kajian tema

36
SEMINAR ARSITEKTUR RA 091372 SERAMBI TENUN NUSANTARA TEMA : NATORAS TO DIANAKHON MAHASISWA FREDERIKSON TARIGAN 3210100085 DOSEN KOORDINATOR Dr. Ir. Murni Rachmawati, MT . DOSEN PEMBIMBING Ir. Andy Mappajaya , MT. PROGRAM SARJANA JURUSAN ARSITEKTUR

Upload: paulus-panjaitan

Post on 28-Dec-2015

99 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

efasdfdfhfhdfghdfghdfghdfghdf

TRANSCRIPT

SEMINAR ARSITEKTUR

RA 091372

SERAMBI TENUN NUSANTARATEMA : NATORAS TO DIANAKHON

MAHASISWA

FREDERIKSON TARIGAN

3210100085

DOSEN KOORDINATOR

Dr. Ir. Murni Rachmawati, MT.

DOSEN PEMBIMBING

Ir. Andy Mappajaya, MT.

PROGRAM SARJANA

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

INSTITUT TEKNOLOGI SEPULUH NOPEMBER

SURABAYA

2013

BAB IV

KAJIAN TEMA

4.1 Pengertian Tema Dalam Arsitektur

Tema dalam sebuah perancangan memberikan acuan atau landasan bagi seorang

perancang dalam proses berfikir sehingga dapat diperoleh perwujudan bangunan yang

bermakna. Baik secara eksplisit maupun implisit pada rancangan. Melalui hal tersebut

bangunan berbicara kepada pengamat melalui dirinya sendiri, menginformasikan

tentang dirinya, bagaimana tampilannya, serta berfungsi sebagai apa sesungguhnya

bangunan tersebut. Menggunakan tema sebagai pengarah selama proses perancangan

yang akan membantu kita dalam menuangkan ide-ide terhadap sebuah bangunan.

Keberadaan tema sangatlah penting dalam proses perancangan, karena akan membuat

kita sebagai arsitek lebih terarah selama proses perwujudan bangunan. Tema merupakan

titik awal pemecahan masalah dalam merancang yang emudian dijabarkan melalui

konsep yang mendukung tema.

Menurut Gunadi, 2009

Ruh sebuah perancangan

Dapat ditarik kesimpulan bahwa tema adalah dasar pemikiran dalam sebuah

kegiatan perancangan arsitektur. Sebagai sebuah pedoman, landasan, acuan,

kerangka berfikir dalam menciptakan konsep perancangan dimana nantinya akan

membuahkan sebuah wujud bagi bangunan yang syarat akan makna dan warna.

Lahir sebuah karakter atau jiwa tertentu pada masing – masing bangunan yang

mampu mengekspresikan bengunan tersebut maupun keinginan sang perancang

kepada pengamat.

Menurut Gunawan Tjahyono, 2000

“ Something which is said on and expressed. And is use as a basisi for

designing.”

Tema merupakan sebuah dasar dalam perancangan, hal ini diungkapkan

oleh Gunawan Tjahyono dalam Kilas Jurnal Arsitek FTUI vol.2 no.1/ Januari 2000

bahwa tema juga sebagai titik tolak sebelum melangkah. Tema juga selalu melekat

dalam sebuah bangunan, namun tidak semua tema dapat terlihat secara eksplisit

sehingga tidak mudah untuk mengenali dan bahkan untuk menafsirkan.

Tema yang selanjutnya akan digunakan sebagai dasar dalam proses

perancangan hendaknya memiliki latar yang mencerminkan kumpulan dari

berbagai permasalahan yang ada sehingga memudahkan perancang dalam melihat

problematika dan mencari solusinya. Timbul sebuah perkiraan mengenal solusi

terhadap permasalahan yang ada. Bermula dari tahap inilah arsitek akan

memperoleh citra awal terhadap sesuatu dan mampu memberikan warna bagi

karyanya.

Melalui tema yang telah terpilih akan dikaji terlebih lanjut secara

arsitektural sehingga menghasilkan prinsip-prinsip yang dapat digunakan sebagai

asas didalam perancangan.

Masih menurut Gunawan Tjahjono, ada lima hal yang harus melandasi

setiap perancang, yaitu:

1. Fakta; adalah fakta yang mengindikasikan masalah dalam suatu konteks

2. Deontik; suatu yang dapat menjadi soslusi dari masalah.

3. Instrumentasi; alat untuk menyelesaikan maslah

4. Penjelasan; suatu uraian mengenai langkah yang harus diambil untuk

menyelesaikan masalah.

5. Konseptual; suatu pernyataan dalam proses merancang

Menurut Arsitek Muda Indonesia

Arsitektur adalah dunia yang tidak bisa dilepaskan dari tema, karena dengan

tema itulah kehadirannya dapat lebih bermakna. Lebih daripada itu arsitektur

adalah dunia yang di dalamnya terdapat semangat untuk terus mencari sesuatu

yang baru dan semangat untuk mencari jawaban.” (AMI – Arsitek Muda

Indonesia, Penjelajahan 1990 – 1995, Subur, Jakarta, 1995 ).

Menurut Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M. Arch

- Gagasan yang memiliki sejuta kemungkinan perwujudan

- Gagasan yang sudah dikemukakan dengan menggunakan perspektif atau

sudut tinjau arsitektur tertentu

- Gagasan yang sudah diterjemahkan menjadi pernyataan yang telah

ditentukan disiplin sub-ilmu arsitekturnya.

- Pedoman, pengatur, dan pengendali sehingga proses merancang merupakan

kegiatan yang bersifat ilmiah dan tidak acak – acakan, namun sekaligus

bersifat seni yang subjektif atau puitik.

- Tema dalam arsitektur adalah ide yang harus dieksplor dan

memasukkannya ke dalam desain untuk menciptakan karakteristik atau

makna pada bangunan tersebut.

- Merancang dengan tema berarti mengusulkan salah satu kemungkinan

perwujudan dari gagasan.

- Merancang dengan tema menghasilkan arsitektur sebagai seni, namun

setelah itu dipertanggungjawabkan secara ilmiah baru disebut arsitektur

sebagai ilmu.

- Karena rancangan arsitektur itu adalah racikan ruang dan bentuk,

‘merancang dengan tema’ adalah merekayasa racikan ruang dan bentuk.

Kesimpulannya, tema merupakan ide awal yang menjadi dasar suatu kegiatan

perancangan dalam arsitektur, dan dapat menjadi sebuah langkah awal pemecahan

masalah, yang selanjutnya lahir konsep-konsep konkrit dalam menyelesaikan masalah

yang lebih kompleks yang diangkat dalam sebuah perancangan, sehingga wujud

bangunan hasil rancangan memiliki makna dan jiwa yang mampu mendeskripsikan apa

yang dimaksudkan perancang kepada sasaran yang dituju.

4.2 Pemilihan Tema

Tema yang digunakan terkait objek rancang Serambi Tenun adalah Natoras To

Ianakhon (dari orangtua kepada anak).

4.3 Latar Belakang Pemilihan Tema

Latar belakang pemilihan tema yang diambil, turun dari latar belakang

permasalahan yang diangkat dalam objek rancang dan spesifikasi di dalam objek yang

diangkat yakni kain tenun itu sendiri dan hubungan antara tenun dan manusia. Ditinjau

dari latar belakang permasalahan objek rancang, yakni perancang ingin menyelesaikan

masalah mengenai hampir punahnya salah satu warisan budaya Indonesia yaitu kain

tenun, seperti contohnya kain tenun Batak yaitu ulos Batak mengalami kelesuan drastis

selama 30 tahun terakhir, hal ini sudah diteliti oleh Antopolog Belanda, Sandra Niessen

yang sudah mempelajari mengenai kebudayaan Batak sejak tahun 1979 hingga beliau

berhasil menuangkan hasil penelitiannya selama 30 tahun dalam wujud buku yaitu

Legacy in cloth: Batak textiles of Indonesia. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa

punahnya kain tenun ini karena menyangkut beberapa faktor, yang pertama mengenai

kebutuhan masyarakat akan kain tenun sebagai alat dalam suatu tradisi kedaerahan

menurun dan yang kedua tidak adanya penerus generasi penenun dalam memproduksi

kain tenun itu sendiri, dari permasalahan ini juga dapat disimpulkan bahwa perlunya

regenerasi dari penenun sehingga masalah mengenai terancam punahnya tradisi

menenus dapat terselesaikan. Kain tenun dan hubungan antara kain tenun dan manusia,

ditinjau dari proses pembuatan kain tenun itu sendiri merupakan proses pengerjaan yang

panjang dan memerlukan kesabaran dan perjuangan, motif yang diulang-ulang memiliki

filosofi tersendiri dan motif keseluruhan dapat dikembangkan sehingga memiliki corak

yang berbeda namun tidak merubah karakteristik motif awal tenun. Dalam Tradisi

masyarakat batak Kain tenun (ulos) menjadi barang yang penting dan dibutuhkan semua

orang kapan saja dan dimana saja. Hingga akhirnya ulos memiliki nilai yang tinggi di

tengan-tengah masyarakat Batak, sehingga ada aturan adat bahwa ulos hanya diberikan

kepada kerabat dibawah kita.

Warisan terus-menerus (pengulangan), berkelanjutan , mengalami perubahan dan

beradaptasi terhadap jaman, mungkin itulah singkatnya agar kain tenun tetap ada dan

berkembang di Indonesia. Dari latar belakang ini perancang mengambil tema Natoras To

Ianakhon ( dalam bahasa Batak ) yang artinya dari orangtua ke anak, yang dapat mewakili

identitas kain tenun yang harusnya dapat diwariskan tidak hanya kain tenunnya

melainkan kemampuan, perjuangan dan kesabaran penenun terdahulu kepada generasi

selanjutnya.

4.4 Pengertian Tema Natoras To Ianakhon

Natoras To Ianakhon dalam bahasa Indonesia memiliki arti dari orangtua kepada

anak. Natoras to Ianakhon merupakan istilah dalam budaya suku Batak, yakni tradisi

memberikan kain tenun mereka (orang tua) kepada anaknya atau kerabat yang berada di

bawahnya (umurnya lebih muda atau dalam adat statusnya lebih muda). Tradisi ini yang

di kalangan suku Batak menjadi sangat penting sebab dengan tradisi ini salah satu

kerajinan asli suku Batak dapat diwariskan ke generasi selanjutnya disamping itu banyak

filosofi lain yang terkandung dalam tradisi ini contohnya, tradisi memberikan kain ulos ini

berarti memberikan kehidupan ke generasi dibawahnya karena dalam budaya Batak ada

3 hal yang diyakini nenek moyang orang Batak yang memberikan kehidupan bagi

manusia yakni : darah, nafas, dan kehangatan. Sehingga rasa hangat menjadi suatu

kebutuhan. Ada 3 sumber kehangatan yang diyakini suku Batak yaitu : matahari, api dan

ulos. Matahari terbit dan terbenam dengan sendirinya setiap saat. Api dapat di nyalakan

setiap saat, namun tidak praktis untuk di gunakan menghangatkan tubuh, misalnya

besarnya api harus di jaga setiap saat sehingga tidur pun terganggu. Namun tidak begitu

halnya dengan Ulos yang sangat praktis digunakan di mana saja dan kapan saja.

(Wikipedia.org)

Dalam perancangan ini tema Natoras To Dianakhon diartikan sebagai suatu proses

yang berkelanjutan, jika dalam tradisi merupakan proses berkelanjutan antara Orangtua

kepada anak namun dalam perancangan ini proses berkelanjutan/sustainable itu

diartikan sebagai suatu proses beradaptasi terhadap lingkungan, di dalam beradaptasi

terdapat pola proses seperti transformasi dan perubahan-perubahan, diproses inilah

yang ingin ditekankan perancang di dalam merancang, dimana sebuah objek rancang

dapat membaur dengan lingkungan, tidak mendominasi ,transparan namun terasa

keberadaan dan manfaatnya. Disitulah letak berkelanjutan/sustainable dalam objek

rancang.

4.5 Karakteristik Tema “Natoras To Dianakhon”

Melalui definisi dari tema, karakter yang teradapat pada tema Natoras To

Dianakhon adalah yang bias dikaitkan dengan objek rancang, Serambi Tenun yaitu :

Adaptasi terhadap lingkungan

Berkelanjutan: juxtaposition membaur

Pengulangan: pola

Perubahan secara tepat guna

- Adaptasi tingkah laku

- Adaptasi morfologi

4.6 Pendekatan Tema Dengan Teori

Juxtaposition is an architecture term that means “the state or position of being

placed close together or side-by-side, so as to permit comparison or contrast”.

(Architecture Term Of Week : Juxtaposition)

Juxtaposition adalah suatu metoda desain untuk menciptakan contrast antara

yang lama dengan yang baru. Namun tetap memperhatikan link diantara keduanya, agar

tetap tercipta harmony dan keseimbangan. Salah satu cara untuk menyesuaikan

bangunan baru pada bangunan yang lama adalah dengan menggunakan metoda

juxtaposition.

Pada tema Natoras To Dianakhon ini tradisi yang bekelanjutan dari yang lama ke

yang baru atau antara lama dan baru dapat diterapkan prinsip adaptasi dan

berkelanjutan antara yang lama ke yang baru pada objek rancang. Sesuai dengan teori

tersebut dimana yang lama dan yang baru dapat dileburkan dalam satu lingkungan

namun tetap ada integrasi dan adaptasi pada bangunan sehingga tercipta bangunan yang

berkelanjutan/sustainable.

4.7 Pendekatan Arsitektural

Secara arsitektural, penjabaran dan pemahaman dari tema Natoras To Dianakhon

yang diambil bisa bermakna sebagai beberapa pendekatan, dan pendekatan ini kelak

dapat digunakan untuk dijadikan sebagai panduan merancang pada konsep dan skematik

desain. Pendekatan tema tersebut antara lain:

Adaptasi terhadap lingkungan

Pengertian adaptasi bisa diartikan sebagai kemampuan suatu benda untuk

bersosialisasi dengan lingkungannya (kamus besar bahasa Indonesia). Dalam

arsitektur beradaptasi terhadap lingkungan berarti menyesuaikan bangunan

anatomi maupun morfologinya dengan lingkungan yang ada disekitarnya. Secara

anatomi bangunan dapat di apalikasikan melalui sirkulasi dalam ruangan, dan

interior yang mendukung dengan lingkungan, jika ditinjau dari morfologi dapat

diaplikasikan melalui fasad bangunan, bentukan yang disesuaikan dan

bersimbiosis dengan lingkungan. Adaptasi yang dimaksudkan dalam hal ini yakni

meminimalkan dampak kerusakan atau ganguan pada lahan dan bangunan

bersejarah lainnya di sekitar site.

Berkelanjutan

Pengertian berkelanjutan dalam hal ini dapat diartikan sebagai satu proses

perkembangan menuju suatu hal yang baru dan dapat beradaptasi dengan jaman,

di sisi lain berkelanjutan juga dapat berarti membaur, menempatkan sesuatu

dengan yang lama atau lingkungan yang sebelumnya sudah ada namun tidak

mendominasinya dan tidk merusaknya justru mendukungsesuatu yang lama,

bersifat transparan namun terasa keberadaan dan manfaatnya.

Pengulangan : Pola

Dalam menenun terdapat proses pembuatan yang berurutan dapat dijelaskan

singkat dimulai dari pembuatan benang, pewarnaan, pembuatan motif ,

pewarnaan kembali/pencerahan benang, penguntaian, dan menenun. Disini

terdapat pengulangan pada proses, pengulanganterdapat pada warna, wujud yang

terdapat penambahan dan pengurangan. Dari proses ini memetaforakan fasad

objek rancang adalah hasil dari setiap tahapan proses.

Perubahan secara tepat guna

Transformasi adalah sebuah proses perubahan secara berangsur-angsur sehingga

sampai pada tahap ultimate, perubahan dilakukan dengan cara memberi respon

terhadap pengaruh unsur eksternal & internal yang akan mengarahkan perubahan

dari bentuk yang sudah dikenal sebelumnya melalui secara berulang-ulang atau

melipat gandakan (Antoniades,1990)

Kamuflase adalah metode penyembunyian atau penyamaran suatu benda untuk

tetap tanpa diketahui dengan cara pencampuran dengan lingkungannya atau

dengan menyerupai sesuatu yang lain.

4.8 Pendekatan Tema – Metaphor

4.8.1 Metafora dalam Arsitektur

Menurut James C. Snyder dan Anthony J. Cattanese dalam “Introduction of

Architecture”

“Metafora mengidentifikasikan pola-pola yang mungkin terjadi dari

hubungan-hubungan parallel dengan melihat keabstrakannya, berbeda

dengan analogi yang melihat secara literal.”

Menurut Charles Jenks, dalam “ The Language of Post Modern Architecture”,

1991

“Metafora sebagai kode yang ditangkap pada suatu saat oleh pengamat dari

suatu obyek dengan mengandalkan obyek lain dan bagaimana melihat suatu

bangunan sebagai suatu yang lain karena adanya kemiripan.”

Menurut Geoffrey Broadbent,1995 dalam buku “Design in Architecture”

“Metafora sebagai penerjemah bentuk dari sesuatu. Memakai istilah

tranferming ( figure of speech in which a name of description term is

transferred to some object different from).”

Menurut Leone Batista Alberti ( Antoniades, 1990)

“Kita akan melakukan perbuatan atau tindakan secara metafora ketika :

- Sedang berusaha untuk mentransfer referensi dari sebuah subyek

kedalam bentuk yang lainnya.

- Memindahkan fokus penelitian kita dari sebuah area konsentrasi atau

dari sebuah penyelidikan kepada yang lainnya (dengan harapan bahwa

dengan adanya perbandingan atau melalui perluasan, kita dapat

menjelaskan maksud subject kita dengan cara yang baru).”

4.8.2 Prinsip-prinsip Metafora

Menurut Anthony C. Antoniades, Poetics Architecture, prinsip – prinsip

metafora dalam arsitektur adalah sebagai berikut :

Berusaha memindahkan referensi - referensi dari satu objek (konsep atau

obyek ) ke yang lain.

Berusaha untuk “melihat” sebuah subjek (konsep atau obyek) seolah itu

sesuatu yang lain.

Memindahkan fokus penelitian kita dengan cermat dari satu area

konsentrasi atau satu pemeriksaan ke yang lainnya (dengan harapan melalui

perbandingan tersebut atau melalui perluasan tadi kita dapat menerangkan

subyek perenungan kita dalam cara yang baru).

Kegunaan penerapan Metafora dalam Arsitektur sebagai salah satu cara

atau metode sebagai perwujudan kreativitas arsitektural, yakni sebagai berikut :

Memungkinkan untuk melihat suatu karya arsitektural dari sudut pandang

yang lain

Mempengaruhi untuk timbulnya berbagai interprestasi pengamat.

Mempengaruhi pengertian terhadap sesuatu hal yang kemudian dianggap

menjadi hal yang tidak dapat dimengerti ataupun belum sama sekali ada

pengertiannya.

Dapat menghasilkan arsitektur yang ekspresif.

4.8.3 Kategori Metafora dalam Arsitektur

Menurut Anthony C. Antoniades, 1990 dalam “ Poethic of Architecture”

Suatu cara memahami suatu hal, seolah hal tersebut sebagai suatu hal yang lain

sehingga dapat mempelajari pemahaman yang lebih baik dari suatu topic

pembahasan. Dengan kata lain menerangkan suatu obyek dengan subyek lain,

mencoba untuk melihat suatu subyek sebagai suatu yang lain.

Ada tiga kategori dari metafora :

Intangible Metaphor ( metafora yang tidak diraba)

Yang termasuk dalam kategori ini misalnya suatu konsep, sebuah ide,

kondisi manusia atau kualitas-kualitas khusus (individual, naturalistis,

komunitas, tradisi dan budaya)

Tangible Metaphors (metafora yang diraba)

Dapat dirasakan dari suatu karakter visual material

Combined Metaphors (penggabungan antara keduanya)

Dimana secara konsep dan visual saling tumpang-tindih sebagai awal

tindakan methapor dan visualisasi sebagai pernyataan untuk mendapatkan

esensi kebenaran, kualitas dan dasar-dasar dari isi visual tersebut.

4.8.4 Perbedaan Metafora dengan Analogi

Metafora

Pada pendekatan tema melalui proses metafora, didapat penggunaan

bentuk yang tidak mempunyai arti sebenarnya, namun melukiskan sebuah

benda tertentu melalui persamaannya atau perbandingannya sehingga

maksud dari bentuk dapat mempunyai tanggapan yang berbeda antara satu

sama lain, cara mengidentifikasikan hubungan diantara benda-benda yang

bersifat abstrak daripada nyata.

Analogi

Terdapat sebuah cara mengidentifikasikan hubungan senyata mungkin

antara benda-benda serta mempunyai sifat serta ciri khas yang diinginkan.

BAB V

STUDI KASUS (Pendekatan Tema)

5.1 STUDI KASUS 1 – CARRÉ D'ART

Arsitek : Norman Foster

Lokasi : Nimes, France

Proyek tahun : 1984-1993

Area : 20 400 m²

Capacity : 33,000 visitors per month or 396,000 per year

Mediathèques adalah kota yang paling terkenal di Perancis . Kota ini mencakup majalah

dan buku serta musik , video dan bioskop. Carre d’art mengintegrasi dua budaya yaitu seni visual

dan teknologi informasi. Konteks urban dari kota Nimes memiliki pengaruh yang kuat . Letak site

Carre d’art bersebrangan dengan Maison Carree , sebuah kuil Romawi. Tantangannya adalah

bagaimana menghubungkan sesuatu yang baru dengan yang lama , tetapi pada saat yang sama

untuk membuat sebuah bangunan yang mewakili bangunan modern masa kini namun berintegrasi

dengan yang lama.

5.1.1 Penerapan Tema dengan Studi Kasus

Beradaptasi dengan Lingkungan

Care D’art adalah bangunan 9 lantai , namun 5 lantai berada di bawah tanah

sehingga hanya 4 lantai yang terlihat membuat bangunan ini terlihat lebih low

profile, beradaptasi dan

menyesuaikan dengan

skala bangunan yang ada di

sekitarnya. Carre d’art

merupakan “bangunan

yang merakyat” terbuka,

namun sangat dipengaruhi

oleh pengguna dan kota

kuno yang yang berada

disana.- Christ Abbel.

“The line of the roof relates to the building’s domestic scaled neighbours, and by

expressing the individual galleries, each with its own roof, the composition is

discreetly tied into historic fabric of Nîmes.”- Norman Foster . Garis atap berelasi

dengan bangunan lokal di sekitarnya, masing masing galeri memiliki atap sendiri,

secara tidak langsung membuat bangunan ini unity dengan bangunan kuno di

Nimes.

Berkelanjutan

“Sober and simple the Carré d'Art

perfectly counterpoints the

Mexican Caréé. This is not shocking

juxtaposition but an elegant

cohabitation of antiquity and

modernity. The elemental simplicity

of Foster’s building works to

enhance the Roman monument

and in this way the new building rolls out a red carpet to the antique temple.”

Francis Rambert, Le Figaro, 7 May 1993.

Berkelanjutan dimaksudkan disini bagaimana bangunan baru dapat membaur

dengan yang lama bukan mendominasi pada lingkungan site, namun mendukung

keberadaan bangunan kuno yang ada disekitarnya. Dalam hal ini museum Carre

d’art berada di kawasan kota kuno Nimes, yang me-museumkan bangunan

Romawi yang berada tepat di sebrang jalan museum ini. Konsep yang diterapkan

pada museum ini yakni membuat Carre d’art menjadi bangunan yang low profile,

menjadikan museum ini transparan dan mendukung bangunan Romawi yang ada

di depannya , membuat frame terhadap bangunan romawi, jika dilihat dari dalam

museum .

Pengulangan

Fasad bangunan yang terdiri dari frame-frame metal membuat pattern atau pola-

pola persegi. Sehingga fasad tidak terlihat polos namun memberikan tekstur

persegi. Bangunan ini terlihat mengkinikan dari bangunan Romawi dapat dilihat

dari kolom-kolom carre d’art.

Perubahan secara tepat guna

Norman Foster memutuskan untuk menggunakan kaca untuk merefleksikan

dengan tujuan memberi rasa hormat kepada daerah bersejarah sekitarnya.

Karena dengan dengan membaurkan bangunan dengan lingkungannya berarti

arsitek tidak membuat sesuatu yang kontras dan merusak pemandangan kota

kuno yang ada di sekitarnya.

5.2 STUDI KASUS 2 – CHAIRNS BOTANICAL GARDENS VISITORS CENTRE

Arsitek : Charles Wright Architect

Lokasi : Cairns, Australia

Proyek tahun : 2011

Terletak di Far North Queensland Cairns Botanic Gardens Visitors Centre adalah

penerima penghargaan Eddie 2012 Oribin untuk Building of the Year dari Australian

Institute of Architectcs (AIA). Meskipun bangunan kecil, pengunjung memiliki kehadiran

visual yang jauh melebihi skala fisik. Berdiri di tengah hutan hujan Australia yang rimbun,

aspek cermin menghadirkan kamuflase bangunan tehadap lahan konservasi di sekitar,

membuat bangunan melebur ke dalam lahan.

Cairns Botanic Gardens Visitors Centre merupakan gerbang yang unik untuk masuk

ke dalam empat kawasan yang ada di belakangnya yaitu :

Flecker Gardens, sebuah kebun yang mencakup beberapa tanaman flora tropis

langka yang jarang ditemukan di tempat lain di dunia.

Centenary Lakes , danau air tawar yang dikelilingi oleh taman berumput. rumah

bagi satwa liar termasuk ikan, kura-kura dan burung air. Juga terdapat sebuah

danau air asin yang menampilkan keragaman padang gurun termasuk lumpur-

kepiting dan spesies mangrove .

Mt. Whitfield Taman Konservasi , adalah 300 hektar hutan gunung cadangan

terletak di belakang Botanic Gardens Flecker.

Tank Art Centre, merupakan salah satu dari seni utama Cairns dan Tropical North

Queensland. Tank Art Centre salah satu tempat yang menampilkan berbagai seni

pertunjukan dan visual.

5.2.1 Penerapan Tema pada Studi Kasus

Beradaptasi dengan lingkungan

Bangunan dirancang untuk beradaptasi

dengan lingkungan sekitar. Berusaha

meleburkan lingkungan menjadi bagian

dari bangunan. Visitors Centre

menunjukkan arsitektur naungan yang

mendalam, gerakan udara yang banyak,

efisiensi lingkungan, kekuatan material

dan daya tahan yang cukup dengan

bentuk yang berbeda dan yang paling menonjol meleburkan fasad dengan

lingkungan. Dalam segala hal, Charles Wright Architect telah memenuhi keinginan

untuk berinovasi dan merevolusi pemikiran saat ini dalam arsitektur tropis.

Perubahan

Klien menginginkan bangunan

menjadi panjang, rendah dan

pencampuran yang mulus

dengan lingkungan sekitarnya

(idealnya tak terlihat). Arsitek

mengusulkan desain yang

secara harfiah mencerminkan

kebun sebagai kamuflase untuk bangunan. Arsitek menggunakan kaca cermin

untuk merefleksikan dengan tujuan memberi rasa hormat kepada daerah

bersejarah sekitarnya. Karena dengan dengan membaurkan bangunan dengan

lingkungannya berarti arsitek tidak membuat sesuatu yang kontras dan merusak

pemandangan hutan yang dilindungi disekitarnya.

Adaptasi terhadap iklim

Cahaya

Penggunaan material cermin finishing stainless steel

pada overhang atap menciptakan refleksi dari

permukaan tanah sekitarnya. sinar matahari langsung

tercermin ke bawah, tersebar dan menjadi kolam sinar

matahari didalamnya. Hal ini mencerminkan tampilan

permukaan bangunan dipengaruhi oleh cahaya yang

ada.

Suhu

Prinsip-prinsip lingkungan untuk desain di daerah tropis basah yang sederhana

namun ketat. Iklim membutuhkan overhang atap untuk mengurangi paparan

rendah sinar matahari pagi dan sore, bukaan besar untuk memaksimalkan ventilasi

silang, langit-langit tinggi, atap ventilasi konvektif.

Koridor ventilasi alami melayani

urutan linier ruang kantor yang

semuanya terbuka keluar ke arah

teras staf bersama di selatan.

Konfigurasi tipis mendorong

penggunaan maksimum lintas-

ventilasi pasif, ditambah dengan kipas langit-langit yang efisien dan cerobong asap

panas konvektif dengan volume atap.

Pada gambar disamping terlihat, pada saat membelakangi matahari fasad akan terlihat lebih

Pengulangan : Pola

Fasad bangunan yang terdiri dari kaca-kaca

refleksi memperlihatkan pattern atau pola-

pola persegi. Sehingga fasad tidak terlihat

polos melainkan memiliki pattern persegi.

Berkelanjutan

Dalam proyek ini berkelanjutan yang dimaksud ialah menempatkan bangunan

baru dilahan konservasi namun tidak merusak keberadaan lingkungan di lahan

konservasi, dalam hal ini dapat berupa view. Bangunan membaur dengan

lingkungannya sehingga yang terlihat adalah refleksi dari pohon-pohon yang ada di

site. Arsitek menjadikan phon-pohon di lahan sebagai gambaran/ corak fasad.Di

sini terlihat bangunan bersimbiosis dengan lingkungan konservasi.

5.3 STUDI KASUS 3 - REICHSTAG, NEW GERMAN PARLIAMENT

Arsitek : Norman Foster

Lokasi : Berlin, Jerman

Proyek tahun : 1992-1999

Gedung Reichstag merupakan bangunan bersejarah di Berlin , Jerman , dibangun untuk

parlemen Kekaisaran Jerman . Dibuka pada tahun 1894 dan bertempat Reichstag sampai tahun

1933 , ketika itu rusak parah akibat kebakaran . Selama era Nazi , beberapa pertemuan anggota

Reichstag diadakan di Opera House Kroll . Setelah Perang Dunia Kedua gedung Reichstag jatuh dan

tidak digunakan sebagai parlemen Republik Demokratik Jerman dengan di Istana Republik di Berlin

Timur dan parlemen Republik Federal Jerman di Bundeshaus di Bonn .

Bangunan ini dibuat dari bahan yang aman dan sebagian diperbaharui pada tahun 1960 ,

tetapi tidak ada upaya pemulihan penuh dibuat sampai setelah reunifikasi Jerman pada tanggal 3

Oktober 1990, ketika menjalani rekonstruksi yang dipimpin oleh arsitek internasional terkenal

Norman Foster . Setelah selesai pada tahun 1999, Menjadi tempat pertemuan parlemen Jerman

modern, Bundestag .

5.3.1 Penerapan Tema pada Studi Kasus

Beradaptasi dengan lingkungan

Rekonstruksi memilih untuk mengambil material asli, lapisan sejarah yang

Ditelusuri lebih dalam untuk mengungkapkan jejak mencolok dari masa lalu -

tanda tukang batu dan grafiti Rusia – bekas luka yang mereka punya diawetkan

sebagai 'hidup museum' . Pada gedung perlemen yang sudah di restorasi ini

terdapat kubah kaca yang membaur dengan gedung parlemen lama yang

berlanggam klasik. Kubah kaca yang modern merupakan simbol dari transparasi

pemerintahan kepada rakyat dan pantulan bahwa parlemen adalah rakyat Jerman

juga artinya tidak akan ada korupsi, kolusi dan nepotisme yang akan dilakukan

anggota parlemen karena kegiatan mereka akan langsung diawasi oleh rakyat

Jerman.

Perubahan secara tepat guna

Transformasi Reichstag berakar dalam empat isu-isu terkait : signifikansi

Bundestag sebagai forum demokrasi , sebuah pemahaman sejarah , komitmen

untuk aksesibilitas dan giatnya agenda lingkungan .

Norman Foster memilih mempertahankan kubah kaca , namun membuat

bagaimana sentuhan modern ini tidak mengganggu bangunan lama yang

ditempatinya. Material yang dipakai yaitu kaca

menjadikan kubah ini terlihat ringan dan transparan sehingga seolah-olah

tersembunyi keberadaannya.

Pengulangan : Pola

Massa yang simetris merupakan ciri khas bangunan klasik dimana struktur vertikal

lebih dominan, dimana kolom-kolom dan jendela memberikan irama dan pola

pada bangunan. Kubah yang terbuat dari rangka baja yang berbentuk persegi

dengan ukuran yang sesuai agar dapat membentuk dome.

Berkelanjutan

“Norman Foster had successfully connected new and old, past and present so that

the Reichstag’s

new interiors

meet our

expectations of

this epic

building, but at

the same time

are welcoming

not

forbidding.”- Wolfgang Thierse

Dalam pengupasan kembali rekonstruksi sebelumnya untuk bangunan , jejak

mencolok dari masa lalu digali , Termasuk grafiti yang ditinggalkan oleh tentara

Soviet. Menciptakan ruang berbentuk kubah transparan berusaha menjadikan

'museum hidup' sejarah Jerman . cahaya yang diteruskan ke jantung

bangunan ,membantu untuk menciptakan sebuah platform terbuka dan terlihat

untuk proses demokrasi Jerman .

5.4 KESIMPULAN

Penerapan tema Natoras to dianakhon pada bangunan diinterpretasikan dan di wujudkan

dalam bentuk yang berbeda-beda oleh perancang. Hal ini sesuai dengan pendekatan

metaphor.

Studi kasus

Unsur temaCARRÉ D'ART CAIRNS BOTANIC

GARDENS VISITORS CENTRE

REICHSTAG, NEW GERMAN

PARLIAMENT

Adaptasi lingkungan

Care D’art adalah bangunan 9 lantai , namun 5 lantai berada di bawah tanah sehingga hanya 4 lantai yang terlihat

Menyesuaikan dengan konteks berupa taman dan hutan konservasi, bangunan mencerminkan

Pada gedung perlemen yang sudah di restorasi ini terdapat kubah kaca yang membaur dengan gedung parlemen lama yang

membuat bangunan ini terlihat lebih low profile, beradaptasi dan menyesuaikan dengan skala bangunan yang ada di sekitarnya.

lingkungan ke dalam fasad bangunan agar tidak merusak visual keberadaan hutan disekitarnya.

berlanggam klasik.

Perubahan (kamuflase)

menggunakan kaca untuk merefleksikan dengan tujuan memberi rasa hormat kepada daerah bersejarah sekitarnya. Karena dengan dengan membaurkan bangunan dengan lingkungannya berarti arsitek tidak membuat sesuatu yang kontras dan merusak pemandangan kota kuno yang ada di sekitarnya.

Kamuflase atau penyamaran bangunan dengan merefleksikan hutan disekitarnya pada fasad bangunan sehingga keberadaannya tersamarkan

Norman Foster memilih mempertahankan kubah kaca , namun membuat bagaimana sentuhan modern ini tidak mengganggu bangunan lama yang ditempatinya. Material yang dipakai yaitu kaca menjadikan kubah ini terlihat ringan dan transparan sehingga seolah-olah tersembunyi keberadaannya.

Pengulangan : pola

Fasad bangunan yang terdiri dari frame-frame metal membuat pattern atau pola-pola persegi. Sehingga fasad tidak terlihat polos namun memberikan tekstur persegi. Bangunan ini terlihat mengkinikan dari bangunan Romawi dapat dilihat dari kolom-kolom carre d’art.

Detail pada fasad yang berupa persegi-persegi cermin yang disusun

struktur vertikal lebih dominan, dimana kolom-kolom dan jendela memberikan irama dan pola pada bangunan. Kubah yang terbuat dari rangka baja yang berbentuk persegi dengan ukuran yang sesuai agar dapat membentuk dome.

Berkelanjutan menjadikan museum ini transparan dan mendukung bangunan Romawi yang ada di depannya , membuat frame terhadap bangunan romawi, jika dilihat dari dalam museum .

Bangunan membaur dengan lingkungannya sehingga yang terlihat adalah refleksi dari pohon-pohon yang ada di site. Arsitek menjadikan phon-pohon di lahan sebagai gambaran/ corak fasad.Di sini terlihat bangunan bersimbiosis

Menciptakan ruang berbentuk kubah transparan berusaha menjadikan 'museum hidup' sejarah Jerman . cahaya yang diteruskan ke jantung bangunan ,membantu untuk menciptakan sebuah platform terbuka dan terlihat untuk proses

dengan lingkungan konservasi. demokrasi Jerman .

Dari tiga studi kasus diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa tema Natoras To dianakhon/

“sebagai warisan” di dalam objek rancang di methaporkan menjadi berbagai ciri arsitektural

antara lain beradaptasi dengan lingkungan, perubahan tepat guna, pengulangan dan

berkelanjutan. Desain rancangan pada bangunan juga memperhatikan konteks atau

lingkungan di sekitarnya. Dimana konteks dipertahankan , hal yang baru simasukkan namun

dapat melebur ke dalam lingkungan lama.

DAFTAR LITERATUR

AMI – Arsitek Muda Indonesia, Penjelajahan 1990 – 1995, Subur, Jakarta, 1995

Gunawan Tjahjono, “Merancang dengan Tema sebagai Titik Awal Penyelesaian” dalam KILAS Jurnal Arsitektur FTUI Vol. 2 no. 1/Januari 2000

Jenkins, David, “ Norman Foster Works 2” , Prestel, UK, 2006

www.archdaily.com

www.fosterandpartners.com

www.wikipedia.com