kesantunan dalam roman le dernier jour d'un
TRANSCRIPT
KESANTUNAN DALAM ROMAN
LE DERNIER JOUR D’UN CONDAMNÉ
KARYA VICTOR HUGO
skripsi
disajikan sebagai salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra
Program Studi Sastra Prancis
Oleh :
TRI HARTANTO
NIM. 2350404051
JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING
FAKULTAS BAHASA DAN SENI
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2010
ii
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi FBS,
UNNES pada hari, tanggal : Kamis, 19 Agustus 2010
Panitia :
Ketua, Sekretaris,
Prof. Dr. Rustono, M. Hum Dra. Yuyun Rosliyah, M. Pd
NIP.195801271983031003 NIP. 196608091993032001
Penguji I,
Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA
NIP. 196508271989012001
Penguji II/ Pembimbing II Penguji III/ Pembimbing I
Dra. Anastasia Pudji T., M. Hum Dr.B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum.
NIP. 196407121989012001 NIP.19611026 1991031 001
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya,
Nama : Tri Hartanto
NIM : 2350404051
Prodi : Sastra Prancis
Jurusan : Bahasa dan Sastra Asing
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul KESANTUNAN
DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR d’UN CONDAMNÉ KARYA
VICTOR HUGO yang saya tulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana sastra ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri.
Skripsi yang saya hasilkan melalui penelitian, bimbingan, dan pemaparan atau
ujian. Semua kutipan baik langsung maupun tidak langsung dan dari sumber
lainnya telah disertai dengan identitas dari sumbernya dengan cara yang lazim
dalam penulisan karya ilmiah.
Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing skripsi ini
membubuhkan tanda tangan sebagai tanda keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah
ini menjadi tanggung jawab saya pribadi. Jika kemudian hari ditemukan
ketidakbenaran dalam karya illmiah ini saya bersedia menerima akibatnya.
Demikian, harap pernyataan ini dapat digunakan seperlunya.
Semarang, 2010
Yang membuat pernyataan
Tri Hartanto
NIM. 2350404051
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Hidup adalah pilihan.
Keberanian bukanlah ketidakhadiran rasa takut, tetapi melakukannya.
(Montaigne).
Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau
menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta
itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.-
(Saidina Ali bin Abi Talib).
Skripsi ini aku persembahkan untuk :
Ayah dan Ibu tercinta untuk
perjuangan, semangat dan doa
mereka untukku.
Generasi-generasi yang haus
ilmu.
Keponakan kecilku Andika
Fatikah Rahman.
v
PRAKATA
Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T yang selalu melimpahkan rahmat dan
pertolongan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR d’UN
CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO sebagai persyaratan untuk
memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak
akan selesai tanpa ada dukungan dan bimbingan dari semua pihak. Untuk itu,
penulis menyampaikan terimakasih dan hormat kepada :
1. Prof. Dr. Rustono, M.Hum. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan untuk
mengadakan penelitian ini.
2. Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra
Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang,
sekaligus sebagai penguji I yang telah memberikan masukan dan saran
bagi penulis demi kesempurnaan skripsi ini.
3. Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum selaku dosen pembimbing I yang
telah memberikan kesempatan untuk mengadakan penelitian ini dan
telah memberikan pengarahan serta sumbangan pemikiran dengan penuh
kesabaran demi kesempurnaan skripsi ini.
4. Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum, selaku dosen pembimbing II
yang dengan penuh kesabaran telah memberikan pengarahan serta
sumbangan pemikiran demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Dra. Cony Handayani, M.Hum, yang telah memberikanku motivasi
untuk menulis skripsi ini.
6. Dra. Yuyun Rosliyah, M.Pd, selaku sekretaris dalam panitia ujian skripsi
yang telah membantu kelancaran jalannya proses pemertahanan skripsi
ini.
7. Dra. Dwi Astuti, M.Pd, yang telah membantu proses penyusunan skripsi
ini dari awal hingga akhir.
vi
8. Seluruh dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah membagikan
ilmunya serta menjadi orang tua kedua bagiku.
9. Kedua orang tuaku tercinta (Bapak Sutarwo dan Ibu Sadiyah) yang
dengan tulus ikhlas dan sabar membiayai, memotivasi dan mengurai
segala do`a demi keberhasilan asa, harapan dan cita-citaku.
10. Teman-teman senasib dan seperjuanganku Anggit, Agung, Danil, Arif,
Hadi, Rio, Hilmi, Dedi, Raka, Nurul, Izmun, Tyas, Ucho, Mb Erna,
Anasia, Lina, Diah, Cristina, Fitri, Fera, Ulfa,
11. Aziz Imam Mazalik, rekan diskusi dalam idealisme mahasiswa sastra
Prancis, menyelami sastra, filsafat dan kritisisme religius.
12. Rekan kerja dan bercanda dalam usaha, ilmu, karya : ipung, hanityo,
muslikah, dwee, neina, pu3, agus yahya, dea, ani w, rio r, ati w, yuniar,
restu, toil, lukman, andika rahman, hakim, wahyu s.
13. Guru dan partnert kerja dalam mengarungi kehidupan : ust. Usep. Ust.
Setiawan, ust. Zulfa, ust. Habib, Ust. Anif, ust. Ari (salam Antusias).
14. Rekan-rekan perjuangan BEM FBS 2005, HIMPRO BSA 2006, BEM
KM 2007
15. Rekan-rekan Ikatan Studi Mahasiswa Perancis, Herba Penawar Al-
Wahida, Islamic Figure Community, Forum Berbisnis Berssama Allah,
Majelis Syafaat Qur’an, KAMMI.
16. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak
dapat penulis sebutkan satu persatu.
Saran dan kritik yang membangun dari pelbagai pihak sangat penulis
harapkan untuk melengkapi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi
pembaca.
Semarang, 2010
Penulis
vii
SARI
Hartanto, Tri. 2010. Keantunan Dalam Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Víctor Hugo. Skripsi. Program Studi Sastra Prancis. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum. Pembimbing II Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum Kata kunci : Kesantunan, Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan,
Implikasi, Maksim
Bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia secara berbeda di setiap masyarakat (Martinet 1987: 32). Di dalam mengatur mekanisme percakapan antar pesertanya, kaidah itu dalam pragmatik disebut prinsip percakapan. Salah satu prinsip tersebut adalah prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan tersebut membuat antar peserta tutur dapat mencapai kesantunan berbahasa. Bentuk kesantunan tersebut, dapat kita temui di karya fiksi seperti roman, teks drama, dll. Salah satu karya fiksi yang memuat kesantunan adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné (LDJC) karya Victor Hugo. Pada roman tersebut, banyak terdapat tuturan yang melanggar dan yang mematuhi prinsip kesantunan. Kajian-kajian tentang kesantunan, terutama pada karya sastra masih terbatas. Hal tersebut yang mendasari peneliti untuk meneliti kesantunan pada roman LDJC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya pada roman LDJC. Teori yang digunakan untuk menganalisis data yakni prinsip kesantunan yang berupa maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim kesimpatian. Metode pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatis dan deskriptif kualitatif. Metode analisis data menggunakan metode padan sub-jenis pragmatis dengan alat penentu berupa mitra wicara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik pilah unsur penentu, serta teknik lanjutan, yakni teknik hubung banding menyamakan dan teknik hubung banding memperbedakan. Hasil identifikasi terhadap ke 50 data, ditemukan 13 data mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan (19 tuturan), kedermawanan (1 tuturan), karendahan hati (1 tuturan), kesepakatan (1 tuturan), dan kesimpatian (2 tuturan). Di sisi lain, Ditemukan 16 data melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan (3 tuturan), kedermawanan (13 tuturan), pujian (3 tuturan), kerendahan hati (1 tuturan), dan kesimpatian (10 tuturan). Selain dari itu, ditemukan 22 data mematuhi dan melanggar prinsip kesantunan yang terdiri dari 16 tuturan mematuhi dan 4 tuturan melanggar maksim kearifan, 2 tuturan mematuhi dan 12 tuturan melanggar maksim kedermawanan, 3 tuturan melanggar maksim pujian, 3 tuturan mematuhi maksim kesepakatan, serta 5 tuturan mematuhi dan 5 tuturan melanggar maksim kesimpatian. Implikasi pragmatis akibat pelanggaran prinsip kesantunan terdiri atas 47 implikatur nonkonvensional dan 19 implikatur konvensional.
viii
RESUME
Hartanto, Tri. 2010. La Politesse Dans Un Roman Le Dernier Jour d’un Condamné Par Víctor Hugo. Mémoire. Département des Langues et de Littérature Étrangère, Faculté des Langues et des Arts, Université d’État Semarang. Directeur I Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum. Directrice II Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum
Mots clés : politesse, l’obéissance et la transgression du principe de la politesse, implicature, maxime.
1. Introduction
La langue est un moyen de la communication. Pour se communiquer bien
avec les autres, il faut que l’homme sache le principe de la conversation. Ce
principe s’appelle la politesse de la conversation. On peut trouver la politesse de
la conversation dans un monologue, dialogue, ou bien polilogue qui peuvent être
trouvés dans un roman, un drame etc.
Le Dernier Jour d’un Condamné est un roman qui a été écrit par un grand
écrivain français, Victor Hugo. Dans ce roman, il a utilisé le personnage «je» qui
raconte les angoisses d'un prisonnier qui a été condamné à mort pour ses actions
dans le passé. Derrière les barreaux, il a parlé de lui-même du passé, de la famille,
et les gens aimés autour de lui.
La langue utilisée dans ce roman est parfois le registre courant et est
moins poli. En plus, il n’y a pas seulement beaucoup d’obéissance mais aussi la
transgression de la politesse dans ce roman. C’est pour quoi je décide d’analyser
ce roman. Je parle trois choses, ce sont l’obéissance et la transgression, et les
implications pragmatiques sur le principe de la politesse.
L’objectif majeur de cette recherche est de décrire le principe de la
politesse qui obéit et transgressé dans le discours monologue, le discours dialogue
et le discours polilogue dans le roman le Dernier Jour d’un Condamné.
2. Principe de la politesse
Grice (en Rustono 1999:66) affirme que le principe de la politesse est lié à
la regle sur les choses qui sont d'ordre social, esthétique et morale dans l'acte de
parole.
ix
3. Maxime de la politesse
Selon Leech (1983:206-219), il y a six maximes du principe de la politesse
(voir aussi Wijana, 1996:55-62; Rustono, 1999:70). Ce sont la maxime de la
sagesse, la maxime de la générosité, la maxime de l’approbation, la maxime de la
modestie, la maxime de l’accord, et la maxime de la sympathie. Ensuite, les
principes de politesse seront decrits un par un comme suit.
1. Maxime de la sagesse
Cette maxime est exprimée par les énoncés dispositifs (les
énoncés qui sont utilisés pour donner des ordres ou des messages) et
comissif (discours qui sert à exprimer une promesse ou un offre).
Cette maxime oblige á chaque participant (a) de faire les pertes des
autres le petit possible, et (b) de donner un profit aux autres
nombreusement.
2. Maxime de la générosité
Cette maxime est aussi exprimée par les énoncés dispositifs et
comissif. Elle exige chaque participant (a) de faire un profit le petit
possible pour soi-même, et (b) de faire une perte le plus grand
possible pour soi-même.
3. Maxime de l’approbation.
Cette maxime peut être exprimée par une manifestation expressive
(des énoncés qui sont utilisés pour exprimer l’attitude psychologique
de locuteur qui montre l’état d’object parole) et par une assertifs
(discours couramment utilisée pour exprimer la vérité de la
proposition exprimée). Cette maxime exige chaque participant (a) de
critiquer des autres le petit possible, et (b) d’approuver des autres le
plus grand possible.
4. Maxime de la modestie
Cette maxime est également exprimée par les énoncés expressifs
et assertifs. Cette maxime exige chaque participant (a) de se féliciter le
petit possible, et (b) de critiquer soi-même le plus grand possible.
x
5. Maxime de l’accord
Cette maxime est également exprimée par les énoncés expressifs
et assertifs. Cette maxime exige chaque participant (a) de veiller à ce
que le désaccord entre le locuteur et l’interlocuteur le plus petit
possible et (b) de veiller à ce que l'accord entre le locuteur et
l’interlocuteur le plus grand possible.
6. Maxime de la sympathie
Cette maxime est également exprimée par les énoncés expressifs
et assertifs, qui exige chaque participant (a) de réduire le sentiment
d'antipathie entre eux (les participants de l’énoncé) le plus petit
possible, et (b) d’augmenter le sentiment de sympathie entre eux le
plus grand possible.
4. Discours
Le discours est unité de la langue qui s’attaché dans une unité
systématique. C’est pourquoi, le discours peut se former d’une phrase, d’un
syntagme, et d’un mot. Le discours peut être réalisé dans une œuvre écrite intégral
(un roman, un livre, encyclopédie, etc.) qui a plein d’ordre.
5. Implicature
Selon Wijana (1996 :38), implicature est une implication des énoncés qui
ne font pas partie de ces énoncés.
6. Méthodologie de la recherche
L’approche choisie est l’approche pragmatique pour analyser l’utilisation
de la langue et l’approche descriptive qualitative car on décrit le principe de la
politesse. L’objet de cette recherche est la politesse dans le roman Le Dernier
Jour d’un Condamné. La méthode de collecter des données est la méthode simak
(porter l’attention sur l’utilisation de la langue). La technique de collecter des
données est la technique sadap (mettre la citation) qui se continuer par la
technique SBLC (simak bebas libat cakap). Les données sont notées, en suite
elles ont été analysées en utilisant la méthode padan (mettre en corrélation) et le
technique triage de constituant déterminant (pilah unsur penentu) continuer par la
xi
technique HBS (hubung banding menyamakan) et HBB (hubung banding
memperbedakan).
7. Analyse
J’ai analysé 50 données qui sont tous les paroles obéissant et transgressant.
En outre, j’ai aussi analysé les transgressions et leurs implications pragmatiques
sur le principe de la politesse mais dans le résumé de ce mémoire, je montre un
exemple pour chaque maxime car l’analyse complet est bien présentée dans le
mémoire de la version Indonésienne.
1. Les Maximes qui ont été obéies
(Dans sa cellule, le personnage « je » ai été réveillé par le gardien de
prison (Guichetier), puis le personnage « je » commence à faire une
conversation avec Guichetier
Dialogue :
Je : « Il fait beau, dis-je au guichetier.
Nrt-1 : Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si
cela valait la peine de dépenser une parole ; puis avec
quelque effort il murmura brusquement.
Guichetier : – C’est possible
Analyse :
On peut savoir que le personnage « je » a une pensée positive par
son terme (il fait beau) qui montre qu’il veut que ses jours soient
marché comme des beaux matins. Le personnage « je » dit bonjour à
Guichetier, c'est-à-dire qu’il respect à la maxime de sagesse parce
qu’il fait les pertes d’autres (Guichetier) le petit possible, et il permet
au profit nombreusement d’autres (Guichetier).
La figure « guichetier » respect à la maxime de l’accord parce
qu’il répond à la question du personnage « je », c'est-à-dire qu’il
essaie d’être d’accord avec la figure « je ».
2. Les maximes qui ont été transgressé
(Dans sa cellule, Guichetier dit au personnage « je » que tout le monde
l’attend pour continuer à la siège qui le juge á la mort).
xii
Dialogue :
Nrt-5 : Je demeurais immobile, l’esprit à demi endormi, la bouche
souriante, l’œil fixé sur cette douce réverbération dorée qui
diaprait le plafond.
Je : – Voilà une belle journée, répétai-je.
Guichetier : – Oui, me répondit l’homme, on vous attend.
Analyse :
On peut savoir que dans ce dialogue Guichetier est transgressé la
maxime de la sagesse parce qu’il ne fait pas les pertes aux autres le
petit possible et il ne donne pas le profit aux autres le grand possible.
Son acte de dire que tout le monde attendent le personnage « je » pour
assister à la siège qui le juge à la mort. La parole de Guichetier donne
le profit pour lui-même car c’est sa tâche mais donne la perte au
personnage « je » qui est condamné à mort. Par contre le personnage
« je » obéit la maxime de la sagesse parce qu’il fait les pertes des
autres le petit possible, et donne un profit aux autres beaucoup
possible. Son acte de dire « Voilà une belle journée » indique qu’il
fait les pertes des autres petit possible par cette salutation.
8. Conclusion
A partir du résultat je pourrais conclure que l’obéissance et la
transgression se produisent dans toutes les maximes du principe de la politesse.
8.1. Quant à l’obéissance, il y a 13 données qui obéissent les principes de la
politesse. Ce sont 7 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse, 1
discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui obéit la maxime
de la générosité, 1 discours monologue et 2 discours dialogue qui obéit la
maxime de la sagesse et qui obéit la maxime de l’accord, 1 discours
dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui obéit la maxime de la
sympathie, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sympathie.
8.2. Quant à la transgression, il y a 16 transgressent les principes de la
politesse. Ce sont 1 discours monologue et 2 discours dialogue qui
transgresse la maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de la
xiii
générosité, 5 discours dialogue qui la maxime de la générosité, 3 discours
dialogue qui transgresse la maxime de la générosité et qui transgresse la
maxime de la l’approbation, 1 discours monologue qui transgresse la
maxime de la générosité et qui transgresse la maxime de la sympathie, 2
discours monologue et 2 discours dialogue qui transgresse la maxime de la
sympathie. D’autre part, quant à l’implication pragmatique, il y a 47
implicature qui n’est pas conventionnel et 19 implicature qui est
conventionnel. Les espèces d’implicature qui s’est trouvé à cause la
transgression du principe de la politesse est l’implicature qui a le sens une
moquerie, un espoir, un désir, une poussée contraire, une fierté, un
affolement, une critique, une déception, un rapprochement, une inquiétude,
un souci, une plainte, une incertitude, une peur, un indifférent,
8.3. Conclusion finale, il y a 22 données qui sont conformes à la fois obéissent
et transgressent le principe de la politesse. Ce sont 3 discours dialogue et 1
discours polilogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui transgresse la
maxime de la sagesse, 7 discours dialogue qui obéit la maxime de la
sagesse et qui transgresse la maxime de la générosité, 1 discours dialogue
qui obéit la maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de
l’approbation, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui
transgresse la maxime de la modestie, 1 discours dialogue qui obéit la
maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de la sympathie, 1
discours dialogue qui obéit la maxime de la générosité et qui transgresse la
maxime de l’approbation, 1 discours monologue qui obéit la maxime de la
générosité et qui transgresse la maxime de la sympathie, 1 discours
dialogue qui obéit la maxime de la modestie et qui transgresse la maxime
de la générosité, 1 discours monologue qui obéit la maxime de l’accord et
qui transgresse la maxime de la sympathie, 1 discours monologue qui obéit
la maxime de la sympathie et qui transgresse la maxime de l’approbation,
2 discours monologue et 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la
sympathie et qui transgresse la maxime de la sympathie.
xiv
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
PERNYATAAN ............................................................................................ iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ iv
PRAKATA .................................................................................................... v
SARI ....................................................................................................... vii
RESUME ....................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah .................................. 7
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 7
1.5 Sistematika Penelitian .................................................................... 8
LANDASAN TEORI
2.1 Prinsip Kesantunan…………………………………………........... 10
2.2 Maksim-maksim Prinsip Kesantunan………………………........... 13
2.2.1 Maksim Kearifan (La Maxime de La Sagesse)………………….. 14
2.2.2 Maksim Kedermawanan (La Maxime de La Générosité)………. 15
2.2.3 Maksim Pujian (La Maxime de L’approbation)……….………… 16
2.2.4 Maksim Kerendahan Hati (La Maxime de La Modestie)….…….. 17
2.2.5 Maksim Kesepakatan (La Maxime de L’accord)………………… 18
2.2.6 Maksim Kesimpatian (La Maxime de La Sympathie)……………. 19
2.3 Wacana…...................……………………………………….......... 22
2.3.1 Unsur Wacana…....………………………………………............. 22
xv
2.3.2 Jenis Wacana…....……………………………………….............. 24
2.4 Implikatur…....…………………………….......…………............... 25
2.4.1 Jenis Implikatur…....…………………….......…………............... 26
2.4.1.1 Implikatur konvensional…......…………....…………................ 26
2.4.1.2 Implikatur nonkonvensional…......…………....……….............. 27
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian…………………………………………....... 30
3.2 Objek Penelitian……………………………………………........... 32
3.3 Data dan Sumber Data………………………………..……........... 32
3.4 Metode dan Teknik Penyediaan Data…………………...……........ 32
3.5 Metode dan Teknik Analisis Data……......……………...……....... 34
3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data……......…....... 37
ANALISIS DATA
4.1. Pematuhan Prinsip Kesantunan. ………………………….…........ 38
4.1.1. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan.…....….. .... 38
4.1.2. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan
dan Kedermawanan……………………………………………… 43
4.1.3. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan
dan Kesepakatan.…………………………………………........... 47
4.1.4. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan
dan Kesimpatian……………………………………………......... 51
4.1.5. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian…............. 54
4.2. Pelanggaran Prinsip Kesantunan. ……………………………....... 56
4.2.1. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan
dan Kedermawanan. ……………………………......................... 56
4.2.2. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan........... 59
4.2.3. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan
dan Pujian…………………………….......................................... 67
4.2.4. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan
dan Kesimpatian. .......……………………………..................... 70
4.2.5. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian.............. 73
xvi
4.3. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan.......................... 81
4.3.1. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan,
Maksim Kearifan. ..……………………………........................ 82
4.3.2. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan......... 91
4.3.3. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian.…................................ 98
4.3.4. Pematuham Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kerendahan Hati.................. 101
4.3.5. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kesimpatian......................... 103
4.3.6. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian……............................ 107
4.3.7. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian............ 110
4.3.8. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kerendahan Hati dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan…… 114
4.3.9. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesepakatan dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian……… 117
4.3.10. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian dan
Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Pujian. …............... 120
4.3.11. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan,
Maksim Kesimpatian. …….. .................................................... 125
PENUTUP
5.1. SIMPULAN………….………………………………………..... 132
5.2. SARAN……..........................…………………………………... 134
xvii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Rekapitulasi Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan .. 136
Lampiran 2. Rekapitulasi Implikasi Pragmatis .............................................. 140
Lampiran 3. Total Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan ............. 142
Lampiran 4. Total Pematuhan dan Pelanggaran Setiap Prinsip Kesantunan . 143
Lampiran 5. Daftar Data .............................................................................. 145
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman
manusia secara berbeda di setiap masyarakat (Martinet 1987:32). Sebagai alat
komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai
fungsi sosial yaitu sebagai alat perhubungan antar anggota masyarakat. Sebagai
aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke
generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak
lepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia.
Bahasa mempunyai peran dan fungsi yang penting dalam kehidupan
manusia. Sebagai mahluk sosial, manusia secara naluri terdorong untuk bergaul
dengan orang lain, baik untuk menyatakan keberadaan dirinya, mengekspresikan
kepentingan maupun mengutarakan penilaiannya terhadap orang lain yang
semuanya itu menggunakan bahasa. Kepentingan bahasa hampir mencangkupi
segala bidang kehidupan karena segala sesuatu yang dihayati, dialami, dirasakan,
dan dipikirkan oleh seseorang dapat diketahui oleh orang lain jika telah
diungkapkan dengan bahasa.
Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, yang dipergunakan
untuk mengekspresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan
penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal,
2
yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan
dapat dilihat dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa
tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Manusia
dapat mengekspresikan dirinya dari segala sesuatu yang dirasakan untuk
diungkapkan kepada orang lain melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi
digunakan untuk merumuskan maksud kita, melahirkan perasaan kita, dan
memungkinkan kita untuk bekerjasama dengan orang lain (Chaer 1999:42).
Dengan kata lain, bahasa dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan segala
sesuatu yang mengendap dalam batin seseorang, baik itu perasaan senang,
kecewa, marah, sedih, dan malu.
Di dalam mengatur mekanisme percakapan antar peserta tutur, kaidah itu
dalam pragmatik disebut prinsip percakapan. Salah satu prinsip tersebut adalah
prinsip kesantunan. Dengan prinsip kesantunan ini, antar peserta tutur dapat
mencapai kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa merupakan bagian dari
kaidah-kaidah sosial dan kompetensi strategi berbahasa yang berperan penting
dalam proses komunikasi. Peserta tutur akan merasa saling dihargai dalam proses
komunikasi apabila mereka saling menggunakan kesantunan berbahasa.
Sebaliknya peserta tutur akan merasa tidak dihargai apabila para peserta tutur
tidak menggunakan kesantunan dalam berbahasa.
Menurut Grice (dalam Rustono 1999:66), prinsip kesantunan adalah
prinsip yang berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis,
dan moral di dalam bertindak tutur. Prinsip kesantunan diperlukan untuk
melengkapi prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat
3
penerapan prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama juga bertujuan agar para peserta
tutur dapat melakukan tuturan dengan santun dan dapat menjaga hubungan sosial
dengan mitra tuturnya.
Jean Dubois dalam le dictionnaire linguistique mengatakan bahwa
le discours est une unité égale ou supérieure à la phrase, il est constitué par une suite formant un message ayant un commencement et une clôture (syn : énoncé). ‘wacana adalah satu kesatuan yang sama atau lebih tinggi dari frase, wacana tersusun oleh sebuah bentuk pesan yang memiliki permualaan dan pengakhiran’. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku,
seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa
amanat yang lengkap. Sementara itu, Baryadi (2002:11) membagi wacana
menjadi (i) wacana monolog, (ii) wacana dialog, dan (iii) wacana polilog atau
percakapan. Wacana-wacana tersebut ada yang berupa wacana lisan dan wacana
tertulis. Pada wacana tertulis, peserta tutur mengungkapkan tuturannya bisa dalam
bentuk wacana eksposisi, wacana deskripsi, wacana jurnalistik, wacana
prosedural, wacana narasi tertulis. Pada saat memproduksi wacana, peserta tutur
bisa berperan sebagai penutur (selanjutnya disingkat Pn) sekaligus sebagai petutur
(Selanjutnya disingkat Pt) karena dia sendiri yang memproduksi wacana tersebut,
hal ini yang disebut wacana monolog. Sedangkan di dalam wacana dialog dan
wacana polilog, peserta tutur berbagi peran sebagai Pn dan Pt.
Bentuk wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dapat kita
temui di karya fiksi seperti roman, teks drama, teks naratif dan lain sebagainya.
4
Salah satu karya fiksi yang memuat wacana monolog, wacana dialog, dan wacana
polilog adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
Victor Hugo, sebagai pengarang telah menggunakan tokoh-tokohnya
dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné untuk mengungkapkan ide-ide atau
pendapat atas realita sosial. Dengan bentuk tuturan, pengarang menyampaikan
idenya. Contoh tuturan tersebut adalah sebagai berikut.
(1) Konteks : Di dalam selnya, tokoh Aku telah dibangunkan oleh sipir penjara (Guichetier), kemudian tokoh Aku memulai perbincangan (basa-basi) kepada Guichetier.
Aku : – Il fait beau, dis-je au guichetier. La Narration 1: Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si
cela valait la peine de dépenser une parole ; puis avec quelque effort il murmura brusquement :
Guichetier : – C’est possible.
(2/LDJC/38-39) Aku : – cuaca cerah, kataku kepada penjara itu. Narasi 1 : Ia diam sesaat, seolah memikirkan apakah perkataanku itu
perlu ditanggapi atau tidak. Kemudian dengan susah payah tiba-tiba ia bergumam:
Guichetier : - mungkin.
Tokoh Aku memiliki pikiran positif, hal itu dapat dilihat melalui
tuturannya (Il fait beau, ’cuaca cerah’) yang menandakan bahwa Aku berharap
hari-hari yang akan dilaluinya berjalan dengan baik sebagaimana harapannya
(Aku) pada hari-hari yang cerah. Tuturan Aku tersebut sekaligus sebagai kalimat
sapaan kepada Guichetier. Maka tindakan Aku telah meminimalkan kerugian dan
memaksimalkan keuntungan kepada Guichetier. Tindakan tersebut mematuhi
5
prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan karena telah membuat kerugian orang
lain (Guichetier) sekecilnya-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain
(Guichetier) sebesar mungkin.
Sementara itu, tindakan Guichetier yang menanggapi pernyataan sekaligus
pertanyaan dari Aku merupakan bentuk kesepakatan Guichetier kepada Aku.
Tuturan Guichetier (– C’est possible, ‘-mungkin’) menyatakan bentuk
kesepakatan kepada Aku. Hal ini sesuai dengan bunyi maksim kesepakatan
submaksim pertama yang menekankan untuk mengusahakan agar ketaksepakatan
antara diri sendiri dan pihak lain terjadi sedikit mungkin. Secara tersurat bentuk
kesepakatan terjadi dikarenakan adanya tuturan Guichetier yang mengungkapkan
ketaksepakatan secara tidak frontal. Hal ini dapat dilihat pada tuturan Guichetier
(– C’est possible, ‘- mungkin’) yang tidak secara tegas menyepakati apakah cuaca
cerah atau tidak cerah (seperti yang diinginkan Aku melalui tuturannya), namun
sudah bisa mengarah pada kesepakatan kepada Aku karena ada kemungkinan
cuaca cerah, sehingga dapat dikatakan Guichetier mengurangi
ketidaksepakatannya dengan kesepakatan sebagian. Selain dari itu, Guichetier
tetap memberikan tanggapannya kepada Aku walaupun dengan susah payah
(seperti pada narasi 1, selanjutnya disingkat Nrt-1).
Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Guichetier mematuhi
prinsip kesantunan, maksim kesepakatan karena mengusahakan agar
ketaksepakatan antara diri Sendiri (Guichetier) dan pihak lain (Aku) terjadi sedikit
mungkin dan mengusahakan agar kesepakatan antara diri Sendiri (Guichetier) dan
pihak lain (Aku) terjadi sebanyak mungkin.
6
Berdasarkan contoh tuturan tersebut, wacana pada roman termasuk tuturan
ringan yang menyajikan berbagai macam ide atau pendapat pengarang melalui
sudut pandang persona pertama Aku. Sudut pandang persona pertama Aku dipilih
pengarang dengan tujuan sebagai tokoh cerita dan sebagai si pencerita
(pengarang), (Nurgiyantoro 2002 :246).
Objek penelitian ini adalah kesantunan dalam wacana monolog wacana
dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya
Victor Hugo. Kesantunan tersebut dijadikan sebagai objek penelitian karena di
dalam roman ini bahasa yang digunakan pengarang kadang kurang santun dan
tidak menggunakan bahasa baku, tetapi menggunakan bahasa tidak baku yaitu
menggunakan bahasa sehari-hari.
Alasan dipilihnya wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog
dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo sebagai objek
penelitian dalam skripsi ini karena dalam roman tersebut banyak terdapat tuturan
yang melanggar dan yang mematuhi maksim-maksim prinsip kesantunan.
Berdasarkan paparan tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti
kesantunan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le
Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Penelitian ini dibatasi pada
maksim-maksim yang dipatuhi dan dilanggar serta implikasi pragmatisnya pada
prinsip kesantunan.
7
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan
peneliti rumuskan adalah sebagai berikut:
1. Prinsip kesantunan apakah yang dipatuhi di dalam roman Le Dernier Jour
d’un Condamné karya Victor Hugo?
2. Prinsip kesantunan apakah yang dilanggar dan apa implikasi pragmatisnya
di dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang ada, penelitian ini bertujuan:
1. Mendeskripsikan pematuhan prinsip kesantunan pada roman Le Dernier
Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
2. Mendeskripsikan pelanggaran prinsip kesantunan dan implikasi
pragmatisnya pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor
Hugo.
1.4. Manfaat Penelitian.
Hasil penelitian Kesantunan Dalam Roman Le Dernier Jour d’un
Condamné karya Victor Hugo ini diharapkan bermanfaat baik secara praktis
maupun teoretis.
1. Secara teoretis, penelitian ini di harapkan dapat:
a. bermanfaat bagi pengembangan ilmu pragmatik, khususnya jenis
kesantunan yang mematuhi dan melanggar pada roman Le Dernier
Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
8
b. menambah khasanah pematuhan dan pelanggaran pada prinsip
kesantunan,
2. Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:
a. mahasiswa : yakni memberikan informasi untuk penelitian-penelitian
selanjutnya khususnya di bidang pragmatik.
b. dosen : masukan atas kajian yang lebih mendalam terhadap penelitian-
penelitian di bidang pragmatik dengan pengenalan objek kesantunan
bahasa perancis.
c. prodi /jurusan BSA : memperkaya jumlah pustaka yang berupa laporan
penelitian (skripsi) di bidang pragmatik.
d. penulis: menambah pengalaman dalam penyusunan laporan penelitian
(skripsi) di bidang pragmatik.
1.5. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penyusunan skripsi ini terdiri atas tiga bagian, yakni
bagian awal skripsi, bagian inti skripsi, dan bagian akhir skripsi. Bagian awal
skripsi memuat halaman judul, pernyataan, pengesahan, extrait, motto dan
persembahan, prakata, daftar isi dan daftar lampiran.
Bagian inti skripsi terdiri atas lima bab, yaitu pendahuluan, landasan teori,
metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, simpulan dan saran.
BAB I berisi tentang pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah,
permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan
skripsi.
9
BAB II berisi tentang landasan teori, yaitu memaparkan landasan teori
penelitian yang mengungkapkan pendapat beberapa ahli dari berbagai sumber
yang relevan yang secara umum meliputi : (1) prinsip kesantunan, (2) maksim-
maksim prinsip kesantunan, (3) wacana, (4) implikatur.
BAB III menjelaskan mengenai metode penelitian yang berisi langkah-
langkah yang digunakan dalam penelitian yang meliputi pendekatan penelitian,
objek penelitian, data dan sumber data. Metode dan teknik penyediaan data,
metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.
BAB IV berisi hasil pengumpulan data, analisis data dan pembahasan hasil
analisis kesantunan dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor
Hugo.
BAB V berisi simpulan dan saran. pada bagian akhir skripsi ini disajikan
daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang berhubungan dengan penelitian skripsi
ini.
10
BAB 2
LANDASAN TEORI
Teori-teori yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah (1)
prinsip kesantunan, (2) maksim-maksim prinsip kesantunan, (3) wacana, (4)
implikatur. Satu per satu teori-teori tersebut di bahas di bawah ini:
2.5 Prinsip Kesantunan
Grice (dalam Rustono 1999:66) mengatakan bahwa prinsip kesantunan
(politenesse prinsiple) itu berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat
sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur. Kebutuhan menjaga dan
memelihara hubungan sosial antar peserta tutur dalam percakapan telah
mengakibatkan lahirnya prinsip kesantunan ini. Alasan dicetuskannya prinsip
kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan penutur tidak cukup hanya dengan
mematuhi prinsip kerjasama. Prinsip kesantunan diperlukan untuk melengkapi
prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip
kerjasama.
Secara umum, kesantunan atau sopan santun berkaitan dengan perilaku
yang baik. Larousse (1988:321) mengatakan bahwa politesse, manière d’agir ou
de parler conforme à la bienséance. ’kesantunan adalah cara bertindak atau
berbicara yang sesuai dengan tata krama’. Sejalan dengan Larousse, Robert
(1990:1475) berpendapat bahwa une politesse : action, parole exigée par les
11
usages. ’Kesopanan adalah tindakan, tutur kata yang dituntut sesuai
dengan norma kesopanan.
Setiap kebudayaan selalu memiliki cara yang khas dalam mengekspresikan
kesantunannya. Lakoff (1990:35 dalam Eelen, 2001:3) menganggap bahwa
kebudayaan dalam mematuhi kesantunan selalu memperhatikan (i) strategi jarak
atau distance, (ii) kaidah kepatuhan atau deference, (iii) kaidah persahabatan atau
camaraderie. Jarak ditandai sebagai strategi impersonalitas, kepatuhan sebagai
keraguan, dan persahabatan sebagai informalitas. Kecenderungan kesantunan di
setiap daerah berbeda-beda. Secara garis besar, kesantunan dalam kebudayaan
Eropa cenderung mengambil strategi jarak, kebudayaan-kebudayaan Asia
cenderung mengambil sikap patuh, dan kebudayaan Amerika cenderung ke arah
persahabatan. Untuk mengekspresikan kesantunan, diperlukan strategi
kesantunan. Strategi kesantunan menurut Lakoff (1973), ada tiga, yakni (a) jangan
mengganggu, (b) berikan pilihan, dan (c) buatlah pilihan menyenangkan atau
bersikaplah ramah.
Teori kesantunan menurut Brown dan Levinson (1978) berfokus pada
’rasionalitas’ dan ’muka’. ’Muka’ terdiri atas dua ’keinginan’ yang berlawanan
yaitu (1) muka positif, mengacu ke citra diri seseorang bahwa segala yang
berkaitan dengan dirinya itu patut dihargai (jika tidak dihargai, orang yang
bersangkutan dapat kehilangan muka), jadi muka positif ini merupakan
representasi keinginan untuk dihargai oleh orang lain, (2) dan muka negatif, citra
diri seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang ingin bebas atau tidak ingin
dihalangi oleh orang lain (kalau dihalangi, orang yang bersangkutan dapat
kehilangan muka), jadi muka negatif ini merupakan representasi keinginan untuk
tidak ingin dihalangi oleh orang lain. Menurut teori ini, sebagian besar tindak
tutur selalu mengancam keinginan muka para Pn dan atau Pt, dan bahwa
kesantunan terlibat dalam upaya untuk memperbaiki ancaman muka tersebut
(Brown dan Levinson, 1987 dalam Yule 1996:102-116; Yassi, 1996:6-8; Eelen,
2001:4-6). Untuk mencapai kesantunan positif maka harus mengacu pada strategi
bertutur dengan cara menonjolkan kedekatan, keakraban, hubungan baik di antara
Pn dan Pt. Di sisi lain, untuk mencapai kesantunan negatif harus merujuk ke
strategi bertutur dengan cara menunjukkan adanya jarak sosial diantara Pn dan Pt.
Sementara itu, Sachiko Ide (1989:230), seorang ahli sosiolinguistik dari
jepang, mengemukakan bahwa kaidah kesantunan erat kaitannya dengan kaidah
gramatikal seperti kopula, verba, nomina, ajektiva, dan adverbia. Sachiko Ide
juga menuturkan bahwa seorang Pn harus memilih bentuk tuturan yang santun
atau tidak santun, tidak ada tuturan yang netral. Oleh karena itu santun bersifat
absolut, tidak berkaitan dengan kehendak bebas Pn karena secara langsung
memperlihatkan karakteristik struktur sosial Pn dan pendengar. Bentuk honorifik
(kesantunan dalam bahasa) disatukan dengan pandangan kesantunan dalam
konvensi masyarakat, yakni (i) bersikap santun kepada orang yang posisi
sosialnya lebih tinggi, (ii) bersikap santun kepada orang yang memiliki
kekuasaan, (iii) bersikap santun kepada orang yang lebih tua, dan (iv) bersikap
santun dalam lingkungan formal yang ditentukan oleh faktor-faktor partisipan,
kesempatan, atau topik.
Menyimak pendapat para ahli tersebut di atas tentang kesantunan, maka
ada dua hal yang menjadi titik pikirannya, yakni: bahasa (teks) dipengaruhi oleh
konteks, konteks mempengaruhi bahasa atau teks. Hal tersebut dikuatkan oleh
Gunarwan (1999:52) yang menyatakan bahwa di dalam setiap tuturan selalu ada
tambahan makna. Tambahan keterangan yang tidak diujarkan oleh Pn-nya itu
tertangkap juga oleh pendengar sebagai Pt-nya. Makna ekstra atau makna
tambahan itu tidaklah timbul karena penerapan kaidah sintaktis atau kaidah
semantis, tetapi karena penerapan kaidah atau prinsip percakapan. Prinsip itu oleh
Grice dinamakan prinsip kerjasama atau cooperative principle.
Kesantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua
partisipan yang dapat kita sebut dengan diri sendiri dan orang lain (Tarigan
1990:82). Dalam percakapan, diri sendiri biasanya dikenal sebagai pembicara dan
orang lain sebagai penyimak, tetapi para pembicara juga memperlihatkan
kesopan- santunan kepada kelompok ketiga, yang mungkin hadir atau tidak dalam
situasi ujar tersebut. Hal itu juga ditegaskan oleh Wijana (1996:65) bahwa prinsip
kesopanan itu berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri
(self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah Pn, dan orang lain adalah Pt dan
orang ketiga yang dibicarakan Pn dan Pt.
2.6 Maksim-maksim Prinsip Kesantunan
Menurut Leech (1983:206-219), prinsip kesantunan memiliki enam
maksim (lihat juga Wijana, 1996:55-62; Rustono, 1999:70). Kemudian prinsip
kesantunan tersebut akan dibahas satu-persatu sebagai berikut.
2.2.7 Maksim Kearifan (La Maxime de La Sagesse)
Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif (ujaran yang digunakan
untuk menyatakan perintah atau suruhan) dan komisif (ujaran yang berfungsi
untuk menyatakan janji atau penawaran). Maksim ini menggariskan setiap peserta
pertuturan untuk (a) membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan (b)
membuat keuntungan orang lain sebesar mungkin.
Perhatikan contoh tuturan (1) sampai (4) berikut ini. Tuturan dengan
nomor yang lebih kecil memiliki tingkat kesopanan yang lebih rendah
dibandingkan dengan yang lebih besar.
(1) Venez chez moi!
’Datanglah ke rumah saya!’
(2) Venez chez moi, s’il vous plaît!
’Silakan (anda) datang ke rumah saya!‘
(3) Vous voudriez venir chez moi?
‘Sudilah (anda) datang ke rumah saya?’
(4) Vous pourriez venir chez moi, s’il vous plaît?
‘Sudilah kiranya (anda) datang ke rumah saya?‘
Berdasarlan contoh di atas dapat dikatakan bahwa semakin panjang
tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan
kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak
langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan
secara langsung. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang
lebih sopan dibandingkan dengan kalimat perintah.
Maksim kearifan mengharuskan Pn berusaha memaksimalkan keuntungan
orang lain, maka lawan bicara wajib pula memaksimalkan kerugian dirinya, bukan
sebaliknya. Fenomena ini lazim disebut dengan paradoks pragmatik. Contoh (6)
yang mematuhi paradoks pragmatik dan (7) yang melanggarnya.
(6) + Je porte vos valises, s’il vous plaît!
+ ‘mari, saya bawakan tas anda !’
- Non, merci.
- Tidak, terima kasih
(7) + Je porte vos valises, s’il vous plaît!
+ ‘mari, saya bawakan tas anda!’
- Oui, vous êtes exactement mon ami.
- Ya, kamu benar-benar temanku.
2.2.8 Maksim Kedermawanan (La Maxime de La Générosité)
Maksim ini juga diutarakan dengan tuturan impositif dan komisif, yang
mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk (a) membuat keuntungan diri sendiri
sekecil mungkin dan (b) membuat kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
Ujaran (8) dan (10) di bawah ini dipandang kurang santun dibandingkan
dengan tuturan (9) dan (11).
(8) Tu peux me prêter ton dictionnaire?
‘Kamu dapat meminjamkan kamusmu pada saya?’
(9) Je peux te prêter mon dictinnaire.
‘Aku dapat meminjamkan kamusku kepadamu’.
(10) On doit venir chez toi pour dîner.
‘Kami harus datang untuk makan malam di tempatmu’.
(11) Tu dois venir chez nous pour dîner.
‘Kamu harus datang makan malam di rumah kami’.
Tuturan (8) dan (10) dari segi kesantunan yang absolut kurang berterima
dibandingkan dengan tuturan (9) dan (11). Hal tersebut dikarenakan tuturan (9)
dan (11) menyiratkan keuntungan untuk Pt dan terkesan merugikan bagi Pn. Akan
tetapi pada tuturan (8) dan (10) hubungan antara Pn dan Pt pada skala untung-rugi
menjadi terbalik.
2.2.9 Maksim Pujian (La Maxime de L’approbation)
Maksim pujian dapat diungkapkan dengan tuturan ekspresif (ujaran yang
digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu
keadaan) dan asertif (ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran
proposisi yang diungkapkan). Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan
untuk (a) mengecam orang lain sedikit mungkin dan (b) memuji orang lain
sebanyak mungkin. Maksim pujian ini bisa diberi nama lain yang kurang baik,
yakni ’maksim rayuan’, tetapi istilah ’rayuan’ biasanya digunakan untuk pujian
yang tidak tulus. Pada maksim ini aspek negatif yang lebih penting, yaitu, ’jangan
mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai orang lain, terutama
mengenai Pt’. Contoh (12) dan (13) tampak bahwa Pn memaksimalkan pujian dan
meminimalkan kecaman kepada orang lain, dalam hal ini, yaitu Pt.
(12) Jean, je sais que tu es génial. Pourrais-tu m’aider pour se resoudre un dévoir de mathémathique sur une équation et une énigme?
‘Jean, saya tahu bahwa kamu jenius. Sudilah kamu membantuku untuk memecahkan tugas matematika tentang soal persamaan dan teka-teki?’
(13) Je t’ai regardé quand tu avais chanté au café, hier soir. C’était
extraordinaire! ‘Aku telah melihatmu ketika kamu menyanyi di kafe kemarin
malam. kamu luar biasa!’
2.2.10 Maksim Kerendahan Hati (La Maxime de La Modestie)
Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan
asertif. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk (a) memuji diri
sendiri sedikit mungkin dan (b) mengecam diri sendiri sebanyak mungkin. Contoh
tuturan berikut ini cukup santun (tuturan ini mengacu pada penampilan seorang
musikus)
(14) A : Vous jouez du guitar très bien !
B : Merci !
A : ‘Permainan gitar anda bagus sekali !’
B : ‘Terima Kasih !’
Namun apabila B, musikus yang tampil menjawab seperti contoh di bawah
ini, maka ia terkesan tidak rendah hati.
(15) A : Vous jouez du guitar très bien !
B : Oui, bien sûr !
A : ‘Permainan gitar anda bagus sekali !’
B : ‘Ya, memang !’
Ataupun ungkapan di bawah ini menunjukkan kerendahan hati dari Pnnya.
(16) Vous pourriez accepter ces petits cadeaux, s’il vous plaît!
‘Sudilah (anda) menerima kado kecil ini!’
2.2.11 Maksim Kesepakatan (La Maxime de L’accord)
Maksim Kesepakatan juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan
asertif. Maksim ini menggariskan setiap peserta tutur untuk (a) mengusahakan
agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan pihak lain terjadi sedikit mungkin dan
(b) mengusahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan pihak lain terjadi
sebanyak mungkin. Untuk jelasnya perhatikan wacana (17), (18), dan (19) berikut.
(17) + Le français est difficile, n’est-ce pas?
- Mais non, il est très facile.
+ ‘Bahasa Prancis sukar ya ?‘
- ‘Tentu tidak, itu mudah sekali !’
(18) + Le français est difficile, n’est-ce pas?
- Oui, mais la grammaire n’est pas assez difficile.
+ ‘Bahasa Prancis sukar ya ?‘
- ‘Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu sukar’
(19) + Le français est facile, n’est-ce pas?
- Oui, bien sûr !
+ ‘Bahasa Prancis mudah ya ?‘
- ‘Ya, memang !’
Tuturan (18) terasa lebih santun daripada (17) karena ketidaksepakatan (-)
tidak dinyatakan secara frontal (total) tetapi secara.
Pada Maksim kesepakatan, orang cenderung melebih-lebihkan
kesepakatannya dengan orang lain, terlihat pada contoh (19), dan juga mengurangi
ketidaksepakatannya dengan ungkapan-ungkapan penyesalan, kesepakatan
sebagian, terlihat pada contoh (18), dan sebagainya.
2.2.12 Maksim Kesimpatian (La Maxime de La Sympathie)
Maksim kesimpatian juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan
asertif, yang mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk (a) mengurangi rasa
antipati antara diri sendiri dengan pihak lain hingga sekecil mungkin dan (b)
meningkatkan rasa simpati sebesar mungkin antara diri sendiri dengan pihak lain.
Jika Pt mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, Pn wajib memberikan ucapan
selamat. Ketika Pt mendapatkan kesusahan atau musibah, Pn layak turut berduka
atau mengucapkan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Maksim ini
menjelaskan mengapa ucapan selamat dan ucapan belasungkawa adalah tindakan
ujar yang sopan dan hormat, walaupun ucapan belasungkawa mengungkapkan
keyakinan Pn yang bagi Pt merupakan keyakinan negatif.
Wacana (20) dan (21) termasuk santun karena Pt memberikan kesimpatian
kepada Pt.
(20) A : Mon bébé est déjà né.
B : Félicitations!
A : ‘Anakku sudah lahir’
B : ‘Selamat!’
(21) A : Ma tante est décedée la semaine dernière
B : Oh, Je te présente mes condoléances
A : ‘Bibiku seminggu yang lalu meninggal’
B : ’Oh, Aku turut berduka cita’
Pada dasarnya semua maksim yang telah dijelaskan di atas menganjurkan
agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan yang sopan dan bukan keyakinan-
keyakinan yang tidak sopan, sehingga maksim-maksim ini dimasukkan ke dalam
kategori prinsip sopan santun. Dapat dilihat bahwa empat maksim pertama
berpasangan, yaitu (2.1) dengan (2.2) dan (2.3) dengan (2.4), karena maksim-
maksim ini melibatkan skala-skala berkutub dua : skala untung-rugi dan skala
pujian-kecaman. Dua maksim lainnya melibatkan skala-skala yang hanya satu
kutubnya, yaitu skala kesepakatan (2.5) dan skala simpati (2.6).
Hal tersebut senada dengan pendapat Gunawan (1995:12), prinsip
kesantunan Leech didasarkan pada nosi-nosi (1) biaya (cost) dan keuntungan
(benefit), (2) celaan atau penjelekan (dispraise) dan pujian (praise), (3) kesetujuan
(agreement), serta (4) kesimpatian dan keantipatian (sympathy / antipathy)
Walaupun antara skala yang satu dengan yang lain ada kaitannya, sikap
maksim berbeda dengan jelas, karena setiap maksim mengacu pada sebuah skala
penilaian yang berbeda dengan skala penilaian maksim-maksim lainnya. Skala
untung-rugi pada maksim 2.1 dan 2.2 memeringatkan untung-rugi bagi orang lain
(2.1) dan bagi diri sendiri (2.2) akibat suatu tindakan di masa depan, sedangkan
skala pujian-kecaman pada maksim 2.3 dan 2.4 memeringkatkan baik-tidaknya
penilaian yang diungkapkan oleh Pn mengenai orang lain (2.3) dan mengenai diri
sendiri (2.4).
Maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua maksim dan submaksim sama
pentingnya. Maksim (2.1) tampaknya merupakan kendala perilaku percakapan
yang lebih kuat daripada maksim (2.2), dan maksim (2.3) lebih kuat daripada
maksim (2.4). Kecenderungan ini, bila benar, mencerminkan berlakunya suatu
hukum umum yang mengatakan bahwa sopan santun lebih terpusat pada pihak
lain (Pt) daripada pada diri sendiri (Pn). Selain dari itu, dalam setiap maksim,
submaksim (b) tampaknya tidak sepenting submaksim (a), sehingga ini juga
mencerminkan suatu hukum umum yang mengatakan bahwa sopan santun negatif
(pengelakan konflik) merupakan perimbangan yang lebih kuat daripada sopan
santun positif (mencari kesesuaian). Satu perbedaan lagi pada aspek penting-
tidaknya submaksim (namun perbedaan ini tidak dituangkan dalam bentuk
maksim), yaitu sopan santun terhadap Pt pada umumnya lebih penting daripada
sopan santun terhadap pihak ketiga.
2.7 Wacana
Wacana merupakan unit bahasa yang terikat oleh satu kesatuan. Kesatuan
dalam wacana menurut Halliday (1979:1) adalah kesatuan yang bersifat
sistematis. Oleh karena itu, sebuah wacana tidak selalu harus direalisasi dalam
bentuk rangkaian kalimat. Wacana dapat berbentuk sebuah kalimat, bahkan dapat
berupa sebuah frase atau kata. Kridalaksana (1984:208) berpendapat bahwa
wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal
merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan
dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan
sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.
Adapun wacana menurut Tarigan (1987:27) adalah satuan bahasa yang terlengkap
dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi
tinggi dan berkesinambungan dan mempunyai awal dan akhir yang nyata
disampaikan secara lisan dan tertulis.
Selanjutnya, istilah wacana menurut Alwi (1998:419) berarti rentetan
kalimat yang berkaitan dan menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain
dan membentuk kesatuan. Senada dengan Alwi, Hams dalam Baylon (2002:235)
menyatakan bahwa
discours est l’ensemble de règles d’enchaînement des suites de phrases composant l’énonce ‘wacana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang merangkai secara berturut-turut kalimat-kalimat yang mempunyai unsur penjelas’
Sementara itu, Hoed (1994:126-130) berpendapat bahwa wacana berada
pada tuturan langue, yaitu bagian teoretis abstrak yang maknanya dikaji dalam
kaitan dengan unsur-unsur lain di luar dirinya (dengan lingkungannya).
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa wacana
adalah satuan bahasa yang tertinggi dalam hierarki gramatikal atau rangkaian ujar
atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang
menyatukan satu topik tertentu yang disajikan secara teratur dan sistematis dalam
satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur verbal ataupun nonverbal, baik
dalam bentuk lisan atau tulis.
2.3.1 Unsur Wacana
Menurut Supardo, (1988:56) unsur wacana terdiri atas (1) unsur bahasa
seperti kata, frase, klausa, dan kalimat; (2) konteks yang terdapat di sekitar
wacana, (3) makna dan maksud, (4) koherensi, dan (5) kohesi.
Unsur bahasa dalam wacana berfungsi sebagai bahan atau substansi yang
menampung gagasan-gagasan melalui bentuk-bentuk bahasa tertentu. Konteks
dalam wacana berfungsi sebagai lingkungan yang menjadi ruang lingkup
penguraian gagasan. Makna dan maksud berfungsi sebagai sasaran, tujuan
berbahasa antara pengguna bahasa. Kohesi adalah keterpaduan makna yang
terdapat dalam sebuah wacana, sedangkan koherensi adalah keserasian antara
bentuk-bentuk bahasa yang disusun menurut organisasi-organisasi wacana yang
utuh.
Senada dengan Suparjo, Tarigan (1987:96) membagi unsur wacana
menjadi lima, yaitu: tema, unsur bahasa, konteks yang terdapat di sekitar wacana,
makna dan maksud serta kohesi dan koherensi.
1. Tema adalah pokok pembicara yang ada di dalam sebuah karangan, baik
karangan tulis maupun lisan. Tema itu dikembangkan dengan kalimat-
kalimat yang dipadu sehingga akan melahirkan satu jenis wacana yang
kohesif dan koherensif.
2. Unsur bahasa mencangkup kata, frasa, klausa, kalimat.
3. Konteks di sekitar wacana. Menurut Alwi (1998:421) konteks wacana
dibentuk oleh berbagai unsur yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu,
tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran.
4. Makna dan maksud.
5. Kohesi dan koherensi.
Kohesi adalah kesesuaian hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan
yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang baik (koheren).
Kalimat atau kata yang dipakai bertautan dan saling mendukung makna.
Pengertian yang satu menyambung pengertian yang lainnya secara berturut-turut.
Dengan demikian ada wacana yang kohesif dan koheren dan ada wacana yang
tidak kohesif tetapi koheren (Djajasudarna 1994:47).
Pada Roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo terdapat
wacana dialog, wacana monolog, dan wacana polilog yang kohesif dan koheren.
Wacana dialog, wacana monolog, dan wacana polilog tersebut disusun dengan
kalimat atau kata yang bertautan dan saling mendukung makna. Sehingga
membentuk kesatuan wacana pada roman yang utuh.
2.3.2 Jenis Wacana
Baryadi (2002:9-14) membagi berbagai jenis wacana dengan
mengklasifikasikannya dengan dasar tertentu. Dasar klasifikasi itu antara lain,
yaitu (i) media yang dipakai untuk mewujudkannya, (ii) keaktifan partisipan
komunikasi, (iii) tujuan pembuatan wacana, (iv) bentuk wacana, (v) langsung
tidaknya pengungkapan, (vi) genre sastra, dan (vii) isi wacana.
Sementara itu, menurut baryadi (2002:9-14), berdasarkan keaktifan
partisipan komunikasi, wacana dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (i)
wacana monolog (monologue discourse), (ii) wacana dialog (dialogue discourse),
dan (iii) wacana polilog (poyilogue discourse) atau percakapan (exchange atau
conversation). Wacana monolog adalah wacana yang pemproduksiannya hanya
melibatkan pihak pembicara (pembicara sebagai Pn dan Pt secara sekaligus).
Wacana monolog dapat dibedakan menjadi wacana monolog lisan seperti
ceramah, khotbah, kampanye, petuah dan wacana monolog tertulis seperti wacana
eksposisi, wacana deskripsi, wacana jurnalistik, wacana prosedural, wacana narasi
tertulis. Wacana dialog adalah wacana yang pemproduksiannya melibatkan dua
pihak yang bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana
dialog adalah sapa menyapa, tanya jawab, peristiwa tawar menawar dalam jual
beli. Wacana polilog adalah wacana yang diproduksi melalui pertukaran tiga jalur
atau lebih. Pemproduksian wacana polilog pada dasarnya sama dengan
pemproduksian wacana dialog karena keduanya melibatkan pihak-pihak yang
bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana polilog
adalah percakapan, diskusi, rapat, musyawarah.
2.8 Implikatur
Sebuah kalimat dapat mengimplikasikan kalimat yang lain. Grice (1975)
dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation yang dikutip dalam
Wijana (1996:38) mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan
proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan yang bersangkutan. Proposisi
yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Karena implikatur bukan
merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, maka hubungan kedua
proposisi bukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary consequence).
Implikatur mencakupi pengembangan teori hubungan antara ekspresi makna,
makna Pn dan implikasi suatu tuturan. Di dalam teorinya itu, Ia membedakan tiga
macam implikatur, yaitu implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional,
dan praanggapan. Selanjutnya implikatur nonkonvensional dikenal dengan nama
implikatur percakapan. Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang
terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran
prinsip percakapan, jadi implikatur percakapan adalah proposisi atau pernyataan
implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh
Pn yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh Pn di dalam suatu
percakapan.
2.4.1 Jenis Implikatur
Menurut Rustono (1999:85), implikatur itu dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu implikatur konvensional dan implikatur nonkonvensional
2.4.1.1 Implikatur konvensional
Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperoleh langsung dari
makna kata, dan bukan dari prinsip percakapan. Berikut ini merupakan salah satu
contoh implikatur konvensional.
(22) Konteks : Di ruang pengadilan, tokoh Aku bersama pengacaranya mengharapkan mendapat keputusan yang terbaik dari ketua hakim pengadilan yang akan membacakan keputusan sidang pengadilan terkait kasus tokoh Aku.
Nrt-2 : Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de
déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire.
Avocat : – J’espère, me dit-il. Aku : – N’est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. Avocat : – Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils
auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité.
Aku : – Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai-je indigné, - plutôt cent
fois la mort ! Nrt-3 : Oui, la mort !, – Et d’ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix
intérieure, qu’est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu’à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre et noire, et par une froide nuit
de pluie et d’hiver ? Mais au mois d’août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c’est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.
(4/LDJC/ 41)
Nrt-2 : Di saat itu pembelaku datang. Orang-orang menunggunya. Ia baru
saja makan banyak dan dengan lahap. Sampai di tempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum :
Avocat : – Mudah-mudahan, katanya kepadaku. Aku : – Harus ! jawabku ringan, juga sambil tersenyum. Avocat : – Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi
mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja paksa seumur hidup.
Aku : - Bapak ini bicara apa? tukasku marah, Seratus kali lebih baik
mati Nrt-3 : Ya, mati ! - Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah
suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu? – Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penerangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin? Tapi di bulan Agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.
Implikasi tuturan di atas adalah bahwa kemungkinan mendapatkan vonis
kerja paksa seumur hidup atau vonis hukuman mati bagi Aku (sebagai Pn)
merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh Aku.
2.4.1.2 Implikatur nonkonvensional
Implikatur nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi
pragmatis yang langsung tersirat di dalam suatu percakapan. Berikut ini
merupakan salah satu contoh implikatur nonkonvensianal
(23) Konteks : Di ruang pengadilan, panitera pengadilan telah selesai membacakan keputusan pengadilan, kemudian ketua hakim (Le Président) menanyakan kepada pengacara (Avocat) apakah ada pembelaan atau tanggapan, namun tokoh Aku marah pada pembelanya yang melakukan pembelaan atas keputusan pengadilan.
Le Président : – Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application
de la peine? demanda le président. Aku : J’aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma
langue resta collée à mon palais. Nrt-4 : Le défenseur se leva.
Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de la peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l’indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l’haleine me manqua et je ne pus que l’arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive:
Aku : – Non!
(5/LDJC/ 42) Le Président : – Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela
atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim Aku : Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satu-pun
keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit. Nrt-4 : Pembela berdiri.
Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan. Menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuatku sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati!. Namun nafasku habis, dan aku hanya
bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali:
Aku : – Tidak!
Implikasi tuturan di atas yakni tokoh Aku menolak usaha pembelanya
(Aku) yang mengharapkan keringanan dari hukuman mati. Pada konteks lain,
tindakan tokoh Aku juga mengimplikasikan penolakan terhadap vonis hukuman
mati yang telah diputuskan oleh para hakim.
Tokoh Aku menolak pembelaan yang dilakukan oleh pembelanya atas
keputusan pengadilan. Walaupun tindakan tokoh Aku tersebut bisa jadi dilakukan
dalam keadaan terpaksa dan dalam kekalutan sebagai terdakwa yang mendapatkan
vonis hukuman mati sehingga ia (Aku) sudah tidak tahan melihat usaha
pembelannya yang berusaha meringankan vonis hukuman mati yang telah
diputuskan oleh ketua hakim. Tokoh Aku merasa tindakan pembelaan yang
dilakukan pembelannya akan sia-sia maka tidak perlu mengharapkan adanya
keringanan hukuman dari pengadilan (seperti pada Nrt-4).
Selanjutnya Gunarwan dalam Rustono (1999:86) menegaskan bahwa ada
tiga hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan implikatur, yaitu
1) implikatur itu tidaklah merupakan bagian dari tuturan
2) implikatur itu bukan merupakan bagian logis dari sebuah tuturan
3) mungkin saja sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur dan
itu tergantung dari konteksnya
30
BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN
Berikut ini diuraikan pendekatan penelitian, objek penelitian, data dan
sumber data, metode dan teknik penyediaan data, metode dan teknik analisis data,
dan terakhir metode penyajian hasil analisis data.
3.7 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan dua pendekatan penelitian, yaitu pendekatan
secara teoretis dan pendekatan secara metodologis. Pendekatan penelitian secara
teoretis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik artinya peneliti
sebagai penganalisis wacana mempertimbangkan gejala kebahasaan yang bersifat
progesif. Dengan demikian peneliti menggunakan sudut pandang pragmatis dalam
melakukan penelitiannya. Sudut pandang pragmatis berupaya menemukan
maksud tuturan baik yang diekspresikan secara tersurat maupun tersirat di balik
tuturan (Rustono 1999:18).
Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang menggunakan
pemakaian bahasa sebagai pijakan utama, bagaimana penggunaan bahasa dalam
tuturan dan bagaimana tuturan digunakan dalam konteks tertentu (Parker dalam
Rustono 1993:3). Pendekatan pragmatik digunakan karena masalah yang dikaji
dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa yang berbentuk wacana tuturan di
dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
31
Pendekatan penelitian yang kedua dalam penelitian ini adalah pendekatan
penelitian secara metodologis yang terbagi menjadi dua, yaitu pendekatan
kualitatif dan deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian
ini berkaitan dengan data yang tidak berupa angka-angka, tetapi berupa
percakapan pada wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog di dalam
roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Perhitungan secara
statistikpun tidak dilakukan di dalam penelitian ini karena data penelitian ini tidak
dikuantifikasi.
Pendekatan deskriptif juga digunakan dalam penelitian ini. Dengan
pendekatan deskriptif, penelitian ini berupaya mendeskripsikan pematuhan dan
pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya pada dalam roman
Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Pelanggaran dan pematuhan
prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya yang diungkapkan secara apa
adanya di dalam penelitian ini adalah pelanggaran dan pematuhan serta implikasi
pragmatisnya atas maksim-maksim prinsip kesantunan di dalam roman Le
Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
Deskripsi dalam penelitian ini merupakan deskripsi kualitas atas
pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya pada
roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo karena penelitian ini
tidak berkaitan dengan variabel-variabel terukur. Deskripsi di dalam penelitian ini
juga bersifat khas dan verbal.
3.8 Objek Penelitian
Objek penelitian ini adalah unsur kesantunan pada roman Le Dernier Jour
d’un Condamné karya Victor Hugo. Konteks dari penelitian ini berupa kalimat-
kalimat percakapan yang berbentuk wacana monolog, wacana dialog, dan wacana
polilog.
3.9 Data dan Sumber Data
Data dalam penelitian ini berupa penggalan wacana monolog, wacana
dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya
Victor Hugo yang diduga mengandung kesantunan. Sumber data dalam penelitian
ini adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo yang telah
diterjemahkan oleh M. Lady Lesmana. Karya ini pertama kali dipublikasikan pada
tahun 1829.
3.10 Metode dan Teknik Penyediaan Data
Metode penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak.
Metode ini dilakukan dengan cara membaca sambil menyimak, yaitu menyimak
penggunaan bahasa, secara tuntas wacana monolog, wacana dialog, dan wacana
polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo yang
menjadi sumber data.
Teknik yang digunakan ada dua, yakni (i) teknik dasar berupa teknik
sadap, (ii) teknik lanjutan, yakni teknik simak bebas libat cakap (teknik SBLC)
dan teknik catat. Teknik sadap sebagai teknik dasar karena pada praktiknya
penyimakan atau metode simak diwujudkan dengan penyadapan (Sudaryanto
1993:133). Teknik sadap ini dilakukan untuk menyadap penggunaan bahasa.
Teknik lanjutan yang pertama, yaitu teknik SBLC. Teknik ini digunakan
karena peneliti tidak terlibat langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan
pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati terhadap calon data yang
terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan yang berada di luar diri peneliti.
Teknik lanjutan yang kedua menggunakan teknik catat, yakni mencatat data pada
kartu data yang berupa penggalan tuturan kesantunan kemudian dilanjutkan
dengan klasifikasi atau pengelompokan data dengan menggunakan alat tulis
tertentu. Hasil pencatatan yang berupa data penelitian selanjutnya disimpan di
dalam satu media yang dinamakan kartu data.
Data yang ditemukan dari roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya
Victor Hugo melalui metode penyimakan, kemudian melalui teknik penyadapan
dan dilanjutkan dengan teknik lanjutan, yakni teknik simak bebas libat cakap
(teknik SBLC) dan teknik catat, terdapat sebanyak 50 data. 50 data tersebut terdiri
dari sub wacana monolog (11), sub wacana dialog (38) dan sub wacana polilog
(1).
Contoh kartu data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Nomor Data: Penutur dan Petutur : Konteks:
(Penggalan Wacana)
(Terjemahan Penggalan Wacana)
Analisis
Kesantunan
Pematuhan Pelanggaran
(1). Kearifan.................................. (2). Kedermawanan........................
(1). Kearifan.................................. (2). Kedermawanan........................
(3). Pujian..................................... (4). Kerendahan hati...................... (5). Kesepakatan............................ (6). Kesimpatian.............................
(3). Pujian..................................... (4). Kerendahan hati...................... (5). Kesepakatan............................ (6). Kesimpatian.............................
Keterangan:
Kartu data dibagi empat bagian sebagai berikut
a. bagian pertama terdiri dari dua kolom:
1. kolom pertama berisi nomor data.
2. kolom kedua berisi penutur (Pn) dan petutur (Pt)
b. bagian kedua berisi konteks tuturan.
c. bagian ketiga berisi penggalan wacana dan terjemahannya.
d. bagian keempat berisi analisis data, yang terdiri atas dua bagian, yaitu
(1) kolom kesatu pembagian macam-macam maksim yang dipatuhi.
(2) kolom kedua pembagian macam-macam maksim yang dilanggar.
3.11 Metode dan Teknik Analisis Data
Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan metode padan. Metode
padan yang digunakan, yakni metode padan sub-jenis pragmatis dengan alat
penentu berupa mitra wicara, peneliti sendiri. Hal ini dilakukan karena pendekatan
penelitian yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik.
Metode padan alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari
bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto 1993:13) sehingga identitas objek
sasaran penelitian ditentukan berdasarkan kesepadanannya, keselarasannya,
kesesuaiannya, kecocokannya, atau kesamaannya dengan alat penentu berupa
‘mitra wicara’ (peneliti sendiri) yang sekaligus menjadi ‘standard’ atau
‘pembaku’-nya. Mitra wicara digunakan sebagai alat penentu karena, semisal,
apabila kalimat perintah diucapkan menimbulkan reaksi tindakan tertentu dari
mitra wicara atau apabila kata afektif diucapkan menimbulkan akibat emosional
tertentu pada mitra wicara. Dengan metode ini, data yang telah diperoleh
kemudian dicocokkan dengan aturan-aturan yaitu maksim-maksim prinsip
kesantunan.
Teknik yang digunakan ada dua, yakni: (i) teknik dasar berupa teknik pilah
unsur penentu (teknik PUP), (ii) teknik lanjutan, yakni teknik hubung banding
menyamakan (teknik HBS) dan teknik hubung banding memperbedakan (teknik
HBB).
Teknik PUP sebagai teknik dasar karena alat penentunya berupa daya pilah
yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti. Adapun daya pilah yang
digunakan, yaitu dengan daya pilah pragmatis sebagai pembeda reaksi dan kadar
keterdengaran. Dengan mitra wicara sebagai alat penentu maka dapat dibedakan
reaksi yang bermacam-macam seperti: (i) bertindak menuruti atau menentang apa
yang diucapkan oleh pembicara; (ii) berkata dengan isi yang informatif; (iii)
tergerak emosinya; (iv) diam tetapi menyimak dan berusaha mengerti apa yang
diucapkan oleh pembicara; dan reaksi-reaksi yang lain. Adapun dalam hal
keterdengarannya, seperti: (v) terdengar keras bertekanan atau biasa; (vi)
terdengar melengking tinggi atau biasa; dan (vii) terdengar cepat atau biasa.
Teknik lanjutan berupa teknik HBS dan teknik HBB. Teknik-teknik
lanjutan tersebut dipakai karena pada prinsipnya membandingkan data dengan
prinsip kesantunan berarti pula mencari kesamaan dan perbedaan yang ada
diantara kedua hal tersebut. Teknik BHS digunakan untuk menyamakan data yang
diperoleh dari tuturan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam
roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dengan maksim-
maksim prinsip kesantunan. Dari penyamaan tersebut, diperoleh apakah tuturan
wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier
Jour d’un Condamné karya Victor Hugo mematuhi maksim-maksim prinsip
kesantunan. Lain halnya, teknik HBB digunakan untuk memperbedakan data yang
diperoleh dari tuturan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam
roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dengan maksim-
maksim prinsip kesantunan. Dari pemerbedaan tersebut diperoleh apakah tuturan
wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier
Jour d’un Condamné karya Victor Hugo melanggar maksim-maksim prinsip
kesantunan. Apabila mematuhi atau melanggar maka maksim apa yang dipatuhi
atau dilanggar dalam wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog pada
roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.
Langkah-langkah dalam menganalisis data adalah sebagai berikut.
1) Data yang telah diperoleh dicatat dalam kartu data.
2) Setelah data disimpan dalam kartu data, kemudian dianalisis berdasarkan
maksim kesantunan.
3) Setelah diketahui maksim kesantunan, kemudian dianalisis apakah data tersebut
melanggar atau mematuhi maksim kesantunan yang terdapat dalam wacana
monolog, wacana dialog, dan wacana polilog pada roman Le Dernier Jour d’un
Condamné karya Victor Hugo.
4) Setelah diketahui hasil analisis kemudian diklasifikasikan berdasarkan
pelanggaran atau pematuhan maksim kesantunan.
3.12 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Penyajian hasil analisis data ini merupakan langkah selanjutnya setelah
selesai menganalisis data. Penyajian hasil analisis ini berisi segala hal yang
ditemukan dalam penelitian. Menurut Sudaryanto (1999:145) Penyajian hasil
penelitian dapat dilakukan dalam dua cara, yakni dengan menggunakan metode
formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan tanda dan
lambang-lambang. Metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa.
Metode informal yang digunakan, karena dalam menyajikan hasil
penelitian hanya menggunakan kata-kata atau kalimat biasa. Metode ini
digunakan untuk penyajian pematuhan dan pelanggaran maksim-maksim prinsip
kesantunan pada wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog pada
roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo
38
BAB 4
ANALISIS DATA
Setelah dilakukan pengklasifikasian secara mendalam berdasarkan metode
dan teknik penyediaan data, ditemukan 50 data. 50 data tersebut terdiri dari 13
data mematuhi prinsip kesantunan, 16 melanggar prinsip kesantunan, serta 22 data
mematuhi sekaligus melanggar prinsip kesantunan.
Hal yang akan dianalisis dari ke-50 data tersebut adalah (1) pematuhan
prinsip kesantunan, dan (2) pelanggaran prinsip kesantunan dan implikasi
pragmatisnya. Kedua analisis tersebut disampaikan satu persatu berikut ini.
4.4. Pematuhan Prinsip Kesantunan.
Tuturan-tuturan pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor
Hugo dimungkinkan mematuhi prinsip kesantunan dengan lebih dari satu maksim.
Hal ini dikarenakan adanya percakapan antara Pn dan Pt yang masing-masing bisa
mematuhi prinsip kesantunan berupa maksim-maksim yang sama maupun
berbeda. Ditemukan 13 data yang mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim
kearifan (19 tuturan), kedermawanan (1 tuturan), karendahan hati (1 tuturan),
kesepakatan (1 tuturan), dan kesimpatian (2 tuturan).
4.1.1. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan. Kesantunan wacana pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya
Victor Hugo yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan ini adalah
39
percakapan yang meminimalkan biaya sosial kepada pihak lain. Maksim
kearifan ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt maupun pihak ketiga)
yang dibicarakan antara Pn dan Pt di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian
sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Ditemukan 7 wacana
dialog sama-sama mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan. Dari 7
wacana dialog tersebut, ditampilkan 2 wacana dialog sebagai sampel.
Contoh dialog (1) di bawah ini adalah dialog yang mematuhi prinsip
kesantunan, yaitu maksim kearifan.
(1) Konteks : Seorang pendeta (prêtre) mengunjungi tokoh Aku di dalam selnya (Aku), hal itu membuatnya (Aku) tenang setelah mengalami kekhawatiran akan pelaksanaan eksekusi mati.
Nrt-1 : Je suis calme maintenant. Tout est fini, bien fini. Je suis sorti de
l’horrible anxiété où m’avait jeté la visite du directeur. Car, je l’avoue, j’espérais encore. –Maintenant, Dieu merci, je n’espère plus. Voici ce qui vient de se passer : Au moment où six heures et demie sonnaient, – non, c’était l’avant-quart – la porte de mon cachot s’est rouverte. Un vieillard à tête blanche, vêtu d’une redingote brune, est entré. Il a entr’ouvert sa redingote. J’ai vu une soutane, un rabat. C’était un prêtre. Ce prêtre n’était pas l’aumônier de la prison. Cela était sinistre. Il s’est assis en face de moi avec un sourire bienveillant ; puis a secoué la tête et levé les yeux au ciel, c’est-à-dire à la voûte du cachot. Je l’ai compris
Prêtre : – Mon fils, m’a-t-il dit, êtes-vous préparé ? Nrt-2 : Je lui ai répondu d’une voix faible : Aku : – Je ne suis pas préparé, mais je suis prêt. Nrt-3 : Cependant ma vue s’est troublée, une sueur glacée est sortie à la
fois de tous mes membres, j’ai senti mes tempes se gonfler, et j’avais les oreilles pleines de bourdonnements.
(18/LDJC/69-70)
Nrt-1 : Sekarang aku tenang. Semua telah selesai, benar-benar selesai.
Aku telah keluar dari kecemasanku yang mengerikan yang disebabkan oleh kunjungan direktur. Sebab, kuakui, saat itu aku masih berharap. – Sekarang, puji syukur kepada Tuhan, aku tidak berharap lagi. Inilah yang baru saja terjadi: Pada saat lonceng menunjukkan pukul setengah tujuh, - tidak, menunjukkan kurang seperempat, - pintu selku kembali terbuka. Seorang pria tua yang rambutnya putih, mengenakan jas panjang coklat, masuk. Ia sedikit membuka jasnya. Kulihat sebuah jubah, sebuah dasi lebar. Ia seorang pendeta. Ia bukan pastor penjara. Itu menakutkan. Ia duduk di hadapanku dengan senyuman baik hati, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya dan lalu melihat ke langit, yaitu ke atap melengkung ke selku. Aku memahaminya
Prêtre : - Anakku, katanya kepadaku, kau sudah siap-siap? Nrt-2 : Aku menjawabnya dengan suara lemah: Aku : - Aku belum siap-siap, tapi aku siap. Nrt-3 : Sementara itu pandanganku menjadi kacau, keringat dingin
serentak mengalir dari seluruh tubuhku, aku merasa pelipisku membengkak, dan telingaku dipenuhi dengungan.
Prêtre yang menanyakan kepada tokoh Aku tentang kesiapannya untuk
menjalani eksekusi mati merupakan tugasnya sebagai seorang pendeta. Prêtre
telah melakukan tugasnya dengan benar. Melalui tuturannya (Mon fils, m’a-t-il
dit, êtes-vous préparé ?, ‘Anakku, katanya kepadaku, kau sudah siap-siap?’),
Prêtre ingin memberikan pendampingan yang terbaik kepada tokoh Aku. Tuturan
tersebut, selain sebagai pertanyaan sekaligus juga memberi kesempatan kepada
tokoh Aku untuk bersiap-siap menjelang pelaksanaan eksekusi mati. Maka
tindakan Prêtre dapat dikategorikan mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim
kearifan karena memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain (Aku) dan
meminimalkan kerugian bagi pihak lain (Aku).
Sementara itu, tokoh Aku yang mengatakan dirinya belum memiliki
kesiapan namun siap menghadapi eksekusi mati. Hal itu berarti tokoh Aku
berusaha memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada pihak lain (pretre).
Usaha tokoh Aku tersebut juga mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan
karena membuat kerugian orang lain (pretre) sekecil-kecilnya dan membuat
keuntungan orang lain (pretre) sebesar-besarnya.
Wacana dialog (2) di bawah ini juga mematuhi prinsip kesantunan,
maksim kearifan.
(2) Konteks : Setelah Prêtre memberikan petuah dan nasihat kepada tokoh Aku, maka masuklah petugas pelaksana keputusan pengadilan (l’hussier) ke dalam sel tokoh Aku untuk menyampaikan surat surat keputusan pengadilan kepada tokoh Aku.
Nrt-4 : Pendant que je vacillais sur ma chaise comme endormi, le bon
vieillard parlait. C’est du moins ce qu’il m’a semblé, et je crois me souvenir que j’ai vu ses lèvres remuer, ses mains s’agiter, ses yeux reluire. La porte s’est rouverte une seconde fois. Le bruit des verrous nous a arrachés, moi à ma stupeur, lui à son discours. Une espèce de monsieur, en habit noir, accompagné du directeur de la prison, s’est présenté, et m’a salué profondément. Cet homme avait sur le visage quelque chose de la tristesse officielle des employés des pompes funèbres. Il tenait un rouleau de papier à la main.
L’hussier : – Monsieur, m’a-t-il dit avec sourire de courtoisie, je suis
huissier près la cour royale de Paris. J’ai l’honneur de vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général.
Nrt-5 : La première secousse était passée. Toute ma présence d’esprit
m’était revenue. Aku : – C’est monsieur le procureur général, lui ai-je répondu, qui
a demandé si instamment ma tête ? Bien de l’honneur pour moi qu’il m’écrive. J’espère que ma mort lui va faire grand plaisir ? Car il me serait dur de
penser qu’il l’a sollicité avec tant d’ardeur et qu’elle lui était indifférente.
Nrt-6 : J’ai dit tout cela, et j’ai repris d’une voix ferme : – Lisez, monsieur ! Nrt-7 : Il s’est mis à me lire un long texte, en chantant à la fin de chaque
ligne et en hésitant au milieu de chaque mot. C’était le rejet de mon pourvoi.
(19/LDJC/ 70)
Nrt-4 : Selama aku goyah di atas kursiku seperti mengantuk, orang tua
itu berbicara. Paling tidak itu yang kurasakan, dan rasanya aku ingat melihat bibirnya komat-kamit, tangannya bergerak-gerak, matanya berkilat. Pintu terbuka untuk kedua kalinya. Bunyi gerendel menyandarkan kami kembali, menyandarkanku dari rasa terpukau, menyandarkannya dari pidatonya. Sesosok lelaki berpakaian hitam, ditemani direktur penjara, memperkenalkan diri dan memberiku salam dalam-dalam. Orang ini wajahnya menampakkan semacam kesedihan resmi para pegawai pemakaman. Ia memegang sebuah gulungan kertas di tangannya.
l’hussier : – Tuan, ia berkata kepadaku dengan sebuah senyum basa-basi, saya pelaksana keputusan pengadilan kerajaan di Paris. Saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan kepada Anda surat dari Jaksa Tinggi.
Nrt-5 : Guncangan pertama lewat. Semua jiwaku telah kembali
mengumpul. Aku : - Itu bapak Jaksa Tinggi yang dengan sangat telah
meminta kepalaku? Jawabku kepadanya. Benar-benar suatu kehormatan ia mau menulis surat kepadaku. Moga-moga kematianku akan membuatnya senang ? Sebab sangat sukar bagiku untuk membayangkan bagaimana ia, yang dulu sedemikian bernafsu menginginkan kematianku, kini bersikap masa bodoh tentang hal itu.
Nrt-6 : Kukatakan semua itu, dan kulanjutkan dengan tegas - Bacalah, Tuan!
Nrt-7 : Ia kemudian memulai membacakan sebuah naskah yang panjang,
dengan memberi irama di setiap akhir baris dan dengan keraguan di setiap tengah kata. Itu penolakan permohonan bandingku.
L’hussier yang mengatakan dirinya merasa terhormat untuk membawakan
dan membacakan surat dari jaksa tinggi kepada tokoh Aku (J’ai l’honneur de
vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général, ‘Saya
mendapat kehormatan untuk menyampaikan kepada Anda surat dari Jaksa
Tinggi’), merupakan bentuk penghormatan l’hussier kepada tokoh Aku. Tindakan
l’hussier tersebut adalah sebuah usaha untuk memaksimalkan keuntungan kepada
pihak lain (Aku) dan meminimalkan kerugian kepada pihak lain (Aku).
Dengan dasar itu, l’hussier mematuhi prinsip kesantunan, yaitu maksim
kearifan karena membuat kerugian orang lain (Aku) sekecil-kecilnya dan
membuat keuntungan orang lain (Aku) sebesar-besarnya.
Selain dari itu, tokoh Aku juga berusaha memaksimalkan keuntungan bagi
pihak lain (l’hussier) dengan meminta l’hussier agar segera membacakan isi surat
dari kejaksaan tinggi. Walaupun tokoh Aku telah menduga isi surat tersebut
tentang keputusan vonis hukuman mati dan penolakan banding tokoh Aku (seperti
pada Nrt-7). Maka tindakan tokoh Aku mematuhi prinsip kesantunan, yaitu
maksim kearifan karena membuat kerugian orang lain (l’hussier) sekecil-kecilnya
dan membuat keuntungan orang lain (l’hussier) sebesar-besarnya.
4.1.2. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kedermawanan.
Wacana yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan ini adalah
percakapan yang meminimalkan biaya sosial kepada pihak lain. Maksim kearifan
ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt) maupun pihak ketiga yang
dibicarakan antara Pn dan Pt) di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian
sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya.
Lain halnya, tindakan yang membuat keuntungan diri sendiri sekecil-
kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya merupakan
pematuhan prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. Maksim ini memusatkan
pada skala untung rugi pada diri sendiri. Ditemukan 1 dialog yang mematuhi
prinsip kesantunan, maksim kearifan dan kedermawanan.
Berikut dialog (3) di bawah ini merupakan bentuk ekpresi tokoh Aku yang
mengecilkan perannya (Aku) dengan tidak menggunakan haknya untuk
mengajukan banding atas vonis hukuman mati yang diterimanya.
(3) Konteks : Di dalam sel, masa eksekusi mati yang tinggal enam minggu lagi, tokoh Aku mempertimbangkan untuk naik banding agar bebas dari eksekusi mati.
Nrt-8 : Comptons ce qui me reste.
Trois jours de délai après l’arrêt prononcé pour le pourvoi en cassation. Huit jours d’oubli au parquet de la cour d’assises, après quoi les pièces, comme ils disent, sont envoyées au ministre. Quinze jours d’attente chez le ministre, qui ne sait seulement pas qu’elle existe, et qui, cependant, est supposé les transmettre, après examen, à la cour de cassation. Là, classement, numérotage, enregistrement ; car la guillotine est encombrée, et chacun ne doit passer qu’à son tour. Quinze jours pour veiller à ce qu’il ne vous soit pas fait de passe-droit. Enfin la cour s’assemble, d’ordinaire un jeudi, rejette vingt pourvois en masse, et renvoie le tout au ministre, qui renvoie au procureur général, qui renvoie au bourreau. Trois jours. Le matin du quatrième jour, le substitut du procureur général se dit, en mettant sa cravate :
Pengganti Jaksa Tinggi : – Il faut pourtant que cette affaire finisse.
Aku : – Alors, si le substitut du greffier n’a pas quelque déjeuner d’amis qui l’en empêche, l’ordre d’exécution est minuté, rédigé, mis au net, expédié, et le lendemain dès l’aube on entend dans la place de Grève clouer une charpente, et dans les carrefours hurler à pleine voix des crieurs enroués. En tout six semaines.
(9/LDJC/ 48)
Nrt-8 : Coba kuhitung yang masih tersisa padaku :
Tiga hari tenggang waktu untuk naik banding setelah keputusan dijatuhkan. Delapan hari dilupakan di Dewan Magistratur Pengadilan Tinggi, baru kemudian surat-surat itu, demikian mereka menyebutnya, dikirimkan ke menteri. Lima belas hari menunggu di tempat menteri, yang bahkan tidak mengetahui adanya permohonan banding itu, dan meskipun demikian dibayangkan lalu mengirimkannya ke Pengadilan Kasasi, setelah memeriksanya. Di sana, ada pengelompokkan, penomoran, pencatatan sebab yang mengantri guillotine banyak, masing-masing harus menunggu gilirannya. Lima belas hari untuk memastikan bahwa Anda tidak mendapat perkecualian. Akhirnya dewan berkumpul, biasanya hari kamis, lalu menolak dua puluh permohonan banding sekaligus, dan mengirimkannya semua kembali ke menteri, yang mengirimkannya lagi kepada Jaksa Tinggi. Pagi di hari keempat, pengganti Jaksa Tinggi berkata kepada dirinya sendiri, sambil mengenakan dasinya :
Pengganti Jaksa Tinggi : - Urusan ini memang harus diselesaikan. Aku : - Maka, bila Pengganti Panitera tidak terganggu
oleh acara makan siangnya bersama teman-temannya, perintah pelaksanaan hukuman dijadwalkan dengan ketat, disusun, dibikin dengan rapi, dikirimkan, dan keesokan harinya begitu fajar menyingsing, di bunderan Grève terdengar suara orang memaku tiang hukuman, dan di persimpangan-persimpangan, orang-orang berteriak keras-keras dengan suara parau. Semuanya enam minggu.
Pengganti jaksa tinggi, selanjutnya disingkat PJT, yang menginginkan agar
prosesi eksekusi bagi terpidana mati segera diselesaikan, termasuk bagi tokoh
Aku merupakan tindakan yang sudah tepat karena hal itu memang tugasnya (PJT).
Ketika terpidana mati tidak mengajukan banding ke tingkat kasasi di Mahkamah
Agung, maka tindakan PJT untuk segera melaksanakan eksekusi mati sudah tepat.
Terlepas pro kontra proses vonis pengadilan, tindakan PJT tersebut
mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan karena membuat kerugian orang
lain (Aku) sekecil-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain (Aku) sebesar-
besarnya.
Sementara itu, tokoh Aku yang hanya memperkirakan kemungkinan naik
banding dan peluang bebas atas vonis hukuman matinya (Aku) (seperti pada Nrt-
8) menyiratkan keuntungan yang minimal bagi tokoh Aku. Tokoh Aku
memperkirakan kecilnya peluang bebas dari vonis hukuman mati karena
memperkirakan proses naik banding yang berbeli-belit di tingkat Dewan
Magistratur Pengadilan Tinggi, Kementrian, dan Kejaksaan Tinggi, ditambah
waktu yang sangat mepet, selama enam minggu. Segala perkiraan tokoh Aku
membuatnya (Aku) urung untuk melakukan banding atas kasusnya (Aku),
sehingga tindakan tokoh Aku tersebut mematuhi prinsip kesantunan, yakni
maksim kedermawanan submaksim pertama (membuat keuntungan diri sendiri
sendiri sekecil-kecilnya) dan submaksim kedua (membuat kerugian diri sebesar-
besarnya). Walaupun kalo seandainya tokoh Aku melakukan banding, hal itu
syah-syah saja karena merupakan haknya (Aku).
Maka, Tindakan Aku dapat dinyatakan bahwa dia (Aku) mematuhi prinsip
kesantunan, maksim kedermawanan karena membuat keuntungan diri sendiri
(Aku) sekecil-kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri (Aku) sebesar-
besarnya.
4.1.3. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kesepakatan. Maksim kearifan ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt maupun
pihak ketiga yang dibicarakan antara Pn dan Pt) di dalam tuturan hendaknya
dibebani kerugian sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya.
Adapun percakapan dalam roman yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim
kesepakatan adalah dialog yang mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri
sendiri dan pihak lain terjadi sedikit-dikitnya dan mengusahakan agar kesepakatan
diri sendiri dan pihak lain terjadi sebanyak-banyaknya. Pematuhan maksim
kesepakatan ini berupa percakapan pelaku yang menerima atau setuju dengan apa
yang dikemukakan atau dilakukan pelaku lain (Pt dan atau pihak ketiga yang
dibicarakan oleh Pn dan Pt). Rentangan ketidaksetujuan dari yang minimal sampai
yang maksimal menggambarkan tingkat kesopanan percakapan dari pelaku
percakapan dalam dialog.
Ditemukan 1 wacana monolog dan 2 wacana dialog yang mematuhi
prinsip kesantunan, maksim kearifan dan kesepakatan.
Berikut ini adalah contoh 1 wacana monolog (4) dan 1 wacana dialog (5)
yang mengungkapkan pematuhan prinsip kesantunan, maksim kearifan dan
kesepakatan.
(4) Konteks : Di dalam sel, tokoh Aku baru saja membuat surat wasiat untuk keluarganya.
Aku (Pn) : Je viens de faire mon testament.
Nrt-9 : A quoi bon ? Je suis condamné aux frais, et tout ce que j’ai y suffira à peine. La guillotine, c’est fort cher.
Aku (Pt) : Je laisse une mère, je laisse une femme, je laisse un enfant.
Nrt-10 : Une petite fille de trois ans, douce, rose, frêle, avec de grands
yeux noirs et de longs cheveux châtains. Elle avait deux ans et un mois quand je l’ai vue pour la dernière fois. Ainsi, après ma mort, trois femmes sans fils, sans mari, sans père ; trois orphelines de différente espèce ; trois veuves du fait de la loi. J’admets que je sois justement puni ; ces innocentes, qu’ont-elles fait ? N’importe ; on les déshonore, on les ruine ; c’est la justice. ………….. . Mais ma fille, mon enfant, ma pauvre petite Marie, qui rit, qui joue, qui chante à cette heure, et ne pense à rien, c’est celle-là qui me fait mal !
(10/LDJC/48-49) Aku (Pn) : Aku baru saja membuat surat wasiat.
Nrt-9 : Apa gunanya ? Aku dihukum dan diharuskan membayar biaya pengadilan, dan semua yang kupunyai hampir tidak cukup untuk membayarnya. Guillotine itu sangat mahal.
Aku (Pt) : Aku meninggalkan seorang ibu, aku meninggalkan seorang
istri, aku meninggalkan seorang anak. Nrt-10 : Seorang gadis cilik berumur tiga tahun lembut, merah jambu,
lemah, bermata hitam dan berambut panjang berwarna kecoklat-coklatan. Umurnya dua tahun satu bulan ketika aku melihatnya terakhir kali. Jadi, setelah aku mati, ada tiga wanita tanpa anak, tanpa suami, tanpa ayah. Ada tiga yatim dari jenis berbeda, tiga janda karena hukum. Kuterima bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadaku memang setimpal, tapi ketiga orang yang tidak bersalah ini, apa yang telah mereka lakukan? Itu tidak penting. Mereka telah dipermalukan, mereka telah hancur. Itulak keadilan. ………….. . Tapi putriku, anakku, Marie, gadis cilikku yang malang, yang tertawa, yang bermain, yang bernyanyi saat ini
dan yang tidak memikirkan apapun , ialah yang membuatku sedih !
Pn telah membuat surat wasiat untuk keluarganya (Aku), Je viens de faire
mon testament, ‘Aku baru saja membuat surat wasiat’, sebelum ia (Aku)
dieksekusi. Tindakan Pn tersebut merupakan haknya (Aku) sekaligus memberikan
keuntungan secara maksimal kepada keluarganya (Aku). Walaupun eksekusi mati
segera dilaksanakan dan masih harus membayar biaya pengadilan (seperti pada
Nrt-9) namun tokoh Aku masih memikirkan kehidupan keluarganya (Aku)
terutama masa depan putrinya yang masih kecil. Maka tindakan Pn mematuhi
prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan karena membuat kerugian orang lain
(keluarga tokoh Aku) sekecil-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain
(keluarga tokoh Aku) sebesar-besarnya.
Pt yang menanggapi tuturan Pn dengan menyebutkan bahwa dia (Pt) harus
meninggalkan ibu, istri, dan putrinya (Pt) menegaskan kesepakatan kepada Pn
yang memang harus membuat surat wasiat untuk keluarganya sebelum menjalani
eksekusi mati. Maka tindakan Pt mematuhi prinsip kesantunan, yaitu maksim
kesepakatan karena mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri (Pt) dan pihak
lain (Pn) terjadi sedikit-dikitnya dan mengusahakan agar kesepakatan antara diri
(Pt) dan pihak lain (Pn) terjadi sebanyak-banyaknya.
(5) Konteks : Di dalam selnya, tokoh Aku telah dibangunkan oleh sipir penjara (Guichetier), kemudian tokoh Aku memulai perbincangan (basa-basi) kepada Guichetier.
Aku : – Il fait beau, dis-je au guichetier. Nrt-11 : Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si cela
valait la peine de dépenser une parole ; puis avec quelque effort il murmura brusquement :
Guichetier : – C’est possible.
(2/LDJC/38-39)
Aku : – cuaca cerah, kataku kepada penjara itu. Nrt-11 : Ia diam sesaat, seolah memikirkan apakah perkataanku itu perlu
ditanggapi atau tidak. Kemudian dengan susah payah tiba-tiba ia bergumam :
Guichetier : - mungkin.
Tokoh Aku memiliki pikiran positif yang dapat dilihat melalui tuturannya
(Il fait beau, ’cuaca cerah’) yang menandakan bahwa Aku berharap hari-hari yang
akan dilaluinya berjalan dengan baik sebagaimana harapannya pada hari-hari yang
cerah. Tuturan Aku tersebut sekaligus sebagai kalimat sapaan kepada Guichetier.
Maka tindakan Aku telah meminimalkan kerugian dan memaksimalkan
keuntungan kepada Guichetier. Tindakan tersebut mematuhi prinsip kesantunan,
yakni maksim kearifan karena telah membuat kerugian orang lain (Guichetier)
sekecilnya-kecilnya (dengan membuka percakapan kepada Guichetier) dan
membuat keuntungan orang lain (Guichetier) sebesar-besarnya (dengan membuka
percakapan kepada Guichetier).
Sementara itu, tindakan Guichetier yang menanggapi pernyataan sekaligus
pertanyaan dari Aku merupakan bentuk kesepakatan Guichetier kepada Aku.
Sehingga Guichetier mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesepakatan. Tuturan
Guichetier (– C’est possible, ‘-mungkin’) menyatakan bentuk kesepakatan kepada
Aku. Hal ini sesuai dengan bunyi maksim kesepakatan submaksim pertama yang
menekankan untuk mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan
orang lain terjadi sedikit-dikitnya. Secara tersurat, bentuk kesepakatan terjadi
dikarenakan adanya tuturan Guichetier yang mengungkapkan ketaksepakatan
secara tidak frontal. Hal ini dapat dilihat pada tuturan Guichetier (– C’est
possible, ‘- mungkin’) yang tidak secara tegas menyepakati apakah cuaca cerah
atau tidak cerah (seperti yang diinginkan Aku melalui tuturannya), namun sudah
bisa mengarah pada kesepakatan kepada Aku karena ada kemungkinan cuaca
cerah. Sehingga dapat dikatakan Guichetier mengurangi ketidaksepakatannya
dengan kesepakatan sebagian. Apalagi Guichetier tetap memberikan
tanggapannya kepada Aku walaupun dengan susah payah (seperti pada Nrt-11).
Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Guichetier mematuhi
prinsip kesantunan, maksim kesepakatan karena mengusahakan agar
ketaksepakatan antara diri Sendiri (Guichetier) dan pihak lain (Aku) terjadi
sedikit-dikitnya dan mengusahakan agar kesepakatan antara diri Sendiri
(Guichetier) dan pihak lain (Aku) terjadi sebanyak-banyaknya.
4.1.4. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kesimpatian.
Maksim kearifan memprioritaskan kutub skala untung rugi yang terpusat
pada pihak lain (Pt maupun pihak ketiga yang dibicarakan antara Pn dan Pt) maka
hendaknya pihak lain di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian sekecil-
kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Di sisi lain, maksim
kesimpatian mewajibkan kepada Pn untuk mengucapkan bela sungkawa sebagai
tanda kesimpatian apabila Pt atau pihak ketiga yang dibicarakan mendapat
musibah. Dari analisis data, ditemukan 2 wacana dialog yang mematuhi prinsip
kesantunan, maksim kearifan dan kesimpatian.
Vonis hukuman mati adalah musibah bagi tokoh Aku, oleh karena itu
friauche memberikan simpati dengan menasehati agar tidak takut menghadapi
vonis hukuman mati. Dialog (6) di bawah ini merupakan ekspresi kesimpatian
friauche kepada tokoh Aku.
(6) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, friauche telah selesai menceritakan kisah hidupnya hingga ia (friauche) mendapat vonis hukuman mati kepada tokoh Aku. Kemudian ia (friauche) menasehati tokoh Aku untuk berani menghadapi eksekusi mati.
Nrt-12 : J’étais resté stupide en l’écoutant. Il s’est remis à rire plus
haut encore qu’en commençant, et a voulu me prendre la main. J’ai reculé avec horreur.
Friauche : – L’ami, m’a-t-il dit, tu n’as pas l’air brave. Ne va pas faire
le singe devant la carline1. Vois-tu, il y a un mauvais
moment à passer sur la placarde2 ; mais cela est sitôt fait ! Je voudrais être là pour te montrer la culbute. Mille dieux ! J’ai envie de ne pas me pourvoir, si l’on veut me faucher aujourd’hui avec toi. Le même prêtre nous servira à tous deux ; ça m’est égal d’avoir tes restes. Tu vois que je suis un bon garçon. Hein ! Dis, veux-tu ? D’amitié !
Nrt-13 : Il a encore fait un pas pour s’approcher de moi. Aku : – Monsieur, lui ai-je répondu en le repoussant, je vous
remercie.
(30/LDJC/82-83)
Nrt-12 : Aku diam mendengarkan seperti orang tolol. Ia tertawa lebih keras lagi daripada saat pertama, dan bermaksud memegang tanganku. Aku mundur dengan rasa ngeri.
Friauche : – Sobat, katanya kepadaku, kau tampak kurang tabah.
Janganlah kelihatan takut. Memang, ada saat yang tidak enak untuk dilalui di bunderan itu nanti, tapi itu cepat berlalu ! Aku ingin berada di sana untuk
1 Le poltron devant la mort. 2 Place de Grève.
menunjukkan kepadamu bagaimana aku berjungkir balik, melakukan roda. Ya, Tuhan ! Aku mau tidak naik banding, kalau mereka bersedia membabatku hari ini bersamamu. Pendeta yang sama bisa kita pakai berdua. Tidak apa-apa bagiku mendapatkan sisamu. Kamu lihat bukan, kalau aku orang baik. Eh ! Kamu mau ? Bersahabat denganku !
Nrt-13 : Ia maju lagi satu tindak untuk mendekatiku. Aku : – Tuan, jawabku kepadanya sambil mendorongnya mundur,
aku ucapkan terima kasih.
Friauche ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh tokoh Aku
karena sama-sama sebagai terpidana mati. Maka dia (Friauche) memberikan
nasehat kepada tokoh Aku untuk tidak takut menghadapi eksekusi mati bahkan
menawarkan untuk bersama melalui eksekusi mati. Dia (friauche) rela tidak
mengajukan banding asal bisa menjalani eksekusi mati bersama tokoh Aku.
Nasehat-nasehat dan tawaran friauche merupakan ekspresi kesimpatian friauche
kepada tokoh Aku.
Dengan demikian, friauche mematuhi prinsip kesantunan, maksim
kesimpatian karena telah memberi nasehat dan simpati kepada tokoh Aku,
friauche mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (friauche) dengan pihak lain
(Aku) hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-
banyaknya antara diri sendiri (friauche) dengan pihak lain (Aku).
Sementara itu, tokoh Aku yang mengucapkan terima kasih atas tawaran-
tawaran friauche merupakan bentuk usaha untuk menghormati friauche. Tokoh
Aku mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan karena dengan
menghormati friauche berarti telah memaksimalkan keuntungan pada friauche.
Walaupun tuturan tokoh Aku juga bisa berarti penolakan atas segala tawaran-
tawaran friauche.
4.1.5. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian.
Peserta tindak tutur yang memberikan ucapan selamat kepada mitra
tuturnya ketika mendapat kesuksesan atau kebahagiaan atau memberikan simpati
ketika mitra tuturnya mendapatkan kesusahan atau musibah adalah tanda bahwa
peserta tindak tutur tersebut mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim
kesimpatian. Maksim ini menegaskan antar peserta tindak tutur untuk mengurangi
rasa antipati hingga sekecil-kecilnya.
Berikut contoh monolog (7) yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim
kesimpatian.
(7) Konteks : Tokoh Aku belum bisa tidur di selnya yang khusus bagi terpidana mati, ia (Aku) mengamati segala bentuk ruang selnya yang merupakan bangunan bekas istana Bicêtre yang dibangun pada abad kelima belas oleh Kardinal Winchester. Tiba-tiba ia (Aku) menemukan coretan gambar tempat pemancungan yang membuat dia (Aku) kaget karena coretan gambar tersebut mengingatkannya (Aku) pada hukuman mati yang akan menimpannya (Aku).
Nrt-14 : Je n’irai pas plus loin dans ma recherche.
Aku (Pn) : – Je viens de voir, crayonnée en blanc au coin du mur, une image épouvantable, la figure de cet échafaud qui, à l’heure qu’il est, se dresse peut-être pour moi.
Aku (Pt) : – La lampe a failli me tomber des mains. Nrt-15 : Je suis revenu m’asseoir précipitamment sur ma paille, la tête
dans les genoux. Puis mon effroi d’enfant s’est dissipé, et une étrange curiosité m’a repris de continuer la lecture de mon mur.
(11/LDJC/52)
Nrt-14 : Aku tidak melanjutkan lebih jauh lagi penelitianku.
Aku (Pn) : – Baru saja kulihat sebuah gambar yang menyeramkan di sudut dinding, digambar dengan krayon putih : gambar tempat pemancungan yang saat ini sedang didirikan untukku.
Aku (Pt) : - Lampu yang kupegang hampir terlepas jatuh. Nrt-15 : Aku buru-buru duduk di atas tumpukan jeramiku,
kusembunyikan kepalaku di sela-sela dengkulku. Kemudian rasa takutku yang kekanak-kanakan itu hilang, dan rasa ingin tahu yang aneh mendorongku untuk meneruskan membaca tulisan-tulisan yang ada di tembok selku.
Pn tidak melanjutkan pengamatannya (Aku) pada ruang selnya (seperti
pada Nrt-14) karena telah melihat gambar tempat pemancungan karena
mengingatkannya (Aku) pada eksekusi hukuman mati yang akan dijalaninya
merupakan bentuk kesimpatian atas penderitaan yang dialaminya sendiri akibat
vonis hukuman mati. Pn begitu sensitif mengungkapkan ekspresinya yang
langsung teringat vonis hukuman mati ketika melihat gambar tempat
pemancungan pada tembok sel penjara padahal hanya berupa gambar. Maka
ekspresi Pn (Je viens de voir, crayonnée en blanc au coin du mur, une image
épouvantable, la figure de cet échafaud qui, à l’heure qu’il est, se dresse peut-être
pour moi, ’Baru saja kulihat sebuah gambar yang menyeramkan di sudut dinding,
digambar dengan krayon putih : gambar tempat pemancungan yang saat ini
sedang didirikan untukku’) itu mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim
kesimpatian karena mengurangi rasa antipati antara diri (Pn) dengan pihak lain,
dirinya sendiri (Pn) hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati
sebanyak-banyaknya antara diri (Pn) dengan pihak lain, dirinya sendiri (Pn).
Ekspresi Pt berupa tindakan dengan hampir melepaskan lampu yang dia
(Pt) pegang juga merupakan bentuk kesimpatian. Pt begitu kaget ketika
menemukan gambar tempat pemancungan pada dinding ruang sel penjara.
Ekspresi tersebut sebagai tanda simpati atas penderitaan yang dialami Pn karena
mendapat vonis hukuman mati. Maka Pt juga mematuhi prinsip kesantunan, yakni
maksim kesimpatian karena mengurangi rasa antipati antara diri (Pt) dengan pihak
lain (Pn) hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-
banyaknya antara diri (Pt) dengan pihak lain (Pn).
4.5. Pelanggaran Prinsip Kesantunan.
Dialog yang terjadi antara Pn dan Pt memungkinkan adanya pelanggaran
prinsip kesantunan yang lebih dari satu pelanggaran. Pelanggaran-pelanggaran
yang dilakukan oleh Pn dan atau Pt bisa saja sama ataupun berbeda. Ditemukan
16 data yang melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan (3 tuturan),
kedermawanan (13 tuturan), pujian (3 tuturan), kerendahan hati (1 tuturan), dan
kesimpatian (10 tuturan).
4.2.1. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kedermawanan.
Percakapan yang tidak memaksimalkan keuntungan pihak lain atau justru
memaksimalkan keuntungan diri sendiri, berarti percakapan tersebut melanggar
prinsip kesantunan, yaitu maksim kearifan dan kedermawanan. Hasil analisis data,
ditemukan 1 wacana monolog dan 2 dialog yang melanggar prinsip kesantunan,
yaitu maksim kearifan dan kedermawanan.
Berikut contoh dialog (8) yang melanggar prinsip kesantunan, yaitu
maksim kearifan dan kedermawanan.
(8) Konteks : Tokoh Aku bertanya kepada Marie mengenai isi doa yang ditujukan kepada ayahnya (Marie).
Nrt-16 : Je l’ai baisée au front. Aku : – Marie, dis-moi ta prière.
Marie : – Je ne peux pas, monsieur. Une prière, cela ne se dit pas dans le jour. Venez Ce soir dans ma maison; je la dirai.
(45/LDJC/110)
Nrt-16 : Kucium keningnya. Aku : – Marie, katakan kepadaku bagaimana doamu ?. Marie : – Aku tidak bisa melakukannya, Tuan. Doa itu tidak
diucapkan di siang hari. Datanglah malam ini ke rumahku. Nanti kukatakan.
Tindakan tokoh Aku yang menciumi kening Marie (seperti pada Nrt-16)
dan menanyakan isi doa Marie merupakan ekspresi pemaksimalan keuntungan
pada diri sendiri (Aku). Walaupun tindakan Aku itu dilakukan kepada putrinya
(Marie) sendiri, namun ternyata Marie tidak mengenalnya lagi akibatnya Marie
merasa tidak nyaman dengan sikap dan pertanyaan tokoh Aku. Dengan demikian,
dapat disimpulkan tindakan tokoh Aku melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan karena tidak membuat keuntungan diri sendiri (Aku) sekecil-
kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri (Aku) sebesar-besarnya.
Tokoh Aku seharusnya bisa sebijak mungkin untuk menggunakan
pendekatan kepada Marie agar mengenalinya lagi sebagai ayahnya, semisal
dengan tidak terlalu memaksakan untuk mencium kening Marie. Tuturan tokoh
Aku bisa diganti dengan semisal tuturan (8a) berikut, yang terkesan lebih sopan,
(8a) Marie, pourrais-tu raconter ta prière.
‘Marie, sudilah (kamu) menceritakan doamu’.
Apabila tokoh Aku menggunakan tuturan (8a) naka terkesan lebih sopan
karena dia tidak menyebutkan dirinya sebagai pihak yang mendapatkan
keuntungan dari konsekuensi dari tuturan (8a).
Lain halnya, Marie yang menolak menyebutkan isi doanya merupakan
bentuk penolakan atas permintaan tokoh Aku. Penolakan tersebut mengakibatkan
kerugian bagi pihak lain (Aku) walaupun penolakan tersebut bisa jadi ekspresi
kejujuran seorang Marie yang masih kanak-kanak. Namun demikian, penolakan
Marie sudah dapat dikatakan melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan
karena tidak membuat kerugian orang lain (Aku) sekecil-kecilnya dan tidak
membuat keuntungan orang lain (Aku) sebesar-besarnya
Marie bisa menolak keinginan tokoh Aku dengan tuturan yang lebih halus,
semisal dengan tuturan (8b) berikut.
(8b) Oui, monsieur mais je ne pourrais pas. Une prière, cela ne se dit pas dans le jour. Vous pourriez venir chez moi, s’il vous plaît; je la dirai.
‘Iya, Tuan, tetapi saya terpaksa tidak bisa melakukannya. Doa itu
tidak diucapkan di siang hari. Sudilah (anda) datang ke rumah saya. Nanti kukatakan. ’.
Ketika menolak permintaan tokoh Aku dengan menggunakan tuturan (8b)
di atas maka akan terkesan lebih sopan karena Marie tidak menolak secara frontal
melainkan menolak sebagaian. Penolakan sebagian itu berupa jawaban oui, ’iya’
yang mengiyakan keinginan tokoh Aku walupun akhirnya menolak keinginan
tokoh Aku.
Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan
bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur
percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu
adalah menyatakan harapan, yaitu harapan agar Marie mengingat kembali dirinya
(Aku) sebagai ayahnya.
Lain halnya, tuturan Marie mengandung implikasi ketakutan, yaitu
ketakutan Marie kepada tokoh Aku yang tidak ia (Marie) kenal.
4.2.2. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan. Setiap percakapan berisi ide-ide pemikiran dari Pn-nya sehingga
cenderung melebih-lebihkan kepentingan dirinya (Pn). Namun dalam prinsip
kesantunan diatur agar peran diri sendiri sekecil-kecilnya, hal inilah yang disebut
mematuhi maksim kedermawanan. Jika sebaliknya maka melanggar maksim
kedermawanan. Maksim ini menegaskan untuk membuat keuntungan diri sendiri
sekecil-kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya. Dari hasil
analisis data, ditemukan 5 wacana dialog yang melanggar prinsip kesantunan,
maksim kedermawanan.
Berikut ditampilkan 2 wacana dialog (9), (10) sebagai sampel.
(9) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, tembakau milik petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) jatuh pada saat ditawarkan kepada tokoh Aku.
Nrt-17 : En ce moment sa tabatière, qu’il me tendait, a rencontré le
grillage qui nous séparait. Un cahot a fait qu’elle l’a heurté assez violemment et est tombée tout ouverte sous les pieds du gendarme.
L’huissier : – Maudit grillage ! S’est écrié l’huissier. Nrt-18 : Il s’est tourné vers moi. – Eh bien ! Ne suis-je pas malheureux ? Tout mon tabac est
perdu ! Aku : – Je perds plus que vous, ai-je répondu en souriant. Nrt-19 : Il a essayé de ramasser son tabac, en grommelant entre ses
dents : L’huissier : – Plus que moi ! Cela est facile à dire. Pas de tabac jusqu’à
Paris ! C’est terrible !
(28/LDJC/77-78)
Nrt-17 : Pada saat itu, kotak tembakau yang ia sodorkan kepadaku membentur jeruji yang memisahkan kami. Sebuah guncangan telah menyebabkannya membentur jeruji dengan cukup keras sehingga kotak itu jatuh terbuka di lantai, di dekat kaki si prajurit.
L’huissier : – Teralis sialan ! teriak pelaksana keputusan hukuman itu. Nrt-18 : Ia berpaling kepadaku. – Lihat ! Apakah aku tidak menderita ? Aku kehilangan
semua tembakauku ! Aku : – Aku kehilangan lebih dari Anda, jawabku sambil
tersenyum. Nrt-19 : Ia mencoba memunguti tembakaunya sambil mendesis
menggerutu : L’huissier : – Lebih dariku ! Bicara, mudah ! Tanpa tembakau
sampai Paris ! Benar-benar menjengkelkan !
L’huissier menyampaikan amarahnya kepada tokoh Aku karena
tembakaunya telah jatuh pada saat mau ditawarkan kepada tokoh Aku. Tindakan
l’huissier tersebut memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri sehingga
melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. Jatuhnya tembakau
l’huissier adalah akibat dari kesalahan l’huissier sendiri yang tidak memegang
tembakaunya dengan kuat namun dia (l’huissier) menyalahkan tokoh Aku. Hal itu
berarti l’huissier juga meminimalkan kerugian bagi diri sendiri. Maka l’huissier
melanggar submaksim (membuat keuntungan diri sendiri sekecil-kecilnya)
pertama dan submaksim (membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya) kedua
prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.
L’huissier seharusnya tidak harus mengungkapkan kekesalannya kepada
tokoh Aku akbat tembakaunya yang jatuh, justru dia harus minta maaf kepada
tokoh Aku karena tidak jadi menawarkan tembakau. Dengan demikian, tuturan
l’huissier bisa diganti dengan semisal tuturan (9a) berikut.
(9a) Excuxez-moi, monsieur, je ne donnerrais pas encore mon tabac.
‘Maafkan saya Tuan, saya belum jadi memberi tembakauku.’
Tuturan (9a) di atas lebih terasa sopan. Tokoh Aku-pun akan menanggapi
dengan halus pula ketika l’huissier membuka pembicaraan dengan bahasa yang
sopan.
Di sisi lain, tokoh Aku terpancing amarahnya karema l’huissier telah
menyalahkan dirinya sebagai penyebab jatuhnya tembakau l’huissier. Tokoh Aku
menganggap hilangnya tembakau tidak sebanding dengan dirinya (Aku) yang
akan kehilangan nyawa. Tindakan tokoh Aku tersebut juga melanggar prinsip
kesantunan, yakni maksim kedermawanan karena tokoh Aku memaksimalkan
keuntungan bagi diri sendiri, yang menganggap dirinya orang yang akan paling
kehilangan, yakni kehilangan nyawanya.
Tokoh Aku seharusnya bisa ikut bersimpati dengan jatuhnya tembakau
milik l’huissier. Tokoh Aku bisa mengungkapkan kesimpatiannya, semisal
dengan tuturan (8b) berikut.
(9a) N’inquiétez pas, Monsieur, il est seulement un tabac.
‘Jangan khawatir Tuan, itu hanyalah tembakau.’
Tuturan l’huissier yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan
bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur
percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu
adalah menyatakan kekecewaan, yaitu kekecewaan karena tembakaunya jatuh.
Lain halnya, tuturan Aku mengandung implikasi kegundahan, yaitu
kegundahan dirinya yang akan kehilangan nyawa.
Dialog (10) d bawah ini juga mematuhi prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan.
(10) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Gendarme meminta tolong kepada tokoh Aku agar ketika sudah mati untuk menemuinya (gendarme) memberi nomer undian lewat mimpi.
Nrt-20 : Il a baissé la voix et pris un air mystérieux, ce qui n’allait
pas à sa figure idiote. Gendarme : – Oui, criminel, oui bonheur, oui fortune. Tout cela me
sera venu de vous. Voici. Je suis un pauvre gendarme. Le service est lourd, la paye est légère ; mon cheval est à moi et me ruine. Or, je mets à la loterie pour contre-balancer. Il faut bien avoir une industrie. Jusqu’ici il ne m’a manqué pour gagner que d’avoir de bons numéros. J’en cherche partout de sûrs ; je tombe toujours à côté. Je mets le 76 ; il sort le 77. J’ai beau les nourrir, ils ne
viennent pas… – Un peu de patience, s’il vous plaît ; je suis à la fin. - Or, voici une belle occasion pour moi. Il paraît, pardon, criminel, que vous passez aujourd’hui. Il est certain que les morts qu’on fait périr comme cela voient la loterie d’avance. Promettez-moi de venir demain soir, qu’est-ce que cela vous fait ? Me donner trois numéros, trois bons. Hein ? – Je n’ai pas peur des revenants, soyez tranquille. – Voici mon adresse : Caserne Popincourt, escalier A, n° 26, au fond du corridor. Vous me reconnaîtrez bien, n’est-ce pas ? – Venez même ce soir, si cela vous est plus commode.
Nrt-21 : J’aurais dédaigné de lui répondre, à cet imbécile, si une
espérance folle ne m’avait traversé l’esprit. Dans la position désespérée où je suis, on croit par moments qu’on briserait une chaîne avec un cheveu.
Aku : Écoute, lui ai-je dit en faisant le comédien autant que le
peut faire celui qui va mourir, je puis en effet te rendre plus riche que le roi, te faire gagner des millions. – À une condition.
Nrt-22 : Il ouvrait des yeux stupides. Gendarme : – Laquelle ? Laquelle ? Tout pour vous plaire, mon
criminel.
Aku : Au lieu de trois numéros, je t’en promets quatre. Change d’habits avec moi.
Gendarme : – Si ce n’est que cela ! s’est-il écrié en défaisant les
premières agrafes de son uniforme.
Nrt-23 : Je m’étais levé de ma chaise. J’observais tous ses mouvements, mon cœur palpitait. Je voyais déjà les portes s’ouvrir devant l’uniforme de gendarme, et la place, et la rue, et le Palais de Justice derrière moi!
(38/LDJC/94-95)
Nrt-20 : Ia memelankan suaranya dan memasang wajah misterius,
yang tidak sesuai dengan mukanya yang tolol. Gendarme : – Ya, penjahat, ya kebahagian, ya keberuntungan.
Semua itu akan datang berkatmu. Begini. Aku ini seorang prajurit melarat. Tugasku berat tapi gajiku
sedikit. Kudaku menjadi tanggunganku dan membuatku bangkrut. Oleh karenanya aku pasang lotere untuk mengimbanginya. Kita kan harus punya penghasilan. Sampai sekarang yang kurang hanyalah memasang noemr yang tepat. Aku mencari ke mana-mana nomor yang sip, tapi selalu meleset. Aku pasang 76, yang keluar 77. Nomor itu kupasangi terus, tapi tidak pernah keluar..... – Tolong sabar sebentar, aku segera selesai. - Nah, kini kesempatan yang bagus tiba. Kelihatannya, maaf ya penjahat, hari ini hari terakhir Anda. Orang yang akan dimusnahkan begitu pasti dapat melihat nomor yang akan keluar. Tolong kunjungi aku besok malam ? Apa rugi Anda memberiku tiga nomer ? Tiga nomor yang siip ! Yaa ? – Aku tidak takut hantu, tenang saja. – Ini alamatku : asrama Popincourt, tangga A, no. 26, di ujung. Anda pasti akan mengenaliku, kan ? – Bahkan datanglah malam ini jika itu lebih praktis buat Anda.
Nrt-21 : Sebenarnya aku tidak sudi menjawab orang tolol ini, kalau
saja tidak terlintas di benakku satu harapan konyol. Dalam keadaan putus asa sepertiku saat ini, terkadang orang merasa mampu merantaskan rantai dengan seutas rambut.
Aku : Dengar, kataku bersandiwara semampu mungkin yang
dilakukan seorang di ambang kematian, memang benar aku bisa membuatmu kaya melebihi raja, membuatmu menang jutaan. – Tapi dengan satu syarat.
Nrt-22 : Ia membelalak tolol. Gendarme : – Apa ? Apa syaratnya ? Akan kulakukan apa pun
untuk menyenangkanmu, wahai penjahatku.
Aku : Tidak hanya empat nomer, akan kuberi kamu empat nomer. Mari bertukar pakaian.
Gendarme : – Kalau hanya itu saja ! serunya sambil melepas kancing-
kancing seragamnya.
Nrt-23 : Aku bangkit dari kursiku. Kuperhatikan semua gerakannya, jantungku berdebar. Tampak sudah padaku pintu-pintu terbuka dihadapanku yang mengenakan seragam prajurit, kemudian bunderan, jalan, dan gedung Palais de Justice di belakangku !
Gendarme meminta kepada tokoh Aku untuk memberinya nomer undian
lotere ketika sudah mati nanti. Keinginan gendarme tersebut sangat
memaksimalkan keuntungan diri sendiri karena kenyataannya tokoh Aku belum
mati. Sementara itu, keinginan gendarme baru terjadi ketika tokoh Aku sudah
mati. Tuturan gendarme sangat kurang sopan karena dia menyebutkan
keinginanya dengan sangat jelas dan terang, bahkan memberikan alamat
rumahnya. Hal ini tidak sesuai dengan bunyi maksim kedermawanan yang
mengharuskan setiap peserta tindak tutur untuk membuat keuntungan diri sendiri
sekecil-kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya. Maka dapat
dipastikan bahwa gendarme telah melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan.
Gendarme yang memiliki keinginan untuk menjadi kaya, seharusnya tidak
harus memilih mengadu nasib dengan membeli nomer undian lotere. Dia
(gendarme) bisa memilih pekerjaan lain atau fokus bekerja dengan serius sebagai
sipir penjara yang kemudian naik pangkat dengan naiknya gaji. Gendarme bisa
saja meminta informasi kepada tokoh Aku kalau seandainya punya informasi
kerja atau usaha yang menghasilkan uang. Gendarme bisa bertanya, semisal
dengan tuturan (9a) berikut.
(10a) Excusez-moi, monsieur, est-ce que vous avez connu un travail?, j’ai besoin d’augmenter mon salary.
‘Permisi Tuan, apakah Anda mengetahui tentang info pekerjaan
baru ? saya harus menaikkan pendapatan saya.’ Tuturan (10a) di atas terasa lebih sopan dan efektif karena jikalau
l’huissier menggunakan tuturan (10a) tersebut maka dia bisa mendapatkan
informasi kerja baru yang berpeluangan untuk menambah gajji. Selain dari itu,
dengan tuturan (8a) tersebut l’huissier tidak harus mengusik batin tokoh Aku yang
memang sudah mendapat vonis hukuman mati.
Di sisi lain, tokoh Aku yang menyebutkan akan memberi nomer undian
lotere kepada l’huissier dengan syarat bertukar pakaian memaksimalkan
keuntungan bagi diri sendiri. Tokoh Aku mencoba untuk menipu l’huissier
dengan berpura-pura minta ganti pakaian agar bisa digunakan untuk menyamar
agar dapat melarikan diri dari penjara Bicêtre.
Dengan dasar itu, tokoh Aku melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim
kedermawanan karena tidak membuat keuntungan diri sendiri (Aku) sekecil-
kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri (Aku) sebesar-besarnya.
Tokoh Aku sebenarnya bisa memberikan nasihat kepada l’huissier untuk
serius dalam bekerja atau membuat usaha yang bisa menambah pendapatan
l’huissier.
Tuturan l’huissier yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan
bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur
percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu
adalah menyatakan harapan, yaitu harapan menjadi orang yang kaya atau
berpenghasilan tinggi.
Sama halnya, tuturan Aku juga mengandung implikasi harapan, yaitu
harapan agar lolos dari jeratan hukuman mati.
4.2.3. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan Pujian. Dialog merupakan representasi dari keinginan setiap individu peserta
tindak tutur, walaupun setiap peserta tindak tutur memiliki keinginan namun di
dalam norma prinsip kesantunan mengharuskan setiap peserta tindak tutur untuk
meminimalkan keuntungan diri sendiri. Namun jika tidak bisa mematuhi norma
tersebut maka peserta tindak tutur melanggar prinsip kesantnan, maksim
kedermawanan.
Sementara itu, jika peserta tindak tutur mengatakan hal-hal yang tidak
menyenangkan mengenai orang lain, terutama mengenai Pt, maka peserta tindak
tutur tersebut malanggar prinsip kesantunan, maksim pujian. Data yang telah
dianalisis, ditemukan 3 dialog yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan dan pujian. 1 data dialog akan dibahas di bawah ini sebagai
sampel.
Berikut wacana (11) sebagai data yang melanggar prinsip kesantunan,
maksim kedermawanan dan pujian.
(11) Konteks : Tokoh Aku dikawal petugas pelaksana pengadilan (l’huissier), pastor penjara, dan enam prajurit menuju bunderan Grève dengan menggunakan kereta. Di dalam kereta tersebut, tokoh Aku ikut masuk ke dalam perbincangan antara l’huissier dan pastor.
L’huissier : – Bah ! a repris l’huissier, il est impossible que vous ne
sachiez pas cela. La nouvelle de Paris ! La nouvelle de ce matin !
Nrt-24 : J’ai pris la parole. Aku : – Je crois la savoir.
Nrt-25 : L’huissier m’a regardé. L’huissier : – Vous ! Vraiment ! En ce cas, qu’en dites-vous ? Aku : – Vous êtes curieux ! Lui ai-je dit.
(24/LDJC/74-75)
L’huissier : – Ah ! Lanjut pelaksana hukuman mati itu, tidak mungkin kalau Anda tidak mengetahuinya. Berita tentang yang terjadi di Paris ! Berita pagi ini !
Nrt-24 : Aku angkat suara : Aku : - Kukira aku tahu. Nrt-25 : Pelaksana hukuman itu memandangiku. L’huissier : – Anda ! Benarkah ! Kalau begitu apa pendapat Anda ? Aku : – Anda melit ! Kataku kepadanya.
L’huissier yang memaksa pastor penjara untuk bercerita tentang berita di
Paris memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri (l’huissier). Melalui
tuturanya (Bah ! a repris l’huissier, il est impossible que vous ne sachiez pas
cela. La nouvelle de Paris ! La nouvelle de ce matin !, ‘Ah ! Lanjut pelaksana
hukuman mati itu, tidak mungkin kalau Anda tidak mengetahuinya. Berita
tentang yang terjadi di Paris ! Berita pagi ini !,), l’huissier bahkan tidak
percaya kalau pastor penjara tidak mengetahui berita tentang paris pada hari itu.
Tindakan l’huissier yang memaksakan keinginannya kepada pastor penjara
tersebut tidak memaksimalkan kerugian pada diri sendiri. Maka l’huissier
melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan karena tidak membuat
keuntungan diri sendiri sekecil-kecilnya dan tidak membuat kerugian diri sendiri
sebesar-besarnya.
L’huissier seharusnya menyampaikan keinginannya dengan bahasa yang
lebih santun, semisal tuturan (11a) berikut.
(11a) Excusez-moi, pourriez vous me raconter le nouvelle sur, ce jour.
‘Permisi Tuan, sudilah kiranya (Anda) bercerita berita tentang Paris hari ini.’
jika l’huissier mengungkapkan keinginannya untuk mengetahui berita
tentang Paris dengan menggunakan tuturan (11a) di atas akan terasa lebih sopan.
Adapun tokoh Aku yang mengatakan l’huissier sebagai orang yang melit
(memiliki keingintahuan yang tinggi) menyiratkan bahwa tokoh Aku mengecam
l’huissier sebagai seorang yang menganggu dirinya maupun pastor penjara. Hal
itu dilakukan tokoh Aku karena dia (Aku) merasa terganggu dengan l’huissier
yang terlalu memaksakan keinginannya kepada pastor penjara untuk mengetahui
berita tentang berita di Paris pada hari itu. Maka tokoh Aku melanggar prinsip
kesantunan, maksim pujian karena tidak mengecam orang lain sedikit-dikitnya.
Ketika tokoh Aku sudah mengatakan bahwa dia tahu berita tentang Paris
(Je crois la savoir, ’Kukira aku tahu’), seharusnya dia menjawab pertanyaan
l’huissier.
Tuturan l’huissier yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan
bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur
percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu
adalah menyatakan keingintahuan, yaitu keingintahuan tentang berita baru
mengenai Paris.
Sama halnya, tuturan Aku juga mengandung implikasi penolakan, yaitu
menolak menjawab pertanyaan l’huissier.
4.2.4. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan Kesimpatian. Setiap peserta tindak tutur yang sangat mengedepankan kepentingan
pribadinya dengan tuturan yang diutarakan dengan langsung kemungkinan besar
melanggar prinsip kesantunan. Selain dari itu, setiap peserta tindak tutur yang
tidak mampu memahami kesedihan atau bencana yang dialami oleh orang lain
kecenderungannya akan melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.
Wacana monolog (12) di bawah ini melanggar prinsip kesantunan, yakni
maksim kedermawanan dan kesimpatian.
(12) Konteks : Ketika di balai pengobatan, tokoh Aku mendengar seorang gadis berumur 15 tahun yang sedang bernyanyi tentang ratapan seorang pencuri yang membuat kecewa istrinya. Seketika itu, tokoh Aku terpikir untuk melarikan diri dari penjara Bicêtre untuk bertemu keluarganya (Aku).
Nrt-26: Oh ! Si je m’évadais, comme je courrais à travers champs !
Non, il ne faudrait pas courir. Cela fait regarder et soupçonner. Au contraire, marcher lentement, tête levée, en chantant. Tâcher d’avoir quelque vieux sarrau bleu à dessins rouges. Cela déguise bien. Tous les maraîchers des environs en portent.
Je sais auprès d’Arcueil un fourré d’arbres à côté d’un marais, où, étant au collège, je venais avec mes camarades pêcher des grenouilles tous les jeudis. C’est là que je me cacherais jusqu’au soir. La nuit tombée, je reprendrais ma course. J’irais à Vincennes. Non, la rivière m’empêcherait. J’irais à Arpajon.
Aku (Pn) : – Il aurait mieux valu prendre du côté de Saint-Germain, et
aller au Havre, et m’embarquer pour l’Angleterre. – N’importe ! J’arrive à Longjumeau. Un gendarme passe ; il me demande mon passeport… Je suis perdu !
Aku (Pt) : – Ah ! Malheureux rêveur, brise donc d’abord le mur épais de trois pieds qui t’emprisonne ! La mort ! La mort !
(15/LDJC/67)
Nrt-26: Oh, seandainya aku melarikan diri, betapa aku akan berlari
melintasi ladang-ladang !
Tidak, jangan lari. Itu akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Sebaliknya, aku akan pelan-pelan, kepala tegak, sambil bernyanyi. Aku harus berusaha mendapat pakaian kerja yang sudah lama dipakai, berwarna biru dengan gambar-gambar merah. Itu merupakan penyamaran yang bagus. Semua petani sayur di sekitar ini memakainya. Aku tahu bahwa di dekat Arcueil ada segerumbul pohon di dekat pohon di dekat rawa, tempat yang sering kukunjungi saat aku masih sekolah dulu bersama teman-temanku setiap kamis untuk memancing katak. Di sana aku akan bersembunyi hingga petang. Saat malam tiba, aku akan melanjutkan perjalananku. Aku akan menuju Vincennes. Tidak, ada sungai yang menghalang. Aku akan pergi ke Arpajon
Aku (Pn) : – Lebih baik aku mengambil arah Saint-Germain, dan pergi ke Le Havre, dan naik kapal menyeberang ke Inggris. -Tidak penting ! Aku tiba di Longjumeau. Seorang prajurit menanyakan pasportku… Habislah aku !
Aku (Pt) : – Ah ! Pemimpi malang ! Jebol dulu tembok setebal tiga kaki
yang mengurungmu ini ! Kematian ! Kematian !
Pn berencana melarikan diri dari penjara dengan mengambil arah Saint-
Germain, lalu pergi ke Le Havre, dan naik kapal menyeberang ke Inggris. Pn yang
merencanakan melarikan diri dari penjara menunjukkan dia (Pn) mengedepankan
kepentingan diri sendiri (Pn). Dengan demikian, kalau rencana Pn untuk
melarikan diri dari penjara benar-banar dilakukan maka Pn melanggar prinsip
kesantunan, maksim kedermawan karena membuat keuntungan diri sendiri
sekecil-kecilnya.
Pn sebaiknya menempuh jalur hukum yang benar ketika ingin bebas dari
penjara, semisal dengan mengajukan banding ke tingkat pengadilan tinggi atau
mengajukan kasasi ke mahkamah agung. Seandainya Pn ingin bertemu
keluarganya tidak harus dengan melarikan diri namun Pn bisa meminta
keluarganya untuk menjenguknya di penjara. Pn bisa menggunakan tuturan (89a)
di bawah ini untuk mengungkapkan keinginnannya bertemu keluarga.
(12a) Je vais demander la cassation à la cour supreme pour d’être lavé de ce condamné à mort. Alos j’ai liberté d’action à se rencontres mes familles.
‘Saya akan meminta kasasi ke Mahkamah Agung agar bisa bebas dari hukuman matu itu. Maka saya memiliki keleluasaan bergerak untuk bertemu dengan keluargaku.’
Melalui tututuran (12a) di atas, Pn memiliki keleluasaan bergerak untuk
bertemu dengan keluarganya melalui jalan yang benar yaitu yang sesuai jalur
hukum.
Sementara itu, Pt yang menyarankan kepada Pn untuk menjebol tembok
penjara yang setebal tiga kaki merupakan bentuk ketidakpedulian Pt terhadap Pn
yang menginginkan bertemu keuarganya (Pn). Bahkan Pt memaksimalkan
keantipatiannya dengan tuturan La mort ! La mort !, ‘Kematian ! Kematian !’
kepada Pn. Maka Pt melanggar prinsip kesantunan, yaitu maksim kesimpatian
karena tidak mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (Pt) dengan pihak lain
(Pn) hingga sekecil-kecilnya dan tidak meningkatkan rasa simpati sebanyak-
banyaknya antara diri sendiri (Pt) dengan pihak lain (Pn).
Pt seyogyanya memberikan simpati kepada Pn sebagai terpidana mati yang
ingin bertemu keluarganya. Bentuk kesimpatian Pt bisa diuangkapkan degan
tuturan (12b) berikut.
(12b) Il serait bien que vous le portiez en cassation. Alors vous avez liberté d’action à se rencontres ses familles.
‘Anda lebih baik membawa kasus (vonis hukuman mati) ke tingkat kasasi. Maka anda memiliki keleluasaan bergerak untuk bertemu dengan keluarga anda.’
Ketika Pt memberikan simpati sekaligus saran seperti pada (12b) maka
akan membuat Pn memiliki keyakinan dan harapan untuk bebas dari hukuman
mati.
Tuturan Pn yang melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim
kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena melalui inferensi atas pelanggaran maksim kedermawanan itu
menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan,
yaitu harapan. Implikatur itu diungkapkan secara tersirat oleh Pn melalui
tuturannya yang mengharapkan bebas dari penjara dan bisa bertemu keluarganya
(Aku).
Adapun tuturan Pt mengandung implikasi kecaman, yaitu kecaman kepada
Pn yang seakan bermimpi untuk bisa melarikan diri dari penjara.
4.2.5. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian. Jika bentuk tuturan tidak mengurangi rasa antipati antara diri dengan orang
lain hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya
antara diri dengan lain, tuturan itu melanggar maksim kesimpatian. Pelanggaran
maksim kesimpatian ini dapat ditandai dengan tuturan yang tidak memperdulikan
dengan apa yang dikatakan atau apa yang terjadi dengan Ptnya. Ditemukan 2
wacana monolog dan 2 wacana dialog yang melanggar prinsip kesantunan, yakni
maksim kesimpatian. Di bawah ini ditampilkan 1 wacana monolog dan 1 wacana
dialog sebagai sampel.
Berikut ini adalah contoh wacana monolog yang mengungkapkan
pelanggaran prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.
(13) Konteks : Di dalam kereta yang membawa tokoh Aku ke penjara Bicêtre, tokoh Aku memikirkan vonis hukuman mati yang baru saja ia (Aku) terima, vonis hukuman mati tersebut bisa saja ditangguhkan dengan masa waktu yang tidak jelas, namun tokoh Aku juga tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya kehidupan di penjara hingga akhirnya menuju pada eksekusi mati.
Aku (Pn) : Condamné à mort!
Nrt-27 : Eh bien, pourquoi non? Les hommes, je me rappelle l’avoir lu dans je ne sais quel livre où il n’y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis. Qu’y a-t-il donc de si changé à ma situation? Depuis l’heure où mon arrêt m’a été prononcé, combien sont morts qui s’arrangeaient pour une longue vie! Combien m’ont devancé qui, jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève! Combien d’ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré, et qui me devanceront encore! Et puis, qu’est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l’éducation, être brutalisé des guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d’une parole et à qui je le rende, sans cesse tressaillir et de ce que j’ai fait et de ce qu’on me fera ; voilà à peu près les seuls biens que puisse m’enlever le bourreau.
Aku (Pt) : - Ah! N’importe, c’est horrible!
(7/LDJC/ 43)
Aku (Pn) : Dihukum mati!
Nrt-27 : Eh, kenapa tidak? Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di sebuah buku yang judulnya aku lupa dan hanya itu saja isinya yang bagus. Jadi apa bedanya dengan keadaanku sekarang? Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bunderan Grève telah mendahuluiku di antara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka! Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini? Hari-hari yang suram dan roti di ruang tahanan, jatah kuah encer yang diciduk dari tahang orang-orang hukuman yang dirantai, perlakuan dan ucapan yang kasar yang ditujukan kepadaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas diajak bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapku: itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku
Aku (Pt) : - Ah, masa bodoh, sangat mengerikan!
Pada tuturan di atas, tindakan Pn melanggar Submaksim pertama
(mengurangi rasa antipati antara diri dengan pihak lain hingga sekecil-kecilnya)
prinsip kesantunan, maksim kesimpatian. Hal itu dikarenakan Pn tidak bersimpati
kepada pihak lain, yakni dirinya sendiri yang telah mendapat vonis hukuman mati
Melalui tuturan Pn (Condamné à mort !, ’Dihukum mati !’), maka dapat
dinyatakan bahwa Pn melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian
karena tidak mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (Pn, Aku) dengan pihak
lain (Pn, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan tidak meningkatkan rasa simpati
sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (Pn, Aku) dengan pihak lain (Pn, Aku).
Pn tidak berfikiran positif sebagai bentuk optimisme atas dirinya sendiri
dan justru mengalami kebingungan terhadap vonis hukuman mati yang
menimpanya (Pn). Seharusnya Pn memiliki optimisme menghadapi vonis
hukuman mati. Optimisme Pn bisa diungkapkan dengan tuturan (13a) berikut.
(13a) Bien que j’aie condamné à mort mais je suis sûr de ma liberté. ‘Meskipun saya telah divonis hukuman mati tetapi saya yakin
pada kebebasanku’
Jikalau Pn mengungkapkan tindakannya melalui tuturan (13a) di atas,
maka hal itu menunjukkan sebuah kepercayaan diri sendiri (Pn) dan juga
menunjukkan pikiran positif pada diri sendiri (Pn) untuk bebas dari hukuman
mati. Sehingga tindakan tersebut (13a) memberikan keuntungan yang sebesar-
besarnya kepada pihak lain, yaitu dirinya sendiri (Pn), mengingat ini adalah
wacana monolog.
Senada dengan Pn, Pt, juga melanggar prinsip kesantunan, maksim
kesimpatian. Sikap Pt yang tidak peduli terhadap kondisi Pn yang mendapat vonis
hukuman mati dengan ungkapan - Ah! N’importe, c’est horrible! (‘- Ah, masa
bodoh, sangat mengerikan!’), menunjukkan Pt memaksimalkan antipati dan
meminimalkan simpati kepada pihak lain (Pn, Aku). Submaksim pertama
(mengurangi rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil-kecilnya) dan
submaksim kedua (meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri
dengan lain) maksim kesimpatian dilanggar secara sekaligus oleh tuturan itu.
Pn yang menyampaikan bahwa dirinya mendapat vonis hukuman mati
(melalui tuturannya) dengan optimisme penangguhan hukuman mati yang tidak
jelas waktunya dan tidak perlu menyesali dari kehidupan yang telah ia (Pn) alami
(seperti pada narasi 27), seharusnya mendapat tanggapan berupa kesimpatian dari
Pt. Maka seharusnya Pt dapat memberikan nasihat kesimpatian, semisal dengan
kalimat di bawah ini.
(13b) Je vous prie de bien vouloir agréer avec sa respectueuse souvenir, l’expression de sa douloureuse sympathie à la condamnation de mort
‘Saya mohon kepada Anda untuk berkenan menerima ucapan turut prihatin yang sedalam-dalamnya atas hukuman mati Anda.‘
N’inquiétez pas, Monsieur, les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis ‘Jangan khawatir, Tuan, Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan’
Jika Pt menggunakan kalimat (13b) di atas maka hal itu akan memberikan
sugesti kepada Pn agar tidak takut menghadapi hukuman mati dan memiliki
keyakinan bahwa setiap orang pasti akan mati dengan waktu yang tidak jelas baik
yang sudah mendapat kepastian dengan vonis hukuman mati atau tidak sama
sekali.
Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Pt melanggar prinsip
kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena tidak mengurangi rasa antipati
antara diri (Pt, Aku) dengan lain (Pn, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan tidak
meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri (Pt, Aku) dengan lain
(Pn, Aku).
Tuturan Pt yang melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian
itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena
melalui inferensi atas pelanggaran kedua submaksim itu menghasilkan simpulan
bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan, yaitu ketidakpedulian.
Implikatur itu diungkapkan secara tersirat oleh Pt melalui tuturan yang tidak
menunjukkan kesimpatian, yaitu sikap tidak peduli terhadap tokoh Aku yang
mendapat vonis hukuman mati.
Adapun tuturan Pn mengandung implikas keluhan, yaitu menyampaikan
keluhan mengenai vonis hukuman mati yang ia (Pn, Aku) terima.
Wacana dialog (14) berikut ini juga mengungkapkan pelanggaran prinsip
kesantunan, maksim kesimpatian.
(14) Konteks : Di balai persidangan, setelah keputusan sidang dibacakan dan tidak ada lagi pembelaan, maka sidang ditutup. Kemudian tokoh Aku dibawa ke penjara Bicêtre, pada saat tokoh Aku keluar dari ruang pengadilan, para pengunjung sidang meneriakinya sebagai ”terpidana mati”.
Para Pengunjung Sidang : – Condamné à mort!
Nrt-28 : « ……dit la foule ; et, tandis qu’on m’emmenait, tout ce peuple se rua sur mes pas avec le fracas d’un édifice qui se démolit…. Au bas de l’escalier, une noire et sale voiture grillée m’attendait. Au moment d’y monter, je regardai au hasard dans la place….. »
– Un condamné à mort!
Nrt-29 : « …….criaient les passants en courant vers la voiture. À travers le nuage qui me semblait s’être interposé entre les choses et moi, je distinguai deux jeunes filles qui me suivaient avec des yeux avides; »
Gadis Muda : – Bon, dit la plus jeune en battant des mains, ce
sera dans six semaines!
(6/LDJC/42-43) Para Pengunjung Sidang : – Dihukum mati !
Nrt-28 : ‘……terdengar orang-orang berkata. Dan saat orang membawaku pergi, semua orang menyerbu mengikutiku dengan hingar-bingar seperti gedung runtuh. .….…….. Di bawah tangga, sebuah kereta hitam, kotor dan berterali menungguku. Pada saat menaikinya, secara tidak sengaja aku melihat ke arah bunderan. …..’
– Dihukum mati !
Nrt-29 : ‘……….teriak orang-orang di sana sambil berlari menuju kereta.
Di balik kabut yang seolah terbentuk antara benda-benda dan diriku, samar-samar kulihat dua gadis mengikuti dengan pandangan serakah.
Gadis Muda : – Bagus, kata yang lebih muda sambil bertepuk
tangan, enam minggu lagi!
Para pengunjung sidang yang meneriaki tokoh Aku sebagai ”terpidana
mati” (–Un condamné à mort!, ’Dihukum mati!) melanggar prinsip kesantunan,
maksim kesimpatian karena tidak memberikan simpati kepada tokoh Aku yang
mengalami penderitaan akibat vonis hukuman mati yang diterimanya (Aku).
Begitupun gadis muda juga melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim
kesimpatian melalui tuturannya – Bon, ce sera dans six semaines! (’– Bagus,
enam minggu lagi!’) yang menunjukkan antipati dan ketidaksimpatiannya
terhadap Aku. Gadis muda yang antipati dan tidak bersimpati pada pihak ketiga
(Aku) menunjukkan gadis muda tersebut memaksimalkan antipati dan
meminimalkan kesimpatian dengan pihak lain (Aku). Submaksim pertama
(mengurangi rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain hingga sekecil-
kecilnya) dan submaksim kedua (meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya
antara diri sendiri dengan orang lain) maksim kesimpatian dilanggar secara
sekaligus oleh gadis muda. Tindakan gadis muda yang menegaskan bahwa
hukuman mati akan dieksekusi enam minggu lagi. Hal itu melanggar prinsip
kesantunan, maksim kesimpatian karena tidak memberikan nasihat untuk
bersimpati kepada tokoh Aku yang mendapatkan vonis hukuman mati. Bahkan
gadis muda tersebut cenderung antipati kepada tokoh Aku dengan menyepakati
hasil keputusan sidang pengadilan. Melalui kata – Bon,….. (’– Bagus,…..’), gadis
muda tersebut seakan-akan dia (gadis muda) sudah menantikan agar tokoh Aku
mendapat vonis hukuman mati.
Para pengunjung sidang dan gadis muda seharusnya menanggapi vonis
hukuman mati yang diterima oleh tokoh Aku dengan kesimpatian sebagaimana
yang ditegaskan pada prinsip kesantunan maksim kesimpatian, yaitu
meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya kepada pihak lain (Aku). Para
pengunjung sidang dan gadis muda bisa memberikan nasihat untuk bersimpati
kepada pihak lain (Aku), semisal dengan kalimat « Je vous prie de bien vouloir
agréer avec sa respectueuse souvenir, l’expression de sa douloureuse sympathie à
la condamnation de mort », (’Saya mohon kepada Anda untuk berkenan
menerima ucapan turut prihatin yang sedalam-dalamnya atas hukuman mati
Anda’), atau semisal dengan memberikan sugesti « N’inquiétez pas, Monsieur, les
hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis », (’Jangan
khawatir, Tuan, semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan
yang tidak ditentukan’).
Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa para pengunjung sidang
dan gadis muda melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena
tidak mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (para pengunjung sidang dan
gadis muda) dengan pihak lain (pihak ketiga, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan
tidak meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (para
pengunjung sidang dan gadis muda) dengan pihak lain (pihak ketiga, Aku).
Tuturan para pengunjung sidang dan gadis muda yang melanggar prinsip
kesantunan, yakni maksim kesimpatian itu memiliki fungsi sebagai sumber
implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena melalui inferensi atas pelanggaran
kedua submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung
implikatur percakapan, yaitu mencemooh. Implikatur itu diungkapkan secara
tersirat oleh para pengunjung sidang dan gadis muda melalui tuturan yang tidak
menunjukkan kesimpatian, yaitu sikap mencemooh tokoh Aku yang mendapat
vonis hukuman mati. Pada konteks lain, tindakan gadis muda bisa
mengimplikasikan harapan, yakni harapan agar vonis hukuman mati segara
dilaksanakan.
Sementara itu, tuturan para pengunjung sidang mengandung implikasi
penghinaan, yaitu penghinaan terhadap tokoh Aku yang statusnya sosialnya telah
berubah menjadi terpidana mati.
4.6. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan
Proses dialog yang terjadi antara Pn dan Pt, baik membicarakan Pt maupun
pihak ketiga memungkinkan adanya pematuhan prinsip kesantunan sekaligus
pelanggaran prinsip kesantunan. Hal itu terjadi dikarenakan adanya pandangan
yang berbeda antara Pn dan Pt dalam memandang objek yang dibicarakan.
Perbedaan pandangan tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
berbeda, diantaranya (1) tingkat pendidikan Pn dan Pt, (2) pengetahuan mengenai
hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur (Grice
dalam Rustono 1999:66), (3) latar belakang strata sosial dan kebudayaan (Lakoff
1990:35 dalam Eelen, 2001:3), (4) kondisi emosional Pn atau Pt pada saat
membicarakan objek yang dibicarakan, dll. Dari hasil analisis data, ditemukan 22
data yang mematuhi dan melanggar prinsip kesantunan. 22 Data tersebut terdiri
dari 16 tuturan mematuhi dan 4 tuturan melanggar maksim kearifan, 2 tuturan
mematuhi dan 12 tuturan melanggar maksim kedermawanan, 3 tuturan melanggar
maksim pujian, 3 tuturan mematuhi maksim kesepakatan, dan 5 tuturan mematuhi
dan 5 tuturan melanggar maksim kesimpatian.
Adapun prinsip kesantunan yang dipatuhi dan dilanggar berupa maksim
kearifan, kedermawanan, pujian, kesepakatan, dan kesimpatian.
4.3.12. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan.
Kesantunan wacana roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor
Hugo yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan ini adalah percakapan
yang meminimalkan biaya sosial kepada pihak lain. Maksim kearifan ini
memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt maupun pihak ketiga yang dibicarakan
antara Pn dan Pt) di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian sekecil-kecilnya
tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Jikalau sebaliknya maka melanggar
prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan. Ditemukan 1 wacana polilog dan 3
wacana dialog yang mematuhi dan melanggar prinsip kesantuan, maksim
kearifan. Data yang akan ditampilkan di bawah ini 1 wacana polilog dan 1 wacana
dialog.
Wacana dialog di bawah ini (15) mematuhi dan melanggar prinsip
kesantunan, maksim kearifan.
(15) Konteks : Di dalam sel penjara, Sipir penjara (Guichetier) mengatakan kepada tokoh Aku bahwa semua orang (petugas pengadilan, hakim, pengacara, dan para pengunjung sidang) telah menunggunya (Aku) untuk kembali melanjutkan sidang tentang
kasusnya (Aku) yang akhirnya menghasilkan vonis hukuman mati bagi tokoh Aku.
Nrt-30 : Je demeurais immobile, l’esprit à demi endormi, la bouche
souriante, l’œil fixé sur cette douce réverbération dorée qui diaprait le plafond.
Aku : – Voilà une belle journée, répétai-je. Guichetier : – Oui, me répondit l’homme, on vous attend.
(3/LDJC/ 39)
Nrt-30 : Aku tetap diam dengan pikiran setengah tertidur, mulut tersenyum dan mata terpaku pada pantulan cahaya keemasan yang mewarnai langit-langit itu.
Aku : – ini dia, hari yang indah, ulangku. Guichetier : - Ya, orang itu menjawabku, orang-orang menunggu anda.
Pada dialog di atas, tuturan tokoh Aku mengandung maksud sebagai
pernyataan yang berfungsi sebagai sapaan kepada Guichetier sekaligus
mengegaskan kembali atas pernyataan Aku bahwa hari itu adalah hari yang cerah,
hari yang indah. Tuturan Aku (Voilà une belle journée, répétai-je, ‘ini dia, hari
yang indah, ulangku) memaksimalkan keuntungan kepada orang lain
(Guichetier) dan meminimalkan kerugian kepada orang lain (Guichetier), maka
tuturan Aku tersebut mematuhi maksim kesantunan, yakni maksim kearifan
karena telah membuat kerugian orang lain (Guichetier) sekecil-kecilnya dan
membuat keuntungan orang lain (Guichetier) sebesar-besarnya.
Pelanggaran tersebut dapat dilihat pada tindakan Guichetier yang
mengatakan bahwa orang-orang telah menunggu tokoh Aku (on vous attend,
’orang-orang menunggu anda.’), hal itu telah memberikan kerugian pada orang
lain (Aku) karena tokoh Aku harus menghadiri sidang dirinya (Aku) yang bisa
saja mengarah kepada vonis hukuman mati. Tindakan Guichetier tersebut juga
menguntungkan dirinya sendiri (Guichetier) karena ia (Guichetier) telah
melaksanakan tugasnya sebagai sipir penjara, yakni menyampaikan bahwa sidang
di pengadilan akan dimulai. Guichetier tidak memaksimalkan keuntungan kepada
orang lain (Aku) dan tidak meminimalkan kerugian kepada orang lain (Aku).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Guichetier melanggar maksim
kesantunan, maksim kearifan submaksim pertama (membuat kerugian orang lain
sekecil-kecilnya) dan submaksim kedua (membuat keuntungan orang lain sebesar-
besarnya).
Tuturan Guichetier yang menyampaikan bahwa orang-orang telah
menungggu tokoh Aku (on vous attend, ’orang-orang menunggu anda’)
merupakan tugas atau kewajiban Guichetier sebagai sipir penjara, akan tetapi
Guichetier menyampaikan maksudnya dengan tuturan yang kurang halus dan
terkesan memaksakan kehendaknya (Guichetier) secara frontal kepada tokoh Aku
sehingga tokoh Aku harus menerima kehendak Guichetier tanpa bisa memikirkan
untuk menerima atau menolaknya. Tuturan tersebut semisal diganti dengan
tuturan (15a) berikut ini, akan terasa lebih santun.
(15a) Excusez-moi, Monsieur, pourriez-vous venir au tribunal pasce qu’on vous aurait rendu, s’il vius plaît.
’Maafkan saya Bapak, berkenankah Bapak datang ke pengadilan, orang-orang telah menunggu Bapak, Saya persilahkan’.
Tuturan (15a) di atas terkesan tidak terlalu memaksakan kehendaknya
(Guichetier) kepada tokoh Aku untuk melakukan keinginan Guichetier. Tuturan
(15a) di atas sekaligus masih memberikan ruang pilihan kepada tokoh Aku untuk
menerima atau menolak tawaran atau ajakan Guichetier untuk menghadiri sidang
di pengadilan.
Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa tuturan Guichetier
melanggar prinsip kesantunan, yaitu maksim kearifan karena tidak membuat
kerugian orang lain (Aku) sekecil-kecilnya dan tidak membuat keuntungan orang
lain (Aku) sebesar-besarnya.
Tuturan Guichetier yang melanggar primsip kesantunan, maksim kearifan
itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena
inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan
itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang
dikandung pada tuturan yang melanggar maksim kearifan itu adalah menyatakan
perintah. Implikatur itu diungkapkan secara tersirat oleh Guichetier melalui
tuturannya agar tokoh Aku segera menuju tempat sidang pengadilan. Dalam
konteks lain, mengimplikasikan penolakan, yaitu penolakan Guichetier yang tidak
mau diajak tokoh Aku untuk membicarakan mengenai cuaca hari itu. Guichetier
berharap dengan tuturannya, tokoh Aku menghentikan percakapannya.
Sementara itu, tuturan tokoh Aku mengandung implikasi sapaan, yaitu
menyapa Guichetier dengan membuka percakapannya (Aku) melalui pembicaraan
mengenai kondisi cuaca hari itu.
Wacana polilog (16) di bawah ini juga mamatuhi dan malanggar prinsip
kesantunan, maksim kearifan.
(16) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Tokoh Aku mengalami mimpi. Di dalam mimpnya, tokoh Aku bertemu keluarga dan teman-temannya (des amis) di rumahnya (Aku).
Pada saat bermimpi itulah, ada seorang wanita tua yang masuk ke rumahnya (Aku).
Nrt-31 : Je portai la main à cette porte pour refermer l’armoire ;
elle résista. Étonné, je tirai plus fort, elle céda brusquement, et nous découvrîmes une petite vieille, les mains pendantes, les yeux fermés, immobile, debout, et comme collée dans l’angle du mur.
Cela avait quelque chose de hideux, et mes cheveux se dressent d’y penser.
Je demandai à la vieille : Aku : – Que faites-vous là ? Nrt-32 : Elle ne répondit pas. Je lui demandai : – Qui êtes-vous ? Nrt-33 : Elle ne répondit pas, ne bougea pas, et resta les yeux
fermés. Mes amis dirent Des amis : – C’est sans doute la complice de ceux qui sont entrés avec
de mauvaises pensées ; ils se sont échappés en nous entendant venir ; elle n’aura pu fuir, et s’est cachée là.
Nrt-34 : Je l’ai interrogée de nouveau ; elle est demeurée sans voix,
sans mouvement, sans regard. Un de nous l’a poussée à terre, elle est tombée. Elle est tombée tout d’une pièce, comme un morceau de bois, comme une chose morte. Nous l’avons remuée du pied, puis deux de nous l’ont relevée et de nouveau appuyée au mur. Elle n’a donné aucun signe de vie. On lui a crié dans l’oreille, elle est restée muette comme si elle était sourde. Cependant, nous perdions patience, et il y avait de la colère dans notre terreur. Un de nous m’a dit :
Un ami : – Mettez-lui la bougie sous le menton.
Nrt-35 : Je lui ai mis la mèche enflammée sous le menton. Alors elle a ouvert un œil à demi, un œil vide, terne, affreux, et qui ne regardait pas.
J’ai ôté la flamme et j’ai dit :
Aku : – Ah ! Enfin ! Répondras-tu, vieille sorcière ? Qui es-tu ? Nrt-36 : L’œil s’est refermé comme de lui-même. Des amis : – Pour le coup, c’est trop fort, ont dit les autres. Encore la
bougie ! Encore ! Il faudra bien qu’elle parle. Nrt-37 : J’ai replacé la lumière sous le menton de la vieille.
Alors, elle a ouvert ses deux yeux lentement, nous a regardés tous les uns après les autres, puis, se baissant brusquement, a soufflé la bougie avec un souffle glacé. Au même moment j’ai senti trois dents aiguës s’imprimer sur ma main dans les ténèbres. Je me suis réveillé, frissonnant et baigné d’une sueur froide.
(40/LDJC/105-106)
Nrt-31 : Kutarik pintu itu untuk menutupkannya kembali, tapi ada
sesuatu yang menahannya. Dengan heran kutarik lebih kuat lagi. Tiba-tiba pintu itu dilepaskan, dan tampak seorang wanita tua. Kedua tangannya menggantung di kedua sisinya, matanya memejam tidak bergerak sedikitpun, berdiri, dan seolah lekat di pojok dinding.
Ada sesuatu yang mengerikan di sana, dan rambutku berdiri bila memikirnya.
Aku bertanya kepada wanita tua itu : Aku : – Apa yang Anda lakukan disitu ? Nrt-32 : Ia tidak menjawab. Aku bertanya kepadanya: – Anda siapa? Nrt-33 : Ia tidak menjawab, tidak bergeming, dan tetap memejamkan
matanya. Teman-temanku berkata : Des amis : – Barangkali teman para pencuri yang tadi masuk ke sini
untuk berbuat jahat. Mereka melarikan diri saat mendengar kita datang. Karena tidak sempat melarikan diri, ia bersembunyi di situ.
.
Nrt-34 : Aku menanyainya lagi, ia tetap membisu, tidak bergerak, tidak membuka matanya. Satu diantara temanku mendorongnya ke lantai, ia jatuh. Ia jatuh dengan kaku, seperti sebatang kayu, seperti benda mati. Kami guncang kakinya, kemudian dua temanku menegakkannya kembali ke pojok dinding. Tidak ada tanda-tanda kehidupan pada diri wanita tua itu. Kami berteriak tepat di telinganya, ia tetap membisu seolah tuli. Sementara itu kesabaran kami habis, dan ada kemarahan dalam ketakutan kami. Salah seorang teman berkata kepadaku :
Un ami : – Taruh lilinnya di bawah dagunya.
Nrt-35 : Kutaruh lilin yang menyala itu di bawah dagunya. Ia lalu membuka separo matanya, pandangannya kosong, hampar, menakutkan, dan tidak melihat
Kutarik lilin itu dan aku berkata :
Aku : – Ah ! akhirnya ! Sekarang mau jawab ? Kamu siapa ? Nrt-36 : Mata itu menutup lagi seolah secara otomatis. Des amis : – Keterlaluan, kata teman-tamanku. Lagi, kasih lilin lagi!
Lagi! Ia harus bicara!. Nrt-37 : Kembali kuletakkan lilin menyala di bawah dagu wanita tua
itu. Ia lalu membuka kedua matanya pelahan-lahan, memandangi kami satu demi satu, kemudian tiba-tiba merunduk dan meniup lilin dengan tiupan sedingin es. Dan pada saat itu juga kurasakan tiga gigi runcing menancap di tanganku, dalam kegelapan.
Aku terbangun, gemetar, dan peluh dingin membasahi sekujur tubuhku.
Tokoh Aku mengalami mimpi bertemu keluarganya dan teman-temannya
di rumahnya. Mereka melaksanakan makan malam dan saling mengobrol.
Seandainya mimpi tokoh Aku itu bukan mimpi atau sebuah kenyataan, maka
tindakan Aku yang menyapa nenek tua melalui tuturannya (Que faites-vous là ?,
’Apa yang Anda lakukan disitu ?’) yang menyelinap kerumahnya merupakan
bentuk sapaan yang sekaligus masih memberi ruang pilihan bagi nenek tua untuk
menjelaskan kenapa dia (nenek tua) berada dirumahnya (Aku). Tokoh Aku tidak
langsung menuduh nenek tua sebagai pencuri. Tindakan Aku tersebut berarti
memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain (nenek tua) sekaligus meminimalkan
kerugian bagi pihak lain (nenek tua) sehingga tokoh Aku mematuhi prinsip
kesantunan, maksim kearifan.
Selain dari itu, teman-teman tokoh Aku (Des Amis) juga mematuhi prinsip
kesantunan, yakni maksim kearifan karena juga tidak langsung menuduh nenek
tua yang sudah menyelinap ke rumah tokoh Aku sebagai pencuri walaupun
mereka (des amis) sudah memperkirakan nenek tua tersebut adalah pencuri.
Kearifan des amis bisa dilihat melalui tuturannya (C’est sans doute la complice
de ceux qui sont entrés avec de mauvaises pensées ; ils se sont échappés en nous
entendant venir ; elle n’aura pu fuir, et s’est cachée là, ’ Barangkali teman
para pencuri yang tadi masuk ke sini untuk berbuat jahat. Mereka
melarikan diri saat mendengar kita datang. Karena tidak sempat melarikan
diri, ia bersembunyi di situ’) yang masih memberikan peluang kepada nenek tua
untuk mengklarifikasi keberadaannya di rumah tokoh Aku. Tindakan des amis
bisa juga dilandasi rasa kasihan kepada nenek tua yang sendirian ditinggal teman-
teman pencuri lainnya.
Di sisi lain, seorang teman tokoh Aku (un ami) sudah tidak sabar dengan
sikap nenek tua yang hanya diam ketika ditanya tentang siapa dirinya. Maka un
ami merekomendasikan tokoh Aku untuk menyulut dagu nenek tua dengan lilin
yang menyala. Akibatnya, nenek tua tersebut mengalami sakit. Rekomendasi un
ami telah memaksimalkan kerugian bagi pihak lain (nenek tua). Dengan demikian
dapat dikatakan un ami melanggar prinsip kesantunan, yaitu maksim kearifan
karena tidak membuat kerugian pihak lain (nenek tua) sekecil-kecilnya.
Seandainya un ami lebih sabar terhadap sikap nenek tua maka dia (un ami) tidak
akan mungkin merekomendasikan untuk menyulut nenek tua dengan lilin
menyala, kesabaran un ami bisa diekspresikan dengan tuturan (16a) berikut ini.
(16a) Nous devions patiences, nous pouvons poser une question encore à lui-même
‘Kita harus sabar, kita bisa bertanya lagi kepadanya.’
Tuturan (16a) di atas bisa membuat tokoh Aku dan teman-temannya untuk
tetap bersabar ketika menginterogasi nenek tua. Hal itu terjadi karena tokoh Aku
dan teman-temannya mendapat nasihat dari un ami untuk bersabar. Tuturan (16a)
di atas sekaligus tidak memaksimalkan kerugian bagi pihak lain (nenek tua).
Tuturan un ami yang melanggar primsip kesantunan, maksim kearifan itu
memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena
inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan
itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang
dikandung pada tuturan yang melanggar maksim kearifan itu adalah menyatakan
kekesalan, yaitu kekesalan kepada nenek tua yang hanya diam membisu ketika
ditanya mengenai siapa dirinya.
Sementara itu, tuturan tokoh Aku mengandung implikasi sapaan, yaitu
menyapa nenek tua dengan membuka percakapannya (Aku) dengan menanyakan
apa yang sedang dilakukan nenek tua dirumahnya.
Lain halnya, tuturan des amis mengandung implikasi harapan, yakni
harapan agar nenek tua berbicara dan mengatakan siapa dirinya.
4.3.13. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan. Maksim kearifan ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt maupun
pihak ketiga yang dibicarakan antara Pn dan Pt) di dalam tuturan hendaknya
dibebani kerugian sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Di
sisi lain, percakapan yang membuat keuntungan diri sendiri sebesar-besarnya dan
membuat kerugian diri sendiri sekecil-kecilnya berarti melanggar maksim
kedermawanan. Ditemukan 7 wacana dialog yang mematuhi prinsip kesantunan,
maksim kearifan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.
Untuk lebih jelasnya perhatikan tuturan (17) dan (18) berikut.
(17) Konteks : Di ruang pengadilan, tokoh Aku bersama pengacaranya mengharapkan mendapat keputusan yang terbaik dari Ketua Hakim pengadilan yang akan membacakan keputusan sidang pengadilan terkait kasus tokoh Aku.
Nrt-38 : Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de
déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire.
Avocat : – J’espère, me dit-il. Aku : – N’est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. Avocat : – Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils
auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité.
Aku : – Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai-je indigné, - plutôt cent
fois la mort ! Nrt-39 : Oui, la mort !, – Et d’ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix
intérieure, qu’est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu’à minuit, aux
flambeaux, dans une salle sombre et noire, et par une froide nuit de pluie et d’hiver ? Mais au mois d’août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c’est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.
(4/LDJC/ 41)
Nrt-38 : Di saat itu pembelaku datang. Orang-orang menunggunya. Ia baru
saja makan banyak dan dengan lahap. Sampai di tempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum :
Avocat : – Mudah-mudahan, katanya kepadaku. Aku : – Harus ! jawabku ringan, juga sambil tersenyum. Avocat : – Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi
mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja paksa seumur hidup.
Aku : - Bapak ini bicara apa? tukasku marah, Seratus kali lebih baik
mati Nrt-39 : Ya, mati ! - Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah
suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu? – Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penerangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin? Tapi di bulan Agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.
Tuturan Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils
auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux
forcés à perpétuité (‘Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi
mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja
paksa seumur hidup’) menyiratkan keuntungan bagi tokoh Aku sebagai Pt,
sekaligus tidak merugikan avocat sebagai Pn karena tuturan avocat tersebut
memberikan peluang kepada tokoh Aku untuk memilih hasil keputusan sidang
yang lain daripada vonis hukuman kerja paksa seumur hidup. Akibatnya avocat
memaksimalkan keuntungan pada pihak lain (Aku) dan tidak merugikan diri
sendri (avocat).
Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tuturan avocat mematuhi
prinsip kesantunan, maksim kearifan karena membuat kerugian orang lain (Aku)
sekecil-kecilnyadan membuat keuntungan orang lain (Aku) sebesar-besarnya.
Sementara itu, tokoh Aku yang lebih memilih vonis hukuman mati (-plutôt
cent fois la mort !, ‘Seratus kali lebih baik mati‘) daripada vonis hukuman kerja
paksa seumur hidup memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri (Aku) dan
meminimalkan kerugian diri sendiri (Aku). Maka, tindakan tokoh Aku tersebut
melanggar submaksim pertama (membuat keuntungan diri sendiri sekecil-
kecilnya) dan submaksim kedua (membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya)
prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.
Tuturan (- plutôt cent fois la mort !, ‘Seratus kali lebih baik mati‘)
sudah cukup sopan karena pada tuturan tersebut pemerian keuntungan bagi Pt
(Aku) dibatasi dengan tidak menyebutkan secara langsung dirinya (Aku), sebagai
pihak yang diuntungkan dari hasil tuturan tersebut. Semisal tuturan Pt diganti
dengan tuturan (17a) berikut ini, maka akan terasa kurang sopan
(17a) J’aime plus de la condamnation à mort que les travaux forcés à perpétuité.
‘Saya lebih suka hukuman mati daripada kerja paksa seumur hidup‘
Tuturan tokoh Aku kurang sopan karena menyebutkan dirinya sebagai
pihak yang diuntungkan atas hasil tuturan (17a) di atas.
Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa tokoh Aku melanggar
prinsip kesantunan, maksim kedermawanan karena tidak membuat keuntungan
diri sendiri (Aku) sekecil-kecilnya dan tidak membuat kerugian diri sendiri (Aku)
sebesar-besarnya.
Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan
bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur
percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan itu adalah menyatakan harapan, yaitu harapan tokoh Aku agar
tidak mendapatkan vonis hukuman kerja paksa seumur hidup dan lebih memilih
vonis hukuman mati.
Adapun tuturan avocat mengandung implikasi keraguan, yaitu keraguan
apakah Ketua Hakim akan memberikan vonis hukuman bebas, vonis hukuman
mati, atau vonis hukuman kerja paksa seumur hidup. Pada konteks lain, tuturan
avocat bisa mengimplikasikan harapan, yakni harapan agar kliennya (Aku) tidak
mendapatkan vonis hukuman kerja paksa seumur hidup.
Wacana dialog (18) di bawah ini juga mematuhi prinsip kesantunan,
maksim kearifan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.
(18) Konteks : Di ruang pengadilan, panitera pengadilan telah selesai membacakan keputusan pengadilan, kemudian ketua hakim (le président) menanyakan kepada pengacara (avocat) apakah ada pembelaan atau tanggapan, namun tokoh Aku marah pada pembelanya yang melakukan pembelaan atas keputusan pengadilan.
Le Président : – Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application
de la peine? demanda le président. Nrt-40 : J’aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma
langue resta collée à mon palais.
Le défenseur se leva. Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de la peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l’indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l’haleine me manqua et je ne pus que l’arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive:
Aku : – Non!
(5/LDJC/ 42) Le Président : – Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela
atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim Nrt-40 : Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satu-pun keluar.
Lidahku seolah melekat pada langit-langit. Pembela berdiri. Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan. Menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuatku sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati!. Namun nafasku habis, dan aku hanya bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali:
Aku : – Tidak!
Tindakan ketua hakim yang menanyakan apakah ada yang ingin
disampaikan oleh pembela mengenai keputusan hukuman mati memberikan
keuntungan kepada tokoh Aku dengan peluang untuk melakukan pembelaan pada
jalur hukum yang lebih tinggi, semisal pengadilan pada tingkat kasasi atau
meminta grasi kepada raja.
Tindakan ketua hakim tersebut mematuhi prinsip kesantunan, maksim
kearifan karena membuat kerugian orang lain (Aku) sekecil-kecilnya dan
membuat keuntungan orang lain (Aku) sebesar-besarnya.
Sementara itu, tokoh Aku menolak pembelaan yang dilakukan oleh
pembelanya atas keputusan pengadilan dan dia (Aku) menegaskan lebih baik
seratus kali mati daripada mengharapkan keringan hukuman dengan perdebatan
yang dilakukan pembelanya (seperti pada Nrt-39). Tindakan tokoh Aku tersebut
melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kedermawanan submaksim pertama
(membuat keuntungan diri sendiri sekecil-kecilnya) dan submaksim kedua
(membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya) karena tokoh Aku telah
memaksimalkan keuntungan pada diri sendiri dan meminimalkan kerugian diri
sendiri. Namun, tindakan tokoh Aku tersebut bisa jadi dilakukan dalam keadaan
terpaksa dan dalam kekalutan sebagai terdakwa yang mendapatkan vonis
hukuman mati sehingga ia (Aku) sudah tidak tahan melihat usaha pembelannya
(Aku) yang berusaha meringankan vonis hukuman yang telah diputuskan oleh
ketua hakim. Tokoh Aku merasa tindakan pembelaan yang dilakukan
pembelannya (Aku) akan sia-sia maka tidak perlu mengharapkan adanya
keringanan hukuman dari pengadilan (seperti pada Nrt-40).
Tokoh Aku seharusnya berusaha melakukan pembelaan dengan pernyataan
yang lebih santun, walaupun peluang untuk bebas dari hukuman sangat kecil.
Ketika tuturan – Non! (Tidak!) yang diutarakan oleh tokoh Aku diganti dengan
tuturan (18a) berikut ini, akan terasa lebih santun.
(18a) Je voudrais accepter cette condamnation à mort.
‘Saya berkenan menerima hukuman mati tersebut’
Tokoh Aku bisa menunjukkan rasa hormatnya kepada ketua hakim yang
telah menawarkan adanya tanggapan mengenai vonis hukuman mati, tanpa harus
menolaknya (vonis hukuman mati) dengan ungkapan langsung (– Non!, Tidak!).
Maka, dengan adanya tuturan (18a) di atas, tokoh Aku mematuhi prinsip
kesantunan, maksim kedermawanan karena memaksimalkan kerugian diri sendiri
(Aku) dan meminimalkan keuntungan diri sendiri (Aku), yakni dengan menerima
vonis hukuman mati tersebut.
Tindakan lain yang bisa dilakukan oleh tokoh Aku mengenai vonis
hukuman mati tersebut adalah menolak dan atau membatalkan serta
menangguhkan untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung maupun
mengajukan grasi kepada raja. Akibatnya tokoh Aku menghormati tindakan yang
dilakukan pembelanya yang telah melakukan pembelaan untuk keringanan dari
hukuman mati.
Maka, Tindakan Aku dapat dinyatakan bahwa dia (Aku) melanggar prinsip
kesantunan, maksim kedermawanan karena tidak membuat keuntungan diri
sendiri (Aku) sekecil-kecilnya dan tidak membuat kerugian diri sendiri (Aku)
sebesar-besarnya.
Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan
bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur
percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu
adalah menyatakan penolakan, yaitu penolakan terhadap usaha pembelanya (Aku)
yang mengharapkan keringanan dari hukuman mati. Pada konteks lain, tindakan
tokoh Aku juga mengimplikasikan penolakan terhadap vonis hukuman mati yang
telah diputuskan oleh para hakim.
Sementara itu, tuturan Ketua Hakim mengandung implikasi harapan, yaitu
harapan agar sang pembela memberikan tanggapan mengenai vonis hukuman mati
baik berupa penerimaan, penolakan, atau pembatalan dan penangguhan.
4.3.14. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian.
Percakapan yang memaksimalkan keuntungan pada pihak lain maka
percakapan itu mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan. Di sisi lain,
percakapan yang memaksimalkan pengecaman kepada pihak lain berarti
melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.
Wacana dialog (19) berikut ini mematuhi prinsip kesantunan, yakni
maksim kearifan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.
(19) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, tiba-tiba
ada arsitek (l’architecte) yang masuk dan mengukur dinding kamar untuk kemudian direnovasi.
Nrt-41 : Sa besogne finie, il s’est approché de moi en me disant avec
sa voix éclatante : L’architecte : – Mon bon ami, dans six mois cette prison sera beaucoup
mieux. Nrt-42 : Et son geste semblait ajouter : – Vous n’en jouirez pas, c’est dommage. Nrt-43 : Il souriait presque. J’ai cru voir le moment où il allait me
railler doucement, comme on plaisante une jeune mariée le
soir de ses noces. Mon gendarme, vieux soldat à chevrons, s’est chargé de la réponse.
Gendarme : – Monsieur, lui a-t-il dit, on ne parle pas si haut dans la
chambre d’un mort. Nrt-44 : L’architecte s’en est allé. Moi, j’étais là, comme une des
pierres qu’il mesurait.
(35/LDJC/93)
Nrt-41 : Tugasnya selesai, ia mendekatiku dan berbicara kepadaku dengan suara lantang :
L’architecte : – Sobat yang baik, enam bulan lagi penjara ini akan jauh
lebih baik. Nrt-42 : Dan gerakannya seolah melanjutkan : – Sayang, kamu tidak bisa menikmatinya. Nrt-43 : Ia seolah tersenyum. Sejenak aku merasa bahwa ia akan
mengejekku dengan halus, seperti orang menggoda mempelai putri di malam pengantinnya. Pengawalku, seorang serdadu tua dengan tanda pangkat, menangani jawabannya.
Gendarme : – Tuan, katanya kepada orang itu, dilarang berbicara
sekeras itu di kamar orang mati. Nrt-44 : Arsitek itu lalu pergi. Aku, aku tetap berada di sana, seperti
batu-batu yang ia ukur tadi.
L’architecte membuka percakapan dengan tokoh Aku dengan kata sapaan
(Mon bon ami............., ’Sobat yang baik,’) yang sopan walaupun mereka tidak
saling kenal. Tindakan l’architecte yang mengawali sapaan dengan menyebut
tokoh Aku sebagai teman yang baik merupakan bentuk penghormatan yang
mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan karena dia (l’architecte)
memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain (Aku) dengan menunjukkan rasa
hormatnya.
Sementara itu, tindakan gendarme yang melarang l’architecte untuk tidak
berbicara dengan tokoh Aku sudah tepat. Namun, melalui tuturannya (Monsieur,
lui a-t-il dit, on ne parle pas si haut dans la chambre d’un mort, ’ Tuan, katanya
kepada orang itu, dilarang berbicara sekeras itu di kamar orang mati’),
gendarme melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian karena menyebut
ruangan tempat tokoh Aku berada sebagai kamar orang mati yang berarti dia
(gendarme) memaksimalkan pengecaman terhadap tokoh Aku. Kenyataannya,
kamar tempat tokoh Aku berada hanyalah kamar transit di gedung pengadilan
Conciergerie yang bisa digunakan oleh siapa saja. Selain dari itu, walaupun tokoh
Aku sudah mendapat vonis hukuman mati tetapi dia (Aku) belum mati. Gendarme
seharusnya melarang l’architecte untuk tidak berbicara dengan tokoh Aku tanpa
harus menyebut kamar tempat tokoh Aku berada sebagai kamar orang mati.
Maka, tuturan gendarme diutarakan dengan berikut.
(19a) Excusez-moi, Monsieur, ne parle pas si haut dans cette chambre. ’Tuan, dilarang berbicara sekeras itu di kamar ini.’
Ketika gendarme menggunakan tuturan (19a) diatas maka tuturannya
terasa lebih sopan dan tidak menyinggung perasaan tokoh Aku sebagai terpidana
mati.
Tuturan tokoh gendarme yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
pujian itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi
karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa
tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan
yang dikandung tuturan yang melanggar maksim pujian itu adalah menyatakan
penghinaan, yaitu penghinaan kepada tokoh Aku sebagai terpidana mati yang
status sosialnya menurun.
Sementara itu, tuturan l’architecte mengandung implikasi harapan, yaitu
harapan kepada tokoh Aku agar tetap hidup sehingga dapat menikmati rungan
yang akan direnovasi oleh l’architecte.
4.3.15. Pematuham Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kerendahan Hati. Wacana yang berisi kalimat perintah ketika disampaikan dengan kalimat
pertanyaan atau kalimat berita maka akan terasa lebih santun. Di sisi lain, setiap
peserta tindak tutur dituntut untuk tidak memaksimalkan pujian pada diri sendiri
agar tidak melanggar prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati.
Wacana dialog (20) di bawah ini adalah wacana yang berisi kalimat
perintah namun diutarakan dengan kalimat tanya. Wacana dialog (20) juga
melanggar prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati.
(20) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku bertanya kepada Marie, apakah dia (Marie) bisa membaca.
Nrt-45 : Alors, je l’ai replacée sur mes genoux, en la couvant des
yeux, et puis je l’ai questionnée. Aku : – Marie, sais-tu lire? Marie : – Oui, a-t-elle répondu. Je sais bien lire. Maman me fait
lire mes lettres.
(47/LDJC/111) Nrt-45 : Jadi, ia kembali kutaruh ke pangkuanku, dan
kupandanginya lekat-lekat, kemudian kutanya ia. Aku : – Marie, kamu bisa membaca?
Marie : – Ya, jawabnya. Aku pintar membaca. Ibu mengajariku huruf-huruf.
Tokoh Aku yang menanyakan kepada Marie apakah dia (Marie) bisa
membaca merupakan bentuk tuturan yang disampaikan dengam kalimat
pertanyaan akan tetapi bermakna perintah. Tokoh Aku cukup santun
menyampaikan keinginannya kepada Marie untuk membaca tanpa harus dengan
memerintah. Tokoh Aku menyampaikan keinginannya sekaligus tidak membuat
Marie merasa dirugikan ketika harus memenuhi keinginan tokoh Aku untuk
membaca. Dengan demikian, tokoh Aku mematuhi prinsip kesantunan, maksim
kearifan karena berusaha kerugian orang lain sekecil-kecilnya.
Di sisi lain, Marie yang menjawab bahwa dirinya bisa membaca. Namun
dia (Marie) tidak meminimalkan memuji diri sendiri. Hal itu terlihat dari tuturan
Marie (Je sais bien lire. Maman me fait lire mes lettres, ‘Aku pintar membaca.
Ibu mengajariku huruf-huruf’) yang memaksimalkan memuji diri sendiri.
Maka Marie melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kerendahan hati karena
memuji diri sendiri sedikit-dikitnya.
Marie seharusnya menjawab pertanyaan sekaligus perintah dari tokoh Aku
tanpa harus dengan membanggakan dirinya yang pintar membaca. Marie bisa
menggunakan tuturan (20a) berikut, yang terkesan tidak membanggakan diri.
(20a) Oui, je peux lire un peu.
‘Ya, saya bisa membaca sedikit.’
Tuturan (20a) di atas mengesankan kerendahan diri Marie wakaupun dia
(Marie) pentar membaca.
Tuturan tokoh Marie yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kerendahan hati itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal
itu terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan
simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun
implikatur percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim
kerendahan hati itu adalah menyatakan kebanggaan, yaitu kebanggaan Marie
yang bisa membaca karena telah diajari oleh ibunya.
Sementara itu, tuturan Aku mengandung implikasi harapan, yaitu harapan
agar Marie membaca sesuai permintaannya (Aku).
4.3.16. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kesimpatian.
Wacana monolog pemproduksiannya hanya melibatkan satu pembicara
yang bisa berperan sebagai Pn maupun Pt. Pada wacana monolog tersebut
dimungkinkan mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan karena pada
wacana monolog berisi kepentingan pembicara yang dengan leluasa dapat
mengatur agar memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain, yang juga dirinya
sendiri, mengingat ini wacana monolog. Di sisi lain, pada wacana monolog juga
dimungkingkan melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian karena
pembicara juga memiliki keleluasaan untuk menganggap kesedihan atau musibah
yang dialami dirinya sendiri (pembicara) tidak harus diberi simpati.
Wacana monolog (21) di bawah ini mematuhi prinsip kesantunan, maksim
kearifan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.
(21) Konteks : Tokoh Aku telah sampai di gedung Conciergerie, yakni gedung
tempat transit sebelum eksekusi dilaksanakan. Kemudian tokoh
Aku diharuskan menemui direktur pengadilan. Namun tokoh Aku disuruh menunggu di ruangan tepat di sebelah ruang direktur pengadilan. Pada saat itu, tiba-tiba masuklah seorang narapidana baru (friauche) yang baru saja mendapat vonis hukuman mati. Mereka (Aku dan friauche) saling berkenalan.
Nrt-46 : Je ne sais à quoi je pensais, ni depuis combien de temps
j’étais là, quand un brusque et violent éclat de rire à mon oreille m’a réveillé de ma rêverie.
J’ai levé les yeux en tressaillant. Je n’étais plus seul dans la cellule. Un homme s’y trouvait avec moi, un homme d’environ cinquante-cinq ans, de moyenne taille ; ridé, voûté, grisonnant ; à membres trapus ; avec un regard louche dans des yeux gris, un rire amer sur le visage ; sale, en guenilles, demi-nu, repoussant à voir.
……………………………………………………………... Nous nous sommes regardés quelques secondes fixement,
l’homme et moi ; lui, prolongeant son rire qui ressemblait à un râle ; moi, demi-étonné, demi-effrayé.
Aku : – Qui êtes-vous ? Lui ai-je dit enfin. Friauche : – Drôle de demande ! a-t-il répondu. Un friauche. Aku : – Un friauche ! Qu’est-ce que cela veut dire ? Nrt-47 : Cette question a redoublé sa gaieté. Friauche : – Cela veut dire, s’est-il écrié au milieu d’un éclat de rire,
que la taule jouera au panier avec ma sorbonne dans six semaines, comme il va faire avec ta tronche dans six heures. – Ha ! Ha ! Il paraît que tu comprends maintenant.
(29/LDJC/80)
Nrt-46 : Aku tidak tahu apa yang kupikirkan maupun sejak kapan aku
berada disitu, ketika tiba-tiba suatu tawa meledak memekakkan telingaku dan menggugahku dari mimpi.
Dengan terkejut kuarahkan pandanganku. Aku tidak lagi sendirian di sel itu. Ada seorang laki-laki bersamaku di situ, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, dengan ukuran badan rata-rata, berkeriput, bungkuk, dan beruban. Anggota tubuhnya pendek kekar, matanya abu-abu dan jereng, wajahnya dihiasi sebuah tawa pahit, tubuhnya
kotor, pakaiannya compang-camping setengah telanjang, menjijikkan untuk dilihat.
……………………………………………………………... Kami saling beradu pandang selama beberapa detik, pria itu
dan aku. Ia masih meneruskan tawanya yang menyerupai lenguhan, sedangkan aku merasa separo heran dan separo takut.
Aku : – Siapa Anda ? akhirnya aku bertanya kepadanya. Friauche : – Pertanyaan yang aneh ! jawabnya. Seorang Friauche. Aku : – Friauche ! Apa itu artinya ? Nrt-47 : Pertanyaan ini semakin membuatnya gembira. Friauche : – Artinya, teriaknya di sela-sela ledak tawa, penjara akan
menggelindingkan kepalaku ke dalam keranjang enam minggu lagi, seperti yang akan ia lakukan dengan tampangmu enam jam lagi. – Ha ! Ha ! Kelihatannya kau mengerti sekarang.
Tokoh Aku yang membuka pembicaraan dengan menanyakan siapa orang
baru yang masuk ke rungan transit tempat tokoh Aku berada merupakan ekspresi
kearifan tokoh Aku. Tokoh Aku berusaha memaksimalkan keuntungan bagi pihak
lain (friauche) dengan menyapa friauche. Sapaan tersebut juga sebagai bentuk
penghormatan kepada friauche. Dengan demikian, tindakan tokoh Aku mematuhi
prinsip kesantunan, maksim kearifan karena membuat keuntungan pihak lain
(friauche) sebesar-besarnya.
Di sisi lain, friauche yang ditanya tentang siapa dirinya justru menganggap
aneh pertanyaan tokoh Aku karena mereka (Aku dan friauche) sama-sama sebagai
terpidana mati. Selanjutya, friauche menjelaskan siapa dirinya yang ternyata
memiliki nasib sama dengan tokoh Aku, namun penjelasan friauche terkesan
mengecam dirinya sendiri maupun tokoh Aku sebagai terpidana hukuman mati
yang akan segera mati. Hal ini dapat dilihat melalui tututannya (Cela veut dire,
s’est-il écrié au milieu d’un éclat de rire, que la taule jouera au panier avec ma
sorbonne dans six semaines, comme il va faire avec ta tronche dans six
heures. – Ha ! Ha ! Il paraît que tu comprends maintenant, ’Artinya,
teriaknya di sela-sela ledak tawa, penjara akan menggelindingkan kepalaku ke
dalam keranjang enam minggu lagi, seperti yang akan ia lakukan dengan
tampangmu enam jam lagi. – Ha ! Ha ! Kelihatannya kau mengerti
sekarang’) yang mengekspresikan kecamannya terhadap dirinya sendiri maupun
kepada tokoh Aku. Dengan dasar itu, friauche melanggar prinsip kesantunan,
maksim kesimpatian.
Friauche seharusnya bersimpati kepada diri sendiri maupun tokoh Aku
yang sama-sama mendapat musibah sebagai terpidana hukuman mati. Ekspresi
kesimpatian itu bisa diungkapkan, semisal dengan tuturan (21a) berikut.
(21a) Nous sommes condamné `a mort mais n’inquiétez pas, Monsieur, les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis.
‘Kita adalah sama-sama sebagai terpidana hukuman mati tetapi jangan khawatir, Tuan, semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan.’
Nasehat untuk bersimpati kepada Pt atau pihak ketiga yang dibicarakan
apabila mendapat musibah akan dipatuhi oleh friauche jikalau menggunakan
tuturan (21a) di atas. Tuturan tersebut sekaligus sebagai bentuk pengakuan
friauche yang memiliki nasib sama dengan tokoh Aku.
Tuturan tokoh friauche yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kesimpatian itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan
bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur
percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kesimpatian itu
adalah menyatakan ketidakpedulian, yaitu ketidakpedulian friauche kepada tokoh
Aku yang memiliki nasib yang sama sebagai terpidana hukuman mati. Pada
kontekslain, bisa mengimplikasikan pengingkaran, yaitu pengingkaran friauche
sebagai terpidana hukuman mati.
Sementara itu, tuturan Aku mengandung implikasi penghormatan, yaitu
penghormatan tokoh kepada friauche.
4.3.17. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian.
Percakapan yang mematuhi prinsip kedermawanan adalah percakapan
yang meminimalkan peran Pn atas segala kepentingan pribadinya. Realisasinya,
penyebutan nama diri personal Pn diminimalkan untuk mengurangi peran
tersebut. Ketika peran tersebut semakin besar maka dimungkinkan melanggar
prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. Di sisi lain, Pn juga harus
meminimalkan pengecaman terhadap mitra tuturnya (Pt atau pihak ketiga yang
dibicarakan) agar tidak melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian
Dialog (22) di bawah ini adalah dialog yang prinsip mematuhi kesantunan,
maksim kedermawanan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.
(22) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, petugas
pelaksana pengadilan (l’huissier) berbincang-bincang dengan tokoh Aku. Kemudian tokoh Aku tidak suka dirinya (Aku) dikatakan lebih muda oleh l’huissier.
Nrt-48 : Il a fait encore une pause, et a poursuivi :
L’huissier : – Des fous ! Des enthousiastes ! Ils avaient l’air de mépriser tout le monde. Pour ce qui est de vous, je vous trouve vraiment bien pensif, jeune homme.
Aku : – Jeune homme ! Lui ai-je dit, je suis plus vieux que vous ;
chaque quart d’heure qui s’écoule me vieillit d’une année. Nrt-49 : Il s’est retourné, m’a regardé quelques minutes avec un
étonnement inepte, puis s’est mis à ricaner lourdement. L’huissier : – Allons, vous voulez rire, plus vieux que moi ! Je serais
votre grand‘père. Aku : Je ne veux pas rire, lui ai-je répondu gravement.
(26/LDJC/77)
Nrt-48 : Ia lalu diam lagi sejenak, dan kemudian melanjutkan : L’huissier : – Orang-orang gila ! Orang-orang yang terlalu menggebu
semangatnya ! Mereka kelihatannya meremehkan semua orang. Kalau Anda, menurutku, Anda benar-benar sangat banyak berfikir, Anak muda !.
Aku : – Anak muda ! kataku kepadanya, aku lebih tua dari Anda.
Setiap seperempat jam berlalu, aku menjadi lebih tua setahun.
Nrt-49 : Ia memutar tubuhnya, memandangiku selama beberapa
menit dengan rasa heran yang konyol, kemudian tertawa menghina.
L’huissier : – Bah ! Anda bercanda ! Lebih tua dariku ! Aku pantas
jadi kakekmu. Aku : Aku tidak bercanda, jawabku kepadanya dengan serius.
L’huissier berusaha memaksimalkan pemujian terhadap tokoh Aku sebagai
anak muda. Pujian tersebut memberi makna bahwa tokoh Aku memiliki semangat
layaknya anak muda yang berani dan kuat menghadapi tantangan apapun,
termasuk vonis hukuman mati sekalipun. Tindakan l’huissier yang mengatakan
tokoh Aku sebagai anak muda mematuhi prinsip kesantunan, maksim pujian
karena memuji orang lain (Aku) sebanyak-banyaknya.
Lain halnya, tokoh Aku tidak bisa menerima dirinya dikatakan lebih muda
daripada l’huissier. Tokoh Aku menganggap dirinya lebih tua karena baginya
harapan hidup tinggal hitungan jam, yang berarti setiap seperempat jam berlalu,
maka dia (Aku) bertambah tua. Sikap tokoh Aku tersebut mencerminkan
kemaksimalan keuntungan diri sendiri (Aku). Sikap tokoh Aku melanggar prinsip
kesantunan, yaitu maksim kederemawanan karena tidak membuat keuntungan diri
sendiri sekecil-kecilnya.
Tokoh Aku seharusnya mengapresiasi pendapat l’huissier yang
menyebutnya sebagai anak muda. Apresiasi itu sebagai bentuk timbal balik
kepada l’huissier yang memberinya (Aku) motivasi dalam menghadapi vonis
hukuman mati. Apresiasi tersebut bisa diwujudkan melalui tuturan (22a) atau
(22b) berikut, maka akan terasa lebih sopan.
(22a) Je ne sais comment vous remercier de votre attention.
‘Saya tidak tahu bagaimana saya harus berterima kasih pada Anda atas perhatian Anda.’
(22b) Je vous remercie pour votre obligeance, pour votre attention.
‘Saya ucapkan terima kasih atas kebaikan Anda, atas perhatian Anda.’
Ketika tokoh Aku menanggapi apresiasi l’huissier dengan menggunakan
tuturan (22a) atau (22b) maka dia (Aku) telah menghargai apresiasi l’huissier
yang menyebutnya sebagai anak muda. Akibatnya, tokoh Aku memaksimalkan
keuntungan pada orang lain (l’huissier).
Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan
bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur
percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu
adalah menyatakan penolakan, yaitu penolakan tokoh Aku yang tidak mau dirinya
dianggap lebih muda daripada l’huissier.
Sementara itu, tuturan l’huissier mengandung implikasi penghormatan,
yaitu penghormatan tokoh kepada Aku.
4.3.18. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian. Maksim kedermawanan menegaskan kepada setiap peserta tindak tutur
untuk meminimalkan kepentingan pribadi. Akibatnya setiap peserta tindak tutur
meminimalkan perannya untuk memujudkan keinginannya, pada prakteknya
setiap tuturan diusahakan seminimal mungkin untuk menyebut nama peserta
tindak tutur yang memiliki kepentingan pribadi. Lain halnya, setiap peserta tindak
tutur hendalnya memberikan kesimpatian kepada mitra tuturnya ketika mendapat
musibah. Ketika mitra tutur mendapat musibah, namun peserta tindak tutur tidak
memberikam kesimpatian maka peserta tindak tutur tersebut melanggar prinsip
kesantunan, yakni makism kesimpatian.
Pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné ditemukan 1 wacana
monolog yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kedermawanan dan
melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian.
(23) Konteks : Di dalam selnya (Aku), tokoh Aku memperkirakan peluang naik banding agar dapat bebas dari vonis hukuman mati yang telah ia (Aku) terima.
Nrt-50 : Plus de chance maintenant ! Mon pourvoi sera rejeté, parce que
tout est en règle ; les témoins ont bien témoigné, les plaideurs ont bien plaidé, les juges ont bien jugé. Je n’y compte pas, à moins que… Non, folie ! Plus d’espérance ! Le pourvoi, c’est une corde qui vous tient suspendu au-dessus de l’abîme, et qu’on entend craquer à chaque instant, jusqu’à ce qu’elle se casse. C’est comme si le couteau de la guillotine mettait six semaines à tomber.
Aku (Pn) : – Si j’avais ma grâce ? Aku (Pt) : – Avoir ma grâce ! Et par qui ? Et pourquoi ? Et comment ? Il
est impossible qu’on me fasse grâce. L’exemple ! Comme ils disent. Je n’ai plus que trois pas à faire : Bicêtre, la Conciergerie, la Grève.
(14/LDJC/63)
Nrt-50 : Sekarang sudah tidak ada lagi kesempatan! Permohonan
bandingku akan ditolak, sebab semuanya beres : para saksi telah bersaksi dengan baik, para pembela telah membela dengan baik, para hakim telah menghakimi dengan baik. Aku tidak mengharapkannya, kecuali..... Tidak, gila! Tidak ada harapan lagi ! Banding adalah tali yang menggantungku di atas jurang yang setiap saat seratnya terdengar meretas, hingga akhirnya putus. Itu seperti kalau pisau guilottine memerlukan waktu enam minggu untuk meluncur sampai bawah.
Aku (Pn) : – Kalau aku mendapat pengampunan?
Aku (Pt) : – mendapat pengampunan! Dari siapa? dan kenapa? dan bagaimana? Tidak mungkin orang memberiku pengampunan. Buat contoh! Seperti kata mereka. Hanya tiga langkah lagi yang harus kulalui : penjara Bicêtre, gedung Conciergerie, bunderan Grêve.
Pn yang mengandaikan (Si j’avais ma grâce ?, ’Kalau aku mendapat
pengampunan?’) adanya pengampunan dari hasil banding atas vonis hukuman
mati yang telah ia (Pn) terima adalah sebuah kewajaran dan hal itu adalah hak dari
Pn. Namun tokoh Aku mengurungkan niat untuk melakukan banding (seperti pada
Nrt 49) maka Pn mematuhi submaksim pertama (membuat keuntungan diri sendiri
sekecil-kecilnya) prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. Di sisi lain, Pn
tidak memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri dengan mengajukan
banding atas kasusnya (Aku). Tindakan Pn telah mematuhi prinsip kesantunan,
yaitu maksim kedermawanan karena membuat keuntungan diri sendiri (Pn)
sekecil-kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri (Pn) sebesar-besarnya.
Lain halnya, Sikap Pt yang meragukan harapan Pn tentang pengampunan
dan mempertanyakan dari siapa serta mengapa Pn bisa mendapat pengampunan
dari vonis hukuman mati merupakan ekspresi keantipatian Pt kepada Pn. Sikap Pt
tersebut melanggar submaksim pertama (mengurangi rasa antipati antara diri
dengan pihak lain hingga sekecil-kecilnya) maksim kesimpatian. Lebih dari itu, Pt
menegaskan keantipatiannya dengan mengatakan bahwa terpidana mati (Aku)
hanya memiliki tiga langkah lagi, yaitu penjara Bicêtre, gedung Conciergerie,
bunderan Grêve. Penjara Bicêtre merupakan pertanda masa menunggu bagi
terpidana mati sebelum melaksanakan eksekusi mati, gedung Conciergerie adalah
tempat bagi terpidana mati untuk didata ulang dalam rangka prosesi eksekusi
mati, bunderan Grève adalah tempat terpidana mati dieksekusi mati. Pt yang
mengatakan Pn tinggal memiliki tiga langkah lagi (penjara Bicêtre, gedung
Conciergerie, bunderan Grêve) menyiratkan bahwa Pn sudah tidak memiliki
harapan bebas vonis hukuman mati. Maka sikap Pt tersebut melanggar prinsip
kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena tidak mengurangi rasa antipati
antara diri (Pt) dengan pihak lain (Pn) hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan
rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri (Pn) dengan pihak lain (Pt).
Pt seharusnya ikut memberikan dukungan kepada Pn yang mengharapkan
kebebasan dari vonis hukuman mati, dukungan itu bisa diungkapkan dengan
kalimat, semisal,
(23a) Vous pourriez monter en appel au tribunal ou vous pourriez demander la cassation à la cour supreme pour d’être lavé de ce condamné à mort.
‘Sudilah kiranya Anda mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi atau Anda meminta kasasi ke Mahkamah Agung agar bisa bebas dari tuntututan hukuman mati itu.’
Ketika Pt memberikan saran seperti pada (23a) maka akan membuat Pn
memiliki keyakinan dan harapan untuk bebas dari hukuman mati. Saran Pt juga
bisa diungkapkan dengan kalimat lain, semisal,
(23b) Il serait bien que vous le portiez en cassation.
Anda lebih baik membawa kasus (vonis hukuman mati) ke tingkat kasasi.
Kalimat (23b) juga bisa digunakan oleh Pt sebagai bentuk simpati
sekakigus saran kepada Pn yang mendapat vonis hukuman mati.
Tuturan tokoh Pt yang melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian
itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena
inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan
itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang
dikandung tuturan yang melanggar maksim kesimpatian itu adalah menyatakan
keraguan, yaitu keraguan Pt terhadap Pn yang mengharapkan ampunan dari
hukuman mati.
Sementara itu, tuturan Pn mengandung implikasi harapan, yaitu tokoh
Aku yang mengharapkan bandingnya diterima ke tingkat pengadilan tinggi atau
kasasi.
4.3.19. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kerendahan Hati dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan.
Pn yang memiliki kepentingan untuk disampaikan kepada Pt atau pihak
ketiga, dituntut untuk menyampaikan dengan mengurangi sekecil-kecilnya peran
dirinya (Pn) yang memiliki kepentingan. Pn juga dituntut untuk menyampaikan
kepentingannya dengan tuturan yang diutarakan secara tidak langsung yang
lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara
langsung. Selain dari itu, memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya
dipandang lebih sopan dibandingkan dengan kalimat perintah. Di sisi lain, Pn
dituntut meminimalkan memuji diri sendiri dan memaksimalkan mengecam diri
sendiri.
Dialog (24) di bawah ini adalah dialog yang mematuhi prinsip kesantunan,
kerendahan hati karena meminimalkan memuji diri sendiri. Dialog (24) juga
melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawan karena memaksimalkan
kepentingan diri sendiri.
(24) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku tidak mampu menahan perasaan sedih ketika mengetahui kertas yang dibaca oleh putrinya adalah kertas keputusan vonis hukuman mati bagi dirinya (Aku).
Aku : – Voyons, lis un peu, lui ai-je dit en lui montrant un papier
qu’elle tenait chiffonné dans une de ses petites mains. Nrt-51 : Elle a hoché sa jolie tête. Marie : – Ah bien ! Je ne sais lire que des fables.
Aku : – Essaie toujours. Voyons, lis. Nrt-52 : Elle a déployé le papier, et s’est mise à épeler avec son
doigt : Marie : – A, R, ar, R, Ê, T, rêt, ARRÊT… Nrt-53 : Je lui ai arraché cela des mains. C’est ma sentence de
mort qu’elle me lisait. Sa bonne avait eu le papier pour un sou. Il me coûtait plus cher, à moi.
Il n’y a pas de paroles pour ce que j’éprouvais. Ma violence l’avait effrayée ; elle pleurait presque. Tout à coup elle m’a dit :
Marie : – Rendez-moi donc mon papier; tiens ! C’est pour jouer. Nrt-54 : Je l’ai remise à sa bonne. Aku : – Emportez-la. Nrt-55 : Et je suis retombé sur ma chaise, sombre, désert, désespéré.
À présent ils devraient venir ; je ne tiens plus à rien ; la dernière fibre de mon cœur est brisée. Je suis bon pour ce qu’ils vont faire.
(48/LDJC/111)
Aku : – Coba bacalah sedikit, kataku kepadanya sambil menunjuk
kertas lusuh yang berada di tangannya yang mungil. Nrt-52 : Ia menganggukkan kepalanya yang indah. Marie : – Ah, aku hanya bisa membaca dongeng tentang
binatang. Aku : – Cobalah. Ayo, baca. Nrt-52 : Ia membentangkan kertasnya, dan mulai mengeja sambil
menunjuk dengan jarinya : Marie : – K, E, ke, P, U, pu, T, U, tu, S, A, N, san,
KEPUTUSAN… Nrt-53 : Kurebut kertas itu dari tangannya. Yang ia baca itu adalah
keputusan eksekusi hukuman matiku. Pengasuhnya
membelinya seharga satu kelip. Aku harus membayarnya lebih mahal.
Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan bagaimana perasaanku saat itu. Kekasaranku membuatnya takut. Ia hampir menangis. Mendadak ia berkata kepadaku :
Marie : – Tolong kembalikan kertasku ! Untuk mainan. Nrt-54 : Kukembalikan anak itu ke pengasuhnya Aku : – Bawa ia pergi. Nrt-55 : Dan aku kembali terduduk di kursiku, sedih, sunyi, putus
asa. Saat mereka seharusnya tiba. Tidak ada lagi yang kupegangi. Serat terakhir jantungku sudah putus. Sudah pas aku sekarang untuk menjalani apa yang mereka lakukan.
Tokoh Aku meminta Marie untuk membaca kertas yang dipegangnya
(Marie). Permintaan tokoh Aku tersebut dilakukan agar ia (Aku) bisa semakin
dekat dengan Marie yang sudah tidak mengenalnya lagi sebagai ayahnya (Marie).
Namun perintah tokoh Aku yang menyuruh Marie membaca menyuratkan
kepentingan diri sendiri (Aku). Tokoh Aku memaksimalkan keuntungan diri
sendiri dengan tuturan kalimat perintah yang diutarakan secara langsung. Maka
tokoh Aku melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan karena tidak
membuat keuntungan diri sendiri sekecil-kecilnya dan tidak membuat kerugian
diri sendiri sebesar-besarnya.
Tokoh Aku sebaiknya menyampaikan keinginannya (meminta Marie untuk
membaca) dengan tuturan yang diutarakan secara tidak langsung dan tanpa harus
menggunakan kalimat perintah walaupun bermakna memerintah. Tuturan tokoh
Aku semisal diutarakan dengan tuturan (24a) di bawah ini, maka akan terasa lebih
sopan.
(24a) Marie pourriez lire un peu, s’il vous plaît!
Marie sudilah (Anda) membaca sedikit !
Lain halnya, Marie merendahkan dirinya dengan mengatakan bahwa dia
hanya bisa membaca dongeng tentang binatang (Ah bien! Je ne sais lire que des
fables, ’Ah, aku hanya bisa membaca dongeng tentang binatang’). Sikap
merendahkan diri yang dilakukan oleh Marie merupakan bentuk pematuhan
prinsip kesantunan, maksim kerendahan diri karena memuji diri sendiri sedikit-
dikitnya.
Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan
bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur
percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu
adalah menyatakan harapan, yaitu harapan agar Marie semakin dekat dengannya
(Aku) dan akhirnya mengenalnya sebagai ayahnya.
Sementara itu, tuturan Marie mengandung implikasi penolakan, yaitu
menolak permintaan tokoh Aku untuk membaca kertas yang dipegangnya (Marie).
4.3.20. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesepakatan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian.
Wacana monolog adalah wacana yang pemproduksiannya hanya
melibatkan satu pembicara (sebagai Pn maupun Pt) yang memiliki keleluasaan
untuk mengatur ide maupun tuturan Pn dan Pt. Maka dimungkinkan wacana
monolog yang tercipta mematuhi prinsip kesimpatian, maksim kesepakatan.
Pematuhan prinsip kesimpatian, maksim kesepakatan kemungkian besar terjadi
karena pembicara sebagai Pn dan Pt akan cenderung menyepakati idenya
(pembicara) sendiri. Wacana monolog
Di sisi lain, prinsip kesantunan, maksim kesimpatian menegaskan kepada
setiap peserta tindakk tutur untuk memberikan kesimpatian ke sesama peserta
tindak tutur ketika ada diantara peserta tindak tutur yang mengalami musibah.
Kesimpatian tersebut juga berlaku bagi peserta tindak tutur yang mendapat
musibah untuk bersimpati kepada dirinya sendiri.
Wacana monolog (25) di bawah ini adalah data yang mematuhi prinsip
kesantunan, maksim kesepakatan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim
kesimpatian.
(25) Konteks : Kunjungan kepala penjara yang menemui tokoh Aku di selnya (Aku), semakin membuat tokoh Aku yakin bahwa kunjungan tersebut sebagai pertanda eksekusi mati segera dilaksanakan.
Aku (Pn) : C’est pour aujourd’hui ! Nrt-56 : Le directeur de la prison lui-même vient de me rendre visite. Il
m’a demandé en quoi il pourrait m’être agréable ou utile, a exprimé le désir que je n’eusse pas à ma plaindre de lui ou de ses subordonnés, s’est informé avec intérêt de ma santé et de la façon dont j’avais passé la nuit; en me quittant, il m’a appelé monsieur !
Aku (Pt) : C’est pour aujourd’hui !
(17/LDJC/68) Aku (Pn) : Itu hari ini ! Nrt-56 : Direktur penjara sendiri datang menjengukku. Ia bertanya apa
yang bisa dilakukan untuk menyenangkan hatiku atau apa yang bisa ia lakukan buatku, dan ia juga mengungkapkan harapannya agar aku tidak mempunyai keluhan terhadapnya atau terhadap anak buahnya, dengan penuh perhatian ia menanyaiku tentang kesehatanku dan bagaimana aku melewatkan malam yang baru saja berlalu. Saat meninggalkanku, ia menyebutku dengan tuan!
Aku (Pt) : Itu hari ini!
Sikap Pn yang memperkirakan bahwa kunjungan direktur penjara (seperti
pada Nrt-56) sebagai pertanda eksekusi mati akan segera dilaksanakan semakin
membuat Pn lemah dan takut menghadapi eksekusi mati. Sikap Pn tersebut
sebagai bentuk pelanggaran prinsip kesantunan, maksim kesimpatian karena Pn
tidak bersimpati pada dirinya sendiri yang telah mendapat vonis hukuman mati.
Pn seyogyanya tetap optimis melalui hari-harinya di penjara dan tidak
harus menganggap kedatangan direktur penjara sebagai pertanda bahwa eksekusi
mati segera dilaksanakan pada hari ketika direktur penjara berkunjung. Pn
sebaiknya menganggap sikap direktur penjara yang menanyakan tentang
pelayanan penjara dan menanyakan tentang kesehatan Pn sebagai bentuk
perhatian direktur penjara yang memang sudah menjadi tugasnya (direktur
penjara). Pn seharusnya berpikiran positif atas perhatian direktur penjara bahkan
merasa dirinya (Pn) istimewa karena tidak semua narapidana mendapat perhatian
sebagaimana yang didapatkan oleh Pn. Sikap Pn untuk mengapresiasi perhatian
direktur penjara dapat diutarakan dengan tuturan (24a) berikut.
(25a) Avec tous mes remercierements, je ne me plaignis jamais d’avoir un service de la prison.
‘Dengan segala rasa terima kasih (saya), saya tidak pernah mengeluh atas pelayanan penjara.’
Tuturan (25a) di atas terkesan lebih sopan sekaligus sebagi bentuk
apresiasi Pn atas kebaikan direktur penjara dan pelayanan penjara.
Sementara itu, tuturan Pt C’est pour aujourd’hui !, ’Itu hari ini!’
menunjukkan kesepakatan Pt kepada pendapat Pn yang mengatakan bahwa
kunjungan direktur penjara sebagai pertanda eksekusi mati segera dilaksanakan.
Pt cenderung melebih-lebihkan kesepakatannya kepada Pn dengan mengulang
tuturan yang sama persis dengan tuturan Pn. Dengan demikian, Pt mematuhi
prinsip kesantunan, maksim kesepakatan karena mengusahakan agar kesepakatan
antara diri sendiri (Pt) dan pihak lain (Pn) terjadi sebanyak-banyaknya.
Tuturan tokoh Pn yang melanggar prinsip kesantunan, maksim
kesimpatian itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan
bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur
percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kesimpatian itu
adalah menyatakan kegelisahan, yaitu kegelisahan Pn yang akan menghadapi
eksekusi mati.
Sementara itu, tuturan Pt mengandung implikasi ketidakpedulian, yaitu
ketidakpedulian Pt terhadap Pn yang mengalami kegelisahan dalam menghadapi
eksekusi mati.
4.3.21. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Pujian. Kesantunan wacana yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim
kesimpatian adalah percakapan yang mengurangi rasa antipati antara diri sendiri
dengan pihak lain hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati
sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dengan pihak lain. Sementara itu, tindakan
yang memaksimalkan pengecaman kepada pihak lain ataupun meminimalkan
pujian kepada pihak lain berarti melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.
Wacana (26) di bawah ini mematuhi prinsip kesantunan, maksim
kesimpatian dan melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.
(26) Konteks : Tokoh Aku kembali melanjutkan pengamatan pada dinding di ruang selnya walaupun sebelumnya dia (Aku) telah melihat lukisan tempat pemancungan yang membuatnya takut.
Nrt-57 : Je suis revenu m’asseoir précipitamment sur ma paille, la tête
dans les genoux. Puis mon effroi d’enfant s’est dissipé, et une étrange curiosité m’a repris de continuer la lecture de mon mur.
À côté du nom de Papavoine j’ai arraché une énorme toile d’araignée, tout épaissie par la poussière et tendue à l’angle de la muraille. Sous cette toile il y avait quatre ou cinq noms parfaitement lisibles, parmi d’autres dont il ne reste rien qu’une tache sur le mur. – DAUTUN, 1815. – POULAIN, 1818. – JEAN MARTIN, 1821. – CASTAING, 1823. J’ai lu ces noms, et de lugubres souvenirs me sont venus. Dautun, celui qui a coupé son frère en quartiers, et qui allait la nuit dans Paris jetant la tête dans une fontaine, et le tronc dans un égout ; Poulain, celui qui a assassiné sa femme ; Jean Martin, celui qui a tiré un coup de pistolet à son père au moment où le vieillard ouvrait une fenêtre ; Castaing, ce médecin qui a empoisonné son ami, et qui, le soignant dans cette dernière maladie qu’il lui avait faite, au lieu de remède lui redonnait du poison ; et auprès de ceux-là, Papavoine, l’horrible fou qui tuait les enfants à coups de couteau sur la tête !
Voilà, me disais-je, et un frisson de fièvre me montait dans les reins, voilà quels ont été avant moi les hôtes de cette cellule. C’est ici, sur la même dalle où je suis, qu’ils ont pensé leurs dernières pensées, ces hommes de meurtre et de sang ! C’est autour de ce mur, dans ce carré étroit, que leurs derniers pas ont tourné comme ceux d’une bête fauve. Ils se sont succédé à de courts intervalles ; il paraît que ce cachot ne désemplit pas. Ils ont laissé la place chaude, et c’est à moi qu’ils l’ont laissée. J’irai à mon tour les rejoindre au cimetière de Clamart, où l’herbe pousse si bien !
Je ne suis ni visionnaire, ni superstitieux, il est probable que ces idées me donnaient un accès de fièvre ; mais, pendant que je rêvais ainsi, il m’a semblé tout à coup que ces noms fatals étaient écrits avec du feu sur le mur noir ; un tintement de plus en plus précipité a éclaté dans mes oreilles ; une lueur rousse a rempli mes yeux ; et puis il m’a paru que le cachot était plein d’hommes,
d’hommes étranges qui portaient leur tête dans leur main gauche, et la portaient par la bouche, parce qu’il n’y avait pas de chevelure. Tous me montraient le poing, excepté le parricide. ………….. Cela m’a dépossédé
Aku (Pn) : – Ô les épouvantables spectres ! Aku (Pt) : – Non, c’était une fumée, une imagination de mon cerveau
vide et convulsif. Chimère à la Macbeth ! Les morts sont morts, ceux-là surtout. Ils sont bien cadenassés dans le sépulcre. Ce n’est pas là une prison dont on s’évade.
(12/LDJC/52)
Nrt-57 : Aku buru-buru kembali duduk di atas tumpukan jeramiku,
kusembunyikan kepalaku di sela-sela dengkulku. Kemudian rasa takutku yang kekanak-kanakan itu hilang, dan rasa ingin tahu yang aneh mendorongku untuk meneruskan membaca tulisan-tulisan yang ada di tembok sel.
Kusibakkan sarang laba-laba yang besar, tebal berdebu, yang membentang di sudut tembok, di samping nama Papavoine. Di belakang sarang laba-laba itu ada empat atau lima nama yang masih dapat terbaca dengan sempurna diantara yang lain-lain yang tinggal berupa noda di tembok itu. – Dautun, 1815. – Poulin, 1818. – Jean Martin, 1821. – Castaing, 1823. Kubaca nama-nama itu, dan kenangan suram melintas dalam ingatanku: Dautun, orang yang memotong saudaranya menjadi empat, dan yang di malam hari ke luar di Paris untuk menaruh penggalan kepalanya di sebuah air mancur dan membuang potongan tubuhnya di selokan; Poulin, orang yang membunuh istrinya; Jean Martin, orang yang menembak ayahnya dengan pistol saat orang tua itu sedang membuka jendela; Castaing, dokter yang telah meracuni temannya dan yang saat merawatnya, bukannya menyembuhkannya, tapi malah meracuninya lagi, dan setelah nama-nama itu, nama Papavoine, orang gila yang mengerikan yang membunuh anak-anak dengan tikaman-tikaman pisau di kepala!
Begitu, kataku kepada diriku sendiri, dan rasa menggigil seperti demam merambat naik ke ginjalku, begitu rupanya para penghuni sel ini sebelumku. Di sinilah, di atas ubin yang sama dengan tempatku berada sekarang ini, mereka merenungkan pikiran-pikiran terakhir mereka, para pembunuh yang berlumuran darah ini! Di sekeliling dinding inilah, di dalam bilik sempit ini, mereka mondar-mandir terakhir kali seperti
seekor binatang buas. Mereka saling bergantian dalam waktu yang tidak lama. Tampaknya sel ini tidak pernah kosong. Tempat ini mereka tinggalkan masih dalam keadaan hangat, dan kepadakulah mereka meninggalkannya. Sekarang giliranku bergabung dengan mereka di kuburan Clamart, tempat semak belukar tumbuh subur!
Aku bukanlah orang yang suka berkhayal atau percaya tahayul. Mungkin sekali pikiran-pikiran ini membuatku terserang demam, tapi selama aku melamun seperti itu, tiba-tiba kelihatannya nama-nama yang menakutkan ini seolah ditulis dengan api di atas tembok hitam, telingaku mendenging makin lama makin cepat, secercah cahaya kemerah-merahan memenuhi pandanganku, dan kemudian sel itu kelihatannya penuh orang, orang-orang aneh yang mencangking kepala mereka dengan tangan kirinya, dan memegangnya pada lubang mulut, sebab kepala-kepala itu tidak berambut. Mereka semua mengacungkan tinjunya padaku, kecuali orang yang membunuh ayahnya itu. ………………………………………………………………… Itu telah menyeretku kembali.
Aku (Pn) : – Oh, hantu-hantu yang sangat menakutkan! Aku (Pt) : - Bukan, itu asap, imajinasi otakku yang kosong dan tak
terkendali. Mimpi-mimpi buruk dalam cerita Macbeth ! Orang yang sudah mati ya mati, terutama mereka itu. Mereka benar-benar telah digembok di dalam makam mereka. Dan itu bukanlah penjara yang penghuninya dapat melarikan diri.
Pn merasa para mantan narapidana (Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing,
dan Papavoine) yang pernah menghuni ruang selnya (Pn) seakan datang
mendekatinya dan meninjunya (Pn) (seperti pada Nrt-57) adalah bentuk khayalan
atau ilusi Pn akibat terlalu takut menghadapi eksekusi mati yang akan dijalaninya.
Adapun tuturan Pn (Ô les épouvantables spectres !, ’Oh, hantu-hantu yang sangat
menakutkan!’) merupakan ekspresi ketakutannya (Pn) terhadap para mantan
narapidana tersebut yang telah diesksekusi mati. Tuturan Pn sekaligus sebagai
bentuk ekspresi yang melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian karena telah
mengecam para mantan narapidana dengan menyebut mereka sebagai hantu-hantu
yang menakutkan. Tindakan Pn melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian
karena mengecam orang lain (Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan
Papavoine) sebanyak-banyaknya dan memuji orang lain (Dautun, Poulin, Jean
Martin, Castaing, dan Papavoine) sedikit-dikitnya.
Pn hendaknya mengekspresikan ketakutannya tanpa harus mengecam
Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan Papavoine walaupun mereka telah
melakukan kejahatan yang bisa jadi lebih jahat daripada tokoh Aku. Tuturan
tokoh Aku bisa diutarakan dengan tuturan (26a) berikut yang akan terasa lebih
sopan.
(26a) Même si j’avais peur, je dois quand même facer la condamnation à la mort.
‘Meskipun saya mengalami ketakutan, pada waktu yang sama saya harus menghadapi vonis hukuman mati.’
Tuturan (26a) di atas terasa lebih sopa karena tidak mengecam pihak lain
(Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan Papavoine) sekaligus sebagai
ekspresi keoptimisan Pn untuk berani menghadapi vonis hukuman mati walaupun
Pn bisa jadi memiliki nasib yang sama dengan Dautun, Poulin, Jean Martin,
Castaing, dan Papavoine, yaitu dihukum mati.
Pt menganggap bahwa Pn hanya berhalusinasi terhadap para arwah para
narapidana (Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan Papavoine) yang
dianggap sebagai hantu yang menakutkan. Hal ini akibat dari imajinasi otak yang
kosong dan tidak terkendali. Tindakan Pt merupakan ekspresi kesimpatian kepada
Pn, tindakan tersebut diperkuat dengan memberikan sugesti bahwa Orang yang
sudah mati akan tetap mati, terutama (Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan
Papavoine). Mereka benar-benar telah digembok di dalam makam mereka. Dan
itu bukanlah penjara yang penghuninya dapat melarikan diri.
Maka tindakan Pt mematuhi prinsip kesantunan, yaitu maksim kesimpatian
karena mengurangi rasa antipati antara diri (Pt) dengan pihak lain (Pn) hingga
sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri
(Pt) dengan pihak lain (Pn).
Tuturan tokoh Pn yang melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian itu
memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena
inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan
itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang
dikandung tuturan yang melanggar maksim pujian itu adalah menyatakan
penolakan, yaitu penolakan Pn agar tidak mendapat nasi yang sama seperti
Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan Papavoine yang dieksekusi mati.
Sementara itu, tuturan Pt mengandung implikasi harapan, yaitu harapan
kepada Pn untuk berani menghadapi vonis hukuman mati.
4.3.22. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian.
Percakapan yang mengurangi rasa antipati antara diri sendiri dengan pihak
lain hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya
antara diri sendiri dengan pihak lain. Jika petutur mendapatkan kesuksesan atau
kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Ketika petutur
mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak turut berduka atau
mengucapkan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.
Wacana (27) berikut ini mematuhi dan melanggar prinsip kesantunan,
maksim kesimpatian.
(27) Konteks : Tokoh Aku telah melalui masa-masa persidangan tentang kasus yang dituduhkan kepadanya selama lima minggu, selama lima minggu itu pula, dia (Aku) selalu memikirkan vonis hukuman mati yang bisa saja dijatuhkan kepadanya. Vonis hukuman mati tersebut membuatnya (Aku) menjadi takut.
Aku (Pn 1) : Condamné à mort! Nrt-58 : Voilà cinq semaines que j’habite avec cette pensée, toujours seul
avec Elle, toujours glacé de sa présence, toujours courbé sous son poids! Autrefois, car il me semble qu’il y a plutôt des années que des semaines, j’étais un homme comme un autre homme. Chaque jour, chaque heure, chaque minute avait son idée. Mon esprit, jeune et riche, était plein de fantaisies. Il s’amusait à me les dérouler les unes après les autres, sans ordre et sans fin, brodant d’inépuisables arabesques cette rude et mince étoffe de la vie. C’étaient des jeunes filles, de splendides chapes d’évêque, des batailles gagnées, des théâtres pleins de bruit et de lumière, et puis encore des jeunes filles et de sombres promenades la nuit sous les larges bras des marronniers. C’était toujours fête dans mon imagination. Je pouvais penser à ce que je voulais, j’étais libre. Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n’ai plus qu’une pensée, qu’une conviction, qu’une certitude :
Aku (Pn 2) : Condamné à mort!
Nrt-59 : Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernale, comme un spectre de plomb à mes côtés, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de ses deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu’on m’adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot, m’obsède éveillé, épie mon sommeil
convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d’un couteau.
Aku (Pt) : Ah ! Ce n’est qu’un rêve! – Hé Bien!
Nrt-60 : Avant même que mes yeux lourds aient eu lu temps de
s’entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l’horrible réalité qui m’entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de ma lampe de nuit, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré à mon oreille :
Aku (Pn 3) : Condamné à mort!
(1/LDJC/37-38) Aku (Pn 1) : Dihukum mati! Nrt-58 : Lima minggu sudah aku hidup bersama pikiran ini, selalu berdua
dengannya, selalu dihantui kehadirannya, bungkuk menanggung bebannya! Dulu, sebab bagiku rasanya telah bertahun-tahun daripada beberapa minggu, aku adalah manusia bebas, seperti manusia lainnya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit mempunyai gagasan. Jiwaku yang muda dan kaya penuh dengan angan-angan. Secara iseng, jiwaku sering menanyakan angan-angan itu kepadaku satu demi satu, tanpa urutan dan tanpa akhir, menyulam arabesk yang tidak ada habisnya di kain kehidupan kasar dan tipis ini. Angan-angan tentang gadis, jubah uskup, pertempuran-pertempuran yang dimenangkan, teater penuh suara dan cahaya, lalu gadis-gadis lagi dan jalan-jalan di malam hari yang suram di bawah lengan-lengan raksasa pohon-pohon sarangan. Dalam bayanganku, itu selalu merupakan hari raya. Aku bisa memikirkan apa yang kuinginkan, aku bebas. Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian:
Aku (Pn 2) : Dihukum mati!
Nrt-59 : Apapun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang
merana. Dan bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia mengguncangku dengan kedua tangannya yang sedingin es. Ia menyusup ke segala bentuk pelarian yang dipakai jiwaku untuk menghindarinya, menimbrung di semua ucapan yang ditujukan padaku seperti refrain lagu yang mengerikan, menempel bersamaku di terali besi selku yang begitu buruk, menghantuiku di saat terjaga, memata-mataiku di saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku, dalam bentuk pisau. Tersentak bangun aku dikejarnya, kemudian kuberkata kepada diriku sendiri:
Aku (Pt) : Ah, itu hanya mimpi! – Oh, Ya ?!
Nrt-60 : Bahkan sebelum mataku yang berat sempat sedikit membuka
untuk melihat pikiran yang tidak terelakkan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di ubin selku yang basah dan berkeringat, di kesuraman lampu malamku, di tenunan kasar kain pakaianku, di wajah suram serdadu jaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, terdengar sudah sebuah bisikan di telingaku:
Aku (Pn 3) : Dihukum mati!
Pada tuturan di atas (Condamné à mort!, ‘Dihukum mati!’), tindakan Pn
1 – Pn 3 melanggar submaksim pertama (mengurangi rasa antipati antara diri
sendiri dengan pihak lain hingga sekecil-kecilnya) prinsip kesantunan, maksim
kesimpatian. Hal itu dikarenakan Pn 1 – Pn 2 tidak bersimpati kepada dirinya
sendiri yang terlibat pada pemikiran tentang hukuman mati. Pn 1 – Pn 2 tidak
memiliki optimisme meskipun dia sedang mengalami persidangan yang bisa saja
mengarah pada vonis hukuman mati (seperti pada Nrt-58 dan Nrt-59). Sementara
itu, Pn 3 yang telah mendapatkan ekspresi simpati dari Pt berupa keyakinan
bahwa apa yang dipikirkannya (Pn 3) hanyalah sebuah mimpi atau tidak akan
menjadi kenyataan. Semestinya, ia (Pn 3) memiliki optimisme tentang
kemungkinan adanya peluang bebas dari vonis hukuman mati. Namun dia (Pn 3)
juga pesimis (seperti pada Nrt-60) terhadap dirinya sendiri. Tindakan Pn 1 – Pn 3
terlihat melalui tuturannya (Condamné à mort !, ’Dihukum mati !’) yang
menunjukkan pesimisme dari pelakunya (Pn 1 – Pn 3) terhadap keadaan dirinya
sendiri.
Melalui tuturan Pn 1- Pn 3 (Condamné à mort !, ’Dihukum mati !’), maka
dapat dinyatakan bahwa Pn 1 – Pn 3 melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim
kesimpatian karena tidak mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (Pn, Aku)
dengan pihak lain (Pn, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan tidak meningkatkan rasa
simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (Pn, Aku) dengan pihak lain (Pn,
Aku).
Pn 1 – Pn 3 tidak berpikiran positif atas dirinya sendiri dan justru
mengalami kebingungan terhadap kemungkinan vonis hukuman mati yang akan
menimpanya (Pn 1 – Pn 3). Seharusnya, Pn 1 – Pn 3 memiliki optimisme tentang
peluang bebas dari vonis hukuman mati. Optimisme Pn 1 – Pn 3 bisa diungkapkan
dengan ekspresi, semisal (27a) atau (27b) berikut.
(27a) Je suis sûr de ma liberté.
‘Saya yakin pada kebebasanku.’ Atau dengan, (27b) J’espère d’être lavé de cette accusation,
‘Saya berharap bisa bebas dari tuntutan itu’.
Jikalau Pn 1 – Pn 3 mengungkapkan tindakannya melalui tuturan (27a) di
atas, hal itu mengesankan sebuah kepercayaan diri sendiri dan juga menunjukkan
pikiran positif pada diri sendiri. Akibatnya, tindakan tersebut memberikan
keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pihak lain (Pn), mengingat ini adalah
wacana monolog. Pn 1 Pn 3 juga bisa mengekspresikan tindakannya melalui
tuturan (27b) yang menyuratkan sebuah harapan untuk bisa bebas dari vonis
hukuman mati.
Adapun Aku (Pt), sekaligus sebagai Pn (mengingat ini adalah wacana
monolog) mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian. Tuturan Pt di atas
(Ah ! Ce n’est qu’un rêve! – Hé Bien!, ’Ah, itu hanya mimpi! – Oh, Ya ?!’)
menyatakan bentuk kesimpatian kepada Pn. Hal ini sesuai dengan bunyi maksim
kesimpatian submaksim kedua yang menekankan untuk meningkatkan rasa
simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (Pt) dengan pihak lain (Pn).
Nasihat untuk bersimpati kepada pihak lain (Pn) dipatuhi oleh Pt di dalam
percakapan di atas. Pt telah memberikan sugesti (Ah ! Ce n’est qu’un rêve!, ’Ah,
itu hanya mimpi!) yang memberikan keyakinan kepada Pn bahwa apa yang dia
(Pn) pikirkan (seperti pada Nrt-58 dan Nrt-59) hanyalah sebuah mimpi.
Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Pt mematuhi prinsip
kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena mengurangi rasa antipati antara
diri sendiri (Pt, Aku) dengan pihak lain (Pn, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan
meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (Pt, Aku)
dengan pihak lain (Pn, Aku).
Tuturan Pn yang melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim
kesimpatian itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu
terjadi karena melalui inferensi atas pelanggaran kedua submaksim itu
menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan,
yaitu cemoohan. Implikatur itu diungkapkan secara tersirat oleh Pn melalui
tuturan yang tidak menunjukkan kesimpatian, yaitu sikap mencemooh penderitaan
yang dialami dirinya sendiri (Pn) dengan menggambarkan hukuman mati yang
selalu menyertai dalam setiap aktivitasnya (seperti pada Nrt-58, Nrt-59, dan Nrt-
60). Pada konteks lain, tuturan Pn (Condamné à mort !, ’Dihukum mati !’) bisa
mengimplikasikan kebingungan, yaitu Pn bingung terhadap perkaranya sendiri
yang bisa mengarah pada vonis hukuman mati sehingga dia (Pn) tidak memiliki
optimisme untuk bebas atas kasusnya (Pn).
Sebaliknya, tuturan Pt mengandung implikasi keyakinan, yaitu keyakinan
dari Pt kepada Pn agar memiliki optimisme terhadap peluang bebas dari vonis
hukuman mati sehingga tidak senantiasa mengeluh (seperti pada Nrt-58, Nrt-59,
dan Nrt-60).
132
BAB 5
PENUTUP
Untuk menyimpulkan hasil penelitian ini, peneliti mengacu pada dua
permasalahan yang telah dirumuskan pada bab 1 dan hasil analisis pada bab 4.
5.3. SIMPULAN
Berdasarkan analisis data, peneliti dapat menyimpulkan setidaknya tiga hal
sebagai berikut.
Pertama, ditemukan 13 data yang mematuhi prinsip kesantunan, yakni 7
wacana dialog mematuhi maksim kearifan, 1 wacana dialog mematuhi maksim
kearifan dan kedermawanan, 1 wacana monolog dan 2 wacana dialog mematuhi
maksim kearifan dan kesepakatan, 1 wacana dialog mematuhi maksim kearifan
dan kesimpatian, 1 wacana monolog mematuhi maksim kesimpatian.
Kedua, ditemukan 16 data yang melanggar prinsip kesantunan, yakni 1
wacana monolog dan 2 wacana dialog melanggar maksim kearifan dan
kedermawanan, 5 wacana dialog melanggar maksim kedermawanan, 3 wacana
dialog melanggar maksim kedermawanan dan pujian, 1 wacana monolog
melanggar maksim kedermawanan dan kesimpatian, 2 wacana monolog dan 2
wacana dialog melanggar maksim kesimpatian. Sementara itu, implikasi
pragmatis akibat pelanggaran prinsip kesantunan terdiri atas 47 implikatur
nonkonvensional dan 19 implikatur konvensional. Bentuk-bentuk implikatur yang
133
ditemukan adalah implikatur yang menyatakan ‘cemoohan’, ’harapan’,
’keinginan’, ’penolakan’, ’mencemooh’, ‘kebanggan’, ‘kebingungan’, ‘kecaman’,
‘kekecewaan’, ’pendekatan’, ‘kegelisahan’, ‘kegundahan’, ‘keingintahuan’,
‘keluhan’, ’keraguan’, ’ketakutan’, ’ketidakpedulian’, ‘sapaan’.
Ketiga, Selain dari itu, ditemukan 22 data yang mematuhi dan melanggar
prinsip kesantunan. 22 Data tersebut terdiri dari 3 dialog dan 1 polilog mematuhi
maksim kearifan dan melanggar maksim kearifan, 7 dialog mematuhi maksim
kearifan dan melanggar maksim kedermawanan, 1 dialog mematuhi maksim
kearifan dan melanggar maksim pujian, 1 dialog mematuhi maksim kearifan dan
melanggar maksim kerendahan hati, 1 dialog mematuhi maksim kearifan dan
melanggar maksim kesimpatian, 1 dialog mematuhi maksim kedermawanan dan
melanggar maksim pujian, 1 monolog mematuhi maksim kedermawanan dan
melanggar maksim kesimpatian, 1 dialog mematuhi maksim kerendahan hati dan
melanggar maksim kedermawanan, 1 monolog mematuhi maksim kesepakatan
dan melanggar maksim kesimpatian, 1 monolog mematuhi maksim kesimpatian
dan melanggar maksim pujian, 2 monolog dan 1 dialog mematuhi dan melanggar
maksim kesimpatian.
Sementara itu, dari hasil identifikasi terhadap ke 50 data, dapat
disimpulkan bahwa (1) pematuhan paling banyak terjadi pada prinsip kesantunan,
yakni maksim kearifan, sejumlah 31 data. Hal ini terjadi, karena pengarang
menceritakan tentang pergulatan tokoh Aku sebagai terpidana mati, yang masih
memiliki kepedulian terhadap orang-orang di sekitarnya sehingga tuturan-tuturan
tokoh Aku cenderung berisi tuturan yang memaksimalkan keuntungan Pt atau
pihak ketiga yang dibicarakan. (2) pelanggaran prinsip kesantunan paling banyak
terjadi pada maksim kedermawanan, yaitu sejumlah 27 data. Hal ini ada
korelasinya dengan isi roman yang banyak menceritakan tokoh Aku sebagai
terpidana mati sehingga tuturan-tuturan yang ada banyak berisi pemikiran-
pemikiran tokoh Aku yang cenderung memaksimalkan keuntungan diri sendiri
(Aku). Tuturan-tuturan tersebut merupakan representasi ide-ide pengarang.
5.4. SARAN
Selama proses penelitian ini, peneliti mengalami kendala baik secara
internal maupun secara eksternal. Secara internal, peneliti mengalami kesulitan
untuk menemukan maksud yang tersirat dari sebuah tuturan. Selain perbedaan
bahasanya, perbedaan faktor sosial budaya pada saat roman roman Le Dernier
Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dengan zaman sekarang yang sudah
sangat berbeda. Secara eksternal, penelitian ini mengalami kendala karena adanya
keterbatasan buku acuan pragmatis berbahasa Prancis. Berpijak dari kenyataan di
atas, maka penulis menyarankan kepada berbagai pihak, di antaranya adalah :
a) bagi pengajar : diharapkan pengajar dapat menambahkan pematuhan dan
pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya sebagai pokok
bahasan dalam mata kuliah pragmatik.
b) bagi mahasiswa : kesantunan bahasa bukanlah pembahasan baru bagi
mahasiswa, akan tetapi peneliti berharap agar mahasiswa maupun para peneliti
lanjutan dapat meneliti lebih dalam lagi pematuhan dan pelanggaran prinsip
kesantunan serta impliksi pragmatisnya dalam sumber data yang berbeda.
c) bagi keilmuan : meskipun telah ada pembahasan mengenai pematuhan dan
pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya, diharapkan
pembahasan tersebut dikaji lebih dalam dan luas lagi karena pematuhan dan
pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya saat ini masih
terbatas, terutama dengan sumber data tertulis dari hasil karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono.
1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.
Aminuddin. 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa
dan Sastra. Malang: yayasan Asih Asah asuh: Malang. Arifin, Bustanul. Martutik dan Rani, Abdul. 2000 Analisis Wacana Sebuah kajian
Bahasa Dalam Pemakaian. Malang : Bayu Media. Chaer, Abdul. 1994. Linguistik umum. Jakarta: Rineka Cipta. Dubois, Jean, dkk. . Dictionnaire de Lingustique. Paris: Larousse. Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter dari Gerakan Penindasan Menuju Politik
Hegemoni: Studi Atas Pidato-pidato Politik Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gunarwan, Hasim. 1999. “Pragmatik Pandangan Mata Burung” dalam Soejono
Dardjowidjojo (E.d). Mengiring Rekan Sejati. Jakarta. Universitas Atma Jaya. Hal 37-60.
Gunawan, Asim. 1995. “Direktif dan Sopan Santun Bahasa dalam Bahasa
Indonesia: Kajian Pendahuluan”. Makalah Universitas Indonesia Depok. Halliday, M.A.K and Ruqaiya Hasan. 1979. Cohension In English. London.
Longman. Hayon, Josep. 2003 Membaca dan menulis wacana. Jakarta : Storial Grafika.
Hugo, Victor. 1829. Le Dernier Jour d’un Condamné. Diterjemahkan oleh : M. Lady Lesmana. Jakarta : PT. Enrique Indonesia. Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Larousse, Pierre. 1967. Petit Larousse. Paris : Librairie Larousse. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. M. D. D. Oka, Penerjemah.
Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Leech, Geoffrey. 1983. The Principles Of Pragmatics. New York: Longman Group Limited.
Lubis, A. H. H. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.
Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. Moleong. Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya Offset. Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik. Teori dan Penerapannya. Jakarta:
Depdikbud. Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:
Dioma. Robert, Paul. 1990. Petit Robert. Paris : Dictionnaires Le Robert Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press. Rustono. 2000. Implikatur Tuturan Humor. Semarang: IKIP Semarang Press. Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik ke Arah Memahami Metode Linguistik.
Yogyakarta: UGM. . 1993. Metode dan Teknik analisis Bahasa (Pengantar Penelitian
wahana Kebudayaan secara Linguistik). Yogyakarta: Duta Wacana University Press.
Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. .1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa. . 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Van Dijk, Teun A. 1985. “Introduction Levels and Dimensions of Discourse
Analysis”. Dalam Teun A. van Dijk (ed.). Handbook of Discourse Analysis II: Dimensions of Discourse. London: Academic Press. Hlm. 1-10.
Van Luxemburg, Jan dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh Dick
Hartoko. Jakarta:PT Gramedia. Wijana, I. Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Http://Pondokbahasa.Wordspress.Com, diunduh pada tanggal 12 januari 2009,
19.38 WIB
Http://En.Wikipedia.Org/Wiki/Politeness_Maxims, diunduh pada tanggal 12 januari 2009, 19.38 WIB
LAMPIRAN 1 Rekapitulasi Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan Roman Le Dernier Jour D’un Condamné.
No. Data
Pematuhan Prinsip Kesopanan Pelanggaran Prinsip Kesopanan Jenis Kalimat (Penutur)
Jenis Kalimat (Petutur)
Jenis Wacana
M. K
earifan
M. K
edermaw
anan
M. Pujian
M. K
erendahan H
ati
M. K
esepakatan
M.K
esimpatian
M. K
earifan
M. K
edermaw
anan
M. Pujian
M. K
erendahan H
ati
M. K
esepakatan
M.K
esimpatian
Kom
isif
Impositif
Ekspresif
Asertif
Kom
isif
Impositif
Ekspresif
Asertif
Monolog
Dialog
Polilog
1 √ √
√ √
√
2 √ √
√ √
√
3 √ √
√ √
√ √
4 √ √
√ √
√
5 √ √
√ √
√
6 √,√
√ √
√
7 √,√
√ √
√
8 √ √
√ √
√
9 √ √ √
√ √
10 √ √
√ √
√
11 √,
√ √
√
140
√ 12 √
√ √
√ √
13 √,√
√ √
√
14 √ √
√ √
√
15 √ √
√ √ √
16 √,√
√ √
√
No. Data
Pematuhan Prinsip Kesopanan Pelanggaran Prinsip Kesopanan Jenis Kalimat (Penutur)
Jenis Kalimat (Petutur)
Jenis Wacana
M. K
earifan
M. K
edermaw
anan
M. Pujian
M. K
erendahan H
ati
M. K
esepakatan
M.K
esimpatian
M. K
earifan
M. K
edermaw
anan
M. Pujian
M. K
erendahan H
ati
M. K
esepakatan
M.K
esimpatian
Kom
isif
Impositif
Ekspresif
Asertif
Kom
isif
Impositif
Ekspresif
Asertif
Monolog
Dialog
Polilog
17 √ √
√ √
√
18 √,√
√ √
√
19 √,√
√ √
√
20 √,√
√ √
√
141
21 √,√
√ √
√
22 √ √
√ √
√
23 √ √ √
√ √
24 √ √
√ √
√
25 √ √
√ √
√
26 √ √
√ √
√
27 √ √
√ √
√
28 √ √
√ √
√
29 √ √
√ √
√
30 √ √
√ √
√
31 √ √ √
√ √
32 √ √,√
√ √
,√
√,√
√
33 √,√
√ √ √
34 √,√
√ √ √ √
,√
√, √,√
√
No. Data
Pematuhan Prinsip Kesopanan
Pelanggaran Prinsip Kesopanan
Jenis Kalimat (Penutur)
Jenis Kalimat (Petutur)
Jenis Wacana
142
M. K
earifan
M. K
edermaw
anan
M. Pujian
M. K
erendahan H
ati
M. K
esepakatan
M.K
esimpatian
M. K
earifan
M. K
edermaw
anan
M. Pujian
M. K
erendahan H
ati
M. K
esepakatan
M.K
esimpatian
Kom
isif
Impositif
Ekspresif
Asertif
Kom
isif
Impositif
Ekspresif
Asertif
Monolog
Dialog
Polilog 35 √
√ √
√ √
36 √ √
√ √
√
37 √,√
√,√
√ √
√
38 √,√
√ √
√
39 √,√
√ √
√
40 √,√
√ √
√ √
41 √,√
√ √
√
42 √ √ √
√ √
43 √ √ √
√ √
143
44 √ √ √
√ √
45 √ √ √
√ √
46 √,√
√ √
√
47 √ √
√ √
√
48 √ √
√ √
√
49 √,√
√ √
√
50 √ √
√ √
√
JUMLAH 50 31 3 1 1 4 8 10 27 7 2 0 15 2 35 13 2 2 4 42 5 11 38 1
144
LAMPIRAN 2 Rekapitulasi Implikasi Pragmatis Roman Le Dernier Jour D’un Condamné.
No. Data
Pematuhan Prinsip Kesopanan Pelanggaran Prinsip Kesopanan implikatur
M. K
earifan
M. K
edermaw
anan
M. Pujian
M. K
erendahan H
ati
M. K
esepakatan
M.K
esimpatian
M. K
earifan
M. K
edermaw
anan
M. Pujian
M. K
erendahan H
ati
M. K
esepakatan
M.K
esimpatian
konvensional
nonkonvensional
1 √ √ √
2 √ √
3 √ √
√ √
4 √ √
√
5 √ √
√ 6 √
,√
√,√
7 √,√
√,√
8 √ √
√ 9 √ √
10 √ √
11 √,√
145
12 √ √
√ 13 √
,√
√,√
14 √ √ √
15 √ √
√,√
16 √,√
√,√
17 √ √
√ 18 √,
√
19 √,√
20 √,√
21 √,√
22 √ √
√ 23 √ √
√,√
24 √ √
√
146
25 √ √
√ 26 √
√ √
27 √ √
√ 28 √
√ √,
√
29 √ √
√ 30 √
√
31 √ √ √,
√ 32 √ √
,√
√ √,
√
33 √,√
√ √,√
34 √,√
√ √ √ √
,√
√,√
√,√,√
35 √ √
√,√
No.
Data
Pematuhan Prinsip Kesopanan
Pelanggaran Prinsip Kesopanan
implikatur
147
M. K
earifan
M. K
edermaw
anan
M. Pujian
M. K
erendahan H
ati
M. K
esepakatan
M.K
esimpatian
M. K
earifan
M. K
edermaw
anan
M. Pujian
M. K
erendahan H
ati
M. K
esepakatan
M.K
esimpatian
konvensional
nonkonvensional
36 √ √
√ 37 √
,√
√,√
√,√
√,√
38 √,√
√,√
39 √,√
√,√
40 √,√
√ √
41 √,√
42 √ √ √,
√ 43 √ √
√,
148
√ 44 √ √
√,√
45 √ √ √,
√ 46 √
,√
√,√
47 √ √
√,√
48 √ √
√ 49 √
,√
50 √ √
√ JUMLAH
50 31 3 1 1 4 8 10 27 7 2 0 15 19 47
149
LAMPIRAN 3
Total Pelanggaran Dan Pematuhan Prinsip Kesantunan
No Sub wacana Pematuhan Pelanggaran Pematuhan dan Pelanggaran 1 Monolog (11 data) 2 data 4 data 5 data 2 Dialog (38 data) 11 data 12 data 16 data 3 Polilog (1 data) 1 data Jumlah 13 data 16 data 22 data
150
LAMPIRAN 4
Total Pelanggaran Dan Pematuhan Pada Setiap Maksim Prinsip Kesantunan
No Jenis-jenis Maksim Pematuhan Pelanggaran 1 Maksim kearifan 35 tuturan 7 tuturan 2 Maksim kedermawanan 3 tuturan 25 tuturan 3 Maksim pujian - 6 tuturan 4 Maksim kerendahan hati 1 tuturan 1 tuturan 5 Maksim kesepakatan 4 tuturan - 6 Maksim kesimpatian 7 tuturan 15 tuturan Jumlah 50 tuturan 54 tuturan
No Jenis-jenis Maksim Pematuhan Pelanggaran Pematuhan dan Pelanggaran
Monolog
Dialog
Polilog
Monolog
Dialog
Polilog
Monolog
Dialog
Polilog
1 Maksim kearifan 7 2 Maksim kearifan dan kedermawanan 1 3 Maksim kearifan dan kesepakatan 1 2 4 Maksim kearifan dan kesimpatian 1 5 Maksim kesimpatian 1 6 Maksim kearifan dan kedermawanan 1 2 7 Maksim kedermawanan 5 8 Maksim kedermawanan dan pujian 3 9 Maksim kedermawanan dan kesimpatian 1 10 Maksim kesimpatian 2 2 11 Maksim kearifan 3 1 12 Maksim kearifan dan kedermawanan 7 13 Maksim kearifan dan pujian 1 14 Maksim kearifan dan kerendahan hati 1 15 Maksim kearifan dan kesimpatian 1 16 Maksim kedermawanan dan pujian 1 17 Maksim kedermawanan dan kesimpatian 1 18 Maksim kerendahan hati dan kedermawanan 1 19 Maksim kesepakatan dan kesimpatian 1 20 Maksim kesimpatian dan pujian 1 21 Maksim kesimpatian 1 2 Jumlah 2 11 - 4 12 - 4 17 1
151
LAMPIRAN 5
Daftar Data
1. Monolog 1 : Pn : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian
Pt : Melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian. (Kalimat ekspresif)
(1) Konteks : Tokoh ”Aku” telah melalui masa-masa persidangan tentang kasus yang dituduhkan kepadanya selama lima minggu, selama lima minggu itu pula, dia (Aku) selalu memikirkan vonis hukuman mati yang bisa saja dijatuhkan kepadanya (Aku). Vonis hukuman mati tersebut membuatnya (Aku) menjadi takut.
Aku (Pn 1) : Condamné à mort! Nrt 1 : Voilà cinq semaines que j’habite avec cette pensée, toujours seul avec Elle, toujours glacé de sa présence, toujours courbé sous son poids!
Autrefois, car il me semble qu’il y a plutôt des années que des semaines, j’étais un homme comme un autre homme. Chaque jour, chaque heure, chaque minute avait son idée. Mon esprit, jeune et riche, était plein de fantaisies. Il s’amusait à me les dérouler les unes après les autres, sans ordre et sans fin, brodant d’inépuisables arabesques cette rude et mince étoffe de la vie. C’étaient des jeunes filles, de splendides chapes d’évêque, des batailles gagnées, des théâtres pleins de bruit et de lumière, et puis encore des jeunes filles et de sombres promenades la nuit sous les larges bras des marronniers. C’était toujours fête dans mon imagination. Je pouvais penser à ce que je voulais, j’étais libre. Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n’ai plus qu’une pensée, qu’une conviction, qu’une certitude :
Aku (Pn 2) : Condamné à mort!
Nrt 2 : Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernale, comme un spectre de plomb à mes côtés, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de ses deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu’on m’adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot, m’obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d’un couteau.
Aku (Pt) : Ah ! Ce n’est qu’un rêve! – Hé Bien!
Nrt 3 : Avant même que mes yeux lourds aient eu lu temps de s’entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l’horrible réalité qui m’entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de
ma lampe de nuit, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré à mon oreille :
Aku (Pn 3) : Condamné à mort!
(1/LDJC/37-38) Aku (Pn 1) : Dihukum mati! Nrt 1 : Lima minggu sudah aku hidup bersama pikiran ini, selalu berdua dengannya, selalu dihantui kehadirannya, bungkuk menanggung bebannya!
Dulu, sebab bagiku rasanya telah bertahun-tahun daripada beberapa minggu, aku adalah manusia bebas, seperti manusia lainnya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit mempunyai gagasan. Jiwaku yang muda dan kaya penuh dengan angan-angan. Secara iseng, jiwaku sering menanyakan angan-angan itu kepadaku satu demi satu, tanpa urutan dan tanpa akhir, menyulam arabesk yang tidak ada habisnya di kain kehidupan kasar dan tipis ini. Angan-angan tentang gadis, jubah uskup, pertempuran-pertempuran yang dimenangkan, teater penuh suara dan cahaya, lalu gadis-gadis lagi dan jalan-jalan di malam hari yang suram di bawah lengan-lengan raksasa pohon-pohon sarangan. Dalam bayanganku, itu selalu merupakan hari raya. Aku bisa memikirkan apa yang kuinginkan, aku bebas. Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian:
152
Aku (Pn 2) : Dihukum mati!
Nrt 2 : Apapun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana. Dan bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia mengguncangku dengan kedua tangannya yang sedingin es. Ia menyusup ke segala bentuk pelarian yang dipakai jiwaku untuk menghindarinya, menimbrung di semua ucapan yang ditujukan padaku seperti refrain lagu yang mengerikan, menempel bersamaku di terali besi selku yang begitu buruk, menghantuiku di saat terjaga, memata-mataiku di saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku, dalam bentuk pisau. Tersentak bangun aku dikejarnya, kemudian kuberkata kepada diriku sendiri :
Aku (Pt) : Ah, itu hanya mimpi ! – Oh, Ya ?!.
Nrt 3 : Bahkan sebelum mataku yang berat sempat sedikit membuka untuk melihat pikiran yang tidak terelakkan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di ubin selku yang basah dan berkeringat, di
kesuraman lampu malamku, di tenunan kasar kain pakaianku, di wajah suram serdadu jaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, terdengar sudah sebuah bisikan di telingaku: Aku (Pn 3) : Dihukum mati!
2. Dialog 1 : Aku : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim Kearifan (kalimat komisif) Guichetier : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim Kesepakatan (kalimat ekspresif)
(2) Konteks : Di dalam selnya, tokoh Aku telah dibangunkan oleh sipir penjara (Guichetier), kemudian tokoh Aku memulai perbincangan (basa-basi) kepada Guichetier. Aku : – Il fait beau, dis-je au guichetier. Nrt 4 : Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si cela valait la peine de dépenser une parole ; puis avec quelque effort il murmura brusquement : Guichetier : – C’est possible.
(2/LDJC/38-39) Aku : – cuaca cerah, kataku kepada penjara itu. Nrt 4 : Ia diam sesaat, seolah memikirkan apakah perkataanku itu perlu ditanggapi atau tidak. Kemudian dengan susah payah tiba-tiba ia bergumam : Guichetier : - mungkin. 3. Dialog 2 : Aku : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim Kearifan (kalimat impositif)
Guichetier : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim Kesepakatan (kalimat ekspresif) (3) Konteks : Di dalam sel penjara, Sipir penjara (Guichetier) mengatakan kepada tokoh Aku bahwa semua orang (petugas pengadilan, hakim, pengacara, dan para pengunjung sidang) telah menunggunya (Aku) untuk kembali
melanjutkan sidang tentang kasusnya (Aku) yang akhirnya menghasilkan vonis hukuman mati bagi tokoh ”Aku”. Nrt 5 : Je demeurais immobile, l’esprit à demi endormi, la bouche souriante, l’œil fixé sur cette douce réverbération dorée qui diaprait le plafond.
153
Aku : – Voilà une belle journée, répétai-je. Guichetier : – Oui, me répondit l’homme, on vous attend.
(3/LDJC/ 39)
Nrt 5 : Aku tetap diam dengan pikiran setengah tertidur, mulut tersenyum dan mata terpaku pada pantulan cahaya keemasan yang mewarnai langit-langit itu. Aku : – ini dia, hari yang indah, ulangku. Guichetier : - Ya, orang itu menjawabku, orang-orang menunggu anda.
4. Dialog 2 : Aku :Mematuhi prinsip kesantunan, maksim Kearifan (kalimat impositif) Guichetier : Melanggar prinsip kesantunan, maksim Kearifan (kalimat ekspresif)
(3) Konteks : Di dalam sel penjara, Sipir penjara (Guichetier) mengatakan kepada tokoh Aku bahwa semua orang (petugas pengadilan, hakim, pengacara, dan para pengunjung sidang) telah menunggunya (Aku) untuk kembali melanjutkan sidang tentang kasusnya (Aku) yang akhirnya menghasilkan vonis hukuman mati bagi tokoh ”Aku”.
Nrt 5 : Je demeurais immobile, l’esprit à demi endormi, la bouche souriante, l’œil fixé sur cette douce réverbération dorée qui diaprait le plafond. Aku : – Voilà une belle journée, répétai-je. Guichetier : – Oui, me répondit l’homme, on vous attend.
(3/LDJC/ 39)
Nrt 5 : Aku tetap diam dengan pikiran setengah tertidur, mulut tersenyum dan mata terpaku pada pantulan cahaya keemasan yang mewarnai langit-langit itu. Aku : – ini dia, hari yang indah, ulangku. Guichetier : - Ya, orang itu menjawabku, orang-orang menunggu anda.
5. Dialog 3 : Pn : Mematuhi Prinsip kesantunan, maksim kearifan Pt : Melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan
(4) Konteks : Di ruang pengadilan, tokoh Aku bersama pengacaranya mengharapkan mendapat keputusan yang terbaik dari Ketua Hakim pengadilan yang akan membacakan keputusan sidang pengadilan terkait kasus tokoh Aku.
Nrt 6 : Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire. Avocat : – J’espère, me dit-il. Aku : – N’est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. Avocat : – Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité.
154
Aku : – Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai-je indigné, - plutôt cent fois la mort ! Nrt 7 : Oui, la mort !, – Et d’ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure, qu’est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu’à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre et
noire, et par une froide nuit de pluie et d’hiver ? Mais au mois d’août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c’est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.
(4/LDJC/ 41) Nrt 6 : Di saat itu pembelaku datang. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dan dengan lahap. Sampai di tempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum : Avocat : – Mudah-mudahan, katanya kepadaku. Aku : – Harus ! jawabku ringan, juga sambil tersenyum. Avocat : – Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja paksa seumur hidup. Aku : - Bapak ini bicara apa? tukasku marah, Seratus kali lebih baik mati Nrt 7 : Ya, mati ! - Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu? – Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah
penerangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin? Tapi di bulan Agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.
6. Dialog 4 : Le Président : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan Aku :Melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan
(5) Konteks : Di ruang pengadilan, panitera pengadilan telah selesai membacakan keputusan pengadilan, kemudian ketua hakim (Le Président) menanyakan kepada pengacara (Avocat) apakah ada pembelaan atau tanggapan, namun tokoh “Aku” marah pada pembelanya yang melakukan pembelaan atas keputusan pengadilan.
Le Président : – Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application de la peine? demanda le président. Aku : J’aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais. Nrt 8 : Le défenseur se leva.
Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de la peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l’indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l’haleine me manqua et je ne pus que l’arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive:
Aku : – Non!
(5/LDJC/ 42)
Le Président : – Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim Aku : Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satu-pun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit.
155
Nrt 8 : Pembela berdiri.
Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan. Menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuatku sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati!. Namun nafasku habis, dan aku hanya bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali:
Aku : – Tidak!
7. Dialog 5 : Sama-sama Melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian
(6) Konteks : Di balai persidangan, Setelah keputusan sidang dibacakan dan tidak ada lagi pembelaan, maka sidang ditutup. Kemudian tokoh “Aku” dibawa ke penjara Bicêtre, pada saattokoh “Aku” keluar dari ruang pengadilan, para pengunjung sidang meneriakinya sebagai ’terpidana mati’.
Para Pengunjung Sidang : – Condamné à mort!
Nrt 9 : « ……dit la foule ; et, tandis qu’on m’emmenait, tout ce peuple se rua sur mes pas avec le fracas d’un édifice qui se démolit…. Au bas de l’escalier, une noire et sale voiture grillée m’attendait. Au moment d’y monter, je regardai au hasard dans la place….. »
– Un condamné à mort!
Nrt 10 : « …….criaient les passants en courant vers la voiture. À travers le nuage qui me semblait s’être interposé entre les choses et moi, je distinguai deux jeunes filles qui me suivaient avec des yeux avides; » Gadis muda : – Bon, dit la plus jeune en battant des mains, ce sera dans six semaines!
(6/LDJC/42-43) Para Pengunjung Sidang : – Dihukum mati ! Nrt 9 : ‘……terdengar orang-orang berkata. Dan saat orang membawaku pergi, semua orang menyerbu mengikutiku dengan hingar-bingar seperti gedung runtuh. .….…….. Di bawah tangga, sebuah kereta hitam, kotor dan
berterali menungguku. Pada saat menaikinya, secara tidak sengaja aku melihat ke arah bunderan. …..’ – Dihukum mati ! Nrt 10 : ‘……….teriak orang-orang di sana sambil berlari menuju kereta. Di balik kabut yang seolah terbentuk antara benda-benda dan diriku, samar-samar kulihat dua gadis mengikuti dengan pandangan serakah. Gadis muda : – Bagus, kata yang lebih muda sambil bertepuk tangan, enam minggu lagi! 8. Monolog 2 : Sama-sama Melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian
(7) Konteks : Di dalam kereta yang membawa tokoh Aku ke penjara Bicêtre, tokoh Aku memikirkan vonis hukuman mati yang baru saja ia (Aku) terima, vonis hukuman mati tersebut bisa saja ditangguhkan dengan masa waktu yang
tidak jelas, namun tokoh Aku juga tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya kehidupan di penjara hingga akhirnya menuju pada eksekusi mati. Aku (Pn) : Condamné à mort!
156
Nrt 11: Eh bien, pourquoi non? Les hommes, je me rappelle l’avoir lu dans je ne sais quel livre où il n’y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis. Qu’y a-t-il donc de si changé à ma
situation? Depuis l’heure où mon arrêt m’a été prononcé, combien sont morts qui s’arrangeaient pour une longue vie! Combien m’ont devancé qui, jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève! Combien d’ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré, et qui me devanceront encore! Et puis, qu’est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l’éducation, être brutalisé des guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d’une parole et à qui je le rende, sans cesse tressaillir et de ce que j’ai fait et de ce qu’on me fera ; voilà à peu près les seuls biens que puisse m’enlever le bourreau.
Aku (Pt) : - Ah! N’importe, c’est horrible!
(7/LDJC/ 43)
Aku (Pn) : Dihukum mati! Nrt 11 : Eh, kenapa tidak? Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di sebuah buku yang judulnya aku lupa dan hanya itu saja isinya yang
bagus. Jadi apa bedanya dengan keadaanku sekarang? Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bunderan Grève telah mendahuluiku di antara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka! Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini? Hari-hari yang suram dan roti di ruang tahanan, jatah kuah encer yang diciduk dari tahang orang-orang hukuman yang dirantai, perlakuan dan ucapan yang kasar yang ditujukan kepadaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas diajak bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapku: itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku
Aku (Pt) : - Ah, masa bodoh, sangat mengerikan!
9. Monolog 3 : Pn : melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian, Pt : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.
(8) Konteks : Di dalam sel, tokoh Aku telah mendapat peralatan menulis, namun dia (Aku) bingung harus menulis apa selain kisah kehidupannya di penjara dan vonis hukuman mati yang terasa sangat menyiksa. Nrt 11 : Je me suis dit: Aku (Pn) : Puisque j’ai le moyen d’écrire, pourquoi ne le ferais-je pas ? Mais quoi écrire ? Pris entre quatre murailles de pierre nue et froide, sans liberté pour mes pas, sans horizon pour mes yeux, pour unique distraction
machinalement occupé tout le jour à suivre la marche lente de ce carré blanchâtre que le judas de ma porte découpe vis-à-vis sur le mur sombre, et, somme je le disais tout à l’heure, seul à seul avec une idée, une idée de crime et de châtiment, de meurtre et de mort ! Est-ce que je puis avoir quelque chose à dire, moi qui n’ai plus rien à faire dans ce monde? Et que trouverai-je dans ce cerveau flétri et vide qui vaille la peine d’être écrit ? Et que trouverai-je dans ce cerveau flétri et vide qui vaille la peine d’être écrit? Pourquoi non ? Si tout, autour de moi, est monotone et décoloré, n’y-a-t-il pas en moi une tempête, une lutte, une tragédie ? Cette idée fixe qui me possède ne se présente-t-elle pas à moi à chaque heure, à chaque instant, sous une nouvelle forme, toujours plus hideuse et plus ensanglantée à mesure que le terme approche ? Pourquoi n’essaierais-je pas de me dire à moi-même tout ce que j’éprouve de violent et d’inconnu dans la situation abandonnée où me voilà ? Certes, la matière est riche ; et, si abrégée que soit ma vie, il y aura bien encore dans les angoisses, dans les terreurs, dans les tortures qui la rempliront. De cette heure à la dernière, de quoi user cette plume et tarir cet encrier
Aku (Pt) : – D’ailleurs, ces angoisses, le seul moyen d’en moins souffrir, s’est de les observer, et les peindre m’en distraira.
(8LDJC/45-46)
157
Nrt 12 : Aku berkata pada diriku sendiri : Aku (Pn) : Sekarang semua keperluan manusia telah tersedia, kenapa aku tidak melakukannya? Tapi apa yang akan kutulis? Terkungkung di antara empat tembok batu dingin tanpa hiasan apapun, tanpa
kebebasan melangkah, tanpa cakrawala yang bisa kupandang, dan pelipur lara satu-satunya hanyalah menyibukkan diri tanpa berfikir mengikuti pantulan cahaya yang masuk melewati lubang pintu sel dan membentuk pesegi keputih-putihan yang merayap pelahan di tembok suram di hadapannya, dan, seperti kukatakan barusan, seorang diri berhadapan dengan suatu pikiran, pikiran tentang kejahatan dan kematian! Adakah yang bisa dikatakan oleh orang yang tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dilakukan di dunia ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang telah layu dan kosong ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang telah layu dan kosong ini? Kenapa tidak? Meski semua yang berada di sekelilingku monotan dan tidak berwarna, bukankah di dalam diriku terjadi badai, pergulatan dan tragedi? Pikiran yang selalu sama, yang menguasai diriku saat ini, tidakkah ia menampakkan dirinya terus kepadaku dalam bentuk yang selalu berubah, menjadi semakin mengerikan dan semakin berlumuran darah seiring dengan semakin mendekatnya waktu yang telah ditentukan? Kenapa aku tidak mencoba mengatakan kepada diriku sendiri mengenai semua yang kurasa kejam dan asing di dalam keadaan terlantar ini, di mana aku berada sekarang? Pasti banyak bahan, dan sesingkat apa pun hidupku, pasti masih akan ada sesuatu di dalam kekhawatiran, ketakutan, dan siksaan, yang akan mengisi hidupku ini, dari sekarang hingga akhir, yang akan mengusangkan bulu-bulu pena dan mengeringkan botol tinta.
Aku (Pt) : – Selain itu, satu-satunya cara untuk mengurangi rasa was-was ini adalah dengan mengamatinya. Melukiskannya akan membuatku melupakannya.
10. Dialog 6 : PJT : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan, Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kedermawanan
(9) Konteks : Di dalam sel, masa eksekusi mati yang tinggal enam minggu lagi, tokoh Aku mempertimbangkan untuk naik banding agar bebas dari eksekusi mati. Nrt 8 : Comptons ce qui me reste.
Trois jours de délai après l’arrêt prononcé pour le pourvoi en cassation. Huit jours d’oubli au parquet de la cour d’assises, après quoi les pièces, comme ils disent, sont envoyées au ministre. Quinze jours d’attente chez le ministre, qui ne sait seulement pas qu’elle existe, et qui, cependant, est supposé les transmettre, après examen, à la cour de cassation. Là, classement, numérotage, enregistrement ; car la guillotine est encombrée, et chacun ne doit passer qu’à son tour. Quinze jours pour veiller à ce qu’il ne vous soit pas fait de passe-droit. Enfin la cour s’assemble, d’ordinaire un jeudi, rejette vingt pourvois en masse, et renvoie le tout au ministre, qui renvoie au procureur général, qui renvoie au bourreau. Trois jours. Le matin du quatrième jour, le substitut du procureur général se dit, en mettant sa cravate :
Pengganti Jaksa Tinggi : – Il faut pourtant que cette affaire finisse. Aku : – Alors, si le substitut du greffier n’a pas quelque déjeuner d’amis qui l’en empêche, l’ordre d’exécution est minuté, rédigé, mis au net, expédié, et le lendemain dès l’aube on entend dans la place de
Grève clouer une charpente, et dans les carrefours hurler à pleine voix des crieurs enroués. En tout six semaines.
(9/LDJC/ 48) Nrt 8 : Coba kuhitung yang masih tersisa padaku :
Tiga hari tenggang waktu untuk naik banding setelah keputusan dijatuhkan. Delapan hari dilupakan di Dewan Magistratur Pengadilan Tinggi, baru kemudian surat-surat itu, demikian mereka menyebutnya, dikirimkan ke menteri. Lima belas hari menunggu di tempat menteri, yang bahkan tidak mengetahui adanya permohonan banding itu, dan meskipun demikian dibayangkan lalu mengirimkannya ke Pengadilan Kasasi, setelah memeriksanya. Di sana, ada pengelompokkan, penomoran, pencatatan sebab yang mengantri guillotine banyak, masing-masing harus menunggu gilirannya. Lima belas hari untuk memastikan bahwa Anda tidak mendapat perkecualian.
158
Akhirnya dewan berkumpul, biasanya hari kamis, lalu menolak dua puluh permohonan banding sekaligus, dan mengirimkannya semua kembali ke menteri, yang mengirimkannya lagi kepada Jaksa Tinggi. Pagi di hari keempat, pengganti Jaksa Tinggi berkata kepada dirinya sendiri, sambil mengenakan dasinya :
Pengganti Jaksa Tinggi : - Urusan ini memang harus diselesaikan. Aku : - Maka, bila Pengganti Panitera tidak terganggu oleh acara makan siangnya bersama teman-temannya, perintah pelaksanaan hukuman dijadwalkan dengan ketat, disusun, dibikin dengan rapi,
dikirimkan, dan keesokan harinya begitu fajar menyingsing, di bunderan Grève terdengar suara orang memaku tiang hukuman, dan di persimpangan-persimpangan, orang-orang berteriak keras-keras dengan suara parau. Semuanya enam minggu.
11. Monolog 4 :Pn mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Pt mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesepakatan.
(10) Konteks : Di dalam sel, tokoh Aku baru saja membuat surat wasiat untuk keluarganya. Aku (Pn) : Je viens de faire mon testament.
Nrt 11 : A quoi bon ? Je suis condamné aux frais, et tout ce que j’ai y suffira à peine. La guillotine, c’est fort cher. Aku (Pt) : Je laisse une mère, je laisse une femme, je laisse un enfant.
Nrt 11 : Une petite fille de trois ans, douce, rose, frêle, avec de grands yeux noirs et de longs cheveux châtains.
Elle avait deux ans et un mois quand je l’ai vue pour la dernière fois. Ainsi, après ma mort, trois femmes sans fils, sans mari, sans père ; trois orphelines de différente espèce ; trois veuves du fait de la loi. J’admets que je sois justement puni ; ces innocentes, qu’ont-elles fait ? N’importe ; on les déshonore, on les ruine ; c’est la justice. ………….. . Mais ma fille, mon enfant, ma pauvre petite Marie, qui rit, qui joue, qui chante à cette heure, et ne pense à rien, c’est celle-là qui me fait mal !
(10/LDJC/48-49) Aku (Pn) : Aku baru saja membuat surat wasiat.
Nrt 11 : Apa gunanya ? Aku dihukum dan diharuskan membayar biaya pengadilan, dan semua yang kupunyai hampir tidak cukup untuk membayarnya. Guillotine itu sangat mahal.
Aku (Pt) : Aku meninggalkan seorang ibu, aku meninggalkan seorang istri, aku meninggalkan seorang anak. Nrt 12 : Seorang gadis cilik berumur tiga tahun lembut, merah jambu, lemah, bermata hitam dan berambut panjang berwarna kecoklat-coklatan.
Umurnya dua tahun satu bulan ketika aku melihatnya terakhir kali. Jadi, setelah aku mati, ada tiga wanita tanpa anak, tanpa suami, tanpa ayah. Ada tiga yatim dari jenis berbeda, tiga janda karena hukum. Kuterima bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadaku memang setimpal, tapi ketiga orang yang tidak bersalah ini, apa yang telah mereka lakukan? Itu tidak penting. Mereka telah dipermalukan, mereka telah hancur. Itulak keadilan. ………….. . Tapi putriku, anakku, Marie, gadis cilikku yang malang, yang tertawa, yang bermain, yang bernyanyi saat ini dan yang tidak memikirkan apapun , ialah yang membuatku sedih !
159
12. Monolog 5 : Pn mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian, Pt mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.
(11) Konteks : Tokoh Aku belum bisa tidur di selnya yang khusus bagi terpidana mati, ia (Aku) mengamati segala bentuk ruang selnya yang merupakan bangunan bekas istana Bicêtre yang dibangun pada abad kelima belas oleh Kardinal Winchester. Tiba-tiba ia (Aku) menemukan coretan gambar tempat pemancungan yang membuat dia (Aku) kaget karena coretan gambar tersebut mengingatkannya (Aku) pada hukuman mati yang akan menimpannya (Aku).
Nrt 11 : Je n’irai pas plus loin dans ma recherche. Aku (Pn) : – Je viens de voir, crayonnée en blanc au coin du mur, une image épouvantable, la figure de cet échafaud qui, à l’heure qu’il est, se dresse peut-être pour moi. (ekpsresif)
Aku (Pt) : – La lampe a failli me tomber des mains. (ekpsresif) Nrt 11 : Je suis revenu m’asseoir précipitamment sur ma paille, la tête dans les genoux. Puis mon effroi d’enfant s’est dissipé, et une étrange curiosité m’a repris de continuer la lecture de mon mur.
(11/LDJC/52)
Nrt 13 : Aku tidak melanjutkan lebih jauh lagi penelitianku.
Aku (Pn) : – Baru saja kulihat sebuah gambar yang menyeramkan di sudut dinding, digambar dengan krayon putih : gambar tempat pemancungan yang saat ini sedang didirikan untukku.
Aku (Pt) : - Lampu yang kupegang hampir terlepas jatuh. Nrt 14 : Aku buru-buru duduk di atas tumpukan jeramiku, kusembunyikan kepalaku di sela-sela dengkulku. Kemudian rasa takutku yang kekanak-kanakan itu hilang, dan rasa ingin tahu yang aneh mendorongku untuk
meneruskan membaca tulisan-tulisan yang ada di tembok selku. 13. Monolog 6 : Pn melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian,
Pt mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.
(12) Konteks : Tokoh Aku kembali melanjutkan pengamatan pada dinding di ruang selnya (Aku) walaupun sebelumnya dia (Aku) telah melihat lukisan tempat pemancungan yang membuatnya (Aku) takut.
Nrt 11: Je suis revenu m’asseoir précipitamment sur ma paille, la tête dans les genoux. Puis mon effroi d’enfant s’est dissipé, et une étrange curiosité m’a repris de continuer la lecture de mon mur.
À côté du nom de Papavoine j’ai arraché une énorme toile d’araignée, tout épaissie par la poussière et tendue à l’angle de la muraille. Sous cette toile il y avait quatre ou cinq noms parfaitement lisibles, parmi d’autres dont il ne reste rien qu’une tache sur le mur. – DAUTUN, 1815. – POULAIN, 1818. – JEAN MARTIN, 1821. – CASTAING, 1823. J’ai lu ces noms, et de lugubres souvenirs me sont venus. Dautun, celui qui a coupé son frère en quartiers, et qui allait la nuit dans Paris jetant la tête dans une fontaine, et le tronc dans un égout ; Poulain, celui qui a assassiné sa femme ; Jean Martin, celui qui a tiré un coup de pistolet à son père au moment où le vieillard ouvrait une fenêtre ; Castaing, ce médecin qui a empoisonné son ami, et qui, le soignant dans cette dernière maladie qu’il lui avait faite, au lieu de remède lui redonnait du poison ; et auprès de ceux-là, Papavoine, l’horrible fou qui tuait les enfants à coups de couteau sur la tête !
Voilà, me disais-je, et un frisson de fièvre me montait dans les reins, voilà quels ont été avant moi les hôtes de cette cellule. C’est ici, sur la même dalle où je suis, qu’ils ont pensé leurs dernières pensées, ces hommes de meurtre et de sang ! C’est autour de ce mur, dans ce carré étroit, que leurs derniers pas ont tourné comme ceux d’une bête fauve. Ils se sont succédé à de courts intervalles ; il paraît que ce cachot ne désemplit pas. Ils ont laissé la place chaude, et c’est à moi qu’ils l’ont laissée. J’irai à mon tour les rejoindre au cimetière de Clamart, où l’herbe pousse si bien !
160
Je ne suis ni visionnaire, ni superstitieux, il est probable que ces idées me donnaient un accès de fièvre ; mais, pendant que je rêvais ainsi, il m’a semblé tout à coup que ces noms fatals étaient écrits avec du feu sur le mur noir ; un tintement de plus en plus précipité a éclaté dans mes oreilles ; une lueur rousse a rempli mes yeux ; et puis il m’a paru que le cachot était plein d’hommes, d’hommes étranges qui portaient leur tête dans leur main gauche, et la portaient par la bouche, parce qu’il n’y avait pas de chevelure. Tous me montraient le poing, excepté le parricide. …………….. Cela m’a dépossédé
Aku (Pn) : – Ô les épouvantables spectres ! Aku (Pt) : – Non, c’était une fumée, une imagination de mon cerveau vide et convulsif. Chimère à la Macbeth ! Les morts sont morts, ceux-là surtout. Ils sont bien cadenassés dans le sépulcre. Ce n’est pas là une prison
dont on s’évade.
(12/LDJC/52)
Nrt 14: Aku buru-buru kembali duduk di atas tumpukan jeramiku, kusembunyikan kepalaku di sela-sela dengkulku. Kemudian rasa takutku yang kekanak-kanakan itu hilang, dan rasa ingin tahu yang aneh mendorongku untuk meneruskan membaca tulisan-tulisan yang ada di tembok sel.
Kusibakkan sarang laba-laba yang besar, tebal berdebu, yang membentang di sudut tembok, di samping nama Papavoine. Di belakang sarang laba-laba itu ada empat atau lima nama yang masih dapat terbaca dengan sempurna diantara yang lain-lain yang tinggal berupa noda di tembok itu. – Dautun, 1815. – Poulin, 1818. – Jean Martin, 1821. – Castaing, 1823. Kubaca nama-nama itu, dan kenangan suram melintas dalam ingatanku: Dautun, orang yang memotong saudaranya menjadi empat, dan yang di malam hari ke luar di Paris untuk menaruh penggalan kepalanya di sebuah air mancur dan membuang potongan tubuhnya di selokan; Poulin, orang yang membunuh istrinya; Jean Martin, orang yang menembak ayahnya dengan pistol saat orang tua itu sedang membuka jendela; Castaing, dokter yang telah meracuni temannya dan yang saat merawatnya, bukannya menyembuhkannya, tapi malah meracuninya lagi, dan setelah nama-nama itu, nama Papavoine, orang gila yang mengerikan yang membunuh anak-anak dengan tikaman-tikaman pisau di kepala!
Begitu, kataku kepada diriku sendiri, dan rasa menggigil seperti demam merambat naik ke ginjalku, begitu rupanya para penghuni sel ini sebelumku. Di sinilah, di atas ubin yang sama dengan tempatku berada sekarang ini, mereka merenungkan pikiran-pikiran terakhir mereka, para pembunuh yang berlumuran darah ini! Di sekeliling dinding inilah, di dalam bilik sempit ini, mereka mondar-mandir terakhir kali seperti seekor binatang buas. Mereka saling bergantian dalam waktu yang tidak lama. Tampaknya sel ini tidak pernah kosong. Tempat ini mereka tinggalkan masih dalam keadaan hangat, dan kepadakulah mereka meninggalkannya. Sekarang giliranku bergabung dengan mereka di kuburan Clamart, tempat semak belukar tumbuh subur!
Aku bukanlah orang yang suka berkhayal atau percaya tahayul. Mungkin sekali pikiran-pikiran ini membuatku terserang demam, tapi selama aku melamun seperti itu, tiba-tiba kelihatannya nama-nama yang menakutkan ini seolah ditulis dengan api di atas tembok hitam, telingaku mendenging makin lama makin cepat, secercah cahaya kemerah-merahan memenuhi pandanganku, dan kemudian sel itu kelihatannya penuh orang, orang-orang aneh yang mencangking kepala mereka dengan tangan kirinya, dan memegangnya pada lubang mulut, sebab kepala-kepala itu tidak berambut. Mereka semua mengacungkan tinjunya padaku, kecuali orang yang membunuh ayahnya itu. ………………………………………………………………… Itu telah menyeretku kembali.
Aku (Pn) : – Oh, hantu-hantu yang sangat menakutkan! Aku (Pt) : - Bukan, itu asap, imajinasi otakku yang kosong dan tak terkendali. Mimpi-mimpi buruk dalam cerita Macbeth ! Orang yang sudah mati ya mati, terutama mereka itu. Mereka benar-benar telah digembok
di dalam makam mereka. Dan itu bukanlah penjara yang penghuninya dapat melarikan diri. 14. Dialog 7 :sama-sama melanggar maksim kesimpatian
(13) Konteks : Di halaman penjara Bicêtre, di bawah guyuran hujan, para napi yang mendapatkan vonis hukuman kerja paksa seumur hidup memulai hukumannya dengan meninggalkan penjara Bicêtre. Ketika mereka keluar dari halaman penjara Bicêtre, para napi tersebut melihat tokoh Aku yang sedang duduk di balkon, maka seketika itu mereka (para napi) meneriaki tokoh Aku dengan sebutan sebagai terpidana mati.
161
Nrt-20 : Tout à coup, à travers la rêverie profonde où j’étais tombé, je vis la ronde hurlante s’arrêter et se taire. Puis tous les yeux se tournèrent vers la fenêtre que j’occupais. Para napi : – Le condamné ! Le condamné ! Nrt 21 : crièrent-ils tous en me montrant du doigt ; et les explosions de joie redoublèrent.
Je restai pétrifié. J’ignore d’où ils me connaissaient et comment ils m’avaient reconnu.
Para napi : – Bonjour ! Bonsoir ! Nrt-22 : me crièrent-ils avec leur ricanement atroce.
Un des plus jeunes, condamné aux galères perpétuelles, face luisante et plombée, me regarda d’un air d’envie en disant : Napi muda : – Il est heureux ! Il sera rogné ! Adieu, camarade ! Nrt-23 : Je ne puis dire ce qui se passait en moi. J’étais leur camarade en effet. La Grève est sœur de Toulon. J’étais même placé plus bas qu’eux ; ils me faisaient honneur. Je frissonnai.
Oui, leur camarade ! Et quelques jours plus tard, j’aurais pu aussi, moi, être un spectacle pour eux. ……………. Puis il me sembla entendre de plus près encore les effrayantes voix des forçats. Je crus voir leurs têtes hideuses paraître déjà au bord de ma fenêtre, je poussai un second cri d’angoisse, et je tombai évanoui.
(13/LDJC/59-60)
Nrt-20 : Tiba-tiba, di sela lamunan yang jauh menyeretku, kulihat lingkaran orang yang menari sambil berteriak-teriak itu berhenti dan bungkam. Kemudian semua mata memandang ke arah jendela yang kutempati. Para Napi : – Orang yang dihukum mati ! orang yang dihukum mati ! Nrt-21 : mereka semua berteriak sambil menuding, dan ledakan kegembiraan menjadi berlipat-lipat ganda lagi.
Aku diam terpaku. Aku tidak tahu dari mana mereka mengenaliku dan bagaimana mereka tadi bisa mengenaliku.
Para Napi : - Selamat siang ! Selamat sore ! Nrt-22 : teriak mereka kepadaku dengan tawa konyol yang menyeramkan
Diantara mereka terdapat seorang pemuda yang dijatuhi hukuman kerja paksa seumur hidup. Wajahnya berkeringat dan kulitnya hitam legam. Ia memandangiku dengan rasa iri sambil berkata :
Napi muda : - Ia bahagia ! Ia akan dipangkas ! Selamat berpisah kamerad ! Nrt-23 : Aku tidak dapat mengatakan apa yang terjadi pada diriku. Dan memang, aku kamerad mereka. Bunderan Grève merupakan saudara kembar Toulon. Aku bahkan berada lebih rendah daripada mereka : memberiku hormat
kepadaku. Aku gemetar Ya, kamerad mereka ! Dan beberapa hari lagi, aku, aku juga bisa menjadi tontonan mereka. ……………. Kemudian sepertinya aku mendengar suara-suara para pekerja paksa yang menakutkan itu semakin mendekat lagi. Aku rasanya melihat wajah-wajah mereka yang seram menakutkan muncul di tepi jendelaku, untuk kedua kalinya aku kembali meneriakkan jeritan ketakutan dan aku pingsan.
15. Monolog 7 : Pn mematuhi prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,
Pt melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.
162
(14) Konteks : Di dalam selnya (Aku), tokoh Aku memperkirakan peluang naik banding agar dapat bebas dari vonis hukuman mati yang telah ia (Aku) terima. Nrt-11: Plus de chance maintenant ! Mon pourvoi sera rejeté, parce que tout est en règle ; les témoins ont bien témoigné, les plaideurs ont bien plaidé, les juges ont bien jugé. Je n’y compte pas, à moins que… Non, folie ! Plus
d’espérance ! Le pourvoi, c’est une corde qui vous tient suspendu au-dessus de l’abîme, et qu’on entend craquer à chaque instant, jusqu’à ce qu’elle se casse. C’est comme si le couteau de la guillotine mettait six semaines à tomber.
Aku (Pn) : – Si j’avais ma grâce ? Aku (Pt) : – Avoir ma grâce ! Et par qui ? Et pourquoi ? Et comment ? Il est impossible qu’on me fasse grâce. L’exemple ! Comme ils disent. Je n’ai plus que trois pas à faire : Bicêtre, la Conciergerie, la Grève.
(14/LDJC/63)
Nrt-11: Sekarang sudah tidak ada lagi kesempatan! Permohonan bandingku akan ditolak, sebab semuanya beres : para saksi telah bersaksi dengan baik, para pembela telah membela dengan baik, para hakim telah menghakimi
dengan baik. Aku tidak mengharapkannya, kecuali..... Tidak, gila! Tidak ada harapan lagi ! Banding adalah tali yang menggantungku di atas jurang yang setiap saat seratnya terdengar meretas, hingga akhirnya putus. Itu seperti kalau pisau guilottine memerlukan waktu enam minggu untuk meluncur sampai bawah.
Aku (Pn) : – Kalau aku mendapat pengampunan?
Aku (Pt) : – mendapat pengampunan! Dari siapa? dan kenapa? dan bagaimana? Tidak mungkin orang memberiku pengampunan. Buat contoh! Seperti kata mereka. Hanya tiga langkah lagi yang harus kulalui : penjara Bicêtre, gedung Conciergerie, bunderan Grêve.
16. Monolog 8 : Pn melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan, Pt melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian (tapi baru rencana).
(15) Konteks : Ketika di balai pengobatan, tokoh Aku mendengar seorang gadis berumur 15 tahun yang sedang bernyanyi tentang ratapan seorang pencuri yang membuat kecewa istrinya. Seketika itu, tokoh Aku terfikir untuk
melarikan diri dari penjara Bicêtre untuk bertemu keluarganya (Aku). Nrt-11: Oh ! Si je m’évadais, comme je courrais à travers champs !
Non, il ne faudrait pas courir. Cela fait regarder et soupçonner. Au contraire, marcher lentement, tête levée, en chantant. Tâcher d’avoir quelque vieux sarrau bleu à dessins rouges. Cela déguise bien. Tous les maraîchers des environs en portent.
Je sais auprès d’Arcueil un fourré d’arbres à côté d’un marais, où, étant au collège, je venais avec mes camarades pêcher des grenouilles tous les jeudis. C’est là que je me cacherais jusqu’au soir. La nuit tombée, je reprendrais ma course. J’irais à Vincennes. Non, la rivière m’empêcherait. J’irais à Arpajon.
Aku (Pn) : – Il aurait mieux valu prendre du côté de Saint-Germain, et aller au Havre, et m’embarquer pour l’Angleterre. – N’importe ! J’arrive à Longjumeau. Un gendarme passe ; il me demande mon passeport… Je suis
perdu ! Aku (Pt) : – Ah ! Malheureux rêveur, brise donc d’abord le mur épais de trois pieds qui t’emprisonne ! La mort ! La mort !
(15/LDJC/67)
163
Nrt 11: Oh, seandainya aku melarikan diri, betapa aku akan berlari melintasi ladang-ladang !
Tidak, jangan lari. Itu akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Sebaliknya, aku akan pelan-pelan, kepala tegak, sambil bernyanyi. Aku harus berusaha mendapat pakaian kerja yang sudah lama dipakai, berwarna biru dengan gambar-gambar merah. Itu merupakan penyamaran yang bagus. Semua petani sayur di sekitar ini memakainya. Aku tahu bahwa di dekat Arcueil ada segerumbul pohon di dekat pohon di dekat rawa, tempat yang sering kukunjungi saat aku masih sekolah dulu bersama teman-temanku setiap kamis untuk memancing katak. Di sana aku akan bersembunyi hingga petang. Saat malam tiba, aku akan melanjutkan perjalananku. Aku akan menuju Vincennes. Tidak, ada sungai yang menghalang. Aku akan pergi ke Arpajon
Aku (Pn) : – Lebih baik aku mengambil arah Saint-Germain, dan pergi ke Le Havre, dan naik kapal menyeberang ke Inggris. - Tidak penting ! Aku tiba di Longjumeau. Seorang prajurit menanyakan pasportku… Habislah aku !
Aku (Pt) : – Ah ! Pemimpi malang ! Jebol dulu tembok setebal tiga kaki yang mengurungmu ini ! Kematian ! Kematian !
17. Monolog 9 : Pn melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian,
Pt melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian .
(16) Konteks : Di selnya (Aku), di saat sedang menulis surat, tokoh Aku mendengar suara lonceng sebanyak enam kali. Ia (Aku) merasa hal itu sebagai pertanda bahwa ia akan segera dijemput menuju tiang gantungan di bunderan Grève.
Nrt-11: Pendant que j’écrivais tout ceci, ma lampe a pâli, le jour est venu, l’horloge de la chapelle a sonné six heures. Aku (Pn) : – Qu’est-ce que cela veut dire ? Nrt-11: Le guichetier de garde vient d’entrer dans mon cachot, il a ôté sa casquette, m’a salué, s’est excusé de me déranger et m’a demandé, en adoucissant de son mieux sa rude voix, ce que je désirais à déjeuner…
Il m’a pris un frisson Aku (Pt) : – Est-ce que ce serait pour aujourd’hui ?
(16/LDJC/68) Nrt 11: Selama aku menuliskan semua ini, lampuku memudar, fajar menyingsing dan lonceng di kapel berdentang enam kali. Aku (Pn) : - Ada apa ini ? Nrt-11: Penjaga yang bertugas baru saja masuk ke selku, ia melepas topi petnya, memberi salam kepadaku, mohon maaf menggangguku, dan bertanya kepadaku, dengan melembutkan sebisa mungkin suaranya yang kasar, apa
yang kuinginkan untuk makan siang .... Ia membuatku gemetar.
Aku (Pt) : – Apakah itu hari ini ? 18. Monolog 10 : Pn : melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian,
Pt : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesepakatan.
164
(17) Konteks : Kunjungan kepala penjara yang menemui tokoh Aku di selnya (Aku), semakin membuat tokoh Aku yakin bahwa kunjungan tersebut sebagai pertanda eksekusi mati segera dilaksanakan. Aku (Pn) : C’est pour aujourd’hui ! Nrt-11: Le directeur de la prison lui-même vient de me rendre visite. Il m’a demandé en quoi il pourrait m’être agréable ou utile, a exprimé le désir que je n’eusse pas à ma plaindre de lui ou de ses subordonnés, s’est informé
avec intérêt de ma santé et de la façon dont j’avais passé la nuit ; en me quittant, il m’a appelé monsieur ! Aku (Pt) : C’est pour aujourd’hui !
(17/LDJC/68) Aku (Pn) : Itu hari ini ! - Ada apa ini ? Nrt-11: Direktur penjara sendiri datang menjemputku. Ia bertanya apa yang bisa dilakukan untuk menyenangkan hatiku atau apa yang bisa ia lakukan buatku, dan ia juga mengungkapkan harapannya agar aku tidak mempunyai
keluhan terhadapnya atau terhadap anak buahnya, dengan penuh perhatian ia menanyaiku tentang kesehatanku dan bagaimana aku melewatkan malam yang baru saja berlalu. Saat meninggalkanku, ia menyebutku dengan tuan!
Aku (Pt) : Itu hari ini! 19. Dialog 8 : Pendeta : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan. (18) Konteks : Seorang pendeta mengunjungi tokoh Aku di dalam selnya (Aku), hal itu membuatnya (Aku) tenang setelah mengalami kekhawatiran akan pelaksanaan eksekusi mati. Nrt 20 : Je suis calme maintenant. Tout est fini, bien fini. Je suis sorti de l’horrible anxiété où m’avait jeté la visite du directeur. Car, je l’avoue, j’espérais encore. – Maintenant, Dieu merci, je n’espère plus.
Voici ce qui vient de se passer : Au moment où six heures et demie sonnaient, – non, c’était l’avant-quart – la porte de mon cachot s’est rouverte. Un vieillard à tête blanche, vêtu d’une redingote brune, est entré. Il a entr’ouvert sa redingote. J’ai vu une soutane, un rabat. C’était un prêtre. Ce prêtre n’était pas l’aumônier de la prison. Cela était sinistre. Il s’est assis en face de moi avec un sourire bienveillant ; puis a secoué la tête et levé les yeux au ciel, c’est-à-dire à la voûte du cachot. Je l’ai compris
Pendeta : – Mon fils, m’a-t-il dit, êtes-vous préparé ? Nrt-21 : Je lui ai répondu d’une voix faible : Aku : – Je ne suis pas préparé, mais je suis prêt. Nrt 22 : Cependant ma vue s’est troublée, une sueur glacée est sortie à la fois de tous mes membres, j’ai senti mes tempes se gonfler, et j’avais les oreilles pleines de bourdonnements.
(18/LDJC/69-70)
Nrt-20 : Sekarang aku tenang. Semua telah selesai, benar-benar selesai. Aku telah keluar dari kecemasanku yang mengerikan yang disebabkan oleh kunjungan direktur. Sebab, kuakui, saat itu aku masih berharap. – Sekarang, puji syukur kepada Tuhan, aku tidak berharap lagi. Inilah yang baru saja terjadi: Pada saat lonceng menunjukkan pukul setengah tujuh, - tidak, menunjukkan kurang seperempat, - pintu selku kembali terbuka.
165
Seorang pria tua yang rambutnya putih, mengenakan jas panjang coklat, masuk. Ia sedikit membuka jasnya. Kulihat sebuah jubah, sebuah dasi lebar. Ia seorang pendeta. Ia bukan pastor penjara. Itu menakutkan. Ia duduk di hadapanku dengan senyuman baik hati, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya dan lalu melihat ke langit, yaitu ke atap melengkung ke selku. Aku memahaminya
Pendeta : - Anakku, katanya kepadaku, kau sudah siap-siap? Nrt-21 : Aku menjawabnya dengan suara lemah: Aku : - aku belum siap-siap, tapi aku siap. Nrt-22 : Sementara itu pandanganku menjadi kacau, keringat dingin serentak mengalir dari seluruh tubuhku, aku merasa pelipisku membengkak, dan telingaku dipenuhi dengungan. 20. Dialog 9 : Petugas pengadilan dan Aku : sama-sama mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan. (19) Konteks : Setelah Prêtre memberikan petuah dan nasihat kepada tokoh Aku, maka masuklah petugas pelaksana keputusan pengadilan (l’hussier) ke dalam sel tokoh Aku untuk menyampaikan surat surat keputusan pengadilan
kepada tokoh Aku. Nrt-20 : Pendant que je vacillais sur ma chaise comme endormi, le bon vieillard parlait. C’est du moins ce qu’il m’a semblé, et je crois me souvenir que j’ai vu ses lèvres remuer, ses mains s’agiter, ses yeux reluire.
La porte s’est rouverte une seconde fois. Le bruit des verrous nous a arrachés, moi à ma stupeur, lui à son discours. Une espèce de monsieur, en habit noir, accompagné du directeur de la prison, s’est présenté, et m’a salué profondément. Cet homme avait sur le visage quelque chose de la tristesse officielle des employés des pompes funèbres. Il tenait un rouleau de papier à la main.
Petugas pengadilan : – Monsieur, m’a-t-il dit avec sourire de courtoisie, je suis huissier près la cour royale de Paris. J’ai l’honneur de vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général. Nrt 21 : La première secousse était passée. Toute ma présence d’esprit m’était revenue. Aku : – C’est monsieur le procureur général, lui ai-je répondu, qui a demandé si instamment ma tête ?
Bien de l’honneur pour moi qu’il m’écrive. J’espère que ma mort lui va faire grand plaisir ? Car il me serait dur de penser qu’il l’a sollicité avec tant d’ardeur et qu’elle lui était indifférente. Nrt-22 : J’ai dit tout cela, et j’ai repris d’une voix ferme : – Lisez, monsieur ! Nrt-22 : Il s’est mis à me lire un long texte, en chantant à la fin de chaque ligne et en hésitant au milieu de chaque mot. C’était le rejet de mon pourvoi.
(19/LDJC/ 70)
Nrt-20 : Selama aku goyah di atas kursiku seperti mengantuk, orang tua itu berbicara. Paling tidak itu yang kurasakan, dan rasanya aku ingat melihat bibirnya komat-kamit, tangannya bergerak-gerak, matanya berkilat. Pintu terbuka untuk kedua kalinya. Bunyi gerendel menyandarkan kami kembali, menyandarkanku dari rasa terpukau, menyandarkannya dari pidatonya. Sesosok lelaki berpakaian hitam, ditemani direktur penjara, memperkenalkan diri dan memberiku salam dalam-dalam. Orang ini wajahnya menampakkan semacam kesedihan resmi para pegawai pemakaman. Ia memegang sebuah gulungan kertas di tangannya.
Petugas pengadilan : – Tuan, ia berkata kepadaku dengan sebuah senyum basa-basi, saya pelaksana keputusan pengadilan kerajaan di Paris. Saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan kepada Anda surat dari Jaksa Tinggi.
Nrt-21 : Guncangan pertama lewat. Semua jiwaku telah kembali mengumpul.
166
Aku : - Itu bapak Jaksa Tinggi yang dengan sangat telah meminta kepalaku? Jawabku kepadanya. Benar-benar suatu kehormatan ia mau menulis surat kepadaku. Moga-moga kematianku akan membuatnya senang ? Sebab sangat sukar bagiku untuk membayangkan bagaimana ia, yang dulu sedemikian bernafsu menginginkan kematianku, kini bersikap masa bodoh tentang hal itu.
Nrt-22 : Kukatakan semua itu, dan kulanjutkan dengan tegas - Bacalah, Tuan! Nrt-22 : Ia kemudian memulai membacakan sebuah naskah yang panjang, dengan memberi irama di setiap akhir baris dan dengan keraguan di setiap tengah kata. Itu penolakan permohonan bandingku. 21. Dialog 10 : Pt dan Pn mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan. (20) Konteks : Di ruang sel tokoh Aku, Petugas Pelaksana Keputusan Pengadilan telah selesai membacakan surat keputusan pengadilan. Kemudian ia (Petugas Pelaksana Keputusan Pengadilan) menawarkan diri untuk menjemput
tokoh Aku setengah jam lagi.
Petugas pengadilan : – L’arrêt sera exécuté aujourd’hui en place de Grève, a-t-il ajouté quand il a eu terminé, sans lever les yeux de dessus son papier timbré. Nous partons à sept heures et demie précises pour la Conciergerie. Mon cher monsieur aurez-vous l’extrême bonté de me suivre ?
Nrt 21 : Depuis quelques instants je ne l’écoutais plus. Le directeur causait avec le prêtre ; lui avait l’œil fixé sur son papier ; je regardais la porte, qui était restée entrouverte… Aku : – Ah ! Misérable ! Quatre fusiliers dans le corridor ! Nrt-22 : L’huissier a répété sa question, en me regardant cette fois : – Quand vous voudrez, lui ai-je répondu. À votre aise ! Nrt-22 : Il m’a salué en disant :
Petugas pengadilan : – J’aurai l’honneur de venir vous chercher dans une demi-heure.
Nrt-22 : Alors ils m’ont laissé seul.
(20/LDJC/ 71)
Petugas pengadilan : – Keputusan akan dilaksanakan hari ini di bunderan Grève, tambahnya setelah ia menyelesaikan bacaannya, tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas bersegel itu. Kita akan berangkat jam setengah delapan tepat menuju gedung Conciergerie. Sudikah kiranya Tuan ikut dengaku?
Nrt-21 : Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah tidak mendengarkannya lagi. Direktur penjara berbincang-bincang dengan bapak pendeta, pelaksana keputusan pengadilan menatap lekat-lekat kertasnya, aku melirik ke pintu
yang dibiarkan sedikit terbuka........ Aku : – Ah sial ! empat serdadu memegang bedil berdiri di lorong ! Nrt-22 : Petugas itu tadi mengulangi pertanyaannya, kali ini sambil melihatku.
167
: - Kapan saja, terserah anda, jawabku kepadanya. Sesuka Anda ! Nrt-22 : Petugas itu tadi mengulangi pertanyaannya, kali ini sambil melihatku. Nrt-22 : Ia pamitan sambil berkata :
Petugas pengadilan : - Saya akan merasa terhormat untuk kembali menjemput Anda setengah jam lagi.
Nrt 22 : Mereka kemudian meninggalkanku sendiri. 22. Dialog 11 : Pn : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan, (tetapi bisa digunakan bahasa yang lebih santun... dengan condisionel…(impositif tapi tanpa imperatif))
Pt : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan (bahasa kurang santun tetapi memenuhi perintah). (21) Konteks : Petugas Pelaksana Keputusan Pengadilan kembali menemui tokoh Aku di ruang sel tokoh Aku, untuk menjemputnya menuju bunderan Grève (tempat eksekusi mati). Nrt-21 : Sept heures et demie sonnaient lorsque l’huissier s’est présenté de nouveau au seuil de mon cachot. Petugas pengadilan : – Monsieur, m’a-t-il dit, je vous attends.
Aku : – Hélas ! Lui et d’autres !
Nrt-22 : Je me suis levé, j’ai fait un pas ; il m’a semblé que je n’en pourrais faire un second, tant ma tête était lourde et mes jambes faibles. Cependant je me suis remis et j’ai continué d’une allure assez ferme
(21/LDJC/72)
Nrt-21 : Lonceng menunjukkan pukul setengah delapan ketika pelaksana keputusan pengadilan itu kembali muncul di ambang selku. Petugas pengadilan : – Tuan, katanya padaku, aku menunggu Anda. Aku : - Sayang sekali ! ia dan beberapa orang lagi !
Nrt-22 : Aku bangkit dan melangkah satu tindak. Rasanya aku tidak akan bisa melanjutkan langkahku, kepalaku sedemikian berat dan kakiku sedemikian lemas. Namun demikian aku tetap melanjutkannya dan meneruskan langkahku dengan sikap yang cukup kokoh.
23. Dialog 12 : L’huissier : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan. Pastor : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan (menolak dengan halus).
(22) Konteks : Tokoh Aku dikawal petugas pelaksana pengadilan (l’huissier), pastor penjara, dan enam prajurit menuju bunderan Grève dengan menggunakan kereta. Di dalam kereta tersebut mereka saling terlibat dalam
perbincangan.
Nrt-21 : J’écoutais en silence cette chute de paroles monotones qui assoupissaient ma pensée comme le murmure d’une fontaine, et qui passaient devant moi, toujours diverses et toujours les mêmes, comme les ormeaux tordus de la grande route, lorsque la voix brève et saccadée de l’huissier, placé sur le devant, est venue subitement me secouer.
168
l’huissier : – Eh bien ! Monsieur l’abbé, disait-il avec un accent presque gai, qu’est-ce que vous savez de nouveau ?
Nrt-22 : C’est vers le prêtre qu’il se retournait en parlant ainsi. L’aumônier, qui me parlait sans relâche, et que la voiture assourdissait, n’a pas répondu.
: – Hé ! Hé ! a repris l’huissier en haussant la voix pour avoir le dessus sur le bruit des roues ; infernale voiture !
Nrt-22 : Infernale ! En effet. Il a continué :
L’huissier : – Sans doute, c’est le cahot ; on ne s’entend pas. Qu’est-ce que je voulais donc dire ? Faites-moi le plaisir de m’apprendre ce que je voulais dire, monsieur l’abbé ! – Ah ! Savez-vous la grande nouvelle de Paris, aujourd’hui ?
Nrt-22 : J’ai tressailli, comme s’il parlait de moi. Pastor : – Non, a dit le prêtre, qui avait enfin entendu, je n’ai pas eu le temps de lire les journaux ce matin. Je verrai cela ce soir. Quand je suis occupé comme cela toute la journée, je recommande au portier de me
garder mes journaux, et je les lis en rentrant.
(22/LDJC/74-75) Nrt-21 : Dengan diam kudengarkan kata-kata monoton yang berjatuhan itu, yang membuat pikiranku mengantuk, seperti gemericik air pancuran. Bunyi-bunyi itu lewat di hadapanku, selalu berbeda dan selalu sama, seperti pohon-
pohon muda yang tumbuh bengkok di pinggir jalan besar. Aku tersentak tiba-tiba mendengar suara pendek, kaku dan terputus-putus pelaksana hukuman yang duduk di depan. L’huissier : – Hei ! Pak Pastor, katanya dengan nada yang hampir riang, kabar baru apa yang Anda punyai ?
Nrt-22 : Ke arah bapak pendetalah ia berpaling dan berkata begitu.
Rohaniawan itu, yang berbicara kepadaku tanpa henti dan yang tidak mendengarnya karena bunyi bising kereta, tidak menjawabnya.
: – Hei ! Hei ! Pelaksana hukuman itu berkata lagi lebih keras untuk mengalahkan bunyi roda kereta, kereta neraka !
Nrt-22 : Neraka ! memang. Ia melanjutkannya : L’huissier : – Barangkali karena guncangan kita tidak bisa mendengar. Apa yang ingin kukatakan tadi ? Tolong katakan padaku apa yang ingin kukatakan tadi, Pak Pastor ? – Ah ! Apa Anda tahu berita baru
mengenai Paris hari ini ?
Nrt-22 : Aku tersentak kaget, seakan ia berbicara mengenaiku.
Pastor : – Tidak, kata bapak pendeta, yang akhirnya mendengarnya, aku tidak sempat membaca koran tadi pagi. Aku akan membacanya nanti malam. Saat aku sibuk sepanjang hari seperti ini, aku minta penjaga pintu untuk menyimpankan koran-koranku, dan aku akan membacanya kalau pulang.
24. Dialog 13 : L’huissier : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,
Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian (rugikan L’huissier).
169
(23) Konteks : Tokoh Aku dikawal petugas pelaksana pengadilan (l’huissier), pastor penjara, dan enam prajurit menuju bunderan Grève dengan menggunakan kereta. Di dalam kereta tersebut, tokoh Aku mulai ikut masuk ke dalam perbincangan antara petugas pelaksana pengadilan dan pastor.
L’huissier : – Bah ! a repris l’huissier, il est impossible que vous ne sachiez pas cela. La nouvelle de Paris ! La nouvelle de ce matin ! Nrt-22 : J’ai pris la parole. Aku : – Je crois la savoir. Nrt-22 : L’huissier m’a regardé. L’huissier : – Vous ! Vraiment ! En ce cas, qu’en dites-vous ? Aku : – Vous êtes curieux ! Lui ai-je dit.
(24/LDJC/74-75)
L’huissier : – Hei ! Pak Pastor, katanya dengan nada yang hampir riang, kabar baru apa yang Anda punyai ? Nrt-22 : Aku angkat suara : Aku : - Kukira aku tahu. Nrt-22 : Pelaksana hukuman itu memandangiku. L’huissier : – Anda ! Benarkah ! kalau begitu apa pendapat Anda ? Aku : – Anda melit ! Kataku kepadanya. 25. Dialog 14 : L’huissier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.
(24) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) bertanya kepada tokoh Aku, kenapa dia (Aku) marah ketika ditanyakan tentang kabar Paris. L’huissier : – Pourquoi, monsieur ? a répliqué l’huissier. Chacun a son opinion politique. Je vous estime trop pour croire que vous n’avez pas la vôtre. Quant à moi, je suis tout à fait d’avis du rétablissement de la garde
nationale. J’étais sergent de ma compagnie, et, ma foi, c’était fort agréable. Nrt-22 : Je l’ai interrompu. Aku : – Je ne croyais pas que ce fût de cela qu’il s’agissait. L’huissier : – Et de quoi donc ? Vous disiez savoir la nouvelle… Aku : – Je parlais d’une autre, dont Paris s’occupe aussi aujourd’hui.
170
Nrt-22 : L’imbécile n’a pas compris ; sa curiosité s’est éveillée.
(24/LDJC/ 76)
L’huissier : – Kenapa, Tuan ? tukas pelaksana hukuman itu. Setiap orang punya pendapat politiknya masing-masing. Aku sangat menghargai Anda sehingga aku yakin bahwa Anda pasti mempunyai pendapat politik sendiri. Kalau aku, aku sangat setuju dengan pendapat mengenai perlunya dibentuk kembali Garda Nasional. Aku dulu sersan di kesatuanku, dan, yaaa, itu sangat menyenangkan.
Nrt-22 : Aku memotong ucapannya. Aku : – Kukira bukan itu yang sedang ramai dibicarakan sekarang. L’huissier : – Kalau begitu apa ? Tadi Anda berkata bahwa Anda tahu tentang berita .... Aku : – Aku berbicara tentang berita lain, yang diurus Paris saat ini juga. Nrt-22 : Orang tolol itu tidak mengerti dan rasa ingin tahunya muncul. 26. Dialog 15 : L’huissier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian,
Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.
(25) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) bertanya kepada tokoh Aku mengenai berita yang ingin dikatakan oleh tokoh Aku. L’huissier : – Une autre nouvelle ? Où diable avez-vous pu apprendre des nouvelles ? Laquelle, de grâce, mon cher monsieur ? Savez-vous ce que c’est, monsieur l’abbé ? Êtes-vous plus au courant que moi ? Mettez-moi
au fait, je vous prie. De quoi s’agit-il ? – Voyez-vous, j’aime les nouvelles. Je les contes à monsieur le président, et cela l’amuse. Nrt-22 : Et mille billevesées. Il se tournait tour à tour vers le prêtre et vers moi, et je ne répondais qu’en haussant les épaules. – Eh bien ! m’a-t-il dit, à quoi pensez-vous donc ? Aku : – Je pense, ai-je répondu, que je ne penserai plus ce soir. L’huissier : – Ah ! C’est cela ! a-t-il répliqué. Allons, vous êtes trop triste ! M. Castaing causait. Nrt-22 : Puis, après un silence : – J’ai conduit M. Papavoine ; il avait sa casquette de loutre et fumait son cigare. Quant aux jeunes gens de La Rochelle, ils ne parlaient qu’entre eux. Mais ils parlaient.
(25/LDJC/76-77)
L’huissier : – Berita lain ? Dari mana Anda sampai mendapatkan berita ? Berita apa, Tuan, tolong ? Anda tahu berita apa itu Pak Pastor ? Apa Anda lebih mengetahuinya dariku ? Tolong beritahu Aku. Berita tentang apa itu ? – Aku suka sekali berita. Aku menceritakannya kepada bapak Ketua Pengadilan dan ia sangat senang mendengarnya.
Nrt-22 : Dan banyak omong kosong lain. Ia berpaling bergantian ke arah bapak pastor dan ke arahku, dan aku hanya menjawabnya dengan mengangkat pundak ! : – Baiklah! Katanya kepadaku, apa yang ada dalam pikiran Anda?
171
Aku : – Kupikir, jawabku, aku tidak akan berfikir lagi malam ini. L’huissier : – Ah ! Itu ! jawabnya. Oh, jangan begitu ! Anda terlalu bersedih ! Tuan Castaing dulu ngobrol. Nrt-22 : Kemudian, setelah diam sejenak : – Aku dulu juga membawa Tuan Papavoine. Ia mengenakan topi petnya yang terbuat dari bulu berang-berang dan menghisap cerutunya. Kalau keempat pemuda dari La Rochelle itu, mereka hanya
bercakap-cakap diantara mereka saja. Tapi mereka bercakap-cakap. 27. Dialog 16 : L’huissier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim pujian,
Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. (26) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) berbincang-bincang dengan tokoh Aku. Kemudian tokoh Aku tidak suka dirinya (Aku) dikatakan lebih muda oleh l’huissier. Nrt-22 : Il a fait encore une pause, et a poursuivi : L’huissier : – Des fous ! Des enthousiastes ! Ils avaient l’air de mépriser tout le monde. Pour ce qui est de vous, je vous trouve vraiment bien pensif, jeune homme. Aku : – Jeune homme ! Lui ai-je dit, je suis plus vieux que vous ; chaque quart d’heure qui s’écoule me vieillit d’une année. Nrt-22 : Il s’est retourné, m’a regardé quelques minutes avec un étonnement inepte, puis s’est mis à ricaner lourdement. L’huissier : – Allons, vous voulez rire, plus vieux que moi ! Je serais votre grand‘père. Aku : Je ne veux pas rire, lui ai-je répondu gravement.
(26/LDJC/77)
Nrt-22 : Ia lalu diam lagi sejenak, dan kemudian melanjutkan : L’huissier : – Orang-orang gila ! Orang-orang yang terlalu menggebu semangatnya ! Mereka kelihatannya meremehkan semua orang. Kalau Anda, menurutku, Anda benar-benar sangat banyak berfikir, Anak
muda !. Aku : – Anak muda ! kataku kepadanya, aku lebih tua dari Anda. Setiap seperempat jam berlalu, aku menjadi lebih tua setahun. Nrt-22 : Ia memutar tubuhnya, memandangiku selama beberapa menit dengan rasa heran yang konyol, kemudian tertawa menghina. L’huissier : – Bah ! Anda bercanda ! Lebih tua dariku ! Aku pantas jadi kakekmu. Aku : Aku tidak bercanda, jawabku kepadanya dengan serius. 28. Dialog 17 : L’huissier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan.
172
(27) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) menawarkan tembakau kepada tokoh Aku agar tidak marah karena tersinggung oleh gurauan l’huissier yang mengatakan bahwa tokoh Aku lebih muda darinya (l’huissier).
Nrt-22 : Il a ouvert sa tabatière. L’huissier : – Tenez, cher monsieur, ne vous fâchez pas ; une prise de tabac, et ne me gardez pas rancune. Aku : – N’ayez pas peur ; je n’aurai pas longtemps à vous la garder.
(28/LDJC/77)
Nrt-22 : Ia membuka kotak tembakaunya. L’huissier : – Ini Tuan, jangan marah ! Ambillah sejumput tembakau, dan jangan dendam kepadaku. Aku : – Jangan takut ! Rasa dendamku tidak akan berlangsung lama. 29. Dialog 18 : L’huissier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kedermawanan
Aku : melanggar maksim kedermawanan (28) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, tembakau milik petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) jatuh pada saat ditawarkan kepada tokoh Aku. Nrt-22 : En ce moment sa tabatière, qu’il me tendait, a rencontré le grillage qui nous séparait. Un cahot a fait qu’elle l’a heurté assez violemment et est tombée tout ouverte sous les pieds du gendarme. L’huissier : – Maudit grillage ! S’est écrié l’huissier. Nrt-23 : Il s’est tourné vers moi. – Eh bien ! Ne suis-je pas malheureux ? Tout mon tabac est perdu ! Aku : – Je perds plus que vous, ai-je répondu en souriant. Nrt-22 : Il a essayé de ramasser son tabac, en grommelant entre ses dents : L’huissier : – Plus que moi ! Cela est facile à dire. Pas de tabac jusqu’à Paris ! C’est terrible !
(28/LDJC/77-78)
Nrt-22 : Pada saat itu, kotak tembakau yang ia sodorkan kepadaku membentur jeruji yang memisahkan kami. Sebuah guncangan telah menyebabkannya membentur jeruji dengan cukup keras sehingga kotak itu jatuh terbuka di lantai, di dekat kaki si prajurit.
L’huissier : – Teralis sialan ! teriak pelaksana keputusan hukuman itu. Nrt-23 : Ia berpaling kepadaku.
173
– Lihat ! Apakah aku tidak menderita ? Aku kehilangan semua tembakauku ! Aku : – Aku kehilangan lebih dari Anda, jawabku sambil tersenyum. Nrt-22 : Ia mencoba memunguti tembakaunya sambil mendesis menggerutu : L’huissier : – Lebih dariku ! Bicara, mudah ! Tanpa tembakau sampai Paris ! Benar-benar menjengkelkan ! 30. Dialog 19 : Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Friauche : melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.
(29) Konteks : Tokoh Aku telah sampai di gedung Conciergerie, yakni gedung tempat transit sebelum eksekusi dilaksanakan. Kemudian tokoh Aku diharuskan menemui direktur pengadilan. Namun tokoh Aku disuruh menunggu di ruangan tepat di sebelah ruang direktur pengadilan. Pada saat itu, tiba-tiba masuklah seorang narapidana baru (friauche) yang baru saja mendapat vonis hukuman mati. Mereka (Aku dan friauche) saling berkenalan.
Nrt-22 : Je ne sais à quoi je pensais, ni depuis combien de temps j’étais là, quand un brusque et violent éclat de rire à mon oreille m’a réveillé de ma rêverie. J’ai levé les yeux en tressaillant. Je n’étais plus seul dans la cellule. Un homme s’y trouvait avec moi, un homme d’environ cinquante-cinq ans, de moyenne taille ; ridé, voûté, grisonnant ; à membres trapus ; avec
un regard louche dans des yeux gris, un rire amer sur le visage ; sale, en guenilles, demi-nu, repoussant à voir. ……………………………………………………………... Nous nous sommes regardés quelques secondes fixement, l’homme et moi ; lui, prolongeant son rire qui ressemblait à un râle ; moi, demi-étonné, demi-effrayé. Aku : – Qui êtes-vous ? Lui ai-je dit enfin. Friauche : – Drôle de demande ! a-t-il répondu. Un friauche. Aku : – Un friauche ! Qu’est-ce que cela veut dire ? Nrt-23 : Cette question a redoublé sa gaieté. Friauche : – Cela veut dire, s’est-il écrié au milieu d’un éclat de rire, que la taule jouera au panier avec ma sorbonne dans six semaines, comme il va faire avec ta tronche dans six heures. – Ha ! Ha ! Il paraît que tu
comprends maintenant.
(29/LDJC/80)
Nrt-22 : Aku tidak tahu apa yang kupikirkan maupun sejak kapan aku berada disitu, ketika tiba-tiba suatu tawa meledak memekakkan telingaku dan menggugahku dari mimpi. Dengan terkejut kuarahkan pandanganku. Aku tidak lagi sendirian di sel itu. Ada seorang laki-laki bersamaku di situ, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, dengan ukuran badan rata-rata,
berkeriput, bungkuk, dan beruban. Anggota tubuhnya pendek kekar, matanya abu-abu dan jereng, wajahnya dihiasi sebuah tawa pahit, tubuhnya kotor, pakaiannya compang-camping setengah telanjang, menjijikkan untuk dilihat.
……………………………………………………………... Kami saling beradu pandang selama beberapa detik, pria itu dan aku. Ia masih meneruskan tawanya yang menyerupai lenguhan, sedangkan aku merasa separo heran dan separo takut. Aku : – Siapa Anda ? akhirnya aku bertanya kepadanya. Friauche : – Pertanyaan yang aneh ! jawabnya. Seorang Friauche.
174
Aku : – Friauche ! Apa itu artinya ? Nrt-23 : Pertanyaan ini semakin membuatnya gembira. Friauche : – Artinya, teriaknya di sela-sela ledak tawa, penjara akan menggelindingkan kepalaku ke dalam keranjang enam minggu lagi, seperti yang akan ia lakukan dengan tampangmu enam jam lagi. – Ha ! Ha !
Kelihatannya kau mengerti sekarang. 31. Dialog 20 : friauche : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian,
Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan.
(30) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, friauche telah selesai menceritakan kisah hidupnya hingga ia (friauche) mendapat vonis hukuman mati kepada tokoh Aku. Kemudian ia (friauche) menasehati tokoh Aku untuk berani menghadapi eksekusi mati.
Nrt-22 : J’étais resté stupide en l’écoutant. Il s’est remis à rire plus haut encore qu’en commençant, et a voulu me prendre la main. J’ai reculé avec horreur. Friauche : – L’ami, m’a-t-il dit, tu n’as pas l’air brave. Ne va pas faire le singe devant la carline3. Vois-tu, il y a un mauvais moment à passer sur la placarde4 ; mais cela est sitôt fait ! Je voudrais être là pour te montrer
la culbute. Mille dieux ! J’ai envie de ne pas me pourvoir, si l’on veut me faucher aujourd’hui avec toi. Le même prêtre nous servira à tous deux ; ça m’est égal d’avoir tes restes. Tu vois que je suis un bon garçon. Hein ! Dis, veux-tu ? D’amitié !
Nrt-23 : Il a encore fait un pas pour s’approcher de moi. Aku : – Monsieur, lui ai-je répondu en le repoussant, je vous remercie.
(30/LDJC/82-83)
Nrt-22 : Aku diam mendengarkan seperti orang tolol. Ia tertawa lebih keras lagi daripada saat pertama, dan bermaksud memegang tanganku. Aku mundur dengan rasa ngeri. Friauche : – Sobat, katanya kepadaku, kau tampak kurang tabah. Janganlah kelihatan takut. Memang, ada saat yang tidak enak untuk dilalui di bunderan itu nanti, tapi itu cepat berlalu ! Aku ingin berada di sana
untuk menunjukkan kepadamu bagaimana aku berjungkir balik, melakukan roda. Ya, Tuhan ! Aku mau tidak naik banding, kalau mereka bersedia membabatku hari ini bersamamu. Pendeta yang sama bisa kita pakai berdua. Tidak apa-apa bagiku mendapatkan sisamu. Kamu lihat bukan, kalau aku orang baik. Eh ! Kamu mau ? Bersahabat denganku !
Nrt-23 : Ia maju lagi satu tindak untuk mendekatiku. Aku : – Tuan, jawabku kepadanya sambil mendorongnya mundur, aku ucapkan terima kasih. (bermaksud penolakan juga)
32. Dialog 21 : friauche : melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian,
Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan
(31) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, tokoh Aku menolak ajakan friauche untuk menggunakan pendeta yang sama dan menjalani eksekusi mati bersama. Hal itu. Membuat friauche menjuluki tokoh Aku sebagai seorang marquis (un marquis yakni gelar bangsawan namun sebagai ejekan).
3 Le poltron devant la mort. 4 Place de Grève.
175
Nrt-22 : Nouveaux éclats de rire à ma réponse. Friauche : – Ah ! Ah ! Monsieur, vousailles5 êtes un marquis ! C’est un marquis ! Nrt-23 : Je l’ai interrompu : Aku : – Mon ami, j’ai besoin de me recueillir, laissez-moi. Nrt-23 : La gravité de ma parole l’a rendu pensif tout à coup. Il a remué sa tête grise et presque chauve ; puis, creusant avec ses ongles sa poitrine velue, qui s’offrait nue sous sa chemise ouverte : Friauche : – Je comprends, a-t-il murmuré entre ses dents ; au fait, le sanglier6 !…
(31/LDJC/83)
Nrt-22 : Kembali terdengar gelak tawa atas jawabanku. Friauche : – Ah ! ah ! Tuan, Anda ! Seorang markis ! Seorang markis ! Nrt-23 : Aku memotongnya : Aku : – Sobat, aku ingin menenangkan diri, pergilah. Nrt-23 : Keseriusan kata-kataku membuatnya tiba-tiba berfikir. Ia menggoyang-goyangkan kepalanya yang berambut abu-abu dan hampir botak. Kemudian, sambil menggaruk dadanya yang berbulu, yang terlihat telanjang di
balik bajunya yang terbuka : Friauche : – Aku mengerti, bisiknya mendesis. Sebenarnya, pendeta itu !.... 33. Monolog friauche 1 :Friauche-1 : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan, kearifan,
Friauche-3: melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan, Friauche-4 : melanggar prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati.
(32) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, friauche meminta jas panjang tokoh Aku , karena bagi friauche jas panjang itu tidak ada gunanya lagi bagi tokoh Aku yang sebentar lagi akan menjalani eksekusi
mati. Nrt-22 : Puis, après quelques minutes de silence :
5 Vous. 6 Le prêtre.
176
Friauche-1 : – Tenez, m’a-t-il dit presque timidement, vous êtes un marquis, c’est fort bien ; mais vous avez là une belle redingote qui ne vous servira plus à grand’chose ! La taule la prendra. Donnez-la-moi, je la vendrai pour avoir du tabac.
Nrt-22 : J’ai ôté ma redingote et je la lui ai donnée. Il s’est mis à battre des mains avec une joie d’enfant. Puis, voyant que j’étais en chemise et que je grelottais : Friauche-2 : – Vous avez froid, monsieur, mettez ceci ; il pleut, et vous seriez mouillé ; et puis il faut être décemment sur la charrette. Nrt-22 : En parlant ainsi, il ôtait sa grosse veste de laine grise et la passait dans mes bras. Je le laissais faire. Alors j’ai été m’appuyer contre le mur, et je ne saurais dire quel effet me faisait cet homme. Il s’était mis à
examiner la redingote que je lui avais donnée, et poussait à chaque instant des cris de joie. Friauche-3 : – Les poches sont toutes neuves ! Le collet n’est pas usé ! J’en aurai au moins quinze francs. Quel bonheur ! Du tabac pour mes six semaines ! Nrt-22 : La porte s’est rouverte. On venait nous chercher tous deux ; moi, pour me conduire à la chambre où les condamnés attendent l’heure ; lui, pour le mener à Bicêtre. Il s’est placé en riant au milieu du piquet qui
devait l’emmener, et il disait aux gendarmes : Friauche-4 : – Ah ça ! Ne vous trompez pas ; nous avons changé de pelure, monsieur et moi ; mais ne me prenez pas à sa place. Diable ! Cela ne m’arrangerait pas, maintenant que j’ai de quoi avoir du tabac !
(32/LDJC/83-84)
Nrt-22 : Kemudian setelah beberapa menit diam : Friauche-1 : – Hei, katanya hampir dengan nada malu. Anda seorang markis, itu bagus. Tapi, itu, Anda mengenakan jas panjang indah yang tidak akan banyak gunanya lagi ! Penjara akan mengambilnya. Berikanlah
kepadaku, biar kujual nanti untuk membeli tembakau. Nrt-22 : Kulepas jas panjangku dan kuberikannya kepadanya. Ia lalu bertepuk tangan dengan kebahagiaan seorang anak kecil. Kemudian ketika hanya melihatku mengenakan sehelai baju dan menggigil : Friauche-2 : – Anda kedinginan, Tuan, pakailah ini. Di luar hujan, dan Anda akan basah. Lagipula Anda harus berpenampilan pantas nanti di atas kereta. Nrt-22 : Sambil berkata demikian, ia menanggalkan jas wolnya yang besar yang berwarna abu-abu dan meletakkannya ke tanganku. Kubiarkan ia melakukannya. Aku kemudian menyandarkan diri ke tembok, dan aku tidak
bisa mengungkapkan pengaruh yang ditimbulkan orang ini pada diriku. Ia mulai memeriksa jas panjang yang kuberikan kepadanya, dan setiap kali ia berseru gembira. Friauche-3 : – Sakunya masih baru ! Kerahnya belum usang ! –Bisa laku paling tidak lima belas franc. – Betapa bahagianya ! Tembakau untuk enam mingguku! Nrt-22 : Pintunya kembali terbuka. Kira berdua dijemput. Aku dijemput untuk dibawa ke bilik tempat para terpidana menunggu jam, ia dijemput untuk dibawa ke Bicêtre. Ia dengan gembira menempatkan dirinya di tengah-
tengah para petugas yang harus membawanya dan berkata kepada para prajurit itu : Friauche-4 : – Ah ! Jangan salah! Kami bertukar mantel, tuan itu dan aku. Tapi jangan menganggapku sebagai dia. Kurang ajar benar! Itu tidak baik buatku, karena sekarang aku punya sesuatu yang bisa kutukar
dengan tembakau! 34. Dialog 22 : Prêtre : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan.
(33) Konteks : Seorang pendeta (prêtre) masuk ke ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan untuk memberikan pendampingan kepada tokoh Aku menjelang beberapa jam pelaksanaan eksekusi mati.
177
Nrt-22 : Nous nous sommes assis, lui sur la chaise, moi sur le lit. Il m’a dit Prêtre : – Mon fils… Nrt-23 : Ce mot m’a ouvert le cœur. Il a continué : – Mon fils, croyez-vous en Dieu ? Aku : – Oui, mon père, lui ai-je répondu. Prêtre : – Croyez-vous en la sainte église catholique, apostolique et romaine ? Aku : – Volontiers, lui ai-je dit.
(33/LDJC/89)
Nrt-22 : Kami berdua duduk , ia di kursi, aku di pelbet (ranjang). Ia berkata kepadaku : Prêtre : – Anakku……. Nrt-23 : Kata-kata ini membuka hatiku. Ia melanjutkan : – Anakku, kamu percaya Tuhan? Aku : – Ya, Bapa, jawabku kepadanya. Prêtre : – Kamu percaya pada gereja katholik, para Rasul dan orang-orang Roma yang suci ? Aku : – Dengan segenap hati, kataku kepadanya.
35. Dialog 23 : Prêtre : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan, lalu mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan, kemudian melanggar prinsip kesantunan maksim pujian,
Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan (bahasa sudah halus), kemudian mematuhi, maksim kearifan.
(34) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, pendeta (prêtre) meragukan tokoh Aku yang percaya kepada Tuhan, gereja khatolik, para rasul, dan orang-orang suci Roma. Prêtre : – Mon fils, a-t-il repris, vous avez l’air de douter. Nrt-23 : Alors il s’est mis à parler. Il a parlé longtemps ; il a dit beaucoup de paroles ; puis, quand il a cru avoir fini, il s’est levé et m’a regardé pour la première fois depuis le commencement de son discours, en
m’interrogeant : – Eh bien ? Nrt-23 : Je proteste que je l’avais écouté avec avidité d’abord, puis avec attention, puis avec dévouement. Je me suis levé aussi. Aku : – Monsieur, lui ai-je répondu, laissez-moi seul, je vous prie.
178
Nrt-23 : Il m’a demandé : Prêtre : – Quand reviendrai-je ? Aku : – Je vous le ferai savoir. Nrt-23 : Alors il est sorti sans rien dire, mais en hochant la tête, comme se disant à lui-même : Prêtre : – Un impie ! Nrt-23 : Non, si bas que je sois tombé, je ne suis pas un impie, et Dieu m’est témoin que je crois en lui.
(34/LDJC/90)
Prêtre : – Anakku, katanya lagi, kamu kelihatannya meragukannya. Nrt-23 : Dan kemudian ia mulai berbicara. Ia berbicara lama sekali, ia mengucapkan banyak kata. Kemudian setelah menurutnya selesai, ia berdiri dan memandangiku untuk pertama kali sejak awal khotbahnya, sambil
bertanya kepadaku : – Hey, Bagaimana ? Nrt-23 : Aku protes karena mulanya aku mendengarkannya dengan bernafsu, kemudian dengan perhatian dan setelah itu dengan ketulusan. Aku juga bangkit berdiri. Aku : – Tuan, kataku kepadanya, tolong tinggalkan aku sendiri. Nrt-23 : Ia menanyaiku : Prêtre : – Kapan aku harus kembali ? Aku : – Aku akan memberitahukannya. Nrt-23 : Dan ia keluar tanpa marah, tapi sambil menggeleng-gelengkan kepala, seolah berkata kepada dirinya sendiri : Prêtre : – Orang yang tidak percaya Tuhan !
Nrt-23 : Tidak, meskipun aku terperosok sedemikian dalamnya, aku bukan orang yang tidak percaya Tuhan, dan Tuhan akan menjadi saksiku bahwa aku percaya kepadaNya.
36. Dialog 24 : L’architecte : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Gendarme : melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.
(35) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, tiba-tiba ada arsitek (l’architecte) yang masuk dan mengukur dinding kamar untuk kemudian direnovasi. Nrt-23 : Sa besogne finie, il s’est approché de moi en me disant avec sa voix éclatante :
179
L’architecte : – Mon bon ami, dans six mois cette prison sera beaucoup mieux. Nrt-23 : Et son geste semblait ajouter : – Vous n’en jouirez pas, c’est dommage. Nrt-23 : Il souriait presque. J’ai cru voir le moment où il allait me railler doucement, comme on plaisante une jeune mariée le soir de ses noces. Mon gendarme, vieux soldat à chevrons, s’est chargé de la réponse. Gendarme : – Monsieur, lui a-t-il dit, on ne parle pas si haut dans la chambre d’un mort. Nrt-23 : L’architecte s’en est allé. Moi, j’étais là, comme une des pierres qu’il mesurait.
(35/LDJC/93)
Nrt-23 : Tugasnya selesai, ia mendekatiku dan berbicara kepadaku dengan suara lantang : L’architecte : – Sobat yang baik, enam bulan lagi penjara ini akan jauh lebih baik. Nrt-23 : Dan gerakannya seolah melanjutkan : – Sayang, kamu tidak bisa menikmatinya. Nrt-23 : Ia seolah tersenyum. Sejenak aku merasa bahwa ia akan mengejekku dengan halus, seperti orang menggoda mempelai putri di malam pengantinnya. Pengawalku, seorang serdadu tua dengan tanda pangkat,
menangani jawabannya. Gendarme : – Tuan, katanya kepada orang itu, dilarang berbicara sekeras itu di kamar orang mati. Nrt-23 : Arsitek itu lalu pergi. Aku, aku tetap berada di sana, seperti batu-batu yang ia ukur tadi.
37. Dialog 25 : Gendarme : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.
(36) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Tokoh Aku mendapat pengawal (gendarme) baru. Kemudian mereka terlibat dalam perbincangan. Nrt-23 : Et puis, il m’est arrivé une chose ridicule. On est venu relever mon bon vieux gendarme, auquel, ingrat égoïste que je suis, je n’ai seulement pas serré la main. Un autre l’a remplacé, homme à front déprimé, des
yeux de bœuf, une figure inepte. Au reste, je n’y avais fait aucune attention. Je tournais le dos à la porte, assis devant la table ; je tâchais de rafraîchir mon front avec ma main, et mes pensées troublaient mon esprit. Un léger coup, frappé sur mon épaule, m’a fait tourner la tête. C’était le nouveau gendarme, avec qui j’étais seul. Voici à peu près de quelle façon il m’a adressé la parole.
Gendarme : – Criminel, avez-vous bon cœur ? Aku : Non, lui ai-je dit. Nrt-23 : La brusquerie de ma réponse a paru le déconcerter.
(36/LDJC/93)
180
Nrt-23 : Kemudian terjadi sesuatu yang menggelikan pada diriku. Pengawalku digantikan. Betapa egois dan tidak tahu berterimakasihnya aku, hingga bahkan tidak menyalaminya sebelum ia pergi. Seorang serdadu lain
menggantikannya, seorang pria dengan dahi yang terlihat lesu, bermata seperti kerbau dan berwajah konyol. Selebihnya, aku tidak memperhatikannya sama sekali. Aku lalu membelakangi pintu dan duduk di depan meja. Aku berusaha menyegarkan dahi dengan tanganku, pikiran-pikiranku mengalutkan hatiku. Sebuah tepukan ringan di bahu membuatku menengok ke belakang. Ternyata serdadu baru itu, yang sendirian saja bersamaku. Beginilah kira-kira bagaimana ia berbicara kepadaku.
Gendarme : – Penjahat, apa kamu baik hati? Aku : Tidak, kataku kepadanya. Nrt-23 : Jawabanku yang tidak terduga itu tampaknya membuatnya kehilangan akal. 38. Dialog 26 : Gendarme dan Aku : sama-sama melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian dan maksim kedermawanan.
(37) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Gendarme berharap mendapat bantuan dari tokoh Aku. Nrt-23 : Cependant il a repris en hésitant : Gendarme : – On n’est pas méchant pour le plaisir de l’être. Aku : Pourquoi non ? Ai-je répliqué. Si vous n’avez que cela à me dire, laissez-moi. Où voulez-vous en venir? Gendarme : – Pardon, mon criminel, a-t-il répondu. Deux mots seulement. Voici. Si vous pouviez faire le bonheur d’un pauvre homme, et que cela ne vous coûtât rien, est-ce que vous ne le feriez pas ? Nrt-23 : J’ai haussé les épaules. Aku : Est-ce que vous arrivez de Charenton ? Vous choisissez un singulier vase pour y puiser du bonheur. Moi, faire le bonheur de quelqu’un!
(37/LDJC/94)
Nrt-23 : Namun begitu, ia memulainya lagi dengan sedikit ragu :
Gendarme : – Kita tidak berbuat jahat hanya sekedar demi rasa senang menjadi jahat saja, bukan?
Aku : Kenapa tidak ? bantahku. Kalau hanya itu yang ingin Anda katakan, tinggalkan aku. Apa maksud perkataanmu itu? Gendarme : – Maaf, penjahat, jawabnya. Dua patah kata saja. Begini. Kalau Anda bisa berbuat baik bagi seorang miskin, dan itu tidak merugikan Anda sama sekali, apakah Anda tidak akan melakukannya ? Nrt-23 : Aku mengangkat bahu. Aku : Apakah Anda baru tiba dari RSJ Charenton? Anda salah memilih guci ajaib untuk mendapatkan kebahagiaan di dalamnya. Aku! Membahagiakan orang!
39. Dialog 27 : Gendarme dan Aku : sama-sama melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.
181
(38) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Gendarme meminta tolong kepada tokoh Aku agar ketika sudah mati untuk menemuinya (gendarme) memberi nomer undian lewat mimpi. Nrt-23 : Il a baissé la voix et pris un air mystérieux, ce qui n’allait pas à sa figure idiote. Gendarme : – Oui, criminel, oui bonheur, oui fortune. Tout cela me sera venu de vous. Voici. Je suis un pauvre gendarme. Le service est lourd, la paye est légère ; mon cheval est à moi et me ruine. Or, je mets à la loterie
pour contre-balancer. Il faut bien avoir une industrie. Jusqu’ici il ne m’a manqué pour gagner que d’avoir de bons numéros. J’en cherche partout de sûrs ; je tombe toujours à côté. Je mets le 76 ; il sort le 77. J’ai beau les nourrir, ils ne viennent pas… – Un peu de patience, s’il vous plaît ; je suis à la fin. - Or, voici une belle occasion pour moi. Il paraît, pardon, criminel, que vous passez aujourd’hui. Il est certain que les morts qu’on fait périr comme cela voient la loterie d’avance. Promettez-moi de venir demain soir, qu’est-ce que cela vous fait ? Me donner trois numéros, trois bons. Hein ? – Je n’ai pas peur des revenants, soyez tranquille. – Voici mon adresse : Caserne Popincourt, escalier A, n° 26, au fond du corridor. Vous me reconnaîtrez bien, n’est-ce pas ? – Venez même ce soir, si cela vous est plus commode.
Nrt-23 : J’aurais dédaigné de lui répondre, à cet imbécile, si une espérance folle ne m’avait traversé l’esprit. Dans la position désespérée où je suis, on croit par moments qu’on briserait une chaîne avec un cheveu. Aku : Écoute, lui ai-je dit en faisant le comédien autant que le peut faire celui qui va mourir, je puis en effet te rendre plus riche que le roi, te faire gagner des millions. – À une condition. Nrt-23 : Il ouvrait des yeux stupides. Gendarme : – Laquelle ? Laquelle ? Tout pour vous plaire, mon criminel.
Aku : Au lieu de trois numéros, je t’en promets quatre. Change d’habits avec moi. Gendarme : – Si ce n’est que cela ! s’est-il écrié en défaisant les premières agrafes de son uniforme.
Nrt-23 : Je m’étais levé de ma chaise. J’observais tous ses mouvements, mon cœur palpitait. Je voyais déjà les portes s’ouvrir devant l’uniforme de gendarme, et la place, et la rue, et le Palais de Justice derrière moi !
(38/LDJC/94-95)
Nrt-23 : Ia memelankan suaranya dan memasang wajah misterius, yang tidak sesuai dengan mukanya yang tolol. Gendarme : – Ya, penjahat, ya kebahagian, ya keberuntungan. Semua itu akan datang berkatmu. Begini. Aku ini seorang prajurit melarat. Tugasku berat tapi gajiku sedikit. Kudaku menjadi tanggunganku dan
membuatku bangkrut. Oleh karenanya aku pasang lotere untuk mengimbanginya. Kita kan harus punya penghasilan. Sampai sekarang yang kurang hanyalah memasang noemr yang tepat. Aku mencari ke mana-mana nomor yang sip, tapi selalu meleset. Aku pasang 76, yang keluar 77. Nomor itu kupasangi terus, tapi tidak pernah keluar..... – Tolong sabar sebentar, aku segera selesai. - Nah, kini kesempatan yang bagus tiba. Kelihatannya, maaf ya penjahat, hari ini hari terakhir Anda. Orang yang akan dimusnahkan begitu pasti dapat melihat nomor yang akan keluar. Tolong kunjungi aku besok malam ? Apa rugi Anda memberiku tiga nomer ? Tiga nomor yang siip ! Yaa ? – Aku tidak takut hantu, tenang saja. – Ini alamatku : asrama Popincourt, tangga A, no. 26, di ujung. Anda pasti akan mengenaliku, kan ? – Bahkan datanglah malam ini jika itu lebih praktis buat Anda.
Nrt-23 : Sebenarnya aku tidak sudi menjawab orang tolol ini, kalau saja tidak terlintas di benakku satu harapan konyol. Dalam keadaan putus asa sepertiku saat ini, terkadang orang merasa mampu merantaskan rantai
dengan seutas rambut. Aku : Dengar, kataku bersandiwara semampu mungkin yang dilakukan seorang di ambang kematian, memang benar aku bisa membuatmu kaya melebihi raja, membuatmu menang jutaan. – Tapi dengan satu
syarat. Nrt-23 : Ia membelalak tolol. Gendarme : – Apa ? Apa syaratnya ? Akan kulakukan apa pun untuk menyenangkanmu, wahai penjahatku.
182
Aku : Tidak hanya empat nomer, akan kuberi kamu empat nomer. Mari bertukar pakaian. Gendarme : – Kalau hanya itu saja ! serunya sambil melepas kancing-kancing seragamnya.
Nrt-23 : Aku bangkit dari kursiku. Kuperhatikan semua gerakannya, jantungku berdebar. Tampak sudah padaku pintu-pintu terbuka dihadapanku yang mengenakan seragam prajurit, kemudian bunderan, jalan, dan gedung Palais de Justice di belakangku !
40. Dialog 28 : Gendarme dan Aku : sama-sama melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan (39) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Gendarme menyadari ternyata permintaan tokoh Aku untuk bertukar pakaian dengannya (gendarme) agar tokoh Aku dapat melarikan diri sehingga bebas dari
hukuman mati. Nrt-23 : Mais il s’est retourné d’un air indécis. Gendarme : – Ah ça ! Ce n’est pas pour sortir d’ici ? Nrt-23 : J’ai compris que tout était perdu. Cependant j’ai tenté un dernier effort, bien inutile et bien insensé ! Aku : Si fait, lui ai-je dit, mais ta fortune est faite… Nrt-23 : Il m’a interrompu. Gendarme : – Ah bien non ! Tiens ! Et mes numéros ! Pour qu’ils soient bons, il faut que vous soyez mort.
Nrt-23 : Je me suis rassis, muet et plus désespéré de toute l’espérance que j’avais eue.
(39/LDJC/95)
Nrt-23 : Tapi ia kemudian berpaling dengan wajah ragu. Gendarme : – Sebentar ! Ini tidak untuk melarikan diri dari sini, kan ? Nrt-23 : Aku sadar semuanya telah sirna. Namun demikian kucoba juga upaya terakhir, yang tidak ada gunanya dan ngawur! Aku : Ya, memang itu, kataku kepadanya, tapi keberuntunganmu akan datang ……. Nrt-23 : Ia memotongku. Gendarme : –Oh, tidak ! Memangnya! Lalu bagaimana dengan nomorku? Kamu harus mati dulu agar nomorku bisa cocok.
Nrt-23 : Aku kembali duduk, membisu dan merasa semua harapanku telah sirna.
41. Polilog 1 : Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan.
183
Des amis : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan, Un ami : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan.
(40) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Tokoh Aku mengalami mimpi. Di dalam mimpnya, tokoh Aku bertemu keluarga dan teman-temannya (des amis) di rumahnya (Aku). Pada saat bermimpi itulah,
ada seorang wanita tua yang masuk ke rumahnya (Aku). Nrt-23 : Je portai la main à cette porte pour refermer l’armoire ; elle résista. Étonné, je tirai plus fort, elle céda brusquement, et nous découvrîmes une petite vieille, les mains pendantes, les yeux fermés, immobile, debout,
et comme collée dans l’angle du mur. Cela avait quelque chose de hideux, et mes cheveux se dressent d’y penser. Je demandai à la vieille : Aku : – Que faites-vous là ? Nrt-23 : Elle ne répondit pas. Je lui demandai : – Qui êtes-vous ? Nrt-23 : Elle ne répondit pas, ne bougea pas, et resta les yeux fermés. Mes amis dirent Des amis : – C’est sans doute la complice de ceux qui sont entrés avec de mauvaises pensées ; ils se sont échappés en nous entendant venir ; elle n’aura pu fuir, et s’est cachée là.
Nrt-23 : Je l’ai interrogée de nouveau ; elle est demeurée sans voix, sans mouvement, sans regard.
Un de nous l’a poussée à terre, elle est tombée. Elle est tombée tout d’une pièce, comme un morceau de bois, comme une chose morte. Nous l’avons remuée du pied, puis deux de nous l’ont relevée et de nouveau appuyée au mur. Elle n’a donné aucun signe de vie. On lui a crié dans l’oreille, elle est restée muette comme si elle était sourde. Cependant, nous perdions patience, et il y avait de la colère dans notre terreur. Un de nous m’a dit :
Un ami : – Mettez-lui la bougie sous le menton.
Nrt-23 : Je lui ai mis la mèche enflammée sous le menton. Alors elle a ouvert un œil à demi, un œil vide, terne, affreux, et qui ne regardait pas. J’ai ôté la flamme et j’ai dit :
Aku : – Ah ! Enfin ! Répondras-tu, vieille sorcière ? Qui es-tu ? Nrt-23 : L’œil s’est refermé comme de lui-même. Des amis : – Pour le coup, c’est trop fort, ont dit les autres. Encore la bougie ! Encore ! Il faudra bien qu’elle parle. Nrt-23 : J’ai replacé la lumière sous le menton de la vieille.
Alors, elle a ouvert ses deux yeux lentement, nous a regardés tous les uns après les autres, puis, se baissant brusquement, a soufflé la bougie avec un souffle glacé. Au même moment j’ai senti trois dents aiguës s’imprimer sur ma main dans les ténèbres. Je me suis réveillé, frissonnant et baigné d’une sueur froide.
184
(40/LDJC/105-106)
Nrt-23 : Kutarik pintu itu untuk menutupkannya kembali, tapi ada sesuatu yang menahannya. Dengan heran kutarik lebih kuat lagi. Tiba-tiba pintu itu dilepaskan, dan tampak seorang wanita tua. Kedua tangannya menggantung di kedua sisinya, matanya memejam tidak bergerak sedikitpun, berdiri, dan seolah lekat di pojok dinding.
Ada sesuatu yang mengerikan di sana, dan rambutku berdiri bila memikirnya. Aku bertanya kepada wanita tua itu : Aku : – Apa yang Anda lakukan disitu ? Nrt-23 : Ia tidak menjawab. Aku bertanya kepadanya: – Anda siapa? Nrt-23 : Ia tidak menjawab, tidak bergeming, dan tetap memejamkan matanya. Teman-temanku berkata : Des amis : – Barangkali teman para pencuri yang tadi masuk ke sini untuk berbuat jahat. Mereka melarikan diri saat mendengar kita datang. Karena tidak sempat melarikan diri, ia bersembunyi di situ. . Nrt-23 : Aku menanyainya lagi, ia tetap membisu, tidak bergerak, tidak membuka matanya.
Satu diantara temanku mendorongnya ke lantai, ia jatuh. Ia jatuh dengan kaku, seperti sebatang kayu, seperti benda mati. Kami guncang kakinya, kemudian dua temanku menegakkannya kembali ke pojok dinding. Tidak ada tanda-tanda kehidupan pada diri wanita tua itu. Kami berteriak tepat di telinganya, ia tetap membisu seolah tuli. Sementara itu kesabaran kami habis, dan ada kemarahan dalam ketakutan kami. Salah seorang teman berkata kepadaku :
Un ami : – Taruh lilinnya di bawah dagunya.
Nrt-23 : Kutaruh lilin yang menyala itu di bawah dagunya. Ia lalu membuka separo matanya, pandangannya kosong, hampar, menakutkan, dan tidak melihat Kutarik lilin itu dan aku berkata :
Aku : – Ah ! akhirnya ! Sekarang mau jawab ? Kamu siapa ? Nrt-23 : Mata itu menutup lagi seolah secara otomatis. Des amis : – Keterlaluan, kata teman-tamanku. Lagi, kasih lilin lagi! Lagi! Ia harus bicara!. Nrt-23 : Kembali kuletakkan lilin menyala di bawah dagu wanita tua itu.
Ia lalu membuka kedua matanya pelahan-lahan, memandangi kami satu demi satu, kemudian tiba-tiba merunduk dan meniup lilin dengan tiupan sedingin es. Dan pada saat itu juga kurasakan tiga gigi runcing menancap di tanganku, dalam kegelapan.
Aku terbangun, gemetar, dan peluh dingin membasahi sekujur tubuhku.
42. Dialog 29 : Amunônier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan (perintah tanpa kata perintah).
185
(41) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Tokoh Aku terbangun dari mimpinya, tepat pada saat pendeta (amunônier) di sebelahnya (Aku) yang mengabarkan bahwa putrinya (Aku) menjenguknya. Nrt-23 : Le bon aumônier était assis au pied de mon lit, et lisait des prières.
Aku : Ai-je dormi longtemps ? Lui ai-je demandé. Amunônier : – Mon fils, m’a-t-il dit, vous avez dormi une heure. On vous a amené votre enfant. Elle est là dans la pièce voisine qui vous attend. Je n’ai pas voulu qu’on vous éveillât. Aku : – Oh ! Ai-je crié. Ma fille ! Qu’on m’amène ma fille !
(41/LDJC/107)
Nrt-23 : Pendeta yang baik itu duduk di kaki ranjangku, dan membaca doa-doa.
Aku : Apakah aku tidur lama ? Tanyaku kepadanya. Amunônier : – Anakku, katanya kepadaku. Anda tidur satu jam. Putrimu dibawa menjengukmu. Sekarang berada di ruang sebelah, dan menunggumu. Aku tadi melarang orang membangunkanmu. Aku : – Oh! teriakku, putriku, bawa kemari putriku! 43. Dialog 30 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Marie (putri Aku) : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.
(42) Konteks : Tokoh Aku menemui putrinya, Marie. Namun Marie sudah tidak mengenal tokoh Aku sebagai ayahnya.
Nrt-23 : Elle est fraîche, elle est rose, elle a de grands yeux, elle est belle ! On lui a mis une petite robe qui lui va bien.
Je l’ai prise, je l’ai enlevée dans mes bras, je l’ai assise sur mes genoux, je l’ai baisée sur ses cheveux. Pourquoi pas avec sa mère ?
Aku : Sa mère est malade, sa grand’mère aussi. C’est bien. Nrt-23 : Elle me regardait d’un air étonné. Caressée, embrassée, dévorée de baisers et se laissant faire, mais jetant de temps en temps un coup d’œil inquiet sur sa bonne, qui pleurait dans le coin. Enfin j’ai pu parler. Aku : – Marie ! Ai-je dit, ma petite Marie ! Nrt-23 : Je la serrais violemment contre ma poitrine enflée de sanglots. Elle a poussé un petit cri Marie : – Oh ! Vous me faites du mal, monsieur, m’a-t-elle dit. Nrt-23 : Monsieur ! Il y a bientôt un an qu’elle ne m’a vu, la pauvre enfant. Elle m’a oublié, visage, parole, accent ; et puis, qui me reconnaîtrait avec cette barbe, ces habits et cette pâleur ? Quoi ! Déjà effacé de cette
mémoire, la seule où j’eusse voulu vivre ! Quoi ! Déjà plus père ! Être condamné à ne plus entendre ce mot, ce mot de la langue des enfants, si doux qu’il ne peut rester dans celle des hommes : papa ! Et pourtant l’entendre de cette bouche, encore une fois, une seule fois, voilà tout ce que j’eusse demandé pour les quarante ans de vie qu’on me prend.
186
(42/LDJC/108)
Nrt-23 : Ia kelihatan segar, merah jambu, matanya bundar, cantik !
Ia mengenakan gaun kecil yang sangat cocok sekali buatnya. Ia kuraih dan kuangkat, lalu kuletakkan di pangkuanku dan kuciumi rambutnya. Mengapa tidak dengan ibunya?
Aku : - Ibunya sakit, neneknya juga. Bagus. Nrt-23 : Ia memandangiku dengan wajah heran. Ia kubelai, kupeluk, kuciumi, dan ia diam saja. Tapi kadang-kadang ia melemparkan khawatir ke arah pengasuhnya yang menangis di pojok. Akhirnya aku mampu mengeluarkan suara. Aku : – Marie ! kataku, Marie kecilku! Nrt-23 : Kudekap ia kuat-kuat ke dadaku yang penuh isakan. Ia berteriak pelan. Marie : – Aduh ! Sakit, Tuan!, Katanya kepadaku. Nrt-23 : Tuan, Hampir setahun anak malang ini tidak bertemu denganku. Ia telah melupankanku, melupakan wajahku, suaraku, logatku. Lagi pula siapa yang akan mengenaliku dengan wajah berewok ini, dengan pakaian
dan wajah pucat ini ? Bagaimana ! ! Bagaimana ! Sudah terhapus dari ingatan ini, satu-satunya tempat dimana aku ingin hidup terus! bagaimana! Tidak lagi menjadi ayah ! Dihukum tidak boleh mendengar kata itu dari omongan bocah, yang sedemikian lembutnya sehingga tidak tahan tinggal di dalam kata-kata orang dewasa : papa !
Padahal mendengar kata itu diucapkan sekali lagi melalui mulut bibir mungil ini, sekali lagi saja, itu yang kuminta sebagai pengganti empat puluh tahun hidupku yang dirampas. 44. Dialog 31 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,
Marie (putri Aku) : melanggar maksim kearifan (walaupun merugikan Aku, tetapi jujur).
(43) Konteks : Tokoh Aku bertanya kembali kepada Marie (putri Aku) agar Marie mengenali ayahnya (Aku). Aku : – Écoute, Marie, lui ai-je dit en joignant ses deux petites mains dans les miennes, est-ce que tu ne me connais point ? Nrt-23 : Elle m’a regardé avec ses beaux yeux, et a répondu : Marie : – Ah bien non ! Aku : – Regarde bien, ai-je répété. Comment, tu ne sais pas qui je suis ? Marie : – Si, a-t-elle dit. Un monsieur. Nrt-23 : Hélas ! n’aimer ardemment qu’un seul être au monde, l’aimer avec tout son amour, et l’avoir devant soi, qui vous voit et vous regarde, vous parle et vous répond et ne vous connaît pas ! Ne vouloir de consolation
que de lui, et qu’il soit le seul qui ne sache pas qu’il vous en faut parce que vous allez mourir !
(43/LDJC/109)
Aku : – Dengar, Marie, kataku kepadanya sambil memegang kedua tangannya yang mungil, apa kamu tidak mengenaliku lagi?
187
Nrt-23 : Ia memandangiku dengan matanya yang indah, dan menjawab : Marie : – Tidak! Aku : – Lihat baik-baik, ulangku. Bagiamana, kamu tidak tahu siapa aku? Marie : – Tahu, katanya, seorang Tuan. Nrt-23 : Betapa malangnya ! Mencintai satu makhluk saja di dunia ini, mencintainya dengan sepenuh jiwa, mengasihinya dengan sepenuh cinta, dan kini ia berada di depan Anda, memandangi Anda, tapi tidak mengenal
Anda ! Mengharap penghiburan hanya darinya, tapi justru ia satu-satunya yang tidak mengetahui bahwa dirinya merupakan yang paling Anda dambakan, karena sebentar lagi Anda akan mati !. 45. Dialog 32 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,
Marie (putri Aku) : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan (walaupun merugikan Aku, tetapi jujur). (44) Konteks : Tokoh Aku bertanya kepada apakah Marie memiliki seorang ayah. Hal itu dilakukan tokoh Aku agar Marie mengenali ayahnya (Aku). Aku : – Marie, ai-je repris, as-tu un papa ? Marie : – Oui, monsieur, a dit l’enfant. Aku : – Eh bien, où est-il ? Nrt-23 : Elle a levé ses grands yeux étonnés. Aku : – Ah ! Vous ne savez donc pas ? Il est mort. Nrt-23 : Puis elle a crié ; j’avais failli la laisser tomber. Aku : – Mort ! Disais-je. Marie, sais-tu ce que c’est qu’être mort ? Marie : – Oui, monsieur, a-t-elle répondu. Il est dans la terre et dans le ciel. Nrt-23 : Elle a continué d’elle-même : Marie : – Je prie le bon Dieu pour lui matin et soir sur les genoux de maman.
(44/LDJC/109) Aku : – Marie, kataku memulai lagi, kamu punya papa? Marie : – Ya, Tuan, kata anak itu. Aku : – Lalu ia dimana ?
188
Nrt-23 : Matanya yagng bundar memandangiku dengan heran. Aku : – Ah ! Jadi Anda tidak tahu ? Ia telah meninggal. Nrt-23 : Ia berteriak. Peganganku hampir saja lepas dan ia hampir jatuh. Aku : – Meninggal! Kataku. Marie, kamu tahu artinya meninggal? Marie : – Ya, Tuan, ia menjawabku. Ia berada di dalam tanah dan di langit. Nrt-23 : Ia lalu melanjutkannya sendiri : Marie : – Sambil dipangku ibu, aku berdoa untuknya pagi dan malam kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. 46. Dialog 33 : Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,
Marie (putri Aku) : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan (tuturan kurang sopan).
(45) Konteks : Tokoh Aku bertanya kepada Marie mengenai isi doa yang ditujukan kepada ayahnya (Marie). Nrt-23 : Je l’ai baisée au front. Aku : – Marie, dis-moi ta prière. Marie : – Je ne peux pas, monsieur. Une prière, cela ne se dit pas dans le jour. Venez, ce soir dans ma maison; je la dirai.
(45/LDJC/110) Nrt-23 : Kucium keningnya. Aku : – Marie, katakan kepadaku bagaimana doamu ?. Marie : – Aku tidak bisa melakukannya, Tuan. Doa itu tidak diucapkan di siang hari. Datanglah malam ini ke rumahku. Nanti kukatakan. 47. Dialog 34 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,
Marie : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan
(46) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku menegaskan bahwa dirinya adalah ayah dari Marie. Nrt-23 : C’était assez de cela. Je l’ai interrompue. Aku : – Marie, c’est moi qui suis ton papa. Marie : – Ah ! m’a-t-elle dit.
189
Nrt-23 : J’ai ajouté : Aku : – Veux-tu que je sois ton papa ? Nrt-23 : L’enfant s’est détournée. Marie : – Non, mon papa était bien plus beau Nrt-23 : Je l’ai couverte de baisers et de larmes. Elle a cherché à se dégager de mes bras en criant : Marie : – Vous me faites mal avec votre barbe.
(46/LDJC/110) Nrt-23 : Cukup sudah semua itu. Aku memotongnya. Aku : – Marie, aku papamu. Marie : – Ah ! Katanya kepadaku. Nrt-23 : Kulanjutkan lagi : Aku : – Apa kamu mau aku jadi papamu? Nrt-23 : Anak itu memalingkan wajahnya. Marie : – Tidak, papaku lebih ganteng. Nrt-23 : Kuhujani ia dengan ciuman dan air mata. Ia berusaha melepaskan diri dariku sambil berteriak : Marie : – Jenggot anda menyakitiku. 48. Dialog 35 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan (mengedepankan kepentingannya),
Marie : melanggar prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati.
(47) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku bertanya kepada Marie, apakah dia (Marie) bisa membaca. Nrt-23 : Alors, je l’ai replacée sur mes genoux, en la couvant des yeux, et puis je l’ai questionnée. Aku : – Marie, sais-tu lire ? Marie : – Oui, a-t-elle répondu. Je sais bien lire. Maman me fait lire mes lettres.
(47/LDJC/111)
190
Nrt-23 : Jadi, ia kembali kutaruh ke pangkuanku, dan kupandanginya lekat-lekat, kemudian kutanya ia. Aku : – Marie, kamu bisa membaca? Marie : – Ya, jawabnya. Aku pintar membaca. Ibu mengajariku huruf-huruf. 49. Dialog 36 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,
Marie : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati (Ah bien ! Je ne sais lire que des fables.)
(48) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku tidak mampu menahan perasaan sedih ketika mengetahui kertas yang dibaca oleh putrinya adalah kertas keputusan vonis hukuman mati bagi dirinya (Aku). Aku : – Voyons, lis un peu, lui ai-je dit en lui montrant un papier qu’elle tenait chiffonné dans une de ses petites mains. Nrt-23 : Elle a hoché sa jolie tête. Marie : – Ah bien ! Je ne sais lire que des fables. Aku : – Essaie toujours. Voyons, lis. Nrt-23 : Elle a déployé le papier, et s’est mise à épeler avec son doigt : Marie : – A, R, ar, R, Ê, T, rêt, ARRÊT… Nrt-23 : Je lui ai arraché cela des mains. C’est ma sentence de mort qu’elle me lisait. Sa bonne avait eu le papier pour un sou. Il me coûtait plus cher, à moi. Il n’y a pas de paroles pour ce que j’éprouvais. Ma violence l’avait effrayée ; elle pleurait presque. Tout à coup elle m’a dit : Marie : – Rendez-moi donc mon papier ; tiens ! C’est pour jouer. Nrt-23 : Je l’ai remise à sa bonne. Aku : – Emportez-la. Nrt-23 : Et je suis retombé sur ma chaise, sombre, désert, désespéré. À présent ils devraient venir ; je ne tiens plus à rien ; la dernière fibre de mon cœur est brisée. Je suis bon pour ce qu’ils vont faire.
(48/LDJC/111)
Aku : – Coba bacalah sedikit, kataku kepadanya sambil menunjuk kertas lusuh yang berada di tangannya yang mungil. Nrt-23 : Ia menganggukkan kepalanya yang indah. Marie : – Ah, aku hanya bisa membaca dongeng tentang binatang. Aku : – Cobalah. Ayo, baca. Nrt-23 : Ia membentangkan kertasnya, dan mulai mengeja sambil menunjuk dengan jarinya :
191
Marie : – K, E, ke, P, U, pu, T, U, tu, S, A, N, san, KEPUTUSAN… Nrt-23 : Kurebut kertas itu dari tangannya. Yang ia baca itu adalah keputusan eksekusi hukuman matiku. Pengasuhnya membelinya seharga satu kelip. Aku harus membayarnya lebih mahal. Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan bagaimana perasaanku saat itu. Kekasaranku membuatnya takut. Ia hampir menangis. Mendadak ia berkata kepadaku : Marie : – Tolong kembalikan kertasku ! Untuk mainan. Nrt-23 : Kukembalikan anak itu ke pengasuhnya Aku : – Bawa ia pergi. Nrt-23 : Dan aku kembali terduduk di kursiku, sedih, sunyi, putus asa. Saat mereka seharusnya tiba. Tidak ada lagi yang kupegangi. Serat terakhir jantungku sudah putus. Sudah pas aku sekarang untuk menjalani apa yang
mereka lakukan.
50. Dialog 37 : Mardi : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,
Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan.
(49) Konteks : Di ruangan gedung Conciergerie. Tokoh Aku didandani oleh algojo sebelum eksekusi mati dilaksanakan. Kemudian Mardi (algojo) menanyakan apakah perlakuan mereka (para algojo) kasar kepada tokoh Aku. Nrt-23 : À cette précaution horrible, au saisissement de l’acier qui touchait mon cou, mes coudes ont tressailli, et j’ai laissé échapper un rugissement étouffé. La main de l’exécuteur a tremblé. Mardi : – Monsieur, m’a-t-il dit, pardon ! Est-ce que je vous ai fait mal ? Nrt-23 : Ces bourreaux sont des hommes très doux. La foule hurlait plus haut au dehors. Le gros homme au visage bourgeonné m’a offert à respirer un mouchoir imbibé de vinaigre. Aku : – Merci, lui ai-je dit de la voix la plus forte que j’ai pu, c’est inutile ; je me trouve bien. Nrt-23 : Alors l’un d’eux s’est baissé et m’a lié les deux pieds, au moyen d’une corde fine et lâche, qui ne me laissait à faire que de petits pas. Cette corde est venue se rattacher à celle de mes mains.
Puis le gros homme a jeté la veste sur mon dos, et a noué les manches ensemble sous mon menton. Ce qu’il y avait à faire là était fait.
(49/LDJC/111) Nrt-23 : Selama persiapan yang mengerikan ini, pada saat yang mencekam, saat baja menyentuh tengkukku, lenganku tersentak-sentak kaget, dan geraham tertahan terdengar keluar dari mulutku. Tangan yang mengunting
itu gemetar. Mardi : – Maaf, Tuan, katanya kepadaku, sakit ? Nrt-23 : Para algojo ini sangat lembut. Teriakan orang-orang di luar semakin keras. Si gendut jerawatan itu menawariku menghirup sapu tangan yang telah dibasahi cuka. Aku : – Terima kasih, kataku kepadanya dengan suara kucoba sekeras mungkin, tidak perlu. Aku baik-baik saja.
192
Nrt-23 : Kemudian salah seorang pembantunya jongkok dan mengikat kedua kakiku dengan seutas tali kecil dan agak longgar, sehingga aku masih bisa berjalan walau dengan langkah-langkah kecil saja. Dan tali ini
dihubungkan dengan ikatan di tanganku. Kemudian orang gendut itu melemparkan jasku tadi untuk menutupi punggungku dan mengikatkan kedua lengan jas itu di depan leherku. Yang perlu dilakukan sudah dilakukan.
51. Dialog 38 : masyarakat : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian, Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian
(50) Konteks : Tokoh mulai dibawa keluar dari gedung Conciergerie menuju bunderan Grève untuk pelaksanaan eksekusi mati. Pada saat dibawa menuju bunderna Grève, para masyarakat yang melihat memberikan penghormatan
kepadanya (Aku). Nrt-23 : On a franchi la grille. Au moment où la charrette a tourné vers le Pont-au-Change, la place a éclaté en bruit, du pavé aux toits, et les ponts et les quais ont répondu à faire un tremblement de terre. C’est là que le
piquet qui attendait s’est rallié à l’escorte. Masyarakat : – Chapeaux bas ! Chapeaux bas ! Criaient mille bouches ensemble. Nrt-23 : Comme pour le roi. Alors j’ai ri horriblement aussi, moi, et j’ai dit au prêtre : Aku : – Eux les chapeaux, moi la tête.
(50/LDJC/117-118) Nrt-23 : Kami melewati pagar. Pada saat kereta membelok ke arah Pont-au-Change, gemuruh meledak di bunderan, dari jalan hingga atap rumah, dan jembatan serta tepian sungai menanggapinya laksana gempa bumi. Di
situ regu prajurit piket yang tadi menunggu kini bergabung mengawal kereta. Masyarakat : – Copot topi ! Copot topi ! Ribuan mulut berteriak serentak. Nrt-23 : Seperti untuk menghormati raja. Dan aku, aku pun ikut tertawa juga, dengan rasa ngeri, dan aku berkata kepada bapak pendeta : Aku : – Mereka mencopot topi dan aku mencopot kepala.