kajian mbs terhadap uu sisdiknas.docx

8
KAJIAN TERHADAP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DITINJAU DARI PASAL-PASAL UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN 2003 1. MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH 1.1 PENGERTIAN MBS DALAM UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN 2003 Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, “manajemen berbasis sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004). MBS atau school based management sendiri merupakan sebuah upaya adaptasi dari paradigma pendidikan baru yang berasaskan desentralisasi. MBS memberikan otoritas pada sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif untuk kepentingan sekolah. Dalam pelaksanaannya di lapangan, konsep MBS memiliki instrumen kunci yang dikenal dengan nama Komite Sekolah. Tidak hanya itu, menurut Dr JC Tukiman Taruna, seorang pakar pendidikan, implementasi MBS secara ideal mensyaratkan beberapa hal yaitu (1) peningkatan kualitas manajemen sekolah yang terlihat melalui transparansi keuangan, perencanaan partisipatif, dan tanggung-gugat (akuntabilitas), (2) peningkatan pembelajaran melalui PAKEM (pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan), dan (3) peningkatan peran serta masyarakat melalui intensitas kepedulian masyarakat terhadap sekolah (Kusmanto, 2004). 2.2 DASAR MBS HUKUM DALAM UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN 2003 Implementasi MBS pada tingkat satuan pendidikan bukan sekedar luapan semangat desentralisasi yang berlebihan. MBS dilaksanakan semata karena berlandaskan UU No. 20 Tahun 2003 1

Upload: muhammad-nurjali

Post on 07-Dec-2015

10 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN MBS TERHADAP UU SISDIKNAS.docx

KAJIAN TERHADAP MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DITINJAU DARI PASAL-PASAL UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN

2003

1. MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH1.1 PENGERTIAN MBS DALAM UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN 2003Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, “manajemen berbasis sekolah atau madrasah adalah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Definisi MBS diuraikan lebih rinci sebagai suatu pendekatan politik yang bertujuan untuk melakukan redesain terhadap pengelolaan sekolah dengan memberikan kekuasaan pada kepala sekolah dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam upaya perbaikan kinerja sekolah yang mencakup guru, siswa, kepala sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat (Fattah, 2004). MBS atau school based management sendiri merupakan sebuah upaya adaptasi dari paradigma pendidikan baru yang berasaskan desentralisasi. MBS memberikan otoritas pada sekolah untuk mengembangkan prakarsa yang positif untuk kepentingan sekolah.Dalam pelaksanaannya di lapangan, konsep MBS memiliki instrumen kunci yang dikenal dengan nama Komite Sekolah. Tidak hanya itu, menurut Dr JC Tukiman Taruna, seorang pakar pendidikan, implementasi MBS secara ideal mensyaratkan beberapa hal yaitu (1) peningkatan kualitas manajemen sekolah yang terlihat melalui transparansi keuangan, perencanaan partisipatif, dan tanggung-gugat (akuntabilitas), (2) peningkatan pembelajaran melalui PAKEM (pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan), dan (3) peningkatan peran serta masyarakat melalui intensitas kepedulian masyarakat terhadap sekolah (Kusmanto, 2004).

2.2 DASAR MBS HUKUM DALAM UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN 2003Implementasi MBS pada tingkat satuan pendidikan bukan sekedar luapan semangat desentralisasi yang berlebihan. MBS dilaksanakan semata karena berlandaskan UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan

1

Page 2: KAJIAN MBS TERHADAP UU SISDIKNAS.docx

pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. Keberadaan Komite Sekolah sebagai instrumen kunci dalam pelaksanaan MBS juga tertuang dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 2, “Pengambilan keputusan pada satuan pendidikan dasar dan menengah di bidang non-akademik dilakukan oleh komite sekolah atau madrasah yang dihadiri oleh kepala satuan pendidikan”. Sementara Lampiran Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan memuat secara lebih terperinci tentang (a) perencanaan program, (b) pelaksanaan rencana kerja, (c) pengawasan dan evaluasi, (d) kepemimpinan sekolah atau madrasah, (e) sistem informasi manajemen, dan (f) penilaian khusus.

2.3 TUJUAN IMPLEMENTASI MBS DALAM UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN 2003

Tujuan implementasi program MBS adalah jelas untuk mencapai peningkatan mutu dalam penyelenggaraan pendidikan, sejalan dengan apa yang tercantum dalam UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan diselenggarakan dengan prinsip pemberdayaan seluruh komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Diharapkan dengan menerapkan manajemen dengan pola MBS, sekolah lebih berdaya dalam beberapa hal sebagaimana berikut: (1) menyadari kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi sekolah tersebut, (2) mengetahui sumberdaya yang dimiliki dan input pendidikan yang akan dikembangkan, (3) mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk kemajuan lembaganya, (4) bertanggung jawab terhadap orang tua, masyarakat, lembaga terkait, dan pemerintah dalam penyelenggaraan sekolah, (5) dan persaingan sehat dengan sekolah lain dalam usaha-usaha kreatif inovatif untuk meningkatkan layanan dan mutu pendidikan. Secara ringkas, yang paling utama dari penerapan MBS adalah tercapainya peningkatan mutu pendidikan dengan cara memberdayakan seluruh potensi sekolah dan stakeholdernya sesuai dengan kebijakan pemerintah dengan mengaplikasikan kaidah-kaidah manajemen sekolah profesional (Satori, 2006).

2.4 KARAKTERISTIK KONSEP MBSKarakteristik konsep MBS berikut ini dikutip dari http://www.mbs-sd.org sebagaimana berikut:(1) Upaya meningkatkan peran serta Komite Sekolah, masyarakat, DUDI (dunia usaha dan dunia industri) untuk mendukung kinerja sekolah;(2) Program sekolah disusun dan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan proses belajar mengajar (kurikulum), bukan kepentingan administratif saja;(3) Menerapkan prinsip efektivitas dan efisiensi dalam penggunaan sumber daya sekolah (anggaran, personil dan fasilitas);

2

Page 3: KAJIAN MBS TERHADAP UU SISDIKNAS.docx

(4) Mampu mengambil keputusan yang sesuai dengan kebutuhan, kemampuan, dan kondisi lingkungan sekolah walau berbeda dari pola umum atau kebiasaan;(5) Menjamin terpeliharanya sekolah yang bertanggung jawab kepada masyarakat;(6) Meningkatkan profesionalisme personil sekolah;(7) Meningkatnya kemandirian sekolah di segala bidang;(8) Adanya keterlibatan semua unsur terkait dalam perencanaan program sekolah (misal: KS, guru, Komite Sekolah, tokoh masyarakat,dll);(9) Adanya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran pendidikan sekolah;

Kesembilan karakteristik konsep MBS tersebut diringkas menjadi 4 nilai dasar pengelolaan sekolah oleh Prof. Dr. H. Djam’an Satori, MA, sebagaimana berikut:

Nilai-Nilai Dasar PenjelasanOtonomi pengelolaan sekolah Perumusan kebijakan sekolah dan

pengambilan keputusanPartisipasi stakeholders sekolah Sesuai batas-batas kewenangannyaTransparansi pengelolaan sekolah Program dan anggaranAkuntabilitas manajemen sekolah Doing the right things and doing things

right

3. MENGKAJI MBS DARI PERSPEKTIF UUD 1945 DAN UU SISDIKNAS NO. 20 TAHUN 2003

Yang menjadi pokok bahasan utama dalam kajian terhadap diskursus MBS dari perspektif legal basis adalah pelanggaran hierarki perundang-undangan yang telah dilakukan oleh eksekutor-eksekutor kebijakan (Tilaar, 2004). UUD 1945 sebagai dasar hukum yang paling superior seharusnya tidak boleh dilangkahi atau dianulir oleh produk perundang-undangan yang jauh lebih inferior dibawahnya, dalam hal ini yang dimaksud adalah UU No.20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional dan turunan-turunannya.Dalam pembukaan UUD 1945 dicantumkan bahwa amanat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa Indonesia telah dilimpahkan pada Pemerintah Negara Indonesia. Sejalan dengan pembukaannya, dalam UUD 1945 hasil amandemen ke-4, pada pasal 31 ayat 1 dan 2 jelas-jelas tercantum bahwa mendapatkan pendidikan adalah menjadi hak setiap warganegara dan pemerintah berkewajiban untuk membiayai pendanaan pendidikan dasar yang sifatnya mutlak. Ditambah lagi dengan ayat 4 yang menyatakan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Anehnya, UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem

3

Page 4: KAJIAN MBS TERHADAP UU SISDIKNAS.docx

pendidikan nasional yang seharusnya dibuat dengan mengacu pada UUD 1945 malah menganulir kewajiban pemerintah dalam pembiayaan penyelenggaran pendidikan, sehingga kewajiban tersebut juga dibebankan pada masyarakat. Hal tersebut dimuat dalam hak dan kewajiban warga negara, orang tua, masyarakat, dan pemerintah, yaitu pada pasal 6 ayat 2 bahwa ‘setiap warga negara bertanggung jawab terhadap keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan”, dan pasal 9 “masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. Bahkan pada Bab V mengenai peserta didik, pasal 12 ayat 2 huruf b dinyatakan bahwa “peserta didik berkewajiban untuk menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan”. Melalui pasal-pasal tersebut, pemerintah telah mengalihkan tanggung jawabnya secara perlahan terhadap pendanaan pendidikan, dan hal tersebut jelas-jelas dimuat secara eksplisit pada pasal 46 ayat 1 bahwa, “pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat”, yang lalu dijabarkan pada bagian penjelasan bahwa, “sumber pendanaan pendidikan dari pemerintah meliputi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan sumber pendanaan pendidikan dari masyarakat mencakup antara lain sumbangan pendidikan, hibah, wakaf, zakat, pembayaran nadzar, pinjaman, sumbangan perusahaan, keringanan dan penghapusan pajak untuk pendidikan, dan lain-lain penerimaan yang sah. Pembahasan masalah pendanaan pendidikan dimasukkan dalam kajian ini karena hal pendanaan pendidikan sangatlah erat kaitannya dengan MBS. Konsep MBS dengan perspektif ekonomi-nya telah mengkuantitatifkan segala target capaian atau mutu dengan standar performance yang terukur. Satuan pendidikan yang berhasil mengimplementasikan konsep ini akan dicap sebagai sekolah unggulan yang memenuhi unsur-unsur akreditasi untuk mendapatkan dana hibah atas kompetisi yang telah dilakukakannya. Padahal seharusnya dana pendidikan diberikan pada sekolah manapun yang memang benar-benar membutuhkan.Dalam UU No. 20 Tahun 2003 pasal 49 ayat 3 dan 4 dicantumkan bahwa dana pendidikan dari pemerintah dan pemerintah daerah untuk satuan pendidikan diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bila dana pendidikan dikompetisikan seperti termaktub dalam pasal tersebut, maka sekolah yang unggul makin unggul dan sekolah yang belum unggul akan semakin terpuruk. Secara tidak langsung, hal tersebut memaksa sekolah yang masih dalam taraf “belum memenuhi akreditasi” untuk mencari sumber pendanaan lain. Pemerintah pun memberikan jalan dengan membuka kesempatan seluas-luasnya pada sekolah untuk mendapatkan dana dari masyarakat dengan pasal-pasal yang mengatur tentang pendanaan pendidikan dan peran serta masyarakat yang termuat dalam UU No. 20 Tahun 2003 dan PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Siapalagi yang menjadi korban kalau bukan komite sekolah? Dalam hal ini, komite sekolah akhirnya hanya berfungsi sebagai “tukang pungut sumbangan” seperti asosiasi

4

Page 5: KAJIAN MBS TERHADAP UU SISDIKNAS.docx

yang terbangun saat mendengar sebuah wadah yang bernama “BP3”. Akhirnya fungsi-fungsi strategis komite sekolah yang tercantum dalam Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan benar-benar tidak disentuh. Berikut ini adalah rangkuman dari fungsi-fungsi strategis komite sekolah yang dimuat dalam lampiran Permendiknas No. 19 Tahun 2007:(1) Memberikan pertimbangan dan masukan mengenai visi, misi, dan tujuan sekolah;(2) Memberikan pertimbangan dalam penyusunan rencana kerja jangka menengah sekolah/madrasah yang meliputi tujuan yang akan dicapai dalam kurun waktu empat tahun yang berkaitan dengan mutu lulusan yang ingin dicapai dan perbaikan komponen yang mendukung peningkatan mutu lulusan, dan juga rencana kerja tahunan yang mencakup ketentuan-ketentuan mengenai: kesiswaan; kurikulum dan kegiatan pembelajaran; pendidik dan tenaga kependidikan serta pengembangannya; sarana dan prasarana; keuangan dan pembiayaan; budaya dan lingkungan sekolah; peranserta masyarakat dan kemitraan; rencana-rencana kerja lain yang mengarah kepada peningkatan dan pengembangan mutu;(3) Memberikan pertimbangan dalam penyusunan pedoman yang mengatur tentang struktur organisasi sekolah/madrasah yang berisi: kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP); kalender pendidikan/akademik; struktur organisasi sekolah/madrasah; pembagian tugas di antara guru; pembagian tugas di antara tenaga kependidikan; peraturan akademik; tata tertib sekolah/madrasah; kode etik sekolah/madrasah; dan biaya operasional sekolah/madrasah;(4) Memberikan persetujuan terhadap pelaksanaan kegiatan sekolah/madrasah yang tidak sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan;(5) Berhak menerima pelaporan pembukuan semua penerimaan dan pengeluaran serta penggunaan anggaran yang diatur dalam pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah;(6) Berhak memutuskan pedoman pengelolaan biaya investasi dan operasional sekolah/madrasah untuk kemudian ditetapkan oleh kepala sekolah/ madrasah serta mendapatkan persetujuan dari institusi di atasnya;(7) Memberikan masukan untuk sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan tata tertib sekolah/madrasah;(8) Berhak melakukan pemantauan pengelolaan sekolah/madrasah dilakukan secara teratur dan berkelanjutan untuk menilai efisiensi, efektivitas, dan akuntabilitas pengelolaan;(9) Berhak menerima laporan hasil evaluasi pengawasan sekurang-kurangnya setiap akhir semester dari kepala sekolah/madrasah;(10) Berhak dilibatkan dalam proses evaluasi dan pengembangan KTSP secara menyeluruh.Terdapat kontradiksi dalam butir-butir tersebut dengan salah satu butir dalam Lampiran B tentang Pelaksanaan Rencana Kerja nomor 3 (c) yang menyatakan bahwa kepala sekolah/madrasah

5

Page 6: KAJIAN MBS TERHADAP UU SISDIKNAS.docx

mempertanggungjawabkan pelaksanaan pengelolaan bidang akademik pada rapat dewan pendidik dan bidang “non akademik” pada rapat komite sekolah/madrasah dalam bentuk laporan pada akhir tahun ajaran yang disampaikan sebelum penyusunan rencana kerja tahunan berikutnya. Padahal dalam butir-butir lainnya banyak sekali yang menjabarkan peran-peran komite sekolah dalam bidang akademik, lalu mengapa tanggung jawab kepala sekolah pada komite sekolah dibatasi pada hal-hal non akademik saja, bukankah hal tersebut menunjukkan inkonsistensi dalam peraturan ini.Terlebih lagi, fungsi-fungsi strategis yang sedemikian idealnya tersebut ternyata dimentahkan dengan Lampiran F tentang Penilaian Khusus yang menjadi penutup peraturan ini, “Keberadaan sekolah/madrasah yang pengelolaannya tidak mengacu kepada Standar Nasional Pendidikan dapat memperoleh pengakuan Pemerintah atas dasar rekomendasi BSNP”. Jadi, sirnalah sudah fungsi-fungsi strategis Komite Sekolah karena hegemoni BSNP. Sebab itulah, selama penyelewengan terhadap hierarki perundang-undangan belum dibenahi, maka Komite Sekolah hanyalah akan menjadi simbol dari implementasi konsep MBS.

SUMBER PUSTAKA:Dja’ali. 2007. Peningkatan Mutu Pendidikan Nasional Melalui Sertifikasi. BuletinBSNP Volume 2 No. 2, Mei 2007.Fattah, Nanang. 2004. Konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan DewanSekolah. Pustaka Bani Quraisy: Bandung.http://www.mbs-sd.org/ diakses pada tanggal 5 Januari 2008.Kepmendiknas No. 044/u/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.Kompas. 2007. Fungsi Komite Sekolah Belum Optimal. Kompas, Selasa, 23 Januari2007, halaman 9.Kusmanto. 2004. Menyoal Manajemen Berbasis Sekolah. Republika, Sabtu, 20 Maret2004, halaman 6.Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan.Personal interview dengan kepala sekolah di salah satu SD yang berada di kelurahanBunulrejo, Kecamatan Blimbing, Kota Malang pada 19 Desember 2007.PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan dan penjelasan.Satori, Djam’an. 2006. Pemberdayaan MBS Dalam Menunjang Implementasi KTSP.

Makalah disajikan dalam Forum Tenaga Kependidikan di BMI Lembang pada tanggal 28 November 2006. Tidak dipublikasikan.

6

Page 7: KAJIAN MBS TERHADAP UU SISDIKNAS.docx

Soetikno, Wendie Razif. 2007. Salah Kaprah atau Ketidakpedulian? Diakses dari

http://sukainternet.wordpress.com/2007/10/18/manajemen-kurikulum-atau-manajemen-sekolah/ pada tanggal 5 Januari 2008.

Tilaar, HAR. 2004. Standarisasi Nasional Pendidikan: Suatu Tinjauan Kritis.Bandung: Rineka Cipta.UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah.

7