keadilan dalam pemenuhan hak warga atas pelayanan kesehatan1

5
Keadilan Dalam Pemenuhan Hak Warga Atas Pelayanan Kesehatan Oleh saeful Muluk Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan diartikan sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Itulah kedudukan dan pengertian kesehatan seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. Undang-undang tersebut merupakan penjabaran dari amanat UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) dan Pasal 34 ayat (3). Pasal 28H ayat (1) berbunyi setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Sedangkan Pasal 34 ayat (3) berbunyi Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak. Terkait dengan pelayanan kesehatan, ada dua isu etika yang saling terkait dari bunyi pasal- pasal tersebut yakni right atau hak setiap orang memperoleh pelayanan kesehatan di satu sisi, di sisi yang lain adalah duties atau tanggung jawab negara menyediakan fasilitas kesehatan. Doctrine of rights menyatakan bahwa all duties entail other people’s rights and all rights entail other people’s duties. Dengan kata lain hak warga untuk memperoleh pelayanan kesehatan menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi hak tersebut dengan menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan. Kondisi warga yang heterogen dalam banyak hal seperti kondisi geografis dan sosial ekonomi memunculkan isu etika lainnya yaitu keadilan (justice) negara dalam memenuhi hak warga atas pelayanan kesehatan tersebut karena treating people unequally dapat menimbulkan kondisi unjustice 1 . Penjabaran mengenai tanggung jawab negara dalam menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan dijelaskan dalam Pasal 14 s/d Pasal 20 dalam UU 36/2009 sebagai berikut: 1 Philip Pettitt (1991) menyebutkan 6 tipe unjustice dalam konteks justice and utility salah satunya adalah treating people unequally.

Upload: sri-yulita-pramulia-panani

Post on 29-Dec-2015

23 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kesehatan

TRANSCRIPT

Page 1: Keadilan Dalam Pemenuhan Hak Warga Atas Pelayanan Kesehatan1

Keadilan Dalam Pemenuhan Hak Warga Atas Pelayanan Kesehatan

Oleh saeful Muluk

Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus

diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kesehatan diartikan

sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan

setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Itulah kedudukan dan

pengertian kesehatan seperti yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan.

Undang-undang tersebut merupakan penjabaran dari amanat UUD 1945 Pasal 28H ayat (1)

dan Pasal 34 ayat (3). Pasal 28H ayat (1) berbunyi setiap orang berhak hidup sejahtera lahir

dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta

berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Sedangkan Pasal 34 ayat (3) berbunyi Negara

bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan

umum yang layak.

Terkait dengan pelayanan kesehatan, ada dua isu etika yang saling terkait dari bunyi pasal-

pasal tersebut yakni right atau hak setiap orang memperoleh pelayanan kesehatan di satu sisi,

di sisi yang lain adalah duties atau tanggung jawab negara menyediakan fasilitas kesehatan.

Doctrine of rights menyatakan bahwa all duties entail other people’s rights and all rights

entail other people’s duties. Dengan kata lain hak warga untuk memperoleh pelayanan

kesehatan menjadi tanggung jawab negara untuk memenuhi hak tersebut dengan

menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan. Kondisi warga yang heterogen dalam banyak hal

seperti kondisi geografis dan sosial ekonomi memunculkan isu etika lainnya yaitu keadilan

(justice) negara dalam memenuhi hak warga atas pelayanan kesehatan tersebut karena

treating people unequally dapat menimbulkan kondisi unjustice1.

Penjabaran mengenai tanggung jawab negara dalam menyediakan fasilitas pelayanan

kesehatan dijelaskan dalam Pasal 14 s/d Pasal 20 dalam UU 36/2009 sebagai berikut:

1 Philip Pettitt (1991) menyebutkan 6 tipe unjustice dalam konteks justice and utility salah satunya adalah

treating people unequally.

Page 2: Keadilan Dalam Pemenuhan Hak Warga Atas Pelayanan Kesehatan1

1. tanggung jawab dalam merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan

mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh

masyarakat.

2. tanggung jawab atas ketersediaan lingkungan, tatanan, fasilitas kesehatan baik fisik

maupun sosial bagi masyarakat.

3. tanggung jawab atas ketersediaan sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata

bagi seluruh masyarakat.

4. tanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas

pelayanan kesehatan.

5. tanggung jawab memberdayakan dan mendorong peran aktif masyarakat dalam segala

bentuk upaya kesehatan.

6. bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman,

efisien, dan terjangkau.

7. tanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan

sosial nasional bagi upaya kesehatan perorangan.

Dari semua tanggung jawab tersebut, tanggung jawab yang terpenting menurut hemat saya

adalah tanggung jawab mengenai jaminan pelayanan kesehatan karena tanggung jawab ini

lebih memastikan terpenuhinya hak warga atas pelayanan kesehatan. Berbagai tanggung

jawab yang lain yang orientasinya lebih kepada penyediaan fasilitas belum dapat memastikan

terpenuhinya hak warga, karena meskipun sudah tersedia fasilitas kesehatan seperti rumah

sakit atau puskesmas sesuai dengan standar kualitas belum tentu warga dapat mengakses dan

menggunakannya oleh karena kendala geografis (jarak) dan atau ekonomi (daya beli).

Tanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat selain memastikan

pemenuhan hak warga sekaligus juga mendorong terwujudnya keadilan (justice) dalam

pemenuhan hak tersebut. Sayangnya, implementasi jaminan kesehatan ini belum dijalankan

dengan baik oleh negara. Baru sebagian warga negara yang sudah mendapatkan jaminan

kesehatan seperti PNS dan TNI/POLRI melalui Askes (Asuransi Kesehatan) serta sebagian

warga yang dikategorikan miskin melalui program Jamkesmas (Jaminan Kesehatan

Masyarakat). Jaminan kesehatan untuk semua warga melalui sistem jaminan sosial baru akan

dilakukan pada 1 Januari 2014 melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Page 3: Keadilan Dalam Pemenuhan Hak Warga Atas Pelayanan Kesehatan1

Program JKN sendiri sampai saat ini masih terus disiapkan. Program jaminan ini merupakan

bagian dari Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan bersifat wajib dalam arti semua

warga negara harus terlibat untuk menjamin pemenuhan haknya mendapatkan pelayanan

kesehatan. Namun, apakah program ini betul-betul bisa mewujudkan keadilan (justice) dalam

pemenuhan pelayanan kesehatan? Ada beberapa isu tentang keadilan dalam program JKN

yang dapat didiskusikan antara lain menyangkut kebijakan subsidi (bantuan) iuran dan

klasifikasi pelayanan kesehatan.

Kedua kebijakan tersebut jelas merupakan sebuah perlakuan (treatment) yang unequal dan

berpotensi melahirkan unjustice. JKN bersifat wajib untuk seluruh warga, namun mengapa

harus ada kebijakan subsidi untuk sebagian warga penerima bantuan sementara sebagian

warga yang lain baik yang pekerja formal maupun yang bukan golongan pekerja formal harus

membayar iuran dari kantongnya sendiri baik yang langsung maupun dipotong dari gaji yang

diterima dari lembaga atau perusahaan tempat dia bekerja. Pertanyaan etisnya adalah adilkah

kebijakan subsidi ini?

Kebijakan subsidi ini lahir dari dari pandangan bahwa kesehatan adalah hak sekaligus

kewajiban masyarakat. Ironisnya, dalam UUD 1945 hanya menyebut tentang hak atas

pelayanan kesehatan tetapi dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memunculkan

gagasan tentang kewajiban masyarakat atas kesehatan, salah satunya adalah dalam hal

pembiayaan kesehatan. Berdasarkan pandangan ini, pembayaran iuran atau premi yang

merupakan upaya pembiayaan kesehatan adalah kewajiban masyarakat dan negara

mensubsidi masyarakat yang tidak mampu. Kalau merujuk kepada doctrine of rights, maka

terjadi kontradiksi atau ambigu dalam memposisikan kesehatan sebagai hak sekaligus juga

kewajiban warga atau masyarakat. Lalu dimana posisi tanggung jawab (duty) negara terhadap

warga yang tidak mendapat subsidi? Apakah tanggung jawab negara menjadi hilang karena

warga bisa memenuhi sendiri haknya atas pelayanan kesehatan?

Selanjutnya mengenai sistem klasifikasi pelayanan kesehatan di rumah sakit pemerintah.

Yang menjadi isu bukanlah jenis atau tipe rumah sakit2 yang didasarkan pada kemampuan

2 UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit membagi rumah sakit berdasarkan jenis pelayanan dan

pengelolanya. Berdasarkan jenis pelayanan ada rumah sakit umum dan rumah sakit khusus sedangkan

berdasarkan pengelolanya ada rumah sakit publik dan rumah sakit privat. Berdasarkan fasilitas dan kemampuan

pelayanannya serta penerapan sistem rujukan, rumah sakit umum diklasifikasi menjadi 4 kelas yaitu kelas A, B,

C, dan D sedangkan rumah sakit khusus menjadi 3 kelas yaitu kelas A, B, dan C.

Page 4: Keadilan Dalam Pemenuhan Hak Warga Atas Pelayanan Kesehatan1

rumah sakit tersebut dalam memberikan pelayanan maupun dalam rangka menjalankan

sistem rujukan. Isunya adalah adanya kelas-kelas perawatan yang berbeda-beda yaitu Kelas

III, Kelas II, Kelas I, dan Kelas Utama atau VIP berdasarkan pola tarif3. Sistem kelas tersebut

berlaku di semua tipe dan klasifikasi rumah sakit pemerintah. Sistem kelas ini erat kaitannya

dengan besaran tarif pelayanan kesehatan atau iuran yang harus dibayar pasien atau peserta

JKN. Pengklasifikasian berdasarkan kemampuan pelayanan dan jenjang pelayanan dapat

dipahami dan diterima dalam rangka penyediaan fasilitas yang efektif dan efisien, tetapi

pembagian kelas perawatan berdasarkan pola tarif masih menyisakan tanda tanya, apakah

perbedaan perlakuan terhadap pasien berdasarkan pertimbangan ekonomi (misalnya BEP,

daya beli, dsb) tidak akan menimbulkan unjustice?

Dikaitkan dengan tanggung jawab (duty) negara untuk menyediakan fasilitas kesehatan yang

adil dan merata bagi seluruh warga, penerapan sistem kelas yang berdasarkan pola tarif ini

dengan sendirinya akan menghambat pemenuhan hak warga negara yang tidak mampu

(miskin) untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dengan standar yang tinggi dan terpaksa

harus menerima dilayani di Kelas III yang disubsidi oleh negara. Dalam konteks hak akses

terhadap fasilitas pelayanan kesehatan (justice and utility), ini merupakan kondisi unjustice

dimana seseorang (yaitu rakyat miskin) tidak mendapatkan hak yang sudah dijamin dalam

Undang-Undang untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas tanpa

diskriminasi4.

Lalu bagaimana mewujudkan keadilan dalam pemenuhan hak warga atas pelayanan

kesehatan? Hemat saya adalah pemberian jaminan kesehatan untuk semua warga dengan

subsidi penuh untuk semua warga negara tanpa kecuali dengan pelayanan kesehatan di rumah

sakit publik tanpa kelas. Karena pembiayaan pelayanan ditanggung negara maka tidak ada

lagi penentuan tarif. Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus mengoptimalkan alokasi

3 Istilah Kelas pertama kali muncul dalam UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit Pasal 50 yang mengatur

pola tarif pelayanan untuk rumah sakit. Selanjutnya dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 12 Tahun

2013 tentang Pola Tarif Badan Layanan Umum Rumah Sakit Di Lingkungan Kementerian Kesehatan dijelaskan

bahwa penentuan besaran tarif untuk setiap kelas didasarkan pada asumsi mengenai titik impas atau break even

point (BEP) dari investasi yang dibelanjakan untuk pelayanan kesehatan. Tarif Kelas III lebih kecil dari BEP,

Kelas II sesuai dengan BEP, sedangkan selain kedua kelas tersebut ditetapkan lebih tinggi dari BEP. Negara cq

Pemerintah dan Pemerintah Daerah hanya menetapkan tarif untuk Kelas III sedangkan kelas lainnya diserahkan

kepada pengelola rumah sakit. 4 Tipe unjustice lainnya dari Philip Pettitt (1991) adalah yang dia sebut sebagai depriving people of things to

which they have a legal right.

Page 5: Keadilan Dalam Pemenuhan Hak Warga Atas Pelayanan Kesehatan1

anggaran untuk kesehatan yang jumlahnya 5% dari belanja APBN dan 10% dari belanja

APBD masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.