judul: penyebaran inovasi keluarga berencana … kb pada suku baduy prof sihab.pdf · penyebaran...

24
1 JUDUL: PENYEBARAN INOVASI KELUARGA BERENCANA UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KESEHATAN PADA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL BADUY DI KABUPATEN LEBAK BANTEN Pengusul Prof. Dr. Ahmad Sihabudin, M.Si. PENYEBARAN INOVASI KELUARGA BERENCANA UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KESEHATAN PADA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL BADUY

Upload: others

Post on 19-Oct-2020

6 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    JUDUL:

    PENYEBARAN INOVASI KELUARGA BERENCANA UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KESEHATAN PADA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL BADUY

    DI KABUPATEN LEBAK BANTEN

    Pengusul

    Prof. Dr. Ahmad Sihabudin, M.Si.

    PENYEBARAN INOVASI KELUARGA BERENCANA UNTUK KESEJAHTERAAN DAN KESEHATAN PADA KOMUNITAS ADAT TERPENCIL BADUY

  • 2

    DI KABUPATEN LEBAK BANTEN1 Oleh:

    Ahmad Sihabudin2

    RINGKASAN

    Baduy Luar relatif sudah mau menerima inovasi dan modernisasi dari luar sedangkan Baduy Dalam belum dapat menerima hal-hal yang berbau teknologi dan modernisasi. Meskipun demikian kehidupan secara sosial dan ekonomi, komunitas Baduy Luar tidak jauh berbeda dengan Baduy Dalam. Artinya, mereka masih memerlukan pengembangan dan pemberdayaan dalam berbagai segi kehidupan, sesuai dengan yang diamanatkan Keppres No. 111/1999. Gejala lain yang tampak pada masyarakat Baduy Luar adalah dalam hal cara memenuhi kebutuhan kesehatan ibu khususnya penerimaan konsep Keluarga Berencana (KB). Ada trend peningkatan akseptor KB di KAT Baduy, berdasarkan catatan Ibu Bidan Rosita (Petugas Kesehatan yang ditugaskan melayani KAT Baduy), data menunjukkan Tahun 2006 Akseptor KB di Baduy Luar berjumlah 647 peserta, per bulan Pebruari 2014 jumlah akseptor KB Baduy Luar 1403 peserta, dan akseptor di Baduy dalam 16 peserta. Selain itu ada variasi penggunaan alat kontrasepsi yang dipakai, pada masa awal KAT Baduy menerima konsep KB kebanyakan mereka menggunakan Inflan. Dari gejala tersebut penelitian ini dirancang untuk mengetahui jenis dan ciri inovasi KB apa yang mudah diterima; saluran atau media apa yang paling efektif dalam penyebaran KB; faktor-faktor karakteristik adopter apa saja yang mempengaruhi penerimaan KB; Melihat hubungan jenis KB dan ciri inovasi dengan penerimaan inovasi; Melihat hubungan jenis KB dan ciri inovasi dengan saluran komunikasi. Hal inilah yang menjadi alasan mendasar penelitian ini dirancang, KAT Baduy sudah mulai menerima konsep Keluarga Berencana. Metode penelitian bersifat deskripsi korelasional yaitu penelitian yang berusaha menggambarkan secara mendasar, dan menjelaskan hubungan-hubungan antar variabel dengan menggunakan uji statistik, dengan harapan menemukan sebuah model penyebaran inovasi pada masyarakat Komunitas Adat Terpencil.

    I. PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Bangsa Indonesia terkenal dengan kemajemukannya yang terdiri dari berbagai suku bangsa

    dan hidup bersama dalam negara kesatuan RI dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Dalam

    keanekaragaman tersebut ada sekelompok masyarakat, suku bangsa yang secara relatif sudah lebih

    dahulu maju, tetapi ada juga yang belum maju dan malahan tertinggal dengan masyarakat lainnya.

    Perubahan sosial dalam masyarakat baik secara vertikal maupun horizontal juga dapat menimbulkan

    ketertinggalan dan keterpencilan pada sekelompok masyarakat tertentu karena lokasi yang terpencil

    serta sulit mendapatkan akses pelayanan dari luar.

    Bahkan mungkin yang terpenting dari kemajemukan masyarakat dan kekayaan kebudayaan

    1 Disampaikan dalam Konfrensi Nasional Kesejahteraan Sosial (KNKS) VIII, Padang Sumatra Barat 18-20 April 2015. 2 Guru Besar FISIP Untirta, dan Kordinator Pusat Penelitian Ekonomi, Budaya, dan Pranata Sosial LPPM Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).

  • 3

    yang memerlukan perhatian adalah: masih jutaan anak-anak negeri yang diidentifikasi sebagai

    Komunitas Adat Terpencil (KAT) adalah pewaris keterbelakangan, ketertinggalan, dan kemiskinan

    masyarakat Indonesia. Bahkan masyarakat global melihat KAT dalam perspektif yang sama. Tanpa kita

    menyadari, sebenarnya anak-anak negeri dalam KAT yang hidup dalam kemiskinan selalu melahirkan

    kemiskinan.

    Dalam Pasal 2 Keppres No. 111/1999 tentang pembinaan kesejahteraan sosial komunitas

    adat terpencil diamanatkan sebagai berikut:

    ”Pembinaan kesejahteraan sosial komunitas adat terpencil bertujuan untuk memberdayakan komunitas adat terpencil dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar mereka dapat hidup secara wajar baik jasmani, rohani, dan sosial sehingga dapat berperan aktif dalam pembangunan, yang pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan adat istiadat setempat.”

    Berdasarkan hal tersebut kami mencoba mengkaji salah satu KAT yang ada di Indonesia, yaitu

    suku Baduy. Secara administratif wilayah Baduy atau biasa pula disebut wilayah “Rawayan” atau

    wilayah “Kanekes” termasuk dalam Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak,

    Provinsi Banten (dulu masuk wilayah Jawa Barat). Wilayah yang dihuni orang Baduy berada pada

    kawasan Pegunungan Kendeng yang sebagian merupakan hutan lindung. Masyarakat Baduy adalah

    salah satu etnik yang dapat dikatakan sebagai komunitas yang masih memegang tradisi dan

    cenderung tertutup, atau dalam istilah sekarang Komunitas Adat Terpencil sebagai pengganti istilah

    Masyarakat Terasing.

    Sebagaimana masyarakat pada umumnya, komunitas Baduy juga membutuhkan

    pengembangan diri, membutuhkan perubahan, dan terutama dalam hal kebutuhan keluarga baik

    sandang, pangan, papan, dan kebutuhan sekunder dan tersier lainnya. Ini terlihat dalam komunitas

    Baduy Luar yang sudah terlihat dinamika perubahannya dibandingkan dengan saudaranya Baduy

    Dalam yang secara adat masih memegang sangat teguh tradisi leluhur. Baduy Luar meskipun

    dianggap oleh orang Baduy Dalam sebagai pelanggar adat, namun demikian bila diperhatikan tata cara

    kehidupannya masih memegang tradisi yang kuat.

    Secara umum yang membedakan antara Baduy Dalam dan Baduy Luar adalah sebagai

    berikut: Baduy Luar relatif sudah mau menerima inovasi dan modernisasi dari luar sedangkan Baduy

    Dalam belum dapat menerima hal-hal yang berbau teknologi dan modernisasi. Meskipun demikian

    kehidupan secara sosial dan ekonomi, komunitas Baduy Luar tidak jauh berbeda dengan Baduy

    Dalam. Artinya, mereka masih memerlukan pengembangan dan pemberdayaan dalam berbagai segi

    kehidupan, sesuai dengan yang diamanatkan Keppres No. 111/1999.

    Gejala lain yang tampak pada masyarakat Baduy Luar adalah dalam hal cara memenuhi

    kebutuhan kesehatan ibu khususnya penerimaan konsep Keluarga Berencana (KB). Ada trend

  • 4

    peningkatan akseptor KB di KAT Baduy, berdasarkan catatan Ibu Bidan Rosita (Petugas Kesehatan

    yang ditugaskan melayani KAT Baduy), data menunjukkan Tahun 2006 Akseptor KB di Baduy Luar

    berjumlah 647 peserta, per bulan Pebruari 2014 jumlah akseptor KB Baduy Luar 1403 peserta, dan

    akseptor di Baduy Dalam sudah ada yaitu sebanyak 16 peserta. Selain itu ada variasi penggunaan alat

    kontrasepsi yang dipakai, pada masa awal KAT Baduy menerima konsep KB kebanyakan mereka

    menggunakan Inflan.

    Tabel 1.

    Keikutsertaan KB Warga Baduy Luar dan Baduy Dalam

    Alat Kontrasepsi Akseptor Baduy Luar Akseptor Baduy Dalam

    Inflan 112 orang -

    IUD 6 orang 1 orang

    Suntik 1205 orang 15 orang

    Pil 80 orang -

    Jumlah 1403 orang 16 orang

    Sumber: Bidan Eros Rosita /Puskesmas Pembantu Ciboleger (2014).

    Kevariasian alat kontrasepsi yang digunakan, dan adanya trend peningkatan peserta KB di

    Baduy , mendorong kami untuk mengetahui dan memahami gejala tersebut dalam konteks penerimaan

    inovasi, khususnya cara hidup dan konsep keluarga berencana yang terjadi di KAT Baduy. Mengingat

    sifat dan karakter masyarakat ini termasuk yang menutup diri terhadap hal-hal yang berasal dari luar

    komunitasnya. Meskipun secara umum dan pada hakikatnya masyarakat manapun membutuhkan

    perubahan dalam pengertian perubahan kehidupan yang lebih baik, baik pengetahuan, keterampilan

    dan sikap mental, khususnya dalam menerima konsep hidup Keluarga Berencana.

    Sebagaimana kami kemukakan di atas, masyarakat Baduy sebagai masyarakat yang dapat

    dikategorikan terpencil dan terbelakang dalam hal mengadopsi suatu hal yang dianggap modern, dan

    bisa mewakili kelompok suku bangsa yang terpencil di Indonesia. Maka penulis mengajukan

    permasalahan makalah ini untuk dapat di share dengan hadirin dan peserta Konfrensi bagaimana

    selanjutnya bila trend ber-KB pada KAT Baduy terus berlangsung.

    Saat makalah ini di tulis penelitian masih berlangsung dengan bertujuan untuk

    mendeskripsikan dan untuk mengetahui jenis dan ciri inovasi KB apa yang mudah diterima, saluran

    atau media apa yang paling efektif dalam penyebaran KB, faktor-faktor karakteristik adopter apa saja

    yang mempengaruhi penerimaan KB, Melihat hubungan jenis KB dan ciri inovasi dengan penerimaan

    inovasi, Melihat hubungan jenis KB dan ciri inovasi dengan saluran komunikasi. Hasil penelitian yang

  • 5

    diharapkan, adalah diperolehnya informasi lengkap mengenai penyebaran inovasi KB pada KAT

    Baduy. Untuk selanjutnya menetapkan strategi peningkatan kesejahteraan keluarga KAT Baduy melalui

    KB.

    1.2. Urgensi Penulisan

    Penulisan makalah ini dibuat beradasarkan data catatan Bidan Eros Rosita, para medis yang

    bertugas di Desa Kanekes, data dari Puskesmas Cisimeut pada Tahun 2010 akseptor KB mencapai

    1204, jenis alat kontrsepsi yang digunakan Pil 598, Suntik 524, implant 82 akseptor KB. (Kurnia dan

    Sihabudin, 2010:243), pada Tahun 2014 ada kenaikan jumlah peserta KB dalam catatan Bidan eros

    Rosita Bulan Pebruari 2014 menjadi 1403 akseptor KB. Adanya trend kenaikan jumlah peserta KB

    pada KAT Baduy inilah yang menjadi pendorong utama penulisan ini, dan saat ini penelitian terkait

    dengan inovasi KB di Baduy masih berlangsung.

    Sasaran dan harapan penulisan makalah ini dapat membantu menentukan langkah dan

    strategi penanganan kesejahteraan melalui KB di KAT Baduy, dan membuat rancangan model

    peningkatan kesejahteraan masyarakat Komunitas Adat Terpencil (KAT) Baduy, yang dapat di

    implementasikan pada masyarakat KAT yang tersebar dari Sabang sampai Meuroke.

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Komunintas Adat Terpncil

    Menurut Adimihardja (2007) komunitas adat sebagai bagian dari masyarakat Indonesia adalah

    kelompok masyarakat yang terisolasi, baik secara fisik, geografi, maupun sosial budaya. Sebagian

    besar komunitas ini bertempat tinggal di daerah terpencil dan sulit dijangkau. Pranata sosial dalam

    komunitas adat ini umumnya bertumpu pada hubungan kekerabatan yang sangat terbatas dan

    homogen. Kehidupan mereka sehari-hari masih didasarkan pada interaksi tradisional yang bersifat

    biologis darah dan ikatan tali perkawinan. Abdullah (2004) berpendapat kelompok masyarakat inilah

    yang dikategorikan sebagai Komunitas Adat yang masih hidup terpencil, keterpencilan itu ada 2 (dua)

    aspek yaitu secara eksternal: kenapa pihak luar belum atau sulit memberikan akses pelayanan sosial

    dasar pada mereka. Secara internal: Kenapa mereka belum dan atau sulit mendapatkan akses

    pelayanan sosial dasar.

    Pengertian Komunitas Adat Terpencil (KAT) dalam surat Keputusan Presiden No 111 tahun

    1999 dalam Sihabudin (2015), adalah kelompok sosial budaya yang bersifat lokal dan terpencar serta

    kurang atau belum terlibat dalam jaringan dan pelayanan baik sosial, ekonomi maupun politik.

    Berdasarkan pengertian tersebut, maka kelompok masyarakat tertentu dapat dikategorikan sebagai

    Komunitas Adat Terpencil jika terdapat ciri-ciri umum yang berlaku universal sebagai berikut:

  • 6

    (a) Berbentuk komunitas kecil, tertutup dan homogen.

    (b) Pranata sosial bertumpu pada hubungan kekerabatan.

    (c) Pada umumnya lokasinya terpencil secara geografis dan relatif sulit

    dijangkau.

    (d) Pada umumnya masih hidup dengan sistem ekonomi sub-sisten.

    (e) Peralatan teknologinya sederhana, sangat tradisionil

    (f) Ketergantungan pada lingkungan hidup dan sumber daya alam setempat

    relatif tinggi.

    (g) Akses terhadap pelayanan sosial, ekonomi, dan politik terbatas.

    Dengan demikian maka berdasarkan pengertian, dan gambaran ciri-ciri KAT dalam Keppres

    No. 111 Tahun 1999, Komunitas Adat Terpencil dapat dikelompokkan berdasarkan habitat, dan atau

    lokalitas sebagai berikut:

    (a) Dataran tinggi / pegunungan;

    (b) Dataran rendah; Daerah rawa; Daerah aliran sungai

    (c) Daerah pedalaman; Daerah perbatasan;

    (e) Di atas perahu; Pantai dan di pulau-pulau kecil.

    Komunitas Adat Terpencil juga dapat dikategorikan orbitasinya sebagai berikut: Kelana,

    Menetap Sementara, dan Menetap. Dari uraian tersebut dapat dikatakan bahwa komunitas adat

    terpencil adalah kelompok masyarakat yang masih terbatas mendapatkan berbagai akses pelayanan

    dasar sosial yang disebabkan secara geografis sulit dijangkau, dan cenderung sifat masyarakatnya

    tertutup.

    2.2. Komunitas Adat Terpencil Baduy

    Sebutan “Orang Baduy” atau ”Urang Baduy” yang digunakan untuk kelompok masyarakat ini

    bukan berasal dari mereka sendiri. Penduduk wilayah Banten Selatan yang sudah beragama Islam,

    biasa menyebut masyarakat yang suka berpindah-pindah seperti halnya orang Badawi di Arab, dengan

    sebutan “Baduy”. Orang-orang Belanda seperti Hoevell, Jacobs, Meijer, Penning, Pleyte, Trcht, dan

    Geise menyebut mereka badoe’i, badoej, badoewi, dan orang kanekes seperti dikemukakan dalam

    laporan-laporannya. Sekitar tahun 1980-an, ketika KTP (kartu Tanda Penduduk) diberlakukan di sini,

    hampir tidak ada yang menolak dengan sebutan Orang Baduy. Walaupun, sebutan diri yang biasa

    mereka gunakan adalah Urang Kanekes, Urang Rawayan, Urang Tangtu (Baduy Dalam) dan Urang

    panamping (Baduy Luar). Nama “Baduy” mungkin diambil dari nama sungai Cibaduy dan nama gunung

    Baduy yang kebetulan berada di wilayah Baduy (Garna, 1993a:120), dalam Sihabudin (2015:29).

  • 7

    Menurut Blume, komunitas Baduy beasal dari Kerajaan Sunda Kuno, yaitu Pajajaran, yang

    besembunyi, ketika kerajaan ini runtuh pada awal abad ke-17 menyusul bergeloranya ajaran Islam dari

    Kerajaan Banten. (Garna, 1993b:144). Kisah yang hampir sama muncul dalam cerita rakyat di daerah

    Banten. Kisah tersebut menceritakan bahwa dalam suatu pertempuran, Kerajaan Pajajaran tidak dapat

    membendung serangan Kerajaan Banten. Pucuk pimpinan Pajajaran saat itu, Prabu Pucuk Umun

    (keturunan Prabu Siliwangi), beserta punggawa yang setia berhasil lolos meninggalkan kerajaan dan

    masuk ke dalam hutan belantara. Akhirnya mereka tiba di daerah Baduy sekarang ini dan membuat

    pemukiman di sana.(Djuwisno, 1987:1-2).

    Manurut Danasasmita dan Djatisunda (1986:4-5) Orang Baduy merupakan penduduk setempat

    yang dijadikan mandala (kawasan suci) secara resmi oleh raja, karena penduduknya diwajibkan

    memelihara kabuyutan (tempat pemujaan leluhur atau nenek moyang), bukan agama Hindu atau

    Budha. Kabuyutan di daerah ini dikenal dengan kabuyutan Jati Sunda atau Sunda Asli atau Sunda

    Wiwitan (wiwitan = asli, asal, pokok, jati). Oleh karena itulah agama asli mereka pun di bernama Sunda

    Wiwitan. Raja yang menjadikan wilayah Baduy sebagai mandala adalah Rakeyan Darmasiska, yaitu

    raja Sunda ke-13, keturunan Sri Jayabupati, generasi kelima.

    Foto 1. Warga KAT Baduy dalam suatu acara adat membersihkan lengan Bengkong (Dukun Sunat) simbol memaafkan dari pihak keluarga setelah Bengkong melukai putranya saat dikhitan, sebuah kearifan lokal Baduy. (Foto Asep Kurnia).

    Masyarakat Baduy dikaitkan dengan Kerajaan Sunda atau yang lazim disebut sebagai

    Kerajaan Pajajaran, pada abad 15 dan 16, atau kurang lebih enam ratus tahun yang lalu. Wilayah

    Banten pada waktu itu merupakan bagian penting dari Kerajaan Pajajaran, yang berpusat di Pakuan

    (wilayah Bogor sekarang). Banten merupakan pelabuhan dagang yang cukup besar. Sungai Ciujung

    dapat dilayari berbagai jenis perahu, dan ramai digunakan untuk pengangkutan hasil bumi dari wilayah

  • 8

    pedalaman. Dengan demikian penguasa wilayah tersebut, yang disebut sebagai Pangeran Pucuk

    Umum menganggap bahwa kelestarian sungai perlu dipertahankan.

    Untuk itu diperintahkanlah sepasukan tentara kerajaan yang sangat terlatih untuk menjaga dan

    mengelola kawasan berhutan lebat dan berbukit di wilayah Gunung Kendeng tersebut. Keberadaan

    pasukan dengan tugasnya yang khusus tersebut tampaknya menjadi cikal bakal Masyarakat Baduy

    yang sampai sekarang masih mendiami wilayah hulu Sungai Ciujung di Gunung Kendeng tersebut

    (Adimihardja, 2000:47-59).

    Perbedaan pendapat tersebut membawa kepada dugaan bahwa pada masa yang lalu,

    identitas dan kesejarahan mereka sengaja ditutup, yang mungkin adalah untuk melindungi komunitas

    Baduy sendiri dari serangan musuh-musuh Pajajaran. Dalam Pasal 11 Angka 6 Perda Kabupaten

    Lebak No. 32 tahun 200, yang dimaksud dengan masyarakat Baduy adalah masyarakat yang

    bertempat tinggal di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak yang mempunyai ciri

    kebudayaan dan adat istiadat yang berbeda dengan masyarakat umum.

    2.3. Keadaan Demografi KAT Baduy

    Dalam dua dekade terakhir, belum ada catatan khusus tentang tata guna lahan, namun dapat

    dipastikan lahan permukiman bertambah. Menurut catatan Puskesmas dan Kantor Desa Kanekes

    tahun 2008, jumlah kampung di Baduy sudah mencapai 55 kampung Baduy Luar, ada penambahan 4

    kampung. Dalam Perda No.32 Tahun 2001 Tentang Perlindungan Hak Ulayat Masyarakat Baduy.

    Mendiami 51 Kampung yaitu:

    1. Kampung Kaduketug; 2. Kampung Cipondok; 3.Kampung Babakan Kaduketug; 4. Kampung Kadukaso; 5. Kampung Cihulu; 6. Kampung Balimbing; 7. Kampung Marenggo; 8. Kampung Gajeboh; 9. Kampung Leuwibeleud; 10. Kampung Cipaler; 11. Kampung Cipaler Pasir; 12. Kampung Cicakal Girang; 13. Kampung Babakan Cicakal Girang; 14. Kampung Cipiit; 15. Kampung Cilingsuh; 16. Kampung Cisagu; 17. Kampung Cijanar; 18. Kampung Ciranji; 19. Kampung Babakan Eurih; 20. Kampung Cisagulandeuh;

    26. Kampung Bojong Paok; 27. Kampung Cangkudu; 28. Kampung Cisadane; 29. Kampung Cibagelut; 30. Kampung Cibogo; 31. Kampung Pamoean; 32. Kampung Cisaban; 33. Kampung Babakan Cisaban; 34. Kampung Leuwihandap; 35. Kampung Kaneungay; 36. Kampung Kadukohak; 37. Kampung Ciracakondang; 38. Kampung Panyerangan; 39. Kampung Batara; 40. Kampung Binglugemok; 41. Kampung Sorokohod; 42. Kampung Ciwaringin; 43. Kampung Kaduketer; 44. Kampung Babakan Kaduketer; 45. Kampung Cibongkok;

  • 9

    21. Kampung Cijengkol; 22. Kampung Cikadu; 23. Kampung Cijangkar; 24. Kampung Cinangs; 25. Kampung Batubeulah;

    46. Kampung Cikopeng; 47. Kampung Cicatang; 48. Kampung Cigula; 49. Kampung Karahkal; 50. Kampung Kadugede; 51. Kampung Kadujangkung.

    Data Demografi orang Baduy pada Tahun 1966 berjumlah 3935 orang , Tahun 1969 menjadi

    4.063, Pada Tahun 1980 menurun menjadi 4.057 orang. Tahun 1984 berjumlah 4.587 orang, dan tahun

    1986 berjumlah 4850 orang (Garna, 1985, 1987, 1993). Tahun 1994 berjumlah 6.483 orang, dan Tahun

    2004 tercatat 7.532 orang. Berdasarkan perhitungan terakhir, penduduk Baduy terdiri dari 3697 pria

    dan 3835 wanita. (Permana, 2006:23).

    Foto.2. Ibu-ibu Baduy kembali ke rumah setelah seharian kerja. (Foto Oos M Anwas)

    Berdasarkan perhitungan tahun 1954, populasi penduduk umumnya didominasi oleh penduduk

    Baduy Luar. Penduduk Baduy Dalam menurut catatan tersebut berjumlah 508 orang, terdiri atas 168

    orang warga Cikeusik, 82 orang warga Cikartawana, dan 258 orang warga Cibeo. Hal ini berarti

    penduduk Baduy Dalam hanya 7,8% saja dari keseluruhan penduduk Baduy.

    Laju pertambahan penduduk, dan pemekaran atau bertambahnya jumlah perkampungan di

    Baduy Luar secara keseluruhan, berdasarkan data yang diperoleh dari profil desa Kanekes, dan Pusat

    Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Leuwidamar, jumlah data penduduk dan penyebaran pada setiap

    Kampung baik di Baduy Luar maupun Baduy Dalam sampai dengan Tahun 2008. Saat ini Jumlah

    Kampung Baduy Luar 55 kampung, dan Tiga Kampung Baduy Dalam (Cibeo, Cikartawana, dan

    Cikeusik), dengan jumlah kepala keluarga 2.726 orang, terdiri dari pria 5.500 orang, dan wanita 5.441

    orang, jumlah keseluruhan penduduk baduy luar dan baduy dalam 10.941 orang. Berikut penyebaran

    jumlah penduduk pada setiap kampung secara rinci dapat dilihat pada Tabel 2

    Tabel 2

  • 10

    Data Penyebaran Penduduk Desa Kanekes (Baduy) Tahun 2010

    No Nama Kampung Jumlah KK

    Pria Wanita Jumlah Keterangan

    1 Kaduketug I 44 73 60 133 RW. RT: 01/01 2 Cipondok 59 124 102 226 01/02

    3 Kaduketug II (Babakan Kaduketug)

    112 214 190 404 01/03

    4 Kadukaso 9 16 12 28 01/04

    5 Cihulu 66 121 113 234 01/05

    JUMLAH 290 548 477 1025

    6 Marenggo 44 112 96 208 RW. RT: 02/01

    7 Gajeboh 40 83 93 176 02/02 8 Balimbing 89 224 212 436 02/03

    9 Cigula 39 71 81 152 02/04

    JUMLAH 212 490 482 972

    10 Kadujangkung. 84 171 162 333 RW. RT: 03/01

    11 Karahkal 23 34 62 96 03/02

    12 Kadugede 69 122 120 242 03/03

    JUMLAH 196 327 344 671

    13 Kaduketer I 63 146 119 265 RW. RT: 04/01

    14 Kaduketer II (Babakan Kaduketer)

    18 50 34 84 04/02

    15 Cicatang I 14 34 40 74 04/03

    16 Cicatang II 34 64 54 118 04/04

    17 Cikopeng 45 95 75 170 04/05

    18 Cibongkok 12 22 21 43 04/06

    JUMLAH 186 411 343 754

    19 Sorokokod 89 194 186 380 RW. RT: 05/01

    20 Ciwaringin 41 83 85 168 05/02

    21 Cibitung 14 25 28 53 05/03

    22 Batara 62 115 128 243 05/04 23 Panyerangan 78 50 48 98 05/05

    JUMLAH 284 467 475 942

    24 Cisaban I 152 316 309 625 RW. RT: 06/01

    25 Cisaban II (Babakan Cisaban)

    70 138 132 270 06/02

    26 Leuwihandap 66 108 93 201 06/03

    27 Kadukohak 87 178 157 335 06/04

    28 Ciracakondang 8 21 19 40 06/05 29 Kaneungai 10 16 16 32 06/06

    JUMLAH 393 777 726 1503

    30 Cicakal Muara 78 128 135 263 RW. RT: 07/01

    31 Cicakal Tarikkolot 5 6 8 14 07/02

    32 Cipaler I 98 180 191 371 07/03

    33 Cipaler II 38 72 90 162 07/04

    JUMLAH 219 386 424 810

    34 Cicakal Girang I 49 89 92 181 RW. RT: 08/01

    35 Babakan Cicakal Girang 18 31 37 68 08/02

    36 Cicakal Girang II 26 38 47 85 08/03 37 Cipiit Lebak 20 42 42 84 08/04

    38 Cipiit Tonggoh 41 102 118 220 08/05

    JUMLAH 154 302 336 638

    39 Cikadu /Cinangsi 61 97 123 220 RW. RT: 09/01

    40 Cikadu I 60 114 110 224 09/02

    41 Cijangkar 6 17 17 34 09/03

    42 Cijengkol 38 96 99 195 09/04

    43 Cilingsih 15 31 27 58 09/05

  • 11

    No Nama Kampung Jumlah KK

    Pria Wanita Jumlah Keterangan

    JUMLAH 180 355 376 731

    44 Cisagu I 43 79 78 157 RW. RT: 10/01

    45 Cisagu II 22 59 50 109 10/02 46 Babakan Eurih 16 53 49 102 10/03

    47 Cijanar 61 122 133 255 10/04

    JUMLAH 142 313 310 623

    48 Ciranji 47 83 83 166 RW. RT: 12/01

    49 Cikulingseng 12 20 25 45 12/02

    50 Cicangkudu 14 19 23 42 12/03

    51 Cibagelut 19 40 36 76 12/04

    JUMLAH 92 162 167 329

    52 Cisadane 60 101 116 217 RW. RT: 04/01

    53 Batu Beulah 37 71 57 128 04/02 54 Cibogo 78 115 148 263 04/03

    55 Pamoean 47 80 111 191 04/04

    JUMLAH 222 367 432 799

    Jumlah Seluruh Penduduk Baduy Luar

    KK Pria Wanita

    2466 4945 4892 9797

    KAMPUNG BADUY DALAM

    1 CIBEO 117 263 253 516 RW. RT: 11/01

    2 CIKARTAWANA 40 91 86 177 11/02

    3 CIKEUSIK 103 241 210 451 11/03

    JUMLAH 260 595 549 1144

    Jumlah Total 2.726 5.500 5.441 10.941

    Sumber : Sihabudin (2015:34-35).

    Gejala pertumbuhan penduduk cukup menarik perhatian, naik turun pertumbuhan penduduk

    kemungkinan besar diakibatkan oleh adanya perkawinan yang terlalu dekat diantara kelompok mereka.

    Dugaan tersebut didasarkan atas ketidak ada laporan yang menyatakan terjadinya bencana alam,

    kelaparan, atau ledakan penyakit.

    Menurut Permana (2006:19) luas wilayah Baduy secara umum dapat dibagi menjadi tiga

    macam tata guna lahan, yaitu lahan usaha pertanian, hutan tetap, dan permukiman. Lahan usaha

    pertanian terbesar dalam penggunaan lahan, yakni mencapai 2,585,29 ha atau 50,67%. Lahan ini

    terdiri atas lahan yang ditanam / di usahakan 709,04 ha atau 13,90% dan lahan yang tidak ditanam

    (bera) seluas 1.876,25 ha atau 36,77%. Penggunaan lahan terkecil adalah untuk pemukiman, yang

    hanya meliputi 24,50 ha atau 0,48%. Adapun sisanya, seluas 2.492 ha atau 48,85%, merupakan hutan

    tetap sebagai hutan lindung yang tidak boleh digarap untuk dijadikan lahan pertanian.

    Artinya data tersebut menunjukkan bahwa penggunaan lahan di Baduy yang digunakan

    untuk tempat tinggal hanya sedikit saja, hal ini kemungkinan yang mendorong KAT Baduy ada

    keinginan untuk ber-KB, mengingat sangat terbatasnya tanah yang dapat digunakan untuk pemukiman,

    dengan bertambahnya perkampungan di Baduy konsekuensinya mengurangi juga lahan produksi

    mereka.

  • 12

    2.4. Gambaran Prores Penyebaran Inovasi KB pada KAT Baduy

    Penyebaran (difusi) budaya dalam suatu masyarakat itu pasti terjadi. Proses persebaran

    bervariasi tergantung karakteristik masyarakat, yang dimaksud budaya disini adalah inovasi. Inovasi

    atau sesuatu hal yang baru itu dapat berupa apa saja, apa itu praturan, cara kerja, kebiasaan,

    makanan atau apa saja yang bisa dikatakan hal baru bagi suatu kelompok masyarakat.

    Difusi, difusionisme adalah istilah yang diberikan kepada beberapa teori perkembangan

    kebudayaan dengan memberi tekanan pada difusi. Menurut Kroeber dalam Garna (1992:73) diffusion is

    process, usually not necessarily gradual by which elemnet or system of culture are spead; by which an

    inention or a new instituion adopted in neighboring areas and in some cases continues to be adapted in

    adjacent ones, untul in may spread over the whole earth.

    Kroeber dengan menggunakan pendekatan antropologi, yang berbeda dengan pendekatan

    evolusioner dan struktural fungsional, mengemukakan bahwa difusi itu cenderung menjelang tentang

    perubahan dalam suatu masyarakat dalam masyarakat yang lain. Difusi itu adalah suatu proses yang

    unsur-unsur atau sistem-sistem budaya itu disebarkan. Salah satu perspektif komunikasi yang

    berbicara mengenai penyebaran hal baru adalah Diffusion of indovations Model (model difusi inovasi).

    Model difusi banyak digunakan dalam komunikasi pembangunan, terutama di negara-negara

    berkembang termasuk di Indonesia.

    Difusi sebagai suatu proses yaitu proses penyebaran unsur-unsur budaya (yang baru bagi

    masyarakat penerima) adalah merujuk kepada pengembangan atau growth dan tradisi sebagai suatu

    proses merujuk pada pemeliharaan. Menurut Tylor dalam Soekanto (1982:51), kebudayaan adalah

    kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan lain

    kemampuan-kemampuan serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota

    masyarakat.

    Artinya kebudayaan mencakup semua yang dapat dipelajari oleh manusia sebagai anggota

    masyarakat. Kebudayan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perikelakuan-

    perikelakuan yang normatif, yaitu mencakup segala cara-cara berfikir, merasakan dan bertindak objek

    kebudayaan itu bisa berupa rumah-rumah, jembatan-jembatan, alat-alat komunikasi dan sebagainya.

    Dengan demikian yang dimaksud inovasi disini adalah kebudayaan yang mencakup berbagai

    pengetahuan baru.

    Roger dan Shoemaker berpendapat, dalam riset difusi biasanya lebih memusatkan perhatian

    pada terjadinya perubahan tingkah laku yang tampak (over behavior), yaitu menerima atau menolak ide

    (budaya) baru daripada hanya sekedar pengetahuan dan sikap saja. Difusi adalah suatu tipe khusus

    komunikasi (Rogers dan Shoemaker, 1971:13). Mengenai terjadinya hubungan antara dua budaya, Hall

  • 13

    dan Whyte (1990:40) menyatakan bahwa hubungan antara dua budaya dijembatani oleh perilaku-

    perilaku komunikasi antara administrator yang mewakili suatu budaya dan orang-orang yang mewakili

    budaya lain.

    Dari pendapat diatas dihubungkan dengan proses difusi Inovasi, dapat dipahami bahwa difusi

    kebudayaan mengandung pengertian, tersebarnya suatu kebudayaan atau masuknya unsur budaya

    masyarakat ke dalam masyarakat lain melalui interaksi sosial. Bentuk kongkrit dari interaksi itu adalah

    komunikasi. Pada prakteknya, target sebagian besar usaha-usaha penyebaran (difusi) inovasi Menurut

    McQuail dan Windahl (1984:59) selalu adalah para petani dan anggota masyarakat pedesaan. Usaha

    ini pertama kali dilakukan pada tahun 1920-an dan 1930-an di Amerika Serikat dan kini menjadi

    gambaran bagi sebagian besar program pembangunan di Negara Dunia Ketiga. Dalam perakteknya

    usaha ini tidak hanya berhubungan dengan masalah pertanian, tetapi juga dengan kesehatan,

    kehidupan sosial dan politik.

    Proses bagaimana tersebar dan diterimanya suatu inovasi dalam hal ini KB oleh masyarakat

    Baduy, dimana dari tahun ke tahun ada gejala bertambahnya akseptor dapat digambarkan melalui

    model difusi inovasi Roger dan Shoemaker, sebagaimana dikemukakan Hoeta Soehoet (2002:40)

    sebagai berikut:

    2.5. Rencana Tipe Program dan Tipe Proses Belajar

    Anteseden Proses Konsekuensi

    Variabel Komunikan adopsi selanjutnya

    adopsi

    1. Karakteristik personal adopsi dihentikan

    2. Karakteristik Sosial 1. Pergantian

    3. Kebutuhan akan Inovasi 2. Tidak Menarik

    4. Dan lain-lain Sumber-sumber Komunikasi

    Pengetahuan I Persuasi II Keputusan III Konfirmasi IV

    Variabel Sistem Sosial Karakteristik Inovasi Pengadopsian Kemudian

    Penolakan

    1. Norma-norma Sistem Sosial 1. Keseimbangan Relatif Penolakan selanjutnya

    2. Deviasi Toleransi 2. Kompatibilitas

    3. Integrasi Komunikasi 3. Kompleksibilitas

    4. Dll 4. Triabilitas

    5. Observabilitas

  • 14

    Bentuk program dalam rangka mengubah perilaku masyarakat tentunya disesuaikan dengan

    latar belakang dan kondisi situasi masyarakat yang menjadi sasaran dari program tersebut. Menurut

    Boyle (1981: 6-12) ada tiga tipe program dalam pembangunan; Tipe program developmental,

    institutional, dan tipe program informasional. Untuk memberikan gambaran masing-masing tipe

    program tersebut dengan singkat.

    1. Tipe program developmental, tipe program ini mengidentifikasi masalah-masalah pokok klien, masyarakat, atau segmen masyarakat. Setelah itu program program pendidikan yang mampu menolong orang, dapat dikembangkan. Program tersebut menyangkut pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang merupakan alat pendukung pemecahan masalah. Kesuksesan program diukur dari keberhasilan memecahkan masalah.

    2. Tipe program institusional, program ini memfokuskan pada pengembangan dan peningkatan kemampuan dasar seseorang. Kemmapuan itu meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental. Adanya peningkatan pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental merupakan criteria utama keberhasilan program.

    3. Tipe program informasional. Program ini berupa pertukaran informasi antara pendidik atau prencana dan warga belajar. Program ini sering ditemui pada pendidikan orang dewasa mapun pendidikan lanjutan. Fokusnya pada pengidentifikasian informasi yang harus disebarkan. Keberhasilan program ini dapat diukur dari adanya pertambahan informasi baru berkenaan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap warga belajar.

    Dari tipe program tersebut yang tepat diterapkan bagi komunitas baduy adalah program

    institutional, karena pada prinsipnya masyarakat baduy sudah memiliki potensi baik pengetahuan,

    keterampilan dan sikap dalam menghadapi berbagai masalah hidup, tinggal bagaimana caranya agar

    pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental bertambah.

    Tipe Proses Belajar

    Menurut Asngari (2001:16) belajar dan mengajar adalah dua proses yang tidak dapat

    terpisahkan. Kedua kegiatan ini merupakan proses aktif yang dilakukan oleh orang yang berbeda,

    yakni agen pembaharu / penyuluh dan klien. Keduanya merupakan kegiatan yang saling pengaruh

    mempengaruhi; menghasilkan satu produk berupa perubahan perilaku klien. Psikologi pendidikan

    penting diperhatikan dalam proses pendidikan.

    Ada beberapa tipe proses belajar yang bisa dilakukan dalam meningkatkan pengetahuan,

    keterampilan, dan sikap mental dalam pengembangan sumber daya manusia (PSDM). Misalnya

    melalui diskusi, seminar, workshop, orientasi, studi banding dan lain-lain. Bila dikaitkan dengan PSDM

    komunitas Baduy adalah yang tepat adalah menyuluh / mengajar, menggunakan model proses belajar

    orang dewasa.

    Mengajar adalah kegiatan mengarahkan dan membimbing proses belajar seseorang (SDM-

    klien / anak didik), sehingga proses belajar tersebut dapat terjadi secara efektif dan efesien. Jadi

  • 15

    mengajar juga merupakan proses yang aktif dan membantu orang lain belajar secara efektif. (Asngari,

    2001:17).

    Cara belajar dalam pendidikan pada penyuluhan cukup beragam hal ini disebabkan sasaran

    penyuluhan sangat beragam. Ada beberapa cara belajar pada latihan atau kursus bagi petani, peternak

    antara lain:

    1. Learning bydoing; belajar dengan berbuat atau mengerjakan

    2. Learning by experience; belajar dengan melalui berbagai pengalaman.

    3. Learning by problem solving; belajar dengan cara memecahkan masalah.

    4. Learning by participation; belajar dengan cara berperan aktif.

    5. Learning by multimedia; belajar dengan memanfaatkan beragam media. (Setiana, 2005:33)

    Tipe berlajar yang tepat untuk Komunitas baduy adalah cara belajar orang dewasa atau

    memelalui proses penyuluhan dengan cara belajar memecahkan masalah. Salah satu aplikasi atau

    penerapan pendidikan orang dewasa adalah pada kegiatan penyuluhan, karena tugas utamanya

    seorang penyuluh yaitu sebagai pendidik, pengajar, pemimpin, dan sekaligus pendorong atau

    motivator, selalu berhubungan dengan sasaran penyuluhan yang pada umumnya adalah para petani,

    peternak, nelayan, ibu-ibu anggata Posyandu, dan masyarakat luas yang umumnya orang dewasa.

    Konsep belajar orang dewasa atau dikenal dengan istilah pendidikan orang dewasa (adrogogy).

    Keberhasilan suatu pendekatan dalam suatu proses belajar sangat dipengaruhi oleh banyak

    factor, diantaranya adalah kedewasaan seseorang dalam menerima sesuatu hal-hal baru atau

    dianggap baru. Menurut Mardikanto (1993:12) sebagai suatu proses pendidikan, maka keberhasilan

    penyuluhan sangat dipengaruhi oleh proses belajar yang dialami dan dilakukan oleh sasaran

    penyuluhan. Dalam pelaksanaan penyuluhan, pemahaman proses belajar orang dewasa serta prinsip-

    prinsip yang harus dipegang oleh seorang penyuluh dalam menjalankan tugasnya mejadi sangat

    penting peranannya karena dapat membantu penyuluh dalam mencapai tujuan penyuluhan yang telah

    ditetapkannya.

    Pendidikan orang dewasa juga menggunakan prinsip belajar secara umum. Manurut

    Mardikanto (1993) dalam Setiana (2005:34) prinsip-prinsip belajar merupakan landasan pokok bagi

    pelaksanaan kegiatan belajar yang hendak dilaksanakan. Ada empat prinsip belajar yang bila

    diterapkan akan menghasilkan hasil belajar yang baik, prinsip-prinsip tersebut antara lain:

    1. Prinsip latihan yaitu proses belajar yang dbarengi degan aktifitas fisik untuk lebih merangsang seluruh angota badan terlibat dalam proses belajar. Prinsip latihan ini dilandasi oleh pemahaman bahwa hasil belajar seseorang akan labih baik jika warga belajar mengalaminya langsung.

    2. Prinsip menghubung-hubungkan, yaitu proses belajar dengan cara menghubung-hubungkan prilaku lama dengan stimulus-stimulus baru. Dengan anggapan prilaku lama akanlebih mudah

  • 16

    diterima dan dipahami dibanding dengan stimulus yang tidak memiliki kaitan (association stimulus).

    3. Prinsip akibat; dalam proses ini seseorang dapat mengkuti poses belajar dengan lebh baik apabla proses kegiatan belajar tersebut akammemberikan sesuatu yag bermanfat.

    4. Prinsip kesiapan; setiap kegiatan belajar akan berhasil dengan baik jika ada kesiapan dari wrga belajar dalam mengikuti proses belajar. Kesiap ni dapat berupa kesiapa fisik, mental ataupun emosi, termasuk kemauan yang kuat untuk belajar.

    2.6. Perubahan sebagai Asas Tujuan Pengembangan Program

    Dengan memperhatikan gejala trend peningkatn jumlah akseptor pada KAT Baduy, ini perlu

    diantisipasi dengan aksi program yang dapat mengarahkan gejala perubahan tersebut. Perubahan

    yang dimaksudkan dalam hal ini bukanlah perubahan yang bersifat alami, tetapi perubahan yang

    sengaja dilakukan manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Perubahan pada hakekatnya

    merupakan dasar dari pembuatan program. Dengan kata lain program yang dibuat harus mengandung

    suatu perubahan dalam masyarakat sasaran.Lippitt dkk. (Mardikanto, 1993) mengemukakan bahwa

    perubahan-perubahan yang tidak alami itu disebabkan dua hal pokok:

    (1) Adanya keinginan manusia untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan atau untuk memecahkan

    masalah-masalah yang dirasakan, dengan memodifikasi sumber daya dan lingkungan hidupnya,

    melalui penerapan ilmu pengetahuan atau teknologi yang dikuasainya.

    (2) Ditemukannya inovasi-inovasi yang memberikan peluang bagi setiap manusia untuk memenuhi

    kebutuhan atau memperbaiki kesejahteraan hidupnya, tanpa harus mengganggu lingkungan aslinya.

    Sehubungan perubahan yang menjadi asas pengembangan program tersebut, maka

    penyuluh bersama-sama masyarakat harus merancang kegiatan-kegiatan yang menunjang perubahan

    yang diinginkan dari situasi dan permasalahan yang ada dalam bentuk program. Perubahan semacam

    ini disebut dengan perubahan berencana. Tentang perubahan berencana ini Lippitt dkk (1958)

    mendefinisikannya sebagai suatu perubahan yang diperoleh dari keputusan yang menginginkan

    adanya perbaikan sistem kehidupan secara personal ataupun sistem sosial dengan bantuan

    profesional dari luar.

    Sedangkan Soemardjan (Soekanto,1982) mengungkapkan perubahan berencana

    merupakan perubahan yang diperkirakan atau yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh pihak-

    pihak yang hendak mengadakan perubahan di dalam masyarakat. Pihak-pihak yang menghendaki

    adanya perubahan itu dinamakan "agent of change", yakni seseorang atau sekelompok orang yang

    mendapat kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau lebih lembaga kemasyarakatan.

    Suatu perubahan yang dikehendaki atau yang direncanakan selalu berada di bawah pengendalian

    serta pengawasan "agent of change". Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

  • 17

    perubahan terencana merupakan suatu proses perubahan yang diinginkan dan untuk tercapainya

    dibutuhkan adanya bantuan dari pihak luar, yakni agen-agen pembaharuan.

    Selanjutnya Lippitt dkk. (1958) mengungkapkan bahwa untuk menumbuhkan kebutuhan

    untuk berubah pada diri masyarakat dlbutuhkan tahapan-tahapan sebagai berikut :

    (1) Menumbuhkan kebutuhan untuk berubah

    Pada tahap ini masyarakat yang menjadi sasaran ditumbuhkan kebutuhannya dengan

    merumuskan hal-hal yang menjadi kesulitan, kebutuhan, ketidakpuasan, dan sebagainya. Hal-hal yang

    menjadi kesulitan, kebutuhan, ketidakpuasan tersebut kemudian dijadikan sebagai masalah yang harus

    dipecahkan. Sadar akan adanya masalah ini menimbulkan keinginan untuk berubah dalam diri

    masyarakat, yang kemudian akan mencari bantuan dari luar sistem sosialnya.

    (2) Membangun hubungan untuk berubah.

    Hubungan yang dimaksudkan dalam hal ini adalah terbinanya hubungan yang baik antara

    penyuluh dengan masyarakat. Penyuluh dapat melakukannya dari pendekatan masalah yang dihadapi

    masyarakat.

    (3) Melakukan hal-hal yang berkenaan dengan perubahan.

    Dalam tahap ini dilakukan klarifikasi atau diagnosis atas masalah-masalah yang dihadapi

    masyarakat. Hal lainnya adalah mencari alternatif pemecahan masalah termasuk menetapkan tujuan

    dan tekad untuk berubah. Tekad ini kemudian diwujudkan dalam usaha-usaha untuk berubah yang

    nyata.

    (4) Memperluas dan memantapkan perubahan.

    Pada tahap ini keuntungan-keuntungan (ekonomis dan nonekonomis) yang diperoleh dari

    perubahan perlu diperluas. Perluasan ini juga sebaiknya diikuti dengan penyempurnaan dan

    pengembangan perubahan-perubahan yang terjadi. Dengan demikian, selaln dapat dirasakan oleh

    masyarakat, perubahan tersebut dapat bersifat permanen.

    (5) Pemutusan hubungan

    Tahap ini merupakan tahap pemutusan hubungan antara penyuluh dengan masyarakat.

    Pemutusan ini penting untuk tidak menimbulkan ketergantungan masyarakat terhadap keberadaan

    penyuluh.

    Berdasarkan uraian tahapan di atas, maka dalam melaksanakan tugasnya penyuluh harus

    memperhatikan tahapan tersebut. Penyuluh harus mampu menumbuhkan kebutuhan untuk berubah

    dalam diri masyarakat, membina hubungan, melakukan segala sesuatu yang berkenaan dengan

    perubahan yang diinginkan, memperluas dan memantapkan perubahan tersebut, dan pada akhirnya

    memutuskan hubungan dengan klien.

  • 18

    2.7. Tantangan dan Potensi Dalam Pengembangan Program Pada KAT Baduy

    Uraian penulis di atas tentang komunitas Baduy, dapat dikatakan mereka tergolong dalam

    sistem sosial yang tradisionil. Menurut Rogers dan Shoemaker dalam Hanafi (1987:131) Sistem sosial

    tradisionil ditandai dengan:

    1. kurang berorientasi pada perubahan; 2. kurang maju dalam teknologi atau masih sederhana; 3. relatif rendah kemelekhurufan, pendidikan, dan pemahaman pada metode ilmiah; 4. hubunga interpersonal masih sangat efektif, sehingga mempermudah kekangan masyarakat

    untuk tetap mempertahankan status quo dalam sistem sosial; 5. sedikit sekali komunikasi yang dilakukan dengan pihak luar; 6. kurang mampu menempatkan diri atau melihat dirinya dalam peranan orang lain, terutama

    peranan orang di luar sistem.

    Ada beberapa hal yang menjadi catatan penulis sagaimana dikemukakan Direktorat

    Pemberdayaan Komunias Adat Terpencil Departemen Sosial RI. (Depsos .htm.com. 2007). mengapa

    mereka menutup diri dari dunia luar.

    1. Kendala yang berasal dari kepribadian individu 2. Kendala yang berasal dari sistem social 3. Kesepakatan terhadap norma tertentu 4. Kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya 5. Kelompok kepentingan 6. Hal yang bersifat sacral 7. Penolakan terhadap “orang luar”

    Namun demikian, suku baduy memiliki peluang yang memudahkan mereka untuk bisa hidup

    sejajar dengan manusia lainnya. Mereka memiliki beberapa kelebihan seperti:

    1. Sumber daya alam yang melimpah.

    2. Letak geografis yang dekat dengan pemerintah pusat.

    3. Banyaknya penduduk baduy luar yang sudah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi.

    4. Beberapa peluang tersebut dapat diperoleh dengan mengurangi berbagai kendala yang ada.

    Diantaranya adalah:

    a. Kendala yang ada dapat dikurangi bila komunitas dapat merasakan bahwa perubahan yang mereka lakukan bukanlah perbuahan yang dilakukan oleh “orang luar”.

    b. Kendala dapat dikurangi bila proyek tersebut didukung oleh masyarakat dan para pemimpin yang ada.

    c. Kendala dapat dikurangi bila komunitas tersebut dapat melihat bahwa perubahan yang dilakukan dapat mengurangi beban yang mereka rasakan dan bukan sebaliknya.

    d. Kendala dapat dikurangi bila proyek atau program yang ada sesuai dengan nilai dan norma dalam masyarakat.

    e. Kendala dapat dikurangi bila program yang dikembangkan dapat menampilkan hal yang baru dan menarik minat masyarakat.

  • 19

    f. Kendala dapat dikurangi bila masyarakat merasa bahwa otonomi dan “keamanan” mereka tidak terancam.

    g. Kendala dapat dikurangi bila masyarakat dilibatkan dalam proses identifikasi masalah yang ada.

    Unsur pendukung dalam komunitas Baduy adalah bukan berkaitan dengan masalah fasilitas-

    fasilitas, staf / pekerja, termasuk kendaraan yang dalam oreganisasi modern mungkin unusur-unsur

    pendukung sperti ruangan dan peralatan kantor lainnya adalah hal yang dapat mempengaruhi mutu

    sumber daya manusia. Dalam komunitas Baduy unsur pendukung yang dapat mendukung adalah

    mereka memiliki kearifan lokal yang tetap masih dipegang dalam menjalankan hidup dilaksanakan

    dengan rasa tanggung jawab semua, dan bila terjadi pelanggaran dengan penuh rasa tanggung jawab

    menerima akibat pelanggaran tersebut.

    Jadi dengan mengidentifikasi keraifan lokal yang ada pada komunitas Baduy kita dapat lebih

    mudah meningkatkan, Misalnya saja kearifan lokal mereka dalam hal memfungsikan sungai secara

    sosial untuk kehidupan sangat tertib memfungsikan sungai dimana tempat mandi, mencuci pakaian,

    makanan, dan buang air. Dalam hal tata guna lahan,meskipun sudah mulai dan terus bertambah

    perkampungannya. Hal lain yang menjadi unsur pendukung adalah mereka relatif homogen, taat pada

    keputusan adat, dan lembaga adat.

    2.8. Strategi Peningkatan Kesejahteraan KAT Baduy Dengan Konsep KB

    Motif atau dorongan untuk memperoleh pengetahuan tentang memenuhi kebutuhan keluarga

    dengan ber KB. Serta pengaruh nilai sosial budaya yang kuat pada pembentukan pesepsi baik yang

    dirasakan maupun kepuasannya pada kebutuhan keluarga berencana. Selain itu KAT Baduy

    merupakan contoh komunitas masyarakat yang selalu menjaga tata keseimbangan alam, sehingga

    hutan bagi mereka merupakan kawasan teramat penting yang harus dijaga kelestariannya. Pengertian

    hutan bagi masyarakat Baduy adalah “hutan titipan” dan bersifat agamis yakni berfungsi sebagai

    sarana utama dalam melaksanakan kewajiban-kewajiban dan upacara keagamaan. Selanjutnya “hutan

    titipan” dikatakan sebagai dan bersifat agamawi yakni berfungsi sebagai sarana utama dalam

    melaksanakan kewajiban-kewajiban dan upacara keagamaan. Selanjutnya “hutan titipan” dikatakan

    sebagai hutan adat. Luas hutan adat yang dikelola oleh masyarakat Baduy adalah seluas 5.105,85.

    Berladang adalah usaha utama orang Baduy, maka pada sektor pertanian ini kebijakan yang diambil

    adalah peningkatan produksi pertanian tanaman pangan jenis padi ladang dengan intensifikasi

    pengunaan lahan sehingga potensi pembukaan hutan pada sistem ladang berpindah yang tidak sesuai

    dengan adat masyarakat Baduy yang sangat menjaga keseimbangan alam dapat dihindari. Kebijakan

  • 20

    ini perlu karena seperti diketahui bahwa pada saat ini untuk jenis padi ladang, wilayah Baduy

    merupakan salah satu penghasil padi ladang di Desa Kanekes yang merupakan desa dengan potensi

    ekspor untuk jenis tanaman padi ladang, yang menunjukkan bahwa daerah tersebut mengalami surplus

    produksi/potensial, (Kusdinar, 2004).

    III. IV. V. VI. VII.

    VIII. IX. X.

    Gambar 1:

    Strategi Peningkatan Kesejahteraan Keluarga KAT Baduy Dengan KB

    Strategi dalam peningkatan kesejahteraan keluarga KAT Baduy, mengacu pada uraian di atas

    adalah dengan membentuk forum kelompok diskusi yang didukung oleh lembaga adat dan pemerintah

    daerah, dan dukungan agen pembaharu pada usaha dan pola produksi, dan membangkitkan motif atau

    dorongan untuk berubah.

    Usaha-usaha Penyuluhan, dan interkasi pada KAT Baduy

    Dukungan Lembaga

    Adat

    Dukungan Agen Pembaharu Internal : Jaro,

    kepala kampung, dan Kepala Keluarga yang

    kosmopolit

    Dorongan ingin Berubah

    Kepuasan pada Kebutuhan KB, dan Derajat Kebutuhan Keluarga Sejahtera yang

    Optimal

    Peningkatan Kesejahteraan

    KAT Baduy

    Forum Diskusi KAT

    Baduy

    Standar Kebutuhan Dasar Keluarga

    Sejahtera

  • 21

    Kebijakan yang perlu diimplemantasikan salah satunya adalah kebijakan yang berkaitan

    dengan peningkatan bidang pertanian, karena pada umumnya mata pencaharian mereka berladang.

    Maka strategi yang ditawarkan dalam rangka meningkatkan kebutuhan dasar keluarga, adalah dengan

    memperhatikan karakteristik Masyarakat Baduy itu sendiri.

    Kebijakan penanganan KAT yang diambil adalah dalam upaya pencapaian visi Kabupaten

    Lebak yakni “Kabupaten Lebak menghasilkan produk pertanian yang optimal dan tersedianya

    pelayanan dasar yang memadai, serta peran aktif masyarakat dengan dukungan pemerintahan yang

    bersih.” Untuk itu kebijakan penanganan KAT yang diambil merupakan bagian integral dalam segala

    kebijakan bidang pembangunan lain seperti bidang hukum, bidang pertanian, bidang kehutanan dan

    perkebunan, bidang kependudukan, bidang kesehatan, bidang pertanahan dan bidang pariwisata.

    Kebijakan Pemerintah Kabupaten Lebak dalam Penanganan Komunitas Adat Baduy. Kebijakan

    penanganan KAT tediri dari (1) kebijakan yang terintegrasi dalam kegiatan rutin yang merupakan

    bagian dari program suatu Dinas Instansi, dan (2) kebijakan yang secara khusus mengatur dan

    menempatkan KAT sebagai arah kebijakan yang lebih spesifik.

    Berikut adalah beberapa kebijakan yang ada baik secara khusus atau secara umum

    membahas tentang KAT. Dalam bidang hukum ditujukan dalam rangka penegakan supremasi hukum

    dan penegakan Martabat dan Hak Azasi Manusia. Untuk itu produk hukum yang diputuskan oleh

    Pemerintah Kabupaten Lebak yang menyangkut Komunitas Adat Terpencil Baduy adalah dalam rangka

    pengakuan hak, persamaan serta kesetaraan Hak Masyarakat Adat Baduy dalam Hukum dan hak lain

    yang berkaitan dengan pelaksanaan hidup bermasyarakat dan bernegara. Beberapa produk hukum

    yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Lebak yang secara langsung mempengaruhi hajat

    hidup masyarakat adat Baduy adalah:

    (1) Perda No. 13 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Lembaga Adat Masyarakat

    Baduy di Kabupaten Lebak.

    (2) Perda No. 31 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Lebak.

    (3) Perda No. 32 Tahun 2001 tentang Perlindungan atas Hak Ulayat Masyarakat Baduy.

    Keputusan Bupati Lebak No. 590 / Kep. 233 / Huk / 2002 tentang Penetapan Batas-Batas Detail

    Tanah Ulayat Masyarakat Adat Baduy di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten

    Lebak.

    Kebijakan dalam bidang penegakan hukum ini selain sebagai alat dalam memperjuangkan dan

    melindungi wilayah Baduy, juga mempunyai multiplier effect terhadap bidang pembangunan lainnya.

  • 22

    III. Penutup

    Perencanaan penyebaran program KB melalui penyuluhan adalah proses pengambilan

    keputusan yang menghasilkan suatu pernyataan tertulis mengenai situasi masalah, tujuan, dan cara

    mencapai tujuan untuk mengubah perilaku masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik. Dalam

    menyusun perencanaan program penyuluhan itu, perlu diperhatikan keterlibatan klien atau sasaran

    kegiatan penyuluhan dalam setiap proses perencanaanprogram penuluhan. Hal ini disebabkan

    partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan yang menyangut kehidupan mereka sagat

    diperlukan agar pembangunan itu dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri.

    Oleh karena itu, pada hakekatnya penyuluhan merupakan kegiatan pendidikan, maka proses

    perencanaan program penyuluhan perlu disesuaikan dengan proses instruksionil yang meliputi: 1)

    penentuan filosofi, 2) penciptaan iklim belajar, 3) pengukuran kebutuhan. 4) penetapan tujuan. 5)

    pemilihan metode instruksional dan 6) evaluasi.

    Dari kesimpulan diatas, penulis menyarankan beberapa hal:

    1. Adanya upaya dari pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia masyarakat baduy

    agar dapat mengelola potensi alam yang mereka punya.

    2. Perlunya pembukaan akses berbagai informasi yang memudahkan masyarakat badui untuk

    maju.

    3. Diadakannya berbagai pelatihan dan pemberdayaan dari pemerintah bekerja sama dengan

    masyarakat yang sudah terdidik agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat badui untuk

    hidup lebih baik.

    IV. Daftar Pustaka

    Adimihardja, Kusnaka. 1992. Kebudayaan dan Lingkungan Studi Bibliography, Ilham Jaya. Bandung. Adimihardja, Kusnaka. 2007. Dinamika Budaya Lokal. Bandung. CV. Indra Prahasta dan Pusat Kajian

    LBPB. Adimihardja, K., Orang Baduy di Banten Selatan: Manusia air pemelihara sungai, Jurnal Antropologi

    Indonesia, Th. XXIV, No. 61, Jan-Apr 2000, FISIP Universitas Indonesia . Asngari, Pang S. 2001. Peranan Agen Pembaruan / Penyuluh dalam memberdayakan (Empowerment)

    sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis. Orasi Ilmiah Guru Besar tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.

    Asngari, Pang S. 2006. Materi kuliah: Prinsip-Prinsip Penyuluhan Pembangunan / PPN 515. Program

    Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. SPs-IPB. Boyle. Patrick. 1981. Planning Better Programs. Mc-Graww Hill Book Company. New York.

  • 23

    Direktorat Pemberdayaan Komunitas Adat Terpencil. 2007. Tantangan Dan Peluang Upaya Perubahan Pada Suku Baduy. Departemen Sosial.RI.htm.com. Download tanggal 15-5-2007)

    Garna, Judistira, K. 1985. Masyarakat Baduy dan Siliwangi (menurut anggapan orang-orang Baduy masa kini. Dewan Nasional Untuk Kesejahteraan Sosial, Depsos RI – Gramedia. Jakarta..

    Garna, Yudhistira.1993. “Masyarakat Baduy di Banten”, dalam Koentjaraningrat (ed.) Masyarakat

    Terasing di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta: hlm.120-152. Garna, Judistira K. 1993. Teori-Teori Perubahan Sosial. Program Pascasarjana. Universitas

    Padjadjaran. Bandung. Hanafi, Abdillah. 1987. Memasayarakakan Ide-Ide Baru. Disarikan dari karya: Everett Rogers dan F.

    Floyd Shoemaker. Commncation of Innovatos. Penerbit. Usaha Nasional. Surabaya. Hoeta Soehoet, A.M. 2002. Teori komunikasi 2. Penerbit Yayasan Kampus Tercinta – IISIP Jakarta.

    Jakarta. Kurnia, Asep dan Sihabudin, Ahmad, 2010. Saatnya Baduy Bicara. Diterbitkan atas kerjasama Penerbit

    Bumi Aksara, dan Universitas Sultan ageng Tirtayasa. Jakarta. McClelland, David. 1986. Dorongan Hati menuju Modernisasi. Dalam buku Modernisasi Dinamika

    pertumbuhan. Editor Myron Weiner. Gajahmada University Press. Yogjakarta. McQuail, Denis dan Windahl, Sven. 1986. Model-Model Komunikasi. Alih bahasa oleh Putu Laxman

    Pendit. Uniprimas. Jakarta. Permana, R. Cecep Eka. 2006. Tata Ruang Masyarakat Baduy. Wedata Widya Sastra. Jakarta. Rogers, Everett M., & Shoemaker, Floyd. 1971. Communication of Innovations. A Cross-Cultural

    Approach. The Free Press. New York. Setiana, Lucie. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Ghalia Indonesia. Ciawi –

    Bogor. Sihabudin, Ahmad. 2015. Kebutuhan Keluarga Komunitas Adat Baduy. Penerbit Untirta Press.

    Bekerjasama dengan PT. Kemitraan Energi Industri. Serang. Sri Rejeki, MC Ninik. 1998. Perencanaan program Penyuluhan (teori dan Praktek). Penerbit.

    Universitas Atma Jaya. Yogajakarta. Soekanto, Soeryono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

  • 24

    Tentang Penulis Ahmad Sihabudin, Lahir di Petir Serang, 4 Juli 1965, adalah Guru Besar Ilmu Komunikasi

    Lintas Budaya pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Meraih gelar Sarjana Komunikasi tahun 1989 di FIKOM IISIP Jakarta dh Sekolah Tinggi Publisistik, Magister Sains Bidang Kajian Komunikasi tahun 1994 di Universitas Padjadjaran, dan memperoleh gelar Doktor Bidang Ilmu Penyuluhan Pembangunan di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009. Sejak 1990 sampai dengan sekarang sebagai Dosen ilmu komunikasi di beberapa PTS, sejak 2001 sebagai Dosen tetap pada Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Untirta. Sedangkan pengalaman struktural diantaranya: pernah menjabat Ketua Program Studi Ilmu Penerangan, Pembantu Dekan Bidang Akademik FIKOM IISIP Jakarta, Dekan FIKOM IISIP Jakarta, dan Dekan FISIP Untirta 2007-2011, saat ini menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian Budaya dan Pranata Sosial LPPM Untirta. Selain mengajar di Untirta dan beberapa perguruan tinggi lainnya, baik strata 1 maupun pasca sarajana, aktif menulis artikel ilmiah dan telah dipublikasikan diberbagai jurnal ilmiah, serta aktif melakukan penelitian terutama dalam bidang komunikasi massa dan kajian lintas budaya. Buku yang sudah di terbitkan Saatnya Baduy Bicara, bersama Asep Kurnia 2010. Diterbitkan oleh PT. Bumi Aksara, Jakarta. Komunikasi Antarbudaya Sebuah Perspektif Multi-Dimensi, 2011, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Komunikasi Antarmanusia, 2013 bersama Rahmi Winangsih Diterbitkan oleh Pustaka Getok Tular. Komunikasi Intra-budaya Kasepuhan Cisungsang, 2014 bersama Yoki Yusanto, dan Henriana Hatra. Diterbitkan oleh Pustaka Getok Tular.