keberlakuan hukum islam secara formal yuridis di kalimantan

14
KEBERLAKUAN HUKUM ISLAM SECARA FORMAL YURIDIS DI KALIMANTAN KELOMPOK N MAYSSUN SYAMSALAILLA [email protected] 081326617656 (11010114140495) DERANDRA ADHA KUMBARA [email protected] 085783699710 (11010114140505) DINI ANDRIANI [email protected] 085741659498 (11010114140511) KRESNANDO BAYU PRATAMA [email protected] 085727223809 (11010114140515) JESSICA WULANDARI [email protected] 081294111053 (11010114140519) FAKULTAS HUKUM KELAS E

Upload: mosha-mocha

Post on 28-Sep-2015

229 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

KHI

TRANSCRIPT

KEBERLAKUAN HUKUM ISLAM SECARA FORMAL YURIDIS DI KALIMANTAN

KELOMPOK N

MAYSSUN [email protected](11010114140495)

DERANDRA ADHA [email protected](11010114140505)

DINI [email protected](11010114140511)

KRESNANDO BAYU [email protected](11010114140515)

JESSICA [email protected](11010114140519)

FAKULTAS HUKUMKELAS E

UNIVERSITAS DIPONEGORO

daftar isi

BAB I

PENDAHULUAN

1. Hukum Islam di IndonesiaHampir sembilan puluh persen penduduk di Indonesia mengaku beragama Islam, namun tidak sserta merta negara Indonesia memberlakukan Hukum Islam. Di Indonesia, Hukum Islam berlaku secara normatif, dan secara formal yuridis. Secara normatif adalah bagian Hukum Islam yang mempunyai sanksi kemasyarakatan apabila dilanggar. Sedangkan Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis mengatur hubungan manusia dengan manusia lain, dan benda dalam masyarakat. Bagian Hukum Islam ini menjadi hukum positif, contohnya hukum perkawinan, hukum kewarisan, hukum wakaf yang telah dikompilasikan.

2. Rumusan masalah Bagaimana kedudukan Hukum Islam di Indonesia? Bagaimana keberlakuannya Hukum Islam secara formal yuridis di Indonesia? Norma-norma Hukum Islam apa saja yang berlaku secara formal yuridis di Kalimantan?

BAB II

PEMBAHASAN

1. Kedudukan Hukum Islam di Indonesia

Sebagai dasar negara Indonesia, Pancasila sering disebut sebagai dasar falsafah negara (filosofische gronslag dari negara), Staats fundamentele norm, weltanschauung dan juga diartikan sebagai ideologi negara (staatsidee) negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama serta untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannnya, negara menghendaki adanya toleransi dari masing-masing pemeluk agama dan aliran kepercayaan yang ada serta diakui.

Kalau kita menengok kembali perdebatan tentang Pancasila sebagai Dasar Negara NKRI di sidang Konstituante 1957, tampak jelas bahwa keberatan kaum agama lain terhadap klaim keunggulan Islam sebagai Dasar Negara adalah Islam dalam sejarahnya di dunia maupun di Indonesia masih mengandung ketidakadilan dalam artian demokrasi modern. Prof Mr. R.A. Soehardi dari partai Katholik dan perwakilan dari kaum nasionalis seperti Soedjatmoko dan sebaginya serta wakil agama lain dalam sidang tersebut dengan tegas menyatakan bahwa nilai-nilai Pancasila yang ada seperti yang dijabarkan oleh pendiri Bangsa ada di setiap agama termasuk Islam maupun Katholik dan sebagainya. Oleh karenanya, Pancasila lebih luas dan universal dari pada pandangan Islam yang meletakkan umat agama lain dalam status dibawahnya (dzimmi, pen). Ada ketidakadilan yang signifikan dalam menempatkan status dzimmi bagi bangsa yang didirikan diatas pengorbanan semua kaum yang ingin menjadi satu bangsa dalam satu tatanan kenegaraan, NKRI. Keberatan lainnya adalah bahwa fakta sejarah yang memperlihatkan bahwa penguasa dan kaum intelektual Islam zaman dahulu di dunia maupun di Indonesia hingga kini selalu dalam perbedaan dalam menginterpretasi dan memaknai (shariat) Islam. Bila direfleksikan pada kondisi sekarang ini, dunia Islam seperti Iran dan Pakistan misalnya penuh dengan pertentangan ideologi Islam yang bahkan menyeret umat Islam pada perpecahan yang berdarah antar sesama Muslim dan lebih senang melupakan makna dan tujuan berbangsa dan bernegara. Hal ini karena politik Islam selama ini lebih cenderung pada politik ideologi daripada politik kebangsaan dan kebernegaraan. Politik shariat Islam boleh jadi hingga kini masih berkutat pada politik interpretasi ideologi (teologis). Berdakwah politis untuk mencapai satu shariat Islam sepertinya jauh dari pada kenyataan, dan ini akan berakibat fatal karena nafsu syahwat kekuasaan politik lebih dominan dan menarik daripada niat untuk membangun kehidupan yang rahmatan lil alamin dalam satu bangsa dan negara.

2. Hukum Islam berlaku secara formal yuridis

Kedudukan hukum Islam dalam negara RI, tidak hanya secara umum ada dalam pasal 20 atau 24 UUD 1945 (disamping hukum-hukum lainnya). Tetapi secara khusus tercantum dalam pasal 29 ayat (1) UUD 1945, di dalam pasal ini jelas disebutkan bahwa negara berdasar atas ketuhanan yang maha esa, menurut almarhum Prof. Hazairin, kaidah fundamental dalam pasal 29 ayat (1) dapat ditafsirkan dalam enam kemungkinan, tiga diantaranya yang relevan dengan pembicaraan ini, intinya adalah

Negara Indonesia tidak boleh ada atau tidak boleh berlaku hukum yang bertentangan dengan kaidah-kaidah agama yang berlaku bagi pemeluk agama di tanah air kita Negara wajib menjalankan syariat semua agama yang berlaku di Indonesia, kalau untuk menjalankan syariat itu memerlukan bantuan kekuasaan negara. Artinya adalah negara berkewajiban menjalankan syariat agama untuk kepentingan pemeluk agama yang diakui keberadaannya dalam negara RI ini. Syariat yang tidak memerlukan kekuasaan negara untuk melaksanakannya karena dapat dijalankan sendiri oleh setiap pemeluk agama yang bersangkutan (seperti shalat dan puasa bagi umat Islam) menjadi kewajiban pribadi pemeluk agama itu sendiri untuk menjalankan menurut ketentuan agamanya masing-masing.

Sebagai upaya pembinaan dan pembangunan hukum nasional, hukum Islam telah memberikan kontribusi yang sangat besar, paling tidak dari segi jiwanya. Pernyataan ini diperkuat oleh beberapa argumen.

Pertama, UU No. I tahun 1974 tentang Perkawinan. Pada Pasal 2 Undang-undang ini, ditulis bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya. Sementara dalam pasal 63 menyatakan bahwa, yang dimaksud pengadilan dalam Undang- undang ini adalah Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.

Kedua, di dalam UU No.2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan bahwa dalam rangka pembangunan manusia seutuhnya adalah beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, mempunyai ilmu pengetahuan dan keterampilan, sehat rohani, mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri, mempunyai rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Ketiga, UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Undang- undang ini membuktikan bahwa Peradilan Agama sudah sepantasnya hadir, tumbuh, serta dikembangkan di bumi Indonesia. Hal ini membuktikan adanya kontribusi umat Islam sebagai umat yang mayoritas.

Keempat, Kompilasi Hukum Islam (KHI), meski tidak terbentuk undang- undang, melainkan Instruksi Presiden Nomor I Tahun 1991. Kompilasi ini sangat membantu para hakim dalam memutuskan perkara, terutama di Peradilan Agama.

Kelima, PP No.28 tahun 1978 tentang Perwakafan Tanah Milik, di samping UU No.5 tahun 1960 sebagai pengaturan pokok masalah pertanahan di Indonesia

Sebagai pelaksanaannya telah dikeluarkan juga Peraturan Menteri Agama No. Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksana PP No. 28 tahun 1978. Untuk pelaksanaan tersebut telah dikeluarkan beberapa peraturan sebagai berikut : 1. Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/Setingkat di seluruh Indonesia untuk mengangkat/memberhentikan Kepala KUA Kecamatan sebagai PAIW.2. Instruksi bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri masing- masing No. 1 tahun 1978 tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 28 tahun 1978.3. Instruksi Menteri Agama No. 3 tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang kepada Kepala Kanwil Dep. Agama Propinsi/Setingkat untuk mengangkat/memberhentikan setiap Kepala KUA Kec. sebagai PPAIW4. Peraturan Direktur Jenderal Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.II/5/Ed/14/1980 tentang Pemakaian Bea Materai dengan lampiran rekaman Surat Direktorat Jenderal Pajak No. S-629/ PJ.331/1080 tentang Ketentuan Menteri Keuangan atas tanda-tanda sebagai dimaksud dalam Peraturan Menteri Agama No. 1 Th. 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 Th. 19775. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 tahun 1977 tentang Tata Cara Pendaftaran Tanah mengenai Perwakafan Tanah Milik.6. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D.II/5/Ed/07/1981 tentang Pendaftaran Perwakafan Tanah Milik7. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan HajiNo. D.II/5/Ed/ll/1981 tentang Petunjuk Pengisian nomor pada formulir Perwakafan Tanah Milik.13

Hukum Islam sebagai tatanan hukum yang dipedomani dan ditaati oleh mayoritas penduduk dan masyarakat Indonesia adalah hukum yang telah hidup dalam masyarakat, dan merupakan sebagian dari ajaran dan keyakinan Islam yang eksis dalam kehidupan hukum nasional, serta merupakan bahan dalam pembinaan dan pengembangannya.

Sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran hukum Islam dalam hukum nasional merupakan perjuangan eksistensi. Teori eksistensi merumuskan keadaan hukum nasional Indonesia, masa lalu, masa kini, dan masa datang, menegaskan bahwa hukum Islam itu ada dalam hukum nasional Indonesia, baik tertulis maupun yang tidak tertulis. Ia ada dalam berbagai lapangan kehidupan hukum dan praktik hukum.

Teori eksistensi, dalam kaitannya dengan hukum Islam adalah teori yang menerangkan tentang adanya hukum Islam dalam hukum nasional Indonesia, yaitu: 1. sebagai bagian integral dari hukum nasional Indonesia2. kemandiriannya yang diakui, adanya kekuatan dan wibawanya, dan diberi status sebagai hukum nasional3. hukum nasional dan norma hukum Islam yang berfungsi sebagai penyaring bahan-bahan hukum nasional di Indonesia4. sebagai bahan utama dan unsur utama. Jadi, secara eksistensial, kedudukan hukum Islam dalam hukum nasional merupakan sub sistem dari hukum nasional. Karenanya, hukum Islam juga mempunyai peluang untuk memberikan sumbangan dalam rangka pembentukan dan pembaharuan hukum nasional, meski harus diakui problema dan kendalanya yang belum pernah usai.

Secara sosiologis, kedudukan hukum Islam di Indonesia melibatkan kesadaran keberagaman bagi masyarakat, penduduk yang sedikit banyak berkaitan pula dengan masalah kesadaran hukum, baik norma agama maupun norma hukum, selalu sama-sama menuntut ketaatan.

Dengan demikian, jelaslah bahwa hubungan antara keduanya sangat erat. Keduanya sama-sama menuntut ketaatan dan kepatuhan dari warga masyarakat. Keduanya harus dikembangkan secara searah, serasi, dan seimbang. Keduanya tidak boleh dibiarkan saling bertentangan.

3. Hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis di Kalimantan

Secara hirarkhi, perda merupakan jenis peraturan perundang-undangan paling bawah yang disebutkan dalam UUNo.10tahun 2004 ini, kendati dalam rumusan pasal 7 ayat (3) UU tersebut disebutkan bahwa jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebutkan diatas diakui keberadaannya dan mengikat secara hukum sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Dengan diberlakukannya UU ini, maka terdapat beberapa jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia yang tidak termasuk dalam hirarkhi perundang-undanga, seperti : Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Keputusan Menteri dan beberapa jenis peraturan lainnya.Implikasi yuridis dari tidak dimuatnya beberapa jenis peraturan diatas dalam UU 10 tahun 2004 adalah terjadinya ketidakjelasan kedudukan beberapa peraturan tersebut dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan RI. Jika perda merupakan jenis peraturan paling bawah yang disebutkan oleh UUNo.10tahun 2004, maka bagaimana kedudukan perda dengan keputusan presiden misalnya. Apakah keputusan presiden lebih tinggi daripada perda, atau sebaliknya. Sebagai contoh sebuah Perda dapat dibatalkan oleh Keputusan Presiden karena dianggap bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dan/atau kepentingan umum. Padahal keputusan presiden tidak termasuk dalam hirarkhi perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UUNo.10Tahun 2004.Melihat Perda SyariahFenomena munculnya Perda syariah di berbagai daerah di Indonesia satu mata rantai dengan kemunculan otonomi daerah. Kewenangan yang besar yang diberikan kepada daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota dimanfaatkan oleh sebagian daerah untuk membuat perda dengan maksud melindung, mempertahankan dan/atau menjaga berbagai karakteristik khas daerahnya.Bagi daerah-daerah yang mayoritas muslim, dimana antara agama Islam dan budaya masyarakat setempat telah berjalan berbarengan, bahkan telah menyatu selama puluhan bahkan ratusan tahun. Daerah-daerah demikian memprkarsai beberapa perda yang bernuansa syariahKalimantan Selatan yang memiliki peraturan daerah yang berlandaskan syariat Islam yaitu Perda Provinsi UU No. 1 Tahun 2000 Tentang Larangan Minuman Beralkhohol

Dimana pada pasal 2 berbunyi dilarang memproduksi menyimpan, memiliki, mengkonsumsi, memasok, mengedarkan dan menjual minuman beralkohol di Daerah

Hal ini sejalan dengan perintah dalam agama Islam yang melarang mengkonsumsi minuman beralkohol atau keras (khamr) yang tertuang di dalam Al-Quran yaitu:

. :219

Mereka bertanya kepadamu tentang khamr dan judi. Katakanlah, "Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafqahkan. Katakanlah, "Yang lebih dari keperluan". Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu berfikir. [QS. Al-Baqarah : 219]

. :43Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati shalat padahal kamu sedang mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan. [An-Nisaa' : 43]

. . :90-91Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu lantaran (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). [QS. Al-Maidah : 90-91]

BAB III

KESIMPULAN

.