kapitalisme global, labelisasi halal dan fenomena glokalisasi
DESCRIPTION
Peer review | Jurnal POROS: Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012Working PaperKAPITALISME GLOBAL, LABELISASI HALAL DAN FENOMENA GLOKALISASI:MENILIK LABELISASI HALAL SEBAGAI PRAKTIK KONKRET GLOKALISASI KOMODITAS PANGAN DI ERA KAPITALISME GLOBALWahyu Budi Nugroho ([email protected])TRANSCRIPT
Peer review | Jurnal POROS: Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
1
Working Paper
KAPITALISME GLOBAL, LABELISASI HALAL DAN FENOMENA GLOKALISASI
MENILIK LABELISASI HALAL SEBAGAI PRAKTIK KONKRET
GLOKALISASI KOMODITAS PANGAN DI ERA KAPITALISME GLOBAL
Wahyu Budi Nugroho
“Impor dari Jepang, suatu rahmat bagi Marhaen?”
(Bung Karno)
Pendahuluan
Era globalisasi ditandai dengan tiga momen penting sejarah dunia berupa naiknya
Thatcher dan Reaganomics ke permukaan, runtuhnya rezim komunisme-Soviet, serta diterima
luasnya asosiasi ide-ide globalisasi layaknya demokrasi liberal, hak asasi manusia, kesetaraan
gender dan lain sebagainya. Faktual, serangkaian hal tersebut dapat dikaji lebih jauh melalui tiga
pendekatan, antara lain; sistem dunia, masyarakat global, serta budaya global (Sardar & Loon,
2001: 162-163; Adi, 2005: 11-14). Dalam hal ini, pendekatan sistem dunia menekankan pada
ketimpangan hubungan dagang antara negara-negara maju dengan negara berkembang di mana
negara berkembang cenderung ditempatkan secara pasif sebagai pasar dari membanjirnya
produk-produk negara maju. Tak hanya itu saja, mereka pun—negara berkembang—menjadi
korban dari penghisapan nilai lebih akibat pertukaran yang tak seimbang dalam pasar
internasional.1
Pendekatan kedua, masyarakat global, menunjuk pada desentralisasi peran negara dalam
masyarakat. Memang, ide tersebut dapat dilacak kembali dalam Kovenan Internasional yang
digelar pada dekade 1960-an, namun tampaknya ide terkait baru mulai menggema dalam
beberapa dasawarsa terakhir ini (Baswir, 2003: 247). Pendekatan terakhir, yakni budaya global,
menyoroti muatan “3-F” dalam globalisasi—fun, food and fashion. Fun setidaknya terepresentasi
melalui kehadiran film-film produksi Hollywood serta berbagai program yang terdapat dalam
MTV (Music Television), food dapat ditilik melalui masifnya ekspansi varian makanan cepat saji
di negara-negara berkembang, sedang fashion pada awalnya merupakan implikasi “ikutan” dari
1 Sebagai misal, 1 unit mobil Volvo seharga 300 juta yang dapat diproduksi dalam waktu sehari sebanding
dengan harga 3 ton beras yang dihasilkan dalam waktu 3 bulan. Hal tersebut berarti, apabila terjadi pertukaran antarkomoditas terkait, maka terdapat nilai lebih sebesar 2 bulan 29 hari yang terhisap cuma-cuma dari negara penghasil komoditas pangan terhadap negara produsen teknologi.
Peer review | Jurnal POROS: Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
2
penayangan berbagai tren pakaian yang termuat dalam film-film Hollywood maupun MTV
sebelum memiliki kelembagaannya yang mantap.2
Tak pelak, baik ketiga pendekatan di atas demikian kental dengan muatan ekonomis. Hal
ini seolah kembali mengingatkan kita pada perdebatan seputar globalisasi sebagai fenomena
yang disengaja ataukah tidak. Bagi mereka yang berdiri di belakang barisan saintisme layaknya
Alan D. Sokal, mengamini globalisasi sebagai perihal yang tak disengaja mengingat pesatnya
perkembangan teknologi transportasi dan komunikasi sehingga meleburkan batas-batas dunia.
Sebaliknya, beberapa pemikir layaknya James Petras dan Veltmeyer (dalam Adi, 2005: 5)
meyakini globalisasi sebagai “proyek sekelompok orang” yang dengan demikian sengaja dibuat
guna mengabdi pada kepentingan segelintir orang tersebut. Menilik penelitian seksama yang
dilakukan John Pilger pada beberapa korporasi asing3 yang terdapat di Jakarta dan Jawa Barat—
Indonesia, kiranya argumen terakhir di atas dapatlah dibenarkan.
Namun demikian, dalam upayanya mengakumulasi modal di berbagai belahan dunia,
kapitalisme global kerap kali syarat berkompromi dengan beragam budaya lokal yang terdapat di
negara-negara (baca: masyarakat) tujuan pasarnya. Hal tersebut mengingat, sering kali budaya
asli yang dibawanya tak sesuai dengan budaya lokal masyarakat setempat. Kasus restoran cepat
saji McDonalds-Indonesia yang menambahkan menu “nasi” misalnya, faktual di negara asalnya,
Amerika Serikat, menu nasi takkan dapat kita temui di sana.4 Ini membuktikan betapa
McDonalds-Amerika Serikat telah berkompromi dengan budaya masyarakat Indonesia yang
menempatkan nasi sebagai makanan pokok.
Pada ranah yang lebih luas, labelisasi “halal” dalam setiap produk makanan Barat yang
dipasarkan pada negara-negara dengan mayoritas penduduk muslim turut menjadi contoh
konkret betapa kapitalisme global melakukan kompromi terhadap masyarakat tujuan pasarnya.
Fenomena terkait menjadi unik dan layak ditelisik lebih jauh mengingat kapitalisme global
(Barat) yang sebelumnya sama sekali tak bersentuhan dengan persoalan (tradisi) “halal-haram”
makanan tiba-tiba seolah melek dan menjadikannya sebagai salah satu perihal urgen dalam laju
pemasaran produk-produknya. Dalam lapangan ilmu sosial dan humaniora, bentuk-bentuk
2 Ini dapat dimisalkan dengan hadirnya kantor-kantor redaksi berbagai majalah fashion asing di negara
berkembang beserta butik-butiknya (Sophie Martin, Polo, Gucci, Buccheri, Dolce & Gabbana, dll.). 3 Pabrik sepatu Nike, Reebok dan Adidas. 4 Dapat ditilik dengan mengakses http://www.mcdonalds.com/us/en/full_menu_explorer.html (09/05/2012).
Peer review | Jurnal POROS: Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
3
kompromi kapitalisme global di atas diistilahkan para pakar dengan sebutan “glokalisasi”
sebagaimana akan dibahas lebih lanjut dalam pengkajian terkait.
Sekilas Menyoal Definisi Glokalisasi
Pada mulanya, istilah glokalisasi (glocalization) digunakan oleh Andrews dan Grainger
di permulaan abad ke-20 untuk menunjukkan fenomena terangkatnya bentuk-bentuk olah raga
lokal oleh komite olimpiade internasional yang memiliki jumlah keanggotaan negara lebih
banyak ketimbang PBB—istilah ini kemudian digunakan oleh sosiolog kenamaan Inggris,
Roland Robertson. Menurut Andrews dan Grainger, glokalisasi olah raga adalah (dalam Ritzer,
2006: 141-142),
…the process whereby either globalized or internationalized sport practices (depending on their spatial
reach) become incorporated into local (communal, regional, but primarily national) sporting cultures and
experienced as authentic or natural (hence organic) signs of cultural collectivity. In a general sense, organic
glocalization is associated with local responses to the sporting flows that accompanied broader forces of
social transformation (colonization, modernization, urban industrialization, etc.)
Pada perkembangannya, Ritzer sendiri mendefinisikan glokalisasi sebagai,
“…glocalization is seen as a paradigm, then work on hybridization, creolization, and much else,
especially the work of a number of anthropologists, can be included within it”. Lebih jauh, ia
memisalkannya dengan bentuk-bentuk McDonalds di berbagai negara Asia dan Eropa Timur
yang memiliki kekhasan-nya tersendiri. Kasus McDonalds di Taipei sebagai berikut misalnya
(Ritzer, 2006: 153),
In Taipei, McDonald‟s is also a hangout, and regular customers come to know one another quite well.
“[M]any consumers treat McDonald‟s as a home away from home. . . . This establishment has become
„localized‟ in that it plays a key role in the routines of everyday life for many people who live in the
neighborhood.”
Pada ranah yang lebih spesifik, yakni dalam dunia bisnis, istilah glokalisasi menemui
bentuknya yang konkret. Global Media-Global Culture (2010: 3) mendefinisikannya dengan,
“Glocalization from a marketing point of view is said to be about adapting your product to meet
the needs and wants of consumers in foreign market”. Menilik serangkaian definisi mengenai
Peer review | Jurnal POROS: Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
4
glokalisasi di atas, kiranya istilah terkait dapat sekali lagi ditegaskan sebagai bentuk kompromi
budaya kapitalisme global dalam rangka memasarkan beragam komoditasnya pada masyarakat
lokal (pasar tujuan).
Praktek Konkret Glokalisasi melalui Labelisasi Halal Komoditas Pangan
Faktual, persoalan konsumsi makanan bagi umat muslim tidaklah sekedar ditempatkan
sebagai aktivitas netral atau bersifat jasmaniah semata, melainkan mengandung nilai-nilai ritual
atau ibadah sebagaimana diyakini para pemeluknya, dan salah satu bentuk ibadah tersebut
terejawantahkan melalui pilihan pada makanan-makanan yang bersifat halal untuk dikonsumsi.
Namun demikian, sebelum lebih jauh melangkah pada muatan glokalisasi dalam labelisasi halal
komoditas pangan, ada baiknya bagi kita untuk terlebih dahulu memahami pengertian atau
batasan-batasan dari makanan yang dapat dikatakan halal. Secara apik, Riaz dan Chaudry (2004:
14-15) mendefinisikan istilah halal sebagaimana berikut,
…halal foods are those that are free from any component that muslims are prohibited from consuming.
According to the Quran, all good and clean foods are halal. Consequently, almost all foods of plant and
animal origin are considered halal except those that have been specifically prohibited by Quran and the
Sunnah.
Dengan demikian bagi Riaz dan Chaudry, sesungguhnya kebutuhan muslim akan bahan
makanan yang bersifat halal tak jauh berbeda halnya dengan kalangan nonmuslim. Sejauh
komoditas pangan tersebut diolah secara higienis, maka ia telah memenuhi persyaratan sebagai
makanan yang halal untuk dikonsumsi, terkecuali memang pada beberapa makanan/minuman
yang secara tegas dinyatakan haram dalam Islam, semisal; daging babi, daging hewan-hewan
yang bertaring, daging hewan yang menjijikkan (bekicot, cacing, dll.), bangkai, serta alkohol
(minuman yang memabukkan). Namun kenyataannya, persoalan halal-haram tak hanya berhenti
sampai sini. Di sisi lain, definisi halal yang dikemukakan oleh Islambase Publications (2005: 9)
turut menyertakan doktrin mengenai haramnya makanan—daging binatang—bilamana tak
disembelih dengan menyebut nama Allah (bismillah). Memang, persoalan tersebut sempat
memicu pro dan kontra di kalangan para pakar hukum Islam, namun belakangan, istilah makruh
digunakan untuk mengatasi saling silang pendapat di antara mereka—tak menjadi soal
Peer review | Jurnal POROS: Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
5
mengkonsumsinya, namun alangkah lebih baik bila meninggalkannya (Riaz & Chaudry, 2004:
24).
Di samping perdebatan di atas, problem pelik halal-haram makanan dalam Islam turut
merambah aspek varian metode yang digunakan untuk menyembelih binatang. Islam secara tegas
mengharamkan daging binatang yang disembelih secara kejam. Pengertian “kejam” di sini
adalah penghilangan nyawa binatang yang “tak seketika” (membutuhkan proses yang cukup
lama) sehingga binatang terkait pun merasakan sakit yang teramat sangat sebelum mati.
Beberapa di antara misal metode tersebut adalah membunuh binatang dengan menenggelamkan
ke air (gelonggong), dicekik, dijatuhkan dari ketinggian, dibenturkan dengan batu, serta dibunuh
dengan mata panah (Islambase Publications, 2005: 9). Kiranya, persoalan di atas belum ditemui
pemecahannya mengingat begitu sulit bagi seorang muslim untuk mengidentifikasi apakah
daging binatang yang dikonsumsinya dihilangkan nyawanya dengan cara-cara Islami ataukah
tidak.
Lebih jauh, Istilah “halal” sendiri menjadi kata yang cukup populer di dunia Barat dalam
dua dekade terakhir, kepopuleran istilah tersebut dibarengi dengan kian meningkatnya volum
ekspor komoditas pangan negara-negara Barat pada berbagai negara Timur Tengah dan Asia
Selatan. Sebagaimana diutarakan lebih lanjut oleh Mian N. Riaz dan M. Chaudry dalam Halal
Food Production (2004: 14), saat ini kita tak dapat menutup mata bahwa terdapat kurang-lebih
1,3 milyar muslim di seluruh dunia (2002), dan dalam konstelasi global di mana hubungan
antarmasyarakat dunia lebih intens terjadi, sudah seyogyanya masing-masing pihak yang terlibat
di dalamnya memahami kebutuhan satu sama lain, dan sebagaimana telah disinggung
sebelumnya, persoalan konsumsi bagi umat Islam tidaklah sekedar ditempatkan sebagai aktivitas
yang bersifat jasmaniah semata, melainkan mengandung serangkaian nilai-nilai ritual (ibadah).
Namun demikian, terlepas dari bentuknya sebagai doktrin yang syarat dipatuhi oleh umat
Islam, penyematan label halal dalam komoditas pangan justru menjadi semacam ajang kompetisi
tersendiri bagi berbagai korporasi multinasional yang berupaya memasarkan beragam produk
makanannya pada negeri-negeri muslim. Hal inilah yang kemudian menyebabkan meningkat
drastisnya permintaan sertifikasi halal dari banyak produsen besar makanan Barat seperti Nestle,
Tesco, Carrefour, serta Doux and Friesland Coberco Dairy Foods Holding, bahkan labelisasi
halal sesungguhnya tak sekedar berada dalam domain pangan, melainkan pula pada produk-
produk kosmetik berikut obat-obatan medis (Waarden & Dalen, 2010: 16).
Peer review | Jurnal POROS: Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
6
Berdasarkan penelitian termutakhir, pangsa pasar untuk produk halal di seluruh dunia
pada tahun 2010 mencakup sekitar 1,3 milyar hingga 1,8 milyar konsumen—dikonsumsi oleh
muslim maupun nonmuslim—dengan nilai pasar atau perdagangan sebesar 634 juta dolar per
tahun. Tak heran, Joe Regenstein (dalam Waarden & Dalen, 2010: 13), seorang pakar asal
Cornell University, mengatakan bahwa produk halal merupakan “tambang emas yang belum
tersingkap”. Hal tersebut ditambah dengan kenyataan bahwa Islam merupakan agama dengan
laju perkembangan terpesat berdasarkan segi jumlah pemeluknya dari tahun ke tahun dibanding
berbagai agama lainnya di dunia. Ini berarti, pangsa pasar bagi produk-produk halal pun bakal
kian meningkat di tahun-tahun mendatang.
Labelisasi Halal: Bentuk Perlindungan Konsumen ataukah Upaya Mencari Profit Semata?
Terlepas dari maraknya fenomena labelisasi halal komoditas pangan di atas, faktual kita
dapat mempertanyakannya kembali secara kritis: Apakah labelisasi halal tersebut benar-benar
ditujukan untuk melindungi konsumen muslim, ataukah sekedar upaya guna mencari profit
(keuntungan) semata. Persoalan terkait sebagaimana telah disinggung sebelumnya, kiranya
nyaris tak mungkin bagi setiap konsumen muslim untuk meneliti ke-halal-an berbagai produk
makanan asing yang dikonsumsinya, kecuali bagi mereka yang memiliki akses pada instumen
penelitian makanan.
Tak hanya itu saja, bisa jadi sampel makanan yang diajukan guna memperoleh sertifikat
halal memang benar layak adanya, namun tak ada jaminan bagi sejumlah produk yang sama
setelahnya.5 Hal tersebut dapat dimisalkan dengan kasus haramnya produk pelezat makanan dari
Jepang, Ajinomoto yang telah lama beredar di tengah masyarakat. Pernyataan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) ihwal haramnya produk terkait beberapa tahun lalu karena terbukti memiliki
kandungan ekstrak babi seolah membuat umat Islam tanah air kecolongan (Wicaksono, 2001).
Pasalnya, tak diragukan lagi bahwa produk tersebut memiliki label halal dan telah lama
digunakan masyarakat tanah air. Persoalan ini belum lagi ditambah dengan banyaknya produk
yang mencatumkan label halal namun kenyataannya tak memiliki sertifikat terkait (ROL, 2009).
Di satu sisi, sertifikat halal yang dikeluarkan MUI pun turut diragukan oleh negara-
negara lain, terutama Malaysia. Padahal, sertifikat tersebut seyogyanya berlaku secara
5 Tak menutup kemungkinan bila ke-halal-an suatu produk hanya berlaku pada satu waktu, sedang setelahnya
tidak. Hal tersebut dapat disebabkan oleh perubahan dalam teknik pengolahan makanan atau komposisi bahan makanan yang digunakan namun tak mencantumkan daftar komposisi yang sebenarnya.
Peer review | Jurnal POROS: Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
7
internasional, sedang biaya yang syarat dikeluarkan guna memperolehnya pun sebesar 2,5 juta
rupiah (Rudi, 2012; Kurniawan, 2012). Menilik beragam persoalan di atas, yakni sedari
musykilnya konsumen muslim membuktikan kehalalan suatu produk yang ia konsumsi,
banyaknya produk yang mencatumkan label halal namun tak memiliki sertifikat, berikut masih
diragukannya sertifikasi halal keluaran MUI. Secara skeptis, dapatlah kita katakan bahwa ada-
tidaknya label halal saat ini sama sekali tak berpengaruh pada halal-tidaknya produk makanan
yang kita konsumsi. Apabila terbukti benar demikian, maka dapatlah disimpulkan bahwa
labelisasi halal utamanya tak ditujukan untuk melindungi konsumen muslim, melainkan sebagai
upaya pencarian profit semata.
Kesimpulan dan Penutup
Berpijak melalui serangkaian penjabaran di atas, kiranya dapat ditegaskan bahwa
labelisasi halal dalam beragam komoditas pangan buatan berbagai korporasi global bagi negara-
negara mayoritas berpenduduk muslim merupakan salah satu bentuk konkret dari praktek
glokalisasi komoditas pangan di era kapitalisme global. Hal tersebut mengingat, ditemuinya
kompromi yang dilakukan para produsen makanan Asing sehingga berbagai produknya dapat
diterima oleh konsumen muslim seluruh dunia, terutama Indonesia. Namun demikian, beberapa
persoalan pelik yang masih tersisa darinya seperti; tak mungkinnya konsumen untuk
membuktikan sendiri kehalalan produk yang ia konsumsi, banyaknya produk makanan yang
berlabel halal namun tak memiliki sertifikat, serta masih diragukannya sertifikasi halal keluaran
MUI, kiranya membuat kita patut menggugat kembali labelisasi halal yang tersemat pada
beragam produk makanan.
*****
Peer review | Jurnal POROS: Politbiro Rekonstruksi Sosial | Yogyakarta, 2012
8
Referensi:
Buku;
Adi, M. Ramdhan, 2005, Globalisasi: Skenario Mutakhir Kapitalisme, Al-Azhar Press.
Baswir, Revrisond, 2003, Pembangunan tanpa Perasaan, Elsam.
Riaz, Mian N & M. Chaudry, 2004, Halal Food Production, CRC Press.
Ritzer, George, 2006, The Globalization of Nothing, Sage Publications.
Sardar, Ziauddin & Borin V. Loon, 2001, Cultural Studies for Beginners, Mizan.
Internet;
Global Media-Global Culture, 2010, Glocalization,
http://drop.theunluckydip.com/stuff/global2.pdf (09/05/2012)
Islambase Publications, 2005, The Issue of Halal Meat, www.islambase.tk (09/05/2012).
Kurniawan, Hariyanto, 2012, Pengusaha Katering Depok Keluhkan Sertifikasi Halal,
http://www.sindonews.com/read/2012/05/14/450/629505/pengusaha-katering-depok-
keluhkan-sertifikasi-halal (27/06/2012).
ROL (Republika Online), 2009, Awas, Label Halal tak Bersertifikat,
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/info-halal/09/01/07/24712-awas-label-
halal-tak-bersertifikat (27/06/2012).
Rudi, 2012, Waduh! Sertifikasi Halal MUI kok Diragukan Malaysia,
http://www.lensaindonesia.com/2012/06/03/waduh-sertifikasi-halal-mui-kok-diragukan-
malaysia.html (27/06/2012).
Waarden, Frans van & Robin van Dalen, 2010, Hallmarking Halal, The Market for Halal
Certificates: Competitive Private Regulation, http://regulation.upf.edu/dublin-10-
papers/5F3.pdf (09/05/2012).
Wicaksono, 2001, Ajinomoto, Haram Hukumnya,
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2001/01/22/MON/mbm.20010122.MON9886
6.id.html (27/06/2012).