kematangan emosi tiga suster yunior kongregasi … · junior sisters of the holy spirit mission...
TRANSCRIPT
KEMATANGAN EMOSI TIGA SUSTER YUNIOR
KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)
YANG SEDANG MENJALANI STUDI
TAHUN 2009/2010
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh: Astuti Christina NIM: 051114004
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
i
KEMATANGAN EMOSI TIGA SUSTER YUNIOR
KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)
YANG SEDANG MENJALANI STUDI
TAHUN 2009/2010
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Bimbingan dan Konseling
Oleh: Astuti Christina NIM: 051114004
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2010
ii
iii
iv
MOTTO
“Akulah Pokok Anggur,
barangsiapa tinggal dalam Aku
dan Aku dalam dia ia berbuah banyak.
Jikalau kamu tinggal didalam Aku
dan firman-Ku tinggal dalam kamu,
mintalah apa saja yang kamu kehendaki
dan kamu akan menerima-Nya”
(Yohanes 15: 5-7)
“Ia tahu menyesuaikan diri dengan semua, Ia bergembira dengan orang
yang gembira dan turut berduka dengan yang berdukacita.
Ia selalu bersedia membantu semua. Terutama dalam waktu sulit ia
mendampingi kami sambil membantu dan membesarkan hati kami”
(Sr. Benedicta, tentang ibu Josepha, Konstitusi SSpS)
v
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan kepada:
Semua suster SSpS Provinsi Maria Bunda Allah Jawa
yang telah mendukung dan menyemangati saya selama menjalani tugas studi
di Program Studi Bimbingan dan Konseling
Jurusan Ilmu Pendidikan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta
vi
vii
viii
ABSTRAK
KEMATANGAN EMOSI PADA TIGA SUSTER YUNIOR KONGREGASI MISI ABDI ROH KUDUS (SSpS)
YANG SEDANG MENJALANI STUDI TAHUN 2009/2010
Astuti Christina
Universitas Sanata Dharma 2010
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kematangan emosi para suster yunior Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) yang sedang studi tahun 2009/2010 dan untuk menemukan program pendampingan yang sebaiknya dilakukan untuk tiga suster SSpS yunior dan sebayanya untuk dapat meningkatkan kematangan emosi mereka. Jenis penelitian adalah penelitian kualitatif. Subjek dalam penelitian ini ada tiga (3) suster yunior yang berada di Komunitas Yogyakarta dan Surabaya. Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data menggunakan wawancara mendalam dengan para subjek. Instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan pedoman wawancara yang disusun oleh peneliti dan dikonsultasikan dengan pembimbing. Data yang diperoleh dari hasil wawancara direkam dengan menggunakan tape-recorder dan disusun dalam bentuk transkrip. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga subjek penelitian menampakkan kematangan emosi mereka. Hal ini bisa terlihat dari sikap, tutur kata dan perbuatan mereka dalam kehidupan bersama baik di komunitas maupun di kampus. Dalam menghadapi dan menanggapi sesuatu mereka tidak mudah terbawa oleh emosi sesaat, melainkan mereka mampu menanggapi dengan tenang setelah menenangkan diri dan berefleksi. Meskipun demikian mereka masih perlu untuk terus-menerus melatih diri dengan tekun karena emosi yang muncul belum diolah secara mendalam sehingga masih mengganggu dalam berproses untuk menerima diri dan orang lain. Mereka juga menyadari betapa pentingnya hidup dalam kesadaran karena hal ini sangat membantu mereka dalam mengolah diri dan mengolah emosi dalam kehidupan sehari-hari sebagai seorang religius yang sedang menjalani tugas studi. Selain itu mereka juga mampu menemukan manfaat dan mampu memaknai peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam kehidupan bersama, sehingga membuat mereka semakin berkembang dalam kepribadian dan mencapai kematangan dalam hidup beriman. Nilai-nilai yang semakin bertumbuh dengan kuat dalam proses kematangan emosi adalah kerendahan hati, kasih, berani ambil resiko, pengampunan, penghargaan diri, empati dan beriman kuat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut peneliti mengusulkan beberapa topik pendampingan untuk meningkatkan kematangan emosi. Usulan kegiatan yang bisa dilakukan meliputi: Peningkatan Kematangan Emosi dalam konteks visi, misi dan spiritualitas Kongregasi, Manajemen emosi selama menjalani studi, Menjadi Pribadi yang bebas dan dewasa secara holistik. Topik - topik ini dimaksudkan agar para suster SSpS yunior mampu mengolah emosi, menerima diri, memiliki kepekaan, empati, dan keberanian mengambil keputusan serta menjadi misionaris yang berkualitas dan tangguh.
ix
ABSTRACT
THE EMOTIONAL MATURITY OF THREE JUNIOR SISTERS OF THE HOLY SPIRIT MISSION CONGREGATION (SSpS)
WHO ARE STUDYING IN THE YEAR 2009/2010
Astuti Christina Sanata Dharma University 2010
This research is aimed to know the level of the emotional maturity of the junior sisters of the Holy Spirit Mission Congregation (SSpS) who are studying in the year 2009/2010, and it is to find out the assisting programme which should be done for the three SSpS junior sisters, and their friends of the same age, in order to improve their emotional maturity. The type of this research is a qualitative one. The subjects of this research are three junior sisters who are living in Yogyakarta and Surabaya. The method used for the data collecting is by using the profound interview with the subjects. The research instrument is using the form of directive questions which were compiled by the researcher and were consulted with the advisor. The Data that obtained from the interview is recorded using a tape-recorder and is arranged in the form of transcription. The result of the research indicated that the three subjects of the research showed up their emotional maturity. It is see through their attitude, words and actions in their social life, both in the religious community and in the campus. When facing something, they are not easily affected by their emotion at that moment, but they are able to respond calmly after going through some quiet time for themselves and through personal reflections. However, they still need to practize diligently and continuously because the emotion shown is not yet processed deeply and therefore it is still disturbing in the process of accepting oneself and others. They are aware of how important to live consciously, which help them for personal and emotional development in everyday-life as religious who are still in the study progress. They also find the benefits and meanings of events that happen in community life which make them more developed in their personalities and becoming mature in faith. Values that grow stronger in their emotional maturity are: humility, love, courage to take risks, forgiveness, self respect, emphaty and strong faith. Based on this research, the researcher suggested some topics for assistance to improve the emotional maturity. Suggestions that can be done are: Improvement of emotional maturity in the context of vision, mission and Congregation Spirituality; Emotion Management during study period; Becoming free, mature and holistic persons. The topics above are meant for the SSpS junior sisters, in order to be able to process emotion; to accept oneself; to have sensitivity, emphaty and to have courage in making decision and to be strong and qualified missionaries.
x
KATA PENGANTAR Puji Syukur kepada Allah Yang Maha Kasih yang telah membimbing
dalam proses penyusunan sampai dengan selesainya skripsi ini melulu hanya
karena PenyelenggaraanNya, anugerah dan belaskasih serta bimbinganNya dan
berkat bantuan, bimbingan, perhatian serta dorongan dari berbagai pihak, skripsi
ini dapat selesai.
Atas bantuan dan kerjasama yang baik dari berbagai pihak, dengan hati
yang tulus penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan FKIP Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta yang telah berkenan mengesahkan skripsi ini.
2. Dr. M. M. Sri Hastuti, M.Si., selaku Ketua Program Studi Bimbingan dan
Konseling yang telah memberi kesempatan, dukungan dan bantuan dalam
penyusunan skripsi ini.
3. Drs. YB. Adimassana, M.A., selaku pembimbing I yang telah berkenan
membimbing penulis dengan penuh kesabaran, empati, bijaksana dan
memberikan ide-ide yang bagus.
4. Drs. H. Sigit Pawanta, SVD, M.A., selaku pembimbing II yang telah
berkenan membimbing penulis dengan penuk kasih, kesabaran, empati dan
bijaksana.
5. Para dosen dan karyawan Program studi Bimbingan dan Konseling
Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing dan mendidik penulis
selama menempuh tugas studi.
xi
6. Tim Pimpinan Provinsi yang telah memberi kepercayaan dan kesempatan
untuk mengembangkan diri dalam studi di Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Progaram Studi Bimbingan dan Konseling Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta, serta setiap suster SSpS di Provinsi Maria Bunda
Allah Jawa yang telah mendukung lewat cinta, doa-doa dan perhatiannya
sehingga dapat menyelesaikan tugas studi ini dengan baik.
7. Sr. A, Sr. B dan Sr. C (nama samaran) yang telah berkenan membagikan
dan mempercayakan sebagian pengalaman hidupnya kepada penulis demi
kelancaran penyusunan skripsi ini.
8. Para suster komunitas Biara Roh Suci Yogyakarta yang telah memberikan
dukungan, doa, perhatian khususnya dalam proses penyusunan skripsi ini.
9. Para suster komunitas St. Vincentius a Paulo Surabaya yang telah
memberikan dukungan dan ijin untuk penelitian.
10. Pater Thobias Muda Kraeng SVD, Andreas Nugroho WH, yang telah
berkenan mengoreksi, mengkritisi dan memberi semangat dalam proses
akhir penyusunan skripsi ini.
11. Teman-teman seangkatan 2005 Program Studi Bimbingan dan Konseling
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
12. Sanak saudara, rekan-rekan, sahabat dan kenalan baik secara langsung
maupun tidak langsung yang telah memberi dukungan dan bantuannya
demi kelancaran penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu
dengan terbuka dan senang hati penulis menerima kritikan dan saran demi
xii
penyempurnaannya. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan
membantu para suster yunior dalam usaha meningkatkan kemampuan mengelola
emosi mereka sehingga mereka semakin matang dan dewasa dalam hidup
panggilan sebagai religius misionaris SSpS yang berkualitas dan tangguh.
Penulis.
xiii
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... ii HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iii HALAMAN MOTTO ........................................................................................ iv HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................... v HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................ vi LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ............................................ vii ABSTRAK ..................................................................................................... viii ABSTRACT ..................................................................................................... ix KATA PENGANTAR ....................................................................................... x DAFTAR ISI ..................................................................................................... xii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 B. Rumusan Masalah ....................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6 D. Manfaat Penelitian ....................................................................... 7 E. Devinisi Operasional dan Variabel Penelitian ............................. 8
1. Definisi Operasional .............................................................. 8 2. Variabel Penelitian ................................................................ 8 3. Keterbatasan Penelitian ......................................................... 9
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
A. Kecerdasan/Kematangan Emosi .................................................. 10 B. Kedewasaan pribadi ..................................................................... 14 C. Pembinaan masa Yuniorat ........................................................... 19
BAB III. METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian ........................................................................ 21 B. Fokus Penelitian .......................................................................... 22 C. Subjek Penelitian ......................................................................... 23 D. Pengumpulan Data ....................................................................... 24
1. Teknik Pengumpulan Data ................................................... 24 2. Format .................................................................................. 26 3. Tahap Penelitian ................................................................... 27 4. Cara Mengolah Jawaban ....................................................... 28 5. Pertanggungjawaban mutu alat penelitian ............................ 29 6. Teknik Analisa Data ............................................................. 31
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ............................................................................ 34
xiv
B. Pembahasan ................................................................................. 36 C. Usulan topik-topik Pendampingan yang dapat Membantu Meningkatkan Kematangan Emosi Para Suster SSpS Yunior yang Sedang Menjalani Studi ..................................................... 44
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................. 49 B. Saran ............................................................................................ 51
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 52 LAMPIRAN…. . ................................................................................................ 54
xv
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel Instrumen Wawancara .......................................................................... 24
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN I: Surat Ijin Penelitian LAMPIRAN II: Hasil Wawancara LAMPIRAN III: Hasil Penelitian
1
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam bab I ini akan dibahas pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, definisi operasional, dan
variabel penelitian.
A. Latar Belakang Masalah
Kematangan emosi setiap pribadi sangat dibutuhkan dalam kehidupan,
juga dalam
kehidupan bersama di biara. Hal tersebut merupakan salah satu tuntutan dalam
kehidupan membiara. Mengingat emosi atau perasaan sangat penting dalam hidup
manusia, setiap pribadi hendaknya menata emosinya agar lebih tenang dalam
bertingkah laku, lebih aman bersama orang lain, lebih bijak dalam mengambil
keputusan dan lebih damai. Dalam hidup membiara, pengaturan emosi sangatlah
penting bahkan juga dalam hubungan dengan Tuhan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Redaksi Kamus Besar
Bahasa Indonesia, 2008: 368) Emosi adalah: 1) luapan perasaan yang berkembang
dan surut di waktu singkat; 2) keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti
kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan); keberanian yang bersifat
subyektif; 3) cak marah. Sedangkan menurut Kamus Lengkap Psikologi J.P.
Chaplin (Kartini Kartono, 2006 :163), kata “emosi” dapat diartikan sebagai satu
2
keadaan yang terangsang dari organisme, mencakup perubahan-perubahan yang
disadari, yang mendalam sifatnya, dan perubahan perilaku. Kematangan emosi
adalah kecerdasan seseorang dalam mengatur, mengendalikan dan menata emosi
yang ada dalam dirinya. Emosi yang matang dapat dilihat dan dirasakan dari
kemampuan seseorang menguasai, dan mengatur emosi sesuai dengan kebutuhan.
Pengungkapan emosi tidak boleh lepas, tanpa kendali, tetapi harus yang terkendali
dan konstruktif sehingga tidak menjadi batu sandungan dan menyakitkan bagi
orang lain. Kematangan emosi sangat dibutuhkan oleh seseorang yang ingin
menjadi biarawan atau biarawati karena adanya tuntutan tiga kaul sebagaimana
tertulis dalam dokumen Gerejani dalam konstitusi “Lumen Gentium” pada akhir
artikel 44 (1) bahwa status kebiaraan “diadakan dengan pengikraran nasihat-
nasihat Injil (kaul keperawanan, kaul kemiskinan, dan kaul ketaatan)”. Hidup
membiara adalah tanda, yaitu tanda dari Tuhan. Tuhanlah yang mau menyatakan
Diri dalam hidup membiara itu. Kristus hadir di dalamnya secara istimewa, yaitu
untuk menyatakan kebenaran kebangkitan-Nya. Oleh sebab itu hidup membiara
merupakan suatu concecratio yang berarti bahwa Tuhan mau memakai hidup
membiara untuk menarik orang akan kemuliaan surgawi. Kutipan artikel 44 (1)
Lumen Gentium tersebut mengasumsikan bahwa sebagai religius seseorang harus
sudah memiliki kematangan dalam emosinya, sehingga ia mampu menghayati
kaul-kaul kebiaraan yang telah diikrarkannya dalam kehidupan sehari-hari. Tidak
menutup kemungkinan bahwa seorang religius masih harus terus-menerus
berjuang dalam berproses untuk meningkatkan dan mengembangkan kematangan
emosinya.
3
Kebanyakan para religius yang hidup membiara mempunyai optimisme
dan idealisme hidup yang dijalaninya. Namun demikian idealisme dan
optimisme tersebut secara perlahan dapat hilang bersama berjalannya waktu dan
digantikan oleh kelemahan manusiawi yang kerap dirasakannya dalam
kehidupan sehari-hari. Ciri melemahnya idealisme dan optimisme antara lain:
orang condong mengikuti gejolak emosi yang muncul oleh adanya tawaran-
tawaran dari dunia sekitarnya, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai yang menjadi
idealismenya.
Kebersamaan dalam keanekaragaman yang tercipta dalam hidup membiara
memang sudah sepatutnya menjadi realitas yang harus dihayati oleh setiap
anggota. Hal ini menjadi suatu tuntutan karena sebuah Kongregasi religius
bukanlah persatuan minat yang sama, seragam, budaya/suku yang sama, pekerjaan
yang sama, melainkan karena panggilan dan perutusan atas dasar iman yang sama.
Mereka dipersatukan dalam hidup bersama dalam Kongregasi bukan karena
pilihan pribadi, melainkan setiap manusia diciptakan dan dipanggil untuk turut
serta dalam kebersamaan hidup dengan Allah secara rohani, mengambil bagian
pada kehidupan Allah Tritunggal.
Dalam kebersamaan sering muncul gejolak emosi yang jika tidak
dikendalikan akan merongrong nilai-nilai yang dicita-citakan. Kebersamaan
dalam keanekaragaman yang ada bisa jadi tidak menjadi sebuah nilai yang
mudah untuk dihayati dan dihidupi dalam hidup membiara. Hal ini membutuhkan
sebuah perjuangan yang terus-menerus. Berkaitan dengan hal ini Konstitusi Misi
Servae Spiritus Sancti (SSpS) mengungkapkan demikian:
4
Roh Kudus yang mempersatukan kita dalam cinta persaudaraan yang tulus. Dalam keanekaan kebudayaan, bangsa, kepribadian dan usia kita mengalami kekayaan karunia Roh Kudus dalam diri kita masing-masing. Hendaknya kita saling menghargai, menyemangati, membantu, saling berbagi rasa dan saling memberi perhatian pada hidup dan karya. Kehadiran Roh Cinta di tengah-tengah kita dinyatakan dalam saling percaya dan cinta yang penuh perhatian. (Konstitusi SSpS, artikel 304, hal 75).
Keanekaragaman suku di dalam komunitas, jika disikapi dengan emosi yang
belum matang, dapat menimbulkan keretakan, pertengkaran, atau ketidak
harmonisan dalam kehidupan bersama (komunitas). Bisa jadi keanekaragaman
menjadi alasan untuk mengundurkan diri dari hidup membiara karena mengalami
shock budaya. Oleh karena itu sebagai suster yunior perlu mengolah kematangan
emosinya sebagai anggota komunitas SSpS dan melatih emosinya agar lebih
teratur dan tidak merugikan orang lain maupun dirinya sendiri dalam tugas
perutusan.
Keanekaragaman usia pun bisa menjadi suatu penyebab kesalahpahaman
dalam kebersamaan hidup membiara. Masing-masing generasi (generasi tua dan
generasi muda) dapat saja saling mempertahankan gaya dan cara hidup mereka.
Hal inilah yang kerap menjadi pemicu terjadinya konflik dalam sebuah lembaga
hidup bakti.
Hidup bakti merupakan sebuah lembaga atau institusi, yang tak lepas dari
tugas jabatan atau fungsi tertentu. Tugas jabatan atau fungsi ini bukannya
mempermudah bagaimana mengorganisasikan kongregasi dengan lebih baik,
tetapi kadang-kadang justru sebaliknya bisa menjadi alasan bagi kemacetan suatu
komunikasi dan relasi antar pribadi. Keanekaan jenjang pendidikan termasuk juga
5
bagian dalam kebersamaan hidup di biara. Setiap anggota diharapkan memiliki
kerendahan hati dan keterbukaan hati untuk saling melengkapi dan saling belajar
satu dengan yang lainnya, bersama-sama untuk memajukan dan mengembangkan
kongregasi dimungkinkan adanya anggota komunitas yang kurang rendah hati
dalam status pendidikan. Oleh sebab itu Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS)
yang merupakan salah satu lembaga religius Kepausan, dengan kaul-kaul umum,
berada di bawah wewenang tertinggi Tahta Suci, masih terus-menerus berbenah
diri untuk meningkatkan dan mengembangkan kerasulan yang bisa dimulai dari
masing-masing pribadi.
Tidaklah mudah bagi seorang suster yunior untuk mencapai kematangan
emosi manusiawi dalam hidup religiusnya. Ada banyak faktor yang dapat
menghambat perkembangan mereka, baik dari dalam diri maupun dari luar diri
mereka. Hambatan dari dalam diri antara lain: masih adanya luka-luka batin yang
belum diolah dengan tuntas tidak disiplin dalam memupuk hidup rohani, jarang
melakukan refleksi, malas membaca dan mendalami Konstitusi, suka menunda,
malas mengolah perasaan, hidup doa hambar dan dangkal, kurang memperdalam
nilai-nilai spiritualitas kongregasi, dan sibuk dengan dunianya sendiri. Hal-hal
seperti inilah yang akan semakin mengancam hidup panggilan mereka, merasa
terbebani, mengalami kejenuhan, dan tidak menemukan arah, tujuan serta makna
hidupnya.
Hambatan dari luar yang sering dialami para suster yunior antara lain:
kesibukan dalam tugas studi, situasi komunitas yang kurang mendukung,
kurangnya teguran dalam cinta persaudaraan, serta adanya krisis keteladanan dan
6
kesungguhan dari suster yang lebih senior. Selain itu perkembangan teknologi
yang semakin canggih juga bisa mempengaruhi mereka bahkan melemahkan
prinsip-prinsip kedewasaan emosi mereka.
Dari gejala yang mengemuka demikian nampak adanya masalah yang
mempengaruhi penghayatan tri kaul para suster yunior dalam hidup membiara.
Menurut dugaan penulis akar penyebabnya adalah kurangnya pengolahan gejolak
emosi yang terjadi dalam diri mereka. Maka dari itu penulis terdorong untuk
meneliti salah satu dari permasalahan diatas yaitu kematangan emosi para suster
SSpS yunior dalam menjalani tugas studi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk membantu mereka mengolah emosi
dengan program pendampingan.
B. Perumusan Masalah
Masalah yang akan dijawab/diteliti dalam penelitian ini dirumuskan
sebagai berikut:
1. Sejauhmana kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang
menjalani masa studi?
2. Topik-topik pendampingan apa yang dapat membantu meningkatkan
kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani
masa studi?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
7
1. Mengetahui sejauhmana kematangan emosi para suster SSpS yunior
yang sedang menjalani masa studi.
2. Tersusunnya topik-topik pendampingan yang dapat membantu
meningkatkan kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang
menjalani masa studi.
D. Manfaat hasil penelitian
1. Manfaat teoretis
Kepada program studi Bimbingan dan Konseling memberikan
sumbangan teoritis tentang tingkat kematangan emosi para suster yunior yang
sedang menjalani masa studi, sehingga prodi dapat dengan efektif dalam
mendampingi para biarawan – biarawati dan mahasiswa melalui mata kuliah
yang berkaitan langsung dengan kematangan emosi.
2. Manfaat praktis
a. Bagi peneliti sendiri
Semakin mengerti dan memahami serta mampu mengolah emosi yang ada
dalam diri.
b. Bagi para suster SSpS
Memberikan wawasan yang dapat membantu sesama dalam menemukan dan
memecahkan permasalahan yang berkaitan dengan kematangan emosi dalam
tanggung jawab sebagai suster SSpS yunior yang sedang menjalani masa
studi dan memberikan masukan bagi para formator (tim pimpinan provinsi,
pemimpin komunitas, pendamping novis) untuk dapat mendampingi para
8
formandi dan memberikan bantuan secara tepat sesuai dengan
kebutuhannya.
E. Definisi Operasional dan Variabel Penelitian
1. Definisi Operasional
a. Kematangan emosi adalah suatu sikap batin untuk mengakui keberadaan
diri secara bebas, memampukan pribadi yang bersangkutan untuk
mengidentifikasi setiap rasa perasaan yang muncul sebagai bagian dari
dirinya sebagai manusia dan menghantar seseorang pada kedewasaan
pribadi yang bertanggungjawab akan segala sesuatu yang dilakukannya
sebagai manusia.
b. Suster Yunior SSpS studi adalah suster SSpS yang masih dalam tahap
formasi masa yuniorat dan belum kaul kekal yang sedang mendapat
tugas studi tahun 2009/2010 di Provinsi Jawa.
c. Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) adalah suatu lembaga hidup
bakti/kongregasi internasional. Khusus untuk maksud dan tujuan
penelitian ini Kongregasi SSpS Provinsi Maria Bunda Allah Jawa yang
berpusat di Jl. Jambi 20 Surabaya, Jawa Timur Indonesia berpusat di
Roma-Italia.
2. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini adalah tingkat kematangan emosi tiga suster
SSpS yunior yang sedang menjalani studi pada tahun akademik 2009/2010.
9
3. Keterbatasan Penelitian
Mengingat bahwa penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan
menggunakan 3 suster yunior SSpS sebagai subjek, sekalipun hasil
penelitian menunjukkan bahwa ketiga suster matang dalam emosinya, akan
tetapi penelitian ini masih sangat terbatas. Karena hasil penelitian tersebut
sangat dipengaruhi oleh situasi dan kondisi dari masing-masing subjek.
Sehingga penelitian ini belum dapat mewakili kebanyakan orang.
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Bab ini memuat landasan teori yang berkaitan dengan penelitian ini, yaitu
kematangan emosi para suster SSpS yunior yang sedang menjalani studi pada
tahun akademik 2009/2010.
A. Kecerdasan/Kematangan Emosi
Banyak pihak yang belum bersepakat mengenai definisi secara pasti
tentang arti kecerdasan. Hal ini bisa dilihat dari cukup lamanya orang
beranggapan bahwa IQ (Intellegence quotient) merupakan ukuran penentu
kesuksesan belajar dan hidup seseorang. Bila IQ-nya tinggi, maka orang itu akan
sukses dalam belajarnya dan akhirnya sukses dalam kehidupan. Ternyata pendapat
itu tidak selalu benar, ada banyak orang yang IQ-nya tinggi tapi gagal dalam
hidupnya. Karenanya banyak pihak berpendapat bahwa selain IQ ukuran
kesuksesan juga ditentukan dengan emotional quotient (EQ) kemampuan
emosional dan juga spiritual quotient (SQ) kemampuan spiritual. Kedua hal ini
juga harus diperhatikan dalam kehidupan agar seseorang dapat sukses.
Beragamnya definisi inteligensi membuka ruang bagi semua orang untuk yakin
akan kecerdasan mereka (Goleman, 1997).
Gardner (2003) dalam buku Kecerdasan Majemuk (terjemahan) banyak
mengumpulkan kemampuan manusia yang dimasukkan dalam pengertian
inteligensi. Setelah semua kemampuan itu dianalisis secara teliti, Gardner
mendapati ada tujuh inteligensi yang dimiliki manusia. Dalam buku Intellegence
11
Reframed, ia menambahkan ada dua inteligensi baru, yaitu inteligensi lingkungan
atau naturalis (naturalist intellegence) dan inteligensi eksistensial (existensial
intellegence). Dengan demikian saat
ini ada sembilan inteligensi yang telah dirumuskan. Dari sembilan kecerdasan,
menurut Gardner, peneliti mengambil tiga intelegensi yang berkaitan langsung
dengan kematangan emosi, yaitu:
a. Inteligensi Interpersonal yaitu kemampuan untuk mengerti dan menjadi
peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak, temperamen orang lain.
Orang yang kuat dalam inteligensi Interpersonal biasanya sangat mudah
bekerja sama dengan orang lain dan mudah berkomunikasi dengan orang
lain.
b. Inteligensi Intrapersonal yaitu kemampuan yang berkaitan dengan
pengetahuan akan diri sendiri dan kemampuan untuk bertindak secara
adaptatif berdasar pengenalan diri. Orang yang menonjol dalam inteligensi
intrapersonal biasanya mudah berkonsentrasi dengan baik.
c. Inteligensi Eksistensial, inteligensi ini lebih menyangkut kepekaan dan
kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan dalam
eksistensi atau keberadaan manusia. Orang yang menonjol dengan
inteligensi eksistensial akan mempersoalkan keberadaannya di tengah alam
raya yang besar ini.
Ketiga kecerdasan tersebut merupakan bagian yang integral dalam proses
mencapai kematangan emosi. Beragam kecerdasan inteligensi yang dimiliki
memampukan seseorang untuk mengakui kemampuan/bakat yang dimilikinya.
12
Hal ini akan membantu seseorang untuk mengakui dan menerima keterbatasan-
keterbatasan yang dimilikinya. Jika seseorang tidak memahami keanekaragaman
inteligensi ini bisa men- jadi pemicu gejolak emosi yang tidak seimbang dalam
dirinya.
Kecerdasan emosi ditandai dengan adanya kematangan emosi.
Kematangan emosi dapat didefinisikan sebagai kemampuan pengendalian diri,
semangat dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri
(Goleman, 1997:xiii). Kecerdasan emosi adalah kemampuan untuk memotivasi
diri, bertahan dalam menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak
berlebihan dalam kesenangan, mengatur suasana hati mengatur dan menjaga agar
beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa
(Goleman,1997:45).
Menurut Goleman (1997:58-59), kecerdasan emosi mencakup banyak
kemampuan dalam mengelola emosi, yang dapat dirangkum sebagai berikut:
a. Mengenali emosi diri :
Kesadaran diri mengenali perasaannya sendiri pada saat perasaan itu
sedang terjadi, dan memahami penyebab perasaan yang timbul, serta
mengenali perbedaan perasaan dan emosi yang sedang bergejolak di dalam
dirinya tanpa diingkari atau ditutupi.
b. Mengelola emosi :
Orang mampu untuk mengendalikan dan mengelola emosi-emosi (yang
merusak) agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Toleransi
lebih tinggi terhadap frustasi, berkurangnya ungkapan emosi dalam bentuk
13
kata-kata ejekan, emosi terungkap dengan pas, mampu mengungkapkan
amarah dengan tepat tanpa berkelahi, tidak berperilaku agresif, perasaan
lebih positif terhadap diri, sesama, keluarga, mengatasi ketegangan jiwa,
dan mengurangi kesepian, kecemasan dalam pergaulan.
c. Memotivasi diri sendiri :
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri dan menguasai
diri sendiri dan untuk berkreasi. Lebih bertanggung jawab, dan mampu
memusatkan perhatian pada tugas, lebih produktif dan efektif dalam hidup.
d. Kemampuan berempati :
Mampu menerima sudut pandang orang lain, memperbaiki rasa empati
pada orang lain, dan lebih bisa mendengarkan orang lain.
e. Mengenali emosi orang lain.
Orang yang empatik adalah orang yang mampu menangkap sinyal-sinyal
sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apa yang dibutuhkan atau
dikehendaki orang lain. Atau orang yang mampu untuk mengerti dan
memahami perasaan-perasaan ataupun emosi-emosi orang lain.
f. Membina hubungan :
Membina relasi dengan orang lain, terampil dalam mengelola emosi orang
lain dan memahami orang lain, berkomunikasi dengan baik, membangun
dan memelihara hubungan dengan orang lain.
14
Menurut kamus Oxfortd English Dictionary, sebagaimana dikutip oleh
Goleman(1997:411), diidentifikasikan bahwa “emosi” adalah “setiap kegiatan
atau pergolakan pikiran, perasaan, nafsu, setiap keadaan mental yang hebat atau
meluap-luap”. Emosi atau perasaan sangat penting dalam hidup, akan tetapi perlu
ditata dan empati dalam diri juga perlu dibangun berdasarkan kesadaran diri,
sehingga diri kita semakin terbuka terhadap emosi diri sendiri, dan semakin
terampil membaca perasaan sendiri maupun perasaan orang lain melalui ungkapan
kata maupun tingkah laku yang diisyaratkan. Kaum religius dituntut untuk
memiliki kematangan emosi agar semakin menjadi religius yang penuh empati
serta memiliki tujuan hidup yang jelas.
B. Kedewasaan Pribadi
Dalam buku Psikologi Hidup Rohani 2 (Mardi Prasetya,1992:100-104),
dituliskan bahwa “pribadi yang dalam hidupnya menunjukkan kedewasaan dalam
dimensi-dimensinya dan juga memiliki kebebasan efektif lebih besar untuk
membatinkan nilai-nilai panggilan, maka ia mempunyai disposisi untuk mengikuti
panggilannya secara lebih baik.”, ciri-ciri kedewasaan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
1. Kemampuan untuk menerima kenyataan: Ia terbuka untuk mengetahui dan
menerima dirinya dan orang lain, karena ia mempunyai keyakinan diri dan
kepastian untuk berpijak, mempunyai integritas pribadi yang dapat
ditunjukkannya melalui perilakunya.
15
2. Menerima dan menghayati apa yang bernilai: Sebagai religius ia berani
menerima dan menghayati nilai-nilai injili (nilai hidup rohani) dan
menghayatinya demi Kristus dan bukannya demi kepentingan yang
menguntungkan diri, membela diri dan sekedar memamerkan kesalehan.
Dengan kata lain ia berusaha mengatur dan menghayati hidup atas
dorongan motivasi yang lurus dalam panggilan, yaitu nilai-nilai hidup
rohani, dengan ini akan tampak bahwa ia ambil bagian dalam kebebasan
untuk memeluk cinta dan afeksi rohani.
3. Mengarahkan daya-daya hidupnya untuk menghayati nilai-nilai yang
dipeluk dan diwartakannya dalam hidup: Ia mampu mengendalikan
ketegangan yang mungkin terjadi dalam mengambil dan melaksanakan
keputusan, mampu bertoleransi terhadap ketidakpastian dalam mencapai
tujuan dan cita-cita hidupnya, mampu bertekun mewujudkan nilai-nilai
yang diyakini baik atas dasar pengalaman rohaninya.
4. Tidak cenderung mengurbankan nilai dan prinsip demi suatu
pragmatisme : Ia memiliki fleksibilitas sekaligus sikap seorang ‘hamba
Tuhan’ yang setaraf dengan kedewasaannya, lebih-lebih dalam membela
nilai-nilai Kristus dalam arti bahwa ia tidak menjadi agresif dan fanatik
dalam membela diri dan kemudian menghindari tanggung jawab. Ia lebih
peka dan lebih terbuka terhadap perasaan orang lain.
5. Memiliki cinta yang tidak egois: Cinta yang tidak egois adalah cinta yang
melampaui ‘personalisme’ dan tanpa pamrih. Maka orang yang memiliki
16
cinta ini tidak akan mudah frustrasi, dan menomorsatukan nilai cinta kasih
Kristus.
6. Sikap realistis. Sikap realistis yang dimaksudkan di sini khususnya
berhubungan dengan pelaksanaan nilai dan sikap hidup panggilan. Ia
mampu membedakan mana yang fakta dan mana yang prinsip, ia mampu
membedakan antara kompromi fakta dan kompromi prinsip. Ia pun tahu
kapan harus berbicara dan kapan harus diam.
7. Mampu mempercayai orang lain, ini adalah sikap dasar yang muncul dari
kepercayaan terhadap diri sendiri. Ia tidak mendominasi dan tidak
merendahkan orang lain.
8. Memiliki kepercayaan dan keyakinan pada diri sendiri, ia selalu siap
dengan pertobatan manakala hidupnya kurang sesuai dengan nilai
panggilan yang dipeluk dan dicintainya, dan berusaha membaharui diri
sejauh mungkin atas rahmat dan kemampuan diri sendiri.
9. Relasi sosial yang berciri ‘dependibility’, mampu mengambil keputusan
dan tanggung jawab, mampu menyesuaikan diri, memiliki kepekaan,
menghargai kebebasan orang lain dan diri sendiri.
10. Mampu membatinkan nilai panggilan, dapat menerima iman dan
kepercayaan karena memang sesuai dengan sistem dasariah nilai dan
tujuan hidupnya. Ia berusaha maju dan bertekun dalam panggilan dan
hidup rohaninya.
17
Tentang kedewasaan manusia Cencini (2008:99-105) dalam buku
“Kematangan Rohani dan Emosi” menuliskan ciri-ciri kedewasaan yang secara
ringkas mencakup karakteristik sebagai berikut:
1. Dari ketulusan menuju kebenaran, seseorang yang dewasa mampu
mengenal dirinya sendiri. Ketulusan merupakan kebebasan untuk
mengenali apa yang dirasakan seseorang dan mengatakannya secara
terbuka mengenai hal tersebut, kepada dirinya sendiri, dan pada orang lain
bila perlu. Kebenaran merupakan suatu kebebasan untuk memahami
bukan saja emosi, yang biasanya jelas, tapi juga akar-akarnya.
2. Kekuatan dalam kelemahan, menjadi dewasa berarti menjadi kuat untuk
mampu menghindari ketidakkonsistenan dan sifat-sifat tidak matang
sebelumnya.
3. Kebebasan untuk mengungkapkan diri, pada hakikatnya manusia
dipanggil untuk menyatakan dirinya, untuk menghadapi sebuah panggilan
untuk menjadi dirinya yang sebenarnya dengan mengatasi dirinya.
4. Penyerahan hidup, orang yang matang biasanya tidak mencukupi dirinya
sendiri, ia mengakui perlunya orang lain, mempercayai mereka yang
barada di sisinya pada saat ia siap menyerahkan hidupnya ke dalam tangan
orang lain dan saat membiarkan dirinya dibatasi oleh kelemahan orang
lain.
Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa, kematangan emosi adalah
kemampuan seseorang dalam mengelola emosi yang ada dalam dirinya baik emosi
18
positif (syukur, gembira, senang, tentram, aman, damai, dll), maupun emosi
negatif (jengkel, marah, sedih, tersinggung, hilang harapan, dll). Kematangan
emosi menyebabkan seseorang menjadi lepas bebas dalam mengaktualisasikan
dirinya secara optimal dengan menyadari keberadaannya. Hal ini membantu
seseorang memiliki keberanian untuk mengalami dan menerima rasa-perasaan
yang muncul dalam dirinya. Maka kematangan emosi adalah suatu disposisi atau
sikap batin untuk mengakui keberadaan diri secara bebas. Kematangan emosi
memampukan pribadi yang bersangkutan memberi nama/mengidentifikasi setiap
rasa-perasaan yang muncul sebagai bagian dari dirinya. Emosi adalah suatu
reaksi batin yang wajar dan manusiawi, yang tidak harus cepat-cepat diikuti atau
ditolak, melainkan harus dipahami asal-usulnya. Emosi adalah perasaan yang
muncul secara spontan sebagai reaksi atas adanya suatu hal yang menyentuh atau
merangsang batin kita. Hal itu bisa menimbulkan reaksi berupa emosi positif dan
negatif. Emosi itu akan merangsang munculnya pikiran tertentu dalam keinginan
ke arah tindakan tertentu. Di sinilah orang sudah memiliki kematangan emosi
tidak akan begitu saja terbawa oleh emosi yang muncul secara spontan dalam
dirinya, tanpa berpikir secara mendalam. Kematangan emosi menghantar
seseorang pada kedewasaan pribadi yang bertanggung jawab atas segala sesuatu
yang dilakukan sebagai manusia. Seperti yang diharapkan oleh SpSS, yang tertulis
dalam konstitusi SpSS sebagai berikut:
“…Perkembangan menuju kematangan terjadi, dengan belajar mengenal diri semakin baik, mengembangkan bakat-bakat pribadi secara harmonis, menerima keterbatasan dan mampu mengatasi konflik dan penderitaan. Dengan demikian kita mencapai kebebasan hati yang memungkinkan kita mengambil keputusan yang
19
dapat dipertanggungjawabkan” (Konstitusi SpSS, artikel 503, baris ke 4, hal 106).
C. Pembinaan Masa Yuniorat
Mengenai tarekat hidup bakti Gereja dalam buku Kitab Hukum Kanonik
(Kan 573- art 1) menegaskan sebagai berikut:
Hidup yang dibaktikan dengan pengikraran nasihat-nasihat injili adalah bentuk kehidupan tetap di mana orang beriman, dengan mengikuti Kristus secara lebih dekat atas dorongan Roh Kudus, dipersembahkan secara utuh kepada Allah yang paling dicintai, agar demi kehormatan bagi-Nya dan demi pembangunan Gereja serta keselamatan dunia mereka dilengkapi dengan alasan baru dan khusus mengejar kesempurnaan cintakasih dalam pelayanan Kerajaan Allah, dan sebagai tanda unggul dalam Gereja mewartakan kemuliaan surgawi.
Pada Kanon 659 art 1 dikatakan bahwa:
Dalam masing-masing tarekat, hendaknya pendidikan semua anggota diteruskan sesudah profesi pertama, agar dapat menghayati hidup khas tarekat secara lebih penuh serta untuk dapat melaksanakan perutusan mereka secara lebih baik (Kan 659 art 1)
Bertitik tolak dari Kitab Hukum Kanonik di atas, diharapkan suster yunior
SSpS dapat menemukan dan merasakan suasana rohani dengan meningkatkan
kematangan emosinya dalam mempertanggungjawabkan terhadap tugas studinya.
Konstitusi SSpS tentang yuniorat juga menuliskan:
Yuniorat berlangsung dari kaul pertama sampai kaul kekal. Selama waktu ini, suster mengambil bagian dalam hidup dan perutusan Kongregasi. Selama tahun yuniorat para suster melanjutkan perkembangan dalam iman, kesediaan untuk pengabdian misioner, kesetiaan pada Kongregasi. Mereka diharapkan berkembang dalam tingkat kematangan manusiawi dan religius yang memampukan mereka untuk mengambil keputusan dalam penyerahan diri kepada Kristus lewat kaul kekal (Konstitusi SSpS artikel 528)
20
Pendampingan untuk para yunior diusahakan secara integral dan intensif
untuk membantu mereka dalam meningkatkan kematangan emosi dalam
bertanggung jawab sebagai suster studi dan semakin siap melibatkan diri dalam
tugas perutusan lainnya yang dipercayakan oleh Kongregasi. Dalam mendampingi
para suster yunior hendaknya penuh empati dan integral agar yunior mampu
membina diri dan meleburkan dirinya serta menerima, menghayati kharisma dan
hidup kerohanian kongregasinya, sehingga semakin menjadi religius yang matang
dan dewasa dalam melaksanakan tugas perutusannya dengan penuh dedikasi.
Kondisi kematangan emosi para suster SSpS yang sedang menjalani studi
pada umumnya akan tampak lebih jelas dalam bagaimana para suster tersebut
mengaktualisasikan dirinya dalam kehidupan sehari-hari.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam bab ini dijelaskan desain penelitian, fokus penelitian, subjek
penelitian, dan alat pengumpul data.
A. Desain Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dengan desain fenomenologi.
Menurut Arikunto (2002:12), salah satu dari empat dasar filosofis dari penelitian
kualitatif adalah “fenomenologis” yang berpendapat bahwa kebenaran sesuatu itu
dapat diperoleh dengan cara menangkap fenomena atau gejala yang memancar
dari subjek yang diteliti.
Seperti yang dikutip dalam buku Poerwandari, (2005:24-25)
Secara umum pendekatan kualitatif mencoba menerjemahkan bahwa pandangan-pandangan dasar interpretatif dan fenomenologis antara lain: (1) realitas sosial adalah sesuatu yang subjektif dan diinterpretasikan, bukan sesuatu yang lepas di luar individu-individu: (2) manusia tidak secara sederhana disimpulkan mengikuti hukum-hukum alam di luar diri, melainkan menciptakan rangkaian makna menjalani hidupnya:(3) ilmu didasarkan pada kehidupan sehari-hari, bersifat induktif, idiografis dan tidak bebas nilai, serta (4) penelitian bertujuan untuk memahami kehidupan sosial (Sarantakos, 1993)
Penelitian dengan desain fenomenologi ini dimaksudkan untuk
memperoleh gambaran tentang tingkat kematangan emosi para suster SSpS
yunior yang sedang menjalani masa studi dalam penghayatan hidup membiara dan
22
untuk mengetahui bagaimana mereka melatih diri dalam pengendalian emosi agar
menjadi pribadi yang lebih matang.
Menurut Poerwandari, (2005:36-49) ada beberapa ciri dalam penelitian
dengan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini peneliti menggunakan metode
kualitatif adalah untuk dapat mengungkapkan kompleksitas realitas sosial yang
diteliti bertumpu pada kekuatan narasi untuk memahami kedalaman makna dan
interpretasi terhadap keutuhan fenomena. Dalam pengamatan dan wawancara tak
berstruktur, peneliti tidak memanipulasi tetapi melakukan studi terhadap
fenomena dalam situasi di mana fenomena itu berada dan dilihat dalam konteks
alamiah (‘apa adanya’) serta lebih menekankan pada dinamika dan proses
sehingga akan diperoleh pemahaman menyeluruh dan utuh tentang fenomena
subjek yang diteliti.
B. Fokus Penelitian
Kematangan emosi sangat diperlukan dalam hidup manusia agar dalam
kehidupan bersama orang lain dapat saling menerima, memahami, menghormati,
mendukung satu dengan yang lain. Penelitian ini difokuskan pada kematangan
emosi para suster SSpS yunior dalam memikul tanggungjawab studi mereka serta
implikasinya terhadap program bimbingan dan konseling yang dapat membantu
meningkatkan kematangan emosi para suster SSpS yunior yang studi.
23
C. Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil subjek sebanyak 3 suster SSpS
yunior yang sedang studi. Yang berdomisili di Yogyakarta 1 suster, 2 suster
lainnya di Surabaya. Para suster ini dijadikan subjek penelitian, karena mereka
masih dalam masa formasi yuniorat sebelum memasuki tahap persiapan kaul
kekal. Ketika mengucapkan kaul kekal, mereka harus sudah mantap dan matang
serta terintegrasi dalam hidup membiara sebagai anggota Kongregasi Misi Abdi
Roh Kudus (SSpS) dalam perutusannya. Para suster SSpS yunior yang sedang
studi telah mengucapkan kaul sementara antara kaul ke 3 sampai dengan kaul ke
5. Para suster ini diasumsikan mampu mengungkapkan pengalaman dalam proses
mengelola tingkat kematangan emosi mereka sebagai suster SSpS yunior dalam
tanggung jawab studi.
Secara lebih ringkas ada dua alasan yang mendasari peneliti memilih para
suster SSpS yunior yang sedang studi sebagai subjek penelitian tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Para suster SSpS yunior ini masih termasuk dalam tahap formasi
awal/lanjutan.
2. Peneliti sebagai anggota Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus (SSpS) ikut
ambil bagian dan tanggung jawab dalam meningkatkan mutu pembinaan
para suster dan kesabaran penuh empati dapat membantu serta mendukung
dalam proses melatih kematangan dan keteraturan emosi secara tepat.
24
D. Pengumpulan Data
1. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan metode wawancara. Pewawancara (peneliti
sendiri) berperan sebagai pengatur jalannya wawancara. Keberhasilan metode
ini sangat bergantung pada keluwesan dan kemampuan peneliti saat
mewawancarai responden. Untuk memperlancar tugas ini, peneliti
menggunakan tape recorder untuk merekam wawancara dan buku catatan
untuk mencatat hal-hal yang penting. Wawancara ini dilaksanakan dengan
efektif yaitu dalam waktu yang sesingkat-singkatnya akan diperoleh data
sebanyak-banyaknya (Arikunto 2002:203).
Dalam wawancara ini, peneliti akan meminta responden untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan secara terbuka dan jujur. Peneliti akan berusaha
bersikap sabar dalam mendengarkan, rileks, empatik, menciptakan suasana
yang baik dalam berinteraksi, dan mengemas pertanyaan-pertanyaan dengan
baik agar data yang diperoleh data yang objektif dan dapat dipercaya
(Arikunto 2002:203).
Pertanyaan-pertanyaan dalam wawancara secara lengkap dapat dilihat pada
tabel instrument wawancara sebagai berikut:
Tabel Instrumen Wawancara
Kode Aspek Wawancara Panduan Pertanyaan
A Pemahaman diri (fokus pada emosi)
1. Apakah anda menyadari bahwa perasaan yang muncul dalam diri anda merupakan bagian dari diri anda yang harus dikelola?
2. Apakah anda dapat membedakan berbagai macam emosi yang muncul?
25
3. Apakah anda menyadari emosi sebagai sinyal rasa aman?
4. Apakah anda mengetahui penyebab mengapa emosi-emosi tersebut muncul?
B Kemampuan mengolah emosi
1. Bagaimana anda meyikapi emosi yang muncul atas berbagai peristiwa baik yang positif maupun negatif?
2. Bagaimana reaksi emosi spontan anda jika tiba-tiba pemimpin bertanya hal yang tidak anda lakukan dengan nada yang agak keras?
3. Bagaimana anda mampu menemukan penyebab emosi yang muncul ketika ada suatu peraturan baru muncul yang harus ditaati?
4. Bagaimana anda melatih emosi agar lebih teratur dalam hidup anda?
5. Bagaimana anda dapat mengecek logis tidaknya reaksi emosi yang muncul?
6. Dalam masa studi mengapa sering muncul perasaan jenuh, kesal, capek, jengkel, dan lain-lain? Dan bagaimana cara menyikapi itu semua?
7. Bagaimana anda membangun sikap yang bebas dengan menumbuhkan keberanian untuk mengambil jarak dan merasakan emosi apa saja tanpa bereaksi dan lebih berpegang pada pikiran yang jernih?
8. Bagaimana anda mengambil posisi sebagai pengendali emosi yang bijaksana?
C Kemampuan menentukan pilihan sikap/tindakan secara bertanggung jawab
1. Apa akibat/konsekuensi dari mengikuti reaksi emosi anda yang sedang bergejolak?
2. Apa manfaat dari kemampuan anda untuk mengendalikan emosi?
3. Bagaimana anda dapat menentukan pilihan sikap secara bertanggung jawab?
D Pemahaman terhadap orang lain (apa yang dirasakan orang lain)
1. Sejauhmana anda mampu mengerti dan me mahami perasaan orang lain, apabila sedang mengalami emosi tinggi (marah-marah, kecewa atau gembira, tertawa?)
2. Apakah anda mudah hanyut dalam perasaan orang lain saat anda mendengarkan keluhan/curhat lawan bicara anda?
3. Apakah anda memberikan perhatian dengan
26
sungguh-sungguh sewaktu orang lain berbicara sehingga anda mampu untuk memahami apa yang ia rasakan?
4. Dengan cara bagaimana anda menunjukkan sikap empatik terhadap orang lain?
E Kemampuan memberikan tanggapan yang tepat terhadap orang lain
1. Bagaimana anda menjalin relasi dengan orang lain baik sejenis maupun lawan jenis?
2. Bagaimana anda memposisikan diri dalam berelasi dengan orang lain dengan berbagai macam karakter/keadaan?
3. Dalam pembicaraan dengan orang lain bagaimana anda bersikap? Apakah anda lebih ingin didengarkan atau mendengarkan?
4. Bagaimana usaha anda untuk menguasai emosi sewaktu anda mendengarkan orang lain bermasalah/curhat?
5. Bagaimana usaha anda untuk meningkatkan kemampuan anda dalam memberikan tanggapan terhadap yang bermasalah atau yang memiliki beraneka karakter?
2. Format
Dalam wawancara peneliti menggunakan pertanyaan tidak berstruktur atau
terbuka atau bebas. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu memberi kebebasan kepada
responden dalam menjawabnya atau mengemukakan pendapatnya. (Masidjo,
1995:75).
Keberhasilan dalam mendapatkan data atau informasi dari subjek sangat
bergantung pada kemampuan peneliti dalam melakukan wawancara (Sarwono,
2006:224).
27
3.Tahap penelitian
Tahap-tahap dalam penelitian ini terdiri dari dua tahap, yaitu tahap pra
lapangan dan tahap pekerjaan lapangan (Moleong, 2006:127-148).
a. Tahap pra-lapangan
Tahap ini meliputi:
1). Menyusun rancangan penelitian dan melakukan pendekatan dengan subjek
yang
akan diteliti maupun sumber lain, menginformasikan topik penelitian,
membuat daftar pertanyaan, menentukan waktu dan wawancara untuk
penelitian.
2). Memilih lapangan penelitian, peneliti memilih dua komunitas yaitu 1
komunitas di Yogyakarta dan 1 komunitas berada di Surabaya.
3). Mengurus perizinan, peneliti meminta izin kepada pemimpin komunitas
baik secara langsung maupun melalui telepon untuk mengadakan
wawancara dengan subjek, pemimpin komunitas dan teman dekat subjek.
4). Menjajaki dan menilai lapangan, peneliti tinggal bersama di komunitas
tempat subjek tinggal untuk menyesuaikan diri dengan jadwal dan
kegiatan subjek serta sumber lain.
5). Memilih dan memanfaatkan informan, informan atau sumber lain adalah
orang yang dapat memberikan informasi mengenai situasi dan kondisi
subjek penelitian. Mereka adalah suster yang mendampingi atau pemimpin
komunitas subjek dan teman dekat di mana subjek yang diteliti tinggal.
28
6). Menyiapkan perlengkapan penelitian, peneliti menyiapkan perlengkapan
yang akan digunakan dalam proses penelitian antara lain: tape recorder
dan kaset kosong untuk merekam wawancara, buku catatan dan alat tulis
serta rencana biaya penelitian.
7). Persoalan etika penelitian, peneliti tetap akan menjaga rahasia berkenaan
dengan hasil wawancara, menjalin relasi dengan baik, menghargai dan
menghormati sebagai pribadi.
b. Tahap pekerjaan lapangan
Tahap ini dilakukan pada saat peneliti mengumpulkan data penelitian
berlangsung. Peneliti mewawancarai tiga suster SSpS yunior sebagai subjek
penelitian dan beberapa sumber lain yang telah mengenal subjek. Mereka
tinggal di dua komunitas yaitu satu di komunitas Yogyakarta dan dua tinggal
di komunitas Surabaya. Penelitian dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu: tahap
I pada hari Senin, 8 Pebruari 2010 sampai dengan Kamis,11 Pebruari 2010.
Tahap II Senin, 15 Pebruari 2010 sampai dengan Selasa, 16 Pebruari 2010.
dan Tahap III pada hari Jum’at 19 Pebruari 2010.
4. Cara mengolah jawaban
Keakuratan hasil wawancara tergantung pada peran dan kemampuan
pewawancara untuk memperoleh jawaban yang dibutuhkan, dan bagaimana
menafsirkan setiap jawaban dari responden. Untuk itu menurut Masidjo
(1995:74) dibutuhkan sifat-sifat tertentu dari pewawancara yang merupakan
kualifikasi sifat pribadinya. Sifat-sifat pribadi yang dimaksud antara lain: sifat
29
jujur, akurat, penuh minat, dan adaptif. Untuk itu, pewawancara perlu memiliki
sifat periang dalam situasi apa saja, juga humoris.
5. Pertanggungjawaban mutu alat penelitian
a. Pemeriksaan Validitas alat penelitian
1) Konsep Validitas alat penelitian
Oleh beberapa ahli, seperti yang dikutip oleh Poerwandari
(2005:181) dalam buku Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku
Manusia, istilah yang pertama dan yang paling sering digunakan dalam
penelitian kualitatif adalah “kredibilitas”. Kredibilitas menjadi istilah
yang paling banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas,
dimaksudkan untuk merangkum bahasan menyangkut kualitas penelitian
kualitatif.
Kredibilitas alat penelitian dalam penelitian ini didasarkan pada
konsultasi dengan ahli, yaitu dengan dua dosen pembimbing skripsi ini
dan Pater Thobias Muda Kraeng SVD
2) Pengukuran Validitas hasil penelitian
Untuk mengetahui validitas alat dalam penelitian kualitatif dapat
dilakukan dengan beberapa cara, menurut Stangl (1980) dan Sarantakos
(1993) antara lain “validitas kumulatif” dicapai bila temuan dari studi-
studi lain mengenai topik yang sama menunjukkan hasil yang kurang
lebih serupa. “Validitas komunikatif” dicapai melalui
dikomfirmasikannya kembali data dan analisisnya pada subjek
30
penelitian. “Validitas argumentatif” tercapai bila presentasi temuan dan
kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalisasinya, serta dapat
dibuktikan dengan melihat kembali ke data mentah. “Validitas ekologi”
menunjuk pada sejauh mana studi dilakukan pada kondisi alamiah dari
subjek yang diteliti, sehingga justru kondisi ‘apa adanya’ dan kehidupan
sehari-hari menjadi konteks penting penelitian Poerwandari (2005:182)
b. Triangulasi
Yang dimaksud dengan triangulasi adalah suatu cara untuk
mengetahui hasil yang lebih akurat dari nara sumber, antara lain:
triangulasi teknik, sumber data, dan waktu. Triangulasi teknik
dilakukan dengan cara menanyakan hal yang sama dengan teknik
berbeda, yaitu dengan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Hasil
observasi dengan tiga subjek antara lain : subjek ke I menampakkan
perilaku yang menunjukkan keramahan, kreatif, terbuka, rela menolong
dan sabar. Subjek ke II terbuka, ramah, sabar, peka, kreatif dan rela
menolong. Demikianpun subjek ke III ia menunjukkan sikap ramah,
peka, sabar, jujur, berinisiatif dan rela berkorban serta berusaha
mendengarkan dengan hati. Triangulasi sumber dilakukan dengan cara
menanyakan hal yang sama melalui sumber yang berbeda. Triangulasi
waktu artinya pengumpulan data dilakukan pada berbagai kesempatan,
pagi, siang, dan sore hari (Sugiyono, 2008:209). Begitupun pendapat
Bungin (2008:152) untuk menguji keakuratan data digunakan
triangulasi metode pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara tak
31
berstruktur, dokumentasi, interpretasi dokumen sejarah oral dan pribadi,
introspeksi dan refleksi diri.
6. Teknik Analisis Data
Untuk menjawab masalah penelitian “Bagaimana kematangan emosi para
suster yunior dalam menghadapi/menjalani tanggung jawab studi sebagai
suster SSpS?” dan “Program bimbingan dan konseling mana yang diharapkan
dapat membantu meningkatkan kematangan emosi melalui tanggung jawab
studi sebagai suster SSpS?” ditempuh beberapa langkah menurut Poerwandari
(2005:150-154) sebagai berikut:
a. Kodifikasi
Koding dimaksudkan untuk dapat mengorganisasikan dan
mensistemisasikan data secara lengkap dan detil sehingga data dapat
memunculkan gambaran tentang topik yang dipelajari.
b. Klasifikasi
Klasifikasi merupakan proses pengelompokan informasi, yang dapat
menghasilkan daftar tema, model tema, atau indikator yang kompleks,
kualifikasi yang biasanya terkait dengan tema itu, dan hal-hal di antara atau
gabungan dari yang telah disebutkan, Boyatzis (1998).
c. Penafsiran/Interpretasi
Dalam konteks intepretasi pemahaman diri terjadi bila peneliti berusaha
memformulasikan dalam bentuk lebih padat apa yang oleh subjek penelitian
sendiri pahami sebagai makna. Dengan kata lain interpretasi mengacu pada
upaya memahami data secara lebih ekstensif dan mendalam.
32
d. Kesimpulan
Kesimpulan atau dugaan sementara. Kesimpulan yang berkembang tersebut
harus terus dipertajam dan diuji ketepatannya.
Menurut Poerwandari (2005:194-195), hal-hal praktis yang dapat dilakukan
agar deskripsi lebih akurat maka perlu memperhatikan langkah-langkah berikut
ini:
1. Mencatat hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan
objektif terhadap setting, partisipan maupun hal lain yang terkait.
2. Mendokumentasikan secara rapi dan lengkap data yang terkumpul, proses
pengumpulan data maupun strategi analisisnya.
3. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti
sebelumnya sebagai masukan dan menjamin pengumpulan data yang
berkualitas untuk penelitiannya sendiri.
4. Menyertakan patner sebagai pengkritik yang memberikan saran dan
pembelaan dengan pertanyaan kritis terhadap analisis yang dilakukan
peneliti.
5. Melakukan upaya konstan untuk menemukan kasus-kasus negatif dan
melakukan pengecekan kembali data, dengan menguji kemungkinan dugaan
yang berbeda, pengecekan data dengan mengaplikasikannya pada data dan
mengajukan pertanyaan tentang data.
33
Partner yang akan membantu dalam memberikan kritikan dan saran serta
pembelaan terhadap analisis dalam penelitian ini adalah Tm,dan An (nama
samaran).
34
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan tiga (3) subjek dan
sumber lain dalam penelitian, diperoleh hasil tentang kematangan emosi para
suster SSpS yunior yang sedang menjalani tugas studi. Berdasarkan analisis atas
data yang diperoleh dalam penelitian tersebut, maka berikut ini akan dipaparkan
hasil penelitian dan pembahasaannya.
Mengingat hasil wawancara yang menjadi inti masukan penelitian ini
disajikan dalam bentuk tabel dan lebih dari satu halaman (5 halaman), maka untuk
alasan praktis peneliti meletakkan hasil wawancara pada lampiran 2 dan hasil
penelitian tersebut pada lampiran 3, sedangkan pembahasannya diuraikan pada
halaman selanjutnya.
Ketiga subjek dalam penelitian ini menunjukkan adanya ciri-ciri
kematangan emosi, sebagai berikut: terbuka dan jujur, mereka mampu berbicara
secara terbuka, jujur, mengakui dan menerima peristiwa yang terjadi dalam
dirinya serta mau belajar dari yang lain. Begitupun dengan sikap peka, berinisiatif,
dan kreatif dalam berbagi pengalaman hal ini juga bisa dilihat dalam kehidupan
sehari-hari baik di komunitas maupun di kampus. Dalam pergaulan dan dalam
berelasi dengan sesama menunjukkan sikap sopan, ramah dan rendah hati serta
dapat memahami, mengerti terhadap sesama terlebih mereka yang sedang
menghadapi masalah. Hal tersebut di atas dapat mereka jalani berkat keterbukaan
35
mereka dalam berelasi dengan Tuhan lewat doa, refleksi dan meditasi. Meskipun
demikian mereka menyadari masih perlunya bimbingan dan dukungan untuk lebih
dapat meningkatkan nilai-nilai positif dalam diri mereka sehingga hidup ini
semakin bermakna.
36
B. Pembahasan
Berikut ini dipaparkan pembahasan atas hasil penelitian ditinjau dari lima
aspek.
a. Pemahaman diri
Pemahaman diri yang difokuskan pada emosi yang dialami oleh ketiga
subjek hampir serupa satu dengan yang lain, yaitu mereka menyadari pentingnya
mengolah emosi yang ada dalam diri, sadar, merefleksikan, “eling” dan peka
karena hal tersebut merupakan bagian integral dari diri. Mereka mengenali emosi
sebagai perasaan yang muncul karena ada sesuatu yang terjadi. Mereka bisa
membedakan emosi yang muncul berdasarkan stimulusnya, salah satunya yaitu
perasaan terharu/ tersentuh. Disadari pula bahwa emosi merupakan sinyal rasa
aman dalam diri yang harus disadari dan dipahami asal-usulnya sehingga tahu
bagaimana menyikapinya, tidak langsung diikuti melainkan undur diri, bertanya
dalam diri “kenapa reaksiku seperti itu?” Masing-masing subjek menyadari bahwa
mereka butuh waktu untuk berproses.
Dalam memahami emosi yang muncul dalam diri ketiga subjek nampak
sudah cukup memiliki kemampuan yang memadai. Hal ini mungkin disebabkan
karena mereka telah terbiasa untuk meneliti diri, bermeditasi, dan lain-lain di
komunitasnya.
Meskipun demikian, hal yang perlu mendapat perhatian di sini adalah
semakin meningkatkan kesadaran pentingnya mengolah emosi dan memberi
waktu khusus untuk berefleksi.
37
b. Kemampuan mengolah emosi
Dalam menyikapi emosi yang muncul atas berbagai peristiwa, ketiga
subjek mencoba untuk diam, undur diri, ”menikmati”/merasakan, dan mencari
penyebab kemunculan emosi tersebut. Mereka juga mencoba mengontrol dan
men-sharing-kan perasaannya kepada orang lain. Terhadap emosi spontan yang
muncul, salah satu subjek merasa perlu untuk diam mendengarkan. Ia pada
mulanya merasa terkejut dan takut jika berada di dekat pimpinan, karena adanya
pengalaman trauma masa lalu, namun ia sekarang sudah mulai berubah, sehingga
perasaan tersebut mulai berkurang. Satu subjek yang lain ketika berhadapan
dengan pimpinan, baru dapat meng-komunikasikan isi hatinya secara terbuka
setelah menenangkan diri. Subjek yang lain diam mendengarkan orang lain
berbicara sampai selesai, sesudah itu baru mengklarifikasikan dalam suasana hati
yang tenang.
Mereka juga mampu menemukan penyebab emosi yang muncul ketika
ada suatu aturan baru yang harus ditaati, walaupun pada mulanya menggerutu,
jengkel, tetapi setelah hening dan berefleksi, akhirnya muncul perasaan bebas
untuk mengungkapkan apa yang perlu disampaikan tanpa disertai emosi yang
negatif. Masing-masing subjek mencoba mengolah emosi secara teratur dengan
melakukan latihan yang bervariasi sesuai dengan gaya masing-masing, misalnya:
mengambil waktu untuk berdiam diri sendirian, melakukan introspeksi dan
refleksi, menulis jurnal, berwawan hati dengan Tuhan yang memberi kekuatan,
melakukan doa pribadi, berdialog dengan diri sendiri, dan berinisiatif untuk
meminta klarifikasi kepada pihak yang terkait dengan segala resiko yang harus
38
diterima. Mereka sadar bahwa masing-masing orang itu unik, merasa bebas dan
merasa semakin berharga, ada niat kuat untuk terus berefleksi dan berproses untuk
lebih melihat ke dalam diri sendiri daripada melihat orang lain. Untuk dapat
mengecek logis tidaknya reaksi emosi yang muncul mereka mengundurkan diri
untuk melihat persoalan secara lebih jernih, mengambil jarak terhadap perasaan
yang muncul supaya bisa memberikan tanggapan secara objektif, melakukan
dialog antara pikiran dan perasaan sehingga tidak mudah tersinggung lagi. Ketika
dalam menjalani studi muncul rasa jenuh, capek, dan jengkel, salah satu subjek
mengalami dan merasakan hal tersebut disebabkan oleh kurangnya kemampuan
untuk memotivasi diri, walaupun ia memiliki kemauan dan komitmen untuk tekun
dalam menjalankan tugas studi yang dipercayakan kepadanya. Salah satu subjek
yang lain merasa terganggu oleh pembicaraan teman-teman di kampus tentang
suster-suster lain yang kurang menunjukkan sikap serius dalam menjalani studi,
maka ia berusaha untuk menetralkan perasaannya dengan cara berwawan hati
dengan Tuhan lalu mensyeringkan dengan pembimbing. Selain itu, ia
mengalihkan emosinya dengan bermain gitar atau organ. Satu subjek yang lain
lagi, tidak merasa bosan dan tidak malas dalam menjalani studi karena ada rasa
ingin tahu yang tinggi akan pengetahuan yang baru, sehingga ia tetap bersemangat
dalam belajar. Ia selalu berusaha kembali melihat motivasi awal dan mau
meluangkan waktu untuk duduk diam dan berefleksi.
Dalam perjalanan hidup selanjutnya, mereka juga berusaha membangun
sikap bebas dengan menumbuhkan keberanian mengambil jarak untuk berefleksi,
berani menerima realitas diri dan sesama. Setiap pribadi berbeda dan dinamis,
39
dengan demikian mereka mampu menyesuaikan diri dan fleksibel. Mereka dapat
mengambil peran sebagai pengendali emosi yang bijaksana dengan penuh
kesadaran, refleksi, dialog dan berusaha untuk tidak menuruti emosi sesaat dan
menjadi pribadi yang netral.
Dalam hal pengolahan emosi ketiga subjek telah menunjukkan kemampuan
atau kematangan yang cukup tinggi karena telah mampu mengolah emosi yang
muncul, tidak langsung mengikutinya. Hal ini kemungkinan disebabkan karena
ketiga subjek telah terbiasa untuk melakukan refleksi atas pengalaman-
pengalaman yang mereka alami.
Akan tetapi mereka masih perlu terus-menerus mengupayakan cara yang
lebih baik untuk dapat mengolah dengan lebih serius dan tekun.
c. Kemampuan menentukan pilihan sikap
Ketiga subjek pada awalnya masih cenderung menuruti emosi yang sedang
bergejolak, sehingga mereka kadangkala merasa terluka, menyesal, gelisah,
tertekan, badan terasa sangat lelah/sakit dan kepala pusing. Oleh karena itu
mereka memandang penting untuk melakukan refleksi agar dapat menemukan
hal-hal positif, dan berani terbuka untuk mengkomunikasikan peristiwa yang
terjadi dengan orang yang bersangkutan demi pembebasan batin. Mereka merasa
lega sesudah mengungkapkan sesuatu yang mengganjal dalam diri mereka. Hal ini
mereka pandang penting sekali untuk diri sendiri dan hidup bersama dalam
komunitas. Kesibukan di kampus sering menimbulkan kesadaran akan pentingnya
kebersamaan dalam komunitas. Mereka juga merasakan adanya persaudaraan dan
40
saling memahami di dalam komunitas sehingga ketika mendapat kritikan dari
sesama, mereka bisa menerima dengan tenang. Subjek juga menyadari bahwa
penentuan pilihan sikap merupakan suatu hal yang penting karena menyangkut
orang lain dan demi orang lain. Untuk itu mereka merasa butuh suatu keberanian
keluar dari diri sendiri dan terbuka terhadap masukan-masukan orang lain guna
menambah wawasan, mengembangkan kualitas kepribadian dan kesetiaan
menjalin relasi dengan Tuhan yang adalah sumber kekuatannya.
Dalam menentukan pilihan sikap/tindakan, ketiga subjek telah menunjukkan
kemampuan yang cukup memadai karena mereka bisa mengambil keputusan
tanpa dipengaruhi oleh emosi yang muncul. Hal ini dapat dimengerti, karena
mereka selama menjadi suster telah dilatih untuk mengambil jarak terhadap
emosi, pikiran, atau keinginan yang muncul secara spontan, dan lebih mengikuti
dorongan nurani yang jernih.
Meskipun mereka sudah matang, namun mereka masih perlu untuk terus-
menerus belajar dengan rendah hati dan terbuka, sehingga semakin peka terhadap
suara hati untuk menentukan pilihan sikap dalam hidup berkomnitas.
d. Pemahaman terhadap orang lain
Ketika sedang mengalami emosi yang tinggi, salah satu subjek berusaha
untuk dapat memahami dan mengerti serta peka terhadap bahasa non verbal orang
lain. Subjek yang lain dapat menempatkan diri pada posisi orang lain, berefleksi
dan bersikap empati. Mereka juga tidak mudah hanyut dalam perasaan orang lain
yang sedang mencurahkan isi hatinya. Meskipun muncul rasa iba, prihatin ia
41
berusaha untuk mendengarkan dengan hati dan memberi semangat pada teman.
Mereka menunjukkan sikap empati terhadap orang lain dengan sapaan, senyuman,
anggukan, memberi perhatian dan semangat, mendekati secara pribadi dengan
ramah dan berbagi pengalaman hidup yang meneguhkan dan membahagiakan.
Ketiga subjek dalam hal ini sudah cukup matang dalam memahami
perasaan orang lain, sehingga dalam kehidupan sehari-hari mereka juga mampu
membagikan pengalaman hidupnya pada sesama dan saling meneguhkan. Hal ini
kemungkinan disebabkan atau dilatarbelakangi oleh kebiasaan mereka melatih diri
bersikap ramah dan perhatian pada sesamanya.
e. Kemampuan memberikan tanggapan yang tepat terhadap orang lain
Ketiga subjek sangat terbuka dalam menjalin relasi dengan sesamanya.
Mereka berelasi dengan siapa saja tanpa membeda-bedakan dan bisa
menyesuaikan diri. Ketika berelasi dengan orang lain, subjek mempunyai prinsip
bahwa semua manusia itu unik. Dalam hal ini mereka telah mampu menghargai
keunikan orang lain, bisa berbaur dan akrab bergaul, meskipun ada rasa segan
dengan orang yang memiliki jabatan. Kadang-kadang mereka ingin juga
didengarkan tetapi mereka juga berusaha mendengarkan dan masuk ke dalam
pengalaman orang lain dengan tenang. Apabila apa yang disampaikan oleh orang
lain kurang jelas, subjek menanyakan kembali dengan santun dan terfokus.
Dalam upaya meningkatkan kemampuan untuk memberikan tanggapan
terhadap orang lain yang bermasalah, mereka hadir untuk mendengarkan dengan
penuh kesabaran, namun tetap sadar akan keterbatasan kemampuannya dalam
42
membantu orang lain. Dalam memberikan bantuan kepada orang lain subjek tidak
segan-segan meminta bantuan orang lain yang kompeten untuk memberi petunjuk
atau jalan keluar dari kesulitan. Hal ini sekaligus sebagai pengontrol kerendahan
hati dan rasa tanggung jawabnya. Dengan itu mereka semakin berani
mensyeringkan pengalaman secara terbuka, melatih kepekaan dan semakin
termotivasi menambah wawasan pengetahuan dengan banyak membaca.
Hal yang menonjol dari ketiga subjek adalah mereka itu orang-orang yang
reflektif, tekun dalam doa, bersedia belajar dari orang lain dan tahu menempatkan
diri, tidak malu untuk bertanya, jujur, terbuka menjalin relasi yang baik serta
berani menanggung resiko, serius dalam panggilan, dan melakukan disermen yang
serius dalam mengambil keputusan dan tindakan.
Dapat disimpulkan bahwa pada aspek ini ketiga subjek sudah cukup matang.
Mereka telah cukup matang dalam hal ini kerena mereka berusaha setia melatih
diri dan terbuka untuk menerima masukan dari sesamanya. Namun mereka masih
perlu terus-menerus untuk melatih diri mengolah emosi dengan tekun dan sabar.
Oleh karena itu mereka perlu mengembangkan dan meningkatkan kualitas
diri dan hidup serta banyak belajar untuk semakin memantapkan motivasi
panggilan hidup membiara sesuai dengan konstitusi kongregasi SSpS artikel 528:
“…mereka harus mencapai tingkat kematangan manusiawi dan religius…” dan
artikel 119: “…secara tetap kita berusaha untuk tumbuh dan menjadi matang
dalam cinta ini sehingga kita menjadi segala-galanya untuk semua orang” (bdk.
IKor 9:22).
43
Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa ketiga subjek telah
memiliki kematangan dalam mengolah emosi karena mereka selalu refleksi diri,
koreksi diri, terbuka, setia dan tekun dalam doa, sehingga akan semakin merasa
bebas menentukan pilihan untuk mengembangkan kualitas diri secara sadar dan
bertanggungjawab, tidak begitu saja terbawa atau tenggelam dalam arus emosi
spontan yang kadang-kadang muncul.
Dalam buku Ki Ageng Suryomentaraman (Adimassana, 2001:95,99)
tertulis bahwa:
“Kesempurnaan hidup dan kebahagiaan sejati hanya dapat dicapai jika orang memiliki jiwa yang telah bebas merdeka. Dan bagi orang yang jiwanya bebas kalau toh mesti marah, ia akan marah dengan tenang dan marah dengan kesadaran”.
Benar juga apa yang dikatakan Arnoldus Janssen dalam suratnya
tertanggal 20-11-1902 dan 08-09-1901, (Konstitusi SSpS hal 104):…”Kita
mencapai kesempurnaan melalui penyerahan total kepada Allah dan melalui
pemeliharaan hidup rohani. Semakin jiwa manusia maju di jalan kesempurnaan,
semakin ia mengalami terang dalam dirinya”
Mengingat tingkat kematangan ketiga subjek masih belum betul-betul
mantab, maka mereka masih perlu meningkatkan diri dalam aspek-aspek tertentu,
antara lain: kematangan psiko-spiritual untuk mencapai kepribadian yang utuh.
Secara konkrit untuk meningkatkan aspek-aspek tersebut diusulkan program
bimbingan seperti tertulis pada bagian berikut ini.
44
C. Usulan Topik-topik Pendampingan yang dapat Membantu Meningkatkan
Kematangan Emosi Para Suster SSpS Yunior yang Sedang Menjalani
Studi.
Berdasarkan hasil penelitian terhadap ketiga suster SSpS yunior ini, ada
beberapa hal yang masih perlu diperhatikan secara khusus untuk meningkatkan
kematangan emosi mereka.
Berdasarkan pengalaman mereka, masih ditemukan adanya hal-hal yang
membuat mereka terpancing oleh reaksi emosi spontan karena ulah atau emosi
orang lain, seperti cepat tersinggung dan reaktif, meskipun kadarnya rendah.
Apabila hal ini tidak diberi perhatian secara serius mereka akan mengalami
kesulitan dalam berelasi dengan orang lain dan dengan Tuhan serta mempersulit
dirinya dalam mengambil keputusan secara bijaksana.
Dari pengalaman ketiga subjek tersebut dapatlah dikatakan bahwa mereka
menanggapi sangat positif perihal pentingnya mengolah emosi, agar kematangan
emosi masing-masing pribadi semakin nampak jelas dalam perjalanan panggilan
hidup religiusnya.
Untuk itu peneliti mengusulkan beberapa program bimbingan dan
konseling yang dapat membantu meningkatkan kematangan emosi para suster
SSpS sebagai berikut:
a. Pelatihan tentang peningkatan kematangan emosi dalam konteks visi, misi
dan spiritualitas Kongregasi. Dengan pelatihan ini para suster diharapkan
dapat semakin mampu meningkatkan kematangan emosinya dalam
kehidupan sehari-hari, baik dalam komunitas maupun di luar komunitas.
45
Peningkatan kematangan emosi tersebut membutuhkan suatu proses
pendampingan dengan kesabaran, ketekunan, kesetiaan dan berani
mengalami pergulatan batin yang sangat melelahkan. Diharapkan mereka
dapat tumbuh menjadi pribadi yang matang dan yang mampu menerima
kenyataan dalam hidupnya serta dapat mengelola emosinya dengan baik,
sehingga bisa menyikapi segala sesuatu dengan tenang, sabar dan penuh
pengertian karena batin mereka telah bebas dari emosi yang muncul secara
spontan. Kematangan emosi tersebut akan dapat dilihat dari cara mereka
menyampaikan sesuatu seperti misalnya: dengan lembut, tutur kata dan
nada yang halus serta penuh perhatian.
b. Pelatihan tentang manajemen emosi selama menjalani studi. Dalam
kehidupan sehari-hari, entah hidup pribadi atau hidup bersama dalam
komunitas maupun hidup dalam masyarakat, seseorang dapat saja
mengalami gejolak emosi yang tidak teratur/konflik batin. Gejolak emosi
ini kalau tidak dikelola dengan baik akan menggerogoti seluruh dinamika
kehidupan kita. Oleh karena itu pentinglah kiranya jika para suster yunior
melatih diri terus-menerus untuk meningkatkan sensitivitas dalam diri
guna menentukan pilihan yang tepat dan sesuai dengan kemampuan
pribadi serta tidak menyimpang dari harapan kongregasi. Menjadi religius
SSpS harus memiliki visi dan misi yang jelas sesuai dengan kharisma dan
spiritualitas pendiri dan kopendiri, sehingga tidak mudah diombang-
ambingkan oleh emosi-emosi yang muncul dan oleh arus dunia yang selalu
berubah-ubah. Untuk dapat mencapai tujuan ini, seseorang perlu memiliki
46
komitmen yang kuat. Komitmen ini perlu diperjuangkan dan diwujudkan
dalam hidup keseharian untuk semakin memurnikan motivasi, sehingga
semakin berani menentukan pilihan seturut kehendak Allah.
c. Pelatihan tentang menjadi pribadi yang bebas dan dewasa secara holistik.
Untuk dapat melaksanakan tugas studi dengan baik dan berhasil dibutuhkan
keseriusan dan rasa tanggung jawab, keterbukaan hati dan kesadaran.
Yang dimaksudkan dengan keterbukaan hati dan kesadaran di sini adalah
kemampuan menerima teguran, masukan dari pemimpin maupun sesama
bahwa tugas studi ini merupakan tugas perutusan, bukan keinginan tiap
pribadi. Untuk itu para suster yunior harus juga memiliki kesadaran bahwa
tugas studi mestinya dijalankan dengan serius dan bertanggung jawab.
Oleh karena itu kebiasaan menulis jurnal harian perlu dikembangkan
secara terus-menerus setiap hari. Segala peristiwa dapat dieskpresikan
lewat tulisan maupun gambar dalam buku jurnal pribadi. Latihan terus-
menerus ini, lama-kelamaan akan menjadi suatu kebiasaan atau pola
hidup pribadi, sehingga tidak asing lagi untuk menulis buku jurnal. Jurnal
harian yang ditulis dengan tekun akan sangat membantu suster-suster
yunior yang studi untuk lebih peka pada situasi emosi dan gerak batin yang
muncul dalam batin mereka, sehingga dapat dikelola selaras dengan
kehendak Tuhan. Selain itu, para suster yunior perlu mengadiri perayaan
ekaristi setiap hari untuk menimba kekuatan dari sang pusat kehidupan
yaitu Tuhan sendiri. Hal ini didukung pula oleh kebiasaan mengadakan
rekoleksi secara rutin entah bulanan atau khalwat tahunan dengan penuh
47
kesadaran dan juga melaksanakan pengakuan dosa secara rutin agar
semakin menjernihkan motivasi panggilan hidup membiara. Kegiatan-
kegiatan tersebut di 0atas dijalankan bukan sekedar memenuhi aturan
tetapi karena kebutuhan untuk meningkatkan kematangan pribadi.
48
Usulan: Topik-topik Pendampingan yang dapat Membantu Meningkatkan Kematangan Emosi Para Suster SSpS Yunior yang Sedang Menjalani Studi No
Topik Tujuan Materi Bentuk Kegiatan Pelatihan
Nara Sumber Pelaksanaan
1. Peningkatan kematangan emosi dalam konteks visi, misi dan spiritualitas Kongregasi
Peserta mampu mengembangkan hidupnya dalam kebebasan batin
- Mendalami kematangan emosi
Workshop Rekoleksi
• Pater Tobhias Muda Kraeng SVD
• Pater Sigit Pawanta SVD
Desember 2010
2. Manajemen emosi selama menjalani studi
Peserta mampu mengelola emosi dengan baik, sehingga dapat membangun relasi personal dengan Allah dan membagi hidup dengan sesama
- Mengelola hidup dengan hati
Workshop Rekoleksi
• Pater Tobhias Muda
Kraeng SVD
Agustus 2011
3. Menjadi pribadi yang bebas dan dewasa secara holistik
Peserta mampu menerima kelebihan dan kekurangan serta semakin bertumbuh dan berkembang dalam kebebasan batin
- Jadual harian - Jurnal
Workshop Rekoleksi
• Sr. Ines Setiono SSpS
• Sr. Ernestildis SSpS
Desember 2011
49
BAB V
PENUTUP
Pada bagian akhir skripsi ini akan dikemukakan mengenai kesimpulan dan
saran.
A. Kesimpulan
Perkembangan zaman yang semakin pesat mulai dari teknologi alat-alat
canggih, mode sampai dengan makanan yang cepat saji menimbulkan begitu
banyak tawaran duniawi yang menggiurkan. Dalam kehidupan sehari-hari mau
tidak mau orang dihadapkan pada banyaknya pilihan tersebut. Gaya hidup zaman
sekarang sangat mempengaruhi watak dan pola hidup kaum muda. Generasi
penerus zaman sekarang dapat digambarkan sebagai generasi instant yang ingin
cepat-cepat menerima hasil tanpa harus berusaha. Tuntutan zaman dan kemajuan
teknologi yang begitu pesat sangat mempengaruhi kehidupan kaum religius saat
ini. Melihat gejala yang demikian merebak dikalangan generasi muda, maka
bimbingan dan konseling dirasa sangat dibutuhkan dengan membuat program-
progam yang sesuai dan dapat mengimbangi kebutuhan orang. Bimbingan dan
konseling bertujuan agar mereka memiliki kepribadian yang utuh dan integral
untuk menghadapi berbagai macam tawaran yang menggiurkan dengan segala
macam pengaruhnya dalam kehidupan.
Melalui skripsi ini penulis menawarkan program pembinaan bimbingan
dan konseling untuk meningkatkan kematangan emosi bagi semua anggota
Kongregasi, khususnya untuk para generasi muda. Melalui pembinaan bimbingan
50
dan konseling ini diharapkan dapat membantu para suster yunior untuk semakin
berani membuka diri dan siap sedia menerima perutusan misi di manapun
dibutuhkan seturut kehendak Allah melalui Kongregasi.
Dalam pendampingan para suster yunior, para pendamping dan pemimpin
komunitas diharapkan profesional dalam melaksanakan pendampingan.
Kematangan emosi, kedalaman hidup rohani dan keteladanan hidup sangat
mereka butuhkan. Mengingat bahwa keteladanan hidup dari pendamping dan
pemimpin komunitas secara tidak langsung dapat mempengaruhi subjek yang
didampingi. Karenannya konsistensi dalam pendampingan hendaknya dimiliki
oleh pendamping dan pemimpin komunitas maupun suster yang berkaul kekal
sebagai upaya memberikan keteladanan dalam hidup sehari-hari secara
berkualitas.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta melihat realita yang
ada dalam formasi SSpS khususnya Provinsi Maria Bunda Allah – Jawa, dapat
disimpulkan kurangnya keteladanan hidup yang menunjukkan kematangan emosi
dan kedalaman hidup rohani sebagai religius. Oleh sebab itu para suster yunior
kadang merasa bingung dan mudah terpancing emosi. Namun demikian, melalui
penelitian ini, peneliti dapat menemukan dari ketiga subjek bahwa mereka
nampak sudah matang dalam emosi meskipun masih perlu berproses terus-
menerus dan butuh pendampingan yang intensif agar kematangan emosi mereka
semakin mantap. Selain itu mereka juga menemukan nilai-nilai positif dan negatif
dalam diri mereka yang dapat dijadikan titik tolak untuk merefleksikan diri dan
51
mengupayakan hidup dalam kesadaran agar hidup semakin bermakna dan
mempunyai tujuan yang jelas.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas, peneliti akan memberikan beberapa saran
berikut ini yang dapat dijadikan bahan pertimbangan:
1. Hendaknya Kongregasi mempersiapkan dengan sungguh-sungguh suster yang
dipilih untuk menjadi pendamping para prenovis, novis, yunior. Hal ini
dianggap perlu karena peran seorang pendamping sangatlah besar bagi
perkembangan kematangan emosi dan kepribadian mereka serta masa depan
Kongregasi, mengingat bahwa mereka adalah generasi penerus Kongregasi.
2. Dalam membentuk pribadi yang integral, hendaknya program tahun rohani
dan live in bagi yunior diadakan kembali agar para yunior benar-benar mampu
mengendapkan dan merefleksikan pengalaman serta melatih dan menghayati
ketiga kaul di komunitas karya selama dua tahun sesudah mengikrarkan kaul
pertama mereka.
3. Para suster yunior SSpS hendaknya semakin melatih diri dan mengembangkan
kematangan emosi sehingga semakin bersikap dewasa dalam tingkah laku dan
tutur kata dalam kehidupan sehari-hari baik di dalam komunitas maupun di
lingkungan di mana mereka berada.
4. Para suster SSpS hendaknya semakin meningkatkan ketekunan dalam
mengolah emosi agar semakin mampu memberi kesaksian hidup dalam
kehidupan sehari-hari baik di komunitas maupun di tempat karya.
52
Daftar Kepustakaan:
Adimassana, YB, 2001. Self-analysis Untuk Mencapai “Jiwa Bebas” Model Psikologi Terapan Ki Ageng Suryomentaraman, dalam Bunga Rampai Psikologi Yogyakarta: Penerbit USD
Arikunto,Suharsimi, 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek (edisi
Revisi V), Jakarta: PT. Asdi Mahasatya Ari Setyaningtyas, 2001.(Skripsi) Wiwiet, Pembinaan Iman Para SusterYunior
Dalam Proses Kematangan Pribadi Berdasarkan Nilai-Nilai Spiritualitas Tarekat Misi Abdi Roh Kudus Melalui Katekese, (Skripsi), Yogyakarta,USD
Bungin, Burhan, 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada Cencini, Amadeo, 2008. Kematangan Rohani dan Emosi (terjemahan) Medan:
Penerbit Bina Media Perintis Chaplin, J.P. 2006. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada Gardner, Howard, 2003. Multiple Intelligences, Kecerdasan Majemuk teori dalam
Praktek. (terjemahan) Batam, Interaksara Goleman, Daniel, 1996. Emotional Intelligence, Kecerdasan Emisional.
(terjemahan) Jakarta: PT. Gramedia Jacobs, Tom, 1987. Hidup Membiara Makna dan Tantangannya. Yogyakarta:
Kanisius Kartosiswoyo, V, dkk, 2001. Kitab Hukum Kanonik (terjemahan) Jakarta:
Penerbit Obor Kerjasama dengan Sekretariat KWI Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus, 1984. Konstitusi dan Direktorium, Kapitel
Jenderal Kesembilan 21 Mei – 19 Juli 1984, Roma Kongregasi Misi Abdi Roh Kudus, Manuale untuk Pembinaan, Administration
Jendral, Casa Generalizia, Via Casia, 645, 00189 Rome Italy Masidjo, Ign, 1995. Penilaian Pencapaian Hasil Belajar Siswa di sekolah,
Yogyakarta: Kanisius Moleong, 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya
53
Poerwandari, Kristi, 2005. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia, LPSP3, Fakultas Psikologi UI
Prasetyo Mardi, F, 1992. Psikologi Hidup Rohani 2, Yogyakarta: Kanisius ____________ ,2000. Unsur-unsur Hakiki dalam Pembinaan 2, Yogyakarta:
Kanisius Sarwono, Jonathan, 2006.Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif,
Yogyakarta: Graha Ilmu Sugiyono, 2008. Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: CV.Alfabeta Sukarsih, Kristiana, 2008. (Skripsi) Persepsi Para Suster Yunior Kongregasi
Puteri Bunda Hati Kudus Provinsi Indonesia Tahun 2007-2008 Tentang Relasinya Dengan Lawan Jenis. Yogyakarta: USD
Suparno, Paul, 2005. Rekoleksi FBB - Studi. Yoyakarta ___________, 2004. Teori Inteligensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah.
Yogyakarta: Kanisius Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, 2008. Kamus Besar
Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
LAMPIRAN
(3)
LAMPIRAN 2 Hasil Wawancara dengan ketiga Subjek Penelitian dan Sumber lain
A. Aspek Pemahaman diri (fokus pada emosi)
Subjek A
Apakah anda menyadari bahwa perasaan yang muncul dalam diri anda
merupakan bagian dari diri anda yang harus dikelola? Ya jelas, penting untuk
dikelola, nyata dalam diri, tidak mengacuhkan untuk menetralkan suasana hati,
berusaha memberi nama. Apakah anda dapat membedakan berbagai macam
emosi yang muncul?
Mengenali perasaan yang muncul karena ada sesuatu yang sebelumnya tetjadi.
Ada sesuatu yang ingin disampaikan “apa yang akan saya lakukan” (misalnya rasa
marah saya terganggu) bagaimana saya mendialogkan, menyadari, berdamai
dengan perasaan itu sehingga tahu menyikapinya. Apakah anda menyadari emosi
sebagai sinyal rasa aman? dan apakah anda mengetahui penyebab mengapa
emos-emosi tersebut muncul? Ya, semua itu ada penyebabnya. Cukup reflektif,
mengolah diri.
Cukup mampu membedakan emosi yang muncul, pengalaman dengan anggota
keluarga di rumah, di komunitas meskipun masih baru, ketika mengalami
kesulitan dengan sesama yunior saya mengungkapkan sesudah saya refleksi dan
bertanya diri.
Masukan dari sumber lain yaitu sinyal dalam dirinya sangat nampak lewat
wajah… Mengenali penyebab emosi, menyesuaikan diri, terbuka, tidak mudah
tersinggung, gembira dan tidak lama-lama menyimpan marah. Kalau terlalu sibuk
(4)
ia sadar bahwa dirinya adalah anggota komunitas dan langsung minta maaf, butuh
dalam kebersamaan.
B. Aspek Kemampuan mengolah emosi
Subjek A
Bagaimana anda menyikapi emosi yang muncul atas berbagai peristiwa
baik yang positif maupun negatif? Mencoba untuk diam, berhenti untuk melihat
sungguh-sungguh, misalnya takut dinilai lalu saya urai penyebab rasa itu,
sharingkan dengan orang lain, mengakui kalau salah. Bagaimana reaksi emosi
spontan anda jika tiba-tiba pemimpin bertanya hal yang tidak anda lakukan
dengan nada agak keras? Memasukkan nada humor, diam tanya dalam hati
maksudnya apa? Bagaimana anda mampu menemukan penyebab emosi yang
muncul ketika ada suatu peraturan yang baru muncul yang harus ditaati? Tanya
kalau belum jelas, komunikasi, terbuka dan dialog. Kembali pada diri, tanya pada
diri “kenapa, ada apa kamu ini?” kalau peraturan itu memang perlu ditaati ya saya
jalan terus, tapi kalau tidak logis saya
tanyakan.
Bagaimana anda melatih emosi agar lebih teratur dalam hidup anda? Sejauh
masukan dari sesama, kalau saya marah nampak sekali dalam wajah, maka lebih
baik saya diam dulu beberapa saat, baru saya omong, meskipun beberapa suster
kalau bicara dengan nada seru, dengan diam, doa panah dan buat pertimbangan
saya terbantu untuk dapat mengungkapkan secara objektif.
Bagaimana anda dapat mengecek logis tidaknya reaksi emosi yang muncul?
(5)
Misalnya kalau saya marah, lalu saya tanya pada diri hal ini logis apa tidak,
kenapa suster itu mengingatkan saya, memberi jarak pada rasa marah supaya saya
bias objektif.
Dalam masa studi mengapa sering muncul perasaan jenuh, kesal, capek, jengkel
dan lain-lain? Dan bagaimana cara menyikapi itu semua?
Belum bosan, belum malas, karena saya senang hal baru sehingga saya
bersemangat untuk belajar, meski begitu saya kembali melihat motivasi awal
untuk apa saya studi? menyadarkan perasaan lihat kembali motivasi awal apa
yang ingin saya tuju?, sharing, sudah menemukan spiritualitas akuntansi yaitu
berani duduk diam untuk refleksi.
Bagaimana anda membangun sikap yang bebas dengan menumbuhkan
keberanian untuk mengambil jarak dan merasakan emosi apa saja tanpa reaksi
dan lebih berpegang pada pikiran yang jernih?
Perasaan itu selalu benar bagi saya, menunjukkan sesuatu yang tidak beres dengan
diri yang harus saya perbaiki demi perkembangan dan keselamatan saya.
Bagaimana anda mengambil posisi sebagai pengendali emosi yang bijaksana?
Sebagai pribadi yang netral, orang lain juga netral, perasaan yang sering
membantu.
Masukan dari sumber lain: Menyikapi/mengatasi emosi baik dalam peristiwa
positif maupun negatif, bisa berbaur, berani mengungkapkan rasa jengkelnya.
Kalau dimarahi tidak apa-apa hal tersebut dijadikan bahan untuk refleksi dan
memperbaiki diri.
(6)
Reaksi spontan akan diam sebentar untuk masuk kedalam diri, prosesnya bagus
dan bisa menempatkan dirinya. Kalau ada peraturan baru ia mendengarkan dan
bisa terima apa yang menjadi keputusan bersama. Dalam melatih emosi ia
bertanggung jawab untuk diri, komunitas, terutama dengan Tuhan Allah, dalam
studi bagus perkembangannya tidak membatasi untuk kepentingan diri sendiri.
Kalau mengalami sesuatu ia terbuka dan ngecek dengan bertanya, saya melakukan
ini … benar atau tidak. Terbuka dan berani menyampaikan sesuatu dalam
pertemuan komunitas ia cukup bijaksana, menerapkan tehnik tanpa kekerasan,
saling membantu dan mengingatkan. Dalam membantu teman bermasalah sampai
tuntas dan bertanggung jawab, setia mendampingi dan mendengarkan. Ia sangat
aktif dalam kegiatan di kampus, belajar dari teman lain dan antusias dalam studi.
Berusaha untuk mencari keheningan, meluangkan waktu untuk berdoa sehingga
emosinya yang keluar jadi lain, meskipun sibuk, tetap penuh semangat dalam
menjalani studi, cukup sibuk juga sebagai ketua liturgi dan kalau ada komplain
lalu ia berpikir sehingga mampu mengkover semua itu.
Mengambil posisi sebagai pengendali emosi, ia sudah tahu dalam prosesnya,
nampak jelas perkembangannya, mungkin belajar dari masa postulan, novis
sehingga sampai sekarang berkembang bagus dalam manajemen emosinya,
dikenal banyak dosen, banyak teman dan bisa menyimpan rahasia.
C. Aspek Kemampuan menentukan pilihan sikap/tindakan secara
bertanggungjawab
Subjek A
(7)
Apa akibat/konsekuensi dari mengikuti reaksi emosi anda yang sedang
bergejolak?
Konsekwensinya saya terluka, menyesal, dan merasa menjadi suster yang tidak
beres. Bersahabat-rasa bebas, minta rahmat ketenangan ketika mendapat serangan
dari suster lain sehingga bisa menyampaikan dengan tenang sebagai teman.
Apa manfaat dari kemampuan anda untuk mengendalikan emosi?
Hal ini merupakan bagian dari diri, karena menyangkut orang lain atau demi
orang lain.
Bagaimana anda dapat menentukan pilihan sikap secara bertanggungjawab?
Konsekuensi/akibat kadang-kadang jengkel dalam mengingatkan teman-teman di
kampus dan tidak didengarkan, bersikap diam saja atau berani menyampaikan
sesuatu pada teman-teman, bertanggung jawab.
Masukan dari sumber lain yang mengenal subjek dengan baik
Manfaat dari kemapuan mengendalikan emosi ia merasa lega sesudah
mengungkapkan sesuatu, butuh waktu untuk sendiri, untuk hidup berkomunitas,
kalau terlalu sibuk dalam studi di kampus ada rasa rindu untuk bersama dalam
komunitas.
Dalam hal-hal kecil ia bertanggung jawab, dalam tim, komunitas dan dalam
kelompok basis, bertanya, terbuka untuk tugas studi ia berusaha melakukan yang
terbaik, tetap setia menjalin relasi dengan Tuhan merupakan kebutuhan.
D. Aspek Pemahaman terhadap orang lain (apa yang dirasakan orang lain)
Subjek A
(8)
Sejauh mana anda mampu mengerti dan memahami perasaan orang lain,
apabila sedang mengalami emosi tinggi (marah-marah, kecewa atau gembira,
tertawa?)
Coba mendengarkan/lihat bahasa non verbal, menempatkan diri pada posisi orang
lain, hal itulah yang dapat membantu untuk mengerti dan memahami orang lain.
Apakah anda mudah hanyut dalam perasaan orang lain saat anda mendengarkan
keluhan/curhat lawan bicara anda?
Mudah iba, tapi tidak hanyut, perlu waktu untuk melihat kedalam diri.
Apakah anda memberikan perhatian dengan sungguh-sungguh sewaktu orang
lainberbicara sehingga anda mampu untuk memahami apa yang ia rasakan?
Mencoba mendengarkan sungguh-sungguh, dan kalau masalahnya berat saya
butuh bantuan orang lain yang bisa juga mencarikan solusi sekaligus kontrol bagi
saya.
Dengan cara bagaimana anda menunjukkan sikap empatik terhadap orang lain?
Mendengarkan, duduk diam tidak perlu mengomentari kalau memang hal itu tidak
perlu dikomentari, lalu saya bertanya bagaimana kabarmu? keadaanmu?, dan juga
mendekati secara pribadi.
Masukan dari sumber lain yang mengenal subjek
Ia memperhatikan, memahami dan mampu menempatkan diri, enak kalau diajak
bicara terbuka dan hormat terhadap orang lain, mampu menahan emosi
Mudah iba tapi tidak mudah untuk mengiyakan, rasa sosial tinggi, sadar ada hal-
hal tertentu yang harus dipertimbangkan dengan pemimpin, membantu teman
sampai tuntas, jalan keluar.
(9)
Ia memperhatikan dengan baik dan menempatkan diri pada porsinya.
Berusaha menghadirkan diri dengan penuh, syering keluar dari hati, sopan,
membantu dengan tulus, kalau perlu dengan pemimpin/suster lain bertanya dulu
“suster apa saya boleh minta waktu?” gerak-gerik sesuai dengan apa yang
dikatakan, mengangguk, menepuk bahu teman.
E. Aspek Kemampuan memberikan tanggapan yang tepat terhadap orang
lain.
Subjek A
Bagaimana anda menjalin relasi dengan orang lain baik sejenis maupun
lawan jenis?
Terbuka dalam relasi, semua saya anggap sama jadi saya tidak masalah dan
mudah untuk menjalin relasi dengan siapa saja, meskipun kadang maju-mundur,
saya welcome dengan relasi. Bagaimana anda memposisikan diri dalam berelasi
dengan orang lain dengan berbagai macam karakter/keadaan?
Memposisikan diri bahwa semua manusia itu berbeda. Mendengarkan meskipun
kadang-kadang ingin juga didengarkan.
Dalam pembicaraan dengan orang lain bagaimana anda bersikap bagaimana
anda bersikap? Apakah anda lebih ingin didengarkan atau mendengarkan?
Mendengarkan, mengendalikan emosi, tidak menanggapi kalau belum yakin,
kalau tidak jelas supaya diulang, dan tanya apa maksudnya serta berdoa yang
menjadi kekuatan.
(10)
Bagaimana usaha anda untuk menguasai emosi sewaktu anda mendengarkan
orang lain bermasalah /curhat? Mendengarkan dulu, mengendalikan emosi tidak
menanggapi sebelum yakin, bertanya lagi maksudnya apa, doa sebagai kekuatan,
untuk bersahabat dengan perasaan.
Bagaimana usaha anda untuk meningkatkan kemampuan anda dalam
memberikan tanggapan terhadap yang bermasalah atau yang memiliki beraneka
karakter?
Memahami apa yang menjadi pokok masalah, perlu orang lain sebagai
petunjuk/memberi solusi dan sekaligus sebagai pengontrol, berani menanggung
resiko, syering, terbuka.
Masukan dari sumber lain yang mengenal subjek tersebut.
Dalam berelasi ia tidak sembunyi-sembunyi, terbuka, inklusif pada siapa
saja. Ia memposisikan sebagai dirinya sendiri, tidak kesulitan dalam komunitas, ia
bisa berelasi dengan berbagai karakter, mudah menyesuaikan diri, bisa menerima
kritikan, rendah hati untuk, menerima masukan.
Mendengarkan saat orang berbicara, memperhatikan orang lain, tahu unggah-
ungguh yang baik, lembah-lembut dalam melayani, berani menjelaskan
maksudnya begini…, patut dibanggakan, perkembangannya bisa dilihat ada
perumbuhan nilai-niali bagus, karakternya bagus, bisa dipercaya.
Ia mendengarkan dengan hati. Ia akan klarifikasi, bertanya dengan baik dan
mampu mengungkapkan saat pertemuan komunitas.
Hal-hal lain yang menonjol dalam dirinya: dia cukup dewasa dalam bersikap,
dalam mengambil tindakan, mampu menempatkan diri, sadar bahwa dirinya
(11)
sebagai religius, halus dalam mengingatkan teman, tegas, berani menanggung
resiko dari apa yang dilakukan, serius dalam panggilan dan tugas studi, bagus
dalam perkembangan hidup rohaninya.
A. Aspek Pemahaman diri (fokus pada emosi)
Subjek B
Apakah anda menyadari bahwa perasaan yang muncul dalam diri anda
merupakan bagian dari diri anda yang harus dikelola?
Menyadari perasaan yang harus dikelola dalam perjalanan hidup “eling”, peka dan
sadar.
Apakah anda dapat membedakan berbagai macam emosi yang muncul? Ketika
ada sesuatu yang sreg terbawa emosi, haru terlebih dengan orang kecil, sapaan,
tersentuh, merasa diterima, bisa menyesuaikan diri, kesabaran, humor dengan
sesama, berani menegur sesama yunior meskipun ditolak, berani mengungkapkan.
Apakah anda menyadari emosi sebagai sinyal rasa aman?
Sebagai sinyal bertahap, diam dulu, undur diri, lihat beberapa kali dilakukan baru
sampaikan teguran secara pribadi, kadang prihatin, jengkel baik di komunitas
maupun di kampus, komunikasi, sadar sebagai mahasiswa, emosi positif, peka
terhadap orang tua, bersyukur, rasa bebas dan nyaman dengan orang yang lebih
tua, bisa menghargai.
Apakah anda mengetahui penyebab mengapa emosi-emosi tersebut muncul?
Penyebab emosi negatif: rasa tidak nyaman, seperti menuntut orang lain “kalau
saya bisa mengapa kamu tidak?”
(12)
Masukan dari sumber lain: Ya, ia cukup terbuka, tahu kepada siapa untuk omong,
cukup reflektif, tekun. Ia mampu mengenal dirinya dan emosinya, mampu
menempatkan diri, dapat dipercaya. Ya, sikapnya nampak sekali misalnya dalam
kegembiraan, dalam kecemasan ia akan membungkus rapi tapi ia mampu
mengungkapkan perasaannya.
Ia mengetahui penyebab emosi yang muncul, sudah mengolahnya, belajar dari
masa postulan, novis, ia berusaha tidak nambah-nambahi, terbuka dan tidak
terlalu terbawa emosi teman. Ia mencoba untuk merenungkan, sadar oh ya
ternyata itu baik…
B. Aspek Kemampuan mengolah emosi
Subjek B
Bagaimana anda menyikapi emosi yang muncul atas berbagai peristiwa
baik yang positif maupun negatif? Menyikapi hal yang negatif undur diri, proses
dahulu, bagaimana akan omong, bahagia, spontan, bisa mengontrol.
Bagaimana reaksi emosi spontan anda jika tiba-tiba pemimpin bertanya hal yang
tidak anda lakukan dengan nada yang agak keras?
Diam mendengarkan sampai selesai, sesudah itu baru klarifikasi, jelaskan, bisa
menerima. Teringat masa kecil sudah dikondisikan untuk diam mengerti, dicerna
dulu, tarik diri untuk ambil jarak dan refleksi, sadar akan apa yang harus
diomongkan.
Bagaimana anda mampu menemukan penyebab emosi yang muncul ketika ada
suatu peraturan baru muncul yang harus ditaati?
(13)
Mengatur emosi dengan jurnal harian, berusaha ambil waktu untuk sendiri,
refleksi, sharing dengan Tuhan Allah yang jadi kekuatan.
Bagaimana anda melatih emosi agar lebih teratur dalam hidup anda?
Undur diri untuk melihat dan ngecek peristiwa yang terjadi, melihat diri lebih
dalam.
Dalam masa studi mengapa sering muncul perasaan jenuh, kesal, capek, jengkel
dan lain-lain? Dan bagaimana cara menyikapi itu semua?
Hal-hal yang muncul yang paling menggerogoti adalah situasi di kampus ketika
teman-teman membicrakan suster lain berusaha untuk menetralisir, cerita dengan
Tuhan Yesus sampai menangis, sharing kepembimbing, main gitar, main organ.
Mengambil jarak dan berani menyesuaikan diri, menerima realitas diri dan
sesama, tidak ngotot, fleksibel berusaha untuk ambil yang positif, menerima untuk
proses, dengan humor menyampaikan emosi pada teman lain.
Bagaimana anda membangun sikap yang bebas dengan menumbuhkan
keberanian untuk mengambil jarak dan merasakan emosi apa saja tanpa bereaksi
dan lebih berpegang pada pikiran yang jernih? Berusaha untuk tidak menuruti
emosi, bisa menerima, berani bartanya benar-benar butuh atau tidak, sadar diri.
Masukan dari sumber lain:
Hal tersebut ada maknanya, ada pesan, mengenal dan mengolahnya. Tidak
langsung spontan, ia akan diam diri dulu lalu bertanya, rendah hati untuk minta
maaf, tidak aneh-aneh, luwes, sederhana. Ia mendengarkan, diam, dan mungkin
menerima aturan baru itu. Melatih emosinya ia bersikap tenang hal inilah yang
membantunya dalam mengolah emosi. Ia orang seni pandai mengolah emosi lewat
(14)
musik dan lain-lain, tidak memfokuskan diri pada saat emosi, tidak hanyut dalam
situasi ini saja tapi punya kreativitas dan mengembangkan bakat lewat seninya.
Ikut organisasi kampus termasuk dalam manajemen mengendalikan emosi.
Kadang nampak lucu dalam menyapa sehingga menghilangkan ketegangan,
membuat orang lain tertawa, kadang-kadang ngageti orang bertanya diri dalam
refleksinya, buat jurnal harian membantu dirinya untuk cepat mengenal diri.
Banyak yang dialami di kampus apalagi kuliah di instansinya sendiri, ia berusaha
menjebadani antara mahasiswa dengan dosen, aktif di BEM, mencari dan
memotivasi teman untuk mengganti dirinya.
Ia diam tidak mudah meluap-luap, tidak ngegosip, mampu menyimpan dalam hati,
tidak ngomel-ngomel, ia cari waktu yang tepat untuk bicara sesudah ia
menengkan diri dan berproses. Ia belajar bertanggung jawab ikut ambil bagian
dalam organisasi kampus dan juga anggota tim liturga dalam komunitas, berjuang
dalam belajar supaya tidak ketinggalan meskipun aktif dalam berorganisasi.
C. Aspek Kemampuan menentukan pilihan sikap/tindakan secara bertangguing
jawab
Subjek B
Apakah akibat/konsekuensi dari mengikuti reaksi emosi anda yang
sedang bergejolak?
Penolakan, tersinggung, berani belajar lagi, tanya apa maksudnya sehingga bisa
menemukan hal-hal yang positif, merasa tertekan ketika belum menyelesaikan
(15)
masalah, rasa gelisah, tersiksa kalau belum omong, ketika sudah omong jadi
bebas.
Apa manfaat dari kemampuan anda untuk mengendalikan emosi?
Kedewasaan diri, belajar untuk memimpin, berelasi, memampukan diri untuk
menghargai, menerima orang lain apa adanya, tidak membedakan.
Bagaimana anda dapat menentukan pilihan sikap secara bertanggung jawab?
Kalau buat diri baik, terbuka dan berusaha mencari makna positif dari teguran
orang lain menerima orang lain, banyak talenta dan bakat.
Masukan dari sumber lain: Konsekuensi nampak pada saat ia bercerita, tampak
dalam diamnya, murung bukan ngambek, terbuka. Lebih mengenal diri, lebih bisa
mengenal dan menerima pengalaman masa lalu, bisa teriam teman-teman
disekitarnya.
D. Aspek Pemahaman terhadap orang lain (apa yang dirasakan orang lain)
Subjek B
Sejauhmana anda mampu mengerti dan memahami perasaan orang lain,
apabila sedang mengalami emosi tinggi (marah-marah, kecewa atau gembira,
tertawa?)
Ketika senang, gembira bisa cepat menerima dan memahami orang lain, peka
pada bahasa non verbal orang lain, tidak ikut emosi, ketika stabil bisa mudah
menerima orang lain, tetapi kalau tidak stabil sulit untuk menerima orang lain,
tapi lalu berpikir kebelakang untuk melihat diri, refleksi.
(16)
Apakah anda mudah hanyut dalam perasaan orang lain saat anda mendengarkan
keluhan/curhat lawan bicara anda?
Tidak mudah hanyut, semakin mengerti, memperhatikan ekspresi dan cerita dari
yang bermasalah, belajar dari orang kecil, muncul tanda tanya.
Apakah anda berusaha memberikan perhatian dengan sungguh-sungguh sewaktu
orang lain berbicara sehingga anda mampu untuk memahami apa yang ia rasakan?
Berusaha sungguh-sungguh bisa mendengarkan, memahami orang lain dan berani
memberitahukan realita.
Dengan cara bagaimana anda menunjukkan sikap empatik terhadap orang lain?
Menunjukkan sikap empati diingatkan teman-teman “keperempuanan”, bisa
mendengarkan dengan hati, ramah, memberi sapaan, senyuman, memperhatikan,
berbagi anugerah.
Masukan dari sumber lain: Ia mampu mengerti dan memahami orang lain, ia
mampu mengendalikan emosinya. Tidak mudah hanyut dan mendengarkan
dengan hati, tapi tidak larut dan bisa menahan diri. Memberi perhatian, sungguh-
sungguh mendengarkan dan memahami orang lain. Memberi support, memberi
semangat dan menepuk-nepuk bahu “kamu bisa”.
E. Kemampuan memberikan tanggapan yang tepat terhadap orang lain
Subjek B
Bagaimana anda menjalin relasi dengan orang lain baik sejenis maupun
lawan jenis? Berbekal dari pengalaman di rumah cepat bisa berelasi, berani untuk
memulai, tidak membedakan, cepat menyesuaikan diri.
(17)
Bagaimana anda memposisikan diri dalam berelasi dengan orang lain dengan
berbagai macam karakter/keadaan?
Merendah dulu, menghargai sesuai porsinya, berbaur dengan teman-teman, akrab,
sadar dan omong apa adanya, mendengarkan, ramah.
Dalam pembicaraan dengan orang lain bagaimana anda bersikap? Apakah anda
lebih ingin didengarkan atau mendengarkan?
Berusaha untuk masuk keperistiwa orang tersebut, ingin mengetahui maksudnya
apa, sebagai teman.
Bagaimana usaha anda anda untuk meningkatkan kemampuan anda dalam
memberikan tanggapan terhadap yang bermasalah atau yang memiliki beraneka
karakter?
Hadir mendengarkan, membaca untuk menambah wawasan, tahu batas, melatih
kepekaan.
Hal lain yang menonjol dalam diri: Belajar dari orang lain, bertanya, refleksi,
syering, mencari makna dan maksud, mendoakan, sadar bahwa diri ini
perempuan, menggunakan waktu dengan baik, menerima diri dan keluarga, punya
harapan, dari kecil sudah dipercaya, saling menguatkan, menjalin relasi dengan
Tuhan, tanggung jawab, hidup seimbang.
Masukan dari sumber lain: Ia bisa berelasi dengan siapa saja, ramah, kalau
dengan lawan jenis kadang nampak cuek saja kalau belum kenal sama sekali,
tidak terlalu bereaksi dengan lawan jenis yang banyak omong.
Memposisikan diri dengan baik, kalau dengan teman yang kurang percaya diri ia
memberi semangat, meneguhkan, kalau dengan teman sejenis kadang-kadang ia
(18)
diam saja untuk buat sesuatu pada fokus. Ia mendengarkan dengan baik dan
bersungguh-sungguh. Ia menguasai emosi, bisa mengontrol diri, bisa
mengendalikan emosi dan berempati dengan orang lain. Menyapa orang lain
dengan ramah, kalau dia rasa hal tersebut tidak perlu ditanggapi maka ia akan
diam. Hal-hal lain yang nampak dalam dirinya: reflektif, menjalin relasi dengan
Tuhan yang selalu memberi kekuatan dalam mengolah diri, mengenal diri lebih
dalam, jujur, terbuka dalam syering, menjalin relasi yang baik dengan sesama dan
belajar dari orang lain.
A. Pemahaman diri (fokus pada emosi)
Subjek C
Apakah and menyadari bahwa perasaan yang muncul dalam diri anda
merupakan bagian dari diri yang harus dikelola?
Ya, karena perasaan yang muncul adalah bagian dari diri, termasuk yang tidak
enak.
Apakah anda dapat membedakan berbagai macam emosi yang muncul?
Bisa membedakan, tergantung stimulus, perasaan, pikiran, kecemasan yang
muncul kalau terjadi sesuatu.
Apakah anda menyadari emosi sebagai sinyal rasa aman?
Ya, sadar kalau ada stimulus kenapa seperti itu? rasa jengkel, tanya dalam hati,
refleksi “kenapa reaksiku seperti itu?”, mungkin dia ada masalah, butuh waktu
untuk proses.
(19)
Apakah anda mengetahui penyebab mengapa emosi-emosi tersebut muncul?
Penyebab tersinggung, melihat akar asal mula, duduk diam, berpusat pada apa
kata orang, dan merasa orang ngomongin saya, terlalu banyak melihat keluar,
melihat hal-hal yang negative saja, berproses.
Masukan dari sumber lain: Ya, ia menyadari, dialog, menerima masukan, banyak
kemajuan dalam pengolahan emosi. Lebih banyak serius, tenang, diam tapi
mengolah, sejauh ini belum ada kesan acuh tak acuh, dapat membedakan emosi
yang muncul.
Bisa jadi emosi sebagai sinyal untuk berkembang, berbuat baik dengan tulus tanpa
mengeluh, saat kecewapun tidak komentar banyak.
Kebanyakan berasal dari pengalaman masa lalu, mengolah, menerima dan minta
maaf.
B. Kemampuan mengolah emosi
Subjek C
Bagaimana anda menyikapi emosi yang muncul atas berbagai peristiwa
baik yang positif maupun yang negatif?
Emosi positif merasakan, menikmati, emosi negatif menikmati lalu berproses
mencari penyebab tersinggung, kurang nampak mendorong untuk diam, tenang ,
refleksi, mungkin butuh didengarkan, dimengerti, sadar lalu berdialog dengan diri
pada cermin, didepan foto, sadar lanjut berproses.
Bagaimana reaksi emosi spontan anda jika tiba-tiba pemimpin bertanya hal yang
tidak anda lakukan dengan nada agak keras?
(20)
Reaksi spontan terkejut, takut, karena pengalaman masa lalu, sudah berproses
cukup lama sehingga sekarang sudah mulai dekat dengan pemimpin, sadar bahwa
pemimpin itu baik (tidak seperti yang dibayangkan), berani mendekat dan
bertanya, duduk berdampingan.
Bagaimana anda mampu menemukan penyebab emosi yang muncul ketika ada
sesuatu peraturan baru muncul yang harus ditaati?
Ketika ada perubahan, jengkel, menggerutu, tarik diri, hening lalu bertanya dalam
diri, bersyukur, refleksi sehingga perasaan yang muncul rasa bebas dan berani
mengungkapkan.
Bagaimana anda melatih emosi agar lebih teratur dalam hidup anda?
Emosi diri kadang-kadang meluap-luap, reaksi muka bengkak lalu berproses,
dialog dengan diri, kadang mendiamkan orang karena masih dalam proses,
berinisiatif untuk klarifikasi, berani datang ke yang bersangkutan dengan segala
resikonya, sadar bahwa masing-masing manusia itu berbeda, punya kekhasan.
Rasa bebas dan semakin merasa berharga, kesadaran baru bahwa diri ini unik, niat
kuat untuk terus refleksi dan berproses lebih melihat kedalam diri bukan lagi
melihat orang lain.
Bagaimana anda dapat mengecek logis tidaknya reaksi emosi yang muncul?
Tanya dalam diri, mengapa setiap kali saya tersinggung, sekarang lebih kuat,
tahan terhadap komentar orang, dialog antara pikiran-perasaan sehingga
ketersinggungan semakin berkurang.
Dalam masa studi mengapa sering muncul perasaan jenuh, kesal capek, jengkel
dan lain-lain? Dan bagaimana cara menyikapi itu semua?
(21)
Muncul rasa jengkel, jenuh, capek karena kurang memotivasi diri. Sadar ada
kemauan untuk berusaha, harus punya komitmen dalam diri, mendorong diri
untuk tekun belajar, memotivasi diri untuk serius dalam melakukan sesuatu.
Bagaimana anda membangun sikap yang bebas dengan menumbuhkan
keberanian untuk mengambil jarak dan merasakan emosi apa saja tanpa bereaksi
dan lebih berpegang pada pikiran yang jernih? Kembali kepada stimulus,
berdialog dengan diri, tenang, refleksi, kesadaran bahwa setiap manusia punya
kepribadian berbeda, berkembang dan dinamis.
Bagaiman anda mengambil posisi sebagai pengendali emosi yang bijaksana?
Menarik diri untuk refleksi, dialog tentang emosi yang muncul, (mengapa hal itu
terjadi).
Masukan dari sumber lain: Ia orang yang reflektif, bawa dalam doa, sadar dan
tidak membela diri, mengakui dan harus perbaiki diri, halus dalam menyampaikan
sesuatu, menyimpan dalam hati.
Evaluasi dalam vota, terima dengan diam, reflektif, banyak hal positif dalam
dirinya, rendah hati, bijaksana dan tidak memaksakan kehendak. Kalau tidak suka
nampak dalam wajah. Mencari makna, konsekuensi yang harus diikuti, tidak
merasa terbebani, tidak protes dan bersikap terbuka dan berkata “sabar” dengan
dirinya.
Refleksi, discernment kuat, tidak mudah ikut-ikutan, tidak tergantung pada orang
lain, selalu meluangkan waktu untuk berdoa, menyadari, mengakui untuk
mengubah rasa sombong dalam dirinya, tidak menonjolkan diri, kadang
menggerutu kalau dalam kerja kelompok tidak ada teman yang berpendapat. Ia
(22)
mampu mengolah emosinya sehingga wajar kalau harus menerima
konsekuensinya sesuai dengan perbuatannya, bebas dalam menyampaikan sesuatu
entah yang lain suka atau tidak, ambil jarak untuk refleksi.
Kadang menggerutu dalam kerja kelompok kalau ada teman yang tidak
berpendapat, ada waktu untuk berdoa sehingga tenang dalam mengatasi rasa
jenuh.
Mampu deserment, sadar sebagai religius, mampu menumbuhkan dan ambil jarak,
cukup manusiawi, sikap humoris.
Mampu mengendalikan emosi, mendengarkan suara hati, tidak ikut-ikutan, tidak
tergantung apa kata orang, lepas bebas.
C. Kemampuan menentukan pilihan sikap/tindakan secara bertanggung jawab
Subjek C
Apa akibat/konsekuensi dari mengikuti reaksi emosi anda yang sedang
bergejolak?
Akibatnya fisik menjadi lelah, mental juga lelah, misalnya emosi berlarut-larut
menjadi terganggu dan tidak nyaman, lalu ada keraguan dalam mengungkapkan
diri.
Apa manfaat dari kemampuan anda untuk mengendalikan emosi?
Manfaat membuat diri bebas, ada perubahan dalam mengendalikan emosi.
Bagaimana anda dapat mengambil posisi sebagai pengendali emosi yang
bijaksana?
(23)
Memilih untuk menegaskan diri, berani keluar dari diri, berusaha untuk
mengurangi volume waktu mendiamkan (biasa diam 3 hari menjadi 1 hari saja,
dst), terbantu dengan masukan dari dosen di kelas dan baca-baca buku tentang
kepribadian.
Masukan dari sumber lain: Bisa menerima resiko sesuai perbuatan yang ada
secara bijaksana, mampu meredam suasana yang panas, tenang, peka.
Kesadarannya untuk hidup bersama, mampu bertindak demi kebersamaan, punya
tujuan yang luhur, tidak ngotot pada pendapatnya sendiri, menghargai dan
menerima pendapat orang lain, rendah hati dan konsisten
Dengan deserment, menjalin relasi dengan Tuhan lewat doa, menemukan nilai-
nilai positif, luhur, apapun resikonya ia tahu nilai yang harus diperjuangkan
sehingga ia mampu mentukan sikap dan tanggung jawab.
D. Pemahaman terhadap orang lain (apa yang dirasakan orang lain)
Subjek C
Sejauhmana anda mampu mengerti dan memahami perasaan orang lain,
apabila sedang mengalami emosi tinggi (marah-marah, kecewa atau gembira,
tertawa?)
Mampu mengerti dan memahami, masih mempelajari, ikut merasakan teman yang
sedang sedih, rasa empati.
Apakah anda mudah hanyut dalam perasaan orang lain saat anda mendengarkan
keluhan/curhat lawan bicara anda?
(24)
Ikut prihatin, merasakan tapi tidak mudah hanyut, beri semangat pada teman yang
bermasalah.
Apakah anda memberikan perhatian dengan sungguh-sungguh sewaktu orang
lain berbicara sehingga anda mampu untuk memahami apa yang ia rasakan?
Beri perhatian pada orang yang sudah kenal atau dekat, sadar ada sedikit
kesombongan dalam diri, cepat memberi nilai pada teman yang sudah kelihatan
jenuh, terasa kering, baik melihat reaksi lawan bicara, pilih-pilih orang yang
sungguh mau mendengarkan.
Dengan cara bagaimana anda menunjukkan sikap empatik terhadap orang lain?
Merasa kasihan saja tidak cukup. Menyemangati teman, beri kesempatan untuk
bicara, dengan cara yang halus mensuport teman untuk berani omong,
mengendalikan diri untuk tidak menguasai, beri kesempatan untuk yang lain.
Masukan dari sumber lain: Bisa mengerti, memahami orang lain, lebih
mendengarkan sesama, membatinkan apa sebenarnya yang terjadi, refleksi.
Tidak mudah hanyut, bisa bersikap empati, ambil bagian masuk dalam dirinya.
Ya, kalau diminta pendapat, mampu mengerti, dan memahami inti dari isi
pembicaraan, perhatian dan refleksi.
Senyum, mengangguk, menepuk-nepuk bahu teman (non verbal) memberi
dukungan pada sesama.
E. Kemampuan memberikan tanggapan yang tepat terhadap orang lain
Subjek C
(25)
Bagaimana anda menjalin relasi dengan orang lain baik sejenis maupun
lawan jenis?
Relasi dengan teman bebas tidak mengikat/eklusif, berani menantang, ingin bebas
bergaul dengan siapa saja dan tidak pilih-pilih.
Bagaimana anda memposisikan diri dalam berelasi dengan orang lain dengan
berbagai macam karakter/keadaan?
Kalau dengan teman yang sudah biasa bisa bercanda/guyon, kalau dengan yang
punya jabatan agak segan, diam, agak mundur, punya bayangan lain dengan orang
yang punya jabatan, lari menghindar, tetapi kalau sudah sering bertemu tidak lagi
takut, tidak menolak.
Dalam pembicaraan dengan orang lain bagaimana anda bersikap? Apakah anda
lebih ingin didengarkan atau mendengarkan? Seimbang ingin mendengarkan dan
kadang ingin didengarkan, muncul kesadaran ketika sudah mulai mendominasi.
Bagaimana usaha anda untuk menguasai emosi sewaktu anda mendengarkan
orang lain bermasalah/curhat?
Curhat yang menjengkelkan atau cerita tentang orang lain saya tetap harus
waspada dan fokus untuk mendengarkan dengan tenang.
Bagaimana usaha anda untuk meningkatkan kemampuan anda dalam
memberikan tanggapan terhadap yang bermasalah atau yang memiliki beraneka
karakter?
Berusaha mendengarkan sampai selesai, melatih kesabaran walaupun melelahkan,
mendorong untuk semakin banyak membaca buku yang bisa membantu dengan
tepat.
(26)
Hal lain yang tampak dalam diri: tarik diri untuk refleksi, ada inisiatif untuk
dialog dengan yang bermasalah, terbuka untuk sharing pada orang yang bisa
dipercaya, penyerahan diri pada Tuhan, bawa dalam doa, menikmati perasaan dan
sadar hal ini harus saya alami supaya ada perubahan, mohon petunjuk untuk
memproses dan berdialog denga Yesus, mendengarkan suara hati, semakin
mendekatkan diri dengan Tuhan dan dapat barwawanhati dengan Tuahan, sadar
bahwa hidupku tidak lagi tergantung pada orang lain, dalam berelasi biasa-biasa
saja, wajar, apa adanya, secukupnya.
Mampu mengerti macam-macam karakter, perbedaan, merasa diperkaya.
Mendengarkan dengan sungguh-sungguh, tidak memotong pembicaraan.
Masukan dari sumber lain: Ia bisa mengontrol diri, ia berusaha untuk
mengintegrasikan ilmu yang ditekuninya dengan hidup panggilan sehari-hari.
Hal-hal lain yang nampak dalam dirinya: Ia semakin berkembang, mampu
mengerti, menerima kekurangan sesama, mengerjakan sesuatu dengan diam-diam
sampai selesai, selalu berterima kasih saat diberi masukan, tenang, banyak
refleksi, mampu mengolah sehingga mampu berelasi dengan baik, konsisten, tidak
dikuasai perasaan sesaat tidak tergantung pada pembicaraan orang lain/apa kata
orang tapi saya adalah pribadi yang dicintai Tuhan Allah.
(27)
LAMPIRAN 3
Tabel Hasil Penelitian dari Subjek Penelitian dan Sumber Lain
Kode Aspek Wawancara Subjek 1 Subjek 2 Subjek 3 A Sumber Lain B Sumber Lain C Sumber Lain A 1 - 4
Pemahaman diri (fokus pada emosi)
Perasaan yang muncul: beri nama
Mengenali perasaan yang muncul ada sesuatu yang tetjadi.
Rasa marah yang muncul mengganggu ketenangan hati, menyadari, mau berdamai dengan perasaan, menyikapinya, tahu penyebabnya.
Cukup reflektif, mengolah diri.
Cukup mampu membedakan emosi, berefleksi.
Sinyal dalam dirinya Mengenali penyebab
emosi, menyesuaikan diri, terbuka, tidak mudah tersinggung, gembira dan tidak menyimpan marah. Kesibukan yang dialami tidak menghanyutkannya, sadar sebagai anggota komunitas, rendah hati untuk meminta maaf.
Menyadari perasaan: hidup “eling” peka dan sadar.
Merasa diterima, bisa menyesuaikan diri, bersikap sabar,sikap humor, berani menegur sesama yunior
Emosi sebagai sinyal: rerefleksi diri, mempertimbangkan hal-hal yang akan disampaikan pada sesama, peka, bersyukur dan menghargai.
Penyebab emosi negative: rasa tidak nyaman, menuntut orang lain.
Terbuka, reflektif, tekun.
Mengenal diri dan emosinya, mampu menempatkan diri, dapat dipercaya.
Emosi sebagai sinyal: mampu mengungkapkan perasaannya.
Mengetahui penyebab emosi yang muncul, mampu mengolahnya, terbuka dan tidak mudah terbawa emosi.
Mencoba untuk merenungkan, menyadari
Perasaan yang muncul adalah bagian dari diri
Bisa membedakan, tergantung stimulus, perasaan dan pikiran.
Sadar emosi sebagai rasa aman refleksi, butuh waktu untuk proses.
Penyebab tersinggung, melihat akar asal mula, berpusat pada apa kata orang, terlalu banyak melihat keluar, duduk diam untuk berefleksi, berproses.
Menyadari,dialog, menerima masukan, mengolah emosi.
Serius, tenang, diam tapi mengolah, dapat membedakan emosi yang muncul.
Emosi sebagai sinyal untuk berkembang, berbuat baik dengan tulus, tidak mengeluh,tidak banyak komentar
Kebanyakan berasal dari pengalaman masa lalu, mengolah, menerima dan minta maaf.
B 1 - 8
Kemampuan mengolah emosi
Mampu untuk diam, berhenti untuk melihat sungguh-
Menyikapi/mengatasi emosi baik dalam peristiwa positif
Menyikapi hal yang negatif undur diri, berproses,
Hal tersebut ada maknanya, ada pesan, mengenal
Emosi positif merasakan, menikmati, emosi
Reflektif, pendoa, sadar dan tidak membela diri, halus
(28)
sungguh, terbuka untuk sharing, melihat kenyataan apa adanya dan mau mengakui kesalahan.
Mampu menanggapi dengan rileks, humor, bertanya kalau belum jelas, mengkomunikasikan isi hati,berdialog secara terbuka.
Mampu merefleksikan, mentaati peraturan berani bertanya
Ketika marah mampu berdiam diri dengan tenang, berdoa singkat dan melakukan pertimbangan, sehingga dapat mengungkapkan isi hatinya secara objektif, tidak emosional.
Mampu mengambil jarak terhadap rasa marah yang munucul, dapat menerima masukan.
Mampu mengatasi rasa bosan, malas, bersemangat untuk belajar, kembali melihat motivasi awal, terbuka untuk sharing dan sudah menemukan spiritualitas
maupun negatif, bisa berbaur, berani mengungkapkan rasa jengkelnya. Bisa menerima masukan refleksi dan koreki diri.
Reaksi spontan diam sebentar untuk masuk kedalam diri, berproses dan bisa menempatkan diri.
Kalau ada peraturan baru mendengarkan dan bisa menerima apa yang telah menjadi keputusan bersama
Dalam melatih emosi bertanggung jawab untuk diri, komunitas, terutama dengan Tuhan Allah.
Kalau mengalami sesuatu terbuka dan kontrol diri terbuka dan berani menyampaikan sesuatu dalam pertemuan komunitas cukup bijaksana, menerapkan tehnik tanpa kekerasan, saling membantu dan mengingatkan, membantu teman sampai tuntas dan bertanggung jawab, setia mendampingi dan mendengarkan.
Aktif dalam kegiatan
bahagia, bisa mengontrol diri.
Diam mendengarkan sesudah itu baru klarifikasi, menjelaskan, bisa menerima.
Teringat masa kecil sudah dikondisikan untuk diam mengerti, dicerna dulu, tarik diri untuk ambil jarak dan refleksi, sadar akan apa yang harus disampaikan.
Mengatur emosi dengan jurnal harian, berusaha ambil waktu untuk sendiri, refleksi, sharing dengan Tuhan Allah yang jadi kekuatan.
Berefleksi dan kontrol diri.
Berusaha untuk menetralisir, berdoa dan sharing dengan pembimbing, main gitar, main organ.
Mengambil jarak dan berani menyesuaikan diri, menerima realitas diri dan sesama, fleksibel, berpikir positif, berproses,
dan mengolahnya.
Tidak langsung spontan, berdiam diri, bertanya, rendah hati untuk minta maaf, tidak aneh-aneh, luwes, sederhana.
Mendengarkan, menerima.
Melatih emosinya bersika tenan, Ia orang seni pandai mengolah emosi lewat musik, dan lain-lain, tidak hanyut kreativf dan mengembangkan bakat lewat seninya. Ikut organisasi kampus.
Memiliki rasa humor untuk menghilangkan ketegangan, bertanya diri dalam refleksinya, menulis jurnal harian.
Banyak yang dialami di kampus berusaha untuk menjebadani antara mahasiswa dengan dosen, memberi semangat
Tenang tidak
negative menikmati, mencari penyebabnya, butuh didengarkan, dimengerti, diam, tenang , refleksi dan berdialog dengan diri
Reaksi spontan terkejut, takut, berproses,bertanya.
Ketika ada perubahan, jenglkel, menggerutu, hening lalu bertanya dalam diri, bersyukur, refleksi, rasa bebas dan berani mengungkapkan.
Emosi diri kadang-kadang meluap-luap, reaksi muka bengkak lalu berproses, berinisiatif untuk klarifikasi, berani menanggung resiko, sadar semua mnusia unik. Rasa bebas dan merasa berharga, kesadaran baru bahwa diri ini unik, berrefleksi
dalam menyampaikan sesuatu, menyimpan dalam hati.
Reflektif, banyak hal positif dalam dirinya, rendah hati, bijaksana dan tidak memaksakan kehendak. Kalau tidak suka nampak dalam wajah.
Mencari makna, konsekuensi yang harus diikuti, tidak merasa terbebani, tidak protes dan bersikap, terbuka dan sabar.
Refleksi, discernment kuat, tidak mudah ikut-ikutan, tidak tergantung pada orang lain, selalu meluangkan waktu untuk berdoa, menyadari, mengakui untuk mengubah rasa sombong dalam dirinya, tidak menonjolkan diri, kadang menggerutu kalau dalam kerja kelompok tidak ada teman yang berpendapat.
Mampu mengolah emosinya sehingga wajar kalau harus
(29)
akuntansi yaitu berani duduk diam untuk refleksi.
Perasaan itu selalu benar bagi dirinya menunjukkan sesuatu yang tidak beres dengan diri yang harus di perbaiki demi perkembangan dan keselamatan.
Sebagai pribadi yang netral, orang lain juga netral.
di kampus, belajar dari teman lain dan antusias dalam studi.
Berusaha untuk mencari keheningan, meluangkan waktu untuk berdoa meskipun sibuk, tetap penuh semangat dalam menjalani studi
Mengambil posisi sebagai pengendali emosi, ia sudah tahu dalam prosesnya, berkembang bagus dalam mengelola emosinya dan bisa menyimpan rahasia.
humor. Berusaha untuk
tidak menuruti emosi, bisa menerima, berefleksi dan sadar diri.
mudah meluap-luap, mencari waktu yang tepat untuk bicara , berefleksi dan berproses.
Belajar bertanggung jawab ikut ambil bagian dalam organisasi di kampus dan komunitas.
dan berproses lebih melihat kedalam diri.
Bertanya dalam diri tahan terhadap komentar orang, refleksi.
Muncul rasa jengkel, jenuh, capek karena kurang memotivasi diri. Sadar dan punya komitmen diri, tekun belajar, serius dalam menjalankan tugas.
Kembali kepada stimulus, berdialog dengan diri, tenang, refleksi, sadar bahwa setiap manusia berbeda, berkembang dan dinamis.
Menarik diri untuk refleksi.
menerima konsekuensinya sesuai dengan perbuatannya, bebas dalam menyampaikan sesuatu entah yang lain suka atau tidak, ambil jarak untuk refleksi, tenang dalam mengatasi rasa jenuh.
Mampu discernrment, sadar sebagai religius, berefleksi,cukup manusiawi, sikap humoris
Mampu mengendalikan emosi, mendengarkan suara hati.
C 1 - 3
Kemampuan menentukan pilihan sikap/tindakan secara bertanggung jawab
• Terluka, menyesal. • Bersahabat, rasa
bebas, berdoa, tenang
• Hal ini merupakan bagian dari diri, karena menyangkut orang lain atau demi orang lain.
Konsekuensi/akibat kadang-kadang jengkel dalam mengingatkan teman-teman di kampus dan tidak didengarkan, bertanggung jawab.
Manfaat dari kemapuan mengendalikan emosi merasa lega, butuh
Penolakan, tersinggung, berani belajar lagi, menemukan hal-hal yang positif, merasa tertekan ketika belum menyelesaikan masalah, rasa gelisah, tersiksa kalau belum
Konsekuensi nampak pada saat ia bercerita, tampak dalam diamnya, murung, terbuka.
Lebih mengenal diri, lebih bisa mengenal dan menerima pengalaman
Akibatnya fisik menjadi lelah, mental juga lelah, misalnya emosi berlarut-larut menjadi terganggu dan tidak nyaman, lalu ada keraguan dalam mengungkapkan
Bisa menerima resiko sesuai perbuatan yang ada secara bijaksana, mampu meredam suasana yang panas, tenang, peka.
Kesadarannya untuk hidup bersama, mampu bertindak demi kebersamaan,
(30)
waktu untuk sendiri, untuk hidup berkomunitas.
Dalam hal-hal kecil ia bertanggung jawab, dalam tim, komunitas dan dalam kelompok basis, bertanya, terbuka untuk tugas studi berusaha melakukan yang terbaik, tetap setia menjalin relasi dengan Tuhan
berbicara, menjadi bebas sesudah menyelesaikan
Terbuka dan berusaha mencari makna positif dari teguran orang lain, menerima orang lain, banyak talenta dan bakat.
masa lalu, bisa teriam teman-teman disekitarnya.
diri. Manfaat membuat
diri bebas, ada perubahan dalam mengendalikan emosi.
Memilih untuk menegaskan diri, berani keluar dari diri, terbantu dengan masukan dari dosen di kelas dan dari buku tentang kepribadian.
punya tujuan yang luhur, tidak ngotot pada pendapatnya sendiri, menghargai dan menerima pendapat orang lain, rendah hati dan konsisten
Dengan deserment, menjalin relasi dengan Tuhan lewat doa, menemukan nilai-nilai positif, luhur, apapun resikonya ia tahu nilai yang harus diperjuangkan sehingga ia mampu mentukan sikap dan tanggung jawab.
D 1 -4
Pemahaman terhadap orang lain (apa yang dirasakan orang lain)
Mendengarkan, menempatkan diri pada posisi orang lain, membantu, mengerti dan memahami orang lain.
Mudah iba, tapi tudak hanyut, perlu waktu untuk melihat kedalam diri.
Mencoba mendengarkan sungguh-sungguh, mencarikan solusi sekaligus kontrol bagi saya.
Mendengarkan, duduk diam tidak perlu mengomentari kalau memang hal itu
Perhatian, memahami dan mampu menempatkan diri, enak kalau diajak bicara terbuka dan hormat terhadap orang lain, mampu menahan emosi
Mudah iba tapi tidak mudah untuk mengiyakan, rasa sosial tinggi, sadar ada hal-hal tertentu yang harus dipertimbangkan dengan pemimpin, membantu teman sampai tuntas, jalan keluar.
Perhatian dan menempatkan diri
Ketika senang, gembira bisa cepat menerima dan memahami orang lain, peka pada bahasa non verbal orang lain, tidak ikut emosi, ketika stabil bisa mudah menerima orang lain, tetapi kalau tidak stabil sulit untuk menerima orang lain, melihat diri, refleksi.
Tidak mudah hanyut, semakin mengerti, memperhatikan ekspresi dan cerita dari yang
Mampu mengerti dan memahami orang lain, mampu mengendalikan emosinya.
Tidak mudah hanyut dan mendengarkan dengan hati.
Memberi perhatian, mendengarkan dan memahami orang lain.
Memberi dukungan, memberi semangat
Mampu mengerti dan memahami, berempati.
Ikut prihatin, merasakan tapi tidak mudah hanyut, memberi semangat pada teman yang bermasalah.
Memberi perhatian sadar ada sedikit rasa sombong, terasa kering, melihat reaksi lawan bicara.
Menyemangati teman, memberi kesempatan untuk bicara pada
Mengerti, Memahami orang lain, mendengarkan, membatinkan apa sebenarnya yang terjadi, refleksi.
Tidak mudah hanyut, bersikap empati.
Memberi pendapat, mampu mengerti, dan memahami inti dari isi pembicaraan, perhatian dan refleksi.
Senyum, mengangguk, menepuk-nepuk bahu teman (non verbal), memberi dukungan pada
(31)
tidak perlu dikomentari, bertanya dan mendekati secara pribadi.
pada porsinya. Berusaha
menghadirkan diri dengan penuh, sharing keluar dari hati, sopan, membantu dengan tulus, sopan, gerak-gerik sesuai dengan apa yang dikatakan, mengangguk, menepuk bahu teman.
bermasalah, belajar dari orang kecil
Berusaha sungguh-sungguh bisa mendengarkan, memahami orang lain dan berani memberitahukan realita.
Berikap empati “keperempuanan”, bisa mendengarkan dengan hati, ramah, memberi sapaan, senyuman,memperhatikan, berbagi anugerah.
teman mengendalikan diri untuk tidak menguasai.
sesama.
E 1 - 5
Kemampuan memberikan tanggapan yang tepat terhadap orang lain
Terbuka, mudah untuk menjalin relasi dengan siapa saja.
Memposisikan diri, manusia itu unik
Mendengarkan, meskipun kadang-kadang ingin juga didengarkan.
Mendengarkan, mengendalikan emosi, berdoa.
Memahami apa yang menjadi pokok masalah, perlu orang lain sebagai petunjuk/memberi solusi dan sekaligus sebagai pengontrol, berani menanggung resiko, sharing, terbuka.
Dalam berelasi tidak sembunyi-sembunyi, terbuka dan tidak pilih-pilih.
Memposisikan sebagai dirinya sendiri, tidak kesulitan dalam komunitas, bisa berelasi dengan berbagai karakter, mudah menyesuaikan diri, bisa menerima kritikan, rendah hati.
Mendengarkan, perhatikan, tahu sopan-santun, lembah lembut dalam melayani, patut dibanggakan, perkembangan kepribadiannya bagus, bisa
Bisa berelasi, berani untuk memulai, tidak membedakan, cepat menyesuaikan diri.
Menghargai, berbaur dengan teman-teman, akrab, sadar dan apa adanya
Mendengarkan, ramah.
Berusaha untuk berempati, sebagai teman.
Mendengarkan, membaca untuk menanbah wawasan, tahu batas, melatih kepekaan.
Hal lain yang menonjol dalam diri:
Mampu berelasi dengan siapa saja, ramah, jaga jarak dengan lawan jenis.
Memberi semangat, meneguhkan, berusaha fokus pada apa yang sedang dibuat.
Mendengarkan dengan baik.
Mampu mengendalikan emosi, bisa mengontrol diri dan berempati dengan orang lain.
Bersikap ramah, perhatian.
Hal-hal lain yang
Relasi dengan teman bebas tidak mengikat, bebas bergaul dengan siapa saja dan tidak pilih-pilih.
Kalau dengan teman yang sudah biasa bisa bercanda/guyon, bisa menerima sesama.
Seimbang ingin mendengarkan dan kadang ingin didengarkan, sadar, tidak mendominasi.
Waspada dan fokus untuk mendengarkan dengan tenang.
Berusaha
Dalam berelasi biasa-biasa saja, wajar, apa adanya, secukupnya.
Mampu mengerti macam-macam karakter, perbedaan, merasa diperkaya.
Mendengarkan dengan baik, tidak memotong pembicaraan.
Bisa mengontrol diri, berusaha untuk mengintegrasikan ilmu yang ditekuninya dengan hidup panggilan sehari-hari.
Hal-hal lain yang nampak dalam dirinya: Ia semakin berkembang, mampu
(32)
dipercaya. Mendengarkan
dengan hati. Mengklarifikasi,
mampu mengungkapkan pendapat saat pertemuan komunitas.
Hal-hal lain yang menonjol dalam dirinya: cukup dewasa dalam bersikap, dalam mengambil tindakan, mampu menempatkan diri, sadar bahwa dirinya sebagai religius, halus dalam mengingatkan teman, tegas, berani menanggung resiko, serius dalam panggilan dan tugas studi, bagus dalam perkembangan hidup rohaninya.
Belajar dari orang lain, bertanya, refleksi, sharing, mencari makna dan maksud, mendoakan, sadar bahwa diri ini perempuan, menggunakan waktu dengan baik, menerima diri dan keluarga, punya harapan, dari kecil sudah dipercaya, saling menguatkan, menjalin relasi dengan Tuhan, tanggung jawab, hidup seimbang
nampak dalam dirinya: Reflektif, menjalin relasi dengan Tuhan, mengolah diri, mengenal diri lebih dalam, jujur, terbuka dalam sharing, menjalin relasi yang baik dengan sesama dan belajar dari orang lain.
mendengarkan dengan baik melatih kesabaran, banyak membaca buku yang bisa membantu dengan tepat.
Hal lain yang tampak dalam diri: refleksi, ada inisiatif untuk dialog dengan yang bermasalah, terbuka, sharing pada orang yang bisa dipercaya, berdoa, menikmati perasaan, sadar mendengarkan suara hati, barwawanhati dengan Tuhan, sadar sebagai pribadi yang dicintai Tuhan Allah.
mengerti, menerima kekurangan sesama, mengerjakan sesuatu dengan diam-diam sampai selesai, selalu berterima kasih saat diberi masukan tenang, banyak refleksi, mampu mengolah sehingga mampu berelasi dengan baik, konsisten, tidak dikuasai perasaan sesaat.