keadilan_dalam_ekonomi

Upload: fitriafiannandy

Post on 06-Mar-2016

6 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Keadilan_Dalam_Ekonomi

TRANSCRIPT

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    1

    KEADILAN DALAM EKONOMI

    Tulus Tambunan Kadin Indonesia-JETRO, 2006

    I. Pendahuluan

    Salah satu dari tiga pilar kekuatan yang mempengaruhi keadaban publik adalah sektor ekonomi atau kominitas

    bisnis, dan fairness atau keadilan menjadi kunci dalam kegiatan poros kedua ini karena menyangkut masalah

    pembagian barang dan jasa yang terbatas kepada semua orang. Dasar teori ekonomi adalah bagaimana setiap orang

    memaksimalkan keuntungan atau kegunaan atau memenuhi kebutuhannya dari barang dan jasa yang terbatas.

    Penekanan dalam paradigma ini adalah maksimalisasi dan terbatas. Bagi seorang konsumen atau pengguna

    barang dan jasa, tingkat kegunaan diukur dengan tingkat kepuasan, kesehatan, kenyamanan, keamanan, atau

    kesejahteraan. Misalnya, dengan anggaran yang terbatas, seseorang berusaha mendapatkan rumah baru yang

    memberinya kenyamanan yang paling maksimum. Sedangkan bagi seorang penghasil barang dan jasa atau

    produsen, tingkat kegunaan diukur dengan tingkat profit atau pendapatan. Dengan pendidikan yang dimilikinya,

    setiap orang akan mencari pekerjaan yang memberikannya pendapatan paling tinggi, atau dengan modal dan

    tenaga kerja yang ada, seorang produsen berusaha membuat barang atau jasa sebaik mungkin agar menghasilkan

    keuntungan paling tinggi baginya.

    Karena kelangkahan selalu muncul dalam ekonomi (atau dalam kehidupan manusia secara umum), kekayaan

    atau kepemilikan barang dan jasa tidak pernah bisa dilepaskan dari keadilan. Keadilan atau ketidakadilan tidak

    akan menjadi suatu masalah apabila barang dan jasa atau sumber daya yang ada berlimpah hingga tidak ada

    harganya, seperti air laut, angin dan mata hari, atau apabila di suatu wilayah yang sangat luas dan sangat kaya akan

    sumber daya alam hanya ada segelintir manusia. Semakin langka barang dan jasa atau sumber daya (sementara,

    jumlah penduduk bertambah terus), semakin besar masalah distribusi, yang berarti semakin besar masalah

    keadilan di dalam ekonomi.

    Keadilan juga merupakan suatu topik penting dalam etika. Seperti yang dapat dikutip dari Bertens (2000)

    sebagai berikut: sulit sekali untuk dibayangkan orang atau instansi yang berlaku etis tetapi tidak mempraktekkan

    keadilan atau bersikap tak acuh terhadap ketidakadilan (hal.85). Dari sudut pandang ekonomi adalah menyangkut

    etika bisnis, karena bisnis adalah kegiatan ekonomi. Yang terjadi dalam kegiatan ini adalah tukar-menukar, jual-

    beli, memproduksi-memasarkan, bekerja-mempekerjakan, dan interaksi lainnya dengan tujuan memperoleh

    keuntungan. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis yang bagus adalah bisnis yang menghasilkan keuntungan paling

    besar. Namun, etika bisnis menjadi relevan pada saat bisnis dinilai dari sudut pandang moral. Misalnya, demi

    mengejar keuntungan sebesar mungkin, sebuah perusahaan membayar upah sangat murah kepada pekerja-

    pekerjanya, atau agar produktivitas dapat ditingkatkan perusahaan tersebut mengganti tenaga manusia dengan

    mesin atau robot sehingga mem-phk-kan semua buruhnya.

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    2

    Dari uraian singkat diatas didapat suatu gambaran yang jelas bahwa keadaban publik dilihat dari aspek

    ekonominya adalah menyangkut pendistribusian secara adil barang dan jasa ke semua orang sesuai proporsinya

    masing-masing. Ketidakadilan dalam ekonomi terjadi dalam berbagai aspek, mulai dari ketimpangan dalam

    pembagian tanah pertanian, kesempatan kerja, sistem penggajian hingga kesempatan mendapatkan pendidikan.

    Semua ini akhirnya bermuara pada kemiskinan. Dalam kata lain, ketidakadilan dalam ekonomi erat kaitannya

    dengan masalah kemiskinan dan kesenjangan. Adalah mustahil untuk mengatakan bahwa suatu bangsa sangat

    beradab apabila di negara tersebut sebagian besar penduduknya sangat miskin, buruh sangat tertindas, sebagian

    besar petaninya adalah petani gurem, dan banyak industri mengerjakan buruh anak-anak yang dibayar sangat

    murah (eksploitasi anak-anak).

    II. Etika Bisnis dan Keadilan.

    Bisnis adalah kegiatan ekonomi, atau ekonomi adalah kegiatan bisnis. Dari sudut pandang ekonomi, bisnis

    yang baik adalah yang selalu menghasilkan keuntungan besar. Di dalam teori produsen (teori ekonomi mikro),

    dikatakan bahwa setiap pengusaha mencari keuntungan sebesar mungkin dengan biaya seminimum mungkin.

    Maksimalisasi keuntungan merupakan tema penting dalam ilmu manajemen ekonomi, dan ini merupakan cita-cita,

    atau dasar dari perkembangan kapitalisme liberal yang tumbuh pesat sejak era merkantilisme pada abad ke 18 lalu.

    Ini juga yang mendorong negara-negara di Eropa Barat melakukan ekspansi ke Afrika, Timur Tengah dan Asia,

    seperti halnya Belanda ke Indonesia yang diawali dengan misi dagang dari V.O.C. yang akhirnya menjajah

    Indonesia.

    Kalau memaksimalkan keuntungan menjadi satu-satunya tujuan perusahaan, maka dengan sendirinya akan

    timbul keadaan yang tidak etis. Karena, setiap perusahaan/pengusaha akan berproduksi dengan cara

    mengeksploitasi pekerja-pekerjannya; kalau bisa tidak mengeluarkan satu senpun biaya yang berarti buruh-

    buruhnya tidak digaji. Hingga saat ini banyak sekali kasus yang dapat dilihat yang merefleksikan dasar pemikiran

    bisnis kapitalis. Beberapa contoh dapat disebut di sini. Pertama, salah satu atau bahkan dapat dikatakan sebagai

    motivasi utama dari perusahaan-perusahaan di negara-negara industri maju memindahkan pabrik-pabrik mereka ke

    negara-negara sedang berkembang adalah mencari tenaga kerja murah. Kedua, banyak perusahaan di Indonesia

    lebih suka memakai buruh lepas atau kontrakan daripada pegawai tetap demi keuntungan perusahaan. Ketiga,

    banyak perusahaan-perusahaan di sektor industri manufaktur di Indonesia dan dibanyak negara lainnya melakukan

    subcontracting dengan pemasok-pemasok skala kecil, bukan karena ingin berbagi keuntungan dengan mereka

    melainkan untuk mengurangi biaya produksi dan sekaligus menggeser resiko bisnis akibat perubahan pasar secara

    tiba-tiba ke para pemasok-pemasok tersebut.

    Sedangkan dari sudut pandang moral, bisnis yang selalu membuat keuntungan besar tidak selalu dianggap

    sebaga bisnis yang bagus, apabila keuntungan tersebut didapat dengan cara ketidakmanusiaan seperti misalnya

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    3

    membayar upah yang sangat murah atau dengan cara penipuan, misalnya memakai bahan baku yang rendah

    kualitasnya tanpa pengetahuan konsumen, seperti dalam kasus tahu dengan memakai bahan pengawet formalin.

    Kasus formalin ini merupakan satu contoh konkrit dari suatu sikap pengusaha/pelaku bisnis yang telah melanggar

    etika dalam bisnis atau yang umum disebut etika bisnis. Tetapi apakah etika bisnis itu sendiri?

    Menurut Keraf (1998) etika berkaitan dengan kebiasaan hidup yang baik, baik pada diri seseorang maupun

    pada suatu masyarakat atau kelompok masyarakat. Ini berarti etika berkaitan dengan nilai-nilai, tata cara hidup

    yang baik, aturan hidup yang baik, dan segala kebiasaan yang dianut dan diwariskan dari satu orang ke orang lain

    atau dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam pengertian yang luas, Keraf mengatakan bahwa etika

    ..........dapat dirumuskan sebagai refleksi krisis dan rasional mengenai: (a) nilai dan norma yang menyangkut

    bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia; dan mengenai (b) masalah-masalah kehidupan manusia

    dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma-norma moral yang umum diterima. (hal.15). Jadi, secara

    sederhana etika bisnis dapat dirumuskan sebagai cara-cara yang baik, yang manusiawi dalam melakukan bisnis,

    atau melakukan bisnis sesuai norma-norma moral yang umum diterima.1

    Masalah etika bisnis tidak hanya pada tingkat pengusaha/perusahaan secara individu, tetapi juga pada tingkat

    nasional, baik yang dilakukan oleh masyarakat secara umum atau pemerintah. Yang dilakukan oleh masyarakat,

    misalnya penjualan dan pembelian kaset bajakan seperti yang terjadi dalam kasus kaset musik hasil Live Aid yang

    dipimpin oleh Bob Geldof dan diselenggarkan serentak di stadion F. Kennedy di Philadelphia, Amerika Serikat,

    dan di stadion Wembley di London, Inggris, pada 13 Juli 1985. Konser amal ini bertujuan untuk mengumpulkan

    dana untuk membantu korban kelaparan di Ethiopia, Afrika. Beberapa waktu kemudian muncul kaset-kaset

    rekaman konser tersebut di sejumlah negara di Timur Tengah dan juga di Indonesia. Di Indonesia, kaset-kaset

    tersebut mencantumkan made in Indonesia, dan bahkan ada yang memakai pita cukai Indonesia. Menurut berita

    dari Tempo (14 dan 12 Desember 1985), diperkirakan ada 10 perusahaan rekaman di Indonesia yang terlibat di

    dalam pembajakan kaset tersebut.

    Sedangkan pelanggaran etika bisnis yang dilakukan pemerintah Indonesia selama ini bisa dilihat misalnya

    adalah dalam kasus pembagian lahan pertanian. Walaupun Indonesia memiliki Undang-Undang Agraria dan UUD

    1945 Pasal 33 menekankan keadilan dalam ekonomi, sejak pemerintahan Orde Baru hingga saat ini tidak ada

    usaha mencegahan terhadap perampasan tanah milik petani oleh masyarakat kaya. Akibatnya, seperti yang akan

    dibahas nanti, berdasarkan Sensus Pertanian 1983, 1993 dan 2003 (paling akhir), jumlah keluarga tani tanpa lahan

    atau dengan lahan kurang dari 0,5 hektar (disebut petani gurem) meningkat terus.

    1 Menurut Keraf (1998), ada tiga norma umum. Pertama, norma sopan santun, atau yang juga disebut norma etiket, adalah norma yang mengatur pola perilaku dan sikap lahiriah manusia, misalnya menyangkut sikap dan perilaku seperti bertamu, makan dan minum, bicara, berpakaian, dll. Kedua, norma hukum, yakni norma yang dituntut keberlakuannya secara tegas oleh masyarakat karena dianggap perlu dan niscaya demi keselamatan dan kesejahteraan manusia dalam kehidupan bermasyarakat. Ketiga, norma moral, yaitu aturan mengenai sikap dan perilaku manusia yang baik dan adil. Norma moral ini digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai baik buruknya atau adil tidaknya suatu sikap atau tindakan manusia di dalam suatu masyarakat.

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    4

    Jadi, dari uraian diatas dapat dikatakan bahwa bicara etika bisnis adalah bicara soal kegiatan bisnis yang tidak

    merugikan salah satu pihak atau menguntungkan kedua belah pihak. Menurut Keraf (1998), ada tiga sasaran dan

    lingkup pokok etika bisnis. Pertama, etika bisnis sebagai etika profesi2membahas berbagai prinsip, kondisi, dan

    masalah yang terkait dengan praktek bisnis yang baik dan etis. Sasaran kedua dari etika bisnis adalah untuk

    menyadarkan masyarakat, khususnya konsumen, buruh atau karyawan, dan masyarakat luas sebagai pemilik aset

    umum seperti lingkungan hidup, akan hak dna kepentingan mereka yang tidak boleh dilanggar oleh praktek bisnis

    siapa pun juga. Ketiga, etika bisnis pada tingkat makro, yakni berbicara mengenai sistem ekonomi yang sangat

    menentukan etis tidaknya suatu praktek bisnis. Secara konktrit, etika bisnis ini atau disebut juga etika ekonomi

    berbicara soal praktek-praktek monopoli, oligopoli, kolusi, dan semacamnya yang snagat mempengaruhi tidak saja

    sehat-tidaknya suatu ekonomi tetapi juga baik tidaknya praktek-praktek bisnis di suatu negara.

    Dari uraian di atas, sangat jelas bahwa etika bisnis sebenarnya adalah bicara mengenai keadilan, dan dalam hal

    ini adalah keadilan distributif. Menurut Bertens (2003), berdasarkan keadilan ini negara atau pemerintah harus

    membagi segalanya dengan cara yang sama kepada para anggota masyarakat. Konkritnya dalam aspek sosial-

    ekonomi adalah memberikan kesempatan yang sama bagi semua warga untuk mendapatkan pendidikan yang baik,

    pekerjaan dengan pendapatan yang baik atau kehidupan layak. Bertens menyebutnya keadilan membagi.

    Ketidakadilan muncul apabila misalnya pemerintah mengistimewakan orang-orang tertentu yang tidak mempunyai

    hak khusus, seperti misalnya dalam mendapatkan proyek-proyek pembangunan atau izin impor seperti banyak

    terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru. Nepotisme adalah salah satu cara untuk melanggar keadilan distributif.

    Sedangkan menurut Keraf (1998), prinsip dasar keadilan distributif adalah distribusi ekonomi yang merata

    atau yang dianggap adil bagi semua warga negara. Dengan kata lain, keadilan distributive menyangkut

    pembagian kekayaan ekonomi atau hasil-hasil pembangunan. (hal. 142). Tetapi sekarang pertanyaannya adalah:

    apa yang menjadi dasar pembagian yang adil itu, apakah sama rata atau sesuai peran dan sumbangan masing-

    masing orang? Dalam menjawab pertanyaan ini, Bertens (2000) melihat pada beberapa teori keadilan distributif.

    Pertama, teori egalitarianisme yang mengatakan bahwa pembagian bisa dikatakan adil jika semua orang mendapat

    bagian yang sama. Jadi, dasar pemikiran dari teori ini adalah bahwa membagi dengan adil berarti membagi rata.

    Jika ada satu orang kebagian lebih kecil, maka pembagian belum sepenuhnya adil. Pemikiran ini juga merupakan

    keyakinan umum masyarakat Perancis dalam revolusinya menumbangkan monarki absolut dan feodalisme pada

    abad ke 18 dan revolusi Amerika Serikat dalam The Declaration of Independence pada tahun 1776 yang

    menegaskan All men are created equal. Pemikiran ini juga yang melandasi sistem pemilihan umum dibanyak

    2 Keraf (1998) menjelaskan ada empat prinsip etika profesi. Pertama, prinsip tanggung jawab, baik terhadap pelaksanaan pekerjaannya dan terhadap hasilnya, maupun atas dampak profesinya itu terhadap kehidupan dan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan orang-orang yang dilayaninya. Kedua, prinsip keadilan, yakni dalam melakukan profesinya ia tidak merugikan hak dan kepentingan pihak tertentu, khususnya orang-orang yang dilayaninya dalam rangka profesinya. Ketiga, prinsip otonom, yaitu kalangan profesional diberikan kebebasan sepenuhnya dalam menjalankan profesinya. Keempat, prinsip integritas moral, yakni kalangan profesional dituntut untuk melakukan tugas profesinya sesuai norma-norma yang ada (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya).

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    5

    negara-negara maju dengan sistem one person one vote.

    Kedua, teori sosialistis yang memilih prinsip kebutuhan setiap orang sebagai dasar pemikirannya. Menurut

    teori ini, kehidupan masyarakat adil, jika kebutuhan semua warganya terpenuhi, seperti kebutuhan akan sandang,

    pangan, dan papan. Secara konkret, sosialisme terutama memikirkan masalah-masalah pekerjaan bagi kaum buruh

    dalam konteks industrialisasi. Dalam teori sosialisme mengenai keadilan, dikenal dua prinsip, yakni bagaimana

    beban atau hal-hal yang berat harus dibagi, yakni hal-hal yang menuntut pengorbanan dari semua warga

    masyarakat, dan bagaimana hal-hal yang enak untuk diperoleh harus diberikan sesuai kebutuhan. Contoh dari

    prinsip pertama tersebut misalnya adalah setiap warga punya hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang

    layak, termasuk orang-orang cacat, namun orang-orang yang menyandang cacat badan harus diberi pekerjaan yang

    cocok dengan kemampuan mereka, tidak seberat beban yang diberikan kepada pekerja-pekerja dengan kondisi

    tubuh yang prima. Sedangkan contoh dari prinsip kedua itu adalah misalnya gaji atau upah dikatakan adil jika

    sesuai dengan kebutuhan pekerja.

    Ketiga, teori liberalistis yang menganggap pembagian atas dasar kebutuhan sebagai cara yang tidak adil.

    Menurut teori ini, pembagian harus didasarkan pada usaha-usaha bebas dari individu-individu bersangkutan. Yang

    tidak berusaha tidak mempunyai hak pula untuk memperoleh sesuatu. Jadi yang bekerja keras mendapat lebih

    banyak dibandingkan yang malas bekerja. Jadi, penekanan dari teori ini adalah prestasi yang dilihat sebagai

    perwujudan pilihan bebas seseorang. Tentu ada masalah serius dengan teori ini, pada saat seseorang tidak bisa

    berprestasi karena cacat atau orang yang menganggur diluar kemauannya sendiri, dan sebagainya.

    Dua teori pertama tersebut dalam prakteknya mempunyai masalah, terutama dalam ekonomi. Dalam teori

    pertama, ini artinya upah yang diterima seorang buruh pabrik sama dengan pendapatan dari pimpinan perusahaan.

    Walaupun seseorang berprestasi jauh lebih bagus dibandingkan orang lain, gaji mereka tetap sama, dan ini tentu

    sesuatu yang tidak adil. Demikian juga masalah dengan teori kedua. Keadilan distributif yang dianut oleh ekonomi

    sosialis adalah di mana semua orang dijamin kebutuhan ekonominya secara relatif sama terlepas dari sumbangan

    dan peran atau prestasinya bagi kehidupan bersama atau perusahaan. Ini pun sistem distribusi yang tidak adil,

    karena setiap warga akan diberi jatah sesuai dengan kebutuhan hidupnya, sekalipun prestasinya sangat rendah.

    Jadi, sistem pembagian sama rata malahan menimbulkan ketidakadilan.3

    Keadilan distributif sering juga dianggap sebagai kata lain dari keadilan sosial, walaupun banyak yang tidak

    sependapat dengan ini. Misalnya, von Hayek (1995) menolak pemakaian istilah keadilan sosial. Menurutnya,

    keadilan sosial harus dibedakan dengan keadilan distributive. Menurut Magnis-Suseno (1986, 87) dan Brrtens

    (1997, 2000), cara yang paling baik untuk menguraikan keadilan sosial adalah membedakannya dengan keadilan

    individual. Dua macam keadilan ini berbeda, karena pelaksanaannya berbeda. Bertens (2000) menjelaskan sebagai

    berikut: Pelaksanaan keadilan individual tergantung pada kemauan atau keputusan satu orang (atau bisa juga

    3 Lihat lebih lanjut pembahasan mengenai adil tidaknya keadilan distributif berdasarkan pembagian sama rata di Keraf (1993, 1998).

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    6

    beberapa orang) saja. Dalam pelaksanaan keadilan sosial, satu orang atau beberapa orang saja tidak berdaya.

    Pelaksanaan keadilan sosial tergantung dari struktur-struktur masyarakat di bidang sosial-ekonomi, politik,

    budaya, dan sebagainya. Keadilan sosial tidak terlaksana, kalau struktur-struktur masyarakat tidak

    memungkinkan. Karena itu di sini orang berbicara juga tentang ketidakadilan struktural dan kemiskinan

    struktural. (hal.92).

    Menurut Bertens (1997, 2000), jika keadilan artinya adalah memberikan kepada setiap orang yang menjadi

    haknya, misalnya hak atas pekerjaan, hak atas pendidikan, hak atas pelayanan kesehatan dan hak-hak sosial

    lainnya, maka keadilan sosial terwujud, bila hak-hak sosial terpenuhi. Sedangkan, keadilan individual terlaksana,

    bila hak-hak individual terpenuhi. Lebih lanjut, Bertens (2000) menjelaskan Keadilan individual sering kali dapat

    dilaksanakan dengan sempurna. Karena kompleksitas masyarakat modern, keadilan sosial tidak pernah dapat

    dilaksanakan dengan sempurna. Setiap perubahan dalam masyarakat, seperti misalnya dinaikkannya pajak, bisa

    mengakibatkan ketidakadilan struktural untuk golongan tertentu. ............Keadilan sosial merupakan cita-cita

    yang bisa dihampiri semakin dekat, tapi tidak pernah bisa direalisasikan dengan sempurna. (hal.93-94). Jadi yang

    dimaksud di sini adalah bahwa di satu masyarakat atau negara keadilan sosial bisa terwujud jauh lebih baik dari

    pada di masyarakat lain, seperti misalnya perbandingan antara Indonesia dan Belanda atau negara-negara

    Skandinavia yang pelayanan sosialnya sangat baik. Tetapi praktis tidak ada satu masyarakat atau negara pun di

    mana tidak ada masalah keadilan sosial.

    III. Ekonomi Berazas Pancasila

    Keadilan dalam ekonomi juga pada dasarnya merupakan peradaban ekonomi Indonesia yang dibangun atas

    asas Pancasila. Diantara lima sila, sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sila kemanusian yang adil dan

    beradab, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tiga sila yang sifatnya paling asasi. Dari sini muncul

    ungkapan yang sudah menjadi baku masyarakat yang adil dan makmur. Dua pengertian ini tidak bisa

    dilepaskan, melainkan saling melengkapi satu sama lain dan bersama-sama mensyaraktan kehidupan masyarakat

    Indonesia yang baik Keadilan tidak akan tercapai jika tidak tersedia barang yang cukup untuk memenuhi

    kebutuhan hidup semua warga, sedangkan di sisi lain, kemakmuran tidak akan menjamin tercapainya keadilan jiga

    barang yang tersedia tidak dibagikan secara merata keseluruh warga masyarakat (Bertens, 2000).

    Keadilan dalam ekonomi sering dikaitkan dengan pengertian demokrasi ekonomi. Menurut Hatta, untuk

    mencapai rakyat adil sejahtera diperlukan selain demokrasi politik juga demokrasi ekonomi yang berdasarkan

    perikemanusiaan dan keadilan sosial. Demokrasi ekonomi seperti ini yang cocok dengan kehidupan asli

    masyarakat Indonesia yang biasa bermusyawarah untuk mufakat (Karman, 2006).

    Keadilan dalam perekonomian Indonesia juga ditegaskan di dalam pidato Supomo dalam penyusunan naskah

    persiapan UUD 1945, seperti yang dikutip dari Suwarno (1993), Dalam negara yang berdasarkan integralistik,

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    7

    yang berdasar persatuan, maka dalam lapangan ekonomi akan dipakai sistem sosialisme negara

    (staatssocialisme). Perusaan-perusahaan yang penting akan diurus oleh negara sendiri, akan tetapi pada

    hakekatnya negara yang akan menentukan dimana dan dimasa apa dan perusahaan apa yang akan

    diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah daerah atau yang akan diserahkan lepada sesuatu

    badan hukum prive atau kepada seseorang, itu semua tergantung dari pada kepentingan negara, kepentingan

    rakyat seluruhnya. Begitupun tentang hal tanah. Pada hakekatnya negara yang menguasai tanah seluruhnya.

    Tambang-tambang yang penting untuk negara akan diurus oleh negara sendiri. Melihat sifat masyarakat

    Indonesia sebagai masyarakat pertanian, maka dengan sendirinya tanah pertanian menjadi lapangan hidup dari

    kaum tani dan negara harus menjaga supaya tanah pertanian itu tetap dipegang oleh kaum tani. Dalam lapangan

    ekonomi, negara akan bersifat kekeluargaan djuga oleh karena kekeluargaan itu sifatnya masyarakat Timur, yang

    harus kita pelihara sebaik-baiknya. Sistem tolong menolong, sistem koperasi hendaknya dipakai sebagai salah

    satu dasar ekonomi Negara Indonesia (hal. 105-106).

    Di dalam UUD 1945, kehidupan masyarakat dalam bidang sosial-ekonomi diatur oleh pasal-pasal 27 ayat 2,

    pasal 33, dan pasal 34. Dinyatakan di dalam pasal-pasal tersebut bahwa setiap warganegara Indonesia berhak atas

    pekerjaan dan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan. Ini artinya setiap warganegara Indonesia harus

    mendapatkan pekerjaan agar dia dapat memperoleh penghidupan yang layal. Bahkan sesuai pasal-pasal ini,

    kalaupun ada warganegara Indonesia yang tidak mendapatkan pekerjaan (menganggur), dia tetap mempunyai hak

    untuk mendapatkan kehidupan layak. Ini berarti, jika ia bekerja, ia berhak mendapatkan upah yang manusiawi,

    dalam arti dengan upah tersebut ia dapat hidup layak. Sedangkan, bagi pengangguran, pemerintah mempunyai

    tanggung jawab penuh dalam memberikan kehidupan layak baginya. Norma ini ditegaskan di dalam pasal 34 yang

    mengatakan bahwa orang miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

    Di dalam ayat 1 pasal 33, dikatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama

    berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dan

    kekayaan alam dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Walaupun di dalam

    ayat ini disebut secara eksplisit koperasi, namun di dalam realitas, asas kekeluargaan bisa juga dipraktekkan

    dalam bentuk-bentuk usaha non-koperasi. Seperti yang dijelaskan oleh Suwarno (1993) sebagai berikut, .dapat

    juga dengan usaha-usaha moderen dengan pengaturan sedemikian rupa, sehingga usaha-usaha yang dapat diurus

    oleh kelompok-kelompok masyarakat yang kurang kuat dalam permodalan hendaknya diserahkan kepada mereka

    itu tidak semuanya diusahakan oleh yang kuat permodalannya, sehingga menjadi konglomerat yang menguasai

    cabang-cabang produksi dari hulu sampai hilar tanpa sisa sedikit pun untuk tempat usaha kelompok yang lemah

    permodalannya. Kecuali itu asas kekeluargaan dapat juga diterapkan dalam pengelolaan perusahaan besar, yaitu

    dengan memberi upah sedemikian rupa, sehingga para buruh mampu membeli saham perusahaan cukup berarti.

    (hal.135).

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    8

    Tetapi, memang dalam kenyataannya, keadilan ekonomi seperti yang diamanatkan oleh Pasal 33 tersebut, sulit

    sekali direalisasikan. Seperti yang dapat dikutip dari Karman (2006), ongkos bernegara terlalu besar merampas

    kemakmuran yang seharusnya milik rakyat. Elite politik mengadaikan kekayaan negeri kepada para kapitalistik.

    Pemerintah kehilangan peran vital dalam mengelola sendiri kekayaan alam.......Perekonomian bangsa berjalan di

    luar amanat konstitusi.........Pemerintah membiarkan anomali kebijakan ekonomi. Petani diberlakukan seperti

    pelaku industri manufaktur yang harus berjuang dalam sistem mekanisme pasar. Meski kita negara agraris,

    petani tidak menikmati subsidi. Walhasil, setelah berusaha payah menanam padi, nilai tukar hasil produksi petani

    tak sebanding ongkos produksi dan biaya hidup sehari-hari (hal.6)

    Praktek-praktek ketidakadilan dalam ekonomi, baik yang dilakukan oleh pelaku-pelaku ekonomi maupun oleh

    pembuat kebijakan, yang tidak sesuai dengan ekonomi berazas Pancasila selama ini telah menimbulkan banyak

    permasalahan dalam perekonomian nasional, mulai dari tingkat makro hingga mikro yang menghasilkan antara

    lain kemiskinan dan kesenjangan.

    IV. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia

    Kemiskinan dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan (yang dimaksud dengan kesenjangan ekonomi)

    merupakan dua masalah besar di banyak negara sedang berkembang (NSB), tidak terkecuali Indonesia. Dikatakan

    besar karena, apabila dua masalah ini berlarut-larut atau dibiarkan semakin parah, pada akhirnya akan

    menimbulkan konsukwensi politik dan sosial yang sangat serius. Suatu pemerintahan bisa jatuh karena amukan

    rakyat miskin yang sudah tidak tahan lagi menghadapi kemiskinan mereka. Bahkan kejadian tragedi Mei 1998

    menjadi suatu pertanyaan (hipotesis) hingga saat ini: andaikan tingkat kesejahteraan masyarakat di Indonesia

    tinggi sama seperti misalnya di Belanda atau Jepang, mungkinkah mahasiswa akan begitu ngotot berdemonstrasi

    hingga akhirnya membuat rejim Soeharto jatuh atau, mungkinkah masyarakat Jakarta bisa diprovokasi hingga

    melakukan kerusuhan pada bulan Mei 1998 tersebut?

    Walaupun perkembangan dari tingkat kemiskinan (persentase dari jumlah penduduk yang hidup dibawah garis

    kemiskinan) dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan menunjukkan suatu tren yang menurun sejak Orde

    Baru hingga sekarang, masih adanya kemiskinan dan kesenjangan ekonomi di dalam negeri mencerminkan masih

    adanya ketidakadilan di dalam perekonomian nasional. Hal ini, sebagian, disebabkan oleh masih adanya kegiatan-

    kegiatan bisnis yang tidak bermoral, atau yang melanggar etika bisnis (seperti yang telah dijelaskan sebelumnya di

    atas), dan, sebagian lainnya, disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak terlalu mendepankan

    keadilan sosial, atau yang sering dituding tidak berpihak pada orang miskin..

    IV.1 Paradigma Trickle down Effects

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    9

    Di Indonesia, pada awal pemerintahan Orde Baru para pembuat kebijaksanaan dan perencana pembangunan

    ekonomi sangat percaya bahwa proses pembangunan ekonomi yang pada awalnya terpusatkan hanya di Jawa,

    khususnya Jakarta dan sekitarnya, dan hanya di sektor-sektor tertentu saja, pada akhirnya akan menghasilkan apa

    yang dimaksud dengan trickle down effects.4Didasarkan pada kerangka pemikiran tersebut, pada awal periode

    Orde Baru hingga akhir tahun 1970-an strategi pembangunan ekonomi yang dianut oleh pemerintahan Soeharto

    lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mencapai tujuan tersebut maka pusat

    pembangunan ekonomi nasional dimulai di pulau Jawa dengan alasan bahwa semua fasilitas-fasilitas yang

    dibutuhkan seperti pelabuhan, jalan raya dan kereta api, telekomunikasi, kompleks industri, gedung-gedung

    pemerintahan/administrasi negara, kantor-kantor perbankan, dan infrastruktur pendukung lainnya lebih tersedia di

    Jawa (khususnya Jakarta dan sekitarnya) dibandingkan di propinsi-propinsi lain di Indonesia. Pembangunan pada

    saat itu juga hanya terpusatkan di sektor-sektor tertentu saja yang secara potensial memiliki kemampuan besar

    untuk menghasilkan nilai tambah (NT) yang tinggi. Pemerintah percaya bahwa nantinya hasil daripada

    pembangunan itu akan menetes ke sektor-sektor dan wilayah Indonesia lainnya.

    Memang paradigma pembangunan yang dianut pemerintahan Orde Baru tersebut dapat dipahami, dan bahkan

    dapat dikatakan itu merupakan satu-satunya strategi yang tetap sesuai kondisi ekonomi Indonesia yang pada awal

    periode Orde Baru sangat buruk. Bagaikan banyak orang ingin makan roti, tetapi rotinya hanya satu potong kecil.

    Jika satu potong roti yang kecil tersebut dibagikan sama rata ke semua orang, tentu tidak akan membuat mereka

    kenyang. Oleh karena itu, rotinya harus diperbanyak dulu, baru setelah itu dibagikan secara rata ke semua orang.

    Masalahnya dalam era Orde Baru adalah bahwa pada saat pembangunan yang terpusatkan di Jawa dan hanya di

    sektor-sektor tertentu sudah cukup pesat, efek menetes kebawahnya ternyata relatif kecil (kalau tidak bisa

    dikatakan sama sekali tidak ada), atau proses mengalir ke bawahnya sangat lambat. Walaupun perlu diakui bahwa

    tingkat kesenjangan di Indonesia selama Orde Baru relatif kecil untuk ukuran internasional dan tingkat kemiskinan

    mengalami penurunan yang cukup signifikan (hal ini akan dijelaskan lebih lanjut di Bagian IV.2)

    Sebenarnya, menjelang akhir tahun 1970-an, pemerintah sudah mulai menyadari buruknya kualitas

    pembangunan yang dihasilkan dengan strategi tersebut. Oleh karena itu, sejak Pelita III strategi pembangunan

    mulai dirubah: tidak lagi hanya terfokus pada pertumbuhan ekonomi, tetapi peningkatan kesejahteraan masyarakat

    juga menjadi tujuan penting daripada pembangunan. Sejak itu perhatian mulai diberikan pada usaha meningkatkan

    kesejahteraan masyarakat, misalnya lewat pengembangan industri-industri padat karya, pembangunan perdesaan,

    dan modernisasi sektor pertanian. Hingga menjelang terjadinya krisis ekonomi, sudah banyak dilaksanakan

    program-program pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi (kalau tidak bisa menghilangkan sepenuhnya)

    jumlah orang miskin dan ketimpangan pendapatan antara kelompok miskin dan kelompok kaya di tanah air.

    4 Efek cucuran kebawah merupakan salah satu topik penting di dalam literatur mengenai pembangunan ekonomi di NSB pada dekade 1950-an hingga 1960-an. Argumentasi teori yang menghasilkan kesimpulan bahwa akan terjadi efek cucuran ke bawah dikembangkan pertama kali oleh Arthur Lewis (1954), dan diperluas oleh Ranis dan Fei (1968) dan lainnya.

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    10

    Program-program tersebut antara lain adalah Inpres Desa Tertinggal (IDT), pengembangan industri kecil dan

    rumah tangga (khususnya di perdesaan), program Keluarga Sejahtera, program Keluarga Berencana (KB),

    program Makanan Tambahan Bagi Anak Sekolah Dasar, program Transmigrasi, kebijakan Upah Minimum

    Regional (UMR) atau Propinsi (UMP), dan Jaringan Pengaman Sosial.

    IV.2 Tren Perkembangan Kemiskinan dan Kesenjangan Sejak Orde Baru

    IV.2.1 Kemiskinan

    Pada awal Orde Baru (tahun 1966), rata-rata pendapatan masyarakat Indonesia hanya sekitar 50 dollar AS per

    tahun, dan lebih dari 80% dari populasi hidup di perdesaan dan sebagian besar dari jumlah ini bekerja di sektor

    pertanian, yang kebanyakan adalah petani kecil atau marjinal dan buruh tani. Sekitar 60% dari anak-anak di

    Indonesia tidak bisa menulis dan membaca dan hampir 65% dari penduduk Indonesia hidup dalam kemiskinan.

    Pada tahun 1969 pemerintah mulai melaksanakan pembangunan dengan mencanangkan Repelita I, dan sejak itu

    dengan kebijakan ekonomi terbuka, investasi dan bantuan keuangan dari luar negeri membanjiri Indonesia. Dalam

    beberapa tahun saja inflasi yang sempat mencapai 500% lebih menjelang jatuhnya pemerintahan Soekarno dapat

    ditekan hingga 1 digit dan pertumbuhan ekonomi meningkat, yang pada tahun 1980-an hingga 1997 sebelum

    krisis, Indonesia mengalami pertumbuhan rata-rata 7%.

    Dengan suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan, pendapatan per kapita meningkat, dan

    dengan didukung oleh berbagai kebijakan dan program terutama di bidang pendidikan, pelayanan kesehatan, dan

    pembangunan ekonomi perdesaan, sejumlah indikator sosial menunjukkan perbaikan yang sangat nyata.

    Pendapatan rata-rata per kapita per bulan meningkat dari US$ 940 pada tahun 1970 ke hampir US$ 2900 pada

    tahun 2000; jumlah bayi yang meninggal pada saat lahir berkurang dari 90 dari 1000 anak yang lahir hidup pada

    tahun 1980 ke 42 menjelang akhir 90-an; harapan hidup juga membaik dari 55 pada awal 80-an ke 66 pada akhir

    90-an; persentase anak yang terdaftar di sekolah-sekolah pendidikan dasar hingga menengah meningkat; dan

    penduduk yang bisa membaca dan menulis membaik secara signifikan; (Tabel 1).

    Pertumbuhan yang tinggi dan berkelanjutan tersebut juga memberi suatu kontribusi yang besar terhadap

    pengurangan kemiskinan selama Orde Baru. Seperti yang ditunjukkan oleh statistik resmi di Tabel 2,5persentase

    kemiskinan menurun dari 40% ke sekitar 17,5% selama 1976-1996, dan penurunan terbesar terjadi selama periode

    5 Angka di Tabel 2 didasarkan metode Head Count Index, yang umum digunakan untuk menghitung penduduk miskin. Menurut metode ini, penduduk miskin adalah penduduk yang berada di bawah suatu batas, yang disebut garis kemiskinan. Garis kemiskinan di Indonesia adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang untuk memenuhi hidup minimumnya, baik itu kebutuhan hidup minimum makanan seperti beras, umbi-umbian, ikan dan sebagainya, maupun kebutuhan hidup bukan makanan seperti perumahan, kesehatan, pendidikan, transportasi, dan sebagainya. Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), seseorang dapat dikatakan hidup sehat apabila telah dapat memenuhi enerjinya minimal sebesar 2100 kilo kalori per hari. Mengacu kepada ukuran tersebut, maka batas miskin untuk makanan adalah nilai rupiah yang harus dikeluarkan seseorang dalam sebulan agar dapat memenuhi kebutuhan minimum enerjinya sebesar 2100 kilo kalori per hari. Dalam menghitung kebutuhan hidup minimum makanan, standar kebutuhan hidup minimum 2100 kilo kalori per hari didasarkan pada konsumsi makanan dari penduduk kelas marjinal, yaitu penduduk yang hidupnya sedikit di atas estimasi

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    11

    70s hingga awal 80s dengan 13 persentase poin, sedangkan selama periode 1981-93 laju penurunannya hanya

    sekitar 16 persentase point. Pada saat krisis ekonomi 1997/98, kemiskinan mengalami peningkatan yang

    substansial karena banyaknya pekerja yang di-PHK-kan akibat banyaknya perusahaan yang terhimbas krisis. Pada

    tahun 1998, pada saat krisis mencapai titik klimaksnya, tingkat kemiskinan nasional tercatat sebesar 24,23%, dan

    setelah itu cenderung menurun terus. Pada tahun 2005, kemiskinan di Indonesia sekitar hampir 16% dari jumlah

    penduduk, dan ini masih lebih tinggi dibandingkan angka terendah yang pernah dicapai pada masa Orde Baru.

    Tabel 1: Beberapa Indikator Sosial di Indonesia dan Beberapa NSB Lainnya, 1970-2000

    Indikator Awal Periode Akhir Periode Rata-rata per kapita GDP (dalam 1999 PPP$)* - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan Meninggal pada saat bayi (per 1.000 bayi yang lahir hidup) - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah Harapan hidup pada saat lahir (tahun) - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah Rasio pendaftaran pendidikan dasar (%)** - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah Rasio pendaftaran pendidikan sekunder (%)** - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah Buta huruf (% dari penduduk berumur 15 dan di atas)*** - Indonesia - Asia Tenggara & Pasifik - Asia Selatan - Negara-negara berpendapatan rendah & menengah

    1970 940 875

    1 051

    1980 90 55

    119 86

    55 65 54 60

    107 111 77 96

    29 44 27 22

    13(L), 27(P) 13(L), 29(P) 41(L), 66(P) 22(L),39(P)

    2000 2 882 4 413 2 216

    1999 42 35 74 59

    66 69 63 64

    113 119 100 107

    56 69 49 59

    9(L),19(P) 8(L),22(P) 34(L),58(P) 18(L),32(P)

    Catatan: * Data adalah tiga tahun rata-rata, terpusat pada tahun yang ditunjukkan di atas. ** Data paling akhir adalah untuk 1997, bukan 1999. *** L=lelaki, P=perempuan Sumber: Balisacan dkk. (2002).

    Masalah kesejahteraan ekonomi tidak hanya bicara soal berapa banyak orang miskin tetapi juga berapa banyak

    penduduk yang hampir miskin. Suatu negara yang presentase penduduk miskinnya rendah tidak selalu berarti

    awal garis kemiskinan yang diperoleh berdasarkan garis kemiskinan sebelumnya yang disesuaikan dengan tingkat inflasi. Penduduk pada kelompok tersebut disebut penduduk referensi (BPS, 2005).

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    12

    tingkat kesejahteraan di negara tersebut tinggi jika jumlah penduduknya yang masuk kategori hampir miskin lebih

    besar daripada jumlah penduduk kayanya. Di Indonesia, jumlah dan presentase penduduk hampir miskin pada

    tahun 2005 (Februari) disajikan di Tabel 3. Mereka yang tergolong hampir miskin dikategorikan sebagai

    kelompok yang rentan terperosok menjadi miskin apabila terjadi gejolak ekonomi dan sosial, seperti crisis

    ekonomi 1997/98 lalu, atau kenaikan harga BBM bulan Oktober 2005 lalu.

    Tabel 2: Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase dari Populasi yang Hidup di bawah Garis Kemiskinan di Indonesia: 1976-2005

    Tingkat miskin (%) Jumlah orang miskin (juta orang) Tahun Perkotaan Perdesaan National Perkotaan Perdesaan Nasional

    1976 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005

    38,8 30,8 29,0 28,1 23,1 20,1 16,8 13,4 13,4 21,9 19,4 14,6 9,8 14,5 13,6 12,1 11,4

    40,4 33,4 28,4 26,5 21,2 16,1 14,3 13,8 19,8 25,7 26,03 22,4 24,8 21,1 20,2 20,1 19,5

    40,1 33,3 28,6 26,9 21,6 17,4 15,1 13,7 17,5 24,2 23,4 19,1 18,4 18,2 17,4 16,7 15,97

    10,0 8,3 9,5 9,3 9,3 9,7 9,4 8,7 9,4

    17,6 15,6 12,3 8,6

    13,3 12,2 11,4 12,4

    44,2 38,9 32,8 31,3 25,7 20,3 17,8 17,2 24,6 31,9 32,3 26,4 29,3 25,1 25,1 24,8 22,7

    54,2 47,2 42,3 40,6 35,0 30,0 27,2 25,9

    34,01 49, 5 48,0 38,7 37,9 38,4 37,3 36,1 35,1

    Sumber: BPS

    Table 3: Jumlah dan Persentase Penduduk Hampir Miskin di Indonesia, 2005 (Februari) Daerah Jumlah (juta) Persentase

    Perkotaan Perdesaan Nasional

    7,9 18,3 26,2

    8,7 15,2 11,97

    Sumber: BPS

    Dapat dilihat bahwa jumlah penduduk hampir miskin di Indonesia hingga awal 2005 tercatat sebanyak 26,2 juta

    orang yang sebagian besar terdapat di daerah perdesaan. Lebih besarnya jumlah orang miskin dan hampir miskin

    di daerah perdesaan adalah hasil dari pembangunan ekonomi yang timpang selama ini. Kesempatan kerja,

    khususnya di sektor-sektor yang menghasilkan nilai tambah dan pendapatan/gaji tinggi seperti industri, konstruksi,

    perbankan dan perdagangan moderen jauh lebih besar di daerah perkotaan daripada di perdesaan. Di perdesaan

    kesempatan kerja masih didominasi oleh sektor pertanian yang menghasilkan nilai tambah dan upah relatif rendah.

    Ada dua hal lain yang juga harus diperhatikan dalam membahas soal kemiskinan di Indonesia, yakni kedalaman

    kemiskinan dan keparahan kemiskinan. Kedalaman kemiskinan menunjukkan rata-rata kesenjangan pengeluaran

    penduduk miskin terhadap batas miskin (garis kemiskinan), sedangkan keparahan kemiskinan menunjukkan

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    13

    ketimpangan pengeluaran dari penduduk paling miskin, atau yang makin jatuh di bawah garis kemiskinan.6

    Semakin besar nilai kedua indeks ini di sebuah negara mencerminkan semakin seriusnya persoalan kemiskinan di

    negara tersebut.

    Tabel 4 menunjukkan indeks kedalaman kemiskinan (P1) di Indonesia mengalami penurunan dalam periode

    setelah krisis hingga 2005. Pada tahun 1999 tercatat sebesar 4,33 dan 2,78 pada tahun 2005. Keadaan ini

    menandakan bahwa pada periode tersebut di Indonesia terus terjadi penurunan besarnya rata-rata kesenjangan

    pengeluaran penduduk miskin terhadap batas miskin. Dalam kata lain, rata-rata pengeluaran kaum miskin di

    Indonesia cenderung meningkat atau mendekati garis kemiskinan (BPS, 2005).

    Tabel 4: Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1) di Indonesia, 1999-2005

    Tahun Perkotaan Perdesaan Nasional 1999 2000 2001 2002

    2003 2004 2005

    3,52 1,89 1,74 2,59 2,55 2,18 2,05

    4,84 4,68 4,68 3,34 3,53 3,43 3,34

    4,33 3,51 3,42 3,01 3,13 2,89 2,78

    Sumber: BPS Kecenderungan menurunnya indeks kedalaman kemiskinan juga terlihat baik di perkotaan maupun di

    perdesaan, namun laju penurunan di perkotaan terlihat lebih fluktuatif. Kemungkinan besar hal ini disebabkan oleh

    efek langsung yang lebih besar dari dinamika ekonomi nasional terutama kenaikan inflasi yang dirasakan oleh

    penduduk miskin di perkotaan daripada di perdesaan. Walaupun secara umum, indeks kedalaman kemiskinan di

    perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan. Dalam kata lain, jarak rata-rata pengeluaran penduduk miskin

    perkotaan dengan garis kemiskinan perkotaan relatif lebih dekat dibandingkan dengan jarak rata-rata pengeluaran

    penduduk miskin di perdesaan dengan garis kemiskinan perdesaan.

    Berikut, Tabel 5 menyajikan nilai indeks keparahan kemiskinan (P2) di Indonesia yang juga menunjukkan tren

    yang menurun selama periode yang sama. Pada tahun 1999 tercatat 1,23 dan menjadi 0,76 pada tahun 2005.

    Perkembangan ini menandakan bahwa selama periode tersebut ketimpangan pengeluaran penduduk miskin di

    indonesia secara umum semakin berkurang, atau kondisi ekonomi penduduk miskin semakin membaik. Penurunan

    ini juga terjadi di perkotaan dan perdesaan namun penurunannya di perdesaan lebih tinggi dibandingkan di

    perkotaan. Karena indeks kedalaman kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan (lihat Tabel 4),

    maka dengan sendirinya indeks keparahan kemiskinan di perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan;

    6 Kedalaman kemiskinan diukur dengan Poverty Gap Index (P1), yang merupakan ukuran rata-rata kesenjangan pengeluaran masing-

    masing penduduk miskin terhadap batas miskin. Semakin tinggi nilai P1 semakin besar rata-rata kesenjangan pengeluaran penduduk miskin terhadap kemiskinan. Keparahan kemiskinan diukur dengan Poverty Severity Index (P2 ), yang adalah jumlah dari kedalaman kemiskinan (P1) tertimbang di mana penimbangnya sebanding dengan kedalaman kemiskinan itu sendiri. Dengan mengkuadratkan P1 , P2 secara implisit memberikan penimbang yang lebih pada unit observasi yang makin jauh di bawah garis kemiskinan. Semakin tinggi nilai indeks ini, berarti semakin tinggi ketimpangan pengeluaran di antara penduduk miskin (BPS, 2005).

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    14

    bahkan lebih tinggi daripada di tingkat nasional. Ini merupakan indikasi bahwa tingkat ketimpangan dalam

    distribusi pengeluaran penduduk miskin di perdesaan lebih besar daripada di perkotaan. Misalnya pada tahun

    1999, P2 di perdesaan tercatat hampir 1,4 dibandingkan 0,98 di perkotaan atau 1,23 di Indonesia secara total, dan

    pada tahun 2005 perbandingannya adalah masing-masing 0,89, 0,60, dan 0,76.

    Tabel 5: Indeks Keparahan Kemiskinan (P2) di Indonesia, 1999-2005

    Tahun Perkotaan Perdesaan Nasional 1999 2000 2001 2002

    2003 2004 2005

    0,98 0,51 0,45 0,71 0,74 0,58 0,60

    1,39 1,39 1,36 0,85 0,93 0,90 0,89

    1,23 1,02 0,97 0,79 0,85 0,78 0,76

    Sumber: BPS Kemiskinan antar propinsi disajikan di Tabel 6. Dapat dilihat bahwa tingkat kemiskinan dan perubahannya

    bervariasi menurut propinsi, dan variasi ini disebabkan oleh perbedaan antar propinsi dalam banyak hal yang

    secara langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan masyarakat, seperti laju

    pertumbuhan ekonomi dan sifatnya (yakni apakah padat tenaga kerja atau modal), kondisi infrastruktur, tingkat

    pendidikan dan kesehatan, khususnya dari kelompok masyarakat berpendapatan rendah, dan implementasi dari

    program-program anti kemiskinan dari pemerintah pusat. Lebih dari 55% dari jumlah orang miskin di tanah air

    terdapat di pulau Jawa, yang memang merupakan pusat kemiskinan di Indonesia, dan hal ini erat kaitannya dengan

    angka kepadatan penduduk yang juga di pulau Jawa paling tinggi dibandingkan di propinsi-propinsi lainnya. Fakta

    ini memberi kesan adanya suatu korelasi positif antara kepadatan penduduk (jumlah penduduk dibagi luas wilayah)

    dan tingkat kemiskinan di suatu wilayah. Semakin tinggi jumlah penduduk per km2, atau per hektar, semakin sempit

    ladang untuk bertani atau lokasi untuk membangun pabrik atau melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi lainnya,

    semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, yang berarti juga semakin besar persentase penduduk yang

    berada di bawah garis kemiskinan. Hipotesa ini bisa benar tentu dengan asumsi bahwa mobilisasi penduduk

    antardaerah tidak tinggi.

    Ada dua hal yang menarik dari data di tabel ini. Pertama, Jawa merupakan pusat kemiskinan di Indonesia

    Kawasan Barat (IKB), sedangkan Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT) di Indonesia

    Kawasan Timur (IKT). Paling besarnya kemiskinan di propinsi Jawa Tengah dan D.I. Yogyakarta tersebut erat

    kaitannya dengan kenyataan bahwa tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia adalah di dua wilayah

    tersebut. Sedangkan di Nusa Tenggara lebih dikarenakan oleh tingkat pembangunan yang rendah, bukan karena

    kepadatan penduduk karena jumlah penduduk di wilayah tersebut relatif sedikit. Kedua, sebagian dari propinsi-

    propinsi di Indonesia mengalami penurunan sedangkan propinsi-propinsi lainnya mengalami peningkatan

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    15

    kemiskinan selama periode yang diteliti, dan laju penurunan/peningkatan bervariasi per propinsi, yang erat

    kaitannya dengan kinerja perekonomian regional yang juga bervariasi menurut propinsi.

    Selain dalam bentuk banyaknya orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sebagai suatu persentase dari

    jumlah populasi, besarnya kemiskinan di suatu wilayah dapat juga diukur dengan sejumlah variabel lain seperti

    jumlah rumah tangga yang membayar listrik (PLN), yang memiliki kendaran bermotor, yang memiliki sambungan

    telepon, yang memakai air PAM, yang punya rumah dengan lantai ubin, atau yang memiliki sanitasi yang baik per

    1000 rumah tangga. BPS dkk. (2004), membuat suatu indeks yang disebut Indeks Kemiskinan Manusia (IKM)

    yang terdiri dari lima (5) unsur utama, yakni suatu proporsi dari jumlah populasi yang diperkirakan tidak mencapai

    usia 40 tahun, yang buta huruf, yang tidak memiliki akses terhadap air bersih dan sarana kesehatan, dan balita

    kurang gizi (Tabel 7). Variasi antar propinsi dalam kelima indikator sosial ini erat kaitannya dengan perbedaan-

    perbedaan antar propinsi dalam fasilitas-fasilitas kesehatan dan pendidikan yang baik, di satu sisi, dan akses

    masyarakat dari semua golongan terhadap fasilitas-fasilitas tersebut, di sisi lain, dan pendapatan masyarakat dalam

    nilai riil. Sedangkan adanya variasi tersebut mencerminkan tidak meratanya pembangunan ekonomi dan sosial

    antar propinsi di Indonesia.

    Tabel 6. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Propinsi: 2000, 2001 dan 2002 Jumlah (000) % Propinsi

    2000 2001 2002 2000 2001 2002 Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Bangka Belitung Jakarta Jabar Jateng Yogyakarta Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultengg Gorontalo Maluku Maluku Utara Irian Jaya/Papua Indonesia

    - 1.491,8 482,5 485,6 504,9 1.338,0 249,0 2.017,8 - 416,1 6.658,4 6.513,6 1.035,8 7.845,4 - 176,8 1.070,5 1.425,9 1.095,0 213,7 385,3 393,6 365,9 503,2 1.198,0 419,2 - - - 970,9 37.256,9**

    - 1.359,7 643,3 491,6 480,4 1.113,8 308,5 1.674,1 127,9 247,5 3.532,3 6.856,7 767,6 7.508,3 1424,0 248,4 1.175,5 1.317,5 728,5 215,4 357,5 349,7 213,2 530,5 1.296,3 457,5 253,0 418,8 110,1 900,8 37.108,4***

    1.199,9 1.883,9 496,4 722,4 326,9 1.600,6 372,4 1.650,7 106,2 286,9 4.938,2 7.308,3 635,7 7.701,2 786,7 221,8 1.145,8 1.206,5 644,2 231,4 259,8 313,0 229,3 564,6 1.309,2 463,8 274,7 418,8 110,1 984,7 38.394,1

    - 13,05 11,43 10,38 21,15 17,37 17,83 30,43 - 4,96 15,40 21,16 33,39 22,77 - 5,68 28,13 36,52 29,42 11,97 13,03 16,30 13,03 24,51 15,44 23,88 - - - 46,35 18,95**

    - 11,73 15,16 10,06 19,71 16,07 21,65 24,91 13,28 3,14 15,34 22,07 24,53 21,64 17,24 7,87 30,43 33,01 19,23 11,72 11,92 14,04 10,67 25,29 16,50 25,20 29,74 34,79 14,03 41,80 18,40***

    29,8 15,8 11,6 13,7 13,2 22,3 22,7 24,1 11,6 3,4 13,4 23,1 20,1 21,9 9,2 6,9 27,8 30,7 15,5 11,9 8,5 12,2 11,2 24,9 15,9 24,2 32,1 34,8 14,0 41,8 18,2

    Keterangan: *= hasil estimasi berdasarkan KOR Susenas tahun 2000 dan 2001; **=tanpa Aceh dan Maluku; ***=tanpa Aceh Sumber: BPS (2001).dan BPS dkk. (2004).

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    16

    Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah jelas bahwa pertumbuhan ekonomi yang pesat selama periode Orde

    Baru dan yang mulai positif lagi sejak 1999 berperan sangat besar terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia

    selama ini. Tentu hubungan negatif antara laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan yang dialami

    Indonesia tersebut tidak berarti bahwa pertumbuhan ekonomi adalah satu-satunya yang diperlukan untuk

    mengentaskan kemiskinan. Dalam kata lain, pertumbuhan ekonomi adalah suatu faktor yang sangat penting bagi

    penurunan kemiskinan, tetapi bukan satu-satu faktor penentu. Kebijakan-kebijakan yang pro-miskin baik yang

    sifatnya langsung seperti memberikan kompensasi penurunan subsidi BBM kepada kaum miskin, modal kerja

    kepada pengusaha-pengusaha mikro dan kecil, dan subsidi pendidikan bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu,

    maupun yang sifatnya tidak langsung seperti proyek-proyek pembangunan infrastruktur padat karya,

    pembangunan desa-desa tertinggal (seperti IDT pada era Orde Baru), dan modernisasi sektor pertanian sangat

  • Kadin Indonesia-Jetro, 2006 www.kadin-indonesia.or.id

    17

    Tabel 7:. Indeks Kemiskinan Manusia (IKM) menurut Propinsi, 1998, 1999 dan 2002 Penduduk yang

    diperkirakan tidak mencapai usia 40

    tahun (%)

    Angka buta huruf usia dewasa (%)

    Penduduk tanpa akses terhadap air

    bersih (%)

    Penduduk tanpa akses terhadap

    sarana kesehatan (%)

    Balita kurang gizi

    (%)

    IKM Peringkat IKM

    Propinsi

    1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 1999 2002 Aceh Sumut Sumbar Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Bangka Belitung Jakarta Jabar Jateng Yogyakarta Jatim Banten Bali NTB NTT Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultengg Gorontalo Maluku Maluku Utara Irian Jaya/ Papua Indonesia

    12,7 13,5 16,2 12,4 14,2 16,2 16,6 15,4 7,9 18,2 11,7 8,2 16,2 11,7 31,5 19,5 18,6 10,4 24,5 10,7 12,0 21,2 11,7 17,0 13,1 17,8 15,2

    12,6 13,3 15,2 12,0 13,9 16,0 16,3 15,2 16,0 6,7 18,0 10,9 6,7 15,3 21,7 9,5 27,3 19,2 18,1 10,2 23,9 10,2 8,4 20,1 11,3 16,8 18,5 16,2 20,7 16,8 15,0

    6,9 4,2 5,3 4,4 6,3 6,6 7,4 8,2 2,2 7,8 15,2 14,5 18,7 17,3 27,2 19,6 16,8 5,2 7,2 6,5 2,8 7,4 16,8 12,9 4,2 28,8 11,6

    4,2 3,9 4,9 3,5 5,3 5,9 7,0 7,0 8,3 1,8 6,9 14,3 14,1 16,8 6,2 15,8 22,2 15,9 13,1 3,6 6,7 4,8 1,2 6,7 16,5 11,8 4,8 3,7 4,2 26,9 10,5

    61,5 47,9 46,4 71,8 57,3 59,7 59,2 54,4 40,2 62,1 47,8 48,9 43,0 34,2 62,5 41,9 78,4 68,2 46,7 35,8 44,5 51,7 49,1 43,6 52,1 54,5 51,9

    48,5 41,8 42,4 58,9 47,4 52,7 45,0 45,9 48,9 30,3 53,0 39,8 38,9 36,7 55,8 27,8 52,3 46,8 78,5 66,7 41,5 37,3 35,7 53,8 45,1 41,3 62,4 43,9 43,2 61,6 44,8

    37,6 20,9 21,7 39,2 21,5 28,9 24,8 34,5 2,0 22,4 17,1 8,6 17,1 14,9 17,5 38,2 43,3 26,2 16,2 19,6 26,1 30,2 26,0 21,3 23,8 36,0 21,6

    38,0 30,4 27,6 29,7 23,1 36,0 22,0 29,8 35,3 2,9 19,0 20,9 7,7 22,2 23,5 19,8 21,6 32,8 50,1 33,6 27,3 22,2 18,4 36,8 27,3 37,4 32,7 26,1 42,2 36,1 23,1

    35,6 35,3 34,0 27,9 32,9 26,4 30,0 29,1 23,7 27,2 30,5 17,3 30,7 21,0 39,7 38,7 42,0 30,5 29,0 31,9 25,8 34,9 33,9 27,1 29,3 28,3 30,0

    35,2 33,0 28,0 18,4 25,0 28,2 26,4 24,2 21,1 23,2 21,5 25,0 16,9 25,5 20,5 18,7 37,8 38,8 33,2 31,9 30,2 21,5 21,9 29,6 29,1 28,3 42,0 29,3 29,6 28,3 25,8

    31,4 24,5 24,4 32,3 26,3 27,3 27,1 27,9 15,5 26,9 23,2 18,5 23,4 18,7 33,7 29,5 38,7 29,0 24,4 20,6 22,7 28,4 26,3 22,9 24,7 31,3 25,2

    28,4 24,8 23,4 25,1 22,7 27,7 22,7 23,9 25,2 13,2 23,0 21,0 16,1 21,7 25,1 17,3 30,2 28,9 38,0 30,7 25,5 19,1 17,8 28,9 24,6 25,8 32,4 22,9 27,9 30,9 22,7

    23 11 10 24 13 17 16 18 1 15 7 2 8 3 25 21 26 20 9 4 5 19 14 6 12 22

    23 15 12 16 9 21 8 13 18 1 11 6 22 27 17 3 26 24 30 27 19 5 4 25 14 20 29 10 22 29

    Sumber: BPS dkk (2004).

  • 18

    diperlukan agar pertumbuhan ekonomi mempunyai suatu dampak positif yang berarti bagi pengurangan

    kemiskinan.

    Sebagai perbandingan, Tabel 8 menunjukkan kemiskinan di sejumlah negara di Asia dan Tabel 9 menyajikan

    perbandingan hasil penghitungan proporsi populasi yang hidup di bawah garis kemiskinan di sejumlah NSB

    berdasarkan garis kemiskinan nasional dan dengan pendekatan Bank Dunia yakni berdasarkan pengeluaran 1 dan 2

    dollar AS per hari. Dari Tabel 8, dapat dilihat bahwa Indonesia merupakan negara yang laju penurunan

    kemiskinan per tahun cukup tinggi relatif dibandingkan di negara-negara lain di tabel tersebut, sedangkan pada

    tahun 1960an Indonesia merupakan negara termiskin setelah Filipina dan Bangladesh. Pada tahun 1960 sebanyak

    60% dari jumlah penduduk saat itu hidup di bawah batas miskin, dan pada tahun 2000 menjadi 14.6%.

    Perkembangan ini menandakan bahwa usaha-usaha pemerintahan pada era Orde Baru relatif sangat berhasil dalam

    mengurangi kemiskinan di dalam negeri. Ini yang membuat Indonesia dipakai sebagai salah satu contoh success

    story dalam pengentasan kemiskinan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi di NSB.

    Tabel 8. Tingkat Kemiskinan di Indonesia dan Beberapa Negara Asia lainnya, Berdasarkan Garis-Garis

    Kemiskinan Nasional, 1970-2000 Penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan nasional yang berlaku/Indeks HC (%)

    Rata-rata pertumbuhan (%)

    Negara

    1970 1980 1990 2000 1980s 1990s

    China Korea Selatan Indonesia Malaysia Filipina Thailand Viet Nam Bangladesh India Nepal Pakistan Sri Lanka

    33,0 23,0 60,0 18,0 61,6 (1971) 26,0 .. 71,0 (1973/74) 55,6 .. 54,0 (1961) 37,0 (1963)

    28,0 10,0 29,0 9,0 59,7 (1985) 17,0 75,0 (1988) 52,3 (1983/84) 48,4 (1978) 41,4 (1984/85) 29,1 (1986/87) 27,3 (1985/86)

    10,1 8,2 (1993) 16,8 6,1 (1989) 45,2 (1991) 18,0 58,0 (1993) 49,7 (1991/92) 40,9 (1992) .. 26,1 (1990/91) 22,4 (1990/91)

    4,6 11,6 (1999) 14,6 8,1 (1999) 40,0 14,2 37,0 (1998) 39,8 26,1 (1999/2000) 44,6 (1995/96) 32,6 22,9 (1995/96)

    -6,4 -1,4 -4,8 -3,6 -4,0 0,6 -4,5 -0,6 -1,1 .. -2,6 -3,6

    -5,4 6,9 8,8 3,3 -1,3 -2,1 -7,2 -2,3 -4,5 .. 2,9 0,4

    Keterangan; di dalam kurung adalah tahun yang menjadi ukuran. Sumber: Indonesia: BPS; untuk Negara-negara lain tersebut: ESCAP & UNDP (2003).

    Sedangkan dari Tabel 9, satu hal yang sangat menarik adalah bahwa sebenarnya besarnya kemiskinan di suatu

    negara sangat tergantung pada garis kemiskinan yang ditentukan sebelumnya. Seperti yang dapat dilihat, pada saat

    garis kemiskinan adalah 1 dollar AS per hari, banyak negara yang menunjukka angka kemiskinan yang relatif

    rendah; namun pada saat batas miskin dinaikkan ke 2 dollar AS per hari, tingkat kemiskinan di negara-negara

    tersebut meningkat cukup signifikan. Di Indonesia, dengan memakai batas miskin 1 dollar AS per hari, jumlah

    orang miskin, yakni mereka yang pengeluarannya per hari lebih kecil dari 1 dollar AS (atau sekitar Rp 9000

    dengan kurs rata-rata Rp 9000 per dollar AS), tercatat sekitar 7,5% dari jumlah populasi; namun pada saat batas

    miskin di naikkan 100% (atau sekitar Rp18.000 per hari), tingkat kemiskinan di Indonesia naik drastis ke 52,4%.

    Tabel 9: Kemiskinan di Sejumlah NSB; data terakhir (%)

  • 19

    Tingkat kemiskinan berdasarkan garis kemiskinan internasional

    Negara

    Tahun survei

    Tingkat kemiskinan nasional berdasarkan garis kemiskinan Nasional

    Tahun survei

    Di bawah US$1/hari Di bawah US$2/hari

    Albania Argentina Bangladesh Bolivia Brazil Cambodia Cameroon Chile China Costa Rica Egypt El Savador Guatemala India Indonesia Korea, Rep. Lao PDR Malaysia Mexico Nicaragua Panama Peru Philippines Thailand Tunisia Uruguay Vietnam

    2002 1998 2000 1999 1990 1997 2001 1998 1998 1992

    1999-00 1992 2000

    1999-00

    2004*

    1997-98 1989 1988 1998 1997 1997 1997 1992 1995 1993

    25,4 29,9** 49,8 62,7 17,4 36,1 40,2 17,0 4,6

    22,0 16,7 48,5 56,2 28,6 16,6

    .. 38,6 15,5 10,1 47,9 37,3 49,0 36,8 13,1 7,6 ..

    50,9

    2002 2001 2000 1999 2001 1997 2001 2000 2001 2000 2000 2000 2000

    1999-00 2002 1998

    1997-98 1997 2000 2001 2000 2000 2000 2000 2000 2000 1998

  • 20

    tidak tepat mengenai pendapatan, atau tidak mencerminkan tingkat pendapatan yang sebenarnya. Jumlah

    pengeluaran konsumsi seseorang tidak harus selalu sama dengan jumlah pendapatan yang diterimanya, bisa lebih

    besar atau lebih kecil. Misalnya, pendapatannya lebih besar tidak selalu berarti pengeluaran konsumsinya juga

    besar, karena ada tabungan. Sedangkan, jika jumlah pendapatannya rendah tidak selalu berarti jumlah

    konsumsinya juga rendah. Banyak rumah tangga memakai kredit bank untuk membiayai pengeluaran konsumsi

    tertentu, misalnya untuk beli rumah dan mobil, dan untuk membiayai sekolah anak atau bahkan untuk liburan.

    Demikian pula, pengertian pendapatan, yang artinya pembayaran yang didapat karena bekerja, atau menjual

    jasa, tidak sama dengan pengertian kekayaan. Kekayaan seseorang bisa jauh lebih besar daripada pendapatannya.

    Atau, seseorang bisa saja tidak punya pekerjaan (pendapatan) tetapi ia sangat kaya karena ada warisan keluarga.

    Banyak pengusaha-pengusaha muda di Indonesia kalau diukur dari tingkat pendapatan mereka tidak terlalu

    berlebihan tetapi mereka sangat kaya karena perusahaan di mana mereka bekerja adalah milik mereka (atau orang

    tua mereka).8

    Kalau dilihat pada tingkat agregat dengan memperhatikan perkembangan sejumlah variabel-variabel ekonomi

    makro selama Orde Baru hingga krisis ekonomi terjadi, seperti misalnya laju pertumbuhan produk domestik bruto

    (PDB) rata-rata per tahun, peningkatan pendapatan nasional (PN) per kapita, diversifikasi ekonomi, dan pangsa

    ekspor non-migas, diakui ada keberhasilan daripada pembangunan ekonomi selama periode tersebut. Akan tetapi,

    keberhasilan suatu pembangunan ekonomi tidak dapat hanya diukur dari laju pertumbuhan output atau

    peningkatan pendapatan secara agregat atau per kapita. Tetapi, bahkan lebih penting, harus dilihat juga dari pola

    distribusi dari peningkatan pendapatan tersebut. Menjelang pertengahan 1997, beberapa saat sebelum krisis

    ekonomi muncul, tingkat pendapatan per kepala di Indonesia sudah melebihi 1000 dollar AS, dan tingkat ini jauh

    lebih tinggi jika dibandingkan 30 tahun yang lalu. Namun, apa artinya kalau hanya 10% saja dari jumlah penduduk

    di tanah air yang menikmati 90% dari jumlah PN.9Sedangkan, sisanya (80%) hanya menikmati 10% dari PN.

    Atau, kenaikan PN selama masa itu hanya dinikmati oleh kelompok 10% tersebut, sedangkan pendapatan dari

    kelompok masyarakat yang mewakili 90% dari jumlah penduduk tidak mengalami perbaikan yang berarti.

    Pemerintahan Orde Baru hingga pemerintahan sekarang memang berusaha memperbaiki ketimpangan dalam

    distribusi pendapatan. Hasil dari upaya pemerintah selama Orde Baru untuk meningkatkan pemerataan pendapatan

    bisa dilihat pada perkembangan koefisien Gini sejak 1965 hingga 1999 dengan memakai data SUSENAS. Selama

    1965-70, rata-rata laju pertumbuhan PDB di Indonesia masih sangat rendah sekitar 2,7%, dan koefisien Gini

    rata-rata per tahun sebesar 0,35. Selama 1971-80 laju pertumbuhan PDB jauh lebih besar, rata-rata 6% per tahun

    dengan koefisien Gini rata-rata per tahun sedikit di atas 0,4. Ini berarti selama periode itu, pertumbuhan memang

    sangat baik namun kesenjangan pendapatan yang diukur dengan distribusi pengeluaran konsumsi semakin

    memburuk. Sedangkan, selama 1981-90 pertumbuhan PDB 5,4% per tahun dan koefisien Gini rata-rata per tahun

    8 Lihat pembahasan lebih dalam mengenai isu ini dari Hasibuan (1978, 1980, 1995). 9 Berarti dapat dibayangkan secara sederhana: 10 persen dari penduduk menikmati 0,90 x (US$1080 x jumlah penduduk).

  • 21

    sedikit di atas 0,3. Walaupun ada variasi antara tahun-tahun tertentu, perubahan koefisien Gini tersebut

    menandakan bahwa dalam periode 1980-an, dibandingkan 1960-an hingga 1970-an, tingkat ketidak-merataan

    pembagian pendapatan di tanah air menunjukkan penurunan. Sebagaimana negara-negara Asia Timur dan Asia

    Tenggara lainnya, koefisien Gini di Indonesia juga meningkat selama awal 1990-an, tetapi kemudian menurun lagi

    secara tajam menjadi 0,32 tahun 1998, dan naik sedikit menjadi 0,33 tahun 1999 dan relatif stabil hingga awal

    tahun 2000-an. Pada tahun 2005, koefisien Gini tercatat 0.34.

    Menurut daerah, pada era 60-an tingkat kesenjangan pengeluaran konsumsi di perdesaan lebih besar daripada

    di perkotaan. Baru sejak 1970-an ada perbaikan: angka Gini di perdesaan setiap tahun lebih rendah daripada di

    perkotaan. Selama 1980-1999 nilai rasio Gini di perdesaan berkisar antara 0,26 (terendah) dan 0,31 (tertinggi),

    sedangkan di perkotaan rata-rata 0,33. Pada tahun 2004, indeks Gini di perdesaan tercatat sekitar 0,27 dan

    diperkotaan 0,35 (Gambar 1) Kalau perubahan nilai Gini tersebut memang memberi gambaran yang

    sebenarnya,10maka bisa dikatakan ada perbaikan dalam distribusi pendapatan di perdesaan.

    Gambar 1: Tren jangka panjang dari perkembangan koefisien gini dari pengeluaran konsumsi di Indonesia menurut wilayah perdesaan dan perkotaan, 1965-2004

    0%5%

    10%15%20%25%30%35%40%

    1965 1970 1976 1980 1986 1990 1995 1998 2002 2003 2004 2005

    PerkotaanPerdesaan

    Sumber: BPS

    Tabel 10 menunjukkan Indeks Theil dan Indeks-L di perkotaan dan Perdesaan dan pada tingkat nasional

    selama periode 1996-2005. Dapat dilihat bahwa Indeks Theil dan Indeks-L mengalami penurunan selama periode

    1996-1999 (Februari). Antara periode 1999-2002, Indeks Theil di perkotaan sedikit meningkat dari 0,1044 ke

    0,1891 sedangkan di perdesaan menurun dari 0,1177 menjadi 0,1164. Sedangkan Indeks-L pada periode yang

    sama cenderung menurun baik di perkotaan maupun di perdesaan, masing-masing, dari 0,1762 ke 0,1616 dan dari

    0,1044 menjadi 0,1017. Pada periode 2002-2005, kedua indeks tersebut mengalami peningkatan baik di perkotaan

    maupun di perdesaan, yang mengindikasikan adanya ketimpangan pengeluaran penduduk yang semakin besar

    pada tahun 2005 dibandingkan pada tahun 2002.

    10 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dengan memakai data pengeluaran konsumsi rumah tangga (sebagai proksi daripada pendapatan), informasi yang didapat mengenai tingkat pendapatan dan distribusinya bisa tidak sama seperti keadaan sebenarnya. Dalam perkataan lain, dengan memakai data konsumsi tingkat kesenjangan lebih rendah, dibandingkan kalau menggunakan data pendapatan. Sebagai suatu contoh, kalau seorang kaya sangat pelit dalam pngeluaran; lebih suka menabung daripada beli pakaian atau makanan yang banyak, jumlah pengeluaran konsumsinya bisa relatif sama dengan jumlah konsumsi dari seorang yang tidak kaya yang membelanjakan semua gajinya untuk pembelian makanan dan pakaian.

  • 22

    Tabel 10: Indeks Theil dan Indeks-L di Indonesia, 1996-2005

    Indeks Theil Indeks-L Tahun Perkotaan Perdesaan Nasional Perkotaan Perdesaan Nasional

    1996 1999 2002 2005

    0,264 0,104 0,189 0,218

    0,150 0,118 0,116 0,123

    0,261 0,151 0,149 0,167

    0,224 0,176 0,162 0,187

    0,133 0,104 0,102 0,112

    0,216 0,133 0,128 0,147

    Sumber: BPS Tabel 11 menunjukkan ukuran Bank Dunia mengenai ketimpangan distribusi pengeluaran di Indonesia untuk

    periode 1996-2005. Kelompok 40% terendah adalah bagian dari populasi termiskin; kelompok 40% menengah

    adalah yang sering disebut sebagai kelas masyarakat menengah; dan 20% teratas adalah bagian dari populasi

    terkaya. Menurut kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan di suatu wilayah dianggap tinggi jika pengeluaran

    konsumsi dari 40% penduduknya dengan pengeluaran konsumsi terendah kurang dari 12% dari total pengeluaran

    dari seluruh penduduk di wilayah tersebut. Jika porsi dari kelompok 40% ini antara12% hingga 17% dari total

    pengeluaran dari seluruh penduduk, tingkat ketimpangan dianggap sedang. Apabila rasionya di atas 17%, tingkat

    ketimpangan rendah. Dari tabel tersebut terlihat bahwa selama periode 1996-2005, tingkat pemerataan distribusi

    pendapatan di perdesaan relatif lebih baik dibandingkan di perkotaan yang ditunjukkan oleh lebih besarnya

    persentase pendapatan rata-rata per tahun yang dinikmati oleh kelompok penduduk 40% berpenghasilan paling

    rendah di perdesaan daripada di perkotaan. Tabel ini juga menunjukkan bahwa selama periode tersebut, terjadi

    peningkatan persentase pengeluaran pada kelompok 40% terendah bersamaan dengan penurunan di kelompok

    20% teratas di perkotaan dan perdesaan. Perkembangan ini mengindikasikan bahwa di Indonesia selama periode

    tersebut terjadi perbaikan dalam distribusi pendapatan, yang dalam hal ini diwakili oleh data pengeluaran.11

    Pada tahun 2002 (Februari) persentase pengeluaran dari kelompok 40% terendah kembali meningkat dan dari

    kelompok 20% teratas menurun, dan ini terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan. Perkembangan ini

    menandakan bahwa pada tahun 1999-2002 ketimpangan di Indonesia mengalami penurunan. Sementara itu, pada

    periode 2002-2005 terjadi kebalikannya, yakni persentase pengeluaran dari kelompok 40% terendah menurun dan

    dari kelompok 20% teratas meningkat di perkotaan dan perdesaan, yang menandakan pada periode tersebut

    distribusi pendapatan (yang diwakili oleh distribusi pengeluaran) di Indonesia kembali memburuk. Namun

    demikian, secara keseluruhan, berdasarkan kriteria Bank Dunia, tingkat ketimpangan di Indonesia baik di

    perdesaan maupun di perkotaan tergolong rendah. Hal ini ditunjukkan oleh porsi pengeluaran dari kelompok 40%

    termiskin di Indonesia jauh di atas 12%.

    Tabel 11: Distribusi Pengeluaran Penduduk di Indonesia Menurut Pengukuran Bank Dunia, 1996-2005

    Daerah & Kelompok Penduduk

    1996

    1999

    2002

    2005

    11 Menurut BPS (2005), penurunan ini lebih merupakan fenomena peningkatan pengeluaran dari golongan atas akibat harga dan tingkat suku bunga yang menurun pada periode tersebut; jadi bukan fenomena peningkatan pendapatan sepenuhnya.

  • 23

    Perkotaan -40% terendah -40% menengah -20% teratas Perdesaan -40% terendah -40% menengah -20% teratas Nasional -40% terendah -40% menengah -20% teratas

    19,03 36,93 44,04

    23,18 38,99 37,83

    20,25 35,05 44,70

    20,52 37,74 41,74

    24,59 39,53 35,88

    21,50 37,35 41,15

    21,34 37,43 41,23

    24,97 39,27 35,75

    22,83 38,19 38,98

    20,38 36,86 42,75

    24,19 39,13 36,68

    21,84 37,73 40,43

    Sumber: BPS Selain ukuran-ukuran di atas, BPS (2005) juga mengukur ketimpangan dengan persentase pembagian

    pengeluaran menurut kuantil (1-5). Berdasarkan persentase pembagian pengeluaran pada kuantil 1 dan 2,

    ketimpangan pendapatan di perkotaan lebih tinggi daripada di perdesaan. Hal ini juga dapat dilihat dari rasio

    Q5/Q1 di perkotaan yang lebih besar dibandingkan di perdesaan (Tabel 12). Penemuan ini konsisten dengan

    penemuan-penemuan sebelumnya dengan koefisien Gini, Indeks Theil dan Indeks-L.

    Tabel 12: Persentase Pembagian Pengeluaran Menurut Kuantil di Indonesia, 2005 Kuantil Perkotaan Perdesaan Nasional Q1 Q2 Q3 Q4 Q5 Rasio Q5/Q1

    8,22 12,16 15,63 21,24 42,75

    5,20

    10,22 13,96 17,27 21,86 36,68

    3,59

    8,99 12,85 16,26 21,48 40,43

    4,50

    Sumber: BPS

    Ketimpangan distribusi pendapatan juga terjadi antar propinsi. Seperti yang dapat diduga sebelumnya, data BPS

    mengenai produk domestik regional bruto (PDRB) dari 27 propinsi menunjukkan bahwa sebagian besar dari PDB

    nasional berasal dari propinsi-propinsi di pulau Jawa, khususnya propinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta. Selama

    dekade 90-an propinsi-propinsi tersebut menyumbang lebih dari 60% terhadap pembentukan PDB Indonesia. Di

    pulau Jawa sendiri terjadi ketimpangan, terutama antara Jakarta dan wilayah di luar Jakarta. DKI Jakarta dengan luas

    wilayah hanya sekitar l0,03% dari luas tanah air (daratan) dan dengan jumlah penduduk hanya sekitar 5% dari total

    populasi di Indonesia menikmati antar 15% hingga 16% lebih dari PDB nasional, sedangkan Jawa Timur misalnya

    paling tinggi hanya sekitar 15% pada tahun 1996 dan 1997, atau Jawa Tengah sekitar 10%. Memang dilihat dari data

    BPS sejak 1980-an hingga saat ini dan dibandingkan dengan 1970-an dan periode sebelumnya, diperoleh suatu

    gambaran adanya dekonsentrasi dari DKI Jakarta ke daerah-daerah lain di sekitar DKI Jakarta. Hal ini tampaknya

    dipengaruhi oleh penyebaran kegiatan-kegiatan ekonomi, khususnya industri dan jasa, ke daerah Jabotabek yang

    masuk dalam kawasan Jawa Barat. Walaupun demikian, DKI Jakarta masih tetap merupakan pusat pertumbuhan

    ekonomi Indonesia.

  • 24

    Salah satu fakta yang memprihatinkan adalah bahwa, jika output agregat dihitung tanpa minyak dan gas (migas),

    kontribusi PDB dari wilayah-wilayah yang kaya migas seperti D.I Aceh, Riau dan Kalimantan Timur lebih kecil lagi.

    Sebagai suatu ilustrasi empiris, Tabel 13 menunjukkan bahwa pada tahun 1995, D.I Aceh menyumbang sekitar 3%

    terhadap PDB Indonesia; tanpa gas hanya menyumbang sekitar 50%-nya. Ini artinya, 50% dari perekonomian D.I

    Aceh, relatif terhadap perekonomian nasional, tergantung pada sektor gas. Riau dan Kalimantan Timur juga

    demikian; dengan minyak kedua propinsi tersebut pada tahun 1995 menyumbang sekitar 5% terhadap PDB

    Indonesia; tanpa minyak, peran dari masing-masing propinsi hanya 2% dan 2.9.%. Pada tahun 2000, kontribusi

    output regional yang dihasilkan oleh D.I. Aceh dan Kaltim dengan dukungan sektor migas terhadap PDB nasional

    menurun menjadi masing-masing 2.5% dan 1.6%; sedangkan dari Riau meningkat menjadi 5,4%. Hal ini memberi

    kesan bahwa sektor migas bukan suatu jaminan bagi kinerja ekonomi dari suatu wilayah yang kaya akan migas.

    Yang paling menyolot dari data di Tabel 13 adalah bahwa DKI Jakarta yang sama sekali tidak punya SDA

    memiliki saham PDB nasional jauh lebih besar daripada D.I Aceh, Riau dan Kalimantan Timur. Satu hal yang pasti

    sebagai penyebabnya adalah bahwa perekonomian DKI Jakarta jauh lebih produktif dibandingkan perekonomian

    dari tiga propinsi yang kaya SDA tersebut, karena DKI Jakarta memiliki SDM dan infrastuktur yang jauh lebih

    banyak dengan kualitas yang jauh lebih baik dibandingkan yang ada di tiga propinsi tersebut.

    Sejak 1970-an hingga saat ini sudah banyak penelitian dan pengkajian mengenai pembangunan ekonomi

    regional di Indonesia yang memfokuskan pada ketimpangan ekonomi antar propinsi. Dapat dikatakan bahwa

    pelopor dari studi-studi tersebut adalah Esmara yang melakukan penelitian tahun 1975, disusul kemudian oleh

    antara lain Hughes dan Islam (1981), Uppal dan Handoko (1988), Islam dan Khan ((1986), Akita (1988), Akita

    dan Lukman (1995) Tambunan (1996, 2001), Takeda dan Nakata (1998), Garcia dan Soelistyaningsih (1998),

    Sjafrizal (1997,2000), dan Booth (2000). Walaupun data yang dipakai sama, yakni PDRB per kapita, namun

    pendekatan yang digunakan bervariasi antarstudi. Misalnya, Sjafrizal menganalisis ketimpangan antara Indonesia

    kawasan barat (IKB) dan Indonesia kawasan timur (IKT) dan perbedaan dalam ketimpangan antarpropinsi antara

    kedua kawasan tersebut dengan memakai indeks Williamson yang disebut weighted coefficient of variation

    (WCV). 12Nilai indeks ini antara 0 dan 1. Bila mendekati 0 berarti distribusi PDB menurut propinsi sangat merata

    (atau variasi PDRB per kapita antar propinsi sangat kecil), dan sebaliknya bila mendekati 1 berarti tingkat

    disparitas sangat tinggi.13

    Tabel 13: Distribusi PDRB dengan dan tanpa Migas menurut Propinsi atas dasar harga konstan 1993:

    1995-2000 (%) 12 Penghitungan WCV didasarkan pada coeffisient of variation (CV), yakni pembagian rata-rata dari standar deviasi. Williamson (1965) memodifikasi penghitungan CV ini dengan menimbangnya dengan proporsi populasi menurut wilayah(Ni /N). 13 Williamson (1965) menemukan bahwa dalam tahap awal pembangunan ekonomi disparitas dalam distribusi pendapatan akan membesar dan terkonsentrasi pada wilayah-wilayah tertentu yang pada awalnya sudah relatif maju, misalnya dalam pembangunan industri, infrastruktur dan SDM. Kemudian pada tahap pertumbuhan ekonomi yang lebih besar, terjadi konvergensi dan ketimpangan dalam distribusi pendapatan akan mengalami penurunan. Penemuan ini sesuai hipotesa dari Kuznets yang dikenal dengan "hipotesa U terbalik": pada tahap awal dari suatu proses pembangunan ekonomi nasional, perbedaan dalam laju pertumbuhan regional yang besar antar propinsi mengakibatkan kesenjangan dalam distribusi pendapatan antar propinsi. Tetapi, pada jangka panjang, pada saat kondisi ekonomi mencapai tingkat kedewasaan (maturity) dan dengan asumsi mekanisme pasar bebas dan mobilitas semua faktor-faktor produksi antar propinsi tanpa sedikitpun rintangan atau distorsi, maka perbedaan dalam laju pertumbuhan output antar propinsi cenderung mengecil bersamaan dengan tingkat pendapatan per kapita (dan laju pertumbuhannya) rata-rata yang semakin tinggi di setiap propinsi, yang akhirnya menghilangkan kesenjangan ekonomi regional (Kuznets, 1957). Lihat juga Kuznets (1976), dan Easterlin (1960).

  • 25

    Denagan migas Tanpa migas Propinsi 1995 1996 1997 1998 1999 2000 1995 1996 1997 1998 1999 2000

    Aceh Sumut Sumba Riau Jambi Sumsel Bengkulu Lampung Jakarta Jabar Jateng Yogyakarta Jatim Kalbar Kalteng Kalsel Kaltim Sulut Sulteng Sulsel Sultengg Bali NTB NTT Maluku Irian Jaya Propinsi

    3,0 5,8 1,9 5,0 0,8 3,3 0,4 1,7 16,1 16,6 10,4 1,3 14,1 1,6 1,0 1,4 4,9 0,9 0,6 2,5 0,5 1,8 0,9 0,9 0,8 1,6

    100,0

    2,8 5,8 1,9 4,9 0,8 3,3 0,4 1,7 16,2 16,5 10,2 1,3 15,1 1,6 1,0 1,5 5,1 0,9 0,5 2,3 0,4 1,7 0,8 0,7 0,7 1,7

    100,0

    2,7 5,8 1,9 4,8 0,8 3,3 0,4 1,7 16,3 16,7 10,1 1,3 15,3 1,7 1,0 1,5 4,8 0,9 0,5 2,3 0,4 1,8 0,8 0,7 0,7 1,7

    100,0

    2.8 5.9 2,0 5,2 0,8 3,5 0,4 1,8 15,2 15,6 10,4 1,3 14,4 1,9 1,8 1,1 1,6 5,4 1,0 2,6 2,5 0,4 0,9 0,7 0,8 2,1

    100,0

    2,6 6,0 2,0 5,3 0,8 3,6 0,4 1,8 15,0 15,7 10,3 1,3 14,4 1,9 1,8 1,1 1,6 5,6 1,0 0,6 2,5 0,4 0,9 0,7 0,6 2,1

    100,0

    2,5 6,0 2,0 5,4 0,8 3,7 0,4 1,8 14,9 15,8 10,2 1,3 14,4 1,9 1,8 1,0 1,6 5,5 1,0 0,6 2,5 0,4 1,1 0,7 0,5 2,1

    100,0

    1,7 6,1 2,0 2,0 0,8 3,1 0,5 1,9 17,7 17,4 10,8 1,4 16,6 1,8 1,1 1,6 2,9 1,0 0,6 2,6 0,4 1,9 0,9 0,7 0,8 1,8

    100,0

    1,7 6,2 2,0 2,1 0,8 3,1 0,5 1,9 17,7 17,3 10,7 1,4 16,5 1,8 1,1 1,6 2,9 1,0 0,6 2,5 0,4 1,9 0,9 0,7 0,8 1,8

    100,0

    1,7 6,3 2,0 2,2 0,8 3,1 0,5 1,8 17,8 17,3 10,5 1,4 16,6 1,8 1,1 1,6 2,9 1,0 0,6 2,5 0,4 1,9 0,9 0,7 0,8 1,8

    100,0

    1,8 6,4 2,2 2,5 0,8 3,3 0,5 2,0 16,7 16,1 10,4 1,4 15,8 2,1 2,0 1,2 1,7 3,2 1,0 0,6 2,7 0,5 1,0 0,8 0,8 2,4

    100,0

    1,7 6,5 2,2 2,5 0,8 3,3 0,5 2,0 16,4 16,4 10,6 1,4 15,8 2,1 2,0 1,2 1,7 3,3 1,1 0,7 2,7 0,5 1,0 0,8 0,6 2,3

    100,0

    1,6 6,6 2,2 2,6 0,8 3,2 0,5 1,9 16,3 16,6 10,5 1,4 15,8 2,1 2,0 1,1 1,7 3,1 1,1 0,7 2,8 0,5 1,2 0,8 0,6 2,3

    100,0

    Keterangan: tidak lagi termasuk Timor Timur dan belum memasukan propinsi-propinsi baru seperti propinsi Banten dsb.nya. Sumber: BPS (2001).

    Dengan memakai data PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1993, hasil studinya memperlihatkan bahwa

    tingkat ketimpangan ekonomi antarpropinsi di IKB ternyata lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan

    ekonomi rata-rata di Indonesia. Indeks ketimpangan ekonomi daerah di IKB selama periode yang diteliti adalah

    antara 0,179 paling rendah hingga 0,392 paling tinggi. Disamping itu, sejak 1990 mulai terlihat adanya tendensi

    menurun. Sedangkan indeks ketimpangan untuk IKT berkisar antara terendah 0,396 hingga tertinggi 0,544 dan

    cenderung terus meningkat. Hasil studi ini manandakan bahwa ketimpangan ekonomi di IKT lebih tinggi dan

    cenderung memburuk dibandingkan di IKB.

    Didasarkan atas PDRB tanpa migas untuk periode 1971-1998, hasil studinya yang lain menunjukkan bahwa

    indeks ketimpangan ekonomi antarpropinsi berkisar antara 0,4-0,7. Angka ini diduga lebih tinggi dibandingkan

    indeks rata-rata untuk NSB. NSB lain yang indeksnya juga hampir sama dengan Indonesia adalah Brasil, Kolumbia

    dan Filipina. Berdasarkan perbandingan ini, dapat disimpulkan bahwa ketimpangan ekonomi antarpropinsi di

    Indonesia cukup tinggi dibandingkan rata-rata NSB. Selain itu, hasil studi ini juga menunjukkan adanya tendensi

    peningkatan ketimpangan ekonomi antarpropinsi di Indonesia sejak awal 1970an. Sedangkan tingkat ketimpangan

    menunjukkan sedikit penurunan dari 0,671 pada tahun 1997 menjadi 0,605 pada tahun 1998. Menurut studi ini,

    penurunan indeks tersebut diperkirakan sebagai akibat dari terjadinya krisis ekonomi di mana banyak daerah-daerah

    maju dengan tingkat konsentrasi industri yang tinggi seperti di Jawa mengalami kemunduran ekonomi yang sangat

    tajam. Sedangkan propinsi-propinsi yang kurang maju pada umumnya adalah daerah-daerah pertanian, seperti

  • 26

    misalnya Sulawesi, dan sektor pertanian, khususnya subsektor perkebunan merupakan satu-satunya sektor yang

    cukup mendapatkan keuntungan dari melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Hal ini membuat

    perekonomian propinsi-propinsi tersebut tidak terlalu terpukul oleh krisis ekonomi.

    Tadjoeddin dkk. (2001) menganalisa ketimpangan regional pada tingkat yang lebih disagregat dengan

    memakai data kabupaten/kota tahun 1996. Mereka menemukan bahwa dari jumlah kabupaten/kota yang ada pada

    tahun itu, ada sejumlah kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi yang menjadikan

    daerah-daerah itu sebagai daerah-daerah kantong (enclave), yang antara lain disebabkan oleh keberadaan migas,

    atau SDA lainnya. Menurut mereka, dilihat dari sebaran PDRB per kapita, daerah-daerah kantong ini bisa

    ditempatkan sebagai data pencilan (out layers). Hasil penghitungan Tadjoeddin dkk. (2001) menunjukkan bahwa

    PDRB dari tujuh daerah pusat produksi migas, yakni Aceh Utara (Aceh), Kepulauan Riau dan Bengkalis (Riau),

    Kutai, Bulungan dan Balik Papan (Kalimantan Timur), dan Fak-Fak (Papua) menguasai 72% dari PDB migas

    nasional. Tujuh daerah ini ditambah dengan 13 kabupaten/kota yang memiliki PDRB per kapita yang sangat tinggi

    tersebut di atas, menghasilkan 19 daerah kantong, karena kabupaten Kutai yang tetap memiliki PDRB per kapita

    yang sangat tinggi setelah dikurangi dengan penghasilan dari migas termasuk di dalam kedua kategori tersebut.

    Hasil penghitungan mereka menunjukkan bahwa semua daerah kantong itu dengan jumlah penduduk hanya sekitar

    9% dari total populasi Indonesia menyumbang sekitar 33% dari PDB nasional.14

    Selain itu, Tadjoeddin dkk. (2001) juga melakukan analisis dekomposisi ketimpangan pendapatan regional ke

    dalam dua komponen, yakni ketimpangan pendapatan antar individu di dalam propinsi dan ketimpangan

    pendapatan antar propinsi, dengan indeks Theil dan indeks L Hasilnya di Tabel 14 juga menunjukkan

    kecenderungannya yang sama, yakni adanya migas dan daerah kantong memperparah ketimpangan regional di

    Indonesia. Selanjutnya, di Tabel 15 diperlihatkan bahwa berdasarkan dua indeks ini, kontribusi dari daerah kantong

    terhadap total indeks ketimpangan regional mencapai 60% hingga 70%.

    Tabel 14: Beberapa Indeks Ketimpangan Regional dalam PDRB per kapita (atas harga konstan 1993)

    menurut Kabupaten/Kota: 1993-1998 1993 1994 1995 1996 1997 1998

    Gini Total Tanpa Migas Tanpa Migas dan Daerah Kantong

    Theil Total Tanpa Migas Tanpa Migas dan Daerah Kantong

    L Total Tanpa Migas

    0,412 0,363 0,248

    0,342 0,263 0,102

    0,274 0,213

    0,411 0,366 0,251

    0,339 0,268 0,104

    0,273 0,217

    0,411 0,371 0,256

    0,336 0,275 0,108

    0,270 0,222

    0,415 0,378 0,267

    0,338 0,282 0,119

    0,277 0,230

    0,415 0,381 0,271

    0,339 0,288 0,122

    0,277 0,234

    0,407 0,363 0,257

    0,345 0,266 0,109

    0,268 0,212

    14 Yang menarik dari studi mereka adalah jika out layers tersebut tidak dimasukkan di dalam analisa, ketimpangan PDRB per kapita antar propinsi menjadi sangat rendah. Tanpa migas dan daerah kantong, nilai Gini dari distribusi PDB nasional per kapita menurut kabupaten/kota selama 1993-1998 berkisar antara 0,24 dan 0,27. Jika daerah kantong juga diperhitungkan, koefisien Gini naik sampai sekitar 0,36-0,38, dan tambah tinggi lagi menjadi sekitar 0,41 jika migas juga diikut sertakan

  • 27

    Tanpa Migas dan Daerah Kantong

    WCV Total Tanpa Migas Tanpa Migas dan Daerah Kantong

    0,096

    1,076 0,923 0,483

    0,098

    1,067 0,938 0,489

    0,102

    1,070 0,962 0,511

    0,110

    1,073 0,966 0,526

    0,114

    1,080 0,982 0,534

    0,103

    1,165 0,965 0,501

    Sumber: Tadjoeddin dkk (2001).

    Hal lain yang menarik dari studi Tadjoeddin dkk. (2001) ini adalah mengenai ketimpangan di dalam propinsi.

    Dengan memakai data pengeluaran dan Indeks Theil dan Indeks-L, hasil analisis mereka menunjukkan bahwa

    ketimpangan dalam pengeluaran di dalam propinsi jauh lebih besar daripada ketimpangan antar propinsi. Pada

    tahun 1990, ketimpangan di dalam propinsi menyumbang sekitar 83% terhadap ketimpangan pengeluaran

    konsumsi pada tingkat nasional. Sedang sisanya 17%, disebabkan oleh ketimpangan antarpropinsi. Pada tahun

    1999 distribusinya sedikit perubah, namun kontribusi dari ketimpangan di dalam propinsi tetap dominan dalam

    penciptaan ketimpangan nasional. Penemuan ini menunjukkan dengan jelas bahwa masalah pembangunan

    ekonomi yang timpang di Indonesia selama ini tidak hanya mengakibatkan ketimpangan antar daerah tetapi juga

    ketimpangan antara kaum kaya dengan kaum miskin di setiap daerah (Tabel 16)..

    Tabel 15: Persentase Perubahan Indeks-Indeks Ketimpangan antar Kabupaten/Kota setelah dikurangi Migas Dan Daerah Kantong: 1993-1998

    Indeks 1993 1994 1995 1996 1997 1998 Gini Theil

    L WCV

    40 70 65 55

    39 69 64 54

    38 68 62 52

    36 65 60 51

    35 64 59 51

    37 68 62 57

    Sumber: Tadjoeddin dkk. (2001)

    Studi lain yang juga dengan indeks Theil adalah dari Akita dan Alisjahbana (2002). Dengan memakai data output

    dan populasi pada tingkat kabu