kajian bpjs

14
Kajian BPJS-JKN : Tanggapan Kami para Mahasiswa Kesehatan Sebagai manusia, hakikatnya kita memiliki pikiran yang terbuka dan kritis terhadap lingkungan sekitar, misal terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah JKN.Urgensi, manfaat dan kesiapan kita dalam mengimplementasikan JKN mungkin adalah 3 pertanyaan yang sering terbesit di pikiran kita. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mari kita coba mengenal dan memahami sistem yang katanya disusun untuk menyejahterakan rakyat ini. Jaminan Kesehatan Nasional atau yang biasa disingkat JKN ini adalah bentuk transformasi sekaligus reformasi pelayanan kesehatan di Indonesia yang dulunya lebih dikenal khalayak banyak sebagai Askes (Asuransi Kesehatan) maupun Jamkesmas. Askes, Jamkesmas, Jamsostek, Taspen, Asabri akan bergabung menjadi satu sistem asuransi yaitu SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). JKN tercantum disana bersama dengan Jaminan hari tua, Ketenagakerjaan, Pensiun, dan Keselamatan kerja.SJSN sendiri dijalankan secara mandiri oleh penyelenggara khusus yang disebut BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Prinsip yang digunakan JKN dibandingkan dengan yang terdahulu sebenarnya sama, hanya saja JKN dibentuk dengan tujuan untuk mencakup seluruh warga masyarakat Indonesia. Dan perlu diketahui bahwa program JKN ini telah menjadi prioritas utama bagi reformasi pembangunan kesehatan di Indonesia. Landasan Hukum Berikut beberapa landasan hukum yang melatarbelakangi terbentuknya JKN ini : 1. Deklarasi PBB 1948 tentang HAM yang terdiri dari 30 pasal, ada pasal 25 ayat 1 yang menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya”. 2. Agenda sidang tahunan WHO (World Health Organization), yaitu WHA (World Health Assembly) ke 58 tahun 2005 di Jenewa, Swiss. Disebutkan bahwa setiap negara perlu mengembangkan UHC (Universal Health Coverage) melalui

Upload: evanrendiyansyah

Post on 17-Feb-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bpjs

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian BPJS

Kajian BPJS-JKN : Tanggapan Kami para Mahasiswa KesehatanSebagai manusia, hakikatnya kita memiliki pikiran yang terbuka dan kritis terhadap lingkungan

sekitar, misal terhadap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, dalam hal ini adalah

JKN.Urgensi, manfaat dan kesiapan kita dalam mengimplementasikan JKN mungkin adalah 3

pertanyaan yang sering terbesit di pikiran kita. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, mari kita

coba mengenal dan memahami sistem yang katanya disusun untuk menyejahterakan rakyat ini.

Jaminan Kesehatan Nasional atau yang biasa disingkat JKN ini adalah bentuk transformasi sekaligus

reformasi pelayanan kesehatan di Indonesia yang dulunya lebih dikenal khalayak banyak sebagai

Askes (Asuransi Kesehatan) maupun Jamkesmas. Askes, Jamkesmas, Jamsostek, Taspen, Asabri

akan bergabung menjadi satu sistem asuransi yaitu SJSN (Sistem Jaminan Sosial Nasional). JKN

tercantum disana bersama dengan Jaminan hari tua, Ketenagakerjaan, Pensiun, dan Keselamatan

kerja.SJSN sendiri dijalankan secara mandiri oleh penyelenggara khusus yang disebut BPJS (Badan

Penyelenggara Jaminan Sosial). Prinsip yang digunakan JKN dibandingkan dengan yang terdahulu

sebenarnya sama, hanya saja JKN dibentuk dengan tujuan untuk mencakup seluruh warga

masyarakat Indonesia. Dan perlu diketahui bahwa program JKN ini telah menjadi prioritas utama bagi

reformasi pembangunan kesehatan di Indonesia.

Landasan Hukum

Berikut beberapa landasan hukum yang melatarbelakangi terbentuknya JKN ini :

1.    Deklarasi PBB 1948 tentang HAM yang terdiri dari 30 pasal, ada pasal 25 ayat 1 yang

menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak atas tingkat hidup yang memadai untuk kesehatan dan

kesejahteraan dirinya dan keluarganya, termasuk hak atas pangan, pakaian, perumahan dan

perawatan kesehatan serta pelayanan sosial yang diperlukan, dan berhak atas jaminan pada saat

menganggur, menderita sakit, cacat, menjadi janda/duda, mencapai usia lanjut atau keadaan lainnya

yang mengakibatkannya kekurangan nafkah, yang berada di luar kekuasaannya”.

2.    Agenda sidang tahunan WHO (World Health Organization), yaitu WHA (World Health Assembly)

ke 58 tahun 2005 di Jenewa, Swiss. Disebutkan bahwa setiap negara perlu mengembangkan UHC

(Universal Health Coverage) melalui mekanisme asuransi kesehatan sosial untuk menjamin

pembiayaan kesehatan yg berkelanjutan. Landasan UHC ini juga dikaitkan dengan perwujudan sila

ke 5 pada pancasila yaitu “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Dengan pengertian setiap

orang di Indonesia ini berhak untuk mendapatkan layanan kesehatan terlepas dari kondisi ekonomi

yang ada pada dirinya.

3.    UUD 45 hasil amandemen tahun 2002

a.    pasal 28H 

Page 2: Kajian BPJS

1.  Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan

lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

2.    Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh

kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

3.    Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinyasecara utuh

sebagai manusia yang bermartabat.

b.    Pasal 34

1. Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.

2. Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan

masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan.

3. Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan

umum yang layak.

Melalui landasan hukum diatas, pemerintah mulai membuat RUU maupun peraturan-peraturan

lainnya untuk membangun JKN, berikut ini kronologis upaya pemerintah dalam upaya membangun

JKN :

•    UU No 40 tahun 2004 tentang SJSN

•    UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

•    UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS

•    PP No.101 Tahun 2012 tentang PBI (Penerima Bantuan Iuran)

•    Perpres No 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan

Dari perjalanan awal pembuatan UU hingga peresmian tanggal 1 Januari 2014 kurang lebih

membutuhkan waktu 10 tahun, yang perlu dicermati disini adalah rentang waktu yang sangat lama,

khususnya pada UU BPJS itu sendiri. UU BPJS seharusnya selesai maksimum dalam 3 kali masa

sidang (sekitar 9 bulan), namun pada kenyataannya mundur menjadi 3 tahun; salah satu penyebab

yang paling jelas terlihat adalah pada masa sidang tersebut kurang lebih sekitar total 9 kementrian

absen/tidak dating—Apakah ini mencerminkan kesungguhan pemerintah yang memang tujuannya

untuk menyejahterakan rakyat?

Secara umum, JKN ada untuk mencegah pemiskinan akibat dari bencana sakit dan sekaligus untuk

mencegah kehidupan yang tidak produktif.

Berawal dari sifat kesehatan yang tidak pasti—uncertainty, misal jika seseorang mengidap penyakit

berat seperti stroke, ia membutuhkan biaya yang sangat besar dari ratusan juta bahkan hingga

milyaran rupiah. Kondisi ini jika menimpa orang yang kaya sekalipun tentunya akan menyebabkan

bencana. Untuk itu, JKN dirancang sebagai “jaminan sosial” untuk menghadapi bencana sakit yang

dapat datang kapan saja dan dimana saja.

Page 3: Kajian BPJS

Prinsip-prinsip Dasar Pelaksanaan JKN

Berbicara tentang tujuan JKN untuk menyejahterakan rakyat, sistem ini memiliki prinsip-prinsip yang

mendasari tujuan itu, seperti :

•    Gotong-royong: peserta yang mampu membantu yang tidak mampu, yang sehat membantu yang

sakit, dan yang beresiko rendah membantu yang beresiko tinggi

•    Nirlaba: dana hasil iuran (dana amanat) digunakan sepenuhnya untuk kepentingan peserta, tidak

menuntut untuk memaksimalkan surplus, hasil pengembangan dan surplus akan dikembalikan untuk

kepentingan peserta.

•    Portabilitas nasional : peserta tetap mendapatkan jaminan kesehatan yang berkelanjutan

meskipun peserta berpindah tempat tinggal atau tempat bekerja dalam wilayah NKRI.

•    Prinsip dasar manajemen seperti keterbukaan, kehati-hatian, akuntabilitas, efisiensi dan

efektifitas.

JKN ini sendiri menggunakan mekanisme asuransi kesehatan sosial yang bersifat wajib bagi seluruh

pesertanya (masyarakat Indonesia) dengan membayar premi ke pemerintah atau dibayarkan

preminya oleh pemerintah untuk golongan tidak mampu. Prinsip sosial disini membedakan JKN

dengan pengertian asuransi tahunan komersil yang umumnya mengedepankan profit dan

individualitas. Berbasis asuransi sosial, sistem ini ditujukan untuk mengatasi resiko kesehatan tanpa

mengalami hambatan finansial. Rupanya pemerintah ingin masyarakatnya untuk menjadi “insurance

minded” dengan mengubah budaya berpikir praktis dan singkat menjadi masyarakat modern yang

berpikir panjang tentang resiko kedepan yang akan dihadapi.

Hakikatnya asuransi adalah adanya sistem pengumpulan dana. Dalam JKN ini, dana yang terkumpul

dari tiap pesertanya disebut dengan Dana Amanat. Besaran dana iuran sendiri telah diatur dalam

Perpres. Dana yang terkumpul digunakan untuk mendanai biaya kesehatan peserta dan hanya

sekitar 0.5% dana yang digunakan untuk biaya operasional BPJS. Berbeda dengan Askes yang

sebelumnya dikelola oleh BUMN PT Persero yang mematok target laba yang harus dicapai oleh

Dewan Direksi dan Komisaris.

Dana yang terkumpul tadi dikembalikan kepada fasilitas kesehatan melalui paket manfaat. Paket

manfaat adalah jenis layanan kesehatan yang dijamin dengan batasan maksimum tertentu yang

mengandung nilai moral hazard seperti kaca mata dan alat bantu gerak. Tetapi terdapat pula layanan

yang tidak terjamin, seperti:

1.    Tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan

2.    Pelayanan yang berada diluar dari fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS

3.    Pelayanan yang bertujuan untuk kosmetik,

4.    General check up, pengobatan alternatif,

5.    Pengobatan untuk mendapatkan keturunan, pengobatan impotensi,

6.    Pelayanan kesehatan pada saat bencana

Page 4: Kajian BPJS

7.    Pasien bunuh diri / penyakit yang timbul akibat kesengajaan untuk menyiksa diri sendiri/ bunuh

diri/narkoba

Jaminan layanan kesehatan pada BPJS ini menggunakan prinsip cost effective dengan pengertian

menjamin kebutuhan bukan keinginan seperti hal estetika.

Peserta dan Pembiayaan JKN

Telah disebutkan bahwa dana untuk penyelenggaraan ini berasal dari rakyat dalam bentuk iuran dan

digunakan sepenuhnya untuk rakyat dalam bentuk pelayanan kesehatan. Peserta dalam JKN ini

sendiri bersifat wajib dan dibagi menjadi 3 golongan, yaitu :

•    PBI (penerima bantuan iuran) yang akan ditanggung pemerintah

•    Penerima upah mencakup pekerja dan pemberi kerja

•    Non-penerima upah (mandiri) mencakup kelompok/keluarga/individu

Untuk WNA yang tinggal di Indonesia lebih dari 6 bulan, wajib juga untuk menjadi peserta. Peserta

non-PBI dapat mengikutsertakan anggota keluarga yang lain. Pekerja WNI yang berada di luar negeri

sampai saat ini belum jelas, sampai saat ini jawabannya akan diatur dalam perundang-undangan

tersendiri.

Kepesertaan JKN ini sendiri ditargetkan berlangsung secara bertahap, yaitu pada 1 Januari 2014

kemarin hanya mencakup peserta PBI, peserta Askes, Jamsostek, anggota PNS dan TNI/Polri dan

baru akan mencakup seluruh masyarakat di Indonesia pada tahun 2019.

Untuk non-penerima upah yang notabene-nya berpenghasilan tidak tetap, prosesnya masih rumit,

pengumpulan iuran harus dilakukan secara perorangan. Sedangkan untuk pekerja, secara otomatis

iuran akan dipotong dengan presentase sesuai dengan gaji yang diterima.

Masalah selanjutnya terdapat pada penetepan keluarga Penerima Bantuan Iuran (PBI), hal ini riskan

akan terjadinya error baik inclusion maupun exclusion error seperti halnya dalam daftar penerima

Bantuan Langsung Tunai dahulu. BPJS sendiri berkoordinasi dengan Kementrian Sosial dalam

mengatasi masalah ini.

Besaran iuran sendiri telah diatur Perpres No. 12 th. 2013 tentang Jaminan Kesehatan.

Pembayaran ke fasilitas kesehatan (tenaga medis) oleh BPJS sendiri dibagi menjadi 2, yaitu untuk

pelayanan primer menggunakan sistem kapitasi (tarif paket per diagnosis dari mulai pemeriksaan

hingga pengobatan) yang nilainya diatur oleh menteri lewat Permenkes no 69 tahun 2013, sedangkan

pelayanan rujukan menggunakan sistem paket (INA-CBG’s).

Page 5: Kajian BPJS

Pembayaran yang dilakukan oleh JKN (BPJS-Kesehatan), dilakukan setelah 15 hari klaim yang

diajukan fasilitas kesehatan lengkap.Terdapat juga manfaat tambahan (additional charge) untuk non-

medis akomodasi seperti ambulans (dalam kondisi tertentu).Manfaat tambahan lainnya yaitu tentang

kelas perawatan, jika ingin mendapatkan kelebihan pelayanan, peserta dapat membayar selisih dari

nilai hak yang ditanggung oleh BPJS. Peran dan hubungan BPJS, fasilitas kesehatan dan masyarakat

kurang lebih dapat digambarkan sebagai trias segitiga yang saling berkaitan.

Kendala Pelaksanaan JKN secara Umum

Sebenarnya, uji coba sistem  JKN telah dilakukan oleh pemprov DKI Jakarta, dalam program KJS

(Kartu Jakarta Sehat), program ini sendiri merupakan “pilot project” dari JKN yang telah berlangsung

dalam 1 tahun terakhir. Meskipun premi yang ditetapkan KJS lebih tinggi daripada JKN, masalah-

masalah operasional tetap tidak dapat dihindari dari sistem baru ini, mulai dari banyaknya kesalahan

pada identitas peserta, sistem pembayaran INA-CBG’s yang riskan menimbulkan banyak RS yang

protes karena biaya yang mereka keluarkan untuk merawat pasien tak sebanding dengan jumlah

yang diganti pemerintah, pembayaran klaim tidak sesuai dengan tingkat klasifikasi kelas RS, jumlah

tenaga medis yang tidak sebanding dengan jumlah peserta yang menyebabkan banyaknya salah

diagnosis dan obat, hingga permasalahan kesejahteraan tenaga medis yang masih dipertanyakan.

1.    Kontradiksi muncul dari masalah ketidakseimbangan pengelolaan dana, selayaknya JKN ini

menetapkan  iuran yang lebih besar daripada pengeluarannya, toh nantinya dana yang berlebih akan

digunakan pada tahun berikutnya; di sisi lain justru masyarakat sendiri masih keberatan untuk

membayar iuran. Hal inilah yang memunculkan berita bahwa terjadi tunggakan pembayaran / utang

BPJS pada beberapa fasilitas kesehatan.

Intinya, masalah iuran dalam BPJS ini adalah masalah teknis, bukan masalah politis, dibutuhkan

transparansi dan akuntabilitas dalam mengatasinya.

2.    Dengan sistem paket pelayanan, tenaga kesehatan akan terdorong untuk meminimalisir

pengeluaran agar mencukupi tarif paket. Hal ini menyebabkan adanya penurunan kualitas tindakan

seperti pencarian obat yang paling hemat dan lain sebagainya.

Hal ini dapat memunculkan kontradiksi yaitu dengan kembalinya menggunakan peralatan medis yang

kebanyakan lebih murah dan umumnya lebih tradisional dan lebih lama.Bukankah hal ini tidak selaras

dengan tuntutan jaman yang menginginkan segala sesuatunya berlangsung lebih cepat, efektif dan

minim resiko?

Pada awal pelaksanaannya, terdapat perbedaan pelayanan / kelas perawatan antara yang membayar

iuran / pengguna Askes sebelumnya / Jamsostek / asuransi sosial lainnya dengan yang dibiayai oleh

pemerintah (PBI).

Page 6: Kajian BPJS

Pemerintah yang hanya menganggarkan 2-4% APBN untuk kesehatan memang akan keberatan

untuk meningkatkan standar paket pembiayaan. Mengingat kesehatan adalah Hak dari setiap warga

Indonesia, Indonesia sebenarnya dapat belajar  pada Negara Kuba, dengan kondisi ekonomi negara

yang tidak jauh berbeda saja dapat menganggarkan APBN khusus untuk bidang kesehatan mencapai

12%. Pemerintah tidak perlu khawatir akan merugi karena kesehatan masyarakat akan berimbas

pada peningkatan kualitas kerja (productivity) sehingga akan meningkatkan pajak dan pendapatan

Negara pula.

Selain itu sistem INA-CBG’s yang bermasalah di kebanyakan RS bisa disiasati seperti yang telah

dilakukan salah satu RS di Tangerang, RS ini telah menformulasi INA-CBG’s dengan penerapan

case-mixed dan terbukti RS ini mendapatkan untung besar pada 2 bulan perjalanan JKN. Disamping

itu, sistem INA-CBG’s terbaru saat ini (4.0) telah memperkecil perbedaan harga paket dalam tiap tipe

rumah sakit, yaitu hanya berkisar 20-40 persen.

Titik berat yang harus dicermati dalam sistem ini adalah bagaimana sosialisasinya.BPJS harus

memiliki langkah tepat untuk menjelaskan tentangpembayaran iuran yang bersifat wajib bagi peseta

non-PBI / peserta mampu. Masyarakat tentunya akan sensitif apabila mendengar pernyataan wajib

membayar, padahal sebenarnya pembayaran seperti itu telah mereka lakukan pada era sebelum

JKN.

Jangankan untuk masyarakat.Sosialisasi BPJS diantara tenaga kesehatan juga masih simpang

siur.Pengajuan klaim, batas rawat dan pembatasan penggunaan obat adalah masalah yang paling

sering diberitakan.

    Untuk pekerja yang pembayarannya diakumulatifkan dengan pemotongan gaji, sosialisasi akan

lebih mudah (karena mereka secara otomatis akan mempertanyakan pemotongan gaji). Lembaga

penyelenggara kerja sebaiknya diwajibkan untuk mendaftarkan pekerjanya pada BPJS.Selama ini,

yang secara langsung mengoordinir anggotanya adalah Badan-Lembaga-Perusahaan milik

pemerintah ataupun milik swasta yang masiv.Untuk lembaga yang berjalan jangka panjang

apalagi jika diintegrasikan dengan izin pengadaan perusahaan (seluruh pekerja harus terdaftar BPJS,

misalnya), maka pelaksanaannya akan lebih mudah dan dalam sekali jalan.

    Jika masyarakat kota saja banyak yang tak tahu menahu, apalagi mereka di tempat terpencil?

    Bagaimana pemenuhan target 2014; 50% terdaftar BPJS?75% kepuasan rakyat?

    Untuk masyarakat awam yang tengah digempur internet, banyak artikel yang kebenarannya masih

dipertanyakan.Pembaca biasa juga tidak semuanya memahami penjelasan belasan dasar hukum

maupun 48 lembar aturan BPJS tertulis yang dituangkan dalam beberapa .ppt pencerdasan yang

strukturnya tak kalah rumit.Lebih persuasif dan mudah dicerna adalah salah satu tantangan

penyampaian sistem BPJS; tentu saja bukan hanya penyampaian via internet; tapi tatap muka dan

penyuluhan-penyuluhan melalui Primary Health Care (PHC).Tentu bisa jika diusahakan bersama.

Page 7: Kajian BPJS

3.    Selanjutnya adalah tentang pengggolongan peserta PBI dan non-PBI itu sendiri, JKN harus

memiliki kriteria tegas mengingat banyak sekali masyarakat yang mengaku-ngaku tidak mampu

padahal mampu. Perlu ditegaskan bagaimana penggolongan yang tepat agar tidak terjadi salah

sasaran.

4.    JKN ini diharapkan dapat menyelesaikan masalah kesehatan pada fasilitas kesehatan tingkat

primer, rujukan ke tingkat sekunder harus melalui tingkat primer kecuali dalam kondisi yang benar-

benar darurat dan ketidaktersediaan peralatan maupun incapability pada tingkat primer.

Realita yang ada di Indonesia kini adalah persebaran baik dari segi infrastruktur maupun sumber

daya yang belum merata, diperlukan percepatan pembangunan disini, BPJS sendiri berkewajiban

untuk memberikan kompensasi untuk daerah-daerah yang masih tertinggal meliputi penggantian

uang tunai untuk pelayanan kesehatan dan transportasi, pengiriman tenaga kesehatan, dan juga

yang paling penting adalah penyediaan/pembangunan fasilitas kesehatan itu sendiri.

5.    Masalah krusial dalam penerapan suatu sistem salah satunya adalah pengawasan, pada JKN,

BPJS wajib melakukan laporan keuangan dan pengelolaan program tahunan yang telah di audit  oleh

akuntan publik pada presiden dan juga DJSN. DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) adalah

lembaga yang dibentuk oleh lembaga eksekutif yang memiliki fungsi monitoring dan evaluasi kinerja

BPJS disamping dengan fungsi tanggung jawab yang dimiliki oleh Menkes.

Disamping itu, BPJS sendiri memiliki pengawas internal yang terdiri dari dewan pengawas dan satuan

pengawas internal, dan badan pengawas eksternal yaitu DJSN dan lembaga pengawas independen.

Pandangan Kedokteran

Secara keseluruhan, meski sempat tersendat, program yang pencanangannya sudah dimulai kira-kira

9 tahun lalu ini akhirnya telah disahkan dengan cukup baik. Dalam prosesnya, pengesahan dasar-

dasar hukum BPJS banyak dikritisi oleh mahasiswa—dengan pergerakkan paling nyata adalah

melalui ISMKI yang pada tahun 2011 mengirimkan hasil kajian mereka kepada para stakeholder

terkait. Kajian berupa tanggapan, kritikan dan tuntutan ini ditanggapi secara positif oleh para

stakeholder.

Sistem ini sebenarnya cukup baik diterapkan di Indonesia. Hal ini berdasarkan dengan UU no. 39

tahun 1999 yang menyatakan bahwa kesehatan adalah salah satu hak dasar manusia, pemerataan

kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia dan juga mendorong pelayanan kesehatan primer menjadi

ujung tombak penyelesaian masalah kesehatan di masyarakat. Sehingga, peran dokter layanan

primer sebagai gate-keeper menjadi otomatis wajib ditingkatkan  kompetensinya. Setelah itu,

anggapan masyarakat tentang dokter puskesmas yang tidak kompeten menjadi tidak beralasan. Hal

ini juga memunculkan polemik baru di ranah pendidikan dokter dengan dikeluarkannya UU no 20

tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran yaitu tentang penambahan masa pendidikan berkisar 2-3

Page 8: Kajian BPJS

tahun untuk mendapatkan setifikasi DLP (Dokter Layanan Primer).Tetapi, hal tersebut diatas penting

adanya sekaligus sehubungan dengan menyambut AFTA 2015 yang membutuhkan daya saing tinggi

di berbagai bidang, khususnya kesehatan dan tenaga medis.

Namun lagi-lagi semuanya akan menjadi terbentur dengan pelaksanaan di lapangan. Dimulai dari

pengelolaan serta pengawasan dana yang riskan, pendataan peserta yang masih rumit, follow up

hasil uji coba  seperti KJS masih belum jelas, beban ekonomi negara dan masyakat membuat lebih

ingin menyimpan uang cash dibanding berkewajiban membayar premi, dan sosialisasi yang masih

kurang. Hal sosialisasi ini menjadi momok bagi JKN, stigma pelayanan gratis yang muncul dari kata

‘jaminan’ bisa mengubah mind-set masyarakat menjadi menyepelekan kesehatannya.Padahal jika

dilihat dari data yang ada, pemilik NPWP yang mengindikasikan pembayar pajak di Indonesia saja

masih dikisaran 10 %, artinya nilai tersebut masih sulit untuk menjamin kesehatan seluruh

masyarakat secara gratis.Jika dilihat dari dampak fiskal yang terjadi dari penerapan sistem universal

ini, Indonesia memerlukan adanya perencanaan peningkatan anggaran belanja kesehatan yang

sampai saat ini masih berada di kisaran 3 % PDB (Produk Domestik Bruto) dengan rasio pajak

negara terhadap PDB ini masih di kisaran 12,3 %. Bandingkan dengan negara-negara yang memang

sudah mapan dalam menerapkan sistem ini, PDB mencapai 6-11 % dengan rasio pajak negara

terhadap PDB mencapai 20 %. Namun, ada baiknya hal ini tidak menjadi kambing hitam dari

kekurangan sistem apabila diterapkan di Indonesia, karena melihat Muangthai (Thailand) yang

ternyata mampu menunjukan dampak positif (kenaikan rasio pajak) dengan perluasan jaminan

kesehatan yang diterapkannya.

Kontradiksi lainnya adalah BPJS ini juga menanggung pasien yang berhubungan dengan lifestyle

seperti rokok, minum alkohol, dan HIV/AIDS.Jadi terkesan sistem ini tidak mengedukasi perubahan

lifestyle pada masyarakat.Pengecualian untuk HIV/AIDS sesuai dengan anjuran WHO karena alasan

kemanusiaan.

Jika kita melihat Amerika Serikat misalnya, negara adidaya yang sudah sedemikian majunya,

menerapkan sistem seperti ini (Obama care), pada akhirnya berujung dengan shutdownoperasional

negaranya.Beberapa lembaga juga telah mengkaji sesungguhnya disamping kelemahan dan

kekurangan sistem ini karena masih baru, keluhan yang muncul di masyarakat secara umum berasal

dari kurangnya sosialisasi, sehingga masyarakat menjadi kurang bahkan tidak mengerti dengan

program ini.

Gaji pokok yang sesuai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga dan peningkatan kompetensi

sebagaimana yang diwajibkan (poin kehadiran seminar dan pelatihan, misalnya) sangat

dibutuhkan.Fakta bahwa dokter yang tadinya hanya perlu memikirkan bagaimana kesehatan pasien,

kini harus juga memikirkan klaim jasa dapat menghambat kinerjanya.Selain itu, memang untuk

sekarang pengguna klaim BPJS masih sangat sedikit sehingga tampaknya klinik dan tenaga

kesehatan tidak terlalu dirugikan secara finansial. Tapi kelak ketika semua orang telah memahami

haknya, pendapatan yang hanya dari kapitasi itu tak akan memadai.

Page 9: Kajian BPJS

Bagaimana dengan dokter di wilayah terpecil dengan penduduk yang minim?

Untuk penerapannya, Indonesia rasanya belum siap dan membutuhkan kerja ekstra agar sistem ini

berjalan sesuai dengan tujuan awal.Dan yang perlu diingat bahwa tidak ada program yang sempurna,

kesalahan dan ketidakbenaran itu tetap diperbaiki seiring dengan berjalannya program ini secara

terus-menerus.Program ini harus didukung demi Indonesia bebas kendala biaya kesehatan, lebih

produktif dan berekonomi kuat.

Pandangan Kedokteran Gigi  

Sebenarnya, tidak ada perbedaan signifikan antara pelayanan oleh dokter umum maupun dokter

gigi.Yang biasa disorot odalah pembayaran biaya kapitasi dokter gigi yang hanya seharga Rp.

2.000,-/orang/bulan. Bila dibandingkan dengan biaya kapitasi dokter yang mencapai Rp. 8.000,-

hingga Rp. 10.000,-, kisaran tersebut dianggap cukup memberatkan.

    Dari hasil wawancara dengan Ketua PDGI Kab.Karawang, untuk sosialisasi BPJS pada pelayan

kesehatan sendiri sudah mumpuni dan dari jauh-jauh hari.Namun, sosialisasinya untuk masyarakat

luas masih sangat minim.Akibatnya, dari sebuah klinik yang mendapat jatah 9000 penduduk, hanya

100 orang yang meng-klaim BPJSnya.Hal ini memang menguntungkan klinik secara finansial—bukan

tidak mungkin klinik tersebut bukannya meningkatkan perannya dalam bidang preventive dan gate-

keeper di PHC, malah mereka bisa menahan informasi BPJS untuk menekan angka klaim.Hal ini

didukung dengan pembiayaan BPJS untuk tenaga dokter yang diatur oleh klinik secara mutlak

sehingga bila angka klaim rendah, kliniklah yang diuntungkan.

    Untuk klaim dari seorang dokter gigi ke klinik dalam pembiayaan tergolong minim masalah.

Permintaan refund yang minor cenderung lebih mudah. Mereka sebagai pelayanan kesehatan tingkat

pertama dapat merujuk pasien jika memang tidak dapat menangani pasien tersebut.Pasien yang

dirujuk ini cenderung memiliki resiko dan penanganan dengan tingkat kesulitan tinggi sehingga biaya

yang mereka butuhkan juga relatif lebih tinggi.Klaim dari tingkat rumah sakit inilah yang cenderung

lebih sulit dan ribet prosedurnya, sehingga manajemennya perlu lebih diefisienkan.

Pandangan Kebidanan 

Masalah terbesar yang dialami bidan dalam sistem BPJS adalah mereka tidak dibayar dengan sistem

Kapitasi, tapi pay-per-services. Ini cukup memberatkan karena setiap paket tindakan sudah

ditentukan dananya dengan spesifik (tidak bisa menentukan berdasar kesulitan) dan sistem BPJS ini

tidak memfasilitasi mereka untuk menjadi Bidan pelayan keluarga yang mem-promote tindak preventif

resiko kehamilan.

Jika dilihat dari pasien, sistem ini juga menyebabkan mereka harus bolak-balik dari klinik ke bidan

karena pengambilan obat dan sebagainya diatur oleh klinik, sementara pemerikaan oleh bidan.Hal ini

Page 10: Kajian BPJS

dapat berbahaya karena track record dan penanganan pasien tidak diawasi langsung secara utuh

oleh bidan. Resiko kehamilan tinggi bisa saja tidak dapat dideteksi dengan PNC dari dokter umum di

klinik-klinik, sementara jika pasien meninggal saat melahirkan—bidanlah yang akan direpotkan. Bidan

sendiri juga dirugikan secara komersial karena  jika mereka ‘terpaksa’ bekerja sama dengan klinik,

pembayaran mereka pun akan dipotong biaya administrasi yang bisa mencapai 1/3 nya.

    

Jika sistem ini tidak segera diperbaiki, tindakan beberapa bidan Surabaya yang akhirnya menolak

pasien BPJS karena kesimpangsiurannya dapat menyebar ke wilayah-wilayah lain di Indonesia.

Pandangan Farmasi

Menurut departemen kesehatan kesalahan medis (medical errors) yang sebetulnya bisa dicegah.

Kesalahan pengobatan yang paling besar terjadi pada proses ordering. Pengobatan sangat erat

sekali dengan ketenagakerjaan farmasi.Peran farmasi dalam kesehatan sangat penting, banyak

orang berpikir bahwa seorang farmasis hanya membuat obat kemudian menjualnya. Berbicara

tentang kesalahan pengobatan jelas disini yang bertanggung jwab adalah seorang

apoteker.Penggunaan obat rasional merupakan hal utama dari pelayanan kefarmasian. Dalam

mewujudkan pengobatan rasional, keselamatan pasien menjadi masalah yang perlu di perhatikan.Di

rumah sakit dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, kejadian medication error dapat dicegah jika

melibatkan pelayanan farmasi klinik dari apoteker yang sudah terlatih. Saat ini di negara-negara maju

sudah ada apoteker dengan spesialisasi khusus menanganimedication safety.

1.    Dengan jumlah penduduk hampir 250juta, sudah seimbangkah perbandingan jumlah warga

negara dengan perbandingan jumlah apoteker yang ada dalam pelayanan kefarmasian? Siapa yang

memiliki tanggung jawab dalam itu?

UU No 36 Tahun 2009 Pasal 26 (1) menyatakan bahwa Pemerintah mengatur penempatan tenaga

kesehatan untuk pemerataan pelayanan kesehatan. (2) Pemerintah daerah dapat mengadakan dan

mendayagunakan tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan daerahnya.

Kementerian Kesehatan menyatakan, jumlah Puskesmas maupun Rumah Sakit yang tersebar di

Indonesia adalah 10 ribu RS dan Puskesmas sedangkan jumlah apoteker yang terdaftar di Kemkes

hanya berjumlah 1.938 orang. Kemkes menyatakan jumlah apoteker ini baru mencapai 20% dari total

jumlah RS dan Puskesmas yang ada di Indonesia. Profesi farmasi belum menjadi prioritas utama

dalam pendistribusian tenaga kesehatan kedaerah-daerah.Hal ini dapat dilihat dari angka yang

ada.Padahal untuk mengurangi medication error pada saat berlakunya UU BPJS ini diperlukan

penambahan tenaga kefarmasian yang sangat signifikan, agar tidak terjadi lagi pasien meninggal

karena kesalahan dalam pemberian obat.

2.    Penyebaran tenaga kefarmasian yang belum merata di seluruh Rumah sakit maupun puskesmas

yang ada di Indonesia terutama daerah-daerah terpencil. Mengacu pada pedoman bangsa Indonesia

yaitu pancasila utamanya sila kee-5 yaitu “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. 

Page 11: Kajian BPJS

Hal ini menunjukan bahwa keadilan dalam bidang kesehatan di Indonesia belom adil secara

menyeluruh karena masih ada yang belum bisa mendapatkan hak nya dalam salah satu kebijakan

pemerintah ini yaitu SJSN.  Kembali ke permasalahan pertama yaitu kurangnya tenaga kefarmasian,

kita asumsikan permasalahan pada poin pertama terselesaikan yang menjadi evaluasi juga untuk

profesi farmasi, sudah mau kah kita mengabdi di daerah terpencil untuk mengamalkan ilmu yang kita

punya demi peningkatan kualitas masyarakat indonesia, terutama di daerah pinggir Indonesia.

Pandangan Keperawatan

Perawat berada pada posisi kunci untuk melaksanakan pendidikan kesehatan, karena perawat

merupakan pemberi perawatan kesehatan yang mengadakan kontak secara berkesinambungan

dengan pasien dan keluarga dan biasanya menjadi sumber informasi yang paling dapat diakses oleh

pasien dan keluarga tersebut.Oleh karena itu pengajaran pada pasien dan keluarga menjadi fungsi

yang lebih penting lagi dalam lingkup praktik keperawatan.

Perawat dianggap sebagai perantara informasi/pendidik yang dapat membuat perbedaan penting

pada cara pasien dan keluarga mengatasi penyakitnya, cara pasien dan keluarga mendapat manfaat

dari pendidikan yang ditujukan untuk pencegahan penyakit dan promosi kesehatan. Tanggung jawab

perawat untuk memberikan perawatan kepada konsumen dapat dipenuhi sebagian melalui

pendidikan yang didasarkan pada prinsip-prinsip pengajaran dan pembelajaran yang kuat. Kunci

untuk memberikan pendidikan yang efektif pada pasien dan keluarga adalah perhatian dan komitmen

perawat yang konsisten dengan perannya sebagai educator/pendidik.

1.    Selain itu, meningkatkan peran perawat dalam care giver dan care educator, dalam keperawatan

mengenal perawat komunitas, perawat inilah yang menjadi garda utama dalam preventif dan promotif

di masyarakat. Di beberapa negara maju, perawat komunitas yang berperan aktif dalam pemberian

pendidikan tentang kesehatan. Tapi kekurangannya adalah sebaran perawat di Indonesia dan

kompetensi yang belum merata dan setara, belum tersedianya fasilitas memadai di tingkat Pelayanan

Kesehatan primer, atau kurang percayanya masyarakat terhadap puskesmas.

2.    Selain itu belum adanya payung hukum yang jelas dari sisi keperawatan. Jika BPJS dibarengi UU

Keperawatan maka perawat akan mendapat haknya yang adil secara hukum dan professional. Bagi

masyarakat juga terlindungi secara proporsional yaitu meminimalkan kesalahan prosedur dan

tindakan kesehatan. 75% pelayanan kesehatan di rumah sakit termasuk kegiatan promotif atau

pencegahan penyakit pada masyarakat yang banyak ditangani perawat, hal itu juga didukung oleh

fakta lapangan bahwa 60% tenaga kesehatan adalah perawat. Hal ini menunjukkan perawat berperan

vital.

Kehadiran BPJS dibarengi UU Keperawatan sangat penting untuk mengatur pelayanan perawat

secara professional.Pengaturan ini pada hakekatnya bertujuan untuk meningkatkan mutu perawat

Page 12: Kajian BPJS

dan pelayanan keperawatan.Lebih jauh lagi dimaksudkan untuk memberikan perlindungan dan

kepastian hukum kepada perawat dan klien serta meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.