kemuhammadiyahan.docx
TRANSCRIPT
Sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan yang disebut terakhir ini masih asing khususnya
yang diajarkan, yaitu pengetahuan umum. Pemberian pengetahuan umum untuk memajukan dan
mencerahkan masyarakat islam Indonesia. Penting ilmu-ilmu modern ini diajarkan, setelah kyai
Ahmad Dahlan bekenalan dengan gagasan pembaharuan TimurTengah. Jadi, bagi Ahmad
Dahlan, sitem pendidikan islam perlu ada orientasi untuk bisa bersaing secara sinifikandengan
pendidikan model Barat. (Sjoedja’, 1995:45-47;Saifullah, 1997:73)
Dengan memadukan dua sistem pendidikan yang berkembangnya waktu itu, Ahmad
Dahlan berharap bisa mencairkan pembagian masyarakat yang selama ini terpilah secara
diplotomis, misalnya masyarakat abangan atau santri. Pembagian dikotomis seperti
inimerupakan warisan politik asosiasi kolonial yang sejak semula dimaksudkan untuk memecah
belah masyarakat Indonesia demi kepentingan Kolonialisme. Masyarakat abangan
biasanyaberpendidikan belanda yang sama sekali tidak atau tidak pernah menerima pendidikan
islam. Melalui lembaga pendidikan ini, diharapkan melahirkan individu dengan basis keilmuan
islam mendalam seperti produk pesantren dan basis keilmuan moderm yang dimiliki produk
lembaga pendidikan barat.
Jumlah murid pertama di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah haya sembilan orang,
itu pun dari keluarga sendiri. Dalam tempo setengah tahun, jumlah murid menjadi dua puluh,
terdiri dari putra dan putri. Memasuki bulan ke tujuh. Sekolah tersebut memperoleh bantuan
guru, bernama khalil, dari Budi Utomo. Guru tersebut bertugas sementara, kemudian bergantian
dengan guru yang lain. Waktu pergantian kadang satu bulan, kadang satu setengah bulan.atau
dua bulan (Sjoedja’, 1995:66)
Model sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ini mendapatkan reaksi minor dari
masyarakat sekitar karena dianggap menyimpang dari pakem, bahkan menyimpang dari agama
islamyang selama ini berkembang di kalangan kaum islam. Reaksi ini tidak hanya datang dari
kalangan umum, tetapi juga datang dari keluarga sendiri dengan memboikot hubungan
perdagangan yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Ahmad Dahlan. Meskipun
demikian, reaksi tersebut tidak menyurutkan nyalinyauntuk melanjukan gagasan-gagasannya
karena setiap perbaikan selalu ada reaksi. Reaksi negatif seperti ini, bagi Ahmad Dahlan bukan
yang pertama, sebab peristiwa kiblat Masjid Kauman, shaf tempat salat masjid, pembokaran
surau, dan lain-lai, semuanya menunjukan bahwa Ahmad Dahlan sudah terlatih menerima
tuduhan dan cacian.
Setiap ahad pagi, setelah memberikan pengajian umum, Ahmad Dahlan didatangi para
siswa kweekschool jetis yang didiknya setiap sabtu sore. Latar belakang keagamaan mereka
berfariasi, ada yang beagam Islam, Kristen< teosofi, dam lain-lain. Forum ahad pagi ini
dijadikan sebagai momen yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasanya tentang Islam.
Dalam pejelasanya, Ahmad Dahlan banyak memberikan informasiyang bisa diterima akal
pikiran, oleh karena mereka terbiasa bicara rasional, bahkan mereka tidak akan maumenerima
informasi yang tidak rasional. Pengedepanan rasional ini dapat dimaklumi karenan mereka
didikan sekolah Barat (Sjoedja’, 1995: 67-68)
Suatu kali, dalam salah satu perjanjian ahad pagi, Ahmad Dahlan ditanya oles salah
seorang peserta pengajian tantang tiga hal. Pertama, apakah tempat pengajian ini sekolahan?
Pertanyaan ini muncul karena peserta ini melihat adanya perangkat sekolah seperti yang
dilihatnya di sekolah yang di adakan Belanda, misalnya: bangku, dingklik,dan papan tulis.
Ahmad Dahlan menjawab: “O, nak ini Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah untuk memberi
prlajaran agama islam dan pengetahuan umum bagi anak-anak Kauman”. Kedua, siapa yang
memegang sekaligus guru yang mengajar disini?Dahlan menjawab: “ya, saya sendiri. Ketiga,
apakah tidak lebih baik sekolahan ini dipegang kyai sendiri? Sebab, setiap tahun akan ad
penerimaan siswa dan kenaikan kelas, sehingga siswa akan bertambah, ini akan menyulitkan
kyai sendiri. Bahkan, jika kyai wafat, dan keluarga kyai tidak mampu melanjutkan, sekolah ini
akan bubar. Dengan bubarnya sekolah ini berarti gagasan islam seperti kyai akan selsai sampai
disitu. Melihat pengelolaan dan kenyataan tidak sedikit sekolahan yang bubar bersamaan dengan
wafat kyai, maka peserta pengajianini mengusulkan kepada Ahmad Dahkan tentang perlunya
pengelolaan sekolah dikelola oleh sebuah organisasi supaya bisa hidup terus slama-selamanya
meskipun pendirinya telah wafat (Sjoedja’, 1995:68).
Setelah selasai pengajian, usulan peserta pengajian ini menjadi pikiran Ahmad Dahlan.
Dalam benaknya, apa yang diusulkan tersebut sangat rasional dan benar, karena itu harus
secepatnya ditindaklanjuti. Namun, Ahmad Dahlan menyada ri betul bahwa untuk merespon
usulan tersebut diperlukan sumber daya manusia, sementara daya dukung yang dimiliki sangat
tidak memadai. Untuk mengatasi kondisi objektif ini, Ahmad Dahlan melakukan lima
langkahsebagai persiapan untuk mewujudkan organisasi yang dikemudian hari organisasi ini
diberi nama Muhamadiyah (Saifullah, 1997: 75-80)
Lankah pertama, Ahmad Dahlan menemui dan berdiskusi dengan Budihajo dan R.
Dwijosewojo, guru Kweekschool di Guperment jetis. Ini dilakukan setelah ia mengadakan
pertemuan dengan para santrinya, yang menyetujui berdirinya persyarikatan dengan melibatkan
juga sumber daya manusia dan kalangan cendekiawan. Hasil perbincanagn dengan guru dan
tokoh Budi Utomo itu meliputi enam hal: (1) Siswa kweekschool tidak boleh duduk dalam
penguru perkumpulan karena dilarang oleh inspektur kepala sekolah: (2) Calon pengurus diambil
dari orang-orang yang sudah dewasa; (3) Apa nama perkumpulan tersebut belum ada, dan
sepertinya Ahmad Dahlan sedang menyiapkannya; (4) Tujuanya juga belum ada; (5) Tempat
perkumpulan adalah yogyakarta; (6) untuk merealisasikan sampai tuntas, Budi Utomo
membantunya dengan syarat harus diusulkan/dimintakan setidaknya oleh tujuh anggota baru
Budi Utomo
Langkah kedua, Ahmad Dahlan mengadakan pertemuan dengan orang-orang dekat, dan
memikirkan bakal berdirinya organisasi tersebut. Agenda dalam pertemuan membahas tentang
nama perkumpulan, maksud dan tujuan, serta tawaran siapa yang bersedia menjadi anggota.
Untuk nama perkumpulan, Ahmad Dahlan memberi nama ”Muhammadiyah”. Nama ini di ambil
dari nama Nabiyullah, Muhammad SAW dengan mendapat tambahan “ya nisbah”. Maksudnya
secara perseorangan, siapa saja yang menjadi warag dan anggota Muhammadiyah dapat
menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan ber-tafaul. Organisai
Muhammadiyah ini debagai organisasi pada akhir jaman. Seperti Muhammad SAW yang
menjadi nami dan rosul akhir jaman. Tujuan orang yang bersedia menjadi anggota budi utomo,
untuk mengusahakan berdirinya Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia-Belanda, adalah H.
Sarkowi, H. Abdul Ghani, HM. Soedja’, HM> Hisyam, HM. Fachruddin, HM. Tammimy, dan
KH. Ahmad Dahlan. Tidak lama setelah ketujuh orang ini mengusulkan diri menjadi anggota
Budi Utomo, Hoofdbestuur menerimanya dengan memberi kartu anggota.
Langkah ketiga, Ahmad Dahlan dan keenam anggota baru Budi Utomo mengajukan
permohonan kepada Hoofdbestuur supaya mengusaulkan berdirinya Muhammadiyah kepada
pemerintah Hindia-Belanda. Pada tanggal 18 November 1912 bertepatan tanggal 8 dzhulhijjah
1330 Hijriyah permohonan di kalbulkan. Penentuan tanggal tersebut sesuai usul Ahmad Dahlan
dan kawan-kawannya setelah melalui pertimbangan rasional dan spiritual lewat musyawarah dan
shalat istikharah.
Permohonan berdirinya Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia-Belanda lewat
hoofdbestuur Budi Utomo ditanggapi secara serius dan hati-hati oleh pemrintahan Hindia-
Belanda, setelah menerima surat permohonan itu, meminta pertimbangan dan advis empat
lembaga penguasa terkait, yaitu residen (gubernur) Yogyakarta; Sri Sultan Hamengkubuwono ke
VII; Pepatih Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono ke VII; dan Hoodfd (ketua) penghulu Haji
Muhammad Kholil Kamaluddiningrat. Dalam rapat dewan agama dan hukum Keraton yang
diketuai oleh penghulu Haji Muhammad Kholil Kamaluddiningrat, permohonan Ahmad Dahlan
dan kawan-kawan ditolak. Ini disebabkan karena peserta rapat dan terutama ketuanya tidak
memahami persoalan umum mengenai isi dan istilah yang dibicarakan. Namun demikian,
penyebab utamanya adalah persoalan pribadi antara ketua penghulu dan Ahmad Dahlan. Ia
antipati kepada Ahmad Dahlan karena masih teringat peristiwa kontra-aksi masalah kiblat dan
shaf Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Istilah presiden yang dipergunakan Ahmad Dahlan
untuk menyebut ketua, sebagaimana tertulis dalam surat permohonan Ahmad Dahlan dan kawan-
kawan disalah-tafsirkan oleh HM. Kholil Kamaluddiningrat. Istilah tersebut disamakan dengan
residen, padahal keduanya berbeda. Residen adalah kepala pemerintahan sedang presiden itu
kepala golongan tertentu (Saifullah, 1997:77).
Setelah menolak, penghulu lalu menyerahkan hasil penolakan rapat itu ke lembaga
atasnya, yaitu Pepatih Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Dalam analisisnya, Pepatih
justru melihat positif kehadiran Muhammadiyah di tengah-tengah masyarakat, bahkan
kehadirannya bisa membantu tugas penghulu dalam mengajarkan dan mendakwahkan ajaran
Islam. Sejak itu, penghulu merubah sikapnya dengan menerima surat permohonan Ahmad
Dahlan, dan meneruskannya ke Sri Sultan. Dalam persetujuannya, Sri Sultan hanya memberikan
rekomendasi berdirinya Muhammadiyah untuk kawasan Yogyakarta. Selanjutnya, Sri Sultan
mengirimkan ke gubernur jendral, lalu oleh gubernur jendral dikirimkan ke Hoofdbestuur Budi
Utomo, dan diserahkan kepada Ahmad Dahlan (Saifullah, 1997:77-78).
Susunan pengurus Muhammadiyah yang pertama sebagaimana tercantum dalam surat
izin itu, sebagai berikut (Majilis Pustaka, 1993:29) :
Presiden/ketua : K.H. Ahmad Dahlan
Sekretaris : H. Abdullah Siradj
Anggota : H. Ahmad
H. Abdur Rahman
H. Muhammad
RH. Djailani
H. Anies
H. Muhammad Fakih
Langkah keempat, Ahmad Dahlan mengadakan rapat pengurus pertama kali guna
mempersiapkan proklamasi berdirinya Muhammadiyah. Dalam rapat ini, diputuskan bahwa
proklamasi berdirinya Muhammadiyah bersifat terbuka untuk masyarakat umum, seperti
diusulkan oleh R. Dwidjosewojo, selain untuk pejabat pemerintah dan pejabat kesultanan.
Adapun tempat proklamasinya diputuskan di gedung pertemuan Loodge Gebuw yang terletak di
jantung kota Yogyakarta, Malioboro, pada malam Minggu terakhir bulan Desember 1912
(Sjoedja’, dalam Saifullah dan Musta’in, 1995:78).
Langkah kelima, memproklamirkan berdirinya Muhammadiyah yang dihadiri masyarakat
umum, Sri Sultan Hamengkubuwono VII serta pejabat lainnya yang diundang. Acara seremonial
ini berjalan seperti pada umumnya, yaitu diawali sambutan pembukaan oleh Ahmad dahlan
dengan membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan surat al-Fâtihah, pembacaan surat izin sebagai
legalitas berdirinya Muhammadiyah, dan ditutup dengan doa, sebagai kata akhir dibacakan oleh
Ahmad Dahlan surat al-Fâtihah (Sjoedja’, dalam Saifullah dan Musta’in, 1995: 80-81; Saifullah,
1997:79-80).
F. Tujuan Muhammadiyah dan Perkembangannya
Sejak didirikan oleh Ahmad Dahlan sampai Muktamar Muhammadiyah ke 44 di Jakarta
tahun 2000, rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah mengalami tujuh kali perubahan
redaksional, susunan bahasan dan istilah yang dipergunakan. Meskipun demikian, perubahan
tersebut tidak merubah substansi awal berdirinya Muhammadiyah.
Rumusan pertama terjadi pada waktu permulaan berdirinya Muhammadiyah. Dalam
rumusan ini, Muhammadiyah berdiri mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut
a. Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putra, di
dalam residen Yogyakarta.
b. Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.
Rumusan kedua terjadi setelah Muhammadiyah meluas ke berbagai daerah di luar
Yogyakarta. Memperhatikan jumlah cabang yang telah berdiri di luar Yogyakarta, maka maksdu
dan tujuan Muhammadiyah harus direvisi untuk menyesuaikan dengan kondisi riil
Muhammadiyah, yaitu (a) memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama
Islam di Hindia Belanda, dan (b) memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan
agama Islam kepada sekutu-sekutunya.
Rumusan ketiga terjadi pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Pemerintahan fasis ini
mengharuskan merubah redaksional maksud dan tujuan Muhammadiyah sesuai dengan
kehendaknya, sehingga rumusannya adalah “Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan
kemakmuran bersama seluruh Asia Timur Raya dibawah pimpinan Dai Nippon, dan memang
diperintahkan oleh Tuhan Allah maka perkumpulan ini:
a. Hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup yang selaras dengan tuntutannya,
b. Hendak melakukan pekerjaan kebaikan umum,
c. Hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada
anggota-anggotanya.
Rumusan keempat terjadi setelah Muktamar Muhammadiyah ke 31 di Yogyakarta tahun
1950. Adapun rumusannya adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga
dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rumusan ini tampaknya
dimaksudkan untuk mengembalikan rumusan terdahulu agar sesuai dengan jiwa dan gerak
Muhammadiyah yang sebenarnya.
Rumusan kelima ini diubah pada Muktamar Muhammadiyah ke 34 di Yogyakarta tahun
1959. Perubahan ini hanya pada redaksional semata atas rumusan hasil Muktamar ke 31, dari
kata “dapat mewujudkan” menjadi “terwujudnya”, sehinggan rumusan resminya adalah
“Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-
benarnya”.
Rumusan keenam terjadi pada Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta tahun 1985.
Pada tahun itu Muhammadiyah harus merubah maksud dan tujuan azasnya, oleh karena
kehadiran Undang-undang nomor 8 tahun 1985 tentang kewajiban setiap ormas, baik agama
maupun non-agama untuk mencantum azas Pancasila. Adapun rumusan maksud dan tujuan hasil
Muktamar ke 41 itu adalah Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud
masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai Allah SWT.
Rumusan ketujuh terjadi pada Muktamar Muhammadiyah ke 44 di Jakarta pada tahun 2000.
Muktamar ini mengembalikan Islam sebagai asa Persyarikan Muhammmadiyah seperti rumusan
sebelumnya. Hanya saja perubahan asas ini tidak dalam satu pasal tersendiri dalam Anggaran
Dasar Muhammadiyah, melainkan dimasukkan dalam pasal 1 ayat 2, yang berbunyi :
Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar, berasaskan Islam
yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah”. Perubahan ini disebabkan oleh dicabutnya
Undang-Undang nomor 8 tahun 1985 oleh MPR, dan ormas diperbolehkan untuk memilih
asasnya sesuai dengan yang dikehendaki dengan catatan tidak bertentangan dengan dasar negara.
Karena itu, rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah sekarang ini sama persis seperti
rumusan yang dihasilkan Muktamar ke 34 di Yogyakarta, yaitu Menegakkan dan menjunjung
tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.
Kesimpulan :
1. Ada dua faktor yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah, yaitu faktor intern dan
esktern. Faktor intern adalah yang berhubngan dengan pribadi Ahmad Dahlan itu sendiri
selaku pendiri Muhammadiyah. Faktor ekstern adalah hal-hal yang terjadi di luar diri
Ahmad Dahlan, meliputi aspek sosial, keagamaan, pendidikan, dan politik bangsa.
2. Relaitas sosio-keagamaan yang dihadapi Ahmad Dahlan ada dua, yaitu pertama, masalah
internal umat Islam sendiri yang dalam menjalankan ajaran Islam tidak murni sesuai dengan
Al-Qur’an dan Al-Sunnah penuh dengan bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Kedua, masalah
eskternal, yakni yang berkenaan dengan penetrasi atau missi Kristen.
3. Realitas sosio-pendidikan yang dihadapi Ahmad Dahlan adalah sistem pendidikan yang
bersifat dikhotomik, pendidikan tradisional pesantren dan pendidikan modern Barat. Hal
inilah yang mendorong Ahmad Dahlan mendirikan lembaga pendidikan yang memadukan
dua sistem tersbut, maka ada perpaduan antara semangat Islam dan semangat Barat dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan.
4. Realitas politik bangsa yang dihadapi Ahmad Dahlan dapat dipisahkan menjadi dua periode,
yakni politik Hindia Belanda sebelum C.S Hurgronje dan setelah Hurgronje menjadi
penasehat kolonial Belanda. Periode pertama, Belanda menerapkan kebijakan agar umat
Islam tidak berontak dengan mempersulit pengamalan ajaran Islam. Periode kedua, Belanda
menerapkan kebijakan ganda, satu pihak memberikan kebebasan beragama terutama ibadah
mahdhah, di pihak lain melarang kegiatan-kegiatan yang bersifat pencerdasan dan kesadaran
politik.
5. Sebelum Muhammadiyah resmi dideklarasikan, ada lima langkah yang diambil Ahmad
Dahlan sebagai proses awal untuk mendirikan Muhammadiyah. Langkah-langkah ini adalah
(a) berdiskusi dengan guru-guru Kwekschool; (b) berdiskusi dengan orang-orang dekat
untuk mencari nama yang tepat bagi organisasi yang akan didirikan; (c) mengajukan
permohonan kepada Hoofdbestuur Budi Oetomo agar mengusulkan kepada pemerintah
Hindia Belanda untuk berdirinya Muhammadiyah; (d) mengadakan rapat-rapat persiapan
peresmian berdirinya Muhammadiyah; dan (e) memproklamirkan berdirinya
Muhammadiyah.
Sejak berdiri (1912) hingga sekarang (2004), Muhammadiyah telah mengalami
perubahan sebanyak tujuh kali. Tujuan yang terakhir hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta
adalah Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam
yang sebenar-benarnya.