kajian fisiologi reproduksi ikan nila merah … · 1. keluarga besar tercinta; ayahanda h. thalib...
TRANSCRIPT
1
KAJIAN FISIOLOGI REPRODUKSI IKAN NILA MERAH
(Oreochromis sp.) SETELAH PEMBERIAN HORMON
TIROKSIN DAN DIPELIHARA PADA BEBERAPA
MEDIA SALINITAS
ERNA THALIB
C151090161
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
2
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis dengan judul “Kajian Fisiologi
Reproduksi Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.) setelah Pemberian Hormon
Tiroksin dan Dipelihara pada Beberapa Media Salinitas” adalah benar karya
saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau
dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir
tesis ini.
Bogor, Maret 2012
Erna Thalib
C151090161
3
ABSTRACT
ERNA THALIB. Study of Reproductive Physiology of Red Tilapia (Oreochromis
sp.) after Tyroxine Treatment and Rearing at various Salinity Media. Under
supervision of M. ZAIRIN JUNIOR and IRZAL EFFENDI.
Tyroxine or tetrayodotyronine (T4) hormone and salinity are the two most
important variables for osmoregulation, metabolism, and reproduction of fish.
The research was conducted to evaluate reproductive physiology of red tilapia
under different media salinity and tyroxine doses. Thyroxine was administrated to
the fish by injection four times every two week. The research consist of nine
treatments and three replications with combination between tyroxine and media
salinity were (A) Thyroxine (T4) 0 ng /g body weigh (BW), salinity 0 ppt; (B) 0,10;
(C) 0,20; (D) 50, 0; (E) 50, 10; (F) 50, 20; (G) 100, 0; (H) 100, 10; and (I) 100,
20. The result showed that tyroxine administration could increase osmotic
gradient, fat and protein retention. Thyroxine administration also have influenced
to gonadal development including gonado somatic index, hepato somatic index
and fecundity. The combination between tyroxine 100 ng/g BW and media
salinity 10 ppt and gave the best for reproduction performance of red tilapia.
Keywords: tyroxine hormone, osmoregulation, metabolism, reproduction, red
tilapia
4
RINGKASAN
ERNA THALIB. Kajian Fisiologi Reproduksi Ikan Nila (Oreochromis sp.)
setelah Pemberian Hormon Tiroksin dan Dipelihara pada beberapa Media
Salinitas. Dibimbing oleh M. ZAIRIN JUNIOR dan IRZAL EFFENDI.
Permintaan akan ikan nila yang semakin tinggi dibarengi kompetisi lahan
air tawar yang semakin meningkat sementara ketersediaan wilayah tambak masih
cukup besar membuat para pembudidaya terus mencari alternatif untuk
meningkatkan produksinya. Salah satu yang dilakukan adalah dengan mencoba
memelihara ikan nila pada media bersalinitas.
Pemindahan pemeliharaan ikan dari media air tawar ke payau atau laut
mengharuskan ikan beradaptasi melalui pengaturan osmoregulasi, upaya
mengontrol keseimbangan air dan ion antara tubuh dan lingkungan ikan. Dalam
proses osmoregulasi tersebut dibutuhkan hormon untuk mengontrol, salah satunya
adalah tiroksin.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengkaji sejauh mana
hormon tiroksin berpengaruh terhadap reproduksi ikan nila merah yang dipelihara
pada beberapa media salinitas dan menentukan dosis hormon yang baik untuk
mengurangi beban osmotik ikan yang dipelihara pada media salinitas berbeda.
Ikan yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk ikan nila merah dengan
bobot tubuh berkisar antara 200-230 g/ekor, sedangkan bahan yang digunakan
adalah hormon tiroksin atau tetraiodotironin (T4). Penelitian ini terdiri dari
sembilan perlakuan dan tiap-tiap perlakuan diulang sebanyak tiga kali dengan
rancangan penelitian; (A) tiroksin (T4) 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,
10; (C) 0, 20; (D) 50, 0; (E) 50, 10; (F) 50, 20; (G) 100, 0; (H) 100, 10 dan (I)
100, 20.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi perlakuan kombinasi
tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dan pemeliharaan pada media salinitas 10 ppt
secara nyata mempengaruhi nilai fekunditas dan retensi protein (P<0,05).
Fekunditas rataan mencapai 1477 butir/ekor dan protein rataan sebesar 19,50%.
Pemeliharaan ikan nila pada media salinitas berbeda mempengaruhi nilai gonad
somatik indeks (GSI), hepato somatik indeks (HSI), tingkat konsumsi oksigen.
Performa reproduksi ikan nila menurun pada salinitas 20 ppt. Pemberian tiroksin
secara signifikan mempengaruhi nilai retensi lemak dengan pola semakin tinggi
konsentrasi tiroksin yang diberikan semakin ikan dapat memanfaatkan energi
pakan.
Hasil pengukuran kualitas air menunjukan kisaran nilai yang masih layak
untuk pemeliharaan ikan nila pada semua perlakuan sehingga dapat disimpulkan
bahwa parameter kualitas air pada penelitian ini bukan merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi ikan nila yang dipelihara.
Kata kunci : tiroksin, salinitas, reproduksi, nila merah
5
Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar bagi IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
6
KAJIAN FISIOLOGI REPRODUKSI IKAN NILA MERAH
(Oreochromis sp.) SETELAH PEMBERIAN HORMON
TIROKSIN DAN DIPELIHARA PADA BEBERAPA
MEDIA SALINITAS
ERNA THALIB
C151090161
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
7
Judul Tesis : Kajian Fisiologi Reproduksi Ikan Nila Merah (Oreochromis sp.)
setelah Pemberian Hormon Tiroksin dan Dipelihara pada
Beberapa Media Salinitas
Nama : Erna Thalib
NRP : C151090161
Disetujui
Prof. Dr. M. Zairin Junior, M.Sc. Ir. Irzal Effendi, M.Si.
Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Ilmu Akuakultur
Prof. Dr. Ir. Enang Harris, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr.
Tanggal Ujian : 07 Februari 2012 Tanggal Lulus:
8
PRAKATA
Maha suci Allah pemilik segala puji. Sujud syukur penulis panjatkan atas
segala limpahan kekuatan, kesempatan dan keberkahan sehingga penulisan tesis
dengan judul “Kajian fisiologi reproduksi ikan nila Oreochromis sp setelah
pemberian hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas” dapat
terselesaikan.
Pada kesempatan ini, rasa terima kasih tak terhingga Penulis ucapkan
kepada Bapak Prof. Dr. Muhammad Zairin junior, M.Sc., dan Bapak Ir. Irzal
Effendi, M.Si., selaku Dosen Pembimbing atas bantuan tak ternilai dalam
memberikan arahan, nasehat, motivasi serta bimbinganberharga selama proses
penulisan tesis ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir.
Widanarni, M.Si sebagai dosen penguji yang bersedia menguji dan memberikan
arahan, kritik serta masukan-masukan yang bermanfaat kepada Penulis dalam
penyempurnaan tesis.
Ucapan terima kasih juga ingin penulis sampaikan kepada :
1. Keluarga besar tercinta; Ayahanda H. Thalib Achmad Martapure dan Ibunda
Hj. Dawang Robo, Kakak Mahani Thalib, Nilawati Thalib, Kartini Thalib dan
Adik Erni Thalib atas segala doa dan semangat yang diberikan selama penulis
mengikuti studi di Pascasarjana IPB.
2. Teman-teman Ilmu Akuakultur 2009; Sefti Heza Dwinanti, Wahyuni Fanggi
Tasik, Zuraida, Muliyani, Riri Ezraneti, Iko Imelda Arisa, Novy Mayasari,
Muznah Toatubun, Dian Febriani, Dewi Puspaningsih, Jenni Abidin, Eulis
Marlina, Mariana Beruatjaan, Jacqueline Sahetapi, Jakomina Metungun, Hari
Kretiawan, Reza Samsudin, Tanbiyaskur, Aras Syazili, Safrizal Putra,
Alfabetian H. Condro Haditomo, Rahman, Anwar Hasan, Romeos Kalvari, Ari
S dan Anna Oktavera, Rindy Revsylia.
3. Adik-adik terkasih; Hasliana Diski, Rezki Amelia, Ria Hariati, atas dukungan
dan doa kepada penulis selama Penulis mengikuti studi pascasarjana di IPB.
Semoga karya ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua.
Bogor, Maret 2012
9
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada 18 oktober 1986 di Maluku Utara, merupakan
putri keempat dari lima bersaudara pasangan Bapak H. Thalib Achmad Martapure
dan Ibu Hj. Dawang Robo. Pada 2004 Penulis lulus dari SMU Negeri 5 Ternate
dan melanjutkan pendidikan strata satu (S1) pada Jurusan Budidaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun Ternate dan berhasil
lulus pada 2009. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di
program Master (S2) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada Mayor
Ilmu Akuakultur.
10
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL ............................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................... xiv
PENDAHULUAN .............................................................................. 1
Latar Belakang .......................................................................... 1
Perumusan Masalah ................................................................... 2
Tujuan dan Manfaat ................................................................... 4
Hipotesis ................................................................................... 5
TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................... 6
Biologi Ikan Nila (Oreochromis si.) ........................................... 6
Reproduksi dan Perkembangan Gonad ...................................... 6
Tiroid dan Mekanisme Kerjanya ................................................ 8
Defisiensi dan Kelebihan Tiroid dalam Tubuh ........................... 10
Salinitas, Tiroksin dan Osmoregulasi Ikan ................................. 12
Peranan Hormon Tiroid dalam Metabolisme Ikan ...................... 12
Peranan Hormon Tiroid dalam Reproduksi Ikan ........................ 13
Oksigen dan Pertumbuhan .......................................................... 14
Glukosa Darah sebagai Indikator Stres ...................................... 16
METODE PENELITIAN .................................................................... 18
Waktu dan Tempat Penelitian .................................................... 18
Alat dan Bahan .......................................................................... 18
Pelaksanaan Penelitian .............................................................. 19
Rancangan Penelitian ................................................................ 21
Parameter Uji yang Diamati ...................................................... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN … ......................................................... 27
Hasil .......................................................................................... 27
Pembahasan ............................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 46
LAMPIRAN ....................................................................................... 51
11
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Tingkat kematangan gonad ovarium ikan nila ............................... 7
2. Perlakuan percobaan kajian reproduksi ikan nila merah
(Oreochromis sp.) setelah pemberian tiroksin dan
dipelihara pada beberapa media salinitas ...................................... 21
3. Nilai rataan hepato somatik indeks (HSI, %) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas ..... 28
4. Nilai rataan diameter telur (DM, mm) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas ..... 29
5. Nilai rataan gonad somatik indeks (GSI, %) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas ..... 30
6. Nilai rataan fekunditas (FK, butir/ekor) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas ..... 31
7. Nilai rataan tingkat konsumsi oksigen TKO, mgO2/g tubuh/jam)
ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan
tiroksin dan salinitas ..................................................................... 36
8. Glukosa darah ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang
diberi perlakuan tiroksin dan salinitas selama pemeliharaan .......... 37
9. Nilai rataan retensi protein (RP, %) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas ..... 38
10. Nilai rataan retensi lemak (RL, %) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas ..... 40
11. Nilai rataan pertumbuhan harian (PH, %) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas ..... 40
12
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerjasama berbagai jenis hormon dalam tubuh ikan ............... 9
2. Proses pengeluaran dan penyerapan ion dan air dalam tubuh
ikan air tawar dan air laut ....................................................... 11
3. Kontrol endokrin terhadap osmoregulasi ikan ......................... 11
4. Faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi
metabolisme dan pertumbuhan ikan .......................................... 15
5. Perkembangan persentase nilai HSI ikan nila merah
(Oreochromis sp.) pada masing-masing perlakuan selama
pemeliharaan ............................................................................ 27
6. Perkembangan diameter telur (DM, mm) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) pada masing-masing perlakuan selama
pemeliharaan ............................................................................ 29
7. Perkembangan persentase nilai GSI ikan nila merah
(Oreochromis sp.) pada masing-masing perlakuan selama
pemeliharaan ............................................................................ 30
8. Pengaruh tiroksin terhadap nilai fekunditas ikan nila merah
(Oreochromis sp.) .................................................................... 32
9. Pengaruh salinitas terhadap nilai fekunditas ikan nila merah
(Oreochromis sp.) .................................................................... 32
10. Pengaruh interaksi antara tiroksin dan salinitas terhadap
nilai fekunditas ikan nila merah (Oreochromis sp.) ................... 33
11. Struktur histologi ikan nila merah (Oreochromis sp.) pada
Perlakuan H dan B (control) ................................................... 34
12. Gradien osmotik tubuh dan media pemeliharaan ikan nila
merah (Oreochromis sp.) setelah pemberian hormon
tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas .............. 35
13. Glukosa darah ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah
Pemberian hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa
Media salinitas ....................................................................... 37
13
14. Pengaruh pemberian tiroksin terhadap nilai retensi
protein ikan nila merah (Oreochromis sp.) ................................ 38
15. Pengaruh salinitas terhadap nilai retensi protein
ikan nila merah (Oreochromis sp.) .......................................... 39
16. Pengaruh interaksi antara tiroksin dan salinitas terhadap
Nilai retensi protein ikan nila merah (Oreochromis sp.) .......... 39
17. Pertumbuhan harian ikan nila merah (Oreochromis sp.)
setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa
media salinitas ........................................................................ 41
14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Tata letak wadah percobaan dan media pemeliharaan
ikan nila merah (Oreochromis sp.) ..................................... 54
2. Dokumentasi wadah penelitian ......................................... 56
3. Prosedur histologi gonad ................................................... 57
4. Prosedur pengukuran gradien osmotik .............................. 59
5. Prosedur pengukuran kadar glukosa darah ........................ 61
6. Diameter telur ikan nila pada perlakuan terbaik
(perlakuan H) dan perlakuan kontrol (perlakuan B) ............ 62
7. Osmolaritas tubuh dan media pemeliharaan ikan nila
Pada masing-masing perlakuan selama pemeliharaan ........ 65
8. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai HSI
ikan nila merah setelah pemberian tiroksin dan dipelihara
pada beberapa media salinitas ........................................... 66
9. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan diameter
telur (mm) ikan nila merah setelah pemberian tiroksin
dan dipelihara pada beberapa media salinitas … .................. 67
10. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai GSI
ikan nila merah setelah pemberian tiroksin dan dipelihara
pada beberapa media salinitas … ......................................... 68
11. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan tingkat
konsumsi oksigen ikan nila merah setelah pemberian
tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas … ..... 69
12. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai retensi
protein ikan nila merah setelah pemberian tiroksin
dan dipelihara pada beberapa media salinitas .................... 70
13. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai retensi
kemak ikan nila merah setelah pemberian tiroksin dan
dipelihara pada beberapa media salinitas ............................. 71
15
14. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan pertumbuhan
Ikan nila merah setelah pemberian tiroksin dan
dipelihara pada beberapa media salinitas ........................... 72
16
PENDAHULUAN
Latar belakang
Ikan nila merupakan salah satu komoditas unggulan perikanan yang
memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan. Beberapa kelebihan yang
dimiliki ikan ini adalah mudah dipelihara, bernilai ekonomis tinggi, responsif
terhadap pakan tambahan, kelangsungan hidupnya tinggi, dapat mentolerir
salinitas pada kisaran yang luas, mampu berkembangbiak dengan cepat, serta
memiliki struktur daging putih bersih, tebal dan kenyal (KKP 2010).
Untuk pasar ekspor, Amerika merupakan yang paling potensial, dan
membutuhkan pasokan nila fillet per tahunnya sekitar 90 ton/thn. Masih banyak
yang membutuhkan pasokan ikan nila dalam jumlah yang besar, diantaranya
adalah Hongkong, Singapura, Jepang dan Eropa. Menurut FAO (Food
Agricultural Organization), pasar dunia sampai 2010 masih kekurangan pasokan
ikan nila sebanyak 2 juta ton/tahun. Permintaan pasar akan ikan nila yang
cenderung meningkat dari tahun ke tahun menuntut para pelaku budidaya untuk
meningkatkan produksinya, baik secara kualitas maupun kuantitas. Salah satu
upaya untuk mendapatkan produksi yang tinggi adalah melalui pengelolaan induk
yang baik dengan mengoptimalkan faktor lingkungan yang dapat mendukung
kondisi fisiologi dari ikan yang dibudidayakan.
Ikan nila pada umumnya dibudidayakan di perairan tawar, namun
belakangan ini areal untuk budidaya ikan air tawar semakin sempit seiring
meningkatnya kompetisi penggunaan lahan oleh berbagai jenis ikan air tawar.
Sementara disis lain, ketersediaan lahan tambak masih tersedia luas. Hal ini
mendorong dilakukannya upaya pengembangan budidaya nila di perairan payau
(tambak) dan laut atau yang lebih dikenal dengan nila salin. Budidaya ikan nila
salin telah dikembangkan di berbagai wilayah Indonesia, diantaranya adalah
adalah Aceh, Jawa Tengah, Jawah Barat, Sumatera Utara dan Lampung. Beberapa
penelitian tentang salinitas dan kaitannya dengan kajian fisiologi terhadap ikan
nila juga telah dilakukan. Hasil penelitian Mege (1993), menunjukkan bahwa laju
pertumbuhan ikan nila lebih tinggi bila dipelihara pada salinitas > 5 ppt. Hal yang
sama dilaporkan oleh Darwisito (2006), bahwa pada salinitas 10 ppt ketahanan
tubuh ikan nila menjadi lebih baik serta merupakan kondisi lingkungan terbaik
17
yang mempengaruhi reproduksi pada induk ikan nila seperti fekunditas, nilai GSI
(gonad somatik indeks), perkembangan embrio dan waktu inkubasi telur.
Watanabe dan Kuo (1988), mengemukakan bahwa penampilan dan reproduksi
ikan nila lebih baik pada salinitas 5-15 ppt dari pada di air tawar dan air laut 30
ppt.
Selain faktor lingkungan, keberadaan hormon, seperti tiroksin juga
memegang peranan penting dalam pengaturan fisiologi tubuh ikan nila seperti
osmoregulasi, metabolisme dan reproduksi. Hormon tiroksin berperan dalam
mengontrol adaptasi salinitas, meningkatkan konsumsi oksigen, laju metabolisme
protein dan lemak sehingga secara tidak langsung berpengaruh terhadap
reproduksi ikan nila (Handayani 1997). Hasil penelitian Matty (1985),
menyatakan selama maturasi pada induk ikan mas koki, Carassius auratus
hormon tiroksin turut berperan dalam proses vitelogenesis oosit. Konsentrasi
gonadotropin berbeda nyata antara kontrol (tanpa pemberian salmon gonadotropin
dan tiroksin), tanpa pemberian tiroksin dan pemberian salmon gonadotropin yang
ditambahkan dengan hormon tiroksin. Pentingnya peranan hormon dalam
reproduksi ikan menjadi penting untuk dikaji sehingga penelitian ini perlu untuk
dilakukan.
Perumusan Masalah
Sifat euryhalin yang dimiliki oleh ikan nila membuat para petani budidaya
terus mencari alternatif untuk meningkatkan produksi melalui optimalisasi
lingkungan pemeliharaannya. Salah satu yang dilakukan adalah mencoba
memelihara ikan nila pada media bersalinitas. Pengembangan budidaya ikan di
lingkungan bersalinitas (tambak) tentunya membutuhkan ketersediaan benih yang
sudah beradaptasi di lingkungan bersalinitas sehingga perlu dikembangkan
pembesaran atau pemeliharaan induk pada media bersalinitas pula. Pemeliharaan
ikan pada kondisi isoosmotik akan terjadi penghematan energi untuk
osmoregulasi sehingga proses fisiologi dalam tubuh dapat berjalan dengan
optimal, termasuk pertumbuhan dan reproduksi. Hormon yang berperan dalam
pengaturan salinitas adalah hormon tiroid (tiroksin).
18
Keterlibatan hormon tiroid dalam osmoregulasi berhubungan dengan
aktivitas Na+,K
+-ATPase, sehingga dapat meningkatkan aktivitas transport
natrium pada berbagai jaringan epitel termasuk ginjal. Selain berperan dalam
pengaturan osmoregulasi, pada beberapa penelitian menunjukkan bahwa hormon
tiroid juga mempengaruhi laju metabolisme protein, karbohidrat dan lemak (Matty
1985). Hal serupa didukung oleh Woo et al. (1991), bahwa pemberian hormon
tiroksin dalam pakan dapat meningkatkan laju pertumbuhan, aktivitas enzim
pencernaan pada usus dan aktivitas enzim yang terlibat dalam metabolisme
karbohidrat. Hormon tiroid berintegrasi dengan hormon lain secara sinergistis
dalam mengatur laju metabolisme, memfasilitasi pelepasan growth hormone (GH)
dari sel-sel hipofisis, meningkatkan lipolisis serta pengambilan pakan sehingga
berpengaruh secara tidak langsung terhadap reproduksi ikan (Fujaya 2004).
Energi yang berasal dari lemak digunakan selama pembentukan vitelogenesis,
gonadogenesis dan fekunditas. Sementara energi protein digunakan untuk
gonadogenesis, gametogenesis, vitelogenesis, hormon dan enzim (Finstad et al.
2001). Tiroksin juga secara langsung berpengaruh terhadap reproduksi.
Kelancaran sekresi tiroksin oleh kelenjar tirod merupakan salah satu syarat untuk
kelangsungan reproduksi secara normal pada ternak (Toelihere 1979). Sechman et
al. (2009) mengemukakan bahwa pada ayam tiroid dapat meningkatkan
konsentrasi progesteron yang berperan penting dalam proses ovulasi. Pada
manusia, keadaan hipotiroid menyebabkan kegagalan perkembangan gonad dan
sistem saluran reproduksi, perpanjangan masa kebuntingan dan penurunan jumlah
anak pada babi (Robertson dan Falconer 1961). Pada ikan hormon tiroid dalam
plasma induk akan ditransfer kedalam telur dan kemudian kedalam kantung
kuning telur larva (Ayson dan Lam 1993).
Berbagai respon yang ditimbulkan akibat pengaruh pemberian hormon
terhadap proses osmoregulasi dan reproduksi berbeda untuk setiap spesies hewan
serta dosis yang digunakan. Pada ikan dewasa, tiroid mempengaruhi peningkatan
respon hCG (human chorionic gonadotropin). Pada tikus betina, tiroksin berperan
dalam pematangan folikel. Menurut Choksi et al. (2003), pada manusia hormon
tiroid mempengaruhi beberapa aspek reproduksi, seperti metabolisme estrogen,
kematangan seksual, ovulasi, kesuburan dan kemampuan menghasilkan anak.
19
Pada ikan hormon tiroid memainkan peran dalam fungsi dan perkembangan
sistem reproduks meskipun mekanisme secara detail belum sepenuhnya diketahui.
Strategi pemeliharaan ikan nila di perairan laut atau payau perlu mendapat
perhatian terutama menyangkut osmoregulasi sehingga ikan dapat memperkecil
ketersediaan energi untuk reproduksi. Strategi yang dapat dilakukan adalah
memilih strain yang adaptif terhadap kadar garam dan penggunaan hormon yang
salah satunya adalah hormon tiroid (T4). Pemberian hormon tiroksin dapat
membantu ikan dalam mengatur osmoregulasi melalui pengambilan ion-ion oleh
tubuh agar energi yang digunakan untuk osmoregulasi dapat ditekan sekecil
mungkin dan dapat digunakan secara optimal untuk reproduksi. Keberadaan
tiroksin mempengaruhi perkembangan gonad melalui rangsangan terhadap
hormon gonadotropin (Matty 1985).
Keadaan hipotiroidisme atau kekurangan tiroid dalam tubuh dapat
menghambat saluran reproduksi. Kerusakan gonad juga dapat terjadi bila
mencapai keadaan hipertiroidisme dalam tubuh (Toelihere 1979). Pemberian
tiroksin akan memberi pengaruh-pengaruh stimulasi atau keracunan sehingga
perlu diperhatikan dosis dan spesies yang digunakan. Mengacu pada
permasalahan tersebut diatas, maka perlu dilakukan penelitian terkait dengan
pemberian hormon dengan dosis berbeda pada media bersalinitas sehingga
diharapkan dapat memberikan pengaruh terbaik terhadap berbagai aspek
reproduksi ikan nila, baik secara langsung maupun secara tidak langsung.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji sejauh mana hormon tiroksin
mempengaruhi fisiologi reproduksi ikan nila yang dipelihara pada beberapa media
salinitas. Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah dapat memberikan
informasi dasar tentang dosis optimum hormon tiroksin (T4) terhadap reproduksi
ikan nila yang dipelihara pada media bersalinitas sehingga diharapkan dapat
dikembangkan pembenihan (hatchery) ikan nila pada lingkungan bersalinitas
(payau-laut)
20
Hipotesis
Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah interaksi antara pemberian
hormon tirkosin dengan konsentrasi berbeda dan pemeliharaan pada level salinitas
media berbeda dapat meningkatkan kinerja reproduksi dari ikan nila merah
(Oreochromis sp.).
21
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Ikan Nila (Oreochromis sp.)
Nila merah (Oreochromis sp.) merupakan ikan hasil hibridisasi antara ikan
Oreochromis mossambicus dan Oreochromis niloticus. Tergolong dalam ordo
Percomorphi, sub ordo Percoidea, family Cichlidae dan genus Oreochromis
(Stickney 2006). Sebagai ikan yang tergolong euryhalin, ikan nila merah dapat
dibudidayakan di perairan tawar, payau dan laut. Kondisi lingkungan yang
optimal bagi pertumbuhan ikan nila adalah suhu berkisar antara 27-29oC, oksigen
terlarut 3-8,5 ppm, pH 7-8,3; alkalinitas 90-190 ppm, kesadahan 62-79 mg
CaCO3, Ikan tilapia digolongkan sebagai ikan herbivora (Tengjaroenkul et al.
2000), dapat memakan jenis-jenis pakan tambahan seperti dedak halus, tepung
bungkil kacang, ampas kelapa dan sebagainya. Untuk budidaya ikan nila tumbuh
lebih cepat dengan pakan yang mengandung protein >20-25 %.
Ikan nila umumnya lebih dikenal atau dipelihara di perairan tawar, mulai
dari lingkungan yang sempit seperti kolam pekarangan, kolam tadah hujan dan
sawah sampai dengan lingkungan yang sangat luas seperti tambak, sungai atau
waduk (dengan sistem keramba jaring apung). Toleransi terhadap kadar garam
merupakan suatu karakteristik biologi utama dari ikan nila. Pertumbuhan ikan nila
berbeda pada kondisi air tawar, payau (estuari) dan laut. Ikan nila tumbuh lebih
cepat pada salinitas 6-17 ppt dibandingkan dengan air tawar. Pada salinitas 31-36
ppt dapat mematikan secara total (Mege 1993). Performa reproduksi ikan nila
lebih baik pada salinitas 10 ppt (Darwisto 2006), 5-15 ppt dan menurun pada
salinitas > 30 ppt (Watanabe dan Kuo 1988).
Reproduksi dan Perkembangan Gonad
Reproduksi merupakan suatu proses biologi mulai dari differensiasi
seksual hingga dihasilkannya individu baru (larva) yang melibatkan kinerja dari
beberapa jenis hormon (Bernier et al. 2009). Dalam proses budidaya,
pengembangbiakan ikan merupakan salah satu kegiatan yang harus tumbuh dan
berkembangbiak agar kontinuitas produksi budidaya dapat berkelanjutan.
Kegiatan reproduksi terjadi sesudah ikan mencapai masa dewasa; diatur oleh
22
kelenjar-kelenjar endokrin dan hormon-hormon yang menghasilkannya. Awal
matang gonad ikan nila pada ukuran 20-30 cm (150 g) (Stickney 2006); > 50 g
(El-ssayed et al. 2003), tergantung jenis dan strain. Perkembangan gonad ikan nila
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti hormon, makanan dan faktor lingkungan.
Stickney (2006) mengemukakan bahwa ikan nila pada kondisi budidaya
(terkontrol) lebih cepat matang gonad dibandingkan dengan ikan nila yang hidup
di perairan alami.
Secara alami ikan nila dapat memijah sepanjang tahun di daerah tropis.
Pada umumnya pemijahan ikan nila terjadi 6-7 kali/tahun. Rasio betina : jantan
untuk pemijahan adalah 2:1. Fekunditas berkisar antara 243-847 butir telur/ induk
(Mendoza et al. 2005), 300-1.500 butir/induk (Kusnadi dan Bani), 300-3.000
butir/induk (Kordi 2000; Stickney 2006). Nilai fekunditas dipengaruhi oleh
beberapa faktor, seperti pakan, ukuran ikan, diameter telur, dan lingkungan.
Salinitas untuk pemijahan berkisar antara 0-30 ppt (Koda 2003; Ainun 2008).
Beberapa spesies ikan dapat memijah dua atau beberapa kali dalam setahun
(Rustidja 2005). Pada pemijahan secara alami, ikan yang telah matang gonad dan
siap memijah dapat menghasilkan telur yang matang dalam waktu yang singkat
apabila kondisi lingkungan baik.
Tingkat kematangan gonad ovarium ikan nila diklasifikasikan menjadi 5
tingkat (Dadzie dan Wangila 1980) sebagai berikut :
Tabel 1. Tingkat kematangan gonad ovarium ikan nila
No TKG Histologi
1
2
3
4
5
I
II
III
IV
V
Ovarium masih kecil, transparan, dan oosit muda hanya
terlihat dengan menggunakan mikroskop
Ovarium berwarna kuning terang, dan oosit dapat
terlihat dengan mata
Ovarium besar, berwarna gelap, dan ada oosit yang
mulai mengandung kuning telur
Ovarium besar, berwarna coklat, banyak oosit berukuran
maksimal dan mudah dipisahkan.
Ovarium berwarna kuning terang, ukuranya berkurang
karena telur yang sudah matang telah dilepaskan.
Pada ikan dewasa, ovarium secara umum berjumlah sepasang. Oosit yang
berkembang terletak ditengah dalam lapisan folikel. Lapisan folikel terdiri dari
23
lapisan dalam sel (granulosa) dan lapisan luar (sel theca). Oosit berkembang
akibat adanya akumulasi kuning telur (vitelogenesis) dalam sitoplasma.
Vitelogenesis akan berkembang secara penuh dan kemudian mengalami maturasi
dan ovulasi karena adanya pengaruh lingkungan dan hormon. Setelah terjadi
ovulasi maka selanjutnya akan terjadi proses pembelahan dan oosit telah menjadi
telur secara sempurna dan siap dibuahi (Murua dan Kraus 2003).
Dalam satu tingkat kematangan gonad (TKG), komposisi telur yang
dikandung tidak seragam, tetapi terdiri dari berbagai macam telur. Telur
merupakan cikal bakal bagi suatu makhluk hidup, yang proses pembentukannya
sudah mulai pada fase diferensiasi dan oogenesis yaitu terjadinya akumulasi
vitolegenin kedalam folikel (vitelogenesis). Perkembangan diameter telur
meningkat dengan semakin meningkatnya TKG.
Tiroid dan Mekanisme Kerjanya
Hormon tiroksin mempunyai reseptor didalam inti sel (hipofisa, hati,
jantung dan ginjal). Di dalam sel, tiroksin (T4) mengalami deiodinasi dan
ditransformasi menjadi T3. Transformasi T3 berlangsung di dalam membran
plasma dan retikulum endoplasma, Setelah transformasi berlangsung maka T3
migrasi ke sel inti dan melakukan interaksi dengan reseptor yang terdapat di inti.
Akibatnya produksi nuclear RNA (nRNA) dan mocrosmional RNA (mRNA) akan
meningkat. Efek dari T3 disamping untuk pertumbuhan, metamorfosis juga
mampu bekerja sama dengan hormon lain, seperti hormon gonadotropin. T3 juga
bekerja sama dengan kortisol untuk merangsang pembentukan hormon melalui
mRNA yang terdapat dalam hipofisa. Hormon tiroksin dapat dengan mudah
masuk ke dalam sel target melewati dinding sel (membran plasma) dengan cara
transport aktif. Hormon tiroid (T3 dan T4) yang masuk kedalam tubuh dibawa ke
sel target oleh protein plasma. Ayson dan Lam (1993) menyatakan bahwa hormon
tiroksin dalam sirkulasi induk betina dapat ditransfer ke dalam oosit, telur dan
kemudian ke dalam ovarium (kantung kuning telur) sebelum ovulasi. Hormon
tiroid secara tidak langsung membantu dalam proses penyerapan kuning telur.
Bentuk kerjasama hormon dalam tubuh ikan disajikan pada Gambar 1.
24
Gambar 1. Kerjasama berbagai jenis hormon dalam tubuh ikan (Bernier et al.
2009).
Kelenjar pituitari atau hipofisa terletak pada lekukan tulang di dasar
otak dan sering disebut sebagai master gland , mengandung sel-sel pesekresi
hormon adrenocorticotropic (ACTH), hormon pelepas tiroid (TSH, thyroid
stimulating hormone), hormon pertumbuhan (GH, growth hormone), dan
gonadotropin (FSH; follicle stimulating hormone, LH; luithenizing hormone).
Sistem endokrin dalam mengintegrasikan organisme selalu bekerja sama dengan
sistem syaraf (neuroendokrin). Kedua sistem ini mampu mensintesis dan
melepaskan zat–zat kimia khusus dan hormon–hormon tertentu yang mampu
menyebar ke seluruh tubuh organisme. Beberapa hormon yang dihasilkan (FSH
dan LH) secara langsung mempengaruhi berbagai aspek reproduksi seperti
perkembangan gonad, spermatogenesis, fertilisasi dan ovulasi. Hormon lain
(seperti tiroid) bekerja sama dengan hormon-hormon gonadotropin untuk
mempertahankan keadaan metabolik suatu organisme yang memungkinkan
terjadinya reproduksi.
25
Defisiensi dan Kelebihan Tiroid dalam Tubuh
Pembentukan hormon tumbuh yang berlebihan akan mengakibatkan
terjadinya pertumbuhan raksasa (gigantism). Efek hormon tumbuh terlihat jelas
pada bagian tulang panjang. Pertumbuhan tulang yang berlebihan dapat
mengakibatkan kelainan pada persendian sehingga mekanisme kerja dari
persandian tersebut menjadi tidak normal lagi. Produksi hormon tiroid yang
berlebihan akan mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap konversi keratin
menjadi kreatinin. Akibat dihambatnya pembentukan kreatinin tersebut maka
pembentukan fosfokreatin juga terhambat yang berakibat diekskresikannya keratin
kedalam urin. Kehilangan keratin dari otot-otot menyebabkan kerja otot tidak
efisien. Demikian juga, apabila kekurangan produksi hormon tiroid di dalam
tubuh maka akan terjadi kelainan-kelainan dalam pertumbuhan (Affandi dan Tang
2003).
Salnilitas, Tiroksin dan Osmoregulasi Ikan
Osmoregulasi merupakan pengaturan tekanan osmotik cairan tubuh yang
layak bagi kehidupan sehingga proses-proses fisiologis tubuh dapat berfungsi
secara normal. Osmoregulasi erat kaitannya dengan salinitas, yakni upaya untuk
mengontrol keseimbangan air dan konsentrasi total dari ion-ion yang terlarut
dalam air, seperti Na (natrium), K (kalium), Ca (kalsium), Mg (magnesium), Cl
(khlor), SO4 (sulfat), dan HCO3 (asam karbonat) antara tubuh dan lingkungannya
(Effendi 2003). Selama osmoregulasi, hewan air membutuhkan keseimbangan
osmotik antara cairan tubuh dan media yang sangat penting terhadap
kelangsungan hidupnya. Hormon memainkan peran sebagai pengontrol terhadap
proses adaptasi ikan dan transport ion (McCormick dan Bradsaw 2006).
Osmoregulasi pada ikan air laut berbeda dengan ikan air tawar. Ikan air
laut hidup dalam medium yang memiliki konsentrasi osmotik lebih tinggi dari
cairan tubuhnya sehingga ikan cenderung kehilangan air melalui kulit dan insang
serta kemasukan garam-garam melalui proses difusi (hipoosmotik). Ion-ion
natrium dan klorida diserap oleh usus dan dibuang melalui ginjal. Sementara ikan
air tawar memiliki konsentrasi media yang lebih rendah dari konsentrasi cairan
26
tubuhnya (hiperosmotik) sehingga secara alami air bergerak masuk kedalam tubuh
dan ion-ion keluar ke lingkungan secara difusi. Secara rinci proses osmoregulasi
pada ikan dijelaskan pada Gambar 2.
Gambar 2. Proses pengeluaran dan penyerapan ion dan air dalam
tubuh ikan air tawar dan air laut.
Beberapa organ yang berperan dalam proses pengaturan tersebut antara
lain, insang, ginjal dan usus. Organ-organ ini melakukan fungsi adaptasi dibawah
kontrol hormon osmoregulasi, terutama hormon-hormon yang disekresikan oleh
pituitari, ginjal dan urofisis, diantaranya hormon prolaktin (PRL) dan hormon
tiroid (Gambar 3).
Gambar 3. Kontrol endokrin terhadap osmoregulasi ikan (Smith 1982)
27
Pada insang, sel-sel berperan dalam osmoregulasi adalah sel-sel klorida
yang terdapat pada dasar lembaran-lembaran insang, sementara ginjal digunakan
untuk membersihkan dan menjernihkan plasma darah dari zat-zat yang tidak
diinginkan. Usus aktif mengambil ion-ion monovalen (Na+, K
+, Cl
-) dan air.
Proses-proses tersebut berjalan dibawah pengaruh hormon.
Hormon tiroid mempengaruhi aktivitas enzim Na+/K
+ ATP-ase yang
terdapat pada membran, sehingga terjadi peningkatan aktivitas transport natrium
akibat meningkatnya konsumsi oksigen. Na+,K
+-ATPase juga menyediakan energi
sebagai tenaga penggerak untuk transport Na+ dalam berbagai epitel osmoregulasi
termasuk ginjal. Pengaruh tiroid terhadap aktivitas Na+, K
+-ATPase pada adaptasi
ikan air laut telah menjadi subjek dalam banyak penelitian. Hormon tiroid
dilaporkan dapat mempertahankan keseimbangan osmotik Na+ selama melakukan
osmoregulasi (tantangan osmoregulasi), mendorong aktivitas pompa Na+ dan
dinamika morfometrik sel klorida, serta membantu kemampuan
hiperosmoregulator pada tilapia air tawar (Peter et al. 2000).
Peranan Hormon Tiroid dalam Metabolisme Ikan
Hormon tiroid (T3 dan T4) pada organisme, termasuk hewan terlibat dalam
regulasi atau pengaturan homeostatis dan metabolism energi, protein dan lemak.
Pengaruh tiroid terhadap sintesis protein melalui aktivitas RNA. Adanya interaksi
hormon tiroid dan reseptor pada inti maka aktivitas enzim polymerase akan
meningkat dan pembentukan RNA-pun akan meningkat (Djojosoebagyio 1990).
Konsentrasi hormon tiroid tergantung dari beberapa faktor, diantaranya adalah
lingkungan dan gizi (Todini 2007).
Selain protein, hormon tiroid juga dilaporkan dapat mengubah pola
metabolisme karbohidrat melalui peningkatan aktivitas enzim amilase sehingga
kecernaan dan absorpsi karbohidrat menjadi tinggi akibatnya terjadi peningkatan
kadar glukosa serum (Woo et al. 1991). Penjelasan lebih lanjut dikemukakan oleh
Tytler dan Calow (1985), bahwa terjadi peningkatan aktivitas glikogen dan
beberapa enzim metabolisme karbohidrat seperti glukosa 6-fosfat dehidrogenase,
isositrat dehidrogenase, glukosa 6-fosfat dan 1,6-difosfatase. Selain itu, penelitian
28
yang dilakukan pada ikan sidat menunjukkan bahwa pemberian tiroid juga dapat
meningkatkan enzim aldolase (enzim yang terlibat dalam glikolisis). Dengan
adanya peningkatan metabolisme glukosa maka karbohidrat berperan sebagai
sparing action pada penggunaan energi. Jalur katabolisme glukosa ini sangat
penting untuk biosintesis asam lemak, karena meningkatnya glikolisis akan
menurunkan lemak sebagai sumber energi.
Energi dari asupan pakan yang digunakan untuk reproduksi berasal dari
lemak dan protein. Lemak berfungsi pada peran vitelogenesis, fekunditas,
penetasan, dan sumber energi untuk larva. Secara umum protein yang dibutuhkan
pada tahapan reproduksi adalah untuk gonadogenesis, gametogenesis,
vitelogenesis, hormon dan enzim (Finstad et al. 2001). Menurut Sibly dan Calow
(1986), kebutuhan energi tertinggi pada makhluk hidup terjadi pada saat
pematangan dan reproduksi dimana pakan yang diperoleh diubah menjadi zat-zat
yang diperlukan bagi keberhasilan pemijahan. Energi yang dihabiskan untuk
reproduksi ada tiga : (a) untuk produk seksual primer yaitu telur dan sperma
(gamet); (b) untuk karakteristik seksual sekunder; dan (c) untuk tingkah laku
reproduksi (Tytler dan Calow 1985). Aristizabal (2007) mengatakan pada ikan
diperoleh dua jenis bentuk penyimpanan energi yaitu untuk pertumbuhan dan
reproduksi, dimana proses reproduksi merupakan bentuk penyimpanan energi
yang dapat diukur berdasarkan energi yang terdapat pada gonad (ovari) dan testes.
Peranan Hormon Tiroid dalam Reproduksi Ikan
Hormon tiroid termasuk dalam golongan hormon reproduksi sekunder.
Hormon-hormon reproduksi sekunder merupakan zat-zat endokrin yang dengan
aktivitas metabolik yang mempertahankan fungsi fisiologi tubuh dan
memungkinkan berlangsungnya proses-proses reproduksi. Kelancaran sekresi
tiroksin oleh kelenjar tiroid merupakan salah satu syarat untuk kelangsungan
reproduksi secara normal. Hipotiroidisme menyebabkan kekerdilan (cretinismus)
dengan kegagalan perkembangan gonad dan sistem saluran reproduksi. Kadar
tiroksin yang tinggi dapat merusak gonad (Toelihere 1979).
29
Pada hewan dewasa, tiroid mempengaruhi peningkatan respon hCG
(human chorionic gonadotropin) dalam merangsang ovulasi (Frandson 1986),
berperan dalam pematangan folikel pada tikus betina dewasa dan peningkatan
konsentrasi testosterone pada tikus jantan. Pada manusia tiroid mempengaruhi
beberapa aspek reproduksi, seperti metabolisme estrogen, kematangan seksual,
ovulasi, kesuburan dan kemampuan menghasilkan anak (Choksi et al. 2003). Pada
ikan hormon tiroid juga memainkan peran dalam fungsi dan perkembangan sistem
reproduksi.
Oksigen dan Pertumbuhan
Oksigen memberikan pengaruh secara umum pada pertumbuhan melalui
jalur metabolisme dan relokasi dari sumber energi. Oksigen merupakan limiting
factor bagi metabolisme ikan dan secara langsung akan mempengaruhi
pertumbuhan dan aktivitas tubuh lainnya. Oleh karena itu kecukupan oksigen
dalam perairan harus diperhatikan agar fisiologi tubuh ikan dapat berjalan
optimal. Sebagian besar oksigen dimanfaatkan oleh ikan untuk proses respirasi.
Ikan bernafas secara terus menerus sehingga membawa molekul oksigen dengan
permukaan organ pernapasan dalam hal ini adalah insang. Jumlah oksigen yang
terikat per unit volume darah bergantung pada jumlah eritrosit, konsentrasi
hemoglobin dalam eritrosit, tekanan parsial oksigen yang berlaku, dan keberadaan
oxygen-binding property yang ada di molekul hemoglobin. Kemudian oksigen
ditransportasikan kedalam saluran darah dari insang menuju lokasi konsumsi.
Kelarutan oksigen merupakan faktor lingkungan yang penting bagi pertumbuhan
ikan, jika kandungan oksigen rendah dapat menyebabkan ikan kehilangan nafsu
makan sehingga mudah terserang penyakit dan dapat mengakibatkan
pertumbuhannya terhambat (Diaz 2001).
30
Ikan membutuhkan energi untuk memelihara tubuh, aktivitas sehari-hari dan
pertumbuhan. Pertumbuhan akan terjadi apabila masih terdapat kelebihan energi
setelah kebutuhan untuk pemeliharaan tubuh dan aktivitas terpenuhi. Energi yang
diperoleh dari pakan, oleh ikan terlebih dahulu digunakan untuk pemeliharaan dan
aktivitas tubuh. Bentuk energi yang dapat digunakan untuk menyokong aktifitas
hidup yaitu diperoleh dalam bentuk protein, lemak dan karbohidrat dalam pakan.
Semakin tinggi aktivitas fisik atau laju metabolisme yang tinggi, semakin besar
energi yang diperlukan. Faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi
metabolisme dan pertumbuhan disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4. Faktor eksternal dan internal yang mempengaruhi metabolisme dan
pertumbuhan ikan (Brett 1979).
Kemampuan-kemampuan ikan dalam proses metabolisme dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yaitu abiotik dan biotik. Faktor abiotik
(fisika dan kimia) yaitu cahaya, suhu, oksigen, pH, salinitas dan faktor biotik
(biologi) seperti padat tebar (Brett 1979; Santos et al. 2010).
31
Glukosa Darah sebagai Indikator Stres
Stres merupakan keadaan dimana ikan tidak mampu mengatur kondisi
fisiologis secara normal karena berbagai faktor yang mempengaruhi kondisinya
atau dikenal dengan stresor. Sejumlah keadaan yang dapat berperan sebagai
stresor antara lain; 1) stresor kimiawi yakni stress yang timbul akibat masalah
kualitas air buruk seperti oksigen rendah, pH dan salinitas tidak sesuai, polusi
akibat penggunaan bahan kimiawi, komposisi pakan, senyawa nitrogen dan sisa
metabolisme; 2) stressor fisika yaitu stres yang timbul akibat suhu lebih tinggi
atau lebih rendah dari normal, cahaya berlebih atau kurang, suara, dan gas-gas
terlarut; 3) stresor biologi yaitu stress yang disebabkan oleh densitas populasi
terlalu tinggi dan penyakit akibat mikroba atau parasit (Marcel et al. 2009).
Pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengetahui keadan stress pada
ikan adalah perubahan naik turunnya kadar glukosa darah. Mekanisme terjadinya
perubahan glukosa darah selama stres dimulai dari diterimanya informasi
penyebab stres oleh organ reseptor (neuroendokrin). Selanjutnya informasi
tersebut disampaikan ke otak bagian hipothalamus melalui sistem syaraf. Sistem
syaraf kemudian menstimulir medulla adrenal untuk melepaskan ACTH
(adrenocorticotrophic hormone). ACTH selanjutnya akan memicu sintesis
kortisol dan sekresinya dari sel-sel internal di sinyal serta memobilisasi
peningkatan glukosa darah (Bernier 2005). Stres dapat mengakibatkan ikan
menjadi shok, tidak mau makan, memijah, dan meningkatnya kepekaan terhadap
penyakit. Kadar glukosa darah yang tinggi mampu menurunkan bahkan menekan
produksi gonadotropin realizing hormone (GnRH) yang diproduksi oleh
hipotalamus. Pada akhirnya stress akan menurunkan jumlah sperma pada jantan
dan masalah ovulasi pada betina. Selain itu stress juga berpengaruh terhadap
aktivitas seksual ikan (Schreck et al. 2000).
Kestabilan kadar glukosa darah sangat penting bagi kehidupan ikan.
Apabila kadar glukosa darah mengalami penurunan dari tingat normal, hormon-
hormon tersebut dengan segera akan berfungsi untuk meningkatkan glukosa darah
melalui pemecahan glikogen di hati dan otot (Mazeaud dan Mezaeud 1981). Stres
yang diterima akan mempengaruhi kemampuan imunitas sehingga berdampak
buruk pada reproduksi seperti tingkat kematangan gonad, ovulasi, dan kualitas
32
gamet. Proses-proses tersebut diatur oleh hormon melalui pengaturan kecepatan
reaksi enzimatik glukosa dan kecepatan transpor aktifnya. Beberapa hormon yang
berperan penting dalam meregulasi darah adalah insulin, glukagon dan hormon
tiroid (Piliang dan Djojosobagio 2000; Bernier 2005).
33
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Pemeliharaan ikan dilakukan di Laboratorium Sistem dan Teknologi
Budidaya, IPB. Histologi gonad dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan
(LKI), uji glukosa dan osmolaritas darah dilakukan di Laboratorium Embriologi
Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Proksimat protein dan lemak pakan dan ikan di
lakukan di Laboratorium Pusat Antar Universitas (PAU), IPB. Pengamatan
diameter oosit dilakukan di Laboratorium Reproduksi dan Genetika organisme
Akuatik, BDP IPB. Pelaksanaan penelitian dilakukan selama + 4 bulan.
Alat dan Bahan
Wadah dan Media Percobaan
Wadah yang digunakan berupa bak terpal berukuran 65x60x50 cm
sebanyak 27 unit (Lampiran 1). Setiap wadah di isi air sebanyak 150 liter,
dilengkapi filter dan aerasi. Media percobaan (Lampiran 2) yang digunakan
adalah bersalinitas 10 ppt, 20 ppt dan media air tawar (0 ppt). Untuk
mempermudah penggunaan atau pergantian air selama pemeliharaan, disiapkan
empat buah bak tandon masing-masing untuk menampung air bersalinitas 10 ppt,
20 ppt, 30 ppt dan air tawar yang sudah diencerkan terlebih dulu dan diareasi.
Ikan Uji
Ikan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah induk betina ikan nila
merah (Oreochromis sp.) hasil budidaya di Kolam Departemen Budidaya
Perairan. Jumlah total induk yang disediakan adalah 200 ekor dan sebanyak 108
ekor dipilih secara selektif dengan bobot yang sama (200-300 g/ekor) untuk
digunakan sebagai ikan uji perlakuan. Lima ekor ikan nila diambil sebagai data
awal untuk dianalisa tingkat kematangan gonad sebelum diberi perlakuan.
Bahan Uji
Untuk bahan perlakuan menggunakan hormon tiroksin berupa tablet
dengan dosis per tablet adalah setara dengan 100 µg tiroksin. Sebelum diberi
perlakuan, sebanyak 10 gr (1000 µg tiroksin) terlebih dahulu digerus dengan
34
menggunakan mortar hingga halus (berbentuk bubuk), kemudian dilarutkan ke
dalam 20 ml larutan dimetilsulfoksida (DMSO). Larutan kemudian didiamkan
selama 24 jam dalam magnetik spiral agar hormon tiroksin benar-benar larut.
Larutan (tiroksin + DMSO) kemudian diambil dengan menggunakan suntikan
syringe 1 ml dan siap diinjeksi ke ikan dengan dosis sesuai masing-masing
perlakuan.
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Induk
Induk nila yang diambil dari kolam diangkut kedalam wadah pemeliharaan
berupa bak beton dan fiber yang telah disiapkan terlebih dulu. Air disiapkan
seminggu sebelum ikan diambil, dilengkapi dengan sistem filter dan aerasi. Ikan
dipelihara selama + seminggu dengan pemberian pakan secara at satiation.
Penyiponan dilakukan dua hari sekali untuk menghindari kotoran mengendap di
dasar bak dan dilakukan pergantian air sebanyak 50 %.
Adaptasi Induk
Induk yang telah dipelihara sebelumnya dipindahkan ke masing-masing
wadah percobaan dengan kepadatan 4 ekor/bak. Peningkatan salinitas dilakukan
setelah tiga hari pemindahan ikan. Untuk menghindari stres, dilakukan
peningkatan salinitas secara bertahap dengan perubahan 2-4 ppt setiap harinya
hingga mencapai delapan hari.
Teknik Penyuntikan
Penyuntikan dilakukan seminggu setelah ikan sudah mampu beradaptasi
dengan media pemeliharaan bersalinitas; dilakukan secara intra muscular (IM),
yaitu pada daerah antara pangkal sirip punggung dengan linea lateralisnya
sebanyak dua minggu sekali, dimulai minggu pertama pemeliharaan hingga
minggu keenam. Penyuntikan menggunakan spuit syringe 1 ml dengan dosis
sesuai pada masing-masing perlakuan. Untuk mengurangi tingkat stres, ikan nila
dipuasakan sehari sebelum penyuntikan dilakukan; bersamaan dengan pembuatan
larutan hormon tiroksin.
35
Pemberian Pakan
Pakan uji yang diberikan adalah pelet komersial dengan kandungan protein
sebesar 30-33% dan lemak sebesar 11,6 %. Pemberian dilakukan dua kali sehari
yaitu pagi (08: 00) dan sore (06: 00) secara at satiation.
Prosedur Pengambilan Sampel Darah
Pengambilan sampel darah untuk pengukuran kandungan kadar glukosa dan
osmolaritas tubuh ikan nila dilakukan dengan mengambil sebanyak 3 ml sampel
darah ikan pada bagian pangkal ekor dengan menggunakan spuit 3 ml yang telah
diberi antikoagulan (cirate-phosphate-sextrosesolution, Sigma C-7165) agar darah
tidak beku. Sampel darah dimasukkan ke dalam tabung polietilen dan disentrifus
pada kecepatan 600 rpm selama 5 menit. Plasma darah hasil sentrifus diambil dan
dipindahkan ke tabung polietilen baru untuk disimpan dalam freezer (-20oC)
sampai dilakukan analisis.
Pengambilan Data dan Pengukuran Kualitas Air
Sampling (pengambilan data) penelitian dilakukan pada awal penelitian
yaitu hari ke-0 pemeliharaan, hari ke-14 dan seterusnya hingga hari ke-56;
diambil secara teratur dengan interval waktu 14 hari sampai hari akhir penelitian.
Sampling ikan meliputi perkembangan gonad, GSI dan HSI, diameter telur,
gradient osmotik, glukosa darah, tingkat konsumsi oksigen, dan pertumbuhan.
Perkembangan gonad diikuti dengan mengamati histologi gonad (Lampiran 3).
Analisis proksimat lemak dan protein daging ikan nila dilakukan pada akhir
penelitian. Kualitas air diukur setiap minggu meliputi suhu, pH dan oksigen.
Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada gonad secara kuantitatif
dilakukan pengukuran gonad somatik indek (GSI), diameter telur dan fekunditas.
Pengukuran GSI dilakukan dengan cara membedah ikan untuk diambil gonadnya
kemudian ditimbang. Penimbangan dilakukan dengan menggunakan timbangan
analitik.; gonad diambil sebanyak tiga ekor per perlakuan. Data fekunditas
diperoleh dengan menghitung jumlah total telur yang terdapat dalam gonad,
sedangkan diameter telur diukur dibawah mikroskop yang dilengkapi mikrometer,
36
dengan pembesaran 40x. Jumlah telur yang diamati adalah 100 butir per gonad
(300 butir/perlakuan).
Rancangan Penelitan
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL dua faktor) dengan pola faktorial 3 x 3. Dosis
hormon sebagai faktor pertama dengan level konsentrasi 0 ng/g BW , 50 ng/g
BW, 100 ng/g BW dan salinitas sebagai faktor kedua dengan level 0 ppt, 10 ppt
dan 20 ppt. Keseluruhan percobaan terdiri atas sembilan kombinasi perlakuan, dan
masing-masing perlakuan diulang sebanyak tiga kali sehingga jumlah satuan
percobaan sebanyak 27 (Tabel 2).
Tabel 2. Perlakuan percobaan kajian reproduksi ikan nila merah (Oreochromis
sp.) setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media
salinitas
Tiroksin
(ng/g BT) Salinitas (ppt)
0 10 20
0 A (T0:S0) B (T0:S10) C (T0:S20)
50 D (T50:S0) E (T50:S10) F (T50:S20)
100 G (T100:S0) H (T100:S10) I (T100:S20) Keterangan : BT = Bobot tubuh
Setiap perlakuan menggunakan tiga wadah dan tiap wadah diisi empat
ekor ikan sehingga setiap perlakuan terdiri dari 12 ekor ikan. Sebanyak 27 ekor
ikan akan diambil setiap 14 hari dengan masing-masing perlakuan sebanyak tiga
ekor untuk dilakukan analisa kematangan gonad, diameter telur dan parameter
penunjang lainnya.
Model rancangan penelitian yang digunakan adalah :
Yij = µ + αi + βj + (αβ)ij + €ijk
Dimana :
Yijk = Nilai pengamatan pada faktor ke 1 taraf ke-I, faktor 2 taraf ke-j, dan
ulangan ke-k
µ = Rata-rata umum
ti = Pengaruh faktor 1 (dosis hormon)
37
βj = Pengaruh faktor 2 (salinitas)
(αβ)ij = Komponen interaksi dari faktor 1 dan faktor 2
€ij = Pengaruh acak yang menyebar normal
Parameter Uji yang Diamati
Parameter uji yang diamati dalam penelitian ini terdiri dari parameter
utama dan parameter pendukung. Parameter utama berupa diameter oosit,
fekunditas, gonad somatik indeks (GSI) dan HSI (hepato somatik indeks).
Parameter pendukung berupa pertumbuhan, kadar glukosa darah, gradient
osmotik, tingkat konsumsi oksigen (TKO), retensi lemak dan retensi protein.
Parameter Utama
Penentuan Diameter Oosit
Diameter oosit diamati dengan mengambil sampel telur secara acak pada
gonad ikan sebanyak 100 butir/ekor. Sampel telur kemudian difiksasi dengan
alkohol 70%. Diameter telur diukur menggunakan mikroskop yang dilengkapi
dengan mikrometer okuler. Sampel telur yang telah diukur dihitung rataannya dan
dibuat distribusi frekuensi panjang total dan diameter telur (mm) dengan
menggunakan rumus (Mattjik dan Sumertajaya 2000):
Menentukan nilai maksimum dan minimum dari keseluruhan data
Menghitung jumlah kelas ukuran dengan rumus : K=1+(3,32 log );
K = jumlah kelas ukuran, n = jumlah data pengamatan.
Menghitung rentang data/wilayah (wilayah = data terbesar-data
terkecil).
Menghitung lebar kelas (lebar kelas = wilayah dibagi dengan
jumlah kelas).
Menentukan limit bawah kelas bagi selang kelas yang pertama dan
limit atas kelasnya. Limit atas kelas diperoleh dengan
menambahkan lebar kelas pada limit bawah.
Mendaftarkan semua limit kelas untuk setiap selang kelas
Menentukan nilai tengah bagi masing-masing selang dengan
merata-ratakan limit atas.
38
Menentukan frekuensi bagi masing-masing kelas
Menjumlahkan frekuensi dan memastikan apakah hasilnya sama
dengan banyaknya total pengamatan serta membuat histogram
(Lampiran 6).
Fekunditas
Fekunditas merupakan jumlah telur yang akan dikeluarkan oleh induk
pada saat memijah. Fekunditas dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
F =(G x X)
Q x W
Keterangan :
F : Fekunditas (butir telur/kg bobot tubuh)
G : Bobot telur individu/gonad (g)
X : Jumlah telur sampel (butir)
Q : Bobot telur sampel (g)
W : Bobot tubuh individu (g)
Gonad Somatik Indeks (GSI, %)
GSI (%) =Bobot gonad
Bobot tubuh x 100
Hepato Somatik Indeks (HSI, %)
HSI (%) =Bobot hepato
Bobot tubuh x 100
Parameter Pendukung
Gradien Osmotik
Gradien osmotik dihitung berdasarkan formula yang digunakan oleh
Anggoro (1992). Pengukuran gradien osmotik disajikan dalam Lampiran 4.
Gradien osmotik dinyatakan sebagai tingkat konsumsi oksogen (TKO).
TKO = Osmolaritas darah ikan (mOsm/LH2O) – Osmolaritas media
(mOsm/LH2O).
39
Tingkat Konsumsi Oksigen (TKO’s)
TKO’s diukur dengan menghitung rasio oksigen terlarut pada awal dan
akhir penelitian per satuan waktu. Metode pengukuran dengan menggunakan
akuarium bervolume 30x30x25 cm. Air diaerasi selama 1 hari sehingga jenuh
oksigen. Sebelum ikan dimasukkan kedalam wadah, kandungan oksigen awal
dihitung. Selanjutnya satu ekor ikan yang sebelumnya telah dipuasakan selama
satu hari ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam wadah. Setelah satu jam,
dihitung lagi DO akhirnya. TKO’s diperoleh dengan menggunakan persamaan
berikut (Pavlovskii 1964).
TKO’s = {(DO awal – DO akhir)/W x t} x V
Keterangan:
TKO’s : Tingkat konsumsi oksigen (mg O2/gr tubuh/jam)
DO awal : Oksigen terlarut pada awal pengamatan (mg/L)
DO akhir : Oksigen terlarut pada akhir pengamatan (mg/L)
W : Berat ikan uji (gr)
T : Periode pengamatan (jam)
V : Volume air dalam respirometer (L)
Kadar Glukosa Darah
Pemeriksaan kadar glukosa darah digunakan sebagai indikator stress
sekunder akibat perlakuan. Prosedur pengukuran kadar glukosa darah disajikan
dalam Lampiran 5. Pengukuran dihitung dengan menggunakan rumus :
GD =AbsSp
AbsSt x GSt
Keterangan:
[ GD ] : Konsentrasi glukosa darah (mg/ml)
AbsSp : Absorbansi sampel
AbsSt : Absorbansi standar
[ GSt ] : Konsentrasi glukosa standar (mg/ml)
40
Retensi Protein (%)
Retensi protein dihitung berdasarkan persamaan (Takeuchi, 1998)
RL =F − I
P x 100%
Keterangan :
RP = Retensi protein (%)
F = Jumlah lemak tubuh pada awal pemeliharaan
P = Jumlah protein yang dikonsumsi ikan
Retensi Lemak (%)
Retensi lemak dihitung berdasarkan persamaan (Takeuchi, 1998)
RP =F − I
P x 100%
Keterangan :
RL = Retensi lemak (%)
F = Jumlah lemak tubuh pada awal pemeliharaan
P = Jumlah protein yang dikonsumsi ikan
Pertumbuhan ikan
Data laju pertumbuhan ikan uji diperoleh dengan melakukan pengambilan
ikan uji awal dan akhir penelitian, kemudian ditimbang beratnya. Laju
pertumbuhan ikan dianalisa dengan menggunakan rumus berikut :
1t
Wo
Wt x 100
Dimana: α = Laju pertumbuhan bobot rerata harian (%)
Wt = Bobot rata-rata individu pada waktu t (g)
Wo = Bobot rata-rata individu pada waktu t0 (g)
t = Lama percobaan (hari)
41
Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil penelitian dibuat tabulasi kemudian
dilakukan analisis sidik ragam (ANOVA) dengan uji F. Jika pada setiap perlakuan
terdapat pengaruh nyata terhadap respon yang diamati dilakukan uji lanjut
Duncan. Jika tidak terdapat perbedaan nyata (P>0,05) maka semua data akan
dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel dan grafik. Sebagai alat bantu
untuk pengelolaan data dalam uji statistik digunakan program SPSS 17 (Steel and
Torrie 1993).
42
HASIL
Parameter Utama
Parameter utama hasil pengamatan pemberian hormon tiroksin terhadap
reproduksi ikan nila yang dipelihara pada media bersalinitas terdiri dari hepato
somatik indeks (HSI, %), diameter telur (DM, mm), gonad somatik indeks
(GSI,%), dan fekunditas (FK, butir/ekor).
Hepato Somatik Indeks (HSI, %)
Perubahan nilai HSI terjadi seiring dengan terjadinya proses sintesis
vitelogenin selama perkembangan gonad. Sintesis vitelogenin dalam tubuh ikan
terjadi di hati, merupakan komponen utama dari oosit yang sedang tumbuh. Dari
Gambar 5 dapat dilihat bahwa persentase nilai HSI terus meningkat dari minggu
pertama hingga minggu ke-8 pemeliharaan. Sebagian besar perlakuan mencapai
persentase nilai tertinggi (optimal) pada minggu ke-6, kemudian pada beberapa
perlakuan mulai terlihat menurun pada minggu ke-8 pemeliharaan.
Keterangan: (A) Tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E)
50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20
Gambar 5. Perkembangan persentase nilai hepato somatik indeks ikan nila merah
(Oreochromi sp.) pada masing masing perlakuan selama pemeliharaan
(M0-M8 = Minggu ke-0 sampai ke-8)
43
Nilai HSI ikan nila meningkat seiring dengan peningkatan salinitas media
pemeliharaan hingga 10 ppt, dan menurun apabila dipelihara pada salinitas 20 ppt
(Tabel 3).
Tabel 3. Nilai rataan hepato somatik indeks (HSI, %) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
Salinitas (ppt)
0 10 20 X
0 0,47+0,106 1,54+0,053 1,33+0,093 1,11+0,084a
50 1,54+0,121 1,60+0,145 1,43+0,065 1,52+0,110a
100 1,47+0,109 1,61+0,226 1,38+0,085 1,49+0,140a
X 1,16+0,112b 1,58+0,141a 1,38+0,081b Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan
pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh).
Persentase nilai HSI meningkat dengan pemberian tiroksin. Pada
perlakuan C (T4 0 ng/g BT, salinitas 0 ppt) mengalami peningkatan dari
1,33+0,093 % menjadi 1,43+0,065 % dengan pemberian T4 50 ng/g BT
(Perlakuan F), namun secara statistik tidak memberikan perbedaan secara nyata
antar perlakuan. Hal yang sama terjadi pada kombinasi atau interaksi antara T4
dengan salinitas (P>0,05). Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa nilai HSI ikan nila
pada perlakuan C adalah 1,33+ 0,093 % meningkat menjadi 1,54+ 0,053 % pada
perlakuan B (T4 0 ng/g BT, salinitas 10 ppt). Secara statistik menunjukkan bahwa
pemeliharaan ikan pada media bersalinitas berpengaruh terhadap nilai HSI
(Lampiran 8). Nilai HSI tertinggi diperoleh pada ikan yang dipelihara pada
salinitas 10 ppt dengan rataan persentase nilai HSI sebesar 1,58+0,141 %. Pada
salinitas 0 ppt dan 20 ppt memberikan pengaruh yang sama terhadap persentase
nilai HSI ikan nila.
Diameter Telur
Diameter telur merupakan garis tengah telur atau ukuran panjang dari
suatu telur yang diukur dengan mikrometer berskala. Dalam satu tingkat
kematangan gonad (TKG), diameter telur yang dikandung tidak homogen.
Berdasarkan hasil statistik, pemberian interaksi hormon tiroksin dengan
pemeliharaan ikan pada beberapa media salinitas tidak memberikan pengaruh
nyata terhadap diameter telur ikan nila (P<0,05) (Tabel 4) namun perkembangan
44
tiap perlakuan dari minggu ke-2 hingga minggu ke-8 terlihat pola yang terus
meningkat. Sebagian besar perlakuan mencapai nilai maksimum pada minggu ke-
6 dan ke-8 (Gambar 6).
Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E)
50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20
Gambar 6. Perkembangan diameter telur (DM, mm) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) pada masing-masing perlakuan selama
pemeliharaan (M0-M8= Minggu ke-0 sampai ke-8).
Tabel 4. Nilai rataan diameter telur (DM, mm) ikan nila merah (Oreochromis
sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
Salinitas (ppt)
0 10 20
0 1,51+0,030a 1,51+0,008
a 1,47+0,094
a
50 1,54+0,073a 1,52+0,018
a 1,50+0,047
a
100 1,52+0,014a 1,54+0,080
a 1,48+0,024
a
Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan
pada P<0,05
Gonad Somatik Indeks (GSI, %)
Nilai rataan GSI ikan nila dari masing-masing perlakuan selama
pemeliharaan memperlihatkan pola yang terus meningkat hingga minggu ke-6.
Pada minggu ke-8, nilai GSI pada sebagian besar perlakuan terlihat mulai
menurun (Gambar 7).
45
Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0;
(E) 50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20.
Gambar 7. Perkembangan perkembangan nilai GSI ikan nila merah (Oreochromis
sp.) pada masing-masing perlakuan selama pemeliharaan
Nilai GSI tertinggi diperoleh pada perlakuan H (T4 100 ng/g BT, salinitas
10 ppt) dengan nilai rataan optimal mencapai 2,44+0,181 % (Tabel 5). Hal ini
menunjukkan bahwa pemberian tiroksin juga dapat meningkatkan nilai GSI,
namun tidak berbeda secara statistik.
Tabel 5. Nilai rataan gonad somatik indeks (GSI, %) ikan nila merah
(Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
Salinitas (ppt)
0 10 20 X
0 3,23+0,856 2,46+0,451 1,59+0,193 2,43+1,500a
50 2,28+0,155 2,04+0,102 1,64+0,135 1,98+0,131a
100 1,81+0,181 2,44+0,181 1,87+0,234 2,04+0,305a
X 2,44+0,500a 1,98+0,131a 1,70+1,986b Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan
pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh).
Berdasarkan analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terlihat interaksi
antara hormon tiroksin dengan salinitas dalam memberikan pengaruh terhadap
nilai GSI ikan nila (P>0,05). Pemeliharaan ikan nila pada media bersalinitas
mempengaruhi nilai GSI. Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa nilai rataan GSI
terendah diperoleh dari ikan yang dipelihara pada salinitas 20 ppt yaitu
1,70+1,986 % dan tertinggi pada ikan yang dipelihara pada salinitas 0 ppt dengan
46
rataan nilai GSI 2,44+0,500%, tidak berbeda secara signifikan dengan nilai GSI
ikan nila yang dipelihara pada salinitas 10 ppt. Pemberian dosis tiroksin meskipun
memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai GSI antar perlakuan namun
secara statistik tidak menunjukkan perbedaan signifikan (Lampian 10).
Fekunditas (FK, butir/ekor)
Fekunditas merupakan jumlah telur yang akan dikeluarkan ikan pada saat
memijah; dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti nutrisi, hormon dan faktor
lingkungan. Berdasarkan hasil statistik menunjukkan bahwa interaksi perlakuan
tiroksin dengan salinitas media pemeliharaan terhadap nilai fekunditas adalah
berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 6).
Tabel 6. Nilai rataan fekunditas (FK, butir/ekor) ikan nila merah (Oreochromis
sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
Salinitas (ppt)
0 10 20
0 1219+35,8bb 1301+47,1ba 828+20,8bc
50 1295+55,1bb 1420+36,2ba 949+68,1bc
100 1156+33,7ab 1477+24,2aa 1137+61,9ac Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh interaksi
perlakuan pada P<0,05. (BT = Bobot tubuh).
Pada Tabel 6 terlihat bahwa interaksi perlakuan kombinasi T4 100 ng/g BT
dan pemeliharaan pada media salinitas 10 ppt terhadap fekunditas rataan optimal
1477 butir/ekor (Perlakuan H) adalah sangat berbeda nyata (P<0,05). Nilai rataan
tertinggi selanjutnya berada pada perlakuan G (T4 100 ng/g BT, salinitas 10 ppt),
diikuti perlakuan E (50, 10), dan fekunditas terendah diperoleh pada perlakuan C
(0,20).
Pengaruh hormon tiroksin terhadap fekunditas ikan nila mengikuti pola
linier dengan persamaan y= 3,114x+811,9 dan nilai r2= 0,75. Nilai fekunditas
semakin meningkat dengan meningkatnya dosis tiroksin yang diberikan (Gambar
8). Pengaruh salinitas terhadap nilai fekunditas mengikuti pola polynomial dengan
persamaan y=-3,87x2x+2050, artinya nilai fekunditas meningkat seiring dengan
peningkatan salinitas hingga 10 ppt dengan mencapai nilai rataan optimal 1477
47
butir/ekor dengan nilai r2= 0,78 dan penurunan fekunditas terjadi jika peningkatan
salinitas mencapai 20 ppt (Gambar 9). Interaksi antara hormon tiroksin dan
salintas disajikan pada Gambar 10.
Gambar 8. Pengaruh tiroksin terhadap nilai fekunditas ikan nila merah
(Oreochromis sp.)
Gambar 9. Pengaruh salinitas terhadap nilai fekunditas ikan nila merah
(Oreochromis sp.)
48
Gambar 10. Pengaruh interaksi antara tiroksin dan salinitas terhadap fekunditas
ikan nila merah (Oreochromis sp.)
Perkembangan Gonad Secara Histologi
Perkembangan gonad ikan nila terdiri dari beberapa tingkat yang dapat
didasarkan atas pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis. Struktur
histologi perkembangan gonad ikan nila selama pemeliharaan disajikan pada
Gambar 11.
11A
49
11B
Keterangan: a. Oosit TKG II, euvitelin (eu) dengan granular kuning telur
b. Oosit TKG III, granular kuning telur (g) dan butir lemak (oi)
c. Oosit TKG IV, inti (n) mulai bergerak ke tepi sel
Gambar 11. Struktur histologi ikan nila merah pada perlakuan H (T4 100 ng/g BT,
salinitas 10 ppt, Gambar 11A) dan kontrol B (T4 0, 10 ppt, Gambar
11B). Klasifikasi berdasarkan Darwisto (2006).
Pada gambar 11Aa dan 11Ba terlihat dimana gonad ikan nila mencapai
TKG II (sampling minggu ke-0 dan ke-2) yang ditandai dengan adanya euvitelin;
terdapat pada bagian bawah khorion atau luar telur yang belum matang. Pada
perlakuan B (Kontrol, T4 0 ng/g BT, salinitas 10 ppt) masih terlihat adanya oosit
kecil (TKG I) yang terdapat dalam lamella. Selanjutnya, pada Gambar 11Ab dan
11Bb tambak oosit mulai membesar dengan butiran lemak yang terlihat jelas serta
granula kuning telur yang sudah terbentuk (TKG III); proses vitelogenesis. Pada
Gambar 11Ac dan 11Bc telur memasuki tahap akhir (TKG IV); inti sel berada di
tepi.
Parameter Pendukung
Parameter pendukung hasil pengamatan pemberian hormon tiroksin
terhadap reproduksi ikan nila yang dipelihara pada media bersalinitas terdiri dari
gradient osmotik (Osmol/kg), tingkat konsumsi oksigen (TKO’s, mgO2/g tubuh
ikan/jam), glukosa darah (mg/dl), retensi protein (RP, %), retensi lemak (RL, %),
dan laju pertumbuhan harian (%).
c d ca
cb
50
Gradien Osmotik
Selisih antara nilai osmolaritas tubuh dan osmolaritas media pemeliharaan
ikan dapat diartikan sebagai nilai gradien osmotik. Osmolaritas tubuh dan media
ikan nila disajikan pada Gambar 12.
Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E)
50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20.
Gambar 12. Gradien osmotik tubuh dan media pemeliharaan ikan nila merah
(Oreochromis sp.) setelah pemberian hormon tiroksin dan
dipelihara pada beberapa media salinitas
Pada gambar 12, dapat dilihat bahwa salinitas 10 ppt merupakan kondisi
yang mendekati isoosmotik, dimana konsentrasi tubuh ikan nila mendekati
konsentrasi media (Perlakuan B), dengan osmolaritas tubuh 0,365 Osmol/kg,
meningkat menjadi 0,401 dengan pemberian tiroksin 100 ng/g bobot tubuh. Pada
salinitas 20 ppt, osmolaritas tubuh lebih rendah dengan osmolaritas media (0,298:
0,505). Peningkatan osmolaritas tubuh hingga mencapai 0,401 dengan pemberian
tiroksin 100 ng/g BT (Lampiran 7) .
Tingkat Konsmumsi Oksigen
Indikator dari respirasi adalah jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh ikan.
Tingkat konsumsi oksigen menunjukkan tingkat metabolisme. Tingkat konsumsi
oksigen ikan nila meningkat apabila dipelihara pada salinitas 20 ppt (Tabel 7).
51
Tabel 7. Nilai rataan tingkat konsumsi oksigen (TKO’s, mgO2/g tubuh/jam) ikan
nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan
salinitas
Tiroksin
(ng/g BT)
Salinitas (ppt)
0 10 20 X
0 0,300+0,0144 0,304+0,0281 0,280+0,0204 0,884+0,0629a
50 0,269+0,0139 0,312+0,0127 0,298+0,0250 0,879+0,0172a
100 0,288+0,1212 0,317+0,0248 0,300+0,0104 0,453+0,0521a
X 0,286+0,0186b 0,311+0,0218a 0,293+0,0186ab Huruf yang berbeda pada kolom dan bari yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan pada
P<0,05. (BT= bobot tubuh).
Dari Tabel 7 terlihat bahwa tingkat konsumsi oksigen tidak dipengaruhi
oleh dosis tiroksin yang diberikan pada induk ikan nila. Demikian pula tidak ada
pengaruh terhadap tingkat konsumsi oksigen dari interaksi antar perlakuan
tiroksin dan salinitas. Tingkat konsumsi oksigen ikan nila dipengaruhi oleh
salinitas (P<0,05), dengan rataan tertinggi diperoleh pada ikan yang dipelihara
pada salinitas 10 ppt yaitu 0,311+0,0218 mgO2/g tubuh/jam, diikuti salinitas 20
dan menurun pada salinitas 0 ppt.
Glukosa Darah
Glukosa darah merupakan indikasi umum yang digunakan untuk
mengetahui tingkat stres pada ikan. Semakin tinggi kadar glukosa dalam darah
mengindikasikan semakin tinggi pula tingkat stres pada ikan. Glukosa darah ikan
nila selama pemeliharaan menunjukkan pola naik turun. Pada sebagian besar
perlakuan, kadar glukosa darah menurun seiring dengan lamanya waktu
pemeliharaan. Kadar glukosa darah ikan nila selama penelitian disajikan pada
Tabel 8.
52
Tabel 8. Glukosa darah ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang diberi perlakuan
tiroksin dan salinitas selama pemeliharaan
Glukosa darah tertinggi diperoleh pada perlakuan C (T4 0 ng/g bobot
tubuh, salinitas 20 ppt) dengan nilai rataan 109,908 mg/dl, diikuti perlakuan F
(50, 20) yaitu 97,934 dan terendah diperoleh pada perlakuan H (0, 20) dengan
nilai rataan 62,65 (Gambar 13).
Keterangan: (A) tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E)
50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20.
Gambar 13. Glukosa darah ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah pemberian
hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa media salinitas
Perlakuan Pengamatan minggu ke- Rataan
0 2 4 6
A (T4 0,0ppt) 101,225 76,99 52,752 99,42 82,60
B (T4 0,10ppt) 93,578 76,339 52,27 42,251 64,27
C (T4 0,20 ppt) 142,099 127,251 122,409 129,908 130,42
D (T4 50,0ppt) 99,29 95,657 46,039 43,119 71,03
E (T4 50,10ppt) 90,559 86,022 77,642 44,934 84,74
F (T4 50,20ppt) 156,138 111,22 105,921 97,599 117,72
G (T4 100,0ppt) 90,25 159,908 89,15 65 101,08
H (T4 100,10ppt) 90,826 82,95 41,921 34,89 62,65
I (T4 100,20ppt) 143,066 107,798 99,705 64,52 103,77
53
Retensi Protein
Retensi protein menunjukkan kemampuan ikan dalam menyimpan dan
menggunakan protein pakan. Hasil statistik menunjukkan bahwa kombinasi atau
interaksi antar perlakuan tiroksin dengan salinitas memberikan pengaruh secara
signifikan terhadap nilai retensi protein (P<0,05). Kombinasi T4 100 ng/g bobot
tubuh dengan media salinitas 10 ppt (Perlakuan H) merupakan perlakuan yang
memberikan nilai retensi protein terbaik yaitu 19,50+0,558 % (Tabel 9; Gambar
16).
Tabel 9. Nilai rataan retensi protein (RP, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.)
yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin
(ng/g bobot tubuh)
Salinitas (ppt)
0 10 20
0 17,16+0,056ca 17,22+0,021ca 16,99+0,099cb
50 18,26+0,558 ba 18,28+0,615 ba 17,19+0,106bb
100 19,01+0,198aa 19,50+0,558aa 17,82+0,184Ab Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh interaksi
perlakuan pada P<0,05
Pengaruh hormon tiroksin terhadap nilai retensi protein ikan nila memberi
kurva respon linier dengan persamaan y = 0,107x+17,07 dengan nilar r2 0,99,
Artinya nilai retensi protein meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi
tiroksin yang diberikan (Gambar 14).
Gambar 14. Pengaruh pemberian tiroksin terhadap nilai retensi protein ikan nila
merah (Oreochromis sp.)
54
Pengaruh salinitas terhadap nilai retensi protein ikan nila memberi kurva
respon polynomial kuadratik dengan persamaan mengikuti
y=0,001x2+0,019x+17,16. Artinya, nilai retensi protein meningkat seiring dengan
peningkatan media salinitas 10 ppt serta mencapai nilai optimal retensi lemak
sebesar 19,50 %. Penurunan retensi protein menurun dengan meningkatnya
salinitas hingga 20 ppt dengan nilai retensi mencapai 16,99% (Gambar 15).
Gambar 15. Pengaruh media salinitas terhadap nilai retensi protein ikan nila
merah (Oreochromis sp.)
Gambar 16. Interaksi antara tiroksin dan salinitas terhadap nilai retensi protein
ikan nila merah (Oreochromis sp.)
Retensi Lemak
Kemampuan ikan dalam memanfaatkan pakan dapat diartikan sebagai nilai
retensi lemak. Berdasarkan hasil statistik menunjukkan bahwa interaksi antara
tiroksin dan salinitas antar perlakuan tidak memberikan pengaruh terhadap nilai
retensi lemak ikan nila. Retensi lemak ikan nila tidak dipengaruhi oleh faktor
55
lingkungan (salinitas), tetapi berbeda nyata antar perlakuan yang diberi tiroksin
(Tabel 10).
Tabel 10. Nilai rataan retensi lemak (RL, %) ikan nila merah (Oreochromis sp.)
yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
Salinitas
0 10 20 X
0 11,66+0,869 11,79+1,301 9,64+0,743 11,67c
50 16,99+1,808 16,85+0,869 14,85+0,502 16,83c
100 22,22+3,359 22,57+2,489 20,06+0,183 21,62a
X 16,96+2,012a 17,07+1,553
a 14,85+0,476
a
Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh).
Pemberian tiroksin secara signifikan memberikan pengaruh yang nyata
dengan mengikuti pola semakin meningkat retensi lemak ikan dengan semakin
tingginya konsentrasi dosis tiroksin yang diberikan. Retensi lemak tertinggi
diperoleh pada ikan yang diberikan tiroksin 10 ng/g BT dengan persentase nilai
mencapai 21,62 %, diikuti perlakuan dengan pemberian tiroksin 50. Nilai retensi
terendah diperoleh pada ikan yang tanpa diberikan tiroksin dengan nilai rataan
sebesar 11, 67 %.
Pertumbuhan Harian (PH, %)
Selama 56 hari perlakuan pemberian tiroksin dan pemeliharaan pada
beberapa media salinitas tidak memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan
harian ikan nila (Oreochromis sp.) (Tabel 11)
Tabel 11. Nilai rataan pertumbuhan harian ( %) ikan nila merah (Oreochromis
sp.) yang diberi perlakuan tiroksin dan salinitas
Tiroksin (T4)
(ng/g BT)
Salinitas
0 10 20
0 0,76+0,142a 0,77+0,117
a 0,54+0,235
a
50 0,77+0,250a 0,77+0,204
a 0,72+0,418
a
100 0,76+0,246a 0,79+0,260
a 0,75+0,530
a
Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukan adanya pengaruh perlakuan
pada P<0,05. (BT= Bobot tubuh).
56
Pertumbuhan harian tertinggi diperoleh pada perlakuan H (pemberian
tiroksin 100 ngT4 dan pemeliharaan pada salinitas 10 ppt) dengan nilai
pertumbuhan 0,79% dan terendah diperoleh pada perlakuan C (pemeliharaan
salinitas 20 ppt tanpa pemberian tiroksin) (Gambar 17).
Keterangan: (A) Tiroksin 0 ng/g bobot tubuh, salinitas 0 ppt; (B) 0,10; (C) 0,20; (D) 50,0; (E) 50,10; (F) 50,20; (G) 100,0; (H) 100,10; (I) 100,20
Gambar 17. Pertumbuhan harian ikan nila merah (Oreochromis sp.) setelah
pemberian hormon tiroksin dan dipelihara pada beberapa media
salinitas
57
PEMBAHASAN
Selama proses reproduksi, sebagian besar aktivitas tertuju pada
perkembangan gonad sehingga menyebabkan terjadinya perubahan pada gonad itu
sendiri. Hasil pengamatan parameter utama menunjukkan bahwa perbedaan
salinitas media dan dosis tiroksin dapat merespon kinerja reproduksi ikan nila
merah (Oreochromis sp.). Kombinasi antara tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dengan
pemeliharaan pada salinitas 10 ppt (perlakuan H) memberikan respon terbaik
terhadap nilai fekunditas dengan nilai rataan optimal 1447 butir/ekor, diikuti oleh
perlakuan E (T4 0, salinitas 10). Salinitas terendah diperoleh pada perlakuan C (T4
0, salinitas 20 ppt) (Tabel 6).
Perkembangan gonad dimulai dari proses vitelogenesis atau induksi dan
sintesis vitelogenin. Sintesis vitelogenin dalam tubuh ikan berlangsung di hati.
Vitelogenin adalah bakal kuning telur yang merupakan komponen utama dari
oosit yang sedang tumbuh sehingga menyebabkan nilai HSI terus meningkat.
Persentase nilai HSI pada tiap-tiap perlakuan menunjukkan pola yang terus
meningkat hingga minggu ke-8 pemeliharaan, dengan nilai maksimum dicapai
pada minggu ke-6 (Gambar 5). Hal ini diduga bahwa pada minggu ke-6
merupakan waktu dimana terjadi proses sintesis vitelogenesis tertinggi.
Peningkatan persentase HSI ikan diikuti oleh peningkatan diameter telur dan
persentase nilai GSI. Menurut Tam (1986), pada saat menjelang ovulasi akan
terjadi peningkatan diameter oosit karena diisi oleh masa kuning telur yang
homogen akibat adanya peningkatan kadar estrogen dan vitelogenin sehingga
menyebabkan nilai GSI ikan meningkat. Pada saat proses vitelogenesis
berlangsung, granula kuning telur bertambah dalam jumlah dan ukurannya
sehingga volume oosit membesar. Proses vitelogenesis dibawah pengaruh
hormon-hormon pituitari, sel folikel melepaskan estrogen ke dalam aliran darah
kemudian memasuki sel sasaran (hati). Beberapa hormon yang terlibat dalam
pertumbuhan oosit (perkembangan gonad) adalah gonadotropin (Estrogen, FSH;
follicle stimulating hormone), GH (growth hormon), insulin, tetraiodotironin dan
hormon tiroksin. Ayson dan Lam (1993) menambahkan bahwa hormon T3 dan T4
58
dalam plasma induk akan ditransfer ke dalam telur dan kemudiat ke dalam
kantung kuning telur (yolksac) larva.
Perkembangan gonad terjadi secara makroskopik dan mikroskopik
(histologi). Histologi gonad menunjukkan tingkat kematangan gonad dari ikan
nila. Pada Gambar 11Aa dan 11Ba merupakan histologi awal sebelum dimulai,
yaitu pada TKG II. Pada Gambar tersebut tampak kondisi oosit yang tidak
seragam, karena ikan nila termasuk partial spawner yang mengeluarkan telur
tidak sekaligus melainkan secara bertahap. Selanjutnya pada gambar 11Ab dan
11Bbb, terlihat jelas oosit mulai tumbuh berkembang dan tampak diameter mulai
membesar (TKG III). Pada tahap ini mulai terjadi proses vitelogenesis atau fase
akumulasi kuning telur. Fase pembentukan kuning telur dimulai sejak terjadinya
penumpukan bahan-bahan kuning telur dalam sel telur dan berakhir setelah sel
telur mencapai ukuran tertentu. Pada gambar 11Ac dan 11Bc tampak telur
memasuki tahap akhir yang ditandai dengan posisi inti sel yang berada di tepi
(TKG IV), yang berarti bahwa ikan siap dipijahkan. Induk yang siap dipijahkan
adalah induk yang telah melewati fase pembentukan kuning telur dan masuk ke
tahap dorman. Bila mana kondisi lingkungan tidak cocok dan rangsangan tidak
tersedia maka telur dorman tersebut akan mengalami degradasi (rusak) lalu
diserap kembali oleh lapisan folikel melalui atresia. Matty (1985) menyatakan
bahwa penyerapan vitelogenin oleh oosit dibantu oleh hormon gonadotropin dan
tiroksin.
Perkembangan gonad selain dipengaruhi oleh hormon, juga dipengaruhi
oleh faktor lingkungan seperti salinitas dan tingkat konsumsi oksigen. Salinitas
erat kaitannya dengan tekanan osmotik ikan. Pengaruh tekanan osmotik pada
pertumbuhan dan reproduksi dapat terjadi melalui osmoregulasi, upaya ikan
dalam menyeimbangkan konsentrasi cairan tubuh dengan media lingkungan. Ikan
mempunyai tekanan osmotik yang berbeda dengan lingkungannya, sehingga ikan
harus mencegah kelebihan dan kekurangan air agar proses-proses fisiologi di
dalam tubuh dapat berlangsung normal. Tiroksin merupakan salah satu hormon
yang berperan dalam proses osmoregulasi.
59
Pengaruh tiroksin terhadap pengaturan gradien osmotik tubuh dan media
terjadi melalui mekanisme pertukaran ion dalam sel klorida epitel insang. Tiroksin
mempengaruhi aktivitas enzim NA+/K
+ATP-ase sehingga terjadi peningkatan
aktivitas natrium akibat meningkatnya konsumsi oksigen. Dari hasil penelitian
(Gambar 11) terlihat bahwa ikan yang dipelihara pada media air tawar, pemberian
tiroksin rendah (50 ng/gr bobot tubuh) tidak berpengaruh terhadap pengaturan
osmotik tubuh. Hal yang berbeda terjadi pada ikan yang dipelihara pada salinitas
10 dan 20 ppt. Semakin tinggi dosis yang diberikan, ion atau konsentrasi tubuh
ikan semakin mendekati konsentrasi media. Pemberian hormon tiroid (T3) dan T4
20, 40 dan 80 ng/gr bobot tubuh mampu meningkatkan aktivitas enzim
Na+/K
+ATP-ase tetapi menurun pada dosis >120 ng/gr bobot tubuh (Peter et al.
2000). Aktivitas Na+/K
+ATP-ase lebih berperan pada ikan yang diadaptasikan ke
air laut. Pendapat ini sesuai dengan penelitian Turned and Bagnara (1976), pada
usus ikan yang dipelihara di air tawar sedikit peran Na+K
+ATP-ase untuk aktivitas
transport natrium ke dalam darah dari lumen usus, tetapi aktivitas Na+K
+ATP-ase
berperan pada ikan yang diadaptasikan ke air laut. Pada ikan air laut, air yang
ditelan diangkut secara pasif selanjutnya diikuti dengan pengambilan secara aktif
ion-ion oleh usus. Ion masuk ke dalam sel diperantarai oleh reseptor hormon
tiroid yang terdapat pada inti sel. Hormon tiroid dapat menyebabkan kebocoran
pada membran sel sehingga memudahkan masuknya Na/K+APT-ase yang
menyebabkan meningkatnya transport ion ke dalam tubuh.
Pengaruh salinitas terhadap pertumbuhan dan reproduksi dapat terjadi
secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh langsung salinitas adalah efek
osmotiknya terhadap osmoregulasi, dan kemampuan mencerna serta
mengabsorbsi nutrien pakan. Sedangkan secara tidak langsung, salinitas
mempengaruhi organisme akuatik melalui perubahan kualitas air. Dalam
kaitannya dengan osmoregulasi, Jobling (1994) menjelaskan bahwa pembelanjaan
energi untuk osmoregulasi dapat ditekan apabila ikan dipelihara pada media yang
isosmotik, sehingga pemanfaatan pakan menjadi efisien dan penggunaan untuk
pertumbuhan dan reproduks ikan dapat meningkat
60
Dari Gambar 12 tampak bahwa media pemeliharaan salinitas 10 ppt adalah
media yang cocok untuk pemeliharaan ikan nila. Hal ini menunjukkan bahwa
salinitas 10 ppt merupakan media yang mendekati kondisi isoosmotik untuk
kehidupan ikan nila sehingga proses fisiologis tubuh dapat berjalan dengan
normal. Penambahan tiroksin berpengaruh terhadap pengaturan konsentrasi ion
tubuh oleh ikan. Hal ini terlihat dari kondisi osmolaritas tubuh yang semakin
mendekati kondisi osmolaritas media. Hal yang sama juga terjadi pada ikan
dengan penambahan tiroksin pada media bersalinitas 20 ppt. Pada salinitas 20 ppt
tanpa pemberian hormon tiroksin (Perlakuan C), tingkat kerja osmotik yang
rendah yaitu 0,298 Osmol/L H2O, sedangkan osmolaritas medianya tinggi yaitu
sebesar 0,505 Osmol/L. Pemberian tiroksin 100 ng/gr bobot tubuh mampu
meningkatkan kerja osmotik hingga mencapai 0,401 Osmol/kg atau keadaan
mendekati kisaran isoosmotik. Berdasarkan data hasil pengamatan (Tabel 6),
fekunditas meningkat jika ikan diberikan tiroksin 100 ng/g bobot tubuh
dibandingkan dengan fekunditas ikan yang dipelihara pada media air tawar. Ikan
yang dipelihara dalam kondisi isoosmotik akan diuntungkan karena adanya
penghematan energi sehingga kebutuhan energi tersedia untuk pertumbuhan dan
reproduksi meningkat (Baldisserotto et al. 2007). Saoud et a.l (2007)
mengemukakan bahwa aktivitas tertinggi Na+K
+-ATPase oleh insang diperoleh
pada ikan yang dipelihara pada media salinitas 10 ppt dan secara signifikan
menurun pada pemeliharaan salinitas 35 ppt.
Tekanan tingkat kerja osmotik berpengaruh terhadap tingkat konsumsi
oksigen dan dan kadar glukoda darah (Gambar 13). Ikan yang dipelihara pada
media salinitas 20 ppt terlihat adanya peningkatan konsumsi oksigen
dibandingkan dengan ikan yang dipelihara pada media salinitas 0 ppt. Hal ini
diduga karena adanya pengaruh respon stres (glukosa darah) terhadap perubahan
lingkungan dalam hal ini adalah peningkatan media salinitas sehingga ikan harus
mengkonsumsi oksigen untuk digunakan dalam proses metabolisme atau
pembakaran zat-zat makanan dalam tubuh ikan dan aktivitas fisiologi lainnya
sehingga memungkinan ikan dapat bertahan hidup. Energi yang diperoleh dari
hasil metabolisme diperlukan tubuh untuk proses aktivitas tubuh seperti renang,
pertumbuhan dan reproduksi. Selain berpengaruh terhadap tingkat konsumsi
61
oksigen, gradien osmotik juga turut berpengaruh terhadap kadar glukosa darah.
Okoth et al. (2011) menyatakan bahwa penggunaan gaeram dapur (Nacl) dapat
mengurangi kondisi stress pada ikan. Namun pada tingkat tertentu dapat
meningkatkan kadar glukosa darah. Perubahan kadar glukosa darah selama
penelitian terus terjadi (Tabel 8). Pada minggu kedua setelah perlakuan penurunan
kadar glukosa mulai terlihat pada masing-masing perlakuan. Penurunan tingkat
stres kemungkinan disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah karena
hewan telah mengalami proses adaptasi sehingga tidak lagi merasakan adanya
stres. Adaptasi tersebut terjadi karena ikan telah mengalami suatu proses
tanggapan fisiologi akibat stres yang berulang (Clark et al. 1977). Stres juga
menurunkan kemampuan imunitas yang akan berdampak buruk pada
pertumbuhan dan reproduksi.
Peningkatan salinitas hingga 20 ppt menyebabkan kadar glukosa darah
meningkat. Tingginya kadar glukosa darah mengindikasikan tingginya tingkat
stres akibat meningkatnya salinitas media. Pada umumnya stres dirangsang oleh
sistem neuroendokrin secara bertingkat dengan melibatkan sekresi katekolamin
(Zairin 2003). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Porchas et al (2009), stres
melibatkan sistem endokrin dalam pengaturan sistem tubuh oleh hipotalamus.
Pada kondisi stres sel kromafin akan melepaskan hormon katekolamin dan ACTH
yang merupakan hormon stres yang berhubungan dengan mobilisasi kortisol dan
peningkatan glukosa darah. Respon stres sekunder selain meningkatkan kadar
glukosa darah, dapat menghambat sintesis protein, mempengaruhi keseimbangan
hidromineral yang menyebabkan kelebihan air pada ikan yang hidup di air tawar
dan kehilangan air pada ikan yang hidup di air laut, mengganggu sistem imunitas,
berdampak buruk terhadap pertumbuhan dan reproduksi ikan (Mezeaud dan
Mazeaud 1981). Peningkatan kadar glukosa darah yang cepat dan tetap berada
pada tingkat yang tinggi akan diikuti oleh kematian ikan (Brown 1993).
Untuk faktor nutrisi, pakan yang dimakan oleh ikan bergantung pada
kemampuan sensor ikan untuk mendeteksi pakan, kemampuan untuk menangkap
dan memakan pakan, serta kemampuan fisiologis (biokimia) untuk mencerna dan
mengubahnya menjadi nutrien yang bisa diserap, predator, kompetitor, plankton
dan sebagainya (Pengaruh hormon tiroksin secara tidak langsung melalui retensi
62
protein dan lemak) (Kestemont and Baras 2001). Pada Tabel 9 dapat dilihat
bahwa interaksi antara tiroksin dan salinitas memberikan pengaruh terhadap
terhadap nilai retensi protein dengan nilai tertinggi diperoleh pada kombinasi
tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dengan pemeliharaan pada media salinitas 10 ppt
dengan nilai retensi rataan adalah 19,05%). Tabel 10 terlihat bahwa salinitas tidak
berpengaruh terhadap nilai retensi lemak, namun pemberian tiroksin dapat
meningkatkan nilai retensi lemak (P<0,05). Retensi lemak tertinggi diperoleh
pada ikan yang diberikan tiroksin 100 ng/g bobot tubuh dengan rataan nilai
mencapai 21,65% dan terendah pada ikan yang tidak diberikan hormon tiroksin
dengan rataan nilai 11,67%. Pengaruh tiroksin terhadap retensi protein dan lemak
melalui peningkatan enzim pencernaan protease dan lipase sehingga ikan dapat
menstimulasi kecernaan protein dan meningkatkan absorbsi asam amino serta
asam lemak melalui usus (Woo et al. 1991; Handayani 1997). Pengaruh tiroksin
terhadap metabolisme karena disebabkan oleh beberapa faktor seperti status
nutrisi, dosis hormon, cara pemberian hormon, temperatur, umur ikan dan
salinitas.
Reproduksi membutuhkan lebih dari sekedar produksi gamet namun juga
membutuhkan pengembangan seksual sekunder. Semua ini membutuhkan energi
tambahan, selain untuk produksi gamet. Peningkatan kebutuhan untuk reproduksi
bisa diperkirakan melalui jumlah progeni yang diproduksi per unit pakan yang
dikonsumsi, namun akan ada pengurangan energi untuk ketahanan dan
pertumbuhan somatik. Apabila pakan mengandung energi yang rendah, maka
ikan mempergunakan sebagian protein untuk memenuhi kebutuhan energinya
sehingga jumlah protein yang dapat dimanfaatkan untuk reproduksi menjadi
berkurang. Energi diperoleh dari pemanfaatan lemak dan protein pakan dan
diperuntukan untuk pertumbuhan, pemeliharaan tubuh dan reproduksi. Protein
merupakan komponen dominan kuning telur. Protein dengan proporsi yang tinggi
diubah menjadi asam amino dan sebagian di konsumsi untuk menghasilkan
energi. Calow (1985); Sibly dan Calow (1986), menyatakan bahwa pada ikan
dewasa, sebagian besar energi yg diperoleh digunakan untuk kegiatan reproduksi.
Nutrien dan asupan pakan yang digunakan untuk reproduksi berasal dari lemak
dan protein. Fungsi keduanya adalah untuk pembentukan vitelogenesis,
63
gonadogenesis, fekunditas, hormon dan enzim (Tylor dan Calow 1985).
Aristizabal (2007) menambahkan bahwa selain protein, lemak merupakan
komponen kedua bahan kering telur ikan. Bagian utama cadangan lemak kuning
telur digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi, sisanya disimpan dalam
bentuk embrio. Aristizabal (2007) mengatakan pada ikan diperoleh dua jenis
bentuk penyimpanan energi yaitu untuk pertumbuhan dan reproduksi, dimana
proses reproduksi merupakan bentuk penyimpanan energi yang dapat diukur
berdasarkan energi yang terdapat pada gonad (ovari). Belanja energi pada ikan
untuk reproduksi dipengaruhi oleh jenis, usia dan ukuran ikan. Penyimpanan dan
pembelanjaan energi pada ikan: selama masa recovery seluruh net energi
dipergunakan untuk proses pembentukan gonad (ovaries), Selain gonad, beberapa
tempat yang menjadi deposit energi untuk proses pemijahan adalah hati, otot, serta
lemak di rongga perut.
Alokasi energi yang diperoleh ikan melalui asupan pakan, digunakan
untuk pertumbuhan dan reproduksi. Berdasarkan analisis ragam, pemberian
tiroksin dan pemeliharaan ikan pada media bersalinitas serta interaksi antara
keduanya tidak berpengaruh secara nyata terhadap pertumbuhan ikan nila. Namun
demikian, masih terlihat peningkatan bobot tubuh meskipun dengan nilai yang
sangat kecil (Tabel 11). Hal ini didiuga karena pada ikan-ikan yang matang gonas,
sebagian besar energi digunakan untuk reproduksi. Kestemont et al. (2001)
mengemukakan bahwa pematangan gonad sering dihubungkan dengan penurunan
pertumbuhan somatik dan pengambilan makanan. Meningkatnya proses
reproduksi akan mengakibatkan terjadi usaha untuk meningkatkan produksi
anakan dari tiap makanan yang dikonsumsi. Proses ini akan menyebabkan
terjadinya penurunan biaya energi yang diperuntukan untuk perawatan tubuh dan
untuk pertumbuhan somatik. Hal ini didukung oleh pendapat Jobling (1994)
bahwa ukuran tubuh merupakan faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan
dan kebutuhan energi pada ikan. Banyak studi kasus yang menjelaskan bahwa
rata-rata pertumbuhan relatif menurun dengan peningkatan ukuran tubuh.
64
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Tang M. 2003. Biologi reproduksi ikan. Unri Press. Pekanbaru
Ayson FG, Lam TJ. 1993. Thyroxine injection of female rabbitfish (Siganus
gittatus) Broodstock. Change in thyroid levels ini plasma, eggs, and yolk-
sac-larvae and its effect on larval growth and survival. Aquaculture, 221:
125-140.
Ainun RN. 2008. Pengaruh salinitas berbeda terhadap pertumbuhan dan
kelangsungan hidup ikan nila gift yang dipelihara dalam wadah terkontrol
[Tesis]. Program Studi Budidaya Perairan. Jurusan Peternakan Fakultas
Pertanian. Universitas Tadulako.
Aristizabal EO. 2007. Energy investment in the annual reproduction cycle of
female red porgy, Pagrus pagrus (L.). Marine Biology, 152:713-724.
Baldisserotto B, Miguel J, Kapoor BG. 2007. Fish osmoregulation. Science
Publisher. USA.
Bernier JN. 2005. The corticotrophin realizing faktor system as a mediator of the
appetite suppressing effects of stress in fish. General and comparative
endocrinology, 146: 45-55.
Bernier JN, Kraak GVD, Farerell AP, Brauner CJ. 2009. Fish endocrinology.
Elsevier Academic Press. Amisterdam, Netherlands.
Brett, J.R. 1979. Environmental factors and growth. pp. 675. Dalam WS Hoar, DJ
Randall & JR Brett (Editor) Fish Physiology. Academic Press, New York.
Calow P. 1985. Adaptive aspects of energy allocation. Environmental Biology of
Fishes, 65: 13-31.
Cedra J, Calman BG, Lafleur Jr, Limesand S. 1996. Pattern of vitellogenesis and
follicle maturation competence during the ovarian follicular cycle of
Fundulus heteroclitus. Comparative Endocrinology, 103:24-35.
Choksi YN, Jahnke DG, Hilaire SC, Shelby M. 2003. Role of thyroid in human
and laboratory animal reproduction health. National Institute of
Environmental Healt Science, North Carolina.
Clark JD, Rager DR, Calpin JP. 1997. Animal well-being II: stress and distress.
Lab Animal Science, 47: 571-579
Cooke S. Paul. 2005. Reproductive effect of thyroid hormone signaling
disruption. Department of Veterinary Biosciences, 61 : 217-230.
65
Dadzie S, Wangila BCC. 1980. Reproductive biology, length-weight relationship
and relative condition of pond raised Tilapia zilli. 17 : 295-306.
Darwisto S. 2006. Kinerja reproduksi ikan nila Oreochromis niloticus) yang
mendapat tambahan minyak ikan dan vitamin E dalam pakan yang
dipelihara pada salinitas media berbeda [Disertasi]. Program Studi
Pascasarjana, Institut Pertanian Borgor.
Diaz RJ. 2001. Overview of Hypoxia around the World. Journal of Environmental
Quality, vol 30 no 2.
Djojosoebagio S. 1996. Fisiologi kelenjar endokrin. UI Press, Jakarta.
Effendi H. 2003. Telaah kualitas air. Kanisius. Yogyakarta
Finstad AG, Berg OK, Langeland A and Lohrmann A. 2002. Reproductive
investment and energy allocation in an alpine arctic charr, Salvelinus
alpines, population. Environmental Biology of Fishes, 65: 63-70.
Fujaya Y. 2004. Fisiologi ikan: Dasar pengembangan teknik perikanan. Rineka
Cipta. Jakarta.
Handayani S. 1997. Dosis optimum 3,5,3’-Triiodotironin (T3) dalam pakan untuk
pertumbuhan ikan gurame (Osphronemus gouramy Lacepede). [Tesis].
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Harvey JG. 1976. Atmosphere and Ocean Our Fluid Environments.
Cambridgeshire.
Jannini EA, Ulisse S and D’Armiento M. 1995. Thyroid hormone and male
gonadal function. Endocrinology review 16: 443-459.
Kestemont P, Baras E. 2001. Environmental factors and feed intake; mechanism
and interaction. In Houlihan D, Boujard T, Jobling ME; food intake in
fish. Blackwell, Oxford, pp: 131-158.
Khairuman dan Amri. 2008. Buku pintar budidaya 15 ikan konsumsi. AgroMedia
Pustaka. Jakarta.
KKP, 2010. Konsumsi ikan 2014. Kementrian Kelautan dan Perikanan.
www.dkp.go.id.
Koda MI. 2003. Maskulinisasi benih ikan nila (Oreochromis niloticus) yang
berbeda umur dengan hormon 17-metil testosterone dan aklimatisasinya
pada media salinitas air laut [Tesis]. FPIK Manado.
Kordi GMH. 2000. Budidaya ikan nila di tambak system monosex kultur. Effhar
dan Dahara Prize. Semarang.
66
Kusnadi T, Bani WK. 2007. Budidaya ikan nila. PT Setia Purna Inves, Jakarta.
Lam TJ. 1985. Induced spawning in fish. Oceanic institute and Tungkang Marine
Labboratory.
Mahajan S, Tuteja N. 2005. Cold, salinity and drought stresses; An overview.
Archives of Biochemistry and Biophysics, 444: 139-158.
Marcel MP, Cordova, Enriques. 2009. Cortisol and glucose; reliable indicators of
fish stress. America Journal of Aquatic Sciences,4:158-178.
Mattjik AA, Sumertaja IM. 2002. Perancangan percobaan degan aplikasi SAS dan
minitab. IPB Press, Bogor.
Matty AJ. 1985. Fish endocrinology. Timber Press. Australia.
Mazeaud MM, F Mazeaud. 1981. Adrenegric responses to stress in fish. p: 49-68.
In Pickering AD. Stress and fish. Academic Press, London.
Mege AR. 1993. Kajian fisiologi ikan nila merah (Oreochromis sp.) yang
dipelihara pada beberapa kondisi salinitas. [Tesis]. Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor.
Mendozaa CA, McAndrewa BJ, Cowardb, Bromage N. 2004. Reproductive
response of Nile tilapia (Oreochromis niloticus) to photoperiodic
manipulation; effects on spawning periodicity, fecundity and egg size.
Aquaculture, 231: 299–314.
Murua H, Kraus G. 2003. Procedur to estimate fecundity of marine fish spesies in
relation ti their reproductive strategy. Aquaculture, 33:23-32.
Okoth EO, Cherop L, Ngungi CC, Boit CV, Sabwa JA, Lusega DM, Karisa CH.
2011. Survival and physiological response of Labeo victorianus juveniles
to transport stress under a salinity gradient. Aquaculture, 103: 5-13.
Pavloskii EN. 1964. Teqnique for the investigation of fish physiology. Israel:
Program Scientific translation Ltd.
Peter MC, Lock RAC, Bonga EW. 2000. Evidence for an osmoregulatory role
thyroid hormones in the freshwater Mozambique Tilapia Oreochromis
mossambicus. . General and comparative endocrinology, 120: 157-167.
Piliang WG, Djojosoebagio. 2002. Nutrisi vitamin. Vol I. Institut Pertanian
Bogor. Saoud IP, Kreydiyyeh S, Chalfoun A, Fakih M. 2007. Influence of
salinity on survival, growth, plasma osmolality and gill Na+K
+-ATPase
activity in the rabbitfish Siganus rivulatus. Journal of Experimental
Marine Biology and Ecology, 348: 183–190.
67
Santos GA, Schrama JW, Mamauag REP, Rambout JHWM, Verreth JAJ. 2010.
Chronic stress impairs performance, energy metabolism and welfare
indicators in European seabass; The combined effects of fish crowding
and water quality deterioration. Aquaculture 299: 73-80.
Schreck BC, Sanchez C, Fitzaptrick SM. 2000. Effects of stress on fish
reproduction, gamete quality and progeny. Aquaculture 197: 13-24.
Sechman A, Pawlowska K, Rzasa J. 2009. Influence of triiodothyronine (T3) on
secretion of steroids and thyroid hormone receptor expression in chicken
ovarian follicles. Domestic Animal endocrinology, 37: 61-73.
Sibly RM, Colow P. 1986. Physiological ecology of animals. Backwell
ScientiWc, Oxford. Hal 179.
Smith LS. 1982. Introduction to fish physiology. T.F.H Publication. 350 h.
Stell RD G, Torrie JH. 1993. Principles and procedur of statistic. McGraw Hill.
London
Sudarto. 1987. Pertumbuhan ikan nila merah (Oreochromis sp) dalam
pemeliharaan semi intensif, intensif di kolam pekarangan. Bull. Panel.
Perikanan Darat, BALIKNWAR Bogor.
Robertson HA, Falconer IR. 1961. Reproduction and thyroid activity. General
and comparative endocrinology, 22: 133-138.
Rustidja 2005. Breedeng dan reproduksi hewan air pemijahan ikan-ikan tropis.
Universitas Briwijaya. Malang.
Takeuchi T. 1988. Laboratory work chemical evaluation of dietary nutrient. 179-
231 h. In Watanabe. Fish nutrient and mariculture. Kanagawa Fisheries
Training Centre. JICA, Tokyo.
Tengjaroenkul SC, Smith AS. 2000. Distribution of intestinal enzyme activities
along the intestinal tract of cultured Nile tilapia, Oreochromis niloticus L.
Aquaculture 182 : 317–327.
Toelihere RM. 1979. Fisiologi reproduksi pada ternak. PT Angkas. Bandung.
Turner CD, JT Bagnara. 1876. General endocrinology. WB Saunder Company.
Philadelphia.
Tytler P, Calow P. 1985. Fish energetic. Croom Helm, London.
Wardoyo SE. 1990. Effect of different salinity levels and acclimation regimes on
spawning success and fecundity of three straints of Tilapia nilotica and
red T. nilotica hybrid. J. Panel. Budidaya Pantai.
68
Watanabe WO, Kuo CM, 1985. Observation on the reproductive performance on
nile Tilapia (Oreoxhromis niloticus) in laboratory aquaria at various
salinities. Aquaculture, 49:315-323.
Woo NY, SB Chung, TB Ng. 1991. Influence of oral administration of
triiodothyronine on growth, digestion, food conversion and metabolism in
the underyearling red and sea bream (Crysophrys major). Fish Biology, 39:
459-468.
Zairin M Jr. 2003. Endokrinologi dan peranannya bagi masa depan perikanan
Indonesia. Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Fisiologi Reproduksi dan
Endokrinologi Hewan Air. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB.
69
Lampiran 1. Tata letak wadah percobaan dan media pemeliharaan ikan nila merah (Oreochromis sp.)
P1U3
P4U2
P8U3 P9U1 P6U3
P8U1
P4U3
P1U2 P7U3 P8U2 P5U3 P9U3
P7U2 P3U3 P6U1
P2U1
P5U2
P4U1 P6U2 P3U2 P3U1 P2U1
P2U3 P5U1 P7U1 P9U2
P2U3 P9U1 P6U3 P4U3 P8U3
P1U1 P5U1 P9U2 P8U1 P7U1
TANDON
PIPA INLET
FILTER
70
Keterangan :
P1U1 = Perlakuan 1 ulangan ke-1 P6U1 = Perlakuan 6 ulangan ke-1
P1U2 = Perlakuan 1 ulangan ke-2 P6U2 = Perlakuan 6 ulangan ke-2
P1U3 = Perlakuan 1 ulangan ke-3 P6U3 = Perlakuan 6 ulangan ke-3
P2U1 = Perlakuan 2 ulangan ke-1 P7U1 = Perlakuan 7 ulangan ke-1
P2U2 = Perlakuan 2 ulangan ke-2 P7U2 = Perlakuan 7 ulangan ke-2
P2U3 = Perlakuan 2 ulangan ke-3 P7U3 = Perlakuan 7 ulangan ke-3
P3U1 = Perlakuan 3 ulangan ke-1 P8U1 = Perlakuan 8 ulangan ke-1
P3U2 = Perlakuan 3 ulangan ke-2 P8U2 = Perlakuan 8 ulangan ke-2
P3U3 = Perlakuan 3 ulangan ke-3 P8U3 = Perlakuan 8 ulangan ke-3
P4U1 = Perlakuan 4 ulangan ke-1 P9U1 = Perlakuan 9 ulangan ke-1
P4U2 = Perlakuan 4 ulangan ke-2 P9U2 = Perlakuan 9 ulangan ke-2
P4U3 = Perlakuan 4 ulangan ke-3 P9U3 = Perlakuan 9 ulangan ke-3
P5U1 = Perlakuan 5 ulangan ke-1
P5U2 = Perlakuan 5 ulangan ke-2
P5U3 = Perlakuan 5 ulangan ke-3
71
Lampiran 2. Dokumentasi wadah penelitian
B
A
72
Lampiran 3. Prosedur Histologi Gonad
1. Sampel atau jaringan dimasukkan kedalam larutan fiksasi untuk mencegah
terjadinya kerusakan jaringan dan mengawetkan jaringan. Larutan fiksatif.
Fiksatif yang digunakan adalah buuin dan paraformaldehide 4 %. Sebelum
perendaman dilakukan, jaringan gonad disayat-sayat terlebih dahulu
dengan tujuan agar larutan fiksasif tersebut dapat masuk didalam jaringan
secara merata.
2. Dehidrasi; Sampel dipindahkan secara bertahap kedalam alkohol 70%,
80%, 90% dan 95%, masing-masing selama 24 jam. Setelah itu, sampel
dipindahkan kedalam alcohol 100% selama semalam.
3. Clearing; Sampel dipindahkan kedalam alcohol 100% baru selama 1 jam.
Setelah itu dipindahkan dalam alcohol – xyloi : paraffin (1:1) selama tiga
perempat jam (didalam oven) pada suhu 65-70oC.
4. Embedding; Sampel dipindahkan kedalam paraffin I, II dan paraffin III,
masing-masing selama tigaperempat jam.
5. Blocking; Sampel dikeluarkan dari paraffin lalu dicetak dalam cetakan dan
didiamkan selama semalam.
6. Pemotongan jaringan; Sampel dipotong setebal 5-6µm, selanjutnya
potongan sampel diapungkan dalam air agar sampel jaringan terenggang.
Dengan gelas benda yang bersih sampel jaringan diangkat dari air.
7. Pewarnaan jaringan; Setelah disayat maka dilakukan proses hidrasi. Gelas
benda berisi berisi jaringan dimasukkan dalam xylol I, xylol II, alcohol
100%, 95%, 90%, 80% dan 70% masing-masing selama 3 menit. Setelah
itu dicuci 2 kali. Selanjutnya diwarnai dengan hematoxylin selama tujuh
menit, cuci dengan air, kemudian dicuci dengan cosin dan dicuci lagi
dengan air selama beberapa detik. Setelah dicuci kembali dilakukan
dehidrasi. Caranya yaitu memasukkan gelas benda yang berisi jaringan
dalam alcohol 70%, 85%, 90%, 100%, xylol, masing-masing selama 2
menit.
73
8. Selanjutnya ditetesi dengan Canada balsam atau Entellan dan langsung
ditutup dengan gelas tutup. Sampel dibiarkan semalaman agar kering dan
tidak ada udara antara gelas tutup dan gelas benda. Selanjutnya sampel
dapat diamati dibawah mikroskop.
74
Lampiran 4. Prosedur pengukuran gradien osmotik
1. Menyalakan main power (terletak dibelakang dekat kabel main power)
2. Posisi handle sampel di atas
3. Pemanasan alat selama 15-20 menit dengan indikasi lampu spontcryst result
dan no cryst menyala secara bergantian. Tunggu sampai mati hanya lampu
sampel yang menyala.
4. Zero set:
a. Menyiapkan akuades dan masukkan ±50 µm dalam tabung sampel,
masukkan ke sensor.
b. Menekan tombol zero sampai keluar angka 0.000
c. Menurunkan handle sampel tunggu sampai display 0.000 dan lampu
result menyala
d. Mengangkat handle
e. Membilas sensor dengan akuades dan bersihkan dengan tissue
5. Kalibrasi:
a. Menyiapkan cairan standar kalibrasi dan masukkan ± 50 µm dalam
tabung sampel dan masukkan ke sensor.
b. Menekan tombol Cal sampai keluar angka 0.300
c. Menurunkan handle sampel tunggu sampai display 0.300 dan lampu
result menyala
d. Mengangkat handle
e. Membilas sensor dengan menggunakan akuades dan bersihkan dengan
tissue
6. Sampel:
a. Menyiapkan cairan sampel dan masukkan ± 50 µm dalam tabung
sampel dan masukkan ke sensor.
b. Menekan tombol sampel
c. Menurunkan handle sampel tunggu sampai pengukuran selesai dan
lampu resultnya menyala
d. Mengangkat handle
e. Membilas sensor dengan menggunakan akuades
7. Setelah selesai melakukan pengukuran:
75
a. Membersihkan sensor menggunakan tissue yang dibasahi akuades
b. Pada saat tidak digunakan sensor harus ditutup dengan tabung kososng
(handle dalam posisi turun)
c. Mematikan main power : OFF
d. Mencabut aliran listrik dari pusat listrik.
76
Lampiran 5. Prosedur pengukuran kadar glukosa darah
a. Darah ikan diambil dengan menggunakan injeksi yang telah diisi
dengan cairan antikoagulan untuk mencegah terjadinya penggumpalan
darah.
b. Darah diambil dari pembuluh darah dibagian pangkal ekor kemudian
dimasukkan darah tersebut kedalam tabung Ependroft
c. Disentrifuise dengan kecepatan 12000 rpm selama 15 menit
d. Setelah terbentuk lapisan-lapisan yang terdiri dari lapisan plasma yang
jernih dibagian atas, kemudian diambil sebanyak 10 µl lapisan plasma
dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang telah diisi 1 ml reagen
(glucose liquicolor) kemudian divortex agar homogen.
e. Diinkubasi selama 10 menit pada suhu kamar kemudian baca nilai
absorbannya pada spektrofotometer dengan λ 500 nm.
77
Lampiran 6. Diameter telur ikan nila pada perlakuan terbaik (H=100T4:10 ppt)
dan control (H=0T4:10 ppt) selama pemeliharaan
Diameter telur minggu ke-0
Perlakuan H (100T4:10 ppt Perlakuan G (0T4:10 ppt)
Diameter telur minggu ke-2
78
Diameter telur minggu ke-4
Perlakuan H (100T4:10 ppt) Perlakuan G (0T4:10 ppt)
Diameter telur minggu ke-6
Perlakuan H (100T4:10 ppt) Perlakuan G (0T4:10 ppt)
79
Diameter telur ikan nila minggu ke-8
Perlakuan H (100T4:10 ppt) Perlakuan G (0T4:10 ppt)
80
Lampiran 7. Osmolaritas tubuh dan media pemeliharaan ikan nila pada masing-
masing perlakuan selama penelitian
Perlakuan Osmol tubuh minggu ke- Rataan Osmol media
0 2 4 6
A (T0;S0 0,341 0,331 0,361 0,327 0,340 0,066
B (T0;S10) 0,343 0,37 0,349 0,377 0,365 0,208
C (T0;S20) 0,244 0,259 0,322 0,312 0,298 0,505
D (T50;S0) 0,341 0,223 0,213 0,235 0,224 0,066
E (T50;S10) 0,343 0,38 0,31 0,308 0,333 0,208
F (T50;S20) 0,343 0,244 0,28 0,259 0,261 0,505
G (T100;S0) 0,341 0,334 0,331 0,262 0,309 0,066
H (T100;S10) 0,343 0,275 0,344 0,401 0,340 0,208
I (T100;S20) 0,343 0,335 0,426 0,441 0,401 0,505
81
Lampiran 8. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai HSI (%) ikan
nila setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media
salinitas.
ANOVA
SK Type III
Sum of
Squares
Db JK Fhit F0,05 Sig.
Corrected Model 5.786a 8 .723 7.174 1,92 .000
Intercept 51.723 1 51.723 513.048 .000
A (Tiroksin) .359 2 .179 1.779 2,48 .197
B (Salinitas) 1.154 2 .577 5.724* 3,26 .012
A*B) 4.273 4 1.068 10.597* 2,11 .000
Error 1.815 18 .101
Total 59.324 27
Uji Lanjut
Faktor A (Tiroksin)
Tiroksin N Subset 1
0 9 1.2744
100 9 1.3344
50
Sig.
9 1.5433
.105
Uji Lanjut
Faktor B (Salinitas)
Salinitas N Subset
1 2
20 9 1.1844
0 9 1.2989
10
Sig
9
.454
1.6689
1.000
82
Lampiran 9. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai diameter telur
(mm) ikan nila setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada
beberapa media salinitas.
ANOVA
SK Type III
Sum of
Squares
Db JK Fhit F0,05 Sig.
Corrected Model .013a 8 .002 .592 1,92 .044
Intercept 61.593 1 61.593 23226.374 .000
A (Tiroksin) .002 2 .001 .362 2,48 .825
B (Salinitas) .009 2 .005 1.715 3,26 .006
A*B) .002 4 .000 .146 2,11 .216
Error .048 18 .003 .592
Total 61.653 27
Uji Lanjut
Faktor A (Tiroksin)
Tiroksin N Subset
0 9 1.4989
50 9 1.5133
100
Sig. 9 1.5189
.446
Uji Lanjut
Faktor B (Salinitas)
Salinitas N Subset
20 9 1.4844
0 9 1.5222
10
Sig. 9 1.5244
.135
83
Lampiran 10. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai GSI ikan nila
setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media
salinitas.
ANOVA
SK Type III
Sum of
Squares
Db JK Fhit F0,05 Sig.
Corrected Model 2.632a 8 .329 2.601 1,92 .044
Intercept 112.404 1 112.404 888.67 .000
A (Tiroksin) .049 2 .025 .194 2,48 .825
B (Salinitas) 1.771 2 .885 6.999* 3,26 .006
A*B) .813 4 .203 1.606 2,11 .216
Error 2.277 18 .126
Total 117.313 27
*menunjukkan berbeda nyata
Uji Lanjut
Faktor A (Tiroksin)
Tiroksin N Subset
0 9 1.9878
50 9 2.0411
100
Sig.
9 2.0922
.564
Uji Lanjut
Faktor B (Salinitas)
Salinitas N Subset
1 2
20 9 1.6989
0 9 2.1067
10
Sig
9
1.000
2.3156
.229
84
Lampiran 11. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai tingkat
konsumsi oksigen (TKO) ikan nila setelah pemberian tiroksin
dan dipelihara pada beberapa media salinitas.
ANOVA
SK Type III
Sum of
Squares
Db JK Fhit F0,05 Sig.
Corrected Model .010a 8 .001 2.507 1,92 .050
Intercept 2.296 1 2.296 4819.274 .000
A (Tiroksin) .002 2 .001 2.169 2,48 .143
B (Salinitas) .007 2 .004 7.442* 3,26 .004
A*B) .000 4 9.882E-5 .207 2,11 .931
Error .009 18 .000
Total 2.314 27
*menunjukkan berbeda nyata
Uji Lanjut
Faktor A (Tiroksin)
Tiroksin N Subset
0 9 .2803
50 9 .2929
100
Sig.
9 .3017
.064
Uji Lanjut
Faktor B (Salinitas)
Salinitas N Subset
1 2
0 9 .2713
20 9 .2926 .2926
10
Sig
9
.054
.3110
.090
85
Lampiran 12. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai retensi protein
(RL) ikan nila setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada
beberapa media salinitas.
ANOVA
SK Type III
Sum of
Squares
Db JK Fhit F0,05 Sig.
Corrected Model 12.797a 8 1.600 12.233 1,92 .001
Intercept 5788.163 1 5788.163 44263.288 .000
A (Tiroksin) 8.158 2 4.079 31.192* 2,48 .000
B (Salinitas) 3.405 2 1.702 13.019* 3,26 .002
A*B) 1.235 4 .309 2.361* 2,11 .131
Error 1.177 9 .131
Total 5802.137 18
Uji Lanjut
Faktor A (Tiroksin)
Tiroksin N Subset
1 2 3
0 6 17.1217
50 6 17.9050
100
Sig.
6
1.000
1.000
18.7700
1.000
Uji Lanjut
Faktor B (Salinitas)
Salinitas N Subset
1 2
20 9 17.3267
0 9 18.1417
10
Sig
9
1.000
18.3283
.395
86
Lampiran 13. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan nilai Retensi Lemak
(RL) ikan nila setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada
beberapa media salinitas.
ANOVA
SK Type III
Sum of
Squares
Db JK Fhit F0,05 Sig.
Corrected Model 314.338a 8 39.292 6.020 1,92 .007
Intercept 5031.717 1 5031.717 770.926 .000
A (Tiroksin) 298.818 2 149.409 22.891* 2,48 .000
B (Salinitas) 2.727 2 1.364 .209 3,26 .815
A*B) 12.793 4 3.198 .490 2,11 .744
Error 58.742 9 6.527
Total 5404.796 18
Uji Lanjut
Faktor A (Tiroksin)
Tiroksin N Subset
1 2 3
0 6 11.6733
50 6 16.8333
100
Sig.
6
1.000
1.000
21.6517
1.000
Uji Lanjut
Faktor B (Salinitas)
Tiroksin N Subset
0 6 16.2467
50 6 16.7117
100
Sig.
6 17.2000
.552
87
Lampiran 14. Sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan pertumbuhan ikan
nila setelah pemberian tiroksin dan dipelihara pada beberapa media
salinitas.
ANOVA
SK Type III
Sum of
Squares
Db JK Fhit F0,05 Sig.
Corrected Model .154a 8 .019 .231 1,92 .980
Intercept 14.564 1 14.564 174.543 .000
A (Tiroksin) .034 2 .017 .203 2,48 .818
B (Salinitas) .067 2 .033 .400 3,26 .676
A*B) .053 4 .013 .159 2,11 .956
Error 1.502 18 .083
Total 16.220 27
Uji Lanjut
Faktor A (Tiroksin)
Tiroksin N Subset
0 9 .6844
50 9 .7567
100
Sig.
9 .7622
.596
Uji Lanjut
Faktor B (Salinitas)
Salinitas N Subset
0 9 .6644
20 9 .7633
10
Sig.
9 .7756
.451