jurnal rollien indra
DESCRIPTION
QTRANSCRIPT
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
Rollien Indra Putra Lukmanil Hakim, Arief Rachmansyah, Adipandang Yudono,
Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas BrawijayaJl Mayjend Haryono No. 167 Malang 65145 - Telp. (0341) 567886
Email: [email protected]
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat resiko bahaya longsor dan memberikan penatagunaan lahan berbasis mitigasi bahaya longsor di hulu DAS Lesti. Metode analisis yang digunakan pada penelitian ini adalah adalah metode Deskriptif dan Preskriptif. Tingkat resiko bahaya longsor diukur dengan menggunakan parameter potensi bahaya dan kerentanan bahaya. Parameter potensi bahaya menggunakan indikator curah hujan, jenis tanah, kelerengan, jarak dari sungai, dan guna lahan. Parameter kerentanan menggunakan indikator kepadatan bangunan, kepadatan penduduk, proporsi usia rentan, proporsi jumlah wanita dan penyandang cacat, proporsi jumlah pengangguran dan tingkat pendidikan. Tingkat resiko bahaya longsor yang diperoleh adalah resiko sedang, resiko tinggi dan resiko sangat tinggi. Untuk memberikan penatagunaan lahan berbasis mitigasi bahaya longsor terlebih dahulu melakukan proses analisis fungsi kawasan yang hasilnya terbagi ke dalam tiga kawasan yaitu kawasan lindung, penyangga dan budidaya. Dari masing-masing fungsi kawasan, kemudian dilakukan analisis guna lahan yang sesuai untuk setiap fungsi kawasan. Selanjutnya adalah proses integrasi tingkat resiko bahaya longsor dengan penggunaan lahan berdasarkan fungsi kawasan melalui proses overlay. Hasilnya, penggunaan lahan untuk kawasan lindung dengan tingkat resiko bahaya longsor yang ada mutlak untuk kawasan konservasi. Kawasan penyangga tingkat resiko bahaya longsor yang ada diarahkan untuk hutan produksi, hutan rakyat atau budidaya tanaman tahunan. Kawasan budidaya pertanian dengan tingkat resiko sedang dipertahankan dengan menerapkan konsep rehabilitasi lahan, sedangkan resiko tinggi dilakukan konservasi lahan. Kawasan budidaya non pertanian (permukiman) pada resiko sedang hingga tinggi dilakukan pengawasan dan penertiban bangunan serta sosialisasi tanggap bahaya pada masyarakatnya. Untuk Kawasan budidaya non pertanian (permukiman) pada resiko sangat tinggi diarahkan untuk reloksi dengan memberikan intensif-disintensif.
Kata kunci: Resiko, Longsor, Fungsi Kawasan, Mitigasi
ABSTRACT
This study aimed to determine the risk level of landslide disaster and provided the land use administration based on landslide disaster mitigation in DAS Lesti watershed. Descriptive and prescriptive method was applied to this study. The risk level of disaster was measured by using the parameters of the potential disasters and disaster vulnerability. An indicator of potential disaster parameters is rainfall, slope, soil types, the distance from the River, and land use. Indicator vulnerability parameters are density of buildings, overcrowding, susceptible age proportion, women and handicapped, total unemployment proportion of and education levels. Risk level of landslide disaster divided into moderate risk, high risk and extremely high. To provide the land use based on landslide disaster mitigation, firstly ran the analysis function process of region and the result were divided into three areas: conservatory, buffers and cultivation. Then, from each region, the appropriate analyzes of land use were done for each area function. Next up is integration process of the risk levels of landslide due to land use based on its function through the overlay process. The result found the land use for conservatory with the risk level of landslide was absolute for conservation areas. Buffers area for Landslide disaster risk levels were directed to forest production, public forest or cultivation of an annual plants. The agricultural cultivation moderate risks were maintained by applying the land rehabilitation concept while to high risk land the conservation was done. Non-agricultural cultivation area (settlements) on moderate to high risk had conducted surveillance and building control and dissemination of community disaster response. For the non agriculture cultivation (residential) extremly high risk was directed to the relocation of by giving intensif-disintensif.
Key Words: Risk, Landslide, Landuse function, Mitigation
Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Juli 2013 1
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
PENDAHULUAN
Meningkatnya intensitas bencana longsor yang melanda beberapa daerah di wilayah Indonesia, sering dikaitkan dengan eksploitasi berlebihan di kawasan hulu dari sistim daerah aliran sungai (DAS). Masalah yang disebabkan ketidak seimbangan penggunaan lahan dengan daya dukung lahan, baik kawasan budidaya non pertanian maupun kawasan budidaya pertanian yang mengakibatkan gangguan ekologis. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir yaitu tahun 2001 hingga 2011 telah terjadi 4(empat) bencana longsor besar di Indonesia pada kawasan DAS. Dominasi penyebab terjadinya bencana longsor adalah karena penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan.
Kendati sampai saat ini belum pernah terjadi bencana tanah longsor besar yang mengakibatkan korban jiwa dan material, namun jika melihat fakta yang terjadi pada beberapa DAS Hulu yang telah mengalami bencana longsor, tidak ada jaminan jika DAS Lesti tidak akan mengalami hal serupa. Perubahan guna lahan yang tidak sesuai dengan fungsi kawasan DAS Lesti akan menyebabkan membesarnya ancaman resiko bencana, khususnya bencana tanah longsor. Untuk menyikapi terdapatnya potensi bahaya longsor sangat perlu adanya kajian penatagunaan lahan berbasis mitigasi bencana dalam setiap perencanaan pola ruang suatu kawasan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk menetahui tingkat resiko bencana longsor di wilayah studi yaitu DAS Lesti dan memberikan penatagunaan lahan berbasis mitigasi bencana longsor pada DAS Lesti.
METODE PENELITIAN
Metode analisis yang digunakan ditinjau dari teori, hasil review dari penelitian sebelumnya maupun sumber lainnya yaitu: a. Analisis Deskriptif
- Analisis Potensi Bahaya- Analisis Kerentanan Bencana- Analisis Tingkat Resiko Bencana longsor,
dengan melakukan overlay anatara potensi bahaya dengan kerentanan bencana.
- Analisis Fungsi Kawasan
b. Analisis Perskriptif- Analisis Guna Lahan Berdasarkan Fungsi
Kawasan- Integrasi Tingkat resiko bencana longsor
dengan guna lahan berdasarkan fungsi kawasan
Dari dua jenis analisis diatas akan menghasilkan penatagunaan lahan berbasis mitigasi bencana longsor di DAS Lesti.Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
Tabel 1. Variabel Penelitian
2 Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Deleniasi Wilayah StudiSecara umum wilayah penelitian adalah DAS Lesti, namun mengingat terlalu luasnya wilayah DAS Lesti maka diperlukan pemilihan wilayah yang lebih spesifik untuk menjadi prioritas penelitian. Pemilihan wilayah prioritas penilitian dilakukan menggunakan :a. Surat Keputusan Menteri Pertanian No.
837/KPTS/UM/II/1980 dan No. 683/Kpts/UM/II/1981 untuk menentukan daerah kritis.
Gambar 2. Kawasan Kritis Das Lesti
b. Deleniasian aliran DAS Lesti yang utama menggunakan software AVSWAT 2000
Gambar 3. Deliniasi DAS Lesti
c. Dari dua proses diatas, maka kesimpulan yang diambil adalah wilayah prioritas penilitian adalah kawasan hulu DAS Lesti dengan pertimbangan merupakan daerah
Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013 3
Gambar 1 Diagram Alir Penelitian
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
dengan kemiringan lereng lebih dari 15 % dan merupakan daerah konservasi (RTRW Kabupaten Malang 2008-2028) yang didefinisikan sebagai kawasan kritis (agak kritis, kritis, sangat kritis) menurut hasil pembobotan.
Gambar 4. Administrasi Wilayah Studi
2. Karakteristik Wilayah StudiWilayah penelitian merupkan kawasan hulu DAS Lesti dengan luas total 19883,93 Ha. Wilayah studi masuk kedalam 3 wilayah administrasi Kecamatan yaitu, Kecamatan Poncokusumo, Kecamatan Wajak, dan kecamatan Turen. Tidak semua wilayah di kecamatan tersebut merupakan bagian dari wilayah studi,hanya yang didapat dari hasil pembobotan dan deleniasi meliputi:a. Kecamatan Poncokusumo: Desa Ngadas,
Poncokusumo, Pandansari, Ngadireso, Dawuhan, Sumberejo, Karangayar.
b. Kecamatan Wajak: Desa Patok picis, Bambang, Wonoayu, Sumberputih, Dadapan, Bringin, Blayu, Codo, Wajak, Sukolilo, Sukoanyar.
c. Kecamatan Turen: Desa Turen, Tanggung, Pedegangan, Sanankerto, Sananrejo,Talangsuko, Tampakrenteng, Kedok, Jeru.
3. Karakteristik FisikSecara geografis wilayah studi terletak di daerah hulu dari DAS Lesti yang merupakan deretan perbukitan Gunung Semeru, dimana kondisinya relatif terjal dan sangat curam dengan
kelerangan mencapai > 50%. Kondisi topografi rata-rata wilayah penelitian ±300 m dpl sampai dengan ±3.675 m dpl. Jenis tanah yang mendominasi wilayah studi adalah latosol coklat kemerahan. Kedalaman efektif tanah di wilayah studi di dominasi dengan kedalaman diatas 90 cm, sebagian besar wilayah studi didominasi oleh tekstur tanah halus. Kondisi iklim di wilayah penelitian berdasarkan data peta BPPROV Jawa timur, memiliki rata-rata curah hujan tahunan antara 1500 – 2500 mm tahun.
4. Karakteristik Penggunaan LahanPenggunaan lahan pada wilayah studi berdasarkan RTRW Kabupaten Malang Tahun 2008-2028 cukup bervariasi, meliputi:
Tabel 2. Guna Lahan Wilayah Studi
Gambar 5. Peta Guna Lahan Wilayah Studi
5. Asumsi Saat Terjadi LongsorAnalisa berikut bertujuan untuk memprediksi daerah yang terkena dampak bencana tanah longsor aliraan bahan rombakan karena bencana longsor pada kondisi eksisting belum pernah terjadi dalam skala besar. Asumsi ini diperkuat dengan menggnakan software SINMAP yang merupakan ekstensi dari ArcView
4 Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
GIS. Kelebihan softwere ini adalah mampu mengidentifikasi wilayah rawan longsor dengan melihat stabil atau tidaknya tanah di suatu wilayah. Selain itu, SINMAP ini juga mampu menterjemahkan wilayah tingkat kelembaban tanahnya. Data yang digunakan adalah data ketinggian atau Data Elevation Model (DEM) yang berupa data raster.
Gambar 6. Peta Indeks Stabilitas Tanah menggunakan SINMAP
Gambar 7. Peta Kelembapan Tanah Menggunakan SINMAP
Untuk klasifikasi tingkat kelembapan tanah (Saturation) semakin ke bawah semakin lembab, dan untuk tingkat kestabilan tanah
(Stabilty Index), semakin ke bawah semakin tidak stabil.
6. Analisis Potensi bahayaAnalisa potensial bahaya berfungsi untuk mengetahui daerah di wilayah studi yang memiliki potensi besar terkena bahaya dari factor fisik dasar dan fisik binaan. Variabel yang digunakan dalam analisis potensi bahaya merupakan variable fisik yang tidak bisa dirubah keberadaanya oleh manusia dan guna lahan.Variabel yang digunakan untuk proses analisis potensi bahaya ini adalah, curah hujan, jenis tanah, kelerengan, jarak dengan sungai dan penggunaan Lahan.
Tabel 3. Klasifikasi Curah Hujan
Tabel 4. Klasifikasi Jenis Tanah
Tabel 5. Klasifikasi Kelerengan
Tabel 6. Jarak Dari Sungai
Tabel 7. Klasifikasi Guna Lahan
Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013 5
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
Berdasarkan total nilai yang ada pada tiap variable potensial bencana (hazard) di dapatkan rentang nilai 5 – 25 yang kemudian diklasifikasikan dengan konsep pembagian interval ke dalam 5 klasifikasi potensi bahaya.
Tabel 8. Klasifikasi Potensi bahaya
Dari klasifikasi kerentanan pada tabel 8 maka menghasilkan peta tingkat kerentanan bencana seperti pada gambar 8.
Gambar 8. Peta Potensi bahaya Wilayah Studi
7. Analisis Tingkat Kerentanan BencanaAnalisa kerentanan berfungsi untuk menentukan daerah yang rentan terhadap bencana tanah longsor. Indikator yang digunakan pada tiap-tiap aspek adalah kepadatan bangunan indikator pada aspek lingkungan, kepadatan penduduk, proporsi jumlah balita dan usia tua, proporsi jumlah wanita dan penyandang cacat, tingkat pendidikan merupakan indikator pada aspek sosial, dan Proporsi jumlah pengangguran merupakan indikator aspek ekonomi.
Tabel 9 Klasifikasi Kepadatan Bangunan
Tabel 10. Klasifikasi Kepadatan Penduduk
Tabel 11. Proporsi Jumlah Usia Rentan
Tabel 12. Proporsi Jumlah Wanita dan Penyandang Cacat
Tabel 13. Proporsi Jumlah Pengangguran
Tabel 14. Tingkat Pendidikan
Berdasarkan total nilai yang ada pada tiap variable tingkat kerentanan (Vulnerrability) di dapatkan rentang nilai 6 – 30 yang kemudian diklasifikasikan dengan konsep pembagian interval ke dalam 5 klasifikasi tingkat kerentanan.
Tabel 15. Klasifikasi Kerentanan
6 Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
Dari klasifikasi kerentanan pada tabel 15 maka menghasilkan peta tingkat kerentanan bencana seperti pada gambar 9.
Gambar 9. Peta Kerentanan
8. Tingkat Resiko BencanaPenentuan daerah beresiko bencana tanah longsor di aliran DAS Lesti hulu dilakukan dengan menggabungkan antara hasil scoring dari analisa potensi bahaya dengan hasil analisa tingkat kerentanan bencana.
Tabel 16 Klasifikasi Tingkat Resiko
Kemudian berdasarkan table diatas,
didistribusikan kedalam matriks hasil dari adaptasi Departement of Education and Children’s Services ,Goverentmen of South Australia (2006), maka klasifikasi resiko yang akan digunakan pada penelitian ini akan menjadi: empat kelas yaitu:
Berdasarkan hasil analisis menggunakan matriks penilaian resiko diatas, maka Luasan mengenai daerah beresiko bencana adalah :
Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013 7
Gambar 10. Peta Resiko Fisik Wilayah Studi
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
Tabel 17 Luasan Resiko Wilayah Studi
Tabel 18 Prosentase Tingkat Resiko
Gambar 11 Grafik Prosentase Tingkat Resiko
9. Analisis Fungsi KawasanAnalisis fungsi kawasan digunakan untuk mengetahui fungsi kawasan dari suatu wilayah berdasarkan kondisi fisik yang terdiri dari 3 buah variabel yaitu jenis tanah, kelerengan dan curah hujan. Peraturan yang digunakan untuk analisis fungsi kawasan adalah SK menteri pertanian No, 837/Kpts/UM/II/1980 dan No, 683/Kpts/UM/II/1981 Tentang Kriteria Dan Tata Cara Penetapan Hutan Lindung Dan Hutan Produksi. Penelitian ini menggunakan metode analisis fungsi kawasan untuk menentukan daerah mana yang mempunyai fungsi kawasan sebagai berikut:
Tabel 20. Luas Fungsi Kawasan Menurut Permentan No. 837/Kpts/UM/II/1980
Gambar 12 Prosentase Fungsi Kawasan
Gambar 13 Peta Fungsi Kawasan
10. Analisis Guna Lahan Sesuai Fungsi KawasanBerdasarkan hasil yang didapatkan dari analisis fungsi kawasan, dimana wilayah studi dibagi kedalam 3 fungsi kawasan yaitu, kawasan lindung, kawasan penyangga, dan kawasan budidaya kemudian pada masing-masing kawasan akan dikaji berdasarkan peraturan/ pedoman yang terkait dengan penggunaan lahanya, sehingga akan menghasilkan keluaran berupa guna lahan ideal di wilayah studi.
a. Berdasarkan hasil analisis fungsi kawasan pada wilayah studi, kawasan lindung ditetapkan dengan luas 3275,64 Ha atau sebesar 16,47 %, dengan guna lahan mutlak sebagai hutan lindung. Kriteria penentuan kawasan lindung ini mengacu kepada peraturan perundangan yang berlaku, dalam hal ini Keppres No. 32 Tahun 1990.
b. Berdasarkan hasil analisis untuk kawasan sempadan sungai, maka didapatkan luas kawasan sempadan sungai utama di wilayah studi adalah
8 Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
1122,88 Ha atau sebesar 5,6% dari total seluruh wilayah studi. Kriteria penentuan kawasan sempadan sungai ini mengacu kepada Peraturan Menteri PU No.63 Tahun 1993.
c. Kawasan penyangga merupakan kawasan yang berfungsi sebagai jembatan penghubung antara kawasan lindung dengan kawasan budidaya memiliki luas sebesar 4677,24 Ha atau sebesar 23,52 % dari seluruh luas wilayah studi. Guna lahan pada kawasan penyangga di wilayah studi diarahkan kepada guna lahan hutan produksi. Kriteria penentuan kawasan budidaya mengacu kepada Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 683/Kpts/UM/II/1981 tentang kawasan hutan produksi.
d. Kawasan budidaya merupakan wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan. Kawasan budidaya memiliki luas sebesar 11931,31 Ha atau sebesar 60,1 % dari seluruh luas wilayah studi. Dari hasil analisis guna lahan kawasan pertanian lahan basah didapat luasan lahan yang sesuai adalah 1547,63 Ha atau sebesar 7,78% dari luas total wilayah studi. Luasan untuk pertanian lahan kering 5665,33 Ha atau seluas 28,49% dari luas total wilayah studi. Luas lahan yang sesuai untuk tanaman tahunan adalah 3060,08 Ha atau seluas 15,39% dari luas total wilayah studi. Dan luas lahan yang sesuai untuk permukiman adalah sekitar 1658,27 Ha atau sebesar 8,34% dari luas total wilayah studi. Kriteria penentuan kawasan budidaya mengacu kepada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kriteria Teknis Kawasan Budidaya
Gambar 14 Peta Rekomendasi Guna Lahan Berdasarkan Fungsi Kawasan
11. Penatagunaan Lahan Berbasis Mitigasi Bencana Longsor di DAS Lesti
Untuk menghasilkan arahan penatagunaan lahan berbasis mitigasi bencana longsor di DAS Lesti, maka dilakukan proses overlay antara kajian tingkat resiko bencana longsor dengan rekomendasi guna lahan berdasarkan fungsi kawasan yang telah dilakuakan pada tahap sebelumnya. Hal ini dimaksudkan karena rekomendasi penggunaa lahan berdasarkan fungsi kawasan merupakan guna lahan pada kondisi normal, belum terintegrasi dengan resiko bencana longsor.
a. Kawasan LindungKawasan lindung memiki luas 3275,64 Ha atau sebesar 16,47 %. Arahan untuk kawasan lindung antara lain:
Peningkatan dan menjaga fungsi hutan sebagai area resapan air sehingga dapat mengurangi bencana longsor
Peningkatan fungsi lindung pada area yang telah mengalami alih fungsi melalui pengembangan vegetasi (reboisasi) tegangan tinggi yang mampu memberikan perlindungan terhadap permukaan tanah dan mampu meresapkan air
Membatasi secara tegas pertumbuhan areal pemukiman pada kawasan hutan lindung, diikuti pengawasan yang ketat, kemudian dilakukan relokasi secara bertahap dengan memberikan intensif dan disintensif
Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013 9
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
Gambar 15 Penanganan Kawasan Konservasi dan Rawan Longsor
(Sumber: RTRW Kabupaten Malang 2008-2028)
b. Kawasan PenyanggaKawasan penyangga seluas 4677,24 Ha atau sebesar 23,52 %. Kawasan penyangga merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai penopang keberadaan kawasan lindung sehingga fungsi lindungnya tetap terjaga. Kawasan penyangga merupakan transisi antara kawasan lindung dan kawasan
budidaya. Kawasan penyangga memiliki fungsi penting sebagai kawasan konservasi yang juga bermanfaat dalam segi ekonomi untuk masyarakat serta sebagai upaya rehabilitasi lahan-lahan kritis. Arahan Untuk Kawasan Penyangga antara lain :
Kawasan penyangga dengan kondisi eksisting berupa kawasan non hutan dengan kemiringan lahan 8-25% diarahkan untuk pengembangan pertanian tanaman tahunan seperti buah-buahan, antara lain: alpukat, durian, dan lain-lain. Kebun Campuran (Talun Kebun), dengan mengkombinasikan tanaman kayu-kayuan, buah-buahan, dan tumpangsari dengan tanaman pangan (garut, huwi, gembili, dll).
Kawasan penyangga dengan kondisi eksisting berupa kawasan non hutan dengan kemiringan lahan >25% diarahkan untuk pengembangan kebun campuran (talun kebun), yaitu suatu sistem pertanian hutan tradisional dimana dalam sebidang tanah ditanami berbagai macam
10 Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013
Gambar 16. Peta Penatagunaan Lahan Berbasis Mitigasi Bencana Longsor di DAS Lesti pada Kawasan Lindung
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
tanaman yang diatur secara spasial dan temporal, Tanaman buah-buahan dan tahunan seperti: cengkih, kopi, alpukat, dan durian dibudidayakan bersama berbagai tanaman kayu-kayuan dan tanaman pangan lainnya.
Kawasan penyangga dengan kondisi eksisting berupa kawasan hutan dengan kemiringan >25-45% diarahkan tanaman jati dan pinus saat ini perlu dibarengi dengan penanaman konservasi berupa tanaman leguminosa seperti kaliandra, lamtoro, dan gliricida serta Sengon laut dengan metode Pertanaman Berganda (multiple Cropping) yang ditanam dengan jarak 10-25 cm.
C. Kawasan Budidaya kawasan budidaya seluas 11931,31 Ha atau sebesar 60,1 %dari seluruh luas wilayah studi. Kawasan budidaya adalah kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi
sumberdaya alamnya. Kawasan budidaya dibedakan menjadi kawasan budidaya pertanian lahan basah, pertanian lahan kering, tanaman tahunan dan kawasan budidaya non pertanian. Arahan untuk kawasan budidaya antara lain:
Pertahankan hutan sebagai area resapan air sehingga dapat mengurangi bencana longsor. Dapat juga berperan sebagai hutan produksi/hutan rakyat denagn menggunakan sistem tebang pilih
Guna lahan berupa semak belukar dapat dimanfaatkan lahanya untuk dilakukan penanaman tanaman tahunan atau hutan rakyat yang lebih menghasilkan dari segi ekonominya.
Mengganti jenis tanaman yang dibudidaya dan tanaman semusim menjadi tanaman tahunan dalam jangka waktu panjang/bertahap;
Untuk meningkatkan kesuburan tanah, maka perlu tindakan konservasi berupa penanaman rumput hijauan pakan ternak (HPT) berupa rumput gajah yang ditanam secara strip croping membentuk pagar menurut kontur.
Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013 11
Gambar 17. Peta Penatagunaan Lahan Berbasis Mitigasi Bencana Longsor di DAS Lesti pada Kawasan Penyangga
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
Teknik penanaman ini dapat mencegah aliran permukaaan dan erosi, sehingga secara lambat laun akan terbentuk teras bangku secara alami.
Untuk guna lahan permukiman dengan tingkat resiko bencana tinggi adalah dengan relokasi dan penertiban permukiman dan bangunan secara bertahap dengan dua cara yaitu penduduk mencari sendiri tempat untuk pindah, maka penduduk akan menerima uang ganti rugi untuk tanah, rumah, bangunan lain yang ada, dan tanaman budidaya sebagi intesifnya, atau penduduk pindah di lokasi permukiman kembali (resetlement) yang disediakan oleh pemerintah tanpa mendapat uang ganti rugi.
KESIMPULAN
1. Tingkat Resiko Bencana Longsor di Wilayah Studi
Tingkat resiko bencana longsor di wilayah studi terbagi ke dalam 3 tingkat yaitu
resiko sedang, resiko tinggi dan resiko sangat tinggi. Resiko sedang merupakan tingkatan yang dominan di wilayah studi dengan luas wilayah mencapai 13726,41 Ha atau sebesar 69,03% dari luas total wilayah studi. Sedangkan resiko tinggi memiliki luas 5904,61 Ha atau sebesar 29,70 % dari luas total wilayah studi. Resiko sangat tinggi merupakan Tingkatan terkecil di wilayah studi dengan luas 252,94 Ha atau sebesar 1,27 % dari luas total wilayah studi
Kecamatan Poncokusumo yang masuk ke dalam wilayah studi memiliki luas wilayah 9379,85 Ha dengan tingkat resiko sedang seluas 6267,1 Ha atau sebesar 31,52 % dari luas total wilayah studi, tingkat resiko tinggi seluas 3108,28 Ha atau sebesar 15,63% dari luas total wilayah studi dan tingkat resiko sangat tinggi seluas 4,47 Ha atau sebesar 0,02% dari luas total wilayah studi.
Kecamatan Wajak yang masuk ke dalam wilayah studi memeiliki luas wilayah 8223,21 Ha dengan tingkat resiko sedang seluas 5832,55 Ha
atau sebesar 29,33 % dari luas total wilayah studi, tingkat resiko tinggi seluas 2191,46 Ha atau sebesar 11,02 % dari luas total wilayah studi dan tingkat resiko sangat tinggi seluas
12 Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013
Gambar 18. Peta Penatagunaan Lahan Berbasis Mitigasi Bencana Longsor di DAS Lesti pada Kawasan Budidaya
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
199,2 Ha atau sebesar 1 % dari luas total wilayah studi.
Kecamatan Turen yang masuk ke dalam wilayah studi memeiliki luas wilayah 2280,9 Ha dengan tingkat resiko sedang seluas 1626,76 Ha atau sebesar 8,18 % dari luas total wilayah studi, tingkat resiko tinggi seluas 604,87 Ha atau sebesar 3,04 % dari luas total wilayah studi dan tingkat resiko sangat tinggi seluas 49,27 Ha atau sebesar 0,25% dari luas total wilayah studi.
2. Penatagunaan Lahan Berbasis Mitigasi Bencana Longsor
Pada Kawasan lindung, dengan tingkat resiko sedang hingga tinggi penggunaan lahan yang mutlak adalah berupa hutan lindung, sehingga arahanya adalah mempertahankan eksisting guna lahan hutan,melakukan konversi pada guna lahan eksisting pada kawasan lindung berupa permukiman, pertanian lahan kering menjadi hutan produksi atau tanaman tahunan agar tetap bisa bermanfaat bagi masyarakat dari segi ekonomi tetapi tidak menghilangkan fungsi utamanya sebagai kawasan konservasi/lindung.
Pada Kawasan Penyangga, dengan tingkat resiko sedang hingga tinggi penggunaan lahan yang diperbolehkan adalah berupa hutan rakyat/ hutan produksi/ budidaya tanaman tahunan. Sehingga arahan yang diberikan adalah mempertahankan eksisting hutan, tanaman tahunan dan melakukan konversi pada guna lahan eksisting pada kawasan lindung berupa permukiman, pertanian lahan kering menjadi hutan produksi atau tanaman tahunan agar tetap bisa bermanfaat bagi masyarakat daari segi ekonomi tetapi tidak menghilangkan fungsi utamanya sebagai kawasan konservasi/lindung.
Pada Kawasan Budidaya, dengan tingkat resiko sedang hingga sangat tinggi penggunaan lahan yang diperbolehkan adalah budidaya pertanian dan non pertanian. Namun untuk kawasan budidaya dengan kondisi eksisting berupa budidaya pertanian baik itu lahan kering,atau basah dengan tingkat resiko tinggi maka diarahkan untuk dilakukan kegiatan konservasi menjadi budidaya tanaman tahunan dengan maksud tidak menghilangkan manfaat ekonomi dari lahan tersebut namun juga memeberikan manfaat sebagai kawasan lindung. Untuk tingkat resiko sedang, guna lahan yang ada baik itu budidaya pertanaian maupun non pertanian dapat dipertahankan dengan menerapkan sistem rehabilitasi lahan. Untuk
kawasan permukiman, dengan tingkat resiko tinggi dilakukan konversi lahan secara bertahap dan diawali dengan memeberikan pelatihan akan kesiapsiagaan terhadap bencana, pengertian akan bencana dengan harapan masyarakat sadar akan tanggap bencana.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2008. Metode Pemetaan Resiko Bencana Provinsi DIY.BAPPENAS, BAPEDA DIY, UNDP
Anonim, 2006. Matriks of Risk. Departement of Education and Children’s Services ,Goverentmen of South Australia
Anonim, 2011. Kecamatan Poncokusumo Dalam Angka. BPS Kabupaten Malang
Anonim, 2011. Kecamatan Wajak Dalam Angka. BPS Kabupaten Malang
Anonim, 2011. Kecamatan Turen Dalam Angka. BPS Kabupaten Malang
Anonim, 2007. Penyusunan Dan Analisis Data Informasi Perencanaan Pembangunan Kawasan Rawan Bencana Alam Di Kabupaten Malang. Pemerintah Kabupaten Malang
Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana Dan Penanganan Pengungsi (BAKORNAS PBP).2005. Modul Penilaian Resiko. Lokakarya Manajemen Kedaruratan Dan Perencanaan Kontinjensi.
BP DAS Brantas. 2003. Rencana Teknik dan Lapangan rehabilitasi lahan dan Konservasi Tanah. BP DAS Brantas: Surabaya
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/UM/II/1980 dan 683/Kpts/UM/8/1981 tentang Kriteria dan Tata Cara Penetapan kawasan Lindung dan Budidaya
Paimin, Sukresno dan Irfan Budi Utomo.2009. Teknik Mitigasi Banjir dan Tanah Longsor.Pusat penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Indonesia: Tropenbos International Indonesia Programme.
Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013 13
PENATAGUNAAN LAHAN BERBASIS MITIGASI BENCANA LONGSOR DI HULU DAS LESTI
Pemerintah Kabupaten Malang. 2008. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Malang 2008-2028. Bappeda: Malang
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kawasan Bencana Longsor
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 41/PRT/M/2007 tentang Pedoman Kawasan Budidaya
Puji Lestari, Anggi. 2011. Pemintakatan Resiko Bencana Banjir Bandang di Wilayah Kaliputih dan Dinoyo Kabupaten Jember. Skripsi. Tidak Diterbitkan: Surabaya: Fakultas Teknik Institut 10 Nopember
14 Planning for Urban Regional and Environment Volume 2, Number 3, Maret 2013