kajian hukum pidana islam terhadap putusan hakim...
TRANSCRIPT
KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM
TENTANG PEMALSUAN AKTA OTENTIK OLEH NOTARIS
(Analisis Putusan Mahkamah Agung Nomor 1568 K/Pid/2008)
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.sy.)
Oleh:
DWI CAHYO NUGROHO
NIM: 109045100006
K O N S E N T R A S I K E P I D A N A A N I S L A M
J U R U S A N J I N A Y A H S I Y A S A H
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2015/1436
x
ABSTRAK
Nama : Dwi Cahyo Nugroho
NIM :109045100006
Prodi/Konsentrasi: Jinayah Siyasah/Kepidanaan Islam
Judul Skripsi: Kajian Hukum Pidana Islam Terhadap Putusan Hakim Tentang
Pemalsuan Akta Otentik Oleh Notaris
Negara Republik Indonesia merupakan suatu negara hukum dimana
kekuasaan tunduk pada hukum. Prinsip negara hukum menjamin kepastian,
ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran keadilan. Dalam
mewujudkan hal tersebut memerlukan adanya alat bukti. Salah satu alat bukti tersebut
dapat berupa akta otentik. Kekuatan pembuktian akta notaris dalam perkara pidana,
merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang dan bernilai sempurna. Nilai
kesempurnaannya tidak dapat berdiri sendiri, tetapi memerlukan dukungan alat bukti
lain berupa akta notaris.
Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui perpektif hukum islam dan positif
terhadap tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh notaris dan menjelaskan analisis
putusan mahkamah agung.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Pendekatan
yuridis yang mempergunakan sumber data sekunder, digunakan untuk menganalisa
berbagai peraturan perundangundangan di bidang hukum perjanjian, perlindungan
notaris, al-Quran hadist, buku-buku dan artikel-artikel yang mempunyai korelasi dan
relevan dengan permasalahan yang akan diteliti.
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa, apabila ditinjau dari aspek
Hukum Positif, praktik Pemalsuan Akta Otentik dibagi menjadi dua sub poin,
pertama pertanggung jawaban pidana tersebut dilimpahkan kepada para
pihak/penghadap apabila akta yang akan dibuat mengandung unsur yang bertentangan
dengan Undang-Undang. Kedua, pertanggungjawaban pidana Pemalsuan Akta
Otentik dilimpahkan kepada Notaris apabila Notaris membuat surat atau akta palsu,
Kata Kunci: pemalsuan, akta otentik, notaris.
v
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan
manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-nya penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan penuh rasa tanggung jawab kepada
Allah SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Shalawat serta
salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW,
atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa
bangga sebagai umat Islam yang menjadi umat yang terbaik diantara semua
kaum. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan
sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari akan pentingnya orang-
orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun
spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan
karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan yang
menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu
penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Phill H. J.M. Muslimin, Ph.D selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Ibu Dra. Hj. Maskufa M.Ag selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah
terima kasih banyak telah memberikan petunjuk, dan nasehat yang berguna
bagi penulis selama perkuliahan, dalam perkuliahan sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi strata I dengan sebaik-baiknya.
3. Bapak Afwan Faizin, MA selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah
terima kasih banyak telah banyak membantu penulis untuk melengkapi
berbagai macam keperluan, dan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai
studi strata I dengan sebaik-baiknya.
4. Bapak Prof. Dr. H. Yunasril Ali, MA dan Nahrowi, SH.MH selaku Dosen
Pembimbing terima kasih banyak telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan
nasehat yang berguna bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas
menyalurkan ilmu dan pengetahuannya secara ikhlas dalam kegiatan belajar
mengajar yang penulis jalani.
6. Orang tua ananda yaitu Ayahanda tercinta H. Soetardjo dan Ibunda tercinta
Nikmatu Soleha, yang telah membesarkan, mendidik, memotivasi, dan
mendoakan penulis hingga dapat melanjutkan kuliah di Perguruan Tinggi dan
dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
7. Terima kasih kakakku Tri Surya Fajar dan adik-adikku, Tri Cahyo Sadono,
Aisya Putri Nimas yang selalu menjadi motivasi dan kekuatan untuk
vii
menyelesaikan skripsi ini, dan saya harap mereka dapat juga berjuang untuk
terus menimba ilmu demi masa depan yang lebih cemerlang..
8. Teman-teman, Daniel, Ara, Bima, Bobi, Brama, kiki, yang selalu memberikan
dukungan berupa moral dan material pada penulis, sehingga penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini merasa begitu sempurna karena mendapat dukungan
yang begitu besar.
9. Seluruh rekan-rekan seperjuangan dari awal bertemu di UIN hingga selesai
yakni kelas PI angkatan 2009, Asep, Andre, hafid, Mansur, Sopian dan serta
rekan-rekan SS angkatan 2009, Anwar, Cocom, Ridho, Sultan, Muhdi,
Yongki. Terima kasih telah menghibur penulis selama ini baik dalam keadaan
senang maupun susah, dan juga telah menjadi rekan berdiskusi selama ini,
penulis tak akan lupa atas kekonyolan kalian semua. Walaupun sedikit kalian
luar biasa
10. Kepada sahabat-sahabatku Calvin, Aditiawan, Gindha, Rayhan, Puji,
Mustazib dan Alfianda. Terima kasih sebanyak-banyaknya yang selalu
bersedia menemani penulis berdiskusi maupun berpetualang. Maaf saya lulus
belakangan
Tiada cita dapat terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan
Allah SWT sehingga dapat memberikan kontribusinya dalam ilmu pengetahuan.
Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca
pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah SWT. Akhirnya semoga
viii
setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan
balasan dari Allah SWT.
Wassalammualaikum. Wr. Wb
Jakarta, 1436 hijriyah
Dwi Cahyo Nugroho
x
DAFTAR ISI
HALAMAN DEPAN
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ...................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQASAH ........................ ii
LEMBAR PERNYATAAN. ................................................................................. iii
ABSTRAK ............................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................... v
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.............................................. 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................... 11
D. Kajian (Review) Studi Terdahulu .................................................. 11
E. Metode Penelitian .......................................................................... 13
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 15
BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM ISLAM DAN PEMALSUAN SURAT
DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Jarimah .......................................................................... 18
B. Macam-Macam Jarimah............................................................................ 19
C. Jarimah Tazir ................................................................................. 20
D. Macam-Macam Jarimah Tazir ....................................................... 21
xi
E. Macam-Macam Hukuman Tazir .................................................... 22
F. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Menurut Hukum Pidana Islam
1. definisi Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat23
2.Dasar Hukum Larangan Tindak Pidana Pemalsuan Surat ............. 25
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA OTENTIK DAN
NOTARIS SELAKU PEJABAT UMUM
A. Pengertian Akta Otentik .................................................................. 31
B. Pemalsuan Akta Otentik .................................................................. 32
C. Bentuk dan jenis Pemalsuan Akta Otentik ...................................... 35
D. Tugas, Wewenang dan Kewajiban Notaris ..................................... 40
E. Akta-Akta Notaris ........................................................................... 47
F. Asas-Asas Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris............................... 52
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
TERHADAP PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG No. 1568
K/Pid/2008 TENTANG PEMALSUAN AKTA OTENTIK OLEH
NOTARIS
A. Kronologis Perkara ......................................................................... 57
B. Putusan Pengadilan ......................................................................... 61
1. Putusan Pengadilan Negeri Malang ......................................... 61
2. Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya ...................................... 62
3. Putusan Mahkamah Agung ...................................................... 63
xii
C. Analisis Hukum Islam Terhadap Putusan Mahkamah Agung
No.1568 K/Pid/2008 ....................................................................... 67
D. Analisis Hukum Positif Terhadap Putusan Mahkamah Agung No.
1568 K/Pid/2008 ............................................................................. 68
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................................... 71
B. Saran-Saran ..................................................................................... 72
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 74
LAMPIRAN ........................................................................................................... 77
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia adalah Negara hukum, hal ini disebutkan di dalam UUD 1945
pasal 1 ayat (3), yaitu suatu Negara yang dalam menjalankan pemerintahannya
hukum dijadikan patokan utama dengan tujuan agar terciptanya kehidupan yang
aman dan tentram. Di Indonesia hukum di bagi menjadi dua, yaitu hukum
perdata dan pidana, hukum pidana berarti peraturan yang mengatur terhadap
pelanggaran yang menyangkut/berhubungan dengan kepentingan umum serta
peraturan yang menentukan perbuatan mana yang diancam dengan pidana yang
merupakan suatu penderitaan dan siksaan, sedangkan hukum perdata adalah
aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap orang terhadap orang
lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam pergaulan
masyarakat maupun pergaulan keluarga. Agar terciptanya tujuan yang
diharapkan oleh hukum yaitu untuk menciptakan kehidupan yang aman dan
tentram, maka setiap terjadi pelanggaran-pelanggaran atau perilaku yang tidak
sesuai dengan undang-undang maka akan mendapatkan sanksi yang sesuai
dengan pelanggaran yang telah dilakukan.1
1 Artikel diakses pada 26 September 2013 dari internet di
http://hukumpidana1.blogspot.com/2012/02/bab-ipendahuluan.html
http://hukumpidana1.blogspot.com/2012/02/bab-ipendahuluan.html
2
Hukum pidana adalah bagian keseluruhan hukum yang berlaku di suatu
Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang
dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu
bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan
apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.2
Tindak pidana dalam pasal 266 KUHP mengenai pemalsuan suatu akta
otentik yang di dalamnya seseorang menyuruh memasukkan keterangan palsu ke
dalam akta itu tentang hal yang kebenaranya harus dibuktikan oleh akta itu
dengan tujuan untuk memakai akta itu, seolah-olah keterangan itu benar. Kalau
pemakaian akta itu dapat mendatangkan suatu kerugian, maka si pelaku dihukum
dengan hukuman maksimum tujuh tahun penjara.3
Hukuman yang sama diancamkan kepada barangsiapa yang dengan
sengaja memakai akta itu seolah-olah keterangan itu benar dan pemakaian itu
mendatangkan kerugian. Akta otentik, misalnya surat akta notaris, suatu proses-
verbal dari polisi, jaksa sidang pengadilan, akta seorang pencatatan sipil
2 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, cet,IV. (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h.1.
3 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, cet. XV. (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), h. 106-107.
3
mengenai kelahiran, kematian, atau perkawinan. Unsur dari tindak pidana ini
adalah bahwa akta-akta tersebut harus membuktikan suatu kejadian, dan tentang
kejadian inilah diberitahukan hal-hal yang tidak benar kepada pejabat-pejabat
tersebut untuk dimuat dalam akta yang dibuat oleh pejabat-pejabat itu.4
Sedangkan di dalam hukum Islam orang yang melakukan perbuatan tindak
pidana pemalsuan surat maka akan terkena hukuman takzir. takzir adalah
hukuman yang ditetapkan syara dan diserahkan sepenuhnya kepada ulil amri
untuk menetapkanya, sedangkan para ulama fiqh mendefinisikannya sebagai
hukuman yang wajib menjadi hak Allah atau bani adam pada tiap-tiap
kemaksiatan yang tidak mempunyai putusan tertentu dan tidak pula adalah
kefarahnya.5 Hukuman takzir ini jenisnya bermacam namun secara garis besar
dapat dibagi. Hukuman takzir yang berkaitan dengan empat kelompok yaitu.
1. Hukuman takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang seperti
hukuman penjara dan hukuman pengasingan.
2. Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaan,
perampokan harta dan penghancuran barang.
3. Hukuman takzir yang berkaitan dengan badan seperti hukuman mati dan
hukuman jilid.
4 Wirjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia (Bandung: Refika
Aditama, 2003), h. 191-192.
5 A. RuwayI Ar-Ruhaly, fikih umar 2, penterjemahan, basalamah, cet,I. (Jakarta: Pustaka Al-
Kautsan, 1994), h.110.
4
4. Hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri dan kemaslahatan umum.6
Berdasarkan jenis-jenis hukuman takzir tersebut di atas, maka hukuman
yang diberikan kepada pelaku tindak pidana pemalsuan surat adalah hukuman
jilid dan pengasingan. Umar ibn Al- khattab terhadap Muan Ibn Zaidah yang
memalsukan stempel Bait al-mal. Demikian pula terhadap tindak pidana
pemalsuan Al-Quran. Khalifah Umar Ibn Al-khattab mengasingkan Muan Ibn
Zaidah setelah sebelumnya dikenakan hukuman takzir.
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan
kewenangan lainya, yang ditentukan oleh Undang-Undang. Keberadaan notaris
sangat penting artinya dalam pembuatan alat-alat bukti yang bersifat otentik,
yang mungkin dipergunakan kelak oleh para pihak dalam suatu persidangan di
pengadilan. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna
(volledijg bewijs), artinya terhadap bukti tersebut dalam pengadilan dianggap
benar, tanpa diperlukan lagi pengakuan dari para pihak.
Notaris sebagai pejabat umum diangkat oleh Negara, bekerja juga untuk
kepentingan Negara, namun demikian notaris bukanlah pegawai sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang pokok-pokok
kepegawaian, sebab dia tidak menerima gaji, dan hanya menerima honorarium
atau fee dari klien, dan dapat dikatakan bahwa notaris adalah pegawai
pemerintah tanpa menerima suatu gaji dari pihak pemerintah, notaris
6 A. Rahman I, Doi., Penjelasan lengkap hukum-hukum Allah (syara), (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2002), Cet 1, h, 292.
5
dipensiunkan oleh pemerintah, akan tetapi tidak menerima pensiun dari
pemerintah.
Karena tugas yang diemban oleh notaris adalah tugas yang seharusnya
merupakan tugas pemerintah, maka hasil pekerjaan notaris mempunyai akibat
hukum, notaris dibebani sebagian kekuasaan Negara dan memberikan pada
aktanya kekuatan otentik dan eksekutorial.7
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik sejauh pembuatan akta otentik tidak dikhususkan kepada pejabat umum
lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-
undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban dan perlindungan
hukum. Selain itu, akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan notaris, bukan
saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga
dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan
kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban dan perlindungan hukum bagi
pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.
Kedudukan seorang notaris sebagai suatu fungsionaris dalam masyarakat
sehingga sekarang dirasakan masih disegani. Seorang notaris biasanya dianggap
sebagai pejabat tempat seorang dapat memperoleh nasihat yang boleh
7 Lubis Suhrawadi, Etika Profesi Hukum (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 35.
6
diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta ditetapkannya (konstatir) adalah
benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.8
Dalam praktik notaris ditemukan kenyataan, jika ada akta notaris
dipermasalahkan oleh para pihak atau pihak lainnya, maka sering pula notaris
ditarik sebagai pihak yang turut serta melakukan atau membantu melakukan
suatu tindak pidana, yaitu membuat atau memberikan keterangan palsu ke dalam
akta notaris. Hal ini pun memberikan kerancuan, apakah mungkin notaris secara
sengaja (culpa) atau khilaf (alpa) bersama-sama para penghadap/pihak untuk
membuat akta yang diniatkan sejak awal untuk melakukan suatu tindak pidana.
Dalam kaitan ini tidak berarti notaris steril (bersih) dari hukum atau tidak
dapat dihukum atau kebal terhadap hukum. Notaris bisa saja dihukum pidana,
jika dapat dibuktikan di pengadilan, bahwa secara sengaja atau tidak disengaja
notaris bersama-sama dengan para pihak untuk membuat akta dengan maksud
dan tujuan untuk menguntungkan pihak atau penghadap tertentu saja atau
merugikan pihak yang lain-lain. Jika hal ini terbukti, maka notaris tersebut wajib
dihukum. Oleh karena itu, hanya notaris yang tidak jujur dalam menjalankan
tugas jabatannya, ketika membuat akta untuk kepentingan pihak tertentu dengan
8 Mahmud Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris (Indikator Tugas-Tugas Jabatan
Notaris yang Berimplikasi Perbuatan Pidana), (Jakarta: P.T Sofmedia, 2011), h. 2.
7
maksud untuk merugikan pihak tertentu atau untuk melakukan suatu tindakan
yang melanggar hukum.9
Dalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 30 Tahun 2004 (UUJN)
ketika notaris dalam menjalankan tugas jabatanya terbukti melakukan
pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau dijatuhi sanksi adminitrasi, sanksi
perdata, sanksi pidana dan sanksi kode etik. Dan sanksi sanksi tersebut telah
diatur sedemikian rupa, baik sebelumnya dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN)
dan sekarang dalam Undang-Undang jabatan notaris (UUJN) dan kode etik
jabatan notaris, dan tidak mengatur adanya sanksi pidana terhadap notaris.
Dalam praktik ditemukan kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau
pelanggaran yang dilakukan notaris sebenarnya dapat dijatuhi sanksi administrasi
atau perdata atau kode etik jabatan notaris, tapi kemudian ditarik atau
dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh notaris.10
Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek seperti:
1. kepastian hari, tanggal, bulan, tahun, dan pukul menghadap;
2. pihak (siapa-orang) yang menghadap notaris;
3. tanda tangan yang menghadap;
4. salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;11
9 Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 24.
10
Adjie, Hukum Notaris Indonesia.,h.25.
11
Minuta= akta asli yang disimpan dalam protocol notaris. Dalam minuta ini juga tercantum
asli tanda tangan, paraf para penghadap atau cap jempol kiri dan kanan, para saksi dan notaries.
8
5. salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan
6. minuta akta tidak ditandatangani secara lengkap, tapi minuta akta dikeluarkan.
Aspek aspek akta notaris tersebut di atas, dapat saja dijadikan dasar atau
batasan untuk mempidanakan notaris, sepanjang aspek-aspek tersebut terbukti
secara sengaja (dengan penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan oleh
notaris dan para pihak/penghadap yang bersangkutan), bahwa akta yang dibuat di
hadapan dan oleh notaris untuk dijadikan suatu alat suatu tindak pidana.
Aspek lainnya yang perlu untuk dijadikan batasan yang dilanggar oleh
notaris harus diukur berdasarkan UUJN, artinya apakah perbuatan yang
dilakukan oleh notaris melanggar pasal-pasal tertentu dalam UUJN, karena ada
kemungkinan menurut UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai dengan
UUJN, tapi menurut pihak penyidik perbuatan tersebut merupakan suatu tindak
pidana. Dengan demikian sebelum melakukan penyidikan lebih lanjut, lebih baik
meminta pendapat dari mereka yang mengetahui dengan pasti dari para notaris
mengenai hal tersebut, dari organisasi jabatan notaris.
Dengan demikian pemidanaan terhadap notaris dapat saja dilakukan
dengan batasan, jika:
1. Ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek lahir, formal, dan materil
akta yang sengaja penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan,
bahwa akta yang dibuat di hadapan notaris atau oleh notaris bersama-sama
(sepakat) para penghadap untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu
tindak pidana;
9
2. Ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh
notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN; dan
3. Tindakan notaris tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang berwenang
untuk menilai tindakan suatu notaris, dalam hal ini majelis pengawas notaris.
Penjatuhan sanksi pidana terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang
batasan-batasan sebagaimana tersebut di atas dilanggar artinya di samping
memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam Undang-Undang Jabatan
Notaris (UUJN), kode etik jabatan notaris juga harus memenuhi rumusan yang
tersebut dalam KUHP.12
Berangkat dari dasar pemikiran tersebut, penulis tertarik mengangkat tema
tersebut dalam sebuah skripsi dengan judul : Kajian Hukum Pidana Islam
Terhadap Putusan Hakim Tentang Pemalsuan Akta Otentik oleh Notaris
(Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 1568 K/Pid/2008).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat begitu kompleknya hal-hal yang berhubungan dengan
masalah tindak pidana pemalsuan akta otentik, dan guna menghindari kesalah
fahaman serta untuk mencapai kesamaan persepsi dalam masalah yang hendak
penulis bahas, maka penulis merasa perlu untuk memberikan suatu batasan
12
Adji, Hukum Notaris Indonesia, h.29-30.
10
dan rumusan terhadap masalah yang akan dikaji. Pembahasan skripsi ini akan
dibatasi disekitar msalah-masalah tindak pidana pemalsuan akta otentik.
Dalam masalah putusan hakim yang akan dianalisis oleh penulis, maka
penulis akan menganalisis putusan Mahkamah Agung yang terjadi tahun 2008
dengan nomor putusan No. 1568 K/Pid/2008 tentang pemalsuan akta otentik
oleh notaris. Namun tidak menutup kemungkinan untuk lebih memperjelas
pembahasan, penulis akan menyinggung hal-hal lain yang ada kaitannya
dengan permasalahan tersebut.
2. Perumusan Masalah
Dengan mengacu pada pembatasan masalah di atas, untuk
mendapatkan hasil yang baik, maka penulis merumuskan permasalahan
sebagai berikut:
a. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam dan positif terhadap tindak
pidana pemalsuan akta otentik oleh notaris ?
b. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam terhadap pertimbangan hakim
Mahkamah Agung tentang sanksi pada putusan kasasi No. 1568
K/Pid/2008 dalam masalah tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh
notaris ?
11
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Supaya pembahasan tentang tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh
notaris lebih terarah dan mendalam sesuai dengan permasalahan-
permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi
ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan menjelaskan perspektif hukum pidana Islam dan
hukum positif terhadap tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh notaris.
b. Untuk dapat menjelaskan analisis Putusan Mahkamah Agung No. 1568
K/Pid/2008 tentang tindak pidana pemalsuan akta otentik oleh notaris.
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat pada penelitian ini sebagai berikut :
a. Sebagai sumbangan ilmu pengetahuan tentang tindak pidana pemalsuan
akta otentik oleh notaries baik dari hukum Islam maupun hukum positif.
b. Dapat mengetahui dasar hukum atas tindak pidana pemalsuan akta otentik
oleh notaris.
c. Dapat menjadi tulisan yang relative komprehensif tentang analisis Putusan
Mahkamah Agung No. 1568 K/Pid/2008.
D. Kajian (review) Studi Terdahulu
Dalam penulisan skripsi ini penulis merujuk pada skripsi yang pernah
membahas seputar tindak pidana pemalsuan surat dan peran notaris.
12
Berikut review data yang menyinggung mengenai bahasan tindak pidana
pemalsuan akta otentik oleh notaris dan peran notaris.
1. Judul Skripsi: Tindak Pidana Pemalsuan Surat dalam Pandangan Hukum
Pidana Islam (Kajian Atas Putusan Pengadilan Negeri Depok). yang ditulis
oleh Dewi Kurnia Sari, menjelaskan tentang gambaran umum tindak pidana
pemalsuan surat menurut hukum positif dan hukum Islam dan bagaimana
hukuman yang diberikan oleh pengadilan negeri depok dalam tindak pidana
pemalsuan surat. Didalam penulisannya tidak menjelaskan bentuk dan jenis
pemalsuan akta otentik, motif dan tujuan pemalsuan akta otentik, dan tindak
pidana pemalsuan akta otentik oleh notaris.
2. Judul Skripsi: Peranan Notaris dalam Membuat Akta Akad Pembiayaan di
Bank Syariah Penelaahan Terhadap Akad Pembiayaan di Bank Muamalat
Indonesia. yang ditulis oleh Nurul Iman, menjelaskan tentang peran notaris,
bagaimana karakteristik akad di perbankan syariah, apa saja yang harus
dikuasai notaris di perbankan syariah peran notaris dalam membuat akta akad
pembiayaan di bank. Sedangkan penulis berusaha membahas secara lebih
mengenai praktik notaris dalam Islam, macam macam akta notaris, dan
tindak pidana pemalsuan akta otentik yang dilakukan oleh notaris.
3. Judul skripsi tinjauan yuridis terhadap notaris dalam hukum positif yang
ditulis oleh Yuni Wahyu FH UI. Dalam skripsinya menjelaskan tentang
notaris dalam pelaksanaan jabatannya, kasus pelanggaran yang dilakukan oleh
notaris yang melakukan pelanggaran, dalam skripsi penulis membahas lebih
13
mengenai praktik pemalsuan notaris dalam islam dan praktik pemalsuan
notaris dalam hukum positif
4. Judul buku notariat syariah dalam praktik jilid ke 1 hukum keluarga islam
penulis: H.Saifuddin Arif,SH. Editor : Ah. Azharuddin Lathif, M. Ag, MH.
Dalam buku ini menjelaskan notariat dalam perspektif syariah seperti urgensi
notariat syariah, tugas notaris yang bersentuhan dengan persoalan hukum
islam, standar kompetensi notaris syariah.
E. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Penelitian ini berjenis penelitian hukum normatif atau penelitian
kepustakaan (library research) yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan
cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Pada jenis penelitian hukum
normatif, penelitian ini berjenis penelitian perbandingan hukum. Pengetian
hukum normatif yaitu pendekatan terhadap suatu masalah yang menitik
beratkan kepada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.13
Sedangkan
metode penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian kualitatif
yang berasal dari bahan-bahan hukum. Data kualitatif tersebut berupa uraian
penjelasan yang tersusun dalam kallimat dan tata bahasa yang berkaitan
dengan penelitian hukum-hukum.
2. Teknik Pengumpulan Data
13
Lexy Moleoang, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2000 ),
h. 31.
14
Penelitian ini menggunakan study pustaka (library research) yang objek
utamanya berupa buku-buku literature, peraturan perundang-undangan,
norma-norma yang hidup dan berkembang dalam masyarakat14
, majalah, surat
kabar, hasil seminar dan sumber lainnya yang berkaitan secara langsung
dengan obyek yang diteliti.
a. Sumber data primer tersebut terdiri dari buku buku fiqh, Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Mahkamah Agung No 1568
K/Pid/2008.
b. Sumber data sekunder merupakan data-data yang memberikan penjelasan
mengenai bahan-bahan primer yang diambil dari sumber-sumber
tambahan yang memuat segala keterangan-keterangan yang berkaitan
dengan penelitian ini, antara lain informasi yang relevan, artikel, bulletin,
atau karya ilmiah para sarjana.
c. Bahan hukum tersier, yang memberikan informasi lebih lanjut terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara lain kamus umum
bahasa Indonesia, majalah, Koran dan lainnya.
3. Metode Analisis Data
Pada penelitian ini menggunakan tehnik analisis data kualitatif dengan
cara memperoleh data kemudian diuraikan untuk memberikan gambaran
(deskriptif). Yang dimaksud dengan metode deskriptip analisis yaitu metode
yang bertujuan untuk memberikan gambaran suatu gejala suatu masyarakat
14
Zainudin Ali. Metode Penelitian Hukum (Palu: Sinar Grafika, 2009), h.30.
15
tertentu. Yakni dengan mengumpulkan dan menganalisis data yang diperoleh
dan faktor-faktor yang merupakan pendukung dan relevan terhadap objek
yang diteliti sehingga dapat ditarik kesimpulan dari hal yang dijadikan objek
penelitian. Data yang diklarifikasikan maupun dianalisis untuk mempermudah
dan menghadapkan pada pemecahan masalah. Adapun metode analisis data
yang digunakan dalam skripsi ini adalah metode analisis isi secara kualitatif.
Dalam analisis ini, semua data yang dianalisis adalah berupa teks. Analisis isi
kualitatif digunakan untuk menemukan, mengidentifikasi, dan menganalisa
teks atas dokumen untuk memahami, signifikasi dan relevansi teks atau
dokumen.
4. Sistematika Penulisan
Sebagai pertimbangan dalam mempermudah penulisan skripsi, penulis
menyusun melalui sistematika penulisan yang terdiri dari lima bab, dimana pada
setiap bab dibagi atas sub sub bab, dengan penjelasan yang terinci, agar
memudahkan pembaca.
Berdasarkan pada materi skripsi yang penulis bahas, sistematika
penyusunan skripsi ini terbagi sebagai berikut :
Bab Pertama dalam bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang
masalah yang merupakan hal-hal yang mendorong penulis untuk
mengadakan penelitian, perumusan masalah merupakan inti dari
permasalahan yang ingin diteliti, tujuan penelitian berisi tujuan
dari penelitian dalam mengadakan penelitian, manfaat penelitian
16
merupakan hal-hal yang diambil dari hasil penelitian, metode
penelitian berupa jenis penelitian, jenis data, sumber data,
metode pengumpulan data, dan metode analisis data, selanjutnya
adalah sistematika penulisasn hukum yang merupakan kerangka
atau susunan penelitian.
Bab Kedua pada bab ini penulis mengemukakan pengertian jarimah dan
pengertian akta otentik, pemalsuan akta otentik, bentuk dan jenis
pemalsuan akta otentik, motif dan tujuan pemalsuan akta otentik,
sanksi dan hukum pemalsuan akta otentik, dan praktik
pemalsuan dalam Islam.
Bab Ketiga pada bab ketiga ini penulis menggambarkan tentanu notaris
selaku pejabat umum mulai dari sejarah profesi notaris, tugas
wewenang dan kewajiban dari notaris, akta-akta notaris dan pada
pembahasan terakhir penulis membahas asas-asas pelaksanaan
tugas jabatan notaris.
Bab Keempat bab keempat membahas tentang kronologi perkara mulai dari
putusan pengadilan negeri malang, putusan pengadilan tinggi
Surabaya dan putusan mahkamah agun, analisis hukum islam
terhadap putusan mahkamah agung No.1568 K/Pid/2008,
analisis hukum positif terhadap putusan mahkamah agung
No.1568 K/Pid/2008.
17
Bab Kelima penutup terdiri dari kesimpulan dan saran. Yang mana
kesimpulan ini nantinya merupakan jawaban dari pokok masalah
pada Bab I.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM HUKUM ISLAM DAN PEMALSUAN SURAT DALAM
HUKUM ISLAM
A. Pengertian jarimah
Pidana islam disebut juga dengan fiqih jinayah, dalam mempelajari fiqih
jinayah ada dua istilah yang harus kita ketahui terlebih dahulu yaitu jinayah itu
sendiri dan jarimah. Yang pertama tentang jinayah, jinayah adalah semua
perbuatan yang diharamkan, perbuatan yang diharamkan adalah indakan yang
dilarang atau dicegah oleh syara atau dengan kata lain jinayah itu perbuatan
jahat atau salah yang mempunyai konsekuensi membahayakan jiwa, akal, agama,
kehormatan. Sedangkan jarimah mempunyai arti yang sama dengan jinayah yaitu
mengandung arti perbuatan buruk, jelek, dosa. Akan tetapi Kata jarimah identik
dengan pengertian yang disebut dalam hukum positif sebagai tindak pidana atau
pelanggaran. Contohnya adalah jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, dan
sejenisnya. Jadi di dalam hukum positif jarimah distilahkan dengan delik atau
tindak pidana yang melanggar hukum. Seseorang yang tidak melanggar hokum
tidak bisa dikatan tindak pidana atau delik, menurut sudut pandang hokum
positif Indonesia. Sedangkan menurut kaca mata fiqh jinayah adalah seseorang
19
yang meninggalkan perintah agama dan melanggar perbuatan yang dilarang oleh
agama disebut dengan jarimah.1
B. Macam-Macam Jarimah
Jarimah dapat dibagi menjadi bermacam macam bentuk dan jenis.
a. Jarimah Hudud
Jarimah hudud adalah jarimah yang diancam dengan hukuman had.
Hukuman had sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah: Hukuman
had adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara dan merupakan hak Allah.
b. Jarimah Qishash dan Diyat
Adalah jarimah yang diancam dengan hukuman qishas dan diyat (ganti
rugi dari si pelaku kepada si korban atau walinya). Baik qishas maupun diyat
keduanya adalah hukuman yang sudah ditentukan syara dan merupakan hak
individu.
c. Jarimah Takzir
Adalah jarimah yang hukumannya bersifat mendidik atas perbuatan dosa
yang belum ditetapkan oleh syara` atau hukuman yang diserahkan kepada
keputusan Hakim. Namun hukum takzir juga dapat dikenakan atas kehendak
masyarakat umum, meskipun bukan perbuatan maksiat, melainkan awalnya
mubah. Dasar hukum takzir adalah pertimbangan kemaslahatan dengan mengacu
1 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.24.
20
pada prinsip keadilan. Pelaksanaannyapun bisa berbeda, tergantung pada tiap
keadaan. Karena sifatnya yang mendidik, maka bisa dikenakan pada anak kecil.2
C. Jarimah Takzir
Menurut istilah, takzir didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai berikut:
takzir adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa
(maksiat)yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara
Wahbah Zuhaili memberikan define takzir yang mirip dengan definisi Al-
mawardi:
:
takzir menurut sayaraadalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan
maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula
kafarat.
Dalam definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa takzir adalah
suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara. Di kalangan fuqaha, jarimah jarimah yang hukumannya
belum ditetapkan oleh syara dinamakan dengan jarimah takzir. Jadi, istilah
takzir bisa digunakan untuk hukuman dan juga digunakan untuk jarimah (tindak
pidana).
2 Muslich, Hukum Pidana Islam, h. 18-19.
21
Dari definisi tersebut, juga dapat dipahami bahwa jarimah takzir terdiri
atas perbuatan-perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak
pula kafarat. Dengan demikian, inti dari jaarimah takzir adalah perbuatan
maksiat. Adapun yang dimaksud dengan maksiat adalah meninggalkan perbuatan
yang diwajibkan dan melakukan perbuatan yang diharamkan (dilarang). Para
fuqaha memberikan contoh meninggalkan kewajiban seperti mengkhianati
amanat, seperti menggelapkan titipan, dan lain sebagainya. Sebagai contoh
melakukan perbuatan yang dilarang seperti sumpah palsu, penipuan dalam jual
beli dan melindungi dan menyembunyikan pelaku kejahatan dan sebagainya.3
D. Macam-Macam Jarimah Takzir
Dilihat dari hak yang dilanggar, jarimah takzir dapat dibagi kepada dua
bagian, yaitu
1. Jarimah takjir yang menyinggung hak allah
2. Jarimah takzir yang menyinggung hak individu.
Dari segi sifatnya, jarimah takjir dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu
a. Takzir karena melakukan perbuatan maksiat;
b. Takzir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan
umum;
c. Takzir karena melakukan pelanggaran.
Di samping itu, dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), takzir juga
dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
3 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.248-249
22
1) Jarimah takzir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud dan qishash,
tetapi syarat-syaratnya tidak terpennuhi, atau ada syubhat, seperti
pencurian yang tidak mencapai nishab, atau oleh keluarga sendiri.
2) Jarimah takzir yang jenisnya disebutkan dalam nash syaratetapi
hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap dan mengurangi
takaran dan timbangan.
3) Jarimah takzir yang baik jenis dan sanksinya belum ditentukan oleh
syara. Jenis ketiga ini sepenuhnya diserahkan kepada ulil amri, seperti
pelanggaran disiplin pegawai pemerintah.
Abdul Aziz Amir membagi jarimah takzir secara rinci kepada beberapa
bagian, yaitu
1) Jarimah takzir yang berkaitan dengan pembunuhan;
2) Jarimah takzir yang berkaitan dengan pelukaan;
3) Jarimah takzir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan
dan kerusakan akhlak;
4) Jarimah takzir yang berkaitan dengan ahrta;
5) Jarimah takzir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu;
6) Jarimah takzir yang berkaitan dengan keamanan umum.4
E. Macam-Macam Hukuman Takzir
Dalam uraian yang lalu telah dikemukakan bahwa hukuman takzir adalah
hukuman yang belum ditetapkan oleh syara dan diserahkan kepada ulil amri
4 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.255-256.
23
untuk menetapkannya. Hukuman takzir ini jenisnya beragam, namun secara garis
besar dapat dikelompokkan kepada empat kelompok, yaitu sebagai berikut.
1. Hukuman takzir yang mengenai badan, seperti hukman mati dan jilid
(dera)
2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti
hukuman penjara dan pengasingan.
3. Hukuman takzir yang berkaitan dengan harta, seperti denda,
penyitaan/perampasan harta, dan penghancuran barang.
4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amri demi
kemaslahatan umum.5
F. Tindak Pidana Pemalsuan Surat Menurut Hukum Pidana Islam
1. Definisi Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Di dalam hukum Islam, tindak pidana dikenal dengan istilah jinayah
atau jarimah. Pengertian jinayah yang didefinisikan sebagai larangan-
larangan hukum yang diberikan allah yang pelanggarannya dikenakan hukuman
baik berupa hal atau takzir.
Para ahli hukum Islam, jinayah adalah sinonim dengan kejahatan. Namun
di Mesir, istilah ini memiliki konotasi yang berbeda. Ia diterapkan untuk
kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, kerja paksa seumur hidup atau
5 Muslich, Hukum Pidana Islam, h.258
24
penjara. Dengan kata lain hanya ditujukan bagi kejahatan berat. Sementara
syariah memerlukan setiap kejahatan sebagai jinayah.6
Hukum pidana Islam dalam artinya yang khusus membicarakan tentang
satu persatu perbuatan beeserta unsure-unsurnya yang berbentuk jarimah dibagi
tiga golongan, yaitu golongan hudud yaitu golongan yang diancam dengan
hukuman had, golongan qishash dan diyat yaitu golongan yang diancam dengan
hukuman qishash dan diyat, dan golongan takzir yaitu golongan yang diancam
dengan hukuman takzir.7
Berdasarkan salah satu jenis jarimah takzir yang berkaitan dengan
kemaslahatan umum menurut Abdul Aziz Amir tersebut, yakni jarimah
pemalsuan tanda tangan dan stempel, maka terlihat adanya kesesuaian antara
jarimah pemalsuan tangan dan pemalsuan stempel tersebut dengan tindak pidana
pemalsuan surat. Mengingat dari ketiga jarimah tersebut terdapat persamaan
dalam perbuatan yakni adanya perbuatan, proses atau cara memalsukan adanya
objek, di mana objek tersebut dapat berupa tanda tangan, suratnya, dan stempel
baitul mal atau Al-Quran. Biasanya pemalsuan itu dilakukan terhadap tanda
tangan pejabat atau stempel yang seharusnya ada dalam surat tersebut
Di dalam hukum Islam belum ada pembahasan secara jelas dan khusus
mengenai pemalsuan surat. Akan tetapi, terlihat adanya kesesuaian antara
6 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung: Asy-Syamil, 2001), cet 2, h.
132-133. 7 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 1995), cet
7, h.48.
25
jarimah pemalsuan tanda tangan dan pemalsuan stempel dengan tindak pidana
pemalsuan surat tersebut, maka tindak pidana pemalsuan surat ini harus
dikategorikan kedalam jarimah takzir mengingat tindak pidana pemalsuan surat
ini baik jenis maupun hukumannya tidak disbutkan di dalam nash syara secara
jelas.
2. Dasar Hukum Larangan Tindak Pidana Pemalsuan Surat
Secara umum, perbuatan memalsukan surat merupakan perbuatan dusta
(bohonng), karena pada dasarnya di dalam perbuatan tersebut terdapat perbuatan
dusta yakni dengan tidak memberikan keterangan yang sebenarnya/seharusnya di
dalam surat yang dipalsukan tersebut.
Penipuan sering terjadi dalam hal jual beli, seperti dalam suatu riwayat
ketika suatu hari, Rasullah SAW melewati penjual makanan, kemudian beliau
memasukkan tangannya ke dalam barang dagangan tersebut. Ternyata
didapatinya makanan yang dijual itu basah, dan sudah tidak baik untuk
dimakan.8 Hal ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari
Abu Hurairah, yang berbunyi:
) . (
8 Said Agil Husin Munawwar, MA dan Abdul Mustaqin, M.Ag, Asbabul Wurud (Studi Kritis Hadis
Nabi Pendekatan Sosio Kontekstual), (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2001), cet. 1, h.125
26
Artinya: Dari Abu Hurairah ra, berkata:pada suatu ketika Rasulullah
melewati tumpukan makanan (dipasas), lalu beliau memasukkan tangannya
kedalam tumpukan itu setelah diangkat kembali, ternyata jari-jari beliau basah.
Lalu beliau bertanya kenapa begini hai penjual makanan? ,jawabannyakena
hujan ya Rasulullahsabda beliau, mengapa tidak ditaruh di atas (yang basah)
supaya dilihat orang; siapa yang menipu tidak termasuk golonganku. (H.R
Muslim)
Dari hadis di atas jelaslah bahwa penipuan itu diharamkan karena
penipuan merupakan suatu kebohongan yang dapat merugikan orang lain maka
Islam melarang berbohong dan menganggapnya sebagai perbuatan dosa besar.
Selain itu ada hadist yang menerangkan tentang berbuat dusta.
9) (
Artinya: hendaklah kamu berlaku jujur membimbing kepada kebajikan, dan
kebajikan membawa kesurga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan
berusaha mempertahankan atau mencari kejujuran, maka dia dicatat Allah
sebagai shadiq dan hindarilah olehmu dusta karena sesungguhnya dusta itu
membimbing kepada kejahatan, dan kejahatan membawa ke neraka. Seseorang
yang senantiasa berdusta dan mempertahankan kedustaan maka dia dicatat oleh
Allah sebagai kadzab (HR. Muslim).
9 Muslim bin Al-haj Ibn Muslim Al-Qusyiriy Al-Naisaburiy (Al Muslim), Shahih Al Muslim,
(Bairut; Dar al-fikr, t.t,,) Juz 8, h. 29.
27
Di dalam al-Quran juga diterangkan mengenai perbuatan dusta yaitu surat
an-NisaAyat 145 yang artinya: Sesungguhnya orang-orang munafik itu
(diletakkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. Dan kamu sekali-
kali tidak akan mendapat sesorang penolong bagi mereka.10
Ditinjau dari ruh syariat, menipu adalah membohongi, berlaku dusta
adalah cirri munafik, munafik seperti dinyatakan dalam hadist Nabi SAW yang
diriwayatkan oleh imam Bukhari:
)
11 ) ((
Artinya: Abi Hurairah mengatakan bahwa Nabi SAW. Bersabda, tanda-tanda
orang itu ada tiga: yaitu apabila dia berbicara dia berdusta, apabila berjanji
dia inkar, apabila dia dipercaya dia khianat. (HR. Bukhari)
Setidaknya ada 3 (tiga) ayat Al-Quran yang memotivasi adanya kegiatan
notariat syariah, yaitu: 12
1. Surat Al-Baqarah ayat 282:
10
Departemen Agama, Al-Quran Dan Terjemahanya, (Jakarta: CV Samara Mandiri, 1999),
h. 147.
11
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim, Shahih Al-Bukhariy, (Beirut: Dar al-Fikr 1981), Juz
20, h. 248. 12
Saifuddin Arif, Notariat Syariah Dalam Praktik, jilid ke I hukum keluarga Islam
(Jakarta:PT Galaksi Komunikasi Utama, 2011)., h.38-39.
28
Artinya Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.
Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu meng-imla-kan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan jangannlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau
lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. (Al-Baqarah : 282 )
Ayat di atas, berisi anjuran untuk menuliskan setiap transaksi yang
dilakukan tidak secara tunai. Anjuran penulisan ini tentu saja dimaksudkan untuk
dijadikan sebagai alat bukti seandainya pada suatu ketika terjadi perselisihan yang
diakibatkan oleh sifat lupa manusia akan isi perjanjiannya atau karena
kesengajaan salah satu pihak untuk berbuat curang kepada pihak lain.
2. Surat Al-Alaq ayat 1-5
) ) )( ( (
) ) ((
Artinya (1) Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. (2) Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. (3) Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. (4) yang mengajar (manusia)dengan perantaran kalam. (5) Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak
diketahuinnya."
Dalam surat ini menerangkan bahwa Dia menciptakan manusia dari benda
yang hina dari sperma menjadi segumpal darah, kemudian memuliakannya
dengan mengajarkan membaca, menulis dan memberi ilmu pengetahuan. Tetapi
manusia tidak ingat lagi asalnya, karena dia tidak menysukuri nikmat Allah,
29
bahwa manusia bertindak melampaui batas melihat dirinya telah merasa serba
cukup. Diantara kesimpulan surat ini, bahwa membaca dan menulis adalah dua
kegiatan yang hanya dilakukan seseorang jika ingin sukses dan berhasil dalam
hidupnya.13
Dalam tafsir ibnu abbas hakikat dari perintah Iqra pada ayat pertama ini
adalah perintah untuk membaca basmallah dalam memulai melakukan sesuatu
pekerjaan.
3. Surat Al-Qalam ayat 1
( )
Artinya Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis14
Dari beberapa hadist dan ayat di atas terungkap bahwa praktik pemalsuan
sudah terjadi dimasa awal Islam. Namun yang berkaitan dengan praktik
pemalsuan akta otentik secara khusus memang belum ada, karena pada masa itu
kenotariatan belum dikenal. Notaris merupakan pejabat umum yang ditunjuk oleh
undang-undang dalam membuat akta otentik dan sekaligus notaris merupakan
perpanjangan tangan pemerintah. Dalam menjalankan jabatannya notaris harus
dapat bersikap professional dan mematuhi peraturan perundang-undangan serta
menjunjung tinggi kode etik notaris. Notaris sebagai pejabat umum kepadanya
dituntut tanggung jawab terhadap akta yang di buatnya, yakni tanggung jawab
hukum dan tanggung jawab moral. Permasalaham ini adalah bagaimana
13
Arif, Notariat Syariah Dalam Praktik, jilid ke I hukum keluarga Islam., h.40.
14
Arif, Notariat Syariah Dalam Praktik., h.40-41.
30
pertanggung jawaban notaris terhadap akta otentik yang mengandung keterangan
palsu, bagaimana sanksi yang diberikan kepada penghadap yang memberikan
keterangan palsu dalam akta otentik, dan bagaimana akibat hukumnya terhadap
akta otentik yang mengandung keterangan palsu.15
4. Dalil As-Sunnah
dari ubadah ibnu shamid ra, bahwasanya Nabi Muhammad SAW
bersabda: sesungguhnya pertama kali yang diciptakan oleh Allah adalah al-
kalam atau pena. Allah memerintahkan kepada pena tulislah!. Pena itu
bertanya: Ya Tuhan, apakah yang saya harus tuliskan? Allah menjawab:
tulislah segala sesuatu yang ada sampai dating hari kiamat.(HR Al-Baihaqi,
Turmuzi, dan Abu Dawud)
dari Annas Ibnu Malik meriwayatkan bahwa Nabi bersabda: ikatlah
ilmu itu dengan tulisan. (HR Turmuzi, Ad darimi)
15
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 24.
31
BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG AKTA OTENTIK DAN NOTARIS SELAKU
PEJABAT UMUM
A. Pengertian Akta Otentik
Akta Otentik ialah akta yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang
yang memuat atau menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan
atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh pejabat umum pembuat akta
itu. Pejabat umum yang dimaksud adalah notaris, hakim, juru sita pada suatu
pengadilan, pegawai pencatatan sipil, dan sebagainya.
Suatu akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna bagi
para pihak beserta seluruh ahli warisnya atau pihak lain yang mendapat hak dari
para pihak. Sehingga apabila suatu pihak mengajukan suatu akta otentik, hakim
harus menerimanya dan menganggap apa yang dituliskan di dalam akta itu
sungguh-sungguh terjadi, sehingga hakim itu tidak boleh memerintahkan
penambahan pembuktian lagi.1
1 Artikel diakses pada 26 September 2013 dari internet di
http://rahmadvai..com/2014/04/pengertian-dan-perbedaan-akta-otentik.html.
http://rahmadvai..com/2014/04/pengertian-dan-perbedaan-akta-otentik.html
32
B. Pemalsuan Akta Otentik
Kejahatan pemalsuan surat pada umumnya adalah berupa pemalsuan surat
dalam bentuk pokok (bentuk standar) yang dimuat dalam pasal 264, yang
merumuskan adalah sebagai berikut:2
(1) Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan
tahun, jika dilakukan terhadap:
1. Akta-akta otentik
2. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu negara atau
bagiannya ataupun dari suatu lembaga umum;
3. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari sesuatu
perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai;
4. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang
diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan
sebagai pengganti surat-surat itu;
5. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukkan untuk diedarkan
(2) Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja
memakai surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati
atau yang dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika
pemalsuan surat itu dapat menimbulkan kerugian.
2 Darus Badrulzaman Mariam, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan,
(Bandung: Alumni, 1996), h. 24.
33
Membuat surat palsu dapat berupa hal-hal berikut:3
1. Membuat surat palsu yang sebagian atau seluruh isi surat tidak sesuai atau
bertentangan dengan kebenaran. Membuat surat palsu yang demikian disebut
pemalsuan intelektual (intelectuale valschelijk).
2. Membuat surat palsu yang seolah-olah surat itu berasal dari orang lain selain
si pembuat surat. Membuat surat palsu yang demikian ini disebut dengan
pemalsuan materiil (materiele valschelijk). Palsunya surat atau tidak benarnya
surat terletak pada asalnya atau si pembuat surat.
Di samping isi dan asalnya sebuah surat disebut surat palsu, apabila tanda
tangannya yang tidak benar. Hal ini dapat terjadi dalam hal misalnya:
1. Membuat dengan meniru tanda tangan seseorang yang tidak ada orangnya,
seperti orang yang telah meninggal dunia atau secara fiktif (dikarang-karang):
2. Membuat dengan meniru tanda tangan orang lain baik dengan persetujuannya
ataupun tidak.
Sedangkan perbuatan memalsukan (versvalsen) surat adalah perbuatan
mengubah dengan cara bagaimanapun oleh orang yang tidak berhak atas sebuah
surat yang berakibat sebagian atau seluruh isinya menjadi lain/berbeda dengan isi
surat semula.4 Tidak penting apakah dengan perubahan itu lalu isinya menjadi
benar ataukah tidak ataukah bertentangan dengan kebenaran ataukah tidak, bila
3 Mariam, KUHPerdata Buku III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan., h. 31.
4 Lihat dalam Nina Tania Rahayu, Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Notaris Sebagai
Pejabat Umum, Universitas Indonesia Fakultas Hukum Program Studi Magister Kenotariatan (Depok:
Juni, 2010), h.46.
34
perbuatan mengubah itu dilakukan oleh orang yang tidak berhak, pemalsuan
surat telah terjadi. Orang yang tidak berhak itu adalah orang selain si pembuat
surat.
Sama halnya dengan membuat surat palsu, memalsukan surat dapat terjadi
selain terhadap sebagian atau seluruh isi surat. Misalnya si pembuat dan yang
bertanda tangan dalam surat yang bernama parikun, diubah tanda tangannya
menjadi tanda tangan orang lain yang bernama parinun.
Menurut Soenarto Soerodibroto, dalam hal ini ada suatu arrest HR (14-4-
1913) yang menyatakan bahwa barang siapa di bawah suatu penulisan
membubuhkan tanda tangan orang lain sekalipun atas perintah dan persetujuan
orang tersebut telah memalsukan tulisan itu
Perbedaan prinsip antara perbuatan membuat surat palsu dan memalsukan
surat, adalah bahwa membuat surat palsu/membuat palsu surat sebelum
perbuatan dilakukan belum ada surat, kemudian di buat suatu surat yang isinya
sebagian atau seluruhnya adalah bertentangan dengan kebenaran atau palsu.
Seluruh tulisan dalam tulisan itu dihasilkan membuat surat palsu. Surat yang
demikian di sebut dengan surat palsu atau surat tidak asli.5
Tidak demikian dengan perbuatan memalsu surat. Sebelum perbuatan ini
dilakukan, sudah ada sebuah surat disebut surat asli. Kemudian pada surat yang
asli ini, terhadap isinya (termasuk tanda tangan dan nama si pembuat asli)
5 Rahayu, Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Umum., h.50.
35
dilakukan perbuat memalsu yang akibatnya surat yang semula benar menjadi
surat yang semula benar dan bertentangan dengan kebenaran atau palsu.
Surat yang berisi suatu perikatan pada dasarnya adalah berupa surat yang karena
perjanjian itu melahirkan hak. Misalnya surat jual beli melahirkan hak si penjual
untuk menerima uang pembayaran harga benda, dan pembeli mempunyai hak
untuk memperoleh atau menerima benda yang dibelinya.6 Begitu juga dengan
surat yang berisi pembebasan hutang. Lahirnya pembebasan hutang pada
dasarnya disebabkan karena dan dalam hubungannya dengan suatu perikatan.
Misalnya suatu kwitansi yang berisi penyerahan sejumlah uang tertentu dalam
hal dan dalam hubungannya dengan misalnya jual beli, hutang piutang dan lain
sebagainya.
C. Bentuk Dan Jenis Pemalsuan Akta Otentik
Pada setiap tindak kejahatan terdapat banyak cara untuk melakukannya.
Termasuk dalam kejahatan pemalsuan dokumen dan tanda tangan, pelakunya
melakukan berbagai cara dalam melaksanakan tindak kejahatannya. Dalam
kriminologi, setiap tindak kejahatan, walaupun memiliki tingkat variasi yang
tinggi, namun akan selalu ada pola dan teknik yang akan muncul jika
kejahatannya terus berulang. Setiap tindakan kejahatan, lambat laun akan
memunculkan pola pengulangan yang bisa dipelajari sebagai pencegahan. Pola
6 Darus Badrulzaman Mariam, KUHPerdata Buku III, h. 41.
36
dan teknik kejahatan yang selalu muncul berulang-ulang, juga umum dikenal
sebagai modus operandi.7
Dalam tindak kejahatan pemalsuan dokumen, ada berbagai macam modus
pemalsuan, tergantung dari jenis dokumen dan juga tujuan si pelaku. Namun
umumnya dalam jenis apapun modus pemalsuan dokumen, pelakunya sudah
merencanakan dulu tindak kejahatannya. Dengan kata lain, pemalsuan dokumen
bukanlah kejahatan insidentil seperti street crimes. Pemalsuan dokumen adalah
kejahatan terencana. Secara niat dan perbuatan, pelakunya sudah merencanakan
terlebih dahulu skema tindak kejahatannya.8
Kebenaran pada suatu atau akta otentik sendiri terdiri atas 4 macam,
yaitu:9
1. Surat atau akta yang menimbulkan suatu hak
2. Surat atau akta yang menerbitkan suatu perikatan
3. Surat atau akta yang menimbulkan pembebasan utang
4. Surat atau akta yang dibuat untuk membuktikan suatu hal/keadaan tertentu.
Dalam hal surat atau akta ini perbuatan yang dilarang terhadap 4 macam
surat tersebut adalah perbuatan membuat surat palsu (valschelijk opmakeen) atau
tindakan perbuatan memalsu (vervalsen). Perbuatan membuat surat palsu adalah
suatu perbuatan atau tindakan membuat sebuah surat yang sebelumnya tidak
7 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986),
h. 84. 8 Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, h. 92.
9 I. G. Ray Widjaya, Merancang Suatu Kontrak Teori dan Praktek, (Bekasi: Kesaint Blanc,
2004), h. 26.
37
ada/belum ada, yang sebagian atau seluruh isinya palsu. Surat yang dihasilkan
dari perbuatan ini disebut dengan surat palsu.10
Sementara perbuatan memalsu adalah segala wujud perbuatan apapun
yang ditujukan pada sebuah surat yang sudah ada, dengan cara menghapus,
mengubah atau mengganti salah satu isinya surat sehingga berbeda dengan surat
semula. Surat ini disebut dengan surat yang dipalsu.11
Dua unsur perbuatan dan 4
unsur objek surat atau akta tersebut merupakan sesuatu yang bersifat alternative,
dimana dalam mendalilkannya sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada pasal
263 KUHP harus dibuktikan salah satu wujud perbuatannya dan salah satu objek
suratnya. Dimana, dalam proses pembuktiannya melalui dan dengan
menggunakan hukum pembuktian sebagaimana telah diatur pada pasal 183 jo 184
KUHAP. Perbuatan membuat surat, adalah melakukan suatu perbuatan dengan
cara apapun mengenai suatu surat atau akta misalnya akta kelahiran, sehingga
menghasilkan sebuah akta kelahiran.
Hal-hal yang harus dibuktikan mengenai perbuatan membuat ini antara
lain, adalah wujud apa termasuk bagaimana caranya dari perbuatan membuat
(misalnya menggunakan mesin cetak/ketik dan sebagainya), dan siapa yang
melakukan wujud tersebut, berikut kapan waktunya (tempusnya) dan dimana
lokasi atau terjadinya peristiwa tersebut (lokusnya).12
Dalam hal ini, semuanya
10
Widjaya, Merancang Suatu Kontrak Teori dan Praktek, h. 29.
11
Widjaya, Merancang Suatu Kontrak Teori dan Praktek, h. 38.
12
R. Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermesa, 2003), h. 44.
38
harus jelas, artinya dapat dibuktikan tanpa keraguan sama sekali. Tidak cukup
adanya fakta kedapatan peada seseorang, atau digunakan sebagai bukti oleh
seseorang mengenai akta tersebut.
Dalam hukum pembuktian tidak mengenal dan tidak tunduk pada
anggapan, melainkan harus dibuktikan setidak-tidaknya memenuhi syarat
minimal pembuktian. Hukum pembuktian dibuat untuk menjamin kepastian
hukum dan keadilan bagi setiap orang di negara ini, dan untuk menghindari
kesewenang-wenangan hakim dalam menjatuhkan suatu putusan atau vonis pada
suatu perkara yang ditanganinnya.13
Pada pasal 183 KUHAP tentang syarat
minimal pembuktian, menetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk
menjatuhkan pidana, ialah syarat subjektif yang juga harus dilandasi syarat
objektif. Harus ada suatu keyakinan hakim yang dibentuk berdasarkan minimal
dua alat bukti yang sah. Dasar keyakinan hakim yang dibentuk atas dasar
(objektif) minimal 2 alat bukti yang sah tersebut adalah hakim yakin tindak
pidana telah terjadi, hakim yakin terdakwa tersebut yang telah melakukannya dan
hakim yakin terdakwa telah bersalah dalam melakukan tindak pidana tanpa
adanya hal-hal yang bisa memaafkan atau menghapuskan pidana.
Oleh karena itu tidak cukup untuk membentuk keyakinan dari sekedar
fakta bahwa, misalnya sebuah akta kelahiran yang diduga palsu kedapatan pada
seseorang, atau fakta ada orang lain yang menyerahkannya kepada orang lain
untuk melakukan suatu perbuatan hukum. Fakta yang seperti ini hanya sekedar
13
Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, h. 48.
39
dapat dipakai sebagai bahan untuk membuat alat bukti petunjuk saja dan tidak
membuktikan sebagai pelaku tindak pidana sebagaimana diatur pada pasal 263
KUHP. Terlebih lagi, untuk terbitnya sebuah akta kelahiran selalu melalui
prosedur baku yang tidak mungkin dibuat oleh satu orang saja.14
Ada 2 syarat adanya surat asli dan tidak dipalsu dalam pasal 263 (1) atau
(2), ialah:15
1. Perkiraan adanya orang yang terpedaya terhadap surat itu, dan
2. Surat itu dibuat memang untuk memperdaya orang lain. Arti dapat merugikan
menurut ayat (1) maupun ayat (2) pasal 263. Istilah dapat adalah perkiraan
yang dapat dipikirkan oleh orang yang normal.
Ada perbedaan perihal dapat merugikan menurut ayat (1) dan menurut
ayat (2). Perbedaannya, ialah surat palsu atau dipalsu menurut ayat (1) belum
digunakan, sementara ayat (2) surat sudah digunakan. Oleh karena menurut ayat
(2) surat sudah digunakan, maka hal kerugian menurut ayat (2) harus jelas dan
pasti perihal pihak mana yang dirugikan dan kerugian berupa apa yang akan di
derita oleh orang/pihak tertentu tersebut. Ada 2 pihak yang dapat menderita
kerugian, ialah: (1) pihak/orang yang namanya disebutkan di dalam surat palsu
tersebut, atau (2) pihak/orang siapa surat itu pada kenyataannya digunakan.16
Namun harus jelas bahwa perkiraan kerugian ini adalah akibat langsung dari
14
Widjaya, Merancang Suatu Kontrak., h. 51.
15
Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, h.52.
16
Widjaya, Merancang Suatu Kontrak., h. 53.
40
penggunaannya. Artinya tanpa menggunakan surat palsu/dipalsu, kerugian itu
tidak mungkin terjadi.
D. Tugas, Wewenang, Dan Kewajiban Notaris
Pasal 1 P.J.N tidak memberikan uraian yang lengkap mengenai tugas dan
pekerjaan notaris. Dikatakan demikian, oleh karena selain untuk membuat akta-
akta otentik, notaris juga ditugaskan untuk melakukan pendaftaran dan
mensyahkan surat-surat/akta-akta yang dibuat dibawah tangan. Notaris juga
memberikan nasehat hukum dan penjelasan mengenai undang-undang kepada
pihak-pihak yang bersangkutan. Juga sebagaimana telah dikemukakan diatas,
menurut kenyataannya tugas notaris bersamaan dengan perkembangan waktu
telah pula berkembang sebagaimana itu sekarang ini. Tegasnya notaris
sebagaimana menurut undang-undang dan notaris menurut yang sebenarnya dan
tugas yang harus dijalankannya, yang diletakan kepadanya oleh undang-undang,
sangat berbeda sekali dengan tugas yang dibebankan kepadanya oleh masyarakat
didalam praktek, sehingga sulit untuk memberikan definisi yang lengkap
mengenai tugas dan pekerjaan notaris.17
a. Wewenang Notaris Bersifat Umum
Pertama sekali didalam pasal 1 PJN ditentukan, bahwa notaris berwenang
untuk membuat akta mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan yang
diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan
17
G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris (Jakarta: Erlangga, 1980), h. 32.
41
dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik. Dari bunyi pasal tersebut,
bahwa wewenang notaris adalah regel (bersifat umum), sedangkan wewenang
dari pejabat lain adalah pengecualian. Wewenang dari pejabat lainnya itu untuk
membuat akta sedemikian hanya ada, apabila oleh undang-undang dinyatakan
secara tegas, bahwa selain dari notaris, mereka juga turut berwenang membuatnya
atau untuk pembuatan suatu akta tertentu mereka oleh undang-undang dinyatakan
sebagai satu-satunya yang berwenang untuk itu.18
Pasal 15 ayat (1) UUJN menegaskan bahwa salah satu kewenangan
notaris, yaitu membuat akta secara umum, hal ini disebut sebagai kewenangan
umum notaris, dengan batasan sepanjang:
1. Tidak dikecualikan kepada pejabat lain yang ditetapkan oleh undang-undang.
2. Menyangkut akta yang harus dibuat atau berwenang membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketatapan yang diharuskan oleh
aturan hukum atau dikehendaki oleh yang bersangkutan.
3. Mengenai subjek hukum (orang atau badan hukum) untuk kepentingan siapa
akta itu dibuat atau dikehendaki oleh yang berkepentingan.
Menurut pasal 15 ayat (1) bahwa wewenang notaris adalah membuat akta,
bukan membuat surat, seperti surat kuasa membebankan hak tanggungan
(SKMHT) atau membuat surat lain, seperti surat keterangan waris (SKW). Ada
beberapa akta otentik yang merupakan wewenang notaris dan juga menjadi
wewenang pejabat atau instansi lain,yaitu:
18
Ibid.,h. 33.
42
1. Akta pengakuan anak di luar kawin (pasal 281 BW)
2. Akta berita acara kelalaian pejabat penyimpan hipotik (pasal 1227 BW)
3. Akta berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyansi (pasal
1405 dan 1406 BW).
4. Akta protes wesel dan cek (pasal 143 dan 218)
5. Surat kuasa membebankan hak tanggungan (SKMHT) (pasal 15 ayat (1)
undang-undang nomor 4 tahun 1996).
Berdasarkan wewenang yang ada pada notaris sebagaimana tersebut
dalam pasal 15 UUJN dan kekuatan pembuktian dari akta notaris, maka ada 2
(dua) kesimpulan, yaitu:
1. Tugas jabatan notaris adalah memformulasikan keinginan/tindakan para pihak
ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku.
2. Akta notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang
sempurna, sehingga tidak perlu dibuktikan atau ditambah dengan alat bukti
yang lainnya, jika ada orang/pihak yang menilai atau menyatakan bahwa akta
tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang menilai atau menyatakan tidak
benar tersebut wajib membuktikan penilaian atau pernyataannya sesuai aturan
hukum yang berlaku. 19
Kewenangan notaris, menurut pasal 15 UUJN adalah membuat akta
otentik mengenai perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh
19
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris), (Bandung: Refika Aditama, 2009), h. 78-79.
43
peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang
berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal
pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta,
semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-
undang. Notaris memiliki wewenang pula untuk:
1. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah
tangan dengan mendaftar dalam buku khusus.
2. Membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku
khusus;
3. Membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang
memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang
bersangkutan;
4. Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;
5. Memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta;
6. Membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau
7. Membuat akta risalah lelang.
Melalui pengertian notaris tersebut terlihat bahwa wewenang notaris
adalah membuat akta otentik.20
b. Kewajiban Notaris
20
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika,
(Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 15-16.
44
Kewajiban menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, diartikan sebagai
sesuatu yang diwajibkan, sesuatu yang harus dilaksanakan atau dapat diartikan
juga sebagai suatu keharusan.21
Sehingga kewajiban notaris adalah sesuatu yang
harus dilaksanakan oleh notaris dalam menjalankan jabatannya, karena sudah
menjadi suatu keharusan yang diwajibkan oleh undang-undang (UUJN).
Kewajiban notaris melupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh notaris
yang jika tidak dilakukan atau dilanggar, maka atas pelanggaran tersebut akan
dikenakan sanksi terhadap notaris. Kewajiban tersebut diatur pada bab III pasal
16 dari UUJN, yaitu sebagai berikut.22
1. Dalam menjalan jabatannya, notaris berkewajiban:
a. Bertindak jujur, seksama, mandiri, tidak berpihak, dan menjaga
kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum;
b. Membuat akta dalam bentuk minuta akta dan menyimpannya sebagai
bagian dari protocol notaris;
c. Mengeluarkan grosse akta, salinan akta, atau kutipan akta berdasarkan
minuta akta;
d. Memberikan pelayanan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
ini, kecuali ada alasan untuk menolaknya;
21
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2001), h. 1123. 22
Pasal 16 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris.
45
e. Merahasiakan segala sesuatu mengenai akta yang dibuatnya dan segala
keterangan yang diperoleh guna pembuatan akta sesuai dengan
sumpah/janji jabatan, kecuali undang-undang menentukan lain;
f. Menjilid akta yang dibuatnya dalam 1 (satu) bulan menjadi buku yang
memuat tidak lebih dari 50 (lima puluh) akta, dan jika jumlah akta tidak
dapat dimuat dalam satu buku, akta tersebut dapat dijilid menjadi lebih
dari saatu buku, dan tahun pembuatannya pada sampul setiap buku;
g. Membuat daftar dari akta proses terhadap tidak dibayar atau tidak
diterimanya surat berharga;
h. Membuat daftar akta yang berkenaan dengan wasiat menurut urutan waktu
pembuatan akta setiap bulan;
i. Mengirimkan daftar akta sebagaimana dimaksud dalam huruf h atau daftar
nihil yang berkenaan dengan wasiat ke daftar pusat wasiat departemen
yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang kenotariatan dalam waktu 5
(lima) hari pada minggu pertama setiap bulan berikutnya;
j. Mencatat dalam repertorium tanggal pengiriman daftar wasiat pada setiap
akhir bulan;
k. Mempunyai cap/stempel yang memuat lambing negara Republik
Indonesia dan pada ruang yang melingkarinya dituliskan nama, jabatan
dan tempat kedudukan yang bersangkutan;
46
l. Membacakan akta di hadapan penghadap dengan dihadiri oleh paling
sedikit 2 (dua) orang saksi dan ditandatangani pada saat itu juga oleh
penghadap, saksi, dan notaris
m. Menerima magang calon notaris.
2. Menyimpan minuta akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hruf b tidak
berlaku, dalam hal notaris mengeluarkan akta dalam bentuk originali.
3. Akta originali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah akta
a. Pembayaran uang sewa, bunga dan pension
b. Penawaran pembayaran tunai;
c. Protes terhadap tidak dibayarnya atau tidak diterimanya surat berharga;
d. Akta kuasa;
e. Keterangan kepemilikan; atau
f. Akta lainnya berdasrkan peraturan perundang-undangan.
4. Akta original sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dibuat lebih dari 1
(satu) rangkap.
5. Akta originali yang berisi kuasa yang belum diisi nama penerima kuasa hanya
dapat dibuat dalam 1 (satu) rangkap.
6. Bentuk dan ukuran cap/stempel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf k
ditetapkan dengan peraturan menteri.
7. Pembacaan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf I tidak wajib
dilakukan, jika penghadap menghendaki agar akta tidak dibacakan karena
penghadap telah membaca sendiri, mengetahui dan memahami isinya.
47
8. Jika salah satu syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf I dan ayat (7)
tidak dipenuhi, akta yang bersangkutan hanya mempunyai kekuatan
pembuktian sebagai akta di bawah tangan.
9. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tidak berlaku untuk
pembuatan akta wasiat.23
E. Akta-Akta Notaris
Ada 2 (dua) jenis/golongan akta notaris,yitu: (1) akta yang dibuat oleh
(door) notaris, biasa disebut dengan istilah akta relaas atau berita acara, (2) akta
yang dibuat di hadapan (ten overstaan) notaris, biasa disebut dengan akta pihak
atau akta partij.
Akta-akta tersebut dibuat atas dasar permintaan para pihak/penghadap,
tanpa adanya permintaan para pihak, sudah tentu akta tersebut tidak akan dibuat
oleh notaris. Akta relaas akta yang dibuat oleh notaris atas permintaan para pihak,
agar notaris mencatat atau menuliskan segala sesuatu hal yang dibicarakan oleh
pihak berkaitan dengan tindakan hukum atau tindakan lainnya yang dilakukan
oleh para pihak, agar tindakan tersebut dibuat atau dituangkan dalam suatu akta
notaris. Dalam akta relaas ini notaris menulis atau mencatatkan semua hal yang
dilihat atau didengar sendiri secara langsung oleh notaris yang dilakukan para
pihak. Dan akta pihak adalah akta yang dibuat di hadapan notaris atas permintaan
23
Mahmud Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator Tugas-Tugas Jabatan
Notaris yang Berimplikasi Perbuatan pidana, (Jakarta: P.T SOFMEDIA, 2011), h. 40-43.
48
para pihak, notaris berkewajiban untuk mendengarkan pernyataan atau keterangan
para pihak yang dinyatakan atau diterangkan sendiri oleh para pihak di hadapan
notaris. Pernyataan atau keterangan para pihak tersebut oleh notaris dituangkan ke
dalam akta notaris.24
Berbagai akta yang biasa atau sering dibuat dihadapan atau oleh notaris
dalam menjalankan tugas jabatannya adalah sebagai berikut:
1. Akta-akta yang menyangkut hukum perorangan (personen recht), Burgerlijk
Wetboek buku I, antara lain:
a. Berbagai izin kawin baik dari orangtua ataupun kakek/nenek (harus
otentik/pasal 71 BW)
b. Pencabutan pencegahan perkawinan (harus otentik/pasal 70 BW)
c. Berbagai perjanjian kawin berikut perubahannya (harus otentik/pasal 147,
148 BW dan sebagainya).
d. Kuasa melangsungkan perkawinan (harus otentik/pasal 79 BW)
e. Hibah yang berhubungan dengan perkawinan dan penerimaannya (harus
otentik/pasal 176 dan 177 BW).
f. Berbagai kuasa/bantuan suami kepada istrinya (pasal 108 dan 139 BW).
g. Pembagian harta perkawinan setelah adanya putusan pengadilan tentang
pemisahan harta (harus otentik/pasal 191 BW).
h. Kuasa melepaskan harta campur (pasal 132 dan 133 BW)
24
Habib Adjie, Hukum Notaris Indonesia Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), h. 45.
49
i. Pemulihan kembali harta campur yang telah terpisah (harus otentik/pasal
196 BW).
j. Syarat-syarat untuk mengadakan perjanjian pisah meja dan ranjang (pasal
237 BW).
k. Perdamaian antara suami istri yang telah pisah meja dan ranjang (pasal
248 dan 249 BW).
l. Keingkaran sahnya anak (pasal 253 dan 256 BW).
m. Pengakuan anak luar kawin (harus otentik/pasal 281 BW)
2. Akta-akta yang menyangkut hukum kebendaan (zaken recht, Burgerlijk
Wetboek buku II, antara lain:
a. Berbagai macam jenis surat wasiat, termasuk di antaranya penyimpanan
wasiat umum, wasiat pendirian yayasan, wasiat umum, wasiat pemisahan
dan pembagian harta peninggalan, pengangkatan pelaksana wasiat dan
pengurusan harta peninggalan dan pencabutannya (harus otentik/pasal 874
dan seterusnya BW)
b. Berbagai kuasa yang menyangkut warisan, seperti kuasa keterangan
menimbang, menerima secara terbatas, menolak harta peninggalan (pasal
1023 dan sebagainya 1044 dan seterusnya BW)
c. Berbagai akta pemisahan dan pembagian harta peninggalan/warisan
(dalam berbagai hal harus otentik/pasal1066 dan seterusnya BW)
d. Pencatatan harta peninggalan (pasal 1073 BW)
e. Jaminan kebendaan gadai (pasal 1150 dan seterusnya BW)
50
f. Jaminan kebendaan hipotik (harus otentik/pasal 1162 dan seterusnya
1171, 1195 dan 1196 BW juncto peraturan agrarian).
3. Akta-akta yang menyangkut hukum perikatan (verbintenissen recht),
Burgerlijk Wetboek buku III, antara lain:
a. Berbagai macam/jenis jual beli (pasal 1457 dan seterusnya BW), untuk
tanah dengan PPAT.
b. Berbagai macam/jenis tukar menukar (Pasal 1541 dan seterusnya bw),
untuk tanah dengan akta PPAT.
c. Berbagai macam/jenis sewa-menyewa (Pasal 1548 dan seterusnya BW)
d. Macam-macam perjanjian perburuhan/hubungan kerja (Pasal 1601 dan
seterusnya BW)
e. Aneka perjanjian pemborongan pekerjaan (Pasal 1064 dan seterusnya
BW)
f. Rupa-rupa persekutuan/perseroan (maatschap) (Pasal 1618 dan seterusnya
BW)
g. Berbagai jenis perkumpulan (Pasal 1653 dan seterusnya BW)
h. Berbagai hibah (Pasal 1666 dan seterusnya BW), untuk tanah dengan akta
PPAT (harus otentik/Pasal 1682 BW)
i. Rupa-rupa penitipan barang (pasal 1964 dan seterusnya BW)
j. Aneka perjanjian tentang pinjam pakai (Pasal 1740 dan seterusnya BW)
k. Berbagai perjanjian pinjam-meminjam/kredit/hutang uang dan sebagainya
(Pasal 1754 dan seterusnya BW)
51
l. Rupa-rupa pemberian kuasa, khusus maupun umum (Pasal 1792 dan
seterusnya BW)
m. Penanggung utang/jaminan peribadi (Pasal 1820 BW)
n. Perdamaian dalam berbagai masalah (Pasal 1851 dan seterusnya BW)
o. seribu satu (tidak terduga banyaknya macam kontrak inominat atas
dasar Pasal 1338 Jis Pasal 1319, 1233, dan seterusnya serta 1313 dan
seterusnya BW)
4. Akta-akta yang menyangkut hukum dagang/perusahaan (Wetboek van
Koophandel dan lain-lain), antara lain:
a. Berbagai perseroan (Maatschap, Firma, Comanditair Vennotschap,
Perseroan Terbatas biasa, Penanaman Modal Dalam Negeri dan
Penanaman Modal Asing, Persero, Perseroan Indonesia atas Saham, baik
pendirian, perubahan, pembukuan maupun pembubarannyaserta gabungan
beberapa perusahaan atau merger dan lain sebagainya.
b. Protes non pembayaran/akseptasi (harus otentik/Pasal 132 dan 143 WvK)
c. Berbagai perantara dagang, seperti perjanjian keagenan dagang dan
kontrak perburuhan dengan pedagang keliling.
d. Akta-akta yang menyangkut badan-badan social atau kemanusiaan
(zedelijke lichamen), seperti perkumpulan yayasan (harus/bisa otentik) dan
wakaf.25
25
Abdul Ghofur Anshori, Lembaga Kenotariatan Indonesia Perspektif Hukum dan Etika,
(Yogyakarta: UII Press, 2009), h. 23-25.
52
F. Asas-Asas Pelaksanaan Tugas Jabatan Notaris
Asas aau prinsip merupakan sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas,
dasar, tumpuan, tempat untuk menyandarkan sesuatu, mengembalikan sesuatu hal
yang hendak dijelaskan. Asas hukum mengandung nilai-nilai dan tuntutan-
tuntutan etis, sehingga ia merupakan jembatan antara peraturan-peraturan hukum
dengan cita-cita social dan pandangan etis masyarakatnya. Melalui asas hukum
ini, peraturan-peraturan hukum berubah sifatnya menjadi bagian dari suatu
tatanan etis26
Dalam asas-asas pemerintahan yang baik (AUPB) dikenal asas-asas
sebagai berikut
1. Asas persamaan;
2. Asas kepercayaan;
3. Asas kepastian hukum;
4. Asas kecermatan;
5. Asas pemberian alasan;
6. Larangan penyalah gunaan wewenang;
7. Larangan bertindak sewenang-wenang.
Untuk kepentingan pelaksanaan tugas jabatan notaris, ditambah dengan
asas proporsionalitas dan asas profesionalitas. Asas-asas tersebut dapat diadopsi
26
Mulyadi, Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator Tugas-Tugas Jabatan Notaris
yang Berimplikasi Perbuatan pidana, h. 21.
53
sebagai asas-asas yang harus dijadikan pedoman dalam menjalankan tugas jabatan
notaris, sebagai asas-asas pelaksanaan tugas jabatan notaris yang baik, dengan
substansi dan pengertian untuk kepentingan notaris, sebagai berikut;
1. Asas Persamaan
Sesuai dengan perkembangan jaman, institusi notaris telah menjadi
bagian dari masyarakat Indonesia, dan dengan lahirnya UUJN semakin
meneguhkan institusi notaris. Dalam memberikan pelayanan kepada
msyarakat tidak membeda-bedakan satu dengan lainnya berdasarkan keadaan
social-ekonomi atau alasan lainnya. Alasan-alasan seperti ini tidak dibenarkan
untuk dilakukan oleh notaris dalam melayani masyarakat, hanya alasan
hukum yang dapat dijadikan dasar bahwa notaris dapat tidak memberikan jasa
kepada yang menghadap notaris. Bahkan dalam keadaan tertentu notaris wajib
memberikan jasa hukum di bidang kenotariatan secara cuma-cuma kepada
yang tidak mampu (Pasal 37 UUJN).
2. Asas Kepercayaan
Jabatan notaris merupakan jabatan kepercayaan yang harus selaras
dengan mereka yang menjalankan tugas jabatan notaris sebagai orang yang
dapat dipercaya. Notaris sebagai jabatan kepercayaan tidak berarti apa-apa,
jika ternyata mereka yang menjalankan tugas jabatan sebagai notaris sebagai
orang yang tidak dapat dipercaya, sehingga hal tersebut, antara jabatan notaris
dan pejabatnya (yang menjalankan tugas jabatan notaris) harus sejal