapatkan cinta dan kasih dari keluarga
untuk menghadapi kesulitan hidup di masa akhir kehidupannya. Hal ini sesuai
dengan yang diungkapkan oleh Duggleby et al bahwa seseorang memiliki harapan
yaitu hidup bersama keluarga dengan nyaman dan damai (47). Westburg
mengingatkan bahwa harapan adalah salah satu sumber psikososial yang
digunakan orang dewasa untuk mengatasi kesulitan hidup (48).
6. Kematian
a. Pengertian mengenai kematian
Partisipan dalam penelitian ini baik yang tinggal di rumah maupun di
panti, ada yang mengatakan bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak bisa
ditolak, ada yang mengatakan kematian itu terpisahnya jiwa dari raga, serta ada
juga yang menyatakan kematian adalah jalan untuk ke surga.
Pemahaman tersebut sejalan dengan yang diungkapkan Chusairi (dalam
Wijaya & Savitri) bahwa kematian dipandang sebagai sesuatu yang tak
terelakkan dan dapat terjadi kapan saja, sehingga dapat menimbulkan
kecemasan pada seseorang. Kematian menurut Zubair (dalam Wijaya &
Savitri) juga dipahami sebagai saat terpisahnya jiwa dan raga (49). Raga
merupakan kualitas kebendaan dan badan fisik yang diyakini akan musnah,
sedangkan jiwa merupakan kualitas rohani yang pada saat kematian akan tetap
abadi. Selain itu, pernyataan bahwa kematian diyakini sebagai cara untuk dekat
dan bertemu Tuhan dan orang-orang yang dikasihi yang telah meninggal
sebelumnya juga di ungkapkan oleh Ross dan Pollio (50). Menurut Adelina
pandangan lansia tentang kematian mempengaruhi kesiapan lansia dan
menghadapi kematian (16). Lansia yang memiliki iman dan kesadaran bahwa
kematian akan membawa mereka kembali kepada Tuhan akan membuat
mereka menerima kematian yang akan datang. Seperti hasil penelitian yang
dilakukan oleh Snessby, Satchel, dan Good yang menyatakan bahwa lansia
yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap Tuhan akan memiliki keberanian
ketika berhadapan dengan kematian dan kesakitan (51).
b. Pengalaman kehilangan
Selain akan menghadapi kematian diri sendiri, lansia juga kemungkinan
akan menghadapi kematian pasangan, saudara kandung, teman dan individu
lain yang penting dalam hidupnya (52). Dalam penelitian ini, lansia yang
20
tinggal di panti maupun di rumah menyatakan pernah mengalami kehilangan
orang yang mereka kasihi. Walau demikian, mereka mengalihkan rasa
kehilangan tersebut dengan cara mengikhlaskan.
Ketika berhadapan dengan kematian orang yang dikasihinya, lansia
mengalami kesedihan hingga depresi. Mereka menggambarkan kesedihan itu
melalui kata-kata yang menyatakan adanya kerinduan maupun keputusasaan
yang mendalam. Hal ini sama dengan yang dikemukakan oleh Lubis bahwa
depresi merupakan suatu akibat dari pengalaman yang menyakitkan, hal ini
mengakibatkan seseorang mengalami kesedihan yang panjang, memiliki
perasaan tidak adanya harapan dan munculnya pikiran tentang kematian yang
berulang (53).
Lansia yang memandang kematian sebagai sesuatu yang tidak bisa di
tolak dan merupakan kehendak yang kuasa akan merasa tenang dan akan
mengikhlaskan pengalaman kehilangan tersebut. Lansia yang memiliki
pandangan positif terhadap kematian pasangannya dapat menyikapi hal
tersebut secara wajar, sehingga lansia akan merasa tenang atas dirinya sendiri
maupun kematian pasangannya (54).
c. Kesiapan dalam menghadapi kematian
Seluruh partisipan, baik yang tinggal di rumah maupun di panti, ada
yang menyatakan dirinya siap, namun ada juga yang menyatakan dirinya tidak
siap. Siap atau tidak siapnya lansia dilatarbelakangi oleh usia yang sudah
menua dan pemahaman bahwa kematian adalah sesuatu yang tidak bisa
dielakkan.
Kesiapan lansia yang dipengaruhi oleh usia juga dinyatakan oleh
Nelson dan Nelson (dalam Lahey) bahwa variabel usia berhubungan dengan
ketakutan pada kematian, lansia memiliki sedikit rasa takut terhadap kematian
dibandingkan dengan individu pada usia dewasa awal (55). Selain itu,
pengertian bahwa kematian tidak dapat ditolak membuat lansia merasa siap
jika sewaktu-waktu akan meninggal. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan
Chusairi (dalam Wijaya & Savitri) bahwa kematian dipandang sebagai sesuatu
yang tak terelakkan dan dapat terjadi kapan saja, sehingga dapat menimbulkan
kecemasan pada seseorang (49).
21
Terkait ketidaksiapan lansia menghadapi kematian juga dipengaruhi
oleh perbuatan mereka di masa lalu maupun keinginan mereka untuk terus
memelihara anak dan cucunya.
Lansia yang tidak siap dikarenakan ingin terus hidup bersama keluarga
mengalami kekhawatiran bahwa mereka tidak dapat kembali ke dunia dan
berkumpul bersama dengan orang-orang yang mereka cintai (56). Menurut
Shihab (dalam Hidayat) rasa cemas terhadap kematian juga dapat disebabkan
oleh kematian itu sendiri dan yang akan terjadi sesudahnya merupakan suatu
misteri, adanya pemikiran tentang keluarga yang ditinggalkan, serta perasaan
bahwa tempat yang akan dikunjungi sangat buruk (9).
d. Harapan didampingi ketika menghadapi kematian
Semua lansia dalam penelitian ini, baik yang tinggal di rumah maupun
di panti mengharapkan adanya dukungan keluarga ada untuk mendukung dan
menemani mereka pada saat menghadapi kematian.
Pendampingan ketika menghadapi kematian dapat dilakukan oleh siapa
saja baik keluarga, teman ataupun oleh tenaga kesehatan. Lansia yang ingin
didampingi oleh anggota keluarganya mengharapkan adanya penguatan dari
orang-orang yang mereka kasihi, sehingga mereka dapat menghadapi serta
menjalani saat-saat akhir hidupnya dengan lebih baik dan penuh penerimaan
(57).
e. Tempat yang diharapkan ketika menghadapi kematian
Terkait dengan tempat saat meninggal, ada partisipan yang menyatakan
keinginannya untuk meninggal di rumah dan di panti. namun, ada juga yang
belum menyatakan tempat yang diinginkan.
Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan Lee yang
mengungkapkan bahwa lansia di Amerika berharap meninggal di rumah
mereka (58). Sedangkan lansia yang ingin meninggal di panti karena tidak
ingin membebani anak mereka dengan biaya pemakaman dan lain sebagainya,
serta mereka berharap teman-temannya di panti mendampingi dan akan
menengok setelah mereka dikuburkan. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Hattori, et al yang menyebutkan bahwa faktor
keluarga mempengaruhi tempat kematian dan siapa yang diinginkan lansia
berada disampingnya saat menjelang kematian (59).
22
f. Kondisi yang diharapkan ketika menghadapi kematian
Semua partisipan yang tinggal di panti menyatakan ingin meninggal
dalam yang mendadak dan tanpa rasa sakit, seperti meninggal ketika sedang
makan atau tidur. Sedangkan, partisipan yang tinggal di rumah, tidak
menginginkan kematian yang terjadi secara tiba-tiba, karena tidak ingin
membuat keluarganya kaget atau merasa tidak siap dengan kepergiannya yang
mendadak.
Hasil penelitian ini didukung oleh Hattori, et al yang mengemukakan
bahwa pengalaman pribadi (personal experience) mempengaruhi kondisi yang
diinginkan lansia ketika menghadapi kematian (59). Lansia menginginkan
kematian yang tidak menyusahkan orang lain disekitarnya, sakit yang berlarut-
larut, serta kematian yang Husnul Khotimah yang artinya mati dalam keadaan
yang terbaik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Handsottir
dan Halldorsdottir yang menyebutkan bahwa lansia ingin mati secara natural,
dalam kedamaian dan bermartabat (60).
g. Tempat yang diinginkan setelah kematian
Partisipan yang tinggal di panti dan yang tinggal di rumah menyatakan
bahwa setelah meninggal, mereka ingin masuk surga dan tidak ingin masuk ke
dalam neraka. Namun ada partisipan yang menyatakan tidak ingin ke surga
atau pun neraka, melainkan ingin ke tempat yang tenang.
Kondisi di atas didukung oleh penelitian Wahyuni yang menyatakan
bahwa lansia mengharapkan kematian dalam ketenangan dan diterima
disisiNya serta masuk surga (61). Dalam penelitian yang dilakukan oleh
Santoso juga diungkapkan bahwa hukuman neraka merupakan faktor internal
yang mempengaruhi kecemasan lansia menjelang kematian (62).
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kesehatan spiritual dan
kesiapan lansia dalam menghadapi kematian dipengaruhi oleh makna hidup, konsep
agama dan ketuhanan, interaksi sosial, konsep sehat sakit, kesejahteraan dan
spiritualitas, serta kesiapan menghadapi kematian. Berdasarkan hasil penelitian,
lansia yang tinggal di rumah dan lansia yang tinggal di panti memiliki perbedaan
dalam interaksi sosial, konsep agama dan ketuhanan. Sedangkan dalam menghadapi
kematian, baik di panti maupun di rumah, kesiapan lansia dipengaruhi oleh beberapa
23
faktor, yaitu pengertian mengenai kematian, pengalaman kehilangan, tempat yang
diinginkan ketika menghadapi kematian, orang yang akan mendampingi ketika
kematian dan tempat yang dituju setelah kematian, sedangkan ketidaksiapan lansia
dalam menghadapi kematian dipengaruhi oleh perbuatan yang dilakukan semasa
lansia hidup maupun faktor keluarga seperti masih ingin hidup lebih lama bersama
keluarga.
Secara metodologis, penelitian ini memiliki keterbatasan atau kekurangan.
Data yang diperoleh dibatasi dalam bentuk kualitatif, sehingga bagi peneliti yang
berorientasi kuantitatif akan memperoleh kesulitan di dalam mendeskripsikan secara
operasional mengenai konsep kesehatan spiritual dan aspek-aspek yang
menyertainya. Dengan demikian diharapkan peneliti selanjutnya dapat
mengembangkan dan mengkombinasikan instrumen kualitatif dengan instrumen
kuantitatif. Selain itu, jumlah partisipan dan wilayah penelitian perlu ditambah dan
diperluas, sehingga hasil penelitiannya dapat memberikan hasil yang lebih
komprehensif.
Daftar Pustaka
1. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Rencana Aksi Nasional Lanjut Usia
2009-2014 Sebagai Pelaksanaan UU No. 13 Tahun 1998 Tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia. Jakarta. 2009.
2. Efendi, F. dan Makhfudli. Keperawatan Kesehatan Komunitas : Teori dan
Praktik dalam Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika. 2009.
3. RI. B penelitian dan PK. Riset Kesehatan Dasar. 2013.
4. Tamher, S., and Noorkasiani. Kesehatan usia lanjut dengan pendekatan asuhan
keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. 2009.
5. Wong, D. L. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik. Edisi 6. Jakarta : EGC. 2008.
6. Azizah, L. M. Keperawatan Lanjut Usia. Yogyakarta: Graha Ilmu. 2011.
7. Stanley, M. and Beare, P. G. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Jakarta: EGC.
2007.
8. Irfani, N. Hubungan Antara Persepsi Terhadap Kematian Dengan Ketakutan
Akan Kematian Pada Wanita Penderita Kanker Payudara. Jurnal (Tidak
Diterbitkan). Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma. 2008.
9. Hidayat K. Psikologi Kematian : Mengubah Ketakutan Menjadi Optimisme.
Jakarta : Hikmah. 2006.
10. Slameto. Belajar dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: Rineka
Cipta. 2010.
24
11. Harapan, P. Studi Fenomenologi Persepsi Lansia dalam Mempersiapkan Diri
Menghadapi Kematian. JOM PSIK; 1(2). 2014.
12. Meiner, S. E. Gerontologic Nursing. Third Edition. The United States of
America : Mosby Inc. 2006.
13. Hamid, A. Y. S. Bunga rampai asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Jakarta:
EGC. 2009.
14. Hamid, A. Y. S. Buku pedoman askep jiwa-1 keperawatan jiwa teori dan
tindakan keperawatan. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
2000.
15. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Kesehatan Lansia Nasional.
Jakarta. 2009.
16. Adelina, D. Hubungan Kecerdasan Ruhaniah dengan Kesiapan Menuju
Kematian. Skripsi Ilmiah. Fakultas Psikologi Universitas Mercubuana,
Yogyakarta. 2007.
17. Schwarts and Paterson. Indtoduction to Gerentology. USA: Halt, Rinehart, and
Watson. 1979.
18. Potter, P. A. and Perry, A. G. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Buku 1
(Ed 7) Jakarta: Salemba Medika. 2009.
19. Taylor, C. R., Lillis, C, LeMone P and Lynn, P. Fundamentals of nursing: the
art and science of nursing care. Philadelphia : Lippincott Williams &
Wilkins. 2011.
20. Mahareza, Y. Perbedaan Kualitas Hidup Lanjut Usia yang Tinggal di Panti
Werdha dan yang Tinggal Bersama Keluarga. Skripsi. Surabaya: Fakultas
Psikologi Universitas Airlangga. 2008.
21. Wood, G. L. and Haber, J. Nursing research : methods and critical appraisal
for evidence-based practice. Sixth edition. St. Louis, Missouri : Mosby.
2006.
22. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta. 2006.
23. Poerwadi E, K. Pendekatan Kualitatif Untuk Penelitian PerilaManusia.
Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan
Psikologi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. 2005.
24. Moleong, L. J. Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya. 2007.
25. Ulber Silalahi. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Refika Aditama.
2009.
26. Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung:
Alfabeta. 2012.
25
27. Bastaman, H. D. Logoterapi :Psikologi Untuk Menemukan Makna Hidup dan
Meraih Hidup Bermakna, Jakarta: PT. Raja Grafindo. 2007.
28. Setiyono, F., A. Kebermaknaan Hidup Para Mediator. Skripsi. (Tidak
Diterbitkan) Surabaya : Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. 2004.
29. Permatasari, Artista. Pengaruh Pemenuhan Kebutuhan Sosial Terhadap
Kebermaknaan Hidup Penyandang Cacat Fisik. 2004. Available from:
http://etd.library.ums.ac.id.
30. Asyafah, A. Proses Kehidupan Manusia dan Nilai Eksistensialnya. Bandung :
Alfabeta, CV. 2009.
31. Kozier, B. et al. Fundamentals of Nursing: Conceps, proces, and practice
(7thod). Upper sad les piver. Pearson Education, Inc. 2004.
32. Al-Isawi AM. Islam dan Kesehatan Jiwa. Jakarta Timur : Pustaka Al-
Kautsar. 2005.
33. Isnaeni, H. D. Kebahagiaan Lansia yang Tinggal di Panti Wreda. Skripsi.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. 2008.
34. Benson, H and Proctor, W. Dasar-dasar respons relaksasi. Bandung: Kaifa.
2000.
35. Bandiyah, S. Lanjut Usia dan Keperawatan Gerontik. Yogyakarta: Nuha
Medika. 2013.
36. Boyles., Salynn. For Happiness Seek Family Not Fortune Study Shows
Family Relationships Bring Greater Happiness Than High Income. 2008.
37. Sarafino, E. P. Health psychology: biophychososial interaction. New York:
Joh Wiley and Sons, Inc. 1998.
38. Darmojo, R. B., Martono, H. H. Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia Lanjut). Edisi
ke-3. Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2004.
39. Fitria, A. Interaksi Sosial Dan Kualitas Hidup Lansia Di Panti Werdha Upt
Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dan Anak Balita Binjai. Skripsi. Universitas
Sumatra Utara, Medan. 2010.
40. Jafar, N., Dkk. Pengalaman Lanjut Usia Mendapatkan Dukungan Keluarga.
Jurnal Keperawatan Indonesia, Vol. 14(3), (157-164). 2011.
41. Marwanti, T.M. Kondisi Kehidupan Lanjut Usia Di Dalam Panti (Studi Kasus
Lanjut Usia di Panti Werdha Karitas dan Nazaret Bandung). Tesis : Program
Magister Ilmu-Ilmu Sosial Bidang Kajian Utama Ilmu Kesejahteraan Sosial
Universitas Indonesia. 1997.
42. Setiti, S. G. Pelayanan Lanjut Usia Berbasis Kekerabatan (Studi Kasus Pada
Lima Wilayah di Indonesia). Jakarta: Puslitbang Kesejahteraan Sosial. 2007.
43. Sarwono, Solita. Sosiologi Kesehatan Beberapa konsep beserta aplikasinya.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 2007.
26
44. Nugroho. Keperawatan Gerontologi. Edisi 3. Jakarta. EGC. 2008.
45. Hurlock, E. B. Developmental psychology: a life span approach. (5th edition.
Alih bahasa: Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga. 2004.
46. Tischler, L. The Growing Interest in Spirituality in Business: A Long-Term
Socio-Economic Explanation. Journal of Organization Change Management.
2002.
47. Duggleby, W., et al. Hope, older adults, and chronic illness: a metasynthesis
of qualitative research. Journal of Advanced Nursing. Blackwell Publishing
Ltd. 2012.
48. Westburg, N. Hope, laughter and humor in residents and staff at an assisted
living facility. Journal of Mental Health Counselling, 25(1), 16-32. 2003.
49. Wijaya. F.S. and Safitri, R.M. Persepsi Terhadap Kematian dan Kecemasan
Menghadapi Kematian pada Lanjut Usia. Jurnal Mercubuana, Fakultas
Psikologi Mercu Buana Yogyakarta. 2015.
50. Belsky, J. The Adult Experience. USA: West Publishing Company. 1997.
51. Snessby, Satchell, and Good. Death and dying in australia: perceptions of a
sudanese community. 2011.
52. Corr C. A., Nabe C. M., and Corr D. M. Death and dying, life and living (4th
ed.). Belmont, CA: Wadsworth. 2003.
53. Lubis, M. R. Nilai agama dalam kehidupan. Jurnal Multikultural dan
Multireligius. Vol. VIII No. 29. 2009.
54. Santrock, J. W. Life–Span Development. Sixth Edition. New York: Brown
and Benchmark Publisher. 2002 .
55. Lefrancois, G. R. The Life Span ( 4th ed.). Calfornia : Wadsworth, Inc.
1993.
56. Hasan, Purwakania. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: Rajawali Press.
2006.
57. Wiryasaputra, Totok S. Ready to Care: Pendampingan dan Konseling
Psikologi, Yogyakarta: Galangpress. 2006.
58. Lee, K.S. East asian attitudes toward death- a search for the ways to help asian
elderly dying in contemporary america. 2009. Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20740092%0A
59. Hattori, et al. A qualitative exploration of elderly patients’ preferences for
end- oflife care. 2005.
60. Handsdottir, H., and Halldorsdottir. (2008). Dialogues on death: a
27
phenomenological. JOM PSIK vol.1 (2) OKTOBER 2014 8 study on views
of the elderly toward life and death and end of life treatments. 2008.
61. Wahyuni, S. Pengaruh Logoterapi Terhadap Peningkatan (Kemampuan
kognitif dan perilaku) Pada Lansia Dengan Harga Diri Rendah di Panti Werda
Pekanbaru Riau. Tesis. Jakarta : Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia. 2007.
62. Santoso, Dedy. Kecemasan Menjelang Kematian Pada Lanjut Usia. Tesis.
Semarang. Universitas Katolik Soegijapranata. 2010.
28
Lampiran I
Panduan Wawancara
Tempat wawancara :
Hari/ tanggal :
Pewawancara :
Riset partisipan :
1. Makna (meaning)
Pertanyaan :
1. Apakah makna hidup itu menurut partisipan?
2. Apa saja yang menjadi tujuan hidup partisipan? Mengapa demikian? Apakah sudah
tercapai? Bagaimana perasaan partisipan saat tujuan hidup partisipan sudah tercapai?
Jika belum, mengapa demikian? Apa yang menjadi hambatan? Bagaimana
solusinya? Bagaimana perasaan partisipan saat tujuan tersebut belum tercapai?
3. Apa saja kekurangan dan kelebihan partisipan? Bagaimana cara partisipan
menanggapi kekurangan dan kelebihan partisipan?
2. Konsep ketuhanan (concept of divinity)
Pertanyaan :
1. Apakah partisipan percaya Tuhan itu ada? Apa pendapat partisipan mengenai
keberadaan Tuhan?
2. Apa yang dilakukan partisipan untuk menanggapi keberadaan Tuhan?
3. Hal-hal apa saja yang sudah Tuhan berikan kepada partisipan?
4. Apakah partisipan pernah menolak, menyangkal pemberian dari Tuhan? Apa saja?
Mengapa demikian?
5. Bagaimana cara partisipan mengucap syukur?
6. Apakah menurut partisipan bersyukur itu penting? Mengapa demikian?
7. Bagaimana perasaan partisipan ketika partisipan bersyukur?
8. Kapan partisipan merasa perlu untuk bersyukur?
3. Hubungan dengan orang lain (relationship with the others)
Pertanyaan :
1. Apakah ada kesulitan untuk membangun relasi atau hubungan dengan orang lain di
lingkungan rumah partisipan?
29
2. Bagaimana caranya partisipan membangun dan membina relasi dengan orang lain di
lingkungan rumah partisipan?
3. Bagaimana perasaan pertisipan tinggal bersama keluarga dirumah? Mengapa
demikian?
4. Bagaimana cara partisipan menjaga relasi dengan orang lain diluar rumah?
5. Bagaimana hubungan partisipan dengan keluarga partisipan? Mengapa demikian?
6. Siapakah yang paling dekat dengan partisipan dirumah? Bagaimana perasaan
partisipan?
7. Apakah keluarga partisipan mengurus partisipan? Mengapa demikian? Bagaimana
perasaan partisipan?
8. Hal-hal apa saja yang diharapkan partisipan terhadap keluarga partisipan?
9. Hal-hal apa saja yang dapat partispan lakukan dengan bantuan orang lain?
10. Bagaimana rasanya melakukan sesuatu dengan bantuan orang lain?
11. Hal-hal apa saja yang dapat partisipan lakukan tanpa bantuan dari orang lain?
12. Bagaimana rasanya melakukan sesuatu tanpa bantuan dari orang lain?
13. Apakah bantuan orang lain itu penting? Mengapa demikian?
14. Apakah partisipan pernah dan masih memiliki masalah dengan orang lain? Dengan
siapa? Mengapa demikian?
15. Bagaimana perasaan partisipan ketika memiliki masalah yang belum selesai dengan
orang lain? Bagaimana cara partisipan menyelesaikan masalah tersebut? Mengapa
demikian?
4. Pengalaman (experience)
Pertanyaan :
1. Apakah partisipan pernah memiliki kegiatan sosial? Apa saja?
2. Bagaimana perasaan partisipan sebelum, saat dan setelah mengikuti kegiatan sosial
tersebut?
3. Bagaimana masa muda partisipan?
4. Hal-hal menyenangkan apa saja yang partisipan ingat dimasa lalu? Bagaimana
dampaknya bagi masa sekarang?
5. Hal-hal kurang menyenangkan apa saja yang partisipan ingat dimasa lalu?
Bagaimana dampaknya bagi masa sekarang?
6. Kapan partisipan teringat dengan hal-hal tersebut?
7. Apakah pekerjaan partisipan?
8. Bagaimana perasaan partisipan dengan pekerjaan partisipan?
9. Hal-hal apa saja yang sudah partisipan capai? Mengapa demikian?
10. Hal-hal apa saja yang belum partisipan capai? Mengapa demikian?
30
11. Apakah ada perasaan menyesal terhadap yang belum dan sudah dicapai? Mengapa
demikian?
12. Apakah partisipan pernah merasa ditolak atau tidak diterima? Oleh siapa?
Bagaimana perasaan partisipan?
13. Apakah partisipan pernah mengalami kehilangan seseorang? Siapa? Bagaimana
perasaan partisipan?
14. Kapan perasaan kehilangan tersebut muncul?
15. Bagaimana cara partisipan mengalihkan perasaan tersebut?
5. Konsep sehat dan sakit (healthy and illness concept)
Pertanyaan :
1. Perubahan-perubahan fisik dan kesehatan (keluhan) apa saja yang partisipan
rasakan?
2. Bagaimana cara partisipan menghadapi fisik partisipan yang menurun?
3. Bagaimana tanggapan keluarga partisipan mengenai sakit partisipan?
4. Bagaimana dukungan keluarga partisipan mengenai penyakit partisipan?
5. Apa makna sehat menurut partisipan?
6. Apa makna sakit menurut partisipan?
7. Bagaimana perasaan partisipan mengenai sakit partisipan? Mengapa demikian?
8. Kapan perasaan tersebut muncul?
9. Bagaimana partisipan mengatasi perasaan tersebut?
10. Menurut partisipan bagaimana cara partisipan dapat sembuh? Mengapa demikian?
6. Kesejahteraan (weel being)
Pertanyaan :
1. Bagaimana partisipan mencintai orang-orang yang partisipan kasihi? Mengapa
demikian?
2. Menurut partisipan apakah mengasihi itu penting? Mengapa demikian?
3. Apakah mengasihi itu berarti memaafkan yang bersalah kepada kita? Mengapa
demikian?
4. Bagaimana cara partisipan mendapatkan sukacita dan kedamaian? Mengapa
demikian?
5. Apakah partisipan memiliki harapan yang belum tercapai? Apa yang menjadi
harapan partisipan saat ini?
6. Apa yang menjadi semangat hidup partisipan? Mengapa demikian?
31
Kematian (death)
Pertanyaan :
1. Apakah partisipan percaya adanya akhir kehidupan?
2. Bagaimana pendapat partisipan mengenai akhir kehidupan? Mengapa demikian?
3. Menurut partisipan, bagaimana kematian itu?
4. Apakah partisipan siap jika dihaapkan dengan akhir kehidupan atau kematian?
Mengapa demikian?
5. Hal-hal apa sajakah yang membuat partisipan siap/tidak siap? Mengapa demikian?
6. Apakah ada hal-hal yang ditakutkan atau dikhawatirkan terkait dengan kematian?
Apa saja? Mengapa demikian?
7. Menurut partisipan kondisi yang seperti apa yang diharapkan ketika menghadapi
kematian?
8. Dimanakah tempat yang partisipan harapkan ketika menghadapi kematian?
Mengapa demikian?
9. Siapa yang partisipan harapkan ada dalam partisipan menghadapi kematian?
Mengapa demikian?
10. Menurut partisipan, kematian seperti apa yang partisipan harapkan? Mengapa
demikian?
11. Menurut partisipan, tempat seperti apakah akhir dari kematian tersebut? Mengapa
memiliki pemahaman seperti demikian?
12. Apakah partisipan pernah memiliki pengalaman mengenai akhir dari kehidupan?
Pengalaman yang seperti apa? Dari mana pengalaman seperti itu?
13. Bagaimanakah dukungan keluarga partipan mengenai kesiapan partisipan dalam
menghadapi akhir khidupan?
7. Agama (religion)
Pertanyaan :
1. Apakah partisipan beribadah? Mengapa partisipan beribadah?
2. Dimanakah partisipan biasa beribadah? Mengapa demikian?
3. Bagaimana cara partisipan beribadah?
4. Bersama siapa partisipan beribadah?
5. Apakah keluarga partisipan mendukung partisipan beribadah? Bagaimana caranya?
Mengapa demikian?
6. Kapan partisipan merasa perlu untuk beribadah? Mengapa demikian?
7. Apakah ada kendala atau masalah yang dihadapi partisipan untuk beribadah?
Bagaimana cara mengatasinya?
32
8. Bagaimana perasaan partisipan sebelum dan setelah beribadah?
9. Bagaimana cara partisipan berdoa? Mengapa perlu berdoa?
10. Dengan siapa partisipan berdoa? Mengapa demikian?
11. Kapan partisipan merasa perlu untuk berdoa?
12. Hal-hal apa saja yang partisipan pikirkan ketika berdoa? Mengapa demikian?
13. Umum
Pertanyaan :
1. Apakah partisipan tinggal dirumah bersama keluarga? Mengapa demikian?
Bagaimana perasaan partisipan?
2. Hal-hal menyenangkan apa saja yang partisipan lakukan bersama keluarga?
Mengapa demikian?
3. Apakah ada hal-hal yang tidak menyenangkan saat bersama keuarga? Hal apa
sajakah? Mengapa demikian?
4. Apa saja kegiatan partisipan dirumah?
5. Apa saja yang dipikirkan dan dilakukan partisipan saat sendirian? Mengapa
demikian?
6. Menurut partisipan, lebih nyaman tinggal sendiri atau bersama keluarga? Mengapa
demikian?
(pertanyaan ini saya ajukan sebenarnya untuk mengetahui subjektif well being
partisipan, senang tinggal sendiri atau bersama keluarga)
33
Lampiran II
LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI PARTISIPAN
(Infomed Concent)
Yang bertanda tangan dibawah ini,
Nama :
Alamat :
Tempat/Tanggal Lahir :
Setelah mendapat penjelasan dan mengerti tentang tujuan dari penelitian yang mengambil,
Judul :
Peneliti :
NIM :
Saya bersedia untuk berperan serta dalam penelitian tersebut. Saya akan menjawab
pertanyaan yang akan diajukan oleh peneliti dengan sejujur-jujurnya. Saya mengerti bahwa
penelitian ini tidak menimbulkan dampak negatif dan data mengenai diri saya dalam
penelitian ini akan dijaga kerahasiaannya oleh peneliti.
Demikian secara sadar, sukarela dan tidak ada unsur paksaan dari siapapun, saya
bersedia berperan dalam penelitian ini dan bersedia menandatangani persetujuan ini.
Salatiga,.............................2017
Peneliti,
Ananda Ruth Naftali
Partisipan,
(____________________)
34
Lampiran III
Surat Ijin Penelitian
35
Lampiran IV
Surat Ijin Penelitian
36
Lampiran V
Surat Keterangan Dari Lokasi Penelitian
37
Lampiran VI
Surat Keterangan Dari Lokasi Penelitian
38
Lampiran VII
Keterangan Submmit Jurnal
39
40
41