jtptunimus-gdl-s1-2008-dewiratnas-304-bab+i
DESCRIPTION
tesisTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Beberapa tahun terakhir ini sering kita dengar dan dibahas tentang
praktik tenaga kesehatan yang melakukan malpraktik medis, sehingga banyak
masyarakat yang mengajukan tuntutan hukum. Fenomena semacam ini adalah
bagus kalau dilakukan secara proporsional, sebab fenomena ini menunjukkan
meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap hukum kesehatan. Di samping
itu, fenomena ini juga menunjukkan adanya kesadaran masyarakat, terutama
pasien tentang hak-haknya, atau hak-hak pasien (Notoadmojo, 2010)..
Selain itu juga sering terjadinya kealpaan atau kelalaian yang
merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga
bukan merupakan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Jadi dalam kealpaan
ini tidak ada niat jahat dari pelaku. Kealpaan atau kelalaian dan kesalahan
dalam melaksanakan tindakan medis menyebabkan terjadinya ketidakpuasan
pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan sesuai profesi
kedokteran. Kealpaan dan kesalahan tersebut menyebabkan kerugian berada
pada pihak pasien (Erdiansyah, 2011).
Banyaknya kasus kelalaian medik membuat penataan sistem kesehatan
yang mengutamakan keselamatan pasien perlu segera dilakukan. Dugaan
kelalaian medik bisa dipicu kurangnya komunikasi, rendahnya kompetensi
tenaga kesehatan, buruknya manajemen fasilitas layanan kesehatan, hingga
1
lemahnya pengawasan pada tahun 2012. Kasus kelalaian medik yang
terungkap umumnya melibatkan pasien dari kelompok ekonomi menengah
atas, pasien miskin lebih banyak pasrah. Dokter dan RS perlu mengedepankan
empati pada pasien korban dugaan kelalaian medik. (Buletin Parlementaria,
2013).
Pada tahun 2006 - 2012 Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (selanjutnya disebut MKDKI) menerima 183 pengaduan dugaan
kelalaian medik. Namun, hanya 88 pengaduan yang dapat diproses dan
melibatkan 121 dokter. Beberapa dugaan kelalaian medik adalah kasus RAP
(10) di RS Medika Permata Hijau, Jakarta. Setelah menjalani operasi usus
buntu yang dilakukan secara mendadak tanpa pendapat kedua (second
opinion) dari dokter lain, 22 September 2012, pasien kini tak bisa melihat,
bicara, mendengar, ataupun merespon. Pengelola rumah sakit mengatakan,
pasien mengalami alergi obat sehingga denyut jantung sempat terhenti. Kasus
lain menimpa EMD (10 bulan) di RS Ibu dan Anak Dedari, Kupang, Nusa
Tenggara Timur (NTT). Setelah operasi kasus invaginasi usus (masuknya
bagian pangkal usus ke ujung usus), korban mendapat transfusi darah
langsung ke vena. Setelah itu, fungsi napas pasien turun dan akhirnya
meninggal akibat perdarahan di seluruh organ tubuh. Kasus lain terjadi pada
MS (52) di RS Santa Elisabeth, Medan, Sumatera Utara. Setelah dikuret
karena pendarahan di luar menstruasi dan dugaan adanya kista, kandung
kemih pasien tersayat hingga kencing tak bisa dikontrol. Setelah dirawat di RS
lain, kini pasien harus kencing melalui kateter yang dipasang permanen di
2
ginjal. Dari beberapa permasalahan yang diadukan merupakan yaitu masalah
kompetensi yang mengakibatkan meninggal dunia, ingkar janji
mengakibatkan cacat, penelantaran, komunikasi dan pembiayaan
mengakibatkan kerugian pada pasien. hal ini terjadi sering dikarenakan oleh
kurangnya komunikasi dokter dengan pasien sehingga memunculkan banyak
ketidakpuasan (Buletin Parlemeteria, 2013).
Hubungan antara dokter dan pasien dalam ilmu kedokteran umumnya
berlangsung sebagai hubungan biomedis aktif-pasif. Dalam hubungan tersebut
rupanya hanya terlihat superoritas dokter terhadap pasien dalam bidang ilmu
biomedis ; hanya ada kegiatan pihak dokter, sedangkan pasien tetap pasif.
Hubungan ini berat sebelah dan tidak sempurna, karena merupakan suatu
pelaksanaan wewenang oleh yang satu terhadap lainnya. Kedudukan dokter
yang selama ini dianggap lebih “tinggi” dari pasien disebabkan karena dokter
dianggap yang paling tahu mengenai keadaan kesehatan pada diri pasien.
Sehingga pasien seringkali menerima saja perlakuan dokter sehingga sulit
menilai secara cermat pelayanan dokter.
Dengan semakin berkembangnya pengetahuan masyarakat, hubungan
tersebut perlahan-lahan mengalami perubahan. Oleh karena hubungan dokter-
pasien merupakan hubungan antar manusia, lebih dikehendaki hubungan yang
mendekati persamaan hak antar manusia. Jadi hubungan dokter yang semula
bersifat paternalistik akan bergeser menjadi hubungan yang dilaksanakan
dengan saling mengisi dan saling ketergantungan antara ke dua belah pihak
yang ditandai dengan suatu kegiatan aktif yang saling mempengaruhi. Dokter
3
dan pasien akan berhubungan lebih sempurna sebagai “ partner”
(Wiradharma, 1996).
Hubungan dokter dan pasien, secara hukum umumnya terjadi melalui
suatu perjanjian atau kontrak, dengan tanya jawab (anamnesis) antara dokter
dan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik, akhirnya dokter
menegakkan suatu diagnosis. Diagnosis ini dapat merupakan suatu “working
diagnosis” atau diagnosis sementara, bisa juga merupakan diagnosis yang
definitif. Setelah itu dokter biasanya merencanakan suatu terapi dengan
memberikan resep obat atau suntikan, atau operasi atau tindakan lain, dan
disertai dengan nasihat-nasihat yang perlu diikuti agar kesembuhan lebih
segera dicapai oleh pasien (Wiradharma, 1996).
Model tradisional asuhan pasien yang selama ini sudah berjalan adalah
dokter merupakan pusat dari asuhan (doctor centered), sehingga ada 2 kubu
yang menjadi perhatian di managemen rumah sakit, yakni dokter dan pasien.
Namun tujuan utama pelayanan kesehatan rumah sakit pada masa belakangan
ini diharapkan menjadi pelayanan atau asuhan yang berfokus kepada pasien
(patient centered care). Seorang dokter dalam melakukan penanganan medik
dituntut kehati-hatian dan tanggung jawab dan profesional dalam melakukan
pelayanan kesehatan terhadap pasiennya sesuai dengan keahlian dan
keterampilan yang dimilikinya. Pada tingkat ini sekalipun, seorang dokter
sebagaimana umumnya manusia biasa terkadang melakukan kesalahan
ataupun penyimpangan terhadap ketentuan yang diharuskan. Penyimpangan
tersebut dapat disebabkan oleh adanya tindakan dokter yang secara langsung
4
(tanpa melakukan persetujuan) melakukan penanganan medik kepada pasien
atau karena adanya kelalaian atau kesalahan. Hal ini tentu akan menjadi
masalah karena ada kondisi yang rancu tentang adanya pelanggaran hukum,
terlepas dari pasien tersebut selamat atau tidak dalam suatu proses penanganan
medik.
Oleh karena itu,berdasarkan pada pola konsumerisme, klien berhak
mengetahui segala macam tindakan pengobatan dan perawatan atas dirinya,
sehingga dalam dunia kesehatan terdapat istilah informed consent.
Pelaksanaan informed consent bertujuan untuk melindungi hak pasien atas
informasi dan persetujuan untuk melindungi terhadap segala tindakan
kesehatan yang didapatkan, selain itu, informed consent bertujuan untuk
melindungi tenaga kesehatan dari problema hukum yang mungkin timbul dari
rasa ketidakpuasan pasien atas tindakan kasehatan yang dilakukan karena
kurangnya informasi yang diberikan oleh tenaga kesehatan (Veronica,2002 ).
Informed consent pada dasarnya adalah persetujuan tindakan yang
diwajibkan untuk dibuat terlebih dahulu sebelum dokter melakukan tindakan
medis terhadap pasiennya. Persetujuan ini dilaksanakan setelah sebelumnya
pasien diberikan informasi yang cukup mengenai segala sesuatu yang
berhubungan dengan tindakan medis yang akan dilakukan terhadap dirinya
yang mencakup risiko, fakta-fakta penting maupun efek samping. Persetujuan
tindakan tersebut biasanya dilakukan secara tertulis dan bisa menjadi
dokumen medis maupun alat bukti yang sah secara hukum.
5
Sebagaimana diatur di dalam Pasal 7 Ayat (3) Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/MENKES/PER/III/2008tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, sekurang-kurangnya mencakup:
1. Diagnosis dan tata cara tindakan medis;
2. Tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3. Alternatif tindakan lain dan risikonya;
4. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan;
6. Perkiraan pembiayaan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan pemahaman secara
serius terhadap isi dari informed consent itu sendiri, bagaimana hak-hak serta
kewajiban, dari sisi dokter mungkin sudah benar-benar memahaminya, akan
tetapi dari sisi pasien ada kemungkinan besar tidak terlalu memperhatikan hal
tersebut, karena beban pikiran yang dimiliki tercurah pada permasalahan
kesehatannya, selain itu juga kemungkinan dikarenakan pengetahuan
tentangkesadaran hukumnya masih kurang.
Mungkin memang mudah membicarakan apa saja isi dari suatu
informed consent, akan tetapi dalam pelaksanaannya hal tersebut menjadi
sulit. Hal itu dikarenakan dalam pelaksanaannya masih banyak kendala yang
harus dihadapi. Misalnya kendala dari segi penjelasan, karena pada faktanya
seringkali bahasa kedokteran terlalu tinggi atau sulit untuk dimengerti oleh
masyarakat awam.
6
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut;
Bagaimana peran perawat pelaksana dalam pelaksanaan informed consent
pada pasien pra bedah dewasa di ruang bedah kenanga Rumah Sakit Umum
Daerah Sunan Kalijaga Demak?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Mengidentifikasi secara umum megenai peran perawat pelaksana
dalam pelaksanaan informed consent pada pasien pra bedah dewasa di
ruang bedah kenanga rumah sakit umum daerah Sunan Kalijaga Demak
2. Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi perawat sebagai sumber informasi (communicator)
dalam pelaksanaan informed consent pada pasien pra bedah dewasa di
ruang kenanga Rumah Sakit Umum Daerah Sunuan Kalijaga Demak
b. Mengidentifikasi pelaksanaan fungsi advokasi perawat dalam informed
consent pada pasien pra bedah kenanga Rumah Sakit Umum Daerah
Demak
D. Manfaat Penelitian
7
Penelitian mengenai peran perawat dalam pelaksanaan informed consent
memiliki beberapa kegunaan,antara lain:
1. Sebagai masukan bagi profesi keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan dan meningkatkan mutu pelayanan dengan cara memberikan
informed consent pada pasien sebelum menjalani tindakan operasi.
2. Memberikan masukan kepada perawat tentang pentingnya memberikan
informed consent pada pasien dan keluarga untuk mengambil suatu
keputusan yang tepat sebelum menjalani tindakan operasi.
3. Sebagai saran bagi rumah sakit untuk meningkatkan kualitas
pelayanan serta pelaksanaan informed consent pada pasien pra bedah.
E. Bidang Ilmu
Dari segi keilmuan penelitian ini merupakan bidang kesehatan yang
memfokuskan pada bidang keperawatan.
8