kajian pustaka makanan merupakan kebutuhan pokok bagi...

21
8 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Makanan Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses didalam tubuh, perkembangbiakan dan menghasilkan energi untuk kepentingan berbagai kegiatan dalam kehidupannya (Effendi 2012). Menurput Chandra 2007 berdasarkan definisi dari WHO, makanan adalah semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Air tidak termasuk dalam makanan karena merupakan elemen yang vital bagi kehidupan manusia. 2.1.1 Fungsi makanan Menurut Notoatmojo (dalam Mulia, 2005), ada empat fungsi pokok makanan bagi manusia, yakni: 1. Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/ perkembangan serta mengganti jaringan tubuh yang rusak. 2. Memperoleh energi guna melakukan aktivitas sehari-hari 3. Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan cairan tubuh yang lain 4. Berperan di dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit. Agar makanan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, kualitas makanan harus diperhatikan.Kualitas tersebut mencakup ketersediaan zat-zat (gizi) yang

Upload: vuongthuy

Post on 07-Mar-2019

244 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Makanan

Makanan merupakan kebutuhan pokok bagi setiap manusia, karena

didalamnya terkandung senyawa-senyawa yang sangat diperlukan untuk

memulihkan dan memperbaiki jaringan tubuh yang rusak, mengatur proses

didalam tubuh, perkembangbiakan dan menghasilkan energi untuk kepentingan

berbagai kegiatan dalam kehidupannya (Effendi 2012).

Menurput Chandra 2007 berdasarkan definisi dari WHO, makanan adalah

semua substansi yang dibutuhkan oleh tubuh tidak termasuk air, obat-obatan, dan

substansi-substansi lain yang digunakan untuk pengobatan. Air tidak termasuk

dalam makanan karena merupakan elemen yang vital bagi kehidupan manusia.

2.1.1 Fungsi makanan

Menurut Notoatmojo (dalam Mulia, 2005), ada empat fungsi pokok

makanan bagi manusia, yakni:

1. Memelihara proses tubuh dalam pertumbuhan/ perkembangan serta mengganti

jaringan tubuh yang rusak.

2. Memperoleh energi guna melakukan aktivitas sehari-hari

3. Mengatur metabolisme dan mengatur berbagai keseimbangan air, mineral dan

cairan tubuh yang lain

4. Berperan di dalam mekanisme pertahanan tubuh terhadap berbagai penyakit.

Agar makanan dapat berfungsi sebagaimana mestinya, kualitas makanan

harus diperhatikan.Kualitas tersebut mencakup ketersediaan zat-zat (gizi) yang

9

dibutuhkan dalam makanan dan pencegahan terjadinya kontaminasi makanan

dengan zat-zat yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan (Mulia, 2005).

2.1.2 Sanitasi Makanan

Menurut Mulia 2005 Sanitasi makanan yang buruk disebabkan 3 faktor

yaitu:

1. Faktor fisik, terkait dengan kondisi ruangan yang tidak mendukung

pengamanan makanan seperti sirkulasi udara yang kurang baik, temperatur

ruangan yang panas dan lembab, dan sebaginya.

2. Faktor kimia, karena adanya zat-zat kimia yang digunakan untuk

mempertahankan kesegaran bahan makanan, obat-obat penyemprot hama,

penggunaan wadah bekas obat-obat pertanian untuk kemasan makanan dan

lain-lain.

3. Faktor mikrobiologi, karena adanya kontaminasi oleh bakteri, virus, jamur dan

parasit.

2.1.3 Kontaminasi makanan

Menurut Chandra 2007 kontaminasi makanan dapat terjadi akibat agent

penyakit yang menyebabkan infeksi atau akibat proses pembusukan. Pembusukan

dapat terjadi secara alami akibat enzim-enzim yang ada dalam makanan itu

sendiri, misalnya pembusukan pada durian dan sayur. Makanan yang busuk

adalah makanan yang sudah mengalami proses sedemikan rupa sehingga tidak

dapat dimakan manusia. Untuk dapat menyatakan bahwa suatu makanan memang

telah busuk, berikut kriteria makanan yang busuk yakni :

10

1. Makanan yang telah mengandung toksin atau bakteri

2. Makanan yang rusak dan jika dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan.

Untuk menentukan apakah suatu makanan masih dapat dimakan atau tidak,

makanan tersebut harus memenuhi kriteria berikut:

1. Makanan berada dalam tahap kematangan yang dikendalikan.

2. Makanan bebas dari pencemaran sejak tahap produksi sampai tahap penyajian

atau tahap penyimpanan makanan yang sudah diolah.

a. Bebas dari perubahan-perubahan fisik, kimia, yang tidak diketahui atau

karena kuman pengerat, serangga, parasit, atau karena pengawetan.

b. Bebas dari mikroorganisme dan parasit yang dibawa oleh makanan,

tetapi menampakan keadaan-keadaan kegiatan pembusukan yang

dikehendaki, seperti keju, tempe, dan susu.

1.1.4 Pengawetan Makanan

Menurut Chandra 2007 usaha pengawetan makanan sudah dilakukan sejak

dahulu, yang dimulai dengan cara pengasapan atau pengeringan. Disetiap Negara,

cara pengawetan makanan tidak sama karena terjadinya perkembangan teknologi

yang menyebabkan perubahan taraf kehidupan penduduk disuatu Negara.

Perubahan-perubahan tersebut dapat terjadi secara cepat atau lambat, dalam hal ini

perubahan lambat yang berlangsung adalah perubahan dalam cara kebiasaan

makan. Perkembangan teknologi pada pengawetan makanan bergantung pada

faktor cara kebiasaan makan dan daya beli penduduk.

11

1.1.5 Gangguan Kesehatan Akibat Makanan

Menurut Slamet (dalam Mulia, 2005), gangguan kesehatan yang dapat

terjadi akibat makanan dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu:

1. Keracunan makanan, dapat disebabkan oleh racun asli yang berasal dari

tumbuhan atau hewan itu sendiri maupun oleh racun yang ada didalam pangan

akibat kontaminasi. Makanan dapat terkontaminasi oleh berbagai racun yang

dapat berasal dari tanah, udara, manusia, dan vektor.

2. Penyakit bawaan makanan, pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan secara

nyata dari penyakit bawaan air. Yang dimaksud dengan penyakit bawaan

makanan adalah penyakit umum yang dapat diderita seorang akibat memakan

sesuatu makanan yang terkontaminasi mikroba pathogen, kecuali keracunan.

2.2 Sosis

2.2.1 Sejarah munculnya sosis

Sosis (dalam bahasa Inggris sausage) berasal dari bahasa Latin salsus yang

artinya asin adalah suatu makanan yang terbuat dari daging cincang, lemak hewan

dan rempah, serta bahan-bahan lain. Sosis umumnya dibungkus dalam suatu

pembungkus yang secara tradisional menggunakan usus hewan, tapi sekarang

seringkali menggunakan bahan sintetis, serta diawetkan dengan suatu cara,

misalnya dengan pengasapan (Sembiring, 2011).

Pada zaman dahulu, sosis sapi umumnya dibungkus dalam suatu

pembungkus yang secara tradisional menggunakan usus hewan, serta diawetkan

dengan suatu cara. Saat ini, sosis sapi dapat dibuat dengan menggunakan bahan

12

sintetis, serta diawetkan dengan suatu cara, misalnya dengan pengasapan

(Sembiring, 2011).

Proses pengasapan berawal dari inovasi seorang tukang daging

mempunyai ide menyatukan daging sapi giling, garam dan bumbu – bumbu yang

disatukan dalam satu selongsong, kemudian dimasak dengan berbagai cara untuk

mendapatkan berbagai macam rasa yang khas. Ternyata cara memasak dengan

pengasapan menjadi salah satu metode pengawetan yang populer hingga saat ini.

Dengan pengasapan selain daya simpan produk meningkat, warnanya menjadi

lebih menarik, serta mendapatkan rasa yang lebih spesifik, bau yang lebih harum

atau disukai (Sembiring, 2011).

Komponen utama sosis terdiri dari daging, lemak, dan air. Selain itu, pada

sosis juga ditambahkan bahan tambahan seperti garam, fosfat, pengawet (biasanya

nitrit/nitrat), pewarna, asam askorbat, isolat protein, dan karbohidrat. Sosis daging

sapi dapat mengandung air sampai 60% (Soeparno, dalam sembiring 2011).

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI 01-3820-1995), sosis yang baik harus

mengandung protein minimal 13%, lemak maksimal 25% dan karbohidrat

maksimal 8% (Sembiring, 2011).

Protein daging berperan dalam peningkatan hancuran daging selama

pemasakan sehingga membentuk struktur produk yang kompak (Sembiring 2011).

13

2.2.2 Definisi sosis

Gambar 2.1 Data Primer tahun 2013

Sosis adalah makanan yang dibuat dari daging yang telah di cincang

kemudian dihaluskan dan diberi bumbu-bumbu, dimasukkan kedalam

pembungkus yang berupa usus hewan atau pembungkus buatan, dengan atau tidak

dimasak. Menurut SNI 01-3020-1995 sosis adalah produk makanan yang

diperoleh dari campuran daging halus (mengandung daging tidak kurang dari

75%) dengan tepung atau pati dengan atau tanpa penambahan bumbu-bumbu dan

bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dan dimasukkan ke dalam

selongsong sosis (Sriati, 2011).

Sosis merupakan salah satu produk olahan daging yang sudah dikenal oleh

masyarakat. Sosis dibuat dari komponen utama daging sapi, bahan curing (garam

dapur, gula, natrium nitrit atau natrium nitrat ), bahan pengisi (filler), bahan

pemberi nilai tambah, cairan,bumbu, dan selongsong (casing) (Syafani, 2013)

14

2.2.3 Emulsi sosis

Emulsi adalah suatu sistem dua fase yang terdiri atas suatu dispersi suatu

cairan atau senyawa yang tidak dapat bercampur, yang satu terdispersi pada yang

lain. Cairan yang berbentuk globula-globula kecil disebut fase dispersi atau fase

diskontinu, dan cairan tempat terdispersinya globula-globula tersebut disebut fase

kontinu. Protein-protein daging yang terlarut bertindak sebagai pengemulsi

dengan membungkus atau menyelimuti semua permukaan partikel yang

terdispersi (Soeparno dalam Lianti, 2009).

Sosis merupakan salah satu produk emulsi, dimana pembuatannya

menggunakan bahan utama daging yang mengandung protein. Sosis adalah suatu

emulsi lemak dalam air. Lemak membentuk fase dispersi dari emulsi, sedangkan

air yang mengandung protein dan garam terlarut membentuk fase kontinu. (Essien

dalam Lianti, 2009).

2.3 Bahan Tambahan Pangan

Pengertian bahan tambahan pangan dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI

NO.722/Menkes/Per/IX/88 No.1168/Menkes/PER/X/1999 secara umum adalah

bahan yang biasanya tidak digunakan sebagai makanan dan biasanya bukan

merupakan komponen khas makanan, mempunyai atau tidak mempunyai nilai

gizi, yang dengan sengaja ditambahkan kedalam makanan untuk maksud

teknologi pada pembuatan, pengolahan, penyiapan, perlakuan, pengepakan,

pengemasan dan penyimpanan (Cahyadi, 2009).

Bahan tambahan pangan adalah bahan atau campuran yang ditambahkan

kedalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan, antara lain bahan

15

pewarna, pengawet, penyedap rasa, anti gumpal, pemucat, dan pengental. (Dinkes

Kota Gorontalo 2011)

Menurut Sartono (dalam Tontoiyo 2013) bahan tambahan makanan

meliputi antioksidan, antikempal, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih

dan pematang tepung, pengemulsi, pemantap dan pengental, pengawet, pengeras,

pewarna (alam dan sintetis), penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, dan

sekuestran.

2.3.1 Tujuan penggunaan bahan tambahan pangan

Menurut Cahyadi 2009, tujuan penggunaan bahan makanan pangan adalah

dapat meningkatkan atau mempertahankan nilai gizi, dan kualitas daya simpan,

membuat bahan pangan lebih mudah dihidangkan, serta mempermudah preparasi

bahan pangan. Pada umumnya bahan tambahan pangan dapat dibagi menjadi dua

golongan besar, yaitu sebagai berikut:

1. Bahan tambahan pangan yang ditambahkan dengan sengaja dalam makanan,

dengan mengetahui komposisi bahan tersebut dan maksud penambahan itu

dapat mempertahankan kesegaran, cita rasa dan membatu pengolahan, sebagai

contoh pengawet, pewarna dan pengeras.

2. Bahan tambahan pangan yang tidak sengaja ditambahkan, yaitu bahan yang

tidak mempunyai fungsi dalam makanan tersebut, terdapat secara tidak

sengaja, baik dalam jumlah yang sedikt atau cukup banyak akibat perlakuan

selama proses produksi, pengolahan dan pengemasan. Bahan ini dapat pula

merupakan residu atau kontaminan dari bahan yang sengaja ditambahkan untuk

tujuan produksi bahan mentah atau penanganannya yang masih terus terbawa

16

ke dalam makanan yang akan dikomsumsi. Contoh bahan tambahan pangan

dalam golongan ini adalah residu pestisida, antibiotic, dan hidrokarbon

aromatic polisiklis.

Apabila dilihat dari asalnya, bahan tambahan pangan dapat berasal dari

sumber alamiah seperti lesitin, asam sitrat, dan lain sebagainya. Bahan ini juga

dapat disintetis dari bahan kimia yang mempunyai sifat serupa dengan bahan

alamiah yang sejenis, baik susunan kima maupun sifat metabolismenya, misalnya

β-karoten dan asam askorbat. Pada umumnya bahan sintetis mempunyai

kelebihan, yaitu lebih pekat, lebih stabil, dan lebih murah tetapi adapula

kelemahanya, yaitu sering terjadi ketidaksempurnaan proses sehingga

mengandung zat-zat yang berbahaya bagi kesehatan, dan kadang-kadang bersifat

karsinogenik yang dapat merangsang terjadinya kanker pada hewan atau manusia.

Beberapa bahan tambahan yang dilarang digunakan dalam makanan

menurut Permenkes RI NO.722/Menkes/Per/IX/88 dan No.

1168/Menkes/PER/X/1999 sebagai berikut:

1. Natrium tetraborat (Boraks).

2. Formalin (Formaldehyd).

3. Minyak nabati yang dibrominasi (Brominated vegetable oils).

4. Kloramfenikol (Chlorampenicol).

5. Kalium klorat (Pottasium chlorate).

6. Dietilpirokarbonat (Dietylpyrocarbonate).

7. Nitrofuranzon (Nitrofuranzone).

8. P-Phenitilkarbamida

9. Asam Salisilat dan garamnya.

17

Menurut Aminah dan Hirmawan (dalam Tontoiyo, 2013), penggunaan

bahan tambahan makanan banyak digunakan oleh produsen untuk memberikan

daya tarik tersendiri bagi produk pangan. Bahan tambahan makanan seperti

pewanget mampu mengawetkan makanan dan buah-buahan sehingga terlihat lebih

segar dan menarik mata pembeli. Anak-anak dan orang dewasa sering tertipu oleh

tampilan luar dari makanan dan buah tersebut. Hal ini merupakan kelemahan

konsumen yang dimanfaatkan oleh produsen. Kelemahan tersebut adalah

kebiasaan konsumen yang hanya melihat tampilan ketika membeli. Padahal,

membeli satu barang, selain membutuhkan ketelitian, juga diperlukan kecerdasan.

Artinya konsumen harus cerdas membeli produk yang aman untuk dikonsumsi

sehingga tidak bisa dikelabui dengan mudah oleh produsen.

2.4 Bahan Pengawet

Cahyadi, 2009 menyatakan bahwa penggunaan pengawet dalam pangan

harus tepat, baik jenis maupun dosisnya. Suatu bahan pengawet mungkin efektif

untuk mengawetkan makanan tertentu, tetapi tidak efektif untuk mengawetkan

makanan lainnya karena makanan mempunyai sifat yang berbeda-beda sehingga

mikroba perusak yang akan dihambat pertumbuhannya juga berbeda.

Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang

mempunyai sifat mudah rusak. Bahan ini dapat menghambat atau memperlambat

proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan olehh mikroba.

Akan tetapi, tidak jarang produsen menggunakannya pada pangan yang relatif

awet dengan tujuan untuk memperpanjang masa simpan atau memperbaiki tekstur

(Cahyadi, 2009).

18

Bahan pengawet yang ditambahkan umumnya sama dengan bahan

pengawet pangan yang sebenarnya sudah terdapat dalam bahan pangan, tetapi

jumlahnya sangat kecil sehingga kemampuan mengawetkan sangat rendah. Bahan

pengawet sangat bervariasi tergantung dari negara yang membuat batasan

pengertian tentang bahan pengawet. Meskipun demikian, penggunaan bahn

pengawet memiliki tujuan yang sama, yaitu mempertahankan kualitas dan

memperpanjang umur simpan bahan pangan (Cahyadi, 2009).

Bahan pengawet adalah senyawa yang mampu menghambat dan

menghentikan proses fermentasi, pengasaman atau bentuk kerusakan lainnya, atau

bahan yang dapat memberikan perlindungan olahan pangan dari pembusukan.

Menurut peraturan mentri Kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/1988 tentang

bahan tambahan yang mencegah untuk menghambat fermentasi, pengasaman atau

peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme (Cahyadi,

2009).

Definisi lain bahan pengawet adalah zat (biasanya bahan kimia ), yang

digunakan untuk mencegah pertumbuhan bakteri pembusuk misalnya pada produk

daging, buah-buahan dan lain-lain. Zat pengawet hendaknya tidak bersifat toksik,

tidak mempengaruhi warna, tekstur, dan rasa makanan. (Arisman, 2009).

Menurut Cahyadi 2009, Secara umum penambahan bahan pengawet pada

pangan bertujuan sebagai berikut.

1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat

patogen maupun yang tidak patogen.

2. Memperpanjang umur simpan pangan.

19

3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang

diawetkan.

4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah.

5. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau

yang tidak memenuhi persyratan.

6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan bahan pangan.

2.4.1 Jenis bahan pengawet

Menurut pakar gizi dari RS Internasional Bintaro, Banten, (dalam Sembiring

2011) secara garis besar zat pengawet dibedakan menjadi tiga.

1. GRAS ( Generally Recognized as Safe) yang umumnya bersifat alami,

sehingga aman dan tidak berefek racun sama sekali. Misalnya garam, gula,

lada, dan asam cuka.

2. ADI (Acceptable Daily Intake), yang selalu ditetapkan batas penggunaan

hariannya (daily intake) guna melindungi kesehatan konsumen.

3. Zat pengawet yang memang tidak layak dikonsumsi, alias berbahaya seperti

boraks, formalin dan rhodamin B. Formalin, misalnya, bisa menyebabkan

kanker paru-paru serta gangguan pada alat pencernaan dan jantung. Sedangkan

penggunaan boraks sebagai pengawet makanan dapat menyebabkan gangguan

pada otak, hati, dan kulit.

Bahan pengawet yang sering digunakan oleh para produsen makanan

adalah sebagai

berikut :

20

1. Natrium Benzoat, yang biasa dikenal dengan pengawet antibasi. Natrium

benzoat sering digunakan pada produk-produk hasil olahan, seperti pada roti

kering, kick, cincau, ongol ongol, dan jajanan pasar lainnya.

2. Asam sorbat, biasanya digunakan dalam bentuk garam sodium atau potasium.

Bahan ini efektif untuk menghambat pertumbuhan kapang dan ragi. Asam

sorbat tidak mempengaruhi cita rasa makanan pada tingkat penggunaan 0.3%

per berat bahan pada produk makanan seperti keju, roti, sari, buah, dan acar.

Asam benzoat. Bahan ini sering digunakan sebagai pengawet bahan

makanan olahan, seperti sari buah dan minuman ringan. Garam sodium dari asam

benzoat lebih sering digunakan karena bersifat mudah larut dalam air, dari pada

bentuk asamnya. Asam benzoat lebih potensial terhadap ragi dan bakteri, dan

paling efektif untuk menghambat pertumbuhan kapang. Penggunaan asam benzoat

sering dikombinasikan dengan asam sorbat, dan ditambahkan dalam jumlah

sekitar 0.05-0.1% per berat badan.

2.5 Nitrit

2.5.1 Pengertian nitrit

Nitrit adalah senyawa nitrogen yang reaktif. Kalium nitrat dan nitrit serta

natrium nitrat dan nitrit telah digunakan dalam daging olahan (curing) selama

berabad-abad. Penggunaan bahan ini menjadi semakin luas karena manfaat nitrit

dalam pengolahan daging (seperti sosis, korned, dan burger) selain sebagai

pembentuk warna dan bahan pengawet antimikroba, juga berfungsi sebagai

pemberi aroma dan cita rasa. Curing adalah cara proses daging dengan

menambahkan beberapa bahan seperti garam NaCl, Natrium nitrit dan atau

21

Natrium nitrat dan gula serta bumbu-bumbu. Maksud curing antara lain adalah

untuk mendapatkan warna yang stabil, aroma, tekstur dan kelezatan yang baik dan

memperpanjang masa simpan produk daging. Produk daging yang diproses

dengan curing disebut daging cured (Sembiring, 2011).

Menurut Winarno (dalam Sembiring, 2011), Pada umumnya proses curing

terjadi adanya:

1. Reaksi biologis yang dapat mereduksi nitrat menjadi nitrit dan NO, yang

mampu mereduksi ferri menjadi ferro.

2. Terjadinya denaturasi globin oleh panas. Bila daging yang di-curing

dipanaskan pada suhu 1500 F atau lebih, maka terjadi proses denaturasi.

3. Hasil akhir curing daging membentuk pigmen nitrosilmioglobin bila tidak

dimasak, dan nitrosilhemokromogen bila telah dimasak.

Nitrit mampu menghambat pertumbuhan beberapa bakteri, terutama

bakteri patogen Clostridium botulinum (Silalahi dalam Sembiring, 2011). Bakteri

ini merupakan mikroorganisme patogenik paling berbahaya dan sangat fatal yang

dapat mengkontaminasi daging cured. Nitrit menghambat produksi toksin

Clostridium botulinum dengan menghambat pertumbuhan dan perkembangan

spora. Keracunan makanan yang disebabkan oleh toksin Clostridium botulinum

disebut botulisme (Sembiring, 2011).

Nitrit juga merupakan antioksidan yang efektif menghambat pembentukan

WOF (Warmed-Over Flavor) yaitu berubahnya warna, aroma dan rasa yang tidak

menyenangkan pada produk daging yang telah dimasak. Penambahan nitrit pada

konsentrasi 156 mg/kg cukup efektif menghambat pembentukan WOF dan

22

menurunkan angka TBA pada produk daging sapi dan ayam. TBA (Thio

Barbiturat Acid) adalah senyawa yang dapat bereaksi dengan senyawa aldehid

membentuk warna merah yang bisa diukur menggunakan spektrofotometer.

Angka TBA adalah angka yang dipakai untuk menentukan adanya ketengikan dari

senyawa aldehid yang dihasilkan dari oksidasi minyak atau lemak (Raharjo dalam

Sembiring, 2011).

Nitrit dapat menghambat pertumbuhan bakteri pada ikan, tetapi nitrit

hanya efektif jika daging ikan tersebut mempunyai pH di bawah 6,4 mekanisme

nitrit sebagai bahan pengawet belum dapat diketahui dengan pasti. Perubahan

warna daging secara kimia sangat kompleks (Dinkes Kota Gorontalo, 2011).

Sumber utama nitrit secara umum adalah makanan, terutama sayuran dan

air minum. Hal yang perlu diperhatikan adalah pemakaian pupuk pada sayuran.

Jika pupuk urea banyak digunakan akan berdampak pada manusia melalui

sayuran, terutama berdaun hijau serta sayuran dari umbi dan air minum. (Silalahi

dalam Sembiring 2011).

2.5.2 Mekanisme Patofisiologi Keracunan Nitrit pada Makanan

Nitrit adalah senyawa nitrogen dan oksigen (No2 atau nitrogen oksida). Apabila

ke dalam tubuh kita masuk nitrit (melalui konsumsi makanan), maka di dalam tubuh akan

terbentuk NO. Apabila nitrit yang terkonsumsi jumlahnya banyak, maka NO yang

terbentuk juga banyak. NO tersebut adalah dapat bergabung dengan hemoglobin

membentuk nitrosohemoglobin.

Keracunan dapat disebabkan oleh beberapa hal di ataranya yaitu faktor bahan

kimia, mikroba, toksis dan lain-lain. Dari penyebab tersebut dapat mempengaruhi

vaskuler sistemtik sehingga terjadi penurunan fungsi organ-organ dalam tubuh. Biasnya

23

akibat dari keracunan menimbulkan mual, muntah, diare, perut kembung, gangguan

pernafasan, gangguan sirkulasi darah dan kerusakan hati (sebagai akibat keracunan obat

dan bahan kimia).

2.5.3 Efek toksik nitrit

Efek toksik nitrit adalah methaemoglobinemia, yaitu hemoglobin yang di

dalamnya ion Fe2+ diubah menjadi ion Fe3+ dan kemampuannya mengangkut

oksigen telah berkurang. Darah manusia secara normal mengandung

methaemoglobin pada konsentrasi tidak melebihi 2% (Muchtadi, 2008).

Kandungan methaemoglobin menjadi 30-40% dapat menyebabkan gejala klinis

berkaitan dengan kekurangan oksigen dalam darah (hipoxia). Penderita menjadi

pucat, kulit menjadi biru (cianosis), sesak nafas, muntah dan shock. (Cahyadi,

2006). Kematian dapat terjadi jika kadarnya mencapai 70% (Silalahi, dalam

Sembiring 2011).

Penggunaan natrium nitrit sebagai pengawet untuk mempertahankan

warna daging atau ikan ternyata menimbulkan efek yang membahayakan. Nitrit

dapat berikatan dengan amino atau amida dan membentuk turunan nitrosamin

yang bersifat toksik. Nitrosamin merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik.

Nitrosamin dapat menimbulkan tumor pada bermacam-macam organ, termasuk

hati, ginjal, kandung kemih, paru-paru, lambung, saluran pernapasan, pankreas

dan lain-lain (Muchtadi, dalam Sembiring).

Senyawa nitrosamin yang dihasilkan dari reaksi nitrit dengan amin

sekunder merupakan senyawa yang bersifat karsinogenik. Amin-amin sekunder

yang paling banyak ditemukan didalam daging adalah piperidin, dietil amin,

pirolidin dan dimetil amin. Agen nitrosasi yang paling penting dalam

24

pembentukan nitrosamin adalah N2O3 yang mudah terbentuk dari nitrit dalam

suasana asam. N2O3 bereaksi dengan pasangan elektron bebas yang ada pada

amin sekunder membentuk nitrosamin. Kondisi pH yang optimum untuk nitrosasi

senyawa amin sekunder berkisar antara 2,5 dan 3,5. Walaupun makanan biasanya

lebih tinggi dari pH 3,5, biasanya tingkat keasaman makanan cukup untuk

memicu reaksi nitrosasi dengan laju yang lebih lambat dari maksimum. Keasaman

lambung mendekati pH 2,5-3,5 sehingga akan menjadi kondisi yang cukup baik

untuk reaksi nitrosasi . (Silalahi dalam Sembiring 2011).

Beberapa contoh senyawa nitrosamin adalah nitrosodimetilamin,

nitrosodietilamin, nitrosopiperidin,dan nitrosopirolidin. Nirosodimetilamin dapat

menimbulkan resiko kanker yang lebih berbahaya daripada nitrosopirolidin.

Konsentrasi nitrosodimetilamin sampai 5 ppb di dalam daging dapat bersifat

karsinogenik. Menurut Silalahi (2005), nitrosodimetilamin bersifat karsinogenik

paling kuat diantara karsinogen kimia (Sembiring, 2011).

Untuk mencegah terbentuknya nitrosamin maka dianjurkan untuk

menambahkan zat yang dapat menghambat proses tersebut misalnya asam

askorbat (Silalahi, 2005). Di Amerika dianjurkan penambahan asam askorbat

sebanyak 550 mg/kg dalam daging olahan.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 722 tahun 1988,

penggunaan nitrit maksimum pada daging olahan dan daging awetan yakni 125

µg/ml dan untuk korned kaleng 50 µg/ml (Badan Standardisasi Nasional, 2001).

Batas penggunaan nitrit di negara-negara barat telah diturunkan dari 150 ppm

menjadi 50 ppm saja karena telah terbukti adanya kemungkinan terbentuknya

25

senyawa nitrosamin. Nitrosamin merupakan sekelompok senyawa kimia yang

bersifat karsinogen yang dapat menimbulkan kanker.

2.5.4 Analisis Nitrit

1. Pemeriksaan kualitatif nitrit

Pemeriksaan kualitatif nitrit dapat diketahui dengan beberapa cara yaitu

menggunakan asam sulfanilat dan larutan NEDD, serbuk antipirin, dan serbuk

kalium iodida. Larutan yang mengandung nitrit bila ditambahkan beberapa tetes

larutan asam sulfanilat dan larutan NEDD, dibiarkan selama beberapa menit akan

memberikan hasil warna ungu merah.

Larutan yang mengandung nitrit, dipekatkan diatas penangas air, kemudian

pada sisa larutan diteteskan beberapa tetes asam klorida encer dan ditambahkan

sedikit serbuk antipirin, kemudian diaduk akan memberikan hasil warna hijau

(Roth dalam Sembiring, 2011).

Larutan yang mengandung nitrit, ditambahkan sedikit serbuk kalium

iodida lalu diasamkan dengan asam klorida encer, iod akan dibebaskan, yang

dapat diidentifikasi dengan pasta kanji memberikan hasil warna biru (Roth dalam

sembiring, 2011).

2. Penetapan kadar nitrit

Penetapan kadar nitrit dapat dilakukan dengan beberapa metode antara lain

spektrofotometri sinar tampak dan volumetri. Metode spektrofotometri sinar

tampak digunakan untuk pemeriksaan kuantitatif nitrit dengan pereaksi asam

sulfanilat dan NEDD yang membentuk warna ungu merah dan dapat diukur

dengan panjang gelombang maximum 540 nm. Dengan adanya nitrit maka akan

26

menghasilkan senyawa yang berwarna ungu kemerahan yang dapat diukur secara

spektrofotometri sinar tampak (Day dan Rohman dalam Sembiring, 2011).

Spektrofotometri adalah pengukuran absorbsi energi cahaya oleh suatu

molekul pada suatu panjang gelombang tertentu untuk tujuan analisa kualitatif dan

kuantitatif. Bila suatu molekul dikenakan radiasi elektromagnetik maka molekul

tersebut akan menyerap radiasi elektromagnetik yang energinya sesuai. Hukum

Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diserap oleh larutan zat

berbanding lurus dengan tebal dan kosentrasi larutan dan berbanding terbalik

dengan transmitan. (Day dan Rohman dalam Sembiring, 2011).

Pada analisis menggunakan alat spektrofotometri sinar tampak dilakukan

pemilihan panjang gelombang dan pembuatan kurva kalibrasi. Panjang

gelombang yang digunakan adalah panjang gelombang yang memiliki absorbansi

maksimum dari suatu larutan baku pada konsentrasi tertentu. Kurva kalibrasi

menunjukkan hubungan antara absorbansi dan konsentrasi baku sehingga

diperoleh persamaan regresi linier. Persamaan regresi ini dipakai untuk

menghitung kadar dalam sampel (sembiring, 2011).

Penetapan kadar nitrit dengan metode volumetri dilakukan secara

permanganometri dan serimetri. Permanganometri adalah suatu cara titrasi

memakai kalium permanganat sebagai pentiter. Serimetri menggunakan serium

(IV) sulfat dimana kelebihan serium (IV) sulfat dititrasi dengan amonium besi (II)

sulfat dan asam N-fenilantranilat sebagai indikator. Tetapkan volume larutan

serium (IV) sulfat standar yang telah bereaksi dengan larutan nitrit, dan dihitung

kadar nitrit (Sembiring, 2011).

27

2.6 Kerangka Berfikir

2.6.1 Kerangka Teori

Gambar 2.2 Kerangka Teori

Makanan

Sosis

Bahan Tambahan

Makanan

BTP yang tidak dilarang BTP yang dilarang

Sumber Zat Pengawet

Zat pengawet alami Zat pengawet alami

Nitirit

Formalin

Benzoat

Berdampak

Bagi

Kesehatan

Masyarakat

Sosis Sapi

Pasar Tradisional Pasar modern

Makanan

Sosis

Bahan Tambahan

Makanan

BTP yang dilarang BTP yang tidak dilarang

Sumber Zat Pengawet

Zat pengawet buatan

28

Makanan adalah merupakan kebutuhan pokok setiap manusia. makanan

yang menjadi sumber penelitian di sini adalah sosis, di mana sosis merupakan

bahan tambahan pangan dan sumber zat pengawet yaitu bahan tambahan pangan

yang dilarang dan tidak dilarang, kemudian bahan tambahan pangan yang

dilarang, bahan tambahan pangan yang tidak dilarang, dan sumber zat pengawet

terbagi atas 2 yaitu zat pengawet alami dan zat pengawet buatan, dimana zat

pengawet buatan yang diteliti yaitu nitrit sedagkan yang tidak dileti yaitu formalin

dan benzot. Ketiga sumber zat pengawet tersebut dapat berdampak bagi kesehatan

masyarakat. Sumber zat pengawet terdapat pada sosis sapi yang dijual di pasar

Modern dan tidak di jual di pasar Tradisional.

2.6.2 Kerangka Konsep

Gambar 2.3 Kerangka Konsep

Pasar Modern Sosis Sapi

Permenkes RI No. 1168/Menkes/

Per/X/1999

Kadar Nitrit dengan standar maksimum yaitu 125 mg/kg

Pemeriksaan Laboratorium