kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa smp negeri eks rsbi dan ssn  di kabupaten ngawi

20
Kemampuan Berfikir dan Kepekaan Sosial KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN DI KABUPATEN NGAWI Sutiyo (S2 Pendidikan Ips, Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya) Abstrak Perdebatan pro-kontra keberadaan RSBI mencapai puncak setelah Makamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap keberadaan RSBI. Konsekuensi dari keputusan tersebut, sekolah dilarang menggunakan lebel RSBI, dan segala kegiatan RSBI harus dihentikan. Pembelajaran IPS di SMP RSBI yang telah berbasis ICT, area sekolah RSBI yang telah free hotspot, diharapkan berdampak positif terhadap pembelajaran IPS. Dengan free hotspot memungkinkan siswa mengakses internet untuk menunjang pembelajaran IPS. Demikian juga keberadaan Laboratorium IPS, diprediksi membantu meningkatkan ketercapaian tujuan pembelajaran IPS. Tujuan pembelajaran IPS ditingkat SMP/MTs/SMPLB mencakup 4 indikator, yaitu mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan masyarakat, memiliki kemampuan dasar berpikir, memiliki komitmen kesadaran terhadap nilai-nilai sosial, dan memiliki kemampuan berkomunikasi. Dari 4 indikator tujuan pembelajaran IPS di atas, menurut peneliti ada dua kata kunci yang mewarnai keempat indikator tersebut. Kedua kata kunci tersebut adalah kemampuan dasar berpikir dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial. Dengan memiliki kemampuan dasar berpikir, siswa akan mampu menguasai konsep-konsep kemasyarakatan dengan benar. Dengan memiliki kemampuan dasar berpikir dan kesadaran terhadap nilai- nilai sosial, siswa mampu berkomunikasi, bekerja sama, berkompetisi dalam masyarakat di tingkat lokal, nasional, maupun global. Maka kemampuan dasar berpikir dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial hendaknya menjadi jantung indikator setiap pembelajaran IPS di tingkat SMP/MTs/SMPLB. Penelitian ini dirancang untuk membandingkan SMP eksRSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi dalam sudut pandang pembelajaran IPS. Indikator pembanding dalam penelitian ini berupa kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa. Untuk itu, rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. (1) Apakah ada perbedaaan kemampuan berpikir antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi? (2) Apakah ada perbedaaan kepekaan sosial antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi? (3) Apakah ada hubungan antara kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa siswa SMPN di Kabupaten Ngawi? (4) Apakah ada hubungan antara kemampuan berpikir dan standar sekolah terhadap kepekaan sosial siswa SMPN di Kabupaten Ngawi? Tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. (1) Mendiskripsikan perbedaaan kemampuan berpikir dan kepekaan sosial antara siswa SMP eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi, agar diperoleh gambaran mana yang lebih baik diantara keduanya. (2) Menganalisis hubungan antara kemampuan berpikir terhadap kepekaan sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan mencermati hubungan-hubungan antarvariabel untuk menjawab rumusan masalah dan menguji hipotesis. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kausal komparatif dan 1

Upload: alim-sumarno

Post on 24-Oct-2015

335 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

Jurnal Online Universitas Negeri Surabaya, author : SUTIYO, http://ejournal.unesa.ac.id

TRANSCRIPT

Page 1: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

Kemampuan Berfikir dan Kepekaan Sosial

KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL

SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN DI KABUPATEN NGAWI

Sutiyo

(S2 Pendidikan Ips, Pascasarjana, Universitas Negeri Surabaya)

Abstrak

Perdebatan pro-kontra keberadaan RSBI mencapai puncak setelah Makamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan terhadap keberadaan RSBI. Konsekuensi dari keputusan tersebut, sekolah dilarang menggunakan lebel RSBI, dan segala kegiatan RSBI harus dihentikan.

Pembelajaran IPS di SMP RSBI yang telah berbasis ICT, area sekolah RSBI yang telah free hotspot, diharapkan berdampak positif terhadap pembelajaran IPS. Dengan free hotspot memungkinkan siswa mengakses internet untuk menunjang pembelajaran IPS. Demikian juga keberadaan Laboratorium IPS, diprediksi membantu meningkatkan ketercapaian tujuan pembelajaran IPS.

Tujuan pembelajaran IPS ditingkat SMP/MTs/SMPLB mencakup 4 indikator, yaitu mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan masyarakat, memiliki kemampuan dasar berpikir, memiliki komitmen kesadaran terhadap nilai-nilai sosial, dan memiliki kemampuan berkomunikasi. Dari 4 indikator tujuan pembelajaran IPS di atas, menurut peneliti ada dua kata kunci yang mewarnai keempat indikator tersebut. Kedua kata kunci tersebut adalah kemampuan dasar berpikir dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial. Dengan memiliki kemampuan dasar berpikir, siswa akan mampu menguasai konsep-konsep kemasyarakatan dengan benar. Dengan memiliki kemampuan dasar berpikir dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial, siswa mampu berkomunikasi, bekerja sama, berkompetisi dalam masyarakat di tingkat lokal, nasional, maupun global. Maka kemampuan dasar berpikir dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial hendaknya menjadi jantung indikator setiap pembelajaran IPS di tingkat SMP/MTs/SMPLB.

Penelitian ini dirancang untuk membandingkan SMP eksRSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi dalam sudut pandang pembelajaran IPS. Indikator pembanding dalam penelitian ini berupa kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa. Untuk itu, rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut. (1) Apakah ada perbedaaan kemampuan berpikir antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi? (2) Apakah ada perbedaaan kepekaan sosial antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi? (3) Apakah ada hubungan antara kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa siswa SMPN di Kabupaten Ngawi? (4) Apakah ada hubungan antara kemampuan berpikir dan standar sekolah terhadap kepekaan sosial siswa SMPN di Kabupaten Ngawi?

Tujuan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut. (1) Mendiskripsikan perbedaaan kemampuan berpikir dan kepekaan sosial antara siswa SMP eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi, agar diperoleh gambaran mana yang lebih baik diantara keduanya. (2) Menganalisis hubungan antara kemampuan berpikir terhadap kepekaan sosial.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan mencermati hubungan-hubungan antarvariabel untuk menjawab rumusan masalah dan menguji hipotesis. Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kausal komparatif dan expost facto. Variabel yang akan dikomparasikan dalam penelitian ini terdiri atas kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa. Kemampuan berpikir siswa diukur dari indikator kemampuan berpikir membuat kesimpulan dan kemampuan berpikir memecahkan masalah. Sedangkan kepekaan sosial diukur dari sikap siswa, sebagai reaksinya terhadap problem sosial. Reaksi sikap tersebut diukur dalam skala Linkert.

Dengan teknik analisis T-Test diperoleh nilai p-value kemampuan berpikir 0,000, yang berarti p-value < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Berarti ada perbedaan antara kemampuan berpikir siswa SMPN eks RSBI dan siswa SMPN SSN. Dilihat dari rata-rata skor, kemampuan berpikir siswa SMPN eks RSBI di Kabupaten Ngawi lebih tinggi daripada kemampuan berpikir siswa SMPN SSN.

Dengan analisis T-Test juga, nilai p-value kepekaan sosial p-value 0,008, yang berarti p-value < 0,05. Ini berarti hipotesis ada perbedaan anatara kepekaan sosial siswa SMPN eks RSBI dan siswa SSN teruji kebenarannya. Kepekaan sosial siswa SMPN SSN lebih baik daripada kepekaan sosial siswa SMPN eks RSBI.

Sedangkan melalui analisis Product Moment diperoleh koefesien korelasi (r) antara kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa SMPN di Kabupaten Ngawi sebesar 0,94. Nilai r pada Sig (2 tailed) sebesar 0,148. Dengan demikian nilai r hitung < r tabel. Hal ini berarti tidak ada hubungan antara kemampuan berpikir dengan kepekaan sosial siswa SMPN di Kabupaten Ngawi. Kepekaan sosial sebagai sebuah perilaku moral dipengaruhi oleh proses internalisasi, modelling atau teladan, empatic distress (merasakan penderitaan orang lain), dan latihan-latihan disiplin

1

Page 2: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

INTERAKSI. Volume 01 Nomor 01 Tahun 2013

dari orang tua. Peran orang tua sangat sentral dalam pembentukan kepekaan sosial anak, yaitu dalam proses internalisasi, peneladanan, dan memberikan latihan-latihan moral kepada anak.

Kata kunci: kemampuan berpikir, kepekaan sosial, SMP Negeri eksRSBI, SMP Negeri SSN

Abstract

Debate the pros and cons of the existence RSBI peaked after the Constitutional Court (MK) accepted the accusation of the existence of RSBI. The consequences of this decisions, schools are prohibited from using RSBI label, and all RSBI activities must be stopped. However RSBI dissolution was not wise. RSBI dissolution should be preceded by scientific studies of the plus-minus RSBI. RSBI activities that have a positive impact for improving the quality of national education and not contrary to the sense of justice, should be maintained.

Eks RSBI junior high school have learning social studies base on ICT. Eks RSBI school area have free hotspot, is expected to have positive impact on learning social studies. With free internet hotspot allowed students access to learning support IPS. The presence of IPS Laboratory, also is predicted to help improve the achievement of learning objectives IPS.

The level learning objectives IPS SMP/MTs/SMPLB includes 4 indicators, which recognize the concepts related to the community, have the basic ability to think, has a commitment to awareness of social values, and have the ability to communicate. 4 indicators of social studies learning objectives above, according to researchers there are two key words that characterize these four indicators. Both of these keywords is the basic thinking skills and awareness of social values. By having the basic thinking skills, students will be able to master the concepts of community properly. By having the basic thinking skills and awareness of social values, students are able to communicate, collaborate, compete in society at local, national, and global levels. So the basic thinking skills and awareness of social values should be at the center of learning social studies indicator on each SMP / MTs / SMPLB.

This study was designed to compare the SMP eksRSBI and SSN in Ngawi in learning social studies perspective. The indicator comparison in this study is the ability of students to think and social sensitivity. The formulation of the problem in this study are. (1) Are there the differences between students' ability to think SMP ex RSBI and SSN in Ngawi? (2) Are there the differences in social sensitivity among students of SMP ex RSBI and SSN in Ngawi? (3) Is there a relationship between thinking skills and social sensitivity of students students of SMP in Ngawi? (4) Is there a relationship between thinking skills and social sensitivity towards the school standard students of SMP in Ngawi?

The purpose of this study is formulated as follows. (1) To describe the differences in thinking skills and social sensitivity among junior high school students and former RSBI SSN in Ngawi, in order to obtain a better picture of where the two. (2) to analyze the relationship between the ability to think of the social sensitivity. (3) To analyze the relationship between thinking skills and social sensitivity towards the school standard students of SMP in Ngawi.

This study used a quantitative approach to examine the relationships between variables, to answer the problem formulation and testing hypotheses. The research included in this type of research and ex post facto causal comparative research design with 2 x 2 factorial. Variables that will be compared in this study consists of the ability of students to think and social sensitivity. The ability of student to think is measured by indicators thinking skills to make inferences and thinking skills to solve problems. While social sensitivity is measured by students' attitudes, as a reaction to social problems. The attitude of the reaction is measured in Linkert scale.

Using T-Test analysis techniques was obtained p-value thinking ability 0,000. P-value of 0,000, which means the p-value <0.05, then Ho is rejected and H1 is accepted. It means that there is a difference thinking ability between students' SMPN ex RSBI and student’ SMP SSN. Base on the average score, the ability to think RSBI former students of SMP in Ngawi is higher than SMP SSN students' thinking skills.

Using T-Test analysis as well, p-value of social sensitivity is 0.008. Its means the p-value <0.05. This means, the hypothetical that there are differences between social sensitivity of students' SMPN ex RSBI and student’ SMP SSN is verified. Social sensitivity students SSN is better than the students of SMP eks RSBI.

Page 3: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

Kemampuan Berfikir dan Kepekaan Sosial

Meanwhile, through the analysis of acquired product moment correlation coefficient (r) between thinking skills and social sensitivity Junior High School students in Ngawi of 0.94. R value on Sig (2 tailed) of 0.148. Thus the value of count r <r table. This means that there is no relationship between the ability to think with social sensitivity Junior High School students in Ngawi. Social sensitivity as a moral behavior is affected by the process of internalization, modeling or exemplary, empatic distress (feel the suffering of others), and exercises discipline from parents. Very central role of parents in shaping children's social sensitivity, which is in the process of internalization, imitation, and provide moral exercises to children.

Keywords: thinking skills, social sensitivity, eks RSBI Junior High School, SSN Junior High School.

PENDAHULUAN

Perdebatan pro-kontra keberadaan RSBI mencapai kulminasi setelah dikeluarkannya keputusan Makamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan terhadap keberadaan RSBI. Pada tanggal 8 Januari 2013, MK mengabulkan 7 penggugat keberadaan RSBI. Menurut MK, RSBI dianggap bertentangan dengan UUD 1945 (Jawa Pos 9 Januari 2013).

Konsekuensi dari keputusan tersebut, sekolah dilarang menggunakan lebel RSBI dan segala kegiatan RSBI harus dihentikan. Namun pembubaran RSBI menyisakan beberapa persoalan. Pembubaran RSBI seharusnya perlu didahului dengan kajian ilmiah tentang plus-minus RSBI. Sehingga pembubaran RSBI tidak harus membubarkan semua kegiatan RSBI. Kegiatan-kegiatan RSBI yang memiliki dampak positif bagi peningkatan kualitas pendidikan nasional dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan seharusnya dipertahankan. Sebagai misal, proses pembelajaran di RSBI yang berbasis ICT seharusnya perlu dipertahankan sebagai upaya meningkatkan hasil belajar siswa.

Pembelajaran IPS SMP di RSBI telah menyajikan pembelajaran yang berbeda dengan pembelajaran IPS SMP non RSBI. Pembelajaran IPS SMP di RSBI telah berbasis ICT, karena di setiap ruang kelas RSBI telah tersedia proyektor. Area sekolah RSBI yang telah free hotspot, telah berdampak positif terhadap pembelajaran IPS SMP di RSBI. Dengan free hotspot memungkinkan siswa mengakses internet untuk menunjang pembelajaran IPS. Demikian juga pembelajaran IPS SMP di RSBI telah ditunjang dengan keberadaan Laboratorium IPS. Namun harus diakui, pembelajaran IPS SMP di RSBI yang demikian belum pernah diteliti efektivitasnya terhadap ketercapaian tujuan pembelajaran IPS itu sendiri.

Menurut National Council for the Social Study (NCSS), tujuan IPS dirumuskan: “The primary purpose of social study is to help young people develop the ability to make informed and reasened decicions for the public good as citizens of a culturally diverse, democratic society in a interdependent world”. Menurut tujuan tersebut, Pendidikan IPS harus mampu membekali siswa untuk menjadi warga negara dan warga dunia yang baik,

yang secara kultural berbeda-beda dalam masyarakat dunia yang demokratis dan saling ketergantungan.

Di Indonesia, Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan Nasional menyatakan tujuan utama IPS adalah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi masalah sehari-hari baik yang menimpa dirinya maupun yang menimpa masyarakat. Dalam tujuan ini menekankan pentingnya IPS untuk mengembangkan sikap, mental, dan perilaku peserta didik. Sikap dan perilaku yang menjadi tujuan utama IPS di Indonesia adalah sikap dan perilaku peka terhadap permasalahan sosial, perilaku yang terampil mengatasi permasalahan diri sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Sedangkan mental yang dikembangkan dalam IPS adalah mental yang positif terhadap perbaikan dan ketimpangan. Dengan sikap, mental, dan perilaku seperti itu IPS diharapkan benar-benar membekali peserta didik untuk menjadi warga negara yang baik dan kompeten.

Dalam konteks kurikulum pembelajaran, tujuan pembelajaran IPS di tingkat SMP/MTs/SMPLB adalah agar peserta didik memiliki kemampuan : 1) mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan lingkungannya; 2) memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, inkuiri memecahkan masalah, dan ketrampilan dalam kehidupan sosial; 3) memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan; 4) memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerja sama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global. Dari tujuan pembelajaran IPS tersebut mengisyaratkan adanya 4 indikator utama dalam pembelajaran IPS, yaitu mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan masyarakat, memiliki kemampuan dasar berpikir, memiliki komitmen kesadaran terhadap nilai-nilai sosial, dan memiliki kemampuan berkomunikasi.

Dalam 4 indikator umum pembelajaran IPS di atas, ada dua kata kunci yang mewarnai keempat indikator tersebut. Kedua kata kunci tersebut adalah kemampuan dasar berpikir dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial. Dengan memiliki kemampuan dasar berpikir, siswa akan mampu menguasai konsep-konsep yang

3

Page 4: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

INTERAKSI. Volume 01 Nomor 01 Tahun 2013

berkaitan dengan masyarakat dengan benar. Dengan memiliki kemampuan dasar berpikir dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial, siswa mampu berkomunikasi, maupun global. Maka kemampuan dasar berpikir dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial hendaknya menjadi jantung indikator setiap proses pembelajaran IPS di tingkat SMP/MTs/SMPLB.

Perkins (dalam Eggen dan Kauchak, 2012: 110) menyatakan: “Pembelajaran adalah dampak dari berpikir. Retensi, pemahaman, dan penggunaan aktif pengetahuan bisa tercipta hanya dengan pengalaman pembelajaran dimana murid berpikir tentang, dan berpikir dengan, apa yang mereka pelajari”. Di sini tampak bahwa esensi pembelajaran adalah adanya proses berpikir. Pembelajaran dianggap tidak optimal, jika di dalamnya tidak ada proses pemahaman dan penggunaan aktif pengetahuaan siswa. Dan sebaliknya pembelajaran telah memiliki esensi jika di dalamnya siswa telah aktif untuk mendapatkan pengetahuan, terbuka terhadap pemikiran orang lain, menerapkan pengetahuannya, menggeneralisasi, dan aktif menggunakan kemampuan berpikir lainnya.

Senada dengan konsep di atas, Eggen dan Kauchak (2012: 110) berpendapat bahwa pembelajaran dan berpikir itu saling tergantung. Semakin berkembang penuh ketrampilan berpikir murid, semakin sering mereka belajar. Kemudian, semakin sering mereka belajar tentang suatu topik, semakin baik mereka mampu berpikir kritis tentang topik itu. Proses berpikir dapat terjadi melalui proses pembelajaran. Dan sebaliknya proses pembelajaran juga akan terjadi, jika kegiatan berpikir diaktifkan.

Melihat pentingnya proses berpikir dalam pembelajaran, pemberdayaan berpikir akan menentukan kualitas proses pembelajaran itu sendiri. Pembelajaran IPS yang memberdayakan kemampuan berpikir membuat siswa untuk menyadari apa yang telah dipelajari, memberdayakan siswa untuk kreatif dan termotivasi untuk mengetahui objek belajarnya. Pembelajaran IPS yang memberdayaan berpikir membangkitkan keaktivan siswa dalam proses pembelajaran. Pembelajaran IPS yang memberdayaan berpikir memotivasi siswa untuk tanggap terhadap permasalahan yang ada di lingkungan sekitarnya, dan memecahkan masalah nyata dalam kehidupannya.

Selain kemampuan berpikir, hasil pembelajaran IPS SMP yang menjadi perhatian dalam penelitian ini adalah kepekaan sosial. Pengembangan dan pemeliharaan kepekaan sosial sangat penting, karena secara ekonomi pendidikan dirancang untuk mendukung pembangunan masyarakat yang produktif. Sedangkan dari sudut konsep demokrasi, sekolah sebagai salah satu agen perubahan hendaknya membantu para siswa untuk berpartisipasi dengan cara memahami masyarakatnya dan memberi sumbangan terhadap perubahan sosial. Namun diakui bahwa tidak semua siswa peduli dan memiliki kesadaran

terhadap persoalan-persoalan kemasyarakatan dan politik. Dalam konteks inilah setiap guru melalui pengembangan strategi pembelajaran hendaknya mendorong siswanya, agar menjadi siswa dan atau warga masyarakat yang punya kepekaan sosial, terlebih dalam era globalisasi dan perubahan sosial yang begitu cepat.

Realita di atas menjadi garapan yang serius dari pembelajaran IPS di sekolah. Pembelajaran IPS harus menkontekskan siswa dengan permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat , seperti kemiskinan, kebodohan, pengangguran, kejahatan, koropsi, kolusi, suap, pungli, dan permasalahan sosial lainnya. Pembelajaran IPS harus memperkenalkan kepada siswa tentang konsep-konsep, norma, prinsip, nilai yang hidup dan berkembang di asyarakat. Harapannya siswa mudah merasa, terangsang dan bereaksi terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat.

Penelitian ini mengukur kemampuan berpikir dan kepekaan sosial sebagai hasil pembelajaran IPS di tingkat SMP. Kemampuan berpikir dan kepekaan sosial merupakan 2 diantara 4 tujuan pembelajaran IPS di SMP. Pengukuran kemampuan berpikir dan kepekaan sosial sebagai hasil belajar IPS perlu peneliti lakukan karena penilaian hasil belajar IPS kebanyakan hanya dilakukan dalam aspek pengetahuan tentang konsep-konsep IPS saja. Pengukuran kemampuan berpikir merupakan upaya menilai tujuan pembelajaran IPS SMP pada ranah kognitif . Sedangkan pengukuran kepekaan sosial merupakan upaya menilai tujuan pembelajaran IPS SMP pada ranah afektif. Dengan melakukan pengukuran kemampuan berpikir dan kepekaan sosial berarti melakukan penilaian hasil belajar IPS dalam ranah kognitif, dan afektif.

Pengukuran kemampuan berpikir dan kepekaan sosial dalam penelitian ini, peneliti kaitkan dengan standar sekolah SMP RSBI dan SMP SSN. SMP RSBI merupakan sekolah yang telah tuntas memenuhi Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan telah mengembangkan SNP itu dengan cara mengadaptasikan dan mengadopsi standar pendidikan yang berlaku di negara-negara OECD. Sedangkan SMP SSN merupakan sekolah yang telah memenuhi SNP. Dengan keunggulan teoritis sekolah RSBI terhadap sekolah SSN seperti itu, penelitian ini akan membuktikan perbedaan kemampuan berpikir dan kepekaan sosial antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi. Untuk memperdalam analisis, juga dianalisis hubungan antara kemampuan berpikir dengan kepekaan. Sehingga penelitian ini diharapkan memberikan pemikiran reflektif tentang keberadaan standar sekolah terhadap ketercapaian tujuan pembelajaran IPS.

METODE

Page 5: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

Kemampuan Berfikir dan Kepekaan Sosial

Jenis penelitian ini adalah penelitian kausal komparatif (causal comparatif research) dan expost facto research. Sebagai penelitian kausal komperatif, penelitian ini mengkomparasikan kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa di SMPN eks RSBI dan SMPN SSN di Kabupaten Ngawi. Dan sebagai penelitian ekspos fakto, peneliti tidak melakukan manipulasi terhadap variabel kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa. Peneliti hanya berusaha menginterpretasikan variabel tersebut

Mengikuti alur uraian di atas, desain penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pada pengujian pertama, diadakan komparasi variabel kemampuan berpikir siswa SMP Negeri eks RSBI dengan SMP Negeri yang berstandar SSN. Pada pengujian kedua, diadakan komparasi variabel kepekaan sosial siswa SMP Negeri eks RSBI dengan SMP Negeri yang berstandar SSN. Selanjutnya pada pengujian ketiga, dianalisis hubungan antara variabel kemampuan berpikir dengan variabel kepekaan sosial siswa.

Ada dua jenis variabel dalam peneliti ini, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah kemampuan berpikir siswa, sedangkan variabel terikatnya adalah kepekaan sosial siswa.

Pengukuran kemampuan berpikir didasarkan pada indikator-indikator sebagai berikut. 1. Membuat kesimpulan:

Kemampuan menyusun pertanyaan yang fokus pada isi bacaan.

Kemampuan mengidentifikasi ide-ide penting dalam bacaan.

Kemampuan membuat kesimpulan dari isi bacaan. 2. Memecahkan masalah:

Kemampuan mengidentifikasikan masalah dalam bacaan.

Kemampuan menentukan akar masalah. Kemampuan membuat pemecahan masalah. Kemampuan memprediksi hambatan pemecahan

masalah.

Kepekaan Sosial adalah sikap siswa yang mudah bereaksi terhadap problem sosial. Indikator kepekaan sosial siswa sebagai berikut.1) Kepekaan sosial terhadap problem sosial yang

menimpa pada diri sendiri.2) Kepekaan sosial terhadap problem sosial yang

menimpa pada orang lain. 3) Kepekaan sosial terhadap problem sosial lingkungan

masyarakat. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas 8

SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi. Penentuan sekolah sampel dilakukan dengan cara area sampling (cluster sampling). Sedangkan penentuan siswa sampel dilakukan berdasarkan kelas siswa. Dengan proses tersebut diperoleh 2 sampel SMPN RSBI, dan 4 sampel SMPN SSN. Sedangkan sampel siswa diambil 118 siswa SMPN eks RSBI dan 120 siswa SMPN SSN di Kabupaten Ngawi.

Pengambilan data penelitian ini menggunakan 2 instrumen, yaitu instrumen kemampuan berpikir dan instrumen kepekaan sosial. Instrumen kemampuan berpikir berupa tes kemampuan berpikir siswa. Tes kemampuan berpikir berisi 6 bacaan yang diikuti dengan 21 pertanyaan terbuka. Instrumen kepekaan sosial, berupa angket yang berskala Linkert. Instrumen kepekaan sosial ini berisi pernyataan tertutup, kemudian responden menyatakan sikap sesuai pilihan yang tersedia.

Analisis data dilakukan dengan teknik diskriptif kuantitatif. Teknik diskriptif dimaksudkan untuk mendiskripsikan data sampel yang telah terkumpul dengan apa adanya, tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku untuk umum (Sugiyono, 2012b: 29). Untuk menguji hipotesis penelitian, dilakukan dengan teknik Independent –Sample T-Test dan Product Moment.Untuk mempermudah perhitungan pengujian hipotesis, digunakan Program SPSS 16.00 for Windows.

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Kepekaan Sosial Siswa

Kemampuan Berpikir Siswa

Eks RSBI

Kepekaan Sosial Siswa

Pembelajaran IPS di SMPN

Eks RSBI

Kemampuan Berpikir Siswa

Pembelajaran IPS di SMPN

SSN

Page 6: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

INTERAKSI. Volume 01 Nomor 01 Tahun 2013

1. Data kemampuan berpikir

Data kemampuan berpikir terdiri dari data skor kemampuan berpikir siswa di SMPN eks RSBI dan data skor kemampuan berpikir siswa SMPN SSN di Kabupaten Ngawi.

Tabel 1

Kemampuan Berpikir Siswa SMPN eks RSBI dan SSN

Deskripsi eks RSBI SSN

Skor terendah

Skor tertinggi

Skor rata-rata

36

60

49,05

25

54

40,16

Sumber: Data Pokok Hasil Penelitian

Dilihat dari capaian skor tertinggi, siswa eks RSBI mencapai skor 60, sedangkan siswa SSN skor tertingginya 54. Dilihat dari skor rata-rata, siswa eks RSBI mencapai 49,05, sedangkan siswa SSN skor rata-ratanya hanya 40,16.

Capaian skor maksimal kemampuan berpikir siswa SMPN eks RSBI berdasarkan indikator berpikirnya tertera pada tabel berikut ini.

Tabel 2

Prosentase Skor Maksimal

Siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi

berdasarkan Indikator Berpikir

Sumber: Data Pokok Hasil Penelitian

Dari data di atas dapat didiskripsikan bahwa pada kemampuan berpikir membuat kesimpulan siswa SMPN eks RSBI pada indikator berpikir menyusun pertanyaan yang fokus pada isi bacaan, 44,06% siswa dapat mencapai skor maksimal (3), sedangkan siswa SSN hanya 18,33%. Pada indikator berpikir mengidentifikasi ide-ide penting dalam bacaan, 25,70% siswa dapat mencapai skor maksimal (4), sedangkan siswa SSN hanya 23,61%. Dan pada indikator berpikir membuat kesimpulan dari isi bacaan, 46,32% siswa dapat mencapai skor maksimal (3), sedangkan siswa SSN hanya 24,16%.

Data di atas juga menginformasikan bahwa capaian tertinggi siswa SMPN eks RSBI pada kemampuan berpikir membuat kesimpulan pada

No Kemampuan Berpikir/Indikator

Prosentase Siswa yang Mendapat Skor Maksimal (%)

1. Membuat Kesimpulan Eks RSBI SSN

1. Kemampuan menyusun pertanyaan yang fokus pada isi bacaan.

44,06 18,33

2. Kemampuan mengidentifikasi ide-ide penting dalam bacaan.

25,70 23,61

3. Kemampuan membuat kesimpulan dari isi bacaan.

46,32 24,16

2. Memecahkan Masalah

Kemampuan mengidentifikasikan masalah dalam bacaan.

23,44 11,94

Kemampuan menentukan akar masalah.

33,84 24,72

Kemampuan membuat pemecahan masalah.

53,11 32,27

Kemampuan memprediksi hambatan pemecahan masalah.

40,11 27,28

Page 7: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

Kemampuan Berfikir dan Kepekaan Sosial

indikator berpikir membuat kesimpulan dari isi bacaan. Pada indikator berpikir tersebut, 46,32% siswa dapat mencapai skor maksimal. Artinya 46,32% siswa dapat membuat kesimpulan isi bacaan dengan baik.

Selanjutnya variabel kemampuan berpikir dikelompokkan menjadi 2, yaitu kemampuan berpikir tinggi (KBT) dan kemampuan berpikir rendah (KBR). Pembagian kelompok KBT dan KBR didasarkan pada perolehan skor tes kemampuan berpikir terhadap rata-rata skor kemampuan berpikir baik siswa SMPN eks RSBI maupun SSN (keseluruhan). Siswa yang mendaptkan skor di atas rata-rata dikelompokkan dalam kemampuan berpikir tinggi, sebaliknya siswa yang memperoleh skor di bawah rata-rata dikelompokkan dalam kemampuan berpikir rendah.

Mendasar pada kreteria di atas, hasil pengelompokkan kemampuan berpikir siswa SMPN eks RSBI maupun SSN di Kabupaten Ngawi disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3

Pengelompokkan Kemampuan Berpikir

Siswa SMPN eks RSBI dan SSN

No

Kemampuan

Berpikir

Siswa eks RSBI

SiswaSSN

Jumlah

Prosentase (%)

Jumlah

Prosentase (%)

1 Tinggi 101 85,59 25 20,83

2 Rendah 17 14,41 95 79,17

Jumlah 118 100,00 120 100,00

Sumber: Data Pokok Hasil Penelitian

Tabel di atas menginformasikan bahwa dari 118 siswa SMPN eks RSBI berdasarkan skor kemampuan berpikirnya 101 siswa (85,59%) dikelompokkan dalan kemampuan berpikir tinggi (KBT), sedangkan 17 siswa (14,41%) dikelompokkan dalam kemampuan berpikir rendah (KBR). Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan siswa SMPN di sekolah SSN. Dari 120 siswa SMPN SSN, 25 siswa (20,83%) siswa tergolong dalam kemampuan berpikir tinggi (KBT) dan 95 siswa (79,17%) tergolong dalam kemampuan berpikir rendah (KBR).

2. Data kepekaan sosial

Skor kepekaan sosial siswa SMPN eks RSBI dan SSN berdasarkan indikator kepekaannya dapat diperhatikan pada Tabel 4 di bawah ini.

Tabel 4

Skor Kepekaan Sosial Siswa SMPN eks RSBI Dan SSN

Berdasarkan Indikator Kepekaannya

No

Skor

Kepekaan

terhadap Diri sendiri

Kepekaan

terhadap

Orang Lain

Kepekaan

terhadap

Lingkungan

Kepekaan

Sosial

eks RSBI

SSN

eks RSBI

SSN

eks RSBI

SSN

eks RSBI

SSN

1 Tertingg

i

28 27

35 37

30 32

88 91

2 Terendah

19 17

26 24

20 18

68 68

3 Rata-rata

22 23

30 31

25 25

78,06

79,39

Sumber: Data Pokok Hasil Penelitian

Dari tabel di atas tampaknya skor indikator kepekaan antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN beda tipis. Pada indikator kepekaan pada diri sendiri, rata-rata skor siswa eks RSBI 22, sedangkan siswa SSN 23. Pada indikator kepekaan pada orang lain, rata-rata skor siswa eks RSBI 30, sedangkan siswa SSN 31. Namun pada indikator kepekaan terhadap lingkungan tidak ada perbedaan antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN, kedua-duanya memiliki rata-rata skor yang sama, yaitu 25. Namun secara keseluruhan rata-rata kepekaan sosial siswa SSN lebih baik daripada siswa eks RSBI.

3. Pengujian Hipotesis

Hipotesis pertama dalam penelitian ini berbunyi “Ada perbedaan kemampuan berpikir antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi”.

7

Page 8: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

INTERAKSI. Volume 01 Nomor 01 Tahun 2013

Berdasarkan Analysis Independent-Sample T-Test, diperoleh nilai Sig adalah 0,000. Ini berarti p-value < 0,05. Dengan nilai p-value < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Berarti rata-rata kemampuan berpikir siswa SMPN eks RSBI berbeda dengan rata kemampuan berpikir siswa SMPN SSN, sehingga hipotesis ke-1 dalam penelitian ini teruji kebenarannya.

Hipotesis kedua dalam penelitian ini berbunyi “Ada perbedaan kepekaan sosial antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi”. Berdasarkan hipotesis Analisis Independent-Sample T-Test diperoleh nilai Sig 0,008, yang berarti p-value < 0,05. Karena nilai p-value < 0,05, maka H0 ditolak dan H1 diterima. Ini berarti rata-rata kepekaan sosial siswa SMPN eks RSBI berbeda dengan rata-rata kepekaan sosial SMPN SSN, sehingga hipotesis ke-2 dalam penelitian ini teruji kebenarannya.

Hipotesis ketiga dalam penelitian ini berbunyi “Ada hubungan antara kemampuan berpikir dengan kepekaan sosial siswa SMP Negeri di Kabupaten Ngawi”. Untuk menguji kebenaran hipotesis tersebut, dilakukan uji Korelasi Product Moment. Melalui proses perhitungan SPSS 16.00, diperoleh nilai rhitung

sebesar 0,094. Sedangkan nilai rtabel pada tingkat signifikan 0,05 adalah sebesar 0,148. Ini berarti, nilai rhitung < nilai rtabel, sehingga H0 diterima dan H1 ditolak. Dengan demikian, tidak ada hubungan antara kemampuan berpikir dengan kepekaan sosial siswa SMP Negeri di Kabupaten Ngawi.

A. Pembahasan1. Perbedaan kemampuan berpikir siswa SMPN

eks RSBIi dan SSN di Kabupaten NgawiBerdasarkan hasil perhitungan analisis

Independent Sample T Test, hipotesis “ada perbedaan antara kemampuan berpikir siswa SMPN eks RSBI dan siswa SMPN SSN di Kabupaten Ngawi” diterima. Ini berarti ada perbedaaan yang signifikan antara kemampuan berpikir siswa SMPN eks RSBI dan siswa SMPN SSN di Kabupaten Ngawi. Rerata skor kemampuan berpikir siswa SMPN eks RSBI lebih tinggi daripada rerata skor kemampuan berpikir siswa SMPN SSN.

Perbedaan kemampuan berpikir antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi juga terlihat dari rerata skor jenis kemampuan berpikir. Pada kemampuan berpikir membuat kesimpulan maupun kemampuan berpikir memecahkan masalah, rerata skor pada siswa SMPN eks RSBI lebih tinggi daripada rerata skor siswa SMPN SSN.

Perbedaan kemampuan berpikir antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi juga terjadi pada skor indikator-indikator berpikir. Pada semua indikator berpikir baik dalam kemampuan berpikir membuat kesimpulan maupun kemampuan

berpikir memecahkan masalah, rerata skor indikator berpikir siswa SMPN eks RSBI lebih unggul daripada rerata skor indikator berpikir siswa SMPN SSN. Pada indikator berpikir menyusun pertanyaan yang fokus pada bacaan misalnya, 44,06% siswa SMPN eks RSBI dapat mencapai skor maksimal. Ini berarti 44,06% siswa eks SMPN RSBI dapat membuat pertanyaan yang urgen terkait isi bacaan. Pertanyaan yang urgen terkait isi bacaan yang di maksud dalam penelitian ini, adalah pertanyaan-pertanyaan yang mengarah pada “bagaimana” dan “mengapa” terkait isi bacaan. Pertanyaan-pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” jika dikaitkan koreksi Taksonomi Bloom oleh Anderson dan Krathwohl (2001) termasuk dalam proses kognitif menerapkan (applying), dan menganalisis (analyze). Dilihat dari sisi dimensi pengetahuannya, pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa” termasuk dalam dimensi pengetahuan konseptual dan prosedural.

Berbeda dengan siswa SMPN eks RSBI, pada indikator dapat membuat pertanyaan yang urgen terkait isi bacaan, hanya 18,33% siswa SMPN SSN yang dapat membuat pertanyaan yang urgen terkait isi bacaan. Ini berarti hanya 18,33% siswa yang mencapai proses kognitif menerapkan (applying) dan menganalisis (analyze).

Selanjutnya, perbedaan kemampuan berpikir antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi juga bisa dibahas dari sisi kelompok kemampuan berpikir. Dalam pengelompokkan kemampuan berpikir, kelompok kemampuan berpikir siswa SMPN eks RSBI di Ngawi berbanding terbalik dengan dengan kelompok kemampuan berpikir pada siswa SSN. Pada siswa SMPN eks RSBI separo lebih (85,59%)berada pada kelompok KBT. Sebaliknya, pada siswa SMPN SSN separo lebih (79,17%) berada pada kelompok KBR.

Menurut Teori Perkembangan Kognitif Piaget, perkembangan kognitif ditentukan oleh manipulasi dan interaksi aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan memanipulasi objek secara aktif. Sejalan dengan itu, Case yakin bahwa perkembangan berpikir dipengaruhi kemampuan anak untuk memproses dan mengingat informasi. Kapasitas memori jangka-pendek bertambah sesuai dengan kematangan otak, namun memori ini juga menjadi lebih efisien melalui latihan dan pengajaran. Jadi perkembangan kognitif dipengaruhi dengan usia dan latihan-latihan pengajaran yang memberdayakan kemampuan berpikir.

Banyak peneliti mengemukakan bahwa keterampilan anak berkembang menurut cara-cara yang berbeda untuk tugas-tugas yang berbeda dan pengalaman mereka (termasuk pengajaran langsung di sekolah atau di mana saja) dapat memiliki pengaruh yang kuat pada kecepatan perkembangan tersebut (Byrnes, 1988; Gelman & Baillargeon, 1983; Overton, 1984; dalam Nur, 2004: 38). Untuk itu kemampuan berpikir dapat dikembangkan dan

Page 9: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

Kemampuan Berfikir dan Kepekaan Sosial

diperkaya dengan pengalaman-pengalaman yang memberdayakan kemampuan berpikir. Pengalaman-pengalaman yang memberdayakan kemampuan berpikir itu antara lain dengan memberikan kesempatan pada siswa menggunakan konsep untuk menganalisa, mengevaluasi permasalahan, dan mengunakan keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah.

Sekolah eks RSBI pada mulanya merupakan satuan pendidikan yang akan dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. Selama menjadi sekolah berstandar RSBI, keberadaanya setiap tahun disupervisi, dimonitoring, dan dievaluasi ketercapaiannya dalam meningkatkan IKKM sebagai jaminan mutu pendidikannya yang telah berstandar nasional dan pemenuhannya terhadap IKKT sebagai indikator kinerja sekolah yang dipersiapkan berstandar internasional. Sehingga proses pembelajaran, evaluasi pembelajaran, pemenuhan sarana prasarana pembelajaran, dan menejemen sekolah mendapatkan pantauan serius dari pemerintah.

Tuntutan peningkatan IKKM dan pemenuhan IKKT itulah yang mengharuskan penyelenggaraan pembelajaran di sekolah RSBI berbeda. Pengayaan pembelajaran di sekolah RSBI dengan memperbanyak variasi dan metode pembelajaran. Pembelajaran dengan menggunakan fasilitas berbasis TIK banyak memberikan stimuli positif pada kemampuan berpikir siswa. Pembelajaran di RSBI dengan metode pembelajaran yang bervariasi dapat lebih memberdayakan kemampuan berpikir siswa dan menambah efesiensi memori otak.

Pada saat peneliti mengadakan pengamatan proses pembelajaran, ada perbedaan proses pembelajaran antara SMPN eks RSBI dan SSN. Perbedaan itu terlihat jelas pada metode pembelajarannya. Pada proses pembelajaran yang membahas tentang pajak, di sekolah eks RSBI menggunakan model pembelajaran kooperatif dan pembelajaran langsung. Metode pembelajaran dilakukan dengan metode Jigsaw dan diskusi kelompok dengan penugasan membuat peta konsep dan mengumpulkan slip pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan untuk menghitung langsung besarnya pajak yang harus di bayar. Sedangkan di empat sekolah SSN, pembelajaran berlangsung dengan ceramah tanpa ada penugasan pada siswa. Perhitungan pajak hanya di sajikan dalam bentuk contoh, tanpa praktik menghitungnya secara langsung. Di SMPN 3 Ngawi (SSN) anak diberi kesempatan menghitung pajak, tetapi anak tidak diberi contoh nyata berupa slip pembayaran PPB atau SSP sebagaimana di sekolah eks RSBI. Disinilah perbedaan kemampuan berpikir antara siswa eks RSBI dapat dipahami. Perbedaan-perbedaan proses pembelajaran dengan latihan-latihan penugasan untuk melatih kemampuan berpikir di sekolah eks RSBI berdampak pada kemampuan

berpikir siswa eks RSBI lebih baik daripada siswa SSN.

Dalam hal sarana pembelajaran, SMPN eks RSBI juga berbeda dengan SMPN SSN. Pada pengamatan yang dilakukan peneliti, enam sekolah yang diteliti telah menggukan LCD proyektor sebagai media, kecuali SMPN 3 Ngawi (SSN). Bedanya, di SMPN eks RSBI LCD proyektor merupakan media permanen dalam kelas. Di SMPN SSN LCD proyektor merupakan media yang berpindah-pindah kelas, tergantung pada guru bidang studi memakainya atau tidak. Satu beda yang menonjol pada saat proses pembelajaran di SMPN 2 Ngawi, guru memerintahkan siswa untuk mengakses Pendapatan Kena Pajak (PKP) dan Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) tahun 2013 melalui internet. Siswapun mengakses langsung dengan bantuan sarana free hot spot sekolah. Kejadian itu tidak terjadi di SMPN SSN.

Sarana pembelajaran RSBI yang berbasis TIK dimaksudkan untuk meningkatkan daya tarik proses pembelajaran dan kemandirian siswa dalam belajar. Dengan pembelajaran IPS berbasis TIK, pembelajaran IPS akan lebih menarik minat siswa. Dengan teknologi komputer guru IPS dapat menghadirkan permodelan kasus-kasus sosial di depan kelas dengan lebih nyata dan menarik.

Dengan pembelajaran berbasis TIK memberikan peluang pada siswa untuk belajar secara mandiri. Fasilitas google map bisa diakses lewat internet dengan sarana free hot spot sekolah. Media animasi yang dikemas dengan interaktif mendorong siswa untuk belajar secara mandiri. Pembelajaran berbasis komputer (simulasi) akan meningkatkan efektivitas pembelajaran (Ingec, dalam Sudirman: 2012).

Pembuktian penggunakan sarana pembelajaran berbasis TIK dalam meningkatkan kemampuan kognitif siswa juga telah dibuktikan dalam penelitian Sudirman (2012). Dalam penelitian tersebut, Sudirman (2012: 115) menemukan bahwa ada perbedaan antara eksperimen menggunakan laboratorium riil dan eksperimen menggunakan laboratorium virtuil terhadap prestasi belajar fisika pada meteri pokok listrik dinamis. Data analisis variansi menunjukkan bahwa siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan metode eksperimen menggunakan laboratorium virtuil memperoleh prestasi belajar fisika lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran dengan metode eksperimen menggunakan laboratorium riil. Hal ini terjadi karena dengan menggunakan laboratorium virtuil siswa merasa tertarik dan tidak takut, sehingga mudah dalam mempelajari dan memahami konsep-konsep pada pokok bahasan listrik dinamis. Laboratorium virtuil yang dimaksud dalam penelitian Sudirman

9

Page 10: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

INTERAKSI. Volume 01 Nomor 01 Tahun 2013

adalah praktikum yang dilaksanakan dengan program animasi-animasi dalam komputer.

Yudhawati (2011) melalui penelitiannya juga telah membuktikan bahwa mutu lulusan SMK Negeri RSBI di Surabaya lebih baik daripada mutu lulusan SMK yang belum RSBI. Indikator mutu lulusan berupa hasil Ujian Nasional (UN) dan hasil praktik kejuruan. Mutu lulusan SMK Negeri RSBI memiliki nilai rata-rata UN yang lebih tinggi daripada SMK negeri yang belum RSBI. Hal ini disebabkan standar lulusan SMK RSBI lebih tinggi daripada standar kelulusan nasional. Ujian Nasional SMK terdiri dari 2 komponen yaitu normatif dan produktif. Ujian Nasional Produktif dilaksanakan melalui uji kompetensi keahlian dalam bentuk ujian teori kejuruan dan praktek kejuruan yang pengawasan maupun penilaiannnya melibatkan unsur guru dan unsur eksternal, yaitu unsur Dunia Usaha dan Industri (Dudi). Dengan melibatkan unsur Dudi dalam proses pengawasan dan penilaian ujian, dapat digunakan sebagai wahana dalam memberikan pengakuan terhadap kompetensi-kompetensi yang dimiliki lulusan.

2. Perbedaan kepekaan sosial siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten NgawiMelalui proses analisis Independent Sample T

Test, hipotesis kedua dalam penelitian ini juga diterima. Ini berarti ada perbedaan yang signifikan antara kepekaan sosial siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi. Kepekaan sosial siswa SMPN SSN di Kabupaten Ngawi lebih tinggi daripada siswa eks RSBI. Hal itu dapat dilihat dari perbedaan rata-rata skor kepekaan sosial, rata-rata skor indikator kepekaan, dan kelompok kepekaan sosial antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi.

Dalam perolehan rata-rata skor kepekaan sosial antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN berbeda tipis. Rata-rata skor kepekaan sosial siswa SMPN SSN sedikit lebih tinggi daripada rata-rata skor kepekaan sosial siswa SMPN eks RSBI. Perbedaan yang tipis itu juga terlihat pada perbedaan rata-rata skor indikator kepekaan. Indikator kepekaan terhadap diri sendiri dan indikator kepekaan terhadap orang lain siswa SMPN SSN sedikit lebih tinggi daripada siswa SMPN eks RSBI. Tetapi pada rata-rata skor indikator kepekaan pada lingkungan, rata-rata skor indikator siswa SMPN SSN sama dengan rata-rata skor indikator siswa eks RSBI.

Selanjutnya dalam kelompok kepekaan sosial antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN juga berbeda. Jumlah siswa SMPN SSN dalam kelompok kepekaan sosial tinggi lebih banyak dari pada siswa eks RSBI. Lebih dari separo (56,67%) siswa SMPN SSN tergolong memiliki kepekaan sosial tinggi. Di sekolah eks RSBI, prosentase siswa yang memiliki kepekaan rendah hampir imbang dengan prosentase sisiwa yang

memiliki kepekaan sosial tinggi, yaitu 51,69% dan 48,31%.

Kepekaan sosial siswa SMPN eks RSBI dalam penelitian ini lebih rendah dari pada siswa SMPN SSN. Hal itu dapat dianalisis dari karakter orang tua murid dan kondisi lingkungan siswa.

Martin Hoffman dalam Masitoh dan Nur (2004: 52) berpendapat bahwa empati terhadap penderitaan orang lain atau empathic distress, atau merasakan penderitaan orang lain, adalah suatu pendorong yang kuat dalam pilihan moral dan perilaku menolong. Hoffman juga mengemukakan bahwa latihan-latihan disiplin oleh orang tua dapat berperanan secara berarti dalam perkembangan perilaku moral. Sejalan dengan itu penelitian Smetana dalam Santrock (2007: 58) menemukan bahwa orang tua memiliki otoritas yang lebih besar dalam bidang moral, pendidikan, dan agama.

Empati terhadap penderitaan orang lain atau emphatic distress, atau merasakan penderitaan orang lain adalah suatu pendorong yang kuat dalam pilihan moral dan perilaku menolong. Empati akan mengembangkan kepekaan yang lebih besar terhadap kondisi-kondisi sosial seperti kemiskinan yang menjadi sumber penderitaan yang kronis. Empati diyakini dapat meningkatkan aktivitas-aktivitas prososial yang bertujuan untuk membantu kelompok orang-orang yang tidak beruntung dan memerlukan bantuan. Demikian juga latihan-latihan dari orang tua berperanan dalam perkembangan kepekaan sosial siswa. Latihan-latihan disiplin dari orang tua akan membekali anak berempati terhadap situasi sosial yang berkembang di sekitar anak.

McCain dan Salter (2009: xii) meyakini bahwa, guru yang terbaik adalah orang tua. Melalui teladan mereka, anak pertama kali belajar mencintai kebajikan, bukan melalui perintah maupun larangan. Internalisasi nilai-nilai di luar lingkungan keluarga hanya meneguhkan teladan yang telah diberikan orang tua.Pun demikian dengan kepekaan sosial yang dimiliki oleh anak.

Karakter orang tua siswa eks RSBI (SMPN 1 dan 2 Ngawi) sebagian besar adalah masyarakat ekonomi menengah ke atas yang berasal dari wilayah kota Ngawi. Mayoritas mereka terdiri dari PNS dan wiraswasta. Dengan pekerjaanya seperti itu, pola interaksinya terhadap anak berbeda dengan interaksi orang tua siswa SSN yang mayoritas bekerja sebagai petani. Orang tua siswa SSN lebih banyak memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak dalam hal melatih kepekaan sosial anak, dibanding orang tua siswa eks RSBI yang memiliki waktu kerja lebih sibuk.

Page 11: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

Kemampuan Berfikir dan Kepekaan Sosial

Faktor lain yang yang berpengaruh rendahnya kepekaan sosial siswa eks RSBI dibanding kepekaan sosial siswa SSN adalah faktor lingkungan, baik lingkungan fisik maupun sosial. Lingkungan fisik memiliki andil dalam pembentukan karakter sosial anak. Lingkungan laut misalnya cenderung membentuk karakter anak yang keras, pantang menyerah, dan pemberani. Demikian juga lingkungan sosial bagi anak memiki pengaruh plus dan minus yang sama-sama kuatnya. Pengaruh kawan sebaya dapat bersifat positif maupun negatif (Bergeron &Schneider; Brown; Rubn, Bukowski, & Parker, dalam Santrock: 2007: 57).

SMPN eks RSBI di Ngawi terletak di pusat kota Ngawi. Mayoritas siswanya adalah anak-anak yang tinggal di kota Ngawi. Kondisi fisik kota yang lebih menyajikan modernitas berpengaruh pada kepekaan sosial anak. Menurut Alma (2010: 209) kemajuan teknologi dapat berdampak menipisnya kepekaan sosial pada siswa. Adanya internet yang banyak memberi kemudahan dalam mencari informasi, tanpa disadari menyebabkan seseorang kurang menghiraukan lingkungan masyarakat sekitarnya. Rasa peduli terhadap lingkungan terkalahkan sikap individualisme yang secara pelan tapi pasti sebagai dampak perkembangan kecanggihan teknologi. Disamping itu, hiburan yang semakin beragam lewat kecanggihan teknologi ikut mengikis kepedulian anak-anak terhadap lingkungan sosialnya. Permainan game yang variatif lewat hand phone dan komputer menyita ketertarikan siswa dari aktivitas sosial di lingkungannya.

Kondisi sosial masyarakat kota yang hiterogin dan kehidupan kota yang cenderung individualis, berpengaruh pada rendahnya kepekaan sosial siswa SMPN eks RSBI daripada siswa SSN. Soekanto (1982) menyatakan, sikap hidup masyarakat kota cenderung egois dan individualis. Artinya, kebanyakan penduduk kota cenderung lebih memikirkan diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat lain. Sikap individualis ini terjadi akibat persaingan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari antar sesama anggota masyarakat yang tinggi. Sehingga masyarakat kota disibukkan oleh kepentingan pribadi.

Hal di atas berbeda dengan lingkungan sosial siswa SMPN SSN di Kabupaten Ngawi, yang mayoritas berada di kecamatan-kecamatan. Siswa SMPN SSN mayoritas anak yang berasal dari pedesaan yang memiliki hubungan kekerabatan yang kuat dalam budaya hidup paguyuban yang kuat. Sistem kekeluargaan masyarakat desa mendorong tumbuhnya kepekaan sosial yang tinggi.

3. ubungan kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa SMPN di Kabupaten Ngawi

Hipotesis ketiga dalam penelitian ini ditolak. Melalui Analisis Product Moment, terbukti tidak ada hubungan yang signifikan antara kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa SMPN di Ngawi.

Kholberg dalam Masitoh dan Nur (2004: 42), berpendapat bahwa penalaran moral berhubungan dengan perkembangan kognitif dan emosional. Operasi formal dan empati khususnya memegang peranan semakin besar dalam tingkat perkembangangan moral yang lebih tinggi. Berpikir abstrak menjadi semakin penting pada tingkat-tingkat perkembangan moral yang lebih tinggi. Perkembangan moral anak berkembang dari keputusan-keputusan berdasarkan aturan mutlak ke keputusan-keputusan berdasarkan prinsip-prinsip keadilan dan belas kasihan.

Akan tetapi hubungan antara penalaran moral dengan perilaku moral tidak terlalu kuat (Berg dalam Masitoh dan Nur, 2004: 48). Banyak faktor-faktor lain disamping penalaran, yang mempengaruhi perilaku moral. Dua pengaruh penting terhadap perilaku moral adalah internalisasi dan modeling.

Teori perilaku moral mengasumsikan bahwa perilaku moral anak-anak kecil pertama-tama dikendalikan oleh orang lain melalui pengajaran langsung, pengawasan, pujian dan hukuman, dan pembetulan. Jika anak-anak diberi alasan-alasan pada saat mereka dibetulkan, maka mereka akan lebih terbuka dalam menginternalisasi prinsip-prinsip moral. Kemudian mereka berperilaku sesuai moral yang berlaku, meskipun pada saat tidak seorangpun yang memperhatikan.

Modelling atau teladan memiliki pengaruh yang penting terhadap perkembangan perilaku moral anak. Anak-anak yang secara terus menerus melihat teladan kepedulian yang ditunjukkan orang dewasa yang dermawan akan cenderung menjadi lebih peduli terhadap hakdan perasaan orang lain (Lipcomb, Mcallister, dan Bregman, dalam Masitoh dan Nur (2004: 49).

Martin Hoffman dalam Masitoh dan Nur (2004: 52) berpendapat bahwa empati terhadap penderitaan orang lain atau empathic distress, atau merasakan penderitaan orang lain, adalah suatu pendorong yang kuat dalam pilihan moral dan perilaku menolong. Hoffman juga mengemukakan bahwa latihan-latihan disiplin oleh orang tua dapat berperanan secara berarti dalam perkembangan perilaku moral. Sejalan dengan itu penelitian Smetana dalam Santrock (2007: 58) menemukan bahwa orang tua memiliki otoritas yang lebih besar dalam bidang moral, pendidikan, dan agama anak.

Empati terhadap penderitaan orang lain atau emphatic distress, atau merasakan penderitaan orang

11

Page 12: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

INTERAKSI. Volume 01 Nomor 01 Tahun 2013

lain adalah suatu pendorong yang kuat dalam pilihan moral dan perilaku menolong. Empati akan mengembangkan kepekaan yang lebih besar terhadap kondisi-kondisi sosial seperti kemiskinan yang menjadi sumber penderitaan yang kronis. Empati diyakini dapat meningkatkan aktivitas-aktivitas prososial yang bertujuan untuk membantu kelompok orang-orang yang tidak beruntung dan memerlukan bantuan. Demikian juga latihan-latihan dari orang tua berperanan dalam perkembangan kepekaan sosial siswa. Latihan-latihan disiplin dari orang tua akan membekali anak berempati terhadap situasi sosial yang berkembang di sekitar anak.

McCain dan Salter (2009: xii) meyakini bahwa, guru yang terbaik adalah orang tua. Melalui teladan mereka, anak pertama kali belajar mencintai kebajikan, bukan melalui perintah maupun larangan. Internalisasi nilai-nilai di luar lingkungan keluarga hanya meneguhkan teladan yang telah diberikan orang tua.Pun demikian dengan kepekaan sosial yang dimiliki oleh anak.

Dengan demikian, tidak ada hubungan antara kemampuan berpikir dan kepekaan sosial siswa SMPN di Kabupaten Ngawi. Kepekaan sosial sebagai sebuah perilaku moral dipengaruhi oleh proses internalisasi, modelling atau teladan, empatic distress (merasakan penderitaan orang lain), dan latihan-latihan disiplin dari orang tua. Di sini tampak peran orang tua yang sangat sentral dalam ketiga faktor tersebut, yaitu dalam proses internalisasi, peneladanan, dan memberikan latihan-latihan moral kepada anak.

PENUTUP

Simpulan

a. Ada perbedaaan kemampuan berpikir yang signifikan antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi. Kemampuan berpikir siswa SMPN eks RSBI di Kabupaten Ngawi lebih tinggi daripada kemampuan berpikir siswa SMPN SSN. Hal demikian terjadi karena proses dan sarana pembelajaran di eks RSBI lebih baik daripada di SMP SSN.

b. Ada perbedaan kepekaan sosial yang signifikan antara siswa SMPN eks RSBI dan SSN di Kabupaten Ngawi. Kepekaan sosial siswa SMPN SSN lebih baik daripada kepekaan sosial siswa SMPN eks RSBI. Hal itu terjadi sebagai konskuensi karakteristik orang tua wali murid dan lingkungan sosial siswa SSN yang lekat dengan budaya paguyuban yang kuat.

c. Tidak ada hubungan antara kemampuan berpikir dengan kepekaan sosial SMPN di Kabupaten Ngawi. Kepekaan sosial sebagai sebuah perilaku moral dipengaruhi oleh proses

internalisasi, modelling atau teladan, empatic distress (merasakan penderitaan orang lain), dan latihan-latihan disiplin dari orang tua. Peran orang tua sangat sentral dalam pembentukan kepekaan sosial anak, yaitu dalam proses internalisasi, peneladanan, dan memberikan latihan-latihan moral kepada anak.

Saran

a. Berdasar hasil penelitian di atas kemampuan berpikir siswa SMPN eks RSBI di Kabupaten Ngawi lebih tinggi daripada kemampuan berpikir siswa SSN. Ini membuktikan keberadaan SMPN RSBI telah berdampak positif terhadap kemampuan berpikir siswa. Untuk itu peneliti berharap, agar pemerintah merumuskan kembali kebijakan pengganti RSBI sebagai upaya terus memacu peningkatan kualitas pendidikan, dengan memperhatikan rasa keadilan dan spirit ke-Indonesia-an. Peneliti yakin bahwa upaya memacu peningkatan kualitas pendidikan harus didorong dengan iklim kompetisi yang didesain oleh kebijakan pemerintah.

b. Sekolah harus senantiasa meningkatkan komunikasi dengan orang tua wali murid. Hal ini terkait peran penting orang tua dalam pembentukan perilaku moral siswa, diantaranya kepekaan sosial siswa. Sebagaimana analisis dalam penelelitian ini, orang tua memiliki peran penting dalam pembentukan kepekaan sosial siswa, yaitu dalam proses internalisasi nilai-nilai moral, memberikan latihan-latihan perilaku moral, peneladanan perilaku yang bermoral.

c. Di sekolah yang berada di pusat kota dengan karakter orang tua siswa yang memiliki kesibukan tinggi, guru IPS perlu bekerja lebih keras untuk menkontekskan siswa dengan permasalahan-permasalahan sosial yang ada di masyarakat. Harapannya, siswa mudah merasa, terangsang dan bereaksi terhadap masalah-masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Sehingga kepekaan sosial siswa dapat di tingkatkan.

Bagi siswa hendaknya dapat memanfaatkan teknologi dengan baik dan hemat waktu. Karena keterbiusan siswa terhadap teknologi yang berlebihan dapat menjauhkan perhatiannya pada situasi-situasi sosial yang ada di sekitarnya. Sehingga kepekaan sosial siswa semakin berkurang

DAFTAR PUSTAKA

Alma, Buchori. 2010. Pembelajaran Studi Sosial. Bandung: Alfabeta.

Page 13: KEMAMPUAN BERPIKIR DAN KEPEKAAN SOSIAL  SISWA SMP NEGERI EKS RSBI DAN SSN  DI KABUPATEN NGAWI

Kemampuan Berfikir dan Kepekaan Sosial

Borich, G.D. and Ai-C.O. 2006. Teaching Strategies That promote Thingking, Model and Curriculum Approaches. Singapore: Mc Graw-Hill Education (Asia).

Creswell, John W. 2010. Research Design Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Departemen Pendidikan Nasional, Pusat Kurikulum. Model Pembelajaran IPS Terpadu. Jakarta.

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta.

Eggen, Paul dan Kauchak, Don. 2012. Strategi dan Model Pembelajaran Mengajarkan Kontendan Ketrampilan Berpikir (Edisi Keenam). Jakarta: PT Permata Puri Media.

Jarolimek, John & Parker, Walter C .1993. Social Studies in Elementery Scool (9th ed). New York: Macmillan Publishing Company.

Juhendi. 2011. Dampak Model Perubahan Konseptual melalui Diskusi Kelas untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Kepekaan Sosial Siswa SD dalam Pembelajaran IPS. Tesis Magister Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.

Kementrian Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Pertama. 2010. Panduan Pelaksanaan Pembinaan SMP Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SMP- RSBI). Jakarta.

Masitoh, Siti dan Nur, M. 2004. Teori Perkembangan Sosial dan Perkembangan Moral Edisi 2. Surabaya: Pusat Sain dan Matematika Sekolah Universitas Negeri Surabaya.

McCain, J. Dan Salter, M. 2009. Karakter Karakter yang Menggugah Dunia, Caracter is Destiny. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

National Council for the social Studies.1994. Expectations of Excellence Curriculum Standards for Social Studies. Washington, DC: Printed in the United State of Amerika.

Nur, M. 2004. Teori-Teori Perkembangan Kognitif. Surabaya: Pusat Sain dan Matematika Sekolah Universitas Negeri Surabaya.

Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya, Kemedikbud. 2012. Pedoman Penulisan Tesis dan Desertasi. Surabaya: Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Surabaya.

Santrock, J. W. 2007. Remaja, Edisi Kesebelas. Jakarta: Erlangga.

Santosa, Singgih. 2004. Buku Latihan SPSS Statistik Multivariat. Jakarta: PT Alex Media Komputindo.

Sapriya. 2009. Pendidikan IPS, Konsep dan Terapan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Savage, Tom V. And Armstrong, David G. 2006. Effective Teaching in Social Studies. Third Edition. New Jersey: Prentice Hall.

Seran, Eliana Yunitha, 2010. Dampak PenerapanMetode Role Playing pada Mata Pelajaran IPS Terhadap Peningkatan Kemampuan Berpikir Kritis dan Kepekaan Sosial Siswa. Tesis Magister Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia.

Sidarta, Arief dan Darliana. 2005. “Keterampilan Berpikir”. Modul Diklat Berjenjang. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Penataran Guru Ilmu Pengetahuan Alam, Derektorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdiknas.

Singarimbun, Masri dan Effendi, Sofian. (Eds). 1989. Metode Penelitian Survay. Jakarta: LP3ES.

Soekanto, S. 1982. Sosiologi, Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

Solso, Robert L.1995. Cognitive Psycholoy. Needham Heights, MA: Allyn & Bacon.

Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D. Bandung: Alfabeta.

Sukardi. 2003. Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Prakteknya. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Sutrisno, Joko. 2008. Menggunakan Keterampilan Berpikir untuk Meningkatkan Mutu Pembelajaran. http://www.erlangga.co.id/pendidikan/364-example-pages-and-menu-links.html . diakses 20 Pebruari 2012.

Yulianti. 2011. Penerapan LKS Inkuiri Pada Pembelajaran Biologi untuk meningkatkan hasil Belajar dan Kemampuan Berpikir Siswa. Tesis Magister Pendidikan, Univesitas Negeri Surabaya.

Yudhawati, Ulin. 2011. Pemberdayaan Komitmen Guru, Pemberdayaan guru dan Mutu Lulusan SMK Negeri RSBI dan Belum RSBI di Kota Surabaya. Tesis Magister Pendidikan, Universitas Negeri Surabaya.

13