kajian organologis instrumen lagia spike fiddle) … file1 kajian organologis instrumen lagia (spike...
TRANSCRIPT
1
KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA (Spike Fiddle) PADA KEBUDAYAAN MUSIKAL MASYARAKAT NIAS DI DESA
DAHADANŐ BOTOMBAWŐ, KECAMATAN HILI SERANGKAI, KABUPATEN NIAS
SKRIPSI SARJANA DIKERJAKAN
O L E H
NAMA : HAPPY MAJESTY WARUWU NIM : 120707031
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI 2016
2
Lembar Pengesahan
KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA (Spike Fiddle) PADA KEBUDAYAAN MUSIKAL MASYARAKAT NIAS DI DESA DAHADANŐ BOTOMBAWŐ, KECAMATAN HILI SERANGKAI, KABUPATEN NIAS
SKRIPSI SARJANA
DIKERJAKAN O L E H
Nama : HAPPY MAJESTY WARUWU NIM : 120707031
Disetujui oleh,
Pembimbing I, Pembimbing II,
Prof. Drs. Mauly Purba,M.A.,Ph.D. Drs.Setia Dermawan Purba, M.Si.
NIP: 196108291989031003 NIP : 195608281986012001
Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Ilmu Budaya Usu Medan, untuk
memenuhi salah satu syarat ujian sarjana seni dalam bidang ilmu Etnomusikologi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI 2016
3
DITERIMA OLEH:
Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara untuk melengkapi salah satu
syarat Ujian Sarjana Seni bidang disiplin Etnomusikologi pada Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Pada Tanggal:
Hari:
Fakultas Ilmu Budaya USU,
Dekan,
Dr. Budi Agustono, M.S.
NIP. 19600805 198703 1 001
Panitia ujian: Tanda Tangan
1. Drs. Muhammad Takari, M.Hum., Ph.D.
2. Dra. Heristina Dewi, M.Pd.
3. Prof. Drs. Mauly Purba, M.A.,Ph.D.
4. Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si
5. Drs.Fadlin, M.A.
4
DISETUJUI OLEH
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI
KETUA,
Drs. Muhammad Takari., Ph.D.
NIP. 196512211991031001
5
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi , dan sepanjang
pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan
oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam skripsi ini dan disebutkan dalam
daftar pustaka.
Medan, 18 Juli 2016
Happy Majesty Waruwu NIM. 120707031
6
ABSTRAKSI
Skripsi ini berjudul : Kajian Organologis Instrumen Lagia (Spike Fiddle) Pada
Kebudayaan Musikal Masyarakat Nias di Desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili
Serangkai, Kabupaten Nias. Tulisan ini mengkaji instrumen Lagia dilihat dari sisi
konstruksi bangunan instrumen dan kesejarahannya yang dihubungkan dengan latar belakang
kebudayaan masyarakat Nias. Dengan metode deskriptif-analitis dan etno-antropologis,
penelitian ini membahas bagaimana mekanisme konstruksi bangunan instrumen sehingga
dapat menghasilkan bunyi dan menguji apakah benar instrumen Lagia adalah native
instrument ( instrumen lokal) bagi masyarakat Nias.
Hasil penelitian ini menunjukkan pertama, bahwa instrumen Lagia memiliki empat
bagian penting yaitu bagian resonator, kayu penyangga senar, senar dan busur penggesek.
Keempat bagian ini membentuk satu sistem yang bertujuan untuk menghasilkan bunyi pada
instrumen Lagia. Dilihat dari sisi konstruksi, Lagia memiliki konsep bangunan yanng sama
dengan Erhu yang ada di China, meskipun berbeda dari sisi ukuran dan materi pembuatan.
Kedua, terkait dengan keberadaan instrumen Erhu yang ada di China dan didukung dengan
beberapa bukti sejarah tentang kedatangan masyarakat China di pulau Nias pada abad ke -11,
menunjukkan bahwa instrumen Lagia bukan merupakan native instrument (instrumen lokal)
melainkan hasil kontak budaya antara China dan Nias.
7
ABSTRACT
This thesis is entitled: Kajian Organologis Instrumen Lagia (Spike Fiddle) Pada
Kebudayaan Musikal Masyarakat Nias di Desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili
Serangkai, Kabupaten Nias. This thesis examines the Lagia in terms of building
construction and its historical instruments associated with the cultural background of Nias
people. With descriptive-analytic method and ethno-anthropological approach, this study
discusses how the mechanism of construction ,so that the instrument can produce sounds and
test whether the Lagia instrument is a native instrument (local instruments) for the people of
Nias.
The results of this study indicate, first, that the Lagia has four main parts, namely the
resonator, rafters strings, strings and bow . The fourth part is to form a system that aims to
produce sound on the instrument Lagia. In terms of construction, Lagia has simillar building
concept with the Erhu in China, although they differ in the size and material of manufacture.
Second, related to the presence of the instrument Erhu in China and supported by some
historical evidence of the arrival of Chinese people on the island of Nias in the 11th century ,
indicating that the Lagia instrument is not a native instrument (local instruments) but rather
the result of cultural contacts between China and Nias .
8
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Banyak aspek kebudayaan suatu masyarakat yang dapat dipelajari dan ditelusuri
melalui satu kajian yang mendalam tentang asal-usul instrumen musikal. Nettl (1964:
204-210) menegaskan bahwa keberadaan berbagai instrumen musikal merupakan satu
dari banyak kunci yang tersedia untuk mengetahui berbagai latar belakang sejarah
kebudayaan musikal. Lebih jauh Nettl menjelaskan bahwa keberadaan dua atau lebih
instrumen musikal yang sama atau hampir sama di dua atau lebih kebudayaan musikal
mengindikasikan akan adanya kontak budaya yang mungkin terjadi di antara masyarakat
dan kebudayaan tersebut. Curh Sach (1962: 94-99) juga menekankan bahwa instrumen-
instrumen musikal di dalam berbagai kebudayaan musikal berperan sebagai simbol-
simbol penting di masyarakat pemilik tradisi musikal dimaksud. Artinya, studi tentang
instrumen tidak semata berkisar pada aspek fisik atau bunyi yang dihasilkan instrumen
an sich, tetapi juga membuka ruang diskusi yang lebih mendalam tentang sejarah
kebudayaan masyarakat yang menggunakan instrumen tersebut, khususnya tentang
kontak budaya yang terjadi di dalam latar belakang sejarah kebudayaan musikal suatu
masyarakat.
Substansi penelitian proposal skripsi ini terinspirasi dari penjelasan Nettl (1964)
maupun Curt Sach (1962) di atas terkait dengan keberadaan instrumen Lagia yang ada
pada kebudayaan musikal masyarakat Nias di Desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan
Hiliserangkai, Kabupaten Nias. Lagia adalah sebuah instrumen berdawai tunggal yang
terbuat dari akar pohon Salak (salacca zalacca). Sedangkan tabung resonator Lagia
terbuat dari bongkahan batang pohon Aren (arenga pinnata). Lagia dimainkan dengan
cara digesek menggunakan busur penggesek, sementara itu senar penggesek terbuat dari
9
bahan rotan (calamus manna). Mencermati strukturnya, maka instrumen Lagia dapat
digolongkan sebagai instrumen berklasifikasi alat gesek bersenar tunggal, dimana kayu
penyangga senar menembus tabung resonatornya (chordophone-spike fiddle-single
stringed). Pada umumnya dimainkan dalam formasi solo.
Dari hasil survei yang saya lakukan di desa Dahadanȍ Botombawȍ, saya
menemukan beberapa alat musik Lagia. Meskipun sudah sangat jarang digunakan, tetapi
pemain Lagia masih ditemukan di desa tersebut. Menurut penjelasan dari salah seorang
informan, bapak Hezatulȍ ndruru, mengatakan bahwa asal usul alat musik Lagia berasal
dari sebuah cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat Nias. Lagia adalah nama
seorang laki-laki berpenyakit kusta yang diasingkan dari pemukiman masyarakat dan
tinggal di hutan. Ketika merasa kesepian di hutan, lagia membuat alat musik yang terbuat
dari batang pohon aren dan melalui alat musik itu,lagia melantunkan nyanyian He Lagia
sebagai ungkapan rasa sedihnya. Ketika masyarakat mendengar bunyi alat musik
tersebut, mereka menyebutnya Lagia. sejak saat itu alat musik Lagia dikenal masyarakat
sebagai alat musik sendu. Namun, cerita rakyat ini tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Selanjutnya, bapak Hezatulȍ ndruru juga menjelaskan bahwa alat musik Lagia
berkembang dan dikenal berasal dari wilayah Nias bagian tengah, yaitu di desa
Dahadanȍ Botombawȍ. Namun, Lagia juga ditemukan di beberapa desa di kecamatan
Lȍlȍwa’u dan kecamatan Gomo wilayah Nias bagian selatan. Meskipun demikian, tidak
ada keterangan lebih jelas tentang keberadaan instrumen Lagia dikedua wilayah
kecamatan tersebut. Hal ini semakin menarik ketika saya bertanya kepada beberapa
orangtua dan juga mahasiswa yang berasal dari kecamatan Gomo, sebagian besar dari
mereka tidak mengenal apa itu lagia. Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa Lagia
lebih berkembang di desa Dahadanȍ Botombawȍ dibandingkan dikedua kecamatan
tersebut di Nias selatan? Bagaimana proses perkembangan instrumen Lagia di desa
10
Dahadanȍ Botombawȍ? Dengan demikian, rekonstruksi sejarah perlu dilakukan untuk
menjawab pertanyaan tersebut.
Alat musik yang serupa juga ditemukan dalam kebudayaan China, yaitu alat musik
Erhu. Lagia sangat menyerupai bentuk alat musik Erhu. Di dalam sebuah buku Asal usul
masyarakat Nias, dicatat bahwa antara tahun 1368 s/d 1645 pada masa pemerintahannya,
Dinasti Ming melakukan pelayaran dan mendirikan pelabuhan di sekitar tepi pantai barat
Sumatera. Pelabuhan tersebut adalah pelabuhan Singkuang,yang terkenal dengan eksport
kayu meranti ke China dan menjadi pemukiman orang China yang terletak berhadapan
dengan kecamatan Lahusa dan kecamatan Gomo di Nias (Rao dalam P.Johannes
M.H,2001:163). Pernyataan ini semakin menarik dan menimbulkan pertanyaan, apakah
pada saat itu terjadi kontak budaya antara masyarakat China dengan masyarakat Nias,dan
bagaimana proses kontak budaya itu terjadi? Apakah mungkin Lagia adalah instrumen
tradisional masyarakat Nias tetapi berasal dari China? Apakah Lagia merupakan adaptasi
dari alat musik Erhu? Bagaimana perkembangan alat musik Lagia di desa Dahadanȍ
Botombawȍ, Kecamatan Hiliserangkai, Kabupaten Nias.
Dalam tulisan ini, ada dua hal yang akan dianalisa yaitu: struktur bangunan
instrumen Lagia, format atau bangunan struktur musik Lagia, metode dan proses
pembuatan, serta proses perkembangan instrumen Lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ.
Berdasarkan pertanyaan- pertanyaan tersebut diatas, penulis tertarik untuk mengkaji
lebih dalam lagi mengenai instrumen Lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan
Hiliserangkai, Kabupaten Nias. Penulis bermaksud mengangkat topik ini menjadi satu
tulisan ilmiah yaitu skripsi sarjana untuk memenuhi syarat kelulusan dari Departemen
Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara. Oleh karena itu
penulis mengangkat satu judul penelitian yaitu:
11
“KAJIAN ORGANOLOGIS INSTRUMEN LAGIA ( Spike Fiddle) PADA
KEBUDAYAAN MUSIKAL MASYARAKAT NIAS DI DESA DAHADANŐ
BOTOMBAWŐ, KECAMATAN HILISERANGKAI, KABUPATEN NIAS”.
1.2. Pokok Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis merumuskan
beberapa pokok permasalahan di dalam penelitian tersebut antara lain :
1. Bagaimana bentuk atau struktur organologi serta struktur musik instrumen
Lagia.
2. Apakah Lagia merupakan native instrument (instrumen lokal) bagi masyarakat
Nias? Ataukah merupakan instrumen yang masuk ke dalam kebudayaan musik
masyarakat Nias melalui kontak budaya? Bagaimana sejarah perkembangan
alat musik Lagia di desa DahadanŐ BotombawŐ, Kecamatan Hiliserangkai,
Kabupaten Nias.
1.3. Tujuan dan Manfaat
Adapun tujuan dan manfaat penelitian in sesuai dengan pokok permasalahan,
antara lain:
1.3.1. Tujuan
1. Untuk mengetahui bentuk atau struktur organologis alat musik Lagia
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan alat musik Lagia di desa DahadanŐ
BotombawŐ, Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias.
1.3.2. Manfaat
1. Agar menjadi bahan referensi untuk kegiatan penelitian khususnya penelitian
kebudayaan musikal masyarakat Nias.
2. Agar menjadi bahan dokumentasi acuan bagi pemerintah kabupaten Nias untuk
pelestarian kesenian di Nias
12
3. Agar menjadi dokumentasi dan referensi bagi masyarakat untuk
mengembangkan wawasan mengenai kebudayaan musikal masyarakat Nias.
1.4. Konsep dan Teori
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan konsep dan teori sebagai
pedoman bagi penulis untuk mendapatkan data atau informasi yang dibutuhkan dalam
skripsi ini. Adapun konsep dan teori tersebut, antara lain:
1.4.1.Konsep
Berikut ini adalah beberapa pendapat yang menjelaskan tentang apa itu organologi.
Pertama, Mantel Hood, seorang etnomusikolog, mengatakan bahwa organologi adalah:
“the science of musical instrument-should include not only the history description of instrument but also equally important but neglected aspect of the science of musical instruments, such as particular techniques of performance, musical function, decoration (as distinct from construction), and a variety of socio-cultural consideration” (kajian ilmu tentang alat musik tidak hanya mencakup deskripsi instrumen tetapi juga aspek yang sama pentingnya tetapi diabaikan seperti teknik permainan, fungsi musik, dekorasi (seperti perbedaan dari hal konstruksi), dan berbagai pertimbangan sosial-kultural (Hood 1971: 124). Menurut Peter William (1984), organologi adalah studi deskriptif dan analitis
tentang instrumen. Bagian penting dari studi organologi adalah: klasifikasi analitis
tentang instrumen dari tradisi kebudayaan yang berbeda; kesejarahan, perkembangan,
serta penggunaan, teknik permainan dalam konteks gaya musik. Sedangkan, menurut Sue
Carole Devale organologi adalah “(1)Describe as the science of sound
instrument....(2)concerned with all sound of instrument regards of use, function, culture
or historical periode”.(ilmu tentang musik...mempelajari semua peralatan bunyi tanpa
harus dibatasi oleh penggunaan, kebudayaan atau periode sejarah (Devale 1990:4-5).
Oleh karena itu, konsep operasional organologi yang saya maksud dalam penelitian
ini adalah studi deskriptif dan analitis tentang instrumen tanpa harus dibatasi oleh
13
penggunaaan, kesejarahan, dan kebudayaan. Dengan demikian, dalam penelitian ini
kajian organologis Lagia tidak hanya dilihat dari struktur instrumen saja, tetapi latar
belakang instrumen Lagia juga perlu dikaji.
Tentang spike fiddle, Mantle Hood menjelaskan sebagai berikut:
“A bow stringed instrument with a neck that pierces the body and emerges from the lower end. Spike fiddle commonly have two or three strings, no frets, and held vertically”(Dengan kata lain spike fiddle adalah sebuah instrumen bersenar dengan leher atau gagang yang menembus badan resonator serta muncul pada ujung bawah resonator. Spike fiddle biasanya memiliki dua atau tiga senar/dawai, tanpa fret, dan dipegang secara vertical (Randel 2003: 837). Struktur musik. Struktur adalah (1) cara sesuatu disusun atau dibangun; susunan;
bangunan; yang disusun dengan pola tertentu; (2)pengaturan unsur atau bagian suatu
benda;(4)ketentuan unsur-unsur dari suatu benda (Suharso, 2005: 500). Jadi, struktur
musik dapat diartikan sebagai susunan kejadian bunyi yang mempunyai kombinasi nada,
ritme, dan dinamika sebagai komunikasi secara emosi estetika atau fungsional.
Lagia adalah alat musik yang ditemukan dalam kebudayaan musikal masyarakat
Nias, berdawai tunggal terbuat dari akar salak, dengan resonator yang terbuat dari
bongkahan batang pohon aren dan busur penggesek terbuat dari rotan. Alat musik Lagia
merupakan alat musik yang tergolong spike fiddle.
Deskripsi analitis terdiri dari dua kata yaitu deskripsi yang artinya menguraikan
apa adanya, sedangkan analitis adalah menjelaskan secara lebih dalam dan detail dengan
fokus pada pertanyaan mengapa,dan bagaimana. Sehingga deskripsi analitis dapat
didefinisikan sebagai penguraian terhadap masalah untuk mengetahui keadaan yang
sebenarnya serta proses pemecahan masalah. Objek penelitian yang akan diuraikan adalah
struktur instrumen alat musik Lagia.
14
1.4.2. Kerangka Teori
Teori klasifikasi Sach dan Hornbortel yang membagi kategori instrumen musikal di
dunia. Curt sach-Horn bostel mengatakan bahwa: “...future classifiers of instruments
should consider this aspect of instruments along with the structure and sound – producing
mechanism”. (pengklasifikasian instrumen yang akan datang harus mempertimbangkan
struktur dari suara serta mekanisme penghasil bunyi (Sach-Hornbostel 1961:8).
Pengklasifikasian tersebut didasarkan pada mekanisme produksi bunyi. Kelima klasifikasi
tersebut antara lain adalah aerophone yaitu sumber penggetar utama berasal dari udara;
membranophone yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama berasal dari membran;
idiophone yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama berasal dari instrumen itu
sendiri, dan chordophone yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama berasal dari
dawai/ senar. Dengan kata lain, Prinsip pengklasifikasian Sach – Hornbostel tersebut jelas
dapat juga diaplikasikan di dalam menganalisa mekanisme produksi bunyi serta di dalam
menentukan sumber bunyi yang ada pada instrumen Lagia.
Pemahaman tentang struktur dan fungsi instrumen yang dijabarkan oleh Susumu
(1987) adalah suatu pedoman atau kerangka berpikir yang dapat dijadikan acuan di dalam
membangun pemahaman dalam pembahasan tentang struktur dan mekanisme produksi
bunyi instrumen Lagia.
“1. Structural and 2. Fungsional. Structural studies deal with the physical aspect of musical instrument-observing, measuring and recording the shape, size,construction,and the materials used in making the instrument. The second deal with its function as a sound-producing tool, researching, measuring,and recording, the playing method, tuning method, sound-producing uses and the loudness,pitch, timbre,and quality of the sound produced”( Susumu,1987:174) 1. Struktural dan 2. Fungsional. Secara struktural . yaitu aspek fisik instrumen musik, pengamatan, mengukur dan merekam bentuk, ukurannya, konstruksinya, dan bahan yang dipakai. Secara fungsional,yaitu fungsi instrument sebagai alat untuk memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran, dan mencatat metode, memainkan instrumen, kualitas bunyi yang dihasilkan.
15
Jeff Titon dalam bukunya Wolrd’s of Music, mengatakan bahwa di dalam hal
memahami gaya musik maka harus memperhatikan empat hal yaitu : (1) elemen nada yang
meliputi tangga nada, modus, harmoni dan sistem laras; (2) elemen waktu yang meliputi
ritme dan birama; (3) elemen suara meliputi warna suara dan bunyi dari instrumen dan (4)
intensitas yang meliputi keras lembutnya suara tersebut (1984:5). Tangga nada (scale)
adalah nada-nada yang tersusun dari yang terendah ke nada yang tertinggi dengan interval
tertentu. A collection of pitches arranged in order from lowest to highest or from highest
to lowest ( Randel, 2003:757). Modus (mode) adalah tangga nada dengan jumlah tujuh
nada dengan interval setengah atau satu. Sementara itu, harmoni (harmony) adalah dua
nada atau lebih dengan interval tertentu dibunyikan secara bersamaan di waktu yang sama
(George,1974). Ritme (rythm) adalah gerakan yang terjadi dalam ruang waktu. Teori
tersebut menjadi pedoman untuk mengkaji struktur musik instrumen Lagia.
Kontak budaya adalah suatu proses sosial yang timbul bila suatu kelompok
manusia dengan suatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu
kebudayaan asing dengan sedemikian rupa, sehingga unsur-unsur kebudayaan itu lambat
laun diterima dan diolah kedalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya
kepribadian kebudayaan itu sendiri (Koentjaraninggrat,1990).
Margaret Kartomi mengatakan bahwa proses kontak budaya dapat terjadi melalui
enam cara yaitu: perang, perdagangan, wisata, penyebaran agama, perkawinan antar suku
dan sekolah. Kartomi menjelaskan tiga proses terjadinya kontak budaya yaitu:
(1) synthesis adalah penyatuan dari beberapa elemen yang membentuk sesuatu yg
kompleks (Oxford English Dict). Dalam pengertian musikal, synthesis adalah menyatunya
elemen-elemen yang kontradiksi dari dua atau lebih musik yang ‘tertekan’ melalui proses
dialektikal menjadi suatu elemen musikal yang baru; (2) syncretism adalah sejak thn 1840
16
diartikan sebagai usaha menyatunya atau rekonsiliasi dari unsur-unsur praktek agama yang
berlawanan atau berbeda, yang kemudian oleh William P Malm diartikan sbg penyatuan
unsur-unsur dari dua kebudayaan yang kemudian penyatuan itu merubah nilai-nilai dan
bentuk-bentuk asli terdahulu dari kebudayaan tersebut;(3) transculturation adalah satu
proses transformasi kebudayaan ditandai dengan masuknya elemen kebudayaan baru dan
hilangnya atau tergantinya sesuatu di dalam kebudayaan yang eksis sebelumnya.
Selanjutnya, terdapat enam respon dari ketiga proses kontak budaya tersebut menurut
Margareth kartomi, antara lain: virtual rejection of an impinging music (dalam kondisi
tertentu satu kebudayaan bisa saja menolak pengaruh musikal dari kebudayaan yang
menginvasi); Tranfer of discrete musical traits (menerima atau mengambil secara terpisah
satu aspek dari suatu kebudayaan dan proses ini terjadi secara damai. Transfer ini tidak
menyebabkan terjadinya perubahan yang major, dan transfer seperti ini tidak akan disertai
perubahan ‘rasa’ musikal, sikap maupun konsep yang siginifikan; Pluralistic coexistence
of music (Sebuah kebudayaan bisa berlanjut terus, sementara memberikan toleransi
terhadap praktek musik komunitas lainnya secara paralel, dan terpisah.); Nativistic musical
revival (sebuah kebudayaan musikal yg telah lama didominasi oleh kebudayaan musikal
lainnya dan telah mengabaikan tradisi musiknya, suatu ketika tersadar akan bahaya bahwa
tradisi musiknya bisa saja punah, dan kemudian membuat usaha untuk penyelamatannya);
Musical abandonment (hilangnya suatu tradisi musik bisa terjadi akibat adanya tekanan
atau intimidasi, atau bisa saja hilang secara alamiah jika institusi masyarakat yg
mengurusinya ‘mati’ dan diganti); Musical impoverishment (hilangnya atau berkurangnya
sebagian musik (kemampuan bermusik, repertoar) yang dimiliki akibat mengakomodir
aspek kebudayaan yang dominan).
Ini penting untuk menguji Lagia benar merupakan instrumen yang terdistribusi ke
dalam kebudayaan masyarakat Nias sekitar abad ke-11, pada saat terjadinya kontak
17
perdagangan antara pedagang China dengan masyarakat lokal. Jika hal tersebut benar
terjadi, teori ini juga akan menjadi dasar pemikiran untuk menjelaskan bagaimana proses
terjadinya kontak budaya tersebut.
Pendapat Nettl dalam bukunya Theory and Method in Ethnomusicology juga
menjadi dasar pemikiran penulis untuk melihat apakah benar Lagia merupakan adaptasi
dari instrumen Erhu sebagai hasil dari proses kontak budaya, mengingat adanya kemiripan
antara kedua instrumen tersebut. Berikut kutipannya:
“...The fact that instruments are relatively so complex makes it possible to use them as indicators of cultural contact between peoples. If identical forms of instruments are found in separated areas, and if these forms are fairly complex, there is a strong possibility that they were brought from one area to the other, or to both from a third area”.(keberadaan dua instrumen yang sama atau hampir sama, kemungkinan besar bahwa keduanya mengalami kontak budaya yang mungkin terjadi diantara masyarakat dan kebudayaan) (Nettl,1964:206-207).
1.5. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis mengacu pada pendapat Bruno Nettl,
dalam Theory and Method Ethnomusicology, mengatakan bahwa ada dua hal metode
penelitian di dalam etnomusikologi , yaitu kerja lapangan (field work) dan kerja
laboratorium (desk work)( Nettl, 1964:62).
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-analitis, yaitu menguraikan apa
adanya dan menjelaskan secara mendalam mengenai alat musik Lagia dari sisi struktur
instrumen dan struktur musik Lagia.
Berdasarkan pendapat Nettl di atas, maka dalam penelitian ini penulis melakukan
beberapa tahapan kerja yang terdiri dari studi kepustakaan, kerja lapangan, wawancara,
pengamatan terlibat, perekaman, dan studi laboratorium.
18
1.5.1. Studi Kepustakaan
Studi kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data-data berupa tulisan-tulisan
yang melandasi penelitian. Hal pertama yang dilakukan penulis adalah mempelajari
tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek penelitian. Penulis mengumpulkan tulisan,
artikel, buku, ensiklopedi, jurnal, dan berbagai literatur atau sumber bacaan yang memuat
sumber informasi tentang objek penelitian. Dengan dilakukannya studi kepustakaaan maka
dapat membantu penulis untuk melakukan penelitian lapangan.
Oleh karena itu, sebelum melakukan kerja lapangan, penulis terlebih dahulu
mengumpulkan sumber-sumber bacaan yang berhubungan dengan objek penelitian atau
pun sumber tulisan lainnya yang mendukung penelitian ini. Studi ini berfungsi untuk
mendapatkan data-data yang relevan untuk membahas permasalahan dalam pembahasan
ini.
Ada pun beberapa tulisan yang berhubungan dengan tulisan ini antara lain:
Buku Asal Usul Masyarakat Nias, yang ditulis oleh P. Johannes Harmmelle pada
tahun 2001. Buku ini memuat tentang asal usul sejarah masyarakat Nias, dan mengutip
beberapa tulisan tentang kebudayaan-kebudayaan luar yang pernah masuk ke dalam
wilayah kebudayaan Nias. Kemudian skripsi Titi Krisnawati Laoli yang berjudul “ Studi
Deskriptif dan Analitis Identitas Musikal Nias Yang Terkandung Dalam “ZinunŐ BNKP”.
Skripsi ini membahas tentang kebudayaan musikal Nias serta identitas musikal dalam
zinunŐ BNKP. Selanjutnnya artikel-artikel yang diterbitkan oleh yayasan pusaka Nias,
salah satunya buku Pusaka Nias dalam Media Warisan. Buku tersebut berisi atrikel-artikel
dan opini tentang berbagai kebudayaan Nias.
Sejauh ini, penulis belum pernah mendapatkan kepustakaan khusus mengenai alat
musik Lagia. Nasmun ditemukan adanya beberapa buku yang memberikan sedikit
penjelasan tentang alat musik Lagia berupa pengenalan dari sisi bentuk dan ukuran, cara
19
pembuatan, sejarah serta cara memainkannya. Meskipun demikian informasi yang didapat
tidak terlalu spesifik membahas secara mendalam tentang alat musik Lagia. Melalui
tulisan-tulisan tersebut diatas cukup memberikan informasi yang mendukung penelitian ini
untuk mrngetahui kebudayaan Nias.
1.5.2. Wawancara
Kerja lapangan dilakukan untuk memperoleh data-data yang diinginkan di lokasi
penelitian secara langsung. Kerja lapangan meliputi observasi, wawancara, dan perekaman.
Menurut Prof.Dr.Soekidjo, observasi atau pengamatan adalah suatu prosedur yang
berencana, yang antara lain melihat, mendengar, dan mencatat sejumlah ativitas atau
situasi tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti. Sementara wawancara
adalah suatu metode yang dipergunakan untuk mengumpulkan data, dimana peliti
mendapatkan keterangan atau informasi secara lisan dari seseorang sasaran penelitian
(responden), atau bercakap-cakap berhadapan muka dengan seseorang tersebut (face to
face), (Soekidjo, 2010: 139). Beberapa jenis wawancara yaitu : wawancara formal,
pendekatan menggunakan petunjuk umum wawancara dan wawancara baku terbuka.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan wawancara berfokus (focussed interview),dan
wawancara bebas ( free interview).
Pada penelitian ini, penulis akan mencari informasi dengan melakukan wawancara
dengan tokoh-tokoh masyarakat yang mengetahui tentang alat musik Lagia, pemain alat
musik Lagia. Beberapa diantaranya adalah bapak Hezatulȍ Ndruru, sebagai salah seorang
karyawan di museum pusaka nias juga sebagai pemain alat musik tardisional nias. selain
itu penulis juga akan melakukan wawancara kepada bapak Yustinus Mendrȍfa sebagai
salah seorang tokoh masyarakat, pemain musik lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ,
Kecamatan Hiliserangkai, Kabupaten Nias.
20
1.5.3. Kerja Lapangan
Kerja lapangan dilakukan untuk memperoleh data-data yang diinginkan di lokasi
penelitian secara langsung. Kerja lapangan meliputi observasi, wawancara, dan perekaman.
Menurut Prof.Dr.Soekidjo, observasi atau pengamatan adalah suatu prosedur yang
berencana, yang antara lain melihat, mendengar, dan mencatat sejumlah ativitas atau
situasi tertentu yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.
Selain itu penullis juga mengacu pada pendapat Nettl yang mengatakan bahwa
kerja lapangan ( field work) dalam studi etnomusikologi adalah menunjuk pada
pengumpulan rekaman dan pengalaman musikal dalam budaya masyarakat tertentu. Di
dalam kerja lapangan,hasil lapangan yang terpenting tidak hanya hasil rekaman, tetapi
kemampuan dan pengetahuan peneliti dalam budaya musikal yang sedang diteliti. Hasil
jenis ini adalah bayangan pekerjaan etnomusikologi yang mengembangkan bimusicality
sebagai tujuannya ( Nettl,1964 :62-63)
Penulis akan melakukan kerja lapangan dengan mendatangi desa Dahadanȍ
Botombawȍ yang berada di kecamatan Hiliserangkai, Kabupaten Nias yang umumnya
masyarakat di desa tersebut masih mengenal dan terdapat beberapa masyarakat yang
memiliki bahkan dapat memainkan alat musik Lagia.
1.5.4. Perekaman Data Visual dan Audio
Perekaman data baik visual atau audio merupakan salah satu bagian terpenting yang
digunakan penulis untuk mengumpulkan data selain melakukan wawancara. Perekaman
data visual dan audio dilakukan secara langsung pada saat pembuatan alat musik lagia
oleh seorang pemain musik alat musik Lagia. Perekaman data ini dilakukan dengan
menggunakan kamera digital Sony dan Handphone Samsung Galaxy Grandprime. Media
21
tersebut digunakan untuk merekam proses pembuatan alat musik Lagia. Selanjutnya hasil
rekaman akan dianalisis.
1.5.5. Kerja Laboratorium
Semua hasil perekaman melalui kerja lapangan akan diolah dalam kerja
laboratorium dengan menggunakan pendekatan etnomusikologi. Dalam mengolah data,
penulis akan melakukan seleksi terhadap data dengan membuang data yang tidak perlu dan
menambahkan data yang kurang. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan pendekatan
deskriptif analitis guna penganalisisan data.
1.5.6. Transkripsi dan Analisis
Randel dalam The Harvard Dictinary of Music, menulis tentang pengertian
transkripsi (transcription) adalah “the reduction of music from live or recorded sound to
written notation (mereduksi musik secara langsung atau bunyi yang direkam ke dalam
bentuk notasi tertulis ( Randel 2003: 902). Selanjutnya, Nettl mengatakan bahwa ada dua
pendekatan untuk mendeskripsikan musik; (1)kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan
apa yang kita dengar, dan (2)kita dapat menuliskan dan mendeskripsikan apa yang kita
lihat .Oleh karena itu untuk menganalisis instrumen lagia maka penulis perlu proses untuk
menotasikan/menuliskan bunyi instrumen yang telah direkam ke dalam bentuk simbol
visual. Dengan demikian, penulis dapat mendeskripsikan serta menganalisis struktur
bunyi instrumen lagia dari simbol notasi visual tersebut.Hal ini lah yang disebut transkripsi
dan analisis ( Netll 1964:97-98).
Untuk melakukan kegiatan transkripsi, penulis akan menggunakan metode
Weighted Scale dari William P.Malm (1977) yang mengatakan bahwa ada beberapa
karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: 1. scale
(tangga nada), 2. nada dasar (pitch center), 3. range (wilayah Nada), 4. frequency of notes
22
(jumlah nada-nada), 5. prevalent Intervals (interval yang dipakai), 6. cadence patterns
(pola-pola kadensa), 7. melodic formulas (formula-formula melodi), 8. contour (kontur).
Simbol-silmbol yang akan dipakai dalam proses trankripsi adalah tanda birama 6/8
dengan menggunakan simbol notasi 1/8 yang bernilai ½ ketuk.
Time signature simbol istrahat not seperdelapan bernilai ½ ketuk
½ ketuk
1.6. Lokasi Penelitian
Tempat penelitian yang dipilih penulis adalah desa Dahadanȍ Botombawȍ,
kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias. Penulis memilih lokasi penelitian tersebut
karena masyarakat di desa ini pada umumnya masih mengenal alat musik Lagia dan
terdapat beberapa masyarakat yang masih memiliki bahkan dapat memainkan alat musik
Lagia. Hal ini memungkinkan penulis untuk mengetahui lebih banyak mengenai instrumen
Lagia.
23
BAB II
IDENTIFIKASI LOKASI PENELITIAN
Pada bab II akan dijelaskan secara singkat gambaran umum mengenai lokasi
penelitian yaitu desa Dahadanȍ Botombawȍ. Penjelasan meliputi letak geografis, sejarah
desa Dahadanȍ Botombawȍ, keadaan penduduk, sistem mata pencaharian, sistem
pemerintahan, bahasa, agama dan kesenian/kebudayaan. Lebih jauh akan dijelaskan
mengenai kesenian lokal yaitu sistem kesenian yang berkembang di desa Dahadanȍ
Botombawȍ. Aspek lain yang penting dibahas adalah deskripsi instrumen Lagia yang
merupakan instrumen yang berkembang di masyarakat setempat. Pembahasan tentang hal
ini akan dibahas lebih lanjut di bab berikutnya. Berikut adalah uraian tersebut secara
umum.
2.1. Gambaran Umum Desa Dahadanȍ Botombawȍ
Desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah satu desa yang terletak di Kecamatan Hili
Serangkai, Kabupaten Nias (lihat peta 1). Desa ini merupakan ibukota kecamatan dari
lima belas desa yang terdapat di wilayah Kecamatan Hili Serangkai. Kelima belas desa
tersebut adalah desa Lȍlȍwua, desa Dahadanȍ Botombawȍ, desa Lȍlȍwua Hiliwarasi,
desa Fulȍlȍ , desa lalai, desa Hilizia Lauru, desa Fadoro Lalai, desa Lalai, desa Fulȍlȍ
Lalai, desa Lȍlȍfaȍsȍ Lalai, desa Fadoro Hunogȍa, desa Awela, desa Ehosakhozi, desa
Onombongi, desa Lȍlȍfaȍsȍ, dan desa Orahili Idanoi1. Jika dilihat dari wilayah
kebudayaan (culture area) kepulauan Nias, desa ini termasuk wilayah Nias bagian tengah.
Desa ini berjarak ±19 km dari kota Gunung Sitoli.
Penggunaan lahan di desa Dahananȍ Botombawȍ sebagian besar dipergunakan untuk
lahan perkebunan sedangkan sisanya untuk lahan pemukiman penduduk dan fasilitas-
1 Lihat Daftar Gambar (Peta Administrasi Kecamatan Hili Serangkai
25
fasilitas desa lainnya, seperti kantor balai desa, puskesmas rawat inap, gereja, taman
kanak-kanak, dan bangunan sekolah.2
Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ termasuk masyarakat yang peduli
terhadap kebudayaan tradisi, terbukti dengan berdirinya sebuah sanggar seni desa yang
disebut sanggar Aforeteholi. Sanggar ini telah banyak mengukir prestasi disetiap festival
kebudayaan Nias di wilayah se-Kabupaten Nias, yang dilaksanakan sekali dalam dua
tahun. Terakhir pada tahun 2014, sanggar ini ikut berpatisipasi dan dinilai sebagai
pertunjukkan terbaik pada saat itu. Perlu diketahui bahwa sanggar ini pertama sekali
dipelopori oleh alm A.Tuti Mendrȍfa, yang membangkitkan kesenian tradisional Nias
meliputi penggunaan alat-alat musik tradisi, nyanyian rakyat , dan tarian maena baluse.
Tarian maena baluse adalah salah satu kesenian yang sangat terkenal berasal dari desa
Dahadanȍ Botombawȍ. Hal ini akan lebih lanjut dibahas pada sub judul berikutnya.
Di Desa Dahadanȍ Botombawȍ terdapat beberapa sarana prasarana pendidikan,
agama dan pemerintahan antara lain: dua buah gedung sekolah dasar negeri, satu buah
kantor kecamatan, satu buah gedung puskesmas rawat inap, satu buah kantor penyuluh
pertanian, dan tiga gedung ibadah, yaitu dua gedung ibadah Kristen Protestan (BNKP)
dan satu gedung ibadah untuk umat beragama Kristen Katolik.
2.1.1. Letak Geografis Desa Dahadanȍ Botombawȍ
Desa Dahadanȍ Botombawȍ memiliki luas ± 4.400 Mଶ, dimana 35% merupakan
pemukiman penduduk dan 65% merupakan lahan daratan yang digunakan sebagai lahan
perkebunan karet. Desa ini memiliki morfologi/ bentang alam yaitu perbukitan.
Desa Dahadanȍ Botombawȍ merupakan lalu lintas antar kabupaten. Hal ini
mengakibatkan desa Dahadanȍ Botombawȍ sangat ramai disinggahi oleh masyarakat dari
2 Wawancara kepada bapak Yustinus Mendrȍfa, tanggal 1 April 2016 di SMA Swasta Pemda Gunungsitoli.
26
Kabupaten Nias Barat dan Kabupaten Nias Selatan. Batas-batas wilayah desa Dahadanȍ
Botombawȍ adalah sebagai berikut:
Sebelah Utara : Desa Lȍlȍwua Kecamatan Hili Serangkai dan desa Sisobahili
Kecamatan Gunungsitoli, Kota Gunungsitoli
Sebelah Timur : Desa Lȍlȍwua dan desa Hiliwarasi, Kecamatan Hili Serangkai
Sebelah Selatan : Desa Lȍlȍwua Hiliwarasi, Kecamatan Hili Serangkai
Sebelah Barat : Desa Tuhegaofoa I, desa Tetehȍsi, desa Hilihambawa, desa
Hilimbȍwȍ dan desa Hiliwaele ,Kecamatan Botomuzȍi
Desa Dahadanȍ Botombawȍ beriklim tropis, yang memiliki pengaruh terhadap pola
tanaman dan lahan pertanian. Selain itu, topografi wilayah perbukitan mengakibatkan
tanaman yang paling banyak tumbuh di wilayah ini adalah tanaman karet dan kakao. Oleh
sebab itu, keadaan iklim dan topografi desa Dahadanȍ Botombawȍ mempengaruhi sistem
pencaharian masyarakat pada umumnya, yaitu bekerja sebagai petani karet dan kakao.
Selain kedua tanaman tersebut, tanaman seperti pohon aren juga banyak tumbuh di
wilayah desa Dahadanȍ Botombawȍ. Sehingga tidak sedikit masyarakat desa Dahadanȍ
Botombawȍ selain bekerja sebagai petani karet, mereka juga bekerja sebagai penyadap
nira.
2.1.2. Struktur Pemerintahan
Sama seperti sistem pemerintahan desa pada umumnya, sistem pemerintahan desa
Dahadanȍ Botombawȍ dipimpin oleh seorang kepala desa dan beberapa anggota aparat
desa lainnya (lihat bagan 1). Saat ini desa Dahadanȍ Botombawȍ dipimpin oleh bapak
Yustinus mendrȍfa sekaligus menjabat sebagai sekretaris desa. Aparat desa bekerja untuk
menjalankan program-program desa yang telah ditetapkan dari pemerintah pusat demi
kemajuan dan kesejahteraan masyarakat desa di setiap kecamatan.
27
Bagan 1: Struktur Pemerintahan Desa Dahadanȍ Botombawȍ
Sumber : Profil desa Dahadanȍ Botombawȍ; Struktur Pemerintahan Desa, 2016
BADAN PERMUSYAWARATAN DESA (BPD)
Ketua BPD
ELISON MENDROFA
Walkil Ketua BPD
OPERIANUS MENDROFA
Anggota BPD
Tokoh Penggerak
Sanggar Aforeteholi
MARTHIN D.S MENDROFA
YUSTINUS MENDROFA
TOLONA MENDROFA
AMIELI MENDROFA
FATOLOSA MENDROFA
PEMERINTAHAN DESA
Pj. KEPALA DESA
YUSTINUS MENDROFA
KAUR PEMERINTAHAN
YA’ARO MENDROFA
KAUR PEMBANGUNAN
FORTUMEI MENDROFA
KAUR UMUM
FIYULISON MENDROFA
KADUS I
JUNI RAHMAD MENDROFA
KADUS II
SEHATI MENDROFA
KADUS III
HATO’O MENDROFA
KADUS IV
SOKHI ATULO MENDROFA
Sekretaris BPD
HUBERTUS MENDROFA
28
Desa ini terdiri atas empat dusun yang dibagi lagi menjadi beberapa RT/RW, dimana pusat
pemerintahan desa terletak di dusun II. Setiap dusun dipimpin oleh seorang kepala dusun
yang dipilih melalui musyawarah mufakat desa.
2.2. Sejarah Desa Dahadanȍ Botombawȍ
Berbicara tentang sejarah desa Dahanȍ Botombawȍ berarti membahas mengenai asal-
usul berdirinya desa Dahadanȍ Botombawȍ. Sejarah desa Dahadanȍ Botombawȍ dimulai
dengan suatu perkumpulan beberapa kelompok masyarakat hingga akhirnya berdiri lah
sebuah desa yang dipimpin oleh tokoh masyarakat, yang pada awalnya mereka disebut
sebagai kepala kampung. Berikut penjelasan mengenai sejarah desa Dahadanȍ
Botombawȍ.3
Desa Dahadanȍ Botombawȍ berawal dari sebuah daerah yang disebut Fulȍlȍ
keturunan Maru bahili, berkembang menjadi sebuah daerah yang kemudian disebut
Sobagimbȍwȍ. Ketika itu, banyak penduduk yang tinggal di daerah Sobagimbȍwȍ.
Namun, bencana wabah penyakit melanda seluruh wilayah di desa tersebut dan
mengakibatkan ±70 orang warga desa meninggal dunia. Untuk menghindari korban yang
lebih banyak lagi, akhirnya penduduk desa Sobagimbȍwȍ pindah ke daerah Salo’o (kaki
gunung Hiliwarasi).
Masyarakat tersebut semakin banyak dan berkembang sehingga mereka terbagi ke
dalam beberapa perkumpulan yang disebut perkumpulan Fulȍlȍ, Lasara Sobagimbȍwȍ,
Lasara Bawo, Bawo Salo’o, Balȍhili Fulȍlȍ, dan Lasara Bahili. Dahadanȍ berasal dari
kata “daha” yang artinya perkumpulan dari Sobagimbȍwȍ, Fulȍlȍ, Lasara Sobagimbȍwȍ,
Lasara Bawo, Bawo Salo’o, Balȍhili Fulȍlȍ, dan Lasara Bahili. Sedangkan kata “danȍ”
3 Hasil wawancara kepada bapak Yustinus Mendrȍfa pada tanggal 10 April 2016, di desa Dahadanȍ Botombawȍ
29
artinya tanah/tempat tinggal. Kata “Botombawȍ”, berasal dari nama sebuah jalan yang
mempunyai bukit dan ditumbuhi oleh pohon mawȍ ( kayu jati) yang besar. Pada masa
pemerintahan Belanda, terbentuklah suatu nagari Dahadanȍ.
Pada awalnya penduduk berjumlah lima puluh kepala keluarga dipimpin oleh seorang
salawa silimawulu ( kepala adat) yaitu Kasoala Mendrȍfa ( Ama waelu mendrȍfa/ Bawa
duha). Pada saat itu, beliau disebut sebagai kepala kampung dari tahun 1905 s.d. 1917.
Setelah beliau meninggal, kepemimpinan desa dilanjutkan oleh Tarufa mendrȍfa (Ama
Lidia/Tuha angetula), memerintah dari tahun 1917 s.d. 1937. Setelah itu, kepemimpinan
dilanjutkan oleh Botokhi Mendrȍfa (Ama Mbalazi mendrȍfa/ Tuha aro, sebagai kepala
kampung dari tahun 1937 s.d. 1979. Sejak tahun 1979 istilah kepala kampung tidak lagi
disebut kepada seorang pemimpin desa, tetapi masyarakat sudah menggunakan istilah
kepala desa.
Oleh sebab itu, pada masa pemerintahan Botokhi Mendrȍfa dari tahun 1979-1985 ,
beliau disebut sebagai kepala desa. Setelah masa jabatan beliau habis, dia digantikan oleh
Faogoli Mendrȍfa (Ama Rorogȍ Mendrȍfa/ Tuha samaedohili) yang dipilih melalui
pemilihan kepala desa oleh masyarakat dan memerintah dari tahun 1985-1998. Setelah
masa jabatannnya berakhir, maka pemilihan kepala desa yang baru kembali dilaksanakan
dan menetapkan Balazi Mendrȍfa ( Ama Gameda) sebagai kepala desa, memerintah dari
tahun 1998-1999. Di tengah masa pemerintahannya beliau meninggal dunia. Untuk
melanjutkan tugas kepemimpinannya, maka diangkat lah seorang pelaksana tugas kepala
desa yaitu Temasȍkhi Mendrȍfa yang memerintah dari tahun 1999 s.d. 2008. Pemilihan
kepala desa untuk periode selanjutnya menetapkan beliau sebagai kepala desa tetap dan
memerintah dari tahun 2009-2014. Setelah periode itu berakhir, dipilih lah seorang Pj.
Kepala desa An. Solima Gulȍ ( Ina Calvin Mendrȍfa) selama satu tahun. setelah selesai
masa jabatannya, kepemimpinan selanjutnya dipimpin oleh Yustinus Mendrȍfa (Ama
30
Christin Mendrȍfa) sebagai kepala desa sekaligus sebagai sekretaris desa sejak bulan
Maret 2015 sampai hari ini.
Dengan demikian, perkembangan kepemimpinan desa sejak berdirinya desa
Dahadanȍ Botombawȍ dirangkum dalam tabel berikut:
Tabel 1:
Sejarah kepemimpinan desa Dahadanȍ Botombawȍ
Tahun Nama kepala desa Keterangan
1905-1917 Kasoala Mendrȍfa Kepala Kampung
1917-1937 Tarufa Mendrȍfa Kepala Kampung
1937-1979 Botosȍkhi Mendrȍfa Kepala Kampung
1979-1985 Botosȍkhi Mendrȍfa Kepala Desa
1985-1998 Faogȍli Mendrȍfa Kepala Desa
1998-1999 Balazi Mendrȍfa Kepala Desa
1999-2014 Temazȍkhi Mendrȍfa Kepala Desa
2015-sekarang Yustinus Mendrȍfa Kepala Desa
2.3. Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ
Masyarakat desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah penduduk asli suku Nias yang
memiliki adat istiadat yang sama dan mayoritas beragama Kristen Protestan. Menurut
informasi dari bapak Yustinus Mendrȍfa, masyarakat di desa ini sangat menjunjung tinggi
nilai gotong- royong dan kearifan lokal lainnya sejak berdirinya desa Dahadanȍ
Botombawȍ. Hal tersebut secara efektif mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat yang
31
terhindar dari bentrok antarkelompok masyarakat desa. Meskipun jauh dari wilayah
perkotaan, namun pengaruh gaya hidup masyarakat di kota masih ditemukan di desa ini.
Penggunaan teknologi dan transportasi sudah berkembang seperti di kota Gunung Sitoli.
2.3.1. Sistem Mata Pencaharian
Keadaan morfologi geografis desa Dahadanȍ Botombawȍ yaitu lahan perbukitan.
Keadaan ini mengakibatkan lahan pertanian di desa ini sangat cocok terhadap
perkembangan tanaman karet dan kakao. Oleh sebab itu, 65% dari luas wilayah desa
digunakan sebagai lahan perkebunan karet. Dengan demikian, untuk memenuhi
kebutuhannya sehari-hari, masyarakat di desa ini pada umumnya mengusahakan lahan
perkebunan karet. Sebagian masyarakat bekerja sebagai tukang bangunan, peternak ayam
dan babi, pedagang dan sebagian lagi penduduknya bekerja di instansi pemerintah sebagai
pegawai negeri sipil. Perbedaan status ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat
mengakibatkan adanya kelompok rumah tangga yang miskin, sedang, dan kaya (Yustinus,
2016).
2.3.2. Bahasa dan Agama
Bahasa sehari-hari yang digunakan oleh masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ
adalah bahasa Nias ( Li Niha), dengan logat bahasa wilayah Nias bagian tengah (Brian,
2012:51). Meskipun demikian, pengaruh bahasa melayu Indonesia juga ditemukan di desa
Dahadanȍ Botombawȍ. Masyarakat sudah mengenal bahasa Indonesia dan sebagian dari
mereka sudah menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.
Masyarakat desa Dahadanȍ Botombawȍ mayoritas menganut agama Kristen Protestan
dan sebagian lagi menganut agama Kristen Katolik. Kedua kelompok masyarakat ini
memiliki hubungan yang baik, dan masing-masing melaksanakan kegiatan agamanya.
32
2.3.3 Jumlah Penduduk dan Tingkat Pendidikan
Penduduk desa Dahadanȍ Botombawȍ berjumlah 1.243 jiwa yang terdiri dari laki-
laki: 606 jiwa dan perempuan berjumlah 637 jiwa. Sementara itu, jumlah kepala keluarga
terdiri dari 227 kepala keluarga yang terbagi ke dalam empat wilayah dusun.
Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ memiliki tingkat pendidikan yang
berbeda-beda. Berikut penjelasannya:
Tabel 2:
Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
Belum sekolah
Pra sekolah SD SLTP SLTA Sarjana
79 orang 265 orang 267 orang 245 orang 289 orang 98 orang
Dari tabel tersebut jelas terlihat bahwa tingkat pendidikan masyarakat di desa
Dahadanȍ Botombawȍ pada umumnya berada di tingkat pendidikan SLTA.
2.4. Sistem Kesenian
Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ termasuk masyarakat yang peduli
terhadap kesenian tradisi, terbukti dengan berdirinya satu sanggar seni budaya yang
disebut sanggar Aforeteholi. Sanggar ini menjadi sarana bagi pemuda-pemudi desa untuk
belajar dan mengenal kesenian tradisi berupa alat musik, nyanyian, dan tarian tradisional
Nias. Informasi dari bapak Yustinus Mendrȍfa mengatakan bahwa sanggar desa ini sudah
berdiri sejak tahun 70-an dan selalu menjadi yang terbaik disetiap pertunjukkan festival
budaya di wilayah Kabupaten Nias, yang dilaksanakan setiap sekali dalam dua tahun.
Ada pun beberapa alat musik yang diperkenalkan dalam sanggar tersebut antara lain
gȍndra, faritia,aramba, tutuhao, lagia, fondrahi, tamburu, koroso, duri mbalȍduhi, doli-
33
doli, surune, koko. Dalam setiap pertunjukkannya, paling tidak terdapat sepuluh instrumen
yang selalu digunakan untuk mengiringi tarian dan nyanyian tradisional nias. Perlu
diketahui bahwa hampir semua alat musik tersebut diatas dimainkan dalam bentuk
ensambel, kecuali Lagia dimainkan secara solo.
Salah satu kesenian yang sangat terkenal dari sanggar desa ini adalah tari maena
baluse. Tarian ini adalah tarian yang diikuti oleh beberapa pemuda/i dan orangtua yang
diiringgi oleh beberapa instrumen tradisional Nias. Dalam pertunjukkannya, penari maena
baluse masing-masing memegang gari (pedang) di tangan kiri dan baluse (tameng) di
tangan kanan. Mereka menari sambil diiringi oleh alat musik tradisi seperti gȍndra,
aramba, faritia, dan beberapa instrumen lainnya. Tarian ini merupakan tari penyambutan
tamu disetiap acara tertentu di desa Dahadanȍ Botombawȍ maupun di wilayah Kabupaten
Nias.
Sejarah berdirinya sanggar desa Aforeteholi pada awalnya dipelopori oleh alm. Ama
Tuti Mendrȍfa sekitar tahun 70-an. Pada saat itu beliau membangkitkan musik tradisi,
nyanyian dan tarian maena baluse di desa Dahadanȍ Botombawȍ. Pada awalnya mereka
selalu mengadakan latihan bersama setiap minggunya di lapangan terbuka. Namun,
berdasarkan informasi dari bapak Yustinus Mendrȍfa, sampai saat ini sanggar Aforeteholi
mengalami kemunduran. Badan pengurus harian sanggar ini sudah tidak jelas lagi dan
latihan rutinitas tidak lagi dilaksanakan. Beliau menambahkan bahwa pemuda/i desa hanya
akan melaksanakan latihan ketika mereka hendak mengikuti festival yang dilaksanakan
oleh pemerintah di Kabupaten Nias atau mengisi acara pada kegiatan tertentu.
Terkait dengan pembasan tulisan ini mengenai instrumen Lagia, penulis sangat
prihatin dengan eksistensi instrumen Lagia di desa Dahadanȍ Botombawȍ. Lagia sudah
tidak banyak diminati oleh masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ. Selain itu, pada
34
kegatan festival kebudayaan terkahir pada tahun 2014, Lagia tidak dimainkan pada saat
pertunjukkan. IPTEK telah mempengaruhi minat remaja dan warga desa Dahadanȍ
Botombawȍ untu mengembangkan instrumen Lagia.4 melihat keadaan seperti itu, penulis
berpendapat bahwa kemungkinan instrumen Lagia bisa saja punah di masa yang akan
datang.Meskipun demikian, penulis masih menemukan beberapa warga masyarakadat
desa Dahadanȍ Botombawȍ yang bisa memainkan insttrumen Lagia.
Pengaruh teknologi seperti masuknya alat musik modern mengakibatkan penduduk di
desa Dahadanȍ Botombawȍ kurang memberi perhatian terhadap kesenian tradisi, tidak
seperti yang dilakukan oleh gnerasi desa di awal berdirinya sanggar Aforeteholi.
Gbr.2: Penari maena baluse dan pemain musik tradisi pada kegiatan festival budaya nias tahun 2014
(Dokumentasi: Yustinus, 2014)
4 Berdasarkan hasil wawancara kepada bapak Ama Logis Mendrȍfa, tanggal 10 April 2016 di Desa Dahadanȍ Botombawȍ
35
2.5. Kesimpulan
Desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah salah satu dari kelima belas desa yang termasuk
ke dalam wilayah Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias. Dilihat dari wilayah
kebudayaan (culture area), desa Dahadanȍ Botombawȍ termasuk ke dalam wilayah Nias
bagian tengah. Desa Dahadanȍ Botombawȍ memiliki luas ± 4.400 meter persegi, dan
pada umumnya merupakan lahan perkebunan karet dengan topografi perbukitan. Desa
Dahadanȍ Botombawȍ dipimpin oleh kepala desa dan beberapa aparat desa. Bahasa yang
digunakan oleh penduduk desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah bahasa Nias ( Li Niha)
yang digunakan oleh masyarakat Nias pada umumnya. Sedangkan dilihat dari sisi
kepercayaannya, mayoritas masyarakatnya memeluk agama Kristen Protestan.
Masyarakat desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah masyarakat yang peduli dengan
kesenian tradisi, terbukti dengan berdirinya sebuah sanggar yang disebut sanggar
Aforeteholi. Dari beberapa instrumen tradisi, Lagia menjadi salah satu instrumen yang
diperkenalkan dan diajarkan bahkan dipertunjukkan di festival kebudayaan se-Kabupaten
Nias. Selain itu, Desa Dahadanȍ Botombawȍ sangat terkenal dengan seni tarinya yaitu tari
maena baluse .
Namun perkembangan sanggar Aforeteholi mulai surut semenjak datangnya pengaruh
perkembangan IPTEK khususnya dibidang kesenian, seperti masuknya instrumen modern
dan penggunaan MP3. Pengaruh ini mengakibatkan penurunan daya tarik masyarakat di
desa Dahadanȍ Botombawȍ untuk mempertahankan kesenian tradisional Nias yang sudah
lama berkembang di wilayah mereka. Beberapa alat musik tradisional seperti Lagia, sudah
jarang digunakan bahkan jika dilihat dari fisik instrumen, alat musik ini tidak layak pakai.
36
BAB III
DESKRIPSI INSTRUMEN LAGIA
Pada bab III akan dijelaskan mengenai deskripsi instrumen Lagia. Penjelasan tersebut
meliputi klasifikasi instrumen, konstruksi Lagia, sejarah Lagia, proses pembuatan dan
teknik memainkan Lagia. Lebih jauh akan menjelaskan konstruksi fisik instrumen Lagia
sebagai instrumen chordophone-spike fiddle-singgle stringed (instrumen berdawai tunggal
dengan kayu penyangga senar menembus tabung resonator). Aspek lain yang penting
dibahas adalah mekanisme penghasil bunyi pada instrumen Lagia yang akan dibahas di
bab selanjutnya. Berikut penjelasan deskripsi instrumen Lagia.
3.1. Klasifikasi Instrumen Lagia
Curth sach dan Hornbostel dikenal dengan teorinya yaitu sistem pengklasifikasian
instrumen dunia (1961). Sistem ini didasarkan pada sumber penggetar utama pada
instrumen, sehingga setiap instrumen dapat menghasilkan bunyi. Klasifikasi ini kemudian
dikenal dengan sistem klasifikasi Sach-Hornbostel.
Berdasarkan sistem tersebut, Sach-Hornbostel membagi instrumen dunia ke dalam
empat klasifikasi yaitu:
A. Idiophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi adalah badan
atau tubuh instrumen itu sendiri. Contohnya adalah gong, xilophone, dll.
B. Membranophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi berasal
dari membran/ kulit. Contohnya gendang.
C. Aerophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi berasal dari
udara yang bergetar. Contohnya seruling, terompet,saksofon, dll.
37
D. Chordophone, yaitu instrumen dengan sumber penggetar utama bunyi adalah
dawai/senar. Contohnya biola, cello, gitar, sitar,dll.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka instrumen Lagia digolongkan ke dalam
klasifikasi:
A. Chordophone singgle stringed, yaitu instrumen kordofon berdawai tunggal.
B. Spike fiddle, yaitu instrumen kordofon dimana gagang penyangga senar menembus
resonator.
C. Frettless, yaitu instrumen kordofon yang tidak memiliki batas pemisah pada
papan jari penghasil nadanya (fret).
3.2. Sejarah Instrumen Lagia
Lagia adalah salah satu instrumen musikal masyarakat Nias yang sudah sangat lama
dikenal. Instrumen ini hanyalah salah satu dari instrumen diantara beberapa instrumen
lainnya seperti tutuhao (idio-chordophone), gȍndr (double head-membranophone) , faritia
(Idiophone), aramba (idiophone), doli-doli (xilophone), fondrahi (membranophone),dll.
Uniknya, Lagia adalah satu-satunya instrumen berdawai tunggal pembawa melodi dalam
instrumen musikal masyarakat Nias. Instrumen ini adalah instrumen berdawai tunggal
dengan resonator yang terbuat dari batang pohon aren, senar terbuat dari tutura (rotan),
dan gagang penyangga senar menembus resonator. Instrumen ini dimainkan
menggunakan busur penggesek yang senarnya terbuat dari rotan. Jelas bahwa Lagia
dimainkan dalam bentuk formasi solo. Hal- hal yang berkaitan dengan konstruksi Lagia
secara jelas akan dibicarakan pada sub judul berikutnya.
Sejarah mengenai asal-usul instrumen ini tidak diketahui secara pasti oleh masyarakat
Nias. Menurut bapak Hezatulȍ Ndruru, asal usul instrumen Lagia berkembang dari sebuah
38
cerita rakyat yang ditulis dalam sebuah buku yang berjudul Pusaka Nias Dalam Media
Warisan. Di dalam buku tersebut ditulis bahwa instrumen Lagia diciptakan oleh seorang
laki-laki berpenyakit kusta yang diasingkan ditengah hutan, jauh dari pemukiman
penduduk. Laki-laki tersebut bernama Ba’uruna. Ketika merasa kesepian di hutan,
Ba’uruna membuat alat musik yang terbuat dari batang pohon aren dan melalui alat musik
itu, dia melantunkan sebuah nyanyian yang dikenal dengan “He lagia” sebagai ungkapan
rasa sedihnya. Ketika masyarakat mendengar bunyi alat musik tersebut, mereka
menyebutnya Lagia. Sejak saat itu Lagia dikenal masyarakat sebagai alat musik sendu.
Lagia terus berkembang hingga banyak dikenal oleh masyarakat dan tidak hanya
dimainkan di ladang saja, namun sudah dimainkan dalam upacara kematian. Namun, cerita
rakyat ini tidak bisa dipastikan kebenarannya.
Pendapat yang kedua dikemukakan oleh bapak Yustinus mendrȍfa. Beliau
mengatakan bahwa instrumen Lagia diciptakan oleh seorang penyadap nira yang berasal
dari daerah Nias bagian tengah. Hal ini dikaitkan karena pada zaman dahulu, disaat
masyarakat Nias lebih banyak bekerja sebagai petani, mereka menciptakan sesuatu benda
yang bisa dimainkan dan menghasilkan bunyi. Benda tersebut dapat terbuat dari benda-
benda alam yang ada disekitar mereka. Jelas bahwa benda tersebut berfungsi sebagai
hiburan pribadi ketika sedang istrahat dari pekerjaan mereka. Demikian halnya dengan
Lagia. Instrumen ini diciptakan oleh seorang penyadap nira yang sedang kesepian di hutan
sembari menunggu tempat penampungan niranya penuh. Mereka memotong batang pohon
aren (Arengga Pinatta) yang sudah tidak menghasilkan nira lagi dan menjadikannya
sebagai badan dari alat musik yang mereka buat. Proses hingga benda tersebut dapat
menghasilkan bunyi mengalami proses yang lama hingga mereka menemukan akar salak
(Salacca Zallaca) sebagai senar dan busur penggesek yang senarnya terbuat dari rotan
39
(Callamus Manna) . Namun asal usul nama nama instrumen Lagia, tidak diketahui secara
jelas.
Apabila dilihat dari sisi konstruksi fisik instrumen, Lagia sangat mirip dengan
instrumen Erhu yang ada di China. Dalam sebuah buku berjudul Asal Usul Nias, pastor
Hammerle sudah menulis tentang pengaruh kebudayaan China pada tahun 1348 s/d 1684
yang ada hubungannya dengan sejarah peradaan masyarakat di pulau Nias. Meskipun
tidak ada tulisan yang secara jelas menulis tentang pengaruh kebudayaan musikal, dalam
hal ini pengaruh instrumen Erhu terhadap Lagia, namun tulisan pastor Hammerle paling
tidak menimbulkan hipotesis penulis bahwa Lagia kemungkinan besar mendapat
pengaruh dari instrumen Erhu yangg dibawa oleh masyarakat China ketika terjadi kontak
budaya antar masyarakat lokal. Penjelasan lebih detail tentang hal ini akan dijelaskan
pada pembahasan bab selanjutnya.
3.2.1. Lagia Dalam Music In Nias Oleh Japp Kunts (1939).
Tulisan tentang instrumen Lagia sudah ditulis terlebih dahulu oleh seorang
etnomusikolog bernama Japp Kunts dalam bukunya yang berjudul Music In Nias (1939).
Japp Kunts dalam bukunya tersebut menulis tentang klasifikasi instrumen musikal dalam
masyarakat Nias berdasarkan sistem klasifikasi oleh Curt sach dan Hornbostel (1961).
Dalam tulisan tersebut, Kunts menulis sebuah nama instrumen tergolong kordofon yaitu
instrumen One Stringed Spitted Lute (instrumen jenis lute yang berdawai tunggal).
Dalam tulisannya tersebut, Kunts tidak menulis secara jelas nama instrumen bahkan
mengatakan “...native name unknown” (nama lokal daripada instrumen tersebut tidak
diketahui). Kunts menambahkan bahwa instrumen ini sangat primitive dan dimainkan
dengan sebuah busur ( very primitive spitte lute played with a bow). Instrumen spitted lute
ditemukan di Nias Selatan pada tahun 1925 oleh Dr. Paul Wirz dan diperkenalkan sampai
ke museum etnologikal di Bale. Kunts mendeskripsikan bangunan instrumen yaitu
40
resonator instrumen terbuat dari kayu berbentuk konis yang keras dan berongga, bagian
belakang terbuka dan bagian depan terrtutup oleh sepotong kayu tipis. Gagang instrumen
merupakan tongkat kayu yang panjang menembus diameter resonator sehingga beberapa
sentimeter muncul pada bagian resonator dan membentuk kaki pada instrumen (..foot of
the instrumen). Senar instrumen ini terbuat dari serat bambu ( bamboo fibre). Selain itu,
Kunts juga menyebut bahwa instrumen ini memiliki bridge berbentuk setengah lingkaran
(semicircular) yang memberikan jarak antara resonator dengan senar. Untuk mengatur
ketegangan senar, Kunts mengatakan bahwa tidak hanya melalui bridge tetapi dapat juga
diatur dengan memindahkan bagian yang melingkar (loop) ke atas atau ke bawah (Kunts,
1939:43). Penulis berpendapat bahwa yang dimaksud “the loop” oleh Kunts pada gagang
senar adalah Nasa5, yaitu bagian yang berbentuk cincin dipasang secara melingkar pada
gagang senar berfungsi untuk mengatur ketegangan senar.
Berdasarkan deskripsi instrumen Spitted lute yang dikemukakan oleh Japp Kunts,
penulis yakin bahwa instrumen yang dimaksud adalah Lagia. Namun, kemungkinan
istilah Lagia pada saat itu (sekitar tahun 1925 pada saat ditemukan oleh Dr. Wirz) belum
dipakai oleh masyarakat Nias sebagai native name instrument (nama lokal instrumen)
untuk menjelaskan instrumen spitted lute, sehingga Kunts tidak menyebut istilah Lagia
dalam tulisannya tersebut. Selain itu, Kunts mengatakan bahwa adanya bagian yang
melingkar pada bagian gagang (the loop). Tulisan ini menunjukkan bahwa Lagia sudah
ada sejak 91 tahun yang lalu. Namun penulis berpendapat bahwa Lagia yang ditemukan
oleh Dr. Wirz kemungkinan sudah ada sebelum tahun 1925.
3.3. Konstruksi Lagia
Untuk membahas konstruksi instrumen Lagia, penulis mengacu pada instrumen Lagia
yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru. Instrumen ini terdiri dari beberapa bagian yang
5 Lihat Gbr 10 dalam Bab III :Nasa. Hal. 37
41
memiliki fungsi masing-masing (lihat lampiran daftar Gambar). Penjelasan mengenai
bagian-bagian dari instrumen Lagia akan dijelaskan pada sub judul pembahasan berikut
ini.
3.4. Teknik Pembuatan Lagia
Pembahasan mengenai teknik pembuatan Lagia meliputi bahan baku pembuatan dan
proses pembuatan. Di dalam pembahasan ini penulis mengacu pada informasi dari bapak
Hezatulȍ Ndruru sebagai informan penulis.
3.4.1. Bahan Baku Pembuatan Lagia
Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru sebagai pembuat alat musik Lagia
mengatakan bahwa sesungguhnya ukuran bagian-bagian Lagia tidak memiliki standar
ukuran yang tetap. Ukuran Lagia tergantung kepada pembuatnya. Beliau juga
menambahkan bahwa pada zaman dulu, pembuat Lagia tidak menggunakan alat ukur yang
baku seperti pemggaris, tetapi mereka menggunakan sistem jengkal. Hal ini menimbulkan
perbedaan ukuran-ukuran Lagia. Dalam pembahasan ini, penulis mengacu pada ukuran
Lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru. Berikut penjelasannya:
3.4.1.1. Bahan Pembuatan Resonator
30-35 cm
18-22 cm
Gbr.4. Batang Pohon aren (Dokumentasi: penulis,2016)
42
Resonator adalah bagian daripada instrumen Lagia yang terbuat dari batang pohon
aren, nibung atau sembarang kayu yang dinilai memiliki kualitas yang baik dan tentunya
tahan lama, tidak mudah rapuh. Salah satu sisi resonator dibiarkan terbuka, sementara sisi
lainnya ditutup menggunakan pelepah pinang atau triplek. Ukuran resonator tidak tetap.
Namun, pada umumnya resonator berukuran 30-35 cm, dengan diameter ± 18-22 cm. kayu
yang digunakan sebagai resonator memiliki ketebalan ± 1,5 cm. Menurut penjelasan
bapak Hezatulȍ Ndruru, awalnya resonator Lagia terbuat dari batang pohon aren. Namun
pada perkembangannya, pembuat Lagia tidak lagi memilih batang pohon aren karena sulit
ditemukan, sehingga mereka mencari alternatif lain dan memilih kayu yang dianggap
memiliki kualitas yang baik. Meskipun demikian, batang pohon aren memiliki kualitas
kayu yang tahan lama dan tidak mudah rapuh. Namun, apabila dilihat dari kualitas bunyi
yang dihasilkan, resonator yang terbuat dari batang pohon aren menghasilkan bunyi yang
lebih kecil dan cenderung rendah dibandingkan dengan resonator yang terbuat dari kayu
yang menghasilkan bunyi yang lebih nyaring. Menurut bapak Hezatulȍ Ndruru, hal ini
dipengaruhi oleh ketebalan kayu aren dibandingkan dengan sembarang kayu yang
memiliki ketebalan lebih tipis.
3.4.1.2. Bahan Pembuatan Gagang Senar
75-80 cm
Gbr.5. Gagang senar pada Lagia
(Dokumentasi : Penulis,2016)
Gagang senar pada instrumen Lagia dibuat sama seperti batang kayu yang
digunakan sebagai resonator. Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru, gagang senar
43
Lagia disesuaikan dengan kayu yang digunakan sebagai resonator. Hal ini berarti apabila
resonator terbuat dari batang pohon aren, maka gagang senarnya terbuat dari potongan
kayu aren yang sudah dipotong dan ditipiskan. Gagang ini tidak memiliki ukuran yang
tetap, tergantung kepada pembuat Lagia. pada umumnya gagang ini berukuran ± 75-80
cm. Kayu sebagai penyangga senar menembus sampai ke bagian bawah resonator. Ujung
senar yang ditarik miring dari ujung atas kayu akan diikatkan pada ujung kayu yang
menembus resonator tersebut.
3.4.1.3. Senar
Senar pada instrumen Lagia terbuat dari akar salak (wa’a guluwi). Namun,
keterbatasan sumber daya alam akar salak maka pembuat Lagia menggunakan tutura6
sebagai alternatif lain untuk dijadikan sebagai senar Lagia pengganti akar salak. Senar
yang terbuat dari tutura ( rotan) yang memiliki ukuran ± 1.5 meter. Penjelasan dari bapak
Hezatulȍ Ndruru mengatakan bahwa sebelum senar digesek, tutura terlebih dahulu diolesi
air sehingga kesat dan bisa menghasilkan bunyi akibat gesekan pada busur penggesek.
Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru, pada zaman dahulu, pemain Lagia pada
umumnya memiliki kebiasaan makan sirih, sehingga mereka cukup meludahi air sirih itu
ke atas instrumen, lalu senar pada busur penggesek dioleskan ke resonator tersebut.
Gbr.6. Senar Lagia
( Dokumentasi : penulis,2016)
6 Sejenis tumbuhan sebangsa rotan yang banyak tumbuh di wilayah hutan di Pulau Nias. di wilayah Nias Selatan, istilah untuk menyebut tumbuhan ini adalah tura-tura. Ketersediaan tutura dalam jumlah yang banyak dan tidak sulit ditemukan mengakibatkan pembuat Lagia menggunakan tumbuhan ini sebagai senar pada Lagia.
44
3.4.1.4. Bridge (Jembatan senar)
Gbr.7. Bridge (Dokumen:penulis, 2016)
Bridge pada instrumen Lagia terbuat dari sembarang kayu. Namun, pada Lagia yang
dibuat oleh Bapak Hezatulȍ Nduru, bridge terbuat dari kayu sineu yang berukuran panjang
± 5 cm dan tinggi ± 3.5 cm. Jembatan senar ini dipasang pada penutup sisi kanan
resonator yang menyangga senar supaya tidak menyentuh penutup pada sisi kanan
resonator.
Gbr. 8. Posisi bridge pada penutup resonator (Dokumentasi : Penulis,2016) Selain di bagian penutup resonator, bridge ini juga dipasang di sebelah atas nasa di
ujung atas gagang senar, berfungsi untuk mengatur ketegangan senar. Bridge ini bersifat
moveable. Apabila bridge digeser ke bawah, maka senar akan semakin tegang dan
sebaliknya. Hal ini mempengaruhi intensitas bunyi yang dihasilkan oleh instrumen Lagia.
45
3.4.1.5. Penutup Sisi Kanan Resonator
Bagian penutup sisi kanan resonator dibuat dari mowa (pelepah pinang) yang
ukurannya disesuaikan dengan ukuran diameter resonator. Penggunaaan mowa sebagai
penutup sisi kanan resonator sudah lama dikenal oleh pembuat Lagia. Namun, pada saat
ini mereka tidak lagi menggunakan mowa, tetapi menggunakan kayu yang tipis atau
triplek. Menurut penjelasan bapak Hezatulȍ Ndruru mengatakan bahwa mowa memiliki
kelemahan yaitu sifatnya yang cepat kering yang membuat penutup resonator terbuka,
sehingga dianggap tidak terlalu baik untuk menghasilkan bunyi yang lebih nyaring.
Sementara itu, triplek memiliki batas nilai guna yang cukup lama dibandingkan dengan
pelepah pinang (mowa). Pada bagian tengah mowa atau triplek dibuat lubang dengan
diameter ± 2 cm. Lubang pada penutup sisi kanan resonator berfungsi untuk menghantar
bunyi pada bagian penutup yang diterima melalui getaran pada bridge yang dihasilkan
oleh gesekan busur penggesek pada senar Lagia.
Gbr.9. Mowa (pelepah pinang) (Dokumentasi : penulis,2016)
3.4.1.6. Nasa
Nasa adalah bagian pada instrumen Lagia berbentuk cincin yang terbuat dari tutura,
dipasang melingkar pada bagian atas gagang senar dibawah bridge (lihat gbr 10). Nasa
46
berfungsi sebagai pengatur tinggi-rendahnya bunyi yang dihasilkan oleh isntrumen lagia.
Sama halnya seperti bridge yang dipasang pada bagian atas gagang senar, nasa juga
bersifat moveable. Apabila nasa digeser makin ke bawah, maka nada yang dihasilkan
lagia akan semakin tinggi dan sebaliknya. Tentunya, pada saat nasa digeser bridge pun
ikut digeser mengikuti arah nasa bergeser. 7
Gbr. 10. Nasa (Dokumentasi penulis, 2106)
3.4.1.7. Busur Penggesek
Busur penggesek Lagia terbuat dari kayu yang memiliki sifat lentur sehingga mudah
melengkung membentuk busur 8. Pada saat ini pembuat Lagia lebih banyak menggunakan
bambu. Sementara itu, senar penggesek terbuat dari tutura yang juga digunakan sebagai
senar pada Lagia. Panjang kayu yang dibutuhkan adalah ± 35 cm, dilengkungkan sampai
180. Sementara itu, senar penggesek (tutura) memiliki panjang ± 30 cm (lihat daftar
gbr). Dalam teknik permainannya, senar busur penggesek terlebih dahulu diolesi dengan
air. Hal ini sangat berpengaruh terhadap intensitas bunyi Lagia. Apabila busur penggesek
7 Berdasarkan hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 14 April 2016 di Museum Pusaka Nias. 8 Lihat daftar Gambar (busur penggesek)
47
tidak diolesi air maka gesekan tidak akan menghasilkan bunyi. Pembasan lebih lanjut
mengenai hal ini akan dibahas pada sub pembasan berikutnya.
3.5. Peralatan yang Digunakan
3.5.1. Pahat
Pahat adalah berupa alat bilah besi yang memiliki ujung yang tajam. Pahat adalah
salah satu peralatan yang sangat dibutuhkan dalam proses pembuatan Lagia yaitu sebagai
alat untuk melubangi resonator serta mengurangi ketebalan kayu (Hezatulȍ,2016).
Gbr.11.Pahat (Dokumentasi: Penulis,2016)
3.5.2. Gergaji
Gergaji digunakan untuk memotong kayu yang digunakan sebagi gagang peyangga
senar Lagia yang telah dibentuk sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan.
Gbr.12. Gergaji (Dokumentasi: Penulis, 2016)
48
3.5.3. Palu Kayu
Palu kayu merupakan alat yang digunakan untuk memukul pahat dalam proses
melubangi resonator Lagia.
Gbr.12. Palu kayu (Dokumentasi: Penulis,2016)
3.5.4. Kampak
Kampak digunakan sebagai alat untuk memotong dan batang pohon aren/ kayu lain
yang akan dijadikan sebagai resonator.
Gbr.13. Kampak (Dokumentasi: Penulis, 2016)
3.5.5. Parang
Parang digunakan sebagai alat untuk membersihkan batang pohon aren yang sudah
dipotong . Parang membersihkan bagian kulit bagian luar dari batang pohon.
Gbr.14. Parang (Dokumentasi: Penulis,2016)
49
3.5.6. Amplas
Amplas atau disebut juga sebagai kertas pasir adalah jenis kertas yang digunakan
untuk membuat permukaan benda-benda menjadi lebih halus, dengan cara menggosokkan
salah satu permukaan amplas pada permukaan benda. Dalam proses pembuatan Lagia,
amplas digunakan untuk menghaluskan permukaan batang pohon yang digunakan sebagai
resonator.
3.5.7. Lem Perekat
Lem perekat yang digunakan dalam proses pembuatan Lagia adalah lem china yang
digunakan untuk merekatkan triplek yang telah dibentuk sesuai dengan ukuran diameter
resonator pada ujung kanan resonator, berfungsi sebagai penutup lubang resonator.
3.6. Proses Pembuatan
Proses pembuatan Lagia terdiiri atas beberapa tahap yang tidak sekaligus dilakukan
dalam waktu yang bersamaan, terlebih pada saat pengumpulan bahan baku seperti batang
pohon aren atau kayu sineu, rotan, dan bahan baku lainnya. Setelah bahan-bahan yang
diperlukan sudah tersedia, baik bahan baku maupun peralatan, maka selanjutnya adalah
proses pembentukan bahan dan dibentuk sesuai dengan desain kerangka, konstruksi pada
bagian Lagia. Dalam pembahasan ini, penulis akan memberi informasi berdasarkan bentuk
dan ukuran instrumen lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru. Beliau menjelaskan
bahwa pada umumnya lagia dibuat dengan ukuran panjang resonator ± 30-35 cm, gagang
senar ± 1 m, dan panjang senar ±1,5 m. Jarak bridge dengan nasa juga akan
mempengaruhi intensitas bunyi serta tinggi-rendahnya bunyi yang dihasilkan. Selain itu,
jarak antara lubang penyangga senar dengan ujung kanan resonator memiliki jarak ±12
cm. Sementara itu, lubang pada bagian penutup sisi kanan resonator memiliki diameter ± 2
cm.
50
Proses pembuatan Lagia pada dasarnya dilakukan secara manual tanpa menggunakan
peralatan mesin. Proses ini dimulai dari proses pengumpulan bahan baku, proses
pemahatan pada resonator, pengikisan hingga proses penghalusan.
Tabel 1.
Tahapan proses pembuatan instrumen Lagia
NO TAHAPAN
PENGERJAAN
BAGIAN
PENGERJAAN
1. TAHAP I Proses pengumpulan bahan baku
Proses pembersihan dan pengikisan bagian luar
resonator.
2 TAHAP II Proses pembuatan lubang dan pengikisan bagian
dalam resonator
Proses pembuatan lubang pada resonator sebagai
tempat gagang senar
3. TAHAP III Proses pembuatan bagian penutup resonator
Proses pembuatan lubang pada bagian penutup
resonator
4. TAHAP IV Pemotongan kayu gagang senar
Proses pemasangan gagang senar
Proses pemasangan senar ,bridge dan nasa
Proses pembuatan busur penggesek
Tahap akhir
51
3.6.1. Tahap I
3.6.1.1. Proses Pengumpulan Bahan Baku
Proses pengumpulan bahan baku adalah proses yang paling awal dalam pembuatan
Lagia. Pada proses ini, bapak Hezatulȍ Ndruru biasanya memesan bahan baku dari
Lahusa atau Gomo (wilayah Nias Selatan), sehingga beliau tidak langsung turun ke
lapangan tetapi menunggu pesanannya tersebut dikirim dari kampung. Penjelasan dari
bapak Hezatulȍ Nduru mengatakan bahwa bahan baku yang dipesan tersebut antara lain;
batang pohon akhe (aren) , dan tutura (rotan). Proses ini membutuhkan waktu selama ±2
minggu hingga sampai kepada bapak Hezatulȍ Nduru. Ukuran kayu yang dipesan
disesuaikan dengan kebutuhan yaitu batang pohon aren atau kayu sineu yang berdiameter
18-22 cm.
Panjang batang pohon seluruhnya tergantung keadaan pohon yang dipilih. Batang
pohon tersebut kemudian dipotong menjadi bongkahan- bongkahan yang memiliki
panjang 30-35 cm. Selain itu, proses pembuatan lubang pada resonator sebagian sudah
dilakukan. Menurut bapak Hezatulȍ Nduru, hal ini menghewat waktu dalam proses
pemotongan serta pembuatan lubang pada bagian dalam resonator. Beliau menambahkan
bahwa bongkahan kayu tersebut tidak hanya digunakan sebagai resonator Lagia saja,
tetapi juga digunakan sebagai bahan pembuatan tutu atau tamburu, yaitu gendang kecil
termasuk ke dalam klasifikasi membranophone-double head.
3.6.1.2. Proses Pembersihan dan Pengikisan Bagian Luar Resonator
Perlu diketahui bahwa bagian luar daripada bongkahan batang pohon aren atau
pohon sineu yang telah dipotong masih sangat kasar. Bagian luar bongkahan batang pohon
aren, misalnya, masih ditutupi oleh serabut dan kulit bagian luar, demikian juga dengan
batang pohon sineu yang masih kasar dan tertutup dengan kulit bagian luar. Oleh sebab itu
dibutuhkan proses pembersihan untuk mengikis kulit bagian luar bongkahan batang
52
pohon supaya terlihat lebih halus dan siap untuk dijadikan sebagai resonator lagia (lihat
gbr.15)
Proses ini dilakukan dengan menggunakan kampak. Selama proses ini, pembuat
Lagia harus lebih hati-hati untuk menghindari kerusakan pada bagian luar resonator.
Selain untuk membersihkan kulit bagian luar, proses ini juga sekaligus bertujuan untuk
mengurangi ketebalan resonator.
Gbr.15. proses pembersihan bagian luar resonator (Dokumentasi penulis, 2016)
53
Gbr.16. Proses pembersihan bagian ujung resonator (Dokumentasi penulis, 2016)
3.6.2. Tahap II
3.6.2.1. Proses Pembuatan Lubang dan Pengikisan Bagian Dalam Resonator.
Proses pemahatan/ pembuatan lubang pada resonator adalah proses yang dilakukan
setelah proses pembersihan bagian luar resonator. Proses ini menggunakan pahat untuk
melubangi bagian dalam resonator. Perlu diketahui bahwa proses ini telah dilakukan
terlebih dahulu oleh pengrajin dimana kayu ini dipesan. Sehingga, bongkahan batang
pohon aren yang diterima oleh bapak Hezatulȍ Ndruru sudah dalam keadaan berlubang.
Meskipun demikian, proses pembuatan lubang ini tidak dilakukan secara sempurna,
sehingga dibutuhkan proses pemahatan lebih lanjut. Proses ini akan dilakukan oleh bapak
54
Hezatulȍ Nduru. Selama proses ini, peralatan yang dibutuhkan antara lain; palu kayu dan
pahat.
Gbr.17. Proses pembuatan lubang pada resonator (Dokumentasi penulis, 2016)
Selain pembuatan lubang , proses ini juga sekaligus bertujuan untuk mengikis bagian
dalam resonator, untuk mengurangi ketebalan kayu (lihat Gbr. 17 dan 18) Tentunya hal ini
akan sangat berpengaruh pada bunyi yang akan dihasilkan. Apabila ketebalan
resonatornya semakin tipis, maka intensitas bunyi yang dihasilkan akan lebih besar dan
sebaliknya. Perlu diketahui bahwa bongkahan batang pohon aren memiliki sifat kayu
yang sangat keras dan tebal, sehingga proses pembuatan lubang ini membutuhkan waktu
yang lama sekitar ±1 minggu bahkan lebih. Hal ini lah yang menjadi salah satu alasan bagi
55
pembuat Lagia untuk mencari batang pohon pengganti yang tidak lebih tebal dan keras
dibandingkan dengan batang pohon aren, seperti batang pohon sineu. Dengan
mendapatkan batang pohon pengganti, maka hal ini tentunya akan menghemat waktu
pembuatan Lagia. Berdasarkan informasi dari bapak Hezatulȍ Ndruru, ketebalan kayu
yang diharapkan menjadi resonator paling tidak mencapai ±1-1,5 cm. Proses ini
membutuhkan ketelitian dan sikap hati-hati untuk menghindari kerusakan pada resonator.
Gbr.18. Pengikisan lubang resonator
(Dokumentasi penulis, 2016)
3.6.2.2. Proses Pembuatan Lubang Pada Resonator Sebagai Tempat Gagang senar.
Langkah selanjutnya adalah membuat lubang pada bagian luar resonator sebagai
tempat gagang senar. Proses ini diawali dengan mengukur jarak antara ujung resonator
yang akan ditutupi dengan triplek atau pelepah pinang dengan lubang gagang senar.
56
Sebelumnya sudah dijelaskan bahwa dalam hal pengukuran, pembuat Lagia tidak
menggunakan alat ukur yang baku, tetapi menggunakan sistem jengkal atau menggunakan
benda di sekitar mereka sebagai patokan dalam hal pengukuran selama proses pembuatan
Lagia.
Dalam proses pengukuran jarak antara ujung resonator dengan lubang gagang senar,
bapak Hezatulȍ Ndruru menggunakan gergaji sebagai patokan ukuran jarak tersebut.
pertama-tama beliau mengukur diameter resonator (lihat gbr 19) , kemudian mengukur
jarak ujung resonator dengan lubang gagang senar dengan jarak setengah dari diameter
resonator (lihat gbr 20). Diameter resonator Lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ
Ndruru adalah 22 cm, sehingga jarak antara ujung resonator dengan lubang tempat gagang
senar adalah 11 cm.
Gbr.19. Proses mengukur diameter resonator menggunakan gergaji (Dokumentasi penulis, 2016)
57
Setelah itu, langkah selanjutnya adalah mengukur lebarnya kayu/ gagang senar untuk
menentukan besarnya lubang yang akan dibuat. Kemudian mulai lah melubangi resonator
sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan. Mengingat Lagia adalah instrumen spike
fiddle, maka proses pembuatan lubang gagang senar tidak hanya di bagian atas resonator,
tetapi bagian bahwah resonator ikut dilubangi tegak lurus/ vertikal dengan lubang atas
resonator. Proses pembuatan lubang ini menggunakan palu kayu dan pahat (lihat gbr 22).
Perlu diketahui bahwa pembuat Lagia selain tidak menggunakan alat ukur baku,
mereka juga tidak menggunakan alat tulis sebagai alat untuk menandai ukuran yang
diinginkan pada resonator. Mereka cukup mengandalkan benda sekitar seperti parang yang
bisa digoreskan sehingga mereka dapat mengingat ukuran yang diinginkan pada resonator
(lihat gbr 21).
Gbr. 20. Proses mengukur jarak antara ujung resonator dengan lubang gagang senar (Dokumentasi penulis, 2016)
58
Gbr.21. Menggunakan parang sebagai penanda untuk mengingat ukuran yang ditentukan
(Dokumentasi penulis, 2016)
59
Gbr.22. Proses pembuatan lubang tempat gagang senar. (Dokumentasi penulis, 2016)
3.6.3. Tahap III
3.6.3.1. Proses Pembuatan Bagian Penutup Sisi Kanan Resonator
Setelah proses pembuatan lubang pada resonator, maka dilanjutkan dengan
pembuatan bagian penutup lubang pada sisi kanan resonator. Pada umumnya pembuat
menggunakan pelepah pinang untuk membuat bagian penutup pada sisi kanan resonator.
Perlu diketahui bahwa pelepah pinang tidak terlalu sulit ditemukan karena tumbuhan
pinang tumbuh banyak diwilayah daratan kepulauan Nias. Namun, pelepah pinang
mempunyai kekurangan yaitu sifatnya yang tidak tahan lama dan cepat kering. Apabila
mereka menggunakan pelepah pinang, maka pembuat Lagia harus secara rutin mengontrol
bagian penutup resonator tersebut. Jika sudah tidak layak dipakai lagi maka harus
60
digantikan dengan pelepah pinang yang baru. Hal ini sangat merepotkan bagi pembuat
Lagia.9 Oleh sebab itu, pembuat Lagia mencari bahan pengganti yang lebih tahan lama,
dan akhirnya memilih triplek untuk menggantikan pelepah pinang sebagai penutup sisi
kanan resonator. Selain tahan lama, bahan penutup resonator yang terbuat dari triplek juga
akan mempengaruhi intensitas bunyi. Bagian penutup triplek akan menghasilkan bunyi
yag lebih nyaring.
Gbr. 23 Proses Pengukuran diameter pelepah pinang pada sisi resonator
(Dokumentasi penulis, 2016)
9 Hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, pada tanggal 11 April 2016 di Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No. 134 A, Gunungsitoli
61
Sebelum proses pemasangan bagian penutup resonator, maka terlebih dahulu pelepah
pinang diukur sesuai dengan diameter resonator ,demikian juga halnya dengan triplek
(lihat gbr 23). Awalnya pelepah pinang yang belum dipotong, diletakkan pada resonator
tepat di bawah salah satu sisi lubang resonator. Resonator dalam keadaan didirikan.
Kemudian, oleh si pembuat Lagia akan memotong pelepah pinang secara melingkar dari
kanan ke kiri menggunakan pahat (lihat gbr 24). Dengan demikian akan didapatkan ukuran
yang sama antara diameter bagian penutup dengan sisi lubang resonator.
Gbr.24. Proses pemotongan pelepah pinang menggunakan pahat
(Dokumentasi penulis, 2016)
Setelah proses pemotongan selesai, proses selanjutnya adalah pembuatan lubang pada
bagian penutup tersebut. Ukuran diameter lubang ini diperkirakan saja, disesuaikan
62
dengan ukuran diameter resonator.10 Namun, pada umunya lubang ini berdiameter ±2 cm.
Setelah pembuatan lubang pada bagian penutup, kemudian pelepah pinang siap untuk
dipasang pada sisi kanan resonator (lihat gbr 25). Namun Perlu diketahui bahwa proses
pemasangan bagian penutup berbeda disesuikan bahan apa yang digunakan. Apabila
menggunakan triplek, maka si pembuat Lagia akan menggunakan lem perekat untuk
merekatkan triplek pada sisi kanan resonator. Tetapi apabila menggunnakan pelepah
pinang, maka si pembuat Lagia tidak menggunakan lem perekat tetapi cukup dengan
memasang bridge sebagai perekat pelepah pinang pada resonator.
Gbr.26. Proses pemasangan pelepah pinang pada sisi kanan resonator.
(Dokumentasi penulis, 2016)
10 Berdasarkan hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Nduru, tanggal 11 April 2016, di Museum Pusaka Nias, Jl. Yous Sudarso No. 134 A, Gunungsitoli
63
3.6.4. Tahap IV
3.6.4.1. Proses Pemotongan Kayu Penyangga Senar
Setelah proses pembuatan bagian penutup sisi kanan resonator, tahap selanjutnya
adalah mempersiapkan kayu penyangga senar untuk siap dipasang pada resonator. Kayu
yang digunakan adalah kayu yang tidak mudah patah dan tahan lama. Pada awalnya
pembuat Lagia mengggunakan kayu dari batang pohon nibung, atau pohon aren. Namun,
saat ini selain kedua jenis kayu tersebut, batang pohon sineu juga menjadi alternatif lain
yang digunakan sebagai kayu penyangga senar. Pada saat bahan baku dipesan, maka kayu
penyangga senar sudah dalam keadaan dipotong dengan ukuran panjang yang tidak
teratur, tetapi ketebalan kayu sudah diukur sekitar ±2 cm.
Gbr.27. Proses pemotongan kayu penyangga senar
(Dokumentasi penulis, 2016)
64
Proses pemotongan kayu (lihat gbr. 27) penyangga senar selanjutnya akan dikerjakan
oleh pembuat Lagia dengan cara memperkirakan panjang kayu menggunakan sistem
jengkal. Apabila di ukur dengan dengan alat ukur penggaris, panjang kayu mencapai 80
cm- 1 meter. Kayu ini dipotong menggunakan gergaji.
Setelah kayu dipotong sesuai dengan ukuran yang ditentukan, langkah selanjutnya
adalah memasang kayu pada lubang tenpat gagang senar pada bagian atas resonator yang
berjarak ±11 cm dari ujung sisi kanan resonator. Perlu diperhatikan bahwa terkadang
besarnya lubang dengan ketebalan kayu penyangga senar berbeda. Apabila hal ini terjadi
maka yang dilakukan adalah mengikis bagian ujung kayu penyangga menggunakan parang
(lihat gbr 28).
Gbr.28. Proses pengikisan ketebalan ujung kayu penyangga senar (Dokumentasi penulis, 2016)
65
Proses ini bertujuan supaya kayu penyangga tidak longgar sehinggga tidak mudah
lepas. Apabila lubang yang dibuat terlalu besar, maka yang dilakukan adalah melilit
bagian ujung kayu penyangga menggunakan tutura (rotan). Setelah itu kayu penyangga
ditancapkan ke lubang resonator hingga menembus lubang di bagian bawah resonator
yang telah dibuat tegak lurus dengan lubang sisi atas resonator . Panjang ujung kayu
peyangga yang menembus resonator adalah sekitar ± 0,5-1 cm (lihat gbr 29).
Gbr. 29. Bagian bawah resonator dan panjang gagang senar yang menembus resonator (Dokumentasi penulis, 2016)
3.6.4.2. Proses Pemasangan Senar, Bridge, dan Nasa
Proses selanjutnya adalah pemasangan senar, bridge dan Nasa. Pertama adalah
pemasangan senar. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa senar yang digunakan adalah
tutura (rotan) yang berukuran panjang ± 1,5 meter. Perlu diketahui bahwa pada ujung
kayu penyangga dibuat sebuah lubang kecil yang berfungsi sebagai tempat dimana senar
akan diikatkan pada ujung kayu. Setelah senar diikatkan pada ujung kayu penyangga,
senar ditarik miring ke arah sisi kanan resonator. Senar ditarik sampai ke bawah resonator
dimana ujungnya diikatkan pada ujung kayu penyangga yang menembus resonator. Perlu
66
diperhatikan bahwa pada saat pemasangan senar, senar harus benar-benar dibuat setegang
mungkin karena ketegangan senar akan mempengaruhi bunyi yang dihasilkan.
Bridge adalah bagian jembatan senar yang dipasang pada bagian penutup resonator.
Selain itu, bridge juga di pasang pada pertengahan ujung kayu penyangga dengan nasa.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa baik nasa maupun bridge berfungsi untuk mengatur
ketegangan senar dan mengatur tinggi-rendahnya bunyi yang dihasilkan Lagia. Oleh
sebab itu setelah proses pemasangan senar dilanjutkan dengan pemasangan bridge baik
pada bagian penutup sisi kanan resonator maupun pada bagian pertengahan atas kayu
penyangga dan juga nasa. Dengan demikian, pembuat Lagia dengan mudah mengatur
ketegangan senar.
3.6.4.3. Proses Pembuatan Busur Penggesek
Sebelumnya telah dijelaskan bahwa Lagia dimainkan dengan cara digesek
menggunakan busur penggesek. Busur penggesek terbuat dari kayu yang bersifat lentur
seperti jenis bambu dan senarnya yang terbuat dari tutura (rotan). Proses pembuatan busur
penggesek diawali dengan pembuatan gagang senar yang berukuran ± 35 cm dan senar
yang berukuran panjang ± 30 cm.
Langkah pertama adalah mengikat salah satu ujung senar pada salah satu ujung kayu
(lihat gbr.30). Setelah itu, ujung senar yang lain akan diikatkan pada ujung kayu/ bambu
lainnya. Perlu diperhatihan bahwa pada proses pemasangan ujung senar kedua pada ujung
kayu penyangga/ bambu, dalam waktu bersamaan ujung kayu penyangga akan ditarik
melengkung sehingga membentuk sudut 180, diikuti dengan mengikatkan ujung senar
pada ujung kayu yang dilengkungkan tersebut (lihat gbr 31). Ornamentasi juga dibuat
untuk menambah nilai estetika pada busur penggesek.
67
Ornamen ini berupa proses dimana kayu/ bambu dililit menggunakan tutura (rotan),
sehingga bentuk asli kayu/ bambu busur penggesek tersebut tidak kelihatan karena
tertutupi lilitan rotan.
Gbr. 30. Ujung senar penggesek diikatkan pada salah satu ujung kayu
(Dokumentasi penulis, 2016)
68
Gbr. 31. Proses pemasangan senar penggeser; kayu penyangga dilengkungkan (Dokumentasi penulis, 2016)
3.6.4.4.Tahap Akhir
Tahap akhir dari pembuatan Lagia adalah proses akhir yang dilakukan setelah proses
utama pembuatan Lagia sudah selesai. Tahap akhir ini meliputi: penghalusan resonator,
dan penyelarasan bunyi. Pemberian ornamen pada Lagia ditentukan menurut keinginan si
pembuat Lagia. Namun pada umumnya Lagia tidak diberi ornamen ataupun diwarnai
menggunakan cat. Hal ini bertujuan untuk menjaga keaslian warna Lagia11. Adapun
ornamen yang digunakan oleh pembuat Lagia adalah ornamen kebudayaan Nias, yaitu
lambang segitiga berwarna merah, kuning dan hitam.
Proses penghalusan resonator adalah kegiatan yang menggunakan amplas untuk
membuat bagian luar resonator terlihat lebih halus. Menurut bapak Hezatulȍ Ndruru, pada
awalnya proses ini tidak dilakukan oleh pembuat Lagia. Mereka cukup membuat
bagaimana supaya benda yang mereka buat itu dapat menghasilkan bunyi sehingga bisa
11 Berdasarkan wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 15 April 2016, di Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No. 134 A kota Gunung Sitoli
69
menjadi hiburan bagi mereka12. Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
pembuat Lagia melakukan proses penghalusan resonator untuk mendapatkan hasil kerja
yang lebih baik.
Setelah proses penghalusan maka tahap pengerjaan terakhir yang dilakukan oleh
pembuat Lagia adalah melakukan penyelarasan bunyi dengan mengatur nasa dan bridge
dengan cara menggeser ke bawah atau ke atas ujung kayu penyangga senar. Hal ini jelas
akan mempengaruhi tinggi-rendahnya bunyi dan intensitas bunyi yang dihasilkan Lagia.
Proses penyelarasan bunyi pada Lagia tidak menggunakan instrumen lain yang menjadi
patokan untuk mendapatkan tinggi –rendahnya nada yang sesuai dengan sistem notasi
barat. Proses ini dilakukan cukup sederhana,yaitu pembuat Lagia cukup menyesuaikan
pitch nada yang dihasilkan disesuaikan menurut pendengaran si pembuat Lagia. Hal ini
akan dibahas lebih jelas pada sub judul berikutnya.
Setelah proses penyelarasan bunyi dianggap sudah sesuai oleh si pembuat Lagia,
dengan demikian proses pembuatan instrumen Lagia sudah selesai dan siap untuk
dimainkan.
3.7. Teknik Memainkan Instrumen Lagia
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Lagia dimainkan dengan cara digesek (Friction)
menggunakan busur penggesek. Cara memainkan Lagia hampir sama seperti memainkan
instrumen Cello atau Erhu. Lebih lanjut dalam pembahasan akan menjelaskan tentang
bagaimana posisi tubuh pada saat memainkan Lagia. Aspek mekanisme produksi bunyi
juga akan menjadi hal penting yang akan dibahas dalam pembahasan ini.
12 Berdasarkan wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 15 April 2016, di Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No. 134 A kota Gunung Sitoli
70
3.7.1. Posisi Tubuh Memainkan Lagia
Posisi badan pada saat memainkan sebuah instrumen adalah hal penting yang harus
diperhatikan untuk mendapatkan posisi yang nyaman bagi seorang pemain alat musik.
Posisi tubuh saat memainkan Lagia didasarkan pada kebiasaan yang berkembang dalam
kehidupan kesenian masyarakat Nias.13 Pada saat memainkan Lagia, posisi badan adalah
duduk dilantai dan kayu penyangga senar disandarkan pada bahu sebelah kiri (lihat gbr
32). Sementara itu resonator diletakkan menyentuh lantai. Posisi kaki diatur tidak terlalu
terikat. Posisi kaki disesuaikan menurut keinginan si pemain Lagia. Ada pemain Lagia
yang melipat kaki kiri sementara kaki kanan dibuat lurus ke depan mengarah ke resonator
dan sebaliknya. Hal ini mementingkan posisi kaki yang nyaman bagi si pemain Lagia.
Gbr. 32. Posisi Tubuh memainkan Lagia
( Dokumentasi : penulis, 2016)
13 Pada umumnya posisi seorang pemain musik dalam masyarakat Nias pada saat memainkan alat musik adalah duduk di lantai. Kecuali pada saat memainkan Gȍndra( gendang), faritia(canang), dan Aramba (gong) dalam pesta adat pernikahan masyarakat Nias, pada umumnya pemain musik dalam keadaan berdiri. Meskipun demikian dalam sebuah pertunjukkan budaya masih ditemukan pemain musik tradisional Nias memainkan alat musik dengan posisi berdiri, seperti pemain surune (seruling).
71
Selain posisi tubuh, hal lain yang perlu diperhatikan adalah posisi jari, khususnya jari
tangan sebelah kiri. Posisi jari sebelah kiri diletakan diatas kayu penyangga senar tepat di
bawah nasa. Posisi ini diatur untuk membentuk formasi jari-jari yang menekan senar saat
memainkan tangga nada pada instrumen Lagia. Sementara itu tangan kanan memegang
busur penggesek.
3.8. Mekanisme Produksi Bunyi Instrumen Lagia
Mekanisme produksi bunyi pada instrumen Lagia adalah sebuah sistem yang
berkesinambungan antara komponen-komponen instrumen pada Lagia. komponen-
komponen daripada Lagia masing-masing memiliki fungsi masing-masing, sehingga
bekerja membentuk sebuah sistem untuk menghasilkan bunyi. Telah dijelaskan
sebelumnya bahwa instrumen Lagia dimainkan dengan cara digesek menggunakan busur
penggesek. Sementara itu tinggi-rendahnya nada ditentukan oleh posisi nasa dan bridge
pada kayu penyangga senar. Sedangkan jari-jari tangan sebelah kiri bergerak menekan
senar untuk memainkan tangga nada pada instrumen Lagia. Setelah merasa sudah nyaman
dengan posisi tubuh, pemain Lagia siap untuk memainkan Lagia.
Pada saat memainkan Lagia, posisi tangan kanan pemain memegang ujung kiri bawah
busur penggesek kemudian menarik busur dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas.
Perlu diketahui bahwa posisi busur penggesek diletakkan pada senar dekat dengan bagian
penutup sisi kanan resonator. Selain itu hal yang harus diperhatikan adalah sebelum
memainkan Lagia, terlebih dahulu baik itu senar maupun senar busur penggesek harus
diolesi dengan air. Apabila tidak diolesi dengan air maka gesekan busur penggesek pada
senar tidak bisa menghasilkan intensitas bunyi yang nyaring.
Proses pengolesan air pada kedua senar adalah kegiatan untuk membuat senar menjadi
kesat oleh karena air sehingga serat yang tidak terlihat pada tutura akan dihasilkan lebih
72
banyak. Serat yang dihasilkan lebih banyak pada kedua senar akan bergesek sehingga
menimbulkan bunyi yang lebih nyaring. Dalam waktu yang bersamaan jari tangan kiri
akan menekan senar sehingga menghasilkan tinggi nada yang berbeda sesuai dengan nada
yang diinginkan. Jelas bahwa pada saat busur penggesek ditarik maka terjadi gesekan pada
senar. Gesekan tersebut menimbukan getaran yang ditransfer pada bridge yang dipasang
pada bagian penutup resonator. Kemudian getaran yang diterima oleh bridge akan
diteruskan pada lubang bagian penutup resonator (pelepah pinang atau triplek) sehingga
menggetarkan udara yang ada di dalam lubang resonator dan akhinya mengeluarkan bunyi
pada lubang resonator sisi kiri yang dibiarkan terbuka. Demikian mekanisme instrumen
Lagia menghasilkan bunyi.
3.9. Nada Yang Dihasilkan Instrumen Lagia
Perlu diketahui bahwa informasi mengenai nada yang dihasilkan oleh instrumen
Lagia dalam tulisan ini didasarkan pada penjelasan dari bapak Hezatulȍ Ndruru sebagai
seorang pembuat sekaligus pemain alat musik tradisional Nias. Lagia memiliki senar
tunggal yang terbuat dari tutura (rotan) yang bersifat frettless. Pada umumnya Lagia
menghasilkan empat nada dan tidak mempunyai nada terendah. Nada tersebut adalah
do,re,mi, fa, Posisi jari sebelah kiri sangat menentukan untuk menghasilkan ke empat nada
yang berbeda ini mengingat Lagia adalah instrumen yang bersifat fretlless.
Instrumen Lagia dikenal hanya dapat mengiringi lagu He Lagia .14 Lagu tersebut
memiliki melodi yang sederhana yaitu terdiri dari empat nada (tetratonik). Lagu He Lagia
adalah lagu yang dikenal oleh masyarakat Nias sebagai satu-satunya lagu yang dapat
diiringi oleh instrumen Lagia.
14 Satu-satunya lagu yang dikenal masyarakat diiringi oleh instrumen Lagia adalah lagu “He Lagia” ( hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru). mengenai hal ini akan dijelaskan lebih jauh pada pembahasan bab IV tulisan ini.
73
Di dalam hal menentukan nada dasar / tonal pada instrumen Lagia, penulis
menggunakan tuner. Sebagai hasilnya, penulis menemukan bahwa nada dasar pada
instrumen Lagia yang dibuat oleh bapak Hezatulȍ Ndruru adalah nada Ges. Oleh sebab
itu, keempat nada yang terdapat pada instrumen Lagia adalah nada Ges, As, Bes dan B.
Posisi jari sangat menentukan untuk menghasilkan nada-nada tersebut mengingat
instrumen ini bersifat frettless.
Dengan mempelajari teknik permainan dari Bapak Hezatulȍ Ndruru, penulis
memperkirakan nada yang dihasilkan berdasarkan posisi jari pada instrumen Lagia pada
saat dimainkan adalah sebagai berikut:
Terbuka : Nada Do
Ibu jari : Nada Re
Jari telunjuk : Nada Mi
Jari tengah : Nada Fa
3.10. Kesimpulan
Dengan demikian deskripsi instrumen Lagia meliputi klasifikasi instrumen yang
didasarkan pada sistem Sach-Hornbostel, proses pembuatan, tahapan pengerjaan, teknik
memainkan, mekanisme produksi bunyi dan nada-nada yang dihasilkan oleh instrumen
Lagia. Lagia adalah sebuah instrumen berdawai yang termasuk klasifikasi Chordophone-
Spike fiddle- singgle-stringed yang dibuat dari bahan baku sumber alam yaitu batang aren
pohon aren atau batang pohon sineu, potongan kayu nibung atau aren, dan akar salak atau
rotan. Ketiga bahan baku tersebut dibentuk dengan pola dan ukuran masing-masing yang
memiliki fungsi masing-masing. Proses pengumpulan bahan baku cukup memerlukan
waktu dibandingkan dengan proses pembuatan instrumen Lagia yang lebih cepat. Selama
proses pengerjaan instrumen Lagia memerlukan berbagai peralatan yang bisa membantu
74
proses pembuatan Lagia lebih cepat. Perlu diketahui bahwa dalam hal pengukuran,
pembuat Lagia tidak menggunakan alat ukur yang baku seperti penggaris. Mereka cukup
mengandalkan sistem jengkal untuk memperkirakan ukuran bagian-bagian Lagia.
Teknik memainkan Lagia pertama-tama adalah memperhatikan posisi tubuh dan jari
tangan kanan-kiri. Hal ini terkait dengan posisi nyaman bagi seorang pemain Lagia.
selebihnya adalah terkait dengan mekanisme produksi bunyi pada instrumen Lagia.
Insturmen Lagia dimainkan dengan cara digesek menggunakan busur penggesek.
Mekanisme produksi bunyi Lagia adalah sebuah sistem yang terbentuk dari setiap
komponen-komponen Lagia yang masing-masing memiliki fungsi sehingga Lagia dapat
menghasilkan bunyi.
Akhirnya Lagia adalah instrumen berdawai tunggal yang bersifat frettless. Oleh sebab
itu posisi jari sebelah kiri pada senar sangat menentukan untuk mendapatkan ketujuh nada
yang dihasilkan oleh Lagia. Lebih jauh akan dijelaskan pada pembahasan sub judul
berikutnya mengenai struktur musikal instrumen Lagia di dalam lagu He Lagia
75
BAB IV
TRANSKRIPSI DAN ANALISIS LAGU HE LAGIA
Pada bab IV akan dijelaskan mengenai transkripsi dan analisis bunyi yang dihasilkan
oleh instrumen Lagia dalam sebuah lagu yang berjudul He Lagia. Penjelasan meliputi
pengetian transkripsi dan analisis, tranksripsi dan analisis lagu He Lagia, serta aspek
lainnya yaitu deskripsi analitis mengenai teks lagu He Lagia. Diharapkan pembahasan
akan memberikan informasi mengenai aspek musikalitas yang terdapat dalam lagu He
Lagia serta instrumen Lagia sebagai pengiring lagu tersebut. Berikut penjelasannya.
4.1. Pengertian Transkripsi dan Analisis
Berdasarkan pendapat Bruno Nettl seorang etnomusikolog (1964) dalam bukunya
yang berjudul Theory and Method in Ethnomusicology mengatakan bahwa ada dua hal
yang dilakukan oleh seorang peneliti dalam kegiatan penelitian displin etnomusikologi.
Kedua hal tersebut adalah kerja lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work).
Dalam hal ini penulis mengacu pada kerja laboratorium mengingat bahwa kerja
laboratorium adalah berkaitan dengan kegiatan transkripsi dan analisis.
Lebih jelas Nettl menjelaskan bahwa ada dua pendekatan untuk mendeskripsikan
musik; (1)kita dapat menganalisis dan mendeskripsikan apa yang kita dengar, dan (2) kita
dapat menuliskan dan mendeskripsikan apa yang kita lihat .Oleh karena itu untuk
menganalisis instrumen lagia maka penulis perlu proses untuk menotasikan/menuliskan
bunyi instrumen yang telah direkam ke dalam bentuk simbol visual. Dengan demikian,
penulis dapat mendeskripsikan serta menganalisis struktur bunyi instrumen Lagia dari
simbol notasi visual tersebut. Hal ini lah yang disebut transkripsi dan analisis ( Netll
1964:97-98). Randel dalam The Harvard Dictinary of Music, menulis tentang pengertian
transkripsi (transcription) adalah “the reduction of music from live or recorded sound to
76
written notation (mereduksi musik secara langsung atau bunyi yang direkam ke dalam
bentuk notasi tertulis ( Randel 2003: 902).
Dengan demikian konsep transkripsi dan analisis yang dimaksud dalam pembahasan
ini adalah menuliskan apa yang di dengar serta mendeskripsikan melodi yang terkandung
di dalam lagu He Lagia.
4.1.1. Transkripsi Lagu He Lagia
Untuk memahami lebih lanjut mengenai unsur musikalitas pada instrumen Lagia,
penulis memilih lagu He Lagia sebagai satu-satunya lagu yang dikenal oleh masyarakat
Nias yang diiringi oleh instrumen Lagia. Dalam hal ini penulis akan mentranskripsikan
lagu He Lagia berdasarkan hasil rekaman lagu yang dinyanyikan oleh bapak Hezatulȍ
Ndruru ke dalam simbol notasi barat.
Mengenai analisis melodi dalam lagu He Lagia akan dibahas pada sub judul
berikutnya. Berikut adalah simbol yang digunakan di dalam transkripsi lagu He Lagia15
key signature tanda istrahat ½ ketuk not seperdelapan bernilai ½ ketuk 4.1.2. Deskripsi Analisis Melodi Lagu He Lagia
Di dalam mengkaji struktur lagu He Lagia, penulis akan mengacu pada metode
weighted scale oleh William P.Malm (1977) yang mengatakan bahwa ada beberapa
karakteristik yang harus diperhatikan ketika mendeskripsikan melodi, yaitu: 1. scale
(tangga nada), 2. nada dasar (pitch center), 3. range (wilayah Nada), 4. frequency of notes
(jumlah nada-nada), 5. prevalent Intervals (interval yang dipakai), 6. cadence patterns
(pola-pola kadensa), 7. melodic formulas (formula-formula melodi), 8. contour (kontur).
15 Lihat lampiran; Transkripsi lagu He Lagia Formatted: Tab stops: 14,19 cm, Left
77
4.1.2.1. Tangga Nada (Scale)
Tangga nada (scale ) adalah nada-nada yang tersusun dari yang terendah ke nada yang
tertinggi dengan interval tertentu ( Randel,2003:757). Dengan demikian, tangga nada
dalam lagu He Lagia dipahami sebagai susunan nada-nada terendah ke nada yang tertinggi
dengan interval tertentu yang terdapat di dalam lagu tersebut.
Di dalam lagu He Lagia terdapat empat nada ( tetratonik) yaitu nada Ges, As, Bes,
dan B. Berikut tangga nadanya:
4.1.2.2 Nada Dasar (pitch center)
Untuk mengetahui nada dasar (pitch center), penulis mengacu pada hasil rekaman
permainan instrumen Lagia oleh Bapak Hezatulȍ Ndruru yang pada saat memainkan
Lagia, beliau juga menyanyikan lagu He Lagia. Rekaman terebut kemudian
ditranskripsikan ke dalam notasi barat. Dengan menggunakan tuner sebagai alat untuk
membantu penulis mendapatkan nada dasar pada lagu He Lagia, akhirnya penulis
menemukan bahwa nada dasar lagu He Lagia yang dinyanyikan oleh bapak Hezatulȍ
Ndruru adalah nada Ges.
4.1.2.3. Wilayah Nada (Range)
Wilayah nada adalah jarak antara nada tertinggi dengan nada terendah. Yang
dimaksud dalam hal berarti mengacu pada interval nada tertinggi dan nada terendah yang
terdapat dalam lagu He Lagia. diketahui bahwa tangga nada dalam lagu He lagia adalah 1-
2-3-4 atau do-re-mi-fa (Ges- As, Bes-B). Dengan demikian nada terendah adalah nada
78
Ges dan nada tertinggi adalah nada B. Interval keempat nada adalah 1-1-1/2. Jenis interval
ini disebut sebagai Kwart Perfect (4P) dengan wilayah nada adalah 2 ଵଶ.
4.1.2.4. Jumlah Nada (Frequency of Notes)
Jumlah nada adalah jumlah nada-nada yang dipakai secara keseluruhan dalam suatu
musik baik dalam instrumen maupun vokal. Di dalam lagu He lagia, penulis menemukan
jumlah nada Ges adalah 22, nada As berjumlah 15, nada Bes berjumlah 9, dan nada B
berjumlah 6. Perlu diketahui bahwa jumlah nada-nada tersebut diatas didasarkan pada
jumlah nada di setiap lirik. Nada yang sering muncul adalah nada Ges disusul oleh nada
As, Bes dan B. Dengan demikian, intensitas kemunculan yang paling banyak adalah Ges
sehingga mengindikasikan bahwa nada tersebut sebagai pusat tonalitasnya.
Berdasarkan jumlah nada yang diperoleh dalam setiap lirik lagu He Lagia, maka
jumlah nada secara keseluruhan dalam tiga lirik He Lagia yaitu:
Tabel 4.1. Jumlah nada dalam lagu He Lagia
No Nada Jumlah Nada Dalam 1 lirik
Total (X 3 lirik)
1 Ges 22 66
2 As 15 45
3 Bes 9 27
4 B 6 18
4.1.2.5. Jumlah Interval ( Prevalent Interval)
Interval adalah jarak antara satu nada dengan nada yang lain yang terdiri dari interval naik
maupun turun. Di bawah ini adalah jumlah interval yang terdapat dalam lagu “He Lagia”
Tabel 4.2.
79
Jumlah Interval lagu “He Lagia”
Interval Posisi Jumlah Interval/1 lirik Total Total (3 lirik)
1p - 24 24 72
2M 15 31
93
16
2m 4 8
24
4
Berdasarkan tabel tersebut, maka interval yang paling banyak digunakan di dalam
penyajian lagu He Lagia adalah interval second Mayor (2M) dengan jumlah 93 kali,
interval 1P dengan jumlah 72 kali, interval 2m dengan jumlah 24 kali. Dengan demikian
dapat disimpulkan bahwa interval 1P dan 2M memiliki peranan penting dalam membentuk
lagu He Lagia.
4.1.2.6. Pola Kadensa
Kadensa adalah suatu rangkaian harmoni atau melodi yang menjadi penutup pada
bagian akhir melodi atau di tengah kalimat, sehingga bisa menutup sempurna melodi
tersebut atau setengah menutup (sementara) melodi tersebut dalam satu frasa. Dalam lagu
He Lagia hanya terdapat 1 jenis pola kadensa baik dari akhir melodi maupun pertengahan
melodi. Berikut pola kadensa pada lagu He Lagia:
4.1.2.7. Formula Melodi
80
Formula melodi dalam pembahasan ini diartikan sebagai bentuk penyajian melodi
dalam lagu He Lagia. Malm menjelaskan bahwa terdapat lima istilah yang dapat
digunakan untuk mengalisis formula melodi yaitu :
1. Repetitive adalah bentuk nyanyian dengan melodi pendek yang diulang-ulang.
2. Iterative adalah bentuk nyanyian yang memakai formula melodi yang kecil dengan
kecenderungan pengulangan-pengulangan di dalam keseluruhan nyanyian.
3. Strophic adalah bentuk melodi yang diulang tetapi menggunakan teks nyanyian yang
baru atau berbeda.
4. Reverting adalah bentuk yang apabila dalam nyanyian terjadi pengulangan pada frasa
pertama setelah terjadi penyimpangan-penyimpangan melodi.
5. Progressive adalah bentuk nyanyian yang terus berubah dengan menggunakan materi
melodi yang selalu baru.
Dari beberapa istilah tersbut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bahwa bentuk
penyajian melodi dalam lagu He Lagia termasuk ke dalam kategori nyanyian Strophic.
4.1.2.7. Kontur
Kontur adalah garis pergerakan melodi dalam sebuah nyanyian. Malm membedakan
kontur ke dalam beberapa jenis, sebagai berikut:
1. Ascending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk naik dari nada yang lebih
rendah ke nada yang lebih tinggi.
2. Descending yaitu garis melodi yang bergerak dengan bentuk turun dari nada yang lebih
tinggi ke nada yang lebih rendah.
3. Pendulous yaitu garis melodi yang bentuk gerakannya melengkung dari nada yang lebih
tinggi ke nada yang lebih rendah, kemudian kembali lagi ke nada yang lebih tinggi atau
sebaliknya.
81
4. Conjuct yaitu garis melodi yang sifatnya bergerak melangkah dari satu nada ke nada
yang lain baik naik maupun turun.
5. Terraced yaitu garis melodi yang bergerak berjenjang baik dari nada yang lebih tinggi
ke nada yang lebih rendah atau dimulai dari nada yang lebih rendah ke nada yang lebih
tinggi.
6. Disjucnt yaitu garis melodi yang bergerak melompat dari satu nada ke nada yang
lainnya, dan biasanya intervalnya di atas sekonde baik mayor maupun minor.
7. Static yaitu garis melodi yang bentuknya tetap yang jaraknya mempunyai batas-batasan.
Berdasarkan istilah tersebut di atas makan dapat disimpulkan bahwa pergerakan garis
melodi dalam lagu He Lagia umumnya adalah ascending, descending, conjuct, dan juga
static. Untuk lebih jelas perhatikan gambar di bawah ini
- Kontur ascending dan decending
- Kontur static
- Kontur conjuct
82
4.2. Teks Lagu He Lagia
Lagu He Lagia adalah sebuah nyanyian rakyat yang berkembang dalam masyarakat
Nias. Nyanyian ini dikenal sebagai nyanyian pelipur lara yang mengandung makna
kesedihan dari kisah hidup si penyair 16. Berikut adalah teks lagu He Lagia:
1. He ha Lagia bȍi ofȍnu,...............................(Hai Lagia jangan kau marah)
Ba bȍi fanaba akhe wofȍnu,.....................(dan jangan marah seperti memotong
menebang pohon aren)
Ba bȍi folau hȍlua wolau khȍgu................(dan jangan perlakukan aku seperti
semak berduri)
2. He ha Lagia bȍi ofȍnu................................(Hai Lagia jangan kau marah)
Lȍ tatu lala mbawa he aekhu,....................(belum pasti dimana bulan akan
terbenam)
Lȍ tatu lala luo he atoru,.........................(belum pasti dimana matahari akan
terbenam)
3. He ha Lagia bȍi ofȍnu,...............................(Hai Lagia jangan kau marah)
Zi bȍi halȍ ba hulumȍ khȍgu....................(Jangan lah kau jadikan aku
bebanmu)
Me fa’aurigu hulȍ mo’u-mo’u.................... (karena hidupku seperti lumut)
Berdasarkan informasi dari bapak Hezatulȍ Ndruru , teks lagu He Lagia diatas
adalah teks yang biasa digunakan oleh masyarakat di daerah Nias tengah sampai ke daerah
Lȍlȍwa’u, Nias Selatan. Sementara itu, teks lagu He Lagia tersebut di atas memiliki
perbedaan dengan teks lagu He Lagia yang berkembang di masyarakat Gomo. Meskipun
16 Hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 11 April 2016, di Museum Pusaka Nias,JL. Yos Sudarso N0.134 A, kota Gunungsitoli
83
demikian pada dasarnya kedua teks lagu He Lagia baik yang berkembang di daerah
Lȍlȍwa’u maupun di Gomo pada dasarnya mengandung makna yang sama.
Dilihat dari sisi teksnya, bahasa lagu He Lagia menggunakan majas personifikasi
yaitu majas atau gaya bahasa yang membandingkan benda-benda tak bernyawa seakan-
akan memiliki sifat seperti manusia17. Dalam hal ini Lagia sebagai benda mati dianggap
memiliki sikap marah seperti manusia.
Meriam dalam buku The Anthropology of Music, menulis demikian: “one of the most
striking examples is shown by the fact that in song the individual or the group can
apparently express deep-seated feelings not pemissibly verbalized in other contexts”
(1964:190) ,(salah satu contoh yang paling mencolok ditunjukkan oleh fakta bahwa dalam
lagu individu atau kelompok ternyata bisa mengungkapkan perasaan yang mendalam yang
tidak dizinkan untuk diungkapkan dalam konteks lain). Selain itu Trasey dalam Meriam
menjelaskan bahwa : “...in song express symbolically the plethora or similar incidents
which gratify, amuse, exasperate,or sadden the common people-comunity expression
through the self expression of their composers..”(1964:194), ( dalam sebuah lagu terdapat
ungkapan secara simbolis mengenai insiden yang serupa seperti kebahagiaan,
hiburan,menjengkelkan atau menyedihkan, berdasarkan ekspresi dari sebuah kelompok
atau ekspresi perasaan pencipta lagu tersebut).
Berdasarkan pendapat baik Malm maupun Tracey menjadi dasar pemikiran bahwa
teks lagu He Lagia memiliki makna ekspresi perasaan dari penyair dilihat dari isi teks
yang digunakan. Ketika seseorang menyanyikan lagu He Lagia , penyair dianggap sedang
menceritakan kisah hidupnya yang malang kepada Lagia. Instrumen Lagia sebagai benda
mati dianggap akan selalu mendengar keluh kesah si penyair tanpa bantahan dari Lagia
itu sendiri. Selain itu dalam teks lagu He Lagia, terdapat sebuah konsep pemikiran yang
17 http://www.abimuda.com/2015/09/pengertian-dan-macam-macam-majas-lengkap-beserta-contoh.html
84
mengkritik sikap keegoisan manusia yang tidak peduli dan tidak mau mendengar keluh
kesah hidup orang disekitarnya18.
4.3. Kesimpulan
Manusia dapat mengungkapkan perasaannya dalam bentuk teks nyanyian. Lagu He
Lagia adalah salah satu nyanyian yang berkembang dalam masyarakat Nias dan memiliki
makna tersendiri bagi seorang penyair lagu tersebut. Teks lagu He Lagia mengandung
makna kiasan yang menceritakan kisah hidup si penyair yang sangat malang.
Berdasarkan hasil transkripsi lagu He Lagia menunjukkan bahwa lagu ini merupakan
lagu yang terbentuk dari tangga nada tetratonik dengan kontur pada umumnya adalah
conjuct (interval melangkah). Selain itu diketahui bahwa formula melodik yang bersifat
stropic, yaitu teks yang terus berubah namun melodi nya tetap sama.
18 Hasil wawancara kepada bapak Hezatulȍ Ndruru, tanggal 11 April 2016 di Museum Pusaka Nias
85
BAB V
INSTRUMEN LAGIA SEBAGAI HASIL KONTAK BUDAYA ANTARA
KEBUDAYAN CHINA DAN KEBUDAYAAN NIAS
Pada bab V akan dibahas mengenai pengaruh kebudayaan China dalam sejarah
kebudayaan masyarakat Nias. Pembahasan meliputi sumber-sumber sejarah yang
mendukung adanya peradaban kebudayaan China di Nias. Lebih jauh akan menjelaskan
bagaimana proses kontak budaya antara kedua kebudayaan China dan Nias pada abad ke-
11. Aspek penting lainnya adalah unsur-unsur kebudayaan masyarakat Nias yang diyakini
mendapat pengaruh dari kebudayaan China. Dengan demikian , pembahasan ini diharapkan
akan menjadi alasan yang kuat untuk menguji spekulasi penulis terkait pengaruh instrumen
Erhu dari China terhadap instrumen Lagia dalam kebudayaan musikal masyarakat Nias,
mengingat skripsi ini membahas mengenai kajian organologis Lagia yang tidak hanya
melihat Lagia dari sisi konstruksi tetapi lebih kepada studi kesejarahan. Pada akhir
pembahasan akan membahas kesimpulan terkait instrumen Lagia sebagai hasil kontak
budaya masyarakat China dengan masyarakat Nias. Mengenai hal ini akan dibahas lebih
lanjut pada akhir bab tulisan ini.
5.1. Jejak Kebudayaan China Di Masyarakat Nias Dalam Catatan Sejarah
Sejarah kebudayaan masyarakat Nias dapat diketahui dari sumber sejarah berupa
catatan-catatan yang dijelaskan melalui tulisan ilmiah seperti buku, jurnal dan lain-lain.
Beberapa tulisan ilmiah tersebut tampil dengan versi yang berbeda-beda. Artinya pendapat
mengenai asal-usul kebudayaan Nias dapat dilihat dari perspektif non ilmiah (kepercayaan
lokal) dan ilmiah (data teoritis). Di samping itu tidak sedikit tulisan ilmiah lainnya juga
menulis tentang pengaruh kontak budaya eksternal dalam kebudayaan masyarakat Nias.
86
Salah satu kontak eksternal dengan kebudayaan asing yang ditulis di dalam catatan
sejarah latar belakang kebudayaan Nias adalah kontak kebudayaan dengan China. Menurut
Teori Persebaran Kebudayaan, leluhur orang Nias atau ono niha saat ini berasal dari
daratan Cina bagian selatan, tepatnya wilayah Yunan. Hal ini dapat dilihat dari bukti-bukti
linguistik dan arkeologi. Leluhur ono niha adalah penutur bahasa Austronesia yang
bermigrasi dari Yunan secara bergelombang sekitar 3500 tahun sebelum Masehi hingga
awal-awal Masehi (Sonjaya, 2008)19.
Untuk menjelaskan hal ini, penulis mengacu pada dua bentuk sumber sejarah yang
berupa tulisan-tulisan kuno dan tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat Nias.
Kedua sumber sejarah tersebut diharapkan mampu memberikan argumen yang dapat
mendukung pendapat bahwa pernah terjadi kontak budaya antara China dengan
masyarakat Nias sekitar abad ke-11.
5.1.1. Sumber Tulisan
5.1.1.1.Catatan Tuanko Tentang Pelabuhan Sing Kwang (Singkuang) (1368 -1645)
Pastor Hammerle menulis dalam buku Asal Usul Masyarakat Nias tentang pengaruh
kebudayaan Tionghoa yang diduga pernah datang ke pulau Nias. Tulisan –tulisan yang
dimuat Pastor Hammerle dalam bukunya tersebut didasarkan pada sebuah catatan kuno
yaitu catatan yang ditulis oleh Pongkinangolngolan Sinambela, gelar Tuanko Rao. Tuanko
Rao menulis tentang pelabuhan Singkwang (Singkuang) yang terletak di pantai Barat
Sumatera, berjarak sangat dekat dari wilayah Gomo dan Lahusa di pulau Nias. Pelabuhan
Singkuang didirikan oleh dinasti Ming sebagai pelabuhan eksport kayu meranti ke China.
Selain sebagai pelabuhan, Singkuang juga merupakan pemukiman masyarakat Tionghoa
19 https://aidildelau.wordpress.com/2014/04/16/asal-usul-leluhur-ono-niha-nias/
87
yang tinggal sekitar tahun 1368 s/d 1645 atau sekitar abad ke-11(Hammerle, 2001:154-
163).
Berdasarkan catatan Tuanko Rao, pelabuhan Sing Kwang/ Singkuang di didirikan
pada masa pemerintahan Dinasty Ming sekitar tahun 1416 dibawah komando Laksamana
Haji Sam Po Bo (= Cheng Ho)20 yang merebut dan menduduki Muaralabuh di muara
sungai Batanggadis. Disitu didirikan pengerjaan kayu, dan didirikan pelabuhan Sing
Kwang (=Tanah Baru) yang lambat laun dikenal dengan Singkuang. 21
Lebih jauh Hammerle menjelaskan bahwa terdapat sebuah sungai di daerah Gomo
yang disebut sungai Nalawȍ persis berada disebelah barat Singkuang dan kota Telukdalam
terletak di sebelah barat Natal. Jarak sungai nalawȍ dengan Singkuang ±112 km
(hammerle, 2001:165). Letak geografis ini sangatlah mendukung terjadinya kontak antara
China yang berprofesi sebagai pedagang dan pemilik galangan kapal di Singkuang dulu
dengan masyarakat di pulau Nias khususnya masyarakat di daerah Gomo.
Catatan Tuanko Rao menjadi salah satu sumber sejarah yang cukup jelas mendukung
informasi kedatangan masyarakat China ke pulau Nias. Alasan geografis yang sangat
memungkinkan antara pelabuhan Singkuang dengan daerah Gomo dan Lahusa menjadi
bukti yang kuat bahwa telah terjadi kontak budaya antara China dan masyarakat Nias
sekitar abad ke -11.
20 Merupakan komando pelayaran di China pada masa pemerintahan Dinasty Ming, yang mendirikan Sing kwang dan oleh karena kepempimpinannya,koloni China yang tinggal di Singkuang memeluk agama Islam (Rao dalam Hammerle, 2001: 159). Selain itu, nama Laksamana Po Bo (=Cheng Ho) memiliki kesamaan nama leluhur suku Nias yang dikisahkan dalam sebuah tradisi lisan yaitu Hoho. Dalam teks Hoho disebutkan nama seseorang yaitu Ho=Hia yang diyakini sebagai keturunan manusia /leluhur suku Nias berasal dari daerah Gomo. Kemiiripan nama yang terdapat Catatan Tuanko Rao dan tradisi Hoho kemungkinan menjadi pendukung bahwa leluhur suku Nias berasal dari China . 21 Op.Cit. Hal 158
88
5.1.1.2. Kutipan Pendapat Ma Huan oleh Yoshiko Yamamoto Mengenai Istilah “Payung
Matahari”.
Dalam tesisnya di universitas Cornell (1986), Yoshiko Yamamoto mengutip pendapat
Ma, Huan (1970) yang mengatakan bahwa suatu dokumen yang historis dari abad ke-15
memberitahukan bahwa orang China menamakan pulau Nias sebagai Payung Matahari
(Parasol Island), tetapi tidak ada keterangan lebih lanjut tentang pulau itu. Berdasarkan
kutipan tersebut diketahui pada zaman dulu di wilayah Gomo , telah ditemukan
perkampungan China dan “Parasol Island” atau “Pulau Payung Matahari”. Hal ini berarti
bahwa penghuni pulau Nias menggemari pemakaian payung matahari (Hammerle, 2001:8).
Catatan mengenai sebutan “Payung Matahari” oleh orang China terhadap masyarakat
Nias memberitahukan bahwa China pernah datang ke Nias. sehingga masyarakat China
memiliki istilah tersendiri untuk menyebut masyarakat Nias.
5.1.1.3. Tulisan Ama Norida Daeli, Nias Barat (1984)
Tulisan yang menyebutkan tentang kedatsngan orang China juga ditulis oleh Ama
Norida Daeli. Sebuah tulisan tangan yang ditulis sendiri oleh Wilhelmus Fanga’aro’ȍ
Daeli alias Ama Norida Daeli yaitu tentang tradisi dan perkembangan marga Daeli di Nias
bagian Timur dan Nias bagian Barat. Teks asli ditulis dalam bahasa daerah Nias yang
kemudian diterjemahkan oleh Pastor Hammerle. Dalam tulisannya tersebut, Ama Norida
menulis bahwa pada zaman dulu banyak orang China menggali tanah dikaki pegunungan
di Afrika untuk menghasilkan perak, batu bara, besi, sulfur, emas, dan harta tanah lainnya.
Mereka kemudian mengirimnya ke China dengan berlayar menggunakan kapal-kapal kecil
yang disebut biduk. Sewaktu mereka berada di tengah laut, terjadilah badai yang dahsyat.
Angin bertiup dari Selatan, Barat dan Timur. Badai yang dahsyat mengangkat biduk itu ke
udara dan membawanya sampai di dekat Nias Selatan. Kemudian angin reda dan kapal itu
89
jatuh di atas Tanȍ Niha ( Tanah Manusia). Banyak orang meninggal terutama yang berada
di pinggir kapal, sedangkan yang berada ditengah kapal kebanyakan selamat dan menjadi
leluhur penduduk Nias Selatan. Ketika pedagang-pedagang dari China datang berkunjung
ke Gunungsitoli mereka menemukan kapal kecil yang sudah tua dan hampir hancur
bertuliskan huruf China, lalu mereka mengatakan kapal ini adalah milik kita.
Dalam tulisannya yang kedua, Ama Norida menulis tentang Hia-Ho. Dalam tulisan
tersebut dia menulis bahwa pada zama dulu ada orang yang berlayar dari pulau
Madagaskar dekat Afrika Selatan, membawa satu biduk bermuatan perkakas keperluan
rumah tangga. Ditengah perjalanan tiba-tiba biduknya diterbangkan oleh angin topan.
Angin kemudian reda dan biduknya jatuh di bumi Gomo. Peralatan biduk ditemukan masih
teguh sampai sekarang yaitu rantai besi. Pada perkakas tersebut terdapat sebuah tulisan
huruf China yaitu Hia-Ho (nama sungai di tanah China) (Daeli dalam Hammerle,
2001:176-178).
5.1.2. Sumber Tradisi Lisan
5.1.2.1. Mite Tentang Manusia Dari Atas( Siraso/Inada Samihara Luo ) Dalam lagu Hoho
di Desa Hilinawalȍ Fau.
Sebuah tradisi lisan (folklore) yang dikenal sebagai mitos berkembang dalam
masyarakat Nias, khususnya di daerah Nias Utara dan Nias tengah meyakini bahwa leluhur
masyarakat Nias adalah seorang perempuan. Perempuan itu bernama Siraso. Menurut
tradisi lisan tersebut, masyarakat Nias percaya bahwa Siraso telah mendarat di sekitar
sungai Nalawȍ dekat sungai Susua. Ibu Siraso mempunyai seorang anak laki-laki yang
bernama Ho (Tuada Ho). Ho memiliki dua orang istri yang pertama bernama Nandrua
(Aweda Nandrua) dan yang kedua bernama Laoya Ana’a. Dalam tradisi lisan tersebut, Ho
disebut juga sebagai Hia Walani Adu, Hia Walani Luo. Hukum (huku), adat istiadat
90
(Hada, bȍwȍ), adat perkawinan (Hada ba wangowalu), pertanian, pertukangan yang
ditemukan di Nias sejak ratusan tahun yang lalu diyakini berasal dari keturunan Hia. Oleh
masyarakat Nias, Hia kemudian disebut sebagai keturunan dari desa atas ( banua si yawa)
(Hammerle, 2001:60). Keturunan Ho=Hia disebut juga keturunan Lani Ewȍna yang jauh
lebih maju dan menyebut dirinya sebagai Niha (manusia). Mereka merupakan pendatang
terakhir yang lebih maju dibandingkan dengan pendatang yang masih sangat terbelakang.22
Sejarah lokal yang berkembang dalam masyarakat Nias tentang “manusia dari atas”
tersebut dikisahkan dalam nyanyian vokal yang disebut Hoho23. Lagu Hoho sebagai
bagian dari tradisi lisan di desa Hilinawalȍ Fau bercerita tentang asal-usul masyarakat
Nias. Pada teks lagu pertama berbicara tentang seorang ibu yang bernama Simadulo Hȍsi
yang datang dari Asia dan berlabuh di muara susua24. Ibu itu dikisahkan mengalami
banyak derita dan kekurangan (inada sakao dȍdȍ). Pada lagu yang kedua, teks Hoho
berbicara tentang Ho=Hia (manusia dari atas) yang memiliki keturunan sebagai hasil
incest dengan ibunya sendiri.
Sementara itu, teks lagu Hoho yang ketiga juga berbicara tentang leluhur masyarakat
Nias yaitu berasal dari keturunan Ho-Hia. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa leluhur Nias
yang disebut Siraso adalah ibu dari Ho-Hia. Namun dalam teks Hoho yang ketiga ini, tidak
menggunakan nama Siraso, tetapi dalam teks Hoho tersebut memberitahukan bahwa ibu
dari Ho-Hia bernama Sibowo Ndrȍfi Madala yang kemudian disebut juga Inada Samihara
Luo. Hoho mengisahkan Inada Samihara Luo berlayar dari Asia dan perahunya terdampar
di Nias. Ibu itu melahirkan seorang anak dan diberi nama Ho. Ho incest dengan ibunya
22 Op.cit.Hal. 171-172 23 Merupakan tradisi musik vokal Nias yang dibawakan oleh sekelompok penghoho ( Sifahoho atau solau Hoho) yang semuanya adalah pria. Tradisi musikal Hoho tersebut dibawakan dalam gaya responsorial yang oleh orang Nias gaya menyanyi dalam Hoho disebut sifagema-gema ( bersahut-sahutan) (Dachi dalam jurnal Hoho, 1992 No 1, hal. 25-26) 24 Merupakan nama sebuah sungai di daerah Gomo yang berjarak ±6 km dari sungai Nalawȍ dan berhadapan dengan koloni China di Singkuang, Sumatera (Hammerle, 2001: 168)
91
sendiri dan melahirkan dua orang anak kembar dan mereka dipisahkan oleh orangtuanya.
Anak pertama diberi nama Sadawa Mȍlȍ di tempatkan di hilir dan Soraizȍsȍma
ditempatkan di hulu. Pada suatu hari Sadawa Mȍlȍ menemukan sekuntum bunga hibiskus
terlilit dengan rambut yang hanyut di dalam sungai. Ketika Sadawa Mȍlȍ pergi ke hulu,
dia bertemu dengan Soraizȍsȍma dan akhirnya mereka menikah. Mereka mempunyai
sembilan anak dan ini lah yang menjadi leluhur dari suku Nias (Ono Niha).
Teks lagu Hoho tersebut dapat dipandang sebagai dongeng. Namun, apabila
dihubungkan dengan koloni China di pelabuhan Singkuang maka kemungkinan besar
dongeng tentang putri raja dari Asia sangat mendekati kenyataan (Hammerle, 2001: 176).
pendapat Hammele cukup menjelskan bahwa tradisi Hoho yang berkembang dalam
masyarakat Nias berhubungan dengan kedatangan orang China ke Nias.
5.2. Bukti Fisik Pengaruh Kebudayaan China Dalam Kebudayaan Nias
5.2.1 Ornamen Pada Takula Ana’a : Temuan Bapak Tapak Wong
Bukti pendukung kontak budaya antara China ternyata tidak hanya dilihat melihat
catatan sejarah berupa tulisan dan tradisi lisan masyarakat lokal. Seorang ahli budaya
keturunan China bernama Tapak Wong telah membuktikan adanya kontak budaya antara
China dengan Nias dengan melihat ornamen yang ada di Takula Ana’a (topi emas) yang
digunakan oleh masyarakat Nias pada zaman dulu. Tapak Wong adalah seorang pengrajin
emas sekaligus ahli budaya yang merupakan keturunan China. Ayahnya berasal dari
Kanton di negara China yang datang ke Indonesia sekitar tahun 1927. Pada awalnya beliau
berdomisili di Teluk Dalam kemudian pindah ke Gunung Sitoli pada tahun 1937.
Tapak Wong sebagai pengrajin emas memiliki koleksi topi emas ( Takula Ana’a) yang
dibeli dari beberapa masyarakat Nias yang memiliki topi emas tersebut. Hal yang menarik
92
ketika bapak Tapak Wong memperhatikan setiap ornamen yang ada di Takula Ana’a ,
beliau menemukan bahwa adanya ornamen yang mirip dengan diagram yang ditemukan di
Provinsi Kanton di China. Bentuk ornamen tersebut berbentuk lingkaran yang masing-
masing lingkaran memiliki jenis simbol yang berbeda. Lingkaran yang paling luar tampak
ukiran Wȍli-wȍli ( tumbuhan pakis) yang melambangkan kesuburan tanah. Lingkaran
yang kedua tampak ukiran 16 ujung tombak (Hulayo) yang melambangkan keberanian
atau kesatria. Lingkaran yang ketiga tampak ukiran buah dada wanita ( Ni’omeme) sebagai
lambang kesuburan manusia. Pada pusat diagram tampak ukiran empat daun yang
melambangkan niat untuk mempertahankan diri. Daun tersebut dinamakan Gese’ese dan
merupakan obat pendingin dan obat penawar (Hammerle,2001)25
Ornamen yang serupa juga tidak hanya ditemukan di topi emas tetapi dapat ditemukan
di ukiran pada papan rumah adat masyarakat Nias yang ada di Gomo ( Rafisa dalam
Hammerle, 2001).
5.2.2. Istilah Dalam Bahasa Nias Yang Mirip Dengan Istilah Bahasa di China
Dalam bukunya Asal-usul Nias, pastor Hammerle menulis bukti yang sangat
mendukung peradaban masyarakat Tionghoa dan hubungannya dengan latar belakang
kebudayaan masyarakat Nias. Hammerle menulis bahwa adanya kemiripan bahasa yang
digunakan oleh kedua kebudayaan tersebut menjadi bukti yang cukup jelas untuk
mengetahui bahwa leluhur orang Nias berasal dari China. Berikut daftar penggunaan
beberapa kata yang hampir memiliki makna yang sama antara bahasa Kanton (China)
dengan bahasa Nias.
Pertama, penggunaan kata Kehai atau Gehai oleh masyarakat Nias untuk menyebut
orang China. Kata “ Hai” dalam bahasa China berarti ke laut. Kemungkinan besar sebutan
25 Lihat gambar 5.2.1
93
“Gehai” lebih kurang menjelaskan bahwa mereka yang disebut “Gehai” datang ke pulau
Nias melalui pelayaran. Dalam bukunya tersebut, Hammerle mengutip pendapat dari
Pastor Carol, seorang keturunan China dari pulau Penang, Malaysia. Carol mengatakan
bahwa penggunaan kata “ Kehai” memiliki persamaan dengan sebutan orang China di
Surabaya. Orang China di kota Surabaya mendapat sebutan “Sihai” atau “Sehai”.
Perbedaannya hanya terdapat pada awalan kata saja. Sementara itu, kata “Sihai” dalam
sejarah lokal masyarakat Nias merupakan salah seorang nama leluhur suku Nias.
berdasarkan penjelasan dari pastor Carol tersebut, Hammerle meyakini bahwa istilah “
Sihai” atau “ Kehai” sama sekali bukan bahasa Nias, melainkan sebuah istilah yang masuk
ke Nias bersamaan dengan kesinggahan orang China di Pulau Nias untuk berdagang atau
menetap di Nias ( Hammerle, 2001: 184-185).
Kedua, keterangan dari bapak Tapak Wong sebagai pengarajin emas yang
memberikan argumen terkait dengan bahasa Kantonis (bahasa penduduk di Kanton,
China), yang memiliki kemiripan dengan bahasa yang berkembang dalam masyarakat Nias
(Wong dalam Hammerle, 2001:186). Berikut Penjelasannya.
Tabel 5.1.
Daftar Bahasa Kanton-Nias yang memiliki kemiripan menurut bapak Tapak Wong
No Bahasa Kantonis Bahasa Nias
1 Ho Artinya dalam bahasa China: gandum, padi. Dalam bahasa Nias : “Uliho” = sekam padi.
2 Malu Artinya dalam bahasa Kantonis: berjalan cepat seperti kuda. Artinya: tidak sopan. Dalam bahasa Nias: Mȍi Malu : memburu.
3 Zai Artinya dalam bahasa Kantonis: kecil. Di Nias dikatakan : “ Fa’ebua ezai...., artinya besarnya seperti.....
94
4 Lou Wa lang Artinya dalam bahasa Kantonis : Lou : tua; Wa : kata, nasehat; lang: sejuk, nyaman; Nama seorang leluhur di Nias : Lo-wa-Langi?
5 Hae Arti pertama adalah :laut; Kehai=pelaut. Seandainya nama leluhur Nias ditulis Sihae artinya adalah pelaut. Arti yang kedua dari Hae adalah : alas, dasar, sandal.
6 Hai Artinya :baik, bagus,indah, benarkah? Maka nama leluhur Sihai di Nias dapat diartikan sebagai :, Yang bagus, Yang baik.
7 Go Mo Dalam bahasa Kanton merupakan kalimat frustrasi: “ saya tidak ada lagi!”- bisa saja orang China yang terdampar di pantai Nias mengucapkan demikian. Apakah istilah ini ada hubungannya dengan nama kecamatan Gomo yang ada di Nias saat ini?
8 Siefo Dalam bahasa Kanton kata ini berarti: seberang. Sama artinya dengan kata Nias “Siyefo, misiyefo”.
9 Ho Artinya dalam bahasa Kanton :bagus
10 Hao Artinya dalam bahasa Mandarin : putih, suci, terang, bakti. Arti ini identik dengan kata Nias : Ohahau
11 Tae Artinya : besar, nama sungai di Nias : Idanȍ Tae
12 Sao Dalam bahasa Kantonis: membuang. Sama dengan kata Nias: Sasao= yang dibuang / sampah.
13 Oi fanȍ Artinya dalam bahasa Kanton sama dengan kata Nias “ Mofanȍ”, yang berarti : mau pulang/ pergi.
14 Fanȍ Artinya : berangkat ; sudah pulang
15 Yi’a Sama dengan kata Nias “ I’a” artinya ikan.
16 Ya’ohou Artinya dalam bahasa Kantonis: sehat, baik, bagus. Bila sapaan Kantonis ini diucapkan cepat, hanya kedengaran: “Yahou”! Sama halnya dengan sapaan Nias : “Ya’ahowu” menjadi “ Yahowu” atau “ Yahou”.
17 Li Artinya dalam bahasa Kantonis mengandung unsur-unsur: hukum, pengajaran, pepatah, aturan, pokok, asal, budi, kepatuhan, upacara, budibahasa. Dalam bahasa Nias Nias : osa-osa-li = osali (singkatan); Li-gu da’ȍ! o’ȍ li namau! Taroma li= tahta dari suara, sabda.
95
18 Mao Artinya dalam bahasa Kantonis: kucing. – sama hal nya di Nias.
5.2.3. Pendapat Bapak Tapak Wong tentang Afore Asli di Nias
Afore adalah alat ukur berskala yang digunakan oleh masyarakat Nias untuk mengukur
besarnya babi. Tapak Wong menjelaskan bahwa Afore asli yang ada di Nias mirip dengan
Afore yang dipakai di provinsi Kanton, China. Afore terbuat dari kayu atau rotan yang
berskala ukuran panjang ditandai dengan irisan pisau pada badan tongkat. Afore Nias asli,
menurut bapak Tapak Wong, bukan alat untuk mengukur panjang melainkan untuk
mengukur berat dan merupakan suatu timbangan yang digantung atau diangkat dengan
tangan saja (Wong dalam hammerle, 2001:188).
5.2.4. Persamaan Roman Muka dan Postur Tubuh
Masyarakat Nias seringkali memberi kesan mirip seperti orang China. Hal ini
dibuktikan oleh seorang antropolog Italia, Elio Modigliani ( 1890). Ketika beliau
berkunjung ke pulau Nias pada tahun 1886 mengakui bahwa di Nias Selatan terdapat orang
bermata sipit yang mirip dengan orang China. Selain Modigliani, bapak Tapak Wong juga
membenarkan bahwa mata sipit khas China banyak ditemukan di Nias, teristimewa di
kecamatan Gomo (Hammerle, 2001: 189; 191).
Pendapat yang serupa juga pada umumnya diterima oleh sebagian orang Nias yang
bepergian ke luar daerah Nias. Mereka dianggap sebagai keturunan orang China. Selain
bentuk roman muka yang mirip dengan orang China, bahasa yang digunakan oleh orang
Nias kedengaran seperti bahasa China. Sehingga tidak sedikit pendapat yang mengatakan
bahwa suku Nias adalah keturunan China.
96
5.2.5.Persamaan Adat Istiadat Dalam Pesta Pernikahan
Bukti fisik lainnya yang mendukung pernyataan bahwa Nias adalah keturunan China
adalah budaya yang terdapat dalam pesta adat pernikahan masyarakat Nias yang mirip
dengan budaya yang terdapat dalam adat pernikahan di China. Budaya menyuguhkan sirih
kepada tamu ( fame’e afo) pada masyarakat Nias juga ditemukan di Kanton yang disebut
pangte. Selain itu dalam masyarakat Nias terdapat istilah “Mamuli Khȍ Zibaya” (Cross-
cousin). Istilah “Mamuli Khȍ Zibaya” digunakan untuk menjelaskan keadaan apabila
seorang laki-laki suku Nias menikahi putri dari pamannya sendiri. Zibaya artinya paman.
Tradisi yang sama juga ditemui dalam masyarakat di Kanton, China. Hal lain adalah
persamaan atraksi Alisan de Kunyang26 di Taiwan yang sama dengan atraksi yang ada di
Nias, seperti tari elang ( tari moyo), pemakaian gong kecil dan besar ( faritia dan Aramba)
serta tradisi pengusungan pengantin wanita dengan hiasan di kepala ( sai-sai dan bala
hȍgȍ).
Selain pendapat dari bapak Tapak Wong, seorang keturunan China yang tinggal di
Sibolga bernama Pang Wai Tib (1999) ketika diwawancarai mengatakan bahwa adanya
persamaan antara adat pernikahan di China dan di Nias. Pemberian sirih merupakan
kehormatan besar di China seperti di Nias. Perlu diketahui bahwa dalam pesta adat
pernikahan masyarakat Nias, pemberian sirih ( fame’e Afo) sangat berperan penting
sebagai simbol penghormatan. Pemberian sirih adalah bagian dari urutan acara yang
dilaksanakan dalam pesta adat Nias. Oleh karena dianggap sangat penting, pada saat
acara pemberian sirih (fame’e afo), rasa hormat disampaikan melalui nyanyian vokal yang
dinyanyikan secara responsoria.
26 Adalah sebuah atraksi tradisi yang dipertunjukkan oleh orang Taiwan yang terdapat di seluruh negeri China. Alisan adalah nama tarian, sedangkan Kunyang adalah istilah untuk menyebut mempelai wanita ( Hammerle, 2001: 189)
97
Pang Wai Tib menambahkan bahwa kegiatan memukul faritia (canang) dilakukan
juga di China dalam perarakan pengantin perempuan menuju rumah mempelai laki-laki. Di
China, pengantin perempuan dijemput dirumahnya, ditangisi, dia dikenakan tutup muka
dan diusung, sama seperti tradisi pengantin wanita di Nias (Tib dalam Hammerle,
2001:184)
5.2.6. Kebudayaan Megalithikum ( Hȍgȍ Lasara) yang Ditemukan Di Daerah Lahusa dan
Gomo
Eksistensi benda megalitihikum di Nias juga menunjukkan bahwa adanya pengaruh
kebudayaan China pada kebudayaan Nias. Benda yang dimaksud berupa ukiran motif
kepala naga. Pada masyarakat China , naga adalah simbol hewan yang melegenda sehingga
motif kepala naga adalah simbol hewan yang sangat diagungkan. Di seluruh wilayah di
Indonesia,tidak ada satu pun kebudayaan yang dikenal menggunakan motif kepala Naga
selain masyarakat China. Dengan demikian, keberadaan Hȍgȍ Lasara (motif kepala naga )
di Nias menunjukkan bahwa kebudayaan China eksis dalam kekebudayaan Nias.
Dalam masyarakat Nias, motif kepala naga disebut sebagai Hȍgȍ Lasara27. Hȍgȍ
adalah kepala, dan lasara adalah perahu. Sehingga Hȍgȍ Lasara diartikan sebagai kepala
atau ujung daripada perahu. Di kecamatan kepulauan Batu, nama Lasara dipakai untuk
menyebut “suatu perahu yang ajaib”28. Ukiran ini dapat ditemukan di bagian depan rumah,
pegangan pedang, peti mayat yang dibuat dalam bentuk Lasara (perahu). Di daerah Talu
Susua kecamatan Lahusa dan Gomo ditemukan patung yang dipahat terbuat dari batu.
27 Lihat gambar 5.2.6 28 Elio Modigliani (1886) dalam Hammerle, 2001: 205
98
Pahatan pada patung berbentuk Hȍgȍ Lasara yang terdiri dari satu atau tiga kepala yang
disebut osa-osa.29
Keberadaan ukiran Hȍgȍ Lasara di Nias Selatan menurut Pastor Hammerle memiliki
pengaruh dari China mengingat motif ukiran Hȍgȍ Lasara adalah berupa kepala Naga
yang persis terdapat dalam kebudayaan China. Hammerle menjelaskan bahwa koloni
China di Singkuang mempunyai pabrik kapal, sehingga dapat ditafsirkan bahwa fenomena
Hȍgȍ Lasara di Nias Selatan mendapat pengaruh dari kebudayaan China seiring dengan
kedatangannya ke pulau Nias pada abad ke-11 (Hammerle, 2001:206).
5.3. Proses Kontak Budaya Kebudayaan China dengan Kebudayaan Nias
Catatan sejarah tentang kedatangan masyarakat China ke pulau Nias memberi
informasi bahwa telah terjadinya kontak budaya antara China dengan masyarakat lokal.
Proses kontak budaya dapat terjadi melalui perdagangan, perkawinan, wisata,
peperangan,penyebaran agama dan sekolah30
Catatan dari Tuanko Rao menekankan letak geografis yang sangat memungkinkan
kedatangan orang China ke pulau Nias di daerah Gomo dan Lahusa. Rao menjelaskan
bahwa pelabuhan Singkuang adalah pelabuhan yang terkenal dengan eksport kayu meranti
ke China. Jelas bahwa keberadaan orang China di Singkuang terkait hubungan
perdagangan dengan masyarakat lokal. Letak pelabuhan Singkuang yang berdekatan
dengan daerah Gomo memungkinkan bagi orang China untuk datang ke pulau Nias melalui
jalur pelayaran. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses kontak budaya antara
29 Lihat Gambar 5.2.6.1
30 Kartomi, Journal for Society of Ethnomusicology. Vol. 3. 1981. pp 275 s.d. 297.
99
China dan Nias terjadi melalui jalur pelayaran. Selain proses pelayaran, perkawinan juga
menjadi salah satu media kontak budaya China dengan Nias. Artinya, orang China yang
datang ke Nias berbaur dengan masyarakat lokal dan kemungkinan orang-orang China
kawin dengan masyarakat setempat. Penulis berpendapat kemungkinan proses seperti ini
berkaitan dengan keberadaan masyarakat dari Nias Selatan yang menyebut dirinya
keturunan China Telukdalam.
Unsur-unsur pengaruh kebudayaan China dalam kebudayaan Nias dapat dipandang
sebagai sebuah proses akulturasi budaya. Dalam proses akulturasi tersebut, kebudayaan
China sebagai kebudayaan pendatang membawa pengaruh yang dominan terhadap
perkembangan kebudayaan masyarakat Nias sekitar abad ke-11, ketika terjadi kontak
budaya antara kedua kebudayaan tersebut.
5.4. Deskripsi Instrumen Erhu Pada Masyarakat China
Erhu adalah instrumen yang dikenal berasal dari kebudayaan China31. Persebaran
kebudayaan China di daratan Asia, termasuk Indonesia, telah membawa dampak positif
terhadap perkembangan instrumen Erhu di Indonesia. Dengan demikian, tidak heran jika
Erhu dikenal hampir diseluruh wilayah di Indonesia.
Erhu merupakan instrumen yang memiliki resonator terbuat dari kayu eboni,
berukuran sekitar 13 cm, dengan panjang kayu penyangga senar adalah 81 cm. Bagian sisi
kanan tertutup oleh kulit ular sedangkan sisi kiri dibiarkan terbuka. Erhu memiliki dua
senar metal dengan panjang 76 cm dan busur penggesek yang senarnya terbuat dari bulu
ekor kuda. Dalam hal ini, posisi busur penggesek tidak bisa dipisahkan dengan senar,
karena busur penggesek terletak antara kedua senar. Erhu merupakan instrumen yang tidak
memiliki fingerboard (frettless), serta memiliki tala (pasak) dekat ujung atas gagang senar
31 Lihat gambar 5.4. Erhu
100
Instrumen Erhu pada awalnya digunakan dalam ensambel musik China pada opera peking,
dan pada abad ke-21, Erhu digunakan dikenal sebagai instrumen solo. Pada umumnya
dimainkan bersamaan dengan nyanyian lokal (Randel, 2003: 192).
Melihat konstrusi instrumen Erhu, instrumen ini sangat mirip dengan konstruksi
instrumen Lagia. Perbedaan antara kedua instrumen terletak pada jumlah senar, besar
resonatornya , bentuk busur penggesek, dan material pembuatannya. Konsep bangunan
secara umum antara Lagia dan Erhu memiliki kesamaan seperti bagian sisi kiri resonator
yang dibiarkan terbuka, dan sisi kanan tertutup meskipun dengan material penutup yang
berbeda (Lagia dengan mowa, sedangkan Erhu menggunakan snakeskin), dan keduanya
merupakan jenis spike fiddle chordophone.
Dengan, mempelajari semua data ini bahwa sumber sejarah sebelumnya cukup
memberikan informasi bahwa China pernah datang ke Nias melalui proses pelayaran.
Bukti sejarah tersebut mendasari spekulasi penulis sehingga menyimpulkan bahwa Lagia
merupakan instrumen yang mendapat pengaruh dari instrumen Erhu yang di bawa oleh
masyarakat China sekitar abad ke-11 ketika terjadi kontak budaya dengan masyarakat
lokal. Hal ini berarti Lagia bukan merupakan native instrument dalam masyarakat Nias,
tetapi merupakan hasil kontak budaya antara China dan Nias.
101
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Kepentingan merupakan satu hal yang abadi dalam pribadi manusia selama hidup di
dunia ini. Kepentingan membawa manusia untuk terus berubah dari zaman ke zaman.
Oleh sebab itu manusia yang hidupnya dinamis akan melakukan semua hal untuk
memenuhi kebutuhannya yang semakin kompleks. Demikian halnya dengan masyarakat
China yang menginvasi daratan Asia ratusan tahun yang lalu, termasuk ke Indonesia.
Kepentingan perdagangan telah membawa masyarakat China melalui jalur pelayaran ke
pulau Sumatera sekitar abad ke-7.
Pengaruh kebudayaan China di Sumatera berdampak hingga ke pulau Nias yang
terletak di pantai barat Sumatera. Tuanko Rao menulis bahwa keberadaan pemukiman
masyarakat China di tepi pantai barat Sumatera, yaitu pelabuhan Singkuang memiliki
jarak yang sangat dekat dengan kecamatan Gomo dan Lahusa yang ada di Pulau Nias
bagian Selatan. Beberapa sumber sejarah telah mmberikan informasi yang cukup
membuktikan bahwa China pernah datang ke Nias. Hal ini didukung dengan penemuan
unsur-unsur kebudayaan China dalam kebudayaan masyarakat Nias sampai hari ini.
Terlepas dari asli atau tidak aslinya, jelas bahwa Lagia adalah instrumen yang hanya
ada di Nias. Lagia memiliki konsep konstruksi yang sama dengan Erhu yang ada di China.
Lagia memiliki empat bagian penting yaitu resonator, gagang senar, senar dan busur
penggesek, yang membentuk satu sistem untuk menghasilkan bunyi pada instrumen Lagia.
Kehadiran instrumen Erhu mengarahkan penulis untuk melihat lebih jauh bahwa Erhu
adalah instrumen yang harus dipandang sebagai inspirasi terbentuknya instrumen Lagia.
Oleh karena itu, pembahasan dalam skripsi ini melihat hubungan sejarah yang mungkin
102
ada dalam masyarakat Nias. Hal ini terbukti dengan sumber-sumber sejarah yang menulis
bahwa masyarakat China pernah datang ke Nias sekitar abad ke-11.
Dengan demikian, maka penulis menyimpulkan bahwa, pertama, Lagia memiliki
konsep konstruksi yang mirip dengan Erhu, yaitu spike- fiddle chordophone, dan frettless,
dengan empat bagian penting; Kedua, Lagia bukan merupakan native instrument
(instrumen lokal) dalam masyarakat Nias melainkan hasil kontak budaya dengan
masyarakat China pada abad ke-11. Dengan melihat unsur-unsur pengaruh kebudayaan
China yang ditemukan dalam kebudayaan masyarakat Nias, maka penulis menyimpulkan
bahwa kebudayaan yang dominan dalam proses kontak budaya antara China dan Nias
adalah kebudayaan China.
6.2. Saran
Tulisan ini masih sangat jauh dari kesempurnaan baik dari teknik penulisan terutama
cara penyampaian informasi yang terkandung di dalamnya. Oleh sebab itu dibutuhkan
perbaikan –perbaikan demi kesempurnaan tulisan ini. Hubungan sejarah kebudayaan
China dengan masyarakat Nias masih dapat diuraikan lebih detail lagi sehingga
kemungkinan identifikasi lebih lanjut akan memberikan informasi-informasi baru tentang
hasil kontak budaya pengaruh kebudayaan China pada masyarakat Nias.
Penulis yakin bahwa apabila ditelusuri lebih lanjut , hasil kontak budaya antara China
dan Nias dilihat dari sisi musikal tidak cukup hanya dilihat dalam instrumen Lagia yang
mirip dengan Erhu. Penulis berharap akan ada kedepannya penelitian oleh masyarakat
Nias terutama para etnomusikolog yang berasal dari Nias untuk melihat lebih jauh tentang
unsur musikal China yang telah mempengaruhi kesenian masyarakat Nias sampai hari ini.
Selain sebagai kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian lanjutan diharapkan menjadi
suatu wujud kepedulian akan pelestarian kebudayaan Nias. Sudah sewajarnya ono niha
menyadari akan kekayaan budayanya sendiri.
103
DAFTAR PUSTAKA
Dachi, Calvin. 1992. Hoho :Tradisi Musik Vokal Nias . Buletin Mahasiswa Etnomusikologi-Medan, Vol.1, No.1, hal. 25 s.d. 26
Devale,Carole sue. 1990. “Organising organology”. Dalam Selected Reports in Ethnomusicoloy. California. University of California. Volume VIII, Januari 1990
Hammerle, Johannes. 2001. Asal usul masyarakat Nias suatu Interpretasi. Nias: Yayasan Pusaka Nias Jones, Thaddeus George.1974.Music Theory. New york. A Division of Harper and Row Kartomi,Margareth.1981.The Processes and Result of Musical Culture Contact: A Discussion
of Terminology and Concepts. Dalam Journal for Society of Ethnomusicology.Vol.III. pp 275 s.d. 297
Kunt,Japp.1939.Music in Nias.Amsterdam Malm, William.P, 1977. Music Culture of Pasific: The Near East and Asia. New Jersey:
Prontice Hall, Inc May, Elizabeth.1980. Music in Many Culture: An Introduction. California. University of
California press Nettl, Bruno, 1964. Theory and Method in Ethnomusicology. London: Collie Star, Publisher. Parlindungan, Mangaradja Onggang. 2001. “Pongkinangolngolan Sinambela Gelar Tuanko
Rao” dalam Asal usul Masyarakat Nias. Nias: Yayasan Pusaka Nias Randel,Michael. 2003. The Harvard Dictionary of Music. London: The Belknap Press of
Harvard University Press Sach, Curt. 1968. “Terminology” dalam The History of Musical Instruments Suharso. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Semarang. Widya Karya Titi Krisnawati, 2015. Studi Deskriptif Dan Analitis Identitas Musikal Nias Yang
Terkandung Dalam “ZinunŐ BNKP”. Medan: Universitas Sumatera Utara (skripsi Sarjana).
Titon, Jeff, 1984. World of Music. New York: Scirmer Books. William, Peter.1984. “Organology” dalam The New Grove Dictionary Of Music and
Musician. Stanley Sadie Delau, Adil. 2014. “Asal-Usul Leluhur Ono Niha” https://aidildelau.wordpress.com/2014/04/16/asal-usul-leluhur-ono-niha-nias/ http://www.abimuda.com/2015/09/pengertian-dan-macam-macam-majas-lengkap-beserta-
contoh.html
104
DAFTAR INFORMAN
1. Nama : Hezatulȍ Ndruru alias Ama Elsa Ndruru
Umur : 43 tahun
Tempat/tgl lahir : Tȍgizita, 10 Juli 1973
Pekerjaan : Karyawan tidak tetap di Museum Pusaka Nias ( Pembuat
sekaligus pemain musik tradisional Nias).
Alamat : Jl. Yos Sudarso No.134 A, Museum Pusaka Nias, Gunung
Sitoli.
2. Nama : Drs. Yustinus Mendrȍfa alias Ama Christin Mendrȍfa
Umur : 56 tahun
Tempat/tgl lahir : Dahadanȍ/ Nias, 10 Agustus 1960
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil ( Dosen IKIP Gunung Sitoli dan Kepala
desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili Serangkai
Kabupaten Nias.
Alamat : Jl. Nias Tengah Km. 11,5, Desa Dahadanȍ Botombawȍ,
Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias.
105
Gambar 2.1. Peta Kecamatan Hili Serangkai
Diadaptasi dari : http//ppsp.nawasis.info/dokumen/profil/profil_kota/kab.nias/
Oleh : Yulius Gulȍ, 2016
Formatted: Font: (Default) TimesNew Roman, 12 pt
114
Gambar 5.2.1
Diagram yang ditemukan di topi emas (Takula Ana’a)
Sumber : Sampul buku Asal- Usul Masyarakat Nias (2001) oleh P.Johannes Hammerle
115
Gambar 5.2.6.
Hȍgȍ Lasara ( motif kepala Naga)
Gambar 5.2.6.1.
Osa-osa
Sumber:https://www.google.co.id/search?newwindow=1&biw=1366&bih=583&tbm=isch&s
a=1&q=peti+masti+khas+nias&oq
116
Gambar 5.4. Erhu
Sumber:https://www.google.co.id/search?newwindow=1&biw=1366&bih=583&tbm=isch&sa=1&q=erhu+instrumen+image&oq=erhu+instrumen+image&gs_l=img.3...372557.3
118
TRANSKRIP WAWANCARA
RESPONDEN I
Nama : Hezatulȍ Ndruru
Umur : 43 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Karyawan Tidak Tetap di Museum Yayasan Pusaka Nias
VERBATIM I
Hari/ tanggal : 16 November 2015
Lokasi Wawancara: Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No.134 Gunungsitoli, Nias
Waktu : 15.30-15.55
Judul Rekaman : Suara012.
No Pertanyaan Respon Analisa Refleksi kode 1 2 3 4 5
Menurut bapak, alat musik lagia itu seperti apa sih?
Hmmm....alat musik ini biasa dimainkan pada saat sedang, nalawa’Ő khŐda galau ya. Karena ceritanya lagia ini alat musik merengek-rengek,semacam
Lagia merupakan alat musik tradisional masyarakat Nias yang dianggap sebagai simbol kesedihan. Lagia menurut cerita rakyat, diciptakan oleh seorang
1
119
6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26
kesedihan. Jadi kan, awalnya lagia ini ,menurut cerita mitos ya,jadi seorang penderita kusta, macam penyakit kulit, jadi dia diasingkan dikampung, jadi karena dia hanya seorang diri, jadi nasibnya itu dia meratapinya.Habis sesudah meratapi, dia membuat alat musik ini. Jadi alat musik ini dia mengikuti nada nyanyiannya itu.Contohnya,heee...lagia (sambil bernyanyi). jadi seandainya sama orang dia menceritakan kisah hidupnya itu, mungkin orang lain bisa membantah, tapi karena musik ini tidak bisa membantah. Jadi dia semacam mengadukan bagaimana kemalangannya. Lagia artinya mengikuti apa yang kita ingin bicarakan. Alat musik ini tidak membantah.
penderita kusta yang meratapi nasibnya dengan memainkan Lagia sambil bernyanyi lagu He Lagia. Pada kenyataannya, cerita rakyat ini tidak dapat dipastikan kebenarannya sehingga sejarah terciptanya Lagia belum diketahui secara jelas.
27 28 29 30
Ohh,,jadi semenjak itu berkembang lah alat musik ini ya pak?
Iya. Semenjak itu Lagia dikenal oleh masyarakat. bahkan sudah dipakai dalam acara kemalangan seperti kematian.
Lagia berkembang setelah dimainkan oleh seorang si penderita kusta sehingga dikenal oleh masyarakat banyak.
1
31 32 33 34 35
Trus cerita tentang sejarah Lagia ini memang nyata atau hanya sebatas cerita rakyat pak?
Iya, ini bisa dikatakan sebagai cerita rakyat biasa dan disesuaikan apakah bisa masuk akal. Menurut saya cerita ini bisa di masuk akal.
Sejarah Lagia hanya sebatas cerita rakyat, tidak bisa dipastikan kebenarannya.
1
36 37
Jadi, Lagia ini masih dipakai sampai
Ohhh,,ini sudah jarang dipakai juga dipertunjukkan. Kalau di museum
Lagia sudah jarang dipertunjukkan kecuali oleh pihak
1
120
38 39 40 41 42 43
sekarang ya pak, seperti di pertunjukkan?
pernah dilakukan pertunjukkan dalam rangka pelatihan alat musik tradisional untuk anak-anak sekolah. Yah, mungkin kalau tidak ada museum, kita tidak dapat mengetahui alat musik Lagia ini.
museum untuk keperluan pelatihan bagi anak-anak sekolah.
44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62
Dimuseum apakah masih ada yang bisa memainkan alat musik ini pak?
Ya jelas, saya sendiri bisa memainkan alat musik ini. Tapi tidak pintar, asal bisa memainkan. Karena biasanya memainkan alat musik bisa karena biasa. Sama seperti mmainkan gitar. Begitu juga lagia ini. Saya belajar hampir 6 bulan, tidak ada hasilnya, akhirnya saya capek. Tapi akhirnya bisa terus-menerus berlatih. Tapi tidak seperti sepintar mereka dulu. Karena dulu biasanya dulu yang memainkan lagia ini adalah orangtua yang sudah tidak lagi bisa bekerja di ladang.saya pernah belajar dari seorang orangtuua yang sudah sangat tua di Gomo. Saya sudah tidak tau apakah dia masih ada sampai sekarang atau tidak.
Lagia sama seperti memainkan gitar. Membutuhkan ketekunan selama proses belajar memainkan instrumen Lagia.
2
63 64 65 66 67 68 69
Jadi alat musik ini sebenarnya berkembang dimana di wilayah Nias bagian mana ya pak?apakah mungkin di Nias Selatan?
Yah,,,terakhir kita bisa temukan di wilayah Nias Tengah, juga di Nias Selatan. Mungkin saja bisa ditemukan di Nias Utara atau Nias Barat, tapi mungkin tidak berkembang dan punah karena pengaruh budaya luar. Itu faktor
Lagia ditemukan di wilayah Nias Tengah hingga ke daerah Nias bagian Selatan. Lagia jarang ditemui dan hampir punah karena adanya pengaruh budaya dari luar seperti alat musik barat.
1
121
70 71
paling berbahaya, karena alat musik ini hampir tidak ditemukan.
72 73 74 75 76 77 78 79 80
Ohh,,, begitu ya pak. Trus seberapa sering Lagia dipertunjukkan di museum pak?
Ohh,,hanya kalau ada kegiatan tertentu saja. Ya sperti saya bilang tadi kalau ada kegiatan seperti pengenalan alat-alat musik tradisional Nias kepada anak-anak sekolah. Selain itu, ya kadang-kadang saja. Karena sebenarnya saya juga agak segan memainkan alat musik ini
Lagia sudah sangat jarang digunakan pada saat ini, hanya pada saat kegiatan tertentu saja seperti kegiatan pengenalan alat-alat musik tradisional Nias kepada anak-anak sekolah yang ada di wilayah kota Gunung sitoli.
1
81 82 83 84 85 86 87 88 89 90
Kenapa pak? Yah, karena seseorang yang memainkan Lagia biasanya hidupnya melarat. Hehehe Saya takut nanti hidup saya melarat. Hehehe Tapi ini hanya sebuah kepercayaan masyarakat biasa.
Adanya suatu kepercayaan masyarakat lokal bahwa seorang pemain Lagia aadalah seseorang yang sangat malang nasibnya dan dikucilkan dari masyarakat. mereka mengganggap bahwa seseorang yang suka memainkan Lagia pastilah dalam hidupnya tidak akan pernah hidup senang.
1
91 92 93 94 95 96 97 98 99
Ohh,,hehehe... Selain bapak, ada karyawan lain yang bisa memainkan Lagia di sini pak?
Hmmm... setau saya sampai sekarang hanya saya yang bisa sedkit memainkan Lagia ini. Memang di Lȍlȍwa’u ada yang bisa membuat Lagia tapi mereka tidak bisa memainkan. Di Gomo juga, saya sering memesan bahan-bahan Lagia ini dari sana. Lalu kemudian saya olah di sini.
Sampai saat ini di Museum Pusaka Nias, bapak Hezatulȍ Ndruru adalah satu-satunya karyawan sekaligus pemandu wisatawan yang dapat memainkan Lagia.
1
122
VERBATIM II
Hari/ tanggal : 08 April 2016
Lokasi Wawancara: Museum Pusaka Nias, Jl. Yos Sudarso No.134 Gunungsitoli, Nias
Waktu : 16.46- 17.10
Judul Rekaman : suara029,proses pembuatan Lagia
No Pertanyaan Respon Analisis Refleksi kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Baik pak, untuk roses pembuatan Lagia ini, apa saja bahan-bahan yang perlu dipersiapkan untuk tahap awal pak?
Biasania ua bale siofȍna fato kan ba wolobȍ. Memotong ini (menunjuk bongkahan pohon aren).Jadi, Baru sesudah dipotong, awena latoto faoma fato zui. Aefa la toto, awena la bersihkan da’ȍ, awena la’alȍsi ketebalan da’a ( menunjuk bagian lubang pada bongkahan pohon aren).
Hal yang pertama dilakukan dalam proses pembuatan Lagia adalah memotong batang pohon aren menggunakan kampak. Lalu kulit bagian luar nya dibersihkan.
2
10 11 12
Bagian yang mana yang dibersihkan
Guli nia. Ini kan, biasanya saya memesan dulu batang pohon aren atau batang Sineu ini dari kampung sana. Jadi waktu sampai
2
123
13 14
pak ? disini, kulit bagian luarnya ini masih belum bersih.
15 16 17 18
Ohh, Berarti sebelumnya ada kulit luarnya disini?
Iya, masih so guli baero nia ba daa. Awena na no labersihkan da’ȍ , la’alȍsi tebalnia da’a khȍnia ( menunjuk ujung bongkahan pohon aren)
Setelah dibersihkan, ujung bongkahan pohon aren yang sudah di potong akan dikurangi ketebalannya.
2
19 20 21 22 23 24
Mengapa harus dikurangi ketebalannya pak? Untuk apa itu pak?
Ba kan, dengan awe’e-we’e da’a kan ambȍ suara. Jadi, ini mempengaruhi suara.
Ketebalan resonator akan mempengaruhi intensitas bunyi yang dihasilkan.
2
25 26 27
Benda ini untuk apa pak?
Da’a fahȍ geu untuk mengurangi ketebalan bagian dalam da’a khonia.
Pahat digunakan sebagai alat untuk mengurangi ketebalan bagian dalam lubang resonatot.
2
28 29 30
Lalu, setelah itu apa langkah selanjutnya pak?
Setelah itu, awena persiapkan ba wangehaogȍ lubang ini, naha tangkai nia dania
Pembuatan lubang tempat kayu penyangga senar
2
31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Jarak tangkai dengan ujung resonator ini berapa ya pak?
Panjang tangkai ua bale kira-kira 75-80 cm.lalu, diameternya antara 18 sampai ke 22. Lalu, jarak ujung ke lubang tangkai da’a sekitar 11 cm, biasanya ini harus lebih panjang ke belakang (menunjuk jarak lubang gagang senar dengan ujung resonator sebelah kiri). Artinya letak lubangnya tidak boleh terlalu ke tengah. Aefa daȍ, lubang tangkai da’a khȍnia harus sesuai simane tebal kayu da’a. ena’ȍ lȍ aefa dania
Penjelasan mengenai ukuran kayu penyangga senar, jarak lubang kayu penyangga senar dengan ujung sisi kanan 2resonator. Diameter lubang kayu penyangga senar harus disesuaikan dengan tebal/diameter kayu penyangga senar.
2
41 42
Trus senarnya diikat dimana
Nah, inikan ujungnya harus sampai ke bawah ini (menunjuk ke bawah bagian
ujung senar bagian bawah akan diikatkan pada ujung kayu
2
124
43 44 45 46 47 48 49 50 51 52
nanti pak? resonator yang tegak lurus dengan lubang gagang senar di bagian atas resonator). Nah,nanti ujung senarnya diikat di ujung kayu ini. Nah, ujungnya ini harus ditutup dulu pakai pelepah pinang. Atau lawa’ȍ ia khȍda mowa wino. . Sebenarnya disini juga bisa triplek. Cuman saja kalau triplek harus pakai lem cina itu biar bisa lengket di sini ( menunjuk ujung sisi kanan resonator yang akan ditutup)
penyangga senar yang menembus bagian bawah resonator.
53 54 55 56 57 58 59 60
Besarnya disesuaikan dengan dimaternya yang ini ya pak? ((menunjuk diameter resonator)
Iya. Ini dipotong sesuai diameter yang ini (menunjuk batang pohon aren).baru, di atas pelepah ini dikasi kayu kecil penyangga tali
.diameter peleah pinang/bagian penutup dipotong sesuai dengan diameter resonator.
2
61 62 63 64 65 66 67 68 69 70
Kayu ini apa namanya pak?
Ini sebenarnya boleh sembarang kayu.tidak menentukan. Nah, bentuknya ini sebenarnya beda-beda.ya disesuaikan selera pembuat. Biasanya dibuat setengah lingkaran. Jadi, pas di depan diamater ujungnyanya ini dilubangi supaya bisa menghasilkan suara. Kalau ini ditutup , suaranya akan berbeda. jadi dengan ini dilubangi maka dia bisa menghasilkan suara lebih enak, atau lebih besar.
Kayu penyangga senar (bridge) yang diletakkan di atas pelepah pinang/triplek dapat diambil dari sembarang kayu yang dibentuk seperti setengah lingkaran.atau disesuaikan bentuk yang diingi oleh pembuat.
2
71 72
7374
Jadi, bagaimana cara
Ya kita bisa melihat langsung. Artinya dia tidak punya ukuran khusus. Kita harus melihat keseimbangan lubang ini dengan
Lubang pada bagian penutup sisi kanan resonator disesuaikan dengan keseimbangan besarnya
2
125
75 76
menentukan besar kecilnya lubang di bagian penutupnya ini pak?
dimaternya. terhadap diameter pelepah pinang/triplek sebagai bagian penutup sisi kanan resonator
77 78 79 80
berarti dibunyikan dulu atau gimana pak?
Tidak. Cukup diperkirakan saja. Ukuran ini bisa beda-beda. disesuaikan dengan ukuran diameternya.
Ukuran Lubang pada bagian penutup diperkirakan sesuai kebutuhan.
2
81 82 83
Setelah itu gimana pak?
Nah, setelah itu dipersiapkan pemasangan gagang senarnya ini. Setelah itu, tali sudah bisa dipasang.
Setelah pembuatan bagian penutup dan pembuatan lubang, maka senar dipasang
2
84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95
Trus ujung kayu yang menembus bagian bawahnya ini, berapa ukurannya pak?ukurannya memang pada umumnya seperti ini atau bisa lebih panjang pak?
Hmmm.....tidak. terganggu nanti. Ujung ini kalau terlalu panjang, nanti terganggu. Ini sekitar satu cm lah, ujung gagangnya ini.
Ujung kayu penyangga senar tidak boleh lebih dari 1 cm, hal ini bisa mempengaruhi posisi instrumen ketika dimainkan.
2
96 97
Ohhh..setelah iitu gimana pak?
Awena pasang tali tadi. Tali itu di...hadia la fasikȍ ba khȍda ba?
Pemasangan senar, harus diketatkan terlebih dahulu
2
98 99
Oho,, diketatkan ya pak?
Hmm,, iya. Sesudah diketatkan, setelah itu dipasang nasa.
2
126
100 101 102 103 104 105 106
Panjang kayu penyangga senar sebenarnya berapa pak biasanya?
Oho, sebenarnya saya tidak pernah mengukurnya secara pasti. (mengukur panjang penyangga senar menggunakan jengkal). Ohh,, ini ukurannya ini sekitar 75 lah sampai 80 cm.
Sistem ukur yang digunakan oleh pembuat Lagia adalah menggunakan sistem jengkal. Ukuran panjang tidak mempunyai ukuran yang mutlak. Cukup diperkirakan oleh pembuat Lagia.
2
107 108 109 110 111 112 113 114
Senarnya berapa panjangnya pak?
Ini panjangnya sekitar 1,5 meter, Panjang senar harus lebih besar dari panjang penyangga senar karena sebagian dari senar akan diikatkan pada kedua ujung kayu penyangga , baik di ujung atas kayu maupun pada bagian ujung bawah kayu yang menembus resonator.
2
115 116 117 118 119 120 121 122
Trus, ini senarnya memang dipasang harus melilit diujung kayu pak?
Tidak. Itu hanya sekedar hiasan seninya saja. Ini sebenarnya bisa dilepaskan. Ujung kayunya dilubangi, nah, ujung atas senarnya itu diikatkan dilubang kayu ini.
Beberapa pembuat Lagia menggunakan tutura (bahan baku senar) sebagai ornamentasi yang dililit dibagian ujung atas kayu penyangga senar. Hal ini sama sekali tidak memberikan pengaruh pada kualitas bunyi, hanya sekedar ornamentasi.
2
123 124 125 126 127 128 129
Trus gimana caranya mengetatkan talinya pak?
Ini harus ditarik sampai ketat dipasang di atas kayu penyangga ini diatas ini ( menunjuk bridge) sampai ditarik ke ujung bawah ujung kayu ini.
Senar yang hendak dipasang dan diikatkan pada ujung bawah kayu penyangga harus benar-benar tegang karena ketegangan senar yang dipasang akan mempengaruhi kualitas bunyi yang dihasilkan Lagia.
2
130 131
Ujung kayu nya ini
Tidak. Ujung ini tidak dilubangi. Cukup saja ujung tali nya di ikatkan ke ujung ini
Dalam proses mengikat senar pada kayu penyangga, ujung
2
127
132 133 134 135 136 137 138 139 140
(menunjuk bagian bahwah resonator) dilubangi juga ya pak seperti ujung atas kayu penyangga.ini ?
(sambil menunjukkan cara mengikatkan senar pada ujung kayu penyangga senar)
bawah kayu yang menembus resonator tidak dilubangi seperti ujung atas kayu. Senarnya cukup ditarik dan diikat.
141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152
Oiya pak, tadi bapak pakai gergaji ya untuk mengukur jarak ini (sambil menunjuk lubang kayu penyangga dengan ujung resonator)
Iya. Biasanya saya pakai gergaji saja untuk memperkirakan panjangnya ini. Nah, enao tola u’ila dania, u tandra fake si’ȍli da’a
2
153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163
Memangnya tidak pakai penggaris ya pak?
Hmmm....tidak, biasanya orangtua dulu biasa pakai gergaji , bisa juga di jengkal saja untuk memperkirakan panjangnya ini. Orang nias dulu tidak kenal penggaris.hehehe..itaria yaaga lȍ ma’ila melȍ sekola.hehehe
Di dalam proses pembuatan Lagia, seorang pembuat Lagia tidak menggunakan alat pengukur yang baku. Mereka menggunakan gergaji atau sistem jengkal untuk memperkirakan ukuran-ukuran dalam pembuatan Lagia. Hal ini menyebabkan sistem ukuran dalam pembuatan instrumen Lagia tidak lah mutlak.
2
128
164 165 166 167 168 169
Meskipun demikian, pada umumnya lagia yang dibuat oleh pembuat Lagia yang berbeda akan menghasilkan Lagia dengan ukuran-ukuran yang hampir sama.
170 171 172 173 174 175 176
Ohhh..Oiya, pak. Ini kan Lagia nya ada juga ya 2yang terbuat dari kayu apa ni pak?
Oh,ini Sineu. Kayu ini bisa juga dipakai untuk pengganti batang pohon aren.
Salah satu kayu yang dipakai oleh si pembuat Lagia sebagai alternatif lain pengganti batang pohon aren sebagai resonator Lagia adalah kayu sineu.
2
177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188
Kenapa bisa begitu pak? A2pa bedanya dengan batang pohon aren?
Hmm... ini kan kayu nya sedkit tipis dibanding dengan kayu aren. Jelas ini berpengaruh pada bunyi yang dihasilkan Lagia ini.
Pembuat Lagia memilih kayu sineu sebagai pengganti batang pohon aren disebabkan karena alasan karateristik kayu sineu yang cukup tipis dibandingkan dengann batang pohon aren yang cukup tebal yang bisa mengakibatkan proses pengerjaan pembuatan lubang resonator membutuhkan waktu yang lama.
2
189 190 191 192 193 194
Iya tapi kan bisa ditipiskan kan pak, kan bisa dikurangi ketebalannya?
Iya, tapi ini kayu aren ini sifatnya keras. Susah mengikisnya. Butuh waktu yang lama. Selain itu, kayu aren kan tebal, bunyi Lagia nanti tidak begitu nyaring.
Selain karena alasan proses pengerjaan yang cukup lama, ketebalan batang pohon aren juga dianggap akan mempengaruhi intensitas bunyi yang dihasilkan oleh Lagia
2
195 Ohhh iya juga Senarnya kan sebenarnya akar salak. tapi Pada awalnya, bahan baku yang 2
129
196 197 198 199 200 201 202 203 204
ya pak, trus kalau senarnya?
iadaa sae lafake tutura. Bȍrȍ me susah mendapat waa guluwi da’a.
dijadikan senar pada Lagiia adalah terbuat dari akar salak. namun, keterbatasan sumber daya alam akar salak di wilayah Nias saat ini mengakibatkan pembuat Lagia menjadikan tutura sebagai alternatif lain sebagai bahan baku senar pada Lagia menggantikan akar salak.
205 206 207 208
Senar penggesek nya juga sama ya pak?
Iya, senarnya sama saja dengan yang ini ( sambil menunjuk senar Lagia).
Senar pada busur penggesk terbuat dari tutura, sama seperti bahan baku yang dijadikan senar pada Lagia.
2
130
RESPONDEN II
Nama : Drs. Yustinus Mendrȍfa
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil; Dosen Bahasa Indonesia IKIP Gunung Sitoli, 1989 ( tokoh penggerak sanggar Aforeteholi desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias.
VERBATIM I
Hari/ tanggal : 23 November 2015
Lokasi Wawancara: Kantor Kepala Sekolah SMA Swasta Pemda 2, Kota Gunung Sitoli
Waktu : 15.44 - 16.20
Judul Rekaman : happy004.Mend
No Pertanyaan Respon Analisa Refleksi kode 1 2 3 4 5 6 7 8
Lagia itu apa pak?
Hmm... Lagia salah satu musik tradisional Nias, ya musik ini slalu digunakan dalam mengiringi lagu-lagu yang punya not, kenapa? Karena musik Lagia bisa mengikuti nada atau melodi, lagia adalah salah satu alat musik yang boleh dikatakan berbentuk tabung. Dan lagia ini diumpamakan seseorang manusia yang belum terbuka mata
Lagia adalah salah satu alat musik tradisional Nias
131
9 10 11
dalam arti, pencipta atau pembuat pertama Lagia, karena dia sudah menemukan maka ia menganggap dia hebat, paling tau.
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Menurut sepengetahuan bapak, Lagia ini lebih banyak berkembang dimana pak?
Alat musik ini tercipta pada awalnya di Nias tengah. Kenapa begitu, karena di Nias Tengah banyak yang melakukan kegiatan sehari-hari dalam arti mencari nafkah , yaitu menyadap nira. dan kegiatan sehari2 itu ia akan berpikir karena sendirian di pondok, maklum pada zaman dulu tidak seperti keadaan sekarang yang begitu ramai, dan banyak musik2 elektronik dari dan berbagai musik luar negeri. Dulu, masyarakat menciptakan musik sendiri tanpa memperhatikan tangga nada. Tetapi ia menciptakan musik itu hanya untuk menghibur diri sendiri karena kesenduan pribadi di pondok. Pada waktu luang, penyadap nira akan mencoba-coba menggunakan benda-benda sekitar dan mencoba menciptakan satu bunyi yang berbeda dari yang sudah dia dengar sebelumnya. Dengan begitu, dia memotong batang pohnon nira yang sudah tua yang tidak menghasilkan nira, bermanfaat untuk keluarganya. Manfaatnya banyak, bisa dijadikan kayu api, dan daunnya bisa jadi sapu, dan batangnya juga bisa digunakan untuk membuat pisau. Nah sepotong bagian yang tertinggal batang pohon nira ini lah yang djadikan sebagai alat musik Lagia.
Lagia berasal dari Nias tengah
40 Bagaimana Oh,, ini alat musik nya digesek, bukan di Lagia dimainkan dengan cara
132
41 42 43 44 45 46
cara memainkan alat musik Lagia pak?
petik. Sama seperti biola. Nah, senarnya itu di tekan untuk menghasilkan nada.
digesek
47 48 49 50
Senarnya itu terbuat dari apa ya pak?
Hmm..itu senarnya sebenarnya dari akar salak.ma wa’a guluwi nalawaȍ khȍda. tapi sekrang sudh ada yang memakai tura-tura ma tutura. Itu sebangsa rotan.
51 52 53 54 55 56 57 58
Berarti sekarang pembuat Lagia lebih banyak memakai rotan ya pak?kenapa bisa begitu pak?
Hmmmm....wa’a guluwi agak sulit tasȍndra iadaa. Nah sedangkan tutura andre aoha wangalui. Bȍrȍ wa’a guluwi biasania tesȍndra ia bazinga nidanȍ ma ba ma sungai. Andrȍ oya lafake simane tutura jadi senar Lagia andre.
Akar salak saat ini sulit ditemukan. Biasanya ditemukan ditepi sungai. Sekarang pembuat Lagia lebih banyak menggunakan tutura sebagai senar pada Lagia.
59 60 61 62 63
Oho,tadi bapak bilang Lagia ini diciptakan oleh seseirang penyadap nira?
Iya,, yang sedang kesepian dipondoknya sehingga ia menciptakan alat musik ini untuk menghibur dirinya sendiri.
Lagia diciptakan oleh seseorang yang bekerja di ladang sebagai penyadap nira untuk menghibur dirinya sendiri.
64 65 66 67 68 69 70 71 72
Iya pak, terus bagaimana alat musik ini berkembang shingga Lagia ini disebut sebagai alat musik tradisional
Nah, alat musik Lagia ini kemudian dikenal oleh banyak masyarakat Nias. digunakan sebagai alat musik tradisional Nias, yang mana digunakan sampai sekarang, terakhir pada tahun 2012, diadakan perlombaan alat musk tradisional dan salah satunya dibawakan Lagia, yang pada saat itu dibawakan dari Kecamatan Hili Serangkai, dan akhirnya mereka mendapat kejuaraan
Lagia sudah dikenal oleh masyarakat Nias terbukti denga dipertunjukkan di dalam kegiatan festival kebudayaan.
133
73 74 75 76
Nias? dalam memainkan alat musik traidsional lainnya. Lagia ttp digunakan sampai saat ini untuk mengiringi lagu-lagu sendu yang dinyanyikan oleh orang-orang Nias.
77 78 79 80 81 82 83 84 85 86
Oho, trus istilah Lagia ini darimana pak? Kenapa mereka menyebutnya Lagia? darimana istilah alat musik ini pak?
Nah, sebelumnya Lagia ini adalah diumpakan sebagai nama seorang Nias. pencipta Lagia mengumpakan dirinya sebagai orang yang sangat terpencil. Sehingga dia menyebut dirinya Lagia.
Istilah Lagia diumpakan sebagai nama seorang manusia.
87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98
Tadi bapak bilang, lagia ini mengiringi lagu sendu? Kenapa harus lagu sendu ya pak? Atau alat musik ini memang hanya bisa memainkan lagu sendu?
Ya...sebenarnya kenapa lagu sendu, karena memang pada zaman dulu, orang Nias itu kan banyak bekerja di ladangg dan mereka lebih banyak menyukai lagu-lagu sendu untuk menghibur dirinya yang kesepian dipondok diladang tempat bekerja.
Masyarakat Nias lebih banyak menyukai lagu yang berkarakter sedih.
99 100 101 102
Ohh, lagu He Lagia ya pak?
Iya, itu lah lagu yang diiringi oleh alat musik ini. jadi dulu pencipta Lagia menyanyikan lagu ini
103 104
Ohh,, terus selain lagu ini,
Segala lagu sekarang yang berbeda nada bisa diiringi alat musik Lagia. tapi salah satu
Lagu He Lagia dikenal merupakan lagu yang diiringi
134
105 106 107 108 109
ada lagi lagu lain gag yang bisa diiringi sama Lagia ini?
lagu yang menceritakan alat musik ini ada, itu lah lagu He Lagia.jadi, ada lagunya, ada alat musiknya.
oleh instrumen Lagia.
110 111 112 113 114 115
Berarti pencipta alat musik lagia ini juga sekaligus pencipta lagu He Lagia?
Nyanyian ini sebelumnya ssama seperti lagu Nias lainnya. Bisa kita katakan anonim. Jadi karena terus dinyanyikan turun temurun sehingga masyarakat Nias mengenal lagu inni.
Nyanyian lagu He Lagia merupaka lagu rakyat yang diwariskan secara lisan.
116 117 118 119 120 121 122 123 124
trus Lagia dimainkan bersamaan dengan alat tradisional Nias lainnya ya pak? Sama kayak mamȍzi Aramba?
Ohh,, dulunya memang solo, sampai sekarang pun dimainkan solo, tapi sekarang ada juga yang dimainkan bersamaan dengan aalat musik tradisional Nias lainnya. Lagia ini sebagai pembawa melodi.
Lagia dimainkan daam formasi solo
125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136
Hmmm... tadi bapak bilang Lagia ini lebih banyak ditemukan di Nias Tengah. Sepengetahuan bapak, ada gag mungkin di Nias Selatan, Utara atau Nias barat alat
Hmmm.. tidak ada, Lagia hanya ada di Nias tengah. Di Nias Selatan, Barat, atau di Nias utara tidak ada musik Lagia.
Lagia hanya ada di Nias bagian tengah.
135
137 138
musik Lagia ini ?
VERBATIM II
Hari/ tanggal : 10 April 2016
Lokasi Wawancara: Rumah Bapak Yustinus Mendrȍfa, Desa Dahadanȍ Botombawȍ, Kecamatan Hili Serangkai, Kabupaten Nias
Waktu : 14.46- 16.05
Judul Rekaman : Happy029.Mend
No Pertanyaan Respon Analisis Refleksi Kode 1 2 3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16 17
sudah sejauh mana perkembangan Lagia di desa ini pak?
Hmm...jadi begini nak,Lagia ini sudah dipertunjukkan oleh masyarakat dari desa ini , terakhir dilaksanakan pagelaran di Gidȍ tahun 2014. Pagelaran budaya dan musik tradisional sekabupaten Nias. waktu itu diharapkan paling tidak delapan alat musik tradisional harus ditampilkan. Lagu yang yang ditampilkan adalah lagu-lagu tradisional Nias. dan saat itu desa kita dinilai sebagai penampilan terbaik . Nah, tapi dulu memang Lagia ini dipakai oleh masyarakat disini. Tapi masuknya alat-alat musik modern, membuat generasi sekarang lebih suka memainkan alat
Lagia sudah dipertunjukkan oleh masyarakat dari desa Dahadanȍ Botombawȍ dalam kegiatan festival kebudayaan yang diadakan oleh pemerintah Kabupaten Nias sekali dalam dua tahun.
3
136
18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29
musik modern itu. Kalau alat musik tradisional ya dibiarkan begitu saja. Ya mungkin lebih mudah memainkannya karena modern dan elektrik. Untuk kegiatan pagelaran 3musik ini diadakan sekali dua tahun dilaksanakan. Hal itu tergantung pada APBD dinas pariwisata kabupaten Nias. sekrang memang pemerintah lagi menggalakkan pelestarian kesnian tradisional di Nias akhir-akhir ini.
30 31 32 33 34 35 36 37
Pak, disini saya dengar ada sanggar ya kesenian desa ya?
Iya ada. Di desa kita ada sanggar .Namanya sanggar Aforeteholi. Dulu penggeraknya itu sekarang sudah meninggal, Ama tuti mendrȍfa. Sehingga kegiatan itu sudah tidak jalan, ya hanya kadang-kadang kalau mau ada kegiatan, ya akan dilakukan latihan.
Sanggar Aforeteholi adalah sanggar kesenian yang berasal dari desa Dahadanȍ Botombawȍ.
3
38 39 40 41 42
Tapi sanggarnya masih ada sampai sekarang ?
Ya masih, hanya saja pengurusnya perlu disegarkan kembali.
3
43 44 45 46 47 48 49
Berarti dulu da sistem latihan rutin ya pak di sanggar ini?latihannya di balai desa tadi ya pak?
Bukan. Dulu memang sering dilakukan latihan menari, maena, memainkan alat musik tradisional Nias, biasanya dulu kadang hari minggu. Dan biasanya dulu latihannya di lapangan. Dari desa kita memang terkenal dengan
Masyarakat pada awalnya melaksanakan latihan bersama secara rutin.
3
137
50 51 52 53 54 55 56
pemain musik tradisi termasuk Lagia, juga maena pada pesta pernikahan, maena baluse, folaya baluse.biasanya itu dilaksanakan untuk menyambut tamu. dan menyanyikan nyanyian tradisional Nias
57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73
Berarti Lagia yang masih ada sekarang ini milik desa ya pak, penduduk desa lainnya tidak punya sebagai milik pribadi?
Iya, ini milik desa, cuman dulu memang ada, tapi ya entah kemana. hanya beberapa saja dari mereka yang masih di desa ini yang bisa memainkan Lagia, tapi tidak memiliki Lagia secara pribadi. Kenapa? Karena masyarakat sekarang lebih senag sama lagu-lagu modern itu. Aefa daȍ, jarang iadaa niha khȍda zi so alat musik tradsional andrȍ. Bȍrȍ, lebih omasi ira hiburan lain. simane hp bale so zinunȍ, televisi, yah itu lah maslaahnya. Itu sebabnya alat musik tradisional Nias sekarang tidak begitu menarik bagi masyarakat di sini.
Masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ pada umumnya tidak memiliki instrumen Lagia secara pribadi. Namun, masih terdapat beberapa di antara mereka yang bisa memainkan alat musik Lagia. alasan ketidaktertarikan masyarakat dengan instrumen tradisional nias (Lagia) karena adanya pengaruh teknologi
3
74 75 76 77 78 79 80 81
Bapak sendiri bisa memainkan Lagia?
Ohh,, kalau saya tidak bisa memainkan Lagia. memainkan Lagia itu harus dengan perasaan.yah agak sedikit sulit. Disini kita masih punya beberapa pemain Lagia hanya saja alatnya sudah tidak layak dipakai (menunjukk instrumen Lagia milik desa). saya hanya pelatih pada
Teknik memainkan Lagia bagi masyarakat di desa Dahadanȍ Botombawȍ adalah sesuatu hal yang sedikit sulit. Selain itu beberapa orang masyarakat yang dapat memainkan Lagia tidak memiliki alat musik Lagia secara pribadi
3
138
82 83 84
saat pertunjukkan misalnya seperti festival kebudayaan yang tadi itu di Kabupaten.
85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99
100
Kalau tidak salah bapak pernah bilang kalau disini masyarakatnya lebih banyak bekerja bertani ya pak, termasuk seperti menyadap nira. selain itu apa lagi mata pencaharian masyarakat di sini pak?
Iya memang. Disini masyarakatnya banyak bertani. Tidak menyadap nira, juga menyadap karet. Juga beberapa dari mereka beternak, ya beternak babi, ayam. Selain itu ada juga yang bekerja sebagai PNS, guru, dan kerja kantoran.
3
101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113
Baik pak, mau tanya lebih jauh tentang sejarah Lagia di desa ini. seperti bapak bilang tadi, alat musik ini sudah dipakai lama oleh masyarakat desa ini di dalam sebuah
Hmmmm....ya seperti yang saya katakan tadi, Lagia ini sudah lama dipakai dalam sanggar milik desa. disini Lagia sudah dipakai sejak tahun 1973 , atau mungkin sebelum itu juga Lagia sudah ada di desa ini. Dulu di desa ini salah satu mata pencaharian masyarakat ya itu lah penyadap karet. Ya namanya dulu masih belum ada hp seperti sekrang. Ya mereka cari-cari benda-benda di sekitar mereka lah yg bisa dibunyikan dan bisa menghilangkan
3
139
114 115 116 117 118 119 120 121 122 123
sanggar, yaitu sanggar Aforeteholi. Nah, itu sejarah awalnya perkembangan Lagia di desa ini seperti apa ya pak?
kesenduan mereka di pondok mereka. seperti saya ceritakan sebeumnya bahwa Lagia ini diciptakan oleh seorang penyadap nira yang kesepian di hutan
124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134
Ohh,,kalau begitu Lagia memang berasal dari desa ini ya pak? Atau mungkin dari desa lain yang termasuk wilayah Nias tengah?
Ohh kalo itu saya kurang tau. Lagia itu memang berasal dari Nias tengah. Nah salah satu nya Lagia ada di desa ini. sepertinya di Lȍlȍwa’u juga ada . di sana mereka membuat Lagia. di museum juga ada.
3
135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 146
Trus dulu bagaimana respon masyarakat terhadap lagia ini pak? Apa dulu semua masyarakat bisa memainkan atau tertentu
Hmmm...sebenarnya Lagia ini bisa dimainkan oleh siapa saja. Dulu juga begitu. Tapi pada saat ditampilkan kan tidak semuanya harus tampil. Ya dulu orang tua dulu banyak yang bisa memainkan Lagia. anak-anak muda juga dulu seperti itu. Tapi sekrang sudah tidak lagi. Anak muda sekarang lebih suka main band. Hehehe...
3