tantangan kesiapan sektor konstruksi nasional menghadapi

21
Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012 1 TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI PEMBANGUNAN MASA DEPAN BERBASIS GREEN DEVELOPMENT Sangkertadi Akademisi, Arsitek, Greeenship Profesional Abstrak Melalui tulisan ini meskipun singkat berupaya secara komprehensip memaparkan berbagai definisi mengenai green development, serta menunjukkan latar belakang mengapa masyarakat dunia sepakat untuk menerapkan konsep green development sebagai suatu model bagi pembangunan sejak kini hingga masa-masa mendatang. Berbagai pemahaman mengenai Green Building, Green City, Green Industry, serta Green Economy juga diungkapkan secara praktis. Ditekankan bahwa sektor konstruksi memiliki peran kunci dalam penerapan Green Development ini karena sector konstruksi tetap eksis memenuhi siklus pembangunan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas manusia di muka bumi. Karena itu, sektor konstruksi adalah pemegang kunci utama bagi keberhasilan penerapan konsep Green Development. Latar Belakang Green Development mulai marak diperbincangkan dunia sebagai suatu konsep pembangunan masa depan dalam menghadapi keberlanjutan kehidupan di muka bumi yang semakin kompleks disertai adanya indikasi penurunan kualitas lingkungan. Cikal bakal green development sebenarnya sudah dimulai dari dideklarasikannya istilah sustainable development pada tahun 1987, berasal dari laporan Brundtland Comission, yang mana arti sustainable development adalah: sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Hal mengenai perubahan iklim adalah akibat dari model pembangunan yang tidak berbasis pada keberlanjutan. Secara fikalis perubahan iklim terjadi karena peningkatan gas rumah kaca di atmosfir, dimana laju peningkatan gas rumah kaca tersebut berasal dari akibat lajunya proses pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan. Pada Tahun 1992 hampir 180 negara bertemu di KTT Bumi (Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan) di Rio de Janeiro untuk membahas bagaimana mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Pertemuan tersebut menyetujui yang namanya “Deklarasi Rio” tentang Lingkungan & Pembangunan yang menetapkan 27

Upload: others

Post on 25-Oct-2021

15 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

1

TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI PEMBANGUNAN MASA

DEPAN BERBASIS GREEN DEVELOPMENT

Sangkertadi Akademisi, Arsitek, Greeenship Profesional

Abstrak Melalui tulisan ini meskipun singkat berupaya secara komprehensip memaparkan berbagai definisi mengenai green development, serta menunjukkan latar belakang mengapa masyarakat dunia sepakat untuk menerapkan konsep green development sebagai suatu model bagi pembangunan sejak kini hingga masa-masa mendatang. Berbagai pemahaman mengenai Green Building, Green City, Green Industry, serta Green Economy juga diungkapkan secara praktis. Ditekankan bahwa sektor konstruksi memiliki peran kunci dalam penerapan Green Development ini karena sector konstruksi tetap eksis memenuhi siklus pembangunan untuk memenuhi kebutuhan fasilitas manusia di muka bumi. Karena itu, sektor konstruksi adalah pemegang kunci utama bagi keberhasilan penerapan konsep Green Development.

Latar Belakang

Green Development mulai marak diperbincangkan dunia sebagai suatu konsep

pembangunan masa depan dalam menghadapi keberlanjutan kehidupan di muka

bumi yang semakin kompleks disertai adanya indikasi penurunan kualitas

lingkungan.

Cikal bakal green development sebenarnya sudah dimulai dari dideklarasikannya

istilah sustainable development pada tahun 1987, berasal dari laporan Brundtland

Comission, yang mana arti sustainable development adalah: sebagai pembangunan

yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Hal mengenai perubahan

iklim adalah akibat dari model pembangunan yang tidak berbasis pada keberlanjutan.

Secara fikalis perubahan iklim terjadi karena peningkatan gas rumah kaca di

atmosfir, dimana laju peningkatan gas rumah kaca tersebut berasal dari akibat

lajunya proses pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan.

Pada Tahun 1992 hampir 180 negara bertemu di KTT Bumi (Konferensi PBB tentang

Lingkungan dan Pembangunan) di Rio de Janeiro untuk membahas bagaimana

mencapai pembangunan yang berkelanjutan. Pertemuan tersebut menyetujui yang

namanya “Deklarasi Rio” tentang Lingkungan & Pembangunan yang menetapkan 27

Page 2: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

2

prinsip yang mendukung pembangunan berkelanjutan. Juga disepakati rencana aksi,

Agenda 21, & rekomendasi bahwa semua negara harus menghasilkan strategi

pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Berangkat dari situasi tersebut, maka masyarakat dunia sekali lagi berkumpul di

Kyoto dan menghasilkan apa yang namanya “Kyoto Protocol”, yang pada dasarnya

adalah komitmen dunia untuk bersama-sama menurunkan laju emisi gas rumah

kaca. Salah satu bagian kesepakatan adalah perwujudan aksi “clean development

mechanism”. Indonesia, melalui UU No 17 Tahun 2004, telah turut mengesahkan

protocol Kyoto, yang dengan demikian, maka seyogyanya model pembangunan di

Indonesia adalah yang berorientasi model “pembangunan bersih” yang mampu

membantu mereduksi emisi gas rumah kaca. Pertanyaannya apakah segenap

lapisan masyarakat Indonesia sudah menyadarinya dan apakah sudah sadar untuk

turut berperan dalam proses pembangunan bersih sebagaimana amanat UU

tersebut. Ada memang yang sudah melaksanakannya namun, masih diperlukan

bentuk sosialisasi masal guna mencapai apa yang diamanatkan lewat UU tersebut.

Selanjutnya sebagaimana dijelaskan dalam bagian penjelasan UU tersebut, bahwa

“clean development mechanism” (mekanisme pembangunan bersih) merupakan

bentuk investasi baru di Negara berkembang yang bertujuan mendorong Negara

industri untuk menurunkan emisi gas rumah kaca di Negara berkembang dan

membantu negara berkembang untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Mekanisme Pembangunan Bersih mencakup tiga kategori implementasi yaitu "Clean

Production" (Produksi Bersih), "Saving Energy" (Penghematan Energi) dan "Fuel

Switching" (Pengalihan Bahan Bakar). Terhadap ketiga kategori tersebut, menuju

pada bentuk realisasi berupa pengurangan produksi emisi gas rumah kaca dan/atau

penyerapan karbon.

Apa definisi Green Development ?

Terminology Green mengandung makna keberlanjutan yang didasari pada tema-

tema keramahan terhadap lingkungan, sedangkan terminology Development

mengarah pada definisi “pembangunan” dalam pandangan yang luas. Pembangunan

secara fisik jelas mengarah pada pembaharuan perwujudan fisik konstruksi dalam

skala kewilayahan, apa itu negara, provinsi, kabupaten, kota atau kawasan bahkan

sampai pada titik lokasi. Pembangunan dalam pandangan “mental” mengandung arti

pengembangan pola pikir masyarakat. Sedangkan pembangunan dalam pandangan

Page 3: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

3

ekonomi, jelas mengandung arti peningkatan kesejahteraan. Jadi Green

Development dapat didefinisikan sebagai suatu model atau konsep pembangunan

yang berbasis pada kaidah “green”, atau suatu mental atau pola pikir untuk

mengembangkan masyarakat agar berperilaku menuju keberlanjutan. Namun

demikian green development tidak akan berarti apa-apa tanpa kita praktekkan dalam

kehidupan sehari-hari. Green development perlu dihargai sebagai basis dari segala

bentuk penerapan pembangunan untuk menghadapi perkembangan kehidupan yang

semakin kompleks di muka bumi ini.

Apa resiko bumi tanpa Green Development Strategy ?

Sampai sejauh ini, dunia telah mencanangkan bahwa model pembangunan yang

harus tetap diterapkan di masa depan adalah yang berbasis pada filosofi Green

Development. Dari berbagai sumber menunjukkan bahwa pada tahun 1900-an hanya

sekitar 10% penduduk dunia hidup di kawasan perkotaan, kemudian pada tahun

2010 diperkirakan sudah sekitar 60% penduduk bumi menempati kawasan kota, dan

diperkirakan bahwa tahun 2050 sekitar 75% penduduk dunia tinggal di kota. Betapa

kota harus menerima beban untuk menghidupi penduduk dunia. Kegiatan penduduk

di perkotaan yang berperilaku urban, telah menyebabkan emisi gas rumah kaca yang

berakibat pada pemanasan global Efek pemanasan global telah menaikkan suhu

rata-rata global sekitar 1.4 – 5.8 derajat celcius pada tahun 2100 (menurut para

spesialis). Selama kurun waktu dari tahun 1861 sampai 2005 telah terjadi kenaikan

suhu global rata-rata 0.6-0.7 derajat celcius, menurut dokumen IPCC

(Intergovernmental Panel and Climate Change). Akibat selanjutnya adalah peristiwa

mengkhawatirkan seperti mencairnya gunung-gunung es di kutub, sehingga muka air

laut meningkat, berbagai satwa mulai hilang sehingga ekosistem terganggu. Definisi

umum menjelaskan bahwa permanasan global adalah meningkatnya suhu rata-rata

di atmosfer, laut dan daratan di bumi. Penyebab dari peningkatan yang cukup drastis

ini adalah pembakaran bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi (yang

diolah menjadi bensin, minyak tanah, avtur, oli pelumas) dan gas alam sejenis yang

tidak dapat diperbaharui. Pembakaran dari bahan bakar fosil ini melepaskan

karbondioksida dan gas gas lainnya yang dikenal sebagai gas rumah kaca ke

atmosfer bumi. Ketika atmosfir semakin banyak mengandung gas-gas rumah kaca

ini, maka atmosfir menjadi insulator yang menahan lebih banyak radiasi panas

matahari yang dipancarkan ke bumi.

Page 4: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

4

Sementara itu, berbagai dokumen dan hasil kajian mengungkapkan bahwa bangunan

dapat memproduksi emisi gas karbon sampai lebih dari 40% di beberapa tempat di

dunia, sehingga setiap upaya mereduksi emisi gas karbon melalui bangunan,

menjadi langkah strategis untuk menahan laju pemanasan global, dimana klasifikasi

bangunan dibagi menurut jenis bangunan komersial, rumah tinggal dan bangunan

utilitas atau bangunan industri.

Sebagai catatan penting, kenaikan suhu global sampai 1 derajat celcius akan

menyebabkan 30 persen spesies mengalami resiko kepunahan, kenaikan suhu

permukaan air laut sampai 27 derajat celcius, beresiko menimbulkan badai tropis.

Pemanasan global telah terjadi dan diperkirakan akan terus melaju meningkat.

Harapan untuk menahan atau mengendalikan lebih banyak tergantung pada perilaku

manusia penghuni bumi ini. Upaya gerakan pembangunan berwawasan ”hijau” dan

penghijauan ”nyata” sambil menghambat laju deforestasi serta gerakan lain untuk

mengurangi emisi gas rumah kaca menjadi andalan dalam menghadapi bencana

akibat pemanasan global tersebut. Para perencana bangunan, arsitek, seyogyanya

sudah memiliki kepekaan dalam menerapkan konsep atau ide desain bangunan yang

berwawasan lingkungan dimana dalam hal ini adalah berorientasi pada konsep

”green building”.

Kecenderungan lainnya, dipusat kota yang dipadati oleh bangunan-bangunan tinggi

yang tidak menerapkan konsep arsitektur hijau, dan bahkan saling berhimpitan,

menimbulkan resiko naiknya suhu udara, dikarenakan semakin banyaknya elemen

penebar pantulan panas matahari serta adanya panas dari hasil produksi kehidupan

seperti asap dapur, kendaraan bermotor dan lain-lain, yang diantaranya

memproduksi gas-gas rumah kaca seperti karbondioksida, CFC, dan metana.

Kondisi tersebut ditambah lagi dengan berkurangnya jumlah vegetasi yang berfungsi

sebagai penahan radiasi matahari sekaligus menyerap karbondioksida. Tingginya

suhu udara di pusat kota yang berbeda jauh dibandingkan dengan suhu udara di

pinggiran kota, dikatakan sebagai “urban heat island”.

Menurut dokumen OECD (2012), bahwa di negara berkembang (termasuk Indonesia)

diperkirakan tahun 2050 sekitar 3.5 juta anak beresiko meninggal akibat polusi di

ruang luar, kemudian sekitar 2.2 juta anak resiko meninggal akibat polusi udara

dalam ruangan. Bahkan penyakit malaria tetap mengancam kematian anak akibat

terganggunya ekosistim.

Page 5: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

5

Meskipun saat ini kontribusi emisi gas rumah kaca dari negara berkembang, masih

dibawah dari negara maju, namun apabila negara berkembang tetap menerapkan

model pembangunan konvensional (non green concept), maka negara – negara

tersebut tetap mendorong laju peningkatan emisi gas rumah kaca, karena akibat

sebagai pertumbuhan ekonomi, industry serta pemakaian sumber daya alam

konvensional.

Gambar.1.

Prosentase rata-rata peningkatan emisi gas karbon beberapa negara 1997-2005 (Sangkertadi, 2010)

Apa Saja Yang Termasuk Dalam Green Development ?

Dalam rangka menghadapi masa depan yang harus berkelanjutan, kini sudah ramai

dibicarakan, disiapkan dan disediakan berbagai kerangka rencana dan aksi

pembangunan yang berbasis green development, seperti yang kita kenal dengan

istilah-istilah Green Building, Green Industry, Green Economy, Green City bahkan

sampai pada Green Behavior serta Green Growth.

Rata-rata Peningkatan Emisi Karbon Setiap Tahun

(1997 - 2005)

-2.00%

0.00%

2.00%

4.00%

6.00%

8.00%

10.00%

12.00%

14.00%

Amerika Serikat

Cina

Rusia

Jepang

Jerman

Indonesia

Page 6: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

6

Tabel.1.

Konversi emisi CO2 dari beberapa kegiatan dan produk

Green Building.

Kehadiran Green Building ditengah tengah proses pembangunan, merupakan

jawaban sektor konstruksi yang turut berperan mereduksi emisi gas rumah kaca.

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa sector bangunan dapat menyumbangkan

emisi gas rumah kaca sampai 40%, karena itu, kehadiran Green Building merupakan

jawabannya.

Green Building adalah konsep konstruksi bangunan yang menerapkan filosofi “green”

dari sejak tahap perencanaan sampai operasionalnya. Di AS yang pertama kali

menerbitkan metode LEED pada tahun 1994 yaitu suatu cara atau alat ukur (tool)

untuk membantu menentukan apakah suatu bangunan tergolong berkategori green

atau tidak. Melalui metode LEED (Leadership in Energy and Environmental Design),

dicapai suatu kriteria desain dan konstruksi bangunan hijau kedalam sertifikasi jenis

green yang ”silver”, ”gold”, atau ”platinum”, atau tidak green sama sekali. Prinsip

penilaian mengandung 8 komponen yaitu:

Produk / Kegiatan Satuan Kg ekivalen CO2

Listrik (interkoneksi dengan dominan PLTA) kWh 0.54

Elpiji (LPG) Liter 1.5

Bensin (kendaraan) Liter 2.33

Solar (kendaraan) Liter 2.67

Batubara kg 2.34

Listrik PLTU (Batubara) kWh 0.97

Air m3 0.3

Minyak Bakar liter 3

Limbah Karton & Kertas kg 1.5

Limbah Plastik kg 2

Limbah Aluminium Foils kg 10

Limbah Tekstil kg 8

Sampah Taman kg 1

Limbah dapur kg 4.5

Aneka Limbah padat rumah tangga kg 1.5

Pembuatan Batu Bata Tanah Liat kg 0.19

Pembuatan Semen kg 0.97

Pembuatan/ Pengolahan/ Pemotongan Besi kg 0.352

Pembuatan Gypsum kg 0.22

Pembuatan PVC kg 4.35

Pembuatan Lembar Aluminium kg 6.2

Pembuatan Kaca kg 1.73

Pembuatan Stainless Steel kg 5.4

Pupuk Fosfat kg 4.1

Pestisida kg 26

Daging Sapi/ Domba kg 36.4

Pernafasan Manusia kerja santai org/hari 2.4

Page 7: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

7

1) aspek lokasi dan perencanaan;

2) kesinambungan lingkungan tapak;

3) efisiensi pemakaian air;

4) tentang energi dan lingkungan udara;

5) material dan sumber-sumber daya;

6) kualitas udara lingkungan dalam;

7) inovasi dan proses perancangan dan

8) keterkaitan dengan konteks prioritas pembangunan daerah.

Di Indonesia, perangkat penilaian untuk sertifikasi bangunan hijau yang dinamakan

”Greenship”, baru diluncurkan tahun 2010 oleh Green Building Council Indonesia

(didirikan 2009), yang juga bagian dari World Green Building Council.

Secara umum definisi bangunan hijau menurut Office of the Federal Environmental

Executive ,AS (1994), secara praktis adalah bangunan yang:

1) meningkatkan efisiensi bangunan dan lahannya terhadap penggunaan enerji,

air, dan bahan, dan

2) mengurangi dampak negative terhadap kesehatan, lingkungan melalui

penataan tapak, desain, konstruksi, operasional, pemeliharaan serta akibat

produk limbahnya.

Sepadan dengan pengertian menurut GBCI (Green Building Council Indonesia,

2010), bahwa bangunan hijau (green building) adalah bangnan baru yang

direncanakan dan dilaksanakan atau bangunan sudah terbangun yang dioperasikan

dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan/ekosistem dan memenuhi kinerja:

1) bijak guna lahan,

2) hemat air,

3) hemat energi,

4) hemat bahan kurangi limbah,

5) kualitas udara dalam ruangan.

6) tata kelola lingkungan

Adapun pengertian menurut India Green Building Council, bahwa bangunan hijau

harus hemat air, efisiensi energi, mengkonservasi sumberdaya alam, mengurangi

limbah, memberikan ruangan lebih sehat dibandingkan dengan bangunan

konvensional. Namun secara lebih teknis, bahwa suatu bangun arsitektur dikatakan

Page 8: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

8

tergolong dalam klasifikasi arsitektur atau bangunan hijau secara “terukur” apabila

memiliki kapasitas atau kinerja “terukur” yakni untuk meminimalkan produksi ekivalen

CO2, baik ditinjau dari segi desain, saat pelaksanaan konstruksi maupun saat

beroperasi. Pada saat beroperasinya bangunan, indikator konsumsi energi listrik

dalam satuan kWh dikonversikan kedalam produk kg CO2, yang semakin hemat

energi listrik maka semakin baik kontribusinya untuk turut meredam peningkatan

pemanasan global, dan menyumbangkan suatu nilai tertentu dalam proses

kuantifikasi suatu bangunan agar termasuk dalam kualifikasi “bangunan hijau”

dengan rating atau star tertentu.

Negara-negara didunia telah menerbitkan berbagai perangkat ukur/ tools (Tabel.2)

untuk menetapkan apakah suatu bangunan tergolong dalam tipe bangunan hijau.

Tindakan tersebut merupakan bentuk kepedulian terhadap berbagai kesepakatan

internasional mengenai perlindungan lingkungan hidup dan mekanisme

pembangunan berkelanjutan. Dalam dokumen WBGC (World Green Bulding

Councils, 2012) sampai saat ini tercatat sebanyak 92 negara di dunia sudah

mendeklarasikan adanya tool atau metode untuk menghasilkan tipologi Green

Building. Ini berarti sudah hampir mayoritas negara di dunia menyatakan terlibat aktif

dalam upaya bersama-sama menerapkan konsep green development melalui green

building mechanism. Perosalannya, adalah apakah tool atau metode tersebut sudah

diketahui dan sudah diterapkan secara masal dan terkendali baik?. Sebagian besar

dari tool tersebut sifatnya masih terbatas hanya untuk tipologi konstruksi bangunan

tertentu, apakah hanya untuk tipe gedung bertingkat tinggi, atau hanya untuk tipe

gedung perkantoran, dll. Sehingga mesikupun tool sudah ada dihadapan para

pelaksana konstruksi namun, masih diperlukan tindakan yang arif bagi pelaksana

konstruksi untuk mencoba menterjemahkan tool tersebut agar dapat dipakai untuk

tipologi konstruksi bangunan yang lebih meluas. Diyakini bahwa suatu bangunan

yang menerapkan konsep Green Building, maka dalam tahap operasionalnya akan

lebih menguntungkan secara finansial dan dari segi kenyamanannya yakni dampak

dari penerapan kriteria efisiensi energy, indoor comfort, indoor health dalam proses

perencanaan Green Building.

Page 9: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

9

Tabel.2. Tools untuk merating Green Building

No Nama Metode/ Tools Negara

1 Green Star Australia

2 LEED Canada & GRIHA Canada

3 DGNB Certification System Jerman

4 IGBC Rating System & LEED India India

5 CASBEE Jepang

6 Green Star NZ Selandia Baru

7 Green Star SA Afrika Selatan

8 BREEAM Inggris Raya

9 LEED Green Building Rating System USA

10 Greenship Indonesia

11 LEED Brasil/ AQUA Brasil

12 GBS / Green Building System Korea Selatan

13 GB Evaluation standard for Green Building Cina

14 PromisE Finlandia

16 Care & Bio, Chantier Carbone, HQE Perancis

17 HKBEAM Hongkong

18 VERDE Spanyol

19 SI-5281 Israel

20 Protocollo Itaca Italia

21 CMES Meksiko

22 BREEAM Netherlands Belanda

23 LiderA Protugal

24 Green Mark & CONQUAS Singapura

25 Minergie Swiss

26 Pearls Rating System Uni Emirat Arab

27 EEWH Taiwan

28 BERDE Philippines

29 GBI (Green Building Index) Malaysia

.... dll Dll

.... dll dll

Sumber: Sangkertadi (2010)

Page 10: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

10

Green Industry

Definisi sederhana oleh UNIDO (United Nations Industrial Development Organization,

2012), bahwa Industri Hijau adalah industri produksi dan industri pembangunan yang

hadir dengan tidak mengorbankan kebersihan sistem alami atau tidak mengakibatkan

kerugian bagi kesehatan manusia. Industri Hijau ditujukan sebagai pengarah untuk

memberi pertimbangan lingkungan, iklim dan sosial ke dalam operasi perusahaan.

'Industri Hijau' diantaranya mengubah proses industri manufaktur dan sub sektor

industri lainnya dengan memperkenalkan metode penggunaan bahan baku agar lebih

efisien / produktif dan agar sector industry dapat berkontribusi lebih efektif untuk

pengembangan industri berkelanjutan. Industri hijau dengan demikian merupakan

sector strategis untuk mewujudkan ekonomi Hijau, menuju tercapainya

pembangunan berkelanjutan. Sejumlah industry sudah mengklaim dirinya

memproduksi hasil yang dinyatakan green, misalnya industri semen, baja, partisi,

pipa, dll. Mereka mengklaim bahwa dalam proses produksinya, telah diterapkan

teknologi yang mampu mereduksi emisi karbon, ramah lingkungan, dan hasil

produknya dinyatakan aman ditinjau dari berbagai aspek, seperti aspek kesehatan

dan keamanan. Para pelaku industry tersebut, perlu mengungkapkan bahwa

produknya adalah berkategori green, karena diharapkan apabila di pakai untuk suatu

produk pembangunan, maka hasilnya akan dapat dikategorikan green juga. Demikian

luasnya pemahaman industry di masa kontemporer ini, sedemikian hingga hal

mengenai transportasi, yang mengarah pada “Green Transportation”, adalah juga

dianggap bagian dari Green Industry. Green Transportation tentu saja suatu tatanan

transportasi yang bercirikan penggunaan bahan bakar terbarukan, efisiensi bahan

bakar, ramah lngkungan, aman dan nyaman.

Green City

Pada Tahun 2005, di San Fransisco, California saat World Environment Day,

dideklarasikan Green Cities: “Plan for the Planet “ dimana saat itu juga

dirumuskan Urban Environmental Accord yang berupa rencana aksi (action plan)

sebanyak 21 butir, dalam rangka menuju klasifikasi Green City. Rumusan 21

tindakan (Actions) tersebut, tersebar pada 7 sasaran sektor perkotaan untuk

mencapai Kota yang Berkesinambungan, Sehat, Nyaman, dan terjaganya Ekosistim.

Adapun sasaran tersebut meliputi:

1) Energi

Page 11: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

11

2) Pengurangan Limbah

3) Urban Desain

4) Perlindungan Alam Urban

5) Transportasi

6) Kesehatan Lingkungan

7) Manajemen Penggunaan Air

Kesepakatannya bahwa pada periode 2005 hingga Tahun 2012 ini actions tersebut

sudah dijalankan secara terukur oleh kota-kota di dunia. Namun kenyataanya justru

sebagian besar negara-negara didunia baru memulai menerapkan kaidah menuju

Green City melalui berbagai cara, seperti penerapan aturan-aturan penataan ruang,

perijinan bangunan, dll. Ternyata untuk menerapkan secara terukur terhadap actions

tersebut, tidak dapat serta merta, karena harus didukung oleh berbagai bentuk

pengaturan lainnya, karena hal tersebut sudah menyangkut harkat masyarakat

banyak. Berbagai pihak penghuni kota mesti bersama-sama diajak bicara, diskusi,

untuk sama-sama menerapkan actions menuju green city tersebut. Melalui

penerapan konsep Green City, maka kota akan menjadi kota hidrologis, kota

bioklimatik, kota produktif, kota transit dan sebagai kota hunian yang nyaman dan

sehat.

Green Growth

Sebuah dokumen dari OECD 2012, mengangkat definisi Green Growth, sebagai

suatu cara pandang terintegratif yang Green terhadap kebijakan ekonomi dan

pembangunan berkelanjutan. Konsep pertumbuhan hijau, menyangkut dua kunci

penekanan yang teritegrasi: pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan untuk

mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan, dan pengelolaan

lingkungan yang lebih efisien yang diperlukan untuk mengatasi kelangkaan sumber

daya dan perubahan iklim. Jadi Green Growth adalah suatu model pertumbuhan

ekonomi yang terjadi berkat dukungan model pembangunan hijau dan berorientasi

pada tujuan tercapainya pembangunan berkelanjutan.

Negara-negara berkembang adalah kunci untuk mencapai pertumbuhan hijau skala

dunia (global) karena dua alasan utama. Pertama, dampak social ekonomi dan

potensi degradasi lingkungan adalah sangat penting bagi negara-negara

berkembang. Negara berkembang dianggap yang paling rentan terhadap perubahan

iklim dan cenderung lebih tergantung dari negara maju pada eksploitasi sumber daya

Page 12: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

12

alam untuk pertumbuhan ekonomi. Sebagai tambahan banyak negara berkembang

menghadapi ancaman ekonomi, sosial dan ekologi yang parah dari ketidakamanan

energi, pangan dan air untuk menghadapi perubahan iklim dan risiko cuaca yang

ekstrim. Karena itu, maka focus Green Growth di utamakan pada kelompok Negara

Berkembang. Kini konsep pertumbuhan hijau telah muncul sebagai pendekatan baru

untuk membingkai ulang model pertumbuhan ekonomi secara konvensional dan

dapat dipakai untuk menilai ulang sejumlah keputusan investasi. OECD

mendefinisikan pertumbuhan hijau sebagai sarana untuk mendorong pertumbuhan

dan pembangunan ekonomi sambil memastikan bahwa aset alam tetap mampu

menyediakan sumber daya dan layanan lingkungan di mana kesejahteraan kita

bergantung.

Green Economy

Satu lagi yang sedang marak diperbincangkan adalah istilah Green Economy, yang

definisinya sendiri sulit untuk dirumuskan secara spesifik. Karena, bagaimanapun,

ekonomi tidak berdiri sendiri, namun meliputi sector-sektor industry, perdagangan,

konstruksi, transportasi dll. Disampaikan oleh S Sudomo (2010) bahwa definisi

ekonomi hijau juga tidak mudah diungkapkan secara spesifik, namun dapat dilihat

dari ciri-cirinya dan pemahaman yang membedakannya dengan ekonomi

konvensional. Misalnya, bahwa Ilmu ekonomi hijau memperlebar lingkaran

kepeduliannya melampaui spesies manusia demi memperhatikan sistem planet Bumi

secara keseluruhan dengan semua ekologi dan spesies yang beragam. Selain itu

juga diungkapkan oleh Sudomo S (2010) beberapa ciri ekonomi hijau yang antara

lain bahwa ekonomi hijau akan menggantikan bahan bakar fosil dan sistem pertanian

intensif dengan pertanian organik, dan berbagai sistem seperti pertanian dengan

dukungan komunitas, dimana manusia terhubung lebih dekat dengan sumber

pangannya, selain bahwa suatu ekonomi hijau merupakan ekonomi berbasis lokal.

Mencermati tulisan Sudomo S tersebut, dan juga memperhatikan pemahaman green-

green yang lain, maka semestinya terdapat mata rantai yang terpadu dalam satu

kesatuan sistim “Green Development”, dimana terdapat hubungan linier dan interaksi

dimulai dari Green Behavior sampai pada Green Growth menuju tercapainya

Sustainibility (Gambar 2)

Page 13: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

13

Gambar.2. Mata Rantai Green Development Tantangan Kesiapan Sektor Konstruksi Dalam masa kontemporer ini, dimana perihal efisiensi dan efektifitas dari suatu

program kegiatan menjadi perhatian utama berkat kemajuan teknologi, maka

siapapun yang ingin memenangkan suatu persaingan, tentu saja harus memiliki

kapasitas sebagai kompetitor yang mengandalkan kreasi menarik serta inovatif.

Kini semua sektor sudah secara massif mendengungkan berbagai anjuran efisiensi

dalam berbagai segi seperti energy, material dan finansial, namun apabila kita

hendak bertindak lebih dari itu, maka tindakan berdasar kreatifitas dan inovasilah

yang akan membantu mendudukkan kita pada posisi yang lebih “terhormat”.

Dalam sector konstruksi, sendi-sendi efisiensi adalah bagian yang sudah lajim dan

biasa dilakukan oleh para actor bidang konstruksi. Bahkan kreatifitas dan inovasi

mungkin sudah dilaksanakan juga oleh sejumlah kalangan tersebut. Nah, hal

teraktual yang kini juga menarik perhatian dunia, adalah yang dinamakan dengan

“sustainaibility” atau “keberlanjutan”. Artinya suatu tindakan yang sebelumnya

dianggap kreatif, efisiens dan inovatif belumlah cukup. Karena masih harus diberi

Green Growth

Green Industry

Green City

Green Building

Green Economy

Green Behavior

Planet

Sustainibility

Page 14: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

14

tambahan nilai-nilai “keberlanjutan” dalam rangka menyelamatkan dunia dari

ancaman laju kerusakan yang mengkhawatirkan. Disinilah pentingnya peran sector

konstruksi yang menjadi bagian dari masyarakat dunia, tidak saja mengandalkan

kapasitas dalam hal efisiensi kinerja dan inovasi, namun juga perlu melaksakan

aktifitas berbasis pada nilai-nilai “keberlanjutan”, yang diantaranya ada suatu model

kegiatan konstruksi yang “ramah lingkungan”. Disini terkandung makna konstruksi

hijau, efisiensi energy, efisiensi bahan, dan bebagai istilah yang sering kita dengar

dalam berbagai forum mengenai pembangunan ramah lingkungan.

Dari sejumlah tools atau metode untuk menilai green atau tidaknya suatu konstruksi

bangunan, pada dasarnya mengandung sejumlah pemikiran yang sama, meliputi

perhatian pada aspek pra konstruksi yang bahkan bisa pada aspek pasca konstruksi

(Sangkertadi, 2010). Berikut ini diangkat suatu Best Practices peranan sektor

konstruksi dalam keikutsertaan menuju Indonesia Hijau, khususnya lewat penerapan

konsep green building.

Best Practices

Orientasi Green Building Pada Tahap Perencanaan (Pra Konstruksi)

a. pemilihan tapak dengan prioritas untuk pemilihan lokasi bangunan hijau

adalah yang terjangkau dengan sistim transportasi wilayah/kota, dilengkapi

dengan sarana dan prasarana kota, tidak membutuhkan pengolahan site yang

cukup berat, agar dapat menghemat pemakaian enerji transportasi

(pergerakan kendaraan dari lokasi site ke tempat lain, dll)

b. desain tata ruang dalam yang mengutamakan aspek kenyamanan sirkulasi

(hubungan ruang yang efektif), tidak menyebabkan kelelahan penghuni yang

dapat berakibat peningkatan CO2 dari pernafasan, kenyamanan dan

kesehatan dalam ruang.

c. desain taman, ruang hijau dengan KDH (Koefisien Dasar Hijau) yang minimal

mengikuti aturan tata ruang wilayah, serta memberi lokasi bagi penanaman

pohon peneduh untuk membantu penangkapan CO2, dan memberi peluang

yang memadai bagi serapan air permukaan.

d. desain struktur dan material, yakni menggunakan bahan hasil produksi jenis

”industri hijau”, yaitu bahan yang diproduksi dengan teknologi hijau yang

dibuktikan dengan suatu sertifikat tertentu (pemakaian bahan bangunan dapat

Page 15: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

15

menyumbangkan sampai sekitar 15 – 20% dari total enerji gedung

dikarenakan ”embodied energy”); diutamakan pemakaian bahan yang

mendukung penghematan enerji operasional bangunan, misalnya bahan

dengan nilai sifat termal tertentu yang mendukung OTTV (Overall Transfer

Transmission Value) agar tidak lebih dari 45 watt/m2 (standar SNI)

e. desain utilitas berorientasi hemat enerji namun tidak mengorbankan

kenyamanan dan keamanan (enerji listrik penghawaan, penerangan), serta

sistim perpipaan yang tidak beresiko menimbulkan kemudahan kebocoran dan

hambatan aliran fluida (hemat air).

Orientasi Green Building Pada Tahap Pelaksanaan Pembangunan (Konstruksi)

a. penerapan sistim manajemen konstruksi untuk mendapatkan penghematan-

penghematan dari segi enerji, bahan, waktu dan keuangan

b. efisiensi pengangkutan material, diperhitungkan kapasitas angkut, dan jarak

asal bahan dengan pemakaian BBM dari kendaraan pengangkut.

c. memenuhi saran perencanaan green building, seperti penggunaan material

yang ramah lingkungan, berorientasi green material

d. efisiensi pemakaian air saat pelaksanaan konstruksi dan menerapkan

minimum limbah bahan bangunan, serta pemanfaatan kembali terhadap

limbah tersebut.

e. mengurangi proses pembakaran di lokasi pembangunan

Orientasi Green Building Pada Tahap Operasional dan Pemeliharaan Bangunan

a. terbuka peluang kemudahan penggantian material berusia tua dengan

material baru yang memiliki nilai material hijau atau berasal dari industri hijau,

termasuk penggantian lampu yang sudah mengalami penurunan efisiensinya.

b. senantiasa diadakan pemeriksaan terhadap kejadian kebocoran pipa, resiko

kebakaran (arus pendek, pipa gas, dll)

c. terbuka peluang memantau pemakaian enerji listrik dan air (meter listrik dan

air, pada posisi mudah dipantau)

d. terbuka peluang untuk pemeliharaan taman, dan penghijauan kembali

e. penggunaan kembali limbah yang masih dapat dimanfaatkan dalam skala

tertentu.

f. jaga kebersihan dan kenyamanan lingkungan (debu, bau, sisa limbah, panas)

Page 16: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

16

Orientasi Green Building Pada Tahap Perobohan/Penggantian Bangunan

a. penerapan sistim manajemen konstruksi untuk mendapatkan penghematan-

penghematan dari segi enerji, bahan, waktu dan keuangan saat kegiatan

perobohan dan desain kembali untuk fungsi tertentu

b. pengolahan kembali tanah agar berfungsi sebagai areal serapan air

permukaan dan lahan penghijauan

c. efisiensi pengangkutan material, diperhitungkan kapasitas angkut, dan jarak

asal bahan dengan pemakaian BBM dari kendaraan pengangkut ke lokasi

pembuangan

d. terbuka peluang penggunaan kembali terhadap sisa bahan yang masih layak

dipergunakan kembali dan tidak menimbulkan resiko keamanan dan

kesehatan pemakai.

Referensi .

1. ---------------------------------,2004, Sustainable Construction, Brief 2, DTI, UK

2. ---------------------------------,2012, Green Growth and Developing Countries. A Summary for Policy Makers, OECD, June 2012

3. Duran S, Fajardo J, 2010, The Sourcebook of Contemporary Green Architecture, Collins Design, NY

4. Mueller S, :Clean Energy”, 2008, dalam FuturArc Green Issue 2008, volume 10.

5. Naeem Irfan, Adnan Zahoor, Nadeemullah Khan, 2001, Minimising The Urban Heat Island Effect Through Lanscaping, NED Journal of Architecture and Planning, Vol One, Nov. 2001.

6. Wittman S, Architects Commitment Regarding Energy Efficient/ Ecological Architecture, Architectural Science Review, Vol. 41.No.2, June 1998.

7. Sadourny R, 1994, Le Climat de La Terre, Dominos Flammarion, Paris.

8. Sangkertadi, 2010, Peran Arsitektur Hijau dalam Mekanisme Pembangunan Bersih melalui upaya pengurangan emisi gass karbon, Seminar Nasional Teknologi Ramah Lingkungan Institut Teknologi Nasional – Malang – 15 Juli 2010

9. Sangkertadi, 2010, Perlu Kontribusi Tata Ruang Terhadap Urban Environmental Accord, Menuju Green City 2012, MATERI PRESENTASI

SEMINAR NASIONAL BIMBINGAN TEKNIS PELAKSANAAN PENATAAN RUANG SULAWESI UTARA, Manado, 22 September 2010

10. Stang A, Hawthorne C, 2005, The Green House, New Directions in Sustainable Architecture, Princeton Architectural Press, NY

11. Soedomo S, 2010, Economi Hijau: Pendekatan Kultural, dan Teknologi, Materi Diskusi “KONSEP EKONOMI HIJAU/PEMBANGUNAN EKONOMI YANG BERKELANJUTAN UNTUK INDONESIA”, di Kantor BAPPENAS, Jakarta, Juli 2010

Page 17: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

17

12. Stitt F A (editor), 1999, Ecological Design Handbook, Sustainable Strategies for Architecture, Landscape Architecture, Interior Design, and Planning. Mc Graw Hill, NY

13. Sugandhy A, Hakim R, 2007, Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan, Bumi Aksara, Jakarta.

14. Woolley T, Kimmins S, Green Building Handbook, Vol 2, E & FN Spon, UK LAMPIRAN : BEBERAPA CONTOH GAMBAR HASIL PEMBANGUNAN TIPE GREEN BUILDING DI DUNIA (sumber diantarnya dari Duran & Fajardo, 2010, dll)

SIEEB-SINO Building, Beijing, 2006

Metropole, Parasol, Seville, 2010

Unilever Headquarters For Germany, Austria,

And Switzerland, Hamburg, 2009

Masdar City Center, Abu Dhabi, 2014

Page 18: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

18

Az Vub University Hospital of Brussels

Manchester Civil Justice Center, 2008

Bendigo Bank Headquarters, Victoria, Australia, 2008

Kantor Kementerian PU, Indonesia, Jakarta, 2012

Page 19: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

19

Beberapa Contoh GREEN CITY :

Vancouver

Malmoe

Rekjavik

Portland - Oregon

Curtiba- Brazil

Page 20: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

20

Copenhagen

San Fransisco-California

London

Bahía de Caráquez, Ecuador

Austin Texas

Sidney Australia

Barcelona-Spain

Kampala - Uganda

Page 21: TANTANGAN KESIAPAN SEKTOR KONSTRUKSI NASIONAL MENGHADAPI

Makalah Disampaikan Pada Musyawarah Nasional GAPEKSINDO, Bandung, 2012

21

Tentang Penulis

Prof.Dr.Ir.Sangkertadi, DEA, adalah Arsitek (ITS, 1985), S2 (DEA, Genie Civil et Science de la

Conception, INSA Lyon, France, 1990), S3 (Doctorat, Methode de Conception en Batiment et

Technique Urbaines, INSA de Lyon, France, 1994). Pemegang setifikat anggota IAI – Madya,

dan Greesnship Profesional. Ketua Program Studi Studi S2 Arsitektur pada Pascasarjana

Universitas Sam Ratulangi, Manado.