filsafat bi ibnu sina dan ibnu thufail

31
FILSAFAT AL-FARABI, IBNU SINA DAN IBNU THUFAIL (Tentang Teori Emanasi, Agama dan Filsafat) Pendahuluan Kalau kita perhatikan definisi-definisi yang telah diberikan oleh ahli-ahli pikir senantiasa berbeda sejak Plato (429-347 SM), Epicure (341-270 SM), Cicero (106-43 SM) sampai Decrates (1596-1650), kendatipun definisi yang mereka berikan berbeda-beda, namun dapat disimpulkan mereka semuanya berpendapat bahwa “berfilsafat” itu ialah “berfikir”. Jadi berfilsafat adalah berfikir sedalam-dalamnya dengan bebas dan teliti, tentang segala yang masuk kedalam fikiran, baik yang diluar maupun yang di dalam diri. 1 Ada tiga hal yang harus terpenuhi dalam berfikir secara filosofis yaitu : - berfikir haruslah sedalam-dalamnya - berfikir haruslah bebas - harus dikerjakan dengan teliti. Memahami hal diatas mampukah seorang mukmin berfilsafat? bukankah seorang mukmin akan senantiasa terikat oleh ajaran-ajaran agamanya? Bolehkah seorang mukmin meninggalkan agamanya untuk berfilsafat?. Seorang mukmin tidak perlu cemas, karena berfikir filsafat tidak perlu menanggalkan agama dari jiwanya 1 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta ; Bulan Bintang, 1996) hal, v 1 1

Upload: agus-jaya-kholid-saude

Post on 27-Jun-2015

928 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

FILSAFAT AL-FARABI, IBNU SINA DAN IBNU THUFAIL

(Tentang Teori Emanasi, Agama dan Filsafat)

Pendahuluan

Kalau kita perhatikan definisi-definisi yang telah diberikan oleh ahli-ahli

pikir senantiasa berbeda sejak Plato (429-347 SM), Epicure (341-270 SM), Cicero

(106-43 SM) sampai Decrates (1596-1650), kendatipun definisi yang mereka

berikan berbeda-beda, namun dapat disimpulkan mereka semuanya berpendapat

bahwa “berfilsafat” itu ialah “berfikir”. Jadi berfilsafat adalah berfikir sedalam-

dalamnya dengan bebas dan teliti, tentang segala yang masuk kedalam fikiran, baik

yang diluar maupun yang di dalam diri.1

Ada tiga hal yang harus terpenuhi dalam berfikir secara filosofis yaitu :

- berfikir haruslah sedalam-dalamnya

- berfikir haruslah bebas

- harus dikerjakan dengan teliti.

Memahami hal diatas mampukah seorang mukmin berfilsafat? bukankah

seorang mukmin akan senantiasa terikat oleh ajaran-ajaran agamanya? Bolehkah

seorang mukmin meninggalkan agamanya untuk berfilsafat?.

Seorang mukmin tidak perlu cemas, karena berfikir filsafat tidak perlu

menanggalkan agama dari jiwanya terlebih dahulu karena istilah berfikir bebas

dalam alam filsafat bukan berarti berfikir sesuka hati, membabi buta, dan tanpa

peraturan melainkan bebas yang terikat. Tetapi yang mengikatnya hanyalah disiplin

dan hukum berfikir itu sendiri.2 Disipilin dan hukum berfikir itu sendiri merupakan

kesadaran bahwa akal adalah ciptaan (makhluq) bukanlah pencipta (kholiq)

karenanya akal terbatas.

Dengan demikian seorang mukmin yang berfilsafat tidak harus keluar dari

garis kebenaran. Dalam makalah ini, penulis mencoba membahas para filosof

muslim yaitu, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Thufail tentang teori Emanasi, Agama

dan Filsafatnya.

1 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta ; Bulan Bintang, 1996) hal, v2 Ibid.

1

1

Page 2: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Al Farabi

Nama lengkapnya adalah Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin

Tharkhan bin Auzalag, lahir pada tahun 259 H./872 M3 di Farab yang sekarang

dikenal dengan Atrar dan mendapat gelar al Farabi sesuai tempat asalanya Farab

yang berada diwilayah Khurasan (Turki ).4 ia meninggal di Damaskus pada tahun

339 H/ 950 M. dalam usianya yang ke delapan puluh tahun.5

Al-Farabi adalah seorang filosof Islam pertama dalam arti yang sebenarnya,

pemikiran para filosof Islam yang datang kemudian terdapat asal-usul dan akarnya

dalam falsafah al-farabi.6 Hampir semua ilmu pengetahuan yang berkembang

dizamannya dikuasai dengan baik, sehingga ia telah mampu mengklasifikasikan

ilmu dengan segala cabangnya dalam bukunya yang mirip dengan Ensiklopedi yang

berjudul Ihsha’u al-Ulum.7 selain menjadi pengarang ia juga sebagai komentator

buku-buku Filsafat Yunani, dan sangat hormat kepada Filosof Yunani terutama

Plato dan Aristoteles. Dalam kitab-kitabnya ia tidak menyebut Aristoteles secara

langsung, tapi dipanggilnya dengan gelar Mu’allim Awwal (Guru Pertama). Karena

pengetahuannya yang sangat dalam terhadap falsafah Aristoteles, teutama komentar

dan ulasan terhadap berbagai karangannya, maka al-Farabi di gelari orang sebagai

Mu’allim Tsani (Guru Kedua).

Mengenai corak pemikiran filsafa al-Farabi berbeda dengan filosof lainnya.

Ia mengambil ajaran dari para Filosof terdahulu kemudian merekontruksikannya

kembali kedalam format yang lebih relevan dengan lingkungan kebudayaan yang

ada. Selain itu al-Farabi juga dikenal sebagai seorang filosof yang befikir logis, baik

dalam statemen, argumentasi, diskusi, keterangan dan penerapannya.

Pemikiran al Farabi dalam bidang filsafat, meliputi antara lain : filsafat

Keesaan Tuhan, Emanasi, Kenabian dan Teori Politik.

3 Ibid, hal, 81, sebutan al-Farabi diambil dari kota Farab, dimana ia dilahirkan pada tahun 257 H/870M

4 Ibnu Khillikan, Wafiayatul A’yan (Kairo ; Maktabah an-Nahdah,1948) hal,243, 5 Jamaluddin al Qothfi, Ikhbarul Ulama bi Ikhbaril Hukama’ hal, 182. dan Dr Ahmad

Daudy dalam bukunya Kuliah Filsafat Islam mengutif dan Muhammad al Bahi, Al-Janib al Ilahi min Tafkir al-Islamy (Kairo ; Darul Katib al- Arabi 1967), hal.375. bahwa al-Farabi meninggal pada tahun 339 H / 941 M, terjadi kesalahan redaksi dalam kutipan wafatnya 941 H, karena pada tahun 941 M (330 H) tersebut adalah tahun pindahnya al-Farabi ke Damasqus.

6 Hana al-Fakhuri, Tarikh al-Falsafah al’-Arabiyah (Beirut ; Darul ma’arif, 1958) hal. 927 Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta ; Bulan Bintang 1986) hal. 26.

2

2

Page 3: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Dalam menjelaskan filsafat Keesaan Tuhan, al-Farabi bertolak dari

keyakinan bahwa Tuhan Maha Satu, tidak berubah, jauh dari materi, jauh dari arti

banyak, Maha Sempurna dan tidak membutuhkan kepada apapun.8 Hal ini erat

kaitannya dengan masalah aqidah umat Islam yang merupakan masalah pokok

dalam Islam. Al-Farabi dalam hal ini berusaha memurnikan tauhid dengan cara yang

berbeda dengan Ulama Islam lainnya. Jika golongan mu’tazilah berupaya

memelihara kemurnian tauhid dengan jalan peniadaan sifat-sifat Tuhan (nafyu al-

sifat), maka al-Farabi berupaya lebih dari itu. Ia tidak saja meniadakan sifat-sifat

tuhan yang serupa dengan-Nya, tetapi juga meniadakan arti banyak dari Tuhan

dengan melalui filsafat emanasi (al-Faidl). Dalam hal ini ia berpendapat bahwa yang

menjadi obyek pemikiran Tuhan harus satu saja, yaitu diri-Nya sendiri, dan dari

pemikiran itu timbullah wujud lain, yaitu alam semesta.9

Teori Emanasi (al-Faidl)

Emanasi ialah teori tentang keluarnya sesuatu wujud yang mumkin (alam

makhluk) dari zat yang wajibul wujud (zat yang mesti adanya : Tuhan). Teori

emanasi disebut juga dengan nama “teori urut-urutan wujud”.10 Upaya yang

dilakukan oleh al-Farabi (demikian juga Ibnu Sina) bertujuan menunjukkan keesaan

Tuhan dari zat-Nya sendiri dan bukan dari ciptaannya sebagaimana yang dilakukan

oleh para ahli kalam.

Dalam filsafat emanasinya ini al-Farabi menjelaskan bahwa dari wujud

Tuhan yang satu itu memancar wujud alam semesta. Pemancaran ini melalui

tafakkur Tuhan tentang diri-Nya sendiri, tafakkur Tuhan tentang diri-Nya adalah

ilmu Tuhan tentang diri-Nya, dan ilmu itu adalah daya (al-Qudroh) yang

menciptakan segala sesuatu.11 Selanjutnya tafakkur Tuhan yang Maha Esa tentang

zat-Nya yang Maha Esa itu dapat menciptakan yang terbilang, dengan demikian

terbebaslah Tuhan dari arti yang banyak. Lebih lanjut dari teori emanasi tersebut,

Al-Farabi mengatakan bahwa Tuhan merupakan Wujud Pertama (al-wujud al-8 Harun Nasution, falsafat & Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cetakan III,

1983, hal. 279 Abuddin Nata, Ilmu Kalam, Filsafa dan Tasauf, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,

cetakan V, 2001 hal 8710 ibid. hal. 9211 ibid. hal.87

3

3

Page 4: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

awwal) dan dengan pemikiran itu timbullah Wujud Kedua (al-Wujud al-Tsani) dan

juga mempunyai substansi. Ia disebut Akal Pertama (al-aql al-awwal) yang tidak

bersifat materi. Wujud Kedua ini berpikir tentang Wujud Pertama, dan dari

pemikiran ini timbullah Wujud Ketiga yang disebut Akal Kedua (al-Aql al-Tsani).

Selanjutnya Wujud Kedua atau Akal Pertama itu berpikir tentang diri-Nya, dan dari

pemikiran itu timbul Langit Pertama (al-Samau al-Awwal).12

Selanjutnya akal Kedua berpikir tentang Tuhan, dan dari pemikiran itu

timbul Akal Ketiga, dan Akal Ketiga ini dengan tafakkur pada diri-Nya mewujudkan

Alam Bintang, Akal Ketiga kemudian memunculkan Akal Keempat dan Saturnus.

Akal keempat mewujudkan akal kelima dan yupiter, akal kelima mewujudkan akal

keenam dan Mars, akal keenam mewujudkan akal ketujuh dan Matahari, akal

ketujuh mewujudkan akal kedelapan dan Venus, akal kedelapan mewujudkan akal

kesemnbilan dan Merkuri dan akal kesembilan mewujudkan akal kesepuluh dan

Bulan. Akal kesepuluh tidak lagi mewujudkan akal-akal, melainkan mewujudkan

bumi dan jiwa serta materi pertama yang menjadi dasar dari keempat unsur alam,

yaitu : api, udara, air dan tanah.13 Akal I sampai akal IX hanya mengurus benda-

benda langit, sedangkan akal X yang disebut juga “al-aqlu al fa’al” (akal aktif) atau

wahib as shuwar (pemberi bentuk) bertugas mengawasi dn mengurusi kehidupan di

bumi.14

Teori emanasi al-Farabi dapat dijelaskan sebagai berikut :

Tuhan (Wajib al-Wujud)

Akal I

Akal II Langit I (as-Sama al-Ula)

12 Harun Nasution, op.cit, hal 6213 ibid, hal 27-2814 Abdul Aziz Dahlan, Pamikiran Falsafi Dalam Islam, (hakarta : Djambatan) hal. 64-66

4

4

Page 5: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Akal III Langit II (al-Kawakib al-Sabitah)

Akal IV Langit III (Saturnus/Kurrat az-Zuhal)

Akal V Langit IV (Yupiter/Kurrat al-Musytari)

Akal VI Langit V (Mars.Kurrat Al-Mirrikh )

Akal VII Langit V (Matahari/Kurrat al-Syams)

Akal VIII Langit VII (Venus/Kurrat al-Zahra)

Akal IX Langit VIII (Merkurius/Kurrat a’tarid)

Akal X Langit IX (Bulan/Kurrat al-Qomar)

Bumi, Jiwa-jiwa

dilingkungan bumi

Demikianlah menurut al-Farabi tentang proses penciptaan alam. Dengan

demikian maka terhindarlah Tuhan dari pengertian banyak dan menghantarkan pada

kesimpulan bahwa alam ini adalah qodim, bagi al-Farabi yang qodim bukan hanya

Allah swt akan tetapi juga ciptaannya, karena menurutnya Tuhan menciptakan hal

5

5

Page 6: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

ini bukan dari tidak ada, melainkan dari yang ada, karena penciptaan dari yang tidak

ada merupakan hal yang tidak mungkin. Selain itu al-Farabi berpendapat bahwa

alam ini tidak mempunyai permulaan dalam waktu, karena alam ini tidak terjadi

secara berangsur-angsur, melainkan sekaligus dengan tidak berwaktu.15

Kemudian jiwa yang merupakan hasil fikir akal kesepuluh memiliki

beberapa daya sebagai berikut :

1. Daya al-Muharrikah, yaitu daya gerak atau motion, dengan daya ini

menyebabkan manusia dapat makan, memelihara dan berkembang biak.

2. Daya al-Mudrikah, yaitu daya mengetahui atau cognition. Dengan daya ini

manusia dapat berimajenasi dan merasa.

3. daya an-Nathiqoh, yaitu daya berfikir atau intelection. Dengan daya ini

manusia dapat berfikir secara teoritis dan praktis (al-Aqlu an-nadhary wa al-

Amaly).16

Daya berfikir manusia ini memiliki tiga tingkatan yaitu :

1. al-Aql al-Hayulani, yaitu akal potensial atau material intelect. Akal serupa

ini baru berada dalam potensi untuk melepaskan arti-arti atau bentuk-bentuk

dari materinya.

2. al-Aql al-Fi’li yaitu akal aktual atau actual intelect, akal ini telah melepaskan

arti-arti dari materinya serta dapat mewijudkan akal potensial menjadi wujud

aktual yang sebenarnya, dalam keadaan seperti ini ia telah mampu

menangkap arti-arti dan konsep-konsep.

3. al-Aql al –Muqtashid atau acquired intelect, yaitu akal yang telah mampu

menangkap bentuk semata-mata tanpa dikaitkan dengan materi. Dan telah

mampu berkomunikasi dengan akal kesepuluh serta mampu menangkap ide-

ide atau gagasan-gagasan.17

Jika akal potensial baru dapat mengerti arti dan bentuk dari materi dengan

bantuan pancaindra, dan akal aktual telah mampunyai kesanggupan menangkap arti

dan konsep sekalipun tanpa bantuan panca indra, maka akal mustafad telah sanggup

mengadakan hubungan langsung dengan akal kesepuluh atau akal aktif yang

didalamnya terdapat bentuk-bentuk segala sesuatu yang ada semenjak azali.18

15 ibid, hal 2816 ibid, hal 29-3017 ibid, hal. 3018 ibid.

6

6

Page 7: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Ada beberapa kerancuan dalam filsafat al-Farabi ini

1. agar tidak menyimpang dari ketauhidan Islam maka nampaknya al-Farabi

dalam menguraikan penciptaan Tuhan terhadap alam ini berpijak pada aliran

platonisme. Ia menganggap Tuhan sebagai wujud yang pertama dan

menciptakan akal-akal benda angkasa. Dengan demikian ia menolak

kepercayaan agama Sabaiah yang mempertuhankan bintang-bintang. Akan

tetapi ia sebenarnya ia terjebak pada fenomena memberi kekuatan pencipta

kepada akal-akal benda angkasa.

2. dalam soal Qodimnya alam, al-Farabi mengikuti aristoteles, untuk tidak

keluar dari ajaran agama Islam ia menggabungkannya dengan ketentuan

Islam tentang penciptaan, bahwa akal-akal benda langit diciptakan oleh

Tuhan, meskipun tidak dalam waktu. Usaha penggabungan ini belum

memberikan solusi yang memuaskan.

3. al-Farabi berusaha mensucikan Allah swt dari bilangan dan materi dengan

mengemukakan teori akal, tetapi ia tetap tidak bisa menjelaskan bagaimana

proses kebendaan keluar dari akal yang tidak berbenda. Lalu ia tetap

mengakui rangkaian alam lahir dan alam kemusnahan dari dzat yang tidak

musnah sesuai teori akalnya.

4. Teori emanasi al-Farabi menjadikan langit adalah hasil pemikiran wujud

kedua atau akal pertama dan bumi adalah hasil pemikiran akal ke sepuluh.

Langit dan bumi tercipta (sebagaimana alam yang lain) sekaligus tidak

memiliki permulaan dalam waktu, teori ini tidak sejalan dengan al-Qur’an :

“katakanlah sesungguhnya patutkah kamu kafir terhadap yang menciptakan

bumi dalam dua yaum dan kamu adakan sekutu-sekut baginya, demikian

itulah tuhan semesta alam. QS : al-Fushilat 9”. Dan “Maka dia

menjadikannya tujuh langit dalam dua yaum dan Dia mewahyukan pada

tiap-tiap langit urusannya… QS : al-Fushilat 12”. Kata yaum pada ayat

diatas bisa diartikan hari, masa atau priode. Namun tetap semua pengertian

hal tersebut menunjukkan telah adanya waktu, walaupun waktu yang

dimaksud berbeda kualitasnya dari waktu kita saat ini. Wallahu A’lam.

Teori Kenabian

7

7

Page 8: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Al-Farabi tampil sebagai filosof pertama membahas teori Kenabian dengan

cara mengkombinasikan pemikirannya dengan ajaran Islam yang berdasarkan

wahyu. Al-Farabi telah mampu memadukan antara agama dengan falsafah dan yang

merupakan bagian terpenting dalam mazhabnya. Teori ini didasarkan atas pijakan

kejiwaan dan metafisika serta mempunyai hubungan erat dengan politik dan

akhlak.19

Dalam bukunya yang berjudul Arau Ahl al-Madinah al-Fadilah al-Farabi

menjelaskan pemikiran tentang kenabian yang ia hubungkan dengan teori politiknya,

yang bertumpu pada konsep kota yang ideal atau ideal city. Ia mengatakan bahwa

kota adalah ibarat tubuh manusia yang memiliki bagian-bagian yang saling

berhubungan.

Di dalam kota tersebut terdapat prinsip hubungan sebagaimana badan yang

berhubungan dengan seluruh anggota tubuh lainnya, dan masing-masing mempunyai

fungsi yang harus dilaksanakan. Pekerjaan yang terpenting dalam tubuh manusia

adalah pekerjaan yang menggunakan akal yang ada di kepala.

Dari prinsip peranan kepala inilah, al-Farabi menghubungkannya dengan

peranan kepala atau pimpinan dalam masyarakat. Jika kepala manusia harus sehat

maka kepala pemerintahan pun harus sehat, kuat, pintar, cinta pada ilmu

pengetahuan dan keadilan.20

Selanjutnya ia menyatakan bahwa pimpinan dalam masyarakat harus

mempunyai akal mustafad yang telah mampu berkomunikasi dengna akal kesepuluh,

dan orang yang mempunyai kemampuan seperti itu adalah nabi atau rasul. Oleh

karena itu, kepala suatu pemerintahan harus dipegang oleh Nabi atau Rasul dan jika

Nabi atau rasul telah tiada maka pimpinan harus diserahkan ketangan para filosof,

karena para filisof telah mampu berkomunikasi dengan akal kesepuluh. Selanjutnya

al-Farabi mengaitkan teori kenabian dengan falsafat polotiknya bahwa kepala negara

bukan hanya mengatur negara, tetapi mendidik manusia agar memiliki akhlak21

mulia dan hal tersebut hanya bisa terlaksana bila negara dipimpin oleh Nabi atau

Rasul.

19 Hana al-Fakhuri dan khalil al-Jar, op. cit. hal 15320 al-Farabi, Arau Ahl al-Madinah al-Fadilah, Mesir, tt. Hal 45-4621 Abuddin Nata, op.cit,. hal.90-91

8

8

Page 9: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Dalam pemikian al-farabi ini Nabi dan filosof adalah dua tokoh yang sangat

layak menjadi kepala negara karena keduanya telah mampu berhubungan dengan

akal aktif (akal kesepuluh) yang merupakan sumber hukum dan aturan yang

diperlukan bagi kehidupan masyarakat. Kalaulah ada perbedaan, maka itu terletak

hanya pada cara berhubungan dengan akal aktif yang oleh nabi melalui daya khayal,

sedangkan filosof dengan pemikiran akal. Adapun tentang sumber dan materi yang

mereka terima adalah tidak berbeda, karenanya nabi dan filosof membawa

kebenaran yang sama. Namun demikian filosof tidak sejajar tingkatnya dengan Nabi

karena setiap Nabi adalah filosof dan tidak setiap filosof adalah nabi. Setiap Nabi

memiliki keistimewaan yang melebihi Filosof.22

Ada beberapa hal yang tidak memuaskan dalam teori kenabian yang

dikemukakan al-Farabi, yaitu ;

1. al-Farabi menempatkan Nabi dibawah tingkatan Filosof, karena pengetahuan

yang diperoleh oleh para Filosof melalui daya fikir lebih tinggi dari pada

yang diperoleh melalui daya imajinasi.

2. Pengetahuan yang diperoleh para Nabi melalui daya Imajinasi membuka

peluang setiap manusia menggunakan daya imajinasinya sehingga ia bisa

mencapai derajat nabi. Dan hal ini bertentangan dengan pendapat Ahl as-

Sunnah wa al-Jamaah yang meletakan kenabian sebagai kaih sayang Allah

swt kepada hambanya yang tidak dapat diraih dengan usaha dan ilmu.

3. Tafsiran psikologis terhadap wahyu yang merupakan daya imajinasi tertinggi

pada seorang Nabi bertentangan dengan nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits.

Ibnu Sina

Asy-Syaikh ar-Rais Abu Ali al-Husain bin Abdillah bin Sina (avicenna)

beliau dilahirkan di Afsyanah (Efshene) di Bukhara pada bulan Safar tahun 370

H/980 M. ibunya seorang berkebangsaan Turki sedang ayahnya diduga peranakan

Arab, Persia atau Turki.23 Di Bukhara ia dibesarkan dan belajar Falsafah,

Kedokteran, Manthiq, Matematika, Geometri dan ilmu-ilmu agama Islam. Dalam

usia sepuluh tahun ia telah menghafal al-Qur’an seluruhnya. Pada usianya ke enam

belas tahun ia telah dikenal sebagai seorang dokter yang ahli dalam pelbagai

22 Ahmad Daudy, op.cit,. hal.54-5523 Ibid. hal 66

9

9

Page 10: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

penyakit. Dan ketika usianya delapan belas tahun ia telah menguasai perbagai

cabang ilmu pengetahuan.24 Keberhasilan Ibnu Sina didukung oleh minat belajarnya

yang luar biasa dan kegeniusan otaknya, disamping adanya kebebasan yang

diberikan oleh para penguasa. Menurut Nur Kholis Madjid, di sinilah letaknya

keberuntungan dunia Islam, dari segi politik dunia Islam boleh dikatakan telah porak

poranda, akibat penguasa saling bersaing dang saling mengungguli, namun mereka

tetap mendorong dan melindungi kegiatan intelektual dan ilmiyah. Oleh karena itu,

berbagai kegiatan seperti ini berkembang bagaikan cendawan di musim hujan.25

Diantara ilmu yang sangat menarik baginya adalah kedokteran dan falsafah, dari

bidang kedokteran namanya semakin melambung tinggi ketika ia mampu

menyembuhkan penyakit yang diderita oleh penguasa Bukhara, Nuh bin Mansur

(387 H / 997 M), kemudian karya-karyanya terutama “al-Qonun” atau “Canon of

Medicine” yang pernah diterjemahkan kedalam bahasa Latin menjadi standar bagi

fakultas Kedokteran di Eropa sampai abad ketujuh belas Masehi.26 Kegemarannya

dibidang Falsafah juga telah membuatnya mendalami Falsafah dengan sangat

kesungguhan selama dua tahun, bahkan ia pernah membaca buku metafisika

karangan Aristoteles sebanyak empat puluh kali walaupun sangat sulit

memahaminya hingga setelah ia membaca tulisan al-Farabi barulah ia mampu

memahami buku Metafisaka karangan aristoteles tersebut.27

Karya sastra Ibnu Sina sangat banyak dan kelengkapan risalahnya jauh

mengungguli risalah manapun yang pernah dihasilkan pengarang-pengarang pertama

seperti al-Kindi dan ar-Razi.28 Beliau sangat membantu pertumbuhan kosa kata

filsafat, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Persia, dimana ia menulis “Danish

Nameh” buku Filsafat pertama dalam bahasa Persia pasca Islam.29 Karya beliau

lainnya adalah an-Najah yang berisikan ringkasan kitab as-syifa, dan kemudian

kitab al-Isyarat wa at-tanbihaat, suatu kitab hikmah yang mengandung kata-kata

mutiara dari berbagai ahli fikir yang ditulis dalam bahasa yang padat dan indah.

24 Ibid25 Nurkholis madjid, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta : Bulan Bintang, 1984) hal. 3126 Ahmad hanafi, op. cit,.hal. 11727 Ahmad Daudi, op.cit,.hal. 6628 Majid Fakri, sejarah Filsafat Islam (Jakarta, Pustaka Jaya 1986) cet 1 hal. 19329 Ibid

10

10

Page 11: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Dalam hal filsafat, ibnu Sina juga menganal paham emanasi, walaupun

filsafat emanasi bukanlah renungan Ibnu Sina (juga Al-Farabi), tetapi berasal dari

ramuan Plotinus yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari yang

Maha Esa. Filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa “ Dari yang satu hanya satu yang

melimpah”.30 Ini di Islamkan oleh Ibnu Sina (juga al-Farabi) bahwa Allah

menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam al-

Qur’antidak ditemukan informasi yang rinci tentnag penciptaan alam dari matei

yang sudah ada atau dari tiadanya. Walaupun prinsip Ibnu Sina dan Plotinus sama,

namun hasil dan tujuannya berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan, yang Esa

Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah pencipta (Shoni’ :

agen) yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara pencaran.

Proses terjadinya pancaran yaitu ketika Allah wujud (bukan dari yang tiada)

sebagai akal lansung memikirkan (bertaa’ggul) terhadap zatn-Nya yang menjadi

obyek pemikiran-Nya, maka memancarkarlah Akal Pertama. Dari Akal Pertama ini

memencarlah Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan langit pertama. Dari akal pertama ini

memancarlah Akal Kedua, Jiwa Pertama dan Langit Pertama. Demikianlah

seterusnya sampai Akal Kesepuluh yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat

menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan Jiwa Kesepuluh, bimu, roh

materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api dan

tanah.31

Perbedaan dengan al-Faraby, menurut Ibnu Sina Akal Pertama mempunyai

dua sifat-sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah san sifat mungkin

wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya . Ibnu Sina membagi obyek pemikiran

akal-akal menjadi tiga : Allah (wajib al-wujud lizathi), dirinya akal-akal (wajib al-

wujud lighoirih) sebagai pancaran dari Allah, dan dirinya akal-akal (mumkin al-

wujud) ditinjau dari hakikat dirinya.

Dibawah ini dapat dilihat tabel emanasi Ibnu Sina.32

Subyek Sifat Allah sebagai Dirinya sendiri Dirinya sendiri keterangan

30 T.J. De Boer, Op.cit, Hal. 19831 Ibnu Sina, al Najat, (Kairo : Mustafa al-Baby al-Halaby, 1938), hal 398 dan lihat juga :

Muhammad Athif al-Iraqy, al-Manhaj, al-falsafat al-islamiyat, hal 219-22032 Sirajuddin Zar, konsep Penciptaan Alam dalam Pemikiran islam, Sains dan al-Qur’an,

(Jakarta : Rajwali Press, 1994) cet. I hal. 180

11

11

Page 12: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

akal

yang ke

Wjib al-wujud

menghasilkan

sebagai Wajib al-

Wujud Lhighoiri,

menghasilkan

Mumkin al-

wujud lizatihi

IWajib al-

wujud

Akal II Jiwa II yang

menggerakkanLangit Pertama

Masing-masing

jiwa berfungsi

sebagai

penggerak satu

planet karena

(immateri) tidak

bisa langsung

menggerakkan

jisim (materi)

Akal X tidak lagi

memancarkan

akal-akal

berikutnya karena

kekuatannya

sudah lemah

IIMumkin

al-wujudAkal III

Jiwa III yang

menggerakkanBintang-bintang

III Sda Akal IVJiwa IV yang

menggerakkanSaturnus

IV Sda Akal VJiwa V yang

menggerakkanYupiter

V Sda Akal VIJiwa VI yang

menggerakkanMars

VI Sda Akal VIIJiwa VII yang

menggerakkanMatahari

VII Sda Akal VIIIJiwa VIII yang

menggerakkanVenus

VIII Sda Akal IXJiwa IX yang

menggerakkanMarkurius

IX Sda Akal XJiwa X yang

menggerakkanBulan

X Sda -Jiwa I yang

menggerakkan

Bumi, roh, materi

pertama yang

menjadi keempat

unsur (udara, api,

air dan tanah)

Tentang wujud Ibnu Sina berpendapat bahwa wujud menempati kedudukan

diatas essensi, essensi berada dalam akal, sedangkan wujud berada diluar akal dan

wujudlah yang menyebabkan tiap essensi berada dalam menpunyai kenyataan diluar

akal. Tanpa wujud essensi tidak besar artinya. Dengan demikian Ibnu Sina telah

lebih dahulu mengajukan filsafat eksistensialis daripada filosof modern seperti

12

12

Page 13: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Nietzce, kiekegard dan lainnya.33 Selanjutnya essensi dan wujud dapat mengambil

tiga bentuk yaitu :

- wajib al-wujud, yaitu essensi yang mesti mempunyai wujud.

- Mumkin al-wujud (contingent being), yaitu essensi yang boleh

mempunyai wujud dan boleh juga tidak mempunyia wujud

- Mustahil al-wujud (impsible being), yaitu essensi yang tidak ada

wujudnya dalam kenyataan.

Pendapat Ibnu Sina tentang jiwa dan akal lebih terperinci dan sempurna dari

falsafat jiwa dan akal menurut al-Farabi. Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama

mempunyai dua sifat yaitu wajib al-wujud sebagai pancaran Allah swt, dan sifat

mumkin al-wujud jika dintinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ibnu Sina

mempunyai tiga obyek pikiran yaitu ; Tuhan, dirinya sebagai wajib al-wujud dan

dirinya sebagai mumkin al-wujud.34

Teorinya tentang akal selanjutnya membawa pada munculnya falsafah

wahyu dan nabi. 35 ia misalnya mengatakan bahwa akal terdiri dari beberapa

tingkatan, dan yang terendah adalah akal material, namun adakalanya Tuhan

menganugerahkan kepada manusia akal material yang lebih kuat. Dan hal ini oleh

Ibnu Sina disebut intuisi. Daya yang demikian besarnya ini bisa langsung

berhubungan dengan akal aktif tanpa harus melalui latihan, demikian juga bisa

menerima cahaya atau wahyu dari Allah swt. Akal serupa ini memiliki daya suci (al-

Quwwah al-Qudsiyah) yang hanya dapat dimiliki oleh seorang nabi.36

Selanjutnya ia juga mempunyai pemikiran filsafat tentang manusia.

Sebagaimana halnya al-Farabi, Ibnu Sina juga menyatakan bahwa manusia terdiri

dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada merupakan

alat bagi jiwa untuk melakukan aktifitas. Jasad selalu berubah, berganti, bertambah,

dan berkurang. Sehingga ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa.

Dengan demikian hakikat manusia adalah jiwanya, dan perhatian para filosof Islam

dalam membahas manusia lebih terfokus pada jiwanya daripada jasadnya.37

33 Abuddin Nata, op.cit,.hal. 9434 Ibid, hal. 92-9335 Ibid, hal. 9336 ibid37 Hasbullah Bakry, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam (Jakarta, Tintamas 1984). Cet. IV,

hal. 50

13

13

Page 14: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Ibnu Sina juga mempunyai filsafat tentang keqadiman alam yang bertolak

dari teori emanasinya, menurutnya bahwa alam ini telah ada sejak zaman azali,

karena ia terjadi dengan sebab Allah memikirkan dzatnya sendiri.38 Maksud alam ini

qadim dalam arti zaman, karena alam ini telah melimpah dari Allah sejak azali, akan

tetap ia baharu dan terkemudian dari Allah dari segi kemuliaan, tabiat, sebab dan

martabat.39

Ibnu Thufail

Ibnu Thufail nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad bin Abd al-

Malik bin Muhammad bin Thufai, ia lahir di Guadix, sebuah kota kecil di dekat

Granada, Andalusia, pada tahun 506 H/1110 M*. dan wafat di Maroko pada tahun

581 H/1185 M.* ia berasal dari bangsa Arab keturunan Qabilah Qais.40 Ia sangat

terkenal dalam bidang Kedokteran, Ilmu Falaq, Sastra dan Falsafah. Disamping itu

ia menjadi dokter pribadi Abu Ya’kub Yusuf al-Mansyur, khalifah kedua dinasti

Muwahhidin. Ibnu Thufail hidup semasa dengan Ibnu Rusyd, menurut Ahwani

antara Ibnu Thufail dan Ibnu Rusyd telah terjadi surat menyurat mengenai buku

karangan Ibnu Rusyd yang berjudul “al-Kulliyat fi at-Tib”.

Pada masa Khalifah Abu Ya’kub ini Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang

besar dalam pemerintahan dan dalam ilmu pengetahuan. Khalifah sendiri meminati

filsafat dan memberi keleluasaan berfilsafat. Ia meminta Ibnu Thufail untuk

menguraikan buku-buku karya Aristoteles. Untuk memenuhi permintaan tersebut

Ibnu Thufail menghadap Ibnu Rusyd. Selanjutnya Ibnu Thufailpun rela

meninggalkan pekerjaannya sebagai seorang dokter yang kemudian digantikan oleh

Ibnu Rusyd.

38 Abuddin Nata, op.cit,. hal. 9439 Fakruri, op. cit,. hal.226-227* menurut Ahmad Fuad Al-Ahwani dalam bukunya, Filsafat Islam, hal. 93 bahwa “tahun

kelahiran Ibnu Thufail tidak diketahui secara jelas.* ada kerancuan antara usia jumlah tahun Hijriah dan Masehi, karena keduannya

menunjukkan bahwa usia Ibnu Thufail adalah adalah 75 tahun, sedang jika perhatikan perbedaan hari dalam setahun antara tahun Hijriah dan Masehi sekitar 10 hari + 5-6 jam (245-246 jam). Maka selama 75 tahun terjadi perbedaan sekitar 765 hari = 6 jam – 768 hari + 7 jam (sekitar 18375-18450 jam). Hal ini berarti setidaknya terjadi selisih sekitar 2 tahun 45 hari. Wallahu a’lam.

40 M.M. Syarif, History Of Muslim Psilosopy, vol, III Otto Horraaowitz, Weisbaden, 1963 hal 526. Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Tarj. Pustaka Firdaus (Jakrta, Pustaka Firdaus 1997), cet. 8 hal. 93

14

14

Page 15: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Sebagaimana para Filosof Islam lainnya, Ibnu thufail juga meninggalkan

karya tulis, namun yang ditemukan saat ini hanya Risalah Hayy ibn Yaqzhan fi

Asrar al-Hikmah al-Masyraqiah, kisah ini ditulis Ibnu Thufail sesungguhyna berisi

berbagai rumusan filsafat yang sudah terpengaruh dengn pemikiran sebelumnya,

tetapi Ibnu Thufail membentuk suatu sistim berfikir tersendiri yang disampaikan

dengan lambang Hayy ibn Yaqzhan sebagai akal fikiran. Penulisan kisah ini diawali

dengan melemparkan kritikan kepada filosof yang hanya mengandalkan logika yang

melupakan adanya sumber pengetahun lain yaitu kasyf Ruhani.41 Dalam hal ini Ibnu

Thufail mencoba mengkombinasikan akal dan az-Zauq untuk menyaksikan

kebenaran.

Pada abad pertengahan, karya Ibnu Thufail ini sangat terkenal, sehingga

diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, seperti bahasa Ibrani (1671), bahasa

Belanda (1672) dan bahasa Rusia (1920).42 Walau gagasan roman ini tidak

semuanya baru karena Ibnu Sina telah menulis sebuah buku dengan judul yang

sama, akan tetapi dari segi alur cerita bereda. Kesamaan tersebut dapat dilihat dari

nama tokoh yang dipakai seperti Hayy ibn Yaqzhan, Salaman dan Absal yang

didapati dalam karya Ibnu Sina.

Meskipun buku Hayy bin Yaqzhan merupakan buku roman yang bersifat

fiksi dan penuh imajinasi, namun bagi orang yang menghayatinya dengan sungguh-

sungguh akan menemukan sinar filsafat dalam roman tersebut. Hayy sebagai

lambang akal fikiran, walaupun sudah jauh terasing dari masyarakat, hidup sendirian

sebagai anak alam, namun tetap tumbuh dengan sendirinya, ia dapat mengenal

Tuhannya tanpa harus belajar dari orang lain. Hal ini merupakan simbol

kesinambungan ikrar manusia ketika berada dalam rahim ibunya. Allah swt

berfirman :

ألس��ت أنفس��هم على وأش��هدهم ذريتهم ظه��ورهم من أدم ب��نى من ربك أخذ وإذ

(172 شهدنا. )اإلعراف بلى قالوا بربكم

“dan ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka

dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini

Tuhanimu? Mereka menjawab, “benar Engkau adalah tuhan kami, kami menjadi saksi. Al-A’raf :

172

41 Ahmad Daudi, Op.cit, hal 14542 M. Saeed Shaikh, Studies In Muslim, (New Delhi, Adam Publisher, 1994), cet. 1 hal. 160-

161

15

15

Page 16: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Sebagaimana para Filosof sebelumnya, Ibnu Thufail juga mengemukakan

pemikirannya yang mencoba merekonsialisasi antara filsafat dan agama, bahwa

filsafat dan agama sama-sama menyampaikan kebenaran. Diantara Filosof Islam,

Ibnu Thufail tampil sebagai seorang filosof yang menulis tentang keharmonisan akal

dan wahyu. Dalam pandangan Ibnu Thufail, Tuhan tidak hanya dapat diketahui

dengan wahyu tetapi juga dapat diketahui dengan akal. Hayy yang bebas dari ajaran

Nabi dapat dapat sampai ketingkat tertinggi dari ma’rifat. Dengan obeservasinya

tentang segala hal yang ada disekelilingnya, membawa Hayy sampai pada

kesimpulan adanya roh, dan adanya perubahan-perubahan pada alam menghasilkan

kesimpulan adanya Tuhan.

Meskipun demikian Ibnu Thufail juga menekankan bahwa mengetahui dan

berhubungan dengan Tuhan terkadang tidak bisa hanya dengan kemampuan akal

murni, sebab kemapuan tersebut hanya khusus pada sebagian orang. Sebab menurut

ibnu Thufail sebagaimana yang dikutif Yusuf Musa, tingkatan manusia ada dua

yaitu : pertama, orang yang tidak sanggup menangkap hakikat-hakikat yang bersifat

matafisik, dan yang terbaik bagi mereka adalah mengikuti pesan syariat

sebagaimana zohirnya agar tidak tersesat. Kedua, mereka yang diberi kemampuan

akal yang kuat hingga mampu menyingkap hakikat-hakikat yang bersifat metafisik.43

Untuk menjekaskan keselaran antara akal dan wahyu, Ibnu Thufail

memunculkan tokoh Absal sebagai simbol wahyu. Wahyu datang memberitakan

permasalahan agama, baik yang berkaitan dengan permasalahan ke-Tuhanan

ataupun Syariat. Ibnu Thufai ingin mengemukakan bahwa akal murni bisa mengenal

Tuhan. Wahyu atau agama bertujuan meluruskan atau menginformasikan hal-hal

yang tidak bisa ditangkap oleh akal sebab bagaimanapun akal tidaklah bersifat

mutlak.

Diantara pokok pikiran Ibnu Thufail yang bisa dipahami dari kisah Hayy

adalah tentang proses perolehan pengetahuan (epistimology). Menurut D. Boer,

dalam perkembangan pemikiran Hayy yang disimbolkan Ibnu Thufail, ditemukan

perkembangan dari tahap empiris menuju rasional dan berakhir pada tahap sufistik.44

Perkembangan pemikiran Hayy tersebut melalui beberapa fase, yaitu :

43 Muhammad Yusuf Musa, Bain ad-Din wa al-Falsafah, (Mesir, Dar al-Ma’aarif, tt) cet, ke 2 hal. 183

44 Tj. De Boer, Tarikh al-Falsafah al Islamiyah, Tahqiq Muhammad Abdul Hawi Rauwaidah, (Beirut, Dar al-Nahdah al-Arabiyah, tt) hal 310-311

16

16

Page 17: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

- Fase pertama, Yaqzhan hidup pada tingkat pemikiran yang paling

bersahaja (primitif). Tingkat ini dilanjutkan dengan peniruan Hayy

menutup tubuhnya seperti binatang yang memiliki kulit.

- Fase empiris, tampak dari upaya Hayy mencoba mengambil api untuk

memasak dan mulai berburu.

- Fase Sufistik, tampak dari kejeraan Hayy terhadap dirinya sendiri dan

keheranannya atas kematian kijang yang mengasuhnya, keheranannya

inilah yang menghantarkannya untuk berfikir secara mendalam,

mengapa kijang ini dapat mati.45

Dari gambaran diatas dapat dipahami bahwa telah terjadi perkembangan

pada Hayy dari tahapan empiris, rasio (filsafat) dan berakhir pada tahapan sufistik.

Ada tiga komponen dalam tahap perkembangan Hayy yaitu : inderawi, akal dan

intuisi yang kemudian dikemukakan olehnya sebagai langkah mendapatkan

pengetahuan. Dengan pengamatan dan pengalaman dapat diperoleh pengetahuan

inderawi, sedang hal-hal yang bersifat metafisik dapat diketahui dengan akal dan

intuisi.

Kemudian untuk mencapai ma’rifah memiliki dua jalan, pertama,

menggunakan akal, pemikiran atau perenungan seperti yang dilakukan para Filosof

dan kedua, kasyaf ruhani sebagaimana dilakukan oleh para Sufi. Kesesuaian antara

akal dan intuisi dapat dilakukan dengan latihan rohani-rohani dan perenungan.

Makin tinggi latihan tersebut maka semakin besar kemungkinan menangkap realitas

metafisis.

Dari pemikiran diatas dapat dipahami, bahwa Ibnu Thufail tampil menjawab

pandangan al-Ghozali yang meragukan kemampuan akal untuk mengetahui dengan

yakin Tuhan dan alam gaib lainnya, bahkan ibnu Thufail mencoba menampakkan

keunggulan para filosof (yang diwakili Hayy ibn Yaqzhan) bahwa jika seseorang

mengikuti jalan para filosof dengan benar niscaya akan sampai kepada pengetahuan

tertinggi, lewat penyaksian akal.

Penutup

45 Miska Muhammad Amin, Epistomologi Islam, (Jakarta, UI Press, 1993)

17

17

Page 18: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Thufail adalah diantara para filosof Islam

yang tampil dipentas sejarah dan memberikan torehan emas yang tak ternilai. Karya

mereka sempat mengangkat dunia Islam menjadi dunia bertabur bintang.

kemunculan para filosof Islam ini memberikan gambaran jelas bahwa Islam

merupakan satu agama universal dan memberikan kesempatan bagi akal untuk

berfikir secara profesional dan proporsional.

Daftar Pustaka

Al-Ahwani, Ahmad Fuad, Filsafat Islam, Tarj. Pustaka Firdaus (Jakarta, Pustaka

Firdaus), cet. 8, 1997

Ali, Yunarsil, Perkembangan Pemikiran Filsafat dalam Islam. (jakarta, Bumi

Aksara), cet. 1, 1997

18

18

Page 19: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Amin, Miska Muhammad, Epistomologi Islam, (Jakarta, UI Press, 1993)

Bakry, Hasbullah, Di Sekitar Filsafat Skolastik Islam (Jakarta, Tintamas). Cet. IV,

1984

Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, (Jakarta, Djambatan)

Daudy, Ahmad, Kuliah Filsafat Islam (Jakarta ; Bulan Bintang 1986)

De Boer, Tj., Tarikh al-Falsafah al Islamiyah, Tahqiq Muhammad Abdul Hawi

Rauwaidah, (Beirut, Dar al-Nahdah al-Arabiyah, tt)

al-Fakhuri, Hana, Tarikh al-Falsafah al’-Arabiyah (Beirut ; Darul ma’arif, 1958)

Fakri, Majid, sejarah Filsafat Islam (Jakarta, Pustaka Jaya) cet 1, 1986

al-Farabi, Arau Ahl al-Madinah al-Fadilah, Mesir, tt.

Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta ; Bulan Bintang, 1996)

Khillikan, Ibnu, Wafiayatul A’yan (Kairo ; Maktabah an-Nahdah,1948)

Madjid, Nurkholis, Khazanah Intelektual Islam (Jakarta, Bulan Bintang) 1984

Musa, Muhammad Yusuf, Bain ad-Din wa al-Falsafah, (Mesir, Dar al-Ma’aarif, tt)

cet. 2

Nasution, Harun, falsafat & Mistisme dalam Islam, (Jakarta, Bulan Bintang) cet. III

1983

Nata, Abuddin, Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasauf, (Jakarta, PT Raja Grafindo

Persada) cet. 8, 2001

Al-Qothfi, Jamaludin, Ikhbaru al-Ulama bi Ikhbar al-Hukama (Cairo, Darl Kutub,

Tt)

Shaikh, M. Saeed, , Studies In Muslim, (New Delhi, Adam Publisher), cet. 1, 1994

Syarif, M. M, History Of Muslim Psilosopy, vol, III Otto Horraaowitz, Weisbaden,

1963

19

19

Page 20: Filsafat bi Ibnu Sina Dan Ibnu Thufail

Zar, Sirajuddin, Konsep Penciptaan Alam Dalam Pemikiran Islam, Sains dan al-

Qur’an (Jakarta, Rajawali Press) cet. I. 1994

20

20