kelapa sawit adalah salah satu komoditas yang menjadi ......mengeluarkan peraturan menteri keuangan...
TRANSCRIPT
2
Kelapa sawit adalah salah satu komoditas yang menjadi produk unggulan nasional Indonesia, sehingga
disebagian besar wilayah di Indonesia menempatkan komoditas kelapa sawit sebagai produk andalan di
sektor perkebunan. Di level dunia, Indonesia merupakan produsen minyak kelapa sawit terbesar.
Berdasarkan data Dorektorat Jendral Perkebunan, total produksi minyak kelapa sawit padda Tahun 2015
adalah 31.284.306 juta ton, dengan volume ekspor minyak sawit dan turunannya 19.043.783 ton dan nilai
ekspor US$ 11.581.725. Lebih dari tujuh puluh persen (70%) dari total produksi diekspor ke pasar
internasional dengan pasar ekspor utama India, Eropa, dan China, serta lebih dari 60 negara lainnya. Pada
awal Tahun 2017, pemerintah Indonesia mematok target produksi minyak sawit mentah sebesar 40 juta
ton hingga Tahun 2020. Sementara itu berdasarkan data yang diolah GAPKI,1 total ekspor minyak sawit
mentah (CPO) dan turunannya asal Indonesia pada Tahun 2015 mencapai 26,40 juta ton atau naik 21%
dibandingkan dengan total ekspor 2014, 21,76 juta ton. Adapun produksi CPO dan turunannya 2015
diprediksi mencapai 32,5 juta ton (termasuk biodiesel dan oleochemical). Angka produksi ini naik 3%
dibandingkan total produksi tahun 2014 yang hanya mencapai 31 juta ton. Data Badan Pengelola Dana
Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menunjukan bahwa nilai ekspor produk sawit selama 2016 mencapai
US$ 17,8 milyar atau naik 8 persen dibandingkan tahun sebelumnya US$ 16,5 Milyar. Walaupun nilai
ekspor naik sebaliknya volume turun sebesar 2 persen. Pada 2016 volume ekspor CPO mencapai 25,7
juta ton sedangkan tahun sebelumnya mencapai 26,2 juta ton.
Sementara itu pendapatan negara dari perkebunan kelapa sawit lebih dari 15 milyar dollar per tahun dari
total ekspor (3% dari GDP Indonesia). Industri kelapa sawit juga menjadi mata pencaharian langsung dari
sekitar 4 juta keluarga yang terdiri atas petani pemilik lahan dan petani pekerja, serta 16 juta keluarga
pekerja tidak langsung. Lebih dari 40% dari industri minyak sawit terdiri atas petani kecil, yang berarti
bahwa sektor kelapa sawit memiliki peluang untuk peningkatan pembangunan di tingkat pedesaan.
Perkembangan industri perkebunan kelapa sawit juga tak lepas dari perdebatan. Salah satu kebijakan
pemerintah yang bergulir sejak tahun 2014 adalah pembentukan skema pendanaan untuk mendukung
program pencampuran bahan bakar nabati dalam BBM sebesar 15 persen. Skema ini dilakukan melalui
pungugutan dana dari pengekspor CPO untuk subsidi biodiesel yakni US$ 50 per ton dari ekspor CPO
dan US$ 30 per ton untuk olein (produk turunan CPO). Skema ini dikenal dengan CPO supporting fund.
Kebijakan ini dilakukan untuk mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) dan dapat menghemat uang
negara sebesar US$ 1,3 miliar per tahun. Selain itu, kebijakan mandatory bahan bakar nabati (BBN) ini
merupakan salah satu dari tujuh paket kebijakan ekonomi yang dilakukan pemerintah menyusul
melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Di sisi lain,kebijakan mandatory B1
15% ini pun menimbulkan perdebatan yakni dampaknya pada sektor perkebunan kelapa sawit, karena
pengembangan industri biodiesel ini manyoritas berbasis CPO Kelapa Sawit, sehinggaberpotensi
mendorong lajunya deforestasi melalui perluasan lahan atau pembukaan baru, rendahnya harga TBS di
tingkat petani serta potongan dana dari kegiatan ekspor perusahan kelapa sawit yang daianggap
merugikan perusahan-perusahan kecil.
Lalu pada tahun 2015, pemerintah kemudian meluncurkan program pengembangan kelapa sawit yang
berkelanjutan dan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit,
melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2015 Tentang Penghimpunan Dana
Perkebunan sebagai amanat Pasal 93 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan.
Peraturan Pemerintah ini menjadi landasan hukum berlakunya penghimpunan dana perkebunan yang
ditujukan untuk mendorong pengembangan perkebunan yang berkelanjutan. Penghimpunan dana ini
dilakukan atas komoditas perkebunan strategis yakni kelapa sawit, kelapa, karet, kopi, kakao, tebu dan
tembakau.
3
Di sektor kelapa sawit, sebagai landasan hukum atas komitmen pemerintah untuk menjamin
pengembangan sekaligus pengelolaan dana untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit yang
berkelanjutan, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 61 tahun 2015 tentang
Perhimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Peraturan Presiden No 61 tahun 2015
mengatur terkait tujuan pengutan dana perkebunan kelapa sawit, sumber, mekanisme dan proses
penghimpunan dana, penggunaan dan pemaanfaatan (kepentingan) dana, tanggung jawab pembentukan,
fungsi dan struktur kelembagaan, keanggotaan dan pejabat pengelola dana maupun komite pengarah. Atas
kewenangannya melalu Peraturan Presiden tersebut, Pemerintah melalui Menteri Keuangan
mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.01/2015 tentang Organisasi Dan Tata
Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit tanggal 11 juni 2015, sebagai dasar pembentukan
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) yakni lembaga yang merupakan unit organisasi
noneselon di bidang pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Menteri Keuangan melalui Sekretaris Jenderal. BPDPKS bertugas untuk melaksanakan
pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit baik dana pengembangan maupun dana cadangan
pengembangan sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dan berdasarkan
peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Pembentukan BPDPKS juga ditujukan untuk melaksanakan amanat pasal 93 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 2014 tentang Perkebunan yakni menghimpun dana dari pelaku usaha perkebunan atau lebih
dikenal dengan CPO Suppoting Fund (CSF) yang akan digunakan sebagai pendukung program
pengembangan kelapa sawit yang berkelanjutan. Program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan
memiliki beberapa tujuan, yakni : mendorong penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit,
mendorong promosi usaha perkebunan kelapa sawit, meningkatkan sarana prasarana di dalam
pengembangan industri kelapa sawit, pengembangan biodiesel, mendorong proses peremajaan
“replanting” kelapa sawit, mendorong peningkatan jumlah mitra usaha dan penambahan jumlah
penyaluran dalam bentuk ekspor, serta melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan sumber
daya masyarakat mengenai perkebunan kelapa sawit.
Sejak berdiri pada tahun 2015 BPDPKS sudah mengumpulkan dana sebesar 11,7 triliun rupiah selama
tahun 2016. Akan tetapi, dari dana yang begitu besar atas pungutan dana ekspor perusahan sawit, tidak
menunjukkan komitmen yang besar bagi implementasi pengembangan dan pengelolaan dana bagi
pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan. Beberapa ditunjukkan pada point berikut:
1) Pada tahun 2016 dana sawit yang diperuntukkan untuk prospek pengembangan perkebunan
kelapa sawit yang keberlanjutan tidak optimal, berbeda dengan pernyataan BPDPKS melalui press briefing pada (10/01/2017) tentang Kinerja Ekspor Sawit Indonesia 2016 dan Rencana Kegiatan
Dukungan Dana Sawit 2017. Implementasi penyaluran danabagi petani justru tidak menyelesaikan
persoalan dalam mendorong keberlanjutan perkebunan kelapa sawit rakyat.
2) Penggunaan dana sawit yang diperuntukkan peremajaan kebun rakyat selama 2016 yakni sekitar
Rp 400 milyar, dan Rp 160 milyar dukungan untuk pengembangan sarana dan prasarana. Dari
dana Rp 400 milyar tersebut tidak terealisasi secara maksimal bagi petani kelapa sawit dalam
peremajaan kebun, karena 61% dari 12 ribu petani dengan luas lahan 26,5 ribu hektar saja, yang
diajukan untuk peremajaan kebun tidak dapat direalisasikan. Sementara persoalan petani terkait
legalitas dibiarkan berlanjut.
3) Realitasproblem utama petani kelapa sawit adalah terkait legalitas lahan baik lahan yang belum
tersertifikat maupun lahan dalam kawasan hutan. Di satu sisi, aspek legalitas merupakan syarat
utama dalam skema keberlanjutan. Sehingga, penyaluran dana peremajaan kebun tidak terealisasi
bagi petani terutama petani sawit wadaya saat ini maupun ke depan. Hambatan petani sudah
4
seharusnya menjadi perhatian BPDPKS dalam pengelolaan dana guna mengkonsolidasi petani
dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
4) Kiblat dana BPDPKS tidak untuk petani, proyeksi dana BPDPKS yang disiapkan pada tahun 2017
untuk mendukung program B20 mencapai Rp 9,6 trilyun, dengan target penggunaan biodiesel
berbahan baku sawit. Dukungan ini berbeda untuk pengembangan kelapa sawit berkelanjutan di
tingkat petani kelapa sawit, yang tidak mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, sekitar 560
milyar. Fakta ini menunjukkan dukungan dana BPDPKS hanya melegitimasi dukungannya bagi
pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat yang berkelanjutan.
5) Skema pendanaan yang masih menyulitkan petani kelapa sawit sebagai dampakperencanaan dan
pengelolaan danayang cendrung tidak memperhatikan aspirasi petani kelapa sawit sebagai pelaku
usaha. Nyatanya, dana tersebut dikembalikan pada petani melalu pengusaha dan tidak
memberikan manfaat signifikan pada upaya penanaman kembali (replanting) kebun-kebun petani
yang sebagian besar merupakan tanaman berusia tua. Sehingga penyerapan dana peremajaan
kebun tidak maksimal karena rendahnya minat petani kelapa sawit untuk mengakses dana dengan
skema yang ditentukan.
Beberapa alasan mendasar tersebut di atas menegaskan implementasi penggunaan dan pemaanfaatan dana
oleh BPDPKS tersebut berada di luar komitment Presiden Jokowi untuk membangkitkan perkebunan
rakyat agar terkonsolidasi dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan.
Rendahnya kepercayaan public atas pengelolaan dana BPDPKS ditunjukkan dengan adanya tuduhan
maupun dugaan berbagai potensi penyelewengan penggunaan dana serta adanya potensi terjadi
penyerapan dana di sektor industri biodiesel yang besar menguntungkan perusahan-perusahaan besar
tertentu yang juga bergerak di industri kelapa swiit baik hulu dan hilir. Dugaan tersebut bukan tanpa
alasan, bahwa badan pengelola dana perkebunan kelapa sawit tersebut sudah dalam pantauan KPK terkait
dugaan penyelewengan sejumlah dana sawit. Daftar pabrik biodiesel pun menjadi salah satu landasan
dalam menunjukkan praktik monopoli dalam penyerapan dana sawit tersebut.
Momentum pemerintah dalam mengupayakan pengembangan perkebunan kelapa sawit yang
berkelanjutan sudah seharunya menjadi peluang bagi Pemerintah dalam membenah dan memperbaiki
pengelolaan dana sawit guna mendukung pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat menuju
keberlanjutan. Tidak hanya terbatas pada asoek penyerapan dana yang maksimal dan transparan serta
kelembagaan BPDPKS yang kredibel, tetapi juga bagaimana merancang strategi nasional ke depan melalui
pemaanfaatan dana sawit bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit rakyat yang berkelanjutan.
I. STRUKTUR KELEMBAGAAN BPDPKS
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 113 /Pmk. 01/2015
mengatur tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Berdasarkan aturan ini, BPDPKS bertugas untuk melaksanakan pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa
Sawit, yang selanjutnya disebut Dana, sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dan berdasarkan keterituan peraturan perundangundangan.
Selanjutnya, dalam melaksanakan tugas tersebut BPDPKS menyelenggarakan fungsi (Pasal 3 PMK No 113
/Pmk. 01/2015):
a. penyusunan Rencana Strategis Bisnis, Rencana Bisnis Anggaran tahunan, serta rencana kerja dan
anggaransatuan kerja;
b. penghimpunan dana termasuk rencana dan strategipemungutan biaya dan pengembangan Dana;
c. pengelolaan dana yang meliputi penempatan/ investasi dana;
d. perencanaan dan penyaluran dana;
5
e. penyusunan dan pelaksanaan anggaran, akuntansi danpenyelesaian transaksi (setelmen), serta
pelaporan; dan
f. pengendalian intern dan penerapan manajemen risiko denganprinsip kehati-hatian terhadap
pelaksanaan tugas BPDPKS.
Untuk mendukung lancarnya pemenuhan tujuan dibentuknya BPDPKS maka di dalam struktur organisasi
yang ditetapkan melalui Peraturan Menteri Keuangan yakni berjumlah 5 (lima) direktorat dengan 13 (tiga
belas) divisi. Lima direktorat tersebut yakni
a. Direktorat Keuangan, Umum, Kepatuhan dan Manajemen Risiko;
b. Direktorat Perencanaan dan Pengelolaan Dana;
c. Direktorat Penghimpunan Dana;
d. Direktorat Penyaluran Dana;
e. Direktorat Kemitraan;
Struktur kelembagaan BPDPKS sudah seharusnya menjadi kunci dalam membesarkan dan mensukseskan
program pengembangan kelapa sawit berkelanjutan dengan fungsi dan peran masing-masing. Beberapa
direktorat BPDPKS secara umum memiliki tugas dan fungsi yang bersifat administrative dan birokratis,
seperti penyusunan perencanaan, penghimpunan, penyaluran dan pengelolaan dana, perumusan kebijakan,
serta perencanaan usaha maupun dalam konteks pencatatan, pelaporan serta pengawasan. Meski BPDPKS
merupakan badan yang bertugas dan berfungsi dalam menghimpun dan mengelola dana sawit, diluar
konteks teknis lapangan yang merupakan tugas dari instansi pemerintah terkait, seharusnya sebagai
lembaga penunjang pengelolaan dana untuk mendorong pengembangan perkebunan kelapa sawit yang
berkelanjutan, BPDP juga harus memastikan adanya struktur kelembagaanserta peningkatan kapasitas
pejabat terkait di berbagai level yang memahami konteks perkebunan berkelanjutan itu sendiri
yangmenjadi kunci keberhasilan mendukung pendanaandalam rangka pengembangan perkebunan kelapa
sawit yang berkelanjutan sebagaimana amanat di dalam PP No 24 Tahun 2015 dan Peraturan Presiden
No 61 tahun 2015.
Point penting tersebut menjadi salah satu catatan kritis yang seharusnya menjadi perhatian Pemerintah
dalam mengimplementasikan tujuan dari pembentukan BPDPKS sebagai jaminan atas komitmen Presiden
dalam mewujudkan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia.
II. PERAN DAN MAANFAAT DANA PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (Crude Palm Oil/COP Fund) terbentuk dengan
pertimbangan utama menjamin pengembangan perkebunan sawit berkelanjutan. Pembentukan BPDPKS
juga merupakan amanat untuk menjalankan ketentuan Pasal 93 ayat (3) Undang-Undang No 39 Tahun
2014 tentang Perkebunan, yakni Pembiayaan Usaha Perkebunan yang dilakukan oleh Pelaku Usaha
Perkebunan bersumber dari penghimpunan dana Pelaku Usaha Perkebunan, dana lembaga pembiayaan,
dana masyarakat, dan dana lain yang sah. Artinya pembiayaan tersebut merupakan pembiayaan yang
bersumber bukan dari APBN, sehingga pembiayaan tersebut bukanlah pembiayaan yang dilakukan
Pemerintah baik pusat maupun daerah.
Secara umum penyelenggaraan Penghimpunan Dana diatur dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 24
Tahun 2015 yang bertujuan untuk:
a. menyediakan Dana bagi pengembangan Usaha Perkebunan yang berkelanjutan;
b. meningkatkan kapasitas sumber daya manusia Perkebunan;
c. mendorong pengembangan industri hilir Perkebunan;
d. meningkatkan optimasi penggunaan basil Perkebunan untuk bahan baku industri, energi
terbarukan, dan ekspor;
6
e. meningkatkan dan menjaga stabilitas pendapatan Usaha Perkebunan dengan mengoptimalkan
harga di tengah fluktuasi harga komoditas Perkebunan dunia; dan
f. mendukung upaya peningkatan kesejahteraan dan keberlanjutan Pekebun/Perkebunan rakyat dari
dampak negatif gejolak harga komoditas dunia.
Di sektor komoditas kelapa sawit, penerapan penyelenggaraan penghimpunan dana perkebunan kelapa
sawit dilakukan oleh BPDPKS dengan menghadirkan program utama sebagaimana diatur dalam Pasal 11
ayat (1) dan ayat (2) Perpres 61/2015, yakni:
Ayat (1) Dana yang dihimpun digunakan untuk kepentingan:
a. pengembangan sumber daya manusia Perkebunan Kelapa Sawit;
b. penelitian dan pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit;
c. promosi Perkebunan Kelapa Sawit;
d. peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit; dan
e. sarana dan prasarana Perkebunan Kelapa Sawit.
Ayat (2) Penggunaan Dana yang dihimpun untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
termasukdalam rangka pemenuhan hasil Perkebunan Kelapa Sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi
industri Perkebunan Kelapa Sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodiesel.
Ayat (3) Badan Pengelola menetapkan prioritas penggunaan Dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2), dengan memperhatikan program pemerintah dan kebijakan Komite Pengarah.
Selain memiliki program utama, Pemerintah juga telah menegaskan terdapat 10 prinsip utama BPDPKS:
1) BPDP Kelapa Sawit mengelola dana pungutan kelapa sawit dari industri untuk industri.
2) BPDP merupakan BLU yang bersifat fleksibel. Semua pengurus lembaga ini bisa berasal dari pihak
swasta, kecuali posisi Direktur Keuangan harus dari Pegawai Negeri Sipil.
3) BPDP merupakan Badan Pengelola Dana atau Fund Management Company, sehingga dana harus
dikelola dengan menggunakan modern portfolio theory untuk menghasilkan return yang optimal.
4) Skema dari BPDP adalah dari sawit untuk sawit. Industri Sawit dikenakan pungutan ekspor untuk
memberikan insentif kepada industri sawit sehingga terjadi permintaan tambahan untuk industri
biodiesel domestik.
5) BPDP dirancang untuk mendorong energi terbarukan yang berbasis kelapa sawit sehingga
bermanfaat untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil atau bahan bakar
minyak (BBM).
6) Alokasi dari penggunaan dana BPDP bersifat dinamis sesuai dengan kebutuhan, serta ditentukan
oleh Komite Pengarah yang terdiri dari beberapa menteri dan perwakilan dunia usaha.
7) Subsidi biodiesel merupakan prasyarat terbentuknya pasar biodiesel domestik. Tanpa adanya
permintaan tambahan, harga sawit akan jatuh dan semua stakeholder akan terpengaruh.
8) Replanting atau peremajaan perkebunan kelapa sawit merupakan program penting untuk
meningkatkan produktivitas kelapa sawit.
9) Pembiayaan riset, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM), serta promosi merupakan
program lain yang harus menjadi perhatian.
10) Program ini merupakan kolaborasi antara pemerintah-swasta dalam membentuk dana stabilisasi
untuk komoditas kelapa sawit yang berfokus pada fungsi substansi pembentukan, bukan pada
bentuk badan, sesuai dengan semangat awal dan peraturan yang berlaku.
Merujuk pada beberapa program utama BPDPKS tersebut, focus penggunaan dana sawit dutujukan pada
dua kepentingan sebagai syarat menciptakan industri sawit yang berkelanjutan, yakni:
pertama,penggunaan dana untuk mendorong penelitian dan pengembangan perkebunan kelapa sawit,
mendorong promosi usaha perkebunan kelapa sawit, meningkatkan sarana prasarana di dalam
7
pengembangan industri kelapa sawit, mendorong proses peremajaan “replanting” kelapa sawit,
mendorong peningkatan jumlah mitra usaha dan penambahan jumlah penyaluran dalam bentuk ekspor,
serta melakukan edukasi untuk meningkatkan pengetahuan dan sumber daya masyarakat mengenai
perkebunan kelapa sawit; program utama kedua, penggunaan dana dalam rangka pemenuhan hasil
perkebunan kelapa sawit untuk kebutuhan pangan, hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit serta
penyediaan pengembangan biodiesel yang dilakukan berdasarkan prioritas Komite Pengarah dan program
Pemerintah.
Namun, jika mencermati Prinsip BPDPKS sebetulnya menegaskana bahwa pemaanfaatan penggunaan dana
sawit diprioritaskan pada subsidi biodiesel sebagai pengembangan energy terbarukan dengan melegitimasi
komitmen awal untuk menjamin pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia.
Sejak awal Pemerintah telah memperioritaskan dukungannya pada energi terbarukan yang berbasis kelapa
sawit untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor bahan bakar fosil atau bahan bakar minyak
(BBM), dimana dengan subsidi biodiesel merupakan prasyarat terbentuknya pasar biodiesel domestik
termasuk stabilitas harga TBS kelapa sawit, serta sebagai upaya kolaborasi antara pemerintah-swasta
dalam membentuk dana stabilisasi untuk komoditas kelapa sawit. Hal ini dapat dicermati dalam
penerapan prioritas penggunaan dana yang bergitu tinggi terhadap subsidi biodiesel dibandingkan dengan
penggunaan dana yang secara langsung menguntungkan petani kelapa sawit baik pada peningkatan
kapasitas, peningkatan produktivitas serta dalam konteks pengembangan perkebunan yang berkelanjutan
lainnya.
Berdasarkan laporan tahunan BPDP 2015, pada tahun 2015 saja pendapatan pungutan dana perkebunan
kelapa sawit sebesar Rp 6.902.212.717.058. Pendapatan atas pengelolaan dana sebesar Rp
78.806.500.796. Sehingga total keseluruhannya pendapatan BPDPKS adalah 6.981.019.217.854. Pembagian
beban penggunaan dana BPDPKS yakni:
- Penggunaan dana untuk pembayaran selisih harga biodiesel 46.217.788.632,
- Beban penyaluran dana riset 10.254.345.405,
- Beban promosi kelapa sawit 9.744.245.138,
- beban pengembangan SDM kelapa sawit 672.574.200,
- beban penyaluran dana peremajaan kebun kelapa sawit 623.491.181
Total beban usaha secara keseluruhan pada Tahun 2015 termasuk beben usaha lainnya adalah Rp.
551.287.775.134 dengan laba usaha Rp. 6.429.731.442.720. Aset BPDP pada Tahun 2015 senilai Rp.
6.447.069.468.161.
Dari data penggunaan dana/beban dana tersebut di atas pada tahun 2015, mayoritas penggunaan dana
BPDPKS ditujukan untuk pengembangan subsidi biodiesel sehingga tercatat pada 2015, volume biodiesel
sebesar 474.731 KL dari target 150.000 KL atau dengan capaian 120%. Sementara penyaluran dana untuk
kepentingan petani kelapa sawit baik pengembangan SDM kelapa sawit dan penyaluran dana peremajaan
kebun kelapa sawit adalah sebesar 1.296.065.381, artinya prosentasi penyaluran dana BPDPKS untuk
kepentingan petani lebih rendah dibandingkan dengan dana untuk promosi kelapa sawit, penyaluran dana
riset, dan penggunaan subsidi biodiesel. Dalam konteks pemaanfaatan, baik skema pendanaan, sasaran
penerima pendanaan, serta wujud capaian atas pemaanfaatan dana bagi petani seharusnya menjadi hal
substantive yang penting di dalam penyaluran dan penggunaan dana BPDPKS bagi petani kelapa sawit,
sehingga dapat menjamin tercapainya perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, mulai dari peningkatan
kapasitas petani serta peningkatan produktivitas kebun.
Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2015 mengamanatkan bahwa untuk menjamin terlaksananya
pengembangan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan, maka tunjangan dana sawit harus memastikan
beberapa program utama BPDPKS sebagai kunci keberhasilan. Sehingga, prioritas penggunaan dana sawit
8
tidak hanya memprioritaskan pada subsidi biodiesel. Sehingga, prioritas Pemerintah mendukung subsidi
biodiesel untuk menjaga stabilitas ekonomi sektor industri kelapa sawit baik terkait stabilitas harga dan
terbentuknya pasar baru domestik sebagai kunci keberhasilan tidak serta merta menunjukkan sisi
keberlanjutan industri tanpa adanya transformasi tata kelola di sektor hulu perkebunan kelapa sawit.
konteks keberlanjutan juga termasukpenerapan aspek pendanaan yang berkelanjutan, yang dapat
memberdaya petani menuju keberlanjutan usaha perkebunan kelapa sawit. Stabilitas harga TBS di tingkat
petani juga bergantung pada nilai produktivitas kelapa sawit, dimana produktivitas di tingkat petani sampai
saatini menjadi kendala utama.
Pendanaan dari sektor industri kelapa sawit seharusnya menjadi salah satu momentum bagi pemerintah
dalam menunjang percepatan untuk mewujudkan transformasi perkebunan kelapa sawit di Indonesia,
melalui skema pendanaan yang berkelanjutan. Percepatan tersebut dapat dilakukan dengan mendorong
skema pendanaan yang efektif serta secara langsung bagi petani kelapa sawit dalam peremajaan kebun,
peningkatan kapasitas petani dalam konteks budidaya, manajemen kelembagaan petani, memberikan
insentif pengurusan dan penyelesaiaan problem legalitas lahan serta fasilitasi sarana dan prasarana
(teknologi) yang menunjang usaha budidaya perkebunan kelapa sawit.
Mengapa Dana Sawit untuk Biofuel?
Kebijakan Bahan Bakar Nabati (BBN) mulai populer dan diimplementasikan di Indonesia pada 2006.
Pemerintah juga telah menempatkan biodiesel sebagai salah satu komoditas energi terbarukan yang
diandalkan dapat memenuhi target pada bauran energi nasional sesuai amanat Peraturan Presiden Nomor
79 Tahun2014 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada Mei 2015, pemerintah meluncurkan skema baru
pendanaan biodiesel berbasis sawit yang dikenal dengan skema CPO supporting fund. Kebijakan ini dibuat
sebagai upaya meningkatkan realisasi pemanfaatan biodiesel sekaligus mendorong industri sawit yang
berkelanjutan sebagai bahan baku utama biodiesel. Di sisi lain, keberadaan biofuel juga mendukung
rencana jangka panjang pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan berbasis green energy.
Kebijakan Energi Nasional sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2014
mengamanatkan persentase pemanfaatan energi terbarukan dalam bauran energi nasional minimal
sebesar 23% pada 2025 dan menjadi 31% pada 2050. Penetapan target ini didasari kartena sampai saat ini
Indonesia masih bergantung pada energi fosil serta terdapat potensi yang besar dimiliki Indonesia saat ini
untuk memanfaatkan potensi energy terbarukan.
Sejak dicanangkan pertama kali pada 2014, pemerintah menggulirkan dana subsidi untukbiodiesel yang
dicampurkan ke dalam BBM, Pemerintah meluncurkan kebijakan Penghimpunan Dana Perkebunan Kelapa
Sawit dengan payung hukum Peraturan Pemerintah Nomor 24/2015 dan Peraturan Presiden Nomor
61/2015 yang pelaksanaannya diserahkan kepada badan layanan umum BPDPKS. BPDPKS bertugas
mengumpulkan dan mengelola pungutan ekspor CPO dan produk turunannya yang besarannya berkisar
antara US$ 10-50/ton. Dana pungutan ekspor ini akan digunakan untuk sejumlah program, salah satunya
untuk subsidi biodiesel untuk menjembatani kesenjangan antara harga biodiesel dan solar dengan jalan
menutup disparitas harganya.
9
2 Yunita Ariyani, Muhammad Ferian, Dadan Kusdiana, Bayu Krisnamurthi, Skema Baru Pendanaan Biodiesel Berbasis
Sawit, Menuju Kemandirian Energi Di Tengah Melemahnya Harga Minyak Dunia, Badan Pengelola Dana Perkebunan
Kelapa Sawit (BPDPKS), hlm. 65. 3Ibid. 4Ibid., hlm.66.
10
Prinsip objek pendanaan biodiesel dari dana perkebunan sawit pada dasarnya sama dengan subsidi
biodiesel dari APBN yakni diberikan kepada masyarakat sehingga harga jual solar yang telah dicampurkan
dengan biodiesel tetap sama dengan harga jual solar murni.5 Perbedaannya6 terdapat pada mekanisme
penyaluran dana. Pada subsidi yang bersumber dari APBN, dana diberikan lewat Badan Penyalur Jenis
BBM Tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah (Pertamina/AKR). Sedangkan untuk dana pembiayaan
biodiesel dari dukungan dana perkebunan sawit, dana disalurkan langsung kepada Badan Usaha BBN yang
berkontrak dengan BU BBM Penyalur JBT. Selanjutnya BU BBM Penyalur JBT akan membeli biodiesel
seharga HiP minyak solar. Adapun besaran dana yang diberikan adalah sebesar selisih harga antara HiP
minyak solar/MOPS dengan HiP biodiesel dengan formula saat ini yakni CPO +125 USD/ton + ongkos
angkut (Gambar 6 dan 7).7
Pemerintah meyakini pengembangan skema subsidi bidoesel (B20) bermaanfaat dalam mengurangi emisi
karbon hingga, mengurangi impor minyak mentah dan biodiesel. Peningkatan biodiesel juga dilakukan agar
serapan sawit domestik meningkat di tengah permintaan dunia rendah. Keberhasilan program B20
Indonesia terlihat pada Tahun 2016 diyakini pengamat internasional telah memberikan maanfaat dampak
kenaikan harga CPO dunia, selain akibat El Nino 2015 di Indonesia dan Malaysia. Selain terjadinya
hilirisasi produk ekspor sawit Indonesia yang bernilai tambah lebih, kenaikan harga CPO global ini juga
berdampak pada kenaikan nilai ekspor CPO Indonesia pada tahun 2016 mencapai USD 17,8 milyar atau
sekitar Rp 240 trilyun, naik 8% dibandingkan 2015 yang mencapai USD 16,5 milyar atau sekitar Rp. 220
trilyun.
11
Data BPDPKS juga mencatat, selama Tahun 2016 Program B20 dari Kementerian ESDM dengan
dukungan dana sawit telah menyerap 2,7 juta KL biodiesel sawit, lebih besar dari target 2016 (PSO+PLN)
2,5 juta KL dan lebih besar dari capaian penyerapan biodiesel tahun 2014 (saat masih didukung subsidi
APBN) yang masih mencapi 1,84 juta KL dan penyerapan tahun 2015 (tanpa APBN) 0,56 juta KL. Dana
sawit yang digunakan untuk mendukung program B20 tahun 2016 mencapai Rp 10,6 trilyun. Program B20
biodiesel tahun 2016 tersebut juga telah memberikan maanfaat besar dalam bentuk pengurangan
greenhouse gas emission (GHG) sekitar 4,49 juta ton CO2e, utilisasi bahan bakar nabati berbasis produk
dalam negeri 45,5 ribu barrel/hari, menciptakan nilai tambah industri Rp. 4,4 trilyun, penyerapan tenaga
kerja (on farm dan off-farm) 385 ribu orang., serta penghematan devisa dan pengurangan ketergantungan
pada bahan bakae fosil senilai USD 1,1 milyiar atau sekitar Rp 14,8 trilyun.
12
Capaian kenaikan harga CPO dunia juga dianggap memberikan dampak positif terhadap kenaikan harga
yang diterima petani. Harga Tandan Buah Segar (TBS) petani juni 2015 Rp 845/kg, Januari 2016 Rp.
113/kg atau naik 66% selama tahun 2016. Capaian lain adalah BPDP telah berkontribusi pada pemungutan
pajak PPN produsen biofuel sawit sebesar Rp. 996 milyar dan juga telah disetor ke kas Negara.
Di sisi lain, prioritas penggunaan dana sawit pada pengadaan subsidi biodiesel (B20) yang diproyeksi
setiap tahun meningkat baik kebutuhan biodiesel maupun CPO sebagai bahan baku tentunya berdapak
pada tingginya kebutuhan penggunaan dana subsidi dari dana sawit yang secara langsung akan
mempengaruhi penggunaan dana sawit untuk kepentingan petani kelapa sawit. Hal ini tentu menghambat
komitmen pemerintah melalui Perpres 61 Tahun 2015 jo PP 24 Tahun 2015 yang mengamanatkan
penggunaan dana sawit bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan di Indonesia.
Beberapa persoalan mendasar berikut merupakan potensi dampak secara langsung atas ambisi
pemerintah dalam mengejar dominasi pengembangan biodiesel (B20) di Indonesia.
1) Prioritas penggunaan dana bagi subsidi pengembangan biodiesel (B20) justru tidak sesuai dengan
semangat Perpres 61 Tahun 2015 untuk menciptakan skema pendanaan yang berkelanjutan dari
dana sawit dalam rangka mengangkat kembali perkebunan rakyat yang telah sekian lama tidak
diperhatikkan. Sehingga jaminan Pemerintah untuk mempercepat transformasi tata kelola
perkebunan sawiit yang berkelanjutan dengan sokongan dana sawit tidak dapat diwujudkan.
2) Belum adanya standarisasi keberlanjutan di industri hilir terutama pengembangan industri
biodiesel di Indonesia akan berpengaruh pada komitmen Indonesia dalam pengembangan
perkebunan yang berkelanjutan.
13
3) Target pengembangan biodiesel yang diproyeksikan meningkat setiap tahun, saat ini berlaku
mandatory 20% dan akan meningkat setiap tahunnyaakan berpengaruh pada produksi TBS dan
CPO sebagai bahan baku yang terus akan meningkat sesuai permintan. Namun, kondisi buruknya
tata kelola perkebunan kelapa sawit Indonesia saat ini yakni rendahnya produktivitas kebun sawit
tentunya membuka peluang perusahan-perusahaan untuk melakukan perluasan lahan dan
pembukaan baru lahan sawit di sektor hulu untuk menjamin produksi bahan baku biodiesel.
Praktik deforestasi ini tentunya akan berlindung di balik kebijakan persediaan bahan baku energy
terbarukan di Indonesia.
4) Skema CPO supporting fund yang diperoleh dari pungutanekspor CPO dan produk turunannya
yangbesarannya berkisar antara 10 - 50 USD/ton juga berpotensipada rendahnya harga TBS
kelapa sawit di tingkat petani. Karena pungutan ini juga pastiakan dibebankan kepada harga beli
TBS kelapa sawit, terutama perusahaan-perusahaan kecil.
5) Subsidi pengembangan biodiesel, dinilai hanya menguntungkan perusahan-perusahan besar kelapa
sawit yang juga mendominasi produsen biodiesel. Ini tentu meniimbulkan persaingan di antara
perusahaan-perusahan kelapa sawit lainnya yang juga mendapat pungutan atas ekspor CPO.
6) Dominasi industri biodiesel oleh sejumlah perusahan-perusahaan besar kelapa sawit
mengindikasikan pengaruh yang kuat dari pihak swasta bersama pemerintah untuk
memprioritaskan penggunaan dana sawit bagi subsidi biodiesel yang tentunya menguntukkan
industri hilir dari perusahaan-perusahaan besar kelapa sawit. Di sisi lain, keberadaan perusahaan-
perusahaan Negara di industri hilir jauh dibawah dominasi swasta.
Upaya memperkuat industri hilir kelapa sawit sebagai upaya untuk mengamankan stabilitas ekonomi
industri sawit dengan terwujudnya pasar baru domestik guna penyerapan produksi minyak sawit
domestik serta stabilitas harga CPO dan TBS seharusnya tidak semata mata hanya di dominasi oleh
pengembangan biodiesel saja, akan tetapi dalam rangka menciptakan serta memperkuat industri hilir
lainnya. Sehingga, penggunaan dana sawit ke depan tidak hanya diprioritaskan pada subsidi biodiesel
semata, tetapi dalam rangka memperkuat industri hilir perkebunan kelapa sawit terutama dalam
membantu meningkatkan produksi dan produktivitas perkebunan kelapa sawit rakyat sebagai salah satu
upaya menuju keberlanjutan industy sawit di Indonesia.
Pemanfaatan DanaSawit Bagi PetaniKelapa Sawit
Pembiayaan usaha perkebunan melalui skema insentif dana BPDPKS merupakan amanat Undang-
Undang No 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan dalam rangka mendorong pengembangan
perkebunan kelapa sawit rakyat yang berkelanjutan. Pemaanfaatan dana sawit untuk petani
kelapa sawit diatur dalam Pasal 11 Perpres 61 Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan
Pengelolaan Dana Sawit dan Pasal 9 PP 24 Tahun 2015, yakni dalam rangka kepentingan
pengembangan sumber daya manusia perkebunan kelapa sawit, peremajaan perkebunan kelapa
sawit, sarana dan prasarana perkebunan kelapa sawit termasuk dalam rangka pemenuhan hasil
perkebunan kelapa sawit untuk kebutuhan pangan.
14
Melalui pemanfaatan dana sawit ini, Industri sawit Indonesia ke depan dapat menghadapi prospek global
sawit sebagai dampakfaktor penguatan pangsa minyak sawit dibanding minyak nabati lainnya (tingginya
produktivitas dan efisiensi minyak sawit), peningkatan permintaan duniaatas produk sawit (food, fuel, feed, fibre), selain itu, sebagai produsen sawit terbesar di dunia Indonesia menentukan rantai pasok sawit
dunia serta peningkatan jumlah penduduk dunia menyebabkan peningkatan konsumsi minyak sawit
meningkat.
15
Mengacu pada prinsip BPDPKS, dana sawit yang dihimpun dan dikelola BPDPKS merupakan skema
insentif dari industri sawit untuk industri sawit. Artinya, dana sawit ini dalam rangka memberikan insentif
bagi pelaku usaha sawit dalam menuju pengembangan perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan.
BPDPKS menunjukkan bahwa pemaanfaatan dana BPDPKS memberikan dampak positif secara langsung
terhadap harga TBS kelapa sawit di tingkat petani. Dampak itu terlihat pada Maret 2014 harga TBS di
tingkat petani kelapa sawit mencapai 1920/kg.
Di sisi lain, fenomena fluktuatif harga TBS kelapa sawit tentu menjadi suatu yang lazim dan tidak dapat
dihindari oleh petani sampai saat ini. Fluktuatif harga TBS terjadi hamper setiap bulan dan tahun sebagai
dampak gejolak pasar, permintaan CPO pasar dunia, sertaover suplay CPO. Pada level domestik
persoalan rantai pemasaran TBS kelapa sawit cendrung tanpapengawasan pemerintah. Terdapat beberapa
factor lain turut andil dalam mempengaruhi harga TBS kelapa sawit di tingkat petani, seperti kondisi
persaingan harga beli TBS antar perusahaan minyak sawit, lemahnya proteksi terhadap harga yang
ditentukan tengkulak,kebijakan terkait harga yakni komponen indek K dinilai tidak relevan dalam
perumusan harga TBS, serta nilai produktivitas yang mempengaruhi harga TBS di tingkat pabrik kelapa
sawit. Pada kondisi tersebut, upaya yang seharusnya menjadi solusi Pemerintah adalah terdapat upaya
pengawasan serta perlu adanya kebijakan harga ambang batas bawah terhadap TBS kelapa sawit
khususnya di tingkat petani atau pabrik. Dengan kebijakan tersebut, akan memberik dampak stabilitas
terhadap kondisi harga TBS di tingkat petani di tengah fluktuatifnya harga CPO di Indonesia atau pasar
dunia. Kebijakan seperti ini harus melalui inisiatif pemerintah sebagaimana amanat Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani.
Terkait minimnya kapasitas petani dalam kontek budidaya kelapa sawit terbaik (good agriculture practice), Pemerintah melalui BPDPKS mencanangkan program utama, salah satunya pengembangan SDM
perkebunan kelapa sawit.Program ini dengan tujuan untukmeningkatkan pengetahuan, keterampilan,
16
profesionalisme, kemandirian, dan berdaya saing danmeningkatkan kemampuan teknis, manajerial, dan
kewirausahaan.Pengembangan SDM perkebunan kelapa sawit dilakukan melalui penyuluhan, pendidikan
(pendidikan D1 dan D3), pelatihan(pelatihan petani dan pelatihan masyarakat) serta pendampingan dan
fasilitasi.
Data BPDPKS menunjukkan capaian pemaanfaatan dana sawit bagi pengembangan SDM perkebunan
kelapa sawit telah melibatkan 4.677 orang yang terdiri dari 2.784 petani sawit, 723 anak petani penerima
pelatihan, 300 guru SMK Perkebunan, 540 Anggota Koperasi Kebun Sawit, 330 Anak Petani Penerima
beasiswa D1 dan D3.
Total kelas pelatihan petani yang telah dilaksanakan 2016 sampai dengan Maret 2017 sejumlah 91 kelas
pelatihan dengan total petani yang dilatih sejumlah 4.529 orang yang dilaksanakan di 16 Provinsi di
Indonesia. Adapun mitra strategis yang terlibat dalam pelatihan yakni APKASINDO, GPPI, MAKSI DAN
ASPEKPIR dan 17 pelaksana pelatihan.
Pelatihan dan pendidikan petani kelapa sawit oleh BPDPKS relevan dengan kebutuhanpetani sawit saat ini,
mengingat persoalan kapasitas petani terkait GAP masih rendah, terutama petani sawit swadaya. Sehingga
program pelatihan dan pendidikan ini harus menyasar pada petani sawit swadaya yang selama ini minim
akses pendampingan dari pemerintah dan swasta baik pendidikanmaupun pelatihan GAP. Berbeda halnya
dengan petani plasma yang mendapat tidak sedikit juga mendapat pendampingan secara langsung dari
Perusahan mitra.
Di sisi lain, materi pelatihan dan pendidikan BPDPKS juga perlu memastikan aspek-aspek keberlanjutan
yang di dukung dengan strategi yang efektif. Dengan begitu, capaian maupun indicator keberhasilan
program pelatihan di setiap daerah tersebut dapat di lihat dan dievaluasi. Pemerintah harus memastikan
kemaanfaatan program pendidikan maupun pelatihan BPDPKS ini melalui strategi yang mampu berjalan
secara berkesinambungan di setiap daerah perkebunan kelapa sawit. Seperti misalnya, mencetak pelatih
dan penyuluh di setiap daerah kecamatan, desa, sampai pada tingkat kelompok tani yang berperan untuk
memberikan dampingan secara khusus bagi petani sawit. Strategi seperti ini tentu bermaanfaat secara
17
efektif dalam mendorong peningkatan kapasitas petani ke depan. Tanpa adanya pelatihan dan
pendampingan yang dilakukan secara berkesinambungan tersebut tentu tidak efektif dalam mencapai
keberhasilan program yang selama ini dilakukan BPDPKS.
Upaya pemerintah untuk mempersiapkan petani dapat terintegrasi dalam skema keberlanjutan seperti
Indonesian Sustainability Palm Oil (ISPO) seharusnya dimulai dari capain keberhasilan program
peningkatan SDM perkebunan kelapa sawit rakyat baik yang dilakukan BPDPKS maupun program-
program yang sama di Instansi pemerintahan lainnya, seperti Dinas Pertanian atau Perkebunan di
Nasional maupun Daerah.
Skema Dana Peremajaan (Replanting)BPDPKS
Selain program pengembangan SDM perkebunan kelapa sawit, BPDPKS juga menghadirkan program
prioritas utama bagi petani kelapa sawit yakni program peremajaan kebun kelapa sawit. Sejak bergulirnya
skema dana sawit melalui Perpres 61 Tahun 2015, Pemerintah telah berkomitmen dalam membantu
petani sawit melalui skema insentif dana dalam peremajaan kebun kelapa sawit dengan tujuan untuk
memperbaiki dan meningkatkan produktivitas kebun kelapa sawit rakyat. Bukan tanpa alasan,
produktivitas kebun Indonesia saat ini masih sebesar 2.97 juta ton/Ha lebih rendah jika dibandingkan
dengan produktivitas sawit Malaysia yakni 4.63 juta ton/Ha. Dominasi produktivitas terendah di Indonesia
adalah perkebunan sawit rakyat.
Berdasarkan proyeksi kebutuhan minyak nabati dunia tahun 2025 adalah 226,7 juta ton. Artinya terdapat
potensi permintaan CPO sebesar 44 juta ton dari tahun 2015 atau kenaikan 4.4 juta ton per tahun,
sehingga Pemerintah memastikan peningkatan produktivitas kelapa sawit Indonesia saat ini. Sehingga salah
satu upaya yang harus dilakukan adalah melalui upaya perbaikan tata kelola sektor hulu industri sawit
Sebagai salah satu actor yang berperan penting dalam meningkatkan produksi bahan baku CPO di industri
sawit di Indonesia saat ini, perkebunan kelapa sawit rakyat harus menjadi bagian terpenting dalam
meningkatkan angka produktivitas yang ditargetkan pemerintah saat ini yakni 36 ton/ha/tahun.
Dengan kondisi produktivitas kelapa sawit saat ini yang masih rendah, sekitar 12 ton/ha/tahun, dominasi
perkebunan rakyat belum mampu menyaingi produktivitas kelapa sawit dari sektor swasta yang hanya
mampu mencapai 18 ton/ha/tahun. Angka produktivitas baik perkebunan rakyat dan swasta ini belumlah
mampu mengejar target produktivitas yang diharapkan Pemerintah saat ini. Melalui BPDPKS, Pemerintah
berupaya mencapai target keberhasilan peningkatan produktivitas perkebunan rakyat melalui program
peremajaan kebun kelapa sawit serta mendorong agar terintegrasi dengan pengembangan perkebunan
berkelanjutan di Indonesia.
BPDPKS dengan dana sawit sejak 2015 sampai saat ini telah menjalankan amanat Perpres 61 Tahun 2015
untuk melaksanakan program peremajaan kebun kelapa sawit rakyat di beberapa wilayah di Indonesia.
Berdasarkan data BPDPKS, tahun 2015, BPDPKS menganggarkan danaperemajaan kebun kelapa sawit
sebasar Rp. 623.491.181, sementara pada Tahun 2016 BPDPKS menghadapi masalah terkait penyaluran
dana sawit untuk kegiatan replanting kebun rakyat. Usulan kegiatan peremajaan selama 2016 seluas 26,5
ribu ha yang melibatkan 12 ribu petani yang terdiri dariu 79% petani swadaya dan 21% petani plasma.
Akan tetapi, 61 persen dari usulan itu tidak dapat dana peremajaan tersebut tidak dapat disalurkan
dengan alasan ketidakjelasan status lahan. Masalah ini tentu menjadi persoalan utama ke depan dalam
penyaluran dana peremajaan kebun sawit rakyat, mengingat sebagian besar lahan khususnya petani
swadaya masih berkutat pada persoalan legalitas lahan.
Persoalan legalitas sebenarnya sudah menjadi tantangan petani sawit dari dulu sampai saat ini yang belum
terselesaikan. Berbagai program pemerintah mandek sampai di tingkat petani dengan persoalan yang
18
sama. Pemasaran TBS kelapa sawit di tingkat petani juga menjadi sulit di akses karena persoalan legalitas.
Pemerintah sampai saat ini belum maksimal dalam menyelesaikan persoalan tersebut karena keberadaan
petani sawit yang tidak terdata dan terpetakan juga menjadi kendala utama.
Persoalan legalitas ini sudah seharusnya menjadi perhatian pemerintah ditengah desakan Pemerintah
untuk mewajibkan kebun-kebun rakyat dapat terintegrasi dalam skema keberlanjutan. Bahkan Perpres 61
Tahun 20015 ini juga mengamanatkan program BPDPKS melalui insentif dana sawit mampu mengangkat
perkebunan sawit rakyat dalam penerapan skema keberlanjutan tersebut. Sehingga, BPDPKS seharusnya
menjadi momentum yang mampu menyelesaikan persoalan yang ada di tingkat petani saat ini terutama
aspek legalitas tersebut. Program keberlanjutan yang diinisiasi melalui dana sawit ini seharusnya tidak
hanya menyentuh kebun sawit yang clear pada aspek legalitasnya tetapi mampu menunjang pemenuhan
legalitas bagi perkebunan rakyat yang selama ini menghadapi kesulitan. Karena jika tidak, pendanaan
BPDPKS tentu akan mengalami kendala sampai di tingkat petani ke depan, sehingga hal ini sama saja
dengan begitu banyak program yang sama dari instansi pemerintahan lainnya selama ini. Upaya
mempersiapkan perkebunan rakyat menuju sertifikasi pun akan terkendala. Di sisi lain, peremajaan kebun
sawit rakyat merupakan momentum awal menggerakkan perkebunan rakyat menuju praktik
berkelanjutan.
-
-
-
-
-
-
19
20
21
22
Kritik Terhadap BPDPKS
a) Tidak ada baseline terhadap kerja-kerja yang dilakukan dari titik mana (titik 0)-nya, misalkan
stabilitas harga (dari tahun berapa dimulai intervensi?), apa dan bagaimana krititeria harga
dianggap stabil, soal produktivitas petani (sebaiknya ada data awal berkenaan hal ini).
b) Pengakuan berhasil, selalu menggunakan data sendiri (self claim), bagaimana kalau model
keberhasilannya menggunakan data pihak lain, misalnya data BPS? Hal ini untuk mengecek,
benarkah telah terjadi kenaikan harga akibat asumsi pasar baru, atau hanya menstabilkan harga?
c) Dalam kerangka kerja serapan dana? Sebaiknya dikeluarkan kebijakan semacam ‘rancangan
anggaran belanja’ lalu dikonsultasikan dengan para pihak (konstituen BPDP) sehingga akan lahir
anggaran yang yang disetujui lalu dikeluarkan juga semacam laporan kinerja anggaran, bukan
laporan tahunan yang sekedar memuat realisasi.
d) Adanya indikasi bahwa dana ini yang mampu menyerap dan menggunakan hanya perusahaan-
perusahaan besar. Cara mainnya adalah penggunaan syarat yang ketat dimana hanya perusahaan
besar dan ‘buruh’ petaninya yang feasible, sehingga menyingkirkan petani-petani yang turut
berkontribusi tetapi tidak pas dengan syarat-syarat tersebut. Atas nama perkebunan
berkelanjutan. Perlu investigasi data dan informasi, petani-petani siapa yang mendapatkannya?
Mengapa Wilmar dan Sinar Mas mendapatkannya?
e) Berkenaan mekanisme penyaluran dana dukungan, kenapa 25 juta? Adakah kebijakan yang
melatarbelakanginya?
f) Status data BPDPKS, apakah data publik atau bukan data publik.
g) Tentang pengadaan barang jasa,s eperti pelatihan, seberapa jauh dapat dilakukan penunjukkan
langsung, dan apabila terjadi dugaan penyimpangan, apakah dapat ditindaklanjuti oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi.
III. MENCEGAH MONOPOLI DI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT
Undang-undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan —selanjutnya ditulis UU 39/2014—
mengamanatkan skema pembiayaan usaha perkebunan melalui tiga bentuk. Pertama, pembiayaan oleh
pemerintah pusat bersumber dari APBN. Kedua, pembiayaan oleh pemerintah daerah bersumber dari
APBD. Ketiga, pembiayaan dari pelaku usaha perkebunan bersumber dari dana yang tiga sumber, yakni,
(i) dana yang dihimpun oleh pelaku usaha perkebunan; (ii) dana dari masyarakat; dan (iii) dana dari
sumber lain yang sah menurut peraturan perundang-undangan.16
Dana usaha perkebunan yang dihimpun dari selain APBN dan APBD digunakan secara limitatif untuk
tujuan sebagai berikut:
1. Pengembangan sumber daya manusia;
2. Penelitian dan pengembangan;
3. Promosi perkebunan;
4. Peremajaan tanaman perkebunan; dan/atau
5. Sarana dan prasarana perkebunan.17
23
Secara lebih spesifik pengaturan tentang penghimpunan dana perkebunan oleh pelaku usaha diperintahkan
UU 39/2014 agar diatur dengan peraturan pemerintah.18 Sehingga terbit Peraturan Pemerintah Nomor
24 Tahun 2015 tentang Penghimpunan Dana Perkebunan—selanjutnya ditulis PP 24/2015.
Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, penghimpunan dana pelaku usaha perkebunan diperintahkan
oleh PP 24/2015 diatur dengan peraturan presiden.19 Sehingga terbit Peraturan Presiden Nomor 61
Tahun 2015 tentang Penghimpunan dan Penggunaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit—selanjutnya ditulis
Perpres 61/2015—yang mengalami sekali perubahan dengan Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun
2016—selanjutnya ditulis Perpres 24/2016.
Dalam Pasal 20 ayat (1) Perpres 61/2015 diamanatkan kepada Menteri Keuangan (Menkeu) untuk
membentuk sebuah Badan Pengelola Dana usaha perkebunan yang bersumber dari selain APBN dan
APBD. Di sektor perkebunan kelapa sawit, Menkeu menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
113/PMK.01/2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit
(BPDKS)—selanjutnya ditulis PMK 113/PMK.01/2015.
Serikat Petani Kelapa Sawit menyatakan, sejak tahun 2015, BPDPKS menghimpun dana dari ekspor CPO
sebesar 50 dolar Amerika Serikat per ton atau setara 750 dolar Amerika Serikat per metrik ton sawit.
Dana yang berhasil dikumpulkan sampai 2016 adalah Rp 11,7 triliun. BPDPKS mencanangkan dukungan
untuk B20 pada 2017 sebesar Rp 9,6 triliun. Angka tersebut lebih dari setengah target pungutan dana
pada 2017 yang sebesar Rp 10,3 triliun.
24
Padahal disinyalir, pengelolaan pungutan dana oleh BPDPKS diduga hanya akan menguntungkan oknum
tertentu belaka dalam industri kelapa sawit. Sebuah kemungkinan yang sungguh keluar dari tujuan
pembentukan BPDPKS. Kasak kusuk eksistensi BPDPKS yang keluar dari pakem tujuan pembentukannya,
ternyata juga didukung oleh kurang diterapkannya prinsip transparansi dan akuntabilitas, baik secara
kelembagaan maupun kaitannya dengan masyarakat, dalam pengelolaan BPDPKS.
Penyelundupan Hukum?
Pasal 93 ayat (4) UU 39/2014 mengamanatkan secara limitatif penggunaan dana dari pelaku usaha
perkebunan yang tidak berasal dari APBN dan APBD dalam lima hal. Akan tetapi, dalam aturan
pelaksananya ketentuan ini disimpangi dengan menambahkan tujuan tambahan dari perintah Pasal 93 ayat
(4) UU 39/2014 tersebut.
25
Dalam Pasal 9 ayat (2) PP 24/2015, tambahan atas tujuan penggunaan dana dari usaha perkebunan yang
tidak berasal dari APBN dan APBD diatur sedemikian:
Pasal 9
(2) Penggunaan dana untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) termasuk dalam
rangka:
a. perkembangan perkebunan; dan
b. pemenuhan hasil perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel), dan
hilirisasi industri perkebunan.
Apabila bunyi Pasal 9 ayat (2) PP 24/2015 disandingkan dengan bunyi Pasal 93 ayat (4) UU 39/2014, maka
ada penambahan ketentuan baru. Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan —selanjutnya ditulis UU 12/2011— pada Pasal 12 menyatakan, “Materi
muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.”
Kalimat ini memiliki arti bahwa materi muatan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang.
Demikian, tidak bertentangannya materi muatan Peraturan Pemerintah terhadap Undang-Undang dapat
dimaknai dalam tiga lingkup:
1. Tidak menambah materi muatan undang-undang;
2. Tidak mengurangi materi muatan undang-undang; dan/atau
3. Tidak menghapus materi muatan undang-undang.
Jelaslah bahwa materi muatan yang diatur dalam Pasal 9 ayat (2), khususnya pada huruf b PP 24/2015 yang
berbunyi, “pemenuhan hasil perkebunan untuk kebutuhan pangan, bahan bakar nabati (biofuel), dan
hilirisasi industri perkebunan” menambah materi yang diatur sebelumnya dalam Pasal 93 ayat (4) UU
39/2014. Bukankah yang demikian ini patutlah dianggap sebagai penyelundupan hukum? Bahwa PP
24/2015 menambah sesuatu yang tidak diperintahkan oleh UU 39/2014.
Tak berhenti hanya di Peraturan Pemerintah, penyelundupan hukum ini ternyata juga diikuti oleh PP
61/2015. Dalam Pasal 11 ayat (2) dinyatakan:
Pasal 11
(2) Penggunaan dana yang dihimpun untuk kepentingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
termasuk dalam rangka pemenuhan hasil perkebunan kelapa sawit untuk kebutuhan pangan,
hilirisasi industri perkebunan kelapa sawit, serta penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar
nabati jenis biodesel.
Bagaimana mungkin bunyi Pasal 11 ayat (2) Perpres 61/2015 yang menyebut “bahan bakar nabati jenis
biodesel” berbeda dengan bunyi Pasal 9 ayat (2) PP 24/2015 yang menyebutkan “bahan bakar nabati
(biofuel)”. Bukankah hal ini adalah penyelundupan hukum yang super ngawur?
Nirtransparansi Dan Monopoli Pengelolaan Dana
Kurangnya transparansi pengelolaan dana dari pungutan ekspor kelapa sawit, misalnya, ditunjukkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Kajian Sistem Pengelolaan Kelapa Sawit.20 Sampai 2016,
setidaknya terjadi selisih kurang bayar dan selisih lebih bayar terhadap pungutan dana ekspor kelapa
26
sawit. Jumlah selisih kurang bayar sampai Agustus 2016 mencapai lebih dari Rp 2 miliar dan selisih lebih
bayar mencapai lebih dari Rp 10 miliar. Adanya selisih pembayaran tersebut disebabkan oleh surveyor—
dalam hal ini yang ditunjuk adalah PT Sucofindo (Persero)—tidak menerbitkan notifikasi yang memuat
nominal nilai pungutan.21 Kondisi selisih bayar itu diperparah dengan BPDPKS tidak melakukan
rekonsiliasi data pembayaran pungutan ekspor dengan Dirjen Bea dan Cukai Kemenkeu.22
Penyaluran dana pungutan dari ekspor kelapa sawit pada faktanya banyak mengalir ke perusahaan besar
perkelapa-sawitan, bukan ke industri rakyat atau pekebun rakyat. Kajian KPK mencatat, per 2016, kurang
lebih 81,8 persen biaya subsidi mandatori penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati jenis biodesel
dinikmati oleh empat perusahaan besar saja. Terdiri dari PT Damex Biofuel (sebanyak Rp 330 miliar), PT
Musim Mas (Rp 543 miliar), PT Wilmar Bionergi (Rp 779 miliar) dan PT Wilmar Nabati Indonesia (Rp
1,02 triliun). Bahkan tampak sekali bahwa satu grup perusahan (PT Wilmar) mendapatkan kucuran dana
yang sangat besar (sampai Rp 1,8 triliun).23 Mengalirnya dana pungutan kelapa sawit ke korporasi besar
untuk subsidi biodesel ini dapat dianggap sebagai sebuah monopoli
Praktik demikian di sisi yang lain semakin menjepit posisi rakyat pekebun dan petani kelapa sawit.
Misalnya, keterangan pers yang disampaikan Ketua Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia,
mendesak supaya Menkeu mencabut PMK 114/PMK.05/2015 yang sudah diubah dengan PMK
30/PMK.05/2016 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum BPDPKS. Pasalnya, dua PMK itu
menjadikan petani plasma kelapa sawit semakin tidak memiliki posisi tawar di rantai proses industri
kelapa sawit.25
27
Pungutan ekspor Crude Palm Oil Supporting Fund yang dibebankan ke korporasi, dibebankan kembali ke
petani yang mengakibatkan turunnya harga tandan buah segar (TBS) kelapa sawit. Selain itu juga
ditambahkan bahwa BPDPKS yang mengurus hal tersebut dianggap gagal menjalankan perannya,
khususnya dalam promosi dan advokasi perkebunan sawit Indonesia.26 Belum lagi, kesepakatan lain
seperti Indonesia Palm Oil Pledge (IPOP) yang sempat diinisiasi memicu terjadinya praktik kartel dan
monopoli dalam industri sawit nasional serta bertentangan dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.27
Rekomendasi
Menkeu Sri Mulyani menekankan bahwa keadilan yang diciptakan dari industri kelapa sawit Indonesia
harus dapat dinikmati oleh rakyat. Keadilan tidak boleh membuat perusahaan kelapa sawit semakin kaya.
Akan tetapi, pada saat yang bersamaan rakyat pekebun dan petani kelapa sawit tidak mendapatkan akses
atau keuntungan yang cukup dari perkebunan kelapa sawit.28 Pesannya sangat jelas, keadilan kelapa sawit
harus diarahkan dan didapatkan oleh rakyat.
Langkah pertama yang harus dilakukan pemerintah adalah mengkoreksi adanya penyelundupan hukum
yang ada di dalam Pasal 9 ayat (2) PP 24/2015 jo Pasal 11 ayat (2) Perpres 61/2015. Pemerintah harus
mengembalikan marwah penggunaan dana usaha perkebunan yang tidak berasal dari APBN dan APBD ke
dalam Pasal 93 ayat (4) UU 39/2014.
BPDPKS harus mengoreksi kembali kebijakannya, khususnya dalam penentuan dan penyaluran dana yang
dihimpun dari pelaku usaha perkebunan kelapa sawit agar tidak terjadi monopoli maupun praktik
monopoli. Selain itu, BPDPKS Meninjau dan merancang kembali subsidi mandatori biodesel, mengawasi
pelaksanaan surveyor, dan lebih aktif dalam mendampingi rakyat pekebun dan petani kelapa sawit.