kejadian brucellosis pada sapi perah di...
TRANSCRIPT
KEJADIAN BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH DI KACAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR
YAMIN YADDI
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN
KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ABSTRAK
YAMIN YADDI. Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. (di Bawah Bimbingan Drh. Rahmat Hidayat, MSi).
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi keberadaan penyakit Brucellosis pada sapi perah di Kecamatan Cisarua. Deteksi kejadian Brucellosis dilakukan dengan metode screening test yaitu dengan uji Milk Ring Test, sampel yang berupa susu direaksikan dengan antigen Brucella. sp untuk melihat antibodi dalam susu tersebut. Prinsip kerja dari uji Milk Ring Test yaitu melihat adanya cincin ungu pada tabung reaksi, hasil positif ditunjukan oleh adanya cincin ungu tersebut. Selanjutnya, sampel susu yang menunjukan hasil positif dibiakan pada media agar, lalu hasil biakan diwarnai dengan pewarnaan Gram.
Hasil pengamatan secara serolosis menunjukan sebagian besar sapi perah di wilayah Kecamatan Cisarua terinfeksi oleh bakteri Brucella .sp, dan hanya 2 dari 35 sampel dari peternak yang menunjukan hasil negatif dengan uji Milk Ring Test (MRT), serta 4 sampel yang dubius. Sampel dari peternak yang dubius diuji kembali dan menunjukan 2 hasil positif dan 2 hasil negatif. Biakan bakteri dari sampel susu pada media agar yang telah diinkubasi selama 48 jam hanya sedikit yang tumbuh, lalu diwarnai dengan pewarnaan Gram untuk melihat bakteri tersebut.
ABSTRACT
YAMIN YADDI. Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor. (di Bawah Bimbingan Drh. Rahmat Hidayat, MSi).
This research propose to detect brucellosis presentence of calf at Cisarua district. It was done by screening test method namely “Milk Ring Test”, milk sample was raacted by antigen of “Brucella sp” to look antibody in the milk. Main priciple of “Milk Ring Test” was present purple ring, it signed positive. Then it took to agar media and stained it Gram.
The end of this research showed almost of calf in Cisarua was infected by “Burcella abortus”, just 2 of 35 samples of breeders signed negative. It was done by “Milk Ring Test (MRT)”. There were 4 dubius samples. It was tested once more, showed two were positive and so were negative. The growth of bacteri of milk sample in agar media was only few. It had been incubated for 48 hours. Then stained it Gram to see Bacteri.
KEJADIAN BRUCELLOSIS PADA SAPI PERAH DI KACAMATAN CISARUA KABUPATEN BOGOR
YAMIN YADDI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT HEWAN DAN KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
Judul Skripsi : Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah
di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor
Nama mahasiswa : Yamin Yaddi
NRP : B04104001
Menyetujui,
Pembimbing
Drh. Rahmat Hidayat, MSi.
NIP : 123 313 045
Mengetahui,
Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Dr. Nastiti Kusumorini
NIP : 130 699 942
Tanggal lulus :
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kota Muna, Sulawesi Tenggara pada tanggal 10
Desember 1986. Penulis merupakan anak keempat dari enam bersaudara dari
Bapak Yaddi. S (Alm) dan Ibu Wa Ode Ibu Sitti Ratna Hudo.
Tahun 1998 penulis menyelesaikan pendidikan SDN selama enam tahun
pertama di SDN 08 Raha Kecamatan Katobu. Pada tahun 2001 penulis
menyelesaikan pendidikan SLTP di SLTP Negeri 2 Raha. Penulis lulus dari SMU
Negeri 1 Raha pada tahun 2004.
Tahun 2004 penulis diterima menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor
melalui jalur USMI pada Program Studi Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran
Hewan.
Pada tahun 2005 penulis tergabung di Organisasi Eksternal HMI
(Himpunan Mahasiswa Islam) Komisariat FKH-IPB selama satu tahun menjabat
sebagai Ketua Bidang Pemberdayaan dan Pengembangan Anggota dan pada tahun
2008 tergabung di Organisasi HMI cabang Bogor sebagai Wasekum Bidang
Pemberdayaan Anggota. Selain itu penulis juga ikut serta dalam organisasi
internal kampus yaitu di Badan Eksekutif Mahasiswa 2005 di Bidang Olahraga
dan Seni dan pada Himpro Ornithologi dan Unggas sebagai Ketua Divisi Kubah.
Karya ilmiah yang dihasilkan penulis untuk meraih gelar Sarjana
Kedokteran Hewan diperoleh melalui penelitian selama satu tahun di Bogor yang
berjudul “Kejadian Brucellosis pada Sapi Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten
Bogor” di bawah bimbingan Drh. Rahmat Hidayat, MSi.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penulis panjatkan Kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan karunia-Nya, sehingga skripsi yang berjudul “Kejadian Brucellosis pada Sapi
Perah di Kecamatan Cisarua Kabupaten Bogor” dapat selesai sesuai dengan yang
diharapkan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian
Bogor.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang telah turut membantu terlaksananya tugas akhir ini, dan secara
khusus kepada:
1. Drh. Rahmat Hidayat, MSi selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan selama penulisan skripsi ini.
2. Drh. Tutik Wresdiyati Astawan, Ph.D selaku dosen pembimbing akademik
penulis selama menjalani perkuliahan.
3. Drh. Usamah Affif, MSc selaku dosen penilai penulis pada saat seminar.
4. Prof. Dr. Drh. Fachriyan Hasmi Pasaribu dan Dr. Drh. Rochman Naim atas
bimbingan dan motivasi selama penulisan skripsi ini.
5. Koperasi penghasil susu dan KUD Giri Tani beserta peternak-peternak
yang tergabung di dalamnya atas penerimaan, kerjasama, dan informasi
yang sangat membantu.
6. Bapak (Alm), Mama, kakak-kakak dan adik-adik saya tercinta atas doa
dan dukungan, kasih sayang dan motivasi yang diberikan kepada penulis.
7. Teman-teman FKH 41 Arios, Dhani, ivan, Rico, Arie, Yuzar, Kukuh,
Bama, Nanang, Budi, Uwie, Eki, Reni, Ronaldo, Agus, Jefri, Fikri, Yus,
Ana, Mungki RC dan yang lain yang tidak disebut namanya untuk
persahabatannya selama 4 tahun terakhir.
8. Kakak kelasku Pak Lutfi, isa Mani, isa Mail, isa Jamal , isa Wana, isa
Toni, isa Subhan, isa Odang, mba Rike, isa Wati, la Nunung, la Jery, la
Juma, la Oby, la Icang dan keluarga besar mahasiswa Sulawesi Tenggara
yang tidak disebutkan yang sudah memberi dukungan dan motifasi selama
penyusunan skripsi ini “kabarakatino witeno Wuna”.
9. Teman-teman Asteroidea, dan HMI tercinta.
10. Teman-teman Novi RS, Fatma, Sinta, Dinar, Epong, Isah, Iwan kude,
Imas, Nur, Rini, Salman, Sakti, Jek, Job, Memie, Ninik, Eman, Uda,
Arlan, Tiang, dll yang sudan mencurahkan cinta dan kasih sayang serta
motifasi yang tak henti-hentinya selama penulis menyusun skripsi ini.
Dan kepada semua pihak yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu,
yang telah membantu penulis selama perkuliahan dan penelitian, semoga skripsi
ini dapat memberikan informasi dan manfaat yang berharga bagi para pembaca
dan semoga Allah SWT rahmat dan karunia-Nya bagi kita semua. Amin.
Bogor, 2008
Yamin Yaddi
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................ i RIWAYAT HIDUP ..................................................................................... ii KATA PENGANTAR ................................................................................. iii DAFTAR ISI ................................................................................................ v DAFTAR TABEL ....................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR ................................................................................... vii BAB I PENDAHULAN Latar Belakang ................................................................................... 1 Tujuan ............................................................................................... 3 Manfaat penelitiaan ........................................................................... 4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Penularan dan Penyebaran Penyakit .................................................. 5 Gejala Klinis ...................................................................................... 7 Periode Inkubasi ............................................................................... 8 Diagnosa Klinis ............................................................................... 8 Pengendalian dan Pembarantasan ..................................................... 9 Pengobatan ........................................................................................ 10 BAB III BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................... 13 Metode Penelitian ............................................................................. 13 Alat dan Bahan ................................................................................. 14 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Profil KUD Giri Tani ......................................................................... 16 Profil Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua ............................. 19 Pengetahuan dan Presepsi Peternak tentang Brucellosis ................... 24 Hasil Pengambilan Spesimen dan Pemeriksaan Serologis Brucellosis 25 Hasil Pemeriksaan Bakteriologik Susu .................................................. 31 Hasil Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram.. ........................ .....34 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ........................................................................................ 36 Saran .................................................................................................. 36 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 37 LAMPIRAN ................................................................................................. 39
DAFTAR TABEL
No Teks Halaman 1. Karakteristik peternak........................................................................... 20 2. Presepsi peternak tentang brucellosis.................................................... 25 3. Hasil Uji Milk Ring Test I,..................................................................... 27 4. Hasil Uji Milk Ring Test II..................................................................... 28 5. Tahapan dan Reaksi Pewarnaan GramTerhadap Bakteri....................... 34
DAFTAR GAMBAR
No Teks Halaman 1. Kondisi Kandang di Lokasi yang Berdampingan dengan WC.......... 22 2. Kondisi Tempat Penampungan Pakan............................................... 22 3. Kandang dengan Sanitasi yang Buruk............................................... 23 4. Kondisi di KUD Giri Tani Saat Penampungan Susu ........................ 23 5. Ternak Sapi yang Mengalami Kelainan Fisik.................................... 24 6. Kondisi Pengumpulan Susu oleh Pihak KUD.......................... ......... 26 7. Spesimen yang Telah Dikumpulkan .......................................... ....... 30 8. Hasil Pengujian I dengan MRT.......................................................... 30
9. Hasil Pengujian II dengan MRT ................................................ ....... 31
10. Cara Pemerahan oleh Peternak............................................................ 33 11. Biakan Bakteri pada Media Agar ............................................... ....... 33 12. Biakan Bakteri yang Diwarnai dengan Pawarnaan Gram.................. 35
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peningkatan nilai gizi masyarakat memerlukan serangkaian rencana
sebagai pendukungnya. Untuk meningkatkan gizi masyarakat, pemenuhan
kebutuhan pangan merupakan langkah utama. Indonesia merupakan salah satu
negara agraris dengan jumlah penduduk yang besar. Hal ini tentunya harus
membutuhkan perhatian khusus dalam pemenuhan gizi terutama dalam
pemenuhan kebutuhan protein. Pemenuhan protein dapat dilakukan dengan
mengkonsumsi protein nabati dan hewani.
Konsumsi protein hewani di Indonesia adalah 3,09 g/Kap/hari dan susu
menyumbang sebanyak 0,76 g/Kap/hari atau sekitar 11,65% (Anonimons 2004).
Indonesia menjadi net importer untuk hasil ternak khususnya susu karena tidak
seluruhnya hasil ternak ini dapat dimanfaatkan, baik untuk konsumsi pribadi
ataupun olahannya. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh pertambahan tingkat
pendapatan dan kesadaran penduduk dalam mengkonsumsi susu.
Permasalahan yang ada adalah rendahnya mutu susu yang diperoleh dari
peternakan yang ada, dan lambatnya peremajaan sapi perah. Permasalahan yang
dihadapi adalah rendahnya tingkat kelahiran (17,56%) dan tingginya tingkat
kematian (2,9%) serta adanya gangguan reproduksi yang mempengaruhi ratio
ternak dan hasil produksinya. Idealnya, tingkat kelahiran sapi perah harus
mencapai 48% dengan tingkat kematian hanya 1,5% (Dinas Peternakan dan
Perikanan Kabupaten Bogor 2002).
Penyakit zoonosis kian banyak terungkap keberadaannya seiring dengan
pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi veteriner di dunia.
Penyakit zoonosis juga banyak mendapat perhatian oleh masyarakat di dunia
sejalan dengan semakin meningkatnya kondisi sosial ekonomi masyarakat dunia,
termasuk Indonesia. Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia tidak
terlepas dari pengaruh globalisasi untuk mengikuti perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi veteriner di dunia. Beberapa penyakit zoonosis yang
terjadi di dunia telah dilaporkan keberadaannya di tanah air, dan baru beberapa
penyakit yang dapat diteliti di Balai Penelitian Veteriner (Balitvet), yaitu Rabies,
Antrax, Leptospirosis, Toxoplasmosis, Brucellosis, Skabiesis, Nipah, dan Avian
Influenza (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor 2002).
Salah satu daerah di Indonesia yang masih perlu mendapatkan perhatian
tentang bahaya penyakit zoonosis adalah Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat
khususnya Kecamatan Cisarua yang telah lama ikut berperan dalam mensubsidi
kebutuhan protein di Indonesia yaitu melalui peternakan sapi perah. Usaha
peternakan sapi perah di wilayah Cisarua masih mengalami banyak kendala antara
lain sulitnya mendapatkan bibit sapih perah dari varietas unggul, masih rendahnya
jumlah rata-rata kepemilikan ternak, dan rendahnya daya tawar peternak dalam
memasarkan hasil produksi ternaknya. Disamping itu manajemen kesehatan sapi
perah juga masih merupakan faktor yang sangat perlu mendapatkan perhatian dan
pembinaan. Salah satu penyakit yang masih merupakan kendala utama dalam
pengembangan sapi perah adalah Brucellosis.
Bovine Brucellosis atau disebut juga penyakit keluron menular pada sapi
disebabkan oleh Brucella abortus yang merupakan bakteri Gram negatif.
Brucellla abortus bersifat fakultatif intraseluler yang mempunyai daya tahan yang
baik terhadap temperatur, pH, dan kelembaban. Brucellosis pada sapi dapat juga
disebabkan oleh Brucella militensis, walaupun kejadiannya masih kurang sering.
Secara serologi penyakit Brucellosis dikenal di Indonesia sejak tahun 1953.
Kuman ini menyerang semua hewan mamalia (menyusui) termasuk manusia. Di
dalam tubuh hewan penderita, kuman hidup dalam inti sel dan umumnya dapat
diisolasi dari kelenjar pertahanan tubuh (kelenjar limfe) dan beberapa organ dalam
tubuh seta saluran kelamin hewan jantan. Sekali hewan bunting, kuman Brucella
abortus mutasi ke uterus (kandungan) dan memperbanyak diri karena ada cairan
cryhritol sejenis karbohidrat yang diproduksi organ ini selama kebuntingan dan
merupakan media ideal bagi pertumbuhan kuman ini. Kegagalan kebuntingan atau
kemajiran umumnya terjadi sebagai konsekuensi terjadinya infeksi pada uterus
dan placenta (kantong janin). Kuman akan menyebar ke luar tubuh pada saat
keguguran atau lahir normal bersama cairan janin dan bertahan (hidup) lama di
luar tubuh hewan pada kondisi basah dan lembab di bawah naungan tanpa sinar
matahari langsung.
Brucellosis kurang disadari oleh peternak karena tidak menunjukan tanda
yang nyata sakit apabila dibandingkan dengan penyakit lain. Karakteristik ini
menjadikan Brucellosis dapat menyebar dengan mudah. Kerugian yang terjadi
akibat Brucellosis secara individu adalah abortus, kematian dini pada pedet yang
lahir karena kondisi lemah dan rentan terhadap penyakit, gangguan reproduksi
berupa infertilitas dan sterilitas pada hewan betina dan jantan, penurunan produksi
susu dan nilai jual serta penurunan nilai jual sapi reaktor positif. Selain itu
penyakit Brucellosis juga memberi kerugian ekonomi mencapai 130 milyar
pertahunnya.
Selama ini kejadian penularan penyakit berkaitan dengan rendahnya
penerapan higiene dan sanitasi pada ternak dimulai dari pemeliharaan ternak,
proses pemerahan air susu, pengangkutan hingga pengolahan susu.
Kabupaten Bogor khususnya Kecamatan Cisarua memiliki potensi
pengembangan sapi perah yang cukup baik, namun kondisi ini juga diiringi oleh
tingginya tingkat kejadian Brucellosis. Terutama pada peternakan sapi perah yang
memiliki produktifitas tinggi. Sejak awal ditemukan kasus hingga saat ini
pemberantasan terhadap penyakit ini masih terus dilaksanakan. Hal ini terus
dilakukan mengingat populasi hewan rentan Brucellosis di Kabupaten Bogor
terutama sapi perah cukup tinggi, mutasi ternak dari satu tempat ke tempat lain
dan kelangsungan perkembangan penyakit yang didukung oleh faktor sosial kultur
masyarakat Kabupaten Bogor sendiri (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten
Bogor 2002).
1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Menggali dan mencari solusi tentang permasalahan yang dihadapi
peternak tentang kasus Brucellosis secara khusus dan kesehatan sapi perah
dan produknya secara umum.
2. Membantu Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor dalam
memantau kasus Brucellosis.
1.3. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk
1. Peternak dapat mengetahui masalah yang terjadi pada ternak mereka yang
mempengaruhi produksi susu perhari
2. Dinas Peternakan lebih mudah mengatasi kasus Brucellosis ini terutama
pada sapi perah di Kecamatan Cisarua.
3. Peternak lebih paham tentang pentingnya sanitasi pada kandang yang
mempengaruhi timbulnya infeksi yang menular.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Brucellosis
Brucellosis merupakan penyakit yang sangat infeksius. Leleran dari
vagina, ari-ari janin dan air susu penderita merupaka sumber penularan yang
sangat potensial bagi hewan dan manusia. Dilaporkan bahwa setiap kali sapi
penderita mengalami keguguran atau melahirkan anak, sejumlah kuman yang
dihasilkan mampu menginfeksi sekitar 600.000 ekor ternak di sekitarnya (Maria
2005).
Brucellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri genus
Brucella. Brucella adalah bakteri yang berbentuk batang halus berukuran panjang
0,5-2,0 µ dan lebar 0,4-0,8 µ. Bakteri ini tidak bergerak, tidak berspora, bersifat
aerob dan parasit intraseluler yang dapat hidup dalam sel makrofag serta sel epitel
induk semang. Kemampuan ini yang menyebabkan pengobatan memakai
antibiotik kurang efisien dan efektif (Blood dan Radostitis 1989) serta
pemeriksaan bakteriologis yang sulit karena kuman jarang beredar di darah.
Hingga saat ini terdapat tuju spesies Brucella yang diketahui yaitu B.
abortus (sapi), B. melitensis (kambing dan domba), B. suis (babi, hares, rusa
kutub, caribou, (binatang pengerat), B. canis (anjing dan sejenisnya), B. ovis
(domba), B. neotomae (desert wood rat), B. maris (mamalia laut). Dari berbagai
spesies Brucella sebagian besar bersifat patogen bagi manusia hanya B. ovis dan
B. neotomae yang tidak patogen pada manusia, sedangkan B. maris belum
diketahui (Pasaribu 2007).
2.2. Penularan dan Penyebaran Penyakit
Penularan Brucella terjadi secara oral, nasal atau melalui selaput kelenjar
mata. Penularan terjadi karena terkontaminasinya makanan atau minuman oleh
kuman Brucella yang berasal dari sisa kelahiran, susu mentah dan produk
olahannya atau kontak langsung dengan penderita dan terkena cipratan cairan dari
penderita.
Sapi bunting yang teinfeksi merupakan sumber penularan B. abortus yang
utama. Plaseta dan cairanya serta fetus yang di absorbsikan mengandung kuman
sebanyak 1012–1014 (Edelsten et al. 1990). Penularan langsung terjadi bila sapi
menjilat/terjilat sisa kelahiran tersebut. Bakteri yang dikeluarkan bersamaan
dengan kelahiran tersebut mampu menularkan lagi hingga 600 ekor sapi lain.
Umumnya tingkat penularan tertinggi terjadi selama satu bulan sejak induk
penderita mengalami keguguran atau melahirkan. Selanjutnya bakteri akan
bersembunyi di dalam persendian, kelenjar limfe (khususnya supramaria) dan
kelenjar susu (Subronto 1995). Setelah itu infeksi akan mengalami penurunan
pada hari ke 48 hingga ke 90. Pada saat ini kuman Brucella tidak dapat diisolasi
dari darah atau uterus tidak bunting. Selama proses penyakit berlangsung, hewan
secara klinis nampak sepenuhnya sehat dan lesi yang timbul bersifat ringan.
Penularan uterus terjadi melalui jalan darah. Apabila bakteri yang dibawa
oleh darah dapat mencapai uterus, maka bakteri akan berkembang biak dengan
cepat pada uterus sendiri maupun janin pada hewan bunting. Perkembangan ini
menyebabkan hewan yang baru terinfeksi mengalami radang akut dan berakibat
aborsi/keluron pada hari ke 33 sampai ke 230 (Subronto 1995).
Hewan bunting terinfeksi menularkan ke janinnya bila infeksi terjadi
setelah janin mencapai umur 6 bulan (infeksi kongenital). Infeksi ini cenderung
tetap dan bersifat laten (latent cerrier). Brucellosis pada hewan carier laten sangat
sulit diditeksi secara serologis (Rompis 2002). Hewan seperti ini pada umumnya
akan mengalami abortus pada kebuntingan pertama. Kondisi seperti ini tidak
ditemui pada pedet yang berasal dari induk yang terinfeksi pada umur
kebuntingan muda. Pedet yang terinfeksi pada bulan-bulan pertama kebuntingan
nampaknya kurang rentan terhadap infeksi Brucella abortus.
Penularan Brucella pada manusia dapat melalui saluran pencernaan,
kontak langsung dan tidak langsung, saluran pernapasan atau selaput lendir mata
(Wilcoks dan Manson Bahr 1984). Daging biasanya bukan merupakan sumber
penularan manusia (Jawet et al. 1980), tapi bila terjadi juga biasanya disebabkan
oleh daging dan produknya yang setengah matang. Pengolahan daging dengan
penambahan nitrat, nitrit dan garam tidak menyebabkan organisme penyebab mati
tetapi pengasapan dapat mematikan kuman.
Penularan oleh air susu umumnya terjadi karena kebiasaan meminum susu
mentah (tidak dipasteurisasi/dimasak) dan produknya. Namun produk susu yang
diasamkan (terdapat pembentukan asam laktat) seperti yoghurt dan sejenisnya
tidak akan menularkan Brucellosis karena asam dapat membunuh organisme
penyebab.
2.3. Gejala Klinis
Penyebab utama Brucellosis pada ternak di tentukan oleh umur hewan
ketika terpapar infeksi dan tingkat keparahan infeksi yang ditentukan oleh jumlah
organisme serta tingkat virulensinya (Edelsten et al. 1990).
Keluron merupakan satu-satunya gejala klinis yang nyata terlihat pada sapi
(Subronto 1995). Keluron atau abortus biasanya terjadi pada umur kebuntingan 5-
8 bulan. Keluron pada masa kebuntingan tua lebih sering terjadi dari pada masa
bunting muda. Keluron pada masa bunting muda dan kemajiran seperti yang
ditemukan pada Vibriosis dan Tricomoniasis tidak ditemukan pada penderita
Brucellosis.
Pada infeksi yang kurang akut, ternak dapat melahirkan secara sempurna
dengan anak yang lahir lemah atau adanya komplikasi plasenta tertahan. Cairan
plasenta akan berwarna keruh kekuningan, walau keadaan ini tak selalu terjadi.
Infertilitas dapat muncul sebagai lanjutan dari metritis kronis.
Brucellosis pada sapi jantan dapat terjadi tanpa memperlihatkan gejala
klinis walau pembesaran tetes akibat epididimistis dan orchitis terjadi (Ressang
1984). Perubahan degeneratif dapat terjadi dengan adanya semen bercampur
nanah. Keadaan ini dapat diketahui melalui pemeriksaan serologi. Higroma dapat
terjadi pada ternak jantan dan betina, tetapi gejala ini hanya dapat diamati pada
populasi dengan tingkat infeksi yang tinggi.
Brucellosis pada manusia berjalan sangat lambat (Ressang 1984). Penyakit
berjalan kronis dalam waktu yang lama dan dapat kambuh kembali pada saat daya
tahan tubuh menurun. Gejala umum yang dialami manusia adalah kelemahan atau
kelelahan (Wilcocks dan Bahr 1984). Gejala utamanya adalah demam tinggi
terutama dimalam hari. Gejala lain yang dapat terjadi adalah anoreksia,
kehilangan berat badan dan pusing, sakit di belakang leher dan kadang disertai
spondilitis, sakit perut serta pembesaran hati dan limpa. Gejala sakit di legok perut
bagian kanan karena pembengkakan kelenjar mesenterika sering dikelirukan
dengan gejala radang apendiks. Sedangkan sakit pada persendian sering
dikelirukan dengan inflamasi.
2.4. Periode Inkubasi
Periode inkubasi pada ternak biasanya satu hingga tiga minggu tetapi
kadang dapat setelah beberapa bulan baru gejala awal terlihat. Periode ini
bervariasi tergantung pada usia kebuntingan dan dipengaruhi oleh jumlah kuman
yang masuk serta keadaan induk semang, apakah hewan sudah pernah divaksinasi
atau karena infeksi alam (Setiawan 1992).
Brucellosis pada manusia tidak mempunyai gejala yang khas dengan masa
inkubasi 1–15 minggu. Dalam beberapa kasus, gejala terlihat hanya 72 jam setelah
terinfeksi. Tetapi gejala juga dapat muncul beberapa bulan setelah masa infeksi.
Semua ini tergantung dari jalur masuk (route of infection) dan virulensi organisme
penyebab (Ressang 1984).
2.5. Diagnosa Klinis
Kuluron pada sapi tidak hanya disebabkan oleh bakteri. Kejadian ini juga
disebabkan oleh virus, jamur atau protozoa. Oleh karena itu diagnosis
penyebabnya tidak hanya dapat didasarkan pada pengamatan sepintas atau riwayat
kejadian. Namun keluron yang umum terjadi pada bulan ke enam masa
kebuntingan dapat dicurigai sebagai akibat adanya Brucellosis. Diagnosa
Brucellosis membutuhkan beberapa uji labolatoris (Alton et al. 1988) yang
meliputi antara lain :
1. Isolasi organisme di paru-paru, lambung atau plasenta fetus. Pada hewan
dewasa organisme ini dapat diperoleh dari air susu atau semen atau dari
kelenjar limpa sesudah hewan dipotong. B. abortus umumnya diisolasi di
dalam media kultur atau pada marmut.
2. Uji serologik terhadap aglutinin di dalam darah, yang biasanya terdapat
pada waktu abortus dan sering menunggu sesudah waktu tersebut. Dalam
bentuk uji tabung aglutinasi, uji piringan aglutinasi, uji inaktifasi, uji
piringan antigen yang diasamkan, uji pengendapan senyawa akridin
(Rivanol), dan uji fiksasi komplemen. Efisiensi pengujian-pengujian
dalam menentukan infeksi B. abortus pada sekelompok ternak sapi yang
terserang masing-masing adalah 52-61, 66, 93, 96, dan 98% (Nicoletti
1969).
3. Uji aglutinasi terhadap susu termasuk uji cincin susu (Milk Ring Test) atau
uji cepat diagnosa Brucellosis dilakukan dengan menggunakan antigen
yang diwarnai dengan Rose Bengal (Rose Bengal Test) pada sapi yang
terserang, kepekaan uji ini mencapai 92%. Pengujian semua kelompok
ternak sapi perah disuatu daerah dua kali atau lebih dalam waktu satu
tahun dengan Milk Ring Test (MRT) dapat mendiagnosa secara efektif dan
mengeliminer sapi-sapi yang terserang (Janney et al. 1958 ). Pada uji Rose
Bengal Test umumnya dapat mengenali hewan yang tertular lebih dini.
Reaksi positif juga dihasilkan walau tingkat kejadian penyakit rendah dan
vaksinasi pada pedet dengan strain 19 banyak dilakukan (Subronto 1995).
4. Uji aglutinasi dapat pula dilakukan pada plasma semen sapi-sapi jantan
tersangka (Kerr 1955).
Sejarah kelompok ternak sangat bermanfaat dalam mendiagnosa penyebab
abortus, diagnosa perbandingan antara penyebab abortus cukup sulit dan sering
tidak mungkin tanpa bantuan laboratorium yang baik. Lesio plasental pada
Brucellosis, vibronosis dan penularan jamur pada sapi nampak sama.
2.6. Pengendalian dan Pemberantasan
Brucellosis pada manusia dapat dicegah dengan pengawasan atau
eliminasi penyakit pada populasi ternak dan menghindari konsumsi susu mentah
serta produksinya. Hal ini sangat penting untuk diperhatikan mengingat bahwa
manusia adalah titik akhir dari perjalanan Brucellosis, dalam arti manusia tidak
menularkan pada manusia lain. Oleh karena itu upaya utama yang dapat dilakukan
adalah mengendalikan dan mencegah penyakit berpindah dari ternak ke manusia.
Pengawasan Brucellosis dapat dimulai pada tingkat peternakan
berdasarkan kombinasi antar higiene yang baik dan vaksinasi. Vaksinasi
merupakan cara yang paling tepat untuk mengurangi resiko infeksi. Dimana,
usaha ini secara ekonomis dipandang sudah memenuhi standar program
pemberantasan penyakit. Vaksin dapat mengurangi jumlah hewan terinfeksi jika
dilakukan dalam waktu 7 tahun (Rompis 2000). Vaksin ternak pada masa pedet
akan menurunkan reaktor sekitar 2–4% (Subronto1995).
2.7. Pengobatan
Pengobatan terhadap ternak penderita Brucellosis dengan berbagai
antibiotik telah dicoba namun hasil yang diperoleh kurang maksimal. Tindakan-
tindakan higienis sangat penting dalam program pencegahan Brucellosis pada
suatu kelompok ternak.
Sapi yang tertular sebaiknya dijual kejagal atau dipisahkan dari
kelompoknya beberapa minggu sebelumnya, dimana penyebaran tertinggi
organisme Brucella dapat terjadi. Foetus dan plasenta yang digugurkan harus
dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus didisinfeksi dengan
larutan kresol 4% atau disinfektan sejenis.
Semua ternak yang didatangkan ke peternakan itu harus diuji kembali
sebelum ditempatkan bersama kelompok ternak yang ada kecuali apabila
didatangkan dari kelompok yang bebas Brucella. Prosedur pengujian awal ini
sangat penting bahkan pada kelompok ternak yang sudah divaksinasi.
Program vaksinasi dilakukan pada anak sapi betina yang berumur 3-7
bulan dengan vaksin Brucella stain 19 yang merupakan vaksin referens bagi
Brucellosis. Selain itu, vaksisn strain 19 juga menyebabkan terjadinya titer
antibodi persisten pada sapi yang divaksisn sehingga sulit untuk dibedakan
dengan infeksi alam (hasil uji positif palsu). Vaksin strain 19 dapat menyebabkan
keguguran dan vaksin ini juga dapat diekskresikan melalui susu. Selain vaksin
strain 19 vaksin lain yang biasa digunakan adalah vaksin strain 51 (RB 51).
Vaksin ini tidak menyebabkan terbentuknya antibodi persisten pada sapi yang
divaksin. Vaksin yang dikembangkan merupakan bakteri hidup sehingga dapat
menginfeksi manusia bila penggunaannya yang kurang benar.
Pelaksanaan vaksinasi dilakukan pada pedet betina dengan dosis vaksin 5
ml subkutan. Reaksi vaksinasi akan terjadi setelah pubertas, karena terjadi
peningkatan titer antibodi serum dengan cepat dan akan menghilang lebih dari
90% pada ternak tersebut sesudah mencapai umur 30 bulan.
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1. Tempat dan Waktu
Penelitian ini sebelumya telah dilakukan pada awal tahun 2007, dan
dilanjutkan pada tanggal 10-15 Februari tahun 2008. Pelaksanaan penelitian ini
diawali dengan pengambilan sampel susu di daerah Kecamatan Cisarua tanggal 10
Februari 2008. Penelitian mikroskopis dimulai pada tanggal 11–15 Februari 2008
yang dilakukan di Laboratorium Bakteriologi, Bagian Mikrobiologi Medik,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner (IPHK)
Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
3.2. Metode
Penelitian ini dilaksanakan melalui kegiatan pemantauan dengan beberapa
metode antara lain :
1. Mendatangi koperasi yang ada di daerah Kecamatan Cisarua Kabupaten
Bogor dengan melakukan wawancara langsung dengan pengurus koperasi
tentang kesehatan sapi perah dan produksinya secara umum dan tentang
Brucellosis secara khusus.
2. Mendatangi pemilik ternak atau perawat ternak yang ada di daerah
Kecamatan Cisarua dengan melakukan wawancara langsung dengan
panduan kuesioner yang telah disiapkan sebelumnya.
3. Mengambil spesimen untuk pemeriksaan serologis kasus Brucellosis.
Adapun spesimen yang direncanakan akan diambil adalah susu dan darah.
4. Melihat dan memperhatikan sanitasi kandang dan lingkungan tempat
pemeliharaan sapi perah yang ada di lokasi tersebut.
5. Melihat dan memperhatikan sanitasi lingkungan tempat penampungan
susu di koperasi dan cara peternak dalam membawa hasil perahan susu
sapinya.
6. Pemeriksaan serologis kasus Brucellosis dan pengkulturan.
3.3. Alat dan Bahan
Bahan dan alat yang digunakan dalam pengambilan sampel di Kecamatan
Cisarua adalah ice box sebagai tempat penyimpanan sampel agar tetap dingin dan
menghindari kontaminasi saat pembawaan, batu es (katalisator agar suhu susu
tetap stabil), kantung plastik penampung, kertas label yang dilekatkan pada
kantung sampel agar sampel tidak bercampur satu dan lainnya.
Bahan yang digunakan dalam percobaan di Laboratorium Bakteriologi
adalah sampel susu, antigen brucella, plate count agar (PCA), bakteri Brucella
abortus pada media agar, aquadestillata steril, dan NaCl fisiologis untuk
penghitungan jumlah bakteri. Kristal violet, safranin, aceton alkohol,
aquadestillata steril, lugol uji KOH dan uji pewarnaan Gram. Susu real good,
milk kuat dan susu UHT produk lokal Bogor (susu UHT) sebagai pembanding
dalam pembacaan hasil (kontrol negatif).
Alat yang digunakan dalam percobaan di Laboratorium Bakteriologi
adalah cawan petri, pipet, pinset, tabung reaksi, rak tabung reaksi, cotton swab
steril, aluminium foil, mikropipet 1 mililiter dan 0,3 mikroliter, ose, korek api,
kapas, kertas label, object glass, cover glass, bunsen, inkubator, stomacher dan
mikroskop.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Brucellosis telah dikenal di Indonesia sejak lama dan telah dilaporkan di
bebagai daerah tetapi untuk pengujian belum seluruhnya terealisasi. Brucellosis
pada sapi di Indonesia telah menyebar di 26 propinsi dengan kerugian ekonomi
mencapai Rp 138,5 milyar/tahun, akibat keguguran, kematian pedet, sterilitas dan
infertilitas, serta penurunan produksi susu. Keguguran pada umur kebuntingan tua
merupakan gejala klinis bagi sapi yang mengidap penyakit Brucellosis dan
memberikan kecenderungan diagnosa ke arah tersebut. Namun demikian adanya
kasus keguguran bagi kebanyakan petani–peternak masih kurang perhatiannya
terhadap kemungkinan penyakit dan penyebabnya. Pada umumnya peternak baru
tergugah hatinya manakala terjadi infeksi yang mengancam kelangsungan hidup
ternak yang sudah lahir, atau yang sudah berkembang menjadi dewasa. Disamping
itu penyakit ini akan mudah dilupakan terutama dengan adanya kenyataan bahwa
pada kebanyakan kejadian penyakit Brucellosis, peristiwa keguguran hanya akan
terjadi satu kali dan pada kebuntingan berikutnya akan lahir normal. Dengan
kenyataan ini, ditambah keterbatasan kesadaran tentang dampak dari penyakit
yang mungkin timbul dan kesadaran bahwa sapi–sapi akan tetap tinggal sebagai
reaktor yang mampu bertindak sebagai sumber penularan untuk sapi yang lain,
disamping itu hewan juga akan menjadi majir atau berkurang fertilitasnya.
5.1. Profil Koperasi Unit Desa Giri Tani
Koperasi awalnya muncul dari inviltrasi maupun gerakan yang mula-mula
timbul karena merupakan suatu gerakan otomatis untuk merubah diri (devenisive
reflex) dari suatu kelompok masyarakat terhadap tekanan hidup yang dilakukan
oleh kelompok lain dalam masyarakat, baik yang merupakan dominasi sosial
maupun yang berupa ekspoloitasi ekonomi, sehingga menimbulkan rasa tidak
aman bagi kehidupan mereka.
Pada perkembangannya dalam rangka usaha untuk lebih meningkatkan
peran dari KUD dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat
pedesaan, dikeluarkan serangkaian ketentuan–ketentuan dari Pemerintah baik
yang berupa Instruksi Presiden maupun Instruksi/Kebijaksanaan Menteri,
diantaranya Inpres No. 4 Tahun 1984 tentang Pembinaan dan Pengembangan
Koperasi Unit Desa, yang kemudian diikuti oleh beberapa Keputusan/Instruksi
Menteri Koperasi yaitu tentang Pelaksanaan Pembinaan dan Pengembangan KUD
dan Intruksi tentang Pedoman Pembinaan dan KUD Mandiri (Instruksi Menteri
Koperasi No. 04/INST/M/VI/1998). Dalam Instruksi Menteri ini dikatakan bahwa
tujuan dari pembinaan dan pengembangan KUD yang memiliki kemampuan
manajemen yang terbuka dan rasional dalam pengembangan ekonomi, para
anggotanya atas kebutuhan dan keputusan para anggota KUD (Departemen
Koperasi RI 1988).
KUD Giri Tani merupakan salah satu instansi yang bergerak dalam bidang
kesejahteraan masyarakat dengan menjadi media perantara dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat. Unit usaha ini pertama kali berdiri pada tahun 1973. Pada
awalnya begerak sebagai koperasi sekolah yang bergerak dalam bidang simpan
pinjam. Kemudian KUD Giri Tani mendapat badan hukum dari pemerintah. Pada
tahun 1982 KUD Giri Tani mulai bergerak dalam usaha sapi perah dimana para
petani mendapat bantuan dari Presiden yang berupa kredit selama lima tahun. Sapi
bantuan tersebut berasal dari New Zeland dan Australia. Akan tetapi, pada saat
awal pengelolaan sapi perah para petani tidak mendapat sosialisasi dalam sistem
manajemen beternak yang baik.
Pada tahun 1989 kredit dari pemerintah ke peternak mengalami
penghentian dan hanya tersisa sepuluh orang anggota peternak yang aktif. Hal ini
disebabkan karena kurangnya pengetahuan peternak tentang manajemen
pemeliharaan yang benar sehingga banyak kasus penyakit yang terjadi pada ternak
meraka.
KUD Giri Tani sebagai koperasi pengelola dan penampung susu dari
petani sebelum dilanjutkan pengiriman ke industri-industri olahan susu, mencakup
di dua wilayah kecamatan yaitu Kecamatan Cisarua dan Kecamatan
Megamendung. Jumlah anggota dari KUD Giri Tani adalah 867 orang yang terdiri
dari 180 peternak dengan jumlah populasi 1100 ekor ternak, yang terbagi dalam
lima kelompok, yaitu kelompok Baru Tegal, kelompok Tirta Kencana, kelompok
Baru Sirem, kelompok Bina Warga dan kelompok Mekar Jaya. Sampai saat ini,
KUD Giri Tani bergerak di bidang :
a. Susu
b. Kredit (simpan pinjam)
c. Pakan ternak
d. Kesehatan hewan
e. Produksi susu olahan (UHT)
Produksi susu yang diterima KUD dari peternak rata-rata pertahun dapat
berkisar 1.500.000 liter dan kemudian didistribusikan ke industri-industri
pengolahan susu. Distribusi susu oleh KUD antara lain ke PT. Diamond Cold
Storage sebesar 1.265.438 liter dan PT. Cimory sebesar 203.093 liter (tahun
2006). Di KUD Giri Tani member beberapa perlakuan pada susu yang diterima
dari peternak yang berupa penyaringan dan pendinginan sampai suhu 2˚C. Untuk
menghindari pemalsuan oleh peternak dilakukan beberapa uji untuk melihat
kelayakan dari susu tersebut. Adapun uji yang dilakukan oleh KUD adalah uji
kadar lemak, uji rasa, uji berat jenis, uji pH, uji alkohol dengan konsentrasi 70%.
Pemalsuan susu yang sering terjadi oleh peternak antara lain pemberian santan
kelapa, kanji, pati dan air. Pada susu yang terbukti dipalsukan langsung ditolak
oleh KUD. Pada sintim pengambilan susu oleh KUD dari peternak dilakukan
dengan dua cara yaitu, dijemput dan para peternak sendiri yang mengantar ke
KUD.
KUD Giri Tani berbadan hukum 5765/BH/PAD/KWK.10/V/1997, dengan
jumlah karyawan sebanyak 23 orang yang terbagi dalam bidang masing-masing.
KUD Giri Tani selalu mengadakan rapat umum anggota setiap tahun secara
berkesinambungan. Rapat anggota tersebut bertujuan untuk menyampaikan
laporan pertanggung jawaban pengurus dan badan pengawas KUD Giri Tani
terhadap anggota tentang hasil pelaksanaan kerja. Selain itu pada rapat tahunan
juga membahas tentang rencana kerja dan rencana angggaran pendapatan dan
belanja koperasi (RAPBK) untuk tahun berikutnya. Kemudian, hasilnya akan di
jadikan acuan untuk pelaksanaan kerja pengurus ditahun berikutnya.
Pada KUD Giri Tani juga terdapat bidang keswan yang bertujuan untuk
mengontrol kesehatan ternak dan memberi penyuluhan-penyuluhan tentang
manajemen kesehatan hewan pada masyarakat khususnya anggota peternak yang
baru bergabung. Selain itu, bidang keswan juga melaporkan tentang kasus-kasus
pada ternak di wilayah yang termasuk hirarki dari KUD Giri Tani pada dinas
peternakan setempat. Petugas keswan dalam memberi penyuluhan tentang
pemerahan dan pengiriman pasca panen oleh anggota KUD, juga melakukan
program vaksinasi pada ternak secara berkesinambungan setiap tahun yaitu pada
bulan Juni atau Juli. Vaksin yang biasa diberikan oleh petugas keswan pada ternak
di wilayah tersebut adalah vaksin Antraks dan Brucellosis.
Pada ternak di wilayah Cisarua pernah terjadi kasus Brucellosis
(keguguran pada trimester ke 3) yaitu pada awal tahun 2000. Gejala umum yang
terlihat pada kasus keguguran antara lain abortus pada bulan ke 6 dan ke 7 disertai
cairan dari plasenta yang berwarna keruh serta bau yang busuk. Pada kasus
kelahiran prematur sapi perah lahir dalam keadaan lemah dan tubuh yang sangat
kurus serta mengalami kematian setelah satu atau dua minggu setelah kelahiran.
Pada tahun 2000 pernah dilakukan test and slaughter oleh pemerintah melalui
Dinas Peternakan. Para petani yang ternaknya positif terinfeksi Brucella sp.
mendapat kompensasi dari pemerintah berupa ganti rugi. Selain Dinas Peternakan,
pengujian tentang kasus Brucellosis juga dilakukan oleh Balai Penelitian
Veteriner kota Bogor dan Wates Yogyakarta.
Selain Brucellosis kasus yang sering muncul pada ternak di wilayah
Cisarua adalah cacingan, E.coli, dan Salmonella. Hal ini berdampak pada
produksi susu oleh ternak yang kurang baik. Selain itu di duga dari kasus infeksi
tersebut akan berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas susu terutama pada
prodak olahannya.
Pada produk susu dari KUD Giri Tani mendapat toleransi terhadap jumlah
mikroba dalam susu dari para industri-industri pengolahan susu sebesar kurang
dari 1.000.000. Pihak KUD menghargai susu dari peternak sebesar Rp 2.800 per
liter. Susu dari peternak sementara akan ditampung oleh KUD yang kemudian di
saring dan didinginkan sampai suhu 2˚C. Susu sampai pada industri-industri
pengolahan susu biasanya pada suhu 5-7 ˚C dan sanggup bertahan sampai 12 jam.
5.2. Profil Peternak Sapi Perah di Kecamatan Cisarua
Profil peternak yang diamati meliputi tingkat pendidikan, tujuan beternak,
pengalaman beternak, pengetahuan peternak tentang kesehatan ternak secara
umum. Informasi tersebut diperoleh melalui wawancara langsung dengan peternak
menggunakan panduan kuesioner dan dengan pengurus koperasi setempat.
Tabel 1. Karakteristik Peternak
No Peternak Pendidikan terakhir
Pengalaman beternak
Tujuan beternak
Pemahaman tentang
kesehatan ternak1. Deden SD 5-10 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 2. Eman SD 1-5 tahun Usaha sambilan Turun temurun 3. Nafis SD 5-10 tahun Usaha pokok Belajar sendiri 4. Tuti SMA > 10 tahun Usaha pokok Pendidikan formal5. Nunung SD 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 6. Djamaluddin SMP 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 7. Apip SD 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 8. Hasan SMA 5-10 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 9. Adang SD 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 10. Heru PT 5-10 tahun Usaha sambilan Pendidikan formal11. Apit munawih SMP 1-5 tahun Usaha pokok Turun temurun 12. H. Enjen SMA 5-10 tahun Usaha sambilan Dinas Peternakan 13. Jeri SD 1-5 tahun Usaha pokok Belajar sendiri 14. Gugun SD 1-5 tahun Usaha pokok Turun temurun 15. H. Jaji SMP 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 16. Samin Solihat SMA 1-5 tahun Usaha pokok Dinas Peternakan 17. Pepen Munawih SD 1-5 tahun Usaha sambilan Belajar sendidri
Sistem pemeliharaan sapi perah di wilayah Kecamatan Cisarua umumnya
dilakukan secara intensif dalam kandang dengan alas kandang terbuat dari semen.
Namun, kondisi alas tersebut bervariasi, ada yang kondisi baik yaitu rata dan kuat
dan ada yang kurang baik. Sumber bibit ternak diperoleh dari daerah setempat
atau dari luar. Luar daerah setempat bibit diperoleh dari Sukabumi, Jawa Tengah,
dan Jawa Timur. Sumber pakan ternak terutama hijauan diperoleh dari lahan
disekitar daerah setempat dan konsentrat berasal dari koperasi atau toko pakan
setempat. Sedangkan pakan yang berupa ampas tahu diperoleh dari produsen tahu
di Kabupaten Bogor. Status dan kepemilikan ternak bervariasi yaitu milik pribadi
ataupun sebagai pemelihara dengan populasi 1 ekor sampai 100 ekor dengan rata-
rata 10-15 ekor/peternak.
Tingkat pendidikan peternak bervariasi mulai dari sekolah dasar sampai
perguruan tinggi. Kondisi pendidikan ini sangat berpengaruh terhadap
kemampuan peternak dalam menerima dan memahami informasi yang
berhubungan dengan usaha peternaknya, khususnya yang berkaitan dengan
kesehatan hewan dan produksinya.
Tujuan peternak melakukan usaha beternak sapi perah ada dua, yaitu
sebagai usaha pokok dan usaha sambilan. Pengalaman beternak sapi umumnya
lebih dari dua tahun dan yang secara turun temurun. Tingkat pengetahuan dan
pemahaman peternak tentang kesehatan hewan dan produksinya bervariasi dari
tidak tahu sampai tingkat yang tergolong baik. Tingkat pengetahuan berhubungan
erat dengan tingkat pendidikan, pengalaman beternak, tujuan berusaha, dan aspek
pembinaan yang dilakukan oleh koperasi dan Dinas Peternak setempat, yang
mereka peroleh. Pengetahuan beternak diperoleh oleh peternak melalui Dinas
Peternakan, paramedik, turun temurun, belajar sendiri, dan dari peternak lain. Bila
mereka tidak mengetahui tentang kesehatan ternak mereka umumnya berdiam
diri, dan ada yang mencari tahu kepeternak lain atau ke Dinas Peternakan.
Peternak belum menempatkan pakan hewan pada tempat yang khusus,
baik itu pakan hijauan seperti rumput, ampas tahu, dan konsentrat. Untuk rumput
beberapa peternak menempatkannya begitu saja di tempat yang dikehendaki.
Begitupun juga pada ampas tahu, sebagian peternak bahkan meletakkannya begitu
saja atau di jalan masuk dan keluar area kandang. Rumput bahkan ada yang
diletakkan berdampingan dengan tumpukan feses sapi.
Kualitas air dibeberapa peternak kurang baik serta pakan rumput tercecer
di lantai kandang yang kemungkinan besar bercampur dengan feses. Semua
kondisi tersebut dapat menularkan agen penyakit yang terdapat dilingkungan dan
kotoran sapi dan manusia ke sapi melalui pakan atau air yang diberikan. Peternak
mungkin beranggapan bahwa sapi tidak perlu diberikan pakan dan air minum
yang bersih seperti manusia. Anggapan ini harus diubah sehingga sapi yang
dipelihara oleh peternak akan bebas dari ancaman atau resiko terkena penyakit
dan dapat ditularkan melalui pakan dan air minum.
Gambar 1 Kondisi kandang pemeliharaan sapi disalah satu lokasi yang berdampingan dengan tempat pembuangan feses manusia/WC (kiri atas) dan kualitas air yang digunakan terlihat di dalam bak (kanan bawah) di samping WC (kanan atas). Kondisi tersebut memungkinkan resiko sapi tertular agen penyakit asal manusia dan dapat menularkan ke sapi lain.
Gambar 2 Tempat meletakkan pakan sapi di beberapa lokasi peternakan di Kecamatan Cisarua. Pakan diletakkan belum pada tempatnya terutama pakan asal limbah tahu dan rumput (hijauan), sedangkan untuk konsentrat sudah diletakkan dalam ruang tertutup tetapi kebersihan tempat masih belum diperhatikan karena masih terdapat feses di sekitar tempat penampungan tersebut.
Gambar 3 Kondisi kandang yang sanitasinya tidak baik. Sapi terlihat memakan rumput yang berserakan di lantai kandang yang berlantai tanah dan kemungkinan terkontaminasi oleh feses dan urin (kanan bawah). Pada gambar kiri atas menujukan sapi pedet yang pakan bercampur dengan pakan yang kemungkinan terlah terkontaminasi oleh mikroba. Pada kanan atas merupakan salah satu kondisi kandang yang baik dimana kandang beralaskan bahan yang terbuat dari bahan karet.
Gambar 4 Kondisi di lokasi KUD Giri Tani pada saat penampungan susu. Panampung susu dan pendingin di KUD (kiri bawah) dan alat pengelolaan susu di KUD (kiri atas). Kanan bawah merupakan alat untuk membawah susu ke industri pengelola susu. Kiri atas merupakan alat penyaring dari peternak sebelum didinginkan.
5.3. Pengetahuan dan Persepsi Peternak tentang Brucellosis
Persepsi peternak dan pengurus koperasi tentang Brucellosis dan
pengujiannya secara umum tergolong kurang baik. Hal ini berkaitan dengan
tindakan yang akan dilakukan seandainya pengujian serologik terhadap
Brucellosis ditemukan positif. Sebagian besar peternak telah mengetahui tentang
nama Brucellosis pada sapi perah. Namun, bagaimana menanganinya merupakan
hal yang masih perlu dilakukan pembinaan. Penanganan tidak hanya sekedar
vaksinasi dan penggantian hewan. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari
peternak, pengurus koperasi, dan paramedik, kegiatan yang berhubungan dengan
Brucellosis merupakan hal yang sensitif dikalangan peternak. Kegiatan
pengendalian Brucellosis sebelumnya pernah dilakukan yaitu test and slaughter
yang dilakukan pemerintah yang dalam hal ini adalah Dinas Peternakan. Hewan
yang positif dalam pengujian diperintahkan untuk dipotong, namun penggantian
yang diperoleh peternak tidak memadai. Hal ini membuat peternak dan pengurus
koperasi kecewa.
Gambar 5 Sapi yang mengalami kelainan fisik pada salah satu lokasi peternakan yang terlihat saat pemantauan. Pemahaman peternak tentang kesehatan sapi yang tidak memadai menyebabkan sapi yang mengalami kelainan fisik tersebut tetap dipelihara. Sapi terlihat seperti bunting namun, pada kenyataan sapi tidak bunting. Sapi tetap dipelihara karena masih menghasilkan susu, keadaan ini sudah berlangsung beberapa bulan.
Tabel 2. Persepsi Peternak tentang Brucellosis
No Peternak Pengetahuan Brucellosis
Program vaksisasi Waktu vaksin Jumlah
ternak 1. Deden Ya Ya Juni-Juli 10 ekor 2. Eman Ya Ya Juni-Juli 3 ekor 3. Nafis Ya Ya Juni-Juli 9 ekor 4. Tuti Ya Ya Juni-Juli 50 ekor 5. Nunung Tidak Ya Juni-Juli 4 ekor 6. Djamaluddin Ya Ya Juni-Juli 15 ekor 7. Apip Tidak Ya Juni-Juli 12 ekor 8. Hasan Ya Ya Juni-Juli 10 ekor 9. Adang Tidak Ya Juni-Juli 3 ekor 10. Heru Ya Ya Juni-Juli 20 ekor 11. Apit munawih Ya Ya Juni-Juli 3 ekor 12. H. Enjen Ya Ya Juni-Juli 2 ekor 13. Jeri Tidak Ya Juni-Juli 6 ekor 14. Gugun Ya Ya Juni-Juli 9 ekor 15. H. Jaji Ya Ya Juni-Juli 2 ekor 16. Samin Solihat Ya Ya Juni-Juli 7 ekor 17. Pepen M Tidak Ya Juni-Juli 6 ekor
5.4. Hasil Pengambilan Spesimen dan Pemeriksaan Serologik Brucellosis
Pada awalnya, spesimen yang direncanakan untuk diambil guna
pemeriksaan serologik Brucellosis adalah darah dan susu sapi. Namun, setelah
kunjungan ke lapangan ada perubahan sehingga spesimen yang diambil hanyalah
susu. Pengambilan spesimen darah kurang disetujui oleh pengurus koperasi
dengan alasan bahwa peternak ”trauma”`dengan kasus di masa lalu bahwa hewan
mereka ”terpaksa ” dipotong karena positif Brucellosis. Dengan demikian, mereka
berpendapat bahwa pengujian Brucellosis tidak begitu besar manfaatnya bila tidak
ada tindakan lanjutannya, yaitu bagaimana penanggulangan bagi sapi perah yang
positif Brucellosis. Kalau sapi positif Brucellosis harus dipotong, dana
penggantian harus memadai sehingga dapat digunakan untuk membeli sapi
kembali atau langsung diganti dengan sapi. Berdasarkan hal tersebut, spesimen
yang diambil adalah susu sapi. Susu yang diambil adalah kriteria susu kandang
dan susu individu yang dikumpulkan di koperasi, yaitu susu yang dikumpulkan
dari kandang seorang peternak dari beberapa ekor sapi yang akan yang akan
disetorkan ke koperasi. Pengambilan spesimen susu dilakukan pada penyetoran
sore hari.
Gambar 6. Kondisi pengumpulan susu oleh pihak KUD Giri Tani. Susu dikumpulkan dengan menjemput langsung pada peternak dengan mobil (kiri atas dan kiri bawah) dibeberapa pos-pos yang telah disepakati sebelumnya. Selain itu, beberapa peternak yang lokasinya tidak jauh mengantarkan langsung ke KUD (kanan bawah). Pihak KUD juga menjaga higine susu untuk menekan kontaminasi dari mikroba dengan membersihkan tempat-tempat penampungan susu dari peternak (kanan atas).
Spesimen susu yang diambil kemudian diperiksa secara serologik dengan
metode Milk Ring Test (MRT). Hasil dapat dilihat pada Tabel 3. hasil screening
dengan MRT menunjukkan bahwa sebagian besar kandang yang susu sapinya
diserahkan pada hari pengambilan spesimen menunjukan positif Brucellosis. Hal
ini mengindikasikan bahwa hampir semua kandang sapi yang susunya diperiksa
ada sapi perah yang positif Brucellosis. Mengenai berapa jumlah hewan yang
positif perlu dilakukan uji selanjutnya yang bersifat konfirmatif.
Tabel 3. Hasil pengujian sampel dengan milk ring test (Volume susu : 10 ml)
No Pemilik Jenis susu Hasil uji MRT
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35
Jajang Yani Hamdan Junaidi harun Abdulah safei Ading H. Dama Mintarsih Adang H. Enjen Tatang ujang Apit munawih Hasan Hasan apandi H. Jaji Pepen munawih Munawar Nunung Samin solihat Bambang Mamduh Didin Deden Firman. H. Mahdi H. Oleh H. Rebo Sunarto Nyai Anah Yayan Esih Anda Maman Eko Hariyanto H. Makim Djamaluddin Tuti hasanah
Individu Individu Kelompok (3 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (6 ekor) Individu Kelompok (5 ekor) Kelompok (3 ekor) Individu Kelompok (2 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (3 ekor) Kelompok (10 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (4 ekor) Individu Kelompok (3 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (3 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (5 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (9 ekor) Kelompok (3 ekor) Kelompok (3 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (4 ekor) Kelompok (2 ekor) Kelompok (11 ekor) Individu
+ Dubius
+ +
Dubius + + +
Dubius + + + + + + + + + + + + + + + + + + + - +
Dubius + + + -
Keterangan : Perlakuan yang dilakukan dengan mereaksikan antara antigen Brucella dengan sampel susu setelah diinkubasi selama 2 jam. Hasil positif (+) ditunjukan dengan terbentuknya cincin ungu pada permukaan tabung reaksi dan hasil negatif sampel cenderung homogen.
Pada uji Milk Ring Test diperoleh dua sampel yang menujukkan reaksi
negatif dan empat sampel menunjukan reaksi dubius, sedangkan sampel yang lain
menunjukan reaksi positif. Pada proses pembacaan hasil ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi pembacaan hasil seperi guncangan yang berlebihan sehingga
gelembung krim yang akan bereaksi dengan antigen Brucella tidak terbentuk pada
permukaan tabung berupa cincin biru/ungu. Untuk penegasan uji pertama
dilakukan uji Milk Ring Tets kedua terutama pada hasil yang dubius dengan
pembanding menggunakan sampel posif pada uji pertama (kontrol positif) dan
susu komersil (kontrol negatif). Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel dua. Pada
uji MRT kedua diperoleh dua hasil negatif (Pak Maman dan Pak Abdul) dan dua
hasil positif (Pak Adang dan Bu Yani). Hasil pengujian dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil pengujian kedua dengan Milk Ring Test
No Sampel Hasil Uji MRT 1. Hasil dubius
• Pak Maman • Pak Abdulah • Pak Adang • Bu Yani
- - + +
2. Positif Uji MRT • Pak Junaedi • Pak Eko • Pak Apit • Pak Dedeh
+ + + +
3. Kontrol negatif (susu komersil) • Real good • Milk kuat • Susu Bogor
- - -
Keterangan : Pada pengujian pertama ditemukan ada beberapa sampel yang menunjukan hasil dubius yang kemudian dilakukan pengujian kembali dengan pembanding hasil positif pada uji MRT pertama dan kontrol negatif berupa susu komersil.
Kesulitan yang dihadapi untuk menganalisis hasil uji adalah tidak adanya
catatan yang jelas tentang sapi mana saja yang telah divaksinasi (recording) dan
kapan tanggal divakasinasi. Hasil positif menunjukan bahwa di kandang tempat
asal susu yang diperiksa ada sapi yang diduga positif terinfeksi Brucellosis. Untuk
menentukan sapi mana yang terinfeksi perlu diperiksa lebih lanjut dengan uji
konfirmatif dari setiap sapi laktasi maupun tidak laktasi. Sapi tidak laktasi
diperiksa untuk mengetahui apakah sudah terjadi penularan apabila memang
ditempatkan pada satu kandang dengan sapi laktasi.
Uji MRT yang dilakukan pada spesimen susu kandang (bulk milk)
merupakan uji yang efektif untuk screening dan pemantauan Brucellosis pada sapi
perah, tetapi bila kelompok sapi dalam satu kandang terlalu besar kurang bisa
diandalkan. Penting diingat tidak ada uji serologik tunggal yang sesuai untuk
kondisi lapangan. Oleh karena itu, spesimen yang bereaksi positif dalam uji
sreening, harus dikonfirmasi dengan uji konfirmatif.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus koperasi dan beberapa
peternak, kasus aborsi pada sapi yang bunting ada yang terjadi di lapangan.
Namun, jumlah tepatnya tidak ada catatan yang memadai, begitu juga dengan
umur kebuntingan ketika terjadi aborsi. Sapi yang juga mengalami inseminasi
ulang juga tidak sedikit.
Brucellosis umumnya bersifat asimtomatik pada hewan betina yang
bunting. Setelah infeksi oleh Brucella abortus dan Brucella militensis, sapi betina
bunting akan mengalami placentitis yang biasanya mengalami aborsi antara bulan
kelima dan bulan kesembilan kebuntingan. Dalam ketiadaan aborsi, ekskresi
bakteri terjadi dalam placenta, cairan placenta dan vaginal discharges (cairan
vagina). Kelenjar ambing dan limfonodi yang berhubungan mungkin juga
terinfeksi dan bakteri mungkin diekskresikan dalam susu. Susu yang berasal dari
sapi yang terinfeksi dan mengandung bakteri akan berpotensi menjadi sumber
infeksi bila diberikan ke pedet atau sapi lain, bahkan mungkin untuk infeksi
manusia (Naim dan Hidayat 2007).
Seleksi bibit sapi perah seharusnya selalu dilakukan untuk mengurangi
jumlah kasus Brucellosis. Bibit atau sapi yang baru dibeli sebaiknya di uji terlebih
dahulu, atau ada sertifikat yang menyatakan negatif Brucellosis. Hewan yang baru
didatangkan dari luar kandang atau area setempat harus ditempatkan pada
kandang khusus yang terpisah atau ”kandang/area karantina” sebelum disatukan
dengan hewan yang ada. Kemudian dilakukan pemeriksaan untuk memastikan
hewan tersebut tidak positif Brucellosis atau penyakit lain. Perpindahan hewan
dari satu kandang ke kandang lain seharusnya dilakukan dengan pengawasan
tenaga kesehatan hewan. Hal ini untuk mencegah terjadinya penularan penyakit
akibat perpindahan hewan tersebut.
Gambar 7. Sampel susu yang telah diambil dari daerah peternakan yang disimpan dalam kantung palasik, kemudian disimpan dalam lemari es yang kemudian di uji dengan Milk Ring Test (MRT)
Gambar 8. Pemariksaan serologik spesimen susu kandang terhadap Brucellosis dengan Milk Ring Test (MRT). Hasil uji terlihat pada tiga tabung pertama. Tabung sebelah kiri menunjukan reaksi dubius, negatif dan positif (terlihat ring berwarna biru di bagian atas)dari spesimen susu yang diperoleh dilapangan. Gambar berikutnya meruopakan hasil pemeriksaan.
Gambar 9. Hasil pemeriksaan kedua dengan uji Milk Ring Test /MRT (kiri atas) dengan dua hasil positif dan dua hasil negatif (kanan atas) dengan mengunakan pembanding (kontrol negati) susu komersil (gambar bawah).
5.5. Hasil Pemeriksaan Bakteriologik Susu
Selain pemeriksaan serologik untuk kasus Brucellosis, spesimen susu yang
diperoleh juga dilakukan pemeriksaan terhadap keberadaan bakteri Brucella sp.
dan kemungkinan adanya bakteri patogen yang ada di dalamnya. Pemeriksaan ini
dilakukan berdasarkan kunjungan ke lapangan dan hasil wawancara dengan
pengurus koperasi dan beberapa peternak. Mereka menyatakan bahwa kualitas
mikrobiologik susu mereka masih rendah, terutama dalam hal jumlah mikroba
yang terkandung didalamnya. Pemeriksaan ini bertujuan untuk mengetahui ada
tidaknya bakteri Gram negatif patogen dalam susu. Hasil pemeriksaan
memperlihatkan bahwa sampling susu selain telihat adanya bakteri Brucella sp.
dalam susu juga mengandung E. coli.
Keberadaan E. coli dalam susu dapat mengakibatkan dua hal. Pertama,
menggambarkan pemahaman peternak tentang kesehatan lingkungan sapi yang
kurang baik, cara pemerahan yang tidak higienis, dan cara membawa susu ke
koperasi. Kedua, menunjukkan adanya resiko kemungkinan untuk menderita
penyakit diare yang diakibatkan oleh E. coli, baik untuk manusianya yang akan
mengkonsumsi susu bila tidak dimasak sempurna maupun terhadap pedet yang
diberikan susu terkontaminasi tersebut. Pedet yang mengalami diare akibat E. coli
dapat mengalami kematian dan hal ini akan menyebabkan kerugian bagi peternak
(Naim dan Hidayat 2007).
Kualitas susu sangat dipengaruhi oleh kondisi sanitasi lingkungan kandang
sapi, cara perawatan sapi, kondisi sapi, cara pemerahan dan cara pengelolaan susu
mulai dari diperah sampai dibawa ke koperasi. Kualitas meliputi cita rasa dan
aroma susu, kandungan bakteri, sifat fisik dan kimiawi. Sapi perah yang sehat
dengan ambing yang sehat akan memproduksi susu dengan kandungan mikroba
sedikit. Sapi perah atau ambing yang sakit akan mengakibatkan susu mengandung
mikroba dalam jumlah yang banyak.
Pemahaman peternak tentang produk yang higenis belum memadai. Faktor
yang sangat berpengaruh terhadap jumlah mikroba yang teramati ketika
pengambilan spesimen susu untuk pemeriksaan adalah cara membawa susu ke
koperasi yang tidak tepat. Hal ini bisa dilihat pada gambar 6, berbagai cara dan
alat pembawa yang digunakan, terlihat beberapa peternak membawa susunya
dengan tempat seadanya, tidak pada tempat yang sesuai seperti milk can.
Peternakan membawanya dengan ember bahkan tidak tertutup, adanya yang
membawanya seperti bekas tempat cat, ada yang membawa dengan milk can,
tetapi tidak tertutup, bahkan adanya yang menutupnya dengan plastik bekas, ada
yang sudah berkarat. Kondisi yang tidak tertutup ini teramati ketika turun hujan
maupun tidak turun hujan.
Cara pemerahan yang tidak higienis dapat dilihat pada gambar 10, terlihat
peternak memerah terkadang sambil memegang sapu untuk memukul lalat atau
serangga. Tangan peternak yang memerah tersebut akan terkontaminasi dengan
gagang sapu yang kotor, karena diletakan di lantai yang terlihat basah dengan air
bercampur kotoran sapi. Kemudian ia memerah kembali, tangan yang kotor
tersebut akan mengkontaminasi ambing dan susu sapi yang diperoleh setelah
pemerahan. Sehingga merugikan karena mengkontaminasi semua susu sapi yang
diperoleh dari kandang tersebut.
Gambar 10. Cara pemerahan yang kurang higienis oleh peternak dan persiapan sapi sebelum diperah.
Gambar 11. Biakan bakteri pada media agar Brucella sp. warna putih menujukkan bakteri yang diduga Brucella sp. (bawah) dan warna kuning merupakan bakeri kotaminan yang juga berasal dari Gram negatif.
Berdasarkan hasil positif uji MRT dilakukan uji kembali untuk
mempertegas yaitu dengan pembiakan pada media agar. Bakteri Brucella sp. yang
ada pada spesimen sering dalam jumlah yang sangat kecil, sehingga
membutuhkan teknik pemupukan tertentu yaitu dengan menambah jumlah media
pupukan agar peluang mengisolasi Brucella sp. lebih besar, misalnya, dengan
menggunakan selective bi-phasic medium, satu atau lebih selective media agar
plate (media padat) dan broth (media cair). Biasanya separuh dari spesimen cukup
untuk awal pemupukan, separuhnya lagi disimpan dalam tempat beku < -20˚C
sebagai cadangan bila terjadi kontamonsi yang berlebihan. Daya hidup sel
Brucella dapat dijaga dalam jaringan yang belum diproses pada temperature beku
(Anonimus 2004).
5.6. Hasil Identifikasi Bakteri dengan Pewarnaan Gram
Bakteri ini sulit untuk diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya
sebab tidak bisa mengabsorbsi cahaya sehingga dibutuhkan zat warna untuk
mengabsorbsinya. Pemakaian zat warna dapat mempermudah pengamatan tubuh,
susunan sel, sifat Gram dan stuktur sel lainnya. Pewarnaan yang digunakan untuk
membedakan organisme disebut dengan pewarnaan deferensial
Salah satu contoh dari pewarnaan deferensial yaitu pewarnaan Ziehl–
Nellsen yang membedakan bakteri menjadi kelompok tahan asam dan tidak tahan
asam. Selain itu, ada pewarnaan deferensial lain yaitu pewarnaan Gram yang
membedakan bakteri Gram positf dan bakteri Gram negatif. Zat warna yang
digunakan pada pewarnaan ini bersifat asam atau basa, jika bermuatan negatif
maka zat warna bersifat asam sedangkan bermuatan positif maka zat warna
bersifat basa. Pada kegiatan penelitian ini, pewarnaan yang digunakan adalah
pewarnaan Gram yang sebelumnya dilakukan pembuatan preparat ulas dari media
padat.
Table 5 . Tahapan pewarnaan Gram (Anonimons, 2004)
Jenis larutan Gram positif Gram negatif
Kristal violet Larutan lugol Larutan pemucat Safranin (karbol fuksin)
Ungu Ungu Ungu Ungu
Ungu Ungu Tidak berwarna Merah
Berdasarkan hasil pengamatan bakteri dengan melakukan pewarnaan
Gram diperoleh hasil bahwa Brucella sp. merupakan bakteri Gram negatif yang
menyerap warna merah dari safranin (bersifat asam) dan berbentuk batang, tidak
bergerak, dan tidak berspora.
Gambar 12. Hasil biakan bakter yang diwarnai dengan pewarnaan Gram, bakteri yang ditemukan dalm jumlah yang tidak banyak yang berbentuk barang, bergerombol dan berwarna merah (bawah). Gambar atas merupakan kontrol
Pada preparat ulas spesimen yang diwarnai dengan modifikasi acid-fast,
bakteri Brucella sp. akan terlihat berwarna merah dengan latar belakang biru,
sedangkan bila diwarnai dengan modifikasi Koster΄s akan berwarna orange
kemerahan dengan latar belakang biru tua. Dari hasil pemeriksaan secara
bakteriologik sebelum melakukan/dikirim ke referensi laboratorium untuk typing
biasanya dilakukan prosedur sebagai berikut (Alton et al. 1988) :
1. Bentuk koloni : kecil dan halus dengan tepi rata, bulat, jernih
dengan warna agak kehijau-hijauan atau seperti warna madu.
2. Dengan pewarnaan Gram : Gram negatif, berpasangan atau
bergerombol.
3. Agar darah : bila ada hemolisis berarti bukan dari genus Brucella.
4. Mac Conceýs agar : jarang tumbuh, mungkin ada beberapa strain
yang tumbuh dan terjadi fermentasi laktosa dinyatakan bukan
genus Brucella.
5. Uji biokimia dan sifat lainnya : non-motil, indol negatif, oxidase
positif, catalase positif, urea positif (umumnya B. abortus positif
dalam 1-2 jam), mereduksi nitrat, citrate negatif. Tidak tumbuh
atau kurang tumbuh bila disubkultur pada inkubasi biasa tanpa CO2
(beberapa strain mungkin bersifat aerotolerant, seperti S19)
Hewan yang terinfeksi cenderung tinggal sebagai carier yang menahun dan
sebagian besar hidupnya dengan ekskresi melalui air susu dan cairan vagina,
walaupun mungkin anaknya keluar normal. Infeksi pada manusia umumnya
terjadi melalui air susu yang diminum mentah atau bahan makanan berasal dari air
susu atau karena menangani ternak yang terinfeksi, terutama selama masa
melahirkan dan sewaktu membersihkan bahan yang keluar sewaktu melahirkan.
Bab V
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan Berdasarkan hasil pengujian, pengamatan lapangan dan wawancara dari
kegiatan ini, maka dapat disimpulkan beberapa hal, yaitu: 1. Brucellosis masih menjadi masalah dalam peternakan sapi perah di
wilayah Kecamatan Cisarua–Bogor.
2. Pemahaman peternak tentang kesehatan sapi perah dan produksinya masih
rendah.
3. Sistem manajemen kesehatan hewan belum memadai
4. Peternak dan pengurus koperasi berharap adanya pembinaan dalam
manajemen kesehatan sapi perah dan produksinya.
Saran
Berdasarkan hasil dari pemeriksaan spesimen terhadap kasus Brucellosis dan kualitas mikrobiologik susu serta hasil kunjungan dan wawancara di wilayah tersebut, maka perlu adanya tindak lanjut tentang hasil screening kasus Brucellosis. Kegiatan yang sangat dibutuhkan oleh pihak peternak dan pengurus koperasi sapi perah meliputi:
1. Melakukan uji konfirmatif untuk menentukan individu sapi yang
positif Brucellosis.
2. Melakukan pembinaan pada peternak untuk :
• Mencegah dan menanggulangi kasus Brucellosis secara nyata
• Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan peternak untuk
menyeleksi bibit sapi perah, dan
• Meningkatkan pemahaman dan pengetahuan tentang
manajemen kesehatan sapi perah dan produksinya.
• Adanya suatu pihak yang mengontrol jalur transportasi hewan
baik masuk maupun keluar dari lokasi peternakan sebagai
usaha pencegahan awal.
DAFTAR PUSTAKA
Akoso BT. 2002. Zoonosis Strategis Antrax dan Brucellosis, Dampak dan
Polemik yang Timbul di Masyarakat. Makalah Seminar. Diskusi Nasional Langkah – langkah Preventif dalam Mengatasi Peluang Kemunculan Penyakit Zoonosis Strategis. Bogor, 31 Oktober 2002.
Alton, G.G, Jones, L.M, Angus, R.D, and Verger, J.M. 1988. Technique in the
Brucellosis Laboratori. Institute National de la Recherche Agronomique. Paris.
Anonimons. 2004. Bakteriologi-Isolasi dan Identifikasi Primer. BALITVET.
Bogor. Anonimons. 1998. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Hewan di Indonesia Tahun
1998. Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta. Blood DC, OM Radostitis. 1989. Veterinari Medicine hlm 677-690. Bailliere
Tindall, London. England. Direktorat Jendral Peternakan. 1983. Laporan Tahunan Hasil Penyidikan Penyakit
Hewan di Indonesia. Direktorat Bina Kesehatan Hewan, Direktorat Jendral Peternakan, Jakarta.
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2002. Pedoman Gerakan
Penanggulangan Brucellosis pada Sapi Perah di Kabupaten Bogor Tahun 2002. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Bogor.
Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor. 2002. Laporan Pelaksanaan
Pemberantasan Brucellosis di Kabupaten Bogor Tahun 2002. Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Bogor, Bogor.
Departemen Koperasi RI. 1998. Pedoman Pembinaan dan Pengembangan
Koperasi Unit Desa (KUD) Mandiri, Jakarta. Edelsten RM. 1990. Diseases Caused by Bacteria. didalam: Sewell MMH dan
Brocklesby DW, editor. Handbook on Animal Disease in The Tropics. Ed ke-4. London: Baillere – Tindall. hlm 41 – 44.
Edilius SE dan Sudarsono. 1993. Koperasi Dalam Teori Dan Praktik. PT Rineka
Cipta, Jakarta. Hendrojogi. 2002. Koperasi Azas-Azas, Teori dan Praktek. Rajawali Pers, Jakarta. Jawetz E, Melnick JL dan Adelberg EA. 1980. Review of Medical Microbiology.
Lange Medical Publications, Los Altos.
Maria G. 2005. Technical Report. Australian Veterinari Journal, Vol. 53. p. 394-400.
Morgan, B. 1978. Brucellosis Diagnosis Standard Laboratory Techniques. C.V.L.
New. Mon. Weybridge. Snareey. Naim, R dan R, Hidayat. 2007. Pemantauan Kesehatan Sapi Perah dan Produknya
di Kabupaten Bogor dan Sukabumi: Pemeriksaan Serologik Brucellosis. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Pasaribu FH. 2007. Diktat Kuliah Penyakit Infeksius. Fakultas Kebokteran
Hewan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ressang AA. 1984. Patologi Khusus Veteriner. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rompis ALT. 2002. Epidemiologi Brucellosis Sapi di Indonesia. Jurnal Veteriner
3 (4) : 155 – 163. Setiawan, E. 1992. Studi Tentang Beberapa Sifat Biologik Brucella abortus Isolat
Lapang (Disertasi). IPB, Bogor. Subronto. 1995. Ilmu Penyakit Ternak. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Sudrajat S. 2000. Strategi Peningkatan Ketahanan Pangan Nasional Bidang
Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Didalam: Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor 16 - 17 September 2000. Jakarta: Pusat Penerangan dan Pembangunan Ternak.
Wilcocks dan Manson – Bahr. 1984. Manson΄s Topical Diseases. Bailliere –
Tindal, London.