kajian kesehatan menyongsong bonus demografi

31
KAJIAN DERAJAT KESEHATAN MASYARAKAT MENYONGSONG BONUS DEMOGRAFI DI PROVINSI PAPUA Oleh: JOHN RAHAIL EMANUEL SYUKUR PERWAKILAN BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA PROVINSI PAPUA Jayapura, 2014

Upload: daldukpapua

Post on 10-Jan-2017

441 views

Category:

Healthcare


0 download

TRANSCRIPT

KAJIAN

DERAJAT KESEHATAN MASYARAKAT MENYONGSONG BONUS DEMOGRAFI

DI PROVINSI PAPUA

Oleh: JOHN RAHAIL

EMANUEL SYUKUR

PERWAKILAN

BADAN KEPENDUDUKAN DAN KELUARGA BERENCANA PROVINSI PAPUA

Jayapura, 2014

ii

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan Puji dan Syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa,

akhirnya tentang ”Derajat Kesehatan Masyarakat Menyongsong Bonus Demografi di

Provinsi Papua” dapat terselesaikan dengan baik mulai dari persiapan, kegiatan

pengumpulan data sekunder sampai penyelesaian laporan akhir.

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji derajat kesehatan

masyarakat saat ini dalam menyonsong Bonus Demografi di Provinsi Papua. Hasil

kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah Provinsi Papua

dalam perencanaan dan pelaksana pembangunan kesehatan dalam meningkatkan

kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagai modal menyongsong dan memasuki

Bonus Demografi.

Pada kesempatan ini secara khusus kami menyampaikan ucapan terima kasih

kepada BKKBN Perwakilan Provinsi Papua melalui Bidang Pengendalian Penduduk

(DALDUK) yang telah memberikan kepercayaan kepada kami Tim Penyusun untuk

membuat kajian ini. Kiranya kerjasama yang baik ini dapat dipertahankan dan terus

dikembangkan di waktu mendatang.

Berbagai saran dan masukan yang bersifat konstruktif sangat diharapkan, dan

akhirnya semoga dokumen ini dapat bermanfaat.

Jayapura, Desember 2014

Tim Penyusun

iii

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul …………………………………………………………… i

Kata Pengantar …………………………………………………………… Ii

Daftar Isi …………………………………………………………… Iii

Daftar Tabel …………………………………………………………… iv

BAB I. Pendahuluan …………………………………………...... 1

A. Latar Belakang ………………………………………. 1

B. Tujuan ………………….…………………………….. 3

C. Metodologi ………………………….……………….. 3

BAB II. Telaah Pustaka . …………..……………………………... 4

A. Kebijakan Pembangunan Kesehatan ………………… 4

B. Bonus Demografi …………………………………….. 5

C. Faktor-Faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan .. 6

BAB II. Hasil dan Pembahasan …………………………………... 9

A. Keadaan Umum Geografis …………………………... 9

B. Keadaan Umum Demografi ………………………….. 10

C. Situasi dan Derajat Kesehatan ……………………….. 13

D. Aspek Kesehatan dan Peluang Bonus Demografi …… 22

BAB III. Penutup ………………………………………………...... 26

A. Kesimpulan …………………………………………... 26

B. Saran-saran …………………………………………... 26

Daftar Pustaka …………………………………………... 27

iv

DAFTAR TABEL/GRAFIK

Halaman

Tabel 1. Penduduk menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin

Di Provinsi Papua Tahun 2010 ……………………………..

10

2. Jumlah penduduk menurut Umur di Provinsi Papua

Tahun 2010 ............................................................................

12

3. Angka Kematian bayi/1.0000 Kelahiran Hidup di Provinsi

Papua .....................................................................................

14

4. Prevalensi ISPA, Pneumonia, TBC dan Campak

berdasarkan Kota/Kabupaten di Provinsi Papua ……………

19

5. Persentase Balita menurut Status Gizi (BB/U) menurut

Kota/ Kabupaten di Provinsi Papua

……………………………….

21

6. Sebaran anak umur 6-59 tahun yang Menerima Kapsul

Vitamin A menurut Kota/Kabupaten di Provinsi Papua ……

22

Grafik 1. Piramida Penduduk Provinsi Papua Tahun 2010 ………….... 13

2. Cakupan Pertolongan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan di

Provinsi Papua Tahun 2011 ………………………………….

15

3. Umur Harapan Hidup (UHH) di Provinsi Papua ……..…….. 16

4. Situasi Penyakit Malarai di Provinsi Papua ………………… 17

5. Jumlah Penderita Klinis Malaria, Slide Darah Malaria di

periksa dan Positif di Provinsi Papua ………………………..

17

6. Jumlah kasus HIV/AIDS menurut tahun di Provinsi Papua ... 18

7. Prevalensi Status Gizi Balita berdasarkan BB/U, TB/U dan

BB/TB di Provinsi Papua ……………………………………

21

8. Trend Dinamika Bonus Demografi di Provinsi Papua ……… 24

1

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Tujuan Pembangunan Nasional sebagaimana tercantum dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 adalah untuk melindungi segenap bangsa

Indonesia dan seluruh tumpahdarah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan

umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Untuk mencapai tujuan tersebut

diselenggarakan program pembangunan nasional secara berkelanjutan, terencana dan

terarah. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dan terpenting dalam

pembangunan nasional. Tujuan diselenggarakannya pembangunan kesehatan adalah

untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang

agar terwujudnya derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Hal ini sesuai dengan

amanat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1)bahwa setiap orang berhak

hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup

baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

Keberhasilan pembangunan suatu daerah menurut Sumule (1998) dan

Rumbiak (1999) menyatakan bahwa salah satunya dapat dilihat dari pencapaian Indeks

Pembangunan Manusia (IPM), dimana untuk mencapai IPM tersebut, salah satu

komponen utama yang mempengaruhinya yaitu indikator status kesehatan selain

pendidikan dan pendapatan per kapita. Dengan demikian pembangunan kesehatan

merupakan salah satu upaya utama untuk peningkatan kualitas sumber daya manusia,

yang pada gilirannya mendukung percepatan pembangunan nasional (Megawangi,

1993).

Kesehatan merupakan salah satu kebutuhan penting bagi pembangunan

manusia di Provinsi Papua dalam mewujudkan strategi pembangunan Gerbang Mas

Hasrat Papua. Meskipun kadang pemahaman masyarakat mengenai pentingnya

kesehatan masih terbatas karena terbiasa menggunakan layanan kesehatan secara

tradisional. Ananta (1993) dan Parenta (1999) menyatakan disinilah semakin pentingnya

kehadiran pemerintah terutama untuk melayani kesehatan pada daerah-daerah

terpencil.Pemerintah menyediakan fasilitas kesehatan dan melakukan pelayanan

kesehatan sesuai kebutuhan di lapangan.

Sejalan dengan dinamika pembangunan dan perkembangan kependudukan,

pada tahun 2020 Indonesia diperkirakan akan mengalami fase bonus demografi yang

artinya jumlah penduduk usia produktif mencapai 2/3 dari total jumlah penduduk.

2

Pemerintah harus dapat memanfaatkan kesempatan bonus demografi ini dengan

baik.Angka ketergantungan penduduk (Dependency ratio) cenderung lebih rendah.

Suplai tenaga kerja yang stabil diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pasar

kerja.Kondisi ini sangat menguntungkan, masyarakat akan memperoleh pendapatan

yang lebih tinggi dengan dana tabungan yang lebih banyak. Bonus demografi sangat erat

kaitannya dengan perubahan komposisi penduduk menurut umur yang merupakan

kesempatan sekaligus tantangan yang harus direspon dan diantisipasi.

Kenyataannya pembangunan kependudukan seolah-olah terlupakan dan tidak

dijadikanunderlined factor. Padahal pengembangan sumber daya manusia yang

merupakan investasi jangka panjang yang menjadi senjata utama kemajuan suatu

bangsa.Dalam hal ini pemerintah harus mampu menjadi agent of development dengan

cara memperbaiki mutu modal manusia, mulai dari kesehatan, pendidikan, kemampuan

komunikasi, serta penguasaan teknologi. Hamzah (1999) menyatakan solusi lainnya bisa

dengan memberikan keterampilan kepada tenaga kerja produktif sehingga pekerja tidak

hanya bergantung pada ketersediaan lapangan pekerjaan tapi mampu menciptakan

lapangan pekerjaan itu sendiri.

Secara khusus dalam pembangunan kesehatan untuk menyiapkan SDM

berkualitas di Provinsi Papua, maka tujuan program-program kesehatan sebagaimana

visi-misi pembangunan Provinsi Papua dengan strategi ”Gerbang Mas Hasrat Papua”

untuk meningkatkan kemandirian masyarakat dalam memelihara kesehatan individu dan

keluarga terhadap berbagai masalah kesehatan, seperti kejadian kesakitan (morbiditas)

dan gangguan gizi (malnutrisi), yang seringkali berakhir dengan kecacatan (disability)

atau kematian (mortalitas). Permasalahan ini akan menunjukkan derajat kesehatan

masyarakat di Provinsi Papua saat ini sebagai modal pembangunan, termasuk

menyongsong bonus demografi.

Permasalahan pembangunan sumber daya manusia inilah yang terutama terkait

kualitas kesehatan masyarakat di Provinsi Papua yang harusnya bisa diselesaikan dari

sekarang, jauh sebelum bonus demografi datang. Jangan sampai hal yang menjadi

berkah justru membawa bencana dan membebani pemerintah daerah karena masalah

yang mendasar terkait dengan kualitas manusia termasuk aspek kesehatannya. Bukan

hanya pemerintah, masyarakat juga harus menjadi pendukung utama pembangunan

mutu manusia dengan cara menyadari pentingnya artikesehatan dan aspek-aspek yang

dapat mengembangkan kualitas manusia itu sendiri.

3

B. Tujuan

1. Tujuan

Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji derajat kesehatan

masyarakat saat ini dalam menyonsong Bonus Demografi di Provinsi Papua. Hasil

kajian ini dideskripsikan untuk memperoleh gambaran dari kondisi obyektif tentang

kondisi derajat kesehatan masyarakat saat ini dalam menyonsong Bonus Demografi

di Provinsi Papua.

2. Manfaat

Kajian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada Pemerintah

Provinsi Papua melalui Dinas Kesehatan dan dimanfaatkan dalam perencanaan dan

pelaksana pembangunan kesehatan dalam meningkatkan kualitas sumber daya

manusia (SDM) sebagai modal menyongsong dan memasuki Bonus Demografi.

C. Metodologi

1. Waktu dan tempat

Pelaksanaan penulisan analisis ini dilaksanakan selama 2 bulan (Oktober-

November 2014) di Jayapura Provinsi Papua.

2. Bahan/cara pengumpulan data

a. Bahan-bahan, yang diperlukan dalam penulisan ini berupa data-data sekunder

yang bersumber dari:

- Hasil Sensus Penduduk (SP) 2010

- Papua dalam angka 2013

- Profil Kesehatan Provinsi Papua

- Laporan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua tahun 2010

b. Cara pengumpulan data, dilakukan melalui:

- Studi kepustakaan, dilakukan untuk mendapatkan data yang relevan dengan

mempelajari berbagai dokumen dan laporan terkait dengan topik penulisan

- Wawancara mendalam, dilakukan dengan mewawancarai beberapa pihak

terkait yang mengetahui tentang topik penulisan berasal dari berbagai

stakeholder di Jayapura

3. Metode analisis data

Bentuk analisis data yang digunakan secara deskriptif untuk mengambarkan

variabel pembangunan dan capaian pembangunan kesehatan dan peluang bonus

demografi yang kemudian dideskripsikan sesuai peruntukkannya.

4

BAB 2. TELAAH PUSTAKA

A. Kebijakan Pembangunan Kesehatan

Undang-Undang Kesehatan Nomor 23 tahun 1992 merupakan landasan hukum

kegiatan di bidang kesehatan. Dalam undang-undang tersebut tercantum bahwa tujuan

pembangunan kesehatan adalah meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan

masyarakat untuk hidup sehat. Undang-Undang tersebut menekankan desentralisasi

pertanggunganjawab operasional dan kewenangan daerah sebagai syarat untuk

keberhasilan dan kelangsungan pembangunan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka

Panjang tahap II (1994-2019) dalam bidang kesehatan diarahkan untuk meningkatkan

derajat kesehatan masyarakat, serta mutu dan kemudahan pelayanan kesehatan yang

harus makin terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, dan meningkatkan keadaan

gizi serta membudayakan sikap hidup bersih dan sehat, didukung dengan perumahan

dan permukiman yang layak.

Pada pertengahan tahun 1998, diperkenalkan paradigma baru kesehatan yang

memfokuskan pembangunan kesehatan kepada upaya pencegahan dari pada

penyembuhan dan rehabilitasi. Visi baru tersebut dituangkan dalam motto Indonesia

Sehat 2010. Tahun 2010 tersebut digunakan sebagai batas waktu yang cukup jauh untuk

mengukur tingkat keberhasilan pencapaian target. Pada tahun 1999, Menteri Kesehatan

mengenalkan Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010, yang

menggaris bawahi tujuan berikut: (a) memprakarsai pembangunan nasional berorientasi

pada kesehatan; (b) menjaga kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat seiring

dengan peningkatan lingkungan; (c) menjaga kualitas, keseimbangan dan

keterjangkauan pelayanan kesehatan; dan (d) mempromosikan kepercayaan masyarakat

untuk mencapai kesehatan yang baik.

Pada bulan awal tahun 2010, Menteri Kesehatan mencanangkan Rencana

Strategis Kementerian Kesehatan dengan menekankan visi “Masyarakat Sehat yang

Mandiri dan Berkeadilan”. Untuk mencapai masyarakat sehat yang mandiri dan

berkeadilan ditempuh melalui misi sebagai berikut: (a) meningkatkan derajat kesehatan

masyarakat, melalui pemberdayaan masyarakat, termasuk swasta dan masyarakat

madani, (b) melindungi kesehatan masyarakat dengan menjamin tersedianya upaya

kesehatan yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan, (c) menjamin ketersediaan

dan pemerataan sumber daya kesehatan, serta (d) menciptakan tata kelola

kepemerintahan yang baik.

5

Dalam pembangunan kesehatan di Provinsi Papua, berbagai faktor geografis,

sosial, ekonomi dan budaya masyarakat secara obyektif perlu dipertimbangkan sebagai

fakta lokal. Hal ini menjadi penting sebagaimana dikemukakan Koenjtaraningrat (1980)

bahwa kuatnya ikatan emosional masyarakat

lokal di Papua dengan lingkungannya sangat

mempengaruhi status sosial-ekonomi

kelompok ini, apalagi keterikatan terhadap

norma, tradisi budaya yang masih sangat kuat

termasuk perilaku kesehatannya. Chesney

(2003) menyatakan bahwa perilaku kesehatan

pada dasarnya merupakan respon seseorang terhadap stimulus yang berkaitan dengan

sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan serta lingkungan.

Sumule (1998) dan Rumbiak (1999) menyatakan bahwa munculnya masalah

kesehatan yang mendasar bagi masyarakat di Papua disebabkan oleh kesadaran akan

kesehatan individu dan keluarga masih rendah, terutama di daerah pedesaan. Selain itu

kondisi fisik geografis wilayah ini, juga menyebabkan masalah-masalah kesehatan

(morbiditas) sifatnya berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya, termasuk

konsep tentang sehat-sakit-penyakit yang sangat mempengaruhi derajat kesehatan

masyarakatnya.

Dalam menyosong bonus demografi yang menjadi ruang bagi kelompok usia

produktif untuk produktif dengan kehidupan berkualitas melalui bidang kesehatan

adalah dengan melaksanakan pembangunan kesehatan yang lebih terarah, efisien,

merata dan berkesinambungan. Hal ini tentu menjadi prioritas karena pembangunan

kesehatan yang berkualitas akan mendorong dan menjaga derajat kesehatan berbagai

lapisan masyarakat.

B. Bonus Demografi

Bonus demografi adalah bonus atau peluang (window of opportunity) yang

dinikmati suatu negara sebagai akibat dari besarnya proporsi penduduk produktif

(rentang usia15-64 tahun) dalam evolusi kependudukan yang dialaminya. Di Indonesia

fenomena ini terjadi karena proses transisi demografi yang berkembang sejak beberapa

tahun lalu dipercepat oleh keberhasilan kita menurunkan tingkat fertilitas, meningkatkan

kualitas kesehatan dan suksesnya program-program pembangunan sejak era Orde Baru

hingga sekarang.

6

Pada tahun 2020, Indonesia diperkirakan mengalami fase bonus demografi.

Artinya jumlah penduduk usia produktif mencapai 2/3 dari total jumlah penduduk.

Pemerintah harus dapat memanfaatkan kesempatan bonus demografi ini dengan baik.

Angka ketergantungan penduduk (Dependency ratio) cenderung lebih rendah. Suplai

tenaga kerja yang stabil diharapkan bisa memenuhi kebutuhan pasar kerja.

Keberhasilan program seperti KB selama berpuluh tahun sebelumnya telah

mampu menggeser penduduk berusiadi bawah 15 tahun (anak-anak dan remaja) yang

awalnya besar di bagian bawah piramida penduduk Indonesia ke penduduk berusia lebih

tua (produktif 15-64 tahun). Struktur piramida yang “menggembung di tengah”

semacam ini menguntungkan, karena dengan demikian beban ketergantungan atau

dukungan ekonomi yang harus diberikan oleh penduduk usia produktif kepada

penduduk usia anak-anak (di bawah 15 tahun) dan tua (di atas 64 tahun) menjadi lebih

ringan.

Maka kemudian muncul parameter yang disebut “rasio ketergantungan” yaitu

rasio yang menunjukkan perbandingan antara kelompok usia produktif dan non

produktif. Rasio ini sekaligus menggambarkan berapa banyak orang usia non produktif

yang hidupnya harus ditanggung oleh kelompok usia produktif. Semakin rendah angka

rasio ketergantungan suatu daerah, maka daerah tersebut makin berpeluang

mendapatkan bonus demografi. Hal ini tentunya harus dibarengi dengan SDM yang

kualitas sebagaimana tercermin dari aspek pendidikan, kesehatan dan ekonomi.

C. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap derajat Kesehatan

Sebenarnya banyak dijumpai faktor-faktor penyebab dari penyakit seperti

diare,infeksi saluran pernapasan akut (ISPA),malariadan infeksi menular seksual (IMS)

termasuk HIV/AIDS yang dapat dicegah datangnya apabila masyarakat mengetahui dan

mau memperhatikan faktor penyebabnya. Selain itu menurut Raharjo dan Gavin (2003)

menyatakan bahwa juga harus memperhatikan pengaruh yang ditimbulkan dari upaya

pelayanan kesehatan yang ditangani baik secara individu, keluarga,masyarakat,

kabupaten, nasional atau bahkan internasional.

Secaragaris-garis besar ada tiga faktor yang mempengaruhi aspek fisik, sosial

dan mental dari semua individu, baik dalam keluarga, kelompok maupun masyarakat

yaitu lingkungan, budaya dan ekonomi (Ananta, 1993).

7

1. Lingkungan

Rumah beserta lingkungannya yang berfungsi sebagai tempat tinggal,

merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia. Lingkungan yang dimaksud dengan

disini mencakup:

- Sarana sanitasi, sarana pembuangan air limbah (SPAL), air bersih dan sampah

- Kehidupan binatang penular penyakit

- Kepadatan penduduk serta kemampuan baca-tulis penduduk

Kualitas perumahan serta lingkungannya berpengaruh langsung terhadap

kesehatan manusia. Perumahan dan lingkungan yang sehat dapat melindungi

masyarakat dari gangguan iklim dan makluk hidup lainnya sehingga kemungkinan

menimbulkan bahaya kesehatan dan penyakit infeksi berkurang.

Lingkungan secara tidak langsung juga mempengaruhi kesehatan manusia

melalui pengaruh sikap dan perilaku

manusia dan kegiatan lintas sektor.

Misalnya pembuatan bendungan, proyek

irigasi, pembukaan hutan, degradasi tanah

atau lahan, limbah pabrik dan

perang.Selain itu juga bencana alam,

seperti banjir, gempa bumi, letusan

gunung api, angin puyuh, menimbulkan pertanyaan penting mengenai sikap manusia

dan daya sosial.

Cuaca juga bisa sangat mempengaruhi kondisi kesehatan manusia. Penyakit,

produksi pangan dan ketersediaan air bersih dipengaruhi oleh kondisi cuaca/ iklim,

curah hujan, tanah, dan penanman. Penyakit-penyakit seperti diare,batuk, malaria,

dan demam berdarah akan berjangkit lebih cepat dimusim hujan demikian pula

daerah hutan,berawaatau daerah pantai juga akan mempengaruhi kondisi kesehatan

masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

2. Perilaku hidup sehat

Semua orang mempunyai perilaku hidup sehat sendiri. Karena semua

mempunyai pertimbangan sendiri untuk melakukan sesuatu atau tidak. Perilaku itu

sangat terkait dengan sikap pribadi dan kebiasaan utama dalam keluarga dan

masyarakat, yang dipelajari dari orang tua dan lingkungan sosialnya berdasarkan

budaya dan adat setempat.

8

Masyarakat merupakan kumpulan atas bermacam orang dengan beragam sifat

dan perilaku. Berkaitan dengan aspek kesehatan masyarakat ada orang yang

baik(mendukung) dan adapula orang yang kurang baik (bertentangan). Apabila kita

bisa memahami karakteristik dan perilaku hidup masyarakat, maka akan lebih

mudah bagi kita untuk membantu dalam berperilaku hidup bersih dan sehat.

3. Ekonomi

Faktor ekonomi banyak berpengaruh terhadap kondisi kesehatan pada individu

dan masyarakat. Banyak anggota masyarakat yang tidak memperhatikan aspek

kesehatan mereka karena harus mencurahkan waktu dan tenaga untuk pemenuhan

kebutuhan ekonomi keluarganya. Hal ini biasa terjadi pada kelompok masyarakat

yang tingkat ekonominya rendah. Sebagai contoh, ketika salah satu anggota keluarga

mengalami sakit (yang tidak terlalu parah), mereka dihadapkan pada pilihan pergi

berobat atau menggunakan uangnya untuk kebutuhan ekonomi? Sering terjadi,

sebelum menderita sakit yang sangat parah mereka tidak pergi berobat karena alasan

ekonomi.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa ketika kondisi ekonomi masyarakat

membaik, kondisi kesehatan masyarakat juga akan membaik dengan sendirinya,

karena masyarakat memiliki uang untuk menjaga kondisi kesehatan mereka (Alam,

1993 dan Hamzah. 1999). Barangkali pendapat tersebut ada benarnya, tetapi tidak

seluruhnya benar. Kondisi ekonomi yang baik tanpa disertai dengan kesadaran dan

pemahaman yang benar mengenai kesehatan bisa menimbulkan persepsi dan

perilaku yang keliru. Demikian pula sebaliknya meskipun secara ekonomi

masyarakat tergolong rendah bukan berarti bahwa kesehatan juga rendah.

Kesadaran, pemahaman yang benar, dan perilaku hidup besih dan sehat akan

menjaga kesehatan masyarakat. Untuk itu peran dari kader kesehatan pendamping

masyarakat menjadi penting dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

9

BAB 3.HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Keadaan Umum Geografis

Provinsi Papua terletak di wilayah paling timur Indonesia, berbatasan darat

dengan negara Papua New Guinea (PNG) di sebelah Timur dan Provinsi Papua Barat di

sebelah barat; berbatasan laut Arafura dan Australia disebelah selatan serta Lautan

Pasifik di sebelah utara. Luas wilayah daratan Provinsi Papua mencapai 316.908 km²

atau 16,4 persen dari luas daratan Indonesia.

Topografi wilayah Provinsi Papua merupakan pegunungan tinggi bergelombang

di bagian tengah, serta dataran rendah dan berawa-rawa di wilayah selatan dan sebagian

utara.Tutupan lahan masih berupa hutan

meliputi 95,5 persen, dengan curah

hujan yang cukup tinggi berkisar 1.500-

4.000 mm/tahun. Di wilayah bagian

utara hari hujan dapat terjadi sepanjang

tahun, sedang pada bagian selatan

(Kabupaten Merauke dan sekitarnya)

musim kering dapat terjadi lebih dari 6 bulan.Di Provinsi Papua terdapat 3 Satuan

Wilayah Sungai (SWS) yaitu Mamberamo, Digul Bikuma dan Eilanden- Edera yang

masing-masing mempunyai Daerah Aliran Sungai (DAS) .

Provinsi Papua kaya akan fauna yang khas dan jarang dijumpai di daerah lain di

Indonesia, karena memiliki lebih dari 650 jenis burung-burung, dimana 545 diantaranya

adalah asli endemik Papua serta pulau-pulau disekitarnya. Beberapa jenis burung

diantaranya adalah burung Cenderawasih, Kasuari, Mambruk, Kakatua dan lain-lain.

Habitat terkaya adalah pada hutan dataran rendah, namun semakin tinggi suatu tempat

keanekaragaman jenis semakin berkurang.

Untuk melindungi kekayaan sumberdaya hayati di Provinsi Papua terdapat dua

(2) Taman Nasional (Lorenz dan Wasur), 5 Cagar Alam dan 9 Suaka Margasatwa yang

telah ditetapkan secara nasional. Namun bagi kawasan lindung lainya dalam rangka

menjaga keseimbangan daya dukung di wilayah bawahnya, ditetapkan dengan peraturan

daerah.Kawasan budidaya terletak diwilayah yang mempunyai potensi untuk

dikembangkan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tidak untuk masa kini tapi

juga untuk masa yang akan datang tanpa merusak kawasan lindung dan menggangu

keseimbangan lingkungan.

10

B. Keadaan Umum Demografi

Di Provinsi Papua, jumlah penduduk berdasarkan hasil Sensus Penduduk 2010

sebanyak 2.851.999 orang, yang terdiri atas 1.510.285 laki-laki (52,96%) dan 1.341.714

perempuan (47,04%). Penduduk asli Papua terdiri sekitar 250 etnis dan bahasa yang

menunjukkan beragamnya karakter dan sosial budaya dan banyak bermukim di

pedalaman, khususnya di lembah Baliem di Pegunungan Tengah yang mencapai ±35

persen, sedangkan penduduk pendatang mencapai 50 persen yang umumnya bermukim

di wilayah pesisir/kota di dataran rendah pedalaman.

Dengan luas wilayah ± 317.062 kilometer², maka rata-rata tingkat kepadatan

penduduk di Provinsi Papua sebanyak 9 orang per kilometer². Kota Jayapura memiliki

tingkat kepadatan penduduk paling tinggi (278 orang per kilometer²), sedangkan

Mamberano Raya merupakan kabupaten dengan tingkat kepadatan penduduk paling

rendah (1 orang per kilometer²).

Tabel-1

Penduduk menurut Kabupaten/Kota dan Jenis Kelamin di Provinsi Papua

Tahun 2010 No Kabupaten/

kota

Jumlah Penduduk Sex Ratio

(SR) Laki-laki Perempuan L + P

1 Merauke 102.424 93.153 195.577 110

2 Jayawijaya 102.581 96.976 199.557 106

3 Jayapura 60.672 53.843 114.515 113

4 Nabire 69.545 60.769 130.314 114

5 Kepulauan Yapen 42.685 40.908 83.593 104

6 Biak Numfor 65.259 60.866 126.125 107

7 Paniai 76.892 72.201 149.093 106

8 Puncak Jaya 55.232 46.674 101.906 118

9 Mimika 103.809 79.824 183.633 130

10 Boven Digoel 30.306 25.516 55.822 119

11 Mappi 42.803 38.978 81.781 110

12 Asmat 40.318 36.735 77.053 110

13 Yahukimo 87.587 79.129 166.716 111

14 Pegunungan Bintang 34.792 30.607 65.399 114

15 Tolikara 61.697 52.543 114.240 117

16 Sarmi 18.409 14.854 33.263 124

17 Keerom 26.522 22.005 48.527 121

18 Waropen 13.346 11.642 24.988 115

19 Supiori 8.334 7.527 15.861 111

20 Mamberamo Raya 9.769 8.655 18.424 113

21 Nduga 43.533 35.987 79.520 121

22 Lanny Jaya 80.528 70.856 151.384 114

23 Mamberamo Tengah 23.376 19.890 43.266 118

24 Yalimo 27.079 24.058 51.137 113

25 Puncak 49.308 44.055 93.363 112

26 Dogiyai 42.018 41.306 83.324 102

27 Intan Jaya 19.920 18.924 38.844 105

28 Deiyai 32.018 30.980 62.998 103

29 KotaJayapura 139.523 122.253 261.776 114

Papua 1.510.285 1.341.714 2.851.999 113

Sumber: BPS Papua, 2010

11

Sex Ratio (SR) penduduk Provinsi Papua sebesar 113, yang artinya jumlah

penduduk laki-laki 13 persen lebih banyak dibandingkan jumlah penduduk perempuan.

Sex Ratio terbesar terdapat pada tiga (3) kabupaten yakni Kabupaten Mimika (130),

Sarmi (124) dan Nduga (121), sedangkan yang terkecil terdapat di Kabupaten Deiyai

(102) dan Dogiyai (103). Dengan demikian jumlah penduduk laki-laki yang lebih

banyak dari perempuan terjadi merata di seluruh kabupaten/kota di Provinsi Papua.

Laju pertumbuhan penduduk Provinsi Papua per tahun selama sepuluh tahun

terakhir yakni dari tahun 2000-2010 mencapai 5,39 persen. Laju pertumbuhan penduduk

Kabupaten Tolikara adalah yang tertinggi dibanding kabupaten/kota lainnya di

Provinsi Papua yakni mencapai 12,59 persen, sedangkan laju pertumbuhan penduduk

terendah di Kabupaten Pegunungan Bintang (2,48%). Jumlah penduduk yang begitu

besar dan terus bertambah setiap tahun tidak diimbangi dengan pemerataan penyebaran

penduduk.

Penyebaran penduduk di Provinsi Papua terkonsentrasi di Kota Jayapura

(9,18%), Kabupaten Jayawijaya (7,00%), Merauke (6,86%), Mimika (6,44%) sedangkan

kabupaten lainnya di bawah 6 persen. Kabupaten dengan jumlah penduduk paling

sedikit adalah kabupaten Waropen (24.988 orang), Mamberamo Raya (18.424 orang)

dan kabupaten Supiori (15.861 orang). Sedangkan kabupaten/kota yang paling banyak

penduduknya adalah Kota Jayapura (261.776 orang), Kabupaten Jayawijaya (199.557

orang) dan Kabupaten Merauke (195.577 orang).

Jumlah Penduduk Papua menurut topografi pada tahun 2010 sesuai hasil Sensus

Penduduk dibagi menjadi 3 wilayah yaitu:

1. Wilayah Pegunungan (Kabupaten Jayawijaya, Paniai, Puncak Jaya, Yahukimo,

Pegunungan Bintang, Tolikara, Nduga, Lanny Jaya, Mamberamo Tengah, Yalimo,

Puncak, Dogiyai, Intan Jaya dan Kabupaten Deiyai) dengan jumlah Penduduk

sebesar 1.392.970 jiwa (49,16%), terdiri penduduk laki-laki berjumlah 736.312 jiwa

(52,86%) danperempuan berjumlah 656.658 jiwa (47,14%).

2. Wilayah Dataran Sulit(Kabupaten Boven Digul, Mappi, Asmat, Waropen, Supiori,

dan kabupaten Mamberamo Raya) dengan jumlah penduduk sebesar 272.897

(9,63%), terdiri dari laki-laki berjumlah 144.635 jiwa (52,99%), dan perempuan

berjumlah 128.262 jiwa (47,01%).

3. Wilayah Dataran Mudah(Kabupaten Merauke, Jayapura, Nabire, Kepulauan Yapen,

Biak Numfor, Mimika, Sarmi, Keerom dan Kota Jayapura) dengan jumlah penduduk

12

sebesar 1.167.514 jiwa (41,21%), terdiri dari penduduk laki-laki berjumlah 624.936

jiwa (53,52%), dan perempuan berjumlah 542.578 jiwa (46,47%).

Berdasarkan umur penduduk, diketahui Rasio Ketergantungan di Provinsi Papua

sebesar 56,37 persen. Dimana rasio ketergantungan usia muda sebesar 54,87 persen

(dibulatkan menjadi 55) dan rasio ketergantungan usia tua sebesar 1,50 persen

(dibulatkan menjadi 2). Artinya setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun)

menanggung sekitar 55 anak usia 0-14 tahun dan 2 orang lanjut usia (65 tahun ke atas).

Fakta ini menunjukkan bahwa Provinsi Papua masih membutuhkan waktu lagi untuk

menurunkan 5 point sehingga dapat masuk dalam fase bonus demografi. Struktur

penduduk Provinsi Papua menurut umur sebagai berikut:

Tabel-2

Jumlah penduduk menurut Umur di Provinsi Papua

Tahun 2010

No Kelompok Umur

(Tahun)

Jenis Kelamin Total

Laki-laki Perempuan

1 0 - 4 165.138 148.192 313.330

2 5 - 9 185.778 161.548 347.326

3 10 - 14 182.159 151.455 333.614

4 15 - 19 148.206 127.676 275.882

5 20 - 24 129.639 129.479 259.118

6 25 - 29 135.316 142.544 277.860

7 30 - 34 138.195 135.356 273.551

8 35 - 39 126.307 116.288 242.595

9 40 - 44 107.834 83.530 191.364

10 45 - 49 78.685 56.828 135.513

11 50 - 54 48.886 33.077 81.963

12 55 - 59 27.578 18.789 46.367

13 60 - 64 16.499 11.207 27.706

14 65 - 69 8.179 5.639 13.818

15 70 - 74 4.199 3.145 7.344

16 75+ 3.285 2.745 6.030

Papua 1.505.883 1.327.498 2.833.381 Sumber: BPS Papua, 2010

Gambar 1.1 tentang piramida penduduk Provinsi Papua tahun 2010 merupakan

gambaran struktur penduduk yang terdiri dari struktur penduduk muda, dewasa dan tua.

Struktur penduduk Provinsi Papua termasuk struktur penduduk muda. Hal ini dapat

diketahui dari banyaknya penduduk usia muda (0-14 tahun). Bentuk piramida berbentuk

lonceng, dasar piramida sedikit menyempit kemudian melebar dan sedikit menyempit

pada bagian tengah dengan puncak yang runcing. Struktur penduduk ini menjadi dasar

bagi kebijakan kependudukan, sosial budaya dan ekonomi.

13

Gambar 1

Piramida Penduduk Provinsi Papua Tahun 2010

Permasalahan kependudukan di Provinsi Papua sangat berbeda dengan

permasalahan pokok kependudukan nasional yang berkisar pada persoalan kepadatan

dan pertumbuhan penduduk, dengan wilayah yang sangat luas sementara jumlah

penduduk yang sedikit menyebabkan tingkat kepadatan yang sangat rendah.

Permasalahan kependudukan di Papua lebih dihadapkan pada masalah penyebaran

penduduk antara kota-kampung dan pola tinggal yang tersebar dalam kampung-

kampung kecil yang terpisah sangat jauh serta pengaturan jarak kelahiran dengan TFR

(total fertility rate) yang masih tinggi.

C. Situasi Derajat Kesehatan

Dalam menyongsong Bonus Demografi di Provinsi Papua, maka pelayanan

kesehatan prima sebagai upaya mempersiapkan sumber daya manusia berkualitas harus

terpenuhi secara kuantitas dan berkualitas serta

berkelanjutan. Laporan BPS tentang Indeks

Pembangunan Manusia (IPM) Provinsi Papua

tahun 2012 yang mencapai 65,68 salah satu

vaeiabel utama adalah angka harapan hidup

yang mencapai 68,85 tahun. Kondisi ini

memberikan gambaran bahwa penduduk yang

lahir saat ini akan mencapai umur harapan hidup tersebut.Namun apakah umur harapan

14

tersebut dapat tercapai sebagai dampak dari tingkat produktifas usia produktif sangat

ditentukan oleh derajat kesehatan yang menggambarkan kualitas hidup penduduk di

Provinsi Papua.

1. Mortalitas

a. Angka Kematian Bayi (AKB)

Data angka kematian bayi yang mendekati akurat saat ini hanya bisa

diperoleh melalui survei, karena sebagian besar kematian terjadi di rumah

apalagi di Provinsi Papua yang akses transportasi dan informasi merupakan

kendala utama karena kondisi obyektif geografis. Sementara data kematian dari

fasilitas kesehatan hanya memperlihatkan kasus rujukan dan kasus yang

tempatnya mudah untuk akses pelayanan kesehatan, sedangkan yang tidak

terakses pelayanan kesehatan tidak tercatat. Hal ini menyebabkan Provinsi Papua

merupakan daerah yang sulit untuk akses pelayanan kesehatan, sehingga kalau

angka kematian berdasarkan laporan pasti mempunyai angka bias yang tinggi.

Tabel-3

Angka Kematian Bayi per 1.000 Kelahiran Hidup

Provinsi Papua Tahun 2002, 2007 dan 2012

No Tahun Angka Kematian Bayi

per 1.000 KH

Keterangan

1 2002 56 Target MDGs 2015 adalah 23

per 1.000 KH 2 2007 41

3 2012 54 Sumber: SDKI 2002, SDKI 2007 dan 2012

Untuk mencapai sasaran Millenium Development Goals (MDGs) Angka

Kematian Bayi (AKB) menjadi 23 per 1.000 KH pada tahun 2015, maka perlu

upaya percepatan yang lebih besar dan kerja keras karena kondisi saat ini

berdasarkan hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwaAKB di Provinsi Papua

sebesar 54 per 1.000 kelahiran hidup, terutama di daerah pedesaan yang

mencapai 65 per 1.000 kelahiran hidup.

b. Angka Kematian Balita (AKABA)

Angka Kematian Balitaadalah jumlah anak yang meninggal sebelum

mencapai usia 5 tahun yang dinyatakan sebagai angka per 1.000 kelahiran hidup.

AKABA merepresentasikan peluang terjadinya kematian pada fase antara

kelahiran dan sebelum 5 tahun. Nilai normative AKABAdalam Millenium

Development Goals (MDGs), yaitu sangat tinggi (>140), tinggi (71-140), sedang

(20-70) dan rendah (<20). Dalam SDKI tahun 2012, mengestimasi nilai AKABA

di Provinsi Papua tahun 2012 sebesar 115 per 1.000 kelahiran hidup.

15

c. Angka Kematian Ibu (AKI)

Angka kematian ibu merupakan salah satu indikator dalam pelaksanaan

pembangunan bidang kesehatan, selain itu juga sebagai indikator kesejahteraan

dan derajat kesehatan masyarakat. Angka kematian Ibu di Papua menurut angka

SDKI 2007, angka kematian ibu Provinsi Papua sebesar 362 per 100.000

kelahiran hidup, sedangkan nasional sebesar 228 per 100.000 kelahiran hidup.

Gambar-2

Untuk mencapai sasaran Millenium Development Goals (MDGs) yaitu

Angka Kematian Ibu (AKI) sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun

2015, perlu upaya percepatan yang lebih besar dan kerja keras termasuk

pendekatan program yang kontekstual. Berbagai laporan menyebutkan bahwa

penyebab kematian ibu sebagai berikut:

- Terlambat ambil keputusan untuk membawa ibu hamil (bumil) yang mau

melahirkan ke layanan kesehatan

- Terlambat tiba di layanan kesehatan karena akses transportasi yang terbatas

- Terlambat ditolong di layanan kesehatan karena keterbatasan fasilitas

layanan, termasuk ketersediaan petugas

- Kematian ibu hamil penyebabnya karena perdarahan, infeksi, eklamsi dan

lain-lain

- Kematian ibu melahirkan penyebabnya karena perdarahan dan lain-lain

- Kematian ibu nifas(bufas) penyebabnya karena infeksi

16

d. Usia Harapan Hidup (UHH)

Usia harapan hidup juga digunakan untuk menilai derajat kesehatan dan

kualitas hidup masyarakat baik kabupaten/kota, provinsi bahkan negara. Umur

harapan hidup juga menjadi salah satu indikator dalam mengukur Indeks

Pembangunan Manusia (IPM). Adanya perbaikan dalam pelayanan kesehatan

dapat diindikasikan dengan adanya peningkatan angka harapan hidup. Angka

Usia Harapan Hidup di Provinsi Papua pada tahun 2012 sebesar 68,85 tahun

meningkat 0,65 tahun bila dibandingkan tahun 2013 (68,20 tahun).

Gambar 3

Umur Harapan Hidup (UHH)Provinsi Papua dan Nasional

Tahun 2002-2012

Sumber : BPS Papua 2010

2. Morbiditas

a. Penyakit Malaria

Penegakan diagnosa penderita secara cepat dan pengobatan yang cepat

dan tepat merupakan salah satu upaya penting dalam rangka pemberantasan

penyakit malaria disamping pengendalian

vektor potensial. Untuk di wilayah Papua

yang merupakan daerah endemi malaria,

pemberantasan malaria dilakukan dengan

model pasif case deteksi atau menunggu

pasien datang ke fasilitas pelayanan

kesehatan. Situasi penyakit malaria di

Provinsi Papua selama tahun 2003-2010 sebagai berikut:

65,2

67,9 68,168,3

68,8

17

Gambar 4

Situasi Penyakit Malaria di Provinsi Papua

Tahun 2003 – 2011

Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Papua, 2012

Keterangan:- Annual Malaria Incidence (AMI)/angka klinis malaria per 1.000 penduduk

- Annual Parasite Incidence (API)/angka penderita malaria per 1.000 penduduk

Jumlah pemeriksaan slide darah malaria yang diperiksa dari tahun ke

tahun menunjukkan peningkatan hal ini sejalan dengan pedoman Kemenkes RI

yang mengharuskan konfirmasi laboratorium, jumlah slide darah malaria yang

diperiksa adalah seperti gambar di bawah ini.

Gambar 5

Jumlah Penderita Klinis Malaria, Slide Darah Malaria diperiksa dan

Positif Malaria di Provinsi Papua

Tahun 2004-2011

Sumber: Profil Kesehatan Provinsi Papua, 2012

b. Demam Berdarah Dengue (DBD)

Rerata prevalensi DBD di Provinsi Papua berdasarkan diagnosis gejala

sebesar 1,1%, sementara berdasarkan diagnosa tenaga kesehatan rata-rata

2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

AMI 247 235 200 133 149 101 169 164 169

API 51 71 65 43 61 48 56 64 58

2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011

Klinis 432.452 369.532 277.250 303.720 221.360 271.941 389.069 493.095

Diperiksa 170.237 205.992 180.911 216.044 212.641 215.176 371.798 437.392

Positif 97.973 120.669 90.365 124.311 104.744 85.060 141.672 168.537

18

Provinsi Papua lebih rendah, yaitu 0,1%. Tertinggi ditemukan di Kabpaten

Boven Digoel yaitu 4,3% dan Jayawijaya 3,4%.

c. Diare

Data riset menunjukkan bahwa prevalensi diare sebesar 10,8%

berdasarkan diagnosis gejala dan 7,8% berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan.

Prevalensi diare tertinggi di Kabupaten Pegunungan Bintang sebesar 32,5%.

d. HIV/AIDS

Sejak tahun 1992 ditemukan di Merauke, perkembangan kasus HIV dan

AIDS terus meningkat dengan ditemukannya berbagai kasus terutama melalui

konseling dan test sukarela (VCT). Pada tahun 2006 hasil STHP, prevelensi HIV

di Provinsi Papua 2,4 dan turun

menjadi 2,3 pada tahun 2013.Sejak

munculnya kesadaran masyarakat

untuk melakukan VCT, maka dalam

lima tahun terakhir semakin banyak

kasus baru ditemukan (fenomena

gunung es) dan perkembangan kasus

kumulatif dari tahun 2003-2011tercatat sebagai berikut:

Gambar 6

Jumlah kasus HIV/AIDS menurut tahun di Provinsi Papua (2009 -2013)

Sumber: KPA Provinsi Papua, 2013

e. ISPA

Data riset menunjukkan bahwa prevalensi ISPA tertinggi terutama terjadi

di wilayah pegunungan tengah Papua, dimana berdasarkan diagnosis gejala

ditemukan di Kabupaten Puncak Jaya sebesar 54,7%, Pegunungan Bintang

2009 2010 2011 2012 2013

AIDS 642 888 923 862 9862

HIV 1251 1352 1479 1488 6188

19

sebesar 59,3% dan terendah di kabupaten Jayapura sebesar 12,5%, sementara

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan prevalensi ISPA tertinggi di Kabupaten

Jayawijaya sebesar 36,5% dan terendah di Kabupaten Kepulauan Yapen sebesar

5,5%.

f. Pneumonia

Data riset menunjukkan prevalensi pnemonia berdasarkan diagnosis

gejala tertinggi ditemukan di Kabupaten Pegunungan Bintang sebesar 17,3% dan

terendah di Kabupaten Jayapura sebesar 0,9%. Prevalensi pnemonia berdasarkan

diagnosis tenaga kesehatan tertinggi ditemukan di kabupaten Jayawijaya sebesar

11,1% dan terendah di Kabupaten Paniai sebesar 0,4%.

Tabel 4

Prevalensi ISPA, Pnemonia, TBC dan Campak berdasarkan

Kabupaten/Kota di Provinsi Papua

Sumber : Riskesdas, Depkes 2008

g. Penyakit TB Paru

Angka Insidens TB Paru tahun 2010 di Provinsi Papua sebesar 82 per

100.000 penduduk, sedangkan angka prevalensi TB paru sebesar 89 per 100.000

penduduk (menggambar Data TB di 16 Kabupaten/Kota sedangkan pembaginya

semua penduduk Papua 2010 ).

20

Data riset memperlihatkan bahwa prevalensi penyakit tuberkulosis

tertinggi ditemukan berdasarkan diagnosis gejala di Kabupaten Pegunungan

Bintang sebesar 7,0% dan terendah di Kabupaten Waropen (0%), sedang

berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi ditemukan di Kabupaten

Tolikara sebesar 4,7% dan Mappi sebesar 2,1%.

h. Penyakit Campak

Prevalensi penyakit campak menurut data riset, berdasarkan gejala klinis

di beberapa kabupaten masih cukup tinggi, Kabupaten Boven Digoel sebesar

6,4%, Pegunungan Bintang sebesar 4,3%, Jayawijaya sebesar 4,0% dan Mappi

sebesar 3,9%. Sedangkan menurut diagnosa tenaga kesehatan tertinggi

ditemukan di Kota Jayapura sebesar 12%, kemudian Kabupaten Boven Digoel

sebesar 5,7% dan Jayawijaya sebesar 2,8%. Kabupaten Boven Digoel memiliki

prevalensi penyakit campak cukup tinggi baik menurut gejala kilinis maupun

diagnosis tenaga kesehatan disamping Kota Jayapura.

3. Status Gizi

Masalah gizi di Provinsi Papua menjadi salah satu persoalan yang harus

ditangani secara optimal melalui promosi kesehatan, karena sebagian besar

masyarakat (terutama di kampung dan pedalaman) tidak menjadikan sebagai

masalah terkait dengan konsep dan persepsi masyarakat tentang sehat dan penyakit.

Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (riskesdas) tahun 2008 prevalensi

status gizi balita (BB/U) di Provinsi Papua adalah gizi buruk 7,1% dan gizi kurang

14,5%. Sebanyak 10 kabupaten masih memiliki prevalensi gizi buruk di atas

prevalensi gizi buruk di atas prevalensi provinsi dan 8 kabupaten lainnya sudah

berada di bawah prevalensi provinsi, yaitu Kabupaten Jayapura, Nabire, Kepulauan

Yapen, Biak Numfor, Mappi, Tolikara, Keerom dan Kota Jayapura. Terdapat 4

kabupaten dengan prevalensi melebihi angka provinsi, yaitu Kabupaten Jayawijaya,

Yahukimo, Sarmi dan Kabupaten Waropen.

Sedangkan prevalensi status gizi balita (BB/U) di Provinsi Papua

berdasarkan riskesdas 2010 sebanyak 6,3% gizi buruk dan 10,0% gizi kurang.

21

Tabel 5

Persentase Balita menurut Status Gizi (BB/U)* dan Kabupaten/Kota

di Provinsi Papua

Sumber : Riskesdas, Depkes 2008

Prevalensi status gizi balita (TB/U) di Provinsi Papua berdasarkan riskesdas

2008 adalah sebagian besar (36,2%) tergolong pendek, dan berdasarkan riskesdas 2010

menurun menjadi 15,0% . Prevalensi status gizi balita (BB/TB) berdasarkan riskesdas

2008 Prevalensi balita sangat kurus yaitu 6,0%. Dan berdasarkan riskesdas 2010

prevalensi balita sangat kurus meningkat menjadi 8,2%.

Gambar 7

Prevalensi Status Gizi Balita Provinsi Papua Tahun 2008 dan 2010

Berdasarkan BB/U, TB/U dan BB/TB

Sumber : Riskesdas 2008 dan Riskesdas 2010

Keterangan :

BB/U = Berat Badan per Umur (Katagori Gizi Buruk, Gizi Kurang, Gizi Baik dan Gizi Lebih)

TB/U = Tinggi Badan per Umur (Katagori Sangat Pendek, Pendek dan Normal)

BB/TB = Berat Badan per Tinggi Badan (Katagori Sangat Kurus, Kurus, Normal, dan Gemuk)

2008; Gz.Buruk; 6,6

2008; Gz. Kurang; 14,6

2008; Gz. Baik; 73,4

2008; Gz.Lebih; 5,3

2008; Sgt Pendek; 20,2 2008; Pendek; 17,4

2008; Normal; 62,3

2008; Sgt Kurus; 6,0 2008; Kurus; 7,0

2008; Normal; 77,1

2008; Gemuk; 10,5

2010; Gz.Buruk; 6,3

2010; Gz. Kurang; 10,0

2010; Gz. Baik; 78,4

2010; Gz.Lebih; 5,3

2010; Sgt Pendek; 13,3 2010; Pendek; 15,0

2010; Normal; 71,7

2010; Sgt Kurus; 8,2 2010; Kurus; 5,7

2010; Normal; 75,5

2010; Gemuk; 10,7

2008 2010

22

Pemberian kapsul vitamin A kepada Balita, diberikan setahun dua kali yaitu

pada bulan Februari dan Agustus sejak anak berusia enam bulan. Kapsul merah dosis

100.000 IU diberikan kepada bayi 6-11 bulan dan kapsul biru dosis 200.000 IU untuk

anak umur 12-59 bulan.

Berdasarkan riset terhadap anak Balita yang mendapatkan kapsul vitamin A

pada umur 6-59 bulan yang menerima Kapsul

vitamin Adi Provinsi Papua berdasarkan riset

tahun 2008 sebanyak 59,6% dan riset tahun

2010 sebanyak 69,8%. Cakupan terbanyak

di Kabupaten Keerom sebanyak 96,7%,

Mappi 83,3% dan kabupaten lainnya

berkisar antara 5,5% hingga 82,4%, dan

terendah di Kabupaten Yahukimo sebesar 5,5% dan Kabupaten Paniai 16,0%.

Tabel 6

Sebaran Anak umur 6-59 bulan yang menerima Kapsul vitamin A

Menurut Kabupaten/Kota di Provinsi Papua No Kota/Kabupaten Menerima Kapsul Vitamin A

1 Merauke 69,2

2 Jayawijaya 40,0

3 Jayapura 84,1

4 Nabire 67,5

5 Kepulauan Yapen 72,0

6 Biak Numfor 71,4

7 Paniai 16,0

8 Puncak Jaya 70,1

9 Mimika 64,8

10 Boven Digul 44,4

11 Mappi 83,3

12 Asmat 63,1

13 Yahukimo 5,50

14 Pegunungan Bintang 59,2

15 Tolikara 28,6

16 Sarmi 58,8

17 Keerom 96,7

18 Waropen 61,1

19 Supiori 82,4

20 Kota Jayapura 71,3

Provinsi Papua 59,6 Sumber : Riskesdas, Depkes 2008

D. Aspek kesehatan dan peluang Bonus Demografi

Di Provinsi Papua, berbagai kasus penyakit infeksi dan menular sebagai

indikator yang secara tidak langsung mengambarkan kualitas sumber daya manusia,

baik karena perilaku kesehatan, konsisi sosial-ekonomi-budaya dan faktor kemiskinan

23

lainnya. Provinsi Papua sebagai daerah endemi malaria kasusnya cukup tinggi, dimana

dari 493.090 kasus gejala klinis 88,7 persen dilakukan pemeriksaan darah menunjukkan

bahwa 38,5 persen dinyatakan positif. Kondisi ini tidak jauh berbeda dengan kejadian

kasus ISPA, dimana hasil diagnosa terhadap gejala terutama terjadi di kabupaten Puncak

Jaya (54,7%), sedangkan prevalensi tertinggi (36,5%) terlaporkan di kabupaten

Jayawijaya dan khusus kasus pneumonia terutama di kabupaten Pegunungan Bintang

(17,3%).

Konsep masyarakat tentang pola dan kebiasaan makan dan sanitasi yang

berdampak kejadian gizi buruk yang mencapai 7,1 persen dan gizi kurang 14,5 persen.

Hal ini sangat terkait dengan kondisi lingkungan dan dipengaruhi pola hidup masyarakat

yang memiliki akses terbatas terhadap berbagai layanan kesehatan. Fakta ini

ditunjukkan melalui rendahnya pemanfaatan tenaga medis, terutama dalam persalinan

dan melakukan pengobatan di fasilitas-fasilitas kesehatan yang disediakan pemerintah

dan swasta.

Khusus penyakit menular, terutama kasus HIV/AIDS kini merupakan masalah

terbesar yang dihadapi Provinsi Papua karena prevalensinya cukup tinggi pada tahun

2006 mencapai 2,4% dan turun menjadi 2,3% pada tahun 2013. Hal yang cukup

memprihatinkan sebagaimana laporan KPA Papua tahun 2013 bahwa 51 persen kasus

HIV/AIDS yang tercatat terjadi pada kelompok usia produktif 15-54 tahun. Tentu fakta

ini menjadi ancaman bagi Provinsi Papua karena penduduk kelompok usia produktif

yang seharusnya produktif justru menjadi beban keluarga, suku, kominitasnya dan

pemerintah, karena sudah terkapar kejadian HIV/AIDS. Walaupun jumlah penduduk

angkatan muda di Provinsi Papua pada 20 tahun mendatang diperkirakan meningkat

signifikan, namun bila derajat kesehatannya tidak optimal maka akan menjadi ancaman

bagi provinsi ini dalam mendapatkan bonus demografi.

Hal ini beralasan karena masih tingginya angka kematian bayi (AKB) mencapai

54/1.000 kelahiran, angka kematian balita (AKABA) mencapai 115/1.000 kelahiran dan

angka kematian ibu (AKI) mencapai 362/100.000. Situasi yang lain karena akibat

rendahnya kesadaran penduduk (terutama penduduk lokal) terhadap kesehatan karena

sangat dipengaruhi pola hidup dengan persepsi tentang sehat-sakit dan penyakit yang

masih tradisional menyebabkan masih rendahnya angka harapan hidup (AHH) di

Provinsi Papua yang pada tahun 2012 mencapai 69,12 tahun.

24

Dalam jangka panjang, peluang bonus demografi di Provinsi Papua yang

seharusnya dimanfaatkan sehingga penduduk usia produktif menjadi produktif dan tidak

menjadi beban bagi negara di masa mendatang

perlu dilakukan upaya yang konkrit berbasis

kontekstual dan berkelanjutan. Karena bonus

demografi yang merupakan suatu kondisi

ketika jumlah penduduk usia produktif (usia 15

hingga 64 tahun) di suatu wilayah jauh lebih

besar jika dibandingkan dengan penduduk usia

nonproduktif (usia nol hingga 14 tahun dan diatas 65 tahun) akan terjadi di Papua secara

maksimal apabila derejat kesehatan masyarakat lebih baik dari hari ini.

Hal ini menjadi penting karenapada tahun 2015 dengan angka ketergantungan

yang diperkirakan mencapai 47,5 maka Provinsi Papua akan mulai memasuki tahapan

awal bonus demografi dan mencapai puncaknya pada tahun 2030 (atau 15 tahun lagi),

sehingga momentun ini jangan sampai terlewatkan karena penanganan masalah

kesehatan belum optimal.

Gambar 8

Trend dinamika Bonus Demografi di Provinsi Papua

Untuk menggapai harapan tersebut, maka beberapa syarat yang harus dipenuhi

Provinsi Papua dalam pembangunan derajat kesehatan agar dapat menikmati bonus

demografi antara lain:

1. Penguatan pelayanan kesehatan dasar (preventif dan kuratif) yang berkualitas harus

dilakukan pada semua tingkatan pelayanan mulai dari kampung sampai pada rumah

sakit rujukan

Papua; 2010;

53,8

Papua; 2015;

47,5Papua; 2020;

43,7 Papua; 2025;

42Papua; 2030;

41,6

Papua; 2035;

42,2

25

2. Gizi masyarakat perlu diperbaiki dan terus ditingkatkan, dimulai dari ibu-ibu hamil

dan menyusui, sebagai upaya awal dan mendasar untuk meningkatkan kualitas

Sumber Daya Manusia (SDM) saat ini dan di masa mendatang.

3. Kesehatan masyarakat yang masih buruk perlu segera diperbaharui melalui program

perbaikan kesehatan terpadu pada berbagai tingkatan yang dilakukan berbarengan,

seperti perbaikan gizi, pendidikan kilat (crash program) penyuluhan perbaikan

kebersihan lingkungan dan lain-lain.

4. Dukungan pemerintah terhadap program kependudukan dan keluarga berencana

(KKB) yang mendorong brrkurangnya jumlah anak umur nol hingga 15 tahun,

sehingga anggaran yang semula disediakan untuk pelayanan kesehatan dan

pendidikan pada kelompok tersebut dapat dialihkan untuk peningkatan kualitas

SDM pada kelompok umur 15 tahun ke atas agar nantinya mampu bersaing meraih

kesempatan kerja baik di tingkat lokal, nasional maupun global.

Namun berbagai masalah dan tantangan yang dihadapi dalam peningkatan

derajat kesehatan masyarakat di Provinsi Papua, antara lain:

1. Hampir 40 persen Puskesmas tidak ada dokter, walaupun dilakukan program kontrak

dokter PTT namun waktu penugasannya sangat singkat

2. Pada 7 persen distrik tidak mempunyai puskesmas

3. Pada 46 persen kampung belum tersedia sarana pelayanan kesehatan dan tenaga

pelayanan kesehatan

4. Akses ke tempat pelayanan kesehatan terdekat membutuhkan waktu antara 1-23 jam

sebagai gambaran sulitnya akses masyarakat

5. Masih terdapat 26,65 persen puskesmas pembantu tidak ada tenaga kesehatan

6. Terdapat 41,4 persen pondok bersalin di kampung tidak ada bidan (kekurangan

2.023 bidan)

26

BAB IV. P E N U T U P

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil kajian terhadap derajat kesehatan masyarakat di Provinsi

Papua menunjukkan bahwa pencapaian pembangunan kesehatan mengalami

peningkatan bahkan beberapa program telah melampaui target yang ditentukan,

sebagai modal menyongsong bonus demografi. Namun terdapat beberapa indikator yang

seharusnya diturunkan namun belum memberikan capaian yang signifikan karena

penggunaan parameter baru, kurangnya sosialisasi program dengan parameter baru

tersebut dan banyaknya program yang harus dilaksanakan di tingkat puskesmas

walaupun memiliki keterbatasan tenaga.

Penanganan secara optimal dan harus segera dimulai merupakan langkah penting

yang harus dilakukan, sehingga dengan sumber daya manusia yang berkualitas karena

kesehatan yang terjamin dapat diandalkan sebagai modal. Prevalensi berbagai penyakit

infeksi yang masih tinggi di Papua sebagai cerminan rendahnya keadaan ekonomi

masyarakat karena terkait dengan kemiskinan (terutama akses layanan kesehatan

bermutu) harus dapat diatasi. Hal ini perlu dilakukan dengan pengembangan pelayanan

yang mobile karena kondisi obyektif geografis menyebabkan pemukiman penduduk

tidak terkonsentrasi.

B. Saran

1. Perlunya penataan manajemen data pelayanan kesehatan yang terupdate sehingga

memudahkan para pihak dalam mensinergikan berbagai program yang secara tidak

langsung mempunyai korelasi dengan pembangunan kesehatan

2. Perlunya dilakukan promosi tentang pentingnya pola hidup sehat bila dikaitkan

dengan konsep sehat-sakit dan penyakit masyarakat lokal yang belum memberikan

keuntungan dalam hal menjaga, pengobatan dan pemulihan kesehatan. Hal ini sangat

berdampak terhadap produktifitas masyarakat karena ketergantungan tehadap

pemahaman dimaksud yang mempegaruhi kualitas kesehatannya.

27

DAFTAR PUSTAKA

Alam, Dipo., Keterkaitan Mutu SDM dan IPTEK Dalam Strategi Pembangunannya,

(Majalah Dwibulanan Tantangan dan Pemukiman Perambah Hutan Perpektif,

No.5), Jakarta, 1993.

Ananta, Aris (Penyunting), Ciri Demografis, Kualitas Penduduk dan Pembangunan

Ekonomi, Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, Jakarta,

1993.

BKKBN., Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Provinsi Papua, Perwakilan

BKKBN Provinsi Papua, Jayapura, 2012.

Dinas Kesehatan 2012., Profil Kesehatan Provinsi Papua tahun 2012, Dinas Kesehatan

Provinsi Papua, Jayapura

Hamzah, Jabir., Perencanaan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Dalam Rangka

Kemandirian Wilayah, Pasca Sarjana Magister Manager, UNHAS-UNCEN,

Jayapura, 1999.

Jones Gavin dan Yulfita Raharjo., Penduduk, Lahan dan Laut (Tantangan pembangunan di

Indonesia Timur), Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1998.

Mc Chesney., Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Penerbit Insist Press, Yogyakarta,

2003.

Megawangi, Ratna, Kemiskinan Ditinjau Dari Aspek Gizi,Warta Demografi, No. 4, 1999,

Lembaga Demografi FE UI, Jakarta, 1993.

Parenta, Tadjuddin, Kemandirian Lokal Sebagai Alternatif Paradigma Pembangunan

Nasional dan Daerah, FE-UNCEN, 1999.

Rumbiak, M.C Membangun Keluarga Irian Yang Maju, Produktif dan Mandiri

Menyonsong Era Millenium Ketiga, Pusat Studi Kependudukan, Universitas

Cenderawasih, 1999.

Sumule Agus, Managemen Sumber Daya Alam Dalam Rangka Pengembangan Sumber

Daya Manusia Irian Jaya, Makalah, PTFI, Timika, 1998.