klc.kemenkeu.go.id · web viewcontoh barang yang penguasaannya ada di pihak lain misalnya barang...

62
BAHAN AJAR PENAGIHAN PAJAK/JURUSITA PAJAK Disusun oleh: Hotmian Helena Samosir (Widyaiswara Madya) 1

Upload: phungnga

Post on 18-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAHAN AJAR

PENAGIHAN PAJAK/JURUSITA PAJAK

Disusun oleh:

Hotmian Helena Samosir(Widyaiswara Madya)

BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGANPUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK

2018

1

DAFTAR ISIDAFTAR ISI..........................................................................................................................2

PENDAHULUAN..................................................................................................................3

PENGERTIAN, DASAR PENAGIHAN PAJAK, DAN JURUSITA PAJAK......................................6

A. Pengertian Penagihan Pajak...................................................................................6

B. Dasar Penagihan Pajak...........................................................................................8

C. Jurusita Pajak........................................................................................................11

SURAT TEGURAN, PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS, SURAT PAKSA dan JANGKA WAKTU PENAGIHAN........................................................................................................15

A. Surat Teguran.......................................................................................................15

B. Penagihan Seketika dan Sekaligus........................................................................16

C. Surat Paksa...........................................................................................................18

D. Jangka waktu pelaksanaan penagihan pajak........................................................21

PENYITAAN DAN LELANG.................................................................................................23

A. Penyitaan.............................................................................................................23

B. Objek Sita.............................................................................................................24

C. Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP).......................................................26

D. Tatacara Penyitaan..............................................................................................27

E. Lelang...................................................................................................................31

F. Tatacara Lelang Barang Sitaan..............................................................................32

G. Penyelesaian Pelelangan......................................................................................36

PENCEGAHAN, PENYANDERAAN dan PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK...........................37

A. Pencegahan dan syarat Pencegahan....................................................................37

B. Pelaksanaan Pencegahan.....................................................................................39

C. Penyanderaan......................................................................................................39

D. Penghapusan Piutang Pajak.................................................................................41

E. Piutang pajak yang dapat dihapuskan..................................................................42

2

PENDAHULUAN

Tidak ada yang pasti di dunia ini keculi kematian dan Pajak. Hal tersebut

dikatakan oleh Benjamin Franklin: ”In this world nothing is more certain but death

and taxes”. Sejak awal tahun 1984, Indonesia telah menerapkan suatu sistem

perpajakan yakni sistem “Self Assessment” yang memberikan kepercayaan

kepada masyarakat Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan sendiri,

membayar dan melaporkan kewajiban perpajakannya kepada Direktorat Jenderal

Pajak yang diberi kepercayaan oleh pemerintah untuk mengelola pajak.

Pemerintah yang penulis maksud disini adalah pemerintah pusat dan pajak yang

dimaksud adalah pajak pusat.

Untuk pajak daerah peraturan perundang-undangan terbaru yang

mengatur mengenai perpajakan adalah Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009

tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Dalam Undang-undang tersebut

disebutkan Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi

wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat

memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat.

Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan yang

selanjutnya disebut UU KUP mengatur mengenai pajak pusat dan Undang-

undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah selanjutnya disebut UU PDRD

mengatur ketentuan pajak daerah. Ada beberapa hak dan kewajiban Wajib Pajak

baik itu pajak pusat maupun pajak daerah. Salah satu kewajiban Wajib Pajak

adalah melunasi utang pajak yang apabila tidak dilunasi maka petugas pajak

atau sering disebut Fiskus akan menagih utang pajak tersebut sesuai atau

berpedoman pada ketentuan yang berlaku.

Hal menarik yang mempertemukan pajak pusat dan pajak daerah adalah

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 yang merupakan perubahan atas

Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat

Paksa atau yang selanjutnya disebut dengan UU PPSP. Dalam Pasal 1 angka 9

UU PPSP disebutkan: Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan agar

3

Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan

menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan

sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,

melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang

disita.

Fungsi Penagihan Pajak tentu sangat penting sebagai tindakan

penegakan hukum kepada Wajib Pajak atau Penanggung Pajak yang tidak

mematuhi ketentuan perpajakan secara benar. Sedangkan tujuan Penagihan

Pajak adalah agar Penanggung Pajak melunasi utang pajaknya. Selain itu tentu

Penagihan Pajak dilaksanakan sebagai salah satu tindakan pengamanan

penerimaan negara dari sektor pajak daerah. Utang pajak yang dari sisi negara

merupakan Piutang pajak, apabila tidak tertagih tentu akan berdampak terhadap

penerimaan negara/daerah.

Pelaksana dari tindakan penagihan tersebut di atas dilakukan oleh

pegawai Direktorat Jenderal Pajak dan pegawai dari Dinas Pendapatan Daerah

yang disebut Jurusita Pajak, dimana Jurusita Pajak diangkat dan diberhentikan

oleh Pejabat yang berwenang yakni Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk pajak

pusat dan Kepala Dispenda untuk pajak daerah. Syarat-syarat menjadi Jurusita

Pajak diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 562/KMK.04/2000

Tanggal 26 Desember 2000.

Bahan Ajar ini memberikan gambaran mengenai Penagihan Pajak secara

umum seperti dasar penagihan pajak, tindakan penagihan pajak, Jurusita Pajak,

Pejabat, dan lain sebagainya. Penyusun Bahan Ajar akan berusaha memberikan

hal-hal lain yang berhubungan dengan penagihan pajak daerah berupa contoh-

contoh yang terjadi di lapangan yang pernah dialami Jurusita Pajak Pusat.

Dalam sistem self Assessment tentulah kedudukan Wajib Pajak sangat

sentral, dimana Wajib Pajak diberikan otoritas sendiri untuk menentukan

besarnya pajak yang seharusnya dibayar. Tentu dalam hal ini otoritas

penghitungan pajak sudah bergeser dari negara kepada seorang Wajib Pajak.

Jelas terlihat kedudukan Wajib Pajak dalam perpajakan Indonesia cukup sentral,

kepercayaan yang diberikan kepada seorang WP haruslah dapat

4

dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan perpajakan yang berlaku. Namun

demikian dalam praktik tidak semua WP bertindak sesuai yang diharapkan dalam

sistem self assessment tersebut. Terhadap WP sesuai dengan tingkat

kesalahannya harus dilakukan pemeriksaan pajak dalam upaya penegakan

hukum. Berdasarkan hasil temuan pemeriksa pajak tidak sedikit WP yang

melakukan penghindaran bahkan pelanggaran aturan perpajakan sehingga

harus diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar (SKPDKB).

SKPDKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok

pajak, jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak,

besarnya sanksi administratif, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.

Disinilah permasalahan mulai muncul terkait dugaan pemeriksa pajak

akibat ketidaksengajaan atau kelalaian WP. Tentu dugaan tersebut tidak serta

merta dapat menjadi pembenaran pemeriksa pajak untuk secara sepihak

memberikan sanksi. Justru dugaan kesalahan ini perlu dibuktikan melalui

mekanisme pemeriksaan yang benar. Pada pihak lain WP tidak mau disalahkan,

dengan alasan WP belum/tidak paham aturan padahal bisa saja WP memang

sengaja melakukan penghindaran/pelanggaran pajak yang telah direncanakan.

5

PENGERTIAN, DASAR PENAGIHAN PAJAK, DAN JURUSITA PAJAK

Dasar Hukum:

1. Undang-undang Nomor 19 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

2. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

3. Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 562/KMK.04/2000 tentang Syarat-syarat, Tatacara Pengangkatan dan Pemberhentian Jurusita Pajak.

A. Pengertian Penagihan Pajak

Sebagaimana halnya dengan setiap kewajiban, maka kewajiban dalam

hukum pajakpun harus diselesaikan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.

Sebaliknya pembuat peraturan perpajakan juga seyogianya memperhatikan

kemungkinan bahwa kewajiban tersebut dapat tidak dilaksanakan secara

sukarela oleh WP sehingga perlu memikirkan peraturan tentang tindakan-

tindakan yang dapat diambil fiskus untuk memaksa Wajib Pajak agar

melaksanakan kewajibannya dengan melunasi utang pajaknya. Dalam tindakan

untuk memaksa pada prinsipnya tidak dipandang siapa orang atau Wajib Pajak

yang tidak memenuhi kewajiban, tapi hanya melihat kenyataan bahwa telah ada

orang atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi kewajiban perpajakannya.

Dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan, sering

terdapat utang pajak yang tidak dilunasi oleh Wajib Pajak sebagaimana mestinya

sehingga memerlukan tindakan penagihan yang mempunyai kekuatan hukum

memaksa yang mampu memberi kepastian hukum dan keadilan serta dapat

mendorong kesadaran dan kepatuhan masyarakat dalam memenuhi kewajiban

perpajakannya. Saat ini Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

yang populer dikalangan fiskus dengan sebutan UU PPSP yang berlaku adalah

6

Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 sebagai perubahan dari Undang-undang

Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

Beberapa Undang-undang yang mengatur tentang Penagihan Pajak

antara lain:

1. Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa

2. Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan

3. Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

4. Undang-undang Pengadilan Pajak

Dari keempat Undang-undang di atas, yang sangat jelas memberikan

definisi tentang pengertian Penagihan Pajak adalah UU PPSP. Dalam Pasal 1

ayat (9) UU PPSP disebutkan: Penagihan Pajak adalah serangkaian tindakan

agar Penanggung Pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak

dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan

sekaligus, memberitahukan Surat Paksa, mengusulkan pencegahan,

melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang

disita.

UU PPSP diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang timbul dalam

masyarakat, khususnya permasalahan mengenai tunggakan pajak yang mampu

memberikan motivasi peningkatan kesadaran dan kepatuhan masyarakat Wajib

Pajak. UU PPSP yang demikian diharapkan dapat memberikan penekanan yang

lebih pada keseimbangan antara kepentingan masyarakat Wajib Pajak dan

kepentingan negara. Keseimbangan kepentingan tersebut berupa pelaksanaan

hak dan kewajiban oleh kedua belah pihak yang tidak berat sebelah atau tidak

memihak, adil, serasi dan selaras dalam wujud tata aturan yang jelas dan

sederhana serta memberikan kepastian hukum.

Dari defenisi Penagihan Pajak di atas, jelas terlihat kalau Wajib

Pajak/Penanggung Pajak selanjutnya disingkat WP/PP harus melunasi utang

pajak. Dalam UU PPSP disebutkan Utang Pajak adalah pajak yang masih harus

dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang

7

tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Tujuan dari penagihan pajak adalah agar Penanggung Pajak melunasi

utang pajak dan biaya penagihan pajak. Agar tujuan penagihan pajak tersebut

tercapai, maka diperlukan serangkaian tindakan yang dilakukan oleh Jurusita

Pajak mulai dari penerbitan dan penyampaian Surat Teguran, memberitahukan

Surat Paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan,

melaksanakan penyanderaan, dan menjual barang hasil penyitaan, dan lain-lain.

Serangkaian tindakan tersebut seyogianya harus secepatnya dilakukan namun

tetap dengan jangka waktu yang telah ditetapkan oleh ketentuan yang berlaku

jika Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya. Mengapa harus

secepatnya dilaksanakan, tentu untuk menghindari daluwarsa penagihan pajak.

Serangkaian tindakan ini diatur dengan jangka waktu dan prosedur yang

telah ditetapkan yang menjadi pedoman bagi Jurusita Pajak dalam

melaksanakan tugasnya. Prosedur yang tidak ditaati tentu dapat menimbulkan

gugatan atau perlawanan dari WP/PP terhadap pelaksanaan penagihan pajak.

Menurut UU PPSP, Gugatan terhadap pelaksanaan penagihan pajak tidak

menunda pelaksanaan penagihan pajak, akan tetapi majelis hakim Pengadilan

Pajak berwenang untuk menghentikan sementara jika ada permohonan dari

WP/PP dalam gugatannya dan hakim memandang perlu untuk mengabulkannya.

B. Dasar Penagihan Pajak

Pasal 102 ayat (1) UU PDRD disebutkan bahwa : “Pajak yang terutang

berdasarkan SPPT, SKPD, SKPDKB, SKPDKBT, STPD, Surat Keputusan

Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding yang tidak atau

kurang dibayar oleh Wajib Pajak pada waktunya dapat ditagih dengan Surat

Paksa”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, Penagihan Pajak dengan Surat

Paksa dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

8

Poin-poin penting dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang

perubahan atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan

Pajak dengan Surat Paksa antara lain:

1. Pajak adalah semua jenis pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat,

termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh

Pemerintah Daerah, menurut Undang-undang dan peraturan daerah.

2. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang

bertanggungjawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang

menjalankan hak dan memenuhi kewajiban Wajib Pajak menurut

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

3. Pejabat adalah pejabat yang berwenang mengangkat dan

memberhentikan Jurusita Pajak, menerbitkan Surat Penagihan Seketika

dan Sekaligus, Surat Paksa, Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan,

Surat Pencabutan Sita, Pengumuman Lelang, Surat Penentuan Harga

Limit, Pembatalan Lelang, Surat Perintah Penyanderaan dan surat lain

yang diperlukan untuk penagihan pajak sehubungan dengan Penanggung

Pajak tidak melunasi sebagian atau seluruh utang pajak menurut Undang-

undang dan peraturan daerah.

4. Jurusita Pajak adalah pelaksana tindakan penagihan pajak yang meliputi

penagihan seketika dan sekaligus, pemberitahuan Surat Paksa,

penyitaan dan penyanderaan.

5. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya

meliputi tempat tindakan penagihan pajak dilaksanakan.

6. Utang pajak adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi

administrasi berupa bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam

surat ketetapan pajak atau surat sejenisnya berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan perpajakan.

7. Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis adalah surat

yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau memperingatkan

kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya.

8. Penagihan Seketika dan Sekaligus adalah tindakan penagihan pajak

yang dilaksanakan oleh Jurusita Pajak kepada Penanggung Pajak tanpa

9

menunggu tanggal jatuh tempo pembayaran yang meliputi

seluruh utang pajak dari semua jenis pajak, Masa Pajak, dan Tahun

Pajak.

9. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya

penagihan pajak.

10. Biaya penagihan pajak adalah biaya pelaksanaan Surat Paksa, Surat

Perintah Melakukan Penyitaan, Pengumuman Lelang, Pembatalan

Lelang, Jasa Penilai dan biaya lainnya sehubungan dengan penagihan

pajak.

11. Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang

Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak

12. Objek Sita adalah barang Penanggung Pajak yang dapat dijadikan

jaminan utang pajak.

13. Barang adalah tiap benda dan hak yang dapat dijadikan objek sita.

14. Lelang adalah setiap penjualan di muka umum dengan cara penawaran

harga secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat

atau calon pembeli.

15. Kantor Lelang adalah kantor yang berwenang melaksanakan penjualan

secara lelang.

16. Risalah Lelang adalah Berita Acara Pelaksanaan Lelang yang dibuat oleh

Pejabat Lelang atau kuasanya dalam bentuk yang ditentukan oleh

ketentuan peraturan perundang-undangan lelang.

17. Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap

Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik

Indonesia berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

18. Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu kebebasan

Penanggung Pajak dengan menempatkannya di tempat tertentu.

19. Gugatan atau Sanggahan adalah upaya hukum terhadap pelaksanaan

penagihan pajak atau kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

20. Kepala Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota.

10

21. Pemerintah Daerah adalah pemerintah daerah yang wilayah hukumnya

meliputi tempat tindakan penagihan pajak dilaksanakan.

22. Menteri adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia.

23. Hari adalah Hari Kalender.

Jatuh Tempo pembayaran Utang Pajak

Dalam Pasal 1 angka 9 UU PPSP disebutkan pengertian Utang Pajak

adalah pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa

bunga, denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan berdasarkan

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Jumlah yang masih harus

dibayar dalam surat ketetapan tersebut telah mencantumkan tanggal penerbitan

dan tanggal jatuh tempo pembayarannya. Jika sampai dengan tanggal jatuh

tempo pembayaran jumlah pajak yang masih harus dibayar belum dilunasi oleh

WP/PP, maka akan menjadi tunggakan pajak yang nantinya dapat ditagih

dengan Surat Paksa. Apabila tunggakan pajak tersebut tidak dilunasi, hal inilah

yang menjadi dasar penagihan pajak.

C. Jurusita Pajak

Pasal 1 ayat (6) UU PPSP menyebutkan Jurusita Pajak adalah pelaksana

tindakan penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus,

pemberitahuan Surat Paksa, penyitaan, dan penyanderaan. Jurusita Pajak

diangkat dan diberhentikan oleh Pejabat. Pasal 2 ayat (1) menyebutkan Menteri berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan pajak pusat. Sedangkan Pasal 2

ayat (2): Kepala Daerah berwenang menunjuk Pejabat untuk penagihan Pajak

Daerah.

Pejabat sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) berwenang:

a. Mengangkat dan memberhentikan Jurusita Pajak;

11

b. Menerbitkan:

1) Surat Teguran, Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;

2) Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;

3) Surat Paksa;

4) Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;

5) Surat Perintah Penyanderaan;

6) Surat Pencabutan Sita;

7) Pengumuman Lelang;

8) Surat Penentuan Harga Limit;

9) Pembatalan lelang; dan

10) Surat lain yang diperlukan untuk pelaksanaan penagihan pajak.

Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU PPSP, kewenangan menunjuk

Pejabat untuk penagihan pajak daerah diberikan kepada Kepala Daerah. Yang

dimaksud dengan Pejabat untuk pengihan pajak daerah misalnya Kepala Dinas

Pendapatan Daerah. Adapun yang dimaksud dengan pajak daerah adalah pajak

yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, antara lain, Pajak Hotel dan Restoran,

Pajak Penerangan jalan, dan Pajak Kendaraan Bermotor.

Sesuai dengan Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan Nomor

562/KMK.04/2000, syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk diangkat menjadi

Jurusita Pajak adalah sebagai berikut:

- Berijasah serendah-rendahnya Sekolah Menengah Umum (SMU) atau

yang setingkat dengan itu;

- Berpangkat serendah-rendahnya Pengatur Muda, golongan IIa;

12

- Berbadan sehat;

- Lulus pendidikan dan pelatihan Jurusita Pajak; dan

- Jujur, bertanggung jawab, dan penuh pengabdian.

Pegawai Direktorat Jenderal Pajak maupun pegawai Dinas Pendapatan

Daerah yang memenuhi persyaratan tersebut di atas dapat diangkat sebagai

Jurusita Pajak oleh Pejabat (dalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan Pajak untuk

pajak pusat dan Kepala Dinas Pendapatan Daerah untuk pajak daerah. Sebelum

memangku jabatannya, Jurusita Pajak diambil sumpah atau janji menurut agama

atau kepercayaannya oleh Pejabat.

Jurusita Pajak diberhentikan dari jabatannya dalam hal sebagai berikut:

1. Meninggal dunia

2. Pensiun

3. Karena alih tugas atau kepentingan dinas lainnya

4. Ternyata lalai atau tidak cakap dalam menjalankan tugas

5. Melakukan perbuatan tercela

6. Melanggar sumpah atau janji Jurusita Pajak

7. Sakit jasmani atau rohani terus menerus

Jurusita Pajak bertugas:

1. Melaksanakan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;

2. Memberitahukan Surat Paksa;

3. Melaksanakan penyitaan atas barang Penanggung Pajak berdasarkan Surat

Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan

4. Melaksanakan penyanderaan berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan.

Jurusita Pajak dalam melaksanakan tugasnya harus dilengkapi dengan

kartu tanda pengenal Jurusita Pajak dan harus diperlihatkan kepada

Penanggung Pajak. Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak berwenang

13

memasuki dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan

tempat lain untuk menemukan ojek sita di tempat usaha, di tempat kedudukan,

atau di tempat tinggal Penanggung Pajak, atau di tempat lain yang dapat diduga

sebagai tempat penyimpanan objek sita.

Dalam menjalankan tugasnya, Jurusita Pajak dapat meminta bantuan

Kepolisian, Kejaksanan, departemen yang membidangi hukum dan perundang-

undangan, Pemerintah Daerah setempat, Badan Pertanahan Nasional, Direktorat

Jenderal Perhubungan Laut, Pengadilan Negeri, Bank atau pihak lain. Jurusita

Pajak menjalankan tugas di wilayah kerja Pejabat yang mengangkatnya, kecuali

ditetapkan lain dengan Keputusan Menteri atau Keputusan Kepala Daerah.

Contoh: Kantor Pelayanan Pajak Pratama Jakarta Kebayoran Baru Dua dengan

wilayah kerja yang meliputi Kelurahan Kramat Pela, Kelurahan Pulo, Kelurahan

Gandaria Utara, Kelurahan Cipete Utara, di Kecamatan Kebayoran Baru, maka

Jurusita Pajak melaksanakan tugasnya di wilayah itu saja. Apabila akan

melaksanakan penyitaan di kota Tangerang (yang bukan merupakan wilayah

kerja KPP Pratama Jakarta Kebayoran Baru Dua) dimana barang milik

Penanggung Pajak berada, maka yang dapat dilakukan adalah KPP Pratama

Jakarta Kebayoran Baru Dua meminta bantuan kepada KPP Tangerang untuk

melaksankan penyitaan.

14

SURAT TEGURAN, PENAGIHAN SEKETIKA DAN SEKALIGUS, SURAT PAKSA dan JANGKA WAKTU PENAGIHAN

Dasar Hukum:

1. Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

2. Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor KMK.561/KMK.04/2000 tentang Tatacara Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus.

3. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 24/PMK.03/2008 Tanggal 6 Februari 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Dengan Surat Paksa dan Pelaksanaan Penagihan Seketika dan Sekaligus.

4. Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tatacara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan.

A. Surat Teguran

Surat Teguran atau dapat juga disebut Surat Peringatan atau surat lain

yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh Pejabat untuk menegur atau

memperingatkan kepada Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya. Langkah

15

ini diambil sebagai peringatan agar Wajib Pajak/Penanggung Pajak segera

melunasi utang pajaknya untuk menghindari dilakukannya tindakan penagihan.

Surat Teguran juga dimaksudkan agar Penanggung Pajak mempunyai

kesempatan untuk melunasi utang pajaknya sampai dengan jangka waktu 21

(dua puluh satu) hari, sebelum dilakukan upaya paksa terhadap WP/PP dengan

diterbitkannya Surat Paksa.

Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 80

Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 74

Tahun 2011 tentang Tatacara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan

diatur bahwa dalam hal Wajib Pajak tidak melunasi jumlah pajak yang masih

dibayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan, pajak yang masih harus

dibayar tersebut ditagih dengan terlebih dahulu menerbitkan Surat Teguran.

Surat Teguran tersebut diterbitkan setelah lewat 7 hari dari tanggal jatuh tempo

pembayaran. Peraturan Pemerintah sengaja penyusun cantumkan karena Pasal

ini yang jelas mengatur jangka waktu penerbitan Surat Teguran, sementara

dalam UU PPSP sendiri belum jelas mengatur.

Penyampaian Surat Teguran dapat dilakukan melalui:

secara langsung,

melalui pos; atau

melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan bukti

pengiriman surat.

Surat Teguran tidak perlu diterbitkan apabila:

Penanggung Pajak menyampaikan permohonan angsuran atau

penundaan pembayaran pajak; (tentu dengan keputusan Pejabat

(Kepala KPP untuk pajak pusat dan Kepala Dispenda untuk pajak

daerah) yang menerima permohonan angsuran Wajib Pajak)

Terhadap Wajib Pajak/Penanggung Pajak telah dilakukan penagihan

seketika dan sekaligus

16

B. Penagihan Seketika dan Sekaligus

Ketentuan mengenai Penagihan Seketika dan Sekaligus terdapat dalam

Pasal 6 UU PPSP disebutkan Jurusita Pajak melaksanakan penagihan seketika

dan sekaligus tanpa menunggu jatuh tempo pembayaran berdasarkan Surat

Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus yang diterbitkan oleh Pejabat

apabila:

a. Penanggung Pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-

lamanya atau berniat untuk itu;

b. Penanggung Pajak memindahtangankan barang yang dimiliki atau

yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan

kegiatan perusahaan atau pekerjaan yang dilakukannya di Indonesia;

c. Terdapat tanda-tanda bahwa Wajib Penanggung Pajak akan

membubarkan badan usahanya, atau menggabungkan usahanya,

atau memekarkan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan

yang dimiliki atau yang dikuasainya, atau melakukan perubahan

bentuk lainnya;

d. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara; atau

e. Terjadi penyitaan atas barang Penanggung Pajak oleh pihak ketiga

atau terdapat tanda-tanda kepailitan.

Apabila keadaan di atas ditemukan oleh Jurusita Pajak atau Jurusita

Pajak mendapat informasi mengenai hal ini dari fungsional pemeriksa atau dari

sumber informasi lain yang diyakini kebenarannya, Jurusita Pajak dapat

langsung melaksanakan tindakan penagihan seketika dan sekaligus. Tindakan

Penagihan Seketika dan Sekaligus memang berbeda dengan tindakan hukum

yang lain. Dapat dibayangkan ketika ada pajak terutang yang belum jatuh tempo

yang dalam keadaan normal Jurusita Pajak tidak boleh melakukan tindakan

apapun atas Wajib Pajak, namun berdasarkan perintah Pasal 6 UU PPSP hal

tersebut bisa saja terjadi yakni melakukan penagihan atas utang pajak dimaksud.

Kepala Kantor Pelayanan Pajak atau Kepala Dinas Pendapatan Daerah

dalam menerbitkan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus sekurang-

kurangnya memuat:

a. Nama Wajib Pajak, atau nama Wajib Pajak dan Penanggung Pajak;

17

b. besarnya utang pajak;

c. Perintah untuk membayar;

d. Saat pelunasan pajak.

Ketentuan dalam penerbitan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus

oleh Pejabat adalah sebagai berikut:

- Diterbitkan sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran;

- Diterbitkan tanpa didahului Surat Teguran;

- Diterbitkan sebelum jangka waktu 21 (dua puluh satu) hari sejak

Surat Teguran diterbitkan;

- Diterbitkan sebelum penerbitan Surat Paksa.

C. Surat Paksa

Pasal 1 angka 12 UU PPSP disebutkan: Surat Paksa adalah surat

perintah membayar utang pajak dan biaya Penagihan Pajak. Surat Paksa

diterbitkan apabila:

a. Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajak sampai dengan tanggal jatuh

tempo pembayaran dan kepadanya telah diterbitkan Surat Teguran atau

Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis;

b. Terhadap Penanggung Pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan

sekaligus; atau

c. Penanggung Pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum

dalam keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.

Surat Paksa diterbitkan untuk memerintahkan dengan paksa kepada

Wajib Pajak/Penanggung Pajak agar melunasi utang pajak beserta biaya

penagihan. Surat Paksa dibuat dengan kepala surat “Demi Keadilan Berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kepala surat ini sama seperti kepala surat yang

tercantum dalam Keputusan Hakim Pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa

Surat Paksa telah memiliki kekuatan eksekutorial dan memiliki kedudukan hukum

18

yang sama dengan putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap. Ini berarti bahwa Jurusita Pajak sebagai petugas yang

memberitahukan Surat Paksa kepada Wajib Pajak /Penanggung Pajak dapat

melakukan eksekusi langsung (parate executie) atas barang-barang milik Wajib

Pajak/Penanggung Pajak yang tidak melaksanakan perintah yang dimaksud

dalam Surat Paksa tersebut.

Sebagai gambaran penerbitan Surat Paksa di Direktorat Jenderal Pajak

cq Kantor Pelayanan Pajak, prosedur penerbitan Surat Paksa saat ini dilakukan

oleh Jurusita Pajak by sistem yaitu:

1. Jurusita Pajak menginventarisasi penunggak pajak yang sudah memenuhi

jangka waktu untuk diterbitkan Surat Paksa, meneliti data pelunasan terbaru

baik itu karena pembayaran/pelunasan dengan Surat Setoran Pajak (SSP)

atau Pemindahbukuan maupun karena adanya Surat Keputusan yang

mengurangkan utang pajak (keputusan

pembetulan/pengurangan/pembatalan/keberatan/banding/Peninjauan

Kembali) kemudian memasukkan dalam Case Management Jurusita Pajak

dan mengirimkan ke Kepala Seksi Penagihan by sistem.

2. Kepala Seksi Penagihan meneliti, menyetujui dan memberikan alasan

persetujuan dalam Case Management, apabila tidak menyetujui Kasi

Penagihan juga wajib memberikan alasan mengapa tidak menyetujui konsep

Surat Paksa yang diberikan Jurusita Pajak.

3. Apabila Kasi Penagihan menyetujui, langsung meneruskan ke Kepala Kantor

untuk dimintakan persetujuan yang mana hal tersebut menjadi Case

Management Kepala Kantor.

4. Apabila Kepala Kantor menyetujui Surat Paksa tersebut, Jurusita Pajak

mencetak Surat Paksa dimaksud dalam rangkap 2 (dua) atau rangkap 3

(tiga) dan membubuhkan paraf pada Surat Paksa.

5. Kepala Seksi Penagihan menerima Hardcopy Surat Paksa dari Jurusita dan

membubuhkan paraf pada Surat Paksa dimaksud, kemudian petugas Seksi

Penagihan maupun Jurusita meneruskan Surat Paksa ke Kepala Kantor.

6. Kepala Seksi setelah menerima Surat Paksa yang telah ditandatangani oleh

Kepala Kantor menugaskan Jurusita Pajak/petugas seksi untuk

19

menatausahakan Surat Paksa tersebut dan memerintahkan Jurusita Pajak

untuk menyampaikan Surat Paksa kepada Wajib Pajak/Penanggung Pajak.

Surat Paksa diberitahukan oleh Jurusita Pajak dengan pernyataan

(dibacakan) dan penyerahan Surat Paksa kepada WP/PP. Sesuai dengan

penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU PPSP dikatakan bahwa pemberitahuan kepada

Penanggung Pajak oleh Jurusita Pajak dilaksanakan dengan cara membacakan

isi Surat Paksa dan kedua belah pihak menandatangani Berita Acara sebagai

pernyataan bahwa Surat Paksa telah diberitahukan.

Tatacara penyampaian Surat Paksa diatur dalam UU PPSP. Beberapa

cara penyampaian Surat Paksa antara lain terhadap orang pribadi maupun

badan. Surat Paksa terhadap orang pribadi diberitahukan oleh Jurusita Pajak

kepada:

a. Penanggung Pajak di tempat tinggal, tempat usaha, atau di tempat lain yang

memungkinkan;

b. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama ataupun yang bekerja di

tempat usaha Penanggung Pajak, apabila Penanggung Pajak tidak dapat

dijumpai;

c. Salah seorang ahli waris atau pelaksana wasiat atau yang mengurus harta

peninggalannya, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta

warisan belum dibagi; atau

d. Para ahli waris, apabila Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta

warisan telah dibagi.

Surat Paksa terhadap badan (misalnya: PT, CV, Yayasan, dll) diberitahukan oleh

Jurusita Pajak kepada:

a. Pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pemilik

modal, baik di tempat kedudukan badan yang bersangkutan, di tempat

tinggal mereka maupun di tempat lain yang memungkinkan; atau

20

b. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang

bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang

sebagaimana dimaksud huruf a.

Apabila pemberitahuan Surat Paksa sebagaimana dimaksud di atas tidak

dapat dilaksanakan karena Jurusita Pajak tidak menjumpai seorangpun, Surat

Paksa disampaikan kepada Penanggung Pajak melalui aparat Pemerintah

Daerah setempat sekurang-kurangnya setingkat sekretaris kelurahan atau

sekretaris desa dengan membuat Berita Acara yang selanjutnya Surat Paksa

dimaksud akan segera diserahkan kepada Penanggung Pajak yang

bersangkutan.(Penjelasan Pasal 10 ayat (7) UU PPSP)

Laporan Pelaksanaan Surat Paksa, Jurusita Pajak setelah melaksanakan

pemberitahuan Surat Paksa harus membuat laporannya dan disampaikan

kepada Kepala Seksi Penagihan sebagai atasannya. Adapun hal-hal yang harus

diperhatikan dalam pembuatan laporan tersebut antara lain:

- Identitas Wajib Pajak/Penanggung Pajak dan identitas siapa yang menerima

Surat Paksa tersebut dan diterima dimana. (bisa jadi terdapat perbedaan

alamat Wajib Pajak yang tertera dalam Surat Paksa dan alamat dimana

Surat Paksa tersebut disampaikan)

- Tanggal Surat Paksa disampaikan. (tentu hal ini sering berbeda dengan

tanggal penerbitan Surat Paksa, bisa saja diterbitkan tanggal 5 Juli 2017

namun baru disampaikan kepada Penanggung Pajak tanggal 10 Juli 2017.

- Data mengenai tunggakan pajak, dirinci apabila Wajib Pajak mungkin

sedang melakukan upaya hukum.

- Informasi mengenai Objek Sita, diharapkan dalam menyampaikan Surat

Paksa Jurusita Pajak sudah mulai melakukan pendataan atas barang-barang

yang kemungkinan dapat disita apabila Penanggung Pajak setelah

menerima Surat Paksa tetap tidak mau melakukan pelunasan. Pendataan

juga dapat meliputi taksiran harga atas barang-barang dimaksud.

- Kesan dan Usul Jurusita Pajak, hal ini merupakan opini maupun kesimpulan

Jurusita Pajak terhadap kondisi dari Penanggung Pajak tersebut seperti:

21

apakah Penanggung Pajak mempunyai kemampuan/keinginan untuk

membayar pajak, apakah ada indikasi Penanggung Pajak menyembunyikan

harta kekayaannya, atau Penanggung Pajak tidak ditemukan, dan lain lain.

D. Jangka waktu pelaksanaan penagihan pajak

NO. JENIS TINDAKAN ALASANWAKTUPELAKSANAAN

1 Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis(Ps 8 - Ps 11 PMK No.24/PMK.03/2008)

Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya sampai dengan jatuh tempo pembayaran

Setelah 7 (tujuh)hari sejak saat jatuh tempo

2 Penerbitan Surat Paksa(Ps7 UU No.19/2000 ) Ps 15 -23PMK no. 24/PMK.03/2008

telah dikirimkan Surat Teguran

Setelah lewat 21 hari

3 Penerbitan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan(Pasal 12 UU No.19/2000)

telah diberitahukan Surat Paksa

Setelah lewat 2x24 jam

4 Pengumuman LelangPs 26 PMK No. 24/PMK.03/2008)

Setelah pelaksanaan penyitaan

Setelah lewat waktu 14 hari sejak pelaksanaan sita

5 Penjualan/Pelelangan Barang Sitaan (ps 26 UU No.19/2000)(Ps28 PMK: 24/PMK.03/2008)

Setelah pengumuman lelang ternyata Penanggung Pajak tidak melunasi utang pajaknya

Setelah lewat waktu 14 hari sejak Pengumuman. Lelang

22

PENYITAAN DAN LELANG

Dasar Hukum:

1. Pasal 1 ayat (13), Pasal 1 ayat (14) dan Pasal 1 ayat (15) serta Pasal 1 ayat (16), (17), (18) dan (19) Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

2. Peraturan Pemerintah RI Nomor 135 Tahun 2000 tentang Tatacara Penyitaan dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

3. Peraturan Pemerintah RI Nomor 136 Tahun 2000 tentang Tatacara Penjualan Barang Sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

A. Penyitaan

Penyitaan adalah tindakan Jurusita Pajak untuk menguasai barang

Penanggung Pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi utang pajak menurut

peraturan perundang-undangan. Tujuan dari Penyitaan tidak untuk melakukan

penjualan barang milik Penanggung Pajak melainkan hanya menguasai sebagai

jaminan pelunasan utang pajak. Akan tetapi apabila sesuai dengan waktu yang

telah ditentukan Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tetap belum melunasi

utang pajaknya, Jurusita Pajak dapat melakukan penjualan secara lelang

terhadap barang milik Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang telah disita.

Akibat hukum dari penyitaan adalah beralihnya hak kepemilikan atas

barang Penanggung Pajak kepada Negara, sehingga selama dalam masa

penyitaan hak-hak kepemilikan barang Penanggung Pajak menjadi hilang.

Karena penyitaan berkaitan dengan pengurangan hak-hak azasi maka untuk

melaksanakan penyitaan barang milik Penanggung Pajak tersebut diperlukan

suatu prosedur yang mengatur secara rinci, jelas dan tegas yang meliputi status,

nilai, serta tempat penyimpanan atau penitipan barang sitaan milik Penanggung

Pajak dengan tetap memberikan perlindungan kepentingan pihak ketiga maupun

Wajib Pajak itu sendiri.

23

B. Objek Sita

Objek Sita adalah Barang milik Penanggung Pajak yang dapat

dilakukan Penyitaan. Yang dapat dijadikan Objek Sita adalah Barang milik

Penanggung Pajak yang berada di tempat tinggal, tempat usaha, tempat

kedudukan, atau di tempat lain termasuk yang penguasaannya berada di tangan

pihak lain atau yang dijaminkan sebagai pelunasan utang tertentu. Letak objek

sita tidak menjadi masalah yang penting pertimbangannya adalah kemungkinan

dapat tidaknya pejabat melakukan penjualan atas barang milik WP/PP tersebut.

Contoh barang yang penguasaannya ada di pihak lain misalnya barang yang

sedang disewakan, atau dipinjamkan kepada pihak lain.

Tidak semua barang milik Penanggung Pajak dapat dijadikan Jurusita

Pajak sebagai objek sita. Barang-barang yang dapat dijadikan objek sita dapat

berupa:

a. barang bergerak termasuk mobil, perhiasan, uang tunai, dan deposito,

tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu, obligasi, saham, atau surat berharga lainnya,

piutang, dan penyertaan modal pada perusahaan lain; dan atau

b. barang tidak bergerak termasuk tanah, bangunan, dan kapal dengan isi kotor

tertentu. Kapal dapat dianggap sebagai barang tidak bergerak jika minimum

isi kotor 20 M3 (duapuluh meter kubik).

Terhadap Penanggung Pajak Orang Pribadi penyitaan dapat

dilaksanakan atas barang milik pribadi yang bersangkutan, isteri, dan anak yang

masih dalam tanggungan, kecuali dikehendaki secara tertulis oleh suami atau

isteri berdasarkan perjanjian pemisahan harta dan penghasilan. Hal ini untuk

mengantisipasi Penanggung Pajak yang menghindari penyitaan dengan cara

mengalihkan nama kepemilikan suatu barang kepada anggota keluarga lainnya.

Terhadap Penanggung Pajak Badan penyitaan dapat dilaksanakan atas

barang milik perusahaan, pengurus, kepala perwakilan, kepala cabang,

penanggung jawab, pemilik modal, baik di tempat kedudukan yang

24

bersangkutan, di tempat tinggal mereka maupun di tempat lain. Tentu

diutamakan barang yang disita terlebih dahulu adalah barang-barang milik

perusahaan. Barang-barang tersebut bisa dilihat pada laporan keuangan yang

dibuat Perusahaan. Akan tetapi jika nilai barang tersebut tidak mencukupi atau

barang milik perusahaan tidak dapat ditemukan atau karena kesulitan dalam

melaksanakan penyitaan terhadap barang milik perusahaan, maka penyitaan

dapat dilakukan terhadap barang-barang milik pengurus, kepala perwakilan,

kepala cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau ketua untuk yayasan.

Penyitaan dilakukan dengan mendahulukan penyitaan terhadap barang

bergerak kecuali dalam keadaan tertentu dapat dilaksanakan langsung terhadap

barang tidak bergerak. Misalnya dalam hal jurusita tidak menemukan barang

bergerak yang memadai sebagai jaminan utang pajak, penyitaan dapat dilakukan

langsung pada barang tidak bergerak. Penentuan urutan penyitaan barang

bergerak dan barang tidak bergerak dengan memperhatikan jumlah utang pajak

dan Biaya Penagihan Pajak, kemudahan penjualan atau pencairannya. Barang

bergerak cenderung lebih mudah penjualannya dibanding barang tidak bergerak.

Penyitaan terhadap barang milik Penanggung Pajak dilaksanakan sampai

dengan jumlah nilai barang yang disita diperkirakan cukup untuk melunasi utang

pajak dan Biaya Penagihan Pajak. Dalam memperkirakan nilai barang yang

disita, harus memperhatikan jumlah dan jenis barang berdasarkan harga wajar

sehingga Jurusita Pajak tidak dapat melakukan penyitaan secara berlebihan.

Misalnya utang pajak Penanggung Pajak sebesar Rp 100 juta. Barang yang

disita oleh Jurusita Pajak adalah sebuah mobil Avanza dan sebuah mobil Alpard.

Dengan melihat harga pasar yang wajar sebaiknya yang disita hanya mobil

Avanza saja dengan perkiraan apabila mobil tersebut terjual maka sudah dapat

melunasi utang pajak Penanggung Pajak yang Rp 100 juta tersebut. Dalam hal

tertentu Jurusita Pajak dimungkinkan untuk meminta bantuan jasa penilai.

Ada beberapa barang Wajib Pajak/Penanggung Pajak yang tidak dapat

dijadikan objek sita. Barang-barang tersebut adalah:

a. pakaian dan tempat tidur beserta perlengkapannya yang digunakan oleh

Penanggung Pajak dan keluarga yang menjadi tanggungannya

25

b. persediaan makanan dan minuman untuk keperluan satu bulan beserta

peralatan memasak yang berada di rumah, termasuk obat-obatan yang

dipergunakan Penanggung Pajak beserta keluarganya.

c. perlengkapan Penanggung Pajak yang bersifat dinas yang diperoleh dari

negara;

d. buku-buku yang bertalian dengan jabatan atau pekerjaan Penanggung Pajak

alat-alat yang dipergunakan untuk pendidikan, kebudayaan dan keilmuan;

e. peralatan dalam keadaan jalan yang masih digunakan untuk melaksanakan

pekerjaan atau usaha sehari-hari dengan jumlah seluruhnya tidak lebih dari

Rp 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) atau ujumlah lain yang ditetapkan

Menteri Keuangan atau Kepala Daerah; atau

f. peralatan penyandang cacat yang digunakan oleh Penanggung Pajak dan

keluarga yang menjadi tanggungannya.

Penyitaan terhadap barang yang telah disita oleh Kejaksaan atau

Kepolisian sebagai barang bukti dalam kasus pidana, baru dapat dilaksanakan

setelah barang bukti tersebut dikembalikan kepada Penanggung Pajak. Jadi

Jurusita Pajak tidak boleh menyita barang yang telah disita oleh Kejaksaan dan

Kepolisian.

C. Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP)

Penyitaan dilakukan oleh Jurusita Pajak berdasarkan Surat Perintah

Melakukan Penyitaan (SPMP) yang diterbitkan oleh Pejabat penerbit Surat

Paksa. Penerbitan Surat Perintah Melakukan Penyitaan dilakukan paling cepat

2 x 24 Jam terhitung sejak tanggal Surat Paksa diiberitahukan kepada Wajib

Pajak atau Penanggung Pajak.

Isi Surat Perintah Melakukan Penyitaan adalah:

a. Dasar dilakukannya Penyitaan

Pada bagian ini menjelaskan alasan dilakukannya penyitaan adalah karena

Penanggung Pajak yang identitasnya tercantum dalam SPMP, telah

dilakukan Penyampaian Surat Paksa dengan nomor dan tanggal Surat

26

Paksa, namun sampai dengan tanggal penerbitan SPMP, tunggakan utang

Pajak belum/tidak dilunasi oleh Penanggung Pajak.

b. Memberikan perintah kepada Jurusita Pajak dengan identitas yang tercantum

pada SPMP untuk melakukan Penyitaan terhadap barang milik Penanggung

Pajak.

c. Perintah agar Penyitaan dilakukan dengan menghadirkan 2 (dua) orang

Saksi Warga Negara Indonesia (WNI) yang telah dewasa dan dapat

dipercaya.

d. Perintah untuk membuat Berita Acara Pelaksanaan Sita.

D. Tatacara Penyitaan

Penyitaan dilaksanakan oleh Jurusita Pajak dengan disaksikan oleh

sekurang-kurangnya 2 (dua) orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia,

dikenal oleh Jurusita Pajak, dan dapat dipercaya. Kehadiran para saksi

dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa pelaksanaan penyitaan dilaksanakan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk mempermudah tugas Jurusita

Pajak pemilihan saksi telah disiapkan sejak dari rencana melakukan penyitaan.

Saksi yang dipilih boleh sesama Jurusita Pajak, atasan atau Kepala Seksi

Penagihan, atau pegawai yang ada di Seksi Penagihan. Selain untuk

memudahkan koordinasi, saksi tersebut dapat membantu kelancaran tugas

penyitaan. Yang perlu diingat saksi tersebut harus orang yang sudah dewasa

dan dapat dipercaya.

Dalam melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak harus:

a. memperlihatkan kartu tanda pengenal Jurusita Pajak;

b. memperlihatkan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan; dan

c. memberitahukan tentang maksud dan tujuan penyitaan

27

Setiap melaksanakan penyitaan, Jurusita Pajak membuat Berita Acara

Pelaksanaan Sita yang ditandatangani oleh Jurusita Pajak, Penanggung Pajak

dan saksi-saksi. Berita Acara Pelaksanaan Sita merupakan pemberitahuan

kepada Penanggung Pajak dan masyarakat bahwa penguasaan barang

Penanggung Pajak telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada Pejabat.

Oleh karena itu, dalam setiap penyitaan, Jurusita Pajak harus membuat Berita

Acara Pelaksanaan Sita secara jelas dan lengkap.

Isi Berita Acara Pelaksanaan Sita meliputi:

a. Tanggal pelaksanaan penyitaan;

b. Nomor dan tanggal Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan

c. Alamat domisili kantor Pejabat,

d. Nomor dan Tanggal Surat Paksa

e. Identitas Jurusita Pajak

f. Identitas saksi-saksi

g. Identitas Penanggung Pajak

h. Data tunggakan Pajak,

i. Jenis, nama, letak dan Taksiran harga objek sita,

j. Penjelasan jika penyitaan tidak dapat dilaksanakan,

h. Penjelasan bahwa masih terdapat kesempatan pelunasan,

k. Penunjukan dan persetujuan penyimpan objek sita,

l. Tandatangan WP/PP, Jurusita Pajak dan Saksi-saksi.

m. Rincian biaya penagihan pajak

Dalam hal Penanggung Pajak adalah Badan maka Berita Acara

Pelaksanaan Sita ditandatangani oleh pengurus, kepala perwakilan, kepala

cabang, penanggung jawab, pemilik modal atau pegawai tetap perusahaan

dimaksud. Pastikan untuk pegawai tetap bukan pegawai honorer atau pegawai

tidak tetap.

Adakalanya, dalam suasana penyitaan Penanggung Pajak tidak hadir.

Walaupun Penanggung Pajak tidak hadir, penyitaan tetap dapat dilaksanakan

dengan syarat salah seorang saksi berasal dari Pemerintah Daerah setempat.

Saksi dari Pemerintah Daerah tersebut sekurang-kurangnya sekretaris Kelurahan

28

atau Sekretaris Desa. Saksi dari Pemerintah Daerah setempat setingkat

Sekretaris Kelurahan atau Sekretaris Desa adalah pegawai Pemerintah Daerah

setempat sekurang-kurangnya golongan II/a di Kantor Kelurahan/Desa atau di

Kantor Kecamatan. Saksi dari Pemerintah Daerah setempat berfungsi sebagai

saksi legalisator. Berita Acara Pelaksanaan Sita ditandatangani Jurusita Pajak

dan saksi-saksi. Dalam Berita Acara Pelaksanaan Sita harus memuat alasan

ketidak hadiran Penanggung Pajak. Dengan demikian Berita Acara Pelaksanaan

Sita dimaksud tetap sah dan mempunyai kekuatan mengikat.

Selain Penanggung Pajak yang tidak hadir, ada juga keadaan dimana

Penanggung Pajak hadir namun menolak untuk menandatangani Berita Acara

Penyitaan. Dalam hal Penanggung Pajak hadir pada saat penyitaan, tapi

menolak untuk menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Penyitaan, Berita

Acara Pelaksanaan Sita tetap mempunyai kekuatan mengikat, meskipun

Penanggung Pajak menolak menandatangani Berita Acara Pelaksanaan Sita.

Dalam Berita Acara Pelaksanaan Penyitaan tersebut di jelaskan bahwa

penyitaan telah dihadiri oleh Penanggung Pajak akan tetapi menolak

menandatangani Berita Acara. Dengan demikian yang bertandatangan adalah

Jurusita dan Saksi-saksi.

Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita dapat ditempelkan pada barang

bergerak atau barang tidak bergerak yang disita, atau di tempat barang bergerak

atau barang tidak bergerak yang disita berada, dan atau di tempat-tempat umum.

Akan tetapi jika karena sifat dan bentuk fisik barang tersebut tidak

memungkinkan untuk ditempeli Salinan Berita Acara Pelaksanaan Sita, maka

diperlukan cara lain untuk penempelan Salinan Berita Acara tersebut. Misalnya

pada sebidang tanah, tidak mungkin salinan berita acara langsung ditempelkan

pada objek sita, tapi diperlukan media berupa papan pengumuman yang ditanam

pada tanah objek sita tersebut yang berisi pengumuman bahwa tanah yang

bersangkutan berada dalam penguasaan negara cq. pejabat dan salinan Berita

Acara Pelaksanaan Sita, ditempelkan pada papan tersebut.

29

Demikian juga jika objek sita berupa emas perhiasan, uang tunai dan

sejenisnya yang tidak memungkinkan ditempeli salinan Berita Acara

Pelaksanaan Sita. Maka yang dapat dilakukan oleh Jurusita Pajak adalah

barang-barang tersebut (emas perhiasan, uang tunai) ditempatkan pada suatu

wadah yang tertutup dan Salinan Berita Pelaksanaan Sita dapat disertai dengan

segel Sita, dilekatkan pada wadah tersebut.

Jurusita Pajak menentukan tempat penyimpanan barang yang telah

disita. Barang yang memungkinkan disimpan pada kantor Pejabat dapat dibawa

oleh Jurusita Pajak dan disimpan pada kantor Pejabat. Misalkan sertifikat tanah,

kendaraan bermotor, BPKB, dan barang-barang elektronik. Barang-barang yang

tidak mungkin dipindahkan seperti tanah dan bangunan, penyimpanannya

dititipkan pada Penanggung Pajak. Dalam hal penyitaan tidak dihadiri oleh

Penanggung pajak, barang sitaan yang berupa barang bergerak dapat dititipkan

kepada Aparat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan sita tersebut atau

disimpan di kantor Pejabat. Jika barang sitaan berupa barang tidak bergerak,

penyimpanan dititipkan kepada Aparat yang menjadi saksi dalam pelaksanaan

sita.

Tempat lain yang dapat digunakan sebagai tempat penitipan barang yang

telah disita oleh Jurusita Pajak adalah Kantor Pegadaian, bank, Kantor Pos atau

tempat lain. Misalnya surat-surat berharga, lukisan barang seni, emas, permata

perhiasan, dapat disimpan dalam deposit box yang disewa oleh Jurusita Pajak,

dan biaya penyewaan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya penagihan.

Jurusita Pajak harus mempertimbangkan resiko-resiko dalam penyimpanan

barang misalnya resiko kerusakan, kehilangan, kecurian, serta bentuk fisik

barang tersebut seperti ukuran, volume, jumlah barang, serta biaya perawatan

yang timbul dalam penyimpanan objek sita.

Apabila diperkirakan hasil lelang barang yang disita tidak cukup untuk

melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak, Jurusita Pajak dapat

melaksanakan penyitaan tambahan terhadap barang milik Penanggung Pajak

yang belum disita. Dengan demikian penyitaan dapat dilaksanakan lebih dari

30

satu kali sampai dengan jumlah yang cukup untuk melunasi utang pajak dan

biaya penagihan pajak baik sebelum diumumkan lelang maupun sesudah

penjualan barang secara lelang atau tidak secara lelang. Pelaksanaan penyitaan

tambahan tidak perlu menerbitkan Surat Perintah melakukan Penyitaan yang

baru.

Pencabutan Sita dapat dilakukan dalam hal Penanggung Pajak telah

melunasi Biaya Penagihan Pajak dan Utang pajak atau berdasarkan putusan

pengadilan atau berdasarkan putusan badan peradilan pajak atau ditetapkan lain

oleh Menteri Keuangan atau Gubernur atau Bupati/Walikota. Yang dimaksud

dengan putusan pengadilan adalah putusan hakim dari peradilan umum.

Barang yang telah disita tidak boleh dilakukan sesuatu oleh Penanggung

Pajak. Larangan bagi Wajib Pajak/Penanggung Pajak sehubungan dengan

pelaksanaan Penyitaan adalah :

a. memindahkan hak, memindahtangankan, menyewakan, meminjamkan,

menyembunyikan, menghilangkan, atau merusak barang yang telah

disita;

b. membebani barang tidak bergerak yang telah disita dengan hak

tanggungan untuk pelunasan utang tertentu;

c. membebani barang bergerak yang telah disita dengan fidusia atau

diagunkan untuk pelunasan utang tertentu; dan atau

d. merusak, mencabut, atau menghilangkan segel sita atau salinan Berita

Acara Pelaksanaan Sita yang telah ditempel pada barang sitaan.

E. Lelang

Terhadap barang Penanggung Pajak yang telah dilakukan Penyitaan

berdasarkan Berita Acara Pelaksanaan Sita, apabila telah melampaui waktu 14

(empat belas) hari sejak tanggal pelaksanaan penyitaan dan Penanggung Pajak

tidak melunasi utang pajak dan biaya Penagihan Pajak, Pejabat melakukan

penjualan barang sitaan dimaksud. Penjualan barang sitaan pada dasarnya

dilakukan dengan melalui lelang dimuka umum.

31

Penjualan lelang mempunyai tujuan agar penjualan barang hasil sitaan

menjadi terbuka, dapat membentuk harga wajar, dan secara tidak langsung

masyarakat ikut mengawasi. Selain itu penjualan melalui lelang juga

dimaksudkan agar penjualan barang yang merupakan wujud eksekusi dari

tindakan penagihan dapat diketahui masyarakat dan dapat menimbulkan efek

jera bagi Penanggung Pajak, serta memberikan ditterent effect bagi masyarakat

Wajib Pajak lain yang belum melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan yang

berlaku.

Tidak semua barang milik Penanggung Pajak yang telah disita akan

dilakukan penjualan secara lelang. Beberapa jenis barang sitaan tidak

memerlukan penjualan secara lelang, namun menggunakan cara lain untuk

digunakan sebagai pelunasan tunggakan utang pajak. Barang-barang sitaan

tersebut adalah : Uang tunai, Surat-surat berharga, Kekayaan Penanggungan

Pajak yang tersimpan pada bank seperti deposito berjangka, tabungan, saldo

rekening koran, giro atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu, Obligasi,

Saham, Piutang, Penyertaan modal, Surat berharga lainnya dan Barang yang

mudah rusak atau cepat busuk.

F. Tatacara Lelang Barang Sitaan

Penjualan barang sitaan dilakukan melalui lelang terbuka bagi

masyarakat umum. Lelang harus dilakukan dengan sebelumnya melakukan

pengumuman lelang dalam jangka waktu paling cepat 14 (empat belas) hari

sejak tanggal pelaksanaan penyitaan dan Penanggung Pajak yang tidak

melunasi utang pajak dan biaya Penagihan Pajak. Sebelum pengumuman lelang

pejabat harus telah mengetahui jadwal yang pasti kapan dan dimana lelang akan

dilaksanakan. Tatacara pelelangan Barang sitaan adalah sebagai berikut:

a. Persiapan Pelelangan

Jurusita menyiapkan Berkas-Berkas Penagihan yang terdiri dari:

- STP, SKPKB, SKPKBT, SPPT, SKP, SKPT, STB, SKBKB, SKBKBT,

Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan

32

Peninjuan Kembali (sesuaikan dengan UU PDRD)

- Surat Setoran Pajak atau bukti transaksi pembayaran pajak (NTPP),

- Surat Teguran

- Surat Paksa

- Laporan Pelaksanaan Surat Paksa

- Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan

- Pemberitahuan Penyitaan Barang Tidak Bergerak atas nama Wajib

Pajak/Penanggung Pajak

- Berita Acara Pelaksanaan Sita

- Permintaan jadwal waktu dan tempat pelelangan

- Surat Pemberitahuan akan dilakukan Pelelangan/Kesempatan Terakhir

- Bukti-bukti pemilikan dari barang-barang yang disita, antara lain untuk

pelaksanaan tanah atau tanah dan bangunan dilengkapi dengan:

- Surat Keterangan Tanah dari Kantor Pertanahan/BPN apabila

kepemilikan tanah sudah terdaftar; atau

- Surat Keterangan dari Kepala Desa/Lurah yang menerangkan status

kepemilikan dan selanjutnya Kepala KLN meminta Surat Keterangan

Tanah dari Kantor Pertanahan.

- Daftar Perincian utang pajak terdiri dari: Pokok Pajak, bunga/denda dan

biaya penagihan.

b. Permintaan jadwal waktu dan tempat pelelangan.

Pejabat melakukan permintaan jadwal lelang dengan menggunakan

formulir permintaan jadwal waktu dan tempat pelelangan, ditujukan kepada

Kepala Kantor Lelang dengan dilampiri berkas-berkas penyitaan. Dalam surat

permintaan jadwal lelang ini juga menyebutkan secara rinci nama Penanggung

Pajak dan daftar barang yang akan dilelang.

Yang dimaksud Pejabat dalam hal ini adalah Kepala Kantor Pelayanan

Pajak maupun Kadispenda yang telah melakukan penyitaan atas barang milik

Penanggung Pajak. Dalam prakteknya kadang jangka waktu yang telah

ditetapkan sesuai dengan ketentuan meleset dari kenyataan karena dalam

33

menentukan hari dan tanggal pelaksanaan lelang sangat tergantung pada

kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dari Kantor Pelayanan Lelang Negara

(KPLN) itu sendiri. Setelah KPP/Dispenda menerima jawaban permintaan atas

jadwal lelang dari Kantor Lelang barulah KPP/Dispenda melaksanakan

pengumuman baik di koran Nasional maupun di Papan Pengumuman Kantor

Pelayanan Pajak/Kantor Dinas Pendapatan Daerah.

c. Pengumuman Lelang

- Pengumuman lelang dilakukan setelah mendapat kepastian tempat,

hari, tanggal, dan jam lelang dari Kantor Lelang.

- Pengumuman lelang untuk barang bergerak dilakukan 1 kali.

- Pengumuman lelang barang tidak bergerak dilakukan 2 kali. Jangka

waktu pengumuman pertama dengan kedua sekurang-kurangnya 15

hari, serta diatur agar pengumuman kedua tidak jatuh pada hari libur.

- Pengumuman lelang untuk barang dengan nilai paling banyak

Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) tidak harus diumumkan

melalui media massa, tetapi dapat melalui selebaran atau

pengumuman yang ditempelkan di tempat umum misalnya di Kantor

Kelurahan atau di papan pengumuman di KPP/Kadispenda.

- Apabila Wajib Pajak/Penanggung Pajak melunasi utang pajak serta

biaya pelaksanaannya sesudah pengumuman lelang dimuat di surat

kabar/media cetak/media elektronik dengan menyerahkan bukti-bukti

pelunasan tetapi sebelum pelaksanaan lelang, maka pengumuman

lelang itu dibatalkan dengan memuat iklan pembatalan lelang dalam

surat kabar/media cetak/media elektronik yang bersangkutan.

d. Pelaksanaan Pelelangan

- Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita dilaksanakan

paling singkat 14 (empat belas) hari setelah pengumuman lelang melalui

media massa.

- Kepala Kantor bertindak sebagai penjual barang yang disita mengajukan

34

permohonan lelang kepada Kantor Lelang sebelum pelaksanaan lelang.

- Kepala Kantor menentukan nilai limit dan diserahkan kepada Pejabat

Lelang selambat-lambatnya pada saat akan dimulainya pelaksanaan

lelang.

- Kepala Kantor atau yang mewakilinya menghadiri pelaksanaan lelang

untuk:

menentukan dilepas atau tidaknya barang yang dilelang apabila

harga penawaran yang diajukan oleh calon pembeli lebih rendah dari

harga limit yang ditentukan,

menghentikan lelang apabila hasil lelang sudah cukup untuk

melunasi utang pajak dan atau biaya penagihan pajak,

menandatangani asli Risalah Lelang

- Kepala Kantor, Kepala Seksi Penagihan dan Jurusita Pajak, termasuk

istri, keluarga sedarah dan semenda dalam keturunan garis lurus, serta

anak angkat; tidak diperbolehkan membeli barang sitaan yang dilelang.

- Lelang tetap dapat dilaksanakan meskipun:

Wajib Pajak/Penanggung Pajak tidak hadir; karena penguasaan

barang yang disita telah berpindah dari Penanggung Pajak kepada

Pejabat, maka Pejabat yang bersangkutan mempunyai wewenang

untuk menjual barang yang disita dimaksud. Mengingat Penanggung

Pajak yang memiliki barang yang disita sebelumnya telah

diberitahukan bahwa barang yang disita akan dijual secara lelang

pada waktu yang telah ditentukan, lelang tetap dapat dilaksanakan

walaupun tanpa dihadiri oleh Wajib Pajak/Penanggung Pajak.

- Lelang tidak dilaksanakan dalam hal:

Wajib Pajak/ Penanggung Pajak telah melunasi utang pajak dan

biaya penagihan pajak

Terdapat putusan pengadilan

Objek lelang musnah

35

- Pejabat harus menghentikan pelaksanaan lelang meskipun barang yang

akan dilelang masih ada apabila hasil lelang sudah mencapai jumlah

yang cukup untuk melunasi biaya penagihan pajak dan utang pajak. Sisa

barang dan kelebihan hasil lelang harus dikembalikan kepada

Penanggung Pajak paling lambat 3 hari setelah pelaksanaan lelang.

- Penggunaan hasil lelang terlebih dahulu untuk membayar biaya

penagihan pajak dan sisanya untuk membayar utang pajak.

- Biaya penagihan pajak ditambah 1% dari:

Hasil penjualan barang yang dikecualikan dari penjualan secara

lelang

Pokok lelang dari penjualan secara lelang.

G. Penyelesaian Pelelangan

a. Hak Penanggung Pajak atas barang yang dilelang berpindah kepada

pembeli dan kepadanya diberikan Risalah Lelang yang merupakan

bukti otentik sebagai dasar pendaftaran dan pengalihan hak

b. Apabila setelah pelaksanaan lelang Wajib Pajak memperoleh

keputusan keberatan atau putusan banding yang mengakibatkan utang

pajak menjadi berkurang atau nihil sehingga menimbulkan kelebihan

pembayaran pajak, Wajib Pajak tidak dapat meminta atau tidak berhak

menuntut pengembalian barang yang telah dilelang.

c. Kepala Kantor mengembalikan kelebihan pembayaran pajak dalam

bentuk uang.

36

PENCEGAHAN, PENYANDERAAN dan PENGHAPUSAN PIUTANG PAJAK

Dasar Hukum:

1. Pasal 1 ayat (20), Pasal 1 ayat (21) dan Pasal 29 sd Pasal 36 Undang-undang Nomor 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Undang-undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

3. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Undang-undang Keimigrasian.

4. Peraturan Pemerintah RI Nomor 137 Tahun 2000 tentang Tatacara Penyanderaan, Rehabilitasi nama baik Penanggung Pajak, dan pemberian ganti rugi dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

5. Keputusan Bersama Menkeu dan Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor M-02.UM.09.01.2003 dan 294/KMK.03/2003 tentang Tatacara Penitipan Penanggung Pajak yang disandera di rumah tahanan negara dalam rangka Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.

A. Pencegahan dan syarat Pencegahan

Pencegahan adalah larangan yang bersifat sementara terhadap

Penanggung Pajak tertentu untuk keluar dari wilayah Negara Republik Indonesia

berdasarkan alasan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-

undangan. Pencegahan dilakukan dengan sangat selektif, karena menyangkut

hak-hak asazi manusia. Pencegahan merupakan upaya terakhir jika penagihan

37

pajak dengan upaya lain tidak berhasil dan itikad baik dari penanggung pajak

tidak ada. Misalnya jika Penanggung pajak yang sebenarnya mampu melunasi

tunggakan utang pajaknya, tapi menyembunyikan harta kekayaannya sehingga

Jurusita Pajak tidak bisa melakukan tugasnya. Terhadap WP/PP ini dapat

dilakukan tindakan Pencegahan.

Upaya Pencegahan tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Ada

persyaratan yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan pencegahan. Syarat

kuantitaif yaitu jumlah jumlah utang pajak Penanggung Pajak sekurang-

kurangnya sebesar Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan syarat kualitatif

yaitu diragukan itikad baik Penanggung Pajak dalam melunasi utang pajak.

Dengan tidak adanya itikad baik Penanggung Pajak menyebabkan Jurusita Pajak

tidak dapat melakukan upaya tindakan penagihan lain seperti penyitaan dan

pelelangan. Misalnya karena Penanggung Pajak menyembunyikan harta

kekayaannya atau menghalang-halangi Jurusita Pajak dalam melakukan tugas

penyitaan.

Pencegahan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan pencegahan

yang diterbitkan oleh Menteri Keuangan atas permintaan Pejabat atau atasan

Pejabat yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan sesuai dengan ketentuan

yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian

yang, antara lain menentukan bahwa yang berwenang dan bertanggung jawab

atas pencegahan adalah Menteri Keuangan sepanjang menyangkut urusan

piutang negara. Jurusita Pajak membuat usulan pencegahan dengan disertai

bukti-bukti pendukungnya diajukan kepada Pejabat, dan pejabat meneruskan

kepada atasannya untuk diusulkan kepada Menteri Keuangan. Dalam hal pajak

daerah, apakah Keputusan Pencegahan diterbitkan oleh Gubernur atau Menteri

Keuangan, belum ada penjelasan selanjutnya.

Dalam Keputusan Menteri Keuangan tentang Keputusan Pencegahan

memuat sekurang-kurangnya :

1. Identitas Penanggung Pajak yang dikenakan pencegahan

a. Nama

38

b. Umur

c. Pekerjaan

d. Alamat

e. jenis kelamin; dan

f. kewarganegaraan.

2. Alasan untuk melakukan pencegahan

3. Jangka waktu pencegahan

Jangka waktu pencegahan harus secara tegas ditentukan dalam keputusan

pencegahan.

Keputusan pencegahan tersebut disampaikan kepada Penanggung Pajak

yang dikenakan tindakan pencegahan, Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan

HAM), Pejabat yang memohon pencegahan bepergian ke Luar Negeri, atasan

Pejabat yang bersangkutan, dan Kepala Daerah setempat. Tindakan

pencegahan ini bukan hanya dapat dilakukan terhadap satu orang saja, namun

terhadap beberapa orang sebagai Penanggung Pajak Wajib Pajak Badan atau

ahli waris.

B. Pelaksanaan Pencegahan

Pelaksanaan atas keputusan pencegahan tersebut dilakukan oleh Menteri

Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM) atau Pejabat Imigrasi yang ditunjuk

olehnya. Berdasarkan keputusan pencegahan yang diterima dari Menteri

Keuangan, Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM) memerintahkan

Direktur Jenderal Imigrasi agar nama orang yang terkena pencegahan

dimasukkan ke dalam Daftar Pencegahan. Direktur Jenderal Imigrasi dalam

waktu paling lama 7 (tujuh) hari sejak tanggal menerima perintah tersebut

langsung memasukkan nama orang yang dikenai pencegahan ke dalam Daftar

Pencegahan dan mengirimkannya kepada Kepala Kantor Imigrasi di seluruh

wilayah Negara Republik Indonesia untuk melaksanakan pencegahan. Lamanya

jangka waktu pencegahan adalah 6 (enam) bulan.

39

C. Penyanderaan

Kriteria Penanggung Pajak yang akan disandera adalah:

Syarat Kuantitatif, Penanggung Pajak mempunyai tunggakan pajak paling

sedikit sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah);

Syarat kualitatif diragukan itikad baiknya;

Lewat jangka waktu 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal Surat

Paksa diberitahukan ;

Telah mendapat izin tertulis dari Menteri Keuangan Republik Indonesia.

Syarat kualitatif yakni diragukan itikad baiknya, maksudnya Wajib

Pajak/Penanggung Pajak dikatakan ”diragukan itikad baiknya” dalam kaitannya

dengan pelunasan utang pajak, meliputi:

Penanggung Pajak diduga menyembunyikan harta kekayaannya;

Penanggung Pajak tidak merespon himbauan untuk melunasi utang

pajak;

Penanggung Pajak tidak bersedia menyerahkan hartanya untuk melunasi

utang pajak;

Terdapat dugaan yang kuat bahwa Penanggung Pajak akan melarikan

diri;

Terdapat data dan informasi yang akurat yang diperlukan sebagai bahan

pertimbangan untuk mengajukan permohonan izin penyanderaan.

Dasar Pelaksanaan Penyanderaan :

Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak hanya dapat dilaksanakan

berdasarkan Surat Perintah Penyanderaan yang diterbitkan oleh Pejabat

setelah memperoleh izin tertulis dari:

1. Menteri Keuangan, untuk penagihan pajak pusat

2. Gubernur, untuk penagihan pajak daerah

Persyaratan izin penyanderaan dari Menteri Keuangan atau Gubernur

dimaksudkan agar penyanderaan dilakukan secara sangat selektif dan

hati-hati.

40

Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam hal Penanggung Pajak sedang

melakukan kegiatan:

a. Beribadah

b. Mengikuti sidang resmi

c. Mengikuti Pemilihan Umum

Penyanderaan terhadap Penanggung Pajak akan dihentikan apabila

memenuhi syarat antara lain:

Utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar lunas;

Jangka waktu yang telah ditetapkan dalam Surat Perintah Penyanderaan

telah dipenuhi;

Berdasarkan putusan Pengadilan Negeri yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap;

Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan atau Gubernur,

seperti: Penanggung Pajak telah berumur 75 tahun atau lebih, Penanggung

Pajak sanggup melunasi utang pajak dengan menyerahkan bank garansi.

D. Penghapusan Piutang Pajak

Ketentuan mengenai Penghapusan Piutang Pajak maupun besarnya

piutang pajak yang akan dihapuskan diatur dalam Undang-undang PDRD. Dalam

Pasal 168 UU PDRD disebutkan:

(1) Piutang pajak dan/atau Retribusi yang tidak mungkin ditagih lagi

karena hak untuk melakukan penagihan sudah kedaluwarsa dapat

dihapuskan.

(2) Gubernur menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak

dan/atau Retribusi provinsi yang sudah kedaluwarsa sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

(3) Bupati/Walikota menetapkan Keputusan Penghapusan Piutang Pajak

dan/atau Retribusi kabupaten/kota yang sudah kedaluwarsa

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

41

(4) Tatacara Penghapusan Piutang Pajak dan/atau Retribusi yang sudah

kedaluwarsa diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.

Dalam UU KUP yang yang mengelola pajak pusat, ketentuan

mengenai Penghapusan Piutang Pajak baik Tatacara penghapusan

maupun besarnya piutang pajak yang akan dihapuskan diatur secara

jelas dalam UU KUP. Pasal 24 UU KUP Menyebutkan: Tatacara

penghapusan piutang pajak dan penetapan besarnya penghapusan

diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

Sebagai perbadingan disini penyusun Bahan Ajar menyajikan dalam

penjelasan Pasal 24 UU KUP yang menyebutkan: Menteri Keuangan mengatur

tatacara penghapusan dan menentukan besarnya jumlah piutang pajak yang

tidak dapat ditagih lagi, antara lain karena Wajib Pajak telah meninggal dunia dan

tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan, Wajib Pajak badan yang telah

selesai proses pailitnya, atau Wajib Pajak yang tidak memenuhi syarat lagi

sebagai subjek pajak dan hak untuk melakukan penagihan pajak telah

daluwarsa. Melalui cara ini dapat diperkirakan secara efektif besarnya saldo

piutang pajak yang akan dapat ditagih atau dicairkan.

Salah satu tujuan penghapusan bukuan piutang pajak adalah untuk

mengoreksi laporan keuangan pemerintah agar mencerminkan keadaan yang

sebenarnya. Piutang pajak yang sudah lama harus diputihkan. Sebab kalau tidak

akan membebani neraca laporan keuangan. Laporan yang lebih realistis dapat

mendorong aparat pajak bekerja lebih profesional. Tujuan lain agar dapat

digunakan sebagai acuan dalam penghapusan piutang pajak dan tercapainya

keseragaman pemahaman.

Piutang pajak yang tidak mungkin ditagih lagi karena hak untuk

melakukan penagihan sudah daluwarsa dapat dilakukan penghapusan.

Mekanisme usulan penghapusan piutang pajak dan penempatan besarnya

penghapusan perlu diatur dalam rangka mendukung kelancaran tugas dan

peningkatan kinerja khususnya dalam rangka penghapusan piutang pajak yang

tidak dapat atau tidak mungkin ditagih lagi.

42

E. Piutang pajak yang dapat dihapuskan

Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor: 68/PMK.03/2012 tanggal

2 Mei 2012 diatur antara lain:

(1) Piutang pajak yang dapat dihapuskan adalah piutang pajak yang

tercantum dalam:

a. Surat Tagihan Pajak (STP);

b. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB);

c. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT);

d. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT);

e. Surat Ketetapan Pajak (SKP);

f. Surat Ketetapan Pajak Tambahan (SKPT);

g. Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,

Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang

menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar

bertambah.

(2) Piutang Pajak yang dapat dihapuskan untuk Wajib Pajak Orang

Pribadi adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena:

a. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak meninggal dunia dan

tidak mempunyai harta warisan atau kekayaan;

b. Wajib Pajak dan/atau Penanggung Pajak tidak dapat

ditemukan;

c. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;

d. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak, tidak ditemukan

dan telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan;

atau

e. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat

dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan

adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan

pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

43

(3) Piutang Pajak yang dapat dihapuskan untuk Wajib Pajak Badan

adalah piutang pajak yang tidak dapat ditagih lagi karena:

a. Wajib Pajak bubar; likuidasi atau pailit dan Penanggung Pajak

tidak dapat ditemukan;

b. Hak untuk melakukan penagihan pajak sudah daluwarsa;

c. Dokumen sebagai dasar penagihan pajak tidak ditemukan dan

telah dilakukan penelusuran secara optimal sesuai dengan

ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan; atau

d. Hak negara untuk melakukan penagihan pajak tidak dapat

dilaksanakan karena kondisi tertentu sehubungan dengan

adanya perubahan kebijakan dan/atau berdasarkan

pertimbangan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Untuk memastikan keadaan pajak atau piutang pajak yang tidak dapat

ditagih lagi, wajib dilakukan penelitian setempat atau penelitian administrasi oleh

Kantor Pelayanan Pajak. Penelitian dilakukan oleh Jurusita Pajak dan hasilnya

dituangkan dalam Laporan Hasil Penelitian. Laporan Hasil Penelitian harus

menguraikan keadaan Wajib Pajak dan piutang pajak yang bersangkutan

sebagai dasar untuk menentukan besarnya piutang pajak yang tidak dapat

ditagih lagi dan diusulkan untuk dihapuskan.

44