blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · web view1.1 latar belakang...

39
MAKALAH Implikasi Carbon Trading terhadap komitmen Indonesia tentang Lingkungan Tema Carbon Credit Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Seminar Masalah/Issue Lingkungan Disusun Oleh : Ayu Apriliani 135030101111173 Dinda Trisora Adiati 135030100111126 Regina 135030101111170 JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

Upload: others

Post on 01-Dec-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

MAKALAH

Implikasi Carbon Trading terhadap komitmen Indonesia tentang Lingkungan

Tema

Carbon Credit

Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas matakuliah Seminar Masalah/Issue Lingkungan

Disusun Oleh :

Ayu Apriliani 135030101111173

Dinda Trisora Adiati 135030100111126

Regina 135030101111170

JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG

April 2016

Page 2: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan

ekonomi. Salah satu cara untuk meningkatkan laju ekonomi adalah dengan melakukan

industri manufaktur dimana cara ini sangat efektif untuk meningkatkan laju pertumbuhan

ekonomi sebuah negara. Dengan demikian, beberapa industri mulai dibangun dengan

pesatnya sehingga banyak lahan yang dibuka untuk industri. Pembangunan yang dilakukan

tidak diimbangi dengan perhatian akan kelestarian lingkungan yang ada sehingga pada

akhirnya laju ekonomi yang meningkat menyebabkan sisi negatif pada lingkungan yaitu

rusaknya lingkungan, meningkatnya gas emisi rumah kaca dan masalah lingkungan yang

lainnya.

Meningkatnya gas rumah kaca (GRK) adalah karena deforestasi dan degradasi hutan

serta tingginya karbon dioksida dan karbon monoksida serta CFC yang dilepaskan ke

atmosfer sehingga menyebabkan lapisan ozon semakin menipis dan terjadilah perubahan

iklim dan suhu yang biasa dissebut dengan pemanasan global. Isu lingkungan mengenai

pemanasan global yang disebabkan akibat rusaknya lingkungan ini menjadi pembahasan

internasional karena masalah lingkungan merupakan masalah yang harus diurus oleh semua

negara didunia.

Namun, dalam tingkat global isu lingkungan ini menjadi perdebatan diantara beberapa

negara sehingga menghasilkan dua kubu. Perbedabatan ini berkenaan dengan keadilan antara

negara penghasil emisi tinggi dan rendah. Dimana beberapa negara mampu menghasilkan

carbon credit maupun carbon debit. Carbon debit, artinya negara atau perusahaan

menghasilkan GHG (greenhouse gas) lebih besar dari reduksi GHG sedangkan carbon credit,

artinya negara atau perusahaan mampu mereduksi GHG lebih besar dari GHG yang

dihasilkan. Perdebatan tersebut pada akhirnya menghasilkan sebuah kesepakatan oleh

sebagian besar masyarakat dunia dalam protokol Kyoto yang ditandatangani oleh 180 negara

pada bulan Desember 1997. Protokol Kyoto melahirkan tiga mekanisme untuk memperbaiki

dan memelihara kelangsungan ekosistem global yang meliputi International Emission

Trading (IET) , Clean Development Mechanism (CDM), dan Joint Implementation (JI).

Protokol Kyoto di bawah naungan PBB dalam Kerangka-kerja  konvensi perubahan iklim

Page 3: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

(Framework Convention on Climate Change, FCCC) pada tahun 1997 telah menyepakati

bahwa negara-negara industri akan mengurangi tingkat emisi rata-rata 5,2% dibawah level

1990 pada tahun 2008 hingga 2012.

Berdasarkan kesepakatan ini, negara-negara industri harus melakukan berbagai cara

untuk mereduksi GHG agar memenuhi ketentuan tersebut. Persoalan muncul ketika mereka

tidak mampu mendapatkan teknologi yang efektif untuk mereduksi GHG, atau mereka tidak

mampu mendapatkan teknologi efisien untuk mereduksi GHG. Reduksi GHG tidak hanya

mengandalkan teknologi yang belum tentu efektif atau efisien, melainkan juga melalui

pemberdayaan sumberdaya alam. Reduksi GHG melalui pemanfaatan sumberdaya alam

merupakan alternatif yang dipandang efektif dan mungkin juga efisien dibandingkan reduksi

emisi melalui bisnis itu sendiri yang mungkin membutuhkan biaya yang sangat tinggi.

Persoalan lain muncul bila negara yang bersangkutan tidak memiliki lahan  yang

memadai untuk konservasi sumberdaya alam dalam rangka mereduksi GHG. Akibatnya,

negara industri tersebut akan cenderung mengalami carbon debit. Bila negara pemegang

carbon debit tidak mampu menetralisir karbon sesuai kesepakatan dalam Protokol Kyoto,

maka mereka akan terkena penalti atau sanksi. Disisi lain terdapat beberapa negara yang

mampu menghasilkan carbon credit. Mekanisme dalam Protokol Kyoto mengakomodasi

kesulitan negara-negara industri  yang mengalami carbon debit dan kelebihan negara-negara

lainnya yang menghasilkan carbon credit melalui perdagangan karbon internasional atau

International Emission Trading (IET).

Perkembangan di atas membuka peluang bagi negara-negara sedang berkembang

yang memiliki potensi dalam mereduksi greenhouse gas (GHG) atau carbon surplus. Negara

atau perusahaan yang memiliki surplus karbon dapat menjual kelebihannya kepada negara

atau perusahaan yang memililik defisit karbon. Potensi Indonesia cukup besar untuk

memasuki era perdagangan karbon tersebut. Berdasarkan data ADB-GEF-UNDP

menunjukkan bahwa  Indonesia memiliki kapasitas reduksi karbon lebih dari  686 juta ton

yang berasal dari pengelolaan hutan, sedangkan perubahan fungsi hutan menimbulkan emisi

karbon lebih dari 339 juta ton, jadi terdapat surplus karbon sebesar 347 juta ton. Bila

dikurangi dengan penambahan emisi karbon dari aktivitas industri lainnya, Indonesia masih

memiliki surplus karbon lebih dari 8 juta ton. Dengan harga rata-rata per ton karbon saat ini

sebesar US$5, maka Indonesia berpotensi menjual sertifikat surplus karbon senilai US$40

juta atau sekitar Rp.360 milyar. Dengan demikian, jika Indonesia tetap dapat

mempertahankan dan menambah jumlah surplusnya maka akan terdapat pendapatan baru

bagi Indonesia melalui carbon trading ini.

Page 4: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

Berdasarkan beberapa fakta diatas maka diangkat judul “Implikasi Carbon Trading

terhadap Komitmen Indonesia tentang Lingkungan”. judul tersebut diangkat karena di

Indonesia untuk sekarang ini sudah mulai terdapat pelaksanaan terhadap proyek-proyek untuk

mengurangi GHG (green house gas). Proyek tersebut dilakukan dalam sebuah daerah baik itu

pelaksanaan dari Indonesia sendiri maupun bekerja sama dengan negara maju seperti Jepang

untuk melakukan proyek-proyek penurunan emisi. Dengan demikian dapat diketahui

bagaimana insiatif dan pelaksanaan carbon trading di Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana inisiatif pasar karbon di Indonesia ?

2. Bagaimana pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia ?

1.3 Tujuan

Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat diitentukan tujuan penulisan makalah ini

adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui inisiatif pasar karbon di Indonesia.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan perdagangan karbon di Indonesia.

Page 5: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Protokol Kyoto

Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB

tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan

global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi

emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja sama

dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi gas-gas

tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses diberlakukan, Protokol

Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global antara 0,02 °C dan 0,28 °C pada

tahun 2050. (sumber: Nature, Oktober 2003)

Nama resmi persetujuan ini adalah Kyoto Protocol to the United Nations Framework

Convention on Climate Change (Protokol Kyoto mengenai Konvensi Rangka Kerja PBB

tentang Perubahan Iklim). Kesepakatan ini dinegosiasikan di Kyoto pada Desember 1997,

dibuka untuk penanda tanganan pada 16 Maret 1998 dan ditutup pada 15 Maret 1999.

Persetujuan ini mulai berlaku pada 16 Februari 2005 setelah ratifikasi resmi yang dilakukan

Rusia pada 18 November 2004. Menurut rilis pers dari Program Lingkungan PBB:

"Protokol Kyoto adalah sebuah persetujuan sah di mana negara-negara

perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif sebesar

5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu diperhatikan adalah, jika

dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa Protokol, target

ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi rata-

rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur

heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima

tahun antara 2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni

Page 6: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

Eropa, 7% untuk AS, 6% untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang

diizinkan sebesar 8% untuk Australia dan 10% untuk Islandia."

Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Rangka Kerja PBB tentang

Perubahan Iklim (UNFCCC, yang diadopsi pada Pertemuan Bumi di Rio de Janeiro pada

1992). Semua pihak dalam UNFCCC dapat menanda tangani atau meratifikasi Protokol

Kyoto, sementara pihak luar tidak diperbolehkan. Protokol Kyoto diadopsi pada sesi ketiga

Konferensi Pihak Konvensi UNFCCC pada 1997 di Kyoto, Jepang. Sebagian besar ketetapan

Protokol Kyoto berlaku terhadap negara-negara maju yang disenaraikan dalam Annex I

dalam UNFCCC.

Pada saat pemberlakuan persetujuan pada Februari 2005, kesepakatan telah

diratifikasi oleh 141 negara, yang mewakili 61% dari seluruh emisi . Negara-negara tidak

perlu menanda tangani persetujuan tersebut agar dapat meratifikasinya: penanda tanganan

hanyalah aksi simbolis saja. Menurut syarat-syarat persetujuan protokol, kesepakatan mulai

berlaku "pada hari ke-90 setelah tanggal saat di mana tidak kurang dari 55 Pihak Konvensi,

termasuk Pihak-pihak dalam Annex I yang bertanggung jawab kepada setidaknya 55 persen

dari seluruh emisi karbon dioksida pada 1990 dari Pihak-pihak dalam Annex I, telah

memberikan alat ratifikasi mereka, penerimaan, persetujuan atau pemasukan." Dari kedua

syarat tersebut, bagian "55 pihak" dicapai pada 23 Mei 2002 ketika Islandia meratifikasi.

Ratifikasi oleh Rusia pada 18 November 2004 memenuhi syarat "55 persen" dan

menyebabkan pesetujuan itu mulai berlaku pada 16 Februari 2005.

Hingga 3 Desember 2007, 174 negara telah meratifikasi protokol tersebut, termasuk

Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Selandia Baru, Rusia dan 25 negara anggota Uni Eropa,

serta Rumania dan Bulgaria. Ada dua negara yang telah menanda tangani namun belum

meratifikasi protokol tersebut: Amerika Serikat (tidak berminat untuk meratifikasi) dan

Kazakstan. Pada awalnya AS, Australia, Italia, Tiongkok, India dan negara-negara

berkembang telah bersatu untuk melawan strategi terhadap adanya kemungkinan Protokol

Kyoto II atau persetujuan lainnya yang bersifat mengekang. Namun pada awal Desember

2007 Australia akhirnya ikut seta meratifikasi protokol tersebut setelah terjadi pergantian

pimpinan di negera tersebut.

2.2 Konsep Pasar Karbon

Page 7: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

2.2.1 Pengertian Pasar Karbon

Dalam pasar karbon, yang diperdagangkan sesungguhnya adalah hak atas emisi gas

rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2 (ton CO2 equivalent) . Hak di sini dapat berupa hak

untuk melepaskan gas rumah kaca ataupun hak atas penurunan emisi gas rumah kaca .

Sedangkan jenis gas rumah kaca yang dapat diperdagangkan dalam pasar karbon umumnya

adalah enam jenis gas rumah kaca yang tercantum dalam Protokol Kyoto1, yang meliputi

meliputi karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrat oksida (N2O), hidrofluorokarbon

(HFCs), perfluorocarbons (PFCs), dan sulfur heksafluorida (SF6).Keenam jenis gas rumah

kaca ini mempunyai potensi penyebab pemanasan global yang berbeda-beda. Karbon

dioksida, walaupun konsentrasinya paling tinggi di atmosfer, ternyata adalah gas rumah kaca

dengan potensi penyebab pemanasan global terendah di antara keenam jenis gas tersebut

sehingga menjadi angka acuan untuk indeks daya penyebab pemanasan global yang disebut

Global Warming Potential (GWP). Karena potensinya yang terendah, angka GWP untuk

karbon dioksida adalah 1. Gas metana mempunyai GWP sebesar 21. Artinya 1 ton metana

mempunyai potensi menyebabkan pemanasan global 21 kali lebih tinggi daripada 1 ton

karbon dioksida. Ini juga berarti bahwa mengurangi emisi gas metana sebanyak 1 ton setara

dengan mengurangi emisi karbon dioksida sebanyak 21 ton.

Jenis-jenis gas rumah kaca dan GWP-nya disampaikan dalam tabel di halaman berikut.

Jenis PotensiPemanasan Global

(GWP)

Karbondioksida 1

Metana 21

Nitratoksida 310

Perfluorokarbon 6.500-9.200

Hidrofluorokarbon 140-11.700

Sulfurheksafluorida 23.900

Tabel 1. Jenis-jenis gas rumah kaca

Untuk mendefinisikan pasar karbon, bisa dilihat dari definisi pasar, salah satunya

menurut William J. Stanton (Prinsip Pemasaran, 1987), pasar dalam arti luas adalah “orang-

orang (atau pihak-pihak) yang mempunyai kebutuhan/keinginan untuk dipenuhi, uang untuk

dibelanjakan, dan kemauan untuk membelanjakannya”. Dengan kata lain, Stanton

Page 8: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

mendefinisikan pasar adalah jumlah total permintaan (demand). Mengacu pada definisi

Stanton, dapat kita definisikan bahwa pasar karbon adalah kumpulan kebutuhan/keinginan

terhadap hak atas emisi gas rumah kaca dalam satuan setara-ton-CO2 (ton CO2 eq.). Selain

pasar karbon, ada juga istilah “perdagangan karbon”. Kedua istilah ini seringkali tertukar

dalam penggunaannya. Di dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan

Nasional Perubahan Iklim, perdagangan karbon didefinisikan sebagai “kegiatan jual beli

sertifikat pengurangan emisi karbon dari kegiatan mitigasi perubahan iklim”. Terlihat

perbedaan yang jelas antara istilah “pasar karbon” dan “perdagangan karbon” dimana pasar

(market) adalah penyebab bagi perdagangan.

2.2.2 Jenis-jenis Pasar Karbon

a. Pasar karbon sukarela (voluntary carbon market)

Permintaan pada pasar karbon ini terbentuk semata karena adanya keinginan untuk

mengurangi emisi gas rumah kaca, dan bukan karena adanya kewajiban untuk itu. Keinginan

ini memicu terjadinya perdagangan karbon antara yang mmpunyai keinginan dengan

penyedia karbon yang kerap kali terjadi secara langsung (over the counter). Dalam beberapa

kasus, keinginan/kebutuhan tersebut digabungkan menjadi komitmen kolektif sehingga

pasarnya membesar dan dapat menarik keterlibatan pihak lain seperti perantara/ broker ,

investor maupun layanan bursa. Karena sifatnya yang mengandalkan keinginan dan niat baik

untuk mengurangi emisi karbon, volume pasar sukarela relatif kecil dan sulit diperkirakan.

Meskipun demikian, perkembangan terakhir menunjukkan bahwa volume pasar karbon

sukarela cenderung naik dengan stabil.

b. Pasar karbon wajib

Kebalikan dari pasar karbon sukarela, pasar karbon jenis ini terbentuk karena ada

kebijakan yang mewajibkan pengurangan dan/atau pembatasan jumlah emisi gas rumah

kaca. Pasar karbon kemudian diterapkan sebagai sarana pelaksanaan kebijakan tersebut

(policy tool). Protokol Kyoto adalah salah satu contoh kebijakan yang mewajibkan

pengurangan emisi gas rumah kaca namun memperbolehkan penggunaan pasar karbon untuk

memenuhinya. Volume pasar karbon wajib sangat bergantung pada rancangan dan lingkup

kebijakan pengurangan/pembatasan emisi yang diterapkan, sehingga relatif lebih mudah

diperkirakan dan direncanakan dalam jangka panjang.

2.3 Konsep Carbon Tradding

Page 9: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

Carbon trading juga dikenal dengan istilah emissions trading. Carbon trading

merupakan salah satu rekomendasi Kyoto Protocol 1997, sebuah rencana internasional untuk

mengurangi enam gas rumahkaca utama penyebab perubahan iklim. Emission trading

merupakan istilah yang diterapkan dalam perdagangan sertifikat yang mencerminkan

berbagai cara untuk mengurangi emisi karbon sesuai dengan target yang dicantumkan dalam

sertifikat. Para partisipan dalam perdagangan karbon membeli dan menjual komitmen

kontrak (contractual commietments) atau sertifikat yang mencerminkan jumlah tertentu emisi

karbon (carbon-related emission) yang dapat dikurangi.

Dengan demikian Certified Emission Reductions (CERs) merupakan komoditas baru

dalam perdagangan dunia yang prospektif. Bila seluruh negara di dunia telah menyepakati

perdagangan karbon tersebut, maka CERs menjadi komoditas yang menguntungkan sama

halnya dengan sekuritas yang banyak diperdagangkan. Bahkan bukan suatu hal yang mustahil

bila pada masa datang, perdagangan karbon menjadi komoditas yang laku seperti halnya

perdagangan minyak seperti sekarang ini. Perkembangan menunjukkan bahwa kebutuhan

CERs pada masa datang menjadi komoditi penting dalam pasar GHG yang berorientasi pada

kelangsungan ekosistem global. Analis memperkirakan ukuran pasar futures GHG pada tahun

2010 akan mencapai kisar US$10 milyar hingga US$1 trilyun. Ukuran tersebut diperkirakan

meningkat sejalan dengan kebutuhan masyarakat terhadap lingkungan yang bersih dan sehat

serta kelangsungan ekosistem global.

Carbon trading menggunakan skema khusus yang disebut sistem 'cap and trade'.

Berdasarkan komitmen Kyoto, sebuah negara dapat mengalokasikan ijin emisi gas

rumahkaca ('cap') kepada perusahaan-perusahaan. Jika sebuah perusahaaan terbukti

melakukan emisi kurang dari batasan yang diberikan, kelebihan ijin yang dimilikinya dapat

diperdagangkan ('trade') kepada perusahaan yang mengeluarkan lebih banyak polusi.

Sebaliknya, jika perusahaan gagal memenuhi target emisi, atau dengan kata lain

mengeluarkan CO2 lebih banyak dari batas yang diijinkan ('cap'), mereka dapat membeli

'carbon credit' dari perusahaan dengan emisi di bawah target. Carbon credit ini biasanya

diperdagangkan di 'over the counter (OTC) market'. Singkatnya, hal ini menegaskan bahwa

apa yang diperdagangkan di 'carbon trading' bukanlah karbon sesungguhnya, tetapi hak

untuk emisi CO2.

Untuk memahami bagaimana karbon diperdagangkan, perlu dipahami komoditi apa

yang diperdagangkan dan sistem yang menciptakannya. Ada dua komoditi yang

Page 10: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

diperdagangkan, yang pertama adalah apa yang disebut allowance, dan yang kedua adalah

offset yang dapat diilustrasikan sebagai berikut :

1. Perdagangan “emisi yang tidak dipergunakan” (allowance trading)

Negara-negara yang ditarget penurunan emisi (annex I country) mempunyai

kewajiban untuk menurunkan emisinya pada periode komitmen I (2008-2012) sebesar 5% di

bawah tingkat emisi pada tahun 1990. Emisi total suatu negara dibatasi (Capped), dari emisi

yang dibatasi inilah nanti akan muncul allowances (kelebihan emisi yang tidak dipakai).

Allowances inilah yang boleh dijual kepada pihak lain yang tidak dapat menurunkan emisi

sesuai targetnya. Misalnya suatu negara A dibatasi emisinya sebesar 1 juta ton CO2. Target

emisi ini kemudian dibagi ke perusahaan-perusahaan yang ada di negara tersebut.

Misalnya perusahaan A mendapat target emisi 100.000 ton, padahal sebelumnya

mereka mengemisi 110.000 ton CO2. Perusahaan tersebut harus melakukan penurunan emisi

sebesar 10.000 ton. Perusahaan A mampu menurunkan emisinya sampai 20.000 ton, sehingga

Perusahaan A memiliki “kelebihan emisi” 10.000 ton. Sementara itu perusahaan B (yang

memiliki target emisi sebesar 100.000 ton juga, padahal sebelumnya mengemisi 110.000 ton)

memilih untuk tidak menurunkan emisinya karena biayanya terlalu besar. Perusahaan B

berhak membeli “kelebihan emisi” dari perusahaan A yaitu sebesar 10.000 ton dengan biaya

yang lebih rendah. Inilah yang disebut perdagangan emisi (karbon). Perdagangan karbon

seperti ini disebut sebagai cap-and-trade system.

2. Perdagangan kredit berbasis proyek (offset trading)

Carbon offset adalah alat/sarana untuk mengkompensasi emisi yang dikeluarkan oleh

perusahaan ataupun pribadi. Dengan membayar orang lain (ditempat lain) untuk melakukan

usaha penyerapan karbon atau menghindari emisi karbon, pembeli offset karbon bermaksud

mengganti (atau dalam prinsipnya meng”offset”) emisi karbon yang telah mereka lakukan.

Misalnya perusahaan A mengemisi 110.000 ton CO2 pertahun. Pemerintah

menginginkan masing-masing perusahaan menurunkan emisinya menjadi 100.000 ton. Kedua

perusahaan tersebut diberi alternatif. Apabila mereka tidak mau menurunkan emisinya,

mereka dapat mendanai proyek di tempat lain yang dapat mereduksi emisi karbon hingga

10.000 ton. Perdagangan kredit berbasis proyek ini sering disebut juga baseline and credit,

atau offset trading. Dalam sistem ini, pembeli hanya dapat mengklaim pengurangan emisinya

melalui proyek yang benar-benar dapat dibuktikan bahwa pengurangan emisi terjadi dari

proyek tersebut dan bukan business as usual. Inilah yang disebut konsep additionality.

2.3 Konsep Redd+

Page 11: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

Perdebatan mengenai REDD+ berawal dari perdebatan mengenai kerangka

implementasi konvensi perubahan iklim, Terutama Protokol Kyoto. Pasal 2 ayat 1 a (ii)

Protokol Kyoto menyebutkan: Protection and enhancement of sinks and reservoirs of

greenhouse gases not controlled by the Montreal Protocol, taking into account its

commitments under relevant international environmental agreements; promotion of

sustainable forest management practices, afforestation and reforestation (Melindungi dan

memperluas penyerapan dan penampungan Gas-gas Rumah Kaca tidak diatur oleh Protokol

Montreal, dengan mengingat komitmennya berdasarkan kesepakatan-kesepakatan lingkungan

internasional; mendukung praktek-praktek pengelolaan kehutanan yang berkelanjutan,

penghijauan kembali dan penanaman hutan). hal yang tercantum dalam Protokol Kyoto ini

diatur lebih lanjut dalam aturan pelaksana Protokol Kyoto yang dibahas di CoP 7 di

Marrakesh, Maroko, 2001. Aturan pelaksana tersebut selanjutnya disebut Marrakech

Accords. Salah satu keputusan Marrakech Accords adalah mengenai penggunaan lahan,

perubahan tata guna lahan dan kehutanan, termasuk definisi, modalitas(cara) dan panduannya

atau disebut LULUCF (Marrakech Accord 11/CP.7,Lampiran 1 A).

LULUCF (Marrakech ACCORD)

Land Use, Land Use Change and Forestry merupakan salah satu hasil dari

Conference of Parties ke-7 yang kerap disebut Marrakech Accords . Kesepakatan ini

merupakan petunjuk pelaksanaan Protokol Kyoto yang memberi mandat tanggung

jawab pengurangan emisi bagi 38 negara-negara industri yang kerap disebut negara-

negara Annex I. Besarnya kepentingan negara maju membuat lingkar perdebatan

LULUCF sangat dipengaruhi oleh kepentingan negara-negara industri tersebut.

Salah satu perdebatan kunci adalah definisi hutan. Eropa dan beberapa kelompok

negara maju yang telah kehilangan hutan tapi tergantikan oleh perkebunan,

mendorong definisi hutan juga mencakup perkebunan. Dalam hal ini negara maju

berhasil mengunci kemenangan diplomasinya dimana agregat emisi mereka tidak

bertambah dari sektor LULUCF tapi justru sebaliknya berkontribusi menyerap

karbon (carbon sink) lewat perkebunan. Karena itu, LULUCF di bawah Kyoto

Protokol tidak begitu populer.

Terkait dengan definisi hutan dan panduan mekanisme CDM yang memasukan isu

kehutanan aforestasi dan reforestasi, Marrakech Accords memutuskan beberapa panduan

dasar,antara lain sebagai berikut:

Definisi Hutan:

a. Areanya minimal 0,05-1 hektar

Page 12: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

b. Tutupan tajuk lebih dari 10-30 persen

c. Ketinggian tajuk 2-5 meter

d. Hutan tertutup dengan variasi jenis

e. Semak belukar yang menutup rapat tanah atau hutan terbuka

f. Tegakan pohon alam dan perkebunan yang belum mencapai tingkat kepadatan jenis

atau keragaman jenis 10-30 persen atau ketinggian pohon 2-5 meter akan

diperhitungkan sebagai hutan jika wilayah-wilayah itu biasanya membentuk kawasan

hutan yang untuk sementara tidak berhutan karena intervensi manusia seperti dipanen

atau akibat dari penyebab alamiah tapi diharapkan kembali menjadi hutan.

Definition of Forests under the Kyoto Protocol (Promote Kant, 2006)

By the Decision 11/CP.7 of the Marrakech Accord the following definitions of forests,

afforestation and reforestation were adopted (UNFCCC, 2002), which were later

extended to land use, land-use change and forestry activities carried out under the

Clean Development Mechanism (CDM) of the Kyoto Protocol by Decision 19/CP.9

adopted at Milan (UNFCCC, 2004).

(a) “Forest” is a minimum area of land of 0.05-1.0 hectares with tree crown cover

(or equivalent stocking level) of more than 10-30 per cent with trees with the potential

to reach a minimum height of 2-5 meters at maturity in situ. A forest may consist

either of closed forest formations where trees of various storeys and undergrowth

cover a high proportion of the ground or open forest. Young natural stands and all

plantations which have yet to reach a crown density of 10-30 per cent or tree height

of 2-5 meters are included under forest, as are areas normally forming part of the

forest area which are temporarily un-stocked as a result of human intervention such

as harvesting or natural causes but which are expected to revert to forest.

(b) “Afforestation” is the direct human-induced conversion of land that has not been

forested for a period of at least 50 years to forested land through planting, seeding

and/or the human-induced promotion of natural seed sources.

(c) “Reforestation” is the direct human-induced conversion of non-forested land to

forested land through planting, seeding and/or the human-induced promotion of

natural seed sources, on land that was forested but that has been converted to non-

forested land. For the first commitment period, reforestation activities will be limited

to reforestation occurring on those lands that did not contain forest on 31 December

1989.

Page 13: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

Definisi hutan sebagaimana ditetapkan dalam Marrakech Accord Tersebut agak

berbeda dengan definisi yang ditetapkan dalam Permenhut No. P.14/Menhut-II/2004, tentang:

Tata Cara aforestasi dan reforestasi dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih

(MPB /CDM) Dimana disebutkan bahwa: definisi Hutan adalah tingginya minimum 5 meter,

penutupan tajuknya minimum 30% dan luasnya minimum 0,25 ha. Saat ini Pustanling sedang

menggarap RSNI Penghitungan Deforestasi dan salah satu pembahasannya adalah mengenai

definisi hutan. Beberapa Definisi hutan yang sekarang sedang dalam proses pembahasan

Pustanling adalah sebagai berikut:

1. Hutan adalah hamparan lahan dengan luas minimum 0,25 ha yang ditumbuhi vegetasi

berkayu (pohon) berbagai jenis dan umur yang tajuknya menutup hamparan tersebut

minimum 30%.

2. Hutan dalam interpretasi citra penginderaan jauh adalah obyek berwarna hijau dengan

rona sedang hingga gelap, serta bertekstur halus hingga kasar pada tampilan gambar

dengan kombinasi R (Red):G(Green):B (Blue) dengan kanal R diisi dengan spektrum

SWIR, kanal G diisi dengan spektrum NIR, kanal B diisi dengan spektrum Red.

3. Hutan alam adalah suatu hamparan yang bertumbuhan pohon-pohon alami yang

secara keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

lingkungannya.

4. Hutan Lahan Kering adalah tipe hutan alam yang lantai hutannya tidak pernah

terendam air, baik secara periodik maupun sepanjang tahun.

5. Hutan mangrove adalah tipe hutan yang terutama terdapat di sepanjang pantai atau

muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut, lantai hutannya tergenang pada

waktu pasang dan bebas genangan waktu surut.

6. Hutan primer adalah areal berhutan yang ditumbuhi oleh spesies asli setempat,

sebagian besar tidak tersentuh oleh kegiatan manusia, baik langsung maupun tidak

langsung dan proses ekologi di hutan tersebut tidak terganggu secara signifikan.

7. Hutan rawa adalah hutan yang lantai hutannya secara periodik atau sepanjang tahun

terendam air.

8. Hutan sekunder adalah suatu keadaan masyarakat hutan yang pohon-pohonnya

didominasi oleh jenis pionir yang tumbuh setelah hutan itu mengalami gangguan dan

terbentuk rumpang (gap).

9. Hutan tanaman adalah hamparan lahan yang ditanami dengan vegetasi berkayu

(pohon), pada umumnya satu jenis, berkelas umur dengan luas minimal 0,25 ha.

Page 14: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

Selain beberapa jenis hutan diatas, dapat diketahui beberapa jumlah tanaman penghasil

karbon yaitu sebagai berikut :

Jenis Usia (tahun)

Kerapatan (ha)

Kandungan Karbon (ton/ha)

Jumlah Karbon (ton/ha/tahun)

Cepat Tumbuh1. Mangium (Sumsel)*2. Mangium**3. Sengon (Jatim)*4. Eucalyptus Grandis

(Taput)**5. E. Globulus

(Australia Tenggara)***

6. A.mearnsi (Australia Tenggara)***

7. Campuran 5+6**Lambat Tumbuh

1. Mahoni (Sumsel)*2. Sungkai (Sumsel)*3. Meranti (Bogor)**4. Jati (Seradan,

Jatim)**

6883

11,5

11,5

11,5

2010

60

1.111

7111.111

1.1111.111

99,85240,800134,31

202,9941,97

16,6430,1016,7931,948

25,264

36,202

48,143

10,154,2018,6405,8

Sumber:

*Ginting dan/and Prajadinata (2002,2003,2004,2005) dalam Wibowo dan Rufi’ie (2008) dalam Kosasih, Agung dan Sumandri (2010)

**Berbagai sumber dalam Junaedi, (2008) dalam Kosasih, Agung dan Sumandri (2010)

***Forrester, et.al (2006)dalam Kosasih, Agung dan Sumandri (2010)

Selanjutnya, ada tiga istilah lain yang sudah tertuang dalam Protokol Kyoto yakni

aforestasi, sustainable forest management dan reforestasi. Ketiganya didefinisikan sebagai

berikut:

Aforestasi adalah konversi akibat tindakan langsung manusia dan tidak berhutan

paling tidak selama 50 tahun kemudian dihutankan kembali lewat penanaman, penyemaian

maupun promosi langsung pengembangbiakan sumber-sumber benih alamiah. Reforestasi

adalah konversi akibat tindakan langsung manusia dari tidak berhutan menjadi berhutan.

Metodenya lewat penanaman, penyemaian maupun promosi langsung pengembangbiakan

sumber-sumber benih alamiah di daerah yang dulunya berhutan tapi telah dikonversikan

menjadi daerah yang tidak berhutan Untuk Komitmen pertama (2008–2012) Tindakan

reforestasi dibatasi pada reforestasi yang akan dilakukan di wilayah-wilayah yang tidak

berhutan pada 31 Desember 1989. Sustainable Forest Management adalah praktek yang

Page 15: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

sistemik untuk menjaga dan menggunakan tanah berhutan yang bertujuan memenuhi fungsi

sosial, ekonomi dan ekologi hutan yang relevan (termasuk keanekaragaman hayati) melalui

cara yang berkelanjutan. Keempat konsep ini setidaknya menggarisbawahi beberapa isu yang

menimbulkan perdebatan serius dalam perundingan perubahan iklim, termasuk ketika

perdebatan REDD mulai mengadopsi konsep-konsep tersebut.

Dalam perundingan perubahan iklim selanjutnya, embrio isu kehutanan yang sudah

berkembang dalam skema Kyoto mengalami perkembangan signifikan. Papua Nugini

Sebelum COP 11 Di Montreal tahun 2005 melihat perlunya upaya serius mengatasi emisi dari

deforestasi dan degradasi hutan. Inisiatif PNG ini didorong kuat oleh Kevin Condrad, duta

besar dan utusan khusus PNG untuk lingkungan dan perubahan iklim. Condrad menjalani

studi di Columbia Business School dengan fokus pada proyek penelitian mengenai apakah

uang dari kredit karbon setara dengan pendapatan dari logging. Logging yang tidak terkendali

memang menjadi masalah nasional di PNG. Karena itu, Condrad melihat isu perubahan iklim

sebagai peluang politik untuk merundingkan nilai ekonomi hutan dalam pasar karbon dan

menekan laju deforestasi.

Agar mendapat resonansi politik yang signifikan, Profesor Geoffrey Heal,

pembimbing proyek penelitian Condrad dalam proyek tersebut, mendukung Condrad untuk

membujuk Perdana Menteri PNG, Michael Somare, agar mendorong pembentukan koalisi

yang menyuarakan kredit karbon hutan dalam perundingan perubahan iklim. Pada Januari

2005, Somare menyerukan pembentukan Coalition for Rainforest Nationspada forum

pemimpin dunia yang diselenggarakan di universitas Columbia. Pada bulan Mei, dalam acara

Global Roundtable on Climate Change di universitas Columbia, Somare kembali

mengusulkan hal serupa dengan meminta rekan-rekannya dari negara-negara hutan hujan

seperti Peru, Kongo, Kosta Rika, Republik Dominika, Mozambik, Tanzania and Zambia

untuk membentuk koalisi tersebut. Koalisi negara-negara hutan hujan yang terbentuk ini

kemudian mengusung ambisi untuk memasukan sertifikat pengimbangan emisi terkait dengan

deforestasi dalam pasar emisi karbon global.

PNG kemudian menggandeng Kosta Rika yang juga sedang dililit utang untuk

mencari sumber alternatif pemulihan ekonomi. Dalam proposal kedua negara yang dibahas

pada COP Montreal tersebut, PNG dan Kosta Rika Mengajukan dua opsi kerangka hukum ke

depan: Pertama, Membuat protokol tambahan yang khusus mengatur emisi dari deforestasi

dan degradasi. Kedua, mengembangkan lebih lanjut substansi yang sudah tercantum dalam

Protokol Kyoto dan Marrakech Accords dengan salah satu tambahan penting yakni proyek

kredit karbon harus dibuat secara spesifik untuk isu deforestasi dan degradasi. Dengan Kata

Page 16: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

lain, negara yang ingin dan mampu mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan

seharusnya diberi kompensasi secara finansial melalui mekanisme pasar karena sudah

melakukan upaya itu dengan menahan diri untuk tidak melakukan konversi hutan demi

pertumbuhan ekonomi.

Selain Papua Nugini dan Kosta Rika, proposal ini didukung oleh enam negara lain,

yakni: Bolivia, Republik Afrika Tengah, Chili, Kongo, Republik Dominika dan Nikaragua.

Negara-negara ini menjadi koalisi yang disebut dengan “Koalisi Negara hutan hujan”

(Coalition of Rainforest Nations) dan menunjuk universitas Columbia sebagai sekretariat.

Banyak negara lain menyepakati pentingnya isu yang disampaikan PNG dan Kosta Rika,

sehingga COP membentuk grup kontak, semacam panitia khusus, untuk merancang

kesimpulan yang menjadi bahan tindak lanjut dalam menjawab isu pengurangan emisi dari

deforestasi dan degradasi.

Dalam perkembangan selanjutnya, isu pengurangan emisi dari deforestasi dan

degradasi mendapat kerangka hukum awal dalam CoP 13 di Bali, 2007. Keputusan Bali,

disebut dengan Bali Action Plan (BAP), antara lain memberi dasar hukum pengembangan

skema dan proyek percontohan REDD saat ini. Dalam paragraf 1 b(iii) BAP disebutkan

bahwa:

Tindakan mitigasi internasional/nasional mencakup deforestasi dan degradasi tapi

juga menyangkut konservasi, sustainable forest management, dan perluasan stok

karbon di negara-negara berkembang. Dengan demikian, cakupan REDD dalam pasal

ini adalah deforestasi, degradasi, perluasan stok karbon, konservasi dan SFM. Konsep

ini persis mengikuti logika LUULUCF yang disepakati dalam Marrakech Accord,

sehingga kerap disebut REDD plus LULUCF.

Pasal lain dalam Bali Action Plan juga mengemukakan tiga hal terkait dengan REDD

yakni:

- Pengembangan proyek-proyek percontohan atau pilot project REDD

- Pengembangan kapasitas dan transfer teknologi ke negara berkembang

- Panduan untuk proyek-proyek REDD lewat metodologi yang kokoh dan dapat dipercaya.

Tiga aspek ini menjadi landasan uji coba proyek REDD di berbagai lokasi, termasuk

di Indonesia. Pada COP 14 di Poznan, REDD yang ditetapkan dalam BAP paragraf 1 b (iii)

dipertegas tidak hanya meliputi deforestasi dan degradasi tetapi juga mencakup konservasi,

SFM, aforestasi dan reforestasi yang menjadi bagian dari skema CDM. Perkembangan ini

kerap disebut REDD+. Sama seperti perdebatan REDD, dalam REDD+ isu yang tetap

diperdebatkan adalah cakupan. Namun beberapa isu lain yang muncul adalah cara

Page 17: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

perhitungan dengan pendekatan nett dan gross, konsep sustainable forest management dan

persoalan tropical hot air.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Inisiatif Pasar Karbon di Indonesia

Kesalahpahaman masyarakat umum dan pemangku kepentingan tentang pasar karbon,

kerumitan sistemnya, dan tuntutan transparansi dalam setiap tahapannya menjadikan pasar

karbon masih menjadi pilihan alat pembangunan rendah karbon yang terakhir. Meskipun

demikian, Pemerintah Indonesia menyadari arti penting pasar karbon ini dalam rencana

pembangunan rendah karbon, mengingat manfaatnya dalam peningkatan efisiensi, investasi,

jumlah lapangan kerja, tingkat alih teknologi, dan manfaat dampingannya dalam

meningkatkan pembangunan berkelanjutan dan menjaga mutu lingkungan. Perumusan

mekanisme dan kebijakan pasar karbon di Indonesia kemudian dimandatkan oleh pemerintah

kepada DNPI yang tertuang dalam Peraturan Presiden No. 46 tahun 2008 tentang Dewan

Page 18: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

Nasional Perubahan Iklim. Untuk melaksanakan hal ini, DNPI menerapkan strategi

pengembangan pasar karbon dalam tiga jalur yang dapat saling terkait, dengan tujuan untuk

menciptakan kemampuan nasional dalam memanfaatkan pasar karbon secara optimal bagi

pembangunan Indonesia yang rendah karbon dan adaptif terhadap perubahan iklim. Ketiga

jalur tersebut digambarkan sebagai berikut.

Pasar Karbon Multilateral Tergantung dari hasil perundingan

UNFCCC

Butuh keseimbangan antara mekanisme

yang fleksibel dan yang rigid

Membutuhkan kesepakatan Internasional

untuk kriteria lingkungan dan pembangunan

berkelanjutan

Pasar Karbon Bilatral / Regional Antara indonesia dan negara maju

Dapat menjadi mekanisme internasional

buat offsetting

Sekarang menjadi pusat perhatian dodalam

dan diluar perundingan

Pasar Karbon Domestik Dimulai dari mekanisme offset sukarela

(SKN)

Dikembangkan dan diperdagangkan di

Indonesia

Sederhana tapi rigid

Dapat disambungkan atau dikaitkan dengan

mekanisme yang lebih besar

Tabel : Strategi pengembangan pasar karbon di Indonesia

3.1.1 Pengembangan Pasar Karbon Multilateral

Perkembangan perundingan perubahan iklim di tingkat UNFCCC maupun dalam

berbagai inisiatif internasional yang mulai muncul mengharuskan Indonesia untuk melakukan

antisipasi pengembangan instrumen pasar karbon multilateral. Selain terlibat aktif dalam

pengembangan dan penyiapan instrumen pasar karbon multilateral yang baru, Indonesia juga

tetap memanfaatkan skema CDM, terutama sebagai pembanding (benchmark) bagi pasar

karbon yang dikembangkan.Dalam kegiatan pengembangan pasar karbon multilateral

Page 19: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

Indonesia bergabung dalam kerjasama multilateral yang digagas Bank Dunia (The World

Bank) bertajuk Partnership for Market Readiness (PMR) dan diikuti oleh 13 negara donor

dan 16 negara pengimplementasi (implementing countries) . Kerjasama ini menarik dan

unik karena setiap negara pengimplementasi diberi kebebasan dalam mempersiapkan diri

untuk menghadapi pasar karbon pasca 2012 dan dilakukan serangkaian kegiatan

pengembangan kapasitas serta pertukaran informasi antar negara peserta untuk mencapai

kesiapan dan kesepahaman yang lebih baik.

Sebagai salah satu negara pengimplementasi, Indonesia telah melakukan pemaparan

rencana pembangunan kesiapan pasar karbon multilateral melalui pengembangan instrumen

teknis dan kebijakan. Pada proposal yang telah disusun dan dipresentasikan di Barcelona,

Spanyol, pada bulan Mei 2013, Indonesia mengajukan beberapa rencana yang disetujui oleh

Partnership Assembly , yaitu:

1. Pengembangan rencana nasional yang komprehensif untuk pembiayaan berbasis pasar

(market based instrument initiative) . Rencana nasional ini diharapkan akan menjadi

rencana induk pengembangan pembiayaan berbasis pasar yang terintegrasi dengan

pembangunan rendah karbon di Indonesia.

2. Pembangunan sistem MRV emisi GRK untuk sektor industri padat energi dengan

pilot sistem MRV di sub sektor semen. Sub sektor semen dipilih karena merupakan

yang paling siap di Indonesia baik dari sisi kebijakan maupun teknis serta dapat

menjadi contoh bagi sub sektor industri lain. Kewajiban menurunkan emisi bagi

industri semen yang diamanatkan salah satu Peraturan Menteri Perindustrian juga

diharapkan bisa menjadi pendorong pengembangan pasar karbon domestik.

3. Pembangunan sistem MRV emisi GRK untuk sektor pembangkitan listrik dengan

pilot sistem MRV di sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali (Jamali), jaringan listrik

terbesar di Indonesia dengan jenis pembangkit paling beragam. Sektor kelistrikan juga

merupakan sektor dengan pertumbuhan emisi tertinggi di Indonesia dan dapat

dikembangkan menjadi salah satu sektor utama penunjang pasar karbon di masa

depan.

Selain inisiatif yang dilakukan dengan Bank Dunia melalui PMR, Indonesia juga aktif

dalam negosiasi UNFCCC, khususnya untuk pengembangan pasar karbon dalam perumusan

kerangka perjanjian perubahan iklim yang mengikat para pihak peserta konvensi pasca

Page 20: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

Protokol Kyoto. Pada dasarnya, Indonesia sangat mendukung segala upaya pengembangan

pasar karbon dalam konteks pengurangan emisi gas rumah kaca secara global.

3.3.2 Pengembangan Pasar Karbon Bilateral dan Regional

Pengembangan pasar karbon bilateral dan regional di Indonesia terutama dilakukan

sebagai upaya mempercepat implementasi pembangunan rendah karbon secara nasional dan

mengantisipasi prediksi akan berkurangnya pembiayaan berbasis pasar sejak berakhirnya

komitmen pertama dari Protokol Kyoto dan belum terbangunnya pasar karbon multilateral

yang lebih fleksibel dan bisa diikuti semua negara. Di bawah ini adalah inisiatif-inisiatif

pengembangan pasar karbon bilateral dan regional yang dikembangkan di Indonesia:

1. Joint Crediting Mechanism (JCM)

Kerjasama bilateral perdagangan karbon dengan Jepang. Sejak tahun 2010 Jepang

telah menawarkan kerjasama dengan Indonesia dan beberapa negara lain untuk melakukan

perdagangan karbon antarnegara secara bilateral. Selain untuk perdagangan karbon,

kerjasama ini juga didasari kepentingan investasi dan perdagangan antara Indonesia dan

Jepang melalui proyek-proyek rendah karbon.

Sebagai negara maju, Jepang berkomitmen untuk menurunkan emisi gas rumah

kacanya (GRK) sampai dengan level 25% di bawah tahun 1990 pada tahun 2020. Target

tersebut akan dicapai melalui kegiatan pengurangan emisi di dalam negeri dan melalui proyek

pengurangan emisi yang dibiayai oleh pemerintah dan sektor swasta Jepang namun dilakukan

di luar negeri, khususnya di negara-negara berkembang, melalui mekanisme JCM. Pilihan

bekerja sama dengan negara berkembang adalah yang terbaik bagi Jepang karena ia tidak

meletakkan komitmen untuk Protokol Kyoto sehingga tidak dapat mempergunakan CDM,

sedangkan biaya yang dibutuhkan untuk pengurangan emisi di dalam negeri sangat tinggi.

Jepang akan mendapatkan kredit karbon dari pengurangan emisi dengan cara menanamkan

investasi atau membeli pengurangan emisi, sedangkan Indonesia akan mendapatkan

investasi, transfer teknologi, dan kemungkinan pembagian kredit karbon dari proyek.

Pembagian kepemilikan kredit karbon dari proyek akan sangat tergantung dari jenis dan

besaran modal yang ditanamkan serta kesepakatan kedua belah pihak.

Jepang dan Indonesia telah merancang beberapa aturan dasar untuk implementasi

JCM yang diharapkan dandilakukan pada tahun 2013. Sebagai bagian dari persiapan tersebut,

Pemerintah Jepang melalui beberapa kementeriannya telah memberikan dana hibah kepada

Page 21: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

perusahaan-perusahaan Jepang untuk melakukan studi kelayakan (feasibility studies)

pelaksanaan proyek-proyek di bawah skema JCM di Indonesia. Sampai saat ini telah

dilakukan 57 (lima puluh tujuh) studi kelayakan, yang terdiri dari studi di bidang energi

terbarukan (dari sumber panas bumi, hidro, dan biomassa), efisiensi energi, transportasi

rendah karbon, Carbon Captured and Storage (CCS), pertanian rendah karbon, dan kegiatan

berbasis kehutanan. Dua aspek kelayakan utama yang dianalisis dalam studi-studi tersebut

adalah skema pembiayaan dan metodologi penghitungan emisi GRK. Metodologi yang akan

diterapkan harus dipastikan memenuhi standar ilmiah sehingga hasil pengurangan emisi dari

proyek JCM dapat diakui di forum/ mekanisme internasional.

Perjanjian kerjasama bilateral untuk implementasi JCM yang telah ditandatangani

oleh kedua negara pada bulan Agustus 2013, mempunyai implikasi bahwa JCM kemudian

akan dikembangkan secara bersama dalam kerangka pembangunan rendah karbon dan

perdagangan karbon antar kedua negara. Mekanisme JCM adalah kerjasama bilateral yang

mengedepankan investasi berwawasan lingkungan untuk mendukung pembangunan rendah

karbon. Mekanisme ini akan menjadi insentif bagi perusahaanperusahaan Jepang untuk

meningkatkan investasi dalam kegiatan rendah karbon di Indonesia. Pemerintah Jepang

diuntungkan karena sebagian dari hasil penurunan emisi GRK di proyek-proyek investasi di

Indonesia akan dapat diklaim sebagai penurunan emisi negaranya. Indonesia juga

mendapatkan manfaat yang besar, baik manfaat ekonomi maupun lingkungan, dari kerjasama

JCM tersebut. Lebih jauh, JCM yang kemudian dimaksudkan untuk menjadi mekanisme

offsetting internasional, menyebabkan Indonesia dan Jepang, juga beberapa negara yang

mempunyai perjanjian yang serupa dengan Jepang, akan mempunyai posisi yang sama di

perundingan internasional untuk perubahan iklim, sehingga akhirnya JCM ini benar-benar

menjadi mekanisme internasional yang diakui UNFCCC.

2. Kerjasama dalam kawasan Asia Pasifik

Indonesia juga aktif terlibat dalam kerjasama antar kawasan di Asia Pasifik. Forum

yang pertama kali diinisiasi oleh Selandia Baru dan kemudian diikuti oleh lebih dari 15

negara di Asia Pasifik ini bertujuan untuk menciptakan kerjasama jangka panjang dalam

pembangunan pasar karbon yang terintegrasi dalam kawasan.Kerjasama yang kemudian

disebut Asia Pacific Carbon Market Roundtable (APCMR) kemudian mempertimbangkan

kemungkinan-kemungkinan penyamaan standar, kerjasama dalam perencanaan pasar karbon

Page 22: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

di kawasan Asia Pasifik, dan membuka peluang untuk diskusi pengembangan karbon

multilateral sebagai dasar negosiasi di UNFCCC

3. Kerjasama secara bilateral dengan negara sahabat lain

Kemungkinan untuk melakukan kerjasama bilateral seperti dengan Jepang tidak

tertutup bagi negara sahabat lain. Kerjasama Indonesia dengan Jepang dapat diterapkan

dengan beberapa modifikasi yang diperlukan dengan negara sahabat yang berminat dalam

pengembangan pasar karbon dan pembangunan rendah karbon.

3.3.3 Pengembangan Pasar Karbon Domestik

Indonesia belum memiliki pasar karbon domestik seperti di beberapa negara lain.

Melihat perkembangan perekonomian serta kebijakan yang masih berpihak pada

pengembangan energi fosil, termasuk masih adanya subsidi energi, maka pengembangan

pasar karbon domestik masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa dilakukan

dengan baik. Meskipun demikian, pengembangan satu sistem sertifikasi pengurangan emisi

berbasis mekanisme pasar maupun non pasar yang sistemnya serupa pasar karbon akan

bermanfaat bagi Indonesia sebagai dasar pengembangan pasar karbon domestik selanjutnya.

Menyadari pentingnya hal ini, DNPI melakukan inisiatif pengembangan program

GRK yang dinamakan Skema Karbon Nusantara (SKN). SKN adalah mekanisme sertifikasi

dan registrasi hasil kegiatan penurunan emisi gas rumah kaca yang bersifat sukarela

(voluntary) , jadi tidak ada kewajiban bagi siapapun untuk mengikutinya. SKN sangat mirip

dengan Clean Development Mechanism (CDM) yang dijalankan UNFCCC. Perbedaannya

adalah pada keluaran (output) -nya.Keluaran sertifikasi CDM adalah kredit karbon yang

dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban penurunan emisi dalam Protokol Kyoto,

sedangkan kredit karbon keluaran SKN tidak mempunyai kaitan dengan kebijakan

pengurangan/pembatasan emisi gas rumah kaca apapun.Keluaran sertifikasi SKN adalah

kredit karbon yang akan dinamai Unit Karbon Nusantara (UKN). Satu UKN adalah setara

dengan penurunan satu ton karbon dioksida (CO2). Setiap UKN yang diterbitkan akan dicatat

dalam basis data registry SKN dan dapat digunakan untuk menggantikan emisi gas rumah

kaca yang dilepaskan (GHG offset ) oleh si pemilik UKN. Kepemilikan UKN dapat dipindah-

tangankan antara sesama pengguna registry sehingga memungkinkan terjadinya perdagangan

kredit karbon di antara mereka.

Page 23: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

SKN diharapkan mampu menarik perhatian sektor swasta yang berminat menurunkan

emisi GRK-nya karena setiap UKN yang diterbitkan adalah bukti bahwa kegiatan yang

dilakukan telah berhasil menurunkan emisi gas rumah secara permanen, terukur dan

berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan.Padatahun 2013 SKN telah memiliki enam

rancangan metodologi, dua panduan, satu calon pilot project , website yang memuat semua

perkembangannya, danmelakukan pembentukan kelembagaan secara resmi. SKN diharapkan

dapat beroperasi secara penuh di tahun 2014, sehingga Indonesia akan memiliki satu opsi

lagi dalam hal mekanisme pengurangan emisi guna mencapai target nasional. SKN ini dapat

juga difungsikan untuk memenuhi komitmen nasional Indonesia dalam pengurangan emisi

sebesar 26% pada tahun 2020 karena selama pembeli dan penjual UKN adalah entitas

Indonesia maka penurunan emisi yang dihasilkan adalah upaya domestik Indonesia.

Mekanisme SKN juga dapat digunakan apabila pemerintah ingin memberikan insentif pada

perusahaan atau entitas yang sudah melakukan penurunan emisi dan ingin mendaftarkannya

sebagai bagian dari komitmen nasional

3.2 Pelaksanaan Perdagangan Karbon di Indonesia

Balitbang Kementerian Kehutanan dengan diawasi oleh lembaga donator asal Jepang

Seven & I dan International Tropical Timber Organization (ITTO) merancang proyek yang

mendukung pelaksanaan REDD+ dengan memilih Taman Nasional Meru Betiri (TNMB).

Luas total Taman Nasional adalah ± 58.000 ha yang terdiri dari berbagai jenis vegetasi

dari pegunungan hingga pesisir. TNMB kaya akan keanekaragaman hayati dan masyarakat

yang tinggal di sekitar hutan telah memberikan dampak baik positif dan negatif terhadap

kelestarian hutan. TNMB memenuhi syarat untuk proyek REDD+ karena kawasan ini telah

mengalami deforestasi dan degradasi yang tidak terencana. TNMB telah dipilih sebagai

tempat untuk kegiatan demonstrasi (DA) dari REDD melalui proyek ITTO di kawasan

konservasi, untuk memberikan informasi yang diperlukan oleh standar internasional yang

berkaitan dengan kredibel, terukur, terlapor, dan terverifikasi (MRV) guna pemantauan

pengurangan emisi dari deforestasi, degradasi hutan dan peningkatan stok karbon.

TNMB sebagai wilayah konservasi memiliki stok karbon yang relatif tinggi,

oleh karena itu metodologi untuk mendukung REDD+ terutama dalam kawasan konservasi

penting untuk di eksplorasi. Pembelajaran dari kawasan konservasi, terutama terkait

dengan aspek metodologi untuk degradasi dan konservasi akan memberikan informasi yang

berguna untuk negosiasi REDD+ di UNFCCC.

Page 24: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

Selain sebagai penjaga ekosistem dan habitat satwa, hutan di kawasan Taman

Nasional Meru Betiri (TNMB) di Jember, Jawa Timur, akan dijadikan kawasan percontohan

perdagangan karbon dari aktivitas penanaman pohon di lokasi lahan rehabilitasi hutan dengan

menggandeng masyarakat desa.Pihak TN Meru Betiri telah menggandeng masyarakat, untuk

ikut merehabilitasi lahan kritis seluas lebih dari 4.000 hektar, dengan memberikan hak

pengelolaan lahan kepada masyarakat untuk ditanami tanaman pokok atau pohon tegakan.

Program tersebut berhasil menghijaukan kembali lahan kritis. Keberhasilan program tersebut,

bisa dikompensasikan melalui skema perdagangan karbon.Dalam program ini, ITTO

menyiapkan dana sebesar US$900,000 untuk selama 4 tahun (Januari 2010-Desember 2014).

BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Pengurangan gas emisi merupakan sebuah konsep yang muncul dalam konferensi atau

protokol-protokol yang diadakan. Salah satunya adalah protokol kyoto yang menggagas

tentang tuntutan bagi suatu negara untuk mengurangi emisi. Menurunkan emisi gas dilakukan

dengan cara carbon trading ataupun dengan konsep REDD+. Kedua konsep ini memiliki

pelaksanaan proyek-proyek yang saling berhubungan dan diharapkan dalam protokol kyoto

pada tahun 2020 peningkatan suhu karena perubahan iklim dapat diturunkan. Dalam

melakukan pengurangan emisi, Jepang dan Indonesia melakukan sebuah kerjasama dimana

Page 25: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

Jepang memberikan dana hibah terkait dengan proyek-proyek yang dilakukan Indonesia

untuk mengurangi GRK.

Dengan dijadikannya Taman Nasional Meru Betiri di Jember menunjukkan bahwa

Indonesia menyambut baik adanya perdagangan karbon. Selain itu perdagangan karbon juga

bersifat menguntungkan bagi Indonesia ketika sudah dilaksanakan. Indonesia dapat

mendapatkan dana dari negara-negara maju yang menjadi negara donor. Dalam perdagangan

karbon di TNMB dana dari perdagangan karbon digunakan untuk melestarikan hutan dan

untuk penghasilan masyarakat sekitar yang ikut serta dalam melestarikan hutan setempat.

Dengan dipelopori TNMB diharapkan dapat membuka peluang bagi wilayah lain untuk dapat

ikut serta dalam perdagangan karbon. Pada dasarnya pelaksanaan perdagangan karbon ini

dapat mencegah bencana dan perubahan lingkungan atau yang biasa disebut dengan mitigasi.

4.2 Saran

Diharapkan dalam pelaksanaan perdagangan karbon dapat didukung dengan

keikutsertaan masyarakat dalam menjaga dan melestarikan lingkungan sekitar. Masih

minimnya pengetahuan masyarakat tentang perdagangan karbon menjadi tugas bagi

pemerintah untuk dapat mensosialisasikan secara menyeluruh terutama pada masyarakat yang

berada disekitar hutan atau lahan terbuka hijau lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

-.-. Protokol Kyoto. (online) (https://id.wikipedia.org/wiki/Protokol_Kyoto, diakses pada tanggal

15 April 2016)

Wahyuni, Dina. 2008. Apakah Carbon Trading?. (online)

(http://dinawahyuni.blogspot.co.id/2008/01/apakah-carbon-trading.html, diakses

pada tanggal 16 April 2016)

Dewan Nasional Perubahan Iklim. 2013. Mari Berdagang Karbon. (online)

(

Page 26: blog.ub.ac.idblog.ub.ac.id/.../2016/04/kelompok-7-credit-carbon.docx · Web view1.1 Latar Belakang Pada dasarnya sebuah negara berkembang ingin meningkatkan perkembangan ekonomi

http://jcm.ekon.go.id/en/uploads/files/Document%20JCM/Media/buku_carbon_is

i.pdf, Diakses pada tanggal 16 April 2016)

Mansur, Eduardo. 2011. ITTO Thematic Programme on Reducing Deforestation and Forest

Degradation and Enhancing Environmental Services. (online)

http://redd.ffpri.affrc.go.jp/events/seminars/_img/_20110216/04_Eduardo_Mansur.pdf.

Diakses pada 16 April 2016