kasus rsud tangsel

Upload: andhi-al-ghozaly

Post on 02-Mar-2016

20 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Kasus Tangsel: Ketika Kebenaran Ditindas

Akhir september lalu, terdengar berita panas tentang aksi demo para dokter di RSUD Tangerang Selatan (Tangsel). Dokter-dokter tersebut berdemo karena mereka beranggapan pihak rumah sakit (RS) telah melakukan bbagai penyimpangan undang-undang (UU). Apakah benar demikian? Mari kita selidiki lebih dalam.

Tak akan ada asap kalau tak ada api. Berbagai pelanggaran terjadi di RSUD Tangsel, mulai dari direktur RS, Neng Ulfa, yang berlatar belakang Sarjana Sosial, mendatangkan dokter asing secara ilegal, ditambah lagi dengan isu mengenai tunggakan pembayaran gaji.

Inti pokok permasalahan ini sebenarnya terdapat pada manajemen RS yangg rancu. Pengangkatan direktur RSUD Tangsel melanggar pasal 34 UU No. 44 tahun 2009 dan pasal 10 Permenkes No. 971 tahun 2009. Kedua peraturan ini menegaskan Kepala/Direktur RS harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan. Nah, tenaga medis di sini artinya adalah dokter/dokter gigi (sesuai pasal 2 PP Nomor 32 th 1996 tentang Tenaga Kesehatan). Sedangkan, yang dimaksud kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan itu adalah kemampuan dan keahlian yang didapatkan melalui pendidikan Sarjana Strata 2 bidang perumahsakitan (Pasal 1 Permenkes No. 971 tahun 2009). Pada dasarnya, direktur atau pemimpin RS harus mempunyai landasan keilmuan manajemen RS dan kesehatan. Seseorang yang mengerti dunia kesehatan saja belum tentu bisa menjalankan kepemimpinan RS dengan baik, apalagi yang sangat jauh dari kompetensinya?

Hal ini juga mencerminkan ketidakseriusan dari Pemerintah Kota Tangsel dalam menyelenggarakan dan membina pemerintahan yang sesuai dengan peraturan perundangan mengingat pengangkatan seorang direktur RSUD hanya dapat dilakukan oleh kepala daerah (bupati/wali kota) dann tidak berjalannya fungsi pembinaan-pengawasan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Tangsel.

Masalah yang ke-2, keberadaan dokter asing yang menjadi program kerja sama dengan KPJ Healthycare Malaysia Grup sebenarnya dari semula memang belum jelas perizinannya oleh pihak Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) dan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Ditambah lagi dengan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi dengan ditemukannya tindakan praktek ilegal dokter asing tersebut. Parahnya, ternyata program ini adalah kebijakan langsung dari Dinkes Kota Tangsel. Pasal 4 UU nomor 44 tahun 2009 telah mengatur hal ini. Rumah sakit sebenarnya boleh saja mempekerjakan tenaga kesehatan (tenakes) asing dengan mempertimbangkan kepentingan alih teknologi dan ilmu pengetahuan. Tetapi dalam hal ini, ada syaratnya, yaitu tenakes asing dalam rangka mengaplikasikan ilmunya itu harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dari KKI (pasal 30 dn 31 UU nomor 29 th 2004). Tenakes asing juga tidak boleh memberikan pelayanan kesehatan kecuali telah mendapatkan STR dari KKI. Pada kenyataannya, transfer ilmu yang disampaikan tenakes asing tersebut tidak berbeda dengan ilmu dan teknologi yang berkembang di kalangan dokter pribumi. Jika hanya dibiarkan saja, pada masa mendatang bukan tidak mungkin sistem pengaturan dan perizinan dokter asing yang masuk ke wilayah Indonesia akan semakin tidak terkontrol. Saat sistem yang ada mulai tidak berfungsi dan peraturan yang ada tidak dipatuhi. Haruskah dokter-dokter ini diam dan menjadi korban?

Demo yang berjalan damai itu berujung pemecatan lima dokter nonPNS, pemberian dua surat peringatan untuk 18 dokter PNS, dan pembubaran komite medik RS. Pemecatan dan pembubaran komite medik yang dilakukan oleh RS mengakibatkan pasien di RSUD Tangsel terlantar, operasi pasien tertunda. Pengutamaan jatuh sanksi daripada dialog untuk memecahkan masalah ini menunjukkan adanya arogansi kekuasaan RS. Kepala Dinkes Tangsel, Dadang, berdalih sudah mematuhi peraturan daerah (perda) yang berlaku. Beliau berujar "Silahkan jika mau keluar, ini Tangsel loh" Pernyataannya ini justru menunjukkan sikap otoriter dan pro-pelanggaran Permenkes yg berlaku. Nyatanya, penerapan perda itu merupakan praktik penggunaan perda yang berlebihan dengan mengabaikan peraturan UU yang lebih tinggi dengan dalih otonmi daerah. Bahkan, selama dokter-dokter tersebut memperjuangkan nasibnya ini, dinkes mengancam akan mempersulit perizinan praktik dokter-dokter tersebut di willayah Tangsel. Para dokter yang beraksi demo juga mengungkapkan jika Dinkes Tangsel kerap mengintervensi pengadaan obat di RSUD Kota Tangsel. Intervensi Pemkot Tangsel juga dilakukan untuk kebijakan yang diambil untuk tenaga medis di RSUD Kota Tangsel. Kini orang-orang yang berani memperjuangkan kebenaran malah ditindas dan dijadikan korban otoritas kesewenang-wenangan yang tidak berdasar. Akankah ketidakadilan yg menyalahi aturan ini terus dibiarkan dn dianggap hal wajar?

Kabar terkini, petisi yg diajukan dokter-dokter RSUD Tangsel akhirnya ditindaklanjuti oleh DPRD. Dewan Permusyawaratan Rakyat Daerah meminta peninjauan kembali pmberhentian lima dokter nonPNS, penegakkan aturan dokter asing di RSUD Kota Tangsel, dan agar Dinkes kembali mematuhi Permenkes. Direktur RS juga sudah diganti. Pemkot menunjuk Kepala Dinkes Kota Tangsel sebagai penggantinya untuk sementara waktu. Semoga pengganti tetap direktur RS nantinya adalah tenaga medis yang berkompeten di bidang perumahsakitan, bukan seorang magister epidemiologi seperti beliau ini. Memang beliau ini merupakan seorang tenaga kesehatan, tetapi apakah beliau memiliki kemampuan manajemen RS? Bukankah beliau juga merupakan pihak yang juga melakukan pelanggaran? Lagi pula dengan demikian, terendus modus konspirasi KKN RSUD Tangsel, Dinkes Kota Tangsel, dan Pemkot Kota Tangsel. Jika tidak segera diganti lagi, kemungkinan masih akan ada praktik KKN di Tangsel. Kebijakan-kebijakan yang diberlakukan tidak akan jauh berbeda dengan yang sebelumnya. Kita doakan saja semoga kericuhan di RSUD Tangsel segera mendapatkan solusinya dan kembali ke jalan yang benar.Salam Perubahan!