rendy arbiterse asing

32
BAB VI Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan Arbiterase Asing di Indonesia A. Praktek Pelaksanaan Putusan Pengadilan Asing di Indonesia Ketentuan–ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing (Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat dalam Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69. Ketentuan–ketentuan tersebut pada dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York 1958. Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani masalah pengakuan dari pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selanjutnya pasal 66 mengatur hal–hal sebagai berikut: Putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syarat–syarat sebagai berikut: a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh

Upload: elva-gabriella-depari

Post on 11-Aug-2015

49 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rendy Arbiterse Asing

BAB VI

Pelaksanaan Putusan Pengadilan dan Arbiterase Asing di Indonesia

A. Praktek Pelaksanaan Putusan Pengadilan Asing di Indonesia

Ketentuan–ketentuan tentang pelaksanaan (eksekusi) putusan Arbitrase Asing

(Internasional) di Indonesia terdapat dalam Undang–Undang No. 30 Tahun 1999

tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Aturannya terdapat dalam

Bab VI pasal 65 sampai dengan pasal 69. Ketentuan–ketentuan tersebut pada

dasarnya sejalan dengan ketentuan tentang pengakuan dan pelaksanaan putusan

arbitrase asing (internasional) seperti yang diatur dalam Konvensi New York

1958.

Pasal 65 UU No. 30 Tahun 1999 menetapkan bahwa yang berwenang menangani

masalah pengakuan dari pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Selanjutnya pasal 66 mengatur hal–hal sebagai berikut: Putusan arbitrase

internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik

Indonesia, apabila memenuhi syarat–syarat sebagai berikut:

a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di

suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara

bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan

Arbitrase Internasional.

b. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas

pada putusan yang menurut ketentuan hukum perdagangan.

c. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya

dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan

dengan ketertiban umum.

Page 2: Rendy Arbiterse Asing

d. Putusan arbitrase internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah

memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan

e. Putusan arbitrase internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yagn

menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa,

hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari Mahkamah Agung

Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat.

Selanjutnya pasal 67 menetapkan bahwa permohonan pelaksanaan putusan

arbitrase internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan

didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta

Pusat.

Walaupun telah terdapat pengaturan yang cukup jelas dan tegas mengenai

pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dalam UU No. 30 Tahun 1999,

dibandingkan dengan masa ketika belum adanya pengaturan yang jelas mengenai

hal tersebut (yaitu sebelum adanya UU No. 30 Tahun 1999), Indonesia masih

sering menuai kritik dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan

arbtirase internasional.

Kesan umum di dunia internasional adalah bahwa Indonesia masih merupakan “an

arbitration unfriendly country”, dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan

arbitrase internasional. Karena mengantisipasi hal demikian itu, maka tidaklah

heran jika Karahabodas sebagai pihak yang menang perkara arbitrase

internasional mengajukan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase internasional di

negara lain dimana terdapat kekayaan Pertamina.

Masalah utama yang sering dipersoalkan oleh dunia internasional bahwa

pengadilan Indonesia enggan untuk melaksanakan putusan arbitrase atau menolak

pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) dengan alasan bahwa putusan

yang bertentangan dengan public policy atau ketertiban umum. Seperti diketahui,

Page 3: Rendy Arbiterse Asing

walaupun public policy dirumuskan sebagai ketentuan dan sendi-sendi pokok

hukum dan kepentingan nasional suatu bangsa, dalam hal ini Indonesia, namun

penerapan kriteria tersebut secara konkret tidak selalu jelas, sehingga keadaan

demikian dilihat oleh dunia internasional sebagai suatu ketidakpastian hukum.

Adalah menarik untuk mencatat bahwa UU No. 30 Tahun 1999 hanya

mencantumkan public policy sebagai alasan bagi penolakan putusan arbitrase

asing (internasional), padahal Konvensi New York dalam pasal 5 mencantumkan

pula sejumlah ketentuan-ketentuan lainnya yang dapat merupakan alasan bagi

penolakan putusan arbitrase asing (internasional), yang menyangkut hal-hal yang

menyangkut due prosess of law dapat dipertanyakan walaupun ketentuan-

ketentuan lainnya tersebut tidak dicantumkan dalam peraturan perundang-

undangan Indonesia (UU No. 30 Tahun 1999) apakah hakim pengadilan Indonesia

tidak terikat pada ketentuan-ketentuan tersebut, sedangkan Indonesia adalah

anggota Konvensi New York.

Pelaksanaan eksekusi apabila eksekuatur telah diperoleh masih sering menyisakan

berbagai permasalahan dilapangan, apabila terjadi perlawanan terhadap

pelaksanaan eksekusi yang bersangkutan dengan alasan apapun. Seperti diketahui,

prosedur pelaksanaan eksekusi menurut hukum acara perdata diselenggarakan

sesuai dengan proses pemeriksaan perkara di pengadilan hal mana berarti dapat

berlangsung dalam jangka waktu panjang. Tentu saja keadaan demikian

menimbulkan perasaan ketidakpastian hukum pada pihak-pihak yang

bersangkutan.

Masalah lain yang juga menimbulkan ketidakjelasan dalam hukum arbitrase di

Indonesia adalah mengenai pengertian arbitrase internasional itu sendiri. Seperti

diketahui, pasal 1 angka 9 UU No. 30/1999 merumuskan putusan arbitrase

internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbtirase atau

arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu

lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum

Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbtirase internasional.

Page 4: Rendy Arbiterse Asing

Dengan adanya rumusan seperti demikian dapat diartikan bahwa putusan arbitrase

yang dijatuhkan di dalam wilayah hukum Indonesai adalah bukan putusan

arbitrase asing (internasional), atau putusan arbitrase domestik (nasional).

Hal ini menjadi masalah mengingat Konvensi New York 1958 dalam kaitannya

dengan masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase adalah menyangkut

putusan arbitrase yang dijatuhkan di negara yang berbeda daripada negara dimana

dimintakan pengakuan dan pelaksanannya mengenai sengketa secara fisik atau

hukum yang timbul antara mereka yang bersengketa.

Ditegaskan pula bahwa Konvensi New York juga berlaku atas putusan yang oleh

Negara dimana putusan tersebut diakui dan akan dilaksanakan tidak dianggap

sebagai putusan arbitrase domestik.

Seperti diketahui UU No. 30 Tahun 1999 hanya mengatur tentang pengakuan dan

pelaksanaan putusan arbitrase International di Indonesia, tetapi tidak mengatur

sama sekali tentang penyelenggaraan arbitrase international di Indonesia. Dengan

mudah orang menafsirkan bahwa setiap arbitrase yang diselenggarakan dan

diputus di dalam wilayah Indonesia adalah arbitrase domestik (nasional). Seperti

diketahui mengenai pelaksanaan putusan arbitrase yang diselenggarakan di

Indonesia dan pelaksanaan putusan arbitrase asing (internasional) terdapat

perbedaan dalam prosedur dan jangka waktu pendaftaran, dan sebagainya.

Sedangkan UNCITRAL Model Law dalam pasal 1 secara gamblang menegaskan

bahwa arbitrase adalah internasional apabila :

a. para pihak dalam perjanjian arbitrase pada saat membuat perjanjian yang

bersangkutan, mempunyai kedudukan bisnis di negara yang berbeda;

b. tempat berarbitrase, tempat pelaksanaan kontrak atau tempat objek yang

dipersengketakan terletak di negara yang berbeda dari tempat kedudukan bisnis

Page 5: Rendy Arbiterse Asing

para pihak yang bersengketa atau apabila para pihak secara tegas bersepakat

bahwa hal yang terkait dengan perjanjian arbitrase yang bersangkutan

menyangkut lebih dari suatu negara.

Dengan kata lain pada arbitrase dalam praktek di Indonesia pun (antara lain di

Badan Arbitrase Nasional Indonesia/BANI) diselenggarakan arbitrase yang

menyangkut unsur–unsur asing (para pihak berbeda kebangsaan/negara), dimana

persidangan putusan arbitrase yang bersangkutan dijatuhkan sesuai dengan

ketentuan hukum yang berlaku bagi penyelenggaraan arbitrase di Indonesia (pasal

59 dan pasal 4 dan pasal 5 UU No. 30 Tahun 1999). Namun apabila dilihat dari

kacamata Konvensi New York, putusan tersebut dapat dianggap sebagai putusan

arbitrase internasional, sehingga dapat dilaksanakan eksekusinya di negara-negara

lain yang merupakan anngota Konvensi New York.

Kenyataan lain yang juga terjadi dan dapat menimbulkan masalah adalah apabila

suatu lembaga arbitrase asing (internasional), misalnya I.C.C menyelenggarakan

sidang juga dan atau menjatuhkan putusannya di Indonesia. Pertanyaan dapat

timbul apakah putusan arbitrase lembaga tersebut oleh pengadilan Indonesia

dianggap sebagai putusan arbitrase domestik dengan segala akibat-akibatnya yang

menyangkut prosedur pelaksanaan.

Kasus seperti ini terjadi belum selang berapa lama ini, yang sampai sekarang

menimbulkan masalah yang berlarut-larut.

Masalah seperti dikemukakan di atas terjadi karena berbeda dengan negara-

negara lain pada umumnya (antara lain Singapura), peraturan perundang-

undangan Indonesia yang menyangkut arbitrase asing (internasional) tidak

mengantisipasi ketentuan UNCITRAL Model Law. Sehingga peraturan

perundang-undangan arbitrase Indonesian dianggap terlalu bersifat nasional, yang

tercermin antara lain dalam ketentuan-ketentuan mengenai penggunaan bahasa

Indonesia dalam sidang dan putusan yang harus mencantumkan irah-irah ‘Demi

Page 6: Rendy Arbiterse Asing

Keadilan dan Ketuhanan Yang Maha Esa’. Ini sulit untuk dipahami oleh pihak

luar.

Untuk menyesuaikan dengan sifat internasional dan universal dari arbitrase

sebagai suatu konsep penyelesaian sengketa dan dalam rangka harmonisasi

peraturan perundang-undangan Indonesia dengan negara-negara lain yang ternyata

memiliki kondisi lebih kondusif bagi penyelesaian sengketa-sengketa hukum

internasional, seyogianya peraturan perundang-undangan arbitrase Indonesia,

dalam hal ini UU No. 30 Tahun 1999, dikaji kembali untuk disesuaikan dengan

ketentuan-ketentuan yang berlaku di dunia internasional, termasuk UNCITRAL

Model Law

Disamping itu diharapkan bahwa hakim-hakim pengadilan negeri Indonesia serta

semua pihak–pihak yang berkepentingan benar-benar memahami makna dan

hakekat arbitrase sebab suatu konsep penyelesaian sengketa di luar pengadilan

yang bersifat praktis, non-konfrontatif, efisien dan efektif.

a.1 Pengertian dan jenis-jenis Putusan

Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 macam yaitu

putusan, penetapan, dan akta perdamaian :

(1) Putusan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan

diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari

pemeriksaan perkara gugatan (kontentius).

(2) Penetapan adalah pernyataan hakim yang dituangkan dalam bentuk tertulis dan

diucapkan oleh hakim dalam sidang terbuka untuk umum sebagai hasil dari

pemeriksaan perkara permohonan (voluntair), Sedangkan

(3) Akta perdamaian adalah akta yang dibuat oleh hakim yang berisi hasil

Page 7: Rendy Arbiterse Asing

musyawarah antara para pihak dalam sengketa untuk mengakhiri sengketa dan

berlaku sebagai putusan.

Dari segi fungsinya, putusan Pengadilan dalam mengakhiri perkara adalah sebagai

berikut :

1. Putusan Akhir

- adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui

semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan

pemeriksaan

- Putusan yang dijatuhkan sebelum tahap akhir dari tahap-tahap pemeriksaan,

tetapi telah mengakhiri pemeriksaan yaitu :

a. putusan gugur

b. putusan verstek yang tidak diajukan verzet

c. putusan tidak menerima

d. putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang memeriksa

- Semua putusan akhir dapat dimintakan akhir, kecuali bila undang-undang

menentukan lain

2. Putusan Sela

- adalah putusan yang dijatuhkan masih dalam proses pemeriksaan perkara dengan

tujuan untuk memperlancar jalannya pemeriksaan

- putusan sela tidak mengakhiri pemeriksaan, tetapi akan berpengaruh terhadap

arah dan jalannya pemeriksaan

- putusan sela dibuat seperti putusan biasa, tetapi tidak dibuat secara terpisah,

melainkan ditulis dalam berita acara persidangan saja

- Putusan sela harus diucapkan di depan sidang terbuka untuk umum serta ditanda

tangani oleh majelis hakim dan panitera yang turt bersidang

Page 8: Rendy Arbiterse Asing

- Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan

akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir

- Hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat merubahnya sesuai

dengan keyakinannya

- Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan

putusan akhir.

- Para pihak dapat meminta supaya kepadanya diberi salinan yang sh dari putusan

itu dengan biaya sendiri

Dilihat dari segi hadir tidaknya para pihak pada saat putusan dijatuhkan, maka

putusan Pengadilan dibagi beberapa jenis :

1. Putusan gugur

- adalah putusan yang menyatakan bahwa gugatan/permohonan gugur karena

penggugat/pemohon tidak pernah hadir, meskipun telah dipanggil sedangkan

tergugat hadir dan mohon putusan

- putusan gugur dijatuhkan pada sidang pertama atau sesudahnya sebelum tahapan

pembacaan gugatan/permohonan

- putusan gugur dapat dijatuhkan apabila telah dipenuhi syarat :

a. penggugat/pemohon telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang

hari itu

b. penggugat/pemohon ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula

mewakilkan orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu

halangan yang sah

c. Tergugat/termohon hadir dalam sidang

d.Tergugat/termohon mohon keputusan

- dalam hal penggugat/pemohon lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka

dapat pula diputus gugur

- dalam putusan gugur, penggugat/pemohon dihukum membayar biaya perkara

Page 9: Rendy Arbiterse Asing

- tahapan putusan ini dapat dimintakan banding atau diajukan perkara baru lagi

2. Putusan Verstek

- adalah putusan yang dijatuhkan karena tergugat/termohon tidak pernah hadir

meskipun telah dipanggil secara resmi, sedang penggugat hadir dan mohon

putusan

- Verstek artinya tergugat tidak hadir

- Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam sidang pertama atau sesudahnya,

sesudah tahapan pembacaan gugatan sebelum tahapan jawaban tergugat,

sepanjang tergugat/para tergugat semuanya belum hadir dalam sidang padahal

telah dipanggil dengan resmi dan patut

- Putusan verstek dapat dijatuhkan apabila memenuhi syarat :

a. Tergugat telah dipanggil resmi dan patut untuk hadir dalam sidang hari itu

b. Tergugat ternyata tidak hadir dalam sidang tersebut, dan tidak pula mewakilkan

orang lain untuk hadir, serta ketidak hadirannya itu karena suatu halangan yang

sah

c. Tergugat tidak mengajukan tangkisan/eksepsi mengenai kewenangan

d. Penggugat hadir dalam sidang

e. Penggugat mohon keputusan

- dalam hal tergugat lebih dari seorang dan tidak hadir semua, maka dapat pula

diputus verstek.

- Putusan verstek hanya bernilai secara formil surat gugatan dan belummenilai

secara materiil kebenaran dalil-dalil tergugat

- Apabila gugatan itu beralasam dan tidak melawan hak maka putusan verstek

berupa mengabulkan gugatan penggugat, sedang mengenai dalil-dalil gugat, oleh

karena dibantah maka harus dianggap benar dan tidak perlu dibuktikan kecuali

dalam perkara perceraian

- Apabila gugatan itu tidak beralasan dan atau melawan hak maka putusan verstek

dapat berupa tidak menerima gugatan penggugat dengan verstek

Page 10: Rendy Arbiterse Asing

- Terhadap putusan verstek ini maka tergugat dapat melakukan perlawanan

(verzet)

- Tergugat tidak boleh mengajukan banding sebelum ia menggunakan hak

verzetnya lebih dahulu, kecuali jika penggugat yang banding

- Terhadap putusan verstek maka penggugat dapat mengajukan banding

- Apabila penggugat mengajukan banding, maka tergugat tidak boleh mengajukan

verzet, melainkan ia berhak pula mengajukan banding

- Khusus dalam perkara perceraian, maka hakim wajib membuktikan dulu

kebenaran dalil-dalil tergugat dengan alat bukti yang cukup sebelum menjatuhkan

putusan verstek

- Apabila tergugat mengajukan verzet, maka putusan verstek menjadi mentah dan

pemeriksaan dilanjutkan pada tahap selanjutnya

- Perlawanan (verzet berkedudukan sebagai jawaban tergugat)

- Apabila perlawanan ini diterima dan dibenarkan oleh hakim berdasarkan hasil

pemeriksaan/pembuktian dalam sidang, maka hakim akan membatalkan putusan

verstek dan menolak gugatan penggugat

- Tetapi bila perlawanan itu tidak diterima oleh hakim, maka dalam putusan akhir

akan menguatkan verstek

- Terhadap putusan akhir ini dapat dimintakan banding

- Putusan verstek yang tidak diajukan verzet dan tidak pula dimintakan banding,

dengan sendirinya menjadi putusan akhir yang telah mempero;eh kekuatan hukum

tetap

3. Putusan kontradiktoir

- adalah putusan akhir yang pada saat dijatuhkan/diucapkan dalam sidang tidak

dihadiri salah satu atau para pihak

- dalam pemeriksaan/putusan kontradiktoir disyaratkan bahwa baik penggugat

maupun tergugat pernah hadir dalam sidang

- terhadap putusan kontradiktoir dapat dimintakan banding

Dilihat dari isinya terhadap gugatan/perkara, putusan hakim dibagi sebagai

Page 11: Rendy Arbiterse Asing

berikut:

1. Putusan tidak menerima :

Putusan yang menyatakan bahwa hakim tidak menerima gugatan

penggugat/permohonan pemohon atau dengan kata lain gugatan

penggugat/pemohonan pemohon tidak diterima karena gugatan/permohonan tidak

memenuhi syarat hukum baik secara formail maupun materiil

- Dalam hal terjadi eksepsi yang dibenarkan oleh hakim, maka hakim selalu

menjatuhkan putusan bahwa gugatan penggugat tidak dapat diterima atau tidak

menerima gugatan penggugat

- Meskipun tidak ada eksepsi, maka hakim karena jabatannya dapat memutuskan

gugatan penggugat tidak diterima jika ternyata tidak memenuhi syarat hukum

tersebut, atau terdapat hal-hal yang dijadikan alasan eksepsi

- Putusan tidak menerima dapat dijatuhkan setelah tahap jawaban, kecuali dalam

hal verstekyang gugatannya ternyata tidak beralasan dan atau melawan hak

sehingga dapat dijatuhkan sebelum tahap jawaban

- Putusan tidak menerima belum menilai pokok perkara (dalil gugat) melainkan

baru menilai syarat-syarat gugatan saja. Apabila syarat gugat tidak terpenuhi maka

gugatan pokok (dalil gugat) tidak dapat diperiksa.

- Putusan ini berlaku sebagai putusan akhir

- Terhadap putusan ini, tergugat dapat mengajukan banding atau mengajukan

perkara baru. Demikian pula pihak tergugat

- Putusan yang menyatakan pengadilan agama tidak berwenang mengadili suatu

perkara merupakan suatu putusan akhir

2. Putusan menolak gugatan penggugat

- yaitu putusan akhir yang dijatuhkan setelah menempuh semua tahap

pemeriksaan dimana ternyata dalil-dalil gugat tidak terbukti

- Dalam memeriksa pokok gugatan (dalil gugat) maka hakim harus terlebih

Page 12: Rendy Arbiterse Asing

dahulu memeriksa apakah syarat-syarat gugat telah terpenuhi, agar pokok gugatan

dapat diperiksa dan diadili

3. Putusan mengabulkan gugatan penggugat untuk sebagian dan menolak/tidak

menerima selebihnya

- Putusan ini merupakan putusan akhir

- Dalam kasus ini, dalil gugat ada yang terbukti dan ada pula yang tidak terbukti

atau tidak memenuhi syarat sehingga :

• Dalil gugat yang terbukti maka tuntutannya dikabulkan

• Dalil gugat yang tidak terbukti maka tuntutannya ditolak

• Dalil gugat yang tidak memenuhi syarat maka diputus dengan tidak diterima

4. Putusan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya

- putusan ini dijatuhkan apabila syarat-syarat gugat telah terpenuhi dan seluruh

dalil-dalil tergugat yang mendukung petitum ternyata terbukti

- Untuk mengabulkan suatu petitum harus didukung dalil gugat. Satu petitum

mungkin didukung oleh beberapa dalil gugat. Apabila diantara dalil-dalil gugat itu

ada sudah ada satu dalil gugat yang dapat dibuktikan maka telah cukup untuk

dibuktikan, meskipun mungkin dalil-dalil gugat yang lain tidak terbukti

- Prinsipnya, setiap petitum harus didukung oleh dalil gugat

Dilihat dari segi sifatnya terhadap akibat hukum yang ditimbulkan, maka putusan

dibagi sebagai berikut :

1. Putusan Diklatoir

- yaitu putusan yang hanya menyatakan suatu keadaan tertentu sebagai keadaan

yang resmi menurut hukum

Page 13: Rendy Arbiterse Asing

- semua perkara voluntair diselesaikan dengan putusan diklatoir dalam bentuk

penetapan atau besciking

- putusan diklatoir biasanya berbunyi menyatakan

- putusan diklatoir tidak memerlukan eksekusi

- putusan diklatoir tidak merubah atau menciptakan suatu hukum baru, melainkan

hanya memberikan kepastian hukum semata terhadap keadaan yang telah ada

2. Putusan Konstitutif

- Yaitu suatu pitusan yang menciptakan/menimbulkan keadaan hukum baru,

berbeda dengan keadaan hukum sebelumnya.

- Putusan konstitutif selalu berkenaan dengan status hukum seseorang atau

hubungan keperdataan satu sama lain

- Putusan konstitutif tidak memerlukan eksekusi

- Putusan konstitutif diterangkan dalam bentuk putusan

- Putusan konstitutif biasanya berbunyi menetapkan atau memakai kalimat lain

bersifat aktif dan bertalian langsug dengan pokok perkara, misalnya memutuskan

perkawinan, dan sebagainya

- Keadaan hukum baru tersebut dimulai sejak putusan memperoleh kekuatan

huum tetap

3. Putusan Kondemnatoir

- Yaitu putusan yang bersifat menghukum kepada salah satu pihak untuk

melakukan sesuatu, atau menyerahkan sesuatu kepada pihak lawan, untuk

memenuhi prestasi

- Putusan kondemnatoir terdapat pada perkara kontentius

- Putusab kondemnatoir sekaku berbunyi “menghukum” dan memerlukan

eksekusi

- Apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan isi putusan dengan suka rela,

maka atas permohonan tergugat, putusan dapat dilakukan dengan paksa oleh

pengadilan yang memutusnya

Page 14: Rendy Arbiterse Asing

- Putusan dapat dieksekusi setelah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali

dalam hal vitvoer baar bijvoorraad, yaitu putusan yang dilaksanakan terlebih

dahulu meskipun ada upaya hukum (putusan serta merta)

- Putusan kondemnatoir dapat berupa pengukuman untuk

1. menyerahkan suatu barang

2. membayar sejumlah uang

3. melakukan suatu perbuatan tertentu

4. menghentikan suatu perbuatan/keadaan

5. mengosongkan tanah/rumah

a.2 Pengakuan dan pelaksanaan putusan

Perkembangan sistem hukum di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sistem

hukum Civil Law atau sistem Eropa Kontinental. Hal ini disebabkan karena

Indonesia terlalu lama dijajah oleh Belanda yang kemudian menerapkan sistem

hukum Eropa dengan asas konkordansi di Hindia Belanda sebagai Negara jajahan

nya. ,masih banyak ketentuan hukum peninggalan Belanda yang masih digunakan

sebagai hukum positif. Sebagai contoh KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana) dan HIR (Het Herziene Inlands Reglement atau Hukum Acara Perdata)

yang banyak dipengaruhi oleh sistem hukum civil Law,yaitu mengutamakan

kodifikasi hukum dan Undang-undang / hukum .Namun praktek seiring dengan

perjalanan waktu, terutama setelah adanya pengaruh globalisasi di segala bidang

kehidupan berbangsa dan bernegara, nampaknya penerapan sistem hukum

CivilLaw di Indonesia mulai mengalami pergeseran. Terlebih setelah adanya

akademisi maupun praktisi hukum dari Indonesia yang belajar hukum di nagara-

negara yang menganut sistem CommonLaw seperti Inggris dan Amerika. Dari sini

timbul kesadaran akan pentingnya mempelajari perbandingan sistem hukum untuk

memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang sistem hukum yang ada di

dunia secara global guna memperoleh manfaat internal yaitu mengadopsi hal-hal

positif guna pembangunan hukum nasional.Maupun manfaat eksternal yaitu dapat

mengambil sikap yang tepat dalam melakukan hubungan hukum dengan negara

Page 15: Rendy Arbiterse Asing

lain yang berbeda system hukumnya. Pergeseran itu antara lain mulai diakuinya

sumber hukum Jurisprudensi, yaitu putusan hakim (judge madelaw) yang telah

berkekuatan hukum tetap oleh Hakim-hakim di Indonesia. Padahal menurut

sistem Civil Law sumber hokum utama adalah Undang-undang dan Hakim tidak

terikat oleh putusan hakim sebelumnya meskipun dalam perkara yang sama.

Contoh terbaru adalah diikutinya jurisprudensi putusan Mahkamah Agung tentang

diperbolehkannya Jaksa/Penuntut Umum mengajukan Peninjauan Kembali dalam

kasus JokoS. Candra. Sedangkan UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP secara

tegas menyatakan upaya hukum PK hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli

warisnya.Sistem peradilan disuatu negara masing-masing dipengaruhi oleh sistem

hukum yang dianut oleh negara tersebut. Menurut Eric L. Richard,sistem hukum

utama di dunia adalah sebagai berikut: 

1.Civil Law, hukum sipil berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi. Sistem ini

berasal dari hukum Romawi (Roman Law) yang dipraktekkan oleh negara-negara

Eropa Kontinental, termasuk bekas jajahannya.

2.Common Law, hukum yang berdasarkan custom. Kebiasaaan berdasarkan

preseden atau judge madelaw.Sistem ini dipraktekkan dinegara-negara Anglo

Saxon,seeprti Inggris dan Amerika Serikat.

3.Islamic Law, hukum yang berdasarkan syariah Islam yang bersumber dari

AlQur‟an dan Hadits.

4.Socialist Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara-negara sosialis.

5.Sub-Saharan Africa Law, sistem hukum yang dipraktekkan di negara Afrika

yang berada di sebelah selatan Gunung Sahara.

6.Far Fast Law, sistem hukum Timur jauh–merupakan sistem hukum uang

kompleks yang merupakan perpaduan antara sistem Civil Law, Common Law,dan

Hukum Islam sebagai basis fundamental masyarakat.

a.3 Perbandingan Praktek di Negara Lain

Dalam kaitannya dengan sengketa internasional, ada baiknya kita melihat pada definisi sengketa internasional terlebih dahulu. Mahkamah Internasional (International Court of Justice) berpendapat bahwa sengketa internasional adalah suatu situasi di mana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang

Page 16: Rendy Arbiterse Asing

terdapat dalam perjanjian (Huala Adolf, “Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional”.

Secara sederhana sengketa internasional adalah sengketa yang melibatkan subyek-subyek hukum internasional. Subyek-subyek hukum internasional berdasarkan berbagai konvensi internasional antara lain:

- Negara;- Tahta Suci Vatikan.

- Organisasi Internasional;

- Palang Merah Internasional;

- Kelompok Pemberontak;

- Perusahaan Multinasional;

- Individu;

Negara (dalam hal ini Indonesia) sebagai subyek utama hukum internasional

mempunyai kedaulatan. Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Boer Mauna dalam

bukunya “Hukum Internasional, bahwa:

1. Kedaulatan dapat berarti bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan

hukum internasional yang mempunyai status yang lebih tinggi.

2. Kedaulatan berarti bahwa negara tidak tunduk pada kekuasaan apapun dan dari

manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.

Hal-hal di atas dikemukakan oleh Boer sebagai pengertian negatif dari kedaulatan.

Mengenai peradilan internasional, Boer berpendapat bahwa peradilan

internasional adalah bersifat fakultatif. Menurutnya, bila suatu negara ingin

mengajukan suatu perkara ke peradilan internasional, maka persetujuan semua

pihak yang bersengketa merupakan suatu keharusan. Dengan demikian,

penyelesaian sengketa antarnegara melalui peradilan internasional adalah juga

berarti pengurangan kedaulatan negara-negara yang bersengketa. Sehingga,

Page 17: Rendy Arbiterse Asing

setelah dikeluarkan putusan oleh peradilan internasional, setiap negara pihak yang

bersengketa wajib melaksanakan putusan tersebut. Demikian pendapat Boer yang

kami sarikan dari buku “Hukum Internasional”

Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa negara berhak

menentukan sikap apakah akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan

asing atau tidak. Putusan pengadilan asing adalah putusan pengadilan di luar

pengadilan nasional. Apabila sengketa terjadi dalam ranah perdata, salah satu

alternatif penyelesaian sengketa adalah melalui badan arbitrase (baik nasional

maupun internasional). Sebagaimana ditegaskan oleh M. Yahya Harahap dalam

bukunya yang berjudul “Hukum Acara Perdata”bahwa putusan pengadilan asing

(dalam kaitannya dengan sengketa perdata internasional yang diselesaikan melalui

arbitrase internasional) tidak dapat dieksekusi di wilayah Republik Indonesia

kecuali undang-undang mengatur sebaliknya. Yahya Harahap mengacu pada

ketentuan Pasal 436 Reglement op de Burgerlijke rechtvordering (“Rv”).

Mengenai bagaimana melaksanakan putusan pengadilan/arbitrase asing di

Indonesia lebih lanjut dijelaskan oleh Yahya Harahap mengutip dari Pasal 436

ayat (2) Rv bahwa satu-satunya cara untuk mengeksekusi putusan

pengadilan/arbitrase asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan

tersebut sebagai dasar hukum untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan

Indonesia. Kemudian, putusan pengadilan/arbitrase asing tersebut oleh pengadilan

Indonesia dapat dijadikan sebagai alat bukti tulisan dengan daya kekuatan

mengikatnya secara kasuistik, yaitu:

1. bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang

sempurna dan mengikat; atau

2. hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan

pertimbangan hakim.

Page 18: Rendy Arbiterse Asing

B. Praktek pelaksanaan putusan arbiterase asing di Indonesia

Pelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yaitu putusan arbitrase

nasional dan putusan arbitrase asing (internasional). Putusan arbitrase nasional

adalah putusan arbitrase baik ad-hoc maupun institusional, yang diputuskan di

wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, putusan arbitrase asing adalah putusan

arbitrase yang diputuskan di luar negeri.

1. Putusan Arbitrase Nasional

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun

1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar

putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus

diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan

mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase

nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30

(tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional

bersifat mandiri, final dan mengikat.

Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan

yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak

diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional

tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas

pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan

oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999

sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu

apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase

internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak

permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.

Page 19: Rendy Arbiterse Asing

2. Putusan Arbitrase Asing (Internasional)

Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada

ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara

peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah

Indonesia. Pada tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention

on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah

mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34

Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober

1981. Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah

Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing

sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma

tersebut hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya

bisa diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam

eksekusi putusan arbitrase asing.

b.1 Pengertian arbiterase asing

Yang dimaksud dengan arbitrase asing adalah lembaga arbitrase internasional yang

dipilih oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraan yang bersengketa untuk

menyelesaikan sengketa

Contoh Arbitrase Asing

Beberapa contoh arbitrase asing diantaranya :

- Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce (ICC), yakni

arbitrase tertua yang menjadi alternative penyelesaian sengketa perdagangan

internasional;

- The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) yang

sering disebut dengan Center, yang khusus untuk menyelesaikan persengketaan

“joint venture” atau penanaman modal suatu negara dengan warga negara lain;

- UNCITRAL Arbitration Rules (United Nations Commission on International

Trade Law) yang disebut juga UAR.

Page 20: Rendy Arbiterse Asing

b.2 Pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing

Cara pelaksanaan putusan arbitrase asing berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999

Pada dasarnya, putusan arbitrase asing harus dimintakan pengakuan keabsahannya,

dan pelaksanaan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (Pasal 65).

Pengakuan dan pelaksanaan eksekusi inilah yang disebut dengan asas executorial

kracht. Terkait dengan hal tersebut, putusan arbitrase asing yang dapat dilaksanakan

eksekusinya di Indonesia adalah putusan arbitrase yang :

- Dijatuhkan oleh lembaga arbitrase yang terikat dengan negara Indonesia melalui

perjanjian (bilateral-multilateral), atau terikat dengan negara Indonesia dalam suatu

ikatan konvensi Internasional, dan keterikatan tersebut mengakui tentang eksekusi

putusan arbitrase (asas resiprositas) ;

- Putusan arbitrase internasional yang terbatas pada ruang lingkup hukum

perdagangan di Indonesia;

- Putusan arbitrase internasional yang telah memperoleh eksekuatur dari Ketua

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan;

- Putusan arbitrase internasional yang menyangkut pihak Negara Republik Indonesia

sebagai salah satu pihak, setelah mendapatkan eksukuatur dari Mahkamah Agung

yang selanjutnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Adapun tata caranya sebagai berikut (Pasal 67):

a. Permohonan pelaksanaan Putusan arbitrase internasional dilakukan setelah

putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada

paniter pengadilan negeri Jakarta Pusat (ayat (1));

b. Penyampaian berkas permohonan pelaksanaan putusan tersebut harus dilengkapi

dengan persyaratan administrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 67 ayat (2);

c. Pada putusan arbitrase internasional, berlaku ketentuan bahwa (Pasal 68):

* Putusan arbitrase internasional yang memperoleh eksekuatur dari ketua Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat, tidak dapat dilakukan upaya banding atau kasasi;

* Terhadap putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menolak untuk mengakui

dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, dapat diajukan kasasi;

* Terhadap putusan Mahkamah Agung tentang permohonan eksekuatur putusan

Page 21: Rendy Arbiterse Asing

arbitrase internasional di mana Negara RI sebagai salah satu pihak yang

bersengketa, maka tidak dapat diajukan upaya perlawanan

d. Perintah eksekusi diberikan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kemudian

pelaksanaannya dilimpahkan kepada ketua Pengadilan Negeri berdasarkan

kewenangan relative, dengan ketentuan :

* Sita eksekusi dapat dilakukan atas harta kekayaan serta barang milik termohon

eksekusi;

* Tata cara pelaksanaan putusan harus mengikuti tata cara yang diatur di dalam

hukum acara perdata.