kat a pengan tar -...
TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Dengan mengaucapkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa maka Jurnal Kesehatan Ku-
suma Husada (Jurnal KesMaDaSka) STIKes Kusuma Husada Surakarta yang memuat publikasi ilmiah
ilmu-ilmu kesehatan khususnya bidang Keperawatan dan Kebidanan telah selesai dicetak.
Perkembangan ilmu pengetahuan di lingkup kesehatan meliputi keperawatan, kebidanan maupun
bidang kesehatan lainnya berupa informasi ilmiah melalui kajian kepustakaan maupun ulasan ilmiah
berdasarkan hasil penelitian sangat diperlukan.
Berdasarkan hal tersebut maka STIKes Kusuma Husada Surakarta melalui Jurnal KesMaDaSka
memberikan wadah bagi para Dosen ataupun Peneliti sesuai bidang kompetensinya untuk mempub-
likasikan artikel ilmiahnya. Penerbitan Jurnal Ilmiah KesMaDaSka ini, diharapkan mampu menambah
khasanah ilmu pengetahuan tentang kesehatan khususnya bidang keperawatan dan kebidanan serta kes-
ehatan lainnya serta meningkatkan motivasi bagi para Dosen ataupun Peneliti.
Atas nama civitas akademika STIKes Kusuma Husada Surakarta, saya mengucapkan selamat atas
terbitnya Jurnal Ilmiah Kesehatan Kusuma Husada Surakarta. Semoga Jurnal ini bermanfaat bagi kita
semua.
Surakarta, 01 Juli 2015
STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ketua
Dra. Agnes Sri Harti, M.Si.
DAFTAR ISI
Atiek Murharyati, Joko Kismanto 119
STUDI EKSPLORASI PENGALAMAN MAHASISWA KEPERAWATAN MENGGUNAKAN
METODE PEMBELAJARAN SEVEN JUMP DI PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN
STIKES KUSUMA HUSADA SURAKARTA
Anissa Cindy Nurul Afni, Dyah Ekarini
124
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
KETERKAITAN KEAKTIFAN MAHASISWA DALAM ORGANISASI DAN KECERDASAN
EMOSIONAL DENGAN MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA TINGKAT III PRODI D-IV
KEPERAWATAN POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
Sunarto 67
PENGARUH SUDUT POSISI TIDUR TERHADAP KUALITAS TIDUR DAN STATUS
KARDIOVASKULER PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT (IMA) DI RUANG ICVCU
RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Dwi Sulistyowati 74
PENGHAMBATAN PRODUKSI EKSOPROTEASE DAN BIOFILM PADA Pseudomonas
aeruginosa OLEH EKSTRAK Apium graveolens L
Didik Wahyudi, Yusianti Silviani 81
METODE REDUKSI TAHU BERFORMALIN MENGGUNAKAN VARIASI KONSENTRASI AIR
GARAM YANG DITAMBAHKAN DENGAN EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.)
Tri Harningsih 1), Indah Tri Susilowati 89
PENAMBAHAN BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP KUALITAS VIRGIN COCONUT
OIL (VCO) SEBAGAI MINYAK GORENG
Indah Tri Susilowati; Tri Harningsih 96
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS LENDIR BEKICOT(Achatina fulica) DENGAN KITOSAN
TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA
S.Dwi Sulisetyowati; Meri Oktariani 104
PENGARUH RELAKSASI PROGRESIF TERHADAP PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA
PENDERITA HIPERTENSI STAGE 1 DI PUSKESMAS GONDANGREJO KARANGANYAR
Alfyana Nadya Rachmawati, Diyah Ekarini 111
PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PENGIKAT TALI PUSAT BAYI BARU LAHIR TERHADAP
LAMA PELEPASAN TALI PUSAT
Anis Nurhidayati, Ernawati 115
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI STRESS KERJA PERAWAT DI RUANG RAWAT
INAP RSUD SUKOHARJO
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
iii
HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN KERJA DAN KESADARAN INDIVIDU DENGAN
PENERAPAN PATIENT SAFETY DI RSUD KABUPATEN SUKOHARJO Meri Oktariani, Atiek Murharyati 132
PEDOMAN PENULISAN NASKAH 137
-oo0oo-
67
KETERKAITAN KEAKTIFAN MAHASISWA DALAM
ORGANISASI DAN KECERDASAN EMOSIONAL
DENGAN MOTIVASI BELAJAR MAHASISWA
TINGKAT III PRODI D-IV KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
Sunarto1)
1 Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Surakarta
ABSTRAK
Keseimbangan dari beberapa komponen yang dimiliki mahasiwa baik IQ (Intelligent Quotient), EQ
(Emotional Quotient), AQ ( Adversity Quotient ), SQ ( Spiritual Quotient ) berperanan sangat penting
dalam sesuatu kesuksesan dalam belajar karena hal tersebut berkaitan dengan motivasi setiap individu.
Pembentukan karakter mahasiswa salah satunya melalui berorganisasi. Dalam suatu organisasi
diharapkan mahasiswa mampu bersosialisasi, saling membantu, dan bertukar pendapat sebagai
poin penting yang dapat memotivasi mahasiswa untuk belajar. Tujuan penelitian untuk mengetahui
keterkaitan keaktifan mahasiswa dalam organisasi dan kecerdasan emosional dengan motivasi belajar
mahasiswa tingkat III Prodi D-IV Keperawatan Politeknik Kesehatan Surakarta. Penelitian ini merupakan
penelitian kuantitatif dengan metode corelasional dengan pendekatan cross sectional. Sampel penelitian
adalah 54 mahasiswa Prodi D-IV Keperawatan tingkat III Jurusan Keperawatan Poltekkes Surakarta.
Penentuan responden penelitian berdasarkan simple random sampling. Uji statistik menggunakan uji
linier ganda. Hasil penelitian menunjukkan adanya kontribusi dari variabel keaktifan mahasiswa dalam
organisasi dengan motivasi belajar sebesar 0,5% dengan tanda parameter positif pada angka 0,500. Hasil
t-hitung variabel keaktifan mahasiswa dalam organisasi sebesar 6,387 > nilai t tabel dengan tingkat
kepercayaan 95% yaitu 4,303 artinya ada kontribusi positif dan signifikan keaktifan mahasiswa dalam
organisasi terhadap motivasi belajar. Perhitungan regresi variabel kecerdasan emosional yaitu 0,500%.
Hasil t-hitung variabel kecerdasan emosional sebesar 6,984 > nilai t tabel dengan tingkat kepercayaan
95% yaitu 4,303 sehingga ada kontribusi positif dan signifikan kecerdasan emosional terhadap motivasi
belajar. Simpulan penelitian adalah secara simultan variabel keaktifan mahasiswa dalam organisasi
dan kecerdasan emosional berkaitan dengan motivasi belajar pada mahasiswa tingkat III Prodi D-IV
Keperawatan Politeknik Kesehatan Surakarta.
Kata kunci: keaktifan mahasiswa berorganisasi, kecerdasan emosional, motivasi belajar
ABSTRACT
The balance of several components held good students IQ (Intelligent Quotient), EQ (Emotional
Quotient), AQ (Adversity Quotient), SQ (Spiritual Quotient) very important role in the success in
learning something because it is related to the motivation of each individual. Character formation of
students one of them through the organization. In an organization, students are expected to be able
to socialize, help each other, and exchanged opinions as important points that can motivate students
to learn. The aim of research to determine the activity of students in the organization’s relevance and
emotional intelligence in students’ motivation at third level Diploma IV Study program of Nursing
Health Polytechnic Surakarta. This research is a quantitative research methods corelasional with
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
cross sectional approach. The sample was 54 students Diploma IV Study program of Nursing Health
Polytechnic Surakarta. Determination of survey respondents on the terms of simple random sampling.
Statistical test using multiple linear test. The results showed the contribution of variable activeness of
students in the organization with motivation to learn by 0.5% with positive parameters in the figures
mark of 0.500. T-test results of students in the organization of the activity variables of 6.387> t table
value with a confidence level of 95% as 4.303; there are positive and significant contribution in the
organization of the activity of student motivation to learn. Calculation of regression variables emotional
intelligence that is 0.5%. Results of t-test of emotional intelligence variable 6.984> t table value with
a confidence level of 95% which is 4.303 so that there is a significant and positive contribution of
emotional intelligence to motivate learning. The conclusions of the study is simultaneously variable
student liveliness and emotional intelligence in organizations related to student motivation to learn at
third level students Diploma IV Study program of Nursing Health Polytechnic Surakarta
Keywords: liveliness student organization, emotional intelligence, motivation to learn
1. PENDAHULUAN
Mahasiswa adalah sebagian kecil dari ge-
nerasi muda Indonesia yang mendapat ke-
sempatan untuk mengasah kemampuannya di
Perguruan Tinggi. Tentunya sangat diharapkan
mendapat manfaat yang sebesar - besarnya dalam
pendidikan agar kelak mampu menyumbangkan
kemampuannya untuk memperbaiki kualitas
hidup bangsa Indonesia yang saat ini belum pulih
sepenuhnya dari krisis yang dialami pada akhir
abad ke 20 (Salim dan Sukadji, 2006).
Kedewasaan berpikir mahasiswa akan se-
makin tumbuh seiring aktifnya berorganisasi di
kampus. Pengalaman berorganisasi di kampus
akan sedikit banyak membantu mahasiswa dalam
menghadapi dunia kerja setelah lulus nanti (Mau-
lawiyah, 2011).
Goleman menyatakan bahwa kecerdasan
emosional bertumpu pada keterkaitan an-
tara perasan, watak, dan naluri moral. Kecer-
dasan emosional merupakan kesanggupan un-
tuk mengendalikan dorongan emosi, membaca
perasan terdalam orang lain, memelihara keter-
kaitan dengan sebaik-baiknya. Kecerdasan
emosional berperan besar dalam suatu tindakan
termasuk dalam pengambilan keputusan secara
rasional (Syahraini, 2007).
Namun dalam kenyataannya keaktifan ma-
hasiswa dalam berorganisasi dan kecerdasan
emosioanal tidak selau beriringan dengan moti-
vasi belajar mahasiswa. Hal ini sering dapat di-
amati ketika mahasiswa sedang melakukan pem-
belajaran di kelas maupun di klinik, yang bisa
ditandai dengan perilaku kelesuan dan ketidak-
berdayaan yaitu penghindaran atau pelarian diri;
pertentangan dan kompensasi (Syaodih dalam
Ridwan, 2006).
Tujuan penelitian untuk mengetahui keter-
kaitan keaktifan mahasiswa dalam organisasi dan
kecerdasan emosional dengan motivasi belajar
mahasiswa tingkat III D-IV Keperawatan Poli-
teknik Kesehatan Surakarta.
2. PELAKSANAAN
a. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Jurusan Ke-
perawatan Politeknik Kesehatan Surakarta
pada bulan Juli sampai dengan bulan Oktober
2013.
b. Populasi dan sampel penelitian
Populasi pada penelitian ini yaitu mahasiswa
program studi Keperawatan tingkat III D-IV
Keperawatan yang mengikuti organisasi di
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), Korps
Suka Rela (KSR) dan Himpunan Mahasiswa
Jurusan (HMJ) di Politeknik Kesehatan
Surakarta. Sedangkan teknik pengambilan
subyek dalam penelitian ini dengan meng-
gunakan simple random sampling.
Jumlah sampel 54 orang.
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian kuan-
titatif dengan metode corelasional dengan
pendekatan cross sectional.
68
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Analisis Data
Uji dimulai dengan uji regresi linier sederhana
dan dilanjutkan dengan uji linier ganda. Pada uji
regresi linier sederhana hanya ada satu variabel
independen dihubungkan dengan satu variabel
dependen.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran umum responden didapatkan
data bahwa mayoritas responden adalah perem-
puan yaitu sejumlah 39 orang (72.2%), Sedang-
kan responden berjenis kelamin laki-laki adalah
15 orang (27.8%) sebagaimana tercantum dalam
tabel 1.
Mayoritas responden berumur 21 tahun yaitu
sejumlah 40 orang (74.1%). Responden umur
22 tahun sejumlah 8 orang (14.8%). Sedangkan
responden umur 20 tahun sejumlah 6 orang
(11.1%) sebagaimana tercantum dalam tabel 2.
Pada tabel 4 menunjukkan bahwa mayoritas
responden memiliki kecerdasan emosional
dalam kategori tinggi sejumlah 44 orang
(81,5%). Responden dengan kategori kecerdasan
emosional sedang sejumlah 10 orang (18,5%).
Tidak terdapat responden kecerdasan emosional
kategori rendah.
Pada tabel 5 menunjukkan bahwa responden
dengan motivasi belajar kategori tinggi sejumlah
45 orang (83,3%). Responden dengan kategori
sedang dalam motivasi belajar sejumlah 9 orang
(16.7%). Tidak terdapat responden dengan
kategori rendah
Penelitian ini mengukur keterkaitan kedua
variabel bebas (independen) yaitu keaktifan
mahasiswa (X ) dan kecerdasan emosional (X ) 1 2
Pada tabel 3 menunjukkan keaktifan mahasiswa
dalam organisasi dengan kategori tinggi yaitu
sejumlah 46 orang (85,2%). Keaktifan kategori
sedang sejumlah 8 orang (14,8%). Tidak terdapat
responden dengan keaktifan kategori rendah.
dengan motivasi belajar (Y). Hasil perhitungan regresi menunjukkan adanya kontribusi dari
variabel keaktifan mahasiswa dengan motivasi
belajar yaitu sebesar 0,5 %. Tanda parameter
positif pada angka 0,5 dapat dimaknakan bahwa
ada kontribusi positif variabel keaktifan maha-
siswa dengan motivasi belajar. Variabel kecer-
dasan emosional juga berkontribusi positif den-
gan motivasi belajar. Hal ini ditunjukkan dengan
perhitungan regresi yaitu 0,500%. Pada tabel 6
menunjukkan hasil analisis regresi.
Keaktifan mahasiswa yang kurang dapat
memberikan gambaran yang tersirat akan suatu
keadaan seseorang, dalam hal ini adalah motivasi
belajar. Proses yang terjadi di dalam organisasi
69
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
mendukung perkembangan kecerdasan emosi
seseorang. Dalam organisasi, mahasiswa dapat
belajar berkomunikasi dengan orang lain de-
ngan baik. Proses inilah yang mendukung terben-
tuknya suatu empati dari tiap mahasiswa, sehing-
ga empati terhadap apa yang dirasakan orang lain
meningkat. Kepekaan terhadap emosi orang lain
ini yang mendorong seseorang untuk mengasihi
sepenuh hati dan berusaha menolongnya (Craig,
2004).
Hasil perhitungan regresi pada tabel di atas
menunjukkan adanya kontribusi dari variabel ke-
aktifan mahasiswa dengan motivasi belajar yaitu
sebesar 0,5 %. Tanda parameter positif pada ang-
ka 0,500 dapat dimaknakan bahwa ada kontribusi
positif variabel keaktifan mahasiswa dengan mo-
tivasi belajar. Hasil t-hitung variabel keaktifan
mahasiswa sebesar 6,387 > nilai t tabel dengan
tingkat kepercayaan 95% yaitu 4,303 sehingga
dapat diartikan bahwa ada kontribusi positif dan
signifikan keaktifan mahasiswa terhadap moti-
vasi belajar.
Hasil penelitian sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Rubin, dkk, (2002), partisi-
pasi mahasiswa dalam kegiatan organisasi atau
ektrakurikuler akan mempunyai kemampuan
intrapersonal yang lebih tinggi dibandingkan
mahasiswa yang tidak terlibat dalam kegiatan or-
ganisasi. Penelitian lain yang mendukung adalah
dilakukan oleh Ali, dkk (2009) menunjukkan
bahwa terdapat keterkaitan yang positif antara
aktif dalam organisasi dengan pencapaian presta-
si belajar.
Dengan kecerdasan emosional, individu
mampu mengetahui dan menanggapi perasaan
mereka sendiri dengan baik dan mampu mem-
baca dan menghadapi perasaan-perasaan orang
lain dengan efektif. Individu dengan keterampil-
an emosional yang berkembang baik berarti ke-
mungkinan besar ia akan berhasil dalam kehidup-
an dan memiliki motivasi untuk berprestasi
dengan meningkatnya motivasi belajar. Sedang-
kan individu yang tidak dapat menahan kendali
atas kehidupan emosionalnya akan mengalami
pertarungan batin yang merusak kemampuannya
untuk memusatkan perhatian pada tugas-tugas-
nya dan memiliki pikiran yang jernih. Individu
yang memiliki tingkat kecerdasan emosional
yang lebih baik, dapat menjadi lebih terampil
dalam menenangkan dirinya dengan cepat, ja-
rang tertular penyakit, lebih terampil dalam me-
musatkan perhatian, lebih baik dalam keterkaitan
dengan orang lain, lebih cakap dalam memahami
orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah
lebih baik (Gottman, 2001).
Keterampilan dasar emosional tidak dapat
dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan
proses dalam mempelajarinya dan lingkungan
yang membentuk kecerdasan emosional tersebut
besar pengaruhnya. Hal positif akan diperoleh bila
anak diajarkan keterampilan dasar kecerdasan
emosional, secara emosional akan lebih cerdas,
penuh pengertian, mudah menerima perasaan dan
lebih banyak pengalaman dalam memecahkan
permasalahannya sendiri, sehingga pada saat
remaja akan lebih banyak sukses di sekolah dan
dalam keterkaitan dengan rekan-rekan sebaya
serta akan terlindung dari resiko-resiko seperti
obat-obat terlarang, kenakalan, kekerasan serta
seks yang tidak aman (Gottman, 2001). Orang
yang mempunyai kecerdasan emosional yang
tinggi akan mampu memotivasi dirinya untuk
mencapai tujuan dan sanggup menunda kenik-
matan. Di dalam organisasi, mahasiswa belajar
untuk mengevaluasi diri agar dapat termotivasi
untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan
(Craig, 2004).
Pengambilan keputusan yang tepat saat
rapat organisasi sangat memerlukan kesadaran
diri yang baik. Keputusan yang diambil tidak
hanya membutuhkan rasionalitas saja, tetapi
membutuhkan suara hati serta kebijaksanaan
emosional yang terangkum dari pengalaman-
pengalaman masa lampau (Goleman, 2007).
70
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Hasil t-hitung variabel keaktifan mahasiswa
sebesar 6,387 > nilai t tabel dengan tingkat keper-
cayaan 95% yaitu 4,303 sehingga dapat diartikan
bahwa ada kontribusi positif dan signifikan keak-
tifan mahasiswa terhadap motivasi belajar.
Hasil t-hitung variabel kecerdasan emosion-
al sebesar 6,984 > nilai t tabel dengan tingkat ke-
percayaan 95% yaitu 4,303 sehingga dapat diar-
tikan bahwa ada kontribusi positif dan signifikan
kecerdasan emosional terhadap motivasi belajar.
Hasil regresi total (variabel keaktifan ma-
hasiswa dan kecerdasan emosional) menunjuk-
kan nilai R2 sebesar 0,933 artinya sebesar 93,3%
variabel keaktifan mahasiswa dan kecerdasan
emosional berkaitan dengan motivasi belajar. Si-
sanya sebesar 0,067 atau 6,7% diterangkan oleh
variabel lain di luar model yang digunakan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa varia-
bel kecerdasan emosional juga berkontribusi
positif dengan motivasi belajar. Hal ini ditunjuk-
kan dengan perhitungan regresi yaitu 0,500%.
Hasil t-hitung variabel kecerdasan emosional
sebesar 6,984 > nilai t tabel dengan tingkat ke-
percayaan 95% yaitu 4,303 sehingga dapat diar-
tikan bahwa ada kontribusi positif dan signifikan
kecerdasan emosional terhadap motivasi belajar.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil peneli-
tian Amalia (2004) yang menemukan bahwa ter-
dapat keterkaitan kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar. Selain itu, hasil penelitian ini
juga mendukung hasil penelitian Anggun (2010)
yang menemukan adanya pengaruh kecerdasan
emosional terhadap pemahaman akutansi. Ke-
aktifan mahasiswa dalam organisasi yang tinggi
didukung dengan kecerdasan emosional yang
tinggi akan mempunyai dampak yang positif ter-
hadap situasi belajar, khususnya motivasi ini ter-
bukti pada penelitian ini.
Pengujian secara simultan dilakukan oleh
uji F-statistik. Pengujian ini menunjukkan angka
sebesar 357,00 lebih besar dari batas kritis (F ta-
bel) yang mensyaratkan batas kritis F tabel sebe-
sar 19,00. Jika dibandingkan maka F hitung > F
tabel. Hasil penelitian sejalan dengan hasil pene-
litian Helmi Barliansyach (2010) bahwa keaktifan
berorganisasi dalam Organisasi Kemahasiswaan
mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
prestasi belajar mahasiswa. Dengan demikian se-
cara simultan variabel keaktifan mahasiswa dan
kecerdasan emosional berkaitan dengan motivasi
belajar pada mahasiswa Jurusan Keperawatan
Politeknik Kesehatan Surakarta.
5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian terhadap 54 responden maka
a. Ada keterkaitan antara keaktifan mahasiswa
dengan motivasi belajar pada mahasiswa
Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan
Surakarta
b. Ada keterkaitan antara kecerdasan emosi-
onal dengan motivasi belajar pada maha-
siswa jurusan Keperawatan Politeknik Ke-
sehatan Surakarta
c. Ada keterkaitan antara keaktifan mahasiswa
dan kecerdasan emosional dengan moti-
vasi belajar pada mahasiswa jurusan Ke-
perawatan Politeknik Kesehatan Surakarta.
SARAN
Jurusan Keperawatan dapat memanfaatkan hasil
penelitian ini sebagai rujukan untuk memperhati-
kan motivasi belajar mahasiswa dengan memper-
hatikan keaktifan mahasiswa dalam organisasi
dan kecerdasan emosional
6. REFERENSI
Abraham, Charles & Eamon Shanley. 2003. Alih
bahasa Leony Sally M. Editor: Robert Pri-
hajo & Yasmin Asih. Psikologi Sosial untuk
Perawat. Jakarta: EGC
Amy.2010.Organisasi Kemahasiswaan. http://
amy 09320017 .student. umm. ac.id/. Diak-
ses tanggal 28 Juli 2013.
Anand.2010. Emotional Intelligence and Its Re-
lationship with Leadership Practices. Inter-
national Journal of Bussines and Manage-
ment Vol.5 No.2.http: // journal. ccsenet.
Org /index. Php / ijbm /article /download /
4359/4190. Diakses tanggal: 28 Juli 2013
Asrori, A. 2009. Keterkaitan Kecerdasan Emosi
dan Interaksi Teman Sebaya dengan Penye-
suaian Sosial pada Siswa Kelas VII Pro-
gram Akselerasi di SMP Negeri 9 Surakarta.
Skripsi. Fakultas Kedokteran UNS.
71
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Aziz, Sunyoto, dan Widodo. 2008. Korelasi
antara Keaktifan dalam Organisasi Kema-
hasiswaan dengan Prestasi Belajar. Jurnal
Pendidikan Teknik Mesin Vol. 8 No. 1.http://
journal.unnes.ac.id/index.php/ JPTM article/
view/1168. Diakses tanggal: 28 Juli 2013.
Azwar, S. 2009. Penyusunan Skala Psikologi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barliansyach, Helmi. 2010. Pengaruh Keaktifan
Berorganisasi dalam Organisasi
Ekstrakurikuler Kemahasiswaan dan Mo-
tivasi Belajar terhadap Prestasi Belajar
Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangu-
nan Periode 2009/2010. Universitas Negeri
Malang. Skripsi
Chamidah, N. 2007. Pengaruh Keaktifan Siswa
dalam Organisasi (Ekstrakuri-kuler) Seko-
lah dan Motivasi Belajar terhadap Prestasi
Belajar Siswa Kelas II di SMAN I Puloku-
lon Purwodadi Grobogan Tahun Ajaran
2006/2007. Skripsi. UNS: FKIP
Cooper dan Sawaf. 2000. Kecerdasan Emosi
dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Ja-
karta: Gramedia Putra.
Craig, J.A. 2004. Bukan Seberapa Cerdas Diri
Anda tetapi Bagaimana Anda Cerdas. (Ter-
jemahan: Arvin Saputra). Batam: Interak-
sara.
Daulay, M.S. 2010. Pedoman Praktis Manaje-
men Organisasi Kemahasiswaan. Yogyakar-
ta: STMIK AMIKOM.
Dukarno, R. Jati Diri Baru Mahasiswa. http://
ndarusih.blogspot.com. Diakses tanggal 28
Juli 2013.
Gibson, Ivancevich, dan Donnelly. 1995. Organ-
isasi jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Goleman. 2007. Kecerdasan Emosional, Men-
gapa EI Lebih Penting daripada IQ.
(Terjemahan: T. Hermaya). Jakarta: PT. Grame-
dia Pustaka Utama.
Hasibuan, M. 2005. Organisasi dan Motivasi. Ja-
karta: Bumi Aksara.
Kumalasari, Meilina Fitri 2010. Perbedaan
Prestasi Belajar Mahasiswa D4 Kebidanan
Tingkat III, DIV Kebidanan UNS Berdasar-
kan Tingkat Aktivitas dalam Organisasi
Ekstrakurikuler. FK UNS. Karya Tulis Il-
miah
Marantika, Inun. 2007. Pengaruh Keaktifan
Organisasi Ekstrakurikuler dan Motivasi
Belajar terhadap Prestasi Belajar Maha-
siswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri
Malang. Skripsi. Universitas Negeri Malang.
Martin, A.D. 2003. Emotional Quality Manage-
ment. Jakarta: Arga.
Maulawiyah.2011. Organisasi Sebagai Wa-
dah Aktualisasi Pendidikan Mahasiswa
Masa Kini. http://maulawiyah. blogspot.
com/2011/12/organisasi-sebagai-wadah-ak-
tualisasi.html. Diakses tanggal: 28 Juli 2013.
Nurdiana, Dewi. 2007. Keterkaitan antara Pen-
getahuan dan Motivasi Kader
Posyandu dengan Keaktifan Kader Posyandu
di Desa Dukuh Tengah Kecamatan Ketang-
gungan Kebupaten Brebes. Fakultas Ilmu
Keperawatan dan Kesehatan UMS. Skripsi
Nursalam.2003. Konsep Dan Penerapan Met-
odologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Ja-
karta: Salemba Medika
Senjana.2012. Pengaruh Partisipasi Maha-
siswa dalam Organisasi Kemahasiswa-an
terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa Ju-
rusan Pendidikan Teknik Sipil FPTK UPI.
Skripsi
Sinta, Ari. 2009. Perbedaan Kecerdasan Emo-
sional pada Remaja Pengurus OSIS dengan
Remaja Anggota OSIS. Fakultas Psikologi
USU. Skripsi
Sriati, Aat. 2008. Adversity Quotient (AQ).
Fakultas Ilmu Keperawatan UNPAD. Skrip-
si.
Stein, S. J. dan Book, H. E. 2002. Ledakan EQ:
15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional
Meraih Sukses. Bandung: Kaifa.
Sugiono.2010. Metode Penelitian Pendidikan.
Bandung: Alfabeta
Sugiono.2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidi-
kan Nasional
Suryabrata. 2005. Pengembangan Alat Ukur
Psikologis. Yogyakarta: Andi.
72
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Suryosubroto. 2002. Proses Belajar Mengajar di
Sekolah. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Syah, Muhibbin. 2010. Psikologi Pendidikan.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
Syahraini, Karyono, dan Rohmatun. “Kecerdasan
Emosional dan Kecemasan
Pramenopause pada Wanita di RW IV dan XI
Kelurahan Gerbang Sari Semarang”. Jurnal
Psikologi Proyeksi.Unissula. Vol 2 no 1.
Syaiful, Fuad, dan Rahman. 2010. The USM
Emotional Quotient Inventory (USMEQi)
Manual.http://www.medic.usm.my/dme/
images/stories/staff/KKMED/ 2010 /manua
l%20usmeq-i.pdf. Diakses tanggal: 11 agus-
tus 2013.
Thoha, M. 2007. Perilaku Organisasi, Konsep
Dasar, dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada
-oo0oo-
73
PENGARUH SUDUT POSISI TIDUR
TERHADAP KUALITAS TIDUR DAN STATUS
KARDIOVASKULER PADA PASIEN INFARK
MIOKARD AKUT (IMA) DI RUANG ICVCU
RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA
Dwi Sulistyowati1)
1Jurusan Keperawatan Program D-IV Keperawatan Politeknik Kesehatan Surakarta
ABSTRAK
Pasien IMA umumnya akan mengalami penurunan kualitas tidur dan status kardiovaskuler. Kualitas
tidur yang buruk mengakibatkan proses perbaikan kondisi pasien akan semakin lama, sehingga akan
memperpanjang masa perawatan di rumah sakit. Salah satu cara untuk mengurangi akibat yang ditimbulkan
yaitu pentingnya pengaturan sudut posisi tidur yang paling efektif bagi pasien. Tujuan penelitian untuk
mengetahui pengaruh sudut posisi tidur terhadap kualitas tidur dan status kardiovaskuler pasien IMA di
Ruang ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta.Jenis penelitian ini adalah Quasi Eksperimental Design
dengan rancangan Static Group Comparison. Subyek penelitian ini adalah pasien IMA yang dirawat
pada hari pertama di ruang ICVCU RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Penelitian ini menggunakan uji T
Independen. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh antara sudut posisi tidur terhadap kualitas
tidur pasien IMA dengan nilai p = 0,023. Namun, tidak ada pengaruh antara sudut posisi tidur terhadap
3 parameter status kardiovaskuler. psistole = 0,583, p diastole 0,563, p HR = 0,895 dan nilai p RR =
0,858 (p > 0,05). Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi pengaturan sudut posisi tidur 30°dapat
menghasilkan kualitas tidur yang baik, sehingga bisa dipertimbangkan sebagai salah satu intervensi
untuk memenuhi kebutuhan istirahat dan tidur pasien.
Kata kunci: IMA, sudut posisi tidur, kualitas tidur, status kardiovaskuler.
ABSTRACT
The patient with AMI usually will experience decrease of sleep quality and cardiovascular status. Bad
sleep quality result process in improvement of patient’s condition longer, so that it will extend the period
of hospitalization. One way to decrease the impact that is appeared is the importance of the arrangement
in the sleep position angle that is the most effective for the patients. The purpose of this research is to
know the effect of the sleep position angle to the sleep quality and cardiovascular status in patients with
AMI in ICVCU Dr. Moewardi hospital of Surakarta. The kind of this research is a Quasi Experimental
Design with Static Group Comparison. The subject of this research are patients with AMI who treated
on the first day in ICVCU Dr. Moewardi hospital of Surakarta. This research uses an Independent T
test. The research result showed that there was the influence of the sleep posisition angle to the sleep
quality of AMI patients with the value of p = 0.023. But, there was no influence of the sleep position
angle to three parameters of cardiovascular status. The value of systole p = 0.583, the value of diastole
p = 0.563, the value of HR p = 0.895, and the value of RR p = 0.858 (p > 0.05). Based on the analysis
result could be concluded that the intervention of the sleep position angle with 30° could produce the
good quality sleep, so that it could be considered as one of the intervention to meet the need of patient
rest and sleep.
Keyword: AMI, sleep position angle, the sleep quality, status cardiovascular
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
1. PENDAHULUAN
Infark Miokard Akut (IMA) mengacu pada
proses rusaknya jaringan jantung akibat suplai
darah yang tidak adekuat sehingga aliran darah
koroner berkurang. Penyebab penurunan suplai
darah mungkin akibat penyempitan kritis arteri
koroner karena aterosklerosis atau penyumbatan
total arteri oleh emboli atau thrombus. Penyakit
IMA menimbulkan gejala klinis yang dirasakan
pasien, beberapa diantaranya dyspnea (sesak
nafas), ortopnea, pucat, keringat dingin, pusing,
mual muntah dan gejala yang paling sering di-
jumpai adalah
nyeri dada yang terjadi secara mendadak
dan terus-menerus tidak mereda seperti ditusuk-
tusuk, biasanya diatas region sternal bawah dan
abdomen bagian atas, menjalar ke bahu dan terus
ke bawah menuju lengan (biasanya lengan kiri)
hingga ke arah rahang dan leher. Munculnya ber-
bagai gejala klinis pada pasien IMA tersebut akan
menimbulkan masalah keperawatan dan meng-
ganggu kebutuhan dasar manusia, salah satu
diantaranya adalah kebutuhan istirahat seperti
adanya nyeri dada pada aktivitas, dyspnea pada
istirahat dan aktivitas, letargi dan gangguan tidur
(Smeltzer and Bare, 2001).
Berdasarkan laporan World Health Statistic
2012, tercatat 17,8 juta orang meninggal di dunia
akibat penyakit jantung dan diperkirakan angka
ini akan meningkat terus hingga 2030 menjadi
23,4 juta kematian di dunia. Penyakit kardio-
vaskuler saat ini menempati urutan pertama
sebagai penyebab kematian di Indonesia. Ber-
dasarkan hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2012, prosentase penderita IMA
dengan usia di bawah 40 tahun adalah 2-8 % dari
seluruh penderita dan sekitar 10 % pada penderita
dengan usia di bawah 46 tahun. Sensus kesehatan
nasional tahun 2010 menunjukkan bahwa kema-
tian karena penyakit kardiovaskular termasuk
IMAadalah sebesar 26,4%. Care Fatality Rate
(CFR) tertinggi terjadi pada IMA (13,49%) dan
kemudian diikuti gagal jantung (13,42%) dan
penyakit jantung lainnya (13,37%) (Badan Pene-
litian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).Di
unit perawatan intensif, pasien IMA pada umum-
nya akan mengalami gangguan tidur. Penyebab
gangguan tidur itu dikarenakan oleh nyeri, sesak
nafas, lingkungan unit perawatan intensif, stress
psikologis dan efek dari berbagai obat dan per-
awatan yang diberikan pada pasien kritis terse-
but. Oleh karena itu aktivitas intervensi keper-
awatan yang dilakukan antara lain menempatkan
posisi tidur yang nyaman, memonitor status ok-
sigen sebelum dan sesudah perubahan posisi, po-
sisikan untuk mengurangi dyspnea seperti posisi
semi fowler.
Di dalam standar asuhan keperawatan
pasien IMA RSUD Dr. Moewardi Surakarta
khususnya di Ruang ICVCU, bahwa pengaturan
sudut posisi tidur belum spesifik dijelaskan.Inter-
vensi keperawatan yang tercantum, ternyata ma-
sih banyak terdapat perbedaan pendapat dalam
hal memberikan intervensi sudut posisi tidur
pada pasien IMA. Dimana ada yang menyatakan
bahwa pasien dengan nyeri dan sesak nafas yang
penting diberikan posisi tidur dengan duduk mi-
ring senyaman pasien, ada mengatakan posisi
tidur yang biasa diberikan adalah posisi semi-
fowler saja tanpa memperhatikan besaran sudut
kemiringan pada tempat tidurnya. Berdasarkan
pengamatan selama studi pendahuluan di Ruang
ICVCU, sebagian besar pasien IMA banyak di-
posisikan dalam keadaan sudut posisi tidur 30°
daripada sudut posisi tidur 45°.Tindakan inter-
vensi itu dilakukan tanpa mengetahui efektifitas
diantara dua sudut tersebut. Keefektifan antara
dua sudut itu seharusnya sangat perlu untuk di-
perhatikan, mengingat nyeri dan sesak nafas pada
malam hari sangat mempengaruhi kebutuhan isti-
rahat dan tidur pasien serta proses penyembuhan.
3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah Quasi Eksperi-
mental Design dengan rancangan Static Group
Comparison. Quasi experiments merupakan
penelitian untuk megetahui hubungan antara in-
tervensi dan efeknya pada variabel dependen
dan independen (Nursalam, 2008). Static Group
Comparison adalah penelitian yang bertujuan
untuk menentukan pengaruh dari suatu tindakan
pada kelompok subjek yang mendapat perlakuan
berbeda (Nursalam, 2008).Penelitian ini mem-
berikan perlakuan pada setiap kelompok inter-
vensi yang selanjutnya dilakukan elevasi terha-
dap hasil intervensi.
75
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase Laki-laki 20 55,6
Kelompok Umur Frekuensi Persentase 18-40 tahun 6 16,7
41-65 tahun 16 44,4
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik responden
a. Jenis Kelamin
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden
Menurut Jenis Kelamin.
Perempuan 16 44,4
Total 36 100
Tabel 1 menggambarkan distribusi frekuensi
responden berdasarkan jenis kelamin laki-laki
sebanyak 20 responden (55,6%) dan perempuan
16 responden (44,4%).
Berdasarkan hasil penelitian, dari 36 respon-
den menunjukkan bahwa jenis kelamin laki-laki
lebih dominan mengalami IMA dibandingkan
wanita. Dibuktikan distribusi frekuensi jumlah
responden laki-laki mendominasi dengan jum-
lah responden sebanyak 20 responden (55,6%).
Penelitian yang mendukung dari penelitian ini di-
lakukan oleh Melanie (2012) dengan hasil bahwa
sebagian besar responden adalah laki-laki dengan
prosentase 56,7%. Hal ini diperkuat dengan per-
nyataan dari Muttaqin (2009) yang menunjukkan
bahwa laki-laki memiliki resiko 2-3 kali lebih be-
sar mengalami penyakit jantung koroner daripa-
da wanita sebelum menopause. Laki-laki banyak
menderita penyakit IMA daripada perempuan
dikarenakan pengaruh gaya hidup yang tidak
sehat seperti minum minuman keras, kebiasaan
merokok yang mengakibatkan aterosklerosis di-
dominasi oleh laki-laki, sehingga menjadikan
nyeri dada yang hebat dan meningkatkan kebu-
tuhan oksigen.Dalam penelitian ini wanita tidak
terlihat mendominasi, dibuktikan dengan hasil
distribusi frekuensi hanya 16 responden (44,4%)
saja yang menderita penyakit IMA. Ini sejalan
dengan hasil penelitian yang disampaikan oleh
Melanie (2012), memang wanita tidak mendo-
minasi, hanya 43,3% saja wanita yang menderita
penyakit jantung koroner. Hasil ini diperkuat teo-
ri Smeltzer dan Bare (2001) bahwa wanita ter-
lindungi oleh hormon estrogen yang mencegah
kerusakan pembuluh darah yang berkembang
menjadi proses aterosklerosis, yang merupakan
penyebab utama dari penyakit IMA. Meskipun
begitu, apabila wanita sudah menginjak usia lan-
sia dan sudah kehilangan hormon estrogen maka
resiko terjadinya aterosklerosis akan menjadi
sama resikonya dengan laki-laki. Selain itu, teori
ini diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh
Meana & Lieberman (2009) yang menyebutkan
wanita lebih peduli dibandingkan laki-laki ten-
tang efek penyakit, program terapi dan kondisi
kesehatannya.
b. Umur
Tabel 2 menggambarkan umur 18-40 tahun
sebesar 6 responden (16,7%), 41-65 tahun
(44,4%) dan >66 tahun sebanyak 14 responden
(38,9%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden
Menurut Kelompok Umur >66 tahun 14 38,9
Total 36 100
Dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
responden didominasi oleh kelompok umur de-
wasa tua dengan rentang usia 41-65 tahun yang
berjumlah 16 responden (44,4%). Penelitian ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan Merta
(2010), yang menunjukkan bahwa sebagian be-
sar pasien yang menderita penyakit IMA berumur
diatas 50 tahun. Hal tersebut diperkuat dengan
teori dari Muttaqin (2009) bahwa penyakit IMA
45% terjadi pada usia 45 tahun keatas dan kurang
dari 10% terjadi pada usia <40 tahun. Menurut
Morton (2011) penyakit ini lebih banyak terjadi
pada usia diatas 50 tahun, dikarenakan pengaruh
oleh gaya hidup yang tidak sehat seperti stress,
obesitas, merokok dan kurangnya aktivitas fisik.
Selain gaya hidup, IMA juga dapat dipengaruhi
oleh hormon seks, pil pengontrol kelahiran dan
asupan alkohol berlebihan.
Pengaruh sudut posisi tidur terhadap kuali-
tas tidur pada pasien Infark Miokard Akut (IMA).
76
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Tabel 3. Karakteristik Kualitas Tidur Responden
Kualitas Tidur Frekuensi Persentase
Baik 24 66,7
Buruk 10 27,8
Sangat Buruk 2 5,6
Total 36 100
Tabel 3 menggambarkansebagian besar respon-
den memiliki kualitas tidur baik, dengan jumlah
24 responden (66,7%), 10 responden (27,8%)
dengan kualitas tidur buruk dan 2 responden
(5,6%) dengan kualitas tidur sangat buruk.
Berdasarkan perhitungan statistik peneli-
tersebut juga didukung oleh teori dari Smeltzer
dan Bare (2001) yang menyatakan bahwa posisi
kepala yang lebih tinggi sekitar 30° akan men-
guntungkan berdasarkan alasan berikut: volume
tidal dapat diperbaiki karena tekanan isi perut ter-
hadap diafragma berkurang, drainase lobus atas
paru lebih baik dan aliran balik vena ke jantung
berkurang, sehingga mengurangi kerja jantung.
Pengaruh sudut posisi tidur terhadap status
kardiovaskuler (respirasi, nadi dan tekanan
darah) pada pasien Infark Miokard Akut
(IMA). Tabel 4.4 Karakteristik Status Kardiovaskuler
tian menunjukkan terdapat perbedaan rerata skor
kualitas tidur yang bermakna antara dua inter-
vensi posisi tidur baik pada sudut 30° dan 45°.
Status Kardiovaskuler Posisi Tidur
30° 45° Pasien IMA dengan sudut 30° memiliki kualitas
tidur yang lebih baik dibandingkan sudut posisi
tidur 45°. Hal ini sesuai dengan penelitian yang
dilakukan oleh Melanie (2012) yang menunjuk-
Tekanan Sistolik
(mmHg)
Tekanan Diastolik
(mmHg)
123,8 121,6
76,2 78,0
kan bahwa sudut posisi tidur 30° menghasilkan kualitas tidur yang baik dibandingkan sudut 45°
dalam penyakit gagal jantung. Penelitian yang
dilakukan oleh Julie (2008) juga membuktikan
bahwa posisi tidur pasien mempengaruhi cardiac
output dengan hasil bahwa posisi kepala dieleva-
sikan dengan tempat tidur 30 derajat akan men-
jaga maintenance cardiac output sehingga ketida-
knyamanan nyeri dada dan sesak nafas berkurang
yang akhirnya akan mengoptimalkan kualitas ti-
dur pasien. Menurut Tarwoto (2010) hal-hal yang
mempengaruhi kualitas tidur seseorang adalah
faktor penyakit, kelelahan, stress psikologis,
obat, nutrisi dan faktor lingkungan. Faktor pe-
nyakit merupakan hal terbesar yang mempenga-
ruhi kualitas tidur seseorang. Seperti juga yang
dikemukakan oleh Amir (2008) menunjukkan
bahwa orang dewasa atau lanjut usia yang su-
dah didagnosis depresi, stroke, penyakit jantung,
penyakit paru, diabetes, arthritis atau hipertensi
sering melaporkan bahwa kualitas tidurnya bu-
ruk dan durasi tidurnya kurang dikarenakan ge-
jala yang ditimbulkan seperti nyeri dan sesak
nafas. Untuk mengurangi gejala nyeri dan sesak
nafas maka salah satu tindakan untuk mengu-
ranginya adalah dengan menentukan posisi tidur
pasien.Dengan demikian diharapkan berdampak
pada perbaikan kualitas tidur suatu pasien. Hal
Nadi (x/menit) 83,7 84,2
Respirasi (x/menit) 19,2 19,3
Tabel 4 menggambarkan pada sudut 30°
menghasilkan rerata nilai sistolik 123,8 mmHg,
diastolik 76,2 mmHg, nadi 83,7 x/menit dan
respirasi 19,2 x/menit. Sedangkan sudut 45°
menghasilkan rerata nilai sistolik 121,6 mmHg,
diastolik 78,0 mmHg, nadi 84,2 x/menit dan
respirasi 19,3 x/menit.
Berdasarkan perhitungan statistik pene-
litian menunjukkan tidak terdapat perbedaan re-
rata jumlah respirasi (RR) yang bermakna antara
dua intervensi posisi tidur baik pada sudut 30°
dan 45°. Hasil penelitian Supadi (2008) yang
mengungkapkan bahwa posisi semifowler dima-
na kepala dan tubuh dinaikkan 30° sampai 45°
membuat oksigen di dalam paru-paru semakin
meningkat sehingga memperingan kesukaran
bernafas. Selain itu, juga diperkuat oleh peneli-
tian Setyawati (2008) bahwa saat terjadi serangan
asma biasanya klien merasa sesak dan tidak
dapat tidur dengan posisi berbaring, melainkan
harus dalam posisi setengah duduk untuk mere-
dakan penyempitan jalan napas dan memenuhi
O2 darah. Seperti yang dikemukakan oleh teori
Smeltzer dan Bare (2001) bahwa pengaturan po-
77
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
sisi tidur dengan meninggikan punggung bahu
dan kepala sekitar 30° atau 45° memungkinkan
rongga dada dapat berkembang secara luas dan
pengembangan paru meningkat. Kondisi ini akan
menyebabkan asupan oksigen membaik sehingga
proses respirasi kembali normal.
Selain respirasi, dalam penelitian ini menun-
jukkan bahwa dalam posisi semifowler dengan
sudut 30° dan 45° menghasilkan nadi yang baik
dan tidak ada perbedaan yang signifikan diantara
kedua sudut tersebut. Begitu pula dengan hasil
penelitian dari Melanie (2012) yang menyebut-
kan bahwa tidak ada perbedaan nadi yang ber-
makna diantara sudut 30° dan 45° pada pasien
gagal jantung. Secara teori sebenarnya posisi
tubuh sangat berpengaruh terhadap perubahan
denyut nadi, hal ini karena efek gravitasi bumi.
Pada saat duduk maupun berdiri, kerja jantung
dalam memompa darah akan lebih keras karena
melawan gaya gravitasi sehingga kecepatan de-
nyut jantung meningkat. Menurut Sudoyo (2006)
pada saat posisi supin dan semifowler gaya gravi-
tasi pada peredaran darah lebih rendah karena
arah peredaran tersebut horizontal sehingga tidak
terlalu melawan gravitasi dan tidak perlu me-
mompa besar.
Begitu juga dengan hasil tekanan darah,
pada penelitian ini posisi semifowler baik dengan
sudut 30° maupun 45° menghasilkan nilai tekan-
an darah yang baik, tanpa mempertimbangkan
sudut yang dipakai. Penelitian yang mendukung
penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan
oleh Bredore (2004) yang menyebutkan bahwa
posisi tidur semifowler menyebabkan tekanan
darah sistolik berkurang secara nyata (p<0,005),
demikian pula penelitian yang dilakukan oleh
Duward (2005) juga mengatakan bahwa po-
sisi tidur 30° sampai 45° ditemukan penurunan
tekanan arteri yang progresif, penurunan CVP
(p<0,005). Pemberian posisi semifowler akan
mengakibatkan peningkatan aliran darah balik ke
jantung tidak terjadi secara cepat (Sudoyo, 2006).
Aliran balik yang lambat menjadikan peningka-
tan jumlah cairan yang masuk ke paru berkurang,
sehingga udara di alveoli mampu mengabsorbsi
oksigen atmosfer. Disamping itu, pasien dengan
curah jantung yang menurun akan merangsang
mekanisme kompensasi (seperti peningkatan va-
sopressin, renin, angiotensin, aldosterone) serta
peningkatan aktivitas simpatik (Huddak dan Gal-
lo, 2010). Maka dapat disimpulkan bahwa secara
statisktik perubahan posisi semifowler dengan
berbagai ukuran sudut baik 30° dan 45° tidak
berpengaruh besar terhadap perubahan tekanan
darah pasien.
Analisa Bivariat
Analisis Pengaruh Sudut Posisi Tidur
terhadap Kualitas Tidur.
Hasil uji-t didapatkan nilai th = 2,383, tt = 1,691,
dan p = 0,023 maka dapat dikatakan p < 0,05
dan th>tt, uji-t signifikan/bermakna sehingga Ho
ditolak, “sudut posisi tidur berpengaruh terhadap
kualitas tidur pada pasien Infark Miokard Akut
(IMA) di ruang ICVCU RSUD Dr. Moewardi
Surakarta”.Dari hasil analisis pengaruh sudut
tidur terhadap kualitas tidur diperoleh hasil
bahwa responden dengan sudut posisi tidur
30° memiliki skor kualitas tidur yang lebih
tinggi dibandingkan dengan skor kualitas tidur
responden dengan sudut posisi tidur 45°.
Analisis Pengaruh Sudut Posisi Tidur
Terhadap Status Kardiovaskuler
Hasil uji-t didapatkan nilai th sistole = 0,554, th
diastole = 0,584, th HR = 0,133, th RR = 0,180
dan tt = 1,691 maka dapat dikatakan th < tt. Serta
didapatkan nilai p sistole = 0,583, p diastole =
0,563, p HR = 0,895 dan p RR = 0,858 maka
dapat dikatakan p > 0,05. Dari data tersebut
dapat disimpulkan bahwa uji-t tidak signifikan/
bermakna, sehingga Ho diterima, “sudut
posisi tidur tidak berpengaruh terhadap status
kardiovaskuler pada pasien Infark Miokard Akut
(IMA) di ruang ICVCU RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.”
5. KESIMPULAN
a. Sudut posisi tidur berpengaruh terhadap
kualitas tidur pasien Infark Miokard Akut
(IMA) di ruang ICVCU RSUD Dr. Moewardi
Surakarta.
b. Posisi tidur 30° dapat menghasilkan kualitas
tidur yang lebih baik dibandingkan dengan
posisi tidur dengan sudut 45°.
78
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
c. Sudut posisi tidur 30° maupun 45° tidak
berpengaruh terhadap status kardiovaskuler
(tekanan darah, nadi dan respirasi) pasien In-
fark Miokard Akut (IMA) di ruang ICVCU
RSUD Dr. Moewardi Surakarta.
SARAN
Hasil penelitian diharapkan mampu menjadikan
rujukan dalam menentukan sudut posisi tidur
yang paling sesuai dengan kebutuhan pasien
akut miokard infark untuk meningkatkan kualitas
tidur adalah dengan posisi semifowler 30°.
REFERENSI
Amir, N. (2008). Gangguan tidur pada lanjut
usia diagnosis dan penatalaksanaan. http://
www.critpathcardio.com/pt/re/ cpcardio /
abstract.00004268-200312000- 00022.htm,
(diunduh tanggal 2 Februari 2015).
Arikunto, S. (2010).Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan.
(2013). Survei Kesehatan Nasional 2012.
http.//dev3.litbang. depkes.go.id/surkesmas
(diakses pada 28 Desember 2014).
Bredore, V. (2004).The relationship between con-
getive heart failure, sleep apnea and mortal-
ity in older men. http://www. guideline.gov/
summary.aspx?Vied_id, (diunduh tanggal 12
April 2015)
Carpenito, L.J. (2001). Diagnosa Keperawatan:
Aplikasi Praktek Klinik, Edisi 6. Jakarta:
EGC.
Corwin, E.J. (2001). Handbook of pathophysiol-
ogy. Alih bahasa: Pendit, B.U. Jakarta: EGC.
Departemen Kesehatan RI. (2011). Pharamatical
Care Untuk Pasien Jantung Koroner. Jakar-
ta: Depkes RI.
Doengoes, E. (2000). Rencana Asuhan Keper-
awatan dan Dokumentasi Keperawatan.
Edisi 3.Jakarta : EGC.
Duward. (2004). The Effects of Semi- Fowler’s
Position on Post- Operative Recovery in Re-
covery Room for Patients with Laparoscopic
Abdominal Surgery. Abstract. College of
Nursing, Catholic University of Pusan, Ko-
rea
Harkreader, H.H & Thobaben, M. (2007).Funda-
mental of nursing: Caring and clinical judg-
ment. 3rd ed. St. Louis, Missouri: Saunders
Elevier.
Harwoko, P. (2012). Perbedaan Perubahan In-
tensitas Nyeri Dada Kaitannya dengan Pem-
berian Posisi Fowler dan Posisi Semifowler
Pada Pasien Dengan Coronary Heart Dis-
ease di Intensive Cardiovascular Care Unit
Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi.
Jurnal Keperawatan Politeknik Kesehatan
Surakarta.
Hidayat, A.A.A. (2009). Metode Penelitian
Keperawatan dan Teknik Analisis Data. Ja-
karta: Salemba Medika.
Hudak, C.M & Gallo, B.M. (2010). Keperawatan
Kritis: Pendekatan Holistik, Edisi 7, Vol. 1.
Jakarta: EGC.
Julie, C.H. (2008). The effect of positioning on
cardiac ouput measurement.http://proquest.
umi.com/pqdweb, (diunduh tanggal 19 Janu-
ari 2015).
Kasuari.(2002). Asuhan Keperawatan Sistem
Pencernaan dan Kardiovaskuler Dengan
Pendekatan Patofisiology. Magelang: Pol-
tekkes Semarang PSIK.
Kozier, B. (2004). Fundamental of nursing: con-
cepts, process and practice. 7thed. New Jer-
sey: Prentice-Hall, Inc.
Melanie, R. (2012). “Analisis Pengaruh Sudut
Tidur terhadap Kualitas Tidur dan Tanda
Vital Pada Pasien Gagal Jantung di Ruang
Intensif RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung”.
http://stikesayani.ac.id/publikasi/e-jour-
nal/.../201208-008.pdf. (diakses pada tang-
gal 18 September 2014)
Meana & Lieberman. (2009).Evaluation of The
Effect of Group Counselling on Post Myo-
cardial Infarction Patient: Determined by
an Analysis of Quality of life.Blackwell Pub-
lishing Ltd. Journal of Clinical Nursing.
Merta. (2010). Impact of Anxiety ang Perceived
Control on In-Hospital Complications Af-
ter Acute Myicardial Infarction. By the
American Psychosomatic Society: 0033-
3174/07/6906-0010
79
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Muttaqin, A. (2009). Asuhan Keperawatan Klien
Dengan Gangguan Sistem Kardiovaskuler
dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika
Norman, W.M., Hayward, L.F., (2005). Sleep
Neurobiology for the Clinician. 27:811-820.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Met-
odologi Penelitian Ilmu Keperawatan: Pe-
doman Skripsi, Tesis dan Instrumen Peneli-
tian Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Price, S., & Wilson, L. (2006). Patofisiologi. Ja-
karta : EGC
Potter, P.A., & Perry, AG. (2005). Buku Ajar Fun-
damental Keperawatan: Konsep, Proses dan
Praktik. Jakarta: EGC.
Rekam Medis RSUD Dr. Moewardi.(2014).
Angka Kejadian Miokard Infark di RSUD
Dr. Moewardi.
Safitri, R & Andriyani, A. (2011).Keefektifan
Pemberian Posisi Semi Fowler Terhadap
Penurunan Sesak Nafas pada Pasien Asma
di Ruang Rawat Inap Kelas III RSUD dr.
Moewardi Surakarta.Jurnal Keperawatan
dan Kebidanan Volume 4.
Smeltzer, S.C. & B.G. Bare.(2001). Buku Ajar
Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddart.Edisi 8.Jakarta: EGC.
Sudoyo, W., A., Setiyohadi, B., Alwi, I., et al.
(2006).Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ja-
karta : Fakultas KedokteranUniversitas In-
donesia.
Sugiyono. (2011). Metode Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung: CV. Alfabeta
Supadi, E. Nurachmah, dan Mamnuah.(2008).
Hubungan Analisa Posisi Tidur Semi Fowler
Dengan Kualitas Tidur Pada Klien Gagal
Jantung Di RSU Banyumas Jawa Tengah.
Jurnal Kebidanan dan Keperawatan Volume
IV No 2 Hal 97-108.
Tambayong, J. (2004). Patofisiologi Untuk
Keperawatan. Jakarta: EGC.
Tarwoto.(2010). Kebutuhan Dasar Manusia dan
Proses Keperawatan. Jakarta: Salemba Me- dika.
-oo0oo-
80
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
PENGHAMBATAN PRODUKSI EKSOPROTEASE
DAN BIOFILM PADA Pseudomonas aeruginosa OLEH
EKSTRAK Apium graveolens L
Didik Wahyudi 1), Yusianti Silviani 2)
1, 2Akademi Analis Kesehatan Nasional Surakarta
[email protected] [email protected]
ABSTRAK
Eksoprotease merupakan enzim yang dihasilkan Pseudomonas aeruginosa, yang produksinya berhu-
bungan dengan sistem quorum sensing, yaitu proses yang terjadi pada bakteri dalam mengekpresikan
molekul sinyal untuk menjadi patogen. Perilaku bakteri yang diatur sistem quorum sensing antara lain
bioluminescen, sekresi virulensi, sporulasi, konjugasi, produksi enzim ekstraseluler, pembentukan bio-
film dan produksi pigmen. Pseudomonas aeruginosa merupakan patogen opportunistik penyebab utama
infeksi nosokomial. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kemampuan ekstrak Apium graveolens L
dalam menghambat quorum sensing Pseudomonas aeruginosa, berdasarkan besarnya penghambatan
enzim eksoprotease dan produksi biofilmnya. Pseudomonas aeruginosa diisolasi dari Rumah Sakit Dr.
Moewardi Surakarta; dikarakterisasi sifat sensitivitas terhadap beberapa antibiotik; ekstraksi Apium
grabeolens L menggunakan pelarut etanol; uji kemampuan ekstrak Apium graveolens L dalam peng-
hambatan quorum sensing bakteri berdasarkan produksi enzim eksoprotease Pseudomonas aeruginosa
dengan metode kemampuan menghidrolisis azocasein yang ada di dalam media dan diukur dengan
spektofotometer, dilanjutkan uji pembentukan biofilm pada microtiter plate PVC, dengan metode Opti-
cal density. Semua eksperimen dilakukan ulangan tiga kali, analisis data menggunakan satu arah analisis
varians (ANOVA) dengan P-nilai 0,05 menggunakan perangkat lunak statistik SPSS. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa ekstrak Apium graveolens L mempunyai kemampuan menghambat produksi enz-
im eksoprotease Pseudomonas aeruginosa pada konsentrasi 20% b/v, dan mampu menghambat produksi
biofilm Pseudomonas aeruginosa pada konsentrasi 15%.
Kata kunci: eksoprotease, biofilm, Pseudomonas aeruginosa, Apium graveolens L.
ABSTRACT
Eksoprotease is an enzyme produced by Pseudomonas aeruginosa, whose production is associated with
quorum sensing system, which is a process that occurs in bacteria in the express signaling molecules to
become pathogenic. Behavior bacterial quorum sensing system arranged bioluminescen among other
things, the secretion of virulence, sporulation, conjugation, the production of extracellular enzymes,
biofilm formation and the production of pigments. Pseudomonas aeruginosa is an opportunistic
pathogenic major cause of nosocomial infection. The study aims to determine the ability of Apium
graveolens L extract in inhibiting Pseudomonas aeruginosa quorum sensing, based on the amount of
enzyme inhibition eksoprotease and production biofilmnya. Pseudomonas aeruginosa was isolated from
Hospital Dr. Moewardi Surakarta; characterized the nature of sensitivity to multiple antibiotics; Apium
grabeolens L extraction using ethanol; test the ability of Apium graveolens extract L in quorum sensing
inhibition of bacterial enzyme production by Pseudomonas aeruginosa eksoprotease by hydrolyzing
81
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
ability azocasein method that is in the media and are measured with a spectrophotometer, followed by a
test on a microtiter plate biofilm formation of PVC, with Optical density method. All experiments were
performed three times replay, analysis of data using one-way analysis of variance (ANOVA) with a
P-value of 0.05 using SPSS statistical software. The results showed that the extract of Apium graveolens
L has the ability to inhibit the production of enzymes eksoprotease Pseudomonas aeruginosa at a
concentration of 20% w / v, and is able to inhibit the production of biofilms of Pseudomonas aeruginosa
at a concentration of 15%.
Keywords: eksoprotease, biofilm, Pseudomonas aeruginosa, Apium graveolens
1. PENDAHULUAN
Eksoprotease merupakan enzim yang di-
hasilkan oleh Pseudomonas aeruginosa yang
berhubungan dengan sistem quorum sensing.
Quorum sensing merupakan suatu proses yang
memungkinkan bakteri dapat berkomunikasi de-
ngan mensekresikan molekul sinyal yang disebut
autoinducer atau molekul sinyal sebagai bahasa.
Proses ini memungkinkan suatu populasi bakteri
dapat mengatur ekspresi gen tertentu. Konsentra-
si autoinducer di lingkungan sebanding dengan
jumlah bakteri yang ada. Dengan mendeteksi
autoinducer, suatu bakteri mampu mengetahui
keberadaan bakteri lain di lingkungannya (Taga
et al., 2001). Pada Pseudomonas aeruginosa au-
toinducer tersebut adalah golongan enzim ekso-
protease (Rukayadi, 2006).
Sistem quorum sensing mengontrol perilaku
bakteri melalui pengubahan ekspresi gen oleh
molekul sinyal. Perilaku bakteri yang diatur
sistem quorum sensing antara lain: biolumi-
nescen, sekresi faktor virulensi, sporulasi, konju-
gasi, pembentukan biofilm dan produksi pigmen
(Taga et al., 2001).
Pengunaan senyawa antibiotik secara terus
menerus dapat meningkatkan frekuensi mutasi,
sehingga melahirkan generasi bakteri baru yang
resisten (Lewis, 2001), dengan pengetahuan
mengenai sistem quorum sensing, dapat dikem-
bangkan suatu cara pengendalian bakteri yang
tidak terbatas pada pemberantasan bakteri atau
antibiosis. Pengendalian infeksi dapat dilakukan
dengan mencegah pengumpulan massa bakteri
atau dengan merusak sistem komunikasi interse-
luler bakteri, bakteri tetap hidup selama perilaku-
nya tidak destruktif (Suwanto, 2005).
Pseudomonas aeruginosa merupakan pato-
gen oportunistik, yaitu memanfaatkan kerusakan
pada mekanisme pertahanan inang untuk memu-
lai suatu infeksi. Angka fatalitas kasus (case fa-
tality rate) pasien-pasien tersebut adalah 50%,
P. aeruginosa merupakan penyebab sepsis yang
umum dijumpai pada pasein di unit perawatan
intensif (Mayasari, 2006).
Penyakit infeksi P. aeruginosa dimulai de-
ngan penempelan dan kolonisasi bakteri ini pada
jaringan inang, dengan menggunakan fili untuk
penempelan sel pada permukaan inang, dapat
membentuk biofilm untuk mengurangi keefektif-
an mekanisme sistem imun inang (Zhang et al,
1998). P. aeruginosa memiliki molekul sinyal
utama yaitu komponen homoserin lakton yang
berfungsi sebagai agen kemostatik untuk meng-
umpulkan sel-sel P. aeruginosa yang berdekatan
melalui mekanisme quorum sensing dan mem-
bentuk biofilm (Madigan et al., 2006).
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk
mengetahui kemampuan penghambatan sistem
quorum sensing pada ekstrak beberapa jenis ba-
han alam yang lain terhadap beberapa bakteri,
antara lain Fuqua et al., (1997) yang meneliti
tentang sistem pengaturan ekspresi gen pada mi-
kroorganisme melalui sistem quorum sensing.
Rukayadi et al., (2006) meneliti tentang peng-
hambatan produksi faktor virulensi P. aerugino-
sa oleh tanaman vanili. Magdalena dan Yogiara
(2006) yang meneliti tentang kemampuan leng-
kuas dalam menghambat produksi biofilm pada
Streptococcus mutan penyebab plaq pada gigi.
Wahyudi (2011) menyebutkan bahwa Esktrak
Apium graveolens L mampu menghambat sistem
quorum sensing Pseudomonas aeruginosa, dan
Wahyudi (2014) menyebutkan bahwa Apium gra-
veolens mampu menghambat produksi biofilm
pada Salmonella typhi.
Tujuan penelitian untuk mengetahui apakah
ekstrak Apium graveolens L mampu mengham-
82
3
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
bat produksi enzim eksoprotease dan produksi
biofilm pada Pseudomonas aeruginosa dan
berapakah konsentrasi ekstrak Apium graveo-
lens L yang paling efektif dalam menghambat
produksi eksoprotease dan produksi biofilm pada
Pseudomonas aeruginosa?
2. METODE PENELITIAN
a. Alat dan bahan
Alat meliputi rotary evaporator au-
toclave, kuvet, shaker, inkubator, laminar
air flow, waterbacth, petridish, jarum ohse,
bunsen, lemari es, ph meter, spektrofotom-
eter, sentrifuge, mikropipet, jangka sorong,
timbangan elektrik, elenmeyer, bekerglass,
aluminium foil,. tabung biakan kuman, rak
tabung reaksi, vortek, kertas saring.
Bahan yang digunakan Apium gra-
veolens L, isolat Pseudomonas aeruginosa,
medium Luria-Bertani (LB), etanol, akuades
steril, crystal violet, glukosa 5%. media
Brain Heart Infusion (BHI), MacConkey
(MC). Media uji biokimia: Kliger Iron Agar
(KIA), Sulfide Indol Motility (SIM), Urea,
Citrat, Methyl Red (MR), Voges Proskauer
(VP), Phenyl Alanine Deaminase (PAD).
Media Gula-Gula (Glukosa, Laktosa, Mani-
tol, Maltosa, Sukrosa); Azocasein (Sigma),
trichloroacetic acid (TCA), NaOH 0,5 M,
buffer fosfat pH 8. Media Trypticase soy
broth–0.6% yeast extract (TSBYE), 5%
glycerol, Trypticase soy agar (TSA), mi-
crotiter plate PVC,. NaCl 0,9 % steril. Rea-
gen Erlich, Methyl Red (MR), Ferri Klorida
(FeCl ) 10 %, Kalium Hidroksida (KOH) 40
%, Barried, Cat Gram A, B, C, dan D. disk
Antibiotik Lengkap.
b. Karakterisasi dan Ekstraksi Apium graveo-
lens L
Apium graveolen L (Seledri) yang digu-
nakan dalam penelitian ini akar, batang, dan
daunnya, diambil dari perkebunan di daerah
Tawangmanggu Kabupaten Karanganyar
Jawa Tengah berumur 3 bulan,
Pembuatan Fraksi Etanol 70% Seledri
dibuat dengan cara sebagai berikut: Herbal
Tanaman Seledri yang telah dikeringkan
pada suhu 50°C selama 5 hari diambil se-
banyak 2 kg. Setelah kering dilakukan
ekstraksi dengan metode maserasi, herbal
Seledri dimasukkan ke dalam bejana, ke-
mudian ditambahkan dengan 10 liter etanol
70% ditutup dan dibiarkan selama 5 hari.
Diserkai, dan diperas ampasnya. Sari etanol
yang diperoleh kemudian dilakukan peme-
katan sampai dihasilkan ekstrak etanolik
seledri.
c. Isolasi Bakteri Uji dan Persiapan Media
Bakteri P. aeruginosa diperoleh dari iso-
lasi dari Rumah Sakit Umum Dr.Moewardi
Surakarta Isolasi dilakukan dengan metode
uji biokimia, uji fermentasi karbohidrat dan
uji sensitivitas antibiotik dilakukan dengan
metode difusi agar (Bauer, 1966). Media
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
media Luria-Bertani (LB) dilengkapi dengan
0,5% glukosa dan 2% susu skim (media LB,
mengandung 2,5 mg tiamin/liter), semua
strain yang diinkubasi pada 37 °C.
d. Pengujian Kuantitatif aktivitas enzim ekso-
protease P. aeruginosa
Pengujian ini dilakukan untuk menge-
tahui aktivitas enzim eksoprotease P. aeru-
ginosa secara kuantitatif pada perlakuan
ekstrak Apium graveolens L. Prinsip peng-
ujian aktivitas enzim eksoprotease berdasar-
kan metode Hanlon dan Hodges (1981) yaitu
kemampuan enzim protease untuk menghi-
drolisis Azocasein. Residu azocasein yang
tidak dapat terhidrolisis oleh enzim eksopro-
tease akan diendapkan oleh tricloro acetic
acid (TCA). Endapan dipisahkan dengan
filtrat, filtrat akan membentuk warna bila
direaksikan dengan NaOH. Intensitas warna
yang terbentuk diukur dengan spektrofoto-
meter pada panjang gelombang 440 nm.
Sepuluh ml suspensi bakteri yang telah
diukur pertumbuhannya di sentrifuge dengan
kecepatan 10.000 g selama 10 menit, filtrat-
nya diambil sebanyak 1 ml. lalu dimasukkan
dalam tabung reaksi yang telah berisi 3 ml
larutan buffer fosfat (pH 8). campuran ini
kemudian diletakkan di atas penanggas air
hingga suhunya mencapai 37oC. Setelah
itu ditambahkan 2 ml Azocasein yang se-
belumnya telah dipanaskan pada penanggas
83
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
air hingga suhunya mencapai 37oC. Selanjut-
nya ditambahkan 4 ml trichkloro acetic acid
(TCA) 10% sehingga terbentuk endapan
kuning yang dipisahkan dengan sentrifuge.
Filtrat sebanyak 5 ml diambil lalu ditambah-
kan dengan 5 ml larutan NaOH 0,5 M, ke-
mudian diukur absorbansinya pada panjang
gelombang 440nm.
Pengukuran aktivitas enzim dilakukan
setiap 2 jam selam 24 jam sebanyak 3 kali
ulangan satu unit, aktivitas enzim eksoprote-
ase didefinisikan sebagai jumlah enzim yang
dapat menghasilkan kenaikan pengukuran
absorbansi sebesar 0,01 setiap jam pada kon-
disi pengukuran. Unit aktivitas enzim ekso-
protease yang digunakan dalam penelitian
ini dinyatakan dalam U/ml dengan rumus
Hanlon dan Hodges (1981) sebagai berikut:
Unit aktivitas / ml sampel (U/ml) = (ab-
sorbansi; 0,01) x 2
e. Uji Pembentukan Biofilm dengan Microtiter
Plate Polivinil Klorida. (Djordjevic et al,
2002; Rukayadi dan Hwang, 2006)
Pseudomonas aeruginosa pada media LB
segar yang mengandung ekstrak Apium graveo-
lens pada konsentrasi 0% (sebagai kontrol) 5%,
10%, 15%, 20% dan 25%, kemudian diinkubasi
dalam 10 ml media diperkaya TSBYE, pada suhu
320C semalam. Tes produksi biofilm dilakukan
dengan media Luria Bertani. Kultur semalam
di TSBYE dipindahkan (0,1 ml) ke 10 ml Luria
Bertani dan divortex. Kemudian 100µl dialihkan
ke dalam delapan pelat PVC microtiter (Becton
Dickinson Labware, Franklin Lakes, NJ), sebel-
umnya dibilas dengan 70% etanol dan udara ker-
ing.
Plate tersebut dibuat dalam rangkap dua, di-
inkubasi, dan ditutup pada 32°C selama 40 jam.
Setiap plate termasuk delapan sumur MWB tanpa
P. aeruginosa sebagai kontrol. Kekeruhan sel di-
pantau menggunakan pembaca piring microtiter
(Bio-Rad, Richmond, Calif), dengan densitas
optik 595 nm (OD595), dan dicatat pada interval
waktu yang berbeda.
Set plate pertama digunakan untuk pem-
bentukan biofilm pengukuran setelah 40 jam
pembentukan biofilm. OD rata-rata dari sumur
kontrol itu dikurangkan dari OD dari semua tes
sumur. Setelah 40 jam periode inkubasi, media
telah dihilangkan dari sumuran, dan sumur mi-
crotiter plate dicuci lima kali dengan air suling
steril untuk menghilangkan bakteri yang tidak
terikat kuat.
Plate dikeringkan udara selama 45 menit
dan masing-masing dilakukuan pewarnaan de-
ngan 150 µl dari kristal violet 1% larutan dalam
air selama 45 menit. Setelah pewarnaan, plate
yang dicuci dengan air suling steril lima kali.
Pada kondisi ini, biofilm yang terlihat sebagai
cincin ungu yang terbentuk di sisi masing-masing
dengan baik. Analisis kuantitatif produksi bio-
film dilakukan dengan menambahkan 200 µl dari
95% etanol ke dalam sumur. Seratus microliters
dari masing-masing dipindahkan ke microtiter
plate baru dan OD ungu kristal yang ada diukur
pada 595 nm. Uji biofilm dengan microtiter plate
dilakukan tiga kali ulangan.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Isolasi, Karakterisasi dan Uji Sensitivitas
Antibiotik.
Karakteristik P. aeruginosa hasil isolasi dari
Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta sebagai
berikut: pada media TSIA tidak memfermenta-
sikan media glukosa, manitol, sakarosa, malt-
ose, dan laktosa, hal ini terlihat dari media yang
berwarna merah baik pada dasar maupun pada
lereng permukaan media agarnya. Bakteri ini
menghasilkan hasil negatif pada uji indol, Merah
Metil, dan Voges-Proskauer. Bakteri tersebut
mampu memproduksi katalase, oksidase, dan
amonia dari arginin, dapat menggunakan sitrat
sebagai sumber karbonnya. Koloni yang dibentuk
halus, bulat dengan warna fluoresensi kehijauan.
Strain P. aeruginosa menghasilkan pigmen yang
berfluoresensi antara lain: pioverdin (warna hi-
jau), piorubin (warna merah gelap), piomelanin
(hitam). Pseudomonas aeruginosa yang berasal
dari koloni yang berbeda mempunyai aktivitas
biokimia, enzimatik dan kepekaan antimikroba
yang berbeda pula. P. aeruginosa yang diguna-
kan dalam penelitian ini memiliki sifat-sifat ter-
hadap antibiotik (Tabel 1).
Hasil isolasi P. aeruginosa hasil isolasi dari
Rumah Sakit Dr. Moewardi Surakarta sudah re-
84
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
sisten berbagai antibiotik, hal ini menyebabkan
sulit diobati jika bakteri tersebut menimbulkan
infeksi. Adanya resistensi tersebut dikarenakan
beberapa hal antara lain adanya mutasi ataupun
rekombinasi struktur gen yang terjadi di dalam sel
bakteri. Namun mengingat P. aeruginosa adalah
patogen oportunistik maka untuk menyebabkan
infeksi perlu adanya faktor predisposisi, salah
satunya adalah harus memenuhi jumlah tertentu
terlebih dahulu (107 – 108 sel), yang merupakan
syarat sistem quorum sensing bisa berjalan.
Tabel 1 Hasil Uji Sensitivitas Antibiotik
terhadap P. aeruginosa hasil isolasi dari RSU
Dr. Moewardi Surakarta, Jawa Tengah.
RESISTEN TERHADAP SENSITIF TERHADAP Nama Obat (µ gram ) Nama Obat (µ gram )
Amoxycillin
Amoxycillin Clav.Acid
Ceffazidime
Clindamisin
Ciprofloxacine
Penicillin G
Sulfamethaxazole
Trimetrhoprim
Streptomycin
Nalidic Acid
Amikacin
Cloramphenicol
Novobiocin
Cephalothin
Cefuroxime
Kanamycin
Cefoxitin
Ofloxacin
10
30
2
5
5
30
100
5
10
30
300
30
5
20
30
15
30
30
Cefriaxone
Fosfomycin
Meropenem
Imipenem
Gentamycin
Netilmycin
Cefepime
Coumpounds
Piperacillin
30
50
30
30
10
15
30
300
100
Penghambatan Produksi enzim Eksoprotease
P. aeruginosa oleh ekstrak Apium graveolens
L.
Hasil penghambatan produksi Enzim ekso-
protease Pseudomonas aeruginosa oleh ekstrak
Apium graveolens L di dapatkan hasil aktivitas
enzim berdasarkan optical densitynya didapatkan
hasil seperti pada Tabel 2.
Gambar 1 menunjukkan bahwa pada kon-
sentrasi 0 – 15 % produksi eksoprotease Pseu-
domonas aeruginosa cenderung tidak berbeda,
namun pada konsentrasi 20% dan 25% terlihat
adanya penurunan yang cukup drastis, besarnya
aktivitas enzim pada grafik mengikuti kurva per-
tumbuhannya (kurva sigmoid); terlihat bahwa
enzim eksoprotease ini diproduksi pada fase
eksponensial akhir.
Tabel 2. Unit aktivitas enzim eksoprotease pada
P. aenginosa yang dihambat dengan beberapa
konsentrasi aviumgroviolens L
Ket: Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda signifikan
secara statistik pada taraf kepercayaan 5%
Gambar 1. Kurva produksi enzim eksoprotease
P. aeruginosa yang dihambat dengan beberapa
konsentrasi Apium graveolens L
Hasil penelitian diatas, sejalan dengan bebe-
rapa penelitian sebelumnya (Smith dan Iglews-
ki, 2003; Hentzer et al., 2003; Rukayadi dan
Hwang, 2006; Adonizio, 2008; Mustika, 2009)
Hasil penelitian beberapa peneliti tersebut me-
nyatakan bahwa sistem quorum sensing bakteri
bisa dihambat oleh ekstrak tanaman obat tertentu
pada konsentrasi rendah dengan indikator adalah
produksi enzim protease yang terhambat, namun
pada konsentrasi tersebut beberapa dari ekstrak
tanaman obat tersebut belum tentu menghambat
pertumbuhan selnya.
85
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Hal tersebut juga sejalan dengan dua pene-
litian sebelumnya yaitu Lestari (2005) dan Aini
(2006) yang meneliti tentang penghambatan
eksoprotease pada Aeromonas hidrophyla dengan
ekstrak rimpang temulawak dan tomat ditemukan
bahwa ekstrak rimpang temulawak dan tomat ter-
sebut menghambat produksi eksoprotease pada
konsentrasi 4%, dan pada konsentrasi tersebut
tidak mempengaruhi pertumbuhan selnya.
Hasil Uji Pembentukan Biofilm Pseudomonas
aeruginosa dengan Microtiter Plate Polivinil
Klorida.
Bakteri yang berada di sebuah biofilm dapat
memiliki sifat sangat berbeda dari bakteri yang
hidup bebas. Sebagai lingkungan yang padat dan
dilindungi dalam lapisan film memungkinkan
mereka untuk bekerja sama dan berinteraksi de-
ngan berbagai cara. Apabila suatu bakteri telah
membentuk biofilm dan berkolonisasi dalam
suatu jaringan atau organ biasanya sudah resisten
terhadap beberapa jenis antibiotik (Adonizio,
2008) hal ini sejalan dengan hasil penelitian ini,
yang dapat dilihat pada Tabel 3 bahwa Pseudo-
monas aeruginosa yang diisolasi dari sampel
pasien resisten terhadap beberapa antibiotik.
Tabel 3. Hasil Optical density pada Uji daya
hambat Biofilm Pseudomonas aeruginosa oleh
ekstrak Apium graveolens L dengan pelarut
atanol dan etil asetat
Pada hasil pengujian biofilm pada Pseudo-
monas aeruginosa terlihat bahwa semakin besar
konsentrasi ekstrak Apium graveolens L maka
semakin besar pula penghambatan produksi bio-
film pada Pseudomonas aeruginosa, Pada hasil
penghambatan biofilm Pseudomonas aeruginosa
terlihat bahwa pada konsentrasi ekstrak 15 % su-
dah terlihat berbeda nyata secara significan ber-
dasarkan perhitungan statistiknya, pada konsen-
trasi 15 % dan 20% terlihat tidak ada perbedaan
kemampuan penghambatan biofilm Pseudomo-
nas aeruginosa oleh ekstrak Apium graveolens
L, namun pada konsentrasi 25% terlihat bahwa
kemampuan penghambatannya berbeda secara
signifikan dengan pada konsentrai 25%.
Hasil penelitian ini sejalan penelitian sebe-
lumnya, (Wahyudi, 2011) bahwa ekstrak sele-
dri (Alpinia galanga L) mampu menghambat
produksi biofilm pada Pseudomonas aeruginosa
pada konsentrasi 8%, sedangkan Salmonella
typhi terhambat produksi biofilmya pada kon-
sentrasi ekstrak Alpinia galanga 6% (Wahyudi,
2014).
Gambar 2. Nilai Optical Density penghambatan
biofilm Pseudomonas aeruginosa oleh ekstrak
Apium graveolens L dengan pelarut Etanol
Hasil beberapa penelitian tersebut me-
nyatakan bahwa untuk penghambatan produksi
biofilm bakteri, dalam hal ini Pseudomonas ae-
ruginosa dan Salmonella typhi membutuhkan
konsentrasi ekstrak bahan alam yang rendah
kurang dari 20 %, namun pada konsentrasi terse-
but belum mampu mengambat pertumbuhan bak-
teri. Sehingga untuk mencegah bakteri memben-
tuk biofilm hanya membutuhkan sejumlah kecil
bahan aktif yang ada di dalam ekstrak Apium
graveolens L, hal ini disebabkan karena untuk
menghambat produksi biofilm suatu bakteri, se-
benarnya yang dibutuhkan adalah menghambat
enzim ataupun molekul protein yang menjadi
sinyal (autoindcer) unutk bakteri berkolonisasi,
kemudian mengekspresikan faktor virulensi dan
akhirnya membentuk biofilm yang dapat menye-
babkan bakteri menjadi resisten terhadap ber-
bagai jenis antibiotik. Mekanisme penghambatan
produksi biofilm ini bisa digunakan untuk acuan
pembuatan bahan pengawet, salep, dan produk-
produk lain yang bertujuan untuk mencegah
86
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
bakteri menjadi patogen, sehingga bisa menye-
babkan penyakit, atau menhasilkan racun pada
beberapa produk makanan.
5. KESIMPULAN
Ekstrak Apium graveolens L mempunyai
kemampuan untuk menghambat produksi enzim
eksoprotease P. aeruginosa pada konsentrasi 20%
berat/vol, dan mampu menghambat produksi bio-
film Pseudomonas aeruginosa pada konsentrasi
15%.
6. REFERENSI
Adonizio Allison L., 2008., Anti-quorum sens-
ing Agents From South Florida Medicinal
Plants and Their Attenuation of Pseudomo-
nas aeruginosa Pathogenicity., FIU Elec-
tronic Theses and Dissertations, Florida In-
ternational University.
Allison, D. (2000). Community Structure and
Co-Operation in Biofilms. Cambridge: Cam-
bridge University Press.
Aini N, 2006., Penurunan produksi enzim ekso-
protease aeromonas hydrophila oleh ekstrak
buah tomat (lycopersicon esculentum mill.)
UNS-Solo Indonesia.
Aree JO., T Suzuki, P. Gasaluck, G. Eumkeb.,
2006., Antimicrobial properties and action
of galangal (Apium graveolens Linn.) on
Staphylococcus aureus., LWT Food Science
and Technology Volume 39, Issue 10, De-
cember 2006, page 1214-1220
Bauman, 2009. Biofilm, Pseudomonas putida,
Streptococcus mutans., http://biobakteri.
wordpress.com/2009/06/07/8-biofilm/. (1
Februari 2010). Boel, Trelia, 2004, Pse-
domonas aeruginosa, http:// library.usu.
ac.id;
Catherine Y(2002). Hoodoo Herb and Root Mag-
ic: A Materia Magica of African-American
Conjure, and Traditional Formulary. Lucky
Mojo Curio.
Choo JH, Rukayadi Y, Hwang JK. 2006, Inhibi-
tion of bacterial quorum sensing by vanilla
extract. Lett Appl Microbiol; (42):637-41
De Kievit TR, Iglewski BH. 2000, Bacterium
quorum sensing in pathogenic relationships.
Infect Immun; 68(9):4839–49
Djordjevic D, Wiedmann M, McLands borouggh
L A., 2002., Microtiter Plate assay for As-
sessment of Listeria monocytogenes Biofilm
Formation., Applied and Enviromental Mi-
crobiology., America Society For Micribiol-
ogy.
Fuqua WC, Winans SC, Greenberg EP. 1994.,
Quorum sensing in bacteria-the LuxRLuxI
family of cell density-responsive tran-
scriptional regulators. J Bacteriol 1994;
176(2):269-75
Fuqua, C. & Greenberg, E. P. (1999). Self percep-
tion in bacteria: quorum sensing with acyl-
ated homoserine lactones. Curr Opin Micro-
biol 1, 183-189.
Fuqua, C., Winans, S. C. & Greenberg, E. P.
(1997). Quorum sensing in bacteria: the
LuxR–LuxI family of cell density-respon-
sive transcriptional regulators. J Bacteriol
176, 269-275
Hentzer M, Wu H, Andersen JB, Riedel K, Ras-
mussen TB, Bagge N, et al., 2003, Attenu-
ation of Pseudomonas aeruginosa virulence
by quorum sensing inhibitors. The EMBO J
2003; 22(15):3803-15
Hentzer, M and M. Givskov, 2003, Pharmalogi-
cal Inhibitor, of Quorum Sensing For The
Treatment Of Chronic Bacterial Infection, J
Clint Invest
Lewis, K, 2001., Riddle of Biofilm Resistance,
Antimicrob Agent Chemotherapy.
Madigan MT, Martinko JM, Brock TD. 2006.
Brock Biology of Microorganisms. 11th Ed.
New Jersey: Pearson Prentice Hall. Hal:
617-619.
Magdalena, dan Yogiara, 2006., Screening of
Bioactive Compound from Plant Extract In-
hibiting Biofilm Formation. Proseding PER-
MI tahun 2006.
Mayasari, E, 2006, Pseudomonas aeruginosa;
Karakteristik, Infeksi, dan Penanganan, De-
partemen Mikrobiologi FK-USU.
Miller MB, Bassler BL., 2001, Quorum sensing
in bacteria. Annual Review Microbiology
2001;55:165-99
Murray. R.K., D.K Granner., P.A Mayes, V. W
Rodwell, 1997. Biokimia Harper (diter-
87
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
jemahkan oleh A. Hartono). Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
Mustika F., 2009., Isolation and screening of
Biofilm forming bacteria for optimation of
biofilm production by addition of sugar and
antibiotics variation and its concentration
in Nile tilapia oral vaccines development
(Oreochromis niloticus Lac), School of Life
Sciences andTechnology- ITB
Nealson KH, Platt T, Hasting JW., 1970 Cellular
control of the synthesis and activity of the
bacterial luminescent system. J Bacteriol
1970; 104(1):313-22
Ni N, Li M, Wang J, Wang B., 2009, Inhibitors
and antagonists of bacterial quorum sensing.
Med Res Rev 2009; 29(1):65-124
Parsek, M.R, D, L. Val., B. L. Hanzeika., J. E
Cronan Jr., and E.P. Greenberg, 1999, Acyl
Homoserin Lactone Quorum Sensing Sig-
nal Generation. Proc. Natl. Acad, Sci. U S A
(96): 4360-4365.
Raffa RB, Iannuzzo JR, Leine DR, Saeid KK,
Schwartz RC, Sucic NT, et al, 2005, Bacte-
rial communicarion (“quorum sensing”) via
ligands and receptors: a novel pharmacolog-
ic target for the design of antibiotic drugs. J
Pharmacol Exp Ther 2005; 312(2):417-423
Rahayu DE., 1999. Kandungan Kimiawi Tana-
man Obat Indonesia., Penerbit Pelita Karya
Pustaka., Surabaya – Indonesia.
Rasmussen TB, Thomas Bjarnsholt, Mette Elena
Skindersoe, Morten Hentzer,Peter Krist-
offersen, Manuela Ko¨te, John Nielsen,
Leo Eberl, and Michael Givskov1, 2005.,
Screening for Quorum-Sensing Inhibitors
(QSI) by Use of a Novel., Genetic Sys-
tem, the QSI Selector. Journal of Bacteri-
ology, Mar. 2005, p. 1799–1814 Vol. 187,
No. 5 00219193/05/$08.00_0 doi:10.1128/
JB.187.5.1799–1814.2005., American Soci-
ety for Microbiology.
Rukayadi Y, Choo JH, Hwang JK. 2006, Vanil-
lin inhibits quorum sensing – regulated viru-
lence factors production of Pseudomonas
aeruginosa. Curr Microbiol (In press)
Rukayadi Y, Hwang JK. 2006. Effect of xanthor-
rhizol on Streptococcus mutans biofilm in
vitro. J Mikrobiol Indones (11):40-43.
Rukayadi Yaya dan Hwang Jae Kwan, 2009.,
Pencegahan Quorum Sensing: Suatu
pendekatan baru untuk mengatasi infeksi
bakteri., Cermin Dunia Kedokteran Vol. 22,
No.1, Edisi Maret - Mei 2009
Smith KM, Bu Y, Suga H., 2003, Induction
and inhibition of Pseudomonas aeruginosa
quroum sensing by synthetic autoinducer
analogs. Chem Biol 2003; 10:81-9
Smith Roger S, Barbara H Iglewski, 2003., Pseu-
domonas aeruginosa quorum sensing as a
potential antimicrobial target, Journal of
Clinical Investigation; Nov 2003; 112, 10;
ProQuest Biology Journals pg. 1460
Sinaga E., 2004., Apium graveolensl L., Pusat
Penelitian dan pengembangan Tumbuhan
Obat UNAS/P3TO UNAS.
Suwanto, A., 2005 Strategi Baru Mengendalikan
Penyakit Infeksi, http:/www.kompas.com/
kompas-cetak/ 0211/081/iptek/mema36.
htm(20Mei 2010).
Taga ME, Semmelhack JL, Bassler BL, 2001,.
The LuxS-dependent autoinducer AI-2 con-
trols the expression of an ABC transforter
that functions in AI-2 uptake in Salmonella
typhimurium. Mol Microbiol 2001; (42):77-
93.
Wahyudi, 2011, Penghambatan Quorum Sensing
Pada Pseudomonas aeruginosa oleh Ekstrak
Alpinia galangal L. Prosiding Perhipba ta-
hun 2011, UNS press.
Wahyudi, 2014, Uji Efektifitas Ekstrak Seledri
(Alpinia galangal L) sebagai penghambat
Produksi Biofilm pada Pseudomonas aerugi-
nosa, Jurnal Biomedika Volume 7 Universi-
tas Setia Budi, Surakarta.
Zhang XQ, Bishop PL, Kupferle MJ. 1998. Mea-
surement of polysaccharides and proteins
in biofilm extracellular polymers. Water Sci
Technol 37, 345-348.
-oo0oo-
88
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
METODE REDUKSI TAHU BERFORMALIN
MENGGUNAKAN VARIASI KONSENTRASI
AIR GARAM YANG DITAMBAHKAN DENGAN
EKSTRAK BAWANG PUTIH (Allium sativum L.)
Tri Harningsih 1), Indah Tri Susilowati 2)
1, 2Akademi Analis Kesehatan Nasional Surakarta
ABSTRAK
Tahu merupakan makanan dengan kadar air mencapai 85% sehingga tahu tidak dapat bertahan lama.
Beberapa produsen tahu diketahui menggunakan formalin sebagai bahan pengawet tahu. Salah satu cara
untuk menurunkan kadar formalin adalah menggunakan air garam dan ekstrak bawang putih (Allium
sativum L.). Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi air garam terhadap aktivitas
ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai pereduksi tahu berformalin. Metode penelitian adalah
metode eksperimental dengan pendekatan pre post test without control. Pemeriksaan kadar formalin
menggunakan metode spektrofotometri UV-Vis (Spectronic 200). Uji hipotesis menggunakan uji regresi
linier sederhana. Penelitian menggunakan enam sampel tahu berformalin dengan penambahan ekstrak
bawang putih (Allium sativum L.) 20% dan air garam dalam berbagai variasi konsentrasi yaitu 0%,
2%, 4%, 6%, 8% dan 10%. Penurunan kadar formalin tertinggi diperoleh pada konsentrasi 10% yaitu
405,0441 ppm dan penurunan kadar formalin terendah diperoleh pada konsentrasi 0% yaitu 312,2371
ppm. Kesimpulan terdapat hubungan yang sangat signifikan (r = 0,997, sig= 0,000) antara variasi
konsentrasi air garam terhadap aktivitas ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) sebagai pereduksi
tahu berformalin.
Kata kunci : tahu, formalin, ekstrak bawang putih, air garam
ABSTRACT
Tofu is a food with a moisture content reaches 85% so that it tofu as perishable food. Some manufacturers
tofu to be using formaldehyde as a preservative. One way to reduce levels of formaldehyde is to use salt
water and extract of garlic (Allium sativum L.). The aim of research to determine the effect of variations
in the concentration of salt water on the activity of the extract of garlic (Allium sativum L.) as a reducing
formalin of tofu. The research method is experimental method with pre post test approach without
control. The level of formaldehyde using UV-Vis spectrophotometry (Spectronic 200). The hypothesis
testing using simple linear regression test. The study used six samples tofu of formalin with addition of
garlic extract (Allium sativum L.) 20% and salt water in various concentrations as 0%, 2%, 4%, 6%,
8% and 10%. 10% The salt concentration 10% decreased the highest levels of formaldehyde is 405.0441
ppm whereas the control without the addition of salt decreased the lowest levels of formaldehyde is is
312.2371 ppm. There is a very significant correlation (r = 0.997, sig = 0.000) between the variation of
the concentration of salt water on the activity of the extract of garlic (Allium sativum L.) as a reducing
formalin of tofu.
Keywords: tofu, formalin, extracts of garlic, salt water
89
4
3
4
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
1. PENDAHULUAN
Tahu merupakan suatu produk yang dibuat
dari hasil penggumpalan protein kedelai yang di-
endapkan dengan batu tahu (CaSO ) atau dengan
asam asetat (CH COOH). Kedelai yang biasa
digunakan untuk membuat tahu adalah kedelai
kuning atau kedelai hitam. Kedelai mengandung
35% bahkan pada varietas unggul kadar protein-
nya mencapai 40–43% (Suprapti, 2005).
Tahu merupakan bahan pangan dengan kan-
dungan protein yang tinggi dan kadar air men-
capai 85%, sehingga tahu tidak dapat bertahan
lama. Kerusakan tahu ditandai dengan bau asam
dan berlendir. Perendaman tahu dalam air yang
diberi formalin akan membuat tahu lebih keras,
kenyal, tidak mudah hancur dan tahan terhadap
mikroorganisme, sehingga awet dan dapat ber-
tahan hingga tujuh hari (Widyaningsih dan Mur-
tini, 2006).
Pemaparan formaldehida terhadap kulit me-
nyebabkan kulit mengeras, menimbulkan kon-
tak dermatitis dan reaksi sensitivitas. Formalin
bisa menguap di udara, berupa gas yang tidak
berwarna, dengan bau yang tajam menyesakkan
sehingga merangsang hidung, tenggorokan, dan
mata (Cahyadi, 2006).
Penelitian mengenai reduksi formalin telah
dilakukan sebelumnya oleh Yunita (2011) yaitu
melakukan penelitian tentang penurunan kadar
formalin pada babat sapi (tripe) dengan peren-
daman air garam. Penelitian ini menggunakan
variasi konsentrasi air garam 2,5%, 5%, 7,5%,
dan 10% selama waktu perendaman optimum 60
menit dan didapatkan hasil secara berturut-turut
sebagai berikut 55,93 ± 1,15% , 62,40 ± 5,87% ,
64,63 ± 7,99% , 58,28 ± 19,15 %. Penelitian men-
genai reduksi formalin lainnya juga dilakukan
oleh Jannah dkk. (2014), yaitu dengan penamba-
han larutan lengkuas terhadap kadar residu for-
malin pada udang putih. Lengkuas mengandung
saponin yang mampu mengikat formalin, sehing-
ga kadar formalin pada udang berkurang. Hasil
penelitian menunjukkan larutan lengkuas efektif
dan mempunyai pengaruh positif dalam mer-
eduksi kadar formalin mencapai 63% pada udang
putih. Penanggulangan kadar formalin pada tahu
juga dapat dilakukan dengan menggunakan ba-
han alami lainnya, antara lain bawang putih (Al-
lium sativum L.) yang mengandung saponin.
Menurut Sirohi et al. (2009) kandungan saponin
pada bawang putih mencapai 20,94%. Saponin
dapat mengikat formalin sehingga kadar forma-
lin pada tahu berkurang. Tujuan penelitian un-
tuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi air
garam terhadap aktivitas ekstrak bawang putih
(Allium sativum L.) sebagai pereduksi tahu ber-
formalin. Manfaat dan kontribusi yang diperoleh
adalah mengetahui bahan alami yaitu bawang pu-
tih dapat digunakan untuk menurunkan kandun-
gan formalin pada tahu.
2. PELAKSANAAN
a. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di CV. Chem-Mix
Pratama Yogyakarta dan pembuatan ekstrak
bawang putih dilakukan di B2P2TO-OT
(Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Obat dan Obat Tradisional), pada
bulan Januari sampai dengan Maret 2015.
b. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah: Spektrofotometri UV-Vis, neraca
analitik, oven, blender, alat ekstraksi, labu
takar 5,0 ml; 10,0 ml; 25,0 ml; 50,0 ml;
100,0 ml; 1 L, cawan penguap, tabung
reaksi, erlenmeyer 250 ml, buret 50 ml, pipet
volume 5,0 ml, pushball, pisau, evaporator,
fortex.
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kedelai, bawang putih, garam,
Formalin 37%, koagulan CaSO , etanol
70%, aquadest, pereaksi schiff (fuchsin
asam proanalitis, natrium sulfit anhidrat
proanalitis, dan asam klorida proanalitis).
3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah
analitik eksperimental dengan pendekatan pre
post test without control.
a. Pembuatan tahu
Kedelai ditimbang 2 kg kemudian dan
direndam selama 8–10 jam. Setelah direndam
kedelai ditiriskan dan digiling sampai menjadi
bubur (slurry). Bubur kedelai ditambah 20
liter air lalu dimasak selama 7–14 menit
90
2 4
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
dengan suhu 1000C. Bubur kedelai yang
telah masak di saring untuk diambil sarinya
(susu kedelai).Susu kedelai dikoagulasikan
dan tidak hilang pada penambahan HCl 2 N
menunjukkan adanya saponin.
g. Pembuatan konsentrasi air garam dengan Ca SO sebanyak 44 gram kemudian Pembuatan air garam dengan konsentrasi 0%, pisahkan supernatant dan koagulannya. Selanjutnya tahu dicetak dan ditekan dengan
alat pencetak yang terbuat dari kayu selama
15–20 menit. Setelah dicetak tahu dipotong
dan didinginkan (Muchtadi, 2009).
b. Perendaman formalin
Tahu kemudian direndam dalam larutan
formalin p.a. 500 ppm dari formalin 37%
dalam wadah sampai terendam penuh selama
60 menit (Drastini, 2009).
c. Penyerbukan bawang putih
Bawang putih ditimbang sebanyak 2 kilogram, diiris tipis–tipis dan dikeringkan
dengan oven pada suhu 400C. Irisan bawang
putih yang sudah kering selanjutnya
dihaluskan dengan cara diblender.
d. Maserasi
Sebanyak 100 gram serbuk simplisia bawang
putih kering dimasukkan ke dalam maserator.
Ditambahkan 1 liter penyari etanol 70%
(perbandingan 1:10) ke dalam maserator dan
diaduk. Proses maserasi dilakukan selama
5 hari dalam maserator tertutup dengan
pengadukan setiap hari. Hasil maserasi
selanjutnya d saring dengan corong buchner.
Pisahkan maserat dari endapan dengan hati–
hati. Maserat lalu diuapkan menggunakan
evaporator pada suhu 600C. Selanjutnya
maserat dipekatkan diatas waterbath dengan
suhu 500C sampai didapatkan ekstrak kental
(Al-Ash’ary, 2010).
e. Pembuatan konsentrasi ekstrak bawang pu-
tih 20%
Ekstrak bawang putih diambil sebanyak 20
mg kemudian dimasukkan ke dalam labu
takar 100 ml, tambahkan aquadest sampai
tanda kalibrasi dan dihomogenkan.
f. Uji pendahuluan senyawa fitokimia (kualita-
tif) saponin
Ekstrak kental dimasukkan ke dalam tabung
reaksi, ditambahkan air panas, lalu diuji busa
dengan cara mengocok kuat kedua campuran
tersebut. Busa yang stabil selama 5 menit
2%, 4%, 6%, 8%, 10%. Garam ditimbang
sesuai dengan konsentrasi yang diperlukan
2%, 4%, 6%, 8%, 10%; dimasukkan dalam
labu takar 100 ml, tambahkan aquadest
sampai tanda kalibrasi dan dihomogenkan.
h. Pembuatan larutan sampel
Sampel tahu sebanyak 6,0 gram kemudian
direndam dalam wadah sampai terendam
penuh dengan menggunakan ekstrak bawang
putih (Allium sativum L.) dengan konsentra-
si 20% dan air garam dengan variasi konsen-
trasi 0%, 2%, 4%, 6%, 8%, dan 10% selama
60 menit.
i. Pemeriksaan kadar formalin dengan Spe-
ktrofotometer UV-Vis
1) Pembuatan pereaksi Schiff. Mula-mula
ditimbang 500 mg fuchsin asam pro-
analitis , kemudian dilarutkan dalam
120 ml air panas dan biarkan dingin.Dit-
ambahkan larutan 5 gram natrium sulfit
anhidrat proanalitis dalam 20 ml air.Ke-
mudian ditambahkan 5 ml asam klorida
proanalitis. Selanjutnya ditambahkan
aquades sampai volume 500 ml (biar-
kan selama paling sedikit 1 jam).Jika
terdapat sisa warna merah jambu, tam-
bahkan 2-3 ml asam klorida proanalitis,
kocok. Dibiarkan semalam sebelum di-
gunakan. Simpan ditempat yang terlind-
ung dari cahaya.
2) Pembuatan larutan formalin 40 ppm.
Dipipet 0,01 ml formalin 37% lalu di-
masukkan ke labu takar 100 ml. Dit-
ambahkan aquadest sampai tanda ka-
librasi, homogenkan. Larutan formalin
40 ppm selanjutnya diencerkan menjadi
1000 ml sehingga di dapatkan 0,04 mg/
ml formalin.
3) Pembuatan larutan formalin standar.
Masing-masing konsentrasi 0,00 ppm;
0,008ppm; 0,016ppm; 0,024 ppm; 0,032
ppm; 0,04 ppm dibuat dengan prosedur
yang sama yaitu. Untuk konsentrasi
0,00ppm maka sebanyak 0,0 ml larutan
91
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
formalin 0,04 mg/ml, diencerkan men-
jadi 1 ml dengan aquadest kemudian
ditambah 2 ml reagen Schiff. Selanjut-
nya untuk konsentrasi dilakukan dengan
prosedur yang sama.
4) Penentuan panjang gelombang maksi-
mal. Baku seri dibuat dengan konsen-
trasi 0,00 ppm; 0,008 ppm; 0,016 ppm;
0,024 ppm; 0,032 ppm; 0,04 ppm, me-
lalui pengenceran larutan baku 40 ppm.
Misalnya baku seri 0,008 ppm, memipet
0,2 ml formalin dan diencerkan menjadi
j. PerhitunganHasil
Konsentrasi formaldehid dalam sampel
ditentukan dengan menggunakan kurva
standar.
Y = aX + b
Keterangan :
� = kadar formaldehid (mg/l) � = absorbansi formaldehid standar (OD)
����� ����� (��) =
§ X x FP x 100 ·
1 ml dengan aquadest dan ditambahkan
2 ml reagen schiff, difortek, dibaca ab-
sorbansinya dengan spektrofotometer
¨ © mg sampel
¸ x 10.000 ¹
dengan variasi panjang gelombang (λ) (
400, 410, 420, 430,440, 450, 460, 470,
480, 490, 500, 510, 520, 530, 540, 550
dan 560 nm) sehingga didapatkan pan-
jang gelombang optimum untuk pemba-
caan absorbansi pada Spektrofotometer
UV-Vis.
5) Penentuan operating time. Misalnya
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji pendahuluan dilakukan menggunakan
ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) 20%,
ekstrak tersebut terlebih dahulu dilakukan uji
pendahuluan senyawa fitokimia saponin secara
kualitatif. Hasil dari uji saponin dapat dilihat
pada tabel 1.
Tabel 1. Hasil uji kualitatif saponin baku seri 0,008 ppm, memipet 0,2 ml
formalin dan diencerkan menjadi 1 ml Sampel Hasil Keterangan
dengan aquadest dan ditambahkan 2 ml
reagen schiff, difortek, dibaca absorban-
sinya dengan panjang gelombang opti-
Ekstrak
bawang
putih (Allium
(+) Terbentuk
busa yang stabil
selama 5 menit.
(+)
mengandung
saponin
mum dan dengan waktu yang bervariasi (0; 5; 10; 15; 20; 25; 30; 35; 40; 45; 50;
55; dan 60 menit) sehingga didapatkan
waktu operasional optimum.
6) Pengukuran kadar formalin. Satu buah
tahu besar direndam dengan larutan
formalin 500 ppm selama 60 menit, ke-
mudian di ambil kira-kira 6 gram sam-
pel untuk dilakukan pemeriksaan kadar
formalin (pretes). Selanjutnya sisa tahu
yang sudah direndam dengan forma-
lin diambil 6 bagian masing-masing
ditimbang kira-kira 6 gram kemudian
direndam dengan ekstrak bawang pu-
tih (Allium sativum L.) 20% dan variasi
konsentrasi air garam selama 60 menit.
Pengambilan sampel tahu dilakukan
dengan cara dipotong pada bagian sisi-
sisi tahu bagian luar, karena diharapkan
pada bagian tersebut dapat menyerap
formalin secara maksimal.
sativum L.)
Berdasarkan tabel 1, dapat diketahui bahwa
ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) me-
ngandung saponin, sehingga dapat dilanjutkan
penelitian formalin pada sampel tahu.
Gambar 1. Kurva standar baku formalin
Dari kurva diatas persamaan linier y = 13,35x +
0,102 , dengan nilai R2 = 0,990 yang memiliki
92
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
hubungan sangat kuat. Kurva ini layak untuk
menghitung kadar formalin pada sampel.Adapun
hasil dari pemeriksaan fomalin dapat dilihat pada
tabel 2.
Berdasarkan hasil pemeriksaan kadar formalin di
atas, maka didapatkan penurunan kadar formalin
sebagai berikut :
Untuk memperjelas data hasil pemeriksaan kadar
formalin pada tabel 3, maka data disajikan dalam
bentuk grafik. Grafik data hasil penurunan kadar
formalin dapat dilihat pada gambar 2.
Berdasarkan grafik diatas dapat diketahui
bahwa nilai penurunan kadar formalin untuk
tahu dengan air garam konsentrasi 0% adalah
312,2372ppm, yang kemudian penurunan kadar
formalin pada tahu meningkat sejalan dengan
penambahan konsentrasi air garam, dimana penu-
runan kadar formalin tertinggi dari penambahan
air garam konsentrasi 0-10% adalah pada penam-
bahan konsentrasi 10% yaitu sebesar 405,0441
ppm.
Persamaan garis regresi y = 9,162x + 134,7
nilai b pada persamaan garis regresi dan korelasi
menunjukkan harga positif (+9,162) berarti se-
makin tinggi konsentrasi air garam maka penu-
runan kadar formalin akan semakin meningkat.
Penurunan kadar formalin pada tahu dengan
penambahan ekstrak bawang putih (Allium sati-
vum L.) dan air garam meningkat sejalan dengan
bertambahnya konsentrasi air garam (Gambar 2),
peningkatan maksimal tercapai pada konsentrasi
10%.
Adapun penurunan kadar formalin dalam %
dapat dilihat pada tabel 4.
93
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Berdasarkan tabel di atas maka penurunan
kadar formalin terus meningkat sejalan den-
gan penambahan konsentrasi air garam, dimana
penurunan kadar formalin maksimal tercapai
pada penambahan ekstrak bawang putih (Allium
sativum L.) 20% dan air garam konsentrasi 10%
yaitu sebesar 82,91%.
Hasil penelitian membuktikan bahwa penu-
runan kadar formalin pada tahu dengan penam-
bahan variasi konsentrasi air garam dan ekstrak
bawang putih (Allium sativum L.) meningkat
sejalan dengan bertambahnya konsentrasi air
garam. Hal ini disebabkan oleh formalin memi-
liki sifat mudah larut dalam air, ini dikarenakan
adanya electron sunyi pada oksigen sehingga
dapat mengadakan ikatan dengan hydrogen pada
molekul air (Cahyadi, 2006).
Formalin dapat larut pada air garam, karena
garam merupakan salah satu jenis surfaktan yang
mampu menurunkan kadar formalin. Hal ini ses-
uai dengan penelitian Yunita (2013) yang me-
nyatakan bahwa penurunan kadar formalin pada
babat sapi mencapai maksimal dengan air garam
konsentrasi 10% sebanyak 58,28±19,5%.
Saponin pada ekstrak bawang putih (Allium
sativum L.) dapat menurunkan kadar formalin
pada tahu karena saponin dapat mengikat for-
malin. Saponin juga merupakan salah satu jenis
surfaktan. Mekanisme penurunan kadar forma-
lin pada tahu dengan proses perendaman variasi
konsentrasi air garam dan ekstrak bawang putih
memiliki cara kerja seperti surfaktan. Cara kerja
saponin dapat menurunkan kadar formalin yang
dikenal sebagai reaksi saponifikasi (proses pem-
bentukan sabun) dimana sabun termasuk golon-
gan zat surfaktan. Zat surfaktan dalam saponin
bersifat ampifatik yaitu memiliki gugus hidro-
fobik (non polar) dan hidrofilik (polar) dimana
mekanisme surfaktan dalam mengikat partikel
formaldehida dengan cara menurunkan tegangan
permukaan menjadi sangat rendah yang menja-
dikan larutan sabun (surfaktan) memiliki daya
pembersih yang lebih baik dibandingkan air saja.
Setelah formalin terikat oleh senyawa saponin,
maka saponin akan larut dan membentuk misel
(micelles). Bagian misel yang berbentuk bulat
dan lonjong merupakan kepala yang mengarah
keluar dan berinteraksi dengan air dan formalin
(bersifat polar) dan menunjukkan bahwa forma-
lin terbungkus sehingga dapat larut bersama air
(Gusviputri, 2013).
Penelitian yang dilakukan oleh Jannah dkk.
(2014) dan Yunita (2013) mendukung hasil pene-
litian pada uji yang dilakukan oleh peneliti. Ber-
dasarkan penelitian yang dilakukan oleh peneliti
didapatkan hasil penurunan kadar formalin pada
tahu dengan variasi konsentrasi air garam 0%,
2%, 4%, 6%, 8%, 10% dan ekstrak bawang pu-
tih 20% selama 60 menit berturut-turut adalah
312,2372 ppm, 332,36385 ppm, 356,9096 ppm,
369,9251 ppm, 387,13295 ppm dan 405,0441
ppm. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bah-
wa penurunan kadar formalin pada tahu dengan
penambahan variasi konsentrasi air garam dan
ekstrak bawang putih (Allium sativum L.) menin-
gkat sejalan dengan bertambahnya konsentrasi
air garam.
5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian kadar formalin dengan
penambahan air garam dan ekstrak bawang pu-
tih (Allium sativum L.) dapat disimpulkan ada
hubungan yang kuat signifikan (r= 0,997, sig=
0,000) antara penambahan variasi konsentrasi air
garam terhadap aktivitas ekstrak bawang putih
(Allium sativum L.) sebagai pereduksi tahu ber-
formalin. Reduksi formalin pada tahu mengalami
peningkatan sejalan dengan penambahan konsen-
trasi air garam.
SARAN
a. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut men-
genai keefektifan untuk menurunkan forma-
lin supaya penurunan kadar formalin mampu
mencapai 100%. Peneliti selanjutnya sebai-
knya juga mengukur suhu, kadar air tahu,
dan pH karena ketiga hal tesebut mempen-
garuhi kadar formalin pada tahu.
b. Teknik pengambilan sampel tahu yang di-
gunakan sebaiknya menggunakan teknik
pengambilan aselektif, yaitu tahu dipotong-
potong terlebih dahulu sebelum direndam
formalin karena semakin kecil luas permu-
kaan tahu semakin baik gaya adhesinya.
94
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
6. REFERENSI
Al-Ash’ary, M.N., F.M. Titin Supriyanti dan
Zackiyah. 2010. Penentuan Pelarut Terbaik
dalam Mengekstraksi Senyawa Bioaktif dari
Kulit Batang Artocarpus heterophyllus. Jur-
nal Sains dan Teknologi Kimia. ISSN 2087-
7412.
Cahyadi, S. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan
Bahan Tambahan Pangan. Cetakan Pertama:
PT. Bumi Aksara: Jakarta.
Drastini, Y dan Dyah A.W. 2009. Studi Metode
Schiff Untuk Deteksi Kadar Formalin Pada
ikan Bandeng Laut (Chanos-Chanos). Uni-
versitas Gajah mada : Yogyakarta.
Gusviputri, A., Meliana, N. P. S., Aylianawati
& Indraswati, S., 2013, Pembuatan Sabun
Dengan Lidah Buaya (Aloe Vera) sebagai
Antiseptik Alami. Widya Teknik. 12(1), 11-
21.
Jannah, M., W.F. Ma’ruf dan T. Surti. 2014. Efek-
tifitas Lengkuas (Alpinia galanga) Sebagai
pereduksi Kadar Formalin pada Udang Putih
(Penaeus merguiensis) Selama Penyimpanan
Dingin. Jurnal Pengolahan dan Bioteknolo-
gi Hasil Perikanan. Vol 3(1) : 70-79.
Muchtadi, Deddy. 2009. Prinsip Teknologi Pan-
gan Sumber Protein. Alfabeta: Bandung.
Sirohi, S.K., N. Pandey., N. Goel., B. Singh., M.
Mohini., P.Pandey and P.P. Chandhry. 2009.
Microbial Activity and Rumial Methana-
genesis as Affected by Plant Secondery Me-
tabolites in Different Plant Ekstract. Inter-
national Journal of Civil and Environment
Enginering 1:1.
Suprapti, Lies. 2005. Teknologi Pengolahan Pan-
gan Pembuatan Tahu. Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Widyaningsih, TD dan Murtini, ES. 2006. Alter-
natif Pengganti Formalin pada Produk Pan-
gan. Surabaya: Trubus Agrissarana.
Yunita, Ariyanti. 2013. Penurunan Kadar For-
malin pada Babat Sapi (Tripe) dengan Per-
endaman Air Garam. Skripsi.
-oo0oo-
95
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
PENAMBAHAN BAWANG PUTIH (Allium sativum) TERHADAP
KUALITAS VIRGIN COCONUT OIL (VCO) SEBAGAI
MINYAK GORENG
Indah Tri Susilowati1. Tri Harningsih2
1, 2Akademi Analis Kesehatan Nasional Surakarta
ABSTRAK
Proses ketengikan yang mengakibatkan merosotnya kualitas minyak goreng kelapa terjadi pada minyak
selama penyimpanan dan pemanasan. Proses yang merugikan ini dapat dihambat dengan penambahan
antioksidan. Dalam penelitian ini digunakan antioksidan bawang putih (Allium sativum) yang
mengandung flavonoid untuk mencegah proses ketengikan pada VCO yang diolah dengan metode
pemanasan. Tujuan penelitian untuk mengetahui penambahan bawang putih(Allium sativum) akan
meningkatkan kualitas Virgin Coconut Oil (VCO) yang dibuat pada metode pemanasan bertahap sebagai
minyak goring serta perbandingan kualitasnnya dengan VCO tanpa penambahan bawang putih (Allium
sativum). Parameter kualitas yang diuji meliputi kadar air; bobot jenis VCO sebelum penyimpanan dan
pemanasan; kadar asam lemak bebas, dan bilangan peroksida setelah pemanasan 160oC selama 10 menit
pada hari ke 0, 5, dan 10. Hasil penelitian menunjukkan VCO dengan penambahan bawang putih 10%
memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan dengan VCO tanpa penambahan bawang putih, dan
memenuhi standar APCC (Asian and Pacific Coconut Community).
Kata kunci : bawang putih, kualitas, VCO, minyak goreng
ABSTRACT
Rancidity process which resulted in the decline of the quality of cooking oil in the oil palm occurs during
storage and heating. This harmful process can be inhibited by the addition of antioxidants. This study
used an antioxidant garlic (Allium sativum) which contains flavonoids to prevent rancidity process on
VCO is processed by the method of heating. The aim of research to determine the addition of garlic
(Allium sativum) will increase the quality of Virgin Coconut Oil (VCO) which is made on the method of
gradual warming as cooking oil as well as comparison quality of VCO without the addition of garlic
(Allium sativum). Quality parameters tested include water content; VCO specific gravity before storage
and heating; levels of free fatty acids and peroxide value after heating 160oC for 10 minutes on days 0,
5, and 10. The results showed VCO with the addition of garlic 10% have a better quality than the VCO
without the addition of garlic and according to the standards of APCC (Asian and Pacific Coconut
Community).
Keywords: garlic, quality, VCO, cooking oil
1. PENDAHULUAN
Minyak kelapa murni atau Virgin Coconut Oil
(VCO) memiliki asam lemak tak jenuh sebesar
10% dan asam lemak jenuh sebesar 90% dengan
susunan asam lemak jenuh berupa asam laurat,
dan asam lemak jenuh berantai sedang atau yang
disebut MCFA (Medium Chain Fatty Acid) yang
memiliki banyak fungsi antara lain merangsang
96
3
2 2 3
2 3 2 4
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
produksi insulin sehingga proses metabolisme
berjalan normal serta bermanfaat dalam
mengubah protein menjadi sumber energi.
Kandungan asam lemak jenuh rantai pan-
jang pada minyak kelapa hanya sebesar 8%, hal
ini yang membedakan dengan jenis minyak gore-
ng yang beredar yang berasal dari kelapa sawit.
Minyak goreng berbahan dasar kelapa sawit
mengandung asam lemak jenuh rantai panjang
lebih dari 90%. Banyaknya asam lemak jenuh
ini dalam metabolisme pencernaan dapat bere-
siko memunculkan penyakit karena tidak dapat
diserap secara langsung (Sutarmi dan Rozaline,
2005).
Sifat minyak yang rentan menyebabkan
minyak mudah teroksidasi dan mengalami ke-
tengikan sehingga masa simpan minyak terbatas.
Sifat ini juga dimiliki oleh Virgin Coconut Oil
(VCO) sebagai minyak untuk penggorengan. Ke-
tengikan merupakan perubahan baik warna, bau,
maupun rasa pada minyak yang dapat terjadi oleh
karena oksidatif yang disebabkan oleh kontak
antara minyak dengan oksigen, hidrolisis yang
disebabkan oleh kontak antara minyak dengan
air, atau enzimatis yang disebabkan oleh mikro-
organisme (Syah, 2005).
Oleh karena kerentanan sifat Virgin Coconut
Oil (VCO) maka dilakukan penambahan bahan
antioksidan dengan tujuan mencegah terjadinya
penurunan kualitas dari minyak. Penelitian oleh
Megawati Nodjeng pada tahun 2013 menggu-
nakan wortel sebagai sumber antioksidan yang
dapat mencegah penurunan kualitas minyak ke-
lapa murni dalam penggorengan berulang. VCO
dengan penambahan wortel memiliki kualitas
yang lebih baik dibandingkan VCO yang tanpa
penambahan wortel karena kandungan beta-
karoten yang terdapat dalam wortel merupakan
sumber antioksidan yang sangat bermanfaat
untuk menghambat proses oksidasi. Salah satu
antioksidan alami yang dapat mencegah proses
oksidasi adalah senyawa flavonoid. Studi yang
dilakukan oleh Phelps dan Harris (1993), dalam
Winarsi (2007) mengatakan bahwa senyawa fla-
vonoid ini terkandung dalam bawang putih (Al-
lium sativum) yang lebih kuat dari pada vitamin
C dan vitamin E, dan mampu menurunkan ok-
sidasi lipoprotein sebesar 34% pada pemberian
600 mg bubuk bawang putih selama 2 minggu
kepada tikus percobaan. Penelitian oleh Bayili, et
al. (2011) menyatakan bahwa bawang putih me-
miliki kapasitas antioksidan tertinggi sebesar 9,6
µmoltrolox/g FW.
Berdasarkan hal tersebut maka tujuan pene-
litian untuk mengetahui apakah penambahan
bawang putih(Allium sativum) akan menaik-
kan kualitas Virgin Coconut Oil (VCO) yang
dibuat pada metode pemanasan bertahap se-
bagai minyak goreng. Pengolahan VCO dengan
penambahan bawang putih (Allium sativum)
diharapkan dapat meningkatkan rendemen
maupun kualitas VCO yang dihasilkan meli-
puti analisa kadar air, bobot jenis, asam lemak
bebas dan kadar peroksida minyak.
2. PELAKSANAAN
a. Tempat dan Waktu
Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia
Akademi Analis Kesehatan Nasional Sura-
karta, pada bulan Agustus 2014 sampai
Februari 2015. Jenis penelitian adalah eks-
perimental dengan teknik sampling yang di-
gunakan dalam pengambilan sampel peneli-
tian ini adalah Quota Sampling.
b. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini
adalah neraca teknis, neraca analitik, mikro
buret 10,00 ml merk Pyrex, pipet tetes,
beaker glass, erlenmeyer 250 ml, batang
pengaduk, saringan, kain saring, labu takar
100 ml, tabung reaksi, corong kaca, oven,
statif, kertas saring, gelas ukur 10 ml dan
100 ml, parutan, kertas timbang, spatula,
wadah plastik transparan, wajan, sendok,
plastik, push ball, kompor, dan pipet volum
10,0 ml, pignometer.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini
adalah kelapa hijau (Cocos nucifera L.), bawa-
ng putih (Allium sativum), aquadest, KIO pro
analisis, KI pro analisis kristal, larutan Na S O .
5H O, larutan KIO , larutan H SO , larutan KI
jenuh, larutan asam asetat glasial pro analisis,
kloroform pro analisis, dan indikator kanji 1%,
KOH, indikator phenoftalein.
97
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian adalah eksperimental de-
ngan teknik sampling yang digunakan dalam
pengambilan sampel penelitian ini adalah Quota
Sampling.
a. Pembuatan minyak kelapa murni / Virgin
Coconut Oil (VCO) dengan penambahan
bawang putih (Nodjeng, 2013).
Daging kelapa dicuci, diparut, kemudian
ditambahkan air ke dalam hasil parutan
kelapa dengan perbandingan 1:2 (kelapa: air
= 1:2), dilakukan pemerasan dan disaring
agar santan terpisah dari ampas kelapa.
Bawang putih dihaluskan dan ditambahkan
ke dalam parutan kelapa dengan konsentrasi
bawang putih 0% (tanpa penambahan), dan
10%, kemudian dicampur dengan santan
sampai homogen. Santan ditempatkan dalam
wadah plastik transparan, dan didiamkan
selama kurang lebih 1,5 jam sampai terpisah
menjadi tiga lapisan yaitu lapisan atas berupa
krim yang kaya akan minyak, lapisan tengah
berupa air atau skim yang kaya protein dan
lapisan bawah yang berupa endapan. Krim
pada lapisan atas dipisahkan menggunakan
sendok dan dimasukkan dalam wajan
yang sudah bersih, lalu dipanaskan dengan
pembakar spiritus dan rak kaki tiga. Krim
diaduk secara kontinu agar tidak terjadi kerak
dalam waktu 20 menit sampai terlihat adanya
pemisahan antara blondo dengan minyak.
Blondo dan minyak dipisahkan dengan cara
penyaringan menggunakan saringan kawat
tahan panas yang dialasi dengan kain saring.
Minyak kemudian dipanaskan lagi selama
3 menit untuk mengurangi kadar air dan
disaring dengan menggunakan kertas saring.
b. Perhitungan Rendemen Hasil
Rendemen minyak dihitung berdasarkan bo-
bot minyak yang diperoleh (g) dibandingkan
dengan bobot kelapa parut yang digunakan
(g) dengan menggunakan rumus sebagai
berikut;
98
c. Perhitungan Bobot Jenis (Ketaren, 1986)
Piknometer dibersihkan dan dikeringkan,
kemudian diisi dengan akuades yang telah
mendidih dan didinginkan pada suhu 30oC.
Piknometer diiisi sampai air dalam bobot
meluap dan tidak terbentuk gelembung uda-
ra. Piknometer ditutup dengan penutup yang
dilengkapi termometer, selanjutnya diren-
dam dalam waterbath yang bersuhu 30oC
dan dibiarkan pada suhu konstan selama 30
menit. Piknometer diangkat dari waterbath
dan dikeringkan, Piknometer dengan isinya
ditimbang. Bobot air adalah selisih bobot
poiknometer dengan isinya dikurangi bobot
piknometer kosong.
Minyak disaring dengan kertas sar-
ing, didinginkan sampai 30oC, dan dima-
sukkan ke dalam piknometer sampai me-
luap dan diusahakan agar tidak terbentuk
udara. Piknometer ditutup dengan penutup
yang dilengkapi termometer, minyak yang
meluap dan menempel diluar piknometer
dibersihkan, selanjutnya piknometer diren-
dam dalam waterbath yang bersuhu 30oC
dan dibiarkan pada suhu konstan selama 30
menit. Piknometer diangkat dari waterbath
dibersihkan dan dikeringkan dengan hati-
hati. Piknometer dengan isinya ditimbang.
Bobot minyak adalah selisih berat piknome-
ter beserta isinya dikurangi berat piknometer
kosong. Bobot jenis minyak pada suhu 30oC
dengan menggunakan rumus sebgai berikut:
d. Uji Kadar Air (Wardani, 2011)
Ditimbang sampel ± 3 g dengan botol
timbang. Dipanaskan dengan oven pada
suhu 105OC selama 3 jam. Didinginkan
dalam desikator selama 30 menit. Ditimbang
botol timbang tersebut. Diulangi pemanasan
dan penimbangan sampel hingga diperoleh
berat konstan dengan menggunakan rumus
sebagai berikut:
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
e. Perlakuan VCO tanpa dan dengan penam- V0= volume larutan Na S O untuk pe-
bahan bawang putih (Allium sativum)
Minyak VCO tanpa penambahan ba-
2 2 3
nitaran sampel (ml) N = normalitas larutan standar Na S O
wang putih, dan minyak VCO dengan kon-
sentrasi bawang putih10%, masing - masing
dilakukan pengujian bilangan peroksida dan
yang digunakan
m = berat sampel (g)
2 2 3
asam lemak bebasdata yang didapat digu-
nakan sebagai kontrol.Minyak dipanaskan
suhu 160 ºC selama 10 menit dan dilakukan
uji bilangan peroksida dan asam lemak be-
bas pada 0 hari. Pada hari ke 5 Masing-ma-
sing perlakuan minyak yang telah diuji ang-
ka peroksida dan asam lemak bebas hari ke 0
dan telah disimpan terbuka pada suhu ruang,
diberi perlakuan pemanasan pada suhu 160
ºC selama 10 menit, dan dilakukan peng-
ujian bilangan peroksida dan asam lemak be-
bas. Pada hari ke 10 minyak yang telah diuji
angka peroksida dan asam lemak bebas hari
ke 0 dan 5 serta mengalami penyimpanan
suhu ruang, dipanaskan suhu 160 ºC selama
10 menit dan dilakukan pengujian bilangan
peroksida dan asam lemak bebas (Nodjeng,
2013; Siswati, 2013).
f. Penentuan Bilangan Peroksida (Ketaren,
1986).
Timbang sampel sebanyak 5,0 gram.
Tambahkan 30 ml campuran pelarut yang
terdiri dari 60% asam asetat glasial dan 40%
kloroform, kemudian larutkan sampel den-
gan cara menggoyang-goyangkan erlenmey-
er dengan kuat. Tambahkan 0,5ml larutan
kalium iodida jenuh sambil dikocok.Tutup-
lah segera Erlenmeyer tersebut dan kocok
kira-kira 2 menit di tempat gelap pada suhu
ruang.Tambahkan 30 ml air suling dan ko-
cok dengan kuat.Titrasi dengan larutan stan-
dar natrium tiosulfat 0,0010N dengan 2 ml
larutan kanji 1% sebagai indikator. Hitung
bilangan peroksida dalam sampel dinyatakan
dalam miligram ekuivalen dari oksigen aktif
per kg, dihitung sampai dua desimal sampel
dengan menggunakan rumus:
g. Asam Lemak Bebas (FFA) (Ketaren, 1986) Sampel sebanyak 10 g dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 200 mL, dan ditambahkan 50 ml
etanol 95%. Kemudian dipanaskan sampai
mendidih dan dikocok kuat-kuat untuk
melarutkan asam lemak bebasnya. Setelah
dingin dititrasi dengan larutan KOH 0,0100N
menggunakan indicator phenolptalin hingga
berwarna merah muda. Jumlah KOH
yang digunakan untuk titrasi dicatat untuk
menghitung kadar asam lemak bebas dengan
menggunakan rumus sebagai berikut.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengeta-
hui kualitas antara minyak kelapa murni tanpa
penambahan senyawa antioksidan dan minyak
kelapa murni yang ditambahkan bawang putih
10% yang berperan sebagai antioksidan. Ber-
dasarkan Perhitungan rendemen untuk menge-
tahui persentasi berat minyak yang dihasilkan
dibandingkan dengan berat kelapa. Hasil rende-
men VCO dan VCO dengan penambahan ba-
wang putih 10% ditunjukkan dalam Gambar 1.
Keterangan:
V1 = volume larutan Na S O
untuk penita-
Dari data pada Gambar 1, nilai rendemen
VCO lebih tinggi dari pada VCO dengan penam-
ran blanko (ml) 2 2 3
99
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
bahan bawang putih 10%. Hal ini disebabkan
karena bawang putih mengandung senyawa inu-
lin yang merupakan polisakarida yang terdiri
dari 3 molekul fruktosa dan 1 molekul glukosa
(Tjay, 2007). Senyawa ini memiliki sifat mampu
mengikat air (Widowati, 2006). Oleh karena sifat
tersebut, maka bawang putih yang ditambahkan
pada proses pembuatan VCO akan mengikat air
sehingga kandungan air dan bobot jenis dalam
VCO dengan penambahan bawang putih akan
lebih rendah dari pada kandungan air dan bobot
jenis pada VCO (Gambar 2 dan 3). Hal ini me-
nyebabkan VCO dengan penambahan bawang
putih 10% menghasilkanjumlah minyak yang
lebih sedikit sehingga rendemen VCO dengan
penambahan bawang putih 10% pun lebih rendah
dari pada VCO.
Dari gambar 2, diketahui bahwa kadar
air semua sampel baik VCO, VCO dengan
penambahan bawang putih 10% memenuhi stan-
dar APCC (Asian Pacific Coconut Community),
dimana standar kadar air yaitu 0.1 – 0.5% (Dayrit
et al., 2011).
Dari gambar 3, diketahui bahwa bobot jenis
semua sampel baik VCO, VCO dengan penam-
bahan bawang putih 10% memenuhi standar
APCC (Asian Pacific Coconut Community), di-
mana standar bobot jenis yaitu 0,915 – 0,920 g/
ml (Dayrit et al., 2011).
VCO tanpa penambahan senyawa antioksi-
dan memiliki warna yang lebih gelap dari pada
VCO dengan penambahan bawang putih 10%.
Perbandingan warna VCO dengan VCOyang di-
tambahkan bawang putih 10% ditunjukkan dalam
Gambar 4.
Perbedaan warna minyak ini disebabkan
karena minyak pada dasarnya mengandung se-
nyawa antioksidan alami seperti klorofil, sterol,
karotenoid, dan tokoferol. Senyawa yang paling
banyak ditemukan berupa tokoferol atau yang
dikenal dengan vitamin E. Senyawa ini bersifat
labil terhadap suhu. Pada proses pembuatan VCO
secara tradisional menggunakan metode basah
akan melewati proses pemanasan yang akan me-
nyebabkan terjadinya peningkatan kecepatan ok-
sidasi minyak. Bila kecepatan oksidasi mening-
kat maka senyawa tokoferol yang terdapat dalam
minyak akan ikut teroksidasi menjadi senyawa
kroman 5-6 kuinon yang menimbulkan warna
gelap pada minyak (Ketaren, 1986).
Berbeda dengan VCO dengan penambahan
bawang putih 10% sebagai antioksidan. Senya-
wa antioksidan bawang putih akan menghambat
oksidasi selama proses pemanasan sehingga ke-
cepatan oksidasi minyak dapat dihambat begitu
pula dengan oksidasi tokoferol pun dapat diham-
bat. Akibatnya produk oksidasi dari tokoferol pun
berada dalam jumlah yang kecil dan tidak me-
nimbulkan warna gelap pada minyak. Selain itu
bawang putih dapat bertindak sebagai adsorben.
Permukaan adsorben akan menyerap zat warna,
suspensi koloid (gum), dan hasil degradasi dari
100
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
minyak sehingga warna VCO dengan penambah-
an bawang putih 10% menjadi lebih jernih dari
pada VCO (Ketaren, 1986).
VCO, dan VCO dengan penambahan ba-
wang putih 10% masing-masing kemudian di-
lakukan pengujian bilangan peroksida dan asam
lemak bebas awal sebagai kontrol, dan peng-
ujian bilangan peroksida dan Asam lemak bebas
setelah melalui proses pemanasan 160ºC selama
10 menit pada 0 hari, 5hari, dan 10 hari. Hasil
ujiangka peroksida ditunjukkan pada Gambar 5.
Gambar 5 menunjukkan bahwa bilangan
peroksida VCO lebih tinggi dari pada VCO de-
ngan penambahan bawang putih 10% pada pros-
es pembuatannya. Semakin lama waktu penyim-
panan menunjukkan pula semakin bertambahnya
bilangan peroksida.Hal ini dapat terjadi karena
ketika minyak dipanaskan pada suhu 160 ºC se-
lama 10 menit, maka kecepatan oksidasi minyak
akan meningkat sehingga peroksida dan hidro-
peroksida yang merupakan produk awal dari ok-
sidasi juga akan meningkat. Kadar peroksida dan
hidroperoksida ini menjadi dasar pengukuran bi-
langan peroksida (Aminah, 2010).
Jika minyak dipanaskan secara berulang
maka proses dekstruksi minyak akan bertambah
cepat. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya ka-
dar peroksida pada tahap pendinginan dan akan
mengalami dekomposisi apabila minyak dipanas-
kan kembali (Ketaren, 1986). Oleh sebab itu
maka semakin lama waktu penyimpanan, maka
bilangan peroksida VCO akan semakin mening-
kat karena telah mengalami pemanasan berulang.
Hasil analisis asam lemak bebas dari VCO
dengan penambahan bawang putih 10% dan VCO
yang dibuat dengan metode pemanasan bertahap
sebelum dan sesudah penggorengan dapat dilihat
pada Gambar 6.
Dari hasil pengamatan nilai asam lemak be-
bas masih memenuhi standar APCC yaitu <0.5.
Gambar 6 menunjukkan lama penyimpanan dan
pemanasan menunjukkan penurunan nilai asam
lemak bebas. Banyaknya penurunan asam le-
mak bebas diakibatkan lamya waktu pemanasan.
Suwardi (1989) menyatakan bahwa bila suhu
pemanasan lebih tinggi daripada suhu normal
(160-196oC) akan terjadi percepatan proses de-
gradasi dan oksidasi minyak minyak goreng. Se-
lama pemanasan yang tinggi akan terjadi proses
oksidasi pada ikatan asam lemak tidak jenuh
yang menyebabkan reaksi berantai yang akan
menghasilkan alkohol, aldehid, asam dan hidro-
karbon, serta asam lemak jenuh dengan kompo-
sisi cis dan trans.
Kadar bilangan peroksida dan asam lemak
bebas VCO dengan bawang putih 10% masih
menempati posisi yang lebih rendah dari pada
VCO tanpa penambahan. Hal ini disebabkan
karena bawang putih mengandung senyawa an-
tioksidan yaitu komponen fenolik / flavonoid, vi-
tamin E, vitamin C, dan beta karoten. Senyawa
flavonoid yang terkandung dalam bawang putih
ini memiliki potensi lebih kuat daripada vitamin
C dan vitamin E.
Flavonoid merupakan substansi herbal yang
termasuk dalam golongan antioksidan (Soeharto,
101
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
2000). Mekanisme kerja flavonoid adalah se-
bagai berikut:
1. Mengurangi radikal bebas dengan bertindak
sebagai agen / reduksi. Flavonoid berperan
sebagai penangkap radikal bebas karena
mengandung gugus hidroksil. Oleh karena
bersifat reduktor, flavonoid dapat bertindak
sebagai donor hidrogen terhadap senyawa
radikal bebas menurut reaksi yang ditunjuk-
kan dalam Gambar 7.
Flavonoid bekerja secara langsung mau-
pun tidak langsung. Flavonoid sebagai an-
tioksidan secara langsung berperan dengan
mendonorkan ion hidrogen sehingga dapat
menetralisir efek toksik dari radikal bebas.
Radikal bebas akan menerima atom hidrogen
yang didonorkan oleh flavonoid membentuk
senyawa radikal bebas yang tidak reaktif.
Flavonoid sebagai antioksidan secara tidak
langsung berperan dengan meningkatkan
ekspresi gen antioksidan endogen (Sumar-
dika dan Jawi, 2012).
2. Dapat mengurangi ion metal sehingga men-
gurangi kapasitasnya untuk menghasilkan
radikal bebas. Flavonoid dapat membentuk
kompleks dengan ion logam transisi seperti
besi sehingga tidak lagi bertindak sebagai
prooksidan (Silalahi, 2006).
3. Menahan vitamin E dan betakaroten pada
partikel LDL sehingga melindungi oksidasi
dari LDL. Vitamin E merupakan antioksidan
yang dominan dalampartikel LDL. Fungsi
vitamin E di dalam tubuh adalah melindungi
asam-asam lemak tak jenuh pada membran
sel, dan berperan sebagai antioksidan dengan
melindungi senyawa-senyawa yang mudah
teroksidasi. Vitamin E akan bertindak seb-
agai reduktor dan menangkap radikal bebas.
Dalam hal ini vitamin E berperan sebagai
scavenger(Wrasiati, 2011). Vitamin E dan
betakaroten dapat larut dalam minyak se-
hingga melindungi minyak dari kerusakan
yang disebabkan oleh reaksi oksidasi (Mo-
muat dkk, 2011).
4. KESIMPULAN
Kadar air, bobot jenis, bilangan peroksida
dan asam lemak bebas, VCO dengan penamba-
han bawang putih 10% memiliki kualitas yang
lebih baik dibandingkan dengan VCO tanpa
penambahan bawang putih, dan memenuhi stan-
dar APCC (Asian and Pacific Coconut Commu-
nity).
5. REFERENSI
Aminah, Siti. 2010. Bilangan peroksida minyak
goreng curah dan sifat organoleptik tempe
pada pengulangan penggorengan. Jurnal
Pangan dan Gizi Vol.01, hal. 7-14.
Bayili, R.G., F. A. Latief, O. H. Kone, M. Diao,
I. H. N. Basoledan M. H. Dicko. 2011. Phe-
nolic compounds and antioxidant activities
in some fruits and vegetables from Burkina
Faso. African Journal of Biotechnology Vol.
10 (62), pp. 13543-13547.
Dayrit, F. M., Ian, K. D. D., Melodina, F. V., Ja-
clyn, E. R. S., Mark, J. M. G., Blanca, J. V.
2011. Quality Characteristic of Virgin Coco-
nut Oil: Comprosions With Refined Cocunut
Oil. Pure Appl. Chem. 83: 1789 – 1799.
Ketaren, S.1986. Minyak dan lemak pangan. Ja-
karta: UI-Press
Momuat, L. I., Meiske, S. S., Ni, P. P. 2011. Pen-
garuh VCO Mengandung Ekstrak Wortel
Terhadap Peroksida Lipid Plasma. Jurnal
Ilmiah Sains. 11: 296 – 301.
Nodjeng, M., F. Fatimah dan J. A. Rorong. 2013.
Kualitas virgin coconut oil (VCO) yang
dibuat pada metode pemanasan bertahap
102
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
sebagai minyak goring dengan penamba-
han wortel (Daucuscarota L.). Jurnal Ilmiah
Sains Vol.13 (2), hal. 102-109.
Silalahi, Jansen. 2006. Makananfungsional. Yog-
yakarta: Kanisius.
Siswati, N. D., J. SU dan Junaini. 2013. Peman-
faatan antioksidan alami flavonol untuk
mencegah proses ketengikan minyak kelapa.
Universitas Pembangunan Nasional. Suraba-
ya.
Soeharto, Iman. 2000. Pencegahan dan penyem-
buhanjantung koroner. Jakarta: EGC.
Sutarmi dan H. Rozaline. 2005. Taklukkan pe-
nyakit dengan VCO virgin coconut oil. Bo-
gor: Niaga Swadaya.
Sumardika, I., danI.Jawi. 2012. Ekstrak air daun
ubi jalar ungu memperbaiki profil lipid dan
meningkatkan kadar SOD dalam tikus yang
diberi makan yang tinggi kolesterol.Univer-
sitasUdayana. Bali.
Suwardi, M., Sugianto B., dan Rahman, A. 1989.
Kimia organik karbohidrat, lipid, dan pro-
tein [Disertasi]. Program Pascasarjana Uni-
versitas Indonesia. Jakarta.
Syah, A.N.A.2005.Virgin coconut oil minyak
penakluk aneka penyakit. Jakarta: Agro Me-
dia.
Tjay, T. H., dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat
penting asiat, penggunaan dan efek-efek
sampingnya. Jakarta: Elex Media Kom-
putindo.
Wardani, I.E., 2007. Uji Kualitas VCO Ber-
dasarkan Cara Pembuatan dari Proses Pen-
gadukan Tanpa Pemancingan dan Proses
Pengadukan Tanpa Pemancingan. Skripsi.
UNNES, Semarang.
Widowati, S. 2006. Dahlia bunganya indah,
umbinya mengandung inulin. Bogor: Lit-
bang Pascapanen Pertanian.
Winarsi, H. 2007. Antioksidan alami dan radikal
bebas potensi dan aplikasinya dalam kes-
ehatan. Yogyakarta: Kanisius.
Wrasiati, L. P. 2011. Karakteristikdan Toksisitas
Ekstrak Bubuk Simplisia Bunga Kamboja
Cendana (Plumeriaalba) serta Peranannya
dalam Meningkatkan Aktivitas Antioksidan
Enzimatis pada Tikus Sprague Dawley. Uni-
versitas Udayana. Bali.
-oo0oo-
103
2
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
PERBANDINGAN EFEKTIVITAS LENDIR
BEKICOT(Achatina fulica) DENGAN KITOSAN
TERHADAP PENYEMBUHAN LUKA
S.Dwi Sulisetyowati1*, Meri Oktariani 2
1, 2Prodi D-III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
[email protected] [email protected]
ABSTRAK
Bekicot, umumnya merupakan hewan tropis yang marak bermunculan saat musim hujan tiba. Disamping
bentuk tubuhnya yang lunak, bekicot ternyata memiliki banyak manfaat, salah satunya pada lendir
bekicot. Lendir bekicot banyak memiliki fungsi diantaranya dapat menyembuhkan luka atau goresan,
gingivitis, perawatan kulit. Kandungan penting dalam lendir bekicot antara lain glycosaminoglycan
yang mengikat senyawa copper peptida. Protein achasin pada bekicot (Achatina fullica) mempunyai
fungsi biologik penting, antara lain sebagai reseptor pengikat protein (enzim) bakteri. Kitosan
mempunyai reaktifitas kimia yang baik karena mempunyai sejumlah gugus hidroksil (OH) dan gugus
amin (NH ). Sifat yang penting dari kitosan adalah memiliki muatan positif dalam larutan asam. Kitosan
bersifat antimikrobia dan polikationik, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai agensia penggumpal.
Tujuan penelitian adalah mengetahui perbandingan efektivitas lendir bekicot dengan kitosan terhadap
penyembuhan luka. Metode penelitian meliputi isolasi lendir bekicot, sintesis kitosan 2% dan tahapan
perlakuan secara in vivo menggunakan 5 kelompok mencit yaitu kontrol negatif; lendir bekicot, kitosan
2%, lendir bekicot dan kitosan ratio 1:1, 1: 2, 2:1. Hasil penelitian menunjukkan lendir bekicot dan
kitosan 2% ratio 1 : 1 efektif untuk penyembuhan luka. Adanya kandungan antiinflamasi dalam lendir
bekicot dan antimikrobia dalam kitosan maka kombinasi campuran keduanya berpotensi dan efektif
sebagai obat penyembuhan luka.
Kata kunci : lendir bekicot, kitosan, penyembuhan luka.
ABSTRACT
Snails, generally a tropical animals proliferation during the rainy season arrives. Besides the soft body
shape, snail proved to have many benefits, one of which the snail slime. Many snail slime has a function
which can heal wounds or scratches, gingivitis, skin care. Essential ingredients in snail mucus among
other glycosaminoglycan peptide that binds copper compounds. Protein achasin at snail (Achatina fullica)
have important biological functions, such as receptor-binding protein (enzyme) bacteria. Chitosan has a
chemical reactivity which is good because it has a number of hydroxyl (OH) and amine groups (NH2).
Important characteristics of chitosan has a positive charge in acidic solution. Chitosan is antimicrobial
and polycationic, so it can be used as a coagulant agent. The research objective was to determine the
comparative effectiveness of snail slime with chitosan on wound healing. Research methods include
isolation of snail slime, the synthesis of 2% chitosan and stages of treatment in vivo using mice that five
negative control group; Snail mucus, chitosan 2%, snail slime and chitosan ratio of 1: 1, 1: 2, 2: 1. The
results showed snail slime and chitosan 2% ratio of 1: 1 is effective for wound healing. The content of
104
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
the anti-inflammatory and antimicrobial snail mucus in chitosan, the combination of a mixture of both
potential and effective as wound healing drug.
Keywords: snail slime, chitosan, wound healing.
1. PENDAHULUAN
Bekicot adalah hewan lunak namun me-
miliki cangkang. Sebagian banyak orang meng-
anggap bahwa hewan ini hewan yang menjijik-
kan karena bentuknya yang lunak dan berlendir.
Bekicot (Achatina fulica) dikatagorikan dalam
Phylum Mollusca dan dalam Spesies dentalium.
Bekicot terdiri dari cangkang berbentuk taring
atau terompet sehingga dikenal dengan kerang
terompet. Kedua ujungnya terbuka, dan panjang
cangkang sekitar 3-6 cm. Tubuh dilengkapi de-
ngan tentakel kecil yang di kenal dengan nama
kaptakuala. Bekicot, umumnya merupakan he-
wan tropis yang marak bermunculan saat musim
hujan tiba. Disamping bentuk tubuhnya yang lu-
nak, bekicot ternyata memiliki banyak manfaat.
Salah satunya pada lendir bekicot.
Lendir bekicot banyak memiliki fungsi di-
antaranya dapat menyembuhkan luka atau gore-
san, gingivitis, perawatan kulit. Karena Protein
pada lendir bekicot merupakan protein yang
mempunyai fungsi biologik penting, selain di-
maksudkan untuk mencegah terjadinya penguap-
an, membantu pergerakan secara halus, juga di-
perlukan untuk melindungi tubuh dari luka-luka
mekanis (Suwarno,2007). Hasil penelitian yang
dilakukan Bambang Pontjo Priosoeyanto pada
tahun 2005 yang dilakukan di Laboratorium
Parasitologi Fakultas Kedokteran hewan Institut
Pertanian Bogor, menyatakan bahwa lendir beki-
cot atau Achatina fulica mampu menyembuhkan
luka dua kali lebih cepat daripada luka yang di-
berikan larutan normal saline.
Bekicot (Achantina fulica) merupakan
salah satu obat tradisional dari bahan hewan yang
mampu untuk penyembuh luka baru. Faktor an-
tibakteri pada Achasin ini dapat bekerja dengan
cara menyerang atau menghambat pembentukan
bagian-bagian yang umum dari strain bakteri
seperti, lapisan peptidoglikan dan membran sito-
plasma, maka fraksi hasil pemisahan lendir be-
kicot dapat digunakan sebagai anti mikroba (Ot-
suka,1993). Selain menggunakan lendir bekicot,
kita juga dapat menyembuhkan luka dengan kito-
san. Kitosan adalah polimer alami yang memi-
liki berat 3 molekul tinggi, tidak beracun, dapat
mempercepat penyembuhan luka, mengurangi
kadar kolesterol darah, merangsang respon imun,
dapat terurai secara biologi (Sandford, 1989).
Kitosan mempunyai sifat antimikrobia le-
bih kuat dari kitin dalam melawan jamur, karena
kitosan mempunyai gugus aktif yang akan ber-
ikatan dengan mikroba yang mampu mengham-
bat pertumbuhan mikroba. Satu hal yang sangat
melegakan adalah kitosan sama sekali tidak
berefek buruk dan berpotensi sebagai agensia an-
timikrobia efektif termasuk untuk penyembuhan
luka.
Lendir bekicot memang sejak lama diper-
caya mengandung nutrisi tertentu yang bisa men-
gobti luka. Kandungan penting yang terdapat
dalam lender bekicot antara lain glycosamino-
glycan yang mengikat senyawa copper peptida.
Croswell dan Koplang (1981) merinci komposisi
kimia bekicot, ternyata memang kaya protein.
Protein Achasin pada bekicot (Achatina fulica)
mempunyai fungsi biologik penting, antara lain
sebagai reseptor pengikat protein (enzim) bak-
teri. Kitosan mempunyai reaktifitas kimia yang
baik karena mempunyai sejumlah gugus hidrok-
sil (OH) dan gugus amin (NH2) ada rantainya.
Sifat yang penting dari kitosan adalah kitosan
memiliki muatan positif dalam larutan asam.
Kitosan juga mempunyai sifat antimikrobia,
dalam melawan jamur kitosan lebih kuat dari ki-
tin. Selain itu, kitosan bersifat polikationik, se-
hingga dapat dimanfaatkan sebagai agensia peng-
gumpal Adanya kandungan antiinflamasi dalam
lendir bekicot dan antimikrobia dalam kitosan
maka kombinasi campuran keduanya berpotensi
sebagai obat penyembuhan luka.
Tujuan penelitian adalah mengetahui per-
bandingan efektivitas lendir bekicot dengan kito-
san terhadap penyembuhan luka.
105
0 1
hitung
tabel
0
1
≤ F
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
2. METODE PENELITIAN
a. Jenis penelitian ini adalah penelitian kuanti-
tatif eksperimental laboratoris True Eksperi-
mental menggunakan design Pretest-Post-
test Control Group Design yaitu penelitian
dengan Simple random sampling dan mem-
berikan perlakuan yang berbeda terhadap
kelompok sampel serta mengontrol variabel
terkontrolnya sehingga hasil dari pengaruh
lendir bekicot dan kitosan terhadap lama pe-
nyembuhan luka bisa maksimal.
b. Populasi dalam penelitian ini adalah 25 ekor
mencit yang sehat dengan berat badan rata-
rata 100 gram. Jumlah sampel yang didapat-
kan adalah 5 tikus setiap kelompok.
Variabel bebas pada penelitian ini ada-
lah lendir bekicot dan kitosan 2%, sedang-
kan variabel terikat pada penelitian ini ada-
lah penyembuhan luka.
Hasil penelitian dianalisis dengan soft-
ware SPSS versi 18. Analisa data meng-
gunakan beberapa uji statistik yaitu uji
normalitas menggunakan statistik uji Shap-
iro- Wilk(sampel < 50 ekor) untuk membuk-
tikan bahwa data berdistribusi normal atau
tidak, nilai- nilai ini kemudian dibandingkan
dengan α = 0,01, sehingga signifikasi (p>
menggunakan uji LSD (Least Significant
Difference). Jika terdapat perbedaan yang
bermakna dilanjutkan uji LSD dengan dera-
jat kemaknaan α = 0, 01 untuk mengetahui
hubungan kelompok yang paling berpenga-
ruh di antara 4 kelompok dalam durasi pe-
nyembuhan luka (A).
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Efektivitas Lendir Bekicot
Hasil penelitian Mandala (2014) menunjuk-
kan bahwa pemberian lendir bekicot 100%
(Achantina fulica) dan sediaan krim 5%
efektif untuk penyembuhan luka bakar de-
rajat II (A) secara in vivo terhadap durasi
waktu penyembuhan luka.
Hasil penelitian Sulisetyowati (2015)
diketahui bahwa penggunaan lendir bekicot
(Achatina fulica) dengan kitosan ratio (1: 2)
efektif untuk terhadap penyembuhan luka
dalam waktu 5 hari. Sedangkan penelitian
terapan yang dilaksanakan Harti dkk (2015)
menunjukkan bahwa biopreparasi lendir be-
kicot (Achatina fulica) efektif dan dapat di-
aplikasikan pada membran kitosan sebagai
balutan luka untuk penyembuhan luka.
0,05) dengan demikian H ditolak dan H di-
terima, yang artinya data berdistribusi nor-
mal. Kemudian, dilakukan uji homogenitas
menggunakan Test of Homogeneity of Vari-
ence yaitu Levene Statistic untuk membukti-
kan bahwa data memiliki variansi yang sama
atau homogen. Jika nilai F tabel
maka
data homogen.F di cari pada Ms. Excel
2010 dengan rumus (=FINV(0.01,df1,df2)).
Data berdistribusi normal dan homogen se-
lanjutnya dilakukan uji One Way ANOVA
(Analysis of Variance) untuk menguji pen-
garuh yang signifikan terhadap peningkatan
penyembuhan luka antar kelompok per-
Gambar 5. Uji in vivo
Lendir bekicot mengandung bahan ki-
mia antara lain achatin isolat, heparan sulfat,
dan calsium. Kandungan achatin isolat ber-
manfaat sebagai antibakteri dan antinyeri,
sedangkan calsium berperan dalam hemo- lakuan, jika nilai (p<0,05) maka H ditolak stasis (Bagaskara, 2009). Efek lendir bekicot dan H diterima yang artinya pemberian len- sebagai antibakteri dan antiinflamasi akan dir bekicot efektif dengan pemberian kito-
san 2% terhadap lama penyembuhan.Untuk
mengetahui kelompok mana yang paling
berbeda signifikan maka perlu dilakukan
uji perbandingan berganda (Post Hoc Test)
lebih mempercepat fase inflamasi sehingga
akan lebih cepat pula fase proliferasi pada
penyembuhan luka (Suriadi, 2004). Kan-
dungan dari lendir bekicot yang diduga pa-
ling berpengaruh terhadap proliferasi fibro-
106
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
blas adalah heparan sulfat yang bermanfaat
dalam mempercepat proses penyembuhan
luka dengan membantu proses pembekuan
darah dan proliferasi sel fibroblas (Nur-
ingtyas, 2008). Heparan sulfat juga ber-
fungsi untuk angiogenesis, inhibisi vascular
endothelial growth factor atau menurunkan
aktivitas mitogen dari FGF (Vierira et al.,
2004). Heparan sulfat sebagai salah satu dari
proteoglikan berfungsi sebagai pengikat dan
reservoir (penyimpanan) bagi faktor pertum-
buhan basic fibroblast growth factor (bFGF)
yang disekresikan ke dalam ECM (Extra
Celluler Musculer). ECM dapat melepaskan
bFGF yang akan merangsang rekrutmen sel
radang, aktivasi fibroblas dan pembentukan
pembuluh darah baru setiap cedera (Rob-
bins, 2007).
b. Efektivitas Kitosan Sebagai Antimikroba
Kitosan pertama kali ditemukan oleh ilmu-
wan Perancis, Ojier, pada tahun 1823. Ojier
meneliti kitosan hasil ekstrak kerak binatang
berkulit keras, seperti udang, kepiting, dan
serangga. Kitosan merupakan produk tu-
runan dari polimer kitin yaitu produk samp-
ing (limbah) dari pengolahan industri peri-
kanan, Pengolahan kitin menjadi kitosan juga
hanya memerlukan teknik yang sederhana.
Limbah kepala udang mencapai 35-50% dari
total berat udang. Kadar kitin dalam berat
udang berkisar antara 60-70% dan bila di-
proses menjadi kitosan menghasilkan yield
15-20%. Ketersediaan limbah kepiting me-
miliki potensi yang sangat besar sebagai
bahan baku pembuatan kitosan. Kitosan
merupakan produk turunan dari polisakarida
kitin, sebagai senyawa polimer multifungsi,
karena mengandung 3 jenis asam amino, gu-
gus hidroksi primer dan sekunder.
Kitosan mempunyai rantai yang le-
bih pendek daripada rantai kitin. Kelarutan
kitosan dalam larutan asam serta viskositas
larutannya tergantung dari derajat deaseti-
lasi dan derajat degradasi polimer. Kitosan
kering tidak mempunyai titik lebur. Bila
kitosan disimpan dalam jangka waktu yang
relatif lama pada suhu sekitar 100oF maka
sifat kelarutannya dan viskositasnya akan
berubah. Bila kitosan disimpan lama dalam
keadaan terbuka maka akan terjadi dekom-
posisi, warnanya menjadi kekuningan dan
viskositas larutan menjadi berkurang. Hal ini
dapat digambarkan seperti kapas atau kertas
yang tidak stabil terhadap udara, panas dan
sebagainya.
Kitosan dapat dimanfaatkan di ber-
bagai bidang biokimia, obat-obatan atau
farmakologi, pangan dan gizi, pertanian,
mikrobiologi, penanganan air limbah, in-
dustri-industri kertas, tekstil membran atau
film, kosmetik dan lain sebagainya. Dalam
cangkang udang, kitin terdapat sebagai
mukopoli sakarida yang berikatan dengan
garam-garam anorganik, terutama kalsium
karbonat (CaCO3), protein dan lipida ter-
masuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu un-
tuk memperoleh kitin dari cangkang udang
melibatkan proses-proses pemisahan protein
(deproteinasi) dan pemisahan mineral (de-
mineralisasi). Sedangkan untuk mendapat-
kan kitosan dilanjutkan dengan proses dea-
setilasi. Reaksi pembentukan kitosan dari
kitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida
oleh suatu basa. Kitin bertindak sebagai ami-
da dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula
terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- ma-
suk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian
terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga
dihasilkan suatu amida yaitu kitosan. Kito-
san sangat berpotensi untuk dijadikan seb-
agai bahan antimikroba, karena mengandung
enzim lisosim dan gugus aminopolisakarida
yang dapat menghambat pertumbuhan mi-
kroba dan efisiensi daya hambat khitosan
terhadap bakteri tergantung dari konsen-
trasi pelarutan kitosan. Kemampuan dalam
menekan pertumbuhan bakteri disebabkan
kitosan memiliki polikation bermuatan posi-
tif yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri dan kapang. Salah satu mekanisme
yang terjadi dalam pengawetan makanan
yaitu molekul kitosan memiliki kemampuan
untuk berinteraksi dengan senyawa pada
permukaan sel bakteri kemudian teradsorbi
membentuk semacam layer (lapisan) yang
menghambat saluran transportasi sel se-
107
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
hingga sel mengalami kekurangan substansi
untuk berkembang dan mengakibatkan mat-
inya sel. Selain telah memenuhi standard se-
cara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi
juga aman karena dalam prosesnya kitosan
cukup dilarutkan dengan asam asetat encer
(1,5 %) hingga membentuk larutan kitosan
homogen yang relative lebih aman.
Hasil penelitian yang telah dilakukan
penulis menunjukkan lender bekicot dengan
kitosan berpotensi dalam penyembuhan luka
(Sulistyawati, 2015). Polimer kitin yaitu
produk samping (limbah) dari pengolahan
industri perikanan, Pengolahan kitin menjadi
kitosan juga hanya memerlukan teknik yang
sederhana. Limbah kepala udang mencapai
35-50% dari total berat udang. Kadar kitin
dalam berat udang berkisar antara 60-70%
dan bila diproses menjadi kitosan meng-
hasilkan yield 15-20%. Ketersediaan limbah
kepiting memiliki potensi yang sangat be-
sar sebagai bahan baku pembuatan kitosan.
Kitosan merupakan produk alamiah yang
merupakan turunan dari polisakarida kitin.
Kitosan merupakan senyawa polimer mul-
tifungsi, karena mengandung 3 jenis asam
amino, gugus hidroksi primer dan sekunder.
Kitosan mempunyai rantai yang leb-
ih pendek daripada rantai kitin. Kelarutan
kitosan dalam larutan asam serta viskositas
larutannya tergantung dari derajat deasetilasi
dan derajat degradasi polimer. Kitosan ker-
ing tidak mempunyai titik lebur. Bila kitosan
disimpan dalam jangka waktu yang relatif
lama pada suhu sekitar 100oF maka sifat ke-
larutannya dan viskositasnya akan berubah.
Bila kitosan disimpan lama dalam keadaan
terbuka (terjadi kontak dengan udara) maka
akan terjadi dekomposisi, warnanya menjadi
kekuningan dan viskositas larutan menjadi
berkurang. Hal ini dapat digambarkan sep-
erti kapas atau kertas yang tidak stabil terha-
dap udara, panas dan sebagainya.
Kitosan dapat dimanfaatkan di ber-
bagai bidang biokimia, obat-obatan atau
farmakologi, pangan dan gizi, pertanian,
mikrobiologi, penanganan air limbah, in-
dustri-industri kertas, tekstil membran atau
film, kosmetik dan lain sebagainya. Dalam
cangkang udang, kitin terdapat sebagai
mukopoli sakarida yang berikatan dengan
garam-garam anorganik, terutama kalsium
karbonat (CaCO3), protein dan lipida ter-
masuk pigmen-pigmen. Oleh karena itu un-
tuk memperoleh kitin dari cangkang udang
melibatkan proses-proses pemisahan protein
(deproteinasi) dan pemisahan mineral (de-
mineralisasi). Sedangkan untuk mendapat-
kan kitosan dilanjutkan dengan proses dea-
setilasi. Reaksi pembentukan kitosan dari
kitin merupakan reaksi hidrolisa suatu amida
oleh suatu basa. Kitin bertindak sebagai ami-
da dan NaOH sebagai basanya. Mula-mula
terjadi reaksi adisi, dimana gugus OH- ma-
suk ke dalam gugus NHCOCH3 kemudian
terjadi eliminasi gugus CH3COO- sehingga
dihasilkan suatu amida yaitu kitosan. Kito-
san sangat berpotensi untuk dijadikan seb-
agai bahan antimikroba, karena mengandung
enzim lisosim dan gugus aminopolisakarida
yang dapat menghambat pertumbuhan mi-
kroba dan efisiensi daya hambat khitosan
terhadap bakteri tergantung dari konsen-
trasi pelarutan kitosan. Kemampuan dalam
menekan pertumbuhan bakteri disebabkan
kitosan memiliki polikation bermuatan posi-
tif yang mampu menghambat pertumbuhan
bakteri dan kapang. Salah satu mekanisme
yang terjadi dalam pengawetan makanan
yaitu molekul kitosan memiliki kemampuan
untuk berinteraksi dengan senyawa pada
permukaan sel bakteri kemudian teradsorbi
membentuk semacam layer (lapisan) yang
menghambat saluran transportasi sel se-
hingga sel mengalami kekurangan substansi
untuk berkembang dan mengakibatkan mat-
inya sel. Selain telah memenuhi standard se-
cara mikrobiologi ditinjau dari segi kimiawi
juga aman karena dalam prosesnya kitosan
cukup dilarutkan dengan asam asetat encer
(1,5 %) hingga membentuk larutan kitosan
homogen yang relative lebih aman.
4. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
a. Lendir bekicot dengan kitosan berpotensi
dalam penyembuhan luka. Lendir bekicot
108
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
mengandung substansi kimia yang bersifat
anti bakteri dan anti inflamasi antara lain
achatin isolat, heparan sulfat, dan calcium
yang berfungsi mempercepat fase penyem-
buhan luka.
b. Kitosan sangat berpotensi sebagai bahan
antimikroba karena mengandung enzim
lisosim dan gugus aminopolisakarida polika-
tion bermuatan positif yang dapat mengham-
bat pertumbuhan bakteri dan kapang serta
bersifat biodegradable, biokompatibel dan
tidak beracun sehingga aman digunakan seb-
agai biomembran atau balutan luka.
Saran
Perlunya penelitian lebih lanjut tentang
a. Aplikasi dan inovasi pembuatan kasa pem-
balut luka berbasis bahan baku alami yaitu
lendir bekicot dan kitosan
b. Potensi pengembangan formulasi lendir
bekicot menjadi sediaan hayati selain kasa
pembalut luka misalnya krim atau salep luka
bakar.
c. Pengembangan pemanfaatan kitosan di-
bidang farmasi dan kesehatan dalam bentuk
berbagai maacam sediaan antara lain gel,
krim
5. REFERENSI Arief, I., 2007, Prebiotik & Probiotik Manfaat
Bagi Kesehatan?, http://www.pjnhk.go.id/
index2.php?option=com_content&do_
pdf=1&id=439, 21 September 2007.
Bomba, A., Nemcova, R., Gancarcikova, S.,
Herich, R., Guba, P., Mudronova, D., 2002,
Improvement of The Pribiotic Effect of Mi-
croorganism by Their Combination with
Metodextrins, Fructo-oligosaccharides and
Polyunsaturated Fatty Acid, British Journal
of Nutrition, Volume 88 September Supple-
ment 2002.
Berniyanti 2007,‘Analisis Hambatan Achasin
Bekicot Galur Jawa Sebagai Faktor Antibak-
teri Terhadap Viabilitas Eschericia coli dan
Streptococcus mutans’, Indonesian Journal
of Biotechnology Vol. 12, No. 1, pp. 943-951.
Berniyanti Titiek, dkk, 2007, ‘Biochemival
Characterization of an Antibactrial Glyco-
protein from Achatina fulica ferussac Snail
Mucus Local Isolate and Their Implication
on Bacterial Dental Infection’ , Indonesian
Journal of Biotechnology, Vol. 12. No.1. pp.
943-951Brunner & Sudarto,2002. Keper-
awatan Medikal Bedah, Vol. 2, EGC,Jakarta.
Da’i Muhammad 2012, ‘Pharmaceutical Journal
of Indonesia’,Universitas Muhammadiyah
Surakarta, Surakarta, Vol.13, no. 1, ISSN
1411-4283.
Dahlan MS, 2008. Statistik untuk Kedokteran
dan Kesehatan. Edisi 5. Salemba Medika.
Jakarta.
Dewi Sinta P 2010. Perbedaan Efek Pembe-
rian Lendir Bekicot ( Achantia fulica) Dan
Gel Bioplasenton™ Terhadap Penyembu-
han Luka Bersih Pada Tikus Putih. Skripsi,
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas
Maret,Surakarta.
Ekrami A and Kalantar E 2007, ‘ Bacterial in-
fections in burn patients at a burn hospital
in Iran’, Indian Journal Medical Research,
126: 541-544.
Graha cendikia, 2009. Perbedaan Kecepatan
Penyembuhan Luka Bersih Antara Penggu-
naan Lendir bekicot (Achatina fullica) den-
gan Povidone Iodine 10% dalam Perawatan
Luka Bersih pada Marmut (Cavia Porcel-
lus)’, Universitas Brawijaya, Malang.
Johnson, K. E., 2011, Quick Review Histologi
dan Biologi Sel, Binarupa Aksara, Tangerang
Selatan.
Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Go-
ers TA, Melby SJ, 2008, ‘The Washington
Manual of Sugery, ed.5, Lippincott Williams
& Wilkins hal. 110-111, USA.
Kristiana Hery 2008,‘Gambaran Darah Mencit
(Mus ausculus Albinus) Yang Diberi Salep
Ekstrak Etanol dan Fraksi Hexan Rimpang
Kunyit ( Curcuma longa linn) Pada Proses
Penyembuhan Luka’, Skripsi, Fakultas Ke-
dokteran Hewan IPB,Bogor.
Rahmiati, 2002, Hidrolisis Kitin Hasil isolasi
dari Limbah Kulit Udang menjadi Kitosan,
Skripsi. FKIP Unlam, Tidak dipublikasikan.
109
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Rochima E., 2005. Aplikasi kitin deasetilasi ter-
mostabil dari Bacillus papandayan K29-14
asal Kawah Kamojang Jawa Barat pada
pembuatan kitosan. Tesis, Faperta, IPB.
Rochima E., 2005. Karakterisasi Kitin dan Kito-
san Asal Limbah Rajungan Cirebon Jawa
Barat. Artikel Publikasi Hasil Penelitian,
Faperta IPB.
Suptijah P, Salamah E, Sumaryanto H., Purwan-
ingsih S., Santosa J., 1992. Pengaruh ber-
bagai metode isolasi kitin dan kitosan dari
kulit udang terhadap kadar dan mutunya.
Laporan akhir penelitian, Faperikan, IPB.
-oo0oo-
110
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
PENGARUH RELAKSASI PROGRESIF TERHADAP
PENURUNAN TEKANAN DARAH PADA
PENDERITA HIPERTENSI STAGE 1 DI PUSKESMAS
GONDANGREJO KARANGANYAR
Alfyana Nadya Rachmawati 1), Diyah Ekarini 2)
1Prodi D-III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
2Prodi D-III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Hipertensi adalah suatu kondisi dimana terjadi peningkatan tekanan darah di atas ambang batas normal
120/80 mmHg. Gangguan psikologis adalah salah satu etiologi hipertensi. Gangguan psikologis
termasuk kecemasan dapat diobati dengan teknik relaksasi, salah satunya teknik relaksasi progresif.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh penurunan relaksasi progresif tekanan darah pada pasien
dengan stadium hipertensi 1 di Puskesmas Gondangrejo Karanganyar. Sampel penelitian yaitu pasien
dengan hipertensi Tahap 1 di Puskesmas Gondangrejo. Metode penelitian adalah desain eksperimental
kuasi dengan tes pra-pasca tanpa control yaitu sampel penelitian pasien hipertensi dalam kesehatan Pusat
Karanganyar Gondangrejo yang memenuhi kriteria inklusi. Analisis statistik adalah analisis univariat
dan bivariat analisis menggunakan uji t Paired. Hasil penelitian menunjukkan adanya pengaruh relaksasi
progresif dari penurunan tekanan darah.
Kata kunci: relaksasi progresif, tekanan darah, hipertensi
ABSTRACT
Hypertension is a condition where an increase of blood pressure above the normal threshold of 120/80
mmHg. Psychological disorders are one of the etiology of hypertension. Psychological disorders
including anxiety can be treated with relaxation techniques, one of which progressive relaxation
techniques. The purpose of this study to determine the effect of progressive relaxation decrease in blood
pressure in patients with hypertension stage 1 in PHC Gondangrejo Karanganyar. Samples of research
that people with Stage 1 hypertension in Puskesmas Gondangrejo. The method used in this study is a
quasi experimental design with pre-post test without control. Namely research sample of hypertensive
patients in health centers Karanganyar Gondangrejo that met the inclusion criteria. The statistical
analysis used in the study is the analysis of univariate and bivariate analyzes in this study using Paired
t test. The results showed the influence of the progressive relaxation of the blood pressure reduction.
Keywords: progressive relaxation, blood pressure, hypertension
1. PENDAHULUAN
Pada abad ke-21 ini diperkirakan terjadi
peningkatan insidens dan prevalensi penyakit ti-
dak menular secara cepat, yang merupakan tan-
tangan utama masalah kesehatan dimasa yang
akan datang. WHO memperkirakan, pada tahun
2020 penyakit tidak menular akan menyebabkan
111
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
73% kematian dan 60% seluruh kesakitan di du-
nia. Diperkirakan negara yang paling merasakan
dampaknya adalah negara berkembang termasuk
Indonesia (WHO,2005). Salah satu penyakit tidak
menular yang menjadi masalah kesehatan yang
sangat serius saat ini adalah hipertensi yang dise-
but sebagai the silent killer. Etilogi dari penyakit
hipertensi salah satunya yaitu stress. Relaksasi
adalah suatu teknik dalam teori perilaku un-
tuk mengurangi ketegangan dan kecemasan
dari stress. Relaksasi merupakan suatu terapi
kepada pasien dengan menegangkan otot-otot
tertentu dan merelaksasikan tubuh.
Puskesmas Gondangrejo merupakan salah
satu Puskesmas di Karanganyar dengan caku-
pan wilayah yang luas dan jumlah penduduk
padat. Angka kejadian hipertensi di wilayah
Puskesmas Gondangrejo cukup tinggi sehing-
ga perlu adanya tindakan keperawatan untuk
mengatasi masalah tersebut sehingga peneliti
ingin mengetahui pengaruh relaksasi progresif
terhadap penurunan tekanan darah pada pend-
erita hipertensi stage 1 di Wilayah Puskesmas
Gondangrejo Karanganyar
2. PELAKSANAAN
a. Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Puskesmas
Gondangrejo Karanganyar. Penelitian di-
lakukan pada bulan Januari 2015. Waktu
penelitian kurang lebih 1 bulan
b. Populasi dan sampel penelitian
Populasi penelitian adalah populasi terjang-
kau yaitu seluruh penderita Hipertensi di
Puskesmas Gondangrejo. Sampel penelitian
di Puskesmas Gondangrejo Karanganyar
berdasarkan kriteria inklusi yaitu :
1. Bersedia menjadi responden
2. Menderita hipertensi dengan tekanan
darah sistol 140-159 mmHg dan diastol
90-99 mmHg
3. Kooperatif
Besar sampel ditentukan menggunakan
teknik consecutive sampling yaitu teknik
penghitungan sampel dengan pertimbangan
yang memenuhi kriteria sampai kurun waktu
tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi
(Setiadi, 2007).
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian quasi
experiment dengan rancangan pre-post testwith-
out controldimana penelitian dilakukan dengan
melakukan suatu intervensi pada satu kelompok
tanpa pembanding. Penelitian ini untuk mengeta-
hui pengaruh relaksasi progresif terhadap penu-
runan tekanan darah pada penderita hipertensi
stage 1 di Puskesmas Gondangrejo Karanganyar
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Responden dalam penelitian berjumlah 25
orang yang terdiri dari 10 orang laki-laki (40%)
dan 15 orang perempuan (60%). Usia respon-
den yang ≥60 tahun berjumlah 11 orang (44%)
dan yang berusia <60 tahun sebanyak 14 orang
(56%).
Hubungan Relaksasi Progresif dengan
Tekanan Darah
Uji hubungan antara relaksasi progresif dan
penurunan tekanan darah menggunakan uji ko-
relasi Pearson menunjukkan hubungan yang sig-
nifikan dengan nilai signifikansi 0,002 (p < 0,01)
Pengaruh Relaksasi Progresif terhadap
Tekanan Darah
Untuk mengetahui pengaruh antara variabel
independent dan dependent digunakan uji Paired
t-test dengan hasil terdapat perbedaan yang sig-
nifikan anatara tekanan darah sebelum relaksasi
progresif dan setelah relaksasi progresif.
Teknik relaksasi progresif memusatkan per-
hatian pada suatu aktifitas otot dengan mengiden-
tifikasi otot yang tegang kemudian menurunkan
keteganagan dengan melakukan teknik relaksasi
untuk mendapatkan perasaan rileks. keuntungan
yang diperoleh dari relassasi progresif, antara
lain: menurunkan ketegangan otot mengurangi
tingkat kecemasan, masalah-masalah yang ber-
hubungan dengan stress.
Stress dapat meningkatkan kerja saraf sim-
patik yang dapat meningkatkan tekanan darah.
Karena itulah pada orang yang menderita hiper-
tensi menghindari stress sangatlah penting untuk
mengontrol tekanan darahnya. Pada saat relaksa-
si sistem saraf parasimpatis bekerja menstimulasi
turunnya semua fungsi yang dinaikkan oleh sis-
112
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
tem saraf parasimpatis. Kemudian sel saraf men-
geluarkan hormon norepinefrin yang menyebab-
kan tubuh menjadi rileks dan tekanan darah akan
menurun.
5. KESIMPULAN
a. Karakteristik responden menunjukkan jum-
lah responden laki-laki sebanyak 10 orang
(40%) dan responden wanita sebanyak 15
orang (60%). Usia Responden yang <60 ta-
hun sebanyak 14 orang (56%) dan responden
yang berusia ≥60 tahun sebanyak 11 orang
(44%)
b. Uji hubungan antara relaksasi progresif
dan penurunan tekanan darah menunjukkan
hubungan yang signifikan
c. Terdapat pengaruh antara variabel bebas
relaksasi progresif terhadap variabel terikat
penurunan tekanan darah
SARAN
a. Bagi penderita hipertensi
Penderita hipertensi untuk lebih dapat men-
goptimalkan penanganan hipertensi dengan
cara non farmakologi
b. Bagi Puskesmas
Promosi kesehatan mengenai cara perawatan
hipertensi lebih ditingkatkan agar sampai ke
masyarakat luas
c. Bagi profesi perawat
Upaya penanganan ataupun perawatn pen-
derita hipertensi lebih dikembangkan lagi
terutama dari sisi keperawatan
d. Bagi peneliti
Peneliti dapat lebih mengembangkan ide lain
yang dituangkan dalam penelitian agar dapat
memberikan manfaat bagi masyarakat khu-
susnya penderita hipertensi
6. REFERENSI
Ardi. T.A, Tri. I. R, dan Sholichatun, Y. 2007.
Psikologi Klinis. Yogyakarta. Graha Ilmu.
Austriani, 2008. Risiko perilaku perawatan diri
pasien hipertensi terhadap kejadian Penya- kit Jantung Koroner pada pasien hiperten-
si. Airlangga University Library. Surabaya.
http://www unibraw.ac.id.
Benso, H dan Procotor W. 2000. Dasar-dasar
Relaksasi. Bandung : Kaifa.
Black & Hawks. 2005. Medical-Surgical Nursing
Clinical Management for Positive Outcame.
Carpentino, L.J. 2000. Diagnosa Keperawatan
Aplikasi pada Praktik Klinik. Edisi 6. Jakar-
ta : EGC.
Dyna, 2004. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Pelaksanaan Teknik Relaksasi oleh Perawat
Pada Pasien Nyeri di RSUP Dr. Soeradji
Tirtonegoro. Skripsi. Tidak dipubikasikan.
Fakultas Kedokteran. Universitas Gadjah
Mada.
Kahija, YH. 2007. Hipnoterapi. Prinsip-prinsip
dasar Praktik Psikoterapi.Jakarta: Grame-
dia.
Lawrance. M, dkk. 2002. Diagnosis dan Terapi
Kedokteran Penyakit Dalam. Edisi 1. Jakar-
ta: Salemba Jakarta.
Mansjoer, H. 2000. Kapita Selekta Kedokteran.
Jakarta : Medica Aesculapius.
Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodo-
logi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta :
Salema Medika.
Ovedoff, D. 2002. Kapita Selekta Kedokteran.
Alih Bahasa oleh Hendarto Natadidjaja. Patricia
A. Potter and Anne G. Perry. 2005. Buku
Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik. Edisi 4. Alih Bahasa
oleh Renata Komalasari, dkk. Jakarta : EGC.
Pratiknya. 2000. Dasar-Dasar Metodologi Pen-
elitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Setiadi. 2007. Konsep & Penulisan Riset Keper-
awatan. Edisi Pertama. GrahaIlmu. Yogya-
karta.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawa-
tan Medikal Bedah Brunner and Suddart.
Volume 1. Edisi 8. Alih Bahasa oleh Agung
Waluyo, dkk. Jakarta : EGC.
Smeltzer & Bare. 2002. Buku Ajar Keperawa-
tan Medikal Bedah Brunner and Suddart.
Volume 2. Edisi 8. Alih Bahasa oleh Agung
Waluyo, dkk. Jakarta : EGC.
Sudoyo. W, dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 2. Jakarta: Pusat Penerbitan Departe-
113
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
men Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedok-
teran Universitas Indonesia.
Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian. Al-
fabetha. Bandung, hal 61-69
Sumaryanti, A. 2000. Pengaruh Teknik Guided
Imagery Terhadap Penurunan Tingkat Kece-
masan Pada Klien Pra Bedah Apendiktomi
di ruang Perawatan RS Abdul Moeloel Lam-
pung 2000. Skripsi. Tidak diterbitkan http://
www.niasisland.com. Diakses 5 September
2009.
Wahyuniarti. 2003. Pengaruh Teknik Relaksasi
Nafas Dalam Terhadap Tingkat Nyeri Pada
Klien Dengan Post Operatif Apenddiktomi di
Ruang Perawatan RS PKU Muhammadiyah
Yogyakarta 2003. Fakultas Keperawatan.
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Wolf, P. 2005. Hipertensi Cara Mendeteksi dan
Mencegah Tekanan Darah Tinggi Sejak
Dini. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer.
-oo0oo-
114
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
PENGARUH PENGGUNAAN ALAT PENGIKAT TALI
PUSAT BAYI BARU LAHIR TERHADAP LAMA
PELEPASAN TALI PUSAT
Anis Nurhidayati 1), Ernawati 2)
1,2Prodi D-III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu indikator utama
derajat kesehatan suatu negara. akses terhadap pelayanan kesehatan. Angka Kematian Neonatal (AKN)
sebesar 19 kematian/ 1000 kelahiran hidup, Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 32 kematian/ 1000
kelahiran hidup dan Angka Kematian Balita (AKABA) sebesar 40 kematian/ 1000 kelahiran hidup.
Penyebab tersering kematian neonatus (0 – 28 hari) adalah gangguan pernafasan, bayi lahir premature
dan sepsis. Penyebab tersering kematian bayi adalah sepsisi/ infeksi, kelainan congenital (bawaan)
dan pneumonia. Bayi tetap berhubungan dengan tali pusat sampai tali pusat digunting. Pemotongan
dan pengikatan tali pusat menyebabkan pemisahan fisik terakhir antara ibu dan bayi. Hal ini harus
diperhatikan benar karena ikatan yang kurang kuat, ikatan dapat terlepas dan perdarahan dari tali pusat
masih dapat terjadi dan membahayakan bayi tersebut. Bahaya lain yang ditakutkan ialah bahaya infeksi.
Alat pengikat tali pusat dapat menggunakan benang disinfeksi tingkat tinggi atau klem plastik tali pusat.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh penggunaan alat pengikat tali pusat bayi baru lahir
terhadap lama pelepasan tali pusat. Penelitian menggunakan metode penelitian eksperimen semu (quasi
experimental) dengan desain ”The Statistic Group Comparison. Jumlah sampel dalam penelitian adalah
40 bayi baru lahir yang terdiri dari 20 bayi baru lahir diberi perlakuan tali pusat yang diikat dengan
klem plastik tali pusat (umbilical clamp) dan 20 bayi baru lahir diberi perlakuan tali pusat yang diikat
dengan benang tali pusat.Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama pelepasan tali pusat pada kelompok
perlakuan (klem plastik tali pusat) yaitu selama 5 -12 hari dan pada kelompok kontrol (benang tali pusat)
yaitu selama 5 - 9 hari. Ada pengaruh penggunaan alat pengikat tali pusat bayi baru lahir terhadap lama
pelepasan tali pusat
Kata kunci: alat pengikat tali pusat, bayi baru lahir, lama pelepasan
ABSTRACT
Maternal Mortality Rate (MMR) and Infant Mortality Rate (IMR) is one of the main indicators of the
health status of a country. Neonatal Mortality Rate (NMR) at 19 deaths / 1,000 live births. The most
common cause of neonatal mortality (0-28 days) is a breathing disorder, premature birth and sepsis.
The most common cause of infant mortality is sepsis / infection, congenital abnormalities (congenital)
and pneumonia. Babies stay in touch with the cord until the cord cut. Cutting and tying the umbilical
cord causes the last physical separation between mother and baby. This must be true because the less
115
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
strong bonding, bonding can be detached and bleeding from the umbilical cord can still occur and
harm the baby. Another danger is feared is the danger of infection. Appliance cord yarn can use high-
level disinfection or plastic clamp the umbilical cord. The purpose of this study to determine the effect
of the use of umbilical cord fastener against long release newborn umbilical cord. This study uses a
quasi-experimental research method (Quasi-experimental designs) with cross sectional approach. The
number of samples in this study were 40 newborns consisting of 20 newborns as treatment group (tied
with umbilical cord clamp) and 20 newborns as control group (umbilical cord tied with string). From
the results of research on the effect of the use of umbilical cord fastener newborns to release a long cord,
it can be concluded that the time release cord in the treatment group (plastic clamp the umbilical cord)
that is for 5-12 days, while the control group (thread cord ), ie for 5-9 days. There is the effect of the use
of umbilical cord fastener against long release newborn umbilical cord.
Keywords: umbilical cord, clamp, newborn, long release
1. PENDAHULUAN
Anak adalah tunas, potensi dan generasi
muda penerus cita-cita bangsa, memiliki peran
strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus
yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa
dan negara pada masa depan. Kelangsungan hi-
dup Ibu, bayi dan anak merupakan sasaran utama
dari perwujudan keluarga berkwalitas, karena
kegagalan upaya ini akan berpengaruh buruk
pada eksistensi keluarga. Kematian ibu, bayi dan
anak balita tidak hanya merupakan tragedi bagi
keluarga tetapi juga berpengaruh buruk pada se-
luruh anggota keluarga dan akhirnya berpenga-
ruh pada bangsa dan negara (BKKBN, 2004).
Upaya untuk memperbaiki kesehatan ibu,
bayi baru lahir dan anak telah menjadi prioritas
utama dari pemerintah, bahkan sebelum Milleni-
um Development Goal’s 2015 ditetapkan. Angka
kematian ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi
(AKB) merupakan salah satu indikator utama
derajat kesehatan suatu negara. akses terhadap
pelayanan kesehatan. Angka Kematian Neonatal
(AKN) sebesar 19 kematian/ 1000 kelahiran hid-
up, Angka Kematian Bayi (AKB) sebesar 32 ke-
matian/ 1000 kelahiran hidup dan Angka Kema-
tian Balita (AKABA) sebesar 40 kematian/ 1000
kelahiran hidup. Penyebab tersering kematian
neonatus (0 – 28 hari) adalah gangguan perna-
fasan, bayi lahir premature dan sepsis. Penyebab
tersering kematian bayi adalah sepsisi/ infeksi,
kelainan congenital (bawaan) dan pneumonia
(SDKI, 2012).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mencegah kematian neonatal yang diutamakan
pada pemeliharaan kehamilan sebaik mungkin,
pertolongan persalinan sesuai standar pelayanan
dan perawatan bayi baru lahir yang adekuat ter-
masuk perawatan tali pusat yang higienis (Depkes
RI, 2004). Bayi tetap berhubungan dengan tali
pusat sampai tali pusat digunting. Pemotongan
dan pengikatan tali pusat menyebabkan pemisa-
han fisik terakhir antara ibu dan bayi. Hal ini ha-
rus diperhatikan benar karena ikatan yang kurang
kuat, ikatan dapat terlepas dan perdarahan dari
tali pusat masih dapat terjadi dan membahayakan
bayi tersebut. Bahaya lain yang ditakutkan ialah
bahaya infeksi (Wiknjosastro, 2010).
Alat pengikat tali pusat dapat menggunakan
benang disinfeksi tingkat tinggi atau klem plastik
tali pusat (APN, 2008).
Waktu pelepasan tali pusat dipengaruhi oleh
beberapa hal. Sampai saat ini sudah beberapa pe-
nelitian yang dilakukan tentang metode perawa-
tan tali pusat yang dapat mempengaruhi waktu
pelepasan tali pusat. Penelitian yang membahas
tentang penggunaan alat pengikat tali pusat, apa-
kah dapat mempengaruhi waktu pelepasan tali
pusat belum dilakukan.
2. PELAKSANAAN
a. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di BPS Suratini
Suwarno Surakarta selama 6 bulan.
b. Populasi dan sampel penelitian
Populasi target dalam penelitian ini adalah 40 bayi baru lahir di BPS Suratini Suwarno
Surakarta. Teknik sampling yang digunakan
dalam penelitian ini adalah quota sample.
116
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode peneli-
Tabel 4.2 Lama Pelepasan Tali Pusat Pada
Kelompok Kontrol (Benang Tali Pusat)
tian eksperimen semu (quasi experimental) den-
gan desain ”The Statistic Group Comparison.”.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah
No Lama
Pelepasan Tali
Pusat (Hari)
Jumlah
Respon-
den
Prosentase
(%)
lembar observasi untuk mengetahui waktu pele-
pasan tali pusat. Bahan yang digunakan adalah
alat pengikat tali pusat yaitu klem plastik tali pu-
sat (umbilical clamp) dan benang tali pusat.
Variabel independen dalam penelitian ini
adalah alat pengikat tali pusat dan variabel de-
penden dalam penelitian ini adalah waktu pele-
pasan tali pusat.
Analisis bivariat dilakukan pada variabel
alat pengikat tali pusat dan waktu pelepasan tali
pusat dengan menggunakan rumus independent
t-test. Tingkat kemaknaan ditentukan sebesar 5%.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 4.1, dapat dilihat bahwa
lama pelepasan tali pusat pada kelompok per-
lakuan (klem plastik tali pusat) yaitu selama 5
hari sebanyak 6 bayi (30%), selama 6 dan 8 hari
masing-masing 4 bayi (20%), selama 7 hari se-
banyak 3 bayi (15%), selama 10 hari sebanyak
2 bayi (10%) dan selam 12 hari sebanyak 1 bayi
(5 %).
Tabel 4.1 Lama Pelepasan Tali Pusat Pada
Kelompok Perlakuan (Klem Plastik Tali Pusat)
1 5 5 25
2 7 6 30
3 8 6 30
4 9 3 15
Jumlah 20 100
Alat pengikat tali pusat bayi baru lahir dapat
menggunakan benang disinfeksi tingkat tinggi
atau klem plastik tali pusat (APN, 2008). Waktu
pelepasan tali pusat dipengaruhi oleh beberapa
hal. Sampai saat ini sudah beberapa penelitian
yang dilakukan tentang metode perawatan tali
pusat yang dapat mempengaruhi waktu pelepas-
an tali pusat. Penelitian yang membahas tentang
penggunaan alat pengikat tali pusat, apakah dapat
mempengaruhi waktu pelepasan tali pusat belum
dilakukan.
Dalam penelitian ini, peneliti menemukan
perbedaan tentang lama waktu pelepasan tali pu-
sat bayi diantara kedua alat ikat yang digunakan.
tali pusat pada umumnya akan terlepas pada wak-
tu bayi berumur 6-7 hari (Wiknjosastro, 2010).
Sedangkan menurut Varney (2007) lepasnya tali
pusat akan terjadi 1 – 2 minggu. Pada peneliti-
an ini lama pelepasan tali pusat pada kelompok
perlakuan (klem plastik tali pusat) yaitu selama
No Lama Pelepasan
Tali Pusat
(Hari)
Jumlah
Respon-
den
Prosen-
tase (%)
5 - 12 hari sedangkan pada kelompok kontrol
(benang tali pusat) yaitu selama 5 - 9 hari.
Lama waktu pelepasan tali pusat dapat di- 1 5 6 30
2 6 4 20
3 7 3 15
4 8 4 20
5 10 2 10
6 12 1 5
Jumlah 20 100
Berdasarkan tabel 4.2, dapat dilihat bahwa
lama pelepasan tali pusat pada kelompok kontrol
(benang tali pusat) yaitu selama 5 hari sebanyak
5 bayi (25%), selama 7 dan 8 hari masing – mas-
ing 6 bayi (30%) dan selama 9 hari sebanyak 3
bayi (15%).
pengaruhi beberapa faktor. Menurut Mugford,
et.al (1986) dalam Silvrston (1993) pada sebuah
penelitian dengan menggunakan design kontrol
secara random menunjukkan bahwa waktu pele-
pasan dan derajat kesembuhan tali pusat dipenga-
ruhi oleh tipe bahan untuk perawatan tali pusat
dan frekuensi penggunaannya. Dalam penelitian
tersebut juga disebutkan bahwa pembersihan tali
pusat dengan menggunakan asupan alkohol akan
sedikit memperlama waktu pelepasan tali pusat.
Sedangkan menurut Salariya dan Kowbus (1988)
dalam Silvrston (1993) menyimpulkan bahwa tali
pusat bayi baru lahir yang sedikit dimanipulasi
(hanya membersihkan tali pusat dengan meng-
gunakan air bersih ketika lengket) menyebabkan
117
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
tali pusat lepas lebih cepat dibanding dengan tali
pusat yang sering dimanipulasi dengan meng-
gunakan asupan alkohol.
5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian tentang pengaruh peng-
gunaan alat pengikat tali pusat bayi baru lahir ter-
hadap lama pelepasan tali pusat, maka dapat di-
simpulkan bahwa lama pelepasan tali pusat pada
kelompok perlakuan (klem plastik tali pusat) yai-
tu selama 5 - 12 hari sedangkan pada kelompok
kontrol (benang tali pusat) yaitu selama 5 - 9 hari.
Terdapat pengaruh penggunaan alat pengikat tali
pusat bayi baru.
SARAN
a. Bagi instansi pelayanan kesehatan diharap-
kan menggunakan alat pengikat tali pusat
yang aman yang dapat mencegah terjadinya
perdarahan tali pusat.
b. Bagi petugas kesehatan diharapkan agar
melakukan penjepitan atau pengikatan tali
pusat yang benar dan melakukan observasi
yang berulang – ulang pada waktu – wak-
tu tertentu selama 48 jam untuk mencegah
perdarahan tali pusat.
6. REFERENSI
Arikunto, S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu
Pendekatan Praktek. Edisi Revisi V. Jakarta:
Rineka Cipta
2010. Prosedur Penelitian Suatu
Depkes, RI, 2007. Pengertian Kehamilan. (onli-
ne) http://www.DepkesRI.co.id .html.. Diak-
ses tanggal 14 Maret 2012
Dinkes, 2011. Target MDGs Bidang Kesehatan.
http://www.1456-depkes-target-mdgs-bi-
dang-kesehatan.html. Diakses 23 April 2014.
Farrer.H. 2008. Perawatan Maternitas. Jakarta.
EGC.
Hidayat, A, A. 2010. Metode Penelitian Kebida-
nan dan Teknik Analisa Data. Jakarta : Sa-
lemba Medika.
Miyata, S, M, I, Proverawati, A. 2010. Nutrisi
Janin dan Ibu Hamil. Yogyakarta: Nuha-
Medika.
Notoatmodjo, S. 2010. Metodologi Penelitian
Kesehatan.Jakarta : Rineka Cipta.
Prawiroharjo, S. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta:
Bina Yayasan Pustaka
Proverawati, A, Wati, E, K. 2011. Ilmu Gizi untuk
Keperawatan dan Gizi Kesehatan. Yogya-
karta: Nuha medika.
Riwidikdo, H. 2010. Statistik untuk Penelitian
Kesehatan dengan Aplikasi Program R dan
SPSS. Yogyakarta: Pustaka Rihama.
Saifuddin, A. B. 2006. Buku Acuan Nasional
Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neona-
tal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Varney. Dkk. 2007. Buku Saku Bidan. Jakarta:
EGC. ––––––––––––––– ,
Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.
BKKBN. 2003. Menyiapkan Anak Balita yang
Sehat dan Berkualitas. Jakarta: Depkes RI
Waryana. 2010. Gizi Reproduksi. Yogyakarta:
Pustaka Rihama.
Wiknjosastro. 20010. Ilmu Kebidanan. Jakarta,
Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiro-
hardjo
-oo0oo-
118
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
STRESS KERJA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP
RSUD SUKOHARJO
Atiek Murharyati 1), Joko Kismanto 2)
1Prodi D-III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
2Prodi D-III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Stres adalah realitas kehidupan sehari-hari yang tidak bisa kita hindari. Perawat dituntut untuk bekerja
terampil, membuat keputusan dengan cepat, tepat. Perawat dapat mengalami stres, sehingga kehilangan
motivasi, pengalaman kebosanan yang menyebabkan penurunan kinerja kerja dan memburuknya
perawatan pasien. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui faktor-faktor utama yang mempengaruhi
stres kerja perawat di rawat inap rumah sakit Sukoharjo. Metode ini merupakan studi cross sectional.
Metode sampling dengan pendekatan purposive sampling, jumlah sampel 42. Analisis data menggunakan
univariat, bivariat, dan analisis multivariat analisis bivariat dengan korelasi product moment dan analisis
multivariat dengan regresi linier berganda. Analisis univariat beban kerja antara kriteria perawat adalah
bahwa 92,9%, sebagian besar perawat dalam konflik dengan staf lain dengan kriteria adalah bahwa
88,1%, 78,6% sebagian besar perawat mengalami kesulitan dalam pengobatan pasien, perawat yang
memiliki hambatan dalam pengembangan karir kriteria 49,6% dengan moderat, dan perawat yang
mengalami hambatan untuk pengembangan karir dengan kriteria tinggi 49,6%, seorang perawat yang
mengalami stres kerja dengan 92,9%. Hasil analisis bivariat data menunjukkan bahwa masing-masing
beban kerja variabel independen, konflik dengan staf lain, masalah perawatan pasien, pengembangan
karir hasil tes diperoleh nilai p dari 0,0001 sehingga disimpulkan bahwa masing-masing variabel ini
memiliki pengaruh terhadap stres kerja . Analisis multivariat dengan nilai uji F signifikan 0,05 diperoleh
17.470 dan signifikansi nilai F adalah 0,0001, sehingga dengan efek yang sama antara beban kerja
variabel independen, konflik dengan staf lain, masalah perawatan pasien, pengembangan karir dengan
stres kerja. Uji adjusted R2 memperoleh nilai 0,616. Ini berarti perubahan variasi stres kerja dapat
dijelaskan oleh variasi perubahan beban kerja, konflik, masalah pasien dan pengembangan sebesar
61,6%.
Kata kunci: beban kerja, konflik dengan staf lain, masalah perawatan pasien, pengembangan karir,
stres kerja
ABSTRACT
Stress is a reality of everyday life that we can not avoid. Nurses are required to work skillfully, make
decisions quickly, right. Nurses can experience stress, so the loss of motivation, experience boredom
which causes decreased job performance and worsening of patient care. The purpose of this study was
to determine the major factors affecting the job stress of nurses in the hospital inpatient Sukoharjo. The
method is a cross sectional study. Method of sampling with purposive sampling approach, the number
119
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
42 samples. Analysis of the data using univariate, bivariate, and multivariate analysis bivariate analysis
with product moment correlation and multivariate analysis with multiple linear regression. Univariate
analysis of workload among nurses criteria were that 92.9%, the majority of nurses in conflict with other
staff with the criteria being that 88.1%, 78.6% majority of caregivers had difficulty in the treatment of
patients, a nurse who had barriers in career development criteria 49.6% with moderate, and nurses who
experience barriers to career development with high criteria 49.6%, a nurse who experienced job stress
by 92.9%. The results of the bivariate analysis of data showed that each independent variable workload,
conflict with other staff, patient care issues, career development using product moment person test
results obtained p value of 0.0001 thus concluded that each of these variables has an influence on job
stress . Multivariate analysis with a significant F test F value of 0.05 obtained 17,470 and significance
F value is 0.0001, so there concluded with the same effect between the independent variable workload,
conflict with other staff, patient care issues, career development with stress working. Test Adjusted R2
obtained a value of 0.616. This means a change of job stress variation can be explained by variations in
workload changes, conflicts, problems of patients and the development of 61.6%.
Keywords: workload, conflict with other staff, patient care issues, career development, job stress
1. PENDAHULUAN
Stress merupakan realita kehidupan sehari-
hari yang tidak dapat kita hindari. Stres meru-
pakan bagian hidup manusia, karena stres akan
membuat individu berkembang dan berubah
(Davis,1995). Menurut Lazarus dan Folkman,
stres sebagai suatu hubungan yang khas antara
individu dan lingkungannya yang dinilai oleh in-
dividu sebagai suatu hal yang mengancam atau
melampaui kemampuannya untuk mengatasi-
nya sehingga membahayakan kesejahteraannya
(Widyasari,2009). Stress dapat terjadi pada setiap
individu, namun sumber-sumber terjadinya stress
pada setiap individu pasti berbeda-beda. Stress
dapat berasal dari dalam diri sendiri, keluarga,
komunitas atau lingkungan sekitar dan pekerjaan
(Smet,2004).
Salah satu stresor dalam lingkungan kerja
terdapat pada individu yang berada dalam bidang
pekerjaan yang penuh tanggungjawab atas ke-
selamatan orang lain dan sangat rentan terhadap
kejenuhan antara lain dibidang perawatan ke-
sehatan, penegak hukum dan pendidikan (Gol-
iszek,2005). Perawat dituntut untuk bekerja de-
ngan terampil, mengambil keputusan dengan
cepat dan tepat waktu. Perawat dalam bekerja
banyak menggunakan waktunya untuk berinter-
aksi dengan sesama tenaga kerja, pekerjaan,
pasien serta lingkungannya dan dapat menye-
babkan perasaan marah, malu, kecewa, takut, bi-
ngung atau frustasi karena tidak menemukan ja-
lan keluar terhadap masalah-masalah pasien atau
ada masalah dengan teman sejawat atau profesi
lain. Apabila tuntutan dan permasalah tersebut
tidak dapat di kelola dengan baik, maka perawat
dapat mengalami stres berat dan dapat kehilangan
motivasi, mengalami kejenuhan yang berat dan
tidak masuk kerja lebih sering. Hal tersebut dapat
menyebabkan menurunnya penampilan kerja dan
memburuknya pelayanan terhadap pasien (Hari-
yono,2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Mc Grath
dkk terhadap perawat yang bekerja pada berbagai
tatanan yang berbeda di Inggris, menemukan
bahwa 67% responden menyatakan waktu yang
tidak mencukupi untuk melakukan tugas secara
memuaskan merupakan sumber stress yang pa-
ling tinggi. Survey yang dilakukan oleh Dewe
pada 1801 perawat dengan mengkaji stress dalam
hal ketegangan dan kelelahan serta metode yang
digunakan. Menemukan data bahwa lima sum-
ber utama stress yaitu beban stress berlebihan,
kesulitan menjalin hubungan dengan staf lain,
kesulitan merawat pasien kritis, pengobatan atau
perawatan pasien yang gagal untuk membaik
(Abraham,2003).
Profil RSUD Sukoharjo tahun 2011 men-
jelaskan bahwa kapasitas tempat tidur pada ru-
ang rawat inap sebanyak 200 tempat tidur, jum-
lah perawat 140 orang dan angka penggunaan
tempat tidur atau Bed Occupancy Rate (BOR)
sebesar 83,05%. Rata-rata lamanya perawatan
120
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
atau Average Length of Stay (ALOS) selama 4,2
hari sedangkan standar DEPKES adalah 6-9 hari.
Angka ini menunjukkan adanya peningkatan
tingkat hunian tempat tidur yang cukup tinggi
bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya
hanya 74,51% dan rata-rata lamanya perawatan
pada tahun sebelumnya adalah 4,16 hari (Lapo-
ran bidang perawatan RSUD Sukoharjo,2011).
Peningkatan jumlah pasien tersebut akan mem-
berikan dampak terhadap peningkatan beban ker-
ja perawat dan apabila tidak segera diatasi dapat
menyebabkan stress kerja perawat.
Hasil wawancara dengan 10 perawat di
ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah
Sukoharjo yang diambil secara insidental pada
tanggal 3 Juli 2013 diperoleh data bahwa perawat
mengeluh nyeri otot dan sendi, mudah marah,
sulit konsentrasi, semangat kerja menurun dan
merasa lelah. Hasil observasi menunjukkan pe-
rawat tersebut tidak bergairah, sering terlambat
berangkat dinas, dan tidak bersemangat dalam
bekerja. Stres kerja yang terjadi akan berdampak
sangat bervariasi dan komplek baik secara lang-
sung maupun tidak langsung terhadap aspek fisik,
psikologis maupun perilaku. Asumsi peneliti
perawat tersebut kemungkinan mengalami stres
kerja. Fenomena-fenomena tersebut diatas, men-
stimulasi peneliti untuk meneliti tentang faktor-
faktor yang mempengaruhi stress kerja perawat
di ruang rawat inap RSUD Sukoharjo.
2. PELAKSANAAN
a. Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian di ruang rawat inap RSUD
Sukoharjo pada bulan Juli 2013.
b. Populasi dan sampel penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah perawat
yang bekerja di ruang rawat inap RSUD
Sukoharjo dengan pendekatan purposive
sampling.
Penentuan besar sampel dapat didasarkan
prosentase dari besarnya populasi (Saryono,
2011 dalam Kurnia, Jhohana, 2010). Jika
populasi lebih dari 100 responden, maka
dapat diambil 25% sampai 30%. Besar sam-
pel penelitian dalam penelitian ini 42 sam-
pel. Alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kuesioner.
3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian kuantitatif non eksperimental dengan
studi korelasional yaitu suatu desain yang digu-
nakan untuk mengkaji pengaruh antara variabel.
Pendekatan yang digunakan adalah desain cross
sectional (Nursalam,2003).
Uji validitas dan reliabilitas : dilakukan pada
30 orang perawat dinyatakan valid jika koefisien
validitas atau r hitung lebih dari atau sama de-
ngan 0.361 Hasil uji validitas dari jumlah butir
soal variable beban kerja 6 soal , variable konflik
dengan staf lain 14 soal, variable masalah per-
awatan pasien 10 soal , variable perkembangan
karier 5 soal, variable stress kerja 60 soal di-
nyatakan valid dan reliabel
Variabel independen dalam penelitian ini
adalah beban kerja, konflik dengan staff lain,
pengembangan karir dan masalah yang ber-
hubungan dengan perawatan pasien. Beban kerja
adalah tanggung jawab pekerjaan perawat dalam
pemenuhan kebutuhan fisik pasien dan tindakan
keperawatan yang harus dilaksanakan perawat
dalam batas waktu tertentu. Konflik dengan staff
lain adalah pertentangan yang terjadi antar staf
yang dapat menyebabkan kerjasama dengan staff
dan teman sejawat terganggu. Pengembangan
karier adalah ketidakpastian pekerjaan karena
kurangnya promosi pengembangan karier oleh
atasan. Masalah yang berhubungan dengan per-
awatan pasien adalah masalah yang berhubungan
dengan pasien yang mencakup pemenuhan kebu-
tuhan fisik pasien, integrasi dan koordinasi pem-
berian perawatan. Skala ukur interval.
Pengolahan data dilakukan dengan meng-
gunakan komputer dengan langkah-langkah ed-
iting, coding, tabulating, entry data (Santjaka,
2011). Analisa data yang digunakan adalah anali-
sis univariat yang dilakukan untuk menggambar-
kan variabel penelitian secara deskriptif dalam
bentuk distribusi frekuensi, analisis bivariat yang
dilakukan untuk mengetahui hubungan antar
variabel penelitian. Analisis menggunakan kore-
lasi product momen, dan analisis multivariat yang
dilakukan untuk mengetahui kekuatan hubungan
antar beberapa variabel penelitian. Teknik analisa
yang digunakan adalah analisis regresi linier ber-
ganda (Sugiyono,2010).
121
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis univariat diantaranya beban
kerja perawat sebagian besar kriteria sedang
yaitu 92,9%, sebagian besar perawat mengalami
konflik dengan staff lain dengan kriteria sedang
yaitu 88,1%, sebagian besar perawat 78,6%
mengalami kesulitan dalam perawatan pasien
dengan kriteria sedang, perawat yang mengalami
hambatan dalam pengembangan karier sebesar
49,6% dengan kriteria sedang, dan perawat yang
mengalami hambatan pengembangan karier de-
ngan kriteria tinggi sebesar 49,6%, perawat yang
mengalami stress kerja sebesar 92,9%.
Hasil analisa bivariat diperoleh data bahwa
masing- masing variabel independent beban ker-
ja, konflik dengan staff lain, masalah perawatan
pasien, pengembangan karier dengan menggu-
nakan uji perason product moment diperoleh ha-
sil p value 0,0001 sehingga disimpulkan bahwa
masing masing variabel tersebut memiliki penga-
ruh terhadap stress kerja.
Hasil analisis multivariat dengan uji F sig-
nifikan 0,05 diperoleh nilai F sebesar 17,470
dan nilai signifikansi F adalah 0,0001, sehingga
disimpulkan terdapat pengaruh secara bersama
sama antara variabel independent beban kerja,
konflik dengan staff lain, masalah perawatan
pasien, pengembangan karier dengan stress kerja.
Uji Adjusted R2 diperoleh nilai sebesar
0,616. Hal ini berarti variasi perubahan stress
kerja dapat dijelaskan oleh variasi perubahan be-
ban kerja, konflik, masalah pasien dan pengem-
bangan sebesar 61,6%.
Perawat merupakan komponen utama di
rumah sakit, bekerja siap siaga dalam waktu 24
jam, dengan segala kondisi pasien, ditambah de-
ngan jumlah perawat yang kurang. Tuntutan yang
tinggi, besarnya peran dan tanggung jawab per-
awat sehingga perawat beresiko menjadi stress
dalam bekerja, karena terdapat tekanan - tekanan
baik dari dalam maupun dari luar, sehingga dibu-
tuhkan penyesuaian diri. (Purwanto, 2007).
Stress adalah segala situasi dimana tuntutan
non spesifik mengharuskan seorang invidu untuk
berespons atau melakukan tindakan dan fenom-
ena universal dimana setiap orang mengalamin-
ya dan memberi dampak secara total baik, fisik
emosi, intelektual, sosial, dan spiritual (Patri-
cia,2005).
Perubahan lingkungan kerja dan tuntutan
pekerjaan yang banyak sehingga dapat menye-
babkan stress pada perawat. Nursalam (2003)
mengatakan, beban kerja yang sering dilakukan
oleh perawat bersifat fisik seperti mengangkat
pasien, mendorong peralatan kesehatan, mera-
pikan tempat tidur pasien, mendorong brankart,
dan yang bersifat mental yaitu kompleksitas pe-
kerjaan misalnya keterampilan, tanggung jawab
terhadap kesembuhan, mengurus keluarga serta
harus menjalin komunikasi dengan pasien. Stress
kerja menunujukan keadaan ketegangan yang
disebabkan oleh kondisi pekerjaan (Sunaryo,
2004).
Konflik yang terjadi akan meimbulkan rasa
sakit hati diantara individu sehingga akan me-
nambah perasaan tertekan dan stress. Perawat
yang memiliki stresss kerja tinggi akan memiliki
emosi negative sehingga cenderung mudah me-
nyalahkan diri sendiri, oranglain (rekan kerja,
pasien). Kondisi konflik antar perawat dengan
dituntut bisa kerja tim yang baik, maka diper-
lukan strategi untuk mengurangi stress kerja.
(Yustiya,Vita 2013).
Menurut Rivai (2010) bahwa stress kerja
adalah suatu kondisi ketegangan yang mencip-
takan adanya ketidakseimbangan fisik dan spikis,
yang mempengaruhi emosi, proses berfikir, dan
kondisi seorang karyawan. Davis dan Newstrom
dalam Mulyani (2008) bahwa stress kerja dapat
disebabkan juga salah satunya adalah frustasi
akibat terhambatnya promosi atau karier.
5. KESIMPULAN
a. Stress dalam pekerjaan merupakan salah
satu gangguan potensial yang akan berdam-
pak pada kinerja sumber daya manusia dan
akan berpengaruh pada perusahaan atau or-
ganisasi secara keseluruhan.
b. Stres kerja yang terjadi akan berdampak san-
gat bervariasi dan komplek baik secara lang-
sung maupun tidak langsung terhadap aspek
fisik, psikologis maupun perilaku.
c. Beban kerja, konflik dengan staff lain, ma-
salah perawatan pasien, pengembangan kari-
er, masing – masing memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap stress kerja.
122
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
SARAN
a. Diadakannya pelatihan manajemen stress
bagi tenaga kemanusiaan khususnya perawat
b. Perlu dilatih kecerdasan emosi perawat
dalam memberikan pelayanan keperawatan
c. Bagi peneliti selanjutnya bisa meneliti ten-
tang hubungan stress kerja dengan pelayan-
an asuhan keperawatan di Rumah sakit.
6. REFERENSI
Abraham, Charles & Eamon Shanley. 2003. Alih
bahasa Leony Sally M. Editor : Robert Pri-
hajo & Yasmin Asih. Psikologi Sosial untuk
Perawat. Jakarta : EGC
Andreas Agung, et al. Faktor faktor penyebab
stress kerja pada perawat ICU rumah sakit
tipe C di kota Semarang. Fakultas psikologi
UNDIP. Skripsi
Anoraga, Pandji dan Ninik, Widiyanti. 2000.
Psikologi dalam Perusahaan. Jakarta : PT.
Rineka Cipta
Brecht. 2000. Mengenal dan Menaggulangi
Stress. Jakarta: PT Prenhallindo.
Davis, Martha dkk. 1995. Panduan Relaksasi
dan Reduksi Stress. Edisi III. Jakarta : EGC
Goliszek, Andrew. 2005. 60 Second Manajemen
Stres. alih bahasa: Dominicus Rusdin. Jakar-
ta: Bhuana Ilmu Populer.
Hariyono, Widodo, Diyah Suryani dan Yanuk
Wulandari. 2009. Hubungan antara
beban kerja, stress kerja dan tingkat konflik
dengan kelelahan kerja perawat d i
Rumah Sakit Islam Yogyakarta PDHI Kota
Yogyakarta. Jurnal Kesmas UAD. Volume 3.
Nomor 3. 186-197
Huber, D. 2000. Leadership and Nursing Man-
agement. Edisi II. Philadelphia : W.B. Saun-
ders Company
Imam Ghozali. 2010. Aplikasi analisis multivari-
at dengan program SPSS. Semarang:
Badan penerbit Universitas Diponegoro
Istijanto. 2009. Aplikasi Praktis Riset Pemasa-
ran. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Khanifah, Heniatul. 2006. Studi Deskriptif Fak-
tor factor yang menyebabkan stress kerja
perawat rumah sakit jiwa daerah Dr Amino
Gondho Hutomo Semarang. Program Studi
Ilmu keperawatan UNDIP. Skripsi
Kozier, B & G. Blais, K. Fundamental of Nurs-
ing: Consepts, Process & Practice (4thed)
Addison Wesley Publishing Company, Inc.
1995.
Kurnia, Jhohana. 2010. Hubungan kelelahan
kerja dengan stress kerja pada perawat di
rumah sakit islam Yarsis Surakarta. Fakultas
kedokteran UNS.
Mangkunegara, A.P. (2001). Manajemen Sum-
ber Daya Manusia Perusahaan. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Najmah. 2011. Managemen dan analisa data ke-
sehatan: kombinasi teori dan aplikasi SPSS.
Yogyakarta: Nuha medika
Nursalam. 2003. Konsep dan penerapan met-
odologi penelitian ilmu keperawatan: Pedo-
man skripsi, tesis, dan instrumen penelitian
keperawatan. Edisi 1. Jakarta: Salemba me-
dika
Rini., Jasinta F. http://www.e-psikologi.com/ma-
salah/stress.htm. Diakses tanggal 27 Agus-
tus 2013
Robbins, Stephen P., 2001. Organizational Be-
havior. Ninth Edition, Printice Hall,
International Inc
RSUD Sukoharjo. Laporan Kegiatan Bidang
Keperawatan Tahun 2011. Sukoharjo: Bi-
dang keperawatan
Santjaka, Aris. 2011. Statistik untuk penelitian
kesehatan. Yogyakarta: Nuha Medika
Smet, Bart. 2004. Psikologi Kesehatan. Jakarta :
PT. Gramedia Widiasarana Indonesia
Sugiyono. 2010. Statistika Untuk Penelitian.
Bandung: Alfabeta
Widyasari.2009. http:\\www.rumah-belajar-psi-
kologi/stress kerja.stress kerja.diakses tang-
gal 20 Mei 2013.
Yun Iswanto. 2001. Analisis hubungan an-
tara stress kerja, kepribadian dan kinerja
manajerbank. http://pk.ut.ac.id/ Jsi/111yun.
htm. Diakses tanggal 12 Mei 2013
-oo0oo-
123
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
STUDI EKSPLORASI PENGALAMAN MAHASISWA
KEPERAWATAN MENGGUNAKAN METODE
PEMBELAJARAN SEVEN JUMP DI PROGRAM
STUDI DIII KEPERAWATAN STIKES KUSUMA
HUSADA SURAKARTA
Anissa Cindy Nurul Afni1, Dyah Ekarini2
1,2Prodi D III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Email: [email protected][email protected]
ABSTRAK
Kemajuan ilmu pengetahuan di segala bidang serta tuntutan era globalisasi menuntut setiap orang
mampu bersaing sesuai kompetensi yang dimiliki. Diperlukan adanya upaya peningkatan prestasi
belajar mahasiswa dengan memperbaharui metode pembelajaran dari klasikal menjadi Student Center
Learning (SCL) yang menempatkan peserta didik sebagai pusat kegiatan pembelajaran. Salah satu bentuk
SCL adalah metode Seven Jump. Pembelajaran dimulai dari pemunculan suatu masalah, kemudian
mahasiswa bersama dosen akan menyelesaikan permasalahan tersebut dengan tujuh langkah yang
disebut Seven Jump Method. Tujuan penelitian untuk mengetahui pengalaman mahasiswa menggunakan
metode pembelajaran Seven Jump. Penelitian ini menggunakan desain kualitatif fenomenologi dengan
pendekatan interpretif. Pengumpulan data dengan wawancara mendalam terhadap delapan mahasiswa
Tingkat II Prodi D III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surkarta. Analisa data menggunakan
Braun and Clarke yang menghasilkan sembilan tema yaitu ciri khas pembelajaran seven jump, dosen
sebagai pendamping, mahasiswa sebagai pusat pembelajaran, sarana peningkatan soft skill mahasiswa,
hal-hal yang menghambat seven jump, perbedaan ekspresi mengikuti seven jump, tidak ada feed back,
curah pendapat, dan harapan dalam pembelajaran seven jump. Seven Jump memiliki ciri khas dimana
mahasiswa sebagai pusat pembelajaran dan dosen hanya sebagai pendamping. Terdapat kelebihan dan
kekurangan yang dirasakan oleh mahasiswa selama mengikuti kegiatan seven jump dan hal ini akan
mempengaruhi penerimaan mahasiswa dalam proses pembelajaran.
Kata kunci: mahasiswa, SCL, seven jump
ABSTRACT
The progress of science in all fields as well as the demands of globalization requires every person is
able to compete in accordance with their competence. There needs to be an effort to improve student
achievement by renewing teaching methods from classical to Student Center Learning (SCL) that puts
the learner at the center of learning activities. One form of SCL is method Seven Jump Learning starts
from the appearance of a problem, then students with lecturers will solve the problem with the seven
steps are known as the Seven Jump Method. This study investigates the learning experience of students
using seven jump. This study used a qualitative design interpretive phenomenological approach.
Coleccted data with indepth interview used eight students Level II Prodi D III Nursing STIKes Kusuma
Husada Surkarta as a participants. Analysis of the data in this study used Braun and Clarke aproach
which resulted in nine theme that is characteristic of seven jump learning, as an assistant professor, a
student as a center of learning, means of increasing student soft skills, things that inhibit seven jump,
124
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
differences in expression following the jump seven, not No feed back, brainstorm, and expectations in
seven jump learning. Seven Jump characterized as a learning center where students and faculty only as
a companion. There are advantages and disadvantages perceived by the students during the activities of
seven jump and this will affect the admission of students in the learning process.
Keywords: students, SCL, seven jump
1. PENDAHULUAN
Kemajuan ilmu pengetahuan di segala bi-
dang termasuk bidang kesehatan dan teknologi
serta tuntutan era globalisasi membuat setiap
orang harus mampu untuk bersaing sesuai kom-
petensi yang dimiliki. Upaya pengembangan
sumber daya manusia tertuju pada jenjang yang
lebih tinggi diharapkan proses pemahaman akan
menjadi lebih berkembang dan dewasa dari pada
pendidikan sebelumnya (Fathurrahman, 2010).
Pembelajaran klasikal yang masih didomi-
nasi oleh kegiatan dosen di depan kelas telah
banyak dievaluasi sebagai pembelajaran yang
kurang membelajarkan. Namun pada kenyataan-
nya, mayoritas dosen, masih menggunakan pola
teacher centered tersebut dalam pembelajarannya
di kelas. Keadaan ini menyebabkan mahasiswa
kesulitan menemukan makna yang terkandung
dalam materi pembelajaran tersebut (Nurohman,
2010)
Beberapa metode pembelajaran diperlukan
untuk membelajarkan mahasiswa secara benar.
Student center learning (SCL) merupakan salah
satu metode pembelajaran KBK. SCL adalah
pendekatan pembelajaran yang menempatkan
peserta didik di pusat kegiatan pembelajaran.
Penting bagi seorang Dosen menerapkan sistem
pembelajaran yang tepat jika ingin pembelajaran-
nya berhasil (Nurohman, 2010). Metode The Sev-
en Jump adalah sebuah metode PBL (Programe
Based Learning) yang sangat tepat digunakan un-
tuk pembelajaran untuk menganalisa dan mem-
ecahkan sebuah kasus. Pembelajaran dimulai
dari pemunculan suatu masalah, kemudian ma-
hasiswa bersama dosen akan menyelesaikan per-
masalahan tersebut dengan tujuh langkah yang
dikenal sebagai Seven Jump Method. Metode ini
merupakan langkah yang dinamis tetapi tetap
memerlukan keseimbangan dan keserasian atau
movement control agar tujuan belajar dapat terca-
pai (Arlan, dkk, 2013).
Terdapat tujuh tahapan untuk melakukan
diskusi, langkah pertama mulai dari fokus kasus
sampai pemecahan masalah yang biasa disebut
Seven jump. Taha pertama yaitu Clarifying unfa-
miliar terms, tahap ke dua Problem definitions,
tahap ke tiga Brain storming, tahap ke empat An-
alyzing the problems, tahap ke lima yaitu Formu-
lating learning issues, tahap ke enam Self-study,
dan tahap ke tujuh Reporting (Arlan,dkk, 2013).
Peneliti telah mewawancarai 10 mahasiswa
DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Sura-
karta dengan mengangkat pertanyaan tentang
rasa tertarik peserta didik terhadap proses Seven
Jump dan pada tahap mana yang dirasa sukar
oleh mahasiswa. Tiga dari 10 orang responden
menyatakan tertarik dengan proses Seven Jump.
Alasannya adalah dalam tahapan seven jump
mahasiswa dituntun untuk menyelesaikan suatu
kasus mulai tahap peratam hingga tahap tujuh se-
cara runtut. 7 dari 10 orang menyatakan kurang
tertarik dengan seven jump, mereka lebih tertarik
untuk kuliah biasa, alasan lainnya adalah pros-
es seven jump membutuhkan waktu yang lama
mulai step 1 hingga step 7. Pada penelitian ini,
peneliti ingin mengetahui pengalaman maha-
siswa DIII Keperawatan menggunakan metode
pembelajaran seven jump di Program Studi DIII
Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengek-
splorasi pengalaman mahasiswa menggunakan
metode pembelajaran seven jump di Program
Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta.
2. PELAKSANAAN
a. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dijadikan tempat penelitian
adalah Program Studi D III Keperawatan
STIKes Kusuma Husada.
b. Populasi dan Sampel Penelitian
Partisipan dalam penelitian ini berjumlah
delapan mahasiswa Tingkat II Prodi D III
125
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surkarta.
3. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian adalah penelitian kualita-
tif dengan desain fenomenologi menggunakan
pendekatan interpretif. Melalui metode kualitatif
peneliti ingin melihat gambaran menyeluruh pen-
galaman mahasiswa menggunakan metode seven
jump dalam proses pembearajan yang berbeda
dan cara partisipan memaknainya.
Data dikumpulkan dengan metode wawan-
cara mendalam semi struktur. Wawancara dilaku-
kan dalam waktu 20-40 menit dan direkam de-
ngan menggunakan Handphone Samsung Galaxy
Note II.
Hasil wawancara kemudian dijabarkan
dalam bentuk verbatim yang kemudian dianali-
sis menggunakan pendekatan Braun and Clarke
(2006). Proses analisa data dengan menggunakan
Braun and Clarke terdiri atas enam tahapan yai-
tu mengenali dan membiasakan diri dengan data,
memunculkan kode awal, mencari tema, me-
ninjau ulang dan menyaring tema, menjelaskan
dan memberi nama tema, terakhir menghasilkan
laporan (producing the report).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian mengungkapkan sembilan
(9) tema yaitu yaitu ciri khas pembelajaran seven
jump, dosen sebagai pendamping, mahasiswa
sebagai pusat pembelajaran, sarana peningkatan
soft skill mahasiswa, hal-hal yang menghambat
seven jump, perbedaan ekspresi mengikuti seven
jump, tidak ada feed back, curah pendapat, dan
harapan dalam pembelajaran seven jump.
Kesembilan tema tersebut dibangun oleh
sub-sub tema dan kategori yang didukung oleh
kutipa dari partisipan. Peneliti menggunkan
pengkodean dalam penyebutan partisipan dengan
“P” dimulai dari “P1” hingga “P8”. Tema-tema
dalam hasil penelitian akan dijabarkan berikut
ini.
Ciri Khas Pembelajaran Seven Jump
Pembelajaran seven jump memiliki ciri khas
yaitu kegiatan berkelompok, adanya kasus pe-
micu, pembagian peran, tujuh tahap pemecahan
masalah, peran aktif peserta didik dan pembela-
jaran mandiri.
“...metode pembelajaran dimana mahasiswa
secara berkelompok…”(P2)
“...diberikan kasus pemicu…” (P3)
Metode The Seven Jump adalah sebuah me-
tode PBL (Programme Based Learning) yang
sangat tepat digunakan untuk pembelajaran un-
tuk menganalisa dan memecahkan sebuah kasus.
Metode ini merupakan langkah yang dinamis te-
tapi tetap memerlukan keseimbangan dan kese-
rasian atau movement control agar tujuan belajar
dapat tercapai (Wagiran, 2007).
Dalam penerapan seven jump, kegiatan dite-
kankan pada suatu metode dimana peserta didik
sejak awal dihadapkan pada suatu masalah (ka-
sus pemicu) yang kemudian diikuti oleh proses
pencarian informasi yang bersifat student-cen-
terde (peserta didik sebagai pusat pembelajaran).
Kasus pemicu merupakan sebuah permasalahan
atau persoalan yang diberikan sesuai topik untuk
merangsang seseorang mengeluarkan pengeta-
huannya. Dalam hal ini, dosen memberikan per-
soalan sesuai dengan topik yang hendak dipelaja-
ri, dan peserta didik diminta untuk memecahkan
persoalan tersebut baik secara kelompok ataupun
individu (Wagiran, 2007).
Dengan pemecahan masalah secara berke-
lompok peserta didik dilatih untuk mengorgan-
isasikan pengetahuan dan kemampuan mereka.
Penting pula agar peserta didik mengungkapkan
apa alasan peserta didik mengerjakan dengan
cara yang dipilihnya (Wagiran, 2007).
Pada kegiatan seven jump biasanya dilaku-
kan secara berkelompok. Hasil penelitian menun-
jukkan hal yang khas lainnya pada pembelajaran
seven jump adalah kegiatan berkelompok. Gam-
baran kegiatan berkelompok ditunjukkan dengan
adanya forum diskusi secara berkelompok. Dis-
kusi adalah sebuah interaksi komunikasi antar
dua orang atau lebih (Arlan, Fitria, dan Rafiyah,
2012).
Ciri khas lain pada pembelajaran seven jump
menurut persepsi peserta didik adalah adanya
pembagian peran. Peserta didik menyebutkan ada
ketua, sekretaris dan anggota dalam kegiatan. Hal
ini tergambar secara teori bahwa dengan adanya
126
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
kelompok, harus ada bagian-bagain dalam ke-
lompok yang amengorganisir kelompok terese-
but. Sehingga kegiatan berjalan dengan lancacr
(Arlan, Fitria, dan Rafiyah, 2012).
Disebut sebagai seven jump, peserta didik
memahami bahwa metode pembelajaran ini me-
miliki tujuh tahapan dalam pemecahan masalah.
Tujuh tahapan itu teridiri atas Clarify Unfamiliar
Terms yaitu Peserta didik mengidentifikasi kata-
kata yang artinya kurang jelas, anggota lainnya
mencoba untuk mendefinisikannya. Pada tahap
ini Peserta didik mengutarakan secara jujur ten-
tang apa yang belum diketahuinya.
Tahap kedua yaitu Define the Problems.
Problem (masalah), bias berupa istilah, fakta,
fenomena, yang oleh grup masih perlu dijelas-
kan (sesi terbuka pada step 1). Tahap ketiga yaitu
Brainstorm Possible Hypothesis or Explanation.
Tahap ketiga ini berisi Peserta didik mencoba
membuat formulasi, berdiskusi tentang berbagai
kemungkinan yang sesuai dengan masalah.
Tahap keempat yaitu Synthesize and Test
Acquired Informations (Reporting Phase). Pada
tahap ini Masing-masing anggota sudah siap
berdiskusi setelah belajar beberapa literatur mau-
pun sumber belajar lainnya. Tujuannya mensin-
tesis apa yang telah dipelajari, kemudian men-
diskusikan kembali. Kelompok membuat analisis
lengkap tentang masalah yang ada dan membuat
laporan tertulis. Bila ada kesulitan yang tidak
bisa terpecahkan dicatat dan ditanyakan dalam
diskusi dengan pakar / narasumber.
Langkah kelima yaitu Implementasi “the
seven jumps”. Kelompok peserta didik terdiri
dari 8-10 orang. Untuk setiap scenario, dipilih
ketua kelompok dan sekretaris. Langkah terakhir
yaitu langkah ke-6 self study atau independent
study dilaksanakan pada hari-hari berikutnya.
Peserta didik membaca skenario secara seksama.
Kelompok dapat mengambil keputusan apakah
pembacaan scenario dilakukan secara tenang
(membaca dalam hati) atau dibaca secara keras
oleh anggota kelompok. Setelah problem dibaca
secara lengkap, maka kelompok peserta didik be-
kerja dengan menggunakan the seven jump seca-
ra berurutan, sampai selesai tujuan belajar.
Ciri khas lain yang didapat dari hasil peneli-
tian yaitu adanya peran aktif peserta didik dalam
pembelajaran seven jump. Partisipan berpendapat
bahwa peserta didik yang paling banyak memi-
liki peran dalam proses pembelajaran menggu-
nakan metode seven jump ini. Peserta didik di-
tuntut untuk aktif dalam setiap tahapan kegiatan.
Dari hasil penelitian, pembelajran mandiri men-
jadi ciri khas lain dari pembelajaran seven jump.
Pembelajaran mandiri dapat dimulai dengan
menganalisa kasus secara mandiri, membuat per-
tanyaan sendiri, mencari jawaban sendiri. Peran
peserta didik dalam pembelajaran mandiri adalah
berperan aktif dalam merencanakan, memantau,
melaksanakan, dan mengevaluasi proses belajar
(Ayu, Adriani, dan Fitri, 2013).
Peran Dosen sebagai Pendamping
Tema kedua yang didapat dalam peng-
alaman peserta didik menggunakan metode seven
jump dalam pembelajaran adalah dosen sebagai
pendamping. Peran dosen sebagai pendamping
dalam kegaiatan seven jump dibuktikan dengan
beberapa pernyataan partisipan yang menunjuk-
kan bahwa dosen mendampingi kegiatan dan me-
lihat kegiatan.
”Emmmm dosen hanya banyak pendam-
pingan,” (P1)
Pendampingan dapat diartikan juga seb-
agai pembinaan dengan mendampingi selama
kegiatan. Model pembelajaran seven jump lebih
berfokus pada aktifitas dan partisipasi peserta
didik dalam proses pembelajaran. Oleh karena
itu, peran dosen sebagai pendidik dalam mo-
del pembelajaran ini tidak dominan menguasai
proses pembelajaran, melainkan lebih berperan
untuk memberikan kemudahan (fasilitator) de-
ngan merangsang peserta didik untuk selalu ak-
tif dalam segi fisik, mental, emosional, sosial
dan sebagainya. Pendidik member kesempatan
kepada peserta didik untuk berinteraksi dengan
materi pembelajaran yang sedang dipelajarinya.
Pendidik bukan menyampaikan materi pembela-
jaran, tetapi bagaimana menciptakan kondisi agar
terjadi proses belajar pada peserta didik sehingga
dapat mempelajari materi pembelajaran sesuai
tujuan yang telah ditetapkan (Muhtadi, 2007).
127
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Peran Peserta didik sebagai Pusat Pem-
belajaran
Sebagai pusat pembelajaran, partisipan ber-
pendapat peserta didik berperan aktif dalam ke-
giatan, peserta didik juga menjadi pusat semua
kegiatan.
“Mahasiswa yang berperan aktif”(P1)
“Mahasiswa semuanya yang melakukan.”
(P2)
Problem based learning (PBL) adalah se-
buah strategi pembelajaran yang berpusat kepada
peserta didik (Student Centerd Learning), dimana
peserta didik dihadapkan pada suatu masalah
dalam kehidupan nyata lalu dari masalah terse-
but peserta didik dirangsang untuk mempelajari
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang
telah mereka punyai sebelumnya (prior know-
ledge) sehingga dari prior knowledge akan ter-
bentuk pengetahuan dan pengalaman baru (Ayu,
Adriani, dan Fitri, 2013).
Dalam konteks PBL pembelajaran dimana
peserta didik menjadi pusat segala aktifitas
adalah hal yang melekat pada proses pembela-
jaran PBL (Harsono, 2008). Pembelajaran yang
berorientasi pada aktivitas peserta didik me-
ngandung pengertian bahwa sistem pembelajaran
menempatkan peserta didik sebagai subyek didik
yang aktif dan telah memiliki kesiapan untuk be-
lajar. Dalam pandangan psikologi modern belajar
bukanlah sekedar menghafalkan sejumlah fakta
atau informasi, akan tetapi merupakan peristiwa
mental dan proses berpengalaman. Oleh karena
itu, setiap peristiwa pembelajaran menuntut ke-
terlibatan intelektual-emosional peserta didik
melalui asimilasi dan akomodasi kognitif untuk
mengembangkan pengetahuan, tindakan serta
pengalaman langsung dalam rangka memben-
tuk keterampilan (kognitif, motorik, dan sosial),
penghayatan serta internalisasi nilai-nilai dalam
pembentukan sikap (Muhtadi, 2007).
Seven Jump sebagai Sarana Peningkatan Soft
Skill Peserta didik
Sebagai sarana peningkatan soft skill, parti-
sipan berpendapat bahwa pembelajaran ini dapat
meningkatkan percaya diri peserta didik, peserta
didik berani berpendapat, mandiri dan berpikir
kritis.
Soft skill adalah seperangkat kemampuan
yang mempengaruhi cara kita berinteraksi den-
gan orang lain. Soft skill memuat komunikasi
efektif, berpikir kreatif dan kritis, membangun
tim, serta kemampuan lainnya yang terkait kapa-
sitas kepribadian individu. Soft skill merupakan
kemampuan yang tidak tampak dan seringkali
berhubungan dengan emosi manusia. Soft skill
lebih didominasi oleh komponen kepribadian in-
dividu (Jogja, Prasetya, Karnowahadi, Haribowo,
2013).
Partisipan menyebutkan bahwa manfaat dari
seven jump adalah peserta didik menjadi percaya
diri di depan orang banyak. Percaya diri meru-
pakan bentuk meyakinkan pada kemampuan dan
penilaian (judgment) diri sendiri dalam melaku-
kan tugas dan memilih pendekatan yang efektif
(Jogja, Prasetya, Karnowahadi, Haribowo, 2013).
Selain membaut peserta didik lebih percaya
diri, seven jump juga membantu peserta didik be-
rani berpendapat. Berpendapat adalah mengung-
kapkan pendapat atau berbicara menyampaikan
pemikiran yang dimiliki secara bebas tanpa ada
batasan. Kata berani memiliki arti adanya sifat
hati yang mantap dan rasa percaya diri yang be-
sar dalam menghadapi sesuatu. Secara keseluru-
han berani berpendapat mengisyaratkan adanya
sifat hati yang mantap dan percaya diri untuk
mengungkapkan pemikiran yang dimiliki secara
bebas. Seven jump menjadi wadah peserta didik
untuk mengembangkan keberanian berpendapat
(Jogja, Prasetya, Karnowahadi, Haribowo, 2013).
Salah satu manfaat lain yaitu peserta di-
dik dapat mandiri dalam proses pembelajaran.
Mandiri adalah keadaan dapat berdiri sendiri,
tidak bergantung pada orang lain. Dalam seven
jump, peserta didik dituntut untuk secara mandiri
memahami tujuan pembelajaran secara mandiri
pada tahap-tahap pemecahan masalah. Belajar
mandiri sangat dibutuhkan oleh peserta didik se-
bagai peserta didik terutama sebagai peserta di-
dik keperawatan dengan majunya teknologi dan
banyaknya sumber belajar yang tersedia seperti
internet (Ayu, Adriani, Fitri, 2013). Selain itu
dengan kemandirian yang dimiliki, dapat mendo-
rong peserta didik untuk lebih aktif nantinya me-
madukan keterampilan dan berpikir kritis mema-
128
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
hami permasalahan yang ada pada pasien sebagai
individu, keluarga dan masyarakat.
Partisipan menyebutkan dalam penelitian
bahwa pola berpikir kritis peserta didik dapat
meningkat melalui pembelajaran seven jump. Ke-
mampuan berpikir merupakan kegiatan penalaran
yang reflektif, kritis, dan kreatif, yang berorienta-
si pada suatu proses intelektual yang melibatkan
pembentukan konsep, aplikasi, analisis, menilai
informasi yang terkumpul atau dihasilkan melalu
pengamatan dan pengalaman sebagai landasan
suatu keyakinan akan sebuah tindakan.
Hal-hal yang Menghambat Seven Jump
Terdapat lima hal yang diungkapkan oleh
partisipan dapat menghambat seven jump yaitu
waktu yang lama, keaktifan peserta didik, diskusi
tidak sesuai topik, kurangnya pemahaman, dan
kurangnya sosialisasi.
“...menyita banyak waktu dan dalam pembe-
lajaran itu di setiap langkah-langkahnya…”
(P2)
Masalah waktu menjadi hal yang dikeluhkan
oleh partisipan. Partisipan menyebutkan, pembe-
lajaran menggunakan metode seven jump cend-
erung memakan waktu lebih lama dibandingkan
dengan pembelajaran klasikal biasa. Penelitian
serupa pernah didapatkan oleh Arlan dkk (2012),
dalam penelitiannya mendapatkan bahwa waktu
yang lama dalam pembelajaran seven jump men-
jadi keluhan yang umum dirasakan peserta didik.
Hal ini menyebabkan peserta didik terikadang
kurang tertarik dan bosan mengikuti kegiatan
seven jump.
Tiga partisipan menyebutkan hal yang men-
jadi hambatan lain dalam proses pembelajaran
seven jump adalah keaktifan peserta didik yang
berbeda-beda. Ada peserta didik yang aktif dan
ada peserta didik yang kurang aktif.
“...mahasiswa dalam kelompok besar tidak
semua mahasiswa mengajukan pertanyaan
dan dalam pelaksanaan nya.”(P3)
Secondira dkk (2009) menyebutkan dalam
penelitiannya, faktor-faktor yang mempengaruhi
peserta didik melakukan kegiatan pembelajaran
salah satunya adalah faktor peserta didik yaitu
motivasi intrinsic peserta didik dalam belajar.
Salah satu contoh faktor intrinsik adalah kemau-
an peserta didik untuk mencari tahu, mendapat-
kan informasi dan pengetahuan yang relevan
yang baik sehingga akan muncul keaktifan.
Kendala lain yang dihadapi adalah jalan-
nya diskusi yang tidak sesuai karena beberapa
pertanyaan diskusi tidak sesuai topik. Sesuatu
hal yang kurang atau tidak dipahami dengan
baik akan memberikan hambatan dalam setiap
kegiatan atau kondisi. Hasil kesimpulan yang
diungkapkan partisipan, salah satu poin penting
yang menghambat berjalannya metode seven
jump adalah kurangnya pemahaman peserta didik
mengenai cara pelaksanaan seven jump itu sen-
diri dan proses yang mereka lalui.
“...dosen tidak langsung memberitahu
bagaimana contoh yang benar dan nanti ha-
rus direvisi lagi.”(P4)
Hal akhir yang menjadi kendala menu-
rut partisipan adalah kurangnya sosialisasi dari
dosen terkait tahapan-tahapan metode seven
jump yang benar.
Perbedaan Ekspresi Mengikuti Seven Jump
Tema ke enam yang kemudian didapatkan
dalam penelitian ini adalah ditemukan adanya
perbedaan ekspresi peserta didik mengikuti
seven jump. Beberapa partisipan mengungkap-
kan ekspresi kejenuhan, dan partisipan lainnya
menunjukkan ekspresi senang dalam mengikuti
metode seven jump. Partisipan juga menyebutkan
bahwa ternyata metode seven jump yang telah di-
laksanakan dirasakan tidak efektif.
“...Malah cenderung bosan karna waktunya
lama. Mahasiswa jadi kadang mulai tidak
fokus.” (P2)
Ekspresi kejenuhan yang muncul pada
pengalaman peserta didik ditunjukkan dengan
perasaan bosan selama mengikuti kegiatan seven
jump. Hal ini dapat terjadi karena lamanya waktu
yang digunakan untuk melaksanakan seven jump.
Perbedaan ekspresi ditunjukkan oleh salah
satu partisipan yang menyebutkan menyukai
kegiatan seven jump ini. Perbedaan ekspresi ini
dapat terjadi karena adanya perbedaan karakter
individu. Individu yang aktif dan suka dengan
tantangan akan lebih semangat dan menikmati
129
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
proses pembelajaran dengan seven jump, seba-
liknya individu yang kurang aktif akan jenuh dan
bosan dengan seven jump. Individu yang kurang
aktif cenderung belum mendapatkan manfaat
dari proses seven jump sehingga merasa kegiatan
yang dilakukan kurang efektif.
Pengalaman Menarik dalam Seven Jump
Pengalaman menarik yang ditemui partisi-
pan yaitu tidak ada feedback dari dosen setelah
proses pembelajaran dengan seven jump. Be-
berapa partisipan menyebutkan selama kegiatan
seven jump tidak ada pembahasan dari dosen.
Pengalaman ini menjadi menarik karena pengala-
man pertama bagi mereka mengikuti metode baru
dalam pembelajaran dan belum ada feedback
yang mereka dapatkan dari dosen.
Pengalaman menarik lainnya yang mereka
dapatkan adalah adanya curah pendapat selama
kegiatan. Curah pendapat merupakan merupakan
kegiatan yang dilakukan bersama untuk men-
cari pemecahan permasalahan. Di dalam curah
pendapat terdapat diskusi dan debat dimana satu
sama lain mengajukan pertanyaan dan pernyata-
an untuk menemukan solusi dari permasalahan.
Dalam curah pendapat ini, mahasiswa dituntut
untuk aktif diskusi mengajukan pertanyaan. Na-
mun dalam kegiatan ini juga dibutuhkan peran
dosen, yaitu: memberikan kesempatan kepada
setiap peserta/mahasiswa untuk memunculkan
gagasan, menghentikan kecenderungan spontan
peserta untuk langsung memberikan komentar
atau evaluasi dan memberikan bimbingan ke-
pada mahasiswa dalam mengelompokkan gaga-
san yang telah terkumpul (Masyitoh, Darmawan,
Syaifullah, 2010)
Debat merupakan kegiatan adu argumentasi,
pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai
suatu hal dan saling member alasan untuk mem-
pertahankan pendapat masing-masing.
Harapan dalam Pembelajaran Seven Jump
Setelah melampaui kegiatan seven jump
sebagai proses pembelajaran, hasil wawancara
mendapatkan harapan dalam pembelajaran sev-
en jump dari partisipan guna perbaiakan proses
pembelajaran berikutnya. Salah satu partisipan
menyebutkan harapannya seven jump ditiadakan
karena dianggap tidak efektif dan peserta didik
yang aktif hanya beberapa. Dari cuplikan juga
disebutkan waktu lama dan saran dari saja lebih
baik diskusi di kelas besar karena lebih efektif,
banyak pertanyaan yang sesuai dengan pemba-
hasan yang dosen berikan dan dosen menjelaskan
secara runtut dan jelas.
Penelitian yang dilakukan oleh Arlan dkk
(2012) menunjukkan bahwa mahasiswa cender-
ung lebih menyukai metode pembelajaran seven
jump yang dikombinasi dengan metode konven-
sional sebelumnya. Mahasiswa yang kurang aktif
cenderung lebih menyukai metode konvensional
dimana dosen menjelaskan dan memberikan ma-
teri di dalam kelas dan mahasiswa hanya men-
dengarkan.
Harapan lain diungkapkan oleh salah satu
partisipan adalah adanya seosialisasi sebelumnya.
Sosialisasi mengenai seven jump dapat diberikan
melalui penjelasan dan contoh dari tahapan keg-
iatan seven jump. Sosialisasi atau penjelasan se-
belumnya yang diberikan dengan jelas memban-
tu mahasiswa untuk memahami dan menguasai
langkah-langkah yang harus dilakukan.
Selain itu, harapan lain adalah mengenai
pembagian kelompok dalam kegiatan. Kelompok
dalam jumlah kecil menjadi harapan partisipan
sebagai peserta didik yang menjalankan metode
seven jump. Pembagian kelompok yang jumlahn-
ya besar yaitu lima belas hingga 20 orang dirasa
kurang efektif oleh partisipan.
Implikasi Keperawatan
Penelitian ini diharapkan menjadi masukan
dan dasar bagi institusi keperawatan dalam me-
nyusun metode pembeljaran yang tepat bagai
mahasiswa dengan memperhatikan sumber daya
mahasiswa yang ada, perbedaan karakteristik ma-
hasiswa, staf pengajar yang mumpuni dan daya
dukung fasilitas pembelajaran yang lengkap.
Hal ini akan sangat berdampak baik bagi dalam
mencetak profesi keperawatan yang berkualitas.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
a. Kesimpulan
Sembilan tema yang berkaitan dengan pen-
galaman mahasiswa Prodi D III Keperawatan
dalam menggunakan metode seven jump
adalah ciri khas pembelajaran seven jump,
130
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
dosen sebagai pendamping, mahasiswa se-
bagai pusat pembelajaran, sarana peningkat-
an soft skill mahasiswa, hal-hal yang meng-
hambat seven jump, perbedaan ekspresi
mengikuti seven jump, tidak ada feed back,
curah pendapat, dan harapan dalam pembe-
lajaran seven jump yang dikombinasi dengan
metode konvensional. Ditemukan adanya
perbedaan pengalaman dari masing-masing
mahasiswa berkaitan dengan karakteristik
mahasiswa yang berbeda.
b. Saran
Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi
pertimbangan untuk memperbaiki metode
pembelajaran yang diberikan kepada ma-
hasiswa. Selain itu juga dilakukan pene-
litian lanjutan untuk dapat memperdalam
dan mengembangkannya dalam grounded
teory dan mengikuti kegiatan seven jump
yang berlangsung agar dapat mengobservasi
jalannya kegiatan sebagai referensi pengelo-
laan hasil penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Alimul A. (2003) Riset Keperawatan dan teknik
penulisan ilmiah. Jakarta: Salemba Medika.
Arlan, A. J., Fitria, N., dan Rafiyas, I. (2012).
Intensi Melaksanakan Self Study (Seven
Jump: Setp 6) Dalam Small Group Discus-
sion (SGD) Pada Mahasiswa Angkatan 2011
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas
Padjajaran. Univeristas Padjajaran Band-
ung. Fakultas Ilmu Keperawatan.
Ayu, N.F., Adriani, dan Fitri, D. (2013). Pelaksa-
naan Pembelajaran Mandiri Menurut Per-
sepsi Mahasiswa Angkatan 2012 di PSPD,
FKIK UNJA. Fakultas Kedokteran. Univer-
sitas Jambi.
Jogja T.J.B., Prasetya B., Karnowahadi, Hari-
bowo P. (2013). Model pengembangan soft
skill terintegrasi pada kurikulum berbasis
kompetensi bagi mahasiswa politeknik ne-
geri semarang. Jurnal Pengembangan Hu-
maniora. 13(2).
Kasinyo Hartato dan Abduramansyah (2009).
Metodologi Pembelajaran Berbasis Active
Learnin, Palembang : Grafika Telindo.
Machfoedz, Ircham. (2005). Metodologi Peneli-
tian Bidang Kesehatan, Keperawatan & Ke- bidanan. Yogyakarta: Fitriyama.
Masyitoh I.S., Darmawan S., Syaifullah. (2010).
Model pembelajaran curah pendapat untuk
meningkatkan partisipasi dan keterampilan
sosial mahasiswa. Proceeding of The 4th In-
ternational Confrence on Teacher Educa-
tion; Join Confrence UPI & UPSI Bandung
Indonesia, 8-10 November 2010.
Muhtadi Ali. (2007). Implementasi Konsep Pem-
belajaran “Active Learning” Sebagai Upaya
Untuk Meningkatkan Keaktifan Mahasiswa
Dalam Perkualiahan. Teknologi Pendidikan
FIP UNY.
Nurohman, Sabar. (2000). Penerapan Seven
Jump Method (SJM) Sebagai Upaya Pening-
katan Keterampilan Proses Sains Mahasis-
wa.
Secondira, V.M.R, Rahayu, G.R., Suhoyo, Y.
(2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi
mahasiswa fakultas kedokteran UGM un-
tuk melaksanakan pembejalajran yang kon-
struktif, mandiri, kolaboratif dan kontekstual
dalam problem based learning. Jurnal Pen-
didikan Kedokteran dan Profesi Kedokteran
Indonesia. 1(4): 32-43.
-oo0oo-
131
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
HUBUNGAN ANTARA LINGKUNGAN KERJA DAN
KESADARAN INDIVIDU DENGAN PENERAPAN
PATIENT SAFETY DI RSUD KABUPATEN
SUKOHARJO
Meri Oktariani1) , Atiek Murharyati 2)
1Prodi D-III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
2Prodi D-III Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
ABSTRAK
Permasalahan penelitian merujuk pada fenomena data pada RSUD Kabupaten Sukoharjo menunjukkan
rata-rata penerapan patient safety masih kurang baik. Penelitian bertujuan untuk mengetahui sejauhmana
hubungan antara lingkungan kerja dan kesadaran individu dengan penerapan patient safety oleh perawat
pelaksana di RSUD Kabupaten Sukoharjo. Metode penelitian merupakan penelitian kuantitatif dengan
metode sampel yang digunakan yaitu total sampling menggunakan 104 responden dan keseluruhan
responden merupakan perawat pelaksana di ruang rawat inap RSUD Kabupaten Sukoharjo. Analisis
data menggunakan metode bivariat chi-square dilanjutkan metode multivariat dan regresi logistik. Hasil
penelitian menunjukkan ada hubungan faktor lingkungan kerja terhadap penerapan patient safety oleh
perawat, ada hubungan faktor kesadaran individu terhadap patient safety oleh perawat. Ada hubungan
secara bersama-sama antara faktor lingkungan kerja dan faktor kesadaran individu terhadap penerapan
patient safety oleh perawat pelaksana. Saran untuk meningkatkan penerapan patient safety, perlu
dilakukan usaha untuk menciptakan lingkungan kerja dan meningkatkan kesadaran individu secara
bersama-sama.
Kata Kunci: lingkungan kerja, kesadaran individu, penerapan patient safety.
ABSTRACT
Research problems refer to the data phenomenon in RSUD Kabupaten Sukoharjo which is the average
of patient safety application still unfavorable. This research is aimed to know how far the correlation
between work environments and individual awareness to the application of patient safety by nurses
in RSUD Kabupaten Sukoharjo. This research is a quantitative research with sampling method that
applied is total sampling and 104 responders and all of the responders are the nurses in the inpatient
ward of RSUD Kabupaten Sukoharjo. Data was analyzed by using logistics regression method. Result
of the research shows that there is the correlation between work environmental factor to the application
of patient safety by nurses, and also there is the corrrelation between individual awareness factor to
patient safety by nurses. There is relationship jointly between individual work environmental factor and
individual awareness factor to the application of patient safety by nurses. To raise the application of
patient safety, need efforts to optimize the work environment and increase individual awareness jointly.
Keywords: work environments, individual awareness, application of patient safety.
132
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
1. PENDAHULUAN
Keselamatan pasien adalah sistem pe-
layanan dalam suatu rumah sakit yang mem-
berikan asuhan pasien menjadi lebih aman, ter-
masuk didalamnya mengukur risiko, identifikasi
dan pengelolaan risiko terhadap pasien, analisa
insiden, kemampuan untuk belajar & meninda-
klanjuti insiden serta menerapkan solusi untuk
mengurangi risiko. Insiden keselamatan pasien
yang selanjutnya disebut insiden adalah setiap
kejadian yang tidak disengaja dan kondisi yang
mengakibatkan atau berpotensi mengakibatkan
cedera yang dapat dicegah pada pasien, terdiri
dari Kejadian Tidak Diharapkan (KTD), Kejadi-
an Nyaris Cedera (KNC), Kejadian Tidak Cedera
(KTC) dan Kejadian Potensial Cedera (KPC)
(Depkes RI, 2008).
Sasaran Keselamatan Pasien merupakan
syarat untuk diterapkan di semua rumah sakit
yang diakreditasi oleh Komisi Akreditasi Rumah
Sakit. Penyusunan sasaran ini mengacu kepada
Nine Life-Saving Patient Safety Solutions dari
WHO Patient Safety (2007) yang digunakan juga
oleh Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit
PERSI (KKPRS PERSI), dan dari Joint Commis-
sion International (JCI). Maksud dari Sasaran
Keselamatan Pasien adalah mendorong perbai-
kan spesifik dalam keselamatan pasien. Sasaran
menyoroti bagian-bagian yang bermasalah dalam
pelayanan kesehatan dan menjelaskan bukti serta
solusi dari konsensus berbasis bukti dan keahlian
atas permasalahan ini (Anonim, 2011).
Enam sasaran keselamatan pasien adalah
tercapainya hal-hal sebagai berikut: (1) ketepa-
tan identifikasi, (2) peningkatan komunikasi yang
efektif, (3) peningkatan keamanan obat yang per-
lu diwaspadai, (4) kepastian tepat lokasi, tepat
prosedur, tepat pasien operasi, (5) pengurangan
resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan, (6)
pengurangan resiko pasien jatuh. Enam sasaran
tersebut diatas dapat dijadikan pedoman oleh
tiap-tiap rumah sakit untuk menerapkan patient
safety.
Penerapan program keselamatan pasien
merupakan hal yang sangat kompleks dan ter-
gantung oleh banyak faktor yang berkontribusi.
Menurut Cahyono hambatan yang paling be-
rat dalam penerapan keselamatan pasien adalah
bagaimana menciptakan Safety Culture sebagai
fondasi program keselamatan pasien (Cahyono,
2008). Selain kompleksitas yang terjadi dalam
suatu organisasi rumah sakit. Vincent menyatakan
penerapan keselamatan pasien dipengaruhi oleh
5 faktor yaitu (1) faktor komitmen pimpinan, (2)
faktor lingkungan kerja (3) faktor kesadaran in-
dividu. (4) faktor kerjasama tim/ teamwork (5)
faktor task, dan (6) faktor pasien (Vincent, 2003).
Tujuan penelitian untuk mengetahui fak-
tor-faktor yang berhubungan dengan penerapan
patient safety oleh perawat pelaksana di ruang
rawat inap RSUD Kabupaten Sukoharjo.
2. PELAKSANAAN
a. Lokasi dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian adalah 9 ruang rawat inap
di RS Kabupaten Sukoharjo yang meliputi
ruang Anggrek, ruang Bougenvile, ruang
Cempaka Atas, ruang Cempaka Bawah, ru-
ang NICU, ruang Dahlia, ruang Edelweis,
ruang Flamboyan, ruang Mawar. Penelitian
dilaksanakan pada bulan Juni - Juli tahun
2013.
b. Populasi dan sampel penelitian
Populasi penelitian ini adalah seluruh per-
awat ruangan yang bekerja di ruang rawat
inap rumah sakit daerah Sukoharjo. Populasi
sampel adalah bagian populasi yang dapat
dijadikan responden oleh peneliti. Populasi
sampel pada penelitian ini berjumlah 106
orang.
Pengambilan sampel penelitian ini adalah
total perawat pelaksana yang bertugas di ruang
rawat inap RSUD kabupaten Sukoharjo ditentu-
kan. Selain itu berdasarkan kriteria inklusi dan
eksklusi. Kriteria Inklusi meliputi mau menjadi
responden, masa kerja minimal 1 tahun dan pen-
didikan minimal DIII keperawatan. Sedangkan
kriteria eksklusi meliputi perawat yan sedang cuti
dan sedang melakukan tugas belajar.
Total seluruh perawat pelaksana di Ruang
rawat Inap RSUD Kabupaten Sukoharjo berjum-
lah 106 perawat. Untuk sampel pada penelitian ini
menggunakan total semua perawat pelaksana dan
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga
jumlah total sampel yaitu 104 perawat dimana 2
perawat pelaksana sedang mengambil cuti.
133
Tidak 27 17 44 rail atau pegangan pada kedua sisi tempat tidur. Baik 61,4% 38,6% 100% Keadaaan lingkungan kerja yang seperti ini su-
Baik 23 37 60 dah pasti kurang mendukung bagi perawat untuk
Tidak 31 17 48 Baik 64,6% 35,4% 100%
Baik 19 37 56
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
3. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian
dengan pendekatan kuantitatif analisis korelasi
dan desain cross sectional. Penelitian analitik ko-
relasi digunakan karena peneliti ingin mendapat-
kan gambaran masing-masing variabel penelitian
dan menghubungkan dua variabel dan subvaria-
bel masing-masing variabel dengan analisis ko-
relasi serta dengan melakukan penelitian sesaat
pada waktu tertentu saja (Sastroasmoro dan Is-
mail,2008)
Variabel bebas (independen) adalah ling-
kungan kerja dan kesadaran individu. Variabel
tergantung (dependen) adalah penerapan patient
safety.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
Lingkungan Kerja
Tabel 1. Hubungan faktor lingkungan kerja
dengan penerapan patient safety di Ruang
Rawat Inap RSUD Kabupaten Sukoharjo
Penerapan
Patient safety Total
Penjelasan tersebut diatas didukung oleh Handi-
yani, dalam penelitiannya menyatakan bahwa
terdapat hubungan antara lingkungan kerja de-
ngan kinerja perawat pelaksana di ruang rawat
inap RSKM Cilegon (Capezuti et al, 2010).
Akan tetapi penulis menemukan fakta yang
berbeda di lapangan, penulis menemukan dari
hasil wawancara mendalam dengan kepala ruang
bahwa lingkungan kerja belum sepenuhnya men-
dukung terhadap penerapan patient safety dengan
ditemukannya jalan utama untuk proses transfer
pasien masih rawan sebagai penyebab pasien
jatuh. Hal ini masih ada kendala dengan pihak
rumah sakit sudah berusaha memenuhi kebutuh-
an akan lingkungan kerja yang berorientasi ter-
hadap penerapan patient safety tetapi prosesnya
tidak bisa berjalan cepat perlu waktu dan dana
yang memadai.
Dari hasil observasi, penulis menemukan
bahwa masih kurangnya fasilitas fisik yang ber-
orientasi kepada pelayanan patient safety. Ruang
kamar mandi di tiap ruang rawat inap belum ter-
dapat belum terdapat besi pengaman sebagai alat
yang membantu pasien saat akan ke kamar mandi Tidak Baik , lantai kamar mandi licin, dari 200 tempat tidur
Baik
Faktor
lingkungan
kerja 38,3% 61,7% 100%
50 54 104
terdapat 20 tempat tidur yang belum terdapat side
memberikan pelayanan keperawatan maksimal
dan aman bagi pasien. Total
48,1% 51,9% 100%
x² = 4,510 p value = 0,034 (p value < 0,05)
Berdasarkan hasil uji Chi Square analisis bi-
variat hubungan faktor lingkungan kerja dengan
penerapan patient safety oleh perawat pelaksana,
Kesadaran Individu
Tabel 2. Tabel hubungan antara faktor
kesadaran individu dengan penerapan patient
safety oleh perawat pelaksana di Ruang Rawat
Inap RSUD Kabupaten Sukoharjo diperoleh x² = 4,510 dengan p value = 0,034 (p value < 0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima.
Hasil ini memiliki makna bahwa ada hubungan
Penerapan
Patient safety Total
yang signifikan antara lingkungan kerja dengan Tidak Baik
diruang rawat inap RSUD Kabupaten Sukoharjo.
Berdasarkan uji Chi square menunjukan
ada hubungan antara persepsi faktor lingkungan
kerja dengan penerapan patient safety di ruang
rawat inap RSUD Kabupaten Sukoharjo. Hasil
penelitian ini sesuai dengan teori sebelumnya, di
dalam teori menunjukkan bahwa lingungan kerja
berhubungan dengan penerapan patient safety.
Baik Faktor
kesadaran
individu 33,9% 66,1% 100%
50 54 104 Total
48,1% 51,9% 100%
x² = 8,540 p value = 0,003 (p value < 0,05)
134
Lingkungan
kerja 1,07 0,44 5,95 1 0,015 2,903
Faktor
kesadaran
1.38
0,43
10,05 1
0,002
3,922
individu
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Berdasarkan uji Chi Square analisis bivariat
Hubungan faktor kesadaran individu dengan
penerapan patient safety oleh perawat pelaksana
di Ruang Rawat Inap RSUD Kabupaten Sukohar-
jo diperoleh x² = 8,540 dengan p value = 0,003 (p
value < 0,05) maka Ho ditolak dan Ha diterima.
Hasil ini memiliki makna bahwa ada hubungan
yang signifikan antara kesadaran individu den-
gan penerapan patient safety di ruang rawat inap
RSUD Kabupaten Sukoharjo.
Berdasarkan uji Chi square menunjukan
ada hubungan antara persepsi kesadaran individu
dengan penerapan patient safety di ruang rawat
inap RSUD Kabupaten Sukoharjo. Hasil peneli-
tian ini sesuai dengan teori sebelumnya, di dalam
teori menunjukkan bahwa kesadaran individu
berhubungan dengan penerapan patient safety.
Penjelasan tersebut diatas didukung oleh peneli-
tian Setiowati, dalam penelitiannya menyatakan
bahwa terdapat hubungan antara kesadaran indi-
vidu dengan kinerja perawat pelaksana di ruang
rawat inap di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta (Marpaung, 2005).
Tetapi hal diatas sangat bertolak belakang
dengan fakta yang terdapat di lapangan dari ha-
sil observasi ditemukan bahwa terdapat perawat
pelaksana di ruangannya tidak patuh terhadap
penggunaan alat proteksi diri, ada perawat pelak-
sana di ruangannya tidak cuci tangan dengan
benar, hampir semua perawat di ruangannya ti-
dak mensosialisasikan cara cuci tangan yang
benar kepada pasien dan keluarga
Tabel 3. Tabel hasil analisa multivariat
menggunakan regresi logistik metode Backward
Wald
Variabel
Independen B SE Wald Df P Exp B
Faktor
Konstan -1,17 0,37 10,14 1 0,001 0,312
Dari analisa multivariat p variabel bebas
faktor lingkungan kerja adalah 0,015 (p value ≤
0,05), dan p value variabel bebas faktor kesadar-
an individu adalah 0,002 (p value ≤ 0,05), maka
dapat disimpulkan lingkungan kerja dan kesadar-
an individu berpengaruh secara bersama-sama
terhadap variabel terikat dengan nilai Exp(B)
masing-masing 2,903 dan 3,922. Dari hasil terse-
but dapat dianalisa sebagai berikut:
1) Perawat yang memiliki lingkungan kerja
tidak baik memiliki resiko untuk menerap-
kan patient safety tidak baik 2,903 kali lebih
besar dibanding yang memiliki lingkungan
kerja baik.
2) Perawat yang memiliki kesadaran individu
tidak baik memiliki resiko untuk menerap-
kan patient safety tidak baik 3,922 kali lebih
besar dibanding yang memiliki kesadaran in-
dividu baik.
Keterbatasan Penelitian
Keterbatasan paling pokok penelitian ini
terletak pada instrumen pengumpulan data atau
disebut dengan skala. Skala yang digunakan
dalam mengukur variabel penelitian belum stan-
dar/ baku dan belum teruji keandalanya berka-
li-kali sehingga memiliki kecenderungan bias
mengungkap apa yang sebenarnya ingin diung-
kap. Skala penelitian disusun oleh peneliti sen-
diri berdasarkan tinjauan pustaka/ teori yang ada
dengan cara mengoperasionalkan variabel/ kon-
struk variabel melalui item-item pertanyaan. Se-
dangkan upaya untuk meminimalkan bias dalam
konstruksi instrumen tersebut dilakukan dengan
prosedur uji validitas dan reliabilitas.
Kelemahan lain dalam penelitian ini adalah
hanya mengukur sampai pada persepsi perawat
saja, sehingga terkadang ada persepsi perawat
yang tidak sesuai dengan realita. Hal tersebut
dapat penulis ketahui dengan melakukan wawan-
cara dengan kepala ruang dan melakukan obser-
vasi langsung pada semua ruang rawat inap.
5. KESIMPULAN
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan
dapat diambil kesimpulan
a. Perawat pelaksana yang mempunyai persep-
si tentang komitmen pimpinan, lingkungan
kerja, kerjasama tim, kesadaran individu,
hanya sebagian kecil yang kurang setuju.
135
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Disamping itu baik pada komitmen pimpi-
nan (52,9%), lingkungan kerja (57,7%),
kerjasama tim (58,7%), akan kesadaran in-
dividu (53,8%) serta penerapan program pa-
tient safety oleh perawat pelaksana di Ruang
Rawat RSUD Kabupaten Sukoharjo cukup
baik (51,9%).
b. Terdapat hubungan antara faktor lingkun-
gan kerja dengan penerapan patient safety
oleh perawat pelaksana di Ruang Rawat
Inap RSUD Kabupaten Sukoharjo (p value
0,034).
c. Terdapat hubungan antara faktor kesadaran
individu dengan penerapan program patient
safety oleh perawat pelaksana di Ruang
Rawat Inap RSUD Kabupaten Sukoharjo
(p value 0,002). Faktor lingkungan kerja
dan kesadaran individu berhubungan secara
bersama-sama dengan variabel terikat yaitu
penerapan patient safety.
6. REFERENSI
Anonim, 2011. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No 1691 Tentang Kes-
elamatan Pasien tahun 2011.
Cahyono, S.B, 2008. Membangun Budaya Kes-
elamatan Pasien dalam Praktik Kedokteran.
Yogyakarta. Kanisius.
Capezuti, E., Rice, J.C & Wagner, 2010 Nursing
perception of safety culture in long-term set-
ting. Journal of Nursing Scholarship. 2 (41),
184-289. Maret 15, 2010. http:/av.proquest.
com/pgdauto
Depkes RI, 2008. Panduan Nasional Kese-
lamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safe-
ty): Utamakan Keselamatan Pasien. Edisi 2.
Jakarta: Depkes RI. 2008
Marpaung, J. 2005 Persepsi Perawat Pelak-
sana Tentang Kepemimpinan Efektf Kepala
Ruang dan Hubungannva Dengan Budaya
Kerja Perawat Pelaksana Dalam Pengenda-
lian Mutu Pelayanan Keperawatan di Ruang
Rawat Inap RSUP Adam Malik Medan. FIK
UI.
Sastroasmoro. S & Ismail, S. 2008. Dasar-dasar
Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ketiga.
Jakarta: Sagung Seto.
Vincent, C., 2003. Understanding and Respond-
ing to Adverse Event. N Eng J Med 2003;
348: 1051-56
Walshe. K & Boaden. R, 2006. Patient safety:
Research into practice. New York: Open
University Press.
-oo0oo-
136
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
FILOSOFI
Jurnal Kesehatan Kusuma Husada disingkat Jurnal KesMaDaSka adalah jurnal ilmiah yang
diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKes) Kusuma Husada Surakarta merupakan pu-
blikasi ilmiah ilmu-ilmu kesehatan. Artikel yang dimuat berupa : artikel penelitian (hasil penelitian asli),
kajian kepustakaan maupun ulasan ilmiah lain, yang belum pernah dimuat di media lain.
PEDOMAN
1. Redaksi menerima naskah dari peneliti dan pemerhati ilmu-ilmu kesehatan.
2. Naskah dikirim kepada :
Redaksi Jurnal Kesehatan Kusuma Husada, STIKes Kusuma Husada Surakarta
Jl. Jaya Wijaya No. 11 Surakarta 57127, Telpon / Fax (0271) 857724
Email : [email protected]
3. Naskah dikirim rangkap dua, disertai soft file dalam rekaman CD dan diketik dalam program Micro-
soft Word.
Ditulis spasi tunggal, font size 11, huruf Times New Roman, maksimal 20 halaman ukuran A4
(kuarto), Gambar / grafik dicetak dengan program pengolahan data yang kompatibel. Gambar,
ilustrasi dan foto dimasukkan dalam file naskah.
FORMAT PENULISAN
Sistematika artikel Hasil Penelitian adalah : Judul, Nama dan Instansi (para) Penulis, Abstrak,
Pendahuluan, Metodologi (Bahan dan Cara Penelitian), Hasil dan Pembahasan, Kesimpulan, Ucapan
Terima Kasih (bila ada) dan Daftar Pustaka. Sedangkan artikel berupa Kajian Kepustakaan atau Ulasan
Ilmiah lain, sistematikanya adalah : Judul, Nama dan Instansi (para) Penulis, Ringkasan, Pendahuluan,
Bab Bagian yang diulas, Kesimpulan dan Daftar Pustaka.
Judul
Ditulis dalam bahasa Indonesia, singkat dan jelas.
Nama dan Instansi (para) Penulis
Ditulis dengan gelar akademik instansi ditulis di bawah nama dengan cara diberi superskrip 1), 2), 3)
dan seterusnya.
Abstrak dan Ringkasan
Ditulis dalam bahasa Indonesai dan atau bahasa Inggris, lebih – kurang 300 kata, berisi tentang highlight
hasil penelitian yang menonjol dan terkait dengan judul artikel. Kajian kepustakaan / ulasan ilmiah lain
mengikuti.
Pendahuluan
Berisi latar belakangan dan rumusan masalah, sitasi kepustakaan, tujuan dan manfaat, kontribusi hasil.
Metodologi
Berisi tentang waktu dan tempat penelitian, jenis dan teknis pengambilan data, hipotesis (bila ada),
teknik analisis dan interpretasi data.
137
Jurnal KesMaDaSka - Juli 2015
Hasil dan Pembahasan
Judul Tabel maupun Gambar / grafik / ilustrasi, diberi nomor dan diawali huruf besar selanjutnya huruf
kecil. Bila ada foto (hitam putih), harus dicetak pada kertas putih mengkilat dan disertai keterangan.
Dalam membahas hasil penelitian, sebaiknya diikuti tinjauan pustaka yang terkait.
Simpulan (dan saran)
Penarikan kesimpulan didasari dari hasil yang diperoleh dengan mengacu kepada judul penelitian, dapat
dikemukakan saran yang terkait.
Ucapan Terima Kasih (bila ada)
Dapat ditulis nama perseorangan atau instansi yang banyak membantu dalam pelaksanaan penelitian.
Daftar Pustaka
Disusun berdasarkan abjad nama akhir penulis utama, judul karangan buku ditulis dengan huruf besar
pada setiap awal kata yang bukan kata sambung, sedangkan untuk jurnal hanya awal kata saja.
Contoh bila kepustakaan diambil dari jurnal ilmiah :
Pippen, E.L. dan E.P. Mecchi, 1969. Hydrogen sulfide, a direct and potencially indirect contributor to
cook chicken aroma. J.Food Science, 34 : 443.
Contoh bila kepustakaan diambil dari buku :
Pippen, J.R., 1984. Sensory Analysis of Food. Elsevier Applied Science, Prentice-Hall Inc. Englewood
Cliff. New Jersey.
Contoh bila diambil dari internet :
Abadi , C.J., 2002. Kumis kucint. http :www.changjaya-abadi.com/jamu-jawa04html.tanggal akses 12
Desember 2003.
-oo0oo-
138