pengaturan ambang batas formal (formal threshold) dalam

194
TESIS PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD) DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

Upload: dodiep

Post on 20-Dec-2016

243 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

TESIS

PENGATURAN

AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)

DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM

YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA

I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

Page 2: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

TESIS

PENGATURAN

AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)

DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM

YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA

I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA

NIM : 1190561045

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

Page 3: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

ii

PENGATURAN

AMBANG BATAS FORMAL (FORMAL THRESHOLD)

DALAM KONTEKS SISTEM PEMILIHAN UMUM

YANG DEMOKRATIS DI INDONESIA

Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum

Pada Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum

Program Pascasarjana Universitas Udayana

I GUSTI NGURAH AGUNG SAYOGA RADITYA

NIM. 1190561045

PROGRAM MAGISTER

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2013

Page 4: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

iii

TESIS INI TELAH DISETUJUI

PADA TANGGAL …………………….

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. Dr. Ibrahim, R, SH., MH. Dr. I Dewa Gede Palguna, SH., MHum.

NIP. 19551128 198303 1 003 NIP. 19611224 198803 1 001

Mengetahui,

Ketua Program Studi

Magister (S2) Ilmu Hukum

Universitas Udayana

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana

Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH, M.Hum, LL.M Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp. S(K)

NIP. 19611101 198601 2 001 NIP. 19590215 198510 2 001

User
Typewritten Text
User
Typewritten Text
User
Typewritten Text
TTD
User
Typewritten Text
TTD
User
Typewritten Text
User
Typewritten Text
TTD
User
Typewritten Text
TTD
Page 5: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

iv

TESIS INI TELAH DIUJI

PADA 21 AGUSTUS 2013

Panitia Penguji Tesis

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana

Nomor : 1544/UN14.4/HK/2013 Tanggal : 1 Agustus 2013

Ketua : Prof. Dr. Ibrahim R, SH., MH.

Sekretaris : Dr. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum.

Anggota : 1. Prof.Dr. I Made Pasek Diantha,SH.,MS.

2. Dr. I Gede Yusa, SH., MH.

3. Dr. Putu Gede Arya Sumerthayasa, S.H., M.H.

Page 6: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

v

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya

NIM : 1190561045

Tempat/Tanggal Lahir : Samarinda/12 Oktober 1990

Alamat : Jl. Kertanegara IX/4, Br. Anyar-Anyar,

Ubung Kaja, Denpasar-Bali, 80116

Program Studi : Magister Ilmu Hukum (Hukum

Pemerintahan)

Judul Tesis : Pengaturan Ambang Batas Formal

(Formal Threshold) Dalam Konteks

Sistem Pemilihan Umum Yang

Demokratis di Indonesia

Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas Plagiat. Apabila

dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini maka saya bersedia

menerima sanksi sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendiknas RI Nomor 17

Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku

Denpasar, 21 Agustus 2013

Hormat saya,

I Gusti Ngurah Agung Sayoga Raditya

Page 7: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

vi

UCAPAN TERIMA KASIH

OM SWASTIASTU,

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi

Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas segala berkah dan anugrah-Nya, maka

penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaturan Ambang Batas

Formal (Formal Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang

Demokratis di Indonesia”.

Pada kesempatan ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih

setulusnya atas semua bantuan, arahan, dan bimbingan kepada semua pihak:

1. Prof. Dr. dr. Ketut Suastika Sp.PD KEMD, Rektor Universitas Udayana.

2. Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), Direktur Program Pascasarjana

Universitas Udayana.

3. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. Dekan Fakultas hukum

Universitas Udayana.

4. Dr. Ni Ketut Supasti Dharmawan, SH.,M.Hum.LL.M, Ketua Program Studi

Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana

5. Prof. Dr. Ibrahim R, SH.,MH, Dosen Pembimbing I yang telah banyak

membimbing dan memberi masukan yang membangun dalam penyusunan

tesis ini.

6. Dr. I Dewa Gede Palguna,SH.,M.Hum, Dosen Pembimbing II yang penuh

kesabaran dalam membimbing dan memberi masukan ilmu pengetahuan

yang berguna bagi penulis sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

Page 8: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

vii

7. Dosen Penguji Tesis, Prof. Dr. Ibrahim R, SH., MH, selaku Ketua, Dr. I

Dewa Gede Palguna, S.H., M.Hum selaku Sekretaris, Prof.Dr. I Made Pasek

Diantha,SH.,MS., Dr. I Gede Yusa, SH., MH., dan Dr. Putu Gede Arya

Sumerthayasa, S.H., M.H selaku Anggota, yang telah berkenan meluangkan

waktunya untuk menguji, memberikan penilaian, dan masukan yang

maksimal demi penyusunan tesis yang lebih baik.

8. Guru-Guru Besar dan segenap Dosen Program Magister Ilmu Hukum

Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan wawasan

selama perkuliahan dan mendukung penyusunan tesis ini.

9. Segenap Staf Administrasi Program Magister Ilmu Hukum Universitas

Udayana yang telah banyak membantu dalam kelancaran studi.

10. Keluarga penulis, Bapak I Gusti Ngurah Bagus Astawa, SH, Mamah Sri

Sudarwati, dan Adik I Gusti Ayu Putri Astari Yogiswari yang tidak henti-

hentinya memberikan penulis doa, semangat, dan cintanya selama penulisan

tesis ini.

11. Keluarga Besar Universitas Mahendradatta yang telah memberikan

dukungan dalam penyelesaian tesis ini.

12. Sahabat dari penulis, Agus Pradana, S.Si., Pande Tunik,S.Sn., Ngurah

Yudi,SE., dan teman-teman dari SONE Bali, Zumi, S.Kom., Ferdy, Octa,

Agus, Buchel, Kiki, Lukman, Bli Kadek, Anga, Yerdi.

13. Rekan-rekan kuliah pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas

Udayana yang telah banyak membantu dalam penyelesaian penulisan tesis.

Page 9: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

viii

14. Segenap pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu yang telah

membantu dalam penyelesaian tesis ini.

Akhir kata, semoga buah karya intelektual ini dapat memberikan manfaat

bagi seluruh umat manusia di dunia.

OM SANTI, SANTI, SANTI, OM

Denpasar, 21 Agustus 2013

Penulis

Page 10: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

ix

ABSTRAK

Tesis ini membahas tentang permasalahan pengaturan ambang batas

formal dalam pemilihan umum dengan fokus pembahasan pada kerangka prinsip

demokrasi konstitusional dan indikator yang dapat digunakan dalam legislasinya.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan

menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konseptual

hukum, pendekatan sejarah, pendekatan perbandingan, dan pendekatan filsafat.

Sementara teori yang digunakan untuk menganalisis permasalahan adalah teori

negara hukum dan teori demokrasi

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan ambang batas formal

pemilihan umum memenuhi prinsip demokrasi konstitusional berdasarkan empat

aspek : kewenangan legislasi yang dimiliki oleh DPR-RI; tujuan menstabilkan

lembaga negara (legislatif dan eksekutif); tidak bertentangan dengan hak asasi

manusia; konsistensi dalam putusan hakim Mahkamah Konstitusi yang menguji

konstitusionalitas materi ambang batas formal. Pengaturan ambang batas formal

juga mencerminkan cita hukum bangsa Indonesia, terutama pada prinsip

demokrasi permusyawaratan/perwakilan Indonesia. Perbandingan hukum dengan

negara lain memperlihatkan bahwa pengaturan ambang batas formal tidak hanya

mengatur perihal persentase, melainkan juga pengaturan yang bersifat mengurangi

disproporsionalitas. Pengaturan yang lebih komprehensif terkait dengan hal

tersebut perlu dilakukan ke depannya dalam undang-undang pemilihan umum

Indonesia untuk menciptakan pengaturan yang berkeadilan dan pembentukan

hukum yang berkelanjutan.

Kata Kunci : ambang batas formal, sistem pemilu, demokrasi konstitusional,

pembentukan hukum yang berkelanjutan

Page 11: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

x

ABSTRACT

This thesis discusses the problems of formal threshold provision in the

electoral system which is focused on constitutional democratic principles

framework and indicators that can be used in the legislation. This research is a

normative legal research that uses statute, analytical and conceptual, historical,

comparative, and philosophical approach. Meanwhile, the theories that be used

to analyze the problem are Rule of Law Theory (Rechtstaat) and Theory of

Democracy.

The result repeals that the formal threshold provision fulfils constitutional

democratic principle based on four aspects : the legislation authority of DPR-RI ;

the purpose to stabilizing the state institutions (legislative and executive); has no

conflict to fundamental human rights; the consistency of ruling from of the

Constitutional Court of The Republic of Indonesia that reviews formal threshold.

Formal threshold also reflects the idea of the law of Indonesia, especially on

Indonesian consensus/representative democracy principle. A legal comparison

showed that the substance of formal threshold is not only about the percentages,

but also the provision for reducing disproportionality. The provision of formal

threshold should be more comprehensive in the future to ensure the legal justice

and sustainable law making.

Key Words : formal threshold, electoral system, constitutional democracy,

sustainable law-making

Page 12: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

xi

RINGKASAN

Tesis ini diberi judul “Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal

Threshold) Dalam Konteks Sistem Pemilihan Umum Yang Demokratis di

Indonesia”. Adapun tesis ini disusun dalam lima bab dan menguraikan bagaimana

pemenuhan prinsip demokrasi konstitusional dan indikator-indikator yang dapat

digunakan dalam pengaturan ambang batas formal pemilihan umum sebagai

bentuk reformasi perundang-undangan pemilu yang demokratis di Indonesia.

BAB I sebagai bab pendahuluan memuat latar belakang yang menjelaskan

isu hukum yang diangkat sebagai permasalahan yakni adanya konflik norma, baik

secara formil maupun materiil. Pengaturan ambang batas formal memiliki

ketidaksinkronan dengan asas kejelasan tujuan sebagaimana yang menjadi syarat

formil pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (vide Pasal 5 huruf

a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan),

yaitu perihal tujuan menciptakan sistem multipartai sederhana yang nantinya akan

menghasilkan sistem pemerintahan presidensial. Dalam hal ini tujuan pengaturan

ambang batas formal tidak jelas menjabarkan definisi sistem multipartai

sederhana yang dimaksud serta relevansi antara sistem multipartai dan sistem

presidensial. Kemudian secara materiil, konflik norma terjadi antara pengaturan

ambang batas formal dengan peraturan perundang-undangan lain yang

memberikan dasar perlindungan hak asasi manusia, khususnya perihal jaminan

perlindungan atas suara sah dari pemilih. Selain itu perihal indikator yang tidak

jelas dan kebutuhan untuk menciptakan desain hukum ambang batas formal yang

baku menyebabkan permasalahan ini dianggap menarik dan penting untuk dikaji.

Kemudian dalam Bab I juga menempatkan rumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian, orisinalitas penelitian, menjabarkan landasan teori sebagai

sarana untuk menjawab permasalahan, serta menentukan metode penelitian yang

digunakan dengan uraian berupa jenis penelitian, jenis pendekatan, sumber bahan

hukum, teknik pengumpulan bahan hukum, dan teknik analisis bahan hukum.

BAB II menguraikan mengenai tinjauan umum berupa pemikiran tentang

konsepsi demokrasi konstitusional sebagai uraian lebih lanjut perihal teori yang

digunakan yakni teori negara hukum dan teori demokrasi. Selain itu dalam bab ini

juga diuraikan tiga konsep dasar, yaitu sistem pemilihan umum (electoral system),

lembaga perwakilan, dan partai politik, disertai dengan dasar hukum yang berlaku

di Indonesia. Bab ini juga memberikan tinjauan umum perihal konsep dari

ambang batas pemilu (electoral threshold).

BAB III membahas mengenai pemenuhan pengaturan ambang batas formal

pemilihan umum terhadap prinsip demokrasi konstitusional yang dikaji dalam

empat konsentrasi, yakni perihal legislasi dari ambang batas formal, upaya

penataan lembaga negara dan hubungan antar lembaga negara, kesesuaian

pengaturannya dengan norma hak asasi manusia, dan konsistensi pengujian

undang-undang yang menguji ketentuan ambang batas formal pemilihan umum

oleh Mahkamah Konstitusi.

Page 13: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

xii

BAB IV membahas mengenai indikator-indikator yang digunakan dalam

penormaan ambang batas formal dengan cita hukum (recht idea) Indonesia

sebagai landasan fundamental. Bab ini juga membahas perbandingan hukum

dengan Jerman, Turki, Polandia, dan Denmark yang memberikan gambaran

perbedaan substansil pengaturan ambang batas formal, terutama perihal

ketentuan-ketentuan yang berfungsi untuk mengurangi disproporsionalitas. Selain

itu dibahas pula perihal konsep tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan

kemanfaatan) sebagai indikator pengaturan ambang batas formal yang

berkelanjutan dengan dielaborasikan dengan prinsip justice as fairness dari John

Rawls.

BAB V merupakan bagian penutup yang memberikan simpulan terhadap

pembahasan permasalahan yang diuraikan. Selain itu pada Bab ini juga disampaikan

yang menjadi saran-saran terkait dengan pembentukan hukum ambang batas formal

pemilihan umum yang lebih komprehensif di masa mendatang.

Page 14: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

xiii

DAFTAR ISI

Halaman Sampul Dalam .................................................................................................... i

Halaman Persyaratan Gelar Magister ............................................................................... ii

Halaman Pengesahan Tesis .............................................................................................. iii

Halaman Penetapan Panitia Penguji Tesis ....................................................................... iv

Surat Pernyataan Bebas Plagiat ....................................................................................... v

Halaman Ucapan Terima Kasih ....................................................................................... vi

Halaman Abstrak ............................................................................................................. ix

Halaman Abstract ............................................................................................................. x

Ringkasan ........................................................................................................................ xi

Halaman Daftar Isi ......................................................................................................... xiii

Halaman Daftar Tabel ................................................................................................... xvii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................ 1

1.1. Latar Belakang Masalah ........................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................................... 9

1.3. Ruang Lingkup Masalah .......................................................................... 9

1.4. Tujuan Penelitian .................................................................................... 10

1.4.1. Tujuan Umum ............................................................................... 10

1.4.2. Tujuan Khusus .............................................................................. 11

1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................... 11

1.5.1. Manfaat Teoritis ............................................................................ 11

1.5.2. Manfaat Praktis ............................................................................. 12

Page 15: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

xiv

1.6. Orisinalitas Penelitian ............................................................................. 12

1.7. Landasan Teori .......................................................................................... 14

1.7.1. Teori Negara Hukum .................................................................. 15

1.7.2. Teori Demokrasi ......................................................................... 19

1.8. Metode Penelitian .................................................................................... 23

1.8.1. Jenis Penelitian.............................................................................. 23

1.8.2. Jenis Pendekatan ........................................................................... 24

1.8.3. Sumber Bahan Hukum ................................................................. 25

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ........................................... 27

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................................... 28

BAB II DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM ........... 30

2.1. Konsepsi Demokrasi Konstitusional ...................................................... 30

2.2. Sistem Pemilihan Umum ....................................................................... 36

2.2.1. Definisi Sistem Hukum ................................................................ 36

2.2.2. Pemilihan Umum .......................................................................... 41

2.2.3. Jenis Sistem Pemilihan Umum ..................................................... 44

2.2.4. Sistem Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia ...................................................................... 54

2.3. Lembaga Perwakilan ............................................................................... 58

2.3.1. Klasifikasi Lembaga Perwakilan ................................................. 62

2.3.2. Lembaga Perwakilan Indonesia .................................................... 68

2.4. Partai Politik ........................................................................................... 72

2.4.1. Definisi Partai Politik ................................................................... 72

Page 16: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

xv

2.4.2. Fungsi Partai Politik ..................................................................... 73

2.4.3. Sistem Partai Politik ..................................................................... 76

2.4.4. Sistem Partai Politik Indonesia .................................................... 78

2.5. Konsep Ambang Batas Pemilihan Umum (Electoral Threshold) .......... 81

BAB III PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL DALAM SISTEM

DEMOKRASI KONSTITUSIONAL INDONESIA ................................. 85

3.1. Pengaturan Ambang Batas Formal di Indonesia ..................................... 85

3.2. Lembaga Negara dan Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca

Pengaturan Ambang Batas Formal ......................................................... 96

3.2.1. Penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. ........... 96

3.2.2. Relevansi Pengaturan Ambang Batas Formal Terhadap

Sistem Pemerintahan Presidensial Indonesia .............................. 108

3.3. Ambang Batas Formal Dalam Aspek Hak Politik ............................... 117

3.3.1. Pengaturan Hak-Hak Politik dan Konsekuensi Yuridis

Ambang Batas Formal ................................................................ 118

3.3.2. Legitimasi Pembatasan Hak Politik Terhadap Ambang Batas

Formal ......................................................................................... 123

3.4. Konsistensi Pengujian Ambang Batas Formal ...................................... 127

BAB IV INDIKATOR PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL

DALAM UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM

INDONESIA ........................................................................................... 136

4.1. Cita Hukum Indonesia Sebagai Indikator Fundamental Pengaturan

Ambang Batas Formal ......................................................................... 137

Page 17: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

xvi

4.1.1. Prinsip Demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan Indonesia

Dalam Pengaturan Ambang Batas Formal ................................ 139

4.2. Indikator Proporsionalitas Pemilu ......................................................... 144

4.2.1. Jerman ......................................................................................... 145

4.2.2. Turki ........................................................................................... 147

4.2.3. Polandia ....................................................................................... 149

4.2.4. Denmark ..................................................................................... 151

4.3. Pemenuhan Tujuan Hukum sebagai Indikator Ambang Batas

Formal yang Berkelanjutan .................................................................. 155

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ........................................................................... 164

5.1. Simpulan ............................................................................................... 164

5.2. Saran ..................................................................................................... 165

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 166

Page 18: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. : Perolehan Suara dan Persentase Suara Partai Politik Peserta Pemilu

2009 .............................................................................................................. 97

Tabel 3.2. : Pengurangan Jumlah Suara Pemilihan Umum Dewan Perwakilan

Rakyat Republik Indonesia Tahun 2009 .................................................... 100

Page 19: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, undang-undang pemilihan umum

mengalami regenerasi sebagai upaya pemulihan atas pengingkaran demokrasi

yang terjadi selama masa tersebut. Demokratisasi yang diselenggarakan sejak

tahun 1999 hingga sekarang menempatkan pengaturan ambang batas pemilu, atau

lebih dikenal dengan istilah electoral threshold, dalam penyelenggaraan pemilihan

anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia sebagai bagian reformasi

perundang-undangan pemilihan umum.

Ambang batas pemilu atau electoral threshold adalah pengaturan tingkat

minimal dukungan, baik dalam bentuk jumlah perolehan suara (ballot) atau

jumlah perolehan kursi (seat), yang harus diperoleh partai politik peserta pemilu

agar dapat menempatkan perwakilannya dalam lembaga perwakilan.1 Ambang

batas yang diatur secara formal (formal threshold) diperlihatkan dengan adanya

pencantuman sejumlah persentase tertentu secara langsung dan tegas dipaksakan.2

Adapun bentuk pengaturan ambang batas formal diwujudkan dalam Pasal 208

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (selanjutnya disebut UU No. 8 Tahun 2012) yang mengatur bahwa “Partai

1 Sigit Pamungkas, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta, hal 19.

2 Kacung Marijan, 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru.

Kencana, Jakarta, hal. 72.

Page 20: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

2

Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-

kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam

penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota.” Persentase ambang batas tersebut menjadi syarat yang harus

dipenuhi dalam penentuan representasi perwakilan pada suatu penyelenggaraan

pemilu di era reformasi.

Pembatasan keterwakilan jumlah partai politik secara yuridis di dalam

lembaga perwakilan melalui ambang batas formal menjadi salah satu konsentrasi

pembangunan hukum pada masa reformasi dalam rangka visualisasi demokrasi

yang lebih baik. Demokratisasi pemilihan umum pada hakikatnya menempatkan

keberadaan partai politik sebagai salah satu pilar penting bagi suatu negara

modern, terlebih pada negara dengan masyarakat yang majemuk (plural society).3

Namun seiring dengan pembelajaran proses berdemokrasi, timbul satu

pemahaman bahwa sistem multipartai yang diterapkan dalam penyelenggaraan

pemilihan umum dianggap menjadi salah satu kesalahan yang paling mendasar.

Dewan Perwakilan Rakyat yang diisi dengan kepartaian majemuk dipersepsikan

tidak dapat memaksimalkan fungsi eksekutif dan menjaga kestabilan sistem

presidensial, terutama dalam hal konsensus pengambilan kebijakan.4 Dalam upaya

menyikapi hal tersebut, arah pembentukan undang-undang terkait dengan sistem

kepartaian diupayakan mampu menyeimbangkan antara unsur kemajemukan

3 ibid. hal. 59-61.

4 Radiman Salman, 2010, “Partai Politik dan Pemilu : Penyederhanaan dan Pembaharuan

Parpol”, dalam Konstitusionalisme Demokrasi - Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi

Daerah dan Mahkamah Konstitusi Sebagai Kado Untuk ―Sang Penggembala‖ Prof. A. Mukthie

Fadjar, SH., MS. (Disunting oleh Sirajjudin et.al), In – Trans Publishing, Malang, hal.143.

Page 21: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

3

partai politik dan stabilitas pemerintahan melalui pengaturan ambang batas formal

pemilihan umum.

Mekanisme konversi jumlah perolehan suara menjadi kursi mengalami

regenerasi yang tidak sederhana, terutama sejak diberlakukannya persentase

ambang batas formal yang dianggap memiliki tingkat kompleksitas tinggi dalam

perancangan undang-undang pemilihan umum. Persentase ambang batas formal

sebesar 3,5% sebagaimana diatur dalam Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012

diberlakukan dalam penyelenggaraan pemilu sebagai upaya memperkuat lembaga

perwakilan rakyat melalui langkah mewujudkan sistem multipartai sederhana,

yang selanjutnya akan menguatkan sistem pemerintahan presidensial.5 Upaya

penciptaan sistem multipartai sederhana tersebut seakan bertentangan dengan

Pasal 5 huruf a UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan yang menentukan bahwa dalam hal pembentukan peraturan

perundang-undangan yang baik wajib memenuhi salah satu asas formal, yaitu asas

kejelasan tujuan.6 Pengaturan ambang batas formal tidak menentukan batasan

tujuan yang ingin dicapai secara jelas perihal sistem multipartai seperti apakah

yang dimaksud dengan sederhana serta bagaimana relevansinya dengan sistem

pemerintahan presidensial secara nyata dengan adanya pengaturan tersebut. Hal

ini menimbulkan implikasi sumirnya tujuan pembentukan perundang-undangan

yang baik dalam pengaturan ambang batas formal.

5 Lihat Penjelasan Umum UU No. 8 Tahun 2012.

6 Bahwa yang dimaksud dengan “asas kejelasan tujuan” berdasarkan Pasal 5 huruf a UU No.

12 Tahun 2011 adalah setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai

tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

Page 22: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

4

Penyelenggaraan pemilu yang demokratis juga wajib menempatkan

perlindungan hak asasi manusia sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan

dijamin keberadaannya secara tegas di dalam kerangka hukum. Fenomena

pelaksanaan demokrasi yang tidak demokratis di era Orde Baru memberikan andil

terjadinya perubahan substansil yang menghasilkan jaminan perlindungan hak

asasi manusia secara konstitusional berdasarkan Pasal 28A-28J Undang Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta dibentuknya dua perundang-

undangan organis, yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights.7 Pengaturan ambang batas

formal turut memperlihatkan adanya suatu problematik berupa konflik norma

(conflict of norm), terutama dengan peraturan perundang-undangan yang

memberikan jaminan perlindungan hak hukum, baik bagi warga negara dan partai

politik.

Pengaturan ambang batas formal menimbulkan konsekuensi yuridis

terjadinya penyederhanaan sistem kepartaian (sistem multipartai sederhana)

dengan hilangnya sejumlah suara pada partai politik tertentu yang tidak memenuhi

persentase yang ditentukan.8 Konsekuensi hilangnya suara tersebut menjadi

bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 3 ayat

(2) UU No. 39 Tahun 1999 yang memberikan jaminan perlindungan dan kepastian

7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil

and Political Rights merupakan hasil ratifikasi dari The International Covenant on Civil and

Political Rights (ICCPR) yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum PBB tertanggal 16

Desember 1966.

8 Janedjri M. Gaffar, 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta, hal. 33-34.

Page 23: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

5

hukum, termasuk dalam hal ini perlindungan akan suara-suara pemilih yang

diberikan secara sah kepada partai politik peserta pemilu.9 Hal tersebut juga

sejalan dengan konsideran menimbang UU No. 8 Tahun 2012 yang

mengamanatkan bahwa pemilihan umum wajib menjamin tersalurkannya suara

rakyat secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Adanya suara yang

hilang dengan diaturnya ambang batas formal menimbulkan inkonsistensi perihal

bagaimana menterjemahkan jaminan perlindungan suara rakyat dalam sistem

pemilu langsung yang demokratis sesuai dengan kerangka ketatanegaraan

Indonesia. Pertentangan norma, baik dengan peraturan perundang-undangan lain

maupun dengan konsideran UU No. 8 Tahun 2012 sebagai dasar validitas,

menjadikan pengaturan ambang batas formal menarik untuk dikaji secara holistik

di dalam kerangka hukum dan demokrasi bangsa Indonesia.

Keberadaan ambang batas formal rentan mengalami resistensi dari warga

negara, terutama pihak yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar. Fenomena

hukum tersebut setidaknya diperlihatkan dengan tingginya intensitas pengujian

konstitusionalitas materi undang-undang pemilu kepada Mahkamah Konstitusi

berkenaan dengan substansi ambang batas formal pemilihan umum. Meskipun

Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusannya menegaskan konstitusionalitas

ambang batas dalam pemilihan umum (tanpa atau dengan disertai dissenting

9 Rumusan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas

pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di

hadapan hukum. Sementara rumusan Pasal 3 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 mengatur bahwa

setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang adil serta

mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum.

Page 24: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

6

opinion10

), penulis menganggap pengaturan ambang batas formal ini masih

menyisakan sejumlah permasalahan yang elementer sebagaimana telah dipaparkan

sebelumnya, yaitu terkait dengan bagaimana legitimasi penghilangan suara

pemilih dan tujuan penciptaan sistem multipartai sederhana yang riil.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 menegaskan

justifikasi pengaturan ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 sebagai

legal policy (politik hukum) dari pembentuk undang-undang yang tidak dapat

diganggu gugat oleh Mahkamah Konstitusi sepanjang sejalan dengan prinsip-

prinsip hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.11

Justifikasi tersebut

menurut penulis masih menyisakan permasalahan perihal seperti apakah

penormaan persentase ambang batas formal yang dikatakan tidak bertentangan

dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas sehingga Mahkamah

Konstitusi tidak dapat menggangu gugatnya. Tolak ukur legitimasi ambang batas

formal yang tidak bertentangan dengan ketiga aspek tersebut menjadi wajib untuk

10 Perbedaan pendapat atau dissenting opinion terjadi dalam dua putusan Mahkamah

Konstitusi yang menguji substansi ambang batas formal dalam undang-undang pemilu, yakni

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 perihal pengajuan ambang batas formal

dalam dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, serta

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 tentang pengujian ketentuan ambang batas

formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.

11

Lihat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal. 79. Mahkamah

Konstitusi memaparkan ratio decidendi ”...bahwa dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal policy bagi eksistensi Partai

Politik baik berbentuk ET maupun PT. kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai

politik penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya Undang-Undang tentang Sistem

Kepartaian atau Undang-Undang Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat

pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi. Mengenai berapa besarnya

angka ambang batas adalah menjadi kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk

menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak

politik, kedaulatan rakyat dan rasionalitas…”

Page 25: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

7

dijabarkan sebagai upaya menjaga prinsip-prinsip demokrasi yang konsisten dan

konstitusionalitas pengaturannya.

Segenap permasalahan dan pertentangan norma tersebut pada akhirnya

bermuara pada titik ketidakjelasan parameter hukum yang digunakan dalam

menentukan pengaturan persentase ambang batas formal. Setidaknya terdapat tiga

hal yang menjadi pertanyaan dasar, yakni berapa persen angka ambang batas yang

akan diterapkan; bagaimana cara menentukannya; atau apakah peningkatan

persentase sesungguhnya diperlukan atau tidak dalam setiap penyelenggaraan

pemilihan umum? Penentuan persentase ambang batas yang terkesan rumit

menjadi permasalahan yang sering mengakibatkan berlarutnya pembahasan

undang-undang pemilu. Setidaknya kerumitan tersebut tampak secara nyata dari

adanya diferensiasi pandangan antar fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat

dalam menentukan jumlah persentase ambang batas serta perihal ruang lingkup

keberlakuannya.12

Keadaan tersebut memperlihatkan bahwa penormaan ambang

batas formal seakan tidak memiliki indikator-indikator yang jelas, sehingga rentan

mengandung unsur-unsur yang dapat menyebabkan pertentangan dengan norma-

norma lainnya.

12 9 Fraksi di DPR Gagal Sepakati RUU Pemilu,

http://news.detik.com/read/2012/04/10/221504/1889323/10/9-fraksi-di-dpr-gagal-sepakati-ruu-

pemilu, diakses tanggal 17 Oktober 2012 dan Ambang 3,5% Hanya untuk DPR - Meski tak raih

suara nasional 3,5 persen, partai yang berjaya di daerah tetap bisa di DPRD

http://politik.news.viva.co.id/news/read/303842-ambang-3-5--hanya-untuk-dpr, diakses tanggal

tanggal 17 Oktober 2012. Lihat pula Pertimbangan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

52/PUU-X/2012, hal. 98-99 yang membatalkan ketentuan ambang batas formal di daerah untuk

penentuan DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Page 26: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

8

Indikator-indikator secara teoritis hukum di dalam penciptaan suatu norma

merupakan aspek yang wajib untuk dicermati oleh para yuris, termasuk dalam hal

menentukan ambang batas formal guna melimitasi jumlah partai politik di Dewan

Perwakilan Rakyat. Mahkamah Konstitusi sendiri di dalam putusannya menyadari

bahwa perancangan perundangan-undangan pemilihan umum seakan tidak

memiliki konsep yang jelas perihal bagaimana desain pemilihan umum Indonesia

yang demokratis, sehingga kenyataan hukum yang terjadi adalah berkembanganya

paradigma kebiasaan melakukan perubahan maupun pergantian undang-undang

pemilu menjelang penyelenggaraannya.13

Penciptaan suatu norma hukum yang

tidak jelas indikatornya rentan melanggar hak asasi manusia serta bertentangan

dengan konstitusi dan norma-norma hukum lainnya. Oleh karena itu, kejelasan

dasar pemberlakuan ambang batas formal perolehan suara dalam penyelenggaraan

pemilihan umum dan parameter hukum dalam menentukan persentase yang akan

diterapkan menjadi penting untuk dikaji secara teoritis.

Pengaturan ambang batas formal memberikan pengaruh signifikan dalam

upaya penciptaan sistem pemilihan umum yang memenuhi nilai-nilai demokrasi

bangsa Indonesia. Pengaturan ambang batas formal secara faktual masih

menyisakan sejumlah permasalahan demokrasi yang mendasar, walaupun

Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan berkekuatan hukum tetap

terhadap pasal yang digugat. Adanya pertentangan dengan norma-norma hak

politik, kejelasan tujuan penormaan, bagaimana menentukan persentase, serta

konsekuensi-konsekuensi yuridis lain yang timbul secara sistemis menjadi hal

13 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal 130-131.

Page 27: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

9

yang penting untuk dibahas dalam kerangka teori-teori hukum dalam rangka

menegakkan supremasi negara hukum dan demokrasi Indonesia. Berdasarkan hal

tersebut, maka penulis berpendapat merupakan hal yang menarik dan urgen untuk

mengkaji pengaturan ambang batas formal secara teoritis hukum.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah diuraikan

tersebut, maka rumusan masalah yang dapat disusun adalah sebagai berikut :

(1) Apakah pengaturan ambang batas formal tidak bertentangan dengan

prinsip-prinsip demokrasi konstitusional Indonesia?

(2) Apakah indikator yang dapat digunakan dalam pengaturan ambang batas

formal pada undang-undang pemilu di Indonesia?

1.3. Ruang lingkup Masalah

Agar tetap fokus dengan rumusan masalah, maka perlu ditentukan batasan-

batasan yang menjadi ruang lingkup permasalahan di dalam penelitian ini.

Lingkup permasalahan pertama adalah perihal kajian pengaturan ambang batas

formal dalam perspektif prinsip-prinsip demokrasi konstitusional dengan fokus

pada analisis ketentuan-ketentuan tertentu dalam UUD 1945, penataan lembaga

dan hubungan antar lembaga negara, serta elaborasi prinsip dan peraturan tentang

hak asasi politik. Selain itu, kajian Putusan Mahkamah Konstitusi yang menguji

ambang batas formal juga termasuk dalam lingkup bahasan ini, terutama dari

aspek konsistensi pertimbangan hukumnya.

Page 28: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

10

Lingkup permasalahan kedua akan dibahas mengenai dasar pemberlakuan

dan indikator yang dapat digunakan sebagai justifikasi dalam menentukan

pengaturan dan persentase ambang batas formal yang ideal dalam pembangunan

sistem pemilihan umum di Indonesia. Kajian dasar pemberlakuan berada pada

lingkup aspek cita hukum Indonesia dengan menekankan pada aspek nilai

demokrasi dan keadilan sosial. Sementara bahasan indikator ambang batas formal

difokuskan pada aspek tujuan hukum (kepastian, keadilan, dan utilitas hukum)

serta perbandingan dengan peraturan-peraturan hukum negara lain.

1.4 Tujuan Penelitian

1.4.1. Tujuan Umum

Tujuan umum disusunnya penelitian ini adalah dalam rangka memberikan

sumbangsih pemikiran teoritis perihal pengaturan ambang batas formal sebagai

politik hukum pembatasan keterwakilan partai politik dalam kelembagaan DPR-

RI. Penelitian ditujukan untuk memberikan pemahaman mengenai pengaturan

ambang batas formal dalam perspektif teori hukum sebagai upaya penguatan

perancangan perundang-undangan pemilihan umum. Selain itu, penelitian hukum

ini juga dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji secara komprehensif perihal

harmonisasi konseptual demokrasi konstitusional dalam pembangunan sistem

pemilihan umum Indonesia.

Page 29: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

11

1.4.2. Tujuan Khusus

Secara khusus, penelitian ini bertujuan sebagai berikut :

a. Dari aspek akademis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui justifikasi

pembatasan keterwakilan partai politik pada kelembagaan DPR-RI dengan

diaturnya ambang batas formal dalam perundang-undangan pemilihan

umum berdasarkan kerangka demokrasi konstitusional Indonesia.

b. Dari aspek praktis, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dasar

keberlakuan dan indikator secara teoritis hukum yang dapat digunakan

dalam merumuskan undang-undang pemilihan umum, khususnya substansi

ambang batas formal, dalam rangka penguatan sistem pemilihan umum di

Indonesia.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1. Manfaat Teoritis

Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa

kontribusi pemikiran bagi pengaturan tentang pemilihan umum, terutama terkait

dengan pengaturan ambang batas formal dalam konsepsi demokrasi Indonesia.

Hasil dari penelitian ini diharapkan pula dapat digunakan sebagai referensi bagi

peneliti-peneliti hukum (legal researcher) berikutnya dan bagi segenap civitas

akademika Magister Ilmu Hukum Universitas Udayana untuk lebih mendalami

perihal pengaturan ambang batas formal, serta pengembangan ilmu hukum pada

umumnya.

Page 30: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

12

1.5.2. Manfaat Praktis

Adapun secara praktis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai

referensi teoritis hukum bagi perancang perundang-undangan (legislative drafter)

dalam membentuk perundangan-undangan pemilu berikutnya, terutama terkait

penentuan substansi ambang batas formal yang ideal. Bagi organisasi atau

lembaga partai politik, penelitian hukum ini diharapkan dapat menjadi bahan

teoritis dalam mengontrol kebijakan hukum ambang batas formal yang diatur oleh

pembentuk undang-undang di Indonesia. Sementara bagi masyarakat umum,

penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam membuka pemahaman konsepsi

demokrasi Indonesia dan relevansi pengaturan ambang batas formal di Indonesia.

1.6 Orisinalitas Penelitian

Penelitian hukum ini merupakan hasil dari gagasan dan pemikian murni

penulis dengan berdasar pada sudut pandang hukum bahwa pengaturan ambang

batas formal di Indonesia menjadi salah satu permasalahan yang aktual. Dalam

penelitian hukum ini, penulis bekerja secara mandiri dengan menggunakan bahan

hukum yang dikumpulkan untuk dianalisis, baik berdasarkan peraturan

perundangan maupun literatur hukum.

Berdasarkan pra-penelitian yang telah dilakukan, sepanjang pengetahuan

penulis tidak terdapat penulisan tesis atau karya ilmiah komprehensif lainnya yang

memiliki topik serta bahasan serupa mengenai ambang batas formal. Namun

dalam hal ini terdapat beberapa tesis yang memiliki ruang lingkup bahasan identik

dengan topik yang diangkat oleh penulis, yaitu sebagai berikut :

Page 31: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

13

(1) Tesis “Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada Era

Reformasi” oleh Muhammad Aziz Hakim, dari Fakultas Hukum Program

Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, pada tahun 2012.

(2) Tesis “Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial

Indonesia” oleh M. Ilham Habibie, dari Program Magister Ilmu Hukum

Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, pada tahun 2009.

Perihal tesis pertama dengan judul “Politik Hukum Sistem Pemilihan

Umum Di Indonesia Pada Era Reformasi”, Muhammad Aziz Hakim mengkaji

konfigurasi politik dan implementasi dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan yang terkait dengan Pemilihan Umum pada era reformasi. Adapun

Muhamad Azis Hakim menggunakan metode penelitian normatif sekaligus

metode penelitian empiris dalam penelitiannya dengan mayoritas substansi

membahas bagaimana politik hukum dari perundang-undangan pemilu pada masa

reformasi serta pelaksanaannya, terutama pada fokus isu-isu yang mengandung

hal kontroversi.14

Kemudian untuk tesis kedua dengan judul “Pengaruh Konstelasi Politik

Terhadap Sistem Presidensial Indonesia”, M. Ilham Habibie mengkaji hubungan

konstelasi politik di DPR-RI terhadap sistem Presidensial Indonesia dengan

terfokus pada masa pemerintahan tahun 2004-2009. Pembahasan juga dilakukan

terhadap pengaruh pasal-pasal dalam UUD 1945 yang berperan dalam

mempengaruhi sistem presidensial Indonesia. M. Ilham Habibie juga mengkaji

14 Muhammad Aziz Hakim, 2012, Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di Indonesia Pada

Era Reformasi, Tesis, Fakultas Hukum Program Pasca Studi Hukum Tata Negara, Universitas

Indonesia, Jakarta, hal. 22-23.

Page 32: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

14

penerapan sistem Presidensial yang ideal dalam sistem multipartai Indonesia

dengan fokus perhatian pada aspek penyederhanaan partai, koalisi, dan pengaturan

oposisi secara melembaga.15

Orisinalitas yang ditekankan oleh penulis dalam penulisan tesis ini adalah

berada pada variabel terikatnya, yakni pengaturan ambang batas formal yang

dikaji dari aspek mewujudkan sistem pemilihan umum yang demokratis di

Indonesia. Penelitian hukum ini menekankan bagaimana legitimasi pengaturan

ambang batas formal yang membatasi keterwakilan partai politik pada

kelembagaan DPR-RI dalam kerangka demokrasi konstitusional. Selain itu

penekanan yang menjadi unsur orisinalitas dalam penelitian hukum ini adalah

pada aspek kajian parameter-parameter teori hukum yang menjadi dasar

pemberlakuan ambang batas perolehan suara dalam penyelengggaraan pemilu di

Indonesia, perbandingan aturan-aturan hukum di berbagai negara, serta bagaimana

mewujudkan ambang batas formal yang berkelanjutan.

1.7. Landasan Teori

Di dalam penelitian ini, teori yang digunakan sebagai landasan untuk

mengkaji permasalahan perihal pengaturan ambang batas formal adalah teori

negara hukum dan teori demokrasi.

15 M. Ilham Habibie, 2009, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem Presidensial

Indonesia, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro,

Semarang, hal 90-145.

Page 33: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

15

1.7.1. Teori Negara Hukum

Negara hukum memiliki beragam terminologi dengan masing-masing

definisi serta karakteristik yang menjadi formulasi pembentuknya. Negara yang

menganut sistem Common Law menggunakan istilah Rule of Law dengan arti

bahwa “pemerintah berdasarkan atas hukum bukan berdasar atas manusia”

(government based on rule of law, not rule of man), sementara negara yang

menganut sistem Civil Law menganut konsep negara hukum dalam istilah

Rechtsstaat (negara hukum).16

Frederich Julius Stahl memaparkan empat prinsip yang terdapat dalam

Rechtsstaat yakni sebagai berikut:

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;

2. Negara didasarkan pada teori trias politica;

3. Pemerintahan diselenggarakan berdasarkan undang-undang

(Wetmatig bestuur);

4. Adanya peradilan administrasi negara yang bertugas menangani

kasus perbuatan melanggar hukum oleh pemerintah (onrechtmatige

overheidsdaad.).17

Sementara dalam konsep Rule of Law, Albert Venn Dicey menempatkan tiga

unsur dalam negara hukum, yaitu :

1. Supremasi hukum (supremacy of law), dimana tidak ada seorang pun yang

dapat dihukum kecuali atas adanya pelanggaran hukum yang telah

ditentukan aturan hukumnya (that no man is punishable or can be lawfully

made to suffer in body or goods except for a distinct breach of law

16 Munir Fuady, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika Aditama,

Bandung, hal. 2.

17

Titik Triwulan Tutik, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945, Kencana, Jakarta, hal. 61.

Page 34: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

16

established in the ordinary legal manner before the ordinary courts of the

land).18

2. Persamaan hukum (legal equality) dengan karakteristik tidak ada

seorangpun yang berada di atas hukum (no man is above the law) dan

semua orang tunduk pada hukum yang sama apapun kelas dan kondisinya

(whatever be his rank or condition is subject to the ordinary law of the

realm).19

3. Perlindungan atas hak-hak individu (rights of individuals). Dicey

berpendapat bahwa tidak seperti di negara lain, di Inggris hak-hak individu

tidak bersumber dari konstitusi yang dikodifikasikan. Perlindungan atas

hak-hak individu timbul sebagai konsekuensi dari penegasan putusan-

putusan pengadilan (the consequence of the rights of individuals, as

defined and enforced by the courts) yang merupakan hasil induksi atau

generalisasi dari prinsip-prinsip hukum privat yang memberikan

perlindungan atas hak-hak orang secara pribadi 20

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dipahami bahwa persamaan yang

mengemuka di dalam konsepsi umum negara hukum, baik Rechtsstaat maupun

Rule of Law, menempatkan posisi hukum yang berdaulat (supremacy of law) di

dalam pemerintahan. Krabbe menterjemahkannya sebagai “souvereiniteit van het

recht”, yang berarti bahwa baik yang memerintah maupun yang diperintah

18 Albert Venn Dicey, 1927, Introduction to the Study of the Law of the Constitution (Eighth

Edition), Macmillan and Co., Limited, London, hal. 183-184.

19

ibid, hal. 189.

20

Ibid, hal. 199.

Page 35: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

17

keduanya tunduk pada hukum.21

Hal ini menimbulkan konsekuensi bahwa hukum

berada pada kedudukannya yang tertinggi (supreme) dan tidak ada kekuasaan

negara yang dapat bertindak sewenang-wenang di atas hukum. Pencegahaan

kesewenang-wenangan negara dengan menempatkan kedaulatan hukum salah

satunya ditujukan demi perlindungan kepentingan dan hak-hak asasi manusia

(fundamental human right).

Dalam perkembangannya, terdapat dua tipe negara hukum, yaitu tipe

negara hukum formil dan tipe negara hukum materiil. Negara hukum formil atau

Nachtwachter Staat merupakan bagian dari sejarah perkembangan paham

liberalisme, dimana tugas negara hanya menjaga hak-hak rakyat agar tidak

dilanggar (menjaga pelanggaran terhadap undang-undang) dan negara tidak boleh

ikut terlibat secara aktif dalam hal urusan kemakmuran rakyat.22

Keberlangsungan konsep negara hukum formil mengalami pergesaran menjadi

negara hukum materiil sebagai upaya mengurangi ketimpangan sosial (social

injustice), dimana tugas negara tidak hanya berada pada kerangka pelaksanaan

undang-undang, melainkan secara aktif turut serta dalam menyelenggarakan

upaya kesejahteraan umum (Welvaars Staat).23

Perkembangan paradigma negara hukum pada akhirnya mengarah kepada

konsep negara hukum modern yang demokratis dengan menempatkan negara

21 Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 78.

22

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,

Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, hal.156. Lihat

pula Yohanes Usfunan, 1986, Aspek-Aspek Hukum Bela Negara di Indonesia, Yayasan Ayu

Sarana Cerdas, Denpasar, hal. 18.

23

SF Marbun dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara,

Penerbit Liberty, Yogyakarta, hal. 44-45.

Page 36: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

18

dalam fungsinya memberikan pelayanan demi kesejahteraan masyarakatnya

(social service state). Lebih lanjut dipaparkan aspek yang harus dipenuhi dalam

negara hukum modern berdasarkan International Commision of Jurist adalah

sebagai berikut :

1. Perlindungan konstitusional (constitutional proctection of human

rights). Lebih lanjut dijabarkan bahwa selain menjamin hak-hak

individual (substansil), konstitusi harus pula menentukan teknis-

prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang

dijamin;

2. Lembaga kehakiman yang bebas dan tidak memihak (an

independent and impartial judiciary);

3. Pemilihan umum yang bebas (fair and free general elections);

4. Kebebasan menyatakan pendapat (recognition of the right to express

an opinion);

5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan beroposisi (freedom to

organize, freedom to dissent);

6. Pendidikan kewarganegaraan (civic education).24

Berdasarkan keseluruhan pemaparan perihal teori negara hukum tersebut

di atas, pemahaman yang dapat dibentuk adalah bahwa sistem kenegaraan pada

dasarnya harus dibangun dengan berdasarkan pada hukum yang berlaku, tersusun

dalam peraturan perundang-undangan, dan yang berkeadilan demi kesejahteraan.

Bagi penulis, teori negara hukum dipandang relevan untuk mengkaji rumusan

masalah pertama perihal legitimasi aturan ambang batas formal di dalam prinsip

demokrasi konstitusional. Beberapa domain konsep seperti pemahaman supremasi

hukum, pembatasan kekuasaan melalui trias politica, dan konsep negara hukum

modern yang demokratis dipandang relevan untuk digunakan. Kajian teoritis

ambang batas formal pada akhirnya bermuara pada aspek perlindungan hak-hak

asasi manusia secara konstitusional.

24 Majda El-Muhtaj, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari UUD 1945

Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002), Kencana, Jakarta, hal. 29.

Page 37: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

19

1.7.2. Teori Demokrasi

Pemahaman klasik perihal demokrasi tidak lepas dari aspek etimologinya

yang berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” (rakyat) dan “kratein/kratos”

(kekuasaan/berkuasa) yang berarti rakyat yang berkuasa atau government by the

people.25

Secara sederhana demokrasi dapat diterjemahkan sebagai suatu kondisi

kenegaraan dimana dalam sistem pemerintahannya kekuasaan tertinggi berada

pada kendali rakyat. Demokrasi secara singkat juga dapat diartikan sebagai

pemerintahan rakyat.

Hakikat demokrasi erat kaitannya dengan ajaran teori kedaulatan rakyat

dimana esensi kekuasaan tertinggi terletak pada keberadaan dan kedudukan

rakyat. Jean Jacques Rousseau memaparkan adanya suatu perjanjian masyarakat

atau kontrak sosial dalam peletakkan kekuasaan suatu negara, dimana keadaan

alami atau primitif dari manusia (seperti hak bagi yang terkuat, perbudakan, homo

homini lupus) merupakan hal yang tidak dapat dipertahankan keberadaannya.

Oleh karena itu, manusia menyatukan kekuatan bersama yang ada, dimana

kekuasaan yang ada untuk kepentingan bersama tersebut berada di bawah

kehendak umum dalam sebuah pakta sosial dengan menerima setiap anggota

sebagai bagian yang tidak terpisahkan.26

Teori klasik dari J.J. Rousseau turut

menjadi cikal bakal dalam membangun prinsip-prinsip demokrasi modern perihal

tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat, dimana rakyat dianggap sebagai

25 Miriam Budiardjo, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka

Utama, Jakarta, hal 105.

26

Jean-Jacques Rousseau, 1989, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-Prinsip Hukum Politik

(Terjemahan Ida Sundari Hesen dan Rahayu Hidayat), Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, hal. 14-16.

Page 38: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

20

subyek yang paling mengerti dan memahami bagaimana negara harus bertindak

untuk mencapai tujuan yang dimaksud.27

Dalam perkembangannya, teori kedaulatan rakyat sebagai benih

kristalisasi demokrasi berintegrasi dengan teori kedaulatan hukum dalam

membentuk supremasi kekuasaan. Terjadinya konvergensi antara teori

keadaulatan rakyat dan teori kedaulatan hukum merupakan konsekuensi logis

dimana prinsip demokrasi membutuhkan kerangka yuridis agar demokrasi dapat

berjalan dalam kehidupan bernegara dan hukum dapat berdaulat atas nama rakyat

untuk mencapai keadilan.28

Korelasi yang terbangun adalah bahwa prinsip-prinsip

negara hukum dan prinsip-prinsip demokrasi tidak dapat dipisahkan, sehingga

lebih lanjut dikenal dengan negara hukum demokratis.29

Koentjoro Poerbopranoto memaparkan bahwa adalah hal yang sulit untuk

menjalankan demokrasi secara langsung dikarenakan adanya faktor-faktor seperti

jumlah penduduk, luas daerah dan kompleksitas susunan masyarakat sehingga

dibutuhkan adanya proses perwakilan dengan salah satu persoalan pokok adalah

bagaimana cara melaksanakan perwakilan itu.30

Sejalan dengan hal tersebut, John

Stuart Mill menjelaskan tipe ideal dari pemerintahan yang sempurna adalah

perwakilan (that the ideal type of a perfect government must be representative),

meskipun ia berpendapat bahwa pemerintahan yang sepenuhnya dapat memenuhi

27 Wirjono Prodjodikoro, 1981, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, PT. Eresco Jakarta,

Bandung, hal. 41.

28

Hendra Nurtjahjo, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 41.

29

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, hal. 8.

30

Koentjoro Poerbopranoto, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco, Bandung,

hal. 33-34.

Page 39: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

21

semua tuntutan adalah dimana apabila di dalam pemerintahan tersebut masyarakat

secara keseluruhan dapat berpartisipasi bahkan dalam fungsinya yang terkecil

(that the only government which can fully satisfy all the exigencies of the social

state is one in which the whole people participate; that any participation, even in

the smalles public function, is useful).31

Proses keterlibatan masyarakat di dalam konsep demokrasi membutuhkan

sistem perwakilan dalam rangka pelaksanaan fungsi pemerintahan. Lyman Tower

Sargent memaparkan bahwa semua prinsip demokrasi berhubungan satu sama lain

dan timbul dari prinsip demokrasi yang paling mendasar yaitu keterlibatan warga

negara (the principles of democracy all relate to each other and all stem from the

most fundamental democratic principle – citizen involvement). Sistem pemilihan

umum menjadi sarana perwujudan yang utama keterlibatan warga negara yang

akhirnya bermuara pada aspek demokrasi perwakilan.32

Lebih lanjut Lyman

Tower Sargent memaparkan bahwa dewasa ini sistem pemilu menjadi jalan utama

untuk pengekspresian keterlibatan warga negara, dan sistem perwakilan

merupakan tujuan dan hasil dari sistem pemilu (today the electoral system is the

major avenue for the expression of citizen involvement, and of course, the system

of representation is the purpose and result of the electoral system).33

31 John Stuart Mill, 1862, Consideration on Representative Government, Harper & Brothers

Publisher, New York, hal. 80.

32

Lyman Tower Sargent, 1984, Contemporary Political Ideologies (Sixth Edition), The

Dorsey Press, Chicago, hal.54.

33

ibid.

Page 40: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

22

Demokrasi perwakilan yang diwujudkan melalui pemilihan umum

menempatkan pemahaman adanya pemberian legitimasi pada sejumlah

perwakilan yang representatif guna dapat mengambil kebijakan hukum atas nama

masyarakat secara umum. Robert A. Dahl memaparkan bahwa dominasi elit

dalam demokrasi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari disebabkan

ketidaksamaan politik, seperti sumber-sumber daya politik atau pengaruh

terhadap kebijakan dan tingkah laku pemerintah negara, itu terdapat dalam

tingkatan yang penting di semua masyarakat.34

Dahl menterjemahkan sebagai

demokrasi poliarki dengan prinsip egalitarianisme dimana negara dengan skala

besar diatur oleh banyak pejabat berpengaruh dan mempunyai kekuasaan untuk

membuat kebijakan yang dipilih melalui pemilihan umum yang bebas, adil, dan

berkala.35

Perkembangan demokrasi perwakilan mengaktualisasi kedaulatan

seluruh masyarakat (umum) diserahkan kepada sejumlah elit yang dipilih melalui

mekanisme pemilihan sebagai suatu kompetisi.

Keseluruhan uraian tersebut di atas menyiratkan bahwa kedaulatan rakyat

dan kedaulatan hukum, pemilihan umum, serta perwakilan repesentatif menjadi

unsur-unsur integral dalam teori demokrasi. Bagi penulis, teori demokrasi

dipandang relevan untuk mengkaji dasar keberlakuan ambang batas formal. Teori

demokrasi digunakan sebagai dasar untuk menganalisis nilai-nilai demokrasi yang

terkandung dalam pengaturan ambang batas formal Indonesia. Selain itu, dalam

34 Robert A. Dahl, 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Terjemahan A. Rahman

Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 99.

35

Robert A. Dahl, 2001, Perihal Demokrasi – Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi

Secara Singkat) (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, hal. 118-

127. Lihat pula SP. Varma, 2010, Teori Politik Modern, Rajawali Press, Jakarta, hal. 214-215.

Page 41: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

23

hal teori demokrasi perwakilan juga dianggap relevan digunakan untuk

menganalisis indikator penentuan ambang batas formal perihal tingkat

representatif dari lembaga perwakilan yang dibentuk pasca pengaturan ambang

batas formal.

1.8. Metode Penelitian

1.8.1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum ini merupakan penelitian hukum normatif (normative

legal research) dikarenakan fokusnya adalah mengkaji hukum tertulis dari

berbagai aspek, seperti teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan

komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan pasal demi

pasal, formalitas, dan kekuatan mengikat suatu undang-undang, serta bahasa

hukum yang digunakan.36

Penelitian hukum normatif pada umumnya mencakup :

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

2. Penelitian terhadap sistematik hukum;

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal;

4. Perbandingan hukum;

5. Sejarah hukum.37

Adapun penelitian hukum normatif pada penelitian ini menitikberatkan

pada isu konflik norma sebagaimana telah dijelaskan dalam latar belakang

masalah, yaitu adanya ketidaksinkronan antara substansi ambang batas formal

36 Abdulkadir Muhammad, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung, hal. 101.

37

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan

Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 14.

Page 42: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

24

dengan peraturan perundangan-undangan lain yang sederajat, disharmonisasi

dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi sebagai

dasar pernormaan, serta konsideran UU No. 8 Tahun 2012 yang menjadi landasan

validitas.

1.8.2. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini

menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan

analisis dan konseptual hukum (analitical & conceptual approach), pendekatan

sejarah (historical approach), pendekatan perbandingan (comparative approach)

dan pendekatan filsafat (philosophical approach). Adapun masing-masing

pendekatan menenkankan pada fokus kajian yang berbeda yakni sebagai berikut :

1. Pendekatan perundang-undangan dilakukan dengan meneliti berbagai

peraturan hukum yang menjadi fokus dalam penelitian. Dalam hal ini,

pendekatan perundang-undangan beranjak pada peraturan perundang-

undangan yang memiliki korelasi dan koherensi perihal pemilihan umum

khususnya yang memuat pengaturan ambang batas formal, serta materi

terkait lainnya yang menjadi bagian kajian penelitian ini.

2. Pendekatan analisis dan konseptual hukum dilakukan dengan menelaah

teori-teori hukum maupun pandangan dari para sarjana, yang kemudian

dianalisis relevansinya terkait dengan permasalahan pengaturan ambang

batas formal.

Page 43: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

25

3. Pendekatan sejarah dilakukan dengan menilik dari sejarah penormaan

hukum penyelenggaraan pemilihan umum, baik pemilihan umum sebelum

maupun sesudah diberlakukannya pengaturan ambang batas formal.

4. Pendekatan perbandingan merupakan elaborasi dari pendekatan

perundangan-undangan dengan memperbandingkan dengan undang-

undang yang berlaku di berbagai negara, khususnya yang mengatur

ambang batas formal.

5. Pendekatan filsafat beranjak dari dasar ontologis dan landasan filosofis

Pancasila dan UUD 1945, serta rasio hukum dari ketentuan-ketentuan

tertentu dalam UUD 1945, khususnya tentang Demokrasi, Pemilihan

Umum, dan Hak Asasi Manusia.

1.8.3. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang digunakan untuk memecahkan masalah sebagaimana

yang telah dirumuskan dalam penelitian hukum ini adalah bersumber dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

Bahan hukum primer (primary law material) terdiri dari peraturan

perundang-undangan dan yurisprudensi. Adapun bahan hukum primer yang

digunakan terkait dengan lingkup permasalahan adalah sebagai berikut :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan

Golongan Karya;

3) Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum;

4) Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

Page 44: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

26

5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

6) Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan

International Covenant on Civil and Political Rights;

7) Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

8) Undang – Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden;

9) Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan

DPRD;

10) Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan;

11) Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

12) Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959

tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.

13) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 atas

Pengujian Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

14) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 atas

Pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Bahan hukum sekunder (secondary law material) yang digunakan dalam

penelitian hukum umumnya adalah seperti buku-buku teks ilmu hukum dan jurnal

ilmiah terpublikasi. Adapun bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penelitian hukum normatif ini antara lain berupa : buku-buku, maupun literatur-

literatur, termasuk literatur asing yang memuat teori-teori hukum, asas-asas, dan

konsep hukum yang dipandang relevan dengan permasalahan yang diteliti untuk

dikutip dan menjadi landasan pembenaran dalam menjawab permasalahan.

Page 45: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

27

Selain bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, terdapat pula

bahan hukum tertier (tertiary law material) untuk menunjang bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan. Adapun bahan hukum tertier

yang digunakan sebagai penunjang adalah kamus hukum, kamus besar bahasa

Indonesia, kamus bahasa inggris, ensiklopedia, serta situs internet sebagai media

online yang memuat berita terkait dengan permasalahan yang diteliti.

1.8.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam penelitian hukum ini, bahan-bahan hukum dikumpulkan dengan

menggunakan teknik studi pustaka atau library research. Penelitian ini dilakukan

dengan memeriksa pustaka atau literatur hukum yang memiliki relevansi dengan

materi kajian dan telah terpublikasi, seperti peraturan perundang-undangan,

putusan pengadilan, buku-buku ilmu hukum. Adapun literatur-literatur hukum

yang dimaksud kemudian digunakan dalam hal menginventaris pandangan

maupun doktrin hukum dari para sarjana hukum untuk dikritisi ataupun sebagai

dasar pembenar dalam bahasan penelitian.

Gorys Keraf memaparkan bahwa terdapat tiga golongan bahan bacaan

dalam penelitian kepustakaan, yaitu sebagai berikut :

1. buku-buku atau bahan bacaan yang memberikan gambaran umum

mengenai persoalan yang akan digarap. Tidak perlu dibuat catatan-

catatan dari buku-buku semacam ini

2. buku-buku yang harus dibaca secara mendalam dan cermat, karena

bahan-bahan yang diperlukan untuk karya tulis terdapat di situ, Dari

bahan-bahan semacam inilah pengarang harus membuat kutipan-

kutipan yang diperlukan.

Page 46: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

28

3. bahan bacaan tambahan yang menyediakan informasi untuk mengisi

yang masih kurang untuk melengkapi karya tulis itu.38

1.8.5. Teknik Analisis Bahan Hukum

Bahan hukum diolah dan dianalisis dengan menggunakan teknik

penafsiran atau interpretasi dan teknik argumentasi. Von Savigny sebagaimana

dikutip oleh Peter Mahmud Marzuki mendefinisikan bahwa interpretasi

merupakan suatu rekonstruksi buah pikiran yang tak terungkapkan di dalam

undang-undang.39

Kegiatan interpretasi merupakan suatu upaya menemukan

kebenaran yang utuh atas suatu pemikiran yang telah ada dengan berpijak pada

satu bentuk perspektif dan memecahkan masalah yang belum terselesaikan.

Pemahaman hukum secara teoritik terkait dengan permasalahan, dianalisis

dengan interpretasi yang memiliki karakter hermeneutik hukum. Hermeneutik

berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein yang berarti menafsirkan atau

menginterpretasikan.40

Metode penafsiran dalam lingkaran hermeneutik

berlangsung dalam hubungan bolak balik antara bagian dan keseluruhan, antara

teks, konteks, dan kontekstualisasi, dalam rangka membentuk suatu pemahaman

yang utuh atas suatu permasalahan.41

Jimly Asshidiqie kemudian menyebutkan

bahwa aspek yang menjadi pedoman dalam melakukan interpretasi hermeneutika

hukum adalah keadilan, kepastian hukum, prediktabilitas, dan kemanfaatan.42

38 Gorys Keraf, 1994, Komposisi – Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa,, Penerbit Nusa

Indah, Flores, hal. 166.

39

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 106.

40

I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, 2010, Filsafat Ilmu : Apa, Bagaimana, untuk Apa Ilmu

Pengetahuan itu dan Hubungannya dengan Agama?, Paramita, Surabaya, hal. 175.

41

Jimly Asshiddiqie, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hal.247. Lihat pula dalam I Ketut Donder dan I Ketut Wisarja, op.cit, hal. 178.

42

ibid, hal. 247.

Page 47: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

29

Teknik interpretasi dapat digolongkan seperti penafsiran gramatikal,

historis, sistematis, teleologis, kontektual, dan lain-lain. Adapun bahan – bahan

hukum yang telah diolah melalui teknik interpretasi, akan dielaborasikan dengan

teknik argumentasi. Teknik argumentasi merupakan teknik penilaian yang

didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum. Penilaian yang

dimaksud berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah,

sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap bahan-bahan hukum.43

43 Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas Hukum

Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana, Denpasar, hal 61.

Page 48: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

30

BAB II

DEMOKRASI KONSTITUSIONAL DAN PEMILIHAN UMUM

2.1. Konsepsi Demokrasi Konstitusional

Gagasan perihal konsep demokrasi konstitusional muncul sebagai bentuk

perkembangan paradigma negara modern yang menjadikan konstitusi sebagai

pengawal sistem demokrasi. Demokrasi menempatkan prinsip one man, one vote,

one value yang pada akhirnya mengarahkan suatu keputusan dinilai secara

kuantitatif dan menjadi lebih berpihak pada kehendak mayoritas. Demokrasi yang

ideal merupakan rasionalisasi dari perwujudan prinsip-prinsip umum yang

mencakup setiap kehendak umum seluruh masyarakat. Disinilah peranan

konstitusi untuk memberikan jaminan atas perwujudan nilai-nilai tersebut dengan

cara membatasi mekanisme demokrasi secara hukum guna melindungi hak-hak

seluruh warga negaranya.44

Jimly Asshiddiqie berpendapat perihal demokrasi konstitusional

(constitutional democracy) merupakan suatu sistem dimana pelaksanaan

kedaulatan rakyat diselenggarakan menurut prosedur konstitusional yang

ditetapkan dalam hukum dan konstitusi. Demokrasi konstitusional menempatkan

bagaimana adanya suatu upaya dalam mewujudkan konsensus di antara

kedaulatan rakyat (demokrasi) dan kedaulatan hukum (nomokrasi), sebagai suatu

44 Janedjri M. Gaffar, 2012, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan Indonesia

Setelah Perubahan UUD 1945), Konstitusi Press, Jakarta, hal. 184-185. Lebih lanjut dijelaskan

bahwa demokrasi yang lebih mencerminkan kehendak mayoritas terkadang bertentangan dengan

prinsip kedaulatan rakyat menurut UUD. UUD mempertegas keberadaan Pasal 1 ayat (3) dimana

negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga demokrasi menjadi dibatasi oleh hukum dengan

puncaknya pada UUD 1945 untuk mengatasi kelemahan dalam demokrasi tersebut.

Page 49: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

31

dua hal yang dianggap disharmoni namun melekat antara satu dan yang lain dalam

pencapaian tujuan negara yang melindungi masyarakat plural (plural society).45

Demokrasi konstitusional pada hakikatnya sangat diperlukan bila dibandingkan

dengan rezim totaliter atau otoriter yang telah tergantikan keberadaan pada paruh

kedua Abad Keduapuluh (constitutional democracy is virtually indispensable

when contrasted with the totalitarian or authoritarian regimes that it replaced in

the second half of the twentieth century).46

Bart Hassel dan Piotr Hofmanski sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede

Atmadja merinci empat ciri khas yang menjadi dasar dari konsep demokrasi

konstitusional sebagai berikut :

1. Undang-undang yang mempengaruhi kedudukan warga negara

dibentuk oleh parlemen yang dipilih secara demokratis

2. Mencegah perilaku sewenang-wenang dari pemerintah

3. Peradilan yang bebas dalam menerapkan hukum pidana, dan

menguji peraturan perundang-undangan dan tindakan pemerintah

4. Unsur material rule of law yakni perlindungan HAM, terutama

kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan kebebasan berserikat dan

berkumpul.47

Undang-undang dibuat oleh lembaga yang memiliki otoritas, yang anggotanya

dipilih dengan cara-cara yang demokratis, dengan tujuan agar masyarakat dapat

turut serta mengontrol jalannya fungsi negara dan menghindarkan terjadinya

praktek penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau kesewenang-

45 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,

hal. 58.

46

Michel Rosenfeld, 2001, “The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional

Democracy”, dalam Southern California Law Review vol 74 (2001), Publisher University of

Southern California; School of Law; Gould School of Law, California, diakses dari http://www-

bcf.usc.edu/~usclrev/pdf/074503.pdf, tanggal 18 Maret 2013, hal. 1310.

47

I Dewa Gede Atmadja, 2012, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian

Kenegaraan), Setara Press, Malang, hal. 92-93.

Page 50: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

32

wenangan (wilikeur). Jaminan akan hal tersebut dapat terwujud apabila setiap

lembaga peradilan, terlebih pada lembaga peradilan yang berwenang untuk

mengontrol setiap keputusan dan produk hukum yang dibuat oleh negara, dapat

berfungsi secara bebas dan mandiri.

Sementara konsepsi demokrasi konstitusional dari Adnan Buyung

Nasution yang dibangun dari pemikiran Herbert Feith ditandai dengan adanya

enam ciri, yaitu :

1. warga sipil memainkan peranan dominan;

2. partai politik memegang peranan yang sangat penting;

3. para pesaing politik menuju kekuasaan memperlihatkan rasa hormat

kepada rules of game, yang berhubungan rapat dengan konstitusi

yang berlaku;

4. kebanyakan anggota elite politik sedikit-banyak mempunyai rasa

komitmen terhadap lambang yang bertalian dengan demokrasi

konstitusional;

5. kebebasan sipil jarang dilanggar;

6. pemerintah jarang menggunakan paksaan (coercion).48

Lebih lanjut Adnan Buyung Nasution memaparkan dua ciri yang menjadi prinsip

umum di dalam suatu negara konstitusional (constitutional state) adalah adanya

pengakuan dan jaminan hak-hak warga negara, serta pembatasan dan pengaturan

kekuasaan negara secara hukum.49

Adapun kedua unsur tersebut mengarahkan

konsep negara konstitusional yang dimaksud kepada konsep negara konstitusional

yang demokratis.

48 Lihat dalam Adnan Buyung Nasution, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional,

Kompas, Jakarta, hal. 70-71. Dijelaskan bahwa Herbert Feith merumuskan enam ciri tersebut

sebagai tanda masa tumbuhnya sistem demokrasi konstitusional pada dunia perpolitikan di

Indonesia.

49

Taufiqurrohman Syahuri, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum, Kencana, Jakarta,

hal. 35.

Page 51: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

33

Demokrasi konstitusional terwujud salah satunya dari adanya

perlindungan hak asasi secara individual dan kebebasan (liberty) sehingga konsep

ini sering dipersepsikan dengan prinsip demokrasi liberal.50

Pentingnya

perlindungan hak asasi manusia dalam konsepsi demokrasi konstitusional

merupakan wujud konsekuensi dari tipologi negara hukum modern yang

melindungi kepentingan dasar warga negaranya. Hak asasi manusia adalah hak

yang bersifat mendasar (grounded) dan berhubungan erat dengan jati diri manusia

secara universal.51

Hak asasi dimiliki oleh warga negara secara dasariah dan yang

patut dilaksanakan pemerintah secara konstitusional.52

Hukum memberikan

jaminan perlindungan hak asasi, dalam arti hak hukum (legal right), kepada

seseorang dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum yang secara sah tercantum

dalam hukum yang berlaku.53

Pengaturan hak-hak asasi secara konstitusional

ditujukan dalam rangka formalisasi hak-hak tersebut yang mengatur bagaimana

tentang perlindungan hak, termasuk pembatasan hak-hak tersebut secara hukum.

Pembatasan kekuasaan negara melalui supremasi hukum sebagaimana

yang menjadi unsur demokrasi konstitusional merupakan konkretisasi dari prinsip

konstitusionalisme. Definisi konstitusionalisme menurut Carl. J. Friedrich

sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie adalah―an institutionalized system of

effective, regularized restraints upon governmental action‖. Persoalan yang

diangap terpenting dalam setiap konstitusi adalah pengaturan mengenai

50 I Dewa Gede Atmadja, Ilmu ..., op.cit, hal. 92.

51

Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 47.

52

Ramly Hutabarat, 1985, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) di

Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal. 25.

53

Majda El-Muhtaj, op.cit, hal. 48-49.

Page 52: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

34

pengawasan atau pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah. Paham

konstitusionalisme menentukan adanya suatu sistem yang melembaga dan mampu

membatasi tindakan-tindakan dari pemerintah secara efektif oleh hukum, dalam

hal ini melalui konstitusi.54

Lebih lanjut Carl. J. Friedrich memberikan dua

pandangan konkret yang menjelaskan bagaimana pembatasan kekuasaan tersebut

dapat dilakukan, yakni melalui pembagian kekuasaan (distribution of power), dan

adanya konsensus atau kesepakatan umum di antara masyarakat.55

Perihal cara

yang pertama, bahwa pembatasan kekuasaan negara di dalam paham

konstitusionalisme merupakan kristalisasi dari konsep pemisahan kekuasaan,

dimana Baron de Montesquieu memisahkan kekuasaan menjadi tiga (Trias

Politica), yaitu:

a. kekuasaan legislatif (membentuk undang-undang);

b. kekuasaan eksekutif (menjalankan undang-undang);

c. kekuasaan yudisial (mengadili atas pelanggaran undang-undang).56

Kemudian untuk faktor kedua perihal adanya konsensus dari masyarakat, bahwa

terdapat tiga aspek yang menjamin tegaknya prinsip konstitusionalisme, yaitu :

a. kesepakatan tentang tujuan dan penerimaan tentang falsafah negara;

b. kesepakatan tentang negara hukum sebagai landasan penyelenggaraan

pemerintahan;

c. kesepakatan tentang bentuk-bentuk institusi dan prosedur-prosedur

ketatanegaraan tersebut.57

54 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara..., op.cit, hal.93

55

I Dewa Gede Atmadja, 2012, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi Indonesia

Sesudah Perubahan UUD 1945), Setara Press, Malang, hal. 18-19.

56

Ismail Sunny, 1985, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta, hal. 2.

Page 53: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

35

Sebagaimana dipaparkan sebelumnya bahwa pelaksanaan demokrasi

konstitusional erat berkaitan dengan harmonisasi demokrasi dan nomokrasi dalam

penyelenggaraan suatu negara. Janedjri M. Gaffar mengklasifikasikan secara

konkret tiga bentuk pelaksanaan demokrasi konstitusional, yaitu :

1. adanya penataan hubungan antar lembaga negara; terkait dengan aspek

pencapaian tujuan negara demokrasi dan hukum, serta perihal pembatasan

kekuasaan dengan menghindari adanya akumulasi kekuasaan yang dapat

menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan (melalui pemisahan kekuasaan

dan check and balances).

2. adanya proses legislasi; terkait dengan pembuatan hukum secara

demokratis yang memperhatikan aspirasi masyarakat, serta perwujudan

dari cita benegara, cita demokrasi, dan cita hukum dalam konstitusi.

3. adanya judicial review; terkait dengan jaminan perwujudan demokrasi dan

nomokrasi guna menegakkan supremasi konstritusi melalui pengujian

konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan.58

Dari paparan tersebut di atas, dapat dipahami bahwa demokrasi

konstitusional menempatkan paham konstitusionalisme di dalam kerangka

pembentuknya, dimana hak-hak warga negara hanya dapat dijamin apabila

kekuasaan pemerintah dapat dibatasi secara hukum sehingga tidak dapat bertindak

secara sewenang-wenang. Hukum yang dibuat, dalam arti undang-undang, wajib

dibentuk oleh lembaga perwakilan yang dipilih secara demokratis oleh rakyat.

Keberadaan konstitusi dan perundang-undangan menjadi esensial dalam rangka

57 I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi…, op.cit. hal. 19.

58

Janedjri M. Gaffar, Demokrasi Konstitusional..., op.cit, hal. 13-14.

Page 54: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

36

memberikan jaminan tersebut dan masyarakat dapat mempertahankan setiap hak-

haknya. Penegakan akan supremasi konstitusi menjadi penting dan adanya sarana

hukum untuk menguji perundangan-undangan terhadap undang-undang dasar

merupakan langkah yuridis sebagai kesatuan dari proses legislasi yang

demokratis.

2.2. Sistem Pemilihan Umum

2.2.1. Definisi Sistem Hukum

Secara etimologis, sistem berasal dari Bahasa Inggris yaitu system yang

berarti sistem, susunan, jaringan, dan cara.59

Kamus Besar Bahasa Indonesia

mendefinisikan sistem sebagai perangkat unsur yang secara teratur saling

berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas ; susunan yang teratur dari

pandangan, teori, asas.60

Sistem sebagai suatu kesatuan terbentuk dari beberapa

unsur atau elemen dimana antara satu dengan yang lainnya memiliki keterikatan

secara fungsional, berpola, konsisten, dan diterapkan pada hal yang bersifat

immaterial maupun material.61

Sistem menandakan adanya suatu kombinasi

teratur di antara bagian dan keseluruhan dengan diiringi adanya hubungan dan

koneksi sehingga menyebabkan dapat berfungsi.

59 John M. Echols dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia (An English –

Indonesia Dictionary). PT. Gramedia, Jakarta, hal. 575.

60

Departemen Pendidikan Nasional, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Pusat Bahasa

(Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 1320.

61

Rusadi Kantaprawira, 1985, Sistem Politik Indonesia (Suatu Model Pengantar), Penerbit

Sinar Baru, Bandung, hal. 7.

Page 55: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

37

Kamus Black’s Law memberikan definisi “system” sebagai orderly

combination or arrangement, as of particulars, parts, or elements into a whole;

especially such combination according to some rational principle; any methodic

arrangement of parts.62

Terminologi sistem yang dipadankan dengan hukum

memberikan konsekuensi terhadap definisi dari hukum itu sendiri. Ludwig von

Bertalanffy mendefinisikan sistem di dalam hukum sebagai ―...complexes of

elements in interaction, to which certain law can be applied” (sistem adalah

himpunan unsur atau elemen yang saling mempengaruhi, dimana hukum tertentu

menjadi berlaku).63

Sudikno Mertokusumo menjelaskan bahwa sistem hukum

merupakan suatu kesatuan yang terorganisasi, terstruktur, yang terdiri dari unsur-

unsur atau bagian-bagian yang mengadakan interaksi satu sama lain dan

mengadakan kerja sama untuk kepentingan tujuan kesatuan.64

Keseluruhan

definisi tersebut menyiratkan bahwa konsekuensi logis yang terbentuk dalam

sistem hukum menempatkan tiga aspek yang menjadi cirinya, yakni adanya unsur

hukum, interaksi hukum, dan tujuan hukum.

Bruggink yang mengutip teori dari Kees Schuit menggolongkan unsur-

unsur yang mewujudkan suatu sistem hukum menjadi tiga, yaitu unsur idiil

(aturan-aturan, kaidah-kaidah, asas-asas), unsur operasional (organisasi atau

lembaga yang didirikan termasuk pejabat), dan unsur aktual (putusan-putusan dan

62 Henry Campbell Black, 1968, Black’s Law Dictionary - Definitions of the Terms and

Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern (Revised Fourth Edition),

West Publishing Co, St. Paul Minn, hal. 1621.

63

Bachsan Mustafa, 2001 Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung, hal. 10.

64

Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka,

Yogyakarta, hal. 51.

Page 56: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

38

perbuatan perbuatan konkret, baik dari para pejabat maupun masyarakat).65

Hukum di dalam suatu sistem menjadi sarat akan nilai karena tidak hanya berpijak

dari aspek normatifnya semata, namun juga melekat unsur-unsur non-yuridis yang

memberikan pengaruh keberlakuan hukum secara utuh. Unsur-unsur hukum

tersebut saling terikat secara integral sehingga menyebabkan hukum dapat berlaku

dan berfungsi.

Secara teoritik, sistem hukum atau legal system berkaitan pula dengan

doktrin konsep hukum (the concept of law) dari H.L.A. Hart. Hart menempatkan

kedudukan primary rules dan secondary rules dimana kesatuannya merupakan

pusat dari sistem hukum walaupun bukan secara keseluruhan (the union of

primary and secondary rules is at the centre of a legal system; but it is not the

whole).66

Primary rules berada pada aspek kewajiban-kewajiban dan hak-hak

seluruh warga negara, sementara perihal secondary rules diperinci dalam tiga

aspek, yakni aturan yang menetapkan persisnya aturan mana yang dianggap sah

(rules of recognition), bagaimana dan oleh siapa aturan tersebut dapat diubah

(rules of change), serta bagaimana dan oleh siapa aturan tersebut dapat memaksa

dan penegakan dalam hal terjadi konflik (rules of adjudication).67

65 JJ.H. Bruggink, 2011, Refleksi Tentang Hukum (Pengertian – Pengertian Dasar dalam

Teori Hukum) terjemahan B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 140.

66

H.L.A. Hart, 1961, The Concept of Law, Oxford University Press, Oxford, hal 96.

67

B. Arief Sidharta, 2009, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori

Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama, hal. 42. Lihat pula Otje Salman dan Anthon F.

Susanto, 2010, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Refika

Aditama, Bandung, hal. 91

Page 57: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

39

Penjabaran perihal sistem hukum berkorelasi dengan doktrin legal system

dari Lawrence M. Friedman, dimana hukum agar dapat berjalan dengan efektif di

dalam sebuah sistem (Legal System) dapat dilihat dari 3 (tiga) unsur yaitu :

1. Legal Substance, merupakan aturan substantif dan aturan tentang

bagaimana lembaga-lembaga harus bersikap (the substance is composed of

substantive rules and rules about how institutions should behave).

Friedman mengaitkan unsur legal substance dengan pendapat dari Hart

perihal primary rules dan secondary rules.

2. Legal Structure : merupakan kelembagaan institusional yang berbentuk

permanen yang menjaga proses berjalannya sistem hukum (the structure of

system is its skeletal framework, it is permanent shape, the institutional

body of system, the tough, rigid, bones, that keep the process flowing

within bounds)

3. Legal Culture : merupakan elemen nilai dan perilaku sosial (element of

social attitude and value).68

Penggolongan sistem hukum secara umum dapat dibedakan pada dua

karakteristik utama yaitu sistem common law dan civil law.69

Perihal kedua sistem

hukum tersebut Peter Mahmud Marzuki memaparkan bahwasistem common law

68 Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System (A Social Science Perspective), Russel

Sage Foundation, New York, hal. 14-15.

69

Lihat dalam “The Common Law and Civil Law Traditions“, The Robbins Collection, School

of Law (Boalt Hall), University of California, Berkeley, diakses dari

http://www.law.berkeley.edu/library/robbins/pdf/CommonLawCivilLawTraditions.pdf pada

tanggal 30 April 2013, hal. 1. Terminologi lain memaparkan bahwa civil law dan common law

bukan menggunakan istilah sistem hukum (legal system), melainkan tradisi hukum (legal

traditions) yang salah satunya diikuti oleh sebagian besar negara dewasa ini. Dalam hal ini penulis

menggunakan istilah sistem hukum didasarkan dari 3 unsur yang dipaparkan oleh Lawrence M.

Friedman yang melihat baik civil law system maupun common law system dari dari aspek

substansi, struktur, dan budaya hukum.

Page 58: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

40

sebagai sistem yang dikembangkan oleh Inggris dan bekas koloninya, sementara

sistem civil law diikuti oleh negara-negara Eropa dan bekas koloni mereka

(common law system is shared by Great Britain and its former colonies; which

civil law system is followed by European countries and their former colonies).

Sistem common law sering disebut sebagai Sistem Anglo Saxon, dan di sisi lain

sistem civil law juga disebut Sistem Eropa Kontinental.70

Sistem Eropa Kontinental dari aspek substansi hukum menekankan pada

aturan-aturan hukum yang tertuang dalam perundang-undangan. Hal ini

disebabkan karena budaya hukum yang terbangun dalam negara eropa adalah

menganut hukum secara tertulis atau kodifikasi, sehingga perundangan-undangan

menjadi penting sebagai media dalam mewujudkan legalitas hukum secara formal.

Adapun secara historis kodifikasi hukum tertulis Romawi memberikan pengaruh

dalam karakter legal formal Sistem Eropa Kontinental, dimana Corpus Iuris

Civilis dapat diklasifikasikan menjadi 4 buku sebagai berikut :

1. Code, sebagai kompilasi keputusan dari Kekaisaran Romawi yang

dikeluarkan sebelum masa Yustinianus dan masih diberlakukan dengan

mengatur secara sistematis sesuai dengan subyek / materi.

2. Novellae atau Novels, merupakan kompilasi keputusan kekaisaran baru

yang dikeluarkan oleh Yustinianus sendiri.

3. Institues, adalah teks penjelasan yang disediakan sebagai pengantar dari

“digest” yang didasarkan pada tulisan ahli hukum Gaius dengan judul

yang sama.

70 Peter Mahmud Marzuki, 2011, An Introduction to Indonesia Law Setara Press, Malang,

hal.26.

Page 59: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

41

4. Digest atau pandects, adalah fragmen dari teks klasik hukum Romawi.71

Keberadaan hukum yang dikodifikasikan dalam sistem hukum eropa kontinental

akhirnya menjadikan keberadaan perancang undang-undang (legislative drafter)

secara struktur memiliki peranan yang esensial perihal pembentukan aturan

hukum tertulis.

Perbedaan yang mengemuka antara Sistem Anglo Saxon dengan Sistem

Eropa Kontinental adalah secara figur hukum dimana Sistem Anglo Saxon lebih

merujuk pada keberadaam putusan hakim/jurisprudensi. Hal ini dikarenakan

budaya hukum yang dibangun dalam negara Anglo Saxon adalah hukum tidak

tertulis (unwritten law) dan penyelesaian perkara yang beranjak pada aspek case

law study. Secara struktur hukum, peranan hakim menjadi sangat besar dalam

Sistem Anglo Saxon, dikarenakan hukum yang dibuat adalah berdasarkan oleh

putusan hakim (judge-made-law).

2.2.2. Pemilihan Umum

Pemilihan umum merupakan salah satu media perwujudan demokrasi yang

diselenggarakan dengan tujuan untuk memungkinkan terjadinya peralihan

pemerintahan secara aman dan tertib, melaksanakan kedaulatan rakyat, serta

dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga negara.72

Sinergi antara

pemilihan umum dan ilmu hukum menimbulkan konsekuensi karakteristik sui

generis dari ilmu hukum yang melekat pada penyelenggaraan pemilihan umum.

71 Ade Maman Suherman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Rajawali Press,

Jakarta, hal. 57.

72

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit, hal. 330.

Page 60: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

42

Pemilihan umum yang terikat di dalam kerangka hukum memberikan nilai

normatif di dalam prosesnya tersebut guna menjamin penegakan setiap aturannya

dan merealisasikan tujuan sebagaimana yang dimaksud.

Pemahaman pemilihan umum di dalam kerangka ilmu hukum adalah

dengan melihat kedudukan pemilihan umum dalam sifatnya yang merupakan

bagian dari ranah hukum publik. Hukum publik adalah hukum yang isinya

mengatur hubungan antara negara dengan alat-alat perlengkapan negara atau

hubungan antara negara dengan perseorangan (warga negara).73

Hans Kelsen

menjelaskan bahwa di dalam pembentukan hukum publik, sistem hukum

memberikan otoritas kepada warga negara yang memiliki kualifikasi sebagai

organ dari negara untuk membuat dan memaksakan hukum yang mengatur

kewajiban warga negara (the legal system empowers those human beings who are

qualified as organs of the state to impose obligation on citizens).74

Hukum

pemilihan umum diatur secara formil dan materiil guna melindungi kepentingan

umum, dalam hal ini hubungan hukum antara warga negara dengan negara yang

menguasai tertib hukum masyarakat dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Kamus Black Law mendefinisikan pemilihan umum atau general election

dalam definisi perspektif hukum sebagai berikut :

One at which the officers to be elected are such as belong to the

general government,—that is, the general and central political

organization of the whole state; as distinguished from an election of

officers for a particular locality only. Also, one held for the

73 CST Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka,

Jakarta, hal. 75.

74

Hans Kelsen, 2002, Introduction to the Problems of Legal Theory (A Translation of the

First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law - translated by Bonnie Litschewski

Paulson and Stanley L. Paulson), Clarendon Press, Oxford, hal. 93.

Page 61: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

43

selection of an officer after the expiration of the full term of the

former officer; thus distinguished from a special election, which is

one held to supply a vacancy in office occurring before the

expiration of the full term for which the incumbent was elected. 75

Dari segi struktur, definisi tersebut menjelaskan bagaimana adanya pemilihan

guna memilih pejabat yang tergolong sebagai pemerintah publik. Pemilihan

pejabat tersebut digolongkan menjadi dua, yaitu untuk pengisian pejabat pada

lembaga politik pusat negara (dalam arti pemerintah pusat) dan untuk pemilihan

pejabat di wilayah tertentu (dalam arti pejabat pemerintah daerah). Adapun

pemilihan umum tersebut dapat digolongkan lagi tujuannya untuk menggantikan

pejabat yang telah berakhir masa jabatan politiknya secara penuh maupun yang

sebelum berakhirnya masa jabatannya.

Pemilihan umum di dalam kerangka yuridis ilmu hukum menempatkan

kedudukan segenap peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pejabat

yang memilki otoritas dan mengatur perihal substansi pemilihan umum sebagai

sumber-sumber hukum dalam pemilihan umum tersebut, baik dari konstitusi,

perundang-undangan, putusan pengadilan, dan lain sebagainya. Dengan

didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, asas-asas yang

menjadi dasar dalam pelaksanaan pemilihan umum dapat ditelusuri. Adapun yang

menjadi asas-asas umum pelaksanaan dan penyelenggaraan pemilihan umum

sebagaimana tercantum dalam UU No. 8 Tahun 2012 adalah sebagai berikut :

a. Langsung; adalah rakyat sebagai Pemilih mempunyai hak untuk

memberikan suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati

nuraninya, tanpa perantara.

75 Henry Campbell Black, op.cit, hal. 609.

Page 62: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

44

b. Umum; mengandung makna adanya jaminan kesempatan yang berlaku

menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa diskriminasi berdasarkan

suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, kedaerahan, pekerjaan, dan

status sosial.

c. Bebas; setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan

pilihannya tanpa tekanan dan paksaan dari siapa pun. Di dalam

melaksanakan haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya oleh

negara, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati nurani.

d. Rahasia; dalam memberikan suaranya, Pemilih dijamin bahwa pilihannya

tidak akan diketahui oleh pihak mana pun. Pemilih memberikan suaranya

pada surat suara dengan tidak dapat diketahui oleh orang lain. Dalam

penyelenggaraan Pemilu ini, penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah,

e. Adil; peserta Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, Pemilih, serta

semua pihak yang terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan. Setiap Pemilih dan Peserta

Pemilu mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak

mana pun.

2.2.3. Jenis Sistem Pemilihan Umum

Pemilihan umum bekerja di dalam suatu sistem yang terintegrasi layaknya

suatu proses. Pemilu sebagai mekanisme guna menjabarkan demokrasi secara

konkret memiliki banyak ragam metode dalam penyelenggaraannya. Terdapat

Page 63: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

45

banyak versi jenis sistem pemilihan umum yang dapat ditelusuri dalam kajian

hukum dan politik dengan sistemisasi karakteristik masing-masing

C.F. Strong membagi sistem pemilihan lembaga perwakilan ke dalam dua

jenis, yakni daerah pemilihan berwakil tunggal (single-member constituency) dan

daerah pemilihan berwakil jamak (multi-member constituency). Strong

mengkonjugasikan single-member constituency pada dua aspek yakni perihal

teritori dan konstituen. Strong berpendapat bahwa pada umumnya susunan daerah

pemilihan secara normal merupakan hasil dari pembagian teritori-teritori dimana

masing-masing diwakili oleh satu anggota (division of a country into a number of

electoral areas, urban, rural, each returning a single member). Namun

pembagian teritorial tersebut hanya kemudahan sesaat karena adanya flutuktuasi

dan variasi populasi, dan adalah hal yang sulit untuk mengimbanginya, sementara

distribusi kursi secara tetap adalah dibutuhkan (constant redistributing of seats

was necessary). Sehingga hal ini menyebabkan sistem yang diawal hanya sebatas

pembagian teritorial (system of territorial division), dimana sistem ini

diidentikkan sebagai sistem distrik, berubah menjadi sistem dengan daerah

pemilihan berwakil tunggal (single-member constituencies) dengan fokus utama

pada jumlah keterwakilan.76

Sistem daerah pemilihan berwakil tunggal (single-member constituency)

memiliki karakteristik pembagian geografi politik negara ke dalam beberapa

wilayah atau distrik, dimana nantinya hanya ada satu wakil yang dapat terpilih

dari setiap wilayahnya. Meskipun banyak tersebar suara-suara pemilihan dari para

76 C.F. Strong, 1952, Modern Political Constitutions (An Introduction to the Comparative

Study of Their History and Existing Form), Sidgwick & Jackson Limited, London, hal. 171-172.

Page 64: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

46

pemilih dan banyak calon atau partai politik yang memiliki kemungkinan

mendapatkan suara, namun hanya akan terdapat satu calon atau partai yang

memenanganinya secara keseluruhan (winner takes all).77

Esensi dari sistem

daerah pemilihan berwakil tunggal menempatkan hanya calon tunggal yang

memenangkan kursi dalam pemilihan umum. Berapapun suara yang masuk pada

suatu calon, selama ia memiliki suara tertinggi di antara calon yang lain walaupun

dengan selisih suara yang tidak besar, maka ia akan menjadi satu-satunya wakil

yang terpilih dikarenakan tiap-tiap distrik atau daerah pemilihan yang hanya

mencari satu orang perwakilan.

Sistem daerah pemilihan berwakil tunggal menyebabkan suara-suara yang

ditujukan kepada calon-calon lain dalam daerah pemilihan dianggap hilang dan

tidak diperhitungkan lagi.78

Adapun CF Strong berpendapat bahwa sistem single

member constituency yang umum diterapkan di Amerika dan Britania Raya ini

menimbulkan adanya “ketidakadilan” dan bagaimana mereka mengatasinya hanya

sebatas pertanyaan yang semu (all the parties in both countries are alive to the

injustices of this system, but how they are to be overcome is a moot question).79

Sistem pemilihan umum dengan tipologi single member constituency dianggap

tidak representatif karena tidak memperhitungkan bagaimana keseimbangan

diantara suara yang masuk dengan konversi jumlah kursi di antara partai-partai,

terutama bagi partai minoritas yang merasa berada pada lingkaran “ketidakadilan”

tersebut.

77 Carlton Clymer Rodee et.al, 2011, Pengantar Ilmu Politik (Terjemahan Zulkifly Hamid),

PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 220.

78

Miriam Budiardjo, op.cit, hal. 177.

79

C.F. Strong, op.cit, hal. 174.

Page 65: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

47

Kemudian mengenai sistem daerah pemilihan berwakiljamak (multi-

member constituency), Strong mengidentikan sistem ini sebagai sistem perwakilan

proportional (proportional representation) yang keberadaannya banyak

diterapkan oleh negara dengan sistem politik, baik yang ada sekarang maupun

yang dibuat sebagai bagian integral dari konstitusi yang baru.80

Di dalam sistem

perwakilan proporsional, kursi legislatif dimenangkan atas dasar persentase suara

yang diberikan untuk partai (the seats in the legislature are won on the basis of

the percentage of the votes cast for a party). Jadi apabila di dalam lembaga

legislatif terdapat 100 kursi seperti pada Senat Amerika Serikat, jika partai kecil

mendapat 10 persen suara maka ia akan mendapatkan 10 kursi, sedangkan

biasanya pada sistem daerah pemilihan berwakil tunggal akan hampir pasti tidak

mendapatkan kursi (whereas in the usual ―winner take all‖ system it would

almost certainly get no seats).81

Sistem ini dianggap lebih representatif dan

memperhatikan keberadaan minoritas karena peluang mereka untuk terpilih dan

mendapatkan kursi lebih terbuka.

Seiring dengan perkembangan, kompleksitas sistem pemilihan umum

melahirkan banyak varian-varian sesuai dengan metode perhitungan suara

maupun kursi yang digunakan. Pippa Noris mengklasifikasikan empat tipe umum

formula dalam pemilihan umum perihal bagaimana suara pemilih dihitung dan

mengalokasikan kursi, yaitu sebagai berikut :

a. Perhitungan mayoritas (majoritarian formulas), dengan digolongkan

menjadi pluralitas, second ballot, dan sistem alternative vote.

80 ibid.

81

Lyman Tower Sargent, op.cit, hal. 52.

Page 66: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

48

b. Sistem semi-proporsional (semi-proportional systems), seperti single

transferable vote, cumulative vote, dan limited vote).

c. Perwakilan proporsional (proportional representation), yang dibedakan

menjadi dua yakni daftar terbuka (open party list) dan daftar tertutup

(closed party list) dengan menggunakan teknik sisa suara terbesar (largest

remainders) dan teknik perhitungan rata-rata tertinggi (highest averages

formula).

d. Sistem campuran (mixed systems), seperti sistem penambahan anggota (the

additional member system) yang menggabungkan unsur mayoritas dan

proporsional.82

Andrew Reynolds menggolongkan keluarga sistem pemilihan umum (The

Electoral System Families) menjadi empat kategori, yaitu :

1. Sistem Pluralitas/Mayoritas (Plurality/Majority System)

2. Sistem Perwakilan Proporsional (Proportional Representation System).

3. Sistem Campuran (Mixed System)

4. Sistem Lainnya (Other System).83

Andrew Reynolds menjabarkan Sistem Pluralitas/Mayoritas ke dalam 5

klasifikasi yakni First Past The Post, Two Round System (Majority Run-off /

Double Ballot / Second Ballot), Alternative Vote dengan menambahkan Block

82 Pippa Norris, 1997, “Choosing Electoral Systems : Proportional, Majoritatian and Mixed

System‖, dalam International Political Science Review Vol 18 (3) July 1997, Sage Publications.

Ltd, London, diakses dari

http://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Choosing%20Electoral%20Systems.pdf, tanggal

31 Mei 2013, hal 2.

83

Andrews Reynlods et al, 2005, Electoral System Design : The New International IDEA

Handbook, International IDEA, Stockholm, hal. 28.

Page 67: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

49

Vote dan Party Block Vote. Adapun karakteristik yang melekat dari masing-

masing sistem tersebut adalah sebagai berikut :

1. First Past The Post (FPTP) : merupakan sistem paling sederhana dalam

klasifikasi ini yang mencari satu calon terpilih diantara para kandidat yang

mendapat suara terbanyak pada daerah pemilihan tersebut (plurality

single-member district) walaupun kurang dari 50%+1 dikarenakan tidak

membutuhkan perolehan suara mayoritas absolut.

2. Block Vote (BV) : merupakan perkembangan dari sistem plurality/majority

yang tidak lagi hanya memilih satu calon, melainkan sekaligus memilih

beberapa anggota perwakilan sebanyak jumlah kursi yang diperebutkan

dalam distrik tersebut (plurality multi-member district).

3. Party Block Vote (PBV) : adalah variasi dari sistem BV dengan perbedaan

terletak bukan pada pemilihan calon secara individual, melainkan memilih

partai dan partai yang meraih suara terbanyak akan memenangkan semua

suara dan kursi di distrik tersebut.

4. Two Round System (TRS) : sistem ini merupakan bentuk dari sistem

mayoritas dimana pemilih hanya memilih satu calon dan setiap distrik

hanya menempatkan satu perwakilan dengan perolehan suara mayoritas

absolut.84

Faktor perolehan suara absolut menyebabkan kemungkinan

pemilu yang tidak dapat diselenggarakan dalam satu putaran dalam rangka

84 Lihat dalam Toni Andrianus et.al, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik (Dari Sistem Politik

Sampai Korupsi), Nuansa, Bandung, hal. 322 dijelaskan bahwa sistem pemilu mayoritas

menentukan bahwa setiap calon dari setiap distrik harus memenangkan jumlah tertinggi dari suara

sah atau dalam beberapa varian adalah mayoritas dari suara yang sah dalam distrik tersebut (dalam

arti absolut / 50%+1),.

Page 68: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

50

mencari calon yang akan mewakili tiap distrik dengan suara mayoritas.

Pemilu putaran kedua dilakukan apabila pada putaran pertama tidak ada

kandidat yang mendapat suara mayoritas.

5. Alternative Vote (AV) : varian sistem ini dilakukan untuk memilih satu

wakil dengan cara merangking calon anggota perwakailan sesuai dengan

pilihan pemilih, dan calon terpilih adalah yang mendapatkan suara

mayoritas absolut (50%+1). Apabila tidak terdapat kandidat yang

memperoleh suara mayoritas absolut maka preferensi pertama dieliminasi

dari daftar dan kartu suara akan dilihat lagi pada preferensi kedua85

Perihal jenis sistem yang kedua yaitu sistem perwakilan proporsional

(proportional representation system), secara umum terbagi menjadi dua yakni, list

proportional representation (List PR) dan single transferable vote (STV). List

proportional representation merupakan sistem yang diterapkan pada daerah

pemilihan berwakil jamak, dimana masing-masing partai menyediakan daftar (list)

calon anggota perwakilan untuk dipilih oleh pemilih dan partai meraih kursi

seimbang dengan berbagi sisa suara secara keseluruhan.86

Pemenang dari kandidat

dipilih berdasarkan daftar yang disediakan dalam sistem List PR yang

diklasifikasikan menjadi tiga yaitu :

1. daftar tertutup (close list), dimana pemilih hanya dapat memilih

partai saja;

2. daftar terbuka (open list), dimana pemilih dapat memilih partai

sekaligus satu atau bahkan lebih calon anggota pada partai yang

sama;

85 Andrews Reynlods et al, loc.cit. Lihat pula Sigit Pamungkas, op.cit, hal 27-29.

86

ibid, hal. 60

Page 69: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

51

3. daftar bebas (free list), dimana pemilih dapat memilih partai

sekaligus satu atau bahkan lebih calon anggota apakah ia berasal

dari partai tersebut atau tidak.87

Kemudian pada sistem single transferable vote (STV) dilakukan dengan

cara merangking kandidat berdasarkan urutan pilihan (pertama, kedua, ketiga, dan

seterusnya), disertai dengan adanya redistribusi suara antar calon dengan tujuan

untuk perimbangan suara. Calon yang telah melampaui kuota sebagaimana yang

ditentukan maka akan dinyatakan sebagai calon terpilih. Terhadap calon yang

mengalami kelebihan suara dari kuota yang ditentukan, maka sisa suara yang ada

akan diredistribusikan kepada calon berikutnya. Apabila tidak ada calon yang

mampu mencapai atau melebihi kuota, maka calon dengan suara paling sedikit

dihilangkan dan suara mereka diredistribusikan kepada calon lainnya. Proses ini

terus berlanjut sampai semua calon terpilih dinyatakan cukup dan semua kursi

telah terisi. 88

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa mekanisme penentuan

alokasi kursi pada sistem pemilihan proporsional disertai dua formula, yaitu

teknik sisa suara terbesar (largest remainders) atau juga disebut dengan teknik

kuota, serta teknik perhitungan rata-rata tertinggi (highest averages formula) atau

teknik divisor. Adapun teknik kuota digolongkan lagi menjadi varian Hare dan

Droop. Varian Hare dilakukan dengan membagi total jumlah suara sah dengan

total jumlah kursi yang tersedia di setiap distrik untuk menentukan jumlah

bilangan pembagi pemilih (BPP), sementara pada varian Droop, BPP ditentukan

87 ibid, hal. 173-178.

88

Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 184. Bandingkan dengan Sigit

Pamungkas, op.cit, hal. 35.

Page 70: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

52

dengan membagi jumlah suara sah dengan jumlah kursi yang tersedia ditambah

satu. Teknik kuota menentukan adanya perimbangan suara, dimana apabila

terdapat kelebihan suara pada salah satu calon yang telah memenuhi kuota, maka

suara tersebut akan dialihkan kepada calon berikutnya. Penentuan kursi pada

teknik kuota dilakukan dengan membagi suara perolehan partai dengan bilangan

pembagi tersebut. 89

Sementara teknik divisor merupakan teknik perhitungan yang

menggunakan rata-rata angka tertinggi dengan ciri bilangan pembagi yang tetap,

dan tidak tergantung pada jumlah pemilih dan perolehan suara. Teknik divisor

dibagi menjadi dua varian yakni D’ Hondt yang menggunakan bilangin pembagi

berangka utuh (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, dan seterusnya) dan Sainte Lague yang

menggunakan bilangan pembagi berangka ganjil (1, 3, 5, 7, 9, dan seterusnya). 90

Keseluruhan mekanisme tersebut di atas memperlihatkan bahwa sistem

perwakilan proporsional merupakan sistem pemilihan yang rumit dikarenakan

adanya metode-metode penghitungan yang digunakan dalam konversi suara

menjadi kursi.

Jenis sistem pemilihan umum berikutnya adalah sistem campuran (mixed

system), yang merupakan kombinasi dari sistem pluralitas/mayoritas dengan

sistem perwakilan proporsional. Lijphart berpendapat bahwa di beberapa sistem

campuran, komponen perwakilan proporsional tampak mendominasi daripada

komponen pluralitas (in some of the mixed systems the PR component overrides

the plurality component), meskipun dalam hasilnya tidak sepenuhnya

89 Sigit Pamungkas, op.cit, hal. 32.

90

ibid, hal. 33-34.

Page 71: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

53

proporsional dikarenakan kurang akuratnya dalam menjamin representasi

minoritas (the results will necessarily be less than fully proportional— and

minority representation less accurate and secure).91

Sistem campuran digolongkan menjadi dua yakni Mixed Member

Proportional (MMP) dan Parallel Systems. Sistem mixed member proportional

merupakan sistem yang digunakan untuk mengurangi disproporsionalitas dari

sistem distrik dengan melakukan kompensasi suara yang diperoleh dari sistem

proporsional. Partai yang meraih suara nasional tetapi tidak mendapat satupun

kursi dari daerah pemilihan, maka partai akan dihadiahi kursi yang cukup dari

sistem proporsional sampai mencukupi total keanggotaan parlemen sesuai dengan

persentase suara yang diperoleh. Sementara berbeda dengan sistem paralel, yang

walaupun menggabungkan sistem pluralitas/mayoritas dan sistem proporsional

namun kedua sistem ini terlepas satu dengan yang lain dan tidak terdapat

kompensasi dalam alokasi kursi apabila terjadi disproposionalistas.92

Jenis yang terakhir adalah sistem lainnya (other system) sebagai sistem

yang tidak dapat terklasifikasi ke dalam tiga sistem sebelumnya. Terdapat tiga

sistem yang berada di luar tiga klasifikasi sistem tersebut, yakni single non

transferable vote (SNTV), limited vote, dan borda count. Sistem single non

transferable vote (SNTV) serupa dengan sistem STV dengan perbedaan karakter

tidak ada penghapusan kandidat dengan suara preferensi paling sedikit dan

91 Arend Lijphart, 2004, "Constitutional Design For Divided Societies", dalam Journal of

Democracy Volume 15 Number 12, diakses dari

http://www.clas.ufl.edu/users/bmoraski/democratization/lijphart04_jod.pdf, tanggal 31 Maret

2013, The Johns Hopkins University Press, Baltimore - Maryland, hal. 100.

92

Lihat Andrews Reynlods et al, op.cit, hal. 91 dan Sigit Pamungkas, op.cit, hal 36.

Page 72: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

54

redistribusi suara. Sistem limited vote merupakan sistem pemilu berwakil jamak

(multi member constituence) dimana pemilih dapat memberikan suara lebih

sedikit dari jumlah kursi yang harus diisi dengan kandidat yang mendapat total

suara tertinggi yang akan mendapatkan kursi. Sementara sistem borda count, yang

diterapkan baik dalam daerah pemilihan berwakil tunggal maupun daerah

pemilihan berwakil jamak, merupakan variasi dari sistem alternative vote yang

merangking kandidat sesuai preferensi dengan karakter pembeda tanpa disertai

eliminasi kandidat dengan preferensi terendah.93

2.2.4. Sistem Pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik

Indonesia.

Sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 2012, pemilihan umum DPR-

RI pada tahun 2014 adalah menggunakan sistem pemilihan umum proporsional.

Jumlah kursi anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam puluh)

dimana setiap daerah pemilihan anggota DPR paling sedikit 3 (tiga) kursi dan

paling banyak 10 (sepuluh) kursi (vide Pasal 21 jo Pasal 22 (2) UU No. 8 Tahun

2012). Hal ini menandakan sistem pemilihan umum Indonesia berkarakter multi

member constituency dimana setiap daerah pemilihan menentukan wakil terpilih

lebih dari satu kandidat.

Penegasan sistem pemilu proporsional dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) UU

No. 8 Tahun 2012 yang menentukan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR,

DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem

93 Sigit Pamungkas, op.cit, hal. 37.

Page 73: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

55

proporsional terbuka. Secara terminologi sistem proporsional terbuka yang

digunakan dalam UU No. 8 Tahun 2012 dianggap kurang tepat mengingat

kategorisasi sistem pemilu, yakni sistem perwakilan proporsional berada pada 2

lingkup umum, yakni List Proportional Representation (List PR) dan Single

Transferable Vote (STV). Pada sistem list proportional representation kemudian

dapat digolongkan karakteristik daftar yang digunakan dimana salah satunya

adalah daftar terbuka (open list) Secara konseptual, sistem perwakilan

proporsional dengan daftar terbuka adalah bahasa hukum yang tepat terkait

dengan jenis sistem pemilu yang digunakan dalam pemilu tahun 2014.

Konsekuensi dari sistem perwakilan proporsional dengan daftar terbuka

adalah berkorelasi dengan bagaimana cara calon legislatif dipilih serta cara

menentukan calon legislatif terpilih. Pada sistem daftar terbuka, pemilih sah

berhak untuk memilih tidak hanya tanda gambar partai politiknya, melainkan

dapat pula memilih nama caleg secara langsung. Pasal 154 UU No. 8 Tahun 2012

mengatur bahawa pemberian suara untuk Pemilu anggota DPR, DPD, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilakukan dengan cara mencoblos satu kali

pada nomor atau tanda gambar partai politik dan/atau nama calon pada surat

suara. Perihal karakter sistem proporsional terbuka yang didasarkan dengan cara

menentukan calon legislatif terpilih, Pasal 215 menentukan bahwa penetapan

calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari

Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada perolehan kursi Partai Politik

Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan dengan ketentuan sebagai berikut :

Page 74: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

56

a. Calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

ditetapkan berdasarkan calon yang memperoleh suara terbanyak.

b. Dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam huruf a dengan perolehan suara yang sama,

penentuan calon terpilih ditentukan berdasarkan persebaran perolehan

suara calon pada daerah pemilihan dengan mempertimbangkan

keterwakilan perempuan.

b. Dalam hal calon yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

huruf a, jumlahnya kurang dari jumlah kursi yang diperoleh Partai Politik

Peserta Pemilu, kursi yang belum terbagi diberikan kepada calon

berdasarkan perolehan suara terbanyak berikutnya.

Sistem ini merupakan sistem perwakilan proporsional terbuka murni dimana calon

terpilih ditetapkan hanya dengan berdasarkan suara terbanyak,94

termasuk dalam

hal pembagian sisa kursi. Penggunaan sistem perwakilan proporsional terbuka

murni ini dianggap merepresentasikan bagaimana kedaulatan rakyat dalam

memilih calon legislatif di atas partai politik.

Adapun perihal formula perhitungan kursi sistem perwakilan proporsional

Indonesia menggunakan varian Hare dengan menentukan bilangan pembagi

pemilu.95

Pasal 211 menentukan sebagai berikut :

94 Rozali Abdullah, 2009, Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas (Pemilu Legislatif), Rajawali

Press, Jakarta, hal. 157.

95

Pasal 1 angka 31 UU No 8 Tahun 2012 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bilangan

pembagi pemilihan adalah bilangan yang diperoleh dari pembagian jumlah suara sah seluruh Partai

Politik Peserta Pemilu yang memenuhi ambang batas tertentu dari suara sah secara nasional di satu

daerah pemilihan dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan untuk menentukan jumlah

perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu.

Page 75: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

57

(1) Penentuan perolehan jumlah kursi anggota DPR, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan atas hasil

penghitungan seluruh suara sah dari setiap Partai Politik Peserta Pemilu

yang memenuhi ketentuan Pasal 209 di daerah pemilihan yang

bersangkutan.

(2) Dari hasil penghitungan seluruh suara sah sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) ditetapkan angka BPP DPR, BPP DPRD provinsi, dan BPP DPRD

kabupaten/kota

Perihal metode alokasi pembagian kursi kepada partai politik diatur dalam

pasal 212 sebagai berikut :

a. apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu sama dengan

atau lebih besar dari BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama

diperoleh sejumlah kursi dengan kemungkinan terdapat sisa suara yang

akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua;

b. apabila jumlah suara sah suatu Partai Politik Peserta Pemilu lebih kecil

daripada BPP, maka dalam penghitungan tahap pertama tidak diperoleh

kursi, dan jumlah suara sah tersebut dikategorikan sebagai sisa suara yang

akan dihitung dalam penghitungan tahap kedua dalam hal masih terdapat

sisa kursi di daerah pemilihan yang bersangkutan;

c. penghitungan perolehan kursi tahap kedua dilakukan apabila masih

terdapat sisa kursi yang belum terbagi dalam penghitungan tahap pertama,

dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada

Partai Politik Peserta Pemilu satu demi satu berturut-turut sampai habis,

Page 76: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

58

dimulai dari Partai Politik Peserta Pemilu yang mempunyai sisa suara

terbanyak.

Pasal tersebut memperlihatkan bahwa ketentuan alokasi kursi pada varian

Hare ini dilakukan dengan dua tahap. Alokasi kursi tahap pertama diberikan

kepada partai yang yang mendapat kuota penuh dalam arti memenuhi atau lebih

besar dari BPP. Sementara tahap kedua, alokasi sisa kursi yang belum habis

dilakukan secara berturur berdasarkan perolehan sisa suara terbanyak (largest

remainder).

2.3. Lembaga Perwakilan

Konsepsi penyelenggaraan pemilihan umum akan bermuara pada satu

tujuan perihal pembentukan lembaga-lembaga negara, dalam hal ini salah satunya

adalah lembaga perwakilan. Pada negara demokrasi dewasa ini, hampir secara

keseluruhan menggunakan metode pemilihan umum dalam penentuan lembaga-

lembaga perwakilannya.

Secara terminologi banyak peristilahan yang digunakan oleh berbagai

negara untuk menamakan lembaga perwakilannya. Lembaga perwakilan dapat

disebut sebagai parlemen yang berasal dari bahasa Prancis yakni parler

(berbicara).96

Lembaga perwakilan secara fungsional juga diistilahkan sebagai

legislatif yang berasal dari kata legislate dengan fokus pada fungsinya dalam

96 PT. Cipta Adi Pustaka, 1990, Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 12, PT. Cipta Adi

Pustaka, Jakarta, hal 191.

Page 77: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

59

membuat undang-undang, dan ada pula yang menggunakan istilah assembly yang

berarti berkumpul (untuk membicarakan masalah publik.97

Lembaga perwakilan dalam arti legislatif secara teoritis berada pada

kerangka pemahaman trias politica dari John Locke yang menggolongkan

kekuasaan negara pada tiga domain, yaitu legislatif (kekuasaan membentuk

hukum), eksekutif (kekuasaan menjalankan hukum), dan federatif (kekuasaan

perihal perang, perdamaian, liga dan aliansi, dan semua transaksi, dengan semua

orang dan masyarakat diluar persemakmuran). John Locke memaparkan sebagai

berikut dimana pada hakikatnya legislatif harus terpisah dengan fungsi eksekutif :

―But because the laws, that are at once, and in a short time made,

have a constant and lasting force, and need a perpetual execution,

or an attendance thereunto : therefore it is necessary there should

be a power always in being, which should see to the execution of the

laws that are made, and remain in force. And thus the legislative

and executive power come often to be separated‖ (Tetapi karena

undang-undang, yang sekaligus, dan dalam waktu singkat dibuat,

memiliki kekuatan yang konstan dan awet, dan membutuhkan

pelaksanaan secara terus menerus, atau suatu kehadiran tambahan

lagi: oleh karena itu membutuhkan keharusan adanya kekuasaan

yang selalu ada, yang harus melihat kepada pelaksanaan undang-

undang yang dibuat, dan tetap berlaku. Dengan demikian kekuasaan

legislatif dan eksekutif sering dipisahkan). 98

Pemahaman John Locke perihal pengklasifikasian kekuasaan tersebut

dikembangkan lebih lanjut oleh Montesquieu yang menjabarkan kekuasaan

menjadi tiga, yaitu legislatif (legislative power), eksekutif (executive power), dan

yudisial (judiciary power). Konsep Trias politica dari Montesquieu menegaskan

bahwa apabila legislatif, eksekutif, dan eksekutif berada pada tangan yang sama,

maka tidak akan terdapat kebebasan (when the legislative and executive powers

97 Miriam Budiardjo, op.cit, hal. 315.

98

John Locke, 1824, Two Treatises of Government, C. Baldwin Printer, London, hal. 217.

Page 78: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

60

are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no

liberty). Di antara masing-masing kekuasaan tersebut harus terpisah antara satu

dengan yang lainnya untuk menghindari praktik pembuatan hukum tirana (enact

tyrannical law) dan pelaksanaan hukum secara tirani (execute them in a tyrannical

manne.).99

Montesquieu berpandangan bahwa kemerdekaan atas suatu kekuasaan akan

hilang dan mengarah kepada praktik hukum tirani apabila suatu kekuasan ada

pada satu orang atau ada di dalam organ yang sama perihal ketiga fungsi tersebut.

Kemerdekaan hanya akan dapat dijamin apabila ketiga fungsi tersebut berada

pada tiga orang atau organ yang terpisah. Konsep trias politica ini berkembang

dalam paradigma separation of power (pemisahan kekuasaan), dimana masing-

masing kekuasaan tersebut harus terpisah antara satu dengan yang lain, baik dari

tugas maupun alat kelengkapan yang melaksanakan.100

Adapun dalam hal ini

doktrin Montesquieu pada hakikatnya tidak menuntut adanya pemisahan

kekuasaan secara mutlak dalam arti tindakan antara masing-masing kekuasaan

(that the doctrine did not demand absolute separation provided the basis for

preservation of separation of powers in action), melainkan penekanan pada aspek

kebebasan masing-masing fungsi agar tidak berada pada satu tangan yang

memegang secara keseluruhan.101

99 Charles de Secondat Baron de Montesquieu, 1900, The Spirit of Laws (Translated from the

French by Thomas Nugent.), The Colonial Press, New York, hal. 152.

100

Ismail Sunny, loc.cit.

101

http://www.law.cornell.edu/anncon/html/art1frag1_user.html#art1_sec1, Artikel perihal

adanya elaborasi antara teori dan implementasi separation of power dan check and balance dalam

Konstitusi Amerika, diakses pada tanggal 27 Pebruari 2013.

Page 79: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

61

Dalam praktik sistem ketatanegaraan modern, adanya kedudukan abadi

yang membuat fungsi legislatif tidak berhubungan dengan fungsi lainnya

dipandang sudah tidak relevan. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa adalah tidak

mungkin mempertahankan ketiga kekuasaan tersebut hanya berurusan secara

ekskusif dengan salah satu dari ketiga fungsi tersebut dikarenakan adanya prinsip

check and balances.102

Pemahaman tersebut memperlihatkan pergeseran secara

konseptual dari pemisahan kekuasaan (separation of power) menjadi pembagian

kekuasaan (division of power atau distribution of power).

Lembaga perwakilan memiliki fungsi-fungsi yang menyebabkan lembaga

dapat berjalan dan menegakan tujuan kedaulatan rakyat. Jimly Asshiddiqie

menggolongkan empat fungsi lembaga perwakilan, yaitu :

1. fungsi legislasi: adalah fungsi pembentukan undang-undang;

2. fungsi pengawasan: adalah fungsi untuk mengontrol yang meliputi 3

aspek, yaitu kontrol terhadap (kebijakan) pemerintahan, kontrol atas

pengeluaran, dan kontrol atas pajak. Bahkan lebih jauh terkait dengan

kontrol terhadap pengangkatan dan pemberhentian pejabat publik

3. fungsi representasi / perwakilan

4. fungsi deliberatif dan resolusi konflik.103

Fungsi anggaran menurut Jimly bukan merupakan fungsi yang terpisah secara

layaknya fungsi lainnya, namun berada dalam ruang lingkup fungsi legislasi

102 Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, hal. 35.

103

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, op.cit, hal. 298-308.

Page 80: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

62

karena penganggaran dtuangkan dalam undang-undang serta ruang lingkup fungsi

pengawasan terhadap kegiatan pelaksanaan anggaran tersebut. 104

2.3.1. Klasifikasi Lembaga Perwakilan

Djokosutono memaparkan bahwa ukuran lembaga perwakilan secara

kuantitas umumnya dibagi menjadi dua, yaitu: sistem satu majelis/unikameral

(eenkamer-stelsel) dan sistem dua majelis/bikameral (tweekamer-stelsel).105

Pemahaman perihal penggolongan lembaga perwakilan berada pada aspek jumlah

kamar yang dimiliki oleh lembaga perwakilan suatu negara dengan karakteristik-

karakteristik yang melekat padanya.

1. Sistem Unikameral

Sistem unikameral merupakan sietem lembaga perwakilan yang

menggunakan kamar tunggal dalam pelaksanaan fungsi legislatif. Contoh negara

yang menganut majelis satu kamar adalah sebagaimana terdapat dalam sistem

ketatanegaraan Timor Leste. Pasal 92 Konstitusi Timor Leste mengatur “The

National Parliament is the organ of sovereignty of the Democratic Republic of

East Timor that represents all Timorese citizens and is vested with legislative

supervisory and political decision making powers‖ (Parlemen Nasional adalah

lembaga kedaulatan Republik Demokratik Timor Leste, perwakilan dari seluruh

warga negara Timor Leste dengan wewenang legislatif, pengawasan dan

104 ibid, hal. 301. Bandingkan dengan Solly Lubis, 2008, Hukum Tata Negara, CV. Mandar

Maju, Bandung, hal 63 yang mengklasifikasikan fungsi dewan perwakilan rakyat ke dalam dua

tugas pokok, yaitu tugas perundang-undangan (wetgeving/law making) dan tugas pengawasan

(kontrol terhadap eksekutif).

105

Djokosutono, op.cit, hal. 66.

Page 81: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

63

pengambilan keputusan politik.).106

Secara sederhana dapat dibentuk pemahaman

bahwa dalam kelembagaan sistem unikameral menempatkan lembaga perwakilan

secara tunggal beserta kewenangan konstitusional yang hanya diberikan

kepadanya.

2. Sistem Bikameral

Sistem bikameral secara umum menempatkan keberadaan lembaga

perwakilan pada dua badan, dalam hal ini adanya kamar pertama dan kamar kedua

dengan kedudukan dan porsi kewenangan yang dimilikinya masing-masing. Jimly

Asshiddiqie memaparkan bahwa penerapan lembaga perwakilan dua kamar dalam

suatu negara dikarenakan alasan kebutuhan untuk menjamin kestabilan dan

keseimbangan, baik eksekutif dan legislatif, serta keinginan untuk membuat

sistem pemerintahan berjalan efisien melalui apa yang disebut ”revising chamber”

dalam rangka perihal kehati-hatian pemeriksaan terhadap keputusan-keputusan

yang terkadang gegabah oleh kamar pertama (a careful check on the sometimes

hasty decisions of the first chamber).107

Bahwa optimalisasi fungsi legislatif dan

check and balances di antara lembaga negara menjadi tujuan umum yang ingin

dicapai oleh suatu negara yang menerapkan sistem dua kamar.

106 Diolah dari http://www.constitution.org/cons/east_timor/constitution-eng.htm, tanggal 2

Maret 2013.

107

Lihat dalam Jimly Asshiddiqie, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi

(Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta, hal 22. Bahwa Jimly

Asshiddiqie memamparkan sistem lembaga perwakilan dua kamar erat dikaitkan dengan negara

yang menganut sistem pemerintahan federal, walaupun dalam perkembangannya banyak negara

kesatuan yang juga menggunakan sistem ini dalam rangka desentralisasi kekuasan.

Page 82: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

64

Reni Dwi Purnomowati berdasarkan konstruksi pemikiran Arend Lijphart

membagi sistem parlemen bikameral menjadi tiga kategori yaitu Strong

bicameralism, Medium-Strenght bicameralism, dan Weak bicameralism. Strong

bicameralism dicirikan dengan karakternya yang simetris dan inkongruen,

kemudian medium-strenght bicameralism dengan ciri salah satu dari simetris dan

inkongruen tidak dimiliki, dan weak bicameralism dengan ciri asimetris dan

kongruen. 108

Lijphart menentukan karakter simetris atau asimetris dari lembaga

perwakilan ditentukan berdasarkan kekuasaan konstitusional dan legitimasi

demokrasi yang dimiliki. Kamar yang simetris ditandai dengan dua aspek, yakni

memiliki kekuasaan konstitusional yang sama atau setara dan adanya legitimasi

demokratis, sementara ruang asimetris sangat tidak berimbang dalam aspek

tersebut.109

Konstitusi dalam hal ini memegang peranan dalam menentukan pola

dan porsi kekuasaan formal yang diberikan kepada masing-masing kamar.

Kekuasaan formal pada karakter simetris secara umum ditandai dengan kekuasaan

dalam hal pembuatan undang-undang, dimana kedua kamar masing-masing dapat

mengajukan rancangan serta harus dipertimbangkan oleh kedua majelis dalam

forum yang sama guna mendapat kesepakatan bersama sebelum disahkan.

Faktor legitimasi demokrasi dalam sifat kamar yang simetris berkorelasi

dengan bagaimana metode seleksi anggotanya, terutama seleksi anggota pada

kamar kedua (the actual political importance of second chambers depends not

108 Reni Dwi Purnomowati, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen Indonesia,

Rajawali Press, Jakarta, hal. 23.

109

Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer

Dalam Sistem presidensial Indonesia), Rajawali Pers, Jakarta, hal. 237.

Page 83: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

65

only on their formal power but also their method of selection).110

Sri Soemantri

Martosoewignjo menjelaskan bahwa apabila keanggotaan lembaga dipilih secara

demokratis, maka kekuasaan majelis adalah besar, sedangkan apabila tidak dipilih

kekuasaannya adalah kecil.111

Metode pemilihan anggota untuk pengisian

lembaga perwakilan tersebut berimplikasi secara lurus dengan bagaimana

kekuasaan yang dimiliki dari lembaga tersebut. Kamar lembaga perwakilan yang

anggotanya dipilih secara langsung berpengaruh pada besarnya kekuasaan formal

yang dimiliki, sementara yang tidak dipilih secara langsung berakibat pada

rendahnya legitimasi demokrasi.

Perbedaan yang tampak pada kekuasaan formal asimetris apabila

diterjemahkan secara a contrario ditandai dengan kewenangan yang tidak

seimbang di antara kedua kamar, dimana salah satu kamar secara fungsional

berada di bawah dibandingkan kamar yang lainnya, baik dalam hal pengajuan

RUU yang terbatas untuk hal tertentu, kewenangan dalam pembahasan yang

terbatas, atau mengenai keterlibatan dalam hal pengesahan suatu rancangan

undang-undang. Kemudian perihal metode pemilihan kamar apabila dilakukan

dengan pemilihan tidak secara langsung, sehingga tidak memiliki legitimasi

demokrasi yang kuat.

Karakter simetris atau asimetris dari lembaga perwakilan bikameral juga

ditentukan dari karakter kongruen atau inkongruen, dalam arti komposisi

keterwakilan dari masing-masing kamar. Arend Lijphart menegaskan perbedaan

110 ibid.

111

Sri Soemantri Martosoewignjo, 1981, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata

Negara, Rajawali Press, Jakarta, hal. 73.

Page 84: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

66

penting antara dua kamar bikameral legislatif adalah bahwa kamar kedua dapat

dipilih dengan metode yang berbeda (elected by different methods) atau dirancang

sehingga mewakili minoritas tertentu (overrepresant certain minorities).

Komposisi keterwakilan kongruen atau inkongruen dapat timbul dari desain

perwakilan dari kamar kedua yang dapat dipilih melalui metode yang berbeda

sehingga mewakili golongan tertentu, dimana dalam hal ini apabila salah satu

kamar mewakili golongan minoritas tertentu atau khusus, maka disebut sebagai

inkongruen karena komposisinya yang berbeda.112

Adapun sebagai contoh negara yang menganut sistem bikameral secara

konstitusional adalah Amerika Serikat.113

Article 1 Section 1 Konstitusi Amerika

menentukan bahwa semua kekuasaan legislatif berada pada Senat dan Dewan

Perwakilan Rakyat (All legislative Powers herein granted shall be vested in a

Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of

Representatives). Karakter bikameral Amerika di dalam konstitusinya mengatur

bahwa setiap pembahasan RUU harus melewati kedua kamar tersebut sebelum

diajukan kepada Presiden (article 1 section 7 clause 2 ―All Bills for raising

Revenue shall originate in the House of Representatives; but the Senate may

propose or concur with Amendments as on other Bills‖). Pembahasan RUU hanya

dilakukan dalam Kongres yang terdiri dari Senat dan House of Representatives,

sedangkan Presiden dan kabinetnya tidak dilibatkan. Hal ini menyebabkan

konsensus dalam perumusan RUU sebelum diajukan ke Presiden ada pada Senat

dan House of Representatives. Senat dan House of Representatives memiliki

112 Saldi Isra, loc.cit.

113

Diolah dari http://www.law.cornell.edu/constitution/ tanggal 22 Maret 2013.

Page 85: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

67

kewenangan yang sama kuat dalam hal pembahasan, termasuk menolak untuk

sepakat terhadap RUU yang diajukan oleh kamar lain menandakan sifat parlemen

bikameral yang simetris.

Konsekuensi kewenangan formal yang sama kuat dalam pembentukan

undang-undang juga akibat dari pengaruh dalam metode pemilihannya, dimana

masing-masing kamar dalam lembaga perwakilan Amerika Serikat dipilih secara

langsung oleh rakyat yang cakap untuk memilih. Berikut kutipan Article 1 Section

2 dan section 3 dari Konstitusi Amerika :

US Constitution, Article 1 Section 2 : ―The House of

Representatives shall be composed of Members chosen every second

Year by the People of the several States, and the Electors in each

State shall have the Qualifications requisite for Electors of the most

numerous Branch of the State Legislature.‖ (Dewan Perwakilan

Rakyat akan terdiri dari para anggota yang dipilih setiap Tahun

kedua oleh Rakyat di beberapa Negara Bagian, dan para Pemilih di

setiap Negara Bagian harus memenuhi Persyaratan yang diperlukan

untuk menjadi Pemilih bagi Cabang dari Bagan Legislatif Negara

Bagian yang terbanyak).

US Constitution, Amandemen 17 Article I, section 3 : ―The Senate

of the United States shall be composed of two Senators from each

State, elected by the people thereof, for six years; and each Senator

shall have one vote. The electors in each State shall have the

qualifications requisite for electors of the most numerous branch of

the State legislatures.‖ (Senat Amerika Serikat akan terdiri dari 2

senator dari tiap negara bagian, dipilih oleh rakyat untuk masa

jabatan 6 Tahun, dan masing-masing senator akan memiliki satu

suara. Pemilih dari masing-masing negara bagian harus memiliki

kualifikasi yang diperlukan untuk menjadi pemilih bagi Cabang dari

Bagan Legislatif Negara Bagian yang terbanyak).

Article 1 section 3 Konstitusi Amerika juga memperlihatkan bagaimana

komposisi keterwakilan yang inkongkuren dimana desain komposisi kamar senat

digunakan untuk mewakili negara bagian dalam jumlah yang lebih kecil dari

House of Representative (dua perwakilan untuk masing-masing negara bagian).

Page 86: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

68

Dari penjelasan karakter sistem bikameral diatas, maka dapat dikonklusikan

bahwa Amerika menggunakan tipologi sistem strong bicameral (simetris

inkongruen), dengan sama kuatnya kewenangan formal masing-masing kamar,

dan komposisi keterwakilan yang tidak sederajat di dalam lembaga perwakilan.

2.3.2. Lembaga Perwakilan Indonesia

UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara legal formal

menentukan terdapat tiga lembaga perwakilan dengan masing-masing

kewenangan konstitusional yang dimilikinya, yakni Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Daerah. Adapun

kewenangan konstitusional yang dimiliki berdasarkan UUD 1945 adalah sebagai

berikut :

a) Kewenangan MPR tercantum dalam Pasal 3 yaitu :

(1) berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.

(2) melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(3) hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam

masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar.

b) Kewenangan DPR tercantum dalam pasal 20 ayat (1) “Dewan Perwakilan

Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.” .

c) Kewenangan DPD ditentukan secara limitatif terkait dengan daerahnya

yang diatur dalam Pasal 22D.

(1) Dewan Perwakilan Daerah dapat mengajukan kepada Dewan

Perwakilan Rakyat rancangan undang-undang yang berkaitan dengan

Page 87: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

69

otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan

pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya

alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan

perimbangan keuangan pusat dan daerah.

(2) Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang

yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah;

pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan

sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta

perimbangan keuangan pusat dan daerah; serta memberikan

pertimbangan kepada Dewan Perwakilan Rakyat atas rancangan

undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara dan

rancangan undang-undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan,

dan agama.

(3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas

pelaksanaan undang-undang mengenai : otonomi daerah,

pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat

dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi

lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak,

pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil pengawasannya itu

kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan pertimbangan untuk

ditindaklanjuti.

Page 88: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

70

Keberadaan MPR, DPR, dan DPD sebagai lembaga negara menimbulkan

ambiguitas pemikiran perihal sistem lembaga perwakilan Indonesia yang berada

di dalam kerangka bikameral atau trikameral.114

MPR pasca perubahan UUD 1945

tidak bisa dikatakan sama dengan sistem bikameral seperti Kongres di Amerika

Serikat yang merupakan hasil joint session, dimana MPR dalam hal ini disusun

oleh anggota DPR dan DPD bukan lembaga.115

Secara teoritik penentuan jumlah

kamar tidak hanya ditentukan secara kuantitas, melainkan juga kualitas dalam arti

bagaimana kewenangan konstitusionalnya. MPR pasca perubahan UUD 1945

meskipun merupakan salah satu bentuk lembaga perwakilan, namun tidak

mempunyai kewenangan konstitusional yang dimaksudkan untuk mengimbangi

kewenangan kamar lainnya, seperti dalam hal pembentukan undang-undang yang

prosesnya tidak melewati kamar MPR. Berdasarkan hal tersebut, lembaga

perwakilan Indonesia dapat dikatakan hanya menganut dua kamar, yaitu DPR dan

DPD, apabila melihat hubungan fungsi legislatif yang dimiliki. Adapun karakter

bikameral yang dianut oleh sistem lembaga perwakilan Indonesia, apabila

menggunakan landasan teori dari Arend Lijphart, maka dalam hal ini penulis

berpendapat Indonesia menganut sistem medium-strenght bicameral dengan

karakter asimetris-inkongruen.

114 Lihat dalam Denny Indrayana, 2007, “Refleksi Lima Tahun Amandemen UUD 1945

(Menyempurnakan Konstitusi, Memberantas Korupsi)”, dalam Jurnal Legislasi Indonesia Vol.4

No. 3 – September 2007. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum

dan HAM RI, Jakarta, hal.82. Dijelaskan bahwa argumentasi trikameral sistem lembaga

perwakilan Indonesia dikarenakan adanya kewenangan yang masih dimiliki oleh MPR disamping

kewenangan kontitusional yang dimiliki DPR dan DPD. Lembaga perwakilan Indonesia dikatakan

sebagai trikameral dengan dominasi kekuatan DPR.

115

Dahlan Thaib et.al, 2011, Teori dan Hukum Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hal.165-

169.

Page 89: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

71

Karakter asimetris timbul dari ketidakseimbangan kewenangan legislatif

yang dimiliki antara DPR dan DPD. Pasal 22D UUD 1945 memperlihatkan

bagaimana kewenangan legislasi DPD yang diatur secara limitatif dalam

konstitusi mengakibatkan adanya ketidakseimbangan fungsi antar kamar.

Sementara dalam hal model pemilihannya, baik DPR dan DPD memiliki

legitimasi demokrasi yang kuat sehingga seharusnya memenuhi karakter simetris

karena dipilih secara langsung. Pemilihan anggota DPR tercantum dalam Pasal 19

“Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum, dan

pemilihan anggota DPD tercantum dalam Pasal 22C ayat (1) “Anggota Dewan

Perwakilan Daerah dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.” DPD

menyebabkan tipe bikameral Indonesia menjadi tak lazim dikarenakan sebagai

gabungan dengan kamar atau lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas

namun dengan legitimasi yang tinggi (represent the odd combination of limited

and high legitimacy).116

Meskipun dalam hal ini anggota DPD dipilih secara

langsung, namun karena ketidakseimbangan kewenangan formil yang dimiliki,

ciri asimetris lebih menonjol tampak dalam karakter DPD.

Selanjutnya perihal karakter inkongruen yang ditunjukkan oleh bikameral

Indonesia, desain keberadaan DPD dimaksudkan untuk mewakili daerah tempat

pemilihannya untuk membawa aspirasi dari daerahnya tersebut agar dapat

terakomodir pula dalam isu-isu pembahasan di pusat dengan jumlah anggota yang

lebih kecil dari DPR. Hal tersebut dapat dilihat dari kewenangan konstitusional

yang dimiliki DPD sebagai wakil-wakil daerah serta jumlah seluruh anggota DPD

116 Saldi Isra, op.cit. hal. 257.

Page 90: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

72

yang tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR (vide Pasal 22C ayat (2) UUD

1945). Berdasarkan hal tersebut, maka rasionalisasi yang terbangun perihal sistem

bikameral Indonesia adalah medium strength bicameral dengan karakter

asimetris-inkongruen.

2.4. Partai Politik

2.4.1. Definisi Partai Politik

Di dalam negara demokrasi yang menempatkan pemilihan umum sebagai

sarana peralihan kekuasaan, partai politik memegang peranan dalam hal

perwujudan bagaimana proses peralihan kekuasaan secara aman dan demokratis.

Sigmund Neumann sebagaimana dikutip oleh Miriam Budiardjo memaparkan

pada intinya partai politik sebagai suatu organisasi politik betujuan untuk

menguasai kekuasaan pemerintahan (control of government polity power) dan

merebut dukungan rakyat (popular support) melalui persaingan dengan pihak-

pihak yang memiliki pandangan (politik) berbeda.117

Peralihan suatu kekuasaan

pemerintah secara aman terjadi terjadi apabila masyarakat memberikan dukungan

kepada partai politik atas pandangan yang dimilikinya.

Kamus Black Law memberikan definisi partai politik (political party)

dalam arti “a number of persons united in opinion and organized in the manner

usual to the then existing political parties”. Partai politik diterjemahkan sebagai

sejumlah orang yang bersatu dalam kesepahaman pendapat dan biasanya secara

terorganisir untuk kemudian membentuk partai politik. Definisi lainnya adalah

117 Miriam Budiardjo, op.cit, hal 404.

Page 91: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

73

“an unincorporated, voluntary association of persons sponsoring certain ideas of

government or maintaining certain political principles or beliefs in public policies

of government, not a governmental agency or instrumentality”.118

Partai politik

diidentikkan sebagai asosiasi yang bersifat sukarela dari orang-orang yang

mendukung ide-ide tertentu dari pemerintah atau mempertahankan prinsip atau

keyakinan politik tertentu dalam kebijakan publik dari pemerintah, dan terlepas

dari instansi atau perangkat pemerintah.

Edmund Burke sebagaimana dikutip oleh Solly Lubis menterjemahkan

partai sebagai suatu badan dari orang-orang yang bersatu untuk memajukan

dengan usahanya bersama kepentingan nasional berdasarkan pada suatu asas

tertentu yang disetujui oleh mereka sekalian119

. Asas tertentu tersebut merupakan

sebagai bentuk kesepahaman atas ide, pendapat, atau yang lebih tepat disebut

sebagai ideologi politik yang menjadi cara bagi suatu partai politik dalam

menterjemahkan aspirasi maupun kepentingan yang berkembang dari masyarakat

untuk dirasionalisasikan secara konkret.

2.4.2. Fungsi Partai Politik

Partai politik di dalam suatu negara demokrasi, termasuk negara modern

yang menganut demokrasi konstitusional, memiliki fungsi yang penting dalam

rangka menjamin kebebasan berfikir dan berekspresi. Dari perspektif ilmu politik,

James Penny Boyd berpendapat bahwa fungsi partai politik diibaratkan sebagai

dua sisi mata uang yang bertolak belakang, dimana keberhasilan manfaat suatu

118 Henry Campbell Black, op.cit, hal. 1319.

119

Solly Lubis, op.cit, hal. 66.

Page 92: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

74

partai politik bergantung dari berbagai karakter atau ideologi yang dimilikinya.

Adapun pendapat James Penny Boyd adalah sebagai berikut :

“Keberadaan partai politik tidak dapat dipisahkan pada institusi

republik. Partai politik lahir dari kebebasan berfikir dan berekspresi.

Jika setiap kelahirannya dengan perasaan baik dan mulia serta

memiliki suatu tujuan yang pasti dan berguna, makanya kedua hal

tersebut adalah suatu kebutuhan dan berkat. Sebaliknya, jika

kelahirannya dalam kebodohan, fanatisme atau kesewenang -

wenangan belaka, dan pada pelaksanaan kekuasaan digunakan

secara rendah dan kasar, mereka menjadi unsur yang bahaya, dan

tidak dapat digolongkan sebagai salah satu energi politik yang dapat

diterima” (Political parties are inseparable from republican

institutions. They are the birth of free thought and expression. If at

all times they are the birth of high and noble sentiment and have for

a purpose something definite and useful, they are both a necessity

and blessing. If, on the contrary, they find birth in ignorance,

fanaticism or sheer arbitrariness, and in their exercise of power use

only low and brutish forces, they become elements of danger, and

are not to be classed as among the welcome political energies).120

Secara teoritis keberadaan partai politik terlepas dari ideologi yang

dimiliki oleh partai tersebut umumnya memiliki empat fungsi yaitu sebagai

berikut :

1. komunikasi politik : fungsi menyerap dan mengartikulasikan kepentingan

politik dalam masyarakat;

2. sosialisasi politik (political socialization) : fungsi dalam memasyarakatkan

ide, visi, dan kebijakan guna mendapatkan dukungan, termasuk fungsi

pendidikan politik bagi masyarakat;

3. rekrutmen politik : fungsi terkait dengan tujuan keberadaan partai politik

sebagai media untuk menyeleksi kader pemimpin guna dipilih oleh rakyat

untuk mengisi jabatan-jabatan politik (sebagai contoh jabatan politik yaitu

120 James P. Boyd, 1896, Parties, Problems and Leaders of 1896, Publishers’ Union

Philadelphia, hal. 49.

Page 93: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

75

pemilihan Kepala Daerah Provinsi yaitu Gubernur dan Wakil Gubernur,

pemilihan Bupati dan Wakil Bupati, serta pemilihan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah tingkat I dan Tingkat II)

4. pengatur konflik ; terkait dengan banyaknya kepentingan masyarakat yang

beraneka ragam dan partai politik mengaturnya dengan mengagregasi

kepentingan tersebut121

Koentjoro Poerbopranoto menggolongkan fungsi partai politik dalam

sistem pemerintahan demokratis (democratic government system) terbagi pada

dua bidang yang saling memiliki hubungan, yakni :

1. fungsi partai politik terhadap masyarakat (mempengaruhi dan membentuk

pendapat umum ; memperoleh hasil dalam pemilihan umum);

2. fungsi partai politik terhadap jalannya kenegaraan (terhadap badan

perwakilan ; terhadap jalannya pemerintahan).

Fungsi partai politik terhadap masyarakat dalam hal mempengaruhi dan

membentuk pendapat umum (public opinion) adalah ditujukan guna

mengeluarkan suara atau aspirasi yang menjadi kehendak rakyat kepada seorang

calon, baik yang dilakukan secara langsung (menemui dan mendengar kehendak

rakyat) ataupun tidak langsung (melalui media). Adapun fungsi tersebut akan

berlanjut pada fungsi memperoleh hasil dalam pemilihan umum dengan maksud

menarik sebanyak mungkin suara pemilih atas calon yang diajukan oleh partai.

Kemudian perihal fungsi partai politik terhadap jalannya kenegaraan dari aspek

badan perwakilan adalah terkait dengan bagaimana pembentukan badan

121 Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, op.cit, hal. 159-163.

Page 94: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

76

perwakilan tersebut dan pengaruhnya dalam penetapan sikap parlemen atas

permasalahan kenegaran. Partai politik juga berfungsi terhadap jalannya

pemerintahan terutama dalam pembentukan kabinet yang umumnya direkrut dari

pemimpin partai yang berkedudukan kuat dalam parlemen. 122

2.4.3. Sistem Partai Politik

Sistem partai politik secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam tiga

tipologi, yakni sistem satu partai, sistem dua partai, dan sistem multipartai.

Adapun dalam hal penentuan sistem partai politik yang digunakan oleh suatu

negara tidak hanya melihat sebatas berapa jumlah partai politik yang ada (dalam

arti kuantitas), namun juga berdasarkan dominasi yang terdapat di dalam lembaga

perwakilan tersebut (dalam arti kualitatif).

Terdapat dua pandangan terkait dengan definisi dari sistem satu partai (one

party system). Pandangan pertama mendeskripsikan bahwa sistem satu partai

menempatkan keadaan negara yang hanya dikuasai oleh satu partai yang

mempunyai kedudukan dominan (dengan kemungkinan terdapat partai-partai

lainnya dengan kekuatan yang tidak signifikan. Sementara pandangan kedua

berada pada pemahaman dimana dalam suatu negara benar-benar hanya terdapat

satu partai dan melarang pembentukan partai lain.123

Kelsen memaparkan bahwa

122 Koentjoro Poerbopranoto, op.cit. hal. 50-55.

123

Muchamad Ali Safa’at, 2012, Pembubaran Partai Politik (Pengaturan dan Praktik

Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik), Rajawali Press, Jakarta, hal. 59

Page 95: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

77

sistem satu partai mengarah pada bentuk baru autokrasi yang mengarah pada

kediktatoran partai tipe bolshevisme (Rusia) dan fasisme (Italia).124

Kemudian perihal sistem dua partai (two party system) ditandai dengan

adanya mayoritas mutlak dalam lembaga perwakilan yang selalu dikuasai oleh

salah satu dari dua partai poltik terbesar yang secara bergiliran terpilih dalam

pemilihan umum. Dengan kata lain, sesungguhnya terdapat lebih dari dua partai

yang ada pada sistem dua partai, namun dalam hal kekuatan politik lebih dikuasai

oleh dua partai politik dominan. Sifat eksekutif yang terbentuk dalam sistem dua

partai akan menjadi homogen yang berimplikasi pada jaminan kestabilan

pemerintahan.125

Kemudian perihal sistem multipartai (multiparty system), adapun

karakteristik umum yang dapat dijabarkan adalah sebagai berikut :

1. tidak terdapat partai dominan yang dapat menguasai lembaga perwakilan;

2. strukturnya bersifat heterogen terutama pada masyarakatnya yang plural

(plural society)

3. pemerintahan yang dihasilkan cenderung tidak stabil

4. biasa dipadukan dengan sistem perwakilan proporsional yang memberi

peluang pertumbuhan partai-partai kecil.126

Dikarenakan tidak terdapat partai dominan di dalam lembaga perwakilan,

menyebabkan di dalam sistem multipartai umumnya di dalam praktik terjadi

penyatuan kekuatan politik, baik antara dua partai politik atau lebih dengan tujuan

124 Hans Kelsen, 2006, General Theory of Law and State / Hans Kelsen : with a new

Introduction by A. Javier Trevino, Transaction Publishers, New Jersey, hal. 301-302.

125

Rusadi Kantaprawira, op.cit. hal. 69.

126

Muchamad Ali Safa’at, op.cit, hal. 62.

Page 96: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

78

untuk menjaga kestabilan eksekutif (walaupun umumnya penyatuan kekuatan atau

koalisi tersebut sifatnya tidak permanen).

Sistem partai politik yang digunakan oleh suatu negara umumnya

tergantung dari bagaimana sistem pemilihan umum yang digunakan. Di dalam

negara yang menggunakan sistem dua partai umumnya diimbangi dengan sistem

pemilihan pluralitas / mayoritas dengan prinsipnya pemenang mengambil semua

(winner takes all), sementara dalam negara yang menggunakan sistem multi partai

lazim menggunakan sistem perwakilan proporsional yang memperhitungkan

pembagian sisa-sisa suara.127

2.4.4. Sistem Partai Politik Indonesia

Secara yuridis, aturan tentang kepartaian Indonesia yang berlaku saat ini

tidak menegaskan corak sistem apa yang digunakan. Pemaknaan bahwa Indonesia

menganut sistem multipartai setidaknya ditunjukkan secara implisit dalam Pasal

6A ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan pasangan calon Presiden dan Wakil

Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta

pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Ketentuan “gabungan

partai politik” menyiratkan adanya jumlah partai yang lebih dari dua, sehingga

secara kuantitas Indonesia menganut sistem multipartai. Selain itu faktor

sosiologis juga menentukan sistem multipartai yang digunakan dimana

masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural (plural society)

127 Deden Faturohman dan Wawan Sobari, 2002, Pengantar Ilmu Politik, Universitas

Muhammadiyah Malang, Malang, hal. 82.

Page 97: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

79

sehingga memberikan pengaruh lahirnya berbagai partai politik dengan latar

belakang ideologi yang bervariasi.

Pembentukan partai politik di Indonesia memiliki tiga tahapan mekanisme

hukum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Pasal 2 menentukan bahwa

tahap pertama dalam pembentukan partai politik memerlukan adanya akta notaris

yang didaftarkan berdasarkan susunan AD/ART Partai Politik, jumlah mnimal

keanggotaan, dan syarat keterwakilan perempuan. Adapun ketentuan Pasal 2 ayat

(1) sampai (5) UU No. 2 Tahun 2011 mengatur sebagai berikut :

(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh)

orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun

atau sudah menikah dari setiap provinsi.

(1a) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling

sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai

Politik dengan akta notaris.

(1b) Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota

Partai Politik lain.

(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan

perempuan.

(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan

ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.

(4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:

a. asas dan ciri Partai Politik;

b. visi dan misi Partai Politik;

c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik;

d. tujuan dan fungsi Partai Politik;

e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;

f. kepengurusan Partai Politik;

g. mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik dan jabatan politik;

h. sistem kaderisasi;

i. mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik;

j. peraturan dan keputusan Partai Politik;

k. pendidikan politik;

l. keuangan Partai Politik; dan

m. mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik.

Page 98: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

80

(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh

perseratus) keterwakilan perempuan.

Pasal 3 menentukan tahap kedua dalam pembentukan suatu partai poltik

adalah wajib untuk didaftarkan sebagai badan hukum melalui Kementerian

dengan syarat-syarat formal yang harus dipenuhi. Berikut detil ketentuan dalam

Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU No. 2 Tahun 2011 :

(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan

hukum.

(2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai

Politik harus mempunyai:

a. akta notaris pendirian Partai Politik;

b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada

pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar

yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan

peraturan perundang-undangan;

c. kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh

lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang

bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah

kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;

d. kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai

tahapan terakhir pemilihan umum; dan e. rekening atas nama Partai

Politik.

Kemudian tahap ketiga pembentukan partai politik di Indonesia dimana

Pasal 4 menentukan syarat verifikasi dan pemeriksaan kelayakan suatu partai

politik sebagai badan hukum. Berikut ketentuan yang termaktub dalam Pasal 4

ayat (1) hingga (4) UU No. 2 Tahun 2011.

(1) Kementerian menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau

verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal

2 dan Pasal 3 ayat (2).

(2) Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya

dokumen persyaratan secara lengkap.

(3) Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan

Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya

proses penelitian dan/atau verifikasi.

Page 99: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

81

(4) Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik

Indonesia.

Terkait dengan fungsi keberadaan partai politik di Indonesia, layaknya

konsep partai politik pada umumnya, adalah sebagai sarana pendidikan politik,

pengatur konflik, komunikasi politik, dan rekrutmen politik, dimana fungsi-fungsi

tersebut dijamin secara konstitusional. Pasal 11 ayat (1) dan (2) UU No, 2 Tahun

2011 menyebutkan sebagai berikut :

(1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana:

a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga

negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;

b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa

Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;

c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam

merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;

d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan

e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui

mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan

gender.

(2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan

secara konstitusional.

2.5. Konsep Ambang Batas Pemilihan Umum (Electoral Threshold)

Ambang batas di dalam pemilihan umum secara terminologi disebut

dengan istilah electoral threshold. Electoral diterjemahkan sebagai sesuatu yang

berkaitan dengan pemilih atau pemilihan umum (pertaining to electors or

elections; composed or consisting of electors), 128

sementara threshold berasal dari

Bahasa Inggris yang berarti ambang pintu/ambang batas,129

dimana di dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa yang dimaksud dengan ambang batas

128 Henry Campbell Black, op.cit, hal. 611.

129

John M. Echols dan Hassan Shadily, op.cit, hal. 589.

Page 100: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

82

adalah tingkatan batas yang masih dapat diterima atau ditoleransi.130

Konsep

threshold atau ambang batas diadopsi di dalam sistem pemilihan umum, terutama

sebagai rangkaian kesatuan formulasi perhitungan suara dan kursi pada sistem

perwakilan proporsional.

Ambang batas pemilihan umum (electoral threshold) umumnya dibagi ke

dalam dua klasifikasi, yaitu ambang batas efektif (effective theshold) dan ambang

batas formal (formal threshold). Andrew Reynolds menjelaskan bahwa ambang

batas efektif merupakan pengaturan yang lahir dari perhitungan matematis di

dalam sistem pemilihan umum (mathematical by product of features of electoral

systems). Ambang batas efektif diterjemahkan pula sebagai ambang batas

terselubung (hidden threshold) atau ambang batas alami (natural threshold)

dikarenakan undang-undang tidak mencantumkan secara tegas persentase suara

minimal yang harus dipenuhi. Ambang batas efektif menempatkan besaran daerah

pemilihan (district magnitude) sebagai aspek matematis yang penting dalam

penentuan peroleahan kursi.131

Arend Lijphart memberikan rumusan konkret

ambang batas efektif dengan formulasi sebagai berikut :

75%

Teff =

(m + 1) Ket : Teff = persentase ambang batas efektif.

m = besaran daerah pemilihan.132

130 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit. hal.48

131

Andrews Reynlods et al, op.cit, hal. 84.

132

Didik Supriyanto dan August Mellaz, 2011, Ambang Batas Perwakilan Pengaruh

Parliamentary Threshold Terhadap Penyederhanaan Sistem Kepartaian dan Proporsionalitas

Hasil Pemilu, Perludem, Jakarta, hal. 14.

Page 101: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

83

Sebagai contoh, jika besaran daerah pemilihan adalah sebanyak 4 kursi di dalam

sistem pemilu perwakilan proporsional, maka ambang batas efektif adalah 15%

suara. Kemudian dengan logika bahwa partai politik yang mendapatkan suara

lebih dari 20% akan berpeluang besar untuk terpilih mendapatkan kursi yang

tersedia pada daerah pemilihan tersebut, sementara yang mendapatkan suara

kurang dari sekitar 10% tidak mungkin akan dapat terpilih.133

Hal ini

memperlihatkan besaran daerah pemilihan sebagai fitur matematis yang secara

alami mengkalkulasi perolehan suara dan keberadaannya menjadi sangat penting

dalam menentukan ambang batas efektif.

Berbeda dengan ambang batas efektif, bahwa ambang batas formal timbul

dengan adanya pencantuman persentase secara tegas di dalam penormaan

hukumnya. Ambang batas formal merupakan ambang batas yang dipaksakan

secara hukum (legally imposed) berdasarkan peraturan perundang-undangan.

Ambang batas formal diatur secara tertulis secara konstitusional atau dalam

ketentuan perundang-undangan yang digunakan untuk membatasi sistem

perwakilan proporsional (formal threshold are written into the constitutional or

legal provisions which define the Proportional Representative System).134

.

Ambang batas formal yang ditentukan secara formal menegaskan secara baku

berapa minimal persentase yang harus dipenuhi oleh suatu partai politik.

Rasionalisasi dari hal tersebut partai politik yang tidak dapat memenuhi ambang

batas tidak dapat diikutsertakan dalam perhitungan kursi apabila tidak memenuhi

angka yang dipersyaratkan.

133 Andrews Reynlods et al, loc.cit

134

Andrews Reynlods et al, op.cit, hal. 83.

Page 102: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

84

Pengaturan ambang batas formal diyakini dapat mengurangi tingkat

fragmentasi dan polarisasi yang terjadi dalam lembaga perwakilan.135

Tracy

Quinlan memaparkan perihal adanya relevansi di antara ambang batas formal,

sistem perwakilan proporsional, dan terjadinya fragmentasi dalam lembaga

perwakilan. Bahwa ambang batas formal merupakan variasi dari sistem

perwakilan proporsional yang memiliki kemampuan untuk mengubah tingkat

representasi (electoral thresholds are a variation to PR systems that have the

ability to change representation). Jika ambang batas tinggi, maka dapat

mengurangi jumlah partai yang mendapatkan akses ke legislatif, sehingga

menyebabkan besaran partai meningkat dengan mengurangi fragmentasi sistem

kepartaian (if a threshold is high, it can reduce the number of parties that gain

access to the legislature causing party magnitude to increase by reducing party

system fragmentation).136

Hal ini memperlihatkan bahwa fragementasi dalam

lembaga legislatif hanya dapat dikurangi apabila jumlah partai yang berada dalam

lembaga legislatif tersebut juga berkurang.

135 Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan fragmentasi

adalah terbagi-bagi; terpecah-pecah; terbelah (Departemen Pendidikan Nasional, 2004 : 399),

sementara polarisasi adalah pembagian atas dua bagian yg berlawanan (Departemen Pendidikan

Nasional, 2004 : 1089). Dalam konteks ini, fragmentasi mengarah pada keberadaan partai-partai

politik terpecah (dalam arti aspirasi ataupun ideologinya) dalam jumlah tertentu, yang kemudian

berlanjut pada keadaan timbulnya pertentangan (polaritas) antar partai-partai politik tersebut.

Naskah akademik RUU Partai Politik yang diajukan oleh Pemerintah tertanggal 14 Mei 2007

memberikan terjemahan fragmentasi sebagai keadaan banyaknya jumlah partai yang menjadi

faktor dalam menentukan struktur persaingan antarpartai, interaksi dan stabilitas pemerintahan.

Sementara itu polarisasi diartikan sebagai jarak ideologis antarpartai yang menentukan kualitas

stabilitas politik, konflik, atau loyalitas pemilih terhadap partai.

136

Tracy Quinlan, 2004, "Leveling The Playing Field: Electoral Thresholds and the

Representation of Women," dalam Res Publica - Journal of Undergraduate Research: Vol. 9,

diakses dari http://digitalcommons.iwu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1060&context=respublica

tanggal 1 Mei 2013, Illinois Wesleyan University, Illinois, hal, 20.

Page 103: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

85

BAB III

PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL DALAM SISTEM

DEMOKRASI KONSTITUSIONAL INDONESIA

3.1. Pengaturan Ambang Batas Formal di Indonesia

Keberlakuan ambang batas formal dalam sistem pemilihan umum

Indonesia telah membuka paradigma baru perihal arah demokratisasi dalam

rangka mewujudkan hasil positif reformasi. Pengembalian hakikat sistem

perwakilan proporsional dalam rangka menjaga eksistensi keterwakilan minoritas

yang mengalami pengingkaran selama pemerintahan Orde Baru telah

menempatkan sistem multipartai kepada posisi yang semestinya. Pemilihan umum

Indonesia yang menggunakan sistem perwakilan proporsional dengan tujuan

untuk menciptakan keseimbangan jumlah perolehan kursi dan perolehan suara

ternyata memberikan konsekuensi yang tidak sederhana dengan besarnya

fragmentasi dan polarisasi yang terjadi di dalam kelembagaan Dewan Perwakilan

Rakyat yang diisi oleh banyak partai politik.

Demokrasi konstitusional menempatkan pentingnya keberadaan undang-

undang yang dibentuk oleh lembaga perwakilan yang anggotanya dipilih secara

demokratis sebagai salah satu unsur konkret dalam rangka mewujudkan

keseimbangan antara hukum dan demokrasi. Dalam konteks pemilihan umum,

undang-undang pemilihan umum yang dibentuk oleh DPR-RI yang dipilih secara

langsung oleh rakyat merepresentasikan unsur demokrasi konstitusional dalam

rangka menjawab kompleksitas sistem pemilihan umum yang digunakan. Perihal

Page 104: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

86

konsekuensi dari sistem pemilihan umum perwakilan proporsional sebagaimana

yang telah dipaparkan dalam bab sebelumnya, pengaturan ambang batas formal

merupakan salah satu alternatif hukum dalam undang-undang pemilu yang

digunakan untuk mendegradasi fragmentasi partai politik dalam lembaga

perwakilan.

Ketentuan ambang batas formal dalam UU No. 8 Tahun 2012 untuk

penyelenggaraan pemilu tahun 2014 diatur berdasarkan Pasal 208 UU No. 8

Tahun 2012 bahwa “Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas

perolehan suara sekurang-kurangnya 3,5% dari jumlah suara sah secara nasional

untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR, DPRD provinsi,

dan DPRD kabupaten/kota.” Jumlah perolehan suara sah nasional calon anggota

DPR diperoleh pasca berakhirnya perhitungan dan rekapitulasi suara secara

nasional dan ditetapkan oleh KPU paling lambat 30 hari. Setelah tahapan tersebut

dilalui, baru dapat dilihat jumlah perolehan suara yang memenuhi ambang batas

formal, sehingga dapat ditentukan partai politik yang berhak mengikuti

perhitungan perolehan kursi.

Ketentuan Pasal 208 UU No. 8 Tahun 2012 merupakan pergantian dari

aturan ambang batas formal dalam Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun 2008

tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD untuk penyelenggaraan

pemilihan anggota DPR-RI pada tahun 2009. Pasal 202 ayat (1) UU No. 10 Tahun

2008 mangatur bahwa partai politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas

perolehan suara sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah

suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

Page 105: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

87

Perbedaan substansi ambang batas formal dalam UU No. 8 tahun 2012

dengan UU No. 10 Tahun 2008 adalah terletak pada dua aspek, yaitu jumlah

persentase dan ruang lingkup keberlakuan ambang batas. Ambang batas

mengalami peningkatan sebesar 1% menjadi 3,5% dari sebelumnya 2,5%, serta

keberlakuan ambang batas formal yang tidak hanya untuk menentukan kursi di

DPR, namun juga berlaku pada penentuan kursi DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota. Pasal 209 ayat (1) UU No. 8 Tahun 2012 menentukan bahwa

Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 208, tidak disertakan pada penghitungan

perolehan kursi DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di setiap daerah

pemilihan. Konsekuensi yuridis yang timbul dari pengaturan tersebut

menyebabkan partai politik yang tidak memperoleh persentase total suara secara

nasional minimal sebesar 3,5%, dengan serta merta tidak dapat mengikuti

perhitungan kursi di seluruh lembaga perwakilan, baik di pusat maupun daerah.

Suara partai politik yang tidak memenuhi ambang batas akan dihilangkan dan

suara yang akan digunakan untuk penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD

provinsi, dan DPRD kabupaten/kota di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara

sah seluruh Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi jumlah suara sah Partai Politik

Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara 3,5 % (vide

Pasal 209 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012).

Terkait dengan perubahan substansi pengaturan ambang batas formal

tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memeriksa pengujian konstitusionalitas

terhadap UU No. 8 Tahun 2012 yang telah diajukan. Putusan Mahkamah

Page 106: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

88

Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 perihal pengujian UU No. 8 Tahun 2012

memutuskan bahwa Pasal 208 dan Pasal 209 ayat (1) dan ayat (2) Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2012 sepanjang frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota” bertentangan dengan UUD 1945. Adapun pertimbangan yang

digunakan adalah dalam rangka menjaga proporsionalitas dikarenakan

kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta Pemilu di suatu daerah yang

memenuhi ambang batas atau kemungkinan hanya terdapat satu partai politik

yang dapat memenuhi persentase tersebut.137

Putusan Mahkamah Konstitusi

tersebut menyebabkan setiap pasal yang terkait dengan keberlakuan ambang batas

ambang batas formal di daerah, dalam hal ini frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD

kabupaten/kota”, menjadi tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat lagi.

Perhitungan perolehan kursi di daerah, dalam hal ini DPRD Provinsi dan DPRD

kabupaten/kota tidak mengalami pengurangan total suara. Keberlakuan ambang

batas formal untuk pemilu 2014 kembali hanya berlaku secara yuridis untuk

penentuan kursi DPR-RI.

Hal yang turut membedakan antara pengaturan ambang batas pada pemilu

tahun 2014 dengan pemilu tahun 2009 adalah bahwa ambang batas formal selain

untuk menentukan keterwakilan di DPR, juga berfungsi ganda untuk menentukan

peserta pemilu untuk pemilu tahun 2014. Pasal 8 ayat (1) UU No. 8 tahun 2012

menerapkan ambang batas formal sebagai bagian dari syarat verifikatif untuk

mengikuti pemilu berikutnya. Pasal 8 ayat (1) menyebutkan “Partai Politik Peserta

Pemilu pada Pemilu terakhir yang memenuhi ambang batas perolehan suara dari

137 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal. 99.

Page 107: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

89

jumlah suara sah secara nasional ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu

pada Pemilu berikutnya.” Dalam penjelasan pasal 8 ayat (1) tersebut bahwa yang

dimaksud dengan ‟pemilu terakhir‟ adalah pemilu untuk memilih Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota terakhir. Adapun yang dimaksud

“pemilu terakhir” adalah pemilu tahun 2009, dimana partai politik yang

memenuhi ambang batas pada pemilu tahun 2009 ditetapkan secara langsung

sebagai peserta pemilu untuk pemilu 2014. Pengaturan ini merupakan suatu hal

yang tidak lazim, dimana ambang batas formal selain berfungsi dalam penentuan

jumlah perolehan kursi juga difungsikan secara ganda sebagai dasar hukum dalam

menetapkan peserta pemilu pada pemilu berikutnya. Sementara bagi partai politik

yang tidak memenuhi persentase ambang batas pada pemilu sebelumnya atau

partai politik baru dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), yaitu sebagai berikut:138

a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai

Politik;

b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah

kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di

kabupaten/kota yang bersangkutan;

138 Penjelasan Pasal 8 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan “partai politik baru” adalah partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu.

Page 108: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

90

e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan

perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000

(satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik

sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan

kartu tanda anggota;

g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat,

provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU;

dan

i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai

politik kepada KPU.

Apabila merunut ke belakang perihal ambang batas formal yang pernah

diterapkan sebelumnya, persentase ambang batas dalam undang-undang pemilu

pada penyelenggaraan pemilu tahun 2004 dan 2009 ditujukan sebagai syarat untuk

dapat mengikuti pemilu pada pemilu berikutnya. Dasar yuridis pengaturan

ambang batas formal pada penyelenggaraan pemilu tahun 2004 tercantum dalam

Pasal 142 Ketentuan Peralihan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah juncto Pasal 39 ayat (3) Undang-

Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum yang mengatur sebagai

berikut :

Page 109: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

91

Partai Politik Peserta Pemilu tahun 1999 yang memperoleh 2% (dua

persen) atau lebih dari jumlah kursi DPR atau memperoleh sekurang-

kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPRD Provinsi atau DPRD

Kabupaten/Kota yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah)

jumlah provinsi dan di 1/2 (setengah) kabupaten/kota seluruh

Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah

Pemilu tahun 1999.

Kemudian pengaturan ambang batas formal ini berlanjut pada penyelenggaraan

pemilu tahun 2009 dimana Pasal 315 ketentuan peralihan UU No. 10 Tahun 2008

juncto Pasal 9 ayat 1 UU No. 12 Tahun 2003 mengatur sebagai berikut :

Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2004 yang memperoleh

sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR, atau

memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah

kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di 1/2

(setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau memperoleh

sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD

Kabupaten/Kota yang tersebar di 1/2 (setengah) jumlah

kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik

Peserta Pemilu setelah Pemilu Tahun 2004.”

Ambang batas formal untuk menentukan keikusertaan pada pemilu tahun

2004 dan 2009 menjadikan kursi (seat) sebagai elemen yang harus dipenuhi

secara alternatif, yaitu persentase perolehan kursi DPR, persentase perolehan kursi

DPRD Provinsi, atau persentase perolehan kursi DPRD Kabupaten/Kota.

Perbedaan substansi hukum ambang batas formal pada kedua penyelenggaraan

pemilihan umum tersebut hanya berada pada aspek besaran angka ambang batas

formal masing-masing yang diterapkan dengan kenaikan sebesar satu persen.

Meskipun terdapat perubahan, namun ketentuan ambang batas formal tersebut

hanya ditujukan dalam menentukan syarat sebagai kontestasi dalam mengikuti

pemilu berikutnya dan tidak dimaksudnya secara ganda terhadap penentuan kursi

dalam lembaga perwakilan.

Page 110: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

92

Ketentuan yang berkesan diskriminatif dalam Pasal 8 ayat (1) serta

penjelasannya mengalami pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi

dengan putusan yang menyatakan ketentuan tersebut. bertentangan dengan UUD

1945. Begitu pula dengan Pasal 8 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2012 bahwa ketentuan

Pasal tersebut sepanjang frasa ”yang tidak memenuhi ambang batas perolehan

suara pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru”, serta penjelasan pasal 8

ayat (2) sepanjang frasa ”yang dimaksud dengan ”partai politik baru” adalah

partai politik yang belum pernah mengikuti Pemilu” bertentangan dengan UUD

1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ratio decidendi yang

dibangun oleh Mahkamah Konstitusi adalah bahwa pengaturan tersebut tidak

mencerminkan prinsip keadilan karena memberlakukan syarat-syarat berbeda bagi

pihak-pihak yang mengikuti suatu kontestasi yang sama.139

Hakikat ambang batas formal guna menentukan representasi anggota

perwakilan diterapkan pada penyelenggaraan pemilu DPR-RI tahun 2009 dan

2014. Istilah parliamentary threshold kerap digunakan untuk menamakan

ketentuan ambang batas formal tersebut, meskipun undang-undang tidak

menegaskan terminologi yang dimaksud secara eksplisit dalam undang-undang

dan hanya menempatkan istilah ambang batas parlemen dalam bagian Penjelasan

Umum UU No. 8 Tahun 2012. Adanya penggunaan istilah parliamentary

threshold sebagai akibat telah digunakannya terminologi electoral threshold untuk

139 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, hal 89-91. Syarat verifikatif

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 8 UU No. 8 Tahun 2012 berbeda dengan syarat yang

ditentukan dalam Pasal 8 UU No. 8 Tahun 2010. Apabila Partai Politik yang lolos ambang batas

formal tahun 2009 tidak diwajibkan untuk memenuhi syarat verifikatif, hal tersebut diangggap

menimbulkan ketidakadilan karena persyaratan yang ditentukan pada pemilu tahun 2009 dan

pemilu 2014 adalah berbeda.

Page 111: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

93

mendefinisikan ambang batas formal pada keikutsertaan pemilu berikutnya.

Pembedaan secara nomenklatur tersebut menimbulkan ambiguitas dikarenakan

secara teoritis ambang batas pemilu atau electoral threshold lazimnya tidak

dimaksudkan sebagai aturan hukum untuk menentukan peserta pemilu pada

pemilu berikutnya, melainkan ditujukan untuk menentukan keterwakilan dalam

lembaga perwakilan. Sebagai perbandingan, Pasal 2 angka 27 UU Pemilu

Rumania No. 35 Tahun 2008 (Law No. 35/2008 for the election to the Chamber of

Deputies and the Senate) menggunakan terminologi electoral threshold yang

secara tegas diartikan sebagai “the minimum percentage of the separately validly

cast votes for the Chamber of Deputies and the Senate, or the minimum number of

uninominal colleges in which it is situated on the first place in the order of the

number of validly cast votes, for a political party, a political or electoral alliance,

necessary for entering in the process of distribution of mandates.”

Penyimpangan yang terjadi selama ini dalam sistem pemilu Indonesia

mengkorelasikan konsep electoral threshold tidak sebagaimana mestinya.

Terminologi parliamentary threshold atau ambang batas parlemen digunakan

meskipun secara nomenklatur tidak terdapat penamaan tersebut dalam bagian isi

perundang-undangan pemilu Indonesia. Terminologi ambang batas parlemen

dianggap tidak tepat mengingat peraturan perundang-undangan Indonesia tidak

menggunakan penamaan parlemen untuk sistem lembaga perwakilan. Kamus

Black Law mendefinisikan parliamentary adalah “relating or belonging to,

connected with, enacted by or proceeding from, or characteristic of, the English

Page 112: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

94

parliament in particular, or any legislative body in general.”140

Terminologi

parlemen lebih identik dengan karakteristik khususnya pada lembaga perwakilan

di Inggris dan persemakmurannya, seperti Malaysia, Australia, serta negara-

negara lain yang menganut sistem parlementer seperti Italia, Polandia, Belanda.

Segenap perubahan dan pergantian ketentuan ambang batas formal di

Indonesia timbul dari akibat esensialitas kekuasaan membentuk undang-undang

yang dimiliki oleh DPR-RI. Prinsip demokrasi konstitusional menentukan bahwa

pembentukan undang-undang wajib diselenggarakan oleh lembaga perwakilan

dimana anggota-anggotanya dipilih secara demokratis. Pasal 19 ayat (1) UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur bahwa anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dipilih melalui pemilihan umum. Ambang batas formal yang

termuat dalam UU No. 10 Tahun 2008 yang kemudian diganti dengan UU No. 8

Tahun 2012, dibentuk oleh DPR-RI yang anggotanya dipilih secara langsung oleh

rakyat, sehingga mewujudkan pencerminan bahwa hukum yang dibuat

berdasarkan kedaulatan di tangan rakyat. Adanya kelemahan dalam suatu

substansi undang-undang yang dibuat, termasuk substansi ambang batas formal,

adalah hal yang lumrah mengingat undang-undang sebagai produk politik

bergantung dari bagaimana konstelasi politik yang terjadi dalam DPR-RI.

Disinilah pengujian undang-undang secara konstitusional oleh Mahkamah

Konstitusi memegang peranan dalam penegakan demokrasi yang berlandaskan

konstitusi.

140 Henry Campbell Black, op.cit, hal. 1272.

Page 113: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

95

Adapun perihal ambang batas formal yang kerap berubah sebagaimana

dikarenakan faktor konsensus yang terjadi di antara anggota-anggota DPR-RI

menentukan model dan persentase yang akan digunakan. Tracy Quinlan

berpendapat bahwa ―...electoral thresholds are institutional mechanisms that are

relatively easy to change...‖141

Disadari secara konseptual bahwa ambang batas

formal sebagai suatu mekanisme penyederhanaan partai politik merupakan

pengaturan yang secara institusional tidak stabil karena dapat berubah-ubah

dengan sangat mudah dan relatif. Relativitas dalam pengaturan ambang batas

formal berdasar pada asumsi yang dibangun oleh Mahfud MD bahwa keberadaan

suatu hukum merupakan wujud dari produk politik yang timbul dari konsensus

anggota lembaga perwakilan. Lebih lanjut pengaturan ambang batas formal dapat

diinterpretasikan sebagai produk hukum responsif berdasarkan konfigurasi politik

demokratis dengan rumusannya yang cukup rinci guna memenuhi kehendak

masyarakat yang dirumuskan melalui demokrasi perwakilan.142

Konsensus atas relativitas penentuan ambang batas formal dari aspek teori

hukum disebabkan posisi dari pengaturannya dalam undang-undang pemilu

sebagai delegated legislation dari ketentuan UUD 1945. Jimly Asshiddiqie

memaparkan bahwa delegated legislation timbul dari proses pemberian atau

pelimpahan kekuasaan (transfer of power) untuk membentuk suatu peraturan

perundang-undangan (the power of rule-making).143

Pasal 10 ayat (1) huruf a UU

No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

141 Tracy Quinlan, op.cit, hal. 18.

142

Moh. Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali

Press, Jakarta, hal. 66-67 (selanjutnya disebut Moh. Mahfud MD I).

143

Jimly Asshiddiqie, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta, hal. 264.

Page 114: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

96

menentukan bahwa materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang

berisi pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Penegasan kata “harus” dalam rumusan tersebut

menunjukkan adanya suatu perintah untuk melakukan sesuatu.144

Dalam konteks

ini, Pasal 22E ayat (6) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

mengamanatkan adanya suatu penormaan lebih lanjut dimana ketentuan mengenai

pemilihan umum diserahkan untuk diatur dengan undang-undang. DPR-RI

sebagai penerima penyerahan kekuasaan dari konstitusi harus menentukan setiap

substansi hukum dalam undang-undang pemilu, termasuk pengaturan ambang

batas formal, sepanjang memenuhi prinsip-prinsip kedaulatan rakyat dan

konstitusional.

3.2. Lembaga Negara dan Hubungan Antar Lembaga Negara Pasca

Pengaturan Ambang Batas Formal

3.2.1. Penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia

Pengaturan ambang batas formal berkorelasi langsung dengan konteks

penataan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia secara kelembagaan.

Jumlah partai politik dalam lembaga perwakilan yang mengalami pengerucutan

dikarenakan hanya yang memenuhi persentase ambang batas minimal yang dapat

mengikuti perhitungan kursi diharapkan dapat menata secara institusional fungsi

lembaga perwakilan. Penataan hubungan internal antar anggota DPR dilakukan

144 Rival Gulam Ahmad et.al. 2007, 9 Jurus Merancang Peraturan untuk Transformasi Sosial

(Sebuah Manual untuk Praktisi), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta,

hal. 263.

Page 115: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

97

dengan menyederhanakan secara kuantitas persebaran partai politik melalui

pengaturan ambang batas formal sebagai upaya realistis dalam pencapaian tujuan

negara demokrasi yang belandaskan hukum.

Sebagaimana telah dipaparkan dalam bab sebelumnya bahwa Indonesia

adalah negara yang menggunakan sistem perwakilan proporsional (dengan

konsekuensi dibarengi sistem multipartai) dalam penyelenggaraan pemilihan

umumnya. Ambang batas formal yang dikombinasikan dalam sistem perwakilan

proporsional menjadi sarana hukum tambahan bagi partai politik selain adanya

ambang batas alami dalam mekanisme konversi kursi agar mendapakan kursi

dalam lembaga perwakilan. Patut ditelaah pada pemilihan umum tahun 2009 yang

menggunakan ambang batas perolehan suara sebesar 2,5% dihasilkan sembilan

partai politik yang berhak mengikuti perhitungan kursi di DPR-RI, yakni Partai

Demokrat, Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Keadilan

Sejahtera, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai

Kebangkitan Bangsa, Partai Gerindra, dan Partai Hanura.145

Berikut rekapitulasi

suara nasional yang ditetapkan oleh Komisi Pemilihan UMum.

Tabel 3.1.

Perolehan Suara dan Persentase Suara

Partai Politik Peserta Pemilu 2009

No Nama Partai (Nomor Urut) Perolehan Suara Persentase Suara

1 Demokrat (31) 21.703.137 20,85%

2 Golkar (23) 15.037.757 14,45%

3 PDIP (28) 14.600.091 14,03%

4 PKS (8) 8.206.955 7,88%

5 PAN (9) 6.254.580 6,01%

6 PPP (24) 5.533.214 5,32%

7 PKB (13) 5.146.122 4,94%

145 Partai Gerindra dan Partai Hanura adalah dua partai baru atau pertama kali mengikuti

pemilihan umum yang lolos pengaturan ambang batas formal 2,5%.

Page 116: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

98

8 Gerindra (5) 4.646.406 4,46%

9 Hanura (1) 3.922.870 3,77%

10 PBB (27) 1.864.752 1,79%

11 PDS (25) 1.541.592 1,48%

12 PKNU (34) 1.527.593 1,47%

13 PKPB (2) 1.461.182 1,40%

14 PBR (29) 1.264.333 1,21%

15 PPRN (4) 1.260.794 1,21%

16 PKPI (7) 934.892 0,90%

17 PDP (16) 896.660 0,86%

18 Barnas (6) 761.086 0,73%

19 PPPI (3) 745.625 0,72%

20 PDK (20) 671.244 0,64%

21 RepublikaN (21) 630.780 0,61%

22 PPD (12) 550.581 0,53%

23 Patriot (30) 547.351 0,53%

24 PNBK (26) 468.696 0,45%

25 Kedaulatan (11) 437.121 0,42%

26 PMB (18) 414.750 0,40%

27 PPI (14) 414.043 0,40%

28 Pakar Pangan (17) 351.440 0,34%

29 Pelopor (22) 342.914 0,33%

30 PKDI (32) 324.553 0,31%

31 PIS (33) 320.665 0,31%

32 PNI M (15) 316.752 0,30%

33 Partai Buruh (44) 265.203 0,25%

34 PPIB (10) 197.371 0,19%

35 PPNUI (42) 142.841 0,14%

36 PSI (43) 140.551 0,14%

37 PPDI (19) 137.727 0,13%

38 Merdeka (41) 0 0,11%

39 PDA (36) 0 0,00%

40 Partai SIRA (37) 0 0,00%

41 PRA (38) 0 0,00%

42 Partai Aceh (39) 0 0,00%

43 PBA (40) 0 0,00%

44 PAAS (35) 0 0,00%

JUMLAH 104.099.785 100% (diakses dari : “Hasil Akhir Pemilu 2009”, http://www.detiknews.com/jumlahsuara 16 April 2013)

Page 117: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

99

Kemudian perihal konversi perolehan suara dari partai politik yang memenuhi

persentase ambang batas menjadi perolehan kursi, KPU melakukan penetapan

akhir untuk pemilu 2009 adalah sebagai berikut :

1. Partai Demokrat 150 kursi (sebelumnya 148)

2. Partai Golkar 107 kursi (sebelumnya 108)

3. PDIP 95 kursi (sebelumnya 93)

4. PKS 57 kursi (sebelumnya 59)

5. PAN 43 kursi (sebelumnya 42)

6. PPP 37 kursi (sebelumnya 39)

7. PKB 27 kursi (sebelumnya 26)

8. Gerindra 26 kursi (sebelumnya 30)

9. Hanura 18 kursi (sebelumnya 15).146

Konsekuensi diberlakukannya ambang batas formal dalam pemilihan

umum mengakibatkan hilangnya sejumlah suara pemilih yang memilih partai

politik dengan total perolehan suara tidak mencapai persentase minimal ambang

batas.147

Hilangnya sejumlah suara tersebut dikarenakan adanya proses

pengurangan antara suara yang berhasil melampaui ambang batas dengan yang

gagal. Pasal 203 ayat (2) UU No. 10 Tahun 2008 juncto Pasal 209 ayat (2) UU

No. 8 Tahun 2012 menentukan bahwa suara yang digunakan untuk penghitungan

perolehan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh

Partai Politik Peserta Pemilu dikurangi dengan jumlah suara sah Partai Politik

Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara. Apabila

dikalkulasikan terdapat 19.048.653 atau 18,30% suara yang hilang akibat

pengurangan jumlah suara tersebut pada hasil pemilihan umum tahun 2009.

146 “KPU Ubah Perolehan Kursi Parpol di DPR“ http://mediacenter.kpu.go.id/berita/472-kpu-

rubah-perolehan-kursi-parpol-di-dpr.html. KPU melakukan revisi terhadap penetapan kursi yang

telah ditetapkan sebelumnya pada tanggal 9 Mei 2009, diakses tanggal 21 April 2013.

147

Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu..., op.cit, hal. 34.

Page 118: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

100

Tabel 3.2.

Pengurangan Jumlah Suara Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat

Republik Indonesia Tahun 2009

No Keterangan Jumlah Suara Persentase Suara

1 Jumlah total suara nasional 104.099.785 100%

2

Jumlah total perolehan suara

partai politik lolos ambang

batas

85.051.132 81,7 %

Jumlah pengurangan suara 19.048.653 18,30 % (diolah oleh penulis berdasarkan data dari “Hasil Akhir Pemilu 2009”,

http://www.detiknews.com/jumlahsuara, diakses tanggal 16 April 2013)

Adanya suara hilang dalam jumlah yang relatif besar dalam pelaksanaan

pemilu yang menerapkan pengaturan ambang batas secara formal memperlihatkan

telah terjadi suatu pergeseran paradigma di dalam sistem perwakilan proporsional

yang digunakan. Sistem perwakilan proporsional pada hakikatnya menentukan

proporsi suara setiap kontestan dalam menentukan pemenang pemilu berlaku

prinsip tidak ada suara yang hilang.148

Keberadaan sistem perwakilan

proporsional merupakan sebagai sandingan dari sistem pluralitas-mayoritas yang

dianggap disproporsional dan tidak representatif karena mengenyampingkan

suara-suara minoritas. Tidak terakomodirnya perolehan suara dari partai-partai

politik yang mendapatkan suara minim menyebabkan sistem perwakilan

proporsional digunakan untuk memenuhi nilai representatif suatu

penyelenggaraan pemilihan umum. Hal tersebut seharusnya menjadi faktor

keunggulan sistem perwakilan proporsional dibandingkan dengan sistem

pluralitas-mayoritas.

148 Tim LIP FISIP UI, 1998, “Upaya Mengembalikan Kedaulatan Rakyat : Reformasi UU

Pemilihan Umum”, Kompilasi Tulisan Mengubur Sistem Politik Orde Baru, Penerbit Mizan,

Bandung, hal. 58

Page 119: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

101

Pengaturan ambang batas formal menempatkan pemahaman bahwa di

dalam sistem perwakilan proporsional juga berlaku prinsip pluralitas-mayoritas.

Hal tersebut dikarenakan bagi partai-partai politik yang mampu meraih suara

mayoritas relatif dengan menembus persentase ambang batas, maka akan

mendapatkan kursi dalam lembaga perwakilan. Sebaliknya bagi partai yang tidak

memenuhi ambang batas, maka dipastikan suara yang disalurkan pada mereka

akan tidak berlaku, sehingga prinsip yang dianut identik sebagaimana yang

diterapkan dalam sistem pluralitas-mayoritas.149

Namun dalam konteks ini,

pengaturan ambang batas formal tidak menjadikan adanya perubahan sistem,

dikarenakan ambang batas formal merupakan substansi hukum yang dianut secara

eksklusif dalam sistem perwakilan proporsional dan sebagian sistem campuran.150

Hilangnya sejumlah suara akibat proses pengurangan yang dilakukan

secara teleologis ditujukan untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana.

Terminologi sistem multipartai sederhana hanya terdapat dalam penjelasan umum

UU No. 10 Tahun 2008 dan kembali ditegaskan dalam penjelasan umum UU No.

8 Tahun 2012. Secara teoritik sistem multipartai sederhana tidak dibahas secara

spesifik dalam literatur tentang sistem kepartaian. Namun apabila merujuk pada

149 Hal ini sejalan dengan pendapat Mahfud MD yang memaparkan kelemahan dari sistem

pluralitas dengan memunculkan kecenderungan terjadinya over-representation (perolehan kursi

lebih besar dari suara yang diperoleh) atau under-representation (perolehan kursi lebih kecil dari

perolehan suara). Lihat dalam Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia (Edisi Revisi),

Rajawali Press, Jakarta, hal 78.

150

Lihat dalam Tracy Quinlan, op.cit, hal 21 yang berpendapat “…since electoral thresholds

are tools employed exclusively in proportional representation elections, majoritarian systems were

not included. Mixed systems are included, but the competitive party, district magnitude, and party

magnitude data represents only results from the PR proportion of the legislature.‖ Ambang batas

formal merupakan pengaturan ekslusif dalam sistem pemilu perwakilan proporsional dan tidak

termasuk dalam sistem mayoritas. Sistem campuran juga mengatur ambang batas formal, namun

dalam hal partai kompetitif, besaran distrik, dan data besaran partai merupakan hasil daripada

bagian yang mencerminkan sistem perwakilan proposional.

Page 120: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

102

konsekuensi dari sistem multipartai yang tidak mampu menempatkan partai

politik dominan dalam lembaga perwakilan, sistem multipartai sederhana dapat

diinterpretasikan sebagai sistem yang mencoba untuk mereduksi kelemahan

tersebut.

Apabila mengacu pada hasil penyelenggaraan pemilu tahun 2009, sistem

multipartai sederhana yang dicapai memiliki rasio perbandingan yang ekstrim

dimana partai politik yang memperoleh kursi dalam lembaga perwakilan

berjumlah jauh lebih sedikit dari jumlah partai politik yang menjadi peserta

pemilihan umum. Rasio perbandingan ekstrim tersebut menghasilkan sistem

kepartaian dengan jumlah yang moderat di dalam lembaga perwakilan, dalam arti

jumlah yang tidak terlalu banyak namun juga tidak terlalu sedikit. Sistem

multipartai sederhana tidak berada pada domain kuantitas partai politik dalam arti

sebagai peserta pemilihan umum, melainkan dalam hal jumlah partai politik yang

akan berada pada lembaga perwakilan untuk menciptakan kekuatan politik yang

lebih dominan, sebagaimana konsekuensi yang harus diatasi pada negara yang

menganut sistem multipartai.

Pemahaman perihal bagaimana kebijakan hukum ambang batas formal

yang proporsional guna mewujudkan jumlah partai yang moderat masih

merupakan suatu perdebatan. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan

proporsional yaitu sesuai dengan proporsi; sebanding; seimbang; berimbang.151

Pada dasarnya, Mahkamah Konstitusi di dalam putusannya memberikan salah

satu batasan yang digunakan dalam menentukan ambang batas formal sehingga

151 Departemen Pendidikan Nasional, op.cit. hal.1106.

Page 121: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

103

keseimbangan atau proporsionalitas lembaga perwakilan terjaga yakni melalui

pemenuhan aspek rasionalitas. Mengkaji rasionalitas pengaturan ambang batas

perolehan suara dalam undang-undang pemilihan umum apabila beranjak dari

teori “model rasional komprehensif” sebagai salah satu model dalam perumusan

kebijakan, menempatkan lima elemen dalam mengukur rasionalitas suatu

kebijakan, yaitu sebagai berikut :

1. Pembuatan keputusan dihadapkan pada suatu masalah tertentu.

Masalah ini dapat dipisahkan dengan masalah-masalah lain atau

paling tidak masalah tersebut dapat dipandang bermakna bila

dibandingkan dengan masalah – masalah lain.

2. Tujuan-tujuan, nilai-nilai atau sasaran-sasaran yang mengarahkan

pembuat keputusan dijelaskan dan disusun menurut arti pentingnya.

3. Berbagai alternatif untuk mengatasi masalah perlu diselidiki.

4. Konsekuensi-konsekuensi (biaya dan keuntungan) yang timbul dari

setiap pemilihan alternatif diteliti.

5. Setiap alternatif dan konsekuensi yang menyertainya dapat

dibandingkan dengan alternatif-alternatif lain. Pembuat keputusan

memiliki alternatif beserta konsekuensi-konsekuensinya yang

memaksimalkan pencapaian tujuan, nilai, atau sasaran-sasaran yang

hendak dicapai.152

Masalah yang menjadi salah satu fokus penataan hubungan kelembagaan

DPR-RI adalah dalam konteks pembahasan suatu rancangan undang-undang.

Struktur hukum Indonesia memperlihatkan bagaimana pembahasan rancangan

undang-undang yang melibatkan anggota-anggota DPR dengan positional

bargaining-nya masing-masing bersama dengan Pemerintah, hingga akhinya

tercapai kata mufakat antara keduanya dalam menghasilkan sebuah undang-

undang.153

DPR merupakan lembaga yang memiliki kewenangan konstitusional

152 Budi Winarno, 2012, Kebijakan Publik – Teori, Proses, dan Studi Kasus (Edisi Revisi),

Penerbit Caps, Yogyakarta, hal. 103-104.

153

Lihat dalam Roger Fisher et.al, 2011, Getting to Yes, PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta, hal.28. Bahwa positiional bargaining diterjemahkan sebagai suatu keadaan dimana

masing-masing pihak mengambil posisi tertentu, memperdebatkannya, dan memberikan konsesi

Page 122: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

104

untuk membentuk undang-undang dengan salah satu alat kelengkapannya yakni

Komisi yang bertugas mengadakan persiapan, penyusunan, pembahasan, dan

penyempurnaan rancangan undang-undang (vide Pasal 96 ayat (1) UU No. 27

Tahun 2009). Keanggotaan Komisi dibentuk dari perimbangan dan pemerataan

jumlah anggota tiap-tiap fraksi (vide Pasal 94 ayat 2 UU No. 27 Tahun 2009),

dimana setiap komisi akan terdiri dari beberapa fraksi yang berbeda-beda serta

berasal dari anggota DPR dari partai-partai politik yang berbeda pula. Komisi

yang dibentuk secara tidak berimbang atau tidak merata secara kuantitas akan

menghasilkan proses pembahasan rancangan undang-undang yang tidak efektif.

Ambang batas formal digunakan untuk menciptakan keseimbangan dan

pemerataan kekuatan partai politik, sehingga diharapkan masalah ketimpangan

secara kuantitas dalam perancangan suatu undang-undang dapat teratasi.

Pembentuk undang-undang pada hakikatnya memiliki banyak alternatif-

alternatif hukum untuk menciptakan sistem kepartaian yang sederhana dalam

rangka menata kelembagaan DPR-RI. Sejarah memperlihatkan bahwa dalam

setiap rezim pemerintahan memiliki kesepahaman secara fundamental bahwa

penyederhanaan kepartaian menjadi suatu hal yang harus dilakukan secara

hukum. Politik hukum pada pemerintahan era Orde Lama tampak dengan

diterbitkannya Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959

tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian yang diberlakukan pada

demi tercapainya kompromi. Positional bargaining yang ada di antara para pihak dapat

memperburuk suatu negosiasi. Pembahasan suatu RUU dimana perhatian yang lebih banyak

diarahkan pada posisi, dan minimnya perhatian untuk menangani pokok permasalahan akan

menimbulkan jauhnya tercapai kata sepakat.

Page 123: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

105

masa demokrasi terpimpin.154

PNPS ini menentukan syarat ketat dalam

pembentukan partai sebagai berikut :

Pasal 2 : Partai harus menerima dan mempertahankan azas dan

tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-

undang Dasar 1945.

Pasal 3 (ayat 1) : Untuk dapat diakui sebagai partai maka dalam

anggaran dasar organisasi harus dicantumkan dengan tegas, bahwa

organisasi itu menerima dan mempertahankan Undang-undang

Dasar Negara Republik Indonesia yang memuat dasar-dasar Negara,

yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kebangsaan, Kedaulatan Rakyat,

Perikemanusiaan dan Keadilan Sosial, dan bertujuan membangun

suatu masyarakat yang adil dan makmur menurut kepribadian

bangsa Indonesia, serta mendasarkan program kerjanya masing-

masing atas Manifesto Politik Presiden tertanggal 17 Agustus 1959,

yang telah dinyatakan menjadi haluan Negara.

Pasal 3 (ayat 2) : Dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah

tangga partai termaksud pada ayat (1) pasal ini harus dicantumkan

pula dengan tegas organisasi-organisasi lain yang mendukung

dan/atau bernaung di bawah partai itu.

Pasal 4 : Dalam memperjuangkan tujuannya, partai-partai

diharuskan menggunakan jalan-jalan damai dan demokratis.

Pasal 5 : Partai, harus, mempunyai cabang-cabang yang tersebar

paling sedikit di seperempat jumlah daerah tingkat I dan jumlah

cabang-cabang itu seluruh wilayah Republik Indonesia.

Pasal 6 ayat (1) : Partai tidak dibolehkan mempunyai seorang asing

pun baik dalam pengurus dan pengurus penghormatan maupun

sebagai anggota biasa.

Pasal 6 ayat (2) : Partai tidak diperbolehkan tanpa idzin dari

Pemerintah menerima bantuan dari fihak asing dan/atau memberi

bantuan kepada fihak asing dalam bentuk dan dengan cara apapun

juga.

Pasal 7 : Yang berhak menjadi anggota partai ialah warga-negara

Indonesia yang telah berumur 18 tahun atau lebih.

154 Penjelesan Umum PNPS Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan

Kepartaian menjelaskan bahwa keberadaannya dilatarbelakangi timbulnya ketidakstabilan politik

dari Maklumat Pemerintah tertanggal 3 Nopember 1945 yang menganjurkan pendirian parta

politik dengan tidak terbatas pada masa demokrasi parlementer.

Page 124: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

106

Kebijakan hukum penyederhanaan partai politik juga diterapkan pada era

Orde Baru dimana Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan

Golongan Karya menggabungkan partai-partai politik menjadi dua, yakni Partai

Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, serta satu Golongan

Karya sebagai organisasi kekuatan sosial politik yang merupakan hasil

pembaharuan, dan penyederhanaan kehidupan politik di Indonesia (vide Pasal 1

ayat (1) Undang-Undang No. 3 Tahun 1975). Legitimasi politik hukum untuk

penyederhanaan partai politik tersebut ditegaskan landasan keberlakuannya dalam

konsideran menimbang sebagai berikut :

a. bahwa dalam rangka penyederhanaan dan pendayagunaan

kehidupan politik, dewasa ini organisasi-organisasi kekuatan sosial

politik yang telah ada telah mengelompokkan diri menjadi dua

Partai Politik dan satu Golongan Karya, seperti yang telah

dinyatakan dalam Garis-garis Besar Haluan Negara;

b. bahwa dengan adanya tiga organisasi kekuatan sosial politik

tersebut, diharapkan agar Partai-partai Politik dan Golongan Karya

benar-benar dapat menjamin terpeliharanya persatuan dan kesatuan

Bangsa, stabilitas nasional serta terlaksananya percepatan

pembangunan;

c. bahwa agar supaya kenyataan-kenyataan yang positif itu dapat

tumbuh semakin kuat dan mantap, perlu diatur tata kehidupan

Partai-partai Politik dan Golongan Karya tersebut, yang sekaligus

memberikan kepastian tentang kedudukan, fungsi, hak dan

kewajiban yang sama dan sederajat dari organisasi-organisasi

kekuatan sosial politik yang bersangkutan yang memadai serta

sesuai dengan prinsip-prinsip Demokrasi Pancasila serta

pelaksanaan pembangunan Bangsa.

Kedua pengaturan dari rezim yang berbeda tersebut memperlihatkan

bahwa terdapat pilihan-pilihan hukum yang dapat diambil dalam rangka

mengurangi fragmentasi lembaga perwakilan dan menciptakan kestablian politik.

Dibandingkan pada era Orde Baru, pengaturan fusi partai politik tersebut

dianggap tidak rasional karena menghilangkan nilai-nilai kebebasan setiap orang

Page 125: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

107

untuk berserikat dan berkumpul dengan tidak dimungkinkannya untuk mendirikan

partai selain dari yang ditentukan. Alternatif hukum yang dipilih pada era

reformasi adalah bagaimana agar kebebasan-kebebasan tersebut tidak berkurang

namun tetap sejalan pada tujuan penyederhanaan sistem kepartaian sebagai upaya

penciptaan proporsionalitas lembaga perwakilan. Pengaturan ambang batas

formal dianggap sebagai bentuk alternatif hukum yang rasional dalam undang-

undang pemilu untuk mengatasi fragmentasi lembaga perwakilan.

Pengaturan ambang batas formal juga harus memperhatikan setiap

konsekuensi yang melekat dalam menjaga tingkat rasionalitasnya. Rasionalitas

ilmu hukum tidak dapat diterjemahkan sebagai hal universal yang mutlak/penuh

dimana semua orang harus setuju (pragmatis-konsensus).155

Pilihan hukum antara

menyelamatkan suara pemilih dengan penyederhanaan sistem kepartaian

diibaratkan sebagai dua sisi mata koin yang harus dipilih salah satunya. Secara

teoritik, rasionalitas di dalam demokrasi adalah ketika tujuan yang ingin dicapai

harus dinikmati oleh orang sebanyak-banyaknya (the greatest number).156

Pengaturan ambang batas formal yang rasional harus dengan cermat

memperhatikan keuntungan maupun kerugian yang timbul dalam setiap

pengaturannya bagi seluruh masyarakat, dimana penyederhanaan sistem

kepartaian sebagai kebijakan hukum yang dipilih harus mampu menyeimbangkan

setiap konsekuensinya. Besarnya jumlah suara yang hilang akibat proses

155 Theo Huijbers, 2012, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta, hal. 137.

156

M. Hutauruk, 1983, “Kadar Demokrasi dan Rasionalitas dalam Kebijaksanaan

Pemerintah”, dalam Kompilasi Karangan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia -

Membangun dan Menegakkan Hukum dalam Era Pembangunan Berdasarkan Pancasila dan UUD

1945, Penerbit Erlangga, Jakarta, hal. 59.

Page 126: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

108

pengurangan yang dilakukan seharusnya mampu diupayakan untuk diminimalisir

dengan cara-cara yang sah menurut hukum dalam rangka membentuk lembaga

perwakilan yang berlegitimasi dan mampu membawa hasil positif seluas-luasnya.

3.2.2. Relevansi Pengaturan Ambang Batas Formal Terhadap Sistem

Pemerintahan Presidensial Indonesia

UUD Negara Republik Indonesia 1945 mengatur secara konstitusional

bagaimana upaya pencegahan penumpukan kekuasaan dilakukan secara yuridis

sebagaimana penerapan prinsip konstitusionalisme. Penumpukan kekuasaan

tersebut dilakukan dengan menata hubungan antar lembaga negara, dimana dalam

hal ini salah satunya terkait dengan kewenangan yang dimiliki oleh kekuasaan

eksekutif dan legislatif.

Salah satu tujuan pokok yang mengemuka ketika ambang batas formal

hendak diterapkan dalam undang-undang pemilihan umum adalah dalam rangka

mendukung penguatan dan efektifitas sistem presidensial. Naskah Akademik

RUU Tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menjabarkan sebagai

berikut : “pengaturan yang ketat seperti ini (electoral threshold) diperlukan

dengan harapan akan terciptanya penguatan sistem kepartaian di satu pihak dan

efektititas sistem presidensial di pihak lain”.157

Secara gramatikal dapat

diinterpretasikan bahwa korelasi yang terbangun dengan diaturnya ambang batas

formal terhadap sistem presidensial adalah bersifat tidak langsung. Hal ini

dikarenakan konsekuensi yuridis yang melekat pada pengaturan ambang batas

157 Departemen Dalam Negeri Republik Indonesia, 2007, Naskah Akademik Rancangan

Undang-Undang Tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD. CETRO, hal. 18.

Page 127: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

109

formal sesungguhnya ada terkait dengan sistem kepartaian. Dengan kata lain,

efektivitas sistem presidensial melalui pengaturan ambang batas formal adalah

bergantung dari bagaimana penguatan sistem kepartaian yang terjadi. Lebih jauh

bahkan penafsiran yang dapat dibangun disini adalah bahwa sistem presidensial

Indonesia adalah sistem yang bergantung pada lembaga perwakilan yang dibentuk

dari partai-partai politik.

Secara teoritik, sistem presidensial dapat diterjemahkan dari tiga

pemahaman dasar berikut :

1. Jabatan kepala pemerintahan dipegang oleh Presiden (the president must

be the head of government).

2. Jabatan Presiden adalah dipilih untuk suatu periode yang tetap (the

president is elected for a fixed time period).

3. Presiden tidak dapat dipaksa untuk mengundurkan diri karena mosi tidak

percaya oleh legislatif (the president cannot be forced to resign because of

a no-confidence vote by the legislature). Kebanyakan sistem presidensial

menerapkan impeachment namun merupakan suatu hal yang langka

diterapkan dalam praktiknya.158

Sistem presidensial pada hakikatnya memposisikan jabatan eksekutif yang

tidak bergantung pada legislatif. Tidak seperti pada sistem parlementer dimana

kepala pemerintahan ditentukan oleh legislatif sehingga menimbulkan

ketergantungan kepada lembaga legislatif. UUD Negara Republik Indonesia

158 Scott Mainwaring, 2003, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult

Combination“, dalam The Democracy SourceBook - edited by Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose´

Antonio Cheibub, The MIT Press, London, hal. 265-266.

Page 128: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

110

Tahun 1945 sendiri menentukan jabatan yang tetap untuk kepala pemerintahan

yang dipilih secara langsung oleh rakyat (vide Pasal 7 jo Pasal 6A ayat (1) UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945), serta rumitnya metode dalam

melakukan pemberhentian Presiden di luar masa jabatannya (vide Pasal 7B UUD

Negara Republik Indonesia Tahun 1945). Hal ini menandakan bahwa instabilitas

sistem presidensial yang memiliki ketergantungan dengan lembaga perwakilan

sehingga urgensi mengadakan pengaturan ambang batas formal merupakan suatu

alasan yang rapuh.

Terkait dengan korelasi antara sistem presidensial, stabilitas, dan

kelemahan sistem multipartai, sebagaimana yang menjadi tujuan diaturnya

ambang batas formal, Scott Mainwaring memaparkan antitesis bahwa sistem

presidensial yang dikombinasikan di dalam lembaga perwakilan yang terdiri dari

sistem multipartai akan menyebabkan terjadinya instabilitas. Sistem multipartai,

baik yang diterapkan pada sistem presidensial atau sistem parlementer,

membutuhkan adanya koalisi atau gabungan partai politik guna mencapai lembaga

legislatif yang mayoritas (in multiparty systems, interparty coalition building is

essential for attaining a legislative majority), dan membangun koalisi adalah hal

yang lebih sulit untuk dilakukan bagi sistem presidensial (make building stable

interparty legislative coalitions more difficult in presidential democracies than in

parliamentary systems).159

Tiga argumentasi yang dibangun adalah sebagai

berikut :

159 ibid, hal. 270.

Page 129: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

111

1. Dukungan partai politik bagi pemerintah cenderung lebih aman dalam

sistem parlementer karena cara pembentukan dan pembubaran kekuasaan

eksekutif melalui perjanjian pasca pemilu di antara partai partai.

Sedangkan pada sistem presidensial, penentuan kabinet pemerintahan ada

pada kewenangan Presiden (bukan lembaga legislatif dan partai-partai),

sehingga walaupun Presiden dapat membuat kesepakatan sebelumnya

dengan pihak-pihak yang mendukungnya, namun kesepakatan tersebut

tidak mengikat seperti pada sistem parlementer (The president may make

prior deals with the parties that support him or her, but these deals are not

as binding as they are in a parliamentary system).

2. Dalam sistem presidensial, komitmen legislator secara individu untuk

mendukung kesepakatan yang dinegosiasikan oleh pimpinan partai politik

sering kurang terjamin (the commitment of individual legislators to

support an agreement negotiated by the party leadership is often less

secure).

3. Dorongan yang kuat untuk memecah koalisi (incentives for parties to

break coalitions) lebih besar terjadi pada sistem presidensial dibandingkan

sistem parlementer, terutama menjelang pemilihan umum, dalam hal

apabila terjadi kegagalan pada pemerintahan atau tidak menuai

keuntungan berarti terhadap prestasi yang diraih (share the blame for

government mistakes, and not reap the benefits of its accomplishments).160

160 ibid, hal. 270-271

Page 130: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

112

Dari argumentasi Scott Mainwaring tersebut dapat dibentuk pemahaman,

bahwa sistem multipartai yang menyebabkan sistem presidensial menjadi

ketergantungan pada keberadaan lembaga legislatif. Tidak adanya jaminan

komitmen dalam membentuk hubungan yang langgeng di antara eksekutif dan

legislatif dikarenakan koalisi dalam sistem multipartai adalah hal yang tidak

permanen. Oleh karena banyaknya partai politik yang berada pada lembaga

legislatif akan semakin mempersulit hubungan eksekutif dan legislatif, maka

penyederhanaan partai politik secara tegas perlu untuk dilakukan. Ambang batas

formal menjadi alternatif solusi hukum untuk menggantikan metode koalisi partai

politik.

Sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia secara sistemis tidak

tegas apakah menganut sistem presidensil atau parlementer. Peter Mahmud

Marzuki berpendapat bahwa UUD 1945 tidak menganut sistem parlementer

maupun presidensial dengan pemisahan kekuasaan (the original version of the

1945 Constitution indicates that Indonesia neither adopts parliamentary system

nor government with separation of power system).161

Meskipun UUD 1945

menentukan bahwa jabatan kepala pemerintah yang tetap dipegang oleh Presiden,

namun Pemilihan Presiden sendiri bergantung pada keberadaan partai politik dan

lembaga perwakilan. Ketentuan Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden mengatur bahwa “Pasangan Calon diusulkan

oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi

persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah

161 Peter Mahmud Marzuki, An Introduction …, op.cit, hal.75

Page 131: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

113

kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional

dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden”. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang menempatkan salah satu

syarat ambang batas minimum berupa persentase perolehan kursi di DPR oleh

partai politik atau gabungan partai politik, sehingga pengaturan ambang batas

pemilu turut memberikan pengaruh di dalam penyelenggaraan pemilihan umum

eksekutif. Partai politik yang tidak mampu menembus ambang batas pemilu

menjadi tidak dapat (atau setidaknya sulit) mengusulkan Calon Presiden dan

Wakil Presiden dikarenakan tidak dapat mengikuti perhitungan kursi di DPR.

Meskipun terdapat alternatif ambang batas lain yakni 25% suara sah nasional

dalam Pemilu anggota DPR, namun hal tersebut secara rasional adalah sulit untuk

dipenuhi bagi partai politik yang tidak mampu meraih kursi di DPR. Sistem

Presidensial Indonesia memperlihatkan adanya hubungan secara yuridis dengan

partai politik dan lembaga perwakilan dalam menentukan kepala pemerintahan.

Perihal stabilitas sistem presidensial dan penggunaan sistem multipartai

akhirnya menempatkan ambang batas formal pada satu titik temu dimana

kekuasaan eksekutif membutuhkan lembaga perwakilan yang tersusun oleh partai

politik dengan kekuatan dominan. UUD 1945 sebelum amandemen menunjukkan

bagaimana peran sentral figur Presiden dalam Pemerintahan, seperti halnya

bagaimana Presiden lebih memiliki peran dominan dalam pembuatan undang-

undang dibandingkan dengan DPR-RI. Dominasi eksekutif pada fungsi legislasi

menjadikan Indonesia tidak menganut teori pemisahan kekuasaan. Pun halnya

setelah diadakannya amandemen UUD 1945 yang mereduksi fungsi Presiden,

Page 132: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

114

ternyata hak untuk mengajukan RUU tetap dipertahankan sehingga amandemen

tidak menjadikan timbulnya separation of power secara mutlak (such a right

signifies that the amendment of the 1945 Constitution does not turn to separation

of power system).162

Secara normatif, DPR merupakan lembaga negara yang memegang

kekuasaan konsitusional dalam menjabarkan arah politik hukum melalui undang-

undang. Kewenangan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif diperoleh

secara atribusi berdasarkan ketentuan pasal 20 UUD Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.163

Namun demikian UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menjabarkan bahwa pelaksanaan fungsi legislasi adalah memperlihatkan adanya

interaksi antara lembaga legislatif bersama dengan eksekutif. Terkait dengan

adanya bentuk konsensus cermat antara lembaga legislatif dan Presiden dalam

pembentukan undang-undang merupakan sebagai suatu aspek filsafat demokrasi

presidensial Indonesia yang ditanamkan oleh pendiri bangsa sejak awal

ditetapkannya UUD 1945. Demokrasi Indonesia menempatkan bagaimana

mufakat antara DPR bersama eksekutif dalam menghasilkan sebuah undang-

162 Peter Mahmud Marzuki, An Introduction..., op.cit, hal.77.

163

Lihat dalam Lukman Hakim, 2012, Filosofi Kewenangan Organ & Lembaga Daerah

(Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara

Hukum dan Kesatuan), Setara Press, Malang hal. 126. Bahwa Van Wijk sebagaimana dikutip

Lukman Hakim mendefinisikan Atribusi sebagai pemberian wewenang pemerintahan oleh

pembuat undang-undang kepada pemerintah (attributie : toekening van een bestuurbevoegheid

door een wetgever aan een bestuursogaan). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pembuat undang-

undang yang dimaksud tersebut baik pembentuk undang-undang orisinil (orginaire wetgever)

maupun pembentuk undang-undang yang diwakilkan (gedelegeerde wetgevers). Atribusi

merupakan kewenangan yang bersifat asli karena langsung bersumber dari pembentuk undang-

undang, yang tidak berasal dari kewenangan yang ada sebelumnya ataupun bukan perluasan dari

kewenangan sebelumnya.

Page 133: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

115

undang dapat merepresentasikan baik kepentingan rakyat maupun kepentingan

negara.

Apabila kewenangan legislasi hanya berada pada tangan DPR-RI serta

tidak ada pengimbangan dalam pembuatan undang-undang, maka hal tersebut

akan mengarah pada perubahan tatanan demokrasi konstitusional Indonesia.

Bahwa selain konsensus yang dibentuk dalam lembaga legislatif, pembentukan

dan pembaruan hukum juga melibatkan badan eksekuif (dalam hal pembahasan)

dan judisial (dalam hal uji materi). Lembaga perwakilan merupakan lembaga yang

diisi oleh bervariasi aspirasi sehingga akan sangat sulit untuk menemukan kata

mufakat. Kondisi ini menimbulkan implikasi bagaimana voting menjadi lumrah

untuk dipraktikkan dalam pembahasan undang-undang dan menyebabkan

substansi dari suatu undang-undang tersebut rentan akan kelemahan, sehingga

perlu diimbangi oleh lembaga negara lain. Adanya check and balances yang

terjadi dalam proses jalannya fungsi lembaga negara tidak lain adalah didasarkan

pada konsep negara kesejahteraan sebagai politik hukum, dimana negara berhak

turut campur dalam setiap aspek kehidupan demi terwujudnya masyarakat yang

sejahtera.

Secara fungsional permasalahan dan kebutuhan negara adalah lebih

banyak dipahami oleh eksekutif. Sebagai perbandingan, bahwa dipaparkan oleh

Allan R. Ball & B. Guy Peters sebagaimana dikutip oleh Saldi Isra dimana

sebesar 80% RUU yang diciptakan di Amerika adalah berasal dari eksekutif.164

Paradigma Amerika yang dianggap sebagai penganut konsep pemisahan

164 Saldi Isra, op.cit. hal. 97

Page 134: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

116

kekuasaan paling konsisten dalam pemerintahannya sebagaimana termaktub

dalam Konstitusi Amerika Serikat tentu menjadi terbantah. Article I - Legislative

Department, Section 1: ―All legislative Powers herein granted shall be vested in

a Congress of the United States, which shall consist of a Senate and House of

Representatives (Semua kekuasaan legislatif yang ditetapkan di sini akan

diberikan kepada sebuah Kongres Amerika Serikat, yang akan terdiri dari sebuah

Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat). Apabila Amerika konsisten dengan konsep

pemisahan kekuasaan dan sistem presidensial murni, maka tentu presiden tidak

akan terlibat secara dominan dalam pengajuan RUU. Satu-satunya alasan

mengapa Amerika melakukan praktik kenegaraan demikian adalah tidak lain

adalah demi suatu efektivitas jalannya pemerintahan. Teori meligitimasi bahwa

efeketifitas hanya dapat timbul apabila terdapat suatu hubungan atau relationship

antar lembaga negara, dan kekuasaan yang satu dan yang lain tidak benar-benar

terpisah.

Argumentasi-argumentasi di atas memperlihatkan bahwa adanya

hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif sekalipun di dalam sistem

pemerintahan presidensial menjadi suatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Perihal

efektivitas jalannya fungsi pemerintahan apapun rezim atau doktrin yang dianut

suatu negara adalah tujuan yang harus dicapai dalam keadaan apapun. Pengaturan

ambang batas formal yang menyederhanakan sistem kepartaian dalam lembaga

perwakilan memiliki tujuan yang sejalan dengan hal tersebut. Hubungan antara

DPR-RI dan Presiden dalam hal perumusan RUU tidak akan berjalan maksimal

apabila partai-partai politik yang ada di dalam lembaga perwakalian berada dalam

Page 135: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

117

fragmentasi kepentingan yang terlalu bervariasi. Ambang batas formal

mengupayakan bagaimana hubungan antara legislatif dan eksekutif dapat tertata

secara yuridis dan demokratis dalam rangka mewujudkan stabilitas sistem

pemerintahan presidensial multipartai (multiparty presidential government

system).

3.3. Ambang Batas Formal Dalam Aspek Hak Politik

Hak politik secara teoritis berada pada Generasi HAM Pertama bersama

dengan hak sipil.165

Hak politik atau political right merupakan hak keikutsertaan

dalam pemerintahan, seperti hak pilih (hak untuk memilih dan dipilih dalam

pemilu), hak mendirikan partai politik, organisasi masyarakat, dan sebagainya.166

Secara sederhana dapat diterjemahkan bahwa hak politik erat berkaitan dengan

bagaimana keterlibatan seseorang di dalam pemerintahan, baik secara langsung

maupun tidak langsung.

Hak politik merupakan jenis dari hak derivatif.167

Hak politik harus

dituangkan ke dalam konstitusi, yang kemudian dituangkan lebih lanjut ke dalam

undang-undang agar dapat terlihat batas-batas daripada haknya dan apabila terjadi

suatu permasalahan dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk memutusnya.168

165 Lihat dalam Miriam Budiardjo, op.cit, hal. 212, yang menjelaskan bahwa Generasi HAM

Pertama berada pada aspek hak-hak sipil dan politik yang berdasarkan pemikiran negara-negara

barat dengan kerangka ideologi individualisme liberal

166

Subandi Al Marsudi, 2001, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi (Edisi

Revisi), Rajawali Press, Jakarta, hal. 98.

167

Peter Mahmud Marzuki, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta, hal. 162. Peter

Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa hak derivatif adalah hak yang timbul karena dibentuk oleh

hukum (undang-undang), dipraktikan dalam hukum kebiasaan, dan dituangkan di dalam

perjanjian.

168

ibid, hal. 171.

Page 136: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

118

Hak politik membutuhkan peraturan perundang-undangan dalam rangka

memberikan legitimasi akan keberadaannya dan justifikasi perihal penegakan

hukumnya dalam rangka menjaga keutuhan perlindungan hak-hak politik tersebut

(protection of the political rights).

Perlindungan hak-hak asasi secara konstitusional adalah unsur yang esensi

dalam prinsip demokrasi konstitusional. Pengaturan ambang batas formal

berkorelasi secara langsung dengan hak warga negara di dalam pemerintahan,

dalam hal ini hak-hak politik warga negara untuk menduduki jabatan politik

dalam Dewan Perwakilan Rakyat.169

Reformasi demokratisasi Indonesia

memberikan jaminan akan perlindungan hak-hak asasi manusia, termasuk hak

politik, secara konstitusional dalam amandemen UUD 1945, sehingga penempatan

materi-materi hukum dalam setiap perundang-undangan harus memperhatikan

pemenuhannya, termasuk perihal ambang batas formal.

3.3.1. Pengaturan Hak-Hak Politik dan Konsekuensi Yuridis Ambang Batas

Formal

Secara normatif, pasal-pasal yang secara substansil mengatur tentang hak-

hak politik tercantum baik di dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

maupun perundang-undangan organis lain yang ada di bawahnya. Ketentuan

normatif perihal hak politik dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

169 Lihat dalam Solly Lubis, op.cit. hal. 109-110. Solly Lubis mengutip pendapat Utrecth yang

menjelaskan bahwa yang dimaksud pemerintah umumnya terdapat tiga definisi. Pemerintah dalam

arti luas sebagai gabungan dari semua badan kenegaraan yang berkuasa memerintah (meliputi

badan-badan legislatif, eksekutif dan yudikatif) ; Pemerintah sebagai gabungan badan-badan

kenegaraan yang tertinggi ataupun satu badan kenegaraan yang tertinggi yang berkuasa

memerintah di wilayah suatu Negara, misalnya Raja atau Presiden ; Pemerintah dalam arti Kepala

Negara bersama-sama dengan menterinya (dalam arti sebagai organ eksekutif).

Page 137: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

119

sebagai aturan yang berada di puncak tata urutan peraturan perundangan-

undangan adalah berdasakan Pasal 28D ayat (3) dimana setiap warga negara

berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. Perihal

kesempatan yang sama tersebut hanya dapat dijamin melalui aturan hukum,

sehingga pasal tersebut berkorelasi dengan Pasal 28D ayat (1) dimana setiap

orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang

adil serta perlakuan sama di hadapan hukum. Kedua pasal dalam UUD Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut memberikan jaminan kepada setiap

negara akan hak-hak politiknya yang dilindungi secara hukum.

Kemudian UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sebagai

perundang-undangan organis di bawah undang-undang dasar turut memberikan

kepastian perihal jaminan hak politik warga negara. Beranjak dari Pasal 43 ayat

(1), ayat (2), dan ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 telah diatur mengenai hak

memilih dan dipilih dalam pemilihan umum yang taat asas, hak turut serta dalam

pemerintahan (perwakilan), dan hak atas jabatan pemerintahan, yaitu sebagai

berikut:

1. Pasal 43 ayat (1) : Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih

dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan

suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Pasal 43 ayat (2) : Setiap warga negara berhak turut serta dalam

pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang

Page 138: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

120

dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan.

3. Pasal 43 ayat (3) : Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap

jabatan pemerintahan.

Selain hukum nasional, Indonesia juga meratifikasi ketentuan dari hukum

internasional perihal hak politik yakni ratifikasi The International Covenant on

Civil and Political Rights (ICCPR) yang ditetapkan oleh Resolusi Majelis Umum

PBB tertanggal 16 Desember 1966. Apabila beranjak dari pemahaman yang

dituangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja, Indonesia merupakan negara yang

menganut paham dualisme yang memandang hukum nasional dan hukum

internasional sebagai dua hal yang berbeda (baik dari sumber, subjek, dan tata

hukum). Hal ini menyebabkan ketentuan dalam hukum internasional memerlukan

transformasi menjadi hukum nasional sehingga hukum internasional tersebut

dapat berlaku menjadi hukum nasional.170

UU No. 12 Tahun 2005 tentang

Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan

Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang merupakan hasil ratifikasi

menimbulkan konsekuensi pengaturan hak politik internasional menjadi berlaku

di Indonesia.

Pasal 25 Kovenan Sipil dan politik mengatur hak politik warga negara

pihak kovenan dalam hal hak setiap warga negara untuk ikut serta dalam

penyelenggaraan urusan publik, untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan

umum, serta mempunyai akses yang sama untuk mendapatkan pelayanan publik.

170 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum Internasional, PT.

Alumni, Bandung, hal. 57-58.

Page 139: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

121

Every citizen shall have the right and the opportunity, without any of the

distinctions mentioned in article 2 and without unreasonable restrictions (setiap

warga negara harus mempunyai hak dan kesempatan, tanpa pembedaan apapun

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan tanpa pembatasan yang tidak

layak:)

(a) To take part in the conduct of public affairs, directly or through freely

chosen representatives (untuk ikut serta dalam pelaksanaan urusan

pemerintahan, baik secara langsung ataupun melalui wakil-wakil yang

dipilih secara bebas);

(b) To vote and to be elected at genuine periodic elections which shall be by

universal and equal suffrage and shall be held by secret ballot,

guaranteeing the free expression of the will of the electors (untuk memilih

dan dipilih pada pemilihan umum berkala yang murni, dan dengan hak

pilih yang universal dan sama, serta dilakukan melalui pemungutan suara

secara rahasia untuk menjamin kebebasan menyatakan keinginan dari para

pemilih);

(c) To have access, on general terms of equality, to public service in his

country (untuk memperoleh akses pada pelayanan umum di negaranya

atas dasar persamaan dalam arti umum).

Ambang batas formal merupakan pengaturan yang berkorelasi secara

langsung terhadap sistem kepartaian dalam lembaga perwakilan, sehingga partai

politik merupakan subyek hukum yang terikat di dalamnya. Namun apabila

ditafsirkan secara ekstensif, pengaturan ambang batas formal sesungguhnya

Page 140: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

122

mengarah pada dua subyek hukum, yakni selain terhadap partai politik, juga

melekat pada individu calon anggota legislatif yang diusung oleh partai politik.

Adapun dalam hal ini ambang batas formal berakibat secara langsung terhadap

hak-hak individu warga negara perihal keterlibatannya di pemerintahan. Calon

anggota DPR-RI yang diusung oleh partai politik peserta pemilu menjadi tidak

berhak mengisi jabatan politik dalam lembaga perwakilan apabila partai politik

pengusungnya memiliki persentase kurang dari persentase minimal yang

dipersyaratkan, walaupun tidak tertutup kemungkinan adanya calon anggota DPR-

RI yang memperoleh suara yang mencukupi. Secara normatif, hal ini

menimbulkan adanya pengurangan hak setiap warga negara untuk turut serta

dalam pemerintahan, dalam arti hak secara aktif.

Pengaturan ambang batas formal bahkan secara tidak langsung berdampak

pada hak-hak politik warga negara secara pasif. Pengaturan ambang batas formal

memiliki konsekuensi secara langsung (direct consequence) terjadinya

pengurangan suara. Suara-suara dari pemilih yang berhak untuk memilih akan

hilang secara otomatis apabila partai politik pengusung calon anggota DPR yang

dipilihnya tidak memenuhi ambang batas pemilihan umum. Berdasarkan

pemahaman tersebut, konsekuensi yang ditimbulkan dari adanya pengaturan

ambang batas formal berdampak kepada hak politik, baik secara aktif maupun

pasif.

Page 141: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

123

3.3.2. Legitimasi Pembatasan Hak Politik Terhadap Ambang Batas Formal

Bahwa perdebatan pengaturan ambang batas formal yang membatasi hak

politik menghasilkan fenomena substansial perihal bagaimana cara yang sah

secara hukum guna melegitimasi pembatasan hak-hak politik tersebut. Secara

normatif, pembatasan hak-hak politik dari warga negara sebagaimana

konsekuensi yang timbul dari pengaturan ambang batas formal hanya dapat

dilegitimasi secara formal apabila terdapat suatu dasar mengikat yang menjaga

keberlakuannya. UUD 1945 secara konstitusional memaktubkan bahwa

pembatasan hak asasi manusia melalui undang-undang adalah dapat dilakukan

tanpa terkecuali pada hak politik. Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merumuskan bahwa : "Dalam

menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada

pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata

untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang

lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,

nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat

demokratis". Pembatasan terhadap hak politik hanya dapat dilakukan melalui

perundang-undangan, dimana dalam hal ini ambang batas formal merupakan

substansi hukum yang diatur di dalam undang-undang pemilu, sebagaimana apa

yang dipersyaratkan oleh konstitusi. Adapun ketentuan pembatasan hak tersebut

juga ditegaskan dalam Pasal 70 UU Nomor 39 Tahun 1999.

Page 142: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

124

Sejalan dengan hal tersebut Kovenan sipil dan politik menentukan pula

secara limitatif hak-hak asasi yang boleh dikurangi atau dibatasi (derogable

rights) pemenuhannya. Pasal 4 Kovenan Sipil dan Politik menentukan bahwa “no

derogation from articles 6, 7, 8 (paragraphs 1 and 2), 11, 15, 16 and 18 may be

made under this provision”. Pasal 6, 7, 8 (ayat 1 dan 2), 11, 15, 16 dan 18

merupakan pasal-pasal yang tidak boleh dikurangi (non derogable) sebagaimana

ditentukan dalam Kovenan. Apabila ditafsirkan secara pertentangan, maka selain

pasal-pasal yang ditentukan tersebut adalah bersifat derogable, termasuk dalam

hal hak-hak politik setiap partai politik dan individu yang terikat ketentuan

ambang batas formal.

Secara teoritik, Hans Kelsen memaparkan bahwa proses derogasi atau

pengurangan suatu ketentuan hukum diperlukan jika terdapat norma-norma yang

saling berkonflik antara yang satu dengan yang lainnya, dimana konflik tersebut

terjadi jika dalam menerapkan norma yang satu, maka norma yang lainnya

terlanggar.171

Norma yang mengalami konflik, dimana pada satu sisi UUD 1945

menentukan perlindungan hak politik individu namun disisi lain UUD 1945 juga

mengatur pembatasan hak melalui ketentuan dalam undang-undang,

membutuhkan proses derogasi norma untuk menyelesaikan konflik pada tindakan

kemauan dari pihak yang mempunyai kewenangan hukum (legal authority).172

Disinilah peranan dari pembentuk undang-undang dalam menjabarkan ketentuan

hukum yang memenuhi aspek moral untuk melakukan pembatasan hak asasi

171 Hans Kelsen, 2011, Hukum dan Logika (Teks asli “Hans Kelsen Essays in Legal and

Moral Philosophy” terjemahan B Arief Sidharta), PT. Alumni, Bandung, hal 114.

172

ibid, hal. 44.

Page 143: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

125

manusia, dalam hal ini pemenuhan tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam

suatu masyarakat demokratis.

Perihal legitimasi hak asasi manusia atas pengaturan ambang batas formal

yang termuat dalam undang-undang pemilu, Mahkamah Konstitusi telah

menegaskan kedudukan pengaturan yang tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Putusan Nomor 3/PUU-VII/2009 yang menguji Pasal 202 ayat (1) UU No. 10

Tahun 2008, sebagaimana ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012, memuat pendapat hukum perihal korelasi

antara ambang batas formal dan hak asasi politik adalah sebagai berikut :

“...kebijakan PT dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama sekali

tidak mengabaikan prinsip-prinsip HAM yang terkandung dalam

Pasal 28D ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945, karena setiap orang,

setiap warga negara, dan setiap Parpol Peserta Pemilu diperlakukan

sama dan mendapat kesempatan yang sama melalui kompetisi

secara demokratis dalam Pemilu. Kemungkinannya memang ada

yang beruntung dan ada yang tidak beruntung dalam suatu

kompetisi yang bernama Pemilu, namun peluang dan

kesempatannya tetap sama”

Pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi merasionalisasi bahwa

pengaturan ambang batas formal yang disusun oleh pembentuk undang-undang

tidak bertentangan dengan hak asasi politik. Mahkamah Konstitusi dalam

putusannya membangun logika hukum bahwa hak untuk terlibat di dalam

pemerintahan dan kesempatan memenangkan pemilu adalah dua hal yang tidak

dapat dipersamakan. Robert A. Dahl memaparkan bahwa di dalam demokrasi

terdapat prinsip-prinsip persamaan intrisik dengan pertimbangan moral, dimana

dalam mencapai suatu tujuan, pemerintah harus memberikan pertimbangan yang

Page 144: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

126

sama terhadap hak dan kepentingan setiap orang yang terikat pada keputusan-

keputusan tersebut.173

Mahkamah Konstitusi menyandarkan keabsahan ambang

batas formal dalam kerangka hak politik adalah bahwa kesempatan yang dimiliki

oleh setiap peserta pemilu pada hakikatnya adalah sama. Fungsi rekrutmen yang

dimiliki oleh partai politik untuk menyaring individu-individu guna menjadi

perwakilan dalam pemerintahan tidak dapat diterjemahkan secara mutlak bahwa

setiap partai politik akan terlibat nantinya di dalam pemerintahan. Hal ini juga

sejalan dengan laporan dari Freedom House bahwa pada dasarnya hak politik

memungkinkan kebebasan bagi setiap orang dalam berpartisipasi secara bebas

dalam proses politik, namun untuk pengisian jabatan ditentukan dengan adanya

persaingan.174

Undang-undang pemilu memuat berbagai politik-politik hukum untuk

menentukan sistem pemilu yang digunakan agar setiap warga negara dapat

berkompetisi secara adil. Bahwa setiap kompetisi memiliki persyaratan, begitu

pula dengan pemilu yang memiliki syarat-syarat hukum guna memenangkan

pemilihan umum tersebut. Pertimbangan moral dimana pada hakikatnya hak

politik setiap orang diberikan secara sama dan bebas, namun harus

memperhatikan porsi dari tiap-tiap hak tersebut.

173 Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi..., op.cit, hal. 90-91.

174

Sabine C. Carey et.al, 2010, The Politics of Human Rights The Quest for Dignity,

Cambridge University Press, New York, hal. 105-106.

Page 145: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

127

3.4. Konsistensi Pengujian Ambang Batas Formal

Pengujian yang dilakukan terhadap ambang batas formal yang termuat

dalam undang-undang pemilu terhadap UUD 1945 merealisasikan prinsip

supremasi demokrasi konstitusional dalam sistem pemilu Indonesia. Bahwa

Mahkamah Konstitusi Indonesia telah beberapa kali melakukan pengujian

terhadap ambang batas formal dan memperlihatkan adanya suatu konsistensi, baik

dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 yang menguji

ketentuan ambang batas formal dalam UU Nomor 10 Tahun 2008 dan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 perihal pengujian ambang batas

formal dalam UU No. 8 Tahun 2012. Konsistensi tersebut dapat dilihat berada

pada 3 aspek, yakni penentuan besaran persentase ambang batas, keberlakuannya

hanya untuk pemilu DPR-RI, dan dissenting opinion.

Mahkamah Konstitusi memperlihatkan adanya konsistensi dengan

mengukuhkan bahwa dalam hal menentukan ambang batas formal yang akan

diterapkan adalah tergantung pada kebijakan hukum (legal policy) yang diambil

oleh pembentuk undang-undang. Kebijakan ambang batas formal juga ditegaskan

tidak bertentangan dengan konstitusi karena tidak bertentangan dengan hak-hak

politik. Berikut kutipan pertimbangan putusan Mahkamah atas pengujian pasal

202 ayat (1) UU No 10 tahun 2008 dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

3/PUU-VII/2009, dimana pertimbangan tersebut diterapkan secara mutatis

mutandis dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012.

“...lembaga legislatif dapat menentukan ambang batas sebagai legal

policy bagi eksistensi Partai Politik baik berbentuk ET maupun PT.

Kebijakan seperti ini diperbolehkan oleh konstitusi sebagai politik

penyederhanaan kepartaian karena pada hakikatnya adanya

Page 146: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

128

Undang-Undang tentang Sistem Kepartaian atau Undang-Undang

Politik yang terkait memang dimaksudkan untuk membuat

pembatasan-pembatasan sebatas yang dibenarkan oleh konstitusi.

Mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi

kewenangan pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya

tanpa boleh dicampuri oleh Mahkamah selama tidak bertentangan

dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas. Dengan

demikian pula, menurut Mahkamah, ketentuan mengenai adanya

PT seperti yang diatur dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 tidak

melanggar konstitusi karena ketentuan Undang-Undang a quo telah

memberi peluang bagi setiap warga negara untuk membentuk

partai politik tetapi sekaligus diseleksi dan dibatasi secara rasional

melalui ketentuan PT untuk dapat memiliki wakil di DPR. Di mana

pun di dunia ini konstitusi selalu memberi kewenangan kepada

pembentuk Undang-Undang untuk menentukan batasan-batasan

dalam Undang-Undang bagi pelaksanaan hak-hak politik

rakyat.”175

Edger Bodenheimer sebagaimana dikutip oleh I Dewa Gede Atmadja

memaparkan terdapat 2 teori dalam penafsiran konstitusi yaitu teori penafsiran

historis (theory of historical interpretation) dan teori penafsiran kontemporer

(theory of contemporaneous interpretation).176

Secara teoritis, penafsiran

konstitusi menurut teori historis dilakukan dengan cara memberi makna atau arti

pada ketentuan-ketentuan konstitusi seperti pada waktu ditetapkan (original

intent), sementara penafisran konstitusi menurut teori kontemporer dilakukan

dengan cara memberi makna ketentuan dalam konstitusi untuk memenuhi dan

meliputi perubahan-perubahan kondisi sosial dan ekonomi. Perbedaan implikasi

yuridis yang ditimbulkan dari kedua penafsiran tersebut adalah adanya

kemungkinan di antara salah satu penafsiran yang memberikan “kerugian” kepada

masyarakat, apakah pada aspek sosial dan ekonomi, atau aspek politik. 177

175 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 99.

176

I Dewa Gede Atmadja, Hukum Konstitusi..., op.cit, hal.89.

177

Ibid, h.90-91.

Page 147: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

129

Salah satu perihal menimbang menyebutkan alasan mengapa ambang batas

formal adalah konstitusional ditunjukkan dari kalimat sebagai berikut :

“...mengenai berapa besarnya angka ambang batas adalah menjadi kewenangan

pembentuk Undang-Undang untuk menentukannya tanpa boleh dicampuri oleh

Mahkamah selama tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan

rasionalitas...” Dari pertimbangan hakim tersebut penulis berpendapat bahwa

putusan pengujian ambang batas formal dikaji menggunakan penafsiran teori

historis dengan sifat original intent. Pertimbangan putusan tersebut merupakan

bentuk rasionalisasi bahwa UUD secara original intent yang dibentuk oleh pendiri

bangsa adalah bersifat singkat, supel, dan tidak kaku (unrigid). Hal tersebut dapat

ditemukan dalam Penjelasan UUD 1945 poin IV paragraf ketiga dijelaskan

sebagai berikut:

“Kita harus senantiasa ingat kepada dinamika kehidupan masyarakat

dan Negara Indonesia. Masyarakat dan Negara Indonesia tumbuh,

zaman berubah, terutama pada zaman revolusi lahir batin sekarang

ini. Oleh karena itu kita harus hidup secara dinamis harus melihat

segala gerak – gerik kehidupan masyarakat dan Negara Indonesia.

Berhubung dengan itu janganlah tergesa-gesa memberi kristalisasi,

memberi bentuk (Gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang masih

mudah berubah …”

Pendiri bangsa di dalam merumuskan Undang Undang Dasar menyadari

suatu hal bahwa Undang Undang Dasar yang dibentuk adalah sifatnya diupayakan

dapat mengikuti perkembangan zaman yang dengan menjadikan pengaturannya

yang bersifat sederhana, dan mendelegasikan pengaturannya kepada undang-

undang sepanjang sesuai dengan amanat Undang Undang Dasar. Bahwa

Djokosoetono kemudian berpendapat undang-undang dasar memuat garis-garis

besar saja, maka hal ini memberkan kesempatan kepada organieke wetgever untuk

Page 148: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

130

menyesuaikan aturan-aturan pokok itu dengan keadaan istimewa pada suatu

tempat dan pada suatu saat Dynamisch dus.178

UUD 1945 dari aspek filosofis pada

waktu ditetapkan tidak bermaksud untuk menjadi undang-undang dasar yang kaku

atau rigid, sehingga ambang batas formal sebagai bentuk delegasi pengaturan oleh

UUD 1945 untuk ditentukan oleh pembentukan undang-undang walaupun tidak

diatur dalam konstitusi bukan berarti menjadi hal yang dilarang.

Kemudian perihal ambang batas formal yang diatur dalam pemilihan

lembaga perwakilan di daerah, bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

52/PUU-X/2012 menyatakan frasa ”DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota”

bertentangan dengan UUD 1945, sehingga pengaturan ambang batas formal di

daerah menjadi tidak berlaku. Berikut adalah petikan pertimbangan hukum dari

Mahkamah Konstitusi :

“...Ketentuan tersebut berpotensi menghalang-halangi aspirasi politik

di tingkat daerah, padahal terdapat kemungkinan adanya partai

politik yang tidak mencapai PT secara nasional sehingga tidak

mendapatkan kursi di DPR, namun di daerah-daerah, baik di tingkat

provinsi atau kabupaten/kota, partai politik tersebut memperoleh

suara signifikan yang mengakibatkan diperolehnya kursi di lembaga

perwakilan masing-masing daerah tersebut. Bahkan secara ekstrim

dimungkinkan adanya partai politik yang secara nasional tidak

memenuhi PT 3,5%, namun menang mutlak di daerah tertentu. Hal

demikian akan menyebabkan calon anggota DPRD yang akhirnya

duduk di DPRD bukanlah calon anggota DPRD yang seharusnya jika

merunut pada perolehan suaranya, atau dengan kata lain, calon

anggota DPRD yang akhirnya menjadi anggota DPRD tersebut tidak

merepresentasikan suara pemilih di daerahnya. Politik hukum

sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 208 UU 8/2012 dan

Penjelasannya tersebut justru bertentangan dengan kebhinnekaan dan

kekhasan aspirasi politik yang beragam di setiap daerah.”179

178 Djokosoetono, op.cit, hal.146.

179

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal 98.

Page 149: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

131

Dasar pertimbangan yang digunakan adalah bagaimana pengaturan ambang batas

formal tetap harus memperhatikan tingkat proporsionalitas di daerah dan

beragamnya kepentingan di daerah. Aspek kebhinekaan juga menjadi dasar

filosofis dimana hal tersebut sejalan dengan ketentuan dari Pasal 6 ayat (1) huruf f

UU No. 12 Tahun 2011 yang menentukan setiap materi muatan peraturan

perundang-undangan harus mencerminkan asas salah satunya adalah asas

bhinneka tunggal ika. Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf f menjelaskan yang

dimaksud dengan “asas bhinneka tunggal ika” adalah bahwa materi muatan

peraturan perundang-undangan harus memperhatikan keragaman penduduk,

agama, suku dan golongan, kondisi khusus daerah serta budaya dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa tidak diaturnya ambang

batas formal di daerah adalah guna menghindari kemungkinan terjadinya

kemenangan tunggal suatu partai politik yang duduk di DPRD. Adapun

pertimbangan hukum dari Mahkamah adalah sebagai berikut :

“...sekiranya PT 3,5% diberlakukan secara bertingkat, masing-masing

3,5% untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, dapat

menimbulkan kemungkinan tidak ada satu pun partai politik peserta

Pemilu di suatu daerah (provinsi atau kabupaten/kota) yang

memenuhi PT 3,5% sehingga tidak ada satupun anggota partai

politik yang dapat menduduki kursi DPRD...”180

Adapun putusan tersebut didasari pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

3/PUU-VII/2009, dimana pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi berpendapat

pengaturan ambang batas formal secara formal tidak diberlakukan untuk di daerah

180 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal 99.

Page 150: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

132

sebagai upaya untuk menjaga proporsionalitas lembaga perwakilan. Berikut

kutipannya :

“Bahwa para Pemohon mendalilkan Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008

melanggar prinsip persamaan kedudukan di dalam hukum dan

pemerintahan yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945,

karena menurut para Pemohon ada perlakuan yang berbeda bagi

calon anggota DPR yang dikenai kebijakan PT bagi Parpol untuk

menempatkan wakilnya di DPR, sedangkan ketentuan tersebut tidak

diberlakukan bagi penentuan kursi anggota DPRD provinsi dan

DPRD kabupaten/kota. Terhadap dalil para Pemohon tersebut,

Mahkamah berpendapat bahwa kebijakan tersebut sudah tepat,

karena kedudukan DPRD dalam sistem ketatanegaraan memang

berbeda dengan DPR yang bersifat nasional dan memegang

kekuasaan membentuk Undang-Undang [Pasal 20 ayat (1) UUD

1945], serta menjadi penyeimbang kekuasaan Presiden dalam sistem

checks and balances, lagipula kekuasaan DPRD sebagai bagian dari

pemerintahan daerah masih dapat dikontrol oleh Pemerintah (pusat).

Dalam hal ini, Mahkamah juga sependapat dengan argumentasi

DPR, Pemerintah, dan ahli dari Pemerintah, bahwa ketentuan PT

yang hanya berlaku bagi penentuan kursi DPR dan tidak berlaku

bagi penentuan kursi DPRD, bukanlah kebijakan yang diskriminatif,

melainkan justru kebijakan yang proporsional.”181

Putusan Mahkamah Konstitusi konsisten dengan peranannya sebagai pengawal

konstitusi dengan memperlihatkan walaupun UUD 1945 memberikan delegasi

kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan substansi undang-undang

pemilu, namun terdapat batasan-batasan yang harus diperhatikan. Unsur persatuan

dan kebhinekaan serta pertimbangan proporsionalitas menjadi kerangka dalam

rangka membatasi substansi ambang batas formal, sehingga pembentuk undang-

undang tidak melakukan kesewenang-wenangan dalam mengatur

penyelenggaraan pemilu di Indonesia.

181 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal.128-129.

Page 151: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

133

Konsistensi Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya berada pada

domain ratio decidendi yang memberikan legitimasi atas keberlakuan ambang

batas formal, namun juga pada perbedaan pandangan atau dissenting opinion yang

diberikan dalam putusan-putusan tersebut. Akil Mochtar dalam kedua putusan

pengujian undang-undang pemilu mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan

penerapan model pengaturan ambang batas secara formal yang menimbulkan

ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dan ketidakadilan (injustice) bagi

anggota partai politik yang lolos pada perolehan suara di Pemilu legislatif tetapi

partainya terhambat untuk memperoleh kursi di DPR-RI.182

Akil Mochtar kembali

menekankan bahwa dengan diaturnya ambang batas formal sesungguhnya

bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 dan prinsip-prinsip demokrasi

dimana setiap peraturan dalam pelaksanaan pemilu seharusnya lebih

menempatkan rakyat pemegang kedaulatan tertinggi, bukan sebagai obyek untuk

memperoleh kepentingan yang bersifat politis.183

Di tengah adanya perbedaan pandangan antara hakim-hakim konstitusi,

bahwa secara eksplisit terdapat suatu kesepahaman antara pertimbangan hukum

putusan Mahkamah Konstitusi yang melegitimasi pengaturan ambang batas

formal dengan dissenting opinion yang ada, terlepas dari konten

konstitusionalnya. Pandangan hukum tersebut yakni perihal ketidakjelasan desain

pengaturan ambang batas formal yang hendak diciptakan. Mahkamah Konstitusi

dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum penutup sebagai berikut :

182 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal 106.

183

Lihat dalam Dissenting Opinion Putusan Mahkamah Konstitusi No. 52/PUU-X/2012, hal.

106.

Page 152: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

134

“...meskipun Mahkamah berpendapat kebijakan PT yang tercantum

dalam Pasal 202 ayat (1) UU 10/2008 sama konstitusionalnya

dengan kebijakan ET yang tercantum dalam UU 3/1999 dan UU

12/2003, namun Mahkamah menilai pembentuk Undang-Undang

tidak konsisten dengan kebijakan kebijakannya yang terkait Pemilu

dan terkesan selalu bereksperimen dan belum mempunyai desain

yang jelas tentang apa yang dimaksud dengan sistem kepartaian

sederhana yang hendak diciptakannya, sehingga setiap menjelang

Pemilu selalu diikuti dengan pembentukan Undang-Undang baru di

bidang politik...”184

Adapun Maruarar Siahaan memberikan pandangan yang sejalan dengan

pertimbangan putusan tersebut dalam bagian dissenting opinion-nya, dimana

pengaturan ambang batas formal di dalam sistem pemilu yang berubah-ubah

menurut kehendak pembentuk undang-undang harus dihindarkan dalam rangka

menjaga hak warga negara dan menciptakan sistem pemerintahan yang efektif.

“...penjabarannya dalam desain pemerintahan dan desain Pemilu

dalam kerangka demokrasi dan konstitusi yang diharapkan

menciptakan sistem pemerintahan yang efektif melalui seluruh

peraturan perundang-undangan yang diperlukan, harus dalam rangka

melindungi, menjamin, dan merupakan pemenuhan hak-hak dasar

warga negara, yang hanya dapat dicapai jikalau memperhatikan dan

memperhitungkan norma norma konstitusi secara cermat. Haruslah

dielakkan sikap pragmatis yang amat situasional, dan menghalalkan

semua sistem yang dirasakan cocok, yang berakibat gonta-ganti-nya

kebijakan sesuai selera decision makers.”185

Sejalan dengan hal tersebut Akil Mochtar menempatkan pemahaman bahwa

adanya inkonsistensi dalam pengaturan ambang batas formal tersebut

sesungguhnya memberikan suatu gambaran bahwa telah terjadi kegagalan dalam

menciptakan sistem kepartaian sederhana dan pemerintahan yang stabil.

184 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 130-131.

185

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 134.

Page 153: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

135

“...dengan memanfaatkan legal policy sebagai pilihan pembentuk

Undang-Undang, namun hal tersebut tidak dilaksanakan dengan

benar dan konsisten, ketika menerapkan kebijakan ambang batas

perolehan kursi dengan model electoral threshold yang selalu

berubah dari setiap siklus lima tahunan penyelenggaraan Pemilu

Legislatif. Akibatnya, sikap tidak konsisten tersebut telah

memberikan kontribusi yang besar pula untuk tidak tercapainya

sistem kepartaian sederhana dan pemerintahan yang kuat

sebagaimana keinginan yang hendak diwujudkan oleh pembentuk

Undang-Undang itu sendiri”186

Walaupun di dalam Putusan Mahkamah Konstitusi yang menegaskan

konstitusionalitas ambang batas formal terdapat perbedaan pandangan di antara

para hakim yang memutus, namun adanya kebulatan suara perihal ketidakjelasan

dan inkonsistensi dari pengaturan ambang batas formal tersebut patut menjadi

catatan bagi pembentuk undang-undang. Tidak tertutup kemungkinan di

kemudian hari terjadinya pengoreksian oleh Mahkamah, seperti halnya yang

terjadi pada substansi ambang batas formal pada pemilihan umum lembaga

perwakilan di daerah, selama desain sistem kepartaian sederhana dan pengaturan

ambang batas formal yang dimaksud belum jelas. Aspek proporsionalitas

pengaturan ambang batas formal menjadi dasar pertimbangan yang patut

diperhatikan.

186 Putusan Mahkamah Konstitusi No. 3/PUU-VII/2009, hal. 138.

Page 154: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

136

BAB IV

INDIKATOR

PENGATURAN AMBANG BATAS FORMAL

DALAM UNDANG-UNDANG PEMILIHAN UMUM INDONESIA

Pengaturan ambang batas formal merupakan salah satu alternatif hukum

yang dipilih oleh pembentuk undang-undang untuk mengatasi permasalahan

timbulnya fragmentasi pada lembaga perwakilan. Alternatif hukum menyiratkan

bahwa sesungguhnya pembentuk undang-undang memiliki beberapa solusi yang

dapat digunakan sebagai upaya mengatasi suatu permasalahan, dimana pilihan

hukum tersebut bergantung pada politik hukum yang dianut pada suatu rezim

pemerintahan.187

Ambang batas formal menjadi politik hukum dalam undang-

undang pemilu di era reformasi untuk mencapai suatu tujuan sebagaimana yang

telah ditentukan.

Keadaan riil yang dihadapi oleh pembentuk undang-undang dalam

pengaturan ambang batas formal adalah ketidakjelasan dalam menentukan pilihan

hukum yang sesuai untuk mengatasi permasalahan. Pergantian undang-undang

pemilu yang diiringi dengan metamorfosis pengaturan ambang batas formal

meninggalkan catatan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi akan pentingnya

desain hukum pemilu yang konsisten dan proporsional untuk diterapkan. Oleh

187 Lihat dalam Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hal 8-

9. Dijelaskan bahwa inti sari dari politik hukum adalah suatu tindakan untuk memilih (act to

choice) dalam dua arti, yaitu etik dan teknis. Etik berarti memilih dan menentukan tujuan

kehidupan bermasyarakat yang harus diperjuangkan, sementara teknis berarti memilih dan

menentukan cara dan sarana untuk mencapai tujuan kehidupan bermasyarakat yang telah dipilih

dan ditentukan oleh politik sebagai etik tersebut.

Page 155: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

137

karena itu, kebutuhan akan indikator yang jelas dalam penormaannya menjadi

upaya solutif dalam menentukan pengaturan ambang batas formal yang sesuai

untuk diterapkan. Indikator menyiratkan adanya suatu parameter yang dapat

digunakan sebagai petunjuk. Secara konseptual hukum, indikator yang dapat

digunakan dalam pengaturan ambang batas formal oleh penulis berada pada tiga

fokus kajian, yakni pemenuhan cita hukum, rancangan aturan untuk mengurangi

disproporsionalitas pemilu, dan pemenuhan tujuan hukum.

4.1. Cita Hukum Indonesia Sebagai Indikator Fundamental Pengaturan

Ambang Batas Formal

A. Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa Cita hukum merupakan

terjemahan dari Rechtsidee yang berisi gagasan, rasa, cipta pikiran.188

Cita Hukum

merupakan pemandu dalam semua kegiatan, memberi isi kepada tiap peraturan

perundang-undangan, dan juga membatasi ruang gerak isi peraturan perundang-

undangan tersebut.189

A. Hamid S. Attamimi menjelaskan bahwa Pancasila

menjadi cita hukum Indonesia yang menguasai hukum dasar negara, baik yang

tertulis maupun yang tidak tertulis.190

Lebih lanjut, Pancasila mempunya fungsi

konstitutif untuk menentukan tata hukum yang benar, dan fungsi regulatif untuk

menentukan ukuran hukum positif yang adil atau tidak.191

Hal ini memperlihatkan

188 A. Hamid S. Attamimi, 1992, “Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum Bangsa

Indonesia”, Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai Bidang Kehidupan Bermasyarakat,

Berbangsa, dan Bernegara (Disunting oleh Oetojo Oesman dan Alfian), Bp-7 Pusat, Jakarta,

hal.68.

189

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan

Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta, hal. 59

190

A. Hamid S. Attamimi, op.cit, hal.67.

191

ibid, hal. 69.

Page 156: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

138

bagaimana peranan dari cita hukum untuk dapat memberikan legitimasi secara

fundamental dari pengaturan ambang batas formal.

Mengutip dalil kelima tentang filsafat hukum oleh DHM Meuwissen,

dimana Meuwissen menjelaskan filsafat hukum sebagai refleksi ide hukum atau

cita hukum yang harus diwujudkan. Lebih lanjut Meuwissen menjelaskan sebagai

berikut.

“Filsafat Hukum adalah refleksi secara sistematikal tentang

“kenyataan” dari hukum. “Kenyataan hukum” harus dipikirkan

sebagai realisasi (perwujudan) dari ide-hukum (cita hukum). Dalam

hukum positif kita selalu bertemu dengan empat bentuk : aturan

hukum, putusan hukum, figur hukum (pranata hukum), lembaga

hukum. Lembaga hukum terpenting adalah Negara. Tetapi tidak

hanya kenyataan hukum, juga filsafat hukum harus direfleksi secara

sistematikal. Filsafat hukum adalah sebuah “sistem terbuka” yang di

dalamnya semua tema saling berkaitan satu dengan yang lainnya”192

Dalam pendapat Meuwissen tersebut, secara eksplisit ia menekankan

bagaimana pentingnya peranan cita hukum (recht idea) yang terintegrasi dalam

hukum positif. Cita hukum tidak hanya menjadi suatu hal yang abstrak, namun

berkembang sebagai konsep yang dapat direalisasikan secara sistematis. Integrasi

cita hukum di dalam pengaturan ambang batas formal secara konkret tampak dari

bagaimana adanya kesatuan utuh antara segenap peraturan perundangan-undangan

yang relevan (mulai UUD 1945, UU Pemilihan Umum, UU HAM, dan

sebagainya), keberadaan Mahkamah Konstitusi untuk mengontrol ambang batas

formal secara konstitusional melalui putusan-putusannya, serta eksistensinya yang

ditujukan untuk menata hubungan lembaga negara, baik antar internal DPR

maupun hubungan DPR bersama Presiden.

192 B. Arief Sidharta, op.cit, hal. 19.

Page 157: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

139

Pembentukan hukum nasional yang baik tidak akan dapat terwujud dengan

bercermin pada asas-asas dan pemahaman hukum barat yang sangat kental dengan

paham-paham individualis, kapitalis dan liberal. Penempatan ambang batas formal

dalam substansi hukum nasional harus mampu dielaborasikan dalam cita hukum

Indonesia sebagai dasar mengikat hukum pada umumnya dan konstitusi pada

khususnya adalah hal yang tidak dapat terbantahkan

4.1.1. Prinsip Demokrasi Permusyawaratan/Perwakilan Indonesia Dalam

Pengaturan Ambang Batas Formal

Pelaksanaan demokrasi tidak hanya terkait dengan bagaimana proses

tersebut dapat dilaksanakan, namun bagaimana demokrasi tersebut secara materiil

dapat diselenggarakan berdasarkan falsafah atau ideologi yang dianut oleh suatu

bangsa atau negara.193

Benih-benih nilai demokrasi Bangsa Indonesia yang

berlandaskan Pancasila timbul dari Pidato Soekarno yang menguraikan bahwa

dasar falsafah negara Indonesia yang merdeka (philosofische grondslag) salah

satunya adalah prinsip “mufakat atau demokrasi”.194

Bahwa idealisasi yang

ditanamkan oleh founding fathers atas konsep demokrasi Indonesia adalah

demokrasi konsensus (demokrasi permusyawaratan) sebagaimana dimaksud sila

keempat Pancasila dengan lebih menekankan pada daya-daya konsensus

(mufakat) dalam semangat kekeluargaan masyarakat plural.195

Pengaturan ambang

batas formal yang diatur di Indonesia seyogyanya membutuhkan harmonisasi

193 Lihat penjelasan tentang Demokrasi Materiil dalam Sri Soemantri Martosoewignjo, 1992,

Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung, hal. 9.

194

Dahlan Thaib et al, op.cit, hal. 96.

195

Yudi Latif, 2011, Negara Paripurna – Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila.

PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 463.

Page 158: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

140

bagaimana prinsip-prinsip demokrasi di dalam suatu negara yang majemuk dapat

mencapai suatu konsensus.

Pluralisme dalam demokrasi akan mengarahkan kepada dua keadaan,

yakni terjadinya konflik dan konsensus.196

Bahwa praktek demokrasi sebagai

suatu proses yang bersifat dinamis memiliki kerentanan yang sangat

memungkinkan terjadinya perbedaan pandangan, persaingan, dan pertentangan

dikarenakan pluralnya aktor atau pelaku yang terlibat di dalamnya. Demokrasi

mensyaratkan adanya suatu keseimbangan yang harmonis di antara konflik dan

bagaimana penyelesaiannya.197

Adanya harmonisasi di antara konflik dan

penyelesaiannya dalam bentuk kesepakatan (konsensus) ditujukan sebagai bentuk

persatuan dalam perbedaan dan kemajemukan. Konflik yang terjadi merupakan

bentuk dari adanya perbedaan, dan konsensus merupakan wujud dari persatuan.

Secara aksiologis, pemahaman demokrasi yang tersirat di dalamnya memiliki nilai

tujuan kemanfaatan untuk menyatukan perbedaan di dalam kemajemukan

(pluralisme), dalam hal ini Bhinneka Tunggal Ika.

Mohammad Hatta berpendapat bahwa kerakyatan yang dianut oleh bangsa

Indonesia bukan hanya kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi

kerakyatan yang mengutamakan permusyawaratan, menempatkan pemungutan

suara (voting) sebagai pilihan terakhir, dan harus menjunjung tinggi semangat

kekeluargaan yang saling menghormati.198

Berdasarkan hal tersebut, dapat

dipahami bahwa konsep demokrasi yang ideal dianut Indonesia adalah

196 Imam Hidajat, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Pers, Malang, hal. 87.

197

Ramlan Surbakti, 1999, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,

Jakarta, hal.228.

198

Yudi Latif, op.cit, hal. 477-480.

Page 159: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

141

permusyawaratan yang seharusnya tidak mengenal siapa mayoritas ataupun

minoritas (setidaknya mempertimbangkan pendapat semua pihak). Namun sebagai

suatu hal yang disadari secara teoritis bahwa corak demokrasi ideal yang

melibatkan semua orang tersebut bahkan pada aspek terkecil sebagaimana yang

diidealisasi oleh John Stuart Mill, tidak sepenuhnya dapat diterapkan. Suatu

negara yang plural dengan segenap permasalahan yang kompleks menyebabkan

mufakat memang sangat sulit untuk dibulatkan. Hatta sendiri berpendapat bahwa

“mufakat yang dipaksakan” sebagaimana lazim terjadi di negeri-negeri totaliter

tidaklah sesuai dengan paham demokrasi Indonesia”.199

Demokrasi langsung

(direct democracy) layaknya di negara polis tidaklah mungkin dapat diterapkan di

Indonesia yang memiliki ragam kepentingan dan aspirasi. Pemilihan suara dengan

suara terbanyak harus tetap dimungkinkan dalam rangka menghindari

kemungkinan rekayasa mufakat dalam pembentukan pemerintahan.

Pengaturan ambang batas formal timbul sebagai refleksi atas upaya

mengurangi konflik dalam demokrasi dan menghindari rekayasa konsensus atas

nama mufakat yang semu. Konsensus yang terbangun melalui pengaturan ambang

batas formal mengupayakan terbangunnya permusyawaratan/perwakilan yang

dilaksanakan dengan mempertimbangkan aspirasi semua pihak (baik mayoritas

dan minoritas), dimana rezim reformasi memberikan kebebasan pada setiap

elemen masyarakat dalam hal membentuk partai politik dan berpeluang untuk

mengikuti pemilu dengan syarat yang sama, namun eksistensinya dalam lembaga

199 ibid, hal. 478.

Page 160: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

142

perwakilan dapat dibatasi oleh rakyat sendiri melalui pemilihan umum dan

pemberlakuan ambang batas formal.200

Demokrasi materiil Indonesia juga menempatkan bagaimana aturan-aturan

dalam menciptakan perwakilan tersebut dapat diselenggarakan secara adil. Pada

hakikatnya bahwa yang menjadi sumber hukum secara universal sebagaimana

dipaparkan oleh G.W. Paton tidak lain adalah keadilan (the term ―source of law‖

is justice and fairness), dimana hukum akan menentukan kriteria-kriterianya

sehingga suatu pengaturan dapat diuji apakah mencerminkan atau tidak keadilan

tersebut (the source of law, then, sets up a criterion, upon which applicable law

can be tested whether or not it reflects justice and fairness).201

Keadilan menjadi

unsur yang harus dipenuhi sebagai landasan fundamental dalam pembentukan

hukum.

Pancasila menempatkan keadilan sosial (social justice) sebagai salah satu

prinsip dasar dalam pembangunan hukum nasional secara luas.202

Terdapat dua

hal fundamental yang dipaparkan oleh Soekarno tentang visi keadilan sosial

Indonesia yaitu, tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka dan tidak

akan dibiarkan kaum kapitalis merajalela. Pancasila sebagai dasar negara

Indonesia tidak hanya menerapkan secara praktis bagaimana distribusi

kesejahteraan atau keadilan yang ada dalam seluruh masyarakat, namun juga

200 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum..., op.cit, hal. 374.

201

Peter Mahmud Marzuki, An Introduction..., op.cit, hal.37.

202

Jimly Asshidiqqie memaparkan bahwa pembangunan hukum dapat dilihat dari dua arti,

yakni dalam arti sempit dan dalam arti luas. Pembangunan hukum dalam arti sempit hanya terkait

dengan aspek pembentukan dan pembaruan peraturan tertulis, sementara pembangunan hukum

dalam arti luas lebih mengarah kepada upaya untuk mewujudkan kedamaian dan ketertiban yang

adil dalam kehidupan bersama. Lihat dalam Jimly Asshidiqqie, 2009, Menuju Negara Hukum

Yang Demokratis, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, hal. 185-187.

Page 161: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

143

menegaskan bahwa di dalam Negara Indonesia yang merdeka, seyogyanya tidak

ada lagi kemiskinan di dalamnya.203

Apabila ditafsirkan secara ekstensif, keadilan

sosial dalam demokrasi tidak hanya berhubungan dengan persamaan politik, tetapi

juga dalam hal ekonomi. Paham keadilan sosial dalam pembangunan hukum

memperlihatkan adanya tanggung jawab negara dalam mengusahakan persamaan

kesejahteraan di bidang ekonomi dan tidak hanya sebatas berkutat pada hak-hak

politik. Pun demikian dengan ukuran keadilan sosial pada pengaturan ambang

batas formal seyogyanya tidak hanya dilihat dari aspek kepentingan-kepentingan

politik individu semata, namun meliputi seluruh sektor sehingga tujuan nasional

dapat terpenuhi.

Pengaturan ambang batas formal berusaha memaktubkan nilai demokrasi

perwakilan secara komprehensif dalam kerangka keadilan sosial demi

menyempurnakan sistem perwakilan proporsional. Keadilan sosial akan mengarah

kepada konsep beban dan tanggung jawab, dimana Mohammad Hatta berpendapat

bahwa di dalam suatu keadilan dan kesejahteraan sosial dalam Pancasila

diimbangi dengan adanya rasa tolong menolong sebagai solusi atas kelemahan

sistem ekonomi liberalisme-kapitalisme dan etatisme.204

Konsep tolong menolong

yang ada dalam Pancasila menunjukkan bagaimana kehidupan bangsa Indonesia

yang penuh dengan rasa gotong royong, toleransi, dan kekeluargaan. Dengan

membebankan prinsip tolong menolong dalam masyarakat, maka akan

memberikan kewajiban bagi masyarakat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan

sosial.

203 Yudi Latif, op.cit, hal. 531.

204

ibid, hal. 535 & 580

Page 162: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

144

Disini terlihat bagaimana grand design pemilu dengan pondasi cita hukum

yang dibentuk oleh founding fathers menempatkan adanya keseimbangan antara

peran negara dan peran masyarakat. Diberlakukannya ambang batas formal

dikarenakan adanya peran negara dalam mengupayakan terwujudnya

kesejahteraan sosial sebagai hak masyarakat yang hidup dalam sebuah negara

yang merdeka. Kemudian sebagai refleksi dari hal tersebut, masyarakat

berkewajiban untuk mendukung dengan mengenyampingkan kepentingan pribadi

semata sebagai beban dalam mewujudkan kebaikan yang kolektif. Pengaturan

ambang batas formal dalam sistem perwakilan proporsional Indonesia pada

akhirnya sejalan dengan pendapat dari Soekarno tentang keadilan sosial sebagai

bentuk penolakan atas paham individualisme.205

Ambang batas formal yang

digunakan dalam rangka menyeimbangkan kepentingan mewujudkan tujuan

negara dengan kepentingan tiap-tiap warga negara, serta menjauhkan prinsip-

prinsip liberalisme yang berkutat pada kepentingan politik individu, merupakan

resonansi dari cita hukum Indonesia.

4.2. Indikator Proporsionalitas Pemilu

Pengaturan ambang batas formal yang diterapkan di Indonesia

meninggalkan satu kelemahan yakni terjadinya disproporsionalitas hasil pemilu

akibat pengurangan suara yang terjadi. Oleh karena hal tersebut masih menjadi

suatu permasalahan, maka diperlukan aturan-aturan hukum yang mampu untuk

menekan terjadinya hal tersebut. Perbandingan hukum dilakukan guna

205 ibid, hal. 539.

Page 163: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

145

menemukan variasi aturan dan dalam hal ini penulis mengambil pengaturan

ambang batas formal dari beberapa negara yakni Jerman, Turki, Polandia, dan

Denmark.

Adapun pemilihan empat negara yang mengatur pengaturan ambang batas

formal tersebut didasarkan pada aspek kemampuan aturan hukum yang

diberlakukan pada tiap-tiap negara tersebut dalam mengurangi disproporsionalitas

yang terjadi. Selain itu, dasar pertimbangan yang juga digunakan adalah bahwa

tujuan pengaturan ambang batas formal pada negara-negara tersebut serupa

dengan yang diterapkan di Indonesia, dimana ambang batas formal ditujukan

untuk mendegradasi terjadinya fragmentasi sistem multipartai dalam pemilihan

umum yang menggunakan sistem perwakilan proporsional.

4.2.1. Jerman

Jerman merupakan negara federal yang menggunakan sistem pemilu

mixed member proportional representation dengan berdasarkan Undang-Undang

Pemilihan Umum Federal (Federal Election Act).206

Pasal 1 ayat (1) UU Pemilu

Federal Jerman menentukan bahwa sistem pemilu dilakukan sesuai dengan

prinsip perwakilan proporsional yang dikombinasikan dengan suara uninominal

(...in accordance with the principles of proportional representation combined

with uninominal voting).207

Pemilu Jerman diadakan untuk memilih 598 anggota

206 Teks asli Federal Elections Act Version As Promulgated On 23 July 1993 (Federal Law

Gazette I pp. 1288, 1594), As Last Amended By Article 1 of The Act of 12 July 2012 (Federal Law

Gazette I p. 5181501).

207

Uninominal dapat diterjemahkan sebagai sistem untuk memiliki satu anggota per legislatif

yang dipilih dari setiap daerah pemilihan. Terminologi ini mengarah pada sistem single member

constituency sehingga menjadi salah satu komponen dalam sistem pemilu Jerman yang

menggunakan sistem perwakilan proporsional campuran (Mixed Member Proportional

Representation).

Page 164: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

146

Bundestag dengan cara memberikan dua suara oleh setiap pemilih, dimana suara

pertama (first vote) untuk memilih secara langsung anggota parlemen dari daerah-

daerah pemilihan sebanyak 299 anggota, sementara sisanya dipilih melalui suara

kedua (second vote) pada daftar-daftar nominasi negara bagian / land lists (vide

Pasal 1 ayat (1) dan ayat (2) juncto Pasal 4 UU Pemilu Federal Jerman)

Bahwa sistem mixed member proportional representation sebagai salah

satu jenis dari sistem pemilu campuran yang diterapkan Jerman menyertakan

ambang batas formal dalam pengaturannya. Pasal 6 ayat (6) UU Pemilu Federal

Jerman mengatur bahwa : “Only parties that have obtained at least five per cent

of the valid second votes cast in the electoral area or have won a seat in at least

three constituencies shall be taken into consideration when the seats are

distributed among the Land lists. The first sentence shall not apply to the lists

submitted by parties representing national minorities.‖ Pemilu Federal Jerman

menentukan dalam pemilihan anggota perwakilan untuk mengisi Bundestag setiap

partai harus memperoleh suara sekurangnya 5% dari suara kedua yang sah

diberikan di daerah pemilihan kepada daftar-daftar negara bagian. Adapun bagi

kandidat yang memenangkan minimal tiga kursi pada daerah pemilihan secara

langsung dalam suara pertama (first vote), ambang batas tersebut menjadi tidak

berlaku. Selain itu ambang batas formal tersebut juga tidak diberlakukan pada

daftar-daftar yang diajukan oleh partai yang mewakili minoritas nasional

(national minorities).

Page 165: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

147

Pengaturan ambang batas formal Jerman dalam UU Pemilu Federal

Jerman dapat diklasifikasikan sebagai pengaturan yang bersifat fleksibel

dikarenakan adanya katentuan-ketentuan tambahan yang dapat mengeliminir

persyaratan ambang batas formal. Adapun keberadaan pengaturan tersebut tidak

lain untuk menjaga proporsionalitas dari sistem campuran yang digunakan. Dua

aturan substantif perihal syarat minimal tiga kursi dan perwakilan minoritas

nasional tersebut digunakan sebagai penyeimbang dari berlakunya ambang batas

formal dalam mendistribusikan kursi yang representatif.

4.2.2. Turki

Turki di dalam sistem pemilunya menggunakan sistem perwakilan

proporsional dengan teknik divisor varian D’Hondt (vide Pasal 2 jo Pasal 34

Undang-Undang No. 2839 tentang Hukum Pemilu Parlemen Turki).208

Sistem

pemilu Turki menggunakan dua saluran dalam pencalonan kandidat parlemennya,

yakni melalui partai politik dan calon independen atau perseorangan. Pasal 16 UU

Pemilu Turki mengatur sebagai berikut :

―No agreement between political parties to stand for elections with

joint lists of candidates shall be allowed. Non party members can be

presented by a political party as a candidate only if such non party

member has given written consent. It is not allowed to stand for

elections as the candidate of more than one political party or at

more than one election district for the same elections. Independent

candidates cannot stand for elections in more than one election

district.‖ (Tidak ada kesepakatan di antara partai politik untuk

mencalonkan diri dalam pemilihan dengan daftar kandidat bersama

yang akan diizinkan. Anggota non-partai dapat disertakan oleh

partai politik sebagai calon hanya jika anggota non-partai tersebut

208 Teks asli Statute No: 2839 Parliamentary Elections Law Enacted on 10 June 1983

Published in The Official Gazette No.: 18076 on 13 June 1983 5.T. Code, C.22 - S.

Page 166: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

148

telah memberikan persetujuan tertulis. Tidak diperbolehkan untuk

mencalonkan diri dalam pemilihan sebagai kandidat lebih dari satu

partai politik atau di lebih dari satu daerah pemilihan untuk

pemilihan yang sama. Calon independen tidak dapat mencalonkan

diri dalam pemilihan di lebih dari satu daerah pemilihan).

Sistem perwakilan proporsional Turki mengkombinasikan pengaturannya

dengan ambang batas formal dalam Pasal 33 sebagai berikut : ―No candidates of

a political party which has not obtained more than 10% of all of the valid votes in

Turkey as a whole or, in the case of mid-term elections, in all of the mid-term

election districts shall enter the parliament...‖ Pasal tersebut mengatur bahwa

ambang batas formal yang berlaku bagi partai politik untuk menempatkan

perwakilan dalam parlemen adalah sebesar minimal 10% suara secara nasional.

Adapun pengaturan ambang batas formal tidak berlaku bagi peserta pemilu yang

berasal dari calon pemilihan independen. Independents do not have to qualify the

national threshold but must simply gain enough support in their respective

provinces to enter the parliament.209

Kandidat independen tidak harus memenuhi

syarat ambang batas nasional tetapi hanya harus mendapatkan dukungan yang

cukup di masing-masing provinsi untuk masuk parlemen.

Turki termasuk dalam salah satu negara yang menggunakan ambang batas

formal dengan persentase yang sangat tinggi guna menentukan komposisi

lembaga perwakilan. Adanya pengaturan calon independen tersebut

sesungguhnya digunakan untuk menyeimbangkan pengaturan ambang batas

formal tersebut. Adapun ambang batas formal sebesar 10% yang diberlakukan di

209 “Turkey’s Threshold” diakses dari

http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=turkey8217s-threshold-2011-05-

08 tanggal 3 Mei 2013.

Page 167: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

149

Turki tersebut banyak mendapatkan kritikan oleh Dewan Eropa hingga adanya

rekomendasi untuk menurunkan persentase yang digunakan.210

4.2.3. Polandia

Pemilu di Polandia diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang 12

April 2001 tentang Pemilihan Umum Sejm Republik Polandia dan Senat Republik

Polandia.211

Sistem pemilu Polandia menggunakan sistem perwakilan proporsioal

dengan kombinasi sistem daftar (List Proportional Representation). Pasal 132

menentukan bahwa sebanyak 460 perwakilan untuk pengisian Sejm ditentukan

dalam pemilihan daerah perwakilan berwakil jamak dari daftar calon pemilihan

(460 deputies shall be elected to the Sejm in multi-member electoral

constituencies from constituency lists of candidates). 212

Ambang batas formal di dalam pemilu anggota Sejm Polandia diatur

dalam Pasal 133 ayat (1) dan (2) sebagai berikut :

1. Only those constituency lists of candidates for deputies of election

committees that have gained at least five per cent of valid votes cast

throughout the entire country shall take part in the allocation of seats.

(Hanya mereka dari daftar pemilih kandidat untuk perwakilan dari komite

210 “Europe remains critical of Turkey’s 10 percent election threshold‖ diakses dari

http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=europe-critical-of-10-percent-

election-threshold-2011-06-10 tanggal 3 Mei 2013.

211

Teks asli ―The Act of 12 April 2001 on Elections to the SEJM of The Republic of Poland

and to the Senate of The Republic of Poland (Journal of Laws of the Republic of Poland No 46,

item 499, of 16 May, 2001 and No.154, item 1802 of 29 December, 2001)‖

212

Polandia menggunakan sistem bikameral dimana lembaga perwakilannya terdiri dari Sejm

sebagai majelis rendah dan Senat sebagai majelis tinggi. Adapun kewenangan yang dimiliki tidak

simetris dimana kewenangan Sejm lebih dominan dalam proses legislasii. Lihat dalam―Sejm of the

Republic of Poland – Sejm in the system of power‖ diakses dari

http://www.sejm.gov.pl/english/sejm/sejm.htm tanggal 2 Mei 2013.

Page 168: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

150

pemilihan yang telah mendapatkan setidaknya lima persen dari suara sah

di seluruh negeri dapat diikutkan dalam alokasi kursi).

2. The constituency lists of candidates for deputies of coalition election

committees shall take part in the allocation of seats in election

constituencies if those lists have gained at least eight per cent of valid

votes cast throughout the entire country. (Daftar pemilih calon perwakilan

dari koalisi komite pemilihan dapat diikutkan dalam alokasi kursi di

daerah pemilihan pemilu jika daftar tersebut telah mendapatkan setidaknya

delapan persen dari suara sah di seluruh negeri).

Polandia menerapkan dua tipe ambang batas formal, yakni ambang batas

untuk tiap-tiap kandidat pada umumnya sebesar 5%, dan ambang batas untuk

gabungan kandidat atau koalisi sebesar 8%. Selain kedua pengaturan tersebut, UU

Pemilu Polandia juga menentukan bahwa pengaturan ambang batas formal tidak

berlaku bagi partai politik atau organisasi politik yang mewakili minoritas

nasional. Pasal 134 ayat (1) menentukan sebagai berikut : ―The lists of election

committees created by electors associated as registered organisations of national

minorities are exempt from the requirement referred to in Article 133, paragraph

1, if they submit to the National Electoral Commission a relevant declaration no

later than five days before the poll…‖ (Daftar komite pemilu dibuat oleh pemilih

diasosiasikan sebagai organisasi terdaftar dari minoritas nasional dikecualikan

dari persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133, ayat 1, jika mereka

menyerahkan pernyatan relevan kepada Komisi Pemilihan Nasional selambat-

lambatnya lima hari sebelum poling).

Page 169: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

151

Pengaturan ambang batas formal Polandia tampak lebih fleksibel dengan

diberlakukannya ambang batas untuk koalisi dan tidak diberlakukannya ambang

batas untuk perwakilan minoritas nasional. Pilihan untuk melakukan koalisi

menjadi alternatif bagi partai-partai politik di Polandia mengingat ambang batas

sebesar 8% dengan kemungkinan lebih mudah untuk dipenuhi dibanding ambang

batas sebesar 5% yang harus dipenuhi apabila partai politik mengikuti pemilu

individual. Selain itu tidak diberlakukannya ambang batas formal bagi minoritas

secara hakikat serupa dengan apa yang diterapkan di Jerman.

4.2.4. Denmark

Landasan yuridis penyelenggaraan pemilu di Denmark adalah berdasarkan

UU Pemilihan Umum Parlementer Denmark (Parliamentary Election Act of

Denmark) untuk memilih lembaga parlemen nasional yang dinamakan

“Folketing”. Denmark menggunakan sistem pemilu perwakilan proporsional

dengan daftar terbuka. Pasal 20 ayat (2) UU Pemilu Parlemen Denmark mengatur

sebagai berikut : ―The candidates shall be listed in alphabetical order on the

ballot paper. The party may, however, announce that a particular candidate shall

take first place on the ballot paper (nomination), cf. section 41(2). Below the

candidates of the nomination district shall be listed, in alphabetical order, any

other candidates (of the party in question) in the multi member constituency.‖

Kandidat-kandidat dalam pemilu Denmark akan didaftar dan tercantum di dalam

surat suara berdasarkan alfabet.

Page 170: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

152

Dalam hal daerah pemilihan, Denmark terbagi menjadi tiga daerah atau

provinsi dan kemudian terbagi lagi menjadi sepuluh daerah pemilihan beranggota

jamak. Pasal 8 ayat (1) dan (2) mengatur sebagai berikut :

(1) Denmark falls into three provinces: Metropolitan Copenhagen, Sealand-

Southern Denmark and Northern and Central Jutland, cf the Schedule to

the Act (List of Electoral Districts). (Denmark dibagi menjadi tiga

provinsi: Metropolitan Copenhagen, Sealand-Southern Denmark dan

Northern and Central Jutland)

(2) The regions are subdivided into multimember constituencies, cf the List of

Electoral Districts. Metropolitan Copenhagen encompasses four

multimember constituencies. Sealand-Southern Denmark and Northern

and Central Jutland are each made up of three multimember

constituencies. (Daerah dibagi lagi menjadi daerah pemilihan beranggota

jamak, lihat Daftar Daerah Pemilihan. Metropolitan Kopenhagen meliputi

empat daerah pemilihan beranggota jamak. Sealand-Southern Denmark

dan Northern and Central Jutland masing-masing terdiri dari tiga daerah

pemilihan beranggota jamak.)

Pasal 7 ayat (1) menentukan bahwa total anggota Folketing adalah

sebanyak 179 anggota, dengan tambahan dua dari Kepulauan Faroe dan dua dari

Greendland (a total of 179 members, two of which in the Faroe Islands and two

of which in Greenland, are to be elected for the Folketing), sehingga pemilihan

nasional di Denmark adalah guna menentukan perwakilan sebanyak 175 kursi.

UU Pemilu Parlemen Denmark membagi distribusi 175 kursi tersebut menjadi

Page 171: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

153

dua jenis, yakni kursi konstituen dan kursi kompensasi.213

Pasal 10 ayat (1)

menyebutkan sebagai berikut ―Of the nationwide 175 seats, 135 are constituency

seats and 40 are compensatory seats. The distribution of seats among regions and

among multimember constituencies are determined and announced by the

Minister for Social Welfare following publication of the population figure as at

January 1st 2010, 2015, 2020, etc., and the distribution subsequently applies to

the following elections.‖ Dari sebanyak 175 kursi yang tersedia untuk perwakilan

nasional dalam Folketing, adalah sebesar 135 ditentukan untuk kursi pemilihan

dan 40 untuk kursi kompensasi, dimana distribusi kursi diantara provinsi dan

daerah pemilihan beranggota jamak tersebut ditentukan dan diumumkan oleh

Menteri Kesejahteraan Sosial.

Perihal ambang batas formal yang ditentukan untuk menetukan perolehan

kursi Folketing, UU Parlemen Denmark hanya menentukan keberlakuannya untuk

kursi kompensasi. Pasal 77 ayat (1) mengatur bahwa Compensatory seats shall be

allocated to parties which have either :

(i) obtained at least one constituency seat; or,

(ii) in two of the three regions specified in section 8 (1) obtained at least a

number of votes equivalent to the average number of valid votes per

constituency seat in the region; or,

(iii) obtained at least two per cent of the valid votes cast in all Denmark.

213 Kursi kompensasi (Compensatory seat) umumnya diberikan dalam pemilu yang

menggunakan sistem pemilu perwakilan proporsional campuran (Mixed Member Proportional

Representation) yang diadakan untuk mengkompensasi terjadinya disproporsionalitas dalam

representasi yang dihasilkan dari single-member constituency. Lihat dalam “Glossary of Terms”

https://www.mtholyoke.edu/acad/polit/damy/BeginnningReading/glossary_of_terms.htm diakses

tanggal 3 Mei 2013.

Page 172: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

154

Kursi kompensasi diberikan kepada partai apabila memenuhi syarat yang

salah satunya apabila memperoleh 2% suara sah nasional. Namun dikarenakan

pengaturan tersebut bersifat opsional, pengaturan ambang batas formal menjadi

tidak mutlak. Meskipun partai politik tidak memenuhi ambang batas sebesar 2%,

namun peluang untuk mendapat kursi kompensasi masih terbuka, yakni dengan

ketentuan apabila perolehan suara partai mencukupi untuk memenangkan

sekurang-kurangnya satu kursi secara langsung di salah satu daerah pemilihan,

atau pada dua dari tiga provinsi (di antara Metropolitan Copenhagen, Sealand-

Southern Denmark dan Northern and Central Jutland) mampu memperoleh

setidaknya sejumlah suara yang sesuai dengan jumlah rata-rata suara sah per kursi

daerah pemilihan di provinsi.

Dari penelusuran berbagai undang-undang pemilu yang berlaku di

beberapa negara tersebut, dapat ditarik satu pemahaman bahwa pengaturan

ambang batas formal dalam sistem pemilu bukanlah menjadi hal yang baru.

Ambang batas formal secara umum digunakan oleh negara-negara yang menganut

sistem pemilu perwakilan proporsional dengan tujuan untuk mengurangi

fragmentasi sistem multipartai. Namun pengaturan ambang batas formal yang

diterapkan tersebut tidak hanya mengatur tentang persentase semata, melainkan

adanya aturan-aturan tambahan yang digunakan untuk menyeimbangkan

konsekuensi yang timbul akibat pengaturan ambang batas formal.

Page 173: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

155

4.3. Pemenuhan Tujuan Hukum Sebagai Indikator Ambang Batas Formal

yang Berkelanjutan.

Pengaturan ambang batas formal menjadi suatu kebutuhan dalam

penguatan sistem pemilihan umum Indonesia sehingga perlu dilakukan

pemantapan agar dapat diberlakukan secara keberlanjutan. Yuliandri memaparkan

bahwa konsep berkelanjutan terkait dengan isu pembangunan berkelanjutan

(sustainable development) dimana pembentukan suatu peraturan perundang-

undangan mengarah kepada kehidupan masyarakat yang mempersyaratkan

adanya kepastian, konsistensi, dan kepercayaan.214

Penulis berpendapat dalam

rangka mewujudkan pembentukan peraturan perundangan-undangan yang

berkelanjutan tidak lain berpegang pada tujuan hukum yang akan dicapai sebagai

indikatornya, yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan hukum itu sendiri. Oleh

karena kepastian hukum yang mencerminkan keadilan akan mengarah kepada

konsistensi dari suatu aturan hukum dan aturan hukum yang dapat memberikan

manfaat akan memperoleh kepercayaan (trust) dari masyarakat, maka pengaturan

ambang batas formal yang berkelanjutan di Indonesia harus mampu mengarah

kepada tiga aspek ini.

Pengaturan ambang batas formal telah diterapkan dalam penentuan

lembaga perwakilan periode 2009-2014. Evaluasi atas kebijakan hukum yang

diterapkan dilakukan untuk menggambarkan nilai kemanfaatan yang telah

214 Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik

(Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Rajawali Press, Jakarta, hal.167.

Page 174: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

156

diwujudkan atas suatu aturan norma hukum.215

Dalam menjalankan fungsi

legislasi, lembaga perwakilan yang dihuni oleh multipartai sederhana berdasarkan

pengaturan ambang batas formal secara teleologis mengarah pada peningkatan,

baik secara kuantitas dan kualitas undang-undang yang dihasilkan. Berdasarkan

Keputusan DPR RI No.41A/DPR-RI/1/2009-2010 dan Keputusan DPR RI

No.41B/ DPR-RI/1/2009-2010, terdapat sebanyak 247 RUU yang disepakati

dalam prolegnas 2009-2014 untuk disusun dan beberapa RUU kumulatif

terbuka.216

Adapun dari sekian perundang-undangan yang menjadi target tersebut,

DPR-RI periode 2009-2014 hingga semester pertama tahun 2013 hanya mampu

menyelesaikan sebanyak 42 undang-undang yang menjadi program legislasi

nasional (per-tanggal 3 Mei 2013).217

Hal tersebut menandakan bahwa fungsi

legislasi sesungguhnya masih tidak berjalan dengan maksimal. Pengaturan

ambang batas formal yang diharapkan dapat meminimalisir fragmentasi dan

menambah kualitas pembahasan RUU dengan minimnya jumlah partai politik,

ternyata belum memberikan pengaruh yang signifikan untuk meningkatkan

kuantitas dan kualitas fungsi legislasi.

Ketika persentase ambang batas formal yang menyebabkan tingginya

disproporsionalitas dalam lembaga perwakilan namun ternyata tidak efektif untuk

mencapai tujuan yang diharapkan, maka seharusnya kelemahan yang ditunjukkan

215 Budi Winarno memaparkan bahwa tahap evaluasi diperlukan sebab suatu kebijakan tidak

semua meraih hasil yang dinginkan atau bahkan gagal meraih tujuan yang ditetapkan. Tahap

evaluasi dilakukan agar dapat memberikan perubahan-perubahan atau perbaikan-perbaikan agar

suatu kebijakan berhasil. Lihat dalam Budi Winarno, op.cit, hal. 228.

216

Aliamsyah, 2010, Politik Perundang-undangan, diakses dari

http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/480-politik-perundang-undangan.html tanggal 18

April 2013.

217

Diolah dari : http://www.djpp.depkumham.go.id/database-peraturan/undang-undang.html

dan http://www.djpp.kemenkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html) tanggal 3 Mei 2013.

Page 175: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

157

atas akibat pengaturan tersebut harus dapat diminimalisir. Mengacu pada

pendapat hukum yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi, bahwa urgensi untuk

menentukan desain ambang batas formal yang ideal adalah menjadi hal yang

prioritas. Oleh karena itu, pembahasan dalam substansinya seharusnya tidak lagi

hanya mengarah kepada kenaikan persentase ambang batas formal, melainkan

pada format baku pengaturan ambang batas formal tersebut. Setidaknya fokus

pembaruan pengaturan persentase ambang batas formal berada pada dua domain,

yakni :

1. desain hukum persentase ambang batas yang tetap dan konsisten.

2. formulasi aturan untuk menekan terjadinya disproporsionalitas akibat

pengaturan ambang batas formal.

Pengaturan persentase ambang batas formal yang tetap dan konsisten

menjadi suatu hal yang wajib untuk menjamin kepastian hukumnya, meskipun di

sisi lain besaran persentase merupakan pengaturan yang bersifat relatif sehingga

sulit untuk ditentukan idealitasnya. Ilmu hukum bukan merupakan ilmu yang

dapat diwujudkan secara matematis dalam mengukur kelayakan suatu norma

hukum. Namun apabila berangkat dari perbandingan hukum, bahwa aturan

hukum negara-negara yang menerapkan pengaturan ambang batas formal pada

umumnya adalah berada pada kisaran normal tidak melebihi 5%, sehingga patut

untuk menjadi dasar pertimbangan komparatif sebagai ambang batas yang masih

dapat ditoleransi.

Page 176: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

158

Kemudian perihal pengaturan ambang batas formal yang menimbulkan

disproporsionalitas pada sistem perwakilan proporsional, menyebabkan perlunya

keberadaan aturan tambahan sebagai kompensasi dalam rangka menjaga prinsip

keadilan hukum. Secara umum, praktik kompensasi yuridis atas

disproporsionalitas ambang batas formal setidaknya dapat dilihat dari beberapa

bentuk pengaturan, yakni :

1. pengaturan ambang batas formal untuk koalisi partai;

2. adanya kursi kompensasi (compensatory seat);

3. keterwakilan calon independen dan kelompok minoritas tanpa melalui

pengaturan ambang batas formal.

Secara normatif, pengaturan ambang batas formal untuk koalisi partai

politik merupakan pengaturan yang paling umum diterapkan di negara-negara

yang menganut ambang batas formal dalam sistem perwakilan proporsional atau

sistem campuran. Partai-partai politik dapat memutuskan apakah akan mengikuti

pemilu sebagai partai politik individu ataukah secara koalisi dengan pertimbangan

persentase ambang batas yang diterapkan untuk koalisi partai tidak terlalu jauh

dari ambang batas formal individu. Kemungkinan bagi partai kecil/baru untuk

mendapatkan kursi dengan melakukan koalisi menjadi lebih terbuka dan kualitas

koalisi yang dilakukan menjadi lebih stabil dan jelas.

Koalisi yang dibangun di Indonesia selama ini didasarkan atas pencalonan

Presiden dan Wakil Presiden, sehingga tidak memiliki kekuatan mengikat yang

kuat terhadap lembaga perwakilan. I Dewa Gede Palguna berpandangan bahwa

kekuatan mengikat (binding power) hanya dimiliki oleh hukum dengan derajat

Page 177: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

159

kekuatan mengikat yang berbeda sesuai dengan hierarkinya.218

Berdasarkan hal

tersebut koalisi permanen dalam lembaga perwakilan hanya dapat tercipta apabila

hukum mengaturnya secara tegas. Pengaturan ambang batas formal yang selama

ini ditujukan untuk menciptakan sistem multipartai sederhana dengan harapan

koalisi yang terbangun dapat lebih awet berlangsung tidak memiliki kekuatan

yang tegas, dikarenakan secara substansil tidak menyentuh materi koalisi,

sehingga perpecahan koalisi masih dapat terjadi meskipun jumlah partai yang

terdapat di dalam lembaga perwakilan tidak terlalu banyak. Apabila melihat

penyelenggaraan pemilu di Polandia, koalisi dapat diupayakan permanen ketika

partai politik sebagai peserta pemilu dari koalisi partai politik, dengan

konsekuensi ambang batas formal yang diterapkan adalah berbeda antara peserta

pemilu dari partai politik individual dan partai koalisi. Pengaturan semacam ini

menghasilkan koalisi yang lebih awet, stabil, dan tegas karena dilakukan oleh

partai politik sebelum mengikuti pemilu legislatif.

Sementara perihal calon independen, kursi kompensasi, dan perwakilan

minoritas untuk mengimbangi pengaturan ambang batas formal dalam penentuan

kursi lembaga perwakilan adalah lebih sulit diterapkan di Indonesia karena

pengaturan tersebut memang tidak dikenal dalam sistem yang umum diterapkan di

Indonesia. Turki di dalam sistem pemilunya menerapkan ambang batas yang

sangat tinggi (10%), namun untuk mengurangi disproporsionalitas ketentuan

tersebut tidak diberlakukan dalam hal calon anggota perwakilan adalah berasal

dari calon independen. Sistem ketatanegaraan Indonesia lebih menempatkan peran

218 I Dewa Gede Palguna, 2000, “Sebuah Pertanyaan Untuk Pemilu”, dalam Parlemen Literer

– Antologi Pemikiran Dewa Palguna (Disunting oleh Andrianto Kurniadi, et.al), Bali Mangsi

Press, Denpasar, hal. 50-51.

Page 178: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

160

sentral partai politik dalam pengisian lembaga perwakilan. DPR-RI terdiri atas

anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih melalui pemilihan

umum. Partai politik menjadi satu-satunya media untuk menjadi peserta dalam

pemilihan umum DPR (vide Pasal 67 UU No. 27 Tahun 2009 juncto Pasal 7 UU

No. 8 Tahun 2012). Namun apabila merujuk pada ketentuan UUD 1945 bahwa

Pasal 19 ayat (1) menentukan “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dipilih melalui

pemilihan umum”, kemungkinan untuk mengatur calon independen dalam format

pemilihan umum DPR-RI tidak menjadi suatu hal yang dilarang. Hal ini

dikarenakan pada dasarnya UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak

menentukan secara limitatif subyek hukum yang berhak menjadi peserta dalam

pemilihan anggota DPR.

Keadaan tersebut juga berlaku perihal pengaturan ambang batas formal

dalam kursi kompensasi sebagaimana diterapkan dalam sistem ketatanegaraan

Denmark. Pada dasarnya format ketatanegaraan yang dianut oleh Indonesia tidak

melimitasi jenis-jenis kursi yang disediakan dalam lembaga perwakilan. Pasal 21

UU No. 8 Tahun 2012 juncto Pasal 74 UU No. 29 Tahun 2009 hanya menentukan

jumlah kursi untuk anggota DPR ditetapkan sebanyak 560 (lima ratus enam

puluh). Bahwa secara teleologis keberadaan kursi kompensasi memang ditujukan

untuk mengurangi disproporsionalitas yang terjadi dalam sistem pemilihan umum

yang digunakan.

Sementara perihal pengaturan ambang batas formal yang mengurangi nilai

representatif sistem perwakilan proporsional, beberapa negara menentukan bahwa

aturan tersebut tidak diberlakukan untuk peserta pemilu yang mewakili kaum

Page 179: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

161

minoritas. Politik hukum tersebut merupakan bentuk dari kebijakan afirmatif atau

diskriminatif positif yang memberikan perlakuan khusus untuk menciptakan

kesamaan dengan berpegang pada tiga tolok ukur, yakni representativness,

proportional, dan perlindungan pada kelompok marginal.219

Kebijakan afirmatif

sendiri sesungguhnya telah diatur dalam undang-undang pemilu Indonesia yang

wajib menyertakan keterwakilan perempuan minimal 30% dalam daftar bakal

calon anggota perwakilan (vide Pasl 55 UU No. 8 Tahun 2012) dengan Pasal

28H ayat 2 UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya, sehingga bukan

menjadi hal yang baru lagi dalam undang-undang pemilu Indonesia.

Bahwa definisi dari perwakilan minoritas adalah suatu hal yang belum

jelas untuk diterapkan dalam sistem pemilu Indonesia dan membutuhkan kajian

lebih mendalam lagi. Namun apabila merujuk pada pasal 28I ayat (3) UUD 1945

yang mengatur bahwa “identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati

selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”, keberadaan kaum

masyarakat tradisional dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bentuk dari

kaum minoritas. Peluang untuk diaturnya keberadaan kaum minoritas secara

eksklusif dalam sistem pemilu Indonesia bukan menjadi suatu hal yang tidak

mungkin. Sebagai contoh diakuinya keberadaan partai politik lokal dalam sistem

pemilu berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan

Aceh, meskipun hanya diakomodir secara lokal dalam lembaga perwakilan

219 Tri Lisiani Prihatinah, 2010, “Perspektif Jender Terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi

Tentang Dihapuskannya Kebijakan Afirmati Perempuan Di Parlemen Pada Pemilu Tahun 2009”,

dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol. 10 No.2 Mei 2010, Fakultas Hukum Universitas Jendral

Soedirman, Purwokerto, (diakses dari :

http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/V10M2010 Tri Lisiani Prihatinah.pdf)

tanggal 13 Mei 2013 hal. 159-160.

Page 180: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

162

Aceh.220

Sistem perwakilan proporsional yang digunakan harus tetap menjaga

proporsionalitas setiap suara dan derajat keterwakilannya dari golongan minoritas

walaupun penyederhanaan partai politik diberlakukan melalui pengaturan ambang

batas formal.

Dari pembahasan tersebut di atas, bahwa penentuan persentase ambang

batas yang baku dan mengurangi konsekuensi disproporsionalitas adalah dua hal

yang harus dilakukan oleh pembentuk undang-undang dalam rangka mewujudkan

kepastian dan keadilan hukum. Dengan adanya pengaturan-pengaturan yang

bersifat kompensasi tersebut, maka pemulihan atas “kerugian-kerugian” yang

timbul akibat pengaturan ambang batas formal setidaknya dapat diupayakan.

Secara teori hukum hal tersebut tidak lain sesuai dengan pemikiran John Rawls

perihal bagaimana mewujudkan justice as fairness atau keadilan yang paling fair.

Pada intinya John Rawls memaparkan dua prinsip keadilan sebagai berikut :

1. Prinsip kebebasan yang sama sebesar-besarnya (principle of

greatest equal liberty) yang mendasarkan bahwa setiap orang

mempunyai hak yang sama atas seluruh keuntungan masyarakat,

dengan kondisi lebih baik semua mendapat untung daripada tidak

ada sama sekali.

2. Prinsip ketidaksamaan, dimana situasi perbedaan sosial-ekonomi

harus diberikan aturan sedemikian rupa sehingga paling

menguntungkan golongan masyarakat yang paling lemah

(setidaknya terdapat peluang dan kesempatan untuk mencapai

kesejahteraan).221

220 Pasal 1 angka 14 UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menjelaskan bahwa

Partai politik lokal adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara

Indonesia yang berdomisili di Aceh secara suka rela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita

untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan

anggota DPRA/DPRK, Gubernur/Wakil Gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil

walikota.

221

Darji Darmodiharjo dan Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Flisafat Hukum-Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal.

162-163. Lihat pula dalam Achmad Ali, 2009 Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori

Page 181: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

163

Berdasarkan teori tersebut, pada hakikatnya pemilu memberikan

kebebasan kepada setiap orang untuk memilih dan dipilih dalam pelaksanaannya.

Akan tetapi adanya keadaan yang membedakan, baik dari aspek sosial maupun

ekonomi, yang menimbulkan ketidakseimbangan dalam pelaksanaan pemilu yang

disertai dengan pengaturan ambang batas formal, sehingga adanya aturan yang

tetap memperhitungkan elemen masyarakat minoritas tetap harus tersedia.

Mengaktualisasikan ambang batas formal dalam pembangunan hukum pemilu

harus memungkinkan semua orang mendapat kesempatan dan perlakuan yang

sama, dengan memperhatikan peluang dan kesempatan dari struktur yang sudah

berada dalam posisi lemah atau marginal. Tujuan nasional dengan fokus

kebijakan hukum yang tidak hanya mementingkan kepentingan elit semata,

namun lebih jauh untuk mewujudkan kesejahteraan sosial dengan aturan-aturan

hukum yang strategis. Aturan-aturan hukum yang dapat menyeimbangkan

pengaturan ambang batas formal menjadi penting keberadaannya dalam rangka

memenuhi unsur kepastian dan keadilan hukum. Pembangunan hukum pemilu

secara nasional harus tetap berada para kerangka aktualisasi cara berfikir

solidaritasisme bangsa dan menjauhkan bagaimana paham-paham yang bersifat

individual egosentris.

Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence) Volume I

Pemahaman Awal, Kencanam Jakarta, Jakarta, hal 281.

Page 182: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

164

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

5.1. Simpulan

Berdasarkan pembahasan, maka dapat ditarik simpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan ambang batas formal tidak bertentangan dengan prinsip

demokrasi konstitusional dengan berdasar pada empat aspek, yakni :

keberadaan pengaturannya yang didasarkan pada kewenangan legislasi

DPR-RI untuk mengatur lebih lanjut perihal pemilihan umum; tujuan

stabilisasi lembaga negara; tidak bertentangan dengan hak asasi politik;

adanya konsistensi dalam pengujian undang-undang oleh Mahkamah

Konstitusi. Namun pengaturan ambang batas formal di Indonesia

mengakibatkan pengurangan sejumlah suara sah dari pemilih sehingga

mengurangi tingkat proporsionalitas hasil pemilu.

2. Pengaturan ambang batas formal wajib memenuhi tiga indikator, yakni

Cita Hukum Indonesia, proporsionalitas hasil pemilu, dan pemenuhan

tujuan hukum. Pengaturan ambang batas formal memenuhi Cita Hukum

Indonesia yang mengupayakan demokrasi permusyawaratan/perwakilan

dapat dilaksanakan secara konsisten dengan memperhatikan nilai keadilan

sosial. Perbandingan hukum dengan negara lain memperlihatkan bahwa

pengaturan ambang batas formal merupkan substansi hukum yang lazim

diterapkan dalam negara yang menganut sistem pemilu perwakilan

proporsional. Adapun dalam pengaturan ambang batas formal yang

Page 183: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

165

berkelanjutan tidak hanya mencantumkan persentase minimal yang harus

dipenuhi, namun disertai dengan adanya aturan tambahan yang mampu

mengurangi disproporsionalitas hasil pemilu dalam rangka memenuhi

kepastian dan keadilan hukum.

5.2. Saran

Adapun saran atau rekomendasi yang dapat diberikan adalah sebagai

berikut :

1. Pembentuk undang-undang hendaknya memperhatikan setiap Putusan

Mahkamah Konstitusi yang menguji ketentuan ambang batas formal

secara komprehensif, terutama perihal syarat proporsional. Kecermatan

pembentuk undang-undang seharusnya lebih diperhatikan dalam memilih

desain hukum ambang batas formal.

2. Hendaknya terdapat pembaruan hukum atas pengaturan ambang batas

formal yang lebih bersifat komprehensif dan permanen. Penentuan

persentase ambang batas yang konsisten sebaiknya berada pada kisaran

yang tidak melebihi angka 5%. Kemudian perihal aturan-aturan hukum

tambahan guna mengurangi konsekuensi disproporsionalitas sebaiknya

lebih diarahkan pada ketentuan ambang batas formal untuk koalisi partai

politik agar dapat menciptakan koalisi yang permanen di DPR-RI.

Page 184: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

166

DAFTAR PUSTAKA

1. Buku

Abdullah, Rozali, 2009, Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas (Pemilu

Legislatif), Rajawali Press, Jakarta.

Ahmad, Rival Gulam, et.al. 2007, 9 Jurus Merancang Peraturan untuk

Transformasi Sosial (Sebuah Manual untuk Praktisi), Pusat Studi Hukum

dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta.

Ali, Achmad, 2009 Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undang-Undang

(Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencanam Jakarta, Jakarta.

Andrianus, Toni, et.al, 2006, Mengenal Teori-Teori Politik (Dari Sistem Politik

Sampai Korupsi), Nuansa, Bandung.

Asshiddiqie, Jimly, 2005, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi

(Serpihan Pemikiran Hukum, Media, dan HAM), Konstitusi Press, Jakarta.

, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca

Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah

Konstitusi RI, Jakarta.

, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta.

, 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta.

, 2009, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, PT. Bhuana

Ilmu Populer, Jakarta.

, 2010, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta.

, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Press, Jakarta.

Atmadja, I Dewa Gede, 2012, Hukum Konstitusi (Problematika Konstitusi

Indonesia Sesudah Perubahan UUD 1945), Setara Press, Malang.

, 2012, Ilmu Negara (Sejarah, Konsep Negara, dan Kajian

Kenegaraan), Setara Press, Malang.

Page 185: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

167

Azhary, Muhammad Tahir, 2010, Negara Hukum (Suatu Studi Tentang Prinsip –

Prinsipnya Dilihat Dari Segi Hukum Islam, Implementasinya Pada

Periode Negara Madinah Dan Masa Kini), Kencana, Jakarta.

Boyd, James P., 1896, Parties, Problems and Leaders of 1896, Publishers’ Union

Philadelphia.

Budiardjo, Miriam, 2009, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Edisi Revisi), PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Bruggink, JJ.H., 2011, Refleksi Tentang Hukum (Pengertian – Pengertian Dasar

dalam Teori Hukum) terjemahan B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung.

Dahl, Robert A., 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya (Terjemahan A.

Rahman Zainuddin), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

, 2001, Perihal Demokrasi – Menjelajah Teori dan Praktek

Demokrasi Secara Singkat) (Terjemahan A. Rahman Zainuddin), Yayasan

Obor Indonesia, Jakarta.

Darmodiharjo, Darji, Shidarta, 1999, Pokok-Pokok Flisafat Hukum-Apa dan

Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia (Edisi Revisi), PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Dicey, Albert Venn, 1927, Introduction to the Study of the Law of the Constitution

(Eighth Edition), Macmillan and Co., Limited, London.

Djokosutono, 1982, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Donder, I Ketut, I Ketut Wisarja, 2010, Filsafat Ilmu : Apa, Bagaimana, untuk

Apa Ilmu Pengetahuan itu dan Hubungannya dengan Agama?, Paramita,

Surabaya.

El-Muhtaj, Majda, 2005, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia (Dari

UUD 1945 Sampai dengan Amandemen UUD 1945 Tahun 2002),

Kencana, Jakarta.

Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2009, Pedoman Pendidikan Fakultas

Hukum Universitas Udayana, Fakultas Hukum Universitas Udayana,

Denpasar.

Faturohman, Deden, Wawan Sobari, 2002, Pengantar Ilmu Politik, Universitas

Muhammadiyah Malang, Malang.

Fisher, Roger, et.al, 2011, Getting to Yes, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 186: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

168

Friedman, Lawrence M., 1969, The Legal System ( A Social Science Perspective),

Russel Sage Foundation, New York.

Fuady, Munir, 2009, Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), PT. Refika

Aditama, Bandung.

Gaffar, Janedjri M., 2012, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta.

, 2012, Demokrasi Konstitusional (Praktik Ketatanegaraan

Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945), Konstitusi Press,

Jakarta.

Hakim, Lukman, 2012, Filosofi Kewenangan Organ & Lembaga Daerah

(Perspektif Teori Otonomi & Desentralisasi dalam Penyelenggaraan

Pemerintahan Negara Hukum dan Kesatuan), Setara Press, Malang.

Hart, H.L.A., 1961, The Concept of Law, Oxford University Press, Oxford.

Hidajat, Imam, 2009, Teori-Teori Politik, Setara Pers, Malang.

Huijbers, Theo, 2012, Filsafat Hukum, Kanisius, Yogyakarta.

Hutabarat, Ramly, 1985, Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The

Law) di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta.

Isra, Saldi, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi

Parlementer Dalam Sistem Presidensial Indonesia), Rajawali Pers, Jakarta

Kansil, CST, 1989, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta.

Kantaprawira, Rusadi, 1985, Sistem Politik Indonesia (Suatu Model Pengantar),

Penerbit Sinar Baru, Bandung.

Kelsen, Hans, 2002, Introduction to the Problems of Legal Theory (A Translation

of the First Edition of the Reine Rechtslehre or Pure Theory of Law -

translated by Bonnie Litschewski Paulson and Stanley L. Paulson),

Clarendon Press, Oxford.

, 2006, General Theory of Law and State / Hans Kelsen : with a

new Introduction by A. Javier Trevino, Transaction Publishers, New

Brunswick, New Jersey.

, 2011, Hukum dan Logika (Teks asli “Hans Kelsen Essays in

Legal and Moral Philosophy” Terjemahan B Arief Sidharta), PT. Alumni,

Bandung,

Page 187: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

169

Keraf, Gorys, 1994, Komposisi – Sebuah Pengantar Kemahiran Bahasa, Penerbit

Nusa Indah, Flores.

Kusnardi Moh., dan Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara

Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas

Indonesia, Jakarta.

Kusumaatmadja, Mochtar, dan Etty R. Agoes, 2003, Pengantar Hukum

Internasional, PT. Alumni, Bandung.

Latif, Abdul, dan Hasbi Ali, 2010, Politik Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.

Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna – Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas

Pancasila. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Lubis, Solly, 2008, Hukum Tata Negara, CV. Mandar Maju, Bandung.

Locke, John, 1824, Two Treatises of Government, C. Baldwin Printer, London.

Marbun, SF, dan Moh. Mahfud MD, 2009, Pokok-Pokok Hukum Administrasi

Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta.

Marijan, Kacung, 2010. Sistem Politik Indonesia, Konsolidasi Demokrasi Pasca –

Orde Baru. Kencana. Jakarta.

Marsudi, Subandi Al, 2001, Pancasila dan UUD’45 Dalam Paradigma Reformasi

(Edisi Revisi), Rajawali Press, Jakarta.

Martosoewignjo, Sri Soemantri, 1981, Pengantar Perbandingan Antar Hukum

Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta.

, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Penerbit

Alumni, Bandung.

Marzuki, Peter Mahmud, 2011, An Introduction to Indonesia Law, Setara Press,

Malang.

, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta.

, 2012, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana, Jakarta.

MD, Moh. Mahfud, 2009, Politik Hukum di Indonesia (Edisi Revisi), Rajawali

Press, Jakarta.

, 2010, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi,

Rajawali Press, Jakarta.

Page 188: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

170

Mertokusumo, Sudikno, 2012, Teori Hukum (Edisi Revisi), Cahaya Atma Pustaka,

Yogyakarta.

Mill, John Stuart, 1862, Consideration on Representative Government, Harper &

Brothers Publisher, New York.

Montesquieu, Charles de Secondat Baron de. 1900, The Spirit of Laws (Translated

from the French by Thomas Nugent.), The Colonial Press, New York.

Muhammad, Abdulkadir, 2004, Hukum dan Penelitian Hukum, PT. Citra Aditya

Bakti, Bandung.

Mustafa, Bachsan, 2001 Sistem Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT. Citra

Aditya Bakti, Bandung.

Nasution, Adnan Buyung, Pikiran & Gagasan Demokrasi Konstitusional,

Kompas, Jakarta.

Nurtjahjo, Hendra, 2006, Filsafat Demokrasi, Bumi Aksara, Jakarta.

Palguna, I Dewa Gede, 2000, “Sebuah Pertanyaan Untuk Pemilu”, dalam

Parlemen Literer – Antologi Pemikiran Dewa Palguna (Disunting oleh

Andrianto Kurniadi, et.al), Bali Mangsi Press, Denpasar.

Pamungkas, Sigit, 2009, Perihal Pemilu, Laboratorium Jurusan Ilmu

Pemerintahan dan Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM, Yogyakarta.

Poerbopranoto, Koentjoro, 1987, Sistim Pemerintahan Demokrasi, PT. Eresco,

Bandung.

Prodjodikoro, Wirjono, 1981, Asas-Asas Ilmu Negara dan Politik, PT. Eresco

Jakarta, Bandung.

Purnomowati, Reni Dwi, 2005, Implementasi Sistem Bikameral dalam Parlemen

Indonesia, Rajawali Press, Jakarta.

Ridwan HR, 2006, Hukum Administrasi Negara (Edisi Revisi), PT. RajaGrafindo

Persada, Jakarta.

Reynlods, Andrews, et al, 2005, Electoral System Design : The New International

IDEA Handbook, International IDEA, Stockholm.

Rodee, Carlton Clymer, et.al, 2011, Pengantar Ilmu Politik (Terjemahan Zulkifly

Hamid), PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Rousseau, Jean-Jacques, 1989, Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip – Prinsip

Hukum Politik (Terjemahan Ida Sundari Hesen dan Rahayu Hidayat),

Penerbit Dian Rakyat, Jakarta.

Page 189: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

171

Safa’at, Muchamad Ali, 2012, Pembubaran Partai Politik (Pengaturan dan

Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik), Rajawali

Press, Jakarta.

Salman, Otje, dan Anthon F. Susanto, 2010, Teori Hukum (Mengingat,

Mengumpulkan, dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung.

Sargent, Lyman Tower, 1984, Contemporary Political Ideologies (Sixth Edition),

The Dorsey Press, Chicago.

Sidharta, B. Arief, 2009, Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,

Teori Hukum, dan Filsafat Hukum, Refika Aditama.

Soekanto, Soerjono, dan Sri Mamudji, 2011, Penelitian Hukum Normatif – Suatu

Tinjauan Singkat, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Soeprapto, Maria Farida Indrati. 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi,

dan Materi Muatan, Kanisius, Yogyakarta.

Strong, C.F., 1952, Modern Political Constitutions (An Introduction to the

Comparative Study of Their History and Existing Form), Sidgwick &

Jackson Limited, London.

Suherman, Ade Maman, 2004, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Sunny, Ismail, 1985, Pembagian Kekuasaan Negara, Aksara Baru, Jakarta.

Supriyanto, Didik, dan August Mellaz, 2011, Ambang Batas Perwakilan

Pengaruh Parliamentary Threshold Terhadap Penyederhanaan Sistem

Kepartaian dan Proporsionalitas Hasil Pemilu, Perludem, Jakarta.

Surbakti, Ramlan, 1999, Memahami Ilmu Politik, PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta.

Syahuri, Taufiqurrohman, 2011, Tafsir Konstitusi Berbagai Aspek Hukum,

Kencana, Jakarta.

Tutik, Titik Triwulan, 2010, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945, Kencana, Jakarta.

Usfunan, Yohanes, 1986 Aspek-Aspek Hukum Bela Negara di Indonesia, Yayasan

Ayu Sarana Cerdas, Denpasar.

Varma, SP., 2010, Teori Politik Modern, Rajawali Press, Jakarta.

Page 190: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

172

Yuliandri, 2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang

Baik (Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Rajawali

Press, Jakarta.

2. Jurnal

A. Hamid S. Attamimi, 1992, “Pancasila Cita Hukum Dalam Kehidupan Hukum

Bangsa Indonesia”, dalam Pancasila Sebagai Ideologi Dalam Berbagai

Bidang Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara (Disunting

oleh Oetojo Oesman dan Alfian) Bp-7 Pusat, Jakarta.

Arend Lijphart, 2004, "Constitutional Design For Divided Societies", dalam

Journal of Democracy Volume 15 Number 12, diakses dari

http://www.clas.ufl.edu/users/bmoraski/democratization/lijphart04_jod.pdf

, The Johns Hopkins University Press, Baltimore-Maryland, diakses

tanggal 31 Maret 2013.

Michel Rosenfeld, 2001, “The Rule of Law and the Legitimacy of Constitutional

Democracy”, dalam Southern California Law Review vol 74 (2001),

Publisher University of Southern California; School of Law; Gould School

of Law, California, diakses dari http://www-

bcf.usc.edu/~usclrev/pdf/074503.pdf, diakses tanggal 18 Maret 2013.

M. Hutauruk, 1983, “Kadar Demokrasi dan Rasionalitas dalam Kebijaksanaan

Pemerintah”, dalam Membangun dan Menegakkan Hukum dalam Era

Pembangunan Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, Penerbit Erlangga,

Jakarta.

Pippa Norris, 1997, “Choosing Electoral Systems : Proportional, Majoritarian and

Mixed System”, dalam International Political Science Review Vol 18 (3)

July 1997, Sage Publications. Ltd, London, diakses dari

http://www.hks.harvard.edu/fs/pnorris/Acrobat/Choosing%20Electoral%2

0Systems.pdf, tanggal 31 Mei 2013.

Radiman Salman, 2010, “Partai Politik dan Pemilu : Penyederhanaan dan

Pembaharuan Parpol”, dalam Konstitusionalisme Demokrasi - Sebuah

Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi

Sebagai Kado Untuk “Sang Penggembala” Prof. A. Mukthie Fadjar, SH.,

MS. (Disunting oleh Sirajjudin et.al), In – Trans Publishing, Malang.

Scott Mainwaring, 2003, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The

Difficult Combination“, dalam The Democracy SourceBook - edited by

Robert Dahl, Ian Shapiro, and Jose´ Antonio Cheibub, The MIT Press,

London.

Page 191: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

173

Tim LIP FISIP UI, 1998, “Upaya Mengembalikan Kedaulatan Rakyat : Reformasi

UU Pemilihan Umum”, dalam Mengubur Sistem Politik Orde Baru,

Penerbit Mizan, Bandung.

Tracy Quinlan, 2004, "Leveling The Playing Field: Electoral Thresholds and the

Representation of Women," dalam Res Publica - Journal of

Undergraduate Research: Vol. 9, diakses dari

http://digitalcommons.iwu.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1060&context

=respublica tanggal 1 Mei 2013, Illinois Wesleyan University, Illinois.

Tri Lisiani Prihatinah, 2010, “Perspektif Jender Terhadap Putusan Mahkamah

Konstitusi Tentang Dihapuskannya Kebijakan Afirmati Perempuan Di

Parlemen Pada Pemilu Tahun 2009”, dalam Jurnal Dinamika Hukum Vol.

10 No.2 Mei 2010, diakses dari :

http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/fileku/dokumen/V10M2010 Tri

Lisiani Prihatinah.pdf) tanggal 13 Mei 2013, Fakultas Hukum Universitas

Jendral Soedirman, Purwokerto.

3. Tesis

Muhammad Aziz Hakim, 2012, Politik Hukum Sistem Pemilihan Umum Di

Indonesia Pada Era Reformasi, Tesis, Fakultas Hukum Program Pasca

Studi Hukum Tata Negara, Universitas Indonesia, Jakarta.

M. Ilham Habibie, 2009, Pengaruh Konstelasi Politik Terhadap Sistem

Presidensial Indonesia, Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Program

Pasca Sarjana Universitas Diponegoro, Semarang.

4. Peraturan Perundang – undangan

Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 32, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3062);

Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 23, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 3810);

Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 165; Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3886);

Page 192: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

174

Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor

37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4277);

Undang-Undang No.12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant

on Civil and Political Rights (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 2005 Nomor 119 ; Tambahan Lembaran Negara Republik

Indonesia Nomor 4558);

Undang-Undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor

51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4836);

Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan

Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008

Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

4924);

Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043);

Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang –

Undangan. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389);

Undang-Undang No. 8 tahun 2012 tentang tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun

2012 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia

Nomor 5316);

Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-

Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian.

5. Putusan Pengadilan

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VII/2009 atas Pengujian Undang –

Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 52/PUU-X/2012 atas Pengujian Undang –

Undang Nomor 8 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Page 193: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

175

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah.

6. Peraturan Perundang-undangan Asing

Federal Elections Act Version As Promulgated On 23 July 1993 (Federal Law

Gazette I pp. 1288, 1594), As Last Amended By Article 1 of The Act of 12

July 2012 (Federal Law Gazette I p. 5181501)

Parliamentary Election Act of Denmark (published by Ministry of Social Welfare and

Folketinget, The Parliament of Denmark 24 February 2009)

Romania - Law No. 35/2008 for the election to the Chamber of Deputies and the

Senate

Statute No: 2839 Parliamentary Elections Law Enacted on 10 June 1983

Published in The Official Gazette No.: 18076 on 13 June 1983 5.T. Code,

C.22 - S.

The Act Of 12 April 2001 on Elections to the Sejm of The Republic of Poland and

to the Senate of The Republic of Poland (Journal of Laws of The Republic of

Poland No 46, Item 499, of 16 May, 2001 And No.154, item 1802 of 29

December, 2001)

7. Kamus dan Ensikplodi

Black, Henry Campbell, 1968, Black’s Law Dictionary - Definitions of the Terms

and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern

(Revised Fourth Edition),West Publishing Co, St. Paul Minn.

Departemen Pendidikan Nasional, 2011, Kamus Besar Bahasa Indonesia – Pusat

Bahasa (Edisi Keempat), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Echols, John M., dan Hassan Shadily, 1995. Kamus Inggris Indonesia (An

English-Indonesia Dictionary). PT. Gramedia, Jakarta.

PT. Cipta Adi Pustaka, 1990, Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 12, PT. Cipta

Adi Pustaka, Jakarta.

8. Internet

9 Fraksi di DPR Gagal Sepakati RUU Pemilu

http://news.detik.com/read/2012/04/10/221504/1889323/10/9-fraksi-di-

dpr-gagal-sepakati-ruu-pemilu, diakses tanggal 17 Oktober 2012.

Page 194: Pengaturan Ambang Batas Formal (Formal Threshold) Dalam

176

Aliamsyah, 2010, Politik Perundang-undangan, diakses dari

http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/480-politik-perundang-

undangan.html tanggal 18 April 2013.

Ambang 3,5% Hanya untuk DPR - Meski tak raih suara nasional 3,5 persen,

partai yang berjaya di daerah tetap bisa di DPRD”

http://politik.news.viva.co.id/news/read/303842-ambang-3-5--hanya-

untuk-dpr, diakses tanggal 17 Oktober 2012.

Europe remains critical of Turkey’s 10 percent election threshold diakses dari

http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=europe-

critical-of-10-percent-election-threshold-2011-06-10 tanggal 3 Mei 2013.

Glossary of Terms

https://www.mtholyoke.edu/acad/polit/damy/BeginnningReading/glossary

_of_terms.htm diakses tanggal 3 Mei 2013

Hasil Akhir Pemilu 2009, diakses dari http://www.detiknews.com/jumlahsuara

tanggal 16 April 2013.

http://www.djpp.kemenkumham.go.id/prolegnas-2010-2014.html tanggal 3 Mei

2013.

http://www.djpp.depkumham.go.id/database-peraturan/undang-undang.html

diakses tanggal 3 Mei 2012.

http://www.law.cornell.edu/anncon/html/art1frag1_user.html#art1_sec1, diakses

pada tanggal 27 Pebruari 2013.

http://www.law.cornell.edu/constitution/ diakses tanggal 22 Maret 2013.

KPU Ubah Perolehan Kursi Parpol di DPR

http://mediacenter.kpu.go.id/berita/472-kpu-rubah-perolehan-kursi-parpol-

di-dpr.html, diakses tanggal 21 April 2013.

Sejm of the Republic of Poland – Sejm in the system of power diakses dari

http://www.sejm.gov.pl/english/sejm/sejm.htm tanggal 2 Mei 2013.

Turkey’s Threshold diakses dari

http://www.hurriyetdailynews.com/default.aspx?pageid=438&n=turkey82

17s-threshold-2011-05-08 tanggal 3 Mei 2013.