jurnal forensik angelman syndrome
DESCRIPTION
ForensicTRANSCRIPT
Laporan KasusPATOLOGI/BIOLOGIJonathon Herbst,1,* M.D. and Roger W. Byard,2 M.B.B.S., M.D.
Kematian Mendadak pada Sindrom Angelman
ABSTRAK : Sindrom Angelman adalah suatu kondisi yang ditandai dengan
keterlambatan perkembangan karena kelainan pada kromosom maternal yaitu
15q11-Q13. Gejala umum meliputi terjadinya penurunan nilai bahasa ekspresif,
gaya berjalan ataxic, dan kejang. Hiperaktif dapat mengakibatkan terjadinya
memar dan lecet, menyebabkan peningkatan terjadinya peningkatan cedera.
Ketertarikan terhadap air dapat menyebabkan rentan tenggelam. Seorang anak 5
tahun yang sudah di diagnosis pasti menderita sindrom Angelman dilaporkan
meninggal karena adanya sumbatan jalan napas bagian atas karena pembesaran
tonsil yang masif akibat infeksi mononukleosis. Penilaian tingkat keparahan
penyakit yang mendasari pada anak-anak yang mengalami keterlambatan
perkembangan mungkin sulit karena pasien sulit untuk mengutarakan gejala dan
penderitaannya yang semakin memburuk. Selain itu, tanda-tanda penyempitan
saluran napas bagian atas karena infeksi pada Angelman sindrom dapat
dikaburkan oleh kesulitan mengisap dan menelan pada individu yang terkena,
yang mungkin juga memiliki kelainan pengeluaran air liur berlebihan,
mengunyah dan cara berbicara.
KATA KUNCI: ilmu forensik, forensik patologi, sindrom Angelman, virus
Epstein-Barr, obstruksi jalan napas, asfiksia, infeksi mononukleosis
Angelman sindrom merupakan kondisi yang ditandai oleh keterlambatan
perkembangan yang dihasilkan dari kelainan kontribusi maternal yaitu pada area
genom kromosom 15q11-Q13 (1). Mutasi mempengaruhi area kromosom ini
dengan melibatkan gen protein ubiquitin-ligase E3A (UBE3A) (2). Gejala
klinisnya meliputi gangguan motorik, gangguan atau hilangnya bahasa ekspresif
dan kemampuan berbicara, ataksia, dan kejang. Secara karakteristik mereka yang
mempunyai penyakit ini memiliki sikap yang ceria.
Kasus-kasus ini dapat menjadi perhatian forensik karena komplikasi medis
terkait dengan imobilitas, skoliosis yang parah, disfagia, aspirasi, dan epilepsi
yang parah. Ada juga yang dipercaya menjadi peningkatan risiko tenggelam
karena ketertarikan penderita dengan air. Masalah lain dalam yang muncul
penilaian tingkat keparahan dari kondisi medis adalah karena kesulitan dalam
komunikasi dan pemeriksaan. Kasus pada anak umur 5 tahun dengan sindrom
Angelman ini dipresentasikan untuk menunjukkan penyebab yang tidak biasa dari
obstruksi saluran napas atas akut karena infeksi Epstein-Barr.
Laporan Kasus
Seorang anak laki-laki berumur 5 tahun dengan diagnosis sindrom
Angelman, memiliki hiperaktifitas, infeksi saluran pernapasan berulang, dan
gangguan tidur, telah dibawa kepada dokter dengan demam, adenopati leher, dan
pembesaran tonsil. Selain itu, ibunya mengatakan bahwa ia memiliki sianosis
pada ekstremitasnya. Anak tersebut di diagnosis tonsilitis dan pada awalnya diberi
obat amoksisilin per oral. Perbaikan klinis tidak terjadi dan ia mengalami henti
jantung dan pernapasan di rumah beberapa hari kemudian. Upaya resusitasi tidak
berhasil.
Pada otopsi, tidak ada gambaran dismorfik jelas terlihat. Tidak ada bukti
adanya skoliosis. Temuan yang paling signifikan berada di orofaring dan leher
yang ditandai dengan adanya pembesaran tonsil bilateral (Gambar 1) terkait
dengan penononjolan limfadenopati pada leher (Gambar 2). Tonsil dilapisi dengan
eksudat cokelat putih yang berlebihan dan begitu membesar sehingga jalan masuk
saluran nafas bagian atas tidak terlihat. Kelenjar limfe membesar dan beratnya
mencapai 247 gram (normal = 47 gram) (3). Temuan lain pada otopsi ialah
termasuk kongesti, pembengkakan paru dan displasia susunan saraf otak. Tidak
ada kondisi lain yang mendasari yang dapat menyebabkan atau memberikan
kontribusi kematian dan tidak ada bukti trauma.
Mengingat temuan limfadenopati, pembesaran tonsil dengan penyempitan
saluran napas yang signifikan, dan splenomegali, serum diambil setelah pasien
meninggal dan dikirim untuk pemeriksaan serologi virus Epstein-Barr (EBV).
Hasilnya menunjukkan adanya antibodi IgM terhadap EBV, tanpa terdeteksi
adanya antibodi IgG terhadap EBV, yang menunjukkan bahwa infeksi tersebut
baru saja terjadi. Pemeriksaan mikroskopis dari tonsil dan kelenjar getah bening
menunjukkan adanya ekspansi jinak paracortical jinak dengan tersebarnya
immunoblasts atipikal dan imunohistokimia untuk protein membran laten EBV
(EBVLMP) menunjukkan pewarnaan yang kuat dalam distribusi interfollicular
(Gbr. 3). Tidak ada malformasi orofaringeal yang dapat memiliki kontribusi
terhadap obstruksi jalan napas bagian atas. Toksikologi mengungkapkan
konsentrasi terapi kodein, parasetamol, dan morfin sesuai dengan dosis terapi
obat. Ada juga tingkat terapeutik obat clobazam. Kematian ini disebabkan akibat
obstruksi jalan napas yang disebabkan oleh infeksi mononukleosis.
Diskusi
Angelman sindrom adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan
terlambatnya perkembangan saraf akibat delesi kromosom maternal yang
diwariskan pada 15q11-13 (pada sekitar 70% kasus) (4). Kehilangan genetik
paternal pada area ini menyebabkan sindrom Prader-Willi. Temuan genetik lain
yang signifikan mencakup 3% dari individu yang terkena dengan disomy
uniparental kromosom 15, 1% dengan mutasi pada pusat pencetakan, dan 6%
akibat mutasi dari gen UBE3A. Selain itu, mungkin untuk tidak dapat mendeteksi
adanya kelainan genetik. Sebagian besar kelainan genetik mempengaruhi ekspresi
gen UBE3A. Baru-baru ini, penelitian telah menunjukkan interaksi antara
penyakit yang mendasari pada sindrom Angelman dan sindrom Rett (5). Sindrom
ini dapat memiliki tumpang tindih yang signifikan pada temuan klinis. Kelainan
genetik yang mendasari sindrom Rett adalah pada Xq28 (6).
Gambaran klinis khas sindrom Angelman dapat dilihat pada sekitar usia 6-
12 bulan, dengan temuan utama termasuk gangguan bahasa ekspresif, cara
berjalan yang ataxic, dan kejang. Ciri khas perilaku meliputi sikap bahagia dan
berkurangnya perhatian atau atensi (4). Manifestasi perilaku lain yang sering
adalah hiperaktif, dan telah dicatat bahwa dalam kasus yang ekstrim bahwa
gerakan yang konstan dapat mengakibatkan memar dan lecet, yang dapat
mengangkat isu-isu dari kemungkinan cedera ditimbulkan. Anak yang lebih tua
juga suka merampas, mencubit, dan menggigit (4).
Ismail dkk. (7) telah melaporkan adanya daya tarik terhadap air pada
individu dengan sindrom Angelman sehingga meningkatkan resiko kemungkinan
tenggelam. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan kesulitan dengan air dan
berenang pada umumnya ialah, koordinasi yang buruk, ataksia, tonus otot yang
menurun, dan kognisi yang buruk (7). Para penulis menekankan perlunya
pendamping untuk tetap waspada khususnya saat pasien dengan penyakit ini
berada disekitar air atau selama kegiatan yang berhubungan air.
Gejala lain yang telah dilaporkan dalam 20-80% kasus termasuk lidah
yang menonjol keluar, penetrasi lidah, kesulitan menghisap dan menelan, masalah
makan pada masa bayi, prognathia, sering keluar air liur, dan perilaku
mengunyah/ mengecap yang berlebihan (8). Lebih dari 90% pasien memiliki
epilepsi, dan berbagai jenis kejang terjadi termasuk epilepsi refrakter, absen
atipikal, kejang mioklonik, dan kejang atau status epileptikus nonconvulsive (2,4).
Kejang dapat meningkatkan selama masa remaja (9). Meskipun telah dilaporkan
bahwa individu dengan sindrom Angelman memiliki yang masa hidup normal,
tingginya insiden epilepsi, imobilitas, scoliosis yang parah, disfagia, dan aspirasi
(faktor-faktor yang mempengaruhi masalah pernafasan), akan menunjukkan
sebaliknya (9).
Kasus saat ini menunjukkan masalah tambahan yang terjadi dengan anak
yang memiliki keterlambatn secara mental dan perkembangan dan itu adalah
dengan cara penilaian tingkat keparahan penyakit yang mendasarinya. Dalam
kasus yang dilaporkan, penyempitan saluran napas yang signifikan disebabkan
oleh pembesaran tonsil akibat infeksi mononukleosis yang mendasarinya. Pada
anak dengan perkembangan mental dan fisik yang normal, pembesaran amandel
pada derajat yang ditunjukkan akan mengakibatkan kesulitan menelan yang jelas
atau mudah terlihat. Sayangnya, hal ini dapat sulit terlihat pada anak yang
memiliki kesulitan menghisap dan menelan, dengan pengeluaran air liur dan
perilaku mengunyah serta mengecap yang berlebihan. Hal ini juga memungkinkan
bahwa kesulitan berbicara yang terdapat Angelman sindrom mencegah
penyampaian perburukan gejala dari penderita itu sendiri.
EBV adalah virus DNA gamma-herpes yang menginfeksi lebih dari 90%
dari populasi manusia di seluruh dunia (10). Ini adalah agen penyebab dari infeksi
mononukleosis dan umumnya menyebar pada anak-anak melalui kontak dengan
air liur (11). Tanda-tanda klinis dari infeksi mononucleosis termasuk pembesaran
kelenjar getah bening (12), splenomegali, hepatitis, dan faringitis. Pada kasus
yang jarang terjadi, pembesaran tonsil dengan edema faring dapat terjadi yang
mengakibatkan obstruksi jalan napas dan kematian (13). Sealin itu, obstruksi
saluran napas atas dapat diperburuk oleh analgesia narkotik (14,15) sehingga
pengujian toksikologi berguna sebagai pemeriksaan tambahan dalam kasus ini.
Hal yang signifikan dari adanya tingkat terapeutik dari kodein dan morfin dalam
kasus ini tidak pasti meskipun ada kemungkinan bahwa ini mungkin berkontribusi
terhadap relaksasi saluran napas. Penyebab lain kematian mendadak pada infeksi
mononucleosis yang tidak ditemukan dalam kasus yang dilaporkan ini meliputi
ruptur limpa, komplikasi neurologis, dan miokarditis (14).
Kesimpulannya, hal ini menunjukkan bahwa kematian mendadak pada
anak dengan kondisi genetik yang signifikan mungkin tidak langsung berkaitan
dengan ciri-ciri morfologi dari suatu sindrom. Penilaian status medis,
bagaimanapun juga, mungkin dapat dipersulit oleh faktor lain seperti penurunan
kognisi, gangguan bicara dan gejala lain seperti kesulitan mengisap dan menelan.
Daftar Pustaka
1. Gurrieri F, Accadia M. Genetic imprinting: the paradigm of Prader-Willi and Angelman syndromes. Endocr Dev 2009;14:20–8.2. Pelc K, Boyd SG, Cheron G, Dan B. Epilepsy in Angelman syndrome. Seizure 2008;17:211–7.
3. Coppelletta JM, Wolbach SB. Body length and organ weights of infants and children: a study of the body length and normal weights of the more important vital organs of the body between birth and twelve years of age. Am J Pathol 1933;9:55–70.4. Guerrini R, Carrozzo R, Rinaldi R, Bonanni P. Angelman syndrome: etiology,clinical features, diagnosis, and management of symptoms. Paediatr Drugs 2003;5:647–61.5. Jedele KB. The overlapping spectrum of Rett and Angelman syndromes: a clinical review. Semin Pediatr Neurol 2007;14:108–17.6. Byard RW. Forensic issues and possible mechanisms of sudden death in Rett syndrome. J Clin Forensic Med 2006;13:96–9.7. Ishmael HA, Begleiter ML, Butler MG. Drowning as a cause of death in Angelman syndrome. Am J Ment Retard 2002;107:69–70.8. Williams CA, Beaudet Al, Clayton-Smith J, Knoll JH, Kyllerman M, Laan LA, et al. Angelman syndrome 2005: updated consensus for diagnostic criteria. Am J Med Genet A 2006;140:413–8.9. Dan B, Pelc K. Natural history of Angelman syndrome. Dev Med Child Neurol 2008;50:392–5.10. Vetsika EK, Callan M. Infectious mononucleosis and Epstein–Barr virus. Expert Rev Mol Med 2004;6:1–16.11. Macsween KF, Crawford DH. Epstein–Barr virus recent advances. Lancet Infect Dis 2003;3:131–40.12. Ebell MH. Epstein–Barr virus infectious mononucleosis. Am Fam Physician 2004;70:1279–87.13. Bogiolli LR, Taff ML. Sudden asphyxial death complicationg infectious mononucleosis. Am J Forensic Med Pathol 1998;19:174–7.14. Byard RW. Unexpected death due to infectious mononucleosis. J Forensic Sci 2002;47:202–4.15. Byard RW, Gilbert JD. Narcotic administration and stenosing lesions of the upper airway—a potentially lethal combination. J Clin Forensic Med 2005;12:29–31.