documentk3
DESCRIPTION
K3TRANSCRIPT
https://k3tium.wordpress.com/2013/05/30/tugas-4-penerapan-k3-pada-industri- garmen/
Home » K3LH » Menerapkan Kesehatan dan Keselamatan di Lingkungan Kerja Industri Busana/Garment
Sabtu, 19 Januari 2013
Menerapkan Kesehatan dan Keselamatan di Lingkungan Kerja Industri Busana/Garment
Industri busana atau konveksi atau garmen merupakan perusahaan yang menghasilkan produk pakaian jadi. Pada umumnya industri pakaian jadi menggunakan bahan baku berupa tekstil dari berbagai jenis, sedangkan sarana dan peralatan yang digunakan berupa pemotong bahan, mesin jahit, pemasang kancing, dan alat-alat penunjang produksi lainnya, serta alat-alat pengepresan dan pengepakan. Bahan-bahan yang digunakan, alat dan sarana kerja, serta suhu ruang kerja maupun sistem dan cara kerja kemungkinan merupakan faktor-faktor yang dapat menyebabkan gangguan terhadap tenaga kerja. Gangguan tersebut dapat berupa gangguan keselamatan, kesehatan, atau kenyamanan kerja yang dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas kerja.
Agar gangguan tidak dialami oleh tenaga kerja, maka faktor-faktor penyebab perlu dicegah, dikendalikan, diperkecil, atau bahkan dihilangkan. Untuk mencegah berbagai gangguan yang muncul, maka terlebih dahulu perlu diketahui proses produksi dan identifikasi permasalahannya, cara pemantauan, dan standar-standar yang berlaku.
1. Faktor Lingkungan KerjaBerdasarkan proses produksi pada industri busana/garmen, faktor lingkungan kerja memungkinkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan tenaga kerja, sebagaimana terlihat pada penjelasan di bawah ini.Proses Produksi dan Faktor Lingkungan Kerja
o Gudang BahanPenerangan, iklim kerja, debu, uap, formaldehyde
o Pola dan Pemotongan BahanPenerangan, iklim kerja, debu, uap, formaldehyde
o MenjahitPenerangan, iklim kerja, getaran, debu, uap formaldehyde
o Pemotong Sisa BenangPenerangan, iklim kerja, debu, uap, formaldehyde
o Pengecekan KualitasPenerangan, iklim kerja, debu, uap, formaldehyde
o SeterikaPenerangan, iklim kerja, debu, uap, formaldehyde
o FinishingPenerangan, iklim kerja, debu, kapas, uap formaldehyde
o PengemasanPenerangan, iklim kerja, debu karton, uap formaldehyde
2. Potensi Bahaya Kecelakaan KerjaHal-hal yang menjadi permasalahan yang berkaitan dengan potensi bahaya kecelakaan kerja pada industri busana/garmen adalah sebagai berikut :
o GudangPotensi bahaya kecelakaan kerja : bahaya kebakaran
o Pola/PotongPotensi bahaya kecelakaan kerja : jari tangan terpotong, tersengat arus listrik
o JahitPotensi bahaya kecelakaan kerja : jari terkena jarum, tersengat arus listrik, kebakaran
o Pasang KancingPotensi bahaya kecelakaan kerja : jari tergencet mesin kancing, tersengat arus listrik
o SeterikaPotensi bahaya kecelakaan kerja : tersengat arus listrik, kebakaran
o PackingPotensi bahaya kecelakaan kerja : tergores dan bahaya jatuhan
3. Keserasian Peralatan dan Sarana Kerja dengan Tenaga KerjaKeserasian peralatan dan sarana harus diperhatikan oleh pihak perusahaan dan disesuaikan dengan tenaga kerja yang dimilikinya agar kecelakaan kerja dapat diminimalisasi. Kesalahan yang disebabkan ketidakserasian antara peralatan dan sarana dengan tenaga kerja dapat menimbulkan berbagai masalah yang akhirnya dapat mengancam keselamatan dan kesehatan kerja pegawai atau tenaga kerja. Permasalahan mengenai hal tersebut di atas ditunjukkan oleh penjelasan di bawah ini.
o Pemotongan KainFaktor ergonomi : ukuran meja kerja, kursi duduk, sikap dan sistem kerja, cara dan sistem kerja.
o Mesin JahitFaktor ergonomi : ukuran meja kerja, ukuran kursi duduk, sikap dan sistem kerja, cara dan sistem kerja.
o SeterikaFaktor ergonomi : ukuran meja kerja, ukuran kursi duduk, sikap atau cara kerja, kesesuaian sikap atau sistem kerja.
o PackingFaktor ergonomi : kegiatan angkat junjung, sikap dan cara kerja, ruang gerak.
PRINSIP-PRNSIP PENYUSUNAN PROGRAM K3
Sebagai sebuah sistem manajemen, K3 tidak dapat dipisahkan dari suatu sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan. Program K3 yang telah ditetapkan akan berjalan efektif jika didukung dan dilaksanakan oleh seluruh bagian atau departemen yang ada dalam suatu organisasi perusahaan. Oleh karena itu, dalam penyusunan program K3 harus mempertimbangkan semua aspek yang terkait dalam perusahaan seperti aspek produksi, finansial, sosial, psikologi, budaya kerja dan manajemen. Isu cross-cutting dalam K3 menjadi perhatian bagi para pakar, akademisi dan praktisi K3 dalam penyusunan dan pelaksanaan program K3 yang terarah dan terencana.
a. Prinsip-Prinsip Penyusunan Program K3
Sebuah organisasi perusahaan perlu mengembangkan strategi perencanaan yang baik dalam menerapkan aspek K3 melalui program-program yang disusun berdasarkan prinsip yang terencana dan terarah. Dalam sebuah sistem manajemen, perencanaan sebuah program harus mempertimbangkan prinsip SMART (Specific, Measurable, Achievable, Realiable, Timetable). Sebuah program K3 harus bersifat spesifik yang berarti bahwa program-program yang dibuat sedapat mungkin tidak menimbulkan kebingunan bagi pihak yang diberi tugas untuk melaksanakannya, mudah terukur dalam hal pencapaian hasilnya dengan ditetapkannya target dan indikator keberhasilan pencapaiannya. Sebuah program K3 juga harus bersifat mudah untuk dilaksanakan sehingga dapat berjalan efektif dan efisien sesuai dengan kemampuan perusahaan serta realistis dalam hal pembiayaan dan kemampuan orang yang melaksanakannya dengan jangka waktu yang telah ditetapkan.
Dalam menetapkan program K3 terdapat beberapa referensi yang dapat dijadikan acuan, salah satunya adalah OHSAS 18001:2007 klausul 4.8.3 tentang objektif dan program K3 “Organisasi harus menetapkan, menjalankan dan memelihara dokumen objektif K3pada fungsi dan tingkatan yang sesuai dalam organisasi”. Menurut Ramli ( 2009), untuk mencapai objektif yang telah ditetapkan, organisasi harus menyusun program kerja yang merefleksikan kebijakan organisasi. Rencana kerja ini disusun untuk setiap tingkatan manajemen sebagai landasan operasional dengan mempertimbangkan:
Penentuan tanggung jawab dan wewenang untuk pencapaiannya disetiap tingkatan, fungsi dan departemen. Program K3 sebaiknyadiintegrasikan dengan program organisasi secara keseluruhan sehingga menjadi salah satu aspek dalam pencapaian sasaran organisasi.
Sarana dan sumberdaya yang diperlukan untuk mencapai program kerja yang telah ditetapkan misalnya pendanaan, tenaga, peralatan dan lainnya.
Jangka waktu atau jadwal pelaksanaan dan penyelesaian program kerja.
b. Dasar Penyusunan Program K3
Dalam penyusunan program K3 dalam suatu perusahaan, terdapat landasan atau dasar-dasar yang melatarbelakangi pembuatan suatu program diantaranya adalah hasil risk assessment dari suatu kegiatan produksi untuk mengetahui potensi-potensi bahaya dan resiko ditempat kerja. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan dalam melakukan penilaian resiko yaitu, metode kualitatif, semi kuantitatif dan kuantitatif. Sebelum melakukan penilaian resiko perlu diketahui bisnis proses suatu kegiatan produksi suatu industri, dalam setiap tahapan proses produksi terdapat beberapa bahaya yang dapat menimpa pekerja sehingga berpotensi menyebabkan kecelakaan dan gangguan kesehatan. Adapun proses produksi suatu industri garmen dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Faktor-faktor penyebab yang dapat membahayakan tenaga kerja sudah seharusnya dicegah, dikendalikan, diminimalisir atau bahkan dihilangkan. Untuk mencegah berbagai gangguan yang muncul, maka terlebih dahulu perlu diketahui proses produksi dan identifikasi permasalahannya, cara pemantauan, dan standar-standar yang berlaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan berhubungan dengan keselamatan dan kesehatan kerja yang umum ditemukan di industri garmen adalah :
1. Faktor Lingkungan Kerja memungkinkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan tenaga kerja, sebagaimana terlihat pada penjelasan di bawah ini.
Proses Produksi dan Faktor Lingkungan Kerja
Gudang Bahan : penerangan, iklim kerja, debu, uap, formaldehyde
Pola dan Pemotongan Bahan : penerangan, iklim kerja, debu, uap, formaldehyde
Menjahit : penerangan, iklim kerja, getaran, debu, uap formaldehyde
Pemotong Sisa Benang : penerangan, iklim kerja, debu, uap, formaldehyde
Pengecekan Kualitas : penerangan, iklim kerja, debu, uap, formaldehyde
Seterika : penerangan, iklim kerja, debu, uap, formaldehyde
Finishing: penerangan, iklim kerja, debu, kapas, uap formaldehyde
Pengemasan : penerangan, iklim kerja, debu karton, uap formaldehyde
2. Potensi Bahaya Kecelakaan Kerja, hal-hal yang menjadi permasalahan berkaitan dengan potensi bahaya kecelakaan kerja pada industri garmen adalah sebagai berikut :
Gudang memiliki potensi bahaya kebakaran
Bagian Pola/ potong memiliki potensi bahaya jari tangan terpotong, tersengat arus litrik
Bagian Jahit memiliki potensi bahaya jari terkena jarum, tersengat arus listrik, kebakaran
Bagian Pasang Kancing memiliki potensi bahayajari tergencet mesin kancing, tersengat arus listrik
Bagian Seterika memiliki potensi bahaya tersengat arus listrik, kebakaran
Bagian Pengemasan memiliki potensi bahaya tergores, barang terjatuh
3. Keserasian peralatan dan sarana kerja dengan tenaga kerja. Keserasian peralatan dan sarana harus diperhatikan oleh pihak perusahaan dan disesuaikan dengan tenaga kerja yang dimilikinya agar kecelakaan kerja dapat diminimalisasi. Kesalahan yang disebabkan ketidakserasian antara peralatan dan sarana dengan tenaga kerja dapat menimbulkan berbagai masalah yang akhirnya dapat mengancam keselamatan dan kesehatan kerja. Beberapa permasalahan seperti ini yang ditemukan di industri garmen :
Bagian pemotongan kain, jahit dan seterika, faktor ergonomi yang mempengaruhi adalah ukuran meja, kursi duduk, sikap dan sistem kerja
Bagian pengemasan, faktor ergonomi yang mempengaruhi adalah kegiatan angkat junjung, sikap dan cara kerja, ruang gerak.
Beberapa permasalahan di atas sangat umum ditemukan di industri garmen. Dan seperti kebanyakan yang terjadi di industri, terkadang penyelesaian permaslahan tersebut mendapatkan resistansi dari manajemen.
c. Identifikasi Masalah Industri Garmen di Indonesia
Berdasarkan Baseline Reports : Worker Perspectives from the Factory and Beyond yang disusun oleh ILO, ada beberapa masalah tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja khususnya di Industri Garmen Indonesia. Secara garis besar berikut beberapa permasalahan di Industri Garmen yang terkait Keselamatan dan Kesehatan Kerja :
Identifikasi Permasalahan
Klasifikasi Hambatan dan Akar Permasalahan
Solusi Penyelesaian
>80% Lulusan SMP/SMU
Faktor Individu
Industri garmen merupakan industri yang menyerap banyak tenaga kerja sehingga tidak mensyaratkan pekerja berpendidikan tinggi
39,9% tidak memiliki pengalaman kerja
Faktor Individu (Skill dan Pengalaman)
Pekerja yang tidak berpengalaman dapat menghambat kecepatan produksi dikarenakan harus dilatih terlebih dahulu
Memperbaiki sistem perekrutan karyawan dengan mensyaratkan penglaman bekerja minimal 1 tahun
>38% berkeluarga dan memiliki anak
Faktor Individu
Konsentrasi pekerja wanita yang memiliki anak akan terbagi
Pihak manajemen perlu memberikan perhatian khusus
untuk keluarga dan pekerjaannya
bagi pekerja wanita yang sudah berkeluarga dan memiliki anan
>53% mengeluhkan masalah severe thirst
Faktor Kesehatan kerja
Target produksi yang sangat tinggi serta kondisi lingkungan kerja yang panas membuat pekerja selalu merasa kehausan, yang berakibat kesehatan pekerja menurun karena dehidrasi
Penyediaan air minum yang cukup bagi pekerja
42% severe fatigue
Faktor Kesehatan Kerja
Faktor kelelahan sangat berbahaya dapat berpotensi menimbulkan gangguan kesehatan dan kecelakaan kerja
Pihak manajemen harus memperhatikan jam kerja karyawan agar tidak melampaui jam kerja yang telah ditentukan
30,6% stomach pain
Faktor Kesehatan Kerja
Tidak ada waktu untuk makan karena dikejar target menyebabkan pekerja telat makan sehingga berakibat pada gangguan kesehatan
Manajemen harus memberikan waktu kepada pekerja untuk istirahat dan makan
41,5% dizziness (pusing)
Faktor Kesehatan Kerja
Kondisi lingkungan kerja yang tidak baik serta pola makan dan istirahat yang tidak teratur menyebabkan gangguan kesehatan pada pekerja
Pneyediaan klinik untuk berobat
46% back and neck ache
Faktor Kesehatan Kerja, Regonomi
Tempatk kerja tidak ergonomis, terlalu lama pada posisi yang sama
Mengatur posisi dan tempat kerja
>59% concern terhadap bahaya ditempat kerja
Faktor Keselamatan Kerja
>41% kurang concern terhadap bahaya kerja, bisa dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang bahaya ditempat kerja
Penyediaan informasi dan pelatihan tentang bahaya ditempat kerja
>40% mengeluhkan bekerja dihari weekend
Faktor Psikologi
Masalah aturan jam kerja karyawan dikarenakan dikejar produksi
Manajemen memberikan kesempatan untuk libur
Makan sambil bekerja
Faktor Kesehatan Kerja
Tidak ada jam istirahat untuk makan karena mengejar produksi
Pengaturan waktu untuk istirahat makan dan
disediakan tempat makan
Bekerja dihari minggu
Faktor Psikologi
Target produksi yang tinggi
Manajemen memberikan kesempatan untuk libur
Tidak ada pengaturan jam kerja lembur
Faktor Manajemen
Sistem pengaturan jam kerja lembur tidak jelas
Pihak manajemen harus memperhatikan jam kerja karyawan agar tidak melampaui jam kerja yang telah ditentukan
Upah rendah, dibawah standar, keluar masuk karyawan tinggi
Faktor Manajemen
Sistem perjanjian kerja karyawan tidak memihak karyawan
Penyesuaian upah sesuai aturan UMR yang telah ditetapkan Pemerintah
Slip gaji tidak lengkap info tentang bonus tidak jelas
Faktor Manajemen
Sistem administrasi pembayaran gaji tidak jelas
Memperbaiki sistem administrasi dan transparansi
65%tergabung dalam Trade Union Member
Faktor Manajemen
- Manajemen harus memberikan kebebasan kepada pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja
>80% terikat kontrak namun 67,7% non permanent
Faktor Manajemen
Pekerja industri garmen biasanya merupakan karyawan outsourcing
Manajemen harus memberi kesempatan kepada pekerja yang memiliki prestasi untuk diangkat jadi karyawan tetap
35,4% sudah mendapatkan training K3
Faktor Keselamatan Kerja
Program pelatihan K3 belum menyentuh keseluran karyawan
Program pelatihan K3 harus diberikan kepada seluruh pekerja
<30% mendapatkan training
Faktor Manajemen
Program pelatihan K3 belum menyentuh keseluran karyawan
Program pelatihan K3 harus diberikan kepada seluruh pekerja
85,2% mendapatkan sexual harrasment
Faktor Psikologi
Sangsi terhadap pelaku kekerasan tidak tegas
Harus dibentuk badan advokasi bagi karyawan
79,4% verbal abuse
Faktor Psikologi
Sangsi terhadap pelaku kekerasan tidak
Harus dibentuk badan advokasi
tegas bagi karyawan
87,4% physical abuse
Faktor Psikologi
Sangsi terhadap pelaku kekerasan tidak tegas
Harus dibentuk badan advokasi bagi karyawan
>30% mendiskusikan masalah dengan supervisor/trade union rep.
Faktor Psikologi
Rata-rata pekerja tidak berani menyampaikan masalahnya
Harus dibentuk badan advokasi bagi karyawan
>50% merasa supervisor menyelesaikan masalah dengan tidak respek
Faktor Psikologi
Atasan tidak peduli terhadap permasalahan para pekerja
Harus dibentuk badan advokasi bagi karyawan
Kurang sejahtera, sedih, dan tidak punya harapan untuk masa depan
Faktor Psikologi
Tingkat kesejahteraan karyawan pabrik masih rendah
Manajemen harus memperhatikan kesejahteraan pekerja
>80% sangat tertarik mendapatkan informasi tentang K3 dan informasi
Faktor Keselamatan Kerja
- Terus digalakan pelaksanaan program K3
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa industri garmen di Indonesia masih banyak permasalahan yang merugikan pekerja atau buruh pabrik. Masalah-masalah yang muncul berkaitan dengan aspek pendidikan, skill dan pengalaman kerja, upah buruh yang rendah, kesejahteraan pekerja belum diperhatikan, jam kerja yang tidak teratur dan sebagainya. Para pekerja industri garmen umumnya adalah wanita yang baru lulus SMP/SMA, sebagian dari pekerja wanita sudah berkeluarga dan memiliki anak sehingga konsentrasinya terbagi kedalam pekerjaan dan rumah tangga, hal ini disebabkan karena faktor ekonomi yang tidak mencukupi sehingga wanita yang sudah memiliki anak harus ikut mencari penghasilan. Tak jarang para pekerja wanita tersebut mendapatkan perlakuan yang tidak manusiawi dari rekan kerja maupun atasan seperti kekerasan seksual, perlakuan kasar berupa ucapan dan fisik.
Dari permasalahan yang ada, dapat disederhanakan bahwa permasalahan keselamatan dan kesehatan kerja di industri garmen terkait dengan pekerja itu sendiri dan komitmen manajemen terhadap masalah K3. Untuk itu perlu dibangun program-program keselamatan dan kesehatan kerja yang dipayungi oleh komitmen dan kebijakan manajemen.
Sesuai dengan skema yang disusun oeh James Reason dalam bukunya Managing the Risks of Organizational Accidents, bahwa penyebab dasar suatu insiden atau kecelakaan kerja adalah kesalahan pada organisasi/ manajemen. Berdasarkan model tersebut, maka perlu disusun Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang mencakup mulai dari komitmen dan kebijakan manajemen hingga penerapan K3 di tempat kerja dan pekerja.
Pelaksanaan program K3 tidak akan berjalan efektif jika persoalan-persoalan tersebut belum diatasi oleh pihak-pihak terkait, sehingga dalam penyusunan program K3 diharapkan dapat mengakomodir aspek-aspek yang terkait. cross cutting issue dalam K3 dapat direfleksikan dalam suatu program K3 perusahaan seperti aspek psikologis sosial pekerja, budaya, kesadaran akan pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja dalam meningkatkan kesejahteraan pekerja serta meningkatkan komitmen manajemen dalam melaksanakan program K3 untuk mendukung kelangsungan usaha yang kompetitif.
Berikut ini program K3 yang dapat diimplementasikan oleh perusahaan garmen berdasarkan isu-isu yang saling berkaitan.
TUJUAN HASIL PROGRAM
Kecelakaan Nihil (Zero Accident )
Di Tempat Kerja
Penerapan/Sertifikat Standar SMK3
Menyusun Sistem Manajemen K3 berdasar standar Sistem Manajemen K3
Sarana untuk membahas isu-isu dalam K3 serta masalah yang berkaitan dengan pekerja
Susunan kepanitian terdiri dari perwakilan pekerja dan manajemen
Membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3) dan Unit
Tanggap Darurat
Mengendalikan bahaya-bahaya yang muncul ditempat kerja untuk menghindari kecelakaan kerja dan PAK
Register bahaya dan resiko
Identifikasi Bahaya, Penilaian dan Pengendalian Resiko
Melindungi pekerja dari bahaya dan resiko di tempat kerja
Semua pekerja mendapatkan APD yang sesuai serta mendapatkan informasi tentang K3
Penyediaan peralatan K3 (APD, Rambu, Tanda Bahaya & Poster K3 dan Papan Informasi K3)
Mempersiapkan dalam menghadapi situasi darurat seperti kecelakaan kebakaran
Pekerja memahami prosedur dalam menghadapi situasi gawat darurat
Penyediaan Aset Tanggap Darurat (Alarm Bahaya, Detektor Kebakaran, Hidran,
Tabung Pemadam/APAR, Kotak P3K, Radio Komunikasi dan Sarana Berkumpul
Darurat)
gempa bumi, dll.
Mengatur aktifitas pekerjaan sesuai dengan aturan keselamatan
Terdapat prosedur-prosedur yang berkaitan dengan keselamatan dalam bekerja
Pengendalian Operasional (Prosedur Keselamatan Kerja, Ijin Kerja Aman, Induksi
K3)
Pekerja memahami dan memiliki skill dalam hal bekerja yang aman dan selamat
Seluruh pekerja mendapatkan tarining yang dibutuhkan
Mengadakan Pelatihan untuk menigkatkan skill dan pengetahuan pekerja tentang K3 (Dasar K3, Bahaya di tempat kerja, Cara Kerja Aman, P3K dan
Tanggap Darurat)
Memantau dan meminimalisir bahaya-bahaya ditempat kerja
Pelaksanaan pemantauan lingkungan kerja secara berkala
Melakukan Pemantauan K3 secara berkala seperti suhu, kelembaban udara, debu, kebisingan
Melaporkan hasil/kinerja pelaksanaan K3
Meeting dilakukan setiap bulan
Meeting Berkala (Presentasi Kinerja K3)
Membudayakan K3 dalam setiap aktivitas pekerjaan
Seluruh pekerja mengikuti kegiatan safety talk, dll
Safety talk, toolbox meeting dan safety briefing
Meningkatkan peran serta pekerja dalam kegiatan K3
Pekerja mendapatkan penghargaan bagi yang melaksanakan program K3 dengan baik
Program safety reward dan punishment
Memastikan pelaksanaan program K3 berjalan dengan baik
Hasil inspeksi Melakukan inspeksi K3 secara rutin
Memantau kesehatan pekerja dan menghindari paparan sumber bahaya
Seluruh pekerja mendapatkan pemeriksaan secara berkala
Melakukan pemeriksaan kesehatan pekerja secara berkala
Menghindari Prosedur jam kerja Membuat prosedur tentang aturan jam
kecelakaan akibat kelelahan dalam bekerja
aman kerja yang aman untuk menghindari fatigue, jam istirahat yang cukup
Mengatasi keluhan pekerja tentang kehausan selama bekerja
Setiap sudut ruangan tersedia air minum
Menyediakan air minum disetiap ruangan untuk pekerja
Menyediakan sarana pengobatan bagi pekerja
Klinik pengobatan tersedia
Menyediakan klinik untuk pekerja
Menciptakan rasa aman bagi pekerja selama bekerja
Dibentuknya sistem pelaporan dan penyelesaian masalah
Memberikan advokasi dan perlindungan kepada pekerja terhadap kekerasan yang menimpa pekerja
Dari penyusunan program K3 tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut:
a. Pelatihan kompetensi tertentu memberikan pengetahuan khusus kepada pekerja mengenai ilmu/ keterampilan spesifik di bidang/ bagian kerjanya. Diharapkan dengan mendapatkan pelatihan ini, minimal pekerja yang belum memiliki pengalaman kerja mengetahui prosedur yang benar dalam melaksanakan pekerjaannya.
b. Penyusunan SOP memberikan aturan-aturan tentang bagaimana dan apa yang boleh serta tidak boleh dilakukan selama bekerja atau selama ada di tempat kerja. Dengan menaati batasan-batasan yang ada, prekondisi tindakan tidak selamat dapat dihindari.
c. OHS Toolbox Meeting sebagai media 2 arah dari pihak HSE dan pekerja untuk menyampaikan informasi-informasi tentang keselamatan. Di samping itu sebagai sarana pelatihan kepada pekerja tentang keselamatan spesifik pada bidang/ bagian tertentu.
d. OHS Inspection merupakan cara dari HSE untuk mengevaluasi kelayakan K3 yang ada di tempat kerja serta menemukan dan merekomendasikan perbaikan atas ketidaksesuaian yang ditemukan di tempat kerja. Di samping itu, sesekali diadakan inspeksi bersama jajaran manajemen dengan tujuan agar manajemen mengetahui kondisi terkini pekerja dan tempat kerja khususnya mengenai permasalahan K3.
e. OHS Forum merupakan forum mediasi antara HSE dan jajaran manajemen (level supervisor ke atas) untuk membahas isu, permasalahan, dan ketidaksesuaian terkait K3 yang tidak dapat diselesaikan di level pekerja atau HSE, di dalamnya termasuk tentang pengaturan jam kerja, lembur, dan tata krama hubungan atasan dan bawahan.
f. 5R (ringkas, rapi, resik, rawat, rajin) bermaksud menciptakan tempat kerja yang nyaman dan aman bagi pekerja itu sendiri. Dengan begitu diharapkan stres akibat kenyamanan ruang kerja dan permasalahan ergonomi di tempat kerja dapat dihindari.
g. OHS Award sebagai wadah pemberian penghargaan bagi jajaran pekerja dan manajemen yang berprestasi dalam menerapkan K3, termasuk yang melaksanakan rekayasa administratif dan rekayasa teknis untuk tujuan menciptakan pekerjaan yang lebih selamat.
h. Poster K3 berfungsi sebagai pengingat bagi seluruh pekerja tentang pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja dalam menunjang produktivitas.
i. Pemeriksaan kesehatan sebagai komitmen manajemen melindungi sumber daya manusianya dan sebagai usaha preventif kehilangan jam kerja orang.
j. Sertifikasi SMK3 yang dapat dicapai memberikan nilai tambah bagi perusahaan sehingga memberikan motivasi bagi manajemen dan pekerja untuk tetap mempertahankan prestasi K3 yang telah dicapai.
Proses pembuatan garmen dimulai dari pengecekan kain di ruang
penyimpanan kain kemudian proses disain dan pembuatan pola, grading dan
marker, kemudian dilanjutkan ke proses pembuatan sample dan pemotongan
kemudian dilakukan proses pengepresan. Setelah bagian-bagian yang terpotong
tadi dipres maka dilanjutkan ke proses produksi (penjahitan). Proses penjahitan ini
dilakukan per piece (bagian) sehingga untuk menjahit satu kemeja terkadang bisa
mencapai 100 variasi proses penjahitan. Oleh karena iti produksi garmen dikenal
dengan proses piece to piece (Fitrihana, 2008).
Setelah dijahit maka dilanjutkan proses penyempurnaan /penyelesaian akhir,
seperti pemasangan kancing, label, pembersihan dan penyetrikaan dan kemudian
dilakukan pengepakan dan pengiriman ke konsumen. Karakteristik pekerjaan di
industri garmem umumnya adalah proses material handling (angkat-angkut), posisi
kerja duduk dan berdiri, membutuhkan ketelitian cukup tinggi, tingkat pengulangan
kerja tinggi pada satu jenis otot, bertinteraksi dengan benda tajam seperti jarum,
gunting dan pisau potong, terjadi paparan panas di bagian pengepresan dan
penyetrikaan dan banyaknya debu-debu serat dan aroma khas kain, terpaan
kebisingan, getaran, panas dari mesin jahit dan lainnya (Fitrihana, 2008). Hal ini dapat
menimbulkan gangguan / cedera yang bersifat ergonomik pada pekerja.
Keluhan Muskuloskeletal Disease (MSD) yang sering timbul pada pekerja
industri adalah nyeri punggung, nyeri leher, nyeri pada pergelangan tangan, siku dan
kaki. Ada 4 faktor yang dapat meningkatkan timbulnya MSD yaitu posture yang tidak
alamiah, tenaga yang berlebihan, pengulangan berkali-kali, dan lamanya waktu kerja
(OHSCOs, 2007 dikutip dari Fitrihana, 2008 ). Level MSD dari yang paling ringan
hingga yang berat akan menggangu konsentrasi dalam bekerja, menimbulkan
kelelahan dan pada akhirnya akan menurunkan produktivitas.
Untuk itu diperlukan suatu upaya pencegahan dan minimalisasi timbulnya
MSD di lingkungan kerja. Pencegahan terhdap MSD akan memperoleh manfaat
berupa, penghematan biaya, meningkatkan produktivitas dan kualitas kerja serta
meningkatkan kesehatan, kesejahteraan dan kepuasan kerja karyawan (OHSCOs,
2007 dikutip dari Fitrihana, 2008).
Setiap pekerja berhak atas derajat kesehatan yang optimal sebagai modal
yang azasi untuk dapat menjalankan aktivitas yang produktif. Pekerja baik di sektor
swasta maupun pemerintah, perusahaan formal maupun informal, selain proporsinya
lebih dari 70 % dari seluruh populasi, pada hakekatnya merupakan jantungnya
organisasi dan motornya produktivitas (Depkes RI, 2005).
IDENTIFIKASI/REKOGNISI MASALAH KESEHATAN
Fitrihana (2008) mengemukakan, Studi tentang kondisi kerja di Industri
garmen telah cukup banyak dilakukan yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan Vilma 1982 dan Wesgard 1992 melaporkan bahwa
operator jahit mengalami gangguan otot yang cukup serius
2. Penelitian yang dilakukan Punnet (1985) melporjan bahwa sejumalh tenaga
kerja garmen mengalami sakit persiten
3. Penelitian Brisson (1989) menyakan bahwa pekerja garmen meningktakan
gangguan kesehatan kronis dan ketiadakmampuan secara permanen
4. Posisi duduk dan tubuh yang tidak baik menimbulkan sakit dan menurunkan
produktifitas
5. Peningkatan Muskuloskeletal Disease (MSD) dapat dikurangi dengan kursi
yang dapat diatur dan perubahan stasiun kerja (Li 1995 dan Herbert 1997)
Permasalahan ergonomi kerja di industri garmen terutama sangat terkait
dengan posisi postur tubuh dan pergelangan tangan yang tidak baik dan harus
melakukan pekerjaan yang berulang-ulang pada hanya satu jenis otot sehingga
sangat berpotensi menimbulkan cumulative trauma disorder (CTD)/ Repetitive
Strain Injuries (RSI) (Work Safe bulletin:1997 dan FoCUS:1999 dikutip dari Fitrihana
(2008)).
Zvonko Gradcevic dkk (2002) dikutip dari Fitrihana (2008) mengungkapkan
bahwa operasi kerja di bagian penjahitan adalah dari tangan-mesin-tangan dan
sub operasi mesin berdasarkan cara kerja dan bagian (piece) yang dijahit menurut
struktur produk garmennya. Pekerjaan di bagian jahit membutuhkan kordinasi
gerakan postur tubuh dan pergelangan tangan yang baik dan konsentrasi tinggi.
Dimana perubahan gerakan ini berlangsung sangat cepat tergantung bagian yang
dijahit dan tingginya frekuensi pengulangan gerakan untuk kurun waktu yang lama
akan mendorong timbulnya gangguan interabdominal, mengalami tekanan inersia,
tekanan pada pinggang dan tulang punggung dan tengkuk.Hong Kong Christian
Industrial Committee (2004) melaporkan kondisi Lingkungan kerja di 3 industri
garmen China yang mensuplai produk garmen untuk retail di Jerman adalah sebagai
berikut antara pemilik pabrik dan pekerja kurang memiliki kesadaran tentang
keselamatan dan kesehatan kerja.
Di ketiga pabrik yang disurvey tidak pernah diadakan latihan untuk
penaggulangan kebakaran, para pekerja mengeluhkan kondisi AC (air Condition)
dan ventilasi yang tidak baik Penempatan mesin yang terlalu rapat sehingga
mengakibatkan peningkatkan suhu di tempat kerja. Para pekerja di bagian
penjahitan mengalami alergi kulit dan gangguan pernapasan akibat menjahit
beberapa jenis kain yang mempunyai banyak debu kain (floating fiber). Sumber
bahaya lain adalah permasalahan ergonomi seperti lamanya waktu kerja (duduk dan
berdiri) pengulangan gerakan kerja dan lainnya. Cvetko Z. Trajković, Dragan M.
Djordjević, (1999) dikutip dari Fitrihana (2008) juga menunjukkan sumber-sumber
bahaya potensial yang ada di industri garmen terdapat pada ruang pemotongan,
penjahitan dan finishing
Setiap pekerjaan mengandung resiko kesehatan dan keselamtan. Demikian
juga sistem kerja di industri garmen potensi penyakit dan kecelakaan kerja juga
sangat tinggi. Seperti yang dilaporkan oleh David Mahone (CNA Insurance Companies,
Chicago IL) diantara penyakit kerja yang terkait dengan kondisi lingkungan kerja
yang tidak baik diantaranya adalah :
- 70% operator jahit mengalami sakit punggung
- 35% Melaporkan mengalami low back pain secara persisten
- 25% menderi akibat Cumulative Trauma Disorder (CTD)
- 81% mengalami CTD pada pergelangan tangan
- 14% mengalami CTDs pada siku
- 5% of CTDs pada bahu
- 49% pekerja mengalami nyeri leher
MEMPERBAIKI KONDISI KERJA DI INDUSTRI GARMEN
Agustus 16, 2007Agustus 16, 2007 Noor Fitrihana
by:Noor Fitrihana
PENDAHULUAN
Produk garmen merupakan salah satu komoditi yang sangat potensial untuk dikembangkan di pasar global. Beny Sutrisno(2007) ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia mengungkapkan bahwa kebutuhan produk tekstil dan pakaian jadi (garmen) akan terus meningkat dari tahun ketahun.
Mengingat potensi pasar yang demikian besar maka persaingan produk garmen di
pasar duniapun sangat ketat. Eksportir terbesar produk garmen ke pasar dunia berturut-turut
adalah: negara-negara yang tergabung dalam uni eropa, china, hongkong, Turki, Mexico,
India, Amerika, Romania dan Indonesia. Untuk itu negara-negara eksportir garmen dituntut
untuk memiliki produktifitas, kualitas, dan daya saing yang tinggi.
Proses pembuatan garmen dimulai dari pengecekan kain di ruang penyimpanan kain kemudian proses disain dan pembuatan pola, grading dan marker, kemudian dilanjutkan ke proses pembuatan sample dan pemotongan kemudian dilakukan proses pengepresan. Setelah bagian-bagian yang terpotong tadi dipres maka dilanjutkan ke proses produksi (penjahitan). Proses penjahitan ini dilakukan per piece (bagian) sehingga untuk menjahit satu kemeja terkadang bisa mencapai 100 variasi proses penjahitan. Oleh karena iti produksi garmen dikenal dengan proses piece to piece. Setelah dijahit maka dilanjutkan proses penyempurnaan/penyelesaian akhir, seperti pemasangan kancing, label, pembersihan dan penyetrikaan dan kemudian dilakukan pengepakan dan pengiriman ke konsumen Karakteristik pekerjaan di industri garmem umumnya adalah proses material handling (angkat-angkut), posisi kerja duduk dan berdiri, membutuhkan ketelitian cukup tinggi, tingkat pengulangan kerja tinggi pada satu jenis otot, bertinteraksi dengan benda tajam seperti jarum, gunting dan pisau potong, terjadi paparan panas di bagian pengepresan dan penyetrikaan dan banyaknya debu-debu serat dan aroma khas kain, terpaan kebisingan, getaran, panas dari mesin jahit dan lainnya. Untuk itu desain tempat kerja di industri garmen akan sangat berpengaruh bagi kinerja karyawan. Oleh karena itu dalam paper ini penulis akan melakukan tinjauan permasalan dan solusi ergonomis untuk memperbaiki kondisi kerja di industri garmen.
EVALUASI ERGONOMI KONDISI KERJA DI INDUSTRI GARMEN
Studi tentang kondisi kerja di Industri garmen telah cukup banyak dilakukan (Harrison, Tanpa tahun) yaitu:
1. Penelitian yang dilakukan Vilma 1982 dan Wesgard 1992 melaporkan bahwa operator jahit mengalami gangguan otot yang cukup serius
2. Penelitian yang dilakukan Punnet (1985) melporjan bahwa sejumalh tenaga kerja garmen mengalami sakit persitent
3. Penelitian Brisson (1989) menyakan bahaw pekerja garmen meningktakan gangguan kesehatan kronis dan ketiadakmampuan secara permanen
4. Posisi duduk dan tubuh yang tidak baik menimbulkan sakit dan menurunkan produiktifitas
5. Peningkatan MSD dapat dikurangi dengan kursi yang dapat diatur dan perubahan stasiun kerja (Li 1995 dan Herbert 1997)
Permasalahan ergonomi kerja di industri garmen terutama sangat terkait dengan posisi postur tubuh dan pergelangan tangan yang tidak baik dan harus melakukan pekerjaan yang berulang-ulang pada hanya satu jenis otot sehingga sangat berpotensi menimbulkan cumulative trauma disorder (CTD)/ Repetitive Strain Injuries (RSI) (Work Safe bulletin:1997 dan FoCUS:1999). Zvonko Gradcevic dkk (2002) mengungkapkan bahwa operasi kerja di bagian penjahitan adalah dari tangan-mesin-tangan dan sub operasi mesin berdasarkan cara kerja dan bagian (piece) yang dijahit menurut struktur produk garmennya. Pekerjaan di bagian jahit membutuhkan kordinasi gerakan postur tubuh dan pergelangan tangan yang baik dan konsentrasi tinggi. Dimana perubahan gerakan ini berlangsung sangat cepat tergantung bagian yang dijahit dan tingginya frekuensi pengulangan gerakan untuk kurun waktu yang lama akan mendorong timbulnya gangguan interabdominal, mengalami tekanan inersia, tekanan pada pinggang dan tulang punggung dan tengkuk.Hong Kong Christian Industrial Committee (2004) melaporkan kondisi Lingkungan kerja di 3 industri garmen China yang mensuplai produk garmen untuk retail di Jerman adalah sebagai berikut antara pemilik pabrik dan pekerja kurang memiliki kesadaran tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Di ketiga pabrik yang disurvey tidak pernah diadakan latihan untuk penaggulangan kebakaran, para pekerja mengeluhkan kondisi AC (air Condition) dan ventilasi yang tidak baik Penempatan mesin yang terlalu rapat sehingga mengakibatkan peningkatkan suhu di tempat kerja. Para pekerja di bagian penjahitan mengalami alergi kulit dan gangguan pernapasan akibat menjahit beberapa jenis kain yang mempunyai banyak debu kain (floating fiber). Sumber bahaya lain adalah permasalahan ergonomi seperti lamanya waktu kerja (duduk dan berdiri) pengulangan gerakan kerja dan lainnya. Cvetko Z. Trajković, Dragan M. Djordjević, (1999) juga menunjukkan sumber-sumber bahaya potensial yang ada di industri garmen terdapat pada ruang pemotongan, penjahitan dan finishing. Kondisi industri garmen di Kamboja (ww.betterfactory.com) juga tidak jauh berbeda seperti dimana ada beberapa permasalahan lingkungan kerja mencakup aspek mekanis, fisik, kimia, biologi dan erghonomi diantaranya adalah:
1. Penataan tumpukan kain yang kurang baik di gudang penyimpanan sehingga gulungan kain mudah jatuh
2. Potensi sakit punggung karena mengangkat dan material handling yang tidak benar
3. Banyaknya debu debu kain di area pemotongan kain
4. Bahaya luka yang seri selama penggunaan mesin potong elektrik tanpa pengaman rantai yang baik
5. Tidak adanya pengamanan mesin dan debu kain di area produksi dan finishing
6. Bahaya zat kimia dan lantai licin pada area pencucian
7. Pencahayaan yang kurang baik di bagian produksi dan finishing
8. permasalahan ergonomi pada posisi kerja duduk dan berdiri
9. Temperatur yang tinggi pada bagian penyetrikaan dan pencucian
10. Problem kelistrikan dan kebakaran di seluruh bagian
Setiap pekerjaan mengandung resiko kesehatan dan keselamtan. Demikian juga sistem kerja di industri garmen potensi penyakit dan kecelakaan kerja juga sangat tinggi. Seperti yang dilaporkan oleh David Mahone (CNA Insurance Companies, Chicago IL) diantara penyakit kerja yang terkaiat dengan kondisi lingkungan kerja yang tidak baik diantaranya adalah
– 70% operator jahit mengalami sakit punggung
– 35% Melaporkan mengalami low back pain secara persisten
– 25% menderi akibat Cumulative Trauma Disorder (CTD)
– 81% mengalami CTD pada pergelangan tangan
– 14% mengalami CTDs pada siku
– 5% of CTDs pada bahu
– 49% pekerja mengalami nyeri leher
Sedangkan berdasarkan studi literatur yang dilakukan oleh S Calvin dan B Joseph (2006) menyatakan bahwa beberapa potensi bahaya di industri garmen meliputi kecelakaan pada jari tangan (tertusuk jarum), terbakar dan lainnya. Bahaya fisik seperti paparan kebisingan, panas dan pencahayaan dan lainnya. Sangat sedikit laporan tentang kecelakaan kerja di industri garmen dari berbagai belahan dunia karena kurangnya kesadaran untuk mencatat dan melaporkan terjadinya kecelakaan David Mahone menyatakan bahwa untuk mengatasi berbagai persoalaan kondisi kerja seperti potensi timbulnya penyakit akibat kerja, operasi pekerjaan, jam kerja, psikososial, organisaisi kerja dan hubungannya antara manusia (pekerja), mesin/alat, pekerjaan dan lingkungan kerjanya maka diperlukan pendekatan ergonomi. Kondisi lingkungan yang ergonomis dapat meningkatkan produktivitas dan keselamatan kerja serta mendorong peningkatan daya saing, mengurangi biaya kompensasi untuk pekerja, memberikan daya tahan yang tinggi pada pekerja dan beberapa keuntugan lainnya. Untuk itu bagian selanjutnya dari tulisan ini akan membahs tentang bagaimana memperbaiki kondisi keraj di Industri garmen.
MEMPERBAIKI KONDISI KERJA DI INDUSTRI GARMEN MELALUI PENDEKATAN ERGONOMI
Jenifer Gunning (2001) banyak cara yang dapat digunakan untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja di industri garmen yang meliputi:
1. Komunikasi2. Melibatkan karyawan dalam pengambilan keputusan
3. Pendidikan dan pelatihan bagi pekerja dan manajemen tentang strategi pencegahan dan peningkatan lingkungan kerja yang ergonomic.
Lebih lanjut Jenifer Gunning dkk mengungkapkan 5 prinsip dasar dalam bekerja
secara ergonomis guna mengurangi ganguan otot yaitu
1. Gunakan alat yang baik dan sesuai dengan pekerjaan dan pekerja2. Meminimkan pengulangan gerakan pada satu jenis otot
3. Hindari posisi tubuh yang tidak baik
4. Gunakan teknik angkat-angkut yang benar
5. Beristirahat secara baik dan benar
Sedangkan David Mahone menyatakan untuk meningkatkan kondisi kerja yang ergonomi dapat dilakukan hal-hal sebagai berikut:
1. 1. Melaksankan program ergonomi yang komprehensif
2. Melakukan redesign stasiun kerja seperti yang direkomendasikan NIOSH
3. Peningkatan cara Sistem Kerja
4. Menggunakan peralatan material handling yang otomatis
5. Pengembangan Konsep Modular Manufacturing
Untuk memperbaikai kondisi kerja industri garmen di India Parimalam dkk (2006) merekomendasikan Meja kerja disarankan dari kayu untuk menghindari bahya elektrik.Kursi kerja sebaiknya diberi pelapis (busa untuk) memberi kenyamanan pada pekerja. Meja dan kursi juga harus dapat diatur ketinggiannya dan sudut sandarannya untuk mengurangi sakit pada bahu dan leher (ww.physorg.com). Untuk pencahayaan Parimalam dkk (2006) merekomendasikan minimum sebesar 400lux untuk general lighting dan untuk operator jahit di tambahkan pencahayaan lokal. Sedangkan menurut Industrial Accident Prevention Assosiation (IAPA,2006) untuk pekerjaan menjahit pencahayaan disarankan sekitar 2000-5000 lux. Untuk mengurangi kebisingan perlu dilakukan pemeliharaan, pelumasan dan penggantian spare part secara rutin. Pekerja yang terpapar bising perlu diberikan pelindung telinga ataupun perlu rotasi setiap 4 jam untuk level kebisingan 90 DB. Untuk mengurangi getaran diperlukan isolator getaran misalnya dengan memasang karpet/karet pada kaki-kaki mesin. Diperlukan pemasangan mesin penghisap untuk menghisdap debu kain dan pekerja diberikan masker untuk melindungi dari debu. Jarak antar mesin 4-5 feet untuk meminimalkan paparan panas pada operator jahit. Di setiap unit perlu disediakan kotak P3K dan orang yang mampu memberikan perawatan/pertologan darurat.
2.2. Faktor Lingkungan Kerja di Perusahaa Industri Tekstil
Berdasarkan proses produksi pada industri busana, factor lingkungan kerja memungkinkan dapat menimbulkan gangguan kesehatan tenaga kerja, sebagaimana dapat dilihat pada tabel.
Tabel: Faktor-Faktor Lingkungan Kerja No Proses Pruduksi Faktor Lingkungan Kerja1
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8. Gudang Bahan
Pola dan Pemotongan Bahan
Menjahit
Pemotong sisa benang
Pengecekan kualitas
Seterika
Finishing
Pengemasan Penerangan, iklim kerja, debu, uap formaldehydePenerangan, iklim kerja, debu, uap formaldehydePenerangan, iklim kerja, debu, uap formaldehydePenerangan, iklim kerja, debu, uap formaldehydePenerangan, iklim kerja, debu, uap formaldehydePenerangan, iklim kerja, debu, uap formaldehydePenerangan, iklim kerja, debu, uap formaldehydePenerangan, iklim kerja, debu, uap formaldehyde
2.3. Potensi Bahaya Kecelakaan Kerja Pada Industri TekstilSetiap industri memiliki potensi akan terjadinya bahaya dan kecelakaan kerja. Namun demikian peraturan telah meminta agar setiap industri mengantisipasi dan meminimalkan bahaya yang dapat
menimbulkan kecelakaan atau terancamnya keselamatan seseorang baik yang ada dalam lingkungan industri itu sendiri ataupun bagi masyarakat di sekitar industri. Hal-hal yang menjadi permasalahan yang berkaitan dengan potensi bahaya kecelakaan kerja pada industri busana dapat dilihat pada tabel.Tabel: Masalah Potensi Bahaya Kecelakaan Kerja Pada Industri TekstilNo Proses Produksi Potensi bahaya kecelakaan kerja123
4
56 GudangPola/PotongJahit
Pasang kancing
SetrikaPacking Bahaya kebakaranJari tangan terpotong, tersengat aarus SingkatJari terkena jarum, tersengat arus singkat, kebakaranJari tergencet mesin kancing, tersengat arus singkatTersengat arus singkat, kebakaranTergores dan bahaya jatuhan
2.4. Keserasian Peralatan dan Sarana Kerja Dengan Tenaga KerjaKeserasian peralatan dan sarana harus diperhatikan pihak perusahaan dan disesuaikan dengan tenaga kerja yang dimilikinya agar kecelakaan kerja dapat diminimalisasi. Kesalahan atau ketidak serasian antara peralatan dan sarana kerja dengan pegawai yang menggunakan. Ketidak serasian antara peralatan dan sarana dengan tenaga kerja dapat menimbulkan berbagai masalah yang akhirnya dapat mengancam keselamatan dan kesehatan kerja pegawai atau tenaga kerja. Permasalahan mengenai keserasian peralatan dan sarana kerja dengan tenaga kerja pada industri busana dapat dilihat pada tabel.Tabel : Keserasian Peralatan Dan Sarana Kerja Dengan Tenaga KerjaNo Proses Produksi Faktor Ergonomi1 Pemotongan Kain - Ukuran Meja Kerja- Kursi duduk- Sikap dan sistem kerja- Cara dan sistem keja2 Mesin jahit, obras, bordir - Ukuran Meja Kerja- Kursi duduk- Sikap dan sistem kerja- Cara dan sistem keja3 Seterika - Ukuran Meja Kerja- Kursi duduk- Sikap/ cara kerja- Kesesuaian sikap/sistem kerja4 Packing - Kegiatan angkat junjung
- Sikap dan cara kerja - Ruang gerak
2.5. Faktor Manusia Permasalahan yang terjadi pada faktor manusia meliputi faktor manajerial, dan faktor tenaga kerja. Permasalahannya dapat merupakan:
a. Manajemen: Pemahaman yang kurang tentang hiperkes dan keselamaatan kerja Tidak melaksanakan teknik-teknik hiperkes dan keselamatan kerja Tidak menyediakan alat proteksi/pelindung diri b. Tenaga kerja: Tidak melaksanakan ketentuan-ketentuan K3 Tidak mengenakan alat proteksi yang telah disediakan Tidak memiliki naluri cara kerja sehat Tingkat pengetahuan terhadap perkembangan teknologi industri.
2.6. Penyakit Akibat Kerja dan Yang Berhubungan Dengan Pekerjaan a. Penyakit Akibat Kerja Penyakit akibat kerja ini mempunyai penyebab yang spesifik atau asosiasi yang kuat dengan pekerjaan, yang pada umumnya terdiri dari satu agen penyebab yang mudah diakui. b. Penyakit yang berhubungann dengan pekerjaan – work related disease Adalah penyakit yang mempunyai beberapa agen penyebab, dimana faktor pada pekerjaan memegang peranan bersama dengan factor resiko lainnya dalam berkembangnya penyakit yang mempunyai etiologi yang kompleks. c. Penyakit yang mengenai populasi pekerja Penyakit yang terjadi pada populasi pekerja tanpa adanya agen penyebab di tempat kerja, namun dapat diperberat oleh kondisi pekerjaan yang buruk bagi kesehatan.d. Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja. Berdasarkan SK Presiden No.22 tahun 1993, disebutkan berbagai macam penyakit yang timbul karena hubungan kerja yaitu : 1) Pneumoconiosis yang disebabkan oleh debu mineral pembentuk jaringan parut,yang silikonsnya merupakan factor utama penyebab cacat dan kematian 2) Penyakit paru dan saluran pernafasan (broncopulmoner) yang disebabkan oleh debu logam keras. 3) Penyakit paru dan saluran pernafasan (broncopulmoner) yang disebabkan oleh debu kapas vlas, henep, dan sisal (bissinosis). 4) Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitivisasi dan zat perangsang yang dikenal yang berada dalam proses pekerjaan. 5) Aliveolitis alergika yang disebabkan oleh factor dari luar sebagai akibat dari penghirupan debu organic.6) Penyakit yang disebabkan oleh berilium atau persenyawaannya yang beracun. 7) Penyakit yang disebabkan kadmium atau persenyawaannya yang beracun. 8) Penyakit yang disebabkan faktor atau persenyawaanya yang beracun. 9) Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun.10) Penyakit yang disebabkan oleh: mangan, arsen, raksa, timbal, fluor,benzena, derivat halogen,derivat nitro,dan amina dari benzena atau homolognya yang beracun. 11) Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol, atau keton. 12) Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol, atau keton.
13) Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti karbon monoksida, hydrogen sianida, hydrogen sulfida, atau derivatnya yang beracun, amoniak seng, braso dan nikel.14) Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot urat, tulang persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi ). 15) Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih. 16) Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektro magnetic dan radiasi mengion. 17) Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi, atau biologik. 18) Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter,pic,bitumen, minyak mineral, antrasena, atau persenyaweaan, produk atau residu dari zat tersebut. 19) Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh abses 20) Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit yang didapat dalam suatu pekerjaan yang memiliki resiko kontaminnasi khusus.e. Penyakit-Penyakit Menular Penyakit menular dapat disebabkan oleh : 1) Virus: penyakit kulit, cacar influensa, campak, poliomielitis, dan lain-lain 2) Kuman : Bakteri atau mikroba seperti tbc,tifus, colera, difteri, dan lain-lain. 3) Parasit : Parasit tumbuh-tumbuhan seperti ragi, jamur (fungus) Parasit hewani seperti: Protozoa (malaria,disentri),cacing (cacing pita cacing gelang, cacing keremi, dan lain-lain),serangga ( kutu rambut, kutu kudis, dan lain-lain) Sebagian besar kuman tidak menyebabkan penyakit pada manusia dan hewan dan disebut kuman non- patogen. Bakteri penyebab penyakit tersebut disebut kuman patogen. Diantara kuman-kuman golongan terahir ada juga yang berbahaya karena membuat racun (toksin).f. Kesehatan Tenaga Kerja Wanita Tenaga kerja pada industri busana, biasanya lebih banyak terdiri atas karyawan wanitayang memang sangat cocok untuk pekerjaan di garmen atau industri busana lainnya. Jelas terdapat perbedaan sifat antara pekerja laki-laki dan perempuan.Perbedaan sifat ini berhubungan erat dengan hal-hal sebagai berikut : 1) Fisik wanita yang tercerminkan dalam ukuran dan kekuatan tubuh yang kurang dari pada ukuran serta kekuatan pria 2) Kehidupan khas biologis wanita, yakni berlangsungnya haid secara berdaur (siklus), kehamilan, dan mati haid (menopause) 3) Kedudukan sosiokultural wanita sebagai ibu dalam rumah tangga, dan akibat tradisi dan kebudayaan.4) Faktor-faktor fisik, biologis dan sosiokultural pada tenaga kerja wanita dapat berakibat pembolosan (absentisme) dengan penurunan produktifitas, namun masalah demikian dapat ditanggulangi dengan pembinaan tenaga kerja wanita dan usaha-usaha lain yang berdampak positif. Dilain fihak higiene perusahaan dan kesehatan kerja telah memperhitungkan sifat-sifat kewanitaan tersebut dengan menganjurkan supaya disediakan kamar atau ruangan khusus guna beristirahat dan untuk keperluan-keperluan lain bagi wanita yang haid, disamping perundang-undangan yang mengatur cuti sewaktu haid, kehamilan dan melahirkan. Motivasi khusus mengenai kewanitaan di tempat kerja perlu dikembangkan, terutama di lapangan-lapangan pekerjaan yang keberhasilannya amat ditentukan oleh penampilan dan keluwesan pelayanan.
Daftar Pustaka
http://garmenstudionline.blogspot.co.id/2013/01/menerapkan-kesehatan-dan-keselamatan-di.html
http://digilib.itb.ac.id/files/disk1/625/jbptitbpp-gdl-noorfitrih-31227-1-ergonomi-y.pdf
http://selamat-safety.blogspot.co.id/2014/05/prinsip-prinsip-penyusunan-program-k3.html
Bab II,. http://www.repository.ipb.ac.id, diunduh 22 Desember 2013, Pukul 20.05 wib.
Baseline Report: Worker Perspectives from the Factory and Beyond. 2012. ILO.
Ramli, Soehatman. 2009. Sistem Manajemen Keselamatan & Kesehatan Kerja, OHSAS 18001. Dian Rakyat.
Reason, James. 2006. Managing the Risks of Organizational Accidents. Ashgate.
http://aliefnauero.blogspot.co.id/2014/02/program-promosi-kesehatan-pada-pekerja_16.htmlS
https://batikyogya.wordpress.com/2007/08/16/memperbaiki-kondisi-kerja-di-industri-garmen/
http://usfinitengky.blogspot.co.id/2010/06/kesehatan-kerja-higiene-perusahaan.html
Latar BelakangPenerapan LK3 adalah salah satu hal penting yang harus diterapkan secara
nyata di dunia industri. Tiap perusahaan yang memiliki visi dan misi serta berkompetensi sudah seyogyanya menerapkan LK3 dalam operasional proses produksi kesehariannya. Penerapan LK3 ini bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan tenaga kerja agar produktifitas dan efisiensi produksi dapat diperoleh seoptimal mungkin. Kunci dari produktifitas dan efisiensi produksi ada pada Sumber Daya Manusia (SDM) yang berperan di dalamnya.
Sumber Daya Manusia (SDM) yang bermasalah tentunya menjadi faktor penghambat dalam proses produksi di lingkungan industri. Oleh karena itu diperlukan manajemen atau pengaturan yang berkaitan dengan LK3 untuk meminimalisir dampak yang dapat terjadi dari berbagai hambatan akibat SDM yang bermasalah yang mengakibatkan kecelakaan kerja.
Akibat dari kecelakaan kerja tidak saja dapat menimbulkan korban jiwa maupun kerugian materi bagi tenaga kerja dan karyawan, tetapi juga menggangu proses produksi baik sebagian maupun secara menyeluruh, sehingga merusak lingkungan yang pada akhirnya akan berdampak kepada lingkungan dan manusia secara keseluruhan.
2. Rumusan MasalahDalam penyusunan makalah ini, materi yang dibahas mengenai : Penerapan sistem LK3 atau P2K3 di PT Trinunggal Komara garment dan
kesesuaiannya dengan sistem yang ada. Perbandingan antara penerapan LK3 atau P2K3 di PT Trinunggal Komara Garment
dengan sistem secara umum.
3. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam pembuatan laporan ini yaitu wawancara secara langsung kepada sumber terkait yang mengetahui prosedur pelaksanaan penerapan LK3 di PT. Trinunggal Komara Garment.
4. TujuanAdapun tujuan penulis menyusun laporan ini yaitu :
a. Memenuhi tugas mata kuliah Lingkungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (LK3) semester 2,
b. Sebagai media untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman mengenai penerapan LK3 pada dunia industri,
c. Sebagai referensi bagi mahasiswa dalam pembelajaran LK3.
http://dwikunfarizi.blogspot.co.id/2012/05/laporan-lk3-kunjungan-ke-pabrik.html