kebijakan pemerintahan megawati soekarno putri tentang...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN PEMERINTAHAN
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TENTANG
TERORISME
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
OLEH: M. THOIYIBI
NIM: 1010 3322 1795
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
KEBIJAKAN PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
TENTANG TERORISME
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
M. Thoiyibi 101033221795
Di Bawah Bimbingan
Dra. Haniah Hanafie, M.Si. NIP:150 299 932
PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1429 H/2008 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Sripsi ini berjudul “KEBIJAKAN PEMERINTAHAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TENTANG TERORISME” telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 31 Maret 2008. skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 31 Maret 2008
Sidang Munaqosyah,
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Dra. Hermawati, M.A Dra. Wiwik Siti Sajaroh, M.Ag NIP:150 227 408 NIP:150 270 808
Anggota,
Drs. Agus Nugraha, M.Si Nawiruddin, M.A NIP:150 299 478 NIP:150 317 965
Dra. Haniah Hanafie, M.Si. NIP:150 299 932
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat yang telah diberikan
kepada penulis, sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan
sebaik-baiknya. Sholawat dan salam selalu penulis haturkan kepada sang
pembawa risalah kebenaran yang sempurna Nabi Muhammad SAW, juga sebagai
revolusioner sejati dalam sejarah dunia yang hasilnya masih dinikmati sepanjang
zaman.
Alhamdulillah, selalu penulis ucapkan, karena salah satu syarat untuk
mendapatkan gelar sarjana strata satu (S-I) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
seorang mahasiswa wajib mengerjakan tugas akhir yaitu dengan membuat karya
ilmiah (skripsi) sesuai dengan kemampuannya masing-masing, dan penulis sudah
menyelesaikan dengan baik walaupun banyak kekurangannya.
Dengan penuh kesadaran, penulisan skripsi ini tidaklah dapat terselesaikan
oleh penulis sendiri, akan tetapi berkat do’a, dukungan, masukan, motivasi dan
bantuan dari kawan-kawan, ibu pembimbing dan kedua orang tua penulis yang
selalu mendorong dan memaksa penulis untuk menyelesaikan tugas skripsi ini,
oleh karnanya tanpa bantuan mereka semuanya, apalah arti seorang penulis.
Untuk itu penulis mengucapkan banyak terima kasih dan penghargaan yang tak
terhingga kepada semua pihak terutama antara lain:
1. Dr. Amin Nurdin, MA., Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Drs. Agus Darmaji, M.Fils. dan Dra.
Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag., selaku ketua dan sekretaris jurusan
Pemikiran Politik Islam yang senantiasa siap dan sabar melayani
penulis dalam setiap urusan administrasi dan akademik. Dan segenap
dosen jurusan Pemikiran Politik Islam, Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah banyak
memberikan motifasi dan bimbingan berupa ilmu selama penulis
menjalankan studi di kampus tercinta.
2. Dra. Haniah Hanafie, M.Si., selaku dosen pembimbing yang baik dan
sabar, meskipun di tengah-tengah kesibukannya yang padat, beliau
tetap selalu melayani penulis, tidak pernah mengeluh dan selalu
memberikan bimbingan, masukan, referensi dan motivasi, sehingga
penulis bisa mengerjakan tugas akhir ini dengan baik.
3. Ayahanda Zainuddin Abbas MT dan Ibunda Siti Aisyah yang sangat
penulis cintai, serta kakanda dan adinda. Berkat kasih sayang,
perjuangan, pengorbanan, tanggung jawab dan do’a yang tulus kalian,
sehingga penulis mampu melanjutkan pendidikan sampai perguruan
tinggi di ibu kota Indonesia, tidak mudah bagi seorang penulis sebagai
orang kampung dan anak seorang petani untuk mengadu nasib di kota
besar ini, namun penulis merasa sangat beruntung bilamana bisa
melanjutkan studi di ibu kota Indonesia ini, itu semua adalah berkat
dukungan kalian. Sebagai wujud, terima kasih dan bakti kepada kalian,
penulis hanya bisa mempersembahkan skripsi ini kepada kalian,
namun penulis akan berusaha memberikan yang terbaik buat kalian
semua, semoga Allah SWT membalas amal baik, dan dijadikan amal
sholeh kalian di hari kelak nanti amin.
4. Teman-teman, kakak-kakak dan abang-abang penulis: di SDN II
Sungai Manau, MTSN I Sungai Manau, MAN DR (Daarerrahman),
AMJ (Asrama Mahasiswa Jambi Jakarta), PERMAJA JAYA
(Persatuan Mahasiswa Jambi Jakarta Raya), PPI/A angkatan 2001-
2002 (Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta),
BMKJ (Badan Musyawarah Keluarga Jambi Jakarta) DPP KNPI
(Dewan Pimpinan Pusat Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan
PPPGDI
5. Seluruh pihak yang tidak penulis sebutkan dan cantumkan namanya
satu-persatu, maka tidak mengurangi rasa hormat penulis pada jasa
kalian semua, semoga amal baik kalian diterima disisi Allah SWT. dan
menjadi amal sholeh kalian amin.
Jakarta, 31 Maret 2008
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN
LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR..........................................................................................
i
DAFTAR ISI.........................................................................................................
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................
5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...................................................
5
D. Metode Penelitian .........................................................................
6
E. Sistematika Penulisan....................................................................
7
BAB II KONSEP DASAR TENTANG TERORISME
A. Pengertian Terorisme......................................................................
8
B. Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Terorisme di Indonesia......
14
BAB III KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TERHADAP
TERORISME
A. Pengertian Kebijakan..................................................................
21
B. Dasar Hukum Kebijakan Megawati Terhadap Terorisme...........
24
C. Penanganan Terorisme di Indonesia...........................................
36
BAB IV IMPLIKASI KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
DAN RESPON UMAT ISLAM
A. Implikasi Kibijakan Megawati Soekarnoputri.............................
41
B. Respon Umat Islam Terhadap Kebijakan Megawati.................... 50
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................ 54
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 58
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berawal dari tragedi 11 September yang sangat memilukan, hanya dalam
hitungan menit dua menara kembar World Trade Center (WTC) dan bangunan
penting Departemen Pertahanan Amerika Serikat (Pentagon) di Washington DC,
hancur total ditabrak oleh pesawat terbang komersial. Sulit dipastikan berapa
nyawa yang menjadi korban, namun bisa diperkiarakan korban mencapai 4.000
orang lebih1 dalam tragedi ini. Memang layak kalau tragedi ini dikatakan tragedi
nasional bagi Amerika Serikat.
Peristiwa 11 september 2001 ini, banyak memunculkan perubahan
paradigma tentang “keamanan dan ancaman nasional”, bagi negara-negara besar
di dunia khususnya Amerika Serikat dan sekutunya, peristiwa ini telah
memunculkan dua fenomena yang sangat mewarnai percaturan politik
internasional2. Pertama, makin meningkatnya ketegangan hubungan antara
Amerika Serikat dibawah George W. Bush dengan dunia Islam, dimana perang
melawan teroris sangat dirasakan mengarah kepada perang melawan Islam
fundamental. Ketegangan tersebut disebabkan penyerangan Amerika Serikat
terhadap dua negara yang berpenduduk mayoritas Islam, Afganistan dan Irak
sebagai pembalasan atas penyerangan WTC. Disamping itu Bush cenderung
menyamakan kelompok Islam fundamental dengan teroris. kedua, Bush juga tidak
1 Es. Soepriyadi, Ngruki & Jaringan Terorisme: Melacak Jejak Abu Bakar Ba’asyir dan
Jaringannya dari Gruki Sampai Bom Bali, (Jakarta: Almawardi Prima, 2003) h. 126 2 Riza Sihbudi, “Dimensi Internasional Teroris”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme
di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006), h.52
segan-segan memaksa penguasa yang di anggap sekutu untuk membasmi gerakan
atau kelompok fundamentalis di negara masing-masing. Akibatnya, di sejumlah
negara terjadi ketegangan antara penguasa yang sekuler dengan para aktivis Islam
seperti yang terjadi di Indonesia.
Dalam perang melawan terorisme, Amerika Serikat dan sekutunya
menginginkan perang melawan teroris ini tidak hanya menjadi perhatian mereka
akan tetapi menjadi permasalahan semua negara di dunia. Indonesia dalam hal ini
tidak luput dari bagian perang melawan teroris, walaupun Indonesia sering kali
dicap sebagai sarang terorisme di Asia.
Kebijakan nasional Indonesia memang harus dilakukan, karena sesuai
dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam pembukaan mengamanatkan bahwa
negara-negara berkewajiban untuk melindungi setiap warga negaranya dari setiap
ancaman kejahatan baik yang bersikap nasional, transnasional apalagi yang
bersifat internasional. Perang melawan teroris adalah kebutuhan yang mendesak
untuk melindungi warga negara Indonesia sesuai tujuan nasional yang
diamanatkan UUD 19453 tersebut.
Terorisme merupakan kejahatan luar biasa dan dapat digolongkan kedalam
kejahatan kemanusiaan, yang mengancam perdamaian dan keamanan nasional
maupun internasional, karenanya penanganan masalah ini memerlukan kerjasama
internasional. Memerangi terorisme dari sudut pandang internasional adalah
merupakan pelaksanaan komitmen Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-
Bangsa (DK PBB) yang mengutuk dan menyerukan seluruh negara anggota PBB
untuk mencegah dan memberantas terorisme. Walaupun kebijakan melawan
3 Ansyaad Mbai, “Memahami Aktivitas Terorisme”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006) h. 26
terorisme harus sesuai dengan kebijakan internasional, namun penerapannya oleh
Indonesia sudah barang tentu membutuhkan penyesuaian sesuai kondisi objektif.
Tepat setahun setelah peristiwa yang menghancurkan menara kembar
WTC, terjadi peledakan di Bali tanggal 12 Oktober 2003, kejadian inilah awal
malapetaka bagi umat Islam Indonesia, dimana pemerintahan Megawati
Soekarnoputri telah membuat kebijakan dalam bentuk Undang-Undang No. 16
tahun 2003 tentang pemberlakuan Perpu No. 1 tahun 2002 tentang pemberantasan
tindak pidana terorisme. Kemudian untuk mendukung itu, pemerintah Megawati
Soekarnoputri mengeluarkan Inpres No.5 tahun 2002 yang memberikan otoritas
kepada Badan Intelijen Negara (BIN) untuk mengkoordinasikan kegiatan Intelijen
dalam menangani masalah terorisme.
Namun kebijakan pemerintah yang diterapkan dalam Perpu dan UU ini
ibarat “pukat harimau” yang menjaring segala jenis ikan, binatang, bahkan kerang
laut. Yang ditangkap oleh UU pukat harimau ini bukan hanya orang-orang yang
benar-benar melakukan pengeboman seperti Amrozi, Imam Samudera, Mukhlas
dan lain-lain, melainkan menangkap aktivis mesjid, santri-santri dan ustad-ustad
(guru agama) yang tidak melakukan aktivitas terorisme sama sekali. Para
penceramah yang keras juga sejak adanya Perpu dan UU ini mulai di incar aparat
intelijen baik dari kepolisian maupun meliter.4 Target dari operasi intelijen ini
adalah aktivis yang menginginkan penerapan Syariat Islam di berbagai daerah.
Target selanjutnya adalah orang yang kritis terhadap pemerintah umpamanya
penangkapan terhadap Abu Bakar Ba’asyir dan Suripto serta alumni jihad Ambon
lainya.
4 Agung Pribadi, “Cuak” dalam Hidayatullah edisi November 2002
Namun, sepak terjang kebijakan yang berupa undang-undang ini berakhir
ketika Mahkamah Konstitusi mengabulkan Judicial Review (PK) yang diajukan
kuasa hukum Masykur Abdul Kadir salah seorang tertuduh dalam kasus bom Bali.
Alasan yang dipakai dalam pembatalan ini karena Undang-Undang ini
menerapkan Azaz Retroaktif, yakni asas yang berlaku surut dalam kasus Bom
Bali.5
Di tengah hantaman isu terorisme yang ditujukan kepada umat Islam,
akibat pemberlakukan undang-undang “pukat harimau” dan walaupun Undang-
Undang No. 16 Tahun 2003 ini telah dibatalkan MK, ada beberapa hal menarik
yang penting untuk di potret dan diteliti lebih jauh bagaimana sikap umat Islam
dalam penanganan terorisme di Indonesia, dan bagaimana implikasi dan respon
dari kebijakan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri yang secara historis dan
garis politik berbeda dan vis a vis dengan kalangan umat Islam. Berdasarkan
deskripsi di atas, penulis mencoba meneliti masalah tersebut dengan judul :
Kebijakan Pemerintahan Megawati Soekarnoputri Tentang Terorisme.
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah
5 Martimus Amin, ”Makamah Konstitus, Konstitusi dan Demokrasi” dalam Rudhy Suharto dkk. (Ed.) Terorisme, Perang Global dan Masa Depan Demokrasi ( Depok : Matapena 2004) h. 12
fokus Penelitian ini akan diarahkan untuk menjawab secara spesifik
pertanyaan dibawah ini :
1. Bagaimana sikap dan penangganan Pemerintah Megawati Soekarnoputri
terhadap Terorisme.
2. Bagaimana respon umat Islam terhadap kebijakan Megawati
Soekarnoputri dalam pemberantasan Terorisme di Indonesia.
C. Tujuan dan Kegunanaan Penelitian
Berdasarkan dua pertanyaan pokok diatas, maka penulisan skripsi ini
secara garis besar memiliki tujuan dan manfaat penelitian
1. Penelitian ini untuk memahami bagaimana sikap pemerintah pemerintahan
Megawati Soekarnoputri dalam penangganan Terorisme.
2. Untuk mengetahui respon umat Islam terhadap pemerintahan Megawati
Soekarnoputri dalam pemberantasan Terorisme di Indonesia.
3. Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu politik tentang
kebijakan politik dan memberikan sumbangsih bagi Program Studi (PPI)
di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah.
D. Metode Penelitian
Penelitian ini akan menganalisa tentang kebijakan pemerintahan Megawati
Soekarnoputri terhadap terorisme, jenis penelitian yang akan digunakan adalah
penelitian kualitatif, yakni mengetahui secara mendalam permasalahan yang
berkaitan dengan kebijakan pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam
menanggani permasalahan terorisme.
Teknik analisis data yang akan digunakan dalam penulisan skripsi ini
bersifat deskriptif-analisis yakni menggambarkan secara keseluruhan tentang
sikap dan penanganan Megawati Soekarnoputri dalam masalah terorisme di
Indonesia kemudian dianalisa apakah terdapat implikasi dari kebijakan Megawati
Soekarnoputri tentang terorisme dan bagaimana respon umat Islam yang terkena
imbas dari kebijakan tersebut.
Adapun teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah metode
dokumenter, yakni mengumpulkan data melalui dokumen-dokumen yang
berkaitan dengan masalah kebijakan Megawati tentang terorisme.
Sedangkan penulisannya berpedoman pada: Buku Pedoman Akademik
2006-2007 Fakultas Ushuludin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. Sistematika Penulisan
Secara umum penulisan skripsi ini akan dibuat lima bab, yang mengikuti
sistimatika sebagai berikut:
Bab Pertama adalah pendahuluan. Dalam bab ini akan membahas tentang
latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan
penelitian, metode penelitian pembahasan, sistimatika penulisan.
Bab Kedua ini menguraikan konsep dasar tentang terorisme, pengertian
terorisme dan sejarah kelahiran dan perkembangan terorisme di Indonesia.
Bab Ketiga membahas tentang kebijakan Megawati Soekarnoputri
terhadap terorisme, pengertian kebijakan, dasar hukum kebijakan megawati
terhadap terorisme, dan penangganan terorisme di Indonesia.
Bab Keempat membahas implikasi kebijakan Megawati Soekarnoputri dan
respon umat Islam. Akan diuraikan tentang implikasi kebijakan Megawati
Soekarnoputri dan respon umat Islam terhadap kebijakan Megawati.
Bab Kelima adalah penutup yang akan menarik kesimpulan dari uraian
secara keseluruhan dari uraian skripsi ini.
BAB II
KONSEP DASAR TENTANG TERORISME
A. Pengertian Terorisme
Kata “teroris” (pelaku) dan terorisme (aksi) berasal dari kata latin ‘terrere’
yang kurang lebih berarti membuat gemetar atau menggetarkan. Kata ‘Teror’ juga
bisa menimbulkan kengerian. Tentu saja, kengerian di hati dan pikiran korbannya.
Akan tetapi, hingga kini tidak ada definisi terorisme yang bisa diterima secara
universal. Namun pada dasarnya, istilah “terorisme” merupakan sebuah konsep
yang memiliki konotasi yang sangat sensitif, karena terorisme menyebabkan
terjadi pembunuhan dan penyengsaraan terhadap orang-orang yang tidak berdosa6.
Teror adalah fenomena yang cukup tua dalam sejarah. Menakut-nakuti,
mengancam, memberi kejutan kekerasan atau membunuh dengan maksud
menyebar rasa takut adalah taktik-taktik yang sudah melekat dalam perjuangan
kekuasaan, jauh sebelum hal-hal itu dinamai “teror” atau “terorisme”.7 Namun
ketika terorisme didefinisikan secara khusus dalam rumusan kata-kata
menimbulkan cukup banyak varian, umumnya pendefinisian terorisme beranjak
dari asumsi bahwa sejumlah tindakan kekerasan, khususnya menyangkut
kekerasan politik (Political Violence), adalah Justifiabel dan sebagian lagi adalah
unjustifiable. Kekerasan jenis terakhir inilah yang sering disebut sebagai teror.
Sedangkan terorisme adalah paham yang berpendapat bahwa penggunaan cara-
6 Drs. Abdul Wahid, SH., MA., dkk, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, Ham dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004),h. 22 7 Dr F. Budi Hardiman, dkk., Terorisme: Definisi, Aksi dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial, 2005),h. 3
cara kekerasan dan menimbulkan ketakutan adalah cara yang sah untuk mencapai
suatu tujuan.
T.P. Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964)
mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis
yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan
cara-cara ekstra normal. Khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman
kekerasan.
Terorisme dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu enforcement terror
yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka,
dan agitation terror, yakni teror yang dilakukan mengganggu tatanan yang mapan
untuk kemudian menguasai tatanan politik tersebut.8
Untuk mendapatkan definisi tentang terorisme, penting kiranya untuk
mengulas lebih jauh tentang konsep dan sejarah terorisme. Walaupun harus diakui
pada saat ini sangat sulit untuk menemukan definisi teroris yang dapat diterima
semua pihak.
Bagi bangsa Indonesia sangat tidak mungkin mengikuti begitu saja definisi
terorisme versi Amerika yang sekarang sangat gencar dikampanyekan dalam
bentuk war againts terrorism keseluruh dunia. Terorisme lebih terkait dengan
Islam radikal atau militan, Jamaah Islamiyyah, Al Qaida, atau apapun namanya,
akhirnya terorisme identik dengan Islam Jika terminologi ini yang dipakai maka
Indonesia sebagai bangsa muslim terbesar tentu saja rentan menjadi bidikan itu.
8 Azyumardi Azra, “Jihad dan Terorisme : Konsep dan Perkembangan Historis” dalam
Jurnal Islamika, Edisi 4 April- Juni 1994.
Jika kita mau menelusuri lebih jauh, konsep terorisme tidak ada hubungan
dengan Islam dan umat Islam. Jean Boudillard, seorang filosof Prancis
menyatakan bahwa :
“Terorisme ibarat virus, ada dimana-mana. Terpendam secara global,
terorisme ibarat bayang-bayang dari segala sistem dominasi, yang siap dimana-
mana muncul sebagai agen ganda. Tidak ada batasan yang jelas untuk
mendefinisikan hal tersebut; ini adalah kode inti dari budaya yang ingin melawan
dominasi- dan keretakan yang tampak (kebencian) yang menentang, dalam level
global, yang tereksploitasi dan terbelakang melawan dunia barat, adalah sangat
rahasia terkait keretakan internal dalam sistem dominan”.9
Dari definisi diatas Boudillard seolah menyatakan bahwa terorisme
merupakan anak kandung dari wacana kekuatan yang tunggal dan hegemoni.
Teorisme mendulang energi dan menyemangati gerakannya dengan pertentangan
atas keretakan dominasi barat (AS) yang telah eksploitatif. Artinya selama AS
selalu ingin menjadi kekuatan hegemonik tunggal di dunia dan globalisasi dengan
one world system-nya di paksakan berlangsung, maka selama itu pula terorisme
akan selalu ada dan tidak mungkin dilenyapkan.
Sementara itu Jurgen Habermas memandang terorisme sebagai efek
trauma modernisasi yang telah menyebar keseluruh penjuru dunia dengan suatu
kecepatan patologis, sedangkan, Jacques Derrida memandang terorisme sebagai
suatu gejala elemen traumatis yang instrinsik terhadap pengalaman modern.
9 A. Effendy Choirie, “Sesat Pikir penanganan terorisme”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.),
Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006) h.67
Keduanya sepakat bahwa globalisasi memainkan peran yang besar melawan
terorisme.10
Dengan demikian, jika terorisme sama sekali tidak terkait dengan ajaran
Islam, lantas apakah masyarakat global juga bisa menerima bahwa terorisme
adalah anak kandung globalisasi atau hanya icon politik internasional Amerika
Serikat untuk mempertahankan hegemoninya terhadap dunia.
Di awal masa modernisasi lahir, terorisme juga terjadi pada revolusi
Prancis (1793-1794), dimana pemerintah teror berkuasa dan menangkapi 300.000
orang lebih, serta eksekusi 17.000 tahanan itu melalui proses pengadilan.
Kemudian dalam sejarah revolusi Amerika setelah Civil War (1861-1865),
kelompok pembangkang dikawasan Amerika Selatan mendirikan organisasi
teroris Ku Kluk Klan untuk mengintimidasi pendukung pemerintah.
Memasuki abad 20, terorisme telah berkembang pesat dan menyebar luas
di daratan Eropa, Amerika, Rusia dan China. Abad ini juga menandai terjadinya
perubahan besar-besaran dalam motivasi dan telah menjadi bagian dari ciri
pergerakan politik ekstrim kiri dan kanan dalam spektrum ideologi, kemajuan dan
teknologi menjelma dalam kebijakan pemerintahan totaliter Adolf Hitler (Jerman)
Stalin (Rusia) dan Mao Tse Tung (China). Bahkan menurut penelitian korban
yang dihasilkan Mao berskala lebih besar dari yang dilakukan Stalin, sekitar 10-
20 juta orang dimusnahkan hanya untuk mempertahankan pemerintahan teror
Mao.
Terorisme juga digunakan oleh satu atau dua pihak dalam konflik anti
kolonial, seperti yang terjadi di Irlandia Utara-Inggris-Algeria-Prancis, Vietnam-
10 Lihat Geovanna Borradori, Filsafat dalam MasaTerror; Dialog dengan Jurgen Habermas dan Jacques Derrida. Terj. Alfons Taryadi (Jakarta : Kompas 2005) h. 32-34
Amerika Serikat, perebutan wilayah dan perbedaan bangsa Palestina-Israel,
perbedaan denomisasi agama; Katolik-Protestan di Irlandia Utara, maupun anti
hegemoni tunggal dunia, seperti AS-Al-Qaeda.
Berdasarkan konsep historis tersebut diatas, maka pengertian terorisme
yang lebih objektif bisa diajukan disini supaya bangsa ini memiliki kejelasan
terhadap apa yang dihadapi terkait dengan keamanan nasional kita, baik sebagai
bangsa, dan warga negara Indonesia maupun dunia. Artinya bangsa Indonesia
sangat berhak merumuskan sendiri konsepsi tanpa harus didikte oleh kepentingan
dan kekuatan internasional tertentu tentang terorisme dalam hubungannya dengan
keamanan nasional kita sendiri tentunya definisi yang dibuat tanpa menafikan
berbagai kesepakatan dan konvensi internasional serta resolusi PBB tentang
terorisme.
Oleh karena itu konsepsi terorisme dari sekjend PBB Kofi Annan, dalam
undang-undang pemberantasan tindak pidana terorisme (UU Anti Terorisme),
buku putih pertahanan Dephan, serta Sayidiman Suryohadiprodjo layak untuk
dijadikan acuan untuk mendapatkan definisi terorisme yang lebih objektif.
Kofi Annan melihat terorisme sebagai “ satu ancaman dan negara harus
melindungi warga negaranya dari ancaman itu. Negara tidak hanya mempunyai
hak tetapi juga harus sangat berhati-hati untuk memastikan bahwa tindakan-
tindakan melawan terorisme tidak berubah menjadi tindakan-tindakan untuk
menutupi atau membenarkan pelanggaran HAM.”11
Dalam buku putih pertahanan, depertemen pertahanan mengkonsepsikan
tindakan terorisme sebagai sebuah tindakan yang “ selalu menimbulkan korban
11 Kofi Annan, Sekjend PBB, 21 November 2001
jiwa, mengancam keselamatan publik menimbulkan kekacauan yang luas
sehingga keselamatan bangsa dan kedaulatan negara, .terorisme telah
merupakan ancaman nyata terhadap keselamatan bangsa, bahkan menjadi
ancaman bagi demokrasi dan masyarakat sipil (civil soceity).”12
Dengan begitu, terorisme dapat didefinisikan oleh bangsa Indonesia
sebagai “ Segala bentuk ancaman, intimidasi dan tindakan kekerasan, tindakan
ilegal menimbulkan suasana teror (dampak psikologis) yang dilakukan
perorangan maupun kelompok secara sadar dan sengaja yang mengakibatkan
kerugian nyawa, harta benda, fasilitas negara, (Publik) atau objek vital strategis
lainnya dan menimbulkan ancaman nyata terhadap keselamatan publik bangsa,
warga negara, maupun warga dunia”.
12 Lihat Departemen Pertahanan, Mempertahankan Tanah Air Memasuki Abad 21, (Jakarta : Depertemen pertahanan 2003 ) h. 21 dan 31
B. Sejarah dan Perkembangan Terorisme di Indonesia
Sulit melepaskan motivasi agama dalam berbagai aksi terorisme di
Indonesia, selain ada pengaruh dari luar Indonesia (jaringan organisasi terorisme
internasional), maka keberadaan terorisme dewasa ini di Indonesia sebenarnya
tidak dapat dilepaskan dari benang merah sejarah pemberontakan bernuansa
keagamaan yang terjadi di tahun-tahun awal kemerdekaan. Dari sudut tujuannya
ada persamaan, yaitu mendirikan sebuah negara berlandaskan prinsip keagamaan
di bumi Nusantara. Perbedaannya terletak pada metode perjuangannya
Pemberontakan di masa lampau memakai metode mobilisasi kekuatan
bersenjata, sedangkan kelompok teroris saat ini menggunakan metode aksi-
serangan teror yang dilakukan oleh kelompok kecil (sel) secara sporadis.
Tujuannya untuk menciptakan instabilitas negara yang bermuara pada kejatuhan
pemerintahan nasional dan digantikan dengan pemerintahan yang sejalan dengan
pandangan atau keyakinan politik mereka13. Selain itu jika diteliti lebih dalam lagi
maka dapat diketahui bahwa sebagian tokoh kunci kelompok teroris yang ada saat
ini memiliki pertalian hubungan darah dengan pimpinan, anggota, aktivis DI/TII
atau pimpinan, anggota, aktivis organisasi garis keras berlabel Islam yang kerap
kali terlibat benturan kekerasan dengan aparat keamanan di masa lampau. Dengan
demikian, terorisme di Indonesia dapat diidentifikasikan sebagai terorisme yang
bermotivasi keyakinan agama (di sini tidak dibahas apakah pemahaman keyakinan
agama mereka itu benar atau keliru. Kebenaran untuk mereka, bukan kebenaran
secara umum). Pertalian antara elemen organisasi garis keras berlabel Islam di
Indonesia dengan jaringan terorisme international berawal di Afghanistan sekitar
13 Wawancara Bali Post dengan Muhcyar Yara mantan Jubir BIN, ”Melacak jejak terorisme di Indonesia” 10 Nopember 2003, h. 3
pertengahan dekade tahun 80-an. Pada tahun 1984 Osama bin Laden bersama-
sama dengan Dr. Abdullah Azzam (keturunan Jordanian-Palestina) mendirikan
Afghan Bureau (yang dalam perkembangannya kemudian menjadi Al-Qaeda).
Tujuannya menghimpun dan melatih para mujahidin dari seluruh dunia untuk
membantu membebaskan Afghanistan dari pendudukan Uni Soviet.
Afghan Bureau memperoleh dukungan penuh dalam bentuk dana,
peralatan dan persenjataan dari Dinas Intelijen Pakistan (ISI), Saudi Arabia dan
Amerika Serikat (CIA). Dari Indonesia berangkat ke Afghanistan untuk berjihad
sebagai mujahidin sekitar 300 orang pemuda. Umumnya mereka dikenal sebagai
aktivis organisasi garis keras berlabel Islam. Perekrutan para mujahidin tersebut
dilakukan secara terbuka di beberapa masjid. Pemerintahan Orde Baru
mendiamkan saja kegiatan perekrutan para mujahidin tersebut, karena kegiatan itu
didukung oleh negara-negara sahabat, yaitu Saudi Arabia, Pakistan dan Amerika
Serikat.
Sepulang para mujahidin asal Indonesia ke Tanah Air (secara bertahap),
mereka senantiasa saling berkomunikasi satu dengan lainnya. Mereka menamakan
kelompok itu sebagai G-272 (singkatan dari Grup 272), yaitu jumlah mujahidin
yang ada. G-272 inilah yang menjadi generasi pertama jaringan Al-Qaeda di
Indonesia. mereka mulai terlibat dalam aksi-aksi serangan teror bom di Indonesia
sejak pertengan tahun 2000.14
Selanjutnya, dari sudut orientasi teologisnya terorisme di Indonesia
dewasa ini dibedakan atas tiga kelompok, yaitu Kelompok Solo, Kelompok
14 Brigjen TNI Bambang Sumarno, ”Peran Aparat Intelijen dalam Mengatasi Terorisme di Indonesia”,artikel diakses pada 3 Mei 2008 dari http//www.wordpress/id/taq/wawasan/html
Banten, dan Kelompok Lamongan. Meski demikian, komunikasi dan koordinasi
di antara kelompok-kelompok tersebut berjalan cukup baik, karena memang
memiliki tujuan yang sama. Hanya dalam hal-hal yang bersifat taktis terdapat
variasi antara satu dengan lainnya. Kadang kala serangan-serangan teroris
dilaksanakan dengan kerja sama antarkelompok itu.
Tetapi, dapat juga dilakukan oleh masing-masing kelompok secara sendiri-
sendiri. Peristiwa penggranatan fasilitas Kedubes AS di Jl. Telukbetung, Jakarta
Pusat beberapa waktu yang lalu dilakukan oleh Sel Purwakarta yang merupakan
bagian dari Kelompok Solo. Sedangkan serangan Bom Bali I dilakukan dengan
kerja sama oleh sel-sel yang merupakan bagian dari ketiga kelompok tersebut.
Bagaimana sejarah perkembangan kelompok teroris di Indonesia?
Kelompok teroris di Indonesia pada awal berdirinya (sekitar 1999) yang
dipelopori oleh para mujahidin eks Afghanistan, terutama mereka yang pernah
bergabung atau berlatih di kamp-kamp yang dikelola oleh Al-Qaeda di perbatasan
Pakistan-Afghanistan.
Dewasa ini jumlah anggota kelompok-kelompok teroris tersebut telah
mencapai ratusan orang yang terdiri atas para pemuda yang direkrut kemudian.
Anggota baru atau generasi baru itu, setelah diseleksi secara ketat,
kemudian sebagian memperoleh latihan militer di kamp-kamp pelatihan yang
didirikan di berbagai tempat terpencil di wilayah Indonesia (seperti di Poso), dan
sebagian lagi dikirim ke Kamp Abu Bakar milik MNLF di Filipina Selatan.
Perekrutan anggota baru ini terus berjalan sampai kini.
Berdasarkan informasi yang diterima, program perekrutan tersebut kini
telah sampai pada generasi ketiga. Sasaran perekrutan adalah pemuda
pengangguran tetapi yang sering mengunjungi masjid-masjid di beberapa tempat
tertentu. Modus perekrutannya dilakukan secara sederhana. Para anggota yang
lebih senior menyamar sebagai penjual pisang goreng atau singkong goreng yang
mangkal di sekitar masjid-masjid tersebut. Mereka menyelidiki dan mengawasi
para pemuda yang diincar. Lalu mereka diteliti latar belakang keagamaan
keluarganya. Setelah dianggap tepat, baru kemudian didekati untuk diajak
bergabung. Dengan demikian, jumlah anggota kelompok-kelompok teroris
tersebut dari hari ke hari semakin bertambah, bukannya berkurang, meskipun
sebagian dari mereka ada yang tertangkap petugas keamanan.
Jika ditinjau dari perkembangan perekrutan di atas, serta dikaitkan dengan
cita-cita perjuangan mendirikan sebuah negara berlandaskan agama di Indonesia
yang sudah tertanam sejak lama, maka masalah terorisme di Indonesia bukanlah
persoalan jangka pendek, melainkan persoalan jangka panjang.
Sejak peristiwa Bom Bali I dan menyusul penangkapan-penangkapan yang
dilakukan oleh Polri terhadap pihak-pihak yang dicurigai terlibat bom Bali,
kelompok-kelompok teroris secara bersama sepakat untuk mengosongkan Pulau
Jawa dan memindahkan para anggotanya keluar Pulau Jawa. Sementara yang
ditinggalkan hanya segelintir anggota tingkat operasional rendahan saja.
Beberapa waktu yang lalu media cetak memberitakan bahwa sejumlah
LSM telah melaporkan pihak Polri melakukan penangkapan secara sewenang-
wenang terhadap 15 orang tersangka pelaku bom Marriott serta menculik 25 orang
aktivis Islam yang sejak beberapa waktu telah menghilang. Padahal sebenarnya 25
orang yang diberitakan hilang tersebut merupakan bagian dari anggota kelompok
teroris yang melakukan eksodus dari Pulau Jawa.
Dewasa ini kelompok-kelompok teroris berkumpul di tiga tempat, yaitu
Sumatera, terutama wilayah antara Medan dan Pekanbaru (termasuk pulau-pulau
kecil di Kepulauan Riau), wilayah Sumatera Bagian Selatan (Bengkulu dan
Palembang). Lalu di Kalimantan, terutama Kalimantan Selatan (sekitar
Banjarmasin) dan Kalimantan Timur, khususnya di pulau-pulau kecil di daerah
perbatasan dengan Serawak Malaysia (Pulau Sebatik, Pulau Nunukan, dll.)
Terakhir di Pulau Sulawesi, terutama di Sulawesi Tengah (Palu-Poso)15.
Di satu daerah dapat saja didiami oleh satu kelompok teroris tertentu,
tetapi dapat juga didiami oleh beberapa kelompok teroris, seperti di Palu-Poso
terdapat Kelompok Lamongan dan Kelompok Banten.
Bom Bali II dilakukan oleh jaringan ini. Pemberantasannya tidak bisa
dilakukan oleh kepolisian saja. Terorisme hanya bisa dihilangkan oleh metode
operasi intelijen yang tak hanya menangkap pelaku tetapi menghilangkan akar
jaringannya.
Operasi teroris biasanya dilaksanakan oleh elemen klandestin yang dilatih
dan diorganisir secara khusus, tindakan pengamanan yang ketat diberlakukan
setelah sasaran operasi dipilih. Anggota tim tidak dipertemukan sebelum
pelaksanaan latihan pendahuluan sesaat sebelum berangkat menuju sasaran.
Pengintaian dilaksanakan oleh elemen atau personel yang bertugas khusus sebagai
intelijen kusus, untuk memeperbesar kemungkinan keberhasilan pelaksanaan
operasi, lebih banyak serangan yang direncanakan dari pada yang dilancarkan.
Teroris senantiasa mencari dan mengeksploitir titik lemah dari sasaran. Mereka
15 “Melacak Jejak Teroris di Indonesia”, Tempo, 5 Nopember 2003, h.1
seringkali menyerang sasaran yang tidak dilindungi atau kurang pengamanannya.
Karakteristik dari operasi adalah kekerasan, kecepatan dan pendadakan.
Metoda. Teroris beroperasi dalam hubungan unit kecil yang terdiri dari
personel yang terlatih menggunakan senapan otomatis ringan, granat tangan,
bahan peledak munisi dan radio transistor. Sebelum pelaksanaan operasi, teroris
berbaur dengan masyarakat setempat untuk menghindari deteksi dari aparat
keamanan. Setelah pelaksanaan operasi, mereka kembali bergabung dengan
masyarakat untuk memperbesar kemungkinan pelolosan mereka. Adapun taktik.
yang sering dilakukan oleh para teroris adalah16:
1. Bom; Taktik yang sering digunakan adalah pengeboman. Dalam
dekade terakhir ini sering terjadi aksi teror yang dilaksanakan dengan
menggunakan bom, baik di Indonesia maupun di luar negeri, dan hal
ini kedepan masih mungkin terjadi.
2. Pembajakan; Pembajakan sangat populer dilancarkan oleh kelompok
teroris. Pembajkan terhadap pesawat terbang komersial pernah terjadi
di beberapa negara, termasuk terhadap pesawat Garuda Indonesia di
Don Muang Bangkok pada tahun 1981. Tidak menutup kemungkinan
pembajakan pesawat terbang komersial masih akaan terjadi saat ini dan
massa yang akan datang, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
3. Pembunuhan; Pembunuhan adalah bentuk aksi teroris yang tertua dan
masih digunakan hingga saat ini. Sasaran dari pembunuhan ini
seringkali telah diramalkan, teroris akan mengklaim bertanggungjawab
atas pembunuhan yang dilaksanakan. Sasaran dari pembunuhan ini
16 Makalah Bambang Sumarno, ”Peran Aparat Intelijen dalam menangani terorisme di Indonesia”, 21 Januari 2008
biasanya adalah pejabat pemerintah, penguasa, politisi dan aparat
keamanan. Dalam sepuluh tahun terakhir tercatat 246 kasus
pembunuhan oleh teroris seluruh dunia.
4. Penculikan; Tidak semua penghadangan ditujukan untuk membunuh.
Dalam kasus kelompok gerilya Abu Sayaf di Filipina, penghadangan
lebih ditujukan untuk menculik personel, seperti yang dilakukan oleh
kelompok GAM terhadap kameraman RCTI Ersa Siregar dan Fery
Santoro di Aceh. Penculikan biasanya akan diikuti dengan tuntutan
imbalan berupa uang atau tuntutan politik lainnya.
5. Penyanderaan; Perbedaan antara penculikan dan penyanderaan dalam
dunia terorisme sangat tipis. Kedua bentuk operasi ini seringkali
memiliki pengertian yang sama. Penculik biasanya menahan
korbannya di tempat tersembunyi dan tuntutannya adalah berupa
materi dan uang, sedangkan penyanderaan biasanya menahan sandera
di tempat umum ataupun di dalam hutan seperti yang dilakukan oleh
kelompok Kelly Kwalik di Papua yang menyandera tim peneliti
Lorenz pada tahun 1996. Tuntutan penyannderaan lebih dari sekedar
materi. Biasanya tuntutan politik lebih sering dilemparkan pada kasus
penyanderaan ini.
BAB III
KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI TERHADAP
TERORISME
A. Pengertian Kebijakan
Kebijakan (policy) adalah sebuah intrumen pemerintah, bukan saja dalam
arti government yang hanya menyangkut aparatur negara, melainkan governance
yang menyentuh seluruh pengelolaan negara yang baik dan saling
menguntungkan. Kebijakan merupakan hasil dari adanya sinergi, kompromi atau
bahkan kompetisi antara berbagai gagasan, teori, ideologi, dan kepentingan-
kepentingan yang mewakili sistem politik suatu negara17.
Banyak sekali definisi mengenai kebijakan. Sebagian besar ahli
memberikan pengertian kebijakan dengan keputusan pemerintah untuk melakukan
suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi warganya, seperti
kata Bridgman dan Davis, kebijakan pada umumnya mengandung pengertian
mengenai ’whatever government choose to do or not to do.’ Artinya, kebijakan
adalah ‘apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak
dilakukan.
Dalam beberapa literatur yang membahas tentang ‘kebijakan’, menurut
Prof. DR. M. Solly Lubis, SH ditemukan beberapa definisi untuk menjelaskan
pengertian kebijakan diantaranya 18:
17 Edi Suharto, Phd, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Bandung; Alfabeta, 2007),h. 3 18 Prof,DR. Solly Lubis, SH, Kebijakan Publik, ( Bandung : Mandar Maju 2007 ), h.6-9
1. Kebijakan adalah serangkaian konsep tindakan yanag diusulkan oleh
seseorang atau sekelompok orang atau pemerintah dalam satu
lingkungan tertentu dengan menunjukkan hambatan-hambatan dan
peluang, terhadap pelaksanaan usulan tersebut dalam rangka mencapai
tujuan tertentu.Ada beberapa pokok-pokok dalam suatu kebijakan
yakni adanya tujuan (goal), sasaran (objektif), kehendak (Purpose).19
2. Amara Raksasataya mengatakan, kebijakan adalah suatu taktik dan
strategi yang diarahkan untuk mencapai suatu tujuan. Ada tiga unsur
dalam kebijakan menurut Amara, pertama identifikasi tujuan yang
akan dicapai, kedua strategi untuk mencapainya, ketiga penyedian
berbagai input atau masukan yang memungkinkan pelaksanaanya.
3. James Anderson
Kebijakan negara (State Policy) adalah kebijakan yang dikembangkan
oleh lembaga pejabat pemerintah dengan ciri-ciri khas sebagai berikut :
a. Kebijakan itu mempunyai tujuan
b. Kebijakan itu berisi tindakan
c. Kebijakan itu ada tindakan yang nyata bukan sekedar harapan
d. Kebijakan itu mungkin positif dan negatif
e. Kebijakan itu selalu dituangkan dalam peraturan yang otoritatif
4. David Easton menyebut kebijakan pemerintah itu sebagai “
kewenangan untuk mengalokasikan nilai-nilai” bagi masyarakat secara
menyeluruh.Berarti yang mengatur secara menyeluruh kepentingan
masyarakat adalah pemerintah bukan lembaga yang lain.
19 Said Zainal Abidin, PhD, Kebijakan Publik, ( Jakarta : Yayasan Pancur Siwah 2004 ) H. 20-21
5. Lasswell dan Kaplan melihat kebijakan itu sebagai “sarana” untuk
mecapai “tujuan”. Kebijakan itu tertuang dalam “program” yang
diarahkan dalam pencapaian tujuan, nilai, dan praktek.
6. Hugh Heglo mengatakan kebijakan suatu yang bermaksud mencapai
tujuan (goal, end) tertentu ( a course of action intended to accomplis
some end).20
7. Thomas R. Dye mengatakan kebijakan sebagai pilihan pemerintah
untuk menentukan langkah untuk “berbuat” atau “tidak berbuat” (to do
or not to do).
B. Dasar Hukum Kebijakan Megawati Soekarnoputri Terhadap Terorisme
Abad 21 merupakan abad globalisasi, baik dalam perkembangan di bidang
ekonomi, sosial, politik, hukum dan perkembangan di bidang teknologi.
Kecanggihan teknologi informasi telah menjadikan kehidupan manusia tidak lagi
20 Said Zainal Abidin, Kebijakan Publik, h. 22-24
dibatasi ruang dan waktu. Bahkan dapat dikatakan bahwa jarum yang jatuh
disuatu negara atau di wilayah tertentu dalam yurisdiksi negara yang bersangkutan
akan segera diketahui oleh seluruh bangsa di dunia. Sehingga tidak akan tersisa
sedikit pun informasi mengenai kejadian-kejadian lokal yang luput dari perhatian
dunia. Apalagi kejadian lokal atau nasional tersebut mempunyai aspek
internasional. Seperti yang terjadi di Indonesia yang sangat menghentakkan
ketenangan anak bangsa yakni peristiwa peledakan bom 12 Oktober 2002 di Bali.
Yang mengindikasikan keterlibatan kelompok yang di cap teroris.
Kejadian ini sangat membuat pemerintah kesulitan untuk menjelaskan
kepada dunia apa yang sebenarnya telah terjadi, karena pada peristiwa bom Bali
banyak dari warga negara asing yang menjadi korban. Untuk mengatasi peristiwa
tersebut agar tidak terulang kembali, pemerintah Megawati Soekarnoputri
menempuh cara untuk mengatasi permasalahan teroris dengan membentuk aturan-
aturan yang berkaitan dengan terorisme. Yakni dengan diterbitkannya Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 2002 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Perpu No. 2 tahun 2002 tentang
pemberlakuan Perpu No. 1 Tahun 2002 pada peristiwa bom Bali tanggal 12
Oktober 2002, maka pemerintah bekerjasama dengan DPR RI mengesahkan
kedua Perpu tersebut menjadi Undang-undang No. 15 Tahun 2003 dan Undang-
undang No 16 Tahun 2003.
Penyusunan naskah rancangan Undang-undang Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme mulai dilakukan sejak minggu keempat bulan april 2002
oleh satu tim yang terdiri dari unsur pemerintah dan unsur Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM). Penyusunan draf Rancangan Undang-undang tersebut
dimulai dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat luas, termasuk kepada
Organisasi Islam dan mahasiswa. Sosialisasi tersebut dilaksanakan pada bulan
Juni 2002 di Jakarta dan Surabaya.
Dalam penyusunan naskah rancangan undang-undang ini, tim telah
melakukan study banding atas undang-undang tentang pemberantasan terorisme di
berbagai negara, diantaranya : Singapura, Malaysia, Australia, Kanada, India dan
Amerika. Selain itu tim juga telah banyak memperoleh masukan dari ahli
terorisme Kanada, Australia, dan Amerika melalui diskusi intensif yang
berlangsung di Jakarta.
Setelah melakukan dua kali sosialisasi di dua kota besar, tim merasa perlu
untuk menambah sosialisasi di tiga kota besar lainnya yakni Bandung, Medan dan
Ujung Pandang. Tujuan sosialisasi ini untuk memperoleh masukan dari
masyarakat luas dan sekaligus upaya untuk menumbuhkan pemahaman yang sama
dikalangan masyarakat akan pentingnya dan perlunya mempunyai undang-undang
tentang tindak pidana terorisme. Tujuan lain adalah untuk menghilangkan kesan
bahwa undang-undang yang akan dibentuk atas perintah Amerika dan tekanan
dunia internasional.
Untuk menyempurnakan naskah rancangan undang-undang ini tim telah di
berkonsultasi dengan pakar hukum pidana dan hukum internasional serta
menghapus beberapa ketentuan yang bersifat krusial yang memungkinkan
timbulnya kontroversi di kalangan masyarakat, diantaranya21 :
21 Romli Atmasasmita, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia,
(Jakarta : Percetakan Negara RI, 2002 ) h. 12-13
1. Menghapus rancangan semula mengenai ketentuan tentang
“Pembentukan badan anti terorisme” dengan pertimbangan kerena
dikhwatirkan akan berpotensi mengembalikan trauma masyarakat
terhadap kehadiran lembaga Komando Operasi Keamanan dan
Ketertiban (KOMKAMTIB) dimasa lampau, dan untuk menghapus
kesan undang-undang ini sebagai undang-undang subversi “gaya baru”
yang dapat merugikan citra dan niat baik pemerintah secara politis.
Namun demikian tim mencoba memasukkan usulan mengenai
kemungkinanan pembentukan SATGAS berdasarkan Keputusan
Presiden atas usulan kepala kepolisian Republik Indonesia. Hal ini
terjadi ketika Polri sudah tidak mampu mengatasi situasi teror.
2. memasukkan ketentuan yang mengatur tentang perlindungan
tersangka dan korban tindak terorisme dengan tetap menggunakan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai
landasan kepolisian dalam melakukan tindakan pro justisia. Tim juga
telah memasukkan tentang konpensasi dan rehabilitasi bagi korban
tindak pidana terorisme, sehingga diharapkan Rancangan Undang-
Undang ini dapat memelihara keseimbangan perlakuan terhadap kedua
subjek hukum. Guna mencegah perlakuan yang bersifat diskriminasi.
Selanjutnya dalam naskah Rancangan Undang-Undang ini juga tetap
mempertimbangkan mengenai perlindungan atas kedaulatan negara
Republik Indonesia, yaitu dengan menegaskan perluasan
diberlakukannya Undang-undang ini keluar batas-batas teritorial
(Ekstratoritorial Jurisdction) untuk dapat menuntut pelaku terorisme
di Indonesia yang melarikan diri keluar negeri, dan dapat melindungi
warga negara Indonesia yang menjadi korban di luar negeri
3. memasukkan ketentuan mengenai penilaian terhadap laporan Intelijen,
dari Imigrasi, Kejaksaan, Kepolisian, Bea Cukai, dan dari Badan
Intelijen Negara (BIN) serta Badan Intelijen Strategis (BAIS), yang
dilaksanakan melalui proses hearing di bawah ketua pengadilan Negeri
atau Hakim yang ditunjuk. Prosedur ini baru dan tidak terdapat
didalam KUHAP, namun sangat penting mengingat pengalaman dan
sejarah terorisme yang memiliki kecanggihan modus operandinya
karena didukung organisasi internasional yang kuat baik segi finansial
maupun teknologi yang canggih dan jaringan intelijen yang kuat.
4. Mengeluarkan motivasi politik dari tindak pidana terorisme sehingga
setiap gerakan atau aksi demontrasi untuk melaksanakan hak-hak
politik, ekonomi dan sosial dapat diwujudkankan tanpa perlu adanya
rasa takut dituduh sebagai teroris. Namun jika terjadi akses yang jelas
terbukti terjadi pelanggaran hukum maka pasal-pasal KUHP yang akan
diberlakukan terhadap pelakunya.
Untuk mendukung peradilan terhadap pelaku tindak terorisme, tim
penyusun memasukkan ketentuan baru mengenai alat bukti elektronik sebagai
alat bukti baru selain yang diatur oleh KUHAP, sehingga akan dapat
meningkatkan efisiensi kinerja aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya.
Naskah Rancangan undang-undang ini juga memasukkan sejumlah
ketentuan yang telah diatur dalam konvensi Internasional, antara lain
mengenai pemboman oleh teroris, pembekuan dan penyitaan finansial
terorisme serta sejumlah ketentuan lainnya yang berasal dari konvensi
internasional lainnya.
Dari Rancangan undang-undang yang mengacu kepada Perpu No. 1
Tahun 2002 dan Perpu No. 2 Tahun 2002 ini pemerintah bersama DPR
mengesahkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 dan Undang-
undang No. 16 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Terdapat sejumlah pasal dalam Undang-undang Pemberantasan
terorisme No. 15 dan 16 tahun 2003 yang berpeluang memberi wewenang tak
terbatas kepada aparat penegak hukum dan keamanan. Menurut Todung
Mulya Lubis dam Munir,22 pasal-pasal tersebut adalah :
1. Pasal 20 :
Setiap orang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau
dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik, penuntut umum,
penasehat hukum dan atau hakim yang menangani tindak pidana
terorisme, sehingga proses peradilan menjadi terganggu, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas tahun)
2. Pasal 26
Ayat 1 “Untuk memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik
dapat menggunakan setiap laporan intelijen”.
22 Todung Mulya Lubis, “Pasal-pasal Rawan dalam UU No. 15&16 tahun 2003”, Tempo,
29 Agustus 2004, h. 4
Menurut Munir dan Todung Mulya Lubis, rumusan itu
memberi peluang penyalahgunaan kekuasaan negara, terutama
pemberian kesempatan luas kepada Intelijen dari BIN dan TNI. Bisa
saja laporan dibuat untuk tujuan lain dan berbeda selain dari untuk
mencegah atau mengumpulkan informasi terkait dengan terorisme.
3. Pasal 28
“Penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang
diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasar bukti
permulaan yang cukup untuk paling lama 7 X 24 jam”.
Menurut Munir pasal ini memberikan mandat yang sangat luas
kepada penyidik (Polisi) untuk berbuat sewenang-wenang memeriksa
seseorang tanpa perlu memberitahu keluargannya, dan didampingi
penasehat hukum. Padahal cara-cara kekerasan fisik untuk mengorek
keterangan masih dijadikan jalan pintas oleh polisi dalam memeriksa
seseorang.
4. Pasal 30
Ayat 1: “ Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak
pidana terorisme, maka penyidik, penuntut umum atau hakim
berwenang untuk meminta keterangan dari pihak Bank dan lembaga
jasa keuangan mengenai harta kekayaan dari setiap orang yang
diketahui atau patut diduga melakukan tindak pidana terorisme ”
5. Pasal 31
Ayat 1 : berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik berhak :
a. Membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melaui pos
dan jasa pengiriman lainnya yang mempunyai hubungan dengan
perkara tindak pidana terorisme yang sedang diperiksa.
b. Menyadap pembicaraan melalui telepon atau alat komunikasi
lainnya yang diduga digunakan untuk mempersiapkan,
merencanakan, dan melakukan tindak pidana terorisme.Menurut
Todung, kedua pasal ini mengancam hak-hak individual. Apalagi
hanya berdasar laporan intelijen.23
6. Pasal 46
“Berlaku surut sebelum adanya undang-undang ini”.
Menurut Todung, memperlakukan ketentuan pidana terorisme
secara retroaktif (berlaku surut) adalah pelanggaran serius terhadap
prinsip legalitas dan dalam hukum pidana ada prinsip Nullum
Delictum Nulls Poena Sine Previa Lege Poenali, tidak ada perbuatan
yang dapat dipidana kecuali ada ketentuan pidana sebelum perbuatan
itu terjadi.
Mengingat banyak terdapat pasal-pasal rawan yang bersifat multitafsir
dan memberikan peluang penyalahgunaan kekuasaan politik kepada
pemerintah dengan mengijinkan badan-badan intelijen non yudisial, baik BIN
maupun badan intelijen meliter, menjadi bagian dari institusi penegak hukum
(pasal 26) ditambah lagi pemberlakuan ketentuan pemberantasan tindak
pidana terorisme secara berlaku surut atau retroactif yang jelas-jelas
pelanggaran serius terhadap prinsip legalitas. Beberapa kalangan mengajukan
23 Todung Mulya Lubis, “Pasal-pasal Rawan dalam UU No. 15&16 tahun 2003”, h. 4
yudisial reveuw ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk meninjau kembali
tentang aturan-aturan dalam undang-undang tindak pidana terorisme.
Pada Jumat, 23 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi menjatuhkan
keputusan yang sangat mengejutkan24. Putusan yang menggegerkan dunia
internasional, khususnya Australia yang warganya banyak meninggal akibat
peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002 dan AS yang sedang giat-giatnya
melancarkan perang antiterorisme.
Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan UU No. 16 tahun 2003
tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang No.2 tahun
2002 tentang pemberantasan tindak pidana terorisme pada peristiwa bom Bali
12 Oktober 2002 tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Dalam memberi keputusan MK ini ada yang menarik, putusan ini
bukanlah putusan bulat, lima hakim setuju termasuk ketuanya sedangkan
empat orang hakim lainnya tidak setuju. Hal ini mencerminkan, dikalangan
akedemisi, praktisi hukum, dan masyarakat juga akan terbelah pendapatnya
mengenai putusan itu.
Putusan itu memang kontroversial, tetapi berdasarkan aneka
pertimbangan hukum yang dikemukakan dapat dipahami meski banyak yang
tidak sependapat. Dalam pasal 1 ayat (1) KUHP disebutkan “ Tidak satu
perbuatan pun dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan Undang-undang
yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan ”. Berdasarkan pasal tersebut,
suatu ketentuan pidana tidak dapat diberlakukan surut atau retroaktif. Asas
tersebut merupakan asas universal yang ada dalam hukum pidana semua
24 “Keputusan MK sangat mengejutkan” Kompas, 24 Juli 2004, h. 1
sistem hukum. Apakah asas universal tersebut harga mati atau bukan?,
Apakah dalam hal-hal tertentu yang sangat mendasar tidak boleh terjadi
penyimpangan atas asas tersebut?.
Ada dua pendapat tentang boleh tidaknya pemberlakuan asas retroaktif
ini, pendapat pertama25, yang juga dikemukakan 4 orang hakim yang
mempunyai pendapat berbeda (Disenting Opinion) mengatakan pada dasarnya
konstitusi Indonesia tidak memperbolehkan dalam perundang-undangan, akan
tetapi pemerintah menganggap kasus bom Bali sebagai kejahatan luar biasa
(ekstra ordinary crime) sehingga harus dihadapi secara luar biasa, dengan
memberlakukan undang-undang yang bersifat retroaktif. Pengecualian ini
sebenarnya pernah diterapkan pada undang-undang korupsi, dimana Indonesia
tidak memperkenankan pembuktian terbalik karena menyalahi due process of
law. Tapi dalam undang-undang korupsi sistem pembuktian terbalik dapat
diberlakukan, karena mengingat kedua kejahatan tersebut (teroris dan korupsi)
ancaman yang amat membahayakan keamanan negara dan secara internasional
dianggap membahayakan keamanan dan budaya dunia.
Dalam UU No. 16 Tahun 2003 yang dibatalkan MK, terorisme
didefinisikan sebagai perbuatan yang merupakan kekerasan atau ancaman
kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara
merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain,
atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital
25 Frans H. Winata, “Putusan Mahkamah Konstitusi soal Undang-umdang Antiteroris”,
dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006) h. 26
yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas
internasional. Dari definisi diatas dapat disimpulkan bahwa terorisme
termasuk kejahatan luar biasa terhadap kemanusian (extra ordinary crime
against humanity). Dan peristiwa bom Bali merupakan kejahatan terhadap
kemanusian (extraordinary crime) sehingga harus ditindak dengan
pengkhususan tertentu yang di dalam hal ini pemberlakuan asas retroaktif.
Terorisme saat ini telah menjadi momok dunia, sehingga diperlukan kerjasama
multilateral untuk menaggulanginya.
Sebenarnya, pada tanggal 17 Juli 1998, telah terbentuk International
Criminal Cort (ICC) untuk mengadili pelaku-pelaku kejahatan terhadap
kemanusiaan (crime against humanity) dan statuta Roma ini telah diratifikasi
oleh 60 negara.
Tujuan pembentukan ICC untuk mengadili para pelaku kejahatan yang
dianggap dapat membahayakan umat manusia dimanapun kajahatan itu terjadi.
Aneka kejahatan dalam statuta Roma adalah kehamilan yang dipaksakan,
pemerkosaan massal, kejahatan perang, genosida, kejahatan terhadap
kemanusiaan, genosida terhadap kebudayaan, dan agresi. Kecuali invasi yang
harus dirumuskan lagi. Statuta Roma ini dilakukan secara retroaktif dengan
tujuan agar dapat mengadili penjahat-penjahat perang Yugoslavia.
Asas retroaktif juga pernah diberlakukan sebelumnya, yaitu pada
pengadilan untuk penjahat perang Nurenberg, untuk mengadili anggota Nazi
Jerman yang membantai lima juta kaum Yahudi. Korban teror Twin Tower
New York dengan 3000 orang tewas dan korban bom Bali yang tidak bisa
dibandingkan secara kuantitas, tetapi sama kejamnya.
Pendapat kedua yang tidak setuju dengan pemberlakuan asas retroaktif
berargumen bahwa hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (1) KUHP
disebutkan “ Tidak satu perbuatan pun dapat dipidana kecuali atas dasar
kekuatan Undang-undang yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan ”.
Adapun alasan bahwa permasalahan terorisme telah menjadi momok bagi
dunia, dan telah diratifikasi statuta Roma oleh 60 negara, yang menjadi dasar
pembentukan Mahkamah Pidana Internasional (ICC) untuk mengadili
kejahatan kemanusiaan dan telah diratifikasi oleh banyak negara, namun
dibawah pemerintahan Bush, pada tahun 2002 Kongres Amerika Serikat telah
menerbitkan “American Service Member Protection Act (ASPA), isinya
melarang setiap kerjasama dengan ICC. ASPA juga memberikan wewenang
yang luar biasa kepada AS menggunakan segala cara termasuk menyerang
suatu negara untuk membebaskan warga dan sekutunya.
Dalam kontek kerjasama memerangi teroris ternyata AS menunjukkan
sikap ambigu, tingkat kepercayaan mayoritas masyarakat internasional
terhadap citra positif demokrasi AS semakin luntur, dan keganasan tentaranya
menjadi sorotan banyak negara. Melalui siaran pers Menlu Vatikan, Kardinal
Angelo Sodano menyatakan penyerangan AS atas komplek suci Imam Ali
Najab, melanggar kesapakatan konvensi Jeneva/Jenewa dan hukum
Internasional.
Selain itu, dari praktek-praktek hukum internasional ternyata pihak-
pihak yang diadili adalah pihak negara (regime), bukan warga (sipil)
contohnya pada pengadilan HAM adhoc kasus Tanjung Periok dan Timor
Leste, pihak yang diadili berdasarkan Undang-undang HAM secara retroaktif
juga berunsur negara; meliter, pejabat sipil, dan milisi. Menurut Martinus
Amin26, yang dapat dikenakan asas retroaktif selain kejahatan yang diatur
dalam konvensi Roma, yaitu kejahatan yang dilakukan oleh negara, alasanya
supaya negara tidak begitu mudah mengenakan asas retroaktif terhadap warga.
Hal ini mengingat watak kekuasaan yang cenderung korup, aturan yang ada
diabaikan, apalagi yang bersifat elastis.
Kalau disamakan penggunaan asas retroaktif terhadap kejahatan
terorisme dengan pembuktian terbalik dalam UU Korupsi sangat tidak pas,
karena sistem pembuktian terbalik substansi sangat berbeda, berisi pengaturan
“beban pembuktian”, dimana seseorang wajib membuktikan harta benda yang
dimilikinya bukan hasil korupsi dimuka sidang asas ini dikembangkan oleh
ahli hukum, selain dianut oleh Indonesia juga oleh beberapa negara lain.
C. Penanganan Terorisme di Indonesia
Tertangkapnya Abu Dujana terkait dengan jaringan teroris beberapa waktu
yang lalu membuktikan bahwa jaringan terorisme di Indonesia telah menjadi
ancaman yang sulit ditebak. Fenomena terorisme telah mampu menciptakan rasa
takut secara global dengan menggunakan jaringan dan transaksi internasional,
26 Martinus Amin, “Negara Hukum, Intervensi Asing, Ambiguitas Demokrasi”, dalam
Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006) h. 26
regional dan nasional. Jaringan terorisme di Indonesia merupakan bagian dari
jaringan teroris internasional yang tumbuh subur di kawasan Asia.
Selain masalah terorisme, ada persoalan lain yang dapat mempengaruhi
terwujudnya keamanan nasional saat ini. Pertama, konflik ekonomi yang ditandai
dengan ketegangan-ketegangan pada sektor perdagangan, seperti tarik ulur harga
minyak goreng antara pemerintah dan produsen. Hal ini menjadi ironis karena
rakyat harus membayar harga minyak goreng lebih mahal, padahal Indonesia
produsen CPO kedua terbesar di dunia.
Kedua, ancaman terhadap keamanan nasional terutama masih dilihat
sebagai sumber dari dalam negeri. Seperti adanya konflik Poso, Ambon, Irian,
Aceh dan lain-lain yang telah memberikan andil cukup besar bagi keterpurukan
bangsa.
Ketiga, penyelundupan manusia dan migrasi ilegal, khususnya yang terjadi
di Asia juga turut memperburuk situasi keamanan dalam negeri. Migrasi ilegal
dapat terjadi karena dua faktor utama, yaitu faktor pendorong dan penarik. Faktor
pendorong berasal dari situasi internal negara asal seperti pengangguran yang
meningkat sebagai akibat krisis ekonomi dan finansial, serta faktor-faktor
keamanan dalam negeri yang timbul akibat pemerintahan rezim yang represif atau
terjadi perang saudara. Faktor penarik yang berasal dari negara tujuan atau negara
pilihan timbul karena negara tujuan tersebut sangat aman, secara politik stabil,
kaya, ekonominya maju dan karenanya menjanjikan kehidupan baru yang lebih
baik.
Keempat, lalu lintas obat terlarang. Indonesia sebagai salah satu negara di
Asia Tenggara yang lokasinya sangat mudah diakses dan banyak wilayah yang
penjagaan keamanannya amat lemah, menjadikan negeri ini bukan saja sebagai
lalu lintas transit yang aman untuk perdagangan narkotika ke Australia dan
kawasan lainnya, tetapi juga seperti Thailand sangat memungkinkan Indonesia
menjadi pusat perdagangan serta pasar narkotika dan obat bius lainnya.
Kelima, aksi perompakan semakin nyata sebagai suatu ancaman bersama
yang perlu dihadapi oleh negara-negara di dunia. Tidak jarang pelaku perompakan
bukan hanya berasal dari satu kebangsaan tertentu saja, tetapi dari beragam
bangsa yang terorganisasi dalam satu organisasi kejahatan lintas negara, seperti
mereka yang beroperasi di Selat Malaka, Laut Cina Selatan dan Laut Cina Timur.
Keenam, adanya perdagangan gelap senjata, penyalahgunaan teknologi informasi,
konflik komunal yang terjadi di Aceh dan Ambon yang menggunakan senjata
sebagai alat kekerasan, misalnya, tidak menutup kemungkinan diperoleh dari hasil
perdagangan gelap. Sedangkan penyalahgunaan teknologi informasi seperti
perusakan jaringan internet dan website milik TNI dan Polri maupun milik
institusi dan perusahaan negara maupun swasta nasional lainnya.
Tantangan yang perlu dijawab oleh pemerintah adalah harus mampu
meyakinkan bahwa langkah-langkah yang dilakukan dalam upaya pemberantasan
terorisme dan bahaya lain yang dapat merusak tatanan keamanan nasional
digunakan untuk kepentingan kemakmuran seluruh rakyat. Dengan demikian
upaya untuk mewujudkan keamanan nasional dilakukan sebagai bentuk tanggung
jawab negara untuk memberikan rasa aman suatu bangsa dari berbagai ancaman,
baik politik, sosial maupun budaya, terhadap keutuhan dan kedaulatan wilayah.
Keamanan nasional merujuk kepada kebijakan pemerintah untuk
menjamin kelangsungan hidup dan keamanan negara bangsanya dengan
mewujudkan perdamaian dan stabilitas dalam sebuah komunitas. Dengan
memanfaatkan seluruh kekuatan diplomasi luar negeri (tetap berpijak pada politik
bebas aktif), mengolah potensi ekonomi nasional untuk kepentingan pertahanan
negara serta penggunaan kekuatan militer berdasarkan prinsip demokrasi. Untuk
mewujudkan langkah tersebut diawali dengan proses demokratisasi yaitu untuk
mewujudkan keamanan nasional harus mengikutsertakan masyarakat seluas-
luasnya. Hal tersebut sangat diperlukan mengingat sebagian masyarakat sudah
telanjur mempunyai persepsi yang rancu bahwa fungsi keamanan hanya
dimonopoli oleh aparat negara. Peran pemerintah sebagai regulator harus
memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat umum untuk melakukan
langkah-langkah penangkalan secara dini di lingkungan masing-masing.
Penangkalan tersebut dilakukan dengan proses pemberdayaan berdasarkan
perkiraan-perkiraan matang mengenai perkembangan lingkungan, nasional
maupun internasional, tanpa harus didominasi oleh negara. Dengan demikian
keamanan nasional, apa pun definisinya pada intinya mengandung hal-hal yang
bersifat partisipatif masyarakat menuju perdamaian dan stabilitas dalam sebuah
komunitas negara.
Berdasarkan konsep baru tentang keamanan nasional maka secara legal
demokratik tercantum dalam UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI yang
menyatakan keterlibatan TNI dalam pemberantasan terorisme di Indonesia
merupakan bagian dari operasi militer selain perang Military Operation Other The
War (MOOW) bukanlah hal yang tabu. Sydney Jones dari lembaga International
Crisis Group (ICG) menyatakan TNI harus terlibat aktif memerangi terorisme
untuk mengimbangi kekurangmampuan lembaga lain dalam menangani masalah
ini. Paling tidak terdapat tiga peran yang dapat dimainkan. Pertama, operasi-
operasi khusus. Termasuk di dalam peran ini adalah operasi-operasi yang
membutuhkan keahlian di luar keahlian konvensional kepolisian. Tugas yang
membutuhkan keahlian khusus seperti pada contoh ini lebih tepat dibebankan
pada Detasemen 81 Gultor (Penanggulangan Teroris) Kopassus TNI-AD,
Detasemen Jalamangkara Marinir TNI-AL dan Detasemen Bravo Paskas TNI-AU.
Kedua, penjagaan perbatasan. Bruce Hoffman, salah satu pakar terorisme dunia,
memprediksi bahwa pascaterusirnya Taliban dari Afghanistan, jaringan teror
dunia akan mengalihkan sasaran ke wilayah Asia Tenggara, termasuk Indonesia
yang sangat rendah penjagaannya. Indonesia sendiri setidaknya memiliki 12 pulau
terluar yang rawan penyelundupan dan akhirnya tentu bisa saja menjadi jalur
lintas kegiatan terorisme. Sehingga akan lebih optimal jika penjagaan wilayah
perbatasan dibebankan kepada personel TNI. Dan ketiga, deteksi dini potensi
teror. Dengan kemampuan data base atas kegiatan radikal, instrumen pembinaan
teritorial atau kewilayahan. Inteligence gathering pada strata terbawah komando
teritorial akan bersentuhan langsung dengan masyarakat dan merupakan sarana
efektif untuk mendeteksi potensi ancaman teror.
Dengan adanya perspektif baru keamanan nasional yang ditekankan pada
partisipasi masyarakat serta peran TNI dalam penanggulangan terorisme maka
dalam kurun waktu ke depan perlu dibuat kebijakan tentang keamanan nasional
yang komprehensif. Sehingga dapat diketahui secara jelas lembaga apa menangani
ancaman apa, serta bagaimana partisipasi masyarakat dilakukan.
BAB IV
IMPLIKASI KEBIJAKAN MEGAWATI SOEKARNOPUTRI DAN
RESPON UMAT ISLAM
A. Implikasi Kebijakan Megawati Soekarnoputri
Presiden Megawati Soekarnoputri adalah kepala negara pertama
mengunjungi George W. Bush paska serangan teroris pada 11 September 2001
yang merubuhkan menara kembar World Trade Center di Amerika. Pertemuan
kedua kepala negara ini banyak berbicara keinginan dan usaha untuk
mengkonsolidasikan koalisi internasional yang baru terbentuk untuk melawan
terorisme, terutama di negara berkembang. Indonesia salah satu komponen
penting dalam upaya ini karena posisinya sebagai negara demokratis
berpenduduk muslim terbanyak dan meningkatnya peran organisasi-organisasi
Islam sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Adapula dugaan bahwa
beberapa kelompok Islam radikal di Indonesia mempunyai kaitan dengan
organisasi Osama Bin Laden, Al-Qaida. Ini juga berkaitan dengan pernyataan
Menteri Senior Singapura (kaki tangan AS), yang terang-terangan menuduh
Indonesia sebagai “sarang para teroris”. Menurutnya, pemimpin teroris masih
berkeliaran di Indonesia.27
Aksi teror bom di Bali pada 12 Otober 2002, telah mendorong
pemerintah Indonesia untuk menyatakan perang melawan terorisme dan
mengambil langkah-langkah pemberantasan serius dengan dikeluarkannya
Perpu Nomor 1/2002, Perpu Nomor 2/2002 dan Inpres Nomor 4/2002, disusul
27 Lee Kwan Yew “The Asian Terorisme”, The Straits Time, 18 Februari 2002, h. 4
dengan penetapan Surat Keputusan Menteri Koordinator Bidang Politik dan
Keamanan Nomor Kep-26/Menko/Polkam/11/2002 tentang pembentukan
Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme. Perpu Nomor 1/2002 dan Perpu
Nomor 2/2002 telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 15/2003.
Berkaitan dengan teror bom di Bali dan memberikan wewenang penuh kepada
datasemen 88 dan BIN untuk memberantas terorisme.
Detasemen Khusus 88 (penulisan selanjutnya Densus 88) adalah
direktorat anti teror di Indonesia, lembaga ini yang yang menjadi ujung
tombak memerangi terorisme di Indonesia, lembaga di bawah Mabes Polri ini,
banyak menerima bantuan asing dalam jumlah yang sangat besar.
Kewenangan Densus 88 dan BIN yang tidak terbatas dengan mengekploitasi
undang-undang No. 15 dan 16 tahun 2003 untuk membasmi teroris di
Indonesia ini mendapat protes dari kalangan masyarakat. Lembaga ini
mempunyai superbody yang tak tersentuh hukum, kendati banyak oknumnya
melakukan pelanggaran hukum dan sering menyakiti umat Islam, khususnya
para ulama dan aktivis muslim yang dituduh teroris tanpa ada bukti yang
jelas28.
Kalangan masyarakat yang merasa dirugikan dengan keberadaan
Densus 88 menuntut pembubaran departemen ini karena bertentangan dengan
semangat demokrasi, meresahkan masyarakat dan pelanggaran HAM, yang
telah dimanfaatkan oleh kelompok anti Islam untuk memberangus para aktivis
muslim yang tidak sejalan dengan kepentingan mereka. Mereka berpendapat,
jika lembaga ini tetap dipertahankan maka kesalahan Orde Baru yang terkenal
28 Fauzan Al-Anshory, Detasemen 88, dalam Syahdatul Kahfi (ed), Terorisme Perang Global Dan Masa Depan Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006) h. 57
sangat represif terhadap umat Islam dengan Operasi Khususnya akan terulang
terulang kembali. Bedanya dengan Era Repormasi, jika Orde Baru operatornya
adalah TNI untuk menjalankan kepentingan rezim, operatornya beralih ke
polisi untuk mendukung hegemoni tersebut29.
Lembaga ini juga yang telah melakukan penangkapan lebih tepat
penculikan terhadap ratusan aktivis muslim paska Bom Bali. Penculikan selalu
disertai dengan penyiksaan, seperti yang pernah diungkapkan oleh imam
samudera, Ali Gufron, Ali Imron dan Amrozi saat menjadi saksi dalam
persidangan kasus Ustadz Abu Bakar Ba’asir di Kemayoran. saat itu Imam
Samudera menyebut dua nama pelaku penyiksaan, yakni Beni Mamoto dan
Carlo Tewu. Keduanya dituduh melakukan penelanjangan terhadap mereka.
Mirip dengan kasus dipenjara Abu Ghuraib di Irak yang menghebohkan dunia,
bedanya keempat orang tersebut tidak disuruh sodomi.
Dalam pelaksanaan penculikan oleh Densus 88, mendapat sorotan
tajam dari masyarakat, sebagian tokoh Islam membentuk Tim Pembela
Korban UU Antiterorisme (TIM KUAT) yang bertujuan untuk mengadvokasi
para korban. Hal ini dilakukan karena mereka buta terhadap Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga mereka tidak tahu haknya sebagai
tersangka.
Istilah penculikan digunakan karena prosedur penangkapan terhadap
para tersangka teroris tersebut tidak berdasarkan hukum yang berlaku dan
mengacu pada Kitab Undang-Undang hukum acara pidana (KUHAP) pasal 18
ayat 1 yang berbunyi bahwa pelaksana tugas penangkapan dilakukan oleh
29 Fauzan Al-Anshory, Detasemen 88, h. 58
petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat
tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan
serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia
diperiksa., kemudian tembusan surat penangkapan tersebut harus diberikan
kepada keluarganya segera setelah penangkapa30n.
Undang-undang No.15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak
pidana terorisme tidak mengatur prosedur penangkapan, sehingga polisi harus
merujuk kepada KUHAP, namun pada saat penangkapan tersangka teroris
yang memiliki bukti permulaan cukup adalah 7 X 24 jam sedangkan bagi
tersangka berdasarkan KUHP hanya 1 X 24 jam. Untuk memperoleh bukti
permulaan itu penyidik dapat menggunakan setiap laporan intelijen setelah
dilakukan proses pemeriksaan oleh ketua dan wakil ketua pengadilan negeri.
Jika kemudian tidak terbukti, polisi harus segera membebaskan dengan
mengeluarkan Surat Perintah Penghentian penyelidikan (SP3). Namun mereka
yang tidak terbukti tersebut sudah terlanjur ditangkap dan disiksa, seharusnya
mereka mendapat kompensasi, namun kedua undang-undang teroris tidak
mengatur hal tersebut. Para korban penculikan dan siksaan dapat dikatakan
korban teror dari kepolisian. Misalnya yang terjadi pada Syaifuddin Umar,
alumni Gontor dan Ummul Quro Mekkah yang mengakibatkan luka-luka
disekujur tubuh. Seperti sundutan api rokok, pukulan dikepala, punggung, dan
lepasnya kuku ibu jari, lebam di bibir kiri dan depresi dengan gejala sering
bergumam dan takut dengan orang yang tidak dikenal.31
30 KUHAP, (Surabaya : Karya Anda 2000) h. 14 31 diambil dari indopos http://www.indopos.com/0908/04/opini/475536.htm
Lalu siapa yang bertanggung jawab terhadap penyiksaan terhadap
guru ngaji tersebut, atau proses penangkapan sudah sesuaikah dengan proses
hukum, Densus 88 antiterorlah yang melakukan dan diakui oleh mereka.
Penyiksaan yang dilakukan oleh kepolisian adalah bentuk pelanggaran
undang-undang dasar 1945 pasal 28 ayat 1 yakni hak untuk tidak disiksa,
sekalipun terhadap tersangka. Tugas polisi sebagai penyidik adalah untuk
menemukan bukti-bukti kuat terhadap tuduhan yang disangkakan kepada
tersangka, bukan mengejar pengakuan yang justru akan mendorong terjadinya
penyiksaan.
Ironis memang melihat penegakan supermasi hukum di Indonesia,
ketika penyiksaan dilakukan kepada para tersangka teroris sementara kepada
tersangka konglomerat hitam, penjual aset negara, koruptor, pelaku ilegal
logging dan penumpasan tokoh separatis RMS. Para tersangka kejahatan ini
jauh lebih dahsyat daripada peledakan bom, ini sering mendapatkan hak-
haknya, seperti panggilan resmi sebanyak tiga kali, jika sakit diberi
kesempatan berobat. Tetapi bagi tersangka teroris hak-hak tersebut tidak
didapatkan.
Setahun setelah peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002. tepatnya 11
September 2003, Menko Polkam saat itu, Soesilo Bambang Yudoyono
menyampaikan prestasi Indonesia dalam memerangi teroris kepada Deputi
Menteri Pertahanan Amerika Serikat, Paul Wolfowitz di Washington DC
dalam acara jamuan makan malam khusus yang diselenggarakan oleh asosiasi
persahabatan AS- Indonesia (Usindo Soceity).
Dalam acara makan malam tersebut selain dihadiri Wolfowitz, hadir
wakil Menlu AS untuk Asia Pasifik James Kelly dan Duta Besar AS untuk
Indonesia Ralp L. Boyce. Dalam jamuan istemewa tersebut Wolfowitz
mengajak semua hadirin toas untuk SBY sebagai penghormatan atas
keberhasilan menangkap 97 (sembilan tujuh) teroris paska bom Bali Dan
inilah bentuk dari kebijakan Megawati Soekarnoputri.
Ternyata memang banyak pengamat berpendapat bahwa gerakan
Islam politik akan tidak bisa berkembang, kalau Megawati Soekarnoputri
menjadi presiden akan sangat merugikan gerakan dan umat Islam itu sendiri,
terbukti saat itu.32
Setelah tiga tahun peristiwa peledakan menara kembar WTC di AS,
AS berusaha menekan pemerintah Indonesia agar bermain dalam kampanye
anti-torisme. Bahkan kalangan petinggi AS membuka suara agar Washington
memberikan bantuan polisi dan meliter Indonesia, selain bantuan ekonomi
yang selama ini diberikan melalui via IMF dan Faris Club. Dibalik bantuan
itu, sebagaimana diungkapkan sejumlah pengamat, AS sebenarnya ingin
mengintervensi pemerintah Indonesia agar melakukan penagkapan terhadap
sejumlah tokoh Islam Indonesia yang seringkali baru atas tuduhan sepihak dan
atas bukti-bukti “kemasan” AS yang memojokkan sejumlah tokoh Islam
sebagai “aktor teroris”33.
Keberhasilan AS mengintervensi pemerintah Indonesia dengan
banyaknya tersangka teroris di Indonesia yang tertangkap hingga mencapai
32 Agung Pribadi,”Hubungan Buruk Megawati dengan Gerakan Politik Islam”dalam, Resonansi: Jurnal Pemikiran Kaum Muda, Vol ! No. 4 Tahun 2003 (Jakarta:DPPKNPI, 2003)h. 50 33 Idi Subandi Ibrahim dan Asep Syamsul M. Romli, Amerika, Terorisme dan Islamophobia: Fakta dan Imanjinasi Jaringan Kaum Radikal, (Bandung: Nuasa, 2007), h. 25
sekitar 150 (seratus lima puluh) orang. Diantaranya hasil penculikan terhadap
aktivis Islam kloter pertama sekitar 30 orang, 10 orang kasus Cimanggis, 6
orang kasus mahasiswa Indonesia di Pakistan, 7 orang korban penculikan
terakhir adalah Urwah, Ari Setiawan, Lutfi Haidaroh, Syaifudin Umar, Ismail,
Candra dan Sonhadi. Dari ketujuh korban penculikan tersebut yang paling
menyedihkan menimpa Syaifudin Umar, dia diculik didekat Asrama Haji
Sukolilo Surabaya (14 Agustus 2004) dan ditemukan dalam keadaan depresi
berat dan luka-luka yang menggenaskan34. Keluarga korban menduga Densus
88 yang paling bertanggung jawab atas penculikan dan penyiksaan terhadap
orang-orang yang dituduh teroris.
Maraknya penculikan terhadap aktivis muslim ini, tentunya
menimbulkan kegelisah tersendiri dikalangan masyarakat karena setiap saat
orang dapat ditangkap dan diculik tanpa disertai dengan surat penangkapan
dan disiksa oleh Densus 88 untuk mendapatkan keterangan. Tentunya pola-
pola seperti pada masa Orde baru ini mendapat protes keras dari kalangan
masyarakat.melalui unjuk rasa seperti yang dilakukan beberapa kelompok
masyarakat yang mengatasnamakan Front Perlawanan Penculikan (FPP)
Surakarta dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Solo yang mendesak
pembubaran Densus 88 Anti Teror Mabes Polri. Mereka menilai Densus 88
tersebut telah menyimpang dari tugasnya yang sebenarnya. Tuntutan tersebut
diteriakkan FPP Surakarta dan MMI Solo saat menggelar aksi unjuk rasa di
depan Mapolwil Surakarta,35. Unjuk rasa yang diikuti sekitar 100 orang ini
34 “Siapa yang Melakukan Penculikan” Tempo, tanggal 21 Agustus 2004, h. 1 35 FPP dan MMI Solo Tuntut Pembubaran Densus 88 Anti Teror, diambil dari sumber tempo news http://www.tempo.com/2008/04/opini/475536.htm
merupakan bentuk solidaritas atas nasib yang dialami M Syaifudin Umar,
ustad asal Surabaya, yang ditangkap dan dianiaya petugas.
Dalam pernyataan sikap bersama, pengunjuk rasa menilai Densus 88 Anti
Teror justru telah melakukan pelanggaran HAM berat dengan melakukan
penculikan dan penyiksaan. "Densus 88 ini bukan lagi menegakkan hukum
tapi justru lebih banyak menebarkan teror bagi masyarakat," demikian
pernyataan mereka. Mereka kemudian mencontohkan adanya sejumlah
penangkapan aktivis masjid dan pesantren yang dilakukan tanpa prosedur dan
aturan yang berlaku. "Termasuk yang dialami ustad Syaifudin Umar adalah
ulah Densus 88 ini," ujar Ahmad Sigit, salah seorang pengurus MMI Solo
dalam orasinya. Pengunjuk rasa juga menyebut Densus 88 ini nyata-nyata
telah melakukan pelecehan terhadap hukum dan perundang-undangan yang
berlaku dengan menculik dan menyiksa. "Pemerintah dan DPR harus
mengontrol institusi ini. Kami mencurigai Densus ini diatur oleh luar negeri
khususnya Amerika Serikat yang telah memberikan bantuan dana," tandas
Kholid Saifullah, juru bicara FPP. Pengunjuk rasa juga menuntut para
petinggi dan anggota dari detasemen ini yang terlibat dalam penculikan untuk
diperiksa dan diadili. Sementara itu menyangkut penyiksaan yang dialami
Syaifudin Umar alias Abu Fida oleh petugas, mereka mendesak para
pelakunya diseret ke pengadilan karena telah melanggar Hak Asasi Manusia
(HAM).
Melihat dari banyaknya bantuan yang diberikan AS dan sekutunya
kepada Indonesia bukanlah pemberian bantuan secara gratis, ada kepentingan-
kepentingan mereka terhadap Indonesia yang harus dipenuhi pemerintah. Hal
ini dapat terlihat ketika satu bulan sebelum peledakan bom Bali, yakni tanggal
16 September 2002, menurut penerjemah Deplu AS Frederick Burks terjadi
pertemuan rahasia dirumah Megawati di jalan Teuku Umar yang dihadiri lima
orang diantaranya, Megawati, Ralp L. Boyce(Dubes AS), Karen Brooks
(Direktur NSC Asia Pasifik), Burks dan seorang agen wanita CIA yang
menjadi utusan Bush. Pertemuan tersebut didominasi agen CIA untuk
menahan ustad Abu Bakar ba’asir, namun Megawati Soekarnoputri menolak
karena takut instabilitas politik dan agama. Agen CIA mengancam,”situasi
akan bertambah buruk”.
Bom Bali meledak 12 Oktober 2002, sepekan kemudian lahir dua
Perpu antiteroris. Ustadz Abu menjadi tersangka. 28 Oktober 2002 Ustadz
Abu diseret dari RS PKU Solo dalam keadaan sakit, kemudian dipenjara dan
dibebaskan tanggal 14 Juni 2006.
Tentunya ada beberapa pihak yang diuntungkan dengan isu bahwa
Indonesia adalah sarang teroris, diantaranya pihak meliter Indonesia dan
Polisi. Karena dua institusi inilah yang menjadi garda terdepan untuk
memerangi bahaya terorisme yang dihembuskan AS.
Dengan adanya kampanye perang melawan teroris, Polri merasa
sangat diuntungkan dan menjadikan keadaanya lebih baik, karena banyaknya
bantuan dari negara asing sehingga Polri mampu memiliki peralatan muktahir,
dan mendapatkan pelatihan-pelatihan dalam penanganan teroris, dengan
suntikan dana juta dolar tersebut membuat Polri semangat melakukan perang
terhadap teroris, dan selalu siap mengikuti kepentingan asing, seperti yang
menimpa Ustadz Abu Bakar Ba’asyir.
B. Respon Umat Islam Terhadap Kebijakan Megawati Soekaroputri
Dalam masalah pemberantasan terorisme, kebijakan yang telah
dikeluarkan pemerintah berupa undang-undang antiterorisme tentunya
menimbulkan respon dari kalangan masyarakat, ada yang menilai positif dan yang
negatif.
Bagi kalangan yang merespon positif kebijakan yang diambil pemerintah
dalam menangani masalah terorisme, mereka berpendapat bahwa terorisme tidak
layak hidup dan berkembang di Indonesia, karena aktivitas terorisme perbuatan
yang tidak berperadaban dan merugikan. Banyak orang yang tidak bersalah
menjadi korban. Di samping mengakibatkan korban jiwa, juga merusak sendi-
sendi perekonomian masyarakat terutama dibidang industri pariwisata. Paska
peledakan Bom di Bali misalnya banyak pebisnis pariwisata yang gulung tikar
karena kejadian tersebut. Dan tentunya terorisme juga disesalkan kelompok Islam
yang moderat yang selama ini terus menampilkan dan memperjuangkan citra
Islam sebagai agama yang ramah dan rahmat bagi seluruh umat.
Untuk memulihkan bisnis dan industri pariwisata, Indonesia harus
berjuang dengan menciptakan sebagai negara aman dan nyaman dengan penduduk
muslim yang ramah. Keamanan harus ditingkatkan dan pemberantasan terorisme
harus sampai keakarnya. Menurut Menteri Negara Pariwisata dan Budaya I Gede
Ardika saat itu, beliau mengajak khususnya pelaku pariwisata di Indonesia untuk
melawan terorisme. Melawan terorisme bukan dengan cara yang sama dilakukan
oleh teroris tetapi dengan pantang menyerah dan pantang mundur untuk selalu
bangkit dengan mengutamakan kebersamaan dan kedamaian antar bangsa. 36 oleh
sebab itu, kita harus menjunjung tinggi kebersamaan dan kedamaian antar bangsa
negara. Dengan cara seperti ini, pasti mereka orang yang tidak beradab itu akan
menyerah," kata Ardika saat membuka acara Bengawan Solo Fair (BSF)
Respon negatif atas kebijakan pemerintah dikarenakan kebijakan penanganan
lebih banyak merugikan hak-hak masyarakat sipil dan pelanggaran HAM, seperti
penculikan para aktivis muslim yang marak terjadi diberbagai provinsi di
Indonesia. di Jawa timur misalnya, seorang guru mengaji bernama ustadz
Muhammad Syaifuddin Umar alias Abu Fida (38 tahun) di culik oleh tim dari
Mabes Polri pada 4 Agustus 2004, kemudian Saat ditemukan, Saifudin dalam
kondisi tidak memakai baju dan hanya membawa kantong plastik yang berisi
pakaian kumal berlumuran darah. Selain itu, kaki kirinya bengkak, kuku jempol
kiri hilang dan kelingking tangannya hilang separoh. "Di leher ada bekas
cambukan dan tangan kanannya juga ada bekas sobekan, guru mengaji ini masih
mengalami depresi berat dengan luka-luka parah disekujur tubuh,37 di Solo tiga
orang aktivis Islam yang Seperti diberitakan, tiga aktivis Islam yang dilaporkan
hilang itu adalah Sonhadi, Ismail dan Chandra. Menurut Mahendra Data, kasus
serupa yang sudah tercatat sebanyak 14 kasus dalam tahun ini. "Penculikan para
aktivis Islam, itu dilakukan dengan cara dan modus yang sama, mereka diambil
sekelompok orang, dimasukkan mobil dan dibawa lari. Setelah diketahui
ditangkap, mereka tidak dapat ditemui oleh siapapun sampai kurun waktu
tertentu," katanya.38
36 diakses di http://www.tempo.com/1009/04/wawancara/475536.htm 37 diakses di http://www.tempo.com/1608/04/wawancara/475536.htm 38 diakses di http://www.tempo.com/2008/04/wawancara/475536.htm
Aksi protes ini tidak hanya dilakukan dengan berorasi dijalanan tetapi melalui
jalur hukum seperti yang dilakukan Masykur Abdul Kadir. Terdakwa yang ikut
terlibat dalam bom Bali. Dengan mengajukan hak uji materil terhadap undang-
undang No.16/2003, tentang penerapan Perpu No.2/2003 tentang pemberlakuan
Perpu No.1/2003, penanggulangan tindak pidana terorisme dalam kasus bom Bali
yang memberlakukan asas berlaku surut (retroactive).
Pada tanggal 23 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi yang diketuai Jimly
Asshidiqqie mengabulkan permohonan uji materil undang-undang tersebut
dengan alasan undang-undang tersebut melanggar konstitusi.39
Menurut majelis, undang-undang itu bertentangan dengan hak setiap orang
untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut yang diatur Pasal 28 i
UUD 1945. Majelis hanya mengakui, pemberlakuan surut berlaku hanya untuk
kasus-kasus kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran HAM berat, seperti diatur
Statuta Roma Seperti pelanggaran HAM berat, genosida, perang dan agresi,
sementara peristiwa bom Bali 12 Oktober 2002 belum termasuk kategori
kejahatan luar biasa. Majelis juga khawatir asas pemberlakuan surut akan
membuka peluang bagi rezim penguasa tertentu untuk membalas dendam terhadap
lawan politiknya. Negara-negara maju pun melarang asas ini dalam undang-
undangnya. Meski begitu, majelis menyatakan tetap mendukung usaha
pemberantasan kejahatan terorisme hingga akar permasalahannya. Namun, majelis
juga tidak ingin ada preseden buruk di masa depan di dalam pelaksanaannya, jika
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2002 itu tetap diberlakukan. Apalagi, menurut
39 diakses di http://www.tempo.com/2407/04/wawancara/475536.htm
majelis, Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang cukup untuk
memberantas kejahatan terorisme
Tentunya keputusan Mahkamah Konstitusi ini datanggapi beragam, Majelis
Ulama Indonesia menyambut penuh gembira atas putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengabulkan hak uji materiil atas Undang-Undang Tindak Pidana
Terorisme. Pendapat tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal Majelis Ulama
Indonesia Din Sjamsudin, yang ditemui saat melayat mantan Menteri Agama Orde
Baru Munawir di Jakarta40. Din menilai, keputusan Mahkamah Konstitusi ini
merupakan langkah tepat. "Putusan tersebut sangat tepat karena dari awal kami
menilai UU Anti terorisme adalah produk hukum yang dipaksakan dan merupakan
pesanan Amerika Serikat," jelasnya. UU ini, kata beliau, dirancang oleh pejabat-
pejabat negara yang mengikuti kehendak Amerika Serikat. "Saya tidak perlu
menyebutkan namanya kan," ujarnya. Dia menambahkan, salah satu dari lima
calon presiden yang berlaga dalam Pemilu Presiden juga merupakan satu dari
pejabat negara yang dimaksud. Din menambahkan, undang-undang ini telah
melukai hati umat Islam. Dengan ditetapkannya undang-undang tersebut, terjadi
penangkapan terhadap tokoh aktivis muslim. "Mereka ditangkap tanpa ada bukti
awal yang kuat. Jadi main tangkap saja," katanya. Dan main hakim sendiri. Pada
kenyataannya kondisi Gerakan Islam dan umat Islam saat itu. Tidak pernah
mendapatkan keadilan dan perlindungan di negaranya sendiri.
40 diakses di http://www.tempo.com/2307/04/wawancara/475536.htm
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Implikasi terhadap Islam dengan kebijakan yang diterapkan pemerintahan
Megawati Soekarnoputri. Setiap kebijakan sudah dapat dipastikan akan selalu
disertai dengan implikasi atau akibat dari kebijakan tersebut, dalam kebijakan
masalah terorisme ini ada beberapa implikasi yang dianggap merugikan
masyarakat :
1. Terjadi penangkapan dan penculikan aktivis muslim yang baru di duga
sebagai terorisme dengan cara melakukan penyiksaan untuk
mendapatkan keterangan, dan semua hal itu dilakukan hanya
berdasarkan laporan awal intelijen (pasal 26).
2. Mengancam kebebasan pers dan kebebasan mengemukakan pendapat.
Pada pasal 20 disebutkan “Setiap orang menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan atau dengan mengintimidasi penyelidik, penyidik,
penuntut umum, penasehat hukum dan atau hakim yang menangani
tindak pidana terorisme, sehingga proses peradilan menjadi terganggu,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas tahun)” Dari rumusan pasal ini dapat
digunakan sebagai alasan pembatasan terhadap media massa atau pun
mereka yang memberikan komentar atas suatu proses hukum atas
tindak pidana terorisme.
3. Mengancam hak-hak individu melalui tindakan penyadapan telepon
pengawasan buku dll, yang semata berdasarkan laporan intelijen
sebagaimana tercantum dalam pasal 26 ayat 1 yang berbunyi “Untuk
memperoleh bukti permulaan yang cukup, penyidik dapat
menggunakan setiap laporan intelijen”. Jo pasal 30 yang berbunyi
“Untuk kepentingan pemeriksaan dalam perkara tindak pidana
terorisme, maka penyidik, penuntut umum atau hakim berwenang
untuk meminta keterangan dari pihak Bank dan lembaga jasa keuangan
mengenai harta kekayaan dari setiap orang yang diketahui atau patut
diduga melakukan tindak pidana terorisme”.
Dalam masalah pemberantasan terorisme, kebijakan yang telah
dikeluarkan pemerintah berupa undang-undang antiterorisme tentunya
menimbulkan respon dari kalangan masyarakat, ada yang menilai positif dan yang
negatif.
Bagi kalangan yang merespon positif kebijakan yang diambil pemerintah
dalam menangani masalah terorisme, berpendapat terorisme tidak layak hidup dan
berkembang di Indonesia, karena aktivitas terorisme perbuatan yang tidak
berperadaban dan merugikan. Banyak orang yang tidak bersalah menjadi korban.
Di samping mengakibatkan korban jiwa aksi terorisme banyak merusak sendi-
sendi perekonomian masyarakat terutama dibidang pariwisata. Dan tentunya
terorisme juga disesalkan kelompok Islam yang moderat yang selama ini terus
menampilkan dan memperjuangkan citra Islam sebagai agama yang ramah dan
rahmat bagi seluruh umat.
Bagi Respon negatif atas kebijakan pemerintah dikarenakan kebijakan
penanganan lebih banyak merugikan hak-hak masyarakat sipil seperti penculikan
para aktivis muslim yang marak terjadi diberbagai propinsi di Indonesia.
penculikan ini disertai dengan penyiksaan untuk mendapatkan keterangan.
Penculikan dan penyiksaan ini ditentang oleh umat Islam dan kelompok pembela
Hak Asasi manusia (HAM), karena apa yang dilakukan oleh Polisi dengan Densus
88 telah melanggar ketentuan undang-undang dan melanggar HAM. Sehingga
terjadi penuntutan pembubaran densus 88 yang mereka anggap bukan lagi hendak
menegakkan hukum tapi justru lebih banyak menebarkan teror bagi masyarakat.
penolakan terhadap kebijakan pemberantasan terorisme juga dilakukan melalui
jalur hukum seperti yang dilakukan Masykur Abdul Kadir. Terdakwa yang ikut
terlibat dalam bom Bali. Dengan mengajukan hak uji materil terhadap undang-
undang No.16/2003, tentang penerapan Perpu No.2/2003 tentang pemberlakuan
Perpu No.1/2003, penanggulangan tindak pidana terorisme dalam kasus bom Bali
yang memberlakukan asas berlaku surut (retroactive).
Pada tanggal 23 Juli 2004, Mahkamah Konstitusi yang diketuai Jimly
Asshidiqqie mengabulkan permohonan uji materil undang-undang tersebut
dengan alasan undang-undang tersebut melanggar konstitusi.
Paska pembatalan undang-undang No. 16 tahun 2003 tentang
pemberantasan tindak pidana terorisme oleh Mahkamah Konstitusi, Majelis
Ulama Indonesia menyambut penuh gembira atas putusan Mahkamah Konstitusi
yang mengabulkan hak uji materiil atas Undang-Undang Tindak Pidana
Terorisme. Menurut Din Syamsudin, keputusan Mahkamah Konstitusi ini
merupakan langkah tepat. karena dari awal MUI menilai UU Anti terorisme
adalah produk hukum yang dipaksakan dan merupakan pesanan Amerika Serikat.
Sambutan kegembiraan juga tidak hanya dari MUI yang dapat
diprentasikan sebagai pendapat umat Islam, tapi juga dari kalangan aktivis muslim
dan semua keluarga korban yang menjadi tersangka dalam kasus teroris. Dan
kegembiraan ini tidak hanya dirasakan kalangan Islam tetapi juga para pejuang
Hak Asasi Manusia (HAM) dan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Memerangi terorisme adalah kewajiban sebuah negara. secara prosedural,
kewajiban ini menimbulkan sebuah dilema antara keniscayaan pemberian
kewenangan kepada institusi negara disatu pihak dan keharusan negara untuk
tetap melindungi kebebasan sipil (civil liberty), terutama yang termasuk non
derogable rights (Hak tidak mutlak yang tidak bisa ditawar-tawar). Kebijakan
untuk memerangi terorisme harus senantiasa bertolak dari beberapa prinsif :
1. Perlindungan kebebasan hak sipil, penghargaan dan perlindungan
terhadap hak-hak individu serta pembatasan terhadap hak-hak
demokratik.
2. Pembatasan dan pencegahan penyalahgunaan kekuasaan oleh negara.
Dapat dilakukan dengan menerapkan secara utuh prinsip checks and
balances dalam proses perumusan dan pengambilan keputusan,
spesialisasi fungsi institusi pelaksana kebijakan, dan tersediannya
mekanisme akuntabilitas publik bagi pelaksana kebijakan. Negara
punya kewajiban untuk mengutamakan kepentingan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal, Kebijakan Publik, ( Jakarta : Yayasan Pancur Siwah, 2004 ) Amin, Martimus, ”Makamah Konstitus, Konstitusi dan Demokrasi” dalam
Rudhy Suharto dkk. (ed.) Terorisme, Perang Global dan Masa Depan Demokrasi, (Depok : Matapena, 2004)
---------------------, “Negara Hukum, Intervensi Asing, Ambiguitas Demokrasi”,
dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006)
Ari Wibowo, Aloysius (dkk), Tak Ada Jalan Pintas: Perjalanan Panjang Seorang
Perempuan, (Jakarta: LBKN-Antara Pustaka Utama, 2003) Abu Fariz, M. Abdul Qodir, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 2000) Andi Natsif, Fadli, Prahara Trisakti dan Semanggi: Analisis Sosio-Yuridis
Pelanggaran HAM Berat di Indonesia, (Makassar: to ACCAe Publishing, 2006)
Azra, Azyumardi, Jihad dan Terorisme : Konsep dan Perkembangan Historis
dalam Jurnal Islamika, Edisi 4 April- Juni 1994 Al-Anshari, Fauzan, Awas! Operasi Intelijen, (Tangerang: Ar-Rahma Media,
2006) Atmasasmita, Romli, Masalah Pengaturan Terorisme dan Perspektif Indonesia,
( Jakarta : Percetakan Negara RI, 2002 ) Esposito, Jhon L dan Jhon O Voll, Demokrasi di Negara Muslim: Proplem dan
Prospek, terj. Rahmani Astuti, (Bandung : Mizan, 1999) Gaffar, Afan, “Islam dan Politik dalam Era orde Baru: Mencari Bentuk
Artikulasi Yang Tepat”, Jurnal Ulumul Qur’an Vol. IV, no. 2 1993 Gautama, Sidarta, Megawati Soekarnoputri; Harapan dan Tantangan di Kursi
Wapres RI,( Jakarta : Rineka Cipta 2000) Hifner, Robert W., Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Terj.
Ahmad Baso, (Jakarta : ISAI, 2000) Hardiman, Budi dkk, Terorime: Definisi, Aksi, dan Regulasi, (Jakarta: Imparsial,
2005)
Ibrahim, Idi Subandi dan M. Romli, Asep Syamsul, Amerika, Terorisme dan Islamophobia: Fakta dan Imanjinasi Jaringan Kaum Radikal, (Bandung: Nuasa, 2007)
Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, (Yogyakarta: Antiara
Wacana, 1999) -------------------, Negara, “Islam Politik” dan Eksistensi ICMI: dalam Ahmar
(Peny), ICMI: Kekuasaan dan Demokrasi, (Yogyakarta: PT. Pena cendikia Indonesia, 1995)
Ki Sukanyata, Saat Terindah dalam Hidup Megawati Soekarnoputri, (Tanggerang
: Totalitas tt) Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka 1996). h. 641 Lubis Solly, Kebijakan Publik, ( Bandung : Mandar Maju, 2007 ) Muchtar, Rusdi, Dkk, Megawati Soekarnoputri Presiden RI, (Depok: PT. Rumpun
Dian Nugraha, 2002). N. Dunn, Wiliam, buku Analisis Kebijakan Publik, (Yogyakarta : Gadjah Mada
University Press 2003) Pribadi, Agung, “Cuak” dalam Hidayatullah November 2002 ------------------,”Hubungan Buruk Megawati dengan Gerakan Politik
Islam”dalam, Resonansi: Jurnal Pemikiran Kaum Muda, Vol.1 No. 4 Tahun 2003 (Jakarta:DPPKNPI 2003)
Ramage, Douglas E, Pencaturan Politik di Indonesia; Demokrasi Islam dan
Idiologi Toleransi, Terj. Hartono Hadikusumo. (Jakarta: MATA BANGSA, 2002)
Sihbudi, Riza, “Dimensi Internasional Teroris”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.),
Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : Mitra Alembana Grafika, pt 2006)
Sirait, Sabam, Untuk Demokrasi Indonesia, ( Jakarta : Forum Adil Sejahtera
1997) Soepriyadi, Es., Ngruki & Jaringan Terorisme: Melacak Jejak Abu Bakar
Ba’asyir dan Jaringannya dari Gruki Sampai Bom Bali,(Jakarta: Almawardi Prima, 2003)
Siagian, H. Aris, Hj. Megawati Soekarnoputri dan Islam: Presiden Perempuan
Mengapa Tidak?, (Jakarta : SEI, 2004)
Suharto, Edi, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Bandung; Alfabeta, 2007) Tjokroamijdjojo, Bintoro dan Mustopadidjaya A.R., Kebijakan dan Administrasi
Pembangunan , Perkembangan Teori dan Penerapan, (Jakarta : LP3ES 1988)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 15 & 16 Tahun 2003 Winters, Jeffrey A., Ketidakpastian di Indonesia Era Soeharto, (Jakarta :
Djambatan, 1999) Wahab, Abdul, S., Dalam Pengantar Analisa Kebijakan Negara, (Malang :
Rineke Cipta 1989) Wahid, Abdul, dkk, Kejahatan Terorisme: Perspektif Agama, Ham dan Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2004) Winata, Frans Hendra, “Putusan Mahkamah Konstitusi soal Undang-umdang
Antiteroris”, dalam Syahdatul Kahfi (ed.), Terorisme di Tengah Arus Global Demokrasi, (Jakarta : SPECTRUM, 2006)
Zada, Khaitami, Islam Radikal; Pergulatan Orrmas-ormas Islam Garis Keras di
Indonesia, (Jakarta: TERAJU, 2002)