kesantunan bahasa politisi dalam talk show di metro tv
TRANSCRIPT
1
KESANTUNAN BAHASA POLITISI DALAM TALK SHOW DI METRO TV
I GUSTI AYU GDE SOSIOWATI NIM 1090171004
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2013
2
KESANTUNAN BAHASA POLITISI DALAM TALK SHOW DI METRO TV
Disertasi untuk Memperoleh Gelar Doktor Pada Program Doktor, Program Studi Linguistik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GUSTI AYU GDE SOSIOWATI NIM 1090171004
PROGRAM DOKTOR PROGRAM STUDI LINGUISTIK
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2013
3
Lembar Pengesahan
DISERTASI INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 8 Mei 2013
Promotor,
Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A.
NIP 19530107 198103 1 002
Kopromotor 1, Kopromotor II, Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D. Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum. NIP 19541224 198303 1 001 NIP 19601231 198503 1 028
Mengetahui
Ketua Program Doktor Linguistik Direktur Program Pascasarjana Program Pascasarjana Universitas Udayana, Universitas Udayana, Prof. Dr. Aron Meko Mbete Prof.Dr.dr.A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP 19470723 1979031002 NIP 19590215 198510 2 001
4
PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama : Dra. I Gusti Ayu Gde Sosiowati, M.A
NIM : 1090171004
Program Studi : Program Doktor S3 Linguistik Pascasarjana Universitas
Udayana
dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi ini bebas plagiat. Apabila di
kemudian hari terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, saya bersedia menerima
sanksi sesuai dengan peraturan Mendiknas RI No.17 tahun 2010 dan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 27 Mei 2013
Dra. I Gusti Ayu Gde Sosiowati, M.A.
5
Disertasi Ini Telah Diuji pada Ujian Tertutup Tanggal 8 Mei 2013
Panitia Penguji Disertasi Berdasarkan SK Rektor
Universitas Udayana No.: 0404/UN.14.4/HK/2013 Tanggal 22 Maret 2013
Ketua : Prof. Dr. Aron Meko Mbete
Anggota:
1. Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A.
2. Prof. Drs I Made Suastra, M.A., Ph.D.
3. Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum.
4. Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A.
5. Prof. Dr. Putu Kerti Nitiasih, M.A.
6. Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum.
7. Dr. Made Sri Satyawati, S.S., M.Hum.
6
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi Wasa/Tuhan
Yang Mahaesa karena berkat asung kerta wara nugrahaNya disertasi ini dapat
penulis selesaikan sesuai dengan rencana.
Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada Direktur Program Pascasarjana
Universitas udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) beserta jajarannya,
Ketua Program Doktor Linguistik Prof. Dr. Aron Meko Mbete beserta jajarannya,
Pak Nyoman Sadra dan Ibu Gung Supadmi yang telah memfasilitasi dan
membantu proses pembelajaran penulis hingga selesai menjalani program doktor
ini. Ucapan terima kasih yang tidak terhingga juga penulis sampaikan kepada
Prof. Dr. Made Budiarsa, M.A selaku promotor, Prof. Drs. I Made Suastra, Ph.D
selaku kopromotor I dan Prof. Dr. I Wayan Simpen, M.Hum. sebagai kopromotor
II, yang sudah bekerja keras membimbing penulis sehingga akhirnya penulis
dapat menyelesaikan studi tepat waktu.
Terima kasih yang sama juga penulis sampaikan kepada para penguji Prof.
Dr. Aron Meko Mbete, Prof. Dr. Drs. Ida Bagus Putra Yadnya, M.A., Prof. Dr.
Putu Kerti Nitiasih, M.A., Dr. A.A. Putu Putra, M.Hum., dan Dr. Made Sri
Satyawati, S.S., M.Hum. atas saran, masukkan dan sanggahannya sehingga
disertasi ini dapat menjadi lebih sempurna.
Kepada Dekan Fakultas Sastra Prof. Dr. I Wayan Cika, M.S beserta
jajarannya, Ketua Jurusan Sastra Inggris Dr. Ni Luh Ketut Mas Indrawati, M.A.
beserta seluruh staf Jurusan, Ibu Sukarini dan Ibu Seri Malini penulis juga
7
mengucapkan terima kasih atas ijin, bantuan dan motivasi yang sudah diberikan
kepada penulis selama penulis menjalani masa studi.
Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman kuliah
angkatan tahun 2010 Ibu Magdalena, Pak Budiarta, Ibu Mirsa, Desak Eka Pratiwi
Pak Rambut Kanisius, Pak Murdana dan Pak Ketut Paramartha yang selama ini
sudah menjadi teman senasib sepenanggungan selama menempuh studi di
Program Doktor di Program Pascasarjana Universitas Udayana. Terima kasih atas
semangat dan doa kalian.
Akhirnya ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya penulis ucapkan kepada
alm Aji I Gusti Gde Subamia, alm. Ibu A.A.A. Kartini yang sudah membekali
penulis dengan kemampuan berpikir dan bernalar, alm. suami tercinta Ida bagus
Jaya Utama yang sudah mengajarkan kepada penulis bagaimana menjadi orang
yang berdisiplin, mau bekerja keras dan bertanggung jawab; anak-anak, menantu
dan cucu tercinta Ida Bagus Yudi Surya Utama, Titi, Dita, Ida Bagus Budi
Yudhistira Utama, Mega, Nara, Ida bagus Dedi Indra Utama, Lia dan Tristan yang
sudah mendukung penulis dengan rasa cinta yang besar sehingga penulis
bersemangat untuk menyelesaikan disertasi ini. Ucapan yang sama juga penulis
ucapkan kepada alm. Kakak tercinta I Gusti Bagus Putra Samajaya dan Ibu Dewi
yang dukungannya selalu dapat meningkatkan semangat pada saat kejenuhan
datang, kepada kakak dan paman tercinta I Gusti Ayu Erawati dan I Gusti
Komang Suryatmaja yang selama proses penelitian sudah membantu dengan
nasehat-nasehatnya sehingga penulis lebih bersemangat menjalani proses belajar
dan proses penulisan disertasi ini.
8
Mengakhiri ucapan terima kasih ini, penulis juga mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang sudah membantu penulis selama menempuh studi ini,
baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis mohon maaf karena tidak
dapat menyebutkan nama satu persatu. Akan tetapi, penulis memohon semoga Ida
Sanghyang Widhi Wasa selalu melimpahkan karuniaNya kepada kita semua.
Denpasar, Penulis, I Gusti Ayu Gde Sosiowati
9
ABSTRAK
KESANTUNAN BAHASA POLITISI DALAM TALK SHOW DI METRO TV
Penelitian berjudul “Kesantunan Bahasa Politisi dalam Talk Show di Televisi” ini membahas masalah: (1) tingkat kesantunan politisi, (2) ciri-ciri satuan verbal yang digunakan, (3) faktor-faktor yang melatarbelakangi pelanggaran dan ketaatan kesantunan dan (4) ideologi yang tersirat di balik perilaku berbahasa mereka. Data penelitian ini diambil dari tayangan mingguan talk show “Today’s Dialogue”, periode Januari – Maret 2011di Metro TV yang berjumlah dua belas. Kedua belas tayangan itu diseleksi melalui purposive sampling dan diperoleh lima tayangan dengan dua belas orang politisi. Tingkat kesantunan politisi tersebut diukur berdasarkan pelanggaran atau aplikasi maksim, kemudian diberi predikat sangat santun (pelanggaran 0 – 20%), santun (pelanggaran 21% - 40%), cukup santun (pelanggaran 41% - 60%), kurang santun santun (pelanggaran 61 % - 80%), dan tidak santun (pelanggaran 81% - 100%). Teori yang digunakan untuk menganalisis kesantunan adalah gabungan yang saling melengkapi antara teori Kerja Sama (Grice, 1975) dengan maksim-maksimnya, yaitu maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi, dan teori Kesantunan (Leech, 1983) dengan maksim-maksimnya, yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan hati, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim kesimpatian. Untuk mengetahui kemampuan komunikasi politisi digunakan teori etnografi komunikasi dari Hymes (1964). Sehubungan dengan situasi bicara dalam talk show, semua maksim yang berjumlah sepuluh itu diberi nilai satu karena semuanya memiliki derajat kepentingan yang sama. Rumus yang digunakan adalah: kesempatan bicara : 10 X 100% = prosentase pelanggaran kesantunan. Sehubungan dengan tingkat kesantunan politisi, hasil yang diperoleh adalah: 1. Alat ukur tingkat kesantunan berbahasa politisi adalah sepuluh maksim, yaitu
maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, maksim cara, maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan hati, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kesimpatian dan maksim kecocokan.
2. Politisi Indonesia dapat dikategorikan sebagai politisi yang santun. 3. Selama berkomunikasi, ada usaha untuk mengabaikan pola gilir dan usaha
untuk mendominasi. 4. Panjangnya ujaran dalam dunia politik digunakan secara maksimal untuk
menyerang mitra tutur yang dianggap tidak sepaham dan juga digunakan untuk mempromosikan keunggulan diri sendiri atau partainya.
5. Pengurangan tekanan ketidaksantunan, juga menggunakan metafora, kalimat berpagar, alih bahasa, pilihan kata dan implikatur.
6. Pelanggaran terhadap maksim kesantunan terjadi dengan frekuensi sebagai berikut: maksim kebijaksanaan (47), maksim penerimaan (34), maksim cara
10
(32), maksim kecocokan (16), Maksim kerendahan hati (15), maksim kesimpatian (14), maksim relevansi (9), maksim kualitas (9), maksim kuantitas (8) , dan maksim kemurahan hati (4).
7. Aplikasikan maksim kesantunan yang berdasarkan frekuensi penggunaannya dipaparkan sebagai berikut: maksim kuantitas (83), maksim relevansi (78), maksim cara(58), maksim penerimaan (28), maksim kebijaksanaan (22), maksim kerendahan hati (11), maksim kemurahan hati (10), maksim kesimpatian (5), maksim kualitas (5), dan maksim kecocokan (1).
8. Ketidaksantunan yang mereka lakukan disebabkan oleh karakter mereka sendiri dan latar belakang sosial mereka, termasuk latar belakang keluarga.
9. Pelanggaran kesantunan dilakukan oleh politisi adalah untuk menyerang mitra tuturnya atau untuk memaksimalkan promosi untuk dirinya sendiri.
Ciri-ciri verbal politisi, hasil analisis menunjukkan bahwa 1) fitur prosodik , dalam hal ini tekanan pada kata, dapat digunakan untuk
memberi penekanan pada kata-kata yang menyerang mitra tutur atau yang memuji diri sendiri,
2) penghilangan afiksasi ditujukan untuk mengefektifkan dan mengefisienkan penggunaan waktu bicara sehingga pembicara lain juga mendapat kesempatan bicara. Hal ini adalah aplikasi kesantunan,
3) pilihan kata politisi itu mengacu kepada kekuasaan, misalnya koalisi, partai, presiden, menteri, anggota DPR dan sebagainya,
4) para politisi itu cenderung menggunakan bentuk deklaratif yang berstruktur kompleks. Kalimat deklaratif lebih mudah untuk dipahami dibandingkan dengan kalimatdan negatif, bentuk kompleks digunakan untuk usaha mendominasi karena kalimat kompleks yang cenderung panjang, susah dipotong. Dengan demikian bentuk kalimat juga dapat digunakan untuk pelanggaraan atau aplikasi kesantunan,
5) bentuk imperatif yang paling dominan ialah kalimat imperatif yang bermakna ajakan terhadap mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu.
6) bentuk interogatif dapat berfungsi lain, misalnya menunjukkan kekurangan orang lain, dan
7) verba aktif yang mendominasi kalimat-kalimat yg diucapkan para politisi.
Faktor-faktor yang mendorong politisi melakukan pelanggaran atau menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa dapat diuraikan sebagai berikut. Berdasarkan hasil penelitian, politisi Indonesia dapat dikategorikan politisi santun. Akan tetapi, ada kecenderungan mereka melanggar maksim kesantunan. Urutan menurut besarnya persentase pelanggaran adalah, maksim kebijaksanaan (25%), maksim penerimaan (18,1%) dan maksim cara (17%). Pelanggaran terhadap maksim kesantunan lain dilakukan dalam persentase kecil (lihat Tabel 9.5). Berdasarkan pelanggaran di atas, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang medorong pelanggaran kaidah-kaidah kesantunan adalah sebagai berikut.
1) Keinginan untuk memaksimalkan kerugian pada mitra tutur (pelanggaran terhadap maksim kebijaksanaan).
11
2) Keinginan untuk meminimalkan penghargaan pada mitra tutur (pelanggaran maksim penerimaan dan maksim cara)
Kesantunan behasa politisi meningkat karena mereka cenderung mengaplikasikan maksim kesantunan. Urutan besarnya persentase pelanggaran maksim kesantunan adalah, maksim kuantitas (27,6%), maksim relevansi (26,0%), dan maksim cara (19,4%). Aplikasi maksim kesantunan itu didorong oleh faktor-faktor seperti berikut.
1) Keinginan untuk memaksimalkan penghargaan pada mitra tutur (aplikasi maksim kuantitas).
2) Keinginan untuk memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur (aplikasi maksim kuantitas dan maksim cara)
3) Keinginan untuk memaksimalkan rasa solidaritas terhadap mitra tutur (aplikasi maksim relevansi).
4) Keinginan untuk membagi beban dengan mitra tutur (aplikasi maksim cara)
Berdasarkan analisis tentang ideologi yang tersirat di balik ujaran para politisi, dapat disimpulkan bahwa ideologi utama mereka mereka adalah kekuasaan (power), yang didukung oleh nilai-nilai pembela rakyat (people defender), pemuji diri sendiri (self-esteem), pembenaran diri (self opinionated), dan penegak hukum (law supremacy). Temuan baru yang dihasilkan melalui penelitian ini dipaparkan berikut ini 1. Kesantunan bahasa politisi.
a. Maksim yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesantunan adalah sepuluh maksim yang merupakan gabungan maksim kerja sama dan kesantunan. Penggabungan ini bersifat saling melengkapi sejalan dengan pendapat bahwa komunikasi yang santun adalah komunikasi yang mengandung usaha untuk bekerja sama guna mencapai tujuan komunikasi dan usaha untuk menjaga perasaan mitra tutur. Pengukuran tingkat kesantunan yang dilihat hanya dari sudut keinginan berkerja sama saja atau keinginan menjaga perasaan mitra tutur saja cenderung kurang tepat. Kesepuluh maksim itu adalah (1) maksim kualitas, (2) maksim kuantitas, (3) maksim relevansi, (4) maksim cara, (5) maksim kebijaksanaan, (6) maksim kemurahan hati, (7) maksim penerimaan, (8) maksim kerendahan hati, (9) maksim kecocokan, dan (10) maksim kesimpatian.
b. Kalimat-kalimat panjang yang digunakan oleh politisi bukan bermaksud untuk menunjukkan kesantunan seperti yang diutarakan oleh Wijana & Rohmadi (2009), digunakan untuk memaksimalkan serangan terhadap mitra tutur dan memaksimalkan pujian terhadap diri sendiri.
c. Ketidaksantunan yang mereka lakukan bukan karena topik pembicaraan atau partai asal politisi tersebut. Ketidaksantunan yang mereka lakukan disebabkan oleh karakter mereka sendiri dan latar belakang sosial mereka, termasuk latar belakang keluarga.
d. Leech (1983) mengatakan bahwa pelanggaran kesantunan dapat dilakukan untuk menjaga perasaan mitra tutur. Akan tetapi politisi dalam talk show
12
ini pelanggaran kesantunan dilakukan untuk menyerang mitra tuturnya atau untuk memaksimalkan promosi untuk dirinya sendiri.
2. Temuan baru sehubungan dengan ciri-ciri verbal politisi adalah sebagai berikut. a. Fitur prosodik, dalam hal ini tekanan pada kata, digunakan oleh politisi
untuk menonjolkan kata yang menyerang mitra tutur atau memuji diri sendiri, mengejek, atau menuduh.
b. Penghilangan afiksasi ditujukan untuk mempersingkat waktu bicara sehingga penyampaian informasi dalam waktu terbatas dapat dilakukan dengan lebih efektif dan efisien. Dengan berbicara secara efektif dan efisien, pembicara akan menghemat waktu dan memberi kesempatan pada pembicara yang lain untuk berbicara.
c. Pemilihan kata yang cenderung berorientasi pada kekuasaan, misalnya koalisi, partai, rakyat dan sebagainya, dan terkait dengan hukum, misalnya hakim, hukum, kejaksaan dan sebagainya.
d. Para politisi cenderung menggunakan bentuk deklaratif yang berstruktur kompleks. Kalimat deklaratif lebih mudah dimengerti sehingga mengurangi beban mitra tutur untuk memahaminya, dan ini adalah salah satu bentuk kesantunan. Kalimat kompleks cenderung sulit dipotong, dan cenderung mengimplikasikan usaha mendominasi komunikasi. Hal ini merupakan pelanggaran maksim penerimaan.
e. Bentuk imperatif yang paling dominan ialah kalimat imperatif yang bermakna ajakan terhadap mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu.
f. Bentuk interogatif dapat berfungsi menunjukkan kekurangan orang lain. Misalnya pertanyaan “Apakah pernah BULOG membeli gabah dari petani?” Pertanyaan yang diucapkan oleh P9 itu difungsikan untuk menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah berusaha membantu rakyat petani.
g. Verba aktif mendominasi kalimat-kalimat yg diucapkan para politisi itu. Hal ini menunjukkan bahwa bagi mereka siapa yang melakukan apa, penting artinya. Apabila yang disebut ialah hal-hal yang menguntungkan mitra tutur, pembicara berarti mengaplikasikan maksim kebijaksanaan. Akan tetapi, apabila yang disebut ialah hal-hal yang merugikan mitra tutur, pembicara melanggar maksim kebijaksanaan.
3. Penelitian ini membuktikan bahwa pelanggaran kesantunan disebabkan oleh: 1) keinginan untuk memaksimalkan kerugian pada mitra tutur (pelanggaran
terhadap maksim kebijaksanaan); 2) Keinginan untuk meminimalkan penghargaan pada mitra tutur
(pelanggaran maksim penerimaan dan maksim cara), sedangkan aplikasi maksim kesantunan didorong oleh faktor-faktor seperti berikut.
1) Keinginan untuk memaksimalkan penghargaan pada mitra tutur (aplikasi maksim kuantitas).
2) Keinginan untuk memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur (aplikasi maksim kuantitas dan maksim cara)
13
3) Keinginan untuk memaksimalkan rasa solidaritas terhadap mitra tutur (aplikasi maksim relevansi).
4) Keinginan untuk membagi beban dengan mitra tutur (aplikasi maksim cara)
4. Berdasarkan analisis tentang ideologi yang tersirat di balik ujaran para politisi, dapat disimpulkan bahwa ideologi mereka adalah kekuasaan (power), didukung oleh nilai-nilai pembela rakyat (people defender), pemuji diri sendiri (self-esteem), pembenaran diri (self-opinionated), dan penegak hukum (law supremacy).
Kata kunci: kesantunan, maksim, politisi, ideologi
14
ABSTRACT
THE POLITENES OF LANGUAGE USED BY POLITICIANS IN METRO TV TALK SHOW
The research entitled “The Politeness of Language Used by Politicians in Talk Show on Metro TV” talked about: (1) the level of politeness of politicians, (2) the verbal characteristics used, (3) the factors causing the violation and the application of politeness, and (4) the ideology implied in their speaking behaviour. The data was taken from the weekly talk show “Today’s Dialogue” episodes January – March 2011 in Metro TV of which number is twelve. Those numbers were selected by using purposive sampling and five episodes were suitable to be used as data with twelve politicians. The level of politeness was measured based on the violation and application of the maxims and then labeled as polite (with violation 0 – 25%), polite enough (with violation 26% - 50%), less polite (with violation 51% - 75%), and impolite (with violation 51% - 100%). The theories applied to analyse politeness were the combination of the theories of cooperative principles with its maxims, namely the maxims of quality, quantity, manner and relevance, and the politeness theory consisting of the maxims of tact, generosity, approbation, modesty, agreement and sympathy. Ethnography of communication was used to find out their communication competence.In relation to the condition of talk show the ten maxims were given the value of one each, since every single maxim has similar degree of importance. The formula used is as follow: speaking unit : 10 X 100% = persentage of politeness violation Based on the analysis of the politeness of the politicians, the results are: 1. Ten maxims were used to measure politeness. Those maxims are: maxim of
quality, maxim of quantity, maxim of relevance, maxim of manner, tact maxim, generosity maxim, aprobation maxim, modesty maxim, sympathy maxim, and agreement maxim.
2. Indonesian politicians can be categorized as polite politicians. 3. During the communication, there were some efforts of avoiding turn taking and
some efforts to dominate the communication.. 4. The lengthy utterance were maximally used to attack the other participants and
to promote themselves or their parties. 5. Metaphor, hedges, code switching, lexical choice and implicature were used to
reduced impoliteness. 6. The frequency of maxim violation is as follows: tact maxim (47), approbation
maxim (34), maxim of relevance (32), agreement maxim (16), modesty maxim(15), sympathy maxim (14), maxim of relevance (9), maxim of quality (9), maxim of quatity (8) , and maxim of generosity (4).
7. The frequency of maxim application is as follows: maxim of quantity (83), maxim of relevance (78), maxim of manner (58), approbation maxim (28), tact maxim (22), modesty maxim (11), generosity maxim (10), sympathy maxim (5), maxim of quality (5), and maxim of agreement (1).
15
8. Their impoliteness derived from their own character, their social background, including family background.
9. The maxim violation was done to attack the other participant or to promote themselves.
In relation to the verbal characteristics of the politicians, the result shows: 1) prosodic features, in this case stress, can be used to stress words that attack the
other participants, to promote self to attack and to make fun of others; 2) deletion of afixation was done to use time effectively and efficiently so that the
other participants will have time to speak; 3) lexicon used referred to power, for instance coalition, president, minister,
member of parliament and so on; 4) the politicians tend to use declarative and complex form of sentences; 5) the imperative dominantly used was the one of inviting others to do things. 6) interrogative can be used to show other’s weakness; and 7) active verbs were dominantly used in the politicians’ sentences. The result of the research showed that the Indonesian politicians could be categorized as polite politicians. However, there was tendency that they tend to violate the politeness maxims. In terms of the amount, the violation went in the following order: tact maxim (25%), aprobation maxim (18,1%), and maxim of manner (17%). The violation of the other maxims were done in a small number (see Table 9.5). Based on the violation above, it could be said that the factors causing the violation of politeness are as follows.
1) The desire to maximize disadvantages to others (violation of tact maxim). 2) The desire to minimize appreciation to others (violation of aprobation
maxim and maxim of manner). The politicians’ politeness increased since they also applied the politeness maxims. The percentage of the application went as follows. The maxim of quantity was violated as much as (27,6%), maxim of relevance 26,0%, and maxim of manner 19,4%. The other politeness maxims were also applied but in a small percentage (see Tabel 9.6). The application of the politeness maxim was affected by the following factors.
1) The desire to maximize appreciation to others (application of maxim of quantity maksim).
2) The desire to maximize benefit to others (application of maxim of quantity and maxim of manner).
3) The desire to maximize solidarity to others (application of maxim of relevance).
4) The desire to share burden with others (application of maxim of manner) In terms of ideology, the result shows that the main ideology of the politicians were power, supported by the ideologies of people defender, self-esteem, self opinionated, and law supremacy. New findings that can be presented are as follows.
16
In relation to the politeness of politicians: 1. Ten maxims that were used to measure politeness. Those maxims are: maxim
of quality, maxim of quantity, maxim of relevance, maxim of manner, tact maxim, generosity maxim, approbation maxim, modesty maxim, sympathy maxim, and agreement maxim.
2. Lengthy utterances of the politicians were not used to show politeness as said by Wijana and Rohmadi (2009), but those are used to maximise the attack toward others and to maximise praise to themselves.
3. The impoliteness was not caused by the topic of discussion, the place of origins or the party where they are from, but the impoliteness was caused by their own characteristics and their social background including their family background.
4. Leech (1983) says that the impoliteness was done to keep the comfort of the others. However in this research, it was found that impoliteness was done to attack others and to maximize the promotion for themselves.
In relation to the verbal characteristics of the politicians, the new findings are 1) Prosodic feature, in this case stress, was used to stress words that attack
others, praise themselves, to mock and to accuse others. Those are considered as maxim violation.
2) The deletion of affixation was done to shorten speaking time so that the message delivery in limited time could be done effectively and efficiently and others were provided time to speak. This is the application of politeness.
3) Lexical choice was oriented towards power, for instance, coalition, party, people, judge, law, lawyer, and so on.
4) Sentences used tend to be declarative and complex ones. Declarative sentences are more easily understood compared to negative ones. Making others understand whatever said more easily is the application of politeness. The use of complex sentences showed the intention of dominating communication, and this is the violation of politeness.
5) Imperative mostly used was the ones inviting others to do things. 6) Interrogative could be used to show the weakness of others. 7) Active verbs were dominantly used in the politicians’ sentences since for
them, who does what was very important to show if an action brought them advantages or disadvantages.
The factors causing the violation of politeness were
1) the desire to maximize disadvantages to others (violation of tact maxim); and
2) the desire to minimize appreciation to others (violation of aprobation maxim and maxim of manner),
while the application of the politeness maxim was affected by the followingfactors.
1) The desire to maximize appreciation to others (application of maxim of quantity maksim).
17
2) The desire to maximize benefit to others (application of maxim of quantity and maxim of manner).
3) The desire to maximize solidarity to others (application of maxim of relevance).
4) The desire to share burden with others (application of maxim of manner) In terms of ideology, the result shows that the main ideology of the politicians were power, supported by the values of of people defender, self-esteem, self opinionated, and law supremacy. Key words: ideology, maxim, politeness, politician.
18
RINGKASAN
1 Pendahuluan
Bahasa adalah alat komunikasi yang digunakan oleh semua lapisan
masyarakat termasuk oleh politisi. Mereka menggunakan bahasa diberbagai
kesempatan di hadapan publik termasuk dalam talk show di televisi. Melalui
bahasa mereka berusaha memengaruhi masyarakat sehingga masyarakat bersedia
melakukan apa yang diinginkan oleh politisi. Semua politisi mempunyai tujuan
untuk memenangkan partai dan dirinya dalam pemilu.Untuk mencapai tujuannya,
politisi dapat melanggar kesantunan berbahasa atau mengaplikasikan kesantunan
berbahasa. Keinginan yang demikian besar untuk mencapai tujuannya membuat
politisi cenderung tidak memerhatikan perasaan mitra tutur. Hal ini
mengakibatkan pelanggaran kesantunan berbahasa. Perilaku seperti itu membuat
politisi cenderung mendapat predikat sebagai kelompok yang tidak santun, tidak
jujur dan suka berbohong. Pemberian predikat santun atau tidak santun tentu
memerlukan data pendukung sehingga predikat yang diberikan dapat
dipertanggungjawabkan.
Penelitian ini dilakukan karena penulis berkeinginan untuk meneliti dan
menentukan predikat kesantunan politisi. Dengan demikian masalah yang akan
dibahas adalah sebagai berikut.
1) Bagaimanakah tingkat kesantunan penggunaan bahasa para politisi dalam
talk show Today’s Dialogue di Metro TV?
2) Apakah ciri-ciri satuan verbal yang digunakan oleh para politisi?
19
3) Apakah yang mendorong para politisi melakukan pelanggaran atau menaati
kaidah-kaidah kesantunan berbahasa?
4) Ideologi apakah yang tersirat di balik bahasa para politisi yang melanggar
atau menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa?
2 Kajian Pustaka, Konsep dan Landasan Teori
2.1 Kajian Pustaka
Berikut adalah beberapa tulisan yang relevan dengan penelitian ini yang
dikaji untuk membandingkan tulisan dari penulis lain dengan tulisan ini.
Beard (2000) meneliti bahasa politisi, tetapi penelitiannya hanya terbatas
pada metafora yang digunakan oleh politisi. Dia banyak berbicara tentang
metafora yang berhubungan dengan olahraga, peperangan dan dunia binatang.
Menurut Beard, metafora dapat digunakan untuk menyampaikan ideologi dengan
lebih efektif. Sementara itu, penelitian ini hanya menggunakan metafora sebagai
usaha mempersantun ujaran. Sementara penelitian Beard (2000) menganalisis
bagaimana metafora digunakan oleh politisi dalam ujaran-ujarannya untuk
mencapai tujuan, penelitian ini melihat bagaimana metafora digunakan oleh
politisi sebagai salah satu alat aplikasi kesantunan.
Donnely (2009) berbicara tentang retorika bahasa yang digunakan oleh
politisi di Pulau Rhode. Dia mengatakan bahwa penggunaan retorika sangat
penting dalam membingkai pilihan politik, pembangunan konstituen, dan strategi
politik di Pulau Rhode. Politisi menggunakan retorika, yaitu bahasa yang terlalu
banyak menggunakan ornamen, tetapi sering kali mengimplikasikan
20
ketidakjujuran dan berlebihan. Penelitian itu cenderung mengimplikasikan bahwa
sudah merupakan hal yang biasa dan tidak melanggar kesantunan apabila politisi
menggunakan bahasa yang tidak jujur, sementara itu, penelitian ini menggunakan
ketidakjujuran dan bahasa yang terlalu banyak ornamennya sebagai bentuk
ketidaksantunan.
Haugh (2003) memaparkan hasil penelitiannya yang menyatakan bahwa
masyarakat Jepang banyak menggunakan implikatur untuk meningkatkan
kesantunan. Selain itu, penelitian ini juga memberi informasi bahwa implikatur
dapat menggagalkan maksim kuantitas dari Grice (1975). Penelitian ini juga
membahas implikatur, yang dilihat sebagai salah satu strategi untuk menunjukkan
kesantunan, bukan sebagai bentuk yang melanggar maksim kuantitas. Dengan
demikian, dalam penelitian ini, implikatur dilihat sebagai salah satu usaha
mengurangi pengancaman muka.
Orwell (1986) mengatakan bahwa elite politik bukan kelompok yang mampu
menggunakan bahasa secara ideal dalam arti bahasa mereka tidak jelas, tidak
jujur, dan tidak mudah dipahami. Melalui bahasa seperti itu mereka
menyampaikan ideologinya. Pertimbangan konteks wacana, seperti latar belakang
pembicara, situasi, peristiwa, dan kondisi digunakan untuk menemukan makna
yang tersirat. Penelitian ini juga membahas hal yang sama dengan Orwell, tetapi
dalam konteks yang lebih spesifik, yaitu politisi yang berbicara dalam talk show.
Hal lain yang membedakan karya Orwell dengan penelitian ini adalah analisis
ujaran politisi. Orwell menganalisis ujaran untuk menentukan makna yang ingin
disampaikan melalui bahasa yang tidak jelas, tidak jujur dan tidak mudah
21
dipahami, sementara penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah
penggunaan bahasa politisi santun atau tidak.
Santoso (2003) menyatakan bahwa metafora sering didayagunakan dalam
bahasa politik untuk membuat konsep yang abstrak menjadi konkret,
mengaburkan maksud, dan menguatkan pesan ideologi. Pada pasca-Era Orde
Baru metafora banyak digunakan oleh elite politik. Metafora digunakan untuk
menyampaikan ideologi, sementara itu, dalam penelitian ini, metafora dilihat
sebagai usaha mengurangi tekanan pengancaman muka.
Simpen (2008) menyatakan bahwa tujuan melakukan kajian terhadap
kesantunan berbahasa ialah untuk menemukan, mendeskripsikan, dan
menganalisis satuan verbal yang digunakan sebagai kesantunan, makna
kesantunan, unsur suprasegmental yang memengaruhi kesantunan, dan unsur
paralinguistik yang menyertai kesantunan. Hasil analisis menunjukkan bahwa
kesantunan berbahasa dipengaruhi oleh faktor status, jenis kelamin, usia, dan
hubungan kekerabatan. Sementara itu, penelitian ini melihat dan menganalisis
bagaimana hubungan antarpartai memengaruhi kesantunan berbicara politisi.
Wijana dan Rohmadi (2011) membahas situasi tutur, tindak tutur, jenis, jenis
tindak tutur, presuposisi, implikatur dan perikutan, prinsip kerja sama, prinsip
kesantunan dan parameter pragmatik, serta wacana tekstual dan kontekstual.
Untuk analisis prinsip kesantunan, Wijana dan Rohmadi juga menganalisis
beberapa teks permainan bahasa, peribahasa, implikatur, wacana rekreatif, dan
wacana kampanye politik. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Wijana
22
dan Rohmadi, penelitian yang juga menggunakan prinsip kerja sama dan prinsip
kesantunan ini, dilakukan atas politisi.
2.2 Konsep
Konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah
2.2.1 Politisi
Webster (1956:654) mendefinisikan politisi sebagai orang yang aktif di
partainya, dan sebagai konsekuensi keaktifannya, dia dicalonkan oleh partainya
untuk menjadi anggota DPR.
2.2.2 Bahasa Politisi
Santoso (2003:1) menyatakan bahwa bahasa politisi adalah bahasa yang
digunakan oleh para politisi untuk mencapai tujuan tertentu. Bahasa politisi
mengandung ideologi dan kekuasaan untuk mencapai maksud-maksud atau tujuan
politik tertentu.
2.2.3 Talk Show
Menurut Hornby (1973:1030), talk show adalah pertunjukan untuk berbicara,
memberi informasi, berdiskusi, dan sebagainya. Talk show biasanya dipandu oleh
seorang pemandu yang memberikan pertanyaan-pertanyaan pada narasumber yang
sudah ditentukan sebelumnya.
2.2.4 Satuan Verbal
Satuan verbal pada bagian ini membahas frasa, klausa, kalimat dan
suprasegmental. Menurut Alwi (1992:77), kata adalah suatu bentuk yang terdiri
atas gabungan bermacam-macam suku kata. Frasa adalah satuan sintaksis yang
terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak mengandung unsur predikasi.
23
(Alwi,1992:312). Klausa adalah satuan sintaksis yang terdiri atas dua kata atau
lebih yang mengandung unsur predikasi Alwi (1992:312). Kalimat dapat
dirumuskan sebagai konstruksi sintaksis terbesar yang terdiri atas dua kata atau
lebih Alwi,1993:313), Suprasegmental adalah satuan fonem yang berbentuk
bunyi, dan dapat pula tidak berwujud bunyi tetapi merupakan aspek tambahan
terhadap bunyi. Suprasegmental dapat berupa tekanan, panjang bunyi, nada,
intonasi, dan ritme (Alwi, 1992:54),
2.2.5 Kesantunan Berbahasa
Wardhaugh (1987:267) berpendapat bahwa kesantunan berbahasa adalah
perilaku berbahasa yang memperhitungkan solidaritas, kekuasaan, keakraban,
status hubungan antarpartisipan, dan penghargaan. Kesantunan berbahasa juga
ditentukan oleh kesadaran terhadap kebiasaan sosial.
2.2.6 Ideologi
Menurut Thompson (1984:17), ideologi adalah sistem berpikir, sistem
kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial
dan politik. Dia juga berpendapat bahwa ideologi adalah pemikiran yang secara
mendasar berhubungan dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang
tidak simetris, berhubungan dengan pembenaran dominasi. Konsep ideologi
Thompson (1984:18) yang lain menyatakan bahwa ideologi adalah perekat
hubungan sosial yang mengikat anggota masyarakat secara bersama dengan
menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati secara kolektif.
24
2.3 Landasan Teori
Untuk membahas permasalahan yang tercantum dalam rumusan masalah,
digunakan teori sebagai berikut.
2.3.1 Teori Kerja Sama
Teori kerja sama memiliki prinsip yang mengatur bahwa seseorang harus
membuat komunikasi dengan memberi sumbangan isi seperti yang diharapkan
(Grice, 1975). Prinsip kerja sama ini merupakan bagian dari kesantunan berbahasa
yang memungkinkan partisipan suatu percakapan untuk berkomunikasi dengan
anggapan bahwa partisipan yang lain bersedia untuk bekerja sama. Prinsip
kerjasama berfungsi untuk mengatur apa yang harus dikatakan oleh pembicara
untuk dapat memberi sumbangan pada tujuan komunikasi.
Prinsip kerja sama memiliki empat maksim, yaitu
1) maksim kualitas: pembicara harus jujur. Maksim ini menentukan bahwa
seseorang tidak boleh menyatakan sesuatu yang tidak diyakini
kebenarannya karena tidak cukup memiliki bukti.
2) maksim kuantitas: apa yang dikatakan harus seinformatif mungkin untuk
membuat interaksi itu berlangsung. Jangan terlalu banyak dan jangan
terlalu sedikit.
3) maksim relevansi: apa yang dikatakan harus jelas berhubungan dengan
tujuan interaksi.
4) maksim cara: apa yang dikatakan harus mudah dimengerti, jelas, teratur
dan singkat, menghindari ketidakjelasan dan makna ganda.
25
Keempat maksimnya menunjukkan pertukaran informasi yang kooperatif
karena juga meliputi aspek perilaku nonlinguistik.
2.3.2 Teori Kesantunan
Prinsip kesantunan dengan enam maksimnya adalah peraturan berkomunikasi
untuk menyatakan kesantunan dengan memperhatikan hubungan antara dua
peserta tutur. Leech (1983) mengemukakan bahwa prinsip kesantunan memiliki
maksim-maksim yang berpasangan seperti berikut (Leech,1983:132).
1) Maksim kebijaksanaan (Tact)
Setiap peserta tutur harus meminimalkan kerugian bagi orang lain atau
memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam maksim
kebijaksanaan ada kecenderungan bahwa semakin panjang tuturan
seseorang semakin besar pula keinginan orang tersebut untuk bersikap
santun pada mitra tuturnya.
2) Maksim kemurahan hati (Generosity)
Setiap peserta tutur wajib meminimalkan keuntungan diri sendiri dan
memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri.
3) Maksim penerimaan (Approbation)
Seorang penutur wajib meminimalkan rasa tidak hormat pada orang lain
dan memaksimalkan rasa hormat pada orang lain.
4) Maksim kerendahan hati (Modesty)
Setiap peserta tutur berusaha untuk meminimalkan rasa hormat pada diri
sendiri dan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri .
26
5) Maksim kecocokan (Agreement)
Setiap penutur meminimalkan ketidaksetujuan pada orang lain dan
memaksimalkan kesetujuan di antara mereka.
6) Maksim kesimpatian (Sympathy)
Setiap peserta tutur harus meminimalkan rasa antipati dan memaksimalkan
rasa simpati pada orang lain.
Keenam maksim di atas terpusat pada keharusan untuk memaksimalkan
keuntungan mitra tutur dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri.
Leech (1983:139) berpendapat bahwa kesantunan tidak saja dimanifestasikan
melalui isi percakapan tetapi dimanifestasikan juga melalui bagaimana suatu
percakapan dilakukan dan diatur oleh peserta tutur. Misalnya menyela percakapan
atau berbicara pada waktu yang salah dianggap perilaku tidak santun, atau diam
saja dalam suatu percakapan juga dianggap tidak santun. Topik percakapan juga
patut untuk dipertimbangkan karena menurut Leech (1983:147), penutur lebih
suka berbicara mengenai topik yang menyenangkan dibandingkan dengan topik
yang tidak menyenangkan.
2.3.3 Teori Etnografi Komunikasi
Untuk mengetahui kemampuan berkomunikasi seseorang, Hymes (1964)
mengemukakan teori yang disebut teori etnografi komunikasi. Dia menyebutkan
bahwa pada saat berkomunikasi, agar dapat melakukan komunikasi yang baik dan
mencapai tujuan komunikasi, seseorang harus mempertimbangkan elemen
komunikasi yang disingkat menjadai SPEAKING. S = Setting and Scene, yaitu
27
lingkungan nyata tempat terlaksananya suatu percakapan; P = Participants, adalah
berbagai kombinasi pembicara – pendengar; E = End, mengacu pada hasil yang
diperoleh dari suatu komunikasi; A = Act Sequence, mengacu pada bentuk dan isi
nyata dari apa yang dibicarakan; K = Key, mengacu pada nuansa atau perilaku
penyampaian pesan; I = Instrumentalities, adalah pilihan bagaimana pesan itu
disampaikan; N = Norms of interaction and interpretation, mengacu pada perilaku
khusus yang menyertai komunikasi dan bagaimana perilaku ini dipandang oleh
orang yang tidak memiliki norma yang sama G = Genre mengacu pada jenis-jenis
ujaran.
2.3.4 Teori Ideologi dan Diskursus
Pembahasan tentang ideologi dalam penelitian ini menggunakan tradisi
hermeneutik yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk wacana yang dianalisis
merupakan tafsir itu sendiri (Thompson, 1984). Prosedur hermeneutik yang juga
disebut analisis diskursif dilakukan atas teks yang menjadi sumber data.Yang
dimaksud dengan analisis diskursif adalah pembelajaran serangkaian ungkapan,
bukan sekadar kejadian yang bersifat sosial dan sejarah, melainkan juga
konstruksi bahasa yang menunjukkan struktur bermakna.
3. Metode Penelitian
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang
bertumpu pada fenomenologi.
28
3.2 Deskripsi Lokasi Pengambilan Data
Lokasi penelitian ini adalah stasiun Metro TV di Jakarta yang beralamat di
Kav A – D Jl. Pilar Mas Raya, Kelurahan Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta
Barat 11520.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang diambil adalah data kualitatif berupa kata-kata, frasa,
kalimat, dan wacana, yang diucapkan oleh para politisi yang menjadi narasumber
pada setiap tayangan talk show. Data ini merupakan data primer karena langsung
diambil dari sumbernya.
3.4 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen seperti alat rekam tayangan, komputer,
lembar transkripsi dan lembar verifikasi. Alat rekam ini digunakan oleh staf
Metro TV untuk merekam tayangan yang sudah ditentukan sebagai sampel.
Komputer dan lembar transkripsi digunakan untuk memutar tayangan sekaligus
mentranskripsi data, lembar verifikasi digunakan pada saat melakukan verifikasi
data, dan maksim pengukur kesantunan.
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah metode dokumentasi dan observasi. Kedua
metode itu digunakan untuk menganalisis bahasa verbal politisi yang ditayangkan
di talk show “Today’s Dialogue”
3.6 Metode dan Teknik Penganalisisan Data
Data yang sudah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif dan kuantitatif.
29
Untuk menentukan tingkat kesantunan, penghitungan dilakukan dalam tiga tahap,
yaitu:
1. Perhitungan dilakukan per unit ujaran politisi dengan rumus:
Jumlah maksim yang dilanggar X 100% Jumlah maksim 2. Hitungan dilakukan per politisi dengan rumus:
Jumlah persentase semua unit Jumlah Unit 3. Hitungan dilakukan untuk semua politisi dengan rumus:
Jumlah persentase semua politisi Jumlah politisi Nilai Kesantunan dihitung berdasarkan persentase sebagai berikut.
Pelanggaran 0 - 20% = sangat santun.
Pelanggaran 21% - 40% = santun.
Pelanggaran 41% - 60 % = cukup santun.
Pelanggaran 61% - 80% = kurang santun
Pelanggaran 81% -100% = tidak santun
Berikut ini akan disajikan contoh analisis data.
Nah...surat dari pimpinan kepada Mahkamah Agung, lembaga yang memastikan bahwa seorang itu betul telah diputus pidana itu lama sekali baru diterbitkan (P5)
P5 adalah mantan ketua Badan Kehormatan di DPR. Dia bertugas untuk memberi
sanksi apabila ada anggota DPR yang bersalah. Akan tetapi, pelaksanaan putusan
selalu terlambat karena Mahkamah Agung memerlukan waktu lama untuk
mengeluarkan putusan apakah seseorang bersalah sehingga sanksi dapat
dikenakan. Kelambanan ini menyebabkan sanksi tidak bisa diberlakukan atas
30
anggota DPR yang sudah dinyatakan bersalah. Ucapan P5 itu merugikan nama
baik Mahkamah Agung sebagai lembaga negara karena dinilai lamban sehingga
menghambat proses hukum. Oleh karena itu, P5 dianggap melanggar maksim
kebijaksanaan. Karena hanya melanggar satu maksim, berarti nilai
pelanggarannya 10%, dan dia dapat dikategorikan politisi yang sangat santun.
Pelanggaran maksim kebijaksanaan itu mengancam muka positif Mahkamah
Agung karena apa yang sudah dilakukan tidak dihargai.
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menyajikan hasil penelitian dapat berupa
metode formal dan informal.
4 Hasil Penelitian
Analisis ujaran para politisi itu menunjukkan hasil sebagai berikut.
Sehubungan dengan tingkat kesantunan politisi, hasil yang diperoleh adalah:
1. Alat ukur tingkat kesantunan berbahasa politisi adalah sepuluh maksim, yaitu
maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, maksim cara, maksim
kebijaksanaan, maksim kemurahan hati, maksim penerimaan, maksim
kerendahan hati, maksim kesimpatian dan maksim kecocokan.
2. Politisi Indonesia dapat dikategorikan sebagai politisi yang santun.
31
Predikat Kesantunan dan Kemampuan Komunikasi Politisi
No. Politisi Persentasi Pelanggaran
Predikat kesantunan
Kemampuan Komunikasi
1. Politisi 1 30,77% Santun Baik 2. Politisi 2 25% Santun Baik 3. Politisi 3 18,57& Sangat santun Sangat baik 4. Politisi 4 18% Sangat santun Sangat baik 5. Politisi 5 13,3% Sangat Santun Sangat baik 6. Politisi 6 27,14% Santun Baik 7. Politisi 7 20% Sangat santun Sangat baik 8. Politisi 8 15% Sangat santun Sangat baik 9. Politisi 9 22% Santun Baik 10. Politisi 10 10,71% Sangat santun Sangat baik 11. Politisi 11 32,5% Santun Baik 12. Politisi 12 17,5% Sangat santun Sangat baik
Pelanggaran rata-rata : 20,87% santun
3. Selama berkomunikasi, ada usaha untuk mengabaikan pola gilir dan usaha
untuk mendominasi.
4. Panjangnya ujaran dalam dunia politik digunakan secara maksimal untuk
menyerang mitra tutur yang dianggap tidak sepaham dan juga digunakan untuk
mempromosikan keunggulan diri sendiri atau partainya.
5. Pengurangan tekanan ketidaksantunan, juga menggunakan metafora, kalimat
berpagar, alih bahasa, pilihan kata dan implikatur.
6. Pelanggaran terhadap maksim kesantunan terjadi dengan frekuensi sebagai
berikut:
32
Frekuensi Pelanggaran Maksim Keseluruhan
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kebijaksanaan 47 2. Maksim penerimaan 34 3. Maksim cara 32 4. Maksim kecocokan 16 5. Maksim kerendahan hati 15 6. Maksim kesimpatian 14 7. Maksim relevansi 9 8. Maksim kualitas 9 9. Maksim kuantitas 8 10. Maksim kemurahan hati 4
7. Aplikasikan maksim kesantunan yang berdasarkan frekuensi penggunaannya
dipaparkan sebagai berikut:
Frekuensi Aplikasi Maksim Keseluruhan
No. Aplikasi Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kuantitas 83 2. Maksim relevansi 78 3. Maksim cara 58 4. Maksim penerimaan 28 5. Maksim kebijaksanaan 22 6. Merendahan hati 11 7. Memurahan hati 10 8. Maksim kesimpatian 5 9. Maksim kualitas 5 10. Maksim kecocokan 1
8. Ketidaksantunan yang mereka lakukan disebabkan oleh karakter mereka
sendiri dan latar belakang sosial mereka, termasuk latar belakang keluarga.
9. Pelanggaran kesantunan dilakukan oleh politisi adalah untuk menyerang mitra
tuturnya atau untuk memaksimalkan promosi untuk dirinya sendiri.
33
Sehubungan dengan ciri-ciri verbal politisi, hasil analisis menunjukkan bahwa
1) Fitur prosodik, dalam hal ini tekanan pada kata, dapat digunakan untuk
memberi penekanan pada kata-kata yang menyerang mitra tutur atau yang
memuji diri sendiri.
2) Penghilangan afiksasi ditujukan untuk mengefektifkan dan mengefisienkan
penggunaan waktu bicara sehingga pembicara lain juga mendapat kesempatan
bicara. Hal ini adalah aplikasi kesantunan.
3) Pilihan kata politisi itu mengacu kepada kekuasaan, misalnya koalisi, partai,
presiden, menteri, anggota DPR dan sebagainya.
4) Para politisi itu cenderung menggunakan bentuk deklaratif yang berstruktur
kompleks. Kalimat deklaratif lebih mudah untuk dipahami dibandingkan
dengan kalimatdan negatif, bentuk kompleks digunakan untuk usaha
mendominasi karena kalimat kompleks yang cenderung panjang, susah
dipotong. Dengan demikian bentuk kalimat juga dapat digunakan untuk
pelanggaraan atau aplikasi kesantunan.
5) Bentuk imperatif yang paling dominan ialah kalimat imperatif yang bermakna
ajakan terhadap mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu.
6) Bentuk interogatif dapat berfungsi lain, misalnya menunjukkan kekurangan
orang lain.
7) Verba aktif yang mendominasi kalimat-kalimat yg diucapkan para politisi.
Sehubungan dengan analisis tentang faktor-faktor yang mendorong politisi
melakukan pelanggaran atau menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa, hasil
penelitian menunjukkan bahwa politisi Indonesia dapat dikategorikan politisi
34
santun. Akan tetapi, ada kecenderungan mereka melanggar maksim kesantunan.
Urutan menurut besarnya persentase pelanggaran adalah, maksim kebijaksanaan
(25%), maksim penerimaan (18,1%) dan maksim cara (17%). Pelanggaran
terhadap maksim kesantunan lain dilakukan dalam persentase kecil (lihat Tabel
9.5). Berdasarkan pelanggaran di atas, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang
medorong pelanggaran kaidah-kaidah kesantunan adalah sebagai berikut.
1) Keinginan untuk memaksimalkan kerugian pada mitra tutur (pelanggaran
terhadap maksim kebijaksanaan).
2) Keinginan untuk meminimalkan penghargaan pada mitra tutur
(pelanggaran maksim penerimaan dan maksim cara)
Kesantunan behasa politisi meningkat karena mereka cenderung mengaplikasikan
maksim kesantunan. Urutan besarnya persentase pelanggaran maksim kesantunan
adalah, maksim kuantitas (27,6%), maksim relevansi (26,0%), dan maksim cara
(19,4%). Aplikasi maksim kesantunan itu didorong oleh faktor-faktor seperti
berikut.
1) Keinginan untuk memaksimalkan penghargaan pada mitra tutur (aplikasi
maksim kuantitas).
2) Keinginan untuk memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur (aplikasi
maksim kuantitas dan maksim cara)
3) Keinginan untuk memaksimalkan rasa solidaritas terhadap mitra tutur
(aplikasi maksim relevansi).
35
4) Keinginan untuk membagi beban dengan mitra tutur (aplikasi maksim
cara)
Berdasarkan analisis tentang ideologi yang tersirat di balik ujaran para
politisi, dapat disimpulkan bahwa ideologi utama mereka mereka adalah
kekuasaan (power), yang didukung oleh nilai-nilai pembela rakyat (people
defender), pemuji diri sendiri (self-esteem), pembenaran diri (self-opinionated),
dan penegak hukum (law supremacy).
5 Temuan
Temuan baru yang dihasilkan melalui penelitian ini dipaparkan di bawah ini.
Temuan baru sehubungan dengan kesantunan berbahasa politisi:
1. Maksim yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesantunan adalah
sepuluh maksim yang merupakan gabungan maksim kerja sama dan
kesantunan. Penggabungan ini bersifat saling melengkapi,sejalan dengan
pendapat bahwa komunikasi yang santun adalah komunikasi yang
mengandung usaha untuk bekerja sama guna mencapai tujuan komunikasi
dan usaha untuk menjaga perasaan mitra tutur. Pengukuran tingkat
kesantunan yang dilihat hanya dari sudut keinginan berkerja sama saja atau
keinginan menjaga perasaan mitra tutur saja cenderung kurang tepat.
Kesepuluh maksim itu adalah (1) maksim kualitas, (2) maksim kuantitas, (3)
maksim relevansi, (4) maksim cara, (5) maksim kebijaksanaan, (6) maksim
kemurahan hati, (7) maksim penerimaan, (8) maksim kerendahan hati, (9)
maksim kecocokan, dan (10) maksim kesimpatian.
36
2. Kalimat-kalimat panjang yang digunakan oleh politisi bukan bermaksud untuk
menunjukkan kesantunan seperti yang diutarakan oleh Wijana & Rohmadi
(2009), tetapi kalimat-kalimat panjang digunakan untuk memaksimalkan
serangan terhadap mitra tutur dan memaksimalkan pujian terhadap diri sendiri.
3. Ketidaksantunan yang mereka lakukan bukan karena topik pembicaraan atau
partai asal politisi tersebut. Ketidaksantunan yang mereka lakukan disebabkan
oleh karakter mereka sendiri dan latar belakang sosial mereka, termasuk latar
belakang keluarga.
4. Leech (1983) mengatakan bahwa pelanggaran kesantunan dapat dilakukan
untuk menjaga perasaan mitra tutur. Akan tetapi politisi dalam talk show ini
pelanggaran kesantunan dilakukan untuk menyerang mitra tuturnya atau
untuk memaksimalkan promosi untuk dirinya sendiri.
Temuan baru sehubungan dengan ciri-ciri verbal politisi adalah sebagai
berikut.
1) Fitur prosodik , dalam hal ini tekanan pada kata, digunakan oleh politisi untuk
menonjolkan kata yang menyerang mitra tutur atau memuji diri sendiri,
mengejek, atau menuduh.
2) Penghilangan afiksasi ditujukan untuk mempersingkat waktu bicara sehingga
penyampaian informasi dalam waktu terbatas dapat dilakukan dengan lebih
efektif dan efisien. Dengan berbicara secara efektif dan efisien, pembicara
akan menghemat waktu dan memberi kesempatan pada pembicara yang lain
untuk berbicara.
37
3) Pemilihan kata yang cenderung berorientasi pada kekuasaan, misalnya
koalisi, partai, rakyat dan sebagainya, dan terkait dengan hukum, misalnya
hakim, hukum, kejaksaan dan sebagainya.
4) Para politisi cenderung menggunakan bentuk deklaratif yang berstruktur
kompleks. Kalimat deklaratif lebih mudah dimengerti sehingga mengurangi
beban mitra tutur untuk memahaminya, dan ini adalah salah satu bentuk
kesantunan. Kalimat kompleks adalah kalimat yang cenderung sulit dipotong,
dan cenderung mengimplikasikan usaha mendominasi komunikasi. Hal ini
merupakan pelanggaran maksim penerimaan.
5) Bentuk imperatif yang paling dominan ialah kalimat imperatif yang bermakna
ajakan terhadap mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu.
6) Bentuk interogatif dapat berfungsi menunjukkan kekurangan orang lain.
Misalnya pertanyaan “Apakah pernah BULOG membeli gabah dari petani?”
Pertanyaan yang diucapkan oleh P9 itu difungsikan untuk menunjukkan
bahwa pemerintah tidak pernah berusaha membantu rakyat petani.
7) Verba aktif mendominasi kalimat-kalimat yg diucapkan para politisi itu. Hal
ini menunjukkan bahwa bagi mereka siapa yang melakukan apa, penting
artinya. Apabila yang disebut ialah hal-hal yang menguntungkan mitra tutur,
pembicara berarti mengaplikasikan maksim kebijaksanaan. Akan tetapi,
apabila yang disebut ialah hal-hal yang merugikan mitra tutur, pembicara
melanggar maksim kebijaksanaan.
38
Temuan baru sehubungan dengan faktor-faktor yang mendorong pelanggaran
dan ketaatan pada kesantunan menunjukkan bahwa pelanggaran kesantunan
disebabkan oleh
1) keinginan untuk memaksimalkan kerugian pada mitra tutur (pelanggaran
terhadap maksim kebijaksanaan), dan
2) keinginan untuk meminimalkan penghargaan pada mitra tutur
(pelanggaran maksim penerimaan dan maksim cara)
sedangkan aplikasi maksim kesantunan didorong oleh faktor-faktor seperti
berikut.
1) Keinginan untuk memaksimalkan penghargaan pada mitra tutur (aplikasi
maksim kuantitas).
2) Keinginan untuk memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur (aplikasi
maksim kuantitas dan maksim cara)
3) Keinginan untuk memaksimalkan rasa solidaritas terhadap mitra tutur
(aplikasi maksim relevansi).
4) Keinginan untuk membagi beban dengan mitra tutur (aplikasi maksim
cara)
Berdasarkan analisis tentang ideologi yang tersirat di balik ujaran para
politisi, temuan baru tentang ideologi mereka adalah kekuasaan (power),
didukung oleh nilai-nilai pembela rakyat (people defender), pemuji diri sendiri
(self-esteem), pembenaran diri (self-opinionated), dan penegak hukum (law
supremacy).Semua ideologi politisi ini merupakan ideologi yang mendukung
ideologi utama mereka yaitu kekuasaan.
39
5 Simpulan dan Saran
5.1 Simpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, simpulan yang dapat diambil
adalah sebagai berikut.
Politisi yang menjadi narasumber dalam talkshow, yang berasal dari partai
politik yang berbeda, melakukan pelanggaran atau aplikasi maksim kesantunan
untuk mencapai tujuan dan mengekspresikan ideologi mereka. Tetapi, meskipun
mereka melakukan pelanggaran maksim, secara keseluruhan, mereka adalah
politisi santun. Tingkat kesantunan dapat meningkat atau berkurang, tergantung
dari maksim yang mereka aplikasikan atau yang mereka langgar. Pelanggaran atau
aplikasi kesantunan dapat dilakukan melalui pilihan suprasegmental/kata/frasa
atau kalimat.Sehubungan dengan fitur suprasegmental, intonasi yang meninggi
tidak selalu menunjukkan kemarahan, atau pun tergantung pada topik
pembicaraan dan asal daerah, melainkan tergantung kepada karakter masing-
masing individu. Pelanggaran kesantunan mempunyai alasan yang berhubungan
dengan pelanggaran maksim kesantunan.
5.2 Saran
Saran yang dikemukakan ditujukan kepada politisi dan akademisi. Kepada
politisi disarankan untuk menggunakan bahasa yang santun, yang menghargai
keberadaan mitra tutur melalui
1) peningkatan pemahaman tentang strategi mempersantun ujaran,
40
2) pemahami tentang kesantunan yang berlaku umum di setiap situasi dan
kondisi,
3) peningkatan kemampuan menggunakan bahasa yang lugas dan mudah
dimengerti oleh pemirsa yang berasal dari berbagai kalangan.
`Saran kepada akademisi adalah sebagai berikut.
Oleh karena penelitian ini dilakukan atas kelompok politisi, masih banyak
kelompok lain yang dapat diteliti untuk melihat tingkat kesantunan mereka. Masih
banyak celah dalam penelitian ini yang bisa diteliti lebih jauh. Kekayaan budaya
di Indonesia pasti menjadi lahan yang menarik untuk diteliti dengan menggunakan
teori sosio-pragmatik.
41
DAFTAR ISI HALAMAN
SAMPULDALAM ..................................................................................... ii
PRASYARAT GELAR ............................................................................. iii
PERSETUJUAN PROMOTOR ............................................................... iv
PERNYATAA BEBAS PLAGIAT.......................................................... v
PENETAPAN PANITIA PENGUJI......................................................... vi
UCAPAN TERIMA KASIH ..................................................................... vii
ABSTRAK .................................................................................................. x
ABSTRACT.................................................................................................. xv
RINGKASAN.............................................................................................. xix
DAFTAR ISI .............................................................................................. xlii
DAFTAR TABEL....................................................................................... xlvi
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 9
1.3 Tujuan Penelitian .......................................................................... 9
1.3.1 Tujuan umum ................................................................................ 9
1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................................. 10
1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................ 10
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN ....................................................
13
2.1 Kajian Pustaka ............................................................................. 13
2.2 Konsep ......................................................................................... 21
2.2.1 Politisi .......................................................................................... 21
2.2.2 Bahasa Politisi .............................................................................. 22
2.2.3 Talk Show ..................................................................................... 22
2.2.4 Satuan Verbal ............................................................................... 23
2.2.5 Kesantunan Berbahasa ................................................................. 25
2.2.6 Ideologi ........................................................................................ 26
2.3 Landasan Teori ............................................................................ 27
42
2.3.1 Teori Sosiolinguistik .................................................................... 28
2.3.1.1 Pilihan Bahasa .............................................................................. 28
2.3.1.2 Bahasa dan Budaya ...................................................................... 32
2.3.1.3 Etnografi Komunikasi .................................................................. 34
2.3.1.4 Solidaritas dan Kesantunan .......................................................... 36
2.3.1.5 Analisis Percakapan ..................................................................... 37
2.3.2 Teori Pragmatik ........................................................................... 40
2.3.2.1 Pengancaman Muka ..................................................................... 41
2.3.2.2 Prinsip Kerja Sama ...................................................................... 53
2.3.2.3 Prinsip Kesantunan ...................................................................... 58
2.3.2.4 Implikatur Percakapan ................................................................. 63
2.3.2.5 Paradoks Kesantunan ................................................................... 64
2.3.3 Teori Ideologi dan Diskursus ....................................................... 66
2.3.4 Faktor-Faktor Penyebab Pelanggaran dan Ketaatan terhadap
Kesantunan ...................................................................................
68
2.4 Model Penelitian .......................................................................... 73
BAB III METODE PENELITIAN .......................................................... 76
3.1 Pendekatan Penelitian .................................................................. 76
3.2 Deskripsi Lokasi Pengambilan Data ............................................ 78
3.3 Jenis dan Sumber Data ................................................................. 79
3.4 Instrumen Penelitian .................................................................... 82
3.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data ....................................... 83
3.6 Metode dan Teknik Penganalisisan Data ..................................... 85
3.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ...................... 88
BAB IV ANALISIS KESANTUNAN BAHASA POLITISI DALAM
TALK SHOW “TODAY’S DIALOGUE” ..............................
90
4.1 Pendahuluan ................................................................................ 90
4.2 Analisis Tayangan Talk Show “Today’s Dialogue” .................... 92
4.2.1 “Lucunya Negeri Ini” ................................................................... 92
4.2.1.1 Analisis Data Politisi 1 (P1) ......................................................... 93
4.2.1.2 Analisis Data Politisi 2 (P2) ......................................................... 132
43
4.2.2 “Krisis Kepemimpinan Nasional “ .............................................. 157
4.2.2.1 Analisis Data Politisi 3 (P3) ......................................................... 158
4.2.2.2 Analisis Data Politisi 4 (P4) ......................................................... 178
4.2.3 “Politik Beretika” ......................................................................... 193
4.2.3.1 Analisis Data Politisi 5 (P5) ......................................................... 194
4.2.4 “SBY Gertak Koalisi” .................................................................. 214
4.2.4.1 Analisis Data Politisi 6 (P6) ......................................................... 215
4.2.4.2 Analisis Data Politisi 7 (P7) ......................................................... 234
4.2.4.3 Analisis Data Politisi 8 (P8) ......................................................... 259
4.2.4.4 Analisis Data Politisi 9 (P9) ......................................................... 272
4.2.5 “Menekan Parpol Koalisi” ........................................................... 287
4.2.5.1 Analisis Data Politisi 10 (P10) ..................................................... 289
4.2.5.2 Analisis Data Politisi 11 (P11) ..................................................... 312
4.2.5.3 Analisis Data Politisi 12 (P12) ..................................................... 323
4.3 Rangkuman .................................................................................. 334
BAB V CIRI-CIRI SATUAN VERBAL PARA POLITISI .................. 344
5.1 Pendahuluan ................................................................................. 344
5.2 Analisis Fonologi ......................................................................... 344
5.3 Analisis Morfologi ....................................................................... 351
5.3.1 Prefix Meng- ................................................................................ 352
5.3.2 Prefiks Ber- .................................................................................. 356
5.4 Analisis Kalimat .......................................................................... 362
5.4.1 Kalimat Berdasarkan Hubungan Antar Klausa ............................ 363
5.4.2 Kalimat Berdasarkan Bentuk Sintaksis ........................................ 366
5.4.2.1 Kalimat Deklaratif ....................................................................... 366
5.4.2.2 Kalimat Imperatif ......................................................................... 372
5.4.2.3 Kalimat Interogatif ....................................................................... 374
5.4.2.4 Kalimat Eksklamatif .................................................................... 377
5.4.2.5 Kalimat Inversi ............................................................................ 378
5.5 Rangkuman .................................................................................. 379
44
BAB VI FAKTOR-FAKTOR DAN IDEOLOGI YANG
MELATARBELAKANGI PELANGGARAN DAN
KETAATAN PADA KESANTUNAN BERBAHASA............
384
6.1 Pendahuluan ................................................................................. 384
6.2 Faktor-Faktor Penyebab Pelanggaran dan Ketaatan terhadap
Kesantunan Berbahasa .................................................................
385
6.2.1 Faktor-Faktor Penyebab Pelanggaran Kesantunan ...................... 387
6.2.1.1 Keinginan untuk Memaksimalkan Kerugian pada Mitra Tutur ... 388
6.2.1.2 Keinginan untuk Meminimalkan Penghargaan pada Mitra
Tutur..................................................................................................
394
6.3 Ideologi yang Tersirat dalam Bahasa Politisi dalam Tayangan
Talk Show “Today’s Dialogue” ...................................................
402
6.4 Rangkuman .................................................................................. 410
VII TEMUAN ............................................................................................ 412
VIII SIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 417
8.1 Simpulan ...................................................................................... 417
8.2 Saran ............................................................................................ 422
IX DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 424
45
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 4.1 : Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 1 ............. 130
Tabel 4.2 : Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 1 ............................ 131
Tabel 4.3 : Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 2 ............. 155
Tabel 4.4 : Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 2 ............................ 156
Tabel 4.5 : Analisis SPEAKING Politisi 1 dan Politisi 2 .................. 157
Tabel 4.6 : Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 3 ............. 177
Tabel 4.7 : Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 3 ............................ 177
Tabel 4.8 : Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 4 ............. 190
Tabel 4.9 : Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 4 ............................ 190
Tabel 4.10 : Analisis SPEAKING Politisi 3 dan Politisi 4 .................. 192
Tabel 4.11 : Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 5 ............. 211
Tabel 4.12 : Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 5 ............................ 212
Tabel 4.13 : Analisis SPEAKING Politisi 5 ........................................ 213
Tabel 4.14 : Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 6 ............. 233
Tabel 4.15 : Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 6 ............................ 234
Tabel 4.16 : Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 7 ............. 257
Tabel 4.17 : Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 7 ............................ 258
Tabel 4.18 : Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 8 ............. 271
Tabel 4.19 : Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 8 ............................ 271
Tabel 4.20 : Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 9 ............. 284
Tabel 4.21 : Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 9 ............................ 284
Tabel 4.22 : Analisis SPEAKING Politisi 6, Politisi 7, Politisi 8,
Dan Politisi 9 ...................................................................
286
Tabel 4.23 Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 10 ........... 311
Tabel 4.24 Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 10 .......................... 312
Tabel 4.25 Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 11 ........... 322
Tabel 4.26 Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 11 .......................... 323
Tabel 4.27 Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 12 ........... 332
Tabel 4.28 Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 12 .......................... 332
46
Tabel 4.29 : Analisis SPEAKING Politisi 10, Politisi 11, dan
Politisi 12..........................................................................
333
Tabel 4.30 : Frekuensi Pelanggaran Maksim Seluruh Politisi ............. 335
Tabel 4.31 : Frekuensi Aplikasi Maksim Seluruh Politisi ................... 337
Tabel 9.1 : Daftar “Today’s Dialogue ............................................... 429
Tabel 9.2 : Rekapitulasi Pelanggaran dan Aplikasi Maksim
Kesantunan ......................................................................
430
Tabel 9.3 : Sebaran Pelanggaran Maksim Keseluruhan .................... 444
Tabel 9.4 : Sebaran Aplikasi Maksim Keseluruhan .......................... 445
Tabel 9.5 : Urutan Pelanggaran maksim ............................................ 446
Tabel 9.6 : Urutan Aplikasi Maksim ................................................. 447
Tabel 9.7 : Tingkat Pelanggaran Maksim Masing-Masing Politisi ... 448
Tabel 9.8 : Urutan Politisi Berdasarkan Kesantunan ......................... 449
47
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan sehari-hari bahasa, baik verbal maupun nonverbal, adalah
alat komunikasi yang digunakan oleh manusia. Djojosuroto (2006: 48)
mendefinisikan bahasa sebagai alat untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan
manusia. Thompson (1984:15) mengatakan bahwa teori ideologi mengajak kita
melihat bahwa bahasa bukan sekadar struktur yang dapat digunakan untuk
komunikasi dan pertunjukan, melainkan sebagai fenomena sejarah sosial yang
melibatkan konflik manusia. Dengan mengatakan bahwa bahasa adalah fenomena
sejarah sosial, Thompson bermaksud mengatakan bahwa bahasa bukan sekedar
struktur dimana ekspresi-ekspresi memberikan sebuah makna dari sebuah
tindakan dan bukan pula merupakan medium tempat sejarah diproduksi dan
kehidupan sosial dikembangkan, melainkan merupakan alat yang digunakan untuk
mengekspresikan semua gejala sosial yang terjadi sepanjang masa. Untuk dapat
berkomunikasi dengan baik, hakikat bahasa harus dimengerti terlebih dahulu.
Bahasa adalah sistem tanda atau simbol yang sedang mengekspresikan nilai
dan norma kultural dan sosial suatu masyarakat tertentu di dalam suatu proses
sosial kebahasaan (Santoso,2003:6). Ini berarti bahwa setiap bahasa tidak dapat
dipisahkan dari budayanya, bahwa dua budaya yang berbeda akan memaknai
ujaran yang sama secara berbeda. Oleh sebab itu bahasa digunakan dengan cara
berbeda di masyarakat penutur yang berbeda. Selain dilihat dari sudut semiotika
48
sosial, bahasa juga dapat dilihat dari sudut linguistik antropologi yang
menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu dari ribuan komunikasi lisan yang
digunakan oleh kelompok masyarakat yang berbeda ( Salzmann, 1998:46). Hal ini
berarti bahwa di dunia terdapat ribuan kelompok penutur bahasa dan masing-
masing kelompok penutur memiliki bahasa sendiri.
Voloŝinov (1973:66-68) mengatakan bahwa bahasa adalah fakta objektif
yang bebas dan berada di luar kesadaran individu. Bahasa merupakan gambaran
dari aliran peristiwa yang tidak pernah berhenti dan merupakan sistem norma-
norma yang kekal yang menentukan bagaimana bahasa itu ada dalam setiap
komunitas bahasa. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa bahasa akan tetap ada
apabila individu-individu sebagai pelaku kegiatan masih ada.
Dalam berbicara fokus perhatian pembicara sejalan dengan ujaran nyata yang
diucapkannya. Yang penting baginya ialah mengaplikasikan bentuk-bentuk yang
secara normatif sama dalam konteks tertentu dan nyata. Dia mengatakan bahwa
dalam komunikasi pembicara pasti mengaplikasikan bentuk-bentuk linguistik.
Akan tetapi, yang penting adalah seorang pembicara harus tahu bahwa bentuk-
bentuk linguistik tidak stabil dan tidak selalu merupakan tanda yang dengan
sendirinya sama, melainkan sebagai pengetahuan bahwa bentuk-bentuk linguistik
selalu merupakan tanda yang berubah-ubah dan beradaptasi. Hal ini berarti
bahwa makna suatu ujaran tidak ditentukan oleh apa yang diucapkan, melainkan
ditentukan pula oleh konteks situasinya. Perubahan pada konteks situasi
mengakibatkan perubahan pada makna. Menurutnya, bahasa dalam proses
implementasinya tidak bisa dipisahkan dari ideologi karena kata-kata dalam suatu
49
bahasa selalu diisi dengan makna yang didapat dari perilaku atau ideologi. Oleh
karena itu pemisahan bahasa dari ideologi adalah merupakan kesalahan besar.
Sehubungan dengan bagaimana memahami suatu bahasa, dia mengatakan bahwa
memahami suatu bahasa tidak difokuskan pada mengenali elemen ujaran yang
sama, melainkan memahami bahasa itu dalam suatu makna kontekstual yang baru.
Hal ini berarti bahwa makna suatu kata benar-benar ditentukan oleh konteksnya.
Konteks yang baru yang disebutkan dalam pernyataan ini adalah lingkungan
sosial dan lingkungan budaya di tempat bahasa itu digunakan
(Voloŝinov,1973:70-79).
Bahasa sebagai alat komunikasi mempunyai berbagai macam fungsi. Dalam
konteks proses sosial, politik, dan kultural, bahasa digunakan untuk mengontrol
atau mengendalikan masyarakat melalui pengontrolan makna (Santoso, 2003:6),
sedangkan menurut Stubbs (1983:45), bahasa mempunyai dua fungsi utama yaitu
fungsi referensial dan fungsi emotif. Bahasa yang mewadahi berbagai macam
fungsi digunakan untuk berkomunikasi, baik komunikasi formal maupun
informal. Seberapa jauh peserta tutur dapat saling memahami, bergantung pada
bahasa yang digunakan, praanggapan dan budaya masing-masing peserta tutur.
Bahasa juga mempunyai fungsi yang mendasar, yaitu untuk menamai atau
menjuluki orang, objek, dan peristiwa (Mulyana, 2010:266)
Dunia politik adalah salah satu situasi tutur yang menggunakan bahasa
sebagai media komunikasi. Bahasa politik haruslah merupakan alat komunikasi
yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat (Santoso, 2003:3). Bahasa
sebagai media dalam komunikasi politik memiliki tiga ciri yang harus
50
diperhatikan. Ketiga ciri tersebut adalah 1) bahasa politik haruslah merupakan alat
komunikasi yang dapat dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat, 2) bahasa
politik bersifat membujuk dan merayu khalayak, dan 3) bahasa politik penuh
dengan semboyan-semboyan dan kata-kata bersayap serta menghindari
penggunaan bahasa yang berkonotasi netral dan objektif (Santoso, 2003:3).
Apabila diperhatikan berbagai macam talk show yang ditayangkan di televisi,
dapat dilihat bahwa bahasa sebagai media komunikasi politik digunakan juga
dalam program-program talk show tayangan televisi di Indonesia dan di dunia.
Tayangan-tayangan tersebut menampilkan narasumber yang berasal dari berbagai
kalangan. Narasumber tersebut dapat berasal dari kalangan masyarakat biasa
dengan keahlian tertentu, tetapi dapat juga berasal dari kalangan pemerintah atau
politisi. Narasumber yang diundang tersebut berdialog, yaitu saling bertukar
pendapat dan informasi tentang suatu topik yang sudah ditentukan oleh pembawa
acara. Bahasa yang digunakan oleh para narasumber itu adalah bahasa lisan yang
menurut Wahyu (www@t_wahyu.staff.gunadarma.ac.id) mempunyai ciri-ciri
sebagai berikut: 1) memerlukan kehadiran orang lain; 2) unsur gramatikal tidak
dinyatakan dengan lengkap; 3) terkait ruang dan waktu; dan 4) dipengaruhi oleh
tinggi rendahnya suara. Hakikat bahasa lisan adalah spontan sehingga sering kali
kurang cermat dalam menyampaikan pikiran dan perasaan tetapi bahasa lisan
mempunyai keuntungan karena didukung oleh intonasi, mimik wajah dan suasana
yang diciptakan misalnya, serius, kelakar, dan formal dan sebagainya.
Semua narasumber yang tampil dalam talk show membawa ideologi masing-
masing, baik ideologi individu maupun ideologi kelompok atau golongan.
51
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa melalui media talk show para
narasumber mengemukakan ideologi secara tersurat atau tersirat dan
mempertahankannya atau dengan kata lain mereka melakukan perang ideologi di
media tersebut. Melalui bahasa, narasumber berusaha memengaruhi masyarakat
sehingga masyarakat terbujuk untuk menerima dan melakukan apa yang
dikehendaki oleh narasumber tersebut. Berhasil atau tidak usaha para narasumber
itu bergantung pada bahasa yang mereka gunakan. Bahasa yang didengar dan
ditiru oleh sebagian besar masyarakat adalah bahasa khas kaum politisi yang
kadang-kadang santun atau tidak santun. Hal ini terjadi karena politisi biasanya
berbicara tidak semata-mata atas dirinya, tetapi atas nama kelompok/golongan
atau partai yang diwakilinya.
Kaum politisi adalah orang yang berkecimpung di dunia politik, dan dianggap
sebagai warga negara terhormat oleh masyarakat. Mereka juga adalah pengguna
bahasa. Bahasa kaum politisi ini sangat menarik untuk diteliti karena ada dua
pendapat yang bertentangan mengenai bahasa mereka. Pertama, pendapat yang
menyatakan bahwa politisi seringkali berbicara dengan cara yang tidak santun.
Contoh ketidaksantunan ini dikemukakan oleh Harras (2009:1) yang menyebutkan
bahwa sidang gabungan Komisi II dan III dengan Kejaksaan Agung pernah
terhenti karena Anhar S.E., salah seorang anggota Komisi III, menyebut Korp
Adhiyaksa sebagai “ustaz di kampung maling”. “Ustaz” yang mempunyai medan
makna positif dibenturkan dengan “kampung maling” yang mempunyai medan
makna negatif. Benturan medan makna itu akan menimbulkan berbagai macam
penafsiran. Penafsiran yang dihasilkan sangat bergantung pada praanggapan yang
52
dimiliki oleh pendengar. Praanggapan yang dimiliki oleh Korp Adhiyaksa
ternyata telah membuat mereka memaknai ujaran tersebut dengan cara yang
negatif. Ketersinggungan terjadi karena ujaran itu dianggap tidak santun.
Sebaliknya, mungkin bagi Gunarwan kata-kata itu masih dalam batas kewajaran,
tidak ada ketidaksantunan dalam kalimat “ustaz di kampung maling” yang
diucapkan oleh kaum politisi karena menurut Gunarwan (2007:156) misalnya
kata-kata “Menteri X itu memang kepala batu” yang diucapkan oleh seorang
anggota DPR itu masih dalam batas-batas “wajar”.
Di pihak lain, dapat dikatakan bahwa pernyataan mengenai bahasa terikat
oleh konteks budaya memang benar karena menurut Djojosuroto (2006:50)
bahasa merupakan identitas individu dan kelompok. Bahasa juga berhubungan
erat dengan budaya karena menurut Kramsch (1998:3) bahasa merefleksikan
realitas budaya. Suatu kelompok sosial tidak hanya mengekspresikan pengalaman,
tetapi mereka juga menciptakan pengalaman melalui bahasa. Kramsch
mengatakan bahwa cara mereka menggunakan bahasa menciptakan makna yang
dimengerti oleh penutur dari kelompok sosial yang sama. Misalnya intonasi suara,
bahasa tubuh atau ekspresi wajah membawa makna yang mereka mengerti. Jadi,
bahasa adalah sistem tanda yang memiliki nilai budaya. Keesing (1974:44)
menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem perilaku yang menghubungkan
komunitas manusia dengan lingkungannya. Komunitas manusia meliputi
teknologi, organisasi ekonomi, wilayah tempat tinggal, pengelompokan sosial,
organisasi politik, kepercayaan, dan praktik-praktik agama. Budaya yang bukan
merupakan warisan genetik ini menempatkan seseorang agar berada sesuai dengan
53
lingkungannya. Definisi di atas mengimplikasikan bahwa sistem bahasa
mempunyai fungsi sebagai sarana berlangsungnya suatu interaksi manusia di
dalam masyarakat. Hal ini berarti bahwa perilaku berbahasa harus disertai norma-
norma yang berlaku dalam budaya tersebut. Hudson (1980:73) mempunyai
definisi berbeda. Dia mendefinisikan kebudayaan sebagai pengetahuan yang
dipelajari dari orang lain, baik melalui instruksi langsung maupun dengan
mengamati perilaku mereka. Bertolak dari definisi kebudayaan yang diberikan
oleh Keesing (1974:44), semestinya mereka yang secara sosial memiliki
kedudukan tinggi (seperti anggota DPR, pejabat tinggi negara, tokoh masyarakat
dan lain-lain) tidak kukuh mempertahankan kebiasaan dan perilaku budaya daerah
mereka dalam kehidupan masyarakat nasional dan internasional. Seharusnya
mereka menyesuaikan diri dengan norma-norma yang berlaku umum di tempat
mereka berbicara.
Berbahasa adalah kegiatan yang dilakukan oleh semua manusia dan seringkali
dilakukan secara otomatis. Akan tetapi berbahasa bukan aktifitas yang tidak
mengenal aturan karena berbahasa juga harus mengikuti peraturan. Wittgenstein
(1953 ) mengembangkan teori yang disebut permainan bahasa (language games).
Dia menyatakan bahwa untuk mengetahui bagaimana bahasa bekerja, orang harus
melihat fungsi bahasa itu dalam suatu situasi sosial yang spesifik. Komponen
permainan bahasa ini adalah permainan yang menggunakan bahasa dan bahasa
digunakan dengan berbagai cara yang berbeda. Misalnya, pada saat seseorang
mengatakan “air”, dua kemungkinan dapat terjadi. Apabila kata itu diucapkan di
lingkungan yang banyak air, kata itu akan berarti peringatan. Akan tetapi apabila
54
kata itu diucapkan oleh seseorang yang terlihat haus, kata itu berarti permintaan
untuk diberi air. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian makna sangat tergantung
pada konteks situasi. Apabila dihubungkan dengan kesantunan, konsep permainan
bahasa ini akan mewajibkan seseorang berbicara sesuai dengan norma-norma
kesantunan yang umum berlaku dalam situasi tersebut meskipun pada
kenyataannya banyak pembicara hanya mengedepankan budaya dan kebiasaannya
sendiri sehingga mengukur kesantunan dari pihaknya sendiri saja. Kebiasaan yang
mengikuti pola kesantunan sendiri tanpa memperhitungkan lawan tutur cenderung
mengakibatkan masalah karena lawan tutur merasa tidak dihargai atau tidak
dihormati.
Latar belakang penelitian ini adalah keinginan untuk mengetahui
seberapa santun para politisi Indonesia dalam berbahasa. Seperti telah dipaparkan
sebelumnya, ada dua anggapan tentang perilaku berbahasa politisi, yaitu mereka
berbicara tidak santun dan mereka berbicara santun. Keinginan yang kedua adalah
untuk mengetahui apakah benar pelanggaran maksim itu dilakukan untuk
menyenangkan hati mitra tutur seperti yang disampaikan oleh Leech (183:81).
Karena menyangkut kelompok pemakai bahasa tertentu, yaitu politisi dan
dikaitkan dengan perilaku berbahasa di tempat tertentu, dalam hal ini acara talk
show di televisi, pendekatan yang dianggap paling tepat adalah pendekatan
Sosiopragmatik karena Sosiopragmatik adalah ilmu yang mempelajari bagaimana
prinsip kesantunan diaplikasikan secara berbeda di budaya, komunitas bahasa,
situasi sosial dan kelas sosial yang berbeda (Leech, 1983:10).
55
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang dapat
dikemukakan adalah sebagai berikut.
5) Bagaimanakah tingkat kesantunan penggunaan bahasa para politisi dalam
talk show Today’s Dialogue di Metro TV?
6) Bagaimanakah ciri-ciri satuan verbal yang digunakan oleh para politisi?
7) Faktor-faktor apakah yang mendorong para politisi melakukan pelanggaran
atau menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa?
8) Ideologi apakah yang tersirat di balik bahasa para politisi yang melanggar
atau menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini dapat dibedakan atas tujuan umum dan tujuan khusus.
Kedua tujuan tersebut dapatdipaparkan sebagai berikut.
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini ialah menemukan, mendeskripsikan, dan
menganalisis penggunaan bahasa yang dilakukan oleh politisi dalam talk show
“Today’s Dialogue”. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran
kepada masyarakat umum bahwa penggunaan bahasa semestinya mengikuti
aturan main yang ada. Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yaitu siapa
mitra tuturnya, topik apa yang sedang dibicarakan, dan di mana mereka
melakukan komunikasi. Ketiga hal itu disebut konteks situasi oleh Halliday
56
(1985:29-34). Dengan memahami konteks situasi, bahasa yang digunakan dapat
lebih pantas sehingga tujuan komunikasi akan tercapai.
1.3.2 Tujuan Khusus Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk:
1) mencari, menemukan, dan menganalisis penggunaan bahasa kaum politisi
dalam talk show “Today’s Dialogue”.
2) menemukan dan menganalisis ciri-ciri satuan verbal bahasa yang digunakan
oleh para politisi.
3) menemukan dan menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi penggunaan
bahasa para politisi.
4) menemukan dan menganalisis ideologi yang tersirat di balik penggunaan
bahasa para politisi.
1.4 Manfaat Penelitian
Penelitian ini memiliki dua manfaat yaitu manfaat teoretis dan manfaat
praktis. Secara akademis penelitian ini memberi peluang untuk memadukan teori
maksim kerja sama dari Grice (1975) dan Leech (1983). Prinsip kerja sama
mengharuskan peserta tutur untuk berkontribusi secukupnya, tidak berlebihan.
Akan tetapi, prinsip ini hanya dapat diaplikasikan apabila komunikasi itu
berfungsi untuk memberi informasi, sementara pada kenyataannya banyak fungsi
komunikasi yang lain. Hal ini menyebabkan banyak terjadi pelanggaran terhadap
maksim –maksim prinsip kerja sama. Leech (1983) kemudian mengemukakan
57
prinsip kesantunan untuk melengkapi prinsip kerja sama. Dalam penelitian ini
teori Leech (1983) yang dibuat dengan tujuan untuk menolong prinsip kerja sama
Grice (1975) digunakan secara bersamaan. Alasan memadukan kedua teori ini
ialah karena perpaduan maksim teori Grice (1975) yang menganut prinsip kerja
sama dan teori Leech (1983) yang menganut prinsip kesantunan sangat diperlukan
dalam komunikasi yang menyenangkan. Tujuan komunikasi akan tercapai apabila
para partisipan mengaplikasikan prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan karena
dengan mengaplikasikan kedua prinsip itu tidak ada pengancaman muka terhadap
semua partisipan. Dalam hal pembahasan pengancaman muka, akan digunakan
juga teori Pengancaman Muka dari Brown & Levinson (1978). Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa manfaat akademis penelitian ini ialah memberi peluang
untuk meneliti seberapa jauh maksim-maksim prinsip kerja sama dan prinsip
kesantunan itu mampu mengakomodasi kesantunan berbahasa yang dilakukan
oleh para politisi. Penelitian ini juga memberi peluang untuk menggunakan alat
ukur kesantunan yang dapat digunakan pada situasi yang lebih spesifik
mengingat teori yang dikemukakan oleh Grice (1975) dan (Leech, 1983) masih
bersifat umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam penelitian ini,
penggabungan maksim Grice dan maksim Leech yang saling melengkapi ini,
digunakan dalam situasi dan kondisi yang lebih spesifik yaitu dalam sebuah talk
show yang partisipannya adalah politisi.
Secara praktis hasil penelitian ini dapat dijadikan acuan untuk mengetahui
ujaran yang bagaimana dapat dikatakan santun dan apa yang harus dilakukan
agar suatu ujaran dapat terdengar lebih santun. Misalnya, penggunaan kata
58
“agak” sebelum kata yang bermakna negatif akan mengurangi tekanan
ketidaksantunan. Jadi, “agak kotor” terdengar lebih santun daripada “kotor”.
Penelitian ini juga dapat memberikan pengetahuan bahwa setiap komunikasi itu
sebaiknya sopan dan santun, meskipun kesopanan dan kesantunan itu sangat
tergantung pada tujuan komunikasi. Kesopanan berhubungan dengan topik
pembicaraan, sedangkan kesantunan berhubungan dengan bahasa yang digunakan.
Hasil penelitian ini juga dapat dijadikan acuan bagi para politisi agar dapat
menyampaikan pikirannya dengan cara yang lebih santun.
59
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Untuk memperluas wawasan tentang topik yang akan dikaji, pada bagian ini
dipaparkan beberapa tulisan yang relevan. Paparan kajian pustaka ini disajikan
sebagai berikut.
Beard (2000) melakukan penelitian tentang bahasa yang digunakan oleh
politisi. Temuannya ditulis dalam bukunya yang berjudul The Language of
Politics menunjukkan bahwa elite politik Indonesia pasca-Orde Baru banyak
menggunakan metafora terkait dengan: 1) “olahraga”, misalnya start kampanye,
2) “peperangan”, misalnya serangan fajar, dan 3) “dunia binatang”, misalnya
pengebirian. Temuan Beard (2000) relevan dengan penelitian ini karena sama-
sama meneliti bahasa yang digunakan oleh politisi (walaupun terbatas pada
metafora saja). Temuan ini bermanfaat bagi pengembangan penelitian ini karena
dapat digunakan sebagai informasi awal tentang metafora yang dapat digunakan
untuk menyampaikan ideologi seseorang dengan cara yang lebih efektif.
Penelitian yang dilakukan ini juga meneliti tujuan pemakaian metafora oleh
politisi dalam sebuah talk show.
Secara teoretis, tulisan Beard (2000) menggunakan teori metafora. Kekuatan
penggunaan teori ini adalah kemampuannya menganalisis ujaran yang dinyatakan
secara tidak langsung sehingga tidak terdengar kasar. Akan tetapi, kelemahan
60
teori yang digunakan terlihat dari tidak adanya pembahasan jenis-jenis metafora
dan tidak adanya pembahasan bentuk dan fungsi metafora. Teori metafora itu
hanya digunakan untuk membahas metafora yang digunakan oleh politisi
Indonesia pasca Orde Baru.
Secara metodologis, sampel yang digunakan tidak berimbang karena hanya
menampilkan contoh-contoh metafora yang bersifat negatif atau sarkasme dari
ranah perang dan olahraga dengan tujuan menyerang pemerintah atau kelompok
yang berkuasa. Metafora tidak hanya merupakan ujaran yang bermakna negatif,
tetapi ada juga metafora yang bermakna positif. Teori metafora yang digunakan
sebaiknya didukung oleh teori Etnografi Berbahasa untuk menjelaskan siapa yang
menggunakan metafora itu, pada siapa metafora itu digunakan, di mana diucapkan
dan dengan tujuan apa diucapkan, sehingga makna metafora menjadi jelas dan
dapat dimengerti.
Perbedaan tulisan Beard (2000) dengan penelitian ini adalah bahwa Beard
(2000) meneliti bahasa politik, tetapi dihubungkan dengan metafora pada ranah
perang dan olahraga dan teori yang digunakan adalah teori metafora saja.
Sebaliknya, penelitian ini bermaksud untuk meneliti bagaimana bahasa digunakan
oleh politisi dan salah satu komponen yang diteliti adalah penggunaan metafora
sebagai salah satu strategi kesantunan.
Donnely dalam karyanya yang berjudul Examining the Role of Political
Language in Rhode Island’s Health Care Debate (2009) berbicara tentang
retorika bahasa yang digunakan oleh politisi di Pulau Rhode. Temuannya
menyatakan bahwa penggunaan retorika sangat penting dalam membingkai
61
pilihan politik, pembangunan konstituen, dan strategi politik di Pulau Rhode. Data
analisis statistik hasil penelitian Donnely itu menunjukkan bahwa politisi
berorientasi pada kebijakan keinginan publik, selalu merupakan retorika, yaitu
penggunaan bahasa yang terlalu banyak menggunakan ornamen, tetapi sering kali
mengimplikasikan ketidakjujuran dan berlebihan. Penelitian Donnely itu relevan
dan bermanfaat bagi penelitian ini karena temuannya menunjukkan bahwa
kemampuan politisi menggunakan bahasa yang digunakannya dan
kemampuannya menggunakan dengan baik di hadapan publik sangat penting
untuk pencapaian tujuannya. Penelitian ini meneliti tentang bahasa yang
digunakan oleh politisi untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa partainya
lebih unggul daripada partai yang lain. Kemampuan berbahasa ini sangat penting
untuk menunjukkan apakah mereka cerdas dan santun dan pantas dipilih sebagai
pemimpin atau wakil rakyat di parlemen.
Secara teoretis, teori retorika bahasa politik yang digunakan oleh Donnely
(2009) mempunyai keunggulan, yaitu mampu menghasilkan temuan yang
menyatakan bahwa sangat perlu bagi kaum politisi untuk mengaplikasikan
retorika untuk mencapai tujuannya. Akan tetapi, akan lebih baik apabila teori itu
juga didukung oleh teori analisis wacana sehingga apa yang tersirat di belakang
semua retorika itu dapat dibedah dengan jelas.
Secara metodologis, sumber data sangat menunjang penelitian karena
melibatkan pakar politik dan warga masyarakat biasa. Analisis data juga dapat
dilakukan dengan lebih mudah karena Donnely (2009) sudah mengawali
62
analisisnya dengan memberikan deskripsi konteks sosial, politik, dan ekonomi
seperti yang dilakukan di Pulau Rhode .
Penelitian Donnely (2009) relevan dengan penelitian yang dikerjakan ini
karena ada indikasi bahwa politisi tidak jujur dan ketidakjujuran adalah salah satu
ciri bahasa politisi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa karya Donnely
dapat dijadikan acuan dalam mengukur kesantunan berbicara para politisi.
Haugh dalam karyanya yang berjudul Politeness Implicature in Japanese: A
Multilingual Approach (2003) memaparkan hasil penelitiannya yang menyatakan
bahwa masyarakat Jepang banyak menggunakan implikatur untuk meningkatkan
kesantunan. Penelitian Haugh (2003) relevan dengan penelitian yang dilakukan ini
karena sama-sama membahas masalah kesantunan berbahasa meskipun dengan
pengguna yang berbeda. Temuan ini juga sangat bermanfaat karena memberikan
informasi tentang pemanfaatan implikatur sebagai salah satu strategi berbahasa
yang digunakan untuk meningkatkan kesantunan. Di samping itu, penelitian ini
juga memberi informasi bahwa implikatur dapat menggagalkan maksim kuantitas
dari Grice (1975).
Secara teoretis, pendekatan metalinguistik yang digunakan oleh Haugh
(2003) dapat digunakan untuk membedah eksplikasi implikatur kesantunan. Akan
tetapi, dalam tulisan itu teori tidak digunakan secara maksimal karena tidak
digunakan untuk membedah kenyataan bahwa implikatur juga dapat menimbulkan
kesalahpahaman apabila pendengar tidak memiliki prasangka atau pengetahuan
sebelumnya yang memadai.
63
Secara metodologis, penelitian Haugh (2003) mempunyai keunggulan karena
bahasa Jepang sangat kuat dalam tata cara berbahasanya. Namun sampel yang
dijadikan sumber data tidak membedakan laki-laki dan perempuan sehingga tidak
mencerminkan realitas penggunaan bahasa Jepang yang membedakan bahasa
kaum perempuan dan bahasa laki-laki.
Penelitian Haugh (2003) mempunyai relevansi dengan penelitian ini karena
implikatur merupakan salah satu komponen kesantunan yang diteliti. Di samping
itu, penelitian ini juga meneliti komponen kesantunan lain, seperti yang
dikemukakan oleh Grice (1975), Leech (1983), Lakoff (1973) dan tindakan
mengancam muka yang dikemukakan oleh Brown & Levinson ( 1987).
Orwell (1986) dalam bukunya yang berjudul Politics and the English
Language memaparkan temuannya tentang bahasa dan kekuasaan. Dia
mengatakan bahwa bahasa politik adalah “pembelaan terhadap sesuatu yang tidak
pantas dibela”. Elite politik bukan kelompok yang mampu menggunakan bahasa
secara ideal dalam arti bahasa mereka tidak jelas, tidak jujur, dan tidak mudah
dipahami. Melalui bahasa seperti itu mereka menyampaikan ideologinya.
Pertimbangan konteks wacana, seperti latar belakang pembicara, situasi,
peristiwa, dan kondisi digunakan untuk menemukan makna yang tersirat.
Teori wacana kritis Fairclough (1995) yang dikutip oleh Orwell (1986)
menyatakan bahwa untuk menentukan makna yang tersirat dalam suatu ujaran
memang memiliki keunggulan tersendiri karena teori tersebut mempertimbangkan
konteks wacana, seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi. Analisis wacana
kritis juga mempertimbangkan elemen kekuasaan. Ideologi merupakan salah satu
64
konsep sentral dalam analisis wacana kritis karena setiap bentuk teks, percakapan,
dan sebagainya merupakan praktik ideologi atau pancaran ideologi tertentu.
Wacana bagi ideologi merupakan medium karena melalui wacana kelompok
dominan membujuk dan menyampaikan pada khalayak kekuasaan yang dimiliki
sehingga absah dan benar. Hal yang tidak kalah penting adalah posisi pendengar.
Pendengar sangat penting dan harus diperhitungkan karena pendengar tidak
semata-mata pihak yang hanya mendengar, tetapi ikut melaksanakan transaksi
karena mereka terlibat dalam wacana. Akan tetapi analisis wacana kritis ini
semestinya dibantu dengan teori linguistik mikro seperti semantik sehingga tiap-
tiap kata dapat dimengerti maknanya dan pada akhirnya keseluruhan makna
ujaran yang terucap dapat dimengerti.
Teori wacana kritis relevan dengan penelitian ini karena penelitian yang
dilakukan ini juga membahas makna yang tersirat pada bahasa yang digunakan
oleh politisi. Di samping itu, penelitian ini juga membahas kesantunan berbahasa
dan salah satu ukuran kesantunan adalah penyampaian informasi yang jujur
dengan menggunakan bahasa yang jelas dan mudah dipahami. Dalam penelitian
ini latar belakang pembicara, situasi, peristiwa, dan kondisi juga digunakan untuk
menemukan makna yang tersirat di balik sebuah ujaran.
Santoso dalam bukunya yang bertajuk Bahasa Politik Pasca Orde Baru
(2003) menyatakan bahwa metafora sering didayagunakan dalam bahasa politik
untuk membuat konsep yang abstrak menjadi konkret, mengaburkan maksud, dan
menguatkan pesan ideologi. Pada pasca-Era Orde Baru metafora banyak
digunakan oleh elite politik. Temuan itu sangat relevan dengan penelitian ini
65
karena penelitian yang dilakukan juga membahas metafora sebagai sarana
penyampaian ideologi serta alat yang dapat digunakan untuk menaati atau
melanggar kesantunan. Tulisan Santoso (2003) dengan penelitian ini sangat mirip
karena keduanya membahas bahasa politisi dengan menggunakan teori yang
sama, yaitu teori analisis wacana kritis. Perbedaannya, penelitian ini membahas
masalah kesantunan berbahasa dan strategi kesantunan untuk meminimalkan
ancaman terhadap muka, sedangkan Santoso (2003) tidak membahasnya.
Simpen dalam karyanya yang berjudul “Kesantunan Berbahasa pada Penutur
Bahasa Kambera di Sumba Timur” (2008) menyatakan bahwa tujuan melakukan
kajian terhadap kesantunan berbahasa ialah untuk menemukan, mendeskripsikan,
dan menganalisis satuan verbal yang digunakan sebagai kesantunan, makna
kesantunan, unsur suprasegmental yang memengaruhi kesantunan, dan unsur
paralinguistik yang menyertai kesantunan. Landasan teori yang digunakan adalah
teori Linguistik Kebudayaan dan teori Sosiopragmatik. Hasil analisis
menunjukkan bahwa kesantunan berbahasa dipengaruhi oleh faktor status, jenis
kelamin, usia, dan hubungan kekerabatan. Secara teoretis dan metodologis, tulisan
Simpen ini sangat mendukung karena teori Sosiopragmatik tidak dapat dilepaskan
dari kebudayaan yang melatarbelakangi setiap penutur. Faktor-faktor penentu
kesantunan juga dipaparkan dengan lengkap. Tulisan ini mempunyai relevansi
dengan penelitian ini karena sama-sama meneliti kesantunan. Perbedaannya
adalah bahwa Simpen (2008) meneliti bahasa yang digunakan oleh masyarakat
umum, sedangkan penelitian ini difokuskan pada bahasa yang digunakan oleh
kaum politisi. Perbedaan lainnya adalah faktor-faktor penentu kesantunan dalam
66
Simpen (2008) berbeda dengan faktor-faktor penentu kesantunan penelitian ini,
misalnya penelitian ini tidak mengikutsertakan jenis kelamin, umur dan latar
belakang pendidikan sebagai parameter pengukur.
Wijana dan Rohmadi dalam bukunya yang berjudul Analisis Wacana
Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis (2011) membahas situasi tutur, tindak
tutur, jenis, jenis tindak tutur, presuposisi, implikatur dan perikutan, prinsip kerja
sama, prinsip kesantunan dan parameter pragmatik, serta wacana tekstual dan
kontekstual. Untuk analisis prinsip kesantunan, Wijana dan Rohmadi (2011)
menggunakan teori Leech (1986) dan untuk prinsip kerja sama mereka
menggunakan teori maksim Grice (1975). Wijana dan Rohmadi juga menganalisis
beberapa teks permainan bahasa, peribahasa, implikatur, wacana rekreatif, dan
wacana kampanye politik. Wijana dan Rohmadi (2011) juga membahas teori
pragmatik dengan lengkap beserta contoh-contoh analisis teks. Mereka juga
membicarakan masalah kesantunan dan kerja sama. Karya mereka terkait dan
relevan dengan penelitian ini karena memberi masukan tentang berbagai teori
pragmatik yang dapat dijadikan pertimbangan dalam penentuan landasan teori
penelitian.
Akan tetapi ada perbedaan tulisan mereka dengan fokus penelitian ini.
Analisis dalam tulisan Wijana dan Rohmadi (2011) menggunakan teori maksim
Grice (1975) dan teori kesantunan Leech (1986) untuk menganalisis berbagai
macam teks. Sebaliknya penelitian ini menggunakan teori maksim Grice (1975),
Leech (1983), dan teori tindakan mengancam muka Brown & Levinson (1987)
sebagai teori dasar kemudian dikembangkan sesuai dengan keberadaan data.
67
2.2 Konsep
Dalam bagian ini disajikan konsep yang merupakan terminologi teknis dari
komponen-komponen kerangka teori. Terminologi yang akan dipaparkan adalah
politisi, bahasa politisi, talk show, satuan verbal, kesantunan berbahasa dan
ideologi.
2.2.1 Politisi
Untuk mendefinisikan politisi terlebih dahulu harus diketahui apa yang
dimaksud dengan politik. Menurut Susanto (2010:18) politik dapat diartikan
sebagai siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana, pembagian nilai-nilai oleh
yang berwenang; tindakan yang diarahkan untuk mempertahankan dan atau
memperluas tindakan lainnya, atau kegiatan orang secara kolektif yang mengatur
perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial.
Hornby (1973:748) mendefinisikan bahwa politisi adalah orang yang
berkecimpung di bidang politik atau orang yang tertarik pada bidang politik.
Sementara itu Webster’s (1956:654) menyantumkan bahwa politisi adalah orang
yang ahli dalam bidang pemerintahan atau orang yang sangat aktif dalam partai.
Penelitian ini menggunakan konsep politisi yang dikemukakan oleh Webster
(1956:654) karena politisi yang digunakan sebagai sampel adalah mereka yang
aktif di partainya, dan sebagai konsekuensi keaktifannya, mereka dicalonkan oleh
partainya untuk menjadi anggota DPR.
68
2.2.2 Bahasa Politisi
Santoso (2003:1) menyatakan bahwa bahasa politisi adalah bahasa yang
digunakan oleh para politisi, yang mengandung ideologi dan kekuasaan untuk
mencapai maksud-maksud atau tujuan politik tertentu. Menurut Abdullah
(2009:31) bahasa politik adalah bahasa yang digunakan oleh politisi yang berisi
pesan-pesan politik seperti isu politik, peristiwa dan perilaku politik individu-
individu, baik sebagai penguasa maupun yang berada dalam asosiasi-asosiasi
kemasyarakatan atau asosiasi politik. Penelitian ini menggunakan pengertian
bahasa politisi yang dikemukakan oleh Santoso (2003:1) karena salah satu
masalah dalam penelitian ini ialah menemukan ideologi yang tersirat di balik
perilaku berbahasa para politisi.
2.2.3 Talk Show
Menurut Hornby (1973:1030), talk show adalah pertunjukan untuk berbicara,
memberi informasi, berdiskusi, dan sebagainya. Talk show biasanya dipandu oleh
seorang pemandu yang memberikan pertanyaan-pertanyaan pada narasumber yang
sudah ditentukan sebelumnya. Dalam Webster’s New Collegiate Dictionary
(1956:866) dinyatakan bahwa talk show adalah pertunjukan untuk
mengekspresikan pertukaran pendapat dengan cara lisan.
Konsep talk show Hornby tersebut sangat sesuai digunakan karena sumber
datanya adalah tayangan talk show yang dipandu oleh seorang pembawa acara dan
melakukan tanya jawab atau berdiskusi dengan beberapa narasumber.
69
2.2.4 Satuan Verbal
Satuan verbal pada bagian ini membahas frasa, klausa, kalimat dan
suprasegmental. Menurut Alwi (1992:77), kata adalah suatu bentuk yang terdiri
atas gabungan bermacam-macam suku kata. Betapapun panjangnya suatu kata,
wujud suku kata yang membentuknya mempunyai struktur dan kaidah
pembentukan yang sederhana, yaitu gabungan vokal dan konsonan. Katamba
(1993:19) mengatakan bahwa kata adalah realisasi fisik tertentu dari leksem (kosa
kata abstrak) yang digunakan dalam bahasa lisan dan bahasa tulis. Sementara itu,
Bauer (1988:343) menyatakan bahwa kata adalah instilah superordinat untuk kata
secara gramatikal, leksim dan bentuk kata. Untuk kepentingan penelitian ini,
konsep dari Alwi tersebut yang digunakan karena dalam bahasa lisan ataupun
bahasa tulis yang digunakan pada umumnya adalah kata, yakni satu unit yang
terdiri atas suku kata yang digunakan untuk merepresentasikan suatu makna.
Frasa adalah satuan sintaksis yang terdiri atas dua kata atau lebih yang tidak
mengandung unsur predikasi (Alwi,1992:312). Katamba (1993:333) menyatakan
bahwa frase adalah konstituen sintaksis yang intinya adalah kategori leksikal,
misalnya nomina, adjektiva, verba dan sebagainya, sedangkan menurut Leech
et.al (1982) frasa adalah bagian langsung dari klausa. Dalam penelitian ini konsep
yang digunakan adalah konsep frasa yang dikemukakan oleh Alwi. Konsep yang
dikemukakannya ini lebih mudah diaplikasikan dalam bahasa lisan yang sudah
ditranskripsi menjadi bahasa tulis karena hanya dengan melihat beberapa kata
yang bergabung untuk membentuk suatu makna, tetapi tidak mengandung
predikasi, sudah dapat dikenali bahwa struktur itu adalah frasa.
70
Alwi (1992:312) mengemukakan bahwa klausa adalah satuan sintaksis yang
terdiri atas dua kata atau lebih yang mengandung unsur predikasi, sedangkan
menurut Katamba (1993:331) klausa adalah unit sintaksis yang mengandung
sebuah verba, tetapi lebih kecil daripada kalimat. Leech et.al ( 1982:27)
menyatakan bahwa klausa adalah unit-unit dasar yang membentuk kalimat.
Penelitian ini menggunakan konsep yang dikemukakan oleh Alwi (1992) karena
lebih mudah dipahami dan lebih mudah diaplikasikan pada data bahasa Indonesia.
Menurut Alwi (1993:313), apabila dilihat dari bentuknya, kalimat dapat
dirumuskan sebagai konstruksi sintaksis terbesar yang terdiri atas dua kata atau
lebih. Leech et.al (1982:27) menyatakan bahwa kalimat adalah suatu komposisi
yang dibentuk oleh satu atau beberapa klausa. Penelitian ini mengikuti konsep
kalimat yang dikemukakan oleh Alwi (1992) karena dalam data penelitian ini
banyak ditemukan kalimat-kalimat pendek. Penelitian ini meneliti bagaimana
struktur kalimat yang banyak digunakan oleh politisi dapat digunakan untuk
menunjukkan kesantunan.
Menurut Alwi (1992:54), suprasegmental adalah satuan fonem yang
berbentuk bunyi, dan dapat pula tidak berwujud bunyi tetapi merupakan aspek
tambahan terhadap bunyi. Suprasegmental dapat berupa tekanan, panjang bunyi,
nada, intonasi, dan ritme. Levinson (1983:225) menyebut suprasegmental itu
dengan nama fitur prosodik dan fitur ini yang menentukan makna pragmatis suatu
informasi. Dalam penelitian ini konsep Alwi yang digunakan karena data
penelitian ini menggunakan intonasi dan tekanan untuk menyampaikan maksud
yang tidak terucap.
71
Konsep-konsep kata, frasa, klausa, kalimat, dan suprasegmental yang
dikemukakan oleh Alwi (1992) digunakan sebagai dasar teori penelitian tentang
kesantunan berbahasa ini.
2.2.5 Kesantunan Berbahasa
Pembicaraan tentang kesantunan berbahasa terkait dengan pembicaraan
tentang sikap bahasa (language attitude) dan etiket berbahasa (language etiquette)
karena kesantunan berbahasa, sikap bahasa dan etiket berbahasa berhubungan
dengan pertimbangan citra diri mitra tutur dan situasi tempat suatu komunikasi
berlangsung. Menurut Kristiansen (1997:291), sikap bahasa adalah suatu satuan
psikologi yang melibatkan pengetahuan, perasaan dan perilaku, serta sangat
sensitif dengan faktor situasional, sedangkan etiket berbahasa adalah cara
menggunakan bahasa yang terikat dengan hubungan sosial antara pembicara dan
pendengar, dalam hal ini status dan keakraban (Geertz, 1960:167).
Menurut Fairclough (1989:66), kesantunan berbahasa adalah penggunaan
bahasa yang didasarkan atas kesadaran akan adanya perbedaan kekuasaan, jarak
tingkat sosial dan sebagainya. Sementara itu, Wardhaugh (1987:267) berpendapat
bahwa kesantunan berbahasa adalah perilaku berbahasa yang memperhitungkan
solidaritas, kekuasaan, keakraban, status hubungan antarpartisipan, dan
penghargaan. Kesantunan berbahasa juga ditentukan oleh kesadaran terhadap
kebiasaan sosial.
Grundy (2000:146) menyatakan bahwa kesantunan berbahasa adalah
hubungan suatu ujaran yang diucapkan dan penilaian pendengar tentang
72
bagaimana ujaran itu seharusnya diucapkan, sedangkan Watts (1992:1)
berpendapat bahwa kesantunan berbahasa adalah perilaku berbahasa yang
menunjukkan rasa hormat dan tenggang rasa terhadap mitra tutur.
Konsep kesantunan berbahasa Wardhaugh (1987:267) paling tepat digunakan
pada penelitian ini karena penghargaan terhadap partisipan disebut sebagai salah
satu penentu kesantunan berbahasa. Sesama partisipan seseorang harus
memperhitungkan adanya solidaritas, kekuasaan, keakraban dan status sosial di
antara mereka. Hal ini sangat penting karena data diambil dari percakapan yang
melibatkan beberapa orang.
2.2.6 Ideologi
Kress (1985:27) mengatakan bahwa ideologi adalah istilah yang menaruh
perhatian terhadap bentuk-bentuk pengetahuan dan hubungannya dengan struktur
kelas, konflik antarkelas, interest kelas, cara produksi dan struktur ekonomi, dan
dengan bentuk-bentuk pengetahuan dalam praktik-praktik sosial yang spesifik.
Ideologi memberi perhatian yang sama pada bentuk-bentuk pengetahuan yang
dominan dan bertentangan di masyarakat. Sementara itu menurut Thompson
(1984:17), ideologi adalah sistem berpikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik
simbolik yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik. Thompson
(1984:17) juga berpendapat bahwa ideologi adalah pemikiran yang secara
mendasar berhubungan dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang
tidak simetris, berhubungan dengan pembenaran dominasi. Konsep ideologi
Thompson (1984:18) yang lain menyatakan bahwa ideologi adalah perekat
73
hubungan sosial yang mengikat anggota masyarakat secara bersama dengan
menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati secara kolektif.
Konsep ideologi yang digunakan untuk penelitian ini adalah konsep dari
Thompson (1984:17) yang menyatakan bahwa ideologi adalah sistem berpikir,
sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan
sosial dan politik. Konsep ini relevan dengan penelitian ini yang meneliti bahasa
yang digunakan oleh kelompok masyarakat tertentu, dalam hal ini kelompok
politisi yang bahasanya merupakan refleksi dari cara berpikirnya sebagai politisi
dan warga masyarakat.
2.3 Landasan Teori
Berdasarkan masalah yang dikaji dalam penelitian ini, dapat dikatakan bahwa
payung penelitiannya adalah sosiopragmatik. Ruang lingkup sosiolinguistik
adalah pembahasan tentang hubungan bahasa dan masyarakat (Wardhaugh,
1987:10). Pembicaraannya meliputi dialek, variasi bahasa, pidgin, kreol,
pemilihan bahasa (diglosia, kedwibahasaan, pilihan bahasa, alih bahasa, campur
bahasa), komunitas bahasa, variasi regional dan variasi sosial, perubahan bahasa,
etnografi komunikasi, solidaritas dan kesantunan, analisis percakapan. dan bahasa
dan budaya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sosiolinguistik adalah ilmu
yang mempelajari kaidah-kaidah penggunaan bahasa dalam suatu kelompok
masyarakat. Pragmatik adalah ilmu yang membahas bagaimana bahasa bermakna
dalam suatu situasi (Leech, 1983:X). Di dalamnya termasuk pengancaman muka,
prinsip kerja sama, prinsip kesantunan, tindak tutur, implikatur percakapan, dan
74
paradoks kesantunan. Berdasarkan definisi pragmatik di atas, dapat dikatakan
bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari makna yang tersirat dalam suatu
ujaran yang diucapkan oleh seseorang dalam suatu situasi tertentu. Teori
pragmatik yang digunakan adalah teori yang mengandung unsur pengancaman
muka, prinsip kerja sama, prinsip kesantunan, implikatur percakapan dan
paradoks kesantunan.
Oleh karena penelitian ini akan membahas bahasa yang digunakan oleh
politisi dan mengaitkannya dengan kesantunan, penelitian ini termasuk dalam
penelitian dengan payung ilmu sosio-pragmatik. Teori ini sangat tepat untuk
digunakan karena sosio-pragmatik adalah ilmu yang mempelajari bagaimana
bahasa, termasuk kesantunan, diaplikasikan secara berbeda di situasi yang
berbeda.
2.3.1 Teori Sosiolinguistik
Teori-teori yang berada di bawah payung sosiolinguistik adalah pemilihan
bahasa (choosing a code), bahasa dan kebudayaan (language and culture),
etnografi komunikasi (ethnography of communication), solidaritas dan kesantunan
(solidarity and politeness), dan teori pasangan berdampingan dan pola gilir.
2.3.1.1 Pilihan Bahasa
Pilihan bahasa adalah proses pemilihan sistem yang dilakukan oleh seseorang
untuk berkomunikasi dalam situasi tertentu (Wardhaugh, 1986:99). Pemilihan
bahasa ini dilakukan oleh pembicara karena adanya motivasi tertentu
75
(Wardhaugh, 1986:102). Bahasa merupakan suatu alat komunikasi yang penting
bagi manusia. Di dalam kenyataan sehari-hari para pengguna bahasa yang
memiliki kemampuan menggunakan bahasa lebih dari satu memiliki keleluasaan
untuk memilih bahasa dan ragam mana yang akan digunakan. Alih bahasa dari
satu bahasa ke bahasa yang lain akan menimbulkan pemilihan bahasa, yaitu
memilih bahasa apa yang digunakan pada situasi tertentu, alih bahasa (code
switching), yaitu peralihan dari satu bahasa ke bahasa yang lain dalam suatu
komunikasi, dan pencampuran bahasa (code mixing), yaitu penggunaan suatu
bahasa yang dicampur dengan bahasa lain (Wardhaugh, 1986:102).
Holmes (2001:8) berpendapat bahwa ada beberapa hal yang memengaruhi
pemilihan bahasa. Faktor-faktor tersebut adalah:
1) partisipan: siapa berbicara dan siapa mitra tuturnya;
2) tempat: dimana mereka berbicara;
3) topik: apa yang mereka bicarakan;
4) fungsi : mengapa mereka berbicara.
Pemilihan penggunaan bahasa akan sangat jelas terlihat di dalam situasi
diglosia. Diglosia adalah suatu kondisi wilayah yang menggunakan dua bahasa
atau dua variasi bahasa, tetapi masing-masing bahasa atau variasi tersebut
memiliki perbedaan fungsi yang jelas (Wardhaugh, 1987:87). Di dalam situasi
diglosia penutur bahasa akan merupakan penutur yang bilingual atau multilingual.
Penutur bahasa yang monolingual dulu biasa ditemukan di belahan dunia bagian
barat. Akan tetapi, pada masa kini, kemampuan seseorang untuk mampu
menggunakan lebih dari satu bahasa tidak lagi merupakan sesuatu yang luar biasa.
76
Malahan seseorang yang hanya mampu menggunakan satu bahasa dianggap
sebagai seseorang yang tidak biasa (Wardhaugh, 1987:94).
Menurut Hudson (1980:54), situasi diglosia dijumpai di negara-negara seperti
Yunani, negara-negara berbahasa Arab pada umumnya, Swiss, dan Haiti. Di
negara-negara tersebut, fungsi penggunaan dua bahasa sudah dibedakan, satu
bahasa digunakan pada situasi formal, sedangkan bahasa yang lain digunakan oleh
setiap orang dalam situasi normal sehari-hari. Dua bahasa yang dimaksud dalam
situasi di atas adalah dua bahasa yang berbeda. Akan tetapi, ada situasi dua
bahasa yang dianggap berbeda ternyata hanya berbeda dialek. Misalnya dalam
komunitas Arab. Bahasa yang digunakan di rumah adalah bahasa Arab dialek
lokal sementara bahasa Arab yang digunakan di universitas, atau khotbah di
mesjid adalah bahasa Arab standar yang dalam berbagai level berbeda dengan
bahasa Arab dialek lokal.
Holmes (2001:27) mengatakan bahwa diglosia mempunyai tiga karakteristik
penting, sebagai berikut.
1) Dua variasi bahasa yang sama digunakan dalam satu komunitas, yang satu
dianggap sebagai variasi bahasa tinggi dan yang lainnya dianggap variasi
bahasa rendah.
2) Setiap variasi memiliki fungsi berbeda; variasi bahasa tinggi dan variasi
bahasa rendah saling melengkapi.
3) Tidak ada seorang pun menggunakan variasi bahasa tinggi dalam
percakapan sehari-hari.
77
Di kalangan penutur yang bilingual atau multilingual penutur itu biasanya
akan memilih bahasa mana yang akan digunakan dengan berbagai alasan,
misalnya menganggap bahasa yang satu lebih eksklusif daripada bahasa yang lain.
(Wardhaugh, 1987:106) menyatakan bahwa semakin sedikit kaum muda Slovenia
yang melakukan alih bahasa dari bahasa Slovenia ke Bahasa Jerman, mereka lebih
suka menggunakan bahasa Jerman karena menganggap bahasa Jerman lebih
eksklusif. Alasan lain mengapa orang memilih bahasa yang digunakan adalah
keinginan mendapat cara pandang mitra tutur terhadap dirinya seperti yang dia
kehendaki (Wardhaugh, 1998:108). Akan tetapi, ada juga penolakan terhadap alih
bahasa di suatu komunitas bahasa. Bahkan, penuturnya memaksakan penggunaan
suatu bahasa meskipun dampaknya komunikasi menjadi tidak lancar. Misalnya,
pada zaman imperialisme, orang Eropa menggunakan bahasa lokal pada para
pelayan meskipun mereka tidak dapat menggunakan bahasa itu dengan baik. Hal
ini dilakukan untuk menjaga jarak sosial. Bagi orang-orang Eropa itu komunikasi
tidak lancar lebih baik daripada membiarkan para pelayan itu belajar bahasa
Inggris, Perancis dan sebagainya. Dengan demikian, para pelayan itu tidak pernah
menjadi bilingual dan tidak pernah mampu melakukan alih bahasa atau campur
bahasa (Wardhaugh, 1987:108).
Pemilihan bahasa merefleksikan bagaimana orang tersebut ingin tampil di
hadapan orang lain. Pemilihan bahasa mengandung konsekuensi bagaimana
seseorang akan dipandang oleh orang lain. Canada adalah salah satu negara yang
mempunyai situasi diglosis. Penduduknya menggunakan bahasa Inggris dan
Perancis dengan sama fasihnya. Akan tetapi orang-orang Perancis-Kanada merasa
78
rendah diri di hadapan orang-orang Inggris-Kanada dan orang-orang Perancis asli
karena mereka menganggap kemampuan linguistik dan budaya mereka lebih
rendah dari orang-orang Inggris-Kanada dan orang-orang Perancis (Wardhaugh,
1987:110).
2.3.1.2 Bahasa dan Budaya
Budaya tidak dimaknai sebagai sesuatu yang berkelas tinggi seperti apresiasi
musik, sastra, seni dan sebagainya, tetapi budaya adalah segala sesuatu yang harus
diketahui oleh manusia agar dapat berfungsi di dalam masyarakat tertentu.
Pengetahuan itu secara sosial dapat dipelajari karena bukan merupakan warisan
genetik. Oleh karena itu, budaya adalah kemampuan yang harus dimiliki oleh
manusia agar dapat melakukan pekerjaannya dalam kehidupan sehari-hari, bahasa
digunakan oleh penuturnya untuk mengekspresikan keinginannya. Struktur sebuah
bahasa merefleksikan bagaimana penuturnya memandang dunia dan penggunaan
bahasa akan merefleksikan nilai-nilai yang dianut oleh penggunanya (Wardhaugh,
1987:212).
Wardhaugh (1987:212) juga menyatakan bahwa makna-makna yang berada
di dalam budaya diekspresikan dengan menggunakan bahasa. Akan tetapi, bahasa
juga dapat digunakan untuk menghindari penyebutan hal-hal tertentu.
Penghindaran untuk menyatakan hal-hal tertentu itu bukan karena hal-hal itu tidak
mampu diekspresikan melalui bahasa tersebut, melainkan karena orang tidak
bersedia membicarakan hal-hal tersebut. Apabila hal-hal tersebut harus diucapkan,
pengucapannya akan dilakukan dengan cara berputar atau dengan cara tidak
79
langsung dan cara ini disebut eufemisme (Wardhaugh, 1987:229). Hal-hal yang
tidak boleh diucapkan disebut tabu. Tabu adalah larangan suatu masyarakat untuk
mengucapkan sesuatu yang diyakini dapat membahayakan anggotanya baik dari
segi supernatural maupun dari segi moral. Hal-hal yang dapat ditabukan jenisnya
beraneka ragam, misalnya, mengucapkan sesuatu yang berhubungan dengan ibu
mertua, nama binatang, seks, kotoran manusia, fungsi tubuh, hal-hal yang
berhubungan dengan agama, dan sebagainya. Akan tetapi, tabu dapat dilanggar
dan pelanggaran itu bertujuan untuk menunjukkan bahwa dia tidak dapat dilarang,
untuk menunjukkan bahwa tabu itu tidak masuk akal, untuk menarik perhatian,
untuk menghina, menunjukkan agresivitas atau provokasi, mempermalukan
penguasa, mengatakan hal-hal yang kotor, dan sebagainya (Wardhaugh,
1987:230) Kemunculan tabu mungkin tidak sekerap eufemisme, yaitu menyatakan
sesuatu dengan cara tertentu agar terdengar lebih santun. Kata-kata yang
bernuansa eufemisme akan membuat yang tidak pantas terdengar menjadi netral
dan pantas didengar. Kata-kata yang berhubungan dengan kematian, sakit,
pengangguran dan kriminalitas dapat diperhalus dengan menggunakan eufemisme
(Wardhaugh, 1987:230)
Pendapat tentang eufemisme juga disampaikan oleh Leech (1983:147) yang
mengatakan bahwa eufemisme adalah cara untuk menyembunyikan sesuatu yang
tidak menyenangkan dan menyatakannya dengan cara yang santun. Cara untuk
meminimalkan pernyataan yang tidak menyenangkan ini adalah dengan cara
menggunakan a bit “sedikit” sehingga mengatakan “catnya sedikit kotor”
terdengar lebih santun daripada mengatakan “catnya kotor”(Leech,1983:147).
80
Budaya juga dapat dikaitkan dengan budaya politik. Budaya politik di
Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut (Anonim, www. id.
wikipedia.org/wiki/budaya_politik) .
1. Memiliki hierarki yang ketat yang menunjukkan adanya perbedaan yang
tegas antara penguasa dan orang kebanyakan. Perbedaan ini berdampak
pada penggunaan bahasa, yaitu mereka yang berstatus lebih rendah wajib
menggunakan bahasa halus pada mereka yang bestatus lebih tinggi.
2. Cenderung mencari dukungan dari atas (patronage) dibandingkan mencari
dukungan dari basisnya.
3. Cenderung memperlihatkan perilaku negara yang masih tradisional dan
budaya politik yang berkarakter patrimonial meskipun sudah memiliki
atribut yang bersifat modern dan rasional seperti birokrasi .
2.3.1.3 Etnografi Komunikasi
Hymes (1962:26) mengemukakan suatu kerangka etnografi yang membahas
berbagai macam faktor yang terlibat dalam percakapan. Faktor-faktor itu
disingkat menjadi SPEAKING (S = Setting and Scene. P = Participants, E =
End, A = Act Sequence. K = Key, I = Instrumentalities, N = Norms of interaction
and interpretation, G = Genre).
Setting mengacu pada waktu dan tempat, yaitu lingkungan nyata tempat
terlaksananya suatu percakapan. Scene mengacu pada waktu dan tempat yang
secara psikologi abstrak atau batasan budaya peristiwa bicara. Pada setting
tertentu, seseorang dapat mengubah scene pada saat dia mengubah tingkat formal
81
menjadi tidak formal atau tidak formal menjadi formal. Partisipants adalah
berbagai kombinasi pembicara – pendengar. Dalam percakapan antara dua orang
yang melibatkan pembicara dan pendengar, masing-masing peran dapat berubah.
Pembicara dapat menjadi pendengar dan pendengar dapat menjadi pembicara.
Namun, ada juga komunikasi yang tidak mengubah peran pesertanya, misalnya
dalam pidato politis, partisipannya adalah politisi sebagai orang yang berpidato
dan pendengarnya. Dari awal hingga akhir peran mereka tidak berubah. Ends
mengacu pada hasil yang diperoleh dari suatu komunikasi, Act sequence mengacu
pada bentuk dan isi nyata dari apa yang dibicarakan, Key mengacu pada nuansa
atau perilaku penyampaian pesan, Instrumentalities adalah pilihan bagaimana
pesan itu disampaikan, Norms of interaction and interpretation mengacu pada
perilaku khusus yang menyertai komunikasi dan bagaimana perilaku ini
dipandang oleh orang yang tidak memiliki norma yang sama. Terakhir, genre
mengacu pada jenis-jenis ujaran. Kemampuan seseorang untuk mengaplikasikan
SPEAKING akan membuat orang tersebut memiliki kompetensi berkomunikasi
(communicative competence).
Menurut Salzmann (1998:221) komunikasi tidak hanya bertujuan untuk
memberi/meminta informasi atau tukar menukar ide, tetapi komunikasi dapat juga
digunakan untuk membangun suasana sosial yang fungsinya sama dengan
berpelukan atau berjabatan tangan. Perilaku tutur yang bertujuan untuk
menimbulkan efek emosional itu disebut komunikasi fatis.
82
2.3.1.4 Solidaritas dan Kesantunan
Pada saat seseorang berbicara, dia secara terus menerus harus
mempertimbangkan apa yang ingin dikatakannya, bagaimana mengatakan hal
tersebut, dengan kata dan kalimat apa pesan ingin disampaikan. Setidak-tidaknya,
bagaimana suatu pesan disampaikan sama pentingnya dengan pesan itu sendiri.
Solidaritas dan kesantunan mempunyai kaitan yang sangat erat. Bahasa yang
santun digunakan secara timbal balik oleh partisipan suatu komunikasi yang
menganggap diri mereka setara. Dalam komunikasi tersebut partisipan saling
menghormati. Akan tetapi apabila salah satu partisipan menggunakan bahasa yang
kurang santun kepada partisipan yang lain, hal tersebut menunjukkan adanya
hubungan kekuasaan, dimana yang berstatus lebih tinggi menggunakan bahasa
yang kurang santun kepada mereka yang berstatus lebih rendah.(Wardhaugh,
1987:251-252).
Kata sapaan merupakan hal yang harus diperhatikan dalam aplikasi
solidaritas. Bagaimana menyapa seseorang merupakan hal penting untuk
menunjukkan apakah yang ada adalah solidaritas atau kekuasaan. Apakah
seseorang boleh dipanggil namanya saja, apakah harus dipanggil dengan titel, atau
dengan kombinasi, apakah kata sapaan itu timbal balik? Dengan menggunakan
kata sapaan dan pronomina tertentu, seseorang sudah menunjukkan bagaimana
perasaannya terhadap mitra tuturnya. Rasa solidaritas, kekuasaan, jarak,
penghargaan, keakraban dan sebagainya dapat ditunjukkan melalui penggunaan
kata sapaan (Wardhaugh, 1987:267). Kadang-kadang seseorang merasa perlu
untuk bersikap tidak santun, tetapi ketidaksantunan akan terukur apabila ada
83
standar kesantunan. Ketidaksantunan tergantung dari standar dan norma
kesantunan. Beberapa bahasa memiliki sistem kesantunan yang kompleks.
Misalnya, dalam bahasa Jawa hampir tidak mungkin penuturnya mengatakan
sesuatu tanpa menunjukkan hubungan sosial antara pembicara dan pendengar baik
hubungan status maupun familiarisasi (Wardhaugh, 1987:267).
Menurut Hudson (1980:123), bahasa Inggris memiliki penanda linguistik
yang jelas untuk menunjukkan kekuasaan dan solidaritas. Misalnya John Brown.
Apabila yang digunakan adalah John, hal itu berarti ada rasa solidaritas antara
pembicara dan John Brown. Apabila pembicara menggunakan sebutan Mr.
Brown, maka hal itu berarti ada jarak sosial antara pembicara dan John Brown dan
tidak ada rasa solidaritas di sana. Aturan ini dapat berubah apabila ada izin dari
petutur yang berstatus sosial lebih tinggi.
Teori Solidaritas dan Kesantunan sangat erat kaitannya dengan penelitian ini
karena dalam talk show penggunaan bentuk sapaan seperti “Bapak/Pak”, “Mbak”
dimaksudkan untuk menunjukkan kesantunan atau penggunaan “Mas” atau
“Bang” untuk menunjukkan solidaritas sering digunakan.
2.3.1.5 Analisis Percakapan
Komunikasi dapat berupa komunikasi terencana dan tidak terencana.
Komunikasi yang terencana adalah komunikasi yang sudah dipersiapkan bahkan
dilatih sebelumnya. Sebaliknya, komunikasi yang tidak terencana adalah
komunikasi spontan yang tidak dipersiapkan atau dilatih sebelumnya sehingga
84
komunikasi ini memiliki ciri-ciri pengulangan, penggunaan kalimat-kalimat aktif
yang pendek, penghilangan subjek, dan sebagainya (Wardhaugh, 1987:287).
Dalam suatu komunikasi, salah satu hal yang harus diperhatikan adalah.
pasangan berdampingan (adjacency pair). Pasangan berdampingan adalah ujaran
yang berpasangan. Misalnya pertanyaan diikuti oleh jawaban, jawaban diikuti
oleh komentar, komentar diikuti oleh pemberian pendapat, dan seterusnya
(Wardhaugh, 1987:288)
Richards dan Schmidt (1984:141) menyatakan bahwa berdasarkan definisi,
percakapan melibatkan dua orang atau lebih. Akan tetapi, distribusi kesempatan
berbicara tidak acak karena diatur oleh norma pola gilir (turn taking), yaitu norma
atau konvensi yang menentukan siapa yang berbicara, kapan, dan berapa lama.
Orang yang tidak mengetahui norma pola gilir tidak akan mengizinkan pembicara
lain untuk berbicara, tetapi orang yang tidak mau memberi kontribusi juga akan
dianggap tidak baik, bahkan dapat menyebabkan komunikasi berhenti tiba-tiba.
Pembicara dapat memilih pendengarnya berikutnya berdasarkan pasangan
berdampingan. Apabila diamati dalam setiap pembicaraan pasangan
berdampingan ini akan mengarah pada aplikasi pola gilir. Meskipun sudah
dinyatakan sebelumnya bahwa pertukaran pembicara diatur oleh norma-norma,
Wardhaugh menyebutkan cara lain yang lebih eksplisit untuk menandai
pertukaran pembicara. Cara tersebut adalah pembicara yang akan memberikan hak
bicara pada peserta lain akan berbicara dengan suku kata terakhir diperpanjang
pengucapannya, tinggi nada suara juga dapat menandai keinginan untuk berhenti
berbicara, misalnya menurunkan nada pada suku kata terakhir. Isyarat atau posisi
85
tubuh juga dapat digunakan untuk menandai seseorang berbicara. Misalnya,
tubuhnya akan terlihat lebih santai, menatap orang yang dikehendaki untuk
berbicara dan sebagainyan (Wardhaugh, 1989:289)
Aktivitas lain yang terjadi dalam suatu komunikasi adalah koreksi (repair).
Menurut Wardhaugh (1984:296), koreksi adalah usaha pembicara atau pendengar
untuk meluruskan kesalahan yang terjadi dalam komunikasi. Aktivitas ini dapat
dilakukan baik oleh pembicara maupun pendengar. Dia juga mengatakan bahwa
koreksi ini dapat dilakukan sehubungan dengan adanya isi komunikasi yang salah
atau bahasa yang salah. Perbaikan ini dapat dilakukan oleh pembicara atau mitra
tuturnya.
Teori Analisis Percakapan yang dikemukakan oleh Levinson (1983:296) juga
mengemukakan adanya pola gilir. Dari pembahasan yang dia lakukan pola gilir
adalah organisasi mendasar dari suatu percakapan yang harus diaplikasikan untuk
menyelenggarakan suatu interaksi yang harmonis. Karakteristik dari pergantian
ini adalah satu orang berbicara, berhenti dan kemudian diganti oleh pembicara
berikutnya. Akan tetapi sering kali dalam percakapan, dua partisipan atau lebih
berbicara bersamaan dan normalnya tumpang tindih ini terjadi selama beberapa
detik saja. Setiap pembicara biasanya menggunakan satu kesempatan bicara yang
panjangnya tidak dapat ditentukan karena tergantung pada karakteristik kalimat
bahasa yang digunakannya. Dia juga memberi contoh adanya jenis komunikasi
yang tidak memberlakukan sistem pola gilir. Contoh jenis komunikasi itu adalah
situasi pembelajaran dalam kelas karena pergantian pembicara ditentukan oleh
86
guru, di dalam ruang sidang hakim yang menentukan kapan jaksa atau terdakwa
boleh berbicara.
Levinson (1983:297) menyatakan bahwa analisis percakapan memberi
sumbangan pada bentuk-bentuk linguistik, seperti prosodi, fonologi, sintaksis, dan
leksikon. Misalnya, fitur prosodi digunakan untuk menandai pergantian
pembicara, dan menandai ujaran yang sudah atau belum selesai, dan pemilihan
pembicara,
2.3.2 Teori Pragmatik
Pragmatik adalah ilmu yang mempelajari bagaimana suatu ujaran bermakna
dalam suatu situasi tertentu (Leech, 1983:X), sedangkan Levinson (1983:5)
menyatakan bahwa pragmatik adalah ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa.
Meskipun sama-sama mempelajari makna, pragmatik dan semantik merupakan
ilmu yang berbeda. Menurut Gunarwan (2007:4) semantik adalah ilmu yang
mengkaji hubungan antara bentuk bahasa dan entitas dunia, sedangkan pragmatik
adalah ilmu yang mengkaji hubungan antara bentuk bahasa dan si pengguna
bentuk itu. Leech (1983:6) mengatakan bahwa Semantik dan Pragmatik adalah
dua bidang ilmu yang berbeda. Dia mengatakan bahwa makna dalam semantik
dibatasi oleh properti suatu ekspresi dalam suatu bahasa, sementara makna dalam
pragmatik ditentukan oleh pembicara bahasa tersebut. Berdasarkan definisi yang
diberikan tentang pragmatik, Gunarwan (2007:IX) menyatakan bahwa pragmatik
berkaitan dengan penggunaan bahasa, yaitu bagaimana bahasa digunakan oleh
penutur bahasa itu di dalam situasi interaksi yang sebenarnya. Pragmatik adalah
87
subdisiplin linguistik yang mengaitkan bahasa sebagai sistem lambang dengan
pengguna. Sejalan dengan definisi tentang semantik dan pragmatik di atas, Wijana
& Rohmadi (2009:5) mengatakan bahwa semantik mengkaji makna linguistik atau
makna semantik sedangkan pragmatik mengkaji maksud penutur.
Pragmatik memayungi beberapa teori. Teori-teori tersebut adalah Deiksis,
Implikatur Percakapan, Praanggapan, Tindak Tutur, Struktur percakapan dan
Kesantunan (Levinson, 1983). Akan tetapi dalam analisis ini yang digunakan
hanya teori kesantunan yang terdiri atas Prinsip Kerja Sama (Grice, 1975),
Prinsip Kesantunan (Leech, 1983), dan Pengancaman Muka (Brown &
Levinson,1987).
Kajian pragmatik yang mengkaji maksud penutur sering kali digabungkan
dengan kajian sosiolinguistik sehingga kajiannya disebut kajian sosio-pragmatik.
Leech (1983: 80) menyatakan bahwa sosio-pragmatik adalah ilmu yang mengkaji
bagaimana masyarakat yang berbeda mengaplikasikan kesantunan dengan cara
yang berbeda.
2.3.2.1 Pengancaman Muka
Pengancaman muka adalah tindakan baik verbal maupun non verbal yang
ditujukan untuk mengancam citra diri di hadapan publik. Definisi ini berasal dari
pendapat Brown & Levinson (1978:66) yang menyatakan bahwa muka adalah
citra diri di hadapan publik yang ingin dimiliki oleh setiap orang. Mereka
membagi muka menjadi dua, yaitu muka positif dan muka negatif. Muka positif
adalah keinginan untuk disukai, dihargai, dan diakui oleh orang lain. Muka
88
negatif adalah keinginan setiap manusia untuk tidak diganggu dan agar apa yang
diinginkan tidak dihalangi oleh orang lain. Konsep muka ini berlaku universal.
Mereka juga mengatakan bahwa partisipan dalam suatu komunikasi bekerja sama
untuk saling menjaga muka karena muka kedua belah pihak mudah diserang.
Menurut Brown & Levinson, dalam komunikasi tidak dapat dihindari adanya
pengancaman muka, yaitu perilaku yang merusak muka pembicara dengan cara
melakukan oposisi. Akan tetapi penyampaian pengancaman muka ini dapat
dilakukan dengan cara yang lebih santun yaitu mengurangi tekanan pengancaman
muka. Pengancaman muka dilakukan karena adanya tiga keinginan (Brown &
Levinson,1987:73), yaitu:
1) keinginan untuk menyampaikan pengancaman muka;
2) keinginan untuk efisien dan segera menyampaikan pengancaman muka; dan
3) keinginan untuk tetap menjaga muka mitra tutur dalam tingkat tertentu.
Untuk meminimalkan pengancaman muka Brown dan Levinson (1987)
mengemukakan empat strategi kesantunan, yaitu langsung (bald On-record)
kesantunan negatif, kesantunan positif, dan tidak langsung (off-record).
A. Langsung (Bald On-record)
Strategi langsung adalah strategi kesantunan yang digunakan apabila
keinginan pembicara untuk melakukan pengancaman muka dengan efisiensi
maksimal melebihi keinginannya untuk memuaskan muka mitra tuturnyanya
(Brown & Levinson, 1978:100). Kalimat yang merupakan larangan langsung
89
merupakan contoh strategi ini. Strategi yang digunakan oleh Brown & Levinson
(1987: 100 - 103) dalam strategi langsung ini adalah sebagai berikut.
1) Kasus-kasus yang tidak perlu mengurangi pengancaman muka. Pengancaman
muka langsung ini terjadi apabila, baik penutur maupun mitra tutur sama-sama
tahu bahwa efisiensi maksimum merupakan hal penting.
2) Kasus-kasus pengancaman muka yang berorientasi terhadap penggunaan
strategi kesantunan langsung. Strategi ini digunakan apabila ada tuntutan yang
mengenyampingkan perhatian terhadap muka.
B. Kesantunan positif
Kesantunan positif adalah kesantunan yang langsung ditujukan pada muka
positif mitra tutur (Brown & Levinson, 1987:75). Kesantunan ini menunjukkan
bahwa keinginan mitra tutur dianggap sebagai sesuatu yang juga diinginkan oleh
penutur; apa yang diinginkan oleh mitra tutur juga merupakan hal yang diinginkan
oleh penutur (Brown & Levinson, 1987:106).
Brown & Levinson (1978) mengemukakan bahwa strategi-strategi untuk
kesantunan positif adalah sebagai berikut:
1. Memerhatikan kesukaan, keinginan dan kebutuhan mitra tutur
Misalnya: “What a beautiful vase this is! Where did it come from?” (Brown &
Levinson, 1987:108)
Penutur mengetahui bahwa mitra tuturnya menyukai vas bunga, jadi dia
memuji vas itu untuk menyenangkan mitra tuturnya.
2. Membesar-besarkan perhatian, persetujuan dan simpati pada mitra tutur
90
Misalnya: “What a fantastic garden you have!” (Brown &
Levinson,1987:109).
Pujian itu diucapkan oleh penutur pada mitra tuturnya sebagai usaha
menyenangkan hati mitra tuturnya meskipun sebenarnya taman itu biasa-
biasa saja.
3. Menguatkan minat mitra tutur
Misalnya: “I come down the stairs, and what do you think I see? – a huge
mess all overthe place, the phone’s off the hook and clothes are scattered all
over...” (Brown & Levinson,1987:111)
Pertanyaan “...dan tahukan kau apa yang kau lihat?” digunakan untuk
meningkatkan minat mitra tutur untuk mendengarkan dan juga membagi
pengalaman dengan mitra tutur.
4. Menggunakan penanda identitas kelompok
Misalnya: “Come here, buddy”. (Brown & Levinson,1987:113)
Dengan menggunakan kata sapaan “kawan”, penutur memasukkan mitra tutur
ke dalam kelompoknya.
5. Mencari persetujuan
Misalnya: A : “I had a flat tyre on the way home”
B : “Oh God, a flat tyre”. (Brown & Levinson,1987:118).
Pada saat mengatakan “Ban saya pecah ketika saya pulang”, A bermaksud
mendapat persetujuan dari B dan B memberi persetujuan dengan mengatakan
“Ya Tuhan, ban pecah”.
6. Menghindari ketidaksetujuan
91
Misalnya: A : “That’s where you live, Florida?”
B : “That’s where I was born” (Brown & Levinson,1987:118).
Jawaban B menunjukkan bahwa apa yang dikatakan oleh A salah, dan dia
tidak menyalahkan secara langsung tetapi langsung memperbaikinya.
7. Menunjukkan hal-hal yang dianggap mempunyai kesamaan melalui basa basi
Misalnya: A : “Oh, this cut hurts awfully, Mum”
B : “Yes dear, it hurts terribly, I know.” (Brown &
Levinson,1987:122).
Jawaban B membuat A senang karena apa yang dirasakan, dirasakan juga
oleh B meskipun B sebenarnya tidak tahu sesakit apa rasa sakit yang diderita
oleh A.
8. Menggunakan lelucon
Misalnya: “How about lending me this old heap of junk?” (Brown &
Levinson,1987:129).
Yang dimaksud “gundukan sampah tua adalah mobil Cadillac baru milik
mitra tuturnya. Mobil itu mahal, tetapi dengan bergurau disebut sampah.
9. Menyatakan paham atau mengerti akan keinginan mitra tutur
Misalnya: “I know you can’t bear parties, but this one will really be good –
do come” (Brown & Levinson,1987:130).
Meskipun penutur meminta mitra tuturnya pergi ke pesta, dia menunjukkan
pengertiannya bahwa mitra tuturnya tidak suka pesta sehingga kesan
memaksa dapat dikurangi.
10. Memberikan tawaran atau janji
92
Misalnya: “I’ll drop by sometimes next week” (Brown & Levinson,1987:131).
Penutur berjanji pada mitra tutur untuk mampir di rumahnya dan janji ini
memuaskan keinginan mitra tutur yang ingin penutur mampir ke rumahnya.
11. Menunjukkan keoptimisan
Misalnya: “Look, I’m sure you won’t mind if I borrow your typewriter”.
(Brown & Levinson,1987:131).
Strategi ini menunjukkan apa yang diinginkan oleh penutur merupakan
keinginan mitra tuturnya juga.
12. Melibatkan mitra tutur dalam aktivitas
Misalnya: “Let’s have a cookie, then” (Brown & Levinson,1987:132).
Dengan menggunakan pronomina “kita” penutur sudah menyertakan mitra
tutur ke dalam kegiatan yang akan dia lakukan.
13. Memberikan pertanyaan atau meminta alasan
Misalnya: “Why don’t we go to the seashore”? (Brown &
Levinson,1987:133).
Saran tidak langsung merupakan bentuk kesantunan positif.
14. Menyatakan hubungan secara timbal balik
Strategi ini dilakukan dengan, misalnya mengatakan “I’ll do X for you if you
do Y for me” Dengan mengatakan kalimat seperti di atas, penutur sudah
melunakkan tekanan pengancaman muka (Brown & Levinson,1987:134).
15. Memberikan penghargaan pada mitra tutur
Dengan memberikan penghargaan pada mitra tutur, penutur sudah
memuaskan muka positif mitra tuturnya. Penghargaan ini dapat berupa
93
benda, rasa simpati, pengertian, dan kerja sama (Brown &
Levinson,1987:134).
C. Kesantunan negatif
Kesantunan negatif adalah kesantunan yang ditujukan pada muka negatif
penutur (Brown & Levinson, 1987:134) Berikut adalah strategi kesantunan
negatif yang diberikan oleh Brown & Levinson (1987).
1. Menggunakan ujaran tidak langsung
Misalnya: “I need a comb”. (Brown & Levinson, 1987:139).
Kalimat di atas merupakan perintah tidak langsung dan cara memerintah
semacam ini mengurangi tekanan pengancaman muka negatif.
2. Menggunakan kalimat berpagar
Misalnya: “I suppose that Harry is coming”. (Brown & Levinson, 1987:150).
“Saya rasa” (I suppose) adalah pagar yang melunakkan tekanan pengancaman
muka kalimat “Hari akan datang”. “Saya rasa Hari akan datang” masih
memberi peluang bahwa Hari tidak akan datang.
3. Menunjukkan rasa pesimis
Misalnya: “Can you do X?” (Brown & Levinson, 1987:178).
Kalimat yang menunjukkan rasa pesimis itu mengurangi tekanan pengancaman
muka negatif mitra tutur karena apabila jawabannya “tidak” dia tidak merasa
malu”
4. Meminimalkan beban
94
Misalnya: “I just want to ask you if I can borrow a single sheet of paper”
(Brown & Levinson, 1987:181).
Kata “hanya” (just) menurunkan tekanan terhadap pengancaman muka
negatif.
5. Menunjukkan penghormatan
Misalnya: “We look forward very much to dining with you”( Brown &
Levinson, 1987:186).
Kalimat di atas menunjukkan bahwa mitra tutur adalah orang yang dihormati
sehingga mendapat kesempatan makan malam bersamanya merupakan hal
yang dinanti-nanti.
6. Meminta maaf
Misalnya: “I don’t want to bother you, but...” ( Brown & Levinson,
1987:193).
Kalimat di atas merupakan permohonan maaf sebelum menyatakan sesuatu.
7. Impersonalisasi pembicara dan mitra tutur
Misalnya: “Do this for me” (Brown & Levinson, 1987:195).
Kalimat di atas tidak menunjukkan siapa yang dikenai pekerjaan sehingga
tidak terjadi pengancaman muka.
a. Menyatakan hal yang merupakan pengancaman muka sebagai aturan
umum
Misalnya: “The United States expresses regrets over the occurrence of the
incident” (Brown & Levinson, 1987:212).
95
Penggunaan kata “Amerika Serikat” sebagai pihak yang menyatakan
penyesalan bersifat umum dan penggunaan ini ditujukan agar tidak ada
yang terancam mukanya karena menyatakan penyesalan merupakan
pengancaman muka negatif.
b. Nominalisasi
Misalnya: “Your performing well on the examinations impressed us
favourably” (Brown & Levinson, 1987:212).
“Tampilan baikmu” merupakan bentuk formal dan bentuk formal sejalan
dengan kesantunan.
c. Terus mengucapkan sesuatu seolah-olah terus berhutang budi pada mitra
tutur.
Misalnya: “I’d be eternally grateful if you would ...”( Brown & Levinson,
1987:215).
Ucapan terima kasih diucapkan sebelum mitra tutur melakukan sesuatu.
D. Tidak Langsung (Off Record)
Strategi tidak langsung adalah strategi kesantunan yang menggunakan
bahasa tidak langsung. Strategi ini digunakan apabila seseorang berniat
melakukan pengancaman muka, tetapi dia tidak ingin bertanggung jawab, dia
dapat menggunakan strategi ini dan membiarkan mitra tuturnya
menginterpretasikan apa yang diucapkannya (Brown & Levinson, 1987:216).
Bagaimana menghadapi pengancaman muka dalam kehidupan nyata tergantung
dari faktor-faktor sosial berikut (Brown & Levinson, 1987):
96
1) jarak sosial dari tiap-tiap partisipan,
2) hubungan kekuasaan antara partisipan,
3) derajat ancaman dari tindakan mengancam muka.
Brown & Levinson (1987) mengemukakan beberapa strategi tidak langsung
sebagai berikut:
1. Memberi isyarat
Misalnya: “It’s cold in here” (Brown & Levinson,!987:220).
Kalimat di atas memberi isyarat bahwa seseorang harus menutup jendela supaya
udaranya tidak dingin.
2. Memberi petunjuk
Misalnya: “Are you going to market tommorow?...There’s a market tomorrow”
(Brown & Levinson, 1987:221).
Kalimat di atas menyiratkan bahwa penutur ingin menumpang ke pasar.
3. Mengemukakan praanggapan
Misalnya : “I washed the car again today” (Brown & Levinson, 1987:222).
Kalimat di atas menyiratkan bahwa dia sudah mencuci mobil sebelumnya.
Praanggapan ini menyiratkan bahwa menncuci mobil itu juga tugas mitra tuturnya
karena mereka mengerjakan tugas sama-sama.
4. Mengatakan kurang dari seharusnya
Misalnya: A : “What do you think of Harry?”
B : “Nothing Wrong with him” (Brown & Levinson, 1987:222).
Jawaban B sebenarnya menyiratkan bahwa sebenarnya dia ingin mengatakan
bahwa Hari adalah orang yang tidak baik.
5. Mengatakan lebih dari seharusnya
97
Misalnya: “you never do the washing up” (Brown & Levinson, 1987:225).
Frasa “tidak pernah” digunakan untuk menyatakan sesuatu secara berlebihan dan
hal ini adalah sebuah kritik terhadap mitra tutur.
6. Menggunakan tautolog.
Misalnya: “Your clothes belong where your clothes belong. (Brown & Levinson,
1987:225).
Ucapan di atas menyiratkan penolakan untuk mencarikan baju untuk mitra tuturnya
karena mitra tuturnya sudah tahu dimana baju yang dicari berada.
7. Menggunakan kontradiksi
Misalnya: A : “Are you upset about that?”
B : “well, yes and no” (Brown & Levinson, 1987:226).
Jawaban B merupakan keluhan atau kritik terhadap sesuatu.
8. Menggunakan ironi
Misalnya: “John’s a real genius?” (1987:227).
Jhony dikatakan jenius padahal dia baru saja membuat sejumlah kesalahan fatal.
Jadi, apa yang dikatakan merupakan kebalikan dari faktanya.
9. Menggunakan metafora
Misalnya: “Harry is a real fish. (Brown & Levinson, 1987:227).
Kalimat di atas dapat bermakna bahwa Hari sangat pandai berenang.
10. Mengggunakan pertanyaan retorika
Misalnya: “How many times do I have to tell you...?” (Brown & Levinson,
1987:228).
98
Kalimat di atas menyiratkan suatu kritik bahwa sudah diberitahu berkali-kali
tetap saja tidak mengerti.
11.Menggunakan ujaran bermakna ganda
Misalnya: “John is a pretty sharp cookie” (Brown & Levinson, 1987:230)
Kata “tajam” bisa berarti positif dan negatif tergantung dari konteks
kalimatnya.
12. Menyamarkan objek pengancaman muka
Misalnya: “Looks like someone may have had too much to drink” (Brown &
Levinson, 1987:231).
Kalimat di atas tidak menyebut siapa yang sudah terlalu banyak minum.
13. Overgeneralisasi
Misalnya: “He who laughs last laughs longest” (Brown & Levinson,
1987:231).
Kalimat di atas menyamaratakan bahwa yang tertawa paling akhir adalah
orang yang tertawa terlama, padahal sebenarnya tidak selalu demikian.
14. Memindahkan hal dapat mengancam muka pada orang lain yang tidak
terancam dengan hal tersebut.
Misalnya: “Why not lend me your cottage for the weekend?”(Brown &
Levinson, 1987:133).
Peminjaman vila itu tidak ditujukan pada pemilik villa tapi pada orang lain
yang tidak memiliki villa.
15. Menggunakan elipsis
Misalnya: “Well, I didn’t see you...” (Brown & Levinson, 1987:232)
99
Kalimat di atas tidak diselesaikan karena jika diselesaikan dapat
mengancam muka mitra tuturnya.
2.3.2.2 Prinsip Kerja Sama
Prinsip kerja sama beserta keempat maksimnya adalah ide yang
dikemukakan oleh Grice yang mengatur bahwa seseorang harus membuat
komunikasi dengan memberi sumbangan isi seperti yang diharapkan (Grice,
1975). Prinsip kerja sama ini merupakan bagian dari kesantunan berbahasa.
Sementara itu Kramsch (1998:126) menyatakan bahwa prinsip kerja sama adalah
harapan bahwa partisipan dalam komunikasi informal bersedia bekerja sama satu
sama lain dengan memberi kontribusi dan dalam waktu sepantasnya pada
komunikasi tersebut. Gunarwan (2007:162) menganggap bahwa prinsip kerja
sama bukan nasihat agar komunikator berperilaku baik, melainkan agar
komunikasi di dalam percakapan berlangsung efisien.
Leech (1983:82) menyatakan bahwa prinsip kerja sama yang dikemukakan
oleh Grice (1975) memungkinkan partisipan suatu percakapan untuk
berkomunikasi dengan anggapan bahwa partisipan yang lain bersedia untuk
bekerja sama. Dia juga mengatakan bahwa prinsip kerjasama berfungsi untuk
mengatur apa yang harus dikatakan oleh pembicara untuk dapat memberi
sumbangan pada tujuan komunikasi (Leech, 1983:82).
Sejalan dengan pernyataan di atas, Levinson (1983:102) menyatakan bahwa
prinsip kerja sama yang dikemukakan oleh Grice (1975) melalui maksim-
maksimnya mengemukakan apa yang harus dilakukan oleh partisipan untuk dapat
100
berkomunikasi dengan cara yang efisien, rasional, dan kooperatif. Prinsip kerja
sama yang dikemukakan oleh Grice (1975) tersebut memiliki maksim-maksim
yang menyebutkan apa yang harus dilakukan oleh setiap pembicara dalam suatu
komunikasi agar tidak terjadi ketidaksantunan. Maksim-maksim itu harus
diaplikasikan oleh peserta tutur untuk menjaga kesantunan dan untuk mencapai
tujuan komunikasi. Maksim-maksim tersebut terdiri atas maksim kuantitas,
kualitas, relevansi, dan cara (Grice, 1975:47).
8) Maksim kualitas: pembicara harus jujur. Maksim ini menentukan bahwa
seseorang tidak boleh menyatakan sesuatu yang tidak diyakini
kebenarannya karena tidak cukup memiliki bukti.
9) Maksim kuantitas: apa yang dikatakan harus seinformatif mungkin untuk
membuat interaksi itu berlangsung. Jangan terlalu banyak dan jangan
terlalu sedikit.
10) Maksim relevansi: apa yang dikatakan harus jelas berhubungan dengan
tujuan interaksi.
11) Maksim cara: apa yang dikatakan harus mudah dimengerti, jelas, teratur
dan singkat, menghindari ketidakjelasan dan makna ganda.
Apabila keempat maksim kerja sama di atas diikuti akan terjadi komunikasi
yang sempurna. Apalagi Grice (1975:45) juga menyatakan bahwa keempat
maksimnya menunjukkan pertukaran informasi yang kooperatif karena juga
meliputi aspek perilaku nonlinguistik.
Menurut Grice (1975:45), semua maksim itu terlibat dalam perilaku yang
rasional dan kooperatif. Semua orang dapat beranggapan bahwa dunia ini
101
bergerak dengan berdasarkan satu set maksim yang sudah sangat dipahami dan
kita harus berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikannya dalam kehidupan
nyata. Akan tetapi, dia juga menyadari bahwa penutur tidak selalu mengikuti
maksim-maksim yang dikemukakannya, tidak selalu penutur menyatakan semua
yang ingin dikatakannya secara eksplisit. Ada kemungkinan apa yang ingin
disampaikan dinyatakan lewat implikatur percakapan.
Maksim Grice banyak memiliki kelemahan apabila digunakan sendiri,
misalnya sulit mengukur kejujuran penutur pada saat ujaran diucapkan seperti
yang ditentukan oleh maksim kualitas, sulit mengukur kesantunan penutur hanya
dengan mengukur panjang atau pendeknya ujaran seperti yang tersirat dalam
maksim kuantitas sulit mengukur kesantunan melalui cara bicara seseorang
karena sangat berhubungan dengan budaya dan persepsi mitra tutur, dan sulit
menentukan relevansi ujaran karena sangat berhubungan dengan cara pikir
penutur. Levinson (1983:102) menyatakan bahwa tidak ada orang yang selalu
berbicara mengikuti keempat maksim itu. Hal ini juga sejalan dengan apa yang
dikatakan oleh Grice sendiri. Misalnya, apabila dilihat kehidupan sehari-hari,
banyak terjadi pelanggaran maksim. Dalam maksim kualitas dinyatakan bahwa
orang harus menyatakan sesuatu dengan jujur, tetapi pada kenyataannya orang
sering berkata tidak jujur untuk menghindari ketidaksantunan. Orang akan
mengatakan wajah mitra tuturnya cantik meskipun tidak cantik karena kalau dia
berkata jujur, mitra tuturnya akan tersinggung karena dikatakan tidak cantik.
Maksim kuantitas mengharuskan seseorang untuk seinformatif mungkin, dalam
arti apa yang diucapkan harus jelas dengan panjang ujaran yang cukup. Maksim
102
ini berbenturan dengan adanya implikatur yang menyatakan bahwa penutur tidak
mengatakan apa yang ingin dikatakan dengan sepenuhnya. Sehubungan dengan
itu Wijana dan Rohmadi (2009:49) mengemukakan bahwa kontribusi peserta
tidak selalu terletak pada makna ujarannya, tetapi memungkinkan pula pada apa
yang diimplikasikan ujaran itu. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ada makna
yang tidak terepresentasikan melalui bahasa verbal. Dengan demikian, ada sesuatu
yang tidak terucap tetapi dengan mengandalkan interaksi kooperatif, makna
tersebut dapat dimengerti oleh mitra tutur. Secara maksim kuantitas, keadaan ini
sudah melanggar kesantunan, tetapi implikatur yang dianggap melanggar
kesantunan itu sebenarnya adalah salah satu strategi kesantunan.
Ketidaklangsungan adalah salah satu ciri kesantunan. Untuk berbicara secara
santun, perintah dapat diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya agar
orang yang diperintah tidak merasa diperintah (Wijana dan Rohmadi, 2009:28).
Mereka juga mengatakan bahwa tuturan yang diutarakan secara tidak langsung
lazimnya lebih santun dibandingkan dengan tuturan yang diutarakan secara
langsung. Maksim kuantitas mengharuskan orang berbicara secukupnya. Akan
tetapi, Wijana dan Rohmadi (2009:55) menyatakan bahwa semakin panjang
tuturan seseorang semakin besar pula keinginan orang itu untuk bersikap santun
pada mitra tuturnya. Maksim relevansi mengharuskan apa yang diucapkan harus
relevan. Namun pada kenyataannya sering kali terjadi bahwa respons yang
diberikan tampaknya tidak ada hubungannya dengan ujaran sebelumnya.
Misalnya:
A: Can you tell me the time?
103
B: Well, the milkman has come (Levinson, 1983:97)
Dari percakapan di atas dapat dilihat bahwa A menanyakan jam, tetapi B
menjawab “tukang susu sudah datang”. Komunikasi itu tidak mengalami masalah
apabila A mengetahui jam berapa tukang susu biasanya datang sehingga dia
mendapat jawaban atas pertanyaannya. Akan tetapi, komunikasi itu dianggap
gagal apabila A tidak tahu jam berapa tukang susu biasanya datang. Ada
kemungkinan A menganggap jawaban yang diberikan oleh B tidak merupakan
jawaban atas pertanyaannya. Maksim cara mengharuskan peserta pertuturan
bertutur secara langsung, jelas dan tidak kabur (Rahardi, 2005:57)
A. Ayo cepat dibuka!
B. Sebentar dulu, masih dingin. (Rahardi, 2005:57)
Contoh di atas dapat melanggar maksim cara karena kedua kalimat itu tidak jelas.
Pada saat A mengatakan “Ayo cepat dibuka”, tidak jelas apa yang harus dibuka
dan pada saat B mengatakan “Sebentar dulu, masih dingin” tidak jelas juga apa
yang dimaksud. Keduanya merupakan kalimat yang mengandung ketaksaan
tinggi. Menurut Rahardi (2005:57), petutur yang melanggar prinsip kerja sama
dari Grice dapat dikatakan melakukan pelanggaran.
Aplikasi maksim Grice dapat berakibat pada penggunaan bahasa yang tidak
nyata. Sehubungan dengan itu Leech (1983:80) menyatakan bahwa maksim-
maksim itu tidak berlaku universal karena ada komunitas masyarakat yang tidak
mengaplikasikannya.
Meskipun maksim-maksim Grice (1975) mengharuskan peserta tutur jujur,
menggunakan bahasa yang mudah dimengerti, santun dan bertanggung jawab
104
terhadap apa yang dikatakan, maksim Grice bukan merupakan maksim yang
benar-benar dapat mengukur tingkat kerja sama yang merupakan bagian dari
kesantunan karena menurut Fraser (1983:47), prinsip kerja sama tidak
menyertakan ilokusi. Berdasarkan pembahasan di atas, pandangan bahwa
kejujuran tidak selalu santun atau tuturan yang terlalu panjang tidak selalu
melanggar prinsip kerja sama dapat dibenarkan karena bukan kejujuran atau
panjangnya ujaran yang menentukan kesantunan, melainkan apakah yang kita
ucapkan tidak merupakan ancaman terhadap muka mitra tutur.
Pembahasan tentang prinsip kerja sama beserta maksim-maksimnya memang
menunjukkan banyak kelemahan apabila digunakan untuk mengukur kesantunan.
Akan tetapi prinsip tersebut tetap dipakai sebagai bagian pengukur kesantunan
karena kesantunan tidak mungkin dapat diaplikasikan dalam suatu komunikasi
tanpa adanya kerja sama.
2.3.2.3 Prinsip Kesantunan
Menurut Leech (1983), prinsip kesantunan dengan enam maksimnya adalah
peraturan berkomunikasi untuk menyatakan kesantunan. Kesantunan
memperhatikan hubungan antara dua peserta tutur, Leech (1983:132)
mengemukakan bahwa prinsip kesantunan berupa maksim-maksim yang
menurutnya berpasangan adalah sebagai berikut.
8) Maksim kebijaksanaan (Tact)
Setiap peserta tutur harus meminimalkan kerugian bagi orang lain atau
memaksimalkan keuntungan bagi orang lain. Dalam maksim
105
kebijaksanaan ada kecenderungan bahwa semakin panjang tuturan
seseorang semakin besar pula keinginan orang tersebut untuk bersikap
santun pada mitra tuturnya.
9) Maksim kemurahan hati (Generosity)
Setiap peserta tutur wajib meminimalkan keuntungan diri sendiri dan
memaksimalkan kerugian bagi diri sendiri.
10) Maksim penerimaan (Approbation)
Seorang penutur wajib meminimalkan rasa tidak hormat pada orang lain
dan memaksimalkan rasa hormat pada orang lain.
11) Maksim kerendahan hati (Modesty)
Seetiap peserta tutur berusaha untuk meminimalkan rasa hormat pada diri
sendiri dan memaksimalkan ketidakhormatan pada diri sendiri .
12) Maksim kecocokan (Agreement)
Setiap penutur meminimalkan ketidaksetujuan pada orang lain dan
memaksimalkan kesetujuan di antara mereka.
13) Maksim kesimpatian (Sympathy)
Setiap peserta tutur harus meminimalkan rasa antipati dan memaksimalkan
rasa simpati pada orang lain.
Keenam maksim di atas terpusat pada keharusan untuk memaksimalkan
keuntungan mitra tutur dan meminimalkan keuntungan bagi diri sendiri. Maksim
Leech memiliki kelemahan yaitu maksim-maksimnya mirip bahkan tumpang
tindih satu sama lain
106
Leech (1983:139) berpendapat bahwa kesantunan tidak saja dimanifestasikan
melalui isi percakapan tetapi dimanifestasikan juga melalui bagaimana suatu
percakapan dilakukan dan diatur oleh peserta tutur. Misalnya menyela percakapan
atau berbicara pada waktu yang salah dianggap perilaku tidak santun, atau diam
saja dalam suatu percakapan juga dianggap tidak santun. Topik percakapan juga
patut untuk dipertimbangkan karena menurut Leech (1983:147), penutur lebih
suka berbicara mengenai topik yang menyenangkan dibandingkan dengan topik
yang tidak menyenangkan. Untuk mengurangi rasa tidak menyenangkan,
digunakan eufemisme, suatu cara untuk menyembunyikan subjek yang tidak
menyenangkan, atau menggunakan adverbia misalnya “sedikit”, “agak” untuk
mengurangi makna negatif suatu ujaran.
Berdasarkan pembahasannya, menurut Leech (1983), kesantunan dapat
diekspresikan melalui cara-cara sebagai berikut:
(1) Menyatakan sesuatu dengan cara tidak langsung.
(2) Berbohong.
(3) Menggunakan eufemisme.
(4) lebih menggunakan bentuk tanya (question tag) daripada kalimat
langsung.
Leech (1983:126) mengemukakan bahwa skala kesantunan terdiri atas (a)
skala kerugian dan keuntungan, (b) skala pilihan,( c) skala ketidaklangsungan, (d)
skala keotoritasan, dan e) skala jarak sosial.
(a) Skala kerugian dan keuntungan (cost-benefit)
Semakin tuturan itu merugikan diri penutur, semakin santun tuturan itu.
107
(b) Skala pilihan (optionality)
Semakin penuturan itu memungkinkan penutur menentukan pilihan yang
banyak dan leluasa semakin santun tuturan itu.
(c) Skala ketidaklangsungan (indirectness)
Semakin langsung tuturan, semakin tidak santun tuturan tersebut.
(d) Skala keotoritasan (authority)
Semakin jauh jarak peringkat sosial antara penutur, tuturan yang digunakan
semakin santun. Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat sosial antara
penutur, semakin berkurang tingkat kesantunan tuturan yang digunakan.
(e) Skala jarak sosial (social distance)
Semakin jauh hubungan sosial antara penutur semakin santun tuturan yang
digunakan. Sebaliknya, semakin dekat hubungan sosial antara penutur semakin
berkurang tingkat kesantunan tuturan yang digunakan.
Skala kesantunan lain berupa sistem kesantunan dari Scolon & Scolon
(1995:44-45) yang dibuat berdasarkan penghormatan, solidaritas, dan hierarki.
Sistem kesantunan tersebut melibatkan Power (kekuasaan) dan Distance (jarak
sosial)
(1) Skala penghormatan: apabila dua partisipan berada dalam level yang sama atau
hampir sama, tetapi satu sama lain menjaga jarak.
Polanya adalah (-P, +D) dan strategi yang digunakan adalah strategi saling
menghargai.
108
(2) Skala solidaritas: semua partisipan menunjukkan kedekatan satu sama lain.
Polanya adalah (-P, -D). Partisipan sama-sama menggunakan bahasa yang
santun.
(3) Skala hierarki: partisipan menyadari perbedaan sosial dan menempatkan salah
satunya pada posisi yang lebih tinggi daripada yang lain. Polanya adalah (+P, +/-
D) dan strategi yang digunakan adalah strategi untuk menjaga muka. Penutur
yang berstatus sosial lebih tinggi akan menggunakan bahasa yang tidak sesantun
bahasa yang digunakan oleh orang yang status sosialnya lebih rendah.
Paparan tentang prinsip kesantunan menunjukkan bahwa prinsip kerja sama
yang dikemukan oleh Grice (1975) akan mengatur apa yang akan kita katakan
untuk membantu mencapai tujuan komunikasi. Sebaliknya, prinsip kesantunan
yang dikemukakan oleh Leech (1983) menjaga keseimbangan sosial dan
hubungan baik dengan berasumsi bahwa teman bicara kita bersedia bekerja sama.
Karena kedua prinsip itu dapat dijadikan acuan untuk menghitung tingkat
kesantunan berbahasa seseorang, keduanya digunakan sebagai alat pengukur
kesantunan.
Skala kesantunan yang akan digunakan adalah skala kesantunan dari Scolon
& Scolon (1995) karena ketiganya lebih sederhana dan dapat diaplikasikan
dengan lebih baik pada kondisi partisipannya bestatus sama, tetapi ada yang
menjaga jarak, ada pula yang mengaplikasikan solidaritas.
2.3.2.4 Implikatur Percakapan
109
Menurut Gurnawan (2007:246-247) kata implikatur (implicature) adalah
semula bermakna “menuduh seseorang terlibat dalam perbuatan yang melanggar
hukum”. Kata implicature dalam bahasa Inggris diturunkan dari implicate Makna
ini diubah oleh Grice menjadi sinonim kata imply. Bedanya adalah imply
bermakna menyiratkan secara umum, implicate bermakna menyiratkan secara
kebahasaan. Istilah implikatur selalu dikaitkan dengan Grice yang menentukan
bahwa di dalam berkomunikasi orang harus bekerja sama dengan mitra tuturnya
agar komunikasi itu efektif dan efisien (Gunarwan, 2007:247). Dia juga
mengatakan bahwa implikatur membantu menghindarkan pembicara dari
pengucapan kata-kata yang tidak perlu karena mitra tuturnya sudah memiliki
praanggapan.
Menurut Leech (1983:9) implikatur adalah kondisi yang memungkinkan
penutur menyampaikan sesuatu lebih dari yang diucapkan. Untuk dapat mengerti
apa yang dimaksud oleh penuturnya, mitra tuturnya harus memiliki presuposisi.
Pendapat ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Watts bahwa implikatur
percakapan adalah makna yang tidak disampaikan secara eksplisit, melainkan
harus ditentukan sendiri melalui konteks percakapan itu (Watts, 2003:273)
Menurut Levinson (1983:104), implikatur adalah penarikan kesimpulan
tentang makna, tetapi merupakan penarikan kesimpulan yang berdasarkan isi
pembicaraan dan asumsi kerja sama interaksi verbal. Cara penarikan kesimpulan
ini ada dua macam. Pertama, pendengar menarik kesimpulan berdasarkan
pemikiran bahwa pembicara mengikuti aturan maksim. Kedua, mitra dengar
menarik kesimpulan berdasarkan pemikiran bahwa pembicara dengan sengaja
110
melanggar maksim. Praanggapan adalah latar belakang asumsi yang membuat
suatu aksi, teori, ekspresi atau ujaran, jadi bermakna atau rasional (Levinson
1983:168)
Paparan di atas menyiratkan bahwa implikatur dapat dimengerti dengan cara
memahami hal-hal berikut.
(1) makna linguistik dari apa yang diucapkan,
(2) konteks informasi atau memahami informasi yang sama
(3) asumsi bahwa pembicara bersedia bekerja sama.
Di samping memahami implikatur percakapan, suatu interaksi akan berhasil
dengan baik apabila semua partisipan memiliki praanggapan yang memadai.
Menurut Watts (2003:276) praanggapan adalah asumsi yang dibuat oleh
penutur bahwa mitra tuturnya mempunya pengetahuan yang sama tentang suatu
masalah sehingga mampu menginterpretasikan apa yang diucapkan oleh penutur.
2.3.2.5 Paradoks Kesantunan
Dalam hal membangun suatu hubungan, sikap santun sangat diperlukan.
Akan tetapi, kesantunan yang ditunjukkan oleh seseorang mungkin dimaknai
berbeda oleh mitra tuturnya sehingga terjadilah paradoks pragmatik. Misalnya, A
menjemput B yang membawa tas. A menawarkan bantuan untuk membawakan tas
B, tetapi ditolak oleh B karena B beranggapan bahwa membawa tas itu pekerjaan
yang tidak menyenangkan bagi A sehingga B menganggap A hanya berpura-pura
(Leech 1983:110). Anggapan B bahwa membawa tas itu bukan sesuatu yang
menyenangkan berawal dari praanggapan yang dia miliki. Menurut Grice (1975)
111
karena ketidakjujuran adalah penanda ketidaksantunan, B dapat menganggap A
tidak santun.
Di samping menggunakan bahasa verbal, komunikasi dapat juga dilakukan
dengan bahasa nonverbal atau bahasa tubuh. Mulyana (2010:343) menyatakan
bahwa sebagaimana kata-kata, kebanyakan bahasa tubuh juga tidak universal,
melainkan terikat oleh budaya. Oleh karena itu, bahasa tubuh dapat dipelajari,
bukan bawaan. Bahasa verbal bersifat eksplisit dan diproses secara kognitif tetapi
bahasa nonverbal bersifat spontan, ambigu, sering berlangsung cepat, dan di luar
kesadaran serta kendali (Mulyana, 2010:344). Bahasa nonverbal bergantung pada
jenis kelamin, agama, usia, pekerjaan, pendidikan, kelas sosial, tingkat ekonomi,
lokasi geografis dan sebagainya (Mulyana, 2010:344). Simbol-simbol nonverbal
lebih sulit ditafsirkan daripada simbol-simbol verbal. Oleh karena itu, banyak
orang mengkaji pentingnya komunikasi nonverbal demi keberhasilan komunikasi
(Mulyana:2010:345).
Menurut Mulyana (2010:347-349), hubungan antara bahasa verbal dan bahasa
nonverbal tidak pasti dan tidak terstruktur. Keduanya dapat berlangsung spontan,
serempak dan nonsekuensial. Akan tetapi, setidaknya ada tiga perbedaan antara
bahasa verbal dan nonverbal,yaitu:
(1) Perilaku verbal adalah saluran tunggal, perilaku nonverbal
bersifat multisaluran. Kata-kata datang dari satu sumber, misalnya
diucapkan orang atau dibaca melalui media, tetapi perilaku
nonverbal dapat dilihat, didengar, dirasakan, dibaui atau dicicipi,
dan beberapa isyarat dapat berlangsung secara simultan.
112
(2) Pesan verbal terpisah-pisah, sedangkan pesan nonverbal
berkesinambungan. Artinya, pesan verbal dapat diakhiri kapan
pun penuturnya menginginkan sedangkan pesan nonverbal tetap
mengalir sepanjang ada orang hadir di dekatnya.
(3) Komunikasi nonverbal lebih banyak membawa muatan emosional
daripada komunikasi verbal.
Bahasa tubuh dapat berupa isyarat tangan, gerakan kepala, ekspresi wajah,
tatapan mata, sentuhan, parabahasa yang meliputi kecepatan berbicara, nada,
volume suara, intonasi, kejelasan, warna suara, dialek dan sebagainya, penampilan
fisik, busana, bau-bauan, orientasi ruang dan jarak pribadi, warna dan lain-lain
(Mulyana, 2010).
2.3.3 Teori Ideologi dan Diskursus
Kress (1985:29) mendefinisikan ideologi sebagai bentuk-bentuk pengetahuan
dan hubungannya dengan struktur masyarakat, konflik di masyarakat dan apa
yang disukai di masyarakat, cara produksi dan struktur ekonomi, dan dengan
bentuk-bentuk pengetahuan dalam praktik-praktik sosial yang praktis; ideologi
menaruh perhatian yang sama, baik pada bentuk pengetahuan yang dominan
maupun bentuk pengetahuan yang bertentangan di masyarakat. Dalam artikelnya
Kress (1985:30) membahas hubungan bahasa dengan ideologi. Dia mengatakan
bahwa cara terbaik untuk mengamati ideologi adalah melalui bahasa karena
ideologi dapat dibaca melalui item-item linguistik di dalam teks. Hubungan antara
bahasa dan ideologi dapat terjadi di berbagai level bahasa misalnya di level kata,
113
tata bahasa dan kalimat, bahkan perubahan bentuk aktif ke pasif, atau sebaliknya,
juga membawa pesan tertentu dari pembicara. Karena setiap kegiatan berbahasa
membawa serta ideologi, kategori atau fitur linguistik tidak pernah berdiri sendiri.
Setiap diskursus memiliki tema, aksi utama dan struktur teks. Paparan di atas
menunjukkan bahwa setiap teks, baik tulis maupun lisan, dapat dianalisis untuk
melihat ideologi yang berada di baliknya.
Menurut Thompson (1984:17), beberapa penulis menggunakan
“ideologi”sebagai sebuah istilah yang murni deskriptif: sebagai “sistem berpikir”,
“sistem kepercayaan”, “praktik-praktik simbolik” yang berhubungan dengan
tindakan sosial dan politik. Ideologi juga secara mendasar berhubungan dengan
proses pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak simetris, berhubungan dengan
pembenaran dominasi. Thompson (1984:18) menjelaskan bahwa ideologi bekerja
sebagai perekat hubungan sosial yang mengikat anggota masyarakat secara
bersama dengan menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati secara
kolektif. Bahasa adalah medium dari tindakan sosial. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa bahasa dan tindakan sosial selalu dilakukan berdasarkan ideologi
tertentu.
2.3.4 Faktor-Faktor Penyebab Pelanggaran atau Ketaataan terhadap Kesantunan
Dalam setiap komunikasi pertisipan diharap dapat melakukan komunikasi
dengan santun. Menurut Watts (1992:1), bahasa yang santun adalah bahasa yang
114
tidak terlalu langsung atau bahasa yang menunjukkan penghargaan atau tenggang
rasa pada orang lain. Akan tetapi, ada juga orang yang menganggap bahwa
penggunaan bahasa santun sebagai perilaku yang munafik, tidak jujur, menjaga
jarak, tidak berperasaan, dan sebagainya (Watts, 1992:2). Dia juga mengatakan
bahwa santun atau tidaknya suatu perilaku tergantung pada interpretasi perilaku
tersebut dalam interaksi sosial secara keseluruhan (Watts,1992:8). Dalam bahasa
Inggris, kesantunan adalah sesuatu yang eksklusif dan banyak cara untuk
mengonsepkannya. Hal ini disebabkan oleh makna kesantunan leksem yang
bersifat terbuka untuk dinegosiasikan oleh penutur bahasa Inggris (Watts,
1992:13).
Pernyataan Watts (1992) di atas menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi
seseorang harus santun dan kesantunan merupakan suatu interaksi sosial sehingga
santun atau tidaknya suatu ujaran bergantung pada nilai-nilai yang berlaku dalam
komunitas tempat terjadinya komunikasi. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa kesantunan dilakukan dengan tujuan untuk dapat diterima di suatu
komunitas bahasa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Watts (1992:27) yang
memfokuskan bahwa kelompok sosial harus mengkonsepkan kesantunan karena
mereka yang berpartisipasi dalam interaksi komunikasi sosial.
Untuk membahas tingkat kesantunan penggunaan bahasa para politisi dalam
talk show ”Today’s Dialogue” teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah
gabungan teori prinsip kerjasama (Grice, 1975) dan prinsip kesantunan (Leech,
1983). Alasan penggabungan teori ini ialah karena apabila masing-masing teori
ini digunakan secara terpisah, masing-masing teori itu tidak mampu dengan jelas
115
mengakomodasi data yang ada. Masing-masing teori tersebut tidak mampu
menghitung efektivitas, efisiensi, dan kesantunan bahasa sekaligus. Teori kerja
sama (Grice,1975) yang memiliki empat maksim, yaitu (1) maksim kualitas, (2)
maksim kualitas, (3) maksim relevansi, dan (4) maksim cara hanya bertumpu
pada keinginan untuk menghasilkan komunikasi yang efektif dan efisien dalam
komunikasi yang sifatnya hanya memberi informasi saja. Karena penggunaan
bahasa dalam komunikasi tidak hanya merupakan pemberian informasi, teori ini
tidak sepenuhnya tepat untuk diaplikasikan dalam suatu kondisi karena yang
berbicara adalah politisi dalam suatu talk show. Karena teori ini mempunyai
kelemahan yaitu tidak memperhitungkan kesantunan, teori kesantunan diperlukan
untuk melengkapi teori tersebut dan teori yang dipilih adalah teori kesantunan dari
Leech (1983). Teori ini memiliki enam maksim, yaitu (1) maksim kebijaksanaan,
(2) maksim kemurahan hati, (3) maksim penerimaan, (4) maksim kerendahan hati,
(5) maksim kesimpatian, dan (6) maksim kecocokan. Dengan demikian, ada
sepuluh maksim yang digunakan untuk mengukur kesantunan berbahasa para
politisi. Teori pengancaman muka dari Brown & Levinson (1987) juga digunakan
untuk memberi alasan mengapa suatu ujaran dikatakan melanggar kesantunan.
Akan tetapi teori pengancaman muka yang digunakan hanya sebatas apakah suatu
ujaran mengancam muka positif atau muka negatif mitra tutur, tidak
menggunakan strategi mengurangi pengancaman muka karena para politisi tidak
menggunakan strategi itu untuk mempersantun ujarannya. Untuk menarik simpati
masyarakat, mereka sengaja menyerang muka negatif atau muka positif mitra
tutur.
116
Teori untuk menganalisis satuan verbal adalah teori yang dikemukakan oleh
Alwi (1992). Teori ini paling sesuai karena data yang dianalisis adalah bahasa
Indonesia. Analisis akan dilakukan atas fonem, morfem dan kalimat.
Fonem yang dalam hal ini berupa suprasegmental sangat penting untuk
memberi tanda bahwa kata yang diberi tekanan merupakan bagian penting
kalimat. Misalnya, “Kita tahu bahwa proses peralihan kepemimpinan terlalu tidak
cermat, selalu menimbulkan dendam politik, (P3-4). Frasa “tidak cermat” dan
“dendam politik” diberi tekanan karena P3 ingin menyampaikan pada pemirsa
bahwa kata-kata itu penting. Dengan memberi tekanan P3 sudah menyampaikan
apa yang dianggap penting tanpa menggunakan perintah verbal.
Morfem juga dianalisis untuk melihat bagaimana para politisi itu
memperlakukan afiksasi terutama pada verba, bagian kalimat yang paling penting.
Apakah mereka menggunakan afiksasi untuk berbahasa santun atau mereka
menghilangkan afiksasi untuk mengaplikasikan kesantunan.
Misalnya, “Sebelumnya kita mau denger tadi komitmen apa yang
dilanggar...(P8)”
Kata “dengar” diucapkan “denger”, menunjukkan bahwa kata itu tidak baku. Kata
itu juga digunakan dalam bentuk tidak baku karena bentuk bakunya adalah
“mendengarkan”. Dengan menghilangkan afiks kata menjadi lebih cepat
diucapkan dan apabila dilakukan berkali-akan akan didapat penghematan waktu
yang signifikan. Penghematan waktu ini akan memberi kesempatan pada
partisipan lain untuk memperoleh waktu yang memadai untuk berbicara.
117
Penghematan waktu ini menunjukkan bahwa pembicara menghargai keberadaan
partisipan lain yang berarti bahwa dia mengaplikasikan maksim penerimaan.
Analisis kalimat dilakukan atas bentuk sintaksis dan hubungan antar klausa.
Tujuannya ialah untuk mengetahui bentuk kalimat apa yang paling banyak
digunakan oleh politisi dan tujuan penggunaan bentuk-bentuk kalimat tersebut.
Untuk meneliti faktor-faktor yang memengaruhi kesantunan atau
ketidaksantunan, analisis dikaitkan dengan maksim kesantunan yang berjumlah
enam. Jadi, analisis faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran atau ketaatan
terhadap kesantunan tidak mengikuti apa yang disampaikan oleh Watts (1992:1).
Dia mengatakan bahwa bahasa santun adalah bahasa yang tidak terlalu langsung
atau bahasa yang menunjukkan penghargaan dan tenggang rasa pada orang lain.
Pernyataan ini kurang detail sehingga perlu dielaborasi. Elaborasi faktor-faktor ini
dikaitkan dengan maksim kesantunan dari Grice (1975) dan maksim kesantunan
dari Leech (1983) sehingga terbentuklah faktor-faktor sebagai berikut.
(a) keinginan untuk menimbulkan rasa antipati pada seseorang,
(b) keinginan untuk menimbulkan rasa tidak hormat pada seseorang,
(c) keinginan untuk mendominasi suatu komunikasi,
(d) keinginan untuk memamerkan kelebihan diri,
(e) keinginan untuk membebaskan diri dari beban,
(f) keinginan untuk memaksakan kehendak pada orang lain.
Sementara faktor yang menyebabkan ketaatan pada kesantunan merupakan
(1) penghargaan pada orang lain,
(2) solidaritas.
118
Ideologi yang tersirat dalam bahasa yang digunakan oleh politisi merupakan
salah satu topik bahasan disertasi ini. Ada beberapa definisi tentang ideologi.
Menurut Kress (1985:29), ideologi adalah hubungan pengetahuan dengan segala
sesuatu yang terjadi di masyarakat. Sementara itu Thompson (1984:17)
menyatakan bahwa ideologi adalah cara berpikir yang berhubungan dengan
tindakan sosial dan politik. Definisi Thompson lebih tepat karena penelitian ini
meneliti tentang politisi dengan cara berpikirnya sendiri. Apa yang dikatakan oleh
politisi mempunyai tujuan politis dan itulah ideologinya. Jadi, untuk penelitian
ini, ideologi adalah maksud dalam setiap ujaran politisi. Hal ini sejalan dengan
pendapat Voloŝinov (1973:70) yang mengatakan bahwa bahasa tidak bisa
dipisahkan dari ideologi. Karena semua penggunaan bahasa mempunyai maksud
tertentu, ideologi dapat disamakan dengan maksud. Setelah mengamati data yang
ada, ideologi utama yang tersirat dalam ujaran politisi adalah kekuasaan dan
solidaritas (power and solidarity), dan ideologi ini didukung oleh ideologi
pembela rakyat (people defender), pemujian diri (self-esteem), pembenaran diri
(self-opinionated), dan penegak hukum (law supremacy).
2.4 Model Penelitian
Kesantunan Bahasa Politisi Dalam Talk Show di Metro TV
Pendekatan Penelitian : Kualitatif dan Kuantitatif
119
Hasil : 1. Tingkat kesantunan politisi 2. Ciri-ciri satuan verbal politisi 3. Faktor-faktor pendorong
kesantuanan/ketidaksantunan politisi 4. Ideologi politisi
Temuan Baru
Sosiolinguistik 1) Etnografi Komunikasi
Landasan Teori
Pragmatik Teori kesantunan yang terdiri atas: 1) Prinsip Kerja Sama 2) Prinsip Kesantunan 3) Pengancaman Muka
Masalah dan Teori Masalah Teori yang Digunakan
1. Bagaimanakan tingkat kesantunan penggunaan bahasa para politisi dalam talk show “Today’s Dialogue” di Metro TV?
1. Prinsip Kerja sama (Grice, 1975) 2. Prinsip Kesantunan (Leech, 1983) 3. Teori Pengancaman Muka (Brown
dan Levinson, 1978) 4. Teori Etnografi Komunikasi
(Hymes, 1964) 2. Apakah ciri-ciri satuan verbal yang
digunakan oleh politisi? Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, 1992)
3. Faktor-faktor apakah yang mendorong para politisi melakukan pelanggaran atau menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa?
Kesantunan dalam Bahasa (Watts, 1992)
4. Ideologi apakah yang tersirat dibalik bahasa politisi yang melanggar atau menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa?
Analisi Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia (Thompson, 1984)
120
Penelitian tentang kesantunan bahasa politisi dalam talk show di Metro TV
menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Pada dasarnya, pendekatan
yang digunakan adalah pendekatan kualitatif sedangkan pendekatan kuantitatif
hanya digunakan sebagai pendukung dalam menentukan tingkat kesantunan
berbahasa politisi. Karena penelitian ini meneliti penggunaan bahasa dalam
situasi dan kelompok partisipan tertentu, dalam hal ini, kelompok politisi dalam
talk show televisi, teori yang digunakan adalah teori sosiopragmatik, yaitu ilmu
yang mempelajari bagaimana prinsip kerja sama dan prinsip kesantunan
diaplikasikan dengan cara yang berbeda di lingkungan yang berbeda
(Leech,1983). Sosiolinguistik meliputi pemilihan bahasa, bahasa dan budaya,
etnografi komunikasi, solidaritas, dan kesantunan, sedangkan pragmatik meliputi
prinsip kerja sama, prinsip kesantunan dan pengancaman muka, deiksis,
praanggapan dan tindak tutur. Masalah yang akan diteliti adalah (1) tingkat
kesantunan penggunaan bahasa para politisi dalam talk show “Today’s Dialogue”
yang dianalisis menggunakan teori kerja sama (Grice, 1975), teori kesantunan
(Leech, 1983), teori pengancaman muka (brown dan Levinson, 1978), dan teori
Etnografi Komunikasi (Hymes, 1964), (2) ciri-ciri satuan verbal yang digunakan
oleh politisi yang dianalisis menggunakan teori Tata Bahasa Baku Bahasa Baku
Bahasa Indonesia (Alwi, 1992), (3) faktor-faktor yang mendorong para politisi
melakukan pelanggaran atau menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa yang
dianalisis menggunakan teori Kesantunan dalam Bahasa (Watts, 1992), (4) dan
ideologi yang tersirat di balik bahasa politisi yang melanggar atau menaati
kaidah-kaidah kesantunan berbahasa yang dianalisis menggunakan teori Analisis
121
Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi Dunia (Thompson, 1984). Hasil
penelitian yang diharapkan adalah pengetahuan tentang bagaimana tingkat
kesantunan politisi, satuan verbal yang menjadi ciri bahasa politisi, faktor-faktor
yang mendorong politisi melanggar atau menaati kesantunan, dan ideologi yang
tersirat dalam kesantunan/ketidaksantunan bahasa politisi. Berdasarkan hasil
penelitian itu diharapkan dapat ditemukan temuan baru, misalnya maksim-
maksim yang dapat digunakan mengukur kesantunan khusus untuk kelompok
politisi, ciri-ciri satuan verbal yang merupakan ciri bahasa politisi, faktor-faktor
pendorong kesantunan/ketidaksantunan, serta ideologi yang tersirat dalam ujaran-
ujaran mereka.
122
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Menurut
Bungin (2010:59), perbedaan paradigma kuantitatif dan kualitatif hanya berada
pada tatanan pendekatan data di lapangan, bagaimana data diperoleh dan
bagaimana data itu diperlakukan untuk menjelaskan data tersebut.
Meskipun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif dan
kualitatif dan penelitian ini menggunakan populasi dan sampel, penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif yang bertumpu kepada fenomenologi. Hal ini
disebabkan penelitian ini meneliti fenomena sosial (tindakan manusia) termasuk
penggunaan bahasa. Hasil penelitian ini dipaparkan secara deskriptif karena
menurut Brown & Rodgers (2002:12) penelitian kualitatif merupakan penelitian
yang didominasi oleh data-data nonangka, sedangkan penelitian kuantitatif adalah
penelitian yang didominasi angka-angka (Brown & Rodgers, 2001:15).
Pendekatan kuantitatif diperlukan sebagai pendukung untuk menghitung
persentase kesantunan politisi saja sementara deskripsi penjelasannya tetap
bertumpu pada pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif sangat tepat untuk digunakan dalam penelitian
fenomenologi. Bungin (2003:9) menyatakan bahwa pada dasarnya fenomenologi
berpandangan bahwa apa yang tampak di permukaan termasuk pola perilaku
manusia sehari-hari hanya suatu gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi
123
di kepala pelaku. Sesungguhnya realitas bersifat subjektif dan maknawi,
bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan
seseorang.
Berdasarkan paparan tentang apa yang dimaksud dengan fenomenologi dan
penelitian kualitatif, dapat dikatakan bahwa fenomenologi dan jenis penelitian
kualitatif sangat sesuai dengan topik penelitian disertasi ini. Kesesuaian itu
didasarkan atas tiga alasan. Pertama, penelitian ini meneliti bahasa yang
digunakan oleh politisi sebagai salah satu bentuk tingkah laku sosial. Kedua,
penggunaan bahasa ini merupakan realitas sosial dan dalam realitas sosial itu ada
tindakan dan aktivitas kelompok politisi sebagai pengguna bahasa. Ketiga,
pemilihan talk show sebagai tempat di mana komunikasi berlangsung didasarkan
pendapat bahwa dalam talk show dapat ditemukan berbagai macam fenomena
penggunaan bahasa karena apa yang terucap hanya merupakan gejala atau
fenomena dari apa yang tersembunyi di kepala si pembicara. Pendekatan
kuantitatif hanya digunakan sebagai pendukung untuk memberikan data berbentuk
angka tentang tingkat kesantunan politisi.
Kelompok politisi atau siapa pun, pada saat menggunakan bahasa pasti
melibatkan niat, pertimbangan atau alasan tertentu. Dengan kata lain setiap
penggunaan bahasa pasti memiliki ide, niat, pertimbangan, atau alasan tertentu
yang direalisasikan melalui bahasa yang tersurat atau tersirat. Bagaimana semua
hal itu dapat dimengerti oleh mitra tuturnya juga akan menentukan
keberlangsungan dan keharmonisan suatu komunikasi. Setiap pembicara dapat
dipastikan mempunyai niat untuk berbicara santun. Akan tetapi, apabila
124
kesantunan itu dilanggar baik disengaja untuk menyampaikan maksud tertentu
maupun dengan tidak sengaja karena keterbatasan pengetahuan, pembicara sudah
melanggar prinsip kerja sama (Grice, 1975) dan prinsip kesantunan (Leech,1983).
Pendekatan fenomenologi dapat digunakan untuk membedah bahasa yang
digunakan oleh para politisi dan suatu kegiatan sosial yang disebut talk show
untuk menentukan bentuk dan penggunaan bahasa politisi, tingkat kesantunan
para politisi dan ideologi yang melatarbelakangi bahasa yang mereka gunakan.
Hasil analisis kemudian dipaparkan secara deskriptif.
3.2 Deskripsi Lokasi Pengambilan Data
Lokasi penelitian ini adalah stasiun Metro TV di Jakarta yang beralamat di
Kav A – D Jl. Pilar Mas Raya, Kelurahan Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta
Barat 11520. Alasan pemilihan lokasi ini adalah:
1) Menurut hasil voting di archive.kaskus.us >home>CASCISCUS, diunduh
6 September 2011, Metro TV dinyatakan merupakan media elektronik
yang paling bagus pengemasan beritanya.
2) Media ini merupakan media informasi politik dan sosial, bukan media
hiburan. Hal ini memberikan kemudahan dalam proses penelitian karena
ketersediaan data dalam jumlah yang cukup dapat diakses dengan mudah
dan kualitas rekamannya pun sangat jelas, baik gambar maupun suaranya
sehingga memudahkan transkripsi data.
3) Metro TV merupakan stasiun TV yang sangat cepat tanggap terhadap isu-
isu sosial dan politik terkini. Dengan demikian, tayangan talk show di
125
Metro TV biasanya mengupas hal-hal terkini dan penting bagi masyarakat,
seperti korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Kondisi
ini memberikan peluang kepada politisi yang diundang sebagai
narasumber untuk menggunakan bahasa sebagai media penyampaian apa
yang ada dalam pikirannya tentang topik yang dikenal masyarakat.
4) Dalam setiap tayangan, pendahuluan selalu diberikan baik oleh pembawa
acara maupun dalam bentuk narasi yang disampaikan oleh orang di luar
pembawa acara atau narasumber sehingga pemirsa memahami apa yang
akan dibicarakan dalam setiap tayangan talk show.
3.3 Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang diambil adalah data kualitatif berupa kata-kata, frasa,
kalimat, dan wacana, yang diucapkan oleh para politisi yang menjadi narasumber
pada setiap tayangan talk show. Data ini merupakan data primer karena langsung
diambil dari sumbernya.
Sumber data penelitian ini adalah rekaman tayangan talk show Today’s
Dialogue yang ditayangkan setiap hari Selasa malam pukul 23.00 – 24.00 WITA.
Tayangan yang dijadikan sebagai populasi adalah tayangan periode bulan Januari
– Maret 2011, jadi berjumlah duabelas tayangan. Kedua belas tayangan itu
diseleksi berdasarkan purposive sampling dengan kriteria sebagai berikut.
1) Setiap tayangan harus menampilkan lebih dari dua narasumber dengan
alasan bahwa salah satu cara mengukur kesantunan adalah dengan
126
melihat kesediaan partisipan untuk berbagi waktu berbicara dan
tidak melakukan interupsi sekehendak hati.
2) Dalam setiap tayangan harus ada politisi karena objek yang akan diteliti
adalah bahasa yang digunakan oleh politisi.
3) Politisi yang dipilih adalah mereka yang pernah menjadi pengurus di
partainya atau mereka yang pernah menjadi wakil rakyat di DPR.
Perannya yang aktif akan membuat mereka banyak menggunakan
bahasa di hadapan publik sehingga tidak ada alasan mereka
tidak biasa bicara di hadapan publik termasuk di media televisi.
4) Tayangan membicarakan topik berbeda dan merupakan topik yang
sedang hangat dibicarakan di masyarakat pada saat episode itu
ditayangkan.
5) Politisi harus mempunyai alokasi waktu terbanyak untuk berbicara
sehingga cukup banyak waktu untuk menilai kesantunannya.
Berdasarkan kriteria di atas, episode yang memenuhi kriteria itu berjumlah
Lima, seperti tertera di bawah ini.
(1) “Lucunya Negeri Ini” ditayangkan 11 Januari 2011
Narasumber: a) Amin Rais (Mantan Ketua MPR)
b) Hidayat Nur Wahid (Mantan Presiden PKS)
c) Djohermansyah Djohan (Dirjen Otonomi Daerah
Kemendagri)
(2) “Krisis Kepemimpinan Nasional” ditayangkan 2 Februari 2011
Narasumber: a) Endriartono Sutarto (Mantan Panglima TNI)
127
b) Marzuki Ali (Ketua DPR & Penasihat Partai Demokrat)
c) Komaruddin Hidayat (Rektor Universitas Islam Nasional)
d) Siswono Yudho Husodo (Ketua Pakar Nasional Demokrat)
(3) “Politik Beretika” ditayangkan 22 Februari 2011
Narasumber: a) Gayus Lumbuun (Fraksi PDI-P DPR RI)
b) Abdullah Dahlan (Peneliti ICW)
c) Budiarto Shambazy (Jurnalis Senior)
(4) “SBY Gertak Koalisi” ditayangkan 1 Maret 2011
Narasumber: a) Bambang Soesatyo (Pengurus harian DPP Partai Golkar)
b) Sutan Bhatoegana (Ketua DPP Partai Demokrat)
c) Mahfudz Siddiq (Ketua DPP PKS)
d) Maruarar Sirait (Ketua DPP PDI-P)
e) Burhanuddin Muhtadi (Pengamat Politik)
(5) “Menekan Parpol Koalisi” ditayangkan 29 Maret 2011
Narasumber: a) Saan Mustapa (Wakil Sekjen Partai Demokrat)
b) Bambang Soesatyo (Fungsionaris Partai Golkar)
c) Nasir Djamil (Ketua DPP-PKS)
d) Burhanuddin Bustami (Pengamat Politik)
e) Ahmad Rifai (Kuasa Hukum Yusuf Supendi)
Penggunaan sampel dalam penelitian kualitatif dibenarkan oleh Bungin
(2001) yang berpendapat bahwa penggunaan sampel dapat menghemat dana dan
waktu tanpa melemahkan arti penelitian itu.
128
Alasan menggunakan tayangan ini adalah (1) tayangan tersebut melakukan
pemilihan narasumber dengan sangat selektif dan selalu relevan dengan topik
yang sedang hangat dibicarakan pada saat itu, (2) narasumber tayangan tersebut
juga berasal dari kelompok yang berbeda dengan ideologinya masing-masing
sehingga diskusi menjadi menarik karena masing-masing narasumber berpegang
pada ideologinya masing-masing, (3) dalam tayangan talk show itu pasti
ditemukan fenomena kebahasaan yang berhubungan dengan kesantunan, (4)
tayangan dapat dibeli dari Stasiun Metro TV dan sudah mendapat izin untuk
digunakan dalam penelitian ini, dan (5) tayangan tersebut dipilih karena
keputusan untuk menggunakan tayangan tersebut sebagai sumber data baru
diambil bulan April 2011 sehingga periode Januari – Maret 2011 adalah periode
terdekat.
3.4 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan instrumen seperti alat rekam tayangan, komputer,
lembar transkripsi dan lembar verifikasi. Alat rekam ini digunakan oleh staf
Metro TV untuk merekam tayangan yang sudah ditentukan sebagai sampel.
Komputer dan lembar transkripsi digunakan untuk memutar tayangan sekaligus
mentranskripsi data dan lembar verifikasi digunakan pada saat melakukan
verifikasi data.
Setelah data diperoleh, untuk mengukur kesantunan, data tersebut dianalisis
dengan menggunakan sepuluh maksim yaitu (1) maksim kualitas, (2) maksim
kuantitas, (3) maksim cara, (4) maksim relevansi, (5) maksim kebijaksanaan, (6)
129
maksim kemurahan hati, (7) maksim kerendahan hati, (8) maksim penerimaan, (9)
maksim kesimpatian, dan (10) maksim kecocokan.
4.5 Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data adalah metode dokumentasi dan observasi.
Metode dokumentasi digunakan untuk mencatat data yang relevan untuk
dianalisis berdasarkan rumusan masalah, untuk mengumpulkan data-data tentang
politisi yang menjadi narasumber dalam tayangan yang menjadi sumber data.
Metode dokumentasi dijabarkan menjadi pengumpulan data, reduksi data,
penampilan data, verifikasi dan data yang dihasilkan (Miles and Huberman,
114:10-11)). Berdasarkan pernyataan tersebut, dokumentasi penelitian ini
dilakukan dengan mengaplikasikan langkah-langkah sebagai berikut.
1) Tayangan yang sudah terpilih, ditranskripsi untuk memperoleh data tertulis.
Data tertulis yang ditranskripsi merupakan ujaran-ujaran semua partisipan
termasuk narasumber yang bukan politisi dan ujaran-ujaran pembawa acara.
2) Data itu kemudian direduksi sehingga yang tersisa hanya narasi, ujaran-ujaran
dan pertanyaan-pertanyaan pembawa acara serta ujaran-ujaran para politisi.
3) Ujaran politisi dipotong-potong menjadi unit-unit yang lebih kecil dan unit-unit
yang kecil digabungkan menjadi unit-unit yang lebih besar untuk
mempermudah penentuan makna. Pemotongan unit ujaran didasarkan pada
apakah politisi itu menjawab satu pertanyaan pembawa acara sedangkan
penggabungan unit dilakukan untuk membuat unit tersebut cukup panjang,
bermakna sehingga dapat dianalisis.
130
4) Data tersebut kemudian di verifikasi untuk memperoleh kepastian apakah tafsir
terhadap data tersebut sudah benar.
5) Data yang sudah diverifikasi dijadikan data penelitian.
Unit-unit ujaran yang sudah diverifikasi itu didokumentasikan dan dijadikan
data yang dianalisis untuk melihat tingkat kesantunan berbahasa, ciri-ciri verbal
politisi, faktor-faktor yang memengaruhi kesantunan/ketidaksantunan bahasa, dan
ideologi yang tersirat dalam bahasa itu.
Metode observasi digunakan untuk memperoleh data penggunaan fitur
suprasegmental dengan cara menonton kembali tayangan yang menjadi sumber
data. Faisal (2003:64-66) menyatakan bahwa teknik observasi sangat penting
dalam penelitian kualitatif. Dia juga mengatakan bahwa kegiatan observasi tidak
hanya dilakukan terhadap kenyataan-kenyataan yang terlihat, tetapi juga terhadap
yang terdengar. Sehubungan dengan metode observasi, langkah-langkah yang
dilakukan adalah sebagai berikut.
(1) Masing-masing tayangan ditonton kembali untuk mendengar langsung
penekanan kata dan intonasi ujaran politisi yang menjadi narasumber.
(2) Tekanan kata dan intonasi diperhatikan dan dicatat apabila tekanan dan
intonasi tersebut dianggap dapat merubah makna atau memberikan pesan
tambahan.
(3) Kata yang diberi tekanan khusus dan intonasi yang dianggap menyampaikan
makna tertentu didokumentasikan dan dijadikan data yang akan dianalisis
untuk mengetahui tingkat kesantunan berbahasa politisi tersebut.
131
4.6 Metode dan Teknik Penganalisisan Data
Data yang sudah dikumpulkan dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif dan kuantitatif. Penggabungan kedua metode ini dilakukan berdasarkan
pemikiran bahwa untuk menentukan tingkat kesantunan, penghitungan parameter
kesantunan dan ketidaksantunan harus dilakukan.
Teknik yang digunakan adalah sebagai berikut.
1) Unit-unit ujaran politisi dianalisis untuk memperoleh predikat kesantunan.
Prosedur yang dilakukan diuraikan berikut ini.
a) Menggunakan kesepuluh maksim kesantunan untuk menentukan
maksim apa saja yang dilanggar dan diaplikasikan. Kesepuluh maksim
itu diperoleh dari empat maksim kerja sama (Grice, 1975) dan enam
maksim kesantunan (Leech, 1983). Maksim yang dikemukakan oleh
Grice dan maksim yang dikemukakan oleh Leech merupakan maksim
yang saling melengkapi karena komunikasi yang baik adalah
komunikasi yang mengedepankan kerja sama dan kesantunan.
b) Dalam analisis untuk menentukan tingkat kesantunan, alih kode,
eufemisme, formalitas, solidaritas, metafora, dan implikatur juga
dijadikan ukuran pelanggaran/aplikasi kesantunan.
2) Unit-unit ujaran politisi diperkecil lagi menjadi kalimat dan klausa untuk
menentukan ciri-ciri verbal bahasa yang digunakan oleh politisi. Teori yang
digunakan adalah teori yang dikemukakan oleh Alwi (1992)
132
3) Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh politisi diteliti maknanya untuk
melihat ideologi apa yang tersirat dalam kalimat-kalimat itu. Analisis ini
didukung oleh teori Etnografi Komunikasi (Hymes, 1962).
Tingkat kesantunan untuk penelitian ini dibagi menjadi empat, yaitu: santun –
cukup santun – kurang santun – tidak santun. Alasan gradasi tersebut adalah (1)
karena kesantunan merupakan kondisi yang bergradasi bukan merupakan dua
kutub yang berlawanan, (2) dalam dunia politik tidak pernah disebutkan adanya
politisi sangat santun karena selama ini politisi dikenal sebagai kelompok yang
tidak santun, sehingga kata santun saja sudah cukup, dan (3) alasan
keseimbangan, yaitu santun dan cukup santun berada pada kutub positif dan
kurang santun dan tidak santun berada pada kutub negatif.
Untuk menentukan tingkat kesantunan, penghitungan dilakukan dalam tiga
tahap, yaitu:
2. Perhitungan dilakukan per unit ujaran politisi dengan rumus:
Jumlah maksim yang dilanggar X 100% Jumlah maksim 2. Hitungan dilakukan per politisi dengan rumus:
Jumlah persentase semua unit Jumlah Unit 3. Hitungan dilakukan untuk semua politisi dengan rumus:
Jumlah persentase semua politisi Jumlah politisi Nilai Kesantunan dihitung berdasarkan persentase sebagai berikut.
Pelanggaran 0 - 20% = sangat santun.
Pelanggaran 21% - 40% = santun.
133
Pelanggaran 41% - 60 % = cukup santun.
Pelanggaran 61% - 80% = kurang santun
Pelanggaran 81% -100% = tidak santun
Perhitungan di atas dibuat berdasarkan pertimbangan bahwa semakin banyak
seseorang melanggar maksim kesantunan, semakin tidak santun bahasa orang
tersebut. Pembagian skala di atas dibuat karena dalam pembicaraan tentang
kesantunan, predikat tersebut di atas yang digunakan. Brown dan Rodgers
(2002:146) mengatakan bahwa pembagian skala tidak diharuskan harus tiga,
empat, lima, enam, atau tujuh. Semuanya diserahkan kepada peneliti berdasarkan
pertimbangan seberapa luas sebaran poin dalam skala dan seberapa banyak
perbedaan dari satu predikat ke predikat berikutnya. Data yang dianalisi dapat
berdasarkan frekuensi atau persentase (Brown dan Roidgers, 2002:122).
Setelah perhitungan dilakukan, skala kesantunan yang dikemukakan oleh Scolon
(1995), yang menyatakan bahwa kesantunan ditentukan oleh skala penghormatan,
skala solidaritas dan skala hirarki, digunakan untuk memberi alasan mengapa
tuturan tersebut dianggap tidak santun.
Berikut disajikan satu contoh analisis data.
Nah...surat dari pimpinan kepada Mahkamah Agung, lembaga yang memastikan bahwa seorang itu betul telah diputus pidana itu lama sekali baru diterbitkan (P5)
P5 adalah mantan ketua Badan Kehormatan di DPR. Dia bertugas untuk memberi
sanksi apabila ada anggota DPR yang bersalah. Akan tetapi, pelaksanaan putusan
selalu terlambat karena Mahkamah Agung memerlukan waktu lama untuk
mengeluarkan putusan apakah seseorang bersalah sehingga sanksi dapat
134
dikenakan. Kelambanan ini menyebabkan sanksi tidak bisa diberlakukan atas
anggota DPR yang sudah dinyatakan bersalah. Ucapan P5 itu merugikan nama
baik Mahkamah Agung sebagai lembaga negara karena dinilai lamban sehingga
menghambat proses hukum. Oleh karena itu, P5 dianggap melanggar maksim
kebijaksanaan. Karena hanya melanggar satu maksim, berarti nilai
pelanggarannya 10%, dan dia dapat dikategorikan politisi yang sangat santun.
Pelanggaran maksim kebijaksanaan itu mengancam muka positif Mahkamah
Agung karena apa yang sudah dilakukan tidak dihargai.
4.7 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Metode yang digunakan untuk menyajikan hasil penelitian dapat berupa
metode formal dan informal. Sehubungan dengan metode formal dan informal
dalam penelitian bahasa, Sudaryanto (1993: 144) mengatakan bahwa metode
formal adalah cara penyajian hasil analisis data yang ringkas dan padat; sekali
pandang deskripsi yang disajikan dapat ditangkap secara utuh, sementara metode
informal adalah metode yang menyajikan deskripsi hasil analisis data yang rinci
sehingga terkesan relatif panjang. Menurut Mahsun (2005:123), metode formal
adalah perumusan dengan menggunakan tanda-tanda atau lambang-lambang,
sementara metode informal adalah perumusan dengan menggunakan kata-kata
biasa, termasuk penggunaan terminologi yang bersifat teknis.
Dalam penelitian ini metode formal digunakan untuk menyajikan hasil
analisis data dalam bentuk tabel, sedangkan metode informal digunakan untuk
memaparkan temuan penelitian, yaitu bagaimana tingkat kesantunan berbahasa
135
para politisi dalam talk show Today’s Dialogue, ciri-ciri kesantunan dan
ketidaksantunan satuan verbal mereka, faktor-faktor yang memengaruhi
kesantunan berbahasa mereka, dan ideologi yang tersirat dalam bahasa yang
mereka gunakan.
136
BAB IV
ANALISIS KESANTUNAN BAHASA POLITISI DALAM
TALK SHOW TODAY’S DIALOGUE
4.1 Pendahuluan
Bab ini menganalisis kesantunan berbahasa politisi dalam talk show Today’s
Dialogue untuk menjawab masalah pertama, yaitu bagaimanakah perilaku
berbahasa para politisi dalam talk show “Today’s Dialogue”?. Data yang akan
dianalisis berjumlah lima tayangan talk show “Today’s Dialogue” yaitu:
1) “Lucunya Negeri Ini” ditayangkan 11 Januari 2011,
2) “Krisis Kepemimpinan Nasional” ditayangkan 2 Februari 2011,
3) “Politik Beretika” ditayangkan 22 Februari 2011,
4) “SBY Gertak Koalisi” ditayangkan 1 Maret 2011,
5) “Menekan Parpol Koalisi” ditayangkan 29 Maret 2011.
Kelima tayangan di atas dipilih karena memenuhi persyaratan dalam
purposive sampling. Data yang dianalisis adalah bahasa yang diucapkan oleh
politisi dan data yang digunakan diberi nomor agar lebih mudah diacu. Akan
tetapi, sebelum analisis dilakukan atas bahasa yang digunakan oleh narasumber,
pengantar yang diucapkan oleh narator akan disajikan terlebih dahulu agar isi
topik tayangan dapat dimengerti. Narator dalam setiap tayangan adalah orang
yang bukan merupakan salah satu partisipan dalam tayangan tersebut. Semua
ujaran yang diucapkan oleh masing-masing akan digunakan sebagai data. Tidak
ada ujaran yang dibuang karena di dalam analisis pragmatik semua ujaran
137
mendukung makna keseluruhan. Pemotongan per unit analisis ditentukan
berdasarkan kesiapan untuk dianalisis. Dengan demikian, semua unit analisis
adalah unit yang dapat dianalisis. Penggabungan ujaran beberapa politisi
disertakan untuk membuktikan bahwa ada usaha menyela, mendominasi, atau
merebut kesempatan berbicara.Semua data yang merupakan ujaran para politisi
beserta ujaran pembawa acara disertakan dalam analisis untuk membuktikan
adanya usaha untuk menghindari pola gilir dan usaha untuk mengejek partisipan
lain melalui celetukan-celetukan mereka.
Politisi yang dijadikan sampel berjumlah duabelas, dua di antaranya adalah
politisi yang sama. Adanya dua politisi yang sama di dalam penelitian ini
digunakan untuk mengetahui apakah asal daerah, asal partai, topik pembicaraan
dan partisipan dalam suatu komunikasi berpengaruh terhadap kesantunan
seseorang atau ada faktor lain yang memengaruhi kesantunan seseorang.
Partisipan dalam tayangan itu ada partisipan langsung dan partisipan tidak
langsung. Partisipan langsung adalah partisipan yang ada di dalam tayangan itu,
sedangkan partisipan tidak langsung adalah kelompok yang berada di luar
tayangan itu, misalnya penonton atau pemirsa televisi dan masyarakat lain yang
berada di masing-masing pihak partisipan. Dengan demikian, apa pun yang
dikatakan oleh partrisipan di studio, tidak semata-mata ditujukan pada mereka
yang berada di studio, tetapi ditujukan juga pada masyarakat banyak. Partisipan
langsung dan tidak langsung itu adalah para politisi di studio, anggota DPR lain,
pemerintah termasuk presiden, kepala daerah, yaitu bupati, wali kota dan
gubernur, institusi negara ( misalnya kepolisian), mahkamah agung, aparat hukum
138
(misalnya jaksa, hakim), dan mahasiswa. Semua partisipan harus menggunakan
bahasa yang santun satu sama lain untuk mengaplikasikan skala kesantunan dari
Scolon (1995). Skala kesantunan yang diaplikasikan adalah: (1) skala
penghormatan, yaitu apabila partisipan berada di level yang sama atau hampir
sama, tetapi saling menjaga jarak, (2) skala solidaritas, yaitu semua partisipan
menunjukkan kedekatan satu sama lain dan menggunakan bahasa santun satu
sama lain, dan (3) skala hierarki, yaitu partisipan menyadari adanya perbedaan
sosial dan menempatkan salah satunya pada posisi yang lebih tinggi. Dengan
demikian semua partisipan dalam talk show wajib menggunakan bahasa santun.
4.2 Analisis Tayangan Talk Show Today’s Dialogue
Kelima tayangan yang sudah ditentukan sebagai sampel dianalisis satu per
satu, dan bahasa yang dianalisis adalah bahasa yang digunakan oleh narasumber
yang sudah memenuhi kriteria purposive sampling sebagai politisi.
4.2.1 “Lucunya Negeri Ini”
Dalam tayangan “Lucunya Negeri Ini” ada dua topik yang dibicarakan. Yang
pertama tentang Gayus yang, meskipun terlibat kasus suap dan penggelapan
pajak, ingin menjadi staf ahli Kapolri, dan KPK. Yang kedua tentang pelantikan
wali kota, Tomohon Jeferson Rumanjar, yang kontroversial karena sebagai
tersangka korupsi dan sudah ditahan bisa memenangkan Pemilukada dan melantik
para pembantunya di penjara dengan difasilitasi oleh pemerintah. Narasumber
yang diundang ada tiga orang, tetapi yang dikategorikan politisi ada dua orang
139
yang selanjutnya disebut Politisi 1 (P1), yaitu politisi dari Partai Amanat Nasional
(PAN) dan Politisi 2 (P2), yaitu politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS),
sedangkan yang seorang lagi bukan politisi karena dia adalah Dirjen Otonomi
Daerah Kementrian Dalam Negeri.
4.2.1.1 Analisis Data Politisi 1 (P1)
Berikut adalah data yang berasal dari pembicaraan P1 yang diucapkan
berdasarkan pertanyaan dari pembawa acara dalam tayangan “Lucunya Negeri
Ini”. Semua pertanyaan dan jawaban berikut mengacu pada narasi pertama dan
kedua.
Narasi I
Gayus Tambunan memberi janji yang meyakinkan, angkatlah dia menjadi staf ahli Kapolri, Jaksa Agung dan ketua KPK, dalam dua tahun dia dapat memberantas korupsi. Bukan hanya koruptor kelas kakap yang ditangkapnya, tetapi kelas paus dan hiu. Ucapan yang hebat itu disampaikannya di depan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ketika ia membacakan duplik, sebuah forum resmi dimata hukum, dan karena itu pantas didengarkan. Lagipula, Gayus bukan jenis manusia omdo alias omong doang atau nato alias no action talk only seperti umumnya pejabat. Tanpa banyak bicara Gayus dapat melakukan perbuatan besar yang mencengangkan. Ia dengan gampangnya keluar penjara menonton pertandingan tenis internasional di Bali. Ia bertamasya ke Hongkong dengan mulusnya, ia keluar penjara 68 kali; yang terungkap baru tiga. Ini statistik yang hanya bisa dilakukan oleh orang yang efektif bertindak. Gayus jelas koruptor super; ia bukan saja bisa menggasak uang negara dan setelah itu keok di penjara. Bukan! Ia jelas contoh sang pemenang, yang dari penjara melumpuhkan jaksa, polisi, hakim, imigrasi, petugas penjara; hingga sekarang mafia pajakpun tidak terbongkar. Gayus jelas telah menaklukkan republik ini. Dan sekarang koruptor super itu - sang penakluk republik itu, bilang bahwa dia dapat membasmi korupsi. Syaratnya sangat sederhana, angkatlah dia menjadi staff ahli Kapolri, Jaksa Agung, atau ketua KPK.
140
Narasi 2
Di manakah negeri tempat terdakwa penggelapan pajak leluasa keluyuran ke manca negara? Di manakah pula tersangka atau terdakwa bisa menjadi kepala daerah? Jawabnya di negeri lelucon bernama Indonesia. Lelucon paling mutakhir adalah pelantikan Jeferson Rumajar, terdakwa kasus korupsi yang tengah mendekam di penjara Cipinang sebagai walikota Tomohon, Sulawesi Utara. Jeferson didudukkan ke kursi pesakitan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, KPK. Nah jika seseorang dijadikan tersangka oleh KPK bisa dipastikan dia akan menjadi terdakwa dan kemudian terpidana. Akan tetapi pemerintah tetap melantik Jefferson karena statusnya masih terdakwa alias belum berkekuatan hukum tetap sebagai terpidana. Ditilik dari prinsip asas praduga tak bersalah, ia memang berhak menjadi kepala daerah. Begitulah Jefferson tetap dilantik menjadi kepala daerah atas dasar akal-akalan terhadap hukum positif. Jefferson dengan gagah perkasa melantik sejumlah pejabat kota Tomohon di LP Cipinang. Celakanya negaralah yang memfasilitasi berlangsungnya lelucon itu. Pelantikan Jefferson jelas merupakan ironi demokrasi. Demokrasi ternyata gagal menghasilkan kepala daerah yang jujur, bersih dan tahu malu. Partai politik menyumbang andil yang besar sebab, alih-alih melakukan pendidikan politik agar rakyat memilih kepala daerah yang jujur, parpol justru lebih berkonsentrasi merebut kekuasaan untuk memenangkan calonnya termasuk dengan cara menghalalkan politik uang, bukannya melakukan pendidikan politik, partai politik plus kandidat kepala daerah yang diusungnya malah melakukan pembodohan politik pada rakyat. Itu sebabnya banyak tersangka terpilih sebagai kepala daerah, atau kepala daerah terpilih yang kemudian menjadi tersangka. Sepanjang 2010 tercatat 148 dari 244 kepala daerah menjadi tersangka. Jika tetap berpegang pada teks hukum positif, maka bakal bertambah tersangka atau terdakwa yang dilantik sebagai kepala daerah. Itu artinya negeri ini akan masih menjadi negeri lelucon entah sampai kapan, dan duniapun tertawa.
Pembawa acara Tetapi pernyataan dari Gayus ini kemudian menawarkan diri untuk menjadi staff ahli Kapolri, staff ahli KPK, kemudian mengatakan bisa membersihkan Indonesia dari korupsi, apabila diberi kesempatan dalam waktu dua tahun. Artinya ini bisa dijadikan tamparan bagi para penegak hukum? Apa yang bisa kita tangkap dari pernyataan Gayus ini? Saya ke Pak P1. Politisi 1 – Data 1 (P1-1)
Jadi, memang kalau kita melihat secara utuh gambar negara kita sekarang ini Mbak Kania, e... seolah-olah kita dihadapkan pada sebuah frustrasi yang meluas sekali ya. Karena para penegak hukum itu justru yang mungkin malah pertama-tama melanggar hukum ya. Di Kejaksaan, di Kepolisian, di KPK jangan lupa, itu
141
sami mawon ya. Jadi sepertinya Ketuhanan yang Maha Esa sudah menjadi keuangan yang maha kuasa itu ya. Jadi sudah ugal-ugalan mereka itu ya. Semua itu uang, uang, uang, uang ya. Dan saya sendiri sering kali merenung apa apa apa masih ada cara lain ya. Karena tadi disebut dibelakang Gayus ada godfather... saya kira itu godfathers. Bukan satu, saya kira banyak ya. Jadi banyak godfather-godfather yang yang memang bekerjanya itu sehari semalam, patologinya itu patologi... maaf mungkin garong atau perampok ya (KS tertawa) sudah ugal-ugalan gitu ya. Berdasarkan pembicaraan di atas, P1-1 ingin menyatakan bahwa penegak
hukum adalah orang yang nomor satu melanggar hukum. Aparat hukum seperti
kejaksaan, kepolisian dan KPK dapat disogok dan mereka semua sudah
melanggar hukum. Gayus dilindungi oleh orang-orang besar yang kaya dan
berkuasa, yang biasa disebut Godfather.
Jika dilihat dari tuturan di atas, P1-1 sudah melanggar maksim cara karena
P1-1 tidak langsung memberi jawaban pada pertanyaan pembawa acara tentang
apa yang bisa ditangkap dari pernyataan Gayus. P1-1 bahkan memberi komentar
tentang kenyataan bahwa aparat penegak hukum, seperti kejaksaan, kepolisian,
dan KPK adalah pelanggar hukum nomor satu. Dia juga menyatakan bahwa
Gayus memiliki godfathers atau pelindung yang kuat dan ugal-ugalan. P1-1 juga
menyampaikan bahwa dia sedang merenungkan suatu cara, padahal pembawa
acara tidak bertanya tentang cara untuk melakukan apa pun. Kalimat bahwa dia
sedang merenungkan suatu cara dikategorikan pelanggaran terhadap maksim cara
karena apa yang disampaikan tidak jelas. Cara untuk apa yang sedang
direnungkan oleh P1-1? Pelanggaran terhadap maksim cara ini sekaligus juga
merupakan pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Panjangnya jawaban P1-1,
dalam hal ini, tidak menyiratkan adanya usaha untuk bersikap lebih santun, tetapi
142
usaha untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa aparat hukum di negeri ini
adalah penjahat, penerima suap, dan pelindung penjahat. Contoh ini menunjukkan
ujaran yang panjang tetapi isinya bukan untuk membuat mitra tutur atau pada
siapa tuturan itu ditujukan merasa nyaman, melainkan merasa bahwa muka positif
mereka terancam dan halini berarti melanggar maksim penerimaan. Apa yang
sudah dilakukan oleh aparat hukum yang menurut mereka baik, sudah tidak
dihargai oleh P1-1.
P1-1 juga melanggar maksim kebijaksanaan karena sudah merugikan nama
baik penegak hukum dengan cara menyebut mereka pelanggar hukum dan
penerima suap. Dia juga sudah melanggar maksim penerimaan karena melalui
tuduhannya yang terus terang, dia sudah menunjukkan rasa tidak hormat atau
tidak menghargai para penegak hukum itu. Pelanggaran maksim penerimaan itu
akan menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap maksim kesimpatian karena
pernyataan P1-1 bahwa penegak hukum justru pelanggar hukum nomor satu dapat
menunjukkan bahwaP1-1 merasa antipati pada para penegak hukum itu.
Kata-kata yang digarisbawahi pada data satu menunjukkan bahwa kata-kata
tersebut mendapat tekanan pada saat diucapkan. Apabila dicermati maka
penekanan pada kata/frasa “utuh”, “sebuah frustrasi”, “melanggar hukum”,
“KPK”, “keuangan”, “ugal-ugalan”, “godfather”, “sehari semalam”, “patologi”,
“garong atau perampok” digunakan untuk memberikan kesan bahwa KPK
bersama dengan kejaksaan dan kepolisian yang merupakan institusi pemberantas
korupsi, justru merupakan institusi yang pertama melanggar hukum, bermain
dengan uang dan menunjukkan sikap tidak terpuji. Aparat hukum itu dengan cepat
143
mampu mengatur situasi sehingga menguntungkan diri mereka sendiri. Semua hal
ini merupakan kondisi negara Indonesia sebenarnya yang menimbulkan frustrasi
bagi masyarakat.
Jawaban P1-1 menunjukkan lima pelanggaran terhadap maksim kesantunan
yaitu maksim kuantitas, maksim cara yang dilanggar sebanyak dua kali, maksim
kebijaksanaan, maksim penerimaan dan maksim kesimpatian. Berdasarkan
perhitungan, tingkat pelanggaran terhadap maksim kesantunan adalah
5 ---- X 100% = 50%. 10 Dengan demikian, P1-1 dapat dikategorikan cukup santun.
Tuturan P1-1 dianggap cukup santun karena bahasa atau pilihan kata yang
digunakannya cukup santun meskipun dia menggunakan kata-kata “ugal-ugalan”,
“garong” atau “perampok” untuk aparat hukum. Memang seharusnya dipraktikkan
kesantunan berdasarkan hierarki (Scolon, 1995). P1-1 yang statusnya lebih rendah
harus menggunakan bahasa yang lebih santun pada aparat pemerintah yang
mempunyai kekuasaan lebih darinya. Semestinya apabila P1 ingin menggunakan
bahasa lebih santun, dia dapat menggunakan kata/frasa “kurang beretika” untuk
kata “ugal-ugalan” dan “mengambil hak orang lain” untuk kata “garong” atau
“perampok”. Nilai kesantunannya berkurang karena dia menggunakan kata-kata
yang terlalu keras, seperti “garong” dan “rampok”, dan juga pelanggaran maksim
cara dan maksim penerimaan yang dilakukan masing-masing sebanyak dua kali.
Akan tetapi, ketidaksantunan itu dapat dikurangi karena dia sudah
mengaplikasikan maksim penerimaan, yaitu menyapa pembawa acara dengan
144
sebutan “mbak”. Dalam budaya Jawa, kata sapaan itu adalah kata sapaan santun
yang diperuntukkan bagi wanita yang usianya lebih muda dan ini bukan berarti
“kakak”. Jawaban P1-1 juga relevan dengan pertanyaan pembawa acara sehingga
dapat dikatakan bahwa dia juga mengaplikasikan maksim relevansi
Pembawa acara
Ya, dan itu pun sebenarnya sudah diakui polisi yang mengatakan bahwa ada orang yang mensponsori, bukan tokoh, tetapi kaya raya yang mensponsori Gayus selama ini di penjara. Artinya apa sebenarnya yang kemudian bisa kita tangkap gitu dari perkembangan sejauh ini, yang ketika kemudian Gayus mengatakan saya mau menjadi staff ahli Kapolri, berikan saya kesempatan. Artinya ini ini menjadi tantangan begitu yang perlu ditindaklanjuti, diseriusi, lelucon yang memang tidak lucu, atau bagaimana?
Politisi 1 – Data 2 (P1-2)
Jadi saya kira, jadi Gayusnya itu juga memang setengah gila ya saya kira ya.
(Audience tertawa) Artinya...
ya, setengah gila dalam arti e.. dalam arti dia melakukan sebuah kejahatan yang sesungguhnya amat sangat dahsyat ya. tetapi kan tenang ya. Kemudian tidak ada rasa menyesalnya. Saya yakin karena dia tahu networking dibelakang dia itu cukup kuat ya. Saya tidak mendahului takdir ya, tetapi adik-adik mahasiswa, saya mudah-mudahan keliru ya... tetapi percayalah Gayus inipun nanti akan mentok ya, tidak pernah akan selesai. Negeri ini...
P1-2 ingin menyampaikan bahwa meskipun Gayus sudah melakukan
kejahatan besar, dia tetap saja tenang karena dia tahu bahwa dia dilindungi oleh
orang-orang kuat. P1-2 yakin bahwa kasus Gayus ini tidak akan pernah selesai.
Jawaban P1-2 atas pertanyaan pembawa acara menunjukkan bahwa dia
melanggar maksim kesimpatian. Dengan mengatakan bahwa Gayus setengah gila
P1-2 ingin menunjukkan rasa antipatinya pada Gayus. Dengan menggunakan
145
ungkapan “setengah gila” sebenarnya P1 sudah menunjukkan bahwa dirinya tidak
santun karena kata-kata itu kurang pantas digunakan meskipun Gayus adalah
seorang pelaku kejahatan. Mungkin kata-kata yang lebih pantas digunakan adalah
“luar biasa”. Pilihan ungkapan “setengah gila” juga dapat membuat pemirsa tidak
nyaman karena terlalu kasar meskipun pemirsa juga tidak berpihak pada Gayus.
Pilihan kata atau ungkapan yang tidak pantas ini dapat meningkatkan nilai ketidak
santunan yang dilakukan oleh P1-2. Kemudian dengan mengatakan bahwa kasus
Gayus juga akan mentok, P1-2 ingin menyampaikan pikirannya bahwa aparat
hukum tidak akan mampu menyelesaikan kasus Gayus, P1-2 sudah melanggar
maksim kemurahan hati. P1-2 sudah menyatakan keraguannya terhadap
kemampuan aparat hukum untuk menyelesaikan kasus besar seperti kasus Gayus,
dan hal ini, merupakan pernyataan yang sangat merugikan aparat hukum.
Pada data dua di atas, P1-2 menggunakan kalimat “Saya tidak mendahului
takdir” dan “mudah-mudahan keliru” untuk menyatakan bahwa mudah-mudahan
pikirannya yang mengatakan bahwa aparat hukum diragukan akan mampu
menyelesaikan masalah keliru. Kata-kata itu santun karena “Saya tidak
mendahului takdir” memaksimalkan rasa hormat pada Tuhan dan “mudah-
mudahan keliru” memaksimalkan rasa hormat pada aparat yang bertanggung
jawab terhadap penyelesaian kasus Gayus. Dalam hal ini, P1-2 sedang
mengaplikasikan maksim penerimaan. Kalimat “Mudah-mudahan saya keliru”
adalah kalimat berpagar yang berfungsi mengurangi tekanan pernyataan yang
menyatakan bahwa kasus Gayus tidak akan pernah selesai. Jadi, kalimat tersebut
146
digunakan untuk mengurangi ketidaksantunan dan juga menjaga muka positif para
penegak hukum. Ucapan yang berpagar itu membuat P1-2 terdengar lebih santun.
Akan tetapi, kata-kata yang santun itu dibenturkan dengan kalimat bahwa
kasus Gayus tersebut akan mentok dan tidak akan pernah selesai. Kalimat
“...tetapi percayalah Gayus ini pun nanti akan mentok ya, tidak pernah akan
selesai” menghapus kesantunan yang terucap sebelumnya karena kalimat itu
membawa kesan pasti bahwa aparat hukum tidak akan mampu menyelesaikan
kasus Gayus. Keyakinannya dalam pernyataannya bahwa kasus Gayus tidak akan
pernah selesai melanggar maksim kebijaksanaan karena apa yang dikatakannya
belum terbukti kebenarannya karena pada saat ini kasus itu sedang dalam proses
dan dugaan itu merugikan para penegak hukum.
Tuturan P1-2 di atas melanggar maksim kesimpatian, maksim kebijaksanaan
dan maksim kemurahan hati. Pelanggaran maksim kesantunan yang dilakukan
adalah
3 ---- X 100% = 30%. 10
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa P1-2 ini cukup santun untuk ukuran
bahasa yang ditujukan pada seorang tersangka penyebab kerugian negara.
Berdasarkan skala kesantunan Scolon (1995), P1-2 berada pada status sosial yang
lebih tinggi dibandingkan Gayus karena P1-2 seorang politisi, sementara Gayus
adalah seorang tersangka penyebab kerugian negara. Perbedaan status ini apabila
dilihat dari skala kesantunan berdasarkan hierarki memungkinkan P1-2
menggunakan bahasa yang tidak santun. Akan tetapi, menurut skala kesantunan
147
yang sama, P1-2 sudah berlaku tidak santun pada saat dia mengutarakan
ketidakmampuan aparat hukum dalam menangani kasus Gayus karena status
sosial P1-2 lebih rendah daripada aparat hukum tersebut. Pada bahasa yang
digunakan oleh P1-2 sudah terjadi ketidaksantunan, tetapi persentase
ketidaksantunan menjadi berkurang karena maksim kesantunan yang dilanggar
hanya tiga. Singkatnya, pembicaraan dapat dijadikan alasan lain mengapa
pelanggaran kesantunan hanya tiga puluh persen. P1-2 Juga mengaplikasikan
maksim penerimaan dan maksim relevansi karena jawabannya relevan dengan
pertanyaan pembawa acara.
Pembawa Acara
Pak, Pak, Pak P1 ini sendiri dapat punya informasi apa ni? Biasanya pak P1 punya banyak informasi. Kita tahu kepergiannya ke luar negeri ternyata tidak....
Politisi 1 – Data 3 (P1-3) Jadi gini Mbak, saya mengamati ya. Jadi ada semacam keajegan, regularity ya. Hampir bisa dipastikan kasus apapun yang kira-kira menyentuh kekuasaan sentral, itu mesti akan lenyap. Kasus Munir, itu Cuma geger berapa bulan kemudian wassalamwalaikum selesai ya. Bank Century itu sekian bulan kita di di apa diajak DPR untuk setiap siang sampai tengah malam ya, melihat, membuka, membongkar alif, ba, ta, sampai ya Bank Century, sekarang juga pelan-pelan lenyap ya. Gayus, Miranda Gate, dan lain-lain saya kira juga tidak akan sampe. /Jadi kita disu.../ Kita disuguhi permainan permainan ecek-ecek terus menerus, tetapi yang big fish, yang ikan hiu, ikan paus itu sepertinya memang belum terbayang bagaimana bisa dipecahkan.
P1-3 menyatakan bahwa semua kasus yang melibatkan kekuasaan atau orang
yang berkuasa tidak akan pernah selesai. Masyarakat disuguhi sandiwara hukum
yang memperlihatkan kesibukan DPR. Akan tetapi pemeran utama kejahatan itu
tidak pernah terungkap.
148
Kalimat P1-3 di atas menunjukkan adanya pelanggaran maksim cara karena
tidak jelas siapa yang dimaksud dengan kekuasaan sentral. Informasi yang
diberikan terlalu sedikit. Sistem pemerintahan di Indonesia membuat kekuasaan
sentral tidak berada di tangan presiden saja. Jadi, tidak jelas siapa yang dimaksud
dengan kekuasaan sentral. Dia juga menyebutkan bahwa DPR juga tidak bisa
menyelesaikan kasus Bank Century padahal tidak semua anggota DPR terlibat
dalam ketidakmampuan itu. Dia tidak menyebutkan anggota DPR yang mana
yang dimaksud dan dalam hal apa. Apakah ketidakmampuan pada saat
menginvestigasi yang hanya melibatkan sebagian anggota DPR atau pada saat
pemungutan suara untuk menentukan bagaimana menindaklanjuti kasus Bank
Century yang melibatkan semua anggota DPR. Pernyataan P1-3 bahwa DPR tidak
mampu menyelesaikan masalah Bank Century melanggar maksim kebijaksanaan
karena merugikan nama baik anggota DPR. Akan tetapi dengan tidak secara
eksplisit menyebutkan siapa yang dimaksud dengan kekuasaan sentral sebenarnya
dia ingin melindungi muka positif kekuasaan sentral tersebut. Jadi, dengan
melanggar maksim cara, P1-3 juga mengaplikasikan maksim kebijaksanaan.
Ucapannya juga melanggar maksim penerimaan karena DPR sudah dikatakan
menyuguhkan permainan ecek-ecek (permainan murahan) pada saat menangani
kasus Bank Century. Perkataan itu menunjukkan rasa tidak hormat P1-3 pada
anggota Dewan yang terhormat ini. P1-3 juga melanggar maksim kesimpatian
karena dengan menyebut sekian banyak kasus yang tidak selesai, P1-3 sudah
menunjukkan bahwa dia tidak bersimpati pada DPR yang tidak mampu
mengungkap dalang yang berada di belakang semua kasus itu. P1-3 juga
149
melanggar maksim kemurahan hati dengan cara memotong pembicaraan. P1-3
memaksimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Dia sudah menjawab pada saat
pembawa acara belum selesai berbicara sehingga dia mendapat kesempatan bicara
mendahului partisipan lain dan waktu yang lebih banyak. Dia juga mendominasi
pembicaraan yang terlihat pada saat dia mengatakan, /Jadi kita disu.../. Kalimat
yang belum selesai itu diucapkan bersamaan dengan pembawa acara yang
mengatakan, /Jadi Bapak meli..../ yang mungkin bertujuan untuk meminta
klarifikasi. Akan tetapi, P1-3 tidak bersedia berhenti berbicara, dan terus
melanjutkan apa yang ingin dibicarakannya sampai selesai. Hal ini berarti bahwa
P1-3 melanggar maksim penerimaan karena dia tidak menghargai hak bicara
partisipan lain.
Pada saat menyebutkan beberapa kasus besar yaitu kasus Munir, kasus Bank
Century, kasus Gayus dan Miranda Gate, P1-3 menghitung jarinya. Bahasa tubuh
itu memberi kesan bahwa begitu banyak kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh
aparat hukum. Bahasa tubuh yang merugikan ini tidak termasuk bahasa verbal,
tetapi dapat dikategorikan melanggar maksim kebijaksanaan karena merugikan
pihak aparat hukum.
Pada data tiga ada beberapa kata/frasa yang digarisbawahi, yaitu “keajegan”,
“regularity”, “dipastikan”, “kekuasaan sentral”, “Bank Century”, “sekian bulan”,
“melihat, mebuka, membongkar”, “Miranda Gate”, “big fish”, “ikan hiu”, “ikan
paus”, “terbayang”. Kata/frase yang diucapkan dengan penekanan itu memberi
kesan bahwa memang sudah merupakan kepastian bahwa semua kasus yang
berhubungan dengan kekuasaan sentral tidak akan pernah tuntas. Bank Century
150
yang tampaknya sudah digarap dengan lengkap dan waktu lama ternyata hanya
sandiwara karena kasus itu melibatkan orang-orang besar yang dia gambarkan
sebagai ikan paus atau ikan hiu.
P1-3 sudah melakukan pelanggaran pada maksim cara, maksim kebijaksanaan
yang dilanggar sebanyak dua kali, maksim penerimaan yang dilanggar dua kali,
maksim kesimpatian dan maksim kemurahan hati. Pelanggaran maksim
kesantunan yang dilakukan adalah
5 ---- X 100% = 50%. 10
Persentase di atas menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan cukup santun. Dia
sudah menggunakan bahasa yang cukup santun untuk orang yang mempunyai
tingkat kekuasaan yang lebih tinggi darinya karena, apabila dilihat dari sudut
kekuasaan, status P1 lebih rendah dari anggota DPR. Keantunannya itu dapat
bertambah karena dengan menggunakan kata sapaan “Mbak” pada pembawa acara
P1-3 sudah mengaplikasikan maksim penerimaan yaitu memaksimalkan
penghargaan pada mitra tutur. Dia juga mengaplikasikan maksim kebijaksanaan
dan karena panjang kalimat P1-3 mencukupi dan relevan dengan pertanyaan, dia
dikatakan sudah mengaplikasikan maksim kuantitas dan relevansi.
Pembawa Acara
Baik. Saya langsung ke Pak P1 kalau begitu. Pak, ada pernyataan dari Ketua Komisi III, Beni Kaharman yang mengatakan, dan ini juga mengutip pernyataan dari mantan Kapolri kita Pak Bambang, Pak Hebi HD yang mengatakan bahwa, e... apabila kasus Gayus ini dibongkar, akan menimbulkan instabilitas politik. [jeda] tanggapan Pak P1?
151
Politisi 1 – Data 4 (P1-4)
Tanpa mengurangi rasa hormat saya, dari beliau ya, terhadap beliau. Ini sesungguhnya hanya... apa, menggunakan ini apa e... rasa takut semu, begitu ya. Ditakut-takuti awas kalau Bank Century dibuka nanti akan muncul labilitas atau instabilitas. Awas kalau Gayus diusut tuntas nanti republik bisa goncang. Itu menurut saya itu omong kosong agak besar ya. Omong kosong besarlah ga usah pakai agak ya. Jadi e... menurut saya justru kita ini disuguhi sebuah logika yang sesungguhnya sangat keliru, ya. Misalnya ada kasus yang sudah masuk ke hukum, sudah diproses, tiba-tiba eeee hati-hati, sebaiknya di di pondering saja, karena itu nanti bisa menggoncangkan. Kemudian lagi-lagi ini saudara Gayus Tambunan ini, apa Gayus siapa namanya? (Pembawa Acara: Tambunan)
Ya ya ya terimakasih. Jadi ini juga ditakut-takuti bisa menimbulkan instabilitas. Menurut saya justru sebaliknya, kalau diusut ini, sampai ke akarnya, insyaallah seperti penyakit yang menahun ya, atau penyakit apa kanker katakanlah, yang bisa di di apa diambil, ambil saja.
Pernyataan P1-4 di atas menunjukkan bahwa yang dikatakan oleh mantan
Kapolri kita, Pak Bambang, dan Pak Hebi HD bahwa kalau kasus Bank Century
dibuka maka akan terjadi instabilitas, kalau kasus gayus dibongkar juga akan
terjadi kegoncangan adalah hanya omong kosong besar. Semua hal itu hanya
untuk menakut-nakuti. Hal yang benar adalah semua kasus harus dibongkar tuntas
agar hukum dapat ditegakkan.
Meskipun P1-4 mengawali pembicaraannya dengan kalimat berpagar “Tanpa
mengurangi rasa hormat saya, dari beliau ya, terhadap beliau” yang dimaksudkan
untuk menyatakan bahwa apa yang akan dikatakannya bukan bermaksud
menghina atau merendahkan, isi pernyataannya yang mengatakan bahwa apa
yang dikatakan oleh ketua Komisi Tiga DPR hanya omong kosong besar tetap
saja merupakan pelanggaran terhadap maksim kebijaksanaan karena sudah
merugikan ketua Komisi Tiga itu yang dianggap sudah menyuguhkan logika
keliru pada masyarakat, dan maksim penerimaan karena P1-4 menunjukkan rasa
152
tidak hormatnya pada anggota DPR dengan menyebut pernyataannya omong
kosong besar. Pernyataan P1-4 ini juga menunjukkan rasa antipatinya pada ketua
Komisi Tiga DPR dan hal ini berarti melanggar maksim kesimpatian. Pelanggaran
terhadap maksim kesimpatian ini semakin berat karena pilihan kata/ungkapan
“omong kosong besar”. Derajat tekanan pelanggaran itu dapat dikurangi apabila
pilihan kata/ungkapan itu diubah menjadi “tidak benar”. Akan tetapi, kalimat
“Tanpa mengurangi rasa hormat saya, dari beliau ya, terhadap beliau”
menunjukkan bahwa P1-4 menghormati orang yang sedang dibicarakan. Akan
tetap,i kalimat ini yang kemudian diikuti dengan kata-kata yang tidak santun
membuat kalimat ini menjadi kalimat yang hipokrit sehingga membuat kalimat itu
menjadi semakin tidak santun.
Kalimat “Tanpa mengurangi rasa hormat saya” adalah kalimat berpagar yang
mengurangi tekanan ketidaksantunan pada saat P1-4 melanggar maksim
kebijaksanaan yaitu pada saat P1-4 menyatakan tuduhannya bahwa semua yang
dikatakan olehPak Bambang dan Pak Hebi HD adalah bohong atau menipu
masyarakat
Untuk memperkuat pernyataannya bahwa apa yang disampaikan oleh ketua
Komisi Tiga DPR itu keliru, P1-4 memberi penekanan pada kata/frase “takut
semu”. “labilitas atau instabilitas”, “tuntas”, “goncang”, “justru”, “keliru”,
“diproses”, “pondering”, “menggoncangkan”, “justru sebaliknya”, “kanker”. Dia
juga ingin mengatakan bahwa kasus-kasus yang dipondering itu seharusnya
diperlakukan sebagai penyakit kanker yang harus diberantas sampai ke akar-
153
akarnya. Dengan pernyataannya itu P1-4 sudah menunjukkan posisinya yang
berseberangan dengan ketua Komisi Tiga.
Dalam pembicaraannya, P1-4 sudah melakukan pelanggaran terhadap
maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, dan maksim kesimpatian.
Pelanggaran maksim kesantunannya adalah
3 ---- X 100% = 30% 10
Pelanggaran kesantunan yang dilakukan oleh P1-4 adalah tiga puluh persen dan
hal ini menunjukkan bahwa dia santun. Karena P1-4 berbicara di dalam suatu
tayangan yang bersifat formal, untuk tidak melanggar maksim kebijaksanaan, dia
seharusnya menggunakan kata yang lebih santun, misalnya dengan mengatakan
“Pendapat ketua Komisi Tiga itu tidak benar”. Kalimat itu lebih santun daripada
mengatakan “Pendapat ketua Komisi Tiga itu omong kosong besar”. Pilihan
ungkapan “omong kosong besar” membuat nilai pelanggaran terhadap maksim
penerimaan lebih besar. Apabila menggunakan kalimat yang lebih santun P1-4
akan dianggap santun karena menghargai orang yang menjadi anggota DPR
pilihan rakyat. Di samping mengaplikasikan maksim penerimaan dalam bentuk
kalimat berpagar, dalam menjawab pertanyaan pembawa acara, P1-4
menggunakan kalimat-kalimat yang panjangnya tidak berlebihan sehingga dia
dikatakan mengaplikasikan maksim kuantitas.
Pembawa Acara
Tetapi bapak sendiri tadi kan mengatakan ada semacam pola begitu, bahwa ketika kemudian ada sebuah kasus yang terlalu dekat dengan kekuasaan, tidak akan sampai keujungnya.
154
Politisi 1 – Data 5 (P1-5)
Maka.. makanya sekarang diperlukan ya diperlukan sebuah tim yang memang betul-betul bersih dan berani ya. Jadi sekarang ini menurut saya kon... disini letak dilemanya. Saya kira antar pentolan pentolan hukum itu, maaf ya, bukan semuanya, tentu masih ada yang bagus, ada yang sangat apa bermoral, sangat bertanggungjawab, tetapi dari sebagian mereka itu memang sudah sudah rusak sejak niatnya semula, mbak. Jadi kan niatnya sudah rusak ya, maka ketika mendapatkan jabatan itu, yang terjadi adalah use misuse of power atau abuse of power ya, sehingga muncul skandal yang seperti terjadi sekarang ini, dan yang justru kita kembangkan mungkin media masa ya, bisa meng counter kata-kata kalau bank Century dikejar sampai ke ujung, kemudian e... Gayus di apa kejar terus sampai ke akarnya, itu justru dibalik itulah penyembuhan sejati dari e... bangsa yang menderita korupsi selama ini. Tetapi kalau ikuti, kita ikuti lakukan mereka itu hanya untuk nakut-nakuti saja.
P1-5 ingin menyatakan bahwa penegak hukum memang ada yang baik tetapi
sebagian sudah tidak baik. Mereka yang sudah tidak baik sejak awal, ketika
mendapat kekuasaan, akan menyalahgunakan kekuasaan itu. Media mungkin
dapat membantu agar kasus Gayus diusut sampai tuntas agar bangsa ini terbebas
dari korupsi.
Di awal pembicaraan pada data lima tersebut, P1-5 menyatakan bahwa
sekarang diperlukan tim yang betul-betul bersih dan berani. Kalimat itu
mengaplikasikan implikatur percakapan karena dia tidak dengan eksplisit
menyatakan bahwa tim yang ada sekarang tidak bersih dan tidak berani.
Implikatur percakapan ini merupakan aplikasi dari maksim kebijaksanaan, dan hal
ini dilakukan untuk menjaga kesantunan atau muka positif agar tidak ada orang
yang tersinggung. Dengan tidak mengatakan dengan jelas bahwa tim yang ada
sekarang itu tidak bagus, P1-5 melanggar maksim cara, tetapi mengaplikasikan
maksim kebijaksanaan yaitu melindungi muka positif tim tersebut. Jadi, ada
konflik antara maksim cara dan maksim kebijaksanaan
155
Pelanggaran maksim kebijaksanaan terjadi pada saat P1-5 yang mengatakan
bahwa kalau media massa mau mendesak agar Bank Century dikejar hingga ke
ujung dan Gayus dikejar terus sampai ke akarnya, penyembuhan sejati akan
terjadi. Kalimat ini merugikan media massa karena kalimat di atas menunjukkan
bahwa media massa tidak melakukan desakan itu, dan hal ini melanggar maksim
kebijaksanaan. Melalui kalimat yang menyatakan adanya pentolan-pentolan
hukum yang menyalahgunakan kekuasaan, P1-5 sudah melanggar maksim cara
karena dia tidak menyatakan dengan jelas siapa yang dimaksud dengan pentolan-
pentolan hukum yang baik dan yang tidak baik. Informasi yang diberikannya tidak
jelas bagi yang mendengar. Hal ini akan membuat masyarakat yang mendengar
pernyataan itu bertanya-tanya dan mencurigai orang yang mungkin tidak salah.
Akan tetapi, dengan tidak secara terus terang menyebut siapa pentolan-pentolan
hukum yang tidak baik, P1-5 mengaplikasikan strategi kesantunan negatif melalui
maksim kebijaksanaan karena dia meminimalkan kerugian bagi orang-orang
tersebut. Dalam hal ini, sudah terjadi konflik antara maksim cara dan maksim
kebijaksanaan.
Kata/frasa yang digarisbawahi “bersih dan berani”, “pentolan-pentolan
hukum”, “sangat”, “sudah rusak”, “misuse of power atau abuse of power”,
“skandal”, “media massa”. “ke ujung”, “penyembuhan sejati”. “nakut-nakuti”
diucapkan dengan memberikan tekanan untuk memberi penekanan pada
pikirannya bahwa aparat hukum sering kali menyalahgunakan kekuasaan dan
tidak mampu menyelesaikan tugasnya dengan baik.
156
P1-5 melakukan pelanggaran terhadap dua dari sepuluh maksim. Maksim
yang dilanggar adalah maksim cara yang dilanggar dua kali dan maksim
kebijaksanaan. Pelanggaran terhadap maksim kesantunan adalah
2 ---- X 100% = 20%. 10
Dengan demikian, P1-5 dapat dikatakan sebagai politisi yang sangat santun
karena dalam pembicaraan yang panjang, hanya dua maksim yang dilanggar. Nilai
tingkat kesantunannya bertambah karena di samping menggunakan implikatur
percakapan atau aplikasi maksim kebijaksanaan untuk menjaga kesantunan, P1-5
juga menyapa pembawa acara dengan sapaan “Mbak” Dalam kultur jawa, “Mbak”
digunakan untuk menyapa wanita muda dan sapaan ini adalah sapaan santun. Hal
ini berarti bahwa P1-5 juga mengaplikasikan maksim penerimaan. Di samping
mengaplikasikan maksim kebijaksanaan dan penerimaan, maksim kesantunan lain
yang diaplikasikan oleh P1-5 adalah maksim kuantitas dan maksim relevansi
karena jawaban yang diberikan melalui kalimat-kalimat yang panjangnya
mencukupi, relevan dengan pertanyaan pembawa acara.
Pembawa Acara
Oh gitu, boleh mungkin dibeberkan informasinya Pak P1 sepuluh orang ta... karena kalau kita sekarang kaitkan juga dengan ada pernyataan dari Pak Ito yang mengatakan ada sponsor, yang mensponsori Gayus selama dipenjara dan lain sebagainya dikait-kaitkan dengan tokoh-bukan tokoh tetapi yang kaya raya ini gitu. Artinya, Pak P1 punya informasi?
Politisi 1 – Data 6 (P1-6)
Sa.. saya tidak tidak mungkin menunjuk apalagi nama ya. Tetapi pake common sense, mbak ya.
157
Pembawa Acara
Tetapi artinya apakah kita bicara pengusaha atau....
Politisi 1 – Data 7 (P1-7)
Jadi yang di Amerika ya, seorang Madof bisa mengkorupsi uang negara sampai 65 milyar dollar, atau 60 trilyun lebih ya, sendirian ya. E... secara khusus sendirian, tetapi ternyata dibelakang Madof ini, itu adalah politisi di Kongres tetapi juga mungkin dekat-dekat dengan White House, dekat-dekat dengan Pentagon, dan tentu juga circle circle tertentu itu, ya. Saya kira Gayus ini, ukurannya Cuma taman kanak-kanak dibanding Madof yang raksasa itu ya. Tetapi si Gayus taman kanak-kanak ini, itu memang dibelakangnya itu anak-anak SMA sama Universitas juga gitu ya, yang apa (tertawa) yang yang apa lebih lebih lebih kuat punya tulang lebih kuat. Ya karena itu logika bahwa kalau ini dibongkar, kemudian akan meninstabilitas saya kira iya. Maksimal dua minggu, mbak ya. Oh ternyata bapak itu hmmm hmmmm, oh ternyata ibu itu hmmm hmmm, ya.
Melalui data 6-7, P1 ingin menyampaikan bahwa P1-(6-7) menganalogikan
Gayus dengan Madof. Akan tetapi Gayus kelasnya jauh lebih rendah dari Madof.
Persamaannya adalah keduanya didukung oleh orang-orang yang berkuasa
(Kongres = DPR; White House = istana)
Dengan tidak mengatakan secara jelas siapa yang dimaksud tokoh kaya raya
yang membantu Gayus, P1-(6-7) sudah melanggar maksim cara. Apa yang
dikatakan dan siapa yang dimaksud menjadi tidak jelas, dia tidak memberikan
informasi yang cukup pada partisipan lain tentang siapa yang dimaksud tokoh
kaya raya yang membantu Gayus. Dia juga melanggar maksim cara dengan
mengatakan Gayus dan Madof didukung oleh politisi tetapi kembali dia tidak
menyebut politisi Amerika atau politisi Indonesia yang dimaksud. Ada
kemungkinan bahwa dengan tidak menyebut dengan jelas siapa yang dimaksud
dengan tokoh kaya raya itu, dan siapa yang dimaksud dengan politisi di Indonesia
158
yang mendukung Gayus, P1-(6-7) sebenarnya ingin melakukan kesantunan
melalui penjagaan muka negatif tokoh kaya raya dan politisi itu dengan
mengaplikasikan maksim kebijaksanaan. Dalam hal ini, aplikasi maksim cara
akan berbenturan dengan maksim kebijaksanaan.
P1-(6-7) mengatakan Gayus sebagai taman kanak-kanak dan pernyataan ini
tidak melanggar kesantunan karena Gayus mempunyai level kekuasaan di bawah
P1- (6-7), dan juga karena pada saat ini, Gayus adalah seorang tersangka korupsi
yang banyak dihujat masyarakat. Akan tetapi, P1- (6-7) menggunakan implikatur
percakapan dengan menyebut Gayus yang hanya taman kanak-kanak jika
dibandingkan dengan Madof yang raksasa itu ternyata mampu mengatur orang-
orang kuat yang berpendidikan tinggi. Hal ini suatu ironi yang digunakan P1- (6-
7) untuk menyampaikan betapa penguasa dapat diatur oleh seorang Gayus. P1-(6-
7) tidak menyebut dengan jelas siapa orang kuat dan berpendidikan tinggi yang
bisa diatur oleh Gayus. Dalam hal ini, dia melanggar maksim cara tetapi pada saat
yang sama dia mengaplikasikan maksim kebijaksanaan agar tidak merugikan
orang kuat dan berpendidikan tinggi itu. Melalui aplikasi maksim kebijaksanaan
itu, P1-(6-7) melakukan penyelamatan muka negatif orang kuat dan berpendidikan
tinggi itu. Ada konflik antara maksim cara dan maksim kebijaksanaan.
P1- (6-7) juga melakukan dominasi dengan mengabaikan pertanyaan
pembawa acara dan terus berbicara sehingga pembawa acara terpaksa harus
mengalah. Usaha mendominasi ini terlihat pada saat pembawa acara berkata
“tetapi artinya apakah kita bicara pengusaha atau....” untuk memastikan apakah
yang dimaksud oleh P1- (6-7) itu pengusaha atau bukan, P1-(6-7) memotong
159
pertanyaan pembawa acara dan terus berbicara. Mendominasi percakapan
merupakan sikap berbicara yang melanggar kesantunan karena melanggar maksim
penerimaan karena P1-(6-7) tidak menghargai partisipan dengan mengambil hak
bicara mereka.
P1- (6-7) menyamakan Gayus dengan Madof, tetapi Madof digambarkan
sebagai raksasa, sedangkan Gayus sebagai taman kanak-kanak. Dia mengatakan
bahwa Madof didukung oleh politisi kongres yang beranalogi dengan anggota
DPR, White House yang beranalogi dengan istana presiden dan Pentagon yang
beranalogi dengan militer. Semua analogi itu tidak dikatakan secara langsung
tetapi melalui implikatur percakapan dengan tujuan menjaga kesantunan. Apabila
analogi itu dapat dimengerti, P1- (6-7) sudah melanggar maksim kualitas karena
kebenarannya belum terbukti, maksim kebijaksanaan karena tuduhan mendukung
seorang tersangka penyebab kerugian negara membuat nama baik DPR, Istana
dan militer dirugikan. Ucapan P1- (6-7) juga menunjukkan antipatinya pada
ketiga institusi tersebut di atas sehingga dapat dikatakan dia melanggar maksim
kesimpatian.
Melihat kata/frasa yang diberi tekanan “common sense”, “milyar dolar”,
“sendirian”, “White House”, taman kanak-kanak”, “raksasa”, “universitas”,
“kuat”, P1- (6-7) ingin menyampaikan bahwa seorang Gayus mampu mengatur
siapa saja termasuk penyelenggara negara.
Mengingat bahwa yang dilanggar adalah maksim kualitas, maksim cara yang
dilanggar sebanyak tiga kali, maksim penerimaan dan maksim kesimpatian,
pelanggaran atas maksim kesantunan adalah
160
4 ---- X 100% = 40%. 10
Tingkat ketidaksantunan yang hanya empat puluh persen itu membuat P1-(6-
7) masuk kategori politisi yang santun, dan kesantunannya meningkat karena dia
mengaplikasikan implikatur percakapan yang merupakan aplikasi maksim
kebijaksanaan dan menggunakan kata sapaan santun “Mbak” pada pembawa acara
sebagai aplikasi maksim penerimaan. Maksim lain yang diaplikasikan adalah
maksim kuantitas dan relevansi karena panjang jawaban P1-(6-7) cukup dan
relevan dengan pertanyaan pembawa acara.
Pembawa Acara
Begitu ya. Jadi mau tidak mau. Tetapi sekarang juga ada yang mempertanyakan sejauh mana sekarang peranan dari...dari presiden untuk kemudian memimpin pemberantasan korupsi apabila kemudian yang bisa menjadi pintu masuk, setidak-tidaknya adalah pengungkapan kasus Gayus ini. Sejauh mana? Apa yang bisa dilakukan oleh presiden saat ini? Apakah perlu sampai melakukan intervensi dalam tanda kutip, karena intervensinya pun sebenarnya menjadi pertanyaan besar, se sejauh mana definisinya?
Politisi 1 – Data 8 (P1-8)
Jadi kalau kalau di tingkat demokrasi kita itu, yang ada di bawah presiden untuk penegakan hukum itu, ada lembaga POLRI dan Kejaksaan Agung ya. Kalau Mahkamah itu memang yudikatif ya, itu presiden tidak boleh ya. Tetapi presiden itu punya wewenang luar biasa karena punya tangan yang namanya Kejaksaan Agung dan Kepolisian ya. Nah kalau presiden kita ini, saya tidak ingin mengkritik atau memuji ya, ini ini ini ini common sense sajalah lagi-lagi ya. Kalau presiden kita ini, mantap melangkah, jelas ya, insyaallah pemberantasan korupsi itu akan kelihatan dan nyata hasilnya. Kan seperti sekarang ini memang terasanya seperti maju mundur, ya. Terlalu banyak ada ada... apa ada satgas ini satgas itu, ada ini macem-macem, mbak. Ada ntar katanya ada berpuluh-puluh komisi-komisi itu ya? Jadi saya pikir e... ada pelajaran demokrasi dari Amerika itu,... Harry Truman itu mengatakan the bucks stop here. Jadi urusan yang gede itu stop di meja presiden, sehingga kalau presiden kita itu bismillah
161
sungguh-sungguh, sepertinya lo kok akan lancar. Tetapi kalau seperti sekarang ini memang walahualam bin swap.
P1-8 menyatakan bahwa Presiden kurang serius menangani kasus korupsi
karena tidak dengan maksimal memberdayakan Polri dan Kejaksaan Agung.
Presiden adalah pemegang kendali dan apabila presiden bersungguh-sungguh,
pemberantasan korupsi pasti lancar. Saat ini terlalu banyak ada satgas dan komisi
yang tidak perlu.
Pada saat pembawa acara mengucapkan “se sejauh mana definisinya?”
P1-8 sudah mulai berbicara sehingga terjadi tumpang tindih antara “se sejauh
mana definisinya?” dengan “jadi kalau kalau di tingkat demokrasi” yang
diucapkan oleh P1-8. Jadi P1-8 sudah berbicara pada saat pembawa acara belum
menyelesaikan kalimatnya dan belum tentu pembawa acara bermaksud meminta
P1-8 untuk berbicara karena di sana masih ada satu politisi lain. P1-8 melanggar
pola gilir yang berarti bahwa P1-8 melanggar maksim penerimaan. Dia tidak
menghargai keberadaan orang lain yang juga berhak untuk bicara. Pernyataan P1-
8 yang mengatakan “Kalau presiden kita ini, mantap melangkah, jelas ya,
insyaallah pemberantasan korupsi itu akan kelihatan dan nyata hasilnya”
sebenarnya merupakan kritikan atas ketidakberhasilan presiden memberantas
korupsi dan alasan ketidakberhasilan itu ialah karena presiden tidak mempunyai
sikap yang tegas. Pernyataan P1-8 itu merupakan pelanggaran terhadap maksim
kebijaksanaan karena pernyataan itu merugikan presiden. Pernyataan itu dikatakan
merugikan presiden karena beliau adalah orang yang paling sering mengatakan
bahwa dirinya tidak akan memberi toleransi pada pelaku korupsi. Akan tetapi
162
pada kenyataannya, setidak-tidaknya seperti yang dilihat oleh P1-8, presiden tidak
menunjukkan sikap yang mantap dalam memberantas korupsi. Namun derajat
kritikan itu terasa berkurang karena diberi kalimat berpagar “Kalau saja presiden
kita ini mantap melangkah...” Sebelum mengatakan kalimat di atas, P1-8
mengatakan “Nah kalau presiden kita ini, saya tidak ingin mengkritik atau memuji
ya, ini ini ini ini common sense sajalah lagi-lagi ya.” Ucapan ini meskipun pada
akhirnya merupakan kritikan, P1-8 ingin membuat dirinya aman, dengan seolah-
olah ingin bersikap netral dan hal ini membuatnya melanggar maksim kemurahan
hati karena dia memaksimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Maksim
kebijaksanaan juga dilanggar oleh P1-8 pada saat dia mengatakan “Jadi urusan
yang gede itu stop di meja presiden, sehingga kalau presiden kita itu bismillah
sungguh-sungguh, sepertinya lo kok akan lancar.” Kalimat ini menyiratkan bahwa
presiden tidak sungguh-sungguh melakukan tugasnya. Pernyataan ini sangat
merugikan nama baik presiden .
P1-8 memberi tekanan pada kata/frasa “yudikatif”, “tangan”, “memuji”,
“mantap melangkah”’ “jelas”, “kelihatan dan nyata hasilnya”, “terlalu banyak”,
“satgas” dengan maksud ingin menyampaikan pikirannya bahwa presiden tidak
pandai menggunakan aparat yang dia miliki dan tidak cukup serius menangani
pemberantasan korupsi. Dia berharap presiden yang akan memutuskan segalanya
tanpa perlu ada satgas yang jumlahnya banyak.
Berdasarkan pembahasan di atas, maksim yang dilanggar oleh P1-8 adalah
maksim penerimaan, maksim kebijaksanaan yang dilanggar sebanyak dua kali dan
163
maksim kemurahan hati. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tingkat
ketidaksantunannya adalah
3 ---- X 100% = 30%. 10
Tingkat ketidaksantunan tiga puluh persen menunjukkan bahwa P1-8
merupakan politisi yang santun. Meskipun ucapannya ada yang bersifat
merugikan orang yang sedang dibicarakan, faktanya adalah selama dia berbicara
dalam ucapan yang cukup panjang, hanya tiga maksim yang dilanggar. Perkataan
yang melanggar ketiga maksim itu dianggap pelanggaran terhadap kesantunan
berbahasa karena bahasa itu ditujukan pada presiden yang dilihat dari sudut
kekuasaan mempunyai kekuasaan yang lebih tinggi dari P1-8.
Akan tetapi, P1-8 sempat mengaplikasikan maksim penerimaan dalam bentuk
kalimat berpagar. Selain itu, dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim
relevansi dan maksim cara, karena jawabannya tidak berlebihan, relevan dan
dapat dimengerti.
Pembawa Acara
Pak P1, artinya ada anda melihat ada sandera, ada sandera hukum, sandera politik begitu yang terjadi di partai-partai besar saat ini?
Politisi 1 – Data 9 (P1-9)
Jadi, apa, khususnya kalau kita belajar dari demokrasi di beberapa negara, yang lebih tua ya, baik itu di Inggris, di Amerika, Kanada dan lain-lain, ini perkara-perkara ini, perkara-perkara yang sesungguhnya sering terjadi. Hanya bedanya, kalau di negara-negara maju itu, memang seberapa besarpun perkara itu, akan diusut sampai keujung bumi dan sampai selesai, ya. Jadi ketika Nixon kena Watergate itu, ya betul-betul diusut, dihukum.
164
Tetapi sebelum di impeach kemudian dia mengundurkan diri, ya. Tetapi kalau disini sepertinya orang besar itu memang tidak akan bisa dijangkau ya. Digaruk apalagi ya. Jadi, (tertawa) jadi jadi sepertinya itu ada ada di entah ini kita buat sendiri ya, ada, ada sebuah kondisi dimana di negeri ini ada lapisan tertentu yang unreachable ya, tidak tidak bisa di tidak bisa dijangkau ya. Dan ini harus kita akhiri juga, artinya mahasiswa jangan diam saja ya, kalau anda diam saja ya salah anda sendiri. (tertawa)
P1-9 mengatakan bahwa kalau di luar negeri, perkara sebesar apa pun akan
diusut tuntas. Misalnya kasus Watergate, presiden benar-benar diusut dan
dihukum. Akan tetapi di Indonesia ada orang-orang pada lapisan tertentu yang
tidak dapat disentuh oleh hukum. Untuk menuntaskan hal ini, mahasiswa harus
bertindak.
Pada pembicaraan di atas, P1-9 membandingkan penerapan hukum di negara
barat dan di Indonesia. Di negara barat siapa pun yang bersalah, termasuk
presiden akan dihukum. Sementara itu di Indonesia hukum tidak bisa mencapai
orang besar. Pernyataan P1-9 ini menunjukkan bahwa di Indonesia hukum masih
memilih antara orang biasa dan orang yang berkuasa. Orang yang berkuasa juga
berkuasa atas hukum sehingga tidak bisa ditindak apabila melakukan kejahatan.
Pernyataan melanggar maksim kebijaksanaan karena aparat hukum dirugikan
dengan pernyataan itu. Aparat hukum dianggap bisa diatur, aparat hukum tidak
berani menegakkan hukum dengan adil. P1-9 mengatakan “di negeri ini ada
lapisan tertentu yang unreachable ya.” Derajat pelanggaran terhadap maksim
kebijaksanaan ini diturunkan dengan penggunaan kata “sepertinya” yang disini
fungsinya memagari tuduhan bahwa orang besar tidak terjangkau hukum. Frasa
“Lapisan tertentu” tidak memiliki acuan yang jelas sehingga pemirsa tayangan itu
tidak mendapat informasi yang pasti siapa yang dimaksud. Hal ini melanggar
165
maksim cara. Akan tetapi frasa itu dapat juga difungsikan untuk menjaga muka
negatif orang yang dibicarakan sehingga tekanan pelanggaran terhadap maksim
cara juga berkurang. Apabila untuk frasa “lapisan tertentu, maksim cara
diaplikasikan dengan cara menyebut dengan jelas siapa yang dimaksud dengan
“lapisan tertentu” itu, maka P1-6 akan melanggar maksim kebijaksanaan karena
merugikan “lapisan tertentu tersebut. Dengan demikian ada konflik antara maksim
cara dan maksim kebijaksanaan. P1-9 juga dapat dikatakan melanggar maksim
kuantitas dan relevansi karena separuh jawaban di awal jawaban yang dia berikan
sama sekali tidak menjawab pertanyaan pembawa acara. P1-9 juga menggunakan
pronomina “kita” dalam kalimat “Dan ini harus kita akhiri juga” yang berarti
bahwa dia menyertakan dirinya dalam usaha mengakhiri perbedaan perlakuan
hukum di Indonesia. Ini berarti bahwa dia menerima beban dari orang lain dan ini
berarti bahwa P1-9 mengaplikasikan maksim kemurahan hati.
Dalam menyampaikan pemikirannya, P1-9 menekankan kata-kata “diusut’
dihukum”, “dijangkau”, “unreachable” yang berarti “tidak terjangkau” karena dia
ingin memberi penekanan pada apa yang seharusnya dilakukan oleh hukum dan
dia juga menggambarkan bagaimana kondisi hukum di Indonesia.
Dalam pembicaraan di atas, P1-9 hanya melanggar empat maksim yaitu
maksim kebijaksanaan, maksim cara, maksim kuantitas dan maksim relevansi
sehingga tingkat ketidaksantunannya adalah
4 ---- X 100% = 40%. 10
166
Karena tingkat ketidaksantunannya hanya empat puluh persen, P1-9 dapat
dikatakan santun. Tingkat kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan
maksim kebijaksanaan dengan cara tidak menyebut dengan jelas siapa yang
dimaksud dengan “lapisan tertentu dan maksim kemurahan hati melalui
penggunaan pronomina “kita” pada saat menyatakan hal yang kurang
menyenangkan sehingga dia menjadi inklusif. Dia juga mengurangi tekanan
pelanggaran maksim dengan menggunakan kalimat berpagar.
Politisi 1 – Data 10 (P1-10)
Pak Jon, bisa ga Depdagri itu membuat kuota sederhana saja, bahwa setiap calon bupati, calon bupati apa gubernur atau wakil, walikota dan wakilnya, tidak boleh dalam keadaan tersangka. Kan bisa?
Dari pernyataan di atas, P1-10 mempertanyakan apakah Depdagri tidak bisa
melakukan hal yang sederhana seperti peraturan bahwa calon bupati, calon
gubernur atau wakil, walikota dan wakil, tidak boleh dalam keadaan tersangka.
P1-10 menyela pembicaraan yang sedang berlangsung antara narasumber
yang lain dan pembawa acara. Hal ini menunjukkan bahwa dia mengabaikan
pergantian pembicara dan karena itu dia dapat dianggap melanggar kesantunan.
Pelanggaran terhadap pola gilir dapat dikatakan sebagai pelanggaran maksim
penerimaan karena dengan memotong pembicaraan orang, seseorang dapat
dikatakan tidak menghargai orang yang sedang berbicara..
P1-10 juga memberi penekanan pada kata “sederhana” sehingga memberi
kesan pada pemirsa bahwa mengubah aturan yang sudah ada itu sebenarnya
mudah. Pernyataan ini dapat dikatakan melanggar maksim kebijaksanaan karena
167
menyiratkan pemikiran bahwa Depdagri tidak mampu melakukan hal yang
menurut politisi tersebut sederhana, atau menurut pikiran P1-10, Depdagri tidak
mau melakukannya padahal sejak tahun 2010 sudah banyak kasus kepala daerah
menjadi terdakwa.. Hal ini sangat merugikan nama baik dan kinerja Depdagri.
Akan tetapi pada saat di akhir kalimat, P1-10 bertanya “Kan bisa?”, dia
sebenarnya sedang melakukan mengaplikasikan strategi kesantunan positif atau
sedang mengaplikasikan maksim penerimaan karena dari cara berbicara dia
menganggap bahwa Depdagri bisa melakukan itu.
Ujaran di atas melanggar dua maksim, yaitu maksim kebijaksanaan dan
maksim penerimaan sehingga tingkat ketidaksantunannya adalah
2 ---- X 100% = 20%. 10
Tingkat ketidaksantunan yang hanya dua puluh persen itu menunjukkan
bahwa P1-10 adalah politisi yang sangat santun. Tingkat kesantunan ini akan
bertambah karena dia juga mengaplikasikan maksim penerimaan. Di samping
mengaplikasikan maksim penerimaan, P1-10 juga mengaplikasikan maksim
kuantitas, maksim relevansi dan maksim cara karena apa yang dikatakan tidak
berlebihan, dapat dimengerti dan relevan dengan pertanyaan pembawa acara.
Pembawa Acara
Ini kan bisa menimbulkan kecemburuan begitu, yang satu kok bisa dilantik, yang satu belum dilantik karena belum mendapat ijin, lalu Pak Pak P1 melihatnya seperti apa?
Politisi 1 – Data 11 (P1—11)
Ya sudah andaikata ini sudah menjadi bubur, ya udah lah. Saya kedepan kan sederhana sekali, saya katakan tadi itu, Depdagri tinggal membuat
168
sebuah peraturan yang logis, masuk akal, sangat etis, realistis juga, bahwa setiap calon yang mau ikut Pilkada untuk wakil atau nomor satu itu, tidak boleh seorang tersangka titik. Saya kira itu akan dibenarkan kok oleh oleh opini-opini di masyarakat. Yang sekarang memang sudah aneh ini, jadi dilantik dulu kemudian baru di... kan seperti permainan ya, artinya seperti... seperti... . Jadi ini ini ini kesalahan mungkin yang kemarin kemarin itu, peraturannya itu... tetapi yang... Mbak Kania ada satu lagi ya, hubungannya dengan mengapa pilkada kok menghasilkan, bahkan mungkin pil nasional juga ya, menghasilkan pimpinan yang ternyata mengecewakan. Jadi mungkin terusterang aja, rakyat juga harus ikut bertanggungjawab ya. Nah dalam tulis sosiologi yang elementer itu dikatakan bahwa pimpinan sebuah bangsa, pimpinan sebuah partai, pimpinan sebuah kelompok komunitas ya, itu sejatinya hanya refleksi daripada bangsa itu, daripada partai itu, daripada komunitas itu. Kalau bangsa ini lebih kurang masih agak feudal, nanti ketemunya juga ujung-ujungnya pemimpin yang lebih kurang feudal. Tidak mungkin pemimpin yang demokratis ya. Kemudian kalau apa, rakyatnya sudah mulai demokratis, mulai terbuka, nanti ketemunya juga pimpinan yang yang seperti refleksi rakyat itu sendiri. Jadi sebaik...
P1-11 menyampaikan bahwa pada masa yang akan datang Depdagri tinggal
membuat sebuah peraturan yang logis, masuk akal, sangat etis, realistis juga,
bahwa setiap calon yang mau ikut Pilkada untuk wakil atau nomor satu itu, tidak
boleh seorang tersangka titik. Hasil pilkada merupakan tanggung jawab rakyat
juga dan bangsa yang feodal akan menghasilkan pemimpin yang feudal pula
karena pimpinan adalah refleksi rakyat.
Kalimat “Depdagri tinggal membuat sebuah peraturan yang logis, masuk
akal, sangat etis, realistis juga, bahwa setiap calon yang mau ikut Pilkada untuk
wakil atau nomor satu itu, tidak boleh seorang tersangka titik” yang diucapkan
oleh P1-11 adalah kalimat yang melanggar maksim kebijaksanaan karena
mengungkapkan bahwa masalah yang menurut dia sederhana dan mudah ternyata
selama ini tidak dikerjakan oleh Depdagri sehingga muncul kasus seperti
walikota Tomohon. Hal ini sangat merugikan Depdagri dan sekaligus dapat
169
membuat pemirsa berpendapat bahwa P1-11 adalah orang yang pandai, sedangkan
Depdagri adalah sebuah institusi malas yang tidak memiliki kemampuan seperti
yang diharapkan. Hal ini melanggar maksim kemurahan hati karena P1-11
memaksimalkan keuntungan bagi dirinya.
Kalimat “Mengapa pilkada kok menghasilkan, bahkan mungkin pil nasional
juga ya, menghasilkan pimpinan yang ternyata mengecewakan” menyiratkan rasa
tidak hormatnya pada pimpinan pilihan rakyat ini karena menurut anggapannya
sudah dipilih dengan cara yang tidak benar. Oleh karena itu, apa yang
dikatakannya melanggar maksim penerimaan. Pembicaraan P1-11 yang cukup
panjang ternyata juga melanggar maksim relevansi karena paruh kedua
pembicaraannya tidak menjawab pertanyaan pembawa acara. Hal ini sekaligus
melanggar maksim kuantitas.
Kata/frasa yang mendapat penekanan yaitu “sebuah peraturan”, “logis”,
“masuk akal”, “sangat etis”, “realistis”, menunjukkan bahwa peraturan yang ada
sekarang tidak logis, tidak masuk akal, tidak etis dan tidak realistis. Penekanan
pada kata “titik” menyiratkan bahwa peraturan harus pasti, tidak dapat diubah-
ubah berdasarkan situasi dan tidak dapat dipermainkan oleh siapa pun. Penekanan
pada kata/frasa “pimpinan”, “ternyata mengecewakan” menyiratkan bahwa
pimpinan yang sekarang, yang merupakan produk peraturan yang berlaku
sekarang adalah pimpinan yang mengecewakan.
Berdasarkan paparan di atas ada lima maksim yang dilanggar, yaitu maksim
kuantitas, maksim relevansi, maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan hati, dan
170
maksim penerimaan. Dengan demikian pelanggaran terhadap maksim kesantunan
adalah
5 ---- X 100% = 50%. 10
Pelanggaran terhadap maksim kesantunan sebanyak lima puluh persen
membuat P1-11 menjadi politisi yang cukup santun. Kesantunannya bertambah
karena dia menggunakan bahasa yang santun seperti kata sapaan “Mbak” yang
dalam budaya Jawa merupakan kata sapaan hormat pada wanita yang lebih muda
dari pembicara. Dalam hal ini, dia mengaplikasikan maksim penerimaan. Dia juga
mengatakan bahwa rakyat yang harus bertanggung jawab atas terpilihnya
pimpinan yang yang mengecewakan karena rakyat yang memilih. Hal ini berarti
bahwa dia juga memberikan dirinya beban tanggung jawab karena dia adalah
bagian dari rakyat yang ikut memilih. Ucapannya itu menunjukkan solidaritas dan
aplikasi maksim kemurahan hati. Dia membagi beban kesalahan antara
penyelenggara pilkada atau pil nasional dengan rakyat termasuk dirinya sendiri.
P1-10 juga dapat dikatakan sudah mengaplikasikan maksim cara karena apa yang
disampaikan dapat dimengerti meskipun kalimatnya panjang dan tidak relevan.
Pembawa Acara
Tetapi mengapa begitu sulit kemudian untuk memproses lebih lanjut mengenai politik uang ini? Mengapa begitu sulit untuk membuktikannya? Pak P1.
Politisi 1 - Data 12 (P1-12)
Tetapi begini mbak, satu ada kebutuhan yang sangat besar dari para calon itu, untuk berkuasa lagi atau ingin berkuasa. Terutama tersangka itu ingin
171
berkuasa lagi, Mbak. Supaya dengan kekuasaannya nanti bisa menutupi bolong-bolong ya, selama dia berkuasa lagi itu bisa ya apa namanya angguk geleng ya sama apa, sama penegak hukum itu supaya kemudian diputihkan begitu ya. Jadi mengharapkan, tadi Pak dengar ga kita bicara tadi mengharapkan orang itu tahu diri. Tersangka usaha maju itu memang menghayal itu, justru tersangka mumpung masih ada kemungkinan maju lagi begitu... kalau berkuasa nanti bisa menutup ...
P1-12 menyatakan bahwa pejabat yang melakukan kejahatan akan berusaha
untuk kembali berkuasa agar kejahatan masa lalunya dapat ditutupi dan selama
berkuasa dapat bekerja sama dengan penegak hukum untuk menutupi
kejahatannya.
Kalimat “Selama dia berkuasa lagi itu bisa ya apa namanya angguk geleng ya
sama apa, sama penegak hukum itu supaya kemudian diputihkan begitu ya.” Yang
diucapkan oleh P1-12 mengandung ketidakjelasan karena tidak jelas penegak
hukum yang mana yang bisa diajak kerja sama (angguk geleng) oleh seorang
tersangka dan apa yang diputihkan. Oleh sebab itu, P1-12 dapat dikatakan sudah
melanggar maksim cara. Akan tetapi, pelanggaran terhadap maksim cara ini dapat
bertjuan untuk menjaga muka positif orang yang dimaksud dapat diajak angguk
geleng, sehingga dalam hal ini, P1-12 sedang mengaplikasikan maksim
kebijaksanaan karena ketidakjelasan itu memberi keuntungan pada orang yang
bisa diajak angguk geleng itu. Ada pertentangan antara maksim cara dan maksim
kebijaksanaan di sini. Bagian akhir pembicaraannya juga melanggar maksim cara
karena tidak jelas apa yang disampaikan tentang penegak hukum mana yang
dimaksud. Citra penegak hukum secara keseluruhan juga dirusak karena dikatakan
bersedia bekerja sama dengan pelaku kejahatan dan hal ini melanggar maksim
172
kebijaksanaan. Apabila disimak lebih jauh, pembicaraan P1-12 tidak menjawab
pertanyaan pembawa acara, dengan demikian dia melanggar maksim relevansi.
Kata/frasa yang diberi tekanan adalah “berkuasa lagi”, “ingin berkuasa”,
“tersangka”, dan “diputihkan” diucapkan untuk menekankan bahwa pelanggar
hukum memang ingin berkuasa untuk menutupi kejahatannya pada masa lalu
dengan jalan bekerja sama dengan aparat hukum.
P1-12 melanggar tiga maksim yaitu, maksim relevansi, maksim cara yang
dilanggar sebanyak dua kali, dan maksim kebijaksanaan sehingga
ketidaksantunannya adalah
3 ---- X 100% = 30%. 10
Tingkat pelanggaran kesantunan tiga puluh persen menunjukkan bahwa P1-
12 adalah politisi yang santun. P1-12 dalam pembicaraannya mencoba bersikap
lebih santun dengan menggunakan kata sapaan “Mbak” pada pembawa acara yang
berarti bahwa dia mengaplikasikan maksim penerimaan karena kata sapaan itu
dalam budaya Jawa adalah kata sapaan santun yang diperuntukkan untuk wanita
yang lebih muda daripada pembicara, dan bukan berarti “kakak” . Dia juga
mengaplikasikan maksim kebijaksanaan dengan tidak menyebut secara langsung
siapa aparat hukum yang bisa mempermainkan hukum. Dia juga mengaplikasikan
maksim kuantitas karena dia menjawab melalui kalimat-kalimat yang tidak
berlebihan meskipun tidak relevan dan tidak jelas.
Berikut ini adalah data 13 yang merupakan jawaban P1 untuk pertanyaan
yang diajukan oleh penonton yang merupakan seorang mahasiswa.
173
Mahasiswi.
Bismillahirohmanirohim, nama saya ST dari Universitas ....... . mmm tadi saya ingin menyikapi dari pernyataan Pak e... P1, e... tentang tindakan kita sebagai mahasiswa, e... sekarang kita itu terkadang sering berbicara kalau dari mahasiswa, e... kita harus mengikis berapa generasi sih untuk e... menyingkirkan permasalahan politik, permasalahan kesehatan, permasalahan segala macam yang ada di bangsa ini? Dan tadi P1 juga eh P1 juga mengatakan tentang tindakan nyata sebagai presiden, nah saya ingin menanyakan pada P1 dan juga P2, mmm kalau misalkan pertama, mmm sebagai mahasiswa kalau menurut bapak-bapak ini kita sebagai mahasiswa harusnya ngapain sih kalau menurut Bapak-bapak?. Dan yang kedua, kalau misalkan mmmm bapak bapak ini memiliki posisi jabatan yang penting dinegara ini, e... step by stepnya untuk mengikis sedikit demi sedikit itu seperti apa? Terimakasih, salamwalaikum warahmatulahi wabarakatuh.
Politisi 1 – Data 13 (P1-13)
Pada adik saya jadi yang pertama tadi, kalau sebagai partai saya bukan ketua lagi ya, tetapi cuma penasihat, tetapi saya masih bisa bicara atas nama partai itu. Menurut saya ada sebuah moral e... apa namanya, nilai moral yang sangat mendasar ya. Manusia itu besok bertanggungjawab dihadapan Allah, itu raptil nya sendiri, jadi istilahnya wala tajru wajhu wijrotil ukhro. jadi ga peduli partainya bicara apa, koalisinya bicara apa, kalau salah harus katakan salah, bener katakan bener titik ya. Itu namanya politisi yang punya integritas. Jangan atas nama koalisi kemudian ga berani mengatakan yang benar malah yang hitam dikatakan putih, dan sebaliknya. Saya kira itu tindakan yang tidak terpuji. Saya kira, anda sekalian mumpung masih muda tolong ini diingat ya, jadi yang penting kita tu harus bertanggungjawab atas diri kita sendiri, tidak boleh lantas bersembunyi dipayung partai, yayasan, foundation, jaamiyah dan lain-lain. Dan yang kedua, saya rasa saya tidak ingin memberitahu apa karena saya sudah kakek-kakek jadi kalau saya bicara apa mahasiswa mungkin saya ga cocok lagi, tetapi ya, ada semacam universal apa, image begitu ya, bahwa mahasiswa adalah moral force, mahasiswa itu adalah kekuatan moral, sekalipun bukan kekuatan politik real, tetapi sesungguhnya amat sangat menentukan arah dari sebuah bangsa. Mengapa? Karena mahasiswa itu punya bapak punya ibu punya paman punya bibi, dia merefleksikan kehendak rakyat. Jadi kalau ada negara mengatakan apa itu mahasiswa cuma secuil dari rakyat itu namanya negara bodoh ya. Rak... e.. jadi begini, mahasiswa itu adalah wakil daripada rakyat karena apa tadi itu ya, punya bapak, ibu, adik, paman dan lain-lain.
174
P1-13 mengatakan bahwa orang harus punya tanggung jawab moral dan harus
bertanggung jawab di hadapan Tuhan. Tidak perduli partainya berkata apa, kalau
salah katakan salah. Jangan karena koalisi, yang salah dikatakan benar.
Mahasiswa harus menjadi diri sendiri karena mahasiswa adalah kekuatan moral
yang dapat menentukan arah sebuah bangsa. Hanya negara bodoh yang tidak
mengakui kekuatan mahasiswa sebagai wakil rakyat.
Jawaban P1-13 banyak menunjukkan tidak adanya relevansi antara
pertanyaan dan jawaban yang diberikan. Misalnya, P1-13 mengatakan “Kalau
sebagai partai saya bukan ketua lagi ya, tetapi cuma penasihat, tetapi saya masih
bisa bicara atas nama partai itu.” Penanya tidak menanyakan sesuatu tentang
posisinya di sebuah partai. Jadi, apa yang dikatakan melanggar maksim relevansi.
Hanya sedikit sekali ucapan P1-13 yang menjawab pertanyaan mahasiswa tentang
apa yang seharusnya mereka lakukan, yaitu mereka diminta sebagai moral force.
Maksim relevansi juga dilanggar pada saat dia berbicara masalah koalisi. Apa
yang dilakukan di sana bukan menjawab pertanyaan melainkan mengeluarkan isi
hatinya tentang keberadaan koalisi dan partai-partai yang bergabung di dalamnya.
Jawabannya P1-13 terlalu melebar sehingga melanggar maksim kuantitas. Akan
tetapi, P1-13 juga bersikap santun dengan mengaplikasikan maksim penerimaan,
yaitu pemberian penghargaan pada mahasiswa dengan mengatakan mereka
sebagai moral force yang sangat penting bagi perjuangan negara menuju ke arah
yang lebih baik.
Pendapatnya tentang koalisi itu dipertajam dengan memberi tekanan pada
kata/frasa “ga perduli”, “bener katakan bener titik”, dan “atas nama koalisi”.
175
P1-12 melanggar dua maksim, yaitu maksim kuantitas dan maksim relevansi
yang dilanggar sebanyak dua kali. Berdasarkan paparan di atas, ketidaksantunan
P1-13 adalah
2 ---- X 100% = 20%. 10
Pelanggaran maksim sebesar dua puluh persen menjadikan P1-13 politisi
yang sangat santun. Kesantunannya dipertinggi dengan mengaplikasikan maksim
kemurahan hati dengan mengatakan “Saya sudah kakek-kakek jadi kalau saya
bicara apa mahasiswa mungkin saya ga cocok lagi.” Dia juga mengaplikasikan
maksim penerimaan dengan mengatakan “Pada adik saya jadi yang pertama tadi”.
P1-13 menyebut mahasiswa sebagai adiknya, padahal apabila dilihat status
sosialnya, P1-13 mempunyai status lebih tinggi dari mahasiswa itu, dan juga
dengan mengatakan mahasiswa sebagai moral force. Dengan mengucapkan hal itu
P1-13 sudah memaksimalkan rasa hormat pada orang lain. P1-13 juga
mengaplikasikan maksim cara karena jawabannya dapat dimengerti meskipun
berlebihan dan tidak relevan dengan pertanyaan.
Berdasarkan uraian di atas, secara keseluruhan ketidaksantunan yang
dilakukan oleh P1 adalah
50 + 30 +50 + 30 + 20 + 40 + 30 + 40 + 20 + 50 + 30 + 20 = 30,77%. 12 Untuk mempermudah pemahaman, deskripsi di atas dapat dilihat pada tabel
berikut.
176
Tabel 4.1: Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 1
Politisi – Data Pelanggaran Maksim Persentase Pelanggaran
Predikat Kesantunan
P1-1
Cara Kuantitas Penerimaan Kebijaksanaan Kesimpatian
50% Cukup Santun
P1-2
Kesimpatian Kebijaksanaan Kemurahan Hati
30% Santun
P1-3
Cara Kjebijaksanaan Penerimaan Kesimpatian Kemurahan Hati
50% Cukup Santun
P1-4
Kebijaksanaan Kesimpatian Penerimaan
30% Santun
P1-5
Cara Kebijaksanaan
20% Sangat Santun
P1-(6-7)
Cara Penerimaan Kualitas Kesimpatian
40% Santun
P1-8
Penerimaan Kebijaksanaan Kemurahan Hati
30% Santun
P1-9
Kebijaksanaan Cara Kuantitas Relevansi
40% Santun
P1-10
Penerimaan Kebijaksanaan
20% Sangat Santun
P1-11
Kebijaksanaan Kemurahan Hati Penerimaan Relevansi Kuantitas
50% Cukup Santun
P1-12
Cara Kebijaksanaan Relevansi
30% Santun
P1-13
Relevansi Kuantitas
20% Sangat Santun
Politisi 1: Santun (30,77%)
177
Ketidaksantunan sebesar 30,77% menunjukkan bahwa P1 adalah seorang politisi
yang santun dalam berbahasa. Dalam kesempatan berbicara sebanyak tiga belas
kali, frekuensi pelanggaran maksim dapat ditabelkan sebagai berikut.
Tabel 4.2: Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 1
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kebijaksanaan 10
2. Maksim penerimaan 7
3. Maksim cara 6
4. Maksim Kesimpatian 5
5. Maksim relevansi 4
6. Maksim kemurahan hati 4
7. Maksim kuantitas 4
8. Maksim kualitas 0
9. Maksim kerendahan hati 0
10. Maksim kecocokan 0
Urutan pelanggaran maksim kesantunan di atas menunjukkan bahwa P1
cenderung mengeluarkan pernyataan yang merugikan dan merendahkan orang lain
melalui jawaban yang tidak jelas ke mana acuannya.
Strategi kesantunan yang digunakan oleh P1 adalah (1) pengaplikasian
maksim penerimaan dengan menggunaan kata yang santun, penggunaan
implikatur percakapan dan penggunaan kalimat berpagar, (2) pengaplikasian
maksim kemurahan hati dengan menggunakan pronomina inklusif “kita” dan
meminimalkan kesalahan orang lain, (3) pengaplikasian maksim kebijaksanaan
dengan membuat ucapannya tidak merugikan orang lain, (4) pengaplikasian
maksim kuantitas karena kalimat-kalimatnya efektif, (5) pengaplikasian maksim
178
cara karena apa yang disampaikan dapat dimengerti, dan (6) pengaplikasian
maksim relevansi karena jawabannya relevan dengan pertanyaan.
Dalam ucapan-ucapannya sudah terjadi benturan antara maksim cara dan
maksim kebijaksanaan. Akan tetapi benturan ini hanya akan terjadi apabila
pembicara memang mengatakan sesuatu secara terselubung dalam usahanya
melindungi muka seseorang. Benturan tidak akan terjadi apabila pembicara
mempunyai tujuan lain dalam pelanggaran maksim cara, misalnya untuk
mendominasi percakapan, atau untuk mengaburkan inti pembicaraan.
4.2.1.2 Analisis Data Politisi 2 (P2)
Berikut ini adalah data yang berasal dari pembicaraan P2 yang diucapkan
berdasarkan pertanyaan dari pembawa acara dalam tayangan “Lucunya Negeri
Ini”. Semua pertanyaan dan jawaban berikut mengacu pada narasi pertama dan
kedua.
Pembawa acara
Baik, langsung saja kita mulai perbincangan kita pada malam hari ini, tetapi sebelumnya saya ingin menanyakan pada Pak P2, tadi Pak P2 mengatakan sangat sedih; saya berasumsi sangat sedih melihat kondisi bangsa ini, apakah betul demikian Pak?
Politisi 2 – Data 1 (P2-1)
Iya, betul demikian karena ketika para founding fathers dulu berjuang luar biasa mati-matian, berjibaku, dan kemudian menelorkan suatu slogan merdeka atau mati kan ga pernah terbayangkan bahwa akan menghadirkan negri... yang kemudian semacam ini, atau semacam penegakan hukum yang semacam ini. Ketika pun mahasiswa dan Pak P1 ketika itu memperjuangkan reformasi pasti kan tidak terbayangkan bahwa tiga belas tahun kemudian akan terjadi seorang Gayus yang bisa begitu luar biasa memperdaya hakim, polisi, imigrasi, kemana-mana dan bahkan belakangan menghadirkan tadi yang menghadirkan banyak orang barangkali tertawa tetapi juga sangat geram begitu; bagaimana mungkin
179
dalam posisi ini dia bisa meminta untuk atau mengajukan diri sebagai staff ahli Kapolri, Kejagung maupun juga untuk membera... dan dua tahun dia bilang akan membersihkan... Sekarang barangkali dalam teori kedokteran, barangkali ada juga bahwa kalau kita ingin membasmi penyakit ya kasi juga kuman sejenis untuk membasmi penyakit itu. Tetapi siapa yang akan percaya dengan Gayus? Ketika pernyataan-pernyataannya menghadirkan ketidak jujuran, yang menghadirkan dalam tanda kutip secara terbuka me... betul-betul hukum adalah sesuatu yang bisa dipermainkan, sesuatu yang bisa diperjualkan, bahkan sesuatu yang bisa dibohongkan sekalipun. Kita tahu bagaimana dia mati-matian menyangkal dia pergi ke e.. Bali. Ternyata terbukti pergi ke bali. Dia pun menyangkal pergi ke luar negeri; ke Singapore, dan sebagai...e...Singapore, Macao, dan sebagainya dan ternyata itulah kejadiannya. Jadi sekali lagi ini adalah satu fakta yang terpampang didepan kita bangsa Indonesia. Tentulah tidak untuk diikuti, tidak untuk kemudian dijadikan sebagai suatu e.. trend, suatu mode yang akan diikuti oleh yang lain, tetapi sesuatu yang harus, saya dalam beragam wawancara saya katakan, harus menampar para penegak hukum untuk kemudian sadar dan segera untuk kemudian menghadirkan e.. martabat hukum, dan kemudian menghadirkan suatu koreksi yang mendasar terhadap Republik Indonesia.
P2-1 ingin menyampaikan bahwa dulu para pendiri negara ini berjuang mati-
matian untuk mendirikan negara ini. Kemudian P1 memperjuangkan reformasi.
Akan tetapi kemudian Gayus berhasil memperdaya hakim, polisi, dan imigrasi.
Dia bisa pergi kemana pun dengan bebas meskipun sudah menjadi tahanan.
Mungkin kalau dia menjadi staf ahli kapolri atau kejagung seperti permintaannya
ibaratnya akan menjadi seperti membasmi penyakit dengan kuman sejenis.
Namun Gayus sudah terkenal tidak jujur. Dia bisa mempermainkan hukum.
Kelakuan Gayus ini jangan ditiru, tetapi harus dapat menyadarkan penegak
hukum agar dapat menegakkan martabat hukum di Indonesia.
Kalimat “Ga pernah terbayangkan bahwa akan menghadirkan negeri... yang
kemudian semacam ini atau semacam penegakan hukum yang semacam ini” yang
diucapkan oleh P2-1 menyiratkan sesuatu yang tidak jelas. Negara macam apa dan
penegakan hukum macam apa yang dia maksud. Perkataannya ini melanggar
180
maksim cara karena mengandung ketidakjelasan. Apabila dilihat konteksnya,
dapat dikatakan kata/frasa “semacam ini” mempunyai makna yang tidak baik.
“Negeri semacam ini” maksudnya adalah negeri yang memungkinkan terdakwa
dilantik menjadi walikota, malahan dengan menggunakan fasilitas negara.
“Penegakan hukum semacam ini” maksudnya adalah penegakan hukum yang
tidak benar, yang dapat dikendalikan oleh uang dan kekuasaan. Dalam hal ini,
perkataan P2-1 melanggar maksim kebijaksanaan karena penyelenggara negara
dan aparat penegak hukum akan merasa dirugikan dengan pernyataan itu.
Kalimat “Seorang Gayus yang bisa begitu luar biasa memperdaya hakim,
polisi, imigrasi, kemana-mana...” yang diucapkan oleh P2-1 juga melanggar
maksim kesantunan. Hakim, polisi, imigrasi adalah lembaga yang besar yang
berkaitan dengan hukum. Dengan mampunya seorang Gayus memperdaya
mereka, dapat dikatakan bahwa mereka benar-benar tidak mampu di bidangnya.
Hal ini dinyatakan di depan umum oleh P2-1 sehingga dapat dikatakan melanggar
maksim kesimpatian karena ucapannya itu dapat meminimalkan rasa simpati
pendengar pada ketiga lembaga itu. Ujaran itu juga melanggar maksim
kebijaksanaan karena sudah menimbulkan kerugian nama baik ketiga lembaga itu.
Hukum adalah sesuatu yang harus dihormati dan kemudian ditaati, tetapi dari
pernyataan yang diucapkan oleh P2-1, hukum itu adalah sesuatu yang bisa
dipermainkan, diperjualkan dan bahkan dibohongkan. Aparat hukum dirugikan
dengan pernyataan itu dan hal itu melanggar maksim kebijaksanaan.
P2-1 mengatakan bahwa fakta bahwa seorang tahanan dapat pergi jalan-jalan
ke Bali, Singapura dan Macao seharusnya dapat menampar para penegak hukum
181
sehingga martabat hukum dapat dikembalikan. Meskipun kata “menampar”
digunakan secara metaforis, P2-1 sudah menunjukkan rasa tidak hormatnya pada
penegak hukum dan menganggap mereka itu patut diberi pelajaran dengan cara
menampar. Kata “menampar” terdengar kasar, akan lebih baik kalau kata
“menampar” itu diganti dengan kata “menyadarkan”. Atau ada kemungkinan
bahwa pelanggaran yang sudah dilakukan oleh penegak hukum sudah demikian
beratnya sehingga pantas “ditampar”. Hal ini melanggar maksim penerimaan.
Pada dasarnya P2-1 ingin menyampaikan bahwa penyelenggaraan negara dan
penegakan hukum di negara ini masih harus diperbaiki sehingga mencapai standar
yang diinginkan pada waktu reformasi. Keinginan ini dinyatakan juga melalui
penekanan pada kata-kata “reformasi”, “memperdaya (hakim, polisi dan
imigrasi)”, dan “dibohongkan”.
Berdasarkan paparan di atas, P1-2 sudah melanggar maksim cara, maksim
kebijaksanaan yang dilanggar sebanyak tiga kali, maksim kesimpatian dan
maksim penerimaan. Meskipun pelanggaran terhadap maksim kebijaksanaan
dilakukan sebanyak tiga kali, pelanggaran kesantunan yang dilakukannya adalah
4 ---- X 100% = 40%. 10 Nilai pelanggaran kesantunan yang sebesar empat puluh persen menjadikan
P2-1 politisi yang santun. Nilai kesantunannya bertambah karena P2-1
mengaplikasikan maksim penerimaan dan maksim kesimpatian pada saat dia
mengatakan “Para founding fathers dulu berjuang luar biasa mati-matian,
berjibaku, dan kemudian menelorkan suatu slogan merdeka atau mati” dan
182
kalimat “Ketika pun mahasiswa dan Pak Amien Rais ketika itu memperjuangkan
reformasi”. Kedua pernyataan itu menunjukkan rasa hormat pada “founding
fathers” , mahasiswa dan Pak P1 yang pada akhirnya dapat menimbulkan rasa
simpati pada mereka. Dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas dan maksim
relevansi karena jawabannya tidak berlebihan dan relevan dengan pertanyaan
pembawa acara. Akan tetapi nilai kesantunannya pun dapat berkurang karena
pemilihan kata yang tidak pantas, yaitu “menampar”.
Pembawa acara
(Semua tertawa) seperti itu ya, gimana Pak P2? (Pembawa acara bertanya tentang apakah benar tidak ada “ikan teri” makan “ikan paus”)
Politisi 2 – Data 2 (P2-2)
Bahkan yang sering paus itu juga bersamanya ada teri-teri juga yang mengitarinya bersama-sama diapun ikut membersihkan kulitnya bersama ikan paus, dan lain sebagainya. Jadi teri dan paus juga bukan berarti akan saling me... akan saling bertarung atau akan saling membongkar, bisa jadi akan saling berkolaborasi lagi nanti si teri dan paus mebuat skandal-skandal baru yang e... lebih dahsyat lagi. Tetapi ya lepas dari pernyataan Gayus, apapun bangsa ini tetap harus maju dan tidak boleh kemudian hanya berhenti dan kemudian menjadi sesuatu yang semakin membenarkan dan e... semakin kalah dengan perilakunya Gayus. Saya yakin e... ratusan juta bangsa ini tidak akan rela kalau kemudian mereka begitu saja dinistakan, dikalahkan, dan kemudian dibuat menjadi sesuatu yang seolah-olah negeri ini me...mainannya dia. Dari sekian banyak e... katakanlah mereka-mereka yang mungkin menjadi bagian dari godfathers maupun juga mungkin godmothers juga, karena kan kita juga kenal juga tokoh-tokoh dalam tanda kutip yang bukan berkonotasi fathers, tetapi juga kemudian memainkan hukum. Seperti kasus Artalita Suryani itu kan juga bukan tidak kalah dahsyatnya juga. Jadi siapapun yang ada dibalik itu, sesungguhnya dan termasuk Gayusnya, dengan kedahsyatan yang tadi telah disampaikan oleh Pak P1 menurut saya ya tetap harus dijadikan sebagai penampar untuk bangsa ini untuk e... untuk sadar kembali atau untuk bangkit kembali untuk melanjutkan perjuangan yang memang tidak pernah berhenti dan tidak tidak pernah sepi daripada e... tantangan, ujian
183
dan inilah bagian daripada sunatoh dalam kehidupan dan saya masih percaya bahwa bangsa-bangsa yang lainpun juga pernah mengalami problem-problem yang tidak kalah dahsyat daripada perjalanan bangsa kita. Tetapi bahwa kemudian ini permasalahan yang e... membuat kita semuanya menjadi e ada ada marah, ada gregetan, ada tidak rela, ada sedih, ya pastilah itu.
Makna yang tersirat di dalam ucapan P2-2 adalah ikan paus merefleksikan
penjahat besar (yang biasanya orang kaya dan berpangkat) dan ikan teri
merefleksikan penjahat kecil (orang yang melaksanakan kejahatan yang dirancang
oleh penjahat besar). Penjahat besar dan kecil saling berkelahi, tetapi juga bisa
bekerja sama untuk melakukan kejahatan besar. Rakyat Indonesia tidak boleh
kalah oleh Gayus yang membuat seolah-olah negara ini mainannya. Perbuatan
Gayus seharusnya dapat menyadarkan bangsa Indonesia untuk melanjutkan
perjuangan memberantas korupsi.
Apabila dilihat secara keseluruhan, jawaban P2-2 sangat panjang, berlebihan,
sedangkan yang relevan dengan pertanyaan hanya enam baris pertama. Sisanya
merupakan pernyataannya bahwa penjahat besar di Indonesia tidak hanya laki-laki
tetapi perempuan juga ada yang penjahat besar. Kemudian, uraiannya itu
dilanjutkan dengan uraian tentang masalah yang juga dihadapi negara lain yang
tidak berhubungan dengan pertanyaan pembawa acara. Karena jawaban P2-2 itu
panjang, dan hanya sedikit bagian awalnya yang relevan sehingga menimbulkan
kebingungan bagi yang mendengarkan, dapat dikatakan bahwa P2-2 melanggar
maksim kuantitas, relevansi, dan maksim cara.
Kalimat “Jadi siapa pun yang ada di balik itu, sesungguhnya dan termasuk
Gayusnya, dengan kedahsyatan yang tadi telah disampaikan oleh Pak P1 menurut
saya ya tetap harus dijadikan sebagai penampar untuk bangsa ini...” tidak jelas
184
menunjukkan siapa yang dengan begitu luar biasanya mampu mempermainkan
hukum. Pemirsa pun berkeinginan untuk tahu dengan lebih pasti, siapa oknum-
oknum itu. Akan tetapi, P2-2 tidak menyatakan dengan jelas karena memang
mungkin dia tidak tahu sehingga dapat dikatakan dia melanggar maksim cara.
Apabila dia sengaja melindungi muka negatif orang itu dengan mengaplikasikan
maksim kebijaksanaan sehingga tidak merugikan orang yang berada di balik
permainan hukum tersebut maka maksim cara dan maksim kebijaksanaan akan
berbenturan.
Kalimat “Jadi teri dan paus juga bukan berarti akan saling me... akan saling
bertarung atau akan saling membongkar, bisa jadi akan saling berkolaborasi lagi
nanti si teri dan paus membuat skandal-skandal baru yang e... lebih dahsyat lagi”
yang diucapkan oleh P2-2 mengandung metafora. Penjahat semacam Gayus
dianggap kecil, jadi disamakan dengan ikan teri dan pelindungnya yang
merupakan orang besar dan kaya disebut ikat paus. Pernyataannya mengandung
makna merendahkan ikan paus yang mau berkolaborasi dengan ikan teri.
Pernyataan ini melanggar maksim penerimaan karena sudah menunjukkan rasa
tidak hormat dengan cara merendahkan martabat si “ikan paus”. P2-2 juga tidak
dengan jelas menyebutkan siapa yang dimaksud dengan “ikan teri” dan “ikan
paus”. Apakah “ikan teri” itu hanya Gayus saja atau ada orang lain lagi. Kalimat
ini melanggar maksim cara apabila P2-2 memang menginginkan agar pemirsa
tidak mendengar langsung siapa saja yang dimaksud “ikan teri” dan “ikan paus”
itu langsung dari mulutnya. Akan tetapi apabila P2-2 tidak mengatakan siapa
185
mereka dengan jelas karena ingin melindungi muka negatif mereka agar mereka
tidak dirugikan, maka maksim cara dan maksim kebijaksanaan akan berbenturan.
Kata/frasa yang diberi penekanan yaitu “ada teri-teri”, “saling bertarung”,
“membongkar”, “berkolaborasi”, “dinistakan”, “dikalahkan”, “godfather”,
“godmother”, “memainkan hukum” menunjukkan bahwa P2-2 ingin
menyampaikan bahwa di negara ini penjahat besar dan kecil saling bermusuhan
tetapi dapat juga berteman untuk membuat kejahatan lain yang lebih hebat.
Rakyat hendaknya melawan semua hal ini dan dia yakin rakyat tidak akan bisa
dikalahkan oleh para penjahat. Dia juga menyebutkan bahwa penjahat besar di
negara ini tidak hanya laki-laki, tetapi wanita dapat juga menjadi penjahat besar.
Paparan di atas menunjukkan ada empat maksim kesantunan yang dilangar
oleh P2-2, yaitu maksim kuantitas, maksim relevansi, maksim cara yang dilanggar
tiga kali, dan maksim penerimaan. Hal ini berarti bahwa pelanggaran
kesantunannya adalah
4 ---- X 100% = 40%. 10 Pelanggaran sebesar empat puluh persen menjadikan P2-2 politisi yang
santun. Kesantunannya semakin terlihat pada saat dia mengaplikasikan maksim
kebijaksanaan dengan cara tidak menyebut dengan jelas siapa saja yang dimaksud
“ikat teri” dan “ikan paus” dan juga tidak menyebutkan dengan jelas siapa saja
yang mampu mempermainkan hukum. Dia juga menggunakan metafora “ikan
teri” dan “ikan paus” untuk menghindari penggunaan kata “penjahat”. Dia juga
memberi pujian pada bangsa ini pada saat dia mengatakan, “Saya yakin e...
ratusan juta bangsa ini tidak akan rela kalau kemudian mereka begitu saja
186
dinistakan, dikalahkan, dan kemudian dibuat menjadi sesuatu yang seolah-olah
negeri ini me... mainannya dia.” Melalui ujaran yang sama dia juga
mengaplikasikan maksim kualitas dengan cara meyakini apa yang dikatakannya
benar melalui kalimat “Saya yakin .... .” dan “saya masih percaya” dalam
ujarannya “...dan saya masih percaya bahwa bangsa-bangsa yang lainpun juga
pernah mengalami problem-problem yang tidak kalah dahsyat daripada perjalanan
bangsa kita.”
Pembawa acara
Nah kalau kita bicara sekarang mengenai ikan paus yang dimaksud oleh Pak... oleh oleh Gayus ini artinya di di level mana begitu? Apa bisa di kira-kira apabila memang ada grand scenario untik menutup-nutupi ini semua? Akan sampai kemana ujungnya, Pak P2?
Politisi 2 – Data 3 (P2-3)
Ya untuk sampai ke ujung saya kira e.. saya ikut mengomentari yang tadi tadi telah disampaikan Pak P1, justru kalau menurut saya memang ketika kemudian kasus ini tidak dibongkar, inilah yang akan menghancurkan negara. Kar... oh ya, karena semua kita menjadi tidak percaya dengan penegakan hukum. Semua kita menjadi saling mencurigai, semua kita menjadi tidak bisa saling dipercaya omongannya. Terus bangsa mana yang hukumnya dibiarkan menjadi tidak dipercaya kemudian dia bisa bangkit? Negara maju mana yang kemudian membiarkan hukumnya menjadi permainan dan kemudian tidak membawa pada perbaikan? Negara mana yang kemudian bisa tumbuh kuat menjadi sesuatu yang ditakuti, mempunyai hibah pada pada dunia? Mempunyai aura yang kuat ditingkat dunia ketika bahkan antara bangsanya saja tidak saling mempercaya? Tidak ada! Jadi justru kalau kita ingin menyelamatkan bangsa ini, kasus Gayus ini harus dibongkar sampai keakar-akarnya. Ya mohon maaf, berapapun yang kemudian terlibat, saya yakin tidak sampai sepuluh juta. Habis buka... sepuluh juta orang di Indonesia begitu maksud saya, ...
Ucapan P2-3 menyiratkan bahwa penegakan hukum tidak dapat dipercaya
dan akhirnya kita saling mencurigai. Kasus Gayus harus dibongkar untuk
menyelamatkan bangsa ini.
187
Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh P2-3 tidak relevan dengan pertanyaan
pembawa acara karena ia hanya memaparkan dampak terbongkarnya suatu
kejahatan. Karena jawabannya tidak relevan, maka P2-3 dapat dikatakan
melanggar maksim relevansi. Dalam jawabannya P2-3 mengaplikasikan maksim
kerendahan hati dengan menggunakan ungkapan “mohon maaf” pada kalimat ”Ya
mohon maaf, berapa pun yang kemudian terlibat, saya yakin tidak sampai sepuluh
juta.”. Dia juga mengaplikasikan maksim kualitas melalui ungkapannya “Saya
yakin...” yang menunjukkan bahwa dia yakin apa yang dikatakannya benar.
Karena P2-3 hanya melanggar satu maksim saja yaitu maksim relevansi,
tingkat pelanggaran kesantunannya adalah
1 ---- X 100% = 10%. 10
Tingkat ketidaksantunan yang hanya 10% membuat P2-3 menjadi politisi
yang sangat santun dan tingkat kesantunannya semakin tinggi karena dia
mengaplikasikan maksim kerendahan hati dan maksim kualitas. P2-3 juga
mengaplikasikan maksim kuantitas dan cara karena panjang kalimatnya tidak
berlebihan dan dapat dimengerti dengan jelas meskipun tidak relevan dengan
pertanyaan pembawa acara.
Pembawa acara
(tertawa) gimana Pak Hidayat melihatnya? Apakah, kemudian ada juga yang mengatakan ini ada semacam e... barter politik yang saat ini, barter hukum gitu terjadi antar parpol misalnya yang masing-masing parpol tersandera dengan, dengan dengan kasus-kasus hukumnya begitu, ada kasus Miranda Gate, kasus Century dan sebagainya. Sampai kemana ini ujungnya Pak P2?
188
Politisi 2 – Data 4 (P2-4)
Ya, saya khawatir itu logika yang sama dengan logika yang tadi dika.. disampaikan bahwa kalau kasus Gayus dibongkar maka akan membuat Indonesia gonjang-ganjing, sama juga kalau kita kemudian memperbesar logika bahwa ini adalah e... barter politik antar partai, antar kekuatan politik, ini kan sama aja akan menyandera kita semuanya untuk tidak pernah menyelesaikan karena ini seolah-olah memang permainan yang sudah settle dan tidak mungkin diselesaikan. Padahal barangkali juga sepertinya tidak. Barangkali bahwa kata...kalaupun ada satu, dua, tiga kasus sampai sepuluh, duapuluh, tigapuluh barangkali, tetapi saya yakin bahwa pada, pada prinsipnya partai-partai tidak menginginkan untuk hadir di apalagi di era reformasi ini hanya untuk kemudian melanggengkan perilaku-perilaku yang dulu mereka koreksi, KKN dan lain sebagainya itu. Dan pasti mereka tahu bahwa Indonesia ini negara hukum, demokrasi, dan apa namanya, informasi dan rekan-rekan media luar biasa mengkritisi dan mengamati, apapun kemudian tetep ada lembaga-lembaga hukum yang mencoba untuk sekalipun dengan beragam catatannya, mencoba untuk menegakkan hukum, saya yakin kok e... kalau kemudian kita membiarkan dia menjadi sesuatu yang seolah-olah tidak bisa dikoreksi karena adanya barter-barter itu, ya sudah berhenti saja. Kita bisa yakin tidak, artinya kalaupun ada masalah- masalah yang dikaitkan dengan partai-partai itu, masih tetap dimungkinkan untuk dikoreksi, dibongkar dan, karena sesungguhnya kan penegakan hukum di Indonesia bukan hanya terkait dengan partai-partai politik. Media masa bisa lantang berbicara, rekan-rekan LSM bisa lantang berbicara, rekan-rekan mahasiswa bisa lantang berbicara, KPK dengan segala catatannya tetep juga bisa lantang berbicara. Jadi menurut saya e... logika tadi mirip saja dengan logika tentang yang yang disampaikan tentang kasus Gayus tadi itu. Jadi...
Makna ucapan P2-4 di atas adalah bahwa barter antar partai dan antar
kekuatan politik membuat kita tidak mampu menyelesaikan masalah. Partai-partai
pada era reformasi tentu tidak mau mengulang kesalahan yang dulu mereka
koreksi. Masalah-masalah yang terkait dengan partai yang masih dapat dikoreksi
atau dibongkar, kalau tidak mau dikoreksi, berhenti saja. Media mahasiswa dan
KPK dapat menjadi alat untuk mengoreksi penegakan hukum tersebut.
P2-4 menyatakan bahwa “...barter politik antarpartai, antar kekuatan politik,
ini kan sama aja akan menyandera kita semuanya... .” Pada saat dia menyebutkan
189
“barter politik antarpartai” dia tidak menyebutkan partai yang mana. Di Indonesia
ada banyak partai namun tidak semua partai mempunyai kemampuan untuk
melakukan barter. Hanya partai-partai besar yang mempunyai kemampuan itu.
Kalaupun sebuah partai itu besar, belum tentu partai tersebut mau melakukan
barter. Akan tetapi partai besar lebih dari dua sehingga tidak jelas partai mana
yang dimaksud dengan antarpartai mana barter itu dilakukan. Ketidakjelasan ini
membuat P2-4 melanggar maksim cara. Akan tetapi, apabila P2-4 sebenarnya tahu
partai-partai mana yang punya kemampuan barter politik dan tidak
mengatakannya dengan maksud melindungi partai-partai besar itu karena
mungkin P2-4 adalah termasuk anggota salah satu partai besar itu, maka berarti
dia mengaplikasikan maksim kebijaksanaan. Hal ini berarti ada benturan antara
maksim cara dan maksim kebijaksanaan.
Penekanan yang diberikan pada katafrasa “gonjang-ganjing” , “barter politik”
menunjukkan bahwa tidak hanya kasus Gayus saja yang dapat membuat negara
ini gonjang-ganjing, tetapi barter politik juga dapat menyebabkan negara ini
gonjang ganjing. P2-4 juga memberi tekanan pada kata-kata “dikoreksi”,
“dibongkar” dengan tujuan untuk mempertajam pernyataannya bahwa barter yang
dilakukan oleh partai-partai itu bisa dikoreksi dan dibongkar” agar negara ini
tidak gonjang ganjing.
Dalam kesempatan ini P2-4 hanya melanggar satu maksim yaitu maksim cara
sehingga besar ketidaksantunannya adalah
1 ---- X 100% = 10%. 10
190
Pelanggaran kesantunan yang hanya sepuluh persen menunjukkan bahwa P2-
4 adalah seorang politisi yang sangat santun. Kesantunannya bertambah karena
dia mengaplikasikan beberapa strategi kesantunan seperti dipaparkan di bawah ini
Pernyataan “...tetapi saya yakin bahwa pada, pada prinsipnya partai-partai
tidak menginginkan untuk hadir di apalagi di era reformasi ini hanya untuk
kemudian melanggengkan perilaku-perilaku yang dulu mereka koreksi, KKN dan
lain sebagainya itu” Yang dikemukakan oleh P2-4 merupakan aplikasi maksim
kualitas karena dalam ujaran itu dia menggunakan ungkapan “saya yakin” yang
menunjukkan bahwa apa yang dikatakannya itu dapat diyakini kebenarannya. Sisa
kalimatnya memberi pujian pada semua partai yang dikatakannya tidak akan mau
terus mempraktikkan KKN dan sebagainya seperti pada zaman sebelum
reformasi. Pernyataan ini merupakan suatu pujian, suatu penghormatan dan hal ini
berarti dia mengaplikasikan maksim penerimaan. Maksim penerimaan juga
diaplikasikan pada pernyataan “Dan pasti mereka tahu bahwa Indonesia ini negara
hukum, demokrasi, dan apa namanya...”. Pernyataan itu mengandung suatu
pengakuan bahwa anggota partai-partai itu cukup pandai untuk dapat menghargai
hukum. Hal ini juga suatu pujian dan penghormatan.
Strategi kesantunan lain yang dilakukan oleh P2-4 adalah strategi membagi
beban. Dalam pernyataan “penegakan hukum di Indonesia bukan hanya terkait
dengan partai-partai politik. Media masa bisa lantang berbicara, rekan-rekan LSM
bisa lantang berbicara, rekan-rekan mahasiswa bisa lantang berbicara, KPK
dengan segala catatannya tetep juga bisa lantang berbicara.”Dia membagi beban
antara partai politik, media masa, LSM, mahasiswa dan KPK. P2-4 juga ikut serta
191
menanggung beban itu karena dia adalah anggota sebuah partai politik. Membagi
beban ini adalah aplikasi maksim kemurahan hati. P2-4 juga mengaplikasikan
maksim kuantitas dan relevansi karena jawabannya relevan dan disampaikan
secara efektif.
Pembawa acara
Tapi kasus yang mana dulu yang mau dibuka duluan begitu ya Pak ya
(pertanyaan ini diajukan karena banyak sekali kasus yang masih belum
tuntas)
Politisi 2 – Data 5 (P2-5)
kasus yang mana duluan yang mau dibuka, itu bagian-bagian yang tetep bisa kita kritisi kan. E... kita juga bisa membaca e... apakah secara common sense ataupun fakta dilapangan kenapa ini lebih didulukan, kenapa itu yang tidak, mengapa yang e.. rat e puluhan e... trilyunan tidak dikejar, mengapa yang milyaran dikejar? Mengapa kemudian misalnya justru kasus-kasus yang terkait dengan orang-orang di kampung yang sudah tua, sepuh, renta, dengan cepat melakukan vonis tetapi yang yang tidak e... kasus kasus besar yang tidak juga terkait dengan partai politik, tetapi kok begitu cepat juga, maaf begitu amat sangat lambat untuk... kasus Gayus misalnya, saya yakin bukan tid... bukan e... terkait secara langsung dengan partai politik. Mungkin individu-individu barangkali, tetapi partai politik sebagai partai politik saya yakin tidak serta merta ada disana. Ya sekali lagi permasalahan ini saya kira perlu didudukkan pada proporsinya. Ujungnya akan kemana? Sesuatu yang memang e.. bagian dari keseriusan kita semuanya. Apakah memang kita akan kemudian begitu saja mudah dikalahkan oleh logika-logika tentang Gayus, tentang barter. Perkara atau... kalau kita mudah dikalahkan itu dan kita semuanya ternina bobokan oleh logika itu, ya sudah. Itu yang akan berkelanjutan dan ujungnya negeri ini akan hancur. Tetapi kalau kita kemudian e... media, rekan-rekan pers, penegak hukum yang masih punya nurani, partai-partai politik yang nuraninya masih mereka mereka jaga dengan baik, atau mereka individu-individu negeri ini yang tetap mau bekerja untuk Indonesia, kalau ini terus bersama-sama, saya yakin ujungnya adalah ya apa boleh buat, yang salah tetap harus dinyatakan bersalah, dan kemudian mendapatkan punishment nya, dan yang tidak ya tetep dinyatakan tidak karena harus melanjutkan kehidupannya dalam konteks reformasi maupun kita-kita bernegara ini.
192
Ucapan P2-5 di atas menyiratkan pertanyaan mengapa seolah-olah ada tebang
pilih dalam penyelesaian perkara? Mengapa kasus yang berhubungan dengan
politik selalu sangat lambat penyelesaiannya? Misalnya, dalam kasus Gayus,
mungkin partai tidak terkait secara langsung melainkan individu-individu,
mungkin ada barter. Pers, penegak hukum, partai politik dan individu-individu
yang masih mempunyai nurani, apabila bersatu, pasti dapat menyelesaikan
perkara. Apa boleh buat, yang salah harus dinyatakan bersalah siapa pun dia.
Pertanyaan “Mengapa yang e.. rat e puluhan e... trilyunan tidak dikejar,
mengapa yang milyaran dikejar?” menunjukkan adanya ketidakadilan aparat
hukum dalam menindak suatu kejahatan. Hal ini merugikan aparat hukum
sehingga P2-5 dapat dikatakan melanggar maksim kebijaksanaan. Pernyataan P2-
5 “kasus kasus besar yang tidak juga terkait dengan partai politik, tetapi kok
begitu cepat juga, maaf begitu amat sangat lambat untuk... kasus Gayus misalnya”
mengandung ketidakjelasan. P2-5 ingin mempertanyakan mengapa kasus besar
yang tidak terkait dengan partai politik dapat cepat diselesaikan tetapi kasus
Gayus sangat lambat. Ketidakjelasan yang ada di dalam pernyataan di atas adalah
ketidakjelasan tentang kasus-kasus besar mana yang tidak terkait partai politik.
Hal ini malanggar maksim cara. Penggunaan pronomina “kita” terlihat dalam
kalimat “Tetapi kalau kita kemudian e... media, rekan-rekan pers, penegak hukum
yang masih punya nurani, partai-partai politik yang nuraninya masih mereka
mereka jaga dengan baik.” Ucapannya yang memasukkan dirinya ke dalam
kelompok yang masih memiliki nurani merupakan cara menghormati diri sendiri
sehingga dapat dikatakan dia melanggar maksim kerendahan hati.
193
P2-5 berkeinginan agar semua dipikirkan secara proporsional, artinya tidak
menggeneralisasi karena yang terlibat adalah individu, belum tentu partainya.
Individu yang salah harus dihukum. Untuk menekankan keinginannya ini, dia
memberi penekanan pada kata-kata “lambat”, “partai politik”, “nurani”,
“punishment”.
P2-5 melanggar tiga maksim yaitu maksim cara, maksim kebijaksanaan dan
maksim kerendahan hati sehingga pelanggaran kesantunannya adalah
3 ---- X 100% = 30% 10
Besar pelanggaran maksim kesantunan yang hanya tigapuluh persen
menjadikan P2-5 politisi yang santun. Kesantunan itu ditingkatkan dengan cara
membagi beban. Dia membagi beban antara media, partai politik dan individu
yang masih mempunyai nurani dan hal ini adalah aplikasi maksim kemurahan
hati.. Dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas dan maksim relevansi karena
jawabannya relevan dan efisien.
Pembawa acara
Tetapi secara... hmmmm Pak Hida... Pak Hidayat sendiri melihat ini, ini ini ini kan lucu begitu ya? Artinya kemudian kok bisa sampai, sampai hal seperti ini terjadi, walaupun sebenarnya memang dalam undang-undang dimungkinkan, ada celah untuk itu, tetapi... (Pembawa acara menganggap bahwa tidak melantik pejabat terpilih meski pejabat yang terpilih itu seorang tersangka, adalah melanggar undang-undang)
Politisi 2 – Data 6 (P2-6)
Ya, sesungguhnya tadi Prof kita juga sudah memberikan e... apa namanya semacam celah untuk mengkritisi ya. Karena tadi kan ketika mbak Kania menanyakan kenapa kok si yang walikota yang terdakwa kemudian melantik e... pejabat-pejabat yang lain di penjara dan tadi beliau katakan secara norma undang-undang ya tidak bermasalah tetapi secara etika
194
tempat jadi bermasalah, kan gitu. Jadi ternyata juga bukan hanya norma hukum yang bisa dipegang, tetapi etika hukum pun juga menjadi bagian yang penting untuk di dicermati. Jadi okelah dari sisi norma hukum bahwa memang undang-undangnya mengatur bahwa kalau belum e... berkeputusan tetap dia masih diperbolehkan menjadi kandidat, dan kemudian bahkan dipilih, bahkan dimenangkan dan kemudian dilantik. Tetapi kan tadi norma hukumnya, ternyata juga penting untuk dipertimbangkan. Karena e... saya yakin ini semuanya kan hadir dalam konteks reformasi begitu ya. Reformasi kita kan sesungguhnya sejak dari awal mengkoreksi hukum yang hanya dalam tanda kutip leterlek leterlek media hukum saja dengan mengabaikan norma-norma penegakan hukum itu sendiri. Memang ini problemnya kasus-kasus yang sudah terjadi dan e... apa boleh buat memang demikian. Tetapi harus menjadi pembelajaran yang amat sangat serius ke depan.
Pembawa acara
Bu... buat siapanya ni, artinya kem...
Politisi 2 – Data 7 (P2-7)
Buat semuanya... buat e... buat ... pertama tentu buat pembuat undang-undang, agar kalau membuat undang-undang itu betul-betul mempertimbangkan hal-hal yang seperti ini, sehingga e... saya juga tadi sudah berbicara dengan rekan-rekan di DPR dan mereka sepemikiran dengan Prof e... Djohermansyah Djohan untuk kemudian memang nanti perlu dilakukan perubahan terhadap undang-undang tentang pemilihan kepala daerah ini. Termasuk diantaranya adalah mengetat melakukan pengetatan termasuk diantaranya status. Kalau mereka sudah berstatus tersangka, itu ya harus sudah selesai, tidak boleh kemudian dicalonkan sebagai calon kepala daerah, apakah gubernur, bupati atau walikota. Ini salah satu pintu besar untuk kemudian mengkoreksi dan tidak mengulangi lagi kejahatan-kejahatan semacam ini.
P2–(6-7) menyampaikan bahwa melantik walikota yang merupakan seorang
terdakwa adalah norma undang-undang yang seharusnya juga memperhatikan
etika hukum. Reformasi sebenarnya sudah mengoreksi hukum yang bersifat
tertulis yang tidak memperhatikan norma-norma hukum. Ke depannya pembuat
undang-undang harus berhati-hati agar orang yang bestatus tersangka tidak boleh
dicalonkan lagi menjadi kepala daerah.
195
Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh P2-(6-7) di atas merupakan saran agar
pada masa yang akan datang, bukan saja norma hukum yang harus diperhatikan,
tetapi etika hukum juga harus mendapat perhatian yang besar. Menurut P2-(6-7)
norma hukum sudah tidak dapat diganggu gugat dan hal itu dia tunjukkan melalui
penekanan pada kata-kata “ kandidat”, “dipilih”, dan “dimenangkan”. Akan tetapi
pada saat dia mengatakan bahwa kasus wali kota itu merupakan pembelajaran
yang seharusnya untuk semua, yaitu untuk rakyat yang memilih, untuk
penyelenggara dan untuk pembuat undang-undang, dia memberi beban yang lebih
berat pada pembuat undang-undang seperti pernyataan berikut, “Buat semuanya...
buat e... buat ... pertama tentu buat pembuat undang-undang... .” Hal ini
merupakan pelanggaran kesantunan karena pemberian beban itu merugikan orang
lain. Dalam hal ini dia melanggar maksim kebijaksanaan. Dia juga memotong
kalimat pembawa acara yang berarti bahwa dia tidak menghormati pembawa
acara. Hal ini berarti bahwa dia melanggar maksim penerimaan.
Apabila dianalisis berdasarkan maksim kesantunan, P2-(6-7) melanggar dua
maksim kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan dan maksim penerimaan.
Dengan demikian, nilai pelanggaran kesantunannya adalah
2 ---- X 100% = 20 %. 10
Nilai ini menjadikannya politisi yang sangat santun. P2-(6-7) juga meningkatkan
kesantunannya melalui aplikasi maksim kuantitas, maksim relevansi dan maksim
cara karena dia sudah memberi jawaban yang efektif dengan cara yang dapat
dimengerti dan relevan dengan pertanyaan pembawa acara.
196
Pembawa acara
Politik uang sepertinya... dari tergantung dari parpolnya juga kalau begitu ya. Artinya jangan mendukung pasangan yang memang sudah berstatus tersangka begitu misalnya salah satu diantaranya. Pak Hidayat...
Politisi 2- Data 8 (P2-8)
Ya. Ya pasti, parpolpun juga harus bertanggung jawab karena sekarang kan secara umum ya, memang kemudian diperbolehkan calon perseorangan untuk pilkada, tetapi secara umum, tetap parpol yang kemudian berperan untuk menghadirkan calon, termasuk juga nanti melakukan mekanisme bagaimana calon itu dikomunikasikan ke masyarakat, jadi parpol ini juga harus ikut bertanggungjawab karena kalau kemudian demokrasi ini rusak, parpolpun akhirnya disalah pahami oleh public dan parpol pun akhirnya akan menjadi bagian dari yang tertuduh. Tetapi tadi yang terkait dengan masalah money politic ini, ini juga memang kejahatan yang lain terkait dengan pilkada. Jadi memang ada rakyat yang menunggu diserang pada waktu fajar, menunggu diserang diwaktu maghrib, diwaktu isa, diwaktu duhur diwaktu kapanpun, dan e... kalau tidak diserang malah mereka marah, itu memang fakta besar yang ada dimasyarakat. Tetapi kalau memang seluruh kandidat itu tidak menyerang, ya memang tidak akan ada serangan. Permasalahannya selalu juga ada yang kemudian mempergunakan keinginan publik itu untuk kemudian mereka melakukan serangan. Maka sesuai dengan semangat kedepan revisi itu, menurut saya bagian yang harus diperbaiki adalah pasal-pasal tentang money politic. Jadi betul-betul harus dikerasi yang tentang money politic itu, memang kita tidak bisa mena... mengabaikan bahwa pemilu, pilkada memang suatu perhelatan yang memerlukan anggaran, tetapi anggaran yang juga harus e... legal, bukan anggaran yang kemudian justru akan menghancurkan demokrasi itu sendiri.
Ucapan P2-8 menyiratkan bahwa parpol harus ikut bertanggung jawab atas
terpilihnya seorang kepala daerah karena, meskipun ada calon perseorangan, tetap
saja parpol yang mengatur mekanismenya agar calon tersebut dikenal masyarakat.
Rakyat pemilih juga dapat disogok untuk memilih calon tertentu. Jadi, rakyat juga
harus bertanggung jawab. Sogokan atau money politic dalam pilkada harus diberi
sanksi keras.
Dalam pembicaraan di atas, P2-8 membagi kesalahan dalam proses pemilihan
kepala daerah antara partai politik dan rakyat. Menurutnya, partai politik patut
197
disalahkan karena, meskipun kandidat itu calon perorangan, tetap saja parpol yang
mengatur mekanisme agar calon tersebut dikenal masyarakat. Rakyat juga patut
disalahkan karena mau dibayar untuk memilih parpol atau kandidat itu. P2-8
mengganggap pemberian uang pada rakyat sebuah fakta. Hal ini dipertegas
dengan memberi penekanan pada kata/frasa “calon”, “money politic”, “fakta
besar”, “dikerasi”. Melalui pernyataannya P2-8 mengaplikasikan strategi
kesantunan, yaitu membagi beban antara rakyat pemilih dan parpol sehingga
dapat dikatakan bahwa dia mengaplikasikan maksim kemurahan hati karena P2-8
juga bagian dari rakyat. P2-8 juga menggunakan metafora “serangan fajar” untuk
menyatakan uang sogok, dan menggunakan kata pinjaman “money politic” yang
berarti uang yang diberikan pada pemilih agar dia memilih calon tertentu.
Metafora dan kata pinjaman ini dapat digunakan untuk menurunkan derajat
tekanan yang terjadi akibat pelanggaran maksim dan dapat juga dikatakan sebagai
aplikasi maksim penerimaan.
Karena P2-8 tidak melanggar maksim kesantunan, nilai kesantunannya
adalah seratus persen dan dia dapat dikategorikan politisi santun. Kesantunan ini
mungkin disebabkan oleh politisi itu yang berusaha untuk bersikap netral agar
tidak menyinggung siapapun. Atau mungkin juga politisi itu memang memiliki
watak santun sehingga apa pun yang dikatakannya tidak memojokkan orang lain.
Dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara
karena kalimatnya efektif, mudah dimengerti dan relevan dengan pertanyaan
pembawa acara.
198
Pembawa acara
Baik baik, Pak P2, yang kongkritnya. Artinya langkah-langkah kedepannya ini apa bisa yang dilakukan Pak... ( Pembawa acara menegaskan pertanyaan mahasiswa tentang langkah-langkah konkret yang harus dilakukan untuk memperbaiki bangsa ini)
Politisi 2 – Data 9
Ya sebenarnya kedepan itu pertanyaan yang kedua, saya ke pertanyaan yang pertama dulu jadi terkait dengan sikap partai saya dan partai koalisi, memang e.. dalam konteks karena partai saya membawa asas islam ya, kami menegaskan tentang prinsip bahwa koalisi itu suatu hal yang juga diperintahkan, tetapi koalisi yang dalam konteks apa? Al Qur’an yang menyebutnya wata’awanu a’lal birri wa taqwa tetapi juga wala ta’awanu a’lal istmi wal udwan. Kita diperbolehkan untuk kerja sama, koalisi bila itu dalam rangka merealisasikan nilai taqwa dan nilai albir. Albir itu bukan minum bir.
(yang lain tertawa) Al bir adalah nilai segala kebajikan. Apapun kebajikkan yang merupakan
mungkin nilai universal bahwa itu baik, silahkan kerja sama. Tetapi begitu koalisi membawa pada al istm dosa, al udwan melanggar hukum, koreksilah koalisi itu. Dengan cara itu anda menyelamatkan koalisi, atau dengan cara itu anda menyelamatkan perjalanan e... perpolitikan yang mestinya dilakukan. Ya e... saya kira konkrit saja ketika rame tentang masalah Century sikap partai saya jelas, sekalipun dampak daripada itu Pak Wisbakhun kemudian sekarang dipenjara begitu. Tetapi ya sudah...ya katanya dituduh LC nya bodong padahal ternyata LCnya tidak bodong...
saya kira sikap PKS tetap ya, selama wata’awanu a’lal birri wa taqwa kita jalan terus. Selama koalisi itu dalam rangka a’lal birri wa taqwa jalan terus. Tetapi ketika koalisi ini mengarah pada al istm al udwan partai saya pasti akan melakukan koreksi.
Oke, konkritnya kedepan ini akan jalan terus, kalau kalau dia membawa pada perilaku yang melanggar hukum misalnya Gayus di dilindungi terus-terusan kita pasti akan kritisi.
Dan kalau tentang step by step tadi e... saya kira kita semuanya teringat dengan satu ungkapan yang masih amat sangat relevan dari seorang pujangga jawa Ronggowarsito, dia mengatakan amenangi jaman edan, ing koyo pambudi, ora edan ora keduman, jadi yang paling penting justru adalah sak bejo-bejane kang lali luwih bejo kang eling lan waspadho jadi artinya adalah secara secara sederhana sekali rekan-rekan mahasiswa pasti melihat segala macamnya menjadi kelabu menjadi buram, menjadi seolah-olah kalau tidak ikutan menjadi ga kebagian, tetapi selalu diingatkan bahwa sudah banyak yang ingin ikut kebagian tetapi terlanjur ketangkep oleh macem-macem KPK dan lain sebagainya, tetapi yang paling utama adalah jangan ikut-ikutan. Kalau anda melihat segala yang sekarang mengarah pada sesuatu yang destruktif ya jangan ikutan. Mahasiswa
199
tetaplah istiqomah dalam semangat anda dan idealism anda itu bagian dari apa yang akan menyelamatkan bangsa kita kedepan.
P2-9 ingin menyampaikan bahwa partai P2 adalah partai berasas Islam yang
juga memerintahkan koalisi. Akan tetapi koalisi itu harus mempunyai nilai
kebajikan. Apabila koalisi itu melanggar kebajikan maka partai saya wajib
mengoreksi seperti yang terjadi pada kasus Bank Century. Kalau Gayus dibela,
partai saya pasti akan mengkritisinya. Mahasiswa hendaknya menjadi diri sendiri
dan tetap dengan idealismenya.
Jawaban P2-9 sebagian tidak menjawab pertanyaan mahasiswa yang
menanyakan tindakan nyata apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki bangsa
ini. Jawaban pada paragraf satu dan paragraf dua tidak relevan dengan pertanyaan,
dan oleh karena itu, dikatakan melanggar maksim relevansi. Keberadaan kedua
paragraf itu terlalu berlebihan sehingga melanggar maksim kuantitas. Di akhir
paragraf dua dia menyebut masalah dengan Bank Century dan mengatakan sikap
partainya jelas. Akan tetapi dia tidak menyebutkan dengan jelas, apa yang sudah
dilakukan partainya. Di sana ada implikatur, tetapi implikatur itu mengaburkan
pengertian pemirsa mengingat pemirsa TV berasal dari berbagai kalangan yang
belum tentu semuanya memahami apa yang dilakukan partainya. Implikatur
memang salah satu strategi kesantunan. Akan tetapi, apabila, karena adanya
implikatur isi jawabannya jadi kabur, hal ini merusak maksim cara. Ada
kemungkinan lain bahwa dengan tidak menyebutkan sikap partainya dengan jelas,
P2-9 ingin melindungi muka positif partainya dengan mengaplikasikan maksim
kebijaksanaan karena mungkin partainya melakukan sesuatu yang di mata
masyarakat kurang berkenan. P2-9 baru memberikan jawaban yang relevan
200
dengan pertanyaan pada paragraf empat dan lima. P2-9 melalui jawabannya yang
panjang ingin menyampaikan bahwa dia berasal dari partai berasas islam yang
mempunyai nilai taqwa, tidak mau melanggar hukum dan selalu mengoreksi yang
salah. Dengan mengatakan hal tersebut dia sudah memposisikan dirinya sendiri di
posisi terhormat dan hal ini melanggar maksim kerendahan hati. Ucapannya itu
juga menyiratkan agama yang tidak berasas Islam, mungkin melakukan hal yang
sebaliknya. Hal ini melanggar maksim penerimaan.
Pada dasarnya P2-9 ingin menyampaikan pemikirannya bahwa partainya
adalah partai kritis terhadap pemerintah meskipun mereka berkoalisi. Mahasiswa
harus kritis dan jangan ikut-ikutan apalagi kalau hal tersebut bersifat merusak. Hal
tersebut ditekankan melalui penekanan pada kata/frasa “asas islam”, “prinsip”,
“nilai taqwa”, “nilai albir”, “al istm”, “al udwan”, "koreksi”, “kritisi”, “relevan”,
“tidak ikutan menjadi ga kebagian”, “jangan ikut-ikutan”.
Dalam pembicaraan di atas P2-9 melanggar lima maksim yaitu maksim
kuantitas, maksim relevansi, maksim cara, maksim penerimaan dan maksim
kerendahan hati. Dengan demikian ketidaksantunannya adalah
5 ---- X 100% = 50% 10
Ketidaksantunan yang bernilai lima puluh persen menjadikan P2-8 cukup
santun.
Secara keseluruhan P2-8 melakukan pelanggaran maksim kesantunan sebesar
40 + 40 + 10 + 10 + 30+ 20 + 0 + 50 = 25 %.
8
201
Deskripsi di atas dapat ditabelkan sebagai berikut.
Tabel 4.3: Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 2
Politisi-Data Pelanggaran Maksim Presentase Pelanggaran
Predikat Kesantunan
P2-1
Cara Kebijaksanaan Kesimpatian Penerimaan
40% Santun
P2-2
Kuantitas Relevansi Cara (3X) Penerimaan
40% Santun
P2-3
Relevansi 10% Sangat Santun
P2-4
Cara 10% Sangat Santun
P2-5
Kebijaksanaan Cara Kerendahan Hati
30% Santun
P2-(6-7)
Kebijaksanaan Penerimaan
20% Sangat Santun
P2-8
-
0% Sangat Santun
P2-9
Kuantitas Relevansi Cara Kerendahan Hati Penerimaan
50% Cukup Santun
Politisi 2: Santun (25%) Pelanggaran kesantunan 25% itu membuat P2 menjadi politisi yang santun.
Kesantunannya semakin tinggi karena dia mengaplikasikan maksim penerimaan,
maksim kesimpatian, maksim kualitas, maksim kerendahan hati, maksim
kebijaksanaan, maksim kemurahan hati, maksim kuantitas, maksim cara dan
maksim relevansi.
Maksim yang dilanggar secara berurutan dari yang terbanyak sampai yang
tidak pernah dilanggar dapat ditabelkan sebagai berikut.
202
Tabel 4.4: Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 2
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim cara 5
2. Maksim penerimaan 4
3. Maksim relevansi 3
4. Maksim kebijaksanaan 3
5. Maksim kuantitas 2
6. Maksim kerendahan hati 2
7. Maksim kesimpatian 1
8. Maksim kualitas 0
9. Maksim kemurahan hati 0
10. Maksim kecocokan 0
Perhitungan di atas menunjukkan bahwa P2 adalah politisi yang cenderung
menyatakan sesuatu dengan cara tidak jelas, kurang menghargai orang lain dan
cenderung merugikan orang lain. Akan tetapi nilai kesantunan P2 meningkat
karena dia mengaplikasikan maksim penerimaan pada saat dia menyebut
mahasiswa itu “rekan-rekan”, padahal dilihat dari umur dan status sosial, posisi
P2 lebih tinggi daripada mahasiswa-mahasiswa itu.
Untuk melihat kemampuan berkomunikasi dari P1 dan P2, dua politisi yang
menjadi partisipan dalam tayangan “Lucunya Negeri Ini” analisis SPEAKING
dari Hymes (1964) dilakukan atas kedua politisi tersebut. Hasil analisis disajikan
pada tabel berikut ini.
203
Tabel 4.5: Analisis SPEAKING Politisi 1 dan Politisi 2
Elemen SPEAKING Data Komunikasi Waktu dan tempat komunikasi (S)
Komunikasi berlangsung dalam acara talk show “Today”s Dialogue” di Metro TV yang ditayangkan hari Selasa, jam 23.00 – 24.00 WITA, tanggal 11 Januari 2011, dengan topik “Lucunya Negeri Ini”.
Partisipan (P) P1, P2 dan pembawa acara. Hasil Komunikasi (E) Pengakuan bahwa implementasi hukum di Indonesia sangat lemah
sehingga banyak hal-hal “lucu” terjadi di Indonesia, misalnya ada Gayus, koruptor yang ingin menjadi staf ahli jaksa agung, kapolri, bahkan menjadi ketua KPK; ada tersangka yang tetap dilantik sebagai kepala daerah dan sebagainya dan melantik stafnya di penjara dengan fasilitas negara.
Bentuk dan isi Komunikasi (A)
P1 menggunakan pilihan kata yang santun, seperti misalnya menggunakan kata sapaan “mbak” kepada pembawa acara, tetapi juga menggunakan kata-kata yang kurang santun, misalnya garong, yang ditujukan kepada orang kuat yang melindungi Gayus. P2 menggunakan pilihan kata yang cenderung santun misalnya menggunakan kata “ketidakjujuran” untuk “kebohongan” Isi komunikasinya adalah tentang lemahnya hukum di Indonesia, tentang banyaknya aparat hukum yang justru menjadi pelanggar hukum nomor satu sehingga banyak terjadi kasus-kasus yang tidak semestinya terjadi, terjadi di Indonesia.
Perilaku penyampaian Pesan (K)
Berdasarkan analisis kesantunan, perilaku penyampaian pesan P1 dan P2 adalah santun.
Cara penyampaian Pesan (I)
Pesan disampaikan secara lisan dengan menggunakan bahasa lisan.
Norma interaksi dan Interpetasi (N)
Dalam penyampaian pesan, P1 banyak melanggar maksim kebijaksanaan dan P2 banyak melanggar maksim cara
Jenis-jenis ujaran (G) P1 dan P2 menyampaikan pesan dengan menggunakan kalimat-kalimat deklaratif kompleks.
Berdasarkan analisis di atas dan apabila dianalogikan dengan analisis kesantunan,
dapat dikatakan bahwa P1 dan P2 mempunyai kemampuan berkomunikasi yang
baik.
4.2.2 “Krisis Kepemimpinan Nasional”
Dalam tayangan “Krisis Kepemimpinan Nasional” yang dibicarakan adalah
krisis kepemimpinan nasional yang terjadi di Indonesia. Ada kekhawatiran bahwa
204
Revolusi di Tunisia dan Mesir yang terjadi karena krisis pangan, praktik korupsi,
dan ketidakadilan hukum akan menjalar ke Indonesia apabila pemimpin nasional
tidak cepat tanggap dengan persoalan-persoalan mendasar tersebut. Narasumber
yang diundang empat orang, tetapi yang dikategorikan politisi ada dua orang yang
selanjutnya disebut Politisi 3 (P3), yaitu politisi dari Partai Demokrat dan Politisi
4 (P4), yaitu politisi dari Partai Nasional Demokrat (NASDEM). Sementara itu
dua orang lainnya adalah mantan panglima TNI dan Rektor Universitas Islam
Nasional.
4.2.2.1 Analisis Data Politisi 3 (P3)
Berikut adalah data yang berasal dari pembicaraan P3 yang diucapkan
berdasarkan pertanyaan dari pembawa acara dalam tayangan “Krisis
Kepemimpinan Nasional”. Semua pertanyaan dan jawaban mengacu pada narasi
berikut.
Narasi
Krisis kesejahteraan dan kepemimpinan telah menyeret tiga negara, Tunisia, Yaman, dan Mesir turun ke jalan, mendesak pergantian pemimpin mereka. Banyak kalangan menilai bahwa penyebab terbesarnya adalah gagalnya demokrasi politik di tiga negara tersebut. Namun persoalan mendasar yang mirip dari tiga negara pada prinsipnya sama, yaitu memuncaknya frustasi sosial akibat belitan kemiskinan yang tak kunjung usai mendera rakyat. Lalu bagaimana dengan Indonesia, kondisi terakhir politik nasional adalah langkah sejumlah kalangan melemparkan kekesalannya degan menuding pemerintah telah melakukan kebohongan publik. [jeda]
Kemiskinan, tetap menjerat rakyat yang semakin tertekan karena tiadanya lapangan pekerjaan. Harga-harga bahan pangan mulai melambung naik akibat krisis pangan yang mulai mengancam Indonesia. Presiden SBY sebetulnya tahu bahwa krisis pangan yang mengancam stabilitas ekonomi dalam negeri. Persoalan ini dengan lantang diungkapkannya di forum ekonomi dunia di Dafus, Swiss.
205
Namun pengetahuan presiden ini tidak diimbangi dengan antisipasi yang baik, hingga saat ini harga kebutuhan bahan pangan semakin mahal. Petani masih kesulitan mengakses informasi tentang perubahan iklim dan biaya produksi. Tengkulak merajai sistem pasar di Indonesia, dan ujung-ujungnya unjuk rasa selalu berakhir dengan bentrok antara demonstran dengan aparat. Begitu juga dengan drama pemberantasan korupsi dan penegakkan hukum yang lebih kental aroma politik transaksional. Contoh yang nyata terlihat adalah ketika sejumlah politisi senayan, seakan menyerang balik pimpinan KPK dalam rapat kerja di DPR senin kemarin. Kita memang tidak menginginkan apa yang teradi di Tunisia dan Mesir merembet ke Indonesia. Namun ketidakpercayaan masyarakat pada penyelenggara negara, baik itu pada presiden, DPR, sampai lembaga penegak hukum, sungguh harus dicermati sejak dini. Negeri ini bukan hanya milik kelompok elite tertentu, hanya bagaimana pemimpin menjadi teladan bagi rakyatnya, sehingga ada saling percaya, antara yang memimpin dan yang dipimpin
Pembawa acara
Baik, ini terkait juga dengan gerakan GERAM itu yang baru saja dideklarasikan, anda menjadi bagian dari itu, tetapi sebelumnya saya ingin menanyakan juga tanggapan dari Pak P3 seperti apa. Apakah kemudian fair untuk menilai kepemimpinan nasional saat ini hanya misalnya dari rapor di bidang pemberantasan korupsi yang katanya merah Pak?
Politisi 3 – Data 1 (P3-1)
Saya harus kembali pada konstitusi. Konstitusi kita meniscayakan adanya distribusi kekuasaan. Kalau kita menyalahkan apa yang terjadi ini hanya pada eksekutif saja, menurut saya sangat tidak fair dan sangat tidak adil. Makanya kita sebagai ketua-ketua lembaga Negara bersepakat untuk selalu berkomunikasi, bersinergi, bagaimana masing-masing institusi kita bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa kita ini. Artinya ada kekurangan-kekurangan diantara lembaga ini sangat berpengaruh terhadap perjalanan bangsa. Kita tidak bisa hanya menyalahkan dari sisi eksekutif apabila tidak mendapat dukungan daripada legislatif, dan juga apabila tidak mendapat dukungan daripada yudikatif. Kita harus bicara komperehensif, kita bicara negara Republik Indonesia. Kita tidak bicara hanya bicara eksekutif saja.
P3-1 ingin menyampaikan bahwa konstitusi Indonesia menimbulkan adanya
distribusi kekuasaan yang seharusnya bekerja sama, bersinergi untuk membangun
206
bangsa. Kekacauan yang terjadi bukan hanya kesalahan eksekutif saja karena
eksekutif juga harus didukung oleh legislatif dan yudikatif.
Kalimat “Kita harus bicara komperehensif” merupakan aplikasi maksim
kemurahan hati karena membagi beban “harus bicara komprehensif” pada banyak
pihak termasuk pada dirinya sendiri.
Dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh P3-1, dapat dilihat bahwa P3-1
berusaha mengaplikasikan kesantunan. Hal ini ditandai dengan penggunaan
pronomina “kita” yang berarti mengajak semua yang terlibat dalam pembicaraan
itu, untuk berada di dalam suatu kelompok yang adil dalam menilai kinerja
eksekutif. Dengan menggunakan pronomina “kita”, P3-1 sudah menghormati
mitra tuturnya dengan menempatkan mereka di dalam kelompok orang-orang
yang adil, yang tidak hanya menyalahkan eksekutif karena tanggung jawab tidak
hanya di eksekutif, tetapi juga di tangan legislatif dan yudikatif. Hal ini
merupakan aplikasi maksim penerimaan
Maksud P3-1 ditegaskan dengan memberi tekanan pada kata/frasa “distribusi
kekuasaan”, “kekurangan-kekurangan”, legislatif” dan “yudikatif”. Dengan
memberi tekanan pada kata-kata tersebut, dia ingin menegaskan bahwa kekuasaan
di negara ini didistribusikan pada legislatif, yudikatif, dan eksekutif, dan pada
pelaksanaannya masih ada kekurangan-kekurangan karena ketiga lembaga ini
belum bekerja sama dengan baik.
Dengan tidak adanya pelanggaran maksim kesantunan, dapat dikatakan
bahwa P3-1 adalah politisi yang santun. Tingkat kesantunannya bertambah karena
dia mengaplikasikan maksim kemurahan hati dan maksim penerimaan. Dia juga
207
mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim relevansi, dan maksim cara karena
penggunaan bahasanya yang efektif, jelas dan relevan dengan pertanyaan
pembawa acara.
Pembawa acara
Yang maksimal, begitu ya. Kalau kita sekarang bicara mengenai, ya itu dia, adanya kerja sama antar lembaga pemerintah yang ada saat ini… Lembaga negara, mohon maaf. Menjawab tadi ada, apa yang diungkapkan oleh Pak Tarto tadi, bahwa dalam pemberantas korupsi saja begitu misalnya, ketika kemudian kemarin seharusnya terjadi hearing antara KPK dan DPR ternyata tidak didukung juga, jadi apa sebenarnya masalahnya, Pak P3?
Politisi 3- Data 2 (P3-2)
Ya, sebetulnya ini tanggung jawab kita bersama, masa transisi ini kita harus mengambil tanggung jawab sesuai dengan porsi dan kapasitas yang kita miliki. Nah apabila salah satu lembaga Negara tidak memberikan kontribusi, tentu perjalanan reformasi ini akan pincang. Terus terang perubahan konstitusi kita ini masih banyak kelemahan dimana contohnya yang dipertanyakan orang hubungan antara pusat dan daerah. Daerah seperti raja-raja kecil yang susah sekali dikendalikan oleh pemerintah pusat, presiden hanya punya kewenangan untuk membebastugaskan apabila menjadi terdakwa dan memberhentikan apabila menjadi tersangka, namun dalam perjalanan apabila programnya tidak sinergi dengan pemerintah pusat, langkah-langkahnya ada yang kontra produktif dan lain sebagainya, siapa yang memberhentikan kepala daerah. Ini juga yang jadi persoalan. Kewenangan pemerintah... Padahal 70% alokasi daripada APBN kita sudah diserahkan pada daerah. Artinya pengelolaan pemerintahan sudah sebagian besar diserahkan pada daerah. Nah persoalan-persoalan ini tidak selesai dan ini harus dicari solusinya.
P3-2 menyatakan bahwa semua lembaga negara harus berkontribusi agar
jalannya reformasi tidak pincang. Penyelenggaraan negara saat ini sangat lemah
karena daerah seperti raja kecil yang susah dikendalikan oleh pemerintah.
Kewenangan pemerintah atas kepala daerah sangat terbatas, padahal 70% alokasi
dari APBN sudah diserahkan ke daerah. Hal ini persoalan yang harus dipecahkan.
208
Dengan mengatakan bahwa daerah-daerah seperti raja kecil yang susah
dikendalikan oleh pusat, P3-2 menuduh bahwa pemerintah daerah tidak mau
bekerja sama dengan pemerintah pusat dan hal ini membuat penyelenggaraan
negara menjadi sulit. Pernyataan yang merugikan pemerintah daerah ini didukung
oleh pernyataan bahwa dengan diserahkannya tujuh puluh persen APBN pada
daerah, kepala daerah sudah menjadi pengelola sebagian besar pemerintahan. Jadi,
kalau terjadi kesalahan, pemerintah daerah juga patut disalahkan Pernyataan itu
sudah melanggar maksim kebijaksanaan karena merugikan pemerintah daerah
yang dianggap melanggar peraturan dan tidak mampu menjadi penyelenggara
pemerintahan. P3-2 juga tidak menyebut pemerintah daerah mana yang tidak mau
bekerja sama dengan pemerintah. Pernyataannya mengandung ketidakjelasan
sehingga melanggar maksim cara. Apabila P3-2 tidak dengan eksplisit menyebut
pemerintah daerah mana yang dikatakan tidak mau bekerja sama dengan
pemerintah karena dia ingin melindungi muka negatif pemerintah-pemerintah
daerah itu, karena pihak yang tidak mau bekerja sama dalam urusan memperbaiki
kondisi negara, dianggap sebagai pihak yang bersalah, maka sudah terjadi konflik
antara maksim cara dan maksim kebijaksanaan.
Sehubungan dengan pernyataan P3-2 tentang hubungan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah, P3-2 mengatakan bahwa kewenangan presiden terbatas.
Penekanan yang diberikan pada kata-kata “membebastugaskan”, “tersangka”,
“memberhentikan”, “terdakwa” menimbulkan rasa simpati karena presiden tidak
bisa berbuat banyak untuk menindak kepala daerah yang tidak kooperatif karena
mereka dipilih oleh rakyat. Kepala daerah seharusnya ikut bertanggung jawab atas
209
kebijakan yang diambil oleh pusat. Kesalahan seharusnya tidak hanya ditanggung
oleh pemerintah. Berdasarkan analisis di atas, dapat dikatakan bahwa P3-2
mengaplikasikan salah satu maksim kesantunan, yaitu maksim kesimpatian.
Dengan melanggar dua maksim kesantunan, yaitu maksim kebijaksanaan dan
maksim cara, P3-2 sudah melanggar kesantunan sebanyak
2 ------ X 100% = 20%. 10
Dengan demikian, P3-2 dapat dikategorikan politisi yang sangat santun dan
kesantunan ini bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kesimpatian. Dia
juga mengaplikasikan maksim kuantitas dan maksim relevansi karena jawabannya
yang efektif dan relevan dengan pertanyaan pembawa acara.
Pembawa acara
Pak P3 tanggapannya? (Pembawa acara menanyakan pendapat P3 tentang Presiden yang menyia-nyiakan momentum untuk konsolidasi demokrasi memajukan ekonomi, tentang satu, tiga pilar demokrasi yaitu kebebasan yang sudah tercapai, kedua taat hukum yang kedodoran, ketiga, etika. Jadi taat hukum dan etika ini sekarang tertinggalkan, yang ada bebasnya saja, sementara ongkosnya mahal sekali. Ada kekhawatiran bahwa apa yang terjadi di Mesir dan Tunisia akan merembet ke Indonesia yang dapat menimbulkan gerakan radikalisme, terorisme, kemudian pembangkangan sosial, rakyat akan apatis, dan pemerintah akan kedodoran menghadapi itu semuanya.
Politisi 3 – Data 3 (P3-3)
Ya saya kira pendapat Pak Sis, Pak Komaruddin juga sudah relatif mengkrucut, termasuk Pak Tarto artinya ini harus kita mengambil tanggung jawab yang sama, ini bukan persoalan hanya presiden, ini persoalan kita semua. Sistem politik kita meniscayakan partai politik harus mengambil peran yang besar. Karena apa? Tokoh-tokoh politik, rekrutmen politik, ini menjadi hal yang sangat penting untuk kita membangun anak bangsa ini, menyiapkan kepemimpinan ke depan. Kalau seperti sekarang,
210
terus terang kita masih berpikir perlu waktu yang panjang untuk konsolidasi demokrasi, untuk sebagaimana yang diharapkan, ya kepentingan masyarakat yang diutamakan. Semuanya, semua transaksional, semuanya kepentingan yang sempit, makanya harus dipikirkan kedepan bagaimana kita mempunyai pemimpin yang punya integritas moral, punya akhlak, punya kepemimpinan yang profesional hampir di setiap lembaga, termasuk di partai politik. Kalau tidak, ini tidak sinergis, dan sulit untuk mencapai apa yang kita, kita pikirkan sekarang ini menuju kesejahteraan rakyat.
P3-3 menyatakan bahwa persoalan yang ada bukan hanya tanggung jawab
presiden, tetapi tanggung jawab kita semua. Partai politik memegang peranan
penting karena tokoh-tokoh politik, rekrutmen politik, ini menjadi hal yang sangat
penting untuk kita membangun anak bangsa ini, menyiapkan kepemimpinan ke
depan. Yang terjadi sekarang adalah adanya transaksional dengan kepentingan
sempit. Kita harus mempunyai pemimpin yang punya integritas moral, punya
akhlak, punya kepemimpinan yang profesional hampir di setiap lembaga,
termasuk di partai politik agar kesejahteraan rakyat dapat tercapai.
Dengan mengatakan “Harus dipikirkan kedepan bagaimana kita mempunyai
pemimpin yang punya integritas moral, punya akhlak, punya kepemimpinan yang
profesional hampir di setiap lembaga, termasuk di partai politik”, P3-3 ingin
mengatakan bahwa pimpinan negara, lembaga, dan partai politik yang ada
sekarang adalah pemimpin yang tidak memiliki integritas moral, tidak punya
ahlak, tidak punya kepemimpinan yang profesional. Mereka semua ini
menyalahkan presiden dan tidak mau ikut bertanggung jawab. Pernyataan ini
melanggar dua maksim sekaligus. Maksim pertama yang dilanggar adalah maksim
kebijaksanaan karena pernyataan P3-3 itu merugikan pimpinan lembaga dan partai
politik karena dianggap bukan pemimpin yang baik. Maksim kedua yang
211
dilanggar adalah maksim penerimaan karena P3-3 menjatuhkan kehormatan
pimpinan lembaga dan partai politik. Pelanggaran kedua maksim itu menimbulkan
adanya pendapat bahwa mereka bukan pimpinan lembaga dan partai politik yang
baik, yang telah menyebabkan kepentingan masyarakat terabaikan. Dalam hal ini
dapat dikatakan bahwa P3-3 melakukan pengancaman muka positif karena dia
tidak menghargai apa yang sudah dilakukan oleh lembaga negara dan pimpinan
politik.
P3-3 mengaplikasikan maksim kesimpatian pada saat mengatakan bahwa
tanggung jawab bukan hanya di tangan presiden. Dia mencoba membuat pemirsa
merasa simpati pada presiden sebagai satu-satunya orang yang dianggap
bertanggung jawab, padahal tanggung jawab terhadap negara ini adalah tanggung
jawab bersama termasuk tanggung jawab rakyat yang sudah memilihnya. Dengan
mengatakan bahwa semua adalah tanggung jawab bersama, P3-3 sudah membagi
beban untuk memperbaiki negara ini termasuk dengan dirinya sendiri, P3-3
mengaplikasikan maksim kemurahan hati.
Niat P3-3 untuk menyampaikan keluhannya tentang ketidakprofesionalan
para pimpinan lembaga dan partai politik didukung dengan memberi penekanan
pada kata-kata “sama”, “presiden”, “kita”, “semua”, “transaksional”, “sempit”
yang menggambarkan bahwa negara ini adalah tanggung jawab kita bersama,
bukan hanya presiden, jangan semua yang dilakukan bersifat transaksional dan
dalam arti sempit tetapi utamakan kepentingan masyarakat.
P3-3 mengaplikasikan dua maksim kesantunan, yaitu maksim kesimpatian
dan maksim kemurahan hati. P3-3 melanggar dua maksim, yaitu maksim
212
kebijaksanaan dan maksim penerimaan Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
tingkat pelanggaran kesantunannya adalah
2 ------ X 100% = 20%. 10 Tingkat pelanggaran kesantunan yang hanya dua puluh persen, menjadikan
P3-3 politisi yang sangat santun dan kesantunan ini semakin meningkat karena dia
mengaplikasikan maksim kesimpatian dan maksim kemurahan hati. Dia juga
sudah mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim relevansi dan maksim cara
karena sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas dan relevan dengan
pertanyaan pembawa acara.
Pembawa acara
Ya, pemirsa anda kembali bergabung bersama kami dalam forum Today’s Dialogue. Saya akan langsung ke Pak P3 menyambung tadi yang disampaikan oleh Pak Tarto juga begitu, bahwa ketika ada krisis kepercayaan begitu, bisa dikatakan seperti itu, terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia, diharapkan tentunya ada yang mengambil inisiatif, tetapi sejauh ini sepertinya belum ada yang mengambil inisiatif itu, yang diharapkan tentunya adalah presiden.
Politisi 3 – Data 4 (P3-4)
Saya sebagian sependapat apa yang disampaikan oleh Mas Tarto tadi. Tetapi kita ingat Negara kita Negara demokrasi yang belum jelas bentuknya. Kita tahu bahwa proses peralihan kepemimpinan terlalu tidak cermat. Selalu menimbulkan dendam politik, dengan kondisi sekarang, sistem politik sekarang, ini sudah saling mengintip untuk saling menjatuhkan, selalu dilihat apakah presiden melanggar konstitusi. Begitu presiden melanggar konstitusi, langsung akan di impeach. Ini yang... yang terjadi. Jadi tidak dilihat bagaimana usaha presiden untuk membawa bangsa ini menuju kebaikan, tetapi diintip terus, selalu dinyatakan apa, apa, yang kira-kira melanggar konstitusi. Kita lihat setiap apapun dikaitkan dengan konstitusi, artinya dicari celah untuk mengimpeach presiden. Nah ini yang tidak baik… artinya…. Apapun yang dilakukan kepentingan publik, kalau opini dibangun dengan kekuatan politik yang
213
demikian besar, tidak ada manfaatnya untuk bangsa ini, dan pasti akan tergusur. Oleh karena ada kompromi disana, ada cara-cara yang lebih soft yang harus dilakukan, dan ini harus disadari oleh kita semua, tidak mungkin melakukan seperti zaman-zaman orde baru lah, seorang presiden bisa melakukan tindakan yang otoriter, sekarang begitu melakukan tindakan dilihat ada konstitusi dan dilanggar, langsung DPR bersidang, bisa saja langsung di impeach, itu persoalan kita sekarang...
P3-4 bermaksud mengatakan bahwa pergantian kepemimpinan yang tidak
cermat dan menimbulkan dendam politik membuat presiden selalu diintip untuk
dijatuhkan. Kepentingan publik yang dibangun berdasarkan kekuatan politik pasti
tidak ada manfaatnya untuk bangsa ini. Harus ada kompromi, cara-cara yang lebih
lunak untuk memecahkan masalah, tidak bisa otoriter. Sekarang, sedikit saja ada
tindakan presiden yang dianggap melanggar institusi, DPR langsung bersidang
untuk menurunkan presiden.
Penyataan P3-4 di atas melanggar maksim cara karena tidak dikatakan
dengan jelas siapa yang selalu mengintip dan mencari-cari kesalahan presiden.
Pelanggaran maksim ini ada kemungkinan memang sengaja dilakukan untuk
melindungi muka negatif mereka yang selalu berusaha menjatuhkan presiden
sehingga dapat dikatakan bahwa dia mengaplikasikan maksim kebijaksanaan. P3-
4 juga melanggar maksim penerimaan karena sudah mengatakan bahwa presiden
zaman orde baru adalah presiden yang dapat bertindak otoriter. Kalimat ini
dikatakan dengan langsung sehingga tekanan ketidaksantunannya sangat terasa.
Dalam pernyataannya P3-4 menempatkan presiden sebagai pihak yang
teraniaya, dengan mengatakan bahwa semua kebijakannya diawasi, kalau salah
sedikit langsung dianggap melanggar konstitusi. Dendam politik menyebabkan
tidak ada yang melihat usaha presiden untuk membawa bangsa ini menuju
214
kebaikan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa P3-4 mengaplikasikan
maksim kesimpatian, yaitu memaksimalkan rasa simpati pada orang lain dan juga
mengaplikasikan maksim penerimaan karena dalam kata-katanya tersirat bahwa
presiden sudah melakukan sesuatu untuk kebaikan bangsa ini, tetapi tidak dihargai
oleh mereka yang ingin menjatuhkannya. Rasa simpati akan timbul untuk pihak
yang dianggap teraniaya atau diperlakukan tidak adil dan pernyataan P3-4 yang
menyiratkan bahwa presiden tidak diam saja, tetapi sudah melakukan sesuatu
untuk kesejahteraan bangsa ini bertujuan untuk mengajak masyarakat menilai
presiden secara adil.
Keinginan P4-4 untuk menyampaikan bahwa presiden seharusnya dibantu,
bukan dicari-cari kesalahannya, semua pihak seharusnya melihat ada usaha
presiden untuk membawa bangsa ini ke arah yang lebih baik dan adanya
kompromi sehingga semua bisa dirundingkan didukung oleh tekanan yang dia
berikan pada kata/frasa “tidak cermat”, “dendam politik”, “melanggar konstitusi”,
“usaha”, “kebaikan” dan “kompromi”.
P3-4 selama berbicara mengaplikasikan tiga maksim kesantunan yaitu
maksim kesimpatian, kebijaksanaan dan maksim penerimaan serta hanya
melanggar dua maksim, yaitu maksim cara dan maksim penerimaan. Hal ini
berarti bahwa pelanggaran kesantunan yang dilakukannya adalah
2 ------ X 100% = 20%. 10
Hal ini menunjukkan bahwa P3-4 adalah politisi yang sangat santun dan
bertambah santun karena dia juga mengaplikasikan maksim kesantunan seperti
215
yang telah disebut di atas. Maksim lain yang diaplikasikan adalah maksim
kuantitas dan maksim relevansi karena bahasa yang digunakannya efektif dan
relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Baik, saya langsung ke Pak P3 kita akan lanjutkan perbincangan. Pak P3, artinya di balik….Tadi kan Pak P3 juga mengatakan bahwa tidaklah semudah itu menjadi seorang pemimpin, jadi seorang presiden negara ini, begitu ya, ada berbagai permasalahan yang masih harus segera diatasi gitu ke depannya, tetapi artinya sekarang tetap saja gitu kenyataannya harapannya sekarang bertumpu semuanya pada presiden dan sasaran tembaknya adalah presiden, dan ada beberapa kali presiden juga menunjukkan reaksi begitu terhadap kritikan yang dialamatkan pada, pada presiden, tanggapan anda?
Politisi 3 – Data 5 (P3-5)
Ya, ini perlu ada pemahaman-pemahaman, ada amandemen konstitusi, tetapi yang tidak semua memahami tentang konstitusi kita, lalu ada menganggap bahwa mindset mereka bahwa yang menentukan jalannya republiknya hanya seorang presiden, padahal tidak demikian karena semua lembaga negara ini menentukan jalannya republik, khususnya fungsi legislasi. Fungsi anggota dewan kita, fungsi DPR itu sangat menentukan juga jalannya republik ini. Kalau anggota DPR selalu berseberangan dengan pemerintah, maka pemerintah sudah pasti tidak akan berjalan dengan efektif, itu sudah pasti, apalagi pendapat daripada Pak Endarto tadi bahwa tidak usah pedulikan partai, don’t care, doesn’t care. Silakan saja, kita bisa berfikir demikian, tetapi praktiknya, di lapangan tidak semudah yang kita gambarkan, karena pada akhirnya ya pemerintah hanya melayani DPR saja, hampir setiap hari dipanggil hampir setiap hari RDP, tidak di, tidak diikuti bisa saja disandera, bisa hukuman kurungan lho, bisa dikurung lho karena tidak memenuhi panggilan, dari... bisa dipanggil paksa artinya. Nah ini persoalan-persoalan artinya, masalah konstitusi kita, masalah undang-undang kita. Penyiapan undang-undang saja tidak begitu gampang diselesaikan. Ada niat presiden untuk memperbaiki sistem pemilukada, tetapi tarik-menarik politik demikian besar, sehingga kekuatan politik yang paling dominan yang ada di DPR itulah yang pada akhirnya ya memenangkan pertarungan itu. Nah oleh karenanya memang dalam sistem presidensial tidak ada oposisi, dalam praktiknya, ini sangat sangat dominan bahwa ada yang saling berseberangan ada yang mendukung. Dan sekarang menjadi tidak jelas kita presidensil tetapi
216
praktik parlementer... Kadang-kadang… mendukung pemerintah, kadang-kadang bertentangan dengan pemerintah.
P3-5 menyampaikan pemikirannya bahwa DPR juga sangat berperan, jadi
apabila DPR terus berseberangan dengan pemerintah, maka pemerintahan akan
terganggu. Pemerintah sibuk dipanggil DPR untuk rapat dengar pendapat dan bisa
dihukum bila tidak memenuhi panggilan itu. Presiden ingin memperbaiki sistem
pilkada, tetapi kalah di DPR karena kekuatan politik yang dominan ada di DPR.
Dalam pembicaraan di atas, P3- 5 sedang menuduh DPR sebagai sumber
masalah karena selalu berseberangan dengan pemerintah yang seharusnya menjadi
teman kerja. Pemerintah dibuat sibuk melayani panggilan DPR sehingga
waktunya tersita untuk itu. Panggilan DPR wajib dilayani oleh pemerintah, karena
kalau menolak ada sanksinya. Pernyataan ini melanggar maksim kebijaksanaan
karena merugikan nama baik DPR yang dianggap sebagai sumber masalah
sehingga negara ini menjadi kacau. Pilkada juga merupakan sistem yang harus
diperbaiki dan presiden sudah melakukan inisiatif untuk memperbaiki undang-
undang pilkada. Akan tetapi, niat baik itu selalu kandas di DPR karena yang
memenangkan tarik menarik di DPR itu adalah partai politik yang dominan.
Pernyataan ini melanggar maksim kesimpatian karena menyebabkan pemirsa
tidak bersimpati pada parpol dominan di DPR yang menyebabkan gagalnya
undang-undang pilkada. Akan tetapi, melalui pernyataan yang sama, P3-5 ingin
membuat para pemirsa bersimpati pada pemerintah, dalam hal ini presiden yang
niat baiknya untuk memperbaiki undang-undang pilkada digagalkan oleh partai
dominan di DPR. Terhadap DPR, P3-5 mengaplikasikan pelanggaran maksim
217
kebijaksanaan. Terhadap pemerintah, P3-5 mengaplikasikan strategi kesantunan,
yaitu mengaplikasikan maksim kesimpatian.
P3-5 menyatakan bahwa ada kelompok yang tidak jelas, kadang-kadang
mendukung, kadang-kadang bertentangan dengan pemerintah. Dia juga
mengatakan kekuatan yang paling dominan yang memenangkan pertarungan di
DPR. Di DPR ada banyak partai politik dan P3-5 tidak menyebut dengan pasti
siapa kelompok yang dimaksud dan hal ini dapat dianggap melanggar maksim
cara. Akan tetapi, apabila maksim cara diaplikasikan dengan cara menyebut
dengan jelas siapa kelompok yang kadang-kadang mendukung dan siapa
kelompok yang kadang-kadang bertentangan dengan pemerintah, maka P3-5
melanggar maksim kebijaksanaan dengan melakukan pengancaman muka negatif
terhadap kelompok ini. Dengan demikian, terjadi konflik antara aplikasi maksim
cara dan maksim kebijaksanaan.
Keinginan P3-5 untuk menyatakan bahwa kesalahan bukan berada di pihak
pemerintah didukung oleh penekanan pada saat mengucapkan kata/frasa
”presiden”, ”fungsi legislasi”, ”berseberangan”, ”melayani”, ”hukuman
kurungan”, ”undang-undang”, ”mendukung” dan ”bertentangan”.
P3-5 mengaplikasikan satu maksim kesantunan yaitu maksim kesimpatian,
tetapi melanggar tiga maksim kesantunan, yaitu maksim cara, maksim
kebijaksanaan dan maksim kesimpatian. Pelanggaran kesantunan itu berjumlah
3 ------ X 100% = 30%. 10
218
dan hal ini membuat P3-5 politisi yang santun. Kesantunannya meningkat karena
dia sudah mengaplikasikan maksim kesimpatian. Maksim lain yang
diaplikasikannya adalah maksim kuantitas dan maksim relevansi karena
penggunaan bahasa yang efektif dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Pak P3 bagaimana, artinya yang visi kedepannya ini yang jelas, tetapi visi itu tidak terlihat juga ini…
(Narasumber terdahulu menyatakan bahwa presiden sebagai pimpinan tertinggi harus mengemukakan visinya dan kalau visi itu tepat, pasti publik akan mendukung)
Politisi 3 – Data 6 (P3-6)
Ya, seorang pemain berbeda dengan seorang pengamat, itu intinya. Kita pengamat di luar, kita banyak sekali pengamat bola, tetapi begitu bermain tidak bisa bermain bola. Artinya tidak semudah yang kita bicarakan, karena mereka yang bermain inilah yang merasakan bagaimana menata negara ini, bagaimana sulitnya, bagaimana harus memberikan peluang-peluang, ada akomodasi dan sebagainya, karena kita yang menjadi pemain inilah yang merasakan… Kondisi sekarang ini. Saya di DPR itu sendiri bagaimana saya bisa mensinergikan 560 orang dengan sembilan fraksi menuju suatu DPR yang kira-kira mimpi saya pada tahun 2014 nanti DPR menjadi lembaga yang kredibel, tidak begitu gampang seperti apa yang disampaikan orang-orang diluar para pengamat dan lain sebagainya. Kita selalu...
P3-6 menyatakan bahwa pengamat tidak sama dengan pemain. Pandai
mengamati, tetapi ketika harus bermain maka dia tidak bisa. Menyatukan 560
anggota DPR dengan sembilan fraksi untuk menjadi lembaga yang kredibel bukan
hal yang mudah.
Dengan mengatakan bahwa tidak mudah menyinergikan sekian banyak
anggota DPR dengan sekian banyak fraksi, P3-6 sudah mengaplikasikan maksim
kemurahan hati. Dia mengakui kesulitan yang dia alami dan hal ini berarti
219
meminimalkan keuntungan untuk dirinya. Akan tetapi P3-6 juga melanggar
kesantunan dengan menganalogikan para pengamat politik dengan penonton
sepak bola yang hanya bisa mengkritik, tetapi tidak bisa bermain. Para pengamat
politik dianggap tidak paham akan kesulitan yang dialami oleh penyelenggara
negara yang harus mengakomodasi banyak hal, dan oleh karena itu, tidak akan
mampu untuk menjadi penyelenggara negara. Hal ini dapat dianggap sebagai
penghinaan atas kemampuan mereka dan hal ini melanggar maksim penerimaan.
Pada saat mengatakan, “...menuju suatu DPR yang kira-kira mimpi saya pada
tahun 2014 nanti DPR menjadi lembaga yang kredibel”. P3-6 memosisikan
dirinya tidak berada di dalam kelompok DPR yang tidak kredibel itu. Melalui
pernyataan itu dia juga ingin mengatakan bahwa DPR yang sekarang ini tidak
kredibel. Hal ni merupakan ekspresi rasa tidak hormat pada lembaga negara ini
dan hal ini berarti melanggar maksim penerimaan. Di samping melakukan
pelanggaran maksim kesantunan, P3-6 juga sudah melakukan ketidaksantunan
lain, yaitu memotong pembicaraan pembawa acara. P3-6 sudah menjawab
sebelum pembawa acara selesai mengatakan pertanyaannya. Hal ini menunjukkan
kurangnya penghargaan terhadap pembawa acara dan hal ini melanggar maksim
penerimaan.
Keinginan P3-6 yang ingin mengatakan bahwa pengamat politik itu adalah
orang yang hanya bisa menonton dan mengkritik kebijakan pemerintah tanpa
pernah mengetahui betapa sulitnya mengelola negara, keinginannya untuk
menjadikan DPR lembaga yang kredibel, didukung dengan memberi tekanan pada
kata/frasa “tidak semudah”, “akomodasi”, “mensinergikan”, “kredibel”.
220
P3-6 melanggar satu maksim, yaitu maksim penerimaan yang dia lakukan
sebanyak dua kali. Pelanggaran ini berjumlah
1 ----- X 100% = 10%. 10 Jumlah itu menjadikannya politisi yang sangat santun yang derajat kesantunannya
bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kemurahan hati. Maksim lain
yang diaplikasikannya adalah maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim
relevansi karena dia menggunakan bahasa yang efektif, jelas dan relevan dengan
pertanyaan.
Pembawa acara
Baik. Pak P3, langkah konkritnya ke depan jadi seperti apa? (Pembawa acara mempertanyakan langkah konkret apa yang harus dilakukan oleh presiden untuk mengatasi ketidakpercayaan rakyat pada institusi-institusi negara.
Politisi 3 – Data 7 (P3-7)
Ya, saya sepakat memang ada langkah yang lebih konkrit yang tegas, namun satu hal, semua pemangku kepentingan untuk mencapai tujuan kesana harus ikut terlibat, artinya partai politik, termasuk anggota-anggotanya yang ada di legisatif memberikan support terhadap apa yang diinginkan oleh masyarakat melalui tentu presiden dengan visi ingin menyelesaikan persoalan di 2014. Tanpa itu saya khawatir ini hanya mimpi seorang, seorang presiden… tanpa dukungan yang jelas, atau mimpi dari kita semua.
P3-7 melalui ucapannya ingin menyampaikan bahwa untuk melakukan
langkah konkret presiden harus didukung oleh semua yang berkepentingan,
didukung oleh mimpi kita semua. Tanpa dukungan itu mimpi seorang presiden
akan hanya mimpi.
221
Tekanan yang diberikan pada kata-kata “terlibat”, “support” dan “mimpi”
merupakan usahanya untuk mempertegas keinginannya bahwa semua pihak harus
terlibat dalam usaha menyejahterakan masyarakat atau mimpi itu hanya akan
tetap menjadi mimpi.
Pernyataan P3-7 bahwa semua pihak harus memenuhi apa yang diinginkan
oleh masyarakat menyiratkan bahwa semua pemangku kepentingan termasuk
partai politik termasuk anggotanya yang berada di legislatif selama ini tidak
berusaha memenuhi keinginan masyarakat. Hal ini melanggar maksim kesantunan
yaitu maksim kebijaksanaan karena merugikan parpol dan anggotanya yang
berada di legislatif. P3-7 melakukan pengancaman muka positif terhadap parpol
karena tidak menghargai apa yang sudah dilakukan oleh parpol tersebut. Hal ini
juga melanggar maksim kesimpatian karena pernyataan tersebut dapat
mengurangi rasa simpati para pemilih terhadap partai politik yang dianggap tidak
dapat memenuhi keinginan masyarakat. Pernyataan “harus terlibat” menyiratkan
bahwa P3-7 tidak memberi pilihan pada para pemangku kepentingan, partai
politik dan anggotanya di legislatif selain melibatkan diri dalam usaha memenuhi
keinginan masyarakat. Meskipun paksaaan tersebut bersifat positif, paksaan atau
tidak memberikan pilihan tetap merupakan pelanggaran kesantunan, yaitu
pelanggaran terhadap maksim penerimaan.
Dalam ucapan di atas, P3-7 melanggar tiga maksim, yaitu maksim
kebijaksanaan, maksim kesimpatian dan maksim penerimaan sehingga
pelanggaran kesantunannya adalah
222
3 ------ X 100% = 30%. 10 Pelanggaran yang berjumlah tiga puluh persen itu menjadikan P3-7 politisi
santun. Nilai kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan maksim
kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi melalui bahasa yang efektif, jelas
dan relevan dengan pertanyaan.
Berdasarkan analisis terhadap pembicaraan P3 dalam tayangan tersebut,
tingkat ketidaksantunan yang dilakukannya adalah
0 +20 + 20 + 20 + 30 + 10 + 30 --------------------------------------- = 18,57 %. 7
Tingkat ketidaksantunan sebanyak 18,57% membuat P3 menjadi politisi yang
sangat santun meskipun selama berbicara ada beberapa maksim kesantunan yang
dilanggar.
Untuk mempermudah pemahaman, deskripsi di atas disajikan dalam tabel
berikut ini.
223
Tabel 4.6: Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 3
Politisi-Data Pelanggaran Maksim Persentase Pelanggaran
Predikat Kesantunan
P3-1
-
0% Sangat Santun
P3-2
Kebijaksanaan Cara
20% Sangat Santun
P3-3
Kebijaksanaan Penerimaan
20% Sangat Santun
P3-4
Cara Penerimaan
20% Sangat Santun
P3-5
Kebijaksanaan Kesimpatian Cara
30% Santun
P3-6
Penerimaan
10% Sangat Santun
P3-7
Kebijaksanaan Kesimpatian Penerimaan
30% Santun
Politisi 3: Sangat Santun (18,57%)
Maksim kesantunan yang dilanggar adalah sebagai berikut
Tabel 4.7: Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 3
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kebijaksanaan 4 2. Maksim Penerimaan 4 3. Maksim cara 3 4. Maksim kesimpatian 2 5. Maksim kemurahan hati 0 6. Maksim kerendahan hati 0 7. Maksim kecocokan 0 8. Maksim kualitas 0 9. Maksim kuantitas 0
10. Maksim relevansi 0
224
Pelanggaran itu menunjukkan bahwa P3 adalah seorang politisi yang sesuai
dengan karakter seorang politisi, selalu memberikan kerugian sebanyak-
banyaknya pada lawan politik dengan cara memaksimalkan rasa tidak hormat dan
memaksimalkan rasa antipati terhadap lawan politiknya. Meskipun P3 melakukan
pelanggaran kesantunan, dia juga mengaplikasikan strategi kesantunan, yaitu
mengaplikasikan maksim penerimaan, maksim kesimpatian, maksim kemurahan
hati, maksim kebijaksanaan, maksim kuantitas, maksim cara dan maksim
relevansi.
Kalimat-kalimat yang diucapkan oleh P3 dianggap tidak santun bukan karena
hanya melanggar maksim kesantunan, tetapi karena diucapkan pada orang yang
mempunyai kekuasaan lebih besar atau mempunyai status sosial lebih tinggi.
4.2.2.2 Analisis Data Politisi 4 (P4)
Berikut adalah data yang diucapkan oleh P4 berdasarkan pertanyaan
pembawa acara. Karena P4 ini berada di dalam satu tayangan yang sama, yaitu
“Krisis Kepemimpinan Nasional”, narasi yang sama juga dapat dijadikan
pertimbangan terhadap semua jawaban yang diucapkan oleh P4.
Pembawa acara
Baik Pak P4, langsung saja kita ke pokok permasalahan, gitu, artinya kalau kita melihat sudah 12 tahun kita di era reformasi menuju ke arah demokrasi yang didambakan sebagian besar negara-negara di dunia ini artinya, tetapi kalau kita melihat apa sebenarnya yang menjadi ukuran keberhasilan dari demokrasi itu sendiri kalau sampai saat ini pun kesejahteraan masyarakat itu masih menjadi pertanyaan besar begitu, apa yang salah dengan kepemimpinan kita selama ini?
225
Politisi 4 – Data 1 (P4-1)
Saya lihat kalau kita cari salah banyak yang salah ya, tetapi kita juga perlu mengetahui bahwa kondisi ini memang sulit sekali, karena Indonesia pada waktu yang serempak melakukan perubahan begitu banyak. Presiden yang dipilih langsung, bupati dipilih langsung, gubernur dipilih langsung yang dampaknya kemudian 150 sekarang ini kepala daerah yang oleh presiden diberi izin untuk diperiksa karena korupsi, otonomi daerah yang begitu luas yang, kita saksikan pergeseran korupsi dari pusat ke daerah, yang menjadi masalah dihadapi rakyat sekarang ini adalah kekecewaan karena pada waktu reformasi itu euphoria harapan begitu tinggi, expectation begitu meningkat, tetapi kenyataannya coba, sekarang keruntuhan hampir di semua institusi negara, bahkan di lembaga hukum yang harusnya menjaga ketertiban rakyat dengan gamblang melihat bagaimana Arthalita telepon-teleponan sama jaksa mengenai mengatur perkara, bagaimana orang yang ditahan bisa meluap... menyulap selnya menjadi suite room. Bagaimana orang yang ditahan bisa jalan-jalan ke luar negeri. Perkara-perkara yang diatur, semua itu mejadi ke.. ke.. apa namanya, membuat ketidakpercayaan rakyat. Demokrasi sendiri dalam suasana yang tidak dipersiapkan dengan baik, menjadi demokrasi yang transaksional, sehingga demokrasi belum menemukan kesejatiannya tetapi, menjadi betul-betul demokrasi yang transaksional. Money politics terjadi di mana-mana, bahkan hampir di semua proses politik terjadi money politics. Jadi menurut hemat saya, Kania, memang demokrasi kita sekarang ini masih demokrasi semu kita semua bertanggung jawab, rakyat, pemimpin, terutama partai politik, mempunyai tanggung jawab besar untuk menyehatkan demokrasi kita ini.
P4-1 menyatakan bahwa banyak yang salah pada kepemimpinan tetapi hal itu
memang sulit karena banyak perubahan terjadi sekaligus. Korupsi berpindah dari
pusat ke daerah. Harapan rakyat yang begitu tinggi pada masa reformasi hanya
berbuah kekecewaan. Keruntuhan hampir di semua institusi. Hukum bisa
dipermainkan, demokrasi menjadi demokrasi transaksional, hampir di semua
proses politik terjadi money politic. Demokrasi sekarang adalah demokrasi palsu
dan rakyat, pemimpin, terutama partai politik harus bertanggung jawab.
Pernyataan P4-1 yang mengatakan keruntuhan di semua institusi negara dan
bahkan hukum dapat dipermainkan sudah menjatuhkan kehormatan lembaga
yang seharusnya dihormati dan hal ini melanggar maksim penerimaan. Otonomi
226
daerah adalah produk pemerintah yang diharapkan dapat memperbaiki bangsa ini,
tetapi otonomi daerah sudah memberi peluang untuk berpindahnya korupsi dari
pusat ke daerah. Secara tidak langsung P4-1 ingin menyatakan bahwa pemerintah
yang telah membuat undang-undang otonomi adalah pihak yang bersalah. Hal ini
membuat P4-1 melanggar maksim kecocokan karena dia tidak menyetujui adanya
otonomi daerah yang begitu luas. P4-1 juga mengatakan bahwa demokrasi
sekarang adalah demokrasi semu yang penuh dengan pertukaran dan money
politic terjadi hampir di semua proses politik. Kata-katanya menyiratkan bahwa
semua yang terpilih melalui proses politik tidak dipilih secara demokratis, tetapi
terpilih karena uang. Pernyataannya ini melanggar maksim kebijaksanaan karena
merugikan kredibilitas kepala daerah atau kepala lembaga yang terpilih.
Pernyataannya itu juga sudah melanggar maksim cara karena tidak dengan jelas
menyebutkan siapa saja atau di mana saja proses politik yang terkait dengan
politik uang. Akan tetapi apabila dengan jelas dia menyebutkan siapa saja kepala
daerah atau kepala institusi yang dipilih melalui money politik, berarti dia
melanggar maksim kebijaksanaan karena merugikan nama baik orang-orang
tersebut. Jadi, apabila maksim cara diaplikasikan, maka P4-1 melanggar maksim
kebijaksanaan. Satu pelanggaran kesantunan lagi yang dilakukan oleh P4-1
adalah pemaksaan pendapat bahwa pemimpin terutama partai politik harus
bertanggung jawab memperbaiki demokrasi di Indonesia. Pemberian beban ini
merugikan partai politik dan oleh karena itu, P4-1 dapat dikatakan melanggar
maksim kebijaksanaan. Akan tetapi, P4-1 juga mengaplikasikan maksim
kemurahan hati pada saat dia mengatakan bahwa “Kita semua bertanggung jawab,
227
rakyat, pemimpin, terutama partai politik, mempunyai tanggung jawab besar
untuk menyehatkan demokrasi kita ini”. Dia meminimalkan keuntungan bagi
dirinya sendiri dengan ikut serta menanggung beban memperbaiki demokrasi di
Indonesia. Pada saat mengatakan bahwa Indonesia dalam waktu yang serempak
melakukan perubahan begitu banyak, dia menggunakan impersonal “Indonesia”,
pemerintah dan Indonesia, sebagai institusi yang bertanggung jawab atas
pembuatan undang-undang otonomi yang kurang berhasil. Penggunaan
impersonal ini adalah salah satu strategi kesantunan yang termasuk ke dalam
maksim kebijaksanaan.
Keinginan P4-1 untuk menyampaikan bahwa banyak yang harus dibenahi di
negeri ini, misalnya perpindahan korupsi dari pusat ke daerah, proses politik yang
curang dan keinginannya agar pemimpin terutama partai politik harus
memperbaiki kondisi negara ini, didukung dengan memberikan penekanan pada
kata/frasa “begitu banyak”, “otonomi daerah”, “korupsi”, “begitu tinggi”,
“transaksional”, “money politic” dan “partai politik”.
Selama berbicara, P4-1 melanggar empat maksim yaitu maksim cara, maksim
kebijaksanaan yang dilanggar sebanyak dua kali, maksim penerimaan dan maksim
kecocokan. Hal ini berarti bahwa tingkat pelanggaran kesantunannya adalah
4 ----- X 100% = 40%. 10 tingkat ketidaksantunan yang empat puluh persen tersebut membuat P4-1 menjadi
politisi yang santun. Derajat kesantunannya meningkat karena P4-1
mengaplikasikan strategi kesantunan melalui maksim kebijaksanaan dan
228
kemurahan hati. Dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas dan relevansi karena
bahasanya efektif, jelas, dan mudah dimengerti
Pembawa acara
Tetapi kalau kita sekarang bicara mengenai krisis kepemimpinan, adakah sebenarnya krisis kepemimpinan di Negara ini? Artinya definisinya itu seperti apa kalau menurut Bapak?
Politisi 4 – Data 2 (P4-2)
Ya pastilah akhirnya itu ada ungkapan juga tidak ada prajurit yang salah, komandan yang kurang baik yang ada, sehingga orang semua melihat ke atas. Tetapi sebetulnya, kita juga harus instropeksi, masyarakat sendiri juga punya tanggung jawab untuk itu. Kita semua tahu bahwa masyarakat kita dalam pemilu juga, itu begitu transaksional. Siapa yang banyak uangnya itu yang dihormati.
P4-2 mengatakan bahwa tanggung jawab bukan hanya berada pada pimpinan
tetapi masyarakat juga wajib bertanggung jawab. Pada saat pemilu masyarakat
juga bisa disuap.
Kalimat “Siapa yang banyak uangnya itu yang dihormati”, yang diucapkan
oleh P4-2 mengacu pada kenyataan bahwa masyarakat sebagi pemilih dalam
pemilu dapat dibeli dengan uang. Mereka akan memilih atau menghormati siapa
pun yang memiliki uang. Dalam ukuran normal, orang yang dapat dibeli dengan
uang adalah orang yang tidak baik. Jadi, melalui ucapannya P4-2 ingin
mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang tidak baik dan
hal ini melanggar maksim penerimaan. Akan tetapi di samping pelanggaran
kesantunan yang dia lakukan, dia juga melakukan kesantunan. Dengan
menggunakan pronomina “kita” dalam kalimat “Kita juga harus instropeksi”, P4-2
229
mengaplikasikan maksim kerendahan hati. Dia mengakui bahwa dia juga
melakukan kesalahan.
Keinginannya untuk mengatakan bahwa pemimpin selalu salah, dan
masyarakat yang bisa dibeli untuk memilih mereka yang memiliki uang,
didukung dengan memberikan tekanan pada kata-kata “prajurit”, “komandan”,
“masyarakat”, dan “transaksional”.
P4-2 melakukan satu pelanggaran dan hal ini berarti bahwa pelanggaran
kesantunan yang dilakukannya bernilai
1 ----- X 100% = 10%. 10
Hal ini berarti bahwa P4-2 adalah politisi yang sangat santun dan nilai
kesantunannya meningkat karena dia mengaplikasikan maksim kerendahan hati.
Dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi
karena penggunaan bahasanya yang efektif, jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Baik... Bagimana Pak P4, seperti… (Pembawa acara menanyakan pendapat P4 tentang kenyataan bahwa sampai saat ini presiden belum melakukan inisiatif untuk pemberantasan korupsi)
Politisi 4 – Data 3 (P4-3)
Jujur harus diakui sedang terjadi krisis kepercayaan rakyat terhadap berbagai lembaga negara, juga terhadap pemerintahan, itu keadaan nyata. Tetapi saya pribadi tidak mengharapkan apa yang terjadi di …. Tunisia maupun di Mesir itu menjalar kemari, dengan syarat bahwa presiden segera melakukan langkah-langkah tegas untuk mengatasi berbagai sebab yang menimbulkan ketidakpercayaan rakyat. Tetapi hal ini juga tidak semata-mata pada presiden, karena ketidakpercayaan rakyat juga pada partai. Partai pun harus memperbaiki dirinya, DPR juga harus
230
memperbaiki dirinya. Kekecewaan rakyat luar biasa. Kania, pada waktu Pak Harto lengser tahun 98, hutang luar negeri republik kita itu baru 54 milliar US$, hari ini, 155 milliar US$, hanya dalam 12 tahun tambah tiga kali lipat, sumber daya alam terkuras, tetapi rakyat miskin tetap banyak, pengangguran tetep banyak. Rakyat kecil itu kecewa, sekarang komersialisasi kesehatan, pendidikan, luar biasa, bagi rakyat yang tidak mampu ini, komersialisasi pendidikan dan kesehatan ini betul-betul menyakitkan mereka. Untuk sehat itu jadi mahal. Saya berharap presiden mengambil langkah-langkah tepat untuk memenuhi harapan-harapan tersembunyi yang ada di hatinya rakyat yang mungkin tidak muncul. Mungkin tidak muncul. Untuk menyembuhkan kepercayaan itu kembali. Jadi demikian pula pada partai-partai, partai pun harus mengembalikan kepercayaan rakyat. Saya dengar banyak di daerah-daerah teman-teman saya di yang mau jadi bupati harus bayar partai sekian miliar, yang mau jadi gubernur sekian miliar, luar biasa itu.
P4-3 mengatakan bahwa presiden diharapkan mengambil langkah tegas untuk
mengatasi ketidakpercayaan rakyat. Akan tetapi hal itu bukan kewajiban presiden
saja, tetapi partai dan DPR juga harus memperbaiki diri. Rakyat kecil kecewa
tentang komersialisasi kesehatan dan pendidikan. Sebagai kepala daerah juga
harus membayar mahal.
Menurut P4-3, kekecewaan rakyat karena adanya komersialisasi pendidikan
dan kesehatan adalah kesalahan presiden sehingga presiden diharapkan
mengambil langkah-langkah perbaikan. Pernyataan ini menunjukkan bahwa
presiden tidak mampu membuat negara ini sejahtera, dan hal itu melanggar
maksim kebijaksanaan karena dianggap tidak mampu, presiden atau partainya
akan merasa dirugikan. Pernyataan ini juga mengancam muka positif presiden
karena pekerjaannya tidak diakui.
Pelanggaran maksim cara juga dia lakukan pada saat mengucapkan “Saya
dengar banyak di daerah-daerah teman-teman saya di yang mau jadi bupati harus
bayar partai sekian miliar, yang mau jadi gubernur sekian miliar, luar biasa itu”.
231
Di dalam ucapannya itu tidak ada disebut dengan jelas, gubernur dan bupati di
daerah mana yang dimaksud. Apabila nama-nama itu disebut dengan eksplisit, P4-
3 berarti melanggar maksim kebijaksanaan. P4-3 juga mengatakan bahwa partai
harus mengembalikan kepercayaan rakyat. Dia tidak memberi pilihan lain pada
partai, dan hal ini dapat dikatakan sebagai bentuk paksaan, dan memaksa adalah
salah satu bentuk pelanggaran kesantunan, yaitu pelanggaran terhadap maksim
kebijaksanaan. P4-3 juga melanggar kesantunan dengan memotong pertanyaan
pembawa acara yang belum selesai.
Kalimat berpagar digunakan oleh P4-3 untuk mengurangi tekanan pada
ketidaksantunan. Kalimat tersebut adalah “Saya berharap presiden mengambil
langkah-langkah tepat ...”. “Saya berharap” memagari kalimat perintah “presiden
mengambil langkah-langkah tepat”. Strategi ini adalah aplikasi dari maksim
kerendahan hati. Strategi kesantunan yang juga dilakukan oleh P4-3 adalah
pembagian beban ketidakpercayaan rakyat antara presiden dan partai politik, dan
hal ini merupakan aplikasi maksim kemurahan hati. P4-3 juga mengaplikasikan
maksim penerimaan karena dia sudah menyebut nama pembawa acara, “Kania”,
yang merupakan tanda bahwa dia menghargai keberadaan pembawa acara di sana.
Keinginan P4-3 agar presiden, DPR, dan partai bekerja sama untuk
memenuhi keinginan rakyat dipertegas dengan memberi penekanan pada kata-kata
“krisis”, “presiden”, “ketidakpercayaan”, “partai”, “DPR”, “kesehatan”, dan
“pendidikan”.
232
P4-3 melakukan pelanggaran terhadap maksim cara dan maksim
kebijaksanaan. Hal ini berarti bahwa dia melakukan pelanggaran kesantunan
sebanyak
2 ----- X 100% = 20%. 10
Hal ini berarti bahwa P4-3 adalah politisi yang sngat santun dan kesantunannya
bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kerendahan hati, maksim
kemurahan hati, dan maksim penerimaan. Dia juga mengaplikasikan maksim
kuantitas dan maksim relevansi karena dia menjawab dengan kalimat yang efektif
dan relevan.
Pembawa acara Gimana Pak P4? (Pembawa acara menanyakan pendapat P4 tentang pernyataan narasumber lain yang menyatakan bahwa kekecewaan rakyat terhadap DPR karena hanya melihat luarnya saja)
Politisi 4 – Data 4 (P4-4)
Ya saya melihat memang ini eksperimen baru bagi kita, dimana tidak ada satupun partai yang mayoritas. Saya 32 tahun mengalami orde baru dengan Golkar yang sampai 60%. Putusan memang cepat. Di DPR ini, Demokrat 20%, Golkar 14,5; PDI 14, nggak ada satupun, sehingga pengambilan keputusan itu bertele-tele tidak efisien. Dalam suasana yang demikian memang kita berharap, pemerintahan presidensial ini ada presiden yang tegas, yang bisa melakukan hal-hal yang kita harapkan, tetapi ternyata kita ini juga melakukan experiment perubahan Undang-undang Dasar dimana kekuasaan DPR begitu besarnya sehingga memang eksekutif sekarang ini tersandera. Dalam suasana yang demikian, Pak P3, sebetulnya saya berharap Pak SBY lebih tegas. Pada waktu Kapolri habis masa jabatannya, menentukan kapolri baru lamanya nggak karuan, pada waktu jaksa agung habis, pake sementara dulu, lamanya nggak karuan… Banyak sekali putusan-putusan yang kita harap bisa cepat, lama. Ini yang menjadi rakyat semakin kurang yakin, begitu...
233
P4-4 menyampaikan bahwa tidak adanya partai mayoritas di DPR membuat
pengambilan keputusan sangat sulit. Presiden diharapkan dapat bertindak tegas
tetapi dengan adanya perubahan undang-undang dasar, kekuasaan DPR menjadi
sangat besar sehingga eksekutif berada pada posisi sulit. Pergantian pimpinan
institusi apa pun yang melibatkan DPR pasti akan memakan waktu lama.
P4-4 mengkritik presiden yang kurang tegas dan mengkritik DPR yang
dianggap sebagai penghalang pengambilan keputusan yang cepat dan efisien.
Mengkritik ialah tindakan yang melanggar kesantunan dan sehubungan dengan
ucapan P4-4, kritikannya merugikan kredibilitas presiden dan DPR sehingga dapat
dikatakan melanggar maksim kebijaksanaan. Di samping melanggar kesantunan,
P4-4 juga mengaplikasikan strategi kesantunan. Untuk menunjukkan kesantunan,
P4-4 menggunakan kalimat berpagar seperti berikut “...sebetulnya saya berharap
Pak SBY lebih tegas”. Melalui kalimat itu, P4-4 mengemukakan harapannya dan
hal ini menunjukkan bahwa dia berada pada posisi yang lebih rendah daripada
SBY. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa P4-4 mengaplikasikan maksim
kerendahan hati.
Keinginan P4-4 agar DPR mau bekerja sama dengan pemerintah dan agar
eksekutif tidak berada dalam posisi sulit karena adanya kekuasaan DPR yang
sangat besar, ditegaskan dengan memberi penekanan pada kata/frasa “mayoritas”,
“bertele-tele tidak efisien”, dan “begitu besarnya”.
P4-4 hanya melakukan pelanggaran kesantunan satu kali, yaitu pelanggaran
terhadap maksim kebijaksanaan sehingga tingkat pelanggarannya adalah
234
1 ----- X 100% = 10%. 10
Nilai pelanggaran kesantunan yang kecil ini menjadikan P4-4 politisi yang sangat
santun dan rendah hati karena dia mengaplikasikan maksim kerendahan hati. Dia
juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi
karena jawaban yang efektif, jelas, dan relevan
Pembawa acara
Baik-baik, kalau tidak akan melebar. Oke... Tetapi katakanlah bahwa jejaring sosial, twitter, facebook, dan lain sebagainya hanya mewakili kelompok menengah gitu, tetapi seberapa besar sebenarnya pengaruhnya untuk mempengaruhi opini publik secara umum?
Politisi 4 – Data 5 (P4-5)
Oh sangat luar biasa. Jangan sebut itu kelas menengah, itu sekarang sampai anak SMA pun sudah main, di desa-desa juga sudah main, dan itu dengan cepat sekali. Saya kira pada waktu ini kita tidak bisa menganggap ringan itu. Untuk mengumpulkan ribuan orang di Monas atau di HI, itu dalam waktu jam saja orang kumpul janjian jam sudah kumpul. Jadi saya kira memang kita perlu, sekali lagi Kania ya, saya berharap pemerintahan ini habis sampai 2014, kita punya enam presiden, empat dijatuhkan di tengah jalan, itu juga tidak menyenangkan kita, citra kita diluar juga jelek. Tetapi satu syarat, presiden perlu segera tegas mengatasi berbagai hal yang membuat rakyat tidak percaya pada institusi-institusi Negara. Sangat berbahaya, ketidakpercayaan itu nanti bisa berkembang menjadi disobedient, perlawanan terhadap… Pembangkangan terhadap tugas-tugasnya sebagai warga negara...
P4-5 setuju bahwa jejaring sosial sangat potensial untuk menggalang masa.
Dia juga menyatakan bahwa presiden yang sekarang harus mampu bertindak tegas
agar kepercayaan rakyat terhadap institusi-institusi dapat pulih kembali. Apabila
tidak, akan terjadi pembangkangan rakyat pada pemerintah.
235
Kalimat “Presiden perlu segera tegas mengatasi berbagai hal yang membuat
rakyat tidak percaya pada institusi-institusi Negara” menyiratkan makna bahwa
presiden tidak tegas. Bagi seorang kepala negara, sikap yang tidak tegas adalah
sikap yang kurang baik. Pernyataan P4-5 itu merugikan presiden karena
pernyataan itu dapat menjatuhkan kredibilitas presiden selaku pemimpin negara,
dan hal ini melanggar maksim kebijaksanaan.
Pendapat P4-5 tentang pentingnya jejaring sosial untuk memengaruhi opini
publik dan pentingnya ketegasan presiden untuk menghindari pembangkangan
ditegaskan dengan menekankan pengucapan kata-kata “ribuan”, “tegas”, dan
“pembangkangan”.
P4-5 hanya melakukan satu pelanggaran kesantunan, yaitu pelanggaran
maksim kebijaksanaan. Hal ini berarti nilai pelanggarannya adalah
1 ----- X 100% = 10%. 10
Hal ini berarti bahwa P4-5 adalah politisi yang sangat santun. Kesantunannya
meningkat karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan
maksim relevansi. Dia menggunakan bahasa dengan efektif, jelas dan jawabannya
relevan dengan pertanyaan.
Secara umum ucapan P4-5 itu dianggap tidak santun karena kalimat-kalimat
yang melanggar kesantunan itu diucapkan pada orang atau sekelompok orang
yang mempunyai kekuasaan lebih kuat atau berstatus sosial lebih tinggi, dalam hal
ini, presiden.
236
Untuk mempermudah pemahaman, deskripsi di atas disajikan dalam tabel
berikut.
Tabel 4.8: Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 4
Politisi-Data Pelanggaran Maksim Persentase Pelanggaran
Predikat Kesantunan
P4-1
Penerimaan Kecocokan Kebijaksanaan Cara
40% Santun
P4-2 Penerimaan
10% Sangat Santun
P4-3
Kebijaksanaan Cara
20% Sangat Santun
P4-4
Kebijaksanaan 10% Sangat Santun
P4-5
Kebijaksanaan 10% Sangat Santun
Politisi 4 : Sangat Santun (18%)
Apabila dilihat secara keseluruhan, maksim kesantunan yang dilanggar adalah
Tabel 4.9: Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 4
No Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kebijaksanaan 4 2. Maksim cara 2 3. Maksim penerimaan 2 4. Maksim kecocokan 1 5. Maksim kemurahan hati 0 6. Maksim kerendahan hati 0 7. Maksim kesimpatian 0 8. Maksim kualitas 0 9. Maksim kuantitas 0
10. Maksim relevansi 0
237
Susunan pelanggaran seperti di atas menunjukkan bahwa P4 adalah politisi yang
ingin mengambil keuntungan dari merugikan orang lain. Dia juga cenderung
mengemukakan sesuatu dengan cara yang jelas dan cenderung kurang menghargai
orang lain.
Berdasarkan analisis di atas, secara keseluruhan tingkat pelanggaran
kesantunan P4 adalah
40 + 10 + 20 + 10 + 10 ------------------------------ = 18 %. 5 Persentase pelanggaran kesantunan yang 18% itu menjadikan P4 politisi yang
sangat santun.
Strategi kesantunan yang dilakukan oleh P4 berupa pengaplikasian (1)
maksim kebijaksanaan dengan menggunakan bentuk impersonal, (2) maksim
kemurahan hati dengan ikut membagi beban dengan yang lain, (3) maksim
kerendahan hati dengan menggunakan kalimat berpagar, (4) maksim penerimaan
dengan menyebut nama pembawa acara sebagai tanda menghargai keberadaan
pembawa acara itu di sana, (5) maksim kuantitas karena kalimat-kalimatnya
efektif, (6) maksim cara karena bahasanya dapat dimengerti dan (7) maksim
relevansi karena jawabannya relevan dengan pertanyaan.
Untuk mengetahui kemampuan komunikasi P3 dan P4 yang merupakan
partisipan tayangan “Krisis Kepemimpinan Nasional”, analisis SPEAKING
mereka ditabelkan berikut ini.
238
Tabel 4.10: Analisis SPEAKING Politisi 3 dan Politisi 4
Elemen SPEAKING Data Komunikasi Waktu dan tempat komunikasi (S)
Komunikasi berlangsung dalam acara talk show “Today”s Dialogue” di Metro TV yang ditayangkan hari Selasa, jam 23.00 – 24.00 WITA, tanggal 1 Februari 2011, dengan topik “Krisis Kepemimpinan Nasional”.
Partisipan (P) P3, P4 dan pembawa acara. Hasil Komunikasi (E)
Pengakuan terhadap adanya krisis kepemimpinan nasional yang disebabkan karena tidak pekanya pimpinan nasional terhadap persoalan-persoalan mendasar yang terjadi di masyarakat dan juga karena adanya pemilihan pimpinan nasional yang berdasarkan money politic.
Bentuk dan isi Komunikasi (A)
P3 menggunakan kata-kata santun dalam berbicara. Dia menggunakan pronomina “kita” untuk membagi beban, menggunakan kata “membebastugaskan” untuk kata “memecat”. Misalnya, “...ini persoalan bukan presiden, tapi persoalan kita semua”. P4 juga menggunakan pronomina “kita” untuk membagi beban di antara partisipan, sehingga bahasanya terdengar santun. Misalnya. “Tetapi sebetulnya, kita juga harus introspeksi...”. Isi komunikasi mereka adalah tentang sulitnya memilih kepala daerah yang kredibel karena adanya money politik, sehingga banyak kepala daerah yang terpilih tidak peka terhadap kebutuhan mendasar rakyat.
Perilaku penyampaian Pesan (K)
Berdasarkan analisis kesantunan, perilaku penyampaian pesan P1 dan P2 adalah sangat santun.
Cara penyampaian Pesan (I)
Pesan disampaikan secara lisan dengan menggunakan bahasa lisan.
Norma interaksi dan Interpetasi (N)
Dalam penyampaian pesan, P3 dan P4 melakukan beberapa pelanggaran terhadap maksim kebijaksanaan.
Jenis-jenis ujaran (G) P3 dan P4 menyampaikan pesan dengan menggunakan kalimat-kalimat deklaratif kompleks.
Berdasarkan analisis di atas, dan apabila dianalogikan dengan analisis kesantunan,
dapat dikatakan bahwa P3 dan P4 mempunyai kemampuan berkomunikasi yang
sangat baik.
239
4.2.3 “Politik Beretika”
Dalam tayangan “Politik Beretika” yang dibicarakan adalah rancangan kode
etik DPR. Pengesahan kode etik ini mengalami kendala karena kurangnya
sosialisasi pada sejumlah fraksi, adanya penghilangan atau pelonggaran pasal-
pasal krusial, dan tata kelola jabatan politik. Narasumber yang hadir tiga orang,
tetapi yang dikategorikan politisi hanya ada satu orang, dan selanjutnya disebut
Politisi 5 (P5), yaitu politisi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Dua narasumber lainnya adalah peneliti ICW dan wartawan senior.
Berikut adalah data yang berasal dari ucapan P5 yang menjawab pertanyaan
pembawa acara berdasarkan narasi berikut.
Narasi
Hebat betul gairah wakil rakyat untuk membuat diri mereka tampak etis, tampak terhormat. Hal itu ditunjukkan dalam rancangan kode etik DPR yang saat ini dibahas di DPR. Salah satu yang ramai dibicarakan dari butir-butir Code of Conduct itu adalah larangan bagi anggota DPR untuk memasuki kompleks pelacuran dan perjudian. Larangan itu menggelikan, semua orang jelas mengetahui bahwa judi dan pelacuran itu haram hukumnya. Seluruh agama pun mengatur itu dengan jelas dan gamblang. Namun ibarat tidak yakin air laut berasa asin, DPR menggaraminya lagi. Akal sehat anggota Dewan memang sudah terbalik. Yang semestinya tidak perlu diatur malah ditetapkan, sebaliknya yang harusnya diperketat malah diperlonggar. Sejumlah butir penting yang semestinya dipertahankan malah dihilangkan, yang seharusnya dilarang malah diizinkan. Contohnya dalam aturan itu, anggota DPR boleh menggunakan jabatan mereka untuk mengurus keperluan birokratis, mereka pun diperbolehkan merangkap jabatan diluar DPR. Tak hanya itu, mereka bahkan menambahkan diri mereka dengan fasilitas boleh membolos yaitu toleransi ketidakhadiran fisik dalam sidang DPR diperlonggar dari 3 kali berturut-turut menjadi 6 kali. Itu jelas kode etik akal-akalan, kode etik yang justru akan membuat anggota DPR semakin tidak perduli dengan etika. Keadaan akan bertambah parah karena DPR tidak memiliki mekanisme internal yang kredibel dan berkekuatan memaksa agar anggotanya patuh dan taat dalam bertindak dan berperilaku sesuai etika. Semestinya itu tugas Badan
240
Kehormatan DPR, namum lembaga itu meskipun eksis secara yuridis tidak hadir dalam substansi, ia praktis tidak memiliki wibawa. Lembaga itu sudah tidak ditakuti dan dihormati lagi oleh para anggota Dewan. DPR perlu dipaksa memiliki pengawas independen untuk mengendalikan mereka. Pembahasan kode etik DPR memang masih berlangsung. Namun dengan semangat akal-akalan, ia akan hanya menjadi sebuah kertas tak berharga yang akan segera dilupakan dan ditertawakan begitu disahkan. Termasuk larangan pergi ke tempat pelacuran dan perjudian yang seakan mengisyaratkan anggota DPR doyan kesitu sehingga perlu diatur dalam kode etik.
4.2.3.1 Analisis Data Politisi 5 (P5)
Berikut adalah data yang merupakan jawaban P5 atas pertanyaan seputar
kode etik yang akan disahkan oleh DPR malam itu. Komunikasi dengan P5
dilakukan melalui satelit karena dia ada di gedung DPR. P5 adalah politisi yang
kurang setuju dengan isi kode etik yang akan disahkan malam itu karena dianggap
sangat memberi peluang terhadap terjadinya korupsi dan penyalahgunaan jabatan
di kalangan anggota DPR.
Pembawa acara
Ya, kita malam hari ini, kita tinggalkan soal...hak angket pajak dulu. Kita bicara soal...peraturan kode etik DPR yang...belum lama ini akhirnya menjadi pro dan kontra. Anda sendiri sebagai orang yang sudah diluar dari...Badan Kehormatan DPR sendiri melihat ada beberapa pasal yang tibaaa...tiba-tiba hilang sementara ada pasal-pasal yang kurang substansial begitu. Masalah perjudian dan pelacuran justru masuk. Apa tanggapan anda?
Politisi 5 – Data 1 (P5-1)
Ya, pertama tentu kalau disinggung tentang pasal yang baru masuk itu sesungguhnya ada beberapa hal yang perlu di...kritisi. Yang pertama, segiii... kosakata, pilihan kosakata, ini...saya menilai sangat vulgar, kalau dengan kata... pelacuran seperti itu. Itu bahasa yang janggal sekali dan jarang sekali digunakan. Kenapa tidak dengan kata lain yang lebih halus, mungkin lebih...santun dengan kata maksiat misalnya. Nah, ini tentu tidak prinsipil karena ini hanya kata-kata. Tetapi ada beberapa pasal yang prinsipil sekali yang saya lihat hilang setengah yaitu mengenai...anggota
241
DPR dilarang menerima hadiah/pemberian dalam bentuk apapun oleh pihak manapun juga. Ini hilang justru diganti dengan menerima dari mitra kerja. Nah, ini prinsipil yang ini. Kemudian ada pasal lain mengenai rangkap jabatan. Ini juga hilang. Padahal pada waktu yang lalu jelas tercantum bahwa rangkap jabatan seperti advokat, dokter, kemudian notaris, konsultan ...ini menjadi hilang.
P5-1 menyampaikan bahwa dalam rancangan kode etik DPR terdapat pilihan
kata yang tidak santun dan terjadi perubahan dan penghilangan hal-hal yang
prinsip seperti larangan untuk menerima pemberian dalam bentuk apa pun
sekarang diubah menjadi tidak boleh menerima pemberian dari mitra kerja, dan
perangkapan jabatan dihilangkan.
Pada saat P5-1 mengatakan pilihan kata di dalam rancangan kode etik DPR
sangat vulgar, dia sudah melanggar maksim kecocokan. Dia menunjukkan
ketidaksetujuannya terhadap penggunaan kata yang dibuat oleh Badan
Kehormatan DPR itu. Dia juga melanggar maksim kecocokan pada saat
mempertanyakan adanya pergantian atau hilangnya beberapa hal penting di dalam
rancangan kode etik DPR, yaitu pergantian pernyataan gratifikasi, berubahnya
klausa mengenai rangkap jabatan. Mengenai masalah gratifikasi, kalau dulu
anggota DPR dilarang menerima pemberian apa pun dari siapa pun, menurut
rancangan kode etik anggota DPR hanya dilarang menerima pemberian dari mitra
kerja. Kalau dulu ditentukan bahwa anggota DPR tidak boleh merangkap jabatan,
menurut rancangan kode etik yang baru, rangkap jabatan diperbolehkan. P5-1
tidak menyetujui perubahan atau penghilangan itu.
Keinginan P5-1 untuk mengungkapkan ketidaksetujuannya atas perubahan
dan penghilangan hal yang penting dari kode etik DPR itu didukung dengan
242
memberi penekanan pada kata/frasa “yang pertama”, “dalam bentuk apa pun”,
“pihak mana pun”, “ini prinsipil”, dan “ini juga hilang”.
Dalam data 1, P5 hanya melakukan pelanggaran terhadap maksim kecocokan
yang dilakukannya sebanyak dua kali, dan hal ini berarti tingkat pelanggaran
kesantunannya adalah
1 ----- X 100% = 10%. 10
Hal ini menunjukkan bahwa P5 adalah politisi yang sangat santun dan beretika.
Nilai kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas,
maksim cara, dan maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif, jelas dan
relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Oke. Pak P5 menurut anda apa dugaan anda ketika anda sudah tidak di Badan Kehormatan justru pasal-pasal yang krusial ini malah dihilangkan begitu. Apa yang anda duga terjadi di BK?
Politisi 5 - Data 2 (P5-2)
Saya tidak berfikir negatif bahwa ini sengaja dihilangkan tetapi saya lebih menilai bahwa ini kurang lengkapnya...orang-orang yang ikut serta dalam pembahasan. Untuk membahas kode etik yaitu...aturan landasan peraturan untuk...perbuatan dilarang dan kata-kata atau ucapan yang dilarang ini seharusnya dibuat bukan oleh pelaksana atau oleh BK sendiri tetapi harus oleh alat kelengkapan lain seperti Pansus. Dalam Undang-Undang MB3 memang hal ini disebutkan bahwa....untuk melakukan...perubahan-perubahan kalau diperlukan ini melalui BK tetapi...pasal itu haruslah dimaknai dengan BK sebagai inisiator, BK merumuskan saja...,apa saja yang kurang, apa saja perkembangan kemasyarakatan timbul hal yang baru. Baru itu kemudian diserahkan ke paripurna atau Bamus untuk dibuat Pansus tetapi ini oleh BK sendiri. Mungkin yang lain yang lebih prinsipil juga adalah unsur-unsur yang membuat atau mengurus undang –undang itu atau aturan itu tidak semua fraksi padahal hal itu akan diberlakukan di keanggotaan seluruh fraksi.
243
P5-2 mengutarakan bahwa pembuatan kode etik seharusnya tidak dibuat oleh
Badan Kehormatan, tetapi oleh panitia khusus. Badan Kehormatan seharusnya
hanya merumuskan apa yang perlu diperbaiki kemudian dibawa ke paripurna
untuk dibuatkan panitia khusus. Pembuatan rancangan kode etik tidak melibatkan
semua fraksi, padahal ini akan diberlakukan untuk semua anggota.
Melalui ucapannya di atas P5-2 ingin menunjukkan kesalahan yang dilakukan
oleh Badan Kehormatan DPR dalam menyusun rancangan kode etik DPR yang
tidak mengikutsertakan orang luar. Dalam hal ini, P5-1 menunjukkan
ketidaksetujuannya dengan cara kerja Badan Kehormatan DPR, dan hal ini
melanggar maksim kecocokan. Ketidaksetujuannya ini ditegaskan dengan
penekanan pengucapan kata/frasa “dihilangkan”, “landasan peraturan”. “bukan
oleh pelaksana, “oleh BK”.
Dalam kesempatan berbicara seperti di atas, P5-2 mengaplikasikan strategi
kesantunan, yaitu mengucapkan ketidaksetujuannya melalui kalimat berpagar
“Saya tidak berfikir negatif bahwa ini sengaja dihilangkan tetapi saya lebih
menilai bahwa ini kurang lengkapnya...orang-orang yang ikut serta dalam
pembahasan”. Dengan menggunakan kalimat berpagar, P5-2 mengaplikasikan
maksim penerimaan karena dia mencoba memberi penghargaan terhadap apa
yang suah dilakukan oleh Badan Kehormatan DPR.
Dengan hanya melanggar satu maksim kesantunan yaitu maksim kecocokan,
nilai ketidaksantunan yang dilakukan oleh P5-2 adalah
1 ----- X 100% = 10%. 10
244
Hal ini menunjukkan bahwa P5 adalah politisi yang sangat santun. Nilai
kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim
cara, dan maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif, jelas, dan relevan
dengan pertanyaan.
Ucapan yang dianggap tidak santun itu dikarenakan ucapan itu diperuntukkan
bagi institusi yang lebih terhormat, yaitu Badan Kehormatan DPR.
Pembawa acara
Ya, Pak P5. Salah satu pasal yang dicoret ini adalah masalah gratifikasi. Ya, paling tidak, tidak dicoret semuanya namun diperindah, diperluas bahkan begitu ya..jadi kalau seandainya menerima sesuatu dari yang bukan mitra kerjanya tidak apa-apa pak. Bagaimana tanggapan anda?
Politisi 5 – Data 3 (P5-3)
Ya, ini satu hal yang aaa...hilang dengan tanpa alasan yang cukup ini, tetapi paling tidak mereka mengatakan bahwa perumus dari Badan Kehormatan ini telah melihat ada aturan untuk itu khusus yaitu pada Undang-Undang Tipikor. Tetapi saya tetap tidak sependapat karena undang-undang kan berbeda undang-undang aturan hukum. Jadi itu Court of Law tidak sama dengan Code of Conduct atau Code of Ethic. Ini tentu tidak boleh hilang semestinya. Nah, tetapi tetap tidak ada sehingga ini memang belum disahkan pada waktu paripurna yang lalu, masih ada kesempatan untuk mengubah atau menambah.
P5-3 tidak setuju jika Perumus dari Badan Kehormatan menganggap bahwa
gratifikasi tidak perlu dimasukkan ke dalam kode etik DPR karena sudah diatur
dalam undang-undang Tipikor. Akan tetapi, menurut P5-3, undang-undang tipikor
tidak sama dengan peraturan kode etik. Masih ada waktu untuk memperbaiki
karena undang-undang kode etik ini belum disahkan.
Pada saat mengatakan, “Tetapi saya tetap tidak sependapat karena undang-
undang kan berbeda undang-undang aturan hukum”, P5-3 sudah menyatakan
245
ketidaksetujuannya dengan pendapat Badan Kehormatan bahwa gratifikasi tidak
perlu tercantum dalam kode etik DPR karena sudah masuk dalam undang-undang
tindak pidana korupsi. Pernyataan ini melanggar maksim kecocokan.
Ketidaksetujuan ini ditegaskan dengan menekankan kata/frasa “tidak sama” pada
saat membandingkan Court of Law dan Code of Conduct.
Karena pelanggaran hanya dilakukan atas satu maksim kesantunan yaitu
maksim kecocokan, nilai pelanggaran kesantunan adalah
1 ----- X 100% = 10%. 10 Hal ini berarti bahwa P5-3 adalah politisi yang sangat santun. Nilai kesantunannya
bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan
maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif, jelas dan relevan dengan
pertanyaan.
Meskipun nilai ketidaksantunan itu kecil, nilai itu meningkat karena
ketidaksetujuan yang disampaikan dinyatakan langsung untuk Badan Kehormatan
DPR yang secara status memiliki kedudukan lebih tinggi dari P5.
Pembawa acara
Tetapi menurut anda walaupun anda sekarang sudah tidak menjadi anggota...ketua Badan Kehormatan. Apa yang kemudian menjadi alasan konkrit, alasan logis....badan Kehormatan menolak masalah pasal gratifikasi?
Politisi 5 – Data 4 (P5-4)
Saya tidak berpikir buruk bahwa mereka menolak tetapi mungkin kalo kita harus bicara terbuka adalah bagaimana pemahaman mengenai apa itu etika yang kurang. Saya setuju tadi bahwa semestinya Badan kehormatan kalau ingin merumuskan sendiri dia harus melibatkan publik, diajak serta untuk
246
memberi masukan, karena kalau hanya belajar dari luar negeri, dari negara lain, itu tentu ya..tidak sama karena etik itu tidak lepas dari kultur. Oleh karenanya tidak bisa saja belajar dari luar negeri tetapi ya bisa mengundang masyarakat untuk memberi masukan itu lebih tepat.
Menurut P5-4, untuk membuat kode etik, Badan kehormatan harus
melibatkan publik agar mendapat masukan. Kalau hanya belajar dari luar negeri
tentu tidak cocok karena etik berhubungan dengan budaya.
Dalam data 4, P5 tidak melakukan pelanggaran kesantunan. Akan tetapi dia
mengaplikasikan salah satu strategi kesantunan, yaitu penggunaan kalimat
berpagar pada saat menyatakan adanya kemungkinan Badan Kehormatan DPR
menolak pasal gratifikasi. Kalimat tersebut adalah “Saya tidak berpikir buruk
bahwa mereka menolak tetapi mungkin kalo kita harus bicara terbuka adalah
bagaimana pemahaman mengenai apa itu etika yang kurang”. Dengan
menekankan kata “semestinya”, P5-4 ingin menekankan apa yang seharusnya
dilakukan oleh Badan Kehormatan DPR dalam proses pembuatan rancangan kode
etik DPR. Pasal gratifikasi adalah pasal yang dianggap baik karena dapat
mencegah anggota DPR untuk menerima suap, dan pasal ini dihilangkan,
sedangkan P5-4 menginginkan pasal itu tetap ada. Dengan menggunakan kalimat
berpagar seperti di atas, P5-4 mengaplikasikan maksim penerimaan karena
mengharap tidak mungkin Badan Kehormatan DPR menolak pasal yang justru
mencegah anggota DPR menerima suap.
Dengan tidak adanya maksim kesantunan yang dilanggar, P5-4 dapat
dikatakan politisi yang santun apalagi ditambah dengan penggunaan kalimat
berpagar untuk mengurangi tekanan ketidaksantunan. Nilai kesantunannya
bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara dan
247
maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif, jelas, dan relevan dengan
pertanyaan.
Pembawa acara
Oke. Kita akan cross-check pada Pak P5. Benar tidak Pak P5 memimpin Badan Kehormatan sekian susahnya karena mungkin ada titipan dari partai politik, ada banyak kepentingan. Ada juga konflik di internal BK sendiri. Silahkan Pak P5.
(Pembawa acara mempertanyakan tentang adanya kasus anggota DPR yang terpidana namun belum diberhentikan dan lambatnya penanganan terhadap aduan)
Politisi 5 – Data 5 (P5-5)
Ya, saya dua periode menjadi ketua BK. Ini periode kedua saya. Kalau tadi dikatakan adanya aduan-aduan mengenai orang yang diputus secara hukum itu betul. Nah, itu memang sudah...saya sampaikan pada pimpinan untuk mendapat kepastian dari.... keputusan hukum itu karena BK tidak bisa meminta keterangan keluar, semua harus melalui pimpinan dan sekjen. Nah..surat dari pimpinan pada Mahkamah Agung; lembaga yang memastikan bahwa seorang itu betul telah diputus pidana itu lama sekali baru diterbitkan. Menjelang konflik tadi, yang Pak Abdullah sampaikan tadi, itu betul ada konflik. Itu juga merupakan bagian dari tersendatnya 42 aduan, 22 langsung ke BK, ada 20an yang melalui pimpinan yang harusnya diteruskan ke BK. Jadi memang sekian banyak aduan itu mandeg.
P5-5 menyatakan bahwa memang betul ada anggota DPR yang sudah
terpidana, tetapi belum diberhentikan. Hal ini disebabkan oleh surat keputusan
dari Mahkamah Agung turunnya lambat sekali. Sementara itu untuk tersendatnya
proses aduan disebabkan oleh aduan yang mandeg di meja pimpinan.
Dengan tidak menyebutkan siapa dua orang anggota DPR yang sudah diputus
bersalah secara hukum, namun merekabelum diberhentikan dengan jelas, P5-5
melanggar maksim cara. Akan tetapi, sebagai mantan Ketua Dewan Kehormatan
DPR, P5-5 seharusnya tahu siapa yang dimaksud. Dengan tidak menyebut nama
kedua orang itu, sesungguhnya P5-5 sedang mengaplikasikan maksim
248
kebijaksanaan karena dia ingin meminimalkan kerugian kedua anggota DPR
tersebut. Dia juga mengatakan bahwa Mahkamah Agung sangat lamban
mengeluarkan putusan, dan hal ini melanggar maksim kebijaksanaan karena apa
yang diucapkan sudah merugikan nama baik lembaga tinggi negara. Dengan
menekankan pengucapan kata “seharusnya” P5-5 ingin menekankan apa yang
seharusnya dilakukan oleh Pimpinan DPR sehubungan dengan adanya aduan. Hal
ini juga melanggar maksim kebijaksanaan karena pimpinan DPR dirugikan
dengan pernyataan yang menyiratkan pimpinan DPR tidak melakukan
pekerjaannya dengan baik.
Dalam data 5, P5 melakukan pelanggaran terhadap dua maksim yaitu maksim
cara dan maksim kebijaksanaan yang dia langgar sebanyak dua kali.. Dengan
demikian, nilai pelanggaran kesantunannya adalah
2 ----- X 100% = 20%. 10 Nilai pelanggaran itu menunjukkan bahwa P5-5 adalah politisi yang sangat
santun meskipun ada pelanggaran maksim kesantunan yang dia lakukan, dan hal
itu ditujukan pada Mahkamah Agung dan pimpinan DPR. Nilai kesantunannya
bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas dan maksim relevansi
melalui bahasanya yang efektif dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Oke. Yang anda lihat kesalahan ketidakmauan laporan-laporan dari BK
ditindaklanjuti itu letaknya dimana, pak P5?
249
Politisi 5 – Data 6 (P5-6)
Saya harus mengakui bahwa ada kepentingan-kepentingan politik. Ini..sebagai ketua, saya menegaskan bahwa mari kita me...menanggalkan atribut. Saya memberi contoh, pada periode yang lalu saya juga memberhentikan anggota PDI perjuangan, fraksi saya karena terdapat pelanggaran fatal; ini saya contohkan. Oleh karena itu, ketika saya mulai menjabat periode kedua ini, hal yang sama saya lakukan. Mari kita meninggalkan atribut partai, kita menindak tegas. Tetapi ya kita semua melihat bahwa ternyat...sikap saya dinilai yang berbeda, ada yang mengatakan otoriter dan sebagainya. Saya memang yang termasuk meyoroti semua pelanggaran dengan tegas termasuk pada anggota BK sendiri. Ada sekian banyak anggota BK yang diadukan menyimpang dalam perjalanan dinas pun saya usut dan ini juga merupakan bagian dari.....ketidaksukaan bahwa saya terlampau mencampuri urusan aduan. Dan ini merupakan bagian dari resiko untuk saya bertugas di BK.
P5-6 menyatakan bahwa pada saat menjabat sebagai ketua BK dia
mengimbau agar atribut partai dilepaskan. Dia pernah memberhentikan anggota
DPR yang berasal dari fraksinya sendiri. Karena sikapnya itu, P5-6 dituduh
otoriter. P5-6 adalah orang yang paling keras menyoroti penyimpangan termasuk
yang dilakukan oleh BK, termasuk penyimpangan dalam perjalanan dinas. Hal ini
yang menyebabkan dia tidak disukai pimpinan karena dianggap mencampuri
urusan aduan.
Dengan mengatakan bahwa keinginannya untuk menegakkan aturan di DPR
ternyata telah menimbulkan ketidaksukaan, P5-6 telah melanggar maksim cara
karena tidak dijelaskan siapa yang tidak suka. P5-6 saat ini sudah tidak bertugas
lagi di Badan Kehormatan DPR dan sekarang dia membandingkan kinerja Badan
Kehormatan DPR yang sekarang dengan pada saat dia masih aktif di badan
kehormatan itu. Apabila P5-6 mengaplikasikan maksim cara dengan cara
menyebut siapa yang tidak suka akan ketegasannya menindak anggota DPR yang
250
melanggar aturan, maka berarti dia melanggar maksim kebijaksanaan karena
sudah membuka aib orang sehingga merugikan nama baik mereka. Dari
pembicaraannya dapat dipahami bahwa kinerja Badan Kehormatan DPR pada saat
dia masih di sana lebih baik dari sekarang. Dengan melakukan hal ini dia sudah
melanggar maksim kerendahan hati karena ucapannya terdengar sombong, apalagi
dia menggunakan pronomina “saya”, seolah-olah semua hal itu dia kerjakan
sendiri. Padahal Badan Kehormatan itu terdiri atas 11 orang yang dipilih
berdasarkan pemerataan dan perimbangan jumlah fraksi. Jad,i keputusan adalah
keputusan bersama, bukan keputusan P5-6 saja.
Meskipun terdengar agak sombong, P5-6 sudah mengaplikasikan maksim
kualitas. Dengan jujur dia mengakui bahwa kerja Badan Kehormatan DPR
melibatkan kepentingan politik. Badan Kehormatan DPR adalah bagian dari DPR
dan sebagai anggota DPR, P5-6 juga bagian dari DPR. Dengan mengatakan hal-
hal yang negatif tentang lembaganya sendiri yang juga berdampak negatif pada
dirinya, P5-6 sudah mengaplikasikan maksim kerendahan hati. Dengan demikian,
dalam suatu kesempatan bicara P5-6 sudah melanggar, tetapi sekaligus
mengaplikasikan maksim kerendahan hati. Badan kehormatan secara status berada
di atas anggota DPR biasa. Oleh karena itu, seharusnya P5-6 tidak membicarakan
hal-hal yang negatif tentang sebuah lembaga yang berstatus lebih tinggi.
Ada dua hal penting yang ingin disampaikan oleh P5-6 dengan memberi
penekanan pada kata-kata “menegaskan” dan “menyoroti”. Dia ingin menegaskan
bahwa apabila menjadi anggota badan kehormatan atribut partai harus
251
ditanggalkan supaya dapat bekerja maksimal karena tugas Badan Kehormatan
DPR ialah menyoroti pelanggaran yang dilakukan oleh anggota DPR.
Dengan melanggar dua maksim kesantunan yaitu maksim cara dan maksim
kerendahan hati, tingkat ketidaksantunan P5-6 adalah
2 ----- X 100% = 20%. 10
Nilai itu menjadikannya politisi yang santun dan kadar kesantunannya akan
bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kesantunan yaitu maksim
kebijaksanaan, maksim kualitas dan maksim kerendahan hati. Maksim lain yang
diaplikasikannya adalah maksim kuantitas dan maksim relevansi melalui
bahasanya yang efektif dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Oke. Saya ke Pak P5 lagi. Pak P5 ini sudah mendapat banyak masukan begitu dari teman-teman disini, dari narasumber kami disini. Apakah mungkin begitu masukan-masukan ini bisa kemudian diakomodasi dan anda sampaikan pada teman teman di badan kehormatan sekarang walaupun anda sudah outsider begitu.
Politisi 5 – Data 7 (P5-7)
Ya. Ini memang untuk komposisi di BK itu pilihan sebenarnya. Ad..pada masa yang lalu sebelum undang-undang mengatur BK merupakan alat kelengkapan yang permanen. Dulu memang terdiri dari campuran tokoh masyarakat dan kampus untuk DPR, BK DPR yang ad-hock pada waktu itu. Nah, sekarang kalau akan diminta pendapat dari masyarakat itu akan merupakan hal yang baik juga. Jadi memang melibatkan langsung atau tidak langsung itu bagian daripada pilihan pilihan yang bisa diakomodasi oleh BK sebenarnya. Jadi saya mendukung sekali kalau ada masukan dari masyarakan bahkan melihat situasi intervensi akan lebih tepat kalau ada pihak luar yang masuk menjadi bagian dari BK, dari unsur BK. Tetapi ini perlu revisi undang undang.
252
P5-7 setuju apabila masyarakat memberi masukan pada BK atau bahkan lebih
baik lagi apabila ada pihak luar masuk menjadi BK. Akan tetapi, hal ini
memerlukan revisi undang-undang.
Menurut P5-7 akomodasi pendapat dari masyarakat sebenarnya dapat
dilakukan oleh Badan Kehormatan DPR. P5-7 menggunakan kata “sebenarnya”
dan hal ini berimplikasi bahwa Badan Kehormatan DPR tidak bersedia melakukan
hal yang baik. Pernyataan P5-7 itu melanggar maksim kebijaksanaan dan maksim
kecocokan. Pelanggaran maksim kebijaksanaan disebabkan oleh pernyataannya
yang merugikan nama baik badan kehormatan yang dianggap tidak mau
melakukan hal yang positif dan maksim kecocokan dilanggar karena dia sudah
menunjukkan ketidaksetujuannya dengan cara kerja Badan Kehormatan DPR
dalam proses perumusan etika DPR.
P5-7 tidak mengaplikasikan maksim kesantunan, tetapi dia memberi
penekanan pada kata “permanen” dan “bagian”. Tujuan penekanan pada kedua
kata itu ialah untuk menegaskan bahwa, meskipun Badan Kehormatan adalah
alat kelengkapan DPR yang tetap, dia setuju apabila ada pihak luar masuk
menjadi bagian badan kehormatan meskipun harus mengubah undang-undang.
P5-7 sudah melakukan pelanggaran terhadap maksim kebijaksanaan dan
maksim kecocokan. Dengan demikian, nilai pelanggaran kesantunannya adalah
2 ----- X 100% = 20%. 10 Hasil itu menunjukkan bahwa P5-7 adalah politisi yang sangat santun. Nilai
kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim
253
cara dan maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif, jelas, dan relevan
dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Oke, itu satu hal tetapi bagaimana dengan ketidakmampuan Badan Kehormatan untuk melakukan eksekusi terhadap putusannya sendiri. Ketika BK mengatakan ya, satu orang bersalah, ketika dilempar ke partai politik ternyata tidak bersalah, tidak usah mundur, tidak usah non-aktif. Badan kehormatan tidak bisa berbuat apa-apa.
Politisi 5 – Data 8 (P5-8)
Ya, memang itu tidak diatur secara explisit tetapi ada tindakan tindakan dewan yang tidak bisa digunakan semestinya. Kalau katakan seseorang anggota “saya pernah mengalami” dipindahkan dari alat kelengkapan, artinya dia tidak boleh memimpin sebuah komisi. BK memutus seperti itu karena cukup berat, hanya karena dia tidak diberhentikan maka yang saya lihat fraksinya masih menempatkan yang bersangkutan disana. Kami langsung menemui pimpinan DPR, pimpinan DPR harus dengan tegas untuk bisa memindahkan, paling tidak melarang yang bersangkutan untuk ada ditempat dimana dia tidak diperbolehkan oleh Fraksinya. Itu dalam wilayah-wilayah pimpinan DPR. Jadi saya pikir tidak boleh ada keputusan BK yang tidak tereksekusi atau terlaksanakan. Saya pikir selama saya memimpin periode yang lalu, yang sekarang belum pernah ada putusan ketika saya setahun di BK; periode kedua ini. Yang lalu tidak ada keputusan BK yang dilaksanakan. Ada yang hampir-hampir tidak dilaksanakan tetapi segera kita atasi. Pimpinan BK menghadap pada pimpinan DPR.
P5-8 mengatakan bahwa semua putusan BK harus dieksekusi. Kalau ada
masalah dalam pengeksekusian karena ada campur tangan fraksi, maka ketua BK
akan menghadap pimpinan dan meminta agar pimpinan DPR dengan tegas
melaksanakan putusan itu.
Pada saat P5-8 mengatakan bahwa dia pernah menghukum seorang anggota
DPR dengan cara tidak mengizinkannya memimpin sebuah komisi karena
melakukan pelanggaran yang cukup berat, P5-8 melanggar maksim cara karena
254
tidak dengan jelas menyebutkan siapa anggota yang terhukum itu. Hal ini dia
lakukan untuk melindungi nama baik orang tersebut. Jadi, pada saat P5-8
melanggar maksim cara, dia mengaplikasikan maksim kebijaksanaan. Dia
melindungi muka negatif orang yang terhukum tersebut dan partai yang
melindunginya. Dia juga melanggar maksim kerendahan hati karena memuji-muji
diri sendiri. Dia mengatakan bahwa pada masanya semua keputusan badan
kehormatan harus tereksekusi. P5-8 juga dapat dianggap melanggar maksim
penerimaan karena dia sudah meminimalkan rasa hormat pada sebuah fraksi yang
tetap membela anggotanya yang sudah dinyatakan bersalah oleh badan
kehormatan. Pernyataannya menunjukkan bahwa fraksi tersebut tidak
menghormati keputusan Badan Kehormatan DPR.
P5-8 mengaplikasikan maksim kualitas sebagai salah satu maksim kesantunan
karena dia dengan jujur mengakui kelemahan undang-undang yang mengatur
kewenangan badan kehormatan sebagai institusi yang berada di DPR, sementara
dia sendiri adalah anggota DPR yang merupakan bagian pembuat undang-undang
badan kehormatan itu. Di samping itu, apa yang dikatakannya adalah suatu
pengakuan atas kelemahan diri sendiri yang berarti dia juga mengaplikasikan
maksim kerendahan hati.
Keinginan P5-8 untuk menunjukkan keinginannya untuk menegakkan
kehormatan badan kehormatan dan melakukan eksekusi terhadap anggota yang
dinyatakan bersalah, dapat dilihat dari penekanan yang diberikan pada kata-kata
“dipindahkan”, “tegas” dan “melarang”.
255
Melihat bahwa P5-8 sudah melakukan pelanggaran atas maksim cara, maksim
penerimaan, dan maksim kerendahan hati, dapat dikatakan bahwa nilai
pelanggaran kesantunannya adalah
3 ----- X 100% = 30%. 10
Nilai itu menunjukkan bahwa P5-8 adalah politisi yang santun. Kesantunannya
ini meningkat karena dia mengaplikasikan maksim kebijaksanaan, maksim
kualitas, dan maksim kerendahan hati yang menunjukkan bahwa dia adalah
politisi yang jujur, mau mengakui kelemahan sendiri. Dia juga mengaplikasikan
maksim kuantitas dan maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif dan
relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Karena etikanya saja yang harus dibenahi terlebih dahulu. Pak P5...Pak P5 ini akan dibahas dalam paripurna terdekat walaupun bukan paripurna pada malam hari ini. Bagaimana anda bisa meyakinkan sebagai anggota DPR bahwa pasal-pasal yang sudah ditiadakan apakah itu disengaja atau tidak akan kembali ada nantinya?
Politisi 5 – Data 9 (P5-9)
Ya tentu sangat diperlukan...aturan etik yang bernama kode etik ini karena ini bersifat imperatif artinya memaksa. Jadi kalau tidak ada apa-apa yang tertulis atau norma yang tertulis dalam sebuah peraturan ini akan menjadi bias. Walaupun pada tataran hukum atau pada Court of Law itu ada tetapi kalau Code of Ethics atau code of Conduct tidak mengatur, ini lalu kita kehilangan pedoman untuk menerapkan sangsi yang imperatif itu.
Menurut P5-9, kode etik itu bersifat memaksa. Jadi meskipun aturan itu ada
dalam undang-undang peradilan, aturan itu harus ada secara tertulis dalam kode
etik agar ada pedoman untuk menerapkan sanksi.
256
Kalimat-kalimat P5-9 di atas adalah kalimat-kalimat yang memberi informasi
tentang pentingnya kode etik yang tertulis. Tidak ada pelanggaran kesantunan di
dalam ujarannya, tetapi ada aplikasi kesantunan, yaitu implikatur yang termasuk
dalam maksim penerimaan. Aplikasi implikatur percakapan ini berhubungan
dengan diskusi sebelumnya yang menyatakan bahwa undang-undang gratifikasi
tidak perlu ditulis secara detail dalam rancangan kode etik DPR. Sebenarnya P5-9
ingin mengatakan bahwa peraturan gratifikasi harus tertulis dengan jelas di dalam
kode etik DPR meskipun hal itu sudah tertulis di dalam undang-undang tipikor.
Tujuannya adalah supaya aturan gratifikasi atau peraturan lain yang bersifat
memaksa itu dapat dijalankan dengan baik oleh seluruh anggota DPR. Dengan
tidak adanya pelanggaran kesantunan, tingkat kesantunan P5-9 adalah 100%.
Nilai kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas,
maksim cara dan maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif, jelas dan
relevan dengan pertanyaan.
Untuk lebih jelasnya, deskripsi di atas ditabelkan berikut ini.
257
Tabel 4.11: Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 5 Politisi-Data Pelanggaran Maksim Persentase
Pelanggaran Predikat
Kesantunan P5-1
Kecocokan 10% Sangat Santun
P5-2
Kecocokan 10% Sangat Santun
P5-3
Kecocokan 10% Sangat Santun
P5-4
-
0% Sangat Santun
P5-5
Cara Kebijaksanaan
20% Sangat Santun
P5-6
Cara Kerendahan Hati
20% Sangat Santun
P5-7
Kebijaksanaan Kecocokan
20% Sangat Santun
P5-8
Cara Kerendahan Hati Penerimaan
30% Santun
P5-9
-
0% Sangat Santun
Politisi 5 : Sangat Santun (13,3%) Berdasarkan diskusi tentang P5 di atas, dapat dipaparkan bahwa ada lima
maksim yang dilanggar. Berikut adalah urutan maksim yang dilanggar berikut
frekuensi pelanggarannya yang disajikan dalam bentuk tabel.
258
Tabel 4.12: Urutan Pelanggaran maksim Politisi 5
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kecocokan 4
2. Maksim cara 3
3. Maksim kebijaksanaan 2
4. Maksim kerendahan hati 2
5. Maksim penerimaan 1
6. Maksim kebijaksanaan 0
7. Maksim kesimpatian 0
8. Maksim kualitas 0
9. Maksim kuantitas 0
10. Maksim relevansin 0
Urutan maksim yang dilanggar itu menunjukkan bahwa banyak ketidakcocokan
yang terjadi antara P5 dan badan kehormatan yang secara status lebih tinggi dari
dirinya sehingga dia seharusnya berbicara santun.
Strategi kesantunan yang diaplikasikannya untuk menjaga atau
meningkatkan kesantunan ialah mengaplikasikan maksim kualitas, maksim
kerendahan hati, dan maksim penerimaan melalui penggunaan kalimat berpagar
dan maksim kebijaksanaan.
Analisis di atas menunjukkan bahwa nilai ketidaksantunan P5 adalah
10 + 10 + 10 + 0 + 20 + 20 + 20 + 30 + 0 --------------------------------------------------- = 13,3%. 9 Hasil di atas menunjukkan bahwa P5 adalah politisi yang sangat santun. Maksim
kesantunan yang diaplikasikannya adalah maksim kebijaksanaan, danmaksim
259
penerimaan melalui kalimat berpagar dan implikatur, maksim kerendahan hati,
maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim cara dan maksim relevansi.
Untuk mengetahui kemampuan komunikasi P5 yang merupakan partisipan
tayangan “Politik Beretika”, berikut ini adalah tabel hasil analisis SPEAKING
yang dilakukan atas P5
Tabel 4.13: Analisis SPEAKING Politisi 5
Elemen SPEAKING Data Komunikasi Waktu dan tempat komunikasi (S)
Komunikasi berlangsung dalam acara talk show “Today”s Dialogue” di Metro TV yang ditayangkan hari Selasa, jam 23.00 – 24.00 WITA, tanggal 22 Februari 2011, dengan topik “Politik Beretika”.
Partisipan (P) P5 dan pembawa acara. Hasil Komunikasi (E) Adanya kesepakatan untuk melibatkan orang luar dalam
penentuan kode etik anggota DPR. Bentuk dan isi Komunikasi (A)
P5 mengaplikasikan kesantunan, misalnya dengan mengucapkan kalimat berpagar “Saya tidak berpikir negatif bahwa ini sengaja dihilangkan, tetapi saya lebih menilai kurang lengkapnya orang-orang yang ikut serta dalam pembahasan”. Isi komunikasinya adalah tentang adanya ketentuan baru dalam kode etik yang dianggap tidak relevan, misalnya larangan bagi anggota DPR untuk ke tempat pelacuran, dan adanya kelonggaran peraturan tentang gratifikasi sehingga memperluas peluang untuk korupsi
Perilaku penyampaian Pesan (K)
Berdasarkan analisis kesantunan, perilaku penyampaian pesan P5 adalah sangat santun meski dia juga memuji-muji diri sendiri, misalnya, “...pada periode yang lalu saya juga memberhentikan anggota PDI Perjuangan, fraksi saya karena...”.
Cara penyampaian Pesan (I)
Pesan disampaikan secara lisan dengan menggunakan bahasa lisan.
Norma interaksi dan Interpetasi (N)
Dalam penyampaian pesan, P5 beberapa kali melanggar maksim kecocokan
Jenis-jenis ujaran (G) P5 menyampaikan pesan dengan menggunakan kalimat-kalimat deklaratif kompleks.
260
Berdasarkan analisis di atas dan apabila dianalogikan dengan analisis kesantunan,
dapat dikatakan bahwa P5 mempunyai kemampuan berkomunikasi yang sangat
baik.
4.2.4 “SBY Gertak Koalisi”
Dalam tayangan “SBY Gertak Koalisi” yang akan dibicarakan ialah
kekacauan yang terjadi di dalam tubuh partai koalisi. Fokus perbincangan adalah
pertanyaan apakah PKS dan Golkar akan dikeluarkan dari koalisi karena kedua
partai anggota koalisi ini tidak sejalan dengan anggota koalisi lain mengenai hak
angket mafia pajak. Kedua partai itu setuju dengan hak angket, sementara anggota
koalisi lainnya menolak. Dalam pidatonya SBY mengatakan akan mengevaluasi
efektivitas satu sampai dua parpol koalisi dan bagi partai yang tidak komit dengan
kesepakatan koalisi akan diberi sanksi alias dikeluarkan dari koalisi. Narasumber
hadir lima orang tetapi yang dikategorikan politisi ada empat orang dan
selanjutnya akan disebut Politisi 6 (P6), yaitu politisi dari Golkar, Politisi 7 (P7),
yaitu politisi dari Partai Demokrat, Politisi 8 (P8), yaitu politisi dari PKS, dan
Politisi 9 (P9), yaitu politisi dari PDI-P. Sementara itu seorang narasumber yang
bukan politisi adalah seorang pengamat politik.
Berikut ini adalah data yang berasal dari ucapan para politisi tersebut yang
menjawab pertanyaan pembawa acara berdasarkan narasi berikut.
Narasi 1
Koalisi memasuki tahap paling menggelikan sekaligus memalukan. Partai Demokrat sudah tak betah berkoalisi dengan partai Golkar dan Partai Keadilan Sejahtera atau PKS bahkan dengan bermacam-macan ekspresi
261
telah mendorong kedua partai itu agar keluar dari koalisi. Akan tetapi Golkar dan PKS tidak membacanya sebagai dorongan untuk keluar apalagi merasa diusir dari koalisi dengan argumentasi berbeda pendapat adalah perkara yang wajar dalam politik. Wajar sekalipun dalam koalisi itu mereka acap berseberangan kepentingan politik. Kedua partai kian hari kian menjadi kerikil dalam sepatu koalisi. Inilah kerikil yang semakin tajam dan semakin menyakiti tetapi melawan ketika hendak dibuang. Begitulah..menggelikan melihat Partai Demokrat yang disatu pihak berkuasa tidak benar-benar berani mengusir dan dilain pihak memalukan melihat Golkar dan PKS tidak merasa hendak diusir. Puncak persoalan terjadi dalam hak angket mafia pajak. Golkar dan PKS mendukung penuh hak penyelidikan DPR terhadap kasus mafia pajak itu. Padahal koalisi pendukung pemerintahan SBY-Boediono tentu berkepentingan menghadang hak angket tersebut. Sebab hak angket dapat berujung ke hak menyatakan pendapat yang berujung pada pemakzulan. Menjelang hak angket diputuskan di DPR. Golkar dan PKS berkoar-koar siap keluar dari koalisi sebagai konsekuensi dari mereka terhadap pengukuhan hak angket. Kedua partai juga berkoar-koar bahwa mereka siap bahwa menteri mereka di-resuffle dari kabinet. Golkar mendukung hak angket pajak, seperti dikatakan ketua umumnya Prio Budisantoso adalah untuk membersihkan citra Ketua Umum Golkar Abu Rizal Bakrie dimata publik. Tiga perusahaan Bakrie pernah disebut oleh Gayus sebagai perusahaan pengemplang pajak. Disisi lain Golkar juga paham betul Demokrat sebagai partai berkuasa tetap membutuhkan Golkar di DPR. Adapun PKS mendukung dan mengusung hak angket sepertinya untuk memenuhi aspirasi konstituen mereka. Tujuannya apalagi untuk memenuhi sedikitnya mempertahankan perolehan suara pada pemilu 2014. Hak angket itu jelas menguntungkan Golkar dan PKS dengan mendukung hak angket nama mereka harum dimata publik. Tetapi dengan mudah pihak Partai Demokrat yang berkuasa. Setelah melalui voting Golkar dan PKS kalah, hak angket pun kandas. Partai Demokrat kemudian menyerukan agar presiden Yudoyono mengevaluasi keberadaan Golkar dan PKS di koalisi dan kabinet. Bahkan kian kencang suara mereka mendorong agar Golkar dan PKS keluar dari koalisi. Akan tetapi yang didorong tidak merasa sebenarnya pada tahap diusir. Bukankah itu menggelikan dan memalukan?
4.2.4.1 Analisis Data Politisi 6 (P6)
P6 yang berasal dari partai Golkar ini menanggapi adanya isu yang
mengatakan bahwa Golkar akan dikeluarkan dari koalisi dan adanya pergantian
menteri-menteri yang berasal dari partai Golkar.
262
Pembawa acara
Terima kasih telah bergabung bersama kami. Baik langsung saja kita akan mulai perbincangan kita pada malam hari. Saya akan mulai dengan ke Pak P6 terlebih...dahulu. Bagaimana kemudian dari Partai Golkar sendiri memaknai pernyataan dari Presiden tadi sore, ada nada mengancam disitu tetapi memang tidak ada... tidak ada ketegasan begitu apa yang sebenarnya akan dilakukan oleh Presiden. (Pertanyaan ini berhubungan dengan pernyataan SBY bahwa beliau sedang mengevaluasi efektivitas 1 sampai dengan 2 parpol koalisi. Dan juga pada saatnya nanti mereka....tidak komit dengan kesepakatan koalisi maka SBY berjanji akan memberikan sanksi alias tidak akan mempertahankan koalisi tersebut. Presiden juga tidak secara explisit menyebutkan parpol yang selama ini dianggap melenceng dari kesepakatan koalisi.
Politisi 6 – Data 1 (P6-1)
Ya, kami santai saja. Artinya kami menanggapi... apa. Kita dalam posisi yang ‘wait and see” karena itu belum final. Artinya Presiden hanya memberikan warning. Tinggal pertanyaannya sekarang, Presiden menyinggung soal 11 butir kesepakatan yang diduga dilanggar oleh partai tertentu, kan begitu?
P6-1 menyatakan bahwa pernyataan SBY hanya merupakan peringatan
bahwa ada kesepakatan koalisi yang dilanggar oleh partai tertentu yang tergabung
dalam koalisi. Dengan menekankan pengucapan pada kata “hanya”, P6-1
menganggap bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan pernyataan
presiden yang berupa ancaman untuk memberi sanksi pada anggota koalisi yang
tidak setia. Ada nada meremehkan di dalam nada ucapannya sehingga hal itu
dapat dikatakan melanggar kesantunan apalagi pernyataan bernada meremehkan
itu diucapkan untuk seorang kepala negara sekaligus ketua koalisi. Pernyataan
yang serius dari seorang kepala negara ditanggapi dengan santai saja sehingga
kesan meremehkan semakin kuat. Pernyataan P6-1 dapat dikatakan sebagai
pelanggaran terhadap maksim penerimaan.
263
Karena P6-1 hanya melanggar satu maksim yaitu maksim penerimaan,
tingkat pelanggarannya adalah
1 ------ X 100% = 10%. 10
Hal ini berarti bahwa P6-1 adalah politisi yang santun. Nilai kesantunannya
bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan
maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif, jelas, dan relevan dengan
pertanyaan.
Pembawa acara
Partai Golkar merasa dari salah satu partai yang di.. (Pembawa acara bermaksud menanyakan apakah Partai Glokar merasa
salah satu partai yang dianggap melanggar kesepakatan koalisi)
Politisi 6 – Data 2 (P6-2)
Ya, sejauh.. justru itu kita akan menjelaskan bahwa kami tidak merasa melakukan pelanggaran. Karena dalam membangun koalisi, yang kami pahami adalah kesepakatannya memperjuangkan cita-cita reformasi, membangun pemerintahan yang bersih, berwibawa, bebas korupsi. Kemudian bebas ketergantungan asing, Nah, apakah ketika kami dan partai koalisi lainnya memperjuangkan Century itu dibilang pelanggaran? Apakah ketika kami membongkar mafia pajak disebut pelanggaran? Justru kita ingin mengawal pemerintahan ini agar sukses dalam rangka memberantas korupsi. Justru yang harus dipertanyakan adalah kalau ada anggota koalisi lain. Dia memaksakan kehendak pada anggota koalisi lainnya untuk menutup-nutupi suatu ....bau busuk misalnya. Atau menutup-nutupi suatu dugaan ada mafia pajak dan sebagainya di negara ini. Karena bicara korupsi, praktik mafia pajak itu adalah kejahatan yang massive.
P6-2 menyatakan bahwa Golkar mengerti cita-cita koalisi, yaitu
memperjuangkan cita-cita reformasi, membangun pemerintahan yang bersih,
264
berwibawa, bebas korupsi. Jadi, seharusnya pada saat Golkar memperjuangkan
Century, hal itu namanya bukan pelanggaran. Jadi, Golkar tidak melanggar
kesepakatan koalisi. Partai lain mungkin melanggar kesepakatan koalisi dengan
menutup-nutupi kejahatan seperti mafia pajak. Pemikiran bahwa justru partainya
ingin mewujudkan cita-cita reformasi ditegaskan dengan menekankan pengucapan
kata/frasa “cita-cita reformasi” dan “justru”.
Pada saat P6-2 menyatakan bahwa adanya anggota koalisi lain yang
menutup-nutupi bau busuk atau menutu-nutupi dugaan ada mafia pajak adalah
pelanggaran kesepakatan koalisi. Pernyataan tersebut melanggar maksim cara
karena tidak jelas dinyatakan anggota koalisi yang mana yang menutupi bau
busuk. Akan tetapi, apabila disebut secara eksplisit siapa yang menutupi bau
busuk itu, P6-2 akan melanggar maksim kebijaksanaan karena dia sudah
merugikan orang lain dengan cara mengungkap keburukan orang tersebut. P6-2
juga melanggar kesantunan dengan mengucapkan kata/frasa “bau busuk” yang
terdengar sangat tidak santun untuk diucapkan oleh seorang politisi di hadapan
publik. Frasa “bau busuk” mungkin dapat diperhalus dengan menggunakan frasa
“hal yang tidak baik”. Pilihan kata/frasa ini termasuk pelanggaran terhadap
maksim penerimaan karena tidak menghargai orang yang mendengarkan. Pada
saat P6-2 menanyakan apakah memperjuangkan Century dan membongkar mafia
pajak dikatakan pelanggaran, dia sebenarnya sudah melanggar maksim
kebijaksanaan karena memperjuangkan Century dan membongkar mafia pajak
bukan merupakan pelanggaran, melainkan merupakan hal yang harus dilakukan
untuk menghentikan korupsi. Jadi, siapapa pun yang menganggap hal itu
265
pelanggaran, pasti merupakan orang yang tidak berpihak pada pemberantasan
korupsi. Hal ini berarti bahwa SBY adalah orang yang tidak berpihak pada
pemberantasan korupsi. Dengan demikian, SBY berada di pihak yang dirugikan.
Analisis di atas menunjukkan bahwa P6-2 melanggar tiga maksim
kesantunan yaitu maksim cara, maksim penerimaan dan maksim kebijaksanaan
sehingga nilai pelanggaran kesantunannya adalah
3 ------ X 100% = 30%. 10
Hal ini berarti bahwa P6-2 adalah politisi yang cukup santun dan semakin santun
karena dia mengaplikasikan maksim kebijaksanaan. Maksim lain yang
diaplikasikan adalah maksim kuantitas dan maksim relevansi melalui bahasanya
yang efektif dan relevan dengan pertanyaan. Akan tetapi, tuduhan yang dia
tujukan pada presiden sebagai orang yang menyalahkan partai politik yang anti
korupsi dan pilihan kata/frasa “bau busuk”, mengurangi nilai kesantunannya.
Pembawa acara
Tetapi sebelum kita masuk kesitu dari poin-poin apa saja sebenarnya yang dianggap telah dilakukan pelanggaran begitu. Tetapi partai Golkar sendiri merasa tidak tersindir begitu ya dengan pernyataan presiden SBY.
Politisi 6 – Data 3 (P6-3)
Ya kita nggak...karena....karena yang kita lakukan masih on the track, sesuai dengan kesepakatan awal kita membangun koalisi ini.
Menurut P6-3, partai Golkar tidak merasa tersindir karena Golkar tidak
melakukan pelanggaran kesepakatan koalisi. Jawaban P6-3 atas pertanyaan
pembawa acara melanggar maksim kuantitas karena dia menyatakan hal yang
266
sama dua kali, yaitu on the track dan sesuai dengan kesepakatan awal. Alih kode
yang digunakan hanya untuk menunjukkan bahwa dia dapat berbahasa asing,
menunjukkan bahwa dia orang terpelajar. Sikap itu dapat dimaknai sebagai sikap
yang sombong atau pamer, dan hal ini melanggar maksim kerendahan hati.
Karena P6-3 hanya melanggar dua maksim kesantunan yaitu maksim cara dan
maksim kerendahan hati nilai pelanggaran kesantunannya adalah
2 ------ X 100% = 20%. 10
Hal ini berarti bahwa P6-3 adalah politisi yang santun. Nilai kesantunannya
bertambah karena dia mengaplikasikan maksim cara dan maksim relevansi
melalui bahasanya yang jelas dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
(Pembawa acara bertanya apa yang sebenarnya menyebabkan kegaduhan di DPR)
Politisi 6 - Data4 (P6-4)
Jadi sebetulnya gini, kegaduhan ini karena ketidakmampuan Demokrat sebagai partai yang berkuasa mengelola perbedaan pendapat di DPR dan kesalahan itu ditimpakan pada partai-partai yang menolak diajak untuk berkongsi untuk diajak melakukan suatu yang tidak benar misalnya menutup-nutupi kejahatan pajak.
P6-4 ingin menyatakan bahwa Partai Demokrat adalah partai yang kotor yang
ingin menutup-nutupi mafia pajak. Frasa “tidak benar” yang diberi tekanan
menunjukkan bahwa Partai Demokrat adalah partai yang melakukan hal-hal yang
tidak benar.
267
Melalui pernyataannya yang menyebutkan bahwa kegaduhan di DPR
disebabkan oleh karena ketidakmampuan Partai Demokrat mengelola perbedaan
pendapat di DPR, P6-4 sudah melanggar kesantunan. Pernyataan merendahkan
kemampuan pihak lain itu dapat dikatakan sebagai pengancaman muka positif dan
melanggar maksim penerimaan. P6-4 juga mengatakan bahwa Partai Demokrat
menimpakan kesalahan yang terjadi atas ketidakmampuannya pada partai-partai
yang tidak mau bersekongkol menutupi kejahatan. Hal ini berarti bahwa P4-6
menuduh Partai Demokrat melakukan kejahatan dan hal ini melanggar maksim
kualitas karena apa yang dituduhkan oleh P6-4 tidak bisa dibuktikan dan juga
melanggar maksim kebijaksanaan karena merugikan Partai Demokrat P6-4.
Tuduhan ini melanggar maksim kebijaksanaan karena merugikan nama baik
Partai Demokrat.
Dari sepuluh maksim pengukur kesantunan, P6-4 melanggar tiga maksim
yaitu maksim penerimaan, maksim kualitas dan maksim kebijaksanaan. Hal ini
berarti bahwa pelanggaran kesantunan yang dilakukannya adalah
3 ------ X 100% = 30%. 10
Hal ini berarti bahwa P6-4 adalah politisi yang cukup santun. Nilai kesantunannya
bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan
maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif, jelas, dan relevan dengan
pertanyaan. Akan tetapi tuduhannya terhadap presiden sebagai pelaku kejahatan
dapat menurunkan tingkat kesantunannya.
268
Pembawa acara
Baik kembali kami lanjutkan perbincangan. Saya langsung ke pak P6 juga nanti saya akan tanyakan ke Pak P8 begitu ya?
Kita sudah tidak ingin membicarakan lagi....dimundurkan atau apa sebenarnya yang dimaksudkan pak SBY tadi. Tetapi kalau konsekuensinya saja ketika memang sudah ada perbedaan sikap, perbedaan visi misi begitu ya..dari Partai Golkar sendiri anda mengatakan bahwa dalam tekanan dan lain sebagainya. Mengapa tidak kemudian konsekuen keluar saja dari koalisi?
Politisi 6 – Data 5 (P6-5)
Ya, gini..ini kan soal kedewasaan kita dalam berpolitik ya? Tentu Golkar dalam posisi yang “wait and see” ya...kita tetap tegak lurus tanpa perlu membungkukkan badan dan kehilangan harga diri. Kita sudah serahkan para kandidat partai kita untuk di menteri, untuk menjadi pembantu presiden. Kalau misalnya presiden sudah tidak membutuhkan lagi ya tidak ada masalah begitu, tidak akan ada juga yang dirugikan di partai Golkar. Bahkan kami sendiripun atas desakan...kalaupun kami ....untuk keluar dari setgab dan menarik menteri. Itu atas desakan daripada....kalaupun kami...
Pembawa acara
Apa yang ditunggu partai Golkar? “wait and see” seperti apa yang di..?
Politisi 6 – Data 6 (P6-6)
Ya, kami menghargai keputusan daripada ketua umum kami dan DPP. Kita serahkan pada ketua umum untuk mengambil keputusan apakah kita tetap bersama dengan pemerintahan ini sampai 2014 atau kita berpisah ditengah jalan. semua sangat tergantung pada hubungan.....Ketua umum partai Golkar dengan Dewan Pembina Demokrat yaitu Pak SBY.
jadi ini..ini kan kegaduhan ini muncul karena partai koalisi yang satu memaksakan kehendak pada partai koalisi yang lain. Kan begitu?
Politisi 7 (Menyela) Enggakkkk..ini salah... Politisi 6 – Data 7 (P6-7) Tunggu sebentar.....
269
Politisi 7 (Menyela) Ini...ini bahasanya tendensius banget... Politisi 6 – Data 8 (P6-8) Jelas dong... “memaksakan kehendak”... Kegaduhan ini timbul.. Politisi 7 (Menyela)
Tidak. Demokrat tidak pernah memaksa-memaksa. Tidak. Itu bukan ciri khas kita.
Politisi 6 – Data 9 (P6-9) Ya, mengancam-mengancam kan gitu... Pembawa acara Mengancam?..mengancam siapa? Politisi 7 (Menyela) Mengancam-mengancam ..apalagi mengancam-mengancam. Makanya kita
terpilih yang terbesar gara-gara itu. Politisi 6 – Data10 (P6-10) Sudahlah. Saya sudah..kita sudah terbiasa dengan gaya-gaya Pak P7 dan
temen-temen begitu kan... Politisi 7 (Menyela)
Ya, saya juga sudah biasa dengan gaya-gaya anda...loncat-loncatnya jauh-jauh hahahaha.
Politisi 6 – Data 11 (P6-11)
Jadi sebetulnya gini, kegaduhan ini karena ketidakmampuan demokrat sebagai partai yang berkuasa mengelola perbedaan pendapat di DPR dan kesalahan itu ditimpahkan pada partai-partai yang menolak diajak untuk berkongsi untuk diajak melakukan suatu yang tidak benar misalnya menutupi-nutupi kejahatan pajak.
270
Pembawa acara Baik. Kalau begitu beralih ke.. Politisi 6 – Data 12 (P6-12)
Tetapi bagi kami dibawah sebagai kader partai Golkar gak ada masalah mau terus silahkan mau enggak juga tidak ada masalah.
Pembawa acara
Betul seperti itu ya?
Politisi 6 – Data 13 (P6-13) Ya, gak ada masalah Pembawa acara
Kalau begitu siap untuk dikeluarkan, siap untuk mundur, siap untuk di resuffle?
Politisi 6 – Data 14 (P6-14) Ya, masak kita nangis-nangis guling-guling kayak anak kecil kan gak
mungkin.
P6 - (5 – 14) menyatakan bahwa Golkar adalah partai yang bersikap dewasa
dan mempunyai harga diri. Golkar tidak perlu mengemis untuk menjadikan
kadernya menteri. Kadernya mau dijadikan menteri atau tidak, bagi Golkar tidak
masalah dan sekarang tergantung pada Ketua Umum, Golkar masih di koalisi
sampai 2014 atau tidak. Golkar tidak takut untuk keluar dari koalisi atau
menterinya diganti. Kericuhan dalam koalisi disebabkan oleh ketidakmampuan
Partai Demokrat untuk membina koalisi itu. Ketidakmampuan itu dibebankan
pada partai-partai yang tidak mau diajak menutupi kejahatan. Kegaduhan dalam
koalisi karena ketidakmampuan Partai Demokrat untuk membina koalisi. Partai
Demokrat memaksakan kehendak pada partai anggota koalisi yang lain.
271
Pernyataan ini dipertegas dengan memberi penekanan pada kata-kata “tetap”,
“memaksakan”, “ketidakmampuan”, dan “menolak”.
P6-5 menyatakan bahwa Golkar adalah partai yang mempunyai harga diri,
dan hal ini melanggar maksim kerendahan hati karena pernyataannya itu
memaksimalkan penghargaan untuk diri sendiri. Dia juga mengatakan, kalaupun
presiden tidak memakai kader Golkar di dalam kabinetnya, Golkar tidak merasa
rugi, dia sudah melanggar kesantunan karena pernyataannya mengandung makna
bahwa duduk dalam kabinet bukan hal yang penting bagi kader Golkar. Hal ini
juga berarti bahwa kabinet tidak penting bagi Golkar. Hal ini berarti bahwa dia
meremehkan presiden dan kabinetnya dan ini melanggar maksim penerimaan.
Pelanggaran kesantunan ini sangat terasa karena presiden dan kabinet adalah
lembaga negara yang wajib dihormati oleh siapa pun.
P6-6 menyatakan bahwa keputusan apakah Golkar akan keluar atau tidak dari
koalisi diserahkan sepenuhnya pada ketua umum. Pernyataan itu dapat dianggap
tidak santun karena menyerahkan semua beban tanggung jawab hanya pada satu
orang. Pernyataan itu sangat menguntungkan dirinya sendiri karena tidak ikut
bertanggung jawab atas keputusan tetap di koalisi atau keluar, sementara
pernyataan itu sangat merugikan ketua umum karena diserahi beban tanggung
jawab penuh untuk mengambil keputusan. Dalam hal ini, P6-6 melanggar maksim
kebijaksanaan. P6-6 juga melanggar maksim cara karena dia tidak jelas
mengatakan partai mana yang memaksakan kehendak dan memaksakan kehendak
pada partai koalisi yang mana. P6-6 sebenarnya tahu siapa yang dia anggap
memaksakan kehendak atas partai lain, tetapi dia dengan sengaja tidak
272
menyebutkannya secara eksplisit karena akan mengancam muka negatif partai itu
dan melanggar maksim kebijaksanaan karena partai tersebut sudah dianggap
partai yang melindungi kejahatan.
P6-11 menyatakan bahwa Partai Demokrat tidak mampu mengelola
perbedaan pendapat di DPR. Pernyataan itu meremehkan kemampuan Partai
Demokrat, dan hal ini melanggar maksim penerimaan. P6-11 juga mengatakan
bahwa Partai Demokrat menimpakan kesalahan itu pada partai lain yang tidak
mau diajak bekerja sama menutupi kejahatan pajak. Ucapan itu merupakan
tuduhan bahwa Partai Demokrat adalah partai pelindung penjahat, sementara
partainya adalah partai yang dianggap melanggar sehingga partainya adalah partai
politik yang baik. Pernyataan itu melanggar maksim kerendahan hati. Di dalam
ucapannya tersirat usaha untuk memaksimalkan rasa hormat pada diri sendiri
sebagai anggota partai yang anti kejahatan dan meminimalkan rasa hormat pada
Partai Demokrat yang disebutnya sebagai partai pelindung kejahatan pajak.
P6-12 menyatakan bahwa kalau masih berada di koalisi tidak masalah, kalau
tidak masih juga tidak masalah. Pernyataan itu sangat meremehkan keberadaan
koalisi yang beranggotakan partai-partai besar, yang berarti dia melanggar
maksim penerimaan. Dia juga melanggar kesantunan dengan cara mencoba
mendominasi pembicaraan. Mendominasi pembicaraan merupakan tanda bahwa
orang tersebut tidak menghargai keberadaan dan hak bicara orang lain, dan hal ini
melanggar maksim penerimaan.
Unit data di atas menunjukkan usaha P7 untuk menyela pembicaraan P6 karena
P7 menganggap apa yang diucapkan oleh P6 merugikan partainya. Akan tetapi,
273
P6 tidak bersedia menghentikan ucapan-ucapannya karena merasa saat itu adalah
haknya untuk berbicara.
Dalam data (5-14), P6 melakukan empat pelanggaran maksim yaitu maksim
kerendahan hati yang dilakukan dua kali, maksim penerimaan yang dilakukan
sebanyak empat kali, maksim cara, dan maksim kebijaksanaan yang dilanggar
sebanyak dua kali. Dengan demikian, pelanggaran kesantunan yang dilakukannya
adalah
4 ------ X 100% = 40%. 10
Hal ini berarti bahwa P6-(5-14) adalah politisi yang cukup santun. Nilai
kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas dan
maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif dan relevan dengan pertanyaan.
Akan tetapi kesantunannya berkurang karena dia melakukan pelanggaran maksim
yang sama berkali-kali dan pelanggaran itu ditujukan pada orang yang berstatus
sosial lebih tinggi, yaitu ketua koalisi yang juga seorang presiden.
Pembawa acara
Gimana Pak P6? Kalau kemudian dari partai Golkar sendiri memutuskan untuk keluar dari koalisi atau dikeluarkan begitu ya dikedepannya. Kan dalam tradisinya kan Partai Golkar ini selalu dalam lingkar kekuasaan. Apakah siap untuk beroposisi?
Politisi 6 – Data 15 (P6-15)
Ya. Enggak juga. Bagi partai Golkar, ada atau tidaknya menteri di kabinet ini atau bersama atau tidaknya di dalam koalisi tidak terlalu penting karena bagi kami adalah ketika kita mengambil jargon ”suara Golkar, suara rakyat” Kita lebih mengedepankan apa yang diinginkan dalam masyarakat.
274
Makanya ketika kita harus berhadapan dengan kawan-kawan yang tidak sejalan, ketika kita memperjuangkan kepentingan masyarakat ya... sorry saja kan begitu? Nah, bagi kita adalah kepentingan...kan pemerintahan kita tidak lama lagi 3,5 tahun. Yang kita harus perjuangkan bagaimana kita memperjuangkan hati rakyat agar 2014 bisa menang kembali.
Pembawa acara
Jadi kalau kemudian di...Baik. Kalau kita sekarang bicara mengenai resuffle/jatah menteri di kabinet. Kalau kemudian jatah dari partai Golkar dikurangi ini akan...
Politisi 6 – Data 16 (P6-16)
Inilah yang kadang-kadang bingung juga kok seolah-olah bingung juga kayaknya menganggap Golkar ini takut kalau dikurangin menterinya. Gak ngaruh tuh..
Pembawa acara Gak ngaruh. Politisi 6 – Data 17 (P6-17) Gak ngaruh..kita gak ngaruh. Pembawa acara Tetapi akan tetap berada di koalisi? Kalo kemudian jatah menterinya
dikurangi? Politisi 6 – Data 18 (P6-18)
Ya, kalau memang presiden tidak menghendaki lagi kita keluar gak ada masalah. Tentu kita punya kalkulasi politik tersendiri, kan begitu? Kita berkomitmen pada menjaga pemerintahan ini sampai 2014. Namun kalau misalnya Demokrat dan presiden sudah tidak menghendaki lagi tidak ada masalah, kita tidak akan mengorbankan harga diri partai untuk bergabung, apa nangis guling-guling seperti anak kecil? Sorry deh..itu bukan karakter partai Golkar.
(Pembawa acara bertanya pada P7 bagaimana tanggapannya tentang kisruh
koalisi di DPR yang tidak kunjung selesai) Politisi 6 – Data 19 (menyela karena yang dituju adalah P7)
Itulah hebatnya pak P7 Cuma sekarang udah botak dulu kan gondrong...hahaha.
275
P6- (15-19) menyatakan bahwa ada atau tidak Golkar di kabinet tidak
menjadi masalah. Yang jelas Golkar akan selalu membela kepentingan rakyat.
Golkar tidak takut berseberangan dengan siapa saja yang berseberangan dengan
Golkar. Golkar akan berpihak pada rakyat untuk memenangkan Pemilu 2014.
Golkar tidak terpengaruh apabila jatah menterinya dikurangi dan Golkar pasti
punya perhitungan sendiri bila keluar atau dikeluarkan dari koalisi. Golkar adalah
partai yang mempunyai harga diri yang tidak bersedia merengek-rengek untuk
bergabung dengan pemerintah. Pernyataan tersebut dipertegas dengan memberi
tekanan pada kata-kata “suara” dan “tentu.
P6-15 menyatakan bahwa yang penting bagi dia ialah memperhatikan suara
rakyat agar dapat memenangkan pemilu tahun 2014. Pernyataan tersebut
menunjukkan bahwa dia tidak harus loyal pada koalisi, tetapi dia harus loyal pada
keinginan rakyat. Pernyataannya melanggar maksim kecocokan karena
menyiratkan adanya ketidakcocokan dengan partai anggota koalisi lainnya. P6-15
juga melanggar maksim cara karena tidak jelas siapa yang dimaksud sebagai
pihak yang tidak sejalan dengan partainya. Pelanggaran terhadap maksim cara ini
merupakan aplikasi maksim kebijaksanaan karena dia memaksimalkan
keuntungan bagi partai yang dianggap tidak baik karena berseberangan dengan
partainya yang menurutnya menyuarakan suara rakyat. Pernyataan P6-15 yang
mengatakan, “Nah, bagi kita adalah kepentingan...kan pemerintahan kita tidak
lama lagi 3,5 tahun. Yang kita harus perjuangkan bagaimana kita
memperjuangkan hati rakyat agar 2014 bisa menang kembali” merupakan
pelanggaran terhadap maksim kebijaksanaan karena hanya menguntungkan diri
276
sendiri dan memaksimalkan kerugian pada pihak lain. Dari pernyataannya tersirat
bahwa dia akan melakukan apa pun agar menjadi pemenang pemilu.
Pernyataan P6-16 “...menganggap Golkar ini takut kalau dikurangin
menterinya. Gak ngaruh tuh..” sangat meremehkan presiden sebagai pimpinan
kabinet dan dapat dianggap melanggar maksim penerimaan. Pernyataan, “Gak
ngaruh...kita gak ngaruh”, kembali diulangi pada data P6-17 yang membuat
ujarannya semakin tidak santun.
Pada data P6-18, politisi tersebut mengatakan bahwa “Ya, kalau memang
presiden tidak menghendaki lagi kita keluar gak ada masalah. Tentu kita punya
kalkulasi politik tersendiri, kan begitu?” Pernyataan ini mengandung ancaman
bahwa apabila dikeluarkan dari koalisi partai P6 akan melakukan sesuatu yang
pasti tidak menguntungkan Partai Demokrat. Mengancam dapat merupakan
pengancaman terhadap muka positif, dan hal ini melanggar maksim penerimaan.
Dia juga mengatakan bahwa “...kita tidak akan mengorbankan harga diri partai
untuk bergabung, apa nangis guling-guling seperti anak kecil? Sorry deh...itu
bukan karakter partai Golkar”. Pernyataan ini menunjukkan kesombongan P6-18,
dan hal ini melanggar maksim kerendahan hati.. Ancaman dan usaha
menunjukkan kesombongan dilakukan dengan memberi penekanan pada ucapan
“kalkulasi politik tersendiri, kan begitu?” dan “Sorry deh...itu bukan karakter
partai Golkar”.
Pernyataan P6-19, meskipun hanya terdiri dari satu kalimat, ternyata
melanggar beberapa kesantunan. Pertama dia menjawab padahal bukan dia yang
dituju. Hal tersebut dilakukan karena dia ingin mengejek P7. Jadi, di dalam
277
ucapannya ada usaha memotong waktu partisipan lain untuk berbicara, dan hal ini
melanggar maksim penerimaan.
P6 (15-19) dalam ucapannya sudah melanggar maksim kecocokan, maksim
cara, maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan yang dia langgar sebanyak tiga
kali, dan maksim kerendahan hati. Dengan demikian, dia dapat dikatakan sebagai
politisi yang kurang santun karena tingkat pelanggarannya adalah:
5 ------ X 100% = 50% 10
Kekurangsantunannya meningkat karena dia tidak menghargai mitra tuturnya
melalui pelanggaran maksim penerimaan yang berulang-ulang dan ditujukan pada
ketua partai koalisi dan Presiden Republik Indonesia orang yang secara status
sosial lebih tinggi dari P6 (15-19). Akan tetapi aplikasi maksim kebijaksanaan
yang dilakukan oleh P6 (15-19) mengurangi kekurangsantunannya. Nilai
kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim
cara dan maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif, jelas, dan relevan
dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Baik...pak P6? Waktunya segera habis singkat saja..singkat saja.
(Pembawa acara menanyakan bagaimana nasib koalisi di masa yang akan
datang)
Politisi 6 – Data 20 (P6-20)
Ya, bagi Golkar kalau kita diajak-ajak untuk berkolusi dengan perbuatan
jahat pasti kita tolak.
278
P6-20 menyatakan bahwa partainya tidak akan bergabung dengan partai mana
pun (termasuk partai yang berkuasa) yang melakukan kejahatan.
Dengan pernyataan di atas P6-20 melanggar maksim cara karena tidak dengan
jelas menyebutkan siapa yang mengajak partainya berkolusi untuk melakukan
kejahatan. Dalam pernyataannya hanya satu maksim yang di langgar sehingga
tingkat pelanggaran kesantunannya adalah:
1 ------ X 100% = 10% 10
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa P6-20 adalah politisi yang santun. Nilai
kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas dan
maksim relevansi melalui bahasanya yang efektif dan relevan dengan pertanyaan.
Secara keseluruhan tingkat pelanggaran kesantunan P6 adalah
10 + 30 + 20 + 30 + 40 + 50 +10 = 27,14%. 7 Melihat nilai di atas memang benar P6 adalah politisi yang santun.
Kesantunannya meningkat karena dia mengaplikasikan maksim kebijaksanaan,
maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi. Akan tetapi, kesantunan
ini berkurang karena sejumlah maksim dia langgar secara berulang-ulang dan
dilakukan pada orang yang berstatus sosial lebih tinggi.
Tabel berikut ini adalah ringkasan deskripsi kesantunan politisi 6.
279
Tabel 4.14: Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 6
Politisi-Data Pelanggaran Maksim Persentase Pelanggaran
Predikat Kesantunan
P6-1
Penerimaan 10% Sangat Santun
P6-2
Cara Penerimaan Kebijaksanaan
30% Santun
P6-3
Kuantitas Kerendahan Hati
20% SangatSantun
P6-4
Penerimaan Kualitas Kebijaksanaan
30% Santun
P6-(5–14)
Kerendahan Hati (2X) Penerimaan (4X) Kebijaksanaan (2X) Cara
40% Santun
P6-(15–19)
Kecocokan Cara Kebijaksanaan Penerimaan (3X) Kerendahan Hati
50% Cukup Santun
P6-20
Cara
10% Sangat Santun
Politisi 6: Santun (27,14%)
Pelanggaran maksim kesantunan yang dilakukan oleh P6 apabila diurut
berdasarkan frekuensinya adalah sebagai berikut
280
Tabel 4.15: Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 6
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim penerimaan 5
2. Maksim cara 4
3. Maksim kebijaksanaan 4
4. Maksim kerendahan hati 3
5. Maksim kuantitas 1
6. Maksim kualitas 1
7. Maksim kecocokan 1
8. Maksim kemurahan hati 0
9. Maksim relevansi 0
10. Maksim kesimpatian 0
Melihat frekuensi pelanggaran maksim yang dilakukan oleh P6, dapat
dikatakan bahwa P6 adalah seorang politisi yang cenderung tidak menghargai
orang lain, merugikan orang lain, berbicara dengan cara yang tidak jelas
maksudnya dan sombong.
4.2.4.2 Analisis Data Politisi 7 (P7)
P7 yang berasal dari Partai Demokrat berusaha menyanggah bahwa evaluasi
yang dilakukan oleh SBY bukan karena berseberangan pendapat tentang hak
angket, melainkan karena setiap organisasi apalagi koalisi yang sangat
menentukan nasib sebuah negara, memang harus dievaluasi.
Pembawa acara
Dan partai mana yang dimaksud oleh presiden begitu ya. Pak P7 bagaimana? Mengapa tadi tidak secara eksplisit kemudian tadi dinyatakan oleh Presiden siapa sebenarnya partai-partai yang dianggap telah melanggar?
281
Politisi 9 (Menyela)
Nah, persis...
Politisi 7 – Data 1 (P7-1)
Begini, saya pertama menyampaikan meluruskan apa yang mau disampaikan mbak Kania tadi seolah-olah SBY ragu-ragu. Kedua, ada seolah-olah mengancam. Bukan tipe seorang SBY yang ragu-ragu. Bukan tipe seorang SBY yang mengancam. Beliau menyampaikan pada kami, berpolitik dengan bersih, cerdas dan santun. Itu tolong digarisbawahi lho, baru kita main bareng ini kan. Gitu...
Pembawa acara Ha’a. Oke.
Politisi 7 – Data 2 (P7-2)
Aa..masalah yang disampaikan Pak SBY. Masalah...evaluasi itu menurut saya itu hal yang wajar-wajar saja. Ya..disampaikan oleh seorang pimpinan pada...koalisi. karena apa? Menejemen apapun baik di perusahaan,di organiasi, apalagi menejemen koalisi yang menentukan baik buruknya nasib bangsa ini. Ya harus ada evaluasi. Itu hal yang wajar. Siapa yang kena, lah kan itu urusan Pak SBY. Kami dari fraksi Partai Demokrat kalau diminta masukan, Insyaallah..kita buat masukan yang terukur. Karena apa? Tadi seperti kata Pak P6 itu kok seolah-olah ada apa ini?, masalah angket?...Tidak ada kaitannya dengan masalah angket...century dan masalah.... angket yang kemaren. Karena sudah ...
Politisi 6 (Menyela)
Bener nih??..bener??..(tertawa)
Politisi 7 – Data 3 (P7-3)
Tunggu dulu...tunggu dulu..ini saya sampaikan angket kemarin kan rata-rata... semua sudah dikatakan. Siapa yang mendukung angket, yang mema...memakai instrumen angket. Kalau menurut saya itu bom...
Politisi 9 (Menyela)
Kata siapa...
282
Pembawa acara
Baik..tetapi sebelumnya..saya ingin mengutip...Pak..Pak...P7...
Politisi 7 – Data 4 (P7-4)
Karna apa?..karena..karena...
Politisi 8 (Menyela)
Ga nyambung.... Ga nyambung dengan pernyataan pak SBY.
Politisi 7 – Data 5 (P7-5)
Tunggu dulu... tunggu dulu...
Pembawa acara
Gak nyambung katanya. (Narasumber Tertawa)
Politisi 7 – Data 6 (P7-6)
Tunggu dulu.saya belum sampaikan...
Pembawa acara
Tetapi saya ingin...boleh...boleh saya bacakan kembali isi dari pidato pak SBY agar ada...
Politisi 7 – Data 7 (P7-7)
Tunggu dulu...Tunggu dulu saya belum selesai... Tunggu dulu...Tunggu dulu..saya mau selesaikan dulu....
Politisi 6 (Menyela)
minum...minum...dulu.
Politisi 7 – Data 8 (P7-8)
Ini...saya..mengkritik apa yang disampaikan...saya mengkritik apa yang...
283
Pembawa acara
Apa langsung saja ke Mas narasumber kalau begitu.
Politisi 7 – Data 9 (P7-9)
Saya belum memberikan apa...apa...
Pembawa acara
Saya merasa anda salah memaknai ni pidato dari Pak SBY tadi...
Politisi 6 (Menyela)
Minum...minum...dulu.
Politisi 7 – Data 10 (P7-10)
Mbak kania...belum selesai. (Audiens tepuk tangan)
Politisi 7 – Data 11 (P7-11)
Saya mau menyampaikan ke pak P6 kok seolah olah kita yang mendukung
atau tidak mendukung kok...
P7- (1-11) menyatakan bahwa SBY bukan tipe ragu-ragu atau yang suka
mengancam. Beliau menyampaikan pada anggota partainya agar berpolitik dengan
bersih, cerdas dan santun. Masalah evaluasi itu adalah hal yang wajar, tidak ada
hubungannya dengan hak angket atau Century. Evaluasi itu tidak ada
hubungannya dengan mendukung atau tidak mendukung hak angket. Maksud
tersebut dipertegas dengan memberi tekanan pada saat mengucapkan “manajemen
apa pun”, “apalagi”, “menentukan baik buruknya bangsa ini”, dan “insyaallah”.
Pada data 1 P7 mengatakan, “Bukan tipe seorang SBY yang ragu-ragu.
Bukan tipe seorang SBY yang mengancam. Beliau menyampaikan pada kami,
berpolitik dengan bersih, cerdas dan santun”. Pernyataan itu melanggar maksim
284
kerendahan hati karena P7-1 memuji-muji SBY yang merupakan pihaknya
sendiri, apalagi P7 meminta agar pernyataan itu digarisbawahi, berarti harus
diingat dan diperhatikan. Pada saat P7-2 mengatakan, “Siapa yang kena, lah kan
itu urusan Pak SBY”, dia menyerahkan seluruh beban pada SBY sehingga
merugikan SBY dan memberikan keuntungan pada dirinya yang tidak mempunyai
beban tanggung jawab meskipun dia berada di pihak yang sama dengan SBY. Hal
ini berarti bahwa P7- (1-11) melanggar maksim kebijaksanaan. Dalam usahanya
membela partainya, P7- (1-11) mencoba mendominasi percakapan, dan hal ini
melanggar maksim penerimaan karena sikapnya merupakan sikap yang
meminimalkan penghargaan terhadap orang lain termasuk pada pembawa acara.
P7-2 juga melanggar maksim kualitas pada saat mengatakan bahwa evaluasi
yang akan dilakukan oleh SBY tidak ada kaitannya dengan hak angket karena dia
sudah berbohong. Dari berita-berita di media, masyarakat sudah mengetahui
bahwa dalam menentukan hak angket untuk mafia pajak, partai Golkar dan PKS
berseberangan dengan koalisi sehingga kedua parti itu dianggap menyeleweng
dari kesepakatan koalisi.
Unit data di atas terdiri atas beberapa sub-unit yang berbentuk kalimat-
kalimat pendek. Kalimat-kalimat itu dicantumkan termasuk kalimat-kalimat yang
digunakan oleh P6, P8, dan P9. P6 menyela untuk mengejek P7 yang tampaknya
emosi karena partainya dipojokkan, P8 menyela untuk mengejek bahwa apa yang
diucapkan oleh P7 tidak sesuai dengan apa yang dikatakan SBY, dan P9 menyela
untuk mengonfirmasi siapa yang mengatakan bahwa mendukung hak angket sama
dengan bom.
285
Usaha P7 untuk mendominasi pembicaraan agar dapat menyelesaikan apa
yang ingin dikatakannya terlihat pada data 2-9. Bagaimanapun dia disela oleh P6,
P8, P9 termasuk pembawa acara, P7 tetap berusaha untuk terus berbicara sampai
akhirnya pembawa acara mengalihkan kesempatan pada narasumber.
Dengan melanggar empat maksim kesantunan, yaitu maksim kebijaksanaan,
maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, dan maksim kualitas, nilai
pelanggaran kesantunan P7 adalah:
4 ------ X 100% = 40% 10
Nilai di atas menunjukkan bahwa P7 (1-11) adalah politisi yang santun.
Kesantunannya bertambah karena dia sudah mengaplikasikan maksim penerimaan
dengan cara menyapa membawa acara dengan sebutan “Mbak Kania”. Hal ini
berarti bahwa P7- (1-11) memaksimalkan penghargaan pada pembawa acara
karena “Mbak” adalah panggilan santun untuk wanita yang lebih muda dalam
budaya Jawa. Maksim lain yang diaplikasikan adalah maksim kuantitas, maksim
cara, dan maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif,
jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Baik anda kembali bergabung bersama kami dalam forum Today’s Dialogue. Tadi kan kita sudah mendengarkan bersama-sama lagi pernyataan dari pak SBY tadi. Jadi anda masih tetap pada sikap anda semua bahwa ini adalah pernyataan yang biasa-biasa saja.
286
Politisi 7 – Data 12 (P7-12)
Ya..Ya..Saya...saya...kira begini ya. Beliau itu kan mengevaluasi. Dari dulu ada evaluasi itu. Kali ini pake tata etika. Ada yang dikatakan oleh pak Narasumber tadi agak lebih keras. Saya kira kalau evaluasi itu..menurut saya ..saya katakan evaluasi itu menurut saya itu hal yang biasa ... .
Politisi 9 (Menyela)
Kesimpulannya apa sih?
Politisi 7 – Data 13 (P7-13)
Kesimpulannya saya kira lihat aja nanti akhirnya bagaimana.. apa yang
terjadi?
Politisi 9 (Menyela)
Evaluasi terus... .
Politisi 7 – Data 14 (P7-14)
Tetapi yang jelas...ini yang jelas ya...memang kami rasakan kalau kami nanti diminta oleh...Pak SBY. Apa yang terjadi sebenarnya di parlemen koalisi ini. Koalisi ini kan sudah sepakat mestinya, seiring sejalan untuk membuat pemerintahan ini kuat sampai tahun 2014 demi untuk rakyat.
Politisi 6 (Menyela)
bukan hanya kuat... bersih dan berwibawa
Politisi 7 – Data 15 (P7-15)
Ya, bersih dan berwibawa.
Politisi 6 (Menyela)
Bebas korupsi... .
Politisi 7 – Data 16 (P7-16)
Itu kan...pro rakyat. Pro rakyat itu kan berarti bebas korupsi... Jadi kalau anda mengungkit-ungkit masalah angket. Sudah selasai itu angket. Angket
287
sudah sama-sama kita katakan, angket atau tidak angket sama-sama untuk memberantas korupsi. Instrumennya berbeda. Itu sudah sepakat, gak usah diungkit-ungkit lagi ya.
Pembawa acara Tetapi bukannya... Tetapi Ini hanya sekedar... . Politisi 7 – Data 17 (P7-17) Kita lihat nanti hasilnya. Oleh sebab itu...yang kita tetapkan adalah...kami
juga...kami juga...di fraksi... .
Pembawa acara
Tetapi sangsi?
Politisi 6 (Menyela) Gara-gara angket... Ya, karena gara-gara angket kemudian ada
pernyataan keluar seperti itu? Politisi 7 – Data 18 (P7-18)
Makanya saya bilang. Itu sudah selesai saya bilang
Pembawa acara Sudah selesai... . Politisi 7 – Data 19 (P7-19) Sekarang instrumen apa yang dibuat Pak SBY untuk mengevaluasi ini.
Apakah etika? Apakah sebelas kesepakatan itu yang mau disampaikan beliau. Beliau yang tau. Tetapi ketika kalau fraksi kami diminta masukan kami juga merasa lelah dalam berkoalisi ini. Gak jelas. Mana berkoalisi yang... teman sebenarnya, mana yang kawan, mana yang lawan. Kalau..kalau..PDI Perjuangan saya hormat. Karena beliau itu ...udah tau bahwa kalau kita katakan A mereka B. Jelasssss...ini kadang-kadang kawan-kawan, kita A mereka Z. Jauh kali lompatannya, kaget-kaget kita. (audiens tertawa). Walaupun kata mereka ini hal biasa. Biasaaaa...kita, tetapi lama-lama jadi luar biasa.
288
Pembawa acara
Diantara... hhhhh...
Politisi 9 (Menyela)
Gini Pak P7... .
Politisi 7 – Data 20 (P7-20)
Tetapi saya ga nuduh siapa-siapa ya... .
Menurut P7 (12-20), dari dulu SBY selalu mengadakan evaluasi, tetapi kali
ini evaluasi yang beretika. Sudah ada kesepakatan bahwa koalisi ini harus seiring
sejalan untuk membentuk pemerintahan yang kuat, bersih, berwibawa, dan bebas
korupsi sampai tahun 2014 demi rakyat. Masalah angket sudah selesai. Menurut
P7, koalisi itu sudah tidak jelas, mana kawan, mana lawan. Yang disangka kawan
ternyata bukan kawan, jauh berbeda. Pernyataannya ditegaskan dengan memberi
tekanan pada kata-kata/frasa/kalimat “mengevaluasi”, “kali ini”, “lihat saja
nanti”, “pemerintahan ini kuat”, “angket atau tidak angket”, “itu sudah sepakat”,
“apakah sebelas kesepakatan”, dan “kami juga merasa lelah”.
P7-14 mengatakan, "Koalisi ini kan sudah sepakat mestinya, seiring sejalan
untuk membuat pemerintahan ini kuat sampai tahun 2014 demi untuk rakyat”.
Dalam pernyataan itu ada kata “mestinya” yang menyiratkan bahwa anggota
koalisi lain, di luar partainya, tidak menjalankan kesepakatan untuk membuat
pemerintahan kuat sampai tahun 2014 demi rakyat. Jadi, partai-partai yang
tergabung di dalam koalisi di luar partainya tidak perduli terhadap rakyat.
Pernyataan tersebut merugikan partai-partai yang dianggap tidak menjalankan
kesepakatan. Hal ini berarti bahwa P7-14 melanggar maksim kebijaksanaan
289
karena sudah memaksimalkan kerugian atas partai-partai tersebut. Pernyataannya
juga melanggar maksim kerendahan hati karena melalui pernyataannya itu dia
ingin mengatakan bahwa hanya partainya yang peduli pada rakyat. Dia sudah
memaksimalkan penghargaan pada dirinya sendiri.
P7-19 mengatakan, “Kami juga merasa lelah dalam berkoalisi ini”.
Pernyataan ini mengandung makna bahwa partai tempat P7 bernaung sudah tidak
ada kecocokan lagi dengan anggota koalisi yang lain. Hal ini melanggar maksim
kecocokan. Akan tetapi sehubungan dengan pernyataan tersebut, P7-19 juga
mengakui kelemahannya bahwa koalisi itu membuatnya lelah karena banyak
masalah, dan hal ini berarti P7-19 mengaplikasikan maksim kerendahan hati. P7-
19 juga mengatakan, “Gak jelas. Mana berkoalisi yang... teman sebenarnya, mana
yang kawan, mana yang lawan”. Pernyataan itu mengandung tuduhan bahwa
anggota koalisi yang lain tidak jujur dalam menjalankan kesepakatan koalisi
sehingga koalisi dirugikan. Pernyataan itu melanggar maksim cara karena tidak
disebut dengan jelas siapa kawan, siapa lawan. Akan tetapi, pelanggaran maksim
cara itu merupakan aplikasi maksim kebijaksanaan karena ketidakjelasan itu
bertjuan untuk memaksimalkan keuntungan pada koalisi sebagai gabungan partai
politik yang harusnya sejalan.
Unit yang terdiri atas data 12-20 disela oleh P6 dan P9. P6 menyela dengan
sinis pada saat dia menambahkan apa yang sudah disampaikan oleh tentang
pemerintahan yang diharapkan. Dia mengatakan bahwa (pemerintah) bukan hanya
kuat, tetapi harus bersih, berwibawa, dan bebas korupsi. Secara implisit P6 ingin
menyampaikan bahwa pemerintahan yang sekarang tidak bersih, tidak berwibawa,
290
dan tidak bebas korupsi sehingga perlu disela untuk menyampaikan kriteria itu. P9
menyela dengan maksud mengejek bahwa evaluasi yang dilakukan SBY tidak ada
simpulannya dan juga mengejek bahwa SBY terus melakukan evaluasi saja. P9
juga menyela dengan maksud menjelaskan mengapa ada perbedaan pandangan
terhadap angket mafia pajak. Akan tetapi usahanya menyela tidak berhasi karena
P7 tidak memberi kesempatan untuk melanjutkan penjelasannya sehingga P9
mengalah untuk tidak melanjutkan ucapannya. Lagi pula dia tahu bahwa bukan
saatnya dia berbicara karena saat itu adalah giliran P7 berbicara.
P7-(12-20) melanggar empat maksim kesantunan, yaitu maksim kecocokan,
maksim cara, maksim kebijaksanaan, dan maksim kerendahan hati sehingga dia
melakukan pelanggaran sebanyak
4 ------ X 100% = 40%. 10
Nilai di atas menunjukkan bahwa P7 (12-20) adalah politisi yang santun.
Kesantunan ini meningkat karena dalam pembicaraannya dia mengaplikasikan
maksim kerendahan hati dan maksim kebijaksanaan. Maksim lain yang
diaplikasikan adalah maksim kuantitas dan maksim relevansi karena dia sudah
menggunakan bahasa yang efektif dan relevan dengan pertanyaan.
(P8 menyatakan bahwa dia bingung menghadapi sikap Partai Demokrat yang membingungkan dalam urusan angket).
Politisi 7 – Data 21 (P7-21)
(Menyikapi kebingungan P8, P7-21menjawab sebagai berikut) Nah... nah ini salah, ini membawa Partai Demokrat. Padahal itu, hak angket itu individu-individu. Itu juga sudah saya jelaskan. Kita...kami...kami...mau jelaskan bahwa yang dilakukan teman-teman orang-orang Demokrat itu begitu luar biasa melihat Gayus. Kok banyak
291
sekali instrument-instrument yang pake gayus ini? Ini harus dihantam, ini harus diberantas. Dengan semangatnya kawan-kawan ini bikin angket. Ketika kita tanya..ini kan individu..ini yang ada pake, instrumen ini kan harus ada kebijakan ya? Apa...Kebijakan apa yang diambil?
Politisi 8 (Menyela)
Oh, yaaa...individu tetapi... tetapi sudah menggalang 100 lebih lho, Pak
P7?
Politisi 7 – Data 22 (P7-22)
Bukan begitu...makanya mereka mundur... .
Politisi 6 (Menyela)
Karena tahu-tahunya mafia pajak temen juga...hahahahahaha.
Politisi 7 – Data 23 (P7-23)
Gak juga... Ini...ini...yang begini-begini ini...
Pembawa acara
baik...baik...
Politisi 7 – Data 24 (P7-24) Ini...inii... dipasang untuk itu. Ini bahaya ini bahasa-bahasa ini.
Tetapi...tetapi...coba. apa yang disampaikan Pak P6 pernah terbukti gak? Yang dikatakan...century ini begini, namanya begini. Fakta hukum sama rekomendasi parelemen...itu kan beda.
Politisi 6 (Menyela)
terbukti dong...ya...terbuktilah... .
Pembawa acara
Oke... baik.
292
P7 (data 21 – data 24) menyatakan bahwa angket itu dilakukan oleh individu
bukan oleh Partai Demokrat. P7 meminta P6 untuk membuktikan tuduhannya
bahwa Partai Demokrat sudah melindungi kejahatan. Bahasa yang digunakan oleh
P6 sangat berbahaya. Makna yang ingin disampaikan oleh P7-(21-24) ditekankan
dengan memberi tekanan pada kata/frasa “individu-individu” dan “ini bahaya”
P7-21 ingin menyampaikan bahwa hak angket itu dilakukan oleh individu-
individu, tidak digalang oleh partainya. Dia juga menyampaikan bahwa instrumen
yang dipakai memiliki kebijakan dan kebijakan itulah yang diambil oleh
partainya. Akan tetapi dalam menyampaikan maksudnya P7-21 berputar-putar
sehingga maksudnya tidak jelas. Hal ini melanggar maksim cara. Dia juga
mencoba mendominasi pembicaraan, dan mendominasi adalah salah satu cara
pelanggaran maksim penerimaan karena tidak menghargai orang lain.
Dalam unit bicara di atas, P6 dan P8 berusaha menyela P7 meskipun tidak
sepenuhnya berhasil. P6 menyela dengan maksud mengejek dengan mengatakan
bahwa mafia pajak adalah teman P7 dan ada usaha P7 dan partainya melindungi
kejahatan dalam kasus Bank Century. P8 menyela dengan sinis bahwa partai P7
sudah menggalang dukungan untuk menggagalkan angket mafia pajak meskipun
P7 gigih mengatakan bahwa penggalangan dukungan itu tidak ada karena sifatnya
individu.
Pada saat mengucapkan data 23, pembawa acara mengucapkan,
“baik...baik...”, dengan maksud menghentikan pembicaraan P7. Akan tetapi, P7
terus berusaha mendominasi dengan mengucapkan data 24. Meskipun sempat
disela oleh P6, pembawa acara akhirnya dapat menghentikan pembicaraan P7.
293
Karena P7-(21-24) melanggar dua maksim yaitu maksim cara dan maksim
penerimaan, dapat dikatakan bahwa nilai kesantunan yang dilanggarnya adalah
2 ------ X 100% = 20%. 10
Nilai di atas menunjukkan bahwa P7 (21-24) adalah politisi yang sangat santun.
Nilai kesantunannya bertambah karena dia juga mengaplikasikan maksim
kuantitas, dan maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang
efektif, dan relevan dengan pertanyaan.
(Menanggapi masalah hak angket dan Bank Century yang dikemukakan oleh P6, P7 menjawab sebagai berikut):
Politisi 7 – Data 25 (P7-25) P7-25 menyatakan sudah sepakat bahwa dikatakan bahwa siapa yang mendukung angket siapa yang tidak, sama-sama memberantas mafia pajak. Kenapa anda sekarang....ini sekarang sudah menang lo..kita menang tidak jumawa. Ketika anda menang di century waduh meriahnya bukan main. Luar biasa. Tetapi kita tawaduk, tujuan kita baik. Sama-sama mari kita berantas korupsi. Kenapa? Instrumennya beda...
Politisi 6 (Menyela)
Minum dulu..minum...tenang...tenang...santai... Gak ada. Oh ya. Luar biasa karena kemenangan kita adalah kemenangan rakyat. Pembawa acara baik...baiklah...baik...baik...kita berhenti disitu dulu sebentar kita lanjutkan
lagi Pak P7. Sesaat lagi pemirsa kita kita ikuti beberapa informasi dalan headline news berikut ini.
Politisi 6 (Menyela)
Gini... .
294
Politisi 7 – Data 26 (P7-26)
Halah... .
Politisi 6 (Menyela)
Lagi-lagi membela mafia pajak ...hahahhahaha.
Politisi 7 – Data 27 (P7-27)
Wah, bahasanya ni...dari mana... .
P7(25-27) menyatakan bahwa partai yang memenangkan kasus Bank Century
sangat jumawa sementara pada saat Partai Demokrat dan koalisinya
memenangkan hak angket, mereka tidak sombong. Pernyataannya dipertegas
dengan memberi penekanan pada kata/frasa “sudah sepakat” dan “anda menang” .
P7-25 mengatakan bahwa pada saat memenangkan kasus Bank Century
mereka (partai-partai yang bergabung dalam koalisi tetapi berbeda pendapat
dengan Partai Demokrat) sangat jumawa sedangkan pada saat Partai Demokrat
memenangkan hak angket mereka tidak sombong. Pernyataan ini melanggar dua
maksim. Yang pertama adalah maksim kebijaksanaan karena pernyataannya itu
mengandung tuduhan bahwa partai-partai itu sombong, dan hal ini berarti
memaksimalkan kerugian di pihak mereka. Yang kedua adalah maksim
kerendahan hati karena dengan mengatakan bahwa dirinya tidak sombong,
sebenarnya P7-25 memaksimalkan penghargaan untuk dirinya sendiri.
Pada bagian itu P6 menyela dengan menyuruh P7 yang sedang berbicara
dengan emosional untuk minum supaya emosinya mereda. Dia juga mengatakan
bahwa kemenangan partainya atas kasus Bank Century adalah kemenangan rakyat
295
bukan kemenangan partainya. P6 juga menyela untuk melontarkan tuduhan bahwa
partai P7 membela mafia pajak.
P7-(25-27) selama berbicara melanggar dua maksim saja, yaitu maksim
kebijaksanaan dan maksim kerendahan hati. Dengan demikian, nilai
pelanggaran kesantunan yang dilakukan adalah
2 ------ X 100% = 20%. 10
Nilai di atas menunjukkan bahwa P7 (25-27) adalah politisi yang sangat santun.
Nilai kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas,
maksim cara dan maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang
efektif, jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa Acara
Baik, Pak P7 tanggapannya? (Pembawa acara menanyakan bagaimana tanggapan tentang pendapat P8 yang menyatakan bahwa SBY yang mengajak berkoalisi, maka SBY pula yang harus mengakhiri atau mengeluarkan partai yang dianggap tidak loyal dari koalisi).
Politisi 7 – Data 28 (P7-28)
Aa..bagi kami apa yang disampaikan Pak P8 tadi, beliau mengatakan Pak SBY ngajak berkoalisi itu betul. Karena apa? Di negeri ini gak ada yang “single majority”. Pastilah harus bersama-sama dan bahkan bukan ke PKS saja. PDI Perjuangan juga beliau minta kalau bisa bergabung bersama-sama di negeri ini. Karena apa? Beliau katakan... .
Politisi 9 (Menyela)
siapa yang minta?
Politisi 7 – Data 29 (P7-29)
296
Beliau mengatakan, beliau juga menyampaikan ke kita ya. Minta kalau bisa PDI juga bisa ikut membangun negeri ini bersama-sama karena beliau mengatakan bahwa tidak mungkin koalisi saja untuk membangun negeri ini yang begitu banyak masalahnya dan begitu luas wilayahnya. Kan demikian...Bagi kita tidak... .
Pembawa acara
Jadi, memang ada permintaan bagi PDI-P bergabung dengan koalisi?
Politisi 9 (Menyela)
Ya..saya jawab sedikit ya..ini poin... .
Politisi 7 – Data 30 (P7-30)
Menurut saya...jadi..kita ni bersahabat semua. Jadi hal yang itu hal yang biasa, ajak berkoalisi. Karena apa? Tidak ada yang single majority. Dan ini memang...begini saya kira...keadaan...sistem pemerintahan kita kan. Sistem pemerintahan yang presidensil, yang multipartai. Jadi ini tetap tidak ter... .
Politisi 9 (Menyela)
Ya... .
Melalui data 28 – 30, P7 ingin mengatakan bahwa karena tidak ada mayoritas
tunggal, SBY mengajak partai-partai lain untuk berkoalisi termasuk PDI-P.
Ajakan untuk berkoalisi adalah hal biasa. Pernyataan ini ditegaskan dengan
memberi penekanan pada saat P7-(28-30) mengucapkan kata/frasa “betul”, “single
majority”, dan bisa bergabung. Akan tetapi ada kerancuan dalam ucapan-ucapan
P7-(28-30). Yang dipertanyakan ialah apakah SBY mengajak serta PDI-P masuk
dalam koalisi. Awalnya, P7-(28-30) menyatakan bahwa SBY mengundang PDI-P
bergabung dalam koalisi. Akan tetapi, setelah ditanya ulang oleh P9 dan pembawa
acara, P7-(28-30) menjawab bahwa SBY mengajak PDI-P bersama-sama
297
membangun negeri ini. Membangun negeri ini adalah keinginan semua partai
yang ada di Indonesia, tetapi dengan caranya masing-masing. Sementara itu
koalisi mempunyai kesepakatan sendiri yang belum tentu diterima oleh PDI-P.
Karena ajakan membangun negeri ini dan ajakan ikut masuk dalam koalisi adalah
dua hal yang berbeda dan kedua hal yang berbeda ini dicampuradukkan oleh P7-
(28-30), dapat dikatakan bahwa dia melanggar maksim cara. Maksud ucapannya
tidak jelas. P7(28-30) menggunakan pronomina “kita” dalam usahanya membagi
beban permasalahan pada orang lain. Hal ini melanggar maksim kebijaksanaan
karena P7 –(28-30) memaksimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri dan
meminimalkan keuntungan untuk orang lain. Pada kesempatan itu P7-29
mengaplikasikan maksim kerendahan hati dengan meminimalkan penghargaan
pada dirinya melalui ucapannya bahwa tidak mungkin koalisi bekerja sendiri
membangun negara yang begitu banyak permasalahannya.
Penjelasan siapa yang meminta partai P9 melakukan penyelaan untuk minta
partainya bergabung dengan koalisi dan dia juga menyela untuk menjelaskan
tentang permintaan pada partainya untuk bergabung dengan koalisi. Namun usaha
itu tidak berhasil karena P7 tidak memberikan kesempatan sehingga terpaksa P9
harus berhenti menyela.
Selama berbicara P7-(28-30) hanya melanggar dua maksim saja yaitu maksim
cara dan maksim kebijaksanaan. Dengan demikian, nilai pelanggaran kesantunan
yang dilakukan adalah
2 ------ X 100% = 20%. 10
298
Nilai di atas menunjukkan bahwa P7 (28-30) adalah politisi yang sangat santun
dan kesantunannya meningkat karena dia mengaplikasikan maksim kerendahan
hati. Maksim lain yang diaplikasikan adalah maksim kuantitas dan maksim
relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif dan relevan dengan
pertanyaan.
Pembawa acara
Baik. Pak P7 sendiri bagaimana? (Pembawa acara menanyakan siapa yang akan dikeluarkan dari koalisi
oleh SBY) Politisi 7 – Data 31 (P7-31)
Begini kalau kita...sudah saya katakan tadi kalau seandainya Pak SBY meminta masukan-masukan dari fraksi ya...Ini kan... .
Pembawa acara
Hmm,..evaluasi dari fraksi seperti apa? Mana yang lebih nakal antara PKS
dan Golkar?
Politisi 7 – Data 32 (P7-32)
Hahaha...ini kan kadang-kadang Kania ni menjerat pertanyaan ni supaya kita riuh rendah gitu. Padahal menurut saya evaluasi itu ada. Kalau diminta kami pun sampaikan... . Tetapi siapa-siapa nanti kan terukur ya. Terukur nanti siapa-siapa yang....yang dimaksud oleh Pak SBY itu yang melanggar etika itu, beliaulah yang tahu. dan itu tidak untuk dipublikasikan seperti sekarang ini. Kalau itu dimainkan saya kira sudah selesai ni barang. Sudah gak ada dialog kita malam ini.
Pembawa acara
Tetapi evalusi itu sudah ada begitu ya? Dari fraksi sendiri antara PKS dan Golkar di parlemen, lebih kewalahan menghadapi yang mana begitulah? Mana yang lebih...?
299
Politisi 7 – Data 33 (P7-33)
Saya kira... kita menyampaikan... kita juga menyampaikan ke DPP makanya ada kata-kata ketua umum kami. Ya kalau begini seperti ini kayak pepatah ya...”jaka sembung makan sayur lodeh, kalau begini aja Bung cape deh” kan begitu? Capek koalisi kalau begini terus.
Melalui data (31-33), P7 ingin menyampaikan bahwa siapa yang nanti akan
dikeluarkan dari koalisi hanya SBY yang tahu dan hal itu tidak untuk
dipublikasikan. Penyampaiannya dipertegas dengan menekankan pengucapan
kata-kata “beliaulah”, “tidak”, dan “capek”
Untuk menyampaikan makna tersebut di atas, P7-(31-33) sudah menggunaan
kalimat yang tidak lengkap dan secara keseluruhan sulit dimengerti sehingga
dapat dikatakan bahwa P7-(31-33) melanggar maksim cara. Dengan mengatakan
“Capek koalisi kalau begini terus”, P7-33 ingin mengatakan bahwa anggota
koalisi tidak sejalan dengan partainya sehingga timbullah masalah-masalah dalam
koalisi. Pernyataan itu melanggar maksim kecocokan karena, meskipun tidak
dinyatakan dengan eksplisit atau dengan menggunakan implikatur, dapat
dimengerti bahwa partainya tidak memiliki kecocokan dengan beberapa anggota
yang lain. Dengan tidak menyebutkan secara jelas partai mana yang tidak sejalan,
P7-33 sudah melanggar maksim cara. Akan tetapi, apabila disebut dengan
eksplisit partai mana yang tidak sejalan dengan Partai Demokrat, berarti P7 (31-
33) melanggar maksim kebijaksanaan karena meminimalkan keuntungan partai
tersebut sebagai partai yang tidak loyal pada tujuan koalisi, yaitu pemerintahan
yang kuat sampai tahun 2014 demi rakyat.
300
Dalam pembicaraannya P7-(31-33) melanggar dua maksim kesantunan, yaitu
maksim cara yang dilakukan sebanyak dua kali dan maksim kecocokan. Hal ini
berarti bahwa tingkat pelanggaran kesantunannya adalah
2 ------ X 100% = 20%. 10
Nilai di atas menunjukkan bahwa P7 (31 -33) adalah politisi yang sangat santun
dan kesantunan ini meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim
kebijaksanaan. Maksim lain yang diaplikasikan adalah maksim kuantitas dan
maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif dan relevan
dengan pertanyaan.
Politisi 7 – Data 34 (P7-34)
Saya..saya kira gak perlu ada yang harus..seperti kata Pak SBY tadi “perlu diperuncing ya...ini menejemen pemerintahan, ini menejemen koalisi. Biarkan berjalan dulu mengalir. Ujungnya kemana...mari kita saling introspeksi menurut saya untuk menjadi suatu kekuatan yang dibutuhkan dan diperlukan oleh masyarakat. Kan itu aja sebenarnya. Koalisi itu intinya begitu.
Pembawa acara
Baik.
P7-34 mengulangi pernyataan SBY bahwa masalah tidak perlu diperuncing.
Yang penting adalah bagaimana menggalang koalisi melalui manajemen
pemerintahan dan manajemen koalisi agar menjadi suatu kekuatan yang
dibutuhkan masyarakat. Pernyataan ini dipertegas dengan menekankan
pengucapakan kata-kata “manajemen” dan “intinya”.
301
Pada data 34, P7 tidak mengucapkan pernyataan yang melanggar kesantunan.
Akan tetapi, dia mengajak partai lain untuk bersama-sama menjalankan inti
ideologi koalisi yaitu membangun kekuatan yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Dia menghormati seluruh anggota koalisi dengan cara mengajak mereka secara
bersama-sama mencapai tujuan mulia, yaitu memenuhi kebutuhan rakyat. Ajakan
ini secara implisit mengandung pernyataan bahwa semua partai dalam koalisi
memiliki visi dan misi yang mulia. Sikap ini santun karena menawarkan
kebersamaan atau solidaritas dan merupakan aplikasi dari maksim penerimaan.
Karena P7-34 tidak melakukan pelanggaran kesantunan, dapat dikatakan
bahwa P7-34 adalah politisi santun dengan tingkat kesantunan 100%. Di samping
mengaplikasikan maksim penerimaan, maksim lain yang diaplikasikan adalah
maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi karena dia sudah
menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Baik. Pak P7?
(Pembawa acara menanyakan pendapat P7 tentang keberadaan PKS dan
Golkar dalam koalisi tetapi mendua)
Politisi 7 – Data 35 (P7-35)
Ya, bagi kami adalah ketika kami berkoalisi ada komitmen-komitmen disana, mari kita pegang baik-baik dan bertanggung jawab disana untuk kepentingan rakyat agar... .
Politisi 8 (Menyela)
Menyelesaikan persoalan-persoalan rakyat yang akhirnya mengganggu
komitmen itu.
302
Politisi 7 – Data 36 (P7-36)
Ya silahkan saja, nanti kita bicarakan di intern, gak usah diluar, gak ada masalah.
P7 – (35 - 36) menyatakan bahwa partainya berkomitmen untuk bertanggung
jawab untuk kepentingan rakyat. Komitmen itulah yang harus dipegang dengan
baik dan dengan penuh tanggung jawab. Dia ingin agar masalah koalisi
dibicarakan di dalam saja, bukan di hadapan publik. Pernyataan ini ditegaskan
dengan memberi penekanan pada saat mengucapkan kata “komitmen”.
Pernyataan P7-35 “Ada komitmen-komitmen disana, mari kita pegang baik-
baik dan bertanggung jawab disana untuk kepentingan rakyat agar... .”,
menyiratkan adanya keinginan untuk membina kebersamaan. Dengan kata lain,
P7-35 menawarkan solidaritas sehingga semua partai dalam koalisi dapat
menggalang kekuatan untuk kepentingan rakyat. P7 berasal dari partai penguasa,
tetapi dia memosisikan diri sama dengan anggota koalisi lain yang dia buktikan
dengan penggunaan pronomina “kita”. Dengan demikian, ajakan itu dapat
dikatakan santun dan mengaplikasikan maksim penerimaan.
P8 menyela dengan sinis dengan mengatakan bahwa persoalan-persoalan
rakyat yang dihadapi oleh partai P7 mengganggu komitmen-komitmen yang
sudah disetujui oleh koalisi. Ucapan P8 ini menyiratkan bahwa bukan kepentingan
rakyat yang dinomorsatukan oleh pemerintah, melainkan kepentingan rakyat yang
merusak komitmen itu karena koalisi terbelah menjadi kelompok yang pro rakyat
dan pro pemerintah yang dituduh melindungi kejahatan.
Karena P7-35-36 tidak melakukan pelanggaran kesantunan, dapat dikatakan
bahwa P7 adalah politisi sangat santun dengan tingkat kesantunan 100%. Maksim
303
lain yang diaplikasikan adalah maksim kuantitas, maksim cara dan maksim
relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan relevan
dengan pertanyaan.
Deskripsi di atas dapat ditabelkan berikut ini.
Tabel 4.16: Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 7
Politisi-Data PelanggaranMaksim Persentase Pelanggaran
Predikat Kesantunan
P7-(1–11)
Kerendahan Hati Kebijaksanaan Penerimaan Kualitas
40% Santun
P7-(12–20)
Kecocokan Cara Kebijaksanaan Kerendahan Hati
40% Santun
P7-(21–24)
Cara Penerimaan
20% Sangat Santun
P7-(25–27)
Kebijaksanaan Kerendahan Hati
20% Sangat Santun
P7-(28–30)
Cara Kebijaksanaan
20% Sangat Santun
P7-(31-33)
Cara Kecocokan
20% Sangat Santun
P7-34
- 0% Sangat Santun
P7-(35–36)
-
0% Sangat Santun
Politisi 7: Sangat Santun (20%) Secara keseluruhan, P7 melakukan pelanggaran maksim kesantunan dengan
urutan sebagai berikut.
304
Tabel 4.17: Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 7
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim cara 4
2. Maksim kebijaksanaan 4
3. Maksim kerendahan hati 3
4. Maksim kecocokan 2
5. Maksim penerimaan 2
6. Maksim kualitas 0
7. Maksim kuantitas 0
8. Maksim relevanmsi 0
9. Maksim kemurahan hati 0
10. Maksim kesimpatian 0
Dengan melihat frekuensi maksim yang dilanggar, dapat dikatakan bahwa P7
adalah politisi yang tidak terbiasa menggunakan bahasa yang jelas dan lugas
sehingga cenderung melanggar maksim cara. Dia juga cenderung merugikan
orang lain dan agak sombong.
Nilai pelanggaran kesantunan yang dilakukan oleh P7 adalah
40 + 40 + 20 +20 + 20 +20 + 0 + 0 = 20 %. 7 Berdasarkan nilai pelanggaran yang dilakukan oleh P7, dapat dikatakan
bahwa P7 adalah politisi yang sangat santun. Tingkat kesantunannya meningkat
karena dia mengaplikasikan maksim penerimaan, maksim kerendahan hati,
maksim kebijaksanaan, maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi.
Akan tetapi, perlu diberi catatan bahwa, apabila melihat tayangannya, sebagian
besar ucapannya diucapkan dengan nada meninggi dan emosional. Perlu diteliti
305
lebih lanjut apakah nada suara itu disebabkan oleh karena kejengkelannya atas
olok-olok partisipan lain, ataukah nada suara tersebut ada hubungannya dengan
daerah asalnya.
4.2.4.3 Analisis Data Politisi 8 (P8)
P6 yang berasal dari PKS, yang juga diisukan sebagai partai yang tidak komit
dengan kesepakatan koalisi, menjawab partanyaan-pertanyaan pembawa acara
seputar isu dikeluarkannya PKS dari koalisi dan pergantian menteri-menteri yang
berasal dari PKS.
Pembawa acara
Baiklah, ke Pak P8 kalau begitu. Anda merasa tersindir atau tidak ni PKS dengan pernyataan Presiden tadi?
(Presiden menyatakan bahwa ada anggota koalisi yang melanggar kesepakatan).
Politisi 8 – Data 1 (P8-1) Kalau Golkar tadi santai PKS lebih santai Mbak. Pembawa acara Lebih santai lagi?
(Audiens tertawa)
Politisi 8 – Data 2 (P8-2) Lebih santai. Pembawa acara Kenapa begitu? Politisi 8 – Data 3 (P8-3)
Kenapa...karena pertama kalau dikatakan ada partai koalisi yang melanggar komitmen. Sebelumnya kita mau denger tadi komitmen apa yang dilanggar biar kami juga bisa menjelaskan. Nah, tetapi sejauh pemahaman kami pertama dalam kasus angket mafia pajak yang menjadi sikap PKS untuk mendukung itu adalah 100% sejalan dengan visinya Pak SBY. Presiden yang kami dukung dalam pilpres 2004 dan 2009 ini yaitu
306
mewujudkan pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik. Ya,kan? Nah yang tidak setuju justru itu yang kemudian menimbulkan tanda tanya, jangan-jangan mereka yang tidak mau terwujudnya clean government. Itu satu.
Pembawa acara Ha’a. Baik. Politisi 8 – Data 4 (P8-4)
Yang kedua, yang melanggar itu adalah ketika setuju cara angket bukan cara yang lain. Nah, kalau itu saya mau tanya. Apakah memang pernah ada kesepakatan di setgab yang 2 kali rapat itu bahwa memang koalisi ini akan menggunakan angket atau menggunakan panja. Setahu saya 2 kali rapat di setgab itu gak ada kata sepakat karena masing-masing berbeda. Nah, jadi kalau gak ada sepakat bagaimana bisa dikatakan melanggar kesepakatan.
Pembawa acara Tetapi yang tadi secara eksplisit disebut... . Politisi 8 – Data 5 (P8-5) Nah, tadi saya berharap dijelaskan pelanggarannya itu yang mana. Biar
kita juga bisa menjelaskan.
P8-(1-5) ingin menyatakan bahwa PKS tidak merasa melanggar kesepakatan
koalisi. Dia ingin tahu kesepakatan mana yang dilanggar agar bisa menjelaskan
karena pada kasus angket mafia pajak, PKS sudah mendukung SBY. Yang
dianggap melanggar ialah pada saat menentukan apakah yang disetujui adalah
yang digunakan cara angket atau cara panja. Dalam rapat tidak ada kesepakatan
tentang hal itu, jadi bagaimana bisa dikatakan melanggar kesepakatan. Pernyataan
tersebut ditegaskan dengan cara memberi penekanan pada kata/frasa “komitmen
apa yang dilanggar”, “visinya Pak SBY”, dan “ketika setuju cara angket”.
P8-3 mengatakan, “Presiden yang kami dukung dalam pilpres 2004 dan 2009
ini yaitu mewujudkan pemerintahan yang bersih dan tata kelola pemerintahan
yang baik. Ya kan?”. Pernyataan ini menunjukkan bahwa partai P8 adalah partai
307
yang bersih dan tata kelola pemerintahan yang baik, dan sebagai orang yang juga
berada dalam partai itu, dia sudah memaksimalkan pujian untuk dirinya sendiri
sehingga dapat dikatakan dia melanggar maksim penerimaan.
P8-4 berkata “Nah, jadi kalau gak ada sepakat bagaimana bisa dikatakan
melanggar kesepakatan.” Perkataan itu menyiratkan bahwa Partai Demokrat yang
mengetuai setgab koalisi tidak dengan tuntas menghasilkan kesepakatan sehingga
menguntungkan anggota koalisi lain termasuk partainya P8 yang menganggap diri
tidak bersalah karena merasa tidak melanggar kesepakatan. Pernyataan ini
melanggar maksim kebijaksanaan karena P8 memaksimalkan keuntungan untuk
dirinya sendiri.
P8-(1-5) melanggar dua maksim kesantunan yaitu maksim penerimaan dan
maksim kebijaksanaan sehingga nilai pelanggaran kesantunannya adalah
2 ------ X 100% = 20%. 10 Nilai pelanggaran itu menjadikan P8-(1-5) politisi yang sangat santun. Nilai
kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim
cara, dan maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif,
jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Oke Pak P8 dulu.Nggak nunjuk siapa-siapa ya... . Pak P8 bagaimana anda merasa... . (Pembawa acara menanyakan pendapat P8 tentang pidato SBY yang
menyatakan “kalau memang semua masih tetap ingin sama-sama berjuang dalam koalisi untuk rakyat, bangsa, dan negara kita maka semua kesepakatan yang disebut dengan Code of Conduct; tata etika yang sebelas butir ini harus betul-betul dipatuhi dan dijalankan. Jika ada yang tidak
308
bersedia berarti atau barangkali menjadi takdir sejarah untuk tidak lagi bersama-sama dalam koalisi”).
Politisi 8 – Data 6 (P8-6)
Ini..ini yang terakhir ini menarik. Kata Pak P7, kita A teman-teman koalisi Z. Dia bingung kan? Dalam kasus angket itu terbalik. Partai Demokrat sudah Z, menginisiasi usul angket mafia pajak lalu kita ikut A, B, C, D sudah sampai F. Dari Z itu kembali ke A. Nah kita yang bingung.
Pembawa acara Hmm. Politisi 6 (Menyela) Balik badan... . Politisi 8 – Data 7 (P8-7) Oh, yaaa...? Individu tetapi... tetapi sudah menggalang 100 lebih lho,
Pak P7? (Kalimat ini diucapkan untuk menanggapi pernyataan P7 yang menyatakan bahwa hak angket itu bersifat individu-individu.)
P8-(6-7) menyatakan bahwa Partai Demokrat tidak konsisten dengan
pendiriannya. Meskipun hak angket itu dikatakan hak individu, tetapi untuk
mengusung hak angket ini Partai Demokrat sudah mengumpulkan seratus lebih.
Pendapat itu ditekankan dengan memberi penekanan pada kata-kata “bingung”,
“kita yang bingung”, “individu-individu”.
P8-6 berkata “Partai Demokrat sudah Z, menginisiasi usul angket mafia pajak
lalu kita ikut A, B, C, D sudah sampai F. Dari Z itu kembali ke A”. Perkataan ini
mengandung arti bahwa Partai Demokrat tidak konsisten. Ketidakkonsistenan ini
dianggap menjadi penyebab kekisruhan dalam koalisi. Kesalahan ini adalah
kesalahan Partai Demokrat, bukan kesalahan anggota koalisi yang lain.
309
Pernyataan ini melanggar maksim kebijaksanaan karena memaksimalkan kerugian
untuk pihak lain.
P8-7 mengatakan, “Oh, yaaa...? Individu tetapi... tetapi sudah menggalang
100 lebih lho, Pak P7?”. Apa yang diucapkan oleh P8 melanggar maksim
kecocokan karena P8 membantah pernyataan P7 yang mengatakan bahwa angket
itu adalah individu-individu, padahal menurut P8 penggalangan suara sudah
dilakukan sebelumnya.
P8-(6-7) melanggar dua maksim kesantunan, yaitu maksim kebijaksanaan dan
maksim kecocokan sehingga tingkat pelanggaran kesantunannya adalah
2 ------ X 100% = 20%. 10 Nilai pelanggaran itu menjadikan P8-(6-7) politisi yang sangat santun. Nilai
kesantunannya meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas,
maksim cara, dan maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang
efektif, jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
(Seorang narasumber mengatakan bahwa hubungannya...koalisi seperti Tom and Jerry... Cuma tidak diketahui mana yang Tom mana yang Jerry. Ada kebutuhan untuk saling mengikat diri dalam koalisi. Tetapi disisi lain ketika ada kebijakan pemerintah yang tidak populer, jangan salahkan kalau kemudian ada yang menarik diri. Problem dasarnya adalah design institusi yang tidak klop antara sistem presidensial dengan sistem multi partai ekstrim. Itu yang pertama. Nah yang kedua, kalaupun toh ada koalisi presidensial karena kita tidak mungkin menutupi realitas semacam ini. Menurut saya dibutuhkan memang aktor yang decisive untuk bisa mengatur lalu lintas koalisi yang carut marut ini. Tahun 2004-2009 itu ada JK. Nah, sekarang kita tidak punya yang mampu mengatur menejemen koalisi yang carut-marut ini menjadi lebih disiplin. Kalaupun ada nota kesepakatan, itu terlalu multi tafsir.)
310
Politisi 8 – Data 8 (P8-8)
Na, multitafsir itu begini...ketika kita menggeser substansi pada kode etik. Jadi hal yang sering dipersoalkan oleh teman-teman Demokrat itu soal kode etik kan? Padahal kalau kita lihat, di setgab sendiri dalam konteks...ini maaf saya buka, ya. Dalam konteks pembahasan panitia angket itu; soal angket pajak itu. Setgab dalam dua kali pertemuan itu belum sampai sepakat. Ini mau diapakan barang ini. Gitu. Karena apa? Karena perbedaannya masih tajam. Nah, sekarang kalau masing-masing fraksi itu mengambil sikapnya yang berbeda-beda, dikatakan ini melanggar kesepakatan. Kesepakatan yang mana? Karena belum tuntas. Kenapa belum tuntas? Ini persolan lain lagi. Karena memang di setgab ini yang berkumpul itu adalah lapis kedua dari pimpinan partai. Sementara koalisi itu... Court of Conduct, Piagam koalisi itu kan ditandatangani oleh pimpinan-pimpinan partai. Nah, pimpinan-pimpinan partai ini dengan Pak SBY itu nyaris tidak pernah ketemu. Sehingga wajar kalau kemudian Quran nya itu gak jelas, Sunnah-nya itu , Haddist-nya itu jadi macem-macem tafsirnya itu tadi... ini. .ini yang penting menurut saya... .
P8-8 menyampaikan bahwa tidak ada yang melanggar kesepakatan karena
memang belum ada kesepakatan dalam rapat-rapat setgab. Kalau fraksi-fraksi
mengambil sikap yang berbeda, hal itu karena tidak ada kesepakatan. Rapat setgab
tidak bisa menghasilkan kesepakatan karena yang hadir di sana adalah pimpinan
lapis kedua, sedangkan piagam koalisi ditandatangani oleh pimpinan partai yang
tidak pernah bertemu dengan SBY. Jadi tafsir tentang koalisi memang menjadi
bermacam-macam. Penafsiran tentang kesepakatan koalisi yang bermacam-
macam itu ditegaskan dengan memberi penekanan pada kata/frasa “belum sampai
sepakat”, “lapis kedua” dan “nyaris tidak pernah ketemu”.
Pernyataan P8-8 menyatakan bahwa Partai Demokrat mencoba menggeser
permasalahan dari substansi pembahasan panitia angket pada kode etik. Di sini
implikatur digunakan karena sebenarnya P8 ingin mengatakan bahwa ada yang
ingin disembunyikan oleh Partai Demokrat dalam pembahasan panitia angket
sehingga masalah itu dialihkan ke kode etik. P8 mencoba menghindari tuduhan
311
langsung dengan menggunakan implikatur sebagai salah satu strategi kesantunan
yang merupakan aplikasi maksim kebijaksanaan. Pernyataan tersebut juga
menyiratkan bahwa Partai Demokrat bukan partai yang jujur dan pernyataan ini
memaksimalkan kerugian bagi Partai Demokrat, dan hal ini melanggar maksim
kebijaksanaan.
P8-8 juga mengatakan bahwa masalah tidak pernah tuntas karena yang
berkumpul di setgab adalah pimpinan lapis kedua sedangkan yang
menandatangani piagam koalisi adalah pimpinan partai dan SBY. Namun,
kemudian pimpinan partai dan SBY nyaris tidak pernah bertemu. Pernyataan P8
itu melanggar maksim kebijaksanaan karena memaksimalkan kerugian bagi SBY
yang tidak mengadakan pertemuan untuk membahas masalah koalisi dan
memaksimalkan keuntungan bagi anggota koalisi yang lain. Jadi, kalau sekarang
koalisi kisruh, semuanya kesalahan Partai Demokrat/SBY. Fraksi-fraksi tidak bisa
disalahkan karena tidak ada kesepakatan, jadi tidak ada yang dilanggar.
Multitafsir juga tidak dapat disalahkan karena pembahasan mengenai arti
kesepakatan tidak pernah dilaksanakan dengan tuntas. Akan tetapi, P8 berusaha
mengurangi tekanan ketidaksantunannya melalui kalimat berpagar “Maaf saya
buka ya... .”, yang merupakan aplikasi maksim penerimaan karena dia menghargai
orang yang kesalahannya dia tunjukkan.
P8-8 melanggar satu maksim kesantunan, yaitu maksim kebijaksanaan, yang
dilakukan sebanyak dua kali sehingga nilai pelanggaran kesantunannya adalah
1 ------ X 100% = 10%. 10
312
Nilai pelanggaran itu menjadikan P8-8 politisi yang sangat santun dan tingkat
kesantunannya meningkat karena dia mengaplikasikan maksim kebijaksanaan dan
maksim penerimaan. Maksim lain yang diaplikasikan adalah maksim kuantitas,
maksim cara, dan maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang
efektif, jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Hahaha...oke. Pak P8, bagaimana posisinya? Sekjen PKS Pak Andismata sudah menyatakan siap untuk menjadi partai opisisi. Kenapa tidak keluar saja bahwa memang sudah tidak...tidak sama aspirasi dan pendapatnya?
Politisi 8 – Data 9 (P8-9)
Jadi begini. PKS sudah menjelaskan apa argumentasinya ya....Ketika mendukung usul angket mafia pajak dan itu sudah clear. Nah, kalau sekarang PKS dengan sikap politiknya dinilai telah melanggar Code of Conduct berkoalisi dan Presiden akan segera mengambil keputusan politik terkait dengan hal ini. Ya..kita tunggu saja. Apa keputusan yang akan diambil oleh presiden SBY. Bagi PKS secara politik, kami diluar atau didalam pemerintahan, diresuffle atau tidak, itu bukan masalah yang besar karena masalah yang besar bagi kami ini adalah bagaimana terus menjaga konsistensi perjuangan untuk kepentingan masyarakat dan bangsa ini. Satu catatan lain, kenapa kok...Saya ditanya beberapa orang ; lalu kok PKS tidak mengambil inisiatif saja ya....Mundur saja dari koalisi. Saya katakan begini: masuknya PKS dalam koalisi itu karena diminta oleh Pak SBY. Bahkan 1 tahun sebelum pemilu 2009, Pak SBY meminta pada kami melalui ketua Majelis Syuro kami agar PKS melanjutkan koalisi dengan Partai Demokrat. Nah, bahasa gampangnya begini. Ada satu judul lagu”kau yang mulai, kau yang mengakhiri”.
P8-9 menyatakan bahwa PKS akan menunggu keputusan SBY saja. Partai ini
tidak mengalami masalah berada di dalam atau di luar pemerintahan. PKS tidak
mengambil inisiatif untuk keluar dari koalisi karena dulu SBY yang mengajak,
313
jadi biarlah SBY yang mengeluarkan. Penegasan pernyataan ini dilakukan dengan
menekankan pengucapan kata-kata “dinilai” dan “diminta”
P8-9 mengatakan “Bagi PKS secara politik, kami di luar atau di dalam
pemerintahan, di resuffle atau tidak, itu bukan masalah yang besar karena masalah
yang besar bagi kami ini ialah bagaimana terus menjaga konsistensi perjuangan
untuk kepentingan masyarakat dan bangsa ini”. Pernyataan P8 itu mengandung
makna bahwa apabila PKS dikeluarkan dari koalisi berarti koalisi tidak konsisten
berjuang untuk kepentingan rakyat karena dia sebagai partai yang konsisten
berjuang untuk kepentingan rakyat dikeluarkan dari koalisi. Hal ini berarti bahwa
PKS dan koalisi tidak sejalan. Pernyataan itu juga melanggar maksim kerendahan
hati karena P8-9 memaksimalkan rasa hormat pada dirinya sendiri.
P8-9 melanggar satu maksim kesantunan, yaitu maksim kerendahan hati
sehingga nilai pelanggaran kesantunannya adalah
1 ------ X 100% = 10%. 10 Nilai pelanggaran itu menjadikan P8-9 politisi yang sangat santun. Kesantunannya
bertambah karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara dan
maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan
relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Ini...begitu ya? Yang dimaksud siapa sih sebenarnya yang suka nangis guling-guling ini?
Pak P8 bagaimana? Artinya ketika kemudian koalisi ini tetap dipertahankan, ada konsekuensi, ada sanksi jatah menterinya dikurangi. Itu bagaimana PKS?
314
Politisi 8 – Data 10 (8-10)
Tadi saya sudah sampaikan ya. Bagi PKS mau resuffle 1,2,4,9 menteri itu bukan persoalan yang prinsipil kok..ya...Dan opsi-opsi yang yang disampaikan...[ehem] apa namanya narasumber tadi. Apakah opsi 1, opsi 2, opsi 3, kalau itu diambil oleh presiden. Apakah besok lusa atau kapan begitu ya..mudah-mudahan gak sampai tahun depan [narasumber lain tertawa] tetapi kalau akar masalah kisruh beda pendapat koalisi ini tidak bisa diidentifikasi dan dicarikan solusi yang tepat. Ini akan selalu muncul..akan selalu muncul dan kalau kita ingat munculnya ini dimana? Munculnya ini bukan di eksekutif lo...Munculnya ini bukan di kabinet. Tetapi munculnya itu di DPR, di parlemen. Nah, sekarang siapa koordinator koalisi di parlemen, di DPR? Partai Demokrat.
Nah, apakah tidak pantas kita bertanya. Apakah tidak pantas Pak SBY mengevaluasi, ada yang salah apa sih Demokrat ini dalam mengelola koalisi di parlemen. Ini kan pertanyaan yang tidak pernah diangkat. Karena sudah digiring pada area, ini ada kode etik yang dilanggar, ini ada kesetiaan yang dilanggar, tetapi substansi masalahnya tidak pernah diangkat. 2004-2009 relatif tidak ada gejolak yang sangat tajam dalam koalisi di DPR. Karena dipimpin Pak P7 waktu itu. Sekarang tidak dipimpin Pak P7 gitu. Nah, mungkin Pak P7 bisa menjawab tetapi ini pura-pura gak tau aja Pak Sutan ini.
P8-10 mengatakan bahwa PKS tidak masalah jika jatah menterinya dikurangi.
Namun hal itu bukan penyelesaian apabila akar masalahnya tidak diselesaikan dan
akar masalah itu ada di DPR. Partai Demokrat tidak mampu menangani koalisi
itu. Sebaiknya Partai Demokrat mengintrospeksi diri. Penegasan pernyataan ini
dilakukan dengan memberi penekanan pada saat mengucapkan “bukan persoalan”,
“diidentifikasi”, dan “Partai Demokrat”.
P8-10 dengan tegas mengatakan kekisruhan terjadi di DPR dan hal ini
kesalahan koordinator koalisi yaitu Partai Demokrat. P8 memberikan semua
beban kesalahan pada Partai Demokrat. Dengan melakukan hal ini P8
memaksimalkan kerugian untuk Partai Demokrat dan memaksimalkan
keuntungan bagi dirinya sendiri. Dengan demikian P8-10 melanggar maksim
kebijaksanaan. P8-10 juga menyatakan bahwa SBY tidak pernah mempertanyakan
315
apa yang salah dengan Partai Demokrat sehingga kekisruhan di DPR terjadi,
malahan menggiringnya pada pelanggaran kode etik. Ucapan itu menyiratkan
bahwa P8 tidak setuju dengan apa yang dilakukan SBY dan berarti dia sudah
melanggar maksim kecocokan.
P8-10 melanggar dua maksim kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan dan
maksim kecocokan sehingga nilai pelanggaran kesantunannya adalah
2 ------ X 100% = 20% 10 Nilai pelanggaran itu menjadikan P8-10 politisi yang sangat santun.
Kesantunannya meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas,
maksim cara dan maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang
efektif, jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Jadi keputusan itu segera dikeluarkanlah kurang lebih seperti apa masa depan koalisi itu yang ditunggu bersama-sama dan... .
Politisi 8- Data 11 (P8-11)
Dan catatan saya...PKS, Golkar ada didalam atau diluar pemerintahan selama problem inti dari koalisi ini tidak diselesaikan akan muncul terus.
P8-11 menyatakan bahwa apa pun yang terjadi dengan PKS dan Golkar,
Partai Demokrat harus menyelesaikan dulu masalah inti dari koalisi (karena partai
ini yang mengorganisasikan koalisi di parlemen).
Pernyataan P8-11 mengandung suatu penegasan pada koordinator koalisis
untuk menyelesaikan terlebih dahulu masalah yang muncul dalam koalisi. Kalau
tidak, meskipun PKS dan Golkar dikeluarkan dari koalisi, masalah tidak akan
316
selesai. Pernyataan yang merupakan penegasan ini melanggar maksim
kebijaksanaan karena memaksimalkan kerugian pada Partai Demokrat yang harus
menyelesaikan masalah inti dari koalisi dan juga merupakan pengancaman muka
negatif Partai Demokrat.
Karena P8-11 hanya melanggar satu maksim, yaitu maksim kebijaksanan,
nilai ketidaksantunannya adalah
1 ------ X 100% = 10%. 10 Nilai tersebut menjadikannya politisi yang sangat santun. Nilai kesantunannya
meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara dan
maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan
relevan dengan pertanyaan.
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa tingkat kesantunan yang dilanggar
oleh P8 adalah
20 + 20 + 10 + 10 + 20 + 10 = 15%. 6 Tingkat pelanggaran yang hanya 15% itu menjadikannya politisi yang sangat
santun. Kesantunannya meningkat karena dia mengaplikasikan maksim
kebijaksanaan dan maksim penerimaan. Maksim lain yang diaplikasikan adalah
maksim kuantitas, maksim cara dan maksim relevansi karena dia sudah
menggunakan bahasa yang efektif, jelas dan relevan dengan pertanyaan.
Pelanggaran dan predikat kesantunan Politisi 8 seperti yang dideskripsikan di
atas, dapat ditabelkan sebagai berikut.
317
Tabel 4.18: Pelanggaran dan PredikatKesantunan Politisi 8
Politisi-Data Pelanggaran Maksim Persentase Pelanggaran
Predikat Kesantunan
P8-(1-5)
Penerimaan Kebijaksanaan
20% Sangat Santun
P8-(6–7)
Kebijaksanaan Kecocokan
20% Sangat Santun
P8-8
Kebijaksanaan 10% Sangat Santun
P8-9
Kerendahan Hati 10% Sangat Santun
P8-10
Kebijaksanaan Kecocokan
20% Sangat Santun
P8-11
Kebijaksanaan 10% Sangat Santun
Politisi 8: Sangat Santun (15%)
Frekuensi pelanggaran yang dilakukannya dapat dipaparkan dalam tabel berikut.
Tabel 4.19: Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 8
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kebijaksanaan 5
2. Maksim kecocokan 2
3. Maksim kerendahan hati 1
4. Maksim penerimaan 1
5. Maksim kemurahan hati 0
6. Maksim kesimpatian 0
7. Maksim kualitas 0
8. Maksim kuantitas 0
9. Maksim cara 0
10. Maksim relevansi 0
318
Frekuensi itu menunjukkan bahwa P8 adalah politisi yang cenderung
menimpakan kesalahan pada pihak lain atau dengan kata lain, P8 adalah politisi
yang memaksimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri dan memaksimalkan
kerugian pada pihak lain.
4.2.4.4 Analisis Data Politisi 9 (P9)
P9 yang merupakan politisi dari partai yang beroposisi dengan pemerintah
menjawab pertanyaan sekitar perkembangan koalisi.
Pembawa acara Kalau di PDI-P seperti apa? (Pembawa acara bertanya pada P9 bagaimana menafsirkan perkembangan
koalisi sekarang.) Politisi 9 – Data 1 (P9-1) Ya, kalau kami melihat memang...setgab ya...ini ...tidak ada gunanya bagi
negara. Dan juga keliatan sekali temen-temen ini juga tanpa berkoordinasi dengan baik. Dan terlalu banyak...habis waktu mengurusi soal kekuasaan.
Pembawa acara
Mmm..tetapi yang anda katakan tidak ada gunanya itu apa pak? Politisi 9 – Data 2 (P9-2) Ya saya gak pernah denger. Mungkin itu banyak masalah bangsa. Apakah
setgab pernah...berbicara dan memperjuangkan supaya aa..harga gabah itu bisa ditingkatkan dan dibeli oleh pemerintah, oleh Bulog? Gak pernah saya dengar apakah pernah bagaimana caranya supaya impor beras itu dilawan dengan cara yang lebih konkret gitu kan? Bagaimana memperbaiki petani-petani kita? Gak pernah. Jadi ini saya lihat bahwa ini lebih pada bagi-bagi kekuasaan. Jadi...menurut kami rakyat sudah...selesailah kegaduhan ini. Masing-masing partai ini sikapnya... .
Politisi 8 (Menyela) Kalau...Hak angket mafia pajak itu peduli rakyat gak kira-kira?
319
Politisi 9 – data 3 (P9-3) Ya, jadi partai ini musti punya sikap yang jelas. Kalau memang tidak
bisa...bisa dalam satu koalisi. Menurut saya kayak PDI Perjuangan ada jelas sebagai partai oposisi.
Pembawa acara Hahahaha. Anda sampai pada kesimpulan yang jelas itu atau karena ada
melihat adanya perbedaan sikap diantara sesama partai koalisi. Itu yang anda maksud?
Politisi 9 – Data 4 (P9-4) Ya. Mengatakan tidak ada apa-apa tetapi ada apa-apa. Pembawa acara
Ada apa-apa? Kalau...PDI-P melihatnya ada apa-apa? Politisi 9 – Data 5 (P9-5)
Ya, kalau kami sih jelas pendekatannya ideologi ya.
Pembawa acara Oke. Politisi 9 – data 6 (P9-6) Jadi bukan kekuasaan. Kami memilih berkoalisi dengan rakyat daripada
dengan kekuasaan. Itu udah sikap kami. Pembawa acara Baik...nanti... .
Menurut P9-(1-6) setgab tidak ada gunanya karena tidak pernah mengurus
kepentingan rakyat, yang diurus hanya masalah bagi-bagi kekuasaan. Sikap partai
harus jelas, kalau tidak bisa berkoalisi, jadilah oposisi seperti PDI-P. PDI-P
memilih berkoalisi dengan rakyat. Pernyataan ini dipertegas dengan memberi
penekanan pada kata/frasa “tidak ada gunanya”, “berkoordinasi dengan baik”, dan
harga gabah” untuk menekankan bahwa koalisi tidak ada gunanya, anggotanya
jalan sendiri-sendiri dan koalisi ini tidak pernah memperjuangkan kepentingan
320
rakyat, misalnya meningkatkan harga gabah dengan cara meminta pemerintah
atau Bulog untuk membelinya.
P9- (1-2) mengkritik beberapa hal tentang koalisi. Dia mengatakan bahwa
koalisi tidak ada gunanya, tidak mampu berkoordinasi dan tidak pernah
memperhatikan kepentingan rakyat. Semua hal itu dikatakan dengan jujur
sehingga dapat dikatakan bahwa dia mengaplikasikan maksim kualitas. Akan
tetapi, bersamaan dengan pengaplikasian maksim kualitas, P9 melanggar maksim
kesantunan kecocokan dan maksim kesimpatian. P9 dikatakan melanggar maksim
kecocokan karena dia tidak setuju dengan adanya koalisi. Dia dikatakan
melanggar maksim kesimpatian karena pernyataannya yang mengatakan bahwa
koalisi tidak pernah memikirkan kepentingan rakyat dan terlalu banyak mengurus
soal kekuasaan dapat menimbulkan rasa antipati pada koalisi. Akan tetapi aplikasi
maksim kualitas yang dia lakukan sudah merupakan pengancaman muka positif
koalisi dan pelanggaran terhadap maksim kebijaksanaan karena dia
memaksimalkan kerugian pada koalisi yang dituduhnya tidak berpihak pada
rakyat.
P9-(3,6) memuji diri sendiri dengan mengatakan bahwa partainya adalah
partai oposisi yang jelas dan memilih berkoalisi dengan rakyat. Pernyataan ini
melanggar maksim kerendahan hati karena P9-(3,6) memaksimalkan kehormatan
terhadap diri sendiri dengan merendahkan pihak lain.
P8 menyela untuk dengan secara implisit mempromosikan diri sebagai pihak
yang peduli pada rakyat. P8 berasal dari partai yang setuju dengan hak angket
mafia pajak. P9 menyatakan bahwa pemerintah, yang dalam hal ini berarti koalisi
321
yang di dalamnya termasuk partai P8, tidak perduli pada rakyat. Dengan
menanyakan apakah hak angket mafia pajak yang didukungnya termasuk peduli
rakyat, dia ingin menyatakan bahwa dia adalah sosok yang peduli rakyat.
Dengan melanggar tiga maksim yaitu maksim kerendahan hati, maksim
kecocokan, dan maksim kesimpatian, tingkat pelanggaran kesantunannya adalah
3 ----- X 100% = 30%. 10
Nilai itu menjadikan P9-(1-6) politisi yang santun. Tingkat kesantunannya
meningkat karena dia mengaplikasikan maksim kualitas meskipun berbenturan
dengan maksim kesimpatian Maksim lain yang diaplikasikannya adalah maksim
cara dan maksim relevansi karena bahasanya efektif dan jawabannya relevan
dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Baik kalau begitu. Saya ke Pak P9 dulu kalau begitu Pak P9 sendiri..PDI-P lebih suka seperti apa? Apakah lebih suka Golkar
dan PKS berada diluar pemerintahan?
Politisi 9 – Data 7 (P9-7)
Memang sekarang jarang yang berbicara soal ideologi ya... . PDI Perjuangan, Pancasila 1 Juli ideologinya dan kami adalah..yang paling
penting adalah berdaulat di bidang politik, dan berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang budaya. Jadi tadi Pak P6 mengatakan grassroot-nya. Udah ada desakan kan gitu? Sikap PDI Perjuangan tidak tergantung partai lain dan tidak tergantung pada pemerintah. Kita parameternya, seperti yang tadi saya katakan memilih berkoalisi dengan rakyat dan parameternya ideologi. Kalau pemerintah SBY mengambil langkah-langkah misalnya menolak impor beras. Kita pasti dukung. Gak usah pun kita di dalam koalisi, kita pasti dukung. Kalau pemerintah pak SBY ini katakanlah berani tegas bagaimana menghadapi Malaysia yang sering masuk ke wilayah kita dan mengganggu nelayan
322
kita. Kita akan dukung. Jadi menurut kami hari ini yang penting ini kan ...Pak P7 ya..Evaluasi ini sudah sering dilakukan. Kesimpulannya yang gak ada gitu. Sebenarnya rakyat itu butuh sekarang supaya jelas begitu dan saya memberikan, kami memberikan suatu kepastian. Kalaupun Golkar dan PKS dikeluarkan dalam koalisi, tidak akan ada jaminan bahwa PDI Perjuangan akan satu front politik dengan mereka. Tergantung kebijakan yang diambil.
P9-7 menyatakan bahwa PDI-P akan berkoalisi dengan rakyat. Meskipun
tidak berada dalam koalisi, apabila kebijakan SBY itu untuk kepentingan rakyat,
pasti akan didukung. Kalaupun PKS dan Golkar keluar dari koalisi belum tentu
PDI-P mau bergabung dengan mereka, tergantung pada kebijakan mereka.
Keinginan PDI-P untuk berpihak pada rakyat dan mandiri ditekankan melalui
penekanan pada kata/frasa “tidak tergantung”, “menolak impor beras”. PDI-P
tidak tergantung pada partai lain atau pada pemerintah dan meskipun tidak berada
dalam koalisi, PDI-P akan mendukung kebijakan SBY seperti jika SBY menolak
impor beras.
P9-7 menyatakan bahwa evaluasi terhadap kinerja koalisi sudah sering
dilakukan tetapi simpulannya tidak ada. Dengan mengatakan hal itu, P9
melakukan pelanggaran terhadap maksim kebijaksanaan dan maksim kesimpatian.
P9 dikatakan melanggar maksim kebijaksanaan karena ucapannya merugikan
Partai Demokrat/SBY yang dianggap tidak mampu mengkoordinasikan koalisi
dan pada saat yang sama P9 memaksimalkan keuntungan untuk dirinya dengan
cara mencoba mendapatkan simpati rakyat karena berani mengkritik penguasa.
Ucapannya juga dikatakan melanggar maksim kesimpatian karena dapat
menimbulkan rasa antipati masyarakat pada Partai Demokrat/SBY dan koalisinya
yang dianggap tidak mampu berpihak pada rakyat. Rasa percaya rakyat pada SBY
323
akan menurun dan berdampak pada Pemilu yang akan datang sementara PDI-P
mencoba mengambil keuntungan melalui kritikannya.
P9-7 melakukan pelanggaran terhadap dua maksim, yaitu maksim
kebijaksanaan dan maksim kesimpatian. Dengan demikian, nilai pelanggarannya
adalah
2 ----- X 100% = 20%. 10
Nilai itu menjadikan P9-7 politisi yang sangat santun. Kesantunannya meningkat
karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim
relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas dan relevan
dengan pertanyaan. Akan tetapi, kesantunan ini berkurang karena secara
gamblang dia menyebut kalau SBY berani menolak impor beras, berani tegas
pada Malaysia, P9 beserta partainya akan mendukung. Tuduhan ini terdengar
sangat tajam padahal sebenarnya yang bertanggung jawab bukan hanya SBY,
tetapi juga DPR.
Pembawa acara
Baik. Bagaimana pak P9 sebelum saya beralih. Pembawa acara menanyakan pada P9 bagaimana tanggapannya atas ajakan
SBY pada PDI-P untuk membangun negara bersama-sama karena tidak mungkin koalisi bekerja sendiri.)
Politisi 9 – Data 8 (P9-8)
Saya...sedikit...sedikit..soal oposisi tadi ya. Soal ajakan tadi ya ini kan ironis sekali ya dan sangat memprihatinkan. Koalisi ini terdiri dari 6 Partai Demokrat, Golkar,PKS, PPP, PAN, PKB. Sudah menguasai plus minus 75% kursi di DPR/parlemen. Sekarang mengajak PDI Perjuangan? Sudahlah PDI Perjuangan itu. Kita punya beberapa alasan, nomor satu
324
alasan grassroot PDI Perjuangan yang minta kita betul-betul menjadi partai oposisi. Yang kedua, keputusan kongres/forum tertinggi partai yang mengikat dan itu harus dihormati. Menjadi partai ideologi dan menjadi partai oposisi. Yang ketiga, bagaimana menyelenggarakan negara ini? Kita berbeda secara ideologi. Kita menghormati kalau Pak SBY punya cara sendiri. Tetapi kami juga punya cara sendiri. Tadi kami contohkan sendiri, beberapa banyak contohnya itu dan kami sportif karena kamu punya pandangan dan ideologi yang berbeda. Kami memilih di luar pemerintahan. Jadi itulah sikap yang jelas.
P9-8 menyatakan bahwa PDI-P memilih berada di luar pemerintahan karena
ideologi sudah berbeda. Keputusan kongres tertinggi yang mengikat sudah
menentukan bahwa PDI-P harus menjadi partai ideologi dan oposisi. Namun
PDI-P tetap menghargai cara SBY. Pernyataan ini dipertegas dengan menekankan
pengucapan kata/kalimat “mengajak” dan “Kami juga punya cara sendiri”.
P9-8 mengatakan bahwa ideologi partainya berbeda dengan ideologi SBY.
Pernyataan itu melanggar maksim kecocokan karena dengan langsung
mengatakan bahwa mereka tidak cocok. P9 juga dapat dikatakan melanggar
maksim kerendahan hati pada saat mengatakan bahwa partainya mempunyai cara
sendiri dalam menyelenggarakan negara ini. Pernyataan itu terdengar sombong
karena dibenturkan dengan cara SBY menyelenggarakan negara ini.
P9-8 melanggar dua maksim, yaitu maksim kecocokan dan maksim
kerendahan hati sehingga nilai pelanggaran kesantunannya adalah
2 ----- X 100% = 20%. 10
Nilai itu menjadikan P9-8 politisi yang sangat santun. Nilai kesantunannya
meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara dan
325
maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan
relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Baik. Kalau kemudian misalnya yang dipinang di...di koalisi yang akan datang ini. Misalnya diputuskan Gerindra yang akan diajak begitu untuk masuk dalam koalisi. PDI-P kan selama ini mesra dengan..dengan gerindra. Ini bagaimana kemudian masa depan di 2014 bagi PDI-P sendiri?
Politisi 9 – Data 9 (P9-9)
Kita bekerja sama untuk di pilpres 2009. Ibu Megawati dengan Pak Prabowo. Itu saja. Secara organisasi kami tidak ada suatu ikatan organisasi dengan partai manapun. Kebetulan saya 2 periode menjadi ketua pimpinan pusat PDI Perjuangan. Jadi saya mengerti betul tidak ada anggaran dasar, anggaran rumah tangga dan keputusan partai apapun yang membangun suatu hubungan itu. Dan bebas-bebas saja kalau Gerindra lebih nyaman dengan pemerintahan SBY kami persilahkan. Itu bukan suatu masalah yang berarti bagi PDI Perjuangan. mungkin yang sedikit [ehem] masukan. Kalau boleh begini. Kasihan juga menteri-menteri yang bekerja profesional ya... karena nanti parameternya apa? Loyalitas partai atau profesionalitas dia? Begitu banyak PR menteri-menteri yang ada di pemerintahan ini. Sekarang ini. Menteri keuangan, menteri BUMN dan sebagainya yang profesional dan bekerja keras, saya pikir kedepan ini juga tidak terlalu mudah kalau bekerja dalam situasi begini dan akhirnya akan dalam pikiran para menteri itu. Kalau tidak ada dukungan politik begini mereka bisa kapan saja bisa pergi begitu. Saya pikir ini iklim yang tidak sehat bagi indonesia saat ini.
P9-9 mengatakan bahwa tidak ada aturan yang mengatur PDI-P harus bekerja
sama dengan siapa. Megawati bekerja sama dengan Prabowo hanya sebatas
pilpres 2009, setelah itu tidak ada ikatan apa-apa. Kalau Gerindra bekerja sama
dengan SBY juga tidak ada masalah. PDI-P hanya kasihan pada para menteri yang
sudah bekerja keras tanpa tahu jelas parameternya apa. Loyalitas partai atau
profesionalisme. Untuk bisa berhasil, para menteri itu membutuhkan dukungan
326
politik. Bentuk kerja sama PDI-P dengan partai lain sebatas pilpres saja dan hal
itu ditekankan melalui penekanan pengucapan kata/frasa “pilpres 2009”.
P9-9 mengatakan bahwa silahkan saja apabila Gerindra bekerja sama dengan
SBY. Pernyataan itu melanggar maksim penerimaan karena meminimalkan
penghargaan pada Gerindra yang dianggap tidak penting. Pernyataan ini juga
menunjukkan kesombongan P9 karena sudah menunjukkan bahwa apabila
Gerindra meninggalkan PDI-P, hal itu bukan masalah besar, dan hal ini melanggar
maksim kerendahan hati.
P9-9 melanggar dua maksim kesantunan yaitu maksim penerimaan dan
maksim kerendahan hati. Hal ini berarti bahwa nilai pelanggaran kesantunannya
adalah
2 ----- X 100% = 20%. 10
Nilai ini menjadikan P9-9 politisi yang sangat santun. Nilai kesantunannya
meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara dan
maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan
relevan dengan pertanyaan.
(Seorang mahasiswa bertanya apa pendapat P9 apabila nanti benar PKS dan Golkar dinyatakan keluar dari koalisi. Apa pernyataan yang akan dikeluarkan oleh P9)
Politisi 9 – Data 10 (P9-10)
Ya. Begini ya kalau kita tadi mamakai kata narasumber saya setuju sekali. Matematika politik... itu gak bisa karena ilmu politik bukan ilmu pasti.
327
Yang tadi saya katakan itu 74% itu koalisi yang mendukung SBY-Boediono itu dari parlemen. Tetapi begitu banyak agenda soal Century, soal berbagai hal itu kalah dalam pemilihan. Makanya PDI Perjuangan itu mesti ada benchmark, mesti ada ukuran dalam memilih pilihan-pilihan politik itu ditengah politik transaksional yang sekarang dagang sapi. Kita tadi disampaikan pak P7 kita ditawarkan untuk bergabung. Kita tunjukkan bahwa kita tidak berorientasi pada kekuasaan. Kita tunjukkan kita lebih memilih bersama dengan rakyat dan itu tidak basa-basi kita tunjukkan... .
Pembawa acara
Baik, baik...Mas narasumber... .
Politisi 9 – Data 11 (P9-11)
Dan tentunya PDI Perjuangan tidak berkecil tidak menjadi oposisi seumur hidup. Kita ingin menjadi pemerintah pada waktunya dengan memenangkan pemilu. Itu ada waktunya nanti.
P9-(10-11) menyatakan bahwa PDI-P harus mempunyai ukuran untuk
memilih pilihan politik. PDI-p tidak berorientasi pada kekuasaan tetapi memilih
untuk bersama rakyat. PDI-P pada waktunya nanti akan menjadi pemerintah lewat
pemilu. Pendapat P9-(10-11) bahwa ada perhitungan dalam pilihan politik
ditegaskan dengan menekankan pengucapan frasa “matematika politik”.
P9-10 mengatakan bahwa pendukung SBY dalam koalisi ada 74% di Parlemen
tetapi dalam pemilihan selalu kalah. Ucapannya ini menunjukkan bahwa SBY
tidak mampu memanfaatkan pendukung mayoritasnya di DPR. Hal ini
mengancam muka positif SBY sekaligus partai pendukungnya dan hal ini
melanggar maksim kebijaksanaan karena merugikan SBY.
P9-(10-11) melakukan dominasi karena tetap berbicara pada saat pembawa
acara mencoba meminta narasumber lain untuk berbicara. Mendominasi adalah
salah satu pelanggaran maksim penerimaan karena dia meminimalkan
328
penghargaan pada orang lain yang juga mempunyai hak berbicara. P9 menyatakan
bahwa politik sekarang adalah politik dagang sapi yang maksudnya adalah politik
sekarang adalah politik jual beli. Ucapannya ini melanggar maksim kebijaksanaan
karena merugikan para pelaku politik yang non-oposisi. Politik jual beli adalah
politik yang tidak jujur dan PDI-P sudah mengangkat dirinya sendiri sebagai
pelaku politik yang jujur karena berada berseberangan dengan pelaku politik
dagang sapi.Ucapannya ini melanggar maksim penerimaan karena dia
memaksimalkan penghargaan untuk dirinya.
P9-(10-11) mengatakan “Kita tunjukkan kita lebih memilih bersama dengan
rakyat dan itu tidak basa-basi kita tunjukkan”. Ucapan ini bertujuan meraih
simpati yang sebesar-besarnya dari rakyat sebagai pemilih sehingga pada pemilu
yang akan datang mereka akan memenangkan PDI-P. Ucapan itu berarti
memaksimalkan simpati terhadap diri sendiri. dan hal ini melanggar maksim
kesimpatian.
P9-(10-11) melanggar tiga maksim kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan
yang dia lakukan sebanyak dua kali, maksim penerimaan, dan maksim
kesimpatian. Hal ini berarti bahwa nilai pelanggaran kesantunan P9-(10-11)
adalah
3 ----- X 100% = 30%. 10
Nilai ini menjadikan P9 politisi yang santun. Nilai kesantunannya meningkat
karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim
329
relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan relevan
dengan pertanyaan.
Secara keseluruhan nilai pelanggaran kesantunan P9 adalah
30 + 20 + 10 + 20 + 30 = 22 %. 5 Hal ini berarti bahwa P9 adalah politisi yang santun. Kesantunan itu meningkat
karena P9 juga mengaplikasikan maksim kualitas, maksim cara, dan maksim
relevansi. Dalam pelaksanaannya maksim kualitas mempunyai dua mata pisau.
Pertama, yang mengandung kejujuran karena P9 mengungkapkan bahwa koalisi
tidak ada gunanya, tidak mampu berkoordinasi dan tidak pernah memperhatikan
kepentingan rakyat. Kedua, ucapan ini mengandung kritikan dan mengritik adalah
perbuatan yang tidak santun karena melanggar maksim kebijaksanaan dan
merupakan pengancaman muka bagi yang dituju.
Tabel yang menyajikan deskripsi pelanggaran dan predikat kesantunan
Politisi 9 disajikan berikut ini.
330
Tabel 4.20: Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 9
Politisi- Data Pelanggaran Maksim Persentase Pelanggaran
Predikat Kesantunan
P9-(1–6)
Kecocokan Kesimpatian Kerendahan Hati
305 Santun
P9-7
Kebijaksanaan Kesimpatian
20% Sangat Santun
P9-8
Kecocokan Kerendahan Hati
10% Sangat Santun
P9-9
Penerimaan Kerendahan Hati
20% Sangat Santun
P9-(10-11)
Kebijaksanaan Penerimaan Kesimpatian
30% Santun
Politisi 9: Santun (22%)
Secara berurutan pelanggaran maksim kesantunan yang dilakukan oleh P9
adalah sebagai berikut.
Tabel 4.21: Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 9
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kesimpatian 3 2. Maksim kerendahan hati 3 3. Maksim kecocokan 2 4. Maksim kebijaksanaan 2 5. Maksim penerimaan 2 6. Maksim relevansi 0 7. Maksim kemurahan hati 0 8. Maksim kuantitas 0 9. Maksim kualitas 0 10. Maksim cara 0
331
Frekuensi pelanggaran semacam itu menunjukkan bahwa P9 adalah politisi
yang selalu berusaha merebut simpati dengan menimbulkan antipati pada pihak
lain, sombong dan cenderung mengucapkan kata-kata yang merugikan lawan
politiknya, dan memaksimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri.
Untuk mengetahui kemampuan komunikasi Politisi 6, Politisi 7, Politisi 8,
dan Politisi 9, analisis SPEAKING disajikan pada tabel berikut ini.
332
Tabel 4.22: Analisis SPEAKING Politisi 6, politisi 7, Politisi 8, dan Politisi 9
Elemen SPEAKING Data Komunikasi Waktu dan tempat komunikasi (S)
Komunikasi berlangsung dalam acara talk show “Today”s Dialogue” di Metro TV yang ditayangkan hari Selasa, jam 23.00 – 24.00 WITA, tanggal 1 Maret 2011,dengan topik “SBY Gertak Koalisi”.
Partisipan (P) P6, P7, P8, P9, dan pembawa acara. Hasil Komunikasi (E) Menyepakati bahwa SBY seharusnya lebih transparan dalam
melakukan evaluasi terhadap parpol anggota koalisi. Bentuk dan isi Komunikasi (A)
P6 menggunakan kata-kata yang seolah-olah menganggap remeh peringatan dari presiden, misalnya kata “santai”, dan juga ujaran yang berbentuk tanya tetapi tujuannya untuk menyerang SBY sebagai presiden yang tidak memperjuangkan Century, dalam kalimat “Apakah ketika kami dan partai koalisi lainnya memperjuangkan Century itu dibilang pelanggaran?”. P7 cenderung membenarkan apa yang dilakukan partainya, misalnya, “Masalah...evaluasi itu menurut saya itu hal yang wajar-wajar saja”. P8 menggunakan kata-kata yang menunjukkan bahwa partainya tidak melakukan pelanggaran karena sebelumnya tidak ada kesepakatan. Hal itu terlihat dalam kalimat berikut. “ Apakah memang pernah ada kesepakatan di setgab yang dua kali rapat itu bahwa memang koalisis ini akan menggunakan angket atau panja?” P9 menggunakan pilihan kata yang kurang santun, misalnya mengatakan bahwa setgab tidak ada gunanya. Pilihan kata yang lebih santun mungkin dapat digunakan, misalnya dengan mengatakan bahwa setgab harus meningkatkan kinerjanya.
Perilaku penyampaian Pesan (K)
Berdasarkan analisis kesantunan, perilaku penyampaian pesan P6 dan P9 santun; P7 dan P8 sangat santun.
Cara penyampaian Pesan (I)
Pesan disampaikan secara lisan dengan menggunakan bahasa lisan.
Norma interaksi dan Interpetasi (N)
Dalam penyampaian pesan, P6 cenderung melanggar maksim penerimaan dan P7 cenderung melanggar maksim cara, P8 cenderung melanggar maksim kebijaksanaan, dan P9 cenderung melanggar maksim kesimpatian
Jenis-jenis ujaran (G) P6, P7, P8, dan P9 menyampaikan pesan dengan menggunakan kalimat-kalimat deklaratif kompleks.
Berdasarkan analisis di atas dan apabila dianalogikan dengan analisis kesantunan,
dapat dikatakan bahwa P6 dan P9 mempunyai kemampuan berkomunikasi yang
333
baik, sedangkan P7 dan P8 mempunyai kemampuan berkomunikasi yang sangat
baik.
4.2.5 “Menekan Parpol Koalisi”
Tayangan tentang “Menekan Parpol Koalisi” membahas masalah pernyataan
presiden SBY yang akan mengevaluasi parpol koalisi. PKS dan Golkar dianggap
sebagai parpol yang tidak menaati kesepakatan koalisi, tetapi isu yang berhembus,
PKS diprediksi akan dikeluarkan dari koalisi, sedangkan Golkar dipertahankan.
PKS sebagai partai bersih dan perduli rakyat diserang berbagai isu negatif seperti
daging impor sampai dugaan penyalahgunaan dana pemilukada. Golkar yang juga
diserang isu negatif seperti penggelapan Blackberry dan tunggakan pajak, tampak
tenang-tenang saja. Tayangan itu menghadirkan lima orang narasumber, tetapi
hanya tiga orang politisi, yang selanjutnya diberi kode P10 yang merupakan
politisi dari Partai Demokrat, P11 yang merupakan politisi dari Partai GOLKAR,
dan P12 yang merupakan politisi dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dua
orang narasumber nonpolitisi adalah seorang pengamat politik dan seorang kuasa
hukum. Diskusi dalam tayangan itu dilakukan berdasarkan narasi yang diucapkan
oleh tiga pembicara secara bergantian.
Narator 1.
Sebulan sudah, janji presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengevaluasi parpol peserta koalisi. Hingga saat ini, tidak ada tanda-tanda ujung dari gonjang-ganjing politik, apakah sanksi yang akan dijatuhkan pada parpol koalisi. Dua parpol yang menjadi sorotan, PKS dan GOLKAR tampaknya masih bisa menahan nafas sementara waktu. Dosa mereka mendukung hak angket anti mafia pajak masih menyimpan misteri. Apa gerangan sanksi yang pas buat mereka? Apakah menteri-menteri parpol
334
tersebut akan ditendang dari kabinet Indonesia Bersatu Jilid Dua? Ditengah ketidakpastian sangsi politik tersebut, dua peristiwa nasional muncul. Pertama ketika dua koran Australia, The Age dan Sydney Morning membuat Kubu Istana meradang. Koran The Age menuding SBY meyalahgunakan kekuasaannya, dan Kubu Istana secara seragam membantah tudingan tersebut sebagai berita sampah.
Narator 2
Siapa sesungguhnya yang sungguh demokratis, dan siapa yang tidak, yang main lapor, main tuduh, main hakim di dalam media massa, di dalam diplomasi, yang sungguh merugikan nama baik seseorang, yang boleh disebut sebagai character assassination.
Narator 1
The Age sendiri hingga saat ini tetap mempertahankan argumentasinya dan menolak berita mereka disebut berita sampah.
Pertengahan Maret lalu kita juga disibukkan dengan bom buku, yang dikirimkan oleh orang tidak di kenal pada sejumlah tokoh nasional. Munculnya pemberitaan ini membuat sejumlah politisi menduga peristiwa yang terjadi bergantian merupakan pengalihan isu.
Narator 3
Rangkaian aksi bom ini telah berhasil menciptakan dan mengalihkan perhatian masyarakat, yang sebelumnya ada isu-isu besar gitu ya, bahwa ada kegaduhan baru yang mengalihkan perhatian publik, itu terjadi.
Narator 1
Tidak beberapa lama kemudian, muncul pula pemberitaan yang menyudutkan PKS. Yusuf Supendi, salah seorang pendiri PKS, melaporkan dugaan penyimpangan dana partai ke KPK. Yang dibidik adalah Sekjen PKS Anis Matta, dan presiden PKS Lutfi Hasan Ishak. Laporan serupa juga dilaporkan Yusuf pada badan kehormatan DPR. Bagaimana dengan Golkar? Fungsionaris partai Golkar, Azis Syamsudin, juga dibidik dalam kasus dugaan penyelundupan Blackberry. Bambang Soesatyo, meski dalam kasus lama, dibidik dalam kasus dugaan tunggakan pajak. Tidak ada bukti siapa yang memainkan isu tersebut, namun muatan politis dibalik munculnya kasus-kasus tersebut mengindikasikan ada tekanan cukup kuat pascapengumuman SBY untuk mengevaluasi parpol peserta koalisi. Juru bicara keperesidenan, Julian Pasha, sejauh ini belum bisa memastikan ujung dari evaluasi parpol koalisi.
335
Narator 3
Reshuffle merupakan suatu hal yang final, bilamana nanti diputuskan untuk ada formasi yang baru, rumusan baru atau format baru dari partai-partai yang berkoalisi di pemerintah, apakah itu nanti akan berubah atau tidak, ya tentu nanti akan kita tunggu bersama.
Narator 1
Apakah janji evaluasi SBY akan dibuktikan pada bulan April nanti, semua bergantung SBY sebagai pemegang hak prerogratif presiden.
4.2.5.1 Analisis Data Politisi 10 (P10)
P10 yang merupakan politisi Partai Demokrat menjawab pertanyaan seputar
isu negatif yang ditujukan pada PKS dan GOLKAR.
Pembawa acara Baik, kalau boleh sekarang saya mengutip ada pernyataan dari dari bapak Anis Matta Sekjen PKS yang mencurigai bahwa sejumlah berita miring yang menerpa PKS saat ini, mulai dari impor daging sapi hingga kekecewaan Yusuf Supendi ini, merupakan serangan balik akibat sikap kritis PKS terhadap pemerintah. Tanggapan Pak P10?
Politisi 10 – Data 1 (P10-1)
Saya ingin pertama, ini kan soal internal PKS ya, jadi persoalan internal PKS yang kita tidak mau mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Yang kedua kalau misalnya dikaitkan dengan tadi dicurigai ini bagian, ada operasi politik, ada apa intervensi apa dari luar, menurut saya itu terlalu berlebihan. Saya ingin menyampaikan bahwa… .
Pembawa acara Mengapa terlalu berlebihan?
Politisi 10 – Data 2 (P10-2)
Jadi begini lho, jangan sampai apa yang menjadi persoalan internal di partai dan partai itu tidak mampu menyelesaikan problem internalnya, itu melempar persoalan itu seakan-akan ini bagian dari operasi politik, ini bagian dari sebuah intervensi. Nah justru buat buat kita sebagai bagian dari pengurus partai justru kita harus melakukan instropeksi pada diri kita kenapa persoalan seperti ini selalu muncul kan gitu, satu hal. Itu, yang kedua saya ingin sampaikan bahwa dalam situasi Negara yang sudah
336
terbuka seperti ini, dimana masing-masing punya komitmen untuk melakukan penguatan terhadap partai politik, karena karena kita sangat menyadari penuh bahwa partai politik itu merupakan pilar utama demokrasi, maka menurut saya di tengah-tengah seperti ini, rasanya intervensi itu sudah tidak relevan lagi, gitu lho... .
Pembawa acara Baik.... Pak P12.... ya... . Betul begitu Pak P12 sendiri rasanya seperti apa begitu, artinya apakah memang tidak… .
Politisi 12 (Menyela)
Begini yang kalau kemudian kami mengatakan operasi politik itu tidak identik bahwa ini dilakukan oleh partai politik tertentu ya... .
Politisi 10 – Data 3 (P10-3) Demokrat maksudnya?
P10 (1-3) mengatakan bahwa urusan PKS adalah urusan internal partai lain,
jadi P10 tidak mau ikut campur. Pemikiran bahwa ada intervensi dari luar, hal itu
tidak benar. Sebuah partai jangan melemparkan kesalahan pada orang lain jika
tidak mampu menyelesaikan masalah. Masing-masing harus introspeksi diri untuk
menguatkan partai politik karena partai politik adalah pilar demokrasi.
Pernyataannya dipertegas dengan menekankan pengucapan kata/frasa “urusan
rumah tangga”, “intervensi”, “problem internal”, “pilar utama demokrasi”.
P10-3 melanggar kesantunan dengan memotong pembicaraan P12 yang
diminta oleh pembawa acara untuk memberi tanggapan. Pemotongan ini
merugikan P12 yang hak bicaranya tidak diberikan sehingga dapat dikatakan
bahwa P10 melanggar maksim kebijaksanaan.
Di samping melanggar kesantunan, P10-2 juga mengaplikasikan salah satu
maksim kesantunan yaitu maksim kerendahan hati. Dia meminimalkan rasa
337
hormat terhadap dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dia harus introspeksi
diri untuk mencari jawaban kenapa masalah selalu timbul.
P12 menyela untuk menjelaskan bahwa ada partai tertentu yang identik
dengan operasi politik. Akan tetapi,P10 yang pada saat itu mendapat kesempatan
berbicara kembali memotongnya.
Berdasarkan analisis di atas, P10-(1-3) melanggar satu maksim, yaitu
maksim kebijaksanaan sehingga nilai ketidaksantunannya adalah
1 ------- X 100% = 10%. 10
sehingga dapat dikatakan bahwa dia adalah politisi yang sangat santun.
Kesantunannya bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kesantunan, yaitu
maksim kerendahan hati dalam dalam ucapan-ucapannya. Maksim lain yang
diaplikasikannya adalah maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi
karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan relevan dengan
pertanyaan.
Pembawa acara
Ya, bagaimana Pak P10 mau... mau mengomentari soal ini? (Pembawa acara bertanya pada P10 tentang isu miring yang menimpa anggota PKS dan Golkar serta adanya ancaman terhadap anggota parpol koalisi
Politisi 10 – Data 4 (P10-4)
Biasanya gini, jadi apa yang terjadi hari ini di internal masing-masing partai, itu saya ingin menyatakan bahwa itu sama sekali tidak ada kaitan dengan kontalasi politik nasional ya, ini terlalu jauh, ini kan problem internal masing-masing, seperti Mas Burhan sampaikan, masing-masing parpol itu kan punya problem internal, ada faksi-faksi, itu kan sesuatu
338
yang biasa, sesuatu yang biasa, biasa di partai. Nah cuman saya katakan, ketika misalnya ada sebuah persoalan internal di suatu parpol, langsung kita mengatakan bahwa ini mencurigai, jangan-jangan ini adalah bagian dari sebuah operasi karena parpol tersebut bersikap kritis. Nah cara berpikir jangan-jangan, cara berpikir apa, e... mencurigai, ini saya katakan sekali lagi ini menurut saya apa ya, kurang sehat, menurut saya ini kurang sehat... .
P10-4 mengatakan bahwa masing-masing partai mempunyai masalah internal.
Apabila setiap kali ada masalah internal selalu dikaitkan dengan kecurigaan
karena parpol itu sudah bersikap kritis, itu kondisi yang tidak sehat.
Pernyataannya ditegaskan dengan menekankan pengucapan kata/frasa “internal”,
“problem internal” dan “bersikap kritis”.
P10-4 setuju dengan pendapat narasumber bahwa setiap partai memiliki
masalah internal. Pendapat ini menunjukkan kecocokan dengan pendapat orang
lain sehingga dapat dikatakan bahwa P10-4 mengaplikasikan maksim kecocokan.
P10-4 menunjukkan ketidakcocokannya dengan pendapat narasumber lain
yang mengatakan bahwa apa yang terjadi hari ini di internal masing-masing
partai ada kaitan dengan kontalasi politik nasional. Dia mengatakan bahwa
masalah yang timbul hanya disebabkan oleh masalah internal partai sendiri. Dia
juga tidak setuju dengan kecurigaan yang ditunjukkan oleh suatu partai pada
partai yang lain. Dengan demikian, P10-4 dapat dikatakan melanggar maksim
kecocokan.
P10-4 melanggar satu maksim yaitu maksim kecocokan. Dengan demikian
nilai pelanggaran kesantunannya adalah
1 ------- X 100% = 10%. 10
339
Nilai itu menjadikannya politisi yang sangat santun dan semakin santun karena
dia mengaplikasikan maksim kecocokan. Maksim lain yang diaplikasikannya
adalah maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi karena dia sudah
menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara Ya, Pemirsa anda kembali bergabung bersama kami dalam Forum Today’s Dialogue, saya untuk segmen ini sekaligus juga untuk mengingatkan kembali sebenarnya tema pada hari ini adalah untuk menanyakan apa kabar hasil evaluasi koalisi yang sudah sebulan yang lalu diumumkan begitu, ada satu dua parpol yang telah melanggar kontrak dan akan dievaluasi dan akan diberikan sanksi yang sesuai setelah evaluasi itu tuntas dilaksanakan, namun sampai hari ini belum ada juga kabar dari evaluasi tersebut, Pak P10.
Politisi 10 – Data 5 (P10-5)
Ini kan lagi proses ya… Mengevaluasi, meng... apa memutuskan bagaimana hasil, dari sebuah evaluasi terhadap koalisi, itu kan memerlukan kehati-hatian, memerlukan pertimbangan yang sangat cermat, dan sebagainya, karena ini kan menyangkut untuk apa, kepentingan yang jauh lebih besar lagi ke depan, nah seperti dikatakan bahwa memang nggak ada, nggak ada apa, ee, tidak ada istilahnya batas. Kemarin kita sempat ketemu setelah angket ya, setelah paripurna angket, Setgab sempat ketemu sekali, kan gitu kan, di semua peserta apa koalisi itu kan hadir, dari PKS, dari Golkar, dari Demokrat, PAN, yang enam itu hadir lah, di masing-masing ada perwakilannya, dan…
P10-5 mengatakan bahwa evaluasi sedang dilakukan atas koalisi dan evaluasi
itu harus dilakukan dengan hati-hati karena menyangkut kepentingan yang lebih
besar. Evaluasi itu akan dilaksanakan dalam waktu yang tidak terbatas. Pertemuan
sudah dilaksanakan dan dihadiri oleh enam anggota koalisi. Pernyataannya
340
diperkuat dengan memberi penekanan pada pengucapan kata-kata “kehati-hatian”,
“menyangkut”,dan “enam”.
Data 5 hanya mengandung informasi tentang bagaimana evaluasi dilakukan
dan sudah adanya pertemuan antara keenam anggota koalisi setelah rapat
paripurna angket. Informasi itu bersifat netral dan tidak menyerang siapa pun
sehingga tidak ada pelanggaran maksim kesantunan. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa nilai kesantunan P10 adalah 100%. Nilai kesantunannya
meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan
maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan
relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Ada pertemuan juga antara Pak SBY dengan Pak Ical begitu, nah dengan PKS misalnya apakah akan ada pertemuan dengan Uztad Helmi?
Politisi 10 – Data 6 (P10-6)
Itu kan urusan apa, ketua koalisi nanti kan gitu lho kan, dan kalau dilihat dari proses perjalanannya, ini ke Bang Nasir ini, ini kan Pak Lutfi Hasan pernah apakah berseloroh atau tidak, katanya partai yang dipanggil itu kan partai yang bermasalah, nah PKS nggak dipanggil karena nggak bermasalah… itu kan ... .
P10-6 mengatakan bahwa secara berseloroh P12 dan Lutfi Hasan mengatakan
bahwa yang dipanggil adalah partai yang bermasalah. Jadi, karena PKS tidak
dipanggil, berarti PKS tidak bersalah. Pernyataan itu dipertegas dengan
menekankan pengucapan kata/frasa “proses perjalanannya” dan “ bermasalah”.
Yang dimaksud proses perjalanan adalah proses dari terjadinya masalah sampai
pemanggilan ketua partai.
341
P10-6 mengatakan bahwa semua urusan itu adalah urusan ketua koalisi.
Dengan mengucapkan hal itu P10 sudah memberikan semua beban pada ketua
koalisi sehingga memaksimalkan kerugian pada ketua koalisi dan memaksimalkan
keuntungan untuk dirinya. Hal ini melanggar maksim kebijaksanaan.
P10-6 juga mengatakan bahwa partai yang dipanggil itu adalah partai yang
bermasalah. Dengan mengatakan hal itu, meskipun secara berseloroh, P10
menuduh bahwa partai Pak Ical bermasalah, padahal dia tidak punya bukti untuk
itu. Dengan demikian, dia dapat dikatakan melanggar maksim kualitas. P10 juga
menyatakan bahwa partainya tidak dipanggil berarti partainya tidak bermasalah.
Ucapan itu memaksimalkan penghargaan terhadap diri sendiri sehingga dapat
dikatakan bahwa dia melanggar maksim penerimaan.
P10-6 melanggar tiga maksim, yaitu maksim kualitas, maksim kebijaksanaan
dan maksim penerimaan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa nilai
pelanggarannya adalah
3 ------- X 100% = 30%. 10 Nilai itu menjadikannya politisi yang santun. Nilai kesantunannya meningkat
karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim
relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan relevan
dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Tetapi artinya evaluasi ini apakah masih berlangsung sampai sekarang ini, Pak P10, apa sudah diputuskan atau tidak?
342
Politisi 10 – Data 7 (P10-7)
Nggak, ini, ini kan lagi disiapkan semua kan, artinya ini kan sudah dipanggil, udah mulai kan dipanggil, udah mulai di ini, soal menata ulang koalisi, kan gitu kan, bagaimana nanti bentuk mena.., apa hasil akhir dari menata ulangnya menjadi kesepakatan bersama, saya katakan tadi, bahwa koalisi itu, evaluasi koalisi itu kan tidak harus berujung ada partai peserta koalisi yang harus dikeluarkan, tidak juga, kan gitu lho. Atau ada menambah mitra koalisi yang baru, tidak juga, kan gitu… .
P10-7 mengatakan bahwa anggota koalisi sudah mulai dipanggil untuk
menata kesepakatan baru. Evaluasi itu tidak berarti bahwa akan ada yang
dikeluarkan atau ada anggota baru. Pernyataan itu dipertegas dengan menekankan
pengucapan kata/frasa “sudah dipanggil”, “dipanggil”, “evaluasi koalisi”, dan
“harus dikeluarkan”.
P10-7 melanggar maksim cara pada saat dia mengatakan suatu ketidakpastian
apakah ada anggota koalisi yang akan dikeluarkan atau akan ada penambahan
anggota baru. Pernyataan itu tidak jelas dan mengundang pertanyaan sehingga
dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap maksim cara.
P10-7 melanggar satu maksim, yaitu maksim cara. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa nilai pelanggarannya adalah
1 ------- X 100% = 10%. 10 Nilai itu menjadikannya politisi yang sangat santun. Nilai kesantunannya
meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas dan maksim
relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif dan relevan dengan
pertanyaan.
343
Pembawa acara
Jadi evaluasinya masih berlangsung sampai sekarang… .
Politisi 10 – Data 8 (P10-8) Nggak, kita kan gini, ini saya ingin klarifikasi dulu ya, saya ingin
sampaikan dulu, kita kan ini begini, ini kan beberapa waktu yang lalu pertemuan, itu semua hadir, Sekjen Golkar hadir, dari PKS kalau gak salah Menteri Sosial, hadir, semua hadir. Mereka ketika selesai hasil, selesai rapat itu mengatakan, justru yang mengatakan itu dari sekjen Golkar bahwa kita mengatakan bahwa sudah ada komitmen sementara, walaupun itu dalam, bukan dalam bentuk kesepakatan yang tertuang, karena itu belum ada, bahwa sesama partai peserta koalisi untuk berhenti saling serang. Nah itu, itu disampaikan oleh, oleh Sekjen Golkar, dan kita, kita menghargailah ajakan itu, kan gitu lho kan?
P10-8 mengklarifikasi bahwa pada saat ada pertemuan yang dihadiri oleh
semuanya, Sekjen Golkar mengatakan bahwa sudah ada komitmen sementara
meskipun bukan dalam bentuk kesepakatan bahwa anggota koalisi berhenti saling
serang. Dia menekankan bahwa pernyataan itu dikeluarkan oleh Sekjen Golkar.
Pernyataan itu dipertegas dengan memberi penekanan pada kata/frasa
“klarifikasi”, Sekjen Golkar”, “partai peserta koalisi”, dan “berhenti”.
Dalam data 8 informasi yang disampaikan bersifat netral, tidak menyerang
siapa-siapa sehingga tidak ada pelanggaran maksim. Dengan demikian, tingkat
kesantunan P10-8 adalah 100%. Tingkat kesantunannya bertambah karena P10
menggunakan kalimat berpagar, “Sekjen Golkar hadir, dari PKS kalau gak salah
Menteri Sosial, hadir,...”. “Kalau gak salah” adalah pagar yang memagari kalimat
di atas sehingga menjadi lebih santun. Dengan kalimat berpagar itu dia
menunjukkan bahwa ada kemungkinan bahwa dia salah dan hal ini berarti dia
meminimalkan penghargaan terhadap dirinya dan hal ini adalah aplikasi maksim
penerimaan. Maksim penerimaan juga diaplikasikan pada saat dia menyebut
344
bahwa Sekjen Golkar sudah mengajak semua anggota koalisi untuk berhenti
saling serang. Melalui ucapannya P10 menunjukkan penghargaan pada Sejen
Golkar yang sudah mengatakan sesuatu yang baik. Maksim lain yang
diaplikasikannya adalah maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi
karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan relevan dengan
pertanyaan.
Politisi 11 mengatakan: Maksudnya tidak boleh saling serang jangan… Ketika ada partai anggota koalisi yang ingin menegakkan suatu kebenaran, suatu fakta kebenaran, kemudian diserang oleh partai yang lainnya untuk menutupi kebenaran kan… .
Politisi 10 – Data 9 (P10-9) Oh nggak ada. Saya ingin sampaikan dulu gini, saya ingin sampaikan ke
Mas P11, soal soal kekritisan ya, saya katakan bahwa kekritisan itu udah menjadi apa…, menjadi bagian inheren dari anggota DPR. Anggota DPR memang harus kritis, sama dengan mahasiswa, kalau mahasiswa tidak kritis itu kan bukan mahasiswa namanya, bahkan kalau mahasiswa nggak pernah demo, itu kan bukan mahasiswa… .
P10-9 mengatakan bahwa semua anggota DPR harus kritis, sama dengan
mahasiswa. Pernyataan dipertegas dengan memberi tekanan pada saat
mengucapkan “kekritisan” dan “mahasiswa”.
Pada saat mengucapkan “Anggota DPR memang harus kritis, sama dengan
mahasiswa...”, P10 melanggar maksim penerimaan karena dia memaksimalkan
penghargaan pada dirinya karena dia adalah anggota DPR.
P10 melanggar maksim penerimaan sehingga nilai ketidaksantunannya adalah
1 ------- X 100% = 10%. 10
345
Nilai itu menjadikannya politisi yang sangat santun. Nilai kesantunannya
meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan
maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan
relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Tetapi ada, sudah sudah ada hasilnya atau belum, itu yang ingin kita
ketahui begitu… .
Politisi 10 – Data 10 (P10-10)
Gini, gini, yang ingin saya sampaikan adalah, kita tidak akan pernah membungkam kekritisan anggota DPR, karena memang dipilih dia untuk bersuara, tetapi yang kita pertanyakan… .
Politisi 11 (Menyela)
Tetapi pendapatnya Pak P10 ini berbeda dengan ketua fraksinya... .
Politisi 10 – Data 11 (P10-11)
Yang kita ingin pertanyakan adalah sikap partai, ketika partai harus mengambil sebuah sikap politik. Nah kenapa kita pertanyakan sikap politik? Ini kan konsekuensi dari mereka bergabung dalam koalisi. Nah tentu ketika partai mengambil sikap politik, itu kan sudah mempertimbangkan masukan, argumentasi dari anggota partai masing-masing, kan begitu... .
P10-(10-11) mengatakan bahwa partainya tidak pernah melarang orang
bersikap kritis. Akan tetapi, pada saat ketua fraksi harus mengambil sikap politik
dalam koalisi, mereka seharusnya sudah mendapat masukan dari masing-masing
anggota partainya. Pernyataan itu ditegaskan dengan memberi penekanan pada
kata-kata “masukan” dan “argumentasi”
346
P10-(10-11) tidak menyetujui sikap narasumber lain yang mempertanyakan
kebebasan anggota DPR untuk bersuara karena dia menganggap dengan masuk
sebagai anggota koalisi, kebebasan itu pasti harus menuruti aturan. Dengan
mengatakan ketidaksetujuannya, P10 melanggar maksim kecocokan.
P11 menyela pada saat P10 sedang berbicara dengan mengatakan bahwa apa
yang diucapkan oleh P10 berbeda dengan ketua fraksinya. Dia menunjukkan
kelemahan P10 yang berpikiran tidak sejalan dengan ketua fraksinya tentang sikap
politik partai-partai yang bergabung dalam koalisi. Secara implisit dia mengatakan
bahwa apabila koalisi saja tidak sependapat, bagaimana mungkin koalisi bisa
mengatur negara?
Dengan melanggar satu maksim kesantunan yaitu maksim kecocokan, P10
mempunyai nilai pelanggaran kesantunan sebanyak
1 ------- X 100% = 10%. 10 Nilai itu sudah menjadikan P10-(10-11) politisi yang sangat santun. Nilai
kesantunannya meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas,
maksim cara, dan maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang
efektif, jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Ya anda kembali bergabung bersama kami dalam forum Today’s Dialogue. Saya ke Pak P10. Kalau begitu sejauh ini berarti kan evaluasinya ni kan masih terus berlangsung begitu ya. Artinya tetapi apakah sudah disepakati, begitu diantara para peserta parpol ini, setidaknya apa yang dinginkan dalam koalisi ini, apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan koalisi pemerintahan?
347
Politisi 10 – Data 12 (P10-12)
Kan gini, yang diinginkan oleh parpol peserta koalisi saya rasa dari segi ide, dari segi gagasan dan komitmen itu sama, yaitu bagaimana mengawal dan mensukseskan program-program pemerintah sampai 2014. Itu komitmen yang sama. Yang kedua, bagaimana komitmen yang sama itu diturunkan dalam tataran politik yang lebih praktis. Nah mereka juga sama semua, bahwa kita ingin koalisi ke depan itu kan menjadi lebih solid, menjadi lebih efisien, dan lebih efektif. Yang kedua, bagaimana misalnya untuk mewujudkan koalisi yang solid, koalisi yang efisien, dan efektif dalam menopang berbagai program dan kebijakan pemerintah itu, maka ada bentuk komunikasi yang lebih intensif, kualitas komunikasi yang terus ditingkatkan. Intensitas pertemuan, intensitas rapat juga terus ditingkatkan.
P10-12 mengatakan bahwa tujuan koalisi adalah menyukseskan program-
program pemerintah sampai tahun 2014. Semua partai yang bergabung dalam
koalisi menginginkan bahwa untuk membentuk koalisi yang solid, efektif, dan
efisien harus ada komunikasi yang lebih efektif, peningkatan kualitas komunikasi,
dan peningkatan intensitas rapat. Penegasan atas ucapannya dilakukan dengan
memberi penekanan pada kata-kata “mengawal”, “mensukseskan”, solid”,
“efisien”, “efektif”, dan “intensitas”.
P10-12 mengatakan bahwa ada keinginan agar koalisi ke depan menjadi
lebih solid, menjadi lebih efisien, dan lebih efektif. P10 menggunakan implikatur
yang merupakan satu strategi kesantunan untuk menghindari pengucapan
langsung bahwa sekarang ini koalisi kurang solid, kurang efisien dan kurang
efektif. Hal yang sama juga terjadi pada saat P10 mengatakan bahwa intensitas
pertemuan, intensitas rapat juga terus ditingkatkan. Hal ini berarti bahwa selama
ini intensitas pertemuan dan rapat belum dilaksanakan dengan baik. Kedua
pernyataan itu melanggar maksim kebijaksanaan karena merugikan koalisi yang
dianggap kurang solid, kurang efisien, dan kurang efektif dan juga adanya
348
tuntutan bahwa untuk bisa solid, efektif dan efisien, koalisi harus meningkatkan
intensitas pertemuan. Penggunaan kata “lebih” pada “lebih solid, efektif dan
efisien” dan “lebih intensif” dipergunakan untuk menurunkan tekanan akibat
adanya pelanggaran maksim kebijaksanaan dan pengancaman muka positif. Ada
implikasi bahwa koalisi sudah solid, efektif dan efisien (meskipun sebenarnya
tidak solid, efektif dan efisien), tetapi perlu ditingkatkan. Demikian pula
pertemuan sudah dianggap intensif (meskipun sebenarnya tidak intensif) tetapi
perlu ditingkatkan. Implikatur ini mengaplikasikan maksim kebijaksanaan.
Kesantunan lain yang dilakukan oleh P10 ialah menawarkan rasa solidaritas
dengan menyebutkan bahwa tujuan dan komitmen partai koalisi itu sama dan hal
ini adalah aplikasi maksim penerimaan karena memaksimalkan penghargaan
untuk pendengar.
Selama pembicaraannya P10 melanggar maksim kebijaksanaan sehingga
nilai kesantunannya:
1 ------- X 100% = 10%. 10 Nilai itu menjadikannya politisi yang sangat santun. Tingkat kesantunannya
bertambah karena dia juga mengaplikasikan maksim kebijaksanaan dan maksim
penerimaan Nilai kesantunannya meningkat karena dia juga mengaplikasikan
maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi karena dia sudah
menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
349
Pembawa acara Jadi ada sejumlah catatan begitu mengapa… Selama ini tidak seperti yang diharapkan, apakah kemudian kontraknya yang nanti akan dirubah begitu?
Politisi 10 – Data 13 (P10-13) Ini, ini hasil dari.., ini semua sama seperti ini, nah, cuman kan ada
persoalan, begitu.. selesai, gini... Persoalannya apakah memang ketika ada koalisi itu tadi dengan berbagai, apa, komitmen baru, untuk kedepan itu tadi, akan menegasikan sikap kekritisan, akan menyandera kebebasan berpendapat dan sebagainya, saya katakan tidak, yang namanya anggota DPR itu kan harus tetap kritis, Kita tidak pernah mempersoalkan kekritisan Mas P11, Sama, Pak P12 tidak pernah dipersoalkan kekritisannya, dan justru itu, itu bagian penting dari apa, anggota DPR... .
P10-13 mempertanyakan apakah dengan adanya komitmen baru, kekritisan
tidak akan hilang dan kebebasan berpendapat tidak akan disandera. Hal ini
ditegaskan melalui penekanan pada kata-kata ”menegasikan”, ”menyandera”, dan
”kekritisan”.
P10 melanggar maksim kecocokan pada saat dia mempertanyakan apakah
komitmen di koalisi tidak menghilangkan kekritisan anggota parpol koalisi di
DPR. Dengan pertanyaan itu P10 sudah menunjukkan keraguannya tentang
keberlangsungan kekritisan anggota DPR yang berasal dari partai anggota koalisi.
Hal ini melanggar maksim kebijaksanaan karena merugikan SBY sebagai penentu
pembuatan komitment baru.
P10-13 melanggar satu maksim kesantunan, yaitu maksim kebijaksanaan.
Dengan demikian nilai pelanggaran kesantunannya adalah
1 ------- X 100% = 10%. 10
350
Nilai itu sudah menjadikan P10-13 politisi yang sangat santun. Nilai
kesantunannya meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas,
maksim cara, dan maksim relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang
efektif, jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Tapi, kalau saya ingin menanyakan ini adalah pernyataan dari ketua fraksi Jafar Absah yang menyatakan, “Kita tidak bisa berbeda untuk hal yang strategis, perbedaan itu ada tempatnya, yaitu di luar koalisi.”
Politisi 10- Data 14 (P10-14)
Kan gini, kan saya katakan gini, ada, yang kemarin itu kan masih ada berbagai pandangan, yang dimaksud dengan koalisi itu kan masih interpretasinya masih berbeda beda. Misalnya, gini, apa Pak P12 menyatakan… .
Politisi 12 (Menyela)
Itu aja udah beda... .
P10-14 mengatakan bahwa interpretasi tentang koalisi masih berbeda-beda.
Hal ini ditekankan dengan menekankan pengucapan “pandangan” dan
“interpretasi”.
Dengan mengatakan bahwa kemarin (pada masa yang lalu) interpretasi koalisi
masih berbeda-beda, P10 ingin mengatakan bahwa pada masa sekarang ini
interpretasi koalisi sudah tidak berbeda. Akan tetapi, pernyataan itu tidak
menjawab pertanyaan pembawa acara yang ingin mendapat jawaban apa benar di
dalam koalisi tidak boleh ada perbedaan untuk hal yang strategis. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa P10-14 melanggar maksim relevansi.
351
P10-13 melanggar satu maksim kesantunan, yaitu maksim relevansi.
Dengan demikian nilai pelanggaran kesantunannya adalah
1 ------- X 100% = 10%. 10 Nilai itu sudah menjadikan P10-14 politisi yang sangat santun. Nilai
kesantunannya meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas dan
maksim cara. Dia juga sudah menggunakan bahasa yang efektif dan jelas
meskipun tidak relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Definisi koalisi belum tuntas, lalu bagaimana ini?
Politisi 10- Data 15 (P10-15)
Bukan, bukan. Jadi... Saya ingin jelaskan dulu ya, kenapa Pak Jafar itu menyatakan seperti itu ya, Misalnya Pak P12 mengatakan bahwa kami berkoalisi dengan Pak SBY, satu. Mas P11 menyatakan “Kami berkoalisi kan di Eksekutif,” Kita berfikiran bahwa… .
Pembawa acara
Oke.
Politisi 11 (Menyela)
Ndak… Saya nggak pernah ngomong begitu… .
Politisi 10 – Data 16 (P10-16)
Yang namanya, Golkar lah ya, yang namanya koalisi.. Saya katakan itu kan harus itu, tidak bisa ada yang namanya koalisi dalam teori politik apapun, ini, ini Mas Burhan ahli politik, walaupun saya kuliahnya di Ilmu Politik, tetapi yang ahli kan Mas Burhan, bahwa yang namanya koalisi itu harus utuh... Kenapa kita koalisi, karena kita juga butuh topangan dari parlemen. Nah ini, Nah kedepan, pernyataan-pernyataan seperti itu, perbedaan definisi seperti itu harus sudah sama.
352
Pembawa acara
Oke, baik...
Politisi 10 – Data 17 (P10-17)
Jadi bagaimana kita mau membangun kebersamaan, kesolidan, soal yang mendasar, soal definisi intepretasi terhadap koalisi aja berbeda, kan begitu ya.
Pembawa acara
Oke, berarti harus diperjelas di kontrak yang baru, begitu kurang lebih... Bagaimana akan diterima atau tidak ini kalau nanti... kontraknya dirubah… .
Politisi 10 – Data 18 (P10-18)
Ya itu tentu akan ada…
P10- (15–18) menyatakan bahwa pendapat tentang apa yang namanya koalisi
itu masih bermacam-macam, jadi pada masa yang akan datang perbedaan definisi
koalisi itu harus sudah tidak ada lagi. Pemahaman terhadap definisi koalisi harus
sama. Bagaimana membangun koalisi yang solid akan ada di dalam kontrak yang
baru. Koalisi diperlukan karena pemerintah perlu topangan dari parlemen.
Pernyataan P10 ditegaskan dengan cara memberi penekanan pada kata/frasa
“kami berkoalisi”, “koalisi”, dan “topangan”
P10-15 mengatakan bahwa P11 mengatakan bahwa koalisi terjadi di
eksekutif. Apa yang dikatakan oleh P itu ternyata tidak benar karena langsung
dibantah oleh P11. Dengan mengatakan sesuatu yang tidak benar, P10 sudah
melanggar maksim kualitas. P10-16 mengatakan bahwa meskipun dia kuliah di
bidang politik tetapi dia tidak ahli karena yang ahlinya adalah narasumber yang
353
lain. Dengan mengatakan hal itu, P10 sudah mengaplikasikan maksim kerendahan
hati.
P11 menyela pembicaraan P10 untuk membantah bahwa dia mengatakan
koalisi hanya terjadi di eksekutif. P10 juga mencoba untuk mendominasi, dan hal
itu terlihat pada saat dia mengucapkan data 16. Apa yang ingin dia bicarakan pada
butir itu sudah selesai, tetapi ada butir lain yang ingin dia sampaikan sehingga
pada saat pembawa acara mengatakan “oke...baik...” dengan tujuan untuk
memberikan kesempatan pada politisi lain, P10 tetap menyambung
pembicaraannya dan berhenti pada saat pembawa acara menghentikannya dengan
cara menyimpulkan apa yang sudah P10 ucapkan.
Maksim kualitas adalah satu-satunya maksim kesantunan yang dilanggar oleh
P10-(15-18) sehingga nilai pelanggaran kesantunannya adalah
1 ------- X 100% = 10%. 10 Nilai itu sudah menjadikan P10-(15-18) politisi yang santun. Nilai
kesantunannya meningkat karena disamping mengaplikasikan maksim kerendahan
hati dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara dan maksim
relevansi karena dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas dan relevan
dengan pertanyaan.
(Seorang narasumber mengatakan bahwa masing-masing anggota koalisi sedang meningkatkan daya tawar politik. Partai yang sudah setia pada koalisi tentu berharap mendapat insentif. Apabila tidak, ada kemungkinan mereka juga akan mengikuti langkah PKS dan Golkar karena tidak ingin disebut sebagai partai yang mengekor Demokrat. Partai yang awalnya terlihat membela rakyat, ujung-ujungnya menunjukkan kemunafikan sendiri-sendiri sehingga rakyat apatis, tidak menyukai partai politik yang
354
dianggap tidak mampu menjadi saluran kepentingan yang tepat. Partai akhirnya dianggap kotor)
Politisi 10 – Data 19 (P10-19) Saya, saya sepakat dengan apa yang disampaikan oleh Mas narasumber,
bagaimana parpol itu, itu kan bisa menjadi lebih solid, menjadi lebih baik kinerjanya. Justru yang menjadi apa, komitmen dari Partai Demokrat, Demokrat itu kan sudah mendapatkan mandat yang begitu luar biasa dari rakyat, di Pemilu Legislatif, dia diberikan mandat paling besar, di Pilpres juga diberikan mandat oleh rakyat, justru yang menjadi concern sekarang, agenda Partai Demokrat itu adalah bagaimana menunaikan mandat yang diberikan oleh rakyat itu, itu ditunaikan secara baik. Nah ini, ini menjadi, menjadi ini kita, kita ingin menunaikan mandat yang sudah diberikan... Itu dengan baik. Nah, sekarang problemnya…
P10-19 mengatakan bahwa harus diusahakan agar parpol menjadi lebih solid
dan lebih baik. Dia juga mengatakan bahwa rakyat sudah memberikan mandat
terbesar pada Partai Demokrat dan keinginan utama Partai Demokrat itu ialah
bagaimana menunaikan mandat itu dengan baik. Penegasan pernyataan ini
dilakukan dengan memberi penekanan pada kata/frasa “solid”, “lebih baik”,
“mandat”, “concern”, dan “menunaikan mandat”.
Dalam pemilihan umum untuk level mana pun, rakyat sebagai pemilih
mempunyai kekuasaan yang paling tinggi. P10 mengatakan bahwa Partai
Demokrat sudah mendapat mandat dari rakyat. Karena P10 berasal dari Partai
Demokrat, pernyataannya dapat dianggap sebagai meninggikan diri sendiri
sehingga melanggar maksim kerendahan hati.
Pelanggaran kesantunan yang dilakukan oleh P10 hanya pelanggaran
terhadap maksim kerendahan hati sehingga nilai pelanggarannya adalah
355
1 ------- X 100% = 10%. 10 Nilai itu sudah menjadikan P10-19 politisi yang sangat santun. Nilai
kesantunannya meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas,
maksim cara dan maksim relevansi dan sudah menggunakan bahasa yang efektif,
jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
(P11 mengatakan bahwa pada saat Partai Demokrat tidak menguasai DPR, keadaan aman-aman saja. Akan tetapi ketika Partai Demokrat memimpin DPR, keadaan jadi gonjang ganjing)
Politisi 10 – Data 20 (P10-20) Saya ingin menyimpulkan ya. Begini, begini… Bukan, bukan, bukan
kepemimpinan… nggak... nggak... saya, sebentar dulu ya... nggak... nggak, saya ingin me... Karena gini, saya ingin gini, ingin sampaikan masing-masing peserta koalisi itu double track, kenapa double track? Dia... mengatakan istilah, meminjam istilah Pak Amien Rais, tangan kanannya salaman dengan koalisi, tetapi tangan kirinya menusuk dari belakang... Jadi partai peserta koalisinya hipokrit.
P10-20 mengatakan bahwa gonjang ganjing bukan disebabkan oleh
kepemimpinan Partai Demokrat, tetapi karena anggotanya mendua dan munafik.
Tangan kanan salaman dengan koalisi, tangan kiri menusuk dari belakang.
Pernyataan ini dipertegas dengan memberi penekanan pada kata/frasa “double
track” dan “menusuk”.
P10-20 menuduh anggota koalisi melakukan double track atau hipokrit.
Pernyataan ini merugikan partai yang dianggap hipokrit tetapi pada saat yang
sama memaksimalkan keuntungan pada dirinya sendiri, yaitu Partai Demokrat.
Dengan demikian, P10 dapat dikatakan melanggar maksim kebijaksanaan. P10
356
juga melanggar maksim cara karena dia tidak menyebut siapa yang dimaksud
mendua, padahal di dalam koalisi ada enam. Akan tetapi, apabila maksim cara
diaplikasikan, P10 melanggar maksim kebijaksanaan karena dia merugikan partai
yang disebut mendua. Mendua dikatakan merugikan karena kata “mendua”
menunjukkan ketidaktegasan dan mau untung saja.
P10-20 melanggar dua maksim kesantunan, yaitu maksim cara dan maksim
kebijaksanaan sehingga nilai pelanggarannya adalah
2 ------- X 100% = 20%. 10 Nilai itu sudah menjadikan P10-20 politisi yang sangat santun. Kesantunannya
bertambah karena dia mengaplikasikan maksim kebijaksanaan. Dia juga
mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara dan maksim relevansi karena dia
sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan relevan dengan pertanyaan.
Secara keseluruhan nilai pelanggaran kesantunan yang dilakukan oleh P7
adalah
10 + 10 + 0 +30 + 10 + 0 +10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 10 + 20 = 10,71%. 14
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa P10 adalah politisi yang sangat santun.
Deskripsi kesantunan Politisi 10 dideskripsikan pada tabel berikut ini.
357
Tabel 4.23: Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 10
Politisi-Data Pelanggaran Maksim Persentase Pelanggaran
Predikat Kesantunan
P10-(1–3)
Kebijaksanaan 10% Sangat Santun
P10-4
Kecocokan 10% Sangat Santun
P10-5
-
0% Sangat Santun
P10-6
Kebijaksanaan Kualitas Penerimaan
30% Santun
P10-7
Cara 10% Sangat Santun
P10-8
-
0% Sangat Santun
P10-9
Penerimaan
10% Sangat Santun
P10-(10–11)
Kecocokan 10% Sangat Santun
P10-12
Kebijaksanaan 10% Sangat Santun
P10-13
Kebijaksanaan 10% Sangat Santun
P10-14
Relevansi 10% Sangat Santun
P10-(15–18)
Kualitas 10% Sangat Santun
P10-19
Kerendahan Hati 10% Sangat Santun
P10-20
Kebijaksanaan Cara
20% Sangat Santun
Politisi 10: Sangat Santun (10,71%)
Frekuensi pelanggaran maksim kesantunan yang dilakukan oleh P10 adalah
sebagai berikut.
358
Tabel 4.24: Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 10
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kebijaksanaan 5
2. Maksim kecocokan 2
3. Maksim cara 2
4. Maksim kualitas 2
5 Maksim penerimaan 2
6. Maksim relevansi 1
7. Maksim kerendahan hati 1
8. Maksim kuantitas 0
9. Maksim kemurahan hati 0
10. Maksim kesimpatian 0
Frekuensi pelanggaran itu menunjukkan bahwa P10 adalah politisi yang
cenderung memaksimalkan kerugian untuk orang lain. Kesantunan yang
ditunjukkan oleh P10 meningkat karena dia mengaplikasikan maksim kerendahan
hati, maksim kecocokan, maksim penerimaan, maksim kebijaksanaan, maksim
kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi.
4.2.5.2 Analisis Data Politisi 11 (P11)
P11 yang berasal dari Partai Golkar memberi jawaban dan tanggapan seputar
isu negatif yang ditujukan pada dirinya dan partainya.
Pembawa acara Baik, Pak P11 bagaimana melihatnya, dari, ke Partai Golkar sendiri kan ini juga ada sejumlah isu miring begitu ya, yang menerpa gitu saat ini, termasuk juga soal Blackberry, nah… .
359
Politisi 11 – Data 1 (P11-1)
Ya, pertama saya harus klarifikasi tadi disebut bahwa saya bersalah, ada masalah dengan pajak. Saya katakan saya clear dan saya, apa, dalam soal pajak ini, saya sudah sesuai dengan aturan dan perundang-undangan yang berlaku, sampai 2010 udah clear. Jadi nggak ada urusan pajak itu, jadi itu hanya, apa... memang ada beberapa upaya-upaya sejak saya mendorong Hak Angket Century, untuk mencoba mencari kesalahan, ta... tetapi karena mungkin karena saya menjadi pejabat negara baru seumur jagung, jadi saya... mereka belum menemukan unsur-unsur itu… .
Pembawa acara
Jadi ada kaitannya, anda menduga ada kaitannya dengan sikap... sikap kritis anda gitu yang selama ini anda perlihatkan kemudian… .
Politisi 11 – Data 2 (P11-2)
Ya, itu diakui atau tidak, ya. Karena teman-teman, banyak pihak yang menyampaikan pada kami bahwa beberapa pihak, yang apa, sosok yang kritis di DPR, termasuk dari PKS, termasuk dari Hanura, itu menjadi sasaran atau TO disebutnya… .
Pembawa acara
Memangnya apa yang salah dengan sikap kritis?
Politisi 11 – data 3 (P11-3)
Sebetulnya nggak ada yang salah… justru kalau kita meminjam perkataan sahabat saya tadi, sebetulnya ini urusan internal Partai Demokrat ya, yang tidak mampu melakukan lobi pada seluruh partai yang ada di DPR termasuk juga dengan koalisi, lalu menyalahkannya pada anggota koalisi yang tidak kompak. Kemudian juga ada pihak teman-teman Pak P10 mengatakan, bukan, bukan, bukan demokrat yang mengatakan, partai lain, tetapi anggota koalisi juga mengatakan bahwa jangan lagi ada di koalisi yang melakukan pengkhianatan. Nah pertanyaannya apakah ketika Golkar, PKS dan lain-lainnya berkeyakinan untuk membongkar mafia pajak lewat hak angket itu merupakan suatu pengkhianatan, gitu... rasanya kan tidak....
Pembawa acara
Nggak ada yang salah... . Baik. Tetapi perasaan dibidik itu ada gitu ya? karena sikap kritis anda... .
360
Politisi 11 – Data 4 (P11-4)
Ya saya tidak pernah mempedulikan itu, dan sampai saat ini saya walahualam ta ala aja, dan tidak ada persoalan, saya tidak pernah diancam, kecuali Akbar Faisal pernah meyampaikan pada kita secara terbuka dia diancam kan begitu, saya alhamdulilah tidak ada yang mengancam, mungkin… .
P11-(1-4) mengatakan bahwa dia tidak bersalah. Kesalahan yang dicari-cari
itu kemungkinan karena P11 mendorong terjadinya angket Century tetapi karena
dia pejabat negara baru, tidak ada kesalahan yang dapat ditemukan. Sikap yang
tidak kompak dari parpol koalisi disebabkan oleh kesalahan Partai Demokrat yang
tidak mampu melakukan lobi. Partai Demokrat mengatakan bahwa bukan mereka
yang mengatakan, tetapi anggota koalisi lain yang mengatakan bahwa jangan lagi
ada penghianatan. Ketika ada keinginan untuk membongkar mafia pajak, hal itu
bukan penghianatan. Meskipun sudah bersikap kritis, P11 tidak pernah merasa
ada ancaman terhadap dirinya. Pernyataan itu dipertegas melalui penekanan pada
kata/frasa “clear”, “udah clear”, “seumur jagung”, internal”, “anggota koalisi”,
dan “tidak kompak.
Menjawab pertanyaan pembawa acara apakah sikap kritis itu yang
menjadikan dirinya sasaran operasi, P11-2 mengatakan bahwa dirinya, termasuk
PKS dan Hanura, adalah anggota DPR yang kritis sehingga dia menjadi sasaran
operasi. Pernyataannya melanggar maksim kebijaksanaan karena menguntungkan
dirinya sendiri dan memaksimalkan kerugian bagi anggota DPR yang tidak
berasal dari partainya, PKS, dan Hanura. Ucapannya itu juga ditujukan untuk
menarik simpati masyarakat karena dia mendapat masalah akibat mendorong hak
angket Bank Century. Dia ingin memaksimalkan simpati pada dirinya dan
361
memaksimalkan antipati pada mereka yang sudah mencari-cari kesalahan dirinya.
Dia juga melanggar maksim cara karena tidak menyebut dengan pasti siapa yang
mencoba mencari-cari kesalahan dirinya.
P11-2 mengatakan, “Karena teman-teman, banyak pihak yang
menyampaikan pada kami bahwa beberapa pihak, yang apa, sosok yang kritis di
DPR, termasuk dari PKS, termasuk dari Hanura, itu menjadi sasaran atau TO
disebutnya…”. Pernyataan ini melanggar maksim cara karena dia tidak
menyatakan dengan jelas siapa yang mengatakan hal itu. Apakah memang benar
ada yang mengatakan hal itu atau tidak.
P11-3 juga mengatakan bahwa semua masalah muncul karena Partai
Demokrat tidak mampu melakukan lobi pada semua partai di DPR termasuk
koalisi. Dia menyoroti ketidakmampuan Partai Demokrat, dan hal ini sangat
merugikan sehingga dapat dikatakan dia melanggar maksim kebijaksanaan.
Pada saat P11-3 bertanya apakah membongkar mafia pajak lewat hak
angket merupakan suatu penghianatan, dia memaksimalkan keuntungan untuk
dirinya karena dia adalah salah satu dari mereka yang ingin membongkar mafia
pajak dan ucapannya merugikan Partai Demokrat sebagai partai yang
menganggapnya berhianat.
Pada saat pembawa acara bertanya apakah P11 merasa dibidik (diancam)
P11-4 menjawab dengan panjang dan bahkan menyebutkan orang lain yang
diancam. Jawaban itu melanggar maksim kuantitas dan juga maksim relevansi.
Dia dikatakan melanggar maksim kuantitas karena jawabannya terlalu panjang.
Sebenarnya dia tidak perlu mengatakan, “Ya saya tidak pernah mempedulikan
362
itu”, karena membuat kesan bahwa memang dia diancam tetapi tidak peduli. Akan
tetapi kemudian dia mengatakan “...saya tidak pernah diancam...”. Ada
kontradiksi pada dua ucapannya itu. Awalnya dia mengatakan ada upaya dirinya
dijadikan target operasi, tetapi ketika kembali dikonfirmasi oleh pembawa acara
dia mengatakan bahwa dirinya tidak merasa dijadikan target operasi. Pernyataan
yang menyiratkan tidak tetap pendirian ini merupakan pelanggaran terhadap
maksim kualitas. Kemudian ucapannya yang mengatakan bahwa Akbar Faisal
mengatakan dirinya diancam, tidak relevan untuk menjawab pertanyaan pembawa
acara.
P11-(1-4) dalam pembicaraannya sudah melakukan pelanggaran terhadap
enam maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim relevansi, maksim cara yang
dilakukan dua kali, maksim kebijaksanaan yang dilakukan sebanyak tiga kali,
maksim kualitas, dan kesimpatian. Hal ini berarti bahwa tingkat pelanggaran
kesantunannya adalah
6 ------ X 100% = 60 %. 10
Nilai tersebut menjadikan P11-(1-4) politisi yang cukup santun, tetapi
kesantunannya berkurang karena pelanggaran maksim yang sama dilakukan
berkali-kali.
(Seorang narasumber mengatakan bahwa parpol yang bertikai akan saling membuka aib lawannya. Jadi yang untung adalah masyarakat yang akhirnya mengetahui kebusukan masing-masing parpol tersebut. Narasumber ini malah akan bertepuk tangan ketika semua aib yang berada di bawah meja yang dibuat berdasarkan kesepakatan, dapat diketahui publik)
363
Pembawa acara Baiklah kalau...
Politisi 11 – Data 5 (P11-5)
Dan Kania, saya kira saya mengulangi keyakinan bahwa tidak, tidak... tidak ada kejahatan yang sempurna, mungkin saat pemerintahan yang sekarang, yang tinggal tiga tahun lagi berhasil disembunyikan, tetapi saya yakin setelah pemerintahan ini berakhir itu akan terungkap semua, ya kita tunggu saja, seperti kasus Wiki Leaks misalnya. Malah kita tiba-tiba menjadi terbuka kan begitu. Saya kira seperti itu.
P11-5 mengatakan bahwa dia yakin terbongkarnya kejahatan hanya
menunggu waktu saja. Hal ini ditegaskan dengan menekankan pengucapan
kata/frasa/klausa berikut “disembunyikan”, “saya yakin”, dan “wiki Leaks”
P11-5 melalui ucapannya “...mungkin saat pemerintahan yang sekarang, yang
tinggal tiga tahun lagi berhasil disembunyikan, tetapi saya yakin setelah
pemerintahan ini berakhir itu akan terungkap semua...”, menuduh bahwa
pemerintah sekarang sudah melakukan kejahatan dengan cara menutupi kejahatan.
Ucapan itu sudah melanggar maksim kebijaksanaan karena merugikan pemerintah
sekarang dan memaksimalkan keuntungan untuk dirinya sendiri. Di samping itu,
ucapan yang sama juga dapat dikatakan melanggar maksim kualitas karena sudah
mengatakan sesuatu tanpa bukti tentang pemerintah, sementara dia sendiri
seharusnya ikut bertanggung jawab. P11 menyapa pembawa acara dengan
menyebut namanya saja. Hal ini berarti dia ingin menunjukkan bahwa secara
status sosial dia lebih tinggi, dan dia tidak menghargai pembawa acara. Dengan
demikian, dia melanggar maksim penerimaan.
364
Pada data 5 tersebut P11 melakukan pelanggaran terhadap tiga maksim
kesantunan, yaitu maksim kualitas, maksim penerimaan dan maksim
kebijaksanaan. Dengan demikian, nilai pelanggaran kesantunannya adalah
3 ------ X 100% = 30 %. 10
Nilai tersebut menjadikan P11-5 politisi yang santun. Nilai kesantunannya
meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan
maksim relevansi, dan dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas dan
relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Jadi ada gagal melobi-lobi… . Apakah memang… sengaja diulur begitu Mas Burhan, memang sengaja
diulur karena… memang belum saatnya... . Politisi 11 – Data 6 (P11-6)
Saya sependapat... Bukan Kania, jadi gini, saya sependapat dengan apa saudara kompor ini, ketua kompor soalnya ini, jadi memang kalau kita, saya harus mengakui, ini kekuatan Pak SBY, dia berhitung betul, dia kalkulasi betul dampak ka... dampak politiknya, ketika desakan dari partainya sendiri, ingin mengeluarkan PKS dan Golkar. Kenapa dia kemudian harus mengorbankan muka partai sendiri dengan tidak menuruti PKS dan Golkar dikeluarkan, dia berhitung untuk pengamanan, keamanan dan stabilitas politik menunggu 2014. Dimanapun setiap presiden, ingin menyelesaikan jabatannya dengan soft landing. Dia tidak ingin ada kegaduhan, tidak ing... tidak ingin ada serangan serangan yang dari partai-partai yang selama ini mendukung dia… Jadi kalkulasi politiknya ada di situ.
P11-6 mengatakan bahwa SBY melakukan kalkulasi politik agar akhir masa
jabatannya berjalan mulus. Kalkulasi politik itu dia laksanakan meskipun
365
mengorbankan partainya sendiri. Pernyataan itu dipertegas melalui penekanan
pada kata-kata “kalkulasi” dan “mengorbankan”. Dia memberi penekanan juga
pada kata “kompor” karena orang yang diacu dengan sebutan “kompor” itu adalah
narasumber yang merupakan pengamat politik yang menjadi salah satu
narasumber dalam tayangan itu. Narasumber itu mengatakan bahwa SBY
melakukan kalkulasi politik tentang siapa yang akan dikeluarkan dari koalisi, PKS
atau Golkar.
P11-6 mengatakan bahwa SBY ingin menyelesaikan masa jabatannya dengan
baik meskipun dia harus mengorbankan muka partainya sendiri dengan jalan
tidak mengeluarkan Golkar dan PKS dari koalisi. Ucapannya menimbulkan
antipati terhadap SBY yang dapat dianggap sebagai pemimpin yang mau enak
sendiri, dan hal ini melanggar maksim kesimpatian. Dia juga menyebut
narasumber lain sebagai “kompor” yang berkonotasi sebagai orang yang
menambah panas situasi. Hal ini berarti bahwa dia meminimalkan penghargaan
pada orang lain, dan hal ini berarti bahwa dia melanggar maksim penerimaan.
P11-6 melanggar dua maksim kesantunan, yaitu maksim kesimpatian dan
maksim penerimaan. Dengan demikian, nilai pelanggaran kesantunannya adalah
2 ------ X 100% = 20 %. 10
Nilai tersebut menjadikan P11-6 politisi yang sangat santun. Nilai kesantunannya
meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan
366
maksim relevansi, dan dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas dan
relevan dengan pertanyaan.
Pembawa acara
Oke, berarti harus diperjelas di kontrak yang baru, begitu kurang lebih... Bagaimana akan diterima atau tidak ini kalau nanti... kontraknya dirubah… .
Politisi 10 (Menyela)
Ya itu tentu akan ada… .
Politisi 11 – Data 7 (P11-7)
Jadi begini, yang disampaikan... Pak P10 kita dapat memahami, kalau yang bahasa awal itu bahasa bunga-bunga, itu bahasa retorika, itu ilmu kita sama. Tetapi yang intinya adalah, Ketua Fraksi Demokrat menyatakan tidak boleh ada lagi hal-hal yang berbeda pendapat... ketika merumuskan hal yang strategis, kan begitu. Nah kita sepakat, Golkar sepakat, dan akan mendukung pemerintahan ini untuk sukses, sampai 2014. Nah kapan pemerintahan ini dikatakan sukses, ketika kebijakannya selalu dan harus diarahkan pada kepentingan publik atau kepentingan masyarakat, kan gitu… .
Kita pasti akan berbeda pandangan ketika koalisi mulai diarahkan untuk melakukan hal-hal diluar itu… Katakanlah contoh kasus misalnya Kasus Bank Century.Kita akan menolak… Kasus mafia pajak, kita kan menolak untuk diseragamkan... kan begitu.
P11-7 mengatakan bahwa Ketua Fraksi Demokrat tidak lagi memperbolehkan
adanya perbedaan ketika merumuskan hal-hal yang strategis. Semua anggota
koalisi sepakat untuk mendukung agar pemerintahan sukses sampai 2014, dan
pemerintahan dapat dikatakan sukses apabila diarahkan untuk kepentingan rakyat.
Apabila kebijakan tidak lagi untuk menyejahterakan rakyat maka anggota koalisi
367
pasti berbeda pendapat. Pernyataan itu ditegaskan dengan memberikan penekanan
pada kata/frasa “tidak boleh” dan “kapan”.
P11-7 mengatakan bahwa partainya dan parpol koalisi lain akan sepakat
apabila kebijakannya selalu diarahkan pada kepentingan publik atau kepentingan
masyarakat. Kemudian dia memberi contoh kasus-kasus yang membuat mereka
tidak sepakat, yaitu kasus Century dan mafia pajak. Partai P11 tidak sepakat
dengan Fraksi Demokrat, dan hal ini berarti bahwa fraksi Demokrat sudah
melakukan sesuatu yang tidak berpihak pada rakyat. Perkataannya melanggar
maksim kebijaksanaan karena merugikan Fraksi Demokrat dan juga melanggar
maksim kesimpatian karena masyarakat yang merasa kepentingannya tidak dibela
akan merasa antipati dengan fraksi Demokrat. Ucapannya juga melanggar maksim
kecocokan karena sudah memksimalkan ketidakcocokan pendapat dengan Partai
Demokrat.
P11-7 melanggar tiga maksim kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan,
maksim kesimpatian, dan maksim kecocokan. Hal ini berarti bahwa nilai
kesantunan yang dilanggar adalah
3 ------ X 100% = 30 %. 10
Nilai tersebut menjadikan P11 politisi yang santun. Nilai kesantunannya
meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan
maksim relevansi, dan dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan
relevan dengan pertanyaan.
368
Secara keseluruhan nilai pelanggaran kesantunan yang dilakukan oleh P11
adalah
60 + 20 + 20 + 30 = 32,5 %. 4 Berdasarkan nilai itu dapat dikatakan bahwa P11 adalah politisi yang santun. Nilai
kesantunannya meningkat karena dia mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim
cara, dan maksim relevansi, dan dia sudah menggunakan bahasa yang efektif,
jelas dan relevan dengan pertanyaan.
Berikut ini adalah penyajian deskripsi kesantunan politisi dalam bentuk tabel.
Tabel 4.25: Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 11
Politisi-Data Pelanggaran Maksim Persentase Pelanggaran
Predikat Kesantunan
P11-(1–4)
Kebijaksanaan Kesimpatian Cara Kuantitas Kualitas Relevansi
60% Cukup Santun
P11-5
Kebijaksanaan Kualitas Penerimaan
20% Sangat Santun
P11-6
Kesimpatian Penerimaan
20% Sangat Santun
P11-7
Kebijaksanaan Kesimpatian Kecocokan
30% Santun
Politisi 11: Santun (32,5)
Frekuensi pelanggaran maksim kesantunan yang dilakukan oleh P11 disajikan
dalam tebel berikut.
369
Tabel 4.26: Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 11
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kebijaksanaan 3
2. Maksim kesimpatian 3
3. Maksim kualitas 2
4. Maksim penerimaan 2
5. Maksim kuantitas 2
6. Maksim relevansi 1
7. Maksim cara 1
8. Maksim kecocokan 1
9. Maksim kemurahan hati 0
10. Maksim kerendahan hati 0
Frekuensi itu menggambarkan bahwa P11 adalah politisi yang cenderung
merugikan orang lain dan juga cenderung menciptakan rasa antipati masyarakat
pada lawan politiknya.
Label sebagai politisi yang santun mungkin akan berkurang karena P11
melakukan pelanggaran maksim yang sama berkali-kali, dan dia sama sekali tidak
mengaplikasikan maksim kesantunan.
4.2.5.3 Analisis Data Politisi 12 (P12)
P12 yang berasal dari PKS menjawab pertanyaan tentang tuduhan-tuduhan
negatif yang ditujukan pada partainya.
Pembawa acara
Baik, saya beralih dulu ke Pak P12 yang juga sudah hadir bersama kami pada malam hari ini untuk meminta tanggapannya. Isi dari SMS tersebut
370
adanya tuduhan ada kolaborasi dengan... dengan BIN, [jeda] bagaimana anda melihat permasalahan ini.
Politisi 12- Data 1 (P12-1)
Ya dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada Pak Yusuf Supendi yang juga salah seorang pendiri Partai keadilan, saya menilai apa yang dilakukan atau yang dialami Pak Yusuf Supendi itu berlebihan dan ada kesan mendramatisasi persoalan yang dihadapi, contohnya ketika kemudian ia menyampaikan permasalahan ini ke badan kehormatan DPR lalu kemudian ke KPK, lalu dia datang ke LPSK, katanya bahwa rumahnya itu digambar dengan cat merah ya, dan apa, ada lambang cross, yang kemudian dia melaporkan ke LPSK untuk mendapatkan perlindungan, kita nggak tahu siapa yang menggambar lambang itu di rumahnya, ya kan? Seolah-olah kan kemudian orang berpikir ini mungkin kader PKS yang melakukan itu, jauh sekali, kader PKS tidak akan pernah mau melakukan hal-hal seperti itu.
Pembawa acara
Tetapi isi-isi dari SMS tersebut adanya tudingan bahwa Pak Yusuf Supendi berkolaborasi dengan… .
Politisi 12 – Data 2 (P12-2)
Saya belum bertanya langsung dengan presiden partai ya, tetapi rasanya apa benar ya presiden partai mau mengirim SMS seperti itu ya? Apalagi suasana seperti ini, jadi sekali lagi saya menilai bahwa ketika dia mendramatisir persoalan, apalagi dengan kondisi seperti ini, dan kami juga sepertinya mencium bahwa ini ada semacam operasi politik yang dilakukan oleh… pada PKS, ya dengan berbagai macam cara. Ya dan ini tentu apa namanya, apa yang... kami pandangnya tadi seperti itu. Nah, kalau kemudian Yusuf Supendi merasa bahwa dia dicemarkan nama baiknya dan lain sebagainya ya silakan saja lapor ke polisi, ya kan, dan yang saya tahu di, di media, polisi kan menolak karena tidak cukup bukti ya untuk untuk dilaporkan. Apakah dia sudah membawa bukti lain saya tidak tahu. Tetapi bagi kami, silakan saja, sebagai warga Negara, ya sebagai Negara Negara hukum ya silakan saja melapor pada aparat penegak hukum.
P12-(1-2) mengatakan bahwa dia merasa partainya sudah dituduh melakukan
intimidasi atau semacam operasi politik atas Yusuf Supendi. Laporan Yusuf
Supendi ke DPR, KPK dan LPSK dianggap terlalu berlebihan dan mendramatisir.
P12 merasa bahwa ada yang melakukan operasi politik terhadap partainya. Dia
371
mempersilakan Yusuf Supendi untuk melapor ke polisi apabila merasa terancam.
Pernyataannya itu dipertegas dengan memberi penekanan pada kata/frasa
“berlebihan”, “mendramatisasi”, “perlindungan”, “kader PKS”, “sekali lagi”, dan
“operasi politik”.
P12-1 mengaplikasikan penerimaan pada saat dia mengatakan Yusuf Supendi
berlebihan dan mendramatisasi persoalan. Pernyataannya dipagari dengan
kalimat, “...dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada Pak Yusuf Supendi
yang juga salah seorang pendiri Partai keadilan...”.
Pada saat mengucapkan kalimat, “...kita nggak tahu siapa yang menggambar
lambang itu di rumahnya, ya kan?” P12-1 melanggar kesantunan karena pada saat
dia mengatakan “ya kan?” dia tidak memberi pilihan lain pada partisipan lain
kecuali menyetujui pernyataannya juga. Ada nada memaksa dalam pertanyaannya
itu sehingga dapat dikatakan bahwa P12 melanggar maksim kebijaksanaan. Dia
sudah merugikan pendengarnya karena seolah-olah sudah tidak memberi pilihan.
P12-2 juga melanggar kesantunan dengan cara mendominasi pembicaraan. Dia
memotong pertanyaan pembawa acara sehingga pertanyaan pembawa acara
menjadi tidak jelas karena tidak lengkap. Mendominasi adalah bentuk
minimalisasi penghargaan pada orang lain sehingga dia dapat dikatakan
melanggar maksim penerimaan.
Pelanggaran kesantunan juga dilakukan pada saat P12-2 mengatakan, “...dan
kami juga sepertinya mencium bahwa ini ada semacam operasi politik yang
dilakukan oleh… pada PKS...”. Pelanggaran pertama adalah pelanggaran
terhadap maksim kualitas. Pertama, dia menuduh ada operasi politik tanpa
372
memberikan bukti. Kedua, dia melanggar maksim cara karena dia tidak dengan
jelas menyebut siapa yang melakukan operasi politik terhadap PKS. Apabila P12
sebenarnya tahu siapa yang melakukan operasi politik, tetapi tidak
menyebutkannya dengan alasan ingin meminimalkan kerugian pada pihak
tersebut, dia berarti mengaplikasikan maksim kebijaksanaan. Akan tetapi, kalau
dia memang tidak tahu siapa yang melakukan hal tersebut, dia berarti mengatakan
sesuatu yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan sehingga dia
melanggar maksim kualitas. P12 juga mempertanyakan apakah mungkin Presiden
PKS mengirim SMS seperti itu? Meskipun tidak disebutkan isi SMS itu, dapat
diasumsikan bahwa SMS itu pasti berisi sesuatu yang tidak menyenangkan Yusuf
Supendi. Pertanyaan itu menyiratkan bahwa Yusuf Supendi sudah berbohong dan
ucapan itu mengancam muka negatif Yusuf Supendi, dan hal ini melanggar
maksim kecocokan karena P12 tidak setuju dengan tuduhan bahwa presiden PKS
sudah menulis SMS itu.
P12-(1-2) melakukan lima pelanggaran maksim kesantunan, yaitu maksim
kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim kualitas, maksim cara dan maksim
kecocokan. Dengan demikian, nilai pelanggaran kesantunannya adalah
5 ------ X 100% = 50%. 10 Nilai itu membuktikan bahwa P12-(1-2) adalah politisi yang cukup santun.
kesantunannya itu bertambah karena dia mengaplikasikan maksim penerimaan
melalui kalimat berpagar dan maksim kebijaksanaan. Dia juga mengaplikasikan
373
maksim kuantitas dan relevansi karena bahasa yang digunakan efektif dan relevan
dengan topik pembicaraan.
Pembawa acara
Betul begitu Pak P12 sendiri rasanya seperti apa begitu, artinya apakah memang tidak… .
Politisi 12 – Data 3 (P12-3)
Begini yang kalau kemudian kami mengatakan operasi politik itu tidak identik bahwa ini dilakukan oleh partai politik tertentu ya... .
Politisi 10 (Menyela)
Demokrat maksudnya?
Politisi 12 – Data 4 (P12-4)
Kita juga tidak merasa begitu, jadi tidak sama sekali...bahwa kemudian kami mengatakan bahwa ada partai-partai politik tertentu yang melakukan operasi ini, tidak. Jadi yang disebut dengan operasi politik bahwa ini diarahkan pada partai politik yaitu PKS. Ya bisa saja kelompok-kelompok mana yang memanfaatkan, orang-orang barisan sakit hati, ya kebetulan memang ini momentumnya pas ya, diobok-obok disini nggak mempan, diobok-obok disini nggak mempan, kayanya ini dicoba dengan dengan dengan cara seperti ini. Nah jadi sekali lagi Kang P10 saya ingin sampaikan bahwa tidak, tidak kemudian kami defensif ya, kemudian berusaha untuk cuci tangan bahwa ini e apa namanya operasi ini kemudian tidak ada kaitannya dengan kami, tentu kami sebagi partai introspeksi ya, bahwa ternyata memang serangan yang diberikan, yang dilakukan pada PKS itu ternyata belum berhenti begitu. Nah makanya kami instropeksi, konsolidasi. Nah Jadi sebenarnya ketika kita mencermati ini, ya tentu konsolidasi ditubuh partai itu semakin semakin kuat. Dan Ketika kami misalnya melakukan unjuk rasa, hari minggu yang lalu, itu juga ingin menunjukkan pada internal bahwa kita solid bersama gitu dalam, jadi tidak merisaukan isu-isu miring yang diarahkan pada pada PKS.
P12-(3-4) menganggap bahwa serangan terhadap PKS belum selesai, jadi
PKS harus melakukan introspeksi dan konsolidasi agar partainya semakin kuat.
Unjuk rasa yang dilakukan hanya untuk menunjukkan bahwa internal partai masih
374
solid. Penegasan terhadap pernyataannya dilakukan dengan memberi penekanan
pada saat mengucapkan kata/frasa “defensif”, “introspeksi”, “konsolidasi”,
“internal”, dan “solid bersama”.
Dalam data 4, P12 mengaplikasikan maksim kerendahan hati karena dengan
adanya serangan-serangan dari luar partai, dia akan melakukan introspeksi dan
konsolidasi ke dalam. P12-4 melanggar maksim cara karena dia tidak dengan jelas
menyebutkan partai mana yang berniat mengobok-obok PKS, siapa kelompok-
kelompok yang memanfaatkan situasi dan siapa saja yang termasuk barisan sakit
hati. Pelanggaran terhadap maksim cara itu juga berdampak pada pelanggaran
maksim kualitas karena dia tidak memiliki bukti adanya operasi politik yang
mungkin dilakukan oleh kelompok-kelompok yang disebut di atas yang dilakukan
terhadap PKS. Apabila ternyata P12-4 tidak tahu siapa yang termasuk kelompok
barisan sakit hati, berarti P12-4 juga melanggar maksim kualitas karena sudah
mengatakan sesuatu yang kebenarannya tidak dapat dijamin. Akan tetapi, apabila
P12-4 tahu siapa yang termasuk kelompok barisan sakit hati, tetapi tidak
mengatakannya karena tidak ingin memaksimalkan kerugian bagi pihat tersebut,
P12-4 mengaplikasikan maksim kebijaksanaan.
P12-(3-4) melakukan dua pelanggaran maksim kesantunan, yaitu maksim
kualitas dan maksim cara. Dengan demikian, berarti bahwa nilai pelanggaran
kesantunannya adalah
2 ------ X 100% = 20%. 10
375
Nilai itu membuktikan bahwa P12-(3-4) adalah politisi yang sangat santun.
Kesantunannya meningkat karena dia mengaplikasikan maksim kerendahan hati
dan maksim kebijaksanaan. Dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas dan
relevansi karena bahasa yang digunakan efektif dan relevan dengan topik
pembicaraan.
Pembawa acara
Baik, Pak P12 sendiri seperti apa meli... . (Pembawa acara menanyakan pendapat P12 tentang pendapat bahwa SBY
mengorbankan partainya sendiri untuk keamanan dirinya)
Politisi 12 – Data 5 (P12-5)
Di luar itu semua menurut saya, apa yang kita bicarakan tadi, saya pikir SBY juga menilai bahwa kemudian perombakan koalisi dan lain sebagainya itu bukan agenda penting dan mendesak yang harus dilakukan, lebih bagus bagaimana pemerintahan sekarang itu mendekatkan ya, jarak antara harapan dan kenyataan yang dihadapi oleh masyarakat. Itu lebih penting daripada tentang perubahan koalisi dan lain sebaginya. Rakyat justru menanti bagaimana mereka bisa memperbaiki kehidupan mereka, begitu, ada perbaikan hidup di tengah-tengah masyarakat, itu yang dibutuhkan oleh masyarakat yang sebenarnya… Daripada gonjang-ganjing politik. Seperti itu… .
Pembawa acara
Tetapi ada... . Tetapi Anda, anda sendiri melihat kenyataanya bahwa hingga hari ini PKS belum juga dipanggil apakah itu sebagai sinyal yang positif atau negatif…?
Politisi 12 – Data 6 (P12-6)
Berkomunikasi itu kan tidak mesti harus dipanggil ya, berkomunikasi itu tidak harus harus bertemu. Kalau sekarang komunikasi bisa by phone dan lain-lain sebagainya, jadi kami tidak begitu mengkhawatirkan, jadi diplomasi Presiden PKS yang tadi disampaikan oleh Kang P10 itu saya pikir itu sudah mencerminkan… .
376
P12-(5-6) mengatakan bahwa, menurut SBY, perombakan koalisi tidak
penting, yang lebih penting adalah berusaha memperbaiki kehidupan rakyat
seperti yang mereka harapkan. Fakta bahwa PKS belum dipanggil oleh SBY, P12-
6 menyatakan bahwa komunikasi tidak selalu harus dipanggil dan bertemu.
Penyataan tersebut ditegaskan melalui penekanan pada kata/frasa “penting”,
“mendesak”, “mendekatkan”, “memperbaiki kehidupan” dan “by phone”.
P12-(5-6) mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak melanggar maksim
kesantunan. Dia hanya menjelaskan bahwa perombakan koalisi tidak sepenting
usaha menyejahterakan rakyat dan komunikasi dapat dilakukan secara tidak
langsung yaitu melalui telepon. Karena P12-(5-6) tidak melanggar kesantunan,
nilai kesantunannya adalah 100%, dan hal ini berarti bahwa dia adalah politisi
yang santun. Dia mengaplikasikan maksim penerimaan karena sudah
memaksimalkan penghargaan pada SBY yang ternyata lebih mementingkan
perbaikan kehidupan rakyat daripada perombakan koalisi. Dia juga
mengaplikasikan maksim kuantitas, maksim cara, dan maksim relevansi karena
dia sudah menggunakan bahasa yang efektif, jelas, dan relevan dengan
pertanyaan.
Pembawa acara
Baik, Pak… seakan... oke, oke... Pak P12 dulu… . (Pembawa acara meminta pendapat P12 tentang pernyataan narasumber
lain yang mengatakan bahwa pendapat di dalam koalisi akan berbeda kalau tidak diarahkan untuk kepentingan publik)
Politisi 12 – Data 7 (P12-7)
Menurut saya Kang P10, yang harus dipahami itu adalah perbedaan itu harus dipahami sebagai sebuah usaha untuk mencari alternatif yang
377
terbaik. Nah kalau kemudian perbedaan itu kemudian dipahami sebagai sebuah pembangkangan, apalagi kemudian kejahatan ya, apalagi dipahami sebuah, sebagai sebuah sikap menantang, itu tidak akan pernah kita menuju pada sebuah toleransi dan kemudian menuju sebuah satu konsensus dan kemudian bisa bekerja sama kalau kemudian perbedaan-perbedaan itu seperti saya katakan tadi itu. Jadi pahamilah bahwa perbedaan itu sebagai usaha untuk mencari alternatif yang terbaik. Jadi, jadi untuk bahagia… .
P12-7 mengatakan bahwa perbedaan itu digunakan untuk mencari alternatif
yang baik. Akan tetapi, apabila perbedaan dianggap sesuatu yang negatif seperti
pembangkangan maka toleransi yang akan mencapai kata sepakat tidak akan
pernah terjadi. Ucapan-ucapannya dipertegas dengan menekankan pengucapan
kata-kata “alternatif”, “pembangkangan”, “kejahatan”, “menantang”, “toleransi”,
“konsensus”, dan “bekerja sama”.
Dalam data 7 tidak ditemukan adanya pelanggaran maksim kesantunan
karena P12-7 hanya memberi informasi bagaimana cara mencari alternatif yang
terbaik, bagaimana seharusnya perbedaan itu dipandang. Karena tidak ada
pelanggaran kesantunan, nilai kesantunan P12-7 adalah 100%. Nilai
kesantunannya meningkat karena dia juga mengaplikasikan maksim kuantitas,
maksim cara, dan maksim relevansi, dan dia sudah menggunakan bahasa yang
efektif, jelas dan relevan dengan pertanyaan.
Secara keseluruhan nilai pelanggaran kesantunan P12 adalah
50 + 20 + 0 + 0 = 17,5%. 4 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa P12 adalah politisi yang sangat santun.
Nilai kesantunannya meningkat karena selama berbicara dia mengaplikasikan
maksim penerimaan, maksim kebijaksanaan, dan maksim kerendahan hati.
378
Deskripsi kesantunan Politisi 12 dideskripsikan dalam bentuk tabel berikut
ini.
Tabel 4.27: Pelanggaran dan Predikat Kesantunan Politisi 12
Politisi-Data Pelanggaran Maksim Persentase Pelanggaran
Predikat Kesantunan
P12-(1–2)
Kebijaksanaan Penerimaan Kualitas Cara Kecocokan
50% Cukup Santun
P12-(3–4)
Cara Kualitas
20% Sangat Santun
P12-(5–6)
-
0% Sangat Santun
P12-7
-
0% Sangat Santun
Politisi 12: Sangat Santun (17,5%)
Frekuensi pelanggaran kesantunan yang dilakukannya disajikan dalam tabel
berikut ini.
Tabel 4.28: Urutan Pelanggaran Maksim Politisi 12
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kualitas 2 2. Maksim cara 2 3. Maksim kebijaksanaan 1 4. Maksim penerimaan 1 5. Maksim kecocokan 1 6. Maksim kuantitas 0 7. Maksim relevansi 0 8. Maksim kerendahan hati 0 9. Maksim kemurahan hati 0
10. Maksim kesimpatian 0
379
Dengan demikian, berarti bahwa P12 adalah politisi yang cenderung
mengatakan sesuatu tanpa bukti dengan cara yang tidak jelas dan dapat
dipertanggungjawabkan sehingga merugikan orang lain.
Untuk mengetahui kemampuan komunikasi Politisi 10, Politisi 11, dan
Politisi 12, analisis SPEAKING atas ketiga politisi itu dipaparkan melalui tabel
berikut ini.
Tabel 4.29: Analisis SPEAKING Politisi 10, Politisi 11, dan Politisi 12
Elemen SPEAKING Data Komunikasi Waktu dan tempat komunikasi (S)
Komunikasi berlangsung dalam acara talk show “Today”s Dialogue” di Metro TV yang ditayangkan hari Selasa, jam 23.00 – 24.00 WITA, tanggal 29 Maret 2011,dengan topik “Menekan Parpol Koalisi”.
Partisipan (P) P10, P11, P 12 dan pembawa acara. Hasil Komunikasi (E) Kesepakatan bahwa SBY dan partai Demokrat kurang mampu
menangani masalah yang ada di dalam tubuh koalisi dan menebarkan wacana adanya konspirasi politik untuk menjatuhkan pemerintahan.
Bentuk dan isi Komunikasi (A)
P10 menggunakan kata-kata yang menyatakan bahwa partainya adalah partai yang rendah hati. Hal ini dibuktikan melalui kalimat berikut. “...sebagai bagian dari pengurus partai, kita harus introspeksi pada diri kita kenapa persoalan seperti ini selalu muncul...”. P11 menggunakan kata-kata yang menyerang muka positif mitra tuturnya dengan mengatakan “...sebetulnya ini urusan internal partai Demokrat ya, yang tidak mampu melakukan lobi pada seluruh partai yang ada di DPR, termasuk juga dengan koalisi...”. P12 melalui ucapannya melakukan pembenaran diri dengan mengatakan “...tetapi rasanya, apa benar ya presiden partai mau mengirim SMS seperti itu ya? Isi komunikasi adalah tentang ketidak mampuan SBYdan partai Demokrat mengelola parpol yang ada di DPR termasuk koalisi dan kecenderungan adanya konspirasi politik yang dituduhkan kepada pihak-pihak tertentu.
Perilaku penyampaian Pesan (K)
Berdasarkan analisis kesantunan, perilaku penyampaian pesan P10 dan P12 adalah sangat santun, sedangkan P11, adalah santun.
Cara penyampaian Pesan (I)
Pesan disampaikan secara lisan dengan menggunakan bahasa lisan.
Norma interaksi dan Interpetasi (N)
Dalam penyampaian pesan, P10 dan P11 cenderung melanggar maksim kebijaksanaan dan P12 cenderung melanggar maksim kualitas
Jenis-jenis ujaran (G) P10, P11, dan P2 menyampaikan pesan dengan menggunakan kalimat-kalimat deklaratif kompleks.
380
Berdasarkan analisis di atas dan apabila dianalogikan dengan analisis kesantunan,
dapat dikatakan bahwa P10 dan P12 mempunyai kemampuan berkomunikasi yang
sangat baik, sedangkan P11 mempunyai kemampuan komunikasi yang baik.
4.3 Rangkuman
Berdasarkan isi pembicaraan keduabelas politisi itu dapat dikatakan bahwa
pembicaraan mereka dilatarbelakangi usaha untuk menarik simpati rakyat sebagai
pemilih sehingga partai mereka bisa memenangkan Pemilu 2014 atau paling tidak
mendapat suara banyak agar dapat menempatkan wakil-wakilnya di DPR. Usaha
itu diupayakan melalui pelanggaran maksim kesantunan dan aplikasi maksim
kesantunan.
Penentuan nilai kesantunan berbahasa dilakukan dengan cara menjumlahkan
nilai pelanggaran kesantunan keduabelas politisi tersebut kemudian dibagi
duabelas. Perhitungan tersebut menghasilkan nilai berikut:
30,77 + 25 + 18,57 + 18 + 13,30 + 27,14 + 20 + 15 + 22 + 10,71 + 32,5 + 17,5 12 = 20,87 %.
Nilai itu membuktikan bahwa politisi Indonesia adalah politisi yang santun
menggunakan bahasa.
Pengabaian pola gilir juga dilakukan oleh para politisi dengan menyela pada
saat seorang politisi diberi giliran berbicara oleh pembawa acara. Akan tetapi,
usaha mengabaikan pola gilir itu tidak pernah berhasil karena politisi yang
mendapat giliran bicara tidak bersedia menyerahkan kesempatan itu pada politisi
381
lain yang menyelanya. Usaha mendominasi juga terjadi, tetapi selalu dapat diatasi
oleh pembawa acara. Misalnya dalam kasus ketika P7 berbicara tentang
berbahayanya mendukung hak angket pajak. Usaha mendominasi juga terjadi
pada saat P10 berbicara tentang keharusan bagi koalisi untuk utuh.
Frekuensi pelanggaran maksim kesantunan keduabelas politisi dapat dilihat
pada tabel berikut
Tabel 4.30: Frekuensi Pelanggaran Maksim Seluruh Politisi
No. Pelanggaran Maksim Frekuensi Pelanggaran
1. Maksim kebijaksanaan 47
2. Maksim penerimaan 34
3. Maksim cara 32
4. Maksim kecocokan 16
5. Maksim kerendahan hati 15
6. Maksim kesimpatian 14
7. Maksim relevansi 9
8. Maksim kualitas 9
9. Maksim kuantitas 8
10. Maksim kemurahan hati 4
Frekuensi pelanggaran yang terbesar ialah pelanggaran terhadap maksim
kebijaksanaan, maksim penerimaan, maksim cara, dan maksim kecocokan.
Frekuensi tersebut menunjukkan bahwa pada umumnya politisi Indonesia selalu
berusaha merugikan lawan politik atau yang dianggap pesaing, dan usaha ini
dilakukan dengan menunjukkan kelemahan dan ketidakmampuan lawan
politiknya. Mereka juga cenderung melanggar maksim cara, dengan
menyampaikan pendapat atau idenya dengan cara yang tidak jelas. Misalnya
382
bahasanya berputar-putar atau tidak menyebut dengan jelas apa atau siapa yang
dimaksud. Cara yang berputar-putar itu menyebabkan ujaran menjadi panjang
dan tidak relevan. Akan tetapi, panjangnya ujaran ini bukan dengan maksud
meningkatkan kesantunan, melainkan usaha untuk semakin mengancam muka
partisipan yang mereka anggap berseberangan. Mereka menunjukkan kelemahan
lawan politiknya dalam kasus yang tidak relevan dengan topik saat itu. Misalnya,
pada saat membicarakan kasus Gayus, pembicaraan meluas ke Miranda Gate, dan
Bank Century. Sebenarnya, dengan sengaja berusaha memberikan jawaban
panjang pada saat menjawab pertanyaan pembawa acara, para politisi itu
mendapat kesempatan untuk menyampaikan pada masyarakat luas semua
kelebihan partainya, baik secara langsung maupun tidak langsung, tanpa
mempedulikan relevansinya. Jadi, jawaban itu tidak hanya ditujukan pada yang
bertanya, tetapi ditujukan pada semua pendengar terutama pemilih, dan sebagai
konsekuensinya, kesantunan/ketidaksantunan juga ditujukan pada pendengar juga.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa panjangnya ujaran dalam dunia politik
tidak berkorelasi positif dengan kesantunan. Melalui pelanggaran maksim
penerimaan, para politisi itu menunjukkan penghargaan yang minimal pada mitra
tuturnya dan melalui pelanggaran maksim kecocokan, politisi-politisi itu berusaha
menunjukkan sesuatu kepada masyarakat bahwa mereka tidak menyetujui semua
hal yang merugikan masyarakat yang telah dilakukan oleh pemerintah, dalam hal
ini, Presiden SBY. Dengan demikian, mereka berharap mendapat simpati
masyarakat, dan memilih mereka pada saat pemilihan umum yang akan datang.
383
Untuk meningkatkan kesantunan, mereka mengaplikasikan maksim
kesantunan yang berdasarkan frekuensi penggunaannya dipaparkan pada tabel
berikut.
Tabel 4.31: Frekuensi Aplikasi Maksim Seluruh Politisi
No. Aplikasi Maksim Frekuensi Aplikasi
1. Maksim kuantitas 83
2. Maksim relevansi 78
3. Maksim cara 58
4. Maksim penerimaan 28
5. Maksim kebijaksanaan 22
6. Maksim kerendahan hati 11
7. Maksim kemurahan hati 10
8. Maksim kesimpatian 5
9. Maksim kualitas 5
10. Maksim kecocokan 1
Frekuensi tersebut di atas menunjukkan bahwa para politisi itu pada
umumnya sangat membatasi panjang ucapannya, menjaga relevansi antara
pertanyaan dan jawaban serta dengan cara yang sejelas mungkin. Hal itu mereka
lakukan karena mereka menyadari bahwa dalam talk show waktu sangat terbatas.
Dalam waktu yang terbatas itu mereka berusaha menarik simpati masyarakat
sebanyak mungkin melalui relevansi jawaban yang dapat dimengerti oleh peserta
talk show dan masyarakat. Akan tetapi, nilai kesantunannya bertambah karena dia
mengaplikasikan maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan hati, maksim
kerendahan hati, dan maksim penerimaan. Maksim lain yang banyak
diaplikasikan adalah maksim penerimaan, maksim kebijaksanaan dan maksim
384
kerendahan hati. Aplikasi ketiga maksim itu sejalan dengan predikat bahwa
politisi Indonesia itu santun karena aplikasi maksim itu menunjukkan bahwa
politisi Indonesia memaksimalkan penghargaan pada mitra tutur, meminimalkan
kerugian bagi mitra tutur dan meminimalkan penghargaan untuk diri sendiri.
Dalam komunikasi seperti yang terjadi di dalam talk show, pelanggaran
terhadap kesantunan atau pengancaman muka tidak dapat dihilangkan, tetapi
aplikasi maksim kesantunan dalam bentuk penggunaan metafora, pilihan kata,
kalimat berpagar, dan implikatur dapat mengurangi tekanan ketidaksantunan.
Dari analisis data juga ditemukan bahwa penggunaan maksim dapat
menimbulkan masalah, yaitu maksim cara seringkali berbenturan dengan maksim
kebijaksanaan atau maksim penerimaan, pelanggaran maksim kuantitas seringkali
mengakibatkan pelanggaran maksim relevansi dan maksim kuantitas berbenturan
dengan kesantunan. Maksim kualitas merupakan salah satu maksim yang jarang
digunakan karena tidak mudah untuk mengetahui apakah pembicara berbohong
atau tidak. Dari data yang dianalisis, ditemukan bahwa maksim kualitas yang
mengharuskan pembicara berbicara jujur, ternyata berkonflik dengan maksim lain
seperti misalnya maksim kebijaksanaan, maksim penerimaan, dan maksim
kesimpatian.
Berdasarkan analisis data keduabelas politisi itu, temuan yang dapat
dipaparkan adalah sebagai berikut.
Pertama, ketidaksantunan yang mereka lakukan bukan karena topik
pembicaraan atau partai asal politisi tersebut. Ketidaksantunan yang mereka
lakukan disebabkan oleh karakter mereka sendiri dan latar belakang sosial
385
mereka, termasuk latar belakang keluarga. Misalnya, P7 seringkali berbicara
dengan nada suara tinggi, bukan karena topik pembicaraan, melainkan karena dia
berasal dari Sumatra Utara (Pematang Siantar), dan karena dia sedang emosional
karena partainya dipojokkan oleh narasumber lain. Akan tetapi, hal yang berbeda
terjadi pada P9. Meskipun dia juga berasal dari Sumatra Utara, pembawaannya
dalam berbicara sangat tenang meskipun pada saat melakukan pelanggaran
kesantunan. Oleh karena itu, asal daerah tidak dapat dijadikan alasan untuk
berkata keras atau kasar di hadapan kelompok masyarakat lain. Pendidikan
kesantunan yang diberikan dalam keluarga akan membuat seseorang mampu
membedakan status sosial sehingga mampu memilih bahasa yang pantas
digunakan pada suatu konteks dan situasi tertentu. Pelanggaran kesantunan juga
bukan disebabkan oleh partai asal politisi tersebut. Dalam data ditunjukkan bahwa
P3, P7, dan P10 adalah politisi yang berasal dari partai yang sama. Ketiganya
mendapat serangan yang bertubi-tubi dari partisipan talk show yang lain. Akan
tetapi, yang bereaksi keras hanya P7, dan reaksi kerasnya itu membuat dia
menjadi defensif, mendominasi, dan mengucapkan kalimat-kalimat dengan nada
tinggi, bahkan menggunakan bahasa tubuh, menunjuk-nunjuk orang yang
membuatnya kesal. Sebagai anggota kelompok masyarakat yang terhormat, P7
seharusnya bisa lebih menjaga emosi. Berdasarkan temuan itu, dapat disarankan
bahwa sebaiknya untuk dapat menjadi politisi yang baik, seseorang harus
mempunyai kualitas emosional yang baik. Pengukuran kesantunan sangat
ditentukan oleh konteks, situasi, dan budaya. Sehubungan dengan dunia politik,
dalam berbicara pada level nasional, budaya yang berterima adalah budaya
386
nasional, yaitu budaya yang berterima pada level nasional, berterima di
masyarakat umum. Keberadaan politisi itu bukan mewakili budaya-budaya
tertentu karena akan ada budaya yang tidak terwakili, tetapi bagaimana caranya
memahami kesantunan yang berlaku umum.
Kedua, Leech (1983) mengatakan bahwa pelanggaran kesantunan dapat
dilakukan untuk menjaga perasaan mitra tutur. Akan tetapi politisi dalam talk
show ini pelanggaran kesantunan dilakukan untuk menyerang mitra tuturnya.
Misalnya:
Pembawa acara
Oke, itu satu hal tetapi bagaimana dengan ketidakmampuan Badan Kehormatan untuk melakukan eksekusi terhadap putusannya sendiri. Ketika BK mengatakan ya, satu orang bersalah, ketika dilempar ke partai politik ternyata tidak bersalah, tidak usah mundur, tidak usah non-aktif. Badan kehormatan tidak bisa berbuat apa-apa.
Politisi 5 – Data 8 (P5-8)
Ya, memang itu tidak diatur secara explisit tetapi ada tindakan tindakan dewan yang tidak bisa digunakan semestinya. Kalau katakan seseorang anggota “saya pernah mengalami” dipindahkan dari alat kelengkapan, artinya dia tidak boleh memimpin sebuah komisi. BK memutus seperti itu karena cukup berat, hanya karena dia tidak diberhentikan maka yang saya lihat fraksinya masih menempatkan yang bersangkutan disana. Kami langsung menemui pimpinan DPR, pimpinan DPR harus dengan tegas untuk bisa memindahkan, paling tidak melarang yang bersangkutan untuk ada ditempat dimana dia tidak diperbolehkan oleh Fraksinya. Itu dalam wilayah-wilayah pimpinan DPR. Jadi saya pikir tidak boleh ada keputusan BK yang tidak tereksekusi atau terlaksanakan. Saya pikir selama saya memimpin periode yang lalu, yang sekarang belum pernah ada putusan ketika saya setahun di BK; periode kedua ini. Yang lalu tidak ada keputusan BK yang dilaksanakan. Ada yang hampir-hampir tidak dilaksanakan tetapi segera kita atasi. Pimpinan BK menghadap pada pimpinan DPR.
387
Pada saat P5-8 mengatakan bahwa pada saat menjabat sebagai Badan
Kehormatan dia pernah menghukum seorang anggota DPR dengan cara tidak
mengizinkannya memimpin sebuah komisi karena melakukan pelanggaran yang
cukup berat, P5-8 melanggar maksim cara karena tidak dengan jelas menyebutkan
siapa anggota yang terhukum itu. Dia juga melanggar maksim kerendahan hati
karena memuji-muji diri sendiri. Dia mengatakan bahwa pada masanya semua
keputusan Badan Kehormatan harus tereksekusi. P5-8 juga dapat dianggap
melanggar maksim penerimaan karena dia sudah meminimalkan rasa hormat pada
sebuah fraksi yang tetap membela anggotanya yang sudah dinyatakan bersalah
oleh Badan Kehormatan. Pernyataannya menunjukkan bahwa fraksi tersebut
tidak menghormati keputusan Badan Kehormatan DPR. Kutipan di atas
menunjukkan bahwa pelanggaran kesantunan yang dilakukan tiga kali bertujuan
untuk mengatakan bahwa Badan Kehormatan sekarang tidak mampu
melaksanakan kewajibannya, dan hal ini menyerang muka positif Badan
Kehormatan yang sekarang
Ketiga, Wijana & Rohmadi (2009:55) mengatakan bahwa ujaran yang
panjang justru sering kali dimaksudkan untuk bersikap sopan. Akan tetapi dalam
bahasa yang digunakan oleh politisi dan dalam talk show, ujaran yang panjang
bukan digunakan untuk berlaku sopan dan menyenangkan mitra tutur, melainkan
digunakan sebagai kesempatan untuk semakin banyak melakukan ketidak
santunan atau menyerang muka mitra tuturnya. Misalnya:
388
Pembawa acara Tetapi pernyataan dari Gayus ini kemudian menawarkan diri untuk menjadi staff ahli Kapolri, staff ahli KPK, kemudian mengatakan bisa membersihkan Indonesia dari korupsi, apabila diberi kesempatan dalam waktu dua tahun. Artinya ini bisa dijadikan tamparan bagi para penegak hukum? Apa yang bisa kita tangkap dari pernyataan Gayus ini? Saya ke Pak P1. Politisi 1 – Data 1 (P1-1)
Jadi memang kalau kita melihat secara utuh gambar negara kita sekarang ini Mbak Kania, e... seolah-olah kita dihadapkan pada sebuah frustrasi yang meluas sekali ya. Karena para penegak hukum itu justru yang mungkin malah pertama-tama melanggar hukum ya. Di Kejaksaan, di Kepolisian, di KPK jangan lupa, itu sami mawon ya. Jadi sepertinya Ketuhanan yang Maha Esa sudah menjadi keuangan yang maha kuasa itu ya. Jadi sudah ugal-ugalan mereka itu ya. Semua itu uang, uang, uang, uang ya. Dan saya sendiri sering kali merenung apa apa apa masih ada cara lain ya. Karena tadi disebut dibelakang Gayus ada godfather... saya kira itu godfathers. Bukan satu, saya kira banyak ya. Jadi banyak godfather-godfather yang yang memang bekerjanya itu sehari semalam, patologinya itu patologi... maaf mungkin garong atau perampok ya (KS tertawa) sudah ugal-ugalan gitu ya. (P1-1) Kutipan di atas memperlihatkan bahwa P1-1 melanggar maksim cara karena
P1-1 tidak langsung memberi jawaban pada pertanyaan pembawa acara tentang
apa yang bisa ditangkap dari pernyataan Gayus. P1-1 bahkan memberi komentar
tentang kenyataan bahwa aparat penegak hukum seperti kejaksaan, kepolisian dan
KPK sebagai pelanggar hukum nomor satu. Dia juga menyatakan bahwa Gayus
memiliki godfathers atau pelindung yang kuat dan ugal-ugalan. P1-1 juga
menyampaikan bahwa dia sedang merenungkan suatu cara, padahal pembawa
acara tidak bertanya tentang cara untuk melakukan apa pun. Kalimat bahwa dia
sedang merenungkan suatu cara dikategorikan pelanggaran terhadap maksim cara
karena apa yang disampaikan tidak jelas. Cara untuk apa yang sedang
direnungkan oleh P1-1? Pelanggaran terhadap maksim cara ini sekaligus juga
389
merupakan pelanggaran terhadap maksim kuantitas. Panjangnya jawaban P1-1,
dalam hal ini, tidak menyiratkan adanya usaha untuk bersikap lebih santun, tetapi
usaha untuk menunjukkan pada masyarakat bahwa aparat hukum di negeri ini
adalah penjahat, penerima suap dan pelindung penjahat. Contoh ini menunjukkan
ujaran yang panjang, akan tetapi isinya bukan untuk membuat mitra tutur atau
pada siapa tuturan itu ditujukan merasa nyaman, melainkan merasa bahwa muka
positif mereka terancam dan hal ini berarti melanggar maksim penerimaan. Apa
yang sudah dilakukan oleh aparat hukum, yang menurut mereka baik, sudah tidak
dihargai oleh P1-1
390
BAB V
CIRI-CIRI SATUAN VERBAL PARA POLITISI
5.1 Pendahuluan
Setelah pembicaraan tentang bahasa yang digunakan oleh para politisi, pada
Bab V ini akan dilakukan pembicaraan tentang bagaimanakah ciri-ciri satuan
verbal para politisi dikaitkan dengan kesantunan dan ketidaksantunan. Tujuan
pembahasan satuan verbal ini ialah untuk menemukan bentuk-bentuk bahasa
yang digunakan oleh para politisi dan sejauh mana satuan verbal itu memengaruhi
kesantunan.
Pembicaraan ini dilakukan dalam tiga tataran yaitu tataran fonem, morfem dan
kalimat.
5.2 Analisis Fonologi
Pembicaraan tentang fonologi yang berhubungan dengan bahasa lisan
biasanya berhubungan dengan fitur prosodik. Sebagaimana yang telah disebutkan
di atas bahwa analisis percakapan memberi sumbangan pada bentuk-bentuk
linguistik, seperti prosodi, fonologi, sintaksis, dan leksikon. Misalnya, fitur
prosodik digunakan untuk menandai pergantian pembicara, menandai ujaran yang
sudah atau belum selesai, dan pemilihan pembicara berikutnya. Fitur prosodik ini
disebut juga suprasegmental dan meliputi nada bicara, intonasi, dan tekanan.
Suprasegmental berupa fonem, tidak berbentuk kata, tetapi dapat membedakan
makna. Dilihat dari sudut pragmatik fitur prosodik dan siapa yang berbicara dapat
391
mengubah fungsi ujaran. Misalnya ujaran, “Bener nih...bener?” (P6). Apabila
ujaran itu diucapkan dengan nada menaik di ujung ujaran disertai jeda pendek
antara “nih”dan “benar” yang kedua, ujaran itu diucapkan dengan maksud
menegaskan apakah sesuatu itu benar. Akan tetapi, kalau ujaran itu diucapkan
dengan nada datar dan agak panjang di bagian ujungnya seperti yang dilakukan
oleh P6, ujaran itu diucapkan dengan maksud mengejek. Si pembicara tahu bahwa
apa yang diucapkan mitra tuturnya ialah sesuatu yang tidak benar dan mereka
berdua (P6 dan P7) dalam konteks pembicaraan itu tidak sepaham. Contoh lain
ialah ujaran “minum...minum dulu” (P6). Apabila ujaran itu diucapkan dalam
konteks yang berbeda, misalnya antara tuan rumah dan tamu dan diucapkan tanpa
memperpanjang bagian ujung ujaran, itu berarti tawaran. Akan tetapi, di dalam
konteks tayangan talk show, ujaran itu diucapkan oleh P6 pada P7 yang sedang
emosi dan sedang berbeda pendapat dengan P6 dan diucapkan dengan ucapan
yang lebih panjang di bagian ujung, ujaran itu menjadi ujaran yang mengejek P7.
P6 meminta P7 untuk minum dulu agar emosinya menurun. Intonasi yang berbeda
dapat mengubah fungsi suatu ujaran. Dengan demikan dapat dikatakan bahwa
dalam pragmatik, makna suatu ujaran tidak saja ditentukan oleh intonasi, tetapi
juga ditentukan oleh siapa yang berbicara dan konteks pembicaraan tersebut.
Tekanan yang diberikan pada suatu kata dapat digunakan untuk membuat
pendengar memusatkan perhatian pada kata-kata yang diberi tekanan lebih oleh
penutur. Penekanan yang diberikan pada kata-kata tertentu dapat merupakan tanda
bahwa kata-kata itulah yang merupakan bagian penting dari ujarannya.
Misalnya:
392
1) Kita tetap tegak lurus tanpa perlu membungkukkan badan dan kehilangan
harga diri (P6).
2) Beliau mengatakan bahwa tidak mungkin koalisi saja untuk membangun
negeri ini yang begitu banyak masalahnya dan begitu luas wilayahnya
(P7).
3) Kami di luar atau di dalam pemerintahan, di resuffle atau tidak, itu bukan
masalah yang besar (P8).
4) Kalau pemerintah SBY mengambil langkah-langkah misalnya menolak
impor besar, kita pasti dukung (P9).
Pada contoh (1) ada beberapa kata yang digarisbawahi. Kata-kata itu ialah
“kita”, “badan” dan “diri”. Penekanan itu dapat dilihat pada diagram berikut ini.
393
Bagian atas diagram di atas menunjukkan ketebalan pelafalan suku kata
sedangkan bagian bawah diagram ialah diagram yang menunjukkan tinggi
rendahnya tekanan suara. Bagian bawah diagram itu akan digunakan untuk
mengukur tekanan yang diberikan pada sebuah kata. Kata-kata yang mendapat
tekanan digambarkan melalui frekuensi gelombang suara yang tinggi. Dengan
memberi tekanan pada kata “badan” dia ingin menarik perhatian pendengar pada
frasa “membungkukkan badan” dan dengan memberi tekanan pada kata “diri” dia
ingin menarik perhatian pendengar pada frasa “harga diri”. Kedua frasa itu
menunjukkan sikap yang menghormati diri sendiri. Jadi, “kita” ialah sekelompok
orang yang menghormati diri sendiri sehingga tidak takut dikeluarkan dari koalisi.
Ketiga kata yang diberi tekanan itu mengacu pada sosok manusia yang sama
yang menurut konteks pembicaraan mempunyai harga diri, tidak takut dikeluarkan
dari koalisi. Dengan menggunakan tiga kata yang beracuan sama sebanyak tiga
kali, P6 ingin menyampaikan ketetapan hatinya untuk tetap berpegang pada
kebenaran tanpa takut dikeluarkan dari koalisi. Hal ini merupakan ujaran
sombong apalagi ditujukan pada penguasa. Oleh sebab itu dia dapat dikatakan
melanggar maksim penerimaan karena diucapkan oleh anggota salah satu partai
koalisi yang dianggagap tidak setia, telah melanggar kesepakatan koalisi, dan
menteri dari partainya diisukan akan diganti.
Pada contoh (2) kata/frasa yang mendapat penekanan ialah ”mengatakan”,
”saja”, ”banyak masalah” dan ”luas”. Penekanan ini dapat dilihat pada bagian
bawah diagram berikut.
394
Maksud P7 memberi tekanan pada kata-kata tersebut di atas ialah untuk
menyatakan bahwa tanggung jawab untuk membangun negara yang begitu banyak
masalah dan begitu luas wilayahnya seharusnya tidak dibebankan pada kelompok
koalisi saja. Partai-partai nonkoalisi juga harus berpartisipasi. Penekanan
kata/frasa itu juga membuat pernyataan itu menjadi suatu pengakuan bahwa
“beliau” (SBY) tidak sanggup membangun negeri ini tanpa bantuan pihak lain.
Hal ini dapat dikatakan aplikasi maksim penerimaan karena diucapkan oleh orang
yang berada di pihak SBY.
Pada contoh (3) kata-kata yang digarisbawahi ialah “di luar”, “diresuffle” dan
“bukan”. Penekanan yang dimaksud dapat dilihat pada bagian bawah diagram
berikut ini.
395
Maksud P8 memberikan penekanan pada kata-kata itu ialah untuk menunjukkan
bahwa partainya tidak mempersoalkan apakah anggotanya masih duduk di
kabinet atau diganti karena yang lebih penting ialah berusaha membangun negara
Indonesia. Pernyataan yang terdengar terlalu menghargai diri sendiri ini
melanggar maksim penerimaan karena diucapkan oleh orang yang berbeda
pendapat dengan penguasa meskipun dia berada di dalam koalisi.
Contoh (4) menunjukkan bahwa kata-kata yang mendapat penekanan ialah
“SBY”, “langkah-langkah”, “misalnya”, dan pasti”. Hal ini ditunjukkan pada
bagian bawah diagram berikut.
396
Maksud P9 memberi tekanan pada kata-kata tersebut ialah untuk menyatakan
bahwa, meskipun partainya tidak bergabung dalam koalisi, jika SBY melakukan
kebijakan yang pro rakyat, partainya pasti akan mendukung. Kalimat (4)
merupakan suatu perumpamaan yang tidak terjadi, yang mempunyai makna
bahwa partainya tidak membantu karena SBY tidak melakukan sesuatu yang pro
rakyat, seperti menolak impor beras. Pernyataan ini merupakan pelanggaran
maksim kebijaksanaan karena merugikan SBY dan pihaknya. Apalagi ujaran itu
diucapkan oleh orang dari partai oposisi.
Analisis di atas menunjukkan bahwa tekanan pada kata juga dapat digunakan
untuk mendapatkan makna suatu ujaran. Namun, hal itu harus dibantu dengan
pengetahuan tentang latar belakang pembicara.
397
5.3 Analisis Morfologi
Dalam membentuk kalimat-kalimat yang mereka ucapkan, para politisi itu
menggunakan kata-kata, baik kata-kata dasar maupun kata-kata yang sudah
mengalami proses afiksasi. Proses afiksasi ini dapat dan tidak dapat mengubah
kategori kata. Proses afiksasi yang ditemukan dalam kalimat-kalimat yang
diucapkan oleh para politisi dipaparkan di bawah ini. Alwi (1998) mengatakan
bahwa analisis kata dapat dilakukan dari segi sintaksis, bentuk, dan makna.
Karena bagian ini hanya akan mencari ciri-ciri satuan verbal bahasa yang
digunakan oleh politisi, pembahasan pada tataran kata dilakukan hanya pada
bentuknya saja. Pembahasan berdasarkan bentuk ini juga akan dilakukan hanya
pada verba karena hanya verba merupakan kategori kata terpenting dalam suatu
kalimat dan verba ini dapat memengaruhi keformalan bahasa (Alwi,1998:99)
Alwi (1998:99), verba dapat dibagi menjadi dua, yaitu verba asal dan verba
turunan.
(1) Verba asal ialah verba yang dapat berdiri sendiri, misalnya ada, datang,
mandi, tidur.
(2) Verba turunan yang dibagi menjadi:
(a) Verba dasar bebas dengan afiks wajib, misalnya mendarat, melebar,
mengering.
(b) Verba dasar bebas, dengan afiks manasuka, misalnya (mem)baca,
(mem)beli, (meng)ambil.
(c) Verba dasar terikat dengan afiks wajib, misalnya bertemu, bersua,
membelalak.
398
(d) Verba berulang, misalnya berjalan-jalan, memukul-mukul, makan-
makan
(e) Verba majemuk, misalnya naik haji, campur tangan, cuci muka.
Berikut disajikan prefiks yang digunakan membentuk verba. Menurut Alwi
(1992:107) prefiks dan sufiks dapat digabungkan. Penggabungan prefiks dan
sufiks harus mengikuti aturan sebagai berikut: (a) ke- tidak dapat bergabung
dengan –kan atau –i, kecuali untuk kata “ketahui”, (b) meng-, per-, ter-, dan di-
tidak dapat bergabung dengan –an, (c) ber- tidak dapat bergabung dengan –i, dan
(d) ke- hanya dapat bergabung dengan –an dan –i. Penentuan kategori kata dasar
dilakukan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, terbitan Balai Pustaka
tahun 2005.
5.3.1 Prefiks Meng-
Alwi (1988) mengatakan bahwa penggunaan prefiks meng- mempunyai
delapan kaidah. Kedelapan kaidah tersebut akan dipaparkan di bawah ini beserta
contoh yang diambilkan dari kata-kata dalam kalimat-kalimat yang diucapkan
oleh politisi dalam tayangan talk show Today’s Dialogue.
Kaidah 1:
Jika prefiks meng- dilekatkan pada kata dasar yang diawali oleh fonem /a/, /i/,
/u/, /e/, /o/, /ǝ/, /k/, /g/, /h/ dan /x/, prefiks meng- akan tetap meng- .
Misalnya:
5) Ini sesungguhnya hanya... apa, menggunakan ini apa e... rasa takut semu,
begitu ya. (P1)
399
6) Seorang Madof bisa mengkorupsi uang negara sampai 65 milyar dollar,
atau 60 trilyun lebih ya. (P1)
7) Dan (Gayus) bahkan belakangan menghadirkan tadi yang menghadirkan
banyak orang barangkali tertawa tapi juga sangat geram begitu; ... (P2)
8) Dia mengundurkan diri, ya. (P1)
9) Bahwa bangsa-bangsa yang lainpun juga pernah mengalami problem-
problem yang tidak kalah dahsyat daripada perjalanan bangsa kita. (P2)
Verba “menggunakan” berasal dari nomina “guna” yang diberi meng- dan -
kan ; verba “mengkorupsi” berasal dari nomina “korupsi” yang diberi meng-;
“menghadirkan” berasal dari verba “hadir” yang diberi meng- dan –kan, verba
“mengundurkan” berasal dari verba “undur” yang diberi meng- dan -kan, verba
“mengalami” berasal dari verba “alam” yang diberi meng- dan –i.
Kaidah 2:
Jika prefiks meng- dilekatkan pada kata dasar yang diawali oleh fonem /l/,
/m/, /n/, /ñ/, /ṉ/, /r/, /y/, dan /w/, prefiks meng- berubah menjadi me-.
Misalnya:
10) Karena (yang tidak bersalah) harus melanjutkan kehidupannya dalam
konteks reformasi maupun kita-kita bernegara ini. (P2)
11) Konstitusi kita meniscayakan adanya distribusi kekuasaan. (P3)
12) Karena mereka yang bermain inilah yang merasakan bagaimana menata
negara ini. (P3)
Verba “melanjutkan” berasal dari adjektiva “lanjut” yang diberi meng- dan -
kan; verba “meniscayakan” berasal dari adverbia “niscaya” yang diberi meng- dan
400
–kan; dan verba “merasakan” berasal dari nomina “rasa” yang diberi meng- dan –
kan.
Kaidah 3:
Jika prefiks meng- dilekatkan pada kata dasar yang diawali oleh fonem /d/,
/t/, prefiks meng- berubah menjadi men- .
Misalnya:
13) Ketika (PKS) mendukung usul angket mafia pajak... (P8)
14) Saya tidak mendahului takdir ya,... (P1)
Verba “mendukung” berasal dari verba “dukung” yang diberi meng-, dan
verba “mendahului” berasal dari nomina “dahulu” yang diberi meng- dan –i.
Kaidah 4:
Jika prefiks meng- dilekatkan pada kata dasar yang diawali oleh fonem /b/,
/p/, /f/ prefiks meng- berubah menjadi mem-.
Misalnya:
15) Ketika pun mahasiswa dan Pak Amien Rais ketika itu memperjuangkan
reformasi... (P2)
16) Jadi teri dan paus juga bukan berarti akan saling me... akan saling
bertarung atau akan saling membongkar, bisa jadi akan saling
berkolaborasi lagi nanti si teri dan paus membuat skandal-skandal baru
yang e... lebih dahsyat lagi. (P2)
Verba “memperjuangkan” berasal dari verba “juang” yang diberi memper-
dan -kan; dan verba “membongkar” berasal dari verba “bongkar” yang diberi
meng-.
401
Kaidah 5:
Jika prefiks meng- dilekatkan pada kata dasar yang diawali oleh fonem /c/,
/j/, /s/ dan /š/ prefiks meng- berubah menjadi meny- .
Misalnya”
17) Semua kita menjadi saling mencurigai, semua kita menjadi tidak bisa
saling dipercaya omongannya. (P2)
18) Ini (kasus Gayus) kan sama aja akan menyandera kita semuanya untuk
tidak pernah menyelesaikan. (P2)
19) Tapi etika hukum pun juga menjadi bagian yang penting untuk di
dicermati. (P2)
Verba “mencurigai” berasal dari adjektiva “curiga” yang diberi meng- dan -i;
verba “menyandera” berasal dari nomina “sandera” yang diberi meng-, dan verba
“menjadi” berasal dari verba “jadi” yang diberi meng-.
Kaidah 6:
Apabila prefiks meng- dilekatkan pada kata yang bersuku satu, meng-
berubah menjadi menge- .
Contoh untuk kaidah enam ini tidak ditemukan dalam data yang terkumpul.
Kaidah 7:
Kaidah 7 mengatakan bahwa perlakuan terhadap kata-kata yang berasal dari
bahasa asing diperlakukan berbeda-beda Yang diperhatikan hanyalah kecocokan
artikulasi.
Misalnya:
20) Seorang Madof bisa mengkorupsi uang negara sampai 65 milyar dollar,
402
atau 60 trilyun lebih ya... (P1)
21) Saya tidak ingin mengkritik atau memuji ya... (P1)
22) Dia merefleksikan kehendak rakyat. (P1)
23) Beliau itu kan mengevaluasi. (P7)
Verba berprefiks meng- pada contoh 18 - 21 berasal dari kata asing. verba
“korup: berasal dari “corrupt”, verba “kritik” berasal dari “critique”, verba
“refleksi” berasal dari “reflect” dan verba “evaluasi” berasal dari “evaluate”.
Akan tetapi, apabila diperhatikan penggunaan kaidah untuk prefiks meng- sesuai
dengan kaidah 1 – 5.
Kaidah 8:
Apabila verba direduplikasi, kata dasarnya diulangi dengan mempertahankan
peluluhan konsonan pertamanya.
Misalnya”
24) Atau (dia/partai Demokrat) menutup-nutupi suatu dugaan ada mafia pajak
dan sebagainya di negara ini. (P6)
25) Jadi kalau anda mengungkit-ungkit masalah angket, ...(P7)
Kata dasar “menutup-nutupi” ialah nomina “tutup” dan kata dasar
“mengungkit-ungkit” ialah verba “ungkit.
5.3.2 Prefik Ber-
Alwi (1988) menyatakan bahwa penggunaan prefiks ber- memiliki empat
kaidah.
403
Kaidah 1:
Prefiks ber- berubah menjadi be- jika dilekatkan pada kata dasar yang diawali
oleh /r/. Contoh verba ini tidak dijumpai dalam data yang terkumpul.
Kaidah 2:
Prefiks ber- berubah menjadi be- jika dilekatkan pada kata dasar yang suku
pertamanya berakhir dengan /ǝr/. Contoh verba ini tidak dijumpai dalam data yang
terkumpul.
Kaidah 3:
Prefiks ber- berubah menjadi bel- jika ditambahkan pada kata dasar tertentu.
Misalnya:
26) Karena kalau (kita) hanya belajar dari luar negeri, dari negara lain,...(P5)
Kata dasar dari verba “belajar” ialah nomina “ajar”
Kaidah 4:
Prefiks ber- tidak berubah apabila dilekatkan pada kata dasar di luar kaidah -
1-3
Misalnya:
27) Manusia itu besok bertanggungjawab dihadapan Allah, ...(P1)
28) Jadi teri dan paus juga bukan berarti akan saling me... akan saling
bertarung atau akan saling membongkar, bisa jadi akan saling
berkolaborasi lagi nanti si teri dan paus membuat skandal-skandal baru
yang e... lebih dahsyat lagi. (P2)
29) Kekurangan-kekurangan diantara lembaga ini sangat berpengaruh
terhadap perjalanan bangsa. (P3)
404
30) Dalam suasana yang demikian memang kita berharap...(P4) ,
31) Saya tidak berpikir buruk... (P5)
Kata dasar dari verba “bertanggung jawab” ialah nomina “tanggung jawab”,
kata dasar dari verba “bertarung” ialah verba “tarung’ kata dasar dari verba
“berkolaborasi” ialah nomina “kolaborasi”, kata dasar dari verba “berpengaruh”
ialah nomina “pengaruh”, kata dasar dari verba “berharap” ialah verba “harap”
dan kata dasar dari verba “berpikir” ialah nomina “pikir”.
Di samping adanya verba yang diberi prefiks dalam bentuk baku seperti
contoh-contoh yang sudah diberikan sebelumnya, ada juga verba yang
menggunakan prefiks tetapi prefiksnya tidak digunakan sebagaimana mestinya
sehingga bentuk verba tersebut menjadi tidak baku.
Misalnya:
32) Mereka itu hanya untuk nakut-nakuti saja. (P1)
33) Bagaimana orang yang ditahan bisa jalan-jalan ke luar negeri.(P4)
34) Ya, masak kita nangis-nangis guling-guling kayak anak kecil kan gak
mungkin. (P6)
35) Tapi saya ga nuduh siapa-siapa ya... (P7)
Pada contoh (32) di atas, kata “nakut-nakuti” ialah bentuk yang tidak baku
karena bentuk bakunya ialah “menakut-nakuti”. Kata “jalan-jalan” pada contoh
(33) ialah bentuk yang tidak baku karena bentuk bakunya ialah “berjalan-jalan.
Demikian pula kata “nangis-nangis” pada contoh (34) seharusnya digunakan
dalam bentuk baku yaitu “menangis”. Pada contoh (35) kata “nuduh” yang tidak
baku seharusnya diucapkan secara baku, yaitu “menuduh”
405
Para politis dalam talk show juga menggunakan verba dalam bentuk kata
dasar dan bentuk kata dasar itu ada yang merupakan bentuk baku dan ada pula
yang tidak baku.
Contoh verba dalam bentuk kata dasar yang baku ialah:
36) Dengan semangatnya kawan-kawan ini bikin angket. (P7)
37) Beliaulah yang tahu. (P7)
Contoh verba dalam bentuk dasar yang tidak baku ialah:
38) Kali ini (mengevaluasi) pake tata etika. (P7)..
39) Sebelumnya kita mau denger tadi komitmen apa yang dilanggar ...(P8)
Kata “pake” ialah bentuk tidak baku karena bentuk bakunya ialah “memakai”
sedangkan bentuk baku dari “denger” ialah “dengar”
Afiksasi sebenarnya tidak memengaruhi santun atau tidak santunnya suatu
kata apabila yang dilihat ialah isi pembicaraan. Menurut Leech (1983:139),
kesantunan ditentukan oleh isi pembicaraan dan cara menyampaikannya. Bahasa
tidak baku belum tentu tidak santun dan bahasa baku belum tentu santun. Bahasa
santun berbeda dengan bahasa baku. Bahasa baku ialah bahasa yang mengikuti
kaidah tata bahasa, sedangkan bahasa yang santun ialah bahasa yang pilihan
katanya tidak merendahkan atau menyinggung perasaan mitra tutur. Bahasa yang
santun dapat direpresentasikan melalui bahasa yang baku dan bahasa yang tidak
baku, tergantung dengan siapa seseorang berbicara dan dimana pembicaraan itu
dilakukan. Bahasa yang santun yang digunakan untuk menghormati orang lain
ialah bahasa yang menggunakan kata-kata santun. Wardhaugh (1986:100)
mengatakan bahwa di Singapura bahasa formal digunakan pada ranah pendidikan,
406
agama dan pemerintahan. Ketiga ranah itu ialah ranah resmi tempat semua
partisipan wajib menggunakan bahasa baku untuk mengekspresikan kesantunan
mengingat bahwa partisipan pada ranah itu ialah orang-orang terhormat. Kalaupun
dalam ranah-ranah tersebut orang yang lebih tua berhadapan dengan peserta tutur
yang lebih muda, mereka tetap sama-sama wajib menggunakan bahasa santun
untuk menghargai satu sama lain.
Harras (2009:1) mengatakan bahwa pilihan kata yang tidak santun dapat
menimbulkan masalah. Oleh karena itu, penggunaan kata seperti “tolong”,
“silakan”, dan “maaf” dapat digunakan untuk meningkatkan kesantunan.
Penggunaan kata-kata yang tidak baku juga dapat dianggap tidak santun karena
kata-kata itu dianggap tidak pantas diucapkan pada acara formal, seperti talk show
“Today’s Dialogue”. Halliday (1985:19) mengatakan bahwa pilihan kata atau
bahasa harus disesuaikan dengan konteks situasi. Halliday (1985:12) mengatakan
bahwa untuk berbicara santun ada tiga hal yang harus dipertimbangkan dan ketiga
hal itu ialah siapa mitra tuturnya, topik apa yang sedang dibicarakan dan tempat
mereka melakukan komunikasi itu. Talk show “Today’s Dialogue” adalah suatu
aktivitas formal yang membicarakan masalah yang berkaitan dengan negara dan
masyarakat dan dilakukan oleh kelompok politisi yang merupakan anggota
masyarakat yang terhormat sehingga sudah sepantasnya semua partisipan dalam
acara itu menggunakan bahasa yang santun.
Akan tetapi, sejalan dengan pendapat Wahyu (www@t-
wahyu.staff.gunadarma.ac.id) yang menyatakan bahwa bahasa lisan sering
menampilkan unsur gramatikal yang tidak lengkap, politisi yang dijadikan sumber
407
data pada penelitian ini juga sering menampilkan bahasa yang tidak gramatikal.
Berdasarkan data yang ada, para politisi itu cenderung menggunakan kata dasar
karena mereka ingin berbicara dengan cepat dalam waktu yang sangat terbatas. Di
samping itu dengan tidak mendominasi waktu, pembicara dapat dikatakan
menghargai keberadaan partisipan lain yang juga ingin mendapat kesempatan
berbicara. Hal ini ialah salah satu cara mengaplikasikan kesantunan. Dalam hal
ini, penghilangan afiks tidak memengaruhi kesantunan, bahkan dapat menciptakan
suasana yang lebih santai, sepanjang pilihan kata dan isi ujaran tetap santun, tidak
mengancam muka positif atau negatif mitra tutur.
Berikut adalah contoh yang menunjukkan bahwa penghilangan afiks dan
penggunaan kata tidak baku dapat menghemat penggunaan waktu.
Kalimat, “Tapi saya ga nuduh siapa-siapa ya.” (P7)” mengandung kata “ga” yang
merupakan bentuk tidak baku dari “tidak” dan kata “nuduh” yang bentuk bakunya
ialah “menuduh”. Apabila diucapkan, “Tapi saya tidak menuduh siapa-siapa ya.”
lebih panjang daripada kalimat “Tapi saya ga nuduh siapa-siapa ya.”
Kalimat, “Kali ini pake tata etika” (P7) menggunakan kata tidak baku “pake” yang
bentuk bakunya “memakai”. Kalimat, “Kali ini memakai tata etika” memerlukan
waktu pengucapan yang lebih lama daripada “Kali ini pake tata etika”
Disamping penghilangan afiksasi, ada kecenderungan politisi menggunakan
reduplikasi. Menurut Alwi (1998:147-148) reduplikasi dalam bahasa Indonesia
baku mempunyai enam bentuk, yaitu
1. Dasar + Dasar, misalnya: makan-makan.
2. Dasar + (Prefiks + Dasar), misalnya: memukul pukul-memukul.
408
3. Dasar + (Prefiks + Dasar + Sufiks), misalnya: mencintai
cinta-mencintai.
4. (Prefiks + Dasar) + Dasar, misalnya: berjalan-jalan.
5. Prefiks + (Dasar + Dasar) + Sufiks, misalnya: bersalaman
Bersalam-salaman.
6. Perulangan dengan salin bunyi, misalnya: bolak-balik.
Dalam data, ada kata-kata “menutup-nutupi”, mengungkit-ungkit”, “nakut-
nakuti”, “jalan-jalan”, dan nangis-nangis” yang merupakan reduplikasi. Semua
contoh itu merupakan reduplikasi yang sebenarnya berpola (Prefiks + Dasar) +
Dasar. Akan tetapi tidak semua contoh itu menggunakan bentuk baku karena
“nakut-nakuti” dan “nangis-nangis” yang dalam bentuk baku seharusnya
“menakut-nakuti” dan “menangis-nangis” tidak menggunakan prefiks me-,
sementara “jalan-jalan” yang dalam bentuk bakunya adalah “berjalan-jalan” tidak
menggunakan prefiks ber-
Penggunaan kata dasar atau penghilangan afiksasi ini merupakan ciri
kelisanan, seperti yang disampaikan oleh Wahyu (2010) tentang ciri-ciri bahasa
lisan. Oleh karena talk show ini adalah komunikasi lisan, meskipun digunakan
oleh politisi,bahasa yang dipakai adalah bahasa yang mempunyai ciri kelisanan.
5.4 Analisis Kalimat
Pada bagian ini kalimat-kalimat yang diucapkan oleh keduabelas politisi akan
dibahas berdasarkan hubungan antarklausa (koordinasi dan subordinasi),
berdasarkan bentuk sintaksis (deklaratif, imperatif, interogatif dan eksklamatif)
409
dan berdasarkan predikasi yang digunakan dalam kalimat (kalimat berpredikat
adjektiva, nomina, numeralia, dan frasa preposisional),
5.4.1 Kalimat Berdasarkan Hubungan Antarklausa
Kalimat-kalimat yang digunakan oleh para politisi di dalam talk show
sebagian besar ialah kalimat-kalimat kompleks yang klausa-klausa pembentuknya
mempunyai hubungan koordinasi dan subordinasi. Untuk hubungan koordinasi
konjungtor yang digunakan ialah “kemudian”, “tetapi/tapi”, “padahal”, “atau” dan
“lalu”.
Misalnya:
40) Artinya...ya, setengah gila dalam arti e.. dalam arti dia melakukan sebuah
kejahatan yang sesungguhnya amat sangat dahsyat ya, tapi kan tenang ya,
kemudian tidak ada rasa menyesalnya. (P1)
41) Tentulah tidak untuk diikuti, tidak untuk kemudian dijadikan sebagai
suatu e.. trend, suatu mode yang akan diikuti oleh yang lain, tetapi
sesuatu yang harus, saya dalam beragam wawancara saya katakan, harus
menampar para penegak hukum. (P2)
42) Kita tidak bisa hanya menyalahkan dari sisi eksekutif apabila tidak
mendapat dukungan daripada legislatif, dan juga apabila tidak mendapat
dukungan daripada yudikatif. (P3)
43) Tapi kalau kita kemudian e... media, rekan-rekan pers, penegak hukum
yang masih punya nurani, partai-partai politik yang nuraninya masih
410
mereka mereka jaga dengan baik, atau mereka individu-individu negeri
ini yang tetap mau bekerja untuk Indonesia,...(P2)
44) Mungkin yang lain yang lebih prinsipil juga ialah unsur-unsur yang
membuat atau mengurus undang-undang itu atau aturan itu tidak semua
fraksi padahal hal itu akan diberlakukan di keanggotaan seluruh fraksi.
(P5)
45) Partai Demokrat sudah Z, menginisiasi usul angket mafia pajak lalu kita
ikut A, B, C, D sudah sampai F, dari Z itu kembali ke A. (P8)
Menurut Alwi (1988:386), klausa-klausa pada kalimat di atas digabungkan
dengan cara koordinasi sehingga terbentuklah kalimat majemuk setara. Dalam
kalimat majemuk setara, semua klausa mempunyai kedudukan yang sama atau
dengan kata lain semua klausa itu merupakan klausa utama. Konjungtor
“kemudian” dan konjungtor “lalu” menunjukkan urutan kejadian, konjungtor
“tetapi” dan “padahal” menunjukkan pertentangan, konjungtor “dan”
menunjukkan penggabungan, dan konjungtor “atau” menunjukkan pilihan.
Untuk hubungan subordinasi, konjungtor yang digunakan oleh para politisi
itu ialah “karena”, “kalau”, “ketika”, “sehingga”, “walaupun”, “bahwa”,
“bagaimana”, dan “apakah”.
Misalnya:
46) Dan saya sendiri sering kali merenung apa apa apa masih ada cara lain ya,
karena tadi disebut di belakang Gayus ada godfather... saya kira itu
godfathers. (P1)
47) Awas kalau Gayus diusut tuntas nanti republic bisa goncang. (P1)
411
48) Ketika pernyataan-pernyataannya menghadirkan ketidakjujuran, yang
menghadirkan dalam tanda kutip secara terbuka me... betul-betul hukum
ialah sesuatu yang bisa dipermainkan, sesuatu yang bisa diperjualkan,
bahkan sesuatu yang bisa dibohongkan sekalipun. (P2)
49) Ada niat presiden untuk memperbaiki sistem pemilukada, tapi tarik-
menarik politik demikian besar, sehingga kekuatan politik yang paling
dominan yang ada di DPR itulah yang pada akhirnya ya memenangkan
pertarungan itu. (P3)
50) Walaupun pada tataran hukum atau pada Court of Law itu ada tapi kalau
Code of Ethics atau Code of Conduct tidak mengatur, ini lalu kita
kehilangan pedoman untuk menerapkan sangsi yang imperatif itu.(P5)
51) Kita tahu bahwa proses peralihan kepemimpinan terlalu tidak cermat.
(P3)
52) Kita serahkan pada ketua umum untuk mengambil keputusan apakah kita
tetap bersama dengan pemerintahan ini sampai 2014 atau kita berpisah
ditengah jalan. (P6)
53) Makanya kita sebagai ketua-ketua lembaga Negara bersepakat untuk
selalu berkomunikasi, bersinergi, bagaimana masing-masing institusi
kita bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa kita ini. (P3)
Alwi (1988:390)) mengatakan bahwa konjungtor “karena” mempunyai makna
memberi alasan, konjungtor “kalau” menyatakan syarat, konjungtor “ketika”
menyatakan waktu, konjungtor “sehingga” menunjukkan hasil, dan konjungtor
“walaupun” menunjukkan konsesif. Klausa subordinasi yang diawali oleh
412
“bahwa” akan menjadikan klausa tersebut menjadi klausa subordinasi yang
berfungsi sebagai objek. Klausa subordinasi juga dapat dibentuk dengan
menggunakan kata tanya “apakah” dan “bagaimana.
Berdasarkan analisis dan observasi tayangan talkshow, para politisi
menggunakan kalimat-kalimat kompleks karena mereka ingin berbicara dalam
kalimat-kalimat panjang sehingga dapat menggunakan sebagian bahkan seluruh
waktu yang tersedia, yang biasanya sangat terbatas, untuk mengemukakan atau
menyampaikan pesan partainya pada masyarakat dengan selengkap mungkin.
Cara ini juga dilakukan untuk mencegah partisipan talkshow yang lain yang
berasal dari partai yang lain menyampaikan pesan partainya sehingga masyarakat
tidak mengetahui kondisi partai tersebut.
5.4.2 Kalimat Berdasarkan Bentuk Sintaksis.
Menurut Alwi (1988:352) berdasarkan bentuk sintaksis kalimat dapat dibagi
menjadi bentuk deklaratif, imperatif, interogatif dan eksklamatif. Kalimat
deklaratif ialah kalimat yang menyatakan sesuatu dan oleh sebab itu dinamakan
kalimat berita. Kalimat imperatif ialah kalimat yang menyatakan larangan, kalimat
interogatif ialah kalimat tanya dan kalimat eksklamatif ialah kalimat yang
digunakan untuk menyatakan perasaan.
5.4.2.1 Kalimat Deklaratif
Kalimat deklaratif yang digunakan dalam talk show dapat merupakan kalimat
tunggal dan kalimat majemuk setara (koordinatif) dan kalimat majemuk
bertingkat (subordinatif).
413
Contoh kalimat deklaratif ialah
54) Ketuhanan Yang Maha Esa sudah menjadi keuangan yang maha kuasa
itu ya. (P1)
55) Ini periode kedua saya. (P5)
56) Ada sekian banyak anggota BK yang diadukan menyimpang dalam
perjalanan dinas pun saya usut dan ini juga merupakan bagian
dari.....ketidaksukaan bahwa saya terlampau mencampuri urusan aduan.
(P5)
57) Ya, memang itu tidak diatur secara explisit tetapi ada tindakan tindakan
dewan yang tidak bisa digunakan semestinya. (P5)
58) Kita serahkan pada ketua umum untuk mengambil keputusan apakah
kita tetap bersama dengan pemerintahan ini sampai 2014 atau kita
berpisah ditengah jalan. (P6)
59) Bagi partai Golkar, ada atau tidaknya menteri di kabinet ini atau
bersama atau tidaknya di dalam koalisi tidak terlalu penting karena bagi
kami ialah ketika kita mengambil jargon ”suara Golkar, suara rakyat”
kita lebih mengedepankan apa yang diinginkan dalam masyarakat. (P6)
60) Kita..kami..kami..mau jelaskan bahwa yang dilakukan teman-teman
orang-orang Demokrat itu begitu luar biasa melihat Gayus. (P7)
61) Kalau itu dimainkan saya kira sudah selesai ni barang, udah gak ada
dialog kita malam ini. (P7)
Kalimat (54) dan (55) di atas ialah contoh kalimat tunggal karena masing-
masing kalimat itu hanya memiliki satu predikat. Kalimat (56) –(58) ialah kalimat
414
majemuk setara karena kedua klausanya memiliki posisi yang sama, yaitu sama-
sama merupakan klausa utama. Klausa-klausa tersebut dikatakan mempunyai
hubungan koordinasi. Sedangkan kalimat (59) – (61) ialah kalimat majemuk tidak
setara karena salah satu klausanya merupakan bagian dari klausa yang lain.
Klausa-klausa tersebut dikatakan memiliki hubungan subordinasi.
Kalimat tunggal memiliki predikat dan predikat ini dapat diisi oleh verba,
adjektifa, nomina, numeral dan frasa preposisional.
Contoh kalimat bepredikat verba adalah
62) Sa.. saya tidak tidak mungkin menunjuk apalagi nama ya. (P1)
63) Bagaimana dia mati-matian menyangkal dia pergi ke e.. Bali. (P2)
64) Ada niat presiden untuk memperbaiki sistem pemilukada... (P3)
65) Artinya pengelolaan pemerintahan sudah sebagian besar diserahkan
pada daerah. (P3)
66) Sehingga memang eksekutif sekarang ini tersandera. (P4)
67) Dalam Undang-Undang MB3 memang hal ini disebutkan. (P5)
Contoh kalimat berpredikat adjektifa adalah
68) Kekecewaan rakyat luar biasa. (P4)
69) Kita tetap tegak lurus tanpa perlu membungkukkan badan dan kehilangan
harga diri. (P6)
70) Kita menang tidak jumawa. (P7)
Contoh kalimat berpredikat nomina adalah
415
71) Itu (money politic) memang fakta besar yang ada dimasyarakat. (P2)
72) Ini (persoalan) persoalan kita semua. (P3)
73) Itu bahasa yang janggal sekali dan jarang sekali digunakan. (P5)
Contoh kalimat berpredikat numeral adalah
74) Kania, pada waktu Pak Harto lengser tahun 98, hutang luar negeri
republik kita itu baru 54 milliar US$, (P4)
75) Tapi rakyat miskin tetap banyak. (P4)
Contoh kalimat berpredikat frasa preposisional adalah
76) Keruntuhan hampir di semua institusi negara. (P4)
77) Tentu Golkar dalam posisi yang “wait and see” ya...(P6)
78) Munculnya ini bukan di eksekutif lo... (P8)
Dari hasil analisis data, kalimat yang paling banyak digunakan oleh para
politisi itu ialah kalimat yang berpredikat verba. Hal ini menunjukkan bahwa
materi pembicaraan yang dilakukan oleh politisi itu ialah tentang melakukan
aktivitas. Hal ini sejalan dengan tugas yang harus dilakukan oleh para politisi
yang yang harus selalu bekerja melakukan aktivitas yang tentunya diharapkan
dapat semakin menyejahterakan masyarakat.
Di samping berbentuk aktif, kalimat deklaratif dapat juga berbentuk pasif
seperti contoh berikut ini.
79) Seberapa besarpun perkara itu akan diusut sampai keujung bumi dan
sampai selesai, ya. (P1)
416
80) Ternyata (Gayus) terbukti pergi ke Bali. (P2)
81) Artinya pengelolaan pemerintahan sudah sebagian besar diserahkan pada
daerah. (P3)
Kalimat (78) – (80) di atas ialah kalimat pasif yang menggunakan prefiks di-
dan ter- Kalimat pasif digunakan apabila si pembicara lebih mementingkan
aktivitas yang dilakukan daripada yang melakukan aktivitas tersebut. Hal ini
sejalan dengan pendapat Kress (1985:30) yang menyatakan bahwa perubahan
bentuk aktif ke pasif atau sebaliknya membawa pesan tertentu dari pembicara.
Tujuan para politisi menggunakan kalimat pasif ialah untuk memberi penekanan
pada verba yang digunakan untuk menyiratkan bahwa verba-verba itu ialah verba-
verba yang penting. Misalnya kata “diusut” menyiratkan bahwa kasus kejahatan
yang bagaimanapun seharusnya diusut, bukan dibiarkan karena pelakunya ialah
orang penting atau didukung oleh orang penting. Kata “terbukti” menyiratkan
bahwa meskipun Gayus selalu membantah, tetapi ternyata memang benar Gayus
pergi ke Bali dan itu sudah dapat dibuktikan. Kata “diserahkan” menyiratkan
bahwa pengelolaan pemerintahan memang sudah diserahkan pada daerah, bukan
dikelola oleh pemerintah pusat.
Penggunaan kalimat yang mengandung hubungan koordinasi atau subordinasi
dapat digunakan untuk mendominasi waktu pembicaraan karena dengan
mengaplikasikan kedua hubungan itu dalam kalimat-kalimat, kalimat-kalimat itu
akan menjadi panjang dan sulit untuk dipotong. Richard dan Schmidt (1984)
menyatakan bahwa dalam percakapan ada aturan pergantian pembicara. Apabila
417
ada usaha untuk tidak membagi waktu bicara dengan partisipan lain, dapat
dikatakan bahwa di sana sudah terjadi pelangaran kesantuan.
Pemilihan penggunaan bentuk aktif atau pasif dapat dikaitkan dengan
kesantunan berbahasa. Apabila seseorang menggunakan kalimat aktif, berarti dia
akan dengan jelas menyebut siapa pelaku aktivitas tersebut. Misalnya kalau A
menyebutkan bahwa B melakukan aktivitas positif, maka A termasuk pembicara
yang santun karena memuji B, memaksimalkan keuntungan B. Akan tetapi,
apabila A menyebutkan bahwa B melakukan aktivitas yang negatif, maka A ialah
pelanggar kesantunan karena memaksimalkan kerugian bagi B. Tetapi dalam
kalimat pasif, pelaku aktivitas dianggap tidak penting sehingga tidak perlu
disebutkan. Apabila pelaku suatu aktivitas melakukan sesuatu yang positif namun
tidak disebutkan, maka si pembicara sudah melanggar kesantunan karena tidak
menghormati orang lain. Dal hal ini dia memaksimalkan kerugian bagi orang lain
yang namanya tidak disebutkan. Leech (1983:132) melalui maksim
kebijaksanaannya menyatakan bahwa orang harus meminimalkan kerugian pada
mitra tuturnya. Berdasarkan pernyataan itu dapat disimpulkan bahwa
menyebabkan kerugian pada orang lain ialah suatu perilaku yang tidak santun.
Kalimat-kalimat deklaratif yang diucapkan juga ada yang tidak dapat
dimengerti karena diucapkan secara spontan. Hal ini sejalan dengan yang
dikatakan oleh Wahyu (www@t_wahyu,staff.gunadarma.ac.id) yang menyatakan
bahwa hakikat bahasa lisan ialah spontan sehingga seringkali kurang cermat
dalam menyampaikan pikiran atau perasaan. Contoh kalimat yang sulit dimengerti
ialah:
418
82) Terlalu banyak ada ada... apa ada satgas ini satgas itu, ada ini macem-
macem, mbak. (P1)
83) Dalam Undang-Undang MB3 memang hal ini disebutkan bahwa....untuk
melakukan...perubahan-perubahan kalau diperlukan ini melalui BK
tetapi...pasal itu haruslah dimaknai dengan BK sebagai inisiator, BK
merumuskan saja...,apa saja yang kurang, apa saja perkembangan
kemasyarakatan timbul hal yang baru. (P5)
84) Saya pikir selama saya memimpin periode yang lalu, yang sekarang belum
pernah ada putusan ketika saya setahun di BK; periode kedua ini. (P5)
5.4.2.2 Kalimat Imperatif
Menurut Alwi (1988:353) kalimat imperatif ialah kalimat yang menyatakan
perintah atau suruhan dan permintaan. Kalimat perintah apabila dilihat dari isinya
dapat diperinci dari enam golongan, yaitu:
1) perintah atau suruhan biasa jika pembicara menyuruh mitra tuturnya
berbuat sesuatu;
2) perintah halus jika pembicara tampaknya tidak memerintah lagi, tetapi
menyuruh mencoba atau mempersilakan mitra tutur sudi berbuat sesuatu;
3) permohonan jika pembicara, demi kepentingannya minta mitra tutur
berbuat sesuatu;
4) ajakan dan harapan jika pembicara mengajak atau berharap mitra tutur
berbuat sesuatu;
5) larangan atau perintah negatif, jika pembicara menyuruh agar jangan
dilakukan sesuatu;
6) pembiaran jika pembicara minta agar jangan dilarang.
419
Di dalam talk show yang dijadikan tempat pengambilan data, imperatif juga
digunakan oleh politisi untuk menyatakan perasaannya. Berikut ini ialah beberapa
contoh kalimat imperatif yang diambil dari tayangan talk show tersebut.
85) Mahasiswa tetaplah istiqomah dalam semangat anda (P2)
86) Jadi pahamilah bahwa perbedaan itu sebagai usaha untuk mencari
alternatif yang terbaik (P12)
87) Tapi bagi kami di bawah sebagai kader partai Golkar, gak ada masalah,
mau terus silahkan, mau enggak juga tidak ada masalah. (P6)
88) ...ya silahkan saja melapor pada aparat penegak hukum (P12)
89) Mari kita meninggalkan atribut partai, kita menindak tegas...(P5)
90) Mari kita pegang baik-baik dan bertanggung jawab disana untuk
kepentingan rakyat agar...(P7)
91) Dan ini harus kita akhiri juga, artinya mahasiswa jangan diam saja ya,
kalau Anda diam saja ya salah anda sendiri. (P1)
92) ...mahasiswa jangan diam saja ya, kalau anda diam saja ya salah anda
sendiri. (P1)
93) Jangan sebut itu kelas menengah. (P4)
Kalimat (84) dan (85) merupakan kalimat imperatif yang meyuruh mitra
tuturnya melakukan sesuatu; kalimat yang merupakan suruhan ini diperhalus
dengan menggunakan partikel –lah; kalimat (86) dan (87) ialah kalimat perintah
halus karena ditandai dengan penggunaan kata “silahkan”; kalimat (88) dan (89)
yang menggunakan kata “mari” ialah kalimat imperatif yang merupakan ajakan;
420
dan kalimat (90), (91) dan (92) ialah kalimat imperatif yang merupakan larangan
dan larangan itu ditunjukkan dengan penggunaan kata “jangan”.
Kalimat imperatif yang menggunakan kata “marilah” menempatkan
pembicara berada dalam satu kelompok dengan lawan tutujrnya. Hal ini
menunjukkan solidaritas dan merupakan aplikasi kesantunan. Kata “silahkan”
juga digunakan untuk menunjukkan kesantunan karena kata tersebut dapat
mengurangi tekanan akibat adanya perintah untuk melakukan sesuatu. Perintah
yang diberikan pada seseorang dapat merupakan ancaman terhadap muka
negatifnya dan penggunakan kata “silahkan” dapat mengurangi tekanan ancaman
tersebut. Dari 25 kalimat imperatif, hanya 3 yang menggunakan kata “jangan”,
sedangkan sisanya menggunakan partikel –lah, kata “mari”, “silahkan”, “tolong”
seperti misalnya “...tolong ini diingat ya” (P1). Fakta ini menunjukkan bahwa para
politisi ini mengaplikasikan kesantunan melalui penggunaan kata-kata tersebut di
atas.
5.4.2.3 Kalimat Interogatif
Kalimat interogatif ialah kalimat yang digunakan untuk bertanya (Alwi,
1988:357)) Berikut ini ialah contoh kalimat interogatif yang digunakan oleh para
politisi dalam tayangan talk show yang digunakan sebagai tempat pengambilan
data.
94) Kemudian lagi-lagi ini saudara Gayus Tambunan ini, apa Gayus siapa
namanya? (P1)
421
95) Apakah memang kita akan kemudian begitu saja mudah dikalahkan oleh
logika-logika tentang Gayus, tentang barter? (P2)
96) Nah, apakah ketika kami dan partai koalisi lainnya memperjuangkan
Century. Itu dibilang pelanggaran? (P6)
97) Kok banyak sekali instrumen-instrumen yang pake gayus ini? (P7)
98) Tapi...tapi..coba. apa yang disampaikan Pak P6 pernah terbukti gak? (P7)
99) Udah ada desakan kan gitu? (P9)
100) Kita nggak tahu siapa yang menggambar lambang itu di rumahnya, ya
kan? (P12)
Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa pertanyaan diajukan oleh para
politisi itu dengan menggunakan berbagai bentuk. Bentuk pertama yang
digunakan ialah bentuk tanya seperti yang diperlihatkan pada contoh (94) . Pada
contoh itu pertanyaan dibentuk dengan menggunakan kata tanya “siapa”.
Pertanyaan memerlukan jawaban yang merupakan informasi. Situasi tersebut
sama dengan contoh kalimat interogatif (99) dan (100). Pada kedua contoh itu
jawaban yang diharapkan ialah jawaban yang menyatakan setuju terhadap apa
yang dikatakan sebelumnya. Pada contoh (95 & 96) kalimat tanya diawali oleh
penggunaan “Apakah”. Dengan menggunakan kata “apakah” si penanya hanya
mengharapkan jawaban “ya” atau “tidak” dari orang yang ditanya. Pada contoh
(96) tidak ditemukan adanya penggunaan kata-kata yang menandakan bahwa
kalimat itu ialah kalimat tanya. Tetapi dengan memberi intonasi menurun, kalimat
tersebut menjadi kalimat tanya. Kalimat interogatif juga dapat ditandai dengan
penggunaan kata “kok”. Dengan meletakkan kata “kok” di awal kalimat dan
422
memberi intonasi naik, kalimat tersebut akan menjadi kalimat tanya. Pada contoh
(98) si penanya bertanya dengan memberi penekanan pada kata “gak” dan itu
menunjukkan bahwa dia berharap bahwa jawabannya ialah “gak”. Berdasarkan
pembahasan di atas, para politisi itu menggunakan kalimat interogatif dari yang
paling baku sampai yang tidak baku. Yang disebut baku ialah membentuk kalimat
interogatif dengan menempatkan kata tanya di awal kalimat sedangkan yang
termasuk tidak standar ialah dengan menggunakan kata “kok” dan “kan” yang
merupakan bentuk singkat dari “bukan(kah)”. Dalam pembentukan kalimat
interogatif yang tidak memberikan pilihan pada mitra tutur untuk menjawab “ya”
atau “tidak”, untuk setuju atau tidak setuju merupakan pemaksaan dan ini
merupakan pelanggaran kesantunan. Hal ini sesuai dengan pendapat Brown and
Levinson (1978:177) yang menyatakan bahwa tidak memberi pilihan pada
seseorang merupakan pengancaman muka negatif yang juga berarti pelanggaran
kesantunan.
Akan tetapi, apabila disimak isi tayangan talkshow yang ada, kalimat-kalimat
di atas hanya berbentuk kalimat interogatif yang tidak memerlukan jawaban
karena mereka semua sudah tahu jawabannya. Dapat dikatakan bahwa bentuk
tanya itu berfungsi melakukan pengancaman muka positif koalisi dan pemerintah
dalam hal ini presiden yang partainya merupakan koordinator koalisi. Berdasarkan
contoh-contoh di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk dan fungsi kalimat
interogatif tidak sama.
423
5.4.2.4 Kalimat Eksklamatif
Menurut Alwi (1988:362) kalimat eksklamatif ialah kalimat yang digunakan
untuk menyatakan perasaan kagum atau heran. Kalimat ini juga disebut kalimat
seru. Kalimat eksklamatif juga digunakan oleh para politisi dalam talk show ini.
Berikut ini akan disajikan contoh kalimat eksklamatif yang digunakan oleh para
politisi tersebut.
101) Oh (penggunaan teknologi) sangat luar biasa. (P4)
102) Luar biasa itu. (P4)
103) Sangat berbahaya. (P4)
104) Ketika anda menang di century waduh meriahnya bukan main. Luar
biasa. (P7)
Kalimat (101) – (103) ialah ucapan keheranan bercampur kekaguman yang
dilatarbelakangi oleh adanya fakta di masyarakat bahwa pada masa sekarang ini
teknologi komunikasi berkembang dengan pesat sehingga dengan cepat dapat
berhubungan dengan orang lain termasuk mengumpulkan orang banyak dalam
waktu yang sangat singkat. Kalimat (104) ialah kalimat eksklamatif yang
sebenarnya merupakan ejekan pada partai-partai yang menang dalam angket bank
Century. Yang dianggap luar biasa di sana ialah cara mereka merayakan
kemenangan mereka.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kalimat eksklamatif juga dapat
digunakan untuk mengejek mitra tutur tergantung dari konteks kalimat tersebut
dan intonasinya. Apabila kalimat tersebut digunakan untuk mengejek, si
424
pembicara dapat dianggap melanggar kesantunan karena mengejek ialah perilaku
yang tidak santun.
5.4.2.5 Kalimat Inversi
Kalimat inversi ialah kalimat yang disusun terbalik dan berfungsi untuk
menekankan makna (Alwi, 1988:363)
Misalnya:
105) ...sudah ugal-ugalan mereka itu ya. (P1)
106) Bahkan hampir di semua proses politik terjadi money politics. (P4)
107) Ya, harus ada evaluasi. (P7).
Bentuk normal kalimat (105) ialah “...mereka itu sudah ugal-ugalan ya”
dengan struktur S-P-Komp. Akan tetapi, pada saat yang menjadi topik ialah
“sudah ugal-ugalan” susunan dirubah menjadi “...sudah ugal-ugalan mereka itu
ya.” dengan struktur P-Komp-S. Kalimat inversi ini memberi ancaman terhadap
muka negatif para penegak hukum karena sudah dianggap ikut serta berkontribusi
dalam tindakan korupsi dan kejahatan lain.
Bentuk normal dari kalimat (106) ialah “Money politics terjadi bahkan hampir
di semua proses politik”. Kalimat itu menentukan money politics sebagai topik
yang penting dan susunannya menjadi S–P–Ket. Akan tetapi, pada saat penutur
ingin menekankan bahwa bahwa money politic terjadi hampir di semua proses
bukan hanya di proses tertentu saja, maka struktur kalimat itupun dirubah menjadi
Ket–P–S. Bentuk inversi yang digunakan mengancam muka positif para kepala
425
daerah terpilih karena kemenangan mereka dianggap melalui proses money
politics”
Bentuk normal kalimat (107) ialah “Ya, evaluasi harus ada” yang berstruktur
S–P. Akan tetapi, pada saat “harus ada” menjadi penting, struktur berubah
menjadi “Ya, harus ada evaluasi” yang berstruktur P-S. Kalimat inversi ini
mengancam muka positif koordinator koalisi di DPR karena sudah dianggap tidak
pernah melakukan evaluasi terhadap kinerja koalisi.
5.5 Rangkuman
Dari pembahasan tentang fitur-fitur verbal yang digunakan oleh para politisi
dalam tayangan talk show “Today’s Dialogue” hasil yang dapat disampaikan ialah
para politisi itu cenderung menggunakan bentuk deklaratif yang berstruktur
kompleks. Kesimpulan ini sejalan dengan karakter politisi yang ingin
menyampaikan informasi sebanyak mungkin dalam waktu terbatas. Menurut
Leech (1983:100) kalimat negatif kurang disukai dibandingkan dengan kalimat
positif. Alasannya ialah karena kalimat negatif kurang informatif dan memerlukan
waktu lebih lama untuk memahaminya. Hal ini dapat dikategorikan menambah
beban bagi mitra tutur dan oleh sebab itu tidak santun. Bukti bahwa kalimat
deklaratif lebih disukai dibuktikan melalui penelitian ini yang menyatakan bahwa
dari 767 kalimat yang mereka ucapkan, 631 berbentuk deklaratif dan ini berarti
bahwa 82,4% kalimat yang digunakan ialah kalimat deklaratif dan kalimat
deklaratif ini ialah kalimat kompleks.
426
Bentuk imperatif yang digunakan berjumlah 28 (3,7%), dan yang paling
dominan ialah kalimat imperatif yang bermakna ajakan terhadap mitra tuturnya
untuk melakukan sesuatu. Bentuk interogatif yang digunakan berjumlah 69
(8,9%), dan yang harus diperhatikan ialah bentuk dan fungsi interogatif tidak
sama. Kalimat berbentuk interogatif tidak selalu berfungsi bertanya tetapi dapat
berfungsi lain, misalnya menunjukkan kekurangan orang lain. Misalnya
pertanyaan “Apakah pernah BULOG membeli gabah dari petani?” Pertanyaan
yang diucapkan oleh P9 itu difungsikan untuk menunjukkan bahwa pemerintah
tidak pernah berusaha membantu rakyat petani. Bentuk eksklamatif yang
digunakan 6 (0,7%) dan bentuk inversi 33 (4,3%). Bentuk inversi dapat juga
digunakan sebagai alat mengancam muka mitra tutur. Seperti sudah disebutkan di
atas, bentuk deklaratif mengambil porsi terbanyak karena politisi tersebut
memang ingin memberikan informasi yang meliputi informasi tentang kegiatan-
kegiatan yang mereka lakukan baik oleh mereka sendiri atau oleh partainya atau
kelompok lain, informasi siapa yang melakukan kegiatan-kegiatan tersebut,
bagaimana kegiatan itu dilakukan, dimana dan jumlahnya berapa. Apabila kalimat
deklaratif yang berjumlah 631 dipecah lagi menjadi klausa, jumlah klausa yang
diperoleh berjumlah 967. Klausa-klausa tersebut menggunakan predikasi yang
pengisinya berbeda-beda sesuai dengan tujuannya. Dari jumlah itu 383 (39,6%)
menggunakan verba aktif, 153 (15,8%) menggunakan verba pasif, 156 (16,1%)
menggunakan nomina, 156 (16,1%) menggunakan adjektiva, 5 (0,5%)
menggunakan numeral dan 14 (1,4%) menggunakan frasa preposisional. Verba
aktif biasanya digunakan apabila subyek kalimat ingin ditonjolkan.
427
Oleh karena penggunaan verba aktif mempunyai frekuensi tertinggi, prefiks
yang paling banyak digunakan ialah prefiks meng- meskipun makna aktif itu juga
dapat direalisasikan dengan penggunaan bentuk dasar baik bentuk dasar yang
baku maupun tidak baku. Meskipun kalimat-kalimat yang diucapkan oleh para
politisi itu dapat dimengerti, tetapi karena kalimat-kalimat mereka itu ialah
kalimat-kalimat spontan, banyak kalimat yang tidak memenuhi kaidah gramatikal.
Hal ini sudah dikatakan oleh Wahyu (www@t_wahyu,staff.gunadarma.ac.id). Dia
mengatakan bahwa dalam bahasa lisan unsur gramatikal tidak dinyatakan dengan
lengkap dan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suara. Tinggi rendah suara atau
intonasi juga dapat digunakan oleh menunjukkan bentuk kalimat dan
menunjukkan perasaan. Bahasa lisan seperti yang dikatakan oleh Wahyu adalah
bahasa yang juga digunakan dalam talk show.
Berdasarkan analisis bahasa yang digunakan oleh politisi, simpulan yang
dapat dikemukakan ialah
1) Fitur prosodik digunakan oleh politisi untuk menyampaikan bagian
kalimat yang penting dengan memberi tekanan untuk bagian-bagian
kalimat yang dianggapnya penting, menandai pergantian pembicara,
menyampaikan fungsi ujaran apakah bertanya, meminta konfirmasi,
mengejek, atau menuduh. Mengejek merupakan pelanggaran maksim
penerimaan sedangkan menuduh merupakan pelanggaran maksim
kebijaksanaan.
2) Ciri-ciri satuan verbal dalam tataran morfologis yang menunjukkan
banyaknya pelanggaran terhadap kaidah bahasa baku menunjukkan
428
keinginan para politisi itu untuk menggunakan waktu yang tersedia
seefektif dan seefisien mungkin sehingga mereka cenderung menggunakan
bahasa yang tidak baku atau penghilangan afiksasi. Dengan berbicara
secara efektif dan efisien, pembicara akan menghemat waktu dan memberi
kesempatan pada pembicara yang lain untuk berbicara. Ini aalah aplikasi
maksim penerimaan, maksim yang mengharuskan pembicara menghargai
pembicara lain.
3) Alasan mengapa para politisi itu menyukai penggunaan kalimat deklaratif
ialah (1) karena dalam talk show atau kesempatan berbicara di hadapan
publik lainnya, tugas para politisi ialah untuk memberi informasi pada
masyarakat tentang apa saja yang mereka kerjakan dan pikirkan. Yang
jelas informasi tersebut harus menguntungkan bagi diri dan partainya, dan
(2) penggunaan kalimat deklaratif lebih mudah dimengerti dan ini harus
digunakan mengingat pemirsa mereka datang dari berbagai kalangan.
Mengurangi beban bagi mitra tutur ialah merupakan salah satu strategi
kesantunan.
4) Alasan mengapa para politisi itu banyak menggunakan kalimat kompleks
ialah keinginan untuk mendapat kesempatan berbicara semaksimal
mungkin membuat mereka menggunakan struktur kalimat kompleks yang
cenderung panjang sehingga sulit disela oleh partisipan lain atau pembawa
acara. Cara ini mengarah pada adanya dominasi dan ini ialah pelanggaran
kesantunan karena tidak menghargai keberadaan partisipan lain yang juga
memiliki hak bicara.
429
5) Kalimat imperatif yang banyak digunakan ialah kalimat imperatif yang
merupakan perintah biasa, perintah halus, ajakan dan larangan. Dalam
penggunaannya, pembicara menggunakan –lah, “mari”, “silahkan”, dan
“tolong”. Semua kata penghalus itu merupakan aplikasi maksim
penerimaan karena si pembicara menghormati mitra tuturnya.
6) Verba aktif yang mendominasi kalimat-kalimat yg diucapkan para politisi
itu menunjukkan bahwa bagi mereka siapa yang melakukan apa penting
artinya. Apabila yang disebut ialah hal-hal yang menguntungkan mitra
tutur, pembicara berarti mengaplikasikan maksim kebijaksanaan. Akan
tetapi, apabila yang disebut ialah hal-hal yang merugikan mitra tutur,
pembicara melanggar maksim kebijaksanaan.
430
BAB VI
FAKTOR-FAKTOR DAN IDEOLOGI YANG TERSIRAT DALAM
PELANGGARAN DAN KETAATAN PADA KESANTUNAN BERBAHASA
6.1. Pendahuluan
Kress (1985:29) mendefinisikan ideologi sebagai bentuk-bentuk
pengetahuan dan hubungannya dengan struktur masyarakat, konflik yang terjadi
di masyarakat dan apa yang disukai di masyarakat, cara produksi dan struktur
ekonomi, dan hubungannya dengan bentuk-bentuk pengetahuan dalam praktik-
praktik sosial yang praktis; ideologi menaruh perhatian yang sama, baik pada
bentuk pengetahuan yang dominan maupun bentuk pengetahuan yang
bertentangan di masyarakat. Dia juga mengatakan bahwa cara terbaik untuk
mengamati ideologi adalah bahasa karena bahasa adalah salah satu interaksi sosial
di masyarakat. Hubungan antara bahasa dan ideologi dapat terjadi di berbagai
level bahasa seperti pada level kata, tata bahasa, dan kalimat. Bahkan, perubahan
bentuk aktif ke pasif, atau sebaliknya, juga membawa pesan tertentu dari
pembicara. Karena setiap kegiatan berbahasa membawa serta ideologi, kategori
atau fitur linguistik tidak pernah berdiri sendiri.
Sehubungan dengan ideologi Thompson (1984:17-18) mengemukakan
beberapa hal yang berikut
1) Ideologi adalah sistem berpikir, sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik
yang berhubungan dengan tindakan sosial dan politik.
431
2) Ideologi juga secara mendasar berhubungan dengan proses pembenaran
hubungan kekuasaan yang tidak simetris, berhubungan dengan pembenaran
dominasi.
3) Ideologi bekerja sebagai perekat hubungan sosial yang mengikat anggota
masyarakat secara bersama dengan menetapkan nilai-nilai dan norma-norma
yang disepakati secara kolektif.
Bahasa adalah medium dari tindakan sosial Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa bahasa dan tindakan sosial selalu dilakukan berdasarkan ideologi
tertentu.
Disertasi ini menganalisis ucapan, ungkapan, dan teks. Tradisi hermeneutik
mengatakan bahwa bentuk-bentuk wacana yang dianalisis merupakan tafsir itu
sendiri (Thompson, 1984:24). Analisis diskursif juga dilakukan atas teks yang
menjadi sumber data. Analisis diskursif mempelajari serangkaian ungkapan-
ungkapan, bukan sekadar kejadian yang bersifat sosial dan sejarah, tetapi juga
konstruksi bahasa yang menunjukkan struktur bermakna (Thompson, 1984:26)
6.2 Faktor-Faktor Penyebab Pelanggaran atau Ketaataan terhadap Kesantunan
Berbahasa
Dalam setiap komunikasi pertisipan diharap dapat melakukan komunikasi
dengan santun. Menurut Watts bahasa yang santun adalah bahasa yang tidak
terlalu langsung atau bahasa yang menunjukkan penghargaan atau tenggang rasa
pada orang lain. Akan tetapi, ada juga orang yang menganggap bahwa
penggunaan bahasa santun sebagai perilaku yang munafik, tidak jujur, menjaga
jarak, tidak berperasaan dan sebagainya (Watts, 1992:1-2). Dia juga mengatakan
432
bahwa santun atau tidaknya suatu perilaku tergantung pada interpretasi perilaku
tersebut dalam interaksi sosial secara keseluruhan. Dalam bahasa Inggris,
kesantunan adalah sesuatu yang eksklusif dan banyak cara untuk
mengonsepkannya. Hal ini disebabkan oleh kesantunan dalam bahasa Inggris
yang makna leksimnya yang terbuka untuk dinegosiasikan oleh penutur bahasa
Inggris (Watts, 1992:8-13).
Pernyataan Watts (1992) di atas menunjukkan bahwa dalam berkomunikasi
seseorang harus santun dan kesantunan merupakan suatu interaksi sosial sehingga
santun atau tidaknya suatu ujaran tergantung pada nilai-nilai yang berlaku pada
komunitas tempat terjadinya komunikasi. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa kesantunan dilakukan dengan tujuan untuk dapat diterima pada suatu
komunitas bahasa. Hal ini sejalan dengan pernyataan Watts (1992:27) yang
memfokuskan kesantunan bahwa kelompok sosial harus mengonsepkan
kesantunan karena mereka yang berpartisipasi dalam interaksi komunikasi sosial.
Akan tetapi, ketidaksantunan dapat juga terjadi dan siapa pun yang
melakukan ketidaksantunan itu pasti mempunyai alasan sendiri. Ketidaksantunan
dapat menimbulkan ketidaknyamanan bagi mitra tutur dan sehubungan dengan ini
Brown & Levinson menggagas teori pengancaman muka. Teori ini menyatakan
bahwa muka adalah sesuatu yang harus diperlakukan sebagai keinginan dasar
setiap partisipan untuk dihargai (Brown & Levinson, 1987:67). Sehubungan
dengan pernyataan ini, dapat disimpulkan bahwa alasan seseorang melanggar atau
menaati kesantunan ialah untuk menyerang dan menjaga muka partisipan lain.
433
Setiap komunikasi seharusnya melibatkan elemen-elemen SPEAKING
(Hymes, 1962) yang dilandasi oleh skala kesantunan seperti yang dikemukakan
oleh Brown & Levinson (1978). Akan tetapi, karena adanya berbagai
kepentingan, semua skala kesantunan dan parameter kesantunan diabaikan.
Berdasarkan analisis data yang diperoleh, ada beberapa faktor yang menyebabkan
para politisi itu melanggar atau menjaga kesantunan dalam berbicara. Faktor-
faktor penyebab pelanggaran kesantunan itu akan diuraikan pada bagian berikut.
6.2.1 Faktor-faktor penyebab pelanggaran kesantunan
Setiap partisipan dalam suatu komunikasi ingin menjaga muka masing-
masing, baik muka negatif maupun muka positif. Oleh karena itu sangat
diharapkan agar setiap partisipan menggunakan bahasa yang santun satu sama
lain. Akan tetapi, pada kenyataannya sering kali kesantunan dilanggar untuk
mencapai tujuan tertentu.
Berdasarkan hasil penelitian, politisi Indonesia dapat dikategorikan politisi
santun. Akan tetapi, ada kecenderungan mereka melanggar maksim kesantunan.
Urutan menurut besarnya persentase pelanggaran adalah, maksim kebijaksanaan
(25%), maksim penerimaan (18,1%) dan maksim cara (17%). Pelanggaran
terhadap maksim kesantunan lain dilakukan dalam persentase kecil (lihat Tabel
9.5). Berdasarkan pelanggaran di atas, dapat dikatakan bahwa faktor-faktor yang
medorong pelanggaran kaidah-kaidah kesantunan adalah sebagai berikut.
3) Keinginan untuk memaksimalkan kerugian pada mitra tutur (pelanggaran
terhadap maksim kebijaksanaan).
434
4) Keinginan untuk meminimalkan penghargaan pada mitra tutur (pelanggaran
maksim penerimaan dan maksim cara)
6.2.1.1 Keinginan untuk memaksimalkan kerugian pada mitra tutur.
Dalam dunia politik, persaingan untuk memperoleh dukungan masyarakat
sangat ditentukan oleh seberapa besar simpati para calon pemilih terhadap partai
tertentu. Ketidaksimpatian para calon pemilih terhadap partai tertentu dapat
merugikan partai tersebut. Simpati dapat diberikan berdasarkan berbagai macam
hal misalnya karena partai tersebut dianggap memiliki anggota yang dapat
memperbaiki kehidupan masyarakat atau mungkin juga karena masyarakat
menganggap bahwa suatu partai ditekan oleh penguasa sehingga mereka
bersimpati terhadap partai ini dan hal ini sangat menguntungkan partai tersebut.
Untuk merebut simpati masyarakat dan menguntungkan partainya, anggota partai
yang mendapat kesempatan berbicara di hadapan publik akan menjadi agen
penyebar informasi yang dapat memaksimalkan rasa keuntungan terhadap
partainya dan memaksimalkan kerugian terhadap mitra tuturnya.
Misalnya:
108. Jadi, saya kira, jadi Gayusnya itu juga memang setengah gila ya saya kira ya. Artinya...
ya, setengah gila dalam arti e.. dalam arti dia melakukan sebuah kejahatan yang sesungguhnya amat sangat dahsyat ya. tapi kan tenang ya. Kemudian tidak ada rasa menyesalnya. Saya yakin karena dia tahu networking dibelakang dia itu cukup kuat ya. Saya tidak mendahului takdir ya, tapi adik-adik mahasiswa, saya mudah-mudahan keliru ya... tapi percayalah Gayus inipun nanti akan mentok ya, tidak pernah akan selesai. Negeri ini... (P1-2)
435
109. Memang sekarang jarang yang berbicara soal ideologi ya... PDI Perjuangan, Pancasila 1 Juli ideologinya dan kami adalah..yang
paling penting adalah berdaulat di bidang politik, dan berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian dalam bidang budaya. Jadi tadi Pak P6 mengatakan grassroot-nya. Udah ada desakan kan gitu? Sikap PDI Perjuangan tidak tergantung partai lain dan tidak tergantung pada pemerintah. Kita parameternya, seperti yang tadi saya katakan memilih berkoalisi dengan rakyat dan parameternya ideologi. Kalau pemerintah SBY mengambil langkah-langkah misalnya menolak impor beras. Kita pasti dukung. Gak usah pun kita di dalam koalisi, kita pasti dukung. Kalau pemerintah pak SBY ini katakanlah berani tegas bagaimana menghadapi Malaysia yang sering masuk ke wilayah kita dan mengganggu nelayan kita. Kita akan dukung. (P9-7)
Pada contoh (108) P1 menggunakan kata-kata setengah gila untuk Gayus
karena menurut anggapannya Gayus adalah penjahat besar tetapi tetap tenang
karena dia merasa memiliki pelindung. Dengan mengungkapkan ketidakwarasan
Gayus yang mampu melakukan kejahatan yang menurut P1 sangat hebat, P1 ingin
membuat masyarakat merasa antipati terhadap Gayus dan juga merasa antipati
pada siapa pun yang melindungi Gayus. Masyarakat diharapkan tahu siapa atau
partai apa yang melindungi Gayus sehingga nanti pada saat pemilihan umum tidak
memberikan suara pada individu atau partai pelindung Gayus tersebut. Yang jelas,
pelindung Gayus bukan partai P1. Dengan demikian usaha untuk menimbulkan
rasa antipati yang dilakukan melalui pilihan kata yang tidak santun, “setengah
gila”, tidak hanya ditujukan pada Gayus, tetapi juga pada semua pihak yang
melindungi Gayus.
Dalam contoh (109), P9 mengatakan bahwa meskipun tidak dalam koalisi,
partainya akan mendukung SBY apabila kebijakan SBY berpihak pada rakyat.
Dalam ucapannya tersirat bahwa partai P9 menjadi partai oposisi karena SBY
tidak berpihak pada rakyat. Penyataannya meningkatkan rasa antipati rakyat pada
436
Partai Demokrat yang sekarang sedang berkuasa yang nantinya dapat berdampak
menurunnya perolehan suara Partai Demokrat dan meningkatnya perolehan suara
partai tempat bernaungnya P9.
Berikut ini adalah contoh ujaran yang dapat menimbulkan rasa tidak hormat
pada mitra tutur, yang pada akhirnya menimbulkan kerugian pada mitra tutur
tertsebut
Pemilihan umum yang dilakukan baik untuk kepala negara, kepala daerah
maupun anggota legislatif membuat para calon terpilih berusaha untuk tampil
dengan tingkat kehormatan yang tinggi karena ada kelompok tertentu yang
cenderung memilih calon yang mereka hormati. Karena rasa hormat terhadap
seseorang memegang peranan penting, dalam dunia politik sudah sering terjadi
bahwa seseorang mengatakan sesuatu yang dapat menjatuhkan kehormatan lawan
politiknya. Usaha menjatuhkan lawan politik dapat dilakukan dengan cara
mengungkapkan kelemahan, ketidakmampuan dan kesalahan lawan politiknya.
Misalnya:
110. Jadi sebetulnya gini, kegaduhan ini karena ketidakmampuan Demokrat sebagai partai yang berkuasa mengelola perbedaan pendapat di DPR dan kesalahan itu ditimpakan pada partai-partai yang menolak diajak untuk berkongsi untuk diajak melakukan suatu yang tidak benar misalnya menutup-nutupi kejahatan pajak. (P6-4)
111. Ini..ini yang terakhir ini menarik. Kata Pak P7, kita A teman-teman
koalisi Z. Dia bingung kan? Dalam kasus angket itu terbalik. Partai Demokrat sudah Z, menginisiasi usul angket mafia pajak lalu kita ikut A, B, C, D sudah sampai F. Dari Z itu kembali ke A. Nah kita yang bingung. (P8-6)
Dalam contoh (110), P6 mengungkapkan ketidakmampuan Partai Demokrat
mengelola perbedaan pendapat di DPR. Kalimat itu juga menyiratkan kelemahan
437
Partai Demokrat. Ketidakmampuan dan kelemahan Partai Demokrat itulah yang
merupakan kesalahan besar sehingga koalisi tidak terkelola dengan baik dan pada
akhirnya menimbulkan kekacauan, Dalam contoh (111), P8 mengatakan bahwa
Partai Demokrat adalah partai yang tidak konsisten. Ucapan-ucapan P6 dan P8
merupakan pengungkapan bahwa Partai Demokrat yang pada saat ini berkuasa
bukanlah partai yang mampu menyikapi perbedaan sementara Indonesia adalah
negara yang mempunyai masyarakat majemuk. Masyarakat yang mendengar
pernyataan itu akan menjadi ragu-ragu apakah akan memilih Partai Demokrat
yang memiliki banyak kelemahan itu untuk kembali berkuasa. Dengan
mengetahui kelemahan dan ketidakmampuan Partai Demokrat, ada kemungkinan
bahwa pemilih yang dulu memilih Partai Demokrat akan berkurang rasa
hormatnya dan berpaling ke partai lain. Berdasarkan pembahasan di atas dapat
dikatakan bahwa ketidaksantunan yang dilakukan oleh P6 dan P8, karena sudah
mengungkapkan sisi negatif orang lain, merupakan usaha untuk menurunkan
tingkat kehormatan orang tersebut
Salah satu perilaku manusia yang banyak dijumpai ialah kecenderungan
untuk membebaskan diri dari beban dengan cara memberikan beban itu pada
orang lain. Upaya ini dapat memaksimalkan kerugian pada mitra tutur. Hal yang
sama juga terjadi pada dunia politik. Seseorang tidak segan-segan memberikan
beban yang harus ikut ditanggungnya pada orang lain dengan harapan apabila
terjadi kesalahan, beban itu tidak ikut ditanggungnya. Sikap ini tercermin pada
contoh-contoh berikut.
112. Aa..masalah yang disampaikan Pak SBY. Masalah...evaluasi itu menurut saya itu hal yang wajar-wajar saja. Ya...disampaikan oleh seorang
438
pimpinan pada...koalisi. karena apa? Menejemen apapun baik di perusahaan,diorganiasi, apalagi menejemen koalisi yang menentukan baik buruknya nasib bangsa ini. Ya harus ada evaluasi. Itu hal yang wajar. Siapa yang kena, lah kan itu urusan Pak SBY. Kami dari fraksi Partai Demokrat kalau diminta masukan, Insyaallah..kita buat masukan yang terukur. Karena apa? Tadi seperti kata Pak P6 itu kok seolah-olah ada apa ini?, masalah angket?...Tidak ada kaitannya dengan masalah angket...century dan masalah... angket yang kemaren. Karena sudah ...(P7-2)
113. Tadi saya sudah sampaikan ya. Bagi PKS mau resuffle 1,2,4,9 menteri
itu bukan persoalan yang prinsipil kok..ya...Dan opsi-opsi yang yang disampaikan...[ehem] apa namanya narasumber tadi. Apakah opsi1, opsi 2, opsi 3, kalau itu diambil oleh presiden. Apakah besok lusa atau kapan begitu ya..mudah-mudahan gak sampai tahun depan [narasumber lain tertawa] tetapi kalau akar masalah kisruh beda pendapat koalisi ini tidak bisa diidentifikasi dan dicarikan solusi yang tepat. Ini akan selalu muncul..akan selalu muncul dan kalau kita ingat munculnya ini dimana? Munculnya ini bukan di eksekutif lo...Munculnya ini bukan di kabinet. Tapi munculnya itu di DPR, di parlemen. Nah, sekarang siapa koordinator koalisi di parlemen, di DPR? Partai Demokrat. (P8-10)
Contoh (112) dan (113) menunjukkan adanya keinginan seseorang untuk
membebaskan diri dari beban dan melepaskan diri dari tanggung jawab.
Perbedaannya adalah pada contoh (112) seseorang memberikan bebannya pada
orang lain yang berasal dari satu partai, sedangkan contoh (113) menunjukkan
pemberian beban dilakukan oleh seseorang pada orang lain dari partai yang
berbeda. Contoh (116) mengungkapkan bahwa P7 mengatakan bahwa SBY- lah
yang sepenuhnya bertanggung jawab untuk mengatakan siapa yang dianggap
meyimpang dari kesepakatan koalisi sedangkan meskipun dirinya berada dalam
satu partai dengan SBY, dia tidak ikut bertanggung jawab. Dalam contoh (113) P8
mengatakan bahwa satunya-satunya yang harus bertanggung jawab atas
kekisruhan di DPR adalah Partai Demokrat, bukan partainya meskipun partainya
ikut dalam koalisi.
439
Memaksakan kehendak pada orang lain atau tidak memberikan pilihan pada
orang lain adalah salah satu pelanggaran kesantunan (Brown & Levinson,
1978:77). Pelanggaran kesantunan dengan menggunakan cara ini juga digunakan
oleh para politisi untuk menunjukkan bahwa merekalah yang paling benar
sehingga partisipan yang lain wajib menyetujui apa yang dikatakan.Apabila usaha
itu berhasil dia lakukan, mitra tuturnya akan mengalami kerugian. Contoh berikut
akan memberi ilustrasi tentang adanya pemaksaan kehendak yang merugikan
mitra tutur, yang dilakukan oleh para politisi.
114. Oh nggak ada. Saya ingin sampaikan dulu gini, saya ingin sampaikan ke Mas P11, soal soal kekritisan ya, saya katakan bahwa kekritisan itu udah menjadi apa…, menjadi bagian inheren dari anggota DPR. Anggota DPR memang harus kritis, sama dengan mahasiswa, kalau mahasiswa tidak kritis itu kan bukan mahasiswa namanya, bahkan kalau mahasiswa nggak pernah demo, itu kan bukan mahasiswa… .(P10-9)
115. Ya, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya pada Pak Yusuf Supendi yang juga salah seorang pendiri Partai keadilan, saya menilai apa yang dilakukan atau yang dialami Pak Yusuf Supendi itu berlebihan dan ada kesan mendramatisasi persoalan yang dihadapi, contohnya ketika kemudian ia menyampaikan permasalahan ini ke badan kehormatan DPR lalu kemudian ke KPK, lalu dia datang ke LPSK, katanya bahwa rumahnya itu digambar dengan cat merah ya, dan apa, ada lambang cross, yang kemudian dia melaporkan ke LPSK untuk mendapatkan perlindungan, kita nggak tahu siapa yang menggambar lambang itu di rumahnya, ya kan? (P12-1)
Pada contoh (114), P10 menyampaikan bahwa kalau mau disebut mahasiswa,
harus pernah demo, kalau tidak pernah bukan mahasiswa namanya.
Pernyataannya terkesan memaksa dan hal ini melanggar kesantunan karena
tersirat bahwa mahasiswa yang ada sekarang, yang tidak pernah demo, tidak layak
menyandang status mahasiswa. Pernyataan yang tidak santun ini bertujuan untuk
440
mendapatkan simpati dari mahasiswa meskipun hasilnya diragukan karena masih
banyak mahasiswa yang tidak suka demo, apalagi demo yang anarkis.
Pada contoh (115), P12 menggunakan bentuk tanya “ya, kan?” pada akhir
ucapannya. Dengan intonasi meninggi P12 tidak memberi peluang pada partisipan
lain untuk menyatakan ketidaksetujuan mereka. Hal ini juga melanggar
kesantunan karena pernyataannya berisi tuduhan yang harus disetujui.
6.2.1.2 Keinginan untuk meminimalkan penghargaan pada mitra tutur.
Richard & Schmidt (1984:141 menyatakan bahwa distribusi kesempatan
bicara di antara partisipan tidak acak tetapi diatur oleh norma pola acak (turn
taking), yaitu konvensi yang menentukan siapa yang berbicara, kapan dan berapa
lama. Dalam suatu tayangan seperti talk show “Today’s Dialogue”, penggunaan
waktu bicara diatur oleh pembawa acara. Akan tetapi, beberapa politisi menolak
untuk berhenti berbicara meskipun pembicara lain atau pembawa acara sudah
mencoba memotongnya. Sikap ini tidak santun karena menunjukkan perilaku mau
menang sendiri. Tujuan mendominasi ialah untuk memberikan kesempatan pada
dirinya sendiri untuk berbicara dan mengambil kesempatan orang lain sehingga
orang lain tidak sempat berbicara atau mengemukakan pendapatnya. Dengan
demikian, informasi hanya berasal dari satu orang saja, sementara di sana ada
beberapa orang yang ingin berbicara, yang ingin juga menyampaikan pendapat.
Situasi ini tentu sangat merugikan partisipan yang lain. Contoh usaha
mendominasi yang pada akhirnya merugikan mitra tutur adalah sebagai berikut.
441
116. Politisi 6 – Data 11 (P6-11) Jadi, sebetulnya gini, kegaduhan ini karena ketidakmampuan demokrat sebagai partai yang berkuasa mengelola perbedaan pendapat di DPR dan kesalahan itu ditimpahkan pada partai-partai yang menolak diajak untuk berkongsi untuk diajak melakukan suatu yang tidak benar misalnya menutupi-nutupi kejahatan pajak. (P6-11)
Pembawa acara Baik. Kalau begitu beralih ke... .
Politisi 6 – Data 12 (P6-12) Tapi, bagi kami dibawah sebagai kader partai Golkar gak ada masalah mau terus silahkan mau enggak juga tidak ada masalah. (P6-12)
117.Yang tadi saya katakan itu 74% itu koalisi yang mendukung SBY-Boediono itu dari parlemen. Tapi begitu banyak agenda soal Century, soal berbagai hal itu kalah dalam pemilihan. Makanya PDI Perjuangan itu mesti ada benchmark, mesti ada ukuran dalam memilih pilihan-pilihan politik itu ditengah politik transaksional yang sekarang dagang sapi. Kita tadi disampaikan pak P7 kita ditawarkan untuk bergabung. Kita tunjukkan bahwa kita tidak berorientasi pada kekuasaan. Kita tunjukkan kita lebih memilih bersama dengan rakyat dan itu tidak basa-basi kita tunjukkan (P9-10)
Pembawa acara
Baik, baik...Mas narasumber... . Politisi 9-11
Dan tentunya PDI Perjuangan tidak berkecil tidak menjadi oposisi seumur hidup. Kita ingin menjadi pemerintah pada waktunya dengan memenangkan pemilu. Itu ada waktunya nanti. (P9-11)
Pada contoh (116) dan (117) di atas dapat dilihat bahwa P6 dan P9 sama-
sama tidak berhenti berbicara meskipun sudah disela oleh pembawa acara yang
menginginkan narasumber lain untuk urun pendapat. Pada contoh (116), P6
mendominasi komunikasi untuk dapat menyampaikan bahwa tidak menjadi
masalah apabila Golkar dipecat dari koalisi atau dipertahankan. P6 mengatakan
hal ini untuk menunjukkan bahwa partainya bukan partai yang bergantung pada
442
partai penguasa. Sementara itu, P9 mendominasi tidak hanya untuk dapat
menyelesaikan pernyataannya bahwa partainya tidak mempunyai masalah apabila
selamanya menjadi partai oposisi, tetapi dia juga menyatakan bahwa dia ingin
partainya menjadi partai yang berkuasa seperti Partai Demokrat.
Ujaran yang meminimalkan penghargaan terhadap lawan tutur dapat berupa
usaha untuk memamerkan kelebihan diri, mengganggap diri lebih baik dari
partisipan lain.
Brown & Levinson (1978:66) menyatakan bahwa setiap manusia mempunyai
muka untuk dilindungi dan orang yang diajak berbicara harus mengenali muka itu
agar tidak melakukan pelanggaran kesantunan. Salah satu cara untuk menjaga
muka mitra tutur ialah tidak menunjukkan sifat pamer. Sifat suka pamer dapat
dilakukan dengan cara memamerkan kelebihan diri, misalnya menunjukkan
bahwa dia lebih pandai, lebih kuat dari yang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara menggunakan bahasa asing dalam komunikasi yang dilakukannya atau
menyatakan sesuatu yang menurut anggapannya dapat membuat dirinya terlihat
kuat. Akan tetapi, harus disadari bahwa alih kode yang membuat mitra tutur tidak
mengerti bukan merupakan sikap yang santun atau sikap yang cenderung
meremehkan orang lain dan juga bukan merupakan sikap santun. Meskipun
demikian, alih kode tetap dilakukan untuk memamerkan keintelektualan diri
dengan harapan orang akan mengagumi dirinya dan menjadikan dirinya sebagai
orang yang lebih terpilih dibandingkan mitra tutur yang tidak mampu
menunjukkan keintelektualan. Contoh ujaran yang menunjukkan adanya
keinginan menunjukkan kelebihan diri adalah sebagai berikut.
443
118. Saya kira sikap PKS tetap ya, selama wata’awanu a’lal birri wa taqwa kita jalan terus. Selama koalisi itu dalam rangka a’lal birri wa taqwa jalan terus. Tapi ketika koalisi ini mengarah pada al istm al udwan partai saya pasti akan melakukan koreksi. (P2-9)
119. Ya, kami santai saja. Artinya kami menanggapi... apa. Kita dalam posisi
yang ‘wait and see” karena itu belum final. Artinya Presiden hanya memberikan warning. Tinggal pertanyaannya sekarang, Presiden menyinggung soal 11 butir kesepakatan yang diduga dilanggar oleh partai tertentu, kan begitu? (P6-1)
Dalam contoh (118), P2 menggunakan alih kode dari bahasa Indonesia ke
dalam bahasa Arab tanpa menyertakan terjemahannya. Mengingat bahwa tidak
semua pendengar mengerti bahasa Arab, alih kode itu merupakan ketidaksantunan
karena menimbulkan ketidakmengertian bagi para pendengar yang tidak mengerti
maknanya. Meskipun perilaku tersebut merupakan pelanggaran, alih kode tersebut
tetap dilakukan untuk menunjukkan bahwa dia adalah orang yang pandai
berbahasa Arab sehingga dia berharap dapat menarik simpati kaum muslim yang
merupakan kaum mayoritas di negeri ini. Dengan memiliki kelebihan ini, dia
berharap dia atau partainya akan menjadi yang terpilih.
Dalam contoh (119) P6 menanggapi peringatan presiden dengan santai.
Melalui ucapannya dia ingin menunjukkan bahwa presiden tidak akan dapat
melakukan apa-apa terhadap partainya karena partainya adalah salah satu dari
partai terkuat di Indonesia. Sadar akan kekuatan partainya P6 merasa tidak perlu
menanggapi peringatan presiden. Pernyataan meremehkan yang menggunakan
kata “santai” yang secara langsung diucapkan, tentu merupakan sikap yang
melanggar kesantunan karena meremehkan ucapan seorang kepala negara, orang
yang memiliki kekuasaan lebih tinggi dari seorang anggota DPR.
444
6.2.2 Faktor--faktor penyebab penjagaan kesantunan
Pada awal bab ini sudah disampaikan skala kesantunan yang dikemukakan
oleh Brown & Levinson (1978) dan Scolon (1995). Brown & Levinson (1978)
mengajukan tiga skala kesantunan tuturan yaitu skala peringkat sosial antara
penutur dan mitra tutur, skala peringkat status sosial antara penutur, dan mitra
tutur, dan skala peringkat tindak tutur. Sementara itu, pola-pola skala kesantunan
dari Scolon (1995:44) adalah sistem kesantunan berdasarkan penghormatan,
sistem kesantunan berdasarkan solidaritas, dan sistem kesantunan yang
berdasarkan hirarki. Pada dasarnya kedua skala kesantunan itu mempunyai prinsip
yang sama, yaitu kesantunan diaplikasikan berdasarkan kekuasaan, solidaritas dan
jarak sosial.
Dari pembicaraan terdahulu dapat dikatakan bahwa yang menjadi objek
penelitian ini adalah bahasa yang diucapkan oleh para politisi dalam tayangan talk
show ‘Today’s Dialogue”. Karena mereka semua adalah politisi dalam tayangan
sama, seharusnya mereka dapat saling menjaga muka dengan saling menggunakan
bahasa yang santun. Akan tetapi, berdasarkan data yang diperoleh, para politisi itu
saling menyerang satu sama lain untuk mendapatkan simpati masyarakat. Di
samping ada faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran kesantunan, ada pula
faktor-faktor yang menyebabkan adanya penjagaan kesantunan, seperti yang akan
dipaparkan di bawah ini.
Berdasarkan analisis tentang kesantunan bahasa politisi, dapat dinyatakan
bahwa politisi Indonesia adalah politisi santun. Kesantunan bahasa politisi
meningkat karena mereka cenderung mengaplikasikan maksim kesantunan.
445
Urutan besarnya persentase pelanggaran maksim kesantunan adalah, maksim
kuantitas (27,6%), maksim relevansi (26,0%), dan maksim cara (19,4%). Aplikasi
maksim kesantunan itu didorong oleh faktor-faktor seperti berikut.
5) Keinginan untuk memaksimalkan penghargaan pada mitra tutur (aplikasi
maksim kuantitas).
6) Keinginan untuk memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur (aplikasi maksim
kuantitas dan maksim cara)
7) Keinginan untuk memaksimalkan rasa solidaritas terhadap mitra tutur (aplikasi
maksim relevansi).
8) Keinginan untuk membagi beban dengan mitra tutur (aplikasi maksim cara)
Bagaimana kesantunan diaplikasikan oleh para politisi dapat dilihat pada contoh
berikut ini.
120. Maka... makanya sekarang diperlukan ya diperlukan sebuah tim yang memang betul-betul bersih dan berani ya. Jadi sekarang ini menurut saya kon... disini letak dilemanya. Saya kira antar pentolan pentolan hukum itu, maaf ya, bukan semuanya, tentu masih ada yang bagus, ada yang sangat apa bermoral, sangat bertanggungjawab, tapi dari sebagian mereka itu memang sudah sudah rusak sejak niatnya semula, Mbak. Jadi kan niatnya sudah rusak ya, maka ketika mendapatkan jabatan itu, yang terjadi adalah use misuse of power atau abuse of power ya. Sehingga muncul skandal yang seperti terjadi sekarang ini, dan yang justru kita kembangkan mungkin media masa ya, bisa meng counter kata-kata kalau bank Century dikejar sampai ke ujung, kemudian e... Gayus di apa kejar terus sampai ke akarnya, itu justru dibalik itulah penyembuhan sejati dari e.. bangsa yang menderita korupsi selama ini. Tapi kalau ikuti, kita ikuti lakukan mereka itu hanya untuk nakut-nakuti saja. (P1-5)
121. Saya harus kembali pada konstitusi. Konstitusi kita meniscayakan
adanya distribusi kekuasaan. Kalau kita menyalahkan apa yang terjadi ini hanya pada eksekutif saja, menurut saya sangat tidak fair dan sangat tidak adil. Makanya kita sebagai ketua-ketua lembaga Negara bersepakat untuk selalu berkomunikasi, bersinergi, bagaimana masing-masing institusi kita bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan bangsa kita ini. Artinya ada kekurangan-kekurangan diantara lembaga ini sangat berpengaruh
446
terhadap perjalanan bangsa. Kita tidak bisa hanya menyalahkan dari sisi eksekutif apabila tidak mendapat dukungan daripada legislatif, dan juga apabila tidak mendapat dukungan daripada yudikatif. Kita harus bicara komperehensif, kita bicara negara Republik Indonesia. Kita tidak bicara hanya bicara eksekutif saja. (P3-1)
Dalam contoh (120), P1 menggunakan kata sapaan “Mbak” untuk menyapa
pembawa acara yang usianya masih muda. Dalam budaya Jawa, tempat asal P1,
“Mbak” adalah sapaan santun untuk wanita yang lebih muda meskipun di daerah
lain “Mbak” mungkin diartikan “kakak perempuan”. Penggunaan kata sapaan ini
menunjukkan bahwa penggunanya adalah seseorang yang menghargai wanita
meskipun usianya lebih muda.
Dalam contoh (121) P3 menggunakan pronomina “kita” untuk menunjukkan
rasa solidaritasnya pada ketua lembaga negara yang lain yang posisinya tidak
setinggi dirinya. Dia menempatkan dirinya satu kelompok dengan mereka,
meskipun di balik kesantunannya mengaplikasikan solidaritas tersirat usaha untuk
menunjukkan pada orang banyak bahwa kesalahan partainya adalah kesalahan
mereka juga.
Berdasarkan contoh (120) dan (121) dapat dinyatakan bahwa penggunaan
kata sapaan yang bernuansa budaya dan penggunaan pronomina inklusif “kita”
untuk mengaplikasikan kesantunan adalah suatu cara untuk menarik simpati
masyarakat.
Faktor lain yang mendorong aplikasi kesantunan adalah memaksimalkan
keuntungan pada mitra tutur dan membagi beban dengan mitra tutur.
Misalnya:
447
122. Kita juga tidak merasa begitu, jadi tidak sama sekali...bahwa kemudian kami mengatakan bahwa ada partai-partai politik tertentu yang melakukan operasi ini, tidak (P12)
123. Kalau kita menyalahkan apa yang terjadi ini hanya kepada eksekutif
saja, menurut saya sangat tidak fair dan sangat tidak adil. Makanya kita sebagai ketua lembaga-lembaga negara bersepakat untuk selalu berkomunikasi, bersinergi, bagaimana masing-masing institusi kita bisa memberikan kontribusi bagi pembangunan b angsa kita ini (P3)
Ujaran 122 di atas diucapkan oleh P12 yang merupakan anggota PKS. Pada
saat dia didesak untuk mengakui bahwa partai Demokrat adalah partai yang
melakukan operasi politik terhadap partai lain, dia mengatakan tidak. Jawaban ini
tentunya menguntungkan partai Demokrat.
Ujaran 123 di atas diucapkan oleh P3 yang tidak setuju apabila semua
masalah dibebankan hanya pada eksekutif saja. Dia bersedia ikut serta
menanggung beban itu bahkan mengajak lembaga-lembaga yang lain untuk
bekerja sama.
Berdasarkan paparan tentang faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran
dan penjagaan kesantunan dapat disimpulkan bahwa apa pun yang dilakukan oleh
para politisi itu adalah berlatar belakang ideologi, dan pembahasan tentang
ideologi akan disajikan pada bagian berikut.
Temuan pada bagian ini adalah fakta bahwa para politisi itu tidak
mengaplikasikan budaya politik yang berlaku di Indonesia. Terdapat pandangan
yang Anonim menyatakan bahwa budaya politik Indonesia merupakan
(Anonim,www.id.wikipedia.org/wiki/budaya_politik)
1) Hierarki yang tegar/ketat karena ada perbedaan yang tegas antara penguasa
dan orang kebanyakan. Hal ini berimplikasi pada penggunaan bahasa,
448
bahwa rakyat kebanyakan yang berstatus sosial lebih rendah harus
menggunakan bahasa halus terhadap penguasa yang dianggap berstatus
sosial lebih tinggi.
2) Kecenderungan mencari perlindungan (patronage), yaitu memilih mencari
dukungan dari atas daripada menggali dukungan dari bawah.
3) Kecenderungan mewarisi kebiasaan lama dengan cara baru (neo-
patrimonialistik), yaitu perilaku negara yang masih memperlihatkan tradisi
dan budaya politik yang berkarakter patrimonial meskipun sudah memiliki
atribut yang bersifat modern dan rasionalistik seperti birokrasi.
Simpulan pada bab IV menunjukkan bahwa tingkat ketidaksantunan para
politisi itu meningkat karena menggunakan bahasa yang tidak santun pada
pemerintah bahkan pada presiden. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak
santun dan tidak membutuhkan dukungan dari presiden atau mereka yang bestatus
lebih tinggi. Sementara itu, karakteristik ketiga tidak relevan dengan kondisi para
politisi dalam penelitian ini karena karakteristik itu mengacu pada sistem
ketatanegaraan. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa budaya politik yang
dianut oleh para politisi ialah politik menyerang lawan politik untuk
meningkatkan citra politik mereka di mata masyarakat.
6.3 Ideologi yang Tersirat dalam Bahasa Politisi dalam Tayangan Talk
Show “Today’s Dialogue”
Voloŝinov (1973:9-7) menyatakan bahwa ideologi adalah tanda yang
merepresentasikan sesuatu di luar tanda itu sendiri dan bahasa tidak bisa lepas dari
449
ideologi . Di antara individu-individu yang membentuk kelompok sosial, ideologi
ini akan muncul karena merupakan medium komunikasi. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa ideologi selalu tersirat dalam semua ujaran yang terucap. Hal
inilah yang menyebabkan Kress (1985:30) mengatakan bahwa cara terbaik untuk
mengamati ideologi ialah melalui bahasa karena ideologi dapat dibaca melalui
item-item linguistik di dalam teks dan ideologi dapat tersirat pada semua level
bahasa.
Thompson (1984:17) menyatakan bahwa ideologi adalah sistem berpikir,
sistem kepercayaan, praktik-praktik simbolik yang berhubungan dengan tindakan
sosial dan politik. Dia berpendapat bahwa ideologi adalah pemikiran yang secara
mendasar berhubungan dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang
tidak simetris, berhubungan dengan pembenaran dominasi. Definisi ideologi
Thompson (1984) yang lain menyatakan bahwa ideologi adalah perekat
hubungan sosial yang mengikat anggota masyarakat secara bersama dengan
menetapkan nilai-nilai dan norma-norma yang disepakati secara kolektif.
Pendapat Thompson (1984) tersebut diaplikasikan dalam data penelitian ini.
Sumber data yang digunakan untuk penulisan disertasi ini adalah bahasa yang
digunakan oleh sekelompok politisi dalam tayangan talk show “Today’s
Dialogue”. Dari data yang diperoleh tergambar kondisi para politisi yang
menjadi narasumber terbelah menjadi dua. Di satu sisi, ada Partai Demokrat,
Golkar, dan PKS, tiga partai besar yang tergabung dalam koalisi (PPP, PAN, PKB
450
tidak terwakili) yang merupakan kelompok partai pendukung pemerintah. Di sisi
lain, ada Partai Nasional Demokrat yang merupakan partai baru dan Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan yang berseberangan dengan pemerintah. Kedua
kelompok ini mempunyai ideologi yang sama, yaitu kekuasaan dan solidaritas.
Ideologi utama ini tergambar dari ujaran-ujaran yang diucapkan oleh para politisi
tersebut. Meskipun nampaknya mereka mengutamakan kepentingan rakyat,
mengedepankan hukum atau apapun yang dipahami peserta tutur melalui ujaran
mereka, tujuan akhir mereka adalah mendapat suara dari pemilih dan berkuasa.
Partai Demokrat yang menyadari bahwa tidak mungkin menjadi pemenang
pemilu sebagai single majority mengajak partai-partai lain untuk berkoalisi
dengan harapan parta-partai ini dapat menjadi pendukung Partai Demokrat di
DPR untuk mendapat kekuatan mayoritas. Ajakan SBY untuk berkoalisi atau
bersolidaritas dalam berkuasa agar mendapatkan kekuatan mayoritas ditujukan
untuk mendapat kekuasaan dilandasi kebersamaan dan hal tersebut tergambar
dalam ucapan P7 yang merupakan politisi Partai Demokrat.
Politisi 7 – Data 28 (P7-28)
Aa..bagi kami. Apa yang disampaikan Pak Mahfud tadi. Beliau mengatakan Pak SBY ngajak berkoalisi itu betul. Karena apa? Di negeri ini gak ada yang “single majority”. Pastilah harus bersama-sama dan bahkan bukan ke PKS saja. PDI Perjuangan juga beliau minta kalau bisa bergabung bersama-sama di negeri ini. Karena apa? Beliau katakan... .
Pada data (P7-28) ditemukan adanya kata “berkoalisi”. “Berkoalisi”
mempunyai arti menggabungkan partai-partai politik untuk tujuan tertentu
(Hornby, 1973). Tujuan SBY dan partainya berkoalisi dengan partai lain ialah
untuk memperkuat pemerintahannya dan memperkokoh kekuasaannya. Ucapan
P7 menyiratkan kerendahan hati karena dalam ucapannya ada pengakuan bahwa
451
pihaknya tidak mungkin mampu mengelola negara ini tanpa didukung oleh partai-
partai lain. Hal ini adalah aplikasi maksim kerendahan hati.
Perlunya kekuatan mayoritas di DPR digambarkan oleh salah seorang politisi
yang berasal dari Partai Nasional Demokrat. Dia mengatakan bahwa kekuatan
mayoritas dapat mempercepat proses pengambilan keputusan. Hal itu dapat dilihat
pada kutipan berikut.
Politisi 4 – Data 4 (P4-4)
Ya saya melihat memang ini eksperimen baru bagi kita, dimana tidak ada satupun partai yang mayoritas. Saya 32 tahun mengalami orde baru dengan Golkar yang sampai 60%. Putusan memang cepat. Di DPR ini, Demokrat 20%, Golkar 14,5; PDI 14, nggak ada satupun, sehingga pengambilan keputusan itu bertele-tele tidak efisien. Pernyataan P4 di atas menunjukkan bahwa negara ini memerlukan kekuasaan
mayoritas seperti zaman Orde Baru dulu agar pengambilan keputusan dapat
berlangsung cepat. Sebaran kekuasaan di DPR seperti disebutkan pada (P4-4)
membuat segala pengambilan keputusan tidak efisien dan dengan alasan untuk
efisiensi inilah Partai Demokrat menggalang koalisi untuk memperkuat dukungan
dan keinginan ini tergambar dari ucapan salah satu politisi yang berasal dari Partai
Demokrat. Pernyataan tentang pengambilan keputusan yang tidak efisien
merupakan pelanggaran maksim kebijaksanaan karena merugikan anggota
parlemen yang sekarang menjabat wakil rakyat itu.
Dalam ucapan-ucapannya, politisi juga menyuarakan keinginan mereka untuk
berpihak pada rakyat, menyejahterakan kehidupan rakyat yang menurut mereka
tidak diperhatikan oleh pemerintah. Keinginan untuk menjadi pembela rakyat
(people defender) itu tersirat dalam kutipan di bawah ini.
452
Politisi 9 – Data 2 (P9-2)
Apakah setgab pernah.....berbicara dan memperjuangkan supaya aa..harga gabah itu bisa ditingkatkan dan dibeli oleh pemerintah, oleh BULOG? Gak pernah saya dengar apakah pernah bagaimana caranya supaya impor beras itu dilawan dengan cara yang lebih konkret gitu kan? Bagaimana memperbaiki petani-petani kita? Gak pernahh. Jadi ini saya lihat bahwa ini lebih pada bagi-bagi kekuasaan. Jadi...menurut kami rakyat sudah...selesailah kegaduhan ini. Masing-masing partai ini sikapnya...
Melalui kutipan data di atas P9-2 mengatakan bahwa Setgab (Sekretariat
Gabungan ) tidak pernah memperhatikan kepentingan rakyat, tetapi mereka sibuk
membagi-bagi kekuasaan. P9-2 berusaha menunjukkan pada masyarakat bahwa
pemerintah sekarang yang didukung oleh beberapa partai politik yang bergabung
dalam koalisi tidak layak untuk memimpin negara ini karena mengabaikan
kepentingan rakyat. Ucapan ini melanggar maksim kebijaksanaan karena sudah
merugikan kredibilitas pemerintah, dan hal ini juga mengancam muka positif
pemerintah karena apa yang sudah dilakukan tidak dihargai. Contoh lain yang
menyuarakan pembelaan terhadap rakyat adalah kutipan berikut.
Politisi 4 – Data 3 (P4-3)
Saya berharap presiden mengambil langkah-langkah tepat untuk memenuhi harapan-harapan tersembunyi yang ada di hati rakyat yang mungkin tidak muncul (P4-3)
Kutipan di atas menunjukkan bahwa P4 sangat peduli pada rakyat dan berani
mengimbau agar presiden mau mengambil langkah-langkah tepat. Memberi
nasihat pada seseorang yang secara hierarki lebih tinggi dapat
dikategorikan pelanggaran kesantunan karena menganggap presiden selama ini
tidak melaksanakan tugasnya dengan baik sehingga mengancam muka positifnya.
Hal ini melanggar maksim kebijaksanaan.
453
Cara lain untuk mendapatkan simpati rakyat ialah menunjukkan penghargaan
pada diri sendiri (self-esteem). Hal ini dilakukan oleh P9, seperti yang terlihat
pada kutipan berikut.
Politisi 9 – Data 10 (P9-10)
Ya. Begini ya kalau kita tadi mamakai kata narasumber saya setuju sekali. Matematika politik... itu gak bisa karena ilmu politik bukan ilmu pasti. Yang tadi saya katakan itu 74% itu koalisi yang mendukung SBY-Boediono itu dari parlemen. Tapi begitu banyak agenda soal Century, soal berbagai hal itu kalah dalam pemilihan. Makanya PDI Perjuangan itu mesti ada benchmark, mesti ada ukuran dalam memilih pilihan-pilihan politik itu ditengah politik transaksional yang sekarang dagang sapi. Kita tadi disampaikan pak P7 kita ditawarkan untuk bergabung. Kita tunjukkan bahwa kita tidak berorientasi pada kekuasaan. Kita tunjukkan kita lebih memilih bersama dengan rakyat dan itu tidak basa-basi kita tunjukkan.
P9 yang berasal dari PDI-P mengungkapkan keinginannya untuk selalu
bersama rakyat. Hal ini merupakan upaya memuji-muji diri sendiri dan
merupakan cara untuk menarik simpati rakyat. Melalui pujian terhadap dirinya
sendiri, dia mengatakan bahwa tidak ada gunanya bergabung dengan kelompok
besar yang tidak mampu memenangkan pemilihan di DPR sementara dia yang
berasal dari kelompok oposisi yang lebih kecil ternyata dapat memenangkan
pemilihan di DPR. Pernyataan ini melanggar maksim kerendahan hati karena
memaksimalkan penghargaan terhadap diri sendiri. Contoh lain dari usaha memuji
diri sendiri adalah sebagai berikut.
Politisi 6 – Data 20 (P6-20)
Ya, bagi Golkar kalau kita diajak-ajak untuk berkolusi dengan perbuatan jahat pasti kita tolak.
Ucapan P6 menyiratkan bahwa dia dan partainya adalah partai yang baik
yang anti kejahatan. Dia juga menyiratkan adanya partai jahat yang mengajaknya
454
berbuat kejahatan. Karena dia tidak menyebutkan partai mana yang melakukan
kejahatan, melanggar maksim relevansi.
Pembenaran diri (self-opinionated) juga ideologi yang tersirat dalam ucapan-
ucapan politisi dan pembenaran diri itu dapat dilihat pada contoh berikut.
Politisi 7 – Data 2 (P7-2)
Masalah...evaluasi itu menurut saya itu hal yang wajar-wajar saja.
P7 mengatakan bahwa evaluasi yang dilakukan oleh SBY adalah hal yang
wajar meskipun Golkar dan PKS menganggap evaluasi itu tidak wajar karena
dilakukan setelah Golkar dan PKS berseberangan dengan Partai Demokrat tentang
masalah hak angket mafia pajak. Pembenaran diri ini merupakan pelanggaran
terhadap maksim penerimaan karena P7 tidak menghargai pendapat pihak lain
yang menganggap evaluasi itu tidak wajar. Dia memaksimalkan penghargaan
terhadap diri sendiri dengan menganggap apa yang dikatakannya benar. Contoh
lain yang menunjukkan usaha memuji diri sendiri adalah sebagai berikut.
Politisi 6 – Data 2 (P6-2)
Ya...sejauh...justru itu kita akan menjelaskan bahwa kami tidak merasa melakukan pelanggaran karena dalam membangun koalisi, yang kami pahami adalah kesepakatannya memperjuangkan cita-cita reformasi, membangun pemerintahan yang bersih, berwibawa, bebas korupsi, kemudian bebas ketergantungan asing. Nah, apakah ketika kami partai koalisi lainnya memperjuangkan Century itu disebut pelanggaran?
Kutipan ucapan P6 di atas menunjukkan bahwa dia tidak mau mengakui kalau
dirinya bersalah karena memperjuangkan Century bukan merupakan pelanggaran.
Ucapannya menyiratkan bahwa pihak yang menyalahkannya adalah pihak yang
tidak mendukung penyelesaian kasus Century. Dia menganggap bahwa Partai
Demokrat yang identik dengan SBY tidak menyetujui dukungannya terhadap
455
penyelesaian kasus Century. Ucapan ini melanggar maksim kebijaksanaan karena
merugikan SBY dan Partai Demokrat.
Para politisi juga ingin menampilkan citra diri sebagai orang yang taat hukum
atau penegak hukum (law supremacy) seperti terlihat pada kutipan berikut.
Politisi 2 – Data 3 (P2-3)
Ya untuk sampai ke ujung saya kira e.. saya ikut mengomentari yang tadi tadi telah disampaikan Pak P1, justru kalau menurut saya memang ketika kemudian kasus ini tidak dibongkar, inilah yang akan menghancurkan negara. Kar... oh ya, karena semua kita menjadi tidak percaya dengan penegakan hukum. Semua kita menjadi saling mencurigai, semua kita menjadi tidak bisa saling dipercaya omongannya. Terus bangsa mana yang hukumnya dibiarkan menjadi tidak dipercaya kemudian dia bisa bangkit? Negara maju mana yang kemudian membiarkan hukumnya menjadi permainan dan kemudian tidak membawa pada perbaikan? Negara mana yang kemudian bisa tumbuh kuat menjadi sesuatu yang ditakuti, mempunyai hibah pada pada dunia? Mempunyai aura yang kuat ditingkat dunia ketika bahkan antara bangsanya saja tidak saling mempercaya? Tidak ada! Jadi justru kalau kita ingin menyelamatkan bangsa ini, kasus Gayus ini harus dibongkar sampai keakar-akarnya. Ya mohon maaf, berapapun yang kemudian terlibat, saya yakin tidak sampai sepuluh juta. Habis buka... sepuluh juta orang di Indonesia begitu maksud saya, ...
Ucapan P2 menunjukkan bahwa dia benar-benar ingin semua kasus korupsi
dibongkar sampai tuntas. Dia menyadari bahwa hukum di Indonesia kurang
ditegakkan. Ucapannya dapat menarik simpati rakyat, tetapi melanggar maksim
kebijaksanaan karena sudah merugikan penegak hukum yang secara tersirat
dinyatakan tidak mampu memberantas korupsi. Contoh lain dari ideologi
penegakan hukum adalah sebagai berikut.
Politisi 11 – Data 7 (P11-7)
Kita pasti akan berbeda pandangan ketika koalisi mulai diarahkan untuk melakukan hal-hal diluar itu… Katakanlah contoh kasus misalnya Kasus
456
Bank Century. Kita akan menolak… Kasus mafia pajak, kita kan menolak untuk diseragamkan.... kan begitu.
Kasus Bank Century adalah kasus hukum, kasus korupsi yang yang menurut
P11 pelakunya dilindungi oleh pemerintah. Sebagai pihak yang ingin dianggap
penegak dan taat hukum, P11 menyatakan bahwa dia menolak kasus Bank
Century, kasus mafia pajak diseragamkan, yang ditentukan sesuai dengan
kehendak Partai Demokrat karena tidak sesuai dengan hukum. Pernyataan ini
menyiratkan bahwa P11 menuduh pengelola koalisi mengarahkan koalisi ke hal-
hal yang melanggar hukum, dan hal ini melanggar maksim kebijaksanaan.
Berdasarkan pembahasan tentang ideologi di atas dapat disimpulkan bahwa
setiap partai, baik yang sedang berkuasa, yang berada di dalam lingkaran
penguasa atau yang berseberangan dengan kekuasaan, mempunyai ideologi sama
yaitu kekuasaan (power ), didukung oleh nilai-nilai pembenaran diri (self-
opinionated), pembela rakyat (people defender), pemuji diri (self-esteem), dan
penegak hukum (law supremacy).
6.4 Rangkuman
Berdasarkan analisis tentang faktor-faktor dan ideologi yang tersirat dalam
pelanggaran dan ketaatan pada kesantunan politisi dalam menggunakan bahasa,
dapat disimpulkan bahwa:
1) Faktor-faktor yang menyebabkan pelanggaran dan ketaataan pada
kesantunan berhubungan dengan maksim kesantunan yang dikemukakan
oleh Leech (1983) dan Grice (1975). Pelanggaran kesantunan disebabkan
karena adanya (1) keinginan untuk memaksimalkan kerugian pada mitra
457
tutur, dan (2) adanya keinginan untuk meminimalkan penghargaan pada
mitra tutur. Aplikasi kesantunan disebabkan karena adanya (1) keinginan
untuk memaksimalkan penghargaan padamitra tutur, (2) memaksimalkan
keuntungan pada mitra tutur, (3) memaksimalkan rasa solidaritas terhadap
mitra tutur, dan (4) adanya keinginan untuk membagi beban dengan miyta
tutur.
2) Semua ucapan yang diucapkan oleh politisi di dalam talk show Today’s
Dialogue” menyiratkan ideologi mereka, yaitu kekuasaan dan solidaritas
(power and solidarity), yang didukung oleh nilai-nilai pembenaran diri
(self-opinionated), pembela rakyat (people defender), pemujian diri (self-
esteem), dan penegak hukum (law supremacy). Berdasarkan ideologi yang
mereka anut, para politisi tidak segan-segan melakukan aplikasi atau
pelanggaran terhadap kesantunan yang pada akhirnya mengancam muka
positif ataupun muka negatif. Semua aplikasi atau pelanggaran kesantunan
itu pada dasarnya ditujukan untuk membuat lawan politiknya terlihat tidak
mampu duduk dalam pemerintahan, dan sebaliknya, menunjukkan bahwa
apabila dia atau partainya yang terpilih menduduki pemerintahan,
kehidupan rakyat akan membaik. Maksim kesantunan yang cenderung
dilanggar adalah maksim kebijaksanaan, penerimaan, maksim penerimaan
dan maksim cara Sementara itu, maksim yang cenderung diaplikasikan
adalah maksim kuantitas, maksim relevansi dan maksim cara. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa ideologi dan nilai-nilai pendukungnya
juga berkaitan dengan pelanggaran dan aplikasi kesantunan.
458
BAB VII
TEMUAN
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, temuan penelitian ini dapat
dipaparkan adalah sebagai berikut
1. Sehubungan dengan tingkat kesantunan berbahasa politisi, temuan baru yang
ditemukan adalah sebagai berikut.
a. Maksim yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kesantunan adalah
sepuluh maksim yang merupakan gabungan maksim kerja sama dan
kesantunan. Penggabungan ini bersifat sling melengkapi,sejalan dengan
pendapat bahwa komunikasi yang santun adalah komunikasi yang
mengandung usaha untuk bekerja sama guna mencapai tujuan komunikasi
dan usaha untuk menjaga perasaan mitra tutur. Pengukuran tingkat
kesantunan yang dilihat hanya dari sudut keinginan berkerja sama saja
atau keinginan menjaga perasaan mitra tutur saja cenderung kurang tepat.
Kesepuluh maksim itu adalah (1) maksim kualitas, (2) maksim kuantitas,
(3) maksim relevansi, (4) maksim cara, (5) maksim kebijaksanaan, (6)
maksim kemurahan hati, (7) maksim penerimaan, (8) maksim kerendahan
hati, (9) maksim kecocokan, dan (10) maksim kesimpatian.
b. Kalimat-kalimat panjang yang digunakan oleh politisi bukan bermaksud
untuk menunjukkan kesantunan seperti yang diutarakan oleh Wijana &
Rohmadi (2009), tetapi kalimat-kalimat panjang digunakan untuk
459
memaksimalkan serangan terhadap mitra tutur dan memaksimalkan pujian
terhadap diri sendiri.
c. Ketidaksantunan yang mereka lakukan bukan karena topik pembicaraan
atau partai asal politisi tersebut. Ketidaksantunan yang mereka lakukan
disebabkan oleh karakter mereka sendiri dan latar belakang sosial mereka,
termasuk latar belakang keluarga.
d. Leech (1983) mengatakan bahwa pelanggaran kesantunan dapat dilakukan
untuk menjaga perasaan mitra tutur. Akan tetapi politisi dalam talk show
ini pelanggaran kesantunan dilakukan untuk menyerang mitra tuturnya
atau untuk memaksimalkan promosi untuk dirinya sendiri.
2. Temuan baru sehubungan dengan ciri-ciri verbal politisi adalah sebagai
berikut.
a. Fitur prosodik , dalam hal ini tekanan pada kata, digunakan oleh politisi
untuk menonjolkan kata yang menyerang mitra tutur atau memuji diri
sendiri, mengejek, atau menuduh. Menyerang mitra tutur dan mengejek
merupakan pelanggaran maksim penerimaan sedangkan menuduh dan
memuji diri sendiri merupakan pelanggaran maksim kebijaksanaan. Jadi,
fitur prosodik dapat digunakan untuk mengekspresikan pelanggaran
kesantunan.
b. Penghilangan afiksasi ditujukan untuk mempersingkat waktu bicara
sehingga penyampaian informasi dalam waktu terbatas dapat dilakukan
dengan lebih efektif dan efisien. Dengan berbicara secara efektif dan
efisien, pembicara akan menghemat waktu dan memberi kesempatan pada
460
pembicara yang lain untuk berbicara. Ini adalah aplikasi maksim
penerimaan, maksim yang mengharuskan pembicara menghargai
pembicara lain.
c. Pemilihan kata yang cenderung berorientasi pada zamannya. Menurut
Santoso, pada zaman pasca orde baru, kata-kata yang mengarah pada
reformasi dan status quo banyak digunakan. Akan tetapi dalam analisis
disertasi ini, kata-kata yang digunakan cenderung terkait dengan
kekuasaan, misalnya koalisi, partai, rakyat dan sebagainya, dan terkait
dengan hukum, misalnya hakim, hukum, kejaksaan dan sebagainya. Hal
ini sejalan dengan ideologi politisi, yaitu kekuasaan, yang didukung oleh
nilai-nilai pembenaran diri, pemuji diri, pembela rakyat dan penegak
hukum.
d. Para politisi cenderung menggunakan bentuk deklaratif yang berstruktur
kompleks. Kalimat deklaratif lebih mudah dimengerti sehingga
mengurangi beban mitra tutur untuk memahaminya, dan ini adalah salah
satu bentuk kesantunan. Kalimat kompleks adalah kalimat yang cenderung
sulit dipotong, dan cenderung mengimplikasikan usaha mendominasi
komunikasi. Hal ini merupakan pelanggaran maksim penerimaan.
e. Bentuk imperatif yang paling dominan ialah kalimat imperatif yang
bermakna ajakan terhadap mitra tuturnya untuk melakukan sesuatu.
f. Bentuk interogatif dapat berfungsi menunjukkan kekurangan orang lain.
Misalnya pertanyaan “Apakah pernah BULOG membeli gabah dari
petani?” Pertanyaan yang diucapkan oleh P9 itu difungsikan untuk
461
menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah berusaha membantu rakyat
petani.
g. Verba aktif mendominasi kalimat-kalimat yg diucapkan para politisi itu.
Hal ini menunjukkan bahwa bagi mereka siapa yang melakukan apa,
penting artinya. Apabila yang disebut ialah hal-hal yang menguntungkan
mitra tutur, pembicara berarti mengaplikasikan maksim kebijaksanaan.
Akan tetapi, apabila yang disebut ialah hal-hal yang merugikan mitra tutur,
pembicara melanggar maksim kebijaksanaan.
3. Dari pengamatan empiris, pelanggaran kesantunan disebabkan oleh adanya
hubungan yang tidak baik antara pembicara dan mitra bicaranya. Akan tetapi,
penelitian ini membuktikan bahwa pelanggaran kesantunan disebabkan oleh:
1) keinginan untuk memaksimalkan kerugian pada mitra tutur (pelanggaran
terhadap maksim kebijaksanaan) dan
2) keinginan untuk meminimalkan penghargaan pada mitra tutur
(pelanggaran maksim penerimaan dan maksim cara).
Aplikasi maksim kesantunan didorong oleh faktor-faktor seperti berikut.
1) Keinginan untuk memaksimalkan penghargaan pada mitra tutur (aplikasi
maksim kuantitas).
2) Keinginan untuk memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur (aplikasi
maksim kuantitas dan maksim cara)
3) Keinginan untuk memaksimalkan rasa solidaritas terhadap mitra tutur
(aplikasi maksim relevansi).
462
4) Keinginan untuk membagi beban dengan mitra tutur (aplikasi maksim
cara)
5. Berdasarkan analisis tentang ideologi yang tersirat di balik ujaran para politisi,
dapat disimpulkan bahwa ideologi mereka adalah kekuasaan (power),
didukung oleh nilai-nilai pembela rakyat (people defender), pemuji diri sendiri
(self-esteem), pembenaran diri (self-opinionated), dan penegak hukum (law
supremacy). Semua ideologi politisi ini merupakan ideologi yang mendukung
ideologi utama mereka yaitu kekuasaan.
463
BAB VIII
SIMPULAN DAN SARAN
8.1 Simpulan
Ada empat permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Berikut ini
adalah paparan hasil penelitian dari masing-masing permasalahan tersebut.
Sehubungan dengan penelitian tentang tingkat kesantunan berbahasa politisi,
hasil yang diperoleh adalah:
10. Pengukuran tingkat kesantunan berbahasa politisi menggunakan sepuluh
maksim, yaitu maksim kualitas, maksim kuantitas, maksim relevansi, maksim
cara, maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan hati, maksim penerimaan,
maksim kerendahan hati, maksim kesimpatian dan maksim kecocokan.
11. Politisi Indonesia dapat dikategorikan sebagai politisi yang santun dengan
tingkat pelanggaran kesantunan 20,87%.
12. Selama berkomunikasi, ada usaha untuk mengabaikan pola gilir dan usaha
untuk mendominasi, akan tetapi, usaha untuk mengabaikan pola gilir seringkali
tidak berhasil dilakukan karena politisi yang sedang berbicara tidak bersedia
memberikan kesempatan bicaranya kepada politisi lain. Usaha mendominasi
juga cenderung tidak berhasil dilakukan karena sikap pembawa acara yang
tegas.
13. Panjangnya ujaran dalam dunia
politik tidak berkorelasi positif dengan kesantunan. Ujaran mereka yang
panjang digunakan secara maksimal untuk menyerang mitra tutur yang
464
dianggap tidak sepaham dan juga digunakan untuk mempromosikan diri
sendiri atau partainya.
14. Untuk mengurangi tekanan ketidaksantunan, disamping menggunakan
maksim, para politisi juga menggunakan metafora, kalimat berpagar, alih
bahasa, pilihan kata dan implikatur.
15. Para politisi melakukan pelanggaran terhadap maksim kesantunan dengan
frekuensi sebagai berikut: maksim kebijaksanaan (47), maksim penerimaan
(34), maksim cara (32), maksim kecocokan (16), Maksim kerendahan hati
(15), maksim kesimpatian (14), maksim relevansi (9), maksim kualitas (9),
maksim kuantitas (8) , dan maksim kemurahan hati (4).
16. Untuk meningkatkan kesantunan, mereka mengaplikasikan maksim
kesantunan yang berdasarkan frekuensi penggunaannya dipaparkan sebagai
berikut: maksim kuantitas (83), maksim relevansi (78), maksim cara(58),
maksim penerimaan (28), maksim kebijaksanaan (22), maksim kerendahan
hati (11), maksim kemurahan hati (10), maksim kesimpatian (5), maksim
kualitas (5), dan maksim kecocokan (1).
17. Ketidaksantunan yang mereka lakukan bukan karena topik pembicaraan atau
partai asal politisi tersebut. Ketidaksantunan yang mereka lakukan disebabkan
oleh karakter mereka sendiri dan latar belakang sosial mereka, termasuk latar
belakang keluarga.
18. Leech (1983) mengatakan bahwa pelanggaran kesantunan dapat dilakukan
untuk menjaga perasaan mitra tutur. Akan tetapi politisi dalam talk show ini
465
pelanggaran kesantunan dilakukan untuk menyerang mitra tuturnya atau untuk
memaksimalkan promosi untuk dirinya sendiri.
Analisis tentang ciri-ciri satuan verbal yang digunakan oleh para politisi
memperoleh hasil sebagai berikut.
8) Fitur prosodik , dalam hal ini tekanan pada kata, digunakan oleh politisi untuk
menonjolkan kata yang menyerang mitra tutur atau memuji diri sendiri,
mengejek, atau menuduh. Menyerang mitra tutur dan mengejek merupakan
pelanggaran maksim penerimaan sedangkan menuduh dan memuji diri sendiri
merupakan pelanggaran maksim kebijaksanaan.
9) Penghilangan afiksasi ditujukan untuk menggunakan waktu seefektif dan
seefisien mungkin. Dengan berbicara secara efektif dan efisien, pembicara
akan menghemat waktu dan memberi kesempatan pada pembicara yang lain
untuk berbicara. Ini aalah aplikasi maksim penerimaan, maksim yang
mengharuskan pembicara menghargai pembicara lain.
10) Pilihan kata politisi itu mengacu kepada kekuasaan, misalnya koalisi, partai,
presiden, menteri, anggota DPR dan sebagainya.
11) Para politisi itu cenderung menggunakan bentuk deklaratif yang berstruktur
kompleks. Kesimpulan ini sejalan dengan karakter politisi yang ingin
menyampaikan informasi sebanyak mungkin dalam waktu terbatas. Kalimat
deklaratif lebih mudah dimengerti sehingga mengurangi beban mitra tutur
untuk memahaminya, dan ini adalah salah satu bentuk kesantunan. Kalimat
kompleks adalah kalimat yang cenderung sulit dipotong, dan dengan
menggunakan kalimat-kalimat kompleks, lebih banyak informasi yang dapat
466
disampaikan sebelum pembawa acara menghentikannya. Bukti bahwa kalimat
deklaratif lebih disukai dibuktikan melalui penelitian ini yang menyatakan
bahwa dari 767 kalimat yang mereka ucapkan, 631 berbentuk deklaratif dan
ini berarti bahwa 82,4% kalimat yang digunakan ialah kalimat deklaratif dan
kalimat deklaratif ini ialah kalimat kompleks.
12) Bentuk imperatif yang digunakan berjumlah 28 (3,7%), dan yang paling
dominan ialah kalimat imperatif yang bermakna ajakan terhadap mitra
tuturnya untuk melakukan sesuatu.
13) Bentuk interogatif yang digunakan berjumlah 69 (8,9%), dan tidak selalu
berfungsi bertanya tetapi dapat berfungsi lain, misalnya menunjukkan
kekurangan orang lain. Misalnya pertanyaan “Apakah pernah BULOG
membeli gabah dari petani?” Pertanyaan yang diucapkan oleh P9 itu
difungsikan untuk menunjukkan bahwa pemerintah tidak pernah berusaha
membantu rakyat petani.
14) Verba aktif yang mendominasi kalimat-kalimat yg diucapkan para politisi itu
menunjukkan bahwa bagi mereka siapa yang melakukan apa penting artinya.
Apabila yang disebut ialah hal-hal yang menguntungkan mitra tutur,
pembicara berarti mengaplikasikan maksim kebijaksanaan. Akan tetapi,
apabila yang disebut ialah hal-hal yang merugikan mitra tutur, pembicara
melanggar maksim kebijaksanaan.
15) Politisi cenderung menggunakan kalimat-kalimat spontan, yang cenderung
tidak memenuhi kaidah gramatikal. Hal ini sudah dikatakan oleh Wahyu
(www@t_wahyu,staff.gunadarma.ac.id). Dia mengatakan bahwa dalam
467
bahasa lisan unsur gramatikal tidak dinyatakan dengan lengkap dan
dipengaruhi oleh tinggi rendahnya suara. Bahasa lisan seperti yang dikatakan
oleh Wahyu adalah bahasa yang juga digunakan dalam talk show.
Sehubungan dengan analisis tentang faktor-faktor yang mendorong politisi
melakukan pelanggaran atau menaati kaidah-kaidah kesantunan berbahasa, hasil
penelitian menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap kaidah-kaidah kesantunan
disebabkan oleh:
5) keinginan untuk memaksimalkan kerugian pada mitra tutur (pelanggaran
terhadap maksim kebijaksanaan), dan
6) keinginan untuk meminimalkan penghargaan pada mitra tutur
(pelanggaran maksim penerimaan dan maksim cara).
sedangkan faktor-faktor yang membuat mereka menaati kaidah-kaidah kesantunan
adalah
9) keinginan untuk memaksimalkan penghargaan pada mitra tutur (aplikasi
maksim kuantitas).
10) keinginan untuk memaksimalkan keuntungan pada mitra tutur (aplikasi
maksim kuantitas dan maksim cara)
11) keinginan untuk memaksimalkan rasa solidaritas terhadap mitra tutur
(aplikasi maksim relevansi).
12) Keinginan untuk membagi beban dengan mitra tutur (aplikasi maksim
cara)
468
Berdasarkan analisis tentang ideologi yang tersirat di balik ujaran para
politisi, dapat disimpulkan bahwa ideologi utama mereka mereka adalah
kekuasaan (power), yang didukung oleh nilai-nilai pembela rakyat (people
defender), pemuji diri sendiri (self-esteem), pembenaran diri (self opinionated),
dan penegak hukum (law supremacy).
8.2 Saran
Saran yang dikemukakan ditujukan kepada politisi dan akademisi. Kepada
politisi disarankan untuk menggunakan bahasa yang santun, yang menghargai
keberadaan mitra tutur melalui:
4) peningkatan pemahaman tentang strategi mempersantun ujaran,
5) pemahami tentang kesantunan yang berlaku umum di setiap situasi dan
kondisi,
6) peningkatan kemampuan menggunakan bahasa yang lugas dan mudah
dimengerti oleh pemirsa yang berasal dari berbagai kalangan.
`Saran kepada akademisi adalah sebagai berikut.
Penelitian sosiopragmatik semacam ini masih banyak dapat dilakukan, misalnya
mengukur kesantunan kelompok masyarakat yang berbeda, bagaimana kesantunan
berbeda dari satu budaya ke budaya yang lain. Penelitian semacam ini akan
memperkaya ranah sosiopragmatik dengan temuan-temuan barunya.
Saran kepada masyarakat.
Setiap orang berhak diperlakukan dengan santun. Oleh karena itu masyarakat
sebaiknya menjaga perasaan mitra tutur dengan memperhatikan adanya perbedaan
469
status sosial dan kekuasaan. Hal ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan
pilihan kata dan panjangnya ujaran. Kesantunan tidak selalu berkorelasi positif
dengan bahasa baku karena bahasa baku yang dipakai pada konteks situasi yang
tepat dapat menyebabkan ketidaksantunan.
470
BAB IX
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Muhammad Zein. 2009. Fungsi Komunikasi Politik Partai dalam
Pemilu (Sebuah Tinjauan Terhadap Kesuksesan dan Kegagalan Partai Politik dalam Pemilu). Dalam Observasi: Kajian Komunikasi dan Informatika. Hlm.31-48
Alwi, Hasan, dkk. 1992. Tata Bahasa Baku bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka.
Anonim.2013. Budaya Politik.(diunduh 6 Maret 2013 available from: www.id.wikipedia.org/wiki/budaya-politik
Austin, J.L. 1962. How to do Things with Words. New York, Oxford:
University Press. Aziz, Abdul S.R. 2003. Menyusun Rancangan Penelitian Kualitatif. Dalam:
Bungin, B., ed. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Hal. 18–36.
Bauer, L. (1988. Introducing Linguistic Morphology. Edinburgh: University
Press. Beard, A. 2000. The Language of Politics. London: Routledge. Brown, P. dan Stephen C. Levinson. 1978. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press. Brown, J. D. dan Theodore S. Rodgers. 2002. Doing Second Language
Research. Oxford: Oxford University Press. Djojosuroto, K. 2006. Filsafat Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. Donnely, K. P., 2009. “Examining the Role of Political Language in Rhode
Island’s Health Care Debate” (disertasi). USA: Universitas Northwestern. Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. Essex: Longman Group UK Limited. Faisal, S. 2003. Filosofi dan Akar Tradisi Penelitian Kualitatif. Dalam Bungin,
Burhan. 2003. Analisis Data penelitian Kualitatif . Hal 3 – 17. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
471
Faisal, S. 2003. Pengumpulan dan Analisis Data dalam Penelitian Kualitatif. Dalam Bungin, Burhan. 2003. Analisis Data penelitian Kualitatif . Hal 64 – 79. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Fowler, R. 1986. Linguistic Criticism. Oxford: Oxford University Press. Fraser, B. 1983. The Domain of Pragmatics. In: Language and Communication.
Ed: Richards, Jack. C., Richard W. Schmidt. Essex: Longman Group Limited hlm. 156 – 188
Geertz, C. 1960. Linguistic Etiquette. IDalam: Selected Reading Sociolinguistic.
1986. Ed: Pride J.B. dan Janet Holmes. Middlesex: Penguin Books hlm. 167 -179
Grice, H.P. 1975. Logic and Conversation. Reprinted from Cole et al. 2004.
Syntax and Semantic 3: Speech Arts. With permission from Elsevier Grundy, P. 2000. Doing Pragmatics. New York: Oxford University Press, Inc. Gunarwan, A. 2007. Pragmatik: Teori dan Kajian Nusantara. Jakarta: Penerbit
Universitas Atma jaya Halliday, M. dan R. Hasan. 1976. Cohesion in English. London:Longman, Halliday, M.A.K. dan Hasan R. 1985. Language, Context and Text: Aspects of Language in Social-Semiotic Perspective. Victoria: Deakin University. Harras, K. A. 2009. Menyoal Kesantunan Berbahasa Politisi Kita. (cited 15
Agustus 2011) diunduh dari: Kholidharras.blogspot.com/2009/04/... Haugh, Michael, 2003. “Politeness Implicature in Japanese: A Multilingual
Approach” (Disertasi). Queensland: University of Queensland. Hikmat, M. M. 2010. Komunikasi Politik: Teori dan Praktik. Bandung: Simbiosa
Rekatama Media Holmes, J. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. Essex: Pearson Education
Limited. Hornby, S, et al (1973) Advanced Learner’s Dictionary of Current English.
Oxford : Oxford University Press. Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Cambridge: Cambridge University Press. Hymes, D.H. 1964. Toward Ethnographies of Communication: The Analysis of
472
Communicative Events. In: Language and Social Context. 1972 Editor: Giglioli, Pier paolo. Essex : Penguin Books.
Jakobson, R, 1960. Closing Statement: Linguistics and Poetics.Function of
[email protected]. (diunduh: 15 Agustus 2010). Diunduh dari: en.wikipedia.org/wiki/Roman Jakobson.
Katamba, F. 1993 Morphology. London: Macmillan Press Ltd. Keesing, R. M. 1974. Theories of Culture. In: Language, Culture, and Cognition.
Editor: Casson, Ronald W. 1981. New York: Macmillan Publishing Co., Inc. Kramsch, Claire. 1998. Language and Culture. Oxford: Oxford University Press. Kress, Gunther. 1985. Ideological Structure in Discourse. Dalam: Handbook of
Discourse Analysis Vol.4. Ed: Van Dijk.A.Teun 1985. Hlm.27-42 London:Academic Press.
Kristiansen, T.1997. Language Attitude in Danish Cinema. Dalam: Coupland, N.
And Jaworski, A. 1997. Sociolinguistics. A Reader and Coursebook. London: Macmillan Press Ltd. Hlm. 291-306 Leech, G.; Margaret Deuchar dan Robert Hoogenraad. 1982. English Grammar
for Today. Hongkong: Macmillan Education Ltd. Leech, G. 1983. Principles of Pragmatics. London and New York: Longman. Levinson, S. C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press. Mahsun, 2005. Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan
Tekniknya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Miles, M.B dan A. Michael Huberman 1994. Qualitative Data Analysis. London,
New Delhi: Sage Publication. Mulyana, Deddy. 2010. Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ng, Sik Hung dan James J. Bradac. 1993. Power in Language: Verbal
Communication and Social Influence. Newbury Park, London, New Delhi:Sage Publication: International Educational and Professional Publisher.
Orwel, G. 1986. Politics and the English Language In: Exploring Language.
Editor: Goshgarian, G. Boston: Little, Brown, and Company.
473
Rahardi, R. K. 2005. Pragmatik: Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia. Ciracas, Jakarta 13740: Penerbit Erlangga,.
Richards, J. C. dan Richard W Schmidt. 1984. Conversational Analysis. Dalam: Language and Communication. Ed: Richards, Jack C. & Richard W, hlm:90-117 Schmidt.London: Longman. Salzmann, Z. 1998. Language, Culture and Society. An Introduction to Linguistic
Anthropology. Colorado: Westview Press. Santoso, A. 2003. Bahasa Politik Pasca Orde Baru. Jakarta: Penerbit Wedatama
Widya Sastra, Jakarta. Santoso, A. 2004. Analisis Wacana Kritis Penggunaan Metafora dalam Bahasa
Politik Pasca-Orde Baru. Dipresentasikan pada Seminar Internasional bertajuk Developing Critical Thinking in a Democratic Society pada Lustrum ke-50 UM 2004.
Santoso, R. 2003. Semiotika Sosial:Pandangan Terhadap bahasa. Surabaya: JP Press Scollon, R. dan Suzanne Wong Scollon. 1995. Intercultural Communication.
Oxford UK: Blackwell. Searle, J. 1969. Speech Act: An Essay in the Phylosophy of Language. London: Cambridge University Press. Sidiksuhada . 2010. Media dan Komunikasi :Bahasa dan Ideologi dalam Retorika
Politik (diunduh 15 Agustus 2010) diunduh dari: http://sidiksuhada.blogspot.com/2010/01/bahasa-dan-ideologi-dalamretorika.html.
Simpen, I W. 2008. “Kesantunan Berbahasa pada Penutur Bahasa Kambera di
Sumba Timur” (disertasi). Denpasar:Universitas Udayana.
Simpen, I W. 2008. Sopan Santun Berbahasa Masyarakat Sumba Timur: Sebuah kajian Linguistik Kebudayaan. Sumba Timur: Pustaka Larasan.
Stubbs, M, 1983. Discourse Analysis: The Sociolinguistic Analysis of Natural
Language, Oxford, UK: Basil Blackwell Sudaryanto, 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press
Sudjana. 1982. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.
474
Susanto, E. H. 2010. Komunikasi manusia:Esensi dan Aplikasi dalam Dinamika Sosial Ekonomi Politik. Mitra Wacana Media.
Taylor, C. 2002. Bahasa dan Hakikat Manusia. Dalam: Tafsir Politik. Editors:
Geertz, Clifford dkk. Yogyakarta: CV Qalam. Hlm: 119 – 174. Thompson, John,B. 1984. Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi
Dunia. Gowok: IRCioD Voloŝinov, V.N. (1973). Marxism and The Phylosophy of Language. (Ladislav
Matejka and I.R. Titunik). New York and London: Seminar Press. Wahyu. 2010. “Ciri-Ciri Bahasa Lisan dan Bahasa Tulis. Wahyu (cited 16
Agustus 2010) diunduh dari (www@t_wahyu.staff.gunadarma.ac.id). Wardhaugh, R. 1987. Introduction to Sociolinguistics. Oxford: Basil Blackwell. Watts, R, J dkk. 1992. Politeness in Language. Berlin, New York: Mouton de Gruyter. Watts, R, J. 2003. politeness. Cambridge: Cambridge University Press Webster’s New Collegiate Dictionary. 1956. Springfield, Mass, USA: G&C
Merriam Co. Publishers. Wijana, I D. P. dan Muhammad Rohmadi. 2009. Analisis Wacana Pragmatik:
Kajian Teori dan Analisis. Surakarta.Yuma Pustaka. Wittgenstein, L. 1953. Philosophical Investigations. (G.E.M Anscombe). Oxford:
Basil Blackwell. Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford: Oxford University Press.
475
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Lampiran 1
Tabel 9.1: Daftar Today’s Dialog
No Topik dan Tanggal Tayang Nama Politisi Partai
1. Lucunya Negeri ini
11 Januari 2011
1.Amin Rais (P1)
2.Hidayat Nurwahid (P2)
PKS
2. Krisis Kepemimpinan Nasional
1 Februari 2011
1.Marzuki Ali (P3)
2.Siswono Yudho Husodo (P4)
Demokrat
Nasdem
3. Politik Beretika
22 Februari 2011
1.Gayus Lumbuun (P5) PDI-P
4 SBY Gertak Koalisi 1 Maret 2011
1.Bambang Soesatyo (P6)
2.Sutan Bhatoegana (P7)
3.Mahmudz Siddiq (P8) 4.Maruarar Sirait (P9)
Golkar
Demokrat
PKS PDI-P
5. Menekan Parpol Koalisi 29 maret 2011
1.Saan Mustafa(P10) 2.Bambang Soesatyo
(P11) 3.Nasir Jamil (P12)
Demokrat Golkar
PKS
476
LAMPIRAN 2
Tabel 9.2: Rekapitulasi Pelanggaran dan Aplikasi Maksim Kesantunan
Politisi 1
Data P1 Pelanggaran Aplikasi 1
(50%) Cukup Santun
Cara (2X) Kuantitas Penerimaan (2X) Kebijaksanaan Kesimpatian
Penerimaan Relevansi
2 (30%) Cukup Santun
Kesimpatian Kebijaksanaan Kemurahan Hati
Penerimaan Kuantitas Relevansi Cara
3 (50%) Cukup Santun
Cara Kjebijaksanaan (2X) Penerimaan Kesimpatian Kemurahan Hati
Kebijaksanaan Penerimaan Kuantitas Relevansi
4 (30%) Cukup Santun
Kebijaksanaan Kesimpatian Penerimaan
Penerimaan (Hedge) Kuantitas
5 (20%) Santun
Cara (2X) Kebijaksanaan
Kebijaksanaan Penerimaan Kualitas Relevansi
6-7 (40%) Cukup Santun
Cara (3X) Penerimaan Kualitas Kesimpatian
Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi
8 (30%) Cukup Santun
Penerimaan Kebijaksanaan (2X) Kemurahan Hati
Penerimaan (Hedge) Kuantitas Relevansi Cara
9 (40%) Cukup Santun
Kebijaksanaan Cara Kuantitas Relevansi
Kebijaksanaan (Hedge) Kebijaksanaan Kemurahan Hati
10 (20%) Santun
Penerimaan Kebijaksanaan
Penerimaan Kuantitas Relevansi Cara
11 Kebijaksanaan Penerimaan
477
(50%) Cukup Santun
Kemurahan Hati Penerimaan Relevansi Kuantitas
Kemurahan Hati Cara
12 (30%) Cukup Santun
Cara (2X) Kebijaksanaan Relevansi
Kebijaksanaan Penerimaan Kuantitas
13 (20%) Santun
Relevansi (2X) Kuantitas
Penerimaan Kemurahan Hati Cara
30,77% Cukup Santun
478
Politisi 2
Data P2 Pelanggaran Aplikasi 1
(40%) Cukup Santun
Cara Kebijaksanaan (3X) Kesimpatian Penerimaan
Penerimaan Keseimpatian Kuantitas Relevansi
2 (40%) Cukup Santun
Kuantitas Relevansi Cara (3X) Penerimaan
Kebijaksanaan Penerimaan Penerimaan (Metafora) Kualitas
3 (10%) Santun
Relevansi Kerendahan Hati Kualitas Kuantitas Relevansi
4 (10%) Santun
Cara Kebijaksanaan Kemurahan Hati Kualitas Penerimaan Kuantitas Relevansi
5 (30%) Cukup Santun
Kebijaksanaan Cara Kerendahan Hati
Kuantitas Relevansi
6 - 7 (20%) Santun
Kebijaksanaan Penerimaan
Kuantitas Relevansi Cara
8 (0%)
Santun
-
Penerimaan (Metafora, Kata Pinjaman) Kemurahan Hati Kuantitas Relevansi Cara
9 (50%) Cukup Santun
Kuantitas Relevansi Cara Kerendahan Hati Penerimaan
Kuantitas Cara Relevansi
25 % Santun
479
Politisi 3
Data P3 Pelanggaran Aplikasi 1
(0%) Santun
-
Kemurahan Hati Penerimaan Kuantitas Relevansi Cara
2 (20%) Santun
Kebijaksanaan Cara
Kesimpatian Kuantitas Cara
3 (20%) Santun
Kebijaksanaan Penerimaan
Kesimpatian Kemurahan Hati Kuantitas Relevansi Cara
4 (20%) Santun
Cara Penerimaan
Kebijaksanaan Kesimpatian Penerimaan Kuantitas Relevansi
5 (30%) Cukup Santun
Kebijaksanaan Kesimpatian Cara
Kesimpatian Kuantitas Relevansi
6 (10%) Santun
Penerimaan (2X)
Kemurahan Hati Kuantitas Relevansi Cara
7 (30%) Cukup Santun
Kebijaksanaan Kesimpatian Penerimaan
Kuantitas Relevansi Cara
18,57% Santun
480
Politisi 4
Data P4 Pelanggaran Aplikasi 1
(40%) Cukup Santun
Penerimaan Kecocokan Kebijaksanaan (2X) Cara
Kebijaksanaan Kemurahan Hati Kuantitas Relevansi
2 (10%) Santun
Penerimaan Kerendahan Hati Kuantitas Cara Relevansi
3 (20%) Santun
Kebijaksanaan Cara
Kerendahan Hati Kemurahan Hati Penerimaan Kuantitas Relevansi
4 (10%) Santun
Kebijaksanaan Kerendahan Hati Kuantitas Cara Relevansi
5 (10%) Santun
Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi Cara
18 % Santun
481
Politisi 5
Data P5 Pelanggaran Aplikasi 1
(10%) Santun
Kecocokan (2X) Kualitas Relevansi Cara
2 (10%) Santun
Kecocokan Penerimaan (Hedge) Kuantitas Relevansi Cara
3 (10%) Santun
Kecocokan Kuantitas Relevansi Cara
4 (0%)
Santun
-
Penerimaan (Hedge) Kuantitas Relevansi Cara
5 (20%) Santun
Cara Kebijaksanaan (2X)
Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi
6 (20%) Santun
Cara Kerendahan Hati
Kebijaksanaan Kualitas Kerendahan Hati Kuantitas Relevansi
7 (20%) Santun
Kebijaksanaan Kecocokan
Kuantitas Relevansi Cara
8 (30%) Cukup Santun
Cara Kerendahan Hati Penerimaan
Kebijaksanaan Kualitas Kerendahan Hati Kuantitas
9 (0%)
Santun
-
Penerimaan (Implikatur) Kuantitas Relevansi Cara
13,3% Santun
482
Politisi 6
Data P6 Pelanggaran Aplikasi 1
(10%) Santun
Penerimaan Kuantitas Relevansi Cara
2 (30%) Cukup Santun
Cara Penerimaan Kebijaksanaan
Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi
3 (20%) Santun
Kuantitas Kerendahan Hati
Relevansi Cara
4 (30%) Cukup Santun
Penerimaan Kualitas Kebijaksanaan
Kuantitas Relevansi Cara
5 – 14 (40%) Cukup Santun
Kerendahan Hati (2X) Penerimaan (4X) Kebijaksanaan (2X) Cara
Kuantitas Relevansi
15 – 19 (50%) Kurang Santun
Kecocokan Cara Kebijaksanaan Penerimaan (3X) Kerendahan Hati
Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi Cara
20 (10%) Santun
Cara
Kuantitas Relevans
27,14 % Cukup Santun
483
Politisi 7
Data P7 Pelanggaran Aplikasi 1 – 11 (40%) Cukup Santun
Kerendahan Hati Kebijaksanaan Penerimaan Kualitas
Penerimaan Kuantitas Relevansi Cara
12 – 20 (40%) Cukup Santun
Kecocokan Cara Kebijaksanaan Kerendahan Hati
Kerendahan Hati Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi
21 – 24 (20%) Santun
Cara Penerimaan
Kuantitas Relevansi
25 – 27 (20%) Santun
Kebijaksanaan Kerendahan Hati
Kuantitas Relevansi Cara
28 – 30 (20%) Santun
Cara Kebijaksanaan
Kerendahan Hati Kuantitas Relevansi
31 -33 (20%) Santun
Cara (2X) Kecocokan
Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi
34 (0%)
Santun
-
Penerimaan Kuantitas Relevansi Cara
35 – 36 (0%)
Santun
-
Penerimaan Kuantitas Relevansi Cara
20% Santun
484
Politisi 8
Data P8 Pelanggaran Aplikasi 1 - 5
(20%) Santun
Penerimaan Kebijaksanaan
Kuantitas Relevansi Cara
6 – 7 (20%) Santun
Kebijaksanaan Kecocokan
Kuantitas Relevansi Cara
8 (10%) Santun
Kebijaksanaan (2X) Kebijaksanaan Penberimaan (Hedge) Kuantitas Relevansi Cara
9 (10%) Santun
Kerendahan Hati Kuantitas Relevansi Cara
10 (20%) Santun
Kebijaksanaan Kecocokan
Kuantitas Relevansi Cara
11 (10%) Santun
Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi Cara
15% Santun
485
Politisi 9
Data P9 Pelanggaran Aplikasi 1 – 6
(30%) Cukup Santun
Kecocokan Kesimpatian Kerendahan Hati
Kualitas Kuantitas Relevansi Cara
7 (20%) Santun
Kebijaksanaan Kesimpatian
Kuantitas Relevansi Cara
8 (10%) Santun
Kecocokan Kerendahan Hati
Kuantitas Relevansi Cara
9 (20%) Santun
Penerimaan Kerendahan Hati
Kuantitas Relevansi Cara
10 - 11 (30%) Cukup Santun
Kebijaksanaan (2X) Penerimaan Kesimpatian
Kuantitas Relevansi Cara
22% Santun
486
Politisi 10 Data P10 Pelanggaran Aplikasi
1 – 3 (10%) Santun
Kebijaksanaan Kerendahan Hati Kuantitas Relevansi Cara
4 (10%) Santun
Kecocokan Kecocokan Kuantitas Relevansi Cara
5 (0%)
Santun
-
Kuantitas Relevansi Cara
6 (30%) Cukup Santun
Kebijaksanaan Kualitas Penerimaan
Kuantitas Relevansi Cara
7 (10%) Santun
Cara Kuantitas Relevansi
8 (0%)
Santun
-
Penerimaan Kuantitas Relevansi Cara
9 (10%) Santun
Penerimaan
Kuantitas Relevnsi Cara
10 – 11 (10%) Santun
Kecocokan Kuantitas Relevansi Cara
12 (10%) Santun
Kebijaksanaan Kebijaksanaan Penerimaan Kuantitas Relevansi Cara
13 (10%) Santun
Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi Cara
14 (10%) Santun
Relevansi Kuantitas Cara
15 – 18 (10%) Santun
Kualitas Kerendahan Hati Kuantitas Relevansi Cara
487
19 (10%) Santun
Kerendahan Hati Kuantitas Relevansi Cara
20 (20%) Santun
Kebijaksanaan Cara
Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi
10,71% Santun
488
Politisi 11
Data 11 Pelanggaran Aplikasi 1 – 4
(60%) Kurang Santun
Kebijaksanaan (3X) Kesimpatian Cara (2X) Kuantitas Kualitas Relevansi
-
5 (20%) Santun
Kebijaksanaan Kualitas Penerimaan
Kuantitas Relevansi Cara
6 (20%) Santun
Kesimpatian Penerimaan
Kuantitas Relevansi Cara
7 (30%) Cukup Santun
Kebijaksanaan Kesimpatian Kecocokan
Kuantitas Relevansi Cara
32,5% Cukup Santun
489
Politisi 12 Data P12 Pelanggaran Aplikasi
1 – 2 (50%) Cukup Santun
Kebijaksanaan Penerimaan Kualitas Cara Kecocokan
Penerimaan (Hedge) Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi
3 – 4 (20%) Santun
Cara Kualitas
Kerendahan Hati Kebijaksanaan Kuantitas Relevansi
5 – 6 (0%)
Santun
-
Penerimaan Kuantitas Relevansi Cara
7 (0%)
Santun
-
Kuantitas Relevansi Cara
17,5% Santun
490
LAMPIRAN 3
Tabel 9.3: Sebaran Pelanggaran Maksim Keseluruhan
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 Jml
Kebijaksanan 10 3 4 4 2 4 4 5 2 5 3 1 47
Kemurahan Hati
4 - - - - - - - - - - - 4
Penerimaan 7 4 4 2 1 5 2 1 2 2 2 2 34
Kerendahan Hati
- 2 - - 2 3 3 1 3 1 - - 15
Kecocokan - - - 1 4 1 2 2 2 2 1 1 16
Kesimpatian 5 1 2 - - - - - 3 - 3 - 14
Kualitas 1 - - - - 1 1 - - 2 2 2 9
Kuantitas 4 2 - - - 1 - - - - 1 - 8
Relevansi 4 3 - - - - - - - 1 1 - 9
Cara 6 5 3 2 3 4 4 - - 2 1 2 32
Jumlah pelanggaran maksim keseluruhan
188
491
LAMPIRAN 4
Tabel 9.4: Sebaran Applikasi Maksim Keseluruhan
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 P11 P12 Jml
Kebijaksanaan 6 2 1 1 3 2 2 1 - 2 - 2 22
Kemurahan Hati 3 2 3 2 - - - - - - - - 10
Penerimaan 10 5 2 1 3 - 3 1 - 1 - 2 28
Kerendahan Hati - 1 - 3 2 - 2 - - 2 - 1 11
Kecocokan - - - - - - - - - 1 - - 1
Kesimpatian - 1 4 - - - - - - - - - 5
Kualitas - 2 - - 2 - - - 1 - - - 5
Kuantitas 8 6 7 5 9 6 8 6 5 14 5 3 84
Relevansi 8 5 7 5 9 7 8 6 5 13 3 3 79
Cara 6 3 4 3 6 3 4 6 5 13 3 3 59
Jumlah aplikasi maksim keseluruhan
304
492
LAMPIRAN 5
Tabel 9.5 Urutan Pelanggaran Maksim
No Maksim yang dilanggar Jumlah Persentase
1. Maksim kebijaksanaan 47 25
2. Maksim penerimaan 34 18,1
3. Maksim cara 32 17
4. Maksim Kecocokan 16 8,5
5. Maksim Kerendahan hati 15 8,0
6. Maksim Kesimpatian 14 7,4
7. Maksim relevansi 9 4,8
8. Maksim Kualitas 9 4,8
9. Maksim Kuantitas 8 4,3
10. Maksim kemurahan hati 4 2,1
493
LAMPIRAN 6:
Tabel 9.6: Urutan Aplikasi Maksim
No Maksim yang diaplikasikan Jumlah Persentase
1. Maksim kuantitas 84 27,6
2. Maksim relevansi 79 26,0
3. Maksim cara 59 19,4
4. Maksim penerimaan 28 9,2
5. Maksim kebijaksanaan 22 7,2
6. Maksim kerendahan hati 11 3,6
7. Maksim kemurahan hati 10 3,3
8. Maksim kesimpatian 5 1,7
9. Maksim kualitas 5 1,7
10 Maksim kecocokan 1 0,3
494
LAMPIRAN 7
Tabel 9.7: Tingkat Pelanggaran Maksim Masing-Masing Politisi
No. Kode Nama Partai % Predikat
1. P1 Amin Rais PAN 30,77 Santun
2. P2 Hidayat Nurwahid PKS 25 Santun
3. P3 Marzuki Ali DEMOKRAT 18,57 Sangat Santun
4. P4 Siswono Yudho
Husodo
NASDEM 18 Sangat Santun
5. P5 Gayus Lumbuun PDI-P 13,3 Sangat Santun
6. P6 Bambang Soesatyo GOLKAR 27,14 Santun
7. P7 Sutan Bhatoegana DEMOKRAT 20 Sangat Santun
8. P8 Mahmudz Siddiq PKS 15 Sangat Santun
9. P9 Maruarar Sirait PDI-P 22 Santun
10. P10 Saan Mustafa DEMOKRAT 10,71 Sangat Santun
11. P11 Bambang Soesatyo GOLKAR 32,5 Santun
12. P12 Nasir Jamil PKS 17,5 Sangat Santun
495
LAMPIRAN 8
Tabel 9.8: Urutan Politisi Berdasarkan Kesantunan
No Nama Partai Persentase
1. Saan mustafa Demokrat 10,71
2. LumbuunGayus PDI-P 13,3
3. Mahmudz Siddiq PKS 15
4. Nasir Jamil PKS 17,5
5. Siswono Yudho Husodo NasDem 18
6. Marzuki Ali Demokrat 18,5
7. Sutan Bhatoegana Demokrat 20
8. Maruarar Sirait PDI-P 22
9. Hidayat Nurwahid PKS 25
10. Bambang Soesatyo GOLKAR 27,14
11. Amin Rais PAN 30,77
12. Bambang Soesatyo GOLKAR 32,5