keputusan bric menerima afrika selatan sebagai...
TRANSCRIPT
KEPUTUSAN BRIC MENERIMA AFRIKA SELATAN
SEBAGAI ANGGOTA TAHUN 2011
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Rendy Iskandar Chaniago
1112113000017
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1438 H/ 2016 M
ii
iii
iv
v
ABSTRAKSI
Skripsi ini membahas mengenai keputusan BRIC menerima Afrika Selatan
sebagai anggota pada tahun 2011. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa alasan-
alasan yang menyebabkan forum ekonomi kerjasama internasional negara
berkembang BRIC mau menerima Afrika Selatan sebagai anggota tetap pada
pertemuan tahunan 2011 di China. Penelitian dilaksanakan menggunakan metode
kualitatif melalui studi literatur. Untuk menjawab pertanyaan penelitian
digunakan grand teori konstruktifisme dan tiga konsep, yakni identitas, speech
act, dan regionalisme baru.
Penelitian ini menemukan jawaban bahwa diterimanya Afrika Selatan
sebagai anggota BRIC pada tahun 2011 disebabkan tiga faktor. Pertama, Afrika
Selatan memiliki kesamaan identitas dengan negara-negara BRIC, kesamaan
identitas tersebut membentuk identitas kolektif yang akan mempengaruhi prilaku
negara-negara BRIC sehingga menerima Afrika Selatan sebagai anggota; kedua,
Afrika Selatan memiliki „desire‟ untuk bergabung dengan BRIC melalui upaya
diplomasi dan kunjungan ke semua negara BRIC; terakhir, Afrika Selatan juga
memiliki kesamaan speech act dengan deklarasi negara-negara BRIC untuk
mereformasi institusi finansial internasional. Adapun BRIC dalam konsep
regionalisme baru, berada di level regional society, yakni level dimana tumbuh
beragam proses komunikasi dan interaksi di antara banyak aktor baik negara
maupun non-negara dan termasuk beberapa dimensi seperti ekonomi, politik, dan
budaya.
Kata Kunci: Afrika Selatan, BRIC, Konstruktifisme, Emerging Countries,
Speech Act, Regionalisme Baru.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil‟alamin. Puji dan syukur selalu penulis panjatkan
kepada Allah S.W.T Tuhan Semesta Alam karena atas rahmat dan karunia-Nya
penulis selalu diberikan kesempatan, kekuatan, kesehatan, keteguhan dan
kenikmatan luar biasa sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi
yang berjudul “Keputusan BRIC Menerima Afrika Selatan Sebagai Anggota
Tahun 2011.”
Skripsi ini ditulis untuk memenuhi persyaratan menyelesaikan program S1
program studi Ilmu Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak sekali
mendapat bantuan, bimbingan, dukungan, dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh
karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. Orang tua tercinta, Ayahanda Ir. Salman , yang telah menjadi ayah luar
biasa bagi penulis, menjadi panutan bagi penulis dan pembimbing
penulis dan Ibunda Sri Puji Hastuti yang telah menjadi pendidik
pertama penulis, teman serta sahabat penulis dalam mengarungi
kehiduapan. Kasih sayang keduanya tidak terhitung dan tidak dapat
penulis balas jasanya meski penulis hidup ribuan tahun. Semoga kami
sekeluarga kelak bertemu dan berkumpul kembali dalam naungan surga
Allah S.W.T. Kepada ayah dan mama, kesuksesan skripsi ini menjadi
persembahkan terindah penulis untuk saat ini, semoga kelak anakmu ini
dapat terus berkarya dan membuat keluarga bangga.
vii
2. Kepada adik penulis Chandra Amien dan Muhammad Irfan putra
Razaki, yang juga selalu memberikan dukungan dan semangat agar
skripsi ini cepat selesai.
3. Kepala Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Bapak Prof. Dr.
Zulkifli, MA yang telah memberikan inspirasi dan contoh selama
perkuliahan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Kepala Program Studi Ilmu Hubungan Internasional Bapak Dr. Badrus
Sholeh, S.Ag., MA. dan Sekretaris Program Studi Ilmu Hubungan
Internasional, Ibu Eva Mushoffa, M.HSPs, MA. yang sangat
menginspirasi penulis dan telah menjadi mitra kerja penulis dalam
kepenguruan HMPS HI 2015.
5. Bapak Taufiq Rahman, MA selaku dosen pembimbing seminar
proposal dan skripsi yang telah membimbing dan memberikan banyak
bantuan, dukungan, semangat, dan motivasi selama proses penulisan
skripsi ini. Terima kasih untuk semuanya, semoga Allah membalas
segala perbuatan bapak Taufiq.
6. Kepada Guru Sehat Dr. Tubagus Wahyudi, S.T., M.Si., M. Cht., CHI
yang telah menjadi inspirator penulis, guru yang selalu mengajarkan
penulis banyak hal dalam kehidupan. Serta Dwi Andiani Widiastuti,
SE. yang telah menjadi ibu kami mahasiswa Kahfi BBC Motivator
School.
viii
7. Seluruh dosen-dosen HI dan jajaran yang telah memberikan banyak
ilmu dan inspirasi kepada penulis. Semoga ilmu yang didapat selama
proses perkuliahan bermanfaat dan bisa penulis amalkan ke depannya.
8. Kepada Ririn Rindiana Dewi, terima kasih untuk waktu, motivasi,
saran, arahan dan support kepada penulis sampai akhirnya skripsi ini
selesai. You are the great woman !
9. Teman-teman Prodi Ilmu Hubungan Internasional angkatan 2012
yang telah memberikan banyak kenangan indah tak terlupakan selama
perkuliahan dan juga pembelajaran yang berharga terkhusus untuk
teman-teman penulis yang selalu menyemangati, memberikan motivasi
dan masukan dalam proses penulisan skripsi, yaitu: Indra Saputra,
Darmawan Ardiansyah, Iqbal Muhammad Fauzani, Guntomo Raharjo,
Ratna KJ, Mutiarani Zahara, Luthfi Anugrah, Faruq Arjuna Hendroy,
dan teman-teman lain yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Sukses
akan selalu menyertai langkah kita semua and see you on the top !
10. Kepada Keluarga Besar Kahfi BBC Motivator School, terlebih
sahabat Kahfi Angkatan 15 yang begitu banyak memotivasi penulis,
menginspirasi, dan mensupport penulis khususnya kepada Yusuf
Kurniawan, Priyo Atmojo, Surya Akbar Sukma, Bunda Damay, Nurul
Witry, Hilda Lisdianti, Siska Utami, Dedi Irawan, dan para senior Ka
Iyang, Ka Milki, Ka Munir beserta teman-teman lainnya yang tidak
dapat penulis jabarkan sat persatu.
ix
11. Kepada Keluarga Besar HMI KOMFISIP, organisasi yang banyak
telah mempengaruhi kepribadian penulis, mengajarkan penulis
berorganisasi dan menjadi pemimpin. Khususnya kepada Kanda Ali
Wafa, Yunda Yeni, Kanda Awe, Kanda Sopyan Hadi, Yunda Bisti Ika
dan semua keluarga besar HMI Komfisip dari awal sampai yang akan
masuk. Jadilah Insan Cita sesungguhnya.
12. Untuk teman-teman LAPMI Cabang Ciputat, yang menjadi tempat
penulis melatih jiwa literasi dan jurnalistik, khususnya bang Akmal,
bang Tanto, Ka Nuna, Ajeng, Agita, bang Dzikri, Rahma, dir Ma‟ruf,
Melki AS, Ijal, Ka Alfa, dan Ka Tokichi, terima kasih telah menjadi
partner dan guru penulis dalam dunia jurnalistik dan literasi.
13. Untuk teman-teman Prime Generation 2010 regional Jabodetabek,
khususnya Rahmatullah Basri, M. Shirajul Ilmi, Syahrul Falah,
Ilhamsyah, Andra Kurnia, Muzakka, dan teman-teman lainnya. Yang
menjadi partner di Jakarta dan berjuang di tanah Ciputat. Mumtaz
ma‟an quum !
14. Kepada segenap pengurus HIMAHI 2015 terima kasih untuk
kesempatan belajar memimpin dan berorganisasi, bangga pernah
menjadi Ketua Umum organisasi HIMAHI UIN Jakarta. Bravo !
15. Teman-teman KKN Abadi 2015 Desa Cibatok Satu, Bogor, terima
kasih untuk satu bulannya yang selalu membekas indah bagi penulis.
Serempet teroos !
x
16. Teman-Teman SPK PAN Angkatan Pertama, khususnya Kepsek
Iswari Mukhtar, Rifqi Syahrizal, Hendri Satrio, dan teman-teman
lainnya.
Penulis berharap dan berdoa semoga Allah selalu memberikan keberkahan
yang melimpah kepada seluruh pihak yang telah membantu dan mendukung
penulis, baik yang telah disebutkan, maupun pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu.
Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam
penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, penulis menerima saran dan kritik yang
dapat disampaikan ke [email protected] untuk menjadi perbaikan atas
karya-karya penulis di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat dan menambah khazanah ilmu pengetahuan kita semua. Terimakasih.
Jakarta, 13 Desember 2016
Rendy Iskandar Chaniago
xi
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ............................................. iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ............................................ iv
ABSTRAKSI ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR ................................................................................. vi
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... xiii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................... xiv
DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ....................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................ 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................. 8
D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 8
E. Kerangka Teori ...................................................................... 10
E.1.Teori Konstruktifisme ................................................. 10
E.2. Konsep Identitas ......................................................... 12
E.3. Konsep Speech Act .................................................... 14
E.4. Konsep Regionalisme Baru ........................................ 16
F. Hipotesis ................................................................................. 18
G. Metode Penelitian .................................................................. 18
H. Sistematika Penulisan ............................................................ 19
BAB II IDENTITAS DAN LEVEL REGIONALISME BRIC
A. Sejarah Lahirnya BRIC serta Kerjasama di BRIC ................ 21
B. Menuju Identitas Bersama Negara-Negara BRIC .................. 31
B.1. Konstruktifisme : Antara Materi dan
Non- Materi ....................................................................... 31
B.2. Self Identity Negara-Negara BRIC ............................. 33
C. New Regionalisme dan Level Regionalisme BRIC ............... 38
C.1. Regional Space ........................................................... 40
C.2. Regional Complex ...................................................... 40
C.3. Regional Society ......................................................... 42
C.4. Regional Community dan Regional State .................. 42
xii
BAB III SPEECH ACT DAN RULES DALAM BRIC
A. Terbentuknya Konsep Speech Act dan Rules ........................ 46
B. Speech Act dan Rule Sebagai Konsep Konstruktifime ........... 47
C. Tinjauan Terbentuknya BRIC Dalam Konsep
Speech Act .............................................................................. 54
BAB IV KESELARASAN AFRIKA SELATAN DAN BRIC
A. Profil Afrika Selatan ............................................................... 67
B. Perubahan Positif Afrika Selatan ............................................ 71
C. Upaya Diplomasi Afrika Selatan ke BRIC ............................. 73
D. Keselaran Identitas Afrika Selatan dan Negara-
Negara BRIC .......................................................................... 75
E. Keselarasan Speech Act Afrika Selatan dan Negara-
Negara BRIC .......................................................................... 81
BAB V PENUTUP ................................................................................... 87
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. xvii
LAMPIRAN ................................................................................................ xxvii
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel IV.B.1 Pertumbuhan Real GDP Afrika Selatan .............................. 72
xiv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.A.1 Grafik Pertumbuhan GDP Negara-Negara BRICS
per 2010 ....................................................................... 5
Gambar 1.A.2 Grafik Populasi Penduduk Dalam Juta Negara-
Negara BRICS Per 2010 ............................................... 6
Gambar 1.A.3 Grafik Pendapatan Negara Dalam Miliar Dollar AS
Negara-Negara BRICS Per 2010 .................................. 7
Gambar II.A.1 Peta Negara-Negara BRICS ......................................... 22
Gambar II.B.2 Penyederhanaan Proses Struktur Sosial
Kontruktifisme .............................................................. 33
Gambar III.B.2 Pengambaran Individu dan Masyarakat........................ 48
Gambar IV.D.1 GDP (PPP) Negara-negara BRIC, Afrika Selatan,
dan Amerika Serikat dari 1980 sampai 2011 ................ 78
xv
DAFTAR SINGKATAN
AU African Union
AIDS Acquired Immune Deficiency Syndrome
Afsel Afrika Selatan
AS Amerika Serikat
ASEAN Association of Southeast Asia Nations
BASIC Brazil, Afrika South Africa, India, dan China
BRIC Brazil, Rusia, India, dan China
BRICS Brazil, Rusia, India, China, dan South Africa
CRA Contingent Reserve Arrangement
EMDGs Emerging Market Economic and Developing Countries
EEU Eurasian Economic Union
EU Europe Union
GDP Gross Domestic Product
G7 The Group of Seven
G8 The Group of Eight
G20 The Group of Twenty
HIV Human Immunodeficiency Virus
IBSA India, Brazil, dan South Africa
IFC International Finance Corporation
IMF Islamic State of Iraq and Syria
xvi
MDG Millennium Development Goals
MIGA Multilateral Investment Guarantee Agency
NDB New Development Bank
OAU Organisation of African Unity
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
RIC Rusia, India, dan China
SAARC South Asian Association Regional Cooperation
SCO Sanghai Cooperation Organisation
TFP Total Factor Productivity
UNASUR Union of South American
WB World Bank
WTO World Trade Organisation
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Skripsi ini akan membahas mengenai keputusan Brasil, Rusia, India, dan
Cina (BRIC) menerima Afrika Selatan sebagai anggota pada tahun 2011. Afrika
Selatan dipilih sebagai objek penelitian sebab Afrika Selatan merupakan negara
terakhir yang bergabung dengan BRIC. Adapun tahun 2011 dipilih sebab pada
tahun tersebutlah Afrika Selatan resmi menjadi anggota tetap BRIC dan ikut
dalam annual summit BRIC.
Afrika Selatan tergolong ke dalam emerging countries yang menurut
Simon adalah negara dengan pertumbuhan perekonomian yang cepat, dan
masing-masing menuju tahapan perekonomian pasar. Maksudnya negara ini
memiliki kemampuan besar dibandingkan negara-negara berkembang lainnya
untuk menyediakan kepada para investor kesempatan untuk mencapai keuntungan
yang lebih tinggi. Kemudian Simon mengindikasikan emerging countries pada
negara dengan ukuran ekonomi yang kecil, pendapatan perkapita yang rendah
dibandingkan negara maju, terbukanya pasar untuk investor asing, dan resiko
berubahnya nilai tukar yang semakin besar akibat dari perdagangan. (dalam
Sechel Loana dan Ciobanu 2014 : 1-2)
2
Istilah emerging countries sendiri pertama kali digunakan oleh Antonie
Van Agtmael di tahun 1980-an seorang pakar ekonomi bank dunia. Antonie
menekankan pada sebuah transisi dari negara berkembang menuju negara maju
(Gale Cengage 2013 : 1) BRICS merupakan salah satu organisasi forum
internasional yang beranggotakan emerging countries.
Pada tahun 2001, Jim O‟Neill menyebutkan empat negara yang akan
mengalahkan perekonomian negara-negara G6 (Jerman, Prancis, Inggris,
Polandia, Italia, dan Spanyol) pada tahun 2050. Empat negara tersebut adalah
Brasil, Rusia, India, dan Cina atau yang kemudian dikenal BRICs. Kesimpulan ini
dibangun atas dasar lima prediksi yaitu ukuran ekonomi, pertumbuhan ekonomi,
pendapatan dan demografi, permintaan global, dan pergerakan mata uang.
(Dominic Wilson dan Roopa Purushotaman 2003 : 1-3) Keempat negara ini
masuk dalam emerging countries yang selanjutnya punya peran penting dalam
perekonomian dunia.
Pada awalnya BRIC hanya berupa akronim ciptaan O‟Neill seorang pakar
ekonomi dari bank investasi Goldman Sachs untuk menyebutkan keempat negara
emerging countries tersebut. (Karthik Narayanaswami 2013 : 11) Akronim hasil
O‟Neill ini kemudian menjelma menjadi sebuah forum kerjasama internasional
yang terdiri dari negara Brasil, Rusia, India, dan Cina.
Keempat negara memiliki perbedaan yang cukup mendasar, dari sisi
geografis hanya Cina dan Rusia yang berbatasan langsung sisanya terpisahkan
oleh daratan dan lautan. Perbedaan geografis ini tentunya akan menimbulkan
perbedaan baik secara kebijakan ekonomi, terpisah oleh tujuan kebijakan luar
3
negeri dan berbeda dari bentuk pemerintahannya. India dan Brasil merupakan
negara dengan tradisi demokrasi sementara Rusia dan Cina keduanya autokrasi.
Akan tetapi keempat negara ini sepakat untuk membentuk institusi internasional.
(The New York Times, 2013)
Delapan tahun setelah O‟Niell membuat akronim dari empat negara
emerging countries, pada 16 Juni 2009 di Yekateringburg, Rusia, keempat
pemimpin negara mengadakan pertemuan perdana. Brasil diwakili oleh President
Lula, Rusia diwakili oleh Presiden Dmitry Medvedev, India diwakili oleh Perdana
Menteri Manmohan Singh, dan Cina diwakili oleh Presiden Hu Jintao. Keempat
negara sepakat untuk membentuk sebuah forum kerjasama internasional dengan
nama BRIC. (Oliver Stuenkel 2015 : 25)
Hasil dari pertemuan itu melahirkan Joint Statement of BRIC Countries
yang terdiri dari 17 poin, pada poin terakhir Rusia, India, dan Cina
mempersilahkan Brasil sebagai tuan rumah BRIC Summit selanjutnya pada 2010.
(BRICS South Africa, 2009) Keempat negara kemudian melakukan pertemuan
rutin tahunan membahas pelbagai masalah secara rutin. (Annual BRIC Summit)
Pada krisis global 2007 dan 2008 keempat negara ini sanggup bertahan
dan pulih dengan cepat. Ketahanan Brasil, Rusia, India, dan Cina dalam
menghadapi krisis global 2007-2008 patut diapresiasi dan menjadi salah satu
faktor lahirnya BRIC. Kemungkinan negara BRIC mengantikan AS sebagai mesin
perekonomian global kian jelas selama krisis global, disaat sebagian negara dunia
perekonomian tumbuh kurang baik, negara BRIC menunjukan pertumbuhan yang
baik. (Ritwik Banerjee dan Pankaj Vashisth 2010 : 1-3)
4
Negara BRIC juga terkena dampak secara tak langsung dari krisis global,
akan tetapi dampaknya relatif lebih kecil jika dibandingkan negara maju dan
negara berkembang lainnya. Selain itu, turunnya perekonomian mereka realtif
dangkal dan sanggup pulih kembali dalam waktu yang relatif cepat dan kuat.
(Ritwik Banerjee dan Pankaj Vashisth 2010 : 1-3)
Jason Walters, seorang peneliti kebijakan Internasional dalam
publikasinya berjudul BRIC Countries menilai keberhasilan empat negara untuk
bertahan dalam krisis global hendaknya dijadikan ”panutan” yang harus
dipertahankan oleh masing-masing kepala negara. Kesadaran kepala negara
Brasil, Rusia, India, dan Cina akan kelebihan dan kekuatan masing-maisng
menjadi alasan keoptimisan kerjasama ini. Terlebih, total populasi keempat
negara lebih dari 2,8 milyar atau mencapai 40% populasi dunia, seperempat luas
daratan dunia dan mencapai 25 persen total GDP. (Global Sherpa)
BRIC menerima Afrika Selatan sebagai anggota pada 24 Desember 2010,
akan tetapi Afrika Selatan benar-benar diterima menjadi anggota pada tahun 2011.
Penerimaan secara resmi tersebut ditandai dengan hadirnya Afrika Selatan yang
diwakili oeh Jazob Zuma dalam pertemuan tahunan ketiga negara-negara BRIC.
(Renu Modi 2012)
Pada 14 April 2011, terjadi perubahan besar di BRIC, Afrika Selatan
diterima menjadi anggota sehingga nomenklatur dari forum internasional ini
menjadi BRICS bertambah S dengan masuknya Afrika Selatan (South Africa).
Diterima Afrika Selatan semakin memperjelas bahwa BRICS telah menjelma
menjadi forum politik yang terkonstruk, tidak lagi seperti yang dikategorikan oleh
5
para ekonom di Goldman Sachs. Jim O‟Niell tidak setuju dengan keputusan ini,
baginya Afrika Selatan tidak termasuk BRIC. (Oliver Stuenkel 2015 : 39-41)
Ketidaksetujuan itu menurut Jim O‟niel merupakan sebuah kekeliruan
yang melemahkan BRIC. Afrika Selatan memiliki perekonomian yang sangat
kecil jika dibandingkan dengan negara lain di BRIC. Selain itu, Brasil, Rusia,
India, Cina banyak kecocokan dalam angka-angka, berbeda dengan Afrika Selatan
yang terlalu timpang dan jauh. (Gauteng Province 2013 : 9) Afrika juga tertinggal
dari keempat anggota yang telah lebih dahulu menjadi anggota dalam populasi,
pertumbuhan GDP dan pendapatan GDP.
Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi Afrika Selatan 2,8 % sedangkan
Cina 10,3 %, India 9,7 %, Brasil 7,5%, Rusia 4,5 %.
Gambar I.A.1 Grafik Pertumbuhan GDP Negara-Negara BRICS
Per 2010
Sumber : (Hany Besada, Evren Tok dan Kristen Winters 2013 : 3) (Gauteng
Province 2013 : 13-16)
0,0%
2,0%
4,0%
6,0%
8,0%
10,0%
12,0%
Rusia AfrikaSelatan
Cina India Brazil
GDP 4,5% 2,8% 10,3% 9,7% 7,5%
6
Populasi penduduk juga tertinggal, Afrika Selatan populasinya 50 juta,
Cina 1,3 miliar, India 1,2 miliar, Brasil 194 juta, Rusia 142 juta.
Gambar I.A.2 Grafik Populasi Penduduk Dalam Juta Negara-Negara BRICS
Per 2010
Sumber : (Hany Besada, Evren Tok dan Kristen Winters 2013 : 3) (Gauteng
Province 2013 : 13-16)
Pendapatannya jauh tertinggal pula, Afrika Selatan meraup pendapatan 286 miliar
dolar AS, Brasil 1 tryliun dolar AS, India 2 tryliun dolar AS, Rusia 1,6 tryliun
dolar AS, dan Cina 5,5 tryliun dolar AS. (Hany Besada, Evren Tok dan Kristen
Winters 2013 : 3) (Gauteng Province 2013 : 13-16)
0
200
400
600
800
1000
1200
1400
Brazil Rusia India Cina Afrika Selatan
194 142
1200 1300
50
Jumlah Penduduk
7
Gambar I.A.3 Grafik Pendapatan Negara-Negara BRIC Dalam
Miliar Dollar AS Per 2010
Sumber : (Hany Besada, Evren Tok dan Kristen Winters 2013 : 3) (Gauteng
Province 2013 : 13-16)
Jim O‟Niell melihat bahwa Nigeria merupakan pilihan terbaik diantara
negara-negara Afrika lainnya bagi BRIC. Hal ini didasarkan bahwa Nigeria
memiliki polulasi yang besar, diperkirakan 158,3 juta pada 2012 sedangkan
Afrika hanya 49,9 juta di tahun yang sama. Pertumbuhan ekonominya pun jauh
lebih baik yaitu 7,4 persen berbanding 3.1 persen. Jim O‟niel juga
mengindikasikan bahwa negara seperti Korea Selatan, Indonesia, Mexico, dan
Turki merupakan negara yang layak untuk bergabung dengan BRIC disebabkan
besarnya populasi dan pertumbuhan ekonomi. (Gauteng Province 2013 : 9)
Diterimanya Afrika Selatan sendiri merupakan fenomena yang menarik
untuk dikaji, mengingat perekonomian Afrika Selatan jika dibandingkan dengan
0 1000 2000 3000 4000 5000 6000
Rusia
Afrika Selatan
Cina
India
Brazil
8
keempat negara BRIC tentu saja sangat jauh tertinggal. Bahkan, Jim O‟Niell pun
menyatakan masuknya Afrika Selatan merupakan kesalahan besar.
B. Pertanyaan Penelitian
Objek penelitian yang akan menjadi fokus penulis adalah BRICS sebagai
forum kerjasama ekonomi emerging countries. Penulis akan menganalisa
mengenai keputusan BRIC menerima Afrika Selatan sebagai anggota BRIC, maka
pertanyaan penelitian ini adalah mengapa BRIC menerima Afrika Selatan
sebagai anggota tahun 2011?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui tentang faktor apa yang membuat
negara BRIC menerima Afrika Selatan sebagai anggota pada tahun 2011 dalam
pertemuan di Cina. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber
rujukan penelitan selanjutnya yang terkait dengan sikap BRIC dalam upaya
menghadapi dominasi Amerika Serikat dan sekutunya dalam perekonomian
global.
D. Tinjauan Pustaka
Penelitian tentang BRIC telah jauh diteliti oleh banyak ilmuwan dalam
rentang waktu yang berbeda dan beragam sisi. Pada tahun 2013, Fadlinnisa
mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Indonesia menulis skripsi yang
membahas tentang implementasi perspektif liberalism, realism, dan
konstruktivisme terhadap keberadaan BRICS sebagai forum kerjasama ekonomi
negara-negara emerging economies periode 2009-2013. Menurutnya, berdirinya
BRICS dapat dilihat dari berbagai macam teori yang pada intinya merupakan
9
forum kerjasama regional yang terdiri dari negara-negara emerging countries
yang masing-masing ditandai dengan pertumbuhan Gross Domestic Product atau
GDP yang cepat dan sanggup memimpin perekonomian dunia pada 2050.
Fadlinnisa juga melihat bahwa persamaan identitas keempat negara yang
tidak begitu akrab dengan Amerika Serikat menjadi alasan lain untuk
mengakomodir tujuan bersama negara-negara BRICS. Perbedaan dengan yang
dilakukan adalah penelitian ini berfokus pada salah satu keputusan BRIC Summit
untuk menerima Afrika Selatan sebagai anggota tetap pada 2011.
Selanjutnya, pada tahun 2014, Eko mahasiswa Hubungan Internasional
UIN Jakarta menulis skripsi yang membahas mengenai dampak bergabungnya
Afrika Selatan ke BRIC. Menurut Eko Bergabungnya Afrika Selatan berhasil
meningkatkan volume perdagangan, tren perdagangan dengan negara anggota
juga meningkat pesat sehingga membuat perekonomian Afrika Selatan lebih baik.
Demikian pula investasi yang mengalami peningkatan, Cina menjadi partner
utama Afrika Selatan dalam perdagangan sedangkan di sektor investasi India
diurutan pertama.
Dampak selanjutnya tidak hanya untuk Afrika Selatan tetapi juga negara-
negara di Afrika lainnya. BRICS juga memberikan dampak positif dalam sosial
budaya Afrika Selatan, perannya di regional maupun multilateral tak
terbantahkan, Afrika Selatan berhasil menunjukan perannya sebagai pendonor dan
pemimpin proses perdamaian dan integrasi regional. Perbedaan dengan penelitian
yang dilakukan yakni terletak pada pertanyaan penelitian yang mana penelitian ini
10
akan fokus pada penyebab diterima Afrika Selatan sebagai anggota bukan dampak
dari bergabungnya Afrika Selatan.
Kemudian pada tahun 2013, jurnal karya Hany Besada, Evren Tok dan
Kristen Winters membahass mengenai keanggotaan Afrika Selatan yang berjudul
South Africa in The BRICS : Opportunities, Challenges, and Prospect. Dalam
karya ini dijelaskan, Afrika kurang berkontribusi jika kita melihat dari
pertumbuhan GDP, pendapatan, dan populasi penduduk. Namun, Afrika
berkontribusi sebagai gerbang negara BRIC ke benua Afrika.
Dampak masuknya Afrika Selatan juga memberikan pengaruh terhadap
pembuatan kebijakan dan penjajaran di antara negara berkembang untuk membuat
sistem perekonomian dunia menjadi lebih inklusif. Selain itu, Afrika Selatan juga
dapat mempromosikan pembangunan ekonomi melalui peningkatan perdagangan
dan investasi, dan memperluas sektor-sektor lain yang dimiliki negara melalui
keuntungan comparative-nya serta memberikan peluang investasi di luar bagi
perusahaan di Afrika Selatan. Munculnya BRICS setidaknya memberikan
tantangan kepada dominasi barat dan memberikan kekuatan alternatif bagi
keamanan, perdamaian, terkhusus di negara-negara berkembang. Perbedaan
dengan penelitian yang dilakukan yakni pada fokus penelitian mengenai
keanggotaan Afrika Selatan dalam BRIC.
E. Kerangka Teori
E.1. Konstruktifisme
Perdebatan ketiga teori HI terjadi di akhir 1980-an, perdebatan ini antara
positivist dan post positivist. Selanjutnya lahir reaksi atas debat ini yaitu dialog
11
mengenai konstruktifisme. Konstruktivisme juga yang sering diibaratkan sebagai
jalan ketiga, middle ground atau juga bridging antara posititvism dan radikalisme
epistemology post modernisme. (Emanuel Adler 2002 : 95-118) Kaum
konstruktivis meyakini bahwa dunia sosial, termasuk hubungan internasional
merupakan hasil konstruksi manusia. (Robert Jackson & George Sorensen 2009 :
307)
Wendt mendeskripsikan 2 prinsip dasar konstruktivis yaitu : (James G
Melton 2009)
a. Struktur-struktur yang terbentuk dalam setiap asosiasi dibentuk oleh
pertukaran ide dan bukan terjadi karena kekuasaan yang sifatnya
material
b. Identitas dan kepentingan dari aktor dikonstruksikan oleh ide-ide
tersebut dan bukan sama sekali bersifat alamiah.
Lebih lanjut, menurut Wendt, struktur sosial memiliki tiga elemen :
pertama, pengetahuan bersama, hal ini menciptakan aktor-aktor dalam suatu
situasi dan sifat hubungan mereka apakah kooperatif maupun konfliktual ?; kedua,
sumber daya mineral, dan terakhir, praktek. Dilema keamanan, sebagai contoh,
adalah struktur sosial yang terdiri dari pemahaman inter subjektif dimana negara
saling curiga bahwa mereka membuat asumsi-asumsi keadaan yang buruk tentang
maksud masing-masing pihak, dan sebagai akibatnya menegaskan kepentingan
mereka dalam hal menolong diri sendiri. (Robert Jackson & George Sorensen
2009 : 308)
12
Dapat dipahami bahwa teori konstruktifisme merupakan teori yang
menjembatani antara pendekatan mainstream hubungan internasional dan
pendekatan post modern. Konstruktifisme menekankan pentingnya unsur ide
dalam interaksi aktor, apa yang terjadi dalam politik internasional dikonstruksi
oleh ide masing-masing aktor negara yang dibangun dari intekasi satu sama lain.
Diterimanya Afrika Selatan menjadi anggota BRIC juga merupakan konstruksi
dari para aktor di dalam BRIC. Adapun konsep yang digunakan untuk
memperjelas keputusan BRIC tersebut menggunakan dua konsep yakni identitas
dan Speech Act.
E.2. Identitas
Identitas merupakan unsur penting bagi teoritis konstruktifisme dalam
menganalisa hubungan antara negara. Lebih lanjut identitas tidak tercipta begitu
saja akan tetapi terbentuk dan dibangun oleh para aktor tersebut. Wendt menilai
lingkungan internasional dibentuk dan dibentuk kembali melalui proses interaksi.
Konsep identitas yang dibangun oleh Wendt merupakan alternatif dari teori
mainstream hubungan internasional yang menekankan kepada material. (Maja
Zehfuss 2002 : 39)
Terdapat dua prinsip fundamental dari teori konstruktifistme sosial :
pertama, tindakan aktor berdasarkan meaning, dan kedua meaning berangkat dari
interaksi. Pentingnya struktur makna daripada material berbanding dengan
realist yang lebih berfokus pada material. Identitas inilah yang memungkinkan
klaim bahwa politik internasional dibangun. (Maja Zehfuss 2002 : 39) Jadi,
13
identitas mencari aspek yang lebih penting ketimbang materi dalam teori
konstruktifisme.
Identitas sendiri erat kaitannya dengan intersubjective meaning, bukan
merupakan material, akan tetapi aspek struktur yang mempengaruhi prilaku.
Struktur intersubjective dibentuk dari collective meanings. Identitas didefinisikan
sebagai pemahaman tentang diri, peran secara spesifik dan kecenderungan
identitas yang stabil dengan berpartisipasi dalam collective meaning. (Alexander
Wendt 1999 : 21-23) Identitas bagi Wendt merupakan penyebab bagaimana aktor
Internasional berprilaku. Identitas ini penting sebab dia akan membentuk
kepentingan aktor. Sebuah institusi, bagi Wendt merupakan struktur yang secara
stabil dibentuk berdasarkan identitas dan kepentingan bersama masing-masing
aktor. (Alexander Wend 1999 : 21 dan 160)
Kehidupan politik internasional yang terjadi sehari-hari adalah proses yang
berlangsung tentang bagaimana negara membentuk identitas dengan negara lain,
dan negara lain merespon identitas tersebut lalu muncullah hasilnya. Oleh karena
itu, identitas adalah kunci dari lingkungan internasional antara konfliktual dan
kooperatif. Interaksi antara para aktorlah yang membentuk identitas, akan tetapi
identitas tersebut bukan hanya dibentuk tetapi juga dipertahankan. Identitas
tersebut dipertahankan melalui proses interaksi yang berulang. (Maja Zehfuss
2002 : 41-42)
Organisasi Internasional terbentuk tentunya terdiri dari beragam identitas
yang diramu menjadi identitas kolektif. Identitas ini dilihat bagaimana
14
kepentingan bersama para aktor didefinisikan, sejauh mana kepentingan diri
sendiri dikonsepkan dan menggabungkannya dengan identitas sosial lain.
(Alexander Wendt 1999 : 229) Identitas bersama ini akan mendasari prilaku
kolektif dari aktor-aktor internasional. Terbentuknya dilihat dari pemahaman yang
sama, identitas yang sama, nilai yang sama, serta norma yang sama.
Penulis, dalam upaya menjelaskan identitas negara-negara BRIC juga
menggunakan konsep „need‟ dan „desire‟. Konsep dikeluarkan oleh Ronen Palan
ini, akan menjelaskan bagaimana melihat kepentingan aktor dalam upaya
mempertahankan identitasnya dengan menimbulkan „desire‟ yang beragam.
Desire sendiri merujuk kepada sesuatu yang idealistis (dialektikal dan nihilistik)
karena hal ini membuat kita semakin kekurangan. Sementara „need‟ bersifat lebih
simpel dan jelas. (Ronen Palan, 2000 : 22)
BRIC sebagai forum kerjasama ekonomi Internasioanal terdiri dari negara-
negara dengan latar sosial dan budaya yang berbeda. Akan tetapi terdapat
persamaan identitas yang kemudian menjelma menjadi forum kerjasama
internasional dalam upaya bangkit dari krisis global dan memajukan
perekonomian masing-masing negara. Upaya untuk bangkit dari krisis ini
termasuk dalam „desire‟.
E.3. Speech Act
Para pemikir konstrukvisme dalam hubungan internasional berangkat dari
bagaimana aktor membangun realitas sosialnya. Nicholas Onuf melihat manusia
membangun realitas sosialnya melalui perbuatannya, termasuk di dalamnya
15
speech act. Bagi Onuf, speech act adalah bahasa yang merepresentasikan dan
performative. Manusia menggunakan bahasa untuk merepresentasikan
kebutuhannya dalam kata-kata, dan kata-kata sendiri menampilkan kebutuhan.
Onuf menilai speech act dapat menjelaskan bagaimana pembicara membangun
realitas sosialnya dan speech act tersebut memiliki efek terhadap kebijakan negara
lain. (Maja Zehfuss 2002 : 153)
Speech act adalah performa sosial yang berimbas secara langsung dan memiliki
konsekuensi. Seperti kata saya (kata kerja yang mendeklarasikan, meminta,
menjanjikan) bahwa (proposisional konten). Karena orang-orang merespon
kepada mereka (pembicara) dengan tindakan dan penampilan, tidak selalu
diucapkan, pola speech act dan pertunjukan terkait merupakan praktek yang
membuat pengalaman manusia menjadi lebih bermakna. Secara khusus praktek
speech act menimbulkan aturan yang memiliki harapan untuk membentuk masa
depan yang lebih baik ketimbang masa lalu. (Nicholas Onuf 1989 : 183)
Oleh karena itu, berbicara memungkinkan secara normatif membentuk
aksi, dalam artian berbicara adalah aktifiktas dengan konsekuensi normatif
tergantung bentuk pembicaraan yang dilibatkan. Onuf lebih lanjut menjelaskan
tiga hal bagaimana dunia dan kata berhubungan : pertama, assertive,
merefleksikan kata ke dunia atau mengajukan sesuatu yang baru, biasanya
dilakukan dengan (I state that); kedua, directive, mencocokan dunia ke kata,
karena menginginkan adanya perubahan (I request that); terakhir, commissive,
mencocokan kata ke dunia dalam upaya memproyeksikan keadaan yang
16
diinginkan dalam urusan (I promise that). (Maja Zehfuss 2002 : 153) (Nicholas
Onuf 1989 : 184)
Speech act dapat menjelaskan bagaimana negara bertindak melalui
serangkaian ungkapan yang ditandaskan oleh pimpinan negara lain. Setiap ucapan
dan statement yang dilontarkan memiliki konsekuensi bagi negara bersangkutan
dan negara lain. Afrika Selatan dalam kasus BRIC diterima sesuai ungkapan
dituturkan petinggi negara Brasil, Rusia, India, dan Cina.
E.4. Regionalisme Baru
Regionalisme menjadi pembahasan yang berkembang dalam studi
hubungan internasional. Namun, dalam perkembangannya sering tertukar antara
region, subregion atau pun sistem yang menurut Joseph S. jr. Nye. Menyebabkan
terjadinya ambiguous. Steppen Caleya membagi regionalism menjadi lima
karakteristik : pertama, negara-negara di dalamnya memiliki kedekatan geografis;
kedua, memiliki kemiripan sosiokultural; ketiga, terdapatnya kemiripan sikap dan
tindakan politik seperti yang tercermin dalam organisasi internasional; keempat,
kesamaan keanggotaan dalam organisasi internasional; terakhir, adanya
ketergantungan ekonomi yang diukur dari perdagangan luar negeri sebagai bagian
dari proporsi pendapatan nasional. (Anak Agung Banyu Perwita dan Bantarto
Bandoro 2013 : 103)
Perubahan yang cepat dalam regionalisme ini memunculkan perbedaan
antara regionalisme baru dan regionalisme lama. Perbedaan ini dikarakteristikan
atas beberapa kategori : pertama, regionalisme lama merupakan warisan perang
17
dingin dibentuk berdasarkan kalkulasi ideologi dan keamanan; kedua,
regionalisme baru berasal dari inisiatif negaranya sendiri tanpa intervensi negara
adikuasa; ketiga, regionalisme baru bersifat terbuka sementara lama tertutup;
keempat, regionalisme baru bersifat komprehensif serta multidimensi sementara
lama fokus pada isu tertentu; terakhir, regionalisme baru juga fokus pada non-
state actor dalam interaksinya. (Anak Agung Banyu Perwita dan Bantarto
Bandoro 2013 : 106)
Lahirnya BRIC menurut penulis merupakan bentuk regionalisme baru
yang bertujuan mempercepat pertumbuhan serta kemajuan ekonomi negara-negara
anggota melalui forum kerjasama ekonomi. Selanjutnya penulis juga akan
menggunakan konsep regionalisme Bjorn Hettne dan Fredik Soderbaum. Dalam
konsep Hettne dan Soderbaum, regionalisme memiliki lima tingkatan yakni
regional space, regional complex, regional society, regional community, dan
regional state. Konsep ini akan menguraikan bagaimana memahami terbentuknya
dan terkonsolidasinya sebuah wilayah. (Bjorn Hettne dan Fredik Soderbaum 2002
: 34)
Pendefinisian region secara konvensional merujuk ke pada beberapa
negara yang secara bersamaan terikat secara hubungan geografis dan saling
ketergantungan. Konstruktifisme tentunya melihat bahwa region tidak terjadi
begitu saja tetapi terbentuk dan terkonstruk. Menurut Adler dan Barnett,
sebagaimana regional bisa dikonstruk maka tentunya region pun juga bisa
dihancurkan baik secara ide maupun materi. (Bjorn Hettne dan Fredik Soderbaum
2002 : 38)
18
F. Hipotesis
Adapun hipotesis dalam karya akhir ini adalah bahwa diundangnya serta
diterimanya Afrika Selatan sebagai anggota BRICS dilatarbelakangi adanya
anggapan bahwa Afrika Selatan adalah gerbang Afrika dan kekuatan regional.
G. Metode Penelitian
Penulis akan melakukan penelitian yang eksploratori sebagai upaya untuk
menjelaskan suatu fenomenan sosial dengan mencari tahu mengapa sesuatu dapat
terjadi. Studi eksploratori biasanya memang dilakukan setelah suatu peristiwa
yang akan diteliti itu terjadi. Penelitian ini berusaha untuk menjelajah atau
mengambarkan apa yang terjadi, maka penelitian ini sering disebut berhubungan
dengan pertanyaan “apa”. (Silalahi 2009 : 26)
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif naratif deskriptif, yakni
di mana penulis menjadi instrumen utama dalam pengumpulan data dan
pengolahan data. Pengumpulan data dilakukan sebagai upaya untuk menjawab
pertanyaan penelitian yang penulis ajukan. Teknik yang penulis gunakan adalah
kajian kepustakaan dan dokumentasi dengan studi dokumen akan dilakukan dari
sumber data primer dan sekunder. Adapun data sekunder diperoleh melalui media
massa dan lain-lain. (John W Creswell 1994 : 145)
Setelah mengumpulkan data, penulis akan mengolah data melalu tiga
tahapan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Penulis akan
mengumpulkan seluruh data dan informasi yang didapatkan lalu kemudian
membaginya sesuai pola dan kategori tertentu. Penyajian data akan dilakukan
19
secara despritif analitik yang kemudian menarik kesimpulan dari data yang telah
diproses. (John W Creswell 1994 : 148-161)
Penulisan laporan merupakan tahapan akhir penulis setelah menyajikan
data dan menarik kesimpulan. Penulis akan memaparkan laporan penelitian ke
dalam beberapa bab yang kemungkinan akan mengalami perubahan seiring
munculnya data-data baru.
H. Sistematika Penulisan
Penulis akan membagi penelitian ke dalam beberapa bab yaitu
Bab I Pendahuluan
Pembahasan bab pendahuluan meliputi penjelasan awal dan mendasar dari
penelitian. Penjelasan tersebut terdiri atas pernyataan masalah, pertanyaan
penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori,
hipotesis, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II Identitas dan Level Regionalisme BRIC
Dalam bab kedua penulis akan menjelaskan forum kerjasama BRIC
dimulai dari sejarah sampai perkembangannya hingga saat ini, kemudian penulis
juga menjelaskan konsep identitas lebih lengkap dan detail. Setelah menjelaskan
identitas, penulis akan menganalisa bagaimana terbentuknya BRIC menggunakan
konsep identitas dari masing-masing negara yang kemudian menjadi identitas
kolektif. Terakhir, penulis paparkan apa itu new regionalisme dan di mana level
regionalisme BRIC saat ini serta bagaimana idealnya level regionalisme BRIC.
20
Bab III Speech Act dan Rules dalam BRIC
Dalam bab ini penulis menjelaskan kembali apa itu speech act dan
bagaimana menganalisanya sebagai salah satu rule dalam hubungan internasional.
Pemaparan selanjutnya adalah mengenai terbentuknya BRIC dianalisa
menggunakan konsep speech act dari pernyataan Vladimir Putin hingga menjadi
forum kerjasama ekonomi internasional negara-negara emerging countries.
Bab IV Keselarasan Afrika Selatan dan BRIC
Pada bab keempat akan penulis jelaskan terlebih dahulu profil singkat
Afrika Selatan dan bagaimana terjadinya perubahan identitas Afrika Selatan
menuju modern state. Setelah itu penulis akan memaparkan upaya diplomasi
Presiden Zuma ke negara-negara BRIC sebagai upaya agar diterima menjadi
anggota. Terakhir penulis akan menganalisa keselarasan BRIC dan Afrika Selatan
dengan konsep identitas dan speech act, keselarasan ini yang membuat BRIC mau
menerima Afrika Selatan sebagai anggota.
Bab V Penutup
Pada bab terakhir berisi kesimpulan dari hasil analisis yang telah
dilakukan pada bab sebelumnya sekaligus merupakan jawaban dari pertanyaan
penelitian. Bab ini juga menjadi penutup dan bagian akhir dari penelitian.
21
BAB II
IDENTITAS DAN LEVEL REGIONALISME BRIC
Pada bab kedua ini akan dipaparkan mengenai sejarah lahirnya forum
kerjasama ekonomi Internasional BRIC. Pembentukan yang diprakarsai dari
akronim Jim O‟niel seorang ekonom global pada tahun 2001 ini, merupakan
forum yang mengalami proses cukup panjang sebelum dapat terealisasi di tahun
2009. Sejarah pembentukan serta kerjasama BRIC akan dijelaskan dalam bab ini,
kemudian akan dilanjutkan penjelasan mengenai terbentuknya identitas negara-
negara BRIC. Identitas tersebut lalu menjadi identitas kolektif (collective identity)
yang melahirkan BRIC sebagai bentuk identitas keempat negara. Tak hanya
berbicara mengenai identitas, pada bab ini akan dipaparkan tahapan dan level
regionalisme BRIC merujuk teori the rise of regioness.
A. Sejarah Lahirnya BRIC serta Kerjasama di BRIC
Terbentuknya forum kerjasama internasional BRIC tidak dapat dilepaskan
dari gagasan yang dicetuskan oleh Jim O‟niel di tahun 2001. Dalam Building
Better Global Economic BRICs, Jim memaparkan empat negara yakni Brasil,
Rusia, India, dan Cina (BRIC), yang memiliki potensi kuat menyaingi G7 dalam
beberapa dekade mendatang. Untuk itu Jim menyarankan agar ada perubahan
dalam G7 agar organisasi ini menjadi lebih efektif terutama dengan
mempertimbangkan negara BRICs. (Jim O‟neill 2001 : 1-16)
22
Kempat negara tersebut adalah negara dengan pertumbuhan pasar melalui
GDP yang besar dan produktif dengan populasinya yang besar. Produktifitas ini
berangkat dari banyaknya kelompok pekerja yang mampu menghasilkan input
positif untuk negara dari waktu ke materi sehingga mampu mempercepat
pertumbuhan ekonominya. (Francesca Beausang 2012 : 1-2)
Gambar II.A.1 Peta Negara-Negara BRICS
Sumber : Google Image
Keempat negara sepakat untuk melaksanakan pertemuan formal di
Yekalerinburg, Rusia, pada 16 Juni 2009 untuk membahas pembentukan BRIC.
Brasil diwakili oleh Presiden Luiz Inacio Lula da Silva, Rusia diwakili oleh
Perdana Menteri Dmitry Medvedev, India diwakili oleh Perdana Menteri
Manmohan Singh, dan Cina diwakili oleh Presiden Hu Jintao. Keempat negara ini
dalam pertemuan pertamanya fokus pada peningkatan situasi ekonomi global dan
reformasi institusi finansial, serta berdiskusi bagaimana keempat negara
melakukan kerjasama yang lebih baik di masa depan. (Info BRICS, 2015)
23
Keempat negara selanjutnya secara berkelanjutan melakukan serangkaian
pertemuan rutin setiap tahunnya (annual BRICS summit).
BRIC mengalami perkembangan yang cukup signifikan sejak berdiri,
bahkan Jim O‟niell sebagai pencetus akronim ini mengatakan bahwa BRIC
berkembang lebih cepat dari yang ia prediksi. (Lysa John 2012 : 1-2)
“It is more than years now since I had the good luck of Dreaming up the odd
acronym BRIC....By the end of 2011 the BRIC economic story had been much
powerfull than I had proposed in 2001”
Berkembangnya BRIC diikuti dengan mengadakan pertemuan reguler
tahunan membahas berbagai isu-isu strategis tentang keuangan global. Pertemuan-
pertemuan ini tidak hanya dilaksanakan oleh kepala negara, akan tetapi juga
diikuti pertemuan antara kementerian keuangan, kementerian pertanian,
kementerian, kesehatan, para pengusaha bahkan akademisi untuk membahas isu-
isu global seperti perkembangan politik serta situasi di Timur Tengah dan Afrika
Utara. BRIC juga mengkaji lembaga pemerintahan global seperti PBB, IMF,
World Bank Group, terorisme internasional, perubahan iklim, makanan dan
energi, keamanan, MDGs, situasi ekonomi dan keuangan internasional. (BRICS
India, 2012)
Dalam perkembangannya, BRIC memainkan peran yang signifikan di
perekonomian dunia dalam total produksi, penerimaan investasi, dan perluasan
potensi pasar konsumer. BRIC juga memiliki peran penting dalam pembentukan
kebijakan macro ekonomi di pertemuan G20 terlebih setelah krisis keuangan yang
terjadi tahun 2007-2008. (BRICS Rusia, 2012)
24
Terhitung mulai tahun 2009 hingga kini, telah terlaksana 8 kali Annual
BRICS Summit. Pertama pada 16 Juni 2009 di Yekaterinburg, Rusia, pertemuan
ini dihadiri empat negara Brasil, Rusia, India dan Cina. (Document President of
Russia 2009) Keempat negara ini membahas keadaan ekonomi global, penekanan
akan isu pembangunan global, dan keinginan untuk memperkuat kerjasama serta
kolaborasi BRIC.
Negara BRIC sepakat menganggap peran sentral dari G20 dalam
menangani krisis keuangan, lalu mengajukan adanya reformasi institusi keuangan
internasional, sebab negara berkembang kurang mendapatkan peran sifnifikan di
intitusi tersebut. Pernyataan ini tertuang dalam poin tiga deklarasi BRIC pertama :
We are committed to advance the reform of international financial institutions, so
as to reflect changes in the global economy. The emerging and developing
economies must have greater voice and representation in international financial
institutions, whose heads and executives should be appointed through an open,
transparent, and merit-based selection process. We also believe that there is
a strong need for a stable, predictable and more diversified international
monetary system.
Pertemuan kedua diadakan di Brasilia pada 15 April 2010 dengan isu
utama yakni langkah-langkah yang harus ditempuh oleh negara anggota untuk
memperkuat kerjasama dan koordinasi dalam BRIC. (BRICS South Africa, 2010)
Langkah-langkah tersebut termaktub dalam poin 27 2nd Summit Declaration
yakni :
We welcome the following sectoral initiatives aimed at strengthening cooperation
among our countries:
25
1. The first Meeting of Ministers of Agriculture and Agrarian Development;
2. The Meetings of Ministers of Finance and Governors of Central Banks;
3. The Meetings of High Representatives for Security Issues;
4. The I Exchange Program for Magistrates and Judges, of BRIC countries,
held in March 2010 in Brazil following the signature in 2009 of the Protocol
of Intent among the BRIC countries‟ Supreme Courts;
5. The first Meeting of Development Banks;
6. The first Meeting of the Heads of the National Statistical Institutions;
7. The Conference of Competition Authorities;
8. The first Meeting of Cooperatives;
9. The first Business Forum;
10. The Conference of think tanks.
Pertemuan Kementerian tertentu serta pihak-pihak terkait ini dimaksudkan
agar dapat memperdalam kerangka kerjasama di antara masing-masing negara.
Bahkan kerjasama juga terjalin pada bidang sains, budaya, dan olehraga, seperti
mendukung terlaksananya FIFA 2014 World Cup di Brasil dan lain-lain.
Negara BRIC juga berbicara mengenai visi bersama, pemerintahan global,
ekonomi internasional, isu keuangan, perdagangan internasional, perkembangan,
pertanian, perang melawan kemiskinan, ketahanan energi, perubahan iklim,
terroisme, alliansi perdaban, bahkan bencana di Haiti mendapatkan perhatian dari
BRIC. Di atas itu semua, BRIC mendukung multipolar, adil, demokratis,
berdasarkan hukum internasional, kesetaraan, saling menghormati, kerjasama,
koordinasi serta pengambilan keputusan kolektif dari semua negara. (BRICS
South Africa 2010)
26
Pertemuan tahunan ketiga dilaksanakan di Sanya, Cina pada 13 April
2011, menjadi tahun yang spesial bagi Afrika Selatan. Untuk pertama kalinya
Afrika Selatan hadir sebagai anggota BRIC, hal ini membuat perubahan besar
pada nomenklatur BRIC menjadi Brasil, Rusia, India, Cina, dan South Afrika
(BRICS). Keempat kepala negara sepakat untuk mengajak Afrika Selatan
bergabung sebagai langkah untuk memperkuat dialog dan kerjasama dengan
Afrika Selatan dalam forum. (BRICS South Africa 2011)
Isu reformasi komprehensif PBB termasuk anggota dewan keamanan
menjadi hal yang dibahas pada pertemuan tahunan kali ini. BRICS menginginkan
adanya peran lebih besar bagi India, Afrika Selatan dan Brasil agar lebih efisien
dan efektif. Pernyataan ini tertuang dalam poin delapan 3rd declaration summit :
(BRICS South Africa 2011)
We express our strong commitment to multilateral diplomacy with the United
Nations playing the central role in dealing with global challenges and threats. In
this respect, we reaffirm the need for a comprehensive reform of the UN, including
its Security Council, with a view to making it more effective, efficient and
representative, so that it can deal with today‟s global challenges more successfully.
China and Russia reiterate the importance they attach to the status of India, Brazil
and South Africa in international affairs, and understand and support their
aspiration to play a greater role in the UN.
BRICS Summit keempat diadakan di New Delhi, India pada 29 Maret
2012 dengan tema “BRICS Partnership for Global Stability, Security, and
Prosperity,” pertemuan ini bermaksud untuk memperkuat kemitraan bersama
untuk pembangunan dan mengambil kerjasama atas dasar keterbukaan, solidaritas,
saling pengertian dan kepercayaan. Pertemuan kali ini juga berbicara banyak
27
mengenai isu-isu internasional mulai dari perdamaian, perdagangan internasional,
IMF, WTO, G20, isu-isu HAM di Suriah serta Afrika, pembangunan Afghanistan,
dan lain-lain. (BRICS South Africa 2012)
Lahir juga dalam pertemuan ini Delhi Action Plan yang berisikan
pertemuan-pertemuan yang akan dilaksakan antara negara-negara BRIC serta area
baru kerjasama mereka yakni kerjasama multilateral energi, evaluasi akademik
umum dan strategi masa depan BRICS, BRICS Youth Policy Dialogue, dan
kerjasama dalam isu-isu tertentu.
Setahun kemudian, pada 26-27 Maret 2013 berlangsung pertemuan kelima
di Durban, Afrika Selatan. Hadir dalam pertemuan tersebut, Dilme Rousseff
(Brasil), Vladimir Putin (Rusia), Narenda Modi (India), Xi Jinping (Cina), dan
Jacob Zuma (Afrika Selatan). Tema yang diangkat dalam pertemuan ini adalah
“BRICS and Afrika : Partnership for Development, Integration, and
Industralisation,” pertemuan ini mengindikasikan bahwa seluruh negara BRICS
telah menjadi tuan rumah pelaksanaan Annual BRICS Summit. (BRICS South
Africa 2013)
Pertemuan kelima ini menghasilkan kesepakatan untuk mendirikan New
Development Bank (NDB) yang berfungsi sebagai bank pembiayaan infrastruktur.
Lantas, lahir juga kesepakan untuk membentuk Continent Reserve Agreement
(CRA) yaitu kesepakatan memiliki dana cadangan bersama sebesar 100 miliar
dollar AS. Kelima negara menyepakati adanya forum bisnis BRICS (BRICS
Business Council) dan lembaga think tank BRICS. (BRICS South Africa 2013)
28
Lahir dua kesepakatan dibawah the BRICS Interbank Cooperation
Mechanism : pertama, The BRICS Multilateral Infrastructure Co-financing
Agreement for Afrika yang membuka jalan untuk kemudahan negara-negara di
Afrika dalam pembiayaan infrastruktur; kedua, The BRICS Multilateral
Cooperation and Co-Financing Agreement for Sustainable Development yang
mengeksplore terlaksananya kesepakatan bilateral yang bertujuan untuk terjadinya
kesepakatan kerja sama dan pembiayaan, terkhusus dalam pembangunan yang
berkelanjutan dan green economy elements.(BRICS South Africa 2013)
Pada 15 Juli 2014 di Fortaleza, Brasil diadakan pertemuan keenam BRICS
yang dihadiri oleh kepala negara masing-masing anggota. Tema yang diangkat
dalam pertemuan kali ini adalah “pertumbuhan yang terbuka : solusi yang
berkelanjutan” tema ini diangkat mengingat adanya tantangan yang ditimbulkan
umat manusia dikemudian hari, oleh karena itu kebutuhan harus dilaksanakan
secara bersama, inklusif, serta mengedepankan perlindungan dan pelestarian.
(Voltaire Network 2014)
Pemimpin negara-negara BRICS sepakat untuk mengadakan sesi
pertemuan dengan pemimpin negara-negara Amerika Selatan dalam upaya
meningkatkan kerjasama dengan negara-negara berkembang dan emerging
countries lainnya. BRICS juga mendukung proses integrasi UNASUR dan
menekankan pentingnya UNASUR dalam mempromosikan keamanan dan
demokrasi di Amerika Selatan. Terdapat perkembangan dari New Development
Bank (NDB) untuk mendukung BRICS serta emerging market economies and
developing countries (EMDCs) menghadapi kendala pendanan negara, mengatasi
29
kesenjangan infrastruktur, dan kebutuhan pembangunan berkelanjutan. (Voltaire
Network 2014)
Negara-negara BRIC juga sepakat untuk menandatangani perjanjian untuk
membentuk BRICS Contingent Reserve Arrangement (CRA) dengan cadangan
awal 100 miliar dollar Amerika Serikat. CRA bertujuan untuk membantu negara-
negara mencegah tekanan likuiditas jangka pendek, mempromosikan kerjasama
BRICS, memperkuat jaring pengaman keuangan global. (Voltaire Network 2014)
Pada 9 Juli 2015, di Ufa, Rusia dilaksanakan pertemuan ketujuh BRICS.
Kali ini pertemuan mengangkat tema, “BRICS Partnership – a Powerfull Factor
of Global Development,” hadir sebagai perwakilan kepala negara dari Brasil
Presiden Dilma Rousseff, dari Rusia Presiden Vladimir Putin, dari India Perdana
Menteri Narendra Modi, dari Cina Presiden Xi Jinping, dari Afrika Selatan
President Jacob Zuma. (VII BRICS Summit 2015) Pertemuan terakhir terlaksana
pada 15-16 Oktober 2016 di Goa, India. Bertindak sebagai tuan rumah adalah
India, pertemuan kali ini mengangkat tema, “Building, Responsive, Inclusive, and
Collective, Solutions.” (BRICS India 2015)
Banyak hasil yang dicapai dari pertemuan terakhir ini terutama terkait
berdirinya New Development Bank (NDB) dan the Contingent Reserves
Arrangement (CRA). Pertemuan kali ini juga melibatkan negara-negara Eurasian
Economic Union (EEU) dan Shanghai Cooperation Organization (SCO) sebagai
peserta peninjau, hal ini dilakukan sebagai upaya peningkatan kerjasama dengan
negara lain, khususnya negara berkembang. (VII BRICS Summit, 2015)
30
Tujuan kerjasama BRICS adalah memperkuat dan melengkapi kerjasama
baik bilateral maupun multilateral antara negara anggota, melalui serangkaian
strategi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kekompetifan negara
BRICS dalam arena global. Terdapat beberapa prinsip dasar dalam BRICS yakni
menghormati secara penuh kedaulatan dari negara anggota, berkomitmen terhadap
hukum internasional serta mengakui peran penting PBB dalam perdamaian,
keamanan, dan pembangunan, terbuka berbagi informasi dan konsensus dalam
pengambilan kebijakan, berkomitmen terhadap peraturan dan prinsip dalam WTO,
berkomtmen terhadap keuntungan bersama dalam kerjasama dengan negara lain,
dan prinsip-perinsip lainnya.
Pertemuan terakhir terlaksana pada 15-16 Oktober 2016 di Goa, India.
Tema yang diambil pada pertemuan kedelapan ini adalah “Building Responsive,
Inclusive, and Collective Solutions.” Kelima negara mengapresiasi keberhasilan
NDB dan CRA bentukan BRICS pada tahun pertamanya dan diharapkan dapat
memberikan manfaat lebih banyak serta menjangkau daerah lain yang lebih luas.
(Goa Declaration 2016)
Kelima negara juga menghendaki adanya Outreach Summit dengan
pemimpin negara-negara anggota BIMSTEC (Bay of Bengal Initiative for Multi
Sectoral Technical and Economic comprising of Bangladesh, Bhutan, India,
Myanmar, Nepal, Sri Langka, and Thailand). Kerjasama kedua lembaga ini
memungkinkan adanya perluasan hubungan perdagangan, investasi, dan
memajukan tujuan bersama dalam perdamaian, pembangunan, demokrasi, dan
kesejahteraan. (Goa Declaration 2016)
31
Isu-isu keamanan global terutama di Timur Tengah dan Afrika Utara juga
menjadi topik pembicaraan, menarik di sini bagaimana BRICS melihat konflik di
Suriah. BRICS menyerukan kepada semua pihak yang terlibat agar bekerja untuk
resolusi komprehensif dan perdamaian dari konflik dengan mempertimbangkan
aspirasi yang sah dari rakyat Suriah, melalui dialog nasional yang inklusif dan
proses politik Suriah yang dipimpin berdasarkan Jenewa Komunike 30 Juni 2012
dan menurut Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254 dan 2268 untuk dilaksanakan.
(Goa Declaration 2016)
B. Menuju Identitas Bersama Negara-Negara BRIC
B.1. Konstruktifisme : Antara Materi dan Non-Materi
Penulis dalam upaya menganalisa lahirnya forum kerjasama internasional
BRIC menggunakan teori konstruktifisme. Teori konstruktifisme termasuk teori
baru di antara teori-teori mainstream yang lebih dulu berbicara mengenai
fenomena-fenomena dunia internasional. Kemunculan teori ini bersamaan
perdebatan ketiga antara positivist dan post positivist, sehingga menjadi perhatian
khusus di kalangan akademisi hubungan internasional.
Kubu positivist beranggotakan teori mainstream yakni realisme,
liberalisme, marxisme, dan „teori lainnya‟, sedangkan kubu lawan „post positivist‟
terdiri dari post modern, post strukturalis, mazhab Frankrut, feminisme, post
kolonial, dan „teori lainnya‟. (Smith dalam Cecep 2000) Perdebatan di antara
keduanya terjadi dalam aspek epistimologi (bagaimana mengkaji fenomena-
fenomena dunia internasional) dan ontologi (membahas tentang keberadaan, apa
saja isi dunia sosial dan bagaimana unsur-unsur di dalamnya bekerja).
32
Dalam menjelaskan isu-isu dunia internasional, konstruktifisme harus
dipahami sebagai varian konvensional dan kritis. Konvensional konstruktifisme
menghadirkan sudut pandang alternatif dari teori mainstream, konstruktifisme
juga mengkiritisi dan mengkonseptualisasi konsep dalam hubungan internasional.
Konstruktifisme sangat berkonsentrasi dalam isu identitas. (Ted Hopf 1998 :1-2)
Kelahiran konstruktifisme tidak jauh dari dipublikasikannya artikel
Anarchy is What States Make Of It, karya Alexander Wendt yang dijadikan
sebagai pondasi pendekatan konstruktifisme. Konstruktifisme tidak hanya
mengarisbawahi dan memperjelas ontologi realitas pengetahuan intersubjektif -
hal-hal yang berlandaskan ide atau dunia ide– tapi juga dunia material. Keduanya
–dunia material dan ide– berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain sehingga
masing-masing tidak benar-benar independen. (Ganjar Nugroho 2008 : 88)
Pemaknaan konstruktifisme mengenai fenomena hubungan internasional
harus dipahami dari sisi material dan ide. Berbeda dengan teori mainstream –
realis dan liberal- yang lebih menekankan kepada hal yang berlandaskan kepada
materi dan distribusi kekuatan. Konstruktifisme menyakini dibutuhkan penekanan
pada hal-hal yang non materi (pengetahuan, ide, budaya, bahasa, dan ideologi)
sama pentingnya dengan materi. (Ganjar Nugroho 2008 : 92) Berikut penulis
gambarkan penyederhanaan struktur sosial menurut kaum konstruktifis merujuk
ke Cecep Zakaria :
33
Gambar II.B.2 Penyederhanaan Proses Struktur Sosial Kontruktifisme
Interaksi
Sumber : (Cecep Zakarias, 72)
Dalam memahami terbentuknya BRIC, penulis akan menitikberatkan
analisa non-materi diperkuat dengan analisa materi. Identitas menjadi alat utama
dalam memahami terbentuknya BRIC sebagai collective identity Brazil, Rusia,
India, dan Cina. Untuk itu, penulis akan banyak menggunakan konsep identitas
Alexander Wendt dan Ronen Palan yang akan penulis jabarkan selanjutnya.
B.2. Self Identity Negara-Negara BRIC
Alexander Wendt berpendapat bahwa lingkungan internasional itu
dibentuk dan kembali dibentuk oleh proses interaksi, maka identitas aktor
internasional tidaklah terjadi begitu saja tetapi berkembang, tetap, dan
bertransformasi dalam interaksi dengan negara lain. (Maja Zehfuss 2002 : 38)
Untuk memahami BRIC pemahaman mengenai identitas sangat krusial sebab
Struktur Sosial
Subjek Subjek
Ide
Material
Ide
Material
34
identitaslah asal dan penyebab negara bertingkah dan bertindak dalam dunia
internasional.
Identitas menurut Wendt adalah pemahaman tentang peran (negara) secara
spesifik dan harapan tentang diri sendiri dalam interaksi internasional yang relatif
stabil. Setiap negara memiliki identitas yang beragam seperti “kedaulatan”,
“pemimpin dari dunia bebas”, dan “kekuatan imperial”, identitas yang beragam
tersebut sama halnya dengan peran institusional, seperti saudara laki-laki, anak
laki-laki, guru, dan masyarakat. Di atas semua itu, setiap identitas satu sama
lainnya tidak terpisahkan secara definisi sosial dari aktor, di mana aktor secara
kolektif menjaga dirinya (identitasnya) dan identitas negara lain yang merupakan
struktur dari dunia sosial. (Alexander Wendt 1992 : 397-398)
Lebih lanjut, bagi Wendt, identities are the basis of interests.
Mendefinisikan kepentingan dalam proses pemaknaan situasi dirinya dan situasi
sekitarnya, maksudnya dalam langkah memahami situasi yang tidak terprediksi,
negara akan membangun arti dan kepentingannya dengan menganalogikan dan
menemukan cara menghadapi situasi-situasi di sekitarnya. (Alexander Wendt
1992 : 398) Jadi memahami identitas harus dilakukan dengan cara merespon
situasi disekitarnya berdasarkan „kepentingan‟ dasar negara.
Martin Griffiths, menambahkan tujuan dibentuknya negara yakni
keamanan fisik, stabilitas, pengakuan oleh negara lain, dan perkembangan
ekonomi. Kendati demikian, negara dalam upaya mencapai tujuannya tergantung
terhadap identitas sosialnya, yakni bagaimana negara tersebut melihat dirinya
35
dalam hubungan dengan negara lain dalam masyarakat internasional. (Martin
Griffiths 2008 : 52) Dari pemaparan Martin, dipahami kepentingan awal negara
adalah keamanan fisik, negara membutuhkan keamanan agar mampu tetap
bertahan sebagai identitas negara. Setelah itu, negara juga butuh pengakuan
negara lain atas identitas „kenegaraannya‟, kemudian negara akan berfikir
bagaimana ekonominya bisa tumbuh dan bertahan.
Identitas awal negara dibentuk dari interaksi antar negara, negara punya
otonomi khusus untuk menentukan kebijakannya menurut „kepentingan
nasionalnya‟ dalam upaya berinterkasi dengan negara lain. Sebagaimana Martin
melihat identitas, Wendt juga melihat identitas adalah basis kepentingan nasional
yakni keamanan fisik, economic well being, autonomy dan collective self-esteem.
(Maja Zehfuss, 2002 : 42) Untuk memahami identitas negara BRIC kita harus
melihat pendefinisian „self‟ dan interest masing-masing negara BRIC.
Keempat negara secara „self‟ adalah negara berkembang yang tergolong
sebagai emerging countries. Keempatnya negara dibandingkan dengan negara
berkembang lainnya lebih dipercaya inventor sebab menjanjikan keuntungan
investasi yang berlipat. Lebih lanjut, keempat negara ini adalah negara
berkembang yang menuju negara maju dengan segala potensinya mulai dari
sumber daya alam maupun sumber daya manusia.
Selain itu, „self‟ keempat negara secara bersamaan adalah negara yg
berpengaruh di regionalnya masing-masing. Berpengaruh di sini, penulis pahami
sebagai penggerak dan inisiator terbentuknya organisasi di regionalnya masing-
36
masing. Brazil, di tahun 2004 bersama representatif 12 negara Amerika Selatan
lainnya membentuk foundasi dari komunitas negara-negara Amerika Selatan.
Pertemuan tertanggal 8 Desember 2004 di Brasilia ini, menghasilkan
penandatangani deklarasi Cusco yang akan menjadi fondasi dari Union of South
American (UNASUR). Komunitas ini digadang-gadang akan menjadi union
seperti EU. (Jose Antonio 2012 : 10)
Rusia dan Cina bersama membentuk Shanghai Cooperation Organization
(SCO) sebuah organisasi politik, ekonomi, dan militer yang beranggotakan
negara-negara Asia Tengah dan beberapa anggota peninjau. Dimulai dari
Shanghai Five pada tahun 1996 organisasi ini berkembang pesat serta maju.
Kemajuan ini membuat negara-negara lain di Asia seperti India dan Pakistan ingin
bergabung sebagai anggota. (Marcel de Hass dan Frans Paul van der Putten 2007 :
5-7)
Adapun India bersama Bangladesh, Bhutan, Maldives, Nepal, Pakistan dan
Sri Langka membentuk deklarasi South Asian Association Regional Cooperation
(SAARC) dalam acara Internasional Conference yang dihelat oleh Menteri Luar
Negeri India P.V. Narasimha di New Delhi pada tahun 1983. Dari deklarasi
tersebut kemudian terbentuklah SAARC pada 1985 di Dhaka. (Irum Shaheen
2013 : 1-3)
Interest masing-masing negara BRIC tidak terlepas tentunya tidak jauh
dari pemahaman national interest Wendt yakni keamanan fisik, economic well
being, autonomy dan collective self-esteem. Akan tetapi penjelasan Wendt tentang
37
national interest menurut penulis masih harus ditambah sehingga dapat terbentuk
„identitas sejati‟ masing-masing negara BRIC. Identitas inilah yang selanjutnya
membentuk identitas bersama (collective identity).
Merujuk kepada penjelasan Ronen Palan dalam artikel the contructivist
underpinnings of the new international political economy tentang needs dan
desire. Desire adalah hal yang idealistis (dialektikal dan nihilistik) karena hal ini
membuat kita semakin kekurangan. Desire juga akan memproduksi fantasi
tentang objek. Sementara needs dianggap lebih simpel dan terus terang. Needs
juga dianggap sangat empiris karena tidak melahirkan fantasi. (Ronen Palan 2000
: 22)
Penulis akan memberikan contoh konsep need dan desire dalam hubungan
internasional. Negara Indonesia adalah sebuah negara yang ingin
mempertahankan identitasnya sebagai negara. Keinginan mempertahankan
identitas tersebut adalah need, namun bukan hanya ingin mempertahankan
identitas sebagai negara, Indonesia juga berkeinginan mempercepat pertumbuhan
ekonominya. Akhirnya Indonesia melaksanakan serangkaian kerjasama ekonomi
dengan berbagai negara di dunia, upaya Indonesia melaksanakan kerjasama
ekonomi tersebut lahir dari desire untuk mempercepat perekonomiannya.
Konsep „need‟ dan „desire‟ dalam pembentukan identitas BRIC dimulai
dari adanya need dari masing-masing negara untuk survival. Kemudian seiring
berjalannya waktu, ada desire untuk mempercepat dan menumbuhkan ekonomi
negara. Desire ini tentunya menimbulkan kekurangan-kekurangan baik secara
38
sumber daya, finansial, manajemen, dan lain-lain. Kekurangan-kekurangan inilah
yang akan membuat negara-negara tersebut ingin mempercepat bertumbuhan
ekonominya. Lahirlah identitas kolektif negara-negara untuk membentuk forum
ekonomi BRIC di tahun 2009. Dua tahun setelah berdirinya, percepatan ekonomi
keemat negara berkembang sangat pesat bahkan menurut Jim O‟niell jauh dari
perkiraan dan prediksi awalnya.
Keempat negara BRIC masing-masing mempunyai intersubjektifitas
terhadap masing-masing negara dan menilainya sebagai teman sebab identitas
yang selama ini terbentuk adalah interaksi yang baik dan bersahabat. Identitas
mereka semakin terbentuk setelah Jim O‟niell mewacanakan BRIC, mulai
terbangun kesamaan dan keselarasan identitas bersama (collective identity) antara
masing-masing negara di sini. Kesamaan ini kian kuat setelah masing-masing
negara mendefinisikan „need‟ dan „desire‟ nya. Lahirlah keinginan untuk
mempercepat pertumbuhan ekonomi masing-masing negara dengan benar-benar
merealisasikan akronim BRIC menjadi sebuah forum ekonomi internasional.
Selanjutnya penulis akan memaparkan BRIC dalam konsep new regionalism dan
tahapan regionalnya.
C. New Regionalisme dan Level Regionalisme BRIC
Di pertengahan 1980-an konsep „new regionalism‟ mulai tumbuh di dalam
konteks transformasi struktural yang komprehensif dalam sistem yg global. Lebih
lanjut, munculnya fenomena ini disebabkan transformasi struktural yang
komprehensif yakni berupa perpindahan dari bipolar ke arah multipolar atau
tripolar, kemunduran hegemoni America, terkikisnya nation-state system
39
Westphalia, tumbuhnya saling ketergantungan, globalisasi, dan terakhir perubahan
sikap ke arah pertumbuhan ekonomi dan sistem politik di negara-negara
berkembang. (Bjorn Hettne dan Fredik Soderbaum 2002 : 33)
Dalam upaya untuk memahami dan mengambarkan dinamika serta
konsolidasi dari regionalisme maka penulis akan menggunakan New Regionalism
Theory (NRT). Teori ini akan membangun konsep utama dari „regionness‟, yang
berkisar dari regional space, regional complex, regional society, regional
community dan regional state. Konsep ini akan mengurai alat analisa untuk
memahami konstruksi dan konsolidasi dari wilayah serta formasi dari aktor
relevan dalam prespektif sejarah dan multidimensi. (Bjorn Hettne dan Fredik
Soderbaum 2002 : 34)
Pendefinisian region secara konvensional merujuk kepada beberapa negara
yang secara bersamaan terikat secara hubungan geografis dan saling
ketergantungan. Konstruktifisme tentunya melihat bahwa region tidak terjadi
begitu saja tetapi terbentuk dan terkonstruk. Menurut Adler dan Barnett,
sebagaimana regional bisa dikonstruk maka tentunya region pun juga bisa
dihancurkan baik secara ide maupun materi. (Bjorn Hettne dan Fredik Soderbaum
2002 : 38) Dalam memahami bagaimana region terbentuk dan kembali dibentuk
lagi kita akan memulai dengan tahapan pertama region yakni regional space.
Lantas, penulis akan mengimplementasikan teori ini dalam menganalisa
terbentuknya BRIC.
40
C.1. Regional Space
Level pertama dari regionness ini dipahami dengan kedekatan geografis
namun tanpa memiliki organisasi internasional. Lebih lanjut, regional space
diidentifikasi berupa region yang potensial, sebab utamanya kedekatan geografis,
yang dibatasi dengan batas-batas fisik dan ditandai dengan karakter ekologis,
seperti eropa dari Atlantik sampai Ural. (Bjorn Hettne dan Fredik Soderbaum
2002 : 39)
Memahami konsep regional space dalam konteks BRIC, penulis
berpendapat bahwa BRIC sangat jauh terpisah secara regional dan perbatasan.
Hanya Cina dan Rusia yang berbatasan langsung secara teritorial, sedangkan India
terpisahkan oleh beberapa negara, sementara Brazil berbeda secara benua dan
terpisahkan oleh samudra luas. Namun, tahapan regional complex akan lebih
banyak interaksi dan kontak di antara komunitas manusia.
C.2. Regional Complex
Munculnya regional complex beriringan dengan meluasnya hubungan
translokal antara kelompok manusia. Regional Complex, lebih lanjut dimulai dari
teritori negara-negara yang memonopoli semua hubungan dengan external dan
memutuskan siapa yang teman dan musuh. Negara-negara yang tidak mau
memiliki banyak pengetahuan, atau tidak saling percaya terhadap negara lain
maka akan sedikit berbagi identitas. (Bjorn Hettne dan Fredik Soderbaum 2002 :
40) Untuk itu negara-negara harus mulai berbagi identitas agar tercipta saling
kepercayaan di antara mereka.
41
Ketika negara-negara mengendurkan „inward-orientasinya‟ maka negara
tersebut akan lebih terbuka terhadap hubungan eksternal, kadar kontak
transnasional akan meningkat secara dramatis, yang mungkin akan jadi pemicu
dari regionalisme awal. Lebih lanjut, tahap ini dalam perkembangan politik
dipahami sebagai tidak adanya mekanisme kesejahteraan transnasional yang dapat
menjamin fungsi sistem regional ekonomi. (Bjorn Hettne dan Fredik Soderbaum
2002 : 40-41) Pada tahap ini, region belum benar-benar terbentuk hanya mulai ada
kesadaran untuk menjadi negara yang terbuka terhadap faktor-faktor eksternal.
Bjorn dan Fredik bahkan mengibaratkan tahapan ini tidak adanya berbagi
perasaan dari duduk bersama di „perahu‟. Perlu digaris bawahi kendati belum
adanya regionalisme secara pemahaman „organisasi internasional‟, tahapan ini
telah melewati adanya kesadaran bersama akan identitas kolektif di antara negara-
negara. Dalam konteks BRIC, penulis melihat tahapan ini berada saat pertama kali
setelah Jim O‟niell mencetuskan akronim BRIC yang jadi pemicu identitas awal
BRIC sebagai forum kerjasama ekonomi internasional. (Oliver Stuenkel 2015 :
10)
Identitas tersebut diperkuat setelah terjadi pertemuan trilateral Menteri
Luar Negeri Rusia, India, dan Cina tahun 2001 di Moscow. Pertemuan ketiga
negara ini mencapai tahapan institutionalization pada tahun 2006. Forum ini
disebut “RICs”, (Rusia, India, dan Cina) ketiga negara dalam pertemuan terbatas
tersebut membahas isu keamanan termasuk migrasi, trafficking, dan terorisme.
(Oliver Stuenkel 2015 : 10)
42
C.3. Regional Society
Dinamika di tahap regional society ini termasuk tumbuhnya beragam
proses komunikasi dan interaksi di antara banyak aktor baik negara maupun non-
negara dan termasuk beberapa dimensi seperti ekonomi, politik, dan budaya.
Dalam tahapan ini regional sudah bisa disebut „the formal‟ atau de jure region.
English School, menyebut tahapan ini sebagai regional form of „ international
society‟ of cooperating states. (Bjorn Hettne dan Fredik Soderbaum 2002 : 41-42)
Pada tahap ini, kerangka kerjasama diantara aktor sudah mulai meluas dan
melibatkan banyak aktor seperti aktor „non-negara‟, aktor transnasional, dan lain-
lain. Penulis melihat tahapan ini terjadi setelah terbentuknya BRIC dan
mengalami perkembangan seiring bertambahnya waktu. Pertemuan-pertemuan
BRIC selanjutnya juga diadakan oleh para pengusaha bahkan akademisi untuk
membahas isu-isu global seperti perkembangan politik serta situasi di Timur
Tengah dan Afrika Utara.
C.4. Regional Community dan Regional State
Regional community adalah tahapan ke empat dari regionalisme yang
bercirikan meningkatnya dimana wilayah tersebut semakin aktif meskipun mereka
berbeda identitas, telah memiliki lembaga formal, legitimasi, struktur
pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat sipil wilayah tersebut.
(Bjorn Hettne dan Fredik Soderbaum 2002 : 43) BRIC tentunya belum berada
dalam tahapan ini, sebab BRIC masih berupa forum kerjasama dan belum
menjelma menjadi komunitas dan memiliki asas legal yang kuat dalam penentuan
43
kebijakan serta legitimasi hukum yang baku. Contoh regionalisme yang menuju
region community adalah ASEAN.
Berbeda dengan region community, region state secara bentuk dan budaya
yang heterogen mungkin hanya bisa disandingkan dengan kekaisaran klasik.
Dalam tahap ini, region state harus terpisah dari negara sebab tahapan lebih rumit
dan kompleks. Tahapan ini tidak dapat terwujud, jika level homogenitas dan
kedaulatan yang dipahami masih sebatas negara tipe Westphalia. Perwujudan
region state akan mengubah bentuk kedaulatan komunitas nasional ke dalam
bentuk baru entitas politik, di mana kedaulatan akan disatukan untuk yang terbaik
dan akan menjadi lebih demokratis ketimbang politik internasional yang lain.
(Bjorn Hettne dan Fredik Soderbaum 2002 : 44)
Tahapan kelima regionalisme ini bagi penulis adalah tahapan yang belum
bisa dilihat dalam waktu dekat, sebab dewasa ini kita hanya sampai pada tahap
keempat region community. Adapun perwujudan tahap kelima, dapat dilihat
terakhir pada Kekaisaran Turki Utsmani. Dalam konteks BRIC, sudah jelas BRIC
belum mencapai tahap terakhir region state.
Kelima tahapan di atas dibuat dalam upaya untuk memperjelas bagaimana
new regionalisme terbentuk dan mempertegas perbedaan dari setiap tahapnya.
BRIC sekarang berada pada tahapan ketiga „regional society‟, di mana keempat
negara (lima jika Afrika Selatan termasuk) telah mulai melakukan peningkatan
intensitas pertemuan, interaksi, dan kerjasama berbagai pihak bukan hanya negara
tetapi juga aktor non-negara. Tahapan ini masih bisa berkembang dikemudian
44
hari jika melihat „agresifitas‟ negara BRIC dalam upaya menjadi negara yang
berpengaruh di dunia.
BRIC berpotensi menjadi „regional community‟, dan pada tahapan ini
adalah tahapan yang ideal dan terbaik buat BRIC, sebab BRIC secara power,
pengaruh, institusi, dan legalitas BRIC akan mampu membentuk agenda
internasional dan isu-isu penting yang harus dipedulikan. Multipolar sistem akan
benar benar terwujud dan mereka akan semakin mampu mengimbangi hegemoni
Amerika Serikat.
Indikasi keinginan untuk bertransformasi ini kian kuat sejalan dengan
tema besar VIII BRIC Summit yang akan diadakan di Goa, India, pada 15-16
Oktober 2016. Ada tiga fokus yang akan dibahas dalam pertemuan ini yaitu
institution-building, implementing past commitments, and exploring innovative
solutions in a spirit of continuity with consolidation. Penguatan intekasi people to
people juga akan terwujud dalam bentuk BRICS Under-17 Football Tournament,
BRICS Film Festival, BRICS Friendship Cities Conclave, BRICS Wellness Forum,
BRICS Trade Fair, BRICS Youth Summit, BRICS Think-Tank Forum, BRICS
Academic Council. (Ministry Of External Affairs Goverment Of India, 2016)
Untuk mencapai tahapan regional community, maka langkah negara-
negara BRIC untuk memperkuat institusi menjadi cara yang paling tetap dan
benar dipilih BRIC. Penulis melihat bahwa regional community juga adalah
bentuk regionalisme yang terbaik dan cocok untuk BRIC dalam upaya menjadi
global order.
45
Pada bab kedua ini penulis telah menjelaskan bagaimana BRIC terbentuk
sebagai sebuah forum kerjasama ekonomi menggunakan konsep identitas
Alexander Wendt dan Ronen Palan. BRIC terbentuk karena adanya identitas
kolektif di antara negara-negara anggotanya dan adanya desire yang sama untuk
meningkatkan perekonomian mereka. Selanjutnya penulis akan memaparkan
terbentuknya BRIC menggunakan konsep speech act, pemaparan di bab ketiga ini
penting untuk melihat keselarasan Afrika Selatan dengan negara-negara BRIC.
46
BAB III
SPEECH ACT DAN RULES DALAM BRIC
Pada bab ketiga ini akan dijelaskan tentang terbentuknya BRIC
menggunakan konsep speech act dan rules. Konsep yang termasuk dalam teori
konstruktifisme ini akan dibedah lebih dalam pada bab ketiga. Pertama-tama akan
dibedah terlebih dahulu mengenai awal lahirnya konsep speech act dan rules oleh
Nicholas Onuf. Setelah itu, akan dijelaskan secara terperinci argumen masing-
masing konsep dalam menganalisa hubungan internasional. Lantas menuju
penggunaan konsep Speech Act dan rules dalam menganalisa terbentuknya BRIC.
A. Terbentuknya Konsep Speech Act dan Rules
Menilai dan menganalisa Speech Act dan rules tidak dapat dipisahkan dari
pemikiran awal Nicholas Onuf. Sebab, berawal dari pemikirannyalah lahir konsep
speech act dan rules. Namanya semakin terkenal dalam hubungan internasional
setelah dirinya menerbitkan buku berjudul World of Our Making : Rules and Rule
in International Relations pada tahun 1998. Karyanya berdampak dalam HI
dengan lahirnya terminologi konstruktifisme. Dua puluh lima tahun yang lalu,
orang-orang masih sedikit menaruh perhatian pada aturan, Onuf menaruh
perhatian kepada aturan. Onuf membahasakannya dengan pengkondisian aturan.
Gagasannya lantas memberikan tantangan baru terhadap penstudi hubungan
internasional. (Nicholas Onuf 2014 : 2)
47
Pemaparan mengenai sedikit sejarah bagaimana Onuf melihat studi
hubungan internasional ini penting, sebab Onuf hadir dengan gagasan baru
mengenai bahasa. Bahasa yang kemudian menjelma menjadi speech act dan rule,
speech act berkaitan dengan penggunaan bahasa melalui media suara dan
penggunaan bahasa melalui media tulisan. Lebih lanjut akan dijelaskan secara
saksama tentang speech act dan rule, kemudian penggunaan kedua konsep ini
dalam menjelaskan terbentuknya BRIC.
B. Speech Act dan Rule Sebagai Konsep Konstruktifisme
Konstruktifis berbeda dengan teori HI pada umumnya yang berbicara
mengenai apa yang harus dilakukan orang-orang, kenapa masyarakat berbeda, dan
bagaimana dunia berubah. Lebih dalam, konstruktifis berbicara mengenai hal-hal
yang terlihat tidak tampak dalam konsep dan berbicara tentang sesuatu yang tidak
terkait itu. (Nicholas Onuf 1998 : 1) Dalam kaitannya dengan BRIC, penulis akan
menjawab pertanyaan penelitian menggunakan teori konstruktifisme.
Secara fundamental, menurut konstruktifisme hubungan sosial membentuk
manusia –diri kita– menjadi bentuk kita saat ini. Sebaliknya, kitalah yang
membentuk dunia ini menjadi apa yang kita inginkan dengan segala sumber yang
kita miliki melalui perkataan dan perbuatan kita kepada orang lain. Lebih lanjut,
mengucapkan adalah melakukan, tanpa diragukan lagi berbicara adalah cara
paling penting untuk membuat dunia sepeti yang kita inginkan. (Nicholas Onuf
1998 : 2)
Konstruktifisme berpegangan bahwa individu membentuk masyarakat, dan
masyarakat membentuk inividu. Hal ini berlangsung secara terus menerus, dua
48
arah yang saling mempengaruhi. Untuk mempelajari ini semua harus ada
penengah antara individu dan masyarakat berupa elemen ketiga yaitu rules –
terminologi ini tidak seketat legal rules seperti undang-undang ataupun perjanjian
internasional-. Social rules yang membuat proses antara individu dan masyarakat
secara berkelanjutan, terus menerus, dan saling mempengaruhi (timbal balik).
(Nicholas Onuf 1998 : 2) Berikut disajikan gambar untuk memperjelas
pemahaman mengenai proses timbal balik anatara individu dan masyarakat.
Gambar III.B.1 Pengambaran Individu dan Masyarakat
Sumber : Penulis Sendiri
Rules adalah pernyataan yang menjelaskan kepada objek what should do.
What merujuk kepada standar prilaku apa yang harusnya dilakukan atau
ditemukan. Sedangkan should merujuk kepada objek untuk melakukan hal yang
menjadi standar pelaksanaan, apabila mampu dan berhasil melakukan apa yang
diminta maka akan mendapatkan hadiah, sedangkan apabila gagal maka akan
mendapatkan hukuman, inilah yang disebut sebagai konsekuensi dari aturan.
(Nicholas Onuf 1998 : 2) Lebih lanjut, Nicholas Onuf menjabarkan secara
terperinci tentang rules dan penyataan tentang bagaimana dunia itu terbentuk
dalam speech act.
Individu
(People)
Masyarakat
(Society) Rules
49
Nicholas Onuf lebih lanjut menjelaskan bahwa speech acts adalah
performa sosial yang berimbas secara langsung dan memiliki konsekuensi. Seperti
kata saya (kata kerja yang mendeklarasikan, meminta, dan menjanjikan) bahwa
(proposisional konten), karena orang-orang merespon kepada mereka (pembicara)
dengan tindakan dan penampilan, tidak selalu diucapkan, pola speech act dan
pertunjukan terkait merupakan praktek yang membuat pengalaman manusia
menjadi lebih bermakna. Secara khusus praktek speech act menimbulkan aturan
yang memiliki harapan untuk membentuk masa depan yang lebih baik ketimbang
masa lalu. (Nicholas Onuf 1989 : 183)
Onuf mempermudah pendefinisian specch act sebagai bahasa yang
merepresentasikan dan performative. Manusia menggunakan bahasa untuk
merepresentasikan kebutuhannya dalam kata-kata, dan kata-kata sendiri
menampilkan kebutuhan. Onuf menilai speech act dapat menjelaskan bagaimana
pembicara membangun realitas sosialnya dan speech act tersebut memiliki efek
terhadap kebijakan negara lain. (Maja Zehfuss 2002 : 153) Bahasa menjadi pusat
analisa Onuf dalam menjelaskan fenomena HI, dengan bahasa manusia
mengkonstruk dunianya.
Speech act ini berfungsi untuk menyampaikan rules tentang bagaimana
realita terbentuk. Nicholas Onuf dalam artikel Constructivism : A User‟s Manual
menjelaskan bahwa bahwa agen –aktor dalam asumsi teori HI lainnya–
mempunyai otonomi untuk menentukan pilihan rasional terbaiknya. Penyampaian
pilihan agen akan lebih mudah dengan menyebutkan kepada siapa rulenya ini
50
dituju dan apa yang seharusnya dicapai. Seni dalam penyampaiannya inilah yang
selanjutnya disebut sebagai speech act. (Nicholas Onuf 1998 : 8 – 10)
Terdapat tiga jenis speech act yang digunakan untuk menjelaskan
bagaimana dunia dan kata berhubungan : pertama, assertive, merefleksikan kata
ke dunia atau mengajukan sesuatu yang baru, biasanya dilakukan dengan (I state
that); kedua, directive, mencocokan dunia ke kata, karena menginginkan adanya
perubahan (I request that); terakhir, commissive, mencocokan kata ke dunia
dalam upaya memproyeksikan keadaan yang diinginkan dalam urusan (I promise
that). (Maja Zehfuss, 2002 : 153 dan Nicholas Onuf, 1989 :184)
Rules dalam assertive menginformasikan kepada agen tentang dunia –
dunia seperti apa dan memberitahu mereka bagaimana bekerjanya dunia itu – serta
menginformasikan kepada mereka apa konsekuensinya. Rules biasanya berbentuk
sangat umum atau principle, bersifat normatif, dan membuat agen harus merespon
apa yang didapat dari informasi tersebut. Rules dalam directive dikenal imperatif,
maksudnya saat penutur mengatakan anda harus melakukan sesuatu, pembicara
percaya anda harus melakukannya. (Nicolas Onuf 1998 : 11)
Aturan ini berlaku keras, tegas, dan normatif. Adapun rules dalam
commissive melibatkan janji, pendengar akan merespon janji-janji pembicara.
Dalam upaya mengikuti janji tersebut, agen akan terlibat dalam aturan yang mana
mereka memiliki hak dan kewajiban dengan agen yang lainnya. (Nicolas Onuf
1998 : 11)
51
Ketiga jenis rules tersebut akan digunakan untuk menganalisa bagaimana
terbentuknya BRIC. Penulis akan mengulang tiga premis yang dihadirkan
Nicholas Onuf dalam menjelaskan fenomena hubungan internasional. Pertama,
masyarakat adalah apa yang dilakukan dalam interaksi sehingga mengubah
hubungan sosial agen-agen; kedua, speech and derivatives (rules, policies) adalah
media dari konstruksi sosial; ketiga, sebagai media aturan mengubah materi
menjadi sumber daya, mengontrolnya dan memanfaatkannya.
Konsep speech act Nicholas Onuf hadir dalam upaya menganalisa
hubungan internasional dan melihat bagaimana manusia mengkonstruk realitas
sosialnya. Penulis mengunakan konsep speech act sebagai alat analisa juga
didasari keinginan penulis melihat bagaimana BRIC terkonstruk menitikberatkan
pada bahasa para aktor baik secara lisan maupun tulisan. Analisa menggunakan
konsep speech act juga dapat digunakan untuk menganalisa berbagai fenomena
lain dalam hubungan internasional.
Terbentuknya perserikatan bangsa-bangsa (PBB), lahirnya ASEAN,
bahkan munculnya perubahan sikap Jerman dalam aktifitas militer pun sangat
penulis yakini dapat dianalisa menggunakan konsep speech act. Sebab, konsep ini
lahir untuk menganalisa bagaimana manusia mengkonstruk realitas sosialnya.
Pola analisa speech act pada dasarnya menganalisa bagaimana penuturan
para aktor internasional mempengaruhi dunia dan sebaliknya bagaimana dunia
juga mempengaruhi penuturan para aktor internasional. Penuturan aktor
52
internasional tersebut tentunya juga akan mempengaruhi aktor lain dalam
menyikapi fenomena internasional.
Maja Zehfuss dalam bukunya Constructivism in International Relations :
The Politics od Reality, memberikan contoh tentang bagaimana keterlibatan
militer Jerman dalam dunia internasional pasca perang dingin. Sesaat setelah
jerman kalah dalam perang dunia kedua, Jerman dilarang untuk memiliki
angkatan bersenjata dengan tujuan menyerang. Aturan mengenai larangan ini
termaktub dalam Pasal 87a Basic Law dalam menggunakan Bundeswehr –
angkatan tentara Jerman- hanya untuk tujuan pertahanan yang dianggap penting.
(Maja Zehfuss 2002 : 158)
Terdapat aturang berbeda yang memperbolehkan keterlibatan Bundeswehr
dalam aktivitas militer sebagai anggota dalam sistem collective security
sebagaimana diatur dalam pasal 24 (2). Kedua aturan yang berbeda ini dapat
dianalisa menggunakan speech act, salah satu aturan dapat memperkuat atau
mengubah realita yang ada. Maksudnya, speech act menilahat bahwa kedua aturan
tersebut dapat digunakan tergantung situasi dan kondisi realita sosial yang dihaapi
Jerman, sehingga keduanya dapat memperkuat satu sama lain sebagaimana dapat
melemahkan aturan pula. (Maja Zehfuss 2002 : 158)
Melalui serangkaian proses politik yag terjadi di parlemen Jerman,
akhirnya terdapat perubahan dalam Basic Law, yang memperbolehkan
keterlibatan aktivitas militer Jerman dalam beberapa kondisi yakni : misi
perdamaian yang berbasis keputusan Dewan Keamanan PBB, pengoperasian
53
menurut hak kolektif pembelaan diri, dan operasi militer aliansi yang meibatkan
Jerman sebagai anggota aliansi. (Maja Zehfuss 2002 : 159)
Perubahan speech act tersebut juga memengaruhi bagaimana Jerman
bertindak, pasca perubahan peraturan Jerman banyak terlibat dalam aktifitas
militer perdamaian seperti di Somalia, embargo terhadap Serbia dan Montenegro,
Kosovo, dan lain-lain. (Maja Zehfuss 2002 : 160-170) Perubahan Basic Law
Jerman juga merupakan tanggapan terhadap bab 7 dan bab 8 piagam PBB. Pada
bab 7 dan 8 Piagam PBB berbicara mengenai memberikan kewenangan kepada
Dewan Keamanan untuk mengambil tindakan jika terjadi ancaman terhadap
perdamaian dan keamanan internasional. Diatur juga bagaimana menyelesaikan
pertikaian melalui badan-badan pertikaian regional sebelum mengajukan ke
Dewan Keamanan PBB.
Konsep speech act tentunya dapat digunakan dalam berbagai situasi dan
fenomena internasional, baik terbentuknya sebuah organisasi internasional
maupun perubahan kebijakan negara dalam menghadapi kejadian internasional.
Penulis selanjutnya akan menjelaskan bagaimana BRIC terbentuk menggunakan
konsep speech act, sebagai bukti bahwa fenomena internasional tidak begitu saja
terjadi akan tetapi terdapat serangkaian proses. Selain itu, pemaparan
terbentuknya BRIC juga sebagai bukti bahwa konsep speech act dapat digunakan
dalam berbagai kejadian internasional.
54
C. Tinjauan Terbentuknya BRIC Dalam Konsep Speech Act
Penggunaan konsep speech act akan berputar pada bahasa (linguistic) para
agen internasional. Analisa akan penulis lakukan terhadap tutur kata, pernyataan,
dan ide yang tertulis dari masing-masing agen yang akan mempengaruhi dunia ini
terbentuk. Sebagaimana telah dipaparkan dalam sub bab sebelumnya, memahami
fenomena hubungan internasional haruslah dimulai dari tengah, antara individu
dan masyarakat yakni rules (aturan). Maka, penulis akan menganalisa rules yang
membentuk serta mempengaruhi pemikiran agen, sehingga berdampak terhadap
kebijakan yang menjadi fenomena internasional.
Terminologi BRIC lahir dari pemirikan Jim O‟neill yakni Brazil, Rusia,
India, dan Cina yang merupakan negara-negara emerging power yang menikmati
tingkat pertumbuhan yang tinggi, baik sebelum maupun setelah krisis keuangan
global 2008. (Ray Kiely 2015 : 1) Kendati demikian, Jim O‟neill tidak terlalu
berpengaruh dalam pembentukan hard politics BRIC, dirinya hanya muncul
mendefinisikan sebuah gagasan tentang apa yang seharusnya.
Menilik ke belakang, Jim O‟neill pada tahun 2001 melahirkan sebuah
gagasan baru dalam artikel “Building Better Global Economic BRICs”. Gagasan
tersebut mengenai perubahan struktural forum pembentuk kebijakan ekonomi
dunia dengan melibatkan representatif negara-negara BRIC. Lebih lanjut, O‟neill
mengajukan untuk mereduksi perwakilan negara Euroland di G7 menjadi hanya
satu negara dan menambahkan Cina, bisa juga Brazil dan Rusia, atau India jika
memungkinkan. Hal ini akan memperluas badan kebijakan ekonomi dunia
menjadi 8 hingga 9 negara. (Jim O‟neill 2001 : 1-2)
55
Gagasan tersebut termaktub jelas dalam makalahnya yakni :
It seems quite easy to conclude that the current G7 should be reformed to become
possibly a G9, which would allow global policy making to be more effective.
(Tampaknya cukup mudah untuk menyimpulkan bahwa G7 harus direformasi
menjadi G9 yang akan memungkinkan pembuatan kebijakan global untuk
menjadi lebih efektif) (Jim O‟neill 2001 : 9)
Gagasan ini merupakan rules yang dilahirkan oleh Jim O‟neill sebagai
individu dalam membentuk masyarakat (society). O‟neill dalam hal ini
membentuk rules melalui media tulisan. Dalam Speaking of Policy karya Nicholas
Onuf, deklarasi –ide dan gagasan- merupakan pernyataan kebijakan, yang akan
menimbulkan perhatian agen lain. Posisi deklarasi di sini bertindak layaknya
standar publik atau rules. Penyataan kebijakan merupakan instrumen yang akan
menghasilkan sebuah tindakan. (2001 : 117)
Gagasan untuk melakukan perubahan di tubuh G7 (elite club) tersebut
hanya menjadi gagasan saja, tanpa pernah terealisasikan oleh pemangku kebijakan
di „elite club‟. G7 tetap menjadi forum negara kaya yang ekslusif dan tertutup
bagi negara-negara berkembang. Hanya Rusia dari keempat negara BRIC yang
bergabung sejak tahun 1997, jauh sebelum O‟neill mencetuskan reformasi G7
Rusia telah ditetapkan sebagai anggota menjadi G8. (Press Conference of The
President 1997) Bahkan Rusia ditetapkan menjadi ketua pada tahun 2002 dan
dijadwalkan untuk melaksanakan annual summit di Rusia tahun 2006.
(Kananaskis Summit Chair‟s Summary 2002 )
56
Dalam sebuah konfrensi pers, Vladimir Putin sebagai Presiden Rusia
menegaskan tidak akan pernah ada agenda untuk memperbesar dan
mengembangkan G7. Hal itu termaktub dalam transkrip konferensi persnya di
Britania Raya tahun 2005 : (Transcripts President of Russia 2005)
Question: Did the summit discuss the question of expanding the G8?
Vladimir Putin: No, this summit did not discuss this issue. If you are referring to
a possible enlargement, I would say that, as far my personal point of view goes,
discussing world trade and economic issues or world finances without, say, Cina
and India, is quite difficult. But there are two circumstances I would like to draw
to your attention in this respect.
First, Russia itself only recently became a member of the G8 and it would not be
proper for us to raise the issue of enlargement. Second, the countries I just
referred to, along with other countries, are regularly invited to take part in
discussions and their views are taken into account in work on preparing this or
that document. During Russia‟s presidency of the G8 we will continue this
practice.
Dari penyataan Putin, dapat diambil kesimpulan bahwa akan sulit sekali
terjadinya perubahan dan perkembangan keanggotaan G8, hal ini didasari pertama
Rusia „dianggap‟ sanggup mewakili negara-negara berkembang dan
membicarakan isu-isu yang berada di negara-negara berkembang. Kedua, negara-
negara seperti India dan Cina sudah mengambil bagian dalam diskusi dan
pandangan mereka menjadi pertimbangan dalam lahirnya berbagai dokumen.
57
Keterlibatan negara-negara berkembang dalam „diskusi‟ dimulai pertama
kali pada pertemuan tahunan G8 ke-31 di Britania Raya tanggal 6 sampai 8 Juni
2005. Keterlibatan mereka dinamai dengan forum Outreach Five (O5) melibatkan
negara-negara Cina, India, Mexico, Brazil, dan Afrika Selatan yang kemudian
akan dikenal dengan plus five. Kehadiran mereka dalam forum dengan tujuan
bersama untuk mengentaskan dan membicarakan permasalahan ekonomi global.
G8 menyadari bahwa O5 memiliki persamaan secara pertumbuhan ekonomi
dengan negara-negara G8, maka harus terintegrasi dalam forum G8. (A Summit of
Subtantial Success : The Performance of the 2008 G8, 2008 : 38-42) (plusfive,
2005)
Kendati telah diundang oleh elite club, negara-negara berkembang BRIC
selain Rusia menginginkan hal lebih. Ketiga negara tersebut ingin hadirnya
dianggap, memiliki pengaruh, dan menentukan dalam pengambilan kebijakan
forum. Menurut Maria Edilueza Fontenele Reis dalam BRICS : surgimento e
evolucao, hadirnya outreach five lebih sekedar untuk “sarapan”, mereka para
kepala negara hanya datang untuk menyampaikan saran, suara mereka hanya
didengarkan namun mereka tidak punya peran dalam pengambilan keputusan.
Sedangkan, negara seperti Italia dan Kanada punya peran besar dalam
menentukan keputusan ekonomi negara-negara seperti Brazil, India, dan Cina.
(2013 : 50) Presiden Luiz Inacio Lula da Silva bahkan mengatakan bahwa mereka
tidak ingin berpartisipasi hanya untuk makan perjamuan penutup, kita ingin
makan perjamuan utama, penutup, dan tentunya kopi. (Oliver Stuenkel 2015 : 5-6)
58
Kekosongan untuk melibatkan negara-negara berkembang dalam forum
G8 dan ketidakmampuan negara-negara G8 mengakomodir negara-negara
berkembang itulah yang kemudian menjadi salah satu pemicu dari lahirnya forum
BRIC yang digagas oleh negara-negara berkembang. Untuk itu, penulis akan
menganalisa speech act dari kepala negara BRIC di awal berkumpulnya mereka
sampai akhirnya terbentuk forum kerjasama ekonomi internasional BRIC. Dari
tutur kata pemimpin negara tersebut akhirnya akan membuat rules di antara
negara-negara lain, yang kemudian negara tersebut merespon balik dari tutur
pemimpin negara yang mengucapkan.
Berbicara mengenai awal mula terbentuknya BRIC tidak dapat dipisahkan
dari forum kerjasama trilateral Rusia, India, dan Cina (RIC). Ketiga negara
tersebut mewakili 20 % luas lahan seluruh dunia, 39 % seluruh populasi dunia,
dan 25 % total GDP seluruh dunia. Forum ini sering diartikan sebagai forum yang
anti Barat, sejatinya, mereka berkumpul bersama untuk memberikan arti dan
kehadiran nyata yang lebih besar dari negara-negara berkembang dalam
pengambilan keputusan lembaga internasional. Ketiga negara juga bersama
menyatukan pandangan mereka agar terbentuk dunia yang multipolar. (Natalia
Stapran, 2011) (Manish Chand, 2010)
Kerjasama ketiga negara yang merupakan embrio awal dari BRIC
sejatinya telah terjadi sejak berakhirnya perang dingin. Menurut Nivedita Das
Kundu, dalam Russia-India-Cina : Prospects for Trilateral Cooperation, ide
kerjasama trialateral ini diadvokasikan oleh Presiden Rusia Yeltsin pada 1993 dan
Perdana Menteri Primakov pada 1996. Primakov menyatakan bahwa ketiga
59
negara Rusia, India, dan Cina secara bersama-sama dapat menjadi oposisi
terhadap supremasi Amerika Serikat, ketiga harus berjalan bersama membuat
dunia menjadi multipolar dalam upaya untuk mencapai kepentingan mereka dan
memperoleh otonomi dalam pengambilan kebijakan. (2004 : 5) Kendati ide untuk
bekerjasama trilateral sudah lahir sejak 1996, akan tetapi ide tersebut belum
terlaksana secara institusi nyata.
Keinginan ketiga negara untuk membentuk kerangka kerjasama akhirnya
tercapai di tahun 2001. Setahun sebelum terjadi pertemuan pertama, Vladimir
Putin menegaskan bahwa Rusia, India, dan Cina dapat bekerjasama untuk
membentuk pola baru dalam hubungan internasional. (People‟s Daily 2000)
“It is impossible to establish a new architecture of international relations as a
whole without the participation of Russia, Cina and India.”
“Russia, Cina and India have common interests in Asia, which we want to
promote together.”
Sejalan dengan ucapannya, Putin mengunjungi India dan Cina melakukan
pendekatan dalam rangka membangun komunikasi ketiga negara. Putin kemudian
dijadwalkan mengunjungi India pada 2 sampai 5 Oktober 2000. Menurut Andrea
Kuchins, Hubungan Sino-Rusia dan Indo-Rusia bukan hanya hubungan yang
retorika belaka, namun mereka memiliki sebuah cita-cita untuk membuat dunia
menjadi multipolar yang tidak hanya didominasi oleh Amerika Serikat. Keinginan
ketiga negara ini beriringan dengan menurunnya tingkat „kekuatan‟ Amerika,
60
ditambah hampir selama satu dekade terakhir pertumbuhan ekonomi Amerika
tidak sesuai harapan dan belum pernah terjadi sebelumnya. (2000 : 261)
Keadaan Amerika yang sedang menurun, ditambah keinginan negara
Rusia, India, dan Cina membentuk poros baru inilah yang kemudian menjadi cikal
bakal dari lahirnya BRIC, yang diawali terlebih dahulu dengan kerjasama
trilateral RIC.
Langkah Putin untuk membangun komunikasi yang baik dengan India dan
Cina pun diapresiasi oleh pemangku jabatan di Rusia. Mantan Menteri Luar
Negeri Rusia Yevgeny Primakov dan mayoritas elit politik kebijakan luar negeri
dan keamanan Rusia sangat mendukung peningkatan hubungan dengan Cina,
India, Iran, dan negara-negara besar Eropa untuk membendung dominasi
„sombong‟ Amerika Serikat dalam urusan dunia. (Andrea Kuchins 2000 : 262)
Sebelum beranjak menjelaskan dinamika terbentuknya BRIC dimulai
sejak kerangka kerjasama RIC. Penulis akan menganalisa terlebih dahulu
pernyataan Vladimir Putin beberapa hari sebelum kunjungannya ke India pada
tanggal 2 sampai 5 Oktober 2000. Pernyataan Putin yang menegaskan bahwa akan
dirinya bersama India dan Cina akan membentuk arsitektur baru (pola, tatanan)
dalam dunia Internasional didasari atas kesadaran bersama bahwa mereka
memiliki kepentingan yang sama di Asia yang akan mereka promosikan bersama
adalah sebuah pernyataan yang dalam speech act disebut dengan istilah assertive
speech act yang merefleksikan kata ke dunia atau mengajukan sesuatu yang baru.
61
Putin menghendaki adanya perubahan tatanan dalam dunia Internasional
yang melibatkan India dan Cina sebagai pemangku kebijakan dan pengambil
keputusan. Pernyataan itu sangat jelas dan bersifat eksplisit, Putin mendambakan
tatanan multipolar dalam hubungan internasional.
Salah satu upaya untuk membentuk tatanan multipolar tersebut adalah
dengan melibatkan negara India dan Cina dalam forum elite club. Namun, yang
terjadi keduanya tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan, keduanya hanya
datang untuk didengarkan pendapatnya sebagai pertimbangan dalam pengambilan
keputusan. Yang mana pengambil keputusan tersebut, kedudukannya secara
ekonomi dalam beberapa dekade ke depan akan jauh di bawah India dan Cina.
Kekosongan pendefinisian akan keterliabatan negara berkembang lebih jauh inilah
yang selanjutnya menjadi alasan perlu didirikannya forum kerjasama ekonomi
internasional negara-negara berkembang yakni BRIC.
Kembali ke pernyataan Putin, poin dari assertive speech act adalah untuk
mengajak agen lain yang dituju untuk melakukan kebijakan seperti yang
diharapkan. Intensi dan perhatian agen yang dituju menjadi tolak ukur kesuksesan
assertive speech act, terlebih saat mereka melakukan apa yang dikataan
pembicara. (Onuf 2001 : 127)
Pasca pernyataan Putin, ketiga negara semakin solid dan kompak, Rusia
dan Cina mendukung India untuk bergabung ke dalam Dewan Keamanan PBB,
kemudian ketiganya mengecam pelanggaran hukum internasional yang dilakukan
NATO di Kosovo. Tak hanya itu, ketiganya juga sangat sensitif mengenai
62
kedaulatan teritorial mereka di Taiwan, Kashmir, dan Ceko dan tidak ingin
membawa permasalahan kedaulatannya ke forum internasional. (Andrea Kuchins
2000 : 262)
Pasca 9/11 muncullah ketakutan akan terorisme yang menyebar ke seluruh
dunia. Ketika negara meningkatkan kerjasamanya terutama keamanan, hal ini
disebabkan mereka memiliki ancaman yang sama tentang “Islamic threats”.
Ketiganya memiliki jumlah populasi muslim yang banyak dan berbatasan
langsung dengan negara mayoritas muslim. Untuk itu, India dan Cina
meningkatkan ketergantungan kepada Rusia sebagai sumber senjata konvensional
dan teknologi senjata lainnya. Dalam catatan, India dan Cina adalah dua klien
terbesar Rusia dalam industri militer, keduanya menghabiskan biaya sebesar 1
miliar dollar Amerika Serikat, hubungan ketiganya pun kian meningkat. (Andrew
Kuchins 2000 : 2-3)
Kesuksesan speech act terlihat dari kepercayaan yang mendengarkan
pernyataan (India dan Cina). Penulis melihat bahwa kedua negara Cina dan India
mengikuti tutur tindak dari Vladimir Putin. India dan Cina merespon positif
ajakan dari Rusia tersebut, keinginan membangun tatanan yang multipolar
semakin kuat seiring berjalannya kerangka kerjasama ketiga negara yang terus
berkelanjutan. Sejarah mencatat, hingga tahun 2016 (The Diplomat 2016) Rusia,
India, dan Cina telah melakukan pertemuan trilateral sebanyak 14 kali sejak 2002.
Cara lain untuk membuat tatanan yang multipolar tersebut adalah dengan
mereformasi sistem ekonomi internasional dan mereformasi institusi Bretton
63
Woods. Cina dan India pun sepakat untuk mengubah tatanan sistem ekonomi
internasional, keduanya bersama Mexico, Brazil, serta Afrika Selatan dalam
forum Outreach Five (G8+O5) merumuskan Joint Declaration point kesebelas
yang menginginkan untuk mereformasi sistem ekonomi internasional dan
mereformasi institusi Bretton Woods. Point tersebut berbunyi :
All members of the international community should work together for the reform
of the current international economic system to make it stronger and supportive
of development, including through reforming the Bretton Woods Institutions and
assuring greater say to developing countries. (plusfive 2005).
Lebih lanjut, Bretton Woods institution adalah institusi-institusi yang
dibentuk di Bretton Woods, New Hampshire in 1944 selama pertemuan keuangan
PBB dan Konferensi Finansial di Hotel Mount Washington. Dalam konferensi
tersebut, negara-negara sepakat untuk menciptakan institusi-institusi yang
bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah kritis dalam sistem keuangan
internasional. Lembaga-lembaga tersebut berupa International Monetary Fund
(IMF), World Bank, International Finance Corporation, Multilateral Investment
Guarantee Agency, dan lain-lain. (The Bretton Woods)
Point di atas yang lahirkan dari kelima kepala negara tersebut akan penulis
analisa menggunakan konsep speech act. Pernyataan kelima kepala negara yang
tertulis dalam joint declaration tersebut merupakan assertive Speech Act yang
menghendaki adanya perubahan dan pembaharuan dalam tatanan hubungan
internasional. Assertive speech act ini tentunya lahir sebagai respon dari assestive
speech act yang pertama yakni ucapan Vladimir Putin untuk membentuk tatanan
64
baru hubungan internasional. Dalam hal ini, respon yang serupa merupakan bukti
keberhasilan dan kesuksesan speech act Vladimir Putin.
Ketidakmampuan dan kekosongan pendefinisian elite club terhadap
keinginan Rusia, India, dan Cina inilah yang selanjutnya menjadi pemicu utama
lahirnya BRIC. Pasca keluarnya deklarasi bersama lima negara, (dalam Oliver
Stuenkel) di sela-sela pertemuan sidang umum PBB, Menteri Luar Negeri Rusia,
Sergey Lavrov dan Menteri Luar Negeri Brazil, Celso Amorim menginisiasi
pertemuan Menteri Luar Negeri Brazil, Rusia, India dan Cina. Mereka
membicarakan tentang distribusi kekuatan di dalam IMF dan World Bank yang
tidak melibatkan emerging powers. (2015 : 10)
Setahun berselang pada 2007 di sidang umum PBB ke-62, kembali empat
Menteri Luar Negeri Brazil, Rusia, India, dan Cina bertemu. Rusia pun
mengajukan pertemuan resmi kembali di antara empat Menlu dan ide tersebut
diterima. Pada tahun 2008 keempat menteri luar negeri berkumpul di
Yekaterinburg pada 16 Mei 2008. Seiring pertemuan yang semakin intens di
antara keempat pemangku kebijakan luar negeri, keinginan untuk mewujudkan
BRIC secara lembaga mulai terwujud. Bahkan, Amorim Menlu Brazil
menegaskan bahwa “we should continue to promote reform .... of the international
financial institutions, a topic we will discuss in November, when the Minesters of
Finance of the BRIC countries will meet in Sao Paulo.” (Oliver Stuenkel, 2015 :
11-15)
65
Hasil dari pertemuan di Brazil mengindikasikan bahwa para Menteri
Keuangan sepakat untuk membentuk blok kekuatan baru yang lebih efektif dan
lebih efisien. Sejalan dengan keinginan menteri Keuangan negara Brazil, Rusia,
India dan Cina. Presiden Rusia Dmitry Medvedev dan Presiden Brazil Luiz Inacio
Lula da Silva sepakat untuk mengajak India dan Cina melaksanakan summit
pertama di Rusia pada 2009 yang akan menandakan kelahiran forum kerjasama
internasional negara-negara emerging powers. Keinginan ini dipaparkan Lula :
“We the developing countries, should not allow the crisis to harm our
development. We must jointly with India, Cina and Russia help the world to get
out of the crisis.” (Reuters 2008)
Akhirnya pada 16 Juni 2009 di Yekaterinburg, Rusia, lahirlah BRIC yang
dihadiri empat kepala negara Brasil, Rusia, India dan Cina. Menarik di sini, bagi
penulis, adalah poin ketiga deklarasi Pertama BRIC Summit yakni membicarakan
institusi keuangan internasional yang termaktub sebagai berikut.
We are committed to advance the reform of international finàncial institutions, so
as to reflect changes in the world economy. The emerging and developing
economies must have greater voice and representation in international financial
institutions, and their heads and senior leadership should be appointed through
an open, transparent, and merit-based selection process. We also believe that
there is a strong need for a stable, predictable and more diversified international
monetary system. (BRICS South Africa, 2009)
Poin ini sejalan dengan joint declaration outreach five dan gagasan
Vladimir Putin agar membentuk tatanan hubungan internasonal yang multipolar
66
serta melibatkan negara berkembang lebih signifikan dalam menentuka kebijakan
ekonomi dunia. Lebih lanjut, menurut penulis ketidakmampuan dan kekosongan
pendefinisian elite club terhadap keinginan Rusia, India, dan Cina menjadi salah
satu alasan lahirnya forum BRIC pada tahun 2009.
Lebih lanjut, dalam pemaparan sebelumnya sepakat untuk menyatakan
bahwa konsep speech act berada di bawah payung konstruktifis. Konsep ini juga
berangkat dari ide dan menitikberatkan ide sebagai fokus utama ketimbang
material sebagaimana yang digunakan teori HI mainstream. Maka, argumen
penulis tentang collective identity, need dan desire, serta speech act semuanya
merupakan hal yang berbau ide dan wacana. Adapun bentuk material dari ketiga
konsep analisa penulis adalah berdirinya institusi atau lembaga BRIC sebagai
forum kerjasama ekonomi internasional negara-negara berkembang.
Pada bab ketiga penulis menjabarkan bagaimana BRIC terbentuk
menggunakan konsep speech act yang menemukan jawaban bahwa BRIC
terbentuk dimulai dari pernyataan Vladimir Putin tentang keinginannya
membangun sebuah pola dan tatanan dunia baru. Pernyataan ini lantas, diamini
oleh pemimpin negara lainnya yang kemudian BRIC terbentuk secara institusi
tahun 2009. Sebelumnya telah penulis paparkan terbentuknya BRIC
menggunakan konsep identitas, maka pada bab selanjutnya akan dilengkapi
dengan keselarasan Afrika Selatan dengan ide dan norma dari identitas dan speech
act BRIC. Keselarasan inilah yang kemudian menjadi alasan kenapa BRIC
menerima Afrika Selatan sebagai anggota.
67
BAB IV
KESELARASAN AFRIKA SELATAN DAN BRIC
Pada bab keempat ini penulis akan menjelaskan mengenai keselarasan
Afrika Selatan dan BRIC. Pada bab kedua dan ketiga, penulis telah membangun
analisa bagaimana terbentuknya BRIC melalui konsep identitas dan speech act,
maka pada bab keempat ini penulis akan menjelaskan serta menganalisa
keselarasan antara Afrika Selatan dan BRIC. Keselarasan inilah yang akan
menjadi dasar kenapa Afrika Selatan diterima menjadi anggota tetap pada 2011.
Sebelum memaparkan keselarasan tersebut, penulis juga akan menjelaskan sekilas
tentang profil serta perubahan identitas Afrika Selatan sehingga menjadi salah
satu negara emerging power.
A. Profil Afrika Selatan
Afrika Selatan adalah negara yang terletak di ujung Selatan Afrika dengan
luas area 1.222.480 Km2. Negara ini memiliki total penduduk 43.648.000 juta
yang terdiri dari beragam etnis, suku bahasa, dan agama. Tujuh puluh lima persen
dari seluruh penduduk merupakan kulit hitam, 14% kulit putih, 9 % colored –
orang putih yang bercampur dengan keturunan asal-, sisanya 2% Asia. Negara ini
berbentuk Republik Konstitusional, merdeka dari Britania Raya pada 31 Mei
1910, Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahannya adalah Presiden. (Global
Studies Africa 2004 : 145-150) (Philip T. Gay 2001 : ix)
68
Jauh sebelum Afrika Selatan merdeka, sejak kolonial Belanda telah
tercipta budaya rasis yang membedakan antara penghuni tetap berkulit putih
(merdeka), budak tidak berkulit putih, dan penghuni tetap kulit hitam. Pada era
penjajahan Britania, 1830-an telah ada upaya untuk menghapuskan perbudakan
dan memperluas hak hukum kepada budak. Tetapi kaum Amerika Latin di Afrika
tidak menginginkan berakhirnya pembatasan rasis baik secara politik dan
ekonomi terhadap non-kaum putih. Budaya ini terus berjalan seiring penjajahan,
bahkan kaum buruh Asia di Afrika Selatan pun mendapatkan perlakuan serupa.
Akhirnya, sebagian kaum hitam dan coloured berhasil kabur dan mendirikan
Afrikaners Republics. (Global Studies Africa 2004 : 147-148)
Perpecahan Afrika Selatan ini menimbulkan perang dahsyat antara koloni
Britania Raya dan Afrikaners Republics yang menyebabkan kematian ribuan
orang. Akhirnya keduanya sepakat untuk berdamai dan memulai sejarah negara
baru “Union of South Afrika”. (Global Studies Africa 2004 : 147-148) Kendati
telah merdeka, pangkal permasalahah politik apartheid yang telah terbentuk sejak
zaman kolonial Belanda, berjalan terus menerus bahkan setelah merdeka.
Pasca kemerdekaan Afrika Selatan, negara ini masih didominasi kaum
kulit putih. Saat itu, belum terjadi kesadaran kolektif kaum hitam Afsel, pada
tahun 1948 Partai Nasional mengimplementasikan politik apartheid yaitu politik
tentang pemisahan hak serta kewajiban berdasarkan ras. Politik ini terdiri atas
serangkaian hukum yang diskriminatif yang membagi semua tempat tinggal
rakyat Afsel berdasarkan ras, di mana mereka boleh menetap dan di mana mereka
tidak boleh menetap. (Timothy J. Stapleton 2010 : 152)
69
Hukum ini bahkan mengatur pendidikan mereka, di mana kaum hitam
hanya boleh bersekolah untuk menjadi pekerja dan dibayar rendah. Bahkan,
fasilitas seperti air minum, toilet, dan lain-lain juga diatur pembedaannya.
(Timothy J. Stapleton 2010 : 152)
Perlawanan terhadap praktek politik ini terus terjadi, terlebih setelah
banyak negara-negara Afrika lainnya yang memperolah kemerdekaan dari
penjajahan. Pada tahun 1970-an mulai tumbuh kesadaran kolektif kaum kulit
hitam untuk memberontak dan menghapuskan politik apartheid. Kebangkitan anti
apartheid ini berlangsung baik di dalam, maupun di laur Afrika Selatan. (Timothy
J. Stapleton 2010 : 152)
Gerakan anti apartheid ini dipelopori oleh beberapa tokoh, salah satunya
Nelson Mandela. Pergerakan, gagasan, serta ide perlawanan yang dianggap
membahayakan, membuat Mandela dipenjara oleh pemerintah selama beberapa
tahun.
Era apartheid mulai hancur seiring kesadaran bersama pada hak asasi
manusia, hal ini dimulai pada tahun 1980-an, dunia internasional mulai
meningkatkan perhatian pada hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak untuk
menentukan sistem pemerintahan yang demokratis sehingga rakyat dapat hidup
dan mengekspresikan serta mengorganisir kemauan mereka. Sejalan dengan
perhatian hak asasi manusia, pelanggaran terhadap hak asasi juga mulai diekspose
dan dilaporkan. (Diamond, Larry, Juan J. Linz, Seymour Martin Lipset : 1988 : ix-
x)
70
Perkembangan selanjutnya, lahir apresiasi yang tinggi kepada lembaga
demokrasi yang memungkinkan adanya perlindungan terhadap intergritas rakyat,
kebebasan hati nurani, serta ekspresi. (Diamond, Larry, Juan J. Linz, Seymour
Martin Lipset : 1988 : ix-x) Kesadaran ini menjadi salah satu faktor runtuhnya
politik apartheid dan lahirnya “modern South Africa”.
Di era yang sama juga lembaga yang belum demokratis dalam sistem
politiknya, menghadapi tantangan serius dari gerakan pro demokrasi. Hal tersebut
terjadi di Afrika Selatan yang pada awal 1990-an, melalui “rasa sakit” yang dalam
muncul keinginan untuk menyamakan hak politik semua ras, lahirlah pemilihan
umum pertama pasca politik apartheid yang benar-benar demokratis untuk semua
orang dewasa Afrika Selatan pada tahun 1994. (John Markoff 1996 : 11)
Perubahan ini membuat Afrika Selatan sebagai “rainbow nation” di mana
semua manusia dari semua ras hidup bersama dengan damai, harmoni, persamaan
hak politik dan hak sosial serta kemakmuran ekonomi menjadi tujuan bersama
negara. (Philip T. Gay 2001 : 1) Berdirinya Afsel lebih demokratis ini mengubah
identitas Afsel sebagai kekuatan ekonomi baru Afrika.
Nelson Mandela menjadi Presiden sejak 1994 hingga 1999, pasca Nelson
Mandela berkuasa pada 1999, Afrika Selatan berada dibawah komando Thabo
Mbeki menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Mulai dari pemerataan kesejahteraan, peningkatan kejahatan, penanggulangan
HIV/AIDS hingga serangan teroris 9/11. Kendati demikian, Mbeki berkomitmen
71
untuk menumbuhkan pasar Afsel dan perekonomian Afsel untuk mengurangi
kesenjangan kulit putih dan kulit hitam. (Global Studies Africa 2004 : 146)
B. Perubahan Positif Afrika Selatan
Perubahan yang signifikan terjadi pada Afrika Selatan saat politik
apartheid terjadi dan pasca politik apartheid dihapuskan. Perubahan tersebut
terjadi di hampir segala bidang baik politik, ekonomi, kesehatan, kesejahteraan
sosial, hukum, dan lainnya. Pelaksanaan politik apartheid yang dimaksudkan
untuk menjamin keberlangsungan hidup rakyat Afrika Selatan, Arsitek apartheid
Hendrik Verwoerd saat menjadi Menteri Republik Afrika Selatan menjelaskan
bahwa apartheid pada dasarnya adalah “the central tenet of Apartheid was each
group should develop separatly and achieve autonomy in its area”. (Agus
Budiman 2013 : 2)
Niat baik untuk membangun perekonomian tersebut terbukti berjalan
sesuai rencana, (dalam Terence Moll) dipaparkan bahwa Afrika Selatan
menikmati pertumbuhan ekonomi yang baik serta cepat pasca 1945. Pertumbuhan
ini disebabkan oleh pertumbuhan ekonomi yang baik secara terus menerus, sistem
politik yang stabil, sumber daya alam yang melimpah, keterampilan yang cukup
canggih dan kemampuan menggunakan teknologi. Pertumbuhan ini terus menurun
sejak 1950-an, sempat naik pada 1960-an dan kembali merosot 1970-an. Berikut
penulis paparkan tabel pertumbuhan komparasi Afrika Selatan. (2012 : 1)
72
Tabel IV.B.1 Pertumbuhan Real GDP Afrika Selatan
1950 1960 1970 1980-1988
20 Negara Berkembang 4.6 5.3 4.4 1.5
Afrika Selatan 3.8 5.3 4.5 2.1
Sumber : (Terence Moll 2012 : 1)
Pertumbuhan GDP Afrika Selatan cenderung menurun dalam jangka
panjang, hal ini disebabkan kegagalan penerapan politik apartheid. Politik hitam
membuat pertumbuhan ekonomi Afrika Selatan melambat, perlambatan ini
dikarenakan salah satunya menurunnya produktifitas dan keterampilan kelas
menengah Afrika Selatan sehingga melahirkan penindasan sosial, meningkatnya
pengangguran, ketimpangan sosial, bertumbuhnya angka kemiskinan dan akibat-
akibat negatif lain dari apartheid. (Terence Moll 2012 : 2-3)
Pasca penghapusan politik Apartheid pada periode 1995-2003 GDP Afrika
Selatan meningkat mendekati 3 persen dilihat salah satunya dari total factor
productivity (TFP). (Vivek Arora 2005 : 14) TFP adalah total output yang dilihat
bukan dari seberapa banyak inputnya, tapi dilihat dari seberapa efisien dan intens
input yang digunakan dalam produksi. (Diego Comin 2006 : 1) Tingginya
performa TFP sangat ditentukan oleh kebijakan, perubahan kelembagaan Afrika
Selatan, peningkatan perdagangan internasional, dan partisipasi sektor swasta
yang luas. (Vivek Arora 2005 : 14) Perubahan ini tidak akan terjadi jika Afrika
Selatan tetap menerapkan politik apartheid.
Menurut Michael Nowak keberhasilan transisi Afrika Selatan dari
apartheid ke demokrasi membuat pemerintahan mendapatkan peningkatan
73
ekonomi yang tinggi dan mampu meningkatkan standar hidup rakyatnya. (2006 :
1) Penulis menilai penghapusan politik aparheid menjadi “identitas baru” Afrika
Selatan sebagai negara modern yang demokratis serta menjunjung tinggi nilai-
nilai kesetaraan. Penyematan “identitas baru” ini membuat Afrika Selatan
mendapatkan kepercayaan dari investor asing sehingga mampu meningkatkan real
GDP Afrika Selatan. Perubahan identitas ini pun yang kemudian membuat Afrika
Selatan mendapat citra baik sebagai negara berkembang yang kuat dan
“representatif” negara berkembang benua Afrika.
C. Upaya Diplomasi Afrika Selatan ke BRIC
Brazil, Rusia, India, dan Cina dinamakan BRIC oleh Jim O‟Neil pada
2001. Keempat negara ini mengalami perkembangan dan pertumbuhan ekonomi
yang cepat dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Rusia, India, dan Cina
telah menjalin kerangka kerjasama yang kuat jauh sebelum BRIC hadir secara
entitas politik, namun di tahun 2006 ketiga negara bersama Brazil mulai intents
melakukan serangkaian pertemuan untuk membentuk forum kerjasama ekonomi
internasional BRIC. Akhirnya secara resmi forum ini berdiri pada 16 Juni 2009 di
Yekaterinburg, Rusia.
Penulis melihat masuknya Afrika Selatan ke dalam forum BRIC juga
merupakan salah satu upaya diplomasi yang dilakukan oleh Presiden Jacob Zuma.
Menurut Oliver Stuenkel, diplomasi Afrika Selatan untuk bergabung ke dalam
BRICS pada akhir 2010 adalah salah satu diplomasi luar negeri yang berprestasi
serta berhasil. Keinginan Afrika Selatan untuk bergabung dalam BRIC terlihat
dari surat yang ditulis Menteri luar Negeri Afrika Selatan yang mengambarkan
74
harapan untuk bergabung. (2015 : 41) Selanjutnya penulis akan memaparkan
serangkaian diplomasi yang dilakukan oleh Presiden Jacob Zuma pada tahun
2010.
April 2010, Zuma mengunjungi Brasilia untuk IBSA Summit yang
berbarengan dengan BRIC Summit, kedatangan Zuma ini memungkinkan dirinya
bertemu dengan seluruh kepala negara BRIC. (Oliver Stuenkel 2015 : 42) Juni
2010, Presiden Zuma berkunjung ke India, kunjungan ini adalah kunjungan
perdana Zuma di India semenjak menjabat Presiden, kedatangannya bertujuan
untuk meningkatkan dan menambahkan hubungan perdagangan keduanya. (Mail
and Guardian 2010)
Pada 6 Agustus Zuma beserta beberapa delegasi kabinetnya dan ratusan
pembisnis berkunjung ke Rusia bertemu Presiden Dmitry Medvedev. Pertemuan
resmi ini bertujuan untuk meningkatkan hubungan ekonomi di antara keduanya.
(South Africa Info 2010)
Selang beberapa bulan, pada Agustus 2010, Presiden Zuma juga
mengunjungi Cina, dalam lawatan ini, dirinya bersama Presiden Hu Jintao
menandatangani perjanjian kerjasama komprehensif di antara kedua negara yang
akan membawa hubungan yang baik kedua negara ke level selanjutnya. Selain itu,
Presiden Hu Jintao juga menerima permohonan Afrika Selatan untuk masuk ke
dalam BRIC. Pada 23 Desember 2010, Presiden Hu Jintao menerbitkan surat
undangan ke Presiden Jacob Zuma meminta Afrika selatan untuk bergabung
BRIC, kemudian Menteri Luar Negeri Cina, Yang Jiechi menelpon Menteri Luar
75
Negeri Afrika Selatan untuk mengonfirmasi ulang undangan. (Forum on China –
Africa Coperation 2011)
Sejatinya, Afrika Selatan di tanggal 24 Desember 2010 telah menjadi
anggota BRIC, namun penulis melihat Afrika Selatan secara resmi diterima dan
menjadi anggota tetap terhitung kehadiran Afrika Selatan dalam pertemuan
tahunan ketiga di Sanya, Cina. (Renu Modi 2012)
Pasca beberapa serangkaian kunjungan dan diplomasi yang dilakukan
Presiden Zuma berserta jajaran kabinet dan pembisnis Afrika Selatan, akhirnya
pada 14 April 2011, terjadi perubahan nomenklatur dari forum internasional BRIC
menjadi BRICS bertambah S dengan masuknya Afrika Selatan (South Africa).
Penulis telah memaparkan bagaimana proses diplomasi Afrika Selatan ke empat
negara BRIC, yang menurut penulis termasuk dalam “desire” Afrika Selatan,
selanjutnya akan dijelaskan mengapa Afrika Selatan diterima mengunakan teori
konstruktifisme.
D. Keselarasan Identitas Afrika Selatan dan Negara-Negara BRIC
Penerimaan Afrika Selatan untuk bergabung dalam BRIC adalah sebab
kenapa penulis menulis karya ilmiah ini. Sebab tersebut penulis analisa
menggunakan teori konstruktifisme dan dua konsep identitas serta Speech Act.
Pada bab kedua penulis telah memaparkan bagaimana identitas BRIC terbentuk
sehingga tumbuh identitas kolektif yang melahirkan prilaku kolektif.
Bergabungnya Afrika Selatan akan penulis analisa menggunakan konsep identitas.
Penulis melihat bahwa adanya persamaan identitas antara negara-negara Brazil,
76
Rusia, India, dan Cina (BRIC) dan Afrika Selatan. Kelimanya memiliki
persamaan identitas, yang kemudian Afrika Selatan diundang untuk menghadiri
Summit ketiga di Sanya pada 14 April 2011.
Sebagaimana dijelaskan pada bab II, bahwa identitas adalah pemahaman
tentang peran (negara) secara spesifik dan harapan tentang diri sendiri dalam
interaksi internasional yang relatif stabil. Setiap negara memiliki identitas yang
beragam seperti “kedaulatan”, “pemimpin dari dunia bebas”, dan “kekuatan
imperial”, identitas yang beragam tersebut sama halnya dengan peran
institusional, seperti saudara laki-laki, anak laki-laki, guru, dan masyarakat.
(Alexander Wendt, 1992 : 397-398) Kaum konstruktifisme sangat
menitikberatkan identitas dalam alat analisanya, sebab identitaslah yang akan
menimbulkan pola interaksi antar negara-negara di dunia internasional.
Memahami identitas kolektif harus dimulai dari bagaimana memahami
identitas diri sendiri atau self identity. Keempat negara secara „self‟ merupakan
negara berkembang yang emerging countries, merujuk Simon adalah negara
dengan pertumbuhan perekonomian yang cepat, dan masing-masing menuju
tahapan perekonomian pasar. Maksudnya negara ini memiliki kemampuan besar
dibandingkan negara-negara berkembang lainnya untuk menyediakan kepada para
investor kesempatan untuk mencapai keuntungan yang lebih tinggi. (dalam Sechel
Loana dan Ciobanu, 2014 : 1-2)
Emerging countries juga merupakan fase dari negara berkembang menuju
negara maju. Menurut Jeeffrey E. Garten, emerging countries adalah negara yang
77
menjadi kunci faktor pertumbuhan perdagangan, stabilitas finansial dunia dan
transisi ekonomi bebas. (New York Times 2010) Keempat negara Brazil, India,
dan Cina secara identitas diri sendiri merupakan negara berkembang yang
emerging countries, keempat negara merupakan negara yang sama-sama
berpengaruh dalam dunia perdagangan di kemudian hari.
Afrika Selatan sendiri merupakan negara emerging countries, menurut
Jeeffrey E. Garten Afrika Selatan dengan jumlah populasi 41 juta
merepresentasikan 45 persen GDP Afrika Selatan. Afrika Selatan adalah negara
yang sangat maju di Afrika, produktif, dan memiliki keseimbangan ekonomi.
Ditambah dengan infrastruktur modern, industri yang terus tumbuh dan cadangan
energi yang cukup. Belum lagi ditambah kemampuan Afrika Selatan untuk
menyuplai barang dan jasa kepada negara-negara tetangganya. Afrika Selatan juga
lebih damai, demokratis dan sejahtera. (New York Times 2010)
Tergolongnya Afrika Selatan dalam negara emerging countries
mempunyai makna bahwa Afrika Selatan memiliki kesamaan identitas sebagai
negara berkembang yang emerging market. Adanya persamaan identitas tentunya
dapat menimbulkan persamaan identitas kolektif BRIC sebagai forum kerjasama
negara berkembang yang emerging countries. Berikut penulis paparkan tabel
pertumbuhan GDP negara-negara BRIC beserta Afrika Selatan dan Amerika
Serikat.
78
Gambar IV.D.1 GDP (PPP) Negara-negara BRIC, Afrika Selatan dan
Amerika Serikat dari 1980 sampai 2011
Sumber (Gauteng Province, 2013 : 13-16)
Dari data di atas, GDP Afrika Selatan memang berbanding jauh dengan
negara BRIC lainnya terutama Amerika Serikat, namun Afrika Selatan memiliki
GDP $ 475 Billion (2011) yang relatif besar dibandingkan negara-negara Afrika
lainnya.
Self identity lainnya yakni keempat negara BRIC berpengaruh di
regionalnya masing-masing. Berpengaruh di sini, penulis pahami sebagai
penggerak dan inisiator terbentuknya organisasi di regionalnya masing-masing.
79
Brazil sebagai pengagas Union of South America (UNASUR) pada 8 Desember
2004 bersama 12 negara Amerika lainnya. Rusia dan Cina membentuk Shanghai
Cooperation Organization (SCO) organisasi regional yang berkejasama dalam
bidang politik, militer, dan ekonomi, anggotanya negara-negara Asia Tengah dan
beberapa negara Asia lainnya sebagai anggota peninjau.
Sedangkan India mendirikan South Asian Association Regional
Cooperation (SAARC) bersama Bangladesh, Bhutan, Maldives, Nepal, Pakistan
dan Sri Langka. Begitu pun Afrika Selatan memiliki pengaruh terhadap organisasi
regionalnya. Afrika Selatan tidak menginisiasi terbentuknya Organisation of
African Unity (OAU) yang terbentuk pada 25 Mei 1963 di Addis Ababa, Ethiopia.
Hadir dalam pertemuan itu 32 negara anggota pencetus OAU, (dalam Olympio
Francisco) tujuan berdirinya yakni sebagai pemersatu negara-negara Afrika yang
telah lama dijajah dan dibalkanisasi serta menumbuhkan pembangunan finansial.
(2004 : 52) Seiring berjalannya waktu Afrika Selatan bergabung dalam OAU pada
6 Juni 1994 pasca apartheid.
Pada tahun 1990-an, para pemimpin Afrika ingin mengubah OAU
menjadi Africa Union. Perubahan ini disebabkan adanya tantangan yang akan
dihadapi di kemudian hari serta tantangan perubahan struktur dunia maka
diajukanlah Sirte Declaration pada 1999 untuk membentuk Africa Union (AU).
(African Union) AU diluncurkan pada Juli 2002 di Durban, Afrika Selatan dengan
53 anggota, pada 2011 Sudan Selatan bergabung sebagai anggota ke 54. Menarik
di sini adalah kontribusi Afrika Selatan dalam pembentukan AU. Afrika Selatan
menjadi tuan rumah dan Presidennya saat itu Thabo Mbeki menjadi Majelis
80
Pimpinan AU mulai Juli 202 sampai Juli 2003. (African Union dan Africa Union
Handbook 2016)
Kesamaan identitas Afrika Selatan dan negara BRIC juga terletak di
kedekatan Afrika Selatan dengan negara-negara BRIC. Afrika Selatan tergabung
dalam IBSA bersama India dan Brazil, terbentuk pada tahun 2003 dengan IBSA
ketiga negara dapat mengeksplorasi bersama kesempatan untuk perdagangan dan
investasi dalam upaya meningkatkan pasar. (Soule Kohndou 2013 : 1) Selain itu,
Afrika Selatan bersama Cina, India, Mexico, dan Brazil tergabung dalam
Outreach Five (O5) atau plus five G8. Forum ini adalah forum yang dibentuk G8
sebagai perwakilan dari negara berkembang. Terakhir Afrika Selatan juga
tergabung bersama Brazil, India, dan Cina dalam BASIC (Brazil, South Africa,
India, dan Cina).
Penjelas identitas Afrika Selatan yang selaras dan sama dengan negara-
negara BRIC itulah yang menjadi alasan kenapa proposal Afrika Selatan untuk
bergabung BRIC disetujui oleh negara anggota. Selain itu ada „desire‟ Afrika
Selatan yang kuat untuk bergabung menjadi peneguh keinginannya. Kuatnya
“desire” Afrika Selatan ditunjukan dengan serangkaian kunjungan diplomasi
Zuma ke semua negara BRIC pada tahun 2010. Maka, tidaklah mengherankan
apabila Afrika Selatan diajak menjadi anggota tetap ketimbang Mexico, Nigeria,
Indonesia, Korea Selatan, atau negara lainnya.
Merujuk ke pernyataan Vladimir Putin tentang bagaimana membentuk
arsitektur baru dan pola baru dunia, penulis melihat Putin bersama negara-negara
81
BRIC berkeinginan yang sama untuk menjadi pelopor pola baru dunia
internasional. Dalam upaya membentuk pola baru tersebut tentu dibutuhkan
berbagai unsur, agar pola baru dapat disebut sempurna. Unsur dalam membangun
pola tersebut penulis melihatnya sebagai perwakilan dari setiap benua.
Masing-masing negara BRIC mewakili negara berkembang dari benuanya
masing-masing. Brazil mewakili benua Amerika, Rusia mewakili negara
berkembang di Eropa, India serta Cina, keduanya merupakan negara berkembang
yang mewakili benua Asia. Lantas penulis menilai akan terasa aneh jika BRIC
yang mengkonstruk dirinya sebagai forum kerjasama ekonomi negara-negara
berkembang tidak melibatkan perwakilan dari negara berkembang di benua
Afrika.
Diterimanya Afrika Selatan sebagai negara anggota dibutuhkan negara-
negara BRIC sebagai pelangkap puzzle yang belum lengkap. Afrika Selatan hadir
sebagai puzzle yang terakhir yang belum dimiliki negara-negara BRIC. Puzzle
tersebut adalah perwakilan negara berkembang dari benua Afrika. Pasca diterima
Afrika Selatan, lengkaplah puzzle negara-negara BRIC untuk membentuk pola
dan arsitektur baru dalam dunia internasional yang dibentuk oleh negara-negara
berkembang.
E. Keselarasan Speech Act Afrika Selatan dan BRIC
Pada bab ketiga penulis telah memaparkan panjang lebar mengenai speech
act, konsep ini penting untuk menjelaskan bagaimana rules terbentuk dan
mempengaruhi interaksi negara-negara di dunia internasional. Sebelum membahas
82
bagaimana keselarasan dan kesamaan Speech Act Afrika Selatan dan negara
BRIC, penulis akan mengulang kembali pendefinisian Speech Act.
Nicholas Onuf lebih lanjut menjelaskan bahwa Speech Acts adalah
performa sosial yang berimbas secara langsung dan memiliki konsekuensi, seperti
kata „saya‟ yang dilanjutkan kata kerja yang mendeklarasikan, meminta,
menjanjikan bahwa (proposisional konten) apa yang dikehendaki pembicara.
Orang-orang akan merespon kepada mereka (pembicara) dengan tindakan dan
penampilan, tidak selalu diucapkan, pola speech act dan pertunjukan terkait
merupakan praktek yang membuat pengalaman manusia menjadi lebih bermakna.
Secara khusus praktek speech act menimbulkan aturan yang memiliki harapan
untuk membentuk masa depan yang lebih baik ketimbang masa lalu. (Nicholas
Onuf, 1989 : 183)
Onuf mempermudah pendefinisian speech act sebagai bahasa yang
merepresentasikan dan performative. Manusia menggunakan bahasa untuk
merepresentasikan kebutuhannya dalam kata-kata, dan kata-kata sendiri
menampilkan kebutuhan. (Maja Zehfuss, 2002 : 153) Berbicara mengenai Speech
Act BRIC tentunya dimulai dari pernyatan Vladimir Putin tentang perlunya
dibentuk pola baru dalam interaksi hubungan internasional dengan melibatkan
Cina dan India. Kemudian setelah BRIC benar-benar berdiri, poin ketiga dalam
deklarasi pertama keempat negara menginginkan reformasi institusi finansial
internasional.
83
We are committed to advance the reform of international finàncial institutions, so
as to reflect changes in the world economy. The emerging and developing
economies must have greater voice and representation in international financial
institutions, and their heads and senior leadership should be appointed through
an open, transparent, and merit-based selection process. We also believe that
there is a strong need for a stable, predictable and more diversified international
monetary system. (BRICS South Africa 2009)
Rules ini termasuk dalam speech act khususnya directive Speech Act yang
menginginkan adanya perubahan (I request that) dan mencocokan dunia ke kata.
Rules dalam directive dikenal imperatif, maksudnya saat penutur mengatakan
anda harus melakukan sesuatu, pembicara percaya anda harus melakukannya.
Aturan ini berlaku keras, tegas, dan normatif. (Nicolas Onuf, 1998 : 11)
Pernyataan keempat kepala negara yang terumus dalam first joint declaration ini
mengambarkan betapa negara BRIC menginginkan adanya reformasi sistem
keuangan internasional.
Presiden Jacob Zuma pun sepaham dengan kepala negara BRIC dalam
urusan reformasi sistem keuangan internasional menjadi lebih demokratis.
Pernyataan Zuma itu diucapkannya saat pertemuan G20 pemimpin negara di
Toronto, Canada.
It is our strong view that the United Nations and its member states must play a
role in the ongoing international discussion on reforming and strengthening the
international financial and economic system. We also support the move to a more
open, transparent and merit-based approach to choose the heads of the World
84
Bank and the IMF. (Departement International Relations and Cooperation
Republic of South Africa 2010)
Pernyataan ini terjadi satu tahun setelah BRIC berdiri pada 24 Juni 2010,
artinya Zuma memiliki kesamaan visi dan keinginan terkait instituti keuangan
internasional yakni menjadi lebih terbuka, transparan, dan pemilihan ketua
berdasarkan usul anggota. Pernyataan serupa untuk reformasi instituti keuangan
internasional juga diucapkan Zuma saat memberikan kuliah di Universitas
Beijing, Cina pada 25 Agustus 2010.
The International Monetary Fund, which has had to play a central role in
addressing the global financial crisis, has not yet been allowed to restructure
itself better to represent the realities of the international system today. We hope
that the G20 meeting in South Korea will show very significant progress in the
reform of the IMF. (Departement International Relations and Cooperation
Republic of South Africa 2010)
Pernyataan sama dan serupa juga ditandaskan Jacob Zuma dalam
kunjungannya ke Cina di kesempatan yang berbeda yakni China Business Forum
on the occasion of the State Visit to the People‟s Republic of Cina, Beijing, Cina,
24 August 2010.
South Africa wants to see an international trade system that is more transparent
and inclusive, and which is not hostile to the interests of the developing world.
(Departement International Relations and Cooperation Republic of South Africa
2010)
85
Keselarasan speech act Jacob Zuma dan para pemimpin BRIC yang
tertulis dalam joint declaration merupakan alasan kenapa Afrika Selatan diterima
dan kemudian diundang untuk bergabung dalam forum kerjasama internasional
BRIC pada pertemuan ketiga di Sanya, Cina, 2011.
Terdapat tiga jawaban inti kenapa Afrika Selatan diundang dan diterima
sebagai anggota BRIC pada pertemuan di Sanya, 2011 : pertama, Afrika Selatan
memiliki kesamaan identitas dengan negara-negara BRIC, kesamaan identitas
tersebut membentuk identitas kolektif yang akan mempengaruhi prilaku negara-
negara BRIC sehingga menerima Afrika Selatan sebagai anggota; kedua, Afrika
Selatan memiliki „desire‟ untuk bergabung dengan BRIC melalui upaya diplomasi
dan kunjungan ke semua negara BRIC; terakhir, Afrika Selatan juga memiliki
kesamaan speech act dengan deklarasi negara-negara BRIC untuk mereformasi
institusi finansial internasional.
Penulis di bab pertama mengemukakan sebuah hipotesis bahwa
diundangnya serta diterimanya Afrika Selatan sebagai anggota BRICS
dilatarbelakangi adanya anggapan bahwa Afrika Selatan adalah gerbang Afrika
dan kekuatan regional. Ternyata, hasil penelitian penulis menemukan hasil yang
berbeda dengan hipotesis yang penulis kemukakan di awal. Perbedaan ini
disebabkan alat analisa penulis yang menggunakan teori konstruktifisme tidak
terlalu menekankan pada aspek material, akan tetapi non-material. Sedangkan
hipotesis yang penulis ajukan di awal sebagai jawaban sementara lebih fokus
kepada aspek material. Perbedaan inilah yang mendasari adanya jawaban yang
berbeda, antara hipotesis penulis di awal dan hasil analisa penulis.
86
Penulis berkesimpulan bahwa penulis banyak menemukan fakta-fakta dan
konsep-konsep baru selama penulis melakukan penelitian mengenai alasan
diterimanya Afrika Selatan sebagai anggota tetap. Data-data dan konsep-konsep
tersebut, penulis temukan seiring bertambahnya pemahaman lebih dalam penulis
terhadap teori yang penulis gunakan. Sebelum penulis meneliti skripsi ini, penulis
masih kebingungan bagaimana menggunakan dan menganalisa sebuah kejadian
internasional menggunakan teori konstruktifisme, namun seiring berjalannya
waktu pemahaman penulis semakin tajam dan kuat. Pemahaman ini menghasilkan
jawaban penelitian yang berbeda dengan hipotesis yang penulis gunakan di awal.
87
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Akronim BRIC mencuat seiring wacana yang dicanangkan oleh Jim
O‟Neill pada tahun 2001. Akronim ini merujuk kepada Brazil, Rusia, India, dan
Cina, empat negara yang memiliki populasi penduduk besar, pemerintahan yang
relatif stabil, pergerakan mata uang dan pertumbuhan ekonomi yang signifikan.
Keempat negara juga termasuk dalam emerging countries yang menurut O‟Neill
beberapa dekade ke depan akan punya peran penting dalam perekonomian dunia.
Di akhir tulisannya, O‟Neill menyarankan kepada G7 (elite club) untuk
melibatkan keempat negara dalam forum G7 agar segala kebijakan dapat lebih
Gagasan tersebut mengenai perubahan struktural forum pembentuk kebijakan
ekonomi dunia dengan melibatkan representatif negara-negara BRIC. Lebih
lanjut, O‟neill mengajukan untuk mereduksi perwakilan negara Euroland di G7
menjadi hanya satu negara dan menambahkan Cina, bisa juga Brazil dan Rusia,
atau India jika memungkinkan. Perubahan ini akan membuat G7 menjadi 8 hingga
9 negara.
Wacana perubahan elite club ini tidak mampu didefinisikan dan diterapkan
oleh negara-negara G7. Ketidakmampuan mendefinisikan dan melibatkan
emerging countries secara utuh dalam G7, inilah yang menjadi penyebab
berdirinya BRIC pada tahun 2009. Berdirinya BRIC didasari atas tiga hal :
88
pertama, adanya keselarasan identitas di antara negara-negara BRIC yang
kemudian menimbulkan identitas kolektif keempat negara. Identitas kolektif
inilah yang mempengaruhi prilaku mereka yang sama sebagai negara emerging
countries.
Kedua, ada speech act yang sama dari aktor-aktor penting di dalam
masing-masing negara yang menghendaki adanya perubahan institusi finansial
internasional menjadi lebih demokratis dan terbuka. Ketiga, keempat negara juga
memiliki desire yang sama dalam upaya meningkatkan ekonomi mereka.
Atas dasar tiga alasan tersebutlah BRIC berdiri di Yekaterinburg pada 16
Juni 2009. Dalam konsep regionalisme baru, BRIC berada di level regional
society, yakni level dimana tumbuh beragam proses komunikasi dan interaksi di
antara banyak aktor baik negara maupun non-negara dan termasuk beberapa
dimensi seperti ekonomi, politik, dan budaya. Dalam tahapan ini BRIC sudah
menjadi „the formal‟ atau de jure region. Menurut English School, menyebut
tahapan ini sebagai regional form of „international society‟ of cooperating states.
Serangkaian kerjasama BRIC mulai menguat menyentuh semua bidang baik
ekonomi, politik, sosial dan budaya. BRIC saat ini berada dalam tahapan ini.
Penulis berpendapat, idealnya BRIC ada di „regional community‟, yakni
sebuah level di mana BRIC telah memiliki lembaga formal, legitimasi, struktur
pengambilan keputusan yang melibatkan masyarakat sipil wilayah tersebut. Pada
level ini BRIC akan memiliki bentuk yang ideal dan terbaik, sebab secara power,
89
pengaruh, institusi, dan legalitas, BRIC akan mampu membentuk agenda
internasional dan isu-isu penting yang harus dipedulikan oleh dunia internasional.
Pada tahun 2011 terjadi perubahan nomenklatur BRIC, Afrika Selatan
diundang dan diterima menjadi anggota pada 14 April 2011. Alasan mengapa
Afrika Selatan diundang dan diterima inilah yang menjadi alasan utama penulis
mengajukan judul ini, sebab secara populasi penduduk, pemerintahan yang relatif
stabil, pergerakan mata uang dan pertumbuhan ekonomi, Afrika Selatan sangatlah
tertinggal jauh dibandingkan dengan keempat negara BRIC. Bahkan, Jim O‟Neill
melihat bahwa Nigeria adalah pilihan terbaik jika BRIC ingin mengundang negara
dari benua Afrika. Setelah melakukan riset mengenai alasan diundangnya dan
diterimanya BRIC mengunakan teori konstruktifisme, penulis menemukan
beberapa alasan diundangnya dan diterimanya BRIC, yakni :
Pertama, Afrika Selatan memiliki kesamaan identitas dengan negara-
negara BRIC, kesamaan identitas tersebut membentuk identitas kolektif yang akan
mempengaruhi prilaku negara-negara BRIC sehingga menerima Afrika Selatan
sebagai anggota. Kendati berbeda jauh dengan negara-negara BRIC, Afrika
Selatan menurut Jeffrey E. Garten merupakan negara emerging countries dengan
jumlah populasi 41 juta merepresentasikan 45 persen GDP Afrika Selatan. Afrika
Selatan adalah negara yang sangat maju di Afrika, produktif, dan memiliki
keseimbangan ekonomi. Ditambah dengan infrastruktur modern, industri yang
terus tumbuh dan cadangan energi yang cukup. Belum lagi ditambah kemampuan
Afrika Selatan dalam menyediakan barang dan jasa kepada negara-negara
tetangganya.
90
Kedua, Afrika Selatan memiliki „desire‟ untuk bergabung dengan BRIC
melalui upaya diplomasi dan kunjungan ke semua negara BRIC. Upaya diplomasi
Zuma dimulai dengan kunjungan ke Brazil dalam forum IBSA Summit, kemudian
beberapa bulan kemudian Zuma bertolak ke India dengan tujuan untuk
meningkatkan dan menambahkan hubungan perdagangan keduanya. Di tahun
yang sama bulan Agustus, Zuma beserta jajaran menteri beserta ratusan
pengusaha bertemu Presiden Dmitry Medvedev, kunjungan untuk meningkatkan
ekonomi keduanya. Zuma kemudian menutup kunjunganya ke Cina dan meminta
secara resmi bergabung ke dalam BRIC.
Terakhir, Afrika Selatan juga memiliki kesamaan speech act dengan
deklarasi negara-negara BRIC untuk mereformasi institusi finansial internasional.
Deklarasi itu berbunyi untuk mereformasi institusi finansial internasional. Zuma
dalam beberapa kunjungannya ke negara-negara BRIC pada 2010, juga
mengucapkan hal yang sama dan sesuai dengan deklarasi BRIC dalam beberapa
forum : pertama, dalam pernyataan Zuma di G20 Summit, Toronto, Canada;
kedua, saat kuliah umum di Universitas Beijing; terakhir, di forum Cina Business
Forum on the occasion of the State Visit to the People‟s Republic of Cina.
Ketiga alasan itulah yang mendasari negara-negara BRIC menerima
Afrika Selatan sebagai anggota. Ketiga jawaban di atas jugalah yang menjadi
jawaban penulis dalam permasalahan penelitian skripsi ini. Penulis menilai hasil
penelitian ini dapat menjawab kenapa Afrika Selatan yang diterima? Penggunaan
teori konstruktifisme juga dapat menjelaskan data-data yang selama ini kurang
91
dielaborasi, sebab teori-teroi mainstream berfokus pada hal-hal yang materil
berbeda dengan konstruktifisme yang fokus kepada hal-hal yang non-materil.
Kendati demikian, penulis masih menemukan beberapa kekurangan dalam
penelitian ini, yakni sulitnya menemukan data-data yang non-materil sehingga
sempat membuat penulis sedikit kebingungan. Terakhir, penulis menyarankan
agar penelitian selanjutnya dapat menemukan hal-hal baru yang belum penulis
kemukakan dalam penelitian ini, dan juga dapat menggunakan teori baru yang
fokus kepada hal-hal materil sehingga dapat menambah khazanah keilmuan
hubungan internasional.
xvii
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Adler, Emanuel. 2002. Constructivism and International Relations, dalam W.
Carlsnaes, T. Risse dan Simmons, B.A. (eds), Handbook of International
Relations, London: Sage Publications.
Beausang, Francesca. 2012. Globalization and the BRICs : Why the BRICs Will
Not Rule the World for Long. New York. Palgrave Macmillan.
Croswell, Jhon. 2010. Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan
Metode Campuran. Jogyakarta. Buku Beta.
De Coning, Cedric dkk. 2015. The BRICS and Coexistence. London. Routledge
Diamond, Larry, Juan J. Linz, Seymour Martin Lipset. Volume Two Democray In
Developing Countries Afrika. USA, Lynne Rienner Publishers. 1988.
Griffiths, Martin, Terry O‟Callaghan, Steven C. Roach, International Relations :
The Key Concepts Second Edition. New York, Routledge, 2008.
Haas, de Marcel dan Frans Paul van der Putten. The Shanghai Cooperation
Organisation : Toward a full-grown security alliance?. Den Haag, The
Hague, 2007.
Hill, McGraw dan Dushkin Guilford. Global Studies Africa. 2004
J. Stapleton, Timothy. A Military History of South Africa : From the Dutch-Koi
Wars to the End Of Apartheid. 2013.
xviii
Jackson, Robert & George Sorensen. 2009. Pengantar Hubungan Internasional.
Jogyakarta. Pustaka Pelajar.
Kiely, Ray. 2015. The BRICs, US „Decline‟ and Global Transformation. New
York. Palgrave Macmillan.
Markoff, John. Waves of Democracy : Social Movement and Political Change.
California, Sage Publications. 1996
Onuf, Nicholas Greenwood. 1989. World of Our Making : Rules and Rule in
Social Theory and International Relations. South Carolina. Columbia.
_______,. 2013. Making Sense, Making Worlds : Constructivism in Social theory
and International Relations. New York : Routledge.
Oppong, Joseph R. 2006. Africa South of The Sahara. Philadelpia : Chelsea House
Publishers.
Palan, Ronen. The Constructivist Underpinnings of The New International
Political Economy. Global Political Economy : Contemporary Theories.
London, Routledge, 2000.
Perwita, Anak Agung G. dan Bantarto Bandoro. 2013. Pengantar Kajian Strategi.
Jakarta: Graha Ilmu.
Silalahi, Ulber. 2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung : Refika Aditama.
Stuenkel, Oliver. 2015. The BRICS and The Future of Global Order. London.
Lexington Books.
T. Gay, Philip. Modern South Africa. McGraw Hill. New York. 2001
Zehfuss, Maja. 2002. Constructivism in International Relation : The Politics of
Reality. UK. Cambridge Univesity Press.
xix
Jurnal:
Aurora, Vivek. “Economic Growth In Post-Apartheid South Africa.” 2005
Besada Hany, Tok Evren dan Winters Kristen. 2013. “South Africa in the BRICS
: Opportunities, Challenges, and Prospects.” Africa Insight Vol 42 (4).
Banerjee Ritwik dan Vashisth Pankaj. 2010. “The Financial Cricis : Impact On
Bric and Policy Response.”
Budiman, Agus. “Politik Apartheid di Afrika Selatan.” Jurnal Artefak Vol 1 No 1.
2013
Conin, Diego. “Total Factor Productivity.” New York University. 2016.
Cristina Sechel Loana dan Gheorghe Ciobanu. 2014. “Characteristics of The
Emerging Market Economies.” – Brics, from The Perspective of Stock
Exchange Markets.
El Bilad, Cecep Zakarias. “Konstruktivisme Hubungan Internasional : Meretas
Jalan Damai Perdebatan Antarparadigma.” Malang.
E. Garten, Jeffrey. “The Big Ten : The Big Emerging Markets and How The Will
Change Our Live.” New York Times. 1997.
Hopf, Ted. “The Promise of Constructivism in International Relations Theory.”
International Security, hlm 171 – 200, 1998.
Hettne, Bjorn dan Fredrik Soderbaum. 2002. “Theorising The rise of Regioness.”
New Regionalism in the Global Political Economy, hlm 33 – 47.
Kornegay, Fancis A. 2012. “South Africa takes its place on the world stage among
global powers.” BRICS : Stability, Security, and Prosperity.
xx
Kuchins, Andrew. 2000. “Russia‟s Strategy Partnerships and Global Security.”
PONARS Policy Memo 165, Carnegie Endowment for Internatonal Peace.
____,.2000. “Russia‟s Relation with China and India : Strategic Partnership, Yes;
Stretegic Alliances.” No. 259 – 275.
Kundu, Nivedita Das. 2004. “Russia-India-China : Prospects for Trilateral
Cooperation.”
Moll, Terence. “South Africa After Apartheid ; Prospects For Economic
Recovery.” 2012
Narayanaswami, Karthik. 2013. “BRIC Economies And Foreign Policy.”
Nowak, Michael. “The First Ten Years After Apartheid: An Overview of the
South African Economy.” International Monetary Fund. 2005
Nugroho, Ganjar. Constructivism and International Relations Theories, Global &
Strategis, Th. II, No. 1, Januari – Juni 2008, hlm. 85-98.
O‟niell, Jim. Building Better Global Economic BRICs. Global Economics Paper
No : 66. Goldman Sachs, 2001.
Onuf, Nicholas. Constructivism : a User‟s Manual. 1998
____,.Speaking of Policy. 2001.
____,.Rules in Practice. 2010.
Reis, Maria Edileza Fontenele. “BRICS : surgimento e evolucao.” 2013.
Sanahuja, Jose Antonio. “Post Liberal Regionalism in South America : The Case
of UNASUR.” European University Institute, Italia. 2012.
xxi
Shaheen, Irum. “South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC) :
Its Role, Hurdless and Prospects.” IOSR Jurnal of Hamanities And Social
Science. Volume 15, Issue 6 (Sep-Okt 2013), 1-9.
Wendt, Alexander E. “Anarchy is What States Make of It : The Social
Construction of Power Politics.” International Organization 46 (1992),
391-425.
Wilson Dominis dan Purushothaman. 2003. “Dreaming with BRICs : The Path to
2050.” Global Economic Paper No.99. Goldman Sachs.
Working Paper :
John, Lysa. Engaging BRICS : Challenges and Opportunities For Civil Society.
Oxfam India Working Papers Series. September 2012.
Soule-Kohndou, Folashade‟. The India – Brazil – South Africa Forum A Decade
On : Mismatched Partners or the Rise of The South ?. Oxford University.
November 2013.
BRIC Declaration dan BRIC Report :
BRIC. VII BRICS Summit. Ufa Declaration. Diakses pada 21 Oktober 2015.
http://mea.gov.in/Uploads/PublicationDocs/25448_Declaration_eng.pdf
_____. First BRICS Summit Declaration. Diakses pada 20 Oktober 2015.
http://brics5.co.za/about-brics/summit-declaration/first-summit/#
_____. Second BRICS Summit Declaration. Diakse pada 20 Oktober 2015.
http://brics5.co.za/about-brics/summit-declaration/second-summit/
_____. Third BRICS Summit Declaration. Diakses pada 20 Oktober 2015.
http://brics5.co.za/about-brics/summit-declaration/third-summit/
xxii
_____. Fourth BRICS Summit Declaration. Diakses pada 20 Oktober 2015.
http://brics5.co.za/about-brics/summit-declaration/fourth-summit/
_____. Fifth BRIC Summit Declaration. Diakses pada 20 Oktober 2015.
http://brics5.co.za/about-brics/summit-declaration/fifth-summit/
_____. Sixth BRIC Summit : Fortaleza Declaration and Action Plan. Diakses pada
21 Oktober 2015. http://www.voltairenet.org/article184790.html
Skripsi, Tesis, dan Disertasi:
Fadlinnisa. Implementasi Perspektif Liberalisme, Realisme, dan Konstruktifisme
terhadap Keberadaan BRICS Sebagai Forum Kerjasama Ekonomi
Negara-Negara Emerging Economies Periode 2009-2013.Universitas
Indonesia. 2013.
Nordiansyah, Eko. Dampak bergabungnya Afrika Selatan ke BRICS terhadap
Pertumbuhan Ekonomi Afrika Selatan (2011-2013).UIN Jakarta. 2014.
Francisco K.N., Olympio. Transformation of The Organisation of African Unity
(OAU) : A New Vision for the 21st Century or Political Rhetoric?.
Germany.
Website dan Laporan Resmi :
About the Bretton Woods Institutions. http://www.brettonwoods.org/page/about-
the-bretton-woods-institutions
Africa Union. African Union Handbook. African Union Commission and New
Zealand Crown. 2016
Africa Union. History of the OAU and AU : The Organization Of African Unity
and The African Union. http://www.au.int/en/history/oau-and-au
xxiii
Jacob Zuma Speech. Address by President JG Zuma to G20 business leaders on
partnering with Africa‟s dynamic markets; Toronto, Canada – 24 June
2010. http://www.dirco.gov.za/docs/speeches/2010/jzum0625.html
___________. Lecture by President Jacob Zuma of the Republic of South Africa,
Renmin University, Beijing, China, 25 August 2010.
http://www.dirco.gov.za/docs/speeches/2010/jzum0825.html
___________. Address by President J G Zuma to the South Africa – China
Business Forum on the occasion of the State Visit to the People‟s Republic
of China, Beijing, China, 24 August 2010.
http://www.dirco.gov.za/docs/speeches/2010/jzum0824.html
Joint Declaration of The Heads of State and/or Goverment of Brazil, China, India,
Mexico and South Afrika Participating in The G8 Gleneagles Summit
Introduction. http://mea.gov.in/bilateral-
documents.htm?dtl/6746/Joint+Declaration+of+the+Heads+of+State+ando
r+Government+of+Brazil+China+India+Mexico+and+South+Africa+parti
cipating+in+the+G8+Gleneagles+Summit.
Kananaskis Summit Chair‟s Summary :
http://www.g8.utoronto.ca/summit/2002kananaskis/summary.html
Meeting with Russian and Foreign Media Following the G8 Summit.
http://en.kremlin.ru/events/president/transcripts/23087
xxiv
Press Conference of The President, 1997 :
http://www.state.gov/www/issues/economic/summit/clinton970622.html
Official Fourth BRICS Summit, New Delhi. http://archive.is/9nrW
Official Website Fifth BRICS Summit. http://brics5.co.za/
Unveiling of India‟s BRICS Logo and Launch of BRIC Website by External
Affairs Minister, http://mea.gov.in/press-
releases.htm?dtl/26558/Unveiling_of_Indias_BRICS_Logo_and_Launch_
of_BRICS_Website_by_External_Affairs_Minister
Artikel Online:
BRIC. 2009. Joint Statement of the BRIC Countries Leaders. [artikel online] ;
diakses pada 19 Oktober 2015. http://en.kremlin.ru/supplement/209.
_____. 2015. The Strategy for BRICS Economic Partnership. [artikel online] ;
diakses pada 20 Oktober 2015.
http://www.brics.mid.ru/bdomp/brics.nsf/Ufa_partnershipstrategy_eng.pdf.
_____. Info BRICS. [artikel online] ; diakses pada 20 Oktober 2015.
http://infobrics.org/history-of-brics/.
Gauteng Province. 2013. South Africa‟s Position in BRICS. Quarterly Bulletin.
[artikel online] ; diakses pada 21 Juni 2016.
http://www.treasury.gpg.gov.za/Documents/South%20African%20position
%20in%20BRICS.pdf.
Global Sherpa. BRIC Countries : Background, Key Facts, News and Original
Articles. [artikel online] ; diakses pada 21 Oktober 2015.
http://globalsherpa.org/bric-countries-brics/.
Manish Chand. 2010. Rusia India China Triangle : Promise and Reality. [artikel
online] ; diakses pada 1 November 2016.
http://in.rbth.com/articles/2010/06/30/300610_ric
xxv
Modi, Renu. Why is South Africa a BRIC (S) ?. [artikel online] ; diakses pada 28
Desember 2016. http://www.fairobserver.com/region/africa/why-south-
africa-brics/
Natalia Stapran, 2011. Russia-India-China : Acting in concert in South-East
Asia?. [artikel online] ; diakses pada 1 November 2016.
http://old.mgimo.ru/news/experts/document186479.pdf
___,. Putin Stand for Russia-China-India Strategic Cooperation. [artikel online] ;
diakses pada 1 November 2016.
http://en.people.cn/english/200010/01/eng20001001_51704.html
P Singh, Suresh dan Dube, Memory. 2012. BRICs and the World Order : A
Beginner‟s Guide. [artikel online] ; diakses pada 12 Oktober 2015.
http://cuts-international.org/brics-tern/pdf/BRICS_and_the_World_Order-
A_Beginners_Guide.pdf.
Panda, Ankit. 2016. Foreign Minister of Russia, India, China meet in Moscow.
[artikel online] ; diakses pada 1 November 2016.
http://thediplomat.com/2016/04/foreign-ministers-of-russia-india-china-
meet-in-moscow/
Onuf, Nicholas. Curriculum Vitae.[artikel online] ; diakses pada 8 Oktober 2016
https://pir.fiu.edu/people/faculty-emeritus/nicholas-onuf/
xxvi
Berita Online:
Mail and Guardian. 3 Juni 2010. Zuma Seeks to Boost Trade Links With India.
Diakses pada 05 Desember. http://mg.co.za/article/2010-06-03-zuma-
seeks-to-boost-trade-links-with-india
Mail and Guardian. 24 Desember 2010. South Africa invited to join BRIC Group.
Diakses pada 22 Oktober 2015. http://mg.co.za/article/2010-12-24-south-
africa-invited-to-join-bric-group.
New York Times.26 Maret 2013. Group of Emerging Nations Plans to Form
Development Bank. Diakses pada 20 Oktober 2015.
http://www.nytimes.com/2013/03/27/world/africa/brics-to-form-
development-bank.html?_r=0
Reuters 26 November 2008. Russia, Brazil call First BRIC Summit for 2009.
Diakses pada 10 Oktober 2016. http://www.reuters.com/article/us-brazil-
russia-idUSTRE4AP5H220081126
South Africa Info. 6 Agustus 2010. Zuma Visit Strengthens SA, Russia Ties.
Diakses 4 Desember 2016.
http://www.southafrica.info/news/international/russia-
060810.htm#.WETskLJ97IU
xxvii
LAMPIRAN
Lampiran 1
JOINT STATEMENT OF THE BRIC COUNTRIES LEADERS
JUNE 16, 2009 YEKATERINBURG, RUSSIA
We, the leaders of the Federative Republic of Brazil, the Russian Federation, the
Republic of India and the People‟s Republic of China, have discussed the current
situation in global economy and other pressing issues of global development, and
also prospects for further strengthening collaboration within the BRIC, at our
meeting in Ekaterinburg on 16 June, 2009.
WE HAVE ARRIVED AT THE FOLLOWING CONCLUSIONS:
1. We stress the central role played by the G20 Summits in dealing with the
financial crisis. They have fostered cooperation, policy coordination and political
dialogue regarding international economic and financial matters.
2. We call upon all states and relevant international bodies to act vigorously to
implement the decisions adopted at the G20 Summit in London on 2 April, 2009.
We shall cooperate closely among ourselves and with other partners to ensure
further progress of collective action at the next G20 Summit to be held in
Pittsburgh in September 2009. We look forward to a successful outcome of the
United Nations Conference on the World Financial and Economic Crisis and its
Impact on Development to be held in New York on 24-26 June 2009.
3. We are committed to advance the reform of international finàncial institutions,
so as to reflect changes in the world economy. The emerging and developing
economies must have greater voice and representation in international financial
institutions, and their heads and senior leadership should be appointed through an
open, transparent, and merit-based selection process. We also believe that there is
a strong need for a stable, predictable and more diversified international monetary
system.
4. We are convinced that a reformed financial and economic architecture should
be based, inter alia, on the following principles:
democratic and transparent decision-making and implementation process at the
international financial organizations;
solid legal basis;
compatibility of activities of effective national regulatory institutions and
international standard-setting bodies;
strengthening of risk management and supervisory practices.
xxviii
5. We recognize the important role played by international trade and foreign direct
investments in the world economic recovery. We call upon all parties to work
together to improve the international trade and investment environment. We urge
the international community to keep the multilateral trading system stable, curb
trade protectionism, and push for comprehensive and balanced results of the
WTO‟s Doha Development Agenda.
6. The poorest countries have been hit hardest by the financial crisis. The
international community needs to step up efforts to provide liquidity for these
countries. The international community should also strive to minimize the impact
of the crisis on development and ensure the achievement of the Millennium
Development Goals. Developed countries should fulfill their commitment of 0.7%
of Gross National Income for the Official Development Assistance and make
further efforts in increasing assistance, debt relief, market access and technology
transfer for developing countries.
7. The implementation of the concept of sustainable development, comprising,
inter alia, the Rio Declaration, Agenda for the 21st Century and multilateral
environmental agreements, should be a major vector in the change of paradigm of
economic development.
8. We stand for strengthening coordination and cooperation among states in the
energy field, including amongst producers and consumers of energy and transit
states, in an effort to decreasing uncertainty and ensuring stability and
sustainability. We support diversification of energy resources and supply,
including renewable energy, security of energy transit routes and creation of new
energy investments and infrastructure.
9. We support international cooperation in the field of energy efficiency. We stand
ready for a constructive dialogue on how to deal with climate change based on the
principle of common but differentiated responsibility, given the need to combine
measures to protect the climate with steps to fulfill our socio-economic
development tasks.
10. We reaffirm to enhance cooperation among our countries in socially vital
areas and to strengthen the efforts for the provision of international humanitarian
assistance and for the reduction of natural disaster risks. We take note of the
statement on global food security issued today as a major contribution of the
BRIC countries to the multilateral efforts to set up the sustainable conditions for
this goal.
11. We reaffirm to advance cooperation among our countries in science and
education with the aim, inter alia, to engage in fundamental research and
development of advanced technologies.
xxix
12. We underline our support for a more democratic and just multi-polar world
order based on the rule of international law, equality, mutual respect, cooperation,
coordinated action and collective decision-making of all states. We reiterate our
support for political and diplomatic efforts to peacefully resolve disputes in
international relations.
13. We strongly condemn terrorism in all its forms and manifestations and
reiterate that there can be no justification for any act of terrorism anywhere or for
whatever reasons. We note that the draft Comprehensive Convention against
International Terrorism is currently under the consideration of the UN General
Assembly and call for its urgent adoption.
14. We express our strong commitment to multilateral diplomacy with the United
Nations playing the central role in dealing with global challenges and threats. In
this respect, we reaffirm the need for a comprehensive reform of the UN with a
view to making it more efficient so that it can deal with today‟s global challenges
more effectively. We reiterate the importance we attach to the status of India and
Brazil in international affairs, and understand and support their aspirations to play
a greater role in the United Nations.
15. We have agreed upon steps to promote dialogue and cooperation among our
countries in an incremental, proactive, pragmatic, open and transparent way. The
dialogue and cooperation of the BRIC countries is conducive not only to serving
common interests of emerging market economies and developing countries, but
also to building a harmonious world of lasting peace and common prosperity.
16. Russia, India and China welcome the kind invitation of Brazil to host the next
BRIC summit in 2010.
xxx
Lampiran 2
Meeting with Russian and Foreign Media Following the G8
Summit
July 8, 2005 11:32
Gleneagles
Question: I have a question about terrorism. Yesterday you spoke of the need for
us all to act together to fight terrorism mercilessly. But in our society, both among
politicians and among the public, there is a certain amount of anti-western and
anti-American feeling. Does this have an effect on our efforts to fight terrorism?
Does it weaken our efforts?
President Vladimir Putin: In general, I think these anti-western and anti-American
feelings you are talking about are connected to the inadequate reaction certain
media outlets have had to tragic events that have taken place in our country. Some
media outlets, as you may recall, referred to the terrorists – evildoers of the likes
the world had not yet seen, those who took hostage the school in Beslan – as
fighters for who knows what cause, as „rebels‟ and so on. But this is certainly not
the line followed by the leadership in our partner countries, be it the United States
or our Western European partners. They are all firmly committed to fighting
terrorism resolutely, and I have absolutely no doubt on this point.
I think that we will all reach the point where we can get beyond these
misinterpretations of the real nature of events. When I say all of us, I mean the
politicians, the media and representatives of civil society. After tragedies of the
kind that struck Britain yesterday, we all become wiser and more experienced and
we all begin to realise more acutely that there can be no double standards and no
double way of looking at things, as we in Russia have tried to make clear on so
many occasions. I am absolutely convinced of this and I have no doubt that,
unfortunately, it is through such tragic mistakes that we learn, and I am certain
that we will join forces and we will be able to win this fight against terrorism.
Question: When the news came through of the bomb attacks in London, was there
a real danger that the summit would not continue its work? We see now that this
did not happen. Do you think the summit‟s agenda ended up being cut short, and
were you able to fully address all the questions that had been planned for the
meeting?
Vladimir Putin: I am sure there was no danger of the summit not continuing. I am
100-percent certain of this and don‟t doubt for a second that there was any danger
of it not going on. All my colleagues, all the G8 leaders gathered here in
Gleneagles, were firmly convinced that our work should and would continue. We
had no intention of satisfying the terrorists‟ wishes by stopping our work. All the
more so as the questions we were dealing with are all aimed at resolving various
xxxi
problems we face in the world today, at problems such as destitution, poverty, the
fight to achieve effective economic development in the world – at all these
problems that we also need to resolve in order to win the fight against terrorism.
All of this is part of the fight against terrorism in the broader sense.
So, not even yesterday‟s terrible tragedy could stop us. On the contrary, we were
full of determination to work through the agenda in full and complete all the work
that was planned. As for whether we had to trim the agenda, this was not the case,
of course. We did everything we had planned and even a little more, I think. We
also discussed other issues and, certainly, gave particular attention to yesterday‟s
tragic events and the need to unify our efforts in the fight against terrorism.
Question: Which question gave rise to the greatest debate during your
discussions? Of course, you would have been not just sitting down at the same
table together, but also speaking with each other in the corridors. What sorts of
things did you discuss and how would you describe the atmosphere?
Vladimir Putin: In the corridors we generally discussed the issues we did not get a
chance to discuss at our meetings together, and I think this is usually the case. All
our discussions, practically on every issue, were very lively indeed. It was not at
all like the old days of Communist Party congresses where everyone was
unanimous. Often one or another of us would express their own opinion and this
would start a debate. It really makes me happy to see that in this group of leaders
of eight countries, everyone knows how to listen to each other, respect each
others‟ point of view, take in what is being said and, if need be, even adjust their
own position. What I can say at any rate is that we had a very intensive and
effective discussion on all the issues on our agenda, on integrating developing
economies into the world system, opening up markets, the question of subsidies
for this or that sector in developed countries, issues on the international agenda,
Middle East peace settlement, the situation in Iraq and on the Syrian border,
nuclear non-proliferation and so on.
Question: Good afternoon, I want to raise a sore point…
Vladimir Putin: You have a sore point?
Question: Yes, very much so. I would like to know, how do you feel about the
fact that the G8 summit is totally closed off from an information point of view?
We are really shocked by the situation: we are working here just a few minutes
walk from the hotel, but over these three days here we have seen absolutely
nothing of what has been taking place. Is this a normal situation? Thank you.
Vladimir Putin: Well, it doesn‟t look to me like all of you gathered here are in a
state of shock.
Response: We are doing our utmost to hide it.
xxxii
Vladimir Putin: You are doing a very good job of it. I really can‟t tell that you are
in a state of shock.
As for the question of how open we are, I think that our work would lose its sense
if it were to take place constantly before the cameras. Open, intensive and
substantial work is impossible even with just one camera going the whole time.
It‟s simply impossible. Everyone would feel as if they were on stage in front of
millions of viewers and it wouldn‟t be the right conditions for producing
genuinely substantial work.
Regarding information on the G8‟s work, I think that the information provided is
really quite exhaustive. We don‟t have any secrets at all. There are no subjects not
made open to the public. Everything we discuss is made public and explained in
complete detail. There are no questions that I or any of my colleagues would try to
avoid answering. Everything is open.
The technical side of the work is another matter, and if you think that some
improvements could be made in this area then all of the G8 leaders and Russia, as
the presiding country in 2006, will examine what additional steps we can take to
ensure that the media are more involved in the day-to-day work at the G8
summits.
Question: Yesterday‟s horrific terrorist attack on London has forced many people
to consider taking new measures to combat terrorism. Could this fight against
terrorism lead to a clampdown in the civilised nations, and could this in turn
undermine the very foundations of democracy, undermine internal democracy?
Vladimir Putin: At first glance it does look as though taking tougher measures
against crime, against this absolute evil that is terrorism, could indeed lead to a
clampdown in our societies. But if we were to actually take that road we would be
playing right into the terrorists‟ hands, because this is exactly what they want.
Their goal is to destroy democracy and destroy democratic society, and we, of
course, will not do anything that could help them achieve this goal.
There is no doubt at all in my mind that democratic society has at its disposal
enough effective means for fighting terrorism and achieving results. The main
condition for our success, as I have stressed in the past, is for the international
community to unite and work together to prevent terrorists from slipping through
the cracks between us and to plug the gaps in our common defences. If we do this,
I am sure that our action will be far more productive and effective and that we will
achieve positive results together in this combat against terrorism.
Question: You announced that the next G8 summit would take place in St
Petersburg. Why did you choose St Petersburg? How did your colleagues react to
this choice, and what will be the main subjects on the agenda for the summit?
xxxiii
Vladimir Putin: Everyone generally accepts the host country‟s decision. We chose
St Petersburg for several reasons. One reason is that we won‟t need to spend extra
money preparing for the summit. We already did a lot of organisational work and
spent a considerable amount of money on the 300th anniversary of St Petersburg,
and it would be foolish to repeat this whole process again from scratch and spend
just as money again on preparing the G8 summit.
St Petersburg already has the infrastructure we need. Not even the Kremlin has
such infrastructure, because the Kremlin is not designed for these kinds of mass
events. What‟s more, in St Petersburg we can, or at least, we will try to organise
this event in such a way as not to place an excessive burden on the city‟s
infrastructure. Such are the main reasons for our choice, and they are essentially
technical considerations. As for our partners‟ reaction, it seems to me they are
genuinely happy and ready to come to St Petersburg.
Regarding the main subjects on the agenda, under Russia‟s presidency, the work
will follow on from previous summits, including this one. We cannot ignore the
question of overcoming poverty, and we cannot ignore the fight against terrorism.
At the same time, however, Russia proposes making world energy policy the key
issue for the next summit. Even during our discussions on global finances, world
trade and global economic development yesterday, more than two-thirds of our
attention was spent on energy issues. It is only natural that Russia, the world
leader on the energy market, should focus precisely on energy policy. If you put
together Russia‟s energy potential in all areas, oil, gas, and nuclear, our country is
unquestionably the world leader. We are most certainly ready to discuss all these
issues and want to make this the main subject for our summit.
These questions aside, I also think that if we are talking about overcoming poverty
and about global economic integration, we should not forget the interests of the
post-Soviet area. We also want to make this a part of our work on these issues.
Finally, I think that there are some issues that demand particular attention from
the G8 today, and these are issues that concern not only the world‟s poorest
countries, not only those who need our economic assistance and our political and
moral support.
You know, we tend to shy away from addressing certain problems we face in our
own countries. One of these is the demographic problem – a matter of great
importance for all of us. The fatter and richer we all become, the greater our
demographic problems become. All my colleagues agreed with me that we should
think about this over the coming year and make some decisions in St Petersburg at
our next summit that will have a positive impact on the situation in our countries.
You are no doubt familiar with the United Nations‟ forecasts in this area. All the
European countries are in a situation of demographic decline. The only G8
country with positive demographic growth is the United States, and this is thanks
xxxiv
to immigrants and the Latin American population. It is good that they have found
at least some way of resolving the problem, but I think that even there it is still not
enough. Today, therefore, when I consulted with my partners during the first part
of our meeting on whether they think we could also discuss this matter, they all
agreed. What‟s more, [EU Commission President] Mr Barroso said that a study
would soon be made of the demographic situation in the European Union, and this
could serve as the basis for the materials we will use to prepare this subject.
Question: Did the summit discuss the question of expanding the G8?
Vladimir Putin: No, this summit did not discuss this issue. If you are referring to a
possible enlargement, I would say that, as far my personal point of view goes,
discussing world trade and economic issues or world finances without, say, China
and India, is quite difficult. But there are two circumstances I would like to draw
to your attention in this respect.
First, Russia itself only recently became a member of the G8 and it would not be
proper for us to raise the issue of enlargement. Second, the countries I just
referred to, along with other countries, are regularly invited to take part in
discussions and their views are taken into account in work on preparing this or
that document. During Russia‟s presidency of the G8 we will continue this
practice.
Question: By what percentage can Russia increase its oil supplies to the G8
countries and over what time-frame?
Vladimir Putin: Russia is constantly increasing its supplies to the world markets,
and not just to the G8 countries but to all players on the market. It would be a bad
thing if we started just dealing amongst ourselves in our own little club. It would
be a very negative signal for the rest of the world. The world, fortunately, does not
consist of the G8 countries alone but is far broader, far more interesting and
diverse. Our task is not just to resolve the problems we face, such as the
demographic problem, which is of particular importance above all for the G8
countries, but, working from an economic point of view, our task is to help make
the world more harmonious and make the rules governing international economic
interaction more democratic.
In this respect we remain committed to market mechanisms for the global
economy. We will increase our supply of energy resources to the world market
and we will also continue to work on developing nuclear energy. Regarding
nuclear energy, there are also many non-proliferation issues that we need to
discuss, as this is a very sensitive subject.
Regarding increases in our energy production and supplies, what I can tell you is
that, first, Russia currently produces around 470 million tons of oil a year – we
xxxv
will increase production – and we export around 230 tons of this total. We plan to
raise export supplies to 250 million-270 million tons a year.
Second, there are agreements that we have already signed and that have already
come into effect. From 2010, we will increase our gas supplies to Western Europe
by 40 million cubic metres. These are contracts that are already signed. In order to
carry out these ambitious plans we are going to expand our transport capacity,
both railway and pipeline transport. In this aim we intend to implement two major
oil transport projects. One will be in the Far East with a terminus on the Pacific
coast, the first stage starting this year. Construction will take around three years
and will see 30 million tons of oil pumped to the station of Skovorodino on the
Chinese border.
Of these 30 million tons, 20 million tons will be shipped to the Chinese market
and 10 million will be taken by rail transport to the Pacific coast. As the oil in this
pipeline increases through the development of new sources and fields in Eastern
Siberia, we will build a second section of the pipeline that will run right to the
Pacific coast. This system will then be pumping 50 million tons with an outlet on
the White Sea. The sea is deep there and big tankers, even 500,000-ton capacity
tankers can navigate there. From there, oil can be shipped to any point, to any
market, including to the U.S. market.
We also plan to increase our liquefied gas production. The technology for
producing liquefied gas is improving all the time and is becoming a lot cheaper
and this creates economic opportunities for us to expand our work and it means
that our liquefied gas is competitive on the North American market. This year, our
tankers will deliver the first shipment of liquefied gas from Gazprom to the
consumers. We will develop our transport capacity, including by taking the Blue
Stream pipeline on the bed of the Black Sea to its full design capacity. Today we
are pumping around 4 billion cubic metres through this system but this could be
raised to 16 billion. We will raise capacity by 2 billion cubic metres a year. We
are ready to work together with Ukraine and develop the pipeline system there, so
long as they do not siphon off gas. Yet another direction is through Belarus and
Poland.
Finally, most important of all, there is the construction of the Northern European
gas pipeline. There are a number of different capacity options open here. The
pipeline will be laid on the Baltic Seabed. Finally, there is another possibility: we
are engaged in active talks with our Norwegian partners, who have an extensive
and well-developed pipeline system. There won‟t be enough Norwegian gas to
keep this system running at full capacity within a decade. The experts are all well
aware of this. The Norwegians are a very good partner for us and we hope that
this partnership will have visible, positive results for the entire world economy,
including for the G8 countries.
xxxvi
Question: it‟s well known that the G8 is in many ways based on personal
diplomacy. Could you tell us about the personal relations within the G8? For
example, do you think the cooling in relations brought about after the events in
Iraq is over now? Are there any particularly close alliances within the G8? How
do personal relations influence relations between states in general?
Vladimir Putin: I‟m not about to „undress the G8‟ for you. I won‟t say anything on
this point.
Question: Two years ago, you set the objective of doubling GDP within ten years.
Given the serious divergences within the government on this question and also the
slowdown in growth, do you think this goal is still realistic?
Vladimir Putin: Yes, I did indeed say that it was our objective to double GDP
within a decade, and I declared this goal two or three years ago. But when it
comes down to it, what I said is not so important; most important is what the
experts calculate. The calculations show that in order to reach this goal, our
economy needs to grow by around 7 percent a year. We have had an average
annual growth rate of 7.1 percent in the Russian economy over the last five years.
The Economic Development and Trade Ministry planned for growth of 5.4
percent last year, but the Russian economy in fact grew by 7.2 percent. As for the
slowdown in growth this year, it‟s still early days yet – we still need to wait until
the end of the year to see what results activity in the agricultural sector has
produced.
What we see is that, overall, the development forecast for the world economy is
slightly lower than it was last year. Given that the Russian economy is becoming
more and more integrated into the world economy, there is nothing surprising that
this overall slowdown should also be reflected in our economy. But I will insist
that our government look for ways to reach the goals we have set. I don‟t know
how it works in your country, but I know that in Russia if we don‟t set big goals,
we won‟t be able to resolve the smaller problems we face.
Question: Although you did not have a separate bilateral meeting with the U.S.
President, you no doubt did have the chance to talk together. Could you tell us
what questions you discussed primarily?
Vladimir Putin: I had quite active contact with my colleagues in general,
including with President Bush. We discussed a broad range of matters. Above all,
we spoke about the problem of terrorism in the world and increasing our
cooperation in this area. We also discussed our economic interaction in the
context of approving the protocol on Russia‟s accession to the World Trade
Organisation. These were the main subjects we talked about. Our experts
discussed the need to clarify the list of mutual tasks, and it is an impressive list.
So, a substantial amount of important work was accomplished at expert level.
xxxvii
Question: It is no secret that Russia is not the world‟s wealthiest country. What do
we stand to gain from providing aid to African countries?
Vladimir Putin: I think we already gained a great deal from the assistance we have
provided in the past. I would like to note that first the Soviet Union and then
Russia have always had a special relationship with the African continent. A large
number of Africa‟s present leaders studied in the Russian Federation. It would be
simply foolish to let slip this immense political capital that we so greatly need
today. The previous generation of our citizens built up this special relationship at
a substantial cost and it would be foolish indeed to simply throw it all away.
What form does our assistance take today? Above all, it takes the form of writing
off debts. We are one of the leaders in this respect. What we are talking about here
is writing off the debts of countries whose level of economic development makes
it impossible for them to ever be able to repay these debts. We are therefore taking
steps to help them. Another area of assistance to the poorest countries, including
in Africa, is in helping them solve healthcare and education problems. By the
way, I want to make the issues of fighting the most dangerous diseases and
improving education part of the agenda for the G8 summit in 2006. We also have
to deal with these problems in our own country. We need to work out a common
approach and a common philosophy and put in place the mechanisms for
resolving these issues.
Question: Why did you set a date for your meeting with [Japanese Prime
Minister] Junichiro Koizumi even though differences of opinion on the territorial
issue still remain? What are your expectations of this visit? What needs to be done
for Russia and Japan to sign a peace treaty?
Vladimir Putin: Regarding the date for the visit to Japan, we went along with the
Japanese side‟s wishes. We had proposed several options but our Japanese friends
found the date that you mentioned most convenient. For our part, we have no
objection, as we agreed on a date that would be convenient for both sides.
Regarding the main point in your question, the territorial issue – I would call it the
problem of signing a peace treaty – I think you will agree with me that in order to
someday settle this question, we need to work on it together, and in order to work
on it, we need to meet, to understand each other and trust each other. In order to
trust each other, we need to build up our cooperation. These are the issues we
intend discussing during my visit to Japan.
Question: Many politicians have not been very flattering about the work of [Prime
Minister] Mikhail Fradkov‟s cabinet. Are you satisfied with the government‟s
work? How do you feel about the fact that personal conflicts arise between the
Prime Minister and his subordinates?
xxxviii
Vladimir Putin: When I was a child I was taught to make no requests and feel no
regrets. That is one of the golden rules I try to follow. I don‟t think the Prime
Minister has compromised himself in any way and deserves any particular public
condemnation. As for criticism of the Prime Minister‟s work, it is a normal thing
in any country. Regarding Mr Fradkov, I am able to make an objective assessment
of his work and I think that he is doing a perfectly satisfactory job of carrying out
his duties.
As for the problem you mentioned regarding public discussion between
subordinates – I don‟t think this was the best way the Prime Minister could have
organised his work, but this was his decision and it is his right.
Question: At the Shanghai Cooperation Organisation summit that just took place
in Kazakhstan, the organisation‟s members agreed to ask the members of the anti-
terrorist coalition to examine a timetable for withdrawing their bases from Central
Asia. Was this issue discussed here? Did you sound out your coalition partners on
the possible timetable for the withdrawal of their bases from Central Asia and
their reaction to this idea?
Vladimir Putin: First of all, I want to say that the anti-terrorist coalition does not
have any modern bases on Central Asian territory. They do have air force
contingents temporarily stationed there in order to take part in the anti-terrorist
operations in Afghanistan. At the time that this issue was being settled our U.S.
colleagues asked us to support them and we gave them our support. At that time it
was made clear that these contingents, above all air force contingents, would be
stationed there temporarily, for the duration of the anti-terrorist operation. We
discussed this personally on many occasions. I do not thing that we discussed
anything surprising or unexpected at the Shanghai Cooperation Organisation
summit in Astana. There was nothing unusual, nothing out of the ordinary and
certainly nothing directed against anyone else in what we discussed. It was simply
that the countries that have made their territory available to these contingents
would like to know how their partners view the idea of the completion of anti-
terrorist operations in Afghanistan. Elections have been held successfully there
and this means that part of the process is now complete and the country is ready
for parliamentary elections. There is nothing unusual in this discussion – it is
normal, routine work.
Question: The documents signed in Astana declare that the Shanghai Cooperation
Organisation countries will develop new mechanisms for responding to
emergency situations. What is implied here? Are we talking about some kind of
information exchanges or will joint military operations be held in the future?
Vladimir Putin: No military operations of any kind are being discussed. What we
are talking about is above all providing moral and political support for each other
and making the necessary exchanges, including of information. As for responding
xxxix
to a potential external aggressor, these problems are not discussed at all within the
Shanghai Cooperation Organisation framework.
Question: The news has appeared in the press that Gazprom is interested in
buying Sibneft, and then in Astana, Rosneft also said it was interested in buying
Sibneft‟s assets because it would be a major asset. Does the state have a position
on this matter?
Vladimir Putin: The state has no position at this point. I know that Gazprom and
Sibneft have held talks. I think that this is not a state priority, but is a private
affair, including for the owners of Sibneft. I won‟t hide that I discussed this with
Sibneft and I stressed that they should approach it as a market deal, if they want to
go ahead with it at all. The fact that a state company wants to buy Sibneft‟s assets
does not mean that the state shares this same objective. The company‟s
shareholders are all informed about the situation and, to be honest, I don‟t know
what decision they will make and how much of their assets they will sell and to
whom.
From here the President‟s meeting with the Russian and foreign media continued
as an informal discussion
xl
Lampiran 3
JOINT DECLARATION OF THE HEADS OF STATE AND/OR
GOVERNMENT OF BRAZIL, CHINA, INDIA, MEXICO AND
SOUTH AFRICA PARTICIPATING IN THE G8
GLENEAGLES SUMMIT INTRODUCTION
1. We, the Heads of State and/or Government of Brazil, China, India, Mexico
and South Africa thank Prime Minister Tony Blair for the invitation to
participate at the G8 Gleneagles Summit.
2. At the historical juncture of the UN 60th anniversary and other important
upcoming events this year, including the process of UN reforms aimed at
providing a greater voice to developing countries in UN decision-making, the
Gleneagles Summit is an opportunity to give stronger impetus to these
processes and to send a positive message on international cooperation. This
should be achieved through the promotion of multilateralism, the
enhancement of North-South cooperation, as well as through a renewed
commitment to sustainable development and the harnessing of the benefits of
globalization for all.
3. We reaffirm the role of South-South cooperation in the context of
multilateralism, and the need to strengthen it. We are fully committed to close
coordination and cooperation to meet the challenges arising from
globalization, and to promote the common interest of developing countries by
striving to more effectively bring together our priorities and international
engagement strategies. We recall the outcome of the Second South Summit
held in Doha in June 2005, which recognised the importance of initiatives
such as the "Action against Hunger and Poverty", and the proposal for the
Southern Development Fund.
Global Economic Issues
4. More stability and certainty in the world economy are paramount, together
with an international context that provides developing countries with better
and more equitable opportunities. Developing countries usually bear the brunt
of crises and macroeconomic imbalances in the major economies that are in a
position to spur conditions for global economic growth and development.
5. The persistence of hunger and poverty, even when the means to eliminate
them are available, is a major obstacle to sustainable development.
6. The mobilization of international support for raising additional financial
resources for development and the fight against hunger and poverty, through
the effective implementation of the agreements and commitments reached by
the international community in the "Consensus of Monterrey" agreed at the
Conference on Financing for Development of the United Nations, is a
xli
necessary condition to reach the targets and objectives established in the
"Millennium Declaration". Thus, we should preserve the coherence, the
association, the will, and the sense of shared responsibility that are the
common elements and principles that have to be adopted by every member of
the international community if we are to see successful results.
7. The Millennium Development Goals cannot be timely and fully implemented
with the current levels of ODA, which remain focused on short-term projects
and vary according to the budgetary and policy priorities of donor countries.
Therefore, donor countries should fulfil their commitments and reach the
target of at least 0.7% of their GDP's allocated to ODA. This would greatly
assist the funding of national and regional initiatives to combat poverty and
hunger.
8. We welcome the decision adopted by the G-8 Finance Ministers to promote
further debt relief for a number of the Least Developed Countries.
9. The removal of trade barriers to products and services of interest to
developing countries is essential for development, the fight against poverty
and the protection of the environment. The Doha Development Agenda
explicitly places the development dimension at the heart of current trade
negotiations. However, more progress is needed to implement this collective
commitment. There is a need to redress the development deficit which
became more acute as a result of the Uruguay Round agreements.
10. The international community needs to send a clear and positive signal to the
Doha round of trade negotiations that the success of the 6th Ministerial
Meeting of the WTO, to be held in Hong Kong, China, in December 2005, is
essential. In this connection, a fundamental requirement is to achieve
substantive progress, by the end of July 2005, regarding agricultural
negotiations, access to non-agricultural markets, services, trade facilitation
and rules. Trade-distorting domestic support for agriculture in developed
countries must be substantially reduced and all forms of export subsidies
must be eliminated by a date to be agreed.
11. All members of the international community should work together for the
reform of the current international economic system to make it stronger and
supportive of development, including through reforming the Bretton Woods
Institutions and assuring greater say to developing countries.
Climate change
12. Climate change has, and for the foreseeable future will continue to have, a
profound impact on the development prospects of our societies. The United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) and its
xlii
Kyoto Protocol establish a regime that adequately addresses the economic,
social and environmental aspects of sustainable development.
13. The international regime represented by the UNFCCC and its Kyoto Protocol
rests on the differentiation of obligations among Parties, according to the
principle of common but differentiated responsibilities of States. Developed
countries should therefore take the lead in international action to combat
climate change by fully implementing their obligations of reducing emissions
and of providing additional financing and the transfer of cleaner, lowemission
and cost-effective technologies to developing countries.
14. In line with the principle of common but differentiated responsibilities, the
UNFCCC and the Kyoto Protocol do not provide for any quantitative targets
for emission reductions for developing countries but still require these
countries to implement appropriate policies and measures to address climate
change, taking into account their specific circumstances and with the support
of developed countries.
15. The Clean Development Mechanism (CDM) incorporated in the Kyoto
Protocol provides an important and innovative framework for the
participation of developing countries in international efforts to address
climate change. In addition, our countries have already carried out mitigation
and adaptation efforts that precede and complement those related to the
CDM.
16. The Gleneagles Summit should recognise that the Convention establishes
economic and social development and poverty eradication as the first and
overriding priorities of developing countries. As such, there is an urgent need
for the development and financing of policies, measures and mechanisms to
adapt to the inevitable adverse effects of climate change that are being borne
mainly by the poor.
17. Changes in the unsustainable production and consumption patterns in the
industrialized countries must be implemented. Energy efficiency and
renewable energy sources, such as solar, wind and hydro-electrical power,
and bio-fuels such as ethanol and biodiesel, offer opportunities that deserve
careful consideration.
18. We urge the G-8 leaders and the international community to devise
innovative mechanisms for the transfer of technology and to provide new and
additional financial resources to developing countries under the UNFCCC
and its Kyoto Protocol. For this purpose, we propose a new paradigm for
international cooperation, focused on the achievement of concrete and
properly assessed results, taking fully into account the perspective and needs
of developing countries. Such a paradigm must ensure that technologies with
a positive impact on climate change are both accessible and affordable to
xliii
developing countries and will require a concerted effort to address questions
related to intellectual property rights. Additional financial resources, apart
from those already available through ODA, should be directed to developing
countries to enable them to access critical technologies. Collaborative
research for new technologies, involving both developed and developing
countries, also needs to be encouraged.