kesantunan dalam roman le dernier jour d'un

209
KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D’UN CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO skripsi disajikan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra Program Studi Sastra Prancis Oleh : TRI HARTANTO NIM. 2350404051 JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2010

Upload: nguyentruc

Post on 21-Jan-2017

258 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

KESANTUNAN DALAM ROMAN

LE DERNIER JOUR D’UN CONDAMNÉ

KARYA VICTOR HUGO

skripsi

disajikan sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Sastra

Program Studi Sastra Prancis

Oleh :

TRI HARTANTO

NIM. 2350404051

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA ASING

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2010

Page 2: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

ii

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Sidang Panitia Ujian Skripsi FBS,

UNNES pada hari, tanggal : Kamis, 19 Agustus 2010

Panitia :

Ketua, Sekretaris,

Prof. Dr. Rustono, M. Hum Dra. Yuyun Rosliyah, M. Pd

NIP.195801271983031003 NIP. 196608091993032001

Penguji I,

Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA

NIP. 196508271989012001

Penguji II/ Pembimbing II Penguji III/ Pembimbing I

Dra. Anastasia Pudji T., M. Hum Dr.B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum.

NIP. 196407121989012001 NIP.19611026 1991031 001

Page 3: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

iii

PERNYATAAN

Dengan ini saya,

Nama : Tri Hartanto

NIM : 2350404051

Prodi : Sastra Prancis

Jurusan : Bahasa dan Sastra Asing

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang berjudul KESANTUNAN

DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR d’UN CONDAMNÉ KARYA

VICTOR HUGO yang saya tulis dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana sastra ini benar-benar merupakan hasil karya sendiri.

Skripsi yang saya hasilkan melalui penelitian, bimbingan, dan pemaparan atau

ujian. Semua kutipan baik langsung maupun tidak langsung dan dari sumber

lainnya telah disertai dengan identitas dari sumbernya dengan cara yang lazim

dalam penulisan karya ilmiah.

Dengan demikian, walaupun tim penguji dan pembimbing skripsi ini

membubuhkan tanda tangan sebagai tanda keabsahannya, seluruh isi karya ilmiah

ini menjadi tanggung jawab saya pribadi. Jika kemudian hari ditemukan

ketidakbenaran dalam karya illmiah ini saya bersedia menerima akibatnya.

Demikian, harap pernyataan ini dapat digunakan seperlunya.

Semarang, 2010

Yang membuat pernyataan

Tri Hartanto

NIM. 2350404051

Page 4: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

Hidup adalah pilihan.

Keberanian bukanlah ketidakhadiran rasa takut, tetapi melakukannya.

(Montaigne).

Ilmu itu lebih baik daripada harta. Ilmu menjaga engkau dan engkau

menjaga harta. Ilmu itu penghukum (hakim) dan harta terhukum. Harta

itu kurang apabila dibelanjakan tapi ilmu bertambah bila dibelanjakan.-

(Saidina Ali bin Abi Talib).

Skripsi ini aku persembahkan untuk :

Ayah dan Ibu tercinta untuk

perjuangan, semangat dan doa

mereka untukku.

Generasi-generasi yang haus

ilmu.

Keponakan kecilku Andika

Fatikah Rahman.

Page 5: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

v

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah S.W.T yang selalu melimpahkan rahmat dan

pertolongan-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

yang berjudul KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR d’UN

CONDAMNÉ KARYA VICTOR HUGO sebagai persyaratan untuk

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak

akan selesai tanpa ada dukungan dan bimbingan dari semua pihak. Untuk itu,

penulis menyampaikan terimakasih dan hormat kepada :

1. Prof. Dr. Rustono, M.Hum. Dekan Fakultas Bahasa dan Seni,

Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan kesempatan untuk

mengadakan penelitian ini.

2. Dra. Diah Vitri Widayanti, DEA. Ketua Jurusan Bahasa dan Sastra

Asing, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang,

sekaligus sebagai penguji I yang telah memberikan masukan dan saran

bagi penulis demi kesempurnaan skripsi ini.

3. Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum selaku dosen pembimbing I yang

telah memberikan kesempatan untuk mengadakan penelitian ini dan

telah memberikan pengarahan serta sumbangan pemikiran dengan penuh

kesabaran demi kesempurnaan skripsi ini.

4. Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum, selaku dosen pembimbing II

yang dengan penuh kesabaran telah memberikan pengarahan serta

sumbangan pemikiran demi kesempurnaan skripsi ini.

5. Dra. Cony Handayani, M.Hum, yang telah memberikanku motivasi

untuk menulis skripsi ini.

6. Dra. Yuyun Rosliyah, M.Pd, selaku sekretaris dalam panitia ujian skripsi

yang telah membantu kelancaran jalannya proses pemertahanan skripsi

ini.

7. Dra. Dwi Astuti, M.Pd, yang telah membantu proses penyusunan skripsi

ini dari awal hingga akhir.

Page 6: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

vi

8. Seluruh dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Asing yang telah membagikan

ilmunya serta menjadi orang tua kedua bagiku.

9. Kedua orang tuaku tercinta (Bapak Sutarwo dan Ibu Sadiyah) yang

dengan tulus ikhlas dan sabar membiayai, memotivasi dan mengurai

segala do`a demi keberhasilan asa, harapan dan cita-citaku.

10. Teman-teman senasib dan seperjuanganku Anggit, Agung, Danil, Arif,

Hadi, Rio, Hilmi, Dedi, Raka, Nurul, Izmun, Tyas, Ucho, Mb Erna,

Anasia, Lina, Diah, Cristina, Fitri, Fera, Ulfa,

11. Aziz Imam Mazalik, rekan diskusi dalam idealisme mahasiswa sastra

Prancis, menyelami sastra, filsafat dan kritisisme religius.

12. Rekan kerja dan bercanda dalam usaha, ilmu, karya : ipung, hanityo,

muslikah, dwee, neina, pu3, agus yahya, dea, ani w, rio r, ati w, yuniar,

restu, toil, lukman, andika rahman, hakim, wahyu s.

13. Guru dan partnert kerja dalam mengarungi kehidupan : ust. Usep. Ust.

Setiawan, ust. Zulfa, ust. Habib, Ust. Anif, ust. Ari (salam Antusias).

14. Rekan-rekan perjuangan BEM FBS 2005, HIMPRO BSA 2006, BEM

KM 2007

15. Rekan-rekan Ikatan Studi Mahasiswa Perancis, Herba Penawar Al-

Wahida, Islamic Figure Community, Forum Berbisnis Berssama Allah,

Majelis Syafaat Qur’an, KAMMI.

16. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu persatu.

Saran dan kritik yang membangun dari pelbagai pihak sangat penulis

harapkan untuk melengkapi skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi

pembaca.

Semarang, 2010

Penulis

Page 7: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

vii

SARI

Hartanto, Tri. 2010. Keantunan Dalam Le Dernier Jour d’un Condamné Karya Víctor Hugo. Skripsi. Program Studi Sastra Prancis. Jurusan Bahasa dan Sastra Asing. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri Semarang. Pembimbing I Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum. Pembimbing II Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum Kata kunci : Kesantunan, Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan,

Implikasi, Maksim

Bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman manusia secara berbeda di setiap masyarakat (Martinet 1987: 32). Di dalam mengatur mekanisme percakapan antar pesertanya, kaidah itu dalam pragmatik disebut prinsip percakapan. Salah satu prinsip tersebut adalah prinsip kesantunan. Prinsip kesantunan tersebut membuat antar peserta tutur dapat mencapai kesantunan berbahasa. Bentuk kesantunan tersebut, dapat kita temui di karya fiksi seperti roman, teks drama, dll. Salah satu karya fiksi yang memuat kesantunan adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné (LDJC) karya Victor Hugo. Pada roman tersebut, banyak terdapat tuturan yang melanggar dan yang mematuhi prinsip kesantunan. Kajian-kajian tentang kesantunan, terutama pada karya sastra masih terbatas. Hal tersebut yang mendasari peneliti untuk meneliti kesantunan pada roman LDJC. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya pada roman LDJC. Teori yang digunakan untuk menganalisis data yakni prinsip kesantunan yang berupa maksim kearifan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim kesimpatian. Metode pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatis dan deskriptif kualitatif. Metode analisis data menggunakan metode padan sub-jenis pragmatis dengan alat penentu berupa mitra wicara. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik pilah unsur penentu, serta teknik lanjutan, yakni teknik hubung banding menyamakan dan teknik hubung banding memperbedakan. Hasil identifikasi terhadap ke 50 data, ditemukan 13 data mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan (19 tuturan), kedermawanan (1 tuturan), karendahan hati (1 tuturan), kesepakatan (1 tuturan), dan kesimpatian (2 tuturan). Di sisi lain, Ditemukan 16 data melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan (3 tuturan), kedermawanan (13 tuturan), pujian (3 tuturan), kerendahan hati (1 tuturan), dan kesimpatian (10 tuturan). Selain dari itu, ditemukan 22 data mematuhi dan melanggar prinsip kesantunan yang terdiri dari 16 tuturan mematuhi dan 4 tuturan melanggar maksim kearifan, 2 tuturan mematuhi dan 12 tuturan melanggar maksim kedermawanan, 3 tuturan melanggar maksim pujian, 3 tuturan mematuhi maksim kesepakatan, serta 5 tuturan mematuhi dan 5 tuturan melanggar maksim kesimpatian. Implikasi pragmatis akibat pelanggaran prinsip kesantunan terdiri atas 47 implikatur nonkonvensional dan 19 implikatur konvensional.

Page 8: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

viii

RESUME

Hartanto, Tri. 2010. La Politesse Dans Un Roman Le Dernier Jour d’un Condamné Par Víctor Hugo. Mémoire. Département des Langues et de Littérature Étrangère, Faculté des Langues et des Arts, Université d’État Semarang. Directeur I Dr. B. Wahyudi Joko Santoso, M.Hum. Directrice II Dra. Anastasia Pudji Triherwanti, M.Hum

Mots clés : politesse, l’obéissance et la transgression du principe de la politesse, implicature, maxime.

1. Introduction

La langue est un moyen de la communication. Pour se communiquer bien

avec les autres, il faut que l’homme sache le principe de la conversation. Ce

principe s’appelle la politesse de la conversation. On peut trouver la politesse de

la conversation dans un monologue, dialogue, ou bien polilogue qui peuvent être

trouvés dans un roman, un drame etc.

Le Dernier Jour d’un Condamné est un roman qui a été écrit par un grand

écrivain français, Victor Hugo. Dans ce roman, il a utilisé le personnage «je» qui

raconte les angoisses d'un prisonnier qui a été condamné à mort pour ses actions

dans le passé. Derrière les barreaux, il a parlé de lui-même du passé, de la famille,

et les gens aimés autour de lui.

La langue utilisée dans ce roman est parfois le registre courant et est

moins poli. En plus, il n’y a pas seulement beaucoup d’obéissance mais aussi la

transgression de la politesse dans ce roman. C’est pour quoi je décide d’analyser

ce roman. Je parle trois choses, ce sont l’obéissance et la transgression, et les

implications pragmatiques sur le principe de la politesse.

L’objectif majeur de cette recherche est de décrire le principe de la

politesse qui obéit et transgressé dans le discours monologue, le discours dialogue

et le discours polilogue dans le roman le Dernier Jour d’un Condamné.

2. Principe de la politesse

Grice (en Rustono 1999:66) affirme que le principe de la politesse est lié à

la regle sur les choses qui sont d'ordre social, esthétique et morale dans l'acte de

parole.

Page 9: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

ix

3. Maxime de la politesse

Selon Leech (1983:206-219), il y a six maximes du principe de la politesse

(voir aussi Wijana, 1996:55-62; Rustono, 1999:70). Ce sont la maxime de la

sagesse, la maxime de la générosité, la maxime de l’approbation, la maxime de la

modestie, la maxime de l’accord, et la maxime de la sympathie. Ensuite, les

principes de politesse seront decrits un par un comme suit.

1. Maxime de la sagesse

Cette maxime est exprimée par les énoncés dispositifs (les

énoncés qui sont utilisés pour donner des ordres ou des messages) et

comissif (discours qui sert à exprimer une promesse ou un offre).

Cette maxime oblige á chaque participant (a) de faire les pertes des

autres le petit possible, et (b) de donner un profit aux autres

nombreusement.

2. Maxime de la générosité

Cette maxime est aussi exprimée par les énoncés dispositifs et

comissif. Elle exige chaque participant (a) de faire un profit le petit

possible pour soi-même, et (b) de faire une perte le plus grand

possible pour soi-même.

3. Maxime de l’approbation.

Cette maxime peut être exprimée par une manifestation expressive

(des énoncés qui sont utilisés pour exprimer l’attitude psychologique

de locuteur qui montre l’état d’object parole) et par une assertifs

(discours couramment utilisée pour exprimer la vérité de la

proposition exprimée). Cette maxime exige chaque participant (a) de

critiquer des autres le petit possible, et (b) d’approuver des autres le

plus grand possible.

4. Maxime de la modestie

Cette maxime est également exprimée par les énoncés expressifs

et assertifs. Cette maxime exige chaque participant (a) de se féliciter le

petit possible, et (b) de critiquer soi-même le plus grand possible.

Page 10: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

x

5. Maxime de l’accord

Cette maxime est également exprimée par les énoncés expressifs

et assertifs. Cette maxime exige chaque participant (a) de veiller à ce

que le désaccord entre le locuteur et l’interlocuteur le plus petit

possible et (b) de veiller à ce que l'accord entre le locuteur et

l’interlocuteur le plus grand possible.

6. Maxime de la sympathie

Cette maxime est également exprimée par les énoncés expressifs

et assertifs, qui exige chaque participant (a) de réduire le sentiment

d'antipathie entre eux (les participants de l’énoncé) le plus petit

possible, et (b) d’augmenter le sentiment de sympathie entre eux le

plus grand possible.

4. Discours

Le discours est unité de la langue qui s’attaché dans une unité

systématique. C’est pourquoi, le discours peut se former d’une phrase, d’un

syntagme, et d’un mot. Le discours peut être réalisé dans une œuvre écrite intégral

(un roman, un livre, encyclopédie, etc.) qui a plein d’ordre.

5. Implicature

Selon Wijana (1996 :38), implicature est une implication des énoncés qui

ne font pas partie de ces énoncés.

6. Méthodologie de la recherche

L’approche choisie est l’approche pragmatique pour analyser l’utilisation

de la langue et l’approche descriptive qualitative car on décrit le principe de la

politesse. L’objet de cette recherche est la politesse dans le roman Le Dernier

Jour d’un Condamné. La méthode de collecter des données est la méthode simak

(porter l’attention sur l’utilisation de la langue). La technique de collecter des

données est la technique sadap (mettre la citation) qui se continuer par la

technique SBLC (simak bebas libat cakap). Les données sont notées, en suite

elles ont été analysées en utilisant la méthode padan (mettre en corrélation) et le

technique triage de constituant déterminant (pilah unsur penentu) continuer par la

Page 11: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

xi

technique HBS (hubung banding menyamakan) et HBB (hubung banding

memperbedakan).

7. Analyse

J’ai analysé 50 données qui sont tous les paroles obéissant et transgressant.

En outre, j’ai aussi analysé les transgressions et leurs implications pragmatiques

sur le principe de la politesse mais dans le résumé de ce mémoire, je montre un

exemple pour chaque maxime car l’analyse complet est bien présentée dans le

mémoire de la version Indonésienne.

1. Les Maximes qui ont été obéies

(Dans sa cellule, le personnage « je » ai été réveillé par le gardien de

prison (Guichetier), puis le personnage « je » commence à faire une

conversation avec Guichetier

Dialogue :

Je : « Il fait beau, dis-je au guichetier.

Nrt-1 : Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si

cela valait la peine de dépenser une parole ; puis avec

quelque effort il murmura brusquement.

Guichetier : – C’est possible

Analyse :

On peut savoir que le personnage « je » a une pensée positive par

son terme (il fait beau) qui montre qu’il veut que ses jours soient

marché comme des beaux matins. Le personnage « je » dit bonjour à

Guichetier, c'est-à-dire qu’il respect à la maxime de sagesse parce

qu’il fait les pertes d’autres (Guichetier) le petit possible, et il permet

au profit nombreusement d’autres (Guichetier).

La figure « guichetier » respect à la maxime de l’accord parce

qu’il répond à la question du personnage « je », c'est-à-dire qu’il

essaie d’être d’accord avec la figure « je ».

2. Les maximes qui ont été transgressé

(Dans sa cellule, Guichetier dit au personnage « je » que tout le monde

l’attend pour continuer à la siège qui le juge á la mort).

Page 12: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

xii

Dialogue :

Nrt-5 : Je demeurais immobile, l’esprit à demi endormi, la bouche

souriante, l’œil fixé sur cette douce réverbération dorée qui

diaprait le plafond.

Je : – Voilà une belle journée, répétai-je.

Guichetier : – Oui, me répondit l’homme, on vous attend.

Analyse :

On peut savoir que dans ce dialogue Guichetier est transgressé la

maxime de la sagesse parce qu’il ne fait pas les pertes aux autres le

petit possible et il ne donne pas le profit aux autres le grand possible.

Son acte de dire que tout le monde attendent le personnage « je » pour

assister à la siège qui le juge à la mort. La parole de Guichetier donne

le profit pour lui-même car c’est sa tâche mais donne la perte au

personnage « je » qui est condamné à mort. Par contre le personnage

« je » obéit la maxime de la sagesse parce qu’il fait les pertes des

autres le petit possible, et donne un profit aux autres beaucoup

possible. Son acte de dire « Voilà une belle journée » indique qu’il

fait les pertes des autres petit possible par cette salutation.

8. Conclusion

A partir du résultat je pourrais conclure que l’obéissance et la

transgression se produisent dans toutes les maximes du principe de la politesse.

8.1. Quant à l’obéissance, il y a 13 données qui obéissent les principes de la

politesse. Ce sont 7 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse, 1

discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui obéit la maxime

de la générosité, 1 discours monologue et 2 discours dialogue qui obéit la

maxime de la sagesse et qui obéit la maxime de l’accord, 1 discours

dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui obéit la maxime de la

sympathie, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sympathie.

8.2. Quant à la transgression, il y a 16 transgressent les principes de la

politesse. Ce sont 1 discours monologue et 2 discours dialogue qui

transgresse la maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de la

Page 13: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

xiii

générosité, 5 discours dialogue qui la maxime de la générosité, 3 discours

dialogue qui transgresse la maxime de la générosité et qui transgresse la

maxime de la l’approbation, 1 discours monologue qui transgresse la

maxime de la générosité et qui transgresse la maxime de la sympathie, 2

discours monologue et 2 discours dialogue qui transgresse la maxime de la

sympathie. D’autre part, quant à l’implication pragmatique, il y a 47

implicature qui n’est pas conventionnel et 19 implicature qui est

conventionnel. Les espèces d’implicature qui s’est trouvé à cause la

transgression du principe de la politesse est l’implicature qui a le sens une

moquerie, un espoir, un désir, une poussée contraire, une fierté, un

affolement, une critique, une déception, un rapprochement, une inquiétude,

un souci, une plainte, une incertitude, une peur, un indifférent,

8.3. Conclusion finale, il y a 22 données qui sont conformes à la fois obéissent

et transgressent le principe de la politesse. Ce sont 3 discours dialogue et 1

discours polilogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui transgresse la

maxime de la sagesse, 7 discours dialogue qui obéit la maxime de la

sagesse et qui transgresse la maxime de la générosité, 1 discours dialogue

qui obéit la maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de

l’approbation, 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la sagesse et qui

transgresse la maxime de la modestie, 1 discours dialogue qui obéit la

maxime de la sagesse et qui transgresse la maxime de la sympathie, 1

discours dialogue qui obéit la maxime de la générosité et qui transgresse la

maxime de l’approbation, 1 discours monologue qui obéit la maxime de la

générosité et qui transgresse la maxime de la sympathie, 1 discours

dialogue qui obéit la maxime de la modestie et qui transgresse la maxime

de la générosité, 1 discours monologue qui obéit la maxime de l’accord et

qui transgresse la maxime de la sympathie, 1 discours monologue qui obéit

la maxime de la sympathie et qui transgresse la maxime de l’approbation,

2 discours monologue et 1 discours dialogue qui obéit la maxime de la

sympathie et qui transgresse la maxime de la sympathie.

Page 14: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

xiv

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ..................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii

PERNYATAAN ............................................................................................ iii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................ iv

PRAKATA .................................................................................................... v

SARI ....................................................................................................... vii

RESUME ....................................................................................................... viii

DAFTAR ISI ................................................................................................. xiv

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xvii

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ............................................................................... 1

1.2 Rumusan masalah .................................. 7

1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................... 7

1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................... 7

1.5 Sistematika Penelitian .................................................................... 8

LANDASAN TEORI

2.1 Prinsip Kesantunan…………………………………………........... 10

2.2 Maksim-maksim Prinsip Kesantunan………………………........... 13

2.2.1 Maksim Kearifan (La Maxime de La Sagesse)………………….. 14

2.2.2 Maksim Kedermawanan (La Maxime de La Générosité)………. 15

2.2.3 Maksim Pujian (La Maxime de L’approbation)……….………… 16

2.2.4 Maksim Kerendahan Hati (La Maxime de La Modestie)….…….. 17

2.2.5 Maksim Kesepakatan (La Maxime de L’accord)………………… 18

2.2.6 Maksim Kesimpatian (La Maxime de La Sympathie)……………. 19

2.3 Wacana…...................……………………………………….......... 22

2.3.1 Unsur Wacana…....………………………………………............. 22

Page 15: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

xv

2.3.2 Jenis Wacana…....……………………………………….............. 24

2.4 Implikatur…....…………………………….......…………............... 25

2.4.1 Jenis Implikatur…....…………………….......…………............... 26

2.4.1.1 Implikatur konvensional…......…………....…………................ 26

2.4.1.2 Implikatur nonkonvensional…......…………....……….............. 27

METODE PENELITIAN

3.1 Pendekatan Penelitian…………………………………………....... 30

3.2 Objek Penelitian……………………………………………........... 32

3.3 Data dan Sumber Data………………………………..……........... 32

3.4 Metode dan Teknik Penyediaan Data…………………...……........ 32

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data……......……………...……....... 34

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data……......…....... 37

ANALISIS DATA

4.1. Pematuhan Prinsip Kesantunan. ………………………….…........ 38

4.1.1. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan.…....….. .... 38

4.1.2. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan

dan Kedermawanan……………………………………………… 43

4.1.3. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan

dan Kesepakatan.…………………………………………........... 47

4.1.4. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan

dan Kesimpatian……………………………………………......... 51

4.1.5. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian…............. 54

4.2. Pelanggaran Prinsip Kesantunan. ……………………………....... 56

4.2.1. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan

dan Kedermawanan. ……………………………......................... 56

4.2.2. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan........... 59

4.2.3. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan

dan Pujian…………………………….......................................... 67

4.2.4. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan

dan Kesimpatian. .......……………………………..................... 70

4.2.5. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian.............. 73

Page 16: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

xvi

4.3. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan.......................... 81

4.3.1. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan,

Maksim Kearifan. ..……………………………........................ 82

4.3.2. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan......... 91

4.3.3. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian.…................................ 98

4.3.4. Pematuham Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kerendahan Hati.................. 101

4.3.5. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kesimpatian......................... 103

4.3.6. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian……............................ 107

4.3.7. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian............ 110

4.3.8. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kerendahan Hati dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan…… 114

4.3.9. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesepakatan dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian……… 117

4.3.10. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian dan

Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Pujian. …............... 120

4.3.11. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan,

Maksim Kesimpatian. …….. .................................................... 125

PENUTUP

5.1. SIMPULAN………….………………………………………..... 132

5.2. SARAN……..........................…………………………………... 134

Page 17: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Rekapitulasi Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan .. 136

Lampiran 2. Rekapitulasi Implikasi Pragmatis .............................................. 140

Lampiran 3. Total Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan ............. 142

Lampiran 4. Total Pematuhan dan Pelanggaran Setiap Prinsip Kesantunan . 143

Lampiran 5. Daftar Data .............................................................................. 145

Page 18: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Bahasa adalah sebuah alat komunikasi untuk menganalisis pengalaman

manusia secara berbeda di setiap masyarakat (Martinet 1987:32). Sebagai alat

komunikasi, bahasa mempunyai fungsi sosial dan fungsi kultural. Bahasa sebagai

fungsi sosial yaitu sebagai alat perhubungan antar anggota masyarakat. Sebagai

aspek kultural, bahasa sebagai sarana pelestarian budaya dari satu generasi ke

generasi berikutnya. Hal ini meliputi segala aspek kehidupan manusia yang tidak

lepas dari peranan bahasa sebagai alat untuk memperlancar proses sosial manusia.

Bahasa mempunyai peran dan fungsi yang penting dalam kehidupan

manusia. Sebagai mahluk sosial, manusia secara naluri terdorong untuk bergaul

dengan orang lain, baik untuk menyatakan keberadaan dirinya, mengekspresikan

kepentingan maupun mengutarakan penilaiannya terhadap orang lain yang

semuanya itu menggunakan bahasa. Kepentingan bahasa hampir mencangkupi

segala bidang kehidupan karena segala sesuatu yang dihayati, dialami, dirasakan,

dan dipikirkan oleh seseorang dapat diketahui oleh orang lain jika telah

diungkapkan dengan bahasa.

Bahasa sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, yang dipergunakan

untuk mengekspresikan segala sesuatu yang tersirat di dalam pikiran dan perasaan

penuturnya. Ungkapan pikiran dan perasaan manusia dipengaruhi oleh dua hal,

Page 19: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

2

yaitu oleh keadaan pikiran dan perasaan itu sendiri. Ekspresi bahasa lisan

dapat dilihat dari mimik, lagu/intonasi, tekanan, dan lain-lain. Ekspresi bahasa

tulis dapat dilihat dengan diksi, pemakaian tanda baca, dan gaya bahasa. Manusia

dapat mengekspresikan dirinya dari segala sesuatu yang dirasakan untuk

diungkapkan kepada orang lain melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi

digunakan untuk merumuskan maksud kita, melahirkan perasaan kita, dan

memungkinkan kita untuk bekerjasama dengan orang lain (Chaer 1999:42).

Dengan kata lain, bahasa dapat dimanfaatkan untuk mengekspresikan segala

sesuatu yang mengendap dalam batin seseorang, baik itu perasaan senang,

kecewa, marah, sedih, dan malu.

Di dalam mengatur mekanisme percakapan antar peserta tutur, kaidah itu

dalam pragmatik disebut prinsip percakapan. Salah satu prinsip tersebut adalah

prinsip kesantunan. Dengan prinsip kesantunan ini, antar peserta tutur dapat

mencapai kesantunan berbahasa. Kesantunan berbahasa merupakan bagian dari

kaidah-kaidah sosial dan kompetensi strategi berbahasa yang berperan penting

dalam proses komunikasi. Peserta tutur akan merasa saling dihargai dalam proses

komunikasi apabila mereka saling menggunakan kesantunan berbahasa.

Sebaliknya peserta tutur akan merasa tidak dihargai apabila para peserta tutur

tidak menggunakan kesantunan dalam berbahasa.

Menurut Grice (dalam Rustono 1999:66), prinsip kesantunan adalah

prinsip yang berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat sosial, estetis,

dan moral di dalam bertindak tutur. Prinsip kesantunan diperlukan untuk

melengkapi prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat

Page 20: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

3

penerapan prinsip kerjasama. Prinsip kerjasama juga bertujuan agar para peserta

tutur dapat melakukan tuturan dengan santun dan dapat menjaga hubungan sosial

dengan mitra tuturnya.

Jean Dubois dalam le dictionnaire linguistique mengatakan bahwa

le discours est une unité égale ou supérieure à la phrase, il est constitué par une suite formant un message ayant un commencement et une clôture (syn : énoncé). ‘wacana adalah satu kesatuan yang sama atau lebih tinggi dari frase, wacana tersusun oleh sebuah bentuk pesan yang memiliki permualaan dan pengakhiran’. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku,

seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa

amanat yang lengkap. Sementara itu, Baryadi (2002:11) membagi wacana

menjadi (i) wacana monolog, (ii) wacana dialog, dan (iii) wacana polilog atau

percakapan. Wacana-wacana tersebut ada yang berupa wacana lisan dan wacana

tertulis. Pada wacana tertulis, peserta tutur mengungkapkan tuturannya bisa dalam

bentuk wacana eksposisi, wacana deskripsi, wacana jurnalistik, wacana

prosedural, wacana narasi tertulis. Pada saat memproduksi wacana, peserta tutur

bisa berperan sebagai penutur (selanjutnya disingkat Pn) sekaligus sebagai petutur

(Selanjutnya disingkat Pt) karena dia sendiri yang memproduksi wacana tersebut,

hal ini yang disebut wacana monolog. Sedangkan di dalam wacana dialog dan

wacana polilog, peserta tutur berbagi peran sebagai Pn dan Pt.

Bentuk wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dapat kita

temui di karya fiksi seperti roman, teks drama, teks naratif dan lain sebagainya.

Page 21: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

4

Salah satu karya fiksi yang memuat wacana monolog, wacana dialog, dan wacana

polilog adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

Victor Hugo, sebagai pengarang telah menggunakan tokoh-tokohnya

dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné untuk mengungkapkan ide-ide atau

pendapat atas realita sosial. Dengan bentuk tuturan, pengarang menyampaikan

idenya. Contoh tuturan tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Konteks : Di dalam selnya, tokoh Aku telah dibangunkan oleh sipir penjara (Guichetier), kemudian tokoh Aku memulai perbincangan (basa-basi) kepada Guichetier.

Aku : – Il fait beau, dis-je au guichetier. La Narration 1: Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si

cela valait la peine de dépenser une parole ; puis avec quelque effort il murmura brusquement :

Guichetier : – C’est possible.

(2/LDJC/38-39) Aku : – cuaca cerah, kataku kepada penjara itu. Narasi 1 : Ia diam sesaat, seolah memikirkan apakah perkataanku itu

perlu ditanggapi atau tidak. Kemudian dengan susah payah tiba-tiba ia bergumam:

Guichetier : - mungkin.

Tokoh Aku memiliki pikiran positif, hal itu dapat dilihat melalui

tuturannya (Il fait beau, ’cuaca cerah’) yang menandakan bahwa Aku berharap

hari-hari yang akan dilaluinya berjalan dengan baik sebagaimana harapannya

(Aku) pada hari-hari yang cerah. Tuturan Aku tersebut sekaligus sebagai kalimat

sapaan kepada Guichetier. Maka tindakan Aku telah meminimalkan kerugian dan

memaksimalkan keuntungan kepada Guichetier. Tindakan tersebut mematuhi

Page 22: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

5

prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan karena telah membuat kerugian orang

lain (Guichetier) sekecilnya-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain

(Guichetier) sebesar mungkin.

Sementara itu, tindakan Guichetier yang menanggapi pernyataan sekaligus

pertanyaan dari Aku merupakan bentuk kesepakatan Guichetier kepada Aku.

Tuturan Guichetier (– C’est possible, ‘-mungkin’) menyatakan bentuk

kesepakatan kepada Aku. Hal ini sesuai dengan bunyi maksim kesepakatan

submaksim pertama yang menekankan untuk mengusahakan agar ketaksepakatan

antara diri sendiri dan pihak lain terjadi sedikit mungkin. Secara tersurat bentuk

kesepakatan terjadi dikarenakan adanya tuturan Guichetier yang mengungkapkan

ketaksepakatan secara tidak frontal. Hal ini dapat dilihat pada tuturan Guichetier

(– C’est possible, ‘- mungkin’) yang tidak secara tegas menyepakati apakah cuaca

cerah atau tidak cerah (seperti yang diinginkan Aku melalui tuturannya), namun

sudah bisa mengarah pada kesepakatan kepada Aku karena ada kemungkinan

cuaca cerah, sehingga dapat dikatakan Guichetier mengurangi

ketidaksepakatannya dengan kesepakatan sebagian. Selain dari itu, Guichetier

tetap memberikan tanggapannya kepada Aku walaupun dengan susah payah

(seperti pada narasi 1, selanjutnya disingkat Nrt-1).

Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Guichetier mematuhi

prinsip kesantunan, maksim kesepakatan karena mengusahakan agar

ketaksepakatan antara diri Sendiri (Guichetier) dan pihak lain (Aku) terjadi sedikit

mungkin dan mengusahakan agar kesepakatan antara diri Sendiri (Guichetier) dan

pihak lain (Aku) terjadi sebanyak mungkin.

Page 23: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

6

Berdasarkan contoh tuturan tersebut, wacana pada roman termasuk tuturan

ringan yang menyajikan berbagai macam ide atau pendapat pengarang melalui

sudut pandang persona pertama Aku. Sudut pandang persona pertama Aku dipilih

pengarang dengan tujuan sebagai tokoh cerita dan sebagai si pencerita

(pengarang), (Nurgiyantoro 2002 :246).

Objek penelitian ini adalah kesantunan dalam wacana monolog wacana

dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya

Victor Hugo. Kesantunan tersebut dijadikan sebagai objek penelitian karena di

dalam roman ini bahasa yang digunakan pengarang kadang kurang santun dan

tidak menggunakan bahasa baku, tetapi menggunakan bahasa tidak baku yaitu

menggunakan bahasa sehari-hari.

Alasan dipilihnya wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog

dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo sebagai objek

penelitian dalam skripsi ini karena dalam roman tersebut banyak terdapat tuturan

yang melanggar dan yang mematuhi maksim-maksim prinsip kesantunan.

Berdasarkan paparan tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti

kesantunan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le

Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Penelitian ini dibatasi pada

maksim-maksim yang dipatuhi dan dilanggar serta implikasi pragmatisnya pada

prinsip kesantunan.

Page 24: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

7

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang akan

peneliti rumuskan adalah sebagai berikut:

1. Prinsip kesantunan apakah yang dipatuhi di dalam roman Le Dernier Jour

d’un Condamné karya Victor Hugo?

2. Prinsip kesantunan apakah yang dilanggar dan apa implikasi pragmatisnya

di dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang ada, penelitian ini bertujuan:

1. Mendeskripsikan pematuhan prinsip kesantunan pada roman Le Dernier

Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

2. Mendeskripsikan pelanggaran prinsip kesantunan dan implikasi

pragmatisnya pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor

Hugo.

1.4. Manfaat Penelitian.

Hasil penelitian Kesantunan Dalam Roman Le Dernier Jour d’un

Condamné karya Victor Hugo ini diharapkan bermanfaat baik secara praktis

maupun teoretis.

1. Secara teoretis, penelitian ini di harapkan dapat:

a. bermanfaat bagi pengembangan ilmu pragmatik, khususnya jenis

kesantunan yang mematuhi dan melanggar pada roman Le Dernier

Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

Page 25: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

8

b. menambah khasanah pematuhan dan pelanggaran pada prinsip

kesantunan,

2. Secara praktis penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi:

a. mahasiswa : yakni memberikan informasi untuk penelitian-penelitian

selanjutnya khususnya di bidang pragmatik.

b. dosen : masukan atas kajian yang lebih mendalam terhadap penelitian-

penelitian di bidang pragmatik dengan pengenalan objek kesantunan

bahasa perancis.

c. prodi /jurusan BSA : memperkaya jumlah pustaka yang berupa laporan

penelitian (skripsi) di bidang pragmatik.

d. penulis: menambah pengalaman dalam penyusunan laporan penelitian

(skripsi) di bidang pragmatik.

1.5. Sistematika Penulisan

Secara garis besar penyusunan skripsi ini terdiri atas tiga bagian, yakni

bagian awal skripsi, bagian inti skripsi, dan bagian akhir skripsi. Bagian awal

skripsi memuat halaman judul, pernyataan, pengesahan, extrait, motto dan

persembahan, prakata, daftar isi dan daftar lampiran.

Bagian inti skripsi terdiri atas lima bab, yaitu pendahuluan, landasan teori,

metode penelitian, hasil penelitian dan pembahasan, simpulan dan saran.

BAB I berisi tentang pendahuluan, yang berisi latar belakang masalah,

permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan

skripsi.

Page 26: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

9

BAB II berisi tentang landasan teori, yaitu memaparkan landasan teori

penelitian yang mengungkapkan pendapat beberapa ahli dari berbagai sumber

yang relevan yang secara umum meliputi : (1) prinsip kesantunan, (2) maksim-

maksim prinsip kesantunan, (3) wacana, (4) implikatur.

BAB III menjelaskan mengenai metode penelitian yang berisi langkah-

langkah yang digunakan dalam penelitian yang meliputi pendekatan penelitian,

objek penelitian, data dan sumber data. Metode dan teknik penyediaan data,

metode dan teknik analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.

BAB IV berisi hasil pengumpulan data, analisis data dan pembahasan hasil

analisis kesantunan dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor

Hugo.

BAB V berisi simpulan dan saran. pada bagian akhir skripsi ini disajikan

daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang berhubungan dengan penelitian skripsi

ini.

Page 27: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

10

BAB 2

LANDASAN TEORI

Teori-teori yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah (1)

prinsip kesantunan, (2) maksim-maksim prinsip kesantunan, (3) wacana, (4)

implikatur. Satu per satu teori-teori tersebut di bahas di bawah ini:

2.5 Prinsip Kesantunan

Grice (dalam Rustono 1999:66) mengatakan bahwa prinsip kesantunan

(politenesse prinsiple) itu berkenaan dengan aturan tentang hal-hal yang bersifat

sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur. Kebutuhan menjaga dan

memelihara hubungan sosial antar peserta tutur dalam percakapan telah

mengakibatkan lahirnya prinsip kesantunan ini. Alasan dicetuskannya prinsip

kesantunan adalah bahwa di dalam tuturan penutur tidak cukup hanya dengan

mematuhi prinsip kerjasama. Prinsip kesantunan diperlukan untuk melengkapi

prinsip kerjasama dan mengatasi kesulitan yang timbul akibat penerapan prinsip

kerjasama.

Secara umum, kesantunan atau sopan santun berkaitan dengan perilaku

yang baik. Larousse (1988:321) mengatakan bahwa politesse, manière d’agir ou

de parler conforme à la bienséance. ’kesantunan adalah cara bertindak atau

berbicara yang sesuai dengan tata krama’. Sejalan dengan Larousse, Robert

(1990:1475) berpendapat bahwa une politesse : action, parole exigée par les

Page 28: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

11

usages. ’Kesopanan adalah tindakan, tutur kata yang dituntut sesuai

dengan norma kesopanan.

Setiap kebudayaan selalu memiliki cara yang khas dalam mengekspresikan

kesantunannya. Lakoff (1990:35 dalam Eelen, 2001:3) menganggap bahwa

kebudayaan dalam mematuhi kesantunan selalu memperhatikan (i) strategi jarak

atau distance, (ii) kaidah kepatuhan atau deference, (iii) kaidah persahabatan atau

camaraderie. Jarak ditandai sebagai strategi impersonalitas, kepatuhan sebagai

keraguan, dan persahabatan sebagai informalitas. Kecenderungan kesantunan di

setiap daerah berbeda-beda. Secara garis besar, kesantunan dalam kebudayaan

Eropa cenderung mengambil strategi jarak, kebudayaan-kebudayaan Asia

cenderung mengambil sikap patuh, dan kebudayaan Amerika cenderung ke arah

persahabatan. Untuk mengekspresikan kesantunan, diperlukan strategi

kesantunan. Strategi kesantunan menurut Lakoff (1973), ada tiga, yakni (a) jangan

mengganggu, (b) berikan pilihan, dan (c) buatlah pilihan menyenangkan atau

bersikaplah ramah.

Teori kesantunan menurut Brown dan Levinson (1978) berfokus pada

’rasionalitas’ dan ’muka’. ’Muka’ terdiri atas dua ’keinginan’ yang berlawanan

yaitu (1) muka positif, mengacu ke citra diri seseorang bahwa segala yang

berkaitan dengan dirinya itu patut dihargai (jika tidak dihargai, orang yang

bersangkutan dapat kehilangan muka), jadi muka positif ini merupakan

representasi keinginan untuk dihargai oleh orang lain, (2) dan muka negatif, citra

diri seseorang yang berkaitan dengan tindakan yang ingin bebas atau tidak ingin

dihalangi oleh orang lain (kalau dihalangi, orang yang bersangkutan dapat

Page 29: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

kehilangan muka), jadi muka negatif ini merupakan representasi keinginan untuk

tidak ingin dihalangi oleh orang lain. Menurut teori ini, sebagian besar tindak

tutur selalu mengancam keinginan muka para Pn dan atau Pt, dan bahwa

kesantunan terlibat dalam upaya untuk memperbaiki ancaman muka tersebut

(Brown dan Levinson, 1987 dalam Yule 1996:102-116; Yassi, 1996:6-8; Eelen,

2001:4-6). Untuk mencapai kesantunan positif maka harus mengacu pada strategi

bertutur dengan cara menonjolkan kedekatan, keakraban, hubungan baik di antara

Pn dan Pt. Di sisi lain, untuk mencapai kesantunan negatif harus merujuk ke

strategi bertutur dengan cara menunjukkan adanya jarak sosial diantara Pn dan Pt.

Sementara itu, Sachiko Ide (1989:230), seorang ahli sosiolinguistik dari

jepang, mengemukakan bahwa kaidah kesantunan erat kaitannya dengan kaidah

gramatikal seperti kopula, verba, nomina, ajektiva, dan adverbia. Sachiko Ide

juga menuturkan bahwa seorang Pn harus memilih bentuk tuturan yang santun

atau tidak santun, tidak ada tuturan yang netral. Oleh karena itu santun bersifat

absolut, tidak berkaitan dengan kehendak bebas Pn karena secara langsung

memperlihatkan karakteristik struktur sosial Pn dan pendengar. Bentuk honorifik

(kesantunan dalam bahasa) disatukan dengan pandangan kesantunan dalam

konvensi masyarakat, yakni (i) bersikap santun kepada orang yang posisi

sosialnya lebih tinggi, (ii) bersikap santun kepada orang yang memiliki

kekuasaan, (iii) bersikap santun kepada orang yang lebih tua, dan (iv) bersikap

santun dalam lingkungan formal yang ditentukan oleh faktor-faktor partisipan,

kesempatan, atau topik.

Page 30: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Menyimak pendapat para ahli tersebut di atas tentang kesantunan, maka

ada dua hal yang menjadi titik pikirannya, yakni: bahasa (teks) dipengaruhi oleh

konteks, konteks mempengaruhi bahasa atau teks. Hal tersebut dikuatkan oleh

Gunarwan (1999:52) yang menyatakan bahwa di dalam setiap tuturan selalu ada

tambahan makna. Tambahan keterangan yang tidak diujarkan oleh Pn-nya itu

tertangkap juga oleh pendengar sebagai Pt-nya. Makna ekstra atau makna

tambahan itu tidaklah timbul karena penerapan kaidah sintaktis atau kaidah

semantis, tetapi karena penerapan kaidah atau prinsip percakapan. Prinsip itu oleh

Grice dinamakan prinsip kerjasama atau cooperative principle.

Kesantunan pada umumnya berkaitan dengan hubungan antara dua

partisipan yang dapat kita sebut dengan diri sendiri dan orang lain (Tarigan

1990:82). Dalam percakapan, diri sendiri biasanya dikenal sebagai pembicara dan

orang lain sebagai penyimak, tetapi para pembicara juga memperlihatkan

kesopan- santunan kepada kelompok ketiga, yang mungkin hadir atau tidak dalam

situasi ujar tersebut. Hal itu juga ditegaskan oleh Wijana (1996:65) bahwa prinsip

kesopanan itu berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri

(self) dan orang lain (other). Diri sendiri adalah Pn, dan orang lain adalah Pt dan

orang ketiga yang dibicarakan Pn dan Pt.

2.6 Maksim-maksim Prinsip Kesantunan

Menurut Leech (1983:206-219), prinsip kesantunan memiliki enam

maksim (lihat juga Wijana, 1996:55-62; Rustono, 1999:70). Kemudian prinsip

kesantunan tersebut akan dibahas satu-persatu sebagai berikut.

Page 31: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

2.2.7 Maksim Kearifan (La Maxime de La Sagesse)

Maksim ini diungkapkan dengan tuturan impositif (ujaran yang digunakan

untuk menyatakan perintah atau suruhan) dan komisif (ujaran yang berfungsi

untuk menyatakan janji atau penawaran). Maksim ini menggariskan setiap peserta

pertuturan untuk (a) membuat kerugian orang lain sekecil mungkin dan (b)

membuat keuntungan orang lain sebesar mungkin.

Perhatikan contoh tuturan (1) sampai (4) berikut ini. Tuturan dengan

nomor yang lebih kecil memiliki tingkat kesopanan yang lebih rendah

dibandingkan dengan yang lebih besar.

(1) Venez chez moi!

’Datanglah ke rumah saya!’

(2) Venez chez moi, s’il vous plaît!

’Silakan (anda) datang ke rumah saya!‘

(3) Vous voudriez venir chez moi?

‘Sudilah (anda) datang ke rumah saya?’

(4) Vous pourriez venir chez moi, s’il vous plaît?

‘Sudilah kiranya (anda) datang ke rumah saya?‘

Berdasarlan contoh di atas dapat dikatakan bahwa semakin panjang

tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap sopan

kepada lawan bicaranya. Demikian pula tuturan yang diutarakan secara tidak

langsung lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan

secara langsung. Memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya dipandang

lebih sopan dibandingkan dengan kalimat perintah.

Page 32: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Maksim kearifan mengharuskan Pn berusaha memaksimalkan keuntungan

orang lain, maka lawan bicara wajib pula memaksimalkan kerugian dirinya, bukan

sebaliknya. Fenomena ini lazim disebut dengan paradoks pragmatik. Contoh (6)

yang mematuhi paradoks pragmatik dan (7) yang melanggarnya.

(6) + Je porte vos valises, s’il vous plaît!

+ ‘mari, saya bawakan tas anda !’

- Non, merci.

- Tidak, terima kasih

(7) + Je porte vos valises, s’il vous plaît!

+ ‘mari, saya bawakan tas anda!’

- Oui, vous êtes exactement mon ami.

- Ya, kamu benar-benar temanku.

2.2.8 Maksim Kedermawanan (La Maxime de La Générosité)

Maksim ini juga diutarakan dengan tuturan impositif dan komisif, yang

mewajibkan setiap peserta tindak tutur untuk (a) membuat keuntungan diri sendiri

sekecil mungkin dan (b) membuat kerugian diri sendiri sebesar mungkin.

Ujaran (8) dan (10) di bawah ini dipandang kurang santun dibandingkan

dengan tuturan (9) dan (11).

(8) Tu peux me prêter ton dictionnaire?

‘Kamu dapat meminjamkan kamusmu pada saya?’

(9) Je peux te prêter mon dictinnaire.

‘Aku dapat meminjamkan kamusku kepadamu’.

(10) On doit venir chez toi pour dîner.

Page 33: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

‘Kami harus datang untuk makan malam di tempatmu’.

(11) Tu dois venir chez nous pour dîner.

‘Kamu harus datang makan malam di rumah kami’.

Tuturan (8) dan (10) dari segi kesantunan yang absolut kurang berterima

dibandingkan dengan tuturan (9) dan (11). Hal tersebut dikarenakan tuturan (9)

dan (11) menyiratkan keuntungan untuk Pt dan terkesan merugikan bagi Pn. Akan

tetapi pada tuturan (8) dan (10) hubungan antara Pn dan Pt pada skala untung-rugi

menjadi terbalik.

2.2.9 Maksim Pujian (La Maxime de L’approbation)

Maksim pujian dapat diungkapkan dengan tuturan ekspresif (ujaran yang

digunakan untuk menyatakan sikap psikologis pembicara terhadap sesuatu

keadaan) dan asertif (ujaran yang lazim digunakan untuk menyatakan kebenaran

proposisi yang diungkapkan). Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan

untuk (a) mengecam orang lain sedikit mungkin dan (b) memuji orang lain

sebanyak mungkin. Maksim pujian ini bisa diberi nama lain yang kurang baik,

yakni ’maksim rayuan’, tetapi istilah ’rayuan’ biasanya digunakan untuk pujian

yang tidak tulus. Pada maksim ini aspek negatif yang lebih penting, yaitu, ’jangan

mengatakan hal-hal yang tidak menyenangkan mengenai orang lain, terutama

mengenai Pt’. Contoh (12) dan (13) tampak bahwa Pn memaksimalkan pujian dan

meminimalkan kecaman kepada orang lain, dalam hal ini, yaitu Pt.

(12) Jean, je sais que tu es génial. Pourrais-tu m’aider pour se resoudre un dévoir de mathémathique sur une équation et une énigme?

Page 34: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

‘Jean, saya tahu bahwa kamu jenius. Sudilah kamu membantuku untuk memecahkan tugas matematika tentang soal persamaan dan teka-teki?’

(13) Je t’ai regardé quand tu avais chanté au café, hier soir. C’était

extraordinaire! ‘Aku telah melihatmu ketika kamu menyanyi di kafe kemarin

malam. kamu luar biasa!’

2.2.10 Maksim Kerendahan Hati (La Maxime de La Modestie)

Maksim kerendahan hati juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan

asertif. Maksim ini menuntut setiap peserta pertuturan untuk (a) memuji diri

sendiri sedikit mungkin dan (b) mengecam diri sendiri sebanyak mungkin. Contoh

tuturan berikut ini cukup santun (tuturan ini mengacu pada penampilan seorang

musikus)

(14) A : Vous jouez du guitar très bien !

B : Merci !

A : ‘Permainan gitar anda bagus sekali !’

B : ‘Terima Kasih !’

Namun apabila B, musikus yang tampil menjawab seperti contoh di bawah

ini, maka ia terkesan tidak rendah hati.

(15) A : Vous jouez du guitar très bien !

B : Oui, bien sûr !

A : ‘Permainan gitar anda bagus sekali !’

B : ‘Ya, memang !’

Ataupun ungkapan di bawah ini menunjukkan kerendahan hati dari Pnnya.

(16) Vous pourriez accepter ces petits cadeaux, s’il vous plaît!

Page 35: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

‘Sudilah (anda) menerima kado kecil ini!’

2.2.11 Maksim Kesepakatan (La Maxime de L’accord)

Maksim Kesepakatan juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan

asertif. Maksim ini menggariskan setiap peserta tutur untuk (a) mengusahakan

agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan pihak lain terjadi sedikit mungkin dan

(b) mengusahakan agar kesepakatan antara diri sendiri dan pihak lain terjadi

sebanyak mungkin. Untuk jelasnya perhatikan wacana (17), (18), dan (19) berikut.

(17) + Le français est difficile, n’est-ce pas?

- Mais non, il est très facile.

+ ‘Bahasa Prancis sukar ya ?‘

- ‘Tentu tidak, itu mudah sekali !’

(18) + Le français est difficile, n’est-ce pas?

- Oui, mais la grammaire n’est pas assez difficile.

+ ‘Bahasa Prancis sukar ya ?‘

- ‘Ya, tetapi tata bahasanya tidak begitu sukar’

(19) + Le français est facile, n’est-ce pas?

- Oui, bien sûr !

+ ‘Bahasa Prancis mudah ya ?‘

- ‘Ya, memang !’

Tuturan (18) terasa lebih santun daripada (17) karena ketidaksepakatan (-)

tidak dinyatakan secara frontal (total) tetapi secara.

Pada Maksim kesepakatan, orang cenderung melebih-lebihkan

kesepakatannya dengan orang lain, terlihat pada contoh (19), dan juga mengurangi

Page 36: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

ketidaksepakatannya dengan ungkapan-ungkapan penyesalan, kesepakatan

sebagian, terlihat pada contoh (18), dan sebagainya.

2.2.12 Maksim Kesimpatian (La Maxime de La Sympathie)

Maksim kesimpatian juga diungkapkan dengan tuturan ekspresif dan

asertif, yang mengharuskan setiap peserta pertuturan untuk (a) mengurangi rasa

antipati antara diri sendiri dengan pihak lain hingga sekecil mungkin dan (b)

meningkatkan rasa simpati sebesar mungkin antara diri sendiri dengan pihak lain.

Jika Pt mendapatkan kesuksesan atau kebahagiaan, Pn wajib memberikan ucapan

selamat. Ketika Pt mendapatkan kesusahan atau musibah, Pn layak turut berduka

atau mengucapkan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian. Maksim ini

menjelaskan mengapa ucapan selamat dan ucapan belasungkawa adalah tindakan

ujar yang sopan dan hormat, walaupun ucapan belasungkawa mengungkapkan

keyakinan Pn yang bagi Pt merupakan keyakinan negatif.

Wacana (20) dan (21) termasuk santun karena Pt memberikan kesimpatian

kepada Pt.

(20) A : Mon bébé est déjà né.

B : Félicitations!

A : ‘Anakku sudah lahir’

B : ‘Selamat!’

(21) A : Ma tante est décedée la semaine dernière

B : Oh, Je te présente mes condoléances

A : ‘Bibiku seminggu yang lalu meninggal’

B : ’Oh, Aku turut berduka cita’

Page 37: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Pada dasarnya semua maksim yang telah dijelaskan di atas menganjurkan

agar kita mengungkapkan keyakinan-keyakinan yang sopan dan bukan keyakinan-

keyakinan yang tidak sopan, sehingga maksim-maksim ini dimasukkan ke dalam

kategori prinsip sopan santun. Dapat dilihat bahwa empat maksim pertama

berpasangan, yaitu (2.1) dengan (2.2) dan (2.3) dengan (2.4), karena maksim-

maksim ini melibatkan skala-skala berkutub dua : skala untung-rugi dan skala

pujian-kecaman. Dua maksim lainnya melibatkan skala-skala yang hanya satu

kutubnya, yaitu skala kesepakatan (2.5) dan skala simpati (2.6).

Hal tersebut senada dengan pendapat Gunawan (1995:12), prinsip

kesantunan Leech didasarkan pada nosi-nosi (1) biaya (cost) dan keuntungan

(benefit), (2) celaan atau penjelekan (dispraise) dan pujian (praise), (3) kesetujuan

(agreement), serta (4) kesimpatian dan keantipatian (sympathy / antipathy)

Walaupun antara skala yang satu dengan yang lain ada kaitannya, sikap

maksim berbeda dengan jelas, karena setiap maksim mengacu pada sebuah skala

penilaian yang berbeda dengan skala penilaian maksim-maksim lainnya. Skala

untung-rugi pada maksim 2.1 dan 2.2 memeringatkan untung-rugi bagi orang lain

(2.1) dan bagi diri sendiri (2.2) akibat suatu tindakan di masa depan, sedangkan

skala pujian-kecaman pada maksim 2.3 dan 2.4 memeringkatkan baik-tidaknya

penilaian yang diungkapkan oleh Pn mengenai orang lain (2.3) dan mengenai diri

sendiri (2.4).

Maka dapat disimpulkan bahwa tidak semua maksim dan submaksim sama

pentingnya. Maksim (2.1) tampaknya merupakan kendala perilaku percakapan

yang lebih kuat daripada maksim (2.2), dan maksim (2.3) lebih kuat daripada

Page 38: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

maksim (2.4). Kecenderungan ini, bila benar, mencerminkan berlakunya suatu

hukum umum yang mengatakan bahwa sopan santun lebih terpusat pada pihak

lain (Pt) daripada pada diri sendiri (Pn). Selain dari itu, dalam setiap maksim,

submaksim (b) tampaknya tidak sepenting submaksim (a), sehingga ini juga

mencerminkan suatu hukum umum yang mengatakan bahwa sopan santun negatif

(pengelakan konflik) merupakan perimbangan yang lebih kuat daripada sopan

santun positif (mencari kesesuaian). Satu perbedaan lagi pada aspek penting-

tidaknya submaksim (namun perbedaan ini tidak dituangkan dalam bentuk

maksim), yaitu sopan santun terhadap Pt pada umumnya lebih penting daripada

sopan santun terhadap pihak ketiga.

2.7 Wacana

Wacana merupakan unit bahasa yang terikat oleh satu kesatuan. Kesatuan

dalam wacana menurut Halliday (1979:1) adalah kesatuan yang bersifat

sistematis. Oleh karena itu, sebuah wacana tidak selalu harus direalisasi dalam

bentuk rangkaian kalimat. Wacana dapat berbentuk sebuah kalimat, bahkan dapat

berupa sebuah frase atau kata. Kridalaksana (1984:208) berpendapat bahwa

wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal

merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan

dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dan

sebagainya), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap.

Adapun wacana menurut Tarigan (1987:27) adalah satuan bahasa yang terlengkap

dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan kohesi dan koherensi

Page 39: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

tinggi dan berkesinambungan dan mempunyai awal dan akhir yang nyata

disampaikan secara lisan dan tertulis.

Selanjutnya, istilah wacana menurut Alwi (1998:419) berarti rentetan

kalimat yang berkaitan dan menghubungkan proposisi yang satu dengan yang lain

dan membentuk kesatuan. Senada dengan Alwi, Hams dalam Baylon (2002:235)

menyatakan bahwa

discours est l’ensemble de règles d’enchaînement des suites de phrases composant l’énonce ‘wacana adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang merangkai secara berturut-turut kalimat-kalimat yang mempunyai unsur penjelas’

Sementara itu, Hoed (1994:126-130) berpendapat bahwa wacana berada

pada tuturan langue, yaitu bagian teoretis abstrak yang maknanya dikaji dalam

kaitan dengan unsur-unsur lain di luar dirinya (dengan lingkungannya).

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa wacana

adalah satuan bahasa yang tertinggi dalam hierarki gramatikal atau rangkaian ujar

atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal (subjek) yang

menyatukan satu topik tertentu yang disajikan secara teratur dan sistematis dalam

satu kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur verbal ataupun nonverbal, baik

dalam bentuk lisan atau tulis.

2.3.1 Unsur Wacana

Menurut Supardo, (1988:56) unsur wacana terdiri atas (1) unsur bahasa

seperti kata, frase, klausa, dan kalimat; (2) konteks yang terdapat di sekitar

wacana, (3) makna dan maksud, (4) koherensi, dan (5) kohesi.

Page 40: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Unsur bahasa dalam wacana berfungsi sebagai bahan atau substansi yang

menampung gagasan-gagasan melalui bentuk-bentuk bahasa tertentu. Konteks

dalam wacana berfungsi sebagai lingkungan yang menjadi ruang lingkup

penguraian gagasan. Makna dan maksud berfungsi sebagai sasaran, tujuan

berbahasa antara pengguna bahasa. Kohesi adalah keterpaduan makna yang

terdapat dalam sebuah wacana, sedangkan koherensi adalah keserasian antara

bentuk-bentuk bahasa yang disusun menurut organisasi-organisasi wacana yang

utuh.

Senada dengan Suparjo, Tarigan (1987:96) membagi unsur wacana

menjadi lima, yaitu: tema, unsur bahasa, konteks yang terdapat di sekitar wacana,

makna dan maksud serta kohesi dan koherensi.

1. Tema adalah pokok pembicara yang ada di dalam sebuah karangan, baik

karangan tulis maupun lisan. Tema itu dikembangkan dengan kalimat-

kalimat yang dipadu sehingga akan melahirkan satu jenis wacana yang

kohesif dan koherensif.

2. Unsur bahasa mencangkup kata, frasa, klausa, kalimat.

3. Konteks di sekitar wacana. Menurut Alwi (1998:421) konteks wacana

dibentuk oleh berbagai unsur yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu,

tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, dan saluran.

4. Makna dan maksud.

5. Kohesi dan koherensi.

Kohesi adalah kesesuaian hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan

yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang baik (koheren).

Page 41: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Kalimat atau kata yang dipakai bertautan dan saling mendukung makna.

Pengertian yang satu menyambung pengertian yang lainnya secara berturut-turut.

Dengan demikian ada wacana yang kohesif dan koheren dan ada wacana yang

tidak kohesif tetapi koheren (Djajasudarna 1994:47).

Pada Roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo terdapat

wacana dialog, wacana monolog, dan wacana polilog yang kohesif dan koheren.

Wacana dialog, wacana monolog, dan wacana polilog tersebut disusun dengan

kalimat atau kata yang bertautan dan saling mendukung makna. Sehingga

membentuk kesatuan wacana pada roman yang utuh.

2.3.2 Jenis Wacana

Baryadi (2002:9-14) membagi berbagai jenis wacana dengan

mengklasifikasikannya dengan dasar tertentu. Dasar klasifikasi itu antara lain,

yaitu (i) media yang dipakai untuk mewujudkannya, (ii) keaktifan partisipan

komunikasi, (iii) tujuan pembuatan wacana, (iv) bentuk wacana, (v) langsung

tidaknya pengungkapan, (vi) genre sastra, dan (vii) isi wacana.

Sementara itu, menurut baryadi (2002:9-14), berdasarkan keaktifan

partisipan komunikasi, wacana dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu (i)

wacana monolog (monologue discourse), (ii) wacana dialog (dialogue discourse),

dan (iii) wacana polilog (poyilogue discourse) atau percakapan (exchange atau

conversation). Wacana monolog adalah wacana yang pemproduksiannya hanya

melibatkan pihak pembicara (pembicara sebagai Pn dan Pt secara sekaligus).

Wacana monolog dapat dibedakan menjadi wacana monolog lisan seperti

ceramah, khotbah, kampanye, petuah dan wacana monolog tertulis seperti wacana

Page 42: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

eksposisi, wacana deskripsi, wacana jurnalistik, wacana prosedural, wacana narasi

tertulis. Wacana dialog adalah wacana yang pemproduksiannya melibatkan dua

pihak yang bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana

dialog adalah sapa menyapa, tanya jawab, peristiwa tawar menawar dalam jual

beli. Wacana polilog adalah wacana yang diproduksi melalui pertukaran tiga jalur

atau lebih. Pemproduksian wacana polilog pada dasarnya sama dengan

pemproduksian wacana dialog karena keduanya melibatkan pihak-pihak yang

bergantian peran sebagai pembicara dan pendengar. Contoh wacana polilog

adalah percakapan, diskusi, rapat, musyawarah.

2.8 Implikatur

Sebuah kalimat dapat mengimplikasikan kalimat yang lain. Grice (1975)

dalam artikelnya yang berjudul Logic and Conversation yang dikutip dalam

Wijana (1996:38) mengemukakan bahwa sebuah tuturan dapat mengimplikasikan

proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan yang bersangkutan. Proposisi

yang diimplikasikan itu disebut implikatur (implicature). Karena implikatur bukan

merupakan bagian tuturan yang mengimplikasikannya, maka hubungan kedua

proposisi bukan merupakan konsekuensi mutlak (necessary consequence).

Implikatur mencakupi pengembangan teori hubungan antara ekspresi makna,

makna Pn dan implikasi suatu tuturan. Di dalam teorinya itu, Ia membedakan tiga

macam implikatur, yaitu implikatur konvensional, implikatur nonkonvensional,

dan praanggapan. Selanjutnya implikatur nonkonvensional dikenal dengan nama

implikatur percakapan. Implikatur percakapan adalah implikasi pragmatis yang

terdapat di dalam percakapan yang timbul sebagai akibat terjadinya pelanggaran

Page 43: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

prinsip percakapan, jadi implikatur percakapan adalah proposisi atau pernyataan

implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan, disiratkan, atau dimaksudkan oleh

Pn yang berbeda dari apa yang sebenarnya dikatakan oleh Pn di dalam suatu

percakapan.

2.4.1 Jenis Implikatur

Menurut Rustono (1999:85), implikatur itu dapat dibedakan menjadi dua

jenis yaitu implikatur konvensional dan implikatur nonkonvensional

2.4.1.1 Implikatur konvensional

Implikatur konvensional adalah implikatur yang diperoleh langsung dari

makna kata, dan bukan dari prinsip percakapan. Berikut ini merupakan salah satu

contoh implikatur konvensional.

(22) Konteks : Di ruang pengadilan, tokoh Aku bersama pengacaranya mengharapkan mendapat keputusan yang terbaik dari ketua hakim pengadilan yang akan membacakan keputusan sidang pengadilan terkait kasus tokoh Aku.

Nrt-2 : Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de

déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire.

Avocat : – J’espère, me dit-il. Aku : – N’est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. Avocat : – Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils

auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité.

Aku : – Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai-je indigné, - plutôt cent

fois la mort ! Nrt-3 : Oui, la mort !, – Et d’ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix

intérieure, qu’est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu’à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre et noire, et par une froide nuit

Page 44: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

de pluie et d’hiver ? Mais au mois d’août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c’est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.

(4/LDJC/ 41)

Nrt-2 : Di saat itu pembelaku datang. Orang-orang menunggunya. Ia baru

saja makan banyak dan dengan lahap. Sampai di tempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum :

Avocat : – Mudah-mudahan, katanya kepadaku. Aku : – Harus ! jawabku ringan, juga sambil tersenyum. Avocat : – Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi

mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja paksa seumur hidup.

Aku : - Bapak ini bicara apa? tukasku marah, Seratus kali lebih baik

mati Nrt-3 : Ya, mati ! - Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah

suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu? – Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penerangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin? Tapi di bulan Agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.

Implikasi tuturan di atas adalah bahwa kemungkinan mendapatkan vonis

kerja paksa seumur hidup atau vonis hukuman mati bagi Aku (sebagai Pn)

merupakan konsekuensi yang harus diterima oleh Aku.

2.4.1.2 Implikatur nonkonvensional

Implikatur nonkonvensional atau implikatur percakapan adalah implikasi

pragmatis yang langsung tersirat di dalam suatu percakapan. Berikut ini

merupakan salah satu contoh implikatur nonkonvensianal

Page 45: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

(23) Konteks : Di ruang pengadilan, panitera pengadilan telah selesai membacakan keputusan pengadilan, kemudian ketua hakim (Le Président) menanyakan kepada pengacara (Avocat) apakah ada pembelaan atau tanggapan, namun tokoh Aku marah pada pembelanya yang melakukan pembelaan atas keputusan pengadilan.

Le Président : – Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application

de la peine? demanda le président. Aku : J’aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma

langue resta collée à mon palais. Nrt-4 : Le défenseur se leva.

Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de la peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l’indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l’haleine me manqua et je ne pus que l’arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive:

Aku : – Non!

(5/LDJC/ 42) Le Président : – Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela

atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim Aku : Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satu-pun

keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit. Nrt-4 : Pembela berdiri.

Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan. Menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuatku sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati!. Namun nafasku habis, dan aku hanya

Page 46: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali:

Aku : – Tidak!

Implikasi tuturan di atas yakni tokoh Aku menolak usaha pembelanya

(Aku) yang mengharapkan keringanan dari hukuman mati. Pada konteks lain,

tindakan tokoh Aku juga mengimplikasikan penolakan terhadap vonis hukuman

mati yang telah diputuskan oleh para hakim.

Tokoh Aku menolak pembelaan yang dilakukan oleh pembelanya atas

keputusan pengadilan. Walaupun tindakan tokoh Aku tersebut bisa jadi dilakukan

dalam keadaan terpaksa dan dalam kekalutan sebagai terdakwa yang mendapatkan

vonis hukuman mati sehingga ia (Aku) sudah tidak tahan melihat usaha

pembelannya yang berusaha meringankan vonis hukuman mati yang telah

diputuskan oleh ketua hakim. Tokoh Aku merasa tindakan pembelaan yang

dilakukan pembelannya akan sia-sia maka tidak perlu mengharapkan adanya

keringanan hukuman dari pengadilan (seperti pada Nrt-4).

Selanjutnya Gunarwan dalam Rustono (1999:86) menegaskan bahwa ada

tiga hal yang perlu diperhatikan berkenaan dengan implikatur, yaitu

1) implikatur itu tidaklah merupakan bagian dari tuturan

2) implikatur itu bukan merupakan bagian logis dari sebuah tuturan

3) mungkin saja sebuah tuturan memiliki lebih dari satu implikatur dan

itu tergantung dari konteksnya

Page 47: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

30

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN

Berikut ini diuraikan pendekatan penelitian, objek penelitian, data dan

sumber data, metode dan teknik penyediaan data, metode dan teknik analisis data,

dan terakhir metode penyajian hasil analisis data.

3.7 Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan penelitian, yaitu pendekatan

secara teoretis dan pendekatan secara metodologis. Pendekatan penelitian secara

teoretis dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik artinya peneliti

sebagai penganalisis wacana mempertimbangkan gejala kebahasaan yang bersifat

progesif. Dengan demikian peneliti menggunakan sudut pandang pragmatis dalam

melakukan penelitiannya. Sudut pandang pragmatis berupaya menemukan

maksud tuturan baik yang diekspresikan secara tersurat maupun tersirat di balik

tuturan (Rustono 1999:18).

Pendekatan pragmatik merupakan pendekatan yang menggunakan

pemakaian bahasa sebagai pijakan utama, bagaimana penggunaan bahasa dalam

tuturan dan bagaimana tuturan digunakan dalam konteks tertentu (Parker dalam

Rustono 1993:3). Pendekatan pragmatik digunakan karena masalah yang dikaji

dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa yang berbentuk wacana tuturan di

dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

Page 48: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

31

Pendekatan penelitian yang kedua dalam penelitian ini adalah pendekatan

penelitian secara metodologis yang terbagi menjadi dua, yaitu pendekatan

kualitatif dan deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan deskriptif kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena penelitian

ini berkaitan dengan data yang tidak berupa angka-angka, tetapi berupa

percakapan pada wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog di dalam

roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Perhitungan secara

statistikpun tidak dilakukan di dalam penelitian ini karena data penelitian ini tidak

dikuantifikasi.

Pendekatan deskriptif juga digunakan dalam penelitian ini. Dengan

pendekatan deskriptif, penelitian ini berupaya mendeskripsikan pematuhan dan

pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya pada dalam roman

Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo. Pelanggaran dan pematuhan

prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya yang diungkapkan secara apa

adanya di dalam penelitian ini adalah pelanggaran dan pematuhan serta implikasi

pragmatisnya atas maksim-maksim prinsip kesantunan di dalam roman Le

Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

Deskripsi dalam penelitian ini merupakan deskripsi kualitas atas

pematuhan dan pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya pada

roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo karena penelitian ini

tidak berkaitan dengan variabel-variabel terukur. Deskripsi di dalam penelitian ini

juga bersifat khas dan verbal.

Page 49: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

3.8 Objek Penelitian

Objek penelitian ini adalah unsur kesantunan pada roman Le Dernier Jour

d’un Condamné karya Victor Hugo. Konteks dari penelitian ini berupa kalimat-

kalimat percakapan yang berbentuk wacana monolog, wacana dialog, dan wacana

polilog.

3.9 Data dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini berupa penggalan wacana monolog, wacana

dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya

Victor Hugo yang diduga mengandung kesantunan. Sumber data dalam penelitian

ini adalah roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo yang telah

diterjemahkan oleh M. Lady Lesmana. Karya ini pertama kali dipublikasikan pada

tahun 1829.

3.10 Metode dan Teknik Penyediaan Data

Metode penyediaan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak.

Metode ini dilakukan dengan cara membaca sambil menyimak, yaitu menyimak

penggunaan bahasa, secara tuntas wacana monolog, wacana dialog, dan wacana

polilog dalam roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo yang

menjadi sumber data.

Teknik yang digunakan ada dua, yakni (i) teknik dasar berupa teknik

sadap, (ii) teknik lanjutan, yakni teknik simak bebas libat cakap (teknik SBLC)

dan teknik catat. Teknik sadap sebagai teknik dasar karena pada praktiknya

penyimakan atau metode simak diwujudkan dengan penyadapan (Sudaryanto

1993:133). Teknik sadap ini dilakukan untuk menyadap penggunaan bahasa.

Page 50: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Teknik lanjutan yang pertama, yaitu teknik SBLC. Teknik ini digunakan

karena peneliti tidak terlibat langsung untuk ikut menentukan pembentukan dan

pemunculan calon data kecuali hanya sebagai pemerhati terhadap calon data yang

terbentuk dan muncul dari peristiwa kebahasaan yang berada di luar diri peneliti.

Teknik lanjutan yang kedua menggunakan teknik catat, yakni mencatat data pada

kartu data yang berupa penggalan tuturan kesantunan kemudian dilanjutkan

dengan klasifikasi atau pengelompokan data dengan menggunakan alat tulis

tertentu. Hasil pencatatan yang berupa data penelitian selanjutnya disimpan di

dalam satu media yang dinamakan kartu data.

Data yang ditemukan dari roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya

Victor Hugo melalui metode penyimakan, kemudian melalui teknik penyadapan

dan dilanjutkan dengan teknik lanjutan, yakni teknik simak bebas libat cakap

(teknik SBLC) dan teknik catat, terdapat sebanyak 50 data. 50 data tersebut terdiri

dari sub wacana monolog (11), sub wacana dialog (38) dan sub wacana polilog

(1).

Contoh kartu data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Nomor Data: Penutur dan Petutur : Konteks:

(Penggalan Wacana)

(Terjemahan Penggalan Wacana)

Analisis

Kesantunan

Pematuhan Pelanggaran

(1). Kearifan.................................. (2). Kedermawanan........................

(1). Kearifan.................................. (2). Kedermawanan........................

Page 51: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

(3). Pujian..................................... (4). Kerendahan hati...................... (5). Kesepakatan............................ (6). Kesimpatian.............................

(3). Pujian..................................... (4). Kerendahan hati...................... (5). Kesepakatan............................ (6). Kesimpatian.............................

Keterangan:

Kartu data dibagi empat bagian sebagai berikut

a. bagian pertama terdiri dari dua kolom:

1. kolom pertama berisi nomor data.

2. kolom kedua berisi penutur (Pn) dan petutur (Pt)

b. bagian kedua berisi konteks tuturan.

c. bagian ketiga berisi penggalan wacana dan terjemahannya.

d. bagian keempat berisi analisis data, yang terdiri atas dua bagian, yaitu

(1) kolom kesatu pembagian macam-macam maksim yang dipatuhi.

(2) kolom kedua pembagian macam-macam maksim yang dilanggar.

3.11 Metode dan Teknik Analisis Data

Untuk menganalisis data, peneliti menggunakan metode padan. Metode

padan yang digunakan, yakni metode padan sub-jenis pragmatis dengan alat

penentu berupa mitra wicara, peneliti sendiri. Hal ini dilakukan karena pendekatan

penelitian yang dipakai dalam penelitian ini menggunakan pendekatan pragmatik.

Metode padan alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari

bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto 1993:13) sehingga identitas objek

sasaran penelitian ditentukan berdasarkan kesepadanannya, keselarasannya,

kesesuaiannya, kecocokannya, atau kesamaannya dengan alat penentu berupa

‘mitra wicara’ (peneliti sendiri) yang sekaligus menjadi ‘standard’ atau

Page 52: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

‘pembaku’-nya. Mitra wicara digunakan sebagai alat penentu karena, semisal,

apabila kalimat perintah diucapkan menimbulkan reaksi tindakan tertentu dari

mitra wicara atau apabila kata afektif diucapkan menimbulkan akibat emosional

tertentu pada mitra wicara. Dengan metode ini, data yang telah diperoleh

kemudian dicocokkan dengan aturan-aturan yaitu maksim-maksim prinsip

kesantunan.

Teknik yang digunakan ada dua, yakni: (i) teknik dasar berupa teknik pilah

unsur penentu (teknik PUP), (ii) teknik lanjutan, yakni teknik hubung banding

menyamakan (teknik HBS) dan teknik hubung banding memperbedakan (teknik

HBB).

Teknik PUP sebagai teknik dasar karena alat penentunya berupa daya pilah

yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti. Adapun daya pilah yang

digunakan, yaitu dengan daya pilah pragmatis sebagai pembeda reaksi dan kadar

keterdengaran. Dengan mitra wicara sebagai alat penentu maka dapat dibedakan

reaksi yang bermacam-macam seperti: (i) bertindak menuruti atau menentang apa

yang diucapkan oleh pembicara; (ii) berkata dengan isi yang informatif; (iii)

tergerak emosinya; (iv) diam tetapi menyimak dan berusaha mengerti apa yang

diucapkan oleh pembicara; dan reaksi-reaksi yang lain. Adapun dalam hal

keterdengarannya, seperti: (v) terdengar keras bertekanan atau biasa; (vi)

terdengar melengking tinggi atau biasa; dan (vii) terdengar cepat atau biasa.

Teknik lanjutan berupa teknik HBS dan teknik HBB. Teknik-teknik

lanjutan tersebut dipakai karena pada prinsipnya membandingkan data dengan

prinsip kesantunan berarti pula mencari kesamaan dan perbedaan yang ada

Page 53: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

diantara kedua hal tersebut. Teknik BHS digunakan untuk menyamakan data yang

diperoleh dari tuturan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam

roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dengan maksim-

maksim prinsip kesantunan. Dari penyamaan tersebut, diperoleh apakah tuturan

wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier

Jour d’un Condamné karya Victor Hugo mematuhi maksim-maksim prinsip

kesantunan. Lain halnya, teknik HBB digunakan untuk memperbedakan data yang

diperoleh dari tuturan wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam

roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dengan maksim-

maksim prinsip kesantunan. Dari pemerbedaan tersebut diperoleh apakah tuturan

wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog dalam roman Le Dernier

Jour d’un Condamné karya Victor Hugo melanggar maksim-maksim prinsip

kesantunan. Apabila mematuhi atau melanggar maka maksim apa yang dipatuhi

atau dilanggar dalam wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog pada

roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo.

Langkah-langkah dalam menganalisis data adalah sebagai berikut.

1) Data yang telah diperoleh dicatat dalam kartu data.

2) Setelah data disimpan dalam kartu data, kemudian dianalisis berdasarkan

maksim kesantunan.

3) Setelah diketahui maksim kesantunan, kemudian dianalisis apakah data tersebut

melanggar atau mematuhi maksim kesantunan yang terdapat dalam wacana

monolog, wacana dialog, dan wacana polilog pada roman Le Dernier Jour d’un

Condamné karya Victor Hugo.

Page 54: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

4) Setelah diketahui hasil analisis kemudian diklasifikasikan berdasarkan

pelanggaran atau pematuhan maksim kesantunan.

3.12 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Penyajian hasil analisis data ini merupakan langkah selanjutnya setelah

selesai menganalisis data. Penyajian hasil analisis ini berisi segala hal yang

ditemukan dalam penelitian. Menurut Sudaryanto (1999:145) Penyajian hasil

penelitian dapat dilakukan dalam dua cara, yakni dengan menggunakan metode

formal dan informal. Metode formal adalah perumusan dengan tanda dan

lambang-lambang. Metode informal adalah perumusan dengan kata-kata biasa.

Metode informal yang digunakan, karena dalam menyajikan hasil

penelitian hanya menggunakan kata-kata atau kalimat biasa. Metode ini

digunakan untuk penyajian pematuhan dan pelanggaran maksim-maksim prinsip

kesantunan pada wacana monolog, wacana dialog, dan wacana polilog pada

roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor Hugo

Page 55: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

38

BAB 4

ANALISIS DATA

Setelah dilakukan pengklasifikasian secara mendalam berdasarkan metode

dan teknik penyediaan data, ditemukan 50 data. 50 data tersebut terdiri dari 13

data mematuhi prinsip kesantunan, 16 melanggar prinsip kesantunan, serta 22 data

mematuhi sekaligus melanggar prinsip kesantunan.

Hal yang akan dianalisis dari ke-50 data tersebut adalah (1) pematuhan

prinsip kesantunan, dan (2) pelanggaran prinsip kesantunan dan implikasi

pragmatisnya. Kedua analisis tersebut disampaikan satu persatu berikut ini.

4.4. Pematuhan Prinsip Kesantunan.

Tuturan-tuturan pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor

Hugo dimungkinkan mematuhi prinsip kesantunan dengan lebih dari satu maksim.

Hal ini dikarenakan adanya percakapan antara Pn dan Pt yang masing-masing bisa

mematuhi prinsip kesantunan berupa maksim-maksim yang sama maupun

berbeda. Ditemukan 13 data yang mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim

kearifan (19 tuturan), kedermawanan (1 tuturan), karendahan hati (1 tuturan),

kesepakatan (1 tuturan), dan kesimpatian (2 tuturan).

4.1.1. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan. Kesantunan wacana pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya

Victor Hugo yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan ini adalah

Page 56: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

39

percakapan yang meminimalkan biaya sosial kepada pihak lain. Maksim

kearifan ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt maupun pihak ketiga)

yang dibicarakan antara Pn dan Pt di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian

sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Ditemukan 7 wacana

dialog sama-sama mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan. Dari 7

wacana dialog tersebut, ditampilkan 2 wacana dialog sebagai sampel.

Contoh dialog (1) di bawah ini adalah dialog yang mematuhi prinsip

kesantunan, yaitu maksim kearifan.

(1) Konteks : Seorang pendeta (prêtre) mengunjungi tokoh Aku di dalam selnya (Aku), hal itu membuatnya (Aku) tenang setelah mengalami kekhawatiran akan pelaksanaan eksekusi mati.

Nrt-1 : Je suis calme maintenant. Tout est fini, bien fini. Je suis sorti de

l’horrible anxiété où m’avait jeté la visite du directeur. Car, je l’avoue, j’espérais encore. –Maintenant, Dieu merci, je n’espère plus. Voici ce qui vient de se passer : Au moment où six heures et demie sonnaient, – non, c’était l’avant-quart – la porte de mon cachot s’est rouverte. Un vieillard à tête blanche, vêtu d’une redingote brune, est entré. Il a entr’ouvert sa redingote. J’ai vu une soutane, un rabat. C’était un prêtre. Ce prêtre n’était pas l’aumônier de la prison. Cela était sinistre. Il s’est assis en face de moi avec un sourire bienveillant ; puis a secoué la tête et levé les yeux au ciel, c’est-à-dire à la voûte du cachot. Je l’ai compris

Prêtre : – Mon fils, m’a-t-il dit, êtes-vous préparé ? Nrt-2 : Je lui ai répondu d’une voix faible : Aku : – Je ne suis pas préparé, mais je suis prêt. Nrt-3 : Cependant ma vue s’est troublée, une sueur glacée est sortie à la

fois de tous mes membres, j’ai senti mes tempes se gonfler, et j’avais les oreilles pleines de bourdonnements.

(18/LDJC/69-70)

Page 57: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Nrt-1 : Sekarang aku tenang. Semua telah selesai, benar-benar selesai.

Aku telah keluar dari kecemasanku yang mengerikan yang disebabkan oleh kunjungan direktur. Sebab, kuakui, saat itu aku masih berharap. – Sekarang, puji syukur kepada Tuhan, aku tidak berharap lagi. Inilah yang baru saja terjadi: Pada saat lonceng menunjukkan pukul setengah tujuh, - tidak, menunjukkan kurang seperempat, - pintu selku kembali terbuka. Seorang pria tua yang rambutnya putih, mengenakan jas panjang coklat, masuk. Ia sedikit membuka jasnya. Kulihat sebuah jubah, sebuah dasi lebar. Ia seorang pendeta. Ia bukan pastor penjara. Itu menakutkan. Ia duduk di hadapanku dengan senyuman baik hati, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya dan lalu melihat ke langit, yaitu ke atap melengkung ke selku. Aku memahaminya

Prêtre : - Anakku, katanya kepadaku, kau sudah siap-siap? Nrt-2 : Aku menjawabnya dengan suara lemah: Aku : - Aku belum siap-siap, tapi aku siap. Nrt-3 : Sementara itu pandanganku menjadi kacau, keringat dingin

serentak mengalir dari seluruh tubuhku, aku merasa pelipisku membengkak, dan telingaku dipenuhi dengungan.

Prêtre yang menanyakan kepada tokoh Aku tentang kesiapannya untuk

menjalani eksekusi mati merupakan tugasnya sebagai seorang pendeta. Prêtre

telah melakukan tugasnya dengan benar. Melalui tuturannya (Mon fils, m’a-t-il

dit, êtes-vous préparé ?, ‘Anakku, katanya kepadaku, kau sudah siap-siap?’),

Prêtre ingin memberikan pendampingan yang terbaik kepada tokoh Aku. Tuturan

tersebut, selain sebagai pertanyaan sekaligus juga memberi kesempatan kepada

tokoh Aku untuk bersiap-siap menjelang pelaksanaan eksekusi mati. Maka

tindakan Prêtre dapat dikategorikan mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim

kearifan karena memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain (Aku) dan

meminimalkan kerugian bagi pihak lain (Aku).

Page 58: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Sementara itu, tokoh Aku yang mengatakan dirinya belum memiliki

kesiapan namun siap menghadapi eksekusi mati. Hal itu berarti tokoh Aku

berusaha memberikan keuntungan sebesar-besarnya kepada pihak lain (pretre).

Usaha tokoh Aku tersebut juga mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan

karena membuat kerugian orang lain (pretre) sekecil-kecilnya dan membuat

keuntungan orang lain (pretre) sebesar-besarnya.

Wacana dialog (2) di bawah ini juga mematuhi prinsip kesantunan,

maksim kearifan.

(2) Konteks : Setelah Prêtre memberikan petuah dan nasihat kepada tokoh Aku, maka masuklah petugas pelaksana keputusan pengadilan (l’hussier) ke dalam sel tokoh Aku untuk menyampaikan surat surat keputusan pengadilan kepada tokoh Aku.

Nrt-4 : Pendant que je vacillais sur ma chaise comme endormi, le bon

vieillard parlait. C’est du moins ce qu’il m’a semblé, et je crois me souvenir que j’ai vu ses lèvres remuer, ses mains s’agiter, ses yeux reluire. La porte s’est rouverte une seconde fois. Le bruit des verrous nous a arrachés, moi à ma stupeur, lui à son discours. Une espèce de monsieur, en habit noir, accompagné du directeur de la prison, s’est présenté, et m’a salué profondément. Cet homme avait sur le visage quelque chose de la tristesse officielle des employés des pompes funèbres. Il tenait un rouleau de papier à la main.

L’hussier : – Monsieur, m’a-t-il dit avec sourire de courtoisie, je suis

huissier près la cour royale de Paris. J’ai l’honneur de vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général.

Nrt-5 : La première secousse était passée. Toute ma présence d’esprit

m’était revenue. Aku : – C’est monsieur le procureur général, lui ai-je répondu, qui

a demandé si instamment ma tête ? Bien de l’honneur pour moi qu’il m’écrive. J’espère que ma mort lui va faire grand plaisir ? Car il me serait dur de

Page 59: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

penser qu’il l’a sollicité avec tant d’ardeur et qu’elle lui était indifférente.

Nrt-6 : J’ai dit tout cela, et j’ai repris d’une voix ferme : – Lisez, monsieur ! Nrt-7 : Il s’est mis à me lire un long texte, en chantant à la fin de chaque

ligne et en hésitant au milieu de chaque mot. C’était le rejet de mon pourvoi.

(19/LDJC/ 70)

Nrt-4 : Selama aku goyah di atas kursiku seperti mengantuk, orang tua

itu berbicara. Paling tidak itu yang kurasakan, dan rasanya aku ingat melihat bibirnya komat-kamit, tangannya bergerak-gerak, matanya berkilat. Pintu terbuka untuk kedua kalinya. Bunyi gerendel menyandarkan kami kembali, menyandarkanku dari rasa terpukau, menyandarkannya dari pidatonya. Sesosok lelaki berpakaian hitam, ditemani direktur penjara, memperkenalkan diri dan memberiku salam dalam-dalam. Orang ini wajahnya menampakkan semacam kesedihan resmi para pegawai pemakaman. Ia memegang sebuah gulungan kertas di tangannya.

l’hussier : – Tuan, ia berkata kepadaku dengan sebuah senyum basa-basi, saya pelaksana keputusan pengadilan kerajaan di Paris. Saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan kepada Anda surat dari Jaksa Tinggi.

Nrt-5 : Guncangan pertama lewat. Semua jiwaku telah kembali

mengumpul. Aku : - Itu bapak Jaksa Tinggi yang dengan sangat telah

meminta kepalaku? Jawabku kepadanya. Benar-benar suatu kehormatan ia mau menulis surat kepadaku. Moga-moga kematianku akan membuatnya senang ? Sebab sangat sukar bagiku untuk membayangkan bagaimana ia, yang dulu sedemikian bernafsu menginginkan kematianku, kini bersikap masa bodoh tentang hal itu.

Nrt-6 : Kukatakan semua itu, dan kulanjutkan dengan tegas - Bacalah, Tuan!

Page 60: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Nrt-7 : Ia kemudian memulai membacakan sebuah naskah yang panjang,

dengan memberi irama di setiap akhir baris dan dengan keraguan di setiap tengah kata. Itu penolakan permohonan bandingku.

L’hussier yang mengatakan dirinya merasa terhormat untuk membawakan

dan membacakan surat dari jaksa tinggi kepada tokoh Aku (J’ai l’honneur de

vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général, ‘Saya

mendapat kehormatan untuk menyampaikan kepada Anda surat dari Jaksa

Tinggi’), merupakan bentuk penghormatan l’hussier kepada tokoh Aku. Tindakan

l’hussier tersebut adalah sebuah usaha untuk memaksimalkan keuntungan kepada

pihak lain (Aku) dan meminimalkan kerugian kepada pihak lain (Aku).

Dengan dasar itu, l’hussier mematuhi prinsip kesantunan, yaitu maksim

kearifan karena membuat kerugian orang lain (Aku) sekecil-kecilnya dan

membuat keuntungan orang lain (Aku) sebesar-besarnya.

Selain dari itu, tokoh Aku juga berusaha memaksimalkan keuntungan bagi

pihak lain (l’hussier) dengan meminta l’hussier agar segera membacakan isi surat

dari kejaksaan tinggi. Walaupun tokoh Aku telah menduga isi surat tersebut

tentang keputusan vonis hukuman mati dan penolakan banding tokoh Aku (seperti

pada Nrt-7). Maka tindakan tokoh Aku mematuhi prinsip kesantunan, yaitu

maksim kearifan karena membuat kerugian orang lain (l’hussier) sekecil-kecilnya

dan membuat keuntungan orang lain (l’hussier) sebesar-besarnya.

4.1.2. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kedermawanan.

Wacana yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan ini adalah

percakapan yang meminimalkan biaya sosial kepada pihak lain. Maksim kearifan

Page 61: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt) maupun pihak ketiga yang

dibicarakan antara Pn dan Pt) di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian

sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya.

Lain halnya, tindakan yang membuat keuntungan diri sendiri sekecil-

kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya merupakan

pematuhan prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. Maksim ini memusatkan

pada skala untung rugi pada diri sendiri. Ditemukan 1 dialog yang mematuhi

prinsip kesantunan, maksim kearifan dan kedermawanan.

Berikut dialog (3) di bawah ini merupakan bentuk ekpresi tokoh Aku yang

mengecilkan perannya (Aku) dengan tidak menggunakan haknya untuk

mengajukan banding atas vonis hukuman mati yang diterimanya.

(3) Konteks : Di dalam sel, masa eksekusi mati yang tinggal enam minggu lagi, tokoh Aku mempertimbangkan untuk naik banding agar bebas dari eksekusi mati.

Nrt-8 : Comptons ce qui me reste.

Trois jours de délai après l’arrêt prononcé pour le pourvoi en cassation. Huit jours d’oubli au parquet de la cour d’assises, après quoi les pièces, comme ils disent, sont envoyées au ministre. Quinze jours d’attente chez le ministre, qui ne sait seulement pas qu’elle existe, et qui, cependant, est supposé les transmettre, après examen, à la cour de cassation. Là, classement, numérotage, enregistrement ; car la guillotine est encombrée, et chacun ne doit passer qu’à son tour. Quinze jours pour veiller à ce qu’il ne vous soit pas fait de passe-droit. Enfin la cour s’assemble, d’ordinaire un jeudi, rejette vingt pourvois en masse, et renvoie le tout au ministre, qui renvoie au procureur général, qui renvoie au bourreau. Trois jours. Le matin du quatrième jour, le substitut du procureur général se dit, en mettant sa cravate :

Pengganti Jaksa Tinggi : – Il faut pourtant que cette affaire finisse.

Page 62: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Aku : – Alors, si le substitut du greffier n’a pas quelque déjeuner d’amis qui l’en empêche, l’ordre d’exécution est minuté, rédigé, mis au net, expédié, et le lendemain dès l’aube on entend dans la place de Grève clouer une charpente, et dans les carrefours hurler à pleine voix des crieurs enroués. En tout six semaines.

(9/LDJC/ 48)

Nrt-8 : Coba kuhitung yang masih tersisa padaku :

Tiga hari tenggang waktu untuk naik banding setelah keputusan dijatuhkan. Delapan hari dilupakan di Dewan Magistratur Pengadilan Tinggi, baru kemudian surat-surat itu, demikian mereka menyebutnya, dikirimkan ke menteri. Lima belas hari menunggu di tempat menteri, yang bahkan tidak mengetahui adanya permohonan banding itu, dan meskipun demikian dibayangkan lalu mengirimkannya ke Pengadilan Kasasi, setelah memeriksanya. Di sana, ada pengelompokkan, penomoran, pencatatan sebab yang mengantri guillotine banyak, masing-masing harus menunggu gilirannya. Lima belas hari untuk memastikan bahwa Anda tidak mendapat perkecualian. Akhirnya dewan berkumpul, biasanya hari kamis, lalu menolak dua puluh permohonan banding sekaligus, dan mengirimkannya semua kembali ke menteri, yang mengirimkannya lagi kepada Jaksa Tinggi. Pagi di hari keempat, pengganti Jaksa Tinggi berkata kepada dirinya sendiri, sambil mengenakan dasinya :

Pengganti Jaksa Tinggi : - Urusan ini memang harus diselesaikan. Aku : - Maka, bila Pengganti Panitera tidak terganggu

oleh acara makan siangnya bersama teman-temannya, perintah pelaksanaan hukuman dijadwalkan dengan ketat, disusun, dibikin dengan rapi, dikirimkan, dan keesokan harinya begitu fajar menyingsing, di bunderan Grève terdengar suara orang memaku tiang hukuman, dan di persimpangan-persimpangan, orang-orang berteriak keras-keras dengan suara parau. Semuanya enam minggu.

Page 63: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Pengganti jaksa tinggi, selanjutnya disingkat PJT, yang menginginkan agar

prosesi eksekusi bagi terpidana mati segera diselesaikan, termasuk bagi tokoh

Aku merupakan tindakan yang sudah tepat karena hal itu memang tugasnya (PJT).

Ketika terpidana mati tidak mengajukan banding ke tingkat kasasi di Mahkamah

Agung, maka tindakan PJT untuk segera melaksanakan eksekusi mati sudah tepat.

Terlepas pro kontra proses vonis pengadilan, tindakan PJT tersebut

mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan karena membuat kerugian orang

lain (Aku) sekecil-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain (Aku) sebesar-

besarnya.

Sementara itu, tokoh Aku yang hanya memperkirakan kemungkinan naik

banding dan peluang bebas atas vonis hukuman matinya (Aku) (seperti pada Nrt-

8) menyiratkan keuntungan yang minimal bagi tokoh Aku. Tokoh Aku

memperkirakan kecilnya peluang bebas dari vonis hukuman mati karena

memperkirakan proses naik banding yang berbeli-belit di tingkat Dewan

Magistratur Pengadilan Tinggi, Kementrian, dan Kejaksaan Tinggi, ditambah

waktu yang sangat mepet, selama enam minggu. Segala perkiraan tokoh Aku

membuatnya (Aku) urung untuk melakukan banding atas kasusnya (Aku),

sehingga tindakan tokoh Aku tersebut mematuhi prinsip kesantunan, yakni

maksim kedermawanan submaksim pertama (membuat keuntungan diri sendiri

sendiri sekecil-kecilnya) dan submaksim kedua (membuat kerugian diri sebesar-

besarnya). Walaupun kalo seandainya tokoh Aku melakukan banding, hal itu

syah-syah saja karena merupakan haknya (Aku).

Page 64: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Maka, Tindakan Aku dapat dinyatakan bahwa dia (Aku) mematuhi prinsip

kesantunan, maksim kedermawanan karena membuat keuntungan diri sendiri

(Aku) sekecil-kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri (Aku) sebesar-

besarnya.

4.1.3. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kesepakatan. Maksim kearifan ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt maupun

pihak ketiga yang dibicarakan antara Pn dan Pt) di dalam tuturan hendaknya

dibebani kerugian sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya.

Adapun percakapan dalam roman yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim

kesepakatan adalah dialog yang mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri

sendiri dan pihak lain terjadi sedikit-dikitnya dan mengusahakan agar kesepakatan

diri sendiri dan pihak lain terjadi sebanyak-banyaknya. Pematuhan maksim

kesepakatan ini berupa percakapan pelaku yang menerima atau setuju dengan apa

yang dikemukakan atau dilakukan pelaku lain (Pt dan atau pihak ketiga yang

dibicarakan oleh Pn dan Pt). Rentangan ketidaksetujuan dari yang minimal sampai

yang maksimal menggambarkan tingkat kesopanan percakapan dari pelaku

percakapan dalam dialog.

Ditemukan 1 wacana monolog dan 2 wacana dialog yang mematuhi

prinsip kesantunan, maksim kearifan dan kesepakatan.

Berikut ini adalah contoh 1 wacana monolog (4) dan 1 wacana dialog (5)

yang mengungkapkan pematuhan prinsip kesantunan, maksim kearifan dan

kesepakatan.

(4) Konteks : Di dalam sel, tokoh Aku baru saja membuat surat wasiat untuk keluarganya.

Page 65: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Aku (Pn) : Je viens de faire mon testament.

Nrt-9 : A quoi bon ? Je suis condamné aux frais, et tout ce que j’ai y suffira à peine. La guillotine, c’est fort cher.

Aku (Pt) : Je laisse une mère, je laisse une femme, je laisse un enfant.

Nrt-10 : Une petite fille de trois ans, douce, rose, frêle, avec de grands

yeux noirs et de longs cheveux châtains. Elle avait deux ans et un mois quand je l’ai vue pour la dernière fois. Ainsi, après ma mort, trois femmes sans fils, sans mari, sans père ; trois orphelines de différente espèce ; trois veuves du fait de la loi. J’admets que je sois justement puni ; ces innocentes, qu’ont-elles fait ? N’importe ; on les déshonore, on les ruine ; c’est la justice. ………….. . Mais ma fille, mon enfant, ma pauvre petite Marie, qui rit, qui joue, qui chante à cette heure, et ne pense à rien, c’est celle-là qui me fait mal !

(10/LDJC/48-49) Aku (Pn) : Aku baru saja membuat surat wasiat.

Nrt-9 : Apa gunanya ? Aku dihukum dan diharuskan membayar biaya pengadilan, dan semua yang kupunyai hampir tidak cukup untuk membayarnya. Guillotine itu sangat mahal.

Aku (Pt) : Aku meninggalkan seorang ibu, aku meninggalkan seorang

istri, aku meninggalkan seorang anak. Nrt-10 : Seorang gadis cilik berumur tiga tahun lembut, merah jambu,

lemah, bermata hitam dan berambut panjang berwarna kecoklat-coklatan. Umurnya dua tahun satu bulan ketika aku melihatnya terakhir kali. Jadi, setelah aku mati, ada tiga wanita tanpa anak, tanpa suami, tanpa ayah. Ada tiga yatim dari jenis berbeda, tiga janda karena hukum. Kuterima bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadaku memang setimpal, tapi ketiga orang yang tidak bersalah ini, apa yang telah mereka lakukan? Itu tidak penting. Mereka telah dipermalukan, mereka telah hancur. Itulak keadilan. ………….. . Tapi putriku, anakku, Marie, gadis cilikku yang malang, yang tertawa, yang bermain, yang bernyanyi saat ini

Page 66: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

dan yang tidak memikirkan apapun , ialah yang membuatku sedih !

Pn telah membuat surat wasiat untuk keluarganya (Aku), Je viens de faire

mon testament, ‘Aku baru saja membuat surat wasiat’, sebelum ia (Aku)

dieksekusi. Tindakan Pn tersebut merupakan haknya (Aku) sekaligus memberikan

keuntungan secara maksimal kepada keluarganya (Aku). Walaupun eksekusi mati

segera dilaksanakan dan masih harus membayar biaya pengadilan (seperti pada

Nrt-9) namun tokoh Aku masih memikirkan kehidupan keluarganya (Aku)

terutama masa depan putrinya yang masih kecil. Maka tindakan Pn mematuhi

prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan karena membuat kerugian orang lain

(keluarga tokoh Aku) sekecil-kecilnya dan membuat keuntungan orang lain

(keluarga tokoh Aku) sebesar-besarnya.

Pt yang menanggapi tuturan Pn dengan menyebutkan bahwa dia (Pt) harus

meninggalkan ibu, istri, dan putrinya (Pt) menegaskan kesepakatan kepada Pn

yang memang harus membuat surat wasiat untuk keluarganya sebelum menjalani

eksekusi mati. Maka tindakan Pt mematuhi prinsip kesantunan, yaitu maksim

kesepakatan karena mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri (Pt) dan pihak

lain (Pn) terjadi sedikit-dikitnya dan mengusahakan agar kesepakatan antara diri

(Pt) dan pihak lain (Pn) terjadi sebanyak-banyaknya.

(5) Konteks : Di dalam selnya, tokoh Aku telah dibangunkan oleh sipir penjara (Guichetier), kemudian tokoh Aku memulai perbincangan (basa-basi) kepada Guichetier.

Aku : – Il fait beau, dis-je au guichetier. Nrt-11 : Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si cela

valait la peine de dépenser une parole ; puis avec quelque effort il murmura brusquement :

Page 67: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Guichetier : – C’est possible.

(2/LDJC/38-39)

Aku : – cuaca cerah, kataku kepada penjara itu. Nrt-11 : Ia diam sesaat, seolah memikirkan apakah perkataanku itu perlu

ditanggapi atau tidak. Kemudian dengan susah payah tiba-tiba ia bergumam :

Guichetier : - mungkin.

Tokoh Aku memiliki pikiran positif yang dapat dilihat melalui tuturannya

(Il fait beau, ’cuaca cerah’) yang menandakan bahwa Aku berharap hari-hari yang

akan dilaluinya berjalan dengan baik sebagaimana harapannya pada hari-hari yang

cerah. Tuturan Aku tersebut sekaligus sebagai kalimat sapaan kepada Guichetier.

Maka tindakan Aku telah meminimalkan kerugian dan memaksimalkan

keuntungan kepada Guichetier. Tindakan tersebut mematuhi prinsip kesantunan,

yakni maksim kearifan karena telah membuat kerugian orang lain (Guichetier)

sekecilnya-kecilnya (dengan membuka percakapan kepada Guichetier) dan

membuat keuntungan orang lain (Guichetier) sebesar-besarnya (dengan membuka

percakapan kepada Guichetier).

Sementara itu, tindakan Guichetier yang menanggapi pernyataan sekaligus

pertanyaan dari Aku merupakan bentuk kesepakatan Guichetier kepada Aku.

Sehingga Guichetier mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesepakatan. Tuturan

Guichetier (– C’est possible, ‘-mungkin’) menyatakan bentuk kesepakatan kepada

Aku. Hal ini sesuai dengan bunyi maksim kesepakatan submaksim pertama yang

menekankan untuk mengusahakan agar ketaksepakatan antara diri sendiri dan

orang lain terjadi sedikit-dikitnya. Secara tersurat, bentuk kesepakatan terjadi

Page 68: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

dikarenakan adanya tuturan Guichetier yang mengungkapkan ketaksepakatan

secara tidak frontal. Hal ini dapat dilihat pada tuturan Guichetier (– C’est

possible, ‘- mungkin’) yang tidak secara tegas menyepakati apakah cuaca cerah

atau tidak cerah (seperti yang diinginkan Aku melalui tuturannya), namun sudah

bisa mengarah pada kesepakatan kepada Aku karena ada kemungkinan cuaca

cerah. Sehingga dapat dikatakan Guichetier mengurangi ketidaksepakatannya

dengan kesepakatan sebagian. Apalagi Guichetier tetap memberikan

tanggapannya kepada Aku walaupun dengan susah payah (seperti pada Nrt-11).

Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Guichetier mematuhi

prinsip kesantunan, maksim kesepakatan karena mengusahakan agar

ketaksepakatan antara diri Sendiri (Guichetier) dan pihak lain (Aku) terjadi

sedikit-dikitnya dan mengusahakan agar kesepakatan antara diri Sendiri

(Guichetier) dan pihak lain (Aku) terjadi sebanyak-banyaknya.

4.1.4. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kesimpatian.

Maksim kearifan memprioritaskan kutub skala untung rugi yang terpusat

pada pihak lain (Pt maupun pihak ketiga yang dibicarakan antara Pn dan Pt) maka

hendaknya pihak lain di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian sekecil-

kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Di sisi lain, maksim

kesimpatian mewajibkan kepada Pn untuk mengucapkan bela sungkawa sebagai

tanda kesimpatian apabila Pt atau pihak ketiga yang dibicarakan mendapat

musibah. Dari analisis data, ditemukan 2 wacana dialog yang mematuhi prinsip

kesantunan, maksim kearifan dan kesimpatian.

Page 69: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Vonis hukuman mati adalah musibah bagi tokoh Aku, oleh karena itu

friauche memberikan simpati dengan menasehati agar tidak takut menghadapi

vonis hukuman mati. Dialog (6) di bawah ini merupakan ekspresi kesimpatian

friauche kepada tokoh Aku.

(6) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, friauche telah selesai menceritakan kisah hidupnya hingga ia (friauche) mendapat vonis hukuman mati kepada tokoh Aku. Kemudian ia (friauche) menasehati tokoh Aku untuk berani menghadapi eksekusi mati.

Nrt-12 : J’étais resté stupide en l’écoutant. Il s’est remis à rire plus

haut encore qu’en commençant, et a voulu me prendre la main. J’ai reculé avec horreur.

Friauche : – L’ami, m’a-t-il dit, tu n’as pas l’air brave. Ne va pas faire

le singe devant la carline1. Vois-tu, il y a un mauvais

moment à passer sur la placarde2 ; mais cela est sitôt fait ! Je voudrais être là pour te montrer la culbute. Mille dieux ! J’ai envie de ne pas me pourvoir, si l’on veut me faucher aujourd’hui avec toi. Le même prêtre nous servira à tous deux ; ça m’est égal d’avoir tes restes. Tu vois que je suis un bon garçon. Hein ! Dis, veux-tu ? D’amitié !

Nrt-13 : Il a encore fait un pas pour s’approcher de moi. Aku : – Monsieur, lui ai-je répondu en le repoussant, je vous

remercie.

(30/LDJC/82-83)

Nrt-12 : Aku diam mendengarkan seperti orang tolol. Ia tertawa lebih keras lagi daripada saat pertama, dan bermaksud memegang tanganku. Aku mundur dengan rasa ngeri.

Friauche : – Sobat, katanya kepadaku, kau tampak kurang tabah.

Janganlah kelihatan takut. Memang, ada saat yang tidak enak untuk dilalui di bunderan itu nanti, tapi itu cepat berlalu ! Aku ingin berada di sana untuk

1 Le poltron devant la mort. 2 Place de Grève.

Page 70: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

menunjukkan kepadamu bagaimana aku berjungkir balik, melakukan roda. Ya, Tuhan ! Aku mau tidak naik banding, kalau mereka bersedia membabatku hari ini bersamamu. Pendeta yang sama bisa kita pakai berdua. Tidak apa-apa bagiku mendapatkan sisamu. Kamu lihat bukan, kalau aku orang baik. Eh ! Kamu mau ? Bersahabat denganku !

Nrt-13 : Ia maju lagi satu tindak untuk mendekatiku. Aku : – Tuan, jawabku kepadanya sambil mendorongnya mundur,

aku ucapkan terima kasih.

Friauche ikut merasakan apa yang sedang dirasakan oleh tokoh Aku

karena sama-sama sebagai terpidana mati. Maka dia (Friauche) memberikan

nasehat kepada tokoh Aku untuk tidak takut menghadapi eksekusi mati bahkan

menawarkan untuk bersama melalui eksekusi mati. Dia (friauche) rela tidak

mengajukan banding asal bisa menjalani eksekusi mati bersama tokoh Aku.

Nasehat-nasehat dan tawaran friauche merupakan ekspresi kesimpatian friauche

kepada tokoh Aku.

Dengan demikian, friauche mematuhi prinsip kesantunan, maksim

kesimpatian karena telah memberi nasehat dan simpati kepada tokoh Aku,

friauche mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (friauche) dengan pihak lain

(Aku) hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-

banyaknya antara diri sendiri (friauche) dengan pihak lain (Aku).

Sementara itu, tokoh Aku yang mengucapkan terima kasih atas tawaran-

tawaran friauche merupakan bentuk usaha untuk menghormati friauche. Tokoh

Aku mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan karena dengan

menghormati friauche berarti telah memaksimalkan keuntungan pada friauche.

Page 71: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Walaupun tuturan tokoh Aku juga bisa berarti penolakan atas segala tawaran-

tawaran friauche.

4.1.5. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian.

Peserta tindak tutur yang memberikan ucapan selamat kepada mitra

tuturnya ketika mendapat kesuksesan atau kebahagiaan atau memberikan simpati

ketika mitra tuturnya mendapatkan kesusahan atau musibah adalah tanda bahwa

peserta tindak tutur tersebut mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim

kesimpatian. Maksim ini menegaskan antar peserta tindak tutur untuk mengurangi

rasa antipati hingga sekecil-kecilnya.

Berikut contoh monolog (7) yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim

kesimpatian.

(7) Konteks : Tokoh Aku belum bisa tidur di selnya yang khusus bagi terpidana mati, ia (Aku) mengamati segala bentuk ruang selnya yang merupakan bangunan bekas istana Bicêtre yang dibangun pada abad kelima belas oleh Kardinal Winchester. Tiba-tiba ia (Aku) menemukan coretan gambar tempat pemancungan yang membuat dia (Aku) kaget karena coretan gambar tersebut mengingatkannya (Aku) pada hukuman mati yang akan menimpannya (Aku).

Nrt-14 : Je n’irai pas plus loin dans ma recherche.

Aku (Pn) : – Je viens de voir, crayonnée en blanc au coin du mur, une image épouvantable, la figure de cet échafaud qui, à l’heure qu’il est, se dresse peut-être pour moi.

Aku (Pt) : – La lampe a failli me tomber des mains. Nrt-15 : Je suis revenu m’asseoir précipitamment sur ma paille, la tête

dans les genoux. Puis mon effroi d’enfant s’est dissipé, et une étrange curiosité m’a repris de continuer la lecture de mon mur.

(11/LDJC/52)

Nrt-14 : Aku tidak melanjutkan lebih jauh lagi penelitianku.

Page 72: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Aku (Pn) : – Baru saja kulihat sebuah gambar yang menyeramkan di sudut dinding, digambar dengan krayon putih : gambar tempat pemancungan yang saat ini sedang didirikan untukku.

Aku (Pt) : - Lampu yang kupegang hampir terlepas jatuh. Nrt-15 : Aku buru-buru duduk di atas tumpukan jeramiku,

kusembunyikan kepalaku di sela-sela dengkulku. Kemudian rasa takutku yang kekanak-kanakan itu hilang, dan rasa ingin tahu yang aneh mendorongku untuk meneruskan membaca tulisan-tulisan yang ada di tembok selku.

Pn tidak melanjutkan pengamatannya (Aku) pada ruang selnya (seperti

pada Nrt-14) karena telah melihat gambar tempat pemancungan karena

mengingatkannya (Aku) pada eksekusi hukuman mati yang akan dijalaninya

merupakan bentuk kesimpatian atas penderitaan yang dialaminya sendiri akibat

vonis hukuman mati. Pn begitu sensitif mengungkapkan ekspresinya yang

langsung teringat vonis hukuman mati ketika melihat gambar tempat

pemancungan pada tembok sel penjara padahal hanya berupa gambar. Maka

ekspresi Pn (Je viens de voir, crayonnée en blanc au coin du mur, une image

épouvantable, la figure de cet échafaud qui, à l’heure qu’il est, se dresse peut-être

pour moi, ’Baru saja kulihat sebuah gambar yang menyeramkan di sudut dinding,

digambar dengan krayon putih : gambar tempat pemancungan yang saat ini

sedang didirikan untukku’) itu mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim

kesimpatian karena mengurangi rasa antipati antara diri (Pn) dengan pihak lain,

dirinya sendiri (Pn) hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati

sebanyak-banyaknya antara diri (Pn) dengan pihak lain, dirinya sendiri (Pn).

Ekspresi Pt berupa tindakan dengan hampir melepaskan lampu yang dia

(Pt) pegang juga merupakan bentuk kesimpatian. Pt begitu kaget ketika

Page 73: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

menemukan gambar tempat pemancungan pada dinding ruang sel penjara.

Ekspresi tersebut sebagai tanda simpati atas penderitaan yang dialami Pn karena

mendapat vonis hukuman mati. Maka Pt juga mematuhi prinsip kesantunan, yakni

maksim kesimpatian karena mengurangi rasa antipati antara diri (Pt) dengan pihak

lain (Pn) hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-

banyaknya antara diri (Pt) dengan pihak lain (Pn).

4.5. Pelanggaran Prinsip Kesantunan.

Dialog yang terjadi antara Pn dan Pt memungkinkan adanya pelanggaran

prinsip kesantunan yang lebih dari satu pelanggaran. Pelanggaran-pelanggaran

yang dilakukan oleh Pn dan atau Pt bisa saja sama ataupun berbeda. Ditemukan

16 data yang melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan (3 tuturan),

kedermawanan (13 tuturan), pujian (3 tuturan), kerendahan hati (1 tuturan), dan

kesimpatian (10 tuturan).

4.2.1. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Kedermawanan.

Percakapan yang tidak memaksimalkan keuntungan pihak lain atau justru

memaksimalkan keuntungan diri sendiri, berarti percakapan tersebut melanggar

prinsip kesantunan, yaitu maksim kearifan dan kedermawanan. Hasil analisis data,

ditemukan 1 wacana monolog dan 2 dialog yang melanggar prinsip kesantunan,

yaitu maksim kearifan dan kedermawanan.

Berikut contoh dialog (8) yang melanggar prinsip kesantunan, yaitu

maksim kearifan dan kedermawanan.

Page 74: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

(8) Konteks : Tokoh Aku bertanya kepada Marie mengenai isi doa yang ditujukan kepada ayahnya (Marie).

Nrt-16 : Je l’ai baisée au front. Aku : – Marie, dis-moi ta prière.

Marie : – Je ne peux pas, monsieur. Une prière, cela ne se dit pas dans le jour. Venez Ce soir dans ma maison; je la dirai.

(45/LDJC/110)

Nrt-16 : Kucium keningnya. Aku : – Marie, katakan kepadaku bagaimana doamu ?. Marie : – Aku tidak bisa melakukannya, Tuan. Doa itu tidak

diucapkan di siang hari. Datanglah malam ini ke rumahku. Nanti kukatakan.

Tindakan tokoh Aku yang menciumi kening Marie (seperti pada Nrt-16)

dan menanyakan isi doa Marie merupakan ekspresi pemaksimalan keuntungan

pada diri sendiri (Aku). Walaupun tindakan Aku itu dilakukan kepada putrinya

(Marie) sendiri, namun ternyata Marie tidak mengenalnya lagi akibatnya Marie

merasa tidak nyaman dengan sikap dan pertanyaan tokoh Aku. Dengan demikian,

dapat disimpulkan tindakan tokoh Aku melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan karena tidak membuat keuntungan diri sendiri (Aku) sekecil-

kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri (Aku) sebesar-besarnya.

Tokoh Aku seharusnya bisa sebijak mungkin untuk menggunakan

pendekatan kepada Marie agar mengenalinya lagi sebagai ayahnya, semisal

dengan tidak terlalu memaksakan untuk mencium kening Marie. Tuturan tokoh

Aku bisa diganti dengan semisal tuturan (8a) berikut, yang terkesan lebih sopan,

(8a) Marie, pourrais-tu raconter ta prière.

Page 75: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

‘Marie, sudilah (kamu) menceritakan doamu’.

Apabila tokoh Aku menggunakan tuturan (8a) naka terkesan lebih sopan

karena dia tidak menyebutkan dirinya sebagai pihak yang mendapatkan

keuntungan dari konsekuensi dari tuturan (8a).

Lain halnya, Marie yang menolak menyebutkan isi doanya merupakan

bentuk penolakan atas permintaan tokoh Aku. Penolakan tersebut mengakibatkan

kerugian bagi pihak lain (Aku) walaupun penolakan tersebut bisa jadi ekspresi

kejujuran seorang Marie yang masih kanak-kanak. Namun demikian, penolakan

Marie sudah dapat dikatakan melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan

karena tidak membuat kerugian orang lain (Aku) sekecil-kecilnya dan tidak

membuat keuntungan orang lain (Aku) sebesar-besarnya

Marie bisa menolak keinginan tokoh Aku dengan tuturan yang lebih halus,

semisal dengan tuturan (8b) berikut.

(8b) Oui, monsieur mais je ne pourrais pas. Une prière, cela ne se dit pas dans le jour. Vous pourriez venir chez moi, s’il vous plaît; je la dirai.

‘Iya, Tuan, tetapi saya terpaksa tidak bisa melakukannya. Doa itu

tidak diucapkan di siang hari. Sudilah (anda) datang ke rumah saya. Nanti kukatakan. ’.

Ketika menolak permintaan tokoh Aku dengan menggunakan tuturan (8b)

di atas maka akan terkesan lebih sopan karena Marie tidak menolak secara frontal

melainkan menolak sebagaian. Penolakan sebagian itu berupa jawaban oui, ’iya’

yang mengiyakan keinginan tokoh Aku walupun akhirnya menolak keinginan

tokoh Aku.

Page 76: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan

bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur

percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu

adalah menyatakan harapan, yaitu harapan agar Marie mengingat kembali dirinya

(Aku) sebagai ayahnya.

Lain halnya, tuturan Marie mengandung implikasi ketakutan, yaitu

ketakutan Marie kepada tokoh Aku yang tidak ia (Marie) kenal.

4.2.2. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan. Setiap percakapan berisi ide-ide pemikiran dari Pn-nya sehingga

cenderung melebih-lebihkan kepentingan dirinya (Pn). Namun dalam prinsip

kesantunan diatur agar peran diri sendiri sekecil-kecilnya, hal inilah yang disebut

mematuhi maksim kedermawanan. Jika sebaliknya maka melanggar maksim

kedermawanan. Maksim ini menegaskan untuk membuat keuntungan diri sendiri

sekecil-kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya. Dari hasil

analisis data, ditemukan 5 wacana dialog yang melanggar prinsip kesantunan,

maksim kedermawanan.

Berikut ditampilkan 2 wacana dialog (9), (10) sebagai sampel.

(9) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, tembakau milik petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) jatuh pada saat ditawarkan kepada tokoh Aku.

Nrt-17 : En ce moment sa tabatière, qu’il me tendait, a rencontré le

grillage qui nous séparait. Un cahot a fait qu’elle l’a heurté assez violemment et est tombée tout ouverte sous les pieds du gendarme.

Page 77: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

L’huissier : – Maudit grillage ! S’est écrié l’huissier. Nrt-18 : Il s’est tourné vers moi. – Eh bien ! Ne suis-je pas malheureux ? Tout mon tabac est

perdu ! Aku : – Je perds plus que vous, ai-je répondu en souriant. Nrt-19 : Il a essayé de ramasser son tabac, en grommelant entre ses

dents : L’huissier : – Plus que moi ! Cela est facile à dire. Pas de tabac jusqu’à

Paris ! C’est terrible !

(28/LDJC/77-78)

Nrt-17 : Pada saat itu, kotak tembakau yang ia sodorkan kepadaku membentur jeruji yang memisahkan kami. Sebuah guncangan telah menyebabkannya membentur jeruji dengan cukup keras sehingga kotak itu jatuh terbuka di lantai, di dekat kaki si prajurit.

L’huissier : – Teralis sialan ! teriak pelaksana keputusan hukuman itu. Nrt-18 : Ia berpaling kepadaku. – Lihat ! Apakah aku tidak menderita ? Aku kehilangan

semua tembakauku ! Aku : – Aku kehilangan lebih dari Anda, jawabku sambil

tersenyum. Nrt-19 : Ia mencoba memunguti tembakaunya sambil mendesis

menggerutu : L’huissier : – Lebih dariku ! Bicara, mudah ! Tanpa tembakau

sampai Paris ! Benar-benar menjengkelkan !

L’huissier menyampaikan amarahnya kepada tokoh Aku karena

tembakaunya telah jatuh pada saat mau ditawarkan kepada tokoh Aku. Tindakan

l’huissier tersebut memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri sehingga

Page 78: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. Jatuhnya tembakau

l’huissier adalah akibat dari kesalahan l’huissier sendiri yang tidak memegang

tembakaunya dengan kuat namun dia (l’huissier) menyalahkan tokoh Aku. Hal itu

berarti l’huissier juga meminimalkan kerugian bagi diri sendiri. Maka l’huissier

melanggar submaksim (membuat keuntungan diri sendiri sekecil-kecilnya)

pertama dan submaksim (membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya) kedua

prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.

L’huissier seharusnya tidak harus mengungkapkan kekesalannya kepada

tokoh Aku akbat tembakaunya yang jatuh, justru dia harus minta maaf kepada

tokoh Aku karena tidak jadi menawarkan tembakau. Dengan demikian, tuturan

l’huissier bisa diganti dengan semisal tuturan (9a) berikut.

(9a) Excuxez-moi, monsieur, je ne donnerrais pas encore mon tabac.

‘Maafkan saya Tuan, saya belum jadi memberi tembakauku.’

Tuturan (9a) di atas lebih terasa sopan. Tokoh Aku-pun akan menanggapi

dengan halus pula ketika l’huissier membuka pembicaraan dengan bahasa yang

sopan.

Di sisi lain, tokoh Aku terpancing amarahnya karema l’huissier telah

menyalahkan dirinya sebagai penyebab jatuhnya tembakau l’huissier. Tokoh Aku

menganggap hilangnya tembakau tidak sebanding dengan dirinya (Aku) yang

akan kehilangan nyawa. Tindakan tokoh Aku tersebut juga melanggar prinsip

kesantunan, yakni maksim kedermawanan karena tokoh Aku memaksimalkan

keuntungan bagi diri sendiri, yang menganggap dirinya orang yang akan paling

kehilangan, yakni kehilangan nyawanya.

Page 79: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Tokoh Aku seharusnya bisa ikut bersimpati dengan jatuhnya tembakau

milik l’huissier. Tokoh Aku bisa mengungkapkan kesimpatiannya, semisal

dengan tuturan (8b) berikut.

(9a) N’inquiétez pas, Monsieur, il est seulement un tabac.

‘Jangan khawatir Tuan, itu hanyalah tembakau.’

Tuturan l’huissier yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan

bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur

percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu

adalah menyatakan kekecewaan, yaitu kekecewaan karena tembakaunya jatuh.

Lain halnya, tuturan Aku mengandung implikasi kegundahan, yaitu

kegundahan dirinya yang akan kehilangan nyawa.

Dialog (10) d bawah ini juga mematuhi prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan.

(10) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Gendarme meminta tolong kepada tokoh Aku agar ketika sudah mati untuk menemuinya (gendarme) memberi nomer undian lewat mimpi.

Nrt-20 : Il a baissé la voix et pris un air mystérieux, ce qui n’allait

pas à sa figure idiote. Gendarme : – Oui, criminel, oui bonheur, oui fortune. Tout cela me

sera venu de vous. Voici. Je suis un pauvre gendarme. Le service est lourd, la paye est légère ; mon cheval est à moi et me ruine. Or, je mets à la loterie pour contre-balancer. Il faut bien avoir une industrie. Jusqu’ici il ne m’a manqué pour gagner que d’avoir de bons numéros. J’en cherche partout de sûrs ; je tombe toujours à côté. Je mets le 76 ; il sort le 77. J’ai beau les nourrir, ils ne

Page 80: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

viennent pas… – Un peu de patience, s’il vous plaît ; je suis à la fin. - Or, voici une belle occasion pour moi. Il paraît, pardon, criminel, que vous passez aujourd’hui. Il est certain que les morts qu’on fait périr comme cela voient la loterie d’avance. Promettez-moi de venir demain soir, qu’est-ce que cela vous fait ? Me donner trois numéros, trois bons. Hein ? – Je n’ai pas peur des revenants, soyez tranquille. – Voici mon adresse : Caserne Popincourt, escalier A, n° 26, au fond du corridor. Vous me reconnaîtrez bien, n’est-ce pas ? – Venez même ce soir, si cela vous est plus commode.

Nrt-21 : J’aurais dédaigné de lui répondre, à cet imbécile, si une

espérance folle ne m’avait traversé l’esprit. Dans la position désespérée où je suis, on croit par moments qu’on briserait une chaîne avec un cheveu.

Aku : Écoute, lui ai-je dit en faisant le comédien autant que le

peut faire celui qui va mourir, je puis en effet te rendre plus riche que le roi, te faire gagner des millions. – À une condition.

Nrt-22 : Il ouvrait des yeux stupides. Gendarme : – Laquelle ? Laquelle ? Tout pour vous plaire, mon

criminel.

Aku : Au lieu de trois numéros, je t’en promets quatre. Change d’habits avec moi.

Gendarme : – Si ce n’est que cela ! s’est-il écrié en défaisant les

premières agrafes de son uniforme.

Nrt-23 : Je m’étais levé de ma chaise. J’observais tous ses mouvements, mon cœur palpitait. Je voyais déjà les portes s’ouvrir devant l’uniforme de gendarme, et la place, et la rue, et le Palais de Justice derrière moi!

(38/LDJC/94-95)

Nrt-20 : Ia memelankan suaranya dan memasang wajah misterius,

yang tidak sesuai dengan mukanya yang tolol. Gendarme : – Ya, penjahat, ya kebahagian, ya keberuntungan.

Semua itu akan datang berkatmu. Begini. Aku ini seorang prajurit melarat. Tugasku berat tapi gajiku

Page 81: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

sedikit. Kudaku menjadi tanggunganku dan membuatku bangkrut. Oleh karenanya aku pasang lotere untuk mengimbanginya. Kita kan harus punya penghasilan. Sampai sekarang yang kurang hanyalah memasang noemr yang tepat. Aku mencari ke mana-mana nomor yang sip, tapi selalu meleset. Aku pasang 76, yang keluar 77. Nomor itu kupasangi terus, tapi tidak pernah keluar..... – Tolong sabar sebentar, aku segera selesai. - Nah, kini kesempatan yang bagus tiba. Kelihatannya, maaf ya penjahat, hari ini hari terakhir Anda. Orang yang akan dimusnahkan begitu pasti dapat melihat nomor yang akan keluar. Tolong kunjungi aku besok malam ? Apa rugi Anda memberiku tiga nomer ? Tiga nomor yang siip ! Yaa ? – Aku tidak takut hantu, tenang saja. – Ini alamatku : asrama Popincourt, tangga A, no. 26, di ujung. Anda pasti akan mengenaliku, kan ? – Bahkan datanglah malam ini jika itu lebih praktis buat Anda.

Nrt-21 : Sebenarnya aku tidak sudi menjawab orang tolol ini, kalau

saja tidak terlintas di benakku satu harapan konyol. Dalam keadaan putus asa sepertiku saat ini, terkadang orang merasa mampu merantaskan rantai dengan seutas rambut.

Aku : Dengar, kataku bersandiwara semampu mungkin yang

dilakukan seorang di ambang kematian, memang benar aku bisa membuatmu kaya melebihi raja, membuatmu menang jutaan. – Tapi dengan satu syarat.

Nrt-22 : Ia membelalak tolol. Gendarme : – Apa ? Apa syaratnya ? Akan kulakukan apa pun

untuk menyenangkanmu, wahai penjahatku.

Aku : Tidak hanya empat nomer, akan kuberi kamu empat nomer. Mari bertukar pakaian.

Gendarme : – Kalau hanya itu saja ! serunya sambil melepas kancing-

kancing seragamnya.

Nrt-23 : Aku bangkit dari kursiku. Kuperhatikan semua gerakannya, jantungku berdebar. Tampak sudah padaku pintu-pintu terbuka dihadapanku yang mengenakan seragam prajurit, kemudian bunderan, jalan, dan gedung Palais de Justice di belakangku !

Page 82: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Gendarme meminta kepada tokoh Aku untuk memberinya nomer undian

lotere ketika sudah mati nanti. Keinginan gendarme tersebut sangat

memaksimalkan keuntungan diri sendiri karena kenyataannya tokoh Aku belum

mati. Sementara itu, keinginan gendarme baru terjadi ketika tokoh Aku sudah

mati. Tuturan gendarme sangat kurang sopan karena dia menyebutkan

keinginanya dengan sangat jelas dan terang, bahkan memberikan alamat

rumahnya. Hal ini tidak sesuai dengan bunyi maksim kedermawanan yang

mengharuskan setiap peserta tindak tutur untuk membuat keuntungan diri sendiri

sekecil-kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya. Maka dapat

dipastikan bahwa gendarme telah melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan.

Gendarme yang memiliki keinginan untuk menjadi kaya, seharusnya tidak

harus memilih mengadu nasib dengan membeli nomer undian lotere. Dia

(gendarme) bisa memilih pekerjaan lain atau fokus bekerja dengan serius sebagai

sipir penjara yang kemudian naik pangkat dengan naiknya gaji. Gendarme bisa

saja meminta informasi kepada tokoh Aku kalau seandainya punya informasi

kerja atau usaha yang menghasilkan uang. Gendarme bisa bertanya, semisal

dengan tuturan (9a) berikut.

(10a) Excusez-moi, monsieur, est-ce que vous avez connu un travail?, j’ai besoin d’augmenter mon salary.

‘Permisi Tuan, apakah Anda mengetahui tentang info pekerjaan

baru ? saya harus menaikkan pendapatan saya.’ Tuturan (10a) di atas terasa lebih sopan dan efektif karena jikalau

l’huissier menggunakan tuturan (10a) tersebut maka dia bisa mendapatkan

Page 83: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

informasi kerja baru yang berpeluangan untuk menambah gajji. Selain dari itu,

dengan tuturan (8a) tersebut l’huissier tidak harus mengusik batin tokoh Aku yang

memang sudah mendapat vonis hukuman mati.

Di sisi lain, tokoh Aku yang menyebutkan akan memberi nomer undian

lotere kepada l’huissier dengan syarat bertukar pakaian memaksimalkan

keuntungan bagi diri sendiri. Tokoh Aku mencoba untuk menipu l’huissier

dengan berpura-pura minta ganti pakaian agar bisa digunakan untuk menyamar

agar dapat melarikan diri dari penjara Bicêtre.

Dengan dasar itu, tokoh Aku melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim

kedermawanan karena tidak membuat keuntungan diri sendiri (Aku) sekecil-

kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri (Aku) sebesar-besarnya.

Tokoh Aku sebenarnya bisa memberikan nasihat kepada l’huissier untuk

serius dalam bekerja atau membuat usaha yang bisa menambah pendapatan

l’huissier.

Tuturan l’huissier yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan

bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur

percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu

adalah menyatakan harapan, yaitu harapan menjadi orang yang kaya atau

berpenghasilan tinggi.

Sama halnya, tuturan Aku juga mengandung implikasi harapan, yaitu

harapan agar lolos dari jeratan hukuman mati.

Page 84: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

4.2.3. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan Pujian. Dialog merupakan representasi dari keinginan setiap individu peserta

tindak tutur, walaupun setiap peserta tindak tutur memiliki keinginan namun di

dalam norma prinsip kesantunan mengharuskan setiap peserta tindak tutur untuk

meminimalkan keuntungan diri sendiri. Namun jika tidak bisa mematuhi norma

tersebut maka peserta tindak tutur melanggar prinsip kesantnan, maksim

kedermawanan.

Sementara itu, jika peserta tindak tutur mengatakan hal-hal yang tidak

menyenangkan mengenai orang lain, terutama mengenai Pt, maka peserta tindak

tutur tersebut malanggar prinsip kesantunan, maksim pujian. Data yang telah

dianalisis, ditemukan 3 dialog yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan dan pujian. 1 data dialog akan dibahas di bawah ini sebagai

sampel.

Berikut wacana (11) sebagai data yang melanggar prinsip kesantunan,

maksim kedermawanan dan pujian.

(11) Konteks : Tokoh Aku dikawal petugas pelaksana pengadilan (l’huissier), pastor penjara, dan enam prajurit menuju bunderan Grève dengan menggunakan kereta. Di dalam kereta tersebut, tokoh Aku ikut masuk ke dalam perbincangan antara l’huissier dan pastor.

L’huissier : – Bah ! a repris l’huissier, il est impossible que vous ne

sachiez pas cela. La nouvelle de Paris ! La nouvelle de ce matin !

Nrt-24 : J’ai pris la parole. Aku : – Je crois la savoir.

Page 85: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Nrt-25 : L’huissier m’a regardé. L’huissier : – Vous ! Vraiment ! En ce cas, qu’en dites-vous ? Aku : – Vous êtes curieux ! Lui ai-je dit.

(24/LDJC/74-75)

L’huissier : – Ah ! Lanjut pelaksana hukuman mati itu, tidak mungkin kalau Anda tidak mengetahuinya. Berita tentang yang terjadi di Paris ! Berita pagi ini !

Nrt-24 : Aku angkat suara : Aku : - Kukira aku tahu. Nrt-25 : Pelaksana hukuman itu memandangiku. L’huissier : – Anda ! Benarkah ! Kalau begitu apa pendapat Anda ? Aku : – Anda melit ! Kataku kepadanya.

L’huissier yang memaksa pastor penjara untuk bercerita tentang berita di

Paris memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri (l’huissier). Melalui

tuturanya (Bah ! a repris l’huissier, il est impossible que vous ne sachiez pas

cela. La nouvelle de Paris ! La nouvelle de ce matin !, ‘Ah ! Lanjut pelaksana

hukuman mati itu, tidak mungkin kalau Anda tidak mengetahuinya. Berita

tentang yang terjadi di Paris ! Berita pagi ini !,), l’huissier bahkan tidak

percaya kalau pastor penjara tidak mengetahui berita tentang paris pada hari itu.

Tindakan l’huissier yang memaksakan keinginannya kepada pastor penjara

tersebut tidak memaksimalkan kerugian pada diri sendiri. Maka l’huissier

melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan karena tidak membuat

keuntungan diri sendiri sekecil-kecilnya dan tidak membuat kerugian diri sendiri

sebesar-besarnya.

Page 86: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

L’huissier seharusnya menyampaikan keinginannya dengan bahasa yang

lebih santun, semisal tuturan (11a) berikut.

(11a) Excusez-moi, pourriez vous me raconter le nouvelle sur, ce jour.

‘Permisi Tuan, sudilah kiranya (Anda) bercerita berita tentang Paris hari ini.’

jika l’huissier mengungkapkan keinginannya untuk mengetahui berita

tentang Paris dengan menggunakan tuturan (11a) di atas akan terasa lebih sopan.

Adapun tokoh Aku yang mengatakan l’huissier sebagai orang yang melit

(memiliki keingintahuan yang tinggi) menyiratkan bahwa tokoh Aku mengecam

l’huissier sebagai seorang yang menganggu dirinya maupun pastor penjara. Hal

itu dilakukan tokoh Aku karena dia (Aku) merasa terganggu dengan l’huissier

yang terlalu memaksakan keinginannya kepada pastor penjara untuk mengetahui

berita tentang berita di Paris pada hari itu. Maka tokoh Aku melanggar prinsip

kesantunan, maksim pujian karena tidak mengecam orang lain sedikit-dikitnya.

Ketika tokoh Aku sudah mengatakan bahwa dia tahu berita tentang Paris

(Je crois la savoir, ’Kukira aku tahu’), seharusnya dia menjawab pertanyaan

l’huissier.

Tuturan l’huissier yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan

bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur

percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu

adalah menyatakan keingintahuan, yaitu keingintahuan tentang berita baru

mengenai Paris.

Page 87: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Sama halnya, tuturan Aku juga mengandung implikasi penolakan, yaitu

menolak menjawab pertanyaan l’huissier.

4.2.4. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan Kesimpatian. Setiap peserta tindak tutur yang sangat mengedepankan kepentingan

pribadinya dengan tuturan yang diutarakan dengan langsung kemungkinan besar

melanggar prinsip kesantunan. Selain dari itu, setiap peserta tindak tutur yang

tidak mampu memahami kesedihan atau bencana yang dialami oleh orang lain

kecenderungannya akan melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.

Wacana monolog (12) di bawah ini melanggar prinsip kesantunan, yakni

maksim kedermawanan dan kesimpatian.

(12) Konteks : Ketika di balai pengobatan, tokoh Aku mendengar seorang gadis berumur 15 tahun yang sedang bernyanyi tentang ratapan seorang pencuri yang membuat kecewa istrinya. Seketika itu, tokoh Aku terpikir untuk melarikan diri dari penjara Bicêtre untuk bertemu keluarganya (Aku).

Nrt-26: Oh ! Si je m’évadais, comme je courrais à travers champs !

Non, il ne faudrait pas courir. Cela fait regarder et soupçonner. Au contraire, marcher lentement, tête levée, en chantant. Tâcher d’avoir quelque vieux sarrau bleu à dessins rouges. Cela déguise bien. Tous les maraîchers des environs en portent.

Je sais auprès d’Arcueil un fourré d’arbres à côté d’un marais, où, étant au collège, je venais avec mes camarades pêcher des grenouilles tous les jeudis. C’est là que je me cacherais jusqu’au soir. La nuit tombée, je reprendrais ma course. J’irais à Vincennes. Non, la rivière m’empêcherait. J’irais à Arpajon.

Aku (Pn) : – Il aurait mieux valu prendre du côté de Saint-Germain, et

aller au Havre, et m’embarquer pour l’Angleterre. – N’importe ! J’arrive à Longjumeau. Un gendarme passe ; il me demande mon passeport… Je suis perdu !

Page 88: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Aku (Pt) : – Ah ! Malheureux rêveur, brise donc d’abord le mur épais de trois pieds qui t’emprisonne ! La mort ! La mort !

(15/LDJC/67)

Nrt-26: Oh, seandainya aku melarikan diri, betapa aku akan berlari

melintasi ladang-ladang !

Tidak, jangan lari. Itu akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Sebaliknya, aku akan pelan-pelan, kepala tegak, sambil bernyanyi. Aku harus berusaha mendapat pakaian kerja yang sudah lama dipakai, berwarna biru dengan gambar-gambar merah. Itu merupakan penyamaran yang bagus. Semua petani sayur di sekitar ini memakainya. Aku tahu bahwa di dekat Arcueil ada segerumbul pohon di dekat pohon di dekat rawa, tempat yang sering kukunjungi saat aku masih sekolah dulu bersama teman-temanku setiap kamis untuk memancing katak. Di sana aku akan bersembunyi hingga petang. Saat malam tiba, aku akan melanjutkan perjalananku. Aku akan menuju Vincennes. Tidak, ada sungai yang menghalang. Aku akan pergi ke Arpajon

Aku (Pn) : – Lebih baik aku mengambil arah Saint-Germain, dan pergi ke Le Havre, dan naik kapal menyeberang ke Inggris. -Tidak penting ! Aku tiba di Longjumeau. Seorang prajurit menanyakan pasportku… Habislah aku !

Aku (Pt) : – Ah ! Pemimpi malang ! Jebol dulu tembok setebal tiga kaki

yang mengurungmu ini ! Kematian ! Kematian !

Pn berencana melarikan diri dari penjara dengan mengambil arah Saint-

Germain, lalu pergi ke Le Havre, dan naik kapal menyeberang ke Inggris. Pn yang

merencanakan melarikan diri dari penjara menunjukkan dia (Pn) mengedepankan

kepentingan diri sendiri (Pn). Dengan demikian, kalau rencana Pn untuk

melarikan diri dari penjara benar-banar dilakukan maka Pn melanggar prinsip

kesantunan, maksim kedermawan karena membuat keuntungan diri sendiri

sekecil-kecilnya.

Page 89: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Pn sebaiknya menempuh jalur hukum yang benar ketika ingin bebas dari

penjara, semisal dengan mengajukan banding ke tingkat pengadilan tinggi atau

mengajukan kasasi ke mahkamah agung. Seandainya Pn ingin bertemu

keluarganya tidak harus dengan melarikan diri namun Pn bisa meminta

keluarganya untuk menjenguknya di penjara. Pn bisa menggunakan tuturan (89a)

di bawah ini untuk mengungkapkan keinginnannya bertemu keluarga.

(12a) Je vais demander la cassation à la cour supreme pour d’être lavé de ce condamné à mort. Alos j’ai liberté d’action à se rencontres mes familles.

‘Saya akan meminta kasasi ke Mahkamah Agung agar bisa bebas dari hukuman matu itu. Maka saya memiliki keleluasaan bergerak untuk bertemu dengan keluargaku.’

Melalui tututuran (12a) di atas, Pn memiliki keleluasaan bergerak untuk

bertemu dengan keluarganya melalui jalan yang benar yaitu yang sesuai jalur

hukum.

Sementara itu, Pt yang menyarankan kepada Pn untuk menjebol tembok

penjara yang setebal tiga kaki merupakan bentuk ketidakpedulian Pt terhadap Pn

yang menginginkan bertemu keuarganya (Pn). Bahkan Pt memaksimalkan

keantipatiannya dengan tuturan La mort ! La mort !, ‘Kematian ! Kematian !’

kepada Pn. Maka Pt melanggar prinsip kesantunan, yaitu maksim kesimpatian

karena tidak mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (Pt) dengan pihak lain

(Pn) hingga sekecil-kecilnya dan tidak meningkatkan rasa simpati sebanyak-

banyaknya antara diri sendiri (Pt) dengan pihak lain (Pn).

Page 90: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Pt seyogyanya memberikan simpati kepada Pn sebagai terpidana mati yang

ingin bertemu keluarganya. Bentuk kesimpatian Pt bisa diuangkapkan degan

tuturan (12b) berikut.

(12b) Il serait bien que vous le portiez en cassation. Alors vous avez liberté d’action à se rencontres ses familles.

‘Anda lebih baik membawa kasus (vonis hukuman mati) ke tingkat kasasi. Maka anda memiliki keleluasaan bergerak untuk bertemu dengan keluarga anda.’

Ketika Pt memberikan simpati sekaligus saran seperti pada (12b) maka

akan membuat Pn memiliki keyakinan dan harapan untuk bebas dari hukuman

mati.

Tuturan Pn yang melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim

kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena melalui inferensi atas pelanggaran maksim kedermawanan itu

menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan,

yaitu harapan. Implikatur itu diungkapkan secara tersirat oleh Pn melalui

tuturannya yang mengharapkan bebas dari penjara dan bisa bertemu keluarganya

(Aku).

Adapun tuturan Pt mengandung implikasi kecaman, yaitu kecaman kepada

Pn yang seakan bermimpi untuk bisa melarikan diri dari penjara.

4.2.5. Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian. Jika bentuk tuturan tidak mengurangi rasa antipati antara diri dengan orang

lain hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya

antara diri dengan lain, tuturan itu melanggar maksim kesimpatian. Pelanggaran

maksim kesimpatian ini dapat ditandai dengan tuturan yang tidak memperdulikan

Page 91: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

dengan apa yang dikatakan atau apa yang terjadi dengan Ptnya. Ditemukan 2

wacana monolog dan 2 wacana dialog yang melanggar prinsip kesantunan, yakni

maksim kesimpatian. Di bawah ini ditampilkan 1 wacana monolog dan 1 wacana

dialog sebagai sampel.

Berikut ini adalah contoh wacana monolog yang mengungkapkan

pelanggaran prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.

(13) Konteks : Di dalam kereta yang membawa tokoh Aku ke penjara Bicêtre, tokoh Aku memikirkan vonis hukuman mati yang baru saja ia (Aku) terima, vonis hukuman mati tersebut bisa saja ditangguhkan dengan masa waktu yang tidak jelas, namun tokoh Aku juga tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya kehidupan di penjara hingga akhirnya menuju pada eksekusi mati.

Aku (Pn) : Condamné à mort!

Nrt-27 : Eh bien, pourquoi non? Les hommes, je me rappelle l’avoir lu dans je ne sais quel livre où il n’y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis. Qu’y a-t-il donc de si changé à ma situation? Depuis l’heure où mon arrêt m’a été prononcé, combien sont morts qui s’arrangeaient pour une longue vie! Combien m’ont devancé qui, jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève! Combien d’ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré, et qui me devanceront encore! Et puis, qu’est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l’éducation, être brutalisé des guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d’une parole et à qui je le rende, sans cesse tressaillir et de ce que j’ai fait et de ce qu’on me fera ; voilà à peu près les seuls biens que puisse m’enlever le bourreau.

Aku (Pt) : - Ah! N’importe, c’est horrible!

(7/LDJC/ 43)

Aku (Pn) : Dihukum mati!

Page 92: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Nrt-27 : Eh, kenapa tidak? Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di sebuah buku yang judulnya aku lupa dan hanya itu saja isinya yang bagus. Jadi apa bedanya dengan keadaanku sekarang? Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bunderan Grève telah mendahuluiku di antara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka! Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini? Hari-hari yang suram dan roti di ruang tahanan, jatah kuah encer yang diciduk dari tahang orang-orang hukuman yang dirantai, perlakuan dan ucapan yang kasar yang ditujukan kepadaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas diajak bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapku: itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku

Aku (Pt) : - Ah, masa bodoh, sangat mengerikan!

Pada tuturan di atas, tindakan Pn melanggar Submaksim pertama

(mengurangi rasa antipati antara diri dengan pihak lain hingga sekecil-kecilnya)

prinsip kesantunan, maksim kesimpatian. Hal itu dikarenakan Pn tidak bersimpati

kepada pihak lain, yakni dirinya sendiri yang telah mendapat vonis hukuman mati

Melalui tuturan Pn (Condamné à mort !, ’Dihukum mati !’), maka dapat

dinyatakan bahwa Pn melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian

karena tidak mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (Pn, Aku) dengan pihak

lain (Pn, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan tidak meningkatkan rasa simpati

sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (Pn, Aku) dengan pihak lain (Pn, Aku).

Pn tidak berfikiran positif sebagai bentuk optimisme atas dirinya sendiri

dan justru mengalami kebingungan terhadap vonis hukuman mati yang

Page 93: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

menimpanya (Pn). Seharusnya Pn memiliki optimisme menghadapi vonis

hukuman mati. Optimisme Pn bisa diungkapkan dengan tuturan (13a) berikut.

(13a) Bien que j’aie condamné à mort mais je suis sûr de ma liberté. ‘Meskipun saya telah divonis hukuman mati tetapi saya yakin

pada kebebasanku’

Jikalau Pn mengungkapkan tindakannya melalui tuturan (13a) di atas,

maka hal itu menunjukkan sebuah kepercayaan diri sendiri (Pn) dan juga

menunjukkan pikiran positif pada diri sendiri (Pn) untuk bebas dari hukuman

mati. Sehingga tindakan tersebut (13a) memberikan keuntungan yang sebesar-

besarnya kepada pihak lain, yaitu dirinya sendiri (Pn), mengingat ini adalah

wacana monolog.

Senada dengan Pn, Pt, juga melanggar prinsip kesantunan, maksim

kesimpatian. Sikap Pt yang tidak peduli terhadap kondisi Pn yang mendapat vonis

hukuman mati dengan ungkapan - Ah! N’importe, c’est horrible! (‘- Ah, masa

bodoh, sangat mengerikan!’), menunjukkan Pt memaksimalkan antipati dan

meminimalkan simpati kepada pihak lain (Pn, Aku). Submaksim pertama

(mengurangi rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil-kecilnya) dan

submaksim kedua (meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri

dengan lain) maksim kesimpatian dilanggar secara sekaligus oleh tuturan itu.

Pn yang menyampaikan bahwa dirinya mendapat vonis hukuman mati

(melalui tuturannya) dengan optimisme penangguhan hukuman mati yang tidak

jelas waktunya dan tidak perlu menyesali dari kehidupan yang telah ia (Pn) alami

(seperti pada narasi 27), seharusnya mendapat tanggapan berupa kesimpatian dari

Page 94: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Pt. Maka seharusnya Pt dapat memberikan nasihat kesimpatian, semisal dengan

kalimat di bawah ini.

(13b) Je vous prie de bien vouloir agréer avec sa respectueuse souvenir, l’expression de sa douloureuse sympathie à la condamnation de mort

‘Saya mohon kepada Anda untuk berkenan menerima ucapan turut prihatin yang sedalam-dalamnya atas hukuman mati Anda.‘

N’inquiétez pas, Monsieur, les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis ‘Jangan khawatir, Tuan, Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan’

Jika Pt menggunakan kalimat (13b) di atas maka hal itu akan memberikan

sugesti kepada Pn agar tidak takut menghadapi hukuman mati dan memiliki

keyakinan bahwa setiap orang pasti akan mati dengan waktu yang tidak jelas baik

yang sudah mendapat kepastian dengan vonis hukuman mati atau tidak sama

sekali.

Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Pt melanggar prinsip

kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena tidak mengurangi rasa antipati

antara diri (Pt, Aku) dengan lain (Pn, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan tidak

meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri (Pt, Aku) dengan lain

(Pn, Aku).

Tuturan Pt yang melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian

itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena

melalui inferensi atas pelanggaran kedua submaksim itu menghasilkan simpulan

bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan, yaitu ketidakpedulian.

Implikatur itu diungkapkan secara tersirat oleh Pt melalui tuturan yang tidak

Page 95: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

menunjukkan kesimpatian, yaitu sikap tidak peduli terhadap tokoh Aku yang

mendapat vonis hukuman mati.

Adapun tuturan Pn mengandung implikas keluhan, yaitu menyampaikan

keluhan mengenai vonis hukuman mati yang ia (Pn, Aku) terima.

Wacana dialog (14) berikut ini juga mengungkapkan pelanggaran prinsip

kesantunan, maksim kesimpatian.

(14) Konteks : Di balai persidangan, setelah keputusan sidang dibacakan dan tidak ada lagi pembelaan, maka sidang ditutup. Kemudian tokoh Aku dibawa ke penjara Bicêtre, pada saat tokoh Aku keluar dari ruang pengadilan, para pengunjung sidang meneriakinya sebagai ”terpidana mati”.

Para Pengunjung Sidang : – Condamné à mort!

Nrt-28 : « ……dit la foule ; et, tandis qu’on m’emmenait, tout ce peuple se rua sur mes pas avec le fracas d’un édifice qui se démolit…. Au bas de l’escalier, une noire et sale voiture grillée m’attendait. Au moment d’y monter, je regardai au hasard dans la place….. »

– Un condamné à mort!

Nrt-29 : « …….criaient les passants en courant vers la voiture. À travers le nuage qui me semblait s’être interposé entre les choses et moi, je distinguai deux jeunes filles qui me suivaient avec des yeux avides; »

Gadis Muda : – Bon, dit la plus jeune en battant des mains, ce

sera dans six semaines!

(6/LDJC/42-43) Para Pengunjung Sidang : – Dihukum mati !

Nrt-28 : ‘……terdengar orang-orang berkata. Dan saat orang membawaku pergi, semua orang menyerbu mengikutiku dengan hingar-bingar seperti gedung runtuh. .….…….. Di bawah tangga, sebuah kereta hitam, kotor dan berterali menungguku. Pada saat menaikinya, secara tidak sengaja aku melihat ke arah bunderan. …..’

– Dihukum mati !

Page 96: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Nrt-29 : ‘……….teriak orang-orang di sana sambil berlari menuju kereta.

Di balik kabut yang seolah terbentuk antara benda-benda dan diriku, samar-samar kulihat dua gadis mengikuti dengan pandangan serakah.

Gadis Muda : – Bagus, kata yang lebih muda sambil bertepuk

tangan, enam minggu lagi!

Para pengunjung sidang yang meneriaki tokoh Aku sebagai ”terpidana

mati” (–Un condamné à mort!, ’Dihukum mati!) melanggar prinsip kesantunan,

maksim kesimpatian karena tidak memberikan simpati kepada tokoh Aku yang

mengalami penderitaan akibat vonis hukuman mati yang diterimanya (Aku).

Begitupun gadis muda juga melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim

kesimpatian melalui tuturannya – Bon, ce sera dans six semaines! (’– Bagus,

enam minggu lagi!’) yang menunjukkan antipati dan ketidaksimpatiannya

terhadap Aku. Gadis muda yang antipati dan tidak bersimpati pada pihak ketiga

(Aku) menunjukkan gadis muda tersebut memaksimalkan antipati dan

meminimalkan kesimpatian dengan pihak lain (Aku). Submaksim pertama

(mengurangi rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain hingga sekecil-

kecilnya) dan submaksim kedua (meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya

antara diri sendiri dengan orang lain) maksim kesimpatian dilanggar secara

sekaligus oleh gadis muda. Tindakan gadis muda yang menegaskan bahwa

hukuman mati akan dieksekusi enam minggu lagi. Hal itu melanggar prinsip

kesantunan, maksim kesimpatian karena tidak memberikan nasihat untuk

bersimpati kepada tokoh Aku yang mendapatkan vonis hukuman mati. Bahkan

gadis muda tersebut cenderung antipati kepada tokoh Aku dengan menyepakati

hasil keputusan sidang pengadilan. Melalui kata – Bon,….. (’– Bagus,…..’), gadis

Page 97: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

muda tersebut seakan-akan dia (gadis muda) sudah menantikan agar tokoh Aku

mendapat vonis hukuman mati.

Para pengunjung sidang dan gadis muda seharusnya menanggapi vonis

hukuman mati yang diterima oleh tokoh Aku dengan kesimpatian sebagaimana

yang ditegaskan pada prinsip kesantunan maksim kesimpatian, yaitu

meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya kepada pihak lain (Aku). Para

pengunjung sidang dan gadis muda bisa memberikan nasihat untuk bersimpati

kepada pihak lain (Aku), semisal dengan kalimat « Je vous prie de bien vouloir

agréer avec sa respectueuse souvenir, l’expression de sa douloureuse sympathie à

la condamnation de mort », (’Saya mohon kepada Anda untuk berkenan

menerima ucapan turut prihatin yang sedalam-dalamnya atas hukuman mati

Anda’), atau semisal dengan memberikan sugesti « N’inquiétez pas, Monsieur, les

hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis », (’Jangan

khawatir, Tuan, semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan

yang tidak ditentukan’).

Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa para pengunjung sidang

dan gadis muda melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena

tidak mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (para pengunjung sidang dan

gadis muda) dengan pihak lain (pihak ketiga, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan

tidak meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (para

pengunjung sidang dan gadis muda) dengan pihak lain (pihak ketiga, Aku).

Tuturan para pengunjung sidang dan gadis muda yang melanggar prinsip

kesantunan, yakni maksim kesimpatian itu memiliki fungsi sebagai sumber

Page 98: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena melalui inferensi atas pelanggaran

kedua submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung

implikatur percakapan, yaitu mencemooh. Implikatur itu diungkapkan secara

tersirat oleh para pengunjung sidang dan gadis muda melalui tuturan yang tidak

menunjukkan kesimpatian, yaitu sikap mencemooh tokoh Aku yang mendapat

vonis hukuman mati. Pada konteks lain, tindakan gadis muda bisa

mengimplikasikan harapan, yakni harapan agar vonis hukuman mati segara

dilaksanakan.

Sementara itu, tuturan para pengunjung sidang mengandung implikasi

penghinaan, yaitu penghinaan terhadap tokoh Aku yang statusnya sosialnya telah

berubah menjadi terpidana mati.

4.6. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan

Proses dialog yang terjadi antara Pn dan Pt, baik membicarakan Pt maupun

pihak ketiga memungkinkan adanya pematuhan prinsip kesantunan sekaligus

pelanggaran prinsip kesantunan. Hal itu terjadi dikarenakan adanya pandangan

yang berbeda antara Pn dan Pt dalam memandang objek yang dibicarakan.

Perbedaan pandangan tersebut bisa dipengaruhi oleh beberapa faktor yang

berbeda, diantaranya (1) tingkat pendidikan Pn dan Pt, (2) pengetahuan mengenai

hal-hal yang bersifat sosial, estetis, dan moral di dalam bertindak tutur (Grice

dalam Rustono 1999:66), (3) latar belakang strata sosial dan kebudayaan (Lakoff

1990:35 dalam Eelen, 2001:3), (4) kondisi emosional Pn atau Pt pada saat

membicarakan objek yang dibicarakan, dll. Dari hasil analisis data, ditemukan 22

Page 99: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

data yang mematuhi dan melanggar prinsip kesantunan. 22 Data tersebut terdiri

dari 16 tuturan mematuhi dan 4 tuturan melanggar maksim kearifan, 2 tuturan

mematuhi dan 12 tuturan melanggar maksim kedermawanan, 3 tuturan melanggar

maksim pujian, 3 tuturan mematuhi maksim kesepakatan, dan 5 tuturan mematuhi

dan 5 tuturan melanggar maksim kesimpatian.

Adapun prinsip kesantunan yang dipatuhi dan dilanggar berupa maksim

kearifan, kedermawanan, pujian, kesepakatan, dan kesimpatian.

4.3.12. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan.

Kesantunan wacana roman Le Dernier Jour d’un Condamné karya Victor

Hugo yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan ini adalah percakapan

yang meminimalkan biaya sosial kepada pihak lain. Maksim kearifan ini

memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt maupun pihak ketiga yang dibicarakan

antara Pn dan Pt) di dalam tuturan hendaknya dibebani kerugian sekecil-kecilnya

tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Jikalau sebaliknya maka melanggar

prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan. Ditemukan 1 wacana polilog dan 3

wacana dialog yang mematuhi dan melanggar prinsip kesantuan, maksim

kearifan. Data yang akan ditampilkan di bawah ini 1 wacana polilog dan 1 wacana

dialog.

Wacana dialog di bawah ini (15) mematuhi dan melanggar prinsip

kesantunan, maksim kearifan.

(15) Konteks : Di dalam sel penjara, Sipir penjara (Guichetier) mengatakan kepada tokoh Aku bahwa semua orang (petugas pengadilan, hakim, pengacara, dan para pengunjung sidang) telah menunggunya (Aku) untuk kembali melanjutkan sidang tentang

Page 100: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

kasusnya (Aku) yang akhirnya menghasilkan vonis hukuman mati bagi tokoh Aku.

Nrt-30 : Je demeurais immobile, l’esprit à demi endormi, la bouche

souriante, l’œil fixé sur cette douce réverbération dorée qui diaprait le plafond.

Aku : – Voilà une belle journée, répétai-je. Guichetier : – Oui, me répondit l’homme, on vous attend.

(3/LDJC/ 39)

Nrt-30 : Aku tetap diam dengan pikiran setengah tertidur, mulut tersenyum dan mata terpaku pada pantulan cahaya keemasan yang mewarnai langit-langit itu.

Aku : – ini dia, hari yang indah, ulangku. Guichetier : - Ya, orang itu menjawabku, orang-orang menunggu anda.

Pada dialog di atas, tuturan tokoh Aku mengandung maksud sebagai

pernyataan yang berfungsi sebagai sapaan kepada Guichetier sekaligus

mengegaskan kembali atas pernyataan Aku bahwa hari itu adalah hari yang cerah,

hari yang indah. Tuturan Aku (Voilà une belle journée, répétai-je, ‘ini dia, hari

yang indah, ulangku) memaksimalkan keuntungan kepada orang lain

(Guichetier) dan meminimalkan kerugian kepada orang lain (Guichetier), maka

tuturan Aku tersebut mematuhi maksim kesantunan, yakni maksim kearifan

karena telah membuat kerugian orang lain (Guichetier) sekecil-kecilnya dan

membuat keuntungan orang lain (Guichetier) sebesar-besarnya.

Pelanggaran tersebut dapat dilihat pada tindakan Guichetier yang

mengatakan bahwa orang-orang telah menunggu tokoh Aku (on vous attend,

’orang-orang menunggu anda.’), hal itu telah memberikan kerugian pada orang

lain (Aku) karena tokoh Aku harus menghadiri sidang dirinya (Aku) yang bisa

Page 101: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

saja mengarah kepada vonis hukuman mati. Tindakan Guichetier tersebut juga

menguntungkan dirinya sendiri (Guichetier) karena ia (Guichetier) telah

melaksanakan tugasnya sebagai sipir penjara, yakni menyampaikan bahwa sidang

di pengadilan akan dimulai. Guichetier tidak memaksimalkan keuntungan kepada

orang lain (Aku) dan tidak meminimalkan kerugian kepada orang lain (Aku).

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Guichetier melanggar maksim

kesantunan, maksim kearifan submaksim pertama (membuat kerugian orang lain

sekecil-kecilnya) dan submaksim kedua (membuat keuntungan orang lain sebesar-

besarnya).

Tuturan Guichetier yang menyampaikan bahwa orang-orang telah

menungggu tokoh Aku (on vous attend, ’orang-orang menunggu anda’)

merupakan tugas atau kewajiban Guichetier sebagai sipir penjara, akan tetapi

Guichetier menyampaikan maksudnya dengan tuturan yang kurang halus dan

terkesan memaksakan kehendaknya (Guichetier) secara frontal kepada tokoh Aku

sehingga tokoh Aku harus menerima kehendak Guichetier tanpa bisa memikirkan

untuk menerima atau menolaknya. Tuturan tersebut semisal diganti dengan

tuturan (15a) berikut ini, akan terasa lebih santun.

(15a) Excusez-moi, Monsieur, pourriez-vous venir au tribunal pasce qu’on vous aurait rendu, s’il vius plaît.

’Maafkan saya Bapak, berkenankah Bapak datang ke pengadilan, orang-orang telah menunggu Bapak, Saya persilahkan’.

Tuturan (15a) di atas terkesan tidak terlalu memaksakan kehendaknya

(Guichetier) kepada tokoh Aku untuk melakukan keinginan Guichetier. Tuturan

(15a) di atas sekaligus masih memberikan ruang pilihan kepada tokoh Aku untuk

Page 102: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

menerima atau menolak tawaran atau ajakan Guichetier untuk menghadiri sidang

di pengadilan.

Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa tuturan Guichetier

melanggar prinsip kesantunan, yaitu maksim kearifan karena tidak membuat

kerugian orang lain (Aku) sekecil-kecilnya dan tidak membuat keuntungan orang

lain (Aku) sebesar-besarnya.

Tuturan Guichetier yang melanggar primsip kesantunan, maksim kearifan

itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena

inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan

itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang

dikandung pada tuturan yang melanggar maksim kearifan itu adalah menyatakan

perintah. Implikatur itu diungkapkan secara tersirat oleh Guichetier melalui

tuturannya agar tokoh Aku segera menuju tempat sidang pengadilan. Dalam

konteks lain, mengimplikasikan penolakan, yaitu penolakan Guichetier yang tidak

mau diajak tokoh Aku untuk membicarakan mengenai cuaca hari itu. Guichetier

berharap dengan tuturannya, tokoh Aku menghentikan percakapannya.

Sementara itu, tuturan tokoh Aku mengandung implikasi sapaan, yaitu

menyapa Guichetier dengan membuka percakapannya (Aku) melalui pembicaraan

mengenai kondisi cuaca hari itu.

Wacana polilog (16) di bawah ini juga mamatuhi dan malanggar prinsip

kesantunan, maksim kearifan.

(16) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Tokoh Aku mengalami mimpi. Di dalam mimpnya, tokoh Aku bertemu keluarga dan teman-temannya (des amis) di rumahnya (Aku).

Page 103: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Pada saat bermimpi itulah, ada seorang wanita tua yang masuk ke rumahnya (Aku).

Nrt-31 : Je portai la main à cette porte pour refermer l’armoire ;

elle résista. Étonné, je tirai plus fort, elle céda brusquement, et nous découvrîmes une petite vieille, les mains pendantes, les yeux fermés, immobile, debout, et comme collée dans l’angle du mur.

Cela avait quelque chose de hideux, et mes cheveux se dressent d’y penser.

Je demandai à la vieille : Aku : – Que faites-vous là ? Nrt-32 : Elle ne répondit pas. Je lui demandai : – Qui êtes-vous ? Nrt-33 : Elle ne répondit pas, ne bougea pas, et resta les yeux

fermés. Mes amis dirent Des amis : – C’est sans doute la complice de ceux qui sont entrés avec

de mauvaises pensées ; ils se sont échappés en nous entendant venir ; elle n’aura pu fuir, et s’est cachée là.

Nrt-34 : Je l’ai interrogée de nouveau ; elle est demeurée sans voix,

sans mouvement, sans regard. Un de nous l’a poussée à terre, elle est tombée. Elle est tombée tout d’une pièce, comme un morceau de bois, comme une chose morte. Nous l’avons remuée du pied, puis deux de nous l’ont relevée et de nouveau appuyée au mur. Elle n’a donné aucun signe de vie. On lui a crié dans l’oreille, elle est restée muette comme si elle était sourde. Cependant, nous perdions patience, et il y avait de la colère dans notre terreur. Un de nous m’a dit :

Un ami : – Mettez-lui la bougie sous le menton.

Nrt-35 : Je lui ai mis la mèche enflammée sous le menton. Alors elle a ouvert un œil à demi, un œil vide, terne, affreux, et qui ne regardait pas.

J’ai ôté la flamme et j’ai dit :

Page 104: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Aku : – Ah ! Enfin ! Répondras-tu, vieille sorcière ? Qui es-tu ? Nrt-36 : L’œil s’est refermé comme de lui-même. Des amis : – Pour le coup, c’est trop fort, ont dit les autres. Encore la

bougie ! Encore ! Il faudra bien qu’elle parle. Nrt-37 : J’ai replacé la lumière sous le menton de la vieille.

Alors, elle a ouvert ses deux yeux lentement, nous a regardés tous les uns après les autres, puis, se baissant brusquement, a soufflé la bougie avec un souffle glacé. Au même moment j’ai senti trois dents aiguës s’imprimer sur ma main dans les ténèbres. Je me suis réveillé, frissonnant et baigné d’une sueur froide.

(40/LDJC/105-106)

Nrt-31 : Kutarik pintu itu untuk menutupkannya kembali, tapi ada

sesuatu yang menahannya. Dengan heran kutarik lebih kuat lagi. Tiba-tiba pintu itu dilepaskan, dan tampak seorang wanita tua. Kedua tangannya menggantung di kedua sisinya, matanya memejam tidak bergerak sedikitpun, berdiri, dan seolah lekat di pojok dinding.

Ada sesuatu yang mengerikan di sana, dan rambutku berdiri bila memikirnya.

Aku bertanya kepada wanita tua itu : Aku : – Apa yang Anda lakukan disitu ? Nrt-32 : Ia tidak menjawab. Aku bertanya kepadanya: – Anda siapa? Nrt-33 : Ia tidak menjawab, tidak bergeming, dan tetap memejamkan

matanya. Teman-temanku berkata : Des amis : – Barangkali teman para pencuri yang tadi masuk ke sini

untuk berbuat jahat. Mereka melarikan diri saat mendengar kita datang. Karena tidak sempat melarikan diri, ia bersembunyi di situ.

.

Page 105: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Nrt-34 : Aku menanyainya lagi, ia tetap membisu, tidak bergerak, tidak membuka matanya. Satu diantara temanku mendorongnya ke lantai, ia jatuh. Ia jatuh dengan kaku, seperti sebatang kayu, seperti benda mati. Kami guncang kakinya, kemudian dua temanku menegakkannya kembali ke pojok dinding. Tidak ada tanda-tanda kehidupan pada diri wanita tua itu. Kami berteriak tepat di telinganya, ia tetap membisu seolah tuli. Sementara itu kesabaran kami habis, dan ada kemarahan dalam ketakutan kami. Salah seorang teman berkata kepadaku :

Un ami : – Taruh lilinnya di bawah dagunya.

Nrt-35 : Kutaruh lilin yang menyala itu di bawah dagunya. Ia lalu membuka separo matanya, pandangannya kosong, hampar, menakutkan, dan tidak melihat

Kutarik lilin itu dan aku berkata :

Aku : – Ah ! akhirnya ! Sekarang mau jawab ? Kamu siapa ? Nrt-36 : Mata itu menutup lagi seolah secara otomatis. Des amis : – Keterlaluan, kata teman-tamanku. Lagi, kasih lilin lagi!

Lagi! Ia harus bicara!. Nrt-37 : Kembali kuletakkan lilin menyala di bawah dagu wanita tua

itu. Ia lalu membuka kedua matanya pelahan-lahan, memandangi kami satu demi satu, kemudian tiba-tiba merunduk dan meniup lilin dengan tiupan sedingin es. Dan pada saat itu juga kurasakan tiga gigi runcing menancap di tanganku, dalam kegelapan.

Aku terbangun, gemetar, dan peluh dingin membasahi sekujur tubuhku.

Tokoh Aku mengalami mimpi bertemu keluarganya dan teman-temannya

di rumahnya. Mereka melaksanakan makan malam dan saling mengobrol.

Seandainya mimpi tokoh Aku itu bukan mimpi atau sebuah kenyataan, maka

tindakan Aku yang menyapa nenek tua melalui tuturannya (Que faites-vous là ?,

Page 106: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

’Apa yang Anda lakukan disitu ?’) yang menyelinap kerumahnya merupakan

bentuk sapaan yang sekaligus masih memberi ruang pilihan bagi nenek tua untuk

menjelaskan kenapa dia (nenek tua) berada dirumahnya (Aku). Tokoh Aku tidak

langsung menuduh nenek tua sebagai pencuri. Tindakan Aku tersebut berarti

memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain (nenek tua) sekaligus meminimalkan

kerugian bagi pihak lain (nenek tua) sehingga tokoh Aku mematuhi prinsip

kesantunan, maksim kearifan.

Selain dari itu, teman-teman tokoh Aku (Des Amis) juga mematuhi prinsip

kesantunan, yakni maksim kearifan karena juga tidak langsung menuduh nenek

tua yang sudah menyelinap ke rumah tokoh Aku sebagai pencuri walaupun

mereka (des amis) sudah memperkirakan nenek tua tersebut adalah pencuri.

Kearifan des amis bisa dilihat melalui tuturannya (C’est sans doute la complice

de ceux qui sont entrés avec de mauvaises pensées ; ils se sont échappés en nous

entendant venir ; elle n’aura pu fuir, et s’est cachée là, ’ Barangkali teman

para pencuri yang tadi masuk ke sini untuk berbuat jahat. Mereka

melarikan diri saat mendengar kita datang. Karena tidak sempat melarikan

diri, ia bersembunyi di situ’) yang masih memberikan peluang kepada nenek tua

untuk mengklarifikasi keberadaannya di rumah tokoh Aku. Tindakan des amis

bisa juga dilandasi rasa kasihan kepada nenek tua yang sendirian ditinggal teman-

teman pencuri lainnya.

Di sisi lain, seorang teman tokoh Aku (un ami) sudah tidak sabar dengan

sikap nenek tua yang hanya diam ketika ditanya tentang siapa dirinya. Maka un

ami merekomendasikan tokoh Aku untuk menyulut dagu nenek tua dengan lilin

Page 107: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

yang menyala. Akibatnya, nenek tua tersebut mengalami sakit. Rekomendasi un

ami telah memaksimalkan kerugian bagi pihak lain (nenek tua). Dengan demikian

dapat dikatakan un ami melanggar prinsip kesantunan, yaitu maksim kearifan

karena tidak membuat kerugian pihak lain (nenek tua) sekecil-kecilnya.

Seandainya un ami lebih sabar terhadap sikap nenek tua maka dia (un ami) tidak

akan mungkin merekomendasikan untuk menyulut nenek tua dengan lilin

menyala, kesabaran un ami bisa diekspresikan dengan tuturan (16a) berikut ini.

(16a) Nous devions patiences, nous pouvons poser une question encore à lui-même

‘Kita harus sabar, kita bisa bertanya lagi kepadanya.’

Tuturan (16a) di atas bisa membuat tokoh Aku dan teman-temannya untuk

tetap bersabar ketika menginterogasi nenek tua. Hal itu terjadi karena tokoh Aku

dan teman-temannya mendapat nasihat dari un ami untuk bersabar. Tuturan (16a)

di atas sekaligus tidak memaksimalkan kerugian bagi pihak lain (nenek tua).

Tuturan un ami yang melanggar primsip kesantunan, maksim kearifan itu

memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena

inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan

itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang

dikandung pada tuturan yang melanggar maksim kearifan itu adalah menyatakan

kekesalan, yaitu kekesalan kepada nenek tua yang hanya diam membisu ketika

ditanya mengenai siapa dirinya.

Sementara itu, tuturan tokoh Aku mengandung implikasi sapaan, yaitu

menyapa nenek tua dengan membuka percakapannya (Aku) dengan menanyakan

apa yang sedang dilakukan nenek tua dirumahnya.

Page 108: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Lain halnya, tuturan des amis mengandung implikasi harapan, yakni

harapan agar nenek tua berbicara dan mengatakan siapa dirinya.

4.3.13. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan. Maksim kearifan ini memberikan petunjuk bahwa pihak lain (Pt maupun

pihak ketiga yang dibicarakan antara Pn dan Pt) di dalam tuturan hendaknya

dibebani kerugian sekecil-kecilnya tetapi dengan keuntungan sebesar-besarnya. Di

sisi lain, percakapan yang membuat keuntungan diri sendiri sebesar-besarnya dan

membuat kerugian diri sendiri sekecil-kecilnya berarti melanggar maksim

kedermawanan. Ditemukan 7 wacana dialog yang mematuhi prinsip kesantunan,

maksim kearifan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.

Untuk lebih jelasnya perhatikan tuturan (17) dan (18) berikut.

(17) Konteks : Di ruang pengadilan, tokoh Aku bersama pengacaranya mengharapkan mendapat keputusan yang terbaik dari Ketua Hakim pengadilan yang akan membacakan keputusan sidang pengadilan terkait kasus tokoh Aku.

Nrt-38 : Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de

déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire.

Avocat : – J’espère, me dit-il. Aku : – N’est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. Avocat : – Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils

auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité.

Aku : – Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai-je indigné, - plutôt cent

fois la mort ! Nrt-39 : Oui, la mort !, – Et d’ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix

intérieure, qu’est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu’à minuit, aux

Page 109: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

flambeaux, dans une salle sombre et noire, et par une froide nuit de pluie et d’hiver ? Mais au mois d’août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c’est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.

(4/LDJC/ 41)

Nrt-38 : Di saat itu pembelaku datang. Orang-orang menunggunya. Ia baru

saja makan banyak dan dengan lahap. Sampai di tempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum :

Avocat : – Mudah-mudahan, katanya kepadaku. Aku : – Harus ! jawabku ringan, juga sambil tersenyum. Avocat : – Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi

mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja paksa seumur hidup.

Aku : - Bapak ini bicara apa? tukasku marah, Seratus kali lebih baik

mati Nrt-39 : Ya, mati ! - Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah

suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu? – Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah penerangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin? Tapi di bulan Agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.

Tuturan Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils

auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux

forcés à perpétuité (‘Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi

mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja

paksa seumur hidup’) menyiratkan keuntungan bagi tokoh Aku sebagai Pt,

sekaligus tidak merugikan avocat sebagai Pn karena tuturan avocat tersebut

memberikan peluang kepada tokoh Aku untuk memilih hasil keputusan sidang

yang lain daripada vonis hukuman kerja paksa seumur hidup. Akibatnya avocat

Page 110: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

memaksimalkan keuntungan pada pihak lain (Aku) dan tidak merugikan diri

sendri (avocat).

Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa tuturan avocat mematuhi

prinsip kesantunan, maksim kearifan karena membuat kerugian orang lain (Aku)

sekecil-kecilnyadan membuat keuntungan orang lain (Aku) sebesar-besarnya.

Sementara itu, tokoh Aku yang lebih memilih vonis hukuman mati (-plutôt

cent fois la mort !, ‘Seratus kali lebih baik mati‘) daripada vonis hukuman kerja

paksa seumur hidup memaksimalkan keuntungan bagi diri sendiri (Aku) dan

meminimalkan kerugian diri sendiri (Aku). Maka, tindakan tokoh Aku tersebut

melanggar submaksim pertama (membuat keuntungan diri sendiri sekecil-

kecilnya) dan submaksim kedua (membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya)

prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.

Tuturan (- plutôt cent fois la mort !, ‘Seratus kali lebih baik mati‘)

sudah cukup sopan karena pada tuturan tersebut pemerian keuntungan bagi Pt

(Aku) dibatasi dengan tidak menyebutkan secara langsung dirinya (Aku), sebagai

pihak yang diuntungkan dari hasil tuturan tersebut. Semisal tuturan Pt diganti

dengan tuturan (17a) berikut ini, maka akan terasa kurang sopan

(17a) J’aime plus de la condamnation à mort que les travaux forcés à perpétuité.

‘Saya lebih suka hukuman mati daripada kerja paksa seumur hidup‘

Tuturan tokoh Aku kurang sopan karena menyebutkan dirinya sebagai

pihak yang diuntungkan atas hasil tuturan (17a) di atas.

Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa tokoh Aku melanggar

prinsip kesantunan, maksim kedermawanan karena tidak membuat keuntungan

Page 111: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

diri sendiri (Aku) sekecil-kecilnya dan tidak membuat kerugian diri sendiri (Aku)

sebesar-besarnya.

Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan

bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur

percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan itu adalah menyatakan harapan, yaitu harapan tokoh Aku agar

tidak mendapatkan vonis hukuman kerja paksa seumur hidup dan lebih memilih

vonis hukuman mati.

Adapun tuturan avocat mengandung implikasi keraguan, yaitu keraguan

apakah Ketua Hakim akan memberikan vonis hukuman bebas, vonis hukuman

mati, atau vonis hukuman kerja paksa seumur hidup. Pada konteks lain, tuturan

avocat bisa mengimplikasikan harapan, yakni harapan agar kliennya (Aku) tidak

mendapatkan vonis hukuman kerja paksa seumur hidup.

Wacana dialog (18) di bawah ini juga mematuhi prinsip kesantunan,

maksim kearifan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.

(18) Konteks : Di ruang pengadilan, panitera pengadilan telah selesai membacakan keputusan pengadilan, kemudian ketua hakim (le président) menanyakan kepada pengacara (avocat) apakah ada pembelaan atau tanggapan, namun tokoh Aku marah pada pembelanya yang melakukan pembelaan atas keputusan pengadilan.

Le Président : – Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application

de la peine? demanda le président. Nrt-40 : J’aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma

langue resta collée à mon palais.

Page 112: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Le défenseur se leva. Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de la peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l’indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l’haleine me manqua et je ne pus que l’arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive:

Aku : – Non!

(5/LDJC/ 42) Le Président : – Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela

atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim Nrt-40 : Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satu-pun keluar.

Lidahku seolah melekat pada langit-langit. Pembela berdiri. Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan. Menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuatku sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati!. Namun nafasku habis, dan aku hanya bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali:

Aku : – Tidak!

Tindakan ketua hakim yang menanyakan apakah ada yang ingin

disampaikan oleh pembela mengenai keputusan hukuman mati memberikan

keuntungan kepada tokoh Aku dengan peluang untuk melakukan pembelaan pada

jalur hukum yang lebih tinggi, semisal pengadilan pada tingkat kasasi atau

meminta grasi kepada raja.

Page 113: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Tindakan ketua hakim tersebut mematuhi prinsip kesantunan, maksim

kearifan karena membuat kerugian orang lain (Aku) sekecil-kecilnya dan

membuat keuntungan orang lain (Aku) sebesar-besarnya.

Sementara itu, tokoh Aku menolak pembelaan yang dilakukan oleh

pembelanya atas keputusan pengadilan dan dia (Aku) menegaskan lebih baik

seratus kali mati daripada mengharapkan keringan hukuman dengan perdebatan

yang dilakukan pembelanya (seperti pada Nrt-39). Tindakan tokoh Aku tersebut

melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kedermawanan submaksim pertama

(membuat keuntungan diri sendiri sekecil-kecilnya) dan submaksim kedua

(membuat kerugian diri sendiri sebesar-besarnya) karena tokoh Aku telah

memaksimalkan keuntungan pada diri sendiri dan meminimalkan kerugian diri

sendiri. Namun, tindakan tokoh Aku tersebut bisa jadi dilakukan dalam keadaan

terpaksa dan dalam kekalutan sebagai terdakwa yang mendapatkan vonis

hukuman mati sehingga ia (Aku) sudah tidak tahan melihat usaha pembelannya

(Aku) yang berusaha meringankan vonis hukuman yang telah diputuskan oleh

ketua hakim. Tokoh Aku merasa tindakan pembelaan yang dilakukan

pembelannya (Aku) akan sia-sia maka tidak perlu mengharapkan adanya

keringanan hukuman dari pengadilan (seperti pada Nrt-40).

Tokoh Aku seharusnya berusaha melakukan pembelaan dengan pernyataan

yang lebih santun, walaupun peluang untuk bebas dari hukuman sangat kecil.

Ketika tuturan – Non! (Tidak!) yang diutarakan oleh tokoh Aku diganti dengan

tuturan (18a) berikut ini, akan terasa lebih santun.

(18a) Je voudrais accepter cette condamnation à mort.

Page 114: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

‘Saya berkenan menerima hukuman mati tersebut’

Tokoh Aku bisa menunjukkan rasa hormatnya kepada ketua hakim yang

telah menawarkan adanya tanggapan mengenai vonis hukuman mati, tanpa harus

menolaknya (vonis hukuman mati) dengan ungkapan langsung (– Non!, Tidak!).

Maka, dengan adanya tuturan (18a) di atas, tokoh Aku mematuhi prinsip

kesantunan, maksim kedermawanan karena memaksimalkan kerugian diri sendiri

(Aku) dan meminimalkan keuntungan diri sendiri (Aku), yakni dengan menerima

vonis hukuman mati tersebut.

Tindakan lain yang bisa dilakukan oleh tokoh Aku mengenai vonis

hukuman mati tersebut adalah menolak dan atau membatalkan serta

menangguhkan untuk mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung maupun

mengajukan grasi kepada raja. Akibatnya tokoh Aku menghormati tindakan yang

dilakukan pembelanya yang telah melakukan pembelaan untuk keringanan dari

hukuman mati.

Maka, Tindakan Aku dapat dinyatakan bahwa dia (Aku) melanggar prinsip

kesantunan, maksim kedermawanan karena tidak membuat keuntungan diri

sendiri (Aku) sekecil-kecilnya dan tidak membuat kerugian diri sendiri (Aku)

sebesar-besarnya.

Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan

bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur

percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu

Page 115: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

adalah menyatakan penolakan, yaitu penolakan terhadap usaha pembelanya (Aku)

yang mengharapkan keringanan dari hukuman mati. Pada konteks lain, tindakan

tokoh Aku juga mengimplikasikan penolakan terhadap vonis hukuman mati yang

telah diputuskan oleh para hakim.

Sementara itu, tuturan Ketua Hakim mengandung implikasi harapan, yaitu

harapan agar sang pembela memberikan tanggapan mengenai vonis hukuman mati

baik berupa penerimaan, penolakan, atau pembatalan dan penangguhan.

4.3.14. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian.

Percakapan yang memaksimalkan keuntungan pada pihak lain maka

percakapan itu mematuhi prinsip kesantunan, yakni maksim kearifan. Di sisi lain,

percakapan yang memaksimalkan pengecaman kepada pihak lain berarti

melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.

Wacana dialog (19) berikut ini mematuhi prinsip kesantunan, yakni

maksim kearifan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.

(19) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, tiba-tiba

ada arsitek (l’architecte) yang masuk dan mengukur dinding kamar untuk kemudian direnovasi.

Nrt-41 : Sa besogne finie, il s’est approché de moi en me disant avec

sa voix éclatante : L’architecte : – Mon bon ami, dans six mois cette prison sera beaucoup

mieux. Nrt-42 : Et son geste semblait ajouter : – Vous n’en jouirez pas, c’est dommage. Nrt-43 : Il souriait presque. J’ai cru voir le moment où il allait me

railler doucement, comme on plaisante une jeune mariée le

Page 116: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

soir de ses noces. Mon gendarme, vieux soldat à chevrons, s’est chargé de la réponse.

Gendarme : – Monsieur, lui a-t-il dit, on ne parle pas si haut dans la

chambre d’un mort. Nrt-44 : L’architecte s’en est allé. Moi, j’étais là, comme une des

pierres qu’il mesurait.

(35/LDJC/93)

Nrt-41 : Tugasnya selesai, ia mendekatiku dan berbicara kepadaku dengan suara lantang :

L’architecte : – Sobat yang baik, enam bulan lagi penjara ini akan jauh

lebih baik. Nrt-42 : Dan gerakannya seolah melanjutkan : – Sayang, kamu tidak bisa menikmatinya. Nrt-43 : Ia seolah tersenyum. Sejenak aku merasa bahwa ia akan

mengejekku dengan halus, seperti orang menggoda mempelai putri di malam pengantinnya. Pengawalku, seorang serdadu tua dengan tanda pangkat, menangani jawabannya.

Gendarme : – Tuan, katanya kepada orang itu, dilarang berbicara

sekeras itu di kamar orang mati. Nrt-44 : Arsitek itu lalu pergi. Aku, aku tetap berada di sana, seperti

batu-batu yang ia ukur tadi.

L’architecte membuka percakapan dengan tokoh Aku dengan kata sapaan

(Mon bon ami............., ’Sobat yang baik,’) yang sopan walaupun mereka tidak

saling kenal. Tindakan l’architecte yang mengawali sapaan dengan menyebut

tokoh Aku sebagai teman yang baik merupakan bentuk penghormatan yang

mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan karena dia (l’architecte)

memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain (Aku) dengan menunjukkan rasa

hormatnya.

Page 117: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Sementara itu, tindakan gendarme yang melarang l’architecte untuk tidak

berbicara dengan tokoh Aku sudah tepat. Namun, melalui tuturannya (Monsieur,

lui a-t-il dit, on ne parle pas si haut dans la chambre d’un mort, ’ Tuan, katanya

kepada orang itu, dilarang berbicara sekeras itu di kamar orang mati’),

gendarme melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian karena menyebut

ruangan tempat tokoh Aku berada sebagai kamar orang mati yang berarti dia

(gendarme) memaksimalkan pengecaman terhadap tokoh Aku. Kenyataannya,

kamar tempat tokoh Aku berada hanyalah kamar transit di gedung pengadilan

Conciergerie yang bisa digunakan oleh siapa saja. Selain dari itu, walaupun tokoh

Aku sudah mendapat vonis hukuman mati tetapi dia (Aku) belum mati. Gendarme

seharusnya melarang l’architecte untuk tidak berbicara dengan tokoh Aku tanpa

harus menyebut kamar tempat tokoh Aku berada sebagai kamar orang mati.

Maka, tuturan gendarme diutarakan dengan berikut.

(19a) Excusez-moi, Monsieur, ne parle pas si haut dans cette chambre. ’Tuan, dilarang berbicara sekeras itu di kamar ini.’

Ketika gendarme menggunakan tuturan (19a) diatas maka tuturannya

terasa lebih sopan dan tidak menyinggung perasaan tokoh Aku sebagai terpidana

mati.

Tuturan tokoh gendarme yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

pujian itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi

karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa

tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan

yang dikandung tuturan yang melanggar maksim pujian itu adalah menyatakan

Page 118: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

penghinaan, yaitu penghinaan kepada tokoh Aku sebagai terpidana mati yang

status sosialnya menurun.

Sementara itu, tuturan l’architecte mengandung implikasi harapan, yaitu

harapan kepada tokoh Aku agar tetap hidup sehingga dapat menikmati rungan

yang akan direnovasi oleh l’architecte.

4.3.15. Pematuham Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kerendahan Hati. Wacana yang berisi kalimat perintah ketika disampaikan dengan kalimat

pertanyaan atau kalimat berita maka akan terasa lebih santun. Di sisi lain, setiap

peserta tindak tutur dituntut untuk tidak memaksimalkan pujian pada diri sendiri

agar tidak melanggar prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati.

Wacana dialog (20) di bawah ini adalah wacana yang berisi kalimat

perintah namun diutarakan dengan kalimat tanya. Wacana dialog (20) juga

melanggar prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati.

(20) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku bertanya kepada Marie, apakah dia (Marie) bisa membaca.

Nrt-45 : Alors, je l’ai replacée sur mes genoux, en la couvant des

yeux, et puis je l’ai questionnée. Aku : – Marie, sais-tu lire? Marie : – Oui, a-t-elle répondu. Je sais bien lire. Maman me fait

lire mes lettres.

(47/LDJC/111) Nrt-45 : Jadi, ia kembali kutaruh ke pangkuanku, dan

kupandanginya lekat-lekat, kemudian kutanya ia. Aku : – Marie, kamu bisa membaca?

Page 119: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Marie : – Ya, jawabnya. Aku pintar membaca. Ibu mengajariku huruf-huruf.

Tokoh Aku yang menanyakan kepada Marie apakah dia (Marie) bisa

membaca merupakan bentuk tuturan yang disampaikan dengam kalimat

pertanyaan akan tetapi bermakna perintah. Tokoh Aku cukup santun

menyampaikan keinginannya kepada Marie untuk membaca tanpa harus dengan

memerintah. Tokoh Aku menyampaikan keinginannya sekaligus tidak membuat

Marie merasa dirugikan ketika harus memenuhi keinginan tokoh Aku untuk

membaca. Dengan demikian, tokoh Aku mematuhi prinsip kesantunan, maksim

kearifan karena berusaha kerugian orang lain sekecil-kecilnya.

Di sisi lain, Marie yang menjawab bahwa dirinya bisa membaca. Namun

dia (Marie) tidak meminimalkan memuji diri sendiri. Hal itu terlihat dari tuturan

Marie (Je sais bien lire. Maman me fait lire mes lettres, ‘Aku pintar membaca.

Ibu mengajariku huruf-huruf’) yang memaksimalkan memuji diri sendiri.

Maka Marie melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kerendahan hati karena

memuji diri sendiri sedikit-dikitnya.

Marie seharusnya menjawab pertanyaan sekaligus perintah dari tokoh Aku

tanpa harus dengan membanggakan dirinya yang pintar membaca. Marie bisa

menggunakan tuturan (20a) berikut, yang terkesan tidak membanggakan diri.

(20a) Oui, je peux lire un peu.

‘Ya, saya bisa membaca sedikit.’

Tuturan (20a) di atas mengesankan kerendahan diri Marie wakaupun dia

(Marie) pentar membaca.

Page 120: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Tuturan tokoh Marie yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kerendahan hati itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal

itu terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan

simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun

implikatur percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim

kerendahan hati itu adalah menyatakan kebanggaan, yaitu kebanggaan Marie

yang bisa membaca karena telah diajari oleh ibunya.

Sementara itu, tuturan Aku mengandung implikasi harapan, yaitu harapan

agar Marie membaca sesuai permintaannya (Aku).

4.3.16. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kearifan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Kesimpatian.

Wacana monolog pemproduksiannya hanya melibatkan satu pembicara

yang bisa berperan sebagai Pn maupun Pt. Pada wacana monolog tersebut

dimungkinkan mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan karena pada

wacana monolog berisi kepentingan pembicara yang dengan leluasa dapat

mengatur agar memaksimalkan keuntungan bagi pihak lain, yang juga dirinya

sendiri, mengingat ini wacana monolog. Di sisi lain, pada wacana monolog juga

dimungkingkan melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian karena

pembicara juga memiliki keleluasaan untuk menganggap kesedihan atau musibah

yang dialami dirinya sendiri (pembicara) tidak harus diberi simpati.

Wacana monolog (21) di bawah ini mematuhi prinsip kesantunan, maksim

kearifan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.

(21) Konteks : Tokoh Aku telah sampai di gedung Conciergerie, yakni gedung

tempat transit sebelum eksekusi dilaksanakan. Kemudian tokoh

Page 121: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Aku diharuskan menemui direktur pengadilan. Namun tokoh Aku disuruh menunggu di ruangan tepat di sebelah ruang direktur pengadilan. Pada saat itu, tiba-tiba masuklah seorang narapidana baru (friauche) yang baru saja mendapat vonis hukuman mati. Mereka (Aku dan friauche) saling berkenalan.

Nrt-46 : Je ne sais à quoi je pensais, ni depuis combien de temps

j’étais là, quand un brusque et violent éclat de rire à mon oreille m’a réveillé de ma rêverie.

J’ai levé les yeux en tressaillant. Je n’étais plus seul dans la cellule. Un homme s’y trouvait avec moi, un homme d’environ cinquante-cinq ans, de moyenne taille ; ridé, voûté, grisonnant ; à membres trapus ; avec un regard louche dans des yeux gris, un rire amer sur le visage ; sale, en guenilles, demi-nu, repoussant à voir.

……………………………………………………………... Nous nous sommes regardés quelques secondes fixement,

l’homme et moi ; lui, prolongeant son rire qui ressemblait à un râle ; moi, demi-étonné, demi-effrayé.

Aku : – Qui êtes-vous ? Lui ai-je dit enfin. Friauche : – Drôle de demande ! a-t-il répondu. Un friauche. Aku : – Un friauche ! Qu’est-ce que cela veut dire ? Nrt-47 : Cette question a redoublé sa gaieté. Friauche : – Cela veut dire, s’est-il écrié au milieu d’un éclat de rire,

que la taule jouera au panier avec ma sorbonne dans six semaines, comme il va faire avec ta tronche dans six heures. – Ha ! Ha ! Il paraît que tu comprends maintenant.

(29/LDJC/80)

Nrt-46 : Aku tidak tahu apa yang kupikirkan maupun sejak kapan aku

berada disitu, ketika tiba-tiba suatu tawa meledak memekakkan telingaku dan menggugahku dari mimpi.

Dengan terkejut kuarahkan pandanganku. Aku tidak lagi sendirian di sel itu. Ada seorang laki-laki bersamaku di situ, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, dengan ukuran badan rata-rata, berkeriput, bungkuk, dan beruban. Anggota tubuhnya pendek kekar, matanya abu-abu dan jereng, wajahnya dihiasi sebuah tawa pahit, tubuhnya

Page 122: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

kotor, pakaiannya compang-camping setengah telanjang, menjijikkan untuk dilihat.

……………………………………………………………... Kami saling beradu pandang selama beberapa detik, pria itu

dan aku. Ia masih meneruskan tawanya yang menyerupai lenguhan, sedangkan aku merasa separo heran dan separo takut.

Aku : – Siapa Anda ? akhirnya aku bertanya kepadanya. Friauche : – Pertanyaan yang aneh ! jawabnya. Seorang Friauche. Aku : – Friauche ! Apa itu artinya ? Nrt-47 : Pertanyaan ini semakin membuatnya gembira. Friauche : – Artinya, teriaknya di sela-sela ledak tawa, penjara akan

menggelindingkan kepalaku ke dalam keranjang enam minggu lagi, seperti yang akan ia lakukan dengan tampangmu enam jam lagi. – Ha ! Ha ! Kelihatannya kau mengerti sekarang.

Tokoh Aku yang membuka pembicaraan dengan menanyakan siapa orang

baru yang masuk ke rungan transit tempat tokoh Aku berada merupakan ekspresi

kearifan tokoh Aku. Tokoh Aku berusaha memaksimalkan keuntungan bagi pihak

lain (friauche) dengan menyapa friauche. Sapaan tersebut juga sebagai bentuk

penghormatan kepada friauche. Dengan demikian, tindakan tokoh Aku mematuhi

prinsip kesantunan, maksim kearifan karena membuat keuntungan pihak lain

(friauche) sebesar-besarnya.

Di sisi lain, friauche yang ditanya tentang siapa dirinya justru menganggap

aneh pertanyaan tokoh Aku karena mereka (Aku dan friauche) sama-sama sebagai

terpidana mati. Selanjutya, friauche menjelaskan siapa dirinya yang ternyata

memiliki nasib sama dengan tokoh Aku, namun penjelasan friauche terkesan

mengecam dirinya sendiri maupun tokoh Aku sebagai terpidana hukuman mati

Page 123: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

yang akan segera mati. Hal ini dapat dilihat melalui tututannya (Cela veut dire,

s’est-il écrié au milieu d’un éclat de rire, que la taule jouera au panier avec ma

sorbonne dans six semaines, comme il va faire avec ta tronche dans six

heures. – Ha ! Ha ! Il paraît que tu comprends maintenant, ’Artinya,

teriaknya di sela-sela ledak tawa, penjara akan menggelindingkan kepalaku ke

dalam keranjang enam minggu lagi, seperti yang akan ia lakukan dengan

tampangmu enam jam lagi. – Ha ! Ha ! Kelihatannya kau mengerti

sekarang’) yang mengekspresikan kecamannya terhadap dirinya sendiri maupun

kepada tokoh Aku. Dengan dasar itu, friauche melanggar prinsip kesantunan,

maksim kesimpatian.

Friauche seharusnya bersimpati kepada diri sendiri maupun tokoh Aku

yang sama-sama mendapat musibah sebagai terpidana hukuman mati. Ekspresi

kesimpatian itu bisa diungkapkan, semisal dengan tuturan (21a) berikut.

(21a) Nous sommes condamné `a mort mais n’inquiétez pas, Monsieur, les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis.

‘Kita adalah sama-sama sebagai terpidana hukuman mati tetapi jangan khawatir, Tuan, semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan.’

Nasehat untuk bersimpati kepada Pt atau pihak ketiga yang dibicarakan

apabila mendapat musibah akan dipatuhi oleh friauche jikalau menggunakan

tuturan (21a) di atas. Tuturan tersebut sekaligus sebagai bentuk pengakuan

friauche yang memiliki nasib sama dengan tokoh Aku.

Tuturan tokoh friauche yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kesimpatian itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan

Page 124: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur

percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kesimpatian itu

adalah menyatakan ketidakpedulian, yaitu ketidakpedulian friauche kepada tokoh

Aku yang memiliki nasib yang sama sebagai terpidana hukuman mati. Pada

kontekslain, bisa mengimplikasikan pengingkaran, yaitu pengingkaran friauche

sebagai terpidana hukuman mati.

Sementara itu, tuturan Aku mengandung implikasi penghormatan, yaitu

penghormatan tokoh kepada friauche.

4.3.17. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Pujian.

Percakapan yang mematuhi prinsip kedermawanan adalah percakapan

yang meminimalkan peran Pn atas segala kepentingan pribadinya. Realisasinya,

penyebutan nama diri personal Pn diminimalkan untuk mengurangi peran

tersebut. Ketika peran tersebut semakin besar maka dimungkinkan melanggar

prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. Di sisi lain, Pn juga harus

meminimalkan pengecaman terhadap mitra tuturnya (Pt atau pihak ketiga yang

dibicarakan) agar tidak melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian

Dialog (22) di bawah ini adalah dialog yang prinsip mematuhi kesantunan,

maksim kedermawanan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.

(22) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, petugas

pelaksana pengadilan (l’huissier) berbincang-bincang dengan tokoh Aku. Kemudian tokoh Aku tidak suka dirinya (Aku) dikatakan lebih muda oleh l’huissier.

Nrt-48 : Il a fait encore une pause, et a poursuivi :

Page 125: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

L’huissier : – Des fous ! Des enthousiastes ! Ils avaient l’air de mépriser tout le monde. Pour ce qui est de vous, je vous trouve vraiment bien pensif, jeune homme.

Aku : – Jeune homme ! Lui ai-je dit, je suis plus vieux que vous ;

chaque quart d’heure qui s’écoule me vieillit d’une année. Nrt-49 : Il s’est retourné, m’a regardé quelques minutes avec un

étonnement inepte, puis s’est mis à ricaner lourdement. L’huissier : – Allons, vous voulez rire, plus vieux que moi ! Je serais

votre grand‘père. Aku : Je ne veux pas rire, lui ai-je répondu gravement.

(26/LDJC/77)

Nrt-48 : Ia lalu diam lagi sejenak, dan kemudian melanjutkan : L’huissier : – Orang-orang gila ! Orang-orang yang terlalu menggebu

semangatnya ! Mereka kelihatannya meremehkan semua orang. Kalau Anda, menurutku, Anda benar-benar sangat banyak berfikir, Anak muda !.

Aku : – Anak muda ! kataku kepadanya, aku lebih tua dari Anda.

Setiap seperempat jam berlalu, aku menjadi lebih tua setahun.

Nrt-49 : Ia memutar tubuhnya, memandangiku selama beberapa

menit dengan rasa heran yang konyol, kemudian tertawa menghina.

L’huissier : – Bah ! Anda bercanda ! Lebih tua dariku ! Aku pantas

jadi kakekmu. Aku : Aku tidak bercanda, jawabku kepadanya dengan serius.

L’huissier berusaha memaksimalkan pemujian terhadap tokoh Aku sebagai

anak muda. Pujian tersebut memberi makna bahwa tokoh Aku memiliki semangat

layaknya anak muda yang berani dan kuat menghadapi tantangan apapun,

termasuk vonis hukuman mati sekalipun. Tindakan l’huissier yang mengatakan

Page 126: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

tokoh Aku sebagai anak muda mematuhi prinsip kesantunan, maksim pujian

karena memuji orang lain (Aku) sebanyak-banyaknya.

Lain halnya, tokoh Aku tidak bisa menerima dirinya dikatakan lebih muda

daripada l’huissier. Tokoh Aku menganggap dirinya lebih tua karena baginya

harapan hidup tinggal hitungan jam, yang berarti setiap seperempat jam berlalu,

maka dia (Aku) bertambah tua. Sikap tokoh Aku tersebut mencerminkan

kemaksimalan keuntungan diri sendiri (Aku). Sikap tokoh Aku melanggar prinsip

kesantunan, yaitu maksim kederemawanan karena tidak membuat keuntungan diri

sendiri sekecil-kecilnya.

Tokoh Aku seharusnya mengapresiasi pendapat l’huissier yang

menyebutnya sebagai anak muda. Apresiasi itu sebagai bentuk timbal balik

kepada l’huissier yang memberinya (Aku) motivasi dalam menghadapi vonis

hukuman mati. Apresiasi tersebut bisa diwujudkan melalui tuturan (22a) atau

(22b) berikut, maka akan terasa lebih sopan.

(22a) Je ne sais comment vous remercier de votre attention.

‘Saya tidak tahu bagaimana saya harus berterima kasih pada Anda atas perhatian Anda.’

(22b) Je vous remercie pour votre obligeance, pour votre attention.

‘Saya ucapkan terima kasih atas kebaikan Anda, atas perhatian Anda.’

Ketika tokoh Aku menanggapi apresiasi l’huissier dengan menggunakan

tuturan (22a) atau (22b) maka dia (Aku) telah menghargai apresiasi l’huissier

yang menyebutnya sebagai anak muda. Akibatnya, tokoh Aku memaksimalkan

keuntungan pada orang lain (l’huissier).

Page 127: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan

bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur

percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu

adalah menyatakan penolakan, yaitu penolakan tokoh Aku yang tidak mau dirinya

dianggap lebih muda daripada l’huissier.

Sementara itu, tuturan l’huissier mengandung implikasi penghormatan,

yaitu penghormatan tokoh kepada Aku.

4.3.18. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian. Maksim kedermawanan menegaskan kepada setiap peserta tindak tutur

untuk meminimalkan kepentingan pribadi. Akibatnya setiap peserta tindak tutur

meminimalkan perannya untuk memujudkan keinginannya, pada prakteknya

setiap tuturan diusahakan seminimal mungkin untuk menyebut nama peserta

tindak tutur yang memiliki kepentingan pribadi. Lain halnya, setiap peserta tindak

tutur hendalnya memberikan kesimpatian kepada mitra tuturnya ketika mendapat

musibah. Ketika mitra tutur mendapat musibah, namun peserta tindak tutur tidak

memberikam kesimpatian maka peserta tindak tutur tersebut melanggar prinsip

kesantunan, yakni makism kesimpatian.

Pada roman Le Dernier Jour d’un Condamné ditemukan 1 wacana

monolog yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim kedermawanan dan

melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim kesimpatian.

Page 128: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

(23) Konteks : Di dalam selnya (Aku), tokoh Aku memperkirakan peluang naik banding agar dapat bebas dari vonis hukuman mati yang telah ia (Aku) terima.

Nrt-50 : Plus de chance maintenant ! Mon pourvoi sera rejeté, parce que

tout est en règle ; les témoins ont bien témoigné, les plaideurs ont bien plaidé, les juges ont bien jugé. Je n’y compte pas, à moins que… Non, folie ! Plus d’espérance ! Le pourvoi, c’est une corde qui vous tient suspendu au-dessus de l’abîme, et qu’on entend craquer à chaque instant, jusqu’à ce qu’elle se casse. C’est comme si le couteau de la guillotine mettait six semaines à tomber.

Aku (Pn) : – Si j’avais ma grâce ? Aku (Pt) : – Avoir ma grâce ! Et par qui ? Et pourquoi ? Et comment ? Il

est impossible qu’on me fasse grâce. L’exemple ! Comme ils disent. Je n’ai plus que trois pas à faire : Bicêtre, la Conciergerie, la Grève.

(14/LDJC/63)

Nrt-50 : Sekarang sudah tidak ada lagi kesempatan! Permohonan

bandingku akan ditolak, sebab semuanya beres : para saksi telah bersaksi dengan baik, para pembela telah membela dengan baik, para hakim telah menghakimi dengan baik. Aku tidak mengharapkannya, kecuali..... Tidak, gila! Tidak ada harapan lagi ! Banding adalah tali yang menggantungku di atas jurang yang setiap saat seratnya terdengar meretas, hingga akhirnya putus. Itu seperti kalau pisau guilottine memerlukan waktu enam minggu untuk meluncur sampai bawah.

Aku (Pn) : – Kalau aku mendapat pengampunan?

Aku (Pt) : – mendapat pengampunan! Dari siapa? dan kenapa? dan bagaimana? Tidak mungkin orang memberiku pengampunan. Buat contoh! Seperti kata mereka. Hanya tiga langkah lagi yang harus kulalui : penjara Bicêtre, gedung Conciergerie, bunderan Grêve.

Pn yang mengandaikan (Si j’avais ma grâce ?, ’Kalau aku mendapat

pengampunan?’) adanya pengampunan dari hasil banding atas vonis hukuman

Page 129: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

mati yang telah ia (Pn) terima adalah sebuah kewajaran dan hal itu adalah hak dari

Pn. Namun tokoh Aku mengurungkan niat untuk melakukan banding (seperti pada

Nrt 49) maka Pn mematuhi submaksim pertama (membuat keuntungan diri sendiri

sekecil-kecilnya) prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. Di sisi lain, Pn

tidak memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri dengan mengajukan

banding atas kasusnya (Aku). Tindakan Pn telah mematuhi prinsip kesantunan,

yaitu maksim kedermawanan karena membuat keuntungan diri sendiri (Pn)

sekecil-kecilnya dan membuat kerugian diri sendiri (Pn) sebesar-besarnya.

Lain halnya, Sikap Pt yang meragukan harapan Pn tentang pengampunan

dan mempertanyakan dari siapa serta mengapa Pn bisa mendapat pengampunan

dari vonis hukuman mati merupakan ekspresi keantipatian Pt kepada Pn. Sikap Pt

tersebut melanggar submaksim pertama (mengurangi rasa antipati antara diri

dengan pihak lain hingga sekecil-kecilnya) maksim kesimpatian. Lebih dari itu, Pt

menegaskan keantipatiannya dengan mengatakan bahwa terpidana mati (Aku)

hanya memiliki tiga langkah lagi, yaitu penjara Bicêtre, gedung Conciergerie,

bunderan Grêve. Penjara Bicêtre merupakan pertanda masa menunggu bagi

terpidana mati sebelum melaksanakan eksekusi mati, gedung Conciergerie adalah

tempat bagi terpidana mati untuk didata ulang dalam rangka prosesi eksekusi

mati, bunderan Grève adalah tempat terpidana mati dieksekusi mati. Pt yang

mengatakan Pn tinggal memiliki tiga langkah lagi (penjara Bicêtre, gedung

Conciergerie, bunderan Grêve) menyiratkan bahwa Pn sudah tidak memiliki

harapan bebas vonis hukuman mati. Maka sikap Pt tersebut melanggar prinsip

kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena tidak mengurangi rasa antipati

Page 130: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

antara diri (Pt) dengan pihak lain (Pn) hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan

rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri (Pn) dengan pihak lain (Pt).

Pt seharusnya ikut memberikan dukungan kepada Pn yang mengharapkan

kebebasan dari vonis hukuman mati, dukungan itu bisa diungkapkan dengan

kalimat, semisal,

(23a) Vous pourriez monter en appel au tribunal ou vous pourriez demander la cassation à la cour supreme pour d’être lavé de ce condamné à mort.

‘Sudilah kiranya Anda mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi atau Anda meminta kasasi ke Mahkamah Agung agar bisa bebas dari tuntututan hukuman mati itu.’

Ketika Pt memberikan saran seperti pada (23a) maka akan membuat Pn

memiliki keyakinan dan harapan untuk bebas dari hukuman mati. Saran Pt juga

bisa diungkapkan dengan kalimat lain, semisal,

(23b) Il serait bien que vous le portiez en cassation.

Anda lebih baik membawa kasus (vonis hukuman mati) ke tingkat kasasi.

Kalimat (23b) juga bisa digunakan oleh Pt sebagai bentuk simpati

sekakigus saran kepada Pn yang mendapat vonis hukuman mati.

Tuturan tokoh Pt yang melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian

itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena

inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan

itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang

dikandung tuturan yang melanggar maksim kesimpatian itu adalah menyatakan

keraguan, yaitu keraguan Pt terhadap Pn yang mengharapkan ampunan dari

hukuman mati.

Page 131: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Sementara itu, tuturan Pn mengandung implikasi harapan, yaitu tokoh

Aku yang mengharapkan bandingnya diterima ke tingkat pengadilan tinggi atau

kasasi.

4.3.19. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kerendahan Hati dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kedermawanan.

Pn yang memiliki kepentingan untuk disampaikan kepada Pt atau pihak

ketiga, dituntut untuk menyampaikan dengan mengurangi sekecil-kecilnya peran

dirinya (Pn) yang memiliki kepentingan. Pn juga dituntut untuk menyampaikan

kepentingannya dengan tuturan yang diutarakan secara tidak langsung yang

lazimnya lebih sopan dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara

langsung. Selain dari itu, memerintah dengan kalimat berita atau kalimat tanya

dipandang lebih sopan dibandingkan dengan kalimat perintah. Di sisi lain, Pn

dituntut meminimalkan memuji diri sendiri dan memaksimalkan mengecam diri

sendiri.

Dialog (24) di bawah ini adalah dialog yang mematuhi prinsip kesantunan,

kerendahan hati karena meminimalkan memuji diri sendiri. Dialog (24) juga

melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawan karena memaksimalkan

kepentingan diri sendiri.

(24) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku tidak mampu menahan perasaan sedih ketika mengetahui kertas yang dibaca oleh putrinya adalah kertas keputusan vonis hukuman mati bagi dirinya (Aku).

Aku : – Voyons, lis un peu, lui ai-je dit en lui montrant un papier

qu’elle tenait chiffonné dans une de ses petites mains. Nrt-51 : Elle a hoché sa jolie tête. Marie : – Ah bien ! Je ne sais lire que des fables.

Page 132: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Aku : – Essaie toujours. Voyons, lis. Nrt-52 : Elle a déployé le papier, et s’est mise à épeler avec son

doigt : Marie : – A, R, ar, R, Ê, T, rêt, ARRÊT… Nrt-53 : Je lui ai arraché cela des mains. C’est ma sentence de

mort qu’elle me lisait. Sa bonne avait eu le papier pour un sou. Il me coûtait plus cher, à moi.

Il n’y a pas de paroles pour ce que j’éprouvais. Ma violence l’avait effrayée ; elle pleurait presque. Tout à coup elle m’a dit :

Marie : – Rendez-moi donc mon papier; tiens ! C’est pour jouer. Nrt-54 : Je l’ai remise à sa bonne. Aku : – Emportez-la. Nrt-55 : Et je suis retombé sur ma chaise, sombre, désert, désespéré.

À présent ils devraient venir ; je ne tiens plus à rien ; la dernière fibre de mon cœur est brisée. Je suis bon pour ce qu’ils vont faire.

(48/LDJC/111)

Aku : – Coba bacalah sedikit, kataku kepadanya sambil menunjuk

kertas lusuh yang berada di tangannya yang mungil. Nrt-52 : Ia menganggukkan kepalanya yang indah. Marie : – Ah, aku hanya bisa membaca dongeng tentang

binatang. Aku : – Cobalah. Ayo, baca. Nrt-52 : Ia membentangkan kertasnya, dan mulai mengeja sambil

menunjuk dengan jarinya : Marie : – K, E, ke, P, U, pu, T, U, tu, S, A, N, san,

KEPUTUSAN… Nrt-53 : Kurebut kertas itu dari tangannya. Yang ia baca itu adalah

keputusan eksekusi hukuman matiku. Pengasuhnya

Page 133: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

membelinya seharga satu kelip. Aku harus membayarnya lebih mahal.

Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan bagaimana perasaanku saat itu. Kekasaranku membuatnya takut. Ia hampir menangis. Mendadak ia berkata kepadaku :

Marie : – Tolong kembalikan kertasku ! Untuk mainan. Nrt-54 : Kukembalikan anak itu ke pengasuhnya Aku : – Bawa ia pergi. Nrt-55 : Dan aku kembali terduduk di kursiku, sedih, sunyi, putus

asa. Saat mereka seharusnya tiba. Tidak ada lagi yang kupegangi. Serat terakhir jantungku sudah putus. Sudah pas aku sekarang untuk menjalani apa yang mereka lakukan.

Tokoh Aku meminta Marie untuk membaca kertas yang dipegangnya

(Marie). Permintaan tokoh Aku tersebut dilakukan agar ia (Aku) bisa semakin

dekat dengan Marie yang sudah tidak mengenalnya lagi sebagai ayahnya (Marie).

Namun perintah tokoh Aku yang menyuruh Marie membaca menyuratkan

kepentingan diri sendiri (Aku). Tokoh Aku memaksimalkan keuntungan diri

sendiri dengan tuturan kalimat perintah yang diutarakan secara langsung. Maka

tokoh Aku melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan karena tidak

membuat keuntungan diri sendiri sekecil-kecilnya dan tidak membuat kerugian

diri sendiri sebesar-besarnya.

Tokoh Aku sebaiknya menyampaikan keinginannya (meminta Marie untuk

membaca) dengan tuturan yang diutarakan secara tidak langsung dan tanpa harus

menggunakan kalimat perintah walaupun bermakna memerintah. Tuturan tokoh

Aku semisal diutarakan dengan tuturan (24a) di bawah ini, maka akan terasa lebih

sopan.

Page 134: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

(24a) Marie pourriez lire un peu, s’il vous plaît!

Marie sudilah (Anda) membaca sedikit !

Lain halnya, Marie merendahkan dirinya dengan mengatakan bahwa dia

hanya bisa membaca dongeng tentang binatang (Ah bien! Je ne sais lire que des

fables, ’Ah, aku hanya bisa membaca dongeng tentang binatang’). Sikap

merendahkan diri yang dilakukan oleh Marie merupakan bentuk pematuhan

prinsip kesantunan, maksim kerendahan diri karena memuji diri sendiri sedikit-

dikitnya.

Tuturan tokoh Aku yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kedermawanan itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan

bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur

percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kedermawanan itu

adalah menyatakan harapan, yaitu harapan agar Marie semakin dekat dengannya

(Aku) dan akhirnya mengenalnya sebagai ayahnya.

Sementara itu, tuturan Marie mengandung implikasi penolakan, yaitu

menolak permintaan tokoh Aku untuk membaca kertas yang dipegangnya (Marie).

4.3.20. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesepakatan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian.

Wacana monolog adalah wacana yang pemproduksiannya hanya

melibatkan satu pembicara (sebagai Pn maupun Pt) yang memiliki keleluasaan

untuk mengatur ide maupun tuturan Pn dan Pt. Maka dimungkinkan wacana

monolog yang tercipta mematuhi prinsip kesimpatian, maksim kesepakatan.

Pematuhan prinsip kesimpatian, maksim kesepakatan kemungkian besar terjadi

Page 135: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

karena pembicara sebagai Pn dan Pt akan cenderung menyepakati idenya

(pembicara) sendiri. Wacana monolog

Di sisi lain, prinsip kesantunan, maksim kesimpatian menegaskan kepada

setiap peserta tindakk tutur untuk memberikan kesimpatian ke sesama peserta

tindak tutur ketika ada diantara peserta tindak tutur yang mengalami musibah.

Kesimpatian tersebut juga berlaku bagi peserta tindak tutur yang mendapat

musibah untuk bersimpati kepada dirinya sendiri.

Wacana monolog (25) di bawah ini adalah data yang mematuhi prinsip

kesantunan, maksim kesepakatan dan melanggar prinsip kesantunan, maksim

kesimpatian.

(25) Konteks : Kunjungan kepala penjara yang menemui tokoh Aku di selnya (Aku), semakin membuat tokoh Aku yakin bahwa kunjungan tersebut sebagai pertanda eksekusi mati segera dilaksanakan.

Aku (Pn) : C’est pour aujourd’hui ! Nrt-56 : Le directeur de la prison lui-même vient de me rendre visite. Il

m’a demandé en quoi il pourrait m’être agréable ou utile, a exprimé le désir que je n’eusse pas à ma plaindre de lui ou de ses subordonnés, s’est informé avec intérêt de ma santé et de la façon dont j’avais passé la nuit; en me quittant, il m’a appelé monsieur !

Aku (Pt) : C’est pour aujourd’hui !

(17/LDJC/68) Aku (Pn) : Itu hari ini ! Nrt-56 : Direktur penjara sendiri datang menjengukku. Ia bertanya apa

yang bisa dilakukan untuk menyenangkan hatiku atau apa yang bisa ia lakukan buatku, dan ia juga mengungkapkan harapannya agar aku tidak mempunyai keluhan terhadapnya atau terhadap anak buahnya, dengan penuh perhatian ia menanyaiku tentang kesehatanku dan bagaimana aku melewatkan malam yang baru saja berlalu. Saat meninggalkanku, ia menyebutku dengan tuan!

Page 136: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Aku (Pt) : Itu hari ini!

Sikap Pn yang memperkirakan bahwa kunjungan direktur penjara (seperti

pada Nrt-56) sebagai pertanda eksekusi mati akan segera dilaksanakan semakin

membuat Pn lemah dan takut menghadapi eksekusi mati. Sikap Pn tersebut

sebagai bentuk pelanggaran prinsip kesantunan, maksim kesimpatian karena Pn

tidak bersimpati pada dirinya sendiri yang telah mendapat vonis hukuman mati.

Pn seyogyanya tetap optimis melalui hari-harinya di penjara dan tidak

harus menganggap kedatangan direktur penjara sebagai pertanda bahwa eksekusi

mati segera dilaksanakan pada hari ketika direktur penjara berkunjung. Pn

sebaiknya menganggap sikap direktur penjara yang menanyakan tentang

pelayanan penjara dan menanyakan tentang kesehatan Pn sebagai bentuk

perhatian direktur penjara yang memang sudah menjadi tugasnya (direktur

penjara). Pn seharusnya berpikiran positif atas perhatian direktur penjara bahkan

merasa dirinya (Pn) istimewa karena tidak semua narapidana mendapat perhatian

sebagaimana yang didapatkan oleh Pn. Sikap Pn untuk mengapresiasi perhatian

direktur penjara dapat diutarakan dengan tuturan (24a) berikut.

(25a) Avec tous mes remercierements, je ne me plaignis jamais d’avoir un service de la prison.

‘Dengan segala rasa terima kasih (saya), saya tidak pernah mengeluh atas pelayanan penjara.’

Tuturan (25a) di atas terkesan lebih sopan sekaligus sebagi bentuk

apresiasi Pn atas kebaikan direktur penjara dan pelayanan penjara.

Sementara itu, tuturan Pt C’est pour aujourd’hui !, ’Itu hari ini!’

menunjukkan kesepakatan Pt kepada pendapat Pn yang mengatakan bahwa

Page 137: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

kunjungan direktur penjara sebagai pertanda eksekusi mati segera dilaksanakan.

Pt cenderung melebih-lebihkan kesepakatannya kepada Pn dengan mengulang

tuturan yang sama persis dengan tuturan Pn. Dengan demikian, Pt mematuhi

prinsip kesantunan, maksim kesepakatan karena mengusahakan agar kesepakatan

antara diri sendiri (Pt) dan pihak lain (Pn) terjadi sebanyak-banyaknya.

Tuturan tokoh Pn yang melanggar prinsip kesantunan, maksim

kesimpatian itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan

bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur

percakapan yang dikandung tuturan yang melanggar maksim kesimpatian itu

adalah menyatakan kegelisahan, yaitu kegelisahan Pn yang akan menghadapi

eksekusi mati.

Sementara itu, tuturan Pt mengandung implikasi ketidakpedulian, yaitu

ketidakpedulian Pt terhadap Pn yang mengalami kegelisahan dalam menghadapi

eksekusi mati.

4.3.21. Pematuhan Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Pujian. Kesantunan wacana yang mematuhi prinsip kesantunan, maksim

kesimpatian adalah percakapan yang mengurangi rasa antipati antara diri sendiri

dengan pihak lain hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati

sebanyak-banyaknya antara diri sendiri dengan pihak lain. Sementara itu, tindakan

yang memaksimalkan pengecaman kepada pihak lain ataupun meminimalkan

pujian kepada pihak lain berarti melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.

Page 138: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Wacana (26) di bawah ini mematuhi prinsip kesantunan, maksim

kesimpatian dan melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.

(26) Konteks : Tokoh Aku kembali melanjutkan pengamatan pada dinding di ruang selnya walaupun sebelumnya dia (Aku) telah melihat lukisan tempat pemancungan yang membuatnya takut.

Nrt-57 : Je suis revenu m’asseoir précipitamment sur ma paille, la tête

dans les genoux. Puis mon effroi d’enfant s’est dissipé, et une étrange curiosité m’a repris de continuer la lecture de mon mur.

À côté du nom de Papavoine j’ai arraché une énorme toile d’araignée, tout épaissie par la poussière et tendue à l’angle de la muraille. Sous cette toile il y avait quatre ou cinq noms parfaitement lisibles, parmi d’autres dont il ne reste rien qu’une tache sur le mur. – DAUTUN, 1815. – POULAIN, 1818. – JEAN MARTIN, 1821. – CASTAING, 1823. J’ai lu ces noms, et de lugubres souvenirs me sont venus. Dautun, celui qui a coupé son frère en quartiers, et qui allait la nuit dans Paris jetant la tête dans une fontaine, et le tronc dans un égout ; Poulain, celui qui a assassiné sa femme ; Jean Martin, celui qui a tiré un coup de pistolet à son père au moment où le vieillard ouvrait une fenêtre ; Castaing, ce médecin qui a empoisonné son ami, et qui, le soignant dans cette dernière maladie qu’il lui avait faite, au lieu de remède lui redonnait du poison ; et auprès de ceux-là, Papavoine, l’horrible fou qui tuait les enfants à coups de couteau sur la tête !

Voilà, me disais-je, et un frisson de fièvre me montait dans les reins, voilà quels ont été avant moi les hôtes de cette cellule. C’est ici, sur la même dalle où je suis, qu’ils ont pensé leurs dernières pensées, ces hommes de meurtre et de sang ! C’est autour de ce mur, dans ce carré étroit, que leurs derniers pas ont tourné comme ceux d’une bête fauve. Ils se sont succédé à de courts intervalles ; il paraît que ce cachot ne désemplit pas. Ils ont laissé la place chaude, et c’est à moi qu’ils l’ont laissée. J’irai à mon tour les rejoindre au cimetière de Clamart, où l’herbe pousse si bien !

Je ne suis ni visionnaire, ni superstitieux, il est probable que ces idées me donnaient un accès de fièvre ; mais, pendant que je rêvais ainsi, il m’a semblé tout à coup que ces noms fatals étaient écrits avec du feu sur le mur noir ; un tintement de plus en plus précipité a éclaté dans mes oreilles ; une lueur rousse a rempli mes yeux ; et puis il m’a paru que le cachot était plein d’hommes,

Page 139: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

d’hommes étranges qui portaient leur tête dans leur main gauche, et la portaient par la bouche, parce qu’il n’y avait pas de chevelure. Tous me montraient le poing, excepté le parricide. ………….. Cela m’a dépossédé

Aku (Pn) : – Ô les épouvantables spectres ! Aku (Pt) : – Non, c’était une fumée, une imagination de mon cerveau

vide et convulsif. Chimère à la Macbeth ! Les morts sont morts, ceux-là surtout. Ils sont bien cadenassés dans le sépulcre. Ce n’est pas là une prison dont on s’évade.

(12/LDJC/52)

Nrt-57 : Aku buru-buru kembali duduk di atas tumpukan jeramiku,

kusembunyikan kepalaku di sela-sela dengkulku. Kemudian rasa takutku yang kekanak-kanakan itu hilang, dan rasa ingin tahu yang aneh mendorongku untuk meneruskan membaca tulisan-tulisan yang ada di tembok sel.

Kusibakkan sarang laba-laba yang besar, tebal berdebu, yang membentang di sudut tembok, di samping nama Papavoine. Di belakang sarang laba-laba itu ada empat atau lima nama yang masih dapat terbaca dengan sempurna diantara yang lain-lain yang tinggal berupa noda di tembok itu. – Dautun, 1815. – Poulin, 1818. – Jean Martin, 1821. – Castaing, 1823. Kubaca nama-nama itu, dan kenangan suram melintas dalam ingatanku: Dautun, orang yang memotong saudaranya menjadi empat, dan yang di malam hari ke luar di Paris untuk menaruh penggalan kepalanya di sebuah air mancur dan membuang potongan tubuhnya di selokan; Poulin, orang yang membunuh istrinya; Jean Martin, orang yang menembak ayahnya dengan pistol saat orang tua itu sedang membuka jendela; Castaing, dokter yang telah meracuni temannya dan yang saat merawatnya, bukannya menyembuhkannya, tapi malah meracuninya lagi, dan setelah nama-nama itu, nama Papavoine, orang gila yang mengerikan yang membunuh anak-anak dengan tikaman-tikaman pisau di kepala!

Begitu, kataku kepada diriku sendiri, dan rasa menggigil seperti demam merambat naik ke ginjalku, begitu rupanya para penghuni sel ini sebelumku. Di sinilah, di atas ubin yang sama dengan tempatku berada sekarang ini, mereka merenungkan pikiran-pikiran terakhir mereka, para pembunuh yang berlumuran darah ini! Di sekeliling dinding inilah, di dalam bilik sempit ini, mereka mondar-mandir terakhir kali seperti

Page 140: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

seekor binatang buas. Mereka saling bergantian dalam waktu yang tidak lama. Tampaknya sel ini tidak pernah kosong. Tempat ini mereka tinggalkan masih dalam keadaan hangat, dan kepadakulah mereka meninggalkannya. Sekarang giliranku bergabung dengan mereka di kuburan Clamart, tempat semak belukar tumbuh subur!

Aku bukanlah orang yang suka berkhayal atau percaya tahayul. Mungkin sekali pikiran-pikiran ini membuatku terserang demam, tapi selama aku melamun seperti itu, tiba-tiba kelihatannya nama-nama yang menakutkan ini seolah ditulis dengan api di atas tembok hitam, telingaku mendenging makin lama makin cepat, secercah cahaya kemerah-merahan memenuhi pandanganku, dan kemudian sel itu kelihatannya penuh orang, orang-orang aneh yang mencangking kepala mereka dengan tangan kirinya, dan memegangnya pada lubang mulut, sebab kepala-kepala itu tidak berambut. Mereka semua mengacungkan tinjunya padaku, kecuali orang yang membunuh ayahnya itu. ………………………………………………………………… Itu telah menyeretku kembali.

Aku (Pn) : – Oh, hantu-hantu yang sangat menakutkan! Aku (Pt) : - Bukan, itu asap, imajinasi otakku yang kosong dan tak

terkendali. Mimpi-mimpi buruk dalam cerita Macbeth ! Orang yang sudah mati ya mati, terutama mereka itu. Mereka benar-benar telah digembok di dalam makam mereka. Dan itu bukanlah penjara yang penghuninya dapat melarikan diri.

Pn merasa para mantan narapidana (Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing,

dan Papavoine) yang pernah menghuni ruang selnya (Pn) seakan datang

mendekatinya dan meninjunya (Pn) (seperti pada Nrt-57) adalah bentuk khayalan

atau ilusi Pn akibat terlalu takut menghadapi eksekusi mati yang akan dijalaninya.

Adapun tuturan Pn (Ô les épouvantables spectres !, ’Oh, hantu-hantu yang sangat

menakutkan!’) merupakan ekspresi ketakutannya (Pn) terhadap para mantan

narapidana tersebut yang telah diesksekusi mati. Tuturan Pn sekaligus sebagai

Page 141: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

bentuk ekspresi yang melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian karena telah

mengecam para mantan narapidana dengan menyebut mereka sebagai hantu-hantu

yang menakutkan. Tindakan Pn melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian

karena mengecam orang lain (Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan

Papavoine) sebanyak-banyaknya dan memuji orang lain (Dautun, Poulin, Jean

Martin, Castaing, dan Papavoine) sedikit-dikitnya.

Pn hendaknya mengekspresikan ketakutannya tanpa harus mengecam

Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan Papavoine walaupun mereka telah

melakukan kejahatan yang bisa jadi lebih jahat daripada tokoh Aku. Tuturan

tokoh Aku bisa diutarakan dengan tuturan (26a) berikut yang akan terasa lebih

sopan.

(26a) Même si j’avais peur, je dois quand même facer la condamnation à la mort.

‘Meskipun saya mengalami ketakutan, pada waktu yang sama saya harus menghadapi vonis hukuman mati.’

Tuturan (26a) di atas terasa lebih sopa karena tidak mengecam pihak lain

(Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan Papavoine) sekaligus sebagai

ekspresi keoptimisan Pn untuk berani menghadapi vonis hukuman mati walaupun

Pn bisa jadi memiliki nasib yang sama dengan Dautun, Poulin, Jean Martin,

Castaing, dan Papavoine, yaitu dihukum mati.

Pt menganggap bahwa Pn hanya berhalusinasi terhadap para arwah para

narapidana (Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan Papavoine) yang

dianggap sebagai hantu yang menakutkan. Hal ini akibat dari imajinasi otak yang

kosong dan tidak terkendali. Tindakan Pt merupakan ekspresi kesimpatian kepada

Page 142: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Pn, tindakan tersebut diperkuat dengan memberikan sugesti bahwa Orang yang

sudah mati akan tetap mati, terutama (Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan

Papavoine). Mereka benar-benar telah digembok di dalam makam mereka. Dan

itu bukanlah penjara yang penghuninya dapat melarikan diri.

Maka tindakan Pt mematuhi prinsip kesantunan, yaitu maksim kesimpatian

karena mengurangi rasa antipati antara diri (Pt) dengan pihak lain (Pn) hingga

sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri

(Pt) dengan pihak lain (Pn).

Tuturan tokoh Pn yang melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian itu

memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu terjadi karena

inferensi atas pelanggaran submaksim itu menghasilkan simpulan bahwa tuturan

itu mengandung implikatur percakapan. Adapun implikatur percakapan yang

dikandung tuturan yang melanggar maksim pujian itu adalah menyatakan

penolakan, yaitu penolakan Pn agar tidak mendapat nasi yang sama seperti

Dautun, Poulin, Jean Martin, Castaing, dan Papavoine yang dieksekusi mati.

Sementara itu, tuturan Pt mengandung implikasi harapan, yaitu harapan

kepada Pn untuk berani menghadapi vonis hukuman mati.

4.3.22. Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan, Maksim Kesimpatian.

Percakapan yang mengurangi rasa antipati antara diri sendiri dengan pihak

lain hingga sekecil-kecilnya dan meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya

antara diri sendiri dengan pihak lain. Jika petutur mendapatkan kesuksesan atau

kebahagiaan, penutur wajib memberikan ucapan selamat. Ketika petutur

Page 143: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

mendapatkan kesusahan atau musibah, penutur layak turut berduka atau

mengucapkan bela sungkawa sebagai tanda kesimpatian.

Wacana (27) berikut ini mematuhi dan melanggar prinsip kesantunan,

maksim kesimpatian.

(27) Konteks : Tokoh Aku telah melalui masa-masa persidangan tentang kasus yang dituduhkan kepadanya selama lima minggu, selama lima minggu itu pula, dia (Aku) selalu memikirkan vonis hukuman mati yang bisa saja dijatuhkan kepadanya. Vonis hukuman mati tersebut membuatnya (Aku) menjadi takut.

Aku (Pn 1) : Condamné à mort! Nrt-58 : Voilà cinq semaines que j’habite avec cette pensée, toujours seul

avec Elle, toujours glacé de sa présence, toujours courbé sous son poids! Autrefois, car il me semble qu’il y a plutôt des années que des semaines, j’étais un homme comme un autre homme. Chaque jour, chaque heure, chaque minute avait son idée. Mon esprit, jeune et riche, était plein de fantaisies. Il s’amusait à me les dérouler les unes après les autres, sans ordre et sans fin, brodant d’inépuisables arabesques cette rude et mince étoffe de la vie. C’étaient des jeunes filles, de splendides chapes d’évêque, des batailles gagnées, des théâtres pleins de bruit et de lumière, et puis encore des jeunes filles et de sombres promenades la nuit sous les larges bras des marronniers. C’était toujours fête dans mon imagination. Je pouvais penser à ce que je voulais, j’étais libre. Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n’ai plus qu’une pensée, qu’une conviction, qu’une certitude :

Aku (Pn 2) : Condamné à mort!

Nrt-59 : Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernale, comme un spectre de plomb à mes côtés, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de ses deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu’on m’adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot, m’obsède éveillé, épie mon sommeil

Page 144: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d’un couteau.

Aku (Pt) : Ah ! Ce n’est qu’un rêve! – Hé Bien!

Nrt-60 : Avant même que mes yeux lourds aient eu lu temps de

s’entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l’horrible réalité qui m’entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de ma lampe de nuit, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré à mon oreille :

Aku (Pn 3) : Condamné à mort!

(1/LDJC/37-38) Aku (Pn 1) : Dihukum mati! Nrt-58 : Lima minggu sudah aku hidup bersama pikiran ini, selalu berdua

dengannya, selalu dihantui kehadirannya, bungkuk menanggung bebannya! Dulu, sebab bagiku rasanya telah bertahun-tahun daripada beberapa minggu, aku adalah manusia bebas, seperti manusia lainnya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit mempunyai gagasan. Jiwaku yang muda dan kaya penuh dengan angan-angan. Secara iseng, jiwaku sering menanyakan angan-angan itu kepadaku satu demi satu, tanpa urutan dan tanpa akhir, menyulam arabesk yang tidak ada habisnya di kain kehidupan kasar dan tipis ini. Angan-angan tentang gadis, jubah uskup, pertempuran-pertempuran yang dimenangkan, teater penuh suara dan cahaya, lalu gadis-gadis lagi dan jalan-jalan di malam hari yang suram di bawah lengan-lengan raksasa pohon-pohon sarangan. Dalam bayanganku, itu selalu merupakan hari raya. Aku bisa memikirkan apa yang kuinginkan, aku bebas. Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian:

Aku (Pn 2) : Dihukum mati!

Nrt-59 : Apapun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang

Page 145: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

merana. Dan bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia mengguncangku dengan kedua tangannya yang sedingin es. Ia menyusup ke segala bentuk pelarian yang dipakai jiwaku untuk menghindarinya, menimbrung di semua ucapan yang ditujukan padaku seperti refrain lagu yang mengerikan, menempel bersamaku di terali besi selku yang begitu buruk, menghantuiku di saat terjaga, memata-mataiku di saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku, dalam bentuk pisau. Tersentak bangun aku dikejarnya, kemudian kuberkata kepada diriku sendiri:

Aku (Pt) : Ah, itu hanya mimpi! – Oh, Ya ?!

Nrt-60 : Bahkan sebelum mataku yang berat sempat sedikit membuka

untuk melihat pikiran yang tidak terelakkan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di ubin selku yang basah dan berkeringat, di kesuraman lampu malamku, di tenunan kasar kain pakaianku, di wajah suram serdadu jaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, terdengar sudah sebuah bisikan di telingaku:

Aku (Pn 3) : Dihukum mati!

Pada tuturan di atas (Condamné à mort!, ‘Dihukum mati!’), tindakan Pn

1 – Pn 3 melanggar submaksim pertama (mengurangi rasa antipati antara diri

sendiri dengan pihak lain hingga sekecil-kecilnya) prinsip kesantunan, maksim

kesimpatian. Hal itu dikarenakan Pn 1 – Pn 2 tidak bersimpati kepada dirinya

sendiri yang terlibat pada pemikiran tentang hukuman mati. Pn 1 – Pn 2 tidak

memiliki optimisme meskipun dia sedang mengalami persidangan yang bisa saja

mengarah pada vonis hukuman mati (seperti pada Nrt-58 dan Nrt-59). Sementara

itu, Pn 3 yang telah mendapatkan ekspresi simpati dari Pt berupa keyakinan

bahwa apa yang dipikirkannya (Pn 3) hanyalah sebuah mimpi atau tidak akan

menjadi kenyataan. Semestinya, ia (Pn 3) memiliki optimisme tentang

kemungkinan adanya peluang bebas dari vonis hukuman mati. Namun dia (Pn 3)

juga pesimis (seperti pada Nrt-60) terhadap dirinya sendiri. Tindakan Pn 1 – Pn 3

Page 146: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

terlihat melalui tuturannya (Condamné à mort !, ’Dihukum mati !’) yang

menunjukkan pesimisme dari pelakunya (Pn 1 – Pn 3) terhadap keadaan dirinya

sendiri.

Melalui tuturan Pn 1- Pn 3 (Condamné à mort !, ’Dihukum mati !’), maka

dapat dinyatakan bahwa Pn 1 – Pn 3 melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim

kesimpatian karena tidak mengurangi rasa antipati antara diri sendiri (Pn, Aku)

dengan pihak lain (Pn, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan tidak meningkatkan rasa

simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (Pn, Aku) dengan pihak lain (Pn,

Aku).

Pn 1 – Pn 3 tidak berpikiran positif atas dirinya sendiri dan justru

mengalami kebingungan terhadap kemungkinan vonis hukuman mati yang akan

menimpanya (Pn 1 – Pn 3). Seharusnya, Pn 1 – Pn 3 memiliki optimisme tentang

peluang bebas dari vonis hukuman mati. Optimisme Pn 1 – Pn 3 bisa diungkapkan

dengan ekspresi, semisal (27a) atau (27b) berikut.

(27a) Je suis sûr de ma liberté.

‘Saya yakin pada kebebasanku.’ Atau dengan, (27b) J’espère d’être lavé de cette accusation,

‘Saya berharap bisa bebas dari tuntutan itu’.

Jikalau Pn 1 – Pn 3 mengungkapkan tindakannya melalui tuturan (27a) di

atas, hal itu mengesankan sebuah kepercayaan diri sendiri dan juga menunjukkan

pikiran positif pada diri sendiri. Akibatnya, tindakan tersebut memberikan

keuntungan yang sebesar-besarnya kepada pihak lain (Pn), mengingat ini adalah

Page 147: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

wacana monolog. Pn 1 Pn 3 juga bisa mengekspresikan tindakannya melalui

tuturan (27b) yang menyuratkan sebuah harapan untuk bisa bebas dari vonis

hukuman mati.

Adapun Aku (Pt), sekaligus sebagai Pn (mengingat ini adalah wacana

monolog) mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian. Tuturan Pt di atas

(Ah ! Ce n’est qu’un rêve! – Hé Bien!, ’Ah, itu hanya mimpi! – Oh, Ya ?!’)

menyatakan bentuk kesimpatian kepada Pn. Hal ini sesuai dengan bunyi maksim

kesimpatian submaksim kedua yang menekankan untuk meningkatkan rasa

simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (Pt) dengan pihak lain (Pn).

Nasihat untuk bersimpati kepada pihak lain (Pn) dipatuhi oleh Pt di dalam

percakapan di atas. Pt telah memberikan sugesti (Ah ! Ce n’est qu’un rêve!, ’Ah,

itu hanya mimpi!) yang memberikan keyakinan kepada Pn bahwa apa yang dia

(Pn) pikirkan (seperti pada Nrt-58 dan Nrt-59) hanyalah sebuah mimpi.

Dengan dasar itu, maka dapat dinyatakan bahwa Pt mematuhi prinsip

kesantunan, yakni maksim kesimpatian karena mengurangi rasa antipati antara

diri sendiri (Pt, Aku) dengan pihak lain (Pn, Aku) hingga sekecil-kecilnya dan

meningkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri sendiri (Pt, Aku)

dengan pihak lain (Pn, Aku).

Tuturan Pn yang melanggar prinsip kesantunan, yakni maksim

kesimpatian itu memiliki fungsi sebagai sumber implikatur percakapan. Hal itu

terjadi karena melalui inferensi atas pelanggaran kedua submaksim itu

menghasilkan simpulan bahwa tuturan itu mengandung implikatur percakapan,

yaitu cemoohan. Implikatur itu diungkapkan secara tersirat oleh Pn melalui

Page 148: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

tuturan yang tidak menunjukkan kesimpatian, yaitu sikap mencemooh penderitaan

yang dialami dirinya sendiri (Pn) dengan menggambarkan hukuman mati yang

selalu menyertai dalam setiap aktivitasnya (seperti pada Nrt-58, Nrt-59, dan Nrt-

60). Pada konteks lain, tuturan Pn (Condamné à mort !, ’Dihukum mati !’) bisa

mengimplikasikan kebingungan, yaitu Pn bingung terhadap perkaranya sendiri

yang bisa mengarah pada vonis hukuman mati sehingga dia (Pn) tidak memiliki

optimisme untuk bebas atas kasusnya (Pn).

Sebaliknya, tuturan Pt mengandung implikasi keyakinan, yaitu keyakinan

dari Pt kepada Pn agar memiliki optimisme terhadap peluang bebas dari vonis

hukuman mati sehingga tidak senantiasa mengeluh (seperti pada Nrt-58, Nrt-59,

dan Nrt-60).

Page 149: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

132

BAB 5

PENUTUP

Untuk menyimpulkan hasil penelitian ini, peneliti mengacu pada dua

permasalahan yang telah dirumuskan pada bab 1 dan hasil analisis pada bab 4.

5.3. SIMPULAN

Berdasarkan analisis data, peneliti dapat menyimpulkan setidaknya tiga hal

sebagai berikut.

Pertama, ditemukan 13 data yang mematuhi prinsip kesantunan, yakni 7

wacana dialog mematuhi maksim kearifan, 1 wacana dialog mematuhi maksim

kearifan dan kedermawanan, 1 wacana monolog dan 2 wacana dialog mematuhi

maksim kearifan dan kesepakatan, 1 wacana dialog mematuhi maksim kearifan

dan kesimpatian, 1 wacana monolog mematuhi maksim kesimpatian.

Kedua, ditemukan 16 data yang melanggar prinsip kesantunan, yakni 1

wacana monolog dan 2 wacana dialog melanggar maksim kearifan dan

kedermawanan, 5 wacana dialog melanggar maksim kedermawanan, 3 wacana

dialog melanggar maksim kedermawanan dan pujian, 1 wacana monolog

melanggar maksim kedermawanan dan kesimpatian, 2 wacana monolog dan 2

wacana dialog melanggar maksim kesimpatian. Sementara itu, implikasi

pragmatis akibat pelanggaran prinsip kesantunan terdiri atas 47 implikatur

nonkonvensional dan 19 implikatur konvensional. Bentuk-bentuk implikatur yang

Page 150: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

133

ditemukan adalah implikatur yang menyatakan ‘cemoohan’, ’harapan’,

’keinginan’, ’penolakan’, ’mencemooh’, ‘kebanggan’, ‘kebingungan’, ‘kecaman’,

‘kekecewaan’, ’pendekatan’, ‘kegelisahan’, ‘kegundahan’, ‘keingintahuan’,

‘keluhan’, ’keraguan’, ’ketakutan’, ’ketidakpedulian’, ‘sapaan’.

Ketiga, Selain dari itu, ditemukan 22 data yang mematuhi dan melanggar

prinsip kesantunan. 22 Data tersebut terdiri dari 3 dialog dan 1 polilog mematuhi

maksim kearifan dan melanggar maksim kearifan, 7 dialog mematuhi maksim

kearifan dan melanggar maksim kedermawanan, 1 dialog mematuhi maksim

kearifan dan melanggar maksim pujian, 1 dialog mematuhi maksim kearifan dan

melanggar maksim kerendahan hati, 1 dialog mematuhi maksim kearifan dan

melanggar maksim kesimpatian, 1 dialog mematuhi maksim kedermawanan dan

melanggar maksim pujian, 1 monolog mematuhi maksim kedermawanan dan

melanggar maksim kesimpatian, 1 dialog mematuhi maksim kerendahan hati dan

melanggar maksim kedermawanan, 1 monolog mematuhi maksim kesepakatan

dan melanggar maksim kesimpatian, 1 monolog mematuhi maksim kesimpatian

dan melanggar maksim pujian, 2 monolog dan 1 dialog mematuhi dan melanggar

maksim kesimpatian.

Sementara itu, dari hasil identifikasi terhadap ke 50 data, dapat

disimpulkan bahwa (1) pematuhan paling banyak terjadi pada prinsip kesantunan,

yakni maksim kearifan, sejumlah 31 data. Hal ini terjadi, karena pengarang

menceritakan tentang pergulatan tokoh Aku sebagai terpidana mati, yang masih

memiliki kepedulian terhadap orang-orang di sekitarnya sehingga tuturan-tuturan

tokoh Aku cenderung berisi tuturan yang memaksimalkan keuntungan Pt atau

Page 151: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

pihak ketiga yang dibicarakan. (2) pelanggaran prinsip kesantunan paling banyak

terjadi pada maksim kedermawanan, yaitu sejumlah 27 data. Hal ini ada

korelasinya dengan isi roman yang banyak menceritakan tokoh Aku sebagai

terpidana mati sehingga tuturan-tuturan yang ada banyak berisi pemikiran-

pemikiran tokoh Aku yang cenderung memaksimalkan keuntungan diri sendiri

(Aku). Tuturan-tuturan tersebut merupakan representasi ide-ide pengarang.

5.4. SARAN

Selama proses penelitian ini, peneliti mengalami kendala baik secara

internal maupun secara eksternal. Secara internal, peneliti mengalami kesulitan

untuk menemukan maksud yang tersirat dari sebuah tuturan. Selain perbedaan

bahasanya, perbedaan faktor sosial budaya pada saat roman roman Le Dernier

Jour d’un Condamné karya Victor Hugo dengan zaman sekarang yang sudah

sangat berbeda. Secara eksternal, penelitian ini mengalami kendala karena adanya

keterbatasan buku acuan pragmatis berbahasa Prancis. Berpijak dari kenyataan di

atas, maka penulis menyarankan kepada berbagai pihak, di antaranya adalah :

a) bagi pengajar : diharapkan pengajar dapat menambahkan pematuhan dan

pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya sebagai pokok

bahasan dalam mata kuliah pragmatik.

b) bagi mahasiswa : kesantunan bahasa bukanlah pembahasan baru bagi

mahasiswa, akan tetapi peneliti berharap agar mahasiswa maupun para peneliti

lanjutan dapat meneliti lebih dalam lagi pematuhan dan pelanggaran prinsip

kesantunan serta impliksi pragmatisnya dalam sumber data yang berbeda.

Page 152: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

c) bagi keilmuan : meskipun telah ada pembahasan mengenai pematuhan dan

pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya, diharapkan

pembahasan tersebut dikaji lebih dalam dan luas lagi karena pematuhan dan

pelanggaran prinsip kesantunan serta implikasi pragmatisnya saat ini masih

terbatas, terutama dengan sumber data tertulis dari hasil karya sastra.

Page 153: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono.

1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Pustaka.

Aminuddin. 1990. Pengembangan Penelitian Kualitatif dalam Bidang Bahasa

dan Sastra. Malang: yayasan Asih Asah asuh: Malang. Arifin, Bustanul. Martutik dan Rani, Abdul. 2000 Analisis Wacana Sebuah kajian

Bahasa Dalam Pemakaian. Malang : Bayu Media. Chaer, Abdul. 1994. Linguistik umum. Jakarta: Rineka Cipta. Dubois, Jean, dkk. . Dictionnaire de Lingustique. Paris: Larousse. Eriyanto. 2000. Kekuasaan Otoriter dari Gerakan Penindasan Menuju Politik

Hegemoni: Studi Atas Pidato-pidato Politik Soeharto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Gunarwan, Hasim. 1999. “Pragmatik Pandangan Mata Burung” dalam Soejono

Dardjowidjojo (E.d). Mengiring Rekan Sejati. Jakarta. Universitas Atma Jaya. Hal 37-60.

Gunawan, Asim. 1995. “Direktif dan Sopan Santun Bahasa dalam Bahasa

Indonesia: Kajian Pendahuluan”. Makalah Universitas Indonesia Depok. Halliday, M.A.K and Ruqaiya Hasan. 1979. Cohension In English. London.

Longman. Hayon, Josep. 2003 Membaca dan menulis wacana. Jakarta : Storial Grafika.

Hugo, Victor. 1829. Le Dernier Jour d’un Condamné. Diterjemahkan oleh : M. Lady Lesmana. Jakarta : PT. Enrique Indonesia. Kridalaksana, Harimurti. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. Larousse, Pierre. 1967. Petit Larousse. Paris : Librairie Larousse. Leech, Geoffrey. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. M. D. D. Oka, Penerjemah.

Jakarta: UI Press. Terjemahan dari: Leech, Geoffrey. 1983. The Principles Of Pragmatics. New York: Longman Group Limited.

Lubis, A. H. H. 1993. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Angkasa.

Page 154: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Nurgiyantoro, Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press. Moleong. Lexy J. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya Offset. Nababan, P. W. J. 1987. Ilmu Pragmatik. Teori dan Penerapannya. Jakarta:

Depdikbud. Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:

Dioma. Robert, Paul. 1990. Petit Robert. Paris : Dictionnaires Le Robert Rustono. 1999. Pokok-Pokok Pragmatik. Semarang: IKIP Semarang Press. Rustono. 2000. Implikatur Tuturan Humor. Semarang: IKIP Semarang Press. Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik ke Arah Memahami Metode Linguistik.

Yogyakarta: UGM. . 1993. Metode dan Teknik analisis Bahasa (Pengantar Penelitian

wahana Kebudayaan secara Linguistik). Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Tarigan, Henry Guntur. 1986. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. .1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa. . 1990. Pengajaran Pragmatik. Bandung: Angkasa. Van Dijk, Teun A. 1985. “Introduction Levels and Dimensions of Discourse

Analysis”. Dalam Teun A. van Dijk (ed.). Handbook of Discourse Analysis II: Dimensions of Discourse. London: Academic Press. Hlm. 1-10.

Van Luxemburg, Jan dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Diterjemahkan oleh Dick

Hartoko. Jakarta:PT Gramedia. Wijana, I. Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Penerbit Andi. Http://Pondokbahasa.Wordspress.Com, diunduh pada tanggal 12 januari 2009,

19.38 WIB

Page 155: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

Http://En.Wikipedia.Org/Wiki/Politeness_Maxims, diunduh pada tanggal 12 januari 2009, 19.38 WIB

Page 156: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

LAMPIRAN 1 Rekapitulasi Pematuhan dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan Roman Le Dernier Jour D’un Condamné.

No. Data

Pematuhan Prinsip Kesopanan Pelanggaran Prinsip Kesopanan Jenis Kalimat (Penutur)

Jenis Kalimat (Petutur)

Jenis Wacana

M. K

earifan

M. K

edermaw

anan

M. Pujian

M. K

erendahan H

ati

M. K

esepakatan

M.K

esimpatian

M. K

earifan

M. K

edermaw

anan

M. Pujian

M. K

erendahan H

ati

M. K

esepakatan

M.K

esimpatian

Kom

isif

Impositif

Ekspresif

Asertif

Kom

isif

Impositif

Ekspresif

Asertif

Monolog

Dialog

Polilog

1 √ √

√ √

2 √ √

√ √

3 √ √

√ √

√ √

4 √ √

√ √

5 √ √

√ √

6 √,√

√ √

7 √,√

√ √

8 √ √

√ √

9 √ √ √

√ √

10 √ √

√ √

11 √,

√ √

Page 157: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

140

√ 12 √

√ √

√ √

13 √,√

√ √

14 √ √

√ √

15 √ √

√ √ √

16 √,√

√ √

No. Data

Pematuhan Prinsip Kesopanan Pelanggaran Prinsip Kesopanan Jenis Kalimat (Penutur)

Jenis Kalimat (Petutur)

Jenis Wacana

M. K

earifan

M. K

edermaw

anan

M. Pujian

M. K

erendahan H

ati

M. K

esepakatan

M.K

esimpatian

M. K

earifan

M. K

edermaw

anan

M. Pujian

M. K

erendahan H

ati

M. K

esepakatan

M.K

esimpatian

Kom

isif

Impositif

Ekspresif

Asertif

Kom

isif

Impositif

Ekspresif

Asertif

Monolog

Dialog

Polilog

17 √ √

√ √

18 √,√

√ √

19 √,√

√ √

20 √,√

√ √

Page 158: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

141

21 √,√

√ √

22 √ √

√ √

23 √ √ √

√ √

24 √ √

√ √

25 √ √

√ √

26 √ √

√ √

27 √ √

√ √

28 √ √

√ √

29 √ √

√ √

30 √ √

√ √

31 √ √ √

√ √

32 √ √,√

√ √

,√

√,√

33 √,√

√ √ √

34 √,√

√ √ √ √

,√

√, √,√

No. Data

Pematuhan Prinsip Kesopanan

Pelanggaran Prinsip Kesopanan

Jenis Kalimat (Penutur)

Jenis Kalimat (Petutur)

Jenis Wacana

Page 159: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

142

M. K

earifan

M. K

edermaw

anan

M. Pujian

M. K

erendahan H

ati

M. K

esepakatan

M.K

esimpatian

M. K

earifan

M. K

edermaw

anan

M. Pujian

M. K

erendahan H

ati

M. K

esepakatan

M.K

esimpatian

Kom

isif

Impositif

Ekspresif

Asertif

Kom

isif

Impositif

Ekspresif

Asertif

Monolog

Dialog

Polilog 35 √

√ √

√ √

36 √ √

√ √

37 √,√

√,√

√ √

38 √,√

√ √

39 √,√

√ √

40 √,√

√ √

√ √

41 √,√

√ √

42 √ √ √

√ √

43 √ √ √

√ √

Page 160: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

143

44 √ √ √

√ √

45 √ √ √

√ √

46 √,√

√ √

47 √ √

√ √

48 √ √

√ √

49 √,√

√ √

50 √ √

√ √

JUMLAH 50 31 3 1 1 4 8 10 27 7 2 0 15 2 35 13 2 2 4 42 5 11 38 1

Page 161: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

144

LAMPIRAN 2 Rekapitulasi Implikasi Pragmatis Roman Le Dernier Jour D’un Condamné.

No. Data

Pematuhan Prinsip Kesopanan Pelanggaran Prinsip Kesopanan implikatur

M. K

earifan

M. K

edermaw

anan

M. Pujian

M. K

erendahan H

ati

M. K

esepakatan

M.K

esimpatian

M. K

earifan

M. K

edermaw

anan

M. Pujian

M. K

erendahan H

ati

M. K

esepakatan

M.K

esimpatian

konvensional

nonkonvensional

1 √ √ √

2 √ √

3 √ √

√ √

4 √ √

5 √ √

√ 6 √

,√

√,√

7 √,√

√,√

8 √ √

√ 9 √ √

10 √ √

11 √,√

Page 162: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

145

12 √ √

√ 13 √

,√

√,√

14 √ √ √

15 √ √

√,√

16 √,√

√,√

17 √ √

√ 18 √,

19 √,√

20 √,√

21 √,√

22 √ √

√ 23 √ √

√,√

24 √ √

Page 163: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

146

25 √ √

√ 26 √

√ √

27 √ √

√ 28 √

√ √,

29 √ √

√ 30 √

31 √ √ √,

√ 32 √ √

,√

√ √,

33 √,√

√ √,√

34 √,√

√ √ √ √

,√

√,√

√,√,√

35 √ √

√,√

No.

Data

Pematuhan Prinsip Kesopanan

Pelanggaran Prinsip Kesopanan

implikatur

Page 164: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

147

M. K

earifan

M. K

edermaw

anan

M. Pujian

M. K

erendahan H

ati

M. K

esepakatan

M.K

esimpatian

M. K

earifan

M. K

edermaw

anan

M. Pujian

M. K

erendahan H

ati

M. K

esepakatan

M.K

esimpatian

konvensional

nonkonvensional

36 √ √

√ 37 √

,√

√,√

√,√

√,√

38 √,√

√,√

39 √,√

√,√

40 √,√

√ √

41 √,√

42 √ √ √,

√ 43 √ √

√,

Page 165: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

148

√ 44 √ √

√,√

45 √ √ √,

√ 46 √

,√

√,√

47 √ √

√,√

48 √ √

√ 49 √

,√

50 √ √

√ JUMLAH

50 31 3 1 1 4 8 10 27 7 2 0 15 19 47

Page 166: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

149

LAMPIRAN 3

Total Pelanggaran Dan Pematuhan Prinsip Kesantunan

No Sub wacana Pematuhan Pelanggaran Pematuhan dan Pelanggaran 1 Monolog (11 data) 2 data 4 data 5 data 2 Dialog (38 data) 11 data 12 data 16 data 3 Polilog (1 data) 1 data Jumlah 13 data 16 data 22 data

Page 167: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

150

LAMPIRAN 4

Total Pelanggaran Dan Pematuhan Pada Setiap Maksim Prinsip Kesantunan

No Jenis-jenis Maksim Pematuhan Pelanggaran 1 Maksim kearifan 35 tuturan 7 tuturan 2 Maksim kedermawanan 3 tuturan 25 tuturan 3 Maksim pujian - 6 tuturan 4 Maksim kerendahan hati 1 tuturan 1 tuturan 5 Maksim kesepakatan 4 tuturan - 6 Maksim kesimpatian 7 tuturan 15 tuturan Jumlah 50 tuturan 54 tuturan

No Jenis-jenis Maksim Pematuhan Pelanggaran Pematuhan dan Pelanggaran

Monolog

Dialog

Polilog

Monolog

Dialog

Polilog

Monolog

Dialog

Polilog

1 Maksim kearifan 7 2 Maksim kearifan dan kedermawanan 1 3 Maksim kearifan dan kesepakatan 1 2 4 Maksim kearifan dan kesimpatian 1 5 Maksim kesimpatian 1 6 Maksim kearifan dan kedermawanan 1 2 7 Maksim kedermawanan 5 8 Maksim kedermawanan dan pujian 3 9 Maksim kedermawanan dan kesimpatian 1 10 Maksim kesimpatian 2 2 11 Maksim kearifan 3 1 12 Maksim kearifan dan kedermawanan 7 13 Maksim kearifan dan pujian 1 14 Maksim kearifan dan kerendahan hati 1 15 Maksim kearifan dan kesimpatian 1 16 Maksim kedermawanan dan pujian 1 17 Maksim kedermawanan dan kesimpatian 1 18 Maksim kerendahan hati dan kedermawanan 1 19 Maksim kesepakatan dan kesimpatian 1 20 Maksim kesimpatian dan pujian 1 21 Maksim kesimpatian 1 2 Jumlah 2 11 - 4 12 - 4 17 1

Page 168: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

151

LAMPIRAN 5

Daftar Data

1. Monolog 1 : Pn : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian

Pt : Melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian. (Kalimat ekspresif)

(1) Konteks : Tokoh ”Aku” telah melalui masa-masa persidangan tentang kasus yang dituduhkan kepadanya selama lima minggu, selama lima minggu itu pula, dia (Aku) selalu memikirkan vonis hukuman mati yang bisa saja dijatuhkan kepadanya (Aku). Vonis hukuman mati tersebut membuatnya (Aku) menjadi takut.

Aku (Pn 1) : Condamné à mort! Nrt 1 : Voilà cinq semaines que j’habite avec cette pensée, toujours seul avec Elle, toujours glacé de sa présence, toujours courbé sous son poids!

Autrefois, car il me semble qu’il y a plutôt des années que des semaines, j’étais un homme comme un autre homme. Chaque jour, chaque heure, chaque minute avait son idée. Mon esprit, jeune et riche, était plein de fantaisies. Il s’amusait à me les dérouler les unes après les autres, sans ordre et sans fin, brodant d’inépuisables arabesques cette rude et mince étoffe de la vie. C’étaient des jeunes filles, de splendides chapes d’évêque, des batailles gagnées, des théâtres pleins de bruit et de lumière, et puis encore des jeunes filles et de sombres promenades la nuit sous les larges bras des marronniers. C’était toujours fête dans mon imagination. Je pouvais penser à ce que je voulais, j’étais libre. Maintenant je suis captif. Mon corps est aux fers dans un cachot, mon esprit est en prison dans une idée. Une horrible, une sanglante, une implacable idée ! Je n’ai plus qu’une pensée, qu’une conviction, qu’une certitude :

Aku (Pn 2) : Condamné à mort!

Nrt 2 : Quoi que je fasse, elle est toujours là, cette pensée infernale, comme un spectre de plomb à mes côtés, seule et jalouse, chassant toute distraction, face à face avec moi misérable, et me secouant de ses deux mains de glace quand je veux détourner la tête ou fermer les yeux. Elle se glisse sous toutes les formes où mon esprit voudrait la fuir, se mêle comme un refrain horrible à toutes les paroles qu’on m’adresse, se colle avec moi aux grilles hideuses de mon cachot, m’obsède éveillé, épie mon sommeil convulsif, et reparaît dans mes rêves sous la forme d’un couteau.

Aku (Pt) : Ah ! Ce n’est qu’un rêve! – Hé Bien!

Nrt 3 : Avant même que mes yeux lourds aient eu lu temps de s’entrouvrir assez pour voir cette fatale pensée écrite dans l’horrible réalité qui m’entoure, sur la dalle mouillée et suante de ma cellule, dans les rayons pâles de

ma lampe de nuit, dans la trame grossière de la toile de mes vêtements, sur la sombre figure du soldat de garde dont la giberne reluit à travers la grille du cachot, il me semble que déjà une voix a murmuré à mon oreille :

Aku (Pn 3) : Condamné à mort!

(1/LDJC/37-38) Aku (Pn 1) : Dihukum mati! Nrt 1 : Lima minggu sudah aku hidup bersama pikiran ini, selalu berdua dengannya, selalu dihantui kehadirannya, bungkuk menanggung bebannya!

Dulu, sebab bagiku rasanya telah bertahun-tahun daripada beberapa minggu, aku adalah manusia bebas, seperti manusia lainnya. Setiap hari, setiap jam, setiap menit mempunyai gagasan. Jiwaku yang muda dan kaya penuh dengan angan-angan. Secara iseng, jiwaku sering menanyakan angan-angan itu kepadaku satu demi satu, tanpa urutan dan tanpa akhir, menyulam arabesk yang tidak ada habisnya di kain kehidupan kasar dan tipis ini. Angan-angan tentang gadis, jubah uskup, pertempuran-pertempuran yang dimenangkan, teater penuh suara dan cahaya, lalu gadis-gadis lagi dan jalan-jalan di malam hari yang suram di bawah lengan-lengan raksasa pohon-pohon sarangan. Dalam bayanganku, itu selalu merupakan hari raya. Aku bisa memikirkan apa yang kuinginkan, aku bebas. Sekarang aku menjadi tawanan. Tubuhku terantai di dalam sebuah sel, jiwaku terpenjara di dalam suatu pikiran. Pikiran yang mengerikan, berlumuran darah, yang tidak dapat dialihkan. Aku hanya memiliki satu pikiran, satu keyakinan dan kepastian:

Page 169: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

152

Aku (Pn 2) : Dihukum mati!

Nrt 2 : Apapun yang kulakukan, pikiran ini selalu menyertaiku, tanpa ampun, seolah hantu timah di sisiku, sendiri dan penuh rasa cemburu, mengusir semua pelipur lara, menatap wajahku yang merana. Dan bila kupalingkan muka atau kupejamkan mata, ia mengguncangku dengan kedua tangannya yang sedingin es. Ia menyusup ke segala bentuk pelarian yang dipakai jiwaku untuk menghindarinya, menimbrung di semua ucapan yang ditujukan padaku seperti refrain lagu yang mengerikan, menempel bersamaku di terali besi selku yang begitu buruk, menghantuiku di saat terjaga, memata-mataiku di saat tidur gelisah, dan muncul kembali dalam mimpi-mimpiku, dalam bentuk pisau. Tersentak bangun aku dikejarnya, kemudian kuberkata kepada diriku sendiri :

Aku (Pt) : Ah, itu hanya mimpi ! – Oh, Ya ?!.

Nrt 3 : Bahkan sebelum mataku yang berat sempat sedikit membuka untuk melihat pikiran yang tidak terelakkan, yang tertera pada kenyataan yang mengerikan di sekitarku, di ubin selku yang basah dan berkeringat, di

kesuraman lampu malamku, di tenunan kasar kain pakaianku, di wajah suram serdadu jaga yang kotak peluru di sabuknya berkilau menerobos terali besi selku, terdengar sudah sebuah bisikan di telingaku: Aku (Pn 3) : Dihukum mati!

2. Dialog 1 : Aku : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim Kearifan (kalimat komisif) Guichetier : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim Kesepakatan (kalimat ekspresif)

(2) Konteks : Di dalam selnya, tokoh Aku telah dibangunkan oleh sipir penjara (Guichetier), kemudian tokoh Aku memulai perbincangan (basa-basi) kepada Guichetier. Aku : – Il fait beau, dis-je au guichetier. Nrt 4 : Il resta un moment sans me répondre, comme ne sachant si cela valait la peine de dépenser une parole ; puis avec quelque effort il murmura brusquement : Guichetier : – C’est possible.

(2/LDJC/38-39) Aku : – cuaca cerah, kataku kepada penjara itu. Nrt 4 : Ia diam sesaat, seolah memikirkan apakah perkataanku itu perlu ditanggapi atau tidak. Kemudian dengan susah payah tiba-tiba ia bergumam : Guichetier : - mungkin. 3. Dialog 2 : Aku : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim Kearifan (kalimat impositif)

Guichetier : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim Kesepakatan (kalimat ekspresif) (3) Konteks : Di dalam sel penjara, Sipir penjara (Guichetier) mengatakan kepada tokoh Aku bahwa semua orang (petugas pengadilan, hakim, pengacara, dan para pengunjung sidang) telah menunggunya (Aku) untuk kembali

melanjutkan sidang tentang kasusnya (Aku) yang akhirnya menghasilkan vonis hukuman mati bagi tokoh ”Aku”. Nrt 5 : Je demeurais immobile, l’esprit à demi endormi, la bouche souriante, l’œil fixé sur cette douce réverbération dorée qui diaprait le plafond.

Page 170: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

153

Aku : – Voilà une belle journée, répétai-je. Guichetier : – Oui, me répondit l’homme, on vous attend.

(3/LDJC/ 39)

Nrt 5 : Aku tetap diam dengan pikiran setengah tertidur, mulut tersenyum dan mata terpaku pada pantulan cahaya keemasan yang mewarnai langit-langit itu. Aku : – ini dia, hari yang indah, ulangku. Guichetier : - Ya, orang itu menjawabku, orang-orang menunggu anda.

4. Dialog 2 : Aku :Mematuhi prinsip kesantunan, maksim Kearifan (kalimat impositif) Guichetier : Melanggar prinsip kesantunan, maksim Kearifan (kalimat ekspresif)

(3) Konteks : Di dalam sel penjara, Sipir penjara (Guichetier) mengatakan kepada tokoh Aku bahwa semua orang (petugas pengadilan, hakim, pengacara, dan para pengunjung sidang) telah menunggunya (Aku) untuk kembali melanjutkan sidang tentang kasusnya (Aku) yang akhirnya menghasilkan vonis hukuman mati bagi tokoh ”Aku”.

Nrt 5 : Je demeurais immobile, l’esprit à demi endormi, la bouche souriante, l’œil fixé sur cette douce réverbération dorée qui diaprait le plafond. Aku : – Voilà une belle journée, répétai-je. Guichetier : – Oui, me répondit l’homme, on vous attend.

(3/LDJC/ 39)

Nrt 5 : Aku tetap diam dengan pikiran setengah tertidur, mulut tersenyum dan mata terpaku pada pantulan cahaya keemasan yang mewarnai langit-langit itu. Aku : – ini dia, hari yang indah, ulangku. Guichetier : - Ya, orang itu menjawabku, orang-orang menunggu anda.

5. Dialog 3 : Pn : Mematuhi Prinsip kesantunan, maksim kearifan Pt : Melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan

(4) Konteks : Di ruang pengadilan, tokoh Aku bersama pengacaranya mengharapkan mendapat keputusan yang terbaik dari Ketua Hakim pengadilan yang akan membacakan keputusan sidang pengadilan terkait kasus tokoh Aku.

Nrt 6 : Cependant mon avocat arriva. On l’attendait. Il venait de déjeuner copieusement et de bon appétit. Parvenu à sa place, il se pencha vers moi avec un sourire. Avocat : – J’espère, me dit-il. Aku : – N’est-ce pas ? Répondis-je, léger et souriant aussi. Avocat : – Oui, reprit-il, Je ne sais rien encore de leur déclaration, mais ils auront sans doute écarté la préméditation, et alors ce ne sera que les travaux forcés à perpétuité.

Page 171: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

154

Aku : – Que dites-vous là, monsieur ? Répliquai-je indigné, - plutôt cent fois la mort ! Nrt 7 : Oui, la mort !, – Et d’ailleurs, me répétait je ne sais quelle voix intérieure, qu’est-ce que je risque à dire cela ? A-t-on jamais prononcé sentence de mort autrement qu’à minuit, aux flambeaux, dans une salle sombre et

noire, et par une froide nuit de pluie et d’hiver ? Mais au mois d’août, à huit heures du matin, un si beau jour, ces bons jurés, c’est impossible ! Et mes yeux revenaient se fixer sur la jolie fleur jaune au soleil.

(4/LDJC/ 41) Nrt 6 : Di saat itu pembelaku datang. Orang-orang menunggunya. Ia baru saja makan banyak dan dengan lahap. Sampai di tempatnya, ia mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum : Avocat : – Mudah-mudahan, katanya kepadaku. Aku : – Harus ! jawabku ringan, juga sambil tersenyum. Avocat : – Ya, lanjutnya, Aku belum tahu pernyataan mereka, tapi mungkin mereka mengesampingkan unsur ”terencana” hingga jadi kerja paksa seumur hidup. Aku : - Bapak ini bicara apa? tukasku marah, Seratus kali lebih baik mati Nrt 7 : Ya, mati ! - Dan lagi, kudengar di dalam diriku sendiri, entah suara dari mana, apa yang kukhawatirkan untuk mengatakan hal itu? – Bukankah hukuman mati hanya dijatuhkan di tengah malam saja, di bawah

penerangan cahaya obor, di dalam ruangan suram dan gelap, dan di malam hujan serta di musim dingin? Tapi di bulan Agustus, jam delapan pagi, di pagi yang sedemikian indah dan oleh para juri yang baik ini, itu tidak mungkin! Dan mataku kembali menatap bunga kuning di sinar matahari itu.

6. Dialog 4 : Le Président : Mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan Aku :Melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan

(5) Konteks : Di ruang pengadilan, panitera pengadilan telah selesai membacakan keputusan pengadilan, kemudian ketua hakim (Le Président) menanyakan kepada pengacara (Avocat) apakah ada pembelaan atau tanggapan, namun tokoh “Aku” marah pada pembelanya yang melakukan pembelaan atas keputusan pengadilan.

Le Président : – Avocat, avez-vous quelque chose à dire sur l’application de la peine? demanda le président. Aku : J’aurais eu, moi, tout à dire, mais rien ne me vint. Ma langue resta collée à mon palais. Nrt 8 : Le défenseur se leva.

Je compris qu’il cherchait à atténuer la déclaration du jury, et à mettre dessous, au lieu de la peine qu’elle provoquait, l’autre peine, celle que j’avais été si blessé de lui voir espérer. Il fallut que l’indignation fût bien forte, pour se faire jour à travers les mille émotions qui se disputaient ma pensée. Je voulus répéter à haute voix ce que je lui avais déjà dit : Plutôt cent fois la mort ! Mais l’haleine me manqua et je ne pus que l’arrêter rudement par le bras, en criant avec une force convulsive:

Aku : – Non!

(5/LDJC/ 42)

Le Président : – Apakah ada yang ingin disampaikan oleh pembela atas keputusan hukuman ini? Tanya ketua hakim Aku : Banyak yang ingin kukatakan, tapi tak satu-pun keluar. Lidahku seolah melekat pada langit-langit.

Page 172: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

155

Nrt 8 : Pembela berdiri.

Aku mengerti bahwa ia mencoba untuk meringankan pernyataan para juri dengan tujuan agar hukumannya juga diperingan. Menjadi seperti yang ia harapkan, yang telah membuatku sangat sakit hati karena ia berani mengharapkan hal itu. Kemarahanku sedemikian hebatnya sehingga mengalahkan ribuan perasaan lain yang bertengkar memperebutkan pikiranku. Aku ingin mengulang dengan suara keras apa yang telah kukatakan kepadanya : Seratus kali lebih baik mati!. Namun nafasku habis, dan aku hanya bisa menghentikannya dengan kasar melalui lengannya, sambil berteriak dengan keras dan tidak terkendali:

Aku : – Tidak!

7. Dialog 5 : Sama-sama Melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian

(6) Konteks : Di balai persidangan, Setelah keputusan sidang dibacakan dan tidak ada lagi pembelaan, maka sidang ditutup. Kemudian tokoh “Aku” dibawa ke penjara Bicêtre, pada saattokoh “Aku” keluar dari ruang pengadilan, para pengunjung sidang meneriakinya sebagai ’terpidana mati’.

Para Pengunjung Sidang : – Condamné à mort!

Nrt 9 : « ……dit la foule ; et, tandis qu’on m’emmenait, tout ce peuple se rua sur mes pas avec le fracas d’un édifice qui se démolit…. Au bas de l’escalier, une noire et sale voiture grillée m’attendait. Au moment d’y monter, je regardai au hasard dans la place….. »

– Un condamné à mort!

Nrt 10 : « …….criaient les passants en courant vers la voiture. À travers le nuage qui me semblait s’être interposé entre les choses et moi, je distinguai deux jeunes filles qui me suivaient avec des yeux avides; » Gadis muda : – Bon, dit la plus jeune en battant des mains, ce sera dans six semaines!

(6/LDJC/42-43) Para Pengunjung Sidang : – Dihukum mati ! Nrt 9 : ‘……terdengar orang-orang berkata. Dan saat orang membawaku pergi, semua orang menyerbu mengikutiku dengan hingar-bingar seperti gedung runtuh. .….…….. Di bawah tangga, sebuah kereta hitam, kotor dan

berterali menungguku. Pada saat menaikinya, secara tidak sengaja aku melihat ke arah bunderan. …..’ – Dihukum mati ! Nrt 10 : ‘……….teriak orang-orang di sana sambil berlari menuju kereta. Di balik kabut yang seolah terbentuk antara benda-benda dan diriku, samar-samar kulihat dua gadis mengikuti dengan pandangan serakah. Gadis muda : – Bagus, kata yang lebih muda sambil bertepuk tangan, enam minggu lagi! 8. Monolog 2 : Sama-sama Melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian

(7) Konteks : Di dalam kereta yang membawa tokoh Aku ke penjara Bicêtre, tokoh Aku memikirkan vonis hukuman mati yang baru saja ia (Aku) terima, vonis hukuman mati tersebut bisa saja ditangguhkan dengan masa waktu yang

tidak jelas, namun tokoh Aku juga tidak bisa membayangkan betapa mengerikannya kehidupan di penjara hingga akhirnya menuju pada eksekusi mati. Aku (Pn) : Condamné à mort!

Page 173: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

156

Nrt 11: Eh bien, pourquoi non? Les hommes, je me rappelle l’avoir lu dans je ne sais quel livre où il n’y avait que cela de bon, les hommes sont tous condamnés à mort avec des sursis indéfinis. Qu’y a-t-il donc de si changé à ma

situation? Depuis l’heure où mon arrêt m’a été prononcé, combien sont morts qui s’arrangeaient pour une longue vie! Combien m’ont devancé qui, jeunes, libres et sains, comptaient bien aller voir tel jour tomber ma tête en place de Grève! Combien d’ici là peut-être qui marchent et respirent au grand air, entrent et sortent à leur gré, et qui me devanceront encore! Et puis, qu’est-ce que la vie a donc de si regrettable pour moi ? En vérité, le jour sombre et le pain noir du cachot, la portion de bouillon maigre puisée au baquet des galériens, être rudoyé, moi qui suis raffiné par l’éducation, être brutalisé des guichetiers et des gardes-chiourme, ne pas voir un être humain qui me croie digne d’une parole et à qui je le rende, sans cesse tressaillir et de ce que j’ai fait et de ce qu’on me fera ; voilà à peu près les seuls biens que puisse m’enlever le bourreau.

Aku (Pt) : - Ah! N’importe, c’est horrible!

(7/LDJC/ 43)

Aku (Pn) : Dihukum mati! Nrt 11 : Eh, kenapa tidak? Semua orang telah dijatuhi hukuman mati dengan penangguhan yang tidak ditentukan, demikian kuingat telah membacanya di sebuah buku yang judulnya aku lupa dan hanya itu saja isinya yang

bagus. Jadi apa bedanya dengan keadaanku sekarang? Sejak hukumanku dijatuhkan, berapa orang yang berupaya berumur panjang telah mati! Berapa orang muda yang bebas dan sehat, yang ingin melihat kepalaku menggelinding suatu hari nanti di bunderan Grève telah mendahuluiku di antara mereka yang sekarang berjalan dan bernafas dengan bebas, yang masuk dan keluar sekehendak hati mereka! Lagi pula, apa yang kusesalkan dari kehidupan ini? Hari-hari yang suram dan roti di ruang tahanan, jatah kuah encer yang diciduk dari tahang orang-orang hukuman yang dirantai, perlakuan dan ucapan yang kasar yang ditujukan kepadaku yang telah dipoles halus oleh pendidikan, kekurangajaran para pengawal dan penjaga penjara, tidak ada manusia yang menganggapku pantas diajak bicara atau yang kuanggap pantas kuajak bicara, selalu tersentak kaget oleh yang telah kulakukan atau yang akan dilakukan orang terhadapku: itulah kira-kira, dalam kenyataan, semua yang kumiliki, yang bisa dirampas algojo dariku

Aku (Pt) : - Ah, masa bodoh, sangat mengerikan!

9. Monolog 3 : Pn : melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian, Pt : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.

(8) Konteks : Di dalam sel, tokoh Aku telah mendapat peralatan menulis, namun dia (Aku) bingung harus menulis apa selain kisah kehidupannya di penjara dan vonis hukuman mati yang terasa sangat menyiksa. Nrt 11 : Je me suis dit: Aku (Pn) : Puisque j’ai le moyen d’écrire, pourquoi ne le ferais-je pas ? Mais quoi écrire ? Pris entre quatre murailles de pierre nue et froide, sans liberté pour mes pas, sans horizon pour mes yeux, pour unique distraction

machinalement occupé tout le jour à suivre la marche lente de ce carré blanchâtre que le judas de ma porte découpe vis-à-vis sur le mur sombre, et, somme je le disais tout à l’heure, seul à seul avec une idée, une idée de crime et de châtiment, de meurtre et de mort ! Est-ce que je puis avoir quelque chose à dire, moi qui n’ai plus rien à faire dans ce monde? Et que trouverai-je dans ce cerveau flétri et vide qui vaille la peine d’être écrit ? Et que trouverai-je dans ce cerveau flétri et vide qui vaille la peine d’être écrit? Pourquoi non ? Si tout, autour de moi, est monotone et décoloré, n’y-a-t-il pas en moi une tempête, une lutte, une tragédie ? Cette idée fixe qui me possède ne se présente-t-elle pas à moi à chaque heure, à chaque instant, sous une nouvelle forme, toujours plus hideuse et plus ensanglantée à mesure que le terme approche ? Pourquoi n’essaierais-je pas de me dire à moi-même tout ce que j’éprouve de violent et d’inconnu dans la situation abandonnée où me voilà ? Certes, la matière est riche ; et, si abrégée que soit ma vie, il y aura bien encore dans les angoisses, dans les terreurs, dans les tortures qui la rempliront. De cette heure à la dernière, de quoi user cette plume et tarir cet encrier

Aku (Pt) : – D’ailleurs, ces angoisses, le seul moyen d’en moins souffrir, s’est de les observer, et les peindre m’en distraira.

(8LDJC/45-46)

Page 174: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

157

Nrt 12 : Aku berkata pada diriku sendiri : Aku (Pn) : Sekarang semua keperluan manusia telah tersedia, kenapa aku tidak melakukannya? Tapi apa yang akan kutulis? Terkungkung di antara empat tembok batu dingin tanpa hiasan apapun, tanpa

kebebasan melangkah, tanpa cakrawala yang bisa kupandang, dan pelipur lara satu-satunya hanyalah menyibukkan diri tanpa berfikir mengikuti pantulan cahaya yang masuk melewati lubang pintu sel dan membentuk pesegi keputih-putihan yang merayap pelahan di tembok suram di hadapannya, dan, seperti kukatakan barusan, seorang diri berhadapan dengan suatu pikiran, pikiran tentang kejahatan dan kematian! Adakah yang bisa dikatakan oleh orang yang tidak mempunyai apa-apa lagi untuk dilakukan di dunia ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang telah layu dan kosong ini? Dan apa ada yang berharga untuk dituliskan di dalam otakku yang telah layu dan kosong ini? Kenapa tidak? Meski semua yang berada di sekelilingku monotan dan tidak berwarna, bukankah di dalam diriku terjadi badai, pergulatan dan tragedi? Pikiran yang selalu sama, yang menguasai diriku saat ini, tidakkah ia menampakkan dirinya terus kepadaku dalam bentuk yang selalu berubah, menjadi semakin mengerikan dan semakin berlumuran darah seiring dengan semakin mendekatnya waktu yang telah ditentukan? Kenapa aku tidak mencoba mengatakan kepada diriku sendiri mengenai semua yang kurasa kejam dan asing di dalam keadaan terlantar ini, di mana aku berada sekarang? Pasti banyak bahan, dan sesingkat apa pun hidupku, pasti masih akan ada sesuatu di dalam kekhawatiran, ketakutan, dan siksaan, yang akan mengisi hidupku ini, dari sekarang hingga akhir, yang akan mengusangkan bulu-bulu pena dan mengeringkan botol tinta.

Aku (Pt) : – Selain itu, satu-satunya cara untuk mengurangi rasa was-was ini adalah dengan mengamatinya. Melukiskannya akan membuatku melupakannya.

10. Dialog 6 : PJT : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan, Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kedermawanan

(9) Konteks : Di dalam sel, masa eksekusi mati yang tinggal enam minggu lagi, tokoh Aku mempertimbangkan untuk naik banding agar bebas dari eksekusi mati. Nrt 8 : Comptons ce qui me reste.

Trois jours de délai après l’arrêt prononcé pour le pourvoi en cassation. Huit jours d’oubli au parquet de la cour d’assises, après quoi les pièces, comme ils disent, sont envoyées au ministre. Quinze jours d’attente chez le ministre, qui ne sait seulement pas qu’elle existe, et qui, cependant, est supposé les transmettre, après examen, à la cour de cassation. Là, classement, numérotage, enregistrement ; car la guillotine est encombrée, et chacun ne doit passer qu’à son tour. Quinze jours pour veiller à ce qu’il ne vous soit pas fait de passe-droit. Enfin la cour s’assemble, d’ordinaire un jeudi, rejette vingt pourvois en masse, et renvoie le tout au ministre, qui renvoie au procureur général, qui renvoie au bourreau. Trois jours. Le matin du quatrième jour, le substitut du procureur général se dit, en mettant sa cravate :

Pengganti Jaksa Tinggi : – Il faut pourtant que cette affaire finisse. Aku : – Alors, si le substitut du greffier n’a pas quelque déjeuner d’amis qui l’en empêche, l’ordre d’exécution est minuté, rédigé, mis au net, expédié, et le lendemain dès l’aube on entend dans la place de

Grève clouer une charpente, et dans les carrefours hurler à pleine voix des crieurs enroués. En tout six semaines.

(9/LDJC/ 48) Nrt 8 : Coba kuhitung yang masih tersisa padaku :

Tiga hari tenggang waktu untuk naik banding setelah keputusan dijatuhkan. Delapan hari dilupakan di Dewan Magistratur Pengadilan Tinggi, baru kemudian surat-surat itu, demikian mereka menyebutnya, dikirimkan ke menteri. Lima belas hari menunggu di tempat menteri, yang bahkan tidak mengetahui adanya permohonan banding itu, dan meskipun demikian dibayangkan lalu mengirimkannya ke Pengadilan Kasasi, setelah memeriksanya. Di sana, ada pengelompokkan, penomoran, pencatatan sebab yang mengantri guillotine banyak, masing-masing harus menunggu gilirannya. Lima belas hari untuk memastikan bahwa Anda tidak mendapat perkecualian.

Page 175: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

158

Akhirnya dewan berkumpul, biasanya hari kamis, lalu menolak dua puluh permohonan banding sekaligus, dan mengirimkannya semua kembali ke menteri, yang mengirimkannya lagi kepada Jaksa Tinggi. Pagi di hari keempat, pengganti Jaksa Tinggi berkata kepada dirinya sendiri, sambil mengenakan dasinya :

Pengganti Jaksa Tinggi : - Urusan ini memang harus diselesaikan. Aku : - Maka, bila Pengganti Panitera tidak terganggu oleh acara makan siangnya bersama teman-temannya, perintah pelaksanaan hukuman dijadwalkan dengan ketat, disusun, dibikin dengan rapi,

dikirimkan, dan keesokan harinya begitu fajar menyingsing, di bunderan Grève terdengar suara orang memaku tiang hukuman, dan di persimpangan-persimpangan, orang-orang berteriak keras-keras dengan suara parau. Semuanya enam minggu.

11. Monolog 4 :Pn mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,

Pt mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesepakatan.

(10) Konteks : Di dalam sel, tokoh Aku baru saja membuat surat wasiat untuk keluarganya. Aku (Pn) : Je viens de faire mon testament.

Nrt 11 : A quoi bon ? Je suis condamné aux frais, et tout ce que j’ai y suffira à peine. La guillotine, c’est fort cher. Aku (Pt) : Je laisse une mère, je laisse une femme, je laisse un enfant.

Nrt 11 : Une petite fille de trois ans, douce, rose, frêle, avec de grands yeux noirs et de longs cheveux châtains.

Elle avait deux ans et un mois quand je l’ai vue pour la dernière fois. Ainsi, après ma mort, trois femmes sans fils, sans mari, sans père ; trois orphelines de différente espèce ; trois veuves du fait de la loi. J’admets que je sois justement puni ; ces innocentes, qu’ont-elles fait ? N’importe ; on les déshonore, on les ruine ; c’est la justice. ………….. . Mais ma fille, mon enfant, ma pauvre petite Marie, qui rit, qui joue, qui chante à cette heure, et ne pense à rien, c’est celle-là qui me fait mal !

(10/LDJC/48-49) Aku (Pn) : Aku baru saja membuat surat wasiat.

Nrt 11 : Apa gunanya ? Aku dihukum dan diharuskan membayar biaya pengadilan, dan semua yang kupunyai hampir tidak cukup untuk membayarnya. Guillotine itu sangat mahal.

Aku (Pt) : Aku meninggalkan seorang ibu, aku meninggalkan seorang istri, aku meninggalkan seorang anak. Nrt 12 : Seorang gadis cilik berumur tiga tahun lembut, merah jambu, lemah, bermata hitam dan berambut panjang berwarna kecoklat-coklatan.

Umurnya dua tahun satu bulan ketika aku melihatnya terakhir kali. Jadi, setelah aku mati, ada tiga wanita tanpa anak, tanpa suami, tanpa ayah. Ada tiga yatim dari jenis berbeda, tiga janda karena hukum. Kuterima bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadaku memang setimpal, tapi ketiga orang yang tidak bersalah ini, apa yang telah mereka lakukan? Itu tidak penting. Mereka telah dipermalukan, mereka telah hancur. Itulak keadilan. ………….. . Tapi putriku, anakku, Marie, gadis cilikku yang malang, yang tertawa, yang bermain, yang bernyanyi saat ini dan yang tidak memikirkan apapun , ialah yang membuatku sedih !

Page 176: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

159

12. Monolog 5 : Pn mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian, Pt mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.

(11) Konteks : Tokoh Aku belum bisa tidur di selnya yang khusus bagi terpidana mati, ia (Aku) mengamati segala bentuk ruang selnya yang merupakan bangunan bekas istana Bicêtre yang dibangun pada abad kelima belas oleh Kardinal Winchester. Tiba-tiba ia (Aku) menemukan coretan gambar tempat pemancungan yang membuat dia (Aku) kaget karena coretan gambar tersebut mengingatkannya (Aku) pada hukuman mati yang akan menimpannya (Aku).

Nrt 11 : Je n’irai pas plus loin dans ma recherche. Aku (Pn) : – Je viens de voir, crayonnée en blanc au coin du mur, une image épouvantable, la figure de cet échafaud qui, à l’heure qu’il est, se dresse peut-être pour moi. (ekpsresif)

Aku (Pt) : – La lampe a failli me tomber des mains. (ekpsresif) Nrt 11 : Je suis revenu m’asseoir précipitamment sur ma paille, la tête dans les genoux. Puis mon effroi d’enfant s’est dissipé, et une étrange curiosité m’a repris de continuer la lecture de mon mur.

(11/LDJC/52)

Nrt 13 : Aku tidak melanjutkan lebih jauh lagi penelitianku.

Aku (Pn) : – Baru saja kulihat sebuah gambar yang menyeramkan di sudut dinding, digambar dengan krayon putih : gambar tempat pemancungan yang saat ini sedang didirikan untukku.

Aku (Pt) : - Lampu yang kupegang hampir terlepas jatuh. Nrt 14 : Aku buru-buru duduk di atas tumpukan jeramiku, kusembunyikan kepalaku di sela-sela dengkulku. Kemudian rasa takutku yang kekanak-kanakan itu hilang, dan rasa ingin tahu yang aneh mendorongku untuk

meneruskan membaca tulisan-tulisan yang ada di tembok selku. 13. Monolog 6 : Pn melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian,

Pt mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.

(12) Konteks : Tokoh Aku kembali melanjutkan pengamatan pada dinding di ruang selnya (Aku) walaupun sebelumnya dia (Aku) telah melihat lukisan tempat pemancungan yang membuatnya (Aku) takut.

Nrt 11: Je suis revenu m’asseoir précipitamment sur ma paille, la tête dans les genoux. Puis mon effroi d’enfant s’est dissipé, et une étrange curiosité m’a repris de continuer la lecture de mon mur.

À côté du nom de Papavoine j’ai arraché une énorme toile d’araignée, tout épaissie par la poussière et tendue à l’angle de la muraille. Sous cette toile il y avait quatre ou cinq noms parfaitement lisibles, parmi d’autres dont il ne reste rien qu’une tache sur le mur. – DAUTUN, 1815. – POULAIN, 1818. – JEAN MARTIN, 1821. – CASTAING, 1823. J’ai lu ces noms, et de lugubres souvenirs me sont venus. Dautun, celui qui a coupé son frère en quartiers, et qui allait la nuit dans Paris jetant la tête dans une fontaine, et le tronc dans un égout ; Poulain, celui qui a assassiné sa femme ; Jean Martin, celui qui a tiré un coup de pistolet à son père au moment où le vieillard ouvrait une fenêtre ; Castaing, ce médecin qui a empoisonné son ami, et qui, le soignant dans cette dernière maladie qu’il lui avait faite, au lieu de remède lui redonnait du poison ; et auprès de ceux-là, Papavoine, l’horrible fou qui tuait les enfants à coups de couteau sur la tête !

Voilà, me disais-je, et un frisson de fièvre me montait dans les reins, voilà quels ont été avant moi les hôtes de cette cellule. C’est ici, sur la même dalle où je suis, qu’ils ont pensé leurs dernières pensées, ces hommes de meurtre et de sang ! C’est autour de ce mur, dans ce carré étroit, que leurs derniers pas ont tourné comme ceux d’une bête fauve. Ils se sont succédé à de courts intervalles ; il paraît que ce cachot ne désemplit pas. Ils ont laissé la place chaude, et c’est à moi qu’ils l’ont laissée. J’irai à mon tour les rejoindre au cimetière de Clamart, où l’herbe pousse si bien !

Page 177: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

160

Je ne suis ni visionnaire, ni superstitieux, il est probable que ces idées me donnaient un accès de fièvre ; mais, pendant que je rêvais ainsi, il m’a semblé tout à coup que ces noms fatals étaient écrits avec du feu sur le mur noir ; un tintement de plus en plus précipité a éclaté dans mes oreilles ; une lueur rousse a rempli mes yeux ; et puis il m’a paru que le cachot était plein d’hommes, d’hommes étranges qui portaient leur tête dans leur main gauche, et la portaient par la bouche, parce qu’il n’y avait pas de chevelure. Tous me montraient le poing, excepté le parricide. …………….. Cela m’a dépossédé

Aku (Pn) : – Ô les épouvantables spectres ! Aku (Pt) : – Non, c’était une fumée, une imagination de mon cerveau vide et convulsif. Chimère à la Macbeth ! Les morts sont morts, ceux-là surtout. Ils sont bien cadenassés dans le sépulcre. Ce n’est pas là une prison

dont on s’évade.

(12/LDJC/52)

Nrt 14: Aku buru-buru kembali duduk di atas tumpukan jeramiku, kusembunyikan kepalaku di sela-sela dengkulku. Kemudian rasa takutku yang kekanak-kanakan itu hilang, dan rasa ingin tahu yang aneh mendorongku untuk meneruskan membaca tulisan-tulisan yang ada di tembok sel.

Kusibakkan sarang laba-laba yang besar, tebal berdebu, yang membentang di sudut tembok, di samping nama Papavoine. Di belakang sarang laba-laba itu ada empat atau lima nama yang masih dapat terbaca dengan sempurna diantara yang lain-lain yang tinggal berupa noda di tembok itu. – Dautun, 1815. – Poulin, 1818. – Jean Martin, 1821. – Castaing, 1823. Kubaca nama-nama itu, dan kenangan suram melintas dalam ingatanku: Dautun, orang yang memotong saudaranya menjadi empat, dan yang di malam hari ke luar di Paris untuk menaruh penggalan kepalanya di sebuah air mancur dan membuang potongan tubuhnya di selokan; Poulin, orang yang membunuh istrinya; Jean Martin, orang yang menembak ayahnya dengan pistol saat orang tua itu sedang membuka jendela; Castaing, dokter yang telah meracuni temannya dan yang saat merawatnya, bukannya menyembuhkannya, tapi malah meracuninya lagi, dan setelah nama-nama itu, nama Papavoine, orang gila yang mengerikan yang membunuh anak-anak dengan tikaman-tikaman pisau di kepala!

Begitu, kataku kepada diriku sendiri, dan rasa menggigil seperti demam merambat naik ke ginjalku, begitu rupanya para penghuni sel ini sebelumku. Di sinilah, di atas ubin yang sama dengan tempatku berada sekarang ini, mereka merenungkan pikiran-pikiran terakhir mereka, para pembunuh yang berlumuran darah ini! Di sekeliling dinding inilah, di dalam bilik sempit ini, mereka mondar-mandir terakhir kali seperti seekor binatang buas. Mereka saling bergantian dalam waktu yang tidak lama. Tampaknya sel ini tidak pernah kosong. Tempat ini mereka tinggalkan masih dalam keadaan hangat, dan kepadakulah mereka meninggalkannya. Sekarang giliranku bergabung dengan mereka di kuburan Clamart, tempat semak belukar tumbuh subur!

Aku bukanlah orang yang suka berkhayal atau percaya tahayul. Mungkin sekali pikiran-pikiran ini membuatku terserang demam, tapi selama aku melamun seperti itu, tiba-tiba kelihatannya nama-nama yang menakutkan ini seolah ditulis dengan api di atas tembok hitam, telingaku mendenging makin lama makin cepat, secercah cahaya kemerah-merahan memenuhi pandanganku, dan kemudian sel itu kelihatannya penuh orang, orang-orang aneh yang mencangking kepala mereka dengan tangan kirinya, dan memegangnya pada lubang mulut, sebab kepala-kepala itu tidak berambut. Mereka semua mengacungkan tinjunya padaku, kecuali orang yang membunuh ayahnya itu. ………………………………………………………………… Itu telah menyeretku kembali.

Aku (Pn) : – Oh, hantu-hantu yang sangat menakutkan! Aku (Pt) : - Bukan, itu asap, imajinasi otakku yang kosong dan tak terkendali. Mimpi-mimpi buruk dalam cerita Macbeth ! Orang yang sudah mati ya mati, terutama mereka itu. Mereka benar-benar telah digembok

di dalam makam mereka. Dan itu bukanlah penjara yang penghuninya dapat melarikan diri. 14. Dialog 7 :sama-sama melanggar maksim kesimpatian

(13) Konteks : Di halaman penjara Bicêtre, di bawah guyuran hujan, para napi yang mendapatkan vonis hukuman kerja paksa seumur hidup memulai hukumannya dengan meninggalkan penjara Bicêtre. Ketika mereka keluar dari halaman penjara Bicêtre, para napi tersebut melihat tokoh Aku yang sedang duduk di balkon, maka seketika itu mereka (para napi) meneriaki tokoh Aku dengan sebutan sebagai terpidana mati.

Page 178: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

161

Nrt-20 : Tout à coup, à travers la rêverie profonde où j’étais tombé, je vis la ronde hurlante s’arrêter et se taire. Puis tous les yeux se tournèrent vers la fenêtre que j’occupais. Para napi : – Le condamné ! Le condamné ! Nrt 21 : crièrent-ils tous en me montrant du doigt ; et les explosions de joie redoublèrent.

Je restai pétrifié. J’ignore d’où ils me connaissaient et comment ils m’avaient reconnu.

Para napi : – Bonjour ! Bonsoir ! Nrt-22 : me crièrent-ils avec leur ricanement atroce.

Un des plus jeunes, condamné aux galères perpétuelles, face luisante et plombée, me regarda d’un air d’envie en disant : Napi muda : – Il est heureux ! Il sera rogné ! Adieu, camarade ! Nrt-23 : Je ne puis dire ce qui se passait en moi. J’étais leur camarade en effet. La Grève est sœur de Toulon. J’étais même placé plus bas qu’eux ; ils me faisaient honneur. Je frissonnai.

Oui, leur camarade ! Et quelques jours plus tard, j’aurais pu aussi, moi, être un spectacle pour eux. ……………. Puis il me sembla entendre de plus près encore les effrayantes voix des forçats. Je crus voir leurs têtes hideuses paraître déjà au bord de ma fenêtre, je poussai un second cri d’angoisse, et je tombai évanoui.

(13/LDJC/59-60)

Nrt-20 : Tiba-tiba, di sela lamunan yang jauh menyeretku, kulihat lingkaran orang yang menari sambil berteriak-teriak itu berhenti dan bungkam. Kemudian semua mata memandang ke arah jendela yang kutempati. Para Napi : – Orang yang dihukum mati ! orang yang dihukum mati ! Nrt-21 : mereka semua berteriak sambil menuding, dan ledakan kegembiraan menjadi berlipat-lipat ganda lagi.

Aku diam terpaku. Aku tidak tahu dari mana mereka mengenaliku dan bagaimana mereka tadi bisa mengenaliku.

Para Napi : - Selamat siang ! Selamat sore ! Nrt-22 : teriak mereka kepadaku dengan tawa konyol yang menyeramkan

Diantara mereka terdapat seorang pemuda yang dijatuhi hukuman kerja paksa seumur hidup. Wajahnya berkeringat dan kulitnya hitam legam. Ia memandangiku dengan rasa iri sambil berkata :

Napi muda : - Ia bahagia ! Ia akan dipangkas ! Selamat berpisah kamerad ! Nrt-23 : Aku tidak dapat mengatakan apa yang terjadi pada diriku. Dan memang, aku kamerad mereka. Bunderan Grève merupakan saudara kembar Toulon. Aku bahkan berada lebih rendah daripada mereka : memberiku hormat

kepadaku. Aku gemetar Ya, kamerad mereka ! Dan beberapa hari lagi, aku, aku juga bisa menjadi tontonan mereka. ……………. Kemudian sepertinya aku mendengar suara-suara para pekerja paksa yang menakutkan itu semakin mendekat lagi. Aku rasanya melihat wajah-wajah mereka yang seram menakutkan muncul di tepi jendelaku, untuk kedua kalinya aku kembali meneriakkan jeritan ketakutan dan aku pingsan.

15. Monolog 7 : Pn mematuhi prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,

Pt melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.

Page 179: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

162

(14) Konteks : Di dalam selnya (Aku), tokoh Aku memperkirakan peluang naik banding agar dapat bebas dari vonis hukuman mati yang telah ia (Aku) terima. Nrt-11: Plus de chance maintenant ! Mon pourvoi sera rejeté, parce que tout est en règle ; les témoins ont bien témoigné, les plaideurs ont bien plaidé, les juges ont bien jugé. Je n’y compte pas, à moins que… Non, folie ! Plus

d’espérance ! Le pourvoi, c’est une corde qui vous tient suspendu au-dessus de l’abîme, et qu’on entend craquer à chaque instant, jusqu’à ce qu’elle se casse. C’est comme si le couteau de la guillotine mettait six semaines à tomber.

Aku (Pn) : – Si j’avais ma grâce ? Aku (Pt) : – Avoir ma grâce ! Et par qui ? Et pourquoi ? Et comment ? Il est impossible qu’on me fasse grâce. L’exemple ! Comme ils disent. Je n’ai plus que trois pas à faire : Bicêtre, la Conciergerie, la Grève.

(14/LDJC/63)

Nrt-11: Sekarang sudah tidak ada lagi kesempatan! Permohonan bandingku akan ditolak, sebab semuanya beres : para saksi telah bersaksi dengan baik, para pembela telah membela dengan baik, para hakim telah menghakimi

dengan baik. Aku tidak mengharapkannya, kecuali..... Tidak, gila! Tidak ada harapan lagi ! Banding adalah tali yang menggantungku di atas jurang yang setiap saat seratnya terdengar meretas, hingga akhirnya putus. Itu seperti kalau pisau guilottine memerlukan waktu enam minggu untuk meluncur sampai bawah.

Aku (Pn) : – Kalau aku mendapat pengampunan?

Aku (Pt) : – mendapat pengampunan! Dari siapa? dan kenapa? dan bagaimana? Tidak mungkin orang memberiku pengampunan. Buat contoh! Seperti kata mereka. Hanya tiga langkah lagi yang harus kulalui : penjara Bicêtre, gedung Conciergerie, bunderan Grêve.

16. Monolog 8 : Pn melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan, Pt melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian (tapi baru rencana).

(15) Konteks : Ketika di balai pengobatan, tokoh Aku mendengar seorang gadis berumur 15 tahun yang sedang bernyanyi tentang ratapan seorang pencuri yang membuat kecewa istrinya. Seketika itu, tokoh Aku terfikir untuk

melarikan diri dari penjara Bicêtre untuk bertemu keluarganya (Aku). Nrt-11: Oh ! Si je m’évadais, comme je courrais à travers champs !

Non, il ne faudrait pas courir. Cela fait regarder et soupçonner. Au contraire, marcher lentement, tête levée, en chantant. Tâcher d’avoir quelque vieux sarrau bleu à dessins rouges. Cela déguise bien. Tous les maraîchers des environs en portent.

Je sais auprès d’Arcueil un fourré d’arbres à côté d’un marais, où, étant au collège, je venais avec mes camarades pêcher des grenouilles tous les jeudis. C’est là que je me cacherais jusqu’au soir. La nuit tombée, je reprendrais ma course. J’irais à Vincennes. Non, la rivière m’empêcherait. J’irais à Arpajon.

Aku (Pn) : – Il aurait mieux valu prendre du côté de Saint-Germain, et aller au Havre, et m’embarquer pour l’Angleterre. – N’importe ! J’arrive à Longjumeau. Un gendarme passe ; il me demande mon passeport… Je suis

perdu ! Aku (Pt) : – Ah ! Malheureux rêveur, brise donc d’abord le mur épais de trois pieds qui t’emprisonne ! La mort ! La mort !

(15/LDJC/67)

Page 180: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

163

Nrt 11: Oh, seandainya aku melarikan diri, betapa aku akan berlari melintasi ladang-ladang !

Tidak, jangan lari. Itu akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan. Sebaliknya, aku akan pelan-pelan, kepala tegak, sambil bernyanyi. Aku harus berusaha mendapat pakaian kerja yang sudah lama dipakai, berwarna biru dengan gambar-gambar merah. Itu merupakan penyamaran yang bagus. Semua petani sayur di sekitar ini memakainya. Aku tahu bahwa di dekat Arcueil ada segerumbul pohon di dekat pohon di dekat rawa, tempat yang sering kukunjungi saat aku masih sekolah dulu bersama teman-temanku setiap kamis untuk memancing katak. Di sana aku akan bersembunyi hingga petang. Saat malam tiba, aku akan melanjutkan perjalananku. Aku akan menuju Vincennes. Tidak, ada sungai yang menghalang. Aku akan pergi ke Arpajon

Aku (Pn) : – Lebih baik aku mengambil arah Saint-Germain, dan pergi ke Le Havre, dan naik kapal menyeberang ke Inggris. - Tidak penting ! Aku tiba di Longjumeau. Seorang prajurit menanyakan pasportku… Habislah aku !

Aku (Pt) : – Ah ! Pemimpi malang ! Jebol dulu tembok setebal tiga kaki yang mengurungmu ini ! Kematian ! Kematian !

17. Monolog 9 : Pn melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian,

Pt melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian .

(16) Konteks : Di selnya (Aku), di saat sedang menulis surat, tokoh Aku mendengar suara lonceng sebanyak enam kali. Ia (Aku) merasa hal itu sebagai pertanda bahwa ia akan segera dijemput menuju tiang gantungan di bunderan Grève.

Nrt-11: Pendant que j’écrivais tout ceci, ma lampe a pâli, le jour est venu, l’horloge de la chapelle a sonné six heures. Aku (Pn) : – Qu’est-ce que cela veut dire ? Nrt-11: Le guichetier de garde vient d’entrer dans mon cachot, il a ôté sa casquette, m’a salué, s’est excusé de me déranger et m’a demandé, en adoucissant de son mieux sa rude voix, ce que je désirais à déjeuner…

Il m’a pris un frisson Aku (Pt) : – Est-ce que ce serait pour aujourd’hui ?

(16/LDJC/68) Nrt 11: Selama aku menuliskan semua ini, lampuku memudar, fajar menyingsing dan lonceng di kapel berdentang enam kali. Aku (Pn) : - Ada apa ini ? Nrt-11: Penjaga yang bertugas baru saja masuk ke selku, ia melepas topi petnya, memberi salam kepadaku, mohon maaf menggangguku, dan bertanya kepadaku, dengan melembutkan sebisa mungkin suaranya yang kasar, apa

yang kuinginkan untuk makan siang .... Ia membuatku gemetar.

Aku (Pt) : – Apakah itu hari ini ? 18. Monolog 10 : Pn : melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian,

Pt : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesepakatan.

Page 181: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

164

(17) Konteks : Kunjungan kepala penjara yang menemui tokoh Aku di selnya (Aku), semakin membuat tokoh Aku yakin bahwa kunjungan tersebut sebagai pertanda eksekusi mati segera dilaksanakan. Aku (Pn) : C’est pour aujourd’hui ! Nrt-11: Le directeur de la prison lui-même vient de me rendre visite. Il m’a demandé en quoi il pourrait m’être agréable ou utile, a exprimé le désir que je n’eusse pas à ma plaindre de lui ou de ses subordonnés, s’est informé

avec intérêt de ma santé et de la façon dont j’avais passé la nuit ; en me quittant, il m’a appelé monsieur ! Aku (Pt) : C’est pour aujourd’hui !

(17/LDJC/68) Aku (Pn) : Itu hari ini ! - Ada apa ini ? Nrt-11: Direktur penjara sendiri datang menjemputku. Ia bertanya apa yang bisa dilakukan untuk menyenangkan hatiku atau apa yang bisa ia lakukan buatku, dan ia juga mengungkapkan harapannya agar aku tidak mempunyai

keluhan terhadapnya atau terhadap anak buahnya, dengan penuh perhatian ia menanyaiku tentang kesehatanku dan bagaimana aku melewatkan malam yang baru saja berlalu. Saat meninggalkanku, ia menyebutku dengan tuan!

Aku (Pt) : Itu hari ini! 19. Dialog 8 : Pendeta : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,

Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan. (18) Konteks : Seorang pendeta mengunjungi tokoh Aku di dalam selnya (Aku), hal itu membuatnya (Aku) tenang setelah mengalami kekhawatiran akan pelaksanaan eksekusi mati. Nrt 20 : Je suis calme maintenant. Tout est fini, bien fini. Je suis sorti de l’horrible anxiété où m’avait jeté la visite du directeur. Car, je l’avoue, j’espérais encore. – Maintenant, Dieu merci, je n’espère plus.

Voici ce qui vient de se passer : Au moment où six heures et demie sonnaient, – non, c’était l’avant-quart – la porte de mon cachot s’est rouverte. Un vieillard à tête blanche, vêtu d’une redingote brune, est entré. Il a entr’ouvert sa redingote. J’ai vu une soutane, un rabat. C’était un prêtre. Ce prêtre n’était pas l’aumônier de la prison. Cela était sinistre. Il s’est assis en face de moi avec un sourire bienveillant ; puis a secoué la tête et levé les yeux au ciel, c’est-à-dire à la voûte du cachot. Je l’ai compris

Pendeta : – Mon fils, m’a-t-il dit, êtes-vous préparé ? Nrt-21 : Je lui ai répondu d’une voix faible : Aku : – Je ne suis pas préparé, mais je suis prêt. Nrt 22 : Cependant ma vue s’est troublée, une sueur glacée est sortie à la fois de tous mes membres, j’ai senti mes tempes se gonfler, et j’avais les oreilles pleines de bourdonnements.

(18/LDJC/69-70)

Nrt-20 : Sekarang aku tenang. Semua telah selesai, benar-benar selesai. Aku telah keluar dari kecemasanku yang mengerikan yang disebabkan oleh kunjungan direktur. Sebab, kuakui, saat itu aku masih berharap. – Sekarang, puji syukur kepada Tuhan, aku tidak berharap lagi. Inilah yang baru saja terjadi: Pada saat lonceng menunjukkan pukul setengah tujuh, - tidak, menunjukkan kurang seperempat, - pintu selku kembali terbuka.

Page 182: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

165

Seorang pria tua yang rambutnya putih, mengenakan jas panjang coklat, masuk. Ia sedikit membuka jasnya. Kulihat sebuah jubah, sebuah dasi lebar. Ia seorang pendeta. Ia bukan pastor penjara. Itu menakutkan. Ia duduk di hadapanku dengan senyuman baik hati, kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya dan lalu melihat ke langit, yaitu ke atap melengkung ke selku. Aku memahaminya

Pendeta : - Anakku, katanya kepadaku, kau sudah siap-siap? Nrt-21 : Aku menjawabnya dengan suara lemah: Aku : - aku belum siap-siap, tapi aku siap. Nrt-22 : Sementara itu pandanganku menjadi kacau, keringat dingin serentak mengalir dari seluruh tubuhku, aku merasa pelipisku membengkak, dan telingaku dipenuhi dengungan. 20. Dialog 9 : Petugas pengadilan dan Aku : sama-sama mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan. (19) Konteks : Setelah Prêtre memberikan petuah dan nasihat kepada tokoh Aku, maka masuklah petugas pelaksana keputusan pengadilan (l’hussier) ke dalam sel tokoh Aku untuk menyampaikan surat surat keputusan pengadilan

kepada tokoh Aku. Nrt-20 : Pendant que je vacillais sur ma chaise comme endormi, le bon vieillard parlait. C’est du moins ce qu’il m’a semblé, et je crois me souvenir que j’ai vu ses lèvres remuer, ses mains s’agiter, ses yeux reluire.

La porte s’est rouverte une seconde fois. Le bruit des verrous nous a arrachés, moi à ma stupeur, lui à son discours. Une espèce de monsieur, en habit noir, accompagné du directeur de la prison, s’est présenté, et m’a salué profondément. Cet homme avait sur le visage quelque chose de la tristesse officielle des employés des pompes funèbres. Il tenait un rouleau de papier à la main.

Petugas pengadilan : – Monsieur, m’a-t-il dit avec sourire de courtoisie, je suis huissier près la cour royale de Paris. J’ai l’honneur de vous apporter un message de la part de monsieur le procureur général. Nrt 21 : La première secousse était passée. Toute ma présence d’esprit m’était revenue. Aku : – C’est monsieur le procureur général, lui ai-je répondu, qui a demandé si instamment ma tête ?

Bien de l’honneur pour moi qu’il m’écrive. J’espère que ma mort lui va faire grand plaisir ? Car il me serait dur de penser qu’il l’a sollicité avec tant d’ardeur et qu’elle lui était indifférente. Nrt-22 : J’ai dit tout cela, et j’ai repris d’une voix ferme : – Lisez, monsieur ! Nrt-22 : Il s’est mis à me lire un long texte, en chantant à la fin de chaque ligne et en hésitant au milieu de chaque mot. C’était le rejet de mon pourvoi.

(19/LDJC/ 70)

Nrt-20 : Selama aku goyah di atas kursiku seperti mengantuk, orang tua itu berbicara. Paling tidak itu yang kurasakan, dan rasanya aku ingat melihat bibirnya komat-kamit, tangannya bergerak-gerak, matanya berkilat. Pintu terbuka untuk kedua kalinya. Bunyi gerendel menyandarkan kami kembali, menyandarkanku dari rasa terpukau, menyandarkannya dari pidatonya. Sesosok lelaki berpakaian hitam, ditemani direktur penjara, memperkenalkan diri dan memberiku salam dalam-dalam. Orang ini wajahnya menampakkan semacam kesedihan resmi para pegawai pemakaman. Ia memegang sebuah gulungan kertas di tangannya.

Petugas pengadilan : – Tuan, ia berkata kepadaku dengan sebuah senyum basa-basi, saya pelaksana keputusan pengadilan kerajaan di Paris. Saya mendapat kehormatan untuk menyampaikan kepada Anda surat dari Jaksa Tinggi.

Nrt-21 : Guncangan pertama lewat. Semua jiwaku telah kembali mengumpul.

Page 183: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

166

Aku : - Itu bapak Jaksa Tinggi yang dengan sangat telah meminta kepalaku? Jawabku kepadanya. Benar-benar suatu kehormatan ia mau menulis surat kepadaku. Moga-moga kematianku akan membuatnya senang ? Sebab sangat sukar bagiku untuk membayangkan bagaimana ia, yang dulu sedemikian bernafsu menginginkan kematianku, kini bersikap masa bodoh tentang hal itu.

Nrt-22 : Kukatakan semua itu, dan kulanjutkan dengan tegas - Bacalah, Tuan! Nrt-22 : Ia kemudian memulai membacakan sebuah naskah yang panjang, dengan memberi irama di setiap akhir baris dan dengan keraguan di setiap tengah kata. Itu penolakan permohonan bandingku. 21. Dialog 10 : Pt dan Pn mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan. (20) Konteks : Di ruang sel tokoh Aku, Petugas Pelaksana Keputusan Pengadilan telah selesai membacakan surat keputusan pengadilan. Kemudian ia (Petugas Pelaksana Keputusan Pengadilan) menawarkan diri untuk menjemput

tokoh Aku setengah jam lagi.

Petugas pengadilan : – L’arrêt sera exécuté aujourd’hui en place de Grève, a-t-il ajouté quand il a eu terminé, sans lever les yeux de dessus son papier timbré. Nous partons à sept heures et demie précises pour la Conciergerie. Mon cher monsieur aurez-vous l’extrême bonté de me suivre ?

Nrt 21 : Depuis quelques instants je ne l’écoutais plus. Le directeur causait avec le prêtre ; lui avait l’œil fixé sur son papier ; je regardais la porte, qui était restée entrouverte… Aku : – Ah ! Misérable ! Quatre fusiliers dans le corridor ! Nrt-22 : L’huissier a répété sa question, en me regardant cette fois : – Quand vous voudrez, lui ai-je répondu. À votre aise ! Nrt-22 : Il m’a salué en disant :

Petugas pengadilan : – J’aurai l’honneur de venir vous chercher dans une demi-heure.

Nrt-22 : Alors ils m’ont laissé seul.

(20/LDJC/ 71)

Petugas pengadilan : – Keputusan akan dilaksanakan hari ini di bunderan Grève, tambahnya setelah ia menyelesaikan bacaannya, tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas bersegel itu. Kita akan berangkat jam setengah delapan tepat menuju gedung Conciergerie. Sudikah kiranya Tuan ikut dengaku?

Nrt-21 : Sejak beberapa saat yang lalu, aku sudah tidak mendengarkannya lagi. Direktur penjara berbincang-bincang dengan bapak pendeta, pelaksana keputusan pengadilan menatap lekat-lekat kertasnya, aku melirik ke pintu

yang dibiarkan sedikit terbuka........ Aku : – Ah sial ! empat serdadu memegang bedil berdiri di lorong ! Nrt-22 : Petugas itu tadi mengulangi pertanyaannya, kali ini sambil melihatku.

Page 184: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

167

: - Kapan saja, terserah anda, jawabku kepadanya. Sesuka Anda ! Nrt-22 : Petugas itu tadi mengulangi pertanyaannya, kali ini sambil melihatku. Nrt-22 : Ia pamitan sambil berkata :

Petugas pengadilan : - Saya akan merasa terhormat untuk kembali menjemput Anda setengah jam lagi.

Nrt 22 : Mereka kemudian meninggalkanku sendiri. 22. Dialog 11 : Pn : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan, (tetapi bisa digunakan bahasa yang lebih santun... dengan condisionel…(impositif tapi tanpa imperatif))

Pt : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan (bahasa kurang santun tetapi memenuhi perintah). (21) Konteks : Petugas Pelaksana Keputusan Pengadilan kembali menemui tokoh Aku di ruang sel tokoh Aku, untuk menjemputnya menuju bunderan Grève (tempat eksekusi mati). Nrt-21 : Sept heures et demie sonnaient lorsque l’huissier s’est présenté de nouveau au seuil de mon cachot. Petugas pengadilan : – Monsieur, m’a-t-il dit, je vous attends.

Aku : – Hélas ! Lui et d’autres !

Nrt-22 : Je me suis levé, j’ai fait un pas ; il m’a semblé que je n’en pourrais faire un second, tant ma tête était lourde et mes jambes faibles. Cependant je me suis remis et j’ai continué d’une allure assez ferme

(21/LDJC/72)

Nrt-21 : Lonceng menunjukkan pukul setengah delapan ketika pelaksana keputusan pengadilan itu kembali muncul di ambang selku. Petugas pengadilan : – Tuan, katanya padaku, aku menunggu Anda. Aku : - Sayang sekali ! ia dan beberapa orang lagi !

Nrt-22 : Aku bangkit dan melangkah satu tindak. Rasanya aku tidak akan bisa melanjutkan langkahku, kepalaku sedemikian berat dan kakiku sedemikian lemas. Namun demikian aku tetap melanjutkannya dan meneruskan langkahku dengan sikap yang cukup kokoh.

23. Dialog 12 : L’huissier : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan. Pastor : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan (menolak dengan halus).

(22) Konteks : Tokoh Aku dikawal petugas pelaksana pengadilan (l’huissier), pastor penjara, dan enam prajurit menuju bunderan Grève dengan menggunakan kereta. Di dalam kereta tersebut mereka saling terlibat dalam

perbincangan.

Nrt-21 : J’écoutais en silence cette chute de paroles monotones qui assoupissaient ma pensée comme le murmure d’une fontaine, et qui passaient devant moi, toujours diverses et toujours les mêmes, comme les ormeaux tordus de la grande route, lorsque la voix brève et saccadée de l’huissier, placé sur le devant, est venue subitement me secouer.

Page 185: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

168

l’huissier : – Eh bien ! Monsieur l’abbé, disait-il avec un accent presque gai, qu’est-ce que vous savez de nouveau ?

Nrt-22 : C’est vers le prêtre qu’il se retournait en parlant ainsi. L’aumônier, qui me parlait sans relâche, et que la voiture assourdissait, n’a pas répondu.

: – Hé ! Hé ! a repris l’huissier en haussant la voix pour avoir le dessus sur le bruit des roues ; infernale voiture !

Nrt-22 : Infernale ! En effet. Il a continué :

L’huissier : – Sans doute, c’est le cahot ; on ne s’entend pas. Qu’est-ce que je voulais donc dire ? Faites-moi le plaisir de m’apprendre ce que je voulais dire, monsieur l’abbé ! – Ah ! Savez-vous la grande nouvelle de Paris, aujourd’hui ?

Nrt-22 : J’ai tressailli, comme s’il parlait de moi. Pastor : – Non, a dit le prêtre, qui avait enfin entendu, je n’ai pas eu le temps de lire les journaux ce matin. Je verrai cela ce soir. Quand je suis occupé comme cela toute la journée, je recommande au portier de me

garder mes journaux, et je les lis en rentrant.

(22/LDJC/74-75) Nrt-21 : Dengan diam kudengarkan kata-kata monoton yang berjatuhan itu, yang membuat pikiranku mengantuk, seperti gemericik air pancuran. Bunyi-bunyi itu lewat di hadapanku, selalu berbeda dan selalu sama, seperti pohon-

pohon muda yang tumbuh bengkok di pinggir jalan besar. Aku tersentak tiba-tiba mendengar suara pendek, kaku dan terputus-putus pelaksana hukuman yang duduk di depan. L’huissier : – Hei ! Pak Pastor, katanya dengan nada yang hampir riang, kabar baru apa yang Anda punyai ?

Nrt-22 : Ke arah bapak pendetalah ia berpaling dan berkata begitu.

Rohaniawan itu, yang berbicara kepadaku tanpa henti dan yang tidak mendengarnya karena bunyi bising kereta, tidak menjawabnya.

: – Hei ! Hei ! Pelaksana hukuman itu berkata lagi lebih keras untuk mengalahkan bunyi roda kereta, kereta neraka !

Nrt-22 : Neraka ! memang. Ia melanjutkannya : L’huissier : – Barangkali karena guncangan kita tidak bisa mendengar. Apa yang ingin kukatakan tadi ? Tolong katakan padaku apa yang ingin kukatakan tadi, Pak Pastor ? – Ah ! Apa Anda tahu berita baru

mengenai Paris hari ini ?

Nrt-22 : Aku tersentak kaget, seakan ia berbicara mengenaiku.

Pastor : – Tidak, kata bapak pendeta, yang akhirnya mendengarnya, aku tidak sempat membaca koran tadi pagi. Aku akan membacanya nanti malam. Saat aku sibuk sepanjang hari seperti ini, aku minta penjaga pintu untuk menyimpankan koran-koranku, dan aku akan membacanya kalau pulang.

24. Dialog 13 : L’huissier : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,

Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian (rugikan L’huissier).

Page 186: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

169

(23) Konteks : Tokoh Aku dikawal petugas pelaksana pengadilan (l’huissier), pastor penjara, dan enam prajurit menuju bunderan Grève dengan menggunakan kereta. Di dalam kereta tersebut, tokoh Aku mulai ikut masuk ke dalam perbincangan antara petugas pelaksana pengadilan dan pastor.

L’huissier : – Bah ! a repris l’huissier, il est impossible que vous ne sachiez pas cela. La nouvelle de Paris ! La nouvelle de ce matin ! Nrt-22 : J’ai pris la parole. Aku : – Je crois la savoir. Nrt-22 : L’huissier m’a regardé. L’huissier : – Vous ! Vraiment ! En ce cas, qu’en dites-vous ? Aku : – Vous êtes curieux ! Lui ai-je dit.

(24/LDJC/74-75)

L’huissier : – Hei ! Pak Pastor, katanya dengan nada yang hampir riang, kabar baru apa yang Anda punyai ? Nrt-22 : Aku angkat suara : Aku : - Kukira aku tahu. Nrt-22 : Pelaksana hukuman itu memandangiku. L’huissier : – Anda ! Benarkah ! kalau begitu apa pendapat Anda ? Aku : – Anda melit ! Kataku kepadanya. 25. Dialog 14 : L’huissier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,

Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.

(24) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) bertanya kepada tokoh Aku, kenapa dia (Aku) marah ketika ditanyakan tentang kabar Paris. L’huissier : – Pourquoi, monsieur ? a répliqué l’huissier. Chacun a son opinion politique. Je vous estime trop pour croire que vous n’avez pas la vôtre. Quant à moi, je suis tout à fait d’avis du rétablissement de la garde

nationale. J’étais sergent de ma compagnie, et, ma foi, c’était fort agréable. Nrt-22 : Je l’ai interrompu. Aku : – Je ne croyais pas que ce fût de cela qu’il s’agissait. L’huissier : – Et de quoi donc ? Vous disiez savoir la nouvelle… Aku : – Je parlais d’une autre, dont Paris s’occupe aussi aujourd’hui.

Page 187: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

170

Nrt-22 : L’imbécile n’a pas compris ; sa curiosité s’est éveillée.

(24/LDJC/ 76)

L’huissier : – Kenapa, Tuan ? tukas pelaksana hukuman itu. Setiap orang punya pendapat politiknya masing-masing. Aku sangat menghargai Anda sehingga aku yakin bahwa Anda pasti mempunyai pendapat politik sendiri. Kalau aku, aku sangat setuju dengan pendapat mengenai perlunya dibentuk kembali Garda Nasional. Aku dulu sersan di kesatuanku, dan, yaaa, itu sangat menyenangkan.

Nrt-22 : Aku memotong ucapannya. Aku : – Kukira bukan itu yang sedang ramai dibicarakan sekarang. L’huissier : – Kalau begitu apa ? Tadi Anda berkata bahwa Anda tahu tentang berita .... Aku : – Aku berbicara tentang berita lain, yang diurus Paris saat ini juga. Nrt-22 : Orang tolol itu tidak mengerti dan rasa ingin tahunya muncul. 26. Dialog 15 : L’huissier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian,

Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.

(25) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) bertanya kepada tokoh Aku mengenai berita yang ingin dikatakan oleh tokoh Aku. L’huissier : – Une autre nouvelle ? Où diable avez-vous pu apprendre des nouvelles ? Laquelle, de grâce, mon cher monsieur ? Savez-vous ce que c’est, monsieur l’abbé ? Êtes-vous plus au courant que moi ? Mettez-moi

au fait, je vous prie. De quoi s’agit-il ? – Voyez-vous, j’aime les nouvelles. Je les contes à monsieur le président, et cela l’amuse. Nrt-22 : Et mille billevesées. Il se tournait tour à tour vers le prêtre et vers moi, et je ne répondais qu’en haussant les épaules. – Eh bien ! m’a-t-il dit, à quoi pensez-vous donc ? Aku : – Je pense, ai-je répondu, que je ne penserai plus ce soir. L’huissier : – Ah ! C’est cela ! a-t-il répliqué. Allons, vous êtes trop triste ! M. Castaing causait. Nrt-22 : Puis, après un silence : – J’ai conduit M. Papavoine ; il avait sa casquette de loutre et fumait son cigare. Quant aux jeunes gens de La Rochelle, ils ne parlaient qu’entre eux. Mais ils parlaient.

(25/LDJC/76-77)

L’huissier : – Berita lain ? Dari mana Anda sampai mendapatkan berita ? Berita apa, Tuan, tolong ? Anda tahu berita apa itu Pak Pastor ? Apa Anda lebih mengetahuinya dariku ? Tolong beritahu Aku. Berita tentang apa itu ? – Aku suka sekali berita. Aku menceritakannya kepada bapak Ketua Pengadilan dan ia sangat senang mendengarnya.

Nrt-22 : Dan banyak omong kosong lain. Ia berpaling bergantian ke arah bapak pastor dan ke arahku, dan aku hanya menjawabnya dengan mengangkat pundak ! : – Baiklah! Katanya kepadaku, apa yang ada dalam pikiran Anda?

Page 188: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

171

Aku : – Kupikir, jawabku, aku tidak akan berfikir lagi malam ini. L’huissier : – Ah ! Itu ! jawabnya. Oh, jangan begitu ! Anda terlalu bersedih ! Tuan Castaing dulu ngobrol. Nrt-22 : Kemudian, setelah diam sejenak : – Aku dulu juga membawa Tuan Papavoine. Ia mengenakan topi petnya yang terbuat dari bulu berang-berang dan menghisap cerutunya. Kalau keempat pemuda dari La Rochelle itu, mereka hanya

bercakap-cakap diantara mereka saja. Tapi mereka bercakap-cakap. 27. Dialog 16 : L’huissier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim pujian,

Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan. (26) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) berbincang-bincang dengan tokoh Aku. Kemudian tokoh Aku tidak suka dirinya (Aku) dikatakan lebih muda oleh l’huissier. Nrt-22 : Il a fait encore une pause, et a poursuivi : L’huissier : – Des fous ! Des enthousiastes ! Ils avaient l’air de mépriser tout le monde. Pour ce qui est de vous, je vous trouve vraiment bien pensif, jeune homme. Aku : – Jeune homme ! Lui ai-je dit, je suis plus vieux que vous ; chaque quart d’heure qui s’écoule me vieillit d’une année. Nrt-22 : Il s’est retourné, m’a regardé quelques minutes avec un étonnement inepte, puis s’est mis à ricaner lourdement. L’huissier : – Allons, vous voulez rire, plus vieux que moi ! Je serais votre grand‘père. Aku : Je ne veux pas rire, lui ai-je répondu gravement.

(26/LDJC/77)

Nrt-22 : Ia lalu diam lagi sejenak, dan kemudian melanjutkan : L’huissier : – Orang-orang gila ! Orang-orang yang terlalu menggebu semangatnya ! Mereka kelihatannya meremehkan semua orang. Kalau Anda, menurutku, Anda benar-benar sangat banyak berfikir, Anak

muda !. Aku : – Anak muda ! kataku kepadanya, aku lebih tua dari Anda. Setiap seperempat jam berlalu, aku menjadi lebih tua setahun. Nrt-22 : Ia memutar tubuhnya, memandangiku selama beberapa menit dengan rasa heran yang konyol, kemudian tertawa menghina. L’huissier : – Bah ! Anda bercanda ! Lebih tua dariku ! Aku pantas jadi kakekmu. Aku : Aku tidak bercanda, jawabku kepadanya dengan serius. 28. Dialog 17 : L’huissier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,

Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan.

Page 189: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

172

(27) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) menawarkan tembakau kepada tokoh Aku agar tidak marah karena tersinggung oleh gurauan l’huissier yang mengatakan bahwa tokoh Aku lebih muda darinya (l’huissier).

Nrt-22 : Il a ouvert sa tabatière. L’huissier : – Tenez, cher monsieur, ne vous fâchez pas ; une prise de tabac, et ne me gardez pas rancune. Aku : – N’ayez pas peur ; je n’aurai pas longtemps à vous la garder.

(28/LDJC/77)

Nrt-22 : Ia membuka kotak tembakaunya. L’huissier : – Ini Tuan, jangan marah ! Ambillah sejumput tembakau, dan jangan dendam kepadaku. Aku : – Jangan takut ! Rasa dendamku tidak akan berlangsung lama. 29. Dialog 18 : L’huissier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kedermawanan

Aku : melanggar maksim kedermawanan (28) Konteks : Di dalam kereta yang menuju bunderan Grève, tembakau milik petugas pelaksana pengadilan (l’huissier) jatuh pada saat ditawarkan kepada tokoh Aku. Nrt-22 : En ce moment sa tabatière, qu’il me tendait, a rencontré le grillage qui nous séparait. Un cahot a fait qu’elle l’a heurté assez violemment et est tombée tout ouverte sous les pieds du gendarme. L’huissier : – Maudit grillage ! S’est écrié l’huissier. Nrt-23 : Il s’est tourné vers moi. – Eh bien ! Ne suis-je pas malheureux ? Tout mon tabac est perdu ! Aku : – Je perds plus que vous, ai-je répondu en souriant. Nrt-22 : Il a essayé de ramasser son tabac, en grommelant entre ses dents : L’huissier : – Plus que moi ! Cela est facile à dire. Pas de tabac jusqu’à Paris ! C’est terrible !

(28/LDJC/77-78)

Nrt-22 : Pada saat itu, kotak tembakau yang ia sodorkan kepadaku membentur jeruji yang memisahkan kami. Sebuah guncangan telah menyebabkannya membentur jeruji dengan cukup keras sehingga kotak itu jatuh terbuka di lantai, di dekat kaki si prajurit.

L’huissier : – Teralis sialan ! teriak pelaksana keputusan hukuman itu. Nrt-23 : Ia berpaling kepadaku.

Page 190: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

173

– Lihat ! Apakah aku tidak menderita ? Aku kehilangan semua tembakauku ! Aku : – Aku kehilangan lebih dari Anda, jawabku sambil tersenyum. Nrt-22 : Ia mencoba memunguti tembakaunya sambil mendesis menggerutu : L’huissier : – Lebih dariku ! Bicara, mudah ! Tanpa tembakau sampai Paris ! Benar-benar menjengkelkan ! 30. Dialog 19 : Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,

Friauche : melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian.

(29) Konteks : Tokoh Aku telah sampai di gedung Conciergerie, yakni gedung tempat transit sebelum eksekusi dilaksanakan. Kemudian tokoh Aku diharuskan menemui direktur pengadilan. Namun tokoh Aku disuruh menunggu di ruangan tepat di sebelah ruang direktur pengadilan. Pada saat itu, tiba-tiba masuklah seorang narapidana baru (friauche) yang baru saja mendapat vonis hukuman mati. Mereka (Aku dan friauche) saling berkenalan.

Nrt-22 : Je ne sais à quoi je pensais, ni depuis combien de temps j’étais là, quand un brusque et violent éclat de rire à mon oreille m’a réveillé de ma rêverie. J’ai levé les yeux en tressaillant. Je n’étais plus seul dans la cellule. Un homme s’y trouvait avec moi, un homme d’environ cinquante-cinq ans, de moyenne taille ; ridé, voûté, grisonnant ; à membres trapus ; avec

un regard louche dans des yeux gris, un rire amer sur le visage ; sale, en guenilles, demi-nu, repoussant à voir. ……………………………………………………………... Nous nous sommes regardés quelques secondes fixement, l’homme et moi ; lui, prolongeant son rire qui ressemblait à un râle ; moi, demi-étonné, demi-effrayé. Aku : – Qui êtes-vous ? Lui ai-je dit enfin. Friauche : – Drôle de demande ! a-t-il répondu. Un friauche. Aku : – Un friauche ! Qu’est-ce que cela veut dire ? Nrt-23 : Cette question a redoublé sa gaieté. Friauche : – Cela veut dire, s’est-il écrié au milieu d’un éclat de rire, que la taule jouera au panier avec ma sorbonne dans six semaines, comme il va faire avec ta tronche dans six heures. – Ha ! Ha ! Il paraît que tu

comprends maintenant.

(29/LDJC/80)

Nrt-22 : Aku tidak tahu apa yang kupikirkan maupun sejak kapan aku berada disitu, ketika tiba-tiba suatu tawa meledak memekakkan telingaku dan menggugahku dari mimpi. Dengan terkejut kuarahkan pandanganku. Aku tidak lagi sendirian di sel itu. Ada seorang laki-laki bersamaku di situ, seorang laki-laki berusia sekitar lima puluh lima tahun, dengan ukuran badan rata-rata,

berkeriput, bungkuk, dan beruban. Anggota tubuhnya pendek kekar, matanya abu-abu dan jereng, wajahnya dihiasi sebuah tawa pahit, tubuhnya kotor, pakaiannya compang-camping setengah telanjang, menjijikkan untuk dilihat.

……………………………………………………………... Kami saling beradu pandang selama beberapa detik, pria itu dan aku. Ia masih meneruskan tawanya yang menyerupai lenguhan, sedangkan aku merasa separo heran dan separo takut. Aku : – Siapa Anda ? akhirnya aku bertanya kepadanya. Friauche : – Pertanyaan yang aneh ! jawabnya. Seorang Friauche.

Page 191: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

174

Aku : – Friauche ! Apa itu artinya ? Nrt-23 : Pertanyaan ini semakin membuatnya gembira. Friauche : – Artinya, teriaknya di sela-sela ledak tawa, penjara akan menggelindingkan kepalaku ke dalam keranjang enam minggu lagi, seperti yang akan ia lakukan dengan tampangmu enam jam lagi. – Ha ! Ha !

Kelihatannya kau mengerti sekarang. 31. Dialog 20 : friauche : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian,

Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan.

(30) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, friauche telah selesai menceritakan kisah hidupnya hingga ia (friauche) mendapat vonis hukuman mati kepada tokoh Aku. Kemudian ia (friauche) menasehati tokoh Aku untuk berani menghadapi eksekusi mati.

Nrt-22 : J’étais resté stupide en l’écoutant. Il s’est remis à rire plus haut encore qu’en commençant, et a voulu me prendre la main. J’ai reculé avec horreur. Friauche : – L’ami, m’a-t-il dit, tu n’as pas l’air brave. Ne va pas faire le singe devant la carline3. Vois-tu, il y a un mauvais moment à passer sur la placarde4 ; mais cela est sitôt fait ! Je voudrais être là pour te montrer

la culbute. Mille dieux ! J’ai envie de ne pas me pourvoir, si l’on veut me faucher aujourd’hui avec toi. Le même prêtre nous servira à tous deux ; ça m’est égal d’avoir tes restes. Tu vois que je suis un bon garçon. Hein ! Dis, veux-tu ? D’amitié !

Nrt-23 : Il a encore fait un pas pour s’approcher de moi. Aku : – Monsieur, lui ai-je répondu en le repoussant, je vous remercie.

(30/LDJC/82-83)

Nrt-22 : Aku diam mendengarkan seperti orang tolol. Ia tertawa lebih keras lagi daripada saat pertama, dan bermaksud memegang tanganku. Aku mundur dengan rasa ngeri. Friauche : – Sobat, katanya kepadaku, kau tampak kurang tabah. Janganlah kelihatan takut. Memang, ada saat yang tidak enak untuk dilalui di bunderan itu nanti, tapi itu cepat berlalu ! Aku ingin berada di sana

untuk menunjukkan kepadamu bagaimana aku berjungkir balik, melakukan roda. Ya, Tuhan ! Aku mau tidak naik banding, kalau mereka bersedia membabatku hari ini bersamamu. Pendeta yang sama bisa kita pakai berdua. Tidak apa-apa bagiku mendapatkan sisamu. Kamu lihat bukan, kalau aku orang baik. Eh ! Kamu mau ? Bersahabat denganku !

Nrt-23 : Ia maju lagi satu tindak untuk mendekatiku. Aku : – Tuan, jawabku kepadanya sambil mendorongnya mundur, aku ucapkan terima kasih. (bermaksud penolakan juga)

32. Dialog 21 : friauche : melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian,

Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan

(31) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, tokoh Aku menolak ajakan friauche untuk menggunakan pendeta yang sama dan menjalani eksekusi mati bersama. Hal itu. Membuat friauche menjuluki tokoh Aku sebagai seorang marquis (un marquis yakni gelar bangsawan namun sebagai ejekan).

3 Le poltron devant la mort. 4 Place de Grève.

Page 192: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

175

Nrt-22 : Nouveaux éclats de rire à ma réponse. Friauche : – Ah ! Ah ! Monsieur, vousailles5 êtes un marquis ! C’est un marquis ! Nrt-23 : Je l’ai interrompu : Aku : – Mon ami, j’ai besoin de me recueillir, laissez-moi. Nrt-23 : La gravité de ma parole l’a rendu pensif tout à coup. Il a remué sa tête grise et presque chauve ; puis, creusant avec ses ongles sa poitrine velue, qui s’offrait nue sous sa chemise ouverte : Friauche : – Je comprends, a-t-il murmuré entre ses dents ; au fait, le sanglier6 !…

(31/LDJC/83)

Nrt-22 : Kembali terdengar gelak tawa atas jawabanku. Friauche : – Ah ! ah ! Tuan, Anda ! Seorang markis ! Seorang markis ! Nrt-23 : Aku memotongnya : Aku : – Sobat, aku ingin menenangkan diri, pergilah. Nrt-23 : Keseriusan kata-kataku membuatnya tiba-tiba berfikir. Ia menggoyang-goyangkan kepalanya yang berambut abu-abu dan hampir botak. Kemudian, sambil menggaruk dadanya yang berbulu, yang terlihat telanjang di

balik bajunya yang terbuka : Friauche : – Aku mengerti, bisiknya mendesis. Sebenarnya, pendeta itu !.... 33. Monolog friauche 1 :Friauche-1 : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan, kearifan,

Friauche-3: melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan, Friauche-4 : melanggar prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati.

(32) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, friauche meminta jas panjang tokoh Aku , karena bagi friauche jas panjang itu tidak ada gunanya lagi bagi tokoh Aku yang sebentar lagi akan menjalani eksekusi

mati. Nrt-22 : Puis, après quelques minutes de silence :

5 Vous. 6 Le prêtre.

Page 193: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

176

Friauche-1 : – Tenez, m’a-t-il dit presque timidement, vous êtes un marquis, c’est fort bien ; mais vous avez là une belle redingote qui ne vous servira plus à grand’chose ! La taule la prendra. Donnez-la-moi, je la vendrai pour avoir du tabac.

Nrt-22 : J’ai ôté ma redingote et je la lui ai donnée. Il s’est mis à battre des mains avec une joie d’enfant. Puis, voyant que j’étais en chemise et que je grelottais : Friauche-2 : – Vous avez froid, monsieur, mettez ceci ; il pleut, et vous seriez mouillé ; et puis il faut être décemment sur la charrette. Nrt-22 : En parlant ainsi, il ôtait sa grosse veste de laine grise et la passait dans mes bras. Je le laissais faire. Alors j’ai été m’appuyer contre le mur, et je ne saurais dire quel effet me faisait cet homme. Il s’était mis à

examiner la redingote que je lui avais donnée, et poussait à chaque instant des cris de joie. Friauche-3 : – Les poches sont toutes neuves ! Le collet n’est pas usé ! J’en aurai au moins quinze francs. Quel bonheur ! Du tabac pour mes six semaines ! Nrt-22 : La porte s’est rouverte. On venait nous chercher tous deux ; moi, pour me conduire à la chambre où les condamnés attendent l’heure ; lui, pour le mener à Bicêtre. Il s’est placé en riant au milieu du piquet qui

devait l’emmener, et il disait aux gendarmes : Friauche-4 : – Ah ça ! Ne vous trompez pas ; nous avons changé de pelure, monsieur et moi ; mais ne me prenez pas à sa place. Diable ! Cela ne m’arrangerait pas, maintenant que j’ai de quoi avoir du tabac !

(32/LDJC/83-84)

Nrt-22 : Kemudian setelah beberapa menit diam : Friauche-1 : – Hei, katanya hampir dengan nada malu. Anda seorang markis, itu bagus. Tapi, itu, Anda mengenakan jas panjang indah yang tidak akan banyak gunanya lagi ! Penjara akan mengambilnya. Berikanlah

kepadaku, biar kujual nanti untuk membeli tembakau. Nrt-22 : Kulepas jas panjangku dan kuberikannya kepadanya. Ia lalu bertepuk tangan dengan kebahagiaan seorang anak kecil. Kemudian ketika hanya melihatku mengenakan sehelai baju dan menggigil : Friauche-2 : – Anda kedinginan, Tuan, pakailah ini. Di luar hujan, dan Anda akan basah. Lagipula Anda harus berpenampilan pantas nanti di atas kereta. Nrt-22 : Sambil berkata demikian, ia menanggalkan jas wolnya yang besar yang berwarna abu-abu dan meletakkannya ke tanganku. Kubiarkan ia melakukannya. Aku kemudian menyandarkan diri ke tembok, dan aku tidak

bisa mengungkapkan pengaruh yang ditimbulkan orang ini pada diriku. Ia mulai memeriksa jas panjang yang kuberikan kepadanya, dan setiap kali ia berseru gembira. Friauche-3 : – Sakunya masih baru ! Kerahnya belum usang ! –Bisa laku paling tidak lima belas franc. – Betapa bahagianya ! Tembakau untuk enam mingguku! Nrt-22 : Pintunya kembali terbuka. Kira berdua dijemput. Aku dijemput untuk dibawa ke bilik tempat para terpidana menunggu jam, ia dijemput untuk dibawa ke Bicêtre. Ia dengan gembira menempatkan dirinya di tengah-

tengah para petugas yang harus membawanya dan berkata kepada para prajurit itu : Friauche-4 : – Ah ! Jangan salah! Kami bertukar mantel, tuan itu dan aku. Tapi jangan menganggapku sebagai dia. Kurang ajar benar! Itu tidak baik buatku, karena sekarang aku punya sesuatu yang bisa kutukar

dengan tembakau! 34. Dialog 22 : Prêtre : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,

Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan.

(33) Konteks : Seorang pendeta (prêtre) masuk ke ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan untuk memberikan pendampingan kepada tokoh Aku menjelang beberapa jam pelaksanaan eksekusi mati.

Page 194: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

177

Nrt-22 : Nous nous sommes assis, lui sur la chaise, moi sur le lit. Il m’a dit Prêtre : – Mon fils… Nrt-23 : Ce mot m’a ouvert le cœur. Il a continué : – Mon fils, croyez-vous en Dieu ? Aku : – Oui, mon père, lui ai-je répondu. Prêtre : – Croyez-vous en la sainte église catholique, apostolique et romaine ? Aku : – Volontiers, lui ai-je dit.

(33/LDJC/89)

Nrt-22 : Kami berdua duduk , ia di kursi, aku di pelbet (ranjang). Ia berkata kepadaku : Prêtre : – Anakku……. Nrt-23 : Kata-kata ini membuka hatiku. Ia melanjutkan : – Anakku, kamu percaya Tuhan? Aku : – Ya, Bapa, jawabku kepadanya. Prêtre : – Kamu percaya pada gereja katholik, para Rasul dan orang-orang Roma yang suci ? Aku : – Dengan segenap hati, kataku kepadanya.

35. Dialog 23 : Prêtre : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan, lalu mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan, kemudian melanggar prinsip kesantunan maksim pujian,

Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan (bahasa sudah halus), kemudian mematuhi, maksim kearifan.

(34) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, pendeta (prêtre) meragukan tokoh Aku yang percaya kepada Tuhan, gereja khatolik, para rasul, dan orang-orang suci Roma. Prêtre : – Mon fils, a-t-il repris, vous avez l’air de douter. Nrt-23 : Alors il s’est mis à parler. Il a parlé longtemps ; il a dit beaucoup de paroles ; puis, quand il a cru avoir fini, il s’est levé et m’a regardé pour la première fois depuis le commencement de son discours, en

m’interrogeant : – Eh bien ? Nrt-23 : Je proteste que je l’avais écouté avec avidité d’abord, puis avec attention, puis avec dévouement. Je me suis levé aussi. Aku : – Monsieur, lui ai-je répondu, laissez-moi seul, je vous prie.

Page 195: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

178

Nrt-23 : Il m’a demandé : Prêtre : – Quand reviendrai-je ? Aku : – Je vous le ferai savoir. Nrt-23 : Alors il est sorti sans rien dire, mais en hochant la tête, comme se disant à lui-même : Prêtre : – Un impie ! Nrt-23 : Non, si bas que je sois tombé, je ne suis pas un impie, et Dieu m’est témoin que je crois en lui.

(34/LDJC/90)

Prêtre : – Anakku, katanya lagi, kamu kelihatannya meragukannya. Nrt-23 : Dan kemudian ia mulai berbicara. Ia berbicara lama sekali, ia mengucapkan banyak kata. Kemudian setelah menurutnya selesai, ia berdiri dan memandangiku untuk pertama kali sejak awal khotbahnya, sambil

bertanya kepadaku : – Hey, Bagaimana ? Nrt-23 : Aku protes karena mulanya aku mendengarkannya dengan bernafsu, kemudian dengan perhatian dan setelah itu dengan ketulusan. Aku juga bangkit berdiri. Aku : – Tuan, kataku kepadanya, tolong tinggalkan aku sendiri. Nrt-23 : Ia menanyaiku : Prêtre : – Kapan aku harus kembali ? Aku : – Aku akan memberitahukannya. Nrt-23 : Dan ia keluar tanpa marah, tapi sambil menggeleng-gelengkan kepala, seolah berkata kepada dirinya sendiri : Prêtre : – Orang yang tidak percaya Tuhan !

Nrt-23 : Tidak, meskipun aku terperosok sedemikian dalamnya, aku bukan orang yang tidak percaya Tuhan, dan Tuhan akan menjadi saksiku bahwa aku percaya kepadaNya.

36. Dialog 24 : L’architecte : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,

Gendarme : melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian.

(35) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan, tiba-tiba ada arsitek (l’architecte) yang masuk dan mengukur dinding kamar untuk kemudian direnovasi. Nrt-23 : Sa besogne finie, il s’est approché de moi en me disant avec sa voix éclatante :

Page 196: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

179

L’architecte : – Mon bon ami, dans six mois cette prison sera beaucoup mieux. Nrt-23 : Et son geste semblait ajouter : – Vous n’en jouirez pas, c’est dommage. Nrt-23 : Il souriait presque. J’ai cru voir le moment où il allait me railler doucement, comme on plaisante une jeune mariée le soir de ses noces. Mon gendarme, vieux soldat à chevrons, s’est chargé de la réponse. Gendarme : – Monsieur, lui a-t-il dit, on ne parle pas si haut dans la chambre d’un mort. Nrt-23 : L’architecte s’en est allé. Moi, j’étais là, comme une des pierres qu’il mesurait.

(35/LDJC/93)

Nrt-23 : Tugasnya selesai, ia mendekatiku dan berbicara kepadaku dengan suara lantang : L’architecte : – Sobat yang baik, enam bulan lagi penjara ini akan jauh lebih baik. Nrt-23 : Dan gerakannya seolah melanjutkan : – Sayang, kamu tidak bisa menikmatinya. Nrt-23 : Ia seolah tersenyum. Sejenak aku merasa bahwa ia akan mengejekku dengan halus, seperti orang menggoda mempelai putri di malam pengantinnya. Pengawalku, seorang serdadu tua dengan tanda pangkat,

menangani jawabannya. Gendarme : – Tuan, katanya kepada orang itu, dilarang berbicara sekeras itu di kamar orang mati. Nrt-23 : Arsitek itu lalu pergi. Aku, aku tetap berada di sana, seperti batu-batu yang ia ukur tadi.

37. Dialog 25 : Gendarme : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,

Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.

(36) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Tokoh Aku mendapat pengawal (gendarme) baru. Kemudian mereka terlibat dalam perbincangan. Nrt-23 : Et puis, il m’est arrivé une chose ridicule. On est venu relever mon bon vieux gendarme, auquel, ingrat égoïste que je suis, je n’ai seulement pas serré la main. Un autre l’a remplacé, homme à front déprimé, des

yeux de bœuf, une figure inepte. Au reste, je n’y avais fait aucune attention. Je tournais le dos à la porte, assis devant la table ; je tâchais de rafraîchir mon front avec ma main, et mes pensées troublaient mon esprit. Un léger coup, frappé sur mon épaule, m’a fait tourner la tête. C’était le nouveau gendarme, avec qui j’étais seul. Voici à peu près de quelle façon il m’a adressé la parole.

Gendarme : – Criminel, avez-vous bon cœur ? Aku : Non, lui ai-je dit. Nrt-23 : La brusquerie de ma réponse a paru le déconcerter.

(36/LDJC/93)

Page 197: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

180

Nrt-23 : Kemudian terjadi sesuatu yang menggelikan pada diriku. Pengawalku digantikan. Betapa egois dan tidak tahu berterimakasihnya aku, hingga bahkan tidak menyalaminya sebelum ia pergi. Seorang serdadu lain

menggantikannya, seorang pria dengan dahi yang terlihat lesu, bermata seperti kerbau dan berwajah konyol. Selebihnya, aku tidak memperhatikannya sama sekali. Aku lalu membelakangi pintu dan duduk di depan meja. Aku berusaha menyegarkan dahi dengan tanganku, pikiran-pikiranku mengalutkan hatiku. Sebuah tepukan ringan di bahu membuatku menengok ke belakang. Ternyata serdadu baru itu, yang sendirian saja bersamaku. Beginilah kira-kira bagaimana ia berbicara kepadaku.

Gendarme : – Penjahat, apa kamu baik hati? Aku : Tidak, kataku kepadanya. Nrt-23 : Jawabanku yang tidak terduga itu tampaknya membuatnya kehilangan akal. 38. Dialog 26 : Gendarme dan Aku : sama-sama melanggar prinsip kesantunan, maksim pujian dan maksim kedermawanan.

(37) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Gendarme berharap mendapat bantuan dari tokoh Aku. Nrt-23 : Cependant il a repris en hésitant : Gendarme : – On n’est pas méchant pour le plaisir de l’être. Aku : Pourquoi non ? Ai-je répliqué. Si vous n’avez que cela à me dire, laissez-moi. Où voulez-vous en venir? Gendarme : – Pardon, mon criminel, a-t-il répondu. Deux mots seulement. Voici. Si vous pouviez faire le bonheur d’un pauvre homme, et que cela ne vous coûtât rien, est-ce que vous ne le feriez pas ? Nrt-23 : J’ai haussé les épaules. Aku : Est-ce que vous arrivez de Charenton ? Vous choisissez un singulier vase pour y puiser du bonheur. Moi, faire le bonheur de quelqu’un!

(37/LDJC/94)

Nrt-23 : Namun begitu, ia memulainya lagi dengan sedikit ragu :

Gendarme : – Kita tidak berbuat jahat hanya sekedar demi rasa senang menjadi jahat saja, bukan?

Aku : Kenapa tidak ? bantahku. Kalau hanya itu yang ingin Anda katakan, tinggalkan aku. Apa maksud perkataanmu itu? Gendarme : – Maaf, penjahat, jawabnya. Dua patah kata saja. Begini. Kalau Anda bisa berbuat baik bagi seorang miskin, dan itu tidak merugikan Anda sama sekali, apakah Anda tidak akan melakukannya ? Nrt-23 : Aku mengangkat bahu. Aku : Apakah Anda baru tiba dari RSJ Charenton? Anda salah memilih guci ajaib untuk mendapatkan kebahagiaan di dalamnya. Aku! Membahagiakan orang!

39. Dialog 27 : Gendarme dan Aku : sama-sama melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.

Page 198: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

181

(38) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Gendarme meminta tolong kepada tokoh Aku agar ketika sudah mati untuk menemuinya (gendarme) memberi nomer undian lewat mimpi. Nrt-23 : Il a baissé la voix et pris un air mystérieux, ce qui n’allait pas à sa figure idiote. Gendarme : – Oui, criminel, oui bonheur, oui fortune. Tout cela me sera venu de vous. Voici. Je suis un pauvre gendarme. Le service est lourd, la paye est légère ; mon cheval est à moi et me ruine. Or, je mets à la loterie

pour contre-balancer. Il faut bien avoir une industrie. Jusqu’ici il ne m’a manqué pour gagner que d’avoir de bons numéros. J’en cherche partout de sûrs ; je tombe toujours à côté. Je mets le 76 ; il sort le 77. J’ai beau les nourrir, ils ne viennent pas… – Un peu de patience, s’il vous plaît ; je suis à la fin. - Or, voici une belle occasion pour moi. Il paraît, pardon, criminel, que vous passez aujourd’hui. Il est certain que les morts qu’on fait périr comme cela voient la loterie d’avance. Promettez-moi de venir demain soir, qu’est-ce que cela vous fait ? Me donner trois numéros, trois bons. Hein ? – Je n’ai pas peur des revenants, soyez tranquille. – Voici mon adresse : Caserne Popincourt, escalier A, n° 26, au fond du corridor. Vous me reconnaîtrez bien, n’est-ce pas ? – Venez même ce soir, si cela vous est plus commode.

Nrt-23 : J’aurais dédaigné de lui répondre, à cet imbécile, si une espérance folle ne m’avait traversé l’esprit. Dans la position désespérée où je suis, on croit par moments qu’on briserait une chaîne avec un cheveu. Aku : Écoute, lui ai-je dit en faisant le comédien autant que le peut faire celui qui va mourir, je puis en effet te rendre plus riche que le roi, te faire gagner des millions. – À une condition. Nrt-23 : Il ouvrait des yeux stupides. Gendarme : – Laquelle ? Laquelle ? Tout pour vous plaire, mon criminel.

Aku : Au lieu de trois numéros, je t’en promets quatre. Change d’habits avec moi. Gendarme : – Si ce n’est que cela ! s’est-il écrié en défaisant les premières agrafes de son uniforme.

Nrt-23 : Je m’étais levé de ma chaise. J’observais tous ses mouvements, mon cœur palpitait. Je voyais déjà les portes s’ouvrir devant l’uniforme de gendarme, et la place, et la rue, et le Palais de Justice derrière moi !

(38/LDJC/94-95)

Nrt-23 : Ia memelankan suaranya dan memasang wajah misterius, yang tidak sesuai dengan mukanya yang tolol. Gendarme : – Ya, penjahat, ya kebahagian, ya keberuntungan. Semua itu akan datang berkatmu. Begini. Aku ini seorang prajurit melarat. Tugasku berat tapi gajiku sedikit. Kudaku menjadi tanggunganku dan

membuatku bangkrut. Oleh karenanya aku pasang lotere untuk mengimbanginya. Kita kan harus punya penghasilan. Sampai sekarang yang kurang hanyalah memasang noemr yang tepat. Aku mencari ke mana-mana nomor yang sip, tapi selalu meleset. Aku pasang 76, yang keluar 77. Nomor itu kupasangi terus, tapi tidak pernah keluar..... – Tolong sabar sebentar, aku segera selesai. - Nah, kini kesempatan yang bagus tiba. Kelihatannya, maaf ya penjahat, hari ini hari terakhir Anda. Orang yang akan dimusnahkan begitu pasti dapat melihat nomor yang akan keluar. Tolong kunjungi aku besok malam ? Apa rugi Anda memberiku tiga nomer ? Tiga nomor yang siip ! Yaa ? – Aku tidak takut hantu, tenang saja. – Ini alamatku : asrama Popincourt, tangga A, no. 26, di ujung. Anda pasti akan mengenaliku, kan ? – Bahkan datanglah malam ini jika itu lebih praktis buat Anda.

Nrt-23 : Sebenarnya aku tidak sudi menjawab orang tolol ini, kalau saja tidak terlintas di benakku satu harapan konyol. Dalam keadaan putus asa sepertiku saat ini, terkadang orang merasa mampu merantaskan rantai

dengan seutas rambut. Aku : Dengar, kataku bersandiwara semampu mungkin yang dilakukan seorang di ambang kematian, memang benar aku bisa membuatmu kaya melebihi raja, membuatmu menang jutaan. – Tapi dengan satu

syarat. Nrt-23 : Ia membelalak tolol. Gendarme : – Apa ? Apa syaratnya ? Akan kulakukan apa pun untuk menyenangkanmu, wahai penjahatku.

Page 199: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

182

Aku : Tidak hanya empat nomer, akan kuberi kamu empat nomer. Mari bertukar pakaian. Gendarme : – Kalau hanya itu saja ! serunya sambil melepas kancing-kancing seragamnya.

Nrt-23 : Aku bangkit dari kursiku. Kuperhatikan semua gerakannya, jantungku berdebar. Tampak sudah padaku pintu-pintu terbuka dihadapanku yang mengenakan seragam prajurit, kemudian bunderan, jalan, dan gedung Palais de Justice di belakangku !

40. Dialog 28 : Gendarme dan Aku : sama-sama melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan (39) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Gendarme menyadari ternyata permintaan tokoh Aku untuk bertukar pakaian dengannya (gendarme) agar tokoh Aku dapat melarikan diri sehingga bebas dari

hukuman mati. Nrt-23 : Mais il s’est retourné d’un air indécis. Gendarme : – Ah ça ! Ce n’est pas pour sortir d’ici ? Nrt-23 : J’ai compris que tout était perdu. Cependant j’ai tenté un dernier effort, bien inutile et bien insensé ! Aku : Si fait, lui ai-je dit, mais ta fortune est faite… Nrt-23 : Il m’a interrompu. Gendarme : – Ah bien non ! Tiens ! Et mes numéros ! Pour qu’ils soient bons, il faut que vous soyez mort.

Nrt-23 : Je me suis rassis, muet et plus désespéré de toute l’espérance que j’avais eue.

(39/LDJC/95)

Nrt-23 : Tapi ia kemudian berpaling dengan wajah ragu. Gendarme : – Sebentar ! Ini tidak untuk melarikan diri dari sini, kan ? Nrt-23 : Aku sadar semuanya telah sirna. Namun demikian kucoba juga upaya terakhir, yang tidak ada gunanya dan ngawur! Aku : Ya, memang itu, kataku kepadanya, tapi keberuntunganmu akan datang ……. Nrt-23 : Ia memotongku. Gendarme : –Oh, tidak ! Memangnya! Lalu bagaimana dengan nomorku? Kamu harus mati dulu agar nomorku bisa cocok.

Nrt-23 : Aku kembali duduk, membisu dan merasa semua harapanku telah sirna.

41. Polilog 1 : Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan.

Page 200: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

183

Des amis : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan, Un ami : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan.

(40) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Tokoh Aku mengalami mimpi. Di dalam mimpnya, tokoh Aku bertemu keluarga dan teman-temannya (des amis) di rumahnya (Aku). Pada saat bermimpi itulah,

ada seorang wanita tua yang masuk ke rumahnya (Aku). Nrt-23 : Je portai la main à cette porte pour refermer l’armoire ; elle résista. Étonné, je tirai plus fort, elle céda brusquement, et nous découvrîmes une petite vieille, les mains pendantes, les yeux fermés, immobile, debout,

et comme collée dans l’angle du mur. Cela avait quelque chose de hideux, et mes cheveux se dressent d’y penser. Je demandai à la vieille : Aku : – Que faites-vous là ? Nrt-23 : Elle ne répondit pas. Je lui demandai : – Qui êtes-vous ? Nrt-23 : Elle ne répondit pas, ne bougea pas, et resta les yeux fermés. Mes amis dirent Des amis : – C’est sans doute la complice de ceux qui sont entrés avec de mauvaises pensées ; ils se sont échappés en nous entendant venir ; elle n’aura pu fuir, et s’est cachée là.

Nrt-23 : Je l’ai interrogée de nouveau ; elle est demeurée sans voix, sans mouvement, sans regard.

Un de nous l’a poussée à terre, elle est tombée. Elle est tombée tout d’une pièce, comme un morceau de bois, comme une chose morte. Nous l’avons remuée du pied, puis deux de nous l’ont relevée et de nouveau appuyée au mur. Elle n’a donné aucun signe de vie. On lui a crié dans l’oreille, elle est restée muette comme si elle était sourde. Cependant, nous perdions patience, et il y avait de la colère dans notre terreur. Un de nous m’a dit :

Un ami : – Mettez-lui la bougie sous le menton.

Nrt-23 : Je lui ai mis la mèche enflammée sous le menton. Alors elle a ouvert un œil à demi, un œil vide, terne, affreux, et qui ne regardait pas. J’ai ôté la flamme et j’ai dit :

Aku : – Ah ! Enfin ! Répondras-tu, vieille sorcière ? Qui es-tu ? Nrt-23 : L’œil s’est refermé comme de lui-même. Des amis : – Pour le coup, c’est trop fort, ont dit les autres. Encore la bougie ! Encore ! Il faudra bien qu’elle parle. Nrt-23 : J’ai replacé la lumière sous le menton de la vieille.

Alors, elle a ouvert ses deux yeux lentement, nous a regardés tous les uns après les autres, puis, se baissant brusquement, a soufflé la bougie avec un souffle glacé. Au même moment j’ai senti trois dents aiguës s’imprimer sur ma main dans les ténèbres. Je me suis réveillé, frissonnant et baigné d’une sueur froide.

Page 201: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

184

(40/LDJC/105-106)

Nrt-23 : Kutarik pintu itu untuk menutupkannya kembali, tapi ada sesuatu yang menahannya. Dengan heran kutarik lebih kuat lagi. Tiba-tiba pintu itu dilepaskan, dan tampak seorang wanita tua. Kedua tangannya menggantung di kedua sisinya, matanya memejam tidak bergerak sedikitpun, berdiri, dan seolah lekat di pojok dinding.

Ada sesuatu yang mengerikan di sana, dan rambutku berdiri bila memikirnya. Aku bertanya kepada wanita tua itu : Aku : – Apa yang Anda lakukan disitu ? Nrt-23 : Ia tidak menjawab. Aku bertanya kepadanya: – Anda siapa? Nrt-23 : Ia tidak menjawab, tidak bergeming, dan tetap memejamkan matanya. Teman-temanku berkata : Des amis : – Barangkali teman para pencuri yang tadi masuk ke sini untuk berbuat jahat. Mereka melarikan diri saat mendengar kita datang. Karena tidak sempat melarikan diri, ia bersembunyi di situ. . Nrt-23 : Aku menanyainya lagi, ia tetap membisu, tidak bergerak, tidak membuka matanya.

Satu diantara temanku mendorongnya ke lantai, ia jatuh. Ia jatuh dengan kaku, seperti sebatang kayu, seperti benda mati. Kami guncang kakinya, kemudian dua temanku menegakkannya kembali ke pojok dinding. Tidak ada tanda-tanda kehidupan pada diri wanita tua itu. Kami berteriak tepat di telinganya, ia tetap membisu seolah tuli. Sementara itu kesabaran kami habis, dan ada kemarahan dalam ketakutan kami. Salah seorang teman berkata kepadaku :

Un ami : – Taruh lilinnya di bawah dagunya.

Nrt-23 : Kutaruh lilin yang menyala itu di bawah dagunya. Ia lalu membuka separo matanya, pandangannya kosong, hampar, menakutkan, dan tidak melihat Kutarik lilin itu dan aku berkata :

Aku : – Ah ! akhirnya ! Sekarang mau jawab ? Kamu siapa ? Nrt-23 : Mata itu menutup lagi seolah secara otomatis. Des amis : – Keterlaluan, kata teman-tamanku. Lagi, kasih lilin lagi! Lagi! Ia harus bicara!. Nrt-23 : Kembali kuletakkan lilin menyala di bawah dagu wanita tua itu.

Ia lalu membuka kedua matanya pelahan-lahan, memandangi kami satu demi satu, kemudian tiba-tiba merunduk dan meniup lilin dengan tiupan sedingin es. Dan pada saat itu juga kurasakan tiga gigi runcing menancap di tanganku, dalam kegelapan.

Aku terbangun, gemetar, dan peluh dingin membasahi sekujur tubuhku.

42. Dialog 29 : Amunônier : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,

Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan (perintah tanpa kata perintah).

Page 202: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

185

(41) Konteks : Di ruangan tepat sebelah ruangan direktur pengadilan. Tokoh Aku terbangun dari mimpinya, tepat pada saat pendeta (amunônier) di sebelahnya (Aku) yang mengabarkan bahwa putrinya (Aku) menjenguknya. Nrt-23 : Le bon aumônier était assis au pied de mon lit, et lisait des prières.

Aku : Ai-je dormi longtemps ? Lui ai-je demandé. Amunônier : – Mon fils, m’a-t-il dit, vous avez dormi une heure. On vous a amené votre enfant. Elle est là dans la pièce voisine qui vous attend. Je n’ai pas voulu qu’on vous éveillât. Aku : – Oh ! Ai-je crié. Ma fille ! Qu’on m’amène ma fille !

(41/LDJC/107)

Nrt-23 : Pendeta yang baik itu duduk di kaki ranjangku, dan membaca doa-doa.

Aku : Apakah aku tidur lama ? Tanyaku kepadanya. Amunônier : – Anakku, katanya kepadaku. Anda tidur satu jam. Putrimu dibawa menjengukmu. Sekarang berada di ruang sebelah, dan menunggumu. Aku tadi melarang orang membangunkanmu. Aku : – Oh! teriakku, putriku, bawa kemari putriku! 43. Dialog 30 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan,

Marie (putri Aku) : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan.

(42) Konteks : Tokoh Aku menemui putrinya, Marie. Namun Marie sudah tidak mengenal tokoh Aku sebagai ayahnya.

Nrt-23 : Elle est fraîche, elle est rose, elle a de grands yeux, elle est belle ! On lui a mis une petite robe qui lui va bien.

Je l’ai prise, je l’ai enlevée dans mes bras, je l’ai assise sur mes genoux, je l’ai baisée sur ses cheveux. Pourquoi pas avec sa mère ?

Aku : Sa mère est malade, sa grand’mère aussi. C’est bien. Nrt-23 : Elle me regardait d’un air étonné. Caressée, embrassée, dévorée de baisers et se laissant faire, mais jetant de temps en temps un coup d’œil inquiet sur sa bonne, qui pleurait dans le coin. Enfin j’ai pu parler. Aku : – Marie ! Ai-je dit, ma petite Marie ! Nrt-23 : Je la serrais violemment contre ma poitrine enflée de sanglots. Elle a poussé un petit cri Marie : – Oh ! Vous me faites du mal, monsieur, m’a-t-elle dit. Nrt-23 : Monsieur ! Il y a bientôt un an qu’elle ne m’a vu, la pauvre enfant. Elle m’a oublié, visage, parole, accent ; et puis, qui me reconnaîtrait avec cette barbe, ces habits et cette pâleur ? Quoi ! Déjà effacé de cette

mémoire, la seule où j’eusse voulu vivre ! Quoi ! Déjà plus père ! Être condamné à ne plus entendre ce mot, ce mot de la langue des enfants, si doux qu’il ne peut rester dans celle des hommes : papa ! Et pourtant l’entendre de cette bouche, encore une fois, une seule fois, voilà tout ce que j’eusse demandé pour les quarante ans de vie qu’on me prend.

Page 203: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

186

(42/LDJC/108)

Nrt-23 : Ia kelihatan segar, merah jambu, matanya bundar, cantik !

Ia mengenakan gaun kecil yang sangat cocok sekali buatnya. Ia kuraih dan kuangkat, lalu kuletakkan di pangkuanku dan kuciumi rambutnya. Mengapa tidak dengan ibunya?

Aku : - Ibunya sakit, neneknya juga. Bagus. Nrt-23 : Ia memandangiku dengan wajah heran. Ia kubelai, kupeluk, kuciumi, dan ia diam saja. Tapi kadang-kadang ia melemparkan khawatir ke arah pengasuhnya yang menangis di pojok. Akhirnya aku mampu mengeluarkan suara. Aku : – Marie ! kataku, Marie kecilku! Nrt-23 : Kudekap ia kuat-kuat ke dadaku yang penuh isakan. Ia berteriak pelan. Marie : – Aduh ! Sakit, Tuan!, Katanya kepadaku. Nrt-23 : Tuan, Hampir setahun anak malang ini tidak bertemu denganku. Ia telah melupankanku, melupakan wajahku, suaraku, logatku. Lagi pula siapa yang akan mengenaliku dengan wajah berewok ini, dengan pakaian

dan wajah pucat ini ? Bagaimana ! ! Bagaimana ! Sudah terhapus dari ingatan ini, satu-satunya tempat dimana aku ingin hidup terus! bagaimana! Tidak lagi menjadi ayah ! Dihukum tidak boleh mendengar kata itu dari omongan bocah, yang sedemikian lembutnya sehingga tidak tahan tinggal di dalam kata-kata orang dewasa : papa !

Padahal mendengar kata itu diucapkan sekali lagi melalui mulut bibir mungil ini, sekali lagi saja, itu yang kuminta sebagai pengganti empat puluh tahun hidupku yang dirampas. 44. Dialog 31 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,

Marie (putri Aku) : melanggar maksim kearifan (walaupun merugikan Aku, tetapi jujur).

(43) Konteks : Tokoh Aku bertanya kembali kepada Marie (putri Aku) agar Marie mengenali ayahnya (Aku). Aku : – Écoute, Marie, lui ai-je dit en joignant ses deux petites mains dans les miennes, est-ce que tu ne me connais point ? Nrt-23 : Elle m’a regardé avec ses beaux yeux, et a répondu : Marie : – Ah bien non ! Aku : – Regarde bien, ai-je répété. Comment, tu ne sais pas qui je suis ? Marie : – Si, a-t-elle dit. Un monsieur. Nrt-23 : Hélas ! n’aimer ardemment qu’un seul être au monde, l’aimer avec tout son amour, et l’avoir devant soi, qui vous voit et vous regarde, vous parle et vous répond et ne vous connaît pas ! Ne vouloir de consolation

que de lui, et qu’il soit le seul qui ne sache pas qu’il vous en faut parce que vous allez mourir !

(43/LDJC/109)

Aku : – Dengar, Marie, kataku kepadanya sambil memegang kedua tangannya yang mungil, apa kamu tidak mengenaliku lagi?

Page 204: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

187

Nrt-23 : Ia memandangiku dengan matanya yang indah, dan menjawab : Marie : – Tidak! Aku : – Lihat baik-baik, ulangku. Bagiamana, kamu tidak tahu siapa aku? Marie : – Tahu, katanya, seorang Tuan. Nrt-23 : Betapa malangnya ! Mencintai satu makhluk saja di dunia ini, mencintainya dengan sepenuh jiwa, mengasihinya dengan sepenuh cinta, dan kini ia berada di depan Anda, memandangi Anda, tapi tidak mengenal

Anda ! Mengharap penghiburan hanya darinya, tapi justru ia satu-satunya yang tidak mengetahui bahwa dirinya merupakan yang paling Anda dambakan, karena sebentar lagi Anda akan mati !. 45. Dialog 32 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,

Marie (putri Aku) : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan (walaupun merugikan Aku, tetapi jujur). (44) Konteks : Tokoh Aku bertanya kepada apakah Marie memiliki seorang ayah. Hal itu dilakukan tokoh Aku agar Marie mengenali ayahnya (Aku). Aku : – Marie, ai-je repris, as-tu un papa ? Marie : – Oui, monsieur, a dit l’enfant. Aku : – Eh bien, où est-il ? Nrt-23 : Elle a levé ses grands yeux étonnés. Aku : – Ah ! Vous ne savez donc pas ? Il est mort. Nrt-23 : Puis elle a crié ; j’avais failli la laisser tomber. Aku : – Mort ! Disais-je. Marie, sais-tu ce que c’est qu’être mort ? Marie : – Oui, monsieur, a-t-elle répondu. Il est dans la terre et dans le ciel. Nrt-23 : Elle a continué d’elle-même : Marie : – Je prie le bon Dieu pour lui matin et soir sur les genoux de maman.

(44/LDJC/109) Aku : – Marie, kataku memulai lagi, kamu punya papa? Marie : – Ya, Tuan, kata anak itu. Aku : – Lalu ia dimana ?

Page 205: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

188

Nrt-23 : Matanya yagng bundar memandangiku dengan heran. Aku : – Ah ! Jadi Anda tidak tahu ? Ia telah meninggal. Nrt-23 : Ia berteriak. Peganganku hampir saja lepas dan ia hampir jatuh. Aku : – Meninggal! Kataku. Marie, kamu tahu artinya meninggal? Marie : – Ya, Tuan, ia menjawabku. Ia berada di dalam tanah dan di langit. Nrt-23 : Ia lalu melanjutkannya sendiri : Marie : – Sambil dipangku ibu, aku berdoa untuknya pagi dan malam kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. 46. Dialog 33 : Aku :melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,

Marie (putri Aku) : melanggar prinsip kesantunan, maksim kearifan (tuturan kurang sopan).

(45) Konteks : Tokoh Aku bertanya kepada Marie mengenai isi doa yang ditujukan kepada ayahnya (Marie). Nrt-23 : Je l’ai baisée au front. Aku : – Marie, dis-moi ta prière. Marie : – Je ne peux pas, monsieur. Une prière, cela ne se dit pas dans le jour. Venez, ce soir dans ma maison; je la dirai.

(45/LDJC/110) Nrt-23 : Kucium keningnya. Aku : – Marie, katakan kepadaku bagaimana doamu ?. Marie : – Aku tidak bisa melakukannya, Tuan. Doa itu tidak diucapkan di siang hari. Datanglah malam ini ke rumahku. Nanti kukatakan. 47. Dialog 34 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,

Marie : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan

(46) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku menegaskan bahwa dirinya adalah ayah dari Marie. Nrt-23 : C’était assez de cela. Je l’ai interrompue. Aku : – Marie, c’est moi qui suis ton papa. Marie : – Ah ! m’a-t-elle dit.

Page 206: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

189

Nrt-23 : J’ai ajouté : Aku : – Veux-tu que je sois ton papa ? Nrt-23 : L’enfant s’est détournée. Marie : – Non, mon papa était bien plus beau Nrt-23 : Je l’ai couverte de baisers et de larmes. Elle a cherché à se dégager de mes bras en criant : Marie : – Vous me faites mal avec votre barbe.

(46/LDJC/110) Nrt-23 : Cukup sudah semua itu. Aku memotongnya. Aku : – Marie, aku papamu. Marie : – Ah ! Katanya kepadaku. Nrt-23 : Kulanjutkan lagi : Aku : – Apa kamu mau aku jadi papamu? Nrt-23 : Anak itu memalingkan wajahnya. Marie : – Tidak, papaku lebih ganteng. Nrt-23 : Kuhujani ia dengan ciuman dan air mata. Ia berusaha melepaskan diri dariku sambil berteriak : Marie : – Jenggot anda menyakitiku. 48. Dialog 35 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan (mengedepankan kepentingannya),

Marie : melanggar prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati.

(47) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku bertanya kepada Marie, apakah dia (Marie) bisa membaca. Nrt-23 : Alors, je l’ai replacée sur mes genoux, en la couvant des yeux, et puis je l’ai questionnée. Aku : – Marie, sais-tu lire ? Marie : – Oui, a-t-elle répondu. Je sais bien lire. Maman me fait lire mes lettres.

(47/LDJC/111)

Page 207: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

190

Nrt-23 : Jadi, ia kembali kutaruh ke pangkuanku, dan kupandanginya lekat-lekat, kemudian kutanya ia. Aku : – Marie, kamu bisa membaca? Marie : – Ya, jawabnya. Aku pintar membaca. Ibu mengajariku huruf-huruf. 49. Dialog 36 : Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kedermawanan,

Marie : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kerendahan hati (Ah bien ! Je ne sais lire que des fables.)

(48) Konteks : Di ruang jenguk narapidana. Tokoh Aku tidak mampu menahan perasaan sedih ketika mengetahui kertas yang dibaca oleh putrinya adalah kertas keputusan vonis hukuman mati bagi dirinya (Aku). Aku : – Voyons, lis un peu, lui ai-je dit en lui montrant un papier qu’elle tenait chiffonné dans une de ses petites mains. Nrt-23 : Elle a hoché sa jolie tête. Marie : – Ah bien ! Je ne sais lire que des fables. Aku : – Essaie toujours. Voyons, lis. Nrt-23 : Elle a déployé le papier, et s’est mise à épeler avec son doigt : Marie : – A, R, ar, R, Ê, T, rêt, ARRÊT… Nrt-23 : Je lui ai arraché cela des mains. C’est ma sentence de mort qu’elle me lisait. Sa bonne avait eu le papier pour un sou. Il me coûtait plus cher, à moi. Il n’y a pas de paroles pour ce que j’éprouvais. Ma violence l’avait effrayée ; elle pleurait presque. Tout à coup elle m’a dit : Marie : – Rendez-moi donc mon papier ; tiens ! C’est pour jouer. Nrt-23 : Je l’ai remise à sa bonne. Aku : – Emportez-la. Nrt-23 : Et je suis retombé sur ma chaise, sombre, désert, désespéré. À présent ils devraient venir ; je ne tiens plus à rien ; la dernière fibre de mon cœur est brisée. Je suis bon pour ce qu’ils vont faire.

(48/LDJC/111)

Aku : – Coba bacalah sedikit, kataku kepadanya sambil menunjuk kertas lusuh yang berada di tangannya yang mungil. Nrt-23 : Ia menganggukkan kepalanya yang indah. Marie : – Ah, aku hanya bisa membaca dongeng tentang binatang. Aku : – Cobalah. Ayo, baca. Nrt-23 : Ia membentangkan kertasnya, dan mulai mengeja sambil menunjuk dengan jarinya :

Page 208: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

191

Marie : – K, E, ke, P, U, pu, T, U, tu, S, A, N, san, KEPUTUSAN… Nrt-23 : Kurebut kertas itu dari tangannya. Yang ia baca itu adalah keputusan eksekusi hukuman matiku. Pengasuhnya membelinya seharga satu kelip. Aku harus membayarnya lebih mahal. Tidak ada kata-kata yang bisa mengungkapkan bagaimana perasaanku saat itu. Kekasaranku membuatnya takut. Ia hampir menangis. Mendadak ia berkata kepadaku : Marie : – Tolong kembalikan kertasku ! Untuk mainan. Nrt-23 : Kukembalikan anak itu ke pengasuhnya Aku : – Bawa ia pergi. Nrt-23 : Dan aku kembali terduduk di kursiku, sedih, sunyi, putus asa. Saat mereka seharusnya tiba. Tidak ada lagi yang kupegangi. Serat terakhir jantungku sudah putus. Sudah pas aku sekarang untuk menjalani apa yang

mereka lakukan.

50. Dialog 37 : Mardi : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan,

Aku : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kearifan.

(49) Konteks : Di ruangan gedung Conciergerie. Tokoh Aku didandani oleh algojo sebelum eksekusi mati dilaksanakan. Kemudian Mardi (algojo) menanyakan apakah perlakuan mereka (para algojo) kasar kepada tokoh Aku. Nrt-23 : À cette précaution horrible, au saisissement de l’acier qui touchait mon cou, mes coudes ont tressailli, et j’ai laissé échapper un rugissement étouffé. La main de l’exécuteur a tremblé. Mardi : – Monsieur, m’a-t-il dit, pardon ! Est-ce que je vous ai fait mal ? Nrt-23 : Ces bourreaux sont des hommes très doux. La foule hurlait plus haut au dehors. Le gros homme au visage bourgeonné m’a offert à respirer un mouchoir imbibé de vinaigre. Aku : – Merci, lui ai-je dit de la voix la plus forte que j’ai pu, c’est inutile ; je me trouve bien. Nrt-23 : Alors l’un d’eux s’est baissé et m’a lié les deux pieds, au moyen d’une corde fine et lâche, qui ne me laissait à faire que de petits pas. Cette corde est venue se rattacher à celle de mes mains.

Puis le gros homme a jeté la veste sur mon dos, et a noué les manches ensemble sous mon menton. Ce qu’il y avait à faire là était fait.

(49/LDJC/111) Nrt-23 : Selama persiapan yang mengerikan ini, pada saat yang mencekam, saat baja menyentuh tengkukku, lenganku tersentak-sentak kaget, dan geraham tertahan terdengar keluar dari mulutku. Tangan yang mengunting

itu gemetar. Mardi : – Maaf, Tuan, katanya kepadaku, sakit ? Nrt-23 : Para algojo ini sangat lembut. Teriakan orang-orang di luar semakin keras. Si gendut jerawatan itu menawariku menghirup sapu tangan yang telah dibasahi cuka. Aku : – Terima kasih, kataku kepadanya dengan suara kucoba sekeras mungkin, tidak perlu. Aku baik-baik saja.

Page 209: KESANTUNAN DALAM ROMAN LE DERNIER JOUR D'UN

192

Nrt-23 : Kemudian salah seorang pembantunya jongkok dan mengikat kedua kakiku dengan seutas tali kecil dan agak longgar, sehingga aku masih bisa berjalan walau dengan langkah-langkah kecil saja. Dan tali ini

dihubungkan dengan ikatan di tanganku. Kemudian orang gendut itu melemparkan jasku tadi untuk menutupi punggungku dan mengikatkan kedua lengan jas itu di depan leherku. Yang perlu dilakukan sudah dilakukan.

51. Dialog 38 : masyarakat : mematuhi prinsip kesantunan, maksim kesimpatian, Aku : melanggar prinsip kesantunan, maksim kesimpatian

(50) Konteks : Tokoh mulai dibawa keluar dari gedung Conciergerie menuju bunderan Grève untuk pelaksanaan eksekusi mati. Pada saat dibawa menuju bunderna Grève, para masyarakat yang melihat memberikan penghormatan

kepadanya (Aku). Nrt-23 : On a franchi la grille. Au moment où la charrette a tourné vers le Pont-au-Change, la place a éclaté en bruit, du pavé aux toits, et les ponts et les quais ont répondu à faire un tremblement de terre. C’est là que le

piquet qui attendait s’est rallié à l’escorte. Masyarakat : – Chapeaux bas ! Chapeaux bas ! Criaient mille bouches ensemble. Nrt-23 : Comme pour le roi. Alors j’ai ri horriblement aussi, moi, et j’ai dit au prêtre : Aku : – Eux les chapeaux, moi la tête.

(50/LDJC/117-118) Nrt-23 : Kami melewati pagar. Pada saat kereta membelok ke arah Pont-au-Change, gemuruh meledak di bunderan, dari jalan hingga atap rumah, dan jembatan serta tepian sungai menanggapinya laksana gempa bumi. Di

situ regu prajurit piket yang tadi menunggu kini bergabung mengawal kereta. Masyarakat : – Copot topi ! Copot topi ! Ribuan mulut berteriak serentak. Nrt-23 : Seperti untuk menghormati raja. Dan aku, aku pun ikut tertawa juga, dengan rasa ngeri, dan aku berkata kepada bapak pendeta : Aku : – Mereka mencopot topi dan aku mencopot kepala.