kasus obat anestesi bermasalah
DESCRIPTION
niceTRANSCRIPT
OBAT ANESTESI BERMASALAHMakalah Undang-undang dan Hukum Etik Kedokteran
Pembimbing:
dr. Wawan M., SpBS
Penyusun:
Roy Andrew Halim Liem
Meikhel Alexander
Kadek Fabrian
Anggi Miranda
RUMAH SAKIT PUSAT ANGKATAN UDARA
DR. ESNAWAN ANTARIKSA
JAKARTA, MARET 2015
BAB I
PENDAHULUAN
Di awal tahun 2015 ini dunia kesehatan dikejutkan dengan meninggalnya 2 orang
pasien setelah diberi obat anestesi spinal di RS Siloam. Spekulasi pun berkembang, siapakah
yang seharusnya bertanggung jawab atas kasus ini. Apakah Kalbe sebagai pemasok obat
anestesi tersebut yang bersalah, atau tenaga medis maupun tenaga kesehatan yang melakukan
malpraktek. Definisi malpraktek di dunia kesehatan sendiri adalah “kelalaian dari seseorang
dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam
mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan terhadap pasien atau orang yang
terluka menurut ukuran di lingkungan yang sama”.
Dari definisi tersebut malpraktek harus dibuktikan bahwa apakah benar telah terjadi
kelalaian tenaga kesehatan dalam menerapkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang
ukurannya adalah lazim dipergunakan di wilayah tersebut, ditinjau dari aspek hukum dan
berbagai aspek lainnya.
BAB II
PEMBAHASAN
1.Kronologis Kasus
Dua orang pasien di RS Siloam Karawaci meninggal dunia usai mendapat injeksi
Buvanest Spinal. Kini, obat tersebut sudah ditarik dari peredaran oleh pihak produsen, Kalbe
Farma.
Kronologi meninggalnya dua pasien tersebut bermula pada tanggal 11 Februari 2015,
kedua pasien mendapatkan injeksi Buvanest Spinal. Satu pasien mendapat injeksi Buvanest
untuk tindakan Sectio Caesarea (operasi caesar). Sedangkan, satu pasien lain terkait dengan
kasus urologi, di mana yang bersangkutan sedang melakukan cek kandung kemih lewat
uretra. Setelah pemberian injeksi tersebut, kedua pasien mengalami kejang dan panas.
Sumber lain juga mengatakan pasien mengalami gatal-gatal.
Kemudian, pasien mendapatkan perawatan intensif di ICU. Kurang dari waktu 24 jam,
pada 12 Februari 2015, kedua pasien meninggal. Untuk pasien operasi caesar, diketahui sang
bayi selamat. Pada tanggal 12 Februari itu pula, Kalbe Farma menarik 2 produk yakni seluruh
batch Buvanest Spinal 0,5 persen Heavy 4 ml dan Asam Tranexamat Generik 500 mg/Amp 5
ml dengan nomor batch 629668 dan 630025. Dalam suratnya untuk Otoritas Jasa Keuangan,
Kalbe menyebut langkah ini sebagai komitmen untuk bertanggung jawab atas segala produk
dan layanannya.
Dihubungi detikHealth pada Selasa (17/2/2015), Heppi Nurfianto, Kepala Hubungan
Masyarakat RS Siloam Karawaci membenarkan bahwa dua pasien di RS Siloam Karawaci
meninggal setelah mendapat suntikan salah satu dari obat yang ditarik Kalbe.
"Iya benar, meninggal setelah pemberian Buvanest Spinal. Ada 2 kasus, obsgyn dan urologi.
Kita sedang tunggu investigasi dari Kemenkes dan BPOM, paling dalam 1-2 hari ada
hasilnya," kata Heppi.
Ada indikasi, Buvanest yang disuntikkan berisi obat lain yakni Kalnex (Asam
Tranexamat). Buvanest merupakan injeksi anestesi yang mengandung Bupivacaine 5 mg/mL,
sedangkan Asam Tranexamat merupakan obat untuk mengatasi perdarahan. Keduanya
merupakan obat injeksi dengan kemasan berbentuk ampul atau vial.
2.Analisis Masalah
a. Ditinjau dari sudut pandang hukum
Tuduhan akan adanya Malapraktik sebenarnya bukan hanya ditujukan pada mereka
yang berprofesi sebagai Tenaga Kesehatan yang salah satunya adalah Dokter, akan tetapi
tuduhan Malapraktik dapat dituduhkan kepada semua kelompok Profesionalis, yaitu apakah
mereka itu kelompok Wartawan, Advokat, Paranormal dan kelompok lainnya. Pengertian
Malapraktik selama ini banyak diambil dari kalangan mereka yang berprofesi sebagai tenaga
kesehatan, terutama Dokter.
Ditinjau dari masalah yang terjadi pada kasus salah pemberian obat anestesi di atas,
mengenai apakah terjadi kelalaian ataupun malpraktek, maka kita harus mengerti dulu
definisi kelalaian dan malpraktek dalam undang-undang. Dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) kelalaian yang mengakibatkan celaka atau bahkan hilangnya nyawa
orang lain. Pasal 359, menyebutkan, “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama
satu tahun”. Sedangkan kelalaian yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa
seseorang dapat diancam dengan sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 360
KUHP, yang isinya:
(1) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
(2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa
sehingga timbul penyakit atau halangan menjalankan pekerjaan jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau
kurungan paling lama enam bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
Batasan pengertian umum tentang Malpraktik di kalangan tenaga kesehatan adalah ;
Seseorang tenaga kesehatan dalam memberikan tanggungjawab profesinya kepada
pasien dilakukan di luar prosedure dan stardard profesi pada umumnya yang
berakibat cacat dan matinya sang pasien. Namun rumusan akan standard profesi yang
bersifat baku, khususnya bagi tenaga kesehatan ataupun dokter secara tegas belum ada
dirumuskan di dalam undang-undang.
Dari batasan itu, maka sanksi pidana dapat diberikan terhadap dokter ataupun tenaga
kesehatan yang terbukti melakukan kelalaian, sebagaimana Pasal 361 KUHP,
“Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan
atau pencarian, maka pidana ditambah dengan sepertiga dan yang bersalah dapat dicabut hak
untuk menjalankan pencarian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusannya diumumkan.”
Namun, apabila kelalaian dokter atau tenaga kesehatan tersebut terbukti merupakan
malpraktik yang mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa dan atau hilangnya nyawa
orang lain maka pencabutan hak menjalankan pencaharian (pencabutan izin praktik) dapat
dilakukan.
Karena pemberian obat anestesi ini bukan hanya melibatkan tenaga medis, yaitu dokter
spesialis anestesi tetapi juga terdapat komponen tenaga kesehatan lainnya seperti perawat
anestesi disitu, maka perlu dikaji secara komprehensif mengenai fungsi dan tugas dari tenaga
kesehatan. Berdasarkan undang-undang nomor 36 tahun 2014 tentang tenaga kesehatan, Pasal
65 (1) Dalam melakukan pelayanan kesehatan, Tenaga Kesehatan dapat menerima
pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis. (2) Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian,
tenaga teknis kefarmasian dapat menerima pelimpahan pekerjaan kefarmasian dari tenaga
apoteker. (3) Pelimpahan tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilakukan dengan ketentuan: a. tindakan yang dilimpahkan termasuk dalam kemampuan dan
keterampilan yang telah dimiliki oleh penerima pelimpahan; b. pelaksanaan tindakan yang
dilimpahkan tetap di bawah pengawasan pemberi pelimpahan; c. pemberi pelimpahan tetap
bertanggung jawab atas tindakan yang dilimpahkan sepanjang pelaksanaan tindakan sesuai
dengan pelimpahan yang diberikan; dan d. tindakan yang dilimpahkan tidak termasuk
pengambilan keputusan sebagai dasar pelaksanaan tindakan.
Dari pasal di atas, kita dapat melihat bahwa dalam menjalankan prakteknya tenaga
kesehatan mendapatkan pelimpahan tindakan medis dari tenaga medis (dokter) dan tetap di
bawah pengawasan dokter itu sendiri. Tenaga kesehatan yang diberi pelimpahan pun harus
mempunyai kompetensi yang memadai mengenai tindakan yang akan dilakukan.
Berdasarkan Pasal 361 KUHP, tindakan malpraktik juga dapat berimplikasi pada
gugatan perdata oleh seseorang (pasien) terhadap dokter yang dengan sengaja (dolus) telah
menimbulkan kerugian kepada pihak korban, sehingga mewajibkan pihak yang menimbulkan
kerugian (dokter) untuk mengganti kerugian yang dialami kepada korban, sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1365 Kitab-Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), “Tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian pada seorang lain, mewajibkan orang yang
karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.” Sedangkan
kerugian yang diakibatkan oleh kelalaian (culpa) diatur oleh Pasal 1366 yang berbunyi:
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaian atau kurang hati-hatinya.” Undang-
undang tenaga kesehatan pasal 78 mengenai penyelesaian perselisihan; “Dalam hal Tenaga
Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya yang menyebabkan
kerugian kepada penerima pelayanan kesehatan, perselisihan yang timbul akibat kelalaian
tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui penyelesaian sengketa di luar pengadilan
sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.”
Apabila mengakibatkan kematian, maka menurut Pasal 84 UU tenaga kesehatan; (1)
Setiap Tenaga Kesehatan yang melakukan kelalaian berat yang mengakibatkan Penerima
Pelayanan Kesehatan luka berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Jika kelalaian berat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian, setiap
Tenaga Kesehatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
Jadi disini dapat ditarik kesimpulan bahwa malpraktik erat hubungannya dengan
pelanggaran terhadap standard profesi medik, pelanggaran prosedur tindakan medik, dan bagi
pelanggarnya tentu dapat digugat, dituntut pidana dan diberi sanksi administratif berupa
pencabutan ijin praktik.
Kepastian hukum
Azas kepastian hukum merupakan hak setiap warga negara untuk diperlakukan sama di
depan hukum (equality before the law) dengan azas praduga tak bersalah (presumptions of
innocence) sehingga jaminan kepastian hukum dapat terlaksana dengan baik dengan tanpa
memihak-mihak siapa pun. Hubungan kausalitas (sebab-akibat) yang dapat dikategorikan
seorang dokter telah melakukan malpraktik, apabila:
(1) Bahwa dalam melaksanakan kewajiban tersebut, dokter telah melanggar standar
pelayanan medik yang lazim dipakai.
(2) Pelanggaran terhadap standar pelayanan medik yang dilakukan merupakan pelanggaran
terhadap Kode Etik Kedokteran Indonesia (Kodeki).
(3) Melanggar UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
b. Ditinjau dari Sudut Pandang Etik (Kode Etik Kedokteran Indonesia /KODEKI)
Bagi praktisi professional termasuk dokter dan tenaga kesehatan lainnya, etika berarti
kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan profesi dan masyarakat, serta bertindak
dengan cara-cara yang professional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjadinya
interaksi antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, professional dan
terhormat.
Dalam KODEKI pasal 2 dijelaskan bahwa; “seorang dokter harus senantiasa berupaya
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi”. Jelasnya bahwa seeorang
dokter dalam melakukan kegiatan kedokterannya sebagai seorang proesional harus sesuai
dengan ilmu kedokteran mutakhir, hukum dan agama. KODEKI pasal 7d juga menjelaskan
bahwa “setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani”.
Artinya dalam setiap tindakannya, dokter harus betujuan untuk memelihara kesehatan dan
kebahagiaan manusia.
Peran pengawasan terhadap pelanggaran KODEKI sangatlah perlu ditingkatkan untuk
menghindari terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang mungkin sering terjadi yang dilakukan
oleh setiap kalangan profesi-profesi lainnya seperti halnya advokat, pengacara, notaris, atau
akuntan, dll. Pengawasan biasanya dilakukan oleh lembaga yang berwenang untuk
memeriksa dan memutus sanksi terhadap kasus tersebut seperti Majelis Kode Etik, dalam hal
ini Majelis Kode Etik Kedokteran (MKEK). Mengenai MKEK itu sendiri, menurut Pasal 1
Angka 3, Pedoman MKEK:
”Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) ialah salah satu badan otonom
Ikatan Dokter Indonesa (IDI) yang dibentuk secara khusus di tingkat
Pusat, Wilayah dan Cabang untuk menjalankan tugas kemahkamahan profesi,
pembinaan etika profesi dan atau tugas kelembagaan dan ad hoc lainnya dalam
tingkatannya masing-masing.”
MKEK itu memiliki tugas untuk membimbing, mengawas, dan menilai pelaksanaan etik
kedokteran apakah sudah sejalan dengan cita-cita luhur profesi kedokteran. Jika ternyata
terbukti melanggar kode etik maka dokter yang bersangkutan akan dikenakan sanksi
sebagaimana yang diatur dalam Kode Etik Kedokteran Indonesia. Karena itu seperti kasus
yang ditampilkan maka juga harus dikenakan sanksi sebagaimana yang diatur dalam kode
etik. Namun, jika kesalahan tersebut ternyata tidak sekedar pelanggaran kode etik tetapi juga
dapat dikategorikan malpraktik, maka MKEK tidak diberikan kewenangan oleh undang-
undang untuk memeriksa dan memutus kasus tersebut.
Lembaga yang berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran hukum
hanyalah lembaga yudikatif, dalam hal ini lembaga peradilan. Jika ternyata terbukti
melanggar hukum maka dokter yang bersangkutan dapat dimintakan
pertanggungjawabannya, baik secara pidana maupun perdata.
Sudah saatnya pihak berwenang mengambil sikap proaktif dalam menyikapi fenomena
maraknya gugatan malpraktik. Dengan demikian kepastian hukum dan keadilan dapat tercipta
bagi masyarakat umum dan komunitas profesi. Dengan adanya kepastian hukum dan keadilan
pada penyelesaian kasus malpraktik ini maka diharapkan agar para dokter tidak lagi
menghindar dari tanggung jawab hukum profesinya.
c. Undang-undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran
Praktek kedokteran seluruhnya diatur dalam undang-undang ini. Untuk menegakkan
disiplin dokter dan dokter gigi dalam penyelenggaraan praktik kedokteran, dibentuk Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) (Pasal 55 ayat (1) UU Praktik
Kedokteran).
Dalam pasal 64 UU Praktik Kedokteran, MKDKI bertugas:
a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin
dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan
b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter
atau dokter gigi.
Nantinya, MKDKI memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang
berkaitan dengan disiplin dokter dan dokter gigi (Pasal 67 UU Praktik Kedokteran).
Adapun keputusan MKDKI itu sifatnya mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI yang isinya
dapat berupa dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin itu
dapat berupa (Pasal 69 UU Praktik Kedokteran):
a. pemberian peringatan tertulis;
b. rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c. kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau
kedokteran gigi.
d. Ditinjau dari Sudut Pandang Agama
• Menurut pandangan Islam
Dikatakan bahwa jatah hidup itu merupakan ketentuan yang menjadi hak prerogatif
Tuhan, biasanya disebut juga haqqullâh (hak Tuhan), bukan hak manusia (haqqul âdam).
Artinya, meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa saya menguasai diri saya sendiri,
tapi saya sebenarnya bukan pemilik penuh atas diri saya sendiri. Untuk itu, saya harus juga
tunduk pada aturan-aturan tertentu yang kita imani sebagai aturan Tuhan. Atau, meskipun
saya memiliki diri saya sendiri, tetapi saya tetap tidak boleh membunuh diri saya. Dari sini
dapat kita katakan bahwa sebagai individu saja kita tidak berhak atas diri atau kehidupan
yang kita miliki, apalagi kehidupan orang lain. Karena itu maka setiap tindakan yang ada
akhirnya menghilangkan hidup atau nyawa seseorang bisa dianggap sebagai satu tindakan
yang melanggar hak prerogatif Tuhan. Dengan demikian segala macam tindakan malpraktek
adalah suatu pelanggaran.
• Menurut pandangan Katolik
Secara garis besar yang menjadi titik tolak pandangan katolik tentang malpraktek
adalah mengenai hak hidup seseorang. Yang menjadi pertanyaan utama disini adalah sejak
kapan satu individu atau bakal individu sudah bisa disebut sebagai individu atau pribadi yang
sudah memiliki hak untuk hidup?
Yang menjadi persoalan sekarang adalah apakah setelah si janin terbentuk dia harus
dianggap sebagai pribadi (a person) atau sebagai manusia (a human person). Satu hal yang
perlu diketengahkan adalah apakah si janin telah memiliki roh atau jiwa (soul) atau tidak?
Agama katolik berpendapat ya, si janin sejak fertilisasi sudah memiliki jiwa. Pada
waktu dilahirkan janin telah menjadi seorang manusia yang telah berhak akan kewajiban
moral terhadapnya. Dari uraian singkat diatas kita dapat katakan bahwa, sejak si janin sudah
terbentuk, kita sebenarnya sudah tidak punya hak untuk memusnahkannya dan harus
membiarkan atau memeliharanya sampai ia tumbuh besar. Terkait dengan kasus yang kami
ambil dimana karena suatu kalalaian mengakibatkan satu nyawa menghilang, dapat kita
katakan sebagai suatu perampasan hak untuk hidup karena sejak ia masih sebagai janin saja
kita sudah tidak punya hak untuk membunuhnya apalagi ia sudah tumbuh besar. Karena itu
maka setiap kelalaiaan yang mengakibatkan menghilangnya nyawa seseorang harus bisa
ditindaklanjuti baik secara agama ataupun hukum.
e. Berdasarkan UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
Karena kasus ini terjadi di rumah sakit, menurut pasal 13:
Tenaga medis yang melakukan praktik kedokteran di Rumah Sakit wajib memiliki
Surat Izin Praktik sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Tenaga kesehatan tertentu yang bekerja di Rumah Sakit wajib memiliki izin sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap tenaga kesehatan yang bekerja di Rumah Sakit harus bekerja sesuai dengan
standar profesi, standar pelayanan Rumah Sakit, standar prosedur operasional yang
berlaku, etika profesi, menghormati hak pasien dan mengutamakan keselamatan pasien.
Ketentuan mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan sebagaimana `dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
Sedangkan mengenai Pasal 32 mengenai hak pasien, setiap pasien mempunyai hak:
memperoleh layanan yang manusiawi, adil, jujur, dan tanpa diskriminasi;
memperoleh layanan kesehatan yang bermutu sesuai dengan standar profesi dan standar
prosedur operasional;
memperoleh layanan yang efektif dan efisien sehingga pasien terhindar dari kerugian fisik dan
materi;
mengajukan pengaduan atas kualitas pelayanan yang didapatkan;
memilih dokter dan kelas perawatan sesuai dengan keinginannya dan peraturan yang berlaku di
Rumah Sakit;
meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai
Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit;
mendapat informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan
medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan;
memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh tenaga
kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya;
menggugat dan/atau menuntut Rumah Sakit apabila Rumah Sakit diduga memberikan
pelayanan yang tidak sesuai dengan standar baik secara perdata ataupun pidana;
Pasal 37
Setiap tindakan kedokteran yang dilakukan di Rumah Sakit harus mendapat persetujuan
pasien atau keluarganya.
Ketentuan mengenai persetujuan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 46
Rumah Sakit bertanggung jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan
atas kelalaian yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit.
Menurut pasal 46, jelaslah bahwa rumah sakit pun harus ikut bertanggung jawab atas kasus yang
terjadi di atas.
f. UU Perlindungan Konsumen No. 8 Tahun 1999
Pasal 4
Konsumen berhak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa. Konsumen berhak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau
tidak sebagaimana mestinya.
Pasal 7
Pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan
pemeliharaan“
Pasal 62
Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian
diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku
Pada pasal 7 yaitu pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jelas dan
jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan
penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan,
Apabila kesalahan pada kasus di atas terjadi dari pihak PT Kalbe selaku penyedia obat
anestesi Buvanest kepada pasien selaku konsumen, maka menurut pasal 62, PT Kalbe bisa
mendapatkan sanksi, baik sanksi perdata maupun pidana apabila terbukti melakukan kesalah
yang menyebabkan obat anestesi tertukar.
3. Solusi
Dengan melihat faktor-faktor penyebab dan juga segala macam aspek hukum serta
aspek kode etik atas kasus yang kami ambil dalam hal ini kesalahan pemberian obat anestesi,
maka pencegahan terjadinya malpraktek harus dilakukan dengan melakukan perbaikan
sistem, mulai dari pendidikan hingga ke tatalaksana praktek kedokteran dan masing-masing
pertugas kesehatan. Standar pelayanan harus diterbitkan untuk mengatur hal-hal pokok dalam
praktek, sedangkan ketentuan rinci agar diatur dalam pedoman-pedoman. Keseluruhannya
akan memberikan rambu-rambu bagi praktek kedokteran, dan tenaga kesehatan.
Ketentuan yang mendukung good clinical governance harus dibuat dan ditegakkan.
Dalam hal ini peran rumah sakit sangat diperlukan. Rumah sakit harus mampu mencegah
praktek kedokteran tanpa kewenangan atau di luar kewenangan, mampu “memaksa” para
profesional bekerja sesuai dengan standar profesinya, serta mampu memberikan “suasana”
dan budaya yang kondusif bagi suburnya praktek kedokteran yang berdasarkan bukti hukum
dan kode etik yang berlaku.
BAB III
PENUTUP
1.Kesimpulan
Malpraktek dalam bidang kesehatan adalah suatu tindakan kelalaian yang dilakukan
oleh dokter atau petugas pelayanan kesehatan yang bertugas melakukan segala macam
tindakan kesehatan. Dimana dalam kasus ini kedua pasien yang pada awalnya ingin operasi
akhirnya harus menghembuskan nafasnya untuk terakhir kalinya hanya karena kesalahan
pemberian obat anestesi sebelum operasi.
Kelalaian fatal ini bisa dikatakan terjadi karena kurangnya ketelitian dari dokter
ataupun petugas kesehatan lainnya dalam pemberian obat anestesi terhadap pasien. Kelalaian
ini juga bisa disebabkan karena manejemen rumah sakit yang kurang tertata baik, pendidikan
yang dimiliki petugas yang mungkin masih minim serta banyak lagi faktor yang lainnya.
Karena tindakan tersebut tidak hanya melangar hukum, kode etik kedokteran dan juga standar
berperilaku dalam suatu agama tetapi bahkan sampai menghilangkan nyawa seseorang maka
perlu ada jalan keluarnya yakni dengan cara; menginvestigasi permasalahan secara mendalam
dan mencari tahu siapa yang melakukan kelalaian. Di samping itu juga pembenahan majemen
rumah sakit, meningkatkan ketelitian dalam menjalankan profesi kedokteran serta
memperdalam segala macam pengetahuan tentang berbagai macam tindakan pelayanan
kesehatan bagi tenaga kesehatan sangat diperlukan agar kejadian ini tak terulang lagi.
2. Saran
Bagi semua oranng yang bertugas sebagai pelayan kesehatan dan juga bagi penulis
serta siapa saja yang nantinya akan menjadi seorang pelayan yang bergerak di bidang
kesehatan, hendaknya bisa menggunakan waktu yang masih ada semaksimal mungkin untuk
mempelajari semua hal yang berkaitan dangan tugas kita nantinya, tentang aspek hukum,
administratif, dan lain sebagainya, sehingga kelalaian itu bisa diminimalisir atau dihilangkan
dalam berpraktek kedokteran nantinya.