kekerasan dalam rumah tangga fix

37
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) (Case Report) Disusun oleh: Aulia Olviana S.Ked 1018011006 Tia Norma Pratiwi S.Ked 1018011023 Risa Andriana S.Ked 10180110 Faddly Hendarsyah S.Ked 1018011 Feri Eka Supratanda S.Ked 1018011119 Kepaniteraan Klinik Ilmu Forensik

Upload: aulia-olviana

Post on 12-Nov-2015

42 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

sdatrest

TRANSCRIPT

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)(Case Report)

Disusun oleh:Aulia Olviana S.Ked1018011006Tia Norma Pratiwi S.Ked1018011023Risa Andriana S.Ked10180110Faddly Hendarsyah S.Ked1018011Feri Eka Supratanda S.Ked1018011119

Kepaniteraan Klinik Ilmu ForensikFakultas Kedokteran Universitas LampungRSUD Dr. H. Abdul MoeloekBandar Lampung

RESUME

Seorang perempuan datang ke Pusat Pelayanan Terpadu RSUD Dr. H. Abdul Moeloek sendiri, dengan membawa surat permintaan visum dari Kepala Kepolisian Sektor Kedaton,dengan suratnya nomor:R/35/I/2015/SEKTOR KDT, Surat ditujukan kepada Kepala RSUD Dr. H. Abdul Moeloek untuk dilakukan pemeriksaan fisik dan dibuatkan Visum Et Repertum (VER).Pada hari Jumat, tanggal 6 Februari 2015, pukul 16.00 WIB, bertempat di rumah korban, korban mengaku telah telah diinjak kaki kirinya dan dicekik lehernya oleh pelaku (suami korban). Kejadian ini merupakan kejadian yang pertama kalinya. Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka memar di punggung kaki kiri akibat kekerasan tumpul. Perlukaan ini tidak menimbulkan penyakit dan halangan pekerjaan.Korban diwawancara dan diperiksa oleh dokter muda Ilmu Kedokteran Forensik dan dokter di Pusat Pelayanan Terpadu RSUD Dr. H. Abdul Moeloek dan dari hasil wawancara dan pemeriksaan terhadap korban, maka dokter Pusat Pelayanan Terpadu membuat visum sementara yang diberikan kepada polisi, baru kemudian dokter tersebut membuat Visum et Repertum demi kepentingan peradilan.

ILUSTRASI KASUS

Pada hari Jumat, tanggal 6 Februari 2015, pukul 16.00 WIB, bertempat di rumah korban, korban mengaku telah dianiaya oleh pelaku (suami korban). Awalnya pada saat korban pulang bertugas dari Palembang, setibanya dirumah korban dituduh oleh pelaku telah berselingkuh oleh atasannya laki-laki di kantor. Kemudian terjadi adu mulut, tetapi korban berusaha menghindari keributan dengan cara berdiam di kamar. Namun pelaku bertambah marah dan mencekik leher korban yang sedang berbaring di atas ranjang, kemudian kaki korban ditarik dan diseret oleh pelaku sehingga korban terjatuh ke lantai. Kemudian pelaku menginjak kaki kiri korban dengan kaki pelaku. Lalu korban disudutkan ke tembok oleh pelaku. Kemudian korban berusaha melawannya dengan melempar raket nyamuk ke arah pelaku sambil berteriak. Kemudian korban dan pelaku dilerai oleh anak korban dan tetangga. Setelah kejadian tersebut pelaku mengancam akan membakar rumah orang tua korban, dan bila korban melapor polisi maka orang tua korban akan dibunuh. Selain itu pelaku juga mengancam akan mendatangi atasan korban di kantor besok dan mengobrak-abrik kantor korban. Korban dan pelaku dalam keadaan sadar, kejadian ini merupakan kejadian yang pertama kalinya.

STATUSFORENSIKKLINIKHari/tanggal pemeriksaan: Jumat, 6 Februari 2015, waktu pemeriksaan pukul 19.00 WIBI. IDENTITAS PASIEN/KORBANa. Nama: Sri Wahyunib. Tempat/tanggal lahir: Jakarta, 20 November 1971c. Jenis kelamin: Perempuand. Warga Negara: Indonesiae. Agama: Islamf. Pekerjaan : PNSg. Alamat: Jl. Bypass Raya 2D No 1 Rt 006 LK I Kecamatan Rajabasa Bandar Lampung

II. IDENTITAS PENGANTARa. Nama: Heri Murtatib. Jenis kelamin: Perempuanc. Warga Negara: Indonesiad. Agama: Islame. Pekerjaan : Ibu rumah tanggaf. Hubungan dengan Klien: Kakak kandungg. Alamat: Jl. Bypass Raya 4A No 5 Rt 008 LK II Kecamatan Rajabasa Bandar Lampung

III. IDENTITAS PELAKUa. Nama: Edi Rusmantob. Tempat/tanggal lahir: Palembang, 5 Mei 1969c. Jenis Kelamin : Laki - lakid. Warga Negara : Indonesiae. Agama : Islamf. Pekerjaan : Tidak tetapg. Hubungan dengan klien : Suamih. Riwayat penggunaan obat-obatan (NAPZA) / alkohol : Tidak ada

IV. ANAMNESIS/WAWANCARAKorban datang dengan ditemani kakak kandung korban pada tanggal enam Februari tahun dua ribu lima belas pukul Sembilan belas titik nol-nol Waktu Indonesia Barat ke RSUD dr. Hi Abdul Moeloek . Korban mengaku telah diinjak kaki kirinya dan dicekik lehernya oleh pelaku (suami korban) pada tanggal enam Februari tahun dua ribu lima belas pukul Enam belas titik nol-nol Waktu Indonesia Barat di rumah korban.Kejadian bermula saat korban korban pulang bertugas dari Palembang, setibanya dirumah korban dituduh oleh pelaku telah berselingkuh oleh atasannya laki-laki di kantor. Kemudian terjadi adu mulut, tetapi korban berusaha menghindari keributan dengan cara berdiam di kamar. Namun pelaku bertambah marah dan mencekik leher korban yang sedang berbaring di atas ranjang, kemudian kaki korban ditarik dan diseret oleh pelaku sehingga korban terjatuh ke lantai. Kemudian pelaku menginjak kaki kiri korban dengan kaki pelaku. Lalu korban disudutkan ke tembok oleh pelaku. Kemudian korban berusaha melawannya dengan melempar raket nyamuk ke arah pelaku sambil berteriak. Kemudian korban dan pelaku dilerai oleh anak korban dan tetangga. Setelah kejadian tersebut pelaku mengancam akan membakar rumah orang tua korban, dan bila korban melapor polisi maka orang tua korban akan dibunuh. Selain itu pelaku juga mengancam akan mendatangi atasan korban di kantor besok dan mengobrak-abrik kantor korban. Korban dan pelaku dalam keadaan sadar, kejadian ini merupakan kejadian yang pertama kalinya.

V. PEMERIKSAAN FISIK UMUMa. Keadaan Umum: Baik, kesadaran sadar penuh, emosi stabil, kooperatif.b. Tekanan Darah: 120/80 mmHgc. Nadi: 80 bpmd. Pernafasan: 20 kali permenite. Suhu:36.5 C

VI. PEMERIKSAAN FISIKStatus Lokalis1. Pada punggung kaki kiri, punggung jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking, jarak 11 cm dari mata kaki luar ditemukan luka memar berbentuk tidak beraturan, batas tidak tegas, warna biru keunguan, tidak bengkak, ada nyeri tekan, dengan ukuran 7 x 4 cm.

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANGTidak dilakukan

VIII. TINDAKAN/PENGOBATAN

Tidak dilakukan tindakan atau diberikan pengobatan.

IX. KESIMPULAN

Seorang wanita mengaku berusia 40 tahun mengadu telah dianiaya oleh pelaku (suami korban). Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka memar di punggung kaki kiri akibat kekerasan tumpul. Perlukaan ini tidak menimbulkan penyakit dan halangan pekerjaan.

\

RUMAH SAKIT dr. Hi. ABDUL MOELOEKINSTALASI KEDOKTERAN FORENSIKJl. Dr. Rifai No 6, Bandar Lampung, Lampung Nomor: 353/ / 4.13/ I/ 2015Lampiran: -Perihal: Hasil Pemeriksaan Visum et Repertum a/n : SRI WAHYUNI

PRO JUSTITIA Bandar Lampung, 7 Februari 2015

VISUM ET REPERTUM

Saya yang bertanda tangan di bawah ini, Laisa Muliati dokter di Rumah Sakit dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung, berdasarkan atas permintaan tertulis dari EDISON GANI, pangkat AIPTU,NRP.64120131,jabatan KA SPK REGU III,atas nama Kepala Kepolisian Sektor Kedaton,dengan suratnya nomor:R/35/I/2015/SEKTOR KDT, tertanggal Enam Februari dua ribu lima belas mengenai permintaan visum tersebut di atas, maka dengan ini menerangkan bahwa pada tanggal enam Februari dua ribu lima belas, bertempat di Rumah Sakit dr. Hi. Abdul Moeloek Provinsi Lampung telah melakukan pemeriksaan atas korban yang menurut surat permintaan visum tersebut adalah :-----------------------------------------------------------------------------------------------Nama: SRI WAHYUNI---------------------------------------------------------------------------------Umur: 40 tahun.------------------------------------------------------------------------------------------Jenis Kelamin: Perempuan.---------------------------------------------------------------------------------------Warga Negara: Indonesia.-----------------------------------------------------------------------------------------Pekerjaan: PNS.-----------------------------------------------------------------------------------------------Agama: Islam.----------------------------------------------------------------------------------------------Alamat: Jl. Bypass Raya 2D No 1 Rt 006 LK I Kecamatan Rajabasa Bandar Lampung

RIWAYAT KEJADIAN :------------------------------------------------------------------------------------------

Pada hari Jumat, tanggal 6 Februari 2015, pukul 16.00 WIB, bertempat di rumah orang tua korban, korban mengaku telah dianiaya oleh pelaku (suami korban). Awalnya pada saat korban pulang bertugas dari Palembang, setibanya dirumah korban dituduh oleh pelaku telah berselingkuh oleh atasannya laki-laki di kantor. Kemudian terjadi adu mulut, tetapi korban berusaha menghindari keributan dengan cara berdiam di kamar. Namun pelaku bertambah marah dan mencekik leher korban yang sedang berbaring di atas ranjang, kemudian kaki korban ditarik dan diseret oleh pelaku sehingga korban terjatuh ke lantai. Kemudian pelaku menginjak kaki kiri korban dengan kaki pelaku. Lalu korban disudutkan ke tembok oleh pelaku. Kemudian korban berusaha melawannya dengan melempar raket nyamuk ke arah pelaku sambil berteriak. Kemudian korban dan pelaku dilerai oleh anak korban dan tetangga. Setelah kejadian tersebut pelaku mengancam akan membakar rumah orang tua korban, dan bila korban melapor polisi maka orang tua korban akan dibunuh. Selain itu pelaku juga mengancam akan mendatangi atasan korban di kantor besok dan mengobrak-abrik kantor korban. Korban dan pelaku dalam keadaan sadar, kejadian ini merupakan kejadian yang pertama kalinya.------------------------------------

HASIL PEMERIKSAAN :--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran sadar penuh, emosi stabil, kooperatif, tekanan darah seratus duapuluh per delapanpuluh milimeter air raksa. Laju nadi delapan puluh dua kali permenit. Laju pernafasan dua puluh kali permenit. Suhu tigapuluh enam koma lima derajat selsius. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pada punggung kaki kiri, punggung jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking, jarak sebelas sentimeter dari mata kaki luar ditemukan luka memar berbentuk tidak beraturan, batas tidak tegas, warna biru keunguan, tidak bengkak, ada nyeri tekan, dengan ukuran tujuh kali empat sentimeter.-----------------------------------

KESIMPULAN :--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Seorang wanita mengaku berusia empat puluh tahun mengadu telah dianiaya oleh pelaku (suami korban). Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka memar di punggung kaki kiri akibat kekerasan tumpul. Perlukaan ini tidak menimbulkan penyakit dan halangan pekerjaan.-----------------------------------------------------------

Demikianlah Visum et Repertum ini saya buat dengan sebenarnya dan menggunakan keilmuan saya yang sebaik-baiknya, mengingat sumpah sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.------------------

Dokter tersebut diatas,\dr. Laisa Muliati.NIP. 1971 0220 200212 2 006

PEMBAHASAN

Pada kasus ini korban datang ke RSUD dr. hi. Abdul Moeloek, dengan membawa surat pengantar dari Polsek Kedaton untuk dibuatkan Visum et Repertum. Dalam kasus ini, pembuatan Visum et Repertum disertai dengan permintaan tertulis dari penyidik berupa Surat Permohonan Visum serendah-rendahnya pembantu letnan dua sesuai dengan pasal 133 ayat 1 KUHAP. Dengan demikian sesuai pasal 184 ayat 1 KUHAP, Visum et Repertum yang dibuat dapat dijadikan salah satu alat bukti yang sah di pengadilan.Dengan adanya SPV yang dibuat oleh penyidik maka doker berkewajiban memberikan keterangan ahli sesuai dengan pasal 179 (1) KUHAP yaitu Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli demi keadilan. Hasil pemeriksaan ini tertuang dalam Visum et Repertum yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah.Pada korban, ditemukan luka-luka memar di punggung kaki kiri, punggung jari telunjuk, jari tengah, jari manis, dan kelingking. Luka-luka tersebut sesuai dengan luka akibat kekerasan tumpul.Luka memar tersebut akibat pecahnya pembuluh darah sehingga terjadi ekstravasasi darah ke jaringan sekitar dan manifestasinya berupa pembengkakan. Luka memar tersebut diakibatkan oleh kekerasan tumpul. Warna luka memar pada korban dapat menunjukkan waktu perkiraan timbulnya suatu kekerasan. Pada korban, luka memar berwarna merah keunguan menandakan kekerasan baru saja terjadi. Berdasarkan ketentuan dalam KUHP, kasus korban termasuk dalam penganiayaan ringan karena pada umumnya yang dianggap sebagai hasil dari penganiayaan ringan adalah korban dengan tanpa luka atau dengan luka lecet atau memar di lokasi tubuh yang tidak berbahaya atau yang tidak menurunkan fungsi alat tubuh tertentu. Dalam kasus ini apabila telah diputuskan, maka pelaku dapat dijerat dengan pasal 352 (1) KUHP dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.Berdasarkan UU No.23 Tahun 2004 Bab III Larangan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Pasal 5 menjelaskan setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara : a. Kekerasan Fisikb. Kekerasan Psikis c. Kekerasan Seksuald. Penelantaran rumah tangga.Pasal 6 menjelaskan kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Adapun ketentuan pidananya adalah (Pasal 44)1. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,00 (lima belas juta rupiah)2. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapat jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah)3. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah)4. Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah)Dalam kasus ini, sesuai dengan UU No. 23 tahun 2004, dapat dimasukkan dalam kekerasan dalam rumah tangga yang berupa kekerasan fisik. Atas tindakan pelaku terhadap korban yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana paling lama 4 tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).

TINJAUAN PUSTAKAKekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2001 dicatat sebanyak 258 kasus KDRT, kemudian 226 kasus pada tahun 2002, 272 kasus pada tahun 2003, 328 kasus pada tahun 2004 dan 455 kasus pada tahun 2005 dan terus meningkat hingga sekarang1.Dari data diatas, ditemukan korban adalah penduduk perkotaan yang memiliki akses dengan jaringan relawan dan memiliki pengetahuan yang cukup memadai mengenai KDRT hingga dapat melaporkannya ke instalasi hukum1. Perlu diketahui bahwa kasus kejadian KDRT yang sebenarnya dapat lebih tinggi daripada data yang dicatat karena kurangnya pengetahuan mengenai KDRT di lingkungan penduduk dengan edukasi rendah hingga hanya sedikit kasus KDRT yang dilaporkan.

DefinisiBerdasarkan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) Tahun 2004, yang dimaksud dengan KDRT adalah Setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Lingkup rumah tangga meliputi: suami, istri, dan anak (UU RI KDRT, 2004, hal 33-34)2.

Siklus Kekerasan dalam Rumah TanggaWalker (1979) mengemukakan teori siklus kekerasan yaitu sebagai berikut:1. Tension-building phaseDisebut juga fase ketegangan, yaitu masa dimana ketegangan mulai terjadi, terus mulai bertambah hingga memuncak. Korban merasa tidak berdaya. Pelaku memiliki pandangan negatif dan kecurigaan yang berlebihan terhadap korban.2. Explosion or battering phaseYaitu fase penganiayaan. Ketegangan yang memuncak pada fase sebelumnya dilepaskan dalam bentuk kekerasan baik verbal maupun fisik.3. Honeymoon phase/calm phaseMerupakan fase terakhir atau penyesalan dimana pelaku merasa bersalah dan menyesal telah melakukan kekerasan dan mengatakan bahwa tidak bermaksud menyakiti korban. Pelaku meminta maaf, dan memberikan hadiah kepada korban.Siklus di atas dapat terulang terus-menerus.

Bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah TanggaUndang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) mencatat berbagai macam bentuk kekerasan terhadap perempuan dalam KDRT dalam pasal 5 sampai pasal 9.Pasal 5 berbunyi Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara: a. Kekerasan fisik, b. Kekerasan psikis, c. Kekerasan seksual, d. Penelantaran rumah tangga.1. Kekerasan FisikPasal 6 menyebutkan Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat.Bentuk-bentuk kekerasan fisik tersebut dijabarkan lebih luas oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK (2006) sebagai pukulan dengan anggota tubuh, pukulan dengan tangan kosong, pukulan menggunakan benda atau alat, pelemparan benda, pembenturan ke dinding, sundutan rokok, penyiraman dengan cairan (air keras, cucian, minyak panas), cambukan, diinjak-injak, dibakar, diiris, dicubiti, dipelintir, dicekik dan diseret.

2. Kekerasan PsikisPasal 7 berbunyi Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.Karakteristik kekerasan psikis menurut analisis LBH APIK (2006) meliputi makian, umpatan, hinaan, peludahan, suami menikah lagi tanpa sepengetahuan istri, suami memiliki wanita idaman lain (WIL), meninggalkan istri tanpa ijin, sifat otoriter, berjudi dan mabuk, ancaman dengan benda tajam atau senjata api, pengambilan paksa anak oleh keluarga suami, teror oleh keluarga suami, dan melakukan hubungan seksual dengan orang lain di depan istri atau anak.

3. Kekerasan SeksualPasal 8 berbunyi Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf c meliputi: a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.Menurut LBH APIK (2006) disebut kekerasan seksual apabila didapati pemaksaan sepihak dalam melakukan hubungan suami istri, melakukan hubungan suami istri dengan kekerasan, memaksa melakukan hubungan suami istri dengan cara-cara yang tidak wajar, menelanjangi istri dengan paksa, dan memaksa istri berhubungan dengan orang lain.

4. Penelantaran Rumah TanggaPasal 9 berbunyi, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam luar rumah sehingga korban berada dibawah kendali orang tersebut.LBH APIK (2006) menambahkan karakteristik kekerasan ekonomi antara lain: tidak diberi nafkah, diberi nafkah tetapi terbatas/kurang, tidak boleh bekerja, harta bersama tidak dibagi, eksploitasi kerja, sampai istri tidak dipercaya memegang uang. Inti dari penelantaran rumah tangga adalah dimana akses korban secara ekonomi dihalangi dengan cara korban tidak boleh bekerja tetapi ditelantarkan, kekayaan korban dimanfaatkan tanpa seijin korban, atau korban dieksploitasi untuk mendapatkan keuntungan materi.

Faktor RisikoFaktor risiko terjadinya KDRT yaitu:1. MasyarakatMengenai norma-norma daerah dimana laki-laki dapat sepenuhnya mengendalikan perempuan, norma yang memperbolehkan kekerasan sebagai bentuk pendidikan, anggapan bahwa keperkasaan laki-laki ditunjukkan melalui agresi dan dominasinya, kemudian peran gender yang kaku.Seringkali perempuan diposisikan lebih rendah secara sosial, ekonomi, status hukum sehingga menyebabkan ketidakadilan gender. Norma budaya di negara berkembang cenderung memposisikan perempuan setelah laki-laki dan adanya persepsi bahwa perempuan adalah milik laki-laki sehingga tindakan kekerasan dalam rumah tangga dapat disebut wajar.2. LingkunganMeliputi: kemiskinan, status sosial ekonomi yang rendah, pengangguran, kelompok sebaya yang berperilaku menyimpang, pengisolasian perempuan dan keluarga dari lingkungannya.Kurangnya kepedulian lingkungan terhadap KDRT juga dapat menjadi faktor risiko karena beberapa lingkungan menganggap bahwa KDRT adalah masalah keluarga yang tidak perlu disebar-luaskan. Kemiskinan juga dapat menyebabkan tekanan mental yang dapat memicu masalah dalam rumah tangga. 3. HubunganMeliputi: konflik perkawinan, kendali laki-laki terhadap harta dan pengambilan keputusan dalam keluarga.Penelitian mencatat bahwa perselisihan verbal secara signifikan diikuti oleh kekerasan secara fisik pada istri yang seringkali disebabkan karena laki-laki lebih dominan dalam keluarga, tekanan perekonomian dalam keluarga dan aspek yang lain seperti adanya perselingkuhan dan ketidakstabilan hubungan.4. IndividuMeliputi: kebanggaan sebagai laki-laki, trauma masa lalu, tidak adanya atau penolakan figur ayah pada masa lalu, dan penggunaan alkohol.WHO mencatat bahwa laki-laki yang melakukan KDRT menunjukkan ketergantungan emosional, harga diri rendah dan ketidakmampuan mengendalikan emosi. Mereka juga menunjukkan kebiasaan marah yang berlebihan dan lebih mudah depresi termasuk memiliki gangguan kepribadian antisosial dan agresif. Laki-laki pelaku KDRT memiliki karakteristik individu yaitu usia muda, mengonkonsumsi alkohol/pecandu alkohol, mengalami depresi, memiliki gangguan kepribadian, serta memiliki riwayat kekerasan dalam keluarga.Faktor individu dapat disebabkan oleh kebanggaan sebagai laki-laki yang dianggap memiliki kemampuan lebih dari perempuan, tidak adanya figur ayah atau penolakan figur ayah, dan trauma kekerasan masa kecil.

Dampak KDRTKDRT memiliki efek pada kesehatan fisik dan mental korban hingga menyebabkan berkurangnya kesejahteraan perempuan dalam komunitas. Dampak negatif yang dapat terjadi yaitu:a. Dampak pada Kesehatan FisikWHO mencatat kehidupan perempuan korban KDRT mengalami penurunan kesehatan fisik maupun mental yang dapat berdampak serius hingga mengganggu kehidupan sehari-hari maupun kematian. Korban-korban KDRT juga didapati sering mengalami gangguan pencernaan seperti irritable bowel syndrome, dan gangguan nyeri.b. Dampak pada Kesehatan Reproduksi WanitaDiskriminasi terhadap perempuan dan pandangan masyarakat mengenai tugas utama perempuan yaitu merawat dan memenuhi kebutuhan suami, anak, mertua dan orang tua. Perempuan yang baik adalah perempuan yang tidak mendahulukan kebutuhan diri sendiri. Sikap stereotipik tersebut dapat mengakibatkan penelantaran kebutuhan wanita. Perempuan dapat mengalami kesulitan melindungi diri sendiri dari kehamilan yang tidak diinginkan atau penyakit menular seksual. Kekerasan seksual dapat secara langsung melalui penularan penyakit seksual, infeksi, HIV, dan kehamilan yang tidak diinginkan. Penelitian menunjukkan bahwa stress akibat mempunyai banyak anak dapat meningkatkan risiko terjadinya KDRT. Penelitian UNICEF di berbagai negara menunjukkan tingginya tingkat kekerasan pada masa kehamilan yang mengakibatkan risiko terhadap kesehatan ibu dan janin, pemaksaan seksual penyebab kehamilan yang tidak diinginkan, dan bahaya akibat komplikasi aborsi.c. Dampak pada Kesehatan PsikologisSituasi yang dihadapi korban KDRT seringkali kompleks hingga menyebabkan tekanan mental dan status psikologis. Korban dapat mengalami post-traumatic stress disorder (PTSD), depresi, kecemasan, dan berisiko terhadap perilaku bunuh diri. Hampir seluruh korban KDRT mengalami gangguan emosional lebih tinggi dan tidak sedikit yang memiliki keinginan untuk bunuh diri. Dampak psikologis lainnya adalah jatuhnya harga diri dan konsep diri korban (memandang diri negatif).Pada korban KDRT anak-anak, ditemukan gangguan tumbuh kembang otak anak yang mengganggu pertumbuhan kognitif dan sensorik. Gangguan tersebut dapat membentuk sifat sangat sensitif, gangguan tidur, ketidakstabilan emosi, rasa ketakutan yang berlebihan, sifat kekanak-kanakan, masalah berbahasa dan kesulitan dalam toilet training. Anak-anak korban KDRT yang tumbuh dewasa seringkali menunjukkan banyak masalah, baik masalah belajar maupun komunikasi sosial. Gangguan kepribadian seperti psikosomatik, depresi dan kecenderungan untuk bunuh diri dapat terjadi. Anak-anak tersebut juga memiliki risiko tinggi dalam penyalahgunaan obat-obatan, kehamilan remaja dan perilaku kriminal.

Aspek Medikolegal KDRTSemakin besarnya peranan lembaga-lembaga sosial dalam menanamkan kesadaran akan hak dan memberikan pendampingan serta perlindungan kepada korban kasus KDRT dipengaruhi oleh lahirnya peraturan perundang-undangan di Indonesia. Lahirnya UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT, Peraturan Pemerintah No.4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban KDRT, dan Peraturan Presiden no. 65 tahun 2005 tentang Komisi Nasional Terhadap Perempuan, UU no.13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dan peraturan perundangan lainnya yang memberikan tugas dan fungsi kepada lembaga-lembaga yang terkoordinasi memberikan perlindungan hukum terhadap perempuan. Bahkan dalam rencana pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut tidak terlepas dari peran lembaga sosial.

A. UU no. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah TanggaUU yang disebut sebagai UU PKDRT tersebut diundangkan pada tanggal 22 September 2004 dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 no.95. Fokus UU PKDRT adalah kepada upaya pencegahan, perlindungan dan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.UU PKDRT Pasal 3 menyebutkan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga dilaksanakan berdasarkan: a. Penghormatan hak asasi manusia, b. Keadilan dan kesetaraan gender, c. Nondiskriminasi, dan d. Perlindungan korban.Tujuan UU PKDRT disebutkan pada pasal 4 yaitu untuk: 1) Mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga, 2) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga, 3) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan 4) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.

B. Peraturan Presiden No.65 Tahun 2005 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap PerempuanPerpres Komnas Perempuan ialah merupakan penyempurnaan Keputusan Presiden No.181 Tahun 1998 tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. Perpres Komnas Perempuan Pasal 24 telah mencabut dan menyatakan tidak berlaku Keppres no.181 Tahun 1998 tentang Komini Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan.Komnas Perempuan ini dibentuk berdasarkan prinsip negara hukum yang menyadari bahwa setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran atas hak-hak asasi manusia sehingga dibutuhkan satu usaha untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kekerasan terhadap perempuan.

Ketentuan PidanaKetentuan pidana terhadap pelanggaran KDRT diatur oleh UU RI No.23 Tahun 2004 tentang PKDRT sebagai berikut:UU No.23 Tahun 2004 Pasal 44(1) Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah).(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, dipidanakan penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda paling banyak Rp 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah).(3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp 45.000.000,- (empat puluh lima juta rupiah).(4) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalanakan pekerjaan atau jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp 5.000.000,- (lima juta rupiah).UU No.23 Tahun 2004 Pasal 45(1) Setiap orang yang melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,- (sembilan juta rupiah).(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan atau jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,- (tiga juta rupiah).UU No.23 Tahun 2004 Pasal 46Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,- (tiga puluh enam juta rupiah).UU No.23 Tahun 2004 Pasal 47Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling sedikit Rp 12.000.000,- (dua belas juta rupiah) atau paling banyak Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah).UU No.23 Tahun 2004 Pasal 48Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus-menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).UU No.23 Tahun 2004 Pasal 49Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) bagi setiap orang yang:a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1.b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 2.UU No.23 Tahun 2004 Pasal 50Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jaraj dan waktu tertentu maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.

Hukum Terhadap Kekerasan dalam KUHPDalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang menderita luka akibat kekerasan, pada hakikatnya dokter diwajibkan untuk dapat memberikan kejelasan tentang jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan atau senjata yang menyebabkan luka serta kualifikasi luka. Kualifikasi luka dibahas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yaitu Bab XX pasal 351 dan 352 serta Bab IX pasal 90:

Pasal 351(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah, (2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. (3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun. (4) Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan. (5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 352(1) Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian, diancam, sebagai penganiayaan ringan, dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga bagi orang yang melakukan kejahatan itu terhadap orang yang bekerja padanya, atau menjadi bawahannya. (2) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Pasal 353(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.(3) Jika perbuatan itu mengkibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun

Pasal 354(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 355(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Pasal 356Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga: 1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya; 2. Jika kejahatan itu dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah; 3. Jika kejahatan itu dilakukan dengan memberikan bahan yang herbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum.

Pasal 358Mereka yang sengaja turut serta dalam penyerangan atau perkelahian di mana terlibat beberapa orang, selain tanggung jawab masing-masing terhadap apa yang khusus dilakukan olehnya, diancam: 1. Dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan, jika akibat penyerangan atau perkelahian itu ada yang luka-luka berat2. Dengan pidana penjara paling lama empat tahun, jika akibatnya ada yang mati.

Pasal 90 KUHPLuka berat berarti: Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, atau yang menimbulkan bahaya maut. Tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan pencahariaan. Kehilangan salah satu panca indera Mendapat cacat berat. Menderita sakit lumpuh. Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih. Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan.

Dari pasal-pasal tersebut maka penganiayaan dibagi menjadi 4 jenis tindak pidana, yaitu: (1) Penganiayaan ringan, (2) Penganiayaan berdasarkan pasal 351 KUHP, (3) Penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, dan (4) Penganiayaan yang mengakibatkan kematianPenganiayaan ringan yaitu penganiayaan yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencahariaan. Penganiayaan ringan digolongkan sebagai luka derajat satu. Bila akibat suatu penganiayaan seseorang mengalami penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencahariaan yang bersifat sementara, maka disebut luka derajat dua. Bila penganiayaan yang dilakukan mengakibatkan luka berat, yaitu yang secara permanen menjadi halangan untuk mengerjakan pekerjaan, jabatan atau pencaharian, atau hilang ingatan minimal 4 bulan seperti dalam pasal 90, maka luka tersebut digolongkan menjadi luka derajat tiga.Oleh karena istilah "penganiayaan" merupakan istilah hukum, yaitu "dengan sengaja melukai atau menimbulkan perasaan nyeri pada seseorang", maka didalam Visum et Repertum yang dibuat dokter tidak boleh mencantumkan istilah penganiayaan, karena itu merupakan urusan hakim. Demikian pula dengan menimbulkan perasaan nyeri sukar sekali untuk dapat dipastikan secara objektif, maka kewajiban dokter di dalam membuat Visum et Repertum adalah menentukan derajat luka.

Upaya Pemulihan Korban KDRTPeraturan Pemerintah RI no.4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban Kekerasan dalam Rumah Tangga menyebutkan pada pasal 1 ayat (1) yaitu, pemulihan korban adalah segala upaya yang dilakukan untuk membantu memberikan penguatan kepada korban agar lebih berdaya secara fisik dan psikis. Sedangkan pasal 2 ayat (1) menyebutkan upaya penyelenggaraan pemulihan adalah segala tindakan yang dilakukan yang meliputi memberikan pelayanan kepada korban, pendampingan kepada korban. Sedangkan orang yang melakukan pendampingan dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan pembimbing rohani.Bentuk-bentuk program pemulihan korban KDRT di Indonesia menurut PP PKPKDRT pasal 4 yaitu: Pelayanan kesehatan, pendampingan korban, konseling, bimbingan rohani, dan resosialisasi.

Pencegahan KDRTPencegahan KDRT terdiri dari (1) Pencegahan primer, (2) Pencegahan sekunder, dan (3) Pencegahan tersier.Tujuan dari pencegahan primer adalah memberikan intervensi sebelum masalah terjadi, atau mencegah berkembangnya faktor risiko. Pencegahan primer KDRT adalah melalui tindakan sebelum kekerasan terjadi, meliputi edukasi mengenai KDRT, serta dilakukannya pendidikan kesehatan remaja, program untuk mengurangi stereotipik gender untuk pasangan KDRT.Tujuan dari pencegahan sekunder adalah untuk mengidentifikasi faktor risiko dan mengambil tindakan untuk mengurangi faktor risiko. Tindakan yang dilakukan diantaranya adalah program skrining di lembaga pelayanan kesehatan. Kunjungan rumah dapat dilakukan untuk program skrining.Pencegahan tersier dilakukan setelah masalah KDRT terjadi. Tindakan pencegahan dirancang untuk meminimalkan dampak dan membantu proses pemulihan, kesejahteraan, dan keamanan sesegera mungkin. Pencegahan tersier pada KDRT meliputi semua tindakan pelayanan kepada korban dan pelaku secara langsung ketika kekerasan terjadi. Misalnya perawatan trauma fisik yang dialami korban, perencanaan perlindungan, trauma psikologis, rumah aman, konseling, kelompok suportif, pelayanan dan perlindungan untuk anak, dan koordinasi dengan pihak-pihak terkait.Pencegahan dan penanggulanagan kekerasan dalam rumah tangga memerlukan upaya yang harus melibatkan berbagai lintas program dan sektoral, dengan keterlibatan Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) dan masyarakat sedini mungkin.

KESIMPULAN

Seorang wanita mengaku berusia 40 tahun mengadu telah dianiaya oleh pelaku (suami korban). Pada pemeriksaan fisik didapatkan luka memar di punggung kaki kiri akibat kekerasan tumpul. Perlukaan ini tidak menimbulkan penyakit dan halangan pekerjaan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pangemaran DR. Tindakan Kekerasan Terhadap Perempuan Dalam Keluarga, Hasil Penelitian di Jakarta, Jakarta: Program Studi Kajian Wanita Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 2005.2. Budianto A, Wibisana W, Slamet P, dkk. Ilmu Kedokteran Forensik, Edisi Pertama, Cetakan Kedua. Jakarta : Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 19973. Bagian Kedokteran Forensik FKUI. Peraturan perundang-undangan bidang kedokteran. Ed 1. Cetakan Kedua. 19944. Soesilo R. Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP), Cetakan Ulang Kesepuluh. Bogor : Poelita. 1988.5. Idries AM. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Ed I. Jakarta : Bina Rupa Aksara. 19896. Idries AM, Tjiptomartono AL. Penerapan ilmu kedokteran forensik dalam proses penyidikan. Sagung seto :2008

16