kajian signifikansi dan kemandirian keuangan...

22
KAJIAN SIGNIFIKANSI DAN KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH PADA KABUPATEN INDUK DAN PEMEKARAN DI ERA OTONOMI DAERAH TAHUN 2005-2010 (Studi Kasus: Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Utara) Yurni Atmadja Dosen FEB Universitas Lampung ABSTRAK Pemekaran daerah yang baru sebagai daerah yang difinitif yang lepas dari daerah induknya adalah merupakan wujud dari sasaran didalam penerapan Otonomi Daerah. Dasar pembentukan daerah yang baru adalah dengan memperhatikan beberapa aspek pertimbangan seperti kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan berdasarkan pertimbangan lain yang sangat memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Dasar pembentukan daerah harus bermanfaat bagi pembangunan nasional pada umumnya dan pembangunan daerah pada khususnya dengan tujuan meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat yang secara tidak langsung diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah. Beberapa pertimbangan yang dalam pembentukan daerah otonom baru adalah memperhatikan bahwa, pembentukan daerah baru itu tidak boleh mengakibatkan daerah induk tidak mampu lagi melaksanakan otonomi daerahnya. Dengan demikian baik daerah yang dibentuk maupun daerah yang dimekarkan atau daerah Induk secara sendiri-sendiri dapat melaksanakan otonomi daerahnya sesuai dengan ketentuan yang berlaku Seiring dengan telah berjalannya pelaksanaan otonomi daerah pada daerah kabupaten induk dan kabupaten pemekaran yaitu; Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Utara sebagai kabupaten induk dan kabupaten Tanggamus, Kabupaten Way Kanan dan Kabupaten Tulangbawang sebagai kabupaten pemekaran baru, maka perlu dikaji signifikansi dan kemandirian keuangan daerahnya setelah otonomi daerah selama tahun 2005 2010. Dari hasil penelitian dan berdasarkan hasil perhitungan dan pembahasan selama tahun anggaran 2005-2010 Kemandirian Keuangan Daerah/Derajat Desentralisasi Fiskal 3 (Tiga) daerah pemekaran dan 2(dua) daerah induk pasca pemekaran menunjukan peningkatan yang tidak signifikan dibandingkan dengan periode sebelum pemekaran dan peningkatannya tersebut belum mampu untuk menjadikan daerah-daerah ini sebagai daerah yang benar-benar mandiri, hal ini dikarenakan peningkatannya masih sangat relatif kecil. Kemandirian tertinggi diantara 3 (tiga) daerah pemekaran dan 2 (dua) kabupaten induk dimiliki oleh Kabupaten Way Kanan tidak lebih dari 25 persen dari PAD dan Bagi Hasil Pajak Daerahnya. Hal ini berarti ketergantungan terhadap pusat masih sangat besar sekali sehingga keberhasilan kebijakan pemekaran daerah selama enam tahun lamanya yang seperti diharapkan belum benar-benar terwujud. Ketergantungan 3 (tiga) daerah pemekaran maupun 2 (dua) daerah induk terhadap pusat masih cukup tinggi, hal ini dikarenakan baik daerah pemekaran maupun daerah induk belum mampu mengoptimalkan potensi daerah dalam meningkatkan PAD. Rendahnya PAD pada gilirannya menyebabkan ketergantungan terhadap subsidi dari pusat dan ini disebabkan; Pertama, kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Kedua adalah tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan. Penyebab ketiga adalah kendati pajak daerah cukup beragam,

Upload: lekien

Post on 29-Mar-2019

240 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KAJIAN SIGNIFIKANSI DAN KEMANDIRIAN KEUANGAN DAERAH

PADA KABUPATEN INDUK DAN PEMEKARAN DI ERA OTONOMI

DAERAH TAHUN 2005-2010

(Studi Kasus: Kabupaten Lampung Selatan dan

Kabupaten Lampung Utara)

Yurni Atmadja Dosen FEB Universitas Lampung

ABSTRAK

Pemekaran daerah yang baru sebagai daerah yang difinitif yang lepas dari daerah induknya adalah

merupakan wujud dari sasaran didalam penerapan Otonomi Daerah. Dasar pembentukan daerah yang

baru adalah dengan memperhatikan beberapa aspek pertimbangan seperti kemampuan ekonomi,

potensi daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan berdasarkan

pertimbangan lain yang sangat memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah.

Dasar pembentukan daerah harus bermanfaat bagi pembangunan nasional pada umumnya dan

pembangunan daerah pada khususnya dengan tujuan meningkatkan pelayanan publik dan

kesejahteraan masyarakat yang secara tidak langsung diharapkan dapat meningkatkan pendapatan

daerah.

Beberapa pertimbangan yang dalam pembentukan daerah otonom baru adalah memperhatikan

bahwa, pembentukan daerah baru itu tidak boleh mengakibatkan daerah induk tidak mampu lagi

melaksanakan otonomi daerahnya. Dengan demikian baik daerah yang dibentuk maupun daerah yang

dimekarkan atau daerah Induk secara sendiri-sendiri dapat melaksanakan otonomi daerahnya sesuai

dengan ketentuan yang berlaku

Seiring dengan telah berjalannya pelaksanaan otonomi daerah pada daerah kabupaten induk dan

kabupaten pemekaran yaitu; Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Lampung Utara sebagai

kabupaten induk dan kabupaten Tanggamus, Kabupaten Way Kanan dan Kabupaten Tulangbawang

sebagai kabupaten pemekaran baru, maka perlu dikaji signifikansi dan kemandirian keuangan

daerahnya setelah otonomi daerah selama tahun 2005 – 2010.

Dari hasil penelitian dan berdasarkan hasil perhitungan dan pembahasan selama tahun anggaran

2005-2010 Kemandirian Keuangan Daerah/Derajat Desentralisasi Fiskal 3 (Tiga) daerah pemekaran

dan 2(dua) daerah induk pasca pemekaran menunjukan peningkatan yang tidak signifikan

dibandingkan dengan periode sebelum pemekaran dan peningkatannya tersebut belum mampu untuk

menjadikan daerah-daerah ini sebagai daerah yang benar-benar mandiri, hal ini dikarenakan

peningkatannya masih sangat relatif kecil.

Kemandirian tertinggi diantara 3 (tiga) daerah pemekaran dan 2 (dua) kabupaten induk dimiliki

oleh Kabupaten Way Kanan tidak lebih dari 25 persen dari PAD dan Bagi Hasil Pajak Daerahnya. Hal

ini berarti ketergantungan terhadap pusat masih sangat besar sekali sehingga keberhasilan kebijakan

pemekaran daerah selama enam tahun lamanya yang seperti diharapkan belum benar-benar terwujud.

Ketergantungan 3 (tiga) daerah pemekaran maupun 2 (dua) daerah induk terhadap pusat masih

cukup tinggi, hal ini dikarenakan baik daerah pemekaran maupun daerah induk belum mampu

mengoptimalkan potensi daerah dalam meningkatkan PAD. Rendahnya PAD pada gilirannya

menyebabkan ketergantungan terhadap subsidi dari pusat dan ini disebabkan; Pertama, kurang

berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Kedua adalah tingginya derajat

sentralisasi dalam bidang perpajakan. Penyebab ketiga adalah kendati pajak daerah cukup beragam,

ternyata hanya sedikit yang bias diandalkan sebagai sumber penerimaan. Faktor penyebab

ketergantungan fiskal yang ke empat adalah faktor politis. Adanya kekhawatiran apabila daerah

mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan separatisme.

Faktor terakhir penyebab adanya ketergantungan tersebut adalah kelemahan dalam pemberian subsidi

dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, alternatif solusi yang perlu

diupayakan adalah dengan peningkatan PAD baik secara intensifikasi maupun ekstensifikasi, sehingga

peluang-peluang baru untuk penerimaan daerah dapat digali.

Kata Kunci: Pemekaran, daerah induk, ketergantungan fiskal,

I. PENDAHULUAN

Dalam sistim pemerintahan daerah di Indonesia dikenal dengan pemerintah Kabupaten/kota yang

membawahi kecamatan dan pemerintahan tingkat desa. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dinyatakan bahwa Daerah Otonom adalah kesatuan

masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-

undangan.Sedangkan berdasarkan Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Daerah pada Bab II Bagian Kesatu Pasal 5 Ayat 1 bahwa pembentukan suatu Daerah Otonom baru

sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 harus memenuhi persyaratan administratif, teknis & fisik

kewilayahan.

Pembentukan daerah harus bermanfaat bagi pembangunan nasional pada umumnya dan

pembangunan daerah pada khususnya dengan tujuan meningkatkan pelayanan publik dan

kesejahteraan masyarakat yang secara tidak langsung diharapkan dapat meningkatkan pendapatan

daerah. Disamping itu pembentukan daerah juga mengandung arti bahwa daerah tersebut harus

mampu melaksanakan Otonomi Daerahnya sesuai dengan kondisi, potensi, kebutuhan dan kemampuan

daerah yang bersangkutan.

Pembentukan suatu Daerah Otonom baru, tidak boleh mengakibatkan daerah induk tidak mampu

lagi melaksanakan Otonomi Daerahnya. Dengan demikian baik daerah yang dibentuk maupun daerah

yang dimekarkan atau daerah Induk secara sendiri-sendiri dapat melaksanakan Otonomi Daerahnya

sesuai ketentuan yang berlaku. Selama Otonomi Daerah di Propinsi Lampung khususnya untuk

pemerintahan daerah tingkat kabupaten telah dilakukan pemekaran dari kabupaten induk menjadi

kabupaten baru sebagai kabupaten pemekaran. Kabupaten Lampung Utara telah dilakukan pemekaran

daerah otonomi baru menjadi Kabupaten Tulangbawang, Kabupaten Way Kanan dan Kabupaten

Lampung Barat, sedangkan kabupaten Induk Lampung Selatan dimekarkan menjadi daerah otonomi

baru Kabupaten Tanggamus. Perkembangan Daerah Otonomi Baru ini hingga kini telah menunjukkan

kemajuan-kemajuan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, dan pelayanan

kepada masyarakat, namun dalam perkembangannya perlu ditingkatkan sesuai dengan potensi dan

kebutuhan pada masa mendatang.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2008 Tentang Pedoman

Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, salah satu indikator dalam mengevaluasi

penyelenggaraan pemerintah daerah yang menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat tercermin

dari besaran nilai PDRB atau Nilai Tambah Bruto yang diciptakan oleh seluruh unit kegiatan ekonomi

yang berada di wilayah yang bersangkutan selama periode waktu tertentu. Berikut tabel 1 yang akan

memperlihatkan tentang perbandingan potensi ekonomi daerah 3 daerah pemekaran dan dua

kabupaten induk di Propinsi Lampung.

Tabel 1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)

3 (Tiga) Kabupaten Daerah Hasil Pemekaran (2000 = 100) tahun 2005-2010 (juta

Rupiah)

Kabupaten/

Kota Tulang

Bawang (%) Way Kanan (%) Tanggamus (%)

2005 2.883.218,48 - 349.393,20 - 941.541,59 - 2006 3.350.344,96 16,20 361.055,40 3,34 979.467,86 4,03 2007 3.569.337,13 6,54 393.451,40 8,97 1.019.837,15 4,12 2008 3.541.812,29 -0,77 408.799,72 3,90 1.067.347,47 4,66 2009 3.536.920,62 -0,14 426.899,95 4,43 1.110.859,57 4,08 2010 3.590.962,18 1,53 452.257,75 5,94 1.157.158,63 4,17

Rata-Rata 3.412.099,28 4,67 398.642,90 5,32 1.046.035,38 4,21

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2011( data diolah).

Tabel 1 diatas memperlihatkan bahwa pada periode tahun 2005-2010 dari ketiga daerah hasil

pemekaran yang memiliki rata-rata potensi tingkat perekonomian (PDRB) tertinggi adalah Kabupaten

Tulangbawang namun rata-rata laju pertumbuhan ekonominya masih dibawah Kabupaten Way Kanan

yang sudah jelas potensi daerahnya jauh dibawah kabupaten Tulangbawang dan Kabupaten

Tanggamus.

Tabel 2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan Laju Pertumbuhan Ekonomi(%)

2 (Dua) Kabupaten Induk. (2000 =100) Sebelum dan Sesudah Pemekaran (dalam juta

Rupiah)**

Tahun PDRB dan Laju Pertumbuhan Ekonomi (%) Sebelum Pemekaran Lampung Selatan (%) Lampung Utara (%)

1999 9.825.514 - 5.323.089 - 2000 6.090.045 -38 5.686.725 6,74 2001 6.237.925 2,43 5.933.532* 4,43 2002 5.279.169 -15,37 5.350.047 -9,83 2003 5.438.088* 3,01 6.053.898 13,2

Rata-rata 6.574.148 -11,98 5.669.458 3,63

2004 3.858.511** 9.873.959**

Sesudah Pemekaran 2005 2.114.577,02 - 3.796.310,53 - 2006 2.187.695,93 3,46 3.966.855,14 4,49 2007 2.299.742,33 5,12 4.189.331,37 5,61 2008 2.423.303,27 5,37 4.446.177,77 6,13 2009 2.539.596,51 4,80 4.676.249,14 5,17 2010 2.662.858,55 4,85 4.947.565,51 5,80

Rata-Rata 2.371.295,60 4,72 4.337.081,58 5,44

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2010 ( data diolah).

Keterangan : * Persiapan Tahun Pemekaran ( Sebelum Desentralisasi Fiskal).

* * Awal Tahun Pemekaran

Dari Tabel 2 dapat diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi 2 (Dua) Kabupaten Induk disaat

sebelum pemekaran untuk Kabupaten Lampung Selatan tidak mengalami peningkatan namun setelah

dilakukan pemekaran besaran nilai PDRB dan laju pertumbuhan ekonomi 2 (dua) Kabupaten Induk ini

mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Otonomi daerah yang disertai dengan konsep desentralisasi fiskal akan memungkinkan untuk

diberlakukannya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, yang di jabarkan dalam undang-

undang No 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, pada BAB IV Pasal 5,

dinyatakan bahwa sumber-sumber penerimaan daerah terdiri dari :

1. Pendapatan Asli Daerah

2. Dana Perimbangan

3. Lain-lain Pendapatan

Pasal selanjutnya yaitu Pasal 6 menjelaskan tentang macam-macam PAD, yaitu :

1. Hasil Pajak Daerah

2. Hasil Retibusi daerah

3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan

4. Lain-lain PAD yang sah

Berikutnya masih dalam UU No.33 Tahun 2004 Bab IV pasal 10 menjelaskan tentang macam

dari dana perimbangan, yaitu:

1. Dana Bagi Hasil

2. Dana Alokasi Umum (DAU)

3. Dana Alokasi Khusus(DAK)

Dari penjelasan diatas, menurut Sukanto Reksohadiprojo (2000), dapat terbentuk variabel derajat

desentralisasi fiskal suatu daerah. Derajat desentalisasi fiskal ini merupakan alat untuk mengukur

seberapa besar tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat. Berikut ini dapat dilihat variabel derajat

desentralisasi fiskal untuk 3 (tiga) kabupaten hasil pemekaran dan 2 (dua) kabupaten induk di Propinsi

lampung.

Tingkat ketergantungan daerah terhadap pusat/derajat desentralisasi fiskal dapat diukur dari

kapasitas besaran Pendapatan Asli Daerah (PAD). Dalam rangka otonomi setiap daerah dituntut

kemandiriannya, kemandirian suatu daerah berkaitan erat dengan dengan sumber-sumber

penerimaannya. Salah satu sumber penerimaan daerah itu adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa sesudah pemekaran rata-rata PAD tiga kabupaten daerah

hasil pemekaran dan 2 (dua) kabupaten induk (sebelum desentralisasi fiskal) mengalami penurunan

namun rata-ratanya meningkat setelah mengalami desentralisasi fiskal.

Tabel 3. Realisasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) 3 (Tiga) Kabupaten Pemekaran dan

2 (dua) Kabupaten Induk Periode Tahun 2000-2010 (dalam ribu rupiah)

Tahun Pendapatan Asli Daerah (PAD)

Sebelum

Pemekaran

Kab.

Tulangba

wang+)

Kab. Way

Kanan+) Kab.Tangga

mus+) Lampung Utara=)

Lampung

Selatan=*)

2000 5.833.130 5.833.130 3.092.610 5.833.130 3.092.610 2001 6.444.990 6.444.990 2.499.860 6.444.990 2.499.860 2002 1.615.820 1.615.820 6.537.030 1.615.820 6.537.030

Rata-rata 4.631.313 4.631.313 4.043.167 4.631.313 4.043.167 2003 468.095 4.758 142.083 6.154.006 2.556.804

2004**) 404.850 4.030 122.550 5.361.170 2.205.240 Rata-rata 436.473 4.394 132.317 5.757.588 2.381.022

Sesudah Pemekaran (Sesudah Desentralisasi Fiskal) 2005 2.903.890 4.478.011 568.275 7.064.155 4.562.010 2006 3.521.077 7.198.011 2.680.220 8.521.042 6.090.063 2007 6.742.737 9.871.027 3.698.453 8.819.354 15.307.065 2008 7.291.966 10.511.112 2..309.951 10.197.328 8.402.191 2009 7.499.519 12.899.125 2.585.982 11.101.714 8.507.297 2010 16.791.823 17.543.355 8.403.530 14.215.610 11.295.194

Rata-rata 7.458.502 11.060.526 3.587.292 4.225.321 9.027.303

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung,2011 (data diolah).

Keterangan : +) Gabung dengan kabupaten induk tahun 2000-2002

=) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Way Kanan dan Tulangbawang tahun

20002002.

=*) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tanggamus tahun 2000- 2002

**) Awal Tahun Pemekaran Sebelum Desentralisasi Fiskal.

Untuk mengukur kemampuan keuangan daerah/desentralisasi fiskal dengan menggunakan

variabel kedua dan ketiga adalah bagi hasil pajak dan bukan pajak untuk 3 (Tiga) kabupaten hasil

pemekaran dan 2 (dua) kabupaten induk di Propinsi Lampung.

Tabel 4 menjelaskan tentang perolehan bagi hasil pajak dari 3 kabupaten daerah hasil pemekaran

dan 2 (Dua) kabupaten induk di Propinsi Lampung sesudah pemekaran (sebelum desentralisasi fiskal)

mengalami penurunan kecuali kabupaten Lampung Utara yang mengalami peningkatan. Akan tetapi

sesudah pemekaran (setelah desentralisasi fiskal), rata-rata bagi hasil pajak seluruh kabupaten baik

induk maupun daerah hasil pemekaran mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Tabel 4. Realisasi Bagi Hasil Pajak 3 (Tiga) Kabupaten Pemekaran dan 2 (dua) Kabupaten

Induk Periode Tahun 2000-2010 (ribu rupiah)

Tahun Bagi Hasil Pajak

Sebelum

Pemekar

an

Kab.

Tulangba wang+)

Kab. Way

Kanan+) Tanggamus

+) Lampung Utara=)

Lampung

Selatan=*)

2000 9.237.170 9.237.170 5.004.400 9.237.170 5.004.400 2001 9.976.881 9.976.881 6.285.885 9.976.881 6.285.885

2002 15.101.91

5 15.101.915 6.676.929 15.101.915 6.676.929

Rata-rata 11.438.65

5 11.438.655 5.989.071 11.438.655 5.989.071

2003**) 2.636.999 1.919.651 2.999.795 20.263.412 4.555.999 2004**) 2.274.410 1.655.700 2.587.320 8.738.600 3.929.550

Rata-rata 2.455.705 1.787.676 2.793.558 14.501.006 4.242.775 Sesudah Pemekaran (Sesudah Desentralisasi Fiskal)

2005 8.127.592 4.941.722 7.530.127 10.891.555 7.474.297

2006 17.888.25

4 13.222.772 9.642.530 32.102.687 10.566.528

2007 25.637.28

9 13.942.436 27.622.180 36.317.277 14.019.069

2008 23.067.39

1 20.579.287 25.678.370 30.513.261 16.010.577

2009 32.713.71

4 13.323.590 21.353.465 32.323.490 17.020.920

2010 40.918.87

3 20.411.210 21.000.000 34.203.145 23.548.687

Rata-rata 24.725.51

9 14.403.503 18.804.445 29.391.903 14.773.34

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung,2011 (data diolah).

Keterangan : +) Gabung dengan kabupaten induk tahun 2000-2002

=) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tulangbawang dan Kabupaten Way Kanan

tahun 2000-2002.

=*) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tanggamus tahun 2000-2002.

**) Awal Tahun Pemekaran Sebelum Desentralisasi Fiskal.

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa realisasi perolehan bagi hasil bukan pajak dari 3 daerah

kabupaten hasil pemekaran dan 2(Dua) Kabupaten Induk di Propinsi Lampung, sesudah pemekaran

(sebelum desentralisasi fiskal) mengalami penurunan. Akan tetapi sesudah pemekaran (setelah

desentralisasi fiskal) mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Tabel 5. Realisasi Bagi Hasil Bukan Pajak 3 (Tiga) Kabupaten Pemekaran dan 2 (Dua)

Kabupaten Induk di Propinsi Lampung Periode 2000-2010 (dalam ribu rupiah)

Tahun Bagi Hasil Bukan Pajak

Sebelum

Pemekaran

Kab.

Tulangba

wang+)

Kab. Way

Kanan+)

Kab.

Tanggamus

+)

Lampung Utara=)

Lampung

Selatan=*)

2000 240.180 240.180 640.140 240.180 640.140 2001 286.216 286.216 779.610 286.216 779.610 2002 221.826 221.826 245.068 221.826 245.068

Rata-rata 249.407 249.407 554.939 249.407 554.939 2003**) 17.792 16.409 18.403 167.571 207.886 2004**) 15.350 14.150 15.870 144.320 179.300

Rata-rata 16.571 15.280 17.137 155.946 193.593 Sesudah Pemekaran (Sesudah Desentralisasi Fiskal)

2005 21.305.512 13.377.546 13.468.017 85.834 13.371.585 2006 39.835.362 16.113.330 16.711.350 17.082.946 15.953.436 2007 42.574.688 12.353.052 27.622.177 17.082.946 20.476.000 2008 33.646.460 18.269.528 274.209 14.914.809 16.091.280 2009 59.015.048 24.850.330 24.730.756 15.329.270 16.220.129 2010 70.477.021 20.421.200 22.050.000 16.323.028 28.834.180

Rata-rata 44.475.515 17.564.164 17.476.085 13.469.805 18.491.102

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung,2011 (data diolah).

Keterangan : +) Gabung dengan kabupaten induk tahun 2000-2002

=) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tulangbawang dan Kabupaten Way Kanan

tahun 2000-2002.

=*) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tanggamus tahun 2000- 2002.

**) Awal Tahun Pemekaran Sebelum Desentralisasi Fiskal.

Untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah maka setiap daerah menerima bagian

sumbangan dan bantuan, besarnya bagian sumbangan dan bantuan di setiap daerah kabupaten di

Propinsi Lampung berbeda-beda, sehingga kemandirian fiskalnya setiap daerah berbeda pula.

Sumbangan daerah atau lebih dikenal dengan Dana Alokasi Umum (DAU) adalah merupakan variabel

keempat dalam derajat desentralisasi fiskal. Pada tabel 6 dapat dilihat besarnya bagian sumbangan dan

bantuan/DAU di 3 daerah kabupaten/kota yang mengalami pemekaran dan 2(dua) kabupaten induk di

Propinsi Lampung.

Tabel 6. Realisasi DAU (Dana Alokasi Umum) 3(Tiga) Kabupaten pemekaran dan 2(Dua)

Kabupaten Induk di Propinsi Lampung Periode Tahun 2000-2010 (ribu rupiah).

Tahun Dana Alokasi Umum

Sebelum

Pemekara

n

Kab.

Tulangba wang+)

Kab. Way

Kanan+) Tanggamus

+) Lampung Utara=)

Lampung

Selatan=*)

2000 116.753.690 116.753.690 75.091.750 116.753.690 75.091.750 2001 137.527.015 137.527.015 102.362.210 137.527.015 102.362.210 2002 150.348.667 150.348.667 80.510.377 150.348.667 80.510.377

Rata-rata 134.876.457 134.876.457 85.988.112 134.876.457 85.988.112 2003**) 2.611.530 2.369.965 4.050.657 210.408.852 94.670.057 2004**) 313.600 2.013.300 202.690 142.521.120 57.145.910

Rata-rata 1.462.565 2.191.633 2.126.674 176.464.986 75.907.984 Sesudah Pemekaran (Sesudah Desentralisasi Fiskal)

2005 168.987.983 111.452.576 105.328.941 255.280.532 200.310.920 2006 209.730.000 111.829.181 120.110.000 272.870.000 201.290.569 2007 241.020.000 124.554.000 129.600.000 296.049.994 232.310.000 2008 257.028.000 122.427.811 141.177.000 308.268.000 215.610.000 2009 282.847.000 128.166.080 154.730.000 331.429.000 225.960.000 2010 445.966.498 178.609.000 233.913.000 549.303.000 368.683.000

Rata-rata 267.596.580 129.506.441 147.476.490 335.533.421 240.694.081

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung,2011 (data diolah)

Keterangan : +) Gabung dengan kabupaten induk tahun 2000-2002

=) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tulangbawang dan Kabupaten Way Kanan

Tahun 2000- 2002=*) .

**) Awal Tahun Pemekaran Sebelum Desentralisasi Fiskal.

Tabel 6 memperlihatkan perolehan sumbangan daerah dalam hal ini berupa Dana Alokasi Umum

(DAU), untuk seluruh kabupaten baik daerah hasil pemekaran maupun daerah induk pasca pemekaran

(sebelum desentralisasi fiskal) namun pasca pemekaran (setelah desentralisasi fiskal) mengalami

peningkatan yang cukup signifikan. Untuk kabupaten Tulangbawang pasca pemekaran (setelah

desentralisasi fiskal) memperoleh bagian yang terbesar dan kenaikannya pun merupakan yang

tertinggi jika di bandingkan kabupaten lainnya termasuk lebih tinggi dari kabupaten induknya yaitu

Kabupaten LampungUtara . Untuk Kabupaten Tanggamus juga terus mengalami peningkatan namun

jumlah perolehan DAU lebih kecil dari kabupaten induknya yaitu Kabupaten Lampung Selatan,

sedangkan untuk Kabupaten Way Kanan pada tahun 2009 mengalami sedikit penurunan dan jumlah

perolehan DAU lebih kecil dari kabupaten induknya. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini

adalah mengukur dan membandingkan derajat desentralisasi fiskal masing-masing kabupaten hasil

pemekaran di Propinsi Lampung tahun anggaran 2005-2010, yaitu Kabupaten Tulangbawang,

Kabupaten Way Kanan, dan Kabupaten Tanggamus. Mengetahui signifikansi derajat desentralisasi

fiskal Kabupaten hasil pemekaran dengan kabupaten induk atau daerah yang dimekarkan. Mengetahui

keberhasilan pemerintah pusat dalam menerapkan kebijakan pemekaran daerah

Daerah pemekaran baru dapat dikatakan mampu menjalankan sistim birokrasi dengan prinsip

otonomi yang benar apabila daerah tersebut mampu berorientasi mengelola keuangannya artinya

daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber

keuangan sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk

membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Tingkat ketergatungan pada pemerintah pusat

harus seminimal mungkin sehingga Pendapatan Asli Daerah harus menjadi bagian terbesar dalam

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Kemampuan dari pemerintah Daerah dalam mengumpulkan dan mengelola sumber-sumber

keuangan daerah nantinya sangat menentukan berhasil tidaknya menciptakan kemandirian daerah yang

diharapkan. Untuk mencapai tujuan tersebut kesulitan yang dihadapi pemerintah Daerah adalah di

bidang keuangan. Fenomena umum yang dihadapi oleh sebagian besar daerah di Indonesia adalah

relatif kecilnya peranan/kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) di dalam struktur Anggaran

Pendapatan Belanja Daerah. Dengan kata lain, peranan/kontribusi penerimaan yang berasal dari

pemerintah pusat dalam bentuk sumbangan dan bantuan, bagi hasil pajak dan bukan pajak,

mendominasi susunan APBD.

Untuk mengetahui keberhasilan 3 kabupaten hasil pemekaran yang berdasarkan Undang- Undang

No 12 tahun 1999 mengalami pemekaran pada tanggal 27 April 1999 yaitu Kabupaten

Tulangbawang, Kabupaten Way Kanan dan Kabupaten Tanggamus, yang merupakan bagian dari

kabupaten yang ada di Propinsi Lampung dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah maka perlu

kiranya dianalisis : “Bagaimanakah signifikansi dan kemandirian keuangan daerah setelah

otonomi pada 3(Tiga) Kabupaten hasil pemekaran di daerah otonom Propinsi Lampung tahun

anggaran 2005-2010”.

II. STUDI LITERATUR DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 129 Tahun 2000 yang telah diganti

dengan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Persyaratan Pembentukan Dan Kriteria

Pemekaran, Penghapusan, Dan Penggabungan Daerah dan sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang-

undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah diganti menjadi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintah Daerah, Daerah dibentuk berdasarkan pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi

daerah, sosial budaya, sosial politik, jumlah penduduk, luas daerah, dan pertimbangan lain yang

memungkinkan terselenggaranya Otonomi Daerah. Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah

mampu melaksanakan otonomi :

1. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk

menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup

memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan.

2. Ketergantungan pada dana Pemerintah Pusat harus seminimal mungkin, agar PAD dapat menjadi

bagian sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan

daerah sehingga peranan Pemerintah Daerah menjadi lebih besar (Bunga Rampai Manajemen

Keuangan daerah, 2001 :167).

Kedua ciri tersebut akan ikut mempengaruhi pola hubungan fungsional yang akan diterapkan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang tentunya tidak selalu seragam antara daerah yang satu

dengan daerah yang lainnya. Kondisi ini juga terjadi di Propinsi Lampung yang wilayah

administrasinya terdiri dari dua kota dan sembilan kabupaten, memiliki karakteristik yang relatif tidak

sama sehingga tingkat kemandirian masing-masing daerah berbeda sesuai dengan kondisi dan potensi

serta kebutuhan masing-masing daerah yang bersangkutan.

Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah harus didukung oleh pengelolaan

Keuangan Daerah yang baik dan bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya dapat meningkatkan

efisiensi dan efektifitas terhadap pelayanan kepada publik dan kesejahteraan masyarakat seluruhnya.

Hal inilah yang menyebabkan masalah keuangan dianggap sebagai salah satu kriteria dasar untuk

mengetahui kemampuan dan kemandirian suatu daerah dalam mengurus rumah tangga daerahnya

masing-masing.

Kemandirian harus diikuti oleh kemampuan daerah yang meyakinkan dalam hal keuangan,

bagaimana keberhasilan masing-masing daerah pemekaran dan daerah induk dalam menghadapi

otonomi daerah, hal ini dapat terlihat pada Anggaran Pendapatan Belanja Daerah(APBD).

Kemandirian daerah tergantung kepada posisi keuangan daerah itu sendiri, yang merupakan

elemen penting dalam otonomi daerah seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, sehingga dalam

mengelola keuanganya, pemerintah daerah harus melakukan efisiensi dan efektifitas agar tercapai

suatu kondisi kestabilan jangka lama, untuk itu perlu dilakukan usaha untuk mencapai efisiensi dan

efektifitas (Suparmoko M : 2002), diantaranya adalah :

1. Peningkatan produktivitas

2. Hapuskan sebab-sebab biaya tinggi

3. Tentukan batas konsumsi maksimal layak

4. Peningkatan PAD

5. Perbaikan Kualitas SDM ( produktif, efisien, dan bermoral)

6. Pertahankan fungsi lingkungan

7. Kerja sama antar daerah

Selain itu daerah dituntut untuk berfikir kreatif dan inovatif untuk mencari alternatif sumber

pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari

pemerintah pusat. Selanjutnya menurut Yulianti (Bunga Rampai Manajemen Keuangan

Daerah,2001:26) menyatakan bahwa untuk melihat kesiapan Pemerintah Daerah khususnya di bidang

keuangan, diukur dengan menggunakan derajat desentralisasi fiskal.

Derajat desentralisasi fiskal bisa dijadikan sebagai suatu ukuran kemandirian suatu daerah, yang dapat

memperlihatkan apakah suatu daerah itu sudah mencapai efisiensi dan efektifitas. Indikator dalam

mengukur kemandirian ini adalah ;

1. Pendapatan Asli Daerah

2. Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP)

3. Dana Alokasi Umum (DAU).

Pengertian Otonomi Daerah

Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, bahwa otonomi

daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat

hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri. Otonomi yang diberikan kepada daerah kabupaten dan kota

dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah

secara proporsional. Pelimpahan tanggungjawab akan diikuti oleh pengaturan pembagian, dan

pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta pelimpahan keuangan pusat dan daerah.

Prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2004 mencakup aspek-aspek berikut :

1. Penyelenggaraan Otonomi Daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi,

keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman.

2. Pelaksanaan Otonomi Daerah didasarkan pada otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.

3. Pelaksanaan otonomi yang luas dan utuh diletakkan pada daerah kabupaten dan daerah kota,

sedang otonomi propinsi lebih merupakan otonomi yang terbatas.

4. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus sesuai dengan konstitusi negara sehingga tetap terjamin

hubungan yang serasi antara pusat dan daerah.

5. Pelaksanakan Otonomi Daerah harus meningkatkan kemandirian Daerah Otonom.

6. Pelaksanaan Otonomi Daerah harus lebih meningkatkan peran dan fungsi badan legislatif daerah,

baik sebagai fungsi legislasi, fungsi pengawasan maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan

Pemerintah Daerah.

7. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakan pada daerah propinsi dalam kedudukannya sebagai

wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu yang dilimpahkan

kepada gubernur sebagai wakil pemerintah.

8. Pelaksanaan asas tugas perbantuan dimungkinkan tidak hanya dari pemerintah kepada daerah

tetapi juga dari pemerintah dan daerah kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana, dan

prasarana, serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan

mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskan.

Hakikat dari otonomi daerah adalah adanya hak penuh untuk mengurus dan menjalankan sendiri

apa yang menjadi bagian dan wewenangnya. Menurut Laode Ida dalam Saragih (April 2003;16)

bahwa sedikitnya ada tiga esensi dari otonomi daerah. Pertama, pengelolaan kekuasaan berpusat pada

tingkat lokal yang berbasis pada rakyat. Kedua, dimensi ekonomi. Artinya, dengan otonomi daerah,

maka daerah-daerah diharapkan mampu menggali dan mengembangkan sumber-sumber ekonomi yang

ada diwilayahnya. Adanya kemampuan daerah untuk membiayai sendiri paling tidak memperkecil

ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Ketiga, dimensi budaya. Artinya, dengan otonomi daerah

masyarakat lokal harus diberikan kebebasan untuk berekspresi dalam mengembangkan kebudayaan

lokal.

Menurut Suparmoko (2002;19), terdapat keuntungan dalam melaksanakan otonomi daerah yaitu

pemerintah daerah dapat melaksanakan kegiatan yang lebih efisienpada sebgaian kegiatan, sedangkan

sebagian kegiatan yang lain akan lebih efisien dilakukan oleh pemerintah pusat. Dengan otonomi

daerah dituntut untuk mencari alternatif sumber pembiayaan pembangunan tanpa mengurangi harapan

masih adanya bantuan dan bagian (sharing) dari pemerintah pusat. Pemberian otonomi daerah

diharapkan dapat memberikan keleluasaan kepada daerah dalam pembangunan daerah melalui usaha-

usaha yang sejauh mungkin mampu meningkatkan partisispasi aktif masyarakat, karena pada dasarnya

terkandung tiga misi utama sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi, yaitu :

1. Menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah.

2. Meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat.

3. Memberdayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut serta (berpartisispasi) dalam

proses pembangunan. (Mardiasmo,2002:99).

Pengertian Desentralisasi

Pembangunan daerah sebagai bagian integral dari pembangunan nasional pada hakekatnya adalah

upaya untuk meningkatkan kapasitas pemerintah daerah sehingga tercipta suatu kemampuan yang

handal dan profesional dalam menjalankan pemerintahan seta memberikan pelayanan prima kepada

masyarakat.

Pada saat ini pembangunan daerah dilakukan dengan pendekatan desentralisasi. Pendekatan

desentralisasi mengandung arti bahwa pembangunan daerah sebagian besar merupakan wewenang

daerah dan dilaksanakan sendiri oleh daerah (pemda) secara otonomi.

Elmi (2002) yang dikutip oleh Mohammad Khusaini (2006) mengungkapkan definisi terhadap

desentralisasi,” Desentralisasi berarti memberikan sebagian dari wewenang pemerintah pusat kepada

daerah, untuk melaksanakan dan menyelesaikan urusan yang menjadi tanggung jawab dan

menyangkut kepentingan daerah yang bersangkutan (otonomi). Urusan yang menyangkut kepentingan

dan tanggung jawab suatu daerah, misalnya a) urusan umum dan pemerintahan, b) penyelesaian

fasilitas pelayanan, dan c) urusan sosial, budaya, agama, dan kemasyarakatan.”

Undang-undang nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara pemerintah pusat

dan pemerintah daerah adalah peraturan perundangan yang merupakan bentuk pengaturan sistem

pembiayaan dalam rangka desentralisasi. Desentralisasi dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2004

pasal 1 ayat 7 adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk

mengatur dan mengurus pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara

umum desentalisasi dapat diartiakan sebagai pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke level

pemerintahan yang ada di bawahnya.

Huther dan Shan (1998) mengamati bahwa bahaya dari sistem dezentralization adalah mulai dari

ismanagement macroeconomy, korupsi, dan melebarkan kesenjangan antar daerah yang kaya dan yang

miskin. Azfar, et al. (1999), juga menyimpulkan bahwa decentralization akan melebarkan disparitas

dalam pengeluaran sosial (sosial expenditure) jika pemerintah lokal bertanggung jawab untuk

pembiayaan dan penyalurannya. Secara teoritis, ada beberapa tipe desentralisasi yaitu desentralisasi

politik, desentralisasi administratif, dan desentralisasi fiskal (Osoro, 2003).

Pengertian Desentralisasi Fiskal

Desentralisasi fiskal dapat diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan

anggaran atau keuangan yang sebelumnya tersentralisasi, baik secara administrasi maupun

pemanfaatanya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat (Khusaini, 2006:97). Desentralisasi fiskal

terutama dimaksudkan untuk memindahkan atau menyerahkan sumber-sumber pendapatan dan faktor-

faktor pengeluaran ke daerah dengan mengurangi birokrasi pemerintahan.

Kebijaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2004 dan Undang-Undang 33 Tahun 2004 pada dasarnya bertujuan untuk :

a. Menjaga kebijaksanaan kebijaksanaan fiskal (fiscal sustainability) dalam konteks kebijaksanaan

ekonomi makro.

b. Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi antara

keuangan pemerintah pusat dan keuangan pemerintah daerah yang dilakukan dengan

memperbesar taxing power daerah.

c. Mengoreksi horizontal imbalance yaitu ketimpangan antar daerah dalam kemampuan

keuanganny, dimana relatif masih sangat bervariasi kemampuan keuangan antar daerah.

d. Meningkatkan pelayanan pada masyarakat.

e. Meningkatkan akuntabilitas, efektifitas, dan efisiensi dalam rangka peningkatan kinerja

pemerintah daerah.

f. Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik.

Dalam pelaksanaan desentralisasi fiskal, prinsip (rules) money should follow funcion merupakan

salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Setiap penyerahan atau pelimpahan

wewenang pemerintah membawa konsekuensi pada anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan

wewenang tersebut.

Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah merupakan derivatif dari kebijakan otonomi

daerah-pelimpahan sebagian wewenang pemerintahan dari pusat ke daerah. Artinya semakin banyak

wewenang yang dilimpahkan, maka kecenderungan semakin besar biaya yang dibutuhkan oleh daerah.

Namun, dalam pengelolaan pembiayaan tugas desentralisasi, prinsip efesiensi juga menjadi suatu

ketentuan yang harus dilaksanakan. Anggaran untuk pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan atau

pelayanan publik sedapat mungkin dikelola secara efisien, namun menghasilkan output yang maksimal

(Saragih, 2003:83-84).

Salah satu makna desentralisasi fiskal dalam bentuk pemberian otonomi di bidang keuangan

(sebagian sumber penerimaan) kepada daerah-daerah merupakan suatu proses pengintensifikasian

peranan dan sekaligus pemberdayaan daerah dalam pembangunan. Desentralisasi fiskal memerlukan

pergeseran beberapa tanggungjawab terhadap pendapatan (revenue) dan/atau pembelanjaan

(expenditure) ke tingkat pemerintahan yang lebih rendah. Faktor yang sangat penting menentukan

desentralisasi fiskal adalah sejauh mana pemerintah daerah diberi wewenang (otonomi) untuk

menentukan alokasi atas pengeluarannya sendiri. Faktor lainnya adalah kemampuan mereka untuk

meningkatkan penerimaan mereka (PAD).

Secara teoritis dapat dikatakan bahwa dengan desentralisasi, maka pemerintah daerah akan lebih

dekat kepada masyarakat (their constituent), sehingga pemerintah daerah diharapkan dapat memenuhi

kebutuhan dan keinginan masyarakat lokal (lokal needs and lokal preferences). Oleh karena itu,

dengan desentralisasi fiskal diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik (publik service delivery.

Indikator Desentralisasi Fiskal

Dalam indikator desentralisasi fiskal, terdapat tiga variabel yang merupakan reprentasi

desentralisasi fiskal di Indonesia. Ketiga variabel tersebut adalah sebagai berikut :

a. Desentralisasi Pengeluaran

Variabel ini didefinisikan sebagai rasio pengeluaran total masing-masing kabupaten/kota (APBD)

terhadap total pengeluaran pemerintah (APBN) [Kerk dan Woller, 1997; Zhang dan Zhou, 1998].

Hal ini menunjukan ukuran relatif pengeluaran pemerintah antara pemerintah daerah dengan

pemerintah pusat.

b. Desentralisasi Pengeluaran Pembangunan

Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total pengeluaran pembangunan masing-masing

kabupaten/kota (APBD) terhadap total pengeluaran pembanguanan nasional (APBN) (Zhang dan

Zhou, 1998). Variabel ini menunjukan besaran relatif pengeluaran pemerintah dalam

pembangunan antara pemerintah pusat dan daerah. Disamping itu, variabel ini juga

mengekspresikan besarnya alokasi pengeluaran pembangunan antara pemerintah pusat dan

daerah. Dari rasio ini juga dapat diketahui apakah pemerintah daerah dalam posisi yang baik

untuk melaksaksanakan investasi sektor publik atau tidak. Jika terdapat hubungan positif antara

variabel ini terhadap pertumbuhan ekonomi, maka pemerintah lokal dalam posisi yang baik untuk

melakukan investasi di sektor publik.

c. Desentralisasi Penerimaan

Variabel ini didefinisikan sebagai rasio antara total penerimaan masing-masing kabupaten/kota

(APBD), tidak termasuk subsidi terhadap total penerimaan pemerintah (Philips dan Woller,

1997). Variabel ini mengekspresikan besaran daerah terhadap pemerintah pusat.

Keuangan Daerah

Untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan kewenangan yang luas, nyata dan

bertanggung jawab di daerah secara proporsional, yang diwujudkan dengan pengaturan, pembagian,

dan pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan Pemerintah

Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan Pemerintah Daerah dalam rangka perimbangan keuangan

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan

tugas perbantuan.

Sumber-sumber penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri dari

1. Pendapatan Asli Daerah

2. Dana Perimbangan

3. Pinjaman Daerah, dan

4. Lain-lain penerimaan yang sah.

Sumber pendapatan asli daerah merupakan sumber keuangan daerah yang digali dari dalam

wilayah daerah yang bersangkutan terdiri dari:

1. Hasil pajak daerah

2. Hasil Retribusi daerah,

3. Hasil perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan,dan

4. Lain-lain penerimaan yang sah.

Tinjauan Pemekaran Daerah

Ketentuan dalam UU 32/2004

Pasal 4 mengatur pembentukan:

(1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) ditetapkan dengan undang-

undang

(2) Undang-undang pembentukan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain

mencakup nama, cakupan wilayah, batas, ibukota, kewenangan menyelenggarakan urusan

pemerintahan, penunjukan penjabat kepala daerah, pengisian keanggotaan DPRD, pengalihan

kepegawaian, pendanaan, peralatan, dan dokumen, serta perangkat daerah.

(3) Pembentukan daerah dapat berupa penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang

bersandingan atau pemekaran dari satu daerah menjadi dua daerah atau lebih.

(4) Pemekaran dari satu daerah menjadi 2 (dua) daerah atau lebih sebagaimana dimaksud pada ayat

(3) dapat dilakukan setelah mencapai batas minimal usia penyelenggaraan pemerintahan.

Pasal 5 mengatur persyaratan (1) Pembentukan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 harus memenuhi syarat

administratif, teknis, dan fisik kewilayahan.

(2) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk provinsi meliputi adanya

persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang akan menjadi cakupan wilayah

provinsi, persetujuan DPRD provinsi induk dan Gubernur, serta rekomendasi Menteri Dalam

Negeri.

(3) Syarat administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kabupaten/kota meliputi adanya

persetujuan DPRD kabupaten/kota dan Bupati/Walikota yang bersangkutan, persetujuan DPRD

provinsi dan Gubernur serta rekomendasi Menteri Dalam Negeri.

(4) Syarat teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi faktor yang menjadi dasar

pembentukan daerah yang mencakup faktor kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosial

budaya, sosial politik, kependudukan, luas daerah, pertahanan, keamanan, dan faktor lain yang

memungkinkan terselenggaranya otonomi daerah.

(5) Syarat fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi paling sedikit 5 (lima)

kabupaten/kota untuk pembentukan provinsi dan paling sedikit 5 (lima) kecamatan untuk

pembentukan kabupaten, dan 4 (empat) kecamatan untuk pembentukan kota, lokasi calon

ibukota, sarana, dan prasarana pemerintahan.

Pasal 6 mengatur syarat penghapusan/ penggabungan (1) Daerah dapat dihapus dan digabung dengan daerah lain apabila daerah yang bersangkutan tidak

mampu menyelenggarakan otonomi daerah.

(2) Penghapusan dan penggabungan daerah otonom dilakukan setelah melalui proses evaluasi

terhadap penyelenggaraan pemerintahan daerah.

(3) Pedoman evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 7 dan 8 mengatur legislasi penetapannya (1) Penghapusan dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) beserta

akibatnya ditetapkan dengan undang-undang.

(2) Perubahan batas suatu daerah, perubahan nama daerah, pemberian nama bagian rupa bumi serta

perubahan nama, atau pemindahan ibukota yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu

daerah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

(3) Perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan atas usul dan persetujuan daerah

yang bersangkutan.

Pasal 8. Tata cara pembentukan, penghapusan, dan penggabungan daerah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

III. METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data APBD (data sekunder) dalam runtun

waktu (time series), yaitu tahun 2005-2010 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi

Lampung. Untuk menunjang penulisan ini digunakan juga metode kepustakaan guna mencari literatur

yang berkaitan dengan tema penulisan. Data yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

1. Laporan Penerimaan PAD

Penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber daya yang dimiliki daerahnya sendiri, melalui

pemungutan resmi yang diatur oleh Undang-Undang yang berlaku.

2. Pajak Pusat Untuk Daerah

Data Pajak Pusat Untuk Daerah diambil dari penerimaan PAD pada bagian hasil pajak dan bukan

pajak.

3. Dana Alokasi Umum yaitu dana yang diperoleh daerah dari APBN (Anggaran Penerimaan dan

Belanja Daerah), untuk membantu memenuhi kebutuhan pengeluaran daerah.

4. Data-data lain yang diperlukan untuk mendukung penelitian ini.

Alat Analisis Untuk mengetahui derajat desentralisasi yang menggambarkan ketergantungan terhadap pusat

daerah pemekaran akan menggunakan rumus :

Derajat Desentralisasi Fiskal Alat analisis ini menggunakan data dan tabel untuk mengetahui perbandingan Derajat

Desentralisasi tiga kab/kota dengan membandingkan nilai PAD dengan Total Penerimaan Daerah

(TPD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP) terhadap TPD, dan Sumbangan/Bantuan

Pemerintah Pusat (SB) terhadap TPD, atau dapat dirumuskan sebagai berikut :

Rumus 1) DD = PAD x 100%

TPD

* Semakin besar nilai Derajat Desentralisasi fiskal (DD) maka ini berarti semakin besar pula

kemandirian fiskal suatu kabupaten.

Rumus 2) DDP = BHPBP x 100%

TPD

* Semakin besar nilai Derajat Desentralisasi Perpajakan(DDP) maka ini berarti semakin besar pula

kemandirian fiskal suatu kabupaten.

Rumus 3) DB = SB x 100%

TPD

* Semakin besar nilai Derajat Bantuan Pemerintah Pusat (DB ) maka ini berarti semakin besar pula

ketergantungan suatu kabupaten terhadap pusat.

Dimana TPD = PAD + BHPTP + SB

Keterangan :

DD = Derajat Desentralisasi Fiskal

DDP = Derajat Desentralisasi Perpajakan

DB = Derajat Bantuan Pemerintah Pusat

PAD = Pendapatan Asli Daerah

TPD = Total Penerimaan Daerah

BHPBP = Jumlah Penerimaan dari Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak

SB = Jumlah Penerimaan dari Bantuan dan Sumbangan (Ahmad, 2003:21)

Dari data Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak (BHPBP), dan

Dana Alokasi Umum (DAU) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD), dapat di gambarkan tingkat

kemandirian masing-masing kabupaten, pada tabel 7.

Tabel 7. Hasil Perhitungan Persentase PAD Terhadap TPD 3 Kab. hasil pemekaran dan

2 Kabupaten Induk Sebelum Pemekaran Periode tahun 2000-2002dan Sesudah

Pemekaran (Sebelum Desentralisasi Fiskal) Periode Tahun 2003-2004

Kabupaten Tahun Anggaran

Rata-rata Tahun Anggaran Rata-

rata 2000 2001 2002 2003**) 2004**) Tulangbawang+) 4,42 4,14 3,77 4,11 8,16 13,49 10,82 Way Kanan+) 4,42 4,14 3,77 4,11 0,11 4,03 2,07 Tanggamus+) 3,69 2,94 3,11 3,11 1,78 4,18 2,98 Lampung Utara=) 4,42 4,14 3,77 4,11 2,52 3,42 2,97 Lampung

Selatan=*) 3,69 2,94 3,11 3,11 2,42 3,47 2,95

Sumber : Perhitungan pada lampiran 1

Keterangan : +) Gabung dengan kabupaten induk tahun 2000 - 2002

=) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tulangbawang dan Kab. Way Kanan

tahun2000 - 2002.

=*) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tanggamus tahun 2000 - 2002.

**) Awal Tahun Pemekaran Sebelum Desentralisasi Fiskal.

Untuk persentase PAD terhadap TPD untuk tiga daerah hasil pemekaran maupun dua daerah

induk pasca pemekaran (sebelum desentralisasi fiskal) mengalami penurunan kecuali kabupaten

Tulangbawang yang mengalami peningkatan. Penurunan disebabkan oleh pada masa ini adalah masa

transisi atau pembenahan masing-masing kabupaten baik daerah induk maupun daerah hasil

pemekaran. Berikut tabel 8 perhitungan persentase PAD terhadap TPD kabupaten hasil pemekaran dan

kabupaten induk yang juga menggambarkan kemandirian masing-masing daerah tersebut pasca

pemekaran (sesudah desentralisasi fiskal).

Tabel 8. Hasil Perhitungan Persentase PAD terhadap TPD 3 kab pemekaran dan 2 kabupaten

induk Periode tahun 2005-2010

No Kabupaten Tahun Anggaran

Rata-rata 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Tulangbawang 1,44 1,30 2,13 2,27 1,96 2,92 2,00 2 Way Kanan 3,33 5,10 6,14 6,12 7,19 7,40 5,88 3 Tanggamus 0,45 1,80 2,30 1,38 1,27 2,86 1,68 4 Lampung Utara*) 2,44 2,64 2,52 2,88 2,78 2,28 2,59 5 Lampung Selatan*) 2,02 2,60 5,42 3,28 3,04 2,61 3,16

Sumber : Perhitungan pada lampiran 1

Keterangan : *) kabupaten induk

Untuk persentase PAD terhadap TPD untuk tiga daerah hasil pemekaran maupun dua daerah

induk pasca pemekaran ( sesudah desentralisasi fiskal) mengalami fluktuasi dan peningkatannya tidak

signifikan. Dibandingkan dengan periode sebelum pemekaran maupun sesudah pemekaran (sebelum

desentralisasi fiskal), derajat kemandirian (derajat desntralisasi fiskal) masing-masing kabupaten

hanya Kabupaten Way Kanan dan Kabupaten Lampung Selatan yang mengalami sedikit peningkatan.

Berdasarkan perhitungan keseluruhan nilai formula dapat dilihat Kabupaten Way Kanan memiliki

persentase (DD) lebih besar daripada kabupaten hasil pemekaran lainnya dan kabupaten induknya.

Tabel 9 dan 10 yang menggambarkan tingkat kemandirian masing-masing kabupaten berdasarkan

perolehan bagi hasil pajak dan bukan

Tabel 9. Hasil Perhitungan Persentase BHPBP Terhadap TPD 3 Kab Hasil Pemekaran dan 2

Kabupaten Induk Sebelum Pemekaran Periode tahun 2000- 2002 dan Sesudah

Pemekaran (Sebelum Desentralisasi Fiskal) Periode Tahun 2003 -2004

Kabupaten Tahun Anggaran

Rata-rata Tahun Anggaran

Rata-rata 2000 2001 2002 2003**) 2004**)

Tulangbawang+) 7,18 6,59 8,84 7,54 46,30 76,12 61,21 Way Kanan+) 7,18 6,59 8,84 7,54 40,81 45,29 86,10 Tanggamus+) 6,73 5,39 7,62 6,58 7,62 88,89 48,25 Lampung Utara=) 7,18 6,59 8,84 7,54 8,34 5,67 7,01 Lampung

Selatan=*) 6,73 5,39 7,62 6,58 4,51 6,47 5,49

Sumber : Perhitungan pada lampiran 1

Keterangan : +) Gabung dengan kabupaten induk tahun 2000 - 2002

=) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tulangbawang dan Way Kanan tahun 2000-

2002.

=*) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tanggamus tahun2000- 2002.

**) Awal Tahun Pemekaran Sebelum Desentralisasi Fiskal.

Untuk persentase BHPBP terhadap TPD untuk tiga daerah hasil pemekaran pasca pemekaran

(sebelum desentralisasi fiskal) mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Akan tetapi hal ini

tidak terjadi pada kabupaten induknya yang tidak mengalami peningkatan bahkan cenderung menurun

di masa transisi ini.

Tabel 10. Hasil Perhitungan Persentase BHPBP terhadap TPD 3 kab daerah pemekaran dan

2 kabupaten induk Periode tahun 2001-2006

No Kabupaten Tahun Anggaran

Rata-rata 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Tulangbawang 14,62 21,30 21,59 17,66 24,00 19,40 19,76

2 Way Kanan 13,64 20,78 16,36 22,61 21,34 17,23 18,66

3 Tanggamus 16,55 17,67 17,16 15,53 22,65 17,44 17,83

4 Lampung Utara* 11,86 15,27 15,28 12,84 14,31 9,52 13,18

5 Lampung Selatan* 9,23 11,34 12,22 12,53 16,12 12,12 12,26

Sumber : Perhitungan pada lampiran 1

Keterangan : *)kabupaten induk

Untuk persentase BHPBP terhadap TPD untuk tiga daerah hasil pemekaran maupun dua daerah

induk pasca pemekaran (sesudah desentralisasi fiskal) dibandingkan dengan pada masa sebelum

pemekaran mengalami fluktuasi dan mengalami peningkatan yang tidak signifikan. Berdasarkan nilai

formula dapat dilihat Kabupaten Tulangbawang memiliki persentase (DDP) lebih besar daripada

kabupaten lainnya. Tabel 11 dan 12 akan menggambarkan perolehan sumbangan dan bantuan yang

diterima oleh masing-masing kabupaten hasil pemekaran dan kabupaten induk.

Tabel 11. Hasil Perhitungan Persentase DAU Terhadap TPD 3 Kab Hasil Pemekaran dan 2

Kabupaten Induk Sebelum Pemekaran Periode tahun 2000 – 2003 dan Sesudah

Pemekaran (Sebelum Desentralisasi Fiskal) Periode Tahun 2003 -2004

Kabupaten Tahun Anggaran

Rata-rata Tahun Anggaran

Rata-rata 2000 2001 2002 2003**) 2004**)

Tulangbawang+) 88,41 79,09 63,51 77,00 45,54 10,42 27,89

Way Kanan+) 88,41 79,09 63,51 77,00 49,96 54,61 52,28

Tanggamus+) 89,58 86,74 88,59 88,31 50,88 6,92 28,90

Lampung Utara=) 88,41 79,09 63,51 77,00 61,28 92,83 77,05

Lampung

Selatan=*) 89,58 86,74 88,59 88,31 89,60 90,05 89,82

Sumber : Perhitungan pada lampiran 1

Keterangan : +) Gabung dengan kabupaten induk tahun 2000-2002

=) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tulangbawang dan Kab. Way Kanan

Tahun 2000-2002.

=*) Kabupaten induk termasuk Kabupaten Tanggamus tahun2000-2002.

**) Awal Tahun Pemekaran Sebelum Desentralisasi Fiskal.

Untuk persentase perolehan sumbangan /persentase DAU terhadap TPD untuk tiga daerah hasil

pemekaran maupun sesudah pemekaran (sebelum desentralisasi fiskal) mengalami penurunan.

Sedangkan kabupaten induknya mengalami sedikit peningkatan.

Tabel 12. Hasil Perhitungan Persentase DAU terhadap TPD 3 kab daerah pemekaran dan

2 kabupaten induk Periode tahun 2005-2010

No Kabupaten Tahun Anggaran

Rata-rata 2005 2006 2007 2008 2009 2010

1 Tulangbawang 83,94 77,40 76,28 80,07 74,04 77,68 78,24

2 Way Kanan 83,03 74,12 77,50 71,27 71,47 75,37 75,46

3 Tanggamus 83,00 80,53 80,54 83,09 76,08 79,70 80,49

4 Lampung Utara* 85,70 82,09 82,20 84,28 82,91 88,2 84,23

5 Lampung Selatan* 88,75 86,06 82,36 84,19 80,84 85,27 84,58

Keterangan : * Kabupaten Induk

Sumber : Perhitungan pada lampiran 1

Untuk persentase DAU terhadap TPD untuk tiga daerah hasil pemekaran maupun dua daerah

induk pasca pemekaran (sesudah desentralisasi fiskal) mengalami fluktuasi dan peningkatannya tidak

signifikan. Berdasarkan nilai formula dapat dilihat bahwa 2 kabupaten induk yaitu Kabupaten

Lampung Selatan dan kabupaten Lampung Utara memiliki persentase (DB) lebih besar daripada

kabupaten pemekarannya.Hal ini menunjukan bahwa tingkat ketergantungan kabupaten induk lebih

besar daripada daerah hasil pemekarannya. Untuk perolehan DB terkecil dimiliki oleh daerah hasil

pemekaran Kabupaten Lampung Utara yaitu Kabupaten Way Kanan. Hal ini juga menunjukan bahwa

tingkat kemandirian Way Kanan lebih besar dari pada kabupaten induk maupun daerah pemekaran

lainnya.

Persentase Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD)

Dengan menggunakan Formula 1 yaitu PAD/TPD x 100% periode sebelum pemekaran (2000 -

2002), kabupaten induk dan Kabupaten Awal Pemekaran (2003 – 2004) daerah hasil pemekarannya

masih sama karena daerah hasil pemekaran masih bergabung dengan induknya. Kabupaten Lampung

Utara yang merupakan induk dari Kabupaten Tulangbawang dan Way Kanan. Begitu juga dengan

Kabupaten Lampung Selatan yang juga mengalami penurunan. Persentase PAD terhadap TPD pada

masa sebelum pemekaran untuk daerah induk dan daerah hasil pemekaran masing-masing tidak lebih

dari 4 persen. Periode tahun 2003 yang merupakan masa transisi masing-masing daerah, atau masa

terjadinya pemekaran daerah kabupaten baik induk maupun daerah hasil pemekaran mengalami

penurunan kecuali kabuapatenTulangbawang, dan meningkat kembali di tahun 2004.

Pada tahun 2005 yaitu tahun dimulainya diterapkan desentralisasi fiskal untuk hasil rumus 1 yaitu

PAD/TPD x 100% dari tiga daerah hasil pemekaran yang memperoleh persentase paling rendah

adalah KabupatenTanggamus, disusul dengan KabupatenTulangbawang, dan yang tertinggi adalah

Kabupaten Way Kanan dan persentasenya melebihi daerah induknya yaitu LampungUtara. Sementara

itu untuk daerah induk Kabupaten Lampung Selatan daerah pemekarannya yaitu Kabupaten

Tanggamus memiliki persentase yang paling kecil.

Tahun 2006 untuk tiga daerah pemekaran hanya Kabupaten Tulangbawang yang mengalami

penurunan persentase sementara dua kabupaten lainnya yaitu Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten

Way Kanan mengalami peningkatan persentase. Peningkatan yang tertinggi tetap pada Kabupaten

Way Kanan yaitu sebesar 1,77%, dan kenaikan persentasenya diatas daerah induknya yaitu Kabupaten

LampungUtara.

Untuk daerah induk Kabupaten Lampung Selatan mengalami penurunan persentase sedangkan

daerah pemekarannya Kabupaten Tanggamus mengalami peningkatan persentase.

Tahun 2007 seluruh kabupaten daerah pemekaran mengalami peningkatan persentase.

Peningkatan tertinggi yaitu sebesar 1,04% berada pada Kabupaten Way Kanan. Sedangkan khususnya

daerah induk Lampung Utara mengalami penurunan persentase sebesar 0,12% . Sementara daerah

induk kabupaten Lampung Selatan mengalami peningkatan persentase sebesar 2,28 % dan

peningkatannya melebihi daerah pemekarannya.

Tahun 2008 untuk daerah pemekaran hanya kabupaten Tulangbawang yang mengalami

peningkatan sebesar 0,14%. Untuk kabupaten induk Lampung Utara mengalami peningkatan

persentase dan peningkatannya melebihi daerah pemekarannya yaitu sebesar 0,36%. Dan untuk daerah

induk Kabupaten Lampung Selatan mengalami penurunan persentase sebesar 1,14%.

Tahun 2009 semua kabupaten baik daearah pemekaran maupun daerah induk mengalami

penurunan dan hanya Kabupaten Way Kanan yang mengalami peningkatan sebesar 1,07%.

Tahun 2010 semua kabupaten daerah pemekaran mengalami peningkatan persentase, peningkatan

tertinggi dimiliki oleh Kabupaten Tanggamus yaitu sebesar 1,56%. Sementara dua kabupaten induk

yaitu Lampung Utara dan Lampung Selatan mengalami penurunan persentase dari tahun sebelumnya.

Dari uraian diatas dapat dilihat bahwa pasca pemekaran periode tahun 2005 hingga 2010, tiga

daerah hasil pemekaran yaitu KabupatenTulangbawang, Kabupaten Tanggamus dan Way Kanan tidak

banyak mengalami perubahan setiap tahunnya.

Dari hasil perhitungan Derajat Desentralisasi Fiskal diperoleh bahwa tingkat kemandirian 3

kabupaten daerah pemekaran yang di ukur melalui PAD selama tahun anggaran 2005 sampai dengan

2010, rata-rata tertinggi diantara tiga daerah tersebut adalah Kabupaten Way Kanan dengan Derajat

Desentralisasi Fiskal sebesar 5,88 persen. Sementara dua daerah pemekaran lainnya yaitu Kabupaten

Tulangbawang dan Tanggamus Derajat Desentralisasi Fiskalnya tidak lebih dari 2 persen, ini berarti

bahwa kemampuan 3 daerah pemekaran tersebut dalam membiayai pengeluaran daerah dalam hal ini

pengeluaran rutin kurang dari 6%. Meskipun jika dilihat perkembangannya dari tahun ke tahun

nampak bahwa proporsi PAD berfluktuasi akan tetapi tidak berpengaruh banyak dalam hal

meningkatkan kemandirian daerahnya karena kenaikannya pun tidak lebih dari 2%.

Hal diatas mencerminkan bahwa PAD sebagai manifestasi dari kebijakan desentralisasi fiskal

efektivitasnya sangat tergantung pada keragamaman dan potensi dari daerah yang bersangkutan

(Utoyo, 2002:5).

Adanya kesadaran pemerintah pusat akan berkurangnya penerimaan Negara dari minyak dan

pajak minyak, sehingga dapat menurunkan kemampuan subsidi pemerintah pusat pada daerah, maka

pemerintah pusat bertekad memberikan kebebasan kepada pemerintah daerah dalam meningkatkan

PAD, agar melemahnya subsidi tidak menggangu perkembangan ekonomi maupun jalannya

pemerintah di daerah (Suparmoko, 2002 : 5).

Sehingga hal ini dimanfaatkan pemerintah daerah untuk menggali potensi daerahnya masing-

masing, dengan menghidupkan kembali pugutan pajak dan retribusi daerah yang dulu dihapus dan

dilarang (Kadjatmiko, 2002:7), karena selama ini pemasukan pajak dan retribusi daerah adalah paling

besar untuk PAD. Namun dibalik itu semua terdapat keresahan didaerah karena rakyat khawatir akan

membayar pajak lebih banyak kepada pemerintah daerah disbanding dengan sebelum diberlakukannya

otonomi daerah (Suparmoko, 2002:9).

Permasalahan lain yang berkaitan dengan PAD adalah kewenangan perpajakan (tax power)

daerah yang sangat terbatas yang tercermin dari rendahnya kontribusi PAD terhadap APBD kurang

dari 10%, keadaan ini kurang mendukung akuntabilitas dari penggunaan anggaran daerah, dimana

keterbatasan dana dari transfer pusat untuk membiayai kebutuhan daerah idealnya dapat ditutup oleh

daerah dengan menyesuaikan basis pajak atau tariff pajak daerahnya. (Kadjatmiko, 2002:7).

Persentase Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak (BHPBP) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD). Untuk hasil dari persentase rumus 2 antara BHPBP/TPD x 100% pada periode sebelum

pemekaran (2000 - 2002), kabupaten induk dan daerah hasil pemekarannya masih sama karena daerah

hasil pemekaran masih bergabung dengan induknya. Kabupaten Lampung Utara yang merupakan

induk dari Kabupaten Tulangbawang dan Kabupaten Way Kanan persentase PAD terhadap TPD di

tahun 2001 mengalami penurunan dari periode tahun sebelumnya. Namun meningkat kembali di tahun

berikutnya yaitu2002. Hal yang sama juga terjadi dengan Kabuapten Lampung Selatan yang

merupakan induk dari Kabuapaten Tanggamus. Pada masa ini persentase rata-rata PAD terhadap TPD

untuk masing-masing daerah mencapai hampir 8 persen untuk Kabupaten Utara dan 7 persen untuk

Kabupaten Lampung Selatan.

Periode tahun 2003 yang merupakan masa transisi masing-masing daerah, atau masa terjadinya

pemekaran daerah untuk kabupaten hasil pemekaran mengalami peningkatan persentase yang cukup

signifikan.

Tahun 2005 setelah berjalannya desentralisasi fiskal dan pasca pemekaran untuk tiga daerah

pemekaran yang menduduki urutan pertama adalah Kabupaten Tanggamus sebesar 16,55 persen

kemudian disusul oleh Kabupaten Tulangbawang,dan Kabupaten Way Kanan. Untuk dua daerah

pemekaran yaitu Lampung Utara dan Lampung Selatan juga mengalami peningkatan .

Tahun 2006 semua kabupaten mengalami peningkatan persentase. Peningkatan persentase

tertinggi terjadi di Way Kanan yang mencapai 7, 14 persen melebihi daerah hasil Pemekaran lainnya

dan daerah induknya.

Tahun 2007 daerah hasil pemekaran Kabupaten Way Kanan dan Kabupaten Tanggamus turun

relatif kecil, sedangkan Kabupaten Tulangbawang mengalami peningkatan sebesar 0,29 persen. Dua

daerah induk juga mengalami peningkatan sebesar kurang dari 1 persen.

Tahun 2008 dari tiga daerah hasil pemekaran hanya Kabupaten Way Kanan yang mengalami

peningkatan ytang mencapai 6,25 persen. Untuk daerah induk, Kabupaten Lampung Selatan yang

merupakan daerah induk dari Kabupaten Tanggamus mengalami peningkatan yang tidak berarti

sebesar 0,31 persen.

Tahun 2009 daerah hasil pemekaran Kabupaten Way Kanan justru mengalami penurunan sebesar

1,27 persen. Sementara Kabupaten hasil pemekaran lainnya mengalami peningkatan sebesar kurang

dari 8 persen. Untuk 2 daerah induk juga mengalami peningkatan.

Tahun 2010 justru yang teramat parah karena semua kabupaten mengalami penurunan persentase

derajat desentralisasi perpajakanya. Penurunan terbesar terjadi pada Kabupaten Tanggamus sebesar

5,12 persen.

Dari periode tahun 2005-2010 dapat dilihat bahwa seluruh kabupaten baik daerah induk atau

daerah pemekaran, mengalami kondisi yang belum stabil artinya derajat desentralisasi perpajakan

mengalami kondisi fluktuatif atau naik turun.

Pada sistem bagi hasil ini menurut Kadjatmiko (2001), berpotensi mempertajam ketimpangan

horizontal (horizontal inbalance) yang dialami daerah penghasil dan daerah non penghasil (baik bagi

hasil pajak maupun bukan pajak, seperti SDA), keadaan ini disebabkan hanya beberapa daerah di

Indonesia yang memiliki potensi SDA dan pajak yang baik, sehingga hal ini dapat mengurangi

kemampuan keuangan daerah, karena salah satunya ditentukan oleh ketersediaan sumber-sumber

pajak (tax objek). Tingkat hasil ini ditentukan oleh sejauh mana sumber pajak responsif terhadap

kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi objek pengeluaran seperti inflasi, pertambahan penduduk dan

pertumbuhan ekonomi yang pada gilirannya akan berkolerasi dengan tingkat pelayanan, baik secara

kuantitatif maupun kualitatif (Davey, 1989:14).

Dengan adanya undang-undang baru tentang PPh dimana PPh ini dimasukan pada dana

perimbangan yaitu bagi hasil pajak antara pusat dan daerah, maka dimaksudkan sebagai kompensasi

dan penyelaras bagi daerah-daerah yang tidak memiliki SDA tetapi memberikan kontribusi yang besar

bagi penerimaan negara APBN (Kadjatmiko, 2002:9)

Persentase DAU (Dana Alokasi Umum) terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD).

Pada periode awal pemekaran daerah yaitu tahun 2000-2002, untuk perolehan sumbangan DAU

kabupaten hasil pemekaran persentasenya mengalami penurunan yang cukup drastis. Hal ini tidak

terjadi pada dua daerah induk, karena pesentase DAU terhadap TPD daerah induk mengalami sedikit

peningkatan.

Tahun 2005 Kabupaten Lampung Selatan dan Lampung Utara merupakan dua kabupaten induk

daerah yang mengalami pemekaran justru memiliki tingkat kemandirian yang paling rendah hal ini

terlihat dari hasil persentase Derajat Bantuan Pemerintah Pusat yang paling besar dibandingkan

dengan 3 kabupaten daerah pemekaran. Ketiga kabupaten daerah pemekaran memiliki tingkat

kemandirian yang tidak jauh berbeda.

Tahun 2006, semua kabupaten mengalami penurunan dari persentase dari rumus 3 ini, hal ini

menunjukan semakin baiknya tingkat kemandirian masing-masing daerah, penurunan yang terbesar

dialami oleh KabupatenTulangbawang.

Tahun 2007 hanya kabupaten Tanggamus dan Tulangbawang yang tingkat kemandiriannya tidak

berubah dari tahun sebelumnya, sementara 3 kabupaten lainnya mengalami sedikit penurunan

persentase, ini berarti tingkat kemandiriannya semakin meningkat.

Tahun 2008 hanya Kabupaten Way Kanan yang mengalami penurunan persentase. Tahun 2009

semua kabupaten mengalami penurunan persentase, kecuali Kabupaten Way Kanan yang sedikit

mengalami peningkatan persentase.

Tahun 2010 semua kabupaten baik daerah induk maupun daerah yang mengalami pemekaran

mengalami kenaikan persentase artinya tingkat kemandiriannya semakin rendah.

Dapat disimpulkan bahwa dari ketiga daerah pemekaran memang lebih mandiri dari kabupaten

induknya setelah diadakannya pemekaran. Keadaan ini dapat dilihat dari Derajat Bantuan Pusat yang

memang lebih keci dari daerah induk masing-masing daerah hasil pemekaran. Secara garis besarnya

dapat dikatakan bahwa keberhasilan dalam pelaksanaan pemekaran daerah disebabkan pemekaran

daerah sudah berjalan selama 6 tahun di masa otonomi daerah ini. Pada masa ini ketiga daerah

pemekaran paling besar hanya mampu membiayai pengeluaran daerah tidak lebih dari 25% dan

sisanya masih bergantung terhadap dana dari bantuan pusat.

Tabel 13. Proporsi PAD terhadap Total Pengeluaran Rutin 3 Kabupaten pemekaran dan

2 (Dua) Kab. Induk Periode Tahun 2005-2010

Kabupaten Tahun PAD Pengeluaran Rutin (%)

Tulangbawang 2005 2.903.890 144.595.550 2,01 2006 3.521.077 212.831.100 1,65 2007 6.742.737 241.827.550 2,79 2008 7.291.966 348.443.800 2,09 2009 7.499.519 296.613.910 2,53 2010 16.791.823 351.595.120 4,77

Rata-rata 2,64

Way Kanan 2005 4.478.011 107.812.410 4,15 2006 7.198.011 135.636.430 5,31 2007 9.871.027 182.431.070 5,41 2008 10.511.112 128.744.070 8,16 2009 12.899.125 137.158.180 9,40 2010 17.543.355 165.046.320 10,63

Rata-rata 7,18

Tanggamus 2005 568.275 58.851.640 0,96 2006 2.680.220 73.698.580 3,64 2007 3.698.453 190.809.840 1,94 2008 2.309.951 155.345.897 1,49 2009 2.585.982 144.617.400 1,79 2010 8.403.530 347.746.540 2,42

Rata-rata 2,04

Lampung Utara* 2005 3.587.292 261.487.130 1,37 2006 8.521.042 284.015.340 3,00 2007 8.819.354 347.190.980 2,54 2008 10.197.328 338.225.510 3,01 2009 11.101.714 388.370.530 2,86 2010 14.215.610 503.592.720 2,82

Rata-rata 2,60

Lampung Selatan* 2005 4.562.010 132.170.890 3,45 2006 6.090.063 172.362.230 3,53 2007 15.307.065 198.895.280 7,70 2008 8.402.191 229.228.390 3,66 2009 8.507.297 258.106.000 3,30 2010 11.295.194 292.092.630 3,87

Rata-rata 4,25

Sumber : Badan Pusat Statistik Propinsi Lampung, 2011 (data diolah)

Tabel diatas menggambarkan bahwa kemampuan 3 (tiga) daerah pemekaran dan 2(dua)

kabupaten induk dalam membiayai pengeluaran rutin dari perolehan Pendapatan Asli Daerah (PAD)

relatif meningkat setiap tahunnya pasca pemekaran. Namun peningkatannya belum mampu untuk

menjadikan daerah-daerah ini menjadi daerah yang mandiri, hal ini dikarenakan meskipun proporsi

PAD dalam membiayai Pengeluaran Rutin meningkat namun PAD belum mampu membiayai

pengeluaran rutin sebagaimana mestinya, dan masih mengharapkan bantuan dari pusat. PAD tiga

daerah pemekaran maupun dua daerah induk hanya mampu membiayai Pengeluaran Rutin daerah

sebesar kurang dari 7 persen dan sisanya masih mengharapkan SDO (Subsidi Daerah Otonom), yaitu

transfer kepada Pemda untuk membiayai pengeluaran rutin.

Penyebab utama rendahnya PAD pada gilirannya menyebabkan ketergantungan terhadap subsidi

dari pusat. Pertama, kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah. Kedua

adalah tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan. Penyebab ketiga adalah kendati pajak

daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit yang bias diandalkan sebagai sumber penerimaan.

Faktor penyebab ketergantungan fiskal yang ke empat adalah faktor politis. Adanya kekhawatiran

apabila daerah mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong terjadinya disintegrasi dan

separatisme. Faktor terakhir penyebab adanya ketergantungan tersebut adalah kelemahan dalam

pemberian subsidi dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Oleh karena itu, alternative solusi

yang ditawarkan adalah dengan meningkatkan peran BUMD, meningkatkan penerimaan daerah,

mengubah pola pemberian subsidi dan meningkatkan pinjaman daerah ( Kuncoro et..al., 1994)

V. SIMPULAN, SARAN DAN KETERBATASAN

Berdasarkan hasil analisis perhitungan dan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa. Hasil

dari formulasi rumus 1, yaitu PAD/TPD x 100% maka periode sesudah pemekaran (sesudah

desentralisasi fiskal) tahun 2005 sampai dengan 2010 tingkat kemandirian kabupaten baik daerah

pemekaran mengalami peningkatan namun tidak signifikan, yang memperlihatkan kemandirian paling

tinggi diantara 3 daerah pemekaran adalah Kabupaten Way Kanan rata-ratanya mencapai hampir 6

persen, sementara 2 (dua) kabupaten daerah pemekaran lainya Kabupaten Tulangbawang dan

Kabupaten Tanggamus tingkat kemandiriannya tidak lebih dari 3%.

Jika dibandingkan dengan periode sebelum pemekaran, hanya Kabupaten Way Kanan yang

mengalami sedikit peningkatan. Hasil dari formulasi rumus 2, yaitu BHPBP/TPD x 100%, maka

periode sesudah pemekaran (sesudah desentralisasi fiskal) tahun 2005 sampai dengan 2010,

memperlihatkan bahwa 3 kabupaten daerah pemekaran memiliki tingkat kemandirian yang tidak jauh

berbeda, hal ini terlihat dari presentase Derajat Desentralisasi Perpajakannya yang tiap tahun

mengalami fluktuasi dan jumlahnya tidak lebih dari 23 persen. Kabupaten Tulangbawang dan

Kabupaten Way Kanan memiliki tingkat kemandirian paling besar apabila dilihat dari DDP. Pasca

pemekaran tingkat kemandirian masing-masing kabupaten baik daerah induk maupun daerah hasil

pemekaran mengalami peningkatan yang cukup signifikan apabila dilihat dari Derajat Desentralisasi

Perpajakannya.

Hasil dari formulasi rumus 3, yaitu DAU/TPD x 100%, pasca pemekaran (sesudah

desentralisasi fiskal) perolehan DB terkecil dari tiga daerah pemekaran adalahKabupaten Way Kanan.

Hal ini menunjukan bahwa Kabupaten Way Kanan memiliki kemandirian yang lebih tinggi

dibandingkan kabupaten dua daerah pemekaran lainnya.

Dari hasil perhitungan dapat disimpulkan bahwa pada periode sesudah pemekaran (sesudah

desentralisasi fiskal) tahun 2005-2010 tingkat kemandirian 3 (Tiga) kabupaten hasil pemekaran

mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan, hal ini dapat terlihat bahwa setelah menjalani

otonomi selama 6 tahun, tiga kabupaten hasil pemekaran setiap tahun ke lima dan enam dapat

mengurangi tingkat ketergantungannya terhadap pusat. Namun hasil yang dicapai belum mampu

menjadikan daerah tersebut daerah yang benar-benar mandiri dan kebijakan pemekaran daerah belum

menunjukan hasil yang diharapkan, hal ini dikarenakan harapan dari perolehan dana bantuan dari

pusat masih cukup besar pada pusat yaitu rata-rata masih diatas 70 hingga 85 persen sehingga

pemerintah pusat perlu mengambil tindakan tegas pada masing-masing daerah pemekaran apakah

harus dikembalikan ke induk atau di uji coba beberapa tahun lagi untuk membuktikan bahwa daerah

tersebut mampu mandiri atau tidak.

Berdasarkan perhitungan DD, DDP, dan DB 3 (tiga) kabupaten hasil pemekaran lebih mandiri

dari 2 (dua) daerah induknya pasca pemekaran.

Pemerintah daerah masing-masing baik daerah pemekaran maupun daerah induk diharapkan agar

dapat menggali kembali potensi yang ada di daerah masing-masing dengan memusatkan perhatian

pada konsep produk unggulan. Agar dapat meningkatkan PAD yang merupakan tujuan utama

pelaksanaan kebijakan pemekaran daerah agar mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan

meningkatkan pelayanan Publik. Membuat kebijakan yang dapat mengurangi kesenjangan antar

wilayah, dengan memfokuskan pada perimbangan antar wilayah. Dalam melaksanakan kebijakan

pemekaran daerah, pemerintah pusat diharapkan dapat mengkaji tujuan dari daerah-daerah yang

mengajukan pemekaran daerah. Artinya ada alasan dan tujuan yang jelas tentang dilakukannya

pemekaran daerah, misalnya karena adanya kesulitan fisik/akses yang sulit untuk melayani wilayah-

wilayah tertentu yang kesemuanya akan diarahkan kepada kesejahteraan rakyat di daerah dan

pemberdayaan rakyat itu sendiri.