jumat, 6 mei 2011 g kuliah dari tarif jutaan hingga ... filearea jakarta barat, beragam ... rp1 juta...

1
S UMARTINI, 53, tak bermaksud mengeluh dengan menampilkan raut wajahnya yang kuyu. Sejak anak ketiganya masuk ke salah satu SMA swasta di area Jakarta Barat, beragam tagihan terus mengalir ke telinganya. Mulai tagihan uang iuran sekolah hingga tagihan pribadi anaknya seperti merengek minta dibelikan laptop. Padahal, penghasilannya yang cuma jadi penjual penganan di sudut tanah kosong berpagar tinggi, di Kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat, tak sebanding dengan pengeluaran keluarganya. Terlebih, setelah anak lelakinya itu memasuki masa menjelang akhir SMA-nya, makin keringlah cadangan devisanya, terutama saat anak bungsunya itu minta didaftarkan ikut bimbingan belajar (bimbel). ‘’Pusing saya tuh, Mas. Duit lagi, duit lagi. Bukannya enggak mau anak jadi maju, tapi kayaknya banyak bener gitu ya uang untuk sekolah itu,’’ keluhnya kepada Media Indonesia, di Jakarta, Rabu (4/5). Wajar saja ia mengeluh. Dengan kondisi suaminya yang tak lagi bekerja, ia memaksakan dirinya tetap membanting tulang kendati kondisi mag yang dideritanya terkadang semakin parah. Semua itu ia lakukan agar anaknya kelak dapat kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) lewat jalur seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Uang sebanyak Rp1 juta dan biaya pendaftaran pun rela diangsur agar anaknya bisa ikut bimbel, di kawasan Palmerah, Jakarta Barat. ‘’Terserah anaknya aja, mau milih (bimbel) di mana, yang penting bagus, tapi murah,’’ selorohnya sambil menyeduhkan segelas kopi hitam panas. Untungnya, perempuan asli Yogyakarta itu mendapat tambahan penghasilan dari usaha kos-kosan miliknya. Meskipun tak seberapa dan sering telat pembayaran per bulannya, 6 kamar yang disewakan itu sedikit banyak menutupi kebutuhan hidup keluarganya, termasuk biaya bimbel anaknya itu. Agak berbeda dengannya, Yudhi, 49, tak berkeberatan anaknya ikut-ikutan temannya terkena demam bimbel. Pria asal Ciledug, Tangerang, ini mengaku tak tahu-menahu ke bimbel mana anak lelakinya mendaftar. Jumlah sekitar Rp2 juta ia gelontorkan sesuai dengan permintaan anaknya. ‘’Terserah dah mau daftar ke mana, saya percaya aja. Pokoknya, anak saya itu bisa lancar masuk kuliah,’’ cetusnya. Bagi pria yang berbisnis jual beli mobil ini, materi bukan suatu masalah jika dibandingkan dengan manfaat pendidikan yang diperoleh bila anaknya masuk ke PTN favorit. ‘’Kita mah berdoa aja yang terbaik,’’ imbuhnya. Siswa-siswa sendiri sebenarnya tidak terlalu ambil pusing soal mengambil program bimbel atau tidak untuk mempersiapkan diri ikut SNMPTN, seperti yang dikhawatirkan oleh para orang tua mereka. Daniel, 18, misalnya, mengaku memiliki banyak teman satu sekolah di SMAN 57 di Kedoya, Jakbar, yang tak terjangkit demam bimbel. ‘’Yang tidak ikut lebih karena faktor ekonomi. Tapi, dasarnya mereka tak masalah mau ikut atau tidak, yang penting belajar sendiri,’’ ujarnya. Ya, konsep belajar sendiri itulah yang mesti ditekankan. Sebab, adanya bimbel yang menjamur menjelang ujian nasional (UN) atau SNMPTN, ungkap pengamat pendidikan dari Universitas Mercu Buana Arissetyanto Nugroho, justru terkesan menomorduakan proses pendidikan di sekolah selama ini. Mestinya, pemerintahlah yang harus memikirkan bagaimana proses belajar di sekolah agar siswa tidak lagi ikut bimbel, khususnya menjelang SNMPTN agar diterima di PTN. Jika bisa, pemerintah mengeluarkan kebijakan agar sekolah memberikan pendidikan dari pagi sampai sore sejak kelas 3 SMA, terutama untuk menghadapi SNMPTN. ‘’Kalau hal itu dijalankan, akses orang miskin, menengah dan atas, akan sama. Mereka tidak perlu keluar uang banyak untuk masuk bimbel. Ya cukup belajar di sekolah, dan belajar sendiri di rumah,’’ kata Arissetyanto yang juga Rektor UMB seusai acara wisuda UMB, di Jakarta, akhir pekan lalu. (*/H-2) 19 JUMAT, 6 MEI 2011 N IORA g Kuliah Berburu Bimbel demi Masuk Perguruan Tinggi Negeri Dari Tarif Jutaan hingga Puluhan Juta Rupiah DALAM menawarkan jasanya, lembaga bimbingan belajar membuat paket-paket yang masing-masing memiliki tarif berbeda. Perbedaan tarif itu disesuaikan dengan fasilitas dan jumlah jam bimbingan. Pada bimbingan belajar Nu- rul Fikri misalnya, siswa dipu- ngut biaya Rp1 juta plus pendaftaran Rp100 ribu untuk program intensif. Program itu sudah dimulai sejak 25 April dan direncanakan berakhir pada 28 Mei. Biaya lebih dike- nakan kepada siswa yang mengikuti program bimbingan sejak semester I kelas XII. Biaya- nya Rp2,2 juta. Waktu belajarnya sendiri, lan- jutnya, adalah 3 jam per hari, Senin-Minggu, yang dibagi 2 sesi belajar. Setiap Senin dan Selasa, kata Sudarsono, diadakan uji tes SNMPTN (try out) yang masing- masing selama 90 menit. Hal itu dilakukan sebagai upaya meny- imulasikan jadwal SNMPTN. “Untuk menghindari kebo- sanan, siswa rata-rata menda- pat pelajaran yang sama 1,5 kali per minggu. Khusus matema- tika, bisa sampai 2-3 kali sem- inggu,” ujar Manajer Opera- sional Nurul Fikri wilayah Ja- karta 2 Sudarsono. Sementara itu, penyelengga- ra bimbingan belajar lainnya, Sony Sugema College (SSC) menawarkan tiga jenis program intensif bagi tiga segmen masyarakat, yakni menengah ke bawah, menengah, dan me- nengah ke atas. Dimulai dari intensif reguler persiapan SNMPTN berbiaya Rp1,7 juta, belum termasuk biaya pemesanan tempat dan pendaftaran sebesar Rp700 ribu. Lalu ada program super- intensif yang bertarif Rp3,25 juta, dengan biaya pemesanan tempat Rp1 juta. Serta program eksklusif intensif yang berharga Rp4,75 juta dengan biaya pendaftaran Rp1,75 juta. Perbedaan antara program intensif dan superintensif adalah pada kapasitas siswa dalam sekelas, yakni 40 siswa untuk intensif dan 20 untuk superinten- sif. Program intensif eksklusif memiliki kekhususan pada jum- lah jam pelajaran per harinya yang mencapai 4x75 menit/hari. Adapun dua program sebelum- nya hanya memakan waktu 2x75 menit/hari. Tak berhenti sampai di situ, SSC tampaknya menyasar kalang an atas dengan me- nawarkan program Super Camp 2011. Program edisi ter- batas ini, yakni hanya 50 kursi, terbilang sangat eksklusif. Wak- tu 24 jam diberikan kepada siswa-siswi untuk menekuni pelajaran di hotel dan base camp SSC di Bandung. Fasilitas yang didapat adalah kamar yang masing-masing ditempati 2 orang, makan 3 kali sehari, snack 2 kali sehari, laun- dry, dan antar-jemput ke lokasi ujian. Biayanya pun tak tang- gung-tanggung, Rp23,5 juta, plus biaya pemesanan tempat Rp5,5 juta. “Program ini tetap ramai, karena segmennya memang untuk kalangan atas. Sudah ada 40 kursi yang terisi,” ujar Cor- porate Secretary Yandi WR saat dihubungi Media Indonesia , Rabu (4/5). Menurut Staf Akademik SSC Asri Jamhuri, biaya yang dike- luarkan dalam program-pro- gram yang dimulai dari tanggal 29 April hingga 28 Mei itu se- banding dengan manfaatnya. Selain pola belajar intensif di kelas, juga disediakan sesi kon- sultasi untuk pemilihan jurusan dan segala tetek bengek SNMPTN. Dalam program intensif ini, siswa mendapat porsi jam be- lajar tiap hari Senin-Jumat, dengan 4,5 jam belajar per harinya. “Saking antusiasnya, ada saja anak yang minta tam- bah belajar dan konsultasi hingga jam 8 malam bahkan nginep,” ucap pengajar matema- tika itu. Selain terkait fasilitas, be- sarnya tarif bimbingan konon juga berkaitan dengan bocoran soal SNMPTN yang bisa diber- ikan ke siswa. Namun isu itu dibantah pihak lembaga bimbingan belajar. ‘’Prediksi soal yang dilakukan SSC lebih kepada analisis statistik tingkat keseringan tipe soal tertentu keluar pada SNMPTN sebe- lumnya,’’ ujar Yandi WR. Bantahan juga disampaikan Koordinator Penyusunan Soal SNMPTN Suparno. ‘’Tidak ada pihak bimbingan belajar yang memiliki akses kepada pembuat soal. Ada delapan lapis penga- manan yang membuat persentase peluang pembocoran soal 0%,’’ tegasnya. (*/S-3) diterapkan oleh bimbingan bela- jar,” kata Arissetyanto. Sebab itu, Arissetyanto me- nyarankan agar sekolah atau- pun orang tua tidak terlalu mengandalkan sistem belajar di bimbingan belajar. Yang justru penting, sekolah hendaknya menambah jam belajar untuk mendalami materi-materi pela- jaran yang masih dianggap sulit bagi siswa. “Kemudian, persiapkan juga siswa untuk belajar mandiri, misalnya dengan belajar dari buku-buku soal SNMPTN masa lalu, dan di sekolah dibahas bersama-sama dalam kelas lewat jam tambahan, namun tetap dikaitkan dengan mata pelajaran yang baru saja diajarkan pagi atau siang harinya,” pungkas Arissetyanto. (Dik/RS/FR/S-3) arif.hulwan@ mediaindonesia.com DOK. PRIMAGAMA ANTARA/MUHAMMAD DEFFA a ini selalu terjadi di setiap SNMPTN karena kursi mahasiswa baru tidak BIMBINGAN BELAJAR: Siswa mengikuti bimbingan belajar di sebuah lembaga di Cilegon, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Orangtua yang cemas dan anak yang tidak percaya diri dalam menghadapi ketatnya persaingan SNMPTN telah menyuburkan bisnis bimbingan belajar. ANTARA/SENO S PELAYANAN INFORMASI: Sejumlah calon mahasiswa menyimak penjelasan tentang tata cara pedaftaran SNMPTN. Pemberian informasi seputar SNMPTN menjadi salah satu layanan lembaga bimbingan belajar bagi peserta didiknya.

Upload: trinhdat

Post on 14-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SUMARTINI, 53, tak bermaksud mengeluh dengan menampilkan

raut wajahnya yang kuyu. Sejak anak ketiganya masuk ke salah satu SMA swasta di area Jakarta Barat, beragam tagihan terus mengalir ke telinganya.

Mulai tagihan uang iuran sekolah hingga tagihan pribadi anaknya seperti merengek minta dibelikan laptop. Padahal, penghasilannya yang cuma jadi penjual penganan di sudut tanah kosong berpagar tinggi, di Kawasan Duri Kepa, Jakarta Barat, tak sebanding dengan pengeluaran keluarganya.

Terlebih, setelah anak lelakinya itu memasuki masa menjelang akhir SMA-nya, makin keringlah cadangan devisanya, terutama saat anak bungsunya itu minta didaftarkan ikut bimbingan belajar (bimbel).

‘’Pusing saya tuh, Mas. Duit lagi, duit lagi. Bukannya enggak mau anak jadi maju, tapi kayaknya banyak bener gitu ya uang untuk sekolah itu,’’ keluhnya kepada Media Indonesia, di Jakarta, Rabu (4/5).

Wajar saja ia mengeluh. Dengan kondisi suaminya yang tak lagi bekerja, ia memaksakan dirinya tetap membanting tulang kendati kondisi mag yang dideritanya terkadang semakin parah. Semua itu ia lakukan agar anaknya kelak dapat kuliah di perguruan tinggi negeri (PTN) lewat jalur seleksi nasional

masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN). Uang sebanyak Rp1 juta dan biaya pendaftaran pun rela diangsur agar anaknya bisa ikut bimbel, di kawasan Palmerah, Jakarta Barat.

‘’Terserah anaknya aja, mau milih (bimbel) di mana, yang penting bagus, tapi murah,’’ selorohnya sambil menyeduhkan segelas kopi hitam panas.

Untungnya, perempuan asli Yogyakarta itu mendapat tambahan penghasilan dari usaha kos-kosan miliknya. Meskipun tak seberapa dan sering telat pembayaran per bulannya, 6 kamar yang disewakan itu sedikit banyak menutupi kebutuhan hidup keluarganya, termasuk biaya bimbel anaknya itu.

Agak berbeda dengannya, Yudhi, 49, tak berkeberatan anaknya ikut-ikutan temannya terkena demam bimbel. Pria asal Ciledug, Tangerang, ini mengaku tak tahu-menahu ke bimbel mana anak lelakinya mendaftar. Jumlah sekitar Rp2 juta ia gelontorkan sesuai dengan permintaan anaknya.

‘’Terserah dah mau daftar ke mana, saya percaya aja. Pokoknya, anak saya itu bisa lancar masuk kuliah,’’ cetusnya.

Bagi pria yang berbisnis jual beli mobil ini, materi bukan suatu masalah jika dibandingkan dengan manfaat pendidikan yang diperoleh bila anaknya masuk ke PTN favorit. ‘’Kita mah berdoa aja

yang terbaik,’’ imbuhnya. Siswa-siswa sendiri

sebenarnya tidak terlalu ambil pusing soal mengambil program bimbel atau tidak untuk mempersiapkan diri ikut SNMPTN, seperti yang dikhawatirkan oleh para orang tua mereka.

Daniel, 18, misalnya, mengaku memiliki banyak

teman satu sekolah di SMAN 57 di Kedoya, Jakbar, yang tak terjangkit demam bimbel. ‘’Yang tidak ikut lebih karena faktor ekonomi. Tapi, dasarnya mereka tak masalah mau ikut atau tidak, yang penting belajar sendiri,’’ ujarnya.

Ya, konsep belajar sendiri itulah yang mesti ditekankan. Sebab, adanya bimbel yang

menjamur menjelang ujian nasional (UN) atau SNMPTN, ungkap pengamat pendidikan dari Universitas Mercu Buana Arissetyanto Nugroho, justru terkesan menomorduakan proses pendidikan di sekolah selama ini.

Mestinya, pemerintahlah yang harus memikirkan bagaimana proses belajar di

sekolah agar siswa tidak lagi ikut bimbel, khususnya menjelang SNMPTN agar diterima di PTN. Jika bisa, pemerintah mengeluarkan kebijakan agar sekolah memberikan pendidikan dari pagi sampai sore sejak kelas 3 SMA, terutama untuk menghadapi SNMPTN.

‘’Kalau hal itu dijalankan,

akses orang miskin, menengah dan atas, akan sama. Mereka tidak perlu keluar uang banyak untuk masuk bimbel. Ya cukup belajar di sekolah, dan belajar sendiri di rumah,’’ kata Arissetyanto yang juga Rektor UMB seusai acara wisuda UMB, di Jakarta, akhir pekan lalu. (*/H-2)

19 JUMAT, 6 MEI 2011NIORA

g Kuliah

Berburu Bimbel demi Masuk Perguruan Tinggi Negeri

Dari Tarif Jutaanhingga Puluhan

Juta RupiahDALAM menawarkan jasanya, lembaga bimbingan belajar membuat paket-paket yang masing-masing memiliki tarif berbeda. Perbedaan tarif itu disesuaikan dengan fasilitas dan jumlah jam bimbingan.

Pada bimbingan belajar Nu-rul Fikri misalnya, siswa dipu-ngut biaya Rp1 juta plus pendaftaran Rp100 ribu untuk program intensif. Program itu sudah dimulai sejak 25 April dan direncanakan berakhir pada 28 Mei. Biaya lebih dike-nakan kepada siswa yang mengikuti program bim bingan sejak semester I kelas XII. Biaya-nya Rp2,2 juta.

Waktu belajarnya sendiri, lan-jutnya, adalah 3 jam per hari, Senin-Minggu, yang dibagi 2 sesi belajar. Setiap Senin dan Selasa, kata Sudarsono, diadakan uji tes SNMPTN (try out) yang masing-masing selama 90 menit. Hal itu dilakukan sebagai upaya meny-imulasikan jadwal SNMPTN.

“Untuk menghindari kebo-sanan, siswa rata-rata menda-pat pelajaran yang sama 1,5 kali per minggu. Khusus matema-tika, bisa sampai 2-3 kali sem-inggu,” ujar Manajer Opera-sional Nurul Fikri wilayah Ja-karta 2 Sudarsono.

Sementara itu, penyelengga-ra bimbingan belajar lainnya, Sony Sugema College (SSC) menawarkan tiga jenis program intensif bagi tiga segmen masyarakat, yakni menengah ke bawah, menengah, dan me-nengah ke atas.

Dimulai dari intensif reguler persiapan SNMPTN berbiaya Rp1,7 juta, belum termasuk biaya pemesanan tempat dan pendaftaran sebesar Rp700 ribu. Lalu ada program super-intensif yang bertarif Rp3,25 juta, dengan biaya pemesanan tempat Rp1 juta. Serta program eksklusif intensif yang berharga Rp4,75 juta dengan biaya pendaftaran Rp1,75 juta.

Perbedaan antara program intensif dan superintensif adalah pada kapasitas siswa dalam sekelas, yakni 40 siswa untuk intensif dan 20 untuk superinten-sif. Program intensif eksklusif memiliki kekhususan pada jum-lah jam pelajaran per harinya yang mencapai 4x75 menit/hari.

Adapun dua program sebelum-nya hanya memakan waktu 2x75 menit/hari.

Tak berhenti sampai di situ, SSC tampaknya menyasar kalang an atas dengan me-nawarkan program Super Camp 2011. Program edisi ter-batas ini, yakni hanya 50 kursi, terbilang sangat eksklusif. Wak-tu 24 jam diberikan kepada siswa-siswi untuk menekuni pelajaran di hotel dan base camp SSC di Bandung.

Fasilitas yang didapat adalah kamar yang masing-masing ditempati 2 orang, makan 3 kali sehari, snack 2 kali sehari, laun-dry, dan antar-jemput ke lokasi ujian. Biayanya pun tak tang-gung-tanggung, Rp23,5 juta, plus biaya pemesanan tempat Rp5,5 juta.

“Program ini tetap ramai, karena segmennya memang untuk kalangan atas. Sudah ada 40 kursi yang terisi,” ujar Cor-porate Secretary Yandi WR saat dihubungi Media Indonesia, Rabu (4/5).

Menurut Staf Akademik SSC Asri Jamhuri, biaya yang dike-luarkan dalam program-pro-gram yang dimulai dari tanggal 29 April hingga 28 Mei itu se-banding dengan manfaatnya.

Selain pola belajar intensif di kelas, juga disediakan sesi kon-sultasi untuk pemilihan jurusan dan segala tetek bengek SNMPTN.

Dalam program intensif ini, siswa mendapat porsi jam be-lajar tiap hari Senin-Jumat, dengan 4,5 jam belajar per harinya. “Saking antusiasnya, ada saja anak yang minta tam-bah belajar dan konsultasi hingga jam 8 malam bahkan nginep,” ucap pengajar matema-tika itu.

Selain terkait fasilitas, be-sarnya tarif bimbingan konon juga berkaitan dengan bocoran soal SNMPTN yang bisa diber-ikan ke siswa. Namun isu itu dibantah pihak lembaga bimbing an belajar. ‘’Prediksi soal yang dilakukan SSC lebih kepada analisis statistik tingkat kesering an tipe soal tertentu keluar pada SNMPTN sebe-lumnya,’’ ujar Yandi WR.

Bantahan juga disampaikan Koordinator Penyusunan Soal SNMPTN Suparno. ‘’Tidak ada pihak bimbingan belajar yang memiliki akses kepada pembuat soal. Ada delapan lapis penga-m a n a n y a n g m e m b u a t persentase peluang pembocoran soal 0%,’’ tegasnya. (*/S-3)

diterapkan oleh bimbing an bela-jar,” kata Arissetyanto.

Sebab itu, Arissetyanto me-nyarankan agar sekolah atau-pun orang tua tidak terlalu mengandalkan sistem belajar di bimbing an belajar. Yang justru penting, sekolah hendaknya menambah jam belajar untuk mendalami materi-materi pela-jaran yang masih dianggap sulit bagi siswa.

“Kemudian, persiapkan juga

siswa untuk belajar mandiri, misalnya dengan belajar dari buku-buku soal SNMPTN masa lalu, dan di sekolah dibahas bersama-sama dalam kelas lewat jam tambahan, namun tetap dikaitkan dengan mata pelajaran yang baru saja diajarkan pagi atau siang harinya,” pungkas Arissetyanto. (Dik/RS/FR/S-3)

[email protected]

DOK. PRIMAGAMA

ANTARA/MUHAMMAD DEFFA

a ini selalu terjadi di setiap SNMPTN karena kursi mahasiswa baru tidak

BIMBINGAN BELAJAR: Siswa mengikuti bimbingan belajar di sebuah lembaga di Cilegon, Jawa Barat beberapa waktu lalu. Orangtua yang cemas dan anak yang tidak percaya diri dalam menghadapi ketatnya persaingan SNMPTN telah menyuburkan bisnis bimbingan belajar.

ANTARA/SENO S

PELAYANAN INFORMASI: Sejumlah calon mahasiswa menyimak penjelasan tentang tata cara pedaftaran SNMPTN.Pemberian informasi seputar SNMPTN menjadi salah satu layanan lembaga bimbingan belajar bagi peserta didiknya.