jurnal praktikum ilmu lingkungan: degradasi kearifan lokal sistem pertanian suku dayak desa pampang

8
DEGRADASI KEARIFAN LOKAL SISTEM PERTANIAN SUKU DAYAK DI DESA BUDAYA ADAT PAMPANG, KALIMANTAN TIMUR Oleh: Agnes Rezkyta Herwang Dani, Bina Christyanti Panggabean, Fitri Handayani dan Harly Prasetia Kristanto Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Mulawarman, Samarinda ABSTRAK Suku Dayak merupakan salah satu suku asli di Kalimantan Timur. Dalam melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya suku Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan. Hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun-temurun dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok. Persentuhan yang mendalam antara suku Dayak dengan hutan pada gilirannya melahirkan apa yang disebut sistem perladangan, yakni bentuk model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan. Bahkan sistem perladangan itu telah menjadi salah satu ciri pokok kebudayaan suku Dayak. Namun, kearifan lokal ini sendiri telah mengalami degradasi yang disebabkan oleh masuknya sistem perladangan dari suku lain. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana masyarakat suku Dayak mengadopsi sistem pertanian masyarakat pendatang, mengetahui perbandingan sistem pertanian suku Dayak dengan masyarakat pendatang di desa Pampang dan mengetahui perbandingan sistem pertanian suku Dayak sebelum dan sesudah terjadinya modernisasi. Metode penelitian ini dilakukan dengan observasi, wawancara (interview) dan kajian pustaka. Observasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung sistem pertanian yang digunakan suku Dayak di desa Pampang, wawancara dilakukan untuk mengetahui perubahan sistem pertanian yang terjadi dalam masyarakat suku Dayak pada usia 35-45 tahun, >50 tahun dan masyarakat suku lain di desa Pampang selama bulan Oktober hingga November. Analisis data dilakukan dengan membandingkan data yang didapat dengan literatur-literatur yang ada. Hasil penelitian yang didapat adalah sistem pertanian suku Dayak telah mengalami degradasi yang signifikan dimana hampir seluruh generasi muda sudah mengadopsi sistem pertanian yang dibawa oleh masyarakat pendatang sedangkan generasi tua masih mempertahankan sistem pertanian yang diwariskan oleh leluhurnya. Kata kunci: Desa Pampang, Suku Dayak, Sistem Pertanian, Degradasi Kearifan Lokal ABSTRACT Dayak tribe is one of the native tribes in East Kalimantan. In the create and maintain his life Dayak tribe could not be separated by woods. The forest is an area that blends in with them as an ecosystem. In addition the forest has become the hereditary and their habitat from the forest they acquire basic life resources. Transmission between the deep forest with Dayak tribe in turn gave birth to the so-called system fields, i.e. the form of the model traditional wisdom in the management of the forest. Even fields that system has become one of the principal characteristics of Dayak culture. However, local wisdom itself has suffered degradation caused by the entry of the system fields from other tribes. This research was conducted aiming to find out the extent of the Dayak community to

Upload: mulawarman-university

Post on 25-Dec-2014

1.522 views

Category:

Education


3 download

DESCRIPTION

Jurnal Akhir Praktikum Ilmu Lingkungan Jurusan Biologi Universitas Mulawarman, Samarinda, Kalimantan Timur

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Praktikum Ilmu Lingkungan: Degradasi Kearifan Lokal Sistem Pertanian Suku Dayak Desa Pampang

DEGRADASI KEARIFAN LOKAL SISTEM PERTANIAN SUKU DAYAK DIDESA BUDAYA ADAT PAMPANG, KALIMANTAN TIMUR

Oleh:Agnes Rezkyta Herwang Dani, Bina Christyanti Panggabean, Fitri Handayani dan

Harly Prasetia KristantoJurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas

Mulawarman, Samarinda

ABSTRAKSuku Dayak merupakan salah satu suku asli di Kalimantan Timur. Dalam

melangsungkan dan mempertahankan kehidupannya suku Dayak tidak dapat dipisahkan dengan hutan. Hutan merupakan kawasan yang menyatu dengan mereka sebagai ekosistem. Selain itu hutan telah menjadi kawasan habitat mereka secara turun-temurun dan dari hutan tersebut mereka memperoleh sumber-sumber kehidupan pokok. Persentuhan yang mendalam antara suku Dayak dengan hutan pada gilirannya melahirkan apa yang disebut sistem perladangan, yakni bentuk model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan. Bahkan sistem perladangan itu telah menjadi salah satu ciri pokok kebudayaan suku Dayak. Namun, kearifan lokal ini sendiri telah mengalami degradasi yang disebabkan oleh masuknya sistem perladangan dari suku lain. Penelitian ini dilakukan bertujuan untuk mengetahui sejauh mana masyarakat suku Dayak mengadopsi sistem pertanian masyarakat pendatang, mengetahui perbandingan sistem pertanian suku Dayak dengan masyarakat pendatang di desa Pampang dan mengetahui perbandingan sistem pertanian suku Dayak sebelum dan sesudah terjadinya modernisasi.

Metode penelitian ini dilakukan dengan observasi, wawancara (interview) dan kajian pustaka. Observasi dilakukan dengan cara pengamatan langsung sistem pertanian yang digunakan suku Dayak di desa Pampang, wawancara dilakukan untuk mengetahui perubahan sistem pertanian yang terjadi dalam masyarakat suku Dayak pada usia 35-45 tahun, >50 tahun dan masyarakat suku lain di desa Pampang selama bulan Oktober hingga November. Analisis data dilakukan dengan membandingkan data yang didapat dengan literatur-literatur yang ada.

Hasil penelitian yang didapat adalah sistem pertanian suku Dayak telah mengalami degradasi yang signifikan dimana hampir seluruh generasi muda sudah mengadopsi sistem pertanian yang dibawa oleh masyarakat pendatang sedangkan generasi tua masih mempertahankan sistem pertanian yang diwariskan oleh leluhurnya.

Kata kunci: Desa Pampang, Suku Dayak, Sistem Pertanian, Degradasi Kearifan Lokal

ABSTRACTDayak tribe is one of the native tribes in East Kalimantan. In the create and

maintain his life Dayak tribe could not be separated by woods. The forest is an area that blends in with them as an ecosystem. In addition the forest has become the hereditary and their habitat from the forest they acquire basic life resources. Transmission between the deep forest with Dayak tribe in turn gave birth to the so-called system fields, i.e. the form of the model traditional wisdom in the management of the forest. Even fields that system has become one of the principal characteristics of Dayak culture. However, local wisdom itself has suffered degradation caused by the entry of the system fields from other tribes. This research was conducted aiming to find out the extent of the Dayak community to

Page 2: Jurnal Praktikum Ilmu Lingkungan: Degradasi Kearifan Lokal Sistem Pertanian Suku Dayak Desa Pampang

adopt farming systems community of immigrants, know of Dayak agriculture system comparisons with communities of immigrants in Pampang village and know of Dayak agriculture system comparisons before and after the onset of modernization.

This research was conducted with methods of observation, interview (interview) and review of the literature. Observation done by direct observation of agricultural systems that are used in Dayak villages Pampang, interviews conducted to know the change of the agricultural system which occurred in Dayak society at the age of 35-45 years old, 50 years old and society > other tribes in the village of Pampang during October and November. Data analysis is conducted by comparing the data obtained with the existing literature-literature.

The research results obtained are of Dayak agriculture system has experienced a significant degradation in which almost the entire younger generation already adopted the agricultural system brought in by the community of immigrants while the older generation still maintains agricultural system inherited by the parent.

Keywords: Pampang Village, Dayak tribe, Farming System, Degradation of Local Wisdom

Page 3: Jurnal Praktikum Ilmu Lingkungan: Degradasi Kearifan Lokal Sistem Pertanian Suku Dayak Desa Pampang

A. PENDAHULUANSistem pendayagunaan sumber daya

hutan pada setiap daerah dan suku mempunyai karakteristik yang khas. Perbedaan ini pada akhirnya juga akan mempengaruhi segala kegiatan atau aktifitas manusia dalam hidupnya. Dengan demikian tidak heran jika dijumpai pola kehidupan maupun perilaku yang berlainan di setiap suku. Pemahaman pengetahuan masyarakat lokal tentang tata ruang bertujuan untuk mengetahui tingkat strategi adaptasi masyarakat terhadap kondisi lingkungan yang ada di sekitarnya. Selain itu pemahaman ini juga untuk mengidentifikasi aktifitas masyarakat dan menilai pengaruhnya terhadap kondisi lingkungan. Selanjutnya kita dapat pula melihat bagaimana masyarakat mengelola dan memanfaatkan lingkungannya tersebut. Karena sering ditemukan sistem manajemen sumber daya tradisional justru berjalan baik dan efektif dalam penyelamatan lingkungan khususnya pencegahan degradasi kawasan hutan (Hendra, 2009).

Sistem perladangan tidak dapat dipisahkan dari keberadaan Suku Dayak dan bahkan dapat dikatakan sistem perladangan merupakan identitas kunci yang dimiliki Suku Dayak Kalimantan Timur. Sistem perladangan yang dilaksanakan oleh Suku Dayak ternyata mengandung nilai-nilai ritual dan religi serta selaras dengan prinsip-prinsip konservasi modern.

Namun, sayang dimasa sekarang ini sistem pertanian suku Dayak mengalami degradasi, kebanyakan masyarakat suku Dayak mengadopsi sistem pertanian dari masyarakat pendatang. Oleh karena itu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui sejauh mana masyarakat suku Dayak mengadopsi sistem pertanian masyarakat pendatang.

B. PENDAYAGUNAAN HUTAN

Pentingnya peran masyarakat dibuktikan melalui perubahan paradigma pengelolaan sumber daya hutan di beberapa negara. Hal serupa terjadi di Indonesia paska reformasi dimana dalam sistem pengelolaan sumber daya hutan yang baru masyarakat lokal ditempatkan sebagai pelaku utama. Berbagai kajian membuktikan bahwa komunitas masyarakat lokal di Kalimantan melalui kelembagaan adat yang dimilikinya mampu mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan secara berkelanjutan (Anau, 2003; Devung, 1997; Sardjono, 2004). Di Kalimantan keseluruhan sejarah masyarakat Dayak menggantungkan nasibnya pada sumber daya hutan. Sebagai masyarakat yang hidup dalam hutan maka lingkungan membentuk budaya dan kehidupan mereka sehingga terjalin hubungan dengan lingkungan di sekitarnya yang menghasilkan suatu sistem yang komplek dari aspek budaya. Hutan-hutan di sekitar masyarakat lokal sering dikelola dengan ketat dan produktif. Kemampuan masyarakat tradisional tersebut tidak terlepas dari sejumlah kearifan-kearifan lokal yang tidak hanya sekedar dimiliki, namun dengan teguh dipertahankan oleh segenap anggota masyarakatnya (Hendra, 2009).

Masyarakat Dayak dan kelompok masyarakat lokal lainnya yang memiliki pengetahuan tradisional dalam memanfaatkan sumberdaya hutan juga mengalami perubahan budaya. Bagaimanapun, nilai pengetahuan tradisional dari budaya Dayak tetap melekat dalam setiap aspek kehidupannya. Pengetahuan masyarakat lokal ini menyediakan kesempatan yang berharga bagi kita untuk memahami aspek-aspek ekologi lanskap di sekitar mereka. Misalnya sistem perladangan yang mereka lakukan, dapat menyebabkan kerusakan hutan dan lingkungan hidup di sekitarnya atau dapat bersifat lestari. Mengingat adanya

Page 4: Jurnal Praktikum Ilmu Lingkungan: Degradasi Kearifan Lokal Sistem Pertanian Suku Dayak Desa Pampang

pandangan yang tidak tepat mengenai sistem perladangan berpindah yang banyak dilakukan oleh masyarakat Dayak ini. Lebih lanjut sejarah lanskap dapat diketahui dengan baik dan dapat diakses melalui informan-informan lokal. Dimana informasi ini akan membantu kita untuk memahami perubahan lanskap masa lalu dan pola-pola vegetasi masa sekarang dan masa yang akan dating (Hendra, 2009).

C. SISTEM PERLADANGANSistem Perladangan merupakan bukti

kearifan tradisional orang Dayak dalam mengelola sumber daya hutanUkur (dalam Widjono,1995:34), menjelaskan bahwa sistem perladangan merupakan salah satu ciri pokok kebudayaan Dayak. Atas dasar inilah Widjono (1998:77) secara tegas menyatakan bahwa orang Dayak yang tidak bisa berladang boleh diragukan kedayakannya, karena mereka telah tercabut dari akar kebudayaan leluhurnya. Ave dan King (dalam Arman,1994:129), mengemukakan bahwa tradisi berladang (siffting cultivation atau swidden) orang Dayak sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang mereka yang merupakan sebagai mata pencaharian utama. Sellato (1989) dalam Soedjito (1999:115), memperkirakan sistem perladangan yang dilakukan orang Dayak sudah dimulai dua abad yang lalu. Bahkan Mering Ngo (1990), menyebutkan cara hidup berladang di berbagai daerah di Kalimantan telah dikenal 6000 tahun Sebelum Masehi.

Dalam kontek pengelolaan sumber daya hutan berwawasan kearifan tradisional, pada dasarnya dikalangan orang Dayak memiliki cara-cara tertentu dalam memperlakukan kawasan hutan. Menurut Bamba (1996:14), orang dayak memandang alam tidak sebagai asset atau kekayaan melain sebagai rumah bersama. Konsep rumah bersama ini terlihat dalam setiap upacara yang

mendahului kegiatan tertentu yang berkaitan dengan meman-faatkan hutan, dimana selalu terdapat unsur permisi atau minta izin dari penghuni hutan yang akan digarap. Suara burung atau binatang tertentu menjadi sarana komunikasi antara manusia dengan penghuni alam.

Menurut kepercayaan orang Dayak, bilamana dalam aktivitas berladang terutama dalam memilih lakosi yang akan digarap, bilamana menjumpai berbagai macam tanda-tanda, seperti suara burung dan binatang tertentu, maka perlu dilakukan upacara dengan mempersembah sesajen dengan maksud agar roh-roh halus yang memiliki kekuatan gaib tidak mengganggu kehidupan mereka baik secara individu ataupun kelompok dalam melakukan.

Berbagai kepercayaan sebagaimana yang digambarkan tersebut, menandakan bahwa orang Dayak memiliki persentuhan yang mendalam terhadap mitos, yakni suatu kejadian yang dipandang suci, atau peristiwa yang dialami langsung oleh para leluhur, meskipun waktu terjadinya peristiwa itu tidak dapat dipastikan secara historis, namun sejarah kejadian itu bagi orang Dayak berfungsi sebagai norma kehidupan. Pemikiran seperti itu melahirkan suatu persepsi mereka tentang kearifan pengelolaan sumber daya hutan (Widjono, 1995).

Dalam berladang pada suku Dayak umumnya yang menjadi prioritas utama bukan produktivitas tetapi adanya keanekaragaman tanaman yang ditanam. Hal ini dapat dipahami karena suku dayak bersifat subsisten. Keanekaragaman ini diperlakukan dalam semua jenis usaha pertanian termasuk juga dalam usaha kebun karet. Dalam kegiatan berladang yang ditanam tidak hanya tanaman padi, tetapi juga ditanam berbagai jenis sayur-mayur yang umurnya relatif pendekdibandingkan dengan umur padi.

Page 5: Jurnal Praktikum Ilmu Lingkungan: Degradasi Kearifan Lokal Sistem Pertanian Suku Dayak Desa Pampang

Kearifan tradisional melalui penanaman kembali berbagai jenis pohon buah-buahan yang bermanfaat serta berbagai jenis tanaman keras pada bekas ladang ini, menurut Widjono (1998) telah mematahkan mitos tentang peranan orang Dayak dalam merusak lingkungan. Menurut Dove (1988); Mubyarto (1991) dan Widjono (1996:107), ada tiga mitos yang mendasari pikiran para ahli tentang para peladang Dayak ini: pertama para peladang memiliki tanah secara komunal dan mengkonsumsi hasilnya secara komunal pula dan tidak memiliki motivasi untuk melestarikannya, kedua mitos yang selalu menganggap bahwa perladangan merusak hutan dan memboroskan nilai ekonomi hutan, ketiga mitos yang menganggap bahwa sistem ekonomi mereka bersifat subsisten dan terlepas dari ekonomi pasar.

Secara tradisional sistem dan pola pengelolaan sumber daya hutan di Kalimantan masih dapat kita temukan, dimana masing-masing memiliki karakteristik yang belum tentu dapat diduplikasi di tempat lain, misalnya di Kalimantan Barat kita kenal adanya sistem pengelolaan sumber daya hutan yang disebut dengan istilah tembawang, sedangkan di Kalimantan Timur dikenal dengan istilah Simpukng Munan dan ragam simpukng lainnya. Sistem pengelolaan sumber daya hutan oleh orang Dayak tersebut secara ekonomis terbukti mampu memberikan kontribusi untuk pendapatan keluarga sekaligus melestarikan sumber daya hutan.

Berbagai tuduhan yang dialamatkan terhadap mereka sebagai perusak hutan tidaklah beralasan, hal ini karena dalam memanfaatkan hutan sebagai areal ladang peralatan yang digunakan hanyalah mengandalkan kapak dan parang. Berbeda dengan para pemegang HPH yang memobilisasi banyak pekerja dan memanfaatkan teknologi tinggi. Pengelolaan hutan dengan

memanfaatkan teknologi tinggi membuat konsep berladang sebagai salah satu model kearifan suku Dayak semakin tergusur dan nampaknya hal ini hanya akan tinggal menjadi cerita sejarah orang Dayak dalam mengelola sumber daya alam.

D. METODE PENELITIANPenelitian ini dilakukan dalam dua

tahap, yaitu pengumpulan data dan analisis data. Pengumpulan datadilakukan dengan dua cara, yaitu observasi langsung dan wawancara. Observasi, melalui metode ini, dilakukan observasi langsung di Desa Pampang, observasi dilakukan guna melihat langsung sistem pertanian yang digunakan oleh suku Dayak dan suku-suku lain yang bermukim di Desa Pampang.

Wawancara dilakukan untuk mengetahui perubahan sistem pertanian yang terjadi dalam masyarakat suku Dayak yang dipengaruhi oleh masyarakat pendatang. Kualifikasinarasumber ada-lah masyarakat suku Dayak usia 35-45 tahun, masyarakat suku Dayak usia > 50 tahun danmasyarakat pendatang di Desa Pampangyang berprofesi sebagai petani. Dari setiap kategori akan dipilih lima orang secara acak untuk diwawancarai.

Setelah melakukan observasi dan wawancara, maka akan dilanjutkan dengan analisis data. Analisis data dilakukan dengan mendeskripsikan aktifitas suku Dayak di desa Pampang dalam memanfaatkan lahan dan perbandingan sistem perladangan yang diterapkan saat ini dengan sistem perladangan masa lalu serta pengaruh yang ditimbulkan akibat masuknya masyarakat pendatang di desa Pampang. Hasil analisis data akan dikorelasikan dengan literatur-literatur yang telah ada dan ditarik kesimpulan. Pengumpulan dan analisis data ini dilakukan selama bulan Oktober hinggga November 2013.

Page 6: Jurnal Praktikum Ilmu Lingkungan: Degradasi Kearifan Lokal Sistem Pertanian Suku Dayak Desa Pampang

E. HASIL DAN PEMBAHASANSistem pertanian yang asli yang

sudah menyatukan dengan kehidupan masyarakat Dayak di Kalimantan telah diabaikan dengan menggantikannya dengan sistem yang lain yang masih dianggap asing. Pemerintah memandang bahwa sistem perladangan hanyalah merupakan suatu usaha yang membuang-buang tenaga saja di dalam suatu sistem yang tidak menjanjikan apapun. Walaupun ada anggapan yang demikian, namun terhadap kebiasaan yang sudah membudaya dalam kehidupan masyarakat Dayak yang ada di Kalimantan terutama dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang sangat tergantung dari hasil hutan sulit untuk ditinggalkan. Bahkan suku Dayak di Kalimantan menganggap hutan merupakan milik mereka yang paling berharga. Antara mereka dengan hutan telah terintegral secara menyejarah. Maka tak pelak, segala kepercayaan, budaya dan perilaku mereka senantiasa bersentuhan dengan aspek kelestarian belantara (Arkanudin, 2001).

Sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat pendatang di desa Pampang adalah sistem pertanian yang dibawa dari daerah asalnya. Sistem pertanian yang umumnya diterapkan adalah sistem tumpang sari dan monokultur. Namun, yang paling mendominasi sistem pertanian mereka adalah sistem pertanian monokultur.

Letak sistem pertanian yang digunakan oleh masyarakat pendatangterpisah jauh dengan sistem pertanianyang digunakan oleh suku Dayak.Mereka lebih memilih melakukan pertanian didaerah bukit. Tanaman yang biasa mereka tanam adalah jagung, karet, sawit, rambutan, kacang-kacangan, terung, pepaya, singkong, cabai dan salak.

Dari observasi langsung yang dilakukan di lahan pertanian masyarakat pendatang dan wawancara terhadap petani suku Bugis dan Jawa di Desa

Pampang, di dapatkan bahwa sistem pertanian yang diterapkan sangat berbeda dengan sistem pertanian suku Dayak. Masyarakat pendatang menerapkan cara bercocok tanam dari daerah asalnya, misalnya sistemtumpang sari dan monokutur. Sistem pertanian ini lebih menitikberatkan pada produktifitas lahan sehinga taraf perekonomian masyarakat pendatang pun lebih baik.

Sistem pertanian yang diterapkan suku Dayak asli adalah sistem pertanian ladang bergilir. Menurut Arkanudin (2001) salah satu contoh model kearifan tradisional dalam pengelolaan hutan adalah kegiatan sistem perladangan berpindah yang dilakukan oleh orang Dayak di Kalimantan. Menurut Dove (1994) kebudayaan Dayak di Kalimantan memberikan sebuah contoh terbaik di dunia tentang hubungan antara kebudayaan dengan alam, yang tampaknya melestarikan kedua belah pihak. Seperti pada sistem mereka dalam bercocok tanam dengan sistem rotasi dan masa bero panjang. Walaupun sudah seabad usaha dengan ilmu pengetahuan modern khususnya dalam sistem penanaman pangan di dalam proyek-proyek transmigrasi yang ternyata gagal dan tidak ada sistem bercocok tanam yang telah ditemukan yang seberhasil sistem perladangan dalam penyediaan pangan kepada penduduknya serta pelestarian lingkungan hutan tropika.

Sistem ini jugalah yang diterapkan oleh suku Dayak di Desa Pampang. Menurut wawancara yang dilakukan pada masyarakat Dayak usia > 50 tahun, disamping menanam berbagai jenis sayur mayur ditengah ladang, juga mereka menyempatkan diri untuk menanam berbagai jenis pohon buah-buahan di sekitar pondok. Kalau diamati jenis tanaman yang ditanami antara lain timun, gambas, labu, cangkok, sengka, rambutan, karet, pisang dan lain-lain. Pohon-pohon itu juga merupakan

Page 7: Jurnal Praktikum Ilmu Lingkungan: Degradasi Kearifan Lokal Sistem Pertanian Suku Dayak Desa Pampang

sebagai pratanda bahwa hutan tersebut sudah ada yang mengolahnya dan jika orang lain ingin membuka ladang ditempat itu, haruslah minta izin kepada yang pertama kali membuka hutan itu. Kemudian setelah seluruh pentahapan dalam kegiatan berladang itu dilakukan hingga selesai panen, bekas ladang itu sebagiannya mereka tanam kembali dengan pohon karet. Sedangkan bagian lain dibiarkan tumbuh menjadi hutan kembali dengan maksud, suatu saat dapat dibuka kembali menjadi ladang.

Pergiliran lahan perladangan suku dayak terjadi setiap 8-15 tahun. Setelah satu periode perladangan dan lahan bekas ladang telah ditanami berbagai jenis pohon, lahan tersebut akan ditinggalkan dan dibiarkan menjadi hutan kembali. Apabila lahan tersebut dianggap sudah bisa dimanfaatkan lagi, maka lahan tersebut akan dibuka kembali.

Suku Dayak generasi tua masih mempertahankan sistem perladangan ini, karena sistem ini merupakan warisan leluhur yang turun temurun dari generasi ke generasi. Disamping itu, sistem ini memiliki nilai-nilai spiritual dan sudah menjadi tradisi, serta menjadi bagian dalam kehidupan masyarakat suku Dayak.

Sedangkan masyarakat suku Dayak yang berusia 35-45 tahun menerapkan sistem pertanian yang jauh berbeda dari sistem pertanian suku Dayak sebelumnya dimana setelah melakukan satu periode perladangan lahan tersebut dijadikan lahan pertanian monokultur.Adapun komoditi yang ditanam diantaranya padi, karet, sawit, rambutan, ubi (singkong), bayam dan durian.

Generasi muda ini mengadopsi sistem pertanian dari suku lain karena dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Sistem pertanian masyarakat pendatang dipandang lebih menjamin danmeningkatkan taraf perekonomian masyarakat suku Dayak. Hal ini terbukti dengan adanya perbaikan tingkat

ekonomi dan kesejahteraan masyarakat suku Dayak. Sistem pertanian yang dibawa oleh masyarakat pendatang lebih menitikberatkan pada produktivitas lahan pertanian. Namun, tidak memiliki nilai-nilai budaya dan tidak ramah lingkungan jika dibandingkan dengan sistem pertanian tradisional suku Dayak yang berbasis konservasi modern.

F. KESIMPULANSistem pertanian suku Dayak masa

kini mulai menyerupai sistem pertanian masyarakat pendatang karena sistem pertanian suku Dayak sendiri telah dipengaruhi oleh modernisasi. Pada sistem pertanian suku Dayak masa lampau memiliki perbedaan mendasar dengan sistem pertanian masayarakat pendatang.

Sistem pertanian suku Dayak telah mengalami degradasi yang signifikan dimana hampir seluruh generasi muda sudah mengadopsi sistem pertanian yang dibawa oleh masyarakat pendatang sedangkan generasi tua masih mempertahankan sistem pertanian yang diwariskan oleh leluhurnya.

Dengan terdegradasinya sistem pertanian tradisional suku dayak ini, tradisi leluhur dan nilai-nilai budaya dan spiritual suku Dayak pun akan luntur. Oleh karena itu, perlu dilestarikan dan dikembangkan kembali sistem pertanian asli suku Dayak agar di era modernisasi ini nilai adat istiadat tetap terpelihara. Selain itu, sistem pertanian ini merupakan sistem pertanian yang paling cocok diterapkan di wilayah hutan sub-tropis.

DAFTAR PUSTAKA

Arkanudin. 2001. Sistem Perladangan dan Kearifan Tradisional Orang Dayak Dalam Mengelola Sumber Daya Hutan.

Page 8: Jurnal Praktikum Ilmu Lingkungan: Degradasi Kearifan Lokal Sistem Pertanian Suku Dayak Desa Pampang

Arman, S. 1989. Perladangan Berpindah Dan KedudukannyaDalam Kebudayaan Suku-Suku Dayak Di Kalimantan Barat, Pontianak: Makalah di Sampaikan Dalam Dies Natalis XXX Dan Lustrum VI Universitas Tanjungpura.

Bamba, J. 1996. Pengelolaan Sumber Daya Alam: Menurut BudayaDayak Dan Tantangan Yang Di Hadapi, Dalam Kalimantan Review, Nomor 15 Tahun V, Maret-April 1996, Pontianak.

Dove, M. R. 1988. Sistem Perladangan Di Indonesia: Studi kasus DiKalimantan Barat, Yogyakarta: Gajahmada University Press.

Hendra, M. 2009. Etnoekologi Perla-dangan dan Kearifan Botani Lokal Masyarakat Dayak Benuaq di Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur.Bogor: Tesis Program Magister Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Mering, N. 1990. Inilah Peladang,

dalam: Prospek No 3 Tahun 1, 13 Oktober 1990.

Mudiyono. 1990. Perubahan Sosial dan Ekologi Peladang Berpindah,Pontianak:Dalam Suara Almamater Universitas Tanjungpura, No II Tahun V Nopember 1990.

Ukur, P. 1994. Makna Religi Dar Alam Sekitar Dalam Kebudayaan Dayak, Dalam Paulus Florus (editor), Kebudayaan Dayak, Aktualisasi dan Transfortasi, Jakarta: LP3S-IDRD dengan Gramedia Widiasarana Indonesia.

Widjono, R. H. 1998. Masyarakat Dayak Menatap Hari Esok, Jakarta: Gramedia.