keputusan indonesia meratifikasi asean...
TRANSCRIPT
KEPUTUSAN INDONESIA MERATIFIKASI ASEAN
AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE
POLLUTION (AATHP) TAHUN 2014
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
oleh:
Shofi Aliyah Rahmi
1111113000058
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME
Skripsi yang berjudul:
KEPUTUSAN INDONESIA MERATIFIKASI ASEAN AGREEMENT ON
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (AATHP) TAHUN 2014
1. Merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari ditemukan bahwa karya saya ini bukan hasil karya
asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 22 Maret 2017
Shofi Aliyah Rahmi
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama : Shofi Aliyah Rahmi
NIM : 1111113000058
Program Studi : Ilmu Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul:
KEPTUSAN INDONESIA MERATIFIKASI ASEAN AGREEMENT ON
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (AATHP) TAHUN 2014
dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta, 22 Maret 2017
Mengetahui,
Ketua Program Studi
M. Adian Firnas, S.IP, M.Si
NIP.
Menyetujui,
Pembimbing
Agus Nilmada Azmi, M.Si
NIP. 197808042009121002
iv
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KEPUTUSAN INDONESIA MERATIFIKASI ASEAN AGREEMENT ON
TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (AATHP) TAHUN 2014
oleh:
SHOFI ALIYAH RAHMI
1111113000058
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal .
Skripsi ini diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.
Sos) pada Program Studi Ilmu Hubungan Internasional.
Ketua,
M. Adian Firnas, S.IP, M.Si
NIP.
Sekretaris,
Eva Mushoffa, MHSPS
NIP.
Penguji I,
Robi Sugara, MSc
NIP.
Penguji II,
Inggrid Galuh M, MHSPS
NIP.
Diterima dan dinyatakan memenuhi syarat kelulusan pada tanggal 6 April 2017.
Ketua Program Studi Ilmu Hubungan Internasional
FISIP UIN Jakarta
M. Adian Firnas, S.IP, M.Si
NIP.
v
ABSTRAK
Skripsi ini menjelaskan mengenai keputusan Indonesia dalam meratifikasi
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution tahun 2014. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menganalisa faktor-faktor apa yang mendorong
Indonesia untuk meratifikasi perjanjian AATHP setelah menunda selama 12
tahun. Dalam penulisannya, skripsi ini menggunakan metode kualitatif dengan
mengambil data dari berbagai sumber. Kerangka pemikiran yang digunakan
dalam penelitian ini adalah konsep kepentingan nasional, kebijakan luar negeri,
dan kerjasama internasional. Konsep tersebut digunakan untuk menjelaskan
faktor-faktor dan kepentingan Indonesia meratifikasi AATHP. Dari hasil analisis,
dapat disimpulkan bahwa keputusan Indonesia dalam meratifikasi AATHP tahun 2014 terbagi menjadi dua faktor, sebagai faktor internal dari hal tersebut adalah
adanya persetujuan ratifikasi oleh DPR RI, Opini publik yang dalam hal ini
adanya desakan LSM yang bergerak dibidang lingkungan serta untuk
memperbaiki citra Indonesia terkait isu kabut asap. Selain itu, terdapat juga faktor
eksternal seperti adanya desakan dari negara-negara ASEAN dan adanya bantuan
ekonomi dan kerjasama teknis dari ASEAN jika Indonesia meratifikasi perjanjian
tersebut.
Kata kunci: AATHP, Kabut Asap, Kebakaran Hutan, Pollution, Indonesia
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkat
rahmat, anugrah dan karunia yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi
persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Sosial pada program studi Ilmu
Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama proses penulisan skripsi, penulis mendapatkan bimbingan,
dukungan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, Penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada:
1. Kedua orang tua, Ilham Muwardi dan Hapsah Yudiawati yang selalu
mendukung dan mendoakan penulis, Adik-adik penulis Ali Albana,
Rafif Ibrahim dan Aisya Rahma atas semangat yang diberikan
2. Bapak Agus Nilmada Azmi, M.Si. selaku dosen pembimbing yang
telah meluangkan banyak waktu, tenaga dan masukan selama proses
penulisan skripsi.
3. Bapak Adian Firnas selaku Ketua Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional dan dosen pembimbing semprop penulis beserta seluruh
dosen pengajar program studi Hubungan Internasional.
4. Ibu Inggrid Galuh dan Bapak Robi Sugara selaku dosen penguji
skripsi.
5. Sahabat seperjuangan penulis Sekar, Suger, Zahra, Acha, Afina,
Nadia, Vita, Mona, dan Bobi.
6. Sahabat-sahabat terbaik penulis Yola, Dina, Fanny, Bibah, Sri, Era,
Kak Zahra, Caca, Hervi dan Kak Affan yang telah menemani serta
menjadi pendengar yang baik.
7. Teman-teman HI 2011 Icha, Naeli, Ana, Mona, Reta, Zakia, Sheren,
Sarah, Ayi, Wahyu, Ahel, Fadhil, Ikhsan, Atfal, Khairi, Sulthon, Mas
dodi, Ahsan, Mawaddah, Achi, Leni, Dina, Tito, Niken, Selvi, Ulfa,
Eri, Nisa, Rida, Ridwan, Arya, Zarqom, Rifat, Izzat.
8. Terimakasih untuk keluarga Kohati Cabang Ciputat, Himpunan
Mahasiswa Islam Komisariat FISIP dan HIMAHI periode 2013-2014.
9. Imam Fitra Ramadhan, yang tidak bosan mengingatkan, mendukung
serta mendoakan penulis .
10. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu, yang telah
mendukung serta mendoakan dengan tulus.
vii
Terimakasih yang tak terhingga untuk seluruh pihak atas dukungan support
dan doanya selama ini. Penulis berharap semoga Allah SWT membalas semua
kebaikan dari kalian. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih
terdapat kekurangan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi seluruh
pembaca.
Jakarta, 22 Maret 2017
Penulis,
Shofi Aliyah Rahmi
viii
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................ v
KATA PENGANTAR .................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................ viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xi
DAFTAR SINGKATAN .............................................................................. xii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xiii
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ............................................................ 1
B. Pertanyaan Penelitian .......................................................... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................... 7
D. Tinjauan Pustaka ................................................................. 8
E. Kerangka Pemikiran ............................................................ 10
E.1. Kepentingan Nasional. ................................................. 10
E.2. Kebijakan Luar Negeri ................................................ 13
E.3. Kerjasama Internasional .............................................. 16
F Metode Penelitian................................................................ 19
G Sistematika Penulisan.......................................................... 21
BAB II PERMASALAHAN KABUT ASAP INDONESIA
A. Latar Belakang Terjadinya Kabut Asap di Indonesia ......... 23
A.1 Faktor Terjadinya Kabut Asap ..................................... 23
A.2 Kebakaran dan Penyebaran Kabut Asap ...................... 29
A.3 Dampak Kabut Asap Lintas Batas di ASEAN ............. 36
B. Upaya Pemerintah Indonesia dalam Menangani Kabut Asap 40
ix
BAB III KEPUTUSAN INDONESIA DALAM MERATIFIKASI ASEAN
AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION
A. Latar Belakang Perjanjian AATHP .................................... 44
B. Proses Pelaksanaan Perjanjian AATHP ............................. 48
C. Sikap Indonesia Terhadap AATHP Tahun 2003-2013 ....... 53
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG INDONESIA DALAM
MERATIFIKASI AATHP TAHUN 2014
A. Faktor Internal .................................................................... 57
A.1.Persetujuan Ratifikasi oleh Dewan Legislatif .............. 58
A.2. Opini Publik ................................................................ 62
A.3. Memperbaiki Citra Indonesia Terkait Isu Kabut Asap 68
B. Faktor Eksternal .................................................................. 70
B.1 Adanya Desakan dari Negara-negara ASEAN. ............ 70
B.2 Bantuan Ekonomi dan Kerjasama Teknis ASEAN ...... 76
BAB V KESIMPULAN .......................................................................... 82
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel II.1. Perkiraan Kebakaran Hutan Tahun 1997-2014 ................... 35
Tabel II.2. Kerugian Ekonomi akibat Kabut Asap 2013 ...................... 39
Tabel III.1 Negara yang Telah Meratifikasi AATHP ........................... 50
Tabel III.2 Pertemuan Conference of Parties (COP) ............................ 52
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar II.1 Kebakaran Hutan di Kalimantan Tahun 1997 .................... 30
Gambar II.2 Titik Kebakaran hutan di wilayah Sumatera dan Kabut Asap
Lintas Batas ......................................................................... 33
Gambar II.3 Data Luas Kebakaran Hutan Tahun 2010-2014 .................. 34
xii
DAFTAR SINGKATAN
AATHP ASEAN Agreement on Traansboundary Haze Pollution
AEGE ASEAN Expert Group on the Environment
AMMH ASEAN Ministerial Meeting on Haze
AS Amerika Serikat
ASEAN Association of Southeast Asian Nations
ASEP ASEAN Environmental Programme
ASMC ASEAN Specialized Monitoring Center
ASOEN ASEAN Senior Officials on the Environment
BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana
COP Conference of Parties
COST Committee on Science and Technology
DPR RI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
HPH Hak Pengusaha Hutan
HTI Hutan Tanaman Industri
ISPA Infeksi Saluran Pernapasan Aku
KTT Konferensi Tingkat Tinggi
NGO Non- Governmental Organization
PRC Pasukan Reaksi Cepat
PSI Pollution Standard Index
UU Undang-Undang
WALHI Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
WHO World Health Organization
WWF World Wildlife Fund
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
Lampiran 2. Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2014
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Skripsi ini menganalisa dan mengkaji mengenai keputusan Indonesia dalam
meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)
pada 2014. Di mana Indonesia setelah 12 tahun terbentuknya AATHP baru
meratifikasi perjanjian tersebut pada 2014.
Kasus ini menarik untuk dibahas karena adanya perubahan kebijakan
Indonesia terkait Perjanjian AATHP. Perjanjian ini telah dibuat sejak tahun 2002
di Kuala Lumpur, Malaysia dan telah diratifikasi oleh hampir seluruh anggota
negara-negara ASEAN, terkecuali Indonesia.
Meski pada tahun 2002 Indonesia juga telah menandatangani perjanjian
AATHP, namun Indonesia belum meratifikasi perjanjian ini. Sementara,
Indonesia merupakan negara yang menghasilkan polusi kabut asap lintas negara
terbesar di kawasan Asia Tenggara.1 Hingga baru pada 2014, Indonesia
memutuskan untuk meratifikasi perjanjian AATHP. Ini menunjukkan adanya
perubahan sikap Indonesia dalam menentukan kebijakan yang diambilnya.
Perjanjian AATHP dilatarbelakangi oleh adanya isu lingkungan hidup yang
terjadi di kawasan Asia Tenggara mengenai masalah kabut asap (haze).
Permasalahan lingkungan kini merupakan salah satu isu yang dianggap penting
1Ananta Gondomo, “ Satu Asia Tenggara dan Agenda Keamanan Lingkungan”, CSIS,
Jakarta, hal 58.
2
dalam hubungan internasional, setelah keamanan internasional dan perekonomian
global yang merupakan dua area isu tradisional utama dalam politik dunia. Hal ini
terkait dampak yang ditimbulkan karena masalah lingkungan memiliki potensi
konflik dan dapat menjadi ancaman bagi hubungan antarnegara kawasan.2
Ada beberapa hal yang menjadi alasan mengapa isu lingkungan ini menjadi
salah satu fokus penting dalam dunia internasional.3 Alasan pertama, beberapa
masalah lingkungan hidup yang terjadi di dalam sebuah negara, turut menjadi
permasalahan global. Seperti emisi gas yang diproduksi oleh sebuah negara turut
berpengaruh dalam menyebabkan perubahan iklim di bumi. Kedua, beberapa
masalah lingkungan berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam yang
dimiliki bersama. Seperti pada pembuangan limbah yang dilakukan di laut
perbatasan dua negara yang dampaknya tentu akan mengenai kedua negara
tersebut. Ketiga, banyak masalah lingkungan yang sifatnya transnasional dan tak
terikat oleh batas wilayah seperti illegal logging. Keempat, meskipun kerusakan
lingkungan terjadi di dalam sebuah negara, namun akibat yang dihasilkan juga
diberimbas ke negara-negara sekitar. Kelima, permasalahan lingkungan juga
memiliki implikasi kepada tatanan ekonomi, sosial maupun politik.4
Pada permasalahan pencemaran lintas batas, pencemaran udara dapat
diartikan sebagai suatu pencemaran berupa asap yang berasal dari kebakaran
lahan dan atau hutan yang dapat menyebabkan kerusakan alam serta dapat
2 Gondomo, “ Satu Asia Tenggara dan Agenda Keamanan Lingkungan”,hal 58.
3 David Hughes, Environmental Law, 2
nd editon, (London: Butterworths, 1992) hal 60
4 Greene, Owen. 2001. Environmental Issues, in John Baylis & Steve Smith (eds) The
Globalization of World Politics, 2nd edition, Oxford, hal.387-414.
3
mengancam kemanan manusia, merusak sumber-sumber kehidupan serta
ekosistem dan dapat mengganggu kenyamanan di lingkungan.5
Sedangkan, pencemaran lintas batas adalah pencemaran udara dari polusi
asap yang berasal dari seluruh atau sebagian wilayah di bawah yurisdiksi nasional
satu negara anggota yang berdampak sampai melintas ke suatu wilayah dibawah
juridiksi negara lain serta dianggap merugikan wilayah negara tersebut.6
Dengan demikian pencemaran udara lintas batas atau transboundary haze
pollution adalah pencemaran atau polusi yang terjadi dalam suatu negara atau
wilayah yang diakibatkan dari pengaruh cuaca, atmosfer dan biosfer yang
menyebabkan polusi atau pencemaran hingga menyebar dan memasuki wilayah
negara lain serta dianggap merugikan wilayah atau negara tersebut.7 Salah satu
faktor yang menyebabkan pencemaran udara lintas batas yang terjadi di kawasan
Asia Tenggara disebabkan oleh adanya kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di
Indonesia.8 Kebakaran ini seringkali mengakibatkan pencemaran udara lintas
batas yang turut merugikan negara-negara yang berbatasan secara langsung
dengan Indonesia seperti Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam.
Permasalahan kabut asap di Indonesia bermula pada tahun 1980-an, yang
diakibatkan oleh terjadinya kebakaran hutan yang terjadi di daerah Kalimantan
Timur. Kebakaran hutan ditahun ini telah menghabiskan sebanyak 210.000 km2
5 Tresna Sastrawijaya, Pencemaran Lingkungan (Jakarta: Rineka Cipta, 2010), hal 12-15
6 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002 diunduh melalui
http://haze.asean.org/?wpfb_dl=32 pada 5 Januari 2016 7 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, 2002
8 Gondomo, “Agenda Satu Asia Tenggara & Keamanan Lingkungan”, hal 65
4
lahan hijau dari seluruh luas kawasan Kalimantan Timur.9 Namun baru pada 1994
ASEAN membentuk ASEAN Co-operation Plan on Transboundary Pollution.
Kesepakatan ini merupakan bentuk kerjasama regional di kawasan ASEAN
dalam mencegah polusi asap lintas batas. Namun kerjasama ini belum berjalan
sesuai dengan mekanisme yang ada. Sehingga dirasa kurang efektif dan belum
membuah hasil.10
Kemudian, pada 1997 kebakaran hutan kembali terjadi di pulau Kalimantan
dan Sumatra.11
Studi Bappenas dan ADB mencatat kerugian yang dialami
Indonesia pada kebakaran ini mencapai mencapai 4,861 dollar US atau setara
dengan 711 triliun rupiah12
Dalam hal ini Indonesia mengalami kerugian berupa
kayu, pertanian, perkebunan, produksi hutan, keanekaragaman hayati, pelepasan
karbon, biaya pemadaman kebakaran, kesehatan, transportasi dan pariwisata.13
Hal ini menunjukan bahwa permasalahan kabut asap yang dialami oleh Indonesia
memiliki dampak dan implikasi yang luas di berbagai sektor.
Selain Indonesia, Malaysia dan Singapura juga terkena dampak langsung
dan mengalami kerugian dari kabut asap tersebut. Malaysia mengalami kerugian
9 Forest Watch Indonesia dan Washington DC , “Keadaan Hutan Indonesia.” , 2001, hal
61 10
Gondomo, “Agenda Satu Asia Tenggara & Keamanan Lingkungan”, hal 69 11
The 1997 Wildfire Season and the Impact of Fire Management Projects in Indonesia,
IIFN No. 18, Januari 1998, hal 37-39 diakses melalui http://www.fire.uni-
freiburg.de/iffn/country/id/id_12.htm pada 5 Januari 2016, pukul 13.15 WIB 12
Kebakaran Hutan dan lahan Indonesia bisa samai insiden 1997 diakes melalui
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151002_indonesia_asap_rekor pada 5
Januari 2016, pukul 14.15 WIB 13
Glover and Jessup, Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia, hal
105
5
sebesar 300 juta dollar AS di sektor industri serta pariwisata dan Singapura
mengalami kerugian sekitar 60 juta dollar AS di sektor pariwisata.14
Dengan kembalinya terulang bencana kabut asap lintas batas tersebut
memaksa negara-negara ASEAN untuk mengangkat isu seputar lingkungan hidup
di forum tingkat menteri antar negara-negara ASEAN. Pertemuan ini
diselenggarakan pada Juni 2002 di Kuala Lumpur yang bertujuan untuk
membahas permasalahan polusi kabut asap lintas batas yang terjadi di wilayah
Asia Tenggara.15
Dalam pertemuan ini Malaysia dan Singapura mendesak
Indonesia untuk segera menyelesaikan masalah ini. Sehingga, terbentuklah
perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP).
Pada 2013, kebakaran hutan yang lebih besar juga kembali terjadi di
Indonesia. Negara-negara tetangga seperti Singapura, Malaysia, Brunei hingga
Filipina terkena dampak asap. Kerugian yang ditimbulkan oleh asap diperkirakan
mencapai 9,3 milyar dolar AS.16
Kejadian ini mendorong Singapura dan Malaysia
untuk mendesak Indonesia untuk segera meratifikasi AATHP. 17
Sebagai respon desakan yang dilakukan oleh kedua negara, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menyampaikan permohonan maaf secara resmi kepada
negara-negara tetangga yang terkena dampak langsung oleh asap yang dihasilkan
14
Kementerian Lingkungan Hidup dan UNDP, “Laporan Kebakaran Hutan dan Lahan di
Indonesia”,1998, hal 1-2 15
Kementerian Luar Negeri, “ASEAN Selayang Pandang”, Jakarta, 2008, hal 94 16
Keadaan darurat akibat kabut asap di Malasia, diakses melalu
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/06/130623_malaysia_asap diakses pada 8 Januari
2016, pukul 10.05 WIB 17
Soal Asap, SBY Minta Maaf ke Negara Tetangga, diakses melalui
http://m.tempo.co/read/news/2013/06/24/078490894/Soal-Asap-SBY-Minta-Maaf-ke-Negara-
Tetangga diakses pada 8 Januari 2016, pukul 10.15 WIB
6
Indonesia.18
Selain itu, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan menganggap bahwa permasalahan kebakaran hutan ini
merupakan permasalahan nasional dan dirasa mampu untuk mengatasi
permasalahan kebakaran hutan yang menimbulkan pencemaran asap tersebut.
Sehingga, tidak dibutuhkan adanya campur tangan dari negara-negara lain bahkan
kerjasama regional negara ASEAN sekalipun.19
Hingga pada 16 September 2014 dalam sidang paripurna DPR RI seluruh
fraksi di DPR meratifikasi undang-undang tentang penanganan kebakaran hutan
yang mengakibatkan asap lintas batas negara ASEAN tersebut.20
Menurut Boer
Mauna, dalam pembuatan perjanjian internasional biasanya melewati beberapa
tahapan yaitu perundingan (negotiation), penandatanganan (signature) dan
pengesahan (ratification). Hal ini berkaitan dengan UU No. 24 Tahun 2000 pasal
10 mengenai Perjanjian Internasional, dimana perjanjian yang berkaitan dengan
lingkungan hidup memerlukan pengesahan (ratifikasi) oleh DPR RI.21
Dibutuhkan waktu selama 12 tahun oleh DPR RI untuk menyetujui
Rancangan Undang-Undang tentang Pengesahan AATHP atau Persetujuan
ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas untuk menjadi undang-undang.
Perubahan sikap Indonesia dalam merespon isu transboundary haze
menunjukkan bahwa terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan
18
Ibid 19
Jurnal Lingkar Widyaiswara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
“Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan” Edisi 1 No. 4, Oktober-Desember. 20
Kementerian lingkungan hidup RI, “Indonesia Meratifikasi Undang-Undang Tentang
Pengesahan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution (Persetujuan Asean Tentang
Pencemaran Asap Lintas Batas)”, Jakarta, 16 September 2014, diakses dari
http://www.menlh.go.id pada 8 Januari 2016, pukul 15.45 WIB 21
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Diamika Global (Bandung: Alumni, 2000) hal 83
7
kebijakan Indonesia. Selama kurang lebih 12 tahun Indonesia merasa bahwa isu
kebakaran hutan adalah permasalahan nasional dan mampu untuk menanganinya
karena terjadi di wilayah juridisnya. Namun, pada akhirnya Indonesia merasa
perlu untuk meratifikasi AATHP. Selain itu, terdapat elemen-elemen lain yang
turut menentukan keputusan pemerintah Indonesia dalam meratifikasi AATHP
mendorong penulis untuk membahas keputusan Indonesia dalam mengesahkan
AATHP di tahun 2014.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pernyataan masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka
penelitian ini akan berfokus untuk menjawab pertanyaan: Faktor-faktor apa yang
mendorong Indonesia meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution (AATHP) pada 2014?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisa dan menjelaskan faktor-faktor apa saja yang
melatarbelakangi Indonesia dalam meratifikasi ASEAN Agreement
Transbundary Haze Pollution (AATHP) tahun 2014
2. Memberikan referensi penulisan selanjutnya, terutama dalam isu kabut
asap lintas batas di Asia Tenggara dan AATHP.
8
3. Memberikan referensi dan saran untuk pemerintah dalam menentukkan
kebijakan-kebijakan atau keputusan yang akan diambil dalam
menyelesaikan permasalahan kabut asap lintas batas.
D. Tinjauan Pustaka
Terdapat beberapa penelitian yang relevan mengenai masalah kabut asap
yang terjadi di kawasan Asia Tenggara serta perjanjian AATHP. Pertama, skripsi
yang ditulis oleh Dwi Wahyuni, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta tahun 2011 yang berjudul “Permasalahan Kabut Asap Dalam Hubungan
Indonesia dan Malaysia periode 1997-2006”. Dalam penelitiannya, Dwi Wahyuni
membahas mengenai hubungan bilateral diantara Indonesia dan Malaysia saat
terjadinya permasalahan kabut asap. Terdapat kebijakan luar negeri yang
dikeluarkan oleh kedua negara tersebut terkait permasalahan kabut asap di
Indonesia dan Malaysia. Skripsi yang ditulis oleh Dwi Wahyuni secara khusus
meneliti implikasi dari permasalahan kabut asap pada hubungan bilateral antara
Indonesia dan Malaysia, berbeda dengan skripsi ini yang membahas mengenai
keputusan Indonesia dalam meratifikasi perjanjian AATHP dan tidak hanya
membahas hubungan Indonesia dengan Malaysia. Namun juga membahas
mengenai Singapura.
Penelitian tentang AATHP juga dilakukan oleh Agustia Putra pada tahun
2013 dengan artikel ilmiah “Pembentukan ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Pollution (The Forming of ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution).” Penelitiannya hanya membahas mengenai alasan yang
9
melatarbelakangi ASEAN dalam membentuk perjanjian AATHP. Putra
menjelaskan bahwa pembentukan AATHP ini didasarkan pada masalah human
security yang ditimbulkan oleh kabut asap yang terjadi hampir setiap tahunnya di
kawasan Asia Tenggara. Meskipun penelitiannya menjelaskan AATHP, namun
penelitiannya berbeda dengan penulis. Hal ini terlihat dari pembahasannya yaitu
penulis membahas mengenai apa saja keputusan dan faktor-faktor yang
mempengaruhi Indonesia dalam meratifikasi AATHP setelah menunda selama 12
tahun.
Selanjutnya, Penelitian tentang kabut asap juga dilakukan oleh David
Glover dan Timothy Jessup pada tahun 2002 dengan jurnal yang berjudul
“Indonesian’s Fires and Haze The Cost of Catatrophe”. Dalam penelitiannya,
Glover dan Jessup menjelaskan bahwa kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia
berdampak terhadap negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura.
Kabut asap ini berdampak buruk pada kesehatan, gangguan transportasi serta
penurunan dibidang pariwisata. Skripsi ini berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh Glover dan Jessup karena penelitian tersebut hanya membahas
mengenai dampak yang diakibatkan oleh kebakaran hutan yang terjadi di
Indonesia. Namun, tidak membahas mengenai perjanjian AATHP.
Dalam penelitian ini, tema yang dikemukakan penulis adalah mengenai
Keputusan Indonesia dalam meratifikasi AATHP pada Tahun 2014. Penelitian ini
akan berbeda dengan penelitian sebelumnya karena dalam hal ini belum ada
penelitian yang membahas secara khusus mengenai keputusan dan latar belakang
perubahan Indonesia dalam mengambil keputusan meratifikasi AATHP.
10
E. Kerangka Pemikiran
1. Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional menurut Joseph Frankel merupakan kunci dari
kebijakan luar negeri suatu negara yang di dalamnya berisi seluruh nilai-nilai
nasional yang dianut oleh sebuah negara.22
Selain itu kepentingan nasional dapat
dijelaskan sebagai tujuan fundamental dan faktor penentu akhir yang
mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu negara dalam merumuskan
kebijakan luar negerinya. Kepentingan nasional merupakan unsur-unsur yang
membentuk kebutuhan negara yang paling vital, seperti pertahanan, keamanan,
militer, dan kesejahteraan ekonomi.23
Menurut Kenneth Waltz, kepentingan nasional merupakan petunjuk dasar
kebijakan luar negeri suatu negara yang diatur dalam suatu sistem internasional.
Sistem Internasional ini menciptakan suatu kondisi dimana negara akan secara
otomatis membuat kebijakan luar negeri yang sesuai dengan situasi internasional
pada waktu itu. Kebijakan luar negeri yang dibuat dapat berdasarkan dari
kepentingan-kepentingan penguasa dalam sistem serta persaingan negara-negara
yang ada dalam sistem tersebut.24
22
Josep Frankel, International Relations in a Changing World, (Oxford:Oxford University
Press, 1988),hal. 93. 23
Jack C. Plano dan Roy Olton, Kamus Hubungan Internasional (Bandung: Abardin,1999)
hal 17. Dalam buku: AA Banyu perwita dan Yanyan Mochammad Yani, Pengantur Ilmu
Hubungan Internasional, (2005). Hal 35 24
Kenneth Waltz, Theory of International Politics (New York: McGraw-Hill, 1979) dalam
Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan Internasional (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009) hal 113.
11
Menurut Hans Morgenthau, kepentingan nasional merupakan kemampuan
minimum negara untuk melindungi dan mempertahankan indentitas fisik, politik
dan kultur dari gangguan negara lain.25
Menurut Morgenthau, terdapar 6 bentuk kepentingan nasional suatu negara,
yaitu primary interest, secondary interest, permanent interests, variable interests,
general interest, dan specific interest. Primary interests yaitu kepentingan negara
untuk melindungi keamanan, sistem politik, identitas dan bertahan dari intervensi
negara lain. Kepentingan ini bersifat mutlak karena merupakan kepentingan yang
utama bagi suatu negara.
Secondary Interests yaitu, kepentingan mempertahankan rakyat yang berada
di luar negeri dan mempertahankan kekebalan diplomatik sebagai representasi
negara di negara lain. Selain itu, permanent interests adalah kepentingan yang
bertahan sejak lama dan dipertahankan. Selanjutnya adalah kepentingan nasional
sebagai variable interests, yaitu kepentingan nasional yang aspirasinya berasal
dari opini public, partisipasi politik tertentu, serta gagasan atau ide dari negara
tersebut.
Sedangkan general interests adalah kepentingan yang bersifat umum yang
dapat diberlakukan untuk banyak negara dan untuk wilayah geografis yang luas
atau untuk beberapa bidang khusus seperti dalam bidang perdagangan, investasi,
dan lain-lain. Terakhir specific interest yaitu, kepentingan khusus tidak termasuk
25
James N.Rosenau, International Politics and Foreign Policy. (New York: The Free Press
of Glencoe, 1961), hal 174.
12
kepentingan umum, namun biasanya ditentukan dari sana dan lebih berkaitan
dengan satu daerah tertentu atau saat tertentu. 26
Dari pengertian-pengertian yag telah dijelaskan diatas, dapat disimpulkan
bahwa kepentingan nasional adalah acuan dan pedoman suatu negara dalam
bertindak dan membuat kebijakan luar negeri dalam sistem internasional yang
bertujuan untuk melindungi serta mempertahankan negara serta meningkatkan
kekuasaan negara tersebut.
Dalam penelitian ini kepentingan nasional terlihat dalam bentuk kerjasama
dan ratifikasi yang dilakukan Indonesia terkaitan perjanjian mengenai kabut asap.
Pada konsep kepentingan nasional ini penulis akan membahas mengenai apa
kepentingan nasional Indonesia sehingga pada akhirnya memutuskan untuk
meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
(AATHP) tahun 2014. Dalam menganalisa penulis menggunakan general interest
atau kepentingan umum dimana ekonomi dan perdagangan dijadikan
pertimbangan oleh suatu negara untuk mencapai kepentingan nasionalnya.
Pada penelitian ini Indonesia meratifikasi AATHP untuk mencapai
kepentingannya. Salah satunya adalah adanya kepentingan ekonomi karena
dengan meratifikasi perjanjian tersebut Indonesia akan mendapatkan bantuan
ekonomi dari negara-negara di kawasan Asia Tenggara. Sehingga hal ini tentu
sangat menguntungkan bagi Indonesia.
26
Debbie Affianty, Analisa Politik Luar Negeri (Ciputat: UIN Press, 2015), hal 15-16
13
2. Kebijakan Luar Negeri
Menurut K.J Holsti Kebijakan luar negeri ialah suatu aktivitas yang
memiliki tujuan dan tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan
(decision maker) yang bertujuan untuk mempertahankan atau merubah suatu
tujuan, kondisi atau praktek-paraktek dalam lingkungan eksternal suatu negara.
Kebijakan ini diambil untuk mempromosikan atau mencapai tujuan domestik
suatu negara.27
Carlsnaes mengungkapkan bahwa terdapat aktor-aktor yang berperan
penting dalam pembuatan serta pengambilan sebuah kebijakan luar negeri, seperti:
kepala negara, kepala pemerintahan, menteri luar negeri, dewan eksekutif, dewan
keamanan kabinet, polit biro, dan parlemen.28
Terdapat empat faktor yang melatarbelakangi dalam pebuatan kebijakan luar
negeri yang diambil oleh suatu negara, yaitu: faktor Internasional, para pembuat
kebijakan, kondisi politik dalam negeri serta kondisi ekonomi dan militer dalam
negeri.
Pertama, faktor internasional merupakan kondisi alamiah dari suatu sistem
internasional serta erat kaitannya dengan hubungan suatu negara dengan aktor-
aktor internasional yang pada akhirnya akan menentukan keputusan dalam
pengambilan kebijakan luar negeri suatu negara. Dalam hal ini faktor
internasional terbagi menjadi tiga bagian yaitu: Geografis, hubungan ekonomi,
serta hubungan politik suatu negara dengan negara lain. Kedua, para pembuat
27
K.J Holsti, International Politic A framework, A framework for Analysis, (New Jersey:
Asimon & Schuster Company, 1992) 28
Wohlforth, William C, “Realism and foreign policy” in, Steve Smith, Amelia Hadfield
& Tim Dunne, Foreign Policy, Theories. Actors. Cases. (Oxford, 2008) hal 31-48.
14
kebijakan merupakan orang-orang yang berperan penting dalam merumuskan dan
memutuskan suatu kebijakan. Selain itu, adanya pengaruh politik internal suatu
negara serta proses sosial dalam terbentuknya kebijakan luar negeri. Ketiga,
kondisi politik dalam negeri merupaka salah satu faktor yang menentukan
kebijakan luar negeri suatu negara. akan terjadi perbedaan dalam kebijakan luar
negeri antara negara yang menerapkan sistem sosialis dan demokratis, antara
negara yang kondisi politiknya stabil dan tidak stabil. Keempat, kondisi militer
dan ekonomi suatu negara juga memiliki peranan penting dalam penentuan
kebijakan politik luar negeri. Semakin kuat ekonomi dan miiter suatu negara maka
daya jualnya dengan negara lain akan semakin tinggi.29
Faktor internal dan eksternal merupakan dua faktor yang mempengaruhi
dalam proses pembuatan kebijakan luar negeri setiap negara.30
Faktor internal
mencakup: a) Kebutuhan ekonomi, sosial, dan keamanan (Social economic and
security needs) . Dalam suatu negara kebutuhan ekonomi, sosial dan keamanan
merupakan hal utama dan memiliki pengaruh yang besar dalam proses pembuatan
kebijakan luar negeri. b) Karakteristik geografi dan topografi (Geographical and
topoghraphical characteristics). c) Atribut nasional (National attributes). Ini
merupakan karakteristik umum sebuah negara yang terdiri dari ukuran atau luas
wilayah, jumah populasi penduduk, sistem ekonomi dan tingkat pertumbuhan
suatu negara. Serta keterlibatan suatu negara dalam organisasi internasional yang
dapat menentukan posisi negara tersebut dalam ranah politik dan dunia
29
Coplin William D, Introduction to Internastional Politics: A Theoritical Overview
(Chicago: Markham Publishing Company, 1971) 30
K.J Holsti, International Politic A framework, A framework for Analysis (New Jersey:
Asimon & Schuster Company, 1992) hal 82
15
internasional. d) Struktur pemerintah dan filosofi (Government structure and
philosophy), opini publik (public opinion), birokrasi (bureaucracy), pertimbangan
etnik (ethical consideration). Hal-hal tersebut memiliki peran penting dan menjadi
pertimbangan dalam pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara seperti struktur
pemerintahan dan filosofi yang dianut dalam negara tersebut serta opini yang
berkembang di masyarakat.
Faktor-faktor eksternal meliputi: a) Struktur sistem internasional (Structure
of the system). Struktur sistem internasional yang ada seperti unipolar, bipolar,
dan multipolar dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara. b)
Struktur ekonomi dunia (Structure of world economy). Perkembangan
perekonomian dunia saat ini telah mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu
negara. Struktur ekonomi dunia saat ini mengutamakan kerjasama antar negara.
Dalam hal ini setiap negara memiliki sumber daya alam serta permasalahan
ekonomi yang berbeda. Sehingga setiap negara harus mencari dan menciptakan
peluang dalam perkembangan ekonomi dunia.31
c) Kebijakan dan tindakan negara
lain (The policies and actions of other states). Sebagian besar negara atau
pemerintah dari sebuah negara akan merespon tindakan dan kebijakan yang
diambil oleh negara lain. apabila negara tersebut terkena dampak bagi
kepentingan nasionalnya. Respon ini tidak hanya muncul akibat dari kebijakan
luar negeri suatu negara namun dapat dari kebijakan dalam negeri atau domestik
suau negara. d) Masalah regional dan global yang berasal dari swasta (global and
regional private problems arising from private activities). e) Hukum internasional
31
K.J Holsti, International Politic A framework, A framework for Analysis (New Jersey:
Asimon & Schuster Company, 1992) hal: 271-273
16
dan opini dunia (International law and world opinion. Hukum Internasional dan
opini dunia atau masyarakat internasional juga menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh suatu negara.
Penulis memilih konsep kebijakan luar negeri sebagai bagian dari
kerangka pemikiran ini dikarenakan konsep ini dianggap tepat dalam menjelaskan
kepentingan Indonesia dibalik adanya perubahan kebijakan yang memutuskan
untuk meratifikasi perjanjian AATHP yang telah tertunda selama 12 tahun. Faktor
internal dan faktor eksternal yang terdapat dalam pembuatan kebijakan luar negeri
dianggap tepat menjelaskan tindakan Indonesia tersebut. Faktor-faktor yang
mempengaruhi keputusan Indonesia dalam meratifikasi perjanjian AATHP pada
tahun 2014 yaitu Faktor internal dianalisa menggunakan social economic and
security needs, opini publik dan birokrasi. Hal ini terkait adanya persetujuan
ratifikasi oleh dewan legislatif dan adanya desakan serta kerjasama dari LSM
dalam bidang lingkungan hidup.
Kemudian pada faktor eksternal penulis akan menganalisa menggunakan
faktor kebijakan dan tindakan negara lain (The policies and actions of other
states). Hal ini terkait adanya respon dan desakan dari negara-negara ASEAN
seperti Singapura dan Malaysia.
3. Konsep Kerjasama Internasional
Menurut K.J Holsti bahwa proses kerjasama atau kolaborasi terbentuk dari
perpaduan keanekaragaman masalah nasional, regional, atau global yang muncul
dan memerlukan perhatian lebih dari satu negara. Pemerintah yang bekerjasama
17
saling melakukan pendekatan yang membawa usul penanggulangan masalah ,
mengumpulkan bukti-bukti tertulis untuk membenarkan sesuau usul atau lainnya
dan mengakhiri perundingan dengan suatu perjanjian atau pengertian yang
memuaskan semua pihak dan menghasilkan win-win solution.32
Kerjasama Internasional dapat meliputi permasalahan dalam berbagai
bidang seperti ideologi, politik, ekonomi, social budaya, lingkungan hidup dan
pertahanan keamanan. Holsti mendefinisikan kerjasama internasional sebagai
berikut:33
a. Pandangan bahwa dua atau lebih kepentingan, nilai dan tujuan saling
bertemu dan dapat menghasilkan sesuatu, dipromosikan atau dipenuhi oleh
semua pihak sekaligus
b. Pandangan atau harapan dari suatu negara bahwa kebijakan yang
diputuskan oleh negara lainnya akan membantu negara itu untuk mencapai
kepentingan dan nilai-nilainya.
c. Persetujuan atau masalah-masalah tertentu antara dua negara atau lebih
dalam rangka memanfaatkan kepentingan atau benturan kepentingan.
d. Aturan resmi atau tidak resmi mengenai transaksi dimasa depan yang
dilakukan untuk melaksanakan persetujuan
e. Transaksi antar negara untuk memenuhi persetujuan mereka
Kerjasama internasional tidak hanya dilakukan oleh antar dua negara secara
individual, akan tetapi juga dilakukan antar negara yang berada di dalam
32
K.J Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Jilid II, Terjemahan M.
Tahtir Azhari (Jakarta: Erlangga, 1988), hal 652-653 33
Ibid
18
organisasi atau lembaga internasional seperti ASEAN, OKI, dan Uni Eropa.
Dalam hal ini kerjasama akan terjadi apabila pihak-pihak yang bersangkutan
menyadari bahwa melalui kerjasama tersebut pihaknya akan mendapatkan suatu
hasil atau keuntungan yang tindakan diperoleh apabila dilakukan secara unilateral.
Menurut Dougherty dan Pfaltzgraff kerjasama ialah seragkaian hubungan-
hubungan yang tidak didasarkan pada paksaan atau kekerasan yang disahkan
secara hukum. Kerjasama dapat dilaksanakan dalam suatu proses perudingan yang
diadakan secara terbuka karena masing-masing pihak saling mengetahui sehingga
tidak diperlukan lagi suatu perundingan.34
Isu utama pada kerjasama internasional
yaitu berdasarkan keuntungan yang diperoleh bersama melalui kerjasama yang
mendukung konsepsi dari kepentingan tindakan yang unilateral dan kompetitif.35
Sehingga kerjasama internasional terbentuk karena adanya kehidupan
internasional yang meliputi berbagai bidang seperti ideologi, politik, ekonomi,
sosial, lingkungan hidup, kebudayaan, pertahanan serta keamanan. Hal-hal
tersebut menciptakan adanya kepentingan yang beragam dan ini menimbulkan
adanya berbagai masalah sosial. Dan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan
sosial yang ada maka dibentuklah suatu kerjasama internasional.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan konsep kerjasama internasional
yang dikemukakan oleh K.J. Holsti dimana kerjasama terjadi karena adanya
permasalahan nasional, regional, maupun global yang tidak dapat diselesaikan dan
butuh perhatian dan bantuan lebih dari satu negara. Dalam hal ini Indonesia
34
James E. Dougherty & Robert L. Pfaltz graff JR, Contending Theories of International
Relations: A Comperehensive Survey (New York: Harper and Row Publisher, 1997) hal 418-419 35
Dougherty & Graff JR, Contending Theories of International Relations: A
Comperehensive Survey, hal 419
19
menyetujui melakukan kerjasama dengan negara-negara ASEAN dalam
menangani permasalahan kebakaran hutan dan kabut asap yang terjadi di
Indonesia. Permasalahan kabut asap ini dianggap membutuhkan perhatian dan
kerjasama antar negara di kawasan Asia Tenggara terutama dari negara yang
terkena dampak langsung oleh kabut asap seperti Singapura dan Malaysia.
Kerjasama yang dilakukan baik dalam upaya pencegahan, penanggulangan dan
pemulihan permasalahan kabut asap lintas batas yang terjadi di kawasan ASEAN.
Kerjasama ini didasari atas pelaksanaan komitmen, semangat kemitraan serta
solidaritas negara anggota ASEAN dalam menghadapi berbagai kendala
penenganan asap lintas batas.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Metode penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode
kualitatif dan bersifat deskriptif. Menurut Mohammad Nadzir, tujuan dari
penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran secara sistematis,
faktual dan akurat mengenai fakta-fakta yang ada.36
Dalam penulisan ini akan
menggunakan metode penelitian kualitatif. Dimana metode penelitian kualitatif
adalah metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan penjelasan data
berupa kata-kata tertulis maupun lisan. Tujuan metode ini adalah untuk
menggambarkan suatu fenomena tertentu yang ada atau tidaknya hubungan antara
suatu gejala dengan gejala lainnya yang relevan dengan permasalahan yang ada
dengan penelitian.
36
Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal 63.
20
2. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan
menggunakan data sekunder yang bersumber dari studi kepustakaan, seperti buku,
artikel dalam buku, jurnal ilmiah, hasil penelitian, dokumen-dokumen pemerintah
yang resmi, artikel dalam buku, situs internet (website), dan lain-lain yang
berhubungan dan relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Studi
kepustakaan yang akan dilakukan di perpustakaan umum Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, Perpustakaan umum Universitas Indonesia, Perpustakaan
Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri,
Perpustakaan Nasional, Perpustakaan Freedom Institut, dan perpustakaan
Kementerian Lingkungan Hidup.
3. Jenis Data
Data sekunder yang diperoleh dari buku, jurnal, majalah, surat kabar, hasil
laporan instansi pemerintahan indonesia, dan informasi yang diakses dari internet
yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas. Data sekunder yang
dibutuhkan dalam penelitian ini yang berkaitan dengan perjanjian AATHP dan
permasalahan kabut asap di Indonesia.
4. Teknik Analisis Data
Setelah data terkumpul, dilakukan teknik analisa data yang diawali dengan
pengklasifikasian data, memisahkan data yang perlu untuk digunakan atau data
yang tidak perlu digunakan. Selanjutnya dengan mereduksi data yang merupakan
proses analisi untuk memilih, memusatkan perhatian, menyederhanakan,
mengabstraksikan serta mentransformasikan data, yang muncul dari catatan-
21
catatan lapangan. Tahap selanjutnya adalah analisis data dalam hal ini peneliti
memaparkan data yang telah diperoleh agar dapat dianalisis. Data yang terkumpul
kemudian dimaknai dengan menggunakan kerangka teori kebijakan luar negeri,
kepentingan nasional dan kerjasama luar negeri untuk menghasilkan jawaban
penelitian ini.
G. Sistematika penulisan
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini akan membahas latar belakang penelitian, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka pemikiran,
metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II PERMASALAHAN KABUT ASAP DI INDONESIA
Dalam bab dua akan menjelaskan mengenai permasalahan kabut asap di
Indonesia dari latar belakang terjadinya kabut asap di Indonesia, faktor terjadinya
kabut asap, sejarah terjadinya serta dampak kabut asap lintas batas di kawasan
ASEAN, dan upaya apa saja yang dilakukan pemerintah Indonesia dalam
menangani kabut asap.
BAB III KEPUTUSAN INDONESIA MERATIFIKASI AATHP
Pada bab ketiga ini akan mejelaskan AATHP secara umum mengenai latar
belakang terjadinya perjanjian AATHP, pada sub bab kedua penjelasan mengenai
proses pelaksanaan perjanjian AATHP, sub bab ketiga mengenai sikap Indonesia
terhadap perjanjian AATHP tahun 2003-2013.
22
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI
INDONESIA DALAM MERATIFIKASI AATHP TAHUN 2014
Pada bab ini akan menganalisa faktor-faktor apa saja yang mendorong
Indonesia dalam meratifikasi AATHP pada tahun 2014 melalui konsep-konsep
seperti kepentingan nasional, kebijakan luar negeri, dan kerjasama internasional.
Analisa ini berfokus pada faktor internal dan faktor eksternal yang melatar
belakangi Indonesia dalam melakukan ratifikasi AATHP. Seperti adanya
persetujuan ratifikasi oleh dewan legislatif , opini publik, dan memperbaiki citra
Indonesia pada faktor internal. Dan untuk faktor eksternal terdapat desakan dari
negara-negara ASEAN dan bantuan ekonomi serta kerjasama teknis dari ASEAN.
BAB V KESIMPULAN
Bab ini merupakan bab penutup dari skripsi ini yang berisi mengenai
kesimpulan dari penelitian ini yang didapat dari bab-bab sebelumnya.
23
BAB II
PERMASALAHAN KABUT ASAP INDONESIA
A. Latar Belakang Terjadinya Kabut Asap di Indonesia
Kabut asap di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya kebakaran hutan di
wilayah Indonesia seperti Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan ini
mengakibatkan penyebaran asap dan pencemaran lingkungan lintas batas negara.
Pencemaran asap tersebut memiliki dampak negatif yang dapat merugikan
manusia, mencemari lingkungan, dan merusak ekosistem.37
A.1. Faktor Terjadinya Kabut Asap
Salah satu faktor utama yang menyebabkan terjadinya kabut asap yaitu
adanya kebakaran hutan besar yang terjadi di wilayah Indonesia seperti
Kalimantan dan Sumatera.38
Kebakaran hutan ini menimbulkan dampak bagi
pencemaran lingkungan.39
Berdasarkan Undang-Undang Lingkungan Hidup No
32 Tahun 2009 Pencemaran lingkungan adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi dan komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
kegiatan manusia, sehingga melampaui mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan.40
37
Bambang Purwaseso , Pengendalian Kebakaran Hutan Suatu Pengantar (Jakarta: PT
Rinetka Cipta, 2004) hal 23 38
Eliezer P. Lorenzo dan Canesio, “Pembukaan Lahan tanpa Pembakaran Sebuah Model
Pembukaan Lahan Tanpa Bakar dalam mempersiapkan Pembangunan Hutan Tanaman di
Indonesia” hal 82 39
Teguh Isa Widodo, “Degradasi Lingkungan Hidup.”, (Bogor: Institut Pertanian Bogor) 40
M.Basarah, “Prospek Kerjasama Negara-Negara ASEAN Dalam Pengendalian
Pencemaran Udara Lintas Batas,” Jurnal Hukum No 15 Vol 7, Desember 2000, hal 57
24
Terdapat beberapa jenis pencemaran lingkungan seperti pencemaran tanah,
pencemaran air, dan pencemaran udara.41
Pencemaran tanah adalah suatu kondisi
masuknya satu atau banyak benda kimia, fisik atau biologis ke dalam tanah yang
dimana benda-benda tersebut dapat merusak struktur tanah dan membuat tanaman
menjadi sulit beradaptasi.42
Selanjutnya, pencemaran air adalah suatu perubahan
keadaan disuatu tempat penampuangan air seperti danau, sungai, lautan, dan air
tanah yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Sedangkan Pencemaran udara
adalah adanya bahan/zat-zat asing di udara yang menyebabkan perubahan
komposisi udara dari susunan atau keadaan normalnya. Pencemaran udara ini
dapat membahayakan bagi kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan.43
Selain itu
akibat dari pencemaran udara juga dapat mengganggu estetika dan kenyamanan.
Jenis-jenis pencemaran yang telah disebutkan tersebut timbul dikarenakan
oleh sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia. Menurut World Health
Organization (WHO), tingkat pencemaran didasarkan pada kadar zat pencemar
dan lamanya kontak. Dalam hal ini tingkat pencemaran dibedakan menjadi tiga,
yaitu: 1) Pencemaran yang mengakibatkan gangguan ringan pada panca indra dan
tubuh serta telah mennimbulkan kerusakan pada ekosistem lain. 2) Pencemaran
yang sudah mengakibatkan reaksi pada faal tubuh yang menyebabkan sakit yang
41
Fuad Amsyari, Prinsip-prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2001) hal 42 42
Otto Soemarwoto, Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan ( Jakarta: Jembatan,
1983) 43
Fuad Amsyari, Prinsip-prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2001) hal 43
25
kronis. 3) Pencemaran yang kadar zat-zat pencemarnya demikian besar sehingga
menimbulkan gangguan dan sakit atau bahkan kematian dalam lingkungan.44
Salah satu pencemaran udara yaitu asap yang berasal dari aktifitas manusia
maupun alamiah. Asap dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi
saluran pernapasan akut (ISPA), asma, bronchitis, pneuma (radang paru), serta
iritasi mata dan kulit. Asap juga dapat mengganggu proses pertumbuhan tanaman
karena sinar matahari terhalang asap sehingga proses fotosintesa tidak dapat
dilakukan oleh tumbuhan.45
Secara konsep penyebaran asap lintas batas negara diartikan sebagai
transboundary haze pollution.46
Dalam perjanjian AATHP, transboundary haze
pollution dikatakan sebagai berikut:
“haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the are
under the national jurisdiction of one Member State and which is transported into
the area under the jurisdiction of another Member State.”
Pengertian transboundary haze pollution adalah pencemaran atau polusi
yang terjadi dalam suatu negara atau wilayah yang diakibatkan dari pengaruh
cuaca, atmosfer dan biosfer yang menyebabkan polusi atau pencemaran hingga
menyebar dan memasuki wilayah negara atau daerah lain.
Penyebaran dan pencemaran asap lintas batas negara yang ada di kawasan
Asia Tengggara diakibatkan adanya kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di
44
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Penegakkan Hukum Lingkungan
Indonesia (Bandung: PT. Alumni, 2001), hal 154 45
Aditama TY, Dampak Asap Kebakaran Hutan terhadap kesehatan Paru (Jakarta: YP IDI
& IDKI) 46
De Bie, Gregg H, “Transboundary Air Pollution : Trends in 2004,” in: Colorado Journal
of International Environmental Law, 16, (2005), hal 123-132
26
wilayah Indonesia.47
Hal ini dikarenakan Indonesia merupakan salah satu negara
yang memiliki kawasan hutan terluas di kawasan Asia Tenggara. Luas hutan
Indonesia mencapai 98.072,7 juta hektar atau sebesar 52,2% dari total daratan.48
Pada tingkat global, Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan
tropis nomor tiga terbesar di dunia yaitu 127 juta ha49
. Setelah Brazil sebagai
negara pemilik hutan tropis terbesar di dunia yaitu 481 juta ha, diikuti oleh Kongo
pada peringkat kedua dengan luas 177 ha. Selain itu Indonesia juga memiliki
kawasan hutan bakau yang terluas di dunia. Luasnya mencapai 4,25 juta ha pada
awal tahun 1990-an.50
Menurut data Kementerian kehutanan, luas daratan Indonesia di tahun 2009
berkisar 187,8 juta hektar dan 127 juta hektar di antaranya adalah kawasan hutan.
Jumlah ini setara dengan luas empat negara besar di Eropa yaitu Inggris, Perancis,
Jerman dan Finlandia.51
Dari luas daratan Indonesia tersebut, 50% diantaranya
berhutan, 44% tidak berhutan, dan 6% atau sekitar 10 juta hektar tidak ada data.
Kawasan berhutan sebagian besar terletak di Papua dan Kalimantan yang
merupakan 65% dari tutupan hutan Indonesia.52
Dengan luas wilayah tersebut
kebakaran hutan menjadi suatu peristiwa yang rutin terjadi setiap tahunnya di
Indonesia.
47
David B. Jerger, “ Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement on
Transboundary Haze Pollution,” Sustainable development law & policy 14, no.1, (2014), hal 36 48
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 2010; melalui
www.haze.asean.org, diakses pada 3 Mei 2016 49
Robert AIKEN, “ Runaway Fires, Smoke-Haze Pollution, and Unnatural Disasters in
Indonesian Geographical Review” 94 American Geographical Society (2004), hal 55 50
World Resource Institute “Hutan Indonesia: Apa yang dipertaruhkan”, tersedia pada
https://www.wri.org/sites/default/files/pdf/indoforest_chap1_id.pdf diunduh pada 7 Mei 2016 51
Badan Planologi Kehutanan-Departemen Kehutanan, “ Kebijakan Penyusunan MP-
RHL”, tersedia pada http://www.dephut.go.id/hutan/html; diakses tanggal 13 Mei 2016 52
Badan Planologi Kehutanan-Departemen Kehutanan, “ Kebijakan Penyusunan MP-
RHL”, tersedia pada http://www.dephut.go.id/hutan/html; diakses tanggal 13 Mei 2016
27
Di Indonesia sektor kehutanan menjadi salah satu faktor yang mendapakan
perhatian penting dalam permasalahan ini. Dalam Undang-undang RI No.41
tahun 1999 tentang kehutanan. Hutan didefinisikan sebagai suatu kesatuan
ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang
didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan yang satu dengan
yang lainnya tidak dapat dipisahkan.53
Kebakaran hutan menurut Kementerian Kehutanan adalah suatu keadaan
dimana hutan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil
hutan yang memiliki dampak terhadap kerugian ekonomis dan nilai lingkungan.54
Sedangkan menurut pakar kehutanan yaitu Prof. Bambang Hero Saharjo,
Kebakaran hutan adalah pembakaran yang apinya menjalar bebas serta
mengkonsumsi bahan bakar alam dari hutan seperti rumput, ranting, tunggak
pohon, gulma, semak belukar, dedaunan serta pohon-pohon.55
Peristiwa kabut asap lintas batas berasal dari kebakaran hutan yang terjadi
karena faktor alam dan faktor manusia56
. Dalam hal ini faktor alam yang dapat
memicu kebakaran hutan dan lahan: Pertama, Bencana alam dikarenakan adanya
aktivitas vulkanis seperti terkena aliran lahar atau awan panas dari letusan gunung
merapi. Wilayah hutan di kawasan gunung merapi dapat terbakar ketika aktivitas
53
Bambang Purwaseso, Pengendalian Kebakaran Hutan Suatu Pengantar (Jakarta: PT
Rinetka Cipta,) hal 5 54
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan 55
Saharjo BH, Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Yang Lestari Perlukah
Dilakukan (Fakultas Kehutanan: Institut Pertanian Bogor (2003). 56
Lucca Tacconi, “Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi
Kebijakan.” (Bogor: Center for International Foresty Research), tersedia di
http://www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-038i.pdf ;diunduh pada 15 Mei 2016
28
vulkanis terjadi.57
Kedua, Faktor Perubahan Iklim seperti musim kemarau yang
panjang. Musim kemarau dapat mengakibatkan naiknya suhu diberbagai wilayah
termasuk hutan. Suhu yang tinggi menyebabkan terjadinya kebakaran hutan.58
Selain itu, terdapat faktor Ground Fire yaitu kebakaran yang terjadi di dalam
lapisan tanah. Musim kemarau panjang menyebabkan kebakaran di bawah tanah
pada daerah kawasan tanah gambut.59
Selanjutnya kebakaran hutan yang disebabkan oleh kegiatan manusia dapat
dibedakan menjadi dua hal yaitu secara sengaja dan tidak sengaja.60
Kebakaran
karena ketidaksengajaan disebabkan oleh kelalaian manusia seperti; tidak
mematikan api unggun, adanya aktifitas pembakaran sampah serta membuang
puntung rokok yang masih menyala di sekitar hutan.61
Sedangkan, kebakaran
hutan secara sengaja seperti adanya teknik pembukaan lahan baru dengan cara
membakar hutan.62
Bagi masyarakat dan petani yang dinilai lebih hemat, praktis
dan menyuburkan tanah.
Pada umumnya para pengusaha atau masyarakat di Indonesia membuka
lahan dengan membakar alang-alang tinggi yang tumbuh di lahan gambut.63
Mereka lebih memilih cara ini dibandingkan menggunakan mesin karena cara ini
57
Ibid 58
Wangke Humprey, “Mencari Solusi atas Perubahan Iklim”, (Jakarta: Pusat Pengkajian
dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekjen DPR RI, 2011) 59
Sumardi dan SM Widyawati, Dasar-Dasar Perlindungan Hutan (Jakarta: Gajah Mada
University Press, 2004), hal 167-170 60
Fachmi Rasyid, “ Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan”, (Banten: Jurnal
Lingkar Widyaswara Edisi 1 No 4, 2014) hal 48, diakses melalui
http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf 61
Mark E Harrison, Susan Page, dan Suwido Limin, “The Global Impact of Indonesian
Forest Fires,” Biologist, Vol 56 No 3, (Agustus 2009), hal 157 62
Peh, D. L-H, “ South East Asia Forest Fire: Blazing the Policy Trail”, Orix (2014),hal 1-6 63
Wetlands internasional. “Kebakaran hutan dan lahan”, Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan
Gambut, diakses melalui http://www.wetlands.or.id/PDF/Flyers/Fire01.pdf
29
dianggap boros tenaga, waktu dan biaya. Para petani tidak memiliki dana untuk
membersihkan lahan tersebut secara mekanik sedangkan para pengusaha pun
hanya ingin mengeluarkan biaya seminim mungkin.64
Pola penggarapan lahan
inilah yang terjadi setiap tahunnya sehingga menyebabkan kebakaran hutan dan
kabut asap lintas batas ke negara tetangga.65
Kedua, illegal logging yang
dilakukan para pengusaha-pengusaha kayu atau kelapa sawit yang tidak
bertanggung jawab.66
Ketiga, faktor pembangunan serta tata laksana pemerintahan
yang kurang tepat dan sistem pengelolaan hutan yang dianggap belum efektif.
Sehingga penanganan kebakaran hutan menjadi lambat dan jusru berakibat dengan
menyebarnya ke wilayah yang belum terbakar.
A.2. Kebakaran Hutan dan Penyebaran Kabut Asap
Kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia terbagi dalam beberapa periode.
Periode ini diawali pada tahun 1982-1983 pada tahun ini kebakaran hutan terjadi
di daerah Kalimantan Timur dan telah menghabiskan lahan sebanyak 3,2 juta
hektar dengan kerugian mencapai lebih dari 6 trilyun rupiah.67
Penyebab utama
kebakaran hutan yang terjadi pada periode ini yaitu terjadinya musim kemarau
yang panjang dikarenakan fenomena iklim El-Nino dan kebijakan pengelolaan
hutan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, dimana pemerintah memiliki
64
Anderson, I.P., Bowen, M.R., “Fire Zones and the Threat to the Wetlands of Sumatra,
Indonesia, European Union and Indonesian Ministry of Foresty,” (2000) 65
Melda Kamil Ariadno, “Haze Polution in Indonesia”, Afe Babalola University: Journal
of Sustainable Development Law and Policy Vol 2, (2013), hal 3 66
Mark E Harrison, Susan Page, dan Suwido Limin, “The Global Impact of Indonesian
Forest Fires,” Biologist, Vol 56 No 3, (Agustus 2009) hal 158 67
Boer C, “ Forestfire suppression in East Kalimantan Indonesia. Di dalam Moore P. Ganz
D, Tan L, C Enters T, Durst P.B , editor. Prosisings of an International Conference on Community
Involvement in Fire Management, Bangkok Desember 2000. Bangkok: FAO hal 69-74
30
kebijakan yang menjadikan hampir seluruh kawasan sebagai HPH (Hak Penguasa
Hutan).68
Gambar II.1 Kebakaran Hutan di Kalimantan tahun 1997
Sumber:http://www.bbc.com/
Periode 1997-1998 merupakan awal puncak terjadinya bencana kebakaran
hutan secara besar-besaran. Hal ini diakibatkan karena iklim El Nino berada pada
tingkat yang tinggi sehingga mengakibatkan kebakaran hutan dalam jumlah yang
besar di beberapa wilayah Indonesia seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi,
Jawa, dan Irian Jaya.69
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi mengakibatkan
adanya degradasi hutan dan defortasi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan
ADB (Asian Development Bank) pada periode ini luas hutan yang terbakar di
68
FWI/GFW. 2001. Keadaan Hutan Indonesia. (e-book) Bogor, Indonesia: Forest Watch
Indonesia dan Washington D.C: Global Forest Watch, hal 61 69
Luca Tacconi “Kebakaran Hutan di Indonesia, Penyebab, Biaya, dan Implikasi
kebijakan” Center for International Forestry Research (CIFOR), 2003
31
Indonesia mencapai 10 juta hektar.70
Studi Bappenas dan ADB mencatat kerugian
yang dialami Indonesia pada kebakaran ini mencapai mencapai 4,861 dollar US
atau setara dengan 711 triliun rupiah71
Selain Indonesia, Malaysia dan singapura juga mengalami kerugian yaitu
Malaysia sebesar 300 juta dollar AS disektor industri dan pariwisata dan
Singapura mengalami kerugian sekitar 60 juta dollar AS di sektor pariwisata72
Kebakaran hutan terbesar yang kedua terjadi pada tahun 2005-2007, ditahun
ini lahan hutan yang hancur sebanyak 65.167,1 Ha. Jumlah ini tersebar di Provinsi
Jambi (3.797 Ha), Sumatera Selatan (58.805 Ha), Lampung (700 Ha), dan
Kalimantan Tengah (1.865,10 Ha).73
Kebakaran hutan berlanjut pada tahun 2007-
2009 dikarenakan mulai terjadinya musim kemarau yang melanda wilayah
Indonesia. Musim kemarau ini dimulai sejak bulan Januari hingga Juli yang
jumlah titik panasnya mencapai 2.981 secara nasional. Titik panas ini pada
umumnya terdapat di Sumatera dan Kalimantan, yang dimana letak titik panas
terbesar terdapat di Provinsi Riau.74
Pada tahun 2011 kawasan yang mengalami kebakaran lebih banyak di
daerah perkebunan masyarakat dibandingkan kawasan hutan yaitu sebesar 71%,
70
BAPPENAS –ADB, “Cause Extend, Impact and cost of 1997, 1998 Fire and Dought.”
Forest Fire Prevention and Drought Management Project, Asian Development Bank TA 2999-
INO. Fortech, Pusat Pengembangan Agribisnis (1999). 71 Kebakaran Hutan dan lahan Indonesia bisa samai insiden 1997 diakes melalui
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151002_indonesia_asap_rekor pada 5
Januari 2016, pukul 14.15 WIB 72
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan UNDP, Laporan Kebakaran
Hutan dan Lahan di Indonesia, 1998, hal 1 - 2. 73
Fire Bulletin Special Edition-End of Year_Des 06-Draft. Diakses melalui
http//awsassets.wwf.or.id/dowloads/fb_2006endspc.pdf. pada 27 Agustus 2016 74
ASEAN Haze Action Online
32
sementara untuk kawasan hutan hanya 23% yang terbakar.75
Jumlah hotspot yang
ada di tahun ini mengalami penurunan dibandingkan dari jumlah hotspot pada
tahun sebelumnya. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, melalui satelit
NOAA ( National Oceanic and Atmospheric Administration) yang bersumber dari
ASEAN Specialized Monitoring Center (ASMC), pada Januari-Juli 2011 jumlah
hotspot di Indonesia tercatat 8.082 hotspot. Selain itu, jumlah hotspot yang terjadi
di negara ASEAN menunjukan jumlah yang jauh lebih tinggi yaitu; Myanmar
24.767 titik, Kamboja 12.577 titik, Laos 11.076 titik, Thailand 10.031 titik,
Vietnam 7.037 titik, dan Malaysia 1.102 titik.76
Kebakaran hutan kembali terjadi di tahun 2012 yang mengakibatkan polusi
lintas batas dan puncak dari kebakaran ini terjadi pada tahun 2013 yang
disebabkan oleh banyak titik api yang terdapat di berbagai pulau di Indonesia
seperti Riau dan Sumatera.77
Berdasarkan data BNPB, Hampir 50.000 jiwa
menjadi korban polusi kabut asap ini seperti Infeksi Saluran pernapasan. Masalah
ini berkaitan erat dengan kekeringan ekstrim yang sedang melanda kawasan
tersebut karena dalam hal ini kemungkinan api menyebar lebih besar
dibandingkan sebelumnya.78
75
Kementerian Kehutanan, 2011. Siaran Pers sebaran Hotspot dan Pengendalian Kebakaran
Hutan dan lahan. Pada http://www.dephut.go.id diakses tanggal 27 Agustus 2016 76
BBC Indonesia, “Hujan buatan untuk cegah kebakaran hutan di Sumatera dan
Kalimantan” tersedia di
http://www.bbc.com/indonesia/mobile/berita_indonesia/2012/08/120803_kebakaranhutan.shtml
diakses pada 28 Agustus 2016 77
The Habibie Center, “Ensuring the ASEAN Agreement on Transboundary Haze’s
(AATHP) Effectiveness: A Case Study of Riau Province’s Haze Summary,”ASEAN Studies
Program Vol 2 Issue 4, April 2015, hal 3 78
Nigel Sizer, DDkk. 2014. “Kebakaran Hutan di Indonesia Mencapai Tingkat Tertinggi
Sejak Kondisi darurat kabut asap Juni 2013”, diakses pada 28 Agustus 2016
33
Gambar II.2 Titik Kebakaran hutan & kabut asap lintas batas
Sumber: World Resource Institut interactive map of the forest fires and
concessions
Tahun 2014 kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang terjadi pada awal
tahun mengakibatkan kerugian sebesar 481,23 milyar rupiah. Selain itu puluhan
warga terkena ISPA. Hingga Juni-Oktober 2015, kebakaran hutan mencapai
kerugian 15 milyar dollar atau setara 196 triliun rupiah.79
79
Luca Tacconi, Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi Kebijakan,
Bogor: Center for International Foresty Research (CIFOR), tersedia di
http://www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-038i.pdf ; diunduh pada 15 Mei 2016
34
Gambar II.3 Data Luas Kebakaran Hutan tahun 2010-2014
Sumber: Litbang “Kompas”/YOH/PUT/STI/DEW, diolah dari BNPB, pemberitaan “Kompas”,
sipongi.menlhk.go.id dan berbagai sumber
Berdasarkan info grafik, di atas luas kebakaran hutan per provinsi di
Indonesia tahun 2010-2014 dalam situs Kementerian Lingkungan Hidup juga
menunjukkan hal itu. Dibandingkan tahun 2010, luas lahan terbakar meningkat
puluhan kali lipat. Di Jambi, contohnya, di tahun 2010, lahan terbakar hanya 2,5
ha. Sedangkan di tahun 2014 meningkat menjadi 3.470 ha.
Selanjutnya adalah data yang menunjukan luas kebakaran di Indonesia pada
tahun 1997-2014 yang mengalami peningkatan dan penurunan dalam perkiraan
kebakaran hutan.
35
Tabel II.1 Perkiraan Kebakaran Hutan Tahun 1997-2014
TAHUN KEBAKARAN HUTAN LUAS HA
1997 263.991
1998 24.253
1999 49.640
2000 43.648
2001 17.968
2002 45.527
2003 7.090
2004 4.868
2005 5.502
2006 4.241
2007 6.974
2008 6.793
2009 7.619
2010 3.500
2011 2.612
2012 8.268
2013 4.768
2014 3.396
Sumber: Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam PHKA Republik Indonesia
36
Tabel di atas memberikan gambaran luas kebakaran hutan Indonesia pada
tahun 1997 kebakaran hutan mencapai angka 269.991 Ha80
. Hal ini merupakan
kebakaran hutan terbesar dan menyebabkan luas hutan yang terbakar. Sedangkan
pada tahun 2013 kebakaran hutan seluas 4.768 Ha.81
Jika dibandingkan dari tahun
sebelumnya kebakaran hutan di Indonesia mengalami peningkatan dan penurunan.
Hal ini menjadikan pemerintah Indonesia bertindak lebih serius dalam menangani
kebakaran hutan yang terjadi. 82
A.3. Dampak Kabut Asap Lintas Batas di ASEAN
Penyebaran dan pencemaran asap lintas batas negara yang ada di ASEAN
diakibatkan adanya kebakaran lahan dan hutan yang terjadi di wilayah Indonesia.
Menurut World Bank, api dan asap yang dihasilkan oleh kebakaran hutan yang
terjadi di Indonesia telah menyebabkan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan
bagi Indonesia dan negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara.83
Selain
itu, Indonesia juga mengalami kerugian dalam berbagai sector seperti pertanian,
kehutanan, transportasi, perdagangan, industri, pariwisata serta sektor lainnya.
Selain kerugian, terdapat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh
kabut asap yang terjadi di Indonesia: Pertama, dampak ekonomi: yaitu hilangnya
80
Jurnal Kementerian Kehutanan, 2013 tersedia di
(http://www.ditjenphka.dephut.go.id/wp-content/uploads/.../LAKIP-PHKA-2013.pdf); Diunduh
pada 27 Agustus 2016 81
Jurnal Kementerian Kehutanan, 2013 tersedia di
(http://www.ditjenphka.dephut.go.id/wp-content/uploads/.../LAKIP-PHKA-2013.pdf); Diunduh
pada 27 Agustus 2016 82
http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/lingkungan/10/11/05/144702-luas-
kebakaran-hutan-di-indonesia-menurun diakses pada 30 Agustus 2016 83
The World Bank, “Krisis Kebakaran dan Asap Indonesia” diakses melalui
http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis pada 12
Agustus 2016
37
sejumlah mata pencaharian masyarakat yang berada di sekitar hutan yang
diakibatkan oleh kebakaran hutan, terganggunya aktivitas dan penurunan
produktivitas masyarakat sehari-hari seperti sekolah, bekerja dan kegiatan mencari
kebutuhan hidup sehingga mengakibatkan berkurangnya pemasukan yang
diterima oleh individu.84
Adanya kerugian pada sektor pariwisata, karena tebalnya
asap yang diakibatkan oleh kebakaran hutan dapat mengganggu transportasi udara
dan penerbangan. Dalam hal ini, asap tersebut dapat memperpendek jarak
pandang yang menyebabkan pesawat tidak dapat mendarat dan banyaknya
pembatalan penerbangan. Hal ini tentu mengakibatkan kerugian bagi maskapai-
maskapai pesawat serta pengelola bandara karena telah kehilangan pemasukan
dari pajak.
Selain itu ketidakinginan wisatawan domestik dan asing untuk pergi
berwisata atau berada di tempat yang dipenuhi asap. Dengan adanya dampak
ekonomi yang dihasilkan oleh kabut asap ini secara langsung tentu berakibat pada
penurunan devisa negara.85
Kedua, dampak kesehatan yaitu munculnya penyakit infeksi saluran
pernafasan akut (ISPA), pneumonia, asma,iritasi mata, dan iritasi kulit.86
Dinas
kesehatan Riau mencatat pada tanggal 28 Agustus 2013 terdapat 19.862 orang
84
Fachmi Rasyid, “Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan,” Jurnal Lingkar
Widyaiswara Edisi 1 No.4, (Oktober-November 2014), hal 49, diunduh melalui
http://juliwi.com/published/E0104/Paper0104_47-59.pdf diunduh pada 13 Agustus 2016 85
Portal Penelitian Universitas Andalas, “Dampak Kebakaran Hutan di Wilayah Sumatera
Barat dan Riau Terhadap Perubahan Iklim (Climate Change),” diakses melalui
http://lp.unand.ac.id/?pModule=news&pSub=news&pAct=detail&detail=210 pada 9 September
2016 86
Mark E Harrison, Susan Page, dan Suwido Limin, “ The Global Impact of Indonesian
Forest Fires,” Biologist Vol 56 No 3, Agustus 2009, hal 159
38
warga terserang ISPA.87
Dalam mengantisipasi bertambahnya penderita ISPA,
BNPB dan Dinas Kesehatan mendistribusikan masker bagi warga yang
beraktifitas di luar ruangan.
Ketiga, dampak sosial yaitu adanya penurunan kualitas udfgara dan jarak
pandang penglihatan masyarakat di wilayah Riau, Malaysia,dan Singapura yang
menghasilkan ketebalan kabut asap sebanyak 300-370 PSI (Pollution Standard
Index) diatas normal.
Keempat, dampak politik yaitu adanya ketegangan hubungan diantara
negara-negara tetangga khususnya Malaysia dan Singapura yang menjadi negara
penerima asap dari Indonesia dan terkena dampaknya langsung.88
Kelima, dampak terhadap lingkungan yaitu terjadinya deforestasi dan
degradasi hutan, musnahnya sejumlah satwa-satwa langka yang hidup di hutan
khususnya di Sumatera dan Kalimantan, perubahan fungsi pemanfaatan lahan
hutan sebelum terbakar, serta menipisnya lapisan ozon.89
Semua dampak yang
telah disebutkan ini tidak hanya dirasakan oleh masyarakat di Indonesia, Namun
juga berdampak bagi negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Kerugian
ekonomi yang dialami oleh kedua negara tersebut terlihat pada tabel berikut
87
Gema Badan Nasional Penanggulangan Bencana Vol IV No.2 Tahun 2013, hal 10 88
Boer C, Forestfire suppression in East Kalimantan Indonesia, Dalam Moore P,
Prosidings of an Internationaal Conference on Community Involvenment in Fire Management
Bangkok, (Bangkok: FAO Desember 2000) hal 69-74 89
The World Bank, “Krisis Kebakaran dan Asap Indonesia” diakses melalui
http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-and-haze-crisis pada 12
Agustus 2016
39
Tabel II.2 Kerugian Ekonomi Akibat Kabut Asap Tahun 2013
Negara Angka PSI (Pollutant
Standards Index)
Kerugian Ekonomi
Malaysia 700 MYR 273.000 USD 91.000
Singapura 401 SGD 342.000.000 USD 249.901.435,84
Indonesia 776 Rp 20 Triliun USD 1.495.662,58
Sumber: (www.ijern.com)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa terdapat kerugian yang berbeda pada
tiap negara. Seperti pada Malaysia yang mengalami kerugian ekonomi pada biaya
kesehatan sebesar MYR 273.000 karena telah menjadi negara penerima kabut
asap. Singapura mengalami kerugian yang lebih besar jika dibandingkan oleh
Malaysia yaitu sebesar SGD 342.000.000.90
Selanjutnya kerugian terbesar tentu
dialami oleh Indonesia yang merupakan negara sebagai penghasil kabut asap,
kerugian tersebut diperkirakan senilai 20 Triliun Rupiah.91
Dengan adanya kerugian tersebut Singapura mendesak pemerintah
Indonesia untuk segera mengambil tindakan untuk mengurangi penyebaran asap
lintas batas ini. Malaysia juga turut mengeluarkan tuntutan agar Indonesia segera
meratifikasi perjanjian menyelesaikan masalah ini karena masalah kabut asap ini
termasuk ancaman yang besar bagi seluruh ASEAN terkait pencemaran asap
lintas batas.
90
Kardina Gultom, “Sekuritisasi Kabut Asap di Singapura tahun 1997-2014”, Journal of
International Relations, Volume 2, Nomor 2, Tahun 2016, hal. 33-43 91
Gema Badan Nasional Penanggulangan Becana Vol V No.1 Tahun 2014, tersedia di
http://bnpb.go.id/uploads/publication/1031/Gema%206-23-14%20(1).pdf diakses pada 27
Agustus 2016
40
B. Upaya Pemerintah Indonesia Dalam Menangani Kabut Asap
Indonesia telah melakukan upaya pencegahan, penanggulangan, dan
pemulihan dampak pencemaran asap akibat kebakaran dan hutan di tingkat
nasional seperti adanya penanggulangan melalui operasi udara, darat, dan
penegakan hukum, BNPB, TNI/POLRI.92
Upaya pemerintah dalam menangani kebakaran hutan dan kabut asap yang
terjadi di Indonesia seperti mulai membuat strategi-strategi baru dalam mengelola
hutan, seperti menerapkan zero burning dan controlled burning policy.93
Kedua
kebijakan tersebut merupakan bagian dari kesepakatan di tingkat ASEAN untuk
mengendalikan kebakaran hutan. Zero burning adalah metode pembersihan lahan
tanpa dibakar dengan cara melakukan penebangan pohon pada hutan sekunder
atau pada tanaman perkebunan yang sudah tua seperti kelapa sawit yang
kemudian dilakukan pencabikkan (shredded) menjadi bagian-bagian yang kecil,
ditimbun dan ditinggallkan agar membusuk/terurai secara alami.94
Dalam hal ini,
Perusahaan perkebunan, kehutanan serta pengusaha lain yang sifatnya komersiil
dilarang untuk membuka lahan dengan melakukan pembakaran. Sedangkan
Controlled burning adalah pembakaran terkendali yang mengizinkan masyarakat
tradisional untuk membuka dan menyiapkan lahan dengan melakukan
pembakaran namun dengan mengikuti syarat.95
92
Gema Badan Nasional Penanggulangan Bencana Vol IV No.2 Tahun 2013, hal 11 93
Wetlands International, “Strategi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut,”
Laporan Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut, hal 2, diunduh melalui
http://www.wetlands.or.id/PDF/Flyers/Fire02.pdf 94
ASEAN Secretariat, Guidelines fo the implementation of the ASEAN policy on zero
burning (The ASEAN Secretariat Jakarta, 2013). 95
Wetlands International, “Strategi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut,”
Laporan Seri Pengelolaan Hutan dan Lahan Gambut, hal 4, diunduh melalui
http://www.wetlands.or.id/PDF/Flyers/Fire02.pdf
41
Terdapat upaya pencegahan yang telah dilakukan oleh pemerintah yang
bekerja sama dengan NGO dan institusi pembangunan internasional seperti
megembangkan program-program dan kerjasama antara pemerintah lokal dan
perusahaan besar untuk memberikan akses yang murah pada peralatan pembukaan
lahan kepada petani kecil disekitar wilayah yang sering terjadi kebakaran.96
Pemerintah juga telah melakukan koordinasi antar kementerian/lembaga,
pemerintah daerah maupun dengan masyarakat seperti; pemetaan daerah rawan
kebakaran hutan dan lahan, penguatan data dan informasi terkait dengan hotspot,
persebaran asap, pemetaan daerah terbakar, fire danger.97
Terdapat upaya penguatan dan peningkatan kapasitas masyarakat peduli api
(MPA) dengan diadakannya sosialisasi, kegiatan pencegahan dini maupun
pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah, tenaga BUMN
dan perusahaan kehutan serta masyarakat yang berada di kawasan hutan,
melakukan kampanye dan penyuluhan pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI,
perkebunan dan transmigrasi), Kanwil Dephut dan jajaran Pemda oleh
kementerian kehutanan dan kementerian lingkungan hidup. Selain itu yang sangat
penting adalah dengan meningkatkan dan mempertegas penegakan hukum
(pidana, perdata maupun administrasi) terhadap pelaku baik individu maupun
perusahaan yang melakukan pembakaran secara illegal.98
96
World Resources Institut, “Mencegah Kebakaran Hutan Di Indonesia: Fokus Pada
Provinsi Riau, Lahan Gambut, Serta Pembakaran Ilegal”; tersedia di
http://www.wri.org/blog/2014/06/mencegah-kebakaran-hutan-di-indonesia-fokus-pada-provinsi-
riau-lahan-gambut-serta ; diakses pada 28 Mei 2016 97
Komisi VII DPR-RI Bahas RUU Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Polution Dengan KLH, tersedia di http://www.menlh.go.id/komisi-vii-dpr-ri-bahas-ruu-
pengesahan-asean-agreement-on-transboundary-haze-polution/ ;diakses pada 5 Juni 2016 98
Soemarsono, Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia (Penyebab,
Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan), 1997 hal:1-14.
42
Selain melakukan pencegahan pemerintah juga turut melakukan beberapa
Penaggulangan bencana kabut asap seperti dengan membuat Pos Komando
Tanggap Darurat Bencana Asap yang terdiri dari satuan tugas (satgas) udara,
darat, pasukan reaksi cepat (PRC), Penegakan hukum , kesehatan serta sosialisasi
dan penerangan masyarakat, Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di
tingkat pusat dan tingkat daerah.99
BNPB juga turut melibatkan beberapa pihak swasta, khususnya dunia usaha
dengan memberikan dukungan berupa pesawat jenis helikopter untuk melakukan
water bombing. Satgas udara melakukan operasi pemadaman udara dengan TMC
dan water bombing. BNPB melakukan hujan buatan dengan biaya 200 miliar
rupiah untuk mengatasi kekeringan, sedangkan unttuk mengatasi kebakaran hutan
yang terjadi di Indonesia menyiapkan 385 miliar rupiah. Selain itu upaya yang
dilakukan pemerintah seperti melakukan restorasi 100.000 hektar setiap
tahunnya.100
Pada tanggal 22 Juni 2013 hingga 9 Juli 2013, dua pesawat Hercules C130
TNI AU dan Cassa BPPT menyemai garam NACl sebnayak 71,4 toon diatas
wilayah Riau yang memiliki awan yang berpotensi hujan. Operasi TMC yang
dilakukan ini berhasil menurunkan hujan sejak 23 Juni 2013 di wilayah Riau
sehingga dapat mengurangi hotspot dan mengurangi asap.101
Namun untuk penanganan pencemaran asap lintas batas, Indonesia beserta
negara ASEAN lainnya menyadari bahwa pencegahan dan penanggulangan perlu
99
Gema Badan Nasional Penanggulangan Bencana Vol IV No.2 Tahun 2013, hal 7 100
KOMPAS, “Ini Sebab Kabut Asap Hutan Riau Selimuti Singapura” diaksees melalui
http://sains.kompas.com/read/2013/06/21/1747577/Ini.Sebab.Kabut.Asap.Hutan.Riau.Selimuti.Sin
gapura pada 21 Maret 2016 101
Gema Badan Nasional Penanggulangan Bencana Vol IV No.2 Tahun 2013, hal 7
43
dilakukan secara bersama-sama. Kerjasama antar negara ASEAN ini didasari atas
pelaksanaan komitmen, semangat kemitran serta solidaritas negara ASEAN dalam
menghadapi berbagai kendala penanganan asap lintas batas.
44
BAB III
KEPUTUSAN INDONESIA DALAM MERATIFIKASI AATHP
A. Latar Belakang Perjanjian AATHP
Kerjasama ASEAN di bidang lingkungan hidup dimulai sejak tahun 1978,
hal ini ditunjukan dengan dibentuknya ASEAN Expert Group on the Environment
(AEGE) dibawah Committee on Science and Technology (COST). AEGE ini
dibentuk untuk mempersiapkan ASEAN Environmental Programme (ASEP) yaitu
program kegiatan ASEAN di bidang lingkungan hidup.102
Dengan meluasnya
lingkup kerjasama di bidang lingkungan hidup di ASEAN, pada tahun 1990
dibentuk ASEAN Senior Officials on the Environment (ASOEN), yang mencakup
6 kelompok kerja yaitu:103
a. Penanganan Polusi Lintas- Batas
b. Konservasi Alam
c. Lingkungan Hidup Kelautan
d. Pengelolaan Lingkungan Hidup
e. Ekonomi Lingkungan
f. Informasi Lingkungan , Peningkatan Pengetahuan dan Kesadaran Publik.
102
Laporan Status Lingkungan Hidup Tahun 2002, diakses melalui
http://www.bapedalbanten.go.id/i/art/pdf_ 1050965780.pdf. pada 3 September 2016. 103
Kementerian Luar Negeri, “ASEAN Selayang Pandang”, Jakarta (2010), tersedia di
(http://www.deplu.go.id/download/asean-selayangpandang.pdf); diunduh pada 3 September 2016
45
Dalam hal ini, misi yang ingin dicapai ASEAN di bidang lingkungan adalah
menjadikan ASEAN sebagai kawasan yang bersih dan hijau, dengan mengacu
pada prinsip-prinsip mekanisme pembangunan yang berkelanjutan, ramah
lingkungan serta melakukan pengelolaan sumber daya alam secara lestari.
Selanjutnya dalam upaya mewujudkan misi yang ingin dicapai ASEAN tersebut,
diadakan pertemuan-pertemuan khusus bagi negara-negara ASEAN yang
bertujuan untuk membahas mengenai lingkungan hidup di kawasan Asia
Tenggara: Pertemuan pertama diawali pada tahun 1990 dengan diadakannya The
Kuala Lumpur Accord on Environmental and Development pada 19 Juni 1990 di
Kuala Lumpur.104
Kesepakatan ini merupakan salah satu bentuk kesadaran dan
kepedulian negara-negara ASEAN akan pentingnya mengelola lingkungan serta
adanya pembangunan berkelanjutan demi kesejahteraan masyarakat ASEAN
sekarang dan dimasa yang akan datang.
Selain itu, terdapat pertemuan pada 27-28 Januari 1992 yaitu Singapore
Resolution on Environment and Development.105
Pertemuan ini membahas
mengenai upaya dalam pembangunan berkelanjutan serta penanganan bencana
alam kebakaran hutan khususnya masalah polusi asap lintas batas.
ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution terjadi pada 21
Oktober 1994.106
Pertemuan ini berlangsung bersamaan dengan Pertemuan
Informal Menteri Lingkungan ASEAN di Kuching Sarawak. Pertemuan ini
104
Kementerian Luar Negeri, “ASEAN Selayang Pandang”, Jakarta, 2010, tersedia di
(http://www.deplu.go.id/download/asean-selayangpandang.pdf); diunduh pada 3 September 2016 105
Raisa Rafina, “Kerjasama Negara ASEAN Dalam Pengendalian Pencemaran Udara
Lintas Batas Negara Dilihat Dari Hukum Internasional”, tersedia di
(http://download.portalgaruda.org/article.php?article=110795&val=4131) diakses pada 5
September 2016 106
Ibid
46
membahas perlu adanya usaha dan kerjasama regional yang lebih kuat dan serius
dalam mengani masalah-masalah mengenai lingkungan.
Selanjutnya, pada tahun 1997 kebakaran hutan dan/ lahan besar telah terjadi
di Indonesia dan mengakibatkan pencemaran asap lintas batas ke beberapa negara
tetangga ASEAN. Hal ini mendorong masalah kebakaran tersebut sebagai salah
satu agenda pembahasan pada Pertemuan Tingkat Tinggi Informal ASEAN II di
Kuala Lumpur tahun 1997. Pada pertemuan ini telah menghasilkan Hanoi Plan of
Action 1997 yang berfokus serta mencakupi upaya mengatasi masalah
pencemaran asap lintas batas sebagai akibat kebakaran hutan dan/atau lahan.107
Pada tahun 1999 kepala negara anggota ASEAN menyepakati sebuah
kerjasama yang dikenal dengan Strategic Plan Of Action on Environment 1999-
2004 (SPAE 1999-2004). Tujuan dari kerjasama ini adalah untuk mennanggulangi
polusi kabut asap lintas batas negara sebagai dampak dari kebakaran hutan yang
terjaadi di wilayah Asia Tenggara.108
ASEAN telah mengidentifikasikan 12 bidang kerjasama yang akan menjadi
prioritas dalam pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan di kawasan,
yaitu:109
a. Memperkuat kapasitas nasional dan kerjasama regional dalam
menindaklanjuti kesepakatan-kesepakatan di bidang lingkungan , yang
107
Komisi VII DPR-RI Bahas RUU Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Polution Dengan KLH tersedia pada http://www.menlh.go.id/komisi-vii-dpr-ri-bahas-ruu-
pengesahan-asean-agreement-on-transboundary-haze-polution/ diakses pada 25 Agustus 2016 108
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,
Peningkatan Kerjasama ASEAN di idang Pertukaran Informasi dalam Upaya Penaggulangan
Masalah Kabut Asap, Jakarta, 2004, hal. 3 109
Kementerian Luar Negeri, “ASEAN Selayang Pandang”, Jakarta, 2010, tersedia di
(http://www.deplu.go.id/download/asean-selayangpandang.pdf); diunduh pada 3 September 2016
47
dicapai pada tingkat global seperti isu perubahan iklim (climate
change) serta penanganan produk kimia dan limbah kimia.
b. Memperkuat kerjasama dalam penanganan polusi asap lintas batas
c. Meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti pentingnya lingkungan.
d. Mempromosikan pemanfaatan teknnologi yang ramah lingkungan
e. Memperbaiki pengelolaan lingkungan perkotaan sekaligus
memperkuat good governance di kawasan perkotaan
f. Memperkuat upaya pengawasan, pelaporan serta harmonisasi kegiatan
antar sektor sehingga pembangunan dapat dilaksanakan secara
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan
g. Meningkatkan pengelolaan kawasan pantai yang ramah lingkungan
(coastal and marine environment)
h. Memperkuat konservasi alam dan keanekaragaman hayati
i. Mempromosikan tersedianya sumber air bersih bagi semua penduduk
j. Memperkuat kegiatan pertanian dan pemanfaatan lahan secara ramah
lingkungan
k. Mempromosikan pengelolaan hutan secara lestari dan melakukan
harmonisasi antara kebijakan ekonomi, sosial, dan lingkungan
l. Memperkuat kerjasama dalam pemanfaatan sumber daya mineral
secara lestari
48
Salah satu kerjasama bidang lingkungan yang menjadi prioritas ASEAN
adalah memaksimalkan upaya bersama dalam penanganan polusi kabut asap lintas
batas. 110
Maka dibentuklah perjanjian AATHP yang diadakan bersamaan dengan
ASEAN Ministerial Meeting on Haze (AMMH) dan World Coference and
Exhibition on Land Forest Fire Hazzard di Kuala lumpur. Perjajian ini
ditandatangani pada Juni 2002 dan mulai resmi berlaku pada 25 November
2003.111
Perjanjian AATHP merupakan persetujuan ASEAN mengenai Pencemaran
Asap Lintas Batas. Negara anggota ASEAN menilai pembuatan AATHP sebagai
bentuk komitmen bersama dalam mewujudkan misi ASEAN. Hal ini terlihat dari
tujuan dibentuknya AATHP yaitu untuk mencegah dan menanggulangi
pencemaran asap lintas batas akibat kebakaran hutan dan/atau lahan yang harus
dilaksanakan melalui upaya nasional, regional, dan internasional secara intensif.112
B. Proses Pelaksanaan Perjanjian AATHP
AATHP merupakan perjanjian yang mengatur mengenai penanggulangan
pencemaran kabut asap lintas batas yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan
lahan yang berada di kawasan Asia Tenggara. Perjanjian ini dilatarbelakangi oleh
adanya kebakaran hutan besar yang melanda Indonesia pada tahun 1997 yang
110
Md Saidul Islam and Yap Hui Pei, “Transboundary Haze Pollution in Southeast Asia:
Sustainability through Plural Environmental Governance.” Journal Sustainability 2016, hal 2 111
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,
Peningkatan Kerjasama ASEAN di bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Penaggulangan
Masalah Kabut Asap ( Jakarta: kementerian luar negeri RI, 2004) hal 5 112
Komisi VII DPR-RI Bahas RUU Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Polution Dengan KLH tersedia pada http://www.menlh.go.id/komisi-vii-dpr-ri-bahas-ruu-
pengesahan-asean-agreement-on-transboundary-haze-polution/ diakses pada 25 Agustus 2016.
49
asapnya berdampak sampai negara-negara tetangga seperti Singapura dan
Malaysia.
Penanggulangan tersebut dilakukan melalui kerjasama antar negara-negara
anggota ASEAN. Perjanjian mengenai kabut asap lintas batas ini berlaku untuk
setiap negara yang telah meratifikasi dan menandatangani perjanjian tersebut.
Selain iu, perjanjian AATHP memberikan sanksi hukum tanpa mengikat salah
satu negara.
Perjanjian AATHP ditanda tangani di Kuala lumpur Malaysia pada Juni
2002 bersamaan dengan ASEAN Ministerial Meeting on Haze (AMMH) dan
World Conference and Exhibition on Land and Forest Fire Hazzards.113
Perjanjian AATHP terdiri atas 32 (tiga puluh dua) Pasal dan 1 (satu) lampiran.114
Materi pokok Persetujuan ASEAN antara lain mengatur mengenai pemantauan,
penilaian, pencegahan, kesiapsiagaan, tangap darurat nasional dan bersama, kerja
sama teknis dan penelitian ilmiah terkait dengan pengendalian kebakaran lahan
dan/atau hutan termasuk pemadaman kebakaran.115
Perjanjian ini telah resmi berlaku sejak 25 November 2003 dan telah
diratifikasi oleh 8 negara yaitu Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia,
Myanmar, Singapura, Thailand dan Vietnam. Selanjutnya, di tahun 2010 Filipina
menyusul sebagai negara kesembilan yang telah meratifikasi perjanjian tersebut.
113
Direktorat Jendral Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia,
peningkatan Kerjasama ASEAN di bidang pertukaran informasi dan upaya penanggulangan
masalah kabut asap, Jakarta 2004 hal.3 114
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 115
David B Jerger, “Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement on
Transboundary Haze Pollution,” Sustainable Development Law & Policy Vol 14 no.1 (2014), hal
37-41
50
Dalam perjanjian ini hingga tahun 2013 Indonesia hanya menandatangani dan
belum meratifikasi perjanjian AATHP. Persetujuan dari pihak Indonesia diwakili
oleh Deputi Bidang Pelestarian Lingkungan Kantor Menteri Negara Lingkungan
Hidup.116
Berikut tabel III.1 yang menjelaskan urutan negara-negara yang
meratifikasi perjanjian AATHP.
Tabel III.1 Negara yang Telah Meratifikasi AATHP
Member Country Date of
Ratification/Approval
Date of Deposit of
Instrument of
Ratification/Approval with
the Secretary-General of
ASEAN
Malaysia 3 Desember 2002 18 Februari 2003
Singapura 13 Januari 2003 14 Januari 2003
Brunei Darussalam 27 Februari 2003 23 April 2003
Myanmar 5 Maret 2003 17 Maret 2003
Vietnam 24 Maret 2003 29 May 2003
Thailand 10 September 2003 26 September 2003
Laos 19 Desember 2004
13 Juli 2005
Kamboja 24 April 2006 9 November 2006
Filipina 1 Februari 2010 4 Maret 2010
Indonesia 14 Oktober 2014 20 Januari 2015
Sumber:Haze Online. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 2010
pada: http://haze.asean.org/asean-agreement-on-transboundary-haze-pollution-2/
diakses pada tanggal 23 Juni 2016
Kemudian dengan ditanda tanganinya AATHP oleh hampir seluruh negara-
negara ASEAN maka dibentuklah ASEAN Coordinating Center for
Transboundary Haze Pollution Control (ACC) yang berfungsi
mengkoordinasikan kerjasama penanggulangan polusi asap lintas batas. Dalam hal
116
Proses Ratifikasi ASEAN Agreement On Transboundary Haze Pollution atau
Persetujuan ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas, 2009 dalam siaran pers: persetuuan
asean tentang pencemaran asap lintas batas, kementerian lingkungan hidup republik Indonesia
51
ini, Indonesia terpilih untuk menjadi tuan rumah untuk lokasi ACC. Pada Oktober
2006 atas pemerintah Indonesia berinisiatif untuk menyelenggarakan pertemuan
khusus negara anggota ASEAN guna menyelesaikan permasalahan polusi kabut
asap lintas batas yang selama ini telah membawa dampak sosial dan ekonomi
yang cukup besar bagi masyarakat. Aksi melibatkan tiga unsur yang berperan
dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan, yaitu Pemerintah,
petani/peladang, masyarakat, serta pelaku bisnis. (perkebunan, HTI/HPH).117
Selanjutnya, untuk membahas perjanjian kabut asap tersebut diadakanlah
suatu pertemuan tingkat menteri bagi negara-negara ASEAN yang disebut
Meeting Conference Of the Parties (COP) to the ASEAN Agreement On
Transboundary Haze Pollution (AATHP).118
COP ini dibentuk pada tahun 2003
oleh negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut yang bertujuan
untuk lebih memfokuskan dan menyusun kerangka kerja dan agenda dari
perjanjian kabut asap yang telah dibuat.119
Salah satu kerjasama bidang
lingkungan yang menjadi prioritas ASEAN adalah memaksimalkan upaya
bersama dalam penanganan pencemaran kabut asap lintas batas karena adanya
kebakaran hutan dan lahan di kawasan Asia Tenggara.120
117
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 118
Paruedee Nguitragool, “Negotiating the Haze Treaty Rationality and Institutions in the
Negotiations for the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (2002),University of
California Press: Asian Survey Vol 51 No. 2, Maret-April 2011, hal 369 119
Ibid 120
Ananta Gondomono, “ Satu Asia Tenggara dan Agenda Keamanan Lingkungan” Centre
For Strategic and International Studies Jakarta (CSIS) hal 65-66
52
Tabel III.2 Pertemuan Conference of Parties (COP)
COP TANGGAL
PERTEMUAN
LOKASI
PERTEMUAN
COP-1 11 November 2004 Ha Noi, Vietnam
COP-2 1 Maret 2007 Bandar Seri Begawan,
Brunei Darussalam
COP-3 5 September 2007 Bangkok, Thailand
COP-4 8 Oktober 2008 Ha Noi, Vietnam
COP-5 29 Oktober 2009 Singapura
COP-6 13 Oktober 2010 Brunei Darussalam
COP-7 16-18 Oktober 2011 Pnhom Penh, Kamboja
COP-8 26 September 2012 Bangkok, Thailand
COP-9 25 September 2013 Surabaya, Indonesia
COP-10 30-31 September 2014 Vientine, Laos
Sumber: http//www.asean.org
Seperti yang ditunjukkan pada Tabel III.2, Pertemuan COP diadakan sekali
dalam setahun. Pertemuan COP telah berlangsung 10 kali dan pertemuan terakhir
diadakan pada 30 September 2014 di Vientine, Laos.121
Sebelum meratifikasi perjanjian ini Indonesia selalu diundang dan datang
sebagai observer. Sebagai observer Indonesia juga mendapatkan keuntungan dari
beberapa program dan kegiatan terkait pelaksanaan dalam penerapan AATHP
121
Kementerian Luar Negeri RI, “Diplomasi Indonesia 2014” Direktorat Jenderal Informasi
dan Diplomasi Publik, September 2015.
53
seperti;122 Kerjasama dengan Singapura dan Malaysia tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan serta Mitigasi Pencemaran Asap Lintas Batas yag
terjadi di Provinsi Jambi dan Riau. Serta kerjasama regional untuk pengelolaan
lahan gambut berkelanjutan di Provinsi Riau dan Kalimantan Barat.
C. Sikap Indonesia Terhadap AATHP Tahun 2003-2013
Indonesia belum meratifikasi perjanjian AATHP hingga tahun 2013.123
Lambatnya respon Indonesia untuk meratifikasi ini bertentangan dengan
kebijakan regional yaitu adanya keinginan utama ASEAN untuk menjadikan
kawasan yang bersih dan hijau, dengan mengacu kepada pembangunan
berkelanjutan, ramah lingkungan serta melakukan sumber daya alam secara
lestari.124
Negara-negara ASEAN bersatu untuk menekan Indonesia agar segera
meratifikasi AATHP.
Proses ratifikasi AATHP tidak melalui keputusan presiden namun melalui
Undang-Undang yang disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat RI melalui sidang
paripurna.125
Kementerian Lingkungan Hidup berupaya untuk memprakarsai
proses ratifikasi AATHP dibantu oleh Kementerian Luar Negeri.126
RUU tentang
Pengesahan AATHP telah diajukan Pemerintah untuk dibahas di DPR melalui
122
Kementerian Lingkungan Hidup RI, “Komisi VII DPR RI Bahas RUU Pengesahan
AATHP”, tersedia pada http://www.menlh.go.id/komisi-vii-dpr-ri-bahas-ruu-pengesahan-asean-
agreement-on-transboundary-haze-polution/ diakses 10 September 2016. 123
Daniel Heilmann, “ After Indonesia’s Ratification: The ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution and Its Effectiveness As a Regional Environmental Governance
Tool,” Journal of Current Southeast Asian Affairs 3, 2015, hal 96 124
Kementerian Luar Negeri, “ASEAN Selayang Pandang”, Jakarta, 2010, tersedia di
(http://www.deplu.go.id/download/asean-selayangpandang.pdf); diunduh pada 3 September 2016 125
Sekretariat Jenderal DPR RI dan UNDP, “Laporan Lima Tahun DPR RI 2004-2009:
Mengemban Amanat dan Aspirasi Rakyat,” Oktober 2009 126
Proses Ratifikasi Asean Agreement On Transboundary Haze Pollutio atau Persetujuan
ASEAN Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas, 2009 dalam siaran pers: persetuuan asean
tentang pencemaran asap lintas batas, kementerian lingkungan hidup republik Indonesia
54
surat Presiden (Ampres) Nomor R-96/Pres/10/2005 tanggal 31 Oktober 2005 dan
mulai dibahas bersama Pemerintah pada Mei 2006. Namun, pada masa itu RUU
tentang Pengesahan AATHP belum dapat diselesaikan oleh DPR RI periode 2004-
2009 sehingga DPR mengembalikan naskah RUU Pengesahan AATHP tersebut
kepada Pemerintah pada tanggal 12 November 2009 dengan catatan Pemerintah
diminta untuk mengevaluasi kembali naskah RUU AATHP untuk kemudian
disampaikan kembali untuk dibahas dengan DPR.127
Terdapat beberapa alasan DPR RI dalam menunda ratitifakasi perjanjian
AATHP seperti:128
Pertama, Indonesia menganggap bahwa bencana ini
merupakan permasalahan nasional dan merasa mampu untuk mengatasi
permasalahan kebakaran hutan dan lahan ini. Sehingga, tidak dibutuhkan adanya
campur tangan dari negara-negara lain bahkan kerjasama regional negara
ASEAN.129
Kedua, belum ada regulasi serta peraturan yang jelas mengenai tata cara
bahkan keuntungan yang akan didapat apabila Indonesia meratifikasi perjanjian
tersebut.130
Ketiga, Pemerintah merasa masih lemahnya koordinasi lintas sektoral dalam
pemerintah sehingga belum siap dengan impikasi kebijakan jika kesepakatan
127
Kementerian Lingkungan Hidup RI, “Komisi VII DPR RI Bahas RUU Pengesahan
AATHP”, tersedia pada http://www.menlh.go.id/komisi-vii-dpr-ri-bahas-ruu-pengesahan-asean-
agreement-on-transboundary-haze-polution/ ; diakses pada 10 September 2016 128
Koran Tempo: DPR Tunda Ratifikasi Perjanjian AATHP edisi 15 Oktober 2006 129
David B. Jerger, “ Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement on
Transboudary Haze Pollution,”Sustainable Development Law & Policy Vol 14 Issue 1, hal 36 130
David B. Jerger, “ Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement on
Transboudary Haze Pollution,” hal 37
55
tersebut diratifikasi. Setelah ratifikasi tentu harus dibentuk beberapa peraturan
baru dan law enforcement.131
Keempat, Dewan Perwakilan Rakyat ingin mendalami lebih jauh
kesepakatan tersebut agar ada kesiapan terlebih dahulu. Seperti dengan
mengadakan sosialisasi terhadap masyarakat khususnya di wilayah yang rawan
terjadi kebakaran.
Kelima, penundaan ratifikasi ini juga dijadikan sebagai alat tawar
(bergaining tools) Indonesia bagi negara-negara ASEAN lain.132
Pemerintah
Indonesia beranggapan bahwa terdapat permasalahan mengenai illegal fishing,
illegal logging, penambangna pasir illegal, dan dumping limbah beracun yang
dilakukan oleh negara-negara ASEAN lainnya juga perlu mendapatkan perhatian
khusus dan dibuatkan kesepakatannya.133
Hal ini dikarenakan Indonesia sangat
dirugikan dengan adanya permasalahan serta aktivitas illegal tersebut.
Keenam, adanya perubahan legislasi. Pada kebijakan sebelumya proses
ratifikasi perjanjian internasional hanya pada persetujuan komisi I. Namun, saat
ini proses pengesahan dan persetujuan perjanjian Internasional diedarkan ke
semua komisi. Hal ini pula yang menjadikan proses ratifikasi perjanjian tersebut
semakin panjang dan lama. Alasan-alasan yang telah disebutkan diatas menjadi
pertimbangan oleh DPR RI dalam menunda ratifikasi perjanjian AATHP.
131
The Habibie Center, “Ensuring the ASEAN Agreement on Transboundary Haze’s
(AATHP) Effectiveness: A Case Study of Riau Province’s Haze Summary,”ASEAN Studies
Program Vol 2 Issue 4, April 2015, hal 5 132
Apichai Sunichindah, “Transboundary Haze Pollution Problem in Southeast Asia:
Reframing ASEAN’s Response” ERIA Discussion Paper Series 2015, hal 4-7 133
Euston Quah dan Helena Varkkey, “The Political Economy of Transboundary Pollution:
Mitigation Forest Fires and Haze in Southeast Asia” diakses melalui
https://umexpert.um.edu.my/file/publication/00009140_102526.pdf pada 3 Maret 2017
56
Hingga pada 16 September 2014 dalam sidang paripurna DPR RI seluruh
fraksi di DPR meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution tersebut.134
Dibutuhkan waktu selama 12 oleh DPR RI untuk menyetujui
dan meratifikasi perjanjian AATHP.135
Ratifikasi ini disambut baik oleh seluruh
negara-negara ASEAN karena pada akhirnya Indonesia menjadi negara terakhir
yang meratifikasi perjanjian AATHP . Dengan diratifikasinya perjanjian tersebut
Indonesia telah menjadi anggota tetap yang memiliki hak suara. Sehingga
Indonesia dapat memiliki peran penting dan turut aktif dalam pengambilan
keputusan terkait pengendalian kebakaran lahan dan hutan di ASEAN. Hal ini
menunjukan adanya perubahan sikap indonesia terhadap perjanjian tersebut. Oleh
karena itu penelitian ini akan membahas mengenai faktor-faktor yang mendorong
Indonesia dalam meratifikasi AATHP di tahun 2014.
134
Daniel Heilman, “ After Indonesia’s Ratifications: The asean Agreement on
Transboundary Haze Pollution and Its Effectiveness As a Regional Environmental Governance
Tool,” Journal of Current Southeast Asian Affairs, Vol 34 No.3, hal 96 135
Kementerian Lingkungan Hidup RI, “Indonesia Meratifikasi Undang-Undang Tentang
Pengesahan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang
Pencemaran Asap Lintas Batas)”, Jakarta 16 September 2014, diakses dari http://www.menlh.go.id
diakses 10 September 2016, pukul 15.45 WIB
57
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MENDORONG INDONESIA DALAM
MERATIFIKASI AATHP TAHUN 2014
Bab ini memaparkan analisa mengenai faktor-faktor apa yamg mendorong
Indonesia dalam meratifikasi perjanjian ASEAN mengenai kabut asap lintas batas
yaitu ASEAN Agreement on Trasnboundary Haze Pollution yang diratifikasi pada
16 September 2014. Setelah menunda selama 12 tahun dalam meratifikasi.
Analisa skripsi ini akan berfokus pada faktor internal dan faktor eksternal
Indonesia dalam menyepakati AATHP. Analisa tersebut akan dilihat melalui
kepentingan nasional, kebijakan luar negeri serta kerjasama internasional.
A. Faktor Internal
Indonesia dalam melakukan ratifikasi AATHP pada 2014 tentu memiliki
kepentingan nasional yang ingin dicapainya. Kepentingan nasional tersebut
menjadi salah satu faktor internal dalam melakukan kebijakan luar negerinya.
Menurut AA. Perwita bahwa kepentingan nasional merupakan tujuan fundamental
dan faktor penentu akhir yang mengarahkan para pembuat keputusan dari suatu
negara dalam merumuskan kebijakan luar negerinya. Sedangkan menurut
Morghentau, kepentingan nasional setiap negara adalah mengejar kekuasaan,
yaitu apa saja yang bisa membentuk dan mempertahankan pengendalian suatu
negara atas negara lain. Hubungan antar kekuasaan dan pengendalian ini dapat
diciptakan melalui teknik-teknik paksaan maupun kerjasama.
58
Dalam hal ini Indonesia berusaha untuk mencapai dan mempertahankan
kepentingan nasionalnya dengan memilih untuk meratifikasi perjanjian AATHP
dan bekerjasama dengan negara-negara ASEAN dalam menangani permasalahan
kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia yang berdampak pada pecemaran kabut
asap lintas batas di kawasan tersebut.
A.1 Persetujuan Ratifikasi oleh Dewan Legislatif
Pada negara demokratis seperti Indonesia, lembaga legislatif yang dalam hal
ini adalah DPR RI memiliki peran yang besar dalam membuat serta menentukan
suatu kebijakan. Hal ini dikarenakan adanya kewenangan yang cukup luas yang
dimiliki oleh dewan legislatif seperti membuat undang-undang dan mengawasi
dewan eksekutif. Selain itu, dukungan dari dewan legislatif juga sangat diperlukan
oleh dewan eksekutif karena suatu kebijakan akan lebih mudah
diimplementasikannya apabila kebijakan tersebut telah disetujui oleh dewan
legislatif.
Menurut Boer Mauna, dalam pembuatan perjanjian biasanya melewati
beberapa tahapan yaitu perundingan (negotiation), penandatanganan (signature)
dan pengesahan (ratification).136
Hal ini berkaitan dengan UU No. 24 Tahun 2000
pasal 10 mengenai Perjanjian Internasional, dimana salah satunya perjanjian yang
berkaitan dengan lingkungan hidup memerlukan pengesahan (ratifikasi) oleh DPR
RI. Adanya beberapa kali perundingan dalam proses ratifikasi AATHP
menunjukan bahwa proses dalam perundingan untuk menentukan kepentingan
nasional tidaklah mudah. Butuh hampir 12 tahun di lewati Indonesia dalam upaya
136
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Diamika Global (Bandung: Alumni 2000) hal 83
59
melakukan perundingan yang dilakukan oleh DPR RI yang dibantu oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Luar Negeri.
Setelah disepakati dan ditanda tangannya perjanjian AATHP oleh seluruh
negara ASEAN, proses selanjutya adalah proses ratifikasi oleh masing-masing
parlemen. Perjanjian ini awalnya mendapatkan hambatan dar pihak parlemen
Indonesia (DPR RI). DPR RI khususnya komisi I keberatan dengan isi perjanjian
AATHP sehingga menunda proses ratifikasi perjanjian AATHP.
Penolakan ratifikasi perjanjian AATHP oleh sebagian besar anggota komisi
I DPR RI adalah menyangkut regulasi serta peraturan yang belum jelas mengenai
tata cara pelaksanaan perjanjian tersebut. Dengan adanya ketidakjelasan secara
terperinci dalam isi perjanjian AATHP maka dikhawatirkan kerjasama dalam
perjanjian ini akan menimbulkan masalah di kemudian hari atau bahkan kerugian
bagi Indonesia sendiri.137
DPR menilai perjanjian ini merupakan soft law,
sehingga dengan legalisasi yang lemah tersebut proses implementasi perjanjian
kedepannya tidak akan efektif.
Selain itu, dalam proses perundingannya terdapat beberapa permasalahan
yang menjadi alot untuk dinegosiasi. Proses ratifikasi ini terhambat oleh faktor
politik, penundaan ratifikasi ini dijadikan sebagai alat tawar (bergaining tools)
bagi negara-negara lain.138
Bahwa dalam hal ini DPR RI meminta perjanjian
mengenai persoalan kabut asap ini dikaitkan dengan permasalahan lingkungan
137 Teddy Prasetiawan, “ Implikasi Ratifikasi AATHP Terhadap Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Lahan di Indonesia”, Info Singkat, Pusat Pengkajian, Pegolahan Data dan Informasi
(P3DI), Vol. VI, No. 19/P3DI/ Oktober 2014, hal 11 diunduh melalui
http://berkas.dpr.go.id/puslit/files/info_singkat/Info%20Singkat-VI-19-I-P3DI-Oktober-2014-
54.pdf pada 30 Maret 2017 138
Apichai Sunichindah, “Transboundary Haze Pollution Problem in Southeast Asia:
Reframing ASEAN’s Response” ERIA Discussion Paper Series 2015, hal 4-7
60
yang lain seperti pemberantasan kayu illegal (illegal timber trade) dan
pengiriman limbah beracun yang sampai saat ini belum ditangani serius oleh
ASEAN karena belum ada kesepatan dan perhatian khusus terkait masalah
tersebut.139
Isu ini dinilai memiliki kaitan erat dengan kebakaran hutan dan lahan
di Indonesia. Kemudian DPR juga menilai bahwa permasalahan ini merupakan
permasalahan nasional sehingga tidak memerlukan bantuan ataupun campur
tangan dari negara lain.
Dengan mempertimbangkan manfaat yang diperoleh Indonesia melalui
ratifikasi AATHP maka pada akhir periode DPR RI 2009-2014 melalui sidang
paripurna DPR pada tanggal 16 September 2014 akhirnya AATHP resmi
diratifikiasi menjadi undang-undang. Hal ini dipengaruhi oleh pertimbangan
manfaat yang didapatkan seperti: a. Indonesia dapat memanfaatkan sumber daya
manusia dan dana yang disediakan dalam kesepakatan ini. Pencemaran udara
lintas batas dianggap sebagai masalah bersama oleh para anggota ASEAN. Bagi
Indonesia tentunya menguntungkan mengingat keterbatasan dan ketidakmampuan
untuk menyelesaikan sendiri; b. Dari sisi pertanggungjawaban negara atau
liability, Indonesia akan terhindar dari potensi dimintai ganti rugi oleh negara
tetangga; c. Indonesia akan memiliki anggaran yang berasal dari berbagai sumber
yang dapat digunakan untuk mengatasi kebakaran hutan. Sebenernya, taanpa
meratifikasi Indonesia akan mengeluarkan dana untuk mengatasi kebakaran hutan
dan lahan yang terjadi namun dengan meratifikasi AATHP maka dana yang
terkumpul akan semakin besar.
139
Teddy Prasetiawan, “ Implikasi Ratifikasi AATHP Terhadap Pengendalian Kebakaran
Hutan dan Lahan di Indonesia”, Info Singkat, Pusat Pengkajian, Pegolahan Data dan Informasi
(P3DI), Vol. VI, No. 19/P3DI/ Oktober 2014, hal 11-12
61
Kemudian DPR juga menilai walaupun pada AATHP dinyatakan bahwa
permasalahan kabut asap lintas batas adalah tanggung jawab bersama dan harus
diselesaikan dengan kerjasama diantara negara-negara ASEAN. Namun dalam hal
ini AATHP tidak melupakan prinsip non interference ASEAN.140
Hal ini terlihat
dari Pasal 4 ayat 3 pada AATHP yang menegaskan Para pihak wajib mengambil
tindakan legislatif, admministratif ataupun tindakan lain utuk mencegah dan
mengendalikan kebakaran hutan dan lahan, dimana tindakan tersebut merupakan
urusan dalam negeri dan merupakan kewenangan negara.141
Pasal ini menunjukan
adanya bentuk penghormatan terhadap kedaulatan negara. Sehingga, kewenangan
mekanisme nasional dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan
lahan dinilai tepat dan menguntungkan Indonesia. Karena dalam hal ini Indonesia
yang mengalami paling banyak kerugian pada permasalahan ini.
Pengesahan UU tentang AATHP oleh DPR merupakan langkah maju bagi
Indonesia yang secara langsung mengakui dan menunjukkan keseriusan dalam
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. Permasalahan asap yang selama ini
memojokkan Indonesia sebagai negara pencemar (source state) sebagian
tanggung jawabnya akan menjadi tanggung jawab bersama negara-negara
ASEAN
140
Sidiq Ahmadi, “ Prinsip Non Interference ASEAN dan Problem Efektivitas ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution” Jurnal HI, Vol 1 No.2 (Oktober 2012)
141 ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
62
A.2 Opini Publik:
Menurut Frazier Moore, opini publik adalah ungkapan keyakinan yang
menjadi pegangan bersama diantara para anggota sebuah kelompok atau publik
mengenai suatu masalah kontroversial yang menyangkut kepentingan umum.
Opini publik memiliki pengaruh yang cukup besar dalam pembentukan suatu
kebijakan di negara demokrasi.142
Hal ini dikarenakan pemerintahnya dipilih langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum sehingga secara tidak langsung terdapat pengaruh yang berasal
dari opini publik terhadap kebijakan yang dibuat melalui pemimpin yang
dipilihnya. Meskipun opini publik tidak memiliki pengaruh langsung terhadap
proses dalam pembentukan kebijakan. Warga negara harus berperan aktif akan
memilih pemimpin yang memiliki kebijakan luar negeri yang sesuai dengan
pandangannya. Selain itu, pemerintah juga membutuhkan masukan dari warga
negara karena beberapa alasan: Pertama, para pembuat kebijakan di negara liberal
menilai bahwa opini publik adalah salah satu faktor utama yang harus
dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan luar negeri. Kedua, para pembuat
kebijakan meyakini bahwa suatu kebijakan dapat lebih sukses diterapkan apabila
didukung oleh warga negaranya. Ketiga, para pembuat kebijakan juga arus
berhati-hati dalam membuat kebijakannya karena dapat mempengaruhi suara yang
didapat dalam pemilu yang akan datang jika mereka mengabaikan mayoritas dari
opini publik.
142
Everts P & Isernia P, “ Public opinion and the international use of force” Routledge:
ECPR studies in European political science (2001), hal 65
63
Dalam menanggapi isu permasalahan kabut asap yang terjadi di Indonesia
pada tahun 2014 ratusan mahasiswa dan dosen di Riau melakukan aksi unjuk
rasa.143
Aksi ini bertujuan untuk menuntut Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
untuk segera mengeluarkan kebijakan serta turun tangan langsung dalam
menangani permasalahan kabut asap di Indonesia khususnya di wilayah Riau dan
sekitarnya.
Kemudian aksi yang sama juga dilakukan pada 16 Maret 2014 oleh puluhan
mahasiswa yang tergabung dalam Gerakan Mahasiswa Peduli Asap Riau yang
menggelar aksi unjuk rasa mengenai kabut asap di bundaran Hotel Indonesia,
Jakarta.144
Menurut Gempar Jakarta, persoalan kabut asap yang terjadi merupakan
kesalahan yang berasal dari tata kelola sumber daya alam bukan hanya sekedar
bencana alam. Selain itu, Aksi ini menuntut pemerintah agar mencabut izin
perusahaan yang melakukan pembakaran, mempercepat proses penanganan kabut
asap di Riau dan melakukan tindakan hukum secara tegas terhadap pelaku
pembakaran lahan hutan yang telah mengakibatkan kabut asap.145
Bencana kabut asap lintas batas juga mendapatkan respon dari banyak
lapisan masyarakat. Tidak hanya yang berasal dari daerah-daerah yang terkena
dampak asap, masyarakat di Jakarta juga turut andil dalam menyuarakan
keprihatinan mereka terkait masalah ini. Seperti yang dilakukan para jurnalis yang
143
Kabut Asap Riau, demo menuntut SBY turun tangan, diakses melalui
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/03/140314_kabut_asap_riau_presiden_turun
_tangan pada 8 Februari 2017 144
Mahasiswa Riau Sebut Kabut Asap Bukan Bencana, tapi Praktek Kejahatan, diakses
melalui http://kabar24.bisnis.com/read/20140316/78/211077/mahasiswa-riau-sebut-kabut-asap-
bukan-bencana-tapi-praktek-kejatahan pada 8 Februari 2017 145
Puluhan Mahasiswa peduli Riau gelar demo kabt asap di HI, diakses melalui
https://www.merdeka.com/foto/peristiwa/336756/20140316114044-puluhan-mahasiswa-peduli-
riau-gelar-demo-kabut-asap-di-hi-001-dru.html pada 8 Februari 2017
64
tergabung dalam Ikatan Jurnalis Lintas Media yang menuangkan aspirasi melalui
kampanye sosial yang bertema aksi sejuta masker. Kampanye ini dilakukan di
kawasan Bundara Hotel Indonesia pada saat car free day.146
Aksi yang sama juga
dilakukan oleh artis-artis ibukota, mahasiswa, aktivis lingkungan dan organisasi-
organisasi keagamaan sebagai bentuk solidaritas terhadap korban bencana asap
yang bekerjasama dengan Humanitarian Forum Indonesia dalam memenuhi
kebutuhan korban yang terkena dampak kabut asap, melalui pemberian masker,
tabung oksigen, obat-obatan hingga penggalangan dana.147
Selanjutnya kritik juga datang dari surat kabar Republika pada halaman
utama Republika edisi 8 Oktober 2015 yang bertemakan krisis asap.148
Pada
halaman depannya menggambarkan seorang anak bersepeda menerjang kabut
asap. Selain itu, tulisan dibuat seperti efek terhalang asap yaitu agak kabur dan
sulit dibaca. Hal ini mendapatkan respon positif dari masyarakat dan sempat
menjadi pertimbangan hangat terutama di media sosial. Dengan adanya kritik ini
masyarakat berharap agar upaya tersebut dapat menggugah para pemimpin negara
agar lebih serius dalam menangani persoalan asap ini.
Selanjutnya, Permasalahan kabut asap yang terjadi di Indonesia juga
mendapatkan desakan dan dukungan dari Lembaga Swadaya Masyarakat dalam
146
Bencana Kabut Asap Dorong Aksi Solidaritas., diakses melalui
http://www.benarnews.org/indonesian/berita/kabut-asap-10152015114340.html pada 9 Februari
2017 147
Ribuan Mahasiswa Protes Kabut Asap, diakses melalui
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151028_indonesia_demoasap 9 Februari
2017 148
Bencana Kabut Asap Dorong Aksi Solidaritas, diakses melalui
http://www.benarnews.org/indonesian/berita/kabut-asap-10152015114340.html pada 9 Februari
2017
65
negeri yang bergerak dibidang lingkungan hidup seperti WALHI dan WWF
Indonesia.
Kedua LSM tersebut mendukung agar pemerintah segera meratifikasi
perjanjian AATHP. Dukungan dari WWF Indonesia ini terlihat dari dari adanya
usaha dalam menjalin dukungan dalam memberikan pemahaman serta interpretasi
pentingnya ratifikasi AATHP melalui kerjasama dengan organisasi non
pemerintah seperti SIIA (Singapore Institute of International Affair) dan CSIS
(Center for Strategic and International Studies) dalam menyelenggarakan Haze
Dialog. Pertemuan ini bertujuan untuk mengidentifikasi kepentingan dalam
mengatasi isu pencemaran asap. Pertemuan ini menghasilkan rekomendasi pada
implementasi dan tata laksana di tingkat nasional dan daerah. Yang selanjutnya
akan dibawa kepada Pemerintah Indonesia dan ASEAN Ministerial Steering
Committee on the Environment.
Selanjutnya, WALHI yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia juga
merupakan salah satu LSM dibidang lingkungan yang berperan dalam mencegah
pencemaran lingkungan termasuk permasalahan kabut asap lintas batas di
Indonesia. Pada permasalahan kabut asap lintas batas ini, WALHI menyetujui
bahwa Indonesia merupakan salah satu pelaku utama yang menyebabkan kabut
asap yang ada di kawasan Asia Tenggara. WALHI juga memandang tiga isu
utama yang timbul di negara penghasil kabut asap lintas batas yaitu149
: 1. Masih
adanya izin yang dikeluarkan untuk membakar lahan; 2. Lemahnya tingkat
149
Melda Kamil Ariadno, “Haze Pollution in Indonesia”, Afe Babalola University: Journal
of Sustainable Development Law and Policy Vol 2 (2013), hal 32 diunduh melalui
http://www.ajol.info/index.php/jsdlp/article/viewFile/122577/112124 pada 2 Februari 2017
66
monitoring di wilayah yang berpotensi kebakaran hutan; 3. Infrastruktur yang
tidak memadai.
Dalam prakteknya, WALHI menuntut para pelaku kerusakan lingkungan
seperti pada perusahaan perkebunan serta mengingatkan dan mengawasi
pemerintah dalam penegakkan hukum yang berkaitan dengan pencemaran
lingkungan yang dalam hal ini adalah kementerian Lingkungan Hidup dan
Kementerian kehutanan.
Selain itu untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan, WALHI juga
melakukan beberapa kampanye mengenai lingkungan seperti pada kampanye
dalam mengehentikan konversi mealui pembukaan lahan dengan cara membakar.
WALHI juga telah bekerjasama dengan pemerintah Jepang melalui JICA ( Japan
International Cooperation Agency) yang telah memberikan bantuan dengan
menyediakan dana kepada Indonesia alam jumlah 500 miliar rupiah untuk
memulihkan kerusakan lingkungan yang terjadi seperti menghapus kebakaran
dengan menggunakan helikopter.150
WALHI sangat menyesalkan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang
terus terulang. Kebakaran yang terus berulang ini membuktikan bahwa Indonesia
memiliki tata kelola kehutanan yang buruk . Banyak Perusahaan yang masih
menggunakan cara tradisional untuk land clearing seperti dengan membakar,
cara ini digunakan karena dianggap praktis dan lebih ekonomis. Padahal sudah
ada aturan yang jelas melarang land clearing dengan cara membakar hutan atau
150
Melda Kamil Ariadno, “Haze Pollution in Indonesia”, Afe Babalola University: Journal
of Sustainable Development Law and Policy Vol 2 (2013), hal 32
67
lahan. Dengan adanya pelanggaran yang masih terjadi, ini menunjukan bahwa
terdapat penegakan hukum yang lemah.
Dengan demikian WALHI dan WWF secara tegas mendesak pemerintah
untuk bertanggung jawab dan segera menangkap para pembakar hutan dan para
pemilik perusahaan yang telah menyebabkan kebakaran hutan yang terjadi di
Indonesia. Kemudian, kedua LSM ini juga mendesak pemerintah Indonesia dalam
meratifikasi Perjanjian mngenai Pencemaran kabut asap lintas batas yaitu
AATHP. Bahkan jika pemerintah tidak meratifikasi, pemerintah harus mencabut
pemberian izin dalam pembakaran lahan.
Terdapat beberapa usaha dari LSM lingkungan terkait dukungan mengenai
raifikasi perjanjian AATHP. yaitu:
1. Tahun 2003, WWF Indonesia menghimbau kepada pemerintah untuk
segera meratifikasi AATHP.151
2. Tahun 2005, WWF Indonesia kembali mendorong Pemerintah untuk
segera meratifikasi AATHP serta memiliki peran dalam implementasi
perjanjian internasional ini.152
3. Tahun 2006, Greenpeace dan WALHI memberikan peringatan kepada
pemerintah Indonesia untuk meratifikasi AATHP.153
151
World Wide Fund for Nature/WWF, WWF Indonesia Himbau Pemerintah untuk
Meratifikasi the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution, diakses melalui
http://www.fire.unifreiburg. de/media/WWF-ASEAN-ind.pdf , pada 14 Desember 2016. 152
WWF Menghimbau Pemerintah Adili Pelaku Pembakaran Lahan dan Hutan”, diakses
melalui http://www.merdeka.com/politik/wwf-menghimbau-pemerintah-adili-pelakupembakaran-
lahan-dan-hutan-ozwljbh.html, pada 14 Desember 2016 153
LSM Minta Pemerintah Hentikan Izin Konversi Lahan Gambut”, diakses melalui
http://www.antaranews.com/berita/39624/lsm-minta-pemerintah-hentikan-izin-konversilahan-
gambut , pada 15 Desember 2016
68
4. Tahun 2008, WWF kembali mendesak Pemerintah Indonesia untuk
mempercepat proses raifikasi AATHP yang dilakukan oleh DPR RI.
Selain adanya usaha yang dilakukan dari WWF dan WALHI tersebut.
WALHI juga mengusulkan beberapa upaya umum untuk memperioritaskan dan
menanggulangi permasalahan kerusakan lingkungan. Pertama, pemerintah harus
tegas dalam mencabut izin pembukaan lahan apabila menemukan kelalaian
petani/perusahaan yang membuka lahan dengan cara membakar hutan. Kedua,
para pelaku harus dihukum baik secara administratif maupun pidana.
Dengan adanya usaha dukungan dan desakan LSM di bidang lingkungan
terkait isu kebakaran hutan dan kabut asap lintas batas, hal ini menjadi salah satu
pertimbangan dan alasan Pemerintah Indonesia meratifikasi perjanjian AATHP.
A.3 Memperbaiki Citra Indonesia terkait Isu Kabut Asap
Kepentingan Indonesia dalam meratifikasi perjanjian AATHP ini tidak
hanya untuk mendapatkan bantuan dari negara-negara ASEAN. Selain itu,
Indonesia juga berkepentingan untuk pemulihan citra negara. Hal ini terkait
dengan konsep kepentingan nasional dari Morghentau, yaitu primary interest
yang dalam hal ini kepentingan negara untuk melindungi identitas negara dan
bertahan dari intervensi negara lain memberikan pengaruh terhadap pembuatan
kebijakan luar negeri.154
154Debbie Affianty, Analisa Politik Luar Negeri (Ciputat: UIN Press, 2015), hal 15-16
69
Indonesia sering dianggap tidak serius dan kurang memiliki kepedulian
terhadap penyelesaian kebakaran hutan dan/atau lahan serta masalah asap lintas
batas karena belum meratifikasi Persetujuan AATHP. Hal ini tentu tidak benar
karena faktanya justru Indonesia merupakan negara yang paling dirugikan dalam
peristiwa kebakaran hutan dan masalah kabut asap lintas batas ini baik kerugian
secara ekonomi, ekologi, maupun politik. Pemerintah Indonesia dalam hal ini
telah berupaya secara serius dalam menyikapi permasalahan ini, salah satunya
dengan meratifikasi perjanjian ASEAN Agreemet on Transboundary Haze
Pollution.
Sebagaimana diketahui Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki
hutan terluas dan menghasilkan kebakaran hutan serta kabut asap lintas batas
terbesar di Asia Tenggara. Apabila perjanjian AATHP dapat direalisasikan dan
diterapkan di Indonesia tentu saja ini dapat membentuk citra yang baik untuk
Indonesia di dalam maupun luar negeri. Sikap ini menunjukan keseriusan dalam
merumuskan agenda pembangunan berkelanjutan di kawasan yang rawan terjadi
kebakaran. Kemudian Indonesia juga memiliki kesempatan untuk menunjukan
sikap leadershipnya kepada negara-negara ASEAN dalam mengani permasalahan
yang ada di kawasan ASEAN termasuk dalam permasalahan kabut asap.
Selanjutnya, Kepentingan Indonesia dalam meratifikasi ASEAN Agreement
on Transboundary Haze Pollution tentu untuk mendapatkan manfaat dan
keuntungan bagi Indonesia. Dalam hal ini kepentingan Indonesia mengesahkan
Persetujuan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution yaitu:
70
1. Mendorong peran aktif Indonesia dalam pengambilan keputusan dengan
negara anggota ASEAN untuk melakukan pemantauan, penilaian dan
tanggap darurat dari kebakaran lahan dan hutan yang mengakibatkan
pencemaran asap lintas batas
2. Melindungi masyarakat Indonesia dari dampak negatif pencemaran asap
lintas batas akibat kebakaran lahan dan hutan yang dapat merugikan
kesehatan dan menurunkan kualitas lingkungan hidup
3. Memperkuat regulasi dan kebijakan nasional terkait pencegahan dan
pengendalian kebakaran lahan dan hutan yang menyebabkan
pencemaran asap lintas batas
4. Memanfaatkan sumber daya manusia dan peralatan yang ada di negara
ASEAN dan di luar negara ASEAN baik melalui Sekretariat maupun
ASEAN Coordinating Centre untuk melakukan pencegahan, mitigasi,
kesiapsiagaan, pemantauan, penanggulangan, dan pengendalian
kebakaran lahan dan hutan yang menyebabkan pencemaran asap lintas
batas.
B. Faktor Eksternal
B.1 Adanya desakan dari negara-negara ASEAN
Menurut Holsti, faktor Kebijakan dan tindakan negara lain (The policies and
actions of other states) dapat menjadi alasan dan mempengaruhi suatu negara
dalam membuat kebijakan. Sebagian besar negara atau pemerintah dari sebuah
71
negara akan merespon tindakan dan kebijakan yang diambil oleh negara lain.155
Hal ini terjadi apabila negara tersebut terkena dampak bagi kepentingan
nasionalnya. Respon ini tidak hanya muncul akibat dari kebijakan luar negeri
suatu negara namun dapat dari kebijakan dalam negeri atau domestik suau negara.
Hal ini berkaitan dengan adanya respon dan desakan negara-negara ASEAN
agar Indonesia meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Pollution tersebut. Beberapa negara tersebut diantaranya adalah Singapura
dan Malaysia. Indonesia mendapatkan protes langsung dari Singapura dan
Malaysia karena dalam hal ini kedua negara tersebut merupakan negara yang
terkena dampak langsung dari kabut asap yang dihasilkan oleh Indonesia.
Pengertian protes dalam hal ini adalah komunikasi formal dari suatu subyek
internasional kepada subyek internasional lainnya yang bertujuan untuk
menyampaikan keberatan terhadap pelanggaran hukum internasional.156
Walaupun protes yang dilakukan oleh Malaysia dan Singapura belum diajukan
secara resmi melalui jalur yuridis namun protes yang dilakukan oleh kedua negara
tersebut dirasa sudah cukup besar melalui paksaan dengan jalur diplomatik.
Selanjutnya kedua negara tersebut juga telah melakukan perundingan atau
negosiasi secara langsung dengan Indonesia. Perundingan ini dilakukan melalui
pertemuan tertutup yang diwakili oleh perwakilan masing-masing negara yang
bersengketa seperti menteri luar negeri, menteri lingkungan hidup, dan para ahli
yang bergerak di bidang lingkungan hidup
155 K.J Holsti, International Politic A framework, A framework for Analysis (New Jersey:
Asimon & Schuster Company, 1992) hal: 271-273 156
Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Diamika Global (Bandung: Alumni, 2000)
72
Kabut asap yang dihasilkan oleh Indonesia ini juga mengakibatkan kedua
negara yaitu Singapura dan Malaysia memberikan suatu tindakan dengan
memberikan pengaruh berupa nota protes, penyangkalan tuduhan dan propaganda
terhadap Indonesia agar segera meratifikasi perjanjian Asean Agreement on
Transboundary Haze Pollution.
Singapura
Indonesia mendapatkan protes oleh Singapura terkait permasalahan kabut
asap. Hal ini ditujukkan melalui pengangkatan isu kabut asap Indonesia dalam
Majelis Umum PBB pada tanggal 20 Oktober 2006 oleh Singapura. Hal ini
disampaikan melalui Perdana Menteri Lee Hsieng Loong.157
Padahal sebelumnya
negara-negara anggota ASEAN telah sepakat untuk mengatasi permasalahan
kabut asap lintas batas ini pada tingkat ASEAN. Diplomat Singapura, Kevin
Cheok juga menyampaikan bahwa kebakaran hutan Indonesia yang terjadi hampir
setiap tahunnya memiliki konsekuensi regional dan global. Maka dari itu
dibutuhkan aksi global untuk menangani permasalahan tersebut. Menurutnya,
tindakan ini diperbolehkan karena sesuai dengan pasal 2 AATHP karena tujuan
AATHP adalah untuk mencegah dan memonitor kabut asap lintas batas melalui
upaya nasional dengan kerjasama regional dan internasional.
Tindakan yang dilakukan Singapura ini mendapatkan protes dari Indonesia
sehingga mengakibatkan adanya hubungan yang kurang harmonis antara
Indonesia dan Singapura. Bentuk protes ini ditujukkan melalui Menteri
157
Singapore Institute of International Affairs.2006.Internationalising the Haze Issue.
Diakses melalui http://www.siiaonline.org pada 13 Maret 2017 pukul 07.15 WIB
73
Perdagangan Indonesia yang memboykot pertemuan Indonesia-Singapura yang
membahas mengenai Special Economic Zone di Batam.
Badan Lingkungan Nasional Singapura (NEA) juga telah memberikan
peringatan Indonesia terkait situasi kabut asap ini. Selain itu, Singapura mendesak
pemerintah Indonesia untuk segera mengambil tindakan untuk mengurangi
penyebaran asap lintas batas ini. Dalam masalah ini Singapura melalui Menteri
Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air Singapura Vivian Balakrishnan pada
pertemuan menteri se-ASEAN yang diselenggarakan pada 26 Sepember 2012 di
Bangkok menyatakan bahwa pihaknya bersedia memberikan bantuan teknis
dengan mengirimkan pesawatnya dan tim untuk memadamkan kebakaran hutan di
Indonesia atau bahkan penyemaian awan.158
Namun, tawaran tersebut tidak
dihiraukan oleh Pemerintah Indonesia karena dalam hal ini Indonesia masih
berupaya sendiri untuk memadamkan api.
Selanjutnya, kekhawatiran dari negara tetangga muncul kembali di tahun
2013 karena kabut asap yang terjadi di tahun ini merupakan permasalahan yang
paling buruk setelah kebakaran hutan di tahun 1997. Hal ini terlihat dari kabut
tebal yang melanda Malaysia yang menutupi udara pada daerah Johor hingga
melebihi kualitas udara normal yaitu PSI 700.
Kemudian, tindakan lebih serius dilakukan oleh Singapura dalam merespon
kabut asap lintas batas di kawasan ASEAN. Pada Agustus 2014 Parlemen
Singapura telah mengesahkan dan memberlakukan sebuah Undang-Undang
mengenai Polusi Asap Lintas Batas (Bill of Trans-boundary Haze Pollution) yang
158
Alan Khee Jin Tan, “The Haze Crisis in Southeast Asia: Assessing Singapore’s
Transboundary Haze Pollution Act 2014.” NUS Law Working Paper ( 2015)
74
memberikan kekuasaan bagi pemerintah Singapura untuk menuntut individu atau
perusahaan di negara tetangga yang menyebarkan polusi udara di Singapura.159
Dalam UU Polusi Asap Lintas Batas ini, pemerintah Singapura juga dapat
memberikan denda sebesar 100 ribu dollar singapura atau senilai 970 juta rupiah
per hari hingga denda maksimal 2 juta dollar Singapura atau senilai dengan 18
miliar rupiah kepada perusahaan lokal atau asing yang menyebarkan asap ke
Singapura.160
Tindakan ini pertama kali diusulkan pada tahun 2013 dimana
terdapat peningkatan jumlah kebakaran hutan di provinsi Riau yang asapnya
menyebar hingga ke Singapura, sehingga meningkatkan jumlah polusi udara di
Singapura.
Malaysia
Selain itu, di Malaysia orientasi kebijakan luar negeri dalam merespon isu
kabut asap diperlukan untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Pada
permasalahan kabut asap di Indonesia kerjasama bilateral dilakukan oleh
pemerintah Indonesia dengan pemerintah Malaysia sejak tahun 1985. Kerjasama
yang dilakukan adalah dengan melakukan patroli diudara dalam mengani kabut
asap serta memberikan peringatan kepada masyarakat untuk tidak beraktivitas di
luar rumah.
Selain itu terdapat beberapa tindakan dari malaysia dalam merespon isu
kabut asap. seperti: melakukan aksi nota protes mengenai kabut asap yang
159
Singapura Kembali Diselimuti Kabut Asap diakses melalui
http://www.cnnindonesia.com/internasional/20140919145808-106-3776/singapura-kembali-
diselimuti-kabut-asap/ pada 12 Maret 2017 pukul 15.40 WIB 160 Bill of Trans-boundary Haze Pollution, diunduh melalui
https://www.parliament.gov.sg/sites/default/files/Transboundary%20Haze%20Pollution%20Bill%
2018-2014.pdf
75
dilakukan oleh masyarakat malaysia yang tegabung dalam Partai Tindakan
Demokrasi (Democratic Action Party/DAP) yang merupakan partai politik
terbesar di Malaysia pada 13 Agustus 2005.161
DAP melakukan demonstrasi di
kedutaan besar Indonesia di Kuala Lumpur. Partai ini menuntut agar Indonesia
dan ASEAN segera menindaklanjuti dan penduduk Malaysia. Tindakan yang
dilakukan oleh DAP ini merupakan salah satu bentuk pendapat sebagian besar
masyarakat Malaysia terkait isu kabut asap yang terjadi di Malaysia.
Selain partai politik diatas, pemerintah Malaysia turut mengeluarkan
tuntutan agar Indonesia segera meratifikasi perjanjian menyelesaikan masalah ini
karena masalah kabut asap ini termasuk ancaman yang besar bagi seluruh ASEAN
terkait pencemaran asap lintas batas. Pemerintah Malaysia juga menyalahkan
pemerintah Indonesia atas kurang ditegakkannya hukum terhadap praktek
pembakaran hutan sehingga meminta Pemerintah Indonesia untuk secepatnya
menangani dan meratifikasi perjanjian AATHP karena telah mengganggu
kesehatan dan pariwisata di Malaysia. Selain itu, Peringatan tegas juga dilakukan
oleh Duta Besar Malaysia untuk Indonesia yang dalam hal ini memberikan
peringatan dan pernyataan kepada pemerintah Indonesia agar kabut asap tidak
terjadi lagi di Malaysia ditahun berikutnya.
161
“Kabut Asap: Rakyat Malaysia Marah” diaksses melalui http://www.suarakarya-
online.com/news.html?id=118116 pada 26 Desember 2016
76
B.2 Bantuan Ekonomi dan Kerjasama Teknis ASEAN
Kepentingan ekonomi merupakan salah satu faktor internal pendorong
dalam pembuatan kebijakan luar negeri suatu negera. Pada kasus ini, Indonesia
menjadikan kepentingan ekonomi sebagai salah satu faktor pendorong Indonesia
dalam meratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Adanya
bantuan ekonomi yang diberikan oleh ASEAN untuk negara-negara yang
menghadapi permasalahan kabut asap, yang dalam hal ini adalah Indonesia.
Kerugian ekonomi yang dialami Indonesia akibat kebakaran hutan
mencapai 15 milyar dollar US.162
Selain itu, Indonesia juga mengalami kerugian
dalam berbagai sektor seperti pertanian, kehutanan, transportasi, perdagangan,
industri, pariwisata serta sektor lainnya.
Pada penelitian ini salah satu prinsip cooperation atau kerjasama pada
lingkup regional ASEAN. Ini berlaku bagi negara-negara ASEAN yang
menghadapi permasalahan kabut asap. salah satu yang dibahas dalam AATHP
adalah masalah mengenai haze fund yang disediakan negara-negara ASEAN
untuk menangani permasalahan kabut asap lintas batas ini.
Untuk membantu pihak yang mengalami permasalahan kabut asap
didirikanlah “Transboundary Haze Pollution Control Fund” yang berfungsi untuk
membantu dalam mengimplementasikan perjanjian AATHP. Dana yang ada
dikelola oleh Sekretariat ASEAN dan diperoleh dari anggota ASEAN serta
berbagai pihak atas dasar sukarela.163
Dana yang terkumpul hingga tahun 2014
162
Luca Tacconi, Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi
Kebijakan, diunduh pada http://www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-038i.pdf 163
David B. Jerger, “Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement on
Transboundary Haze Pollution.”Sustainable Development Law & Policy 14, no. 1 (2014)
77
adalah 240.329 dollar AS.164
Pada perjanjian AATHP tidak dijelaskan bagaimana
aturan dalam mengalokasikan dana tersebut. Dalam hal ini, Sekretariat ASEAN
diberikan kewenangan dalam mengelola dan mengatur pengeluaran agar lebih
efektif dalam proses pelaksanaannya.
Bagi negara berkembang dana ini sangatlah penting dalam membantu
keberhasilan pada perjanjian AATHP ini karena beberapa negara berkembang
seperti Indonesia tidak memiliki anggaran dan pengembangan sumber daya
manusia yang cukup untuk melatih personel serta mendirikan pusat monitoring
untuk mengatasi permasalahan kabut asap lintas batas ini.
Dalam skripsi ini penulis menggunakan konsep kerjasama internasional
yang dikemukakan oleh K.J. Holsti dimana kerjasama terjadi karena adanya
permasalahan nasional, regional, maupun global yang tidak dapat diselesaikan dan
butuh perhatian dan bantuan lebih dari satu negara. Dalam hal ini Indonesia
menyetujui melakukan kerjasama dengan negara-negara ASEAN dalam
menangani permasalahan kebakaran hutan dan kabut asap yang terjadi di
Indonesia. Hal ini tentu melalui pertimbangan politis dan pertimbangan
operasional. Selain itu, kerjasama ini juga didasari atas pelaksanaan komitmen,
semangat kemitraan serta solidaritas negara anggota ASEAN dalam menghadapi
berbagai kendala penenganan asap lintas batas.
Dalam hal ini kerjasama ditunjukan dari adanya bantuan teknis yang
diberikan oleh negara-negara ASEAN sebelum hingga sesudah Indonesia
164
David B. Jerger, “Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s Agreement on
Transboundary Haze Pollution.”Sustainable Development Law & Policy 14, no. 1 (2014) hal 42
78
meratifikasi dan menjadi anggota dari AATHP. Bantuan dan kerjasama teknis
terkait pelaksanaan yang mendukung penerapan AATHP, yaitu:
Sejumlah negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura mengirim
pesawat-pesawat pengangkut air yang berkapasitas besar yang bisa memadamkan
kebakaran hutan di Indonesia yang dikerahkan untuk memadamkan api.165
Kemudian terdapat kerja sama dengan Singapura tentang Pengendalian
Kebakaran Hutan dan Lahan serta Mitigasi Pencemaran Asap Lintas Batas di
Provinsi Jambi, kerja sama dengan Malaysia tentang Pengendalian Kebakaran
Hutan dan/atau Lahan serta Mitigasi Pencemaran Asap Lintas Batas di Provinsi
Riau, kerja sama regional untuk pengelolaan lahan gambut berkelanjutan di Riau
dan Kalimantan Barat.
Selain itu bantuan untuk Indonesia juga diberikan oleh pemerintah Jepang.
dan Rusia. Pemerintah Jepang mengirimkan ahli dari Japan International
Cooperation Agency (JICA) untuk membantu upaya pemadaman kebakaran hutan
dan kabut asap di Indonesia serta memberikan bantuan darurat berupa 100 botol
cairan pemadam api “Miracle Foam a+” yang tiap botolnya berisi 20 liter cairan.
166 Kemudian, Rusia juga mengirimkan dua pesawat amfibi Berier Be-200 untuk
menangani kebakaran hutan di Sumatera.
Dengan Indonesia meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Polution ini maka secara langsung Indonesia akan
165
Terima Bantuan Negara Lain, Bukan Berarti Indonesia Kewalahan Tangani Kebakaran
Hutan diakses malalui http://www.voaindonesia.com/a/terima-bantuan-negara-lain-bukan-berarti-
indonesia-kewalahan-tangani-kebakaran-hutan/3000037.html pada 11 April 2017 pada 07.30 WIB 166
Jepang dorong ASEAN bekerjaasama tangani asap, diakses melalui
http://www.antaranews.com/berita/523901/jepang-dorong-asean-bekerja-sama-tangani-asap pada
11 April 2017 pada 07.40 WIB
79
diuntungkan karena memungkinkan dalam memperoleh bantuan untuk menangani
kabut asap dari negara-negara ASEAN lainnya. Bantuan tersebut dapat berupa
berupa bantuan teknis ataupun dana yang diperoleh dari sumbangan sukarela
melalui “Transboundary Haze Pollution Control Fund”. Sehingga tidak ada lagi
kendala karena kurangnya dana untuk menanggulangi kebakaran hutan yang
menjadikan masalah kabut asap lintas batas. Dengan Indonesia meratifikasi
perjanjian AATHP maka Indonesia akan menjadi pusat kegiatan untuk
penanggulangan kabut asap di ASEAN. Selain itu, penanggulangan kabut asap
yang berasal dari kebakaran tersebut dapat dilaksanakan secara bersama-sama
dengan negara ASEAN lainnya karena secara langsung telah menjadi kewajiban
bersama dalam menjaga lingkungan di kawasan ASEAN.
Setelah meratifikasi perjanjian AATHP pada September 2014, Indonesia
telah berupaya dalam mengatasi kebakaran hutan dengan merealisasikan serta
mengaplikasikan perjanjian tersebut kepada undang-undang dan masyarakat
Indonesia. Upaya yang telah dilakukan Indonesia yaitu: Pertama, melakukan
sosialisasi mengenai ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution
(AATHP) kepada kementerian/lembaga, masyarakat, pengusaha, LSM,
pemerintah daerah dan masyarakat yang berada di daerah rawan kebakaran lahan
atau hutan.
Kedua, melakukan koordinasi antara kementerian, pemerintah daerah serta
masyarakat yang berdasarkan Comprehensive Plan of Action on Transboundary
Haze Pollution seperti: a) pemetaan daerah rawan kebakaran lahan dan hutan, b)
penguatan data dan informasi terkait dengan hot spot, persebaran asap, pemetaan
80
daerah terbakar, fire danger rating system (FDRS), pengembangan SOP dalam
pencegahan dan penaggulangan kebakaran hutan, dan pengelolaan lahan gambut.
c)penguatan dan peningkatan masyarakat peduli api yang dilakukan melalui
sosialisasi yag berupa kegiatan pencegahan dan pelatihan. d) penanggulangan
bencana asap yang terkoordinir dalam rangka tanggap darurat bencana.
Ketiga, memperkuat kelembagaan dan peraturan perundang-undangan
yang mendukung kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning policy)
dan pencegahan serta penaggulangan kebakaran hutan dan lahan serta pencemaran
asap lintas batas.
Keempat, melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap pelaku
pembakaran hutan dan lahan baik individu maupun korporasi yang mengakibatkan
kerusakan lingkungan. Dalam hal ini penegakan hukum berpedoman pada
pemberian sanksi kepada pelaku pembakar lahan/hutan sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan. Pasal 108 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup sanksinya berupa pidana penjara paling singkat 3
tahun dan paling tinggi 10 tahun penjara, serta denda 3 milliar dan paling tinggi
10 milliar. Ketentuan ini sama dengan Pasal 108 UU No. 39 Tahun 2014 tentang
Perkebunan.167
Upaya penegakan hukum terhadap pelaku dan perusahaan pembakar
lahan/hutandibuktikan oleh Kepolisian Republik Indonesia yang mana hingga
September 2015 telah menetapkan 140 tersangka, dimana 7 (tujuh) diantaranya
adalah petinggi perusahaan. Para tersangka diduga telah melakukan pelanggaran 167
Agis Ardhiansyah, “Konsekuensi Hukum Bagi Indonesia Tetang Penngendalian Pencemara Asap Lintas Batas Pasca Ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution”, Jurnal Perspektif, Vol xxi no. 1 (Januari 2016), hal 20
81
ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, dengan ancaman penjara selama kurang lebih 10 tahun dan
denda sebesar 10 milliar rupiah. Selain itu, izin konsesi perusahaan juga akan
dicabut dan dibekukan. 168
Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beserta Kepolisian RI
menyebutkan bahwa ada ratusan kasus kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di
area konsesi perusahaan di Sumatera dan Kalimantan yang ditangani pada tahun
2015. Di Riau terdapat 37 kasus, Sumatera Selatan 16 kasus, Kalimantan Barat 11
kasus dan Kalimantan Tengah 121 kasus.169
Sejak 2002 hingga 2013, sikap Indonesia yang belum meratifikasi AATHP
dianggap sebagai penghambat AATHP ini tidak berjalan secara maksimal. Namun
setelah Indonesia meratifikasi pada 2014, sebagai perjanjian internasional yang
telah diratifikasi oleh negara-negara ASEAN seharusnya hal ini dapat mengikat
negara-negara anggota agar mematuhi ketentuan yang telah disebutkan pada
perjanjian AATHP. Namun perjanjian ini masih juga belum berjalan efektif dalam
menanggulangi permasalahan kabut asap lintas batas di kawasan Asia Tenggara.
Hal ini terlihat dari adanya kebakaran hutan dan lahan besar yang menyebabkan
pencemaran asap lintas batas di tahun 2015 dengan tingkat yang lebih besar
dibandingkan tahun 2013.
168
Marison Guciano, Kebakaran Hutan dan Kejahatan Korporasi,
http://nasional.kompas.com/read/2015/10/03/16191531/Kebakaran.Hutan.dan.Kejahatan.Korporas
i?page=all , diakses pada 11 April 2017 pukul 14.00 WIB 169
Ibid
82
BAB V
KESIMPULAN
Kabut asap di Indonesia dilatarbelakangi oleh adanya kebakaran hutan di
wilayah Indonesia seperti Sumatera dan Kalimantan. Kebakaran hutan ini
mengakibatkan penyebaran asap dan pencemaran lingkungan lintas batas negara.
Pencemaran asap tersebut memiliki dampak negatif yang dapat merugikan
manusia, mencemari lingkungan, dan merusak ekosistem.
Kebakaran lahan daan hutan yang terjadi pada 1997 mengakibatkan
pencemaran asap lintas batas di beberapa negara ASEAN. Hal ini dijadikan
sebagai salah satu agenda pembahasan pada Pertemuan Tingkat Tinggi Informal
ASEAN II di Kuala Lumpur tahun 1997. Setelah melalui serangkaian pembahasan
di tingkat ASEAN, pada tahun 2002 seluruh Negara anggota ASEAN
menyepakati untuk menandatangani ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution (AATHP) di Kuala Lumpur, Malaysia. Persetujuan AATHP mulai
berlaku secara resmi pada tanggal 25 November 2003. Namun Indonesia belum
meratifikasi perjanjian tersebut hingga tahun 2013.
Hingga akhirnya pada 16 September 2014 dalam sidang paripurna DPR RI
seluruh fraksi di DPR meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution tersebut. Dibutuhkan waktu selama 12 tahun oleh
DPR RI untuk menyetujui dan meratifikasi perjanjian AATHP.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong Indonesia dalam meratifikasi
AATHP pada 2014 baik faktor internal maupun faktor eksternal. Faktor Internal
83
Indonesia yaitu: Pertama, adanya keputusan dari dewan legislatif, dalam hal ini
DPR RI. Kedua, adanya opini publik yaitu desakan dari masayarakat Indonesia
yang melakukan aksi unjuk rasa terkait isu kabut asap yang terjadi di Indonesia
dan adanya desakan dari LSM seperti WALHI dan WWF yang meminta secara
tegas agar pemerintah Indonesia bertanggung jawab dan lebih serius dalam
mengatasi permasalahan kebakaran hutan hutan dan kabut asap lintas batas.
Dengan melakukan penegakan hukum secara tegas terhadap para pembakar hutan
dan para pemilik perusahaan yang telah menyebabkan kebakaran hutan yang
terjadi di Indonesia. Ketiga, adanya kepentingan untuk memperbaiki citra
Indonesia terkait isu kabut asap lintas batas di kawasan Asia Teggara.
Selain Faktor Internal, hal yang mendorong Indonesia dalam meratifikasi
AATHP adalah faktor eksternal. Faktor eksternal tersebut adalah adanya desakan
dari negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Singapura sebagai pihak yang
dirugikan karena terkena dampak langsung oleh pencemaran kabut asap dan
Adanya bantuan ekonomi dan kerjasama teknis dari ASEAN dalam menangani
permasalahan kabut asap yang terjadi di Indonesia.
Dengan beberapa faktor yang telah disebutkan tersebut, Indonesia
memutuskan untuk meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement Transboundary
Haze Pollution tahun 2014. Dengan diratifikasinya perjanjian tersebut Indonesia
telah menjadi anggota tetap yang memiliki hak suara. Sehingga Indonesia dapat
memiliki peran penting dan turut aktif dalam pengambilan keputusan terkait
pengendalian kebakaran lahan dan hutan di ASEAN.
ix
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Affianty, Debbie. Analisa Politik Luar Negeri. Ciputat: UIN Press, 2015.
Amsyari Fuad, Prinsip-prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2001.
ASEAN Secretariat, Guidelines fo the implementation of the ASEAN policy on
zero burning. The ASEAN Secretariat Jakarta, 2013.
Boer Mauna. Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam Era
Diamika Global. Bandung: PT. Alumni, 2000.
Coplin, William D. Introduction to Internastional Politics: A Theoritical
Overview. Chicago: Markham Publishing Company, 1971.
David Hughes, Environmental Law. Edisi kedua. London: Butterworths, 1992.
FWI/GFW. Keadaan Hutan Indonesia. (e-book) Bogor, Indonesia: Forest Watch
Indonesia dan Washington D.C: Global Forest Watch, 2001.
Greene, Owen. Environmental Issues, in Jhon Baylis & Steve Smith (eds) The
Globalization of World Politics. Edisi kedua. Oxford , 2001.
Jack C. Plano dan Roy Olton. Kamus Hubungan Internasional. Bandung:
Abardin, 1999.
James N.Rosenau, International Politis and foreign policy. New York: The Free
Press of Glencoe, 1961.
James E. Dougherty & Robert L. Pfaltz graff, JR. Contending Theories of
International Relations: A Comperehensive Survey. New York:
Longman, 1986.
James E. Dougherty & Robert L. Pfaltz graff, JR. Contending Theories of
International Relations: A Comperehensive Survey. New York: Harper
and Row Publisher, 1997.
x
Josep Frankel, International Relations in a Changing World, Oxford University
Press, 1988.
Kenneth Waltz, Theory of International Politics . New York: McGraw-Hill, 1979.
dalam Robert Jackson dan Georg Sorensen, Pengantar Studi Hubungan
Internasional . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009.
Kementerian Luar Negeri, ASEAN Selayang Pandang, Jakarta:Direktorat Jenderal
Informasi dan Diplomasi Publik, 2008.
Kementerian Luar Negeri RI, Diplomasi Indonesia 2014. Jakarta: Direktorat
Jenderal Informasi dan Diplomasi Publik, September 2015
K.J Holsti. International Politic A framework, A framework for Analysis, New
Jersey: Asimon & Schuster Company,1992.
K.J Holsti, Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis. Jilid II. Terjemahan
M. Tahtir Azhari. Jakarta: Erlangga, 1988.
Moh. Nazir, Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Perwita, AA Banyu dan Yani, Yanyan Mochammad. “Pengantur Ilmu Hubungan
Internasional”. Bandung, 2005.
Saharjo, B.H. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Yang Lestari Perlukah
Dilakukan. Departemen Silvikultur. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian
Bogor, 2003.
Sastrawijaya, Tresna. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta, 2010.
Silalahi, Daud. Hukum Lingkungan (Dalam Sistem Penegakkan Hukum
Lingkungan Indonesia). Bandung: PT. Alumni, 2001.
Soemarsono, Kebakaran Lahan, Semak Belukar dan Hutan di Indonesia
(Penyebab, Upaya dan Perspektif Upaya di Masa Depan). 1997
Soemarwoto, Otto. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta:
Jembatan, 1983.
Sumardi dan SM Widyawati, Dasar-Dasar Perlindungan Hutan, Jakarta: Gajah
Mada University Press, 2004.
xi
JURNAL
Aiken, Robert. Runaway Fires, Smoke-Haze Pollution, and Unnatural Disasters in
Indonesian Geographical Review. 94 American Geographical Society, 2004.
Ananta, Gondomo, “ Satu Asia Tenggara dan Agenda Keamanan Lingkungan”,
CSIS, Jakarta: 58-69
Anderson, I.P., Bowen, M.R., “Fire Zones and the Threat to the Wetlands of
Sumatra, Indonesia, European Union and Indonesian Ministry of Forestry,”
(2000)
Ariadno, Melda Kamil. “Haze Polution in Indonesia”, Afe Babalola University:
Journal of Sustainable Development Law and Policy Vol 2, (2013), hal 3
ASEAN Agreement on Haze Pollution, 2002
BAPPENAS –ADB, “Cause Extend, Impact and cost of 1997, 1998 Fire and
Dought.” Forest Fire Prevention and Drought Management Project, Asian
Development Bank TA 2999-INO. Fortech, Pusat Pengembangan
Agribisnis (1999).
Basarah, Muhammad. Prospek Kerjasama Negara-Negara ASEAN Dalam
Pengendalian Pencemaran Udara Lintas Batas,” Jurnal Hukum No 15 Vol 7,
Desember 2000, hal 57
Boer C, “ Forestfire suppression in East Kalimantan Indonesia. Di dalam Moore
P. Ganz D, Tan L, C Enters T, Durst P.B , editor. Prosisings of an
International Conference on Community Involvement in Fire Management,
Bangkok Desember 2000. Bangkok: FAO hal 69-74
David B. Jerger, “Indonesia’s Role in Realizing the Goals of ASEAN’s
Agreement on Transboundary Haze Pollution.” Sustainable Development
Law & Policy 14, no. 1 (2014)
xii
David Glover and Timothy Jessup, “Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan
Asap di Indonesia”: 105-135
De Bie, Gregg H. Transboundary Air Pollution: Trends in 2004. Colorado
Journal of International Environmental Law, 2005. Hal 123-132
Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik
Indonesia, Peningkatan Kerjasama ASEAN di bidang Pertukaran Informasi
dalam Upaya Penaggulangan Masalah Kabut Asap ( Jakarta: kementerian
luar negeri RI, 2004) hal 5
Everts P & Isernia P, “Public opinion and the international use of force”
Routledge: ECPR studies in European political science (2001)
Fachmi Rasyid, “Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan. Banten: Jurnal
Lingkar Widyaswara. (Edisi 1 No.4), (2014): 49
Forest Watch Indonesia dan Washington DC , “Keadaan Hutan Indonesia”
(2001): 61
Gema Badan Nasional Penanggulangan Bencana Vol IV No.2 Tahun 2013, hal 11
Gema Badan Nasional Penanggulangan Becana Vol V No.1 Tahun 2014, tersedia
di http://bnpb.go.id/uploads/publication/1031/Gema%206-23-14%20(1).pdf
diakses pada 27 Agustus 2016
Gultom, Kardina. “Sekuritisasi Kabut Asap di Singapura tahun 1997-2014”,
Journal of International Relations, Volume 2, Nomor 2, Tahun 2016, hal.
33-43
Harisson, Mark E Susan Page, dan Suwido Limin, “The Global Impact of
Indonesian Forest Fires,” Biologist, Vol 56 No 3, (Agustus 2009), hal 157
Heilmann, Daniel. “ After Indonesia’s Ratification: The ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution and Its Effectiveness As a Regional
Environmental Governance Tool,” Journal of Current Southeast Asian
Affairs 3, 2015. hal 96
xiii
Humprey, Wangkey. Mencari Solusi atas Perubahan Iklim”, (Jakarta: Pusat
Pengkajian dan Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekjen DPR RI,
2011.
Jurnal Kementerian Kehutanan, 2013 tersedia di
(http://www.ditjenphka.dephut.go.id/wp-content/uploads/.../LAKIP-PHKA-
2013.pdf); Diunduh pada 27 Agustus 2016
Jurnal Lingkar Widyaiswara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
“Permasalahan dan Dampak Kebakaran Hutan” Edisi 1 No. 4, Oktober-
Desember
Kementerian Lingkungan Hidup Republik Indonesia dan UNDP, Laporan
Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia, (1998) : 1 - 2.
Kementerian lingkungan hidup RI, “Indonesia Meratifikasi Undang-Undang
Tentang Pengesahan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution
(Persetujuan Asean Tentang Pencemaran Asap Lintas Batas)”, Jakarta, 16
Kementerian Lingkungan Hidup dan UNDP, “Laporan Kebakaran Hutan dan
Lahan di Indonesia”, (1998): 1-2
Lucca Tacconi, “Kebakaran Hutan di Indonesia: Penyebab, Biaya dan Implikasi
Kebijakan.” (Bogor: Center for International Foresty Research), tersedia di
http://www.cifor.org/publications/pdf_files/OccPapers/OP-038i.pdf
diunduh pada 15 Mei 2016
Md Saidul Islam and Yap Hui Pei, “Transboundary Haze Pollution in Southeast
Asia: Sustainability through Plural Environmental Governance.” Journal
Sustainability, 2016.
Nguitragool, Paruedee. “Negotiating the Haze Treaty Rationality and Institutions
in the Negotiations for the ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution (2002), University of California Press: Asian Survey Vol 51 No.
2, Maret-April 2011, hal 369
Peh, D. L-H, “ South East Asia Forest Fire: Blazing the Policy Trail”, Orix (2014)
xiv
Quah Euston dan Helena Varkkey, “The Political Economy of Transboundary
Pollution: Mitigation Forest Fires and Haze in Southeast Asia” diakses
melalui https://umexpert.um.edu.my/file/publication/00009140_102526.pdf
pada 3 Maret 2017
Rafina, Raisa. Kerjasama Negara ASEAN Dalam Pengendalian Pencemaran
Udara Lintas Batas Negara Dilihat Dari Hukum Internasional. Universitas
Sumatera Utara, 2013.
Sizer, Nigel Dkk. 2014. “Kebakaran Hutan di Indonesia Mencapai Tingkat
Tertinggi Sejak Kondisi darurat kabut asap Juni 2013”, diakses pada 28
Agustus 2016
Sunichindah, Apichai. “Transboundary Haze Pollution Problem in Southeast Asia:
Reframing ASEAN’s Response” ERIA Discussion Paper Series 2015.
Tan, Alan Khee-Jin. “The Haze Crisis in Southeast Asia: Assessing Singapore’s
Transboundary Haze Pollution Act 2014” National University of Singapore,
Februari 2015
The Habibie Center, “Ensuring the ASEAN Agreement on Transboundary Haze’s
(AATHP) Effectiveness: A Case Study of Riau Province’s Haze
Summary,”ASEAN Studies Program Vol 2 Issue 4, April 2015, hal 3
Wetlands internasional. “Kebakaran hutan dan lahan”, Seri Pengelolaan Hutan
dan Lahan Gambut, diakses melalui
http://www.wetlands.or.id/PDF/Flyers/Fire01.pdf
Widodo, Isa Teguh. Degradasi Lingkungan Hidup. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Wohlforth, William C. “Realism and foreign policy” in, Steve Smith, Amelia
Hadfield & Tim Dunne, Foreign Policy, Theories
Actors.Cases.Oxford,(2008): 31-48
xv
MEDIA ELEKTRONIK
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution 2010 melalui
www.haze.asean.org, diakses pada 3 Mei 2016
ASEAN Haze Action Online melalui
Badan Planologi Kehutanan-Departemen Kehutanan, “ Kebijakan Penyusunan
MP-RHL”, tersedia pada http://www.dephut.go.id/hutan/html; diakses
tanggal 13 Mei 2016
BBC http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2013/06/130623_malaysia_asap
diakses pada 8 September 2015, pukul 10.05 WIB
BBC Indonesia, “Hujan buatan untuk cegah kebakaran hutan di Sumatera dan
Kalimantan tersedia pada
http://www.bbc.com/indonesia/mobile/berita_indonesia/2012/08/120803_ke
bakaranhutan.shtml diakses pada 28 Agustus 2016
BBC Indonesia, Kabut Asap Riau, demo menuntut SBY turun tangan,
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2014/03/140314_kabut_asa
p_riau_presiden_turun_tangan pada 8 Februari 2017
BBC Indonesia Ribuan Mahasiswa Protes Kabut Asap, diakses melalui
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/10/151028_indonesia
_demoasap 9 Februari 2017
Fire Bulletin Special Edition-End of Year_Des 06-Draft. Diakses melalui
http//awsassets.wwf.or.id/dowloads/fb_2006endspc.pdf. pada 27 Agustus
2016
Kabut Asap: Rakyat Malaysia Marah” diakses melalui http://www.suarakarya-
online.com/news.html?id=118116 pada 26 Desember 2016
Kementerian Lingkungan Hidup RI, “Indonesia Meratifikasi Undang-Undang
Tentang Pengesahan Asean Agreement On Transboundary Haze Pollution
(Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas)”, Jakarta 16
September 2014, diakses dari http://www.menlh.go.id diakses 10 September
2016, pukul 15.45 WIB
xvi
Kementerian Luar Negeri, “ASEAN Selayang Pandang”, Jakarta (2010), tersedia
di (http://www.deplu.go.id/download/asean-selayangpandang.pdf); diunduh
pada 3 September 2016
Komisi VII DPR-RI Bahas RUU Pengesahan ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Polution Dengan KLH, tersedia di
http://www.menlh.go.id/komisi-vii-dpr-ri-bahas-ruu-pengesahan-asean-
agreement-on-transboundary-haze-polution/ ;diakses pada 5 Juni 2016
KOMPAS, “Ini Sebab Kabut Asap Hutan Riau Selimuti Singapura” diaksees pada
http://sains.kompas.com/read/2013/06/21/1747577/Ini.Sebab.Kabut.Asap.H
utan.Riau.Selimuti.Singapura pada 21 Maret 2016
Laporan Status Lingkungan Hidup Tahun 2002, diakses melalui
http://www.bapedalbanten.go.id/i/art/pdf_ 1050965780.pdf. pada 3
September 2016.
LSM Minta Pemerintah Hentikan Izin Konversi Lahan Gambut”, diakses melalui
http://www.antaranews.com/berita/39624/lsm-minta-pemerintah-hentikan-
izin-konversilahan-gambut , pada 15 Desember 2016
Mahasiswa Riau Sebut Kabut Asap Bukan Bencana, tapi Praktek Kejahatan,
diakses melalui
http://kabar24.bisnis.com/read/20140316/78/211077/mahasiswa-riau-sebut-
kabut-asap-bukan-bencana-tapi-praktek-kejatahan pada 8 Februari 2017
Malaysia Peringatkan Indonesia tidak “Ekspor” Asap melalui
http://www.gatra.com/2006-10-15/artikel.php?id=98562 pada 26 Desember
2016
Portal Penelitian Universitas Andalas, “Dampak Kebakaran Hutan di Wilayah
Sumatera Barat dan Riau Terhadap Perubahan Iklim (Climate Change),”
http://lp.unand.ac.id/?pModule=news&pSub=news&pAct=detail&detail=21
0 pada 9 September 2016
Puluhan Mahasiswa peduli Riau gelar demo kabt asap di HI, diakses melalui
https://www.merdeka.com/foto/peristiwa/336756/20140316114044-
puluhan-mahasiswa-peduli-riau-gelar-demo-kabut-asap-di-hi-001-dru.html
pada 8 Februari 2017
xvii
Republika online http://www.republika.co.id/berita/breaking-
news/lingkungan/10/11/05/144702-luas-kebakaran-hutan-di-indonesia-
menurun diakses pada 30 Agustus 2016
Tempo http://m.tempo.co/read/news/2013/06/24/078490894/Soal-Asap-SBY-
Minta-Maaf-ke-Negara-Tetangga diakses pada 8 September 2015, pukul
10.15 WIB
Tempo http://m.tempo.co/read/news/2013/06/24/078490894/Soal-Asap-SBY-
Minta-Maaf-ke-Negara-Tetangga diakses pada 8 September 2015, pukul
10.15 WIB
The World Bank, “Krisis Kebakaran dan Asap Indonesia” diakses melalui
http://www.worldbank.org/in/news/feature/2015/12/01/indonesias-fire-
and-haze-crisis pada 12 Agustus 2016
World Resource Institute. Hutan Indonesia: Apa yang dipertaruhkan, pada
https://www.wri.org/sites/default/files/pdf/indoforest_chap1_id.pdf diunduh
pada 7 Mei 2016
World Resources Institut, “Mencegah Kebakaran Hutan Di Indonesia: Fokus Pada
Provinsi Riau, Lahan Gambut, Serta Pembakaran Ilegal”; tersedia di
http://www.wri.org/blog/2014/06/mencegah-kebakaran-hutan-di-indonesia-
fokus-pada-provinsi-riau-lahan-gambut-serta ; diakses pada 28 Mei 2016
World Wide Fund for Nature/WWF (a), WWF Indonesia Himbau Pemerintah
untuk Meratifikasi the ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution, diakses melalui http://www.fire.unifreiburg. de/media/WWF-
ASEAN-ind.pdf , pada 14 Desember 2016
WWF Menghimbau Pemerintah Adili Pelaku Pembakaran Lahan dan Hutan”,
diakses melalui http://www.merdeka.com/politik/wwf-menghimbau-
pemerintah-adili-pelakupembakaran-lahan-dan-hutan-ozwljbh.html, pada 14
Desember 2016
ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY
HAZE POLLUTION
The Parties to this Agreement, REAFFIRMING the commitment to the aims and purposes of the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) as set forth in the Bangkok Declaration of 8 August 1967, in particular to promote regional co-operation in Southeast Asia in the spirit of equality and partnership and thereby contribute towards peace, progress and prosperity in the region, RECALLING the Kuala Lumpur Accord on Environment and Development which was adopted by the ASEAN Ministers of Environment on 19 June 1990 which calls for, inter alia, efforts leading towards the harmonisation of transboundary pollution prevention and abatement practices, RECALLING ALSO the adoption of the 1995 ASEAN Co-operation Plan on Transboundary Pollution, which specifically addressed transboundary atmospheric pollution and called for, inter alia, establishing procedures and mechanisms for co-operation among ASEAN Member States in the prevention and mitigation of land and/or forest fires and haze, DETERMINED to give effect to the 1997 Regional Haze Action Plan and to the Hanoi Plan of Action which call for fully implementing the 1995 ASEAN Cooperation Plan on Transboundary Pollution, with particular emphasis on the Regional Haze Action Plan by the year 2001, RECOGNISING the existence of possible adverse effects of transboundary haze pollution,
2
CONCERNED that a rise in the level of emissions of air pollutants within the region as forecast may increase such adverse effects, RECOGNISING the need to study the root causes and the implications of the transboundary haze pollution and the need to seek solutions for the problems identified, AFFIRMING their willingness to further strengthen international co-operation to develop national policies for preventing and monitoring transboundary haze pollution, AFFIRMING ALSO their willingness to co-ordinate national action for preventing and monitoring transboundary haze pollution through exchange of information, consultation, research and monitoring, DESIRING to undertake individual and joint action to assess the origin, causes, nature and extent of land and/or forest fires and the resulting haze, to prevent and control the sources of such land and/or forest fires and the resulting haze by applying environmentally sound policies, practices and technologies and to strengthen national and regional capabilities and co-operation in assessment, prevention, mitigation and management of land and/or forest fires and the resulting haze, CONVINCED that an essential means to achieve such collective action is the conclusion and effective implementation of an Agreement, Have agreed as follows:
PART I. GENERAL PROVISIONS
Article 1 Use of Terms
For the purposes of this Agreement: 1. “Assisting Party” means a State, international organisation, any
other entity or person that offer and/or render assistance to a Requesting Party or a Receiving Party in the event of land and/or forest fires or haze pollution.
3
2. “Competent authorities” means one or more entities designated and authorised by each Party to act on its behalf in the implementation of this Agreement.
3. “Controlled burning” means any fire, combustion or smouldering
that occurs in the open air, which is controlled by national laws, rules, regulations or guidelines and does not cause fire outbreaks and transboundary haze pollution.
4. “Fire prone areas” means areas defined by the national authorities as
areas where fires are most likely to occur or have a higher tendency to occur.
5. “Focal point” means an entity designated and authorised by each
Party to receive and transmit communications and data pursuant to the provisions of this Agreement.
6. “Haze pollution” means smoke resulting from land and/or forest fire
which causes deleterious effects of such a nature as to endanger human health, harm living resources and ecosystems and material property and impair or interfere with amenities and other legitimate uses of the environment.
7. “Land and/or forest fires” means fires such as coal seam fires, peat
fires, and plantation fires. 8. “Member State” means a Member State of the Association of
Southeast Asian Nations. 9. “Open burning” means any fire, combustion or smouldering that
occurs in the open air. 10. “Party” means a Member State of ASEAN that has consented to be
bound by this Agreement and for which the Agreement is in force. 11. “Receiving Party” means a Party that accepts assistance offered by
an Assisting Party or Parties in the event of land and/or forest fires or haze pollution.
12. “Requesting Party” means a Party that requests from another Party
or Parties assistance in the event of land and/or forest fires or haze pollution.
4
13. “Transboundary haze pollution” means haze pollution whose physical origin is situated wholly or in part within the area under the national jurisdiction of one Member State and which is transported into the area under the jurisdiction of another Member State.
14. “Zero burning policy” means a policy that prohibits open burning
but may allow some forms of controlled burning.
Article 2 Objective
The objective of this Agreement is to prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, through concerted national efforts and intensified regional and international co-operation. This should be pursued in the overall context of sustainable development and in accordance with the provisions of this Agreement.
Article 3 Principles
The Parties shall be guided by the following principles in the implementation of this Agreement: 1. The Parties have, in accordance with the Charter of the United
Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental and developmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment and harm to human health of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.
2. The Parties shall, in the spirit of solidarity and partnership and in
accordance with their respective needs, capabilities and situations, strengthen co-operation and co-ordination to prevent and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated.
3. The Parties should take precautionary measures to anticipate,
prevent and monitor tranboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, to minimise its
5
adverse effects. Where there are threats of serious or irreversible damage from transboundary haze pollution, even without full scientific certainty, precautionary measures shall be taken by Parties concerned.
4. The Parties should manage and use their natural resources,
including forest and land resources, in an ecologically sound and sustainable manner.
5. The Parties, in addressing transboundary haze pollution, should
involve, as appropriate, all stakeholders, including local communities, non-governmental organisations, farmers and private enterprises.
Article 4 General Obligations
In pursuing the objective of this Agreement, the Parties shall: 1. Co-operate in developing and implementing measures to prevent
and monitor transboundary haze pollution as a result of land and/or forest fires which should be mitigated, and to control sources of fires, including by the identification of fires, development of monitoring, assessment and early warning systems, exchange of information and technology, and the provision of mutual assistance.
2. When the transboundary haze pollution originates from within their
territories, respond promptly to a request for relevant information or consultations sought by a State or States that are or may be affected by such transboundary haze pollution, with a view to minimising the consequences of the transboundary haze pollution.
3. Take legislative, administrative and/or other measures to
implement their obligations under this Agreement.
6
PART II. MONITORING, ASSESSMENT, PREVENTION AND RESPONSE
Article 5 ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution
Control 1. The ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze
Pollution Control, hereinafter referred to as “the ASEAN Centre”, is hereby established for the purposes of facilitating co-operation and co-ordination among the Parties in managing the impact of land and/or forest fires in particular haze pollution arising from such fires.
2. The ASEAN Centre shall work on the basis that the national
authority will act first to put out the fires. When the national authority declares an emergency situation, it may make a request to the ASEAN Centre to provide assistance.
3. A Committee composed of representatives of the national
authorities of the Parties shall oversee the operation of the ASEAN Centre.
4. The ASEAN Centre shall carry out the functions as set out in
Annex and any other functions as directed by the Conference of the Parties.
Article 6 Competent Authorities and Focal Points
1. Each Party shall designate one or more Competent Authorities and
a Focal Point that shall be authorised to act on its behalf in the performance of the administrative functions required by this Agreement.
2. Each Party shall inform other Parties and the ASEAN Centre, of its
Competent Authorities and Focal Point, and of any subsequent changes in their designations.
7
3. The ASEAN Centre shall regularly and expeditiously provide to Parties and relevant international organisations the information referred to in paragraph 2 above.
Article 7 Monitoring
1. Each Party shall take appropriate measures to monitor:
a. all fire prone areas, b. all land and/or forest fires, c. the environmental conditions conducive to such land and/or
forest fires, and d. haze pollution arising from such land and/or forest fires.
2. Each Party shall designate one or more bodies to function as National Monitoring Centres, to undertake monitoring referred to in paragraph 1 above in accordance with their respective national procedures.
3. The Parties, in the event that there are fires, shall initiate immediate action to control or to put out the fires.
Article 8 Assessment
1. Each Party shall ensure that its National Monitoring Centre, at
agreed regular intervals, communicates to the ASEAN Centre, directly or through its Focal Point, data obtained relating to fire prone areas, land and/or forest fires, the environmental conditions conducive to such land and/or forest fires, and haze pollution arising from such land and/or forest fires.
2. The ASEAN Centre shall receive, consolidate and analyse the data communicated by the respective National Monitoring Centres or Focal Points.
3. On the basis of analysis of the data received, the ASEAN Centre shall, where possible, provide to each Party, through its Focal Point, an assessment of risks to human health or the environment
8
arising from land and/or forest fires and the resulting transboundary haze pollution.
Article 9 Prevention
Each Party shall undertake measures to prevent and control activities related to land and/or forest fires that may lead to transboundary haze pollution, which include:
a. Developing and implementing legislative and other
regulatory measures, as well as programmes and strategies to promote zero burning policy to deal with land and/or forest fires resulting in transboundary haze pollution;
b. Developing other appropriate policies to curb activities that
may lead to land and/or forest fires; c. Identifying and monitoring areas prone to occurrence of land
and/or forest fires; d. Strengthening local fire management and firefighting
capability and co-ordination to prevent the occurrence of land and/or forest fires;
e. Promoting public education and awareness-building
campaigns and strengthening community participation in fire management to prevent land and/or forest fires and haze pollution arising from such fires;
f. Promoting and utilising indigenous knowledge and practices
in fire prevention and management; and
g. Ensuring that legislative, administrative and/or other relevant measures are taken to control open burning and to prevent land clearing using fire.
9
Article 10 Preparedness
1. The Parties shall, jointly or individually, develop strategies and
response plans to identify, manage and control risks to human health and the environment arising from land and/or forest fires and related haze pollution arising from such fires.
2. The Parties shall, as appropriate, prepare standard operating
procedures for regional co-operation and national action required under this Agreement.
Article 11 National Emergency Response
1. Each Party shall ensure that appropriate legislative, administrative
and financial measures are taken to mobilise equipment, materials, human and financial resources required to respond to and mitigate the impact of land and/or forest fires and haze pollution arising from such fires.
2. Each Party shall forthwith inform other Parties and the ASEAN
Centre of such measures.
Article 12 Joint Emergency Response through the Provision of Assistance
1. If a Party needs assistance in the event of land and/or forest fires or
haze pollution arising from such fires within its territory, it may request such assistance from any other Party, directly or through the ASEAN Centre, or, where appropriate, from other States or international organisations.
2. Assistance can only be employed at the request of and with the
consent of the requesting Party, or, when offered by another Party or Parties, with the consent of the receiving Party.
3. Each Party to which a request for assistance is directed shall
promptly decide and notify the requesting Party, directly or through the ASEAN Centre, whether it is in a position to render the assistance requested, and of the scope and terms of such assistance.
10
4. Each Party to which an offer of assistance is directed shall
promptly decide and notify the assisting Party, directly or through the ASEAN Centre, whether it is in a position to accept the assistance offered, and of the scope and terms of such assistance.
5. The requesting Party shall specify the scope and type of assistance
required and, where practicable, provide the assisting Party with such information as may be necessary for that Party to determine the extent to which it is able to meet the request. In the event that it is not practicable for the requesting Party to specify the scope and type of assistance required, the requesting Party and assisting Party shall, in consultation, jointly assess and decide upon the scope and type of assistance required.
6. The Parties shall, within the limits of their capabilities, identify and
notify the ASEAN Centre of experts, equipment and materials which could be made available for the provision of assistance to other Parties in the event of land and/or forest fires or haze pollution resulting from such fires as well as the terms, especially financial, under which such assistance could be provided.
Article 13 Direction and Control of Assistance
Unless otherwise agreed: 1. The requesting or receiving Party shall exercise the overall
direction, control, co-ordination and supervision of the assistance within its territory. The assisting Party should, where the assistance involves personnel, designate in consultation with the requesting or receiving Party, the person or entity who should be in charge of and retain immediate operational supervision over the personnel and the equipment provided by it. The designated person or entity should exercise such supervision in co-operation with the appropriate authorities of the requesting or receiving Party.
2. The requesting or receiving Party shall provide, to the extent
possible, local facilities and services for the proper and effective administration of the assistance. It shall also ensure the protection of personnel, equipment and materials brought into its territory by or on behalf of the assisting Party for such purposes.
11
3. A Party providing or receiving assistance in response to a request
referred to in paragraph (1) above shall co-ordinate that assistance within its territory.
Article 14 Exemptions and Facilities in Respect of the Provision of Assistance
1. The requesting or receiving Party shall accord to personnel of the
assisting Party and personnel acting on its behalf, the necessary exemptions and facilities for the performance of their functions.
2. The requesting or receiving Party shall accord the assisting Party
exemptions from taxation, duties or other charges on the equipment and materials brought into the territory of the requesting or receiving Party for the purpose of the assistance.
3. The requesting or receiving Party shall facilitate the entry into, stay
in and departure from its territory of personnel and of equipment and materials involved or used in the assistance.
Article 15 Transit of Personnel, Equipment and Materials in Respect of the
Provision of Assistance
Each Party shall, at the request of the Party concerned, seek to facilitate the transit through its territory of duly notified personnel, equipment and materials involved or used in the assistance to the requesting or receiving Party.
PART III. TECHNICAL CO-OPERATION AND SCIENTIFIC RESEARCH
Article 16 Technical Co-operation
1. In order to increase the preparedness for and to mitigate the risks to
human health and the environment arising from land and/or forest
12
fires or haze pollution arising from such fires, the Parties shall undertake technical co-operation in this field, including the following: a. Facilitate mobilisation of appropriate resources within and
outside the Parties;
b. Promote the standardisation of the reporting format of data and information;
c. Promote the exchange of relevant information, expertise,
technology, techniques and know-how;
d. Provide or make arrangements for relevant training, education and awareness-raising campaigns, in particular relating to the promotion of zero-burning practices and the impact of haze pollution on human health and the environment;
e. Develop or establish techniques on controlled burning
particularly for shifting cultivators and small farmers, and to exchange and share experiences on controlled-burning practices;
f. Facilitate exchange of experience and relevant information
among enforcement authorities of the Parties;
g. Promote the development of markets for the utilisation of biomass and appropriate methods for disposal of agricultural wastes;
h. Develop training programmes for firefighters and trainers to
be trained at local, national and regional levels; and
i. Strengthen and enhance the technical capacity of the Parties to implement this Agreement.
2. The ASEAN Centre shall facilitate activities for technical co-
operation as identified in paragraph 1 above.
13
Article 17 Scientific Research
The Parties shall individually or jointly, including in co-operation with appropriate international organisations, promote and, whenever possible, support scientific and technical research programmes related to the root causes and consequences of transboundary haze pollution and the means, methods, techniques and equipment for land and/or forest fire management, including fire fighting.
PART IV. INSTITUTIONAL ARRANGEMENTS
Article 18 Conference of the Parties
1. A Conference of the Parties is hereby established. The first meeting
of the Conference of the Parties shall be convened by the Secretariat not later than one year after the entry into force of this Agreement. Thereafter, ordinary meetings of the Conference of the Parties shall be held at least once every year, in as far as possible in conjunction with appropriate meetings of ASEAN.
2. Extraordinary meetings shall be held at any other time upon the
request of one Party provided that such request is supported by at least one other Party.
3. The Conference of the Parties shall keep under continuous review
and evaluation the implementation of this Agreement and to this end shall:
a. Take such action as is necessary to ensure the effective
implementation of this Agreement;
b. Consider reports and other information which may be submitted by a Party directly or through the Secretariat;
c. Consider and adopt protocols in accordance with the Article 21 of this Agreement;
14
d. Consider and adopt any amendment to this Agreement;
e. Adopt, review and amend as required any Annexes to this Agreement;
f. Establish subsidiary bodies as may be required for the implementation of this Agreement; and
g. Consider and undertake any additional action that may be required for the achievement of the objective of this Agreement.
Article 19 Secretariat
1. A Secretariat is hereby established. 2. The functions of the Secretariat shall include:
a. Arrange for and service meetings of the Conference of the Parties and of other bodies established by this Agreement;
b. Transmit to the Parties notifications, reports and other information received in accordance with this Agreement;
c. Consider inquiries by, and information from, the Parties, and
to consult with them on questions relating to this Agreement;
d. Ensure the necessary co-ordination with other relevant international bodies and in particular to enter into administrative arrangements as may be required for the effective discharge of the Secretariat functions; and
e. Perform such other functions as may be assigned to it by the
Parties. 3. The ASEAN Secretariat shall serve as the Secretariat to this
Agreement.
15
Article 20 Financial Arrangements
1. A Fund is hereby established for the implementation of this
Agreement. 2. It shall be known as the ASEAN Transboundary Haze Pollution
Control Fund. 3. The Fund shall be administered by the ASEAN Secretariat under the
guidance of the Conference of the Parties. 4. The Parties shall, in accordance with the decisions of the
Conference of the Parties, make voluntary contributions to the Fund. 5. The Fund shall be open to contributions from other sources subject
to the agreement of or approval by the Parties. 6. The Parties may, where necessary, mobilise additional resources
required for the implementation of this Agreement from relevant international organisations, in particular regional financial institutions and the international donor community.
PART V. PROCEDURES
Article 21 Protocols
1. The Parties shall co-operate in the formulation and adoption of
protocols to this Agreement, prescribing agreed measures, procedures and standards for the implementation of this Agreement.
2. The Conference of the Parties may, at ordinary meetings, adopt
protocols to this Agreement by consensus of all Parties. 3. The text of any proposed protocol shall be communicated to the
Parties by the Secretariat at least six months before such a session.
16
4. The requirements for the entry into force of any protocol shall be established by that instrument.
Article 22 Amendments to the Agreement
1. Any Party may propose amendments to the Agreement. 2. The text of any proposed amendment shall be communicated to the
Parties by the Secretariat at least six months before the Conference of the Parties at which it is proposed for adoption. The Secretariat shall also communicate proposed amendments to the signatories to the Agreement.
3. Amendments shall be adopted by consensus at an ordinary meeting
of the Conference of the Parties. 4. Amendments to this Agreement shall be subject to acceptance. The
Depositary shall circulate the adopted amendment to all Parties for their acceptance. The amendment shall enter into force on the thirtieth day after the deposit with the Depositary of the instruments of acceptance of all Parties.
5. After the entry into force of an amendment to this Agreement any
new Party to this Agreement shall become a Party to this Agreement as amended.
Article 23 Adoption and Amendment of Annexes
1. Annexes to this Agreement shall form an integral part of the
Agreement and, unless otherwise expressly provided, a reference to the Agreement constitutes at the same time a reference to the annexes thereto.
2. Annexes shall be adopted by consensus at an ordinary meeting of
the Conference of the Parties. 3. Any Party may propose amendments to an Annex.
17
4. Amendments to an Annex shall be adopted by consensus at an ordinary meeting of the Conference of the Parties.
5. Annexes to this Agreement and amendments to Annexes shall be
subject to acceptance. The Depositary shall circulate the adopted Annex or the adopted amendment to an Annex to all Parties for their acceptance. The Annex or the amendment to an Annex shall enter into force on the thirtieth day after the deposit with the Depositary of the instruments of acceptance of all Parties.
Article 24 Rules of Procedure and Financial Rules
The first Conference of the Parties shall by consensus adopt rules of procedure for itself and financial rules for the ASEAN Transboundary Haze Pollution Control Fund to determine in particular the financial participation of the Parties to this Agreement.
Article 25 Reports
The Parties shall transmit to the Secretariat reports on the measures taken for the implementation of this Agreement in such form and at such intervals as determined by the Conference of the Parties.
Article 26 Relationship with Other Agreements
The provisions of this Agreement shall in no way affect the rights and obligations of any Party with regard to any existing treaty, convention or agreement to which they are Parties.
Article 27 Settlement of Disputes
Any dispute between Parties as to the interpretation or application of, or compliance with, this Agreement or any protocol thereto, shall be settled amicably by consultation or negotiation.
18
PART VI. FINAL CLAUSES
Article 28 Ratification, Acceptance, Approval and Accession
This Agreement shall be subject to ratification, acceptance, approval or accession by the Member States. It shall be opened for accession from the day after the date on which the Agreement is closed for signature. Instruments of ratification, acceptance, approval or accession shall be deposited with the Depositary.
Article 29 Entry into Force
1. This Agreement shall enter into force on the sixtieth day after the
deposit of the sixth instrument of ratification, acceptance, approval or accession.
2. For each Member State ratifying, accepting, approving or acceding to the Agreement after the deposit of the sixth instrument of ratification, acceptance, approval or accession, the Agreement shall enter into force on the sixtieth day after the deposit by such Member State of its instrument of ratification, acceptance, approval or accession.
Article 30 Reservations
Unless otherwise expressly provided by this Agreement no reservations may be made to the Agreement.
Article 31 Depositary
This Agreement shall be deposited with the Secretary General of ASEAN, who shall promptly furnish each Member State a certified copy thereof.
19
Article 32
Authentic Text This Agreement shall be drawn up in the English language, and shall be the authentic text. IN WITNESS WHEREOF the undersigned, being duly authorised by their respective Governments have signed this Agreement. Done at Kuala Lumpur, Malaysia on the tenth day of June in the year two thousand and two.
For the Government of Brunei Darussalam
For the Government of the Kingdom of Cambodia
H.E. Mr. Keo Puth Reasmey Ambassador Royal Embassy of the Kingdom of Cambodia in Malaysia For the Government of the Republic of Indonesia
Ms. Liana Bratasida Deputy Minister for Environment Conservation State Ministry of Environment
20
For the Government of Lao People’s Democratic Republic
H.E. Prof. Dr. Bountiem Phissamay Minister to the Prime Minister’s Office Chairman of Science, Technology and Environment Agency For the Government of Malaysia
H.E. Dato’ Seri Law Hieng Ding Minister of Science, Technology and the Environment For the Government of the Union of Myanmar
U Thane Myint Secretary, National Commission for Environmental Affairs Director-General of the Ministry of Foreign Affairs For the Government of the Republic of the Philippines
21
For the Government of the Republic of Singapore
H.E. Mr. Lim Swee Say Minister for the Environment For the Government of the Kingdom of Thailand
H.E. Mr. Chaisiri Anamarn Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary Royal Thai Embassy in Malaysia For the Government of the Socialist Republic of Viet Nam
H.E. Mr. Nguyen Van Dang Vice Minister of Agriculture and Rural Development
22
ANNEX
Terms of Reference of the ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control
The ASEAN Centre shall: 1. Establish and maintain regular contact with the respective National
Monitoring Centres regarding the data, including those derived from satellite imagery and meteorological observation, relating to: a. Land and /or forest fire; b. Environmental conditions conducive to such fires; and c. Air quality and levels of pollution, in particular haze arising from
such fires. 2. Receive from the respective National Monitoring Centres or Focal
Points the data above, consolidate, analyse and process the data into a format that is easily understandable and accessible.
3. Facilitate co-operation and co-ordination among the Parties to
increase their preparedness for and to respond to land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires.
4. Facilitate co-ordination among the Parties, other States and relevant
organisations in taking effective measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires.
5. Establish and maintain a list of experts from within and outside of the
ASEAN region who may be utilised when taking measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires, and make the list available to the Parties.
6. Establish and maintain a list of equipment and technical facilities
from within and outside of the ASEAN which may be made available when taking measures to mitigate the impact of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires, and make the list available to the Parties.
23
7. Establish and maintain a list of experts from within and outside of the ASEAN region for the purpose of relevant training, education and awareness-raising campaigns, and make the list available to the Parties.
8. Establish and maintain contact with prospective donor States and
organisations for mobilising financial and other resources required for the prevention and mitigation of land and/or forest fires or haze pollution arising from such fires and preparedness of the Parties, including fire-fighting capabilities.
9. Establish and maintain a list of such donors, and make the list
available to the Parties. 10. Respond to a request for or offer of assistance in the event of land
and/or forest fires or haze pollution resulting from such fires by:
a. Transmitting promptly the request for assistance to other States and organisations; and
b. Co-ordinating such assistance, if so requested by the requesting
Party or offered by the assisting Party. 11. Establish and maintain an information referral system for the
exchange of relevant information, expertise, technology, techniques and know-how, and make it available to the Parties in an easily accessible format.
12. Compile and disseminate to the Parties information concerning their
experience and any other practical information related to the implementation of the Agreement.
13. Assist the Parties in the preparation of standard operating procedures
(SOP).
www.hukumonline.com
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2014
TENTANG
PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (PERSETUJUAN ASEANTENTANG PENCEMARAN ASAP LINTAS BATAS)
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa Negara Republik Indonesia sebagai bagian dari anggota negara-negara ASEAN memegang teguh dan konsisten terhadap komitmen solidaritas untuk bekerja sama di bidang pengendalian kebakaran lahan dan/atau hutan serta penyebaran asap lintas batas negara dengan memperhatikan prinsip-prinsip perjanjian internasional yang telah disepakati dan kepentingan nasional sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa asap yang berasal dari kebakaran lahan dan/atau hutan dapat menyebar sampai lintas batas negara dan berkecenderungan kuat mengakibatkan pencemaran lingkungan, merusak ekosistem, serta merugikan kesehatan manusia, maka diperlukan kerja sama antarnegara Asia Tenggara dalam mengendalikan penyebaran asap lintas batas negara;
c. bahwa Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani ASEAN Agreement on Transboundary HazePollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas) pada tanggal 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c, perlu mengesahkan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas) dengan Undang-Undang.
Mengingat:
1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 11, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 156, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3882);
3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 185, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4012).
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
1 / 7
www.hukumonline.com
MEMUTUSKAN:
Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (PERSETUJUAN ASEAN TENTANG PENCEMARAN ASAP LINTAS BATAS)
Pasal 1
(1) Mengesahkan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas).
(2) Salinan naskah asli ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas) dalam bahasa Inggris dan terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagaimana terlampir dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Undang-Undang ini.
Pasal 2
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 14 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan Di Jakarta,
Pada Tanggal 14 Oktober 2014
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
Ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 258
2 / 7
www.hukumonline.com
PENJELASAN
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 26 TAHUN 2014
TENTANG
PENGESAHAN ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION (PERSETUJUAN ASEANTENTANG PENCEMARAN ASAP LINTAS BATAS)
I. UMUM
Kebakaran lahan dan/atau hutan yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan dapat mengakibatkan pencemaran asap lintas batas negara. Pencemaran asap tersebut dapat merugikan kesehatan manusia, mencemari lingkungan, dan merusak ekosistem.
Asap dapat menimbulkan gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), asma, bronchitis, pneumonia (radang paru), serta iritasi mata dan kulit. Selain itu, asap dapat mengganggu proses pertumbuhan tanaman karena sinar matahari terhalang asap sehingga proses fotosintesa tidak dapat dilakukan sempurna oleh tumbuhan.
Kepekatan asap juga memperpendek jarak pandang yang mengganggu transportasi darat, laut, sungai, dan udara serta kegiatan kehidupan sehari-hari sehingga memberi dampak negatif di bidang sosial dan ekonomi.
Indonesia telah melakukan upaya pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan dampak pencemaran asap akibat kebakaran lahan dan/atau hutan di tingkat nasional. Namun demikian, untuk penanganan pencemaran asap lintas batas, Indonesia beserta negara ASEAN lainnya menyadari bahwa pencegahan dan penanggulangannya perlu dilakukan secara bersama-sama. Kerja sama antarnegara ASEAN ini didasari atas pelaksanaan komitmen, semangat kemitraan serta solidaritas negara ASEAN dalam menghadapi berbagai kendala penanganan asap lintas batas.
Hal ini juga sesuai dengan prinsip hukum internasional yang menyatakan bahwa setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk mengusahakan/memanfaatkan sumber daya alam sesuai kebijakan lingkungan dan pembangunan di wilayahnya masing-masing. Namun demikian, setiap negara juga wajib bertanggung jawab untuk menjamin setiap pengusahaan/pemanfaatan tersebut di dalam yurisdiksinya, tidak menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta tidak membahayakan kesehatan dan keselamatan manusia di luar yurisdiksinya.
Masalah pencemaran asap di tingkat regional dibahas dalam pertemuan para Menteri Lingkungan Hidup ASEAN dan kemudian diwujudkan dalam kesepakatan Menteri Lingkungan Hidup ASEAN pada 19 Juni 1990. Kesepakatan Menteri Lingkungan Hidup ASEAN tersebut dijabarkan lebih jauh dalam Rencana Kerja Sama ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas pada tahun 1995. Rencana kerja tersebut meliputi prosedur dan mekanisme untuk kerja sama pencegahan dan penanggulangan pencemaran asap lintas batas.
Kebakaran lahan dan/atau hutan pada tahun 1997 mengakibatkan pencemaran asap lintas batas di ASEAN. Kejadian pencemaran asap lintas batas tersebut dibahas di tingkat ASEAN dan menghasilkan Hanoi Plan of Action 1997 yang mencakupi upaya mengatasi masalah pencemaran asap lintas batas sebagai akibat kebakaran lahan dan/atau hutan.
Untuk memformalkan Rencana Kerja Sama ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas tahun 1995 dan mengefektifkan Hanoi Plan of Action 1997, Anggota ASEAN sepakat untuk membuat ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas) atau disebut Persetujuan ASEAN, sebagai komitmen bersama.
Persetujuan ASEAN tersebut ditandatangani tahun 2002 dan berlaku efektif tahun 2007. Persetujuan
3 / 7
www.hukumonline.com
ASEAN bertujuan mencegah dan menanggulangi pencemaran asap lintas batas sebagai akibat kebakaran lahan dan/atau hutan yang harus dilaksanakan melalui upaya nasional, regional, dan internasional secara intensif.
Dengan didasarkan pada komitmen, semangat kemitraan, dan tradisi solidaritas untuk mencapai perdamaian, kemajuan, dan kesejahteraan di antara negara ASEAN sebagaimana ditetapkan dalam Deklarasi Bangkok tahun 1967 dan menyadari perlunya pencegahan pencemaran asap lintas batas secara bersama oleh negara ASEAN, Indonesia memandang perlu untuk mengesahkan Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas.
Adapun manfaat mengesahkan Persetujuan ASEAN bagi Indonesia, antara lain:
1. mendorong peran aktif Indonesia dalam pengambilan keputusan dengan negara anggota ASEAN untuk melakukan pemantauan, penilaian, dan tanggap darurat dari kebakaran lahan dan/atau hutanyang mengakibatkan pencemaran asap lintas batas;
2. melindungi masyarakat Indonesia dari dampak negatif pencemaran asap lintas batas akibat kebakaran lahan dan/atau hutan yang dapat merugikan kesehatan dan menurunkan kualitas lingkungan hidup;
3. memperkuat regulasi dan kebijakan nasional terkait pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, pemantauan, penanggulangan, dan pengendalian kebakaran lahan dan/atau hutan yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas;
4. memanfaatkan sumber daya manusia dan peralatan yang ada di negara ASEAN dan di luar negara ASEAN baik melalui Sekretariat maupun ASEAN Coordinating Centre untuk melakukan pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, pemantauan, penanggulangan, dan pengendalian kebakaranlahan dan/atau hutan yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas;
5. meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat melalui kerja sama ASEAN dan bantuan internasional dalam hal pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, pemantauan, penanggulangan, dan pengendalian kebakaran lahan dan/atau hutan yang menyebabkan pencemaran asap lintas batas;
6. memperkuat manajemen dan kemampuan dalam hal pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, pemantauan, penanggulangan, dan pengendalian kebakaran lahan dan/atau hutan baik di tingkat lokal, nasional maupun regional melalui kerja sama ASEAN dan bantuan internasional sehingga pencemaran asap dapat lebih dikendalikan.
Persetujuan ASEAN terdiri atas 32 (tiga puluh dua) Pasal dan 1 (satu) lampiran. Materi pokok PersetujuanASEAN mengatur antara lain hal-hal sebagai berikut:
1. Definisi
Persetujuan ASEAN mendefinisikan beberapa kelembagaan, di antaranya focal point, otoritas yang berwenang, pihak pemohon, pihak penerima, dan definisi teknis seperti pembakaran terkendali, pembakaran terbuka, daerah rawan kebakaran, pencemaran asap, dan kebakaran lahan dan/atau hutan.
2. Pemantauan
Persetujuan ASEAN mewajibkan setiap negara membentuk Pusat Pemantauan Nasional untuk melaksanakan pemantauan yang meliputi:
a. daerah rawan kebakaran;
b. kebakaran lahan dan/atau hutan;
c. kondisi lingkungan yang mendukung mengakibatkan kebakaran lahan dan/atau hutan;
d. pencemaran asap yang ditimbulkan oleh kebakaran lahan dan/atau hutan.
4 / 7
www.hukumonline.com
3. Penilaian
Penilaian dilakukan oleh ASEAN Coordinating Centre melalui mekanisme penerimaan informasi, yaitu:
a. Pusat Pemantauan Nasional mengomunikasikan secara regular hasil pemantauan;
b. ASEAN Coordinating Centre menerima, mengkonsolidasikan, dan menganalisis data dari Pusat Pemantauan Nasional;
c. berdasarkan analisis tersebut ASEAN Coordinating Centre memberikan penilaian risiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
4. Pencegahan
Tindakan pencegahan dalam Persetujuan ASEAN mencakupi:
a. mengembangkan dan melaksanakan peraturan, program, dan strategi kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning policy);
b. mengembangkan kebijakan untuk menghambat aktivitas yang dapat mengakibatkan kebakaran lahan dan/atau hutan;
c. mengidentifikasi daerah rawan kebakaran;
d. memperkuat pengelolaan dan kapasitas pemadaman kebakaran di tingkat lokal;
e. meningkatkan kesadaran, pendidikan, dan peran serta masyarakat;
f. meningkatkan dan memanfaatkan kearifan tradisional;
g. menjamin adanya tindakan hukum, administratif, dan tindakan lainnya.
5. Kesiapsiagaan
Kesiapsiagaan dapat dilakukan secara bersama-sama antarnegara ASEAN atau sendiri-sendiri. Kesiapsiagaan wajib dilakukan dengan:
a. mengembangkan strategi, rencana kesiapsiagaan serta mengendalikan risiko terhadap kesehatan manusia dan lingkungan hidup;
b. menyiapkan prosedur operasional untuk kerja sama regional dan tindakan nasional.
6. Tanggap Darurat Nasional
Setiap Pihak wajib menjamin adanya tindakan legislatif, administratif, dan pendanaan untuk memobilisasi peralatan, bahan, sumber daya manusia, dan keuangan dalam pelaksanaan tanggap darurat nasional serta wajib segera memberitahu pihak lain dan ASEAN Centre mengenai tindakan tersebut.
7. Tanggap Darurat Bersama
Persetujuan ASEAN mengatur tanggap darurat bersama dengan syarat:
a. melalui proses permohonan bantuan dan persetujuan pemohon;
b. permohonan bantuan diajukan baik secara langsung maupun melalui ASEAN Coordinating Centre kepada Para Pihak ataupun kepada negara lain atau organisasi internasional;
c. pencemaran asap dari kebakaran lahan dan/atau hutan;
d. bantuan harus rinci, tertulis, dan jelas;
e. Para Pihak mengidentifikasi dan memberitahukan ASEAN Coordinating Centre mengenai tenaga ahli dan peralatan bantuan yang dapat disediakan.
5 / 7
www.hukumonline.com
8. Petunjuk dan Pengendalian Bantuan
Persetujuan ASEAN mengatur petunjuk dan pengendalian bantuan yaitu:
a. Pihak pemohon bantuan wajib melaksanakan petunjuk, pengendalian, koordinasi, dan pengawasan bantuan di wilayahnya;
b. Pihak pemberi bantuan wajib menunjuk orang/badan untuk melakukan pengawasan atas personel, peralatan, dan bekerja sama dengan Pihak pemohon bantuan;
c. Pihak pemohon bantuan menyediakan fasilitas lokal dan pelayanan administrasi yang tepat dan efektif; dan
d. Pihak pemberi dan penerima bantuan wajib mengkoordinasikan bantuan di wilayahnya masing-masing.
9. Pengecualian dan Fasilitas dalam Ketentuan Pemberian Bantuan
Persetujuan ASEAN memberikan pengecualian berupa pembebasan pajak dan fasilitas untuk memasukkan personel, peralatan, dan bahan agar pemberian bantuan efektif dan efisien.
10. Transit Personel, Peralatan, dan Bahan dalam Ketentuan Pemberian Bantuan
Pihak lain yang wilayahnya menjadi tempat transit wajib memberikan fasilitas bagi personel, peralatan, dan bahan yang dibutuhkan atau digunakan dalam pemberian bantuan.
11. Kerja Sama Teknis
Para Pihak wajib melakukan kerja sama teknis yang difasilitasi ASEAN Coordinating Centre untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan mengurangi risiko terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia antara lain:
a. mobilitas sumber daya;
b. standardisasi format laporan;
c. pertukaran informasi, tenaga ahli, teknologi, teknik, dan keterampilan;
d. perencanaan pelatihan, pendidikan, dan kampanye peningkatan kesadaran;
e. pengembangan teknik pembakaran terkendali;
f. pertukaran pengalaman dan informasi di antara lembaga penegak hukum;
g. pengembangan pasar untuk pemanfaatan bio massa;
h. pengembangan program pelatihan bagi pemadam kebakaran;
i. memperkuat dan meningkatkan kapasitas teknis.
12. Penelitian Ilmiah
Penelitian ilmiah wajib dilakukan baik secara bersama-sama maupun antarnegara ASEAN maupun sendiri-sendiri untuk:
a. mempromosikan dan mendukung program penelitian ilmiah dampak terhadap kesehatan masyarakat jangka panjang;
b. mengembangkan cara, metode, teknik dan peralatan untuk pengendalian kebakaran lahan dan/atau hutan termasuk pemadaman kebakaran.
Peraturan perundang-undangan nasional yang berkaitan dengan Persetujuan ASEAN, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888);
6 / 7
www.hukumonline.com
2. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 85, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4411);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437);
4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 139, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5058);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5059).
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal terjadi perbedaan penafsiran antara naskah terjemahan Persetujuan dalam bahasa Indonesia dan naskah aslinya dalam bahasa Inggris, maka yang berlaku adalah naskah asli Persetujuan dalam bahasa Inggris.
Pasal 2
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5592
7 / 7