kemuhammadiyahan.docx

13
Sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan yang disebut terakhir ini masih asing khususnya yang diajarkan, yaitu pengetahuan umum. Pemberian pengetahuan umum untuk memajukan dan mencerahkan masyarakat islam Indonesia. Penting ilmu-ilmu modern ini diajarkan, setelah kyai Ahmad Dahlan bekenalan dengan gagasan pembaharuan TimurTengah. Jadi, bagi Ahmad Dahlan, sitem pendidikan islam perlu ada orientasi untuk bisa bersaing secara sinifikandengan pendidikan model Barat. (Sjoedja’, 1995:45- 47;Saifullah, 1997:73) Dengan memadukan dua sistem pendidikan yang berkembangnya waktu itu, Ahmad Dahlan berharap bisa mencairkan pembagian masyarakat yang selama ini terpilah secara diplotomis, misalnya masyarakat abangan atau santri. Pembagian dikotomis seperti inimerupakan warisan politik asosiasi kolonial yang sejak semula dimaksudkan untuk memecah belah masyarakat Indonesia demi kepentingan Kolonialisme. Masyarakat abangan biasanyaberpendidikan belanda yang sama sekali tidak atau tidak pernah menerima pendidikan islam. Melalui lembaga pendidikan ini, diharapkan melahirkan individu dengan basis keilmuan islam mendalam seperti produk pesantren dan basis keilmuan moderm yang dimiliki produk lembaga pendidikan barat. Jumlah murid pertama di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah haya sembilan orang, itu pun dari keluarga sendiri. Dalam tempo setengah tahun, jumlah murid menjadi dua puluh, terdiri dari putra dan putri. Memasuki bulan ke tujuh. Sekolah tersebut

Upload: egi-munandar

Post on 06-Feb-2016

26 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: kemuhammadiyahan.docx

Sistem pendidikan Barat. Sistem pendidikan yang disebut terakhir ini masih asing khususnya

yang diajarkan, yaitu pengetahuan umum. Pemberian pengetahuan umum untuk memajukan dan

mencerahkan masyarakat islam Indonesia. Penting ilmu-ilmu modern ini diajarkan, setelah kyai

Ahmad Dahlan bekenalan dengan gagasan pembaharuan TimurTengah. Jadi, bagi Ahmad

Dahlan, sitem pendidikan islam perlu ada orientasi untuk bisa bersaing secara sinifikandengan

pendidikan model Barat. (Sjoedja’, 1995:45-47;Saifullah, 1997:73)

Dengan memadukan dua sistem pendidikan yang berkembangnya waktu itu, Ahmad

Dahlan berharap bisa mencairkan pembagian masyarakat yang selama ini terpilah secara

diplotomis, misalnya masyarakat abangan atau santri. Pembagian dikotomis seperti

inimerupakan warisan politik asosiasi kolonial yang sejak semula dimaksudkan untuk memecah

belah masyarakat Indonesia demi kepentingan Kolonialisme. Masyarakat abangan

biasanyaberpendidikan belanda yang sama sekali tidak atau tidak pernah menerima pendidikan

islam. Melalui lembaga pendidikan ini, diharapkan melahirkan individu dengan basis keilmuan

islam mendalam seperti produk pesantren dan basis keilmuan moderm yang dimiliki produk

lembaga pendidikan barat.

Jumlah murid pertama di Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah haya sembilan orang,

itu pun dari keluarga sendiri. Dalam tempo setengah tahun, jumlah murid menjadi dua puluh,

terdiri dari putra dan putri. Memasuki bulan ke tujuh. Sekolah tersebut memperoleh bantuan

guru, bernama khalil, dari Budi Utomo. Guru tersebut bertugas sementara, kemudian bergantian

dengan guru yang lain. Waktu pergantian kadang satu bulan, kadang satu setengah bulan.atau

dua bulan (Sjoedja’, 1995:66)

Model sekolah yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ini mendapatkan reaksi minor dari

masyarakat sekitar karena dianggap menyimpang dari pakem, bahkan menyimpang dari agama

islamyang selama ini berkembang di kalangan kaum islam. Reaksi ini tidak hanya datang dari

kalangan umum, tetapi juga datang dari keluarga sendiri dengan memboikot hubungan

perdagangan yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi Ahmad Dahlan. Meskipun

demikian, reaksi tersebut tidak menyurutkan nyalinyauntuk melanjukan gagasan-gagasannya

karena setiap perbaikan selalu ada reaksi. Reaksi negatif seperti ini, bagi Ahmad Dahlan bukan

yang pertama, sebab peristiwa kiblat Masjid Kauman, shaf tempat salat masjid, pembokaran

Page 2: kemuhammadiyahan.docx

surau, dan lain-lai, semuanya menunjukan bahwa Ahmad Dahlan sudah terlatih menerima

tuduhan dan cacian.

Setiap ahad pagi, setelah memberikan pengajian umum, Ahmad Dahlan didatangi para

siswa kweekschool jetis yang didiknya setiap sabtu sore. Latar belakang keagamaan mereka

berfariasi, ada yang beagam Islam, Kristen< teosofi, dam lain-lain. Forum ahad pagi ini

dijadikan sebagai momen yang tepat untuk menyampaikan gagasan-gagasanya tentang Islam.

Dalam pejelasanya, Ahmad Dahlan banyak memberikan informasiyang bisa diterima akal

pikiran, oleh karena mereka terbiasa bicara rasional, bahkan mereka tidak akan maumenerima

informasi yang tidak rasional. Pengedepanan rasional ini dapat dimaklumi karenan mereka

didikan sekolah Barat (Sjoedja’, 1995: 67-68)

Suatu kali, dalam salah satu perjanjian ahad pagi, Ahmad Dahlan ditanya oles salah

seorang peserta pengajian tantang tiga hal. Pertama, apakah tempat pengajian ini sekolahan?

Pertanyaan ini muncul karena peserta ini melihat adanya perangkat sekolah seperti yang

dilihatnya di sekolah yang di adakan Belanda, misalnya: bangku, dingklik,dan papan tulis.

Ahmad Dahlan menjawab: “O, nak ini Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah untuk memberi

prlajaran agama islam dan pengetahuan umum bagi anak-anak Kauman”. Kedua, siapa yang

memegang sekaligus guru yang mengajar disini?Dahlan menjawab: “ya, saya sendiri. Ketiga,

apakah tidak lebih baik sekolahan ini dipegang kyai sendiri? Sebab, setiap tahun akan ad

penerimaan siswa dan kenaikan kelas, sehingga siswa akan bertambah, ini akan menyulitkan

kyai sendiri. Bahkan, jika kyai wafat, dan keluarga kyai tidak mampu melanjutkan, sekolah ini

akan bubar. Dengan bubarnya sekolah ini berarti gagasan islam seperti kyai akan selsai sampai

disitu. Melihat pengelolaan dan kenyataan tidak sedikit sekolahan yang bubar bersamaan dengan

wafat kyai, maka peserta pengajianini mengusulkan kepada Ahmad Dahkan tentang perlunya

pengelolaan sekolah dikelola oleh sebuah organisasi supaya bisa hidup terus slama-selamanya

meskipun pendirinya telah wafat (Sjoedja’, 1995:68).

Setelah selasai pengajian, usulan peserta pengajian ini menjadi pikiran Ahmad Dahlan.

Dalam benaknya, apa yang diusulkan tersebut sangat rasional dan benar, karena itu harus

secepatnya ditindaklanjuti. Namun, Ahmad Dahlan menyada ri betul bahwa untuk merespon

usulan tersebut diperlukan sumber daya manusia, sementara daya dukung yang dimiliki sangat

tidak memadai. Untuk mengatasi kondisi objektif ini, Ahmad Dahlan melakukan lima

Page 3: kemuhammadiyahan.docx

langkahsebagai persiapan untuk mewujudkan organisasi yang dikemudian hari organisasi ini

diberi nama Muhamadiyah (Saifullah, 1997: 75-80)

Lankah pertama, Ahmad Dahlan menemui dan berdiskusi dengan Budihajo dan R.

Dwijosewojo, guru Kweekschool di Guperment jetis. Ini dilakukan setelah ia mengadakan

pertemuan dengan para santrinya, yang menyetujui berdirinya persyarikatan dengan melibatkan

juga sumber daya manusia dan kalangan cendekiawan. Hasil perbincanagn dengan guru dan

tokoh Budi Utomo itu meliputi enam hal: (1) Siswa kweekschool tidak boleh duduk dalam

penguru perkumpulan karena dilarang oleh inspektur kepala sekolah: (2) Calon pengurus diambil

dari orang-orang yang sudah dewasa; (3) Apa nama perkumpulan tersebut belum ada, dan

sepertinya Ahmad Dahlan sedang menyiapkannya; (4) Tujuanya juga belum ada; (5) Tempat

perkumpulan adalah yogyakarta; (6) untuk merealisasikan sampai tuntas, Budi Utomo

membantunya dengan syarat harus diusulkan/dimintakan setidaknya oleh tujuh anggota baru

Budi Utomo

Langkah kedua, Ahmad Dahlan mengadakan pertemuan dengan orang-orang dekat, dan

memikirkan bakal berdirinya organisasi tersebut. Agenda dalam pertemuan membahas tentang

nama perkumpulan, maksud dan tujuan, serta tawaran siapa yang bersedia menjadi anggota.

Untuk nama perkumpulan, Ahmad Dahlan memberi nama ”Muhammadiyah”. Nama ini di ambil

dari nama Nabiyullah, Muhammad SAW dengan mendapat tambahan “ya nisbah”. Maksudnya

secara perseorangan, siapa saja yang menjadi warag dan anggota Muhammadiyah dapat

menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi Muhammad SAW dan ber-tafaul. Organisai

Muhammadiyah ini debagai organisasi pada akhir jaman. Seperti Muhammad SAW yang

menjadi nami dan rosul akhir jaman. Tujuan orang yang bersedia menjadi anggota budi utomo,

untuk mengusahakan berdirinya Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia-Belanda, adalah H.

Sarkowi, H. Abdul Ghani, HM. Soedja’, HM> Hisyam, HM. Fachruddin, HM. Tammimy, dan

KH. Ahmad Dahlan. Tidak lama setelah ketujuh orang ini mengusulkan diri menjadi anggota

Budi Utomo, Hoofdbestuur menerimanya dengan memberi kartu anggota.

Langkah ketiga, Ahmad Dahlan dan keenam anggota baru Budi Utomo mengajukan

permohonan kepada Hoofdbestuur supaya mengusaulkan berdirinya Muhammadiyah kepada

pemerintah Hindia-Belanda. Pada tanggal 18 November 1912 bertepatan tanggal 8 dzhulhijjah

1330 Hijriyah permohonan di kalbulkan. Penentuan tanggal tersebut sesuai usul Ahmad Dahlan

Page 4: kemuhammadiyahan.docx

dan kawan-kawannya setelah melalui pertimbangan rasional dan spiritual lewat musyawarah dan

shalat istikharah.

Permohonan berdirinya Muhammadiyah kepada pemerintah Hindia-Belanda lewat

hoofdbestuur Budi Utomo ditanggapi secara serius dan hati-hati oleh pemrintahan Hindia-

Belanda, setelah menerima surat permohonan itu, meminta pertimbangan dan advis empat

lembaga penguasa terkait, yaitu residen (gubernur) Yogyakarta; Sri Sultan Hamengkubuwono ke

VII; Pepatih Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono ke VII; dan Hoodfd (ketua) penghulu Haji

Muhammad Kholil Kamaluddiningrat. Dalam rapat dewan agama dan hukum Keraton yang

diketuai oleh penghulu Haji Muhammad Kholil Kamaluddiningrat, permohonan Ahmad Dahlan

dan kawan-kawan ditolak. Ini disebabkan karena peserta rapat dan terutama ketuanya tidak

memahami persoalan umum mengenai isi dan istilah yang dibicarakan. Namun demikian,

penyebab utamanya adalah persoalan pribadi antara ketua penghulu dan Ahmad Dahlan. Ia

antipati kepada Ahmad Dahlan karena masih teringat peristiwa kontra-aksi masalah kiblat dan

shaf Masjid Besar Kauman Yogyakarta. Istilah presiden yang dipergunakan Ahmad Dahlan

untuk menyebut ketua, sebagaimana tertulis dalam surat permohonan Ahmad Dahlan dan kawan-

kawan disalah-tafsirkan oleh HM. Kholil Kamaluddiningrat. Istilah tersebut disamakan dengan

residen, padahal keduanya berbeda. Residen adalah kepala pemerintahan sedang presiden itu

kepala golongan tertentu (Saifullah, 1997:77).

Setelah menolak, penghulu lalu menyerahkan hasil penolakan rapat itu ke lembaga

atasnya, yaitu Pepatih Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono VII. Dalam analisisnya, Pepatih

justru melihat positif kehadiran Muhammadiyah di tengah-tengah masyarakat, bahkan

kehadirannya bisa membantu tugas penghulu dalam mengajarkan dan mendakwahkan ajaran

Islam. Sejak itu, penghulu merubah sikapnya dengan menerima surat permohonan Ahmad

Dahlan, dan meneruskannya ke Sri Sultan. Dalam persetujuannya, Sri Sultan hanya memberikan

rekomendasi berdirinya Muhammadiyah untuk kawasan Yogyakarta. Selanjutnya, Sri Sultan

mengirimkan ke gubernur jendral, lalu oleh gubernur jendral dikirimkan ke Hoofdbestuur Budi

Utomo, dan diserahkan kepada Ahmad Dahlan (Saifullah, 1997:77-78).

Susunan pengurus Muhammadiyah yang pertama sebagaimana tercantum dalam surat

izin itu, sebagai berikut (Majilis Pustaka, 1993:29) :

Page 5: kemuhammadiyahan.docx

Presiden/ketua : K.H. Ahmad Dahlan

Sekretaris : H. Abdullah Siradj

Anggota : H. Ahmad

H. Abdur Rahman

H. Muhammad

RH. Djailani

H. Anies

H. Muhammad Fakih

Langkah keempat, Ahmad Dahlan mengadakan rapat pengurus pertama kali guna

mempersiapkan proklamasi berdirinya Muhammadiyah. Dalam rapat ini, diputuskan bahwa

proklamasi berdirinya Muhammadiyah bersifat terbuka untuk masyarakat umum, seperti

diusulkan oleh R. Dwidjosewojo, selain untuk pejabat pemerintah dan pejabat kesultanan.

Adapun tempat proklamasinya diputuskan di gedung pertemuan Loodge Gebuw yang terletak di

jantung kota Yogyakarta, Malioboro, pada malam Minggu terakhir bulan Desember 1912

(Sjoedja’, dalam Saifullah dan Musta’in, 1995:78).

Langkah kelima, memproklamirkan berdirinya Muhammadiyah yang dihadiri masyarakat

umum, Sri Sultan Hamengkubuwono VII serta pejabat lainnya yang diundang. Acara seremonial

ini berjalan seperti pada umumnya, yaitu diawali sambutan pembukaan oleh Ahmad dahlan

dengan membaca beberapa ayat Al-Qur’an dan surat al-Fâtihah, pembacaan surat izin sebagai

legalitas berdirinya Muhammadiyah, dan ditutup dengan doa, sebagai kata akhir dibacakan oleh

Ahmad Dahlan surat al-Fâtihah (Sjoedja’, dalam Saifullah dan Musta’in, 1995: 80-81; Saifullah,

1997:79-80).

F. Tujuan Muhammadiyah dan Perkembangannya

Sejak didirikan oleh Ahmad Dahlan sampai Muktamar Muhammadiyah ke 44 di Jakarta

tahun 2000, rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah mengalami tujuh kali perubahan

Page 6: kemuhammadiyahan.docx

redaksional, susunan bahasan dan istilah yang dipergunakan. Meskipun demikian, perubahan

tersebut tidak merubah substansi awal berdirinya Muhammadiyah.

Rumusan pertama terjadi pada waktu permulaan berdirinya Muhammadiyah. Dalam

rumusan ini, Muhammadiyah berdiri mempunyai maksud dan tujuan sebagai berikut

a. Menyebarkan pengajaran Kanjeng Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumi putra, di

dalam residen Yogyakarta.

b. Memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya.

Rumusan kedua terjadi setelah Muhammadiyah meluas ke berbagai daerah di luar

Yogyakarta. Memperhatikan jumlah cabang yang telah berdiri di luar Yogyakarta, maka maksdu

dan tujuan Muhammadiyah harus direvisi untuk menyesuaikan dengan kondisi riil

Muhammadiyah, yaitu (a) memajukan dan menggembirakan pengajaran dan pelajaran agama

Islam di Hindia Belanda, dan (b) memajukan dan menggembirakan hidup sepanjang kemauan

agama Islam kepada sekutu-sekutunya.

Rumusan ketiga terjadi pada masa pendudukan Jepang (1942-1945). Pemerintahan fasis ini

mengharuskan merubah redaksional maksud dan tujuan Muhammadiyah sesuai dengan

kehendaknya, sehingga rumusannya adalah “Sesuai dengan kepercayaan untuk mendirikan

kemakmuran bersama seluruh Asia Timur Raya dibawah pimpinan Dai Nippon, dan memang

diperintahkan oleh Tuhan Allah maka perkumpulan ini:

a. Hendak menyiarkan agama Islam, serta melatihkan hidup yang selaras dengan tuntutannya,

b. Hendak melakukan pekerjaan kebaikan umum,

c. Hendak memajukan pengetahuan dan kepandaian serta budi pekerti yang baik kepada

anggota-anggotanya.

Rumusan keempat terjadi setelah Muktamar Muhammadiyah ke 31 di Yogyakarta tahun

1950. Adapun rumusannya adalah menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga

dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rumusan ini tampaknya

dimaksudkan untuk mengembalikan rumusan terdahulu agar sesuai dengan jiwa dan gerak

Muhammadiyah yang sebenarnya.

Page 7: kemuhammadiyahan.docx

Rumusan kelima ini diubah pada Muktamar Muhammadiyah ke 34 di Yogyakarta tahun

1959. Perubahan ini hanya pada redaksional semata atas rumusan hasil Muktamar ke 31, dari

kata “dapat mewujudkan” menjadi “terwujudnya”, sehinggan rumusan resminya adalah

“Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-

benarnya”.

Rumusan keenam terjadi pada Muktamar Muhammadiyah ke 41 di Surakarta tahun 1985.

Pada tahun itu Muhammadiyah harus merubah maksud dan tujuan azasnya, oleh karena

kehadiran Undang-undang nomor 8 tahun 1985 tentang kewajiban setiap ormas, baik agama

maupun non-agama untuk mencantum azas Pancasila. Adapun rumusan maksud dan tujuan hasil

Muktamar ke 41 itu adalah Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud

masyarakat utama, adil, dan makmur yang diridhai Allah SWT.

Rumusan ketujuh terjadi pada Muktamar Muhammadiyah ke 44 di Jakarta pada tahun 2000.

Muktamar ini mengembalikan Islam sebagai asa Persyarikan Muhammmadiyah seperti rumusan

sebelumnya. Hanya saja perubahan asas ini tidak dalam satu pasal tersendiri dalam Anggaran

Dasar Muhammadiyah, melainkan dimasukkan dalam pasal 1 ayat 2, yang berbunyi :

Muhammadiyah adalah Gerakan Islam, Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar, berasaskan Islam

yang bersumber pada al-Qur’an dan al-Sunnah”. Perubahan ini disebabkan oleh dicabutnya

Undang-Undang nomor 8 tahun 1985 oleh MPR, dan ormas diperbolehkan untuk memilih

asasnya sesuai dengan yang dikehendaki dengan catatan tidak bertentangan dengan dasar negara.

Karena itu, rumusan maksud dan tujuan Muhammadiyah sekarang ini sama persis seperti

rumusan yang dihasilkan Muktamar ke 34 di Yogyakarta, yaitu Menegakkan dan menjunjung

tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Kesimpulan :

1. Ada dua faktor yang melatar belakangi berdirinya Muhammadiyah, yaitu faktor intern dan

esktern. Faktor intern adalah yang berhubngan dengan pribadi Ahmad Dahlan itu sendiri

selaku pendiri Muhammadiyah. Faktor ekstern adalah hal-hal yang terjadi di luar diri

Ahmad Dahlan, meliputi aspek sosial, keagamaan, pendidikan, dan politik bangsa.

Page 8: kemuhammadiyahan.docx

2. Relaitas sosio-keagamaan yang dihadapi Ahmad Dahlan ada dua, yaitu pertama, masalah

internal umat Islam sendiri yang dalam menjalankan ajaran Islam tidak murni sesuai dengan

Al-Qur’an dan Al-Sunnah penuh dengan bid’ah, khurafat, dan takhayyul. Kedua, masalah

eskternal, yakni yang berkenaan dengan penetrasi atau missi Kristen.

3. Realitas sosio-pendidikan yang dihadapi Ahmad Dahlan adalah sistem pendidikan yang

bersifat dikhotomik, pendidikan tradisional pesantren dan pendidikan modern Barat. Hal

inilah yang mendorong Ahmad Dahlan mendirikan lembaga pendidikan yang memadukan

dua sistem tersbut, maka ada perpaduan antara semangat Islam dan semangat Barat dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan.

4. Realitas politik bangsa yang dihadapi Ahmad Dahlan dapat dipisahkan menjadi dua periode,

yakni politik Hindia Belanda sebelum C.S Hurgronje dan setelah Hurgronje menjadi

penasehat kolonial Belanda. Periode pertama, Belanda menerapkan kebijakan agar umat

Islam tidak berontak dengan mempersulit pengamalan ajaran Islam. Periode kedua, Belanda

menerapkan kebijakan ganda, satu pihak memberikan kebebasan beragama terutama ibadah

mahdhah, di pihak lain melarang kegiatan-kegiatan yang bersifat pencerdasan dan kesadaran

politik.

5. Sebelum Muhammadiyah resmi dideklarasikan, ada lima langkah yang diambil Ahmad

Dahlan sebagai proses awal untuk mendirikan Muhammadiyah. Langkah-langkah ini adalah

(a) berdiskusi dengan guru-guru Kwekschool; (b) berdiskusi dengan orang-orang dekat

untuk mencari nama yang tepat bagi organisasi yang akan didirikan; (c) mengajukan

permohonan kepada Hoofdbestuur Budi Oetomo agar mengusulkan kepada pemerintah

Hindia Belanda untuk berdirinya Muhammadiyah; (d) mengadakan rapat-rapat persiapan

peresmian berdirinya Muhammadiyah; dan (e) memproklamirkan berdirinya

Muhammadiyah.

Sejak berdiri (1912) hingga sekarang (2004), Muhammadiyah telah mengalami

perubahan sebanyak tujuh kali. Tujuan yang terakhir hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta

adalah Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam

yang sebenar-benarnya.