k. studi al-quran

Download K. Studi Al-Quran

If you can't read please download the document

Upload: mundiu67

Post on 25-Jul-2015

30 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Al-Quran merupakan merupakan salah satu kitab yang telah banyak menciptakan perubahan dunia, kebenaran akan isinya telah diakui oleh orang Islam sendiri maupun orang non muslim. Keberadaannya telah mengubah peradaban manusia. Di dalam tarikh Islam begitu jelas digambarkan bahwa Al-Quran telah mengubah peradaban masyarakan Quraisy dari suku bangsa yang jahil kepada manusia yang berakhlak mulia. Bagi orang Islam, al-Quran tidak semata-mata hukum yang berisi ancaman dan harapan, tapi lebih dari itu al-Quran adalah sebagai petunjuk umat manusia. Petunjuk dalam segala segi kehidupan manusia, baik sikap sifat maupun tata kehdupan, mulai dari aturan rumah tangga, aturan bertetangga, hingga pada

masalah sosial politik di dalamnya telah dijelaskan. Al-Quran tidak serta merta dapat dipahami dengan bahasa umat manusia, karena ada sebagian ayat-ayat yang memerlukan penjelasan lebih lanjut. Di sisi lain al-Quran juga sebagai pedoman manusia dalam pengelolaan alam ini, berkaitan dengan peran manusia sebagai khalifah di muka bumi, manusia harus bisa mengelola alam dengan bijaksana agar tidak saja memberikan manfaat secara maksimal bagi kesejahteraan umat manusia, tapi lebih dari itu manusia dituntut agar tetap mampu melestarikan alam dengan sebaik-baiknya. Al-Quran adalah kitab yang bisa menjawabnya. Namun demikian, al-Quran hanya akan menjadi tunpukan manuskrip, atau boleh saya sebut sebagai kitab kuno yang hanya mampu memberikan keberkahan saja, tapi tidak bisa mengubah pemikiran manusia ke arah pengembangan berfikir, atau bahkan bisa jadi manusia hanya akan disibukkan dengan seni baca saja dengan mengharapkan pahala yang berlipat, sementara kemajuan jaman memerlukan alQuran yang bisa menjawab masalah kontemporer, dan ini memerukakan adanya perubahan perspektif dari al-Quran sebagai kitab suci berubah ke al-Quran sebagai pengubah pikiran manusia.

1

Dari itu al-Quran perlu diterjemahkan dalam bahasa bumi yang bisa dipahami oleh mahluk bumi, bukan dalam bahasa langit hanya bisa dipahami oleh mahluk langit. Tafsir. Ya, itulah kunci manusia untuk menerjemahkan bahasa langit menjadi bahasa yang humanis. Dengan tafsir, tidak hanya menjelaskan makna ayat-demi ayat, tapi lebih dari itu ruh perubahan diharapkan muncul dari efek konkrit sebuah tafsir al-Quran. Karena itu tafsir diharapkan tidak saja mengembangkan segi bahasa dan logika tapi perlu juga dalam bentuk

kontemporer, dan aplikatif yang mampu menerjemahkan pertanyaan-pertanyaan sekitar tentang manusia. Bisa kita pahami bahwa pada awalnya, masalah kontemporer belum diperlukan karena waktu itu memang masalah belum berkembangng pada jamannya. Bisa jadi dalam kesempatan pertama tafrsir masih bersifak bersifat seberhana hanya berkutat pada masalah keindahan sastra nya,

B. Rumusan Masalah

Dari gambaran latar belakang masalah tersebut di atas, dapat dirumuskan masalahnya adalah sebagai berikut: Bagaimana pertumbuhan dan perkembangan Tafsir Klasik ?

C. Tujuan Pembahasan Masalah

Melalui pembahasan masalah tafsir ini adalah memahami perkembangan tafsir pada pereode klasik.

2

BAB II PEMBAHASAN

A. Memahami Perkembangan Tafsir Al-Quran adalah sumber tasyri pertama bagi umat Muhammad. Dan kebahagian umat manusia tergantung pada permasalahan maknanya, pengetahuan rahasia-rahasianya dan pengamalan apa yang terkandung di dalamnya.

Kemampuan setiap orang dalam memahami tafsir dan ungkapan Al-Quran tidaklah sama. Perbedaan daya nalar diantara umat ini adalah suatu hal yang tidak dipertentangkan lagi. Kalangan awam hanya dapat memahami makna-makna yang zahir dan pengertian ayat-ayatnya secara global. Sedang kalangan cerdik cendikia dan terpelajar akan dapat maenyimpulkan pula dari padanya makna-makna yang menarik.1 Sejak Rasulullah sudah dikenal dalam penafsiran terhadap ayat-ayat yang turun, hal ini bisa dibahami karena tidak semua ayat yang turun ada yang tidak dapat dipahami langsung oleh sahabat, ayat ini masih perlu dijelaskan lagi. Dua cara penafsiran Al-Quran yang masyhur yaitu. Pertama, penafsiran berdasarkan petunjuk wahyu. Kedua, penafsiran berdasarkan ijtihad atau rayi. Dimasa sahabat, sumber untuk memahami ayat-ayat Al-Quran di samping ayat Al-Quran sendiri, juga riwayat dari Nabi dan ijtihad mereka. Pada abad-abad selanjutnya, usaha untuk menafsirkan Al-Quran berdasarkan rayi atau nalar mulai berkembang sejalan dengan kemajuan taraf hidup manusia yang di dalamnya sarat dengan persoalan-persoalan yang tidak selalu tersedia jawabannya secara eksplisit dalam Al-Quran2. Pada zaman Nabi dan para sahabat, pada umumnya mereka adalah ahli bahasa Arab dan mengetahui secara baik latar belakang turun ayat (asbab annuzul), serta mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat ketika ayat-ayat Al-Quran turun. Dengan demikian, mereka relatif dapat memahami ayat-ayat AlManna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996),hlm. 455. 2 Ibid, hlm. 486-4881

3

Quran itu secara benar, tepat, dan akurat. Berdasarkan kenyataan sejarah yang demikian, maka untuk memahami suatu ayat, mereka tidak begitu membutuhkan uraian yang rinci, tetapi cukup dengan isyarat dan penjelasan global (ijmal). Itulah yang membuat lahir dan berkembangnya tafsir dengan metode global dalam penafsiran Al-Quran pada abad-abad pertama

B.

Pembagian Tafsir

Membahas masalah perkembangan tafsir tidak akan lepas dari sejarah perkembangan tafsir dari masa-kemasa. Di kalangan ahli tafsir sendiri berbagai macam pendapat mereka, namun sesungguhnya bukan masalah yang prinsip, hanya pada pasalah penyebutan saja. Tafsir klasik Muhammad Husain adz-Dzahabi telah membagi sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode : pertama, tafsir pada masa Nabi dan sahabat;3 kedua, tafsir pada masa tabiin;4 dan yang ketiga, tafsir pada masa pembukuan.5 Sedangkan menurut A. D. Suud Bin Abdullah al-Fanisan membagi perkembangan tafsir menjadi dua periode, pertama, tafsir pada abad pertama yang meliputi tafsir pada masa Rasulullah dan tafsir pada masa sahabat, dan kedua, tafsir pada abad kedua dan ketiga yang meliputi masa tabiin dan pembukuan. Sementara itu Ignaz Goldziher6, telah membagi sejarah dan perkembangan tafsir menjadi tiga periode pula, yaitu pertama, tafsir pada masa perkembangan madzhab-madzhab yang terbatas pada tempat berpijak tafsir bi al-matsur, kedua, tafsir pada masa perkembangannya menuju madzhab-madzhab ahli ray yang meliputi aliran akidah, aliran tasawuf, dan aliran politik keagamaan, ketiga, tafsir pada masa perkembangan kebudayaan/ keilmuan Islam yang ditandai dengan timbulnya pemikiran baru dalam keislaman oleh Ahmad Khan, Jamalauddin al-Afghani, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Ridha. Ada juga yang membagi3

Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Cet. II, 1976,

hlm. 32

4 5

Ibid., hlm. 98. Ibid., hlm. 140. 6 Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islamy, Maktabah al-Khanjy, Mesir, hlm. 1955.

4

perkembangan tafsir menjadi empat periode, yaitu pertama, periode Rasulullah SAW.; kedua, periode mutaqaddimin; ketiga, periode mutaakhirin; dan keempat, periode modern. Untuk memudahkan dalam pembahasan ini, penulis berpedoman pada Ignaz Goldziher, bahwa perkembangan tafsia al-Quran menjadi empat, namun penulis akan mengelompokkan lagi dalam dua golongan besar. Yang pertama adalah masa Tafsir Klasik yang meliputi Jaman Rasulullah , mutaqodimin, yang kedua tafsir modern yang meliputi mutaakhirin dan modern. Mengingat sempitnya makalah ini, penulis lebih memfokuskan pada pembahasan tafsir di jaman klasik.

1.

Tafsir Pada Nabi Muhammad SAW a. Pemahaman nabi dan sahabat pada al-Quran Bahwa al-Quran diwahyukan kepada seorang Nabi SAW. yang ummi dan kepada kaum yang ummi pula. Mereka hanya memiliki bahasa lisan sebagai sarana komunikasi dan hati untuk menyimpan ilmu pengetahuan. Bangsa Arab saat diturunkannya al-Quran telah mengenal beberapa bentuk kesenian yang sudah mapan. Bahasa yang berkembang di masyarakat pada saat itu ada yang berbentuk haqiqah7, majaz,8 kinayah,9 ithnab dan lain sebagainya. .

Telah menjadi sunnatullah bahwa Allah telah mengutus setiap rasul dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini dimaksudkan agar terjadi7

Haqiqah adalah makna asli dari suatu lafazh atau kalimat. Makna ini biasanya sebagai perimbangan terhadap makna majaz. 8 Makna majazi adalah makna lafazh atau kalimat yang tidak diartikan dengan makna hakiki, yaitu makna yang dapat diperoleh melalui bentuk qarinah, bahwa makna itulah yang dikehendaki oleh lafazh atau kalimat tersebut. Seperti lafazh rahmat dalam Q.S. Ali Imran/3: 107. Makna hakiki dari lafazh rahmat adalah kasih sayang, namun dalam ayat tersebut yang dikehendaki adalah makna majazinya, yaitu surga. Adapun qarinah yang menunjukkan bahwa lafazh tersebut diartikan dengan makna surga adalah dilihat dari kalimat sebelumnya, dan juga kalimat sesudahnya. 9 Kinayah adalah lafazh yang mengandung makna yang tersembunyi, meskipun demikian ia tetap dapat dipahami walaupun tanpa bantuan qarinah, karena lafazh itu sudah lazim digunakan untuk makna tersebut. Seperti lafazh dakhaltum atau dukhul yang terdapat dalam Q.S. al-Nisa/4: 23. Secara bahasa arti dasar kata itu adalah masuk. Namun lafazh tersebut sudah umum di kalangan masyarakat sebagai kinayah dari lafazh jima. Sehingga, ketika seseorang berkata dukhul maka yang dipahami adalah jima.

5

komunikasi yang baik dan sempurna di antara mereka. Sebagaimana firman Allah SWT: )1 :41/(

Dan kami tidak mengutus seorang rasul pun melainkan denganbahasa kaumnya, supaya dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka (Q.S. Ibrahim/14: 4 ( Berdasarkan ayat di atas, maka nabi Muhammad dapat memahami nash al-Quran yang berbahasa Arab, baik secara global (mujmal) maupun secara terperinci (tafsiliy( disamping karena Allah SWT. telah memberikan jaminan bahwa Dia akan memelihara serta menjelaskan kitab Suci tersebut. Sedangkan para sahabat pada dasarnya secara thabii juga telah dapat memahami al-Quran secara global saja, karena pengetahuan dan pemahaman mereka terhadap bahasa Arab yang menjadi bahasa al-Quran. Namun pemahaman mereka secara detail terhadap al-Quran masih memerlukan bantuan penjelasan dari Nabi yang berupa hadis-hadis, karena di dalamnya banyak didapati ayat-ayat al-Quran yang masih mujmal, musykil, dan juga ayat-ayat mutasyabihat.

b.

Kondisi Pemahaman Para Sahabat Atas Ayat al-Quran. Menurut pendapat para ulama, kondisi pemahaman para sahabat

terhadap al-Quran dapat dibedakan dalam dua aliran, yaitu pertama, yang diwakili oleh Ibnu Khaldun yang mengatakan bahwa semua sahabat mampu memahami al-Quran, baik dalam bentuk kosa-katanya maupun susunan kalimatnya. Dari nukilan di atas dapat dipahami bahwa para sahabat memiliki perbedaan pemahaman terhadap isi keseluruhan dari al-Quran, meskipun al-Quran diturunkan dengan bahasa Arab yang merupakan bahasa mereka sendiri, karena tidak sedikit dijumpai di dalamnya lafadz-lafadz gharib dan ayatayat mutasyabihat10 yang hanya dapat diketahui dengan mendapatkan

6

pemahaman/penjelasan dari nabi Muhammad, bahkan antara pribadi-pribadi sahabat satu dengan lainnya tidak setingkat kualitasnya dalam memahami ayata-ayat-al-Quran. Perbedaan tingkat pemahaman yang dimiliki oleh para sahabat terhadap al-Quran ini dapat disebabkan karena beberapa faktor,11 yaitu pertama, pengetahuan mereka tentang bahasa Arab berbeda-beda, seperti sastra Arab, gaya bahasa Arab, adat istiadat, dan sastra Arab jahiliyah, katakata yang terdapat dalam al-Quran dan sebagainya, sehingga tingkatan mereka dalam memahami ayat-ayat al-Quran berbeda-beda pula. Kedua, ada sahabat yang sering mendampingi Nabi Muhammad SAW. sehingga banyak mengetahui sebab-sebab ayat-ayat al-Quran diturunkan dan ada pula yang jarang mendampingi beliau. Pengetahuan tentang sebab-sebab al-Quran diturunkan itu, sangat diperlukan untuk menafsirkan al-Quran. Karena itu sahabat-sahabat yang banyak pengetahuan mereka tentang sebab al-Quran diturunkan itu, lebih mampu Tafsir pada masa sahabat ini memiliki keistimewaan-keistimewaan sebagai berikut:12 . 1. Pada masa ini al-Quran tidak ditafsirkan secara keseluruhan, tapi hanya sebagian saja dan yang dianggap sukar (tersembunyi) pengertiannya, sehingga penafsiran itu berkembang sedikit demi sedikit berdasarkan pada problema yang ada. .

2. Tidak banyak perbedaan di antara mereka di dalam memahami maknamakna al-Quran; .

3. Para sahabat banyak yang mencukupkan penafsirannya secara ijmaly (global);Mutasyabih secara harfiyah dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang masih samar pengertiannya. Nash mutasyabih berarti nash yang masih sulit (musykil) untuk ditafsirkan, karena terdapat kesamaran makna di dalamnya. Artinya lafazh tersebut masih terdapat keserupaan dengan sesuatu yang lainnya, baik dari segi lafazh maupun dari segi maknanya. Namun, biasanya nash mutasyabih lebih dilihat dari segi maknanya10

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Quran, Jakarta, 1998, hlm. 25-261112

. Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Cet. II, 1976, hlm.

97-98

7

4. Membatasi penafsirannya dengan menjelaskan makna bahasa yang primer; 5. Tidak adanya penafsiran secara ilmy, fiqhy, dan madzhaby; 6. Pada masa ini tafsir masih belum dikodifikasikan, hal ini disebabkan karena pengkodifikasian baru ada setelah abad II Hijriyah. Tafsir belum mengambil bentuknya yang teratur dan belum menjadi suatu ilmu yang berdiri 2. Sejarah dan Perkembangan Tafsir Masa Tabiin Periode kedua perkembangan tafsir adalah pada masa tabiin yang dimulai sejak berakhirnya tafsir pada masa sahabat. Hal ini ditandai dengan banyaknya tokoh-tokoh mufassir pada masa sahabat yang meninggal dunia, yang mereka itu adalah para guru dari para tabiin, dan juga banyaknya para tabiin yang mengikuti jejak guru-gurunya dalam bidang penafsiran alQuran, khususnya berkaitan dengan ayat-ayat al-Quran yang masih tersembunyi dengan pengertiannya. tabiin Karena banyaknya para tabiin yang menafsirkan ayat-ayat al-Quran, maka hasil karyanya ini kemudian dikenal tafsir . sendiri.

a.

Sumber Tafsir pada Masa Tabiin

.

Dalam penafsirannya ini para tabiin berpegang kepada sumbersumber yang telah ada pada masa pendahulunya, yaitu pertama, ayat alQuran; kedua, hadist Nabi Muhammad SAW; ketiga, pendapat para sahabat; keempat, keterangan dari ahl al-kitab baik Yahudi maupun Nasrani; dan kelima, Ijtihad dan pertimbangan nalar mereka sendiri. Untuk keempat sumber yang disebutkan pertama, dalam pemakaiannya, para tabiin tidak jauh berbeda dengan para sahabat. Sedangkan untuk sumber yang disebutkan terakhir, muncul karena tafsir sahabat hanya menafsirkan sebagian ayat saja, yaitu ayat-ayat yang dirasa sangat sulit. Dengan demikian, penafsiran para tabiin ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari penafsiran para sahabat.

8

Dalam memahami Kitabullah, para mufassir dari kalangan tabiin berpegang pada apa yang ada dalam al-Quran itu sendiri, keterangan yang mereka riwayatkan dari para sahabat yang berasal dari Rasulullah, penafsiran yang mereka terima dari para sahabat berupa penafsiran mereka sendiri, keterangan yang diterima tabiin dari Ahl al-Kitab yang bersumber dari isi kitab mereka, dan ijtihad serta pertimbangan nalar mereka terhadap Kitabullah sebagaimana yang telah dianugerahkan Allah kepada mereka. Sebagai kelanjutan dari penafsiran para sahabat, tafsir tabiin merupakan penyempurnaan dari sebagian kekurangan yang ada pada masa sahabat. Dalam tafsirnya, mereka menambahkan dalam tafsirnya

keterangan-keterangan yang dapat menghilangkan kekurangan tersebut. Proses ini berlanjut hingga generasi sesudahnya, yaitu masa sesudah tabiin (tabi at-tabiin). Dan generasi ini pun berusaha menyempurnakan tafsir alQuran secara terus menerus dengan berdasarkan pada pengetahuan mereka atas bahasa Arab, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa turunnya ayat al-Quran, alat-alat pemahaman dan sarana pengkajian yang lainnya. Dengan semakin meluasnya daerah taklukan Islam, maka semakin tersebar pula tokoh-tokoh mufassir ke berbagai daerah tersebut. Mereka menjadi mubaligh/ guru yang mengajarkan tafsir kepada para penduduk setempat. Sehingga, pada perkembangan selanjutnya muncullah berbagai macam madrasah (aliran-aliran) tafsir. Tempat-tempat Tafsir pada Masa Tabiin . Berkaitan dengan masalah ini, akan dijelaskan tentang madrasahmadrsah tafsir pada masa tabiin, yang meliputi tiga tempat dan juga para mufassirnya, dimana mereka itu mempelajarinya dari kalangan sahabat. Adapun madrasah-madrasah tafsir pada masa tabiin, di antaranya : .

b.

9

1)

Madrasah Tafsir di

Makkah13

.

Madrasah tafsir di Makkah ini didirikan oleh sahabat Abdullah Ibn Abbas, yang menjadi guru dan sekaligus menafsirkan dan menjelaskan terhadap ayat-ayat al-Quran yang dirasa masih sulit pengertiannya kepada para tabiin. Di antara para murid-muridnya yang terkenal (masyhur) adalah Said bin Jubair, Mujahid bin Jubair, Atha bin Abi Rabah, Ikrimah, Thawus bin Kaisan-al-Yamani. Proses kemunculan madrasah ini diawali ketika Ibn Abbas sebagai guru di Makkah menafsirkan al-Quran di kalangan para tabiin dan menjelaskan hal-hal yang muskil dari makna lafadz al-Quran, kemudian tabiin menambahkan pemahamannya sendiri, lalu meriwayatkan tafsir dari sahabat dan penafsiran tabiin itu sendiri kepada generasi berikutnya. Adapun keistimewaan dari madrasah ini ditandai dengan keistimewaan para tokohnya, yaitu pertama, dalam hal qiraat, madrasah ini memakai qiraat yang berbeda-beda, seperti Said bin Jubair, kadang-kadang memakai qiraat Ibnu Abbas, Ibn Masud, dan kadang-kadang memakai qiraat Zait bin Tsabit; kedua, dalam hal metode penafsiran, madrasah ini sudah memakai dasar-aqliy.

2) .

Madrasah Tafsir di Madinah Madrasah ini didirikan oleh Ubay bin Kaab. Pendapat-pendapatnya

tentang tafsir banyak dinukilkan generasi sesudahnya. Di antara muridmuridnya dari kalangan tabiin yang belajar kepadanya baik secara langsung maupun tidak, yang terkenal di antara merea ada tiga, yaitu Zaid bin Aslam, Abu Aliyah, dan Muhammad bin Kaab al-Quradhi. Madrasah tafsir di Madinah timbul melalui proses dimana sahabat yang banyak menetap di Madinah berjamaah dalam bertadarus al-Quran,

13

Muhammad Husain adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 99

10

dan banyak juga diikuti oleh para tabiin sebagai murid-murid sahabat yang di antara mereka lebih memfokuskan dirinya pada Ubay bin Kaab, dimana Ubay dalam hal ini lebih mashur dan lebih banyak menafsirkan al-Quran dibanding orang lain.

Keistimewaan madrasah di Madinah adalah pertama, telah ada sistem penulisan pada naskah-naskah dari Ubay bin Kaab lewat Abu Aliyah lewat Rabi oleh Abu Jafar ar-Raziy dan juga Ibn Jarir, Ibn Abi Hatim dan al-Hakim banyak meriwayatkan tafsir dari Ubay lewat Abu Aliyah; kedua, telah berkembang tawil terhadap ayat-ayat al-Quran, sebagimana diucapkan oleh Ibn Aun tentang pentawilan Muhammad bin Kaab al-Quraziy; ketiga, telah timbul penafsiran bir ray, terbukti tokoh Zaid bin Aslam membolehkan penafsiran bir royi.

3)

Madrasah Tafsir di Irak

Madrsah ini dipelopori oleh Abdullah bin Masud dan dilindungi oleh Gubernur Irak Ammar bin Jaser, serta didukung oleh tabiin di Irak, seperti Alqamah bin Qais, Masruq, Aswad bin Jaser, Murrah al-Hamdaniy, Amir asy-Syabiy, Hasan al-Bashri, Qatadah bin Diamah.

Madrasahj tafsir di Irak timbul melalui proses dimana ketika khalifah Umar menunjuk Ammar bin Jaser sebagai gubernur di Kufah, maka bersamanya ditunjuk mubaligh/guru Ibn Masud, yang meskipun banyak sahabat lain di Iraq tetapi beliaulah dalam penafsiran al-Quran banyak diikuti oleh tabiin di Iraq, disamping karena kemashurannya juga karena banyaknya penafsiran beliau yang dapat dinukilkan kepada generasi berikutnya. Keistimewaan dari madrasah tafsir di Iraq adalah pertama, secara global, madrasah ini lebih banyak diwarnai oleh ahli rayi; kedua, sebagai konsekuensinya, maka timbul masalah khilafiyah dalam penafsiran alQuran; ketiga, sebagai kelanjutan adanya khilafiyah penafsiran al-Quran tersebut, maka timbullah metode istidlal.

11

c. .

Keistimewaan Tafsir pada Masa Tabiin

Menurut Muhammad Husain adz-Dzahabi,14 paling tidak ada empat keistimewaan tafsir pada masa tabiin ini, antara lain: 1) Tafsir pada masa tabiin banyak dimasuki cerita israiliyat, baik yang berasal dari orang-orang Yahudi maupun Nasrani, hal ini terjadi karena banyaknya ahl al-kitab yang masuk Islam. Di antara sebab masuknya cerita israiliyat adalah karena adanya kecenderungan para tabiin untuk mendapatkan penjelasan yang detail dan terperinci tentang keterangan alQuran perihal masalah tersebut di atas, yang kemudian oleh para tabiin cerita-cerita itu dimasukkan ke dalam tafsir mereka tanpa adanya penelitian. 2) Tafsir pada masa tabiin masih berkembang dengan cara perjumpaan tokoh mufassir dalam meriwayatkan tafsir seperti masa sahabat/nabi, hanya saja periwayatan ini mempunyai kekhusussan yaitu bahwa periwayatan terjadi antara tokoh madrasah tafsir di suatu kota dengan murid-muridnya. 3) Tafsir pada masa tabiin banyak diwarnai adanya perbedaan pendapat madzhabiyah. 4) Banyaknya perbedaan antara tabiin dengan apa yang ada pada sahabat dalam bidang tafsir.

3.

Sejarah dan Perkembangan Tafsir Masa Pembukuan

Periode ketiga dari perkembangan tafsir adalah periode pembukuan (tadwin), yang dimulai pada akhir kekhalifahan Bani Umayah dan awal kekhalifahan Bani Abbasiyah.15 Dalam periode ini tafsir memasuki beberapa tahap, masing-masing dengan metode dan cirinya yang berbedabeda. Pada tahap pertama, tafsir masih belum dibukukan secara sistematis,

14 15

Ibid., hlm. 130-131 Ibid hlm. 340

12

yaitu disusun secara berurutan ayat demi ayat dan surat demi surat dari awal al-Quran sampai akhir, tetapi hanya merupakan usaha sampingan dari para ulama dalam rangka mengumpulkan hadis-hadis yang tersebar diberbagai daerah. Karena pada waktu itu, para ulama lebih memprioritaskan terhadap hadis, sehingga tafsir hanya merupakan salah satu bab dari sekian banyak bab yang dicakupnya, dan tafsir tersebut dibukukan dalam bentuk bagian dari pembukuan hadis. .

Para ulama yang mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap periwayatan tafsir yang dinisbahkan kepada Nabi, sahabat dan tabiin disamping perhatiannya terhadap pengumpulan hadis adalah Yazid bin Harun as-Sulami (w. 117 H), Subah bin al-Hajjaj (w. 160 H), Waki bin Jarrah (w. 197 H), Sufyan bin Uyainah (w. 198 H), Rauh bin Ubadah albasri (w. 205 H), Abdurrazaq bin Hammam (w. 211 H), Adam bin Abu Iyas (w. 220 H), dan Abd bin Humaid (w. 249 H), yang kesemuanya pada dasarnya adalah imam dan tokoh-tokoh ilmu hadis.16[62] Tafsir golongan ini sedikitpun tidak ada yang sampai pada kita, dan yang kita terima hanyalah nukilan-nukilan yang dinisbatkan kepada mereka sebagaimana terdapat di dalam kitab-kitab tafsir bi al-masur.

Pada tahap kedua, lalu muncul beberapa ulama yang menulis tafsir secara khusus dan berusaha memisahkan antara penafsiran al-Quran dari usaha pengumpulan dan pembukuan hadis serta manjadikannya sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri. Al-Quran ditafsirkan secara sistematis, sesusi dengan tertib Mushaf. Usaha ini mulai berlaku dari akhir abad III Hijriyah dan berakhir pada awal abad V Hijriyah. Adapun tokoh-tokohnya adalah Ibnu Majah (w. 273 H), Ibnu Jarir ath-Thabari (w. 310 H), Abu Bakr bin al-Munzir an-Naisaburi (w. 318 H), Ibn Abi Hatim (w. 327 H), Abu Syaikh bin Hibban (w. 369 H), al-Hakim (w. 405 H), dan Abu Bakar bin

16

Manna al-Qaththan, Mabahis fi Ulum al-Quran, Manshurat alhlm. 340).

13

Mardawaih matsur, yaitu

(w.

410 jalan

H),

dan

yang

lain-lainnya.17

Dalam tafsirnya mereka masih menggunakan corak tafsir bi aldengan mencantumkan riwayat-riwayat yang disandarkan kepada Nabi, sahabat, tabiin, dan tabi at-tabiin. Dalam pengambilan riwayat, terkadang juga disertai dengan adanya pentarjihan terhadap pendapat-pendapat yang diriwayatkan dan memberikan

kesimpulan sejumlah hukum serta menjelaskan kedudukan kata jika diperlukan. Sebagaimana yang dilakukan oleh Ibn Jarir at-Thabari dalam kitab tafsirnya Jami al Bayan fi Tafsir al-Quran .

Tahap ketiga, perkembangan tafsir tidak berhenti sampai pada corak tafsir bi al-matsur saja, sebagaimana yang dilakukan oleh beberapa ulama tersebut di atas, tetapi berlanjut pada perkembangan berikutnya. Dimana muncul sejumlah mufassir yang dalam aktifitasnya mulai meringkas sanadsanad dan menghimpun berbagai pendapat tanpa menyebutkan pemiliknya. Oleh karena itu, terjadilah pemalsuan dalam bidang tafsir yang mengakibatkan bercampurnya antara riwayat-riwayat yang shahih dengan yang tidak shahih. Sehingga para peneliti dan pengakaji kitab-kitab tersebut beranggapan bahwa semua riwayat yang terdapat didalamnya adalah shahih, yang pada akhirnya mereka juga akan menjadikan riwayat-riwayat tersebut sebagai sumber penafsirannya. Di sisi lain mereka juga mulai menggunakan cerita-cerita israiliyyat sebagai dasar penafsirannya tanpa diseleksi terlebih dulu. .

Tahap keempat, sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka pembukuan tafsir sudah mulai mencapai kesempurnaan, yang ditandai dengan banyaknya cabang ilmu pengetahuan serta banyaknya madzhab yang bermunculan. Sehingga para mufassir dalam menafsirkan al-Quran berpegang pada pemahaman pribadi dan mengarah keberbagai

kecenderungan. Akibat dari itu semua, maka perkembangan tafsir mulai mengarah kepada tafsir bi al-ray, yang dalam perkembangnnya telah terjadi melalui beberapa tahap secara berangsur-angsur.17

Muhammad Husai adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 141

14

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan

1.

Tafsir Klasik meliputi, tafsir jaman Rasulullah dan Sahabat, Tabiin, dan masa pembukuan.

2.

Tafsir Jaman Rasulullah dan Sahabat, belum berkembang, karena Rasulullah dan sahabat mengetahui betul maksud dan tujuan ayat diturunkan.

3.

Tafsir pada jaman tabiin bersumber pada al-Quran, Hadis, perkataan sahabat, dan perkataan Israiliyat. Pusat-pusat ilmu tafsir sudah meluas ke luar wilayah Makkah dan Madinah.

4.

Tafsir pada jaman pembukuan sudah sangat berkembang, bukan hanya fafsir bil masur juga birayi. Pada jaman ini sudah muncul madzhab tafsir.

B.

Saran-saran

1.

Kembangkan ilmu tafsir al-Quran sehingga bisa memberikan manfaat bagi kemaslahatan umat manusia.

2.

Semoga bisa memberikan manfaat. Amin.

15

DAFTAR PUSTAKA

Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Cet. II, 1976.Ignaz Goldziher, Madzahib al-Tafsir al-Islamy, Maktabah al-Khanjy, Mesir.

Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Proyek Pengadaan Kitab Suci AlQuran, Jakarta, 1998.Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Quran, (Jakarta: Litera AntarNusa, 1996). Muhammad Husain Adz-Dzahabi, Tafsir wa al-Mufassirun, Jilid I, Cet. II, 1976

16