kelompok 04
DESCRIPTION
Mancing DownloadTRANSCRIPT
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan
masalah menjadi bentuk pertanyaan di bawah ini:
1. Apa pengertian Bahasa Arab Fushha dan ‘Amiyah?
2. Bagaimana sejarah munculnya Bahasa Arab Fushha dan ‘Amiyah?
3. Apa perbedaan antara Bahasa Arab Fushha dan ‘Amiyah?
4. Apa yang dimaksud dengan istilah Bilingualisme dan Diglosia?
C. Metode Penulisan
Metode yang penulis gunakan dalam penulisan makalah ini adalah
metode kepustakaan, yaitu sebuah metode dengan mengumpulkan keterangan-
keterangan dari berbagai referensi.
1
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Fushha dan ‘Amiyah
Bahasa arab baku adalah bahasa Quraisy yang digunakan al-Qur’an
dan Nabi Muhammad saw. Bahasa ini selanjutnya disebut sebagai bahasa
Arab fusha. Bahasa Arab Fushha adalah ragam bahasa yang ditemukan
dalam al-Qur’an, hadits Nabi dan warisan tradisi Arab. Bahasa fusha
digunakan dalam kesempatan-kesempatan resmi dan untuk kepentingan
kodifikasi karya-karya puisi, prosa dan penulisan pemikiran intelektual secara
umum.
Sedangkan Bahasa ‘Amiyah adalah ragam bahasa yang digunakan
untuk urusan-urusan biasa sehari-hari. Bahasa amiyah ini menurut kalangan
linguis modern, dikenal dengan sejumlah nama semisal: al-lughat al-
ammiyah, asy-syakl al-lughawy al-darij, al-lahajat al-sya’i’ah, al-lughah al-
mahkiyah, al-lahajat al-arabiyah al-ammiyah, al-lahajat al-darijah, al-lahajat
al-ammiyah, al-arabiyah al-ammiyah, al-lughah al-darijah, al-kalam al-darij,
al-kalām al-ammiy, dan lughah al-sya’b.
B. Munculnya Bahasa Fushha dan ‘Amiyah
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, bahasa Arab baku adalah
bahasa Quraisy yang digunakan dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad SAW.
Bahasa ini selanjutnya disebut dengan bahasa Arab Fushha. Hari ini bahasa
Arab Fushha adalah ragam bahasa yang ditemukan di dalam Al-Qur’an,
hadits nabi dan warisan tradisi Arab. Bahasa fushha hari ini digunakan dalam
2
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
kesempatan-kesempatan resmi dan untuk kepentingan kodifikasi karya-karya
puisi, prosa, dan penulisan pemikiran intelektual secara umum. Sedangkan
bahasa ‘amiyah adalah ragam bahasa yang digunakan untuk urusan-urusan
sehari-hari.
Di zaman pra Islam, masyarakat Arab mengenal stratifikasi kefasihan
bahasa. Kabilah yang dianggap paling fasih dibanding yang lain adalah
Quraisy yang dikenal sebagai surat al-Arab (pusatnya masyarakat Arab).
Kefasihan bahasa Quraisy ini terutama ditunjang oleh tempat tinggal mereka
yang secara geografis berjauhan dengan negara-negara bangsa non-Arab dari
segala penjuru. Dibawah kefasihan Quraisy adalah bahasa kabilah Tsaqif,
Hudzail, Khuza’ah, Bani Kinanah, Ghathfan, Bani Asad, dan Bani Tamim,
menyusul kemudian kabilah Rabi’ah, Lakhm, Judzam, Ghassan, Iyadh,
Qadha’ah, dan Arab Yaman yang bertetangga dekat dengan Persia, Romawi,
dan Habasyah. Kefasihan berbahasa itu terus dipelihara hingga meluasnya
ekspansi Islam ke luar jazirah dan masyarakat Arab mulai berinteraksi dengan
masyarakat bangsa lain.
Dalam proses interaksi dan berbagai transaksi sosial lainnya itu terjadi
kesaling pengaruhan antara bahasa yang digunakan. Masyarakat ‘Ajam belajar
berbahasa Arab dan masyarakat Arab mulai mengenal bahasa mereka.
Intensitas interaksi tersebut lambat laun mulai berimbas pada penggunaan
bahasa Arab yang mulai bercampur dengan beberapa kosakata asing, baik
dengan atau tanpa proses arabisasi (ta’rib). Pertukaran pengetahuan antar
mereka juga berpengaruh pada pertambahan khazanah bahasa Arab khususnya
menyangkut hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui masyarakat Arab ketika
hidup terisolasi dari bangsa lain. Masyarakat non-Arab juga kerap melakukan
kesalahan dalam menggunakan bahasa Arab. Fenomena ini kemudian makin
meluas melalui transaksi sosial, misalnya dalam aktivitas ekonomi di pasar-
pasar terutama sejak abad ke-5 H. Ragam bahasa Arab yang digunakan
3
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
terutama di pasar-pasar, pada gilirannya mulai menemukan ciri-ciri tersendiri
dan meneguhkan identitasnya. “Bahasa pasaran” itu telah menjadi medium
komunikasi yang dimengerti oleh berbagai pihak yang terlibat di dalamnya.
Berbeda dengan ragam bahasa Arab Fushha yang syarat muatan
teologis sebagai bahasa agama, ragam bahasa “pasar” ini begitu ringan
mengalir tanpa adanya aturan yang rumit yang harus diwaspadai. Fenomena
penyimpangan bahasa (lahn) adalah cikal bakal lahirnya bahasa ‘Amiyah,
bahkan ia disebut sebagai bahasa ‘amiyah yang pertama. Berbeda dengan
dialek-dialek bahasa Arab yang digunakan di sejumlah tempat lokal. Bahasa
Arab ‘Amiyah adalah bahasa yang “menyalahi” kaidah-kaidah orisinil bahasa
Fushha. Dengan kata lain, bahasa ‘amiyah adalah “bahasa dalam
penyimpangan” (lughat fi al-lahn) setelah sebelumnya merupakan fenomena
dalam penyimpangan bahasa. Secara perlahan tapi pasti bahasa ‘amiyah terus
berkembang hingga menjelma sebagai bahasa yang otonom dengan kaidah
dan ciri-cirinya sendiri. Bahasa ‘Amiyah di negeri-negeri (taklukan) Islam
awalnya adalah lahn yang sederhana dan masih labil karena masyarakatnya
masih memiliki watak bahasa Arab yang genuin. Karena itu, di awal
kemunculannya, bahasa ‘Amiyah di kalangan masyarakat masih mempunyai
rentangan antara yang lebih dekat dengan bahasa baku (Fushha) sampai pada
yang jauh darinya. Contoh daerah yang memiliki bahasa yang masih sangat
dekat dengan bahasa baku itu sampai abad ke-3 H antara lain negeri Hijaz,
Basrah, dan Kufah.
Selanjutnya bahasa ‘Amiyah mulai menyebar di beberapa tempat
semisal Syam, Mesir, dan Sawad. Di beberapa tempat itu bahasa Arab Fushha
sudah menerima kosakata serapan dari Persia, Romawi, Qibtiyah, dan
Nabthiyah dalam jumlah yang cukup besar. Karena itu bahasa masyarakat
mulai rusak dalam ukuran yang signifikan. Masyarakat mulai mencampur
adukkan bahasa asli mereka dengan bahasa-bahasa serapan tanpa melakukan
4
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
pemilihan. Di antara kosakata serapan yang paling banyak diambil adalah kata
benda (asma), sedangkan kata-kata ajektiva sedikit saja yang diadopsi.
Banyaknya pengadopsian kata benda itu karena intensitas pemakaiannya lebih
tinggi dibanding dengan jenis kata yang lain.
C. Perbedaan Bunyi Bahasa Arab Fusha dan ‘Amiyah
Jika dipetakan secara garis besar, bahasa Arab terbagi atas dua ragam,
yakni bahasa Arab baku (fusha) atau sering disebut formal language yang
dipakai sebagai bahasa resmi, yang merupakan perkembangan kembali bahasa
Arab Klasik dan bahasa yang dipakai dalam Al-Qur,an dan Hadits, dan bahasa
Arab amiyah (bahasa sehari-hari, bahasa pasaran, atau bahasa gaul) atau
sering disebut in-formal language yang dipakai sebagai bahasa komunikasi
non-formal sehari-hari.
Kedua jenis ini masing-masing mempunyai dialek geografis.
Perbedaan dialek geografis bahasa Arab baku tidak mencolok, misalnya /j/
diucapkan dengan [g] di Mesir, sementara di daerah Saudi Arabiah dan
sekitarnya [g] adalah realisasi pengucapan dari /q/.
Kata-kata dalam tuturan bahasa Arab amiyah dialek Saudi Arabiah
secara fonologis berbeda dengan bahasa fusha/ baku. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah mempunyai banyak
variasi fonologis yang berbeda dengan bahasa fusha. Variasi fonologis itu
berupa: penggantian bunyi, penambahan bunyi, dan pelesapan bunyi. Adapun
penjelasannya sebagai berikut:
1. Penggantian Bunyi
Penggantian dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah meliputi:
• Penggantian konsonan dengan konsonan
5
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
Penggantian konsonan dengan konsonan pada bahasa amiyah dialek Saudi
Arabiah hanya terjadi pada tiga konsonan, yaitu konsonan /dz/, /ts/ dan /?/.
1) Perubahan /dz/ dari [ð] → [d]
Dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabia konsonan /dz/ (interdental
frikatif bersuara) yang secara fusha diucapkan [ð] sering berubah
menjadi /d/ (dentalveolar plosif bersuara). Perubahan ini biasa terjadi
ketika /dz/ berposisi di akhir kata atau berada di akhir suku kata
tertutup. Contoh:
'dibaca [tafaddal xud] 'Silakan ambil [tafaddal xuð] تفضل خذ
'dibaca [da hǽn] 'Sekarang [ðal hi:n] ذاالحين
2) Perubahan /ts/ dari [θ] menjadi [t]
Dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah konsonan /ts/ (interdendal
frikatif tak bersuara) sering dilafalkan dengan [t] (interdental plosif tak
bersuara). Contoh:
dibaca [xud fi: talla:jah] 'Ambil [xuð fi: θalla:jah] خذ في ثلةجة
di kulkas'
'dibaca [tama:nta ‘ašr] 'delapan belas [θama:niya ašrah] ثمانية عشرة
3) Perubahan /?/ menjadi [y]
Dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah konsonan /?/ dalam sering
berubah menjadi [y]. Contoh:
'saya mau air' [abgha: muya?] أبغى مويا dibaca [?:bgha: ma?] أبغى ماء
'saya tersesat' [ana: ta:yih] أنا تايه dibaca [ana: ta:?ih] أنا تائه
6
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
'enam ratus' [sittimiya] ستمية dibaca [sittimi?ah] ستمائة
• Penggantian vokal dengan vokal
Penggantian vokal dengan vokal pada bahasa amiyah dialek Saudi
Arabiah meliputi penggantian /a/ dengan /i/, dan penggantian
diftong /au/ dengan /o/ dan /ai/ dengan /e/. Contoh:
dibaca [man ?anta] من أنت '?siapa anda' [min inta] من أنت
'?perlu apa' [e:š tibgha] أيش تبغى dibaca [ayyu šai? tabgha] أي شيئ تبغى
'dibaca [al-θo:b] 'pakaian [al-θaub] الثوب
2. Penambahan Bunyi
Penambahan bunyi dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah hanya ada di
awal dan akhir kata, sedangkan penambahan di tengah kata tidak ditemukan.
• Penambahan bunyi di awal
Penambahan bunyi di awal kata dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah
jarang terjadi. Satu-satunya data yang menunjukkan adanya penambahan
bunyi di awal adalah pada frase min] ميين أييين؟ ?aina?] ’dari mana?’. Frase
tersebut dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabia diucapkan min] ميين فييين
fe:n]. Di sini tambahannya berupa konsonan /f-/ yang mendahului ?aina
setelah /?/ dilesapkan terlebih dahulu.
• Penambahan bunyi di akhir
Penambahan bunyi di akhir kata dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah,
yaitu penambahan vokal /a/ setelah ya’ mutakallim (kata ganti orang pertama
tunggal) yang berfungsi sebagai enklitik. Contoh:
7
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
'Bersamaku' [ma’ay:a] معايا dibaca [ma’iy] معي
'Saudaraku' [axuya?] أخويا dibaca [axiy?] أخي
3. Pelesapan Bunyi
Pelesapan bunyi dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah meliputi
pelesapan bunyi di awal, di tengah, dan di akhir kata.
• Pelesapan bunyi di awal
Pelesapan bunyi di awal kata dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah
hanya ditemukan dalam dua kata, yaitu seperti contoh berikut:
!hai saudaraku' [ya xu:ya] يا خوي dibaca [ya ?axiy] يا أخي
'tunjukkan padaku' [ri:ny] ريني dibaca [ariny?] أرني
• Pelesapan bunyi di tengah
Pelesapan bunyi di tengah kata dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah
ada yang berupa pelesapan konsonan dan ada pelesapan vokal. Contoh:
'karena' [alašan‘] علشان dibaca [ala: ša?ni‘] على شأن
'tidak apa-apa' [ma‘leiš] معليش dibaca [ma: ‘alaih] ما عليه
ش ّي شيء '?mengapa' [le:š] ليش dibaca [’li?ayyi šay] ل
'lima belas' [xamstašar] خمسة شر dibaca [xamsata ‘ašar] خمسة عشر
• Pelesapan bunyi di akhir
Pelesapan bunyi di akhir kata dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah
berupa pelesapan vokal, pelesapan konsonan, dan ada juga yang berupa
8
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
pelesapan silabel. Pelesapan konsonan biasanya terjadi pada isim mu’annats
yaitu dengan cara pelesapan konsonan /h/ atau /t/ yang merupakan penanda
feminin. Pelesapan vokal biasanya terjadi di akhir verba, sedangkan pelesapan
silabel terjadi pada kata-kata tertentu. Contoh:
ش ّي dibaca [al-lugah al-‘arabiyyah] اللغة العربية [al-lugal-‘arabiyya] اللغ العرب
'Anda tinggal' [taskun] تسكن dibaca [taskunu] تسكن
'?dan kamu' [wa ?an] وأن dibaca [wa ?anta] وأنت
.'yang (kata penghubung)' [:el-le] اش ّلي dibaca [:al-laði] الذي
D. Bilingualisme (Izdiwajiyat al- lughah) dan Diglosia (Tsunaiyat al-lughah)
Dalam bahasa Fushha dan Amiyah dikenal adanya istilah
bilingualisme (kedwibahasaan), yaitu penggunaan dua bahasa berbeda oleh
seorang penutur atau lebih dalam pergaulannya dengan orang lain secara
bergantian.
Namun, sebagian peneliti bahasa menolak penggunaan istilah
bilingualisme yang digunakan oleh kebanyakan ahli bahasa, dengan alasan
lahirnya bentuk bahasa Arab: Fushah dan Amiyah. Bahasa Fushah dan
Amiyah merupakan dua ragam yang berakar dari satu bahasa, sementara
bilingualisme terdapat pada dua bahasa yang berbeda, seperti halnya
perbedaan antara bahasa Perancis dan Bahasa Arab , atau antara Bahasa
Jerman dan Turki.
Untuk itu persoalannya tidak dapat dikaitkan dengan pemahaman
bilingualisme. Tetapi ia merupakan sebentuk diglosia yang menurut Ferguson
9
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
adalah suatu situasi yang didalamnya ada dua ragam dari satu bahasa yang
hidup berdampingan dengan peran masing-masing dalam masyarakat itu.
Ferguson menjelaskan diglosia itu dari Sembilan segi: fungsi, prestise,
warisan tradisi, tulis menulis, pemerolehan, pembakuan, tata bahasa, leksikon,
dan fonologi. Menurutnya, dalam suatu bahasa ada dua ragam yang berbeda.
Yang satu disebut Dialek Tinggi, dan yang kedua Dialek Rendah. Dalam
Bahasa Arab dialek tinggi itu mengacu pada Bahasa Arab yang dipakai dalam
Al Qur’an dan bahasa klasik (Turast Arabi) yang lazim disebut Bahasa Fashih.
Sementara dialek rendah mengacu pada berbagai Masyarakat Arab diberbagai
Negara yang lazim disebut bahasa pasaran.(Amiyah)
Oleh karenanya, Distribusi fungsional dialek tinggi dan dialek rendah
mempunyai arti, bahwa terdapat situasi dimana hanya dialek tinggi yang
sesuai untuk digunakan dan dalam situasi lain hanya dialek rendah yang biasa
digunakan. Fungsi tinggi hanya pada sitasi resmi atau formal, sementara
fungsi rendah hanya pada situasi informal dan santai.
Sebenarnya bangsa arab telah mengenal adanya diglosia ini sejak masa
jahiliah. setiap kabilah memiliki dialek masing –masing dan bahasanya yang
khusus. Dengan adanya hubungan komunikasi antara bangsa arab dan para
penutur kabilah lain, itu akan segera membuat sempurna pada bahasa kabilah
ini, sehingga bila mereka bercakap-cakap, berpidato, membacakan syair atau
mengadakan pembicaraan antara satu kabilah dengan kabilah yang lainnya,
mereka senantiasa bertumpu pada bahasa umum(musytarakah). Dan diglosia
inilah masih tetap bertahan setelah datangnya islam ke negeri arab.
Diglosia bahasa fusha dan amiyah pada bangsa arab itu mulai muncul
seiring lahirnya amiyah itu sendiri, yaitu pada massa penaklukan-penaklukan
islam pertama setelah membaurnya orang arab dengan orang ajami (asing).
10
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
BAB III
SIMPULAN
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa:
Bahasa Arab Fushha adalah ragam bahasa yang ditemukan dalam al-Qur’an,
hadits Nabi dan warisan tradisi Arab. Bahasa fusha digunakan dalam kesempatan-
kesempatan resmi dan untuk kepentingan kodifikasi karya-karya puisi, prosa dan
penulisan pemikiran intelektual secara umum.
Sedangkan Bahasa ‘Amiyah adalah ragam bahasa yang digunakan untuk
urusan-urusan biasa sehari-hari. Bahasa amiyah ini menurut kalangan linguis modern,
dikenal dengan sejumlah nama semisal: al-lughat al-ammiyah, asy-syakl al-lughawy
al-darij, al-lahajat al-sya’i’ah, dan lain-lain.
Bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah mempunyai banyak variasi fonologis yang
berbeda dengan bahasa fusha/ baku. Variasi fonologis itu dikelompokkan menjadi
beberapa macam, yakni penggantian bunyi, penambahan bunyi, pelesapan bunyi.
Dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah, variasi yang berupa penggantian
bunyi meliputi penggantian konsonan dengan konsonan dan vokal dengan vokal. Ada
tiga konsonan yang mengalami perubahan, yaitu konsonan /dz/ → [d], /ts/ → [t]
dan /?/→ [y], sedangkan perubahan vokal meliputi vokal /a/ → [i], diftong /ai/ →
[e:], dan diftong /au/ → [o:].
Sedangkan penambahan bunyi hanya ada di awal dan akhir kata. Penambahan
bunyi di awal jarang terjadi, sedangkan penambahan bunyi di akhir kata berupa
penambahan vokal /a/ setelah ya’ mutakallim yang berfungsi sebagai enklitik.
Pelesapan bunyi dalam bahasa amiyah dialek Saudi Arabiah meliputi
pelesapan bunyi di awal, di tengah, dan di akhir kata. Pelesapan bunyi di awal kata
jarang terjadi. Pelesapan bunyi di tengah kata ada yang berupa pelesapan konsonan
12
Fiqh LughahBahasa Fushha dan ‘Amiyah
dan ada pelesapan vokal. Pelesapan bunyi di akhir kata berupa berupa pelesapan
vokal, pelesapan konsonan, dan pelesapan silabel.
Dalam bahasa Fushha dan Amiyah dikenal adanya istilah bilingualisme
(kedwibahasaan), yaitu penggunaan dua bahasa berbeda oleh seorang penutur atau
lebih dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian.
Selain itu, ada istilah Diglosia, menurut Ferguson adalah suatu situasi yang
didalamnya ada dua ragam dari satu bahasa yang hidup berdampingan dengan peran
masing-masing dalam masyarakat itu.
13