jurnal m ibnu hidayah universitas sumatera utara usu
DESCRIPTION
Pertanggungjawaban Pidana Pengurus Yayasan Terhadap Tindak Pidana Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa IzinTRANSCRIPT
Jurnal
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir
Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum
OLEH:
M IBNU HIDAYAH
110200130
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2015
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENGURUS YAYASAN YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN TANPA IZIN
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Ri Nomor 275 K/ Pid.Sus/ 2012 Tentang
Yayasan UISU)
ABSTRAKSI
M Ibnu Hidayah *
Nurmalawaty S.H., M.Hum **
Dr. Muhammad Ekaputra S.H.,M.Hum ***
Pendidikan merupakan hal yang utama untuk mencapai kesejahteraan di
masyarakat, Yayasan sebagai salah satu penyelenggaraan pendidikan swasta
bertanggung jawab untuk mencapai tujuan pendidikan. Namun pelaksanaannya
sering terjadi penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan secara tanpa izin oleh
Yayasan melalui pengurusnya yang dapat menyebabkan ijazah yang dikeluarkan
tidak sah. Salah satu contoh kasus penyelenggaraan tanpa izin tersebut adalah
Kasus Yayasan UISU. Berdasarkan hal ini maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah: Bagaimana kedudukan pengurus yayasan terhadap
penyelenggaraan perguruan tinggi berdasarkan perspektif hukum positif di
Indonesia, bagaimana ketentuan pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan
tanpa izin, bagaimana pertanggungjawaban pengurus yayasan dalam
penyelenggaraan pendidikan di perguruan tinggi berdasarkan putusan MA RI No.
275 K/ Pid.Sus/2012 tentang Yayasan UISU.
Adapun metode penelitian yang digunakan adalah hukum normatif dengan
pendekatan Undang-Undang, yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum
yang tertulis di dalam peraturan perundang-undangan maupun putusan hakim di
pengadilan. Sifat penelitian adalah deskriptif analitis yakni menggambarkan dan
menguraikan peraturan perundang - undangan yang terkait dengan
penyelenggaraan pendidikan tanpa izin yang dilakukan oleh pengurus yayasan.
Berdasarkan penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan
pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki peran di
bidang administrasi, di bidang keuangan, dan yang paling utama adalah
pembentukan statuta Perguruan Tinggi. Selanjutnya ketentuan pidana terhadap
penyelenggaraan pendidikan tanpa izin berdasarkan UU No 20 Tahun 2003
adalah pidana penjara dan denda. Dimana ancaman pidana penjara adalah sepuluh
tahun dan ancaman denda adalah Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) dan
UU No 12 Tahun 2012 menerapkan sanksi administratif. Pertanggungjawaban
pidana pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin
berdasarkan putusan Mahakamah Agung No 275 K/Pid.Sus/2012, adalah
berkaitan dengan pemberian ijazah tanpa hak, dengan pidana penjara selama 1
(satu) tahun, dengan masa percobaan 2 (dua) tahun, dengan denda sebesar Rp.
200.000.000 dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti
dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan, dimana dalam putusan ini, yang
bertanggung jawab adalah Ketua Yayasan.
* Mahasiswa Fakultas Hukum USU
** Dosen Pembimbing I Staf Pengajar Fakultas Hukum USU
*** Dosen Pembimbing II Staf Pengajar Fakultas Hukum USU
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan dimana diharapkan
seseorang dengan pendidikan yang tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas
pula pengetahuannya. Tujuan dari pendidikan sudah tercantum dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu untuk meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang serta untuk kemajuan
peradaban serta kesejahteraan umat manusia.1 Serta membantu terwujudnya
tujuan nasional sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke
IV yaitu melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan dan perdamaian
abadi dan keadilan sosial.
Pengelolaan sistem penyelenggaraan pendidikan nasional merupakan
tanggung jawab pemerintah melalui menteri. Dimana pemerintah
menyelenggarakan sekurang – kurangnya satu satuan pendidikan pada semua
jenjang pendidikan dan pemerintah daerah melakukan koordinasi atas
penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan
penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota
untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Sementara penyelenggaraan
Perguruan Tinggi memiliki otonomi dalam menentukan kebijakan di lembaganya.
Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
proses perkembangan di masyarakat. Karena Pendidikan Tinggi merupakan
jenjang pendidikan tertinggi, setelah pendidikan menengah yang mencakup
program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan
program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh Perguruan
Tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.2 Salah satu bentuk badan
penyelenggara Perguruan Tinggi yang lazim ditemukan di masyarakat adalah
berbentuk badan hukum Yayasan. Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas
kekayaan yang dipisahkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial,
keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunnyai anggota.3 Yayasan
memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian Yayasan memperoleh
pengesahan dari kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan berarti sangat
bergantung terhadap organ – organ Yayasan untuk menyelenggarakan pendidikan.
Hal ini berarti organ – organ Yayasan adalah pihak yang dapat menyelenggarakan
1 Pasal 33 Ayat (3) Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2 Pasal 1 Butir 2 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi 3 Pasal 1 butir 1 Undang Undang Republik Indonesia No 16 tahun 2001 tentang Yayasan
Jo Undang – undang No 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang undang No 16 tahun 2001
tentang Yayasan
106
pendidikan tersebut. Terutama pengurus Yayasan yang memiliki peran sangat
dominan dalam melaksanakan kegiatan Yayasan, dalam hal ini penyelenggaraan
pendidikan. Berbagai masalah timbul dalam penyelenggaraan pendidikan di
Indonesia, baik itu permasalahan non akademis sampai permasalahan akademis.
Permasalahan yang timbul disebabkan oleh berbagai hal, diantaranya keadaan
sosial di masyarakat, pengaruh negatif dari media ataupun konflik internal dari
penyelenggara pendidikan yang berdampak terhadap para siswanya. Dalam
beberapa tahun terakhir sering terdengar di media bahwa terjadi permasalahan
penyelenggaraan pendidikan di tingkat Perguruan Tinggi, dimana kasus yang
terjadi banyak Perguruan Tinggi swasta yang dinyatakan illegal. Contohnya
adalah kasus PTS Universitas Generasi Muda (UGM) Medan dan Universitas of
Sumatera4, dimana Perguruan Tinggi swasta tersebut dinyatakan illegal karena
dituduh tidak memiliki izin operasional untuk menyelenggarakan pendidikan,
namun tetap membuka penerimaan mahasiswa dan tetap memberikan ijazah
kepada mahasiswanya.
Salah satu kasus penyelenggaraan pendidikan tanpa izin yang juga
menjadi sorotan di masyarakat adalah kasus penyelenggaraan pendidikan oleh
Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) yang disebabkan oleh konflik
internal Yayasan sehingga menyebabkan terjadinya permasalahan legalitas dan
izin operasional pendidikan. Permasalahan ini berujung ke permasalahan pidana
terhadap penyelenggaraan pendidikan dimana Mahkamah Agung RI melalui
putusan No: 275 K/PID.SUS/2012 akhirnya menjatuhkan pidana terhadap
pengurus Yayasan UISU yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan
tanpa izin, dimana dalam putusan tersebut, yang dijatuhkan pidana adalah
pengurus Yayasan, dalam hal ini ketua Yayasan Universitas Islam Sumatera
Utara. Hal ini perlu dikaji lebih dalam karena dalam Kasus Yayasan UISU
tersebut yang menjadi penyebab permasalahan izin penyelenggaraan pendidikan
tersebut dikarenakan adaya konflik internal dari Pengurus Yayasan.
Izin penyelenggaraan pendidikan merupakan hal yang esensial dalam
penyelenggaraan pendidikan di Universitas, karena apabila suatu universitas tidak
memiliki izin penyelenggaraan, pihak yang paling dirugikan adalah mahasiswa
serta alumni lulusan universitas tersebut. Ijazah yang dikeluarkan oleh Universitas
yang tidak memiliki izin dianggap tidak sah dan tidak berlaku, dan gelar
akademik yang diperoleh tidak dapat digunakan. Hal ini akan berpengaruh
terhadap kepentingan mahasiswa kedepannya karena akan kesulitan untuk
mendapatkan pekerjaan di masa depan. Berdasarkan latar belakang diatas serta
berbagai permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan, terutama masalah
tentang pertanggungjawaban pidana oleh pengurus Yayasan atas penyelenggaraan
pendidikan tanpa izin serta tindak pidana penyelenggaraan pendidikan tanpa izin
tersebut perlu diteliti lebih dalam, karena berhubungan dengan kepentingan
masyarakat dan kepentingan dunia pendidikan di Indonesia.
4 Medan Bisnis Daily, Dua PTS Dilaporkan Kopertis Ke Kepolisian, diakses dari:
http://www.medanbisnisdaily.com/news/read/2014/03/01/81960/dua-pts-dilaporkan-kopertis-ke-
kepolisian, Pada Tanggal 6 Maret 2014 Pukul 18.00 WIB
106
Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang di atas, adapun yang menjadi pokok
permasalahan dari penelitian ini adalah :
1. Bagaimana kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan
pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan perspektif hukum positif di
Indonesia?
2. Bagaimana ketentuan sanksi pidana terhadap penyelenggaraan pendidikan
tanpa izin?
3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan dalam
penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi berdasarkan putusan
mahkamah agung no 275 K/ Pid.Sus/2012 ?
Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam penelitian skripsi ini, metode penelitian diperlukan agar lebih
terarah dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode penelitian hukum normatif. Metode penelitian hukum
normatif digunakan dalam penelitian ini guna melakukan penelusuran terhadap
norma – norma hukum yang terdapat dalam peraturan – peraturan mengenai
pertanggungjawaban pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan pendidikan
tanpa izin.
Selain itu juga untuk memperoleh data maupun keterangan yang terdapat
dalam berbagai literatur di perpustakaan, jurnal hasil penelitian, situs internet,
Koran dan sebagainya5. Penggunaan metode hukum normatif dimaksudkan untuk
meneliti berbagai bacaan yang mempunyai sumber relevansi dengan judul skripsi
ini yang dapat diambil secara teoritis ilmiah sehingga dapat menganalisa
permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
Penelitian hukum normatif seringkali hukum dikonsepsikan sebagai apa
yang tertulis dalam peraturan perundang – undangan atau hukum dikonsepkan
sebagai kaidah berpatokan pada perilaku manusia yang dianggap pantas.6
2. Pendekatan
Pendekatan yang dilakukan dalam penulisan ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach). Pendekatan perundang – undangan yang
ada sudah cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada berkaitan
5 Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad 20, (bandung:
penerbit Alumni, 1994), Hal. 139 6 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: P.T. Raja
Grafindo Persada, 2003), Hal. 118
106
dengan pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan terhadap penyelenggaraan
pendidikan tanpa izin.
3. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang dipergunakan adalah menggunakan metode penelitian
deskriptif yang bertujuan menggambarkan keadaan objek atau masalah tanpa
maksud untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan yang berlaku secara umum.
Deskriptif tersebut meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu kegiatan
yang dilakukan untuk menentukan isi atau makna aturan hukum yang dijadikan
rujukan dalam menyelesaikan permasalahan yang menjadi objek kajian.7
4. Sumber Data
Dalam penulisan skripsi ini digunakan data sekunder yang terdiri atas:
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan – bahan hukum yang mengikat
yang merupakan landasan utama yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini. Seperti berbagai peraturan perundang undangan yang
meliputi Undang – undang, peraturan pemerintah, dll.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menunjang, yang
memberi penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti buku –
buku, dan pendapat para ahli hukum.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan dari bahan hukum primer dan sekunder berupa kamus
hukum, dan kamus besar bahasa Indonesia (KBBI)
5. Teknik Pengumpulan Data
Data sekunder diperoleh dengan cara melakukan penelitian kepustakaan
dengan cara melakukan inventarisasi terhadap buku, literatur, peraturan
perundang-undangan dan artikel yang selanjutnya dicatat relevansinya dalam
rangka memecahkan masalah.
6. Analisis Data
Analisis data adalah proses menyusun data agar data tersebut dapat
ditafsirkan. Dalam hal ini, analisis yang digunakan adalah analisis data kualitatif
yaitu data yang tidak bisa diukur atau dinilai dengan angka secara langsung.
Dengan demikian maka setelah data primer dan data sekunder berupa
dokumen diperoleh lengkap, selanjutnya dianalisis dengan peraturan yang
berkaitan dengan masalah yang diteliti.
7 H. Zainudin Ali, Metode penelitian hukum, ( Jakarta: Sinar grafika, 2009), Hal. 175-177
106
PEMBAHASAN
TUGAS DAN WEWENANG PENGURUS YAYASAN BERDASARKAN
UNDANG-UNDANG YAYASAN
Pengurus merupakan organ eksekutif dalam Yayasan, karena pengurus
yang melakukan pengurusan baik di dalam dan di luar Yayasan. Pengurus
menjalankan roda Yayasan untuk mencapai maksud dan tujuan Yayasan. Anggota
pengurus yang telah diangkat dalam rapat Pembina, memiliki masa jabatan yang
terbatas seperti pada umumnya yang berlaku pada pejabat Negara/ Pemerintah
maupun pejabat perusahaan. Untuk pengurus Yayasan, Pasal 23 ayat (1) Undang
– undang Yayasan menyebutkan, bahwa masa jabatan pengurus Yayasan adalah
lima tahun dan dapat diangkat kembali. Pembatasan pengangkatan pengurus
Yayasan tidak dibatasi oleh Undang – undang, namun dapat dibatasi oleh
anggaran daasar Yayasan. 8
Pengurus bertanggungjawab sepenuhnya atas kepengurusan Yayasan, baik
untuk kepentingan maupun tujuan Yayasan serta mewakili Yayasan, baik didalam
maupun diluar pengadilan, sesuai dengan asas persona standi in judicio. Ini
berarti bahwa pengurus mewakili Yayasan dalam melakukan gugatan atau
digugat. Pengurus bertanggungjawab secara pribadi apabila yang bersangkutan
dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan anggaran dasar.9
Berdasarkan Pasal 35 Undang – undang Yayasan Nomor 16 tahun 2001,
tugas dan wewenang Yayasan adalah:
a. Bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan
tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan, baik di dalam maupun di luar
pengadilan
b. Setiap pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab
untuk kepentingan dan tujuan Yayasan.
c. Dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), pengurus dapat
mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan Yayasan.
d. Ketentuan tentang syarat mengangkat dan memberhentikan pelaksana kegiatan
Yayasan diatur dalam anggaran dasar Yayasan
e. Setiap pengurus bertanggungjawab penuh secara pribadi apabila yang
bersangkutan dalam menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan ketentuan
anggaran dasar, yang mengakibatkan kerugian Yayasan atau pihak ketiga.
Kemudian Pasal 39 Undang – undang Yayasan Nomor 16 tahun 2001:
a. Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian pengurus dan
kekayaan Yayasan tidak cukup untuk menutup kerugian akibat kepailitan
tersebut,maka setiap anggota pengurus secara tanggung renteng bertanggung
jawab atas kerugian tersebut.
8 Gatot Supramono, Hukum Yayasan di Indonesia ,( Jakarta: Rineka Cipta, 2008), Hal. 85
- 86 9 Chatamarrasjid Ais, Op.Cit.,Hal. 106.
106
b. Anggota pengurus yang dapat membuktikan bahwa kepailitan bukan karena
kesalahan atau kelalaiannya, tidak bertanggungjawaab secara tanggung renteng
atas kerugian tersebut.
Dari ketentuan dalam Pasal 35 tersebut, yang menyatakan bahwa
pengurus harus melakukan tugasnya dengan itikad baik, menunjukan bahwa
pengurus dalam melakukan tugasnya berdasarkan fiduciary duty. Sedangkan
ketentuan yang menyatakan bahwa pengurus dalam melaksanakan tugasnya
dibatasi oleh anggaran dasar (statytory duty).
Kedudukan Pengurus Yayasan Terhadap Penyelenggaraan Perguruan
Tinggi di Indonesia
Dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi di Indonesia terdapat beberapa prinsip
yaitu10
:
a. Pencarian kebenaran ilmiah oleh Sivitas Akademika
b. Demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan
menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai agama, nilai budaya,
kemajemukan, persatuan, dan kesatuan bangsa;
c. Pengembangan budaya akademik dan pembudayaan kegiatan baca
tulis bagi Sivitas Akademika
d. Pembudayaan dan pemberdayaan bangsa yang berlangsung sepanjang
hayat
e. Keteladanan, kemauan, dan pengembangan kreativitas Mahasiswa
dalam pembelajaran;
f. Pembelajaran yang berpusat pada Mahasiswa dengan memperhatikan
lingkungan secara selaras dan seimbang;
g. Kebebasan dalam memilih Program Studi berdasarkan minat, bakat,
dan kemampuan Mahasiswa;
h. Satu kesatuan yang sistemik dengan sistem terbuka dan multimakna
i. Keberpihakan pada kelompok Masyarakat kurang mampu secara
ekonomi
j. Pemberdayaan semua komponen Masyarakat melalui peran serta
dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan Pendidikan
Tinggi
Pada dasarnya kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi memiliki peran yang cukup besar baik di bidang administrasi maupun di
bidang keuangan. Namun, hal yang paling utama dari kedudukan pengurus
10 Pasal 6 Undang – undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi
106
Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi adalah
pembentukan statuta Perguruan Tinggi.
Statuta adalah peraturan dasar Pengelolaan Perguruan Tinggi yang digunakan
sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di Perguruan
Tinggi. Hal ini berarti ketentuan mengenai organisasi dan tata kelola Perguruan
Tinggi yang diselenggarakan oleh Yayasan haruslah berdasarkan statuta
Perguruan Tinggi.
Statuta Perguruan Tinggi tersebut paling sedikit memuat:
1. Ketentuan Umum
2. Identitas
3. Penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tingi
4. Sistem penjaminan mutu internal
5. Bentuk dan tata cara Penetapan Peraturan
6. Pendanaan dan kekayaan
7. Ketentuan Peralihan dan
8. Ketentuan Penutup
Dari ketentuan tersebut dapat dilihat bahwa pengurus Yayasan memiliki
kedudukan dan peranan yang cukup besar dalam penyelenggaraan Perguruan
Tinggi, yaitu dari pembuatan statuta Perguruan Tinggi yang juga mencakup
tentang peraturan Perguruan Tinggi, pendanaan, serta sistem penyelenggaraannya.
Dalam penyelenggaraannya, Perguruan Tinggi juga memiliki akuntabilitas
publik, yang diwujudkan melalui pemenuhan atas kewajiban untuk menjalankan
visi dan misi Pendidikan Tinggi nasional sesuai izin Perguruan Tinggi dan sesuai
izin program studi yang ditetapkan oleh menteri. Dalam penyelenggaraan
Perguruan Tinggi swasta, target kinerja tersebut juga ditetapkan oleh badan
penyelenggara, dalam hal ini pengurus Yayasan penyelenggara Perguruan Tinggi.
Karena ketentuan mengenai akuntabilitas publik Perguruan Tinggi tersebut diatur
di dalam statuta masing – masing Perguruan Tinggi.
Dalam pengelolaan Pendidikan Tinggi terdapat pengaturan yang meliputi
otonomi Perguruan Tinggi, pola pengelolaan Perguruan Tinggi, tata kelola
Perguruan Tinggi dan akuntabilitas publik. Hal ini berarti Perguruan Tinggi
memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat
penyelenggaraan tridharma Perguruan Tinggi, termasuk juga Perguruan Tinggi
swasta.
106
KETENTUAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENYELENGGARAAN
PENDIDIKAN TANPA IZIN
Di dalam pengaturan tentang sistem pendidikan tersebut juga diatur
mengenai ketentuan pidana, yaitu terdapat di bab XX. Tujuan diaturnya ketentuan
pidana dalam Undang – undang No 20 Tahun 2003 tersebut adalah untuk
tercapainya ketertiban dalam sistem penyelenggaraan di Indonesia. Ketentuan
pidana tersebut adalah sebagai berikut11
:
1. Pasal 67:
(1) Perseorangan , organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang
memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan /atau
vokasi tanpa hak, dipidana dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
(2) Penyelenggara Perguruan Tinggi yang dinyatakan ditutup berdasarkan
Pasal 21 ayat (5) dan masih beroperasi dipidana dengan pidana penjara paling
lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 1.000.000.000,00
(satu milyar rupiah)
(3) Penyelenggara pendidikan yang memberikan sebutan guru besar atau
profesor dengan melanggar Pasal 23 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
(4) Penyelenggara pendidikan jarak jauh yang tidak memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama sepuluh tahun dan /atau pidana denda paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
2. Pasal 68:
(1) Setiap orang yang membantu memberikan ijazah, sertifikat
kompetensi, gelar akademik, profesi, dan /atau vokasi dari satuan pendidikan yang
tidak memenuhi persyaratan , dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)
(2) Setiap orang yang menggunakan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi dan/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang
tidak memenuhi persyaratan dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)
11 Pasal 67 – 71, Undang Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional
106
(3) Setiap orang yang menggunakan gelar lulusan yang tidak sesuai
dengan bentuk dan singkatan yang diterima dari Perguruan Tinggi yang
bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) dipidana dengan
pidana penjara paling lama dua tahun dan / atau pidana denda paling banyak Rp.
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)
(4) Setiap orang yang memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru
besar yang tidak sesuai dengan Pasal 21 ayat(1) dan /atau ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupuah)
3. Pasal 69:
(1) Setiap orang yang menggunakan ijazah , sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi dan/atau vokasi yang terbukti palsu dipidana dengan pidana
penjara paling lama lima tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp.
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
(2) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa hak menggunakan ijazah
dan/atau sertifikat kompetensi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat(2) dan
ayat (3) yang terbukti palsu dipidana dengan pidana penjara paling lama lima
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah)
4. Pasal 70:
Lulusan yang karya ilmiah yang digunakannya untuk mendapatkan gelar
akademik, profesi atau vokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat(2)
terbukti merupakan jiplakan dipidana dengan pidana penjara paling lama dua
tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah)
5. Pasal 71:
Penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan tanpa izin pemerintah
atau pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
Dari ketentuan pidana diatas, dapat kita klasifikasikan bahwa Tindak
Pidana yang diatur dalam UU 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional adalah:
a. Tindak Pidana Memberikan Ijazah, Sertifikat Kompetensi, Gelar
akademik, Profesi, dan/atau Vokasi tanpa Hak.
b. Menyelenggarakan Perguruan Tinggi yang telah ditutup.
106
c. Penyelenggara Pendidikan yang Memberikan gelar Guru Besar atau
Profesor yang melanggar ketentuan Undang – undang Sistem
Pendidikan Nasional.
d. Penyelenggaraan pendidikan jarak jauh yang tidak sesuai dengan
ketentuan Undang – undang Sistem Pendidikan Nasional
e. Membantu memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik,
profesi, dan /atau vokasi tanpa hak.
f. Penggunaan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan
/atau vokasi yang diperoleh dari satuan pendidikan yang tidak sesuai
dengan undang-undang sistem pendidikan nasional.
g. Penggunaan gelar lulusan yang tidak sesuai bentuk dan singkatan yang
diterimanya dari Perguruan Tinggi yang sah.
h. Memperoleh dan/atau menggunakan sebutan guru besar yang tidak
sesuai dengan undang-undang sistem pendidikan nasional yang
berlaku
i. Tindak Pidana penggunaan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar
akademik, profesi dan/atau vokasi palsu
j. Pembuatan Karya Ilmiah yang merupakan Plagiat / Jiplakan
k. Penyelenggaraan Pendidikan Tanpa Izin dari pemerintah
Undang – undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi sebagai
garda terdepan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, dengan mengembangkan
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi untuk memajukan kesejahteran umum dan
keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, juga mengatur ketentuan pidana
tentang penyelenggaraan Pendidikan Tinggi, yaitu :
Pasal 93 Undang – undang No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi:
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang melanggar
Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 42 ayat (4), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat
(4), Pasal 60 ayat (2), dan Pasal 90 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Dari ketentuan Pasal 93 Undang – undang No 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi disebutkan bahwa penyelenggara pendidikan yang melanggar
Pasal 28 ayat (6) atau ayat (7), Pasal 43 ayat (3), Pasal 44 ayat (4), Pasal 60 ayat
(2), dan Pasal 90 ayat (4) dapat dikenakan sanksi pidana. Masing – masing Pasal
tersebut mengatur tentang:
Pasal 28 ayat (6):
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak
dilarang memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.
106
Pasal 28 ayat (7):
Perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar
vokasi, dan/atau gelar profesi.
Pasal 42 ayat (4):
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak
dilarang memberikan ijazah.
Pasal 43 ayat (3):
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak
dilarang memberikan sertifikat profesi.
Pasal 44 ayat (4):
Perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan Tinggi yang tanpa hak
dilarang memberikan sertifikat kompetensi
Pasal 60 ayat (2):
PTS didirikan oleh Masyarakat dengan membentuk badan penyelenggara
berbadan hukum yang berprinsip nirlaba dan wajib memperoleh izin Menteri.
Pasal 90 ayat (4):
Perguruan Tinggi lembaga negara lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
wajib:
a. memperoleh izin Pemerintah;
b. berprinsip nirlaba;
c. bekerja sama dengan Perguruan Tinggi Indonesia atas izin Pemerintah; dan
d. mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan warga negara Indonesia.
Dari ketentuan pidana diatas, dapat kita klasifikasikan bahwa Tindak
Pidana yang diatur dalam Undang – undang No 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi adalah:
a. Larangan kepada perseorangan, organisasi, atau penyelenggara Pendidikan
Tinggi secara tanpa hak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau
gelar profesi.
b. Larangan secara tanpa hak menggunakan gelar akademik, gelar vokasi,
dan/atau gelar profesi.
c. Larangan terhadap perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi secara tanpa hak memberikan ijazah.
d. Larangan terhadap perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi secara tanpa hak memberikan sertifikat profesi.
e. Larangan terhadap perseorangan, organisasi, atau penyelenggara
Pendidikan Tinggi secara tanpahak memberikan sertifikat kompetensi.
f. Perguruan Tinggi Swasta yang didirikan oleh masyarakat dengan
membentuk badan penyelenggara berbadan hukum yang berprinsip nirlaba
wajib memperoleh izin menteri.
106
g. Perguruan Tinggi lembaga negara lain yang menyelenggarakan
Pendidikan Tinggi di Indonesia wajib memperoleh izin Pemerintah,
berprinsip nirlaba, bekerja sama dengan Perguruan Tinggi di Indonesia
atas izin Pemerintah, serta mengutamakan Dosen dan tenaga kependidikan
warga negara Indonesia.
Berdasarkan ketentuan pidana Pasal 93 Undang – undang No 12 Tahun
2012 tentang Pendidikan Tinggi, ketentuan tentang tindak pidana
penyelenggaraan pendidikan tanpa izin terdapat pada larangan yang melanggar
Pasal 60 ayat (2) dan Pasal 90 ayat (4). Sedangkan ketentuan tentang tindak
pidana memberikan ijazah tanpa hak terdapat pada larangan melanggar Pasal 42
ayat (4).
Unsur pelaku atau subyek hukum yang terdapat di dalam Pasal 60 ayat (2),
Pasal 90 ayat (4) dan Pasal 42 ayat 4 adalah perorangan, organisasi atau
penyelenggara pendidikan. Hal ini berarti terdapat kesamaan mengenai pelaku
tindak pidana didalam Undang – undang No 20 Tahun 2003 dengan Undang –
undang Nomor 12 Tahun 2012, yaitu Manusia dan Korporasi.
Berdasarkan ketentuan Pasal 93 Undang – undang No 12 Tahun 2012
Tentang Pendidikan Tinggi, sanksi pidana yang diberikan adalah dalam bentuk
Sanksi pidana pokok, sedangkan sanksi pidana tambahan tidak ada. Pidana pokok
yang terdapat didalam Pasal tersebut adalah pidana penjara dan denda. Dimana
ancaman pidana penjara adalah sepuluh tahun dan ancaman denda adalah Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Selain sanksi pidana, Undang – undang No 12 Tahun 2012 Tentang
Pendidikan Tinggi juga menerapkan sanksi administratif yang berupa12
:
a. Peringatan tertulis;
b. Penghentian sementara bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah;
c. Penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan Pendidikan;
d. Penghentian pembinaan; dan/atau
e. Pencabutan izin.
PERTANGGUNGJAWABAN PENGURUS YAYASAN DALAM
PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI PERGURUAN TINGGI
BERDASARKAN PUTUSAN MA Reg. 275 K/ PID.SUS/2012 TENTANG
YAYASAN UISU
Putusan Mahkamah Agung No Reg. 275 K/Pid.Sus/2012
Kronologis Kasus
Dalam kurun waktu 2009 dan 2010, Terdakwa, Ir. Helmi Nasution M.Hum
yang merupakan Ketua Umum Yayasan UISU berdasarkan Akta Tengku Perdana
Sulaeman No. 2 Tahun 2006 tentang Kepengurusan Yayasan Universitas Islam
Sumatera Utara, bersama – sama dengan Chairul M. Mursin selaku Rektor
Universitas Islam Sumatera Utara menyelenggarakan pendidikan pada Universitas
Islam Sumatera Utara, yaitu dengan menerima mahasiswa baru dan
12 Pasal 92 ayat 2, Undang – undang No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi
106
menyelenggarakan perkuliahan pada 9 (Sembilan) program pendidikan strata 1
dan 1 (satu) program pasca sarjana. Dimana selama tahun 2009 jumlah mahasiswa
yang diterima adalah kurang lebih 1594 (seribu lima ratus Sembilan puluh empat)
untuk pendidikan tingkat strata 1 (S1) dan kurang lebih 83 (delapan puluh tiga)
orang untuk pendidikan tingkat strata 2 (S2) dan selama tahun 2010 adalah kurang
lebih 942 (sembilan ratus empat puluh dua) orang untuk pendidikan tingkat strata
1 (S1).
Selama kurun waktu tahun 2009 dan 2010 Terdakwa Helmi Nasution.
bertindak selaku Ketua Umum Yayasan Universitas Islam Sumatera Utara (UISU)
dengan Chairul M. Mursin selaku Rektor Universitas Islam Sumatera Utara
(UISU) juga telah melaksanakan wisuda sebanyak 3 tiga kali.
Dalam setiap pelaksanaan wisuda tersebut, Chairul M. Mursin selalu
melaporkannya kepada Terdakwa. Kemudian Terdakwa selaku Ketua Yayasan
UISU memimpin pada setiap pelaksanaan wisuda yang diselenggarakan di
Auditorium UISU yang terletak di kampus induk (Al Munawarah) Jl. SM. Raja
Kel. Teladan Barat Kec. Medan Kota, dan memberikan ijazah yang telah
ditandatangani oleh Chairul M. Mursin selaku Rektor kepada para wisudawan.
Namun akibat terjadi konflik di dalam Yayasan UISU, sehingga UISU
terbagi menjadi dua Yayasan, maka Menteri Pendidikan Nasional selaku
penanggung jawab sistem pendidikan nasional menerbitkan Surat Nomor:
131/MPN/DT/2009 tanggal 11 September 2009 perihal penyelesaian masalah
UISU yang ditujukan kepada Ketua Umum Yayasan UISU dalam hal ini Usman
Pelly yang pada pokoknya menyatakan : Yayasan yang dipimpin oleh Usman
Pelly memiliki hak dan kewenangan untuk mengelola Perguruan Tinggi
Universitas Islam Sumatera Utara disingkat UISU beserta seluruh sumber daya
yang dimiliki.
Pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah memanggil para pihak
yaitu: Rektor Usman dan Chairul M. Mursin dan menyatakan bahwa yang berhak
atas Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) adalah Usman dan meminta agar
Chairul M. Mursin agar mematuhi Surat Menteri Pendidikan Nasional No.
131/MPN/DT/2009 tanggal 11 September 2009 perihal penyelesaian masalah
UISU tersebut.
Pihak Kopertis Wilayah 1 Nangroe Aceh Darusalam – Sumatera Utara
dengan surat nomor: 057/L.1.2.1/PS/2010 tanggal 12 April 2010 yang ditujukan
kepada Chairul M. Mursin sudah melarang pelaksanaan wisuda dan sekaligus
melarang melakukan penerimaan mahasiswa baru serta melaksanakan kegiatan
belajar mengajar dengan mengatas namakan Universitas Islam Sumatera Utara
(UISU). Namun baik Terdakwa Helmi Nasution. maupun Chairul M. Mursin tidak
mengindahkannya.
1. Putusan Pengadilan Negeri Nomor: 4046/Pid.B/2010/PN.Mdn
Putusan Mahkamah Agung No Reg. 275 K/Pid.Sus/2012 merupakan
putusan kasasi atas putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor:
106
4046/Pid.B/2010/PN.Mdn tanggal 06 Juli 2011 yang amar selengkapnya sebagai
berikut:
1. Menyatakan perbuatan yang didakwakan kepadaTerdakwa Helmi
Nasution terbukti akan tetapi perbuatan yang terbukti itu tidak merupakan
suatu tindak pidana ;
2. Melepaskan Terdakwa oleh karena itu dari segala tuntutan hukum ;
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat
serta martabatnya;
4. Memerintahkan barang bukti berupa:
a. Surat dari Chairul M. Mursin mengatas namakan Rektor UISU
mengirimkan nama-nama peserta Wisuda Periode Pertama/2010
tanggal 3 April 2010;
b. Surat dari Koordinator Kopertis Wilayah – 1 NAD – SUMUT
Nomor: 057/L.1.2.1./PS/2010 tanggal 12 April 2010 tentang
larangan kepada Chairul M. Mursin untuk melakukan wisuda dan
penerimaan mahasiswa baru atas nama UISU;
c. Kwitansi pembayaran SPP/ Uang Kuliah Pembayaran pada tahun
2006 – 2007 sebesar Rp. 3.850.000,- (tiga juta delapan ratus lima
puluh ribu rupiah) yang disetorkan kepada Marnelly pada tanggal
23 Februari 2008;
d. Kwitansi pembayaran SPP/ Uang kKuliah Pembayaran pada tahun
2007 – 2008 sebesar Rp.5.500.000,- (lima juta lima ratus ribu
rupiah) yang disetorkan kepada Irwansyah Harahap, SE pada
tanggal 14 Februari 2008
e. Kwitansi pembayaran SPP/ Uang kKuliah Pembayaran pada tahun
2008 – 2009 sebesar Rp.5.500.000,- (lima juta lima ratus ribu
rupiah) yang disetorkan kepada Najamuddin Nasution, S.Sos pada
tanggal 18 Juli 2008.
f. Kwitansi pembayaran SPP/ Uang kKuliah Pembayaran pada tahun
2008 – 2009 sebesar Rp.5.500.000,- (lima juta lima ratus ribu
rupiah) yang disetorkan kepada Irwansyah Harahap, SE pada
tanggal 14 Februari 2008
g. 1 (satu) lembar ijazah mahasiswi Fakultas kedokteran a.n Elfida
Sari ditandatangani oleh Rektor a.n Chairul M. Mursin dengan
Dekan a.n. Rahmad Nasution
h. Surat transkrip nilai Pendidikan Profesi Dokter dari Fakultas
Kedokteran UISU atas nama Elfida Sari Haarahap dengan nomor
106
seri : 09.71.08.1.092 tanggal 13 Juli 2009 yang ditandatangani oleh
Rektor a.n. Chairul M. Mursin dengan Dekan a.n. Rahmad
Nasution
Terlampir dalam berkas perkara lain a.n Chairul M. Mursin.
5. Membebankan biaya perkara kepada negara.
2. Putusan Mahkamah Agung Nomor 275 K/Pid.Sus/2012
Kemudian Jaksa Penuntut Umum mengajukan permohonan Kasasi dengan
Nomor:84/Akta Pid/2011/PN.Mdn yang diajukan pada tanggal 18 Juli 2011 serta
memori kasasi pada tanggal 28 Juli 2011. Atas permohonan kasasi oleh Jaksa
Penuntut Umum tersebut, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan tersebut
melalui Putusan No Reg. 275 K/Pid.Sus/2012 yang Amarnya adalah sebagai
berikut:
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : Jaksa
Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Medan tersebut:
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Medan Nomor :
4046/Pid.B/2010/PN.Mdn tanggal 06 Juli 2011.
Mengadili Sendiri
1. Menyatakan Terdakwa Ir. Helmi Nasution M.Hum terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara
bersama-sama memberikan ijazah tanpa hak”
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Helmi Nasution oleh
karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun.
3. Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak usah dijalani, kecuali
apabila dikemudian hari ada perintah lain dengan putusan Hakim,
karena Terdakwa sebelum masa percobaan selama 2 (dua) tahun
berakhir telah melakukan perbuatan yang dapat dipidana.
4. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa untuk membayar denda
sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana
kurungan selama 3 (tiga) bulan.
5. Menetapkan barang bukti berupa:
a. Surat dari Chairul M. Mursin mengatas namakan Rektor
UISU mengirimkan nama-nama peserta Wisuda Periode
Pertama/2010 tanggal 3 April 2010;
b. Surat dari Koordinator Kopertis Wilayah – 1 NAD –
SUMUT Nomor: 057/L.1.2.1./PS/2010 tanggal 12 April
106
2010 tentang larangan kepada Chairul M. Mursin untuk
melakukan wisuda dan penerimaan mahasiswa baru atas
nama UISU;
c. Kwitansi pembayaran SPP/ Uang Kuliah Pembayaran pada
tahun 2006 – 2007 sebesar Rp. 3.850.000,- (tiga juta
delapan ratus lima puluh ribu rupiah) yang disetorkan
kepada Marnelly pada tanggal 23 Februari 2008;
d. Kwitansi pembayaran SPP/ Uang kKuliah Pembayaran
pada tahun 2007 – 2008 sebesar Rp.5.500.000,- (lima juta
lima ratus ribu rupiah) yang disetorkan kepada Irwansyah
Harahap, SE pada tanggal 14 Februari 2008
e. Kwitansi pembayaran SPP/ Uang kKuliah Pembayaran
pada tahun 2008 – 2009 sebesar Rp.5.500.000,- (lima juta
lima ratus ribu rupiah) yang disetorkan kepada Najamuddin
Nasution, S.Sos pada tanggal 18 Juli 2008.
f. Kwitansi pembayaran SPP/ Uang kKuliah Pembayaran
pada tahun 2008 – 2009 sebesar Rp.5.500.000,- (lima juta
lima ratus ribu rupiah) yang disetorkan kepada Irwansyah
Harahap, SE pada tanggal 14 Februari 2008
g. 1 (satu) lembar ijazah mahasiswi Fakultas kedokteran a.n
Elfida Sari ditandatangani oleh Rektor a.n Chairul M.
Mursin dengan Dekan a.n. Rahmad Nasution. Surat
transkrip nilai Pendidikan Profesi Dokter dari Fakultas
Kedokteran UISU atas nama Elfida Sari Haarahap dengan
nomor seri : 09.71.08.1.092 tanggal 13 Juli 2009 yang
ditandatangani oleh Rektor a.n. Chairul M. Mursin dengan
Dekan a.n. Rahmad Nasution
Terlampir dalam berkas perkara lain a.n Chairul M. Mursin.
Membebankan Terdakwa tersebut untuk membayar biaya perkara dalam
tingkat kasasi ini sebesar Rp. 2500,- (dua ribu lima ratus rupiah)
1. Analisis Putusan
Berdasarkan kasus tersebut, ada beberapa fakta hukum yang dapat menjadi
pertimbangan untuk menganalisa kasus tersebut lebih lanjut yaitu:
a. Terdapat dualisme dalam kepengurusan Yayasan UISU yaitu
Yayasan UISU yang dipimpin oleh Terdakwa Ir Helmi Nasution
dan Yayasan UISU yang dipimpin oleh Usman Pelly
106
b. Akibat dualisme dalam kepengurusan Yayasan UISU tersebut,
timbul permasalahan Yayasan UISU mana yang berhak atas
penyelenggaraan Universitas Islam Sumatera Utara.
Dalam kasus tersebut, Jaksa Penuntut Umum dalam Surat Dakwaannya
merumuskan dakwaan alternatif, dimana didalam dakwaan alternatif harus
diperiksa dan pertimbangkan duli dakwaan urutan pertama dengan ketentuan13
:
a. Apabila dakwaan urutan pertama terbukti, pemeriksaan terhadap
dakwaan yang selebihnya (urutan kedua atau ketiga) tidak perlu
lagi diperiksa dan dipertimbangkan
b. Penjatuhan hukuman didasarkan pada dakwaan yang dianggap
terbukti.
Dakwaan pertama adalah bahwa perbuatan Terdakwa diatur dan diancam
pidana sebagaimana dalam Pasal 67 ayat (1) Undang – undang No. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Sedangkan dakwaan kedua adalah bahwa Perbuatan Terdakwa diatur dan diancam
pidana sebagaimana Pasal 71 Undang – undang Republik Indonesia No. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP.
Dalam dakwaan tersebut terdapat unsur penyertaan yaitu pasal 55 KUHP.
Pasal 55 KUHP memberikan klasifikasi siapa orang yang dianggap sebagai pelaku
dan pembantu dalam suatu tindak pidana. Ternyata dalam pasal tersebut
menganggap pelaku bukan saja mereka yang memenuihi unsur suatu kejahatan,
akan tetapi juga mereka yang terlibat dalam peristiwa tindak pidana.14
Majelis Hakim pada tingkat Pengadilan Negeri melalui Putusan No
4046/Pid.B/2010/PN.Mdn tanggal 06 Juli 2011 Menyatakan perbuatan yang
didakwakan kepadaTerdakwa Helmi Nasution terbukti akan tetapi perbuatan yang
terbukti itu tidak merupakan suatu tindak pidana. Putusan PN Medan tersebut
merupakan putusan lepas dari segala tuntutan hukum dimana merupakan salah
satu dari jenis putusan pengadilan sebagaimana yang ditentukan berdasarkan
Pasal 191 ayat (2) KUHAP.15
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP ini dapat
disimpulkan bahwa putusan lepas dari segala tuntutan hukum itu, dijatuhkan
apabila pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa bukan
merupakan tindak pidana, meskipun perbuatannya itu terbukti dilakukan olehnya.
Dengan kata lain, dalam putusan lepas ini, sebenarnya perbuatan itu ada/terjadi
13
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006) Hal. 400 14
Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,
(Jakarta: Universitas Tarumanegara, 1996) Hal. 52 15Pasal 191 ayat (2) KUHAP berbunyi: “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan
yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
106
dan terbukti dilakukan oleh pelaku/terdakwa sebagaimana yang didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum, akan tetapi perbuatan itu bukan merupakan tindak
pidana.16
Pasal 67 KUHAP mengatur bahwa terdakwa dan penuntut umum berhak
minta banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap
putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah
kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan. Selanjutnya pasal 244
KUHAP mengatur bahwa terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada
timgkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung,
terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi
kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas. Berdasarkan ketentuan
di atas jelas bahwa menurut KUHAP putusan bebas tidak dapat dimintakan upaya
huukum, baik banding maupun kasasi.17
Namun dengan adanya putusan
Mahkamah Konstitusi No. 114/PUU – X/2012 tanggal 28 Maret 2013 yang
menyatakan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam Pasal 244 Undang –
undang No 8 Tahun 1981 tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,
maka Mahkamah Agung berwenang memeriksa permohonan kasasi terhadap
putusan bebas.
Majelis Hakim pada tingkat kasasi melalui Putusan No Reg. 275
K/Pid.Sus/2012 Menyatakan Terdakwa Ir. Helmi Nasution M.Hum terbukti secara
sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “secara bersama-sama
memberikan ijazah tanpa hak”. Menetapkan bahwa pidana tersebut tidak usah
dijalani, kecuali apabila dikemudian hari ada perintah lain dengan putusan Hakim,
karena Terdakwa sebelum masa percobaan selama 2 (dua) tahun berakhir telah
melakukan perbuatan yang dapat dipidana. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa
untuk membayar denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana
kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Ada beberapa hal yang menarik untuk dianalisa dari putusan tersebut,
yang pertama adalah pertimbangan majelis hakim mengenai dualisme Yayasan
UISU tersebut. Dalam pertimbangannya majelis hakim berpendapat bahwa
Yayasan UISU yang sah adalah Yayasan yang dipimpin oleh Usman Pelly. Dasar
pertimbangan Majelis Hakim tersebut adalah Surat Nomor: 131/MPN/DT/2009
tanggal 11 September 2009 perihal Yayasan tersebut bahwa ketua Yayasan yang
sah adalah Usman Pelly dan rektornya yaitu Usman. Yang dikeluarkan oleh
Menteri Pendidikan Nasional.
Sedangkan menurut Majelis Hakim Pengadilan Negeri Medan dalam
pertimbangannya menyatakan bahwa didalam surat dimaksud pada pokoknya
16
M. Hamdan dan M Eka Putra, Eksaminasi Putusan Nomor:
362/PID.SUS/2013/PN.SRG, Hal. 22, Disampaikan dalam acara Eksaminasi Putusan Pengadilan
Tentang Lingkungan Hidup di Universitas Sumatera Utara 17
A. Wisnubroto, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, (Bandubg: PT
Citra Aditya Bakti, 2005) Hal 105
106
meminta kepada Usman Pelly untuk menyelesaikan terjadinya dualisme
pengelolaan Yayasan UISU tanpa diskriminatif dan disamping itu juga terdapat
pengakuan dari Mendiknas terhadap Usman Pelly sebagai pengelola Yayasan
UISU sehingga surat tersebut tidak dapat menyelesaikan permasalahan adanya
dualisme kepengurusan Yayasan yang mengelola UISU karena kenyataannya
sampai saat ini Usman Pelly sebagai pihak yang diminta untuk menyelesaikan
tidak dapat menyelesaikan permasalahan sesuai dengan isi surat tersebut.
Majelis Hakim berpendapat bahwa unsur “tanpa hak” tersebut terpenuhi
karena tidak mempunyai izin dari pihak yang berwenang, sehingga
penyelenggaraan pendidikan Yayasan UISU yang dikelola oleh Terdakwa
dianggap tidak memiliki izin pada saat pemberian ijazah tersebut yaitu pada tahun
2009 sampai 2010. Namun Majelis Hakim dalam pertimbangannya bertentangan
satu sama lain, karena dalam pertimbangan pertama menyebutkan
“penyelenggaraan izin operasional sejak tahun 1952 tetapi telah berakhir 2007”
sedangkan dalam pertimbangan selanjutnya menyatakan “ Ketua Umum Yayasan
menyelenggarakan pendidkan dengan mengangkat Chairul M. Mursin sebagai
rektor, lalu menggunakan fasilitas Yayasan UISU, kemudian menerima
mahasiswa baru sampai melakukan wisuda, akan tetapi izin operasional dalam
menyelenggarakan pendidikan tinggi tersebut telah berakhir pada tahun 2010 ”.
Apabila izin operasional tersebut memang berakhir pada 2007, hal ini
berarti Terdakwa memang menyelenggarakan pendidikan tanpa izin pada tahun
2009 dan 2010, namun apabila izin tersebut berakhir pada 2010, maka
penyelenggaraan pendidikan pada tahun 2009 dan 2010 tersebut bukanlah
penyelenggaraan pendidikan tanpa izin. Sehingga unsur “tanpa hak” tersebut
seharusnya tidak terpenuhi. Hal ini mengakibatkan ketidakjelasan mengenai izin
operasional tersebut apakah berakhir tahun 2007 atau 2010.
Hal terakhir yang perlu diperhatikan adalah putusan oleh Majelis Hakim
dalam kasus tersebut. Majelis Hakim menerapkan putusan yang tidak memberikan
manfaat apapun terhadap masyarakat secara langsung, khususnya terhadap
penyelesaian permasalahan penyelenggaraan pendidikan oleh Yayasan UISU
tersebut. Pidana yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim adalah pidana bersyarat,
dengan masa percobaan 2 (dua tahun). Serta denda sebesar Rp. 200.000.000
dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan
pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Apabila ditinjau dari tujuan pemidanaan, suatu putusan pidana seharusnya
memiliki efek jera terhadap pelaku tindak pidana, atau memberi manfaat terhadap
pembinaan terdakwa serta pencegahan terulangnya suatu tindak pidana. Namun
didalam Putusan Mahkamah Agung No Reg. 275 K/Pid.Sus/2012 tidak jelas
tujuan dari pemidanaan terhadap pelaku, karena tidak memberikan efek jera sama
sekali dan tidak memberikan penyelesaian apapun terhadap dualisme
penyelenggaraan pendidikan oleh Yayasan UISU pada saat itu.
Seharusnya Majelis Hakim lebih teliti dalam menerapkan pemidanaan
terhadap kasus penyelenggaraan pendidikan tanpa izin di perguruan tinggi
106
tersebut, karena lebih tepat diterapkan sanksi administratif dalam Putusan
Mahkamah Agung No Reg. 275 K/Pid.Sus/2012 yang akan lebih bermanfaat
dibandingkan sanksi pidana. Sanksi administratif tersebut sebenarnya telah diatur
didalam UU No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi.
Kesimpulan
1. Pengurus Yayasan dalam melakukan tugasnya dan kemudian
mempertanggungjawabkannya berdasarkan Fiduciary Duty, Duty of Skill dan
Care dan Statutory duty, dimana tidak boleh ada kepentingan antara
pengurus dan Yayasan, dan tidak memanfaatkan Yayasan untuk kepentingan
pribadi. Tugas dan kewajiban pengurus Yayasan bersumber dari kontrak,
kepatutan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku. Pada dasarnya
kedudukan pengurus Yayasan dalam penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
memiliki peran yang cukup besar baik di bidang administrasi maupun di
bidang keuangan. Namun, hal yang paling utama dari kedudukan pengurus
Yayasan dalam penyelenggaraan pendidikan di Perguruan Tinggi adalah
pembentukan statuta Perguruan Tinggi.
2. Berdasarkan Undang – undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional, tindak pidana yang berhubungan dengan
penyelenggaraan pendidikan tanpa izin diatur didalam Pasal 67 ayat (1), (2),
dan Pasal 71. Sedangkan berdasarkan Undang – undang No 12 Tahun 2012
Tentang Pendidikan Tinggi, ketentuan pidana diatur di dalam Pasal 93.
Subjek Hukum dalam Undang – undang No 20 Tahun 2003 dan Undang –
undang No 12 Tahun 2012 adalah perorangan, organisasi atau penyelenggara
pendidikan. Berarti Korporasi, dalam hal ini organisasi penyelenggara
pendidikan dapat
dijatuhi pemidanaan terhadap penyelenggaraan pendidikan tanpa izin. sanksi
pidana yang diberikan dalam ketentuan pidana tersebut adalah dalam bentuk
Sanksi pidana pokok, sedangkan sanksi pidana tambahan tidak ada. Pidana
pokok yang terdapat didalam Pasal tersebut adalah pidana penjara dan denda.
Dimana ancaman pidana penjara adalah sepuluh tahun dan ancaman denda
adalah Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Namun Undang – undang
No 12 Tahun 2012 juga menerapkan sanksi administratif.
3. Kasus penyelenggaraan pendidikan tanpa izin berdasarkan putusan
Mahkamah Agung No Reg. 275 K/Pid.Sus/2012 tentang Yayasan UISU
tersebut merupakan tindak pidana yang disebabkan karena adanya konflik
internal Pengurus Yayasan yang menyebabkan terjadinya dualisme
penyelenggaraan UISU. Menurut pertimbangan majelis hakim, dikarenakan
penyelenggaraan Yayasan UISU tersebut tidak diperpanjang, sehingga tidak
memiliki izin, maka perbuatan pelaku dalam hal ini Ketua Yayasan UISU
adalah tanpa hak. Majelis Hakim memberlakukan Pasal 67 ayat (1) Undang
Undang No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional terhadap
pelaku. Sehingga pertanggungjawaban pidana pengurus Yayasan terhadap
penyelenggaraan pendidikan tanpa izin berdasarkan putusan Mahkamah
106
Agung No Reg. 275 K/Pid.Sus/2012 adalah berkaitan dengan pemberian
ijazah tanpa hak, dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun., dengan masa
percobaan 2 (dua tahun), serta denda sebesar Rp. 200.000.000 dengan
ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar maka diganti dengan pidana
kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Saran
1. Diperlukan pembedaan tegas antara kedudukan Pengurus Yayasan sebagai
penyelenggara pendidikan dengan pihak pengelola Universitas. Hal ini
bertujuan agar tidak terjadinya perbedaan kepentingan yang dapat
memberikan dampak negative terhadap penyelenggaraan pendidikan.
Pengurus Yayasan haruslah menjalankan tugas dan wewenangnya sesuai
peraturan perundang undangan dan ketentuan anggaran dasar dan anggaran
rumah tangga dan tidak mengutamakan kepentingan pribadi.
2. Perlunya pengawasan dari Pemerintah, masyarakat, dan para penegak hukum
terhadap penyelenggaraan pendidikan. Agar pelanggaran – pelanggaran
terhadap ketentuan pidana dalam UU Sisdiknas dan UU Pendidikan Tinggi
dapat dicegah. Hal ini sangat esensial bagi perkembangan dunia pendidikan
terutama perguruan tinggi.
3. Perlunya pemahaman oleh masyarakat dan para penegak hukum tentang
perizinan dari penyelenggaraan pendidikan. Agar kedepannya tidak lagi
terjadi permasalahan seperti dualisme Yayasan UISU yang menyebabkan
ketidakjelasan status Mahasiswa UISU pada saat itu. Para penegak hukum
juga harus dapat membedakan tentang perselisihan pengurus Yayasan yang
merupakan sengketa perdata dimana belum ada pengesahan yang jelas
mengenai status Yayasan pada saat itu, sehingga menyebabkan pertimbangan
yang kurang baik dalam penyelesaian kasus penyelenggaraan pendidikan
tanpa izin.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-buku
Ais Chatamarrasjid, Badan Hukum Yayasan, PT Citra Aditya Bakti, Jakarta,
2006.
Kansil C.S.T., Pengantar Ilmu Hukum, Balai Pustaka, Jakarta, 2002
Lamintang P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung
1984
Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990
106
Chazawi Adami, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, PT. RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 2002
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 3 Percobaan & Penyertaan,
RajaGrafindo, Jakarta, 2002
Ekaputra Muhammad, Dasar – dasar Hukum Pidana, USUPress, Medan,2010
Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT.Eresco,
Bandung, 2000
Peraturan Perundang-Undangan
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan
Tinggi
Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Undang – undang Republik Indonesia No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional
Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945
Undang Undang Republik Indonesia no 16 tahun 2001 tentang Yayasan
Peratutan Pemerintah No 04 Tahun 2014 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi dan Pengelolaan Perguruan Tinggi
Lain – Lain
M. Hamdan dan M Eka Putra, Eksaminasi Putusan Nomor:
362/PID.SUS/2013/PN.SRG, Disampaikan dalam acara Eksaminasi Putusan
Pengadilan Tentang Lingkungan Hidup di Universitas Sumatera Utara