linguistik trapan analisis semiotika

30
PENERAPAN TEORI SEMIOTIKA DALAM KARYA SASTRA Iklimatul Hafazah PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA UNIVERSITAS ISLAM MALANG 2014

Upload: riska-sasaka

Post on 22-Jun-2015

258 views

Category:

Data & Analytics


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Linguistik trapan analisis semiotika

PENERAPAN TEORI SEMIOTIKA DALAM KARYA SASTRA

Iklimatul Hafazah

PASCASARJANA PENDIDIKAN BAHASA

INDONESIAUNIVERSITAS ISLAM

MALANG2014

Page 2: Linguistik trapan analisis semiotika

Latar Belakang Pentingnya kajian linguistik dalam karya sastra

dikemukakan oleh Culler (1975: 55), bahwa tugas kajian linguistik adalah memberikan bantuan dalam analisis sastra dengan memaparkan perlengkapan bahasa yang dimanfaatkan di dalam teks sastra dan diorganisasikan oleh pengarang.

Aminuddin (1995: 14) menegaskan bahwa bahasa dalam karya sastra semestinya mengandung kebaruan dan kekhasan karena hal itu dapat mencerminkan orisinalitas ciptaan, keunikan, dan individualnya.

Page 3: Linguistik trapan analisis semiotika

Kajian linguistik dalam karya sastra harus diposisikan secara wajar dan proposional. Hal itu mengingat pemakaian bahasa dalam karya sastra tidak sama dengan pemakaian bahasa dalam buku ilmiah, majalah dan surat kabar, iklan, perundang-undangan, serta pidato kenegaraan. Karya sastra memiliki keunikan tersendiri sebagai sebuah wacana sastra yang diungkapkan dengan medium bahasa.

Page 4: Linguistik trapan analisis semiotika

Teori Semiotika Menurut Pradopo (1995: 119) semiotik

adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu petanda (signifier) dan penanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh penanda itu yaitu artinya.

Page 5: Linguistik trapan analisis semiotika

Teori Semiotik Michael Riffaterre

Michael Riffaterre dalam bukunya yang berjudul Semiotics of Poetry, mengemukakan bahwa ada empat hal yang harus diperhatikan dalam memahami dan memaknai sebuah puisi. Keempat hal tersebut adalah:

(1) puisi adalah ekspresi tidak langsung, menyatakan suatu hal dengan arti yang lain,

(2) pembacaan heuristik dan hermeneutik (retroaktif),

(3) matriks, model, dan varian, dan

(4) hipogram (Riffatere dalam Salam, 2009:3).

Page 6: Linguistik trapan analisis semiotika

Ketidaklangsungan Ekspresi dalam Puisi Pergeseran arti (Displacing of Meaning) Pergeseran

makna terjadi apabila suatu tanda mengalami perubahan dari satu arti ke arti yang lain, ketika suatu kata mewakili kata yang lain.

Perusakan atau Penyimpangan arti (Distorsing of Meaning) Perusakan atau penyimpangan makna terjadi karena ambiguitas, kontradiksi, dan non-sense. Ambiguitas dapat terjadi pada kata, frasa, kalimat, maupun wacana yang disebabkan oleh munculnya penafsiran yang berbeda-beda menurut konteksnya.

Penciptaan arti (Creating or Meaning) Penciptaan makna berupa pemaknaan terhadap segala sesuatu yang dalam bahasa umum dianggap tidak bermakna, misalnya “simetri, rima, atau ekuivalensi semantik antara homolog-homolog dalam suatu stanza”

Page 7: Linguistik trapan analisis semiotika

Pembacaan heuristik adalah pembacaan sajak sesuai dengan tata bahasa normatif, morfologi, sintaksis, dan semantik. Pembacaan heuristik ini menghasilkan arti secara keseluruhan menurut tata bahasa normatif dengan sistem semiotik tingkat pertama.

Setelah melalui pembacaan tahap pertama, pembaca sampai pada pembacaan tahap kedua, yang disebut sebagai pembacaan retroaktif atau pembacaan hermeneutik. Pada tahap ini terjadi proses interpretasi tahap kedua, interpretasi yang sesungguhnya. Pembaca berusaha melihat kembali dan melakukan perbandingan berkaitan dengan yang telah dibaca pada proses pembacaan tahap pertama.

Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Page 8: Linguistik trapan analisis semiotika

Dalam menganalisis karya sastra (puisi) matriks diabstraksikan berupa satu kata, gabungan kata, bagian kalimat atau kalimat sederhana. Matriks, model, dan varian-varian dikenali pada pembacaan tahap kedua.

Matriks, model, dan teks merupakan varian-varian dari struktur yang sama. Kompleksitas teks pada dasarnya tidak lebih sebagai pengembangan matriks. Dengan demikian, matriks merupakan motor atau generator sebuah teks, sedangkan model menentukan tata cara pemerolehannya atau pengembangannya.

Matriks, Model, dan Varian

Page 9: Linguistik trapan analisis semiotika

Untuk memberikan apresiasi atau pemaknaan yang penuh pada karya sastra, maka sebaiknya karya sastra tersebut disejajarkan dengan karya sastra lain yang menjadi hipogram atau latar belakang penciptaannya

Dengan demikian, objek formal dari analisis puisi dengan kerangka teori Riffaterre adalah “arti” (significance). Karena “arti” itu berpusat pada matriks atau hipogram yang tidak diucapkan di dalam puisinya sendiri, walaupun dapat disiratkannya, maka data mengenainya tidak dapat ditemukan di dalam teks, melainkan di dalam pikiran “pembaca” ataupun “pengarang” (Faruk, 2012:147).

Hipogram

Page 10: Linguistik trapan analisis semiotika

Puisi Sebagai Ekspresi Tidak LangsungRiffaterre (1978:1) mengemukakan bahwa puisi dari waktu ke waktu senantiasa berubah. Perubahan itu disebabkan oleh perbedaan konsep estetik dan evolusi selera. Namun ada satu hal yang tetap dan tidak mengalami perubahan, yak ni puisi itu merupakan ekspresi tidak langsung. Ketaklangsungan ekspresi itu terjadi, karena adanya penggantian, penyimpangan, dan penciptaan arti oleh penulisnya sendiri.

Implementasi Semiotika Michael Riffaterre

Page 11: Linguistik trapan analisis semiotika

DEWA TELAH MATITak ada dewa di rawa-rawa iniHanya gagak yang mengakak malam hariDan siang mengitari bangkaiPertama yang terbunuh dekat kuilDewa telah mati di tepi-tepi iniHanya ular yang mendesir dekat sumberLalu minum dari mulutPelacur yang tersenyum dengan bayang sendiriBumi ini perempuan jalangYang menarik laki-laki jantan dan pertapaKe rawa-rawa mesum iniDan membunuhnya pagi hari

Page 12: Linguistik trapan analisis semiotika

Dewa mengganti Tuhan, rawa-rawa mengganti tempat yang tidak baik, gagak adalah metapora untuk orang jahat, ular adalah mitos penjelmaan setan yang senang mengganggu anak cucu Adam dan Hawa. Jadi, dewa telah mati berarti orang tidak percaya lagi pada Tuhan, dunia ini hanya dipenuhi oleh orang jahat yang penuh nafsu serakah.

Penggantian Arti

Page 13: Linguistik trapan analisis semiotika

Munculnya ambiguitas baik pada kata-kata,frasa, kalimat, maupun pada wacana, misalnya kata rawa atau tepi-tepi dpt ditafsirkan sbgai tmpat pnuh dngan kmaksiatan

Kontradiksi muncul karena penggunaan ironi, paradoks dan antitesis, ironi digunkan untuk mnytakan ssuatu dngn mksd mengjek/mengolok.

Misalnya Dewa telah mati” adalah ironi terhadap hati , manusia yang sudah tidak percaya lagi pada Tuhan. Demikian pula “Pertapa yang terbunuh dekat kuil” adalah ironi dari manusia yang baik pun dapat terjerumus ke dalam kehidupan kemaksiatan dan mati dekat kuil (tempat suci).

Adapun nonsense adalah kata-kata yang tidak mempunyai arti (sesuai kamus), namun mempunyai makna “gaib” sesuai dengan konteks. Nonsense banyak ditemukan dalam puisi-puisi bernuansa mantra seperti dalam puisi Sutardji “Amuk” berikut ini.

Pernyimpangan Arti

Page 14: Linguistik trapan analisis semiotika

AMUKHei kau dengan mantrakuKau dengar kucing memanggilMuizuakalizuMapakazaba itasataliTutulitaPapaliko arukabazaku kodega zuzukalibuTutukaliba dekodega zamzam lagotokoco….Kuzangga zegezegeze aahh…!Nama kalian bebasCarilah Tuhan semaumu

Page 15: Linguistik trapan analisis semiotika

Penciptaan arti terjadi karena pengorganisasian ruang teks, di antaranya; enjambemen, tipografi, dan homolog. Dalam teks biasa (bukan teks sastra), ruang teks itu tidak ada artinya, namun dalam karya sastra khususnya puisi, ruang teks dapat menciptakan/menimbulkan makna.

Sebagaimana dapat kita lihat pada puisi Sutardji “Tragedi Winka Sihka”. Huruf-huruf pada kata kawin dan kasih ditata, dipenggal-penggal, dan dibalik sehingga membentuk lukisan jalan yang zigzak dan berliku-liku, sebagaimana liku-liku kehidupan manusia yang penuh tantangan dan cobaan.

Penciptaan Arti

Page 16: Linguistik trapan analisis semiotika

puisi A. Mustofa Bisri

"SURABAYA"

Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

Page 17: Linguistik trapan analisis semiotika

Dalam pembacaan heuristik ini, puisi dibaca berdasarkan konvensi bahasa atau sistem bahasa sesuai dengan kedudukan bahasa sebagai sistem semiotik tingkat pertama. Puisi dibaca secara linier menurut struktur normatif bahasa.

Surabaya, demikian judul puisi tersebut, adalah sebuah kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta. Surabaya merupakan ibukota provinsi Jawa Timur. Jakarta dan Surabaya sama-sama tergolong kota metropolitan, bedanya, Jakarta lebih dikenal sebagai kota pusat pemerintahan Indonesia, Surabaya lebih sering disebut sebagai kota perdagangan.

Sajak di atas dapat dinaturalisasikan secara heuristik sebagai berikut:

Page 18: Linguistik trapan analisis semiotika

Janganlah menganggap mereka (sedang) kalap, jika meraka menerjang (kekuatan) senjata (tentara) sekutu (yang) lengkap. Janganlah dikira mereka (sedang) nekat, karena mereka cuma berbekal semangat (dalam) melawan seteru (musuh) yang hebat (kuat). Janganlah (men)sepelekan senjata yang (berada) di tangan mereka atau lengan (badan mereka) yang mirip kerangka (sangat kurus).(Namun), tengoklah (semangat) (mem)baja (yang ada) di dada mereka. Janganlah (me)remehkan sesobek kain (yang diikatkan) di kepala (mereka), (tetapi) tengoklah (semangat) merah putih yang berkibar (menggelora) di (dalam) hati mereka, dan (juga) dengar(kanlah) pekik(an) mereka, Allahu Akbar!

Bait Pertama “Surabaya” jika dibaca secara heuristik, maka menjadi berikut:

Page 19: Linguistik trapan analisis semiotika

Dengar(kan)lah pekik(an) mereka. Allahu Akbar! Gaungnya menggelegar mengoyak langit (membahana di seluruh kota) Surabaya yang murka (yang bergolak). Allahu Akbar! (Pekikan itu) menggetarkan (hati) setiap (orang) yang mendengar.

Semua (rintangan) pun menjadi kecil (mudah diatasi). Semua (musuh/tantangan) pun tinggal seupil (tak berarti). Semua (musuh) menggigil (ketakutan). Surabaya. O, kota (lambang) keberanian.

O, kota (yang menjadi) kebanggaan. (Kini), mana sorak-sorai (pekikan) takbirmu yang (mampu dahulu mampu) membakar (memberangus) nyali kezaliman? Mana pekik merdekamu yang (dahulu mampu) menggeletarkan ketidakadilan? Mana arek-arekmu (pemuda-pemudamu) yang siap menjadi tumbal kemerdekaan dan harga diri (martabat) menjaga ibu pertiwi (tanah air/negara) dan anak-anak negeri (bangsa).

Bait kedua

Page 20: Linguistik trapan analisis semiotika

Ataukah kini semuanya (itu) ikut terbuai (terlena) lagu-lagu satu nada demi menjaga keselamatan dan kepuasan diri sendiri. Allahu Akbar! Dulu Arek-arek (para pemuda) Surabaya tak ingin (tidak berniat) menyetrika (melindas) Amerika, melinggis (alat untuk menggali terbuat dari besi/baja yang runcing) Inggris.

Menggada (memukul dengan gada/senjata para penjaga gerbang kerajaan) Belanda, murka (marah) (ke)pada (tentara) Gurka, mereka (para pemuda itu) hanya tak suka (tidak rela) kezaliman yang angkuh merajalela mengotori persada (bumi nusantara), mereka harus melawan (kezaliman itu) meski nyawa yang menjadi taruhan(nya), karena mereka memang (berjiwa sebagai) pahlawan. Surabaya. Di manakah kau sembunyikan Pahlawanku (itu)

Lanjutan

Page 21: Linguistik trapan analisis semiotika

Bermula dari judul puisi, “Surabaya”, bait pertama mengantarkan pembaca menengok kembali kepada peristiwa heroik yang pernah terjadi di kota Surabaya, tanggal 10 November 1945, yaitu perlawanan bangsa Indonesia terhadap tentara sekutu.

Penyair mengajak pembaca untuk tidak meremehkan peristiwa heroik tersebut, mengingat betapa tidak seimbangnya kekuatan antara pemuda-pemuda Surabaya dengan tentara sekutu pada saat itu.

Penggunaan oposisi-oposisi pernyataan dalam bait pertama puisi “Surabaya” ini mempertajam ketidakseimbangan kekuatan tersebut, seperti baris “jangan dikira mereka nekat/karena mereka cuma berbekal semangat/melawan seteru yang hebat”, juga baris “Jangan sepelekan senjata di tangan mereka/atau lengan yang mirip kerangka”.

Baris-baris tersebut mempertegas dua hal yang kontras, di satu hal merupakan kekuatan yang tangguh dan hal lain adalah kelompok yang rapuh secara fisik.

Pembacaan Bait Pertama dalam pembacaan hermeneutik (Retroaktif)

Page 22: Linguistik trapan analisis semiotika

Perlawanan mereka bukanlah perlawanan seperti orang yang sedang kalap atau nekat, tetapi perlawanan yang didasari oleh semangat yang luar biasa.

Penyair memetaforakan semangat luar biasa tersebut dengan “baja” dalam baris “Tengoklah baja di dada mereka”, juga memetaforakan semangat luar biasa para pemuda Surabaya melawan sekutu semata-mata demi tegaknya kemerdekaan Indonesia, dengan frasa “sesobek kain” dan “merah putih”, seperti pada baris “Jangan remehkan sesobek kain di kepala mereka/tengoklah merah putih yang berkibar di hati mereka”.

Gelora perlawanan para pemuda Surabaya semakin membuncah karena keyakinan di hati mereka akan kebesaran Tuhan yang pasti akan menolong kaum yang tertindas, seperti dalam baris “dan dengar pekik mereka/Allahu Akbar!”.

Lanjutan

Page 23: Linguistik trapan analisis semiotika

Bait kedua yang diawali dengan, “Dengarlah pekik mereka/Allah Akbar!”, seolah penyair meyakinkan kepada pembaca bahwa semangat para pemuda Surabaya dalam melakukan perlawanan terhadap musuh memiliki religiusitas yang tinggi, bahwa perjuangan mereka sudah sampai pada tataran totalitas yang mengkristal, yaitu tiada kekuatan yang lebih besar kecuali Allah, Tuhan yang mahabesar.

Semangat seperti itu rupanya telah menjalar ke seluruh warga Surabaya sehingga menjelma menjadi kekuatan yang sangat dahsyat, seperti baris “Gaungnya menggelegar/mengoyak langit/Surabaya yang murka/Allahu Akbar/menggetarkan setiap yang mendengar”. Bila suatu keadaan sudah seperti itu, maka semua rintangan mudah disingkirkan, kehebatan musuh menjadi tak berarti, akhirnya musuh sehebat apapun akan sangat takut, seperti baris “Semua pun menjadi kecil/Semua pun tinggal seupil/Semua menggigil”. Kata “seupil” merupakan metafora, untuk menggambarkan kekuatan musuh yang sangat tangguh itu menjadi tak berarti. Upil adalah bahasa Jawa yang berarti tahi hidung.

Bait kedua

Page 24: Linguistik trapan analisis semiotika

Pada pertengahan bait kedua ini, penyair seolah membangunkan pembaca dari kekhusyukannya menghayati perjuangan warga Surabaya dalam mengusir tentara sekutu yang hendak memberangus kemerdekaan bangsa Indonesia.

Penyair membawa pembaca pada keadaan saat ini, Surabaya, kota yang menjadi simbol keberanian yang membanggakan, telah kehilangan semangat religiusitasnya dalam memerangi kezaliman, seperti dalam baris “Surabaya/O, kota keberanian/O, kota kebanggaan/Mana sorak-sorai takbirmu/yang membakar nyali kezaliman?”

Surabaya, kota yang menjadi simbol perlawanan kesewenang-wenangan ini telah kehilangan semangat perjuangannya dalam menegakkan keadilan, “mana pekik merdekamu/yang menggeletarkan ketidakadilan?”, dan Surabaya yang berjuluk kota pahlawan ini telah pula kehabisan pahlawan-pahlawannya, yang dahulu setia membela kemerdekaan, menjaga martabat bangsa, seperti baris “mana arek-arekmu yang siap/menjadi tumbal kemerdekaan/dan harga diri/menjaga ibu pertiwi/dan anak-anak negeri”.

Page 25: Linguistik trapan analisis semiotika

Kondisi-kondisi tersebut memunculkan kekhawatiran akan lunturnya semangat menegakkan keadilan, semangat perjuangan tanpa pamrih, dan nasionalisme warga Surabaya, seperti baris “Ataukah kini semuanya ikut terbuai/lagu-lagu satu nada/demi menjaga/keselamatan dan kepuasan/diri sendiri”

Pada bagian akhir bait kedua ini, penyair mengoposisikan keadaan dahulu dengan sekarang. Dahulu, dilandasi religuisitas dan nasionalisme yang tinggi, semangat para pemuda Surabaya melawan sekutu tentara gabungan Inggris, Belanda, dan Gurka bukanlah bermaksud memusuhi bangsa Inggris, Belanda, dan orang-orang Gurka, melainkan kezaliman yang mereka perlihatkan secara angkuh di nusantara, seperti dalam baris-baris “Allahu Akbar!/ Dulu arek-arek Surabaya/ tak ingin menyetrika Amerika/ melinggis Inggris/ Menggada Belanda/ murka pada Gurka/ mereka hanya tak suka/ kezaliman yang angkuh merajalela/ mengotori persada”.

Page 26: Linguistik trapan analisis semiotika

Semangat melawan kezaliman itulah yang membuat para pemuda dan warga Surabaya harus melakukan perlawanan meski harus bertaruh nyawa. Itulah esensi sosok pahlawan, yakni rela berkorban dalam memerangi kezaliman yang dilakukan oleh siapa pun dan tanpa pamrih apa pun, “mereka harus melawan/ meski nyawa yang menjadi taruhan/ karena mereka memang pahlawan”.

Sosok seperti itu, saat ini, sulit ditemukan, meskipun di kota yang banyak melahirkan jiwa-jiwa pahlawan sekalipun, yakni kota Surabaya, seperti baris-baris penutup puisi Surabaya, “Surabaya/ Di manakah kau sembunyikan/ Pahlawanku?”

Page 27: Linguistik trapan analisis semiotika

Kata kunci puisi ini adalah Surabaya. Surabaya memiliki sejarah heroik dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia melalui peristiwa pertempuran warga Surabaya dengan tentara sekutu pada tanggal 10 November 1945.

Secara keseluruhan puisi ini mengoposisikan dua hal dan keadaan yang berlawanan. Surabaya yang dahulu memiliki pemuda-pemuda dengan semangat membaja melawan para agresor, memiliki warga yang memiliki jiwa nasionalisme tinggi mempertahankan ibu pertiwi, memiliki semangat religuisitas kuat dalam melawan kezaliman tanpa pamrih apa pun, dioposisikan dengan keadaan sekarang, yakni Surabaya yang telah kehilangan hal-hal tersebut.

Matriks, Model, dan Varian

Page 28: Linguistik trapan analisis semiotika

Oposisi-oposisi tersebut merupakan varian dari matriks yang sama, yang tidak ditemukan secara linier dalam puisi, yaitu esensi pahlawan. Sejatinya pahlawan adalah jiwa yang rela berkorban demi menegakkan keadilan dalam keadaan bagaimanapun, melawan kezaliman yang dilakukan oleh siapapun, membela kebenaran untuk siapapun, dan tanpa berharap apapun selain ridho Allah. Puisi ini memberikan pesan luhur bahwa yang diperlukan sekarang ini adalah bukanlah seorang pahlawan, melainkan jiwa-jiwa pahlawan, yaitu jiwa yang memiliki semangat berkorban tanpa pamrih.

Lanjutan

Page 29: Linguistik trapan analisis semiotika

Matriks esensi pahlawan, yakni jiwa yang senantiasa rela berkorban demi menegakkan keadilan dalam keadaan bagaimanapun, melawan kezaliman yang dilakukan oleh siapapun, membela kebenaran untuk siapapun, dan tanpa berharap apapun selain ridho Allah ini dapat sekaligus berupa hipogram.

Salah satu hipogram tekstual adalah sebuah hadist yang diriwayatkan oleh HR Al-Tirmidzi, “Dari Abi Sa’id al-Khudri, Nabi Saw berkata, “Termasuk jihad yang paling agung adalah menegakkan keadilan di hadapan penguasa yang dzolim (berlaku tidak adil, aniaya).”

Hipogram: Hubungan Intertekstualitas

Page 30: Linguistik trapan analisis semiotika

See You On The Top