kajian semiotika pada pertunjukan di desa pampang

24
1 KAJIAN SEMIOTIKA PADA PERTUNJUKAN HUDOQ KITA’ DI DESA PAMPANG KALIMANTAN TIMUR Tri Indrahastuti,S.Sn.M.Sn Abstrak Penelitan ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil analisa semiotika terhadap kesenian Hudoq Kita’ di Desa Pampang Kalimantan Timur. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian adalah seniman kesenian Hudoq Kita’ , perangkat desa, dan tokoh masyarakat di desa Pampang, yang bertindak selaku pengurus kesenian ini. Pengumpulan data dilakukan melalui metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Langkah-langkah analisis data meliputi untuk deskripsi data, reduksi data, penyajian data dan kesimpulan. Kebasahan data diperoleh dengan triangulasi. Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bentuk penyajian kesenian Hudoq Kita’ meliputi unsur-unsur yang mengandung makna semiotika di dalamnya yaitu gerak, iringan, tata rias, tata busana, dan tempat pertunjukan.2) Kesenian Hudoq Kita’ merupakan hasil cipta manusia yang mempunyai kreativitas dalam menjalani kehidupan, dalam kehidupan manusia tidak jauh dari makna dan kesenian adalah bagian dari kehidupan manusia. Kata kunci : Semiotika, Bentuk Penyajian, Hudoq Kita’. BAB I. PENDAHULUAN Kesenian rakyat adalah salah satu kesenian yang tumbuh dan berkembang yang menjadi kebiasaan, sehingga mengakar dan mendarah daging di lingkungannya. Dalam perkembangan zaman yang semakin modern, kesenian rakyat yang sudah menjadi ciri khas dalam suatu daerah seringkali ditinggalkan bahkan tidak dikenal oleh generasi yang tinggal di daerah tersebut. Apalagi oleh masyarakat Indonesia yang notabennya adalah negara yang terkenal dengan berbagai ragam budaya dari Sabang sampai Merauke. Salah satu diantaranya adalah Hudoq Kita’ yang merupakan salah satu kesenian rakyat tumbuh dan berkembang di Desa Pampang Kalimantan Timur.. Hudoq Kita’ ini sudah menjadi ciri khas di Desa Pampang Kalimantan Timur , selain menjadi hiburan warga sekitar, Hudoq Kita’ mampu menyedot perhatian masyarakat sekitar, agar berapresiasi dalam pelaksanaan Hudoq Kita’, sehingga

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

KAJIAN SEMIOTIKA PADA PERTUNJUKAN HUDOQ KITA’

DI DESA PAMPANG KALIMANTAN TIMUR

Tri Indrahastuti,S.Sn.M.Sn

Abstrak

Penelitan ini bertujuan untuk mendeskripsikan hasil analisa semiotika

terhadap kesenian Hudoq Kita’ di Desa Pampang Kalimantan Timur. Penelitian

ini menggunakan pendekatan kualitatif. Subjek penelitian adalah seniman

kesenian Hudoq Kita’ , perangkat desa, dan tokoh masyarakat di desa Pampang,

yang bertindak selaku pengurus kesenian ini. Pengumpulan data dilakukan

melalui metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Langkah-langkah

analisis data meliputi untuk deskripsi data, reduksi data, penyajian data dan

kesimpulan. Kebasahan data diperoleh dengan triangulasi.

Hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Bentuk penyajian kesenian

Hudoq Kita’ meliputi unsur-unsur yang mengandung makna semiotika di

dalamnya yaitu gerak, iringan, tata rias, tata busana, dan tempat pertunjukan.2)

Kesenian Hudoq Kita’ merupakan hasil cipta manusia yang mempunyai

kreativitas dalam menjalani kehidupan, dalam kehidupan manusia tidak jauh dari

makna dan kesenian adalah bagian dari kehidupan manusia.

Kata kunci : Semiotika, Bentuk Penyajian, Hudoq Kita’.

BAB I. PENDAHULUAN

Kesenian rakyat adalah salah satu kesenian yang tumbuh dan berkembang

yang menjadi kebiasaan, sehingga mengakar dan mendarah daging di

lingkungannya. Dalam perkembangan zaman yang semakin modern, kesenian

rakyat yang sudah menjadi ciri khas dalam suatu daerah seringkali ditinggalkan

bahkan tidak dikenal oleh generasi yang tinggal di daerah tersebut. Apalagi oleh

masyarakat Indonesia yang notabennya adalah negara yang terkenal dengan

berbagai ragam budaya dari Sabang sampai Merauke.

Salah satu diantaranya adalah Hudoq Kita’ yang merupakan salah satu

kesenian rakyat tumbuh dan berkembang di Desa Pampang Kalimantan Timur..

Hudoq Kita’ ini sudah menjadi ciri khas di Desa Pampang Kalimantan Timur ,

selain menjadi hiburan warga sekitar, Hudoq Kita’ mampu menyedot perhatian

masyarakat sekitar, agar berapresiasi dalam pelaksanaan Hudoq Kita’, sehingga

2

kesenian yang merupakan warisan atau hak kekayaan intelektual tetap terpelihara

dan dapat dijaga kelestariannya.

Kondisi kekinian yang dihadapkan pada tekanan modernitas di Desa

Pampang Kalimantan Timut membawa Hudoq Kita’ terbawa oleh pengaruh

modernitas. Eksistensi Hudoq Kita’ sudah tergeser digantikan dengan pengaruh

modernitas yang masuk melalui gelombang-gelombang saluran media virtual.

Rasa cinta terhadap Hudoq Kita’ yang dahulunya menggebugebu, kini luntur

seiring bergulirnya zaman, hal ini ditandai dengan semakin berkurangnya

intensitas pertunjukkan Hudoq Kita’ dipertontonkan di Desa Pampang Kalimantan

Timur. Kecintaan warga terhadap Hudoq Kita’ ini muncul ketika kesenian ini

jarang dipertunjukkan mereka akan berusaha untuk menyelenggarakan suatu acara

dimana Hudoq Kita’ dapat dimainkan oleh para seniman Hudoq Kita’ tersebut.

Karena Hudoq Kita’ dipertunjukkan pada saat-saat tertentu, antara lain upacara

adat dan syukuran.

Hudoq Kita’ biasanya dipentaskan di tempat terbuka dan halaman rumah

atau lapangan yang mampu memuat banyak pemain dan penonton. Pertunjukkan

Hudoq Kita’ dibuat menyerupai bentuk pentas arena agar dapat dilihat oleh

penonton dari sisi manapun. Hudoq Kita’ adalah tari ritual dengan menggunakan

topeng yang dipakai para penari. Hudoq Kita’ digunakan sebagai sarana

permohonan, yaitu permohonan kesuburan dan keselamatan. Keselamatan

diharapkan para petani adalah mendapatkan hasil ladang yang berlimpah dan

keselamatan agar tanaman terhindar dari hama dan bencana. Ini dapat diketahui

dengan keberadaan Hudoq Kita’ itu sendiri bagian dari upacara ritual yang

bermanfaat bagi seluruh masyarakatnya. Hal ini berkaitan dengan anggapan

bahwa Hudoq Kita’ merupakan salah satu upaya masyarakat untuk menghadirkan

kembali kejadian di masa lampau yang berkaitan dengan topeng yang digunakan

pada saat pertunjukan.

Dengan demikian, nampak jelas bahwa setiap simbol yang tertangkap

secara indrawi sarat akan pemaknaan dan filosofi yang terkandung di dalamnya.

Apalagi masyarakat Dayak yang dalam proses kelahiran Hudoq Kita’ tidak

sekedar melahirkan kesenian yang tanpa makna dan cerita di dalamnya, tetapi

3

proses embriosasi dari Hudoq Kita’ diadaptasi dari cerita-cerita yang berkembang

dalam masyarakat pendukungnya. Oleh karena itu, maka timbul ketertarikan

penulis untuk mencoba mencari dan mempelajari makna semiotika (tanda) yang

terkandung dalam Hudoq Kita’, di desa Pampang, Kalimantan Timur.

Asumsi yang paling mendasar dari semiotika yaitu segala sesuatu

merupakan tanda, bukan hanya bahasa atau sistem komunikasi tertentu saja yang

tersusun sebagai tanda-tanda. akan tetapi tanda merupakan perantara dalam

berhubungan dengan realitas kehidupan. Terkait dengan masalah yang diangkat

oleh peneliti, objek penelitian dengan materi mengungkapkan makna dari sebuah

tanda. Tanda-tanda apa saja yang dipercaya dan selalu digunakan dalam

masyarakat pendukung Hudoq Kita’ sebagai sebuah simbol ritual, terkait dengan

tanda yang mempunyai kekuatan atau power dalam pelaksaaannya. Ilmu tanda

tersebut lazimnya disebut dengan “semiotika”.

Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik permasalahan sebagai berikut

Bagaimana bentuk penyajian Hudoq Kita’ dan makna semiotika di dalam Hudoq

Kita’ di Desa Pampang Kalimantan Timur.

Pengkajian Hudoq Kita’ dikaji dengan kajian semiotika. Secara Etimologis,

istilah “semiotika” berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti tanda. Dalam

penelitian ini semiotika yang dimaksud adalah ilmu yang mempelajari sederetan

luas objek-objek, peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Van Zoezt

mengartikan semiotika sebagai ilmu tanda dan segala yang berhubungan

dengannya cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya dan

penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. (dalam Alex Sobur, Op.cit

hal.96). Batasan yang lebih jelas dikemukakan oleh Preminger ( 2001 :89)

menyebutkan bahwa semiotika sebagai ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini

menganggap fenomena masyarakat/sosial dan kebudayaan itu merupakan tanda-

tanda. Semiotik adalah ilmu tentang tanda yang bersifat formal yang membahas

4

sesuatu hal secara mendalam sampai kepada akarnya. Semiotika merupakan

sebuah penanda dan dijabarkan dengan konteks yang berbeda. Charles Sander

Pierce mengemukakan bahwa sebuah tanda atau representament adalah sesuatu

yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau

kapasitas. Dia menyebutnya intrepretasi sebagai tanda yang pertama, pada

gilirannya akan mengacu pada objek tertentu.

Dengan demikian, sebuah tanda memiliki reaksi ‘triadik’ langsung dengan

interpretan dan objeknya. Proses ‘semiosis’ merupakan suatu proses

yangmemadukan entitas (berupa representamen) dengan entitas lain yang

disebutsebagai objek. Proses ini oleh Pierce disebut sebagai signifikasi. Dari sudut

pandang Pierce ini, proses signifikasi bisa saja menghasilkan rangkaian hubungan

yang tidak berkesudahan, sehingga pada gilirannya sebuah interpretan akan

menjadi sebuah representanmen, menjadi interpretan lagi, jadi representamen lagi

dan seterusnya. Dari berbagai kemungkinan persilangan di antara seluruh tipe

tanda ini tentu dapat dihasilkan berpuluhpuluh kombinasi yang kompleks. Tanda

mempunyai dua aspek yaitu petanda (signifier) dan penanda (signified). Penanda

adalah bentuk formal menandai sesuatu yang disebut dengan petanda, sedangkan

petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda yaitu arti.

Dari beberapa pendapat para ahli semiotika penulis menggunakan teori

Charles Sanders Peirce untuk melakukan penelitian secara sistematis tentang

makna semiotika yang terkandung dalam Hudoq Kita’ di Desa Pampang

Kalimantan Timur. Semiotika merupakan ilmu tentang tanda, fenomena sosial

masyarakat dan kebudayaan itu juga merupakan tanda-tanda yang hidup dan

berkembang.

Alam komunikasi sehari-hari manusia tidak bisa lepas dari gejala

penandaan, pada dasarnya mereka hidup dalam dunia tanda yang mempengaruhi

cara-caranya bertindak dan berinteraksi. Peirce berpendapat bahwa logika harus

mempengaruhi orang bernalar, penalaran itu menurutnya adalah melalui suatu

5

cara mendasar yaitu tanda. Sama halnya dalam kehidupan sehari-hari, manusia

saling berkomunikasi dengan dengan menggunakan pikiran,

diungkapkan melalui kata-kata dan intonasi bahasa yang keluar dari

masingmasing individu, kemudian diterima dan dicermati oleh individu lain yang

mengintrepretasikan kata-kata agar menjadi respon yang baik.

Tanda tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan

hubungan dengan penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama yaitu :

(1) ikon , tanda yang mempunyai hubungan alamiah dengan objek, (2) indek,

tanda yang mempunyai hubungan kausal, (3) simbol, mempunyai hubungan

alamiah dan diolah menurut penciptanya.

Dalam penelitian ini konsep tanda dan makna yang digunakan dibentuk

dalam tiga sisi menurut Sanders Peirce yaitu representament atau tanda itu

sendiri, objek sesuatu yang dirujuk oleh tanda, dan akan membuahkan

interpretant yang merupakan sesuatu yang diserap oleh pikiran manusia. Peneliti

menyimpulkan bahwa setiap tanda dapat dilihat oleh manusia dalam bentuk objek

kemudian setiap orang dapat mengartikannya sesuai dengan apa yang dilihat,

sehingga terbentuk suatu representasi menurut objek yang dilihat.

Dalam teori kebudayaan, semiotika adalah ilmu yang mengkaji tanda

dalam kehidupan manusia. Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan kita

dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna. Sebagai perangkat

analisis yang mengkaji kebudayaan, semiotika tidak selalu dipandang sebagai

ilmu, namun hanya sebagai perangkat teori untuk mengkaji tanda, yakni sistem

yang hidup dalam suatu kebudayaan. Artinya, dalam suatu kebudayaan

mempunyai berbagai macam unsur yang membentuk kebudayaan itu sendiri, dan

sistem yang mengatur kebudayaan mempunyai struktur yang akan menjadikan

kebudayaan tersebut berkembang. Salah satu unsur kebudayaan adalah kesenian

yang mempunyai berbagai macam unsur dan juga tanda yang ada didalamnya.

Hudoq Kita’ merupakan salah satu bentuk kebudayaan yang dapat dilihat dan

dinikmati oleh masyarakat. Dalam penelitian ini peneliti secara langsung akan

mendiskripsikan semiotika Hudoq Kita’ dengan berdasarkan teori yang

dikemukakan oleh Sanders Pierce.

6

II. HASIL PENELITIAN

Bentuk Pertunjukan Hudoq Kita’

Hudoq Kita’ merupakan seni pertunjukan tradisi Dayak Kenyah yang

hidup dan berkembang di des Pampang, yang hingga kini belum diketahui

sejarahnya. Menurut Pebayak, hadirnya Hudoq Kita’ tidak dapat dipastikan tahun,

pencipta, dan siapa pembawa tari tersebut Pendapat ini sepadan dengan

pernyataan Sal Murgianto yang mengatakan bahwa tari tradisi yang ada di

belahan timur, termasuk Indonesia lebih banyak mengungkapkan pengalaman

hidup dan emosi bersama suatu masyarakat, karena dalam kehidupan alam tradisi

kebersamaan lebih diutamakan daripada presentasi pribadi. Oleh sebab itu,

bentuk-bentuk kesenian tradisi di Indonesia tidak diketahui siapa penciptanya

(Murgianto,1992:10).

Asal-usul Hudoq dapat dikaitkan dengan faktor alam dan kepercayaan

masyarakat Dayak yang mempengaruhi terciptanya Hudoq Kita’. Hudoq dalam

bahasa Dayak diartikan sebagai topeng, yaitu sesuatu alat yang dibuat untuk

menggambarkan suatu jenis mahluk tertentu yang dianggap keramat. Hudoq

merupakan simbol kekuatan yang dibentuk dan direkayasa dalam nafas seni

sehingga mempunyai kesan estetis dan artistik yang melekat dalam bentuk topeng.

Dalam kepercayaan suku Dayak Kenyah, Hudoq dapat diartikan sebagai

nama roh gaib yang datang beramai-ramai dari Apo Lagan ke desa yang sedang

melaksanakan upacara persembahan. Selain itu asal-usul Hudoq, berkaitan dengan

mitos orang Dayak, yang merupakan ajaran yang harus dilaksanakan, karena di

dalam mitos tersebut terdapat peristiwa yang sudah dialami nenek moyang pada

zaman dahulu.

7

Hudoq dalam perwujudannya menggambarkan wajah-wajah binatang dan

manusia, sedangkan dalam upacara Pelas Tahun, Hudoq adalah pertunjukan tari

yang menggambarkan dewa-dewi padi yang datang pada saat upacara. Dari uraian

tersebut dapat dikatakan bahwa Hudoq sampai saat ini masih dipertahankan

merupakan peninggalan yang harus ditaati dan dilakukan pada waktu tertentu.

Suku Dayak Kenyah di pedalaman Kalimantan Timur beserta sub suku lainnya

sangat menjaga kemurniaan adatnya dan menganggapnya lebih tinggi nilainya.

Tema merupakan inti dari pertunjukan, seseorang akan dapat menikmati

dan memahami pertunjukan apabila dapat mengetahui maksud dari pertunjukan

tersebut. Tema dari Hudoq Kita’ adalah suatu permohonan yang ditampilkan

lewat gerak tari yaitu berupa gerak melawai dengan melangkah maju dan

menghentak ke bumi. Hudoq Kita’ dilaksanakan sebagai sarana permohonan dan

persembahan kepada roh-roh leluhur dan dewi padi, agar masyarakat Pampang

memperoleh kesuburan, keselamatan, dan kesejahteraan.

Hudoq Kita’ merupakan tarian kelompok dengan 12 orang penari wanita

berusia antara 40-60 tahun, ditarikan oleh kaum wanita. Sebagai pelaku tari

Hudoq Kita’ ini masih mengantungkan hidupnya dari hasil berladang, jadi bagi

mereka khususnya dan bagi masyarakat Dayak Kenyah pada umumnya. Bagi

keperluan suatu upacara adat, para pelaku tari tidak mendapat imbalan khusus,

karena diadakannya pertunjukan tari tersebut untuk kebutuhan mereka bersama.

Dalam masyarakat Dayak, wanita memiliki kedudukan yang tinggi, karena

wanita dianggap sebagai simbol kesuburan dan wanita dalam masyarakat Dayak

adalah bumi tradisi (Korrie:2002:163). Dari ungkapan tersebut dapat disimpulkan

bahwa wanita dalam kehidupan masyarakat Dayak memiliki kedudukan, di mana

wanita selalu menjunjung tinggi adat dan tradisi mereka yang telah turun temurun

diwariskan nenek moyang mereka.

Salah satu pelaku Hudoq Kita’ di desa Pampang adalah Agit La’Ing,

seorang wanita Dayak Kenyah yang mengabdikan dirinya sebagai penari tradisi

Dayak di desa Pampang, ia memulai belajar menari sejak usianya masih kanak-

kanak dan kegiatan menari ini dilakukannya sebelum menempati desa Pampang.

8

Agit lahir di Long Ban Apo Kayan pada tahun 1953, tanggal dan bulan tidak

begitu diingat, karena bagi orang dulu tanggal dan bulan tidak begitu penting.

Agit merupakan anak ketiga dari enam saudara, empat saudaranya adalah

perempuan dan dua laki-laki yang bertempat tinggal di daerah Hulu, Samarinda,

dan Malaysia. Selain Agit, saudara tertuanya Kilam, juga penari Hudoq Kita’ di

desa Pampang.

Dalam kehidupan masyarakat Dayak Kenyah, belajar menari bukan suatu

keharusan, akan tetapi merupakan pembawaan sejak jaman nenek moyang

terdahulu yang turun temurun diwariskan. Dari usia kanak-kanak masyarakat

Dayak sudah mengenal tarian, biasanya usia kanak-kanak hanya menari Leleng

dan Datun. Beranjak dewasa, tari Gong menjadi keharusan karena biasanya pada

saat memulai hidup baru para gadis Dayak, menyajikan tari Gong sebagai

persembahan kepad calon suami. Selain itu Enggang Terbang dan Kancet Lasan,

tarian yang ditarikan saat suku Dayak Kenyah khususnya wanita beranjak dewasa.

Pada saat usia mereka sekitar 40-60, Hudoq Kita’ yang dibawakan, karena

berkaitan dengan kehidupan masyarakat Dayak yang berhubungan dengan

upacara.

Pada umumnya penari Hudoq Kita’ di desa Pampang, merupakan

keturunan penari Hudoq Kita’ sebelumnya, seperti halnya Agit dan Kilam sebagai

pelaku tari Hudoq Kita’ mereka masih keturunan dari nenek mereka yang tinggal

di Apo Kayan sebagai penari Hudoq Kita.

Tari dalam seni pertunjukan dapat dikatakan indah, bagus, baik,

menganggumkan, dan sebagainya berdasarkan penilaian relatif dari masing-

masing individu yang melihatnya. Gerak merupakan unsur pokok dalam diri

manusia dan juga merupakan alat bantu dalam kehidupan manusia, untuk

mengemukakan keinginan dan menyatakan refleksi spontan di dalam jiwa

manusia. Apabila gerak itu disusun dengan memperhatikan ruang dan waktu, yang

didukung oleh irama maka terjadilah gerak tari (Smith:1985:6).

Menurut Moh.Hatta, gerak Hudoq Kita’ tidaklah rumit dan tidak memiliki

nama-nama gerak. Gerak tari ini sangatlah sederhana yaitu berupa: 1) gerakan

kaki: hentakan dan melangkah maju, 2) gerak tangan: lambaian atau ayunan ke

9

depan dan ke belalang dengan menggunakan properti kirip.1 Dalam pertunjukan

Hudoq Kita’ gerak tari hanya terdiri dari gerakan kaki dengan melangkah maju

dan hentakan kaki. Gerak kaki ini menggambarkan kehidupan masyarakat Dayak

Kenyah yang masih bergantung kepada tenaga manusia, di mana mereka berjalan

naik turun gunung, ke luar masuk hutan dengan berjalan kaki. Dari sini dapat

diketahui bahwa kaki dalam masyarakat Dayak Kenyah merupakan sumber

kekuatan yang diyakini dapat mempengaruhi alam dan wujud permohonan

kesuburan.

Gerak tangan terdiri dari lambaian/melawai atau ayunan tangan ke depan

dan ke belakang dengan menggunakan properti kirip. Kirip merupakan simbol

kemuliaan dan kebesaran suku Dayak, kirip yang digunakan adalah bulu burung

enggang yang memiliki warna putih dan hitam. Warna-warna tersebut memiliki

arti sebagai berikut: putih adalah lambang tulang yang bermakna suci, bersih.

Hitam adalah lambang kulit yang bermakna keuletan/rajin/ketekunan. Gerak

lambaian tangan merupakan wujud permohonan masyarakat Dayak Kenyah pada

penjaga desa dan penguasa di langit agar diberi keselamtan dan dijauhkan dari

pengeruh-pengaruh jahat.

Ada tiga bagian tubuh yang menjadi pokok dalam Hudoq Kita’ yaitu

gerakan kaki, tangan, dan kepala, sedangkan tubuh hanya merupakan akibat

koordinasi ketiga bagian tersebut. Gerakan secara keseluruhan penuh dengan

maksud dan tujuan spiritual. Para penari Hudoq Kita’ bergerak dengan gerakan

sederhana dan berulang terus menerus, menari didasari oleh adanyan kebutuhan

rohani yang menyangkut kepercayaan.

Dalam penyajiannya Hudoq Kita’ memiliki ragam gerak melawai yaitu

melambaikan atau mengayunkan tangan ke depan dan ke belakang secara

bergantian dengan diikuti dengan langkah kaki maju dan menghentakkan kaki ke

bumi. Pada ragam gerak melawai diikuti dengan langkah kaki maju, dengan posisi

kaki kanan diangkat sejajar kaki kiri dengan posisi tangan kiri merentang ke

depan badan dan tangan kanan ditarik ke belakang hinngga merentang ke

belakang dengan posisi badan agak merendah. Gerak melawai dengan

.

10

menghentakkan kaki, dengan posisi kaki kanan diangkat, kemudian dihentakkan

sejajar dengan kaki kiri dengan posisi tangan dan badan yang sama.

Dalam kehidupan Dayak Kenyah, pada umumnya gerak-gerak tari diambil

dari gerak-gerak burung enggang, karena burung enggang menurut cerita nenek

moyang dipercaya sebagai jelmaan putri yang mengajarkan tarian pada suku

Dayak. Semua jenis tari Dayak pada umumnya sama, di mana anggota badan

bergerak seimbang antara gerak tangan, gerak kaki, dan kepala. Hudoq Kita’

termasuk jenis gerakan berjalan, dan tidak ada gerak bersambung berurutan,

semua gerakan berirama lambat dan halus, di mana gerakan tersebut merupakan

simbol kehalusan jiwa dan kegiatan wanita Dayak sehari-hari dan saat bekerja di

ladang.

Pola lantai dalam pertunjukan Hudoq Kita’ adalah menggunakan garis

lurus dengan posisi penari berbanjar ke belakang berurutan, kemudian membentuk

garis lengkung atau membentuk lingkaran sampai akhir pertunjukan. Desain lantai

yang menggunakan garis lengkung yang berbentuk lingkaran pada tari-tarian

rakyar yang masih sakral mengandung maksud dan kekuatan tertentu. Desain

lantai yang berbentuk lingkaran mengandung kekuatan magi, biasanya magi yang

baik. Demikian pula halnya dengan Hudoq Kita’, mereka menari dan berputar

mengelilingi arena pentas.

Menurut Soedarsono, tari yang dilakukan berkelompok dan masih terlihat

ciri-ciri primitif hal ini dapat dilihat dari pola lantai yang melingkar dipercayai

magi tersebut dapat mempengaruhi pertanian masyarakat setempat

(Soedarsono:1977:43). Hal ini sepadan dengan bentuk pola lantai Hudoq Kita’,

yang melingkar dan dipercaya mengandung kekuatan dan berhubungan dengan

upacara ritual panen padi.

Hudoq Kita’ merupakan tarian yang menggunakan topeng dan

menggambarkan sosok manusia. Properti utama dari tari ini adalah topeng.

Topeng merupakan sebuah tiruan wajah yang dibentuk atas bahan dasar yang

tipis/ditipiskan, dengan memperhitungkan muka wajah manusia, sehingga wajah

yang mengenakannya sebagian/seluruhnya tertutup (Edi Sedyawati:1993).

11

Di Kalimantan Timur terdapat beberapa jenis tari Hudoq yang dimiliki

oleh suku Dayak Kenyah, Dayak Bahau, dan Dayak Modang. Dalam suku Dayak,

Hudoq yang dimiliki berbeda-beda, tetapi memilki fungsi yang sama yaitu untuk

upacara pesta panen/musim tanam padi. Oleh karena itu, kehidupan suku Dayak

Kenyah bercocok tanam dijalankan secara turun-temurun sehingga menjadikan

kebiasaan yang tidak dapat ditinggallkan.

Dalam pesta panen, Hudoq bermakna sebagai simbol berbagai kekuatan

roh, baik itu simbol jahat maupun simbol baik. Suku Dayak Kenyah di desa

Pampang biasanya menggunakan Hudoq yang terbuat dari anyaman manik

berbentuk cadar yang menggambarkan sosok manusia, dan Hudoq ini merupakan

simbol kebaikan.

Properti lain adalah kirip atau bulu burung Enggang yang diselipkan

diantara kedua tangan penari. Dalam kehidupan masyarakat Dayak burung

Enggang dianggap penjaga desa. Menurut Martin, seorang anggota keluarga

bangsawan di desa Long Mekar, menjelaskan simbolisme burung Enggang

sebagai berikut:

“Orang Dayak menggunakan seekor burung,yaitu burung Enggang sebagai

simbol. Ini karena burung Enggang selalu terbang dan hinggap di pohon-pohon

dan gunung-gunung yang tinggi. Oleh karena burung Enggang hinggap di pohon-

pohon yang tinggi, dan memiliki bulu-bulu yang besar serta mengeluarkan suara-

suara yang indah, maka kicauannya terdengar dari mana-mana atau dari setiap

penjuru hutan. Bulu-bulunya yang indah melambangkan pemimpin yang

dikagumi oleh rakyatnya. Seorang pemimpin didengar nasihatnya oleh para

pengikutnya. Sayap yang lebar bermakna bahwa seorang pemimpin harus

didengar oleh pengikutnya. Ekornya yang panjang adalah lambang ketenteraman

dan kemakmuran bagi orang Dayak. Burung Enggang diambil sebagai lambang

bagi orang Dayak, karena burung itu melambangkan kemuliaan dan kebesaran .

Awalnya orang-orang Dayak Kenyah yang memilihnya sebagai simbol. Akan

tetapi, semua orang Dayak memiliki simbol yang sama karena hampir semuanya

berpusat di Apo Kayan” (Maunati: 2001:180).

Dalam pertunjukan Hudoq Kita’, penari tidak menggunakan rias wajah,

karena wajah mereka topeng. Busana yang digunakan berupa kebaya dan kain

12

bermotif (ta’ah). Selain itu kelengkapan dari busana Hudoq Kita’ yang biasa

digunakan sebagai berikut:

a. Bluko, penutup kepala bagian luar yang dihiasi dengan manic-manik bermotif

manusia (kepala) dan bulu-bulu yang terbuat dari serat kayu serta bulu burung

enggang sebanyak 2-4 helai yang ditancapkan dibagian belakang. Bluko

tersebut terbuat dari anyaman rotan yang berbentuk lingkaran seperti topi.

b. Tangkup, penutup kepala bagian dalam yang digunakan untuk mengikat topeng

sebelum memakai bluko.

c. Uleng sabu, kalung yang digantungkan dileher yang terbuat dari anyaman

manik.

d. Belaong, perhiasan telinga yang terbuat dari logam yang dikaitkan pada kain

yang menyerupai telinga panjang.

Dapat dikatakan pendapat di atas bahwa iringan merupakan satu elemen

yang sangat penting dalam suatu garapan tari. Instrumen yang digunakan dalam

Hudoq Kita’ ada tiga macam yaitu 3 buah sape, 2 buah jatung, dan 1 buah teweq.

Musik adalah salah satu media ungkap kesenian, musik dikatakan sebagai

pencerminan kebudayaan pada masyarakat pengiringnya. Berbicara pada suatu

masyarakat, adalah segala aktivitas manusia dalam kehidupannya, di mana terdiri

dari berbagai unsur kebudayaan. Unsur kebudayaan yang dimaksud adalah, sistem

religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem

pengetahuan, bahasa, kesenian, mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi dan

peralatan (Koentjaraningrat,1992:1-4).

Sesuai penjelasan Koentjaringrat, maka budaya masyarakat pada suatu

daerah dapat dilihat dari perilaku kehidupan sehari-hari atau musik yang

digunakan pada daerah itu. Seperti musik iringan yang dipakai yang untuk

mengiringi Hudoq Kita’, mempunyai ciri khas daerah Kalimantan yang

mencerminkan budaya Kalimantan, serta sebagai pendukung dalam Hudoq Kita’.

Ciri atau karakateristik musik iringan daerah Kalimantan terletak pada sape dan

jatung.

13

Suatu pertunjukan membutuhkan wadah atau tempat, di luar maupun di

dalam ruangan biasanya tempat tersebut disesuaikan dengan keperluan

pertunjukan. Tari Hudoq Kita’ merupakan tarian ritual yang selalu diadakan

serambi balai adat/lamin. Serambi balai adat berbentuk lapangan terbuka,

memungkinkan tertampungnya banyak penonton yang melihat pertunjukan

tersebut dari segala penjuru arah.

Dalam pertunjukan, waktu yang mengantar aktivitas seni sangat

berpengaruh, tergantung untuk apa pertunjukan tersebut diadakan. Seperti halnya

tari Hudoq Kita’ yang merupakan rangkaian upacara, karena tari tersebut

dianggap memiliki nilai-nilai ritual diselenggarakan pada waktu siang hari. Siang

hari dikaitkan dengan upacara penanaman yang dilakukan para petani dan

menggambarkan sesuatu dengan aktivitas petani.

BAB III. PEMAHASAN

Proses semiosis yang terjadi dalam membaca tanda atau simbol terjadi

ketika sang oleh representamen secara indrawi. Proses semiosis sendiri terjadi

atas pengetahuan yangmelatarbelakangi sang representament tersebut, misal:

ketika ia melihat sebuah bunga (baca: tanda) tidak semua sang representamen

mempunyai penafsiran yang seragam, ketika melihat tanda objek tersebut,

kekuasaan menafsir tergantung dengan pengetahuan dan motivasi tindakan

representamen tersebut, karena sejatinya manusia bertindak atas dasar

pengetahuannya, oleh karena itu manusia dijajah oleh pengetahuannya. Ada yang

berpendapat bunga itu harum, ada juga yang berpendapat bunga sebagai tempat

bersemayam para dewa, ada yang berpendapat bunga sebagai pembawa

keberkahan, serta ada yang berpendapat bahwa bunga sangat erat kaitannya

dengan romantik dari hubungan cinta sepasang kekasih. Oleh karenanya proses

14

semiosis tergantung dari konteks, situasi, relasi sosial yang di dalamnya, dan latar

belakang pengetahuan sang representamen.

Terkait dengan pernyataan di atas hasil dari proses semiosis tidak berhenti

pada satu titik saja, tidak ada pemberhentian terakhir dalam sebuah proses

semiosis, karena penyajian hasil semiosis dalam proses kemenjadian. Dengan

pernyataan diatas maka disimpulkan dalam penelitian ini yaitu sebagai

Pola gerak yang digunakan di dalam pertunjukan Hudoq Kita’

menggunakan gerak melawai (ayunan atau lambaian tangan ke depan dan ke

belakang) yang menggambarkan permohonan yang tidak lepas dari makna.

Gerakan tangan yang berupa ayunan atau lambaian tangan diikuti dengan

hentakan kaki. Gerak yang ada merupakan hal yang dapat mencerminkan aktivitas

keseharian masyarakat Dayak Kenyah.

Gerak dalam hudoq kita’ menggunakan gerak yang lembut dengan

gerak melawai, di mana kedua tangan diayunkan secara bergantian ke depan dan

ke belakang yang diikuti dengan hentakan kaki serta anggukan kepala. Makna dari

gerak tersebut merupakan cerminan masyarakat dalam hubungannya secara

horizontal dan vertikal artinya hubungan masyarakat Dayak Keyah dalam

komunikasi dengan Tuhannya juga dengan komunikasi makhluk lainnya. Gerak

berjalan, melangkah mengarahkan bahwa pada gerakan tersebut dihubungkan

dengan perjuangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang harus

melalui perjuangan yang dilandasi suatu kekuatan, kepercayaan diri, semangat,

dan persatuan seluruh masyarakat untuk mencapai kesejahteraan bersama baik

lahir maupun batin.

15

Berdasarkan unsur-unsur gerak tersebut dapat mencairkan masyarakat

dalam komunikasinya dengan alam. Hal ini dapat dilihat pada gerak kaki yang

menghentak-hentak ke lantai, tampak simbol-simbol untuk menguji kekuatan

tanah. Pada gerak tangan yang diayunkan ke depan ke belakang mencerminkan

manusia dalam hubungan dengan alam. Karena dalam gerak tersebut juga

menggambarkan gerak burung enggang. Gerakan kepala antara lain gerak

anggukan dengan gerak tunduk ke bawah dan tengadah ke atas.

Berpijak pada konsep bahwa seni adalah emosi manusia yang berbudaya

dan tari adalah ekspresi jiwa manusia yang di dalamnya mengandung maksud

tertentu. Adapun makna yang terkandung dalam gerak tari hudoq kita’ adalah

gerak lambaian tangan merupakan wujud permohonan masyarakat desa Pampang

pada penjaga desa dan penguasa di langit agar diberikan keselamatan dari

pengaruh-pengaruh jahat. Ada tiga bagian tubuh yang menjadi pokok dalam tari

Hudoq Kita’ yaitu gerakan kaki, tangan dan kepala, sedangkan gerakan tubuh

hanya merupakan akibat dari koordinasi ketiga bagian tersebut. Para penari

Hudoq Kita’ bergerak dengan gerakan sederhana dan berulang terus menerus,

menari di dasari oleh adanya dorongan kebutuhan rohani yang menyangkut

kepercayaan atau perayaan adat.

Dalam pertunjukan Hudoq Kita’ , simbol kesuburan dimaknai oleh para

penari Hudoq, yang terdiri dari wanita yang berusia 40-60 tahun. Para penari

Hudoq Kita’ adalah obyek utama di mana para penari yang terdiri dari wanita bagi

masyarakat Dayak Kenyah merupakan penggambaran dari dewi padi atau hasil

panen. Oleh karena dari dalam diri wanita dapat digambarkan kesuburan dan

16

kecantikan. Maksud dari kesuburan ialah diberikan hasil panen yang berlimpah,

yang digambarkan juga lewat gerak tari yang menghentakkan kaki ke bumi.

Kecantikan dimaknai bahwa panen akan lebih baik. Berusia 40-60 tahun bagi

masyarakat Dayak diyakini bahwa wanita yang berusia sekitar usia tersebut lebih

memahami tata cara pelaksanaan Hudoq Kita’ .

Busana yang digunakan para penari yang terdiri dari kebaya dan kain taah,

kebaya yang menggambarkan ornamen tumbuhan memiliki makna kepercayaan

adanya alam bawah, bahwa kehidupan manusia berada di dunia bawah.

Sedangkan kain taah yang menggambarkan ornamen manusia, bermakna

kepercayaan alam atas yaitu roh dan dewa. Ornamen tumbuhan yang terdapat

dalam kebaya memiliki simbol pohon kehidupan yang dipercaya masyarakat

Dayak, bahwa pohon kehidupan merupakan makna sangat dalam dan sakral yaitu

lambang manusia dan penciptanya, nilai-nilai moral, hidup yang lurus, rukun,

kebaikan, kewajiban dan pria dan wanita yang hidup di dunia.

Properti pada Hudoq Kita’ merupakan alat pelengkap yang digunakan oleh

para penari. Properti dalam Hudoq Kita’ sebagai simbol yang mempunyai fungsi

dan makna yang ada padanya, sedangkan properti yang digunakan dalam

pertunjukan Hudoq Kita’ adalah Hudoq (topeng) yang berbentuk cadar terbuat

dari anyaman manik yang menggambarkan manusia. Hudoq ini terbuat dari

anyaman manik yang beraneka ragam warna. Pada umumnya manik yang

digunakan adalah merah, hijau, kuning, biru dan putih. Setiap warna memiliki arti

dan keistimewaan berbeda-beda dalam masyarakat Dayak Kenyah.

17

Manik warna merah dalam masyarakat Dayak Kenyah merupakan simbol

makna semangat hidup, manik warna biru memiliki makna sumber kekuatan dari

segala penjuru yang tidak mudah luntur, manik warna kuning memiliki makna

simbolisasi yang mengambarkan keagungan dan keramat, manik warna hijau

memiliki makna kelengkapan dan intisari alam semesta. Sedangkan manik warna

putih merupakan simbolisasi sebuah makna lambang kesucian iman seseorang

kepada Sang Penciptanya. Hudoq yang terangkai dari anyaman ini berbentuk

manusia, manusia merupakan simbol ketentraman.

Warna-warna utama yang sering digunakan dalam rangkaian anyaman

manik hudoq kita’ adalah merah, putih, kuning, dan hitam. Memiliki makna dan

melambangkan hal-hal yang berbeda antara lain merah melambangkan darah

diambil dari batu/getah macau, putih melambangkan air yang menggemuruh yang

memberikan getaran jiwa dan perasaan yang diambil dari kapur, hitam

melambangkan kegelapan dari arang kayu damar, dan kuning melambangkan

perpaduan matahari dan bulan yang melambangkan surga yang diambil dari akar.

Warna-warna utama tersebut memiliki kesan getaran magis di jiwa. Hudoq

(topeng) yang terangkai dalam anyaman manik warna merah, hitam, putih dan

kuning juga melambangkan kekuatan alam yang akan membawa air dan

melindungi tanaman yang mereka tanam hingga musim panen tiba.

Properti lainya adalah kirip atau bulu enggang. Dalam masyarakat Dayak

Kenyah burung enggang merupakan lambang kehidupan dan kebesaran,

perdamaian dan persatuan, sehingga dalam kehidupan sehari-hari burung enggang

senantiasa digunakan dalam bentuk patung, ukiran, lukisan, pakaian adat, rumah

18

adat, balai desa, monumen, pintu gerbang, bahkan juga dikuburan. Kirip yang

digunakan dalam pertunjukan hudoq kita’ terdiri dari 2 warna, yaitu warna putih

yang melambangkan tulang yang bermakna suci/bersih, sedangkan warna hitam

adalah lambang kulit yang bermakna kemuliaan dan kebesaran. Dalam

pertunjukan hudoq kita’ , kirip juga dimaknai sebagai kehidupan manusia dengan

warna hitam dan putih, putih yang pertama menandakan manusia itu dilahirkan

suci oleh Tuhan, menandakan dunia pralahir, hitam simbol kegelapan yang dilalui

manusia. Warna putih lainnya simbol manusia yang disucikan oleh Tuhan

melambangkan dunia akhirat. Dengan simbol-simbol ini manusia diharapkan bisa

menjaga dan memelihara alam serta isinya.

BAB III. PENUTUP

Semiotika merupakan ilmu yang mengkaji suatu tanda yang mempunyai

makna,secara umum dapat dilihat dari suatu bentuk kehidupan yang dapat

diartikan atau disebut dengan makna. Suatu makna dalam teori semiotika dapat

dikategorikan beberapa yakni representament yang mewakili sesuatu , kemudian

objek yang menjadi sesuatu , dan melalui penafsiran sesuatu atau makna dapat

disimpulkan dengan interpretasi. Melalui berbagai proses kehidupan manusia,

tidak akan jauh dari yang dinamakan dengan makna. Karena itu banyak anggapan

tentang “hidup itu penuh makna” atau dengan kata lain “makna kehidupan” dari

kedua kata tersebut akan timbul pula anggapan lain yang dinamakan penafsiran.

Dalam meneliti dan manganalisis suatu karya seni dibutuhkan adanya penafsiran

atau disebut juga interpretasi.

Kesenian merupakan salah satu unsur dari kebudayaan, yang secara

universal lahir dan berkembang dalam masyarakat kemudian menjadi ciri khas

suatu daerah. Kesenian yang lahir dan berkembang dalam suatu daerah biasanya

mempunyai latar belakang sesuai dengan keadaan daerah tersebut, yang saling

19

berkesinambungan antara unsur kebudayaan seperti halnya bahasa, sistem

teknologi, sistem ekonomi, organisasi sosial, sistem pengetahuan, dan sistem

religi yang terdapat dalam suatu daerah tersebut.

Demikian halnya kesenian Hudoq Kita’ yang terdapat di DesaPampang,

Provinsi Kalimantan Timur yang sangat melekat erat proses perkembangannya

sesuai dengan latar belakang keadaan daerah tersebut. Bentuk penyajian Kesenian

Hudoq Kita’ terdiri dari komponen yang pokok yaitu gerak, iringan, rias dan

busana, dan juga pola lantai yang mempunyai makna dan interpretasi didalamnya.

Dari berbagai proses yang dilakukan oleh peneliti melalui observasi,

wawancara, apresiasi, pengumpulan data, dan juga analisis yang telah terlaksana

maka secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa secara pengertian semiotika

dilihat dari nama “Hudoq Kita’” merupakan sebutan topeng dalam

perkembangannya dilihat dari sisi kebudayaan yang ada di desa Pampang adalah

gambaran masyarakat yang sangat lincah dan rajin dalam melakukan suatu

pekerjaan.

Sebuah kesenian itu merupakan sebuah interpretasi, hidup itu sendiri

sebenarnya merupakan interpretasi. Jika terdapat pluralitas makna, maka

interpretasi yang dibutuhkan terutama bila simbol-simbol yang dilibatkan begitu

banyak sehingga mengandung pemaknaan yang berlapis-lapis dan setipa

interpretasi adalah usaha untuk membongkar makna.

Dalam pemahaman tinjauan seni, nilai estettik dipahami sebagai bagian

utuh dari sebuah wujud benda fungsional. Dalam pengamatan transformasi

budaya, nilai estetik sebuah karya seni akan dinilai bermakna jika merupakan

‘tanda’ dan terjadinya ‘dialog’ ataupun proses sintesis budaya.karena manusia

berbicara, berbuat, dan membangun sesuatu merupakan suatu usaha untuk

membentuk makna. Kemudian makna tersebut akan dapat dicerna oleh manusia

lain dengan berbagai konteks penerimaan yang dapat menimbulkan interpretasi

lain.

Demikian pula halnya dengan kesenian yang merupakan salah satu alat

komunikasi masyarakat umumnya dan khususnya para pecinta seni. Kesenian

telah melalui berbagai proses untuk dapat membentuk sebuah makna yang dapat

20

dicerna oleh para penikmat sebuah karya seni itu sendiri. Kesenian Hudoq Kita’

juga mengalami proses yang sangat panjang dan menghasilkan sesuatu yang

sudah mendarahdaging bagi para pencipta, pelaku, dan penikmat seni itu sendiri.

Berdasarkan kaitan antara tradisi seni dengan karya seni ciptaan baru dapat dilihat

yang ada didalamnya. Karya seni Hudoq Kita’setia pada nilai-nilai tradisi. Karya

seni yang demikian tentu terlalu banyak mengutip tradisi seni masyarakatnya,

meskipun benarbenar karya kreatif dalam seni yang dikandungnya, akan segera

tampak kemiripan dengan berbagai seni yang telah ada. Keistimewaan yang

ditemukan dalam Hudoq Kita’.

KEPUSTAKAAN

Ahimsa, Putra, Heddy Shri, 1998, “ Teks dalam Konteks Seni dalam Kajian

Antropologi Budaya” dalam SENI: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan

Seni, Nomor VI/01, Mei.

Anyang, Thambun Y.C, 1998, Kebudayaan dan Perubahan Daya Taman dalam

Arus Modernisasi, Jakarta: Grasindo.

Alqdarie, Syarif Ibrahim, 1994, Mesianisme dalam Masyarakat Dayak di

Kalimantan Barat, Jakarta: Grasindo.

Anye, Tulung, 1984, Sisetem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Kalimantan

Timur, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan

Dokumentasi Kebudayaan Daerah.

Amir, P. Yasraf. 2010. Semiotika dan Hipersemiotika Gaya, Kode dan Matinya

Makna. Bandung: Matahari

Billa, Martin, 2005, Alam Lestari dan Kearifan Budaya Dayak Kenyah, Jakarta:

Sinar Harapan.

Bertens, K. 2011.Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Bodgan, Robert and Steven Taylor, 1993, “Kualitatif Dasar-Dasar Penelitian”,

Surabaya: Usaha Nasional.

Brown, A.R Radcliffe, 1980, Stuktur dan Fungsi dalam Masyarakat Primitif,

Kualalumpur Dewan Bahasa dan Kementrian Malaysia.

Coomans, Mikhail, 1987, Manusia Daya Dahulu, Sekarang, Masa Depan,

Jakarta: PT. Gramedia.

21

Daeng, Hans J, 2000, Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan Tinjauan

Antropologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Devung, Simon, 1984/1985, Penelitian Suku Terasing Suku Dayak Kenyah

Kalimantan Timur Kelompok Suku Dayak Kenyah di Sungai Alan Kasus

Perubahan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Direktorat Jendral Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional

dan Pembinaan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Timur.

______________, 1990/1991, Upacara Tradisional “Kuangkay Suku Dayak

Benuaq Daerah Kalimantan Timur, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Kalimantan Barat.

Dillistone, F.W, 2002, The Power of Symbols, Yogyakarta: Kanisius.

Djuweng, Stepanus, 1996, Kisah dari Kampung Halaman, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.

_________________, 1996, Manusia Dayak Orang Kecil Terperangkap

Modernisasi, Pontianak: IDRD Pontianak.

Hatta, Moh, 1997, Deskripsi Tari Hudoq Kita’, Kelompok Teknis Seni Tari

Taman Budaya Samarinda Kalimantan Timur.

Hadi, Sumandiyo, 2006, Seni Dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Buku Pustaka.

Hadi, Sumandiyo.2005.Sosiologi Tari. Yogyakarta: Pustaka

Yogyakarta.Kussudiardja,

Hariwijaya, M. 2013. Semiotika Jawa, Kajian Makna Falsafah Tradisi.

Yogyakarta : PARADIGMA INDONESIA P YOGYAKARTA

Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi – Jilid II. Jakarta : Rineka Cipta

Herusatoto, Budiyono, 2003, Simbolisme dalam Budaya Jawa, Yogyakarta:

Harindita Graha Widia.

Holt, Calire, 2000, Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia terj. R.M.

Soedarsono, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Ibrahim, Qurida, 2009, Dayak Kalimantan Timur Sebuah Catatan Perjalanan,

Lembaga Pengkajian Kebudayaan Dayak Kalimantan Timur.

Kayam, Umar, “Seni Pertunjukan Kita”, dalam Jurnal Seni Pertunjukan

Indonesia, Tahun X.

22

Koentjaraningrat, 1987, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Jakarta:

Gramedia.

______________, 1986, Pengantar Antropologi, Jakarta: Aksara Baru.

Lahajir, 2001, Etnoekologi Perladangan Orang Dayak Tunjung Linggang,

Yogyakarta: Galang Press.

Laurer, Robert.H, 2001, Presfektif Tentang Perubahan Sosial, Jakarta: Rineka

Cipta.

Lawai, Liman, 1990, Sejarah Suku Kenyah Leppo’ Tau dan Perkembangan

Stuktur Masyarakat di Kecamatan Kayan Hulu Apo Kayan,

Jakarta: Kebudayaan dan Pelestarian Alam Penelitian

Interdisipliner di Kalimantan Timur.

Maunati,Yekti, 2004, Identitas Dayak Komodifikasi dan Politik Kebudayaan,

Yogyakarta: Lkis.

Malinovski, Richard,1992, Argonauts of Western Pasifis, Waveland, Pree.

Moleong, Lexy. 2007.Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Murgianto, Sal, 1992, Koreografi, Jakarta: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Sachari, Agus.2002. Estetika Makna, Simbol & Daya. Bandung:ITB

Sumardjo, Jakob.2000. Filsafat Seni. Bandung: ITB

Salim, Agus, 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial: dari Denzim Guba

dan Penerapannya, Yogyakarta: Tiara Wacaana.

Syahbandi, 1997/1998, Fungsi dan Peranan Budaya Lisan Bangsa Tunjung,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan

Pengembangan Nilai-nilai Budaya Kalimantan Timur.

Sellato, Bernars, 1999, Kebudayaan dan Pelestarian Alam “Penelitian

Interdisipliner di Pedalaman Kalimantan, Jakarta: Ford Foundation

Indonesia dan Philipina.

Santoso, 2004, Mencermati seni pertunjukan II, STSI Surakarta.

Sedyawati, Edy, 1993, “Topeng Dalam Budaya”, dalam Jurnal Masyarakat Seni

Pertunjukan Indonesia, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.

23

_____________, 1981, Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan.

Soedjono, Soeprapto, 1994, “Fenomena Bentuk Estetika dalam Studi

Perbandingan Seni”, dalam SENI: Jurnal Pengetahuan dan Penciptaan

Seni, IV/04, Oktober.

Soedarsono, 1999, Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa,

Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

_________, 2002, Pertumbuhan Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi,

Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

________, 1977, Tari-tarian Indonesia I, Jakarta: Proyek Pengembangan Media

Direktorat Jendral Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Suardanus,1993, Hudoq Sebuah Simbol dan Tarian Suku Dayak Kalimantan

Timur, Taman Budaya Propinsi Kalimantan Timur.

_______________, 1995/1996, “Sejarah, Peran, Fungsi, dan Bentuk Seni Tari

Suku Bangsa Dayak Kenyah di Desa Pampang” dalam Bunga Rampai

Kesenian Daerah Suku Bangsa Dayak Kenyah, Taman Budaya Samarinda

Kalimantan Timur.

Struss, Amsel and Juliet Corbin, 1997, Dasar-Dasar Penelitian

Kualitatif:Prosedur, Teknik, dan Teori Grounded, Surabaya: Bina Ilmu.

Spradley, James, P, 1997, Metode Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacara.

Sumarjo, Jacob, 2000, Filsafat Seni, Bandung: Institut Teknologi Bandung.

Poerwanto, Hari, 2000, Kebudayaan dan Lingkungan dalam Prespektif

Antropologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rampan, Korrie Layun, 2002, Tarian Gantar “Ngerakau” , Magelang: Yayasan

Indonesiatera.

Radam, Naried Haloie, 2001, Religi Orang Bukit, Yogyakarta: Yayasan Semesta.

Rizzer, Geogrge, 2000, Sosiological Theory, Fifthin edition, Singapore: Mc-Graw

Hill.

Riwut, Tjiling, 1993, Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan,

Yogyakarta: Yayasan Indonesiatera.

____________, 2003, Menyelami Kebudayaan Leluhur, Palangkaraya:

Pusakalima.

24

Taringan, Serta, 1978/1979, Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan

Timur, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tuner, Victor, 1967, The Forest of Symbol; Aspect of Ndembu Ritual, Ithaca and

London: Cornell Offset.

Tohari, Ahmad, “Perjumpaan Sastra dan Seni Tradisi”, dalam Majalah Gong

Media Seni dan Pendidikan Seni, Edisi 61/VI/2004.

Ukur, Fridolin, 1994, Makna Religi dari Alam Sekitar Kebudayaan Dayak,

Jakarta: Grasindo.

Wibowo, Indiwan Seto Wahyu.2013. Semiotika Komunikasi -Edisi 2. Jakarta :

Mitra Wacana Media

Winangun, Y.W . Wartaya, 1990, Masyarakat Bebas Stuktur Liminalitas dan

Komunitas Menurut Victor Tuner, Yogyakarta: Kanisius.